STUDY KAJIAN : UPAYA STRATEGIS DALAM MENANGANI PENGANGGURAN TERDIDIK
Tim Kerja Studi Kajian
Lembaga studi Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan Indonesia (LSP3I) Makassar, Juli 2019
Metode Studi Kajian 1. Literatur Data-Data Sekunder Perkembangan Angkatan Kerja, Dunia Kerja dan Industri, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), dan Lapangan pekerjaan 2. Penelitian pihak Pemerintah dan Swasta (Accenture) 3. Data-data pendukung lain
Tujuan Study Kajian Mendapatkan gambaran tentang upaya strategis dalam menangani pengagguran terdidik di Indonesia dengan Penguatan konsep Link and Match : Institusi Pendidikan dan Industri, meliputi : A. Konsep Link and Match B. Pendekatan dalam Mewujudkan Link and Match C. Pendidikan dan Ketenagakerjaan D. Kebijakan Strategis menangani pengangguran terdidik
I. Latar Belakang Dewasa ini, perkembangan jumlah tenaga kerja yang terus meningkat berbanding terbalik dengan kesempatan kerja. Dampak dari pertumbuhan lapangan kerja yang lambat menyebabkan permasalahan tenaga kerja semakin besar dan kompleks. Ini merupakan fenomena yang patut diwaspadai terhadap potensi ledakan tenaga kerja di masa mendatang yang tidak diimbangi ketersediaan lapangan kerja. Kewaspadaan dini mengantisipasi pengangguran terdidik bakal menjadi awal yang baik menuju bonus demografi pada 15-20 tahun ke depan. Tanpa persiapan matang sejak sekarang bonus demografi pada 2035-2040, bukan menjadi berkah bangsa melainkan bencana. Ledakan jumlah penduduk usia produktif tanpa disertai lapangan pekerjaan yang memadai bakal menjadi malapetaka. Potensi tenaga produktif yang seharusnya menjadi penopang ekonomi justru menjadi beban. Untuk jangka menengah yakni pada 2020, terdapat tantangan pasar bebas tenaga kerja ASEAN dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN. Angkatan kerja kita akan bersaing dengan tenaga kerja asing. Semua tantangan itu menjadi beban bersama bangsa. Pengangguran intelektual yang biasa disebut pengangguran terdidik merupakan seseorang yang termasuk dalam kategori tenaga kerja yang telah lulus dalam pendidikan namun belum mendapatkan kesempatan untuk bekerja. Pengangguran terdidik juga tidak terlepas dari tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kalah dengan dengan tenaga kerja asing, didukung dengan pertumbuhan lapangan kerja yang lambat menjadikan banyaknya pengangguran terdidik. Angka Pengangguran Lulusan Perguruan Tinggi Meningkat Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), ada tren penurunan pengangguran terdidik. Dibanding lima tahun lalu (2014), tingkat pengangguran lulusan SMA, SMK, diploma, dan sarjana menurun drastis. Meski Tren tersebut tidak terlalu signifikan. Data perbandingan Agustus 2014 - Agustus 2018 menunjukkan, tingkat pengangguran lulusan SMK turun dari 9,15% menjadi 7,95%. Lulusan diploma (D1-D3) turun dari 6,14% menjadi 6,02%, sedangkan lulusan SMK, tetap, yakni 11.24%. Kenaikan tingkat pengangguran justru terjadi pada lulusan sarjana yakni dari 5,65% menjadi 5,89%.
Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Januari 2019 lalu memang menunjukkan bahwa persentase penganggur muda yang berpendidikan SMA dan sarjana meningkat dari 60 persen pada 2014, menjadi 74 persen di tahun 2018. Jika dilihat lebih jauh, peningkatan penganggur muda berpendidikan SMA/SMK melonjak dari yang tadinya 23 persen (2014) menjadi 33 persen (2018). Sementara untuk lulus diploma dan sarjana, meningkat sekitar 6 persen selama empat tahun, yakni dari 4,4 persen di 2014 menjadi 10 persen di 2018. Meski demikian, perlu dicatat bahwa dari sisi jumlah, angkatan kerja Februari 2019 sudah mencapai sebesar 136,18 juta orang atau meningkat 2,24 juta orang dibanding Februari 2018. Pada 2018, jumlah tenaga kerja tercatat baru sebesar 133,94 juta orang. BPS juga mencatat struktur lapangan pekerjaan utama pada Februari 2019 secara year on year (yoy) masih didominasi pada tiga sektor yakni pertanian sebesar 29,46 persen; serta sektor perdagangan sebesar 18,92 persen. Sedangkan posisi ketiga pada sektor industri pengolahan yang sebesar 14,09 persen.
Gambar 1. Meningkat Pengangguran Lulusan Universitas (Sumber: https://katadata.co.id/infografik/2019)
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Februari 2019 ada di angka 5,01 persen dari tingkat partisipasi angkatan kerja Indonesia. Persentase itu lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yakni 5,13 persen dari total angkatan kerja. Hal tersebut sejalan dengan berkurangnya pengangguran sebesar 50 ribu orang selama satu tahun terakhir. Angka ini membaik dibanding posisi Februari 2018 yakni 5,13 persen. Pada Februari 2019, jumlah pengangguran berkurang sebanyak 50 ribu orang dari 6,87 juta orang pada Februari 2018 menjadi 6,82 juta orang. BPS mencatat, tingkat partisipasi angkatan kerja Februari 2019 di angka 136,18 juta orang atau tumbuh 1,67 persen dibanding tahun sebelumnya.
Gambar 2. Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Pebruari 2019 (sumber : Badan Pusat Statistik, Mei 2019)
Jumlah angkatan kerja pada Februari 2019 sebanyak 136,18 juta orang, naik 2,24 juta orang dibanding Februari 2018. Sejalan dengan naiknya jumlah angkatan kerja, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga meningkat sebesar 0,12 persen poin. Dalam setahun terakhir, pengangguran berkurang 50 ribu orang, sejalan dengan TPT yang turun menjadi 5,01 persen pada Februari 2019. Dilihat dari tingkat pendidikan, TPT untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masih tertinggi diantara tingkat pendidikan lain, yaitu sebesar 8,63 persen. Sebanyak 74,08 juta orang (57,27 persen) bekerja pada kegiatan informal. Selama setahun terakhir (Februari 2018–Februari 2019), pekerja informal turun sebesar 0,95 persen poin. Angka TPT ini masih menyisakan masalah fundamental tersendiri. Kendati secara agregat angka pengangguran terbuka menurun, sejak Februari 2016, tapi dilihat dari tingkat pendidikannya lulusan diploma dan universitas makin banyak yang tidak bekerja. Selain itu, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang masih mendominasi angka pengangguran. Data BPS menunjukkan, 8,92 persen dari total tingkat partisipasi angkatan kerja adalah pengangguran lulusan SMK. Kemudian, 7,92 persen dari total tingkat partisipasi angkatan kerja adalah pengangguran lulusan diploma. Berdasarkan data BPS per Februari 2019, menunjukkan, tingkat pengangguran lulusan diploma (D1-D3) naik 8,5% dari 6,4% menjadi 6,9%, sedangkan tingkat pengangguran pada lulusan sarjana naik 25% dari 5,0% menjadi 6,2%. Skill Tak Sesuai, Suplai Tenaga Kerja Tak Terserap Lambannya laju penurunan tingkat pengangguran di Indonesia dinilai disebabkan tidak sesuainya keterampilan tenaga kerja yang ada dengan kebutuhan dunia industri. Pemerintah, Perguruan tinggi, dianggap masih belum memperhatikan kebutuhan dunia kerja dan industri terhadap tenaga kerja yang sesuai kondisi saat ini. Hal itu dianggap menjadi sebab lambannya laju penurunan angka pengangguran terdidik khususnya lulusan sarjana beberapa tahun terakhir. Sebagian pihak menyalahkan pihak perguruan tinggi atas fenomena ini. Mereka dituding tidak memiliki standar mutu yang bagus dalam penyelenggaraan pendidikan. Sebagian lainnya justru menyalahkan pemerintah yang mengabaikan quality control.
Akibatnya kualitas lulusan tidak memenuhi standar harapan pengguna lulusan, banyak perusahaan yang tidak bisa menerima pelamar kerja meskipun sudah menyandang gelar sarjana. Penyebab utama selain karena tidak memiliki ketrampilan juga tidak mempunyai pengalaman kerja. Beberapa hasil penelitian merekomendasikan kepada penyelenggara pendidikan dan pemerintah bahwa ada hal yang harus segera dibenahi dari sektor pendidikan nasional. Ini semacam early warning betapa pendidikan dan pembelajaran yang dilaksanakan institusi pendidikan harus menyesuaikan perkembangan dan kebutuhan pasar kerja dan industri. Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahunnya mencapai 350 ribu orang. Ironisnya lagi, pertumbuhan jumlah perusahaan di Indonesia termasuk pesat dalam beberapa tahun terakhir. Setidaknya setiap tahun bermunculan 498.000 perusahaan rintisan. Meskipun kalah dengan India namun pertumbuhan perusahaan di Indonesia masih lebih baik. Banyaknya lulusan dibandingkan dengan pertumbuhan perusahaan sebetulnya tidak menjadi persoalan berdasarkan pada rasio. Artinya dengan lulusan 350 orang setiap tahunnya akan tertampung dengan jumlah perusahaan yang mucul sebanyak 498 ribu unit tersebut. Namun nyatanya, angka pengangguran terdidik saat ini terus meningkat. Maka fenomena ini patut diduga bahwa ada permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan kita. Berdasarkan data yang dihimpun INDEF, laju penurunan jumlah penganggur di Indonesia berjalan lamban sejak 2012. Pada 2018, angka pengangguran di Indonesia tercatat sebesar 7.000.691 orang atau 5,34% dari jumlah angkatan kerja. Jumlah itu menurun tipis dibanding tingkat pengangguran terbuka pada 2017 sebesar 7.040.323 orang atau 5,5% dari total angkatan kerja. Jumlah pengangguran pada 2017 juga hanya menurun sedikit dibandingkan angka 2016 yang sebanyak 7.031.775 orang, atau 5,61% dari total angkatan. Hal yang sama berturut-turut bisa ditemukan jika menelusuri tingkat pengangguran selama 6 tahun terakhir. Lambannya laju penurunan jumlah pengangguran diikuti dengan selalu bertambahnya jumlah angkatan kerja berlatar belakang pendidikan SMK dan Perguruan Tinggi (PT) yang menganggur. Kenaikan penganggur lulusan SMK dan PT terus naik sepanjang 2012-2018. Berdasarkan catatan INDEF, jumlah penganggur lulusan SMK naik dari kisaran 1 juta orang pada 2012 menjadi sekitar 1,7 juta orang pada 2018. Sementara itu, penganggur lulusan PT meningkat dari sekitar 400.000 orang menjadi 700.000 orang. Kenaikan itu merupakan anomali jika dibandingkan dengan tingkat angkatan kerja menganggur berdasarkan latar belakang pendidikan lain. Jumlah penganggur lulusan SD, SMP, dan SMA cenderung turun pada periode yang sama. Tetapi tenaga terampil dan terdidik naik [tingkat penganggurannya]. Angka-angka tersebut menunjukkan korelasi positif dengan jumlah Pengangguran terdidik. Ketersediaan lapangan pekerjaan bagi lulusan SMK dan sarjana, atau mereka yang memiliki keterampilan spesifik,
masih belum bertambah sehingga menyebabkan Lulusan SMK dan sarjana tidak Siap Hadapi dunia kerja Industri 4.0 Rata-rata lulusan sarjana belum mampu bersaing dalam revolusi industri 4.0. Sebab dalam praktik belajarnya, mahasiswa diukur melalui nilai akademis ketimbang keahliannya. Hal itulah yang membuat dunia kerja dan industri kesulitan untuk menyerap tenaga kerja dari sarjana.
Gambar 3. Missmatch Antara Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja (Sumber: https://indef.or.id/) Pada tahun 2018, Jojoba bekerjasama industri dan beberapa perusahaan mengadakan tes psikometrik untuk menakar kompetensi lulusan sarjana. Hasilnya, ia menemukan rata-rata lulusan sarjana lemah dalam 12 kompetensi soft skill. Terutama menyoal perencanaan, evaluasi, kemampuan kepemimpinan, komunikasi bersama, dan kemampuan memengaruhi orang lain. Hasil tes tersebut mendapati lulusan sarjana di Indonesia kurang percaya diri. "Mengapa? Karena perguruan tinggi jarang bereksplorasi. perguruan tinggi masih berpikir industri akan menerima SDM dilihat dari nilai akademis. Hasil tes juga mendapati bahwa para lulusan sarjana lebih tertarik pada pekerjaan administrasi, office, sales. Meskipun ada juga yang tertarik dengan teknologi informasi.
Kenaikan jumlah penganggur lulusan SMK dan PT dianggap sebagai buah dari belum terbentuknya keserasian antara sisi suplai dan permintaan tenaga kerja di Indonesia. Setidaknya ada dua sebab utama naiknya penganggur terdidik dan terampil. Pertama, para lulusan PT terlalu memilih pekerjaan yang hendak dijalani selepas dunia pendidikan lantaran gengsi. Kedua, kemampuan atau skill yang dimiliki lulusan SMK dan PT tidak sesuai dengan kebutuhan industri saat ini. Dalam berbagai kesempatan, kami mengadakan sesi diskusi dengan lulusan perguruan tinggi dari berbagai kampus, kami berdialog berbagai hal yang terkait dengan lapangan kerja dan kuliah. Dari mereka, kami mendapatkan banyak informasi yang membawa pada satu kesimpulan yaitu lulusan perguruan tinggi pada umumnya tidak memiliki skill seperti yang dibutuhkan oleh perusahaan. Pada akhirnya mereka ditolak oleh perusahaan. Ini menunjukkan bahwa semakin besar tantangannya. Mulai dari kecocokan skill yang diperoleh, permintaan dunia kerja. Hal ini berkaitan link and match-nya belum terbangun dengan baik antara perguruan tinggi dengan dunia industri. Banyak institusi pendidikan masih menggunakan kurikulum yang tak lagi digunakan industri. Hal ini diharapkan bisa dicarikan solusinya oleh perguruan tinggi dan pemerintah. Kehadiran Balai Latihan Kerja (BLK) di daerah belum banyak membantu penyerapan tenaga kerja. Data Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan dari total penganggur sebanyak lebih dari 7 juta orang pada 2018, ada 1,18 juta orang yang pernah mendapatkan pelatihan kerja di BLK. Tetapi, 1,18 juta orang itu tetap menganggur meski sudah mendapat pelatihan. Fakta itu dianggap membuktikan tidak adanya keserasian antara sisi pasokan dan permintaan tenaga kerja di Indonesia. Hal ini mengonfirmasi anggapan bahwa kita terlalu bermain di supply side, bukan demand side. Ini mungkin banyak masalahnya. Bisa saja karena waktu pelatihan [di BLK] terbatas atau pelatihannya sudah tak relevan. Rendahnya tingkat pertumbuhan industri pengolahan di Indonesia juga turut disorot sebagai salah satu sebab tidak terserapnya tenaga kerja lulusan SMK dan perguruan tinggi. INDEF menyebutkan pertumbuhan industri pengolahan pada kuartal IV/2018 hanya 4,25% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Laju industri pengolahan tak mampu mengimbangi relatif tingginya porsi pengangguran lulusan SMK dan perguruan tinggi. Apabila kita membandingkan pendidikan sarjana vokasi yang ideal, salah satunya di Jerman. Sebagai negara industri, di sana industrinya tumbuh sehingga lulusan SMK-nya selalu diserap. Sementara itu, di Indonesia industrinya tidak tumbuh-tumbuh. Berdasarkan data tersebut, hal itu menjadikan fenomena tersendiri dalam pengangguran terdidik. Di satu sisi, meningkatknya keinginan masyarakat untuk membiayai sekolah formalnya hingga mampu ke perguruan tinggi. Namun di sisi lain, pada saat angkatan kerja terdidik meningkat dengan pesat, lapangan kerja yang tersedia tidak mencukupi sejumlah angkatan kerja terdidik tersebut. Jika ada pertumbuhan lapangan kerja itu hanyalah didominasi sektor-sektor substantif yang tidak membutuhkan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa dari tahun ke tahun terdapat peningkatan jumlah pengangguran terdidik yang menjadi permasalahan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan banyaknya jumlah pengangguran terdidik, secara potensial dapat menyebabkan banyaknya dampak negatif, seperti masalah-masalah sosial akibat pengangguran, buruknya kualitas lulusan yang terdidik sehingga mereka sulit untuk bersaing mendapatkan pekerjaan. Membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya yang terus diupayakan pemerintah harus didukung dengan kompetensi lulusan kampus yang berdaya saing global. Keahlian para sarjana harus sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Pemerintah kini tengah berupaya keras terus memperbaiki iklim investasi yang menjadi ujung tombak penciptaan lapangan kerja. Sayang, masih banyak kendala yang harus diperbaiki di lapangan. Upaya pemerintah dalam kebijakan ekonomi yang memperlebar kesempatan investor asing masuk ke usaha kecil dan menengah merupakan terobosan untuk menumbuhkan bidang usaha di dalam negeri. Selain menciptakan lapangan pekerjaan, link and match antara pendidikan dan industri atau dunia kerja perlu terus dipertajam. Lulusan perguruan tinggi yang menganggur memperlihatkan mutu pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Fenomena yang berkembang saat ini, akses pendidikan, seperti pembukaan tempat kuliah baru memang meningkat tetapi lulusannya hanya sebatas dibekali teori tanpa kemampuan yang sesuai. Selain itu, tingkat kepercayaan masyarakat akan pentingnya pendidikan tinggi juga menjadi masalah serius, mereka berasumsi bahwa tingkat pendidikan yang tinggi pun tidak menjamin mudahnya mendapatkan pekerjaan, sehingga banyak yang tidak menjadi pemerhati pendidikan yang nantinya akan berdampak besar ke lingkup makro seperti turunnya kualitas pendidikan di Indonesia, maupun rendahnya sumber daya manusia yang handal.
II. PEMBAHASAN Penguatan Link and Match: Institusi Pendidikan dan Dunia Kerja Mengatasi fenomena pengangguran terdidik, dibutuhkan upaya dan kebijakan nyata dari pemerintah, institusi pendidikan dan seluruh pemangku kepentingan untuk menurunkan angka pengangguran terdidik. Penguatan Link and Match salah satu strategi mencetak Tenaga Kerja Terdidik dan Terlatih. Dewasa ini banyak lontaran kritik terhadap sistem pendidikan yang pada dasarnya mengatakan bahwa perluasan kesempatan belajar cenderung telah menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga terdidik dari pada bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Kritik ini tentu saja beralasan karena data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan secara jelas kecenderungan proporsi jumlah tenaga penganggur lulusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih besar dibandingkan dengan proporsi penganggur dari lulusan yang lebih rendah. Dengan kata lain persentase jumlah penganggur tenaga sarjana lebih besar dibandingkan dengan persentase jumlah pengganggur lulusan SMA atau jenjang pendidikan yang lebih rendah. Cara berfikir yang sekarang berlaku seolah-olah hanya memperhatikan pendidikan sebagai satu-satunya variabel yang menjelaskan masalah pengangguran. Cara berfikir seperti cukup berbahaya, bukan hanya berakibat pada penyudutan sistem pendidikan, tetapi juga cenderung menjadikan pengangguran sebagai masalah yang selamanya tidak dapat terpecahkan. Penjelasan yang bersifat konseptual diharapkan mampu mendudukkan permasalahan pada proporsi yang sebenarnya, khususnya tentang fungsi dan kedudukan sistem pendidikan dalam kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan. Berangkat dari asumsi bahwa bertambahnya tingkat pengangguran disebabkan karena kegagalan sistem pendidikan, maka diperlukan adanya pendekatan-pendektan tertentu dalam pendidikan dan konsep Link and Match perlu dihidupkan kembali dalam sistem pendidikan. Link and Match antara institusi pendidikan dan dunia kerja dan Industri adalah dari upaya institusi pendidikan mengusahakan agar para lulusannya tidak hanya cerdas, tapi juga bisa langsung bekerja. Dengan link and match juga memastikan peserta didik memiliki kesempatan bukan hanya mendapatkan pendidikan berkualitas, tapi setelah mereka lulus dapat kesempatan kerja
Link and match adalah penggalian kompetensi yang dibutuhkan pasar kerja ke depan. Kurikulum dan sistem pendidikan terutama pendidikan tinggi di Indonesia sudah saatnya sesuai dengan kebutuhan kerja (link and match). Pasalnya, sampai saat ini lulusan pendidikan tinggi belum menjadi jaminan bisa memasuki pasar kerja dan dunia industri. Pada hakikatnya konsep link and match dapat digunakan sebagai media untuk meningkatkan relevansi pendidikan tinggi dengan kebutuhan tenaga kerja. Perguruan Tinggi perlu melakukan kerjasama sinergis dengan dunia kerja profesional agar relevansi pendidikan tinggi dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu tentunya dengan prinsip kerja dimana perguruan tinggi harus mampu memberikan keuntungan juga bagi dunia usaha (model manajemen win-win). Seperti kita tahu, hampir setiap tahun terjadi peningkatan pengangguran lulusan pendidikan tinggi. Pasalnya, lulusan perguruan tinggi belum didukung dengan kemampuan atau kompetensi untuk masuk ke pasar kerja. Oleh karena itu, langkah kongkrit yang dapat dilakukan oleh institusi pendidikan adalah menyesuaikan program pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan pasar. Melalui kerjasama fungsional link and match dengan dunia kerja profesional, perguruan tinggi secara konseptual akan memiliki peluang yang cukup besar untuk melahirkan lulusannya menjadi calon-calon tenaga kerja yang memiliki profesionalisme yang tinggi. Karena di dunia kerja itulah para mahasiswa akan memperoleh pengalaman baru lebih jauh dan aktual dari sekedar pengalaman yang dideskripsikan pada kurikulum suatu perguruan tinggi. Ada beberapa pertanyaan terkait konsep link and macth dalam pendidikan, yaitu: 1. Bagaimana konsep dasar Link and Match dalam pendidikan? 2. Mengapa Link and Match itu diperlukan dalam pendidikan? 3. Pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match dalam pendidikan? 4. Bagaimana hubungan antara pendidikan dan ketenagakerjaan? A. Konsep Link and Match Konsep keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match) antara dunia pendidikan dan dunia kerja yang perlu dihidupkan di era kekinian. Konsep itu bisa menekan jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi yang dari ke hari makin bertambah. Pada mulanya, sebelum ada pendidikan melalui persekolahan dan atau perkuliahan seperti sekarang, pendidikan dijalankan secara spontan dan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak pedagang langsung langsung mempelajari cara berdagang di warung, anak-anak nelayan langsung mempelajari kelautan dan perikanan langsung mengikuti orang dewasa menangkap ikan. Selagi mempelajari pekerjaan yang dilakukan, mereka sekaligus juga belajar tentang nilai-nilai dan norma-norma yang berhubungan dengan pekerjaannya. Dilihat secara demikian, maka pendidikan pada dasarnya merupakan sesuatu yang kongkret, spontan, dan tidak direncanakan tetapi langsung
berhubungan dengan keperluan hidup. Dengan kata lain, dalam situasi yang belum mengenal sistem sekolah, sifat pendidikan pada dasarnya seslalu bersifat linked and matched. Konsep Link and Match antara institusi pendidikan dan dunia kerja dianggap ideal karena ada keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Dengan adanya hubungan timbal balik membuat perguruan tinggi dapat menyusun kurikulum dan pembelajarannya sesuai dengan kebutuhan kerja. Contoh nyata Link and Match dengan program magang. Perbaikan magang, dimaksudkan agar industri juga mendapatkan manfaat. Selama ini ada kesan yang mendapatkan manfaat dari magang adalah perguruan tinggi dan mahasiswa, sedangkan industri kebagian repotnya. Di sisi lain, produk dari Perguruan Tinggi menghasilkan sesuatu yang amat berharga dan bukan hanya sekedar kertas tanpa makna, yaitu produk kepakaran, produk pemikiran dan kerja laboratorium. Produkproduk ini masih sangat jarang dilirik oleh industri di Indonesia. Produk kepakaran yang sering dipakai adalah yang bersifat konsultatif. Tetapi produk hasil laboratorium belum di akomodasi dengan baik. Menjalankan Link and Match bukanlah hal yang sederhana. Karena itu, idealnya, ada tiga komponen yang harus bergerak simultan untuk menyukseskan program Link and Match yaitu perguruan tinggi, dunia kerja (perusahaan/industri) dan pemerintah. Dari ketiga komponen tersebut, peran perguruan tinggi merupakan keharusan dan syarat terpenting. Kreativitas dan kecerdasan pengelola perguruan tinggi menjadi faktor penentu bagi sukses tidaknya program tersebut. Ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan suatu perguruan tinggi untuk menyukseskan program Link and Match, antara lain : 1) Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. Tujuannya adalah untuk mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan salah satu perguruan tinggi di Indonesia diketahui, keahlian (kompentensi) yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja adalah kemampuan komputasi (komputer), berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan kemampuan akuntansi. 2) Perguruan tinggi juga harus mampu memprediksi dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke depan. Perguruan tinggi mulai menjadikan kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah di kampusnya. Dengan demikian, diharapkan, lulusan perguruan tinggi sudah mengetahui, minimal secara teori, tentang kompetensi apa yang dibutuhkan setelah mereka lulus. Meskipun demikian, perguruan tinggi tidak harus menyesuaikan seluruh materi kuliahnya dengan kebutuhan dunia kerja. Sebab, harus ada materi kuliah yang berguna bagi mahasiswa yang termotivasi untuk melanjutkan studi ke jenjang strata yang lebih tinggi. Perguruan tinggi harus menjalin relasi (kerjasama) dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap secara praktik.
Jika program Link and Match berjalan baik, pemerintah dan juga perguruan tinggi diuntungkan dengan berkurangnya beban pengangguran (terdidik). Karena itu, seyogianya pemerintah dan perguruan tinggi secara serius menjaga iklim keterkaitan dan mekanisme implementasi ilmu dari perguruan tinggi ke dunia kerja sehingga diharapkan program Link and Match ini berjalan semakin baik dan semakin mampu membawa manfaat bagi semua pihak. Manfaat yang dapat dipetik dari pelaksanaan Link and Match sangat besar. Karena itu, diharapkan semua stake holders dunia pendidikan bersedia membuka mata dan diri dan mulai bersungguh-sungguh menjalankannya. Perguruan tinggi harus lapang dada menerima bidang keahlian (kompentensi) yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah utama. Perusahaan - industri juga harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi mahasiswa perguruan tinggi yang ingin magang (bekerja) di perusahaan tersebut. Sedangkan Pemerintah harus serius dan tidak semata memandang program Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) sebagai proyek belaka. Secara tradisional teori kependidikan menekankan tiga tujuan instruksional pokok: kognitif, afektif dan psikomotorik. Banyak orang berpendapat bahwa sisi afektif dari pendidikan adalah yang paling penting. Seperti ditekankan oleh Paola friere, suatu konsep pendidikan, dimana otak manusia hanya seperti rekening bank tidak berlaku atau sesuai lagi. Tujuan yang lebih berkaitan dengan proses menyadarkan orang bahwa kemampuan berfikir dan menentukan identitasdiri sekarang ini jauh lebih penting. Pendidikan dan pembelajaran adalah proses bukan produk akhir. Ivan Illich pernah mengatakan bahwa kita tidak boleh mengijinkan pendidikan formal mengganggu proses belajar terus menerus. Tidak selayaknya orang berhenti dari proses belajar sesudah pendidikan formal selesai (Sindhunata, 2000: 130). B. Pendekatan dalam Mewujudkan Link and Match 1. Pendekatan Ketenagakerjaan Pendekatan yang dipakai dalam penyusunan perencanaan pendidikan suatu negara sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah yang sedang dilaksanakan. Karenanya wajar jikalau timbul pendekatan yang berbeda-beda antara beberapa negara dan juga terjadi perbedaan dalam pendekatan perencanaan antara berbagai periode pembangunan dalam satu negara. Dalam kebijakan pemerintah (sebut saja kebijakan lima tahunan), disana tergambar secara jelas harapan-harapan yang akan dan harus dipenuhi oleh sektor pendidikan. Dengan kata lain kebutuhan akan pendidikan yang akan menjadi sasaran dalam perencanaan selalu dijadikan penuntun atau bisa dikatakan sebagai kebijakan awal perencanaan. Di dalam pendekatan ketenagakerjaan ini kegiatan-kegitan pendidikan diarahkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja pada tahap permulaan pembangunan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja dari segala tingkatan dan dalam berbagai jenis keahlian.
Dalam keadaan ini kebanyakan negara mengharapkan supaya pendidikan mempersiapkan dan menghasilkan tenaga kerja yang terampil untuk pembangunan, baik dalam sektor pertanian, perdagangan, industri dan sebagainya. Untuk itu perencana pendidikan harus mencoba membuat perkiraan jumlah dan kualitas tenaga kerja dibutuhkan. Dalam hal ini perencana pendidikan dapat menyakinkan bahwa penyediaan sarana, fasilitas, sistem pendidikan dan pembelajaran dan pengarahan arus peserta didik benar-benar didasarkan atas perkiraan kebutuhan tenaga kerja tadi. Akan tetapi metode-metode untuk memperkirakan kebutuhan tenaga kerja perlu ditetapkan terlebih dahulu sesuai dengan kepentingan dan kondisi negara yang bersangkutan. Salah satu metode misalnya bukan hanya sekedar memperhatikan kebutuhan saja tetapi perlu meneliti berbagai jenis tenaga yang telatih yang diperlukan dunia kerja atas dasar perbandingan atau ratio yang seimbang, misalnya perbandingan antara insiyur dan teknisi ahli. Pendidikan ketenagakerjaan ini sering dipergunakan oleh negara-negara yang sudah berkembang ataupun negara yang teknologinya sudah maju, dimana setiap waktu diperlukan jenis keahlian yang baru. Ahli teknologi modern dengan menciptakan teori dan sistem yang baru dengan sendirinya mendorong teknologi untuk berkembang secara pesat dan hal ini menyebabkan pula timbulnya kebutuhan akan tenaga ahli dari jenis yang baru untuk menangani atau mengelolanya. Negara-negara yang mempergunakan pendekatan ketenagakerjaan mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikannya secara teratur kepada usaha untuk memenuhi tuntutan dunia lapangan kerja dalam segala bidang. Perlu ada keseimbangan antara penambahan lapangan kerja dengan peningkatan pendapatan nasionl. Penambahan lapangan kerja akan meningkatkan pendapatan nasional, pendapatan nasional yang telah ditingkatkan akan memberi peluang untuk memperluas lapangan kerja. Ini berarti penyerapan tenaga kerja akan lebih banyak. Pemerintah, institusi pendidikan diminta untuk merencanakan kegiatan/usaha pendidikan sedemikian rupa sehingga menjamin setiap individu, tentunya seorang lulusan perguruan tinggi dapat terjun ke masyarakat dengan suatu kemampuan untuk menjadi seorang pekerja yang produktif. Dengan kata lain sistem pendidikan di perguruan tinggi harus menghasilkan lulusan dari berbagai tingkat dan jenis yang siap pakai. Dalam pendekatan keperluan akan tenaga kerja (manpower approach), jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dunia kerja dihitung dan direncanakan atau diperhitungkan akan dicapai. Dengan kata lain, peserta didik melalui sistem pendidikan harus disiapkan menjadi tenaga kerja, dan perencanaan mengenai keperluan akan tenaga kerja harus diintegrasikan secara menyeluruh. Jadi, dalam merencanakan keperluan tenaga kerja, perkembangan dunia kerja dan ekonomi dimasa depan dianggap sebagai variabel yang independen karena dianggap sebagai tujuan atau target yang ditetapkan secara tersendiri. Perhitungan kebutuhan tenaga kerja dan perencanaan pendidikan yang ditujukan kearah pembetukan tenaga kerja dianggap sebagai prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang secara struktural seimbang dan sebagi prasyarat bagi sistem pendidikan yang fungsional. Kebutuhan akan tenaga kerja semat-mata
dari pertumbuhan ekonomi di masa depan dianggap relevan bagi alokasi tenaga kerja yang efisien dan bagi penggunaan secara optimal sumber-sumber yang tersedia pada sistem pendidikan. Cara pendekatan persoalan pendidikan seperti ini dapat dikatkan sebagai pendekatan pendidikan yang ditujuakan kepada pasaran kerja, dimana pembiayaan-pembiayaan pendidikan diperlakukan sebagai pengeluaran konsumsi dan bukan sebagai pengeluaran investasi (Sindhunata, 2001: 17). Dalam teorinya pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan akan kebutuhan tenaga kerja, didalam pendekatan ini juga mempunyai kelemahan, dimana ada tiga kelemahan yang paling utama, yaitu; 1. Mempunyai peranan yang terbatas dalam perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini mengabaikan keberadaaan sekolah umum karena hanya akan menghasilkan pengangguran saja, pendekatan ini lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan kerja. 2. Menggunakan klasifikasi rasio permintaan dan persediaan 3. Tujuan dari pada pendekatan ini hanyalah untuk memenuhan kebutuhan tenaga kerja, disisi lain tuntutan dunia kerja berubah ubah sesuai dengan cepatnya perubahan zaman (Husaini Usman, 2006: 59). Blaug dan Faure menyimpulkan bahwa masalah pengangguran dikalangan terdidik dapat ditekan dengan memperbaiki sistem dan perencanaan pendidikan yang baik. Perlu kita cermati sebenarnya peningkatan pengangguran bukan semata-mata kesalahan dunia pendidikan, peningkatan pengangguran di karenakan sempitnya lapangan kerja, sempitnya lapangan kerja disebabkan pemerintah yang kurang bisa membuka lapangan kerja yang baru. Perbaikan sistem dan perencanaan pendidikan bukan berarti pendidikan harus melahirkan atau meluluskan lulusan yang siap pakai. Kalau yang dimaksud dengan siap pakai ialah kemampuan lulusan yang mengenali dan menguasai permasalahan rutin serta mampu mengaplikasikan ilmunya; maka bukan pada tempatnya hal itu dibelajarkan pada pendidikan formal yang ada sekarang ini. Perencanaan pendidikan di Indonesia selain menggunkan pendekatan ketenagakerjaan juga menggunakan pendekatan sosial. Disadarai dengan benar bahwa tanpa tenaga yang ahli, terampil dan sesuai dengan lapangan kerja tidak mungkin pembangunan nasional dapat berjalan dengan lancar. Namun dalam kenyataannya masih banyak hambatan-hambatan dalam usaha menyusun perencanaan pendidikan dengan menggunakan pendekatan ketenagakerjaan ini, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. 2. Pendekatan Sosial Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat pada saat ini. Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pada pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan.
Menurut A.W. Gurugen pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada peserta didik dan orang tua secara bebas. Sebagai contoh penerapan pendekatan ini adalah diterapkannyaa sistem kompetensi melalui kebijakan Link and Match. Menurut Bohar Soeharto perencanaan sosial adalah proses cara menjelaskan dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan masyarakat atau berhubungan dengan aspek sosial dari kehidupan individu untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Pendekatan yang dikemukakan Geruge ini bersifat tradisional dimana penekanan ini didasarkan kepada tujuan untuk memenuhi tuntutan atau permintaan seluruh individu terhadap pendidikan pada tempat dan waktu tertentu dalam situasi perekonomian, politik, dan kebudayaan yang ada pada waktu itu. Ini berarti bahwa sektor pendidikan harus menyediakan lembaga-lembaga pendidikan serta fasilitas untuk menampuk seluruh kelompok umur yang ingin menerima pendidikan. Pendekatan sosial dalam perencanaan pendidikan sebagaimana dimaksud diatas, pernah dituang secara tepat dalam Robbins Comunitte on Higher Education di Inggris pada tahun 1963 dengan alasan pemilihan pendektan ini bahwa: �all young person qualified by ability and attaint ment to pursue a full time course in higher education should have the opportunity to do so� (Bohar Soeharto, 1991: 28). Selanjutnya dalam pendekatan ini ada beberapa kelemahan dalam pendekatan ini diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan ini mengabaiakan masalah alokasi dalam skala nasional, dan secara samar tidak mempermasalahkan besarnya sumber daya pendidikan yang dibutuhkan arena beranggapan bahwa penggunaan sumberdaya pendidikan yang terbaik adalah untuk segenap rakyat Indonesia. 2. Pendekatan ini mengabaikan kebutuhan ketenagakerjaan (man power planning) yang diperlukan dimasyarakat sehingga dapat menghasilkan lulusan yang sebenarnya kurang dibutuhkan masyarakat. 3. Pendekatan ini cenderung hanya menjawab pemerataan pendidikan saja sehingga kuantitas lebih diutamakan dari pada kualitanya (Syaefudin Sa’ud, 2006: 236). C. Pendidikan dan Ketenagakerjaan Apakah pengembangan sumber daya manusia selalu dilakukan melalui pendidikan formal?. Titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital. Teori Human Capital menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja.
Teori ini merasa yakin bahwa pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai dari prodiktivitas individu. Jika setiap individu memiliki penghasilan yang tinggi karena pendidikannya juga tinggi, pertumbuhan msyarakat dapat ditunjang karenanya. Teori Human Capital ini menganggap bahwa pendidikan formal sebagai suatu investasi, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Dari teori ini timbul beberapa model untuk mengukur keberhasilan pendidikan bagi pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan menggunakan teknik cost benefit analysis, model pendidikan tenaga kerja dan lain sebagainya. Namun dalam kenyataannya, asumsi-asumsi yang digunakan oleh teori Human Capital tidak selalu benar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Cummings bahwa di Indonesia ternyata menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara negara maju dan negara berkembang, yaitu bahwa pendidikan formal hanya memberikan kontribusi kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan pendidikan formal dibandingkan dengan faktor-faktor luar sekolah. Teori Human Capital dianggap tidak berhasil, maka muncullah teori baru sebagai koreksi terhadap teori sebelumya, yaitu teori kredensialisme. Teori ini mengungkapkan bahwa strukrur masyarakat lebih ampuh dari pada individu dalam mendorong suatu pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan formal hanya dianggap sebagai alat untuk mempertahankan status quo dari para pemenang status sosial yang lebih tinggi.Menurut teori ini perolehan pendidikan formal tidak lebih dari suatu lambang status (misalnya melalui perolehan �ijazah� bukan karena produktivitas) yang mempengaruhi tingginya penghasilan. Dua teori yang dikemukan diatas, masing-masing memiliki kaitan erat dengan fungsi sistem pendidikan yang diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi sistem pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting, yaitu: 1) Dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia, 2) Dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak pembangunan atau sebagai driving force Sistem pendidikan sebagai suatu sistem pemasok tenaga kerja terdidik lebih banyak diilhami oleh teori Human Capital. Sistem pendidikan memiliki arti penting dalam menjawab tuntutan lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja terampil dalam berbagai jenis pekerjaan. Penyediaan tenaga kerja terdidik tidak hanya harus memenuhi kebutuhan akan suatu jumlah yang dibutuhkan. Akan tetapi, yang lebih penting ialah jenis-jenis keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Teori Human Capital percaya bahwa pendidikan memiliki anggapan lapangan kerja yang membutuhkan kecakapan dan keterampilan tersebut juga sudah tersedia.
Fungsi pendidikan sebagai penghasil tenaga penggerak pembangunan (driving force) cenderung lebih sesuai dengan teori Kredensialisme. Sistem pendidikan harus mampu membuka cakrawala yang lebih luas bagi tenaga yang dihasilkan, khususnya dalam membuka lapangan kerja baru. Pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga yang mampu mengembangkan potensi masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa termasuk cara-cara memasarkannya. Kemampuan ini amat penting dalam rangka memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Dengan demikian, lulusan sistem pendidikan tidak bergantung hanya kepada lapangan kerja yang telah ada yang pada dasarnya sangat terbatas, akan tetapi mengembangkan kesempatan kerja yang masih potensial. Teori Kredensialisme merasa yakin bahwa pelatihan kerja merupakan medha yang strategis dalam menjembatani antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian, hal ini dianggap sebagai �gejala persediaan� (supply phenomina), yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja yang diungkapkan sebagai gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan pasar. Ketidaksesuain tersebut mungkin juga dapat dianggap sebagi gejala permintaan (demand phenomina), yaitu ketidaksesuaian tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pendidikan itu sendiri, tetapi lapangan kerja juga belum memfungsikan sistem pelatihan kerja secara optimal. Jika ketidaksesiaian anatra keterampilan kerja dengan kebutuhan dunia industri dianggap sebagai demand phenomina, sitem pelatihan kerja juga harus merupakan bagian yang integral di dalam industri atau perusahaan. Dalam hubungan dengan hal tersebut, dunia industri akan berfungsi sebagai training ground. Jika industri atau perusahaan sudah berfungsi sebagai training ground, produktivitas tenaga kerja secara langsung merupakan kontrolnya. Pelatihan dalam industri atau perusahaan ialah tempat yang paling tepat untuk dapat menghasilakn tenaga kerja yang siap pakai (ready trained), sementara sistem pendidikan formal secara maksimal harus mampu menghasilkan tenaga potensial atau yang memiliki kecakapan dasar yang dapat dikembangkan lebih jauh di dunia kerja. Sekat-sekat yang ada antara pendidikan, pelatihan dan tenaga kerja seperti yang kita alami dewasa ini, setidak-tidaknya secara konseptual tidak terjadi dalam masyarakat industri modern. Diperlukan program yang terintegrasi antara dunia pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan oleh dunia industri. Programprogram pelatihan tidak hanya dilaksanakan di dalam industri, tetapi sistem pendidikan formal dan non formal harus menyelenggarakan program pelatihan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Dalam kaitan ini perlu ada refungsionalisasi pendidikan di perguruan tinggi yang membuka diri terhadap keterlibatan penuh dari masyarakat industri dalam penyelenggaraan pendidikannya. Dengan sistem yang seperti itu, bukan berarti akan menghilangkan pengangguran, tentu saja masalah pengangguran akan selalu ada karena berbagai sebab ekonomis ataupun non-ekonomis namun masalah pengangguran setidaknya dapat diminimalisir. Fungsi pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik dan terlatih dapat diuji berdasarkan kemampuannya dalam memenuhi jumlah angkatan kerja yang dibutuhkan oleh lapangan kerja yang telah
ada atau yang diperkirakan tersedia dalam suatu sistem ekonomi. Untuk menguji kemampuan ini diperlukan perbandingan antara persediaan angkatan kerja yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan latihan dengan kebutuhan tenaga kerja dalam lapangan kerja yanga ada menurut kategori tingkat pendidikan pekerja. Terjadinya kelebihan persediaan tenaga kerja berpendidikan dasar ini disebabkan oleh masih banyak tersedianya lapangan kerja pada sektor tradisional dan sektor informal pada saat truktur tenaga kerja telah mulai bergeser ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan ini didukung pila oleh kenyataan bahwa kelebihan persediaan tenaga kerja terjadi pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan yang menjadi akibatnya pengangguran tenaga terdidik atau lulusan Perguruan Tinggi akan terus bertambah setiap tahun. Salah satu sebab kesenjangan supply dan demand pendidikan tinggi ialah kesenjangan antara keinginan mahasiswa (dan dorongan orang tua serta persepsi masyarakat) dengan kebutuhan akan tenaga kerja. Mahasiswa lebih menyenangi program studi profesional seperti ahli hukum dan ekonomi dibanding dengan program teknologi maupun pertanian. Gejala ini terjadi juga di negara industri maju dan sangat kuat di negara berkembang. Sebaliknya kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak ialah di bidang industri dan pertanian. Angka partisipasi dan bertambahnya lulusan Perguruan Tinggi belum dengan sendirinya meningkatkan produktivitas kerja karena adanya pengangguran sarjana yang semakin meningkat. Data pendidikan nasional kita menunjukkan kecenderungan sebagai berikut: 1). Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar kemungkinan terjadinya pengangguran; 2). Pada tingkat pendidikan SLTP kebawah cenderung terdapat kekurangan tenaga kerja terdidik; 3). Tamatan SLTA cenderung untuk menganggur dan jumlahnya semakin besar; 4). surplus lulusan Perguruan Tinggi cenderung berlipat ganda dari tahun ke tahun. Gambaran mengenai kesenjangan supply dan demand lulusan pendidikan tinggi kita buka terletak pada angka absolutnya, karena sebenarnya kita masih kekurangan tenaga lulusan Perguruan Tinggi. Kekurangan ini masih dipersulit lagi dengan adanya �mis-match� jenis keahlian yang diproduksi oleh pendidikan tinggi kita. Menurut Darlaini Nasution, ada tiga faktor mendasar yang menjadi penyebab masih tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Ketiga faktor tersebut adalah, ketidaksesuaian antara hasil yang dicapai antara pendidikan dengan lapangan kerja, ketidakseimbangan demand (permintaan) dan supply (penawaran) dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan masih rendah. Ia menjelaskan, lapangan pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja umumnya tidak sesuai dengan tingkat pendidikan atau ketrampilan yang dimiliki. Umumnya perusahaan atau penyedia lapangan kerja membutuhkan tenaga yang siap pakai, artinya sesuai dengan pendidikan dan ketrampilannya, namun dalam kenyataan tidak banyak tenaga kerja yang siap pakai tersebut. Justru yang banyak adalah tenaga kerja yang tidak sesuai dengan job yang disediakan.
Kalau kita flasback pada tahun-tahun yang lalu, Berdasarkan data dari BPS, melansir jumlah pengangguran pada Agustus 2014 sebanyak 7,24 juta jiwa, atau berkurang sebanyak 170.000 jiwa dibanding jumlah pengangguran pada Agustus 2013. . Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2014 sebesar 5,94 persen meningkat dibanding TPT Februari 2014 (5,70 persen). Penduduk yang bekerja masih didominasi oleh mereka yang berpendidikan SD ke bawah sebesar 47,07 persen, sementara penduduk yang bekerja dengan pendidikan Sarjana ke atas hanya sebesar 7,21 persen. Berlanjut pada tahun 2015, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2015 sebesar 6,18 persen meningkat dibanding TPT Februari 2015 (5,81 persen). Penduduk bekerja masih didominasi oleh mereka yang berpendidikan SD ke bawah sebesar 44,27 persen, sementara penduduk bekerja dengan pendidikan Sarjana ke atas hanya sebesar 8,33 persen. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada 2017 sebesar 5,33 persen. Angka tersebut mengalami penurunan sebesar 0,28 persen poin dibanding Agustus 2016. Penduduk bekerja di Indonesia pada Februari 2017 sebanyak 124,54 juta orang, naik sebanyak 6,13 juta orang dibanding keadaan Agustus 2016 year on year (yoy).
Gambar 4: Tingkat Pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia (Sumber : https://lokadata.beritagar.id) Berdasarkan gambar di atas, Persentase Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada tahun 2015 sebesar 6,18 persen, pada tahun 2016 sebesar 5,61 persen dan pada tahun 2017 sebesar 5,33 persen. TPT yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat banyak angkatan kerja yang tidak terserap pada pasar kerja.
Ketika menginjak tahun 2018, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,34 persen. Jumlah angkatan kerja pada Agustus 2018 sebanyak 131,01 juta orang, naik 2,95 juta orang dibanding Agustus 2017. Sejalan dengan itu, Tingkat Partsipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga meningkat 0,59 persen poin. TPT untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masih mendominasi di antara tingkat pendidikan lain, yaitu sebesar 11,24 persen. Berdasarkan data yang disampaikan BPS, kondisi ketenagakerjaan di Indonesia selama Agustus 2017 hingga Agustus 2018, tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan universitas naik sebesar 1,13 persen dibandingkan Agustus 2017. Dari 5,18 persen menjadi 6,31 persen. Pengangguran dari lulusan diploma I/II/III juga naik sebesar 1,04 persen dari 6,88 persen menjadi 7,92 persen. Kenaikan pengangguran juga terjadi pada tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD). Tingkat pengangguran naik 0,05 persen dari 2,62 persen menjadi 2,67 persen. Akan tetapi dibandingkan tingkat pendidikan lainnya, pengangguran dari lulusan SD adalah yang paling sedikit. Mereka yang berpendidikan rendah cenderung mau menerima pekerjaan apa saja, dapat dilihat dari TPT SD paling kecil di antara semua tingkat pendidikan, yaitu 2,67 persen. Meski ada kenaikan pengangguran pada lulusan universitas, diploma dan SD, menurut data BPS, secara keseluruhan tingkat pengangguran di Indonesia mengalami penurunan. Dibanding tahun 2017, jumlah penduduk bekerja bertambah 2,53 juta orang sedangkan pengangguran berkurang 140 ribu orang. Penurunan pengangguran itu terjadi pada lulusan tingkat SMK sebesar 2,49 persen dari 11,41 persen menjadi 8,92 persen. Pengangguran pada lulusan SMA turun sebesar 1,1 persen dari 8,29 persen menjadi sebesar 7,19 persen. Penurunan pengangguran juga terjadi pada lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 0,36 persen dari tingkat penganggurannya sebesar 5,54 persen menjadi 5,18 persen. Dan kini, pada tahun 2019 ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Februari 2019 ada di angka 5,01 persen dari tingkat partisipasi angkatan kerja Indonesia. Dalam setahun terakhir, pengangguran berkurang 50 ribu orang, sejalan dengan TPT yang turun menjadi 5,01 persen pada Februari 2019. Dilihat dari tingkat pendidikan, TPT untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masih tertinggi diantara tingkat pendidikan lain, yaitu sebesar 8,63 persen. Penduduk yang bekerja sebanyak 129,36 juta orang, bertambah 2,29 juta orang dari Februari 2018. Angka TPT ini masih menyisakan masalah fundamental tersendiri, yakni lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang masih mendominasi angka pengangguran. Data BPS mengatakan, 8,92 persen dari total tingkat partisipasi angkatan kerja adalah pengangguran lulusan SMK. Kemudian, 7,92 persen dari total tingkat partisipasi angkatan kerja adalah pengangguran lulusan diploma. Yang memegang ijazah universitas, minimal S-1, ada 6,24% pengangguran terbuka, dan SMA 6,78%. Pengangguran dengan pendidikan maksimal SD hanya 2,65%. Itu karena mereka tidak memilih-milih pekerjaan. Pekerjaan apa pun mereka jalani.
Kondisi ini cukup memprihatinkan. SMK didesain untuk mencegah pengangguran. SMK menjadi link atau jembatan antara pendidikan formal dan perusahaan agar tamatannya bisa langsung bekerja. Kurikulum dan mata pelajaran di SMK harus match atau sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Namun, dalam kenyataan, SMK justru menghasilkan paling banyak penganggur terbuka. Itu berarti link and match tidak jalan. Alumni SMK tidak mampu memenuhi kebutuhan dunia usaha. SMK gagal menjadi link ke dunia usaha akibat kualitas pendidikannya yang tidak match dengan dunia usaha.
Gambar 5: TPT Menurut Pendidikan, Februari 2018 dan 2019 (https://www.beritasatu.com) Berdasarkan data tersebut diatas, Sebagian besar pengangguran merupakan lulusan SMA (27,57%) dan SMK (24,74%). Di samping itu, pengangguran dari lulusan Universitas juga cukup besar (10,42%). Bahkan tingkat pengangguran dari SMK dan Universitas terus mengalami tren kenaikan dalam beberapa tahun terakhir. Di 2018, peningkatan pengangguran lulusan Universitas mencapai 17,9%, sementara lulusan SMK hampir 7%.
Pengangguran lulusan SMK yang dikatakan terampil dan lulusan Universitas yang terdidik ternyata mengalami peningkatan sejak tahun 2014 dan 2018. kondisi ini menggambarkan sektor-sektor ekonomi yang memerlukan keahlian dan keterampilan di Indonesia, khususnya sektor industri manufaktur tumbuh lambat, sehingga daya serap bagi angkatan kerja terlatih dan terdidik rendah. Laju industri pengolahan tak mampu mengimbangi relatif tingginya porsi pengangguran lulusan SMK dan Universitas. Bila kita membayangkan pendidikan vokasi yang ideal, salah satunya di Jerman. Sebagai negara industri, di sana industrinya memang tumbuh, sehingga lulusan SMK-nya selalu diserap. Sementara di Indonesia, industrinya lambat pertumbuhannya. Permasalahan pengangguran terdidik dan terlatih juga terlihat dalam mismatch pendidikan dan pekerjaan di Indonesia. Materi atau kurikulum yang diberikan di sekolah atau universitas nyatanya banyak yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan lapangan kerja dan industri. Di sisi Iain, pekerja berdasarkan pendidikan pun sebagian besar hanya lulusan SMP ke bawah. Hal ini menggambarkan daya saing dan produktivitas yang rendah dalam perekonomian. Sebagian besar pekerja ini menggantungkan hidup di sektor pertanian yang kontribusinya semakin kecil dalam pertumbuhan ekonomi. Sebagian besar pekerja kita itu bekerja di sektor pertanian, perdagangan dan jasa, artinya di sektor-sektro yang pertumbuuhannya relatif rendah, sehingga tidak banyak menciptakan efek berganda bagi perekonomian Indonesia.
Gambar 6: Struktur Lapangan Pekerjaan Utama, Februari 2019 (https://www.beritasatu.com)
Pada Februari 2019, sektor pertanian ini hanya menyerap 29,46% tenaga kerja dibandingkan pada Februari 2014, pertanian menyerap 40,83% tenaga kerja. Ke mana sekitar 10% tenaga kerja berpindah? Idealnya ke sektor industri karena Indonesia sedang dalam pembangunan industri. Namun, daya serap sektor industri justru menunjukkan penurunan. Penyerapan tenaga kerja di sektor industri memperlihatkan penurunan. Jika pada Februari 2014, sektor industri menyerap 15,39% tenaga kerja, pada Februari 2019, lima tahun kemudian, penyerapan tenaga kerja di sektor ini menurun ke 14%. Data BPS menunjukkan, tenaga kerja beralih ke sektor aneka jasa, mulai dari jasa konstruksi, transportasi keuangan, hingga kesehatan dan pendidikan. Di negara maju, tenaga kerja terbesar terserap di sektor jasa. Namun, buat negara berkembang seperti Indonesia yang tengah menikmati bonus demografi, tenaga kerja mestinya terserap di sektor industri. Dari 129,36 juta penduduk yang bekerja per Februari 2019, Mereka yang bekerja di sektor formal per Februari 2019 sebanyak 55,28 juta atau 42,73%, sedang pekerja informal 74 juta atau 57,27% di sektor informal. Penduduk yang bekerja didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah. Sekitar 40,51% pekerja Indonesia hanya mengenyam pendidikan SD dan 17,75% berpendidikan SMP. Jika digabung, 59% tenaga kerja Indonesia adalah mereka yang berpendidikan maksimal SMP.
Gambar 7: Pekerja Formal dan Informal, Februari 2019 (https://www.beritasatu.com) Dari data Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Jenjang Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan (Februari 2017-Februari 2019), pengangguran terdidik di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik yang mengkhawatirkan. Hal ini tak lepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing.
Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
Gambar 8: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Jenjang Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan (Februari 2017-Februari 2019) (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019) Angka pengangguran terdidik yang terus mengalami peningkatan, salah satu penyebabnya ternyata tak lain tak bukan adalah tidak sesuainya kompetensi ilmu dengan kebutuhan di dunia kerja dan kualifikasi yang dimiliki. Kualifikasi yang dimaksud merupakan kemampuan yang tidak sesuai, seperti seorang sarjana dengan kompetensi rendah, sehingga mendapatkan pekerjaan dengan level yang tidak sesuai. Selain faktor tersebut masih ada lagi faktor yang berperan dalam masalah pengangguran, yaitu faktor preferensi, di mana masih banyak lulusan baru yang terlalu memilih-milih pekerjaan. Masih banyak lulusan sarjana yang tidak mau melakukan sembarang pekerjaan karena dianggap tidak setara dengan kompetensi yang dimiliki. Alhasil, para lulusan ini malah menganggur dan tidak bekerja sama sekali. Faktor ekonomi juga berperan dalam masalah satu ini. Di Indonesia, masih banyak masyarakat yang belum mampu membiayai pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini didukung dengan data dari Statistik Persekolahan SMA 2018/2019 yang dirilis Kemdikbud. Laporan ini menunjukkan sekitar 31.123 murid yang putus sekolah di jenjang SMA. Faktor lainnya adalah adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai buruh tidak tetap atau Driver online. Oleh karena itu, bisa dimengerti apabila laju pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5% dalam lima tahun terakhir. Melihat permasalahan tersebut, pelatihan ataupun sertifikasi tidak cukup. Perlu ada upaya
mendorong kebijakan dari sisi permintaan (demand), yaitu ketersediaan lapangan kerja. Jika Iebih fokus pada sisi penawaran, dikhawatirkan akan terjadi banyak pengangguran yang diIatih, tetapi setelah itu tidak terserap di pasar kerja. Selain itu, kebijakan investasi juga perlu mengarah pada struktur ketenagakerjaan yang ada di Indonesia agar investasi yang masuk (baik domestik maupun asing) sebagian besar menjadi solusi atas cukup besarnya penggangguran yang ada saat ini. Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya perluasan kesempatan pendidikan dari pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di negaranegara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar. Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para peserta didik hanya mempunyai kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para peserta didik tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam memahami dan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir. Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni. Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan. Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat (dunia kerja dan industri). Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan.
Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi. D. Kebijakan Strategis menangani pengangguran terdidik Sebagai upaya menangani pengangguran terdidik, diperlukan berbagai kebijakan strategis yang dapat ditempuh sebagai bagian dari penanggulangan pengangguran. 1. Pengembangan Mindset dan Wawasan penganggur Pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas. Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan serta mempunyai mindset yang benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang. Perlu diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental kita untuk berani berpikir dan bertindak secara nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui kerja sama dengan lembaga pelatihan yang kompeten untuk itu. Juga dapat melibatkan organisasi profesi dan organisasi alumni perguruan tinggi. 2. Membangun Relevansi lulusan perguruan tinggi terhadap kebutuhan tenaga Jumlah sarjana yang lulus setiap tahun tak sebanding dengan serapan tenaga kerja. Lapangan kerja yang terbatas membuat persaingan semakin ketat. Kesulitannya sarjana menembus dunia kerja karena relevansi antara mutu perguruan tinggi dan kebutuhan dunia industri masih rendah. Pemetaan serapan tenaga kerja tersebut hampir tak akan berubah setidaknya dalam kurun 5 tahun ke depan. Saat ini lulusan perguruan tinggi turut menyumbang pengangguran yang menjadi beban negara. Relevansi lulusan perguruan tinggi terhadap kebutuhan tenaga kerja menjadi faktor penting dalam upaya mencegah sarjana menganggur. Setiap tahun ada penambahan pengangguran terdidik baru sekitar 66 ribu. Tahun lalu, jumlah pengangguran terdidik yang lulusan diploma dan sarjana di Indonesia, mencapai 1 juta jiwa. Perlu ada terobosan dari pemerintah dan dunia pendidikan untuk menekan bertambahnya pengangguran terdidik itu. Pemerintah harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan (asosiasi pengusaha dan dunia industri) untuk merencanakan dan mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) siap kerja. Namun, proses perubahan itu diakui tidak mudah dilakukan.
Untuk mengatasi persoalan bottleneck penyerapan tenaga kerja, Pemerintah dan perguruan tinggi harus lebih aktif membangun kerja sama di setiap sektor strategis. Kerja sama yang masif di sejumlah sektor dipercaya bisa mentransformasi industri yang sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja, khususnya lulusan sarjana. Di lain sisi, saat ini, peserta didiik belum sepenuhnya di bekali keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja kekinian sehingga lulusan institusi pendidikan tidak terserap sepenuhnya di dunia kerja. Salah satu langka konkrit yang harus dilakukan institusi pendidikan adalah kerjasama dunia usaha dan industri melaui program pelatihan dan pemagangan. Program magang harus melibatkan mahasiswa sejak dini. Mahasiswa semester lima sudah di magangkan di perusahaan – industri, dan atau memanfaatkan masa libur kampus, mahasiswa di ikutkan program magang. Begitupula lulusan baru, diarahkan mengikuti program magang terlebih dahulu. Selain untuk mengisi waktu nganggur, magang juga bermanfaat untuk mengeksplor minat dan kemampuanmu, Melalui program magang, para mahasiswa dan lulusan sarjana bisa mendapatkan pelajaran yang belum diberikan di bangku kuliah serta melakukan praktik langsung. Magang juga cocok untuk menilai minat dan kemampuan mereka dalam suatu bidang, apalabila mengincar posisi atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan jurusan kuliah. Selain hal tersebut, mahasiswa diarahkan untuk mengikuti kegiatan pelatihan kerja untuk mendapat pengalaman dan pelajaran yang mungkin belum mereka kuasai, seperti manajemen waktu, mengasah skill baru, melatih kemampuan komunikasi interpersonal, hingga bekerja sama dalam tim. Semua hal ini nantinya dijamin akan bermanfaat di dunia kerja nantinya. Berdasarkan Global Entrepreneurship Index (GEI) Indonesia berada di urutan ke 97 dari 136 negara. Indonesia berada di bawah Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Salah satu penyebab rendahnya GEI Indonesia adalah kecilnya persentase jumlah wirausaha. Pemicunya rendahnya keterampilan dan etos kewirausahaan. Oleh karena itu, Institusi pendidikan harus ikut berkontribusi menumbuhkan jiwa kewirausahaan mahasiswa. Diantara yang harus dilakukan oleh insititusi pendidikan adalah mengembangkan kewirausahaan melalui program Kewirausahaan mahasiswa dan Masyarakat. Melalui program (KMM) itu para mahasiswa yang minim keterampilan dan sarjana yang belum terserap dunia kerja diberi kesempatan untuk menekui kewirausahaan yang berbasis ekonomi kreatif. Para mahasiswa dan sarjana peserta program KMM nantinya diterjunkan ke perusahaan dan atau industri yang terkait langsung dengan bidang kewirausahaan tersebut. Mereka bertugas untuk mempelajari secara khusus keterampilan yang dibutuhkan dalam mengembangkan bisnis dan usaha ekonomi kreatif. Pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh menjadi modal utama untuk membuka usaha serta mengembangan wirausaha mereka serta dapat menularkan pengetahuan, keterampilan, serta jejaringnya yang dibutuhkan.
Upaya lainnya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) untuk terus menerus memperbanyak program pendidikan vokasi dan dan revitalisasi sistem pendidikan sarjana vokasi karena pendidikan vokasi merupakan program prioritas pemerintah (kemeristekdikti) yang dapat menekan tingkat pengangguran terdidik Melalui berbagai program revitalisasi, Pendidikan vokasi dapat menjadi pilihan utama bukan sekedar pelengkap atau pilihan terakhir bagi calon mahasiswa. Jumlah pendidikan vokasi diharapkan meningkat setiap tahunnya. Di berbagai negara maju, perguruan tinggi vokasi jumlahnya lebih banyak dibandingkan perguruan tinggi akademik, contohnya Jerman, disana jumlah pendidikan vokasi sudah lebih dari 61%. Pendidikan sarjana vokasi diharapkan menjadi program pendidikan yang dapat menyiapkan mahasiswanya dengan berbagai kompetensi. Didalam pendidikan vokasi, proses pembelajarannya mencakup penguatan skill, meningkatkan kompetensi lulusan sesuai bidang, dan memberikan pemagangan kerja di perusahaan. Tentu inilah salah satu solusi untuk memecahkan masalah sarjana pengangguran. 3. Peningkatan sarana pendidikan dan Perbaikan sistem pendidikan dan Pembelajaran Peningkatan sarana pendidikan dan sistem pendidikan dan pembelajaran menjadi fondasi dalam meningkatkan daya saing perguruan tinggi. Pasalnya, lapangan perkerjaan dan dunia usaha ke depan akan sangat mengandalkan inovasi yang bergerak sangat cepat dan dinamis. Masalah pengelolaan Pendidikan Tinggi di Indonesia sekarang ini masih tetap bergerak diantara 2 pokok persoalan, yaitu minimnya sarana pendidikan dan sistem pendidikan dan pembelajaran yang tidak selaras dengan kebutuhan dan perkembangan dunia kerja kekinian. Dua masalah ini saling berkaitan. Disatu sisi pengelolaan pendidikan tinggi dituntut untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pembelajarannya demi melahirkan lulusan yang memiliki kompetisi, namun sarana, sistem pendidikan dan pembelajaran sering tidak sejalan bahkan kontradiksi. Alhasil, setiap tahun perguruan tinggi meluluskan beribu-ribu mahasiswa, bukan malah mengurangi pengangguran dengan membuka lapangan pekerjaan dilingkungan masyarakat sesuai dengan keahlian yang dimiliki, tapi malah membuat kurva pengangguran semakin tinggi setiap tahunnya. Disisi lain, para mahasiswa masih memprioritaskan cara untuk memperoleh nilai yang tinggi dari hasil evaluasi mata kuliah, daripada cara untuk menangkap ilmu yang akan diberikan oleh setiap dosen pada setiap berlangsungnya pembelajaran. Alhasil mayoritas mahasiswa mempunyai nilai yang baik (cumlaude), namun intelektualisasi/kualitas dari mahasiswa tersebut, rendah. Sehingga ketika para lulusan tersebut dihadapkan dengan dunia kerja mereka kurang mampu untuk mengimplementasikan ilmu-ilmu yang telah didapatnya selama di dunia perkuliahan. Sehingga pada akhirnya menjadi pengangguran. Persaingan semakin ketat untuk mendapatkan pekerjaan di era Revolusi Industri 4.0. Selain bersaingan dengan mesin berbasis teknologi canggih, lulusan sarjana juga harus beradu kompetensi dan keahlian
tertentu dengan pekerja asing yang datang dari terbukanya pasar bebas. Oleh karena itu, perguruan tinggi harus mulai mengubah kurikulum agar sesuai dengan revolusi industri 4.0. Kebijakan-kebijakan itu dipercaya bisa perlahan menjawab persoalan bottleneck di sisi suplai dan permintaan tenaga kerja. Penyempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan sangat menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, sistem pendidikan dan pembelajaran perlu reorientasi supaya dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal. Pengembangan sistem pendidikan dan pembelajaran perlu direstrukturisasi. Perestroika sistem pendidikan tinggi meliputi berbagai aspek, antara lain keseimbangan program studi dan peningkatan mutu. Pemerintah dan dunia pendidikan harus meninjau dan merevisi kurikulum pendidikan untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan pasar kerja dan industri. Sebagai langkah bagus untuk menghadapi revolusi industri 4.0. Dan salah satu poinnya adalah penguatan Link and Match perguruan tinggi dan dunia Kerja Industri. Perguruan tinggi sebagai lembaga pencetak sumber daya manusia yang unggul harus memberi kontribusi besar terhadap upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Perguruan tinggi dan para mahasiswa harus bisa beradaptasi dengan kebutuhan dunia kerja industri jika ingin bertahan dalam persaingan. 4. Reformasi Pelatihan Kerja (Training reforms) dan Pengembangan Informasi Pasar Kerja (Labor Market Information) Reformasi pelatihan kerja merupakan sebuah kebijakan yang mereformasikan sistem pelatihan kerja yang sudah ada dengan lebih baik dan lebih inovatif. Reformasi tersebut merupakan suatu bentuk pembaharuan dari metode pelatihan yang ada di Balai Latihan Kerja (BLK). Dengan adanya reformasi sistem, Balai Latihan Kerja diperkuat peran dan fungsinya agar dapat menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas. Kebijakan Revitalisasi, Rebranding, dan Re-orientasi BLK (3R) bukan hanya mampu menciptakan tenaga kerja yang handal, tetapi juga fokus sesuai dengan kebutuhan industri. Selain diberikan pengetahuan akan skill dalam bekerja, mereka juga dibekali dengan pengetahuan manajemen pemasaran dan pengetahuan seputar perilaku organisasi serta hubungan perindustrian. Jadi, diharapkan tenaga kerja terdidik tersebut mampu memantapkan kemampuannya agar dapat bersaing di dunia kerja dan juga tersertifikasi dengan baik sehingga cepat diserap industri. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan angka pengangguran terdidik semakin menurun setiap tahunnya, Diharapkan terdapat kebijakan yang lebih efektif lagi seperti pelatihan berwirausaha sejak dini. Dengan adanya pelatihan berwirausaha, tenaga kerja terdidik semakin tergerak untuk menciptakan lapangan kerja sehingga peningkatan jumlah lapangan kerja bisa berbanding lurus dengan peningkatan jumlah tenaga kerja. Sedangkan Kebijakan dalam membangun sistem informasi lapangan kerja dinilai cukup efektif untuk menanggulangi pesatnya pertumbuhan tenaga kerja terdidik. Mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center atau Pusat sistem informasi pasar
kerja guna membuka akses informasi lowongan kerja bagi tenaga kerja. Lembaga ini dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga dapat membimbing dan menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah Pemerintah dalam hal ini kementerian tenaga kerja bekerjasama dengan pemerintah daerah dan seluruh pemangku kepentingan (asosiasi perusahaan/industri, lembaga profesi, dsb). Dengan adanya sistem informasi tersebut, diharapkan para pencari kerja mendapatkan akses lowongan kerja dengan cepat. 5. Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Ekonomi dan Industri serta Penyederhanaan Perizinan Investasi Melakukan pengembangan ekonomi dan industri di setiap kawasan/daerah sebagai prioritas. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Pengembangan kawasan khusus ini terkait secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan dan pedesaan, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik yang dapat didaur ulang. Sampah sebagai bahan baku pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan lapangan kerja. Sedangkan penyederhanakan perizinan dilakukan guna memudahkan investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru. Khususnya Investasi PMA, tentunya harus menggunakan tenaga kerja lokal (pribumi) bukan tenaga kerja asing. Sekarang ini marak TKA masuk ke Indonesia yang di bawah langsung oleh pihak PMA menyebabkan tenaga kerja lokal tidak mendapatkan peluang kerja. Investasi PMA di Indonesia harus memberikan kontribusi terhadap pengurangan pengangguran, bukan sebaliknya. Tak di pungkiri pemerintahan sekarang ini telah membangun infrastruktur secara masif dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Sayangnya, pembangunan infrastruktur ini belum cukup menyerap lebih banyak tenaga kerja karena lebih bersifat padat modal. Pencapaian dari segi infrastruktur sudah memenuhi target ya, apalagi jalan tol, pelabuhan, bandara, sudah okelah. Yang masih kurang itu pembangunan yang dapat menyerap tenaga kerja khususnya tenaga kerja lokal. Meskipun cukup agresif dalam pembangunan infrastruktur dalam tiga tahun ini, diakui dampaknya belum terasa bagi masyarakat. Salah satunya penciptaan lapangan kerja. Infrastruktur yang dibangun dinilai harus bersifat jangka panjang. Sedangkan kita butuh infrastruktur yang menciptakan kesempatan kerja dalam jangka pendek. Bangun jalan tol misalnya, bagus untuk meningkatkan daya saing kita, tapi yang
bekerja itu padat modal semua, seperti buldoser, bahan baku impor, jadi penyerapan ke tenaga kerja kurang. Sementara proyek infrastruktur yang membuka lebih banyak kesempatan kerja, seperti pembangunan jalan kabupaten, provinsi, dan irigasi pertanian masih kurang digenjot pemerintah sehingga penyerapan tenaga kerja minim. Hal tersebut berdampaknya ke pertumbuhan ekonomi juga belum signifikan, ekonomi masih tumbuh 5,0 persen. Penyerapan tenaga kerja sekarang kurang dari 200 ribu orang karena pembangunan infrastruktur menggunakan tenaga mesin. Sedangkan kalau bangun jalan daerah, bangun waduk banyak menggunakan tenaga masyarakat di daerah. Dari sisi pemerataan ekonomi, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen per tahun, sudah cukup menyebar ke seluruh Indonesia. Walaupun pertumbuhannya tidak terlalu cepat sekitar 5 persen. Jika Indonesia ingin pertumbuhan ekonomi 6 persen sampai 7 persen pada tahun 2019 ini, mesti diiringi dengan upaya-upaya menciptakan pertumbuhan inklusif. Oleh karenanya, pemerintah harus merancang program pembangunan dan kebijakan ekonomi yang tepat sasaran dengan alokasi khusus ke daerah untuk menciptakan pertumbuhan inklusif seperti program dana desa yang sudah dijalankan sekarang ini, pembangunan dan perekonomian di desa akan tumbuh lebih cepat. Termasuk penyaluran program kredit usaha rakyat (KUR), perumahan rakyat, dan lainnya. Pembangunan Infrastruktur, pengembangan kawasan ekonomi dan industri dapat ciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas. Selain itu, pemerintah harus dapat mengembangkan pembangunan ekonomi dan sumber daya alam yang sangat potensial dan dikelola lebih baik dan tetap sasaran supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif. Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah guna membangun bisnis dan usaha yang dapat menampung tenaga kerja lokal.
Kesimpulan 1. Konsep Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) merupakan konsep keterkaitan antara lembaga pendidikan dengan dunia kerja, atau dengan kata lain Link and Match ini adalah keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Dengan adanya keterkaitan ini maka pendidikan sebaagi pemasok tenaga kerja dapat mengadakan hubunga-hubungan dengan dunia usaha/industri. 2. Dengan link dan match ini suatu lembaga khususnya Perguruan Tinggi bisa mengadakan kerja sama dengan pihak lain khususnya dengan perusahaan atau industri agar mahasiswa bisa magang di perusahaan tersebut. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. dengan adanya Link and Match tersebut Perguruan Tinggi dapat mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Selain itu, Perguruan Tinggi juga akan dapat memprediksi dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke depan. Dan yang lebih penting Perguruan Tinfgi harus menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap secara praktik. 3. Adapun pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match adalah Pendekatan ketenagakerjaan dan pendekatan sosial. Pendekatan ketenagakerjaan merupakan pendekatan yang mengutamakan kepada keterkaitan luusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan dengan tujuan yang akan dicapai adalah bahwa pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik sehingga tingkat kehidupannya dapat diperbaiki. 4. Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat yang mana pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan. Pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk memasukan institusi pendidikan serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada peserta didik secara bebas. 5. Pendidikan formal dianggap sebagai penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, dan titik temu antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital yang menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja. 6. Untuk mengurangi jumlah pengangguran, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan perlu melakukan berbagai langkah strategis. Pemerintah harus memfasilitasi dan menciptakan iklim yang kondusif. Namun, banyak tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengupayakan langkah tersebut, terutama karena keterbatasan dana.
Referensi Buku Cammings, Williams. Studi Pendidikan dan Tenaga Kerja pada Beberapa Industri Besar di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian BP3K Hasibuan, Sayuti. 1987. Changing Manpower Requirements in The Face of Non-Oil Growth, Labor Force Growth and Fast Tehnological Change. Jakarta: Bappenas Indar, Djumberansyah. 1995. Perencanaan Pendidikan Strategi dan Implementasinya. Surabaya: Karya Aditama Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun, 2006. Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif . Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II Sindhunata (ed). 2000. Menggegas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius Sindhunata (ed), 2001. Pendidikan Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta:Kanisius Soeharto, Bohar. 1991. Perencanaan Sosial Kasus Pendekatan. Bandung: Armico Suryadi, Ace dan H.A.R. Tilaar. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar Bandung: Rosdakarya Tilaar, H.A.R. 1999. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosdakarya. Cet IV Usman, Husaini. 2006. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Internet https://indef.or.id/ http://elelentary-education-schools.blogspot.com/2011/08/all-about-elementary-education-in.html https://katadata.co.id/infografik/2019/05/17/angka-pengangguran-lulusan-perguruan-tinggi-meningkat https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/jumlah-penduduk-bekerja-dan-pengangguran-2014-20191563531516 https://www.beritasatu.com/ekonomi/542933/pengangguran-terampil-dan-terdidik-kian-meningkat https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/05/07/lulusan-smk-mendominasi-tingkat-pengangguranterbuka
https://www.bps.go.id/pressrelease/2014/05/05/233/februari-2014---tingkat-pengangguran-terbuka--tpt-sebesar--5-70-persen.html https://www.bps.go.id/pressrelease/2015/05/05/1139/februari-2015--tingkat-pengangguran-terbuka--tpt-sebesar-5-81-persen.html https://www.bps.go.id/pressrelease/2016/11/07/1230/agustus-2016--tingkat-pengangguran-terbuka--tpt-sebesar-5-61-persen.html https://www.bps.go.id/pressrelease/2017/11/06/1377/agustus-2017--tingkat-pengangguran-terbuka--tpt-sebesar-5-50-persen.html https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/11/05/1485/agustus-2018--tingkat-pengangguran-terbuka--tpt-sebesar-5-34-persen.html https://www.bps.go.id/pressrelease/2019/05/06/1564/februari-2019--tingkat-pengangguran-terbuka--tpt-sebesar-5-01-persen.html