TABLOID KABAR FILM EDISI 48

Page 1


DARI REDAKSI

Berani

FILM kita hari ini berbeda dengan era tahun 80an. Sepanjang 2013 banyak film Indonesia yang berani mempertaruhkan diri dengan anggaran besar. Jika standar produksi film di sini taruhlah, Rp2 Miliar (bahkan ada yang lebih kecil), akhir-akhir ini produser berani mengeluarkan lebih dari Rp10 Miliar. Hasilnya? Di atas kertas seharusnya menjadikan film lebih berkualitas. Ke­ nyataannya ada film berbiaya ham­pir Rp10 M yang tak mencapai standar kualitas untuk dikatakan bermutu sebagai film. Contohnya, film Azrax Melawan Sindikat PerdaganganWanita. Film berbiaya mahal lainnya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Soekarno: Indonesia Merdeka, Habibie dan Ainun, Gending Sriwijaya, dan Sang Kiai. Catatan keberuntungan film-film ini cukup signifikan.

Teguh Imam Suryadi, Pimpinan Redaksi tabloid Kabar Film diwawancarai KompasTV untuk Kaleidoskop Film 2013..

Misalnya, film 99 Cahaya Di Langit Eropa dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk. Keduanya mendapat apresiasi luas dari penonton. Sejak tayang di akhir Desember 2013 hingga hari ini. Penonton kedua film mencapai diatas sejuta. Perolehan jumlah penonton ini masih dibawah ‘prestasi’ Habibie dan Ainun maupun 5 Cm yang ditonton lebih dari 2 juta orang, yang juga beredar tahun 2013. Diantara film-film berbiaya besar masih terselip film-film

horror seksi berbiaya murah. Inilah pasar. Dari fenomena yang menjangkiti film nasional tadi, kita bisa merasakan, bahwa ‘biaya mahal bukan ukuran film menjadi bagus’. Masalahnya bukan itu. Keinginan dan kemampuan membuat film bagus dari para sineas sudah terbukti. Yang masih mengganjal dan sangat sulit adalah dukungan sponsor atau finansial. Pemerintah memberi keyakinan pada sineas tentang dana subsidi yang bisa dipakai. Entah bagaimana policynya, hal itu masih sebatas wacana. Semoga, Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang baru dibentuk di awal 2014 ini menjadi rumah bagi masyarakat perfilman yang selama ini ‘terpecah’. Dan, semoga BPI membuka akses untuk terbentuknya lembaga keuangan khusus film. Teguh Imam Suryadi on twitter: @teguhimamsurya

Dua wartawan hiburan menuju Senayan 2014 menduduki kursi DPR RI. “Jangan korupsi, amanah, dana pembangunan harus untuk pembangunan. Karena 10 tahun pemerintah tidak membangun apa-apa tetapi dilakukan oleh swasta,” ujar Teguh. Dia melihat di bidang kebudayaan terutama musik menyimpan masalah krusial. “Industri musik harus berubah, dan penjualan fisik perlu difikirkan karena pembajakan digital dari sisi RBT sudah merusak dan merugikan seniman. Melakukan perubahan di bidang itu salah satu jihadku kalau masuk Senayan,” katanya. Dikatakan Teguh, seniman musik sekarang hidup dari panggung saja dan tidak bisa mengandalkan penjualan CD dan RBT. Iwan Fals contohnya, bisa hidup karena panggung dan iklan. Sementara Amazon yang akrab dengan dunia selebritis, kembali memenuhi panggilan jiwa menjadi anggota dewan. “Dari dalam itulah kita dapat mempengaruhi. Kualitas anggota dewan kita tidak memadai, bahkan yang sekarang pun begitu. Sumbangan pemikiran belum memberi kontribusi selain menjadikan itu pekerjaan. Itu kenapa banyak pengusaha terjun menjadi anggota dewan. Ini karena tujuannya urusan capital, bukan memperjuangkan rakyat sebenarnya,” kata Amazon. Soal basic yang akan diperjuang-

Teguh Yuswanto

Amazon Dalimunthe

kan, “Saya ingin masuk Komisi X bidang pendidikan, kebudayaan, dan olahraga. Ketiganya menjadi basis kehidupan kita, dan bisa maju melalui sejumlah perundang-undangan,” katanya. Yang utama menurut Amazon, mengubah mindset bangsa kita. “Semua berteriak, mindset bangsa harus berubah, tapi tidak ada yang tahu bagaimana cara mengubah itu semua. How? Pendidikan kita pun mindsetnya gaya lama. Murid disuruh menggambar pemandangan, yang muncul gunung dua, matahari, dan sawah. Itu sejak saya kecil sampai sekarang masih seperti itu.” Soal Festival Film Indonesia (FFI) misalnya, hanyalah seremonial peristiwa tahunan yang diselenggarakan pemerintah tanpa ada pembinaan. (imam)

Bens Leo terima Anugerah Kebudayaan Kemendikbud

Bens Leo saat menerima trofi penghargaan dari Mendikbud M.Nuh. Foto: Dudut Suhendra Putra.

EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

Editorial

Infotemen

MUSIM pencalonan anggota legislatif tahun 2014 ini, dua wartawan senior siap melaju ke kursi DPR RI. Mereka adalah Amazon Dalimunthe (salah satu pendiri infotainment Kabar Kabari), dan Teguh Yuswanto (Tabloid Bintang Indonesia). Keduanya pernah sama-sama berkutat di lapangan ketika meliput berita hiburan, musik, dan film. Mereka direkrut oleh partai berbeda untuk wilayah Daerah Pemilihan yang juga berbeda. Meskipun demikian, tekad mereka sama-sama ingin memperbaiki ‘infrastruktur’ kesenian dan kebudayaan. “Mudah-mudahan kalau masuk bisa membawa virus yang baik,” kata Teguh Yuswanto. Sementara Amazon Dalimunthe yang kali ini untuk kedualinya ikut Pileg, tetap pada semangatnya ‘masuk ke dalam sistem’, “Kalau mau mengubah sesuatu, kita harus masuk ke dalam bukan sebagai penonton,” katanya. Teguh Yuswanto digandeng Partai Hanura untuk Caleg DPR RI Dapil 9 Jawa Tengah, meliputi daerah Tegal. Sementara Amazon dari Partai Amanat Nasional merupakan Caleg DPR RI Dapil III Jawa Barat, meliputi Kab Bogor dan Cianjur. Secara tersirat keduanya menyampaikan buah pemikiran dan rencanarencana yang akan digolkan jika berhasil

TAKE 2

AKHIR November 2013 pengamat music berlatar wartawan dan kritikus musik Bens Leo menerima Penghargaan Anugerah Kebudayaan Katagori Anugerah Seni dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2013. Sebuah penghargaan yang layak di­ terima oleh pria kelahiran Pasuruan 8 Agustus 1952 tersebut. Ini bukan penghargaan pertama untuk Bens Leo, yang sebelumnya menyandang piagam Penghargaan Jurnalis Musik dari Sri Sultan Hamengkubuwono X (2009), Trofi ‘Pengabdian Sebagai Jurnalis Musik dari Yayasan Buku Bangsa (2013). Sepanjang 42 tahun bergelut di dunia hiburan, Bens Leo telah menjadi wartawan untuk media cetak

sekaligus radio, menjadi narasumber terpecaya semua media, menjadi juri beragam lomba, menjadi produser rekaman pendatang baru, dan coordinator bermacam Event Organizer. Di luar itu, ia juga aktif di berbagai organisasi. Bens Leo pernah terpilih sebagai Ketua Seksi Film dan Budaya di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tahun 1984-1986, Anggota Badan Pengawas Yayasan Karya Cipta Indonesia (2010-sekarang), Ketua II Koperasi Pekerja Seni Indonesia (Kopsi) (2012-sekarang). Tahun 2010, ia mendirikan Charity Club Indonesia, sebuah organisasi nirlaba yang membantu wartawan dan artis yang tengah mengalami kesulitan dan sakit. (imam/kf1)

Diterbitkan pertamakali di Jakarta tanggal 12 Mei 2009 oleh Komunitas Pekerja Perfilman Jakarta Kode ISSN 2086-0358 NPWP 54.158.6009.5-027.000 Pendiri/ Penanggungjawab Teguh Imam Suryadi SH Redaktur Pelaksana Didang Pradjasasmita Redaksi Bobby Batara Jufry Bulian Ababil (Medan), Desain: Rizwana Rachman Marketing: Ahmad Reza Kurnia Distribusi: Dede, Jamilan Pelindung Ketua PWI Jaya Seksi Film & Budaya Teguh Imam Suryadi, SH Penasihat Hukum Drs H Kamsul Hasan SH MH Alamat Redaksi/Iklan/ Sirkulasi Sekretariat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya Seksi Film dan Kebudayaan, Lantai IV Gedung Pusat Perfilman H Usmar Ismail, Jalan HR Rasuna Said Kavling No C-22 Kuningan, Jakarta Selatan. Tlp: 021-97924704 - 0818404013. Rekening BANK BCA No Rekening: 5730257874 a/n Teguh Imam Suryadi Email kabar.film@yahoo.com Facebook Tabloid Kabar Film Twitter @Kabarfilmcom Website www.kabarfilm.com HARGA IKLAN COVER DEPAN : 200 mm x 267 mm Rp 15.000.000,COVER BELAKANG : 255 mm x 360 mm Rp 10.000.000,1/2 COVER BELAKANG : 255 mm x 178 mm Rp 5.000.000,1/4 COVER BELAKANG : 125,5 mm x 178 mm Rp 2.500.000,KUPING DEPAN ATAS : 90 mm x 60 mm Rp 2.000.000,KUPING DEPAN TENGAH/ BWH : 50 mm x 180 mm Rp 1.500.000,1 HALAMAN DALAM : 255 mm x 360 mm Rp 7.500.000,1/2 HALAMAN DALAM : 255 mm x 178 mm Rp 4.000.000,1/4 HALAMAN DALAM : 125,5 mm x 178 mm Rp 2.500.000,2 KOLOM : 100 mm x 50 mm Rp 1.500.000,1 KOLOM : 50 mm x 40 mm Rp 750.000,-

* HARGA SUDAH TERMASUK PPN


PROFILM

Shaut Hutabarat. Foto: Dok.Pribadi

Shaut Hutabarat

EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

ergi dengan generasi muda di tanah kelahirannya. Sesekali ia menyanting rokok kretek ramping yang terselip di jarinya ke bibirnya. Setahun blusukan ke berbagai tempat, jurnalis yang pernah menjadi editor di Penerbit Mitra Utama, Jakarta ini beberapa kali dibuat terperanjat dengan aktivitas komunitas perfilman di Medan, yang katanya merupakan ‘kebangkitan film indie’ itu. Sekali waktu, Shaut berdiskusi dengan pembuat film indie bernama Anymous yang mengaku banyak membuat film indie. “Skenario tidak perlu, Bang!” kata Shaut meniru ucapan remaja tadi. Mendengar celoteh pembuat indie tersebut, Shaut pun membatin. “Siapa yang mengajari anak ini untuk tidak mementingkan skenario? Mau jadi apa film yang tanpa skenario? Ini sangat kacau. Sudah salah, besar kepala pula,” kata Shaut. Shaut berfikir dan seperti hendak mengumpulkan rangkaian peristiwa demi peristiwa yang pernah dilaluinya beberapa tahun terakhir. Sesekali ia menyedot pipet minuman botol di atas meja yang berdiri tegak di hadapannya. Shaut pun mengambil kesimpulan, betapa besarnya tantangan yang harus ia hadapi. Dengan tekad bulat, Shaut pun mendirikan Andaliman Film Indie AFIndi Production tahun 2011. Melalui AFIndi Production, Shaut memberikan pemahaman bahwa insan film harus bertanggung jawab secara moral karya-karya yang mereka hasilkan.

Kembali ke tanah kelahiran PENULIS naskah skenario dan film Shaut Hutabarat memilih untuk pulang ke tanah kelahirannya di Tarutung, Tapanuli Utara. Hal itu dilakukannya demi berbagi pengalaman dengan kalangan muda di Sumatera Utara yang semakin berminat pada bidang perfilman. “Sudah saatnya saya kembali ke tanah kelahiran atau mulak tu bona pasogit,” katanya kepada awak Tabloid Kabar Film di Medan, barubaru ini. Perjalanan Shaut Hutabarat

dalam dunia penulisan skenario film dan sinetron lumayan panjang. Persisnya, sejak aktif di Pusat Pengembangan Kesenian Jakarta (1884) dia ‘terbang’ dan menetap di beberapa rumah produksi dan stasiun televisi. Menurut pria yang kerap memakai nama Lajessca Hatebe di dunia penilisan, sejak kembali Medan 3 tahun, dia bangga melihat tingginya gairah dan animo generasi muda di dalam komunitas film. Namun, dia juga prihatin den-

gan minimnya kemampuan para remaja dalam hal menulis skenario film yang layak dikonsumsi sesuai standar broadcast di sana. “Saya takjub dan salut melihat perkembangan film di sini sejak tiga tahun lalu,” tukas seniman yang kini bermarkas di kawasan Padang Bulan, Medan. Mata pria yang juga aktif di Yayasan Komunikasi Massa (Yakoma) tahun 1986 ini berbinar-binar ketika menceritakan awal pengalamannya bersin-

“Kalau tidak ada manfaatnya, tidak ada pentingnya, apalagi membodohi dan merusak mental masyarakat. Untuk apa bikin film?” cetus Shaut. Shaut adalah salah seorang penulis skenario di tengah luasnya belantika perfilman nasional. Sejak remaja telah tergila-gila dengan cinema. Menonton film nasional di bioskop, itulah kegandrungannya. Main sejumlah alat musik apalagi, memang hobinya. Sewaktu muda, ia menghadapi ujian berat ketika harus memilih jalan hidupnya; melanjutkan pendidikan di bidang sinematografi atau pilihan orang tua. Akhirnya Shaut memutuskan menurut kehendak orang tua. Ia sampai pada kesimpulan, menjadi insan film tidak harus ke ‘pendidikan formal di bidang film.’ Kehidupan dan pergaulan dengan insan film adalah ‘sekolah film’ yang lebih bijak mengajarkan setiap orang untuk menjadi sineas yang bertanggung jawab. Selain menulis naskah film, cerpen dan novel, Shaut juga jurnalis. Berbagai karyanya telah dipublikasikan dan beberapa kali mendapat penghargaan di tingkat nasional. Karirnya mulai melejit ketika bergabung di Karnos Film bersama Rano Karno, saat ia menulis naskah sinetron Kembang Ilalang (13 Eps) di tahun 2001. “Kita bukan terlalu idealis. Tapi jangan pula orientasinya proyek melulu. Tanggungja­ waban terhadap masyarakat ha­ rus diperhatikan jugalah,” ujar Shaut Hutabarat. (Jufri Bulian Ababil)


TELEVISI & PH KPI tegur tayangan ‘amburadul’

Mata Lelaki Yuk Keep Smile Hitam Putih.. KOMISI Penyiaran Indonesia (KPI) menegur penyelenggara siaran televisi penayang acara Yuk Keep Smile (YKS) dan Mata Lelaki (ML) di Trans TV. Sementara, secara mandiri menghentikan program Hitam Putih (Trans7) yang dipandu Deddy Corbuzer sendiri. Teguran KPI untuk tayangan YKS disampaikan melalui surat bernomor 1082/K/KPI/01/14 pada tanggal 3 Januari 2014. Teguran KPI ini menyusul keluhan yang disampaikan masyarakat ke atas siaran YKS yang dinilai sangat tidak mendidik. KPI menyatakan berdasarkan kewenangan menurut UndangUndang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran), pengaduan masyarakat, pemantauan, dan hasil analisis telah menemukan pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI tahun 2012 pada program siaran Yuk Keep Smile yang disiarkan oleh stasiun Trans TV pada tanggal 9 Desember 2013 yang dimulai pukul 19.30 WIB. Pelanggaran tersebut antaranya menampilkan gerakan

tubuh atau tarian yang mengandung unsur erotis pada lagu Oplosan, penggunaan pakaian minim sehingga mengeksploitasi atau menampilkan bagianbagian tubuh yang tidak pantas dipertontonkan seperti paha dan/ atau bokong. Selain itu, pengambulan gambar secara medium shot dan low angle shot sehingga menampilkan bagian bawah tubuh si penari. Jenis pelanggaran ini dikatagorikan sebagai pelanggaran atas penghormatan terhadap nilai dan norma kesopanan dan kesusilaan, perlindungan anak dan remaja, pelarangan program yang mengeksplotasi bagian tubuh dan menampilkan gerakan erotis, penggolongan program siaran, dan ketentuan siaran langsung. KPI juga memberi sanksi administratif ‘Penghentian Sementara’ kepada program Mata Lelaki selama 1 (bulan) dengan pelaksanaan sanksi administratif mulai tanggal 20 Januari 2014 sampai 17 Februari 2014. Sanksi ini juga melarang penyiarkan program dengan format sejenis pada waktu siar yang

sama atau waktu lainnya. Masyarakat mengeluh Masyarakat juga mengelihkan sejumlah tayangan tidak mendidik antaranya Pesbukkers, Campur Campur (ANTV), SMS (Trans 7) dan Eat Bulaga (SCTV). Pesbukker dinilai sering menampilkan ular untuk menakuti penonton. Begitu juga akting Olga Syahputra dinilai berlebihan dan suka bicara menyakitkan penonton. Ulah serupa dilakukan Olga Syahputra di Campur Campur dan Yuk Keep Smile. “Bahkan Campur Campur, Pesbukers dan Yuk Keep Smile suka menggunakan tepung dihambur ke muka penonton atau artis. Padahal itu berisiko bagi mata dan kulit wajah. Saya usul Campur Campur, Pesbukers dan YKS ditegur keras KPI dan artis yang dilibatkan seperti Olga juga diberi peringatan keras.,” ujar Suarti Arifin, guru SMP PGRI Labuang Baji, Makasar, pekan lalu. “Olga itu sombong sekali, mungkin karena merasa dirinya artis hebat, tenar, lalu suka omong sembarangan, mencela sesama manusia. Artis kok memberi contoh buruk seperti itu. Saya pikir dia sudah sering ditegur KPI, juga diingatkan tokoh masyarakat agar sadar, tapi kok terkesan nggak malu ya? Soalnya teguran KPI cenderung tidak digubris. Penampilannya pun terus jadi banci, itu kan dilarang KPI?” kara Eka Putra guru SMAN Sungai Penuh, Jambi (imam)

‘12 Menit Untuk Selamanya’

Angkat kisah marching band

FILM 12 Menit Untuk Selamanya mengangkat tentang perjuangan dan kebersamaan dalam tim sebuah marching band. Regina Septapi dan Cindy Sutedha selaku Produser Big Pictures Productions mempercayakan sutradara Hanny R Saputra untuk menggarap film berbasis novel karya Oka Aurora. Semangat film ini untuk memberi contoh kepada anak, bagaimana menyerap nilai kebersamaan, kedisiplinan, juga semangat pantang menyerah. Melalui novel dan film layar lebar 12 Menit Untuk Selamanya, anak-anak hingga orangtua bisa menyelami pengalaman grup marching band asal Bontang, Ka-

limantan Timur, dalam mencapai impian melalui kerja sama tim yang solid, juga perjuangan individual yang memberikan banyak pesan positif. Novel dan film ini tak muncul bersamaan, namun berangkat dari impian yang sama dan membawa pesan seirama. Film 12 Menit untuk Selamanya rencananya tayang di bioskop Januari 2014. Sementara untuk novelnya dengan judul 12 Menit yang sudah terbit sejak Juni 2013. Regina menambahkan, “Film dan novel berjudul 12 Menit ini ingin memberikan inspirasi ke anak muda, bahwa dalam 12 menit jika kita bisa berbuat

sesuatu dari hati akan terbawa selamanya. Lakukan yang terbaik dalam 12 menit dalam hidup, seperti para pemain marching band yang berjuang dalam latihan untuk tampil maksimal dalam 12 menit dalam pertunjukkan atau perlombaan.” Lisa Ayodhia, Ketua Yayasan Grand Prix Marching Band mengatakan, setiap grup marching band hanya boleh tampil 10-12 menit, tidak boleh lebih. Dengan latihan berbulan-bulan bahkan tahunan, pertunjukkan marching band hanya berlangsung maksimal 12 menit. Ini mengajarkan banyak hal kepada pemain marching band, terutama kedisiplinan. (kf1)

TAKE 4 EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

Arswendo Atmowiloto

Kita belum punya aturan segmentasi PRAOGRAM share merupakan tabiat televisi. “Maka, ketika disepakati, dan sharing-nya masuk, jadilah,” kata pengamat pertelevisian, Arswendo Atmowiloto kepada Tabloid Kabar Film awal Januari lalu di Pusat Perfilman H Usmar Ismail, Jakarta. Menurut Arswendo, pola yang sama terjadi di Amerika. Misalnya ketika sebuah serial kepolisian atau serial dokter diminati, semuanya ikutan. Jadi, menurut dia tidak ada masalah sebenarnya jika masyarakat tahu tentang itu. Cuma menurut dia, yang tidak jelas di dunia pertelevisian Indonesia adalah menentukan segmentasi penonton. “Di sini belum ada aturan segmentasi, misalnya ini untuk penonton yang mana sih sebetulnya tayangan seperti ini? Nah, di sini mereka main hajar saja,” kata Arswendo. Akibatnya, untuk menentukan angka tertingginya diperoleh dari jumlah penonton terbanyak, bukan dilihat dari ini klasifikasinya apa. Lanjut Arswendo, di tivi ada istilah dragging atau mencabut dan mendramatisir sesuatu. “Kasarnya kalau adegan orang jatuh, ya.. jatuh ke tempat becek, di sana ada ularnya, dia tak bisa berdiri. Ya seperti gitu-gitu. Inilah yang kemudian dikembangkan lebih. Reality show sebenarnya pernah seperti itu, tapi hanya menjadi bagian dari reality tv. Padahal, reality di tivi bukan hanya itu, yang hanya mengambil sebagian dari itu,” jelasnya. Soal keberadaan KPI, Arswendo mengakui perannya belum optimal. “Mereka (KPI) tidak bisa lebih selain mengimbau. Sebab, di sini secara Undang Undang tidak bisa membuat KPI lebih dari itu. Dan, lemahnya KPI adalah tidak punya data yang benar yang menjadi pegangan,” katanya. Data yang dimaksud Arswendo adalah, misalnya KPI bilang acara ini keterlaluan, joget ini keterlaluan. Tapi, ketika itu dia tidak punya dasar, seperti apa joget yang tidak keterlaluan? Jadi begitu ada desakan dari masyarakat, baru dia bergerak. Lantas kemana masyarakat bisa mengadukan, menghentikan tayangan yang dianggap meresahkan? “Sekarang ini yang paling efektif adalah media sosial, media cetak dan juga televisi. Selain itu, kecil kemungkinannya mau mengadu kemana coba?” Beda dengan Federal Commision Menurut Arswendo, KPI fungsinya hanya memberi laporan dan tidak bisa melakukan action. Kebijakan ini berbeda dengan Federal Commision di Amerika yang bisa mencabut izin siaran. “Bukan izin program lagi tapi izin siaran. Dan, di Amerika baru sekali terjadi pencabutan izin siaran karena persoalan rasisme,” ungkapnya. Oleh karena keterbatasan kebijakan KPI, maka tidak ada solusi untuk masyarakat yang mengeluh dalam pengertian itu tadi. Tarik ulurnya adalah dengan media. Kalau sekarang penyuaranya adalah media. Lewat surat pembaca di mediamedia tertentu cukup efektif dan didengar. “Paling tidak diomonginlah. Kasus Bukan Empat Mata yang sebelumnya Empat Mata, misalnya. Sebelumnya KPI melarang, lalu diganti Bukan Empat Mata sudah selesai. Jadi, itu benar-benar ngeledek. Dan ngeledeknya 100 persen,” kata Arswendo. Atas kondisi ini, Arswendo masygul jika masyarakat bisa melakukan class action. Pasalnya, siapa yang mau dituding? “Kita tidak tahu siapa penanggungjawab acaranya, sebab di dalam sebuah program ada penanggugjawabnya dari pimpinan sampai bawah. Dari drama, news, dan lain-lain. Misalnya untuk Redaksi Sore, dari Ishadi sampai bawahnya ada. Situasi ini akan berhenti sampai KPI diberi wewenang untuk itu, atau memang sebenarnya KPI punya kewenangan untuk itu?” katanya. (imam/dudut)


ON THE SPOT

TAKE 5 EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

DIA Diah Ekowati Utomo:

Kembali di Film Berkat Facebook Sang Kyai Film Terbaik

BCL tampil di FFI 2013

Reza Rahadian Pemeran Utama Pria Terbaik HABIBI AINUN

Adipati Dolken Pemeran Pendukun Pria Terbaik SANG KYAI

Adinia Wirasti Pemeran Utama Wanita Terbaik LAURA DAN MARSHA

Jajang C Noer Pemeran Pendukung Wanita Terbaik CINTA TAPI BEDA

Rako Priyanto Sutradara Terbaik SANG KYAI

Yudi Datau Pengarah Sinematografi Terbaik 5 CM

FESTIVAL FILM INDONESIA 2013

PUNCAK acara Festival Film Indonesia (FFI) 2013 berlangsung pada Sabtu, 7 Desember 2013 di Semarang. Acara ini menarik perhatian masyarakat kota Semarang dan sekitarnya di Jawa Tengah. FFI sukses mengumumkan pemenang, menyerahkan hadiah dan sedikit hiburan sebagai penutup acara. Di balik itu semua, kegiatan FFI yang menghabiskan anggaran Rp16,5 Miliar dari APBN ini sejatinya mempertegas ‘perpecahan’ antara sineas golongan tua dan muda. FFI 2013 bahkan sempat ricuh diwarnai kritik sejumlah wartawan dan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya Seksi Film dan Budaya. Sebagai sebuah event yang diharapkan bertaraf nasional, pelaksanaan FFI 2013 masih berkutat pada pola yang sama dari tahun sebelumnya; sebatas seremoni demi menyenangkan kepentingan regional, pemerintah setempat. Seluruh rangkaian acara penyerahan Piala Citra FFI 2013 ditayangkan di satu stasiun tivi swasta ini, tidak mungkin seluruh penonton Indonesia menyaksikannya. Inilah Festival Film Indonesia yang konon adalah milik seluruh insan perfilman Indonesia. (kf1/foto-foto: dudut suhendra putra)

GENERASI era 80-an pasti ingat dengan serial Aku Cinta Indonesia (ACI). Kisah drama remaja siswa sekolah lanjutan pertama. Salah satu tokohnya adalah Cici yang diperankan oleh Diah Ekowati Utomo. Kemana saja selama ini? “Disadari atau tidak. Itu pertanyaan sudah 28 tahun,” tutur Diah yang kini kembali tampil di depan kamera dalam film Kau dan Aku Cinta Indonesia di bawah arahan sutradara Dirmawan Hatta. Ditemui di bioskop Hollywood KC 21, Senin (13/1), Diah mengaku selama ini dirinya masih berada di seputar dunia panggung. “Saya kan nyanyi sekarang. Kalau akting baru mulai lagi,” selorohnya kalem. Wanita kelahiran 11 Januari 1971 ini mengapa jika selama ini tarik suara bersama bandnya dan kerap tampil di TVRI. Pengalaman Diah ikut di film ini sungguh unik. “Saya dikontak produser lewat pesan di Facebook tentang proyek film ini,” paparnya serius. Awalnya dia cuek mengingat banyaknya peristiwa aneh-aneh berawal dari media sosial ini. Setelah diyakinkan berkali-kali akhirnya Diah luluh juga. Perannya di sini tetap sebagai Cici, sama seperti dalam serial ACI di TVRI. Diah menjadi ibu dari Cahaya (diperankan oleh Zulva Maharani Putri), salah satu dari lima pemeran utama anak-anak yang muncul dalam film ini. Bagaimana berakting di bawah arahan Hatta? “Wah, mas Hatta keren. Dia tak pernah marah. Saat workshop dia bisa memberikan penekanan. Kalau ini begini… Pas syuting juga luar biasa banget. Pemain lain bisa bekerja dengan professional.” (bobby)


ZOOM

TAKE 6 EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

Mubes pembentukan BPI 15-17 Januar

Slamet Rahardjo: Kami yang tah bagaimana ngurus film, bukan y Para anggota pengurus asosiasi dan organisasi perfilman berfoto bersama pejabat kementerian Parekraf dan Kemendikbud sebelum Mubes pembentukan BPI dimulai. Foto: Dudut Suhendra Putra.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Marie Elka Pangestu dan Wakil Menteri Kebudayaan Wiendu Nuryanti membuka secara resmi Mubes pembetukan Badan Perfilman Indonesia di Hotel Borobudur Jakarta, Rabu, 15 Januari 2014. Foto: Dudut Suhendra Putra.

SETELAH Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) tidak diperpanjang oleh pemerintah pada tahun 2009, tak ada wadah komprehensif bagi masyarakat perfilman nasional untuk menyatukan visi dan gagasan. Wacana pembentukan pengganti BP2N bernama Badan Perfilman Indonesia (BPI) pun bergulir. Di awal 2014 inilah mulai terbentuk embrio rumah baru bagi masyarakat perfilman nasional tersebut. Hampir seluruh organisasi mewakili berbagai profesi dan asosiasi perfilman hadir di acara Musyawarah Besar (Mubes) pembentukan Badan Perfilman Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta. Mubes yang akan berlangsung selama tiga hari (15-17 Januari) difasilitasi dan dihadiri pejabat Kementerian


ZOOM

TAKE 7 EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

Tokoh perfilman Slamet Rahardjo (tengah) didampingi Menparekraf Marie Elka Pangestu dan Wamendikbud Wiendu Nuryanti, saat memeberika keterangan keapada wartawan sebelum Mubes digelar. Foto: Dudut Suhendra Putra.

ri 2014

hu yang lain Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf ) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang sama-sama mendapat mandat mengurusi perfilman. Ketua Panitia Pelaksana (Panpel) Mubes BPI, Indrayanto Kurniawan dalam sambutannya mengatakan, proses terbentuknya BPI menghabiskan waktu selama 12 bulan. “Sejak awal 2013, saya dan teman-teman insan perfilman telah menyatukan visi dan misi untuk membentuk BPI. Hingga akhirnya terjadilah Musyawarah Besar Pembentukan BPI ini”, terang Indrayanto Kurniawan, di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (15/1/2014). Lebih lanjut, Indrayanto mengemukakan, Mubes BPI ini merupakan lanjutan dari Focus Group Discussion (FGD)

yang telah digelar pada 21-27 November 2013. Diskusi tersebut dihadiri berbagai perwakilan organisasi perfilman yang menghasilkan sebuah rumusan tentang status hukum, AD/ART, pembiayaan dan rencana kerja. “Rumusan itulah yang kembali kita bahas dan diputuskan dalam Musyawarah Besar Perfilman Indonesia ini,” ungkap Indrayanto mantap. “Ada empat agenda dibahas dalam Mubes BPI, yakni status hukum BPI, anggaran dasar BPI, anggaran rumah tangga BPI dan pemilihan pengurus BPI, “ Indrayanto menambahkan. Kebersamaan Tokoh perfilman Indonesia, Slamet Rahardjo Djarot yang merupakan mantan Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) dalam sambu-

tannya berharap BPI menjadi awal kemerdekaan insan perfilman di Indonesia. “Yang tahu bagaimana ngurus film ya kami, insan perfilman, bukan yang lain. Saya sampaikan khusus pada ibuibu menteri bahwa kami insan perfilman punya potensi,” kata Slamet. Menurut Slamet, tanpa institusi saja, prestasi insan perfilman Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, bahkan menjadi tamu terhormat di luar negeri. Hal ini terbukti pada era keemasan film Indonesia dekade tahun 80-an. “Apalagi nanti kalau kita punya institusi seperti BPI yang akan kita bentuk ini. Nah, hari ini dengan Mubes BPI ini, kita harapkan menjadi penemuan kembali kebersamaan kita, spirit kita “ ucap Slamet penuh semangat. Harapan Sementara itu, dalam sambutannya Menparekraf Mari Elka Pangestu mengharapkan BPI dapat membantu

pemerintah dalam meningkatkan berbagai kualitas dan program perfilman. “BPI akan membantu tugas kita mencapai visi kita bersama, meningkatkan berbagai kualitas dan program perfilman di Indonesia,” tutur Mari Elka Pangestu. Mari Elka Pangestu juga mengatakan, “Perfilman Indonesia dahsyat dalam arti kini kita sudah mulai bisa bersamasama mendukung perfilman tanah air, kalau hanya bergerak sendiri-sendiri saja tidak dahsyat, tapi karena sekarang sudah ada organisasinya (BPI), jadinya dahsyat. Melalui BPI, pemerintah dapat memfasilitasi film-film Indonesia yang bermutu tinggi.” Sedangkan, Wamendikbud Wiendu Nuryanti, berharap BPI dapat menjadi mitra strategis pemerintah. “BPI kita harapkan bisa menjadi mitra strategis pemerintah yang lincah, lentur, dan bisa bergerak cepat,” ucap Wiendu Nuryanti penuh harap. Keberadaan BPI merupakan amanat dari UU Perfilman No.33 Tahun 2009, yang

menyatakan bahwa peran serta masyarakat sebagai pemangku kepentingan perfilman dalam memajukan per­ filman Indonesia sangat dibutuhkan. BPI memiliki tugas dan fungsi, yakni menyelenggarakan festival di dalam negeri, mengikuti festival film di luar negeri, mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film asing serta memberikan masukan untuk kemajuan perfilman. Selain itu, BPI juga memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan penelitian dan pengembangan perfilman, memberikan penghargaan dan memfasilitasi pendanaan pembuatan film tertentu yang bermutu tinggi. Sampai berita ini diturun­ kan di hari pertma, kegiatan Mubes masih berlangsung. Hadir da­lam Mubes sejumlah ketua organisasi dari Sadtunggal, dan seluruh ketua dan anggota 9 organisasi baru yang tergabung dalam Indonesia Movie Pictures Association (IMPASS). (imam/kf)

Terpilih, 9 Pengurus BPI 2014-2017 9 Nama terpilih menjadi Anggota Pengurus Badan Perfilman Indonesia hasil Mubes pertama yang berakhir Jum’at, 17 Januari 2014 Pkl. 24.00 WIB, di Hotel Balairung Matraman Jakarta. Mereka adalah: 1. Gatot Brajamusti (PARFI) 2. Edwin Nasir (Asosiasi Produser Film Indonesia) 3. Kemala Atmojo (Ikatan Alumni Film dan Televisi IKJ) 4. Alex Komang - Ketua (Rumah Aktor Indonesia) 5. Embie C. Noer (Kedai Film Nusantara) 6. Robby R. Tanto S (Penulis Indonesia Untuk Layar Lebar/PILAR) 7. Anggi Friska (Sinematografer Indonesia) 8. Rully Sofyan (Asosiasi Industri Rekaman Video Indonesia/ASIREVI) 9. Gerzon R. Ayawaila (Komunikatif ) Selanjutnya pengurus memilih Alex Komang sebagai Ketua BPI. (Dudut SP/Bobby)


PARIWISATA

BERISTIRAHAT di Legian Village Hotel menjadi sangat mengasyikkan. Ruang gerak untuk melancong ke sejumlah kawasan wisata di Bali menjadi lebih mudah. Keluar dari pintu gerbang hotel yang dilengkapi kolam renang ini, kita sudah langsung disambut ‘kampung bule’. Ini adalah kawasan para turis bule hilir-mudik, dari atau akan ke pantai, berbelanja, dan menghabiskan waktu di tengah keramaian khas street market. “Untuk merayakan hari Australia, untuk pemesanan baru dari sekarang, untuk menginap minimal 3 malam untuk periode menginap: 23-30 Januari akan mendapatkan GRATIS ember (4pcs) bir Bintang pada saat

kedatangan “ Letak hotel yang terintegrasi dengan pasar para pelancong dari luar negeri ini, membuatnya sangat favorit. Bukan hanya karena praktis untuk kemana-mana, tapi yang lebih penting fasilitasnya lengkap dengan harga terjangkau. Mulai dari layanan binatu, money changer, restoran dan bar, kolam renang , salon kecantikan hingga free Wifi . Selebihnya, ada toko, supermarket, pusat hiburan, bank dan lain-lainnya yang dapat diakses dengan berjalan kaki. Legian Village Hotel terletak di jantung kota Legian. Dapat ditempuh 15 menit dar Bandara Internasional Ngurah Rai dan setengah jam perjalanan ke Denpasar. Di sinilah, budaya barat bertemu dengan budaya lokal dalam harmoni . Legian merupakan bagian dari distrik Kuta, salah satu tujuan turis paling terkenal. Kalau mau bermain-main di pantai, cukup jalan kaki sejauh 200 meter sudah sampai bibir pantai. Legian Village Hotel dibagi menjadi dua bangunan. Di sisi utara adalah JONI 1, dilengkapi sebuah kolam Kolam Renang , restaurant, salon kecantikan dan spa. Sedangkan di sebelah Selatan adalah JONI 2 juga dilengkapi sebuah kolam renang. “Kami membuat konsep hotel ini untuk supaya penghuni atau tamu merasa seperti di rumah sendiri. Tidak sungkan,” kata Agung Sujana, Manajer Legian Village Hotel, yang selalu merasa para tamu adalah teman-teman sendiri. (kf1)

TAKE 8 EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014


GALA PREMIERE SYNOPSIS

SAYAP KECIL GARUDA Written by Melia ‘Mex’ Artophoria Adenin Adlan Aditya Guma

Pulung, remaja kelas 2 SMP – sulit sekali untuk bisa menghapal Pancasila dan makna lambangnya. Aneh memang, ia memang memiliki daya ingat yang lemah, waktu SD pernah tidak naik kelas dan ketika kelas 1 SMP juga tidak naik kelas. Namun demikian Pulung anak yang baik, sepulang sekolah, sebelum mengaji di surau, ia rajin membantu kakeknya, yang dia panggil Abah - untuk mengumpulkan beras perelek, yaitu sebuah budaya yang turun temurun di kampung mereka. Warga kampung mensedekahkan 1 kaleng susu beras yang mereka letakkan di depan rumah. Beras-beras itu mereka kumpulkan seminggu 3 kali lalu diserahkan ke Pak RT untuk kemudian dijual murah ke warga kampung yang tidak mampu. Uang hasil penjualan beras dipinjamkan ke warga kampung yang tidak mampu untuk keperluan modal usaha atau keperluan lainnya. Sikap Pulung yang tanpa pamrih, penolong, sholeh dan mudah bergaul membuat ia dicalonkan jadi ketua Osis bersaing dengan Asih dan Fandi, murid yang pintar dan diunggulkan di sekolah mereka. Suatu hari Ibunya Pulung yang selama 8 tahun bekerja diluar negeri pulang. Ia mengajak Abah dan Pulung pindah ke Jakarta. Abah menolak, demikian juga Pulung, karena semenjak ayahnya meninggal dan Ibunya pergi tanpa kabar, Abah

yang mengasuh dan membesarkan Pulung. W a l a u daya hapalnya lemah, ternyata Pulung sangat kuat dibidang vi­ sual, ia pintar menggambar, apa­ lagi setelah diajari oleh Pak Zul, warga yang baru pindah ke kampung Pulung, sehingga Pulung dapat menjuarai lomba gambar antar siswa se Cianjur. Pulung mendapat Piala dan sepeda dari menang lomba gambar tersebut. Yang mengharukan, piala tersebut diberikan Pulung ke Maman, anaknya Pak Zul yang juga suka menggambar tetapi matanya buta karena penyakit panas yang pernah dideritanya. Sementara sepeda akan ia gunakan untuk mengumpulkan beras perelek menggantikan sepeda Abah yang sudah reot. Bagaimanakah kisah selanjutnya ? Apakah Pulung berhasil menjadi ketua Osis ? Saksikan film yang penuh dengan pesan mo­ ral dan edukasi yang baik untuk tontonan anak & remaja. ***

TAKE 9 EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014


GALA PREMIERE

TAKE 10 EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

Skenario ‘Sayap Kecil Garuda’ pemenang lomba FILM Sayap Kecil Garuda (KSG) merupakan joint production antara Aditya Gumay dan Gatot Brajamusti serta fasilitasi dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Maka terjadi pembagian tugas dan peran untuk film yang skenarionya merupakan 10 besar pemenang Lomba Penulisan Skenario Film tema anak dan perjuangan, yang digelar Kemenbudpar (sebelum jadi Kemenparekraf ) tahun 2011. Aditya Gumay, sutradara merangkap produser film ini mengungkapkan, pilihannya pada skenario yang ditulis Melia Arthoporia, karena kesederhanaan pesan yang disampaikan; tentang kondisi masyarakat yang ambigu atas masalah nasionalisme. “Pengakuan diri serta hapalan kita pada teks dan lambang Pancasila, sering tak teraplikasi dalam tindakan. Hal-hal kecil seperti ini kerap terjadi, sehingga kita lupa bagaimana cara memperbaikinya. Sayap Kecil Garuda mengangkat kisah sederhana tapi bermakna mendalam ,” ujar Aditya. Alasan lain memilih skenario ini, dikatakan Adit. “Saya adalah juri awal ketika menerima lebih dari 400 skenario yang masuk ke panitia lomba. Saat masuk ke-10 besar dinilai oleh juri yang lainnya. Tapi, saya tertarik sejak awal membacanya. Ini pasti bagus dan cocok untuk pengembangan jiwa anak-anak,” jelas Adit, yang sebelumnya menggarap film Ummi Aminah (2012). Untuk produksi film yang syutingnya di kawasan PuncakJawa Barat ini, Kemenparekraf memberi fasilitasi (dukungan) pembiayaan sebesar Rp500 Juta. Sementara Aditya Gumay dan Gatot Brajamusti masing-masing sharing sesuai kebutuhan produksi film. Film-film Aditya Gumay umumnya mengangkat tema anak-anak, atau hubungan antara anak dan orangtua (ibu). Sebut saja Rumah Tanpa Jendela, Lenong Bocah The Movie (2004), Emak Ingin Naik Haji (2009), dan Ummi Aminah (2012). Pendiri sekaligus pemilik PT Smaradhana Pro ini memang tekun pada pilihannya tersebut. “Film saya termasuk Sayap Kecil Garuda mungkin tidak sebanding dengan film-film yang dibuat orang lain, yang dari segi biaya menghabiskan belasan atau puluhan miliar. Tetapi, akses film saya jauh lebih besar dari film-film itu untuk sampai kepada target penonton,” jelasnya. Secara umum film ini ditargetkan untuk penonton dari kalangan keluarga, anak dan orangtua. “Karena film ini selain menghibur juga menanamkan pengalaman batin tentang kesetiakawanan, kejujuran, dan perjuangan memperbaiki diri seorang anak,” lanjutnya. Yang paling utama dari sebuah film adalah pesan yang akan terserap. “Film ini memberikan sentuhan pada jiwa anak-anak, memberikan nilai-nilai pendidikan kebangsaan,” ujarnya. Untuk melebarkan akses penonton, Smaradhana Pro bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan mengadakan roadshow dan nonton bersama di sekolah-sekolah di beberapa daerah di Indonesia. “Jumlah sekolah di Indonesia ada ratusan, dan ini target kita di acara nonton bareng nanti. Alhamdulillah, rencana ini mendapat respons Dirjen Kemendikbud Pak Kacung Marijan, yang juga berencana membuka studio kecil di sekolah-sekolah yang sudah kami listing,” katanya. (imam/kf)

Pengakuan diri serta hapalan kita pada teks dan lambang Pancasila, sering tak teraplikasi dalam tindakan. Hal-hal kecil seperti ini kerap terjadi, sehingga kita lupa bagaimana cara memperbaikinya Aditya Gumay. Foto: Kpl.com


GALA PREMIERE

TAKE 11 EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

BABY MAMESA

Pengalaman baru SALAH satu pemain di film Sayap Kecil Garuda, Baby Mamesa senang mendapat peran sebagai Asih. Remaja kelahiran Jakarta 15 Oktober 1977 ini masih duduk di bangku SMU kelas 10 di Tangerag Selatan. Dia pernah menjadi Duta Anti Narkoba. Tentang perannya di film ini, Baby mengatakan mendapat peran sebagai anak yang baik dan perhatian pada Pulung, yang kerap di-bully teman-teman lainnya di sekolah. “Peranku sebagai Asih, temannya Pulung yang selalu perhatian karena sering dia dibully. Tapi sebenarnya apapun

perannya, aku sangat senang bisa ikut main di film ini. Ini menambah pengalaman baru buatku,” kata Baby yang mengaku pernah bermain film sebelumnya. Remaja yang punya cita-cita menjadi psikolog anak dari Herry Syukri ini punya penilaian sendiri tentang film SKG. “Film ini sangat bagus, karena banyak pesan moral yang bagus di dalamnya,” katanya. Di film ini, ia berteman dengan Pulung (Rizky Black) yang tidak hapal teks dan lambang Pancasila. “Mungkin ada juga orang yang tidak hapal Pancasila, tapi teman-temanku di sekolah pada hapal semuanya,” kata Baby. (kf)

AALIYAH MASSAID

PUTRI almarhum aktor Adjie Massaid dari pernikahan dengan penyanyi Reza Arthamevia ini akhirnya mengikuti jejak kedua orangtuanya menjadi pemain film. Debut pertama film yang dibintangi Aaliyah Anniza Zeffar berjudul Sayap Kecil Garuda (SKG). “Ini film pertamaku kebetulan juga main bareng mama,” kata Aaliyah, yang memerankan karakter Ida. “Mama juga yang sering mengajari aku berakting. Pokoknya senang dan asik deh,” kata Aaliyah yang saat ini terdaftar sebagai siswi

Ikuti jejak orangtua

kelas 6 di High Scoope Indonesia. Dalam film ini, remaja yang dilahirkan di Jakarta pada 8 Maret 2002 ini memerankan karakter sebagai anak desa yang baik dan setia kawan. Di sela kegiatan sekolah, Aaliyah juga mengikuti berbagai kegiatan kesenian dan hoby. Bahkan sempat pula dia meraih predikat sebagai Girl Band Lolypop. Tentang keseriusannya bermain film, Aaliyah bilang, “Tergantung sama mama saja,” ujar Aaliyah yang bercita-cita menjadi orang sukses dalam segala hal. (kf)

DIZZA REFENGGA

Tertantang peran antagonis

PEMERAN Fandi di film Sayap Kecil Garuda ini satu-sa­ tunya yang mendapat peran berbeda, dibanding keempat lawan mainnya. Ya, Dizza Refangga kelahiran 14 Desember 1998 ini dipercaya memerankan karakter antagonis. “Peranku cukup menantang. Soalnya aku jadi anak yang sok jago, egois, dan sombong juga iri sama Pulung,” kata Dizza, putra pasangan Mack Prabu dan Rissa Mona. Remaja berpostur relatif besar dari remaja seusianya ini mengaku ilmu akting ia dapatkan dari orangtuanya, terutama

sang ayah, yang juga pemain film dan sinetron. “Banyak ilmu yang aku dapat dari papa. Begitu juga di saat syuting film ini, papa memberikan support supaya aku bisa memerankan tokoh antagonis se­ perti Fandi,” ungkap pelajar kelas 9 SMPN 74 Jakarta ini. Beberapa kali ikut main film, namun ia terkesan dengan film kali ini. “Film ini bisa dibilang terpuji, karena membawa pesan tentang meningkatkan rasa Nasionalisme, jadi kita bisa tau makna pancasila itu apa,” kata peraih prediukat Aktor Terbaik Festival Teater Anak 2008, serta Juara I Lomba Nyanyi PEGADAIAN. (kf)

RIZKY BLACK

Memberi inspirasi

WAJAH dan ekspresinya berakting di sejumlah acara televise cukup menarik perhatian. Remaja berkulit gelap bernama asli Rizky Ardianto ini pun didapuk memerankan tokoh utama di film Sayap Kecil Garuda. Bicara tentang perannya di film ini, remaja asal Ngawi yang populer disapa Rizky Black ini merasakannya sebagai pengalaman. “Saya masih belajar dan terus belajar mengasah kemampuan akting, jadi terimakasih sudah dipercaya memerankan tokoh utama film ini,” katanya. Meski berkulit gelap dan sering menjadi olok-olok, hal itu sudah bukan lagi halangan bagi Rizky berkiprah di dunia film. “Memang kulit saya gelap, tapi hati saya putih bersih,”

gurau Rizky, yang menjadikan ‘olok-olok’ itu sebagai trademark dirinya. Maka, dia pakai nama populer Rizky Black. Terlahir pada 22 Maret 1997 anak dari pasangan Sulami dan Su­ yanto ini mulai menunjukkan sinar kebintangannya. Di film besutan sutradara Aditya Gumay, ia beradu akting dengan aktor seperti Gatot Brajamusti, dan Deddy Mizwar. Di film ini Rizky kini duduk di kelas 2 Home Schooling memerankan tokoh Pulung, pelajar SMP di kampung yang tidak hapal Pancasila. Meski demikian, Pulung dalam kesehariannya sudah mengamalkannya. “Film ini banyak pesan moralnya. Memberi inspirasi supaya anak-anak sekarang lebih mengenal makna pancasila itu sendiri,” kata Rizky yang bercita-cita menjadi aktor dan juga masinis ini. (kf)

ADAM SYACHRIZAL

Seperti Bermain-main

BERBEKAL pengalaman dan prestasi sebagai Juara I Lomba Anang None Cilik tahun 2006, dan Juara 2 Lomba Acting, Adam Syachrizal dapat menyesaikan syuting dimana dia berperan sebagai Dadang di film Kepak Sayap Garuda. “Saya senang dan bersyukur bisa bergabung dengan para pemain di film ini. Rasanya seperti bermain-main saja. Soalnya tempat syutingnya di tempat yang sejuk dan luas

untuk bermain,” kata Adam, tentang proses syuting film di kawasan Puncak, Jawa Barat. Mengenai perannya di film, Adam mengatakan, “Dadang suka menolong dan dia punya sahabat dekat yaitu Pulung,” kata siswa kelas 9 SMP PGRI 12 Jakarta ini. Remaja kelahiran Jakarta 3 Oktober 1999 anak pasangan Nasroni Hidayat dan Yulianti ini bercita-cita menjadi orang sukses dan membahagiakan orangtuanya. (kf)


KOMUNITAS

TAKE 12 EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

Smaradhana Production

Pengorbit Artis Multi Talenta sarjanaan. Beberapa nama populer seperti: Agnes Monica, Olga Syahputra, Ruben Onsu, Okky Lukman, Indra Bekti, Dude Herlino, Ust. Jeffry Al-Buchori, Rizal Djibran, Faisal, Melissa Grace, Noval Kurnia, Helsy Herlinda, Chika Waode, Lia Waode, Bertrand Antolin, Ardhana Gumay, dan masih banyak lagi!

NAMA Smaradhana Production telah menjadi suatu icon di ranah hiburan negeri ini. Para pesohor kondang industri televisi tidak sedikit diantaranya, merupakan jebolan Sanggar Ananda dan Teater Kawula Muda yang diadakan oleh Smaradhana Production. Melalui dua wadah kegiatan belajar (akting, tari, presenter dan modeling) tersebut, Aditya Gumay selaku pendiri dan pemilik PT Smaradhana Production mengadakan berbagai kegiatan sejak tahun 1988. Aditya Gumay pun identik dengan Sanggar Ananda yang sejak 1989 dikenal lewat berbagai tayangan televisi serial anakanak dan berjaya di era 1990an. Ia pernah mendapat pendidikan tinggi di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta dan menimba ilmu film lewat Kursus Pendidikan Umum (KPU) Sinematografi yang diselenggarakan oleh Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail. Setelah lebih dari 15 tahun malang melintang di dunia broadcast, Aditya memulai debutnya di film sebagai sutradara melalui film Tina Toon & Lenong Bocah the Movie (2004). Di tengah kesibukannya membuat berbagai proyek album musik, dan program televisi, Aditya Gumay melanjutkan kiprahnya sebagai sutradara melalui film Emak Ingin Naik Haji (2009), Rumah Tanpa Jendela (2011), Ummi Aminah (2012), dan yang terbaru Sayap Kecil Garuda (2013). Smaradhana Pro pengalaman membuat dan bekerjasama menyelanggarakan berbagai acara hiburan di TV, Mal, Hotel, Fam-

ily Gathering, Product Launching (Grand and Soft Launching), Pesta Ulang Tahun, sampai manggung di acara sosial. Kami juga mengadakan berbagai kegiatan pendidikan seni peran, musik, tari, presenter/MC hingga fashion show di Sanggar Ananda dan Teater Kawula Muda,. Sejak berdiri hingga saat ini, Sanggar Ananda dan Teater Kawula Muda menjadi sanggar anak-anak yang paling aktif membuat dan mengisi berbagai tayangan televisi, mulai dari iklan-iklan TV dan media cetak sampai sinetron drama, misteri, laga, dan komedi dengan masterpiece-nya Lenong Bocah. Lenong Bocah berprestasi mendapat 6 Piala Vidia di Festival Sinetron Indonesia (FSI) 1994 hingga 1996 dan termasuk tayangan komedi terbaik saat itu. Sanggar Ananda juga membuat acara variety show dan reality show seperti Kring-Kring O La La (TPI), Cuap-Cuap (ANTV), Cerita Anak Dunia (RCTI), Kancil (Indosiar) serta pentas di berbagai panggung pertunjukkan. Dengan latihan seni peran secara rutin, tidak heran jika anggota Sanggar Ananda dan Teater Kawula Muda melahirkan anak-anak dan remaja berbakat yang bermutu kemampuannya. Teater Kawula Muda awalnya teater sekolah. Setelah pendirinya Aditya Gumay lulus dari SMU-nya, ia melanjutkan grup ini dengan mengajak bergabung, remaja-remaja berbakat di bidang seni peran, seni tari, dan puisi. Dengan dukungan anggota bermutu tersebut, tidak heran Teater Kawula Muda pada tahun 1989 menjadi grup ter-

baik se-Jabotabek dan merangkul piala Menpora. Selanjutnya, ribuan anggota yang terhimpun dari tahun ke tahun kini telah berkiprah di dunia broadcast dan entertainment sebagai artis, presenter, model, maupun tenaga kreatif. Teater Kawula Muda membuktikan bakat dan kreativitasnya dalam menciptakan sumber daya manusia di industri hiburan yang sampai saat ini banyak yang telah menjadi entertainer unggul yang menggenggam kemampuan hebat dalam mencari pekerjaan di dunia showbiz yang tak kalah dengan gelar ke-

Formula ‘blue ocean’ Mendirikan teater remaja dan sanggar anak-anak yang bisa bertahan selama 20 tahun dengan aktivitas yang padat tentu memerlukan dedikasi dan konsentrasi yang tak kunjung henti. Semangat saja tidak cukup, perlu kreativitas “blue ocean” program kegiatan yang menarik agar anggota tidak jenuh bergabung dan mengikuti latihan. Berdasarkan pengalaman sekian lama, kami berhasil menemukan “formula” yang merupakan padu padan berbagai materi dasar berbagai pengembangannya di ilmu seni peran, seni suara, tari, dan juga pengetahuan psikologi serta buku-buku populer tentang kreativitas tampil di depan publik atau masyarakat. Maka jangan heran karena “formula” tersebut, dengan sing-

Dengan latihan seni peran secara rutin, tidak heran jika anggota Sanggar Ananda dan Teater Kawula Muda melahirkan anak-anak dan remaja berbakat yang bermutu kemampuannya.

kat anggota yang bergabung di Sanggar Ananda dan Teater Kawula Muda dapat menangkap intisari serta esensi pengetahuan tentang akting dan menerapkannya di panggung dan pentas televisi dengan amat meyakinkan. “Dunia hiburan adalah cermin kehidupan!,” begitulah ujar Alm. Soekarno M. Noer sang bintang film besar Indonesia. Maka layaknya sebuah kehidupan, ia tidak melulu berisi orang-orang cantik dan tampan, karena itulah mereka yang kurang menarik secara penampilan tapi memiliki talenta yang luar biasa, dapat bersaing dan meraih keberhasilan di dunia hiburan, hal ini sudah banyak terbukti. Jadi, Sanggar Ananda & Teater Kawula Muda membuka kesempatan seluas-luasnya bagi mereka -- apa pun penampilannya dan bagaimana pun latar belakang sosialnya -- selama mereka berbakat di bidang seni, mereka adalah aset berharga untuk kami, juga untuk Anda para decision maker di dunia entertainment. Sekarang, kalau Anda memerlukan bakat-bakat hebat yang disiplin dan profesional tidak susah lagi mencarinya, hubungi kami! Hubungi: SMARADHANA Production Kota Wisata, Pesona Amsterdam Blok i-6, No 23, Cibubur 16968 Telp: 021 – 93004299/ 92220505 Fax: 021 849333 102 Email: smaradhana_pro@yahoo.com www.smaradhanapro.com www.sanggarananda.com


TAKE 13

PROFILM

EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

Tya Subiakto Ketua Indonesia Movie Picture Audio Association (IMPAct)

Lembaga seperti kami wajib ada

FILM tak bisa lepas dari unsur tata suara (audio) yang mengantarkan alur cerita. Di sinilah kerja kreator audio visual menjadi sangat penting, demi menciptakan atmosfer film itu sendiri. Untuk mempertegas pentingnya illustrator musik dan tata suara di film, didirikanlah asosiasi bernama Indonesia Movie Picture Audio Association atau IMPact. Deklarasi IMPAct berlangsung di Jakarta awal September 2013, bersama sejumlah asosiasi profesi perfilman lainnya, yang kemudian menamakan diri Indonesian Movie Pictures Association (IMPASS). Untuk mengetahui lebih jauh tentang IMPAct, Tabloid Kabar Film wawancarai Tya Subiakto (34) selaku Ketua IMPAct. Tya Subiakto adalah seorang composer, dirigen, dan penata musik berprestasi. Ia menerima penghargaan Penata Musik Terpuji untuk film Sang Pencerah pada Festival Film Bandung 2011. Tahun 2013 lalu Tya menggarap musik beberapa film, salah satunya Soekarno: Indonesia Merdeka. Wawancara berlangsung di studio sekaligus kediaman Tya Subiakto di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan akhir Desember 2013. Berikut ini adalah petikannya: Apakah IMPAct itu dan seberapa penting kehadirannya? Impact adalah Indonesia Movie Picture Audio Association. Jadi, kami merupakan lembaga atau asosiasi yang mewadahi semua profesi bidang audio di film. Kami memiliki tiga sub yaitu sound recording, post pro audio, dan musik film. Kalau ditanya seberapa pentingnya kehadiran IMPAct, mari kita lihat ilustrasinya. Unsur audio (suara) memiliki peran sangat penting dalam semua film. Audio apapun namanya baik di post production, tata suara dan tata musik. Nah, berdasarkan itu, kami

sepakat membentuk IMPact, dimana kami bicara dalam bahasa audio, sehingga bisa mencapai standard profesionalisme yang sama. Dalam film, audio sangat penting. Karena tanpa audio dalam film, alur cerita tidak akan ada. Namanya juga audio-visual, dan yang lebih dulu kan audionya. Jadi di dunia perfilman, lembaga seperti ini wajib ada. Selanjutnya, siapa dan apa saja target kerja IMPAct? Diharapkan, IMPact menjadi wadah bagi semua pekerja audio film dan musik film. Tentu kita akan mengedukasikan keprofesionalismean kita kepada kelangan produser. Semoga dengan berdirinya IMPact ini kami dapat mencapai standarisasi profesi untuk menambah harum nama bangsa Indonesia. Apakah orang masih melihat keutamaan film dibandingkan audio? Tidak semua orang punya pendapat seperti itu. Malah sekarang semakin banyak yang orang yang menghargai sound recording. Bahkan mereka mempelajarinya sampai ke bagian-bagian dalamnya. Oleh karena itulah Impact hadir untuk memberikan edukasi serta sosialisasi untuk menjelaskan bahwa audio ini penting. Siapa saja yang akan mendapat edukasi ini dari IMPAct? Sebenarnya yang menjadi sasaran edukasi kami lebih kepada klien, pengguna film seperti bioskop. Edukasi ini juga lebih kepada soal standarisasi di bidang audio, karena selama ini end result kita memang harus standard. Setidaknya, standard dengan film-film luar. Selain itu, ternyata banyak yang ingin belajar membuat music scorring, dubbing, dan lain-lain. Nah, IMPAct hadir untuk menjawab pertanyaan mereka, sekaligus memberi

arahan. Tetapi, secara internal kita juga mengedukasi ke dalam. Sehingga nantinya, kita menjadi sebuah komunitas yang sangat luas. Berapa banyak anggota saat ini? Anggota IMPAct cukup massif. Untuk saat ini saja ada 51 orang. Kami terbuka dan sambil memberi kesempatan kepada anggota-anggota baru yang muda-muda untuk bergabung. Mereka adalah para profesional, yang karyanya terdapat di film yang tayang di bioskop. Apa manfaat menjadi anggota IMPAct? Keuntungan menjadi anggota IMPAct, pertama sudah pasti kita akan mempunyai suara ke pemerintah. Karena kami bersama induk organisasi Indonesia Movie Pictures Association ingin memberikan kontribusi, menyuarakan aspirasi ke pemerintah. Kedua, antaranggota dapat berbagi ilmu. Saling share. Sebab pada suatu saat nanti, dan ini menjadi bagian program IMPAct adalah memungkinkannya supplier-suplier kita memberi diskon. Yang ketiga, soal edukasi tadi yakni mendatangkan musisi dan praktisi luar untuk memberikan workshop. Sistem audio di film kita apakah sudah memenuhi standard? Secara umum sebenarnya sudah cukup baik. Hanya saja kita memang perlu introspeksi diri untuk meningkatkan standard. Jangankan Impact, secara pribadi saya pun merasakan dalam suatu titik, saya harus introspeksi atas karya saya. Apakah sudah cukup untuk meng-enhance dalam film, unsur dramatik konten di dalamnya. Dan jangan lupa kita harus melihat tren juga. Misalnya, tahun depan (2014) selera penonton kemana sih? Jadi, harus pahami juga target market, karena hal itu yang akan juga mempengaruhi

Tya Subiakto. Foto: Dudut Suhendra Putra

treatment kita terutama treatment audio. Seperti apa tren tahun 2014? Mostly, sepertinya masih akan banyak model minimalis juga meski kita juga tidak tahu Hollywood akan buat seperti apa. Apakah pola membiarkan alur visual, kemudian membiarkan alur audio-nya pelan-pelan jalan. Soal standar teknis juga sekarang sudah keluar perangkat

standar Pro Tools HD11 yang mungkin akan berkembang lagi. Belum lagi sekarang Steinberg mengeluarkan Cubase 7, Windows sudah keluarkan serie 6. Nah, yang seperti ini kita harus paham. Untuk aplikasi sehari-hari, umumnya pakai apa? Sebenarnya tergantung masing-masing mau pakai mana. Tapi rata-rata kita pakai Pro Tools HD11. (imam/kf1)


DIA

TAKE 14 EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

Wakil Menteri Parekraf Dr Sapta Nirwandar, SE

Soal festival, Indonesia bisa seperti Perancis dan Italia INDONESIA punya potensi seperti Italia dan Perancis dalam hal festival. Ragam kebudayaan Indonesia adalah bahan bakunya. Kelemahan kita adalah soal packaging, promosi, dan PR-ing (kehumasan). Demikian dikatakan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf ) DR Sapta Nirwandar SE, dalam perbincangan khusus dengan Tabloid Kabar Film di ruang kerjanya, Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Senin (13/01/2014). Pengalaman di Perancis saat kuliah membuat Sapta Nirwandar cukup mengerti ‘adat’ pesta di kedua negara. “Sepanjang tahun, setiap kota punya festival yang dikunjungi turis. Kalau Indonesia mau, tentu bisa,” katanya. Sapta Nirwandar berbicara lancar dan panjang soal festival. Mulai dari festival adat, film, sampai jazz. Birokrat yang dikenal punya jiwa wirasusaha ini juga serius menanggapi soal Badan Perfilman Indonesia (BPI), Festival Film Indonesia, dan gagasannya menginternasionalkan film Indonesia lewat Bali International Film Festival. “Film Perancis cende­ rung melankolis tapi industri filmnya kuat meski digempur Hollywood. Itu

karena mereka punya sistem yang bagus dengan dukungan keuangan terkait dengan perbankan,” ungkapnya. Berikut ini wawancara Teguh Imam Suryadi, Bobby Batara, dan fotografer Dudut Suhendra Putra dengan Ketua Ikatan Alumni Unpad 2012-2016 yang baru menerima penghargaan Tokoh Penggerak Kebudayaan Ramah Budaya dari seluruh keraton nusantara: Urusan film sebenarnya ditangani siapa? Berdasarkan UU Perfilman yang dibuat oleh kita (Kemenparekraf ), instansi yang urus film adalah yang punya portfolio kebudayaan. Kebudayaan itu artinya luas. Kan tidak disebut Dikbud. Tapi secara de facto ya, Dikbud. Tetapi juga, bagian dari film bisa dilihat dari sisi yang lebih komprehensif. Artinya bisa ditangani Ko­ m­info juga? Bisa. Kalau dari sisi akarnya, kebudayaan yang diekspresikan dalam film, iya benar ada

di sana (Dikbud). Tapi kalau sudah masuk industr, kan sudah sangat luas. Cuma hal itu untuk lebih memudahkan. Kalau kita mau lebih obyektif, ‘Bud’ itu dengan ‘Dik’ masih sodara lama. Pendidikan sangat erat dengan kebudayaan. Kebudayaan juga bagian yang diekspresikan dalam pendidikan. Pendidikan juga harus mengandung nilainilai budaya bangsa.

gala macam promosi, PR-ing. Tapi juga mengefisienkan dan memudahkan, bisa dibuat rambu-rambunya, bisa dibuat bersama. Misalnya bisa dibuat studio Indonesia, artisnya dari Indonesia tak perlu pakai artis luar. Ini salah satu policy. Terus conecting dengan bioskop bagaimana? Kalau dia bikin tapi tidak nyambung dengan bioskop bagaimana?

Bukankah ada MoU antara Parekraf dan Dikbud soal kewenangan itu? Ya. MoU itu dasarnya untuk menselaraskan, agar tidak ada dualism atau dua pekerjaan. Tentunya, yang hulu yang dikerjakan oleh Dikbud atau kita bersama. Untuk yang bentuk festive, seharusnya di satu tempat saja. Tapi, memang sekarang banyak festival. Festival film, budaya, anak-anak, dan lain-lain. Kalau lihat portofolio, yang punya festival dan kewenangan sudah jelas. Semua bisa bikin festival, tapi yang ditugasi oleh negara by law sudah jelas.

Badan Perfilman Indonesia (BPI) akan dibentuk, seperti apa konsepnya? Secara teknis saya belum lihat konsepnya, tapi tentunya kita ingin melaksanakan apa yang diatur dalam UU. Pastinya, kita ingin memfasilitasi tumbuhnya. Seperti dulu ada Badan Pertimbangan Perfilman Nasional yang reprentasi dari para pelaku di bidang perfilman. Di sanalah mereka menggodok untuk membantu pemerintah dalam bentuk policy, masukan. Layaknya sebuah badan sebelum ditandatangani, harus ada uji konsep untuk disampaikan ke stake holder. Pasti ada masukan. Sekarang tidak mungkin sesuatu disimpansimpan karena semua orang akan melihat. Dulu ada Badan Promosi Pariwisata Indonesia sebagai amanat Undang Undang. Kita undang Gabungan Industri Pariwisata Indonesia untuk mendapat masukan. Tidak hanya pakar tetapi juga para stake holder. Tapi ketika harus memuat semua, itu sering jadi masalah. Mesti ada batasan. Kalau nanti lembaganya terlalu banyak orang akan tidak efektif.

Dimana peran pemerintah dalam pertumbuhan festival film? Kita harus memberi policy, koridor misalnya bahwa media film bisa dipakai untuk se-

Perfilman akan lebih baik melalui BPI?

Sebetulnya kalau pengalaman BP2N masih ada kelaskelas yang duduk di situ. Saya sempat ikut menangani waktu itu. Tapi lumayan karena ada partner pemerintah untuk film saat itu, karena pemerintah kan regulator dan fasilitator, tidak bisa langsung buat. Kecuali ada BUMN semacam PFN dulu kan. Maksud saya, itu pen­ tingnya. Tapi juga harus software, knowledge orang-orang yang memberi masukan supaya kita bisa berkompetisi. Dalam UU ketika itu, sayangnya kata-katanya ‘dapat dibentuk badan’. Kata ‘dapat’ itu kan seperti iklan, maybe yes maybe no. Artinya, dengan adanya desakan termasuk dari Anda untuk dibentuk BPI, kan sekarang sudah bergulir lagi. Tinggal nanti rekruitmennya, harus the rightman yang duduk di situ. Jangan juga badan itu nanti jadi perkumpulan asosiasi atau asosiasi baru orang-orang yang tidak berada di film, atau yang kerja di film itu sedikit. Masalahnya sekarang ba­ nyak orang merasa ‘the rightman’.. Maka harus jelas dulu kriterianya dan diketahui secara transparan oleh semua pihak. Kalau kriteria jelas dan diketahui banyak orang, malulah. Taruhlah saya ngaku-ngaku produser film. Orang akan ketawa, kapan saya bikin film? Nah itukan transparan. Kalau Sapta itu promotor seni, orang mungkin oh oke, karena saya sering bikin festival jazz dan lainnya. Nah itu transparansi. Soal kriterianya seperti apa, paling tidak basicnya kalau dia stake holder dia harus mewakili asosiasi atau perusahaan. Mengatasnamakan pribadi boleh, misalnya dia seorang akademisi, guru besar di bidang film. Atau aktor dan aktris yang sudah makan asam-garam di film, itu bisa. Tapi nanti lihat proporsi. Berapa sih yang mewakili stakeholder, dan lainnya, itu bisa diatur. Menurut Anda berapa orang idealnya pengurus BPI? Ada beberapa angka keramat, biasanya angka 8. Tapi orang gak suka angka 8, karena nanti sulit waktu voting jadi 4-4. Bisa angka 7 tapi itu sedikit. Kalau 7 itu rajin, itu


DIA

TAKE 15 EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

bagus. Kalau tidak, maka tidak cukup. Angka berikutnya yang sering orang sebut adalah angkanya Pak Harto, 11. Sebelas ini sedang, tidak terlalu besar tidak terlalu banyak. Tapi, 17 juga banyak dibuat format. Jadi sesuai kebutuhan. Tapi ada reasoningnya juga, kalau 7 yang absen 3 bisa bingung yang 4. Kan, pengurus biasanya tidak full time. Tinggal nanti eksekutive director atau sekretariatnya yang full time. Kan, orang gak mau full time karena digaji berapa? Misalnya si X dari perusahaan besar, kan gak mau nongkrong terus di situ. Pendanaan untuk BPI berapa besar? Tergantung dari nanti ke­ perluannya. Sebagai pemban­ ding, Badan Promosi Pariwisata kita drop Rp23 juta setahun. Tentu dengan program aktivities dan kinerja yang terukur. Duit pemerintah harus ada ki­ nerjanya. Indek kinerja untuk apa, berapa, outputnya bagaimana.. Bagaimana Anda melihat persoalan film Indonesia? Pertama, Kita pernah menghadapi film Indonesia kurang diminati, tapi sekarang mulai berubah. Orang Indonesia mulai menilai film Indonesia bermutu, bagus. Ada Naga Bonar, Sang Pencerah, Laskar Pelangi, Habibie dan Ainun dan lainnya. Ini kemajuan besar karena film disukai orang Indonesia. Kedua, masalah distribusi untuk film bioskop yang harus dipecahkan. Daerah harus punya bioskop. Kita pernah menawarkan apakah pemda bisa membuat bioskop di mal, supaya bisa dinikmati semua orang tanpa harus repot mengumpulkan. Terintegrasi dan lebih murah. Sekarang sudah banyak di kabupaten. Yang berikutnya adalah festival film. Festival film in dari tahun-ke tahun kan masih ‘benjol’ tidak 100 persen akur antara stake holder. Jadi menurut saya, juga harus ada kebersamaan, jadi tidak ada golongan tua golongan muda, sineas elit sineas plural. Seharusnya bersama-sama. Toh, kalau tidak akan ada bioskop­kalau sekarang tidak ada yang tua. Dan yang tua tidak akan terus ada, kalau tidak ada yang muda. Jadi siklus kehidupan seperti ini harus disikapi biasa saja, yang ditanggapi secara antagonis. Mestinya tidak cruel. FFI di Semarang, karena gubernurnya mengerti masyarakat sehingga FFI lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Menurut saya, FFI itu ajang apresiasi sekaligus ruang bagi film nasional untuk bisa berkembang. Meskipun, beberapa yang ma­ sih ada persoalan dalam PR-ing nya. Gaungnya secara pre dan postnya terutama pre eventnya belum terlalu kencang seperti Java Jazz, orang greget ingin nonton. Festival film Indonesia bisa mendatangkan turis? Ya memang ada masalah

terutama dalam manajemen pengorganisasiannya. Dalam pengorganisasian kan bukan cuma penjurian, tapi perlu ada PR-ing, perlu ada promosi, perlu ada rangsangan sehingga orang-orang antusias datang. Meski mereka tidak ada urusannya atau involve langsung terhadap film. Saya baru ketemu beberapa tokoh untuk mendorong Bali International Film. Event lainnya, Balinale Film Festival. Yang akan kita internasionalkan adalah film festivalnya. Pasti Bali punya daya tariknya dan mudah-mudahan tahun ini bisa dimulai. Sehingga ini akan menjadi ajang memperkenalkan film-film Indonesia. Korea saja punya international film. Jangan bandingkan Cannes, Bollywood atau Hollywood. Jadi beberapa hal itu yang akan kita tingkatkan. Seperti apa program 2014? Kombinasinya ada dua. Kita mengangkat musik etnis untuk ditampilkan itu policynya. Kedua, musik modern atau musik yang bisa berkolaborasi dengan etnis seperti jazz. Kita tidak menginisiasi musik dangdut. Itu sudah jalan. Misalnya, kita juga tidak inisiasi rock, dan gambus. Nah musik-musik ini, seperti sasando kemarin kita angkat. Sasando dikenal tapi belum punya kesempatan berkolaborasi. Lalu bamboo blowing dari Ambon, pemainnya horizontal atau masyarakat umum dari agama Kristen, islam, tukang becak, musisi. Ambon juga banyak seniman musiknya. Desember 2013 kemarin kita gelar Sasando di Pulau Rote. Berikutnya setiap tahun, sudah tahun ke-8 kita juga angkat musik bambu dari seluruh nusantara. Belum semua, karena biayanya tidak sedikit dan karena mereka tidak sedikit grupnya. Tahun ini kita main di tempat bambunya di Lampung, Pring Sewu (bambu seribu). Sekaligus

mengembang-

kan pariwisatanya? O tentu. Festival itu multi dimensi. Pertama kita promosikan musiknya, kedua memberikan wadah ekspresi si musisi, ketiga adalah memperkenalkan destinasi. Orang akan bertanya dimana Pulau Rote. Kalau orang yang belum pernah lihat pasti penasaran dan ingin datang ke sana. Itu salah satu. Berikutnya, mungkin orang akan mencatat dan berencana suatu saat akan ke sana. Keempat, yang seringkali orang gak nangkap adalah pendapatan langsung dan menggerakkan ekonomi rakyat. Contoh, kalau kita adakan Toraja International Festival, itu ribuan yang datang. Yang kebagian enak siapa? Tukang bakso, ronde, parker dan segala macam. Kan laku tuh. Malah ada kesempatan mereka naikin harga. Kalau mau ditambah yang kelima, yang senang adalah Pemda karena kalau meriah PAD juga nambah. Contoh ketika saya buat Asean Jazz di Batam. Di depan mall dikasih free venuenya. Dikasih tempat gratis kan orang-orang datang. Masak selama acara orang tidak makan atau minum? Ada yang datang dari dalam dan luar negeri. Malah kita sengaja ulur sampai jam 12 atau jam 1 malam, supaya mereka tidak ingat pulang. Jadi ada tambahan lagi untuk spending. Jadi, festival itu mengge­ rakkan suatu destinasi. Lawannya cuma satu yaitu event olahraga. Misalnya Jazz lawannya olahraga sepakbola. Tapi tetap saja event olahraga. Makanya banyak negara yang mengkombinasikan sport tourism dan culture tourism. Indonesia ini budayanya ratusan bahkan ribuan. Juga destinasi kita banyak. Kita bisa perkenalkan di manca negara. Apalagi kalau itu diintegrasikan menjadi ajang internasional. Kita punya 33 propinsi, kalau satu propinsi bikin satu festival berkaliber internasional berarti ada 33. Kalau 33 ini dibagi

dalam waktu 12 bulan, berarti rata-rata 3 festival setiap bulan. Apa nggak bengep orang datang? Tinggal milih saja semacam alacarte. Ah, saya mau datang di event ini. Saya mau sebulan, atau 3 event. Adakah yang seperti itu? Italia itu setiap kota punya festival ,belum lagi fashion. Di Perancis ada Cannes film. Malah di sebelahnya ada Orange Festival atau festival jeruk, festival teknologi, festival musim dingin, pokoknya macam-macam. Musim dingin mereka tetap adakah festival untuk orang yang suka musim dingin. Walau tidak sebanyak saat musim panas. Ada juga di selatan ada festival Avignon selama bulan Juli, itu digelar festival seni dan tidak perlu daftar. Datang bawa flute, gelar Koran, enjoy saja, ada orang datang kasih duit. Ada juga yang di gedung, teater dan lain-lain. Macam-macam semua berekspresi. Kita bisa seperti itu? Kita punya potensi untuk itu, karena banyak festival di sini. Ada festival Sriwijaya, Krakatau, Jember, Banyuwangi. Tantangannya, di sini harus dikemas dimanage. Bahkan, ada lagi kemarin DKI Jakarta punya acara Festival Keraton, Jakarta Night Festival juga sebelumnya juga ada Marathon. Kita punya banyak keratinkeraton, kerajaan-kerajaan. Jadi festival kita bisa banyak. Itu tadi kalau dihitung propinsi. Kalau dihitung kabupaten ada 500 satu propinsi. Tapi kita bagi dua atau 3. Satu festival yang memang untuk orang situ, kan gak perlu dijual internasional. Kan kita gak semua untuk barang ekspor, karena kita kan perlu makan. Kalau udang semua diekspor, kapan kita makan udangnya? Jadi ada yang untuk orang setempat, sesuai kelayakannya. Kedua yang layak dijual internasional, misalnya festival Asmat, Festival Wamena, Senta-

ni. Yang unik-unik turis datang meskipun itu festival kampong. Kelemahan di kita adalah packaging, penataan, manajemen dan promosi. Yang ketiga adalah kalendernya yang tidak terkonsolidasi. Masing-masing masih tergantung pada kepala daerah. Contoh, misalnya Festival Kenari 14 Februari, saat itu Pak Bupatinya tidak ada karena lagi ke Jakarta atau gubernurnya pergi. Festival diundur atau batal. Ya, oke saja untuk orang setempat. Tapi kalau dijual untuk nasional orang kan kecewa, mau lihat Festival Kenari seperti apa. Kalau mundur 2 jam masih enak, atau 2 hari lumayan. Kalau mundur 2 minggu? Emangnya kita harus nunggu? Kalau ambil contoh festival secara global seperti Rio Dejaneiro, itu tiga tahun kedepan sudah ada tanggal. Misalnya, saya mau ke festival Rio, sekarang sudah ada tanggalnya. Tahun depan sudah ada tanggalnya sehingga kita sudah bisa booking. Mereka kasih early book biasaya 50-60% dari harga biasa. Selebihnya mahal. Apalagi kalau sudah dua hari menjelang acara semakin mahal. Nah, itu sampai kapal-kapal pesiar sudah mengarahkan. Mereka sudah mendekati Rio Dejaneiro. Kebayang deh, saingannya Jember Festival misalnya. Kapal-kapal merapat mau lihat Jember Festival tanggal sekian. Kenapa? Karena tanggalnya pasti, harga dan venuenya pasti. Duduk di tribun, minum, makan, ya seperti pesta. Karena itu memang festive. Semua itu bisa integrated mulai dari hotelnya, acaranya, malamnya, dan sebagainya. Itu tidak bisa sehari, karena orang akan rugi. Musti beberapa hari, minimal 3 hari. Ada yang seminggu. Kita juga ada bulan depan depan nih di Singkawang, Tatung. Ini festival luar biasa. Kemarin kita kasih penghargaan Tatung sebagai Wonderful of the World. Orang-orang sakti. Pasarnya negara Cina. Kalau orang dari Cina nonton, datang 200 ribu orang kita babak belur. Ini hitungan dari 1 miliar jumlah penduduk Cina. Akomodasinya bisa-bisa se-Kalimantan semua. Belum lagi festival di Ambon sport dan tari-tarinya. Tinggal sekarang dikemas policynya. Bagaimana daerah mengemas, waktu acara dan seterusnya, lalu masuk dalam kalender event. Bisa dalam bentuk buku, bisa soft bisa juga dipublikasikan. Adakah program 2013 yang didrop? Tidak didrop tapi diubah jadwalnya sedikit. Kalau yang sudah komited dengan dunia internasional susah. Um­pamanya Tour De Singkarak, itu tidak bisa diubah karena sudah menjadi kalender internasional. Sudah masuk Union Ciclus International jadi tetap Juni. Tapi kalau kita mau merubah dari Juni, kita tak akan dapat pembalap. Karena mereka sudah berhitung untuk datang dan menang, terutama hadianya besar Rp1,3 Miliar. Ini juga saya bidani. **


AGENDA

TAKE 16 EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

Cinema XXI melanjutkan festival film pendek

Anggota dewan juri dan panitia XXI Short Film Festival memberikan penjelasan seputar kegiatan yang akan dilaksanakan 13-16 Maret. Foto: Dudut Suhendra Putra

JARINGAN pengelola bioskop Cinema 21 melanjutkan XXI Short Film Festival yang akan dilaksanakan keduakalinya pada Maret 2014. Festival akan diadakan di Epicentrum XXI, Jakarta pada 13-16 Maret 2014. Sejak Oktober lalu, panitia mengadakan roadshow ke kota Medan, Manado, Banjarmasin, Malang, Yogyakarta, Banjarmasin, dan Solo. Dalam roadshow itu, mereka memutarkan filmfilm pemenang XXI Short Film Festival tahun pertama sekaligus diskusi singkat seputar film pendek dengan sutradara film pemenang. Kegiatan itu juga mereka jadikan pendaftaran kompetisi film pendek yang terbagi dalam kategori: film pendek fiksi naratif, film pendek animasi, film

pendek dokumenter. Hingga pendaftaran terakhir pada 2 Desember 2013, terkumpul 423 film pendek masuk ke Cinema 21. Program Director XXI Short Film Festival Nauval Yazid mengatakan 52 persen dari film yang masuk berasal dari luar Jabodetabek. “Banyak juga peserta dari Indonesia Timur,” katanya di XXI Mal Kota Kasablanka, Jakarta Selatan, baru-baru ini. Dari sisi penjurian, XXI Short Film 2014 berbeda dengan tahun 2013 yang melibatkan sejumlah wartawan. Yang sama adalah masing-masing kategori akan diisi oleh 10 finalis. “Kami ingin terus cari bibit muda yang ingin berkarya di perfilman,” kata Catherine Keng, Corporate Secretary Cinema 21

yang juga menjadi Direktur Festival ini. Tahun ini XXI Short Film Festival berkolaborasi dengan asosiasi dari dunia film untuk mengadakan lokakarya bagi pemula, Januari mendatang. Para juri berasal dari sejumlah asosiasi yang belum lama ini terbentuk seperti dari PILAR (Penulis Layar Lebar Indonesia), IFDC (Indonesian Film Directors Club), APROFI (Asosiasi Produser Film Indonesia), serta AINAKI (Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia). Para juri antaranya (Fiksi Naratif) Hanung Bramantyo, Sheila Timothy, Lukman Sardi, (Animasi) Chandra Endroputro, Wahyu Aditya, Gotot Prakosa, (Dokumenter) Riri Riza, Chandra Wibowo (tentatif) Tino Saroengallo (tentatif). (kf1/imam)

LAUNCHING FILM PAHLAWAN TAK PERNAH MATI Artis Olga Lidya membubuhkan tandatangan sebagai tanda diluncurkannya Film produksi Kemendikbud berjudul “Pahlawan Tak Pernah Mati” yang me­ ngangkat kisah perjuangan Pahlawan Bung Tomo, yang ditayangkan di TVRI belum lama ini. Foto: Dudut Suhendra Putra.

PELUNCURAN FILM SETELAH HUJAN DATANG(kiri-kanan) Koordinator Divisi Komunikasi, Informasi dan Pendidikan Dewan Nasional Perubahan Iklim Amanda Katili, Sutradara film Kamila Andini dan Ketua DNPI Rachmat Witoelar memperlihatkan CD film “Setelah Hujan Datang” karya Kamila Andini saat menghadiri penayangan dan peluncuran film tersebut di Jakarta, Rabu, (27/11). Film yang mengangkat tentang potret permasalahan dan solusi perubahan iklim di Banten dan Nusa Tenggara Timur tersebut sebagai bentuk kampanye peningkatan kesadaran masyarakat akan dampak perubahan iklim. ANTARA FOTO/Teresia May


AGENDA PASAR lagu anak-anak kembali dihidupkan dengan diluncurkannya album kompilasi Pelangi Acila berisi 12 lagu pemenang lomba Ajang Cipta Lagu Anak (Acila) yang digelar 2011 silam. Peluncuran album ‘Pelangi Acila’ di Indomaret Point Kemang, Jakarta Selatan pada Jumat (27/12/2013). Tika Bisono selaku Ketua Umum Acila mengungkapkan “Setelah perjalanan panjang sejak 2012 akhirnya album ini launching. Karena untuk launching album anak ini banyak kesulitannya,” ungkap Tika, yang merupakan pengurus organisasi Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI), pendukung utama kegiatan Acila. Tika berharap, album tersebut mampu untuk memberikan penyegaran dan alternatif baru bagi lagu-lagu anak pop Indonesia yang bisa menjadikan rujukan yang kreatif, harmonis dan edukatif agar proses tumbuh kembang anak dapat sesuai dengan usia dan tahap perkembangan mereka. Secara kualitatif, album ‘Pelangi Acila’ bukanlah pro­ duk main-main atau asal hadir. Keterlibatam sejumlah kom-

TAKE 17 EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

Album Pelangi Acila

Kompilasi lagu anak-anak

Peluncuran Album Pelang Acila dihadiri Produser dan panitia lomba Ajang Cipta Lagu Anak.

Foto: Dudut Suhendra Putra

poser untuk mengaransemen Noor dan Alfa Dwi Agustiar seperti Purwacaraka, Dody Su- menunjukkan ke­seriusan itu. kaman, Ega ‘Blackout’, Bemby Lagu-lagu tersebut telah

selesai direkam dengan format CD dan dinyanyikan oleh Nugie, Dea Mirella, Herson

Riewpassa, Ari Malibu, Tika Bisono, Maya Anggela, Michael Parengkuan, Leony Paramitha, Dania Anisa Najmi, Erik Nando dan Musicologi. Dengan pendekatan aran­ se­ men pop Indonesia tersebut, Seno M Hardjo selaku penanggungjawab produksi rekaman mengharapkan lagulagu dalam album Pelangi Acila bisa diterima dan diputar oleh radio dan televisi di seluruh Indonesia. “Sehingga diharapkan akan terdengar oleh ma­ syarakat terutama anak-anak, dan beberapa lagunya menjadi hits. Barulah anak-anak akan mendendangkannya dan membuat lagu-lagu tersebut menjadi bagian dari kehidupannya seharihari“ ujar Seno M Hardjo. Dengan dirilisnya Album Pelangi ACILA ini masyarakat khususnya anak-anak akan kem­ bali memiliki lagu-lagu yang sesuai dengan usianya. (dudut sp/kf1)

Novel ‘Laskar Pelangi’ versi bahasa Inggris

NOVEL Laskar Pelangi terjemahan dalam bahasa Inggris, The Rainbow Troops karya Andrea Hirata kini tersedia di Tanah Air. The Rainbow Troops di Amerika Serikat diterbitkan oleh Sarah Crichton Books beberapa waktu lalu. Andrea mengisahkan, awal­ nya, pembaca Indonesia yang menginginkan buku ini harus membelinya melalui situs Am-

zone.com. Ia akhirnya me­ luncurkannya di Indonesia karena banyaknya permintaan buku The Rainbow Troops oleh lembaga pen­didikan maupun kursus sebagai me­dium belajar bahasa Ing­gris. “Saya terharu akhirnya buku ini bisa dijual di toko sendiri,” kata Andrea Hirata saat ditemui di Periplus, Lotte Shopping Avenue, Kamis (12/12/2013). Menurutnya, ada beberapa perbedaan antara Laskar Pelangi dengan The Rainbow Troops. Ia bercerita, naskah asli Laskar Pelangi yang ia tulis berjumlah sekitar 600 halaman. Penerbit Bentang Pustaka memerasnya sehingga novel yang beredar menjadi setebal 400 halaman.

Penerbit Sarah Crichton membuat saduran dari naskah pertama menjadi 200-an halaman. “Hasilnya compact dan powerfuli. Edisi Amerika ini kuat secara intelektual, yang Indonesia kuat secara emosional,” jelasnya. Ia mengaku harapannya sederhana terhadap buku ini, “mudah-mudahan menginspirasi,” katanya. Beberapa bulan yang lalu, Andrea Hirata meraih penghargaan kategori general fiction di New York Book Festival 2013 untuk The Rainbow Troops. I juga sempat meraih penghargaan untuk buku ini edisi bahasa Jerman. “Saya masih kaget. Merasa belum pantas. Ini memacu saya untuk lebih belajar lagi,” tuturnya. “Laskar Pelangi” telah disadur ke dalam beberapa bahasa, seperti Italia, Jerman, dan Portugal. Ia kini tengah menanti edisi bahasa Prancis dari Laskar Pelangi. (kf/ant)

Delegasi World Culture Forum berfoto bersama sebelum acara dimulai. Foto: Yuri Rahadian

Peserta dan delegasi Festival Musik Etnik 2013 di Bali berfoto bersama. Foto: Yuri Rahadian

DATA PENONTON FILM INDONESIA SAMPAI DENGAN 17 JANUARI 2014

JOKOWI NONTON BARENG SLANKGubernur DKI Jakarta Joko widodo atau Jokowi (dua kiri) memotong kue ulang tahun bersama grup band Slank dalam acara nonton bareng film “Slank Ngak Ada Matinya” di TIM, Jakpus, Kamis (26/12). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Pukulan Maut Princess, Bajak Laut Laskar Pelangi 2 Slank Nggak Ada Matinya Tenggelamnya Kapal 99 Cahaya Di Langit Eropa Sang Kiai Soekarno: Indonesia Merdeka Samudra Hotel Mengejar Setan

7.853 9.404 384.511 249.064 1.537.504 1.154.813 227.002 882.759 353.613 104.102

Sumber data: Berbagai sumber/ PPFI


TAKE 18

PANGGUNG

EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

Duo Grande

Perkenalkan mini album ‘Here We Are’

Personil Duo Grande, Ugee (berdiri), Aghdi (duduk). Foto: Dudut Suhendra Putra

SETELAH grup vokal Pasto yang bermigrasi jadi band, belum muncul nama baru selain Duo Grande yang mengisi mengisi kekosongan di genre itu. Mengusung beragam genre musik, Duo Grande menciptakan lagu sendiri di album mini bertajuk Here We Are. Industri rekaman musik boleh terpuruk. Tapi personel Duo Grande, Aghdi dan Ugee tak surut untuk berkreasi. “Selagi masih mampu berkaya, ya nikmati saja. Inilah musik kami, karena bermusik pilihan jiwa kami,” kata Aghdi yang diamini Ugee ketika memperkenalkan mini album mereka di Teebox,

Café, Jakarta, Rabu (11/12/2013). Ungkapan Aghdi terkesan ‘lebay’ dalam konteks kesenian pop yang berafiliasi industri. Tapi kedua mantan karyawan bank terkenal berjiwa seni itu sama-sama menancapkan tekad; menjadikan dunia musik sebagai pilihan profesi. Tentu tidak asal negat, karena Aghdi (Agung Budi Susanto) dan terutama Ugee Pamungkas bukan orang baru di blantika musik. Simak saja kisah mereka. “Saya sudah bikin lagu dan main musik waktu SMA, lalu bekerja di bank dan ternyata lebih cocok bermain musik,” ungkap Ugee, yang pernah ikut kompetisi festi-

val band di masa SMA dan membuat jingle iklan. Alasan Ugee sama seperti Aghdi yang ‘melepas’ karir di perbankan dan ingin menekuni bidang entertainment. “Saya lama kerja di bank dan stress. Makanya resign dan memilih berkarir di musik seperti sekarang,” ungkap Aghdi. Alasan kesehatan pula yang membuat Juara 3 Cover Boy Majalah Mode tahun 1991 ini diizinkan oleh Helsi Herlinda sang istri, yang merangkap produser dan manajer Duo Grande. “Dia kalau stress dan sampai sakit, yang repot kan saya juga. Maka saya izinkan dia resign,” ungkap Helsi, yang ‘membuka’ jalan bagi suami dan rekannya itu untuk berkiprah di jalur rekaman. Agak ke belakang sedikit, mereka kerap bertemu di klub karaoke. Dari sana tercetus pembentukan grup vokal dengan merekam lagu beragam genre ciptaan sendiri. Persisnya, tanggal 7 Juli 2013 Duo Grande terbentuk. Makna grande yang berarti besar dan megah menjadi alasan penamaan Duo Grande. “Kalau di dunia musik, seperti kemegahan orchestra. Harmonisasinya bagus dan melahirkan keindahan,“ ungkap Aghdi mengurai makna Duo Grande. Kemegahan dan keindahan ini terdapat pada lagu Ratu Indahku di mini album mereka. “Lagu ini terasa megah dan

tebal orkestrasinya meski menyisipkan string dari keyboards,“ kata Ugee. Kecuali lagu Ratu Indahku terdapat 4 lagu lainnya dengan komposisi duet, tapi tidak harus dengan pecahan suara. Lagu tersebut I Love You, Nikahlah Denganku, Pertolonganmu, dan We Are The Winner. Helsi Herlinda berusaha menjaga ‘ritme’ Duo Grande. Mulai dari jadwal produksi, promosi hingga jadwal tampil Duo Grande di acara-acara on air dan off air. Dia menyebut single I Love You yang diunggah ke youtube mendapat respon positif. “Dalam waktu tiga minggu ditonton lebih 900 orang. Komentar serius dan suka dengan video klip dan lagunya datang dari musisi Spanyol, juga penggemar musik dari Kuala Lumpur dan Timor Leste,” ungkap Helsi senang. Mini album Here We Are tak lepas dari duku­ ngan pengamat musik

Helsi Herlinda

Manajer luar dalam ARTIS pemeran antagonis di sejumlah sinetron, Helsi Herlinda (39) punya peran baru. Kali ini bukan untuk sinetron atau film. Pemain film Emak Ingin Naik Haji ini melakoni peran sebagai produser sekaligus manajer untuk grup vokal Duo Grande. Dengan alasan peran barunya tersebut, bintang sinetron Bawang Merah Bawang Putih ini mengurangi jadwal syuting sinetron. “Aku mau total mendukung Duo Grande. Menjadwal rekaman, promosi album, sampai jadwal tampil on air dan off air mereka,” ungkap Helsi Herlinda saat launching mini album

Here We Are milik Duo Grande di Teebox, Café, Jakarta, Rabu (11/12/2013). Meski mengaku di belakang layar, artis jebolan Sanggar Kawula Muda ini tetap mencuri moment tampil di panggung bersama grup yang dibidaninya itu. Dia membawakan lagu We Are The Winner bersama Duo Grande. Tapi Helsi punya alasan, “Porsi aku tetap di belakang layar. Kalau ada featuring bareng Duo Grande, itu nggak sengaja sebenarnya. Pas kami bertiga lagi latihan take vocal, ternyata malah pas dan nyambung lagunya,” katanya. Lebih lanjut Helsi menegas-

kan, keterlibatannya dalam proyek ini bukan untuk mendongkrak popularitas Duo Grande yang diawaki Aghdi dan Ugee. Aghdi atau Agung Budi Susanto adalah suami Helsi sendiri. “Nggak ada istilah dongkrakdongkrakan. Kami saling support. Apalagi mereka juga bukan awam di dunia musik. Lagulagu di album Duo Grande juga menginspirasi kaum laki-laki untuk setia, lho,” ujarnya. Berkelakar Helsi menjawab pertanyaan iseng wartawan jika Duo Grande terkenal apakah Aghdi masih setia? “Tolong temen-teman, dipantau yaa…” ucapnya. (imam/kf)

Bens Leo. “Mas Bens bilang, single atau rekaman satu lagu tidak membuat seseorang atau band rekaman jadi ‘sesuatu’. Sangat tidak mungkin satu lagu masuk program wawancara radio berdurasi satu jam, tampil di acara TV,” ujar Aghdi. Akhirnya empat lagu lainnya lahir, melengkapi single I Love You. “Dengan lima lagu di dalam mini album, ini memungkinkan kami perform 30 menit di manapun, juga wawancara penuh berdurasi satu jam,‘’ ujar Aghdi. Ditambahkan oleh Helsi, peluncuran album di tanggal 11 Desember 2013 jam 14.15 adalah sebuah makna tersendiri. “11, 12, 13, 14, 15 artinya buat saya dan Duo Grande merupakan perjuangan kami, antara ingat umur dan ingin ber­ saing dengan yang muda-muda. Moment feno­menal ini akan terjadi 800-an tahun kemudian. Ini diharapkan jadi album fenomenal,” ha­rap Helsi. (imam/ kf)


PANGGUNG

Pentas ‘Erros Djarot 40 Tahun Berkarya’

Eros Djarot diapit Jay Subiakto (kiri), dan Erwin Gutawa (kanan) saat menggelar jumpa pers di Jakarta, Jumat (10/1/2014) . Foto: Dudut Suhendra Putra

TAKE 19 EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

MEMPERINGATI 40 tahun Erros Djarot di dunia seni (musik dan film), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) bekerja sama dengan Digital Era Komunika menggelar pagelaran bertajuk “40 Tahun Erros Djarot Berkarya”. Pagelaran itu melibatkan Jay Subiakto sebagai art director, Erwin Gutawa (orkestrator dan penata musik), dan Mira Lesmana sebagai penulis naskah. Acara itu nantinya merupakan kisah Erros Djarot yang berkecimpung di berbagai bidang seperti musik, film, dan juga politik, dalam balutan lagu-lagu karya sang seniman. Erwin akan memimpin orkestra membawakan lagulagu ciptaan Erros Djarot. Musisi dari berbagai genre musik akan berada dalam pertunjukan yang melibatkan sekitar 120 orang itu, mulai dari Iwan Fals hingga band independen The SIGIT. “Juga akan ada lagu khusus 40 tahun yang akan dibawakan malam itu,” kata Erwin saat menggelar jumpa pers di daerah Senayan, Jumat (10/1/2014) sore. Dalam pertunjukan nanti, Erwin Gutawa, Jay Subiakto dan Mira Lesmana akan menghadirkan sosok Erros Djarot sebagai

manusia yang selalu berkarya. Sementara itu, Erros Djarot justru tidak terlibat dalam pembuatan konsep acara. Ia sepenuhnya menyerahkannya kepada ketiga rekannya itu. “Saya serahkan kepada mereka bagaimana mereka melihat saya,” katanya. Ia malah merasa bingung dirinya mendapat penghormatan atas karya-karyanha. Ketika membuat suatu karya, ia tidak pernah berpikir karyanya akan menjadi terkenal atau bahkan untuk mencari uang. Kepada para konseptor, ia hanya berpesan berhubung konser itu diselenggarakan bertepatan dengan hari kasih sayang tanggal 14 Februari nanti, ia ingin setiap orang yang menonton pertunjukan tersebut mendapatkan cinta. Ia menjanjikan pertunjukan itu nantinya tidak ada unsur politik. “Pokoknya menteri-menteri nggak ada di atas panggung. Kalau pemilu ya pemilu. Ini khusus untuk musik,” katanya. Gelaran “40 Tahun Erros Djarot Berkarya” diselenggarakan di Plenary Hall JCC pada 14 Februari 2014. Tiket pertunjukan beberapa kelas, mulai Rp 500.000 hingga Rp 3.500.000. (imam/dsp)

Art of Tree, siapkan album internasional SEMANGAT Eki Puradireja untuk menampilkan musikmusik Indonesia ke pasar dunia, terus menggebu. Sudah lama sebenarnya ia merintis itu dengan beragam cara, termasuk memberi semangat kepada pemusik muda, mengundang musisi luar negeri lalu bekerjasama memoles penampilan artis Indonesia, sekaligus ikut menangani aransemen musik, juga menyiapkan lagu-lagu menarik. “Sampai sejauh itu yang saya laukan, karena saya ingin mewujudkan impian lama, bahwa Indonesia pasti bisa memamerkan karya musiknya ke pasar internasional. Untuk itu saya harus sabar memilih band yang pas tampil, sekaligus memperlihatkan karya musiknya ke pasar dunia,” ujar Eki Puradireja, produser grup band Art of Tree di Amazing Studio, kawasan Cholibah, Puncak,

Personil Art Of Tree . Foto: Dudut Suhendra Putra

Jabar, Kamis (19/12). Art of Tree beranggotakan 6 personil muda yang semangatnya tampil di luar negeri sedang membara. “Saya melihat ke-6 personil band itu punya kekuatan yang membanggakan. Mereka tidak saja menguasai teknik bermusik, tapi juga punya koleksi beragam warna vokal. Dan yang lebih membuat saya mau memandu mereka agar bisa berkarya ke luar negeri, semangatnya tinggi ingin membawa nama besar Indonesia ke forum internasional,” lanjut Eki. Ke-6 personil Art of Tree itu adalah Rafi (drummer), Dimas (vokal), Andre (vokal), Abram (kiboar), Felix (gitar) dan Agus (bas). Mereka semua pemusik muda, tapi jam terbangnya manggung di beragam konser sudah lumayan banyak, terutama Rafi yang sudah sering konser di ajang

Java Jazz Festival. Art of Tree kini telah menyiapan sebuah album internasional: Capturing The Moment judulnya. Album berisikan 13 lagu unggulan itu akan dirilis Pebruari 2014 khusus untuk pasar internasional. “Semua lagu berbahasa Inggris, ciptaan kami sendiri. Mas Eki tidak saja membantu sebuah lagu, tapi juga membekali kami kiat-kiat bagaimana tampil penuh pesona di panggung internasional,” ujar Rafi, drummer Art of Tree yang selama ini sering tampil di panggung jazz bersama musisi Indra Lesmana. Capturing The Moment adalah album perdana Art of Thee, tapi menjadi album internasional ke-3 untuk Rafi. Beosying selaku manager band memuji lagu-lagu Art of Tree. Dia pun berharap, dengan mengandalkan sejumlah lagu unggulan yang dikemas dalam warna musik hip hop, Art of Tree bisa diterima pasar musik internasional. “Coba saja simak lagu mereka Introduction, atau Amen dan Gibberish, sepintas akan sulit ketahuan jika lagu-lagu itu karya anak-anak Indonesia. Jujur saya bilang lagu mereka enak,” lanjut Beosying berpromosi. Eki Puradireja menambahkan, lagu-lagu Art of Tree bisa enak didengar, karena dikemas bersama. Simon, sound enginner “Incognito”, yang ikut dilibatkan menyiapkan Art of Tree ke pasar internasional juga memuji lagulagu tersebut. (dudut/kf1)

FILM CAHAYA DARI TIMUR Menteri Perdagangan Gita Wirjawan (kanan) didampingi penyanyi Glenn Fredly (kiri) dan bintang film Abdul memberikan keterangan keterangan pers tentang film Cahaya Dari Timur “Beta Maluku” di Ambon, Maluku, Kamis (16/1). Gita Wirjawan yang juga pendiri Ancora Foundation mendukung pendanaan pembuatan film bertema persaudaraan dan Perdamaian di Maluku, akan mulai diputar Juni 2014 di 84 negara, termasuk menjadi salah satu film utama perhelatan Piala Dunia 2014 di Brasil. ANTARA FOTO/Embong Salampessy


PROFILM

TAKE 20 EDISI 48 / TH VI / JANUARI 2014

‘7 Misi Rahasia Sophie’ di tangan Billy Christian

Billy Christian. Foto: Kpl.com

SUTRADARA muda yang sempat bergabung dalam proyek Omnibus ‘Hi5teria’, Billy Christian mulai dipercaya tampil sendiri. Proyek barunya ini, film produksi Kharima Starvision berjudul 7 Misi Rahasia Sophie. Saya ingin membuat film yang bisa menginspirasi banyak orang untuk melakukan kebaikan-kebaikan kecil dalam hidup mereka untuk orang lain. “Karena semakin hari, individu pesimis pada kehidupan pribadinya, dan terlalu sibuk untuk sekedar “memikirkan orang lain”,” kata Billy tentang ide dia bawa ke produser. Menurutnya, setiap orang mengalami titik terberat dalam hidupnya yang terkadang “bantuan kecil” orang lain jadi begitu berarti. “Dengan semangat ini saya bawa ide cerita film ini ke Pak Parwez, produser dari Starvision, yang pada saat itu jumlah misi Sophie tidak berjumlah 7 tapi masih 14,” lanjut Billy, yang langsung mendapat respons baik. Sejak saat itu, dia bersama Anggoro penulis dan produser menggodok skenario bersama hingga jadi 7 Misi Rahasia Sophie. “Harapan saya, orang yang menonton film ini terinspirasi melakukan kebaikan bagi orang-orang di sekitar mereka, “kindness is contagious, make it viral”. Karena berbuat baik bisa mendatangkan perasaan bahagia bagi orang-orang yang melakukannya,” ungkap Billy. Upayanya menemukan sosok pemeran Sophie memakan waktu yang cukup lama dan sengit. “Mencari sosok Sophie yang muda, aura positif dan cheerful tidak mudah. Suatu ketika saya menonton televisi, melihat Alisia Rininta melakukan tindakan dermawan pada seorang penjual kerupuk tuna netra. Saat itu jugalah saya berpikir, Alisia memiliki potensi menjadi Sophie. Sosok Alisia buat saya bisa mewakili remaja perempuan ordinary dan humble. Saya melihat Sophie dalam diri Alisia RIninta,” jelas Billy. Proses reading skenario efektifnya hanya dua hari. Hal ini membuat Billy kesulitan membangun chemistry antara kedua pemeran utama, Sophie dan Marko yang diperankan oleh Stefan William. Namun seiring berjalannya waktu shooting keduanya menunjukkan kemampuan akting yang baik. (kf1)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.