TABLOID KABAR FILM EDISI 46

Page 1


DARI REDAKSI EDITORIAL

EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

Film dan korupsi

KORUPSI dan dunia film bukan hal yang mustahil. Bahkan senyawa keduanya itu telah dipertontonkan dalam panggung besar. Adalah lembaga negara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama aktivis perfilman yang mempertontonkan senyawa tersebut di dalam event bernama Festival Film Antikorupsi. Kegiatan itu terdengar nyeleneh dan bahkan nyinyir di telinga mereka yang anti KPK. Namun acara itu menjadi menarik karena memperlihatkan adanya kemajuan dalam perfilman nasional, dimana festival film dapat dilakukan oleh siapapun, dimanapun, tanpa ampun. Sebut saja Kemenparekraf yang mempunyai Festival Film Indonesia (FFI), Kemendikbud sejak setahun lalu

OBITUARI

TAKE 2

punya Apresiasi Film Indonesia (AFI), Kemenpora punya Festival Film Pemuda (FPP), dan yang terbaru KPK, lembaga yang sedang naik daun karena prestasinya menjemput para koruptor itu punya Festival F ilm Antikorupsi. Itu belum termasuk Indonesian Movie Awards (IMA), Festival Film Solo, Festival Film Bandung, Piala Maya, Akademi Film Indonesia (Piala Jati Emas), Festival Film Anak Medan, Indonesia International Environment Film Festival, dan lain-lain yang dilaksanakan oleh penggiat perfilman yang menggandeng kalangan swasta. Masing-masing lembaga memiliki target, semangat, dan biaya berbeda dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Tidak menjadi masalah jika festival dibiaya secara mandiri oleh pihak swasta. Akan menjadi masalah jika festival dibiayai dari APBN alias uang rakyat. Jika festival itu menciptakan kerumunan yang ramai, bisa jadi artinya mendapatkan apresiasi yang luas.

Dengan kata lain, rakyatlah yang harus benar-benar menikmati hasil dari kegiatan festival film yang diselenggarakan pemerintah. Demikian, amanat dari Undang Undang Perfilman tahun 2009 Tentang Perfilman. Jika masyarakat tidak merespons atau tidak merasakan manfaat festival itu, maka pemerintah bisa dianggap bermain-main. Untuk mencapai keberhasilan dari festival inilah dibutuhkan tangan-tangan orang profesional, bukan sekadar melibatkan mereka yang mau bekerja atau kebetulan sedang tidak bekerja. Sungguh beruntung menjadi orang film di Indonesia, karena mendapatkan banyak apresiasi dalam berbagai festival baik di kota maupun daerah. Memang demikian seharusnya pola perputaran industri kesenian dan budaya; ada seniman yang memikirkan, ada industriawan yang membuat, dan ada masyarakat yang menikmatinya. ** teguh imam suryadi ikuti di twitter: @teguhimamsurya

Iqbal Rais pergi diiringi sang guru

SUTRADARA muda Iqbal Rais (29) meninggal pada Minggu malam (22/09) di Rumah Sakit Dokter Sooetomo, Surabaya. Dia disemayamkan di kediaman orangtuanya di Jl Griya Kebraon Barat Blok CL No. 02 RT.01 RW. IX Kelurahan Kebraon, Kecamatan Karang Pilang, Surabaya. Iqbal yang lahir di Samarinda, Kalimantan Timur 21 Januari 1984 sempat berjuang melawan leukimia selama dua tahun dan dimakamkan di Surabaya. Kepergiannya membawa duka di dunia perfilman Indonesia.

Diana Nasution pernah main film PENYANYI Diana Nasution meninggal pada 4 Oktober 2013. Pelantun Benci Tapi Rindu ini ditemani suaminya, Minggoes Tahitoe saat terakhir di RS Gading Pluit, Jakarta akibat kanker payudara dan nyeri lambung. Diana pernah main film Cintaku Tergadai pada tahun 1977 Karir Diana Nasution dimulai 1970 ia dan kakaknya Rita Nasution membentuk Nasution Sisters. Dia juga berduet dengan Melky Goeslaw di Festival Penyanyi Nasional 1977 membawakan lagu Bila Ceng-keh Berbunga dan Malam Ya-ng Dingin (cip-taan Minggoes Tahitoe). Lagu-lagu yang dipopulerkannya antara ciptaan Rinto Harahap Jangan Biarkan dan Benci Tapi Rindu. Tahun 2010 Diana duet dengan Titi DJ dalam lagu Ja-ngan Biarkan. Di film Cintaku Tergadai arahan sutradara Ostian Mogalana, Diana Nasution bermain bersama Paul S Murry, Nuke Sutrisno, Hengky Nero, Rendra Karno, Aminah Cendrakasih, Marlia Hardi, dan lain-lain. Film itu bercerita tentang liku-liku perjuangan seorang pemuda kampung yang berjuang mencari kehidupan lebih baik di kota.**

Bela sungkawa memenuhi Twitter, termasuk dari sineas Hanung Bramantyo yang merupakan ‘guru’ di bidang penyutradaraan “Selamat jalan Iqbal Rais ... Sutradara Tarix Jabrik. Semoga kau damai di sisiNya,” tulis Hanung. Sepuluh film yang dibesut Iqbal antara lain Trilogi The Tarix Jabrix (2008-2011), Si Jago Merah (2008), Bukan Malin Kundang (2009), Sehidup (Tak) Semati (2010), Senggol Bacok (2010), 3 Pejantan Tanggung (2010), Radio Galau FM (2012), dan Kata Hati (2013).

Fachrul Rozy dimakamkan di tanah keluarga MANTAN artis cilik yang menjadi sutradara dan penulis skenario Fachrul Rozy (46) wafat Jumat (13/09/2013) pukul 04.20 WIB di Jakarta akibat sakit tumor otak. Lahir di Jakarta, 4 April 1967 dia menikah dengan Irana Elizabeth dika-runiai tiga orang anak; Kevin (19), Ira (17), dan Giza (13). Pertama bermain film Sejuta Duka Ibu (1977), Singa Lodaya (1978), Harmonikaku (1979), Ratapan Anak Tiri II (1980), Pengabdi Setan (1980), Nila di Gaun Putih (1981), Putri Seorang Jendral (1981), dan Usia dalam Gejolak (1984). Melalui film Harmonikaku dia masuk nominasi FFI 1980 dan memperoleh piala Mitra pada Festival Film Asia (Pasifik) tahun 1980. Tahun 1997 ia meraih penghargaan penulis skenario terbaik pada Festival Sinetron Indonesia dalam sinetron Mat Angin. **

Chaerul Umam Ketika ‘Mas Gagah Pergi’ SUTRADARA Chaerul Umam (70) lahir di Tegal, Jawa Tengah 4 April 1943. Dia sempat dirawat di rumah sakit karena stroke dan diabetes hingga pada Kamis 3 Oktober 2013 pukul 15.18 wafat di RS Islam Pondok Kopi, Jakarta Timur. Beberapa film disutradarainya antara lain Al Kautsar (1977) Sepasang Merpati (1979), Tiga Sekawan (1975), Titian Serabut Dibelah Tujuh (1983), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1986), Joe Turun Ke Desa (1990), Nada dan Dakwah dan Ramadhan dan Ramona (1992), Fatahillah (1997), Ketika Cinta Bertasbih (2008), dan Ketika Cinta Bertasbih 2 (2009). Karya lainnya adalah sinetron Jalan Lain Ke Sana, Jalan Takwa, Astagfirullah, dan Maha Kasih. Hingga menjelang wafatnya, Chaerul Umam akrab disapa Mas Mamang masih menyutradarai film Ketika Mas Gagah Pergi (2013) produksi Sinemart. Film tersebut belum selesai. Penghargaan diterima Chaerul Umam di film Titian Serambut Dibelah Tujuh (FFI 1983), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (FFI 1986), Joe Turun ke Desa (FFI 1990), Nada dan Dakwah, serta Ramadhan dan Ramona (FFI 1992). Penghargaan Terpuji untuk film Ramadhan dan Ramona pada Festival Film Bandung tahun 1993. Chaerul Umam juga aktivis di organisasi sebagai Ketua Lembaga Seni Budaya Pimpinan Pisat Muhammadiyah, dan menjadi salah satu pendiri dan ketua pertama organisasi pecinta film Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia (SENAKKI).**

Diterbitkan pertamakali di Jakarta tanggal 12 Mei 2009 oleh Komunitas Pekerja Perfilman Jakarta Kode ISSN 2086-0358 NPWP 54.158.6009.5-027.000 Pendiri/ Penanggungjawab Teguh Imam Suryadi Redaktur Pelaksana Didang Pradjasasmita Redaksi Bobby Batara Jufry Bulian Ababil (Medan), Desain: Rizwana Rachman Marketing: Ahmad Reza Kurnia Distribusi: Dede, Jamilan Penasihat Hukum Drs H Kamsul Hasan SH MH Alamat Redaksi/Iklan/ Sirkulasi Sekretariat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya Seksi Film dan Kebudayaan, Lantai IV Gedung Pusat Perfilman H Usmar Ismail, Jalan HR Rasuna Said Kavling No C-22 Kuningan, Jakarta Selatan. Tlp: 021-97924704 - 0818404013. Rekening BANK BCA No Rekening: 5730257874 a/n Teguh Imam Suryadi Email kabar.film@yahoo.com Facebook Tabloid Kabar Film Twitter @Kabarfilmcom Website www.kabarfilm.com HARGA IKLAN COVER DEPAN : 200 mm x 267 mm Rp 15.000.000,COVER BELAKANG : 255 mm x 360 mm Rp 10.000.000,1/2 COVER BELAKANG : 255 mm x 178 mm Rp 5.000.000,1/4 COVER BELAKANG : 125,5 mm x 178 mm Rp 2.500.000,KUPING DEPAN ATAS : 90 mm x 60 mm Rp 2.000.000,KUPING DEPAN TENGAH/ BWH : 50 mm x 180 mm Rp 1.500.000,1 HALAMAN DALAM : 255 mm x 360 mm Rp 7.500.000,1/2 HALAMAN DALAM : 255 mm x 178 mm Rp 4.000.000,1/4 HALAMAN DALAM : 125,5 mm x 178 mm Rp 2.500.000,2 KOLOM : 100 mm x 50 mm Rp 1.500.000,1 KOLOM : 50 mm x 40 mm Rp 750.000,-

* HARGA SUDAH TERMASUK PPN

DATA PENONTON FILM INDONESIA SAMPAI DENGAN 6 OKTOBER 2013 Air Mata Terakhir Bunda Hati Kehati Pantai Selatan Cahaya Kecil Pokun Roxy Bukan Pocong Biasa Test Pack Bangkit Dari Kubur Kawin Kontrak

20.401 5.646 73.979 8.695 78.189 171.542 181.641 250.926 51.151

Sumber data: Berbagai sumber/ PPFI


CASTING

TAKE 3 EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

Eninta Ginting

Langsung main di ’23:59 Sebelum’

Marissa Anita (Foto: Wisnu)

PRESENTER acara tivi Marissa Anita (30) akhirnya main film. Sebagai pekerja pers atau wartawan, Marissa bukanlah yang pertama menjadi pemain film. Selain kesempatan yang diberikan, dia mengaku ingin mencari keseimbangan jiwa. “Menjadi jurnalis atau presenter berita berkutat dengan persoalan hukum itu kan sumpek, jadi harus ada kegiatan penyeimbang seperti main teater dan film,” katanya yang dijumpai Tabloid Kabar Film di sela syuting pertama film Selamat Pagi, Malam di Hotel Sultan, Senayan, Jakarta, Senin (30/09/2013). Dibawah arahan sutradara Lucky Kuswandi, film produksi Kepompong Gendut ini bicara tentang penghuni kota Jakarta. Sejumlah pemain dihadirkan seperti A d i n i a Wirasti, Trisia Tr i a n d e s a , Deera Sugandi, Ina Patricia Graziella dan lainlain. “Cerita di film, aku dulu waktu kuliah di New York punya teman akrab. Selesai kuliah aku pulang ke Indonesia. Tapi temanku gak ikut. Empat tahun kemudian, dia pulang ke Indonesia. Nah bagaimana proses pendekatan kami itu yang harus ditonton dalam film ini,” kata Marissa, mencoba bikin penasaran. Kendati aktif berteater sejak kuliah dan sekarang bergabung di Jakarta Players — komunitas teater ekspatriat dan orang Indonesia – yang dapat menopang kemampuan beraktingnya di film, namun Marissa mengaku masih belajar. “Aku masih perlu banyak belajar, meskipun tidak asing dengan bermacam perlengkapan syuting. Untungnya teman main di film ini, terutama Asti (Adinia Wirasti-red) aktor yang kece. Aku kagum sama kemampuan aktingnya. Dia sangat terbuka, memudahkanku connect membangun chemistry,” ungkap presenter yang sempat mondok di Metro TV dan kini bergabung di NET TV. Ketertarikan Marissa pada tawaran bermain film bukan semata faktor ‘suntuk kerja’, tetapi dia punya alasan lain, sudah berteman lama dengan Lucky Kuswandi sang sutradara. Marissa juga pernah menjadi co producer untuk film Demi Ucok (produksi pertama Kepompong Gendut). “Aku sudah kenal tim produksi film ini cukup lama, dan kami sering ketemuan jadi ketika diminta bergabung aku terima, Aku tahu karyanya Lucky, Madame X dan dialog-dialog script yang dibuat untuk film Selamat Pagi, Malam ini suttle, menyentuh,” kata Marissa. Mengingat rekam jejaknya di layar sempit televisi dan teater, maka ada peluang bagi Marissa untuk eksis di layar lebar perfilman. Apakah ini menandakan Marissa akan meninggalkan dunia jurnalistik? “Hahahaha (Marissa tertawa renyah).

Ini sebenarnya juga lagi cuti sih hahahaha (tertawa lagi). Jadi saya sebenarnya cuti untuk bisa ikut syuting. Setelah itu kerja lagi, meliput APEC di Bali,” katanya. Satu hal, Marissa merasakan dunia film dan televisi serta teater tidak jauh berbeda, karena sama-sama media pendidikan. Itulah sebabnya dia tidak menolak jika ada tawaran lagi. ‘Kalau ada tawaran main film yang lainnya juga boleh,” kata Marissa serius, seraya mengatakan dirinya menyukai film bertema drama dan drama komedi yang dekat ke masyarakat. Lahir di Surabaya, 29 Maret 1983, Marissa memiliki pengalaman berteater cukup lama. “Saya sudah lama main teater, sejak 2005. Delapan tahun main teater sebelum jadi wartawan,” kata Marissa, yang ikut dalam pentas drama Legendra Padusi di Jakarta medio Mei 2013. Ibarat berselancar, Marissa bergerak dari layar sempit televisi ke layar lebar film. Dia mengaku sempat melamar jadi pramugari di airlines terbaik di Asia tapi batal, karena belum selesai kuliah S1. Kemudian menjadi guru bahasa Inggris, dan sekolah lagi. “Sekolah lagi ambil jurusan media, aku sempat magang di majalah dan akhirnya masuk di stasiun tivi. Menjadi wartawan aku senang, karena sama-sama dalam kaitan dunia pendidikan,” katanya. Marissa pun mengenang, sebelum masuk dunia seni peran. “Aku dulu sebatas penikmat sejak kecil. Karena mamaku tak memaksa aku harus menjadi apa. Tapi sudah menjadi bagian gaya hidup, mamaku orang yang suka film, kami sering nonton film bersama di rumah,” ujar Marissa yang kerap menulis resensi film di blognya. Lantas film seperti apa film yang dapat memuaskan Marissa? “Ya, film yang lebih bercerita tentang hubungan antarmanusia. Karena kepuasan sebuah film atau naskah adalah hubungan manusia. Hubungan manusia yang tidak supervisial, yang realita. Karena hidup kan tidak selalu happy yang terlalu atau sedih yang terlalu. Jadi hidup itu memang harus di tengahtengah. Aku suka naskah film ini karena menunjukan kehidupan manusia yang nyata,” pungkas Marissa. (imam/kf1)

Aku masih perlu banyak belajar, meskipun tidak asing dengan bermacam perlengkapan syuting. Untungnya teman main di film ini, terutama Asti (Adinia Wirasti-red) aktor yang kece. Aku kagum sama kemampuan aktingnya. Dia sangat terbuka, memudahkanku connect membangun chemistry

Eninta Ginting (Foto: Ist)

JADI artis film mudah. Hal inilah yang dirasakan oleh Eninta Prima Eryanne Ginting (13), salah satu pemeran di film 23:59 Sebelum produksi UnderdogKickass milik Rudi Soedjarwo. “Ikut latihan setiap hari minggu selama beberapa bulan, terus syuting film,” kata Eninta kepada kabarfilm.com, di Jakarta, Jumat (4/10/2013). Remaja kelahiran Jakarta, 29 Agustus 2000 ini adalah siswa kelas 8, SMP PGRI I Depok. Dia berperan sebagai Rere di film horor yang melibatkan 48 pemain yang samasama baru. Enrita tidak mengira secepat itu bisa main film. Bahkan, dia seperti tak peduli dengan dunia barunya itu. Maklum, semula dipaksa ikut ‘ekskul’ akting oleh orangtuanya yang wartawan. “Aku latihan akting dari Desember 2012. Setiap hari Minggu aku latihan paskibra, dan gara-gara ikut latihan akting jadi ga bisa kemanamana. Sempat sebel sih, tapi sekarang aku senang kumpul di Underdog KickAss,” kata Eninta, anak sulung dari pasangan Evieta Fadjar dan Hendry Ginting. Enita yang hobi renang dan baca komik bergabung di underdogkickass karena ajakan sutradara film Ada Apa Dengan Cinta, Rudi Sudjarwo. Saat itu, Rudi mencari anak usia 12 tahun ke atas untuk mengikuti kursus akting yang didirikannya. “Anak saya pemalu Mas Rud,” kata Evieta menirukan ucapannya pada Rudi ketika itu. Kebetulan dia kenal Rudi karena pekerjaannya sebagai wartawan. Menurut Evieta, sejak bergabung di Underdog KickAss, anaknya jadi lebih percaya diri. “Ya, kan latihan akting itu macam-macam ilmunya, jadi saya biarkan anak saya belajar mandiri, entertpreneurship, dan lain-lain di sana,” kata Evieta yang sehari-hari bertugas di desk gaya hidup dan budaya. (imam/kf1)


ZOOM

TAKE 4 EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

ningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam bekerja. Dewi Umaya, Asosiasi Produser Sinema Indonesia (APSI): Saat ini anggota APSI ada 32 anggota termasuk Garin Nugroho, Mira Lesmana, Shanty Harmayn sampai yang muda seperti Ramadi, Meyske, Lala Timothy, dan lainlain. Visinya menciptakan produser film Indonesia yang profesional dan memiliki daya saing. Fokus kerja APSI saat ini adalah meningkatkan kualitas dan kinerja produser film Indonesia, menciptakan ekosistem industri yang sehat, dan mendorong lahirnya kebijakan yang mendukung film Indonesia.

Deklarasi Sembilan Organisasi perfilman yang menamakan dirinya IMPASS, dihadiri Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Pangestu. (Foto: Yuri Rahadian)

RUANG Balairung Gedung Sapta Pesona dipenuhi wajah-wajah para pesohor bidang perfilman. Ada aktor senior Slamet Rahardjo Jarot, Jajang C Noer, Alex Komang, Didi Petet, Dewi Irawan, Berthy Ibrahim Lindia dan lainlain. Mereka menyemangati para junior perfilman yang mendeklarasikan sembilan asosiasi atau organisasi baru. Kesembilan organisasi itu adalah Indonesian Film Directors Club (IFDC), Rumah Aktor Indonesia (RAI), Indonesian Motion Picture Audio Association (IMPAct), Penulis Indonesia untuk Layar Lebar (PILAR), Asosiasi Produser Sinema Indonesia (APSI), Sinematografer Indonesia (SI), Indonesian Film Editors (INAFEd), Indonesian Production Designer (IPD), dan Asosiasi Casting Indonesia (ACI). Selanjutnya, kesembilan asosiasi ini disebut IMPASS (Indonesian Motion Pictures Association). Menparekraf Marie Elka Pangestu mengatakan, pemerintah mendukung pembentukan organisasi. “Deklarasi sembilan organiasi ini adalah mimpi kita bersama, dan semoga menjadi awal yang baik untuk kebaikan kita semua,” kata Mari Pangestu, dalam sambutannya usai penyampaian visi dan misi masingmasing organisasi. Menteri berharap kecintaan dan passion para sineas, terus berkobar dan hidup. “Deklarasi ini baru awal dari suatu proses untuk bersatu. Kita juga realistis, ini chalange yang tidak mudah tetapi kita tetap optimis, apapun persoalannya dapat diselesaikan dengan kebersamaan. PR kita masih banyak, termasuk PR pemerintah dalam bidang perfilman,” kata Mari Pangestu.

Ketua KFT Berthy Ibrahim Lindia yang hadir di acara tersebut mengatakan, dirinya mempersilakan anggota KFT bergabung di salah satu organisasi baru tersebut. “Agni itu Ketua Litbang di KFT, tapi dia jadi Ketua Sinematografer Indonesia,” kata Berthy, yang mengaku lebih sebagai pribadi hadir di acara tersebut. Berikut ini visi dan misi yang disampaikan secara ringkas oleh masing-masing ketua organisasi: Lasja Fawzia Susatyo, Ketua Indonesian Film Directors Club (IFDC): Saat ini anggota kami sudah 38 orang sutradara, yang dalam waktu dekat akan terus bertambah. Cita-cita kami sederhana, ingin ikut memberi kontribusi membangun industri film yang lebih sehat dan kuat. Kenapa ini menjadi penting, seperti kita ketahui screen culture atau budaya layar saat ini semakin dominan dalam kehidupan. Dalam sehari berapa jam kita menatap layar, mulai bioskop, komputer, laptop, tivi bahkan layar gadget kita masing-masing. Maka bagaimana screen culture memberi pengaruh besar terhadap sosial budaya kita. Kami berfikir untuk bisa memastikan, screen culture ini bisa memberi kontribusi yang besar, optimal, postitif kepada masyarakat Indonesia kita perlu strategi. Dan untuk menggugah strategi itu kita perlu bekerjasama, tidak bisa jalan sendiri. Karena itu kami menilai sudah urgent untuk membuat asosiasi karena dalam asosiasi ini kita bisa bekerjasama dalam segala hal. Dalam asosiasi ini kita bisa bicara potensi kita sebagai sutradara, juga bisa berharap berkontribusi dengan banyak pihak baik dengan rekan-rekan dari dunia

film, pemerintah sebagai pembuat kebijakan, publik Indonesia, pelaku bisnis, dan tentu saja dengan rekan-rekan dari media. Terimakasih itu saja dari saya. Lukman Sardi, Ketua Rumah Aktor Indonesia (RAI): Pemikiran tentang RAI sudah dimulai sejak empat tahun lalu, dimana saat itu masih banyak hal yang harus dikerjakan hingga rekan-rekan aktor berkumpul. Kami berdiskusi dan mengenai kegelisahan bahwa inilah saat-saat urgent kita untuk ikut serta dalam proses perkembangan film Indonesia menjadi lebih baik, terutama dalam segi keaktoran. Karena ada regenerasi yang stag cukup lama, hingga kita perlu lakukan regenerasi agar keaktoran di Indonesia berkembang. Pada 8 Mei 2013 kami membentuk RAI yang terdiri dari 50 orang. Ada beberapa visi kami yaitu, mengedukasi penonton Indonesia agar mau datang ke bioskop menonton film Indonesia, menciptakan sistem dan mewujudkan kesejahteraan aktor, menciptakan sistem regenerasi aktor dan membina kualitas aktor. Misi kami adalah menjadi forum organisasi terpercaya di Indonesia dalam bidang keaktoran, dan menggandeng organisasi film yang lain yang memiliki visi dan misi yang sama. Tya Subiakto, Ketua IMPact-Indonesia Motion Picture Audio Assosiation : Audio sangat berperan penting dalam semua film, audio apapun namanya baik di post production tata suara dan tata musik. Berdasarkan itu, kami sepakat membentuk IMPact, dimana kami

bicara dalam bahasa audio, sehingga bisa mencapai standard profesionalisme yang sama. Diharapkan, IMPact menjadi wadah bagi semua pekerja audio film dan musik film, dan kita akan edukasikan keprofesionalismean kita kepada kalangan produser. Semoga dengan berdirinya Impact dan, kita dapat mencapai standarisasi profesi untuk menambah harum nama bangsa Indonesia. Perdana Kartawiyudha, Ketua Penulis Indonesia untuk Layar Lebar (PILAR): Kita tahu film tidak bisa lepas dari unsur cerita, dan cerita dalam proses pembuatan film dikerjakan dan dikembangkan dan diselesaikan oleh seorang penulis skenario. Seringkali, karena proses penulisan skenario nantinya akan dijual, ketika ada masalah atau komplain tidak terdeteksi oleh pihak manapun sehingga problem yang ada dipendam sendiri dan kemudian hakhaknya tidak dihargai. Untuk itu, Pilar berusaha melindungi anggotanya, para penulis film layar lebar, serta melindungi hak-hak penulis skenario terutama dalam hal kesejahteraan. Dan kami membuka jaringan di dalam dan luar negeri, serta mengarsipkan karya para penulis skenario yang sering terabaikan, sehingga itu dapat menjadi study bagi pihak manapun yang membutuhkan. Kami juga memberikan rasa aman dan nyaman pada stakeholder perfilman, baik produser maupun pemerintah dan yang sedang bekerjasama dengan penulis skenario, dengan memastikan bahwa penulis skenario Indonesia selalu profesional dan selalu secara konsisten me-

Agni Ariapratama, Ketua Sinematografer Indonesia (SI): Kami lebih kepada meneruskan cita-cita dari guru-guru dan pendahulu-pendahulu kita, yang sebenarnya sudah 20 tahun berkumpul tapi belum terwujud. Kita lebih pada kesetiaan pada profesi, kemajuan dan berkesenian. Bentuk organisasi ini bukan seperti serikat tapi pada pendidikan budaya dan profesional. Jadi, kami mendukung semua organisasi dan asosiasi lain yang dalam visinya memajukan seni dan teknologi fotografi gambar bergerak dalam ekosistem film dan televisi Indonesia maupun internasional. Dan misinya, mengembangkan SDM yang berkualitas setara dalam pasar global, mengembangkang ilmu pengetahuan dan teknologi fotografi, berjaringan dengan dengan profesi film lainnya dalam membangun ekosistem yang sehat dan sejahtera, serta membangun bersama perfilman dalam strategi kebudayaan yang lestari. Jadi di sini kami mengajak semua asosiasi, baik yang sudah ada maupun baru untuk bersinergi dalam memajukan perfilman Indonesia. Sastha Sunu, Ketua Indonesian Film Editors (INAFed): Inafed lebih dulu lahir dari asosisasi yang lain, 18 Desember 2011. Kami lahir dari pertemuan di milismilis, mulai dari editor film, video, televisi dan sebagainya. Kami sudah berusaha untuk membentuk organisasi tapi tidak mudah saat itu. Sampai akhirnya ke-9 anggota Inafed ini bisa membentuk wadah. Organisasi ini lahir dari kegelisahan begitu banyak dan meningkatnya produksi film setiap tahun 80, tapi tenaga editor yang mengedit film-film di bioskop kurang lebih hanya 10 orang bahkan kurang. Kenyataan ini mendesak kami membentuk organisasi, yang nantinya mengedukasi banyak editor supaya siap menjadi editor film


ZOOM layar lebar. Dan hal lainnya adalah masalah-masalah pasca produksi yang barangkali kurang diperhatikan. Kami berharap asosiasi ini mengurusnya dengan baik. Adrianto Sinaga, Ketua Indonesian Production Designer (IPD): IPD adalah kumpulan para penata artistik film khususnya feature film yang bertujuan mengangkat profile penata artistik Indonesia, memaksimalkan kontribusi kreatif dan teknis dalam produksi sebuah film, menciptakan standarisasi kerja yang profesional, menyempurnakan spesifikasi bidang kerja dalam profesi penata artistik, meningkatkan kolaborasi dengan bidang profesi lain dalam produksi film untuk menghasilkan karya film yang lebih baik, melindungi hak para anggota dan memastikan pemenuhan kewajiban kerja, melakukan kerjasama dengan organisasi dan institusi lain dalam hal pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan penata artistik film, mengangkat harkat hidup penata artistik Indonesia dan regenerasi. IPD juga menjadi wadah pertukaran ide dan pengetahuan dan inovasi. Visi, menciptakan iklim kerja yang baik secara kreatif, manajemen, kualitas, teknik, dan mentalitas kerja yang positif yang penting. Karena kemampuan tanpa mentalitas kerja tidak ada gunanya. Bowie Budianto, Ketua Asosiasi Casting Indonesia (ACI): ACI sudah berdiri sejak September 2010 waktu itu ketuanya Rully Lubis. Kami ingin menyumbang visi dan misi sebagai casting director, yang sebenarnya bukan hanya casting director saja, tapi casting associate dan talent coordinator dari bidang iklan dan televisi, dan akan banyak lagi. Standarisasi yang akan kami terapkan dalam asosiasi ini diharapkan membuat membantu perfilman Indonesia. Menparekraf Marie Elka Pangestu mengatakan mendukung langkah para pekerja film membentuk organisasi. “Deklarasi sembilan organiasi ini adalah mimpi kita bersama, dan semoga menjadi awal yang baik untuk kebaikan kita semua,” kata Mari Pangestu, dalam sambutannya di akhir deklarasi. Menurut Menparekraf kecintaan dan passion dalam visi dan misi organisasi mudah-mudahan terus berkobar dan hidup. “Deklarasi ini baru awal dari suatu proses untuk bersatu. Kita juga realistis, ini chalange yang tidak mudah tetapi kita mungkin tetap optimis, apapun persoalannya dapat diselesaikan dengan kebersamaan. PR kita masih banyak, termasuk PR pemerintah dalam bidang perfilman,” kata Mari Pangestu. (tis/kf1)

TAKE 5 EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

Jose Poernomo:

Gaya bertutur 308 paralel dengan tren Amerika FILM horor Indonesia tidak buruk seperti seringkali disebut kalangan pendidik sebagai hal yang mendangkalkan akal budi. Ketika film tidak sekadar barang jualan, maka pendekatan yang dilakukan tim kreatif menjadi lebih berbobot. Itulah prestasi untuk film 308 karya sutradara Jose Poernomo, yang masuk ajang Screamfest Horror Film Festival di Los Angeles, Amerika. Jose Poernomo bangga tentu saja. “Karena film ini masuk daftar satu diantara 50.000 film yang diterima di ajang itu,” katanya kepada tabloid Kabar Film di Jakarta Theatre, pekan lalu sebelum dia dan tim terbang ke Amerika. Buruknya citra film horor di Indonesia, menurut Jose adalah masalah lain, yang dia tidak mau menyinggung terlalu dalam. “Berkarya ya berkarya. Untuk jenis film apapun, dia bisa bagus atau buruk. Biarkan saja berevolusi dan nantinya mengerucut menjadi baik. Secara bisnispun akan menjadi lebih baik,” katanya. Dia lebih melihat situasi perfilman dikaitkan dengan sikap negara. “Dalam konteks negara, saat ini industri film dan musik seharusnya bisa jadi ujung tombak,” katanya. Amerika menurut Jose, secara industri tidak peduli apakah yang dipakai industri dari Cina atau lainnya, tapi yang dipertahankan adalah yang mengandung nilai added value. Pertama RnB mereka kuasai dunia. Jenis R&B apapun yang menguasai adalah Amerika. Begitu juga dengan film dan musik. “Yang selalu dikedepankan bagaimana kita mengejar dunia internasional. Ini perlu didukung dan digencarkan, juga jangan dimatikan. Mesti ada semacam gerakan di Korea tahun 2000 dimana negara membantu semua yang sifatnya menjual budaya. Nah, budaya kita banyak yang bisa dijual.

Jadi industri copyright yang perlu diangkat,” terang Jose. Tentang film horror yang belum diterima di festival film yang universal, sutradara film Angker Batu itu menilai karena secara gaya bertutur dan banyak hal, berbeda antara film horor dengan film pada umumnya. “Ibarat orang naik jet coaster sebagai hiburan, mereka yang berani dan suka pasti berbondongbondong naik. Tapi ada juga yang tak suka sama sekali. Artinya dalam film, karya yang hampir sama tidak apa-apa dalam konteks ini,” lanjutnya. Dia membedakan antara film drama, komedi dan horror, dimana drama tidak memungkinkan seorang kreator bermain-main seperti itu. Dalam film drama ada kualitas dalam cerita sejak awal dan memiliki kedalaman. “Maksudnya adalah, misalnya The Raid dari sisi cerita kan tidak ada apa-apanya tapi bisa mendunia. Bahkan di negara-negara yang tidak pernah menerima film Indonesia. Bahkan India sampai beli film itu, kan ini gila. Tapi, cinema language kan tidak hanya berupa cerita. Dia bisa visual, bisa soal cinta, atau action fighting. Apa yang dipertontonkan The Raid kan basi. Dan itu bahasa yang mendunia. Kenapa kita tidak semangati filmfilm seperti itu,” paparnya. Dalam konteks film festival dan bertutur budaya, The Raid tidak memiliki kedalaman itu. Tapi kan sekarang film tidak harus dilihat dari segi itunya. Makanya penting untuk ada festival film horor sendiri. Hal lain yang membedakan horror dengan drama, kata Jose, film horor mau ditulis seperti apapun tetap tergantung pada sutradaranya. Tidak peduli siapa yang menulis cerita, tetap harus dilihat siapa yang membuat. “Film action dan horror itu berbeda dengan drama atau ko-

medi. Horor itu filmnya sutradara. sutradara. Film komedi harus sudah lucu di skenario, sehingga di layar bisa lucu bahkan nambah. Tidak bisa lucu kalau scenario tidak lucu. Nah, action dan horor berbeda dengan komedi. Karena horror mengutamakan unsur visual,” terangnya. Meski filmnya mendapat apresiasi di festival luar negeri, tidak serta merta hal itu mengubah cara pandang kalangan tertentu pada film horror. “Masalahnya, mereka punya persepsi tersendiri dan tidak membuka diri. Padahal, kalau di musik ada jazz, dangdut, pop, keroncong dan lainnya yang punya proses berpikir sendirisendiri untuk menciptakannya,” katanya. Lebih lanjut dia katakana, kondisi seperti itu bukan berarti bikin film horor gampang atau tidak lebih susah dari film drama. “Hanya orang-orang yang ada di industri ini yang melihat itu. Nah hasil akhirnya, orang yang menilai. Kalau ditanya balik, roller coaster apa manfaatnya? Tapi permainan itu kan ada,” ungkap Jose. Sekarang yang penting, sebagai sebuah karya kita melihatnya ada kualitas-kualitasnya. Dalam horor ada yang bagus dan tidak bagus, misalnya karena duitnya terbatas. Begitu juga action dan drama, ada yang berkualitas dan tidak. Jadi persoalannya yang membuat horor ‘lebih mudah’ adalah karena secara penonton sudah terbentuk komunitasnya. Jadi mempromosikan film horor tidak perlu berlebihan. Kalau film drama kan orang harus dipanggil “Eh di sini ada film drama nih, bagus”. Kalau horor, pasang saja di teater “Oh ada film horor nih.” Jadi komunitas film horor sudah terbentuk. Makanya, orang-orang tidak berkualitas sekalipun kalau membuat film horor akan dimudahkan. Mengenai dukungan pemerin-

Jose Poernomo. (Foto: Dudut S.P)

tah terhadapfilm 308, Jose mengatakan tidak harus bicara horor kalau mau mendukung. “Memang betul ini industri kreatif. Indonesia harus menyemangati sesuatu yang sifatnya menjual produk bernilai tambah added value. Kita tidak perlu raw material, seperti kamera yang hanya perlu flashdisk, atau compact disk. Itu raw material jaman sekarang. Tapi added value-nya hampir tidak ada dibanding value yang bisa kita jual. Ini harus kita tanamkan daripada harus bicarakan mobil nasional misalnya,” unglapnya. Dia menambahkan, masuknya film 308 di Screamfest Horror Film Festival kemungkinan karena gaya bertutur film itu cukup paralel dengan apa yang menjadi tren mereka sekarang. Kalau kita bicara Rumah Kentang dengan Conjuring secara konsep hampir sama. Tapi secara film ini baru bisa dilakukan mereka akhir-akhir ini. Sepuluh tahun lalu, saya malah sudah menawarkan film Angker Batu untuk konsep yang mereka jadikan tren sekarang. Ide yang sama, saya bikin di sini. Tapi, meskipun sama dan sudah kita tawarkan mereka tidak ambil. Sekarang ada perubahan. Mungkin juga karena ada gerakan, dimana Korena dan Jepang remake-remake sehingga film seperti ini bisa datang dari Amerika. Bagaimana peluang film 308 di festival itu? “Saya tidak tahu apakah akan masuk 4 besar atau bagaimana. Buat saya, ini sudah sangat luar biasa. Ini lebih dari yang saya bayangkan. (imam/kf1)

Resepsi Pernikahan Sandy Sanyoto dan Martina Yo WAKIL Gubernur Jawa Barat H Deddy Mizwar bersama aktris senior Nani Wijaya hadir diantara para undangan pesta pernikahan pasangan pengantin Sandy Sanyoto dan Martina Yo di Hotel Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta pada Minggu 6 Oktober 2013. Sandy Sanyoto BBA merupakan putra sulung Rudy S Sanyoto (Direktur Interstudio) dan Sandrawati. Sedangkan Martina Yo B Com, merupakan anak dari pasangan keluarga Yoewono dan Jo Mei Sien. Resepsi dihadiri ratusan undangan diantaranya para profesional dan tokoh organisasi perfilman. Selamat menempuh hidup baru kepada pasangan mempelai beserta keluarga. **


TAKE 6

TELEVISI & PH

EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

Datu Luwu dan WCN Pro

kerjasama produksi FTV dan layar lebar Datu Luwu (Foto: Ist)

RUMAH produksi Widia Citra Nusantara (WCN) Pro bekerjasama dengan organisasi KFT, dan Datu Luwu Sulawesi Selatan akan memproduksi FTV dan film layar lebar. Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) ketiga pihak berlangsung di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Jakarta, Rabu [25/09/2013]. “Ini sejarah bagi kami karena pertamakalinya Raja Luwu bekerjasama dengan masyarakat seni perfilman. Visi kami adalah menyeimbangkan pembangunan fisik dan spiritual masyarakat adat Luwu, Sulawesi Selatan,” kata Datu Luwu, Andi Maradang Mackulau yang biasa disapa Opu ke-

pada Tabloid Kabar Film, usai menandatangani MoU. Menurut Opu, kerjasama produksi FTV dan film ini akan menjadi model bagi propinsi lain-

nya di Sulawesi. “Kerjasama ini sangat beriarti bagi masyarakat terutama di kalangan adat Luwu,” sambung Opu. Febryan Adhitya SE MSn selaku

Penandatanganan MoU antara Datu Luwu, Andi Maradang Mackulau (batik) dan PT WCN Pro diwakili Direkturnya, Febryan Adhitya SE MSn. (Foto: Dudut SP)

Empat Direktur TVRI terancam dicopot

Para direksi Stasiun TVRI ketika dilantik. (Foto: Antara)

EMPAT direktur TVRI segera dicopot. Namun, rencana pencopotan itu disebutkan tidak terkait dengan penayangan acara deklarasi konvensi Partai Demokrat. Pencopotan itu murni soal penilaian kinerja dewan direksi. Empat direktur TVRI yang menerima pemberitahuan rencana pemberhentian pada Senin (23/09/ 2013) adalah Direktur Utama TVRI Farhat Syukri, Direktur Teknik Erina Herawati CH Tobing, Direktur Program dan Berita Irwan Hendarmin, serta Direktur Pengembangan dan Usaha Erwin Aryanantha. “Rencana pemberhentian keempat direksi itu tak terkait penayangan acara konvensi Partai Demokrat meski penayangan itu menjadi catatan tersendiri bagi dewan direksi,” kata Ketua Dewan Pengawas TVRI Elprisdat M Zen, Rabu (23/09/2013) di Jakarta. Sebelumnya, TVRI mendapat teguran tertulis dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait dengan penayangan acara deklarasi konvensi Partai Demokrat pada Minggu (15/9) pukul 22.0200.25. Selain teguran tertulis, KPI juga meminta TVRI membuat surat pernyataan untuk memberi-

kan kesempatan sama kepada semua parpol peserta pemilu. “Kami menyayangkan direksi menyiarkan acara konvensi itu tanpa pertimbangan yang cukup. Namun, penyiaran acara konvensi itu tidak masuk catatan penilaian kami karena penilaian kami sudah final,” tuturnya. Menurut Elprisdat, keempat direktur yang telah diberi tahu itu punya waktu sebulan untuk membuat pembelaan tertulis sampai 23 Oktober mendatang. “Namun, dua di antaranya, yakni Direktur Pengembangan dan Usaha serta Direktur Program dan Berita, telah membuat surat pengunduran diri,” katanya. Sebelumnya, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Sidik mengatakan, teguran KPI hendaknya dijadikan jalan untuk berbenah, bukan untuk saling menyalahkan. Pasalnya, penayangan acara Partai Demokrat itu merupakan kesalahan bersama pihak dewan pengawas dan direksi TVRI. Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin, menambahkan, direksi yang melakukan kesalahan memang sudah seharusnya dievaluasi. Na-

mun, bukan berarti semua direksi dievaluasi hanya karena kesalahan sebagian direksi. Dia menilai, dewan pengawas sudah semena-mena memutuskan pencopotan empat direksi TVRI. Apalagi pemberhentian disebutkan didasarkan pada keputusan Komisi I. “Kami akan memanggil dewan pengawas, ingin tahu apa alasan (pemberhentian direksi),” katanya. Komisi I DPR menyikapi pemecatan direktur utama dan tiga direktur TVRI. Ketua Komisi I, Mahfudz Siddiq mengatakan kondisi internal TVRI saat ini memang memprihatinkan setelah dua direkturnya mengundurkan diri. “Kondisi direksi memang memprihatinkan, karena sebelumnya ada dua direktur yang dalam proses mengundurkan diri. Ketidaksolidan di tubuh TVRI karena lemahnya visi penguatan kelembagaan, sehingga banyak pihak masih terus berkutat pada urusan pragmatis,” kata Mahfudz dalam pernyataan tertulis kepada wartawan, Kamis (26/9). Mahfudz mengaku belum tahu pemecatan dirut TVRI oleh Dewan Pengawas. Namun menurutnya, persoalan internal TVRI, termasuk soal pragmatisme, tak bisa selesai dengan pecat-memecat. Alasannya, Dewan Pengawas TVRI juga ikut bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi di TVRI. Kalau manajemen TVRI harus dievaluasi, maka harus total. Tak cuma direksi, juga Dewan Pengawas. Namun, evaluasi butuh waktu. Tak bisa tergesa-gesa. “Dengan rencana anggaran Rp 1 triliun, saya pesimis bisa mendongkrak kinerja TVRI jika sikonnya masih seperti ini,” tutupnya. (tis/kf1)

produser Widia Citra Nusantara (WCN) Pro, mengatakan kerjasama ini berupa produksi FTV dan film layar lebar sebagai bagian dari program produksi pariwisata. “Produksi ini bagian dari divisi promosi pariwisata kami. Ada 28 episode FTV yang akan diproduksi dan setiap 7 episode akan dibuat sebuah layar lebarnya,” kata Febryan yang juga Wakil Ketua Bidang Hukum di KFT. Secara teknis, ide cerita yang akan disajikan dalam FTV dan film akan ditentukan bersama-sama antara WCN Pro dan pihak Raja Luwu. “Tentu unsur cerita yang diangkat harus mendapatkan izin dari pihak Raja Luwu. Sementara komposisi pemain yang akan dilibatkan 70 persen aktor dan 30 persen masyarakat Luwu,” kata Febryan. Sedangkan film layar lebar

yang akan diproduksi tidak melibatkan pemain lokal. Ketua Bidang Hukum KFT, Robin Simanjuntak mengatakan, pihaknya akan memantau kegiatan produksi. “Cita-cita KFT sejak dulu adalah bekerjasama dengan pihak daerah dalam sebuah produksi, untuk membuka dan memperkenalkan daerah melalui film,” kata Robin. Robin berharap, para kru dan tim produksi benar-benar profesional dalam bekerja. “Semoga semua kru bekerja profesional dan menghasilkan karya yang terbaik,” kata Robin Simanjuntak. (imam/kf1)

“Aku Princess” di RCTI

Para peserta ‘Aku Princess’ (Foto: RCTI)

SEBUAH ajang bakat dunia hiburan untuk anak-anak diperkenalkan RCTI sebagai program baru bertajuk “Aku Princess”. Ini dikhususkan bagi anak perempuan usia 3-5 tahun, yang memiliki bakat di bidang lenggak-lenggok di depan kamera; mulai menyanyi, menari, akting, bercerita, dan jadi peragawati. Acara akan dimulai 12 Oktober 2013 ini juga mencari anakanak Indonesia yang memiliki kecerdasan dan pola pikir positif sejak dini. ”Berbeda dari ajang bakat lainnya, Aku Princess tak hanya kompetisi bakat, tetapi juga nilai-nilai normatif yang diajarkan sejak dini dan akan dinilai selama masa karantina,” kata Direktur Programming dan Produksi RCTI, Endah Hari Utari, Senin (7/10/2013) di Studio RCTI, Jakarta. Audisi yang digelar sejak 14-15 September itu diikuti 1.130 peserta dengan 40 calon princess yang memiliki berbagai bakat dan kemampuan “Banyak bakat-bakat putri cilik yang belum tergali, ini saatnya anak-anak latihan mandiri supaya kelak menjadi bintang yang lengkap dari sisi talenta dan pribadinya,” lanjut Endah. “Kami yakin Aku Princess dapat menjadi program inspiratif dan mendidik untuk anak – anak dan orang tuanya,” jelasnya. Keempat puluh calon princess akan disaring menjadi 20 untuk masuk babak House Of Princess. House Of Princess merupakan tempat karantina, dimana para calon princess yang terpilih akan tinggal ditempat tersebut bersama orang tua / wali nya. Karantina sudah dilaksanakan sejak 6 Oktober di Hotel Grand Tropic Jakarta. Keseharian mereka akan dilihat bagaimana mereka membersihkan kamar tidur, membuat sarapan pagi, cara makan yang baik, membuat hadiah buat anak-anak lain yang tidak beruntung, menanam pohon, membersihkan sampah dan lainnya. Tentunya pelatihan akan bakat mereka pun tetap dilakukan. “Di masa karantina ini kami juga memberikan pelatihan bakat, bimbingan dan pengembangan intelektual dari para pelatih profesional hingga psikolog,” ujar Untung Pranoto, Manager Operasional Produksi RCTI. (imam/kf1)


RUANG TAMU

TAKE 7 EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

Mengapresiasi Apresiasi Film Indonesia SEBUAH email dari Sekretariat Apresiasi Film Indonesia (AFI) yang dibentuk oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI diterima kabarfilm.com, Selasa (8/ 10/2013) malam. Isinya menerangkan soal AFI 2013 yang akan memberi 18 katagori penghargaan. Juga ada foto panitia bersama juri, serta logo baru. Ini bukan pertamakalinya AFI yang didanai APBN digelar. Juga bukan pertamakalinya AFI melakukan kecerobohan di awal pelaksanaannya, terutama dalam bidang kehumasan. Sebuah kegiatan besar setingkat nasional dikerjakan dengan pola publikasi yang tidak memberi ruang komunikasi kepada masyarakat dalam hal ini media. Wartawan atau media sangat perlu menggali pertanyaan dari pelaksana AFI, serta penyelenggara dalam hal ini Kemendikbud. Urusan AFI yang terjadi setahun lalu tercatat sebagai peristiwa buruk, dimana terjadi banyak

kepentingan di dalamnya. Masih perlu dipertanyakan bagaimana ricuh mengenai dua pihak (event organizer) yang akhirnya mempermalukan nama pejabat Kemendikbud. Bukan hanya karena berteletelenya urusan penyelesaikan dropping anggaran bagi para juri dan tidak adanya publikasi yang memadai, namun yang lebih penting adalah AFI menjadi lahan proyek menghabiskan anggaran. Alih-alih ingin memberi apresiasi film dari sektor kebudayaan, justru kementerian yang memiliki simbol kebudayaan ini mewacanakan mekanisme yang tidak berbudaya. Bahkan, AFI memunculkan dua versi logo yang berbeda di saat press conference dan malam puncaknya. Tentu tidak ada yang salah dengan pemberian penghargaan kepada insan perfilman nasional tersebut. Semakin banyak agenda awarding di bidang perfilman akan menambah ‘kaya’ pengalaman

CD “Benyamin Sueb The Legend” diluncurkan MENGENANG 18 tahun wafatnya seniman Benyamin S, aktivis Fadli Zon Library meluncurkan CD (cakram padat) Benyamin Sueb. The Legend yang berisi lima lagu yang belum pernah publikasikan. CD ‘Benyamin Sueb. The Legend’ berisi 5 lagu yakni Sepak Bola, Jali-Jali, Suri- Ida Royani (Foto: ANTARA) lang, Mengapa Harus Jumpa, Trompet. Hadir pada acara tersebut maestro biola Idris Sardi, dan Biem Benyamin mewakili keluarga besar Benyamin S. Materi lagu dalam CD ini dibuat sekitar 1976 ketika Idris Sardi memimpin Orkes Simfoni Jakarta, didukung “backing vocal” Kelompok Lima, yaitu Chrisye, Keenan Nasution, Bornok Hutauruk, Berlian Hutauruk, dan Rugun Hutauruk, kata Fadli. Menurut Fadlli, warna jenaka tetap ada seperti lagu Sepak Bola dan Trompet. Namun pada lagu lainnya, Benyamin ternyata bisa bernyanyi dengan sangat serius diiringi orkestra musik simfoni Idris Sardi. “Banyak penggemar Benyamin yang belum pernah mendengar sang legenda bernyanyi serius,” katanya. Benyamin Sueb atau Benyamin S lahir di Kemayoran, Jakarta, 5 Maret 1939. Ia seniman budayawan Betawi yang sangat berbakat, bahkan jenius, berkarya hampir setengah abad. Fadli mengucapkan terima kasih kepada Idris Sardi yang sudah teliti menyimpan rekaman ini, walaupun baru dipublikasikan 37 tahun kemudian. Dia berharap berharap karya ini dapat menjadi inspirasi bagi semua orang untuk mengikuti jejak Benyamin yang multitalenta. (kf1/ant)

Panitia dan juri AFI 2013 (Kiri-Kanan) Nirwan Dewanto (Dewan Juri), Hafiz Rancajale (Dewan Juri), Bobby Batara (Tim Ahli), Totot Indarto (Ketua Dewan Juri), Ichwan Persada (Ketua Tim Ahli), Erwin Arnada (Dewan Juri), Nunus Supardi (Tim Ahli), Mathias Muchus (Dewan Juri), Dana Riza (Dewan Juri), Jajang C. Noer (Dewan Juri), Linda Christanty (Dewan Juri), Wahyu Aditya (Dewan Juri). (Foto: Humas)

batin masyarakat film itu sendiri. Pelaksanaan AFI tahun 2013 seperti dikatakan Dirjen Kemendikbud, Prof Dr Kacung Marijan sebulan lalu ketika saya ajak ngobrol, akan dilaksanakan pada bulan Oktober. Artinya, hanya ada waktu sebulan untuk menggelar AFI. Ini tidak masuk akal sebenarnya. Bandingkan dengan misalnya, Piala Maya Award — didanai

swasta — yang menggulirkan rencana pelaksanaan penghargaan tak kurang dari enam bulan sebelum penghargaan diberikan. Ini adalah sebuah keseriuan dalam melakanakan sebuah hajat besar, bukan untuk main-main. “Pokoknya lihat saja malam penayangannya,” kata Kacung Marijan ketika itu, tanpa memberi penjelasan konkret dan sepertinya enggan bicara lebih jauh soal AFI.

Kini, AFI kembali digulirkan melalui email dengan menghadirkan logo, tim kerja, dan mekanisme yang berbeda, dengan rentang waktu pelaksanaan yang lebih singkat. Tampaknya AFI tidak memiliki ‘buku panduan’ yang mengikat. Apakah masyarakat mendapatkan manfaat dari kegiatan yang kedua kalinya ini? Kita lihat saja. (imam/kf1)

‘Adriana’ Film terbaru Fajar Nugros DAYA tarik poster sebagai pencitraan film mulai diperhitungkan. Adriana, film terbaru karya Fajar Nugros, misalnya posternya justru dirilis sebulan sebelum film beredar. Rumah produksi Visi Lintas Films yang diproduseri Eko Kristianto dan Sophia Latjuba ini, salah satu pemerannya adalah Eva Celia anak Sophia Latjuba. Dalam poster yang tidak disebutkan siapa pembuatnya itu, tiga tokoh pemeran dipasang sebagai ‘juru lihat’ (sebagai ganti ‘juru bicara’) di poster Adriana yaitu Adipati Dolken sebagai Mamen, Eva Celia sebagai Adriana, dan Kevin Julio sebagai Sobar. Penempatan para pemeran ini tentu menjelaskan, siapa target penonton film ini; kalangan remaja. Tentu ada alasan mengapa hanya tiga tokoh yang muncul di poster. Padahal, ada tokohtokoh lain seperti Agus Kuncoro sebagai Pak Anshori, Hengky Solaiman sebagai Penjaga Klenteng, Toro Margens sebagai Penjaga Kuburan, Soleh Solihun

sebagai Edhi Sumarso, Masayu Anastasia sebagai Ayu, Imey Liem sebagai Imey, dan Assila Amelia sebagai Susi. Secara hitungan estetika dan grafis, memang tidak mungkin memasang seluruh pemain di poster film drama ini. Juga seandainya dihadirkan wajah Hengky Solaiman atau lainnya juga tidak ‘menjual’ atau pesan yang disampaikan malah salah. Mungkin lho, ya.

Tetapi daripada berasumsi terlalu jauh soal poster film ini, baiknya kita tengok film yang akan tayang 7 November 2013. Menurut press release yang diterima redaksi kabarfilm.com, Adriana menceritakan tokoh fiksi Adriana yang selalu memberikan tekateki kepada Mamen setiap kali Mamen ingin bertemu dengannya. Dibantu dengan Sobar, sahabat Mamen, mereka harus memecahkan tekateki yang diberikan Adriana. Jawaban teka-teki itulah yang akan menjadi waktu dan tempat pertemuan mereka berikutnya. Teka-teki ini membawa ketiga karakter untuk mendalami tokoh dan titik-titik sejarah di Jakarta. Keadaan menjadi lebih menegangkan ketika Mamen sadar akan adanya pihak ketiga diantara dia dan Adriana. Secara premis, Adriana bercerita tentang perjuangan seorang siswa SMU bernama Mamen, dalam mendapatkan cinta Adriana. Namun untuk itu, ia harus bekerja keras menjelajahi kedalaman kota Jakarta, demi memecahkan teka-teki yang diberikan oleh sang gadis. Untuk selengkapnya, silakan tunggu tayangnya di bioskop. (imam/kf1)


TAKE 8

KOMUNITAS

FESTIVAL Film Indonesia (FFI) yang akan digelar pada 7 Desember 2013 mendapat kiritik dari wartawan dan organisasi PWI Jaya Seksi F ilm dan Budaya. Acara yang didanai pemerintah sebesar Rp16,5 Miliar ini juga mendapat reakasi negatif dari sineas muda. FFI yang sempat terhenti selama 12 tahun sejak 1990-2003 kembali ke pangkuan masyarakat perfilman pada tahun 2004. Dukungan pers dalam hal ini wartawan tidak pernah surut, untuk menyampaikan maksud dan tujuan FFI kepada masyarakat luas. “Wartawan tidak pernah berhenti mendukung FFI. Bahwa FFI dari tahun ke tahun selalu bermasalah, itu karena buruknya manajemen dan munculnya banyak kepentingan di kepanitiaan yang membuat FFI sulit mendapat kepercayaan masyarakat,” kata Teguh Imam Suryadi, Ketua PWI Jaya Seksi Film dan Budaya di acara jumpa pers peluncuran FFI di Planet Hollywood Cafe, Jakarta, Rabu (19/09/2013). Jumpa pers menghadirkan Armein Firmansyah (Ketua Penyelenggara/ Direktur Pengembangan Industri Perfilman), Firman Bintang (Ketua Umum Pelaksana/ Ketua PPFI), Akhlis Suryapati (Bidang Acara/ Ketua Senakki), Hadi Artomo (Bidang Penjurian), dan Roy Marten (Ketua Bidang Humas). Dikatakan oleh Imam, wartawan bersama organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya Seksi Film dan Budaya sangat berkepentingan memperbaiki FFI yang carut-marut. PWI Jaya Seksi Film dan Budaya selalu menyambut FFI dengan mengadakan kegiatan pendukung seperti diskusi, seminar, workshop, juga pameran foto perfilman. Dalam kesempatan itu, Imam

FFI 2013

Menuai Kritik Sineas Muda dan Wartawan menyampaikan protes pada FFI yang menempatkan Roy Marten sebagai Ketua Bidang Humas. Secara tertulis, wartawan dan PWI Jaya Seksi Film dan Budaya membuat petisi penolakan terhadap Roy Marten. Alasan penolakan itu tertulis dalam petisi yang ditandatangani puluhan wartawan media cetak dan online, yaitu: 1. Bidang kehumasan adalah ranah wartawan yang professional di bidangnya 2. Masih banyak wartawan (senior ) yang bisa dimintai waktu dan tenaganya untuk FFI 3. Secara struktural dan profesi, Roy Marten tidak tepat/layak menjadi ‘komandan’ bagi wartawan yang memiliki disiplin ilmu tersendiri. 4. Tidak ada urgensi Roy Marten menjadi Ketua Bidang Humas FFI. Sebaliknya, yang terjadi adalah FFI menjadi agen humas bagi Roy Marten. Tentu saja, nama besar Roy Marten di perfilman nasional tetap kami akui dan hormati. Menurut Imam, petisi ini dilandasi solidaristas profesi wartawan serta

Semakin sehat PERSATUAN Wartawan Indonesia (PWI) Jaya Seksi Film dan Budaya membuka penitipan donasi bagi wartawan Harian Poskota, Anggara Rengganis yang sakit gagal ginjal dan dirawat di IGD RS Fatmawati sejak Anggara saat masih di Rumah Sakit. Senin 19 Agustus 2013. Kondisinya saat (Foto: Dudut SP) ini semakin membaik kendati belum pulih, bahkan sempat dropp dan kembali masuk ruang ICU RS Bhakti Yudha, Depok beberapa hari. Kendati kini sudah diperbolehkan pulang ke rumah, Anggara belum dapat melakukan aktifitas secara normal dan perlu melakukan cuci darah seminggu duakali. “Terimakasih untuk semuanya,” kata Anggara, saat dijenguk Ketua PWI Jaya Seksi Film dan Budaya Teguh Imam Suryadi, yang sekaligus menyerahkan donasi di RS Bhakti Yudha, Senin (9/9/2013). Berikut ini daftar donasi yang dititipkan melalui PWI Jaya Seksi Film dan Budaya sampai 8 Oktober 2013: DAFTAR DONASI PT Cancer Mas Film Derry Wartawan PT Rapi Film PT Maxima PWI Jaya Seksi Film dan Budaya PT Demi Gisela Utama Edo Musiclive PT Kharisma Starvision Ukus Kuswara Cinema 21 Soraya Film Intercine Ami Herman Jumlah total

semangat memperbaiki FFI. “Apakah para dokter mau diketuai oleh seorang dukun dalam menangani sebuah operasi? Nah, itu ilustrasi sederhananya. Seharunya, kepanitiaan FFI benar-benar dipilih berdasarkan kapasitas dan kapabilitas di bidangnya masing-masing,” katanya. Petisi ini nantinya akan dikirim ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan DPR RI. Di lain pihak, kalangan sineas muda seperti Hanung Bramantyo menyatakan ‘genk sineas muda’ tidak akan melibatkan diri secara teknis dengan FFI tahun ini. “FFI harus ditunda dulu sampai terbentuk Badan Perfilman Indonesia, sehingga FFI tidak ditangani lagi oleh Direktorat Perfilman. Tahun ini kami tidak melibatkan diri di FFI,” ujar Hanung. Kendati digaungkan oleh panitia FFI maupun pemerintah bahwa tidak ada dikotomi tua dan muda dalam perfilman, namun tidak terlihat satupun anggota sineas muda hadir di acara jumpa pers peluncuran FFI. Tetap dilaksanakan di Semarang

Launching FFI 2013 di Planet Hollywood, dihadiri

Direktur Pengembangan Industri Perfilman Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Armein Firmansyah, selaku Ketua Penyelenggara FFI 2013 mengatakan sulit membatalkan pelaksanaan FFI 2013 bulan Desember.

Islamic International Film Festival digelar 2014

Wartawan Anggara Rengganis

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

: Rp : Rp : Rp : Rp : Rp : Rp : Rp : Rp : Rp : Rp : Rp : Rp : Rp

1.000.000,200.000,200.000,1.000.000,1.100.000,1.500.000,200.000,500.000,5.000.000,1.000.000,1.000.000,100.000,12.400.400,-

SEBUAH kegiatan perfilman berskala internasional bertajuk ‘Islamic International Film Festival’ (IIFF) 2014 akan diselenggarakan bersama oleh Sinematek Indonesia dan Semangat IIFF PWI Jaya Seksi Film dan Buadalah memdaya. publikasikan “Islamic karya-karya International Film Festival para sineas adalah event dari negara perfilman inIslam, yang ternasional jumlahnya pertama yang cukup melibatkan film-film pebanyak. serta dari seluruh negara Islam di dunia,” kata Adisurya Abdy Kepala Sinematek Indonesia. IIFF menurut Adisurya merupakan upaya meningkatkan hubungan antarnegara Islam, memberi apresiasi sekaligus edukasi kepada masyarakat muslim. “Pada event itu nanti kita akan

menampilkan film-film terbaik dari negara-negara berpenduduk muslim, untuk saling berbagi pengalaman dan saling mengapresiasi karyakarya yang dibuat,” katanya. Menurut Adisurya, sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia memiliki kesempatan untuk memberi ruang publik yang lebih luas bagi sineas muslim di seluruh dunia. “Semangat IIFF adalah mempublikasikan karya-karya para sineas dari negara Islam, yang jumlahnya cukup banyak. Ada lebih dari 50 negara berpenduduk Islam di dunia, yang akan menjadi peserta,” katanya. Saat ini menurut Adisurya, pihaknya bersama-sama organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya seksi Film dan Budaya yang diketuai Teguh Imam Suryadi sedang mempersiapkan metode, dan menyusun jaringan ke sejumlah lembaga baik di dalam maupun luar negeri. Beberapa pihak atau lembaga yang sedang dijajaki menjadi mitra dan pendukung IIFF 2014 adalah Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan lembaga lainnya yang memiliki visi yang sama. (kf)


KOMUNITAS

TAKE 9 EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

>> KOLOM

FFI Kita Tahun Ini Oleh: Armein Firmansyah Direktur Pengembangan Industri Perfilman Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

panitia pelaksana. (Foto: Dudut Suhendra Putra)

Pasalnya, selain anggarannya sudah disiapkan pemerintah, pemerintah daerah yang akan menjadi tuan rumah pelaksanaan FFI juga sejak jauh-jauh hari sudah setuju. Untuk itu, Pemerintah Provinsi Jateng bahkan sudah menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama FFI. “Gubernur Jateng bahkan akan menjadikan pelaksanaan FFI sebagai tanda berakhirnya pelaksanaan Visit Jateng 2013. Di sisi lain, jumlah film peserta FFI 2013 juga sudah banyak. Panitia juga

sudah bekerja. Jadi, kami tetap akan melaksanakan FFI 2013 sesuai rencana awal,” ujar Armein. Dia menambahkan, pelaksanaan FFI 2013 di Jateng nanti akan dipusatkan di Kota Semarang, menggunakan gedung yang baru dibangun di tepi pantai, yakni Marina Convention Center. FFI 2013 berdasarkan catatan terbaru akan diikuti sejumlah film yang dibuat khusus untuk kegiatan festival. Artinya, film yang diikutkan FFI tahun ini berkualitas. (dudut/imam/kf1)

FESTIVAL FILM INDONESIAPengunjung mengamati sejumlah poster film Indonesia yang akan diputar pada Festival Film Indonesia 2013, di CGV Yongsan, Seoul, Korsel, Kamis (26/9). Festival Film yang dibuka oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa itu merupakan yang pertama kali digelar di Korsel dan akan berlangsung hingga 2 Oktober mendatang. ANTARA (FOTO/R. Rekotomo)

KLARIFIKASI SOMASI FILM SOEKARNO- Produser Film Soekarno yang juga Direktur PT Tripar Multivision Plus, Raam Punjabi (kiri) dan Sutradara Film Soekarno Hanung Bramantyo memberikan tanggapan dan penjelasan atas somasi putri Presiden RI pertama Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri terhadap film Soekarno di Jakarta, Rabu (18/9). Rachmawati Soekarnoputri melayangkan somasi pada 12 September 2013 kepada Multivison Plus (MPV Pictures) terkait produksi dan pengedaran serta penayangan film Soekarno. (ANTARA FOTO: Teresia May)

“Desember ceria...” Arti penggalan lirik lagu lama Indonesia ini kiranya tepat menggambarkan perhelatan insan perfilman di Semarang pada bulan terakhir tahun ini. Semarang sebagai tuan rumah FFI 2013 telah siap. Insan perfilman tanah air pun siap terlibat, siap tampil, siap menyelenggarakan, dan siap menyukseskannya. Arti paling gampang, FFI 2013 siap diselenggarakan. Rencana pelaksanaan penyelenggaraan pun kian dimatangkan. Sejumlah pertemuan antarpemangku kepentingan mengarah pada kesepakatan untuk selebrasi tahunan dunia perfilman nasional. Pertemuan lain digagas untuk hal yang sama dengan melibatkan insan perfilman dan Pemerintah. Hal-hal yang bersifat koordinatif dan fasilitatif beberapa kali dibahas di Jakarta dan Semarang antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah Jawa Tengah. Titik tekan penyelenggaraan berusaha dipertahankan seperti ketika gagasan awal FFI tahun ini mengemuka. Sepenuhnya, insan perfilmanlah yang berperan, Pemerintah lebih bertindak sebagai fasilitator, dan Pemerintah Daerah Jawa Tengah menjadi tuan rumah dengan sejumlah pemberian fasilitasi yang dimungkinkan dalam kewenangannya. Artinya lagi, masing-masing unsur dalam penyelenggaraan FFI tahun ini akan bertindak sesuai dengan mandat, wewenang, kewajiban, hak, tugas, dan tanggung jawabnya masing-masing. Gambaran di depan menghapus keraguan sejumlah pihak tentang kemampuan insan perfilman dalam kegiatan penyelenggaraan FFI tahun ini. Semangat, komitmen, profesionalitas, dan kerelaan berbagi waktu dan tenaga menjadi energi luar biasa untuk FFI 2013. Jauh-jauh bulan, insan perfilman sudah saling mengingatkan, yang kemudian bermuara pada kesepakatan untuk menyelenggarakan. Tentu dengan landasan, melakukan semuanya dengan lebih baik dan semoga akan selalu menuju ke hal yang lebih baik. Sikap pesimis dan apatis sebagian kelompok masyarakat tentu perlu disikapi secara bijak. Bisa dengan himbauan. Dapat dengan pembujukan. Bisa juga melalui PR-ing atau penghumasan FFI secara strategik. Bisa pula melalui pembuktian atas hasil penyelenggaraan FFI tahun 2013 di Semarang nantinya. Inti dari semuanya, menghapus kesalahan persepsi dan keraguan motivasi menjadi energi penyatu yang mengakselerasi upaya memajukan dan mengembangkan perfilman. Masyarakat awam, khususnya masyarakat di provinsi Jawa Tengah, dan lebih khusus lagi masyarakat kota Semarang, tentu sangat menantikan cara masyarakat perfilman melakukan selebrasi atas keprofesionalan mereka. Masyarakat ini pula yang akan menjadi supervisor, pemonitor, dan evaluator terhadap penyelenggaraan FFI ini nantinya. Harapan terbaik, penyelenggaraan FFI berlangsung dengan sukses dan masyarakat mendapat pembuktian nyata. Tak dapat dikesampingkan perannya dalam pencapaian upaya menyukseskan FFI tahun ini adalah media massa. Secara jelas, sudut pandang liputan Indonesia Good News akan lebih menonjolkan nilai-nilai positif dari insan perfilman dengan segala macam aktivitas mereka yang mengarah pada keterlibatan dalam FFI. Apresiasi layak diberikan dalam hal ini karena cara seperti inilah cara yang paling mumpuni dalam membangkitkan optimisme dan menebar sisi positif. Bukan berarti media massa kemudian tidak bisa bersikap kritis terhadap penyelenggaraan FFI ini. Sikap kritis media massa tetap diperlukan bahkan idealnya diharuskan sepanjang dilakukan dalam koridor etika jurnalisme dan berdasar pada standar profesional jurnalisme. Artinya, media massa pun dapat melakukan pemberdayaan dan pendewasaan masyarakat terhadap perhelatan insan perfilman. “Permainan opini” terhadap penyelenggaraan FFI akan mendapatkan maknanya bila media massa mampu menjadi peliput peristiwa, penyusun, dan penyaji berita; dan bukan “pembuat” berita. Titik pemaknaan penting lainnya dari kesiapan insan perfilman dalam rencana penyelenggaraan FFI di Semarang pada akhir tahun ini harus dilihat nantinya dari fungsi positif yang dihasilkan. Dua hal layak menjadi barometer. Pertama, penyelenggaraan FFI dan hasilnya dapat mengangkat reputasi industri perfilman di tanah air dan sebisa mungkin di jagad perfilman internasional. Kedua, penyelenggaraan FFI memberi dan membuka peluang berlangsungnya dinamika ekonomi perfilman di dalam masyarakat. Bersama kita bisa memajukan film Indonesia. Bersama-sama pula kita bisa membuktikan industri perfilman sebagai industri penting dalam upaya mengembangkan ekonomi kreatif Indonesia.***


KOMUNITAS PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono menerima aktor Hollywood dan penggiat lingkungan hidup Harrison Ford di Kantor Presiden, Selasa (10/9) pukul 11.00 WIB. Ford menemui SBY untuk melakukan wawancara mengenai isu-isu lingkungan hidup di Indonesia untuk keperluan pembuatan film dokumenter Years of Living Dangerously. “Kepentingan Harrison Ford mewawancarai Presiden SBY adalah untuk film dokumenter yang temanya adalah bagaimana menjaga atau melestarikan lingkungan hidup, menyelamatkan dunia dari climate change,” kata Jubir Julian Aldrin Pasha, seusai pertemuan, di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta. Ford, aktor asal Amerika Serikat pemeran serial Indiana Jones, telah berada di Indonesia sejak Minggu (1/9) lalu untuk menggarap film dokumenternya. Sebelum bertemu Presiden SBY, Ford telah bertemu sejumlah aktivis lingkungan, kalangan pengusaha, dan pejabat bidang lingkungan seperti Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Dalam pertemuan ini, Presiden SBY menjelaskan kebijakan pemerintah terkait dengan konservasi hutan, upaya pencegahan pembalakan liar, reforestasi, dan pelestarian hutan secara keseluruhan. “Indonesia bersungguh-sungguh dalam hal penyelamatan dan memelihara hutan kita, namun demikian Indonesia juga tidak ingin bekerja sendirian, mengharapkan kerja sama dari internasional, private sector, para pelaku bisnis secara langsung maupun tidak dengan hal-hal yang terkait sektor kehutanan,” Julian menjelaskan. Ford, yang juga seorang aktivis perubahan iklim mewakili UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) telah melakukan syuting di Orangutan Centre Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah, dan Taman Nasional Tesso Nilo di Riau. Menurut Julian, Ford sangat happy dengan kondisi pengelolaan hutan dan habitat orangutan di Kalimantan. “Tapi ada hal-hal yang dilihat kurang pas dalam im-

TAKE 10 EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

(Foto: presidensby.info)

plementasi atau realita di Tesso Nilo. Tadi dijelaskan oleh Presiden bahwa sedang dalam proses dalam menangani semuanya,” Julian menambahkan. Sikap pemerintah sangat jelas, pelestarian hutan dan lingkungan menjadi prioritas. “Bilamana ada penyimpangan dan bertentangan dengan upaya pemerintah dalam pelestarian hutan, Presiden telah menginstruksikan pada jajaran yang memiliki kewenangan untuk menindak tegas pihak yang menghalangi pelestarian hutan,” Julian

menegaslkan. Untuk pengelolaan hutan dari degradasi, Indonesia mendapat dukungan dan perhatian melalui kerja sama khusus, seperti REDD+ dengan pemerintah Norwegia, dan asosiasi pecinta lingkungan. Years of Living Dangerously adalah film dokumenter yang mengisahkan mengenai perubahan iklim. Film ini diproduksi oleh jaringan Showtime yang meibatkan Arnold Schwarzenegger, James Cameron, dan Jerry Weintraub sebagai produser pelaksana.

Harrison Ford sendiri bertindak sebagai narator utama. Film ini terdiri atas delapan seri, masing-masing seri berdurasi satu jam. Untuk seri Indonesia, akan diangkat isu-isu seperti kebakaran hutan, konservasi lahan gambut, dan perkebunan kelapa sawit. Tujuh seri lainnya mengambil isu di negara Asia lainnya. Film yang akan dirilis pada April 2014 ini dibintangi oleh Matt Damon, Ian Somerhalder, serta Olivia Munn. Pada tahun 1982 pernah ada

film dengan judul serupa, yakni The Yeras of Living Dangerously, yang diproduksi Australia. Tapi film yang tengah digarap Harrison Ford ini sama sekali berbeda dan tidak ada hubungan dengan film Australia yang dbintangi Mel Gibson tersebut. Hanya judulnya saja yang nyaris serupa. Mendampingi Presiden saat menerima wawancara Harrison Ford adalah Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto, Jubir Julian Aldrin Pasha, dan Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah. (presidensby.info)

Cinema 21 gelar ‘APEC Unthinkable Week Film Festival’

FORUM Asia Pasific Economic Corporation (APEC) Unthinkable Week 2013 yang akan digelar di Bali mulai 2 sampai 5 Oktober 2013 diselingi beberapa kegia-

tan festival, salah satunya APEC Unthinkable Film Festival 2013, kerjasama Cinema 21 dan panitia APEC Unthinkable Week. APEC Unthinkable Week

Film Festival 2013 sendiri akan digelar di Cinema XXI Beachwalk Bali mulai 3 sampai 5 Oktober 2013. Film Festival ini diadakan sebagai bentuk dukungan Cinema 21 kepada acara APEC Unthinkable Week. “Untuk mendukung Forum APEC yang dilaksanakan di Bali, kita bekerjasama dengan panitia untuk ikut menayangkan film-film berkualitas. Ada 13 judul film yang kita putar, tidak hanya film nasional tapi filmfilm yang berasal dari negara APEC itu sendiri,” jelas Catherine Keng selaku Corporate Secretary Cinema 21 dikutip 21cineplex.com.

Film-film yang diputar dalam APEC Unthinkable Week Film Festival adalah Soegija, Negeri 5 Menara, 5 cm, Habibie & Ainun, Hello Goodbye, I’m Star, Rectoverso, Rayya, Cahaya Diatas Cahaya, La Tahzan, Lewat Djam Malam, The Grandmaster, Miracle in Cell no 7 dan 7 Assassins. “Kita tetap mengedepankan film nasional, ada 10 film dari Indonesia dan 3 film dari negara anggota APEC, kita pilih filmfilm ini karena memiliki tema kebersamaan dan tidak memiliki pesan yang negatif,” tambah Catherine Keng. APEC Unthinkable Film Fes-

tival 2013 pertama kali digelar dalam kalender APEC Unthinkable Week 2013. Acara ini mengulang kesuksesan ADB (Asian Development Bank) Unthinkable Week 2009, Batam Unthinkable Week 2010, ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) Plus Unthinkable Week 2011. APEC Unthinkable Week 2013 adalah acara yang diprakarsai oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Acara ini ditujukan sebagai ajang sosialisasi dan promosi pelaksanaan kebijakan/program Pengembangan Wirausaha Muda. (imam/kf1)


PREVIEW

TAKE 11 EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

Maxima Pictures siapkan '99 Cahaya di Langit Eropa' FILM ’99 Cahaya di Langit Eropa’ menjadi titik balik bagi Maxima Pictures untuk terus eksis didunia perfilman tanah air. Lewat film yang merupakan adaptasi dari novel laris karya Hanum Rais tersebut Maxima Pictures juga menyelipkan sebuah misi besar untuk merubah image secara perlahan. Dua tahun terakhir Maxima terus menelurkan film yang tidak hanya menyajikan film yang tidak hanya menghibur namun juga mengedukasi para penikmat film Indonesia. Sebut saja film Berandal Kali Ciliwung yang meceritakan tentang arti persahabatan dan kebersamaan yang dirilis pada tahun 2012. Kemudian film Tampan Tailor yang menceritakan perjuangan seorang tukang jahit bernama Topan (Vino G. Bastian) yang harus terus melawan nasib walau telah kehilangan semua hal yang dia cintai. Kemudian ada Refrain (2013) yang akhirnya membuat kita yakin akan pepatah ‘Jodoh Tak Lari Kemana’. Hingga pada akhirnya pada tanggal 9 September 2013 lalu tim dan kru Maxima Pictures bertandang ke Austria untuk menghidupkan kembali kisah Hanum Rais dan suaminya Rangga yang menemukan keindahan Islam selama berkeliling di Eropa. Maxima Pictures didirikan oleh Yoen K pada tahun 2004. Pria yang dahulu bekerja sebagai seor-

ang journalis dan juga copywriter ini memang telah lama bermimpi untuk menjadi seorang sutradara, produser sekaligus memiliki rumah produksi sendiri. ‘Bangun dan wujudkan mimpimu,” kata-kata tersebut sepertinya menjadi cambuk bagi Yoen K untuk mewujudkan mimpi besarnya memiliki rumah produksi yang akhirnya dia beri nama Maxima Pictures. Yoen K percaya bahwa beliau tidak mungkin bisa membangun mimpi seorang diri. Oleh karena itu akhirnya beliau mengajak dua sahabatnya yaitu Ody Mulya dan Sudiadi dan merilis film pertama mereka yang berjudul ‘Cinta Pertama’ pada tahun 2006. Lewat film tersebutlah akhirnya Maxima terus memberanikan diri hingga kini siap untuk mengarap film ke-40 yang berjudul ’99 Cahaya di Langit Eropa’. Sama seperti judulnya, film ’99 Cahaya di Langit Eropa’ mengambil keseluruhan lokasi di Eropa yang meliputi Wina, Cordoba, Paris, dan Istanbul. Untuk itu pula Maxima Pictures harus menyiapkan dana yang lebih besar yaitu lima kali lipat lebih besar dibandingkan film Maxima sebelumnya. Turunya jumlah penonton dan penikmat film Indonesia diakui sebagai kendala besar bagi Maxima. Terlebih saat ini harga tiket bioskop melonjak naik. Namun

Adegan film '99 Cahaya di Langit Eropa'

Maxima Pictures yakin bahwa film yang mereka garap memiliki potensi yang besar karena ’99 Cahaya di Langit Eropa’ merupakan film yang diangkat dari novel laris. Selain itu, Yoen K juga berjanji akan memanjakan mata penonton dengan kualitas visual dan alur cerita yang menarik. Sehingga nantinya para pecinta novel tersebut akan dibawa kedalam alam bawa sadar mereka untuk menvisulkan seluruh isi buku yang mereka baca. Begitu pula dengan para penikmat film yang baru mengetahui cerita tersebut untuk pertama kalinya. Mereka akan tahu bahwa Islam merupakan agama yang mengajarkan ksaih sayang, toleransi dan cinta damai. “Itu yang coba diterjemahkan dalam film ini, jadi agen muslim yang baik di negara yang mayoritas non muslim. Saya percaya diri film ini mempunyai potensi besar,” ujar sang produser Yoen K. Film ’99 Cahaya di Langit Eropa’ dibesut oleh sutradara Guntur

Soeharjanto dan rencananya akan dibuat menjadi dua bagian. Hal tersebut karena Maxima mencoba untuk mengutarakan seluruh isi novel dengan baik tanpa mengurangi isi cerita. “Jadi total durasi dua film tiga sampai empat jam,” ucap salah satu penulis buku ’99 Cahaya di Langit Eropa’ Rangga Almahendra. Hal tersebut pula yang akhirnya membuat Maxima Pictures mengadopsi hampir sebagaian lokasi se-real mungkin seperti Museum Vienna, Museum Louvre dan salah satu kampus tertua di Wina yang telah dibandun sejak abad 13. Untuk itu Maxima bersama kru juga harus bekerja keras mengurus perizinan yang sedikit alot. Beruntung, Maxima yang diwakili oleh sang penulis buku Hanum Rais dan sang suami Rangga mendapatkan bantuan dari Kedutaan Austria dan Kedutaan Turki untuk masalah perizinan tersebut. Gencatan film asing yang sangat sulit dikontrol diakui Yoen K

sebagai salah satu alasan kuat baginya untuk menelurkan film ’99 Cahaya di Langit Eropa’. Yoen K yang dahulu bermimpi memiliki sebuah rumah produksi merubah mimpinya untuk menjadi Raja perfilman Indonesia. Yoen K menganggap film-film barat yang terus masuk ke Indonesia tidak hanya mengancam industri perfilman Indonesia. Namun juga akan merusak perkembangan dan budaya perfilm indonesia seperti film-filmnya yang sangat jelas memcerminkan negara indonesia. Film-film tersebut nantinya akan terancam oleh film-film barat yang dikhwatrikan akan menenggelamkan budaya dan citra nasional. Atas dasar itulah Maxima Pictures terus menciptakan karya yang tidak hanya layak untuk ditonton namun juga mencerminkan kehidupan masyarakat Indonesia salah satunya dengan menciptakan film ’99 Cahaya di Langit Eropa’. (imam/kf1)

Komunitas indie Sumut filmkan tokoh Benny Pasaribu

WORKSHOP FILM- Artis film, Happy Salma (kanan), mendengarkan penjelasan seorang penulis novel Air Mata Terakhir Bunda (AMTB), Kirana Kejora, saat Workshop Film AMTB di City of Tomorrow (Cito) Surabaya, Kamis (3/10). Film yang berlokasi di wilayah peta terdampak luberan lumpur panas Lapindo Sidoarjo tersebut, bercerita tentang kemuliaan sebuah keluarga dalam kehidupan. ANTARA. (Foto: Eric Ireng)

Sutradara film, Mira Lesmana (kiri) bersama Kamila Andini (kanan) menjadi pembicara dalam dialog dan diskusi film "Makassar Seasscreen Forum 2013", di De Luna café, Makassar, Sulsel, Minggu (6/10/2013). Forum tersebut merupakan ajang diskusi, percakapan, dan presentasi sehari-hari tentang berbagai isu menarik dan relevan dalam dunia perfilman di Indonesia maupun internasional yang dapat memajukan pemikiran para peminat film. (ANTARA FOTO: Dewi Fajriani)

KOMUNITAS film indie di Sumatera Utara bersama Abah Production sedang memproduksi film dokumenter tentang masa kecil dan remaja tokoh kerakyatan Sumatera Utara Dr Ir Benny Pasaribu, MEc. “Kami syuting dengan cara gotong-royong,” kata Jufry Bulian Ababil selaku eksekutif produser Abah Production, Selasa (8/10/2013). Produksi film tersebut dibuat dalam dua format, profil dan dokumenter yang masingmasing berdurasi 7 dan 15 menit. “Untuk tahap pertama, syuting di Gunung Pusuk Buhit tepi barat Danau Toba. Kami melibatkan ribuan remaja di sejumlah kabupaten dan kota di Sumatera Utara dari casting hingga nonton bareng,” ungkap Jufry yang sedang di lokasi syuting. Bersama rekannya Rion Aritonang selaku Manager Produksi, Jufry melakukan riset dan menulis skenario film dokumenter lebih dulu. “Setelah itu kami buat film cerita yang terinspirasi kisah hidup Bang Ben (sebutan Benny PasaribuRed) sejak anak-anak hingga remaja,” lanjutnya. Beberapa komunitas film indie di Medan, Deli Serdang,

Langkat, Binjai, Tanjungbalai, Asahan, Serdangbedagai maupun Tebingtinggi yang pernah mengikuti pelatihan produksi di Abah Production direkrut bersama-sama memproduksi film tersebut. “Ini akan menarik, karena walau Bang Ben dari Tapanuli, kita beri kebebasan berkreasi kepada remaja di daerah lain untuk mengadaptasi naskah tersebut, sesuai budaya dan karakter daerah masing-masing,” jelas Jufry yang merupakan wartawan senior Harian Mimbar Umum. Menurut Jufry dalam dua tahun terakhir film indie Sumatera Utara mengalami kelesuan. Diharapkan produksi film ini memicu kembali potensi remaja kreatif di Sumut. “Semoga akan lahir karya-karya lain yang berbasis kearifan lokal dari masing-masing daerah secara merata,” ungkapnya. “Walau kami fokus membuat dokumenter Bang Ben, tetapi pembicaraan ke produksi film cerita tentang Bang Ben di jaringan komunitas di daerah-daerah mulai dilakukan,” ujarnya. Dituturkan, film berdurasi 15 menit tersebut mencerita-

Benny Pasaribu. (Foto: Jufry)

kan sosok Benny kecil yang yatim, sejak ayahnya meninggal dunia pada saat berusia 3 tahun. Benny kecil empat bersaudara kemudian dibesarkan oleh kakek dan nenek mereka di lingkungan desa dengan sawah, ladang dan peternakan sebagai mata pencaharian. “Ending film tersebut kita serahkan ke kawan-kawan, apakah mengarah kesuksesan meraih prestasi pendidikan dan beasiswa, atau ke romansa masa remaja atau sisi-sisi lain yang mengedepankan konflik batin saat Benny muda sedang menentukan arah hidupnya,” jelasnya. (abah/imam/kf1)


DIA

TAKE 12

EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

Sammaria Simanjuntak (Foto: Sunny)

Sammaria Simanjuntak bersama para pemain ‘Selamat Pagi, Malam’ (Foto: Sunny)

RUMAH produksi Kepompong Gendut milik produser Sammaria Simanjuntak kembali bekerja. Semangatnya konsisten, dengan budget yang minim. Hal tersebut dikatakan Sammaria yang dijumpai Tabloid Kabar Film di sela syuting perdana Selamat Pagi, Malam di Hotel Sultan, Jakarta Senin (30/10/2013) siang. “Kita syuting sembilan hari plus 2, kenapa? Karena low budget,” ungkap Maria, yang film produksi pertamanya, Demi Ucok meraih sukses setahun silam. Meskin berbiaya kecil, penggarapan film dilakukan profesional. “Budget kami memang kecil tapi tim kami profesional, berstandard film besar lho, dan hasilnya juga besar..” lanjutnya. Ya, semangat membuat film berkualitas memang sangat ‘mahal’. Beruntung, Maria didukung tim satu visi yang bekerja spartan dan cekatan. “Tidak boleh take lebih dari tiga kali. Karena sebelum syuting, seluruh tim sudah fokus dalam proses reading yang intens,” katanya. Sebagai produser, wanita kelahian Bandung, 4 Mei 1983 ini pernah bekerja setahun sebagai arsitek. Namun impian terkuatnya membuat film. Dia pun meninggalkan ruang arsitek, dan me-

milih mengarsiteki film. Pada tahun 2009 Sammaria meluncurkan film panjang pertamanya berjudul cin(T)a. Tahun 2010, Sammaria menyutradarai filmdokumenter pertamanya Lima Menit Lagi (bagian dari antologi Working Girls yang dirilis di bioskop pada bulan Juni 2011). Setahun kemudian, Sammaria mendirikan PT Kepompong Gendut, dan memproduksi Demi Ucok. Berbeda dengan produksi pertamanya, dia menjadi produser sekaligus sutradara, kali ini dia serahkan penyutradaraan dan penulisan ske-

nario kepada Lucky Kuswandi (sutradara Madame X). “Lucky yang punya ide untuk proyek film ini, skripnya pernah masuk JiFFest dan beberapa festival film di luar negeri. Ini pertama kali aku memproduseri film karena pingin nonton filmnya, “ kata Maria, seraya menyebut, filmnya bicara tentang Jakarta di suatu malam, juga tiga cerita, dan tiga wanita. Ada Anggia yang pulang ke kampung halamannya, Jakarta, setelah lama menetap di New York, tapi Jakarta seperti bukan rumahnya lagi. Ada Indri yang mencari pangerannya. Dan, ada

karakter Bu Surya yang ingin menemukan identitasnya yang selama ini hilang. Lucky sang sutradara menimpali, “Saya sudah lama menulis skrip film ini. Dari pengalaman pribadi ketika saya balik ke Indonesia. Malam-malam aku tidak bisa tidur karena beda waktu jadi aku sering kesepian kalau malam-malam melihat Jakarta. Jakarta malam hari indah banget. Kalau siang semua orang menjalani kewajibannya dengan topeng masing-masing dan di malam hari topengnya dilepas sehingga kelihatan Jakarta yang aslinya.” “Kota Jakarta yang mengadposi berbagai identitas. Sampai pada akhirnya.. Tidak ada yang tahu siapa Jakarta sebenarnya. Hanya di malam hari, kota ini melepaskan topengnya dan menjadi diri sendiri. Di suatu malam yang sangat biasa ini, tiga wanita di atas perlahan melepaskan topengnya. Demi

mendapatkan sebuah permulaan yang baru, “ ujar Lucky. Dalam film ini dihadirkan para pemain Adinia Wirasti, Marissa Anita, Trisia Triandesa, Deera Sugandi, Ina Patricia Graziella, dan Dayu Wijanto, Paula Agusta, Sunny Soon, dan lain-lain. Hadirnya para pemain tersebut tak menjadikan mereka unggul dibandingkan lainnya. “Para pemain mewakili berbagai karakter. Ini film multi plot yang melankolis tapi bisa ditonton sambil ketawa-ketawa. Tidak ada peran utama, karena semua peran menentukan,” jelas Maria. Komposisi tim produksi film ini merupakan kumpulan profesional, yang memiliki pertemanan cukup kuat. “Semua cast adalah teman yang memberi enerji besar, dan itu tak terbayarkan. Saya membuat film tidak muluk-muluk, bahkan yang diatas kertas tidak ada penontonnya,” pungkas Sammaria Simanjuntak. (imam/kf1)


ON THE SPOT

TAKE 13 EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013


PROFILM

TAKE 14

EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

Prof H Kacung Marijan, Drs,MA, PhD, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI

Tentang perfilman dan program rintisan PROF H Kacung Marijan Drs MA PhD punya kesibukan yang padat sebagai Dirjen Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pria kelahiran Lamongan, 25 Maret 1964 yang merupakan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga ini mengaku selalu pulang malam. “Rumah saya di Cipete, tapi tidak pernah pulang ketika matahari masih bersinar,” kata Kacung Marijan yang dijumpai Tabloid Kabar Film di ruang kerjanya pada Kamis 12 September 2013. Sore menjelang malam itu, dia lebih sibuk. “Saya baru dari Museum Nasional, sejumlah arca hilang dicuri..” Diselingi aktifitas menerima telepon dan menandatangani surat-surat, Kacung Marijan menjawab isu seputar perfilman Indonesia di bawah koordinasi Direktorat Kebudayaan yang dipimpinnya. Berikut ini petikannya: Film ‘Soekarno’ akan diproduksi oleh Dikbud apa alasannya? Kita (Dikebud-red) punya fungsi mendorong pertumbuhan perfilman nasional. Tetapi kita tidak bisa langsung membuat film komersil karena terkait dengan aturan main soal keuangan. Namun kita bisa membuat film non komersil, yang mengandung nilainilai kebaikan termasuk tentang

tokoh-tokoh atau orang-orang besar. Soekarno adalah proklamator dengan kepribadian luar biasa. Mulai dari Bung Karno lahir sampai meninggal adalah angleangle cerita film yang luar biasa. Tetapi tidak mungkin kita membuat film seperti itu, karena terlalu panjang dan luas. Berdasar riset teman-teman tim produksi film Soekarno, mereka ambil kurun waktu tahun 1934 sampai 1938 karena waktu yang baik sebagai pembelajaran, yaitu ketika Bung Karno dipenjara di Ende setelah di Sukamiskin. Di Ende, Bung Karno menemukan komunitas baru untuk pembentukan Indonesia di kemudian hari. Ende menjadi tempat kontemplasi Bung Karno mengenai ketuhanan, kemanusiaan, dan masyarakat plural. Kisah ini belum banyak diungkap. Nah, film Soekarno ini diharapkan menjadi instrumen pembelajaran bagi anak didik tentang keindonesiaan.

Soekarno prioritas karena belum ada yang menggarap. Bahwa kemudian Hanung Bramantyo juga membuat, kita tidak tahu karena kita tidak ada koordinasi dengan Hanung. Tetapi tak perlu dipertentangkan soal siapapun yang membuat. Karena Bung Karno bisa dibuat banyak versi filmnya. Ini baru dua film. Perlu saya informasikan, tahun depan kita produksi film dokumenter tentang seluruh presiden Indonesia. Mulai dari Bung Karno sampai SBY. Ini formatnya berbeda dengan film Soekarno yang ada bumbu drama dan kemanusiaan di dalamnya. Film Presiden Presiden bisa dibuat film pendek atau dokumenter. Mengapa tidak ditayangkan di bioskop?

Selain Bung Karno, siapa lagi tokoh yang akan difilmkan oleh Dikbud? Soekarno ini film panjang dan akan diputar di TVRI serta sekolah-sekolah. Selain Bung Karno ada tokoh lain yang kita harapkan juga bisa, tetapi

Kita tidak secara khusus memutar film Soekarno di bioskop karena menyangkut soal aturan. Pemerintah tidak boleh membuat film komersial. Jadi bukan karena tidak punya duit. Kalau sepuluh atau 20 Miliar punyalah. Tapi kan gak boleh (bikin film komersil –red). Mungkin ada mekanisme lain agar bisa ditonton di bioskop? Saya sedang mempelopori untuk fasilitasi yang lain. Karena kita juga fasilitasi sineas muda pembuat film pendek. Mungkin berkolaborasi dengan film-film komersil seperti apa dan bagaimana. Adakah ruang untuk itu. Secara hukum, dan lain-lain. Ini yang sedang saya pelajari. Seperti di Korea, hal seperti itu memungkinkan. Bagaimana dengan Apresiasi Film Indonesia (AFI) Rencananya AFI dilaksanakan bulan Oktober 2013. Kita belajar dari tahun lalu dalam pelaksanaannya. Lihat saja tayangannya nanti. Yang penting adalah industri film Indonesia akan berkembang dengan beberapa faktor seperti dengan memberi apresiasi kepada film yang bernilai budaya dan pendidi-

kan, dan kecintaan terhadap film Indonesia. Apa upaya Dikbud untuk mendukung kecintaan masyarakat pada film Indonesia? Tahun depan saya merrintis laboratorium seni budaya. Wujud fisiknya adalah mini teater. Tidak harus banyak, dan bisa memuat 50-100 orang. Ini masih program rintisan, yang kita usulkan sebanyak 20 dulu dan masih dinegosiasi dengan DPR. Di mini lab inilah anak-anak bisa berkesenian, menari, menyanyi, teater dan memutar film. Dengan demikian pembentukan SDM kita persiapkan sejak dini. Mulai dari anak-anak SD? Karena masih rintisan kita mulai dari SMA dulu. Nantinya bisa juga dari SD. Karena pelajaran seni budaya dimulai sejak dari SD. Dari sinilah kemudian skill perfilman juga akan tumbuh. Bayangkan, kalau tiap kota ada 5 lab seni budaya atau 5 mini lab teater, maka seluruh Indonesia ada 2500 mini lab. Mana ada sejarah Indonesia semacam ini? Ini adalah gerakan baru untuk menanamkan tumbuh kembangnya seni budaya di kalangan anak-anak. Tahun ini ada 20, tahun depan syukur-syukur ada 30. Kita dorong juga daerahdaerah dan sekolah swasta yang punya duit untuk itu. Gerakan ini akan menjadi instrument yang sangat besar untuk menumbuhkan rasa cinta pada seni budaya, terutama di dalamnya juga film. Ini memang tak bisa dilihat hasilnya dalam jangka pendek. Lima atau 10 tahun ke depan mungkin baru terlihat hasilnya. Tentu saja ini tidak cukup. Perlu yang lain seperti kita

berikan apresiasi termasuk Apresiasi Film Indonesia (AFI) yang setiap tahun dilaksanakan.

Prof H Kacung Marijan, Drs,MA, PhD (Foto: Dudut Suhendra Putra)

Dikbud punya program hibah atau dukungan untuk produksi film? Saya punya gagasan untuk memberi semacam hibah untuk produser film panjang yang akan membuat film bagus tapi dananya terbatas. Film yang dibuat tentu topiknya apresiasi budaya dan lain-lain. Proses hibah ini akan terbuka untuk menentukan siapa


TAKE 15

PROFILM

EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

Kacung Marijan saat memotong tumpeng dalam acara selamatan produksi film tentang Soekarno. (Foto: Dudut Suhendra Putra)

yang mendapat dan bagaimananya. Tapi uang kita juga terbatas, Dirjen Kebudayaan bukan hanya urus film tetapi museum dan lainlain. Rintisan ini untuk tahun depan dan kami berdiskusi dengan DPR . Akan ada tim independen yang akan menentukan agar lebih fair. Anggaran untuk hibah itu akan sangat besar? Anggaran memang penting tapi bukan satu-satunya. Kalau besar tapi gak genah bagaimana? Maka perlu terobosan. Parekraf juga berwacana soal hibah ini, apakah sama? Tidak apa-apa itu bagus. Semakin banyak yang urus film kan semakin bagus. Yang penting adalah bagaimana nilai pemanfaatannya seperti apa. Tidak perlu dikontraskan dengan Parekraf. Tentu saja kita ada koordinasi. Kita sudah punya MoU supaya tidak tumpang tindih melainkan saling memperkuat. Terkait mobil sinema, operasionalnya seperti apa? Mobil sinema itu maksudnya baik. Karena bagian dari usaha pengembangan infrastruktur di daerah yang belum memiliki infrastruktur film. Mobil itu untuk sementara ini kita alokasikan ke beberapa daerah. Kita akan tambah filmnya dengan membeli hak copyright film, dan itu yang melaksanakan itu pejabat Direktorat

Kesenian dan Perfilman. Hari ini sedang dilaksanakan finalisasi film apa saja yang akan kita beli lagi. Kemungkinan ada 20-an film. Untuk itu kita masih negosiasikan dengan produser. Mengenai pembentukan Badan Perfilman Indonesia, dimana posisi Dikbud? Inikan terkait institusi, saya akan jelaskan karena ditanya. UU Perfilman kita sudah lama ada sejak 2009 tapi belum ada PP-nya. Mengapa belum ada, saya tidak tahu persis mungkin karena kesulitan-kesulitan. Tapi sekarang kita sudah selesai satu PP tentang Lembaga Sensor Film. Kita mulai

satu-satulah. Nanti akan kita buat RPP yang terkait dengan sanksi administrasi. Termasuk soal BPI. Siapakah yang akan membentuknya? Apakah kewenangan ada di Parekraf atau di sini dan lainlain, itu kan perlu dibuat pengaturannya. Jadi belum ada kepastian soal pembentukan BPI? Saya kira begini, UU Perfilman jelas mengatakan kementerian yang bertanggungjawab soal perfilman adalah Kementerian Kebudayaa. Itu pasti tidak bisa didebatkan lagi. Tapi fakta empiris, secara kelembagaan yang mengurusi film bukan hanya Dikbud tapi juga

Parekraf, karena itu bagian dari industri kreatif. Ini yang perlu disinkronkan, termasuk regulasinya seperti apa. Ini yang kita kordinasi dengan Parekraf agar jangan sampai industri film, masyarakatnya jadi pisah. Makanya ketika saya tahu PP-nya belum ada, saya langsung kerja keras harus selesaikan tahun ini. Alhamdulillah selesai sesuai target pada April 2013. Nah, PP tentang LSF ini selesai antarkementerian dan diserahkan ke KemenkumHAM, tapi belum dikembalikan ke kita. Jadi urutannya adalah selesai di KemenkumHAM dirapikan lalu dikembalikan ke Kemendikbud. Kemudian Kemendikbud akan menyerahkan ke

Tim produksi film Soekarno versi Kemendikbud dari kiri, Ria Irawan (artis), Baim Wong (Pemeran Soekarno) dan Egy Massadiah (produser). (Dudut Suhendra Putra)

Sekneg untuk disahkan sebagai Peraturan Pemerintah. Proyek digitalisasi 29 judul film nasional apa kabarnya? Saya lumayan ngomong dengan Kepala Sinematek Pak Adisurya Abdy, karena waktunya sulit kadang kita tidak bertemu. Intinya kita akan komunikasi dengan mereka. Karena itu kan filmfilm bagus bagaimana kelanjutannya, tidak bisa kita yang menentukan. Saya kira memang saya perlu bicara dengan teman-teman. Sekarang era digital, mau tidak mau film lama kalau mau ditonton didigitalisasi. Kecuali kalau kita mau tetap tonton dengan cara yang lama. Tapi yang lama kan belum kondisinya baik. Tapi memang perlu dilakukan upaya lanjutan dari digilasisasi ini supaya bisa dinikmati secara umum. Dinikmati yang bagaimana, apakah kita beli dan diputar di sekolah-sekolah dan lainnya. Ini harus kita bicarakan. Apakah sineas juga akan memproduksi film lama itu? Kan banyak film-film lama yang juga dibuat ulang dan punya pangsa pasar. Kita akan merundingkan filmfilm apa saja. Yang enak kan dirundingkan. Karena berunding itu bagian kebudayaan. Jadi tidak bisa hanya Dikbud yang menentukan. Perlu difikirkan bersama. Kalaupun ada Dirjen Kebudayaan yang memikirkan tapi ada tim independen semacam kurator yang memahami secara baik tentang pemilihan film-film itu. (imam/kf1)


TAKE 16

PANGGUNG

EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

Laporan Adisurya Abdy dari Turki

Film Indonesia di ‘Developing Countries Film Festival’ Adisurya Abdy

Sejumlah delegasi peserta ‘Developing Countris Film Festival’. (Foto-foto: Dok. Adisurya Abdy)

wilayah kerohanian. Secara umum mungkin adalah seperti suasana pedesaan yang menjadi alternatif kehidupan modern. Meskipun berbeda budaya tetapi ada kebersamaan di dalamnya dan disajikan secara natural berdasarkan estetika sinema yang tinggi,” katanya. Para delegasi dari Indonesia terdiri dari Bidang Kerjasama antar Lembaga Pemerintah RI Kementrian Parekraf (diwakili oleh Syamsul Lussa dan Zulkifli), Kementrian Pendidikan Kebudayaan (diwakili oleh 3 utusan), Menteri Sekretaris Kabinet RI Dipo Alam yang merupakan wakil resmi pemerintah Indonesia selaku penggagas festival film yang juga anggota aktif dari D-8. Sedangkan dari organisasi Persatuan Perusa-

PENGANTAR PEKAN akhir September 2013 di Istanbul, Turki berlangsung pertemuan regional bidang ekonomi antarnegara berkembang kelompok D8 (Developing 8 Countries) dimana Indonesia menjadi anggotanya selain Turki, Pakistan, Nigeria, Malaysia, Iran, Mesir, dan Bangladesh. Ini merupakan pertemuan kesekian kali organisasi yang sejak 15 Juni 1997 memulai KTT di Istanbul. Di saat yang sama D-8 dan organisasi Economic Coorporation Organization (ECO) yang dibentuk tahun 1985 menggelar festival film bernama ‘Developing Countris Film Festival’. Indonesia mengirim 3 film yakni Habibie dan Ainun, Laskar Pelangi, dan Dibawah Lindungan Kabah. Berikut ini merupakan laporan perjalanan Adisurya Abdy, anggota PPFI yang menjadi delegasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sineas yang juga Kepala Sinematek Indonesia ini membawa ‘oleh-oleh’ untuk pembaca Tabloid Kabar Film. Selamat menikmati: Syamsul Lussa berbincang dengan peserta ‘Developing Countris Film Festival’.

Pada tanggal 20 hingga 27 bulan September 2013, negara anggota D-8 termasuk Indonesia di

dalamnya, bersama ECO (Economic Coorporation Organization) yang berdiri tahun 1985

Diskusi sejumlah delegasi ‘Developing Countris Film Festival’.

dengan anggota Azerbaijan, Kazakhstan, Turkmenistan, Uzbekistan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Iran, Pakistan, dan Afghanistan bersama-sama melahirkan sebuah kegiatan kebudayaan yaitu festival film yang diberi nama Developing Countries Film Festival yang dalam bahasa Turki adalah Gelisen Ukeler Film Festival. Ihsan Kabil, selaku Direktur Gelisen Ulkeler Film Festivali mengatakan, pihaknya menyaring film-film dari negara-negara berkembang untuk menjadi bagian jaringan distribusi dan pasar film dunia. “Fokus kami adalah memilih film-film berkualitas, yang menggambarkan kekhasan budaya masing-masing negara. Tentu film yang memiliki nilai sejarah, dengan kemasan drama tentang kemanusiaan dalam

haan Film Indonesia diwakili Adisurya Abdy mengirimkan 3 (tiga) film yang dianggap memadai untuk mewakili Indonesia. Developing Countries Film Festival pertama kalinya ini diikuti sekitar 35 judul film dari Negaranegara anggota D-8 dan ECO, dimana Indonesia mengirimkan 3 judul yaitu Habibie & Ainun, Laskar Pelangi, dan Dibawah Lindungan Ka’bah. Masing-masing film diwakili salah satu pendukungnya, yaitu Habibie & Ainun dan Dibawah Lindungan Ka’bah delegasi diwakili oleh Produser dari MD Production, dan untuk film Laskar Pelangi diwakili Ikranagara selaku pemain dalam film tersebut. Rangkaian kegiatan dilaksanakan di Istanbul Confrence Center berjarak sekitar 300 meter dari Hotel Hilton didaerah pusat kota

dekat Lapangan Taksim dimana Dipo Alam dan rombongan menginap. Acara yang dimulai pukul 19.30 waktu Turki dihadiri oleh hampir seluruh delegasi dari Negara-negara anggota D-8 dan ECO. Diawali dengan acara ramah tamah, dilanjutkan dengan Opening Ceremony dimana Dipo Alam yang hadir bersama Nahari Agustini (Duta besar Indonesia di Ankara), Irawan Robatus (Sosbudpen KBRI Ankara), dan Konsulat Jenderal RI di Istanbul Abdullah Hariadi Kusumaningprang didampingi Suri Tauchid Ishak, menyampaikan rasa bangga dan bahagia dimulainya sebuah langkah maju didalam menjadikan film sebagai bagian dari pengembangan ekonomi Negara anggota. Dipo Alam mengharapkan dimasa yang akan datang akan tercipta kerjasama produksi sesama Negara anggota D-8 dan ECO, juga kerjasama didalam meningkatkan ekonomi kreatif dengan pemasaran film-film agar menunjang pertukaran nilai-nilai sejarah dan budaya satu sama lainnya. Yang menarik adalah di saat berlangsung Opening Ceremony Indonesia mendapatkan kehormatan dengan secara bersamasama seluruh peserta menyaksikan pemutaran film Habibie dan Ainun yang mendapat sambutan serta pujian yang sangat membanggakan. Bahkan, saat pemutaran film banyak sekali kaum pria yang turut menitikkan air mata larut dalam cerita film. Keesokan harinya, pada tanggal 21 September 2013, pukul 12 siang hari waktu Turki, seluruh anggota delegasi D-8 dan ECO, dijamu oleh pemerintah Indonesia melalui Kementrian Parekraf dan Kementrian Kebudayaan dan Pendidikan serta didukung oleh Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan & Ratu Boko yang diwakili oleh Agus H. Canny selaku Marketing Director Indonesia menjamu seluruh anggota delegasi. Makan siang sambil berlayar Makan siang bersama ini menjadi sangat istimewa dan mengesankan, karena dilaksanakan di dalam kapal yang sedang berlayar menyusuri Selat Bosporus, baik bagian Eropa serta Asia. Pelayaran kapal ini berlangsung lebih kurang 4 (empat) jam dengan menyusuri lokasi-lokasi bersejarah dari era Byzantium, Constantinopel, hingga Ottoman Empire. Kapal berangkat dari pelabuhan persis disamping Istana Dolmabache, Istana Kesultanan Ottoman yang dibangun oleh Sultan Abdul Majid (Abdulmecid) selama 13 tahun lamanya pada pertengahan abad 19, persisnya sejak tahun 1843 hingga 1856. Sedikit membuka sejarah, Sultan Abdul Majid memindahkan Istana Dynasty Ottoman sebelumnya yang berada di Topcapi yang telah dipergunakan oleh Sultan Fatih Mehmed, sang penakluk Constantinopel, sejak tahun 1465 sampai Sultan-sultan berikutnya hingga tahun 1856. Sekarang Istana Topcapi men-


TAKE 17

PANGGUNG jadi museum yang sangat bersejarah bagi umat Islam sedunia dengan koleksi-koleksinya yang langka seperti antaralain: Songkok kepala Nabi Ibrahim AS, Tongkat Nabi Musa AS, Pedang Rasulullah Muhamad SAW, Pedang Ali, Khalid bin Walid, serta peninggalan barang-barang Nabi lainnya, serta perhiasan mutu manikam yang tidak ternilai harganya. Istana Dolmabache yang dibangun oleh arsitek-arsitek mancanegara memang sangat luar biasa mewah, megah dan besarnya, dengan hiasan yang beragam dan juga sangat tidak ternilai harganya. Istana Dolmabache yang dalam pembuatannya konon katanya telah membangkrutkan Kesultanan Ottoman kala itu. Istana Dolmabache kemudian menjadi Istana Mustapha Kemal Attaturk, yang pada awal abad ke 20 menjadi pemimpin bangsa dan menjadikan Turki sebagai Republik dan Negara Sekuler, hingga ia meninggal pada 10 November tahun 1938 disana. Ikranegara ditawari main film Turki Sambil menyusuri Selat Bosporus yang memisahkan antara Asia dan Eropa dan dengan udara sejuk dingin dibawah 20 derajat dengan pemandangan alam yang sangat memukau dan indah dipandang dari atas kapal yang bergerak menyusuri Selat Bosporus, membuat suasana ramah tamah semakin kental, lalu setelah makan siang bersama dengan sajian makanan ala Turkey yang cukup lezat dan dapat diterima oleh lidah Indonesia, kemudian masing-masing delegasi memberikan sepatah dua kata. Dipo Alam mengatakan ia sedang menulis sebuah buku yang membicarakan hubungan masa lalu antara Negara Turki dengan Kesultanan Aceh, yang diramunya dalam bingkai historis dan romantisme, yang diharapkan nanti akan dapat menjadi produksi bersama antara Indonesia dan Turki. Ikranagara termasuk salah seorang delegasi Indonesia yang beruntung, karena seorang produser dari Turki akan memperoduksi film dan mengharapkan Ikranagara dapat berpartisipasi sebagai salah satu pemain yang akan memainkan tokoh berasal dari Uzbekistan. Pukul 4 (empat) sore waktu Turki, kapal kembali merapat di dermaga disamping Istana Dolmabache dimana wilayah ini adalah home base dari klub sepakbola Turkey terkenal “Besiktas FC”, dan diatas kapal sebelum merapat seluruh delegasi berfoto bersama untuk kemudian saling mengucapkan rasa terimakasih dan satu persatu kembali dengan aktivitas masing-masing, sementara pemutaran film-film Negara peserta berlangsung terus dibeberapa titik di Istanbul, Turkey hingga tanggal 27 September 2013.**

CELOTEHAN personel Koes Plus sebeum dan setelah menyanyi, selalu disambut gerr penonton konser mereka di Balai Kartini, Jakarta pada Kamis (27/09/2013). Konser bertajuk Koes Plus ini Accoustic ini merupakan rangkaian konser Solo-Jakarta yang menuai sukses. Murry, Yok Koeswoyo, dan Yon Koeswoyo didukung 5 pemain tambahan pada gitar, cello dan biola menghadirkan nostalgia bagi penonton. Tak hanya penggemar senior dan sudah diantar oleh anak mereka, tapi penonton muda ikut hanyut memberi apresiasi. Malam itu penyanyi dan penonton larut dalam komunikasi verbal yang egaliter dan gayeng. Seperti saat Yon sebagai vokalis bertanya ‘Terus nyanyi apa lagi?” disambut riuh penonton. Dan yang paling vokal mendapat jawaban. “Ojo Bujangan lah, nanti dengkulku pedot (Jangan lagu Bujangan, nanti dengkulku copot),” kata Murry, di balik drumnya. Maksudnya jelas. Personel Koes Plus yang rata-rata sudah menjelang dan di atas usia 70 tahun tak mau berisiko menyanyikan lagu Bujangan, yang ritmenya ngebeat dengan hentakan drum. Namun request audiens tersebut dilaksanakan juga oleh Koes Plus. Tentu dengan menyesuaikan pukulan drum. Konser malam itu membuktikan Koes Plus yang sudah melewati masa muda tetap memiliki daya pikat. Koes Plus tetap sebuah legenda. Penampilan mereka un-

EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

Konser akustik Koes Plus di Jakarta, gayeng!

Konser Koes Plus di Balai Kartini, Jakarta. (Foto: Dudut Suhendra Putra)

tuk menandai dua dekade eksistensi band yang terkenal dengan lagu Kolam Susu. Di atas panggung yang berkonsep sangat minimalis, hanya tiga kursi untuk Yok di posisi bas, Yon di bagian gitar, dan Hendry (additional player) di bagian gitar. Murry duduk di atas singgasana drumnya sendiri, tak jauh dari posisi duduk Yok. Di bagian kiri panggung terdapat empat orang pemain biola yang siap mengiringi mereka bermain musik. Konser dimulai pada pukul

20.00. Beberapa lagu mereka bawakan dengan suasana santai. Memasuki lagu Kembali, Yon cukup serius menceritakan asal mula penciptaan lagu tersebut. “Lagu ini tercipta setelah cukup lama kami vakum,” kata Yon. Tak lama setelah itu para penonton berseru untuk minta dibawakan bermacam-macam judul lagu. Yon, Yok, dan Murry pun lantas memainkan Why Do You Love Me, disusul dengan Kolam Susu. Ada pesan dari Koes Plus agar

‘Simak Dialog’ meriahkan ‘Made in Indonesia’ di Amerika

Kelompok Simak Dialog. (Foto: Ist)

GRUP musik jazz Simak Dialog yang dimotori Tohpati dan Riza Arshad akan tampil di festival jalanan, Made in Indonesia, 8 September mendatang. Beberapa artis lainnya yang dijadwalkan hadir di event tahunan ini adalah Hedi Yunus, Netta Kusumah Dewi, dan dua penyanyi Indonesia yang kini bermukim di New York Anto Juwono dan Kia Suban.

Sosok Anto pernah wara-wiri di layar TV dengan lagu hit Eternity dan dia menulis lagu untuk penyanyi Dewi Sandra. Kia Suban pernah jadi runner-up kontes Akademi Fantasi Indonesia tahun 2002. Festival Made in Indonesia diselenggarakan setiap tahun di pusat kota Silver Spring, negara bagian Maryland, yang berbatasan

dengan Washington, DC. Digelar sejak 2011 oleh Acha Productions, Llc — event organizer dan rumah produksi yang berbasis di sana dan dikelola oleh Maya Naratama sebagai Direktur. “Festival bertujuan mempromosikan negara dan budaya Indonesia. Respon masyarakat setempat sangat positif. Lebih dari 5000 pengunjung meramaikan acara ini

semua yang hadir tetap menjaga persatuan. Usai membawakan Nusantara 7, Yok menimpali dengan berkata “Saya orang Jawa, Mury Arab, Hendry (gitar), dan mereka (menunjuk pada pemain biola) dari Ampyang. Akan tetapi, kita semua orang Indonesia,” sahutnya sambil mengepalkan tangan. Tidak ada lagu yang sepi dari iringan para penonton yang turut bernyanyi dengan lirih maupun dengan nada yang kencang. Bahkan, ada beberapa penonton yang turun dari kursinya, mendekati panggung untuk menari di lagulagu tertentu. Pada kesempatan itu pula, Yon Koeswoyo yang merayakan HUT ke-73 menerima bingkisan ulangtahun dari David, anaknya. Sementara Yusuf Kala sebagai Ketua PMI yang hadir malam itu menyerahkan piagam penghargaan kepada Koes Plus. “Di zaman saya aktif sebagai ketua senat mahasiswa di Makassar, pernah mengundang Koes Plus. Mungkin Koes Plus lupa kalau saya pernah mengundang mereka, tapi waktu itu acara kampus meriah,” kata Jusuf Kalla mengenang masa kuliahnya di Makassar. (imam/kf1) setiap kalinya, dan media lokal pun telah memuat beritanya,” kata Maya Naratama. “Kami ingin publik Amerika, termasuk generasi muda keturunan Indonesia yang lahir dan besar di sini, mengenal negeri kita,” jelas Maya, dalam siaran pers yang diterima redaksi. Maya sendiri sempat beberapa kali menggelar konser besar seperti KLA Project Empat Musim dan Kyai Kanjeng Emha Ainun Najib di Jakarta. Belum lama ini menggarap video klip untuk band Kotak di New York. “Lewat Made in Indonesia, kami sekaligus membangun komunikasi antar-budaya antara komunitas Indonesia dengan komunitas lainnya di Amerika Serikat,” kata Maya.. Festival Made In Indonesia 2013 akan menghadirkan pertunjukan seni tari, musik, dan busana dari berbagai daerah di Indonesia. Berbagai stand pameran menjual beragam produk negeri kita, mulai dari makanan khas dan baju batik hingga sepatu dan kerajinan perak. Selain artis dari Indonesia kelompok kesenian lokal dari Washington, DC juga akan menampilkan tari Poco-poco, tari Giring-giring, pencak silat, peragaan busana batik, dan lain-lain. Festival ini terbuka untuk umum dan gratis. Didukung oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia, Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dan Institusi lainnya. (imam/kf1)


TAKE 18

AGENDA

EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

Film 308 ke Screamfest Horror Film Festival di Amerika FILM horror Indonesia tidak selamanya buruk jika dikemas dengan baik dan tidak asal jadi. Setidaknya, hal ini ditunjukkan oleh film 308 produksi Soraya Intercine Films, yang termasuk diantara 50 ribu film peserta Screamfest Horror Film Festival 2013 di Los Angeles, Amerika Serikat. Film besutan Jose Poernomo tersebut mendapat apresiasi dari penyelenggara Screamfest Horror Film Festival untuk berkompetisi pada acara di Beverly Hills mulai 8-17 Oktober, dan screening film di North Holywood. Kebanggaan atas prestasi ini tak hanya dirasakan oleh tim produksi, namun pihak pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) ikut memberi dukungan. Prestasi film 308 adalah satu-satunya film dari Indonesia dan Asia yang mengikuti ajang internasional tersebut. Film ini akan berkompetisi dengan film-film sejenis dari Eropa dan Amerika. Penyelenggara memilih 14 film nominasi dimana film 308 salah satu diantaranya. “Keikutsertaan film 308 di Screamfest Horror Film Festival adalah kebangaan tersendiri, karena mampu bersaing dengan negara lain. Diharapkan, momentum ini memicu kualitas perfilman kita,” ujar Drs Ahman Sya, Dirjen Ekonomi Kreatif berbasis Seni dan Budaya ( EKSB ) Kemenparekraf yang hadir di acara nonton bareng ulang, film 308 di Djakarta Theater XXI, Jakarta Pusat, Senin (30/9). Ahman Sya menerangkan, prestasi ini patut diapresiasi dan diberi dukungan. Tembusnya film ‘308’ ke ajang Screamfest Horror Film Festival menjadi bukti bahwa tidak hanya kuantitas, namun kualitas film Indonesia mengalami peningkatan. “Ini menunjukkan grafik kualitas film kita meningkat. Sineas kita mampu menunjukkan kualitas dan kemampuan yang baik,” terang Ahman. Ia menyebutkan, angka produksi film di

Dirjen EKSB, Ahman Sya dan Direktur PIP, Armein Firmansyah bersama para pemain film ‘308’. (Foto: Sekhu)

Indonesia berjumlah 120 film, meningkat dari tahun kemarin. Bentuk dukungan pemerintah pada film ‘308’ berupa adminsitrasi yang melancarkan perjalanan film ‘308’ ke Amerika. “Tugas kami (Kemenparekraf) mendukung dan juga memfasilitasi, jadi kami memberikan bantuan untuk memudahkan dan melancarkan jalan. Kami juga sudah menghubungi konjen (Konsulat Jenderal) kita di sana untuk membantu penginapan dan berbagai kemudahan untuk surat-menyurat dan lainlain,” kata Ahman. Tayang ulang di bioskop Sementara itu, Direktur Pengembangan Industri Perfilman Ir Armein Firmansyah MT, memberi apresiasi dengan mengajukan kepada para pengusaha bioskop dalam negeri untuk memutar kembali film 308 di bulan November nanti. “Iya kita sudah ajukan untuk pemutaran kembali film 308 sebagai bentuk apresiasi,” terang Armein menambahkan. Di ajang Screamfest, film yang dibintangi oleh Shandy Aulia, Denny Soemargo, Kimberly Ryder, Ki Kusumo, Gilang Dirgahari, Kartika Putri dan

Marcell Domits dengan arahan sutradara Jose Poernomo ini mendapat jadwal akan tayang pada hari Sabtu tanggal 12 Oktober 2013 pukul 17.30 waktu Amerika Serikat. Harga tiket untuk menonton film 308 dibandrol 11 dollar AS atau sekitar Rp. 126.214. Jose Poernomo selaku sutradara film 308 optimis karyanya bisa meraih penghargaan. “Dukungan pemerintah dan masyarakat merupakan angin segar dan memacu kita untuk bisa lebih berprestasi lagi. Jika Paranormal Activity bisa berjaya di ajang tersebut, kita dengan membawa Nyi Roro Kidul ke Amerika Serikat. Kalau pun tidak menang, saya sudah sangat bangga,” katanya. Screamfest adalah festival film horor terbesar dan terlama di dunia. Film Paranormal Activity, Alone, Shutter, Ringu, dam Juon adalah beberapa film besar yang ikut berkompetisi dan mengikuti premiere di festival ini. Ratarata dari 90 persen film yang terpilih untuk mengikuti festival ini pasti akan didistribusikan di Amerika (tayang di bioskop Amerika) dan juga mendapat agen dan manager di sana. Festival ini pun kerap dijuluki sebagai ‘Festival Sundance-nya’ film horor. (tis/kf1)

Berlanjut, penghargaan Sapta Pesona Toilet Terbersih Bandara

Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II.

(Foto: Ist)

MENTERI Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu memberikan penghargaan Sapta Pesona Toilet Umum Bersih kepada 20

Bandar Udara (Bandara) internasional dan nasional. Pemberian penghargaan ini dilakukan sejak 2007 dan diadakan

setiap dua tahun sekali, untuk memberikan apresiasi PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II agar selalu meningkatkan mutu pelayanan khususnya dalam pengelolaan toilet bersih. Pemberian penghargaan dilakukan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu di Balai Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Kamis (26/09/2013). Menurut Mari, kesan pertama dari suatu tempat itu penting, dan kesan pertama wisatawan pada suatu destinasi adalah pada bandaranya. “Toilet yang bersih di bandara tentunya akan memberikan kesan yang baik bagi wisatawan,” katanya. Penilaian toilet bersih bandara dilakukan sejak 20 Mei-29 Juli 2013

pada 20 bandara internasional di seluruh Indonesia. Penilaian dilakukan oleh dewan juri yang diketuai oleh Naning Adiwoso dari Asosiasi Toilet Indonesia (ATI), Kemenparekraf, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kesehatan, Kementerian BUMN, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, perwakilan dari media, serta pemerhati toilet. Bandara Sultan Syarif Kasim Pekanbaru menempati urutan pertama. Bandara Soekarno Hatta, Jakarta menempati urutan dua, sedangkan bandara Juanda Surabaya langganan meraih penghargaan, pada urutan ketiga. (Baca : Bandara Juanda, Langganan Penghargaan Toilet Bersih | ) Berikut adalah 10 peringkat teratas Penghargaan Sapta Pesona

Toilet Umum Bersih Bandara 2013: 1. Bandara SSK Pekanbaru 2. Bandara Internasional Soekarno Hatta 3. Bandara Internasional Juanda Surabaya 4. Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makasar 5. Bandara Internasional Ngurah Rai Denpasar 6. Bandara Internasional Ahmad Yani Semarang 7. Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin Palembang 8. Bandara Sultan Iskandar Muda Aceh 9. Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta 10. Bandara Internasional Minangkabau Padang. **


AGENDA

TAKE 19 EDISI 46 / TH V / OKTOBER 2013

Rudi Soedjarwo

Membuka peluang semua jadi artis SUTRADARA Terbaik FFI 2004, Rudi Soedjarwo (41) punya alasan mengapa dia selalu menampilkan artis baru di dalam filmnya. “Kalau mereka tidak diakomodir, sampai mati pun belum tentu dapat peran,” kata Rudi Soedjarwo saat dikerubungi wartawan dalam acara gala premiere film 23:59 Sebelum di XXI Epicentrum Plaza, Jakarta, Selasa (8/10/2013) malam. Menurut Rudi, industri film dan televisi tidak berpihak pada pemain-pemain baru, dan mereka yang tidak ganteng atau cantik. “Mindset kita kan sudah terbentuk oleh industri mainstream, bahwa kalau tidak cantik dan ganteng tidak layak tampil. Nah, saya mengubah paradigma itu di film ini,” katanya. Di film yang melibatkan 48 orang pemeran dan seorang sutradara baru itu, Rudi bertindak sebagai ‘Dewan Pembina’.

Dia membentuk anak-anak tak dikenal itu untuk menjadi ‘aktor dan aktris’. “Ini gerakan mengubah mindset penonton film kita, sambil memberdayakan potensi setiap orang untuk jadi pemain film,” kata Rudi yang bersama Wahyudi, Adrie dan Tyas Abiyoga berbagi tugas menyelesaikan proyek pembinaan bernama UnderdogKickAss tersebut. Tentu saja, Rudi tidak sembarangan mengajak orang main film. Para pemain harus mengikuti latihan intens di UnderdogKickAss. “Kalau ada kemauan dan tekad kuat untuk main film, saya akan fasilitasi. Dijamin main film,” tegas Rudi. Gerakan Rudi mendapat sambutan, sekitar 150-an orang datang untuk dilatih dan disiapkan main film. “Untuk film pertama ada 48 orang, sisanya akan

Dewan Pembina UnderdogKickAss, Rudi Soedjarwo foto bersama para pemain di acara gala premiere film 23:59 Sebelum di XXI Epicentrum Kuningan, Jakarta, Selasa (8/10/2013). (Foto: Dudut Suhendra Putra)

Rudi Soedjarwo (Foto: Dudut Suhendra Putra)

dibuatkan film berikutnya,” janji Rudi yang mensyarakatkan peserta membayar Rp5 Juta untuk ikut pelatihan sampai main film. Jadi, tidak ada casting, langsung main film! Film pertama UnderdogKickAss berjudul 23:65 Sebelum mengangkat sisi murung kehidupan masyarakat seperti hubungan kakak-adik, anak dan orangtua, dan keakraban tiba-tiba orang yang tak saling kenal. Dikemas dalam gaya semi omnibus, ke-48 pemain mendapat perannya masing-masing. Film ini akan ditayangkan serentak di bioskop mulai 17 Oktober 2013.

Upaya seperti ini mungkin bentuk perlawanan. Setidaknya, jika gagasan Rudi atau film yang diperankan anakanak baru ini diterima dan menjadi mainstream, maka akan lebih baik daripada wajah perfilman kita dipenuhi film yang asal jadi Selanjutnya, Rudi dan tim UnderdogKickAss sudah mempersiapkan proyek film yang akan mengerahkan anak-anak asuh mereka. “Masih ada 120an taruna Underdog yang akan mengisi film berikutnya. Film 23:59 Sebelum adalah pembuktian perjuangan mereka,” kata sutradara kelahiran Bogor, 9 November 1971 ini. Terobosan baru Rudi ini cukup menyeleneh dan terbalik dengan konsep industri film selama ini. Namun, produser senior Budiyati Abiyoga yang hadir diantara undagan gala premiere film 23:59 Sebelum, menilai langkah seperti ini harus didukung. “Upaya seperti ini mungkin bentuk perlawanan. Setidaknya, jika gagasan Rudi atau film yang diperankan anak-anak baru ini diterima dan menjadi mainstream, maka akan lebih baik daripada wajah perfilman kita dipenuhi film yang asal jadi,” kata produser film Surat Untuk Bidadari dan Nagabonar Jadi 2 ini saat dimintai komentar soal gagasan Rudi Soedjarwo tersebut. (imam/kf1)


KPK luncurkan Festival Film Antikorupsi

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas (kanan) bersama Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja (tengah) dan Sineas Tino Saroengallo (kiri) menghadiri peluncuran Festival Film Antikorupsi (ACFFest) 2013 dalam peluncuran acara tersebut di KPK, Jakarta, Selasa (24/9). Festival tersebut diadakan sebagai pengembangan dari strategi kampanye antikorupsi. (ANTARA FOTO: Rosa Panggabean)

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) meluncurkan Festival Film Antikorupsi (Anti-Corruption Film Festival-ACFFest) 2013 sebagai strategi kampanye antikorupsi. “Pencegahan korupsi lewat pendekatan budaya menjadi penting dan film dipilih sebagai pendekatan budaya,” kata Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, dalam jumpa pers di gedung KPK Jakarta, Selasa (24/9/2013). ACFFest terbuka untuk masyarakat dan sineas Indonesia yang mengikutsertakan film mereka pada periode 1 Januari 2000 - 22 November 2013, dengan tema kejujuran, integritas, transparansi maupun perlawanan terhadap korupsi. “Dalam film K VS K jilid 1 yang diputar di 17 kota, ditonton 800.000 penonton dan untuk jilid

2 ini masih akan membicarakan nilai-nilai antikorupsi yang dapat disemaikan di keluarga sebagai pilar antikorupsi,” ujarnya. Sutradara film animasi Sahabat Pemberani Tino Saroengallo, menjelaskan bahwa film K Vs K berangkat dari pengalaman pribadi para pembuat film. “Pengalaman pribadi itu kunci keberhasilam K VS K yang dalam jangka panjang dapat mengubah pribadi-pribadi penonton dan masuk dalam kategori propoganda positif,” kata Tino Saroengallo yang juga Ketua Dewan Juri ACFFest. Enam kategori film yang dilombakan adalah fiksi panjang, fiksi pendek, dokumenter panjang, dokumenter pendek, animasi dan games animasi. Film peserta kompetisi akan diseleksi oleh tim juri

independen dari profesi sutradara, tokoh dan pakar film dalam bidangnya masing-masing. Pendaftaran dibuka mulai 22 September - 22 November 2013. Pendaftaran bisa melalui www. acffest.org dan mengirimkan surat elektronik ke info@acffest.org untuk informasi lengkap. ACFFest 2013 juga menyelenggarakan masterclass dengan sutradara film Indonesia, pemutaran film dan pemutaran film keliling dalam roadshow di Jakarta, Bandung, Padang Panjang, Yogyakarta, Malang, Balikpapan dan Palu. Puncak acara berlangsung di peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, 9 - 12 Desember 2013 di Jakarta dengan berupa pemutaran film-film terbaik dan ditutup dengan penganugerahan.**


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.