TEROR DALAM DUNIA PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA Saya setuju dengan Anda bahwa teror yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia adalah tragedi kemanusiaan. Tapi, saya melihat ada teror lain yang lebih kejam. Teror yang lebih kejam itu adalah teror yang terjadi di dunia pendidikan tinggi kita. Mungkin bagi sebagian ahli terorisme empiris, mereka akan mengesampingkan jenis teror ini. Namun, bagi saya teror di dunia pendidikan tinggi lebih “meledakan” dan “high explosive” pula. Kenapa? Karena laten teror pendidikan akan “membunuh” banyak orang, bahkan bisa satu bangsa. Laten teror dalam dunia pendidikan tidak hanya membunuh satu kelas atau satu kampus tapi akan meluas dan merusak kehidupan itu sendiri. Jadi, menurut saya, teror pendidikan ini tidak bisa bisa dikesampingkan?
Teror Pertama: Kuliah Instan alias Kuliah Kilat Hanya dengan membayar sekian juta, menempuh perkuliahan selama tiga bulan. Waktu tiga bulan, tak hanya dipakai untuk proses perkuliahan di kelas saja. Rentang waktu yang pendek itu juga dipakai untuk ujian skripsi. Selain itu, dipastikan, skripsi �jahitan� (istilah skripsi beli) itu bakal dinilai bagus dan tes tanpa berbelit. �Tes skripsinya hanya formalitas. Tarif pembayarannya Sudah satu paket, termasuk dibuatkan skripsinya. Adapula modus kuliah instan hanya dengan hanya mendaftar, menunggu genap empat tahu di wisuda dan diberikan ijazah. Saat mendaftar, dijanjikan bakal lulus semua, termasuk skripsinya. Sudah bukan rahasia lagi jika kampus sepi mahasiswa tapi ramai wisudawan. Aneh bin ajaib, kendati belajar dengan model kuliah super kilat, ijazah yang dikantongi ternyata amanaman saja, tak pernah dipersoalkan mengenai legalitas ijazahnya. Bahkan banyak diantara mereka lulus tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) dengan menggunakan metode kuliah super cepat. Di masyarakat kita banyak yang tertarik dengan kuliah model ini. Kilat dan pasti lulus. Praktik kuliah instan alias kilat ini banyak mendapat peminat lantaran ada pasar yang membutuhkannya. Dalam hal ini, mereka yang membutuhkan gelar instan tanpa harus direpotkan urusan perkuliahan. Kuliah kilat untuk mendapatkan ijazah secepat mungkin melamar pekerjaa atau mendaftra PNS. Inilah salah satu bentuk teror pendidikan tinggi kita Kekinian. Teror Kedua: Kampus Bodong Alias Kampus Abal Abal Di Indonesia, masih banyak PTS berkualitas yang bisa menjadi tujuan. Tapi, tidak sedikit pula terdapat kampuskampus swasta bodong alias abal-abal. Sejak tahun tahun 2015, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (kemenristekdikti) mengeluarkan daftar PTS bermasalah di sejumlah daerah yang statusnya dinonaktifkan. Tapi masih ada diantara PTS tersebut membandel dengan cara masih melanjutkan perkuliahan walaupun statusnya sudah dinonaktifkan. Ada beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa sebuah PTS dinonaktifkan.Yang pertama, kampus tidak melakukan pelaporan data perguruan tinggi selama empat semester secara berturur-turut. Setiap semester, setiap kampus seharusnya memberikan laporan melalui Pangkalan Data Dikti (PDDIKTI). Kedua adalah mengenai nisbah dosen dan mahasiswa. Hal ini terkait tentang rasio antara dosen dan mahasiswa yang tidak terpenuhi. Menurut aturan, rasio antara dosen dan mahasiswa untuk ilmu eksakta adalah 1:20 dan untuk ilmu sosial adalah 1:30.Penyelenggaraan kelas jarak jauh serta penyelenggaraan kelas perkuliahan pada hari Sabtu dan Minggu juga dapat menjadi pemicu penonaktifan sebuah PTS. Masalah-masalah lain yang sering muncul adalah ketika yayasan sebuah PTS sudah tidak diakui, namun kampus masih tetap beroperasi. Kasus lainnya adalah apabila terjadi dualisme kepengurusan yayasan yang sering menimbulkan konflik. Selain itu, juga penonaktifan bisa dilakukan karena kampus sudah berpindah lokasi alamat namun tidak memberikan pelaporan. Kampus bodong alias kampus abal abal sering menawarkan jual-beli ijazah dan tugas akhir atau skripsi. Selain melanggar hukum, praktik ilegal seperti ini hanya akan menghasilkan sarjana-sarjana yang tidak memiliki kualitas mumpuni. Dalam jangka panjang fenomena seperti ini tentu akan melemahkan daya saing sumber daya manusia Indonesia. Inilah salah satu bentuk teror pendidikan tinggi kita Kekinian.
1
Teror Ketiga: Jual Beli Ijazah alias Ijazah Palsu Kepalsuan bukanlah sesuatu yang aneh dalam masyarakat kita, karena ini sudah sangat menggejala dalam masyarakat kita entah sejak kapan dimulai. Kasus-kasus yang berbau “illegal” seperti uang palsu, kartu kredit palsu, KTP palsu, wajah palsu, SIM palsu, polisi palsu, jaksa palsu, dukun palsu, bahkan kiyai palsu sudah tidak asing bagi kita. Tapi kenapa isu ijasah palsu membuat kita lebih risau, karena ini menyangkut moral dan karakter bangsa dan sistem pendidikan kita. Mungkin kita sependapat bahwa keberadaan sumberdaya manusia (human resources) itu dengan segala atribut yang menyertainya merupakan faktor penentu pembangunan bangsa dan lembaga pendidikanlah yang paling bertanggungjawab untuk itu. Kita mungkin sering mendengar ijasah Asli tapi palsu, Sekolah tidak Ijasah Ada, Sekolah Tidak Ilmu Enggak. Kasus ijasah palsu memang patut membuat kita resah dan malu. Praktek "penjualan ijasah sarjana palsu (baik S1, S2, S3 bahkan Professor) dilakukan untuk ijasah luar negeri maupun dalam negeri. Kalau diestimasi dari praktek yang mulai marak sejak tahun 1990an ini sudah sangat luar biasa. Diduga sudah ratusan ribu ijasah palsu yang sudah beredar di Indonesia baik oleh lembaga yang mengatasnamakan perguruan tinggi luar negeri maupun perguruang tinggi dalam negeri. Modus operandi penjualan ijasah palsu diduga dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi swasta oleh oknumoknum yang tidak bertanggung jawab. Sebagai contoh beberapa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di beberapa daerah, misalnya ditemukan mengeluarkan Ijazah palsu dengan tarif: untuk S1 dan akta IV dibandrol Rp 12,5 juta, S2 seharga 20 juta, dan S3 dijual Rp 70 juta tanpa kuliah. Yang lebih ironis lagi adalah bahwa pihak yang memanfaatkan jasa ijasah sarjana palsu ini bukanlah orang biasa, sebutlah; birokrat, politisi, pengusaha, artis-seniman, dan bahkan guru dari pusat sampai di daerah-daerah. Sebagai contoh, diberitakan Kompas.com; (Selasa, 12 Juni 2012) seorang guru di Kabupaten Garut, Jawa Barat, yang diduga memiliki ijazah palsu dari salah satu perguruan tinggi swasta di Bogor dan lulus uji kompetensi, tapi akhirnya tidak dapat memenuhi panggilan untuk proses seleksi lebih lanjut karena ijazahnya palsu. Bagaimana bisa, orang yang mestinya mendidik bangsa ini, mempunyai mental dan karakter seperti itu. Minggu ini, Kasus yang sama kembali menyeruak di seantero negeri ini . Mengutip berita Portal media online pikiran-rakyat.com (/2018/11/29). Menristekdikti M. Nasir menyatakan, ramainya pemberitaan yang menulis isu ijazah palsu belakangan ini, ia menduga, pemilik kampus swasta yang sudah ditutup itu kembali membuka kampus dengan nama baru. “Ternyata ini orang lama bermain lagi. Dia mengubah dari yang sudah kami tutup. Dia membuat universitas baru, Universitas Pelita Bangsa," kata Nasir . Ia menegaskan, jika ada perguruan tinggi yang melakukan jual beli ijazah alias mengeluarkan ijzah palsu akan ditutup. Menurut dia, praktik jual beli ijazah palsu menurunkan kualitas daya saing sumber daya manusia Indonesa. "Saya sudah perintahkan pada direktur jenderal dan direktur bahwa (perguruan tinggi) yang bermasalah tentang ada penjualan ijazah palsu tutup saja, tidak usah diberikan izin. Kami tidak akan pernah memberikan toleransi terkait perguruan tinggi yang mengeluarkan ijazah palsu,” ujarnya. Direktur Jenderal Kelembagaan Kemenristekdikti Patdono Suwignjo mengatakan, pada 2017, pihaknya menemukan perguruan tinggi yang mengeluarkan ijazah tidak sah. Perguruan tinggi itu ada di Pulau Jawa dan luar Jawa. "Ada di beberapa perguruan tinggi yang kami dapati bahwa itu ijazah-ijazahnya itu ijazah yang tidak sah. Maka kami minta untuk idicabut dan perguruan tingginya kami kasih sanksi,” ucap Patdono. Dalam berita mendalam yang ditulis tirto.id, seorang staf khusus Menristekdikti dituding menjadi orang yang terlibat sindikat ijazah palsu. Media daring tersebut mengungkap, dengan bantuan oknum staf khusus Menristekdikti, kampus yang melakukan praktik jual beli dan sudah ditutup kembali beroperasi dan berpindah lokasi. Menanggapi
2
hal tersebut, beberapa Anggota DPR RI khususnya Komis X yang membidangi pendidikan tinggi mengaku prihatin dan mengecam keras semua orang yang diduga terlibat. Ia menilai, menerbitkan ijazah palsu menodai marwah pendidikan tinggi. Semua pihak yang terlibat harus dijerat dengan hukum pidana. Kasus ini sangat miris dan memalukan. Disaat bangsa ini sedang berjuang bagaimana membangkitkan kualitas pendidikan tinggi nasional, tapi masih ada orang yang tega melakukan pencederaan. Pemalsuan, pelecehan terhadap ilmu pengetahuan. mencederai pendidikan etika keilmuan dan intelektualitas . Karena itu (ijazah palsu) merusak marwah pendidikan tinggi Indonesia. Inilah salah satu bentuk teror pendidikan tinggi kita Kekinian. Teror Keempat: Komersialisasi Pendidikan dan Nilai Akademik Sejak peluang bisnis menggiurkan dalam dunia pendidikan terlihat, para pebisnis masuk ke wilayah ini. Karena wilayah pendidikan adalah wilayah utama pemerintah sudah ada sejak dahulu, maka pebisnis pendidikan mencari distingsi yang dibutuhkan masyarakat. Awalnya, mereka melihat dari kuantitas. Perguruan tinggi (PT) adalah awal mereka untuk berbisnis. Dahulu PTN sangat terbatas sehingga begitu banyak bermunculan PTS. Karena biaya PT lebih mahal dari sekolah dasar menengah, maka orang berlomba untuk menjadikan PT lebih berkualitas. Biaya mahal menjadi alasan untuk kualitas, sehingga pebisnis pendidikan menjadikan PT sebagai media komersialisasi pendidikan. Saat itu tidak menjadi masalah, toh yang masuk PT pasti bukan orang yang tidak mampu. Maraknya pendidikan tinggi dengan sistem kelas jauh dan kuliah sabtu – minggu. Menjamurnya model pendidikan tersebut telah menjadi ”buah bibir” yang kontroversial. Padahal semestinya perdebatan tersebut tidak harus terjadi, karena secara eksplisit tidak ditemukan dalam teks undang-undang sistem pendidikan nasional tentang ”kelas jauh” tersebut yang ada hanyalah pendidikan jarak jauh. Namun pada prakteknya, kelas jauh ini benar-benar ”merajalela” berkembang di masyarakat. Dan masyarakat juga merespon dengan cukup tinggi. Fenomena ini tentunya menjadi dilematis, pada satu sisi kelas jauh adalah tidak diperkenankan dalam perundangundangan, namun pada sisi yang lain menjadi kebutuhan, karena adanya kebutuhan dan permintaan masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan yang terjangkau dan tidak mengganggu pekerjaan atau profesinya. Dilema pendidikan kelas jauh terkait dengan banyaknya permintaan (peminat) untuk mengikuti pendidikan tersebut dan penawaran (penyelenggara) yang memberikan banyak kemudahan-kemudahan adalah salah satu yang menjadi dasar alasannya adalah suatu kenyataan bahwa wilayah indonesia adalah sangat luas dengan kondisi geografis dan budaya yang berbeda. Atas dasar kondisi yang demikian itulah, tentunya memerlukan berbagai layanan pendidikan yang dapat menjangkau dan menyentuh daerah-daerah di pedalaman dan pelosok tanah air dengan biaya dan waktu yang relatif terjangkau agar warganya dapat menikmati pendidikan. Akan tetapi pada sisi alasan lain yang bersifat akademik semestinya juga jangan diabaikan. Karena akan berdampak pada penilaian yang kurang baik terhadap pelaksanaan sistem pendidikan perguruan tinggi kita. Jika kita cermati, bahwa upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi kesenjangan dalam pemerataan pendidikan di antaranya melalui pendidikan jarak jauh (distance learning). Pendidikan jarak jauh pada awalnya sudah dijalankan pemerintah melalui berbagai upaya, seperti melalui Belajar Jarak Jauh (BJJ) yang dikembangkan oleh Universitas Terbuka (UT) maupun Pendidikan jarak Jauh (PJJ) yang dikembangkan oleh Pustekkom Diknas. Akan tetapi fenomena yang muncul sekarang ini, tidak hanya pendidikan jarak jauh yang gencar dilakukan melainkan pula pendidikan dengan kelas jauh plus eksekutif sabtu-minggu. Kelas jauh biasanya diselenggarakan pada tempat dan proses yang berbeda jauh dengan lembaga asalnya. Di luar negeri memang terdapat model belajar kelas jauh namun kultur akademik tetap dijaga, dan ini berbeda dengan yang banyak terjadi di Indonesia yang sering disalahgunakan, karena orientasinya kebanyakan untuk kepentingan
3
mendapatkan ijazah semata. Sehingga prosesnya serba instan dan dengan memberikan berbagai kemudahan mulai dari proses belajar, nilai akademik, dsb. Pelaksanaan kelas jauh di Indonesia dicontohkan oleh Sukyadi (2005) misalnya sebuah universitas di kota X membuka kelas di kota Y. Karena jarak yang jauh, sedangkan biaya harus tetap terjangkau, penyelenggaraannya biasanya mengorbankan aspek akademis. Jika satu semester menurut standar 16 kali pertemuan, biasanya dikurangi hingga 4 atau 8 pertemuan saja. Selain itu, dosen dari universitas X biasanya hanya datang beberapa kali saja, sehingga kualitas akademiknya jauh di bawah standar. Terkait dengan kelas jauh ini, kemerinstekdikti menyatakan bahwa tidak pernah memberikan ijin kepada lembaga perguruan tinggi untuk menyelenggarakan kelas jauh yaitu kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di luar kampus induk baik dikemas dalam bentuk kerjasama maupun dalam bentuk lainnya. Berkaitan dengan perkuliahan yang dilakukan dengan metode kelas jauh ini walaupun dilaksanakan oleh perguruan tinggi yang sudah terakreditasi, Kemeristekdikti tidak membenarkan dan melarangnya, karena dapat mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran terhadap kaidah/norma/hakekat pendidikan tinggi. Senafas dengan pendidikan kelas jauh, juga tidak dibenarkan Perguruan Tinggi menyelenggarakan ”Kelas eksekutif” (Sabtu- Minggu), karena pelaksanaannya tidak sesuai dengan norma dan kaidah penyelenggaraan pendidikan tinggi sehingga lulusan yang dihasilkan tidak memenuhi standar mutu lulusan perguruan tinggi. Dan ijazah yang diperoleh dari perkuliahan ”Kelas Jauh” dan ”Kelas Eksekutif” tidak dapat digunakan atau tidak memiliki ”civil Effect” khususnya terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir/penyetaraan bagi pegawai negeri. Keberadaan kelas jauh memang terjadi karena ada permintaan dan penawaran. Hal ini terutama karena masyarakat kita masih mengagungkan gelar akademis walaupun dicapai melalui jalan pintas. Inilah permasalahan khusus di Indonesia. Lebih-lebih penambahan gelar akademik terkait dengan kenaikan karier yang berarti juga uang. Inilah salah satu bentuk teror pendidikan tinggi kita Kekinian. Teror Kelima: Plagiarisme dan Penipuan saintifik Munculnya berbagai kasus plagiarisme di perguruan tinggi Indonesia menjadi keprihatinan bagi dunia pendidikan Indonesia. Menurut Permen No. 17 Tahun 2010, plagiarisme atau yang sering disebut plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Banyak dikalangan dosen maupun mahasiswa menganggap kegiatan mengcopy pendapat atau tulisan orang lain tanpa disertakan sumber untuk dimasukkan dalam tugas, penelitian, dan karya ilmiah termasuk hal yang biasa, bahkan ada pula yang tidak mengetahui bahwa kegiatan mereka termasuk kegiatan plagiat dan dapat dikenakan sanksi bagi pelakunya. Beberapa jenis plagiarism: Plagiarisme minimalis: Mengambil, mengambil konsep, gagasan, pikiran, atau pendapat orang lain dalam kata-kata mereka sendiri dan dalam aliran yang berbeda. Plagiarisme Sumber Kutipan: Ketika informasi sumber lengkap dengan kutipan disediakan, Namun, definisi sumber kutipan lengkap bervariasi jauh. Beberapa penulis mengutip nama sumber, tetapi tidak memberikan informasi yang dapat diakses. Memberikan referensi palsu, menggabungkan informasi mereka dengan karya asli penulisan orang lain. Merasa bebas memproduksi itu sebagai milik mereka. PlagiarismeSelf-plagiarisme: Menggunakan karya sendiri, sepenuhnya atau sebagian, atau bahkan pikiran yang sama dan re-menulisnya, dikenal sebagai self-plagiarisme.
4
Jenis-jenis perbuatan tercela dalam pengetahuan atau kegiatan plagiarisme yang lain diantaranya, fabrikasi (mengarang-ngarang data), falsifikasi (mengubah data supaya hasiL sesuai dengan kemauan peneliti/pembimbing/atau sponsor) dan terakhir plagiarisme (mengambil ide, data, atau tulisan orang lain tanpa menyebutkan sumbernya atau mengakui pemiliknya). Plagiarisme terdiri dari dua kategori yaitu, plagiarisme atas karya orang lain dan plagiarisme atas karya sendiri. Terkait dengan plagiarisme atas karya sendiri. Plagiarisme atas karya sendiri terkait dengan publikasi data penelitian yang sama berulang-ulang pada jurnal yang berbeda, membagi-bagi atau memecah data penelitian yang harusnya menjadi satu kesatuan dan diterbitkan menjadi artikel yang berbeda. Ini yang banyak terjadi pelanggaran etika dalam penelitian saintifik, yang disebut sebagai penipuan saintifik (scientific fraud). Penipuan saintifik (scientific fraud) didefinisikan sebagai usaha untuk memanipulasi fakta-fakta atau menerbitkan hasil kerja orang lain secara sengaja. Salah satu aspek dari penipuan saintifik adalah memanipulasi dan mengubah data, termasuk trimming (menghapus data yang tidak cocok dengan hasil yang diharapkan) dan cooking (memilih data yang hanya cocok dengan hasil yang diharapkan sehingga membuat data lebih meyakinkan). Realitasnya, banyak ditemui dalam laporan-laporan ilmiah. Inilah salah satu bentuk teror pendidikan tinggi kita Kekinian. Teror Keenam: Kesejahteraan Dosen PTS Non PNS Mungkin terror ini adalah terror klasik yang Anda juga sudah memprediksinya. Ada ketimpangan yang tinggi antara dosen yang statusnya PNS dengan yang dosen swasta non PNS. Dosen PNS memiliki dua jaminan; jaminan gaji bulanan ditambah dengan tunjangan profesi (sertifikasi) dan jaminan masa tua bernama pensiun. Dosen PTS non PNS tidak memiliki jaminan. Bagi dosen di lembaga (yayasan) besar dan mampu, bisa jadi gaji dan tunjangannya lebih besar dari PNS, tapi mayoritas dosen swasta adalah bernaung di lembaga yang kurang mampu. Bahkan ketika pemerintah memberikan tunjangan profesi, kadang yayasan tidak mau membayar gaji bulanan mereka, seolah uang itu dari mereka. Ada banyak kasus yang saya temui, gaji mereka hanya 500 ribu ribu dalam 1 semester alias per 6 bulan. Ada juga 850 ribu, paling tinggi satu koma lima juta. Maka, tidak salah bila mereka yang berstatus dosen swasta non PNS sangat berharap pemerintah memperjuangkan nasib mereka, minimal membuat kebijakan khusus standar gaji dosen yayasan di PTS. Padahal, menurut pengakuann mereka, produktivitas mereka dalam pendidikan sama dengan dosen PNS. Entahlah. Kesejahteraan mereka tidak manusiawi. Padahal dosen adalah komponen utama dalam dunia pendidikan di samping siswa. Semakin dosen memiliki kualitas hidup dan kuantitas “bahan bakar� untuk mendidik lebih baik, maka berkualitas pula proses dan hasil dari interaksi dosen dan siswa itu. Hal ini pun berlaku sebaliknya, semakin kualitas dan kuantitasnya menurun atau tidak membaik, maka akan menurun pula proses dan hasil produk (siswa) hasil didikannya. Inilah salah satu bentuk teror pendidikan tinggi kita Kekinian. Teror Ketujuh: Kesetaraan Karena pendidikan adalah amanat undang-undang, maka seyogyanya kesetaraan dan kesamaan hak lembaga pendidikan sama. Namun, karena mekanisme pasar yang digunakan dalam mengontrol pendidikan, maka kesetaraan adalah sesuatu yang utopis. Tidak sedikit kampus yang mengalami “kebangkrutan� hidup segan matipun enggan. Mereka harus berhadapan dengan kampus dengan kapital yang besar sehingga mereka pasrah atas prilaku predator kompetitornya. Masyarakat akan memilih (dengan mekanisme pasar) kampus yang lebih modern, lengkap dan kualitas SDM yang lebih baik daripada kampus yang memiliki banyak keterbatasan. Kampus miskin alias minim sarana dan fasilitas hanya berharap belas kasihan atas muntahan-muntahan kampus predator
5
tadi. Selain itu, diberlakukan sistem akreditasi nasional dan program penjaminan mutu (quality assurance) untuk semua kampus agar bisa memberikan pelayanan terbaik bagi dunia pendidikan dan masyarakat. Walaupun demikian, bukan berarti proses akreditasi dan penjaminan mutu pendidikan pada perguruan tinggi tidak menghadapi masalah dan kendala dalam prakteknya. Kampus minim dan miskin lah yang sering terpapar dengan sistem akreditasi ini. Lantas apa yang dilakukan pemerintah? Tidak terlalu signifikan. Pemerintah akan mendahulukan mempercantik kampus miliknya dahulu (negeri) kemudian membantu kampus-kampus yang miskin tadi. Mekanisme normatifnya sangat ideal, bahwa semua kampus akan mendapatkan kesetaraaan dan bantuan pemerintah yang baik. Tapi faktanya, atas ketidak berdayaan kampus miskin, mereka diminta membuat proposal dengan jumlah yang akan diterima kampus hanya dua puluh persen sampai tujuh puluh persen. Sisanya, dikorupsi oleh oknum tak bertanggung jawab. Lalu dimana kekuatan kampus miskin bisa bersaing dengan kampus kapital yang makin menggurita? Inilah salah satu bentuk teror pendidikan tinggi kita Kekinian. LALU APA YANG BISA KITA PERBUAT? Sesungguhnya persoalan pendidikan merupakan masalah semua orang karena memang ini merupakan hajat hidup orang banyak dan menyentuh semua sektor kehidupan. Secara kolektif, masyarakat terutama pihak-pihak yang terkait di dalamnya (stakeholders) harus memberikan peran aktif dalam memperbaiki sistim pendidikan termasuk upaya perbaikan moral dan karakter bangsa ini. 1. Membenahi lagi Pendidikan Tinggi Konsep pengembangan pendidikan tinggi yang profesional dan mandiri telah lama dicanangkan. World Declaration on Higher Education for the Twenty-First Century: Vision and Action oleh UNESCO (1998) merumuskan paradigma baru (new paradigm) tentang perguruan tinggi. Paradigma baru ini bertumpu pada tiga aspek. Aspek pertama, otonomi perguruan tingi yang lebih besar (greater autonomy). Dalam hal ini dikembangkan prinsip kemandirian dalam pengelolaan manajerial serta pengaturan kurikulum sesuai dengan kebutuhan pasar yang didukung oleh kegiatan penelitian dan pegembangan (research and development) yang berkelanjutan. Aspek kedua, akuntabilitas yang lebih besar dan terbuka (greater accountability) yang menyangkut tidak hanya dalam pemanfaatan sumberdaya keuangan tetapi juga dalam pengembangan keilmuan, kandungan pendidikan dan program-program yang diselenggarakan. Akuntabilitas ini tidak hanya ke pada pemerintah tetapi yang lebih penting kepada masyarakat penggunaan jasa pendidikan itu. Aspek ketiga adalah perlunya adanya penjaminan mutu dan kualitas yang lebih tinggi (greater quality assurance) melalui evaluasi internal (internal evaluation) and evaluasi eksternal (external evaluation) oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) PT yang dilakukan secara berkesinambungan dalam rangka upaya perbaikan mutu pendidikan tinggi berkelanjutan. Penerapan paradigma baru tersebut haruslah diikuti dengan semakin profesionalnya pelaku pendidikan dalam mengelola input, menjamin dan menjaga proses sehingga menghasilkan output (lulusan) yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Dalam kerangkan itu, maka proses pendidikan ini harus kembali dibenahi dengan memberikan pelayanan terbaik bagi kemajuan pendidikan nasional.
6
2. Perlu Penegakan hukum yang serius Solusi melalui penegakan hukum (law enforcement) mungkin sesuatu yang klasik, tapi dalam negara modern inilah sebenarnya kunci dari pemerintahan yang baik (good governance) yang selama ini belum mampu kita wujudkan di negeri ini. Konstitusi kita telah menggariskan bahwa semua warganegara berhak memperoleh pendidikan yang memadai. UU SISDIKNAS dan UU DIKTI itu merupakan acuan hukum yang bisa digunakan oleh penyidik Polri untuk memproses pihak-pihak yang mengeluarkan dan menggunakan ijasah palsu itu. Kalau dilihat pada ketentuan pidana yang termuat dalam UU SISDIKNAS itu sangatlah berat. Pada Bab XX pasal 67, 68, 69, dan 70 sangat jelas dikemukakan tentang pidana yang dikenakan bagi mereka yang melanggar ketentuan ini. Pada pasal 67 misalnya menjelaskan bahwa Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Selanjutnya pada pasal 68 selanjutnya diterangkan bahwa setiap orang yang membantu memberikan dan menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dapat dipidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Seyogyanya, ancaman ini cukuplah bagi kita untuk mulai “insyaf� dan jika hukum ini bisa ditegakkan tentu sebagian persoalan dalam yang menodai potret pendidikan kita bisa teratasi. 3. Kontrol Sosial (Social Control) Kontrol sosial perlu dalam mengawal proses pendidikan tinggi di Indonesia. Kasus- kasus yang menodai proses pendidikan harus dikritisi dan diberikan jalan keluar yang konstruktif. Tidak ada salahnya, dalam praktek pendidikan tercela ini, masyarakat harus peduli perlu, kritis, bahkan pro aktif dalam mencegah praktek tercela tersebut. Misal kasus ijasah palsu ini, kita dan masyarakat perlu mempertanyakan gelar yang disandang seseorang, tidak hanya dari mana asal usulnya tetapi juga untuk apa gelar tersebut disandang. Mungkin ada baiknya kita mempertanyakan pada bibi kita, paman kita, kakek kita atau ipar kita yang memperoleh gelar tentang dari mana memperoleh, dari mana, dan kapan kuliahnya, sehingga dapat menjadi “shock teraphy� sehingga mereka tidak perlu bangga dengan apa yang seharusnya tidak perlu dibanggakan. Dengan cara mempertanyakan hal tesebut sudah merupakan tindakan pencegahan, minimal pelaku atau orang yang bersangkutan yang memperoleh gelar sarjana dengan cara yang tidak sah lama kelamaan, mungkin karena ndak enak, maka gelar itu ndak dipakai lagi. Memang perlu pendekatanpendekatan seperti itu untuk menyadarkan mereka yang gila gelar, tanpa kuliah yang benar. Penutup Akhirnya, life must go on, yang diperlukan barangkali adalah keseriusan kita untuk kembali berbenah diri dengan tekad dan semangat baru dan menyadari dengan sungguh-sungguh fungsi dan peran kita dalam memajukan lembaga pendidikan. Hari esok harus lebih baik dari hari ini. Fenomena praktek pendidikan tercela harus dihentikan sekarang juga. Peran pemerintah terutama dunia perdidikan serta masyarakat luas juga penting untuk mengawal usaha-usaha pemberantasan baik yang terstruktur maupun oleh oknum-oknum pencari uang secara instan. Jangan sampai
7
professor siluman, dan professor benaran yang masuk terali besi terulang lagi sehingga semakin memperparah kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan yang gagal menghasilkan kualitas sarjana baik secara akademik maupun moral. Ini harus menjadi bahan renungan bagi kita yang bergerak di bidang pendidikan tinggi ini. Seberapa seriuskah kita membenahi kualitas pendidikan kita. Seberapa profesionalkah kita mengurus lembaga pendidikan ini? Seberapa seriuskah kita menaikkan marwah lembaga pendidikan tinggi kita. Seberapa tinggikah komitmen kita untuk membaktikan diri dalam masyarakat sesuai gelar yang kita sandang. Jangan-jangan kita yang bergelar S1, S2, S3 resmi tidak bisa berbuat lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, atau yang memiliki ijasah sarjana palsu. Yang paling penting, masihkah kita punya komitmen dan energi untuk memperbaiki ini semua?. Sekali lagi, masyarakat, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus berupaya secara sungguh sungguh memperbaiki kualitas pendidikan tinggi kita. Mencegah sekaligus memberantas praktek pendidikan tercela. Pendidikan adalah hak setiap warga negara, maka kewajiban setiap warga negara pulalah kiranya untuk saling menjaga dan memelihara pendidikan di negeri ini agar seluruh warganya dapat menikmati pendidikan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku, sebagai bentuk ketaatan warga negara dalam penegakan supremasi hukum. Tuntaskan semua bentuk teror pendidikan ini dan pada saat yang sama kita perbaiki sistem pendidikan tinggi kita, sehingga kepercayaan masyarakat dan pengguna lulusan perguruan tinggi kita kembali tumbuh dengan baik dan dapat memberikan sumbangsih nyata bagi pembangunan bangsa.
8