Tabloid kabar film edisi 49

Page 1


DARI REDAKSI

Rumah baru BADAN Perfilman Indonesia (BPI) laksana sebuah rumah besar bagi masyarakat perfilman. Rumah yang diharapkan menjadi tempat berteduh yang menyenangkan para penghuninya, dalam sebuah keluarga. Kondisi awal bangunan rumah orang-orang film ini lumayan repre­ sentatif dan layak huni karena didu­ung material yang cukup solid. Material bangunan BPI terfiri dari 40an asosiasi dengan pondasi cita-cita yang sama menciptakan sistem yang baik dalam rangka memajukan perfilman di Indonesia. Kepemilikan rumah baru masya­ rakat perfilman ini pun sah menurut hukum. Bukti itu bisa diperlihatkan pemilik rumah yang memiliki IMB berupa pasa-pasal dalam Undangundang No 33 tahun 2009 tentang Perfilman Indonesia. Hanya saja,

meskipun sudah berdiri megah dan dihuni beberapa bulan, rumah ini belum mendapat pengesahan dari pihak kelurahan. Layaknya rumah baru yang diterima dari developer, bisa jadi BPI terdapat kekurangan namun hal itu harus tetap disyukuri oleh para penghuninya. Terutama karena selama beberapa tahun masyarakat perfilman berpencar dengan rumah masingmasing yang bisa dibilang tidak cukup representatif. Kekurangan dari rumah baru ini masih bisa diperbaiki, dengan di­ tambah atau ditambal sendiri oleh penghuninya yang memiliki kreatifitas. Artinya jika ada kaca jendela yang retak bisa diganti, dan seluruh elemen material penunjang terdiri dari 40 asosiasi tadi bisa diajak diskusi untuk saling menutupi kekurangan itu agar tampilan rumah lebih sempurna. Rumah baru ini memang masih terasa hangat, bahkan sempat dijadikan

tempat me­la­ hirkan bebe­ ra­pa ide untuk memeriahkan pesta Hari Film Nasional ke64 pada bulan Maret yang lalu. Anggaran dari pemerintah telah disiapkan untuk ‘men­du­kung’ opera­sional rumah ini selama setahun ke depan. Bahwa ada yang merasa tidak nyaman, bahkan terganggu oleh keberadaan rumah baru masyarakat perfilman ini, tentu bukan sesuatu yang perlu dipersoalkan. Kekompakan keluarga itu jauh lebih penting. Sebagai tetangga yang baik, saya ingin mengucapkan selamat datang warga BPI! Teguh Imam Suryadi ikuti di twitter: teguhimamsurya

Eddie Karsito menikahi gadis Batam

Eddie Karsito dan istri. (Foto: Dok.Pribadi)

P TRET

EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

Editorial

Infotemen

SETELAH lima tahun menduda, aktor sekaligus wartawan dan pemilik sanggar Humaniora Eddie Karsito akhirnya menikah lagi. Melalui akun Facebooknya, Eddie menyampaikan pernikahannya. Pemeran film Maaf, Saya Mengha­ mili Istri Anda (2007) ini menyebutkan, wanita yang berfoto bersamanya ada-

TAKE 2

lah pasangan hidupnya yang baru. Dalam status facebooknya tanggal 17 Maret 2014, Eddie Karsito menulis: “Sekarang dan selamanya [Now and Forever] - Richard Mark - miracle song.” Bermacam komentar dan ucapan selamat pun menyambut status dan foto yang diunggah Eddie.

ATENG MATA KERANJANG (1975) FILM ‘Ateng Mata Keranjang’ diproduksi tahun 1975 oleh Bucuk Suharto pemilik disutradarai oleh Asrul Sani. Film ini dibintangi antara lain oleh Ateng dan Iskak dan personel grup lawak Kwartet Jaya, didukung artis Mutiara Sani, Vivi Sumanti, dan Mang Udel. Berkisah tentang dua buruh kasar Ateng dan Iskak berjumpa dengan Edy Sud, seorang doktorandus gadungan dan dua orang eksentrik (Purnomo dan Aedy Moward) yang membawa peta harta karun. Mereka sepakat mencari harta karun itu. Dalam perjalanan, rombongan ini berjumpa dengan dua gadis (Vivi Sumanti dan Mutiara Sani). Ateng dan Iskak mulai ada main dengan dua gadis tadi. Sementara sekelompok penjahat ingin menjarah hasil galian mereka. Ternyata dua orang eksentrik tadi adalah pasien rumah sakit gila yang sedang dicari-cari polisi. (Tabloid Kabar Film/ Sumber: Sinematek Indonesia)

“Pacar sampai akhir hayat,” tulis Eddie, yang pernah meraih Pemeran Pembantu Pria Terpuji dalam Festival Film Bandung (FFB) 2008.. Terakhir Eddie berperan di film Berandal Berandal Ciliwung (2012). Ayah dari seorang anak dan satu cucu ini mengatakan pertemuan dan proses pernikahan dengan Kartika Widya (terpaut 30 tahun dengan Eddie Karsito) terbilang sangat cepat. “Kami bertemu saat saya bertandang ke radionya.. Kunjungan pertama biasa saja. Pada kunjungan kedua, kami langsung menikah di depan kru Radio Serumpun 91.7 FM Batam. Kami disaksikan wali nikah, karena ayah Kartika sudah almarhum. Proses perkenalan dan pernikahan kami tak sampai 9 sembilan hari,” ungkap Eddie. Uniknya lagi, menurut Eddie, tak sampai 15 menit dari pertemuan kedua di stasiun radio itu, mereka langsung melaksanakan ijab kabul pernikahan. Hadir menyaksikan pernikahan mereka saat itu antaranya crew, sahabat Tim Kreatif Radio Serumpun FM 91.7 Batam dan unsur pimpinan Karya Anak Bangsa Heru Aceel, Direktur Utama Karya Anak Bangsa Riki Syolihin, Pembina Karya Anak Bangsa), dan teman2 sanggar Humaniora. Mengenai kepastian tanggal pernikahannya tersebut, Eddie enggan menyampaikannya. “Doakan saja ya. Prinsipnya kedua keluarga sudah saling terbuka dan menerima. semua pihak diminta bersabar mengikuti proses,” ungkap Eddie, yang masih menentukan waktu untuk menggelar resepsi. Lanjut Eddie, minggu ini keduanya sering bertemu.di Rumah sakit. sebab mertua perempuan sedang dirawat di rumah saklt menderita magh akut dan gejala tipes. Sejak beberapa bulan ini, Eddie Karsito bersama tim dari Sanggar dan Yayasan Humaniora sedang menggarap proyek bersama Karya Anak Bangsa mengadakan berbagai kegiatan pelatihan bidang seni dan film. (kf/imam)

Diterbitkan pertamakali di Jakarta tanggal 12 Mei 2009 oleh Komunitas Pekerja Perfilman Jakarta Kode ISSN 2086-0358 NPWP 54.158.6009.5-027.000 Pendiri/ Penanggungjawab Teguh Imam Suryadi SH Redaksi Bobby Batara Jufry Bulian Ababil (Medan), Desain: Rizwana Rachman Marketing: Ahmad Reza Kurnia Distribusi: Dede, Jamilan Pelindung Ketua PWI Jaya Seksi Film & Budaya Teguh Imam Suryadi, SH Penasihat Hukum Drs H Kamsul Hasan SH MH Alamat Redaksi/Iklan/ Sirkulasi Sekretariat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya Seksi Film dan Kebudayaan, Lantai IV Gedung Pusat Perfilman H Usmar Ismail, Jalan HR Rasuna Said Kavling No C-22 Kuningan, Jakarta Selatan. Tlp: 021-97924704 - 0818404013. Rekening BANK BCA No Rekening: 5730257874 a/n Teguh Imam Suryadi Email kabar.film@yahoo.com Facebook Tabloid Kabar Film Twitter @Kabarfilmcom Website www.kabarfilm.com HARGA IKLAN COVER DEPAN : 200 mm x 267 mm Rp 15.000.000,COVER BELAKANG : 255 mm x 360 mm Rp 10.000.000,1/2 COVER BELAKANG : 255 mm x 178 mm Rp 5.000.000,1/4 COVER BELAKANG : 125,5 mm x 178 mm Rp 2.500.000,KUPING DEPAN ATAS : 90 mm x 60 mm Rp 2.000.000,KUPING DEPAN TENGAH/ BWH : 50 mm x 180 mm Rp 1.500.000,1 HALAMAN DALAM : 255 mm x 360 mm Rp 7.500.000,1/2 HALAMAN DALAM : 255 mm x 178 mm Rp 4.000.000,1/4 HALAMAN DALAM : 125,5 mm x 178 mm Rp 2.500.000,2 KOLOM : 100 mm x 50 mm Rp 1.500.000,1 KOLOM : 50 mm x 40 mm Rp 750.000,-

* HARGA SUDAH TERMASUK PPN


CASTING

EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

NOVI CHIBI LANGSUNG MAIN FILM NOVI Chibi personel baru girlband Cherrybelle langsung main film. Bersamaan dengan gala premiere film Crush yang diperankan personel Cherrybelle, Senin (7/4/2014) di XXI Plaza Epicentrum, Jakarta, nama Novi diperkenalkan. “Hai, aku Novi Chibi, aku personil ke sembilan Cherrybelle, ucap remaja berambut panjang itu. Dia menggantikan Annisa yang lepas dari Cherrybelle sejak Oktober 2013. Selanjutnya, Novi mengungkapkan perasaannya bisa bergabung dengan girlband nomer satu di Indonesia itu. Apalagi, di saat bersamaan dia pun ikut main dalam film. “Ini pengalaman sangat luar biasa, dan film ini sangat keren,” katanya. Walaupun terkesan ‘mudah’ bergabung dengan Cherrybelle, sebenarnya Novi telah melalui proses seleksi yang tidak sederhana. Selain diuji kemampuan teknik bernyanyi dan akting, dia mendapat gemblengan fisik berbulan-bulan. “Selama 3 bulan saya mengikuti training. Sebulan rutin mengangkat barbel dan lari sebanyak 5-6 putaran di lapangan Gelora Bung Karno, sisanya latihan dance dan vokal,” jelasnya. Dengan masuknya Novi, saat ini Cherrybelle genap berjumlah sembilan orang. Diakui Novi, untuk berperan dalam film dirinya sangat mendapat dukungan dari seluruh personel Cherry Belle. “Karena setiap hari ketemu, waktu melihat akting mereka keren banget bisa senatural itu. Seperti Angel, dia tiap hari ya seperti itu. Felly juga, dia tiap hari lucu,” ujar Novi ceria. (kf/imam)

Novi Chibi. (Foto: Munadi)

FEBRO ADI mengasah kemampuan PENDATANG baru di dunia acting Febro Adi mengaku senang, ketika sebuah FTV menawarkan dirinya menjadi salah satu pemeran. “Namanya juga baru pertamakali tampil, ya senang rasanya. Dan bangga,” kata lelaki asal kota Palembang ini di Jakarta, baru-baru ini. Lahir di Palembang pada 22 Februari 1985, Febro Adi memiliki minat di bidang entertainment. Hal ini yang membuatnya harus meninggalkan kota kelahirannya tersebut. “Di Palembang rasanya aku tidak bisa mengembangkan diri dan menyalurkan bakat. Makanya tahun 2013 aku ke Jakarta,” katanya. Meskipun baru beberapa bulan di Jakarta, Febro sudah melihat cita-citanya mulai tumbuh. “Karena ada seorang kawan di Jakarta, saya punya kesempatan

lebih cepat untuk masuk dunia entertainment,” lanjut Febro, yang pernah beberapa kali mengikuti ajang lomba model, termasuk body contess yang diadakan di Palembang. Dengan modal kemampuan berakting yang masih ‘pemula’, Febro berusaha menggapai impian bekerja di bidang entertainment. “Saya masih harus belajar untuk mengasah kemampuan. Belajar adalah cara terbaik untuk bisa bersaing di ibukota Jakarta,” kata model yang kini bergabung dengan sebuah manajemen artis di Jakarta. Dia berharap dapat membawa oleh-oleh untuk orangtuanya di Palembang. “Kalau saya sukses, untuk membanggakan orangtua di kampung,” kata Febro yang juga hobby bercanda. (kf/isyadi)

ARTIS Atiqah Hasiholan (32) semakin matang dalam menyikapi sebuah peran. Dia bahkan mampu menjadikan film sebagai guru bagi kehidupannya. Hal itu dikatakannya, saat syukuran produksi film ‘3 Nafas Likas’ di Jakarta, Rabu (23/4/2014). Di film tentang seorang wanita bernama Likas, pendamping hidup pejuang di Sumatera Utara, Djamin Ginting itu, Atiqah menjadi bintang utama. Artis kelahiran 3 Januari 1982 pun berusaha masuk ke dalam jiwa Likas. “Dari kehidupan yang dijalani Ibu Likas, saya belajar bagaimana tidak menjadi egois dan abai terhadap orangorang yang kita cintai,” kata Atiqah, saat syukuran produksi film 3 Nafas Likas, di Jakarta. Kisah Likas difilmkan oleh sutradara Rako Prijanto. Atiqah berperan sebagai Likas. Film mengambil setting waktu 1930 hingga 2000. Likas adalah sosok perempuan Batak Karo yang mendobrak tatanan adat yang ada. Menurut adat di masa lalu, peran perempuan banyak terpinggirkan, tetapi Likas justru bergerak meneruskan cita-cita tiga pria yang dicintainya, yaitu ayah, kakak, dan suaminya. Hidupnya sukses sebagai pengusaha karena ia menjalankan amanat ketiganya. “Terkadang kita egois menjalankan keinginan kita sendiri dan mengubur cita-cita orang lain yang sudah mati,” kata Atiqah. Ibu Likas masih hidup sedangkan suaminya, Djamin Ginting, pejuang yang menentang pendudukan Belanda di Batak Karo, meninggal di usia 55 tahun. Atiqah banyak belajar tentang sosial-budaya masyarakat Batak Karo, dari tahun 1930-an hingga 2000-an. “Perempuan Karo beda banget. Secara budaya dan dialog, mereka sangat berbeda dengan Melayu. Saya belajar sesuatu yang baru,” ujar Atiqah Hasiholan. (kf/imam)

Febro Adi (Foto: Dok.Pribadi)

MEYTA PUSPITA

Urus manajemen artis KALAU hobby sudah bicara, maka kesulitan dapat dilalui dengan senang hati. Hal ini yang dialami Meyta Puspita Sari, pendiri dan pemilik Metta Management. “Sebenarnya saya hobby berkumpul, dan kebetulan ada sedikit modal untuk membuka jasa manajemen artis,” ujarnya ketika dijumpai di kawasan Grogol, Jakarta Barat, akhir pekan silam. Wanita asli Magelang kelahiran 16 Mei 1981 ini sedang mempersiapkan wadah bagi para calon artis, yang mau mengembangkan diri di tempatnya. Jika tidak ada halangan, Mei 2014 nanti manajemen artis yang dipimpin Meyta akan diresmikan. Meski belum resmi dibuka resmi, sudah banyak yang bergabung. “Saya baru persiapan beberapa bulan tapi sekarang sudah 20an anggota yang mendaftar. Ini menunjukkan animo yang besar. Makanya dalam waktu dekat segera diresmikan,” kata Meyta. Di wadah Metta Management, Meyta tidak sendiri bekerja. Dia dibantu beberapa temannya yang berpengalaman di bidang pelatihan acting, modeling dan presenting. “Saya berharap para peserta yang bergabung di sini dapat berkembang nantinya setelah mendapat pelatihan,” kata Meyta. (kf/imam)

Atiqah Hasiholan. (Foto: Dudut Suhendra Putra)


PROFILM

TAKE 4 EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

ALEX KOMANG, KETUA BADAN PERFILMAN INDONESIA

“Berjamaah itu lebih powerfull”

SEMBILAN pengurus Badan Perfilman Indonesia (BPI) terpilih pada 17 Januari 2014 memajukan nama Alex Komang, sebagai ketua lembaga yang diamanatkan UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Inilah kabinet baru perfilman Indonesia yang disepakati oleh masyarakat perfilman. Salah satu aktor terbaik Indonesia ini pun ‘bergerak’ melaksanakan amanah dengan mengawalinya di pelaksanaan Hari Film Nasional (HFN) ke-64 pada Maret lalu. Kegiatan yang dibiayai Direktorat Pengembangan Industri Perfilman Kemenparekraf sekitar Rp2 Miliar itu berjalan mulus. Langkah BPI berikutnya adalah melakukan konsolidasi ke dalam struktur dan merancang program, termasuk membaca peta perfilman nasional. Usai gegap-gempita HFN yang mendapat sambutan seluruh elemen masyarakat perfilman itu, Alex Komang menerima Tabloid Kabar Film di Sekretariat BPI, Gedung Film, Jl MT Haryono kavling 47-48, Jakarta Selatan pada 17 April 2014 lalu. Berikut ini wawancara dengan pemilik aktor bernama asli Saifin Nuha: Apa yang Anda bawa untuk organisasi sebesar BPI? Tidak kosong pastinya. Setiap orang yang mengerti dan com­ ited terhadap bidangnya pasti dipertaruhkan sampai disebut itu sebagai ‘pertaruhan hidup’. Saya ingin katakan, bahwa film yang akan saya buat adalah sebuah pertaruhan, karena saya ada di sana. Keberadaan saya, ya lewat film itu. Artinya, saya juga akan membuat film-film yang bisa mewakili diri saya. Yang

baik, tentunya. Di sini di BPI, kalau ‘kosong’ dalam tanggungjawab ya tidak. Saya punya tanggungjawab itu. Hanya sekarang di BPI masuk dalam satu forum yang tanggungjawabnya tidak lagi hanya diri saya. Jadi kita bisa share dengan teman-teman. Artinya, kalau berjamaah itu jauh lebih po­ werfull dibanding sendiri-sendiri. Saya diajukan sebagai ketua juga bukan ngarang. Artinya, mereka diskusi-diskusi kenapa harus Alex. Saat mubes BPI saya tidak tahu kalau akan diangkat jadi ketua. Mungkin karena saya bukan orang yang punya ambisi untuk memimpin ini. Seperti apa format BPI untuk bisa melangkah? Ini pertamakali kita melangkah untuk sebuah cita-cita mendirikan sebuah bangunan yang besar dan nasional, maka harus dibuat blueprint-nya. Itu yang awal. Blueprint itu benda yang harus diwujudkan, difikirkan dan diolah. Dan ini, tidak bisa dilakukan sendiri tapi bersama dengan stakeholder. Karena film bukan hanya milik orang film, tapi seluruh masyarakat. Karena mereka akan kena dampaknya. Akan ada kebersinggungannyanya, dan itu niscaya. Kalau filmnya buruk, masyarakat menjadi korbannya. Di sini harus difikirkan secara menyeluruh. Bukannya masyarakat dianggap hanya obyek. Itu PR besar yang akan kita kerjakan. Sebagai orang film apa makna kehadiran BPI bagi Anda? BPI adalah lembaga yang necesery harus difikirkan keberadaannya oleh Negara. Ka-

rena Negara bertanggungjawab kepada masyarakat. Dalam hal ini pemerintah sudah melakukan lagi dengan UU Perfilman. Tadinya kan di UU dasarnya memang sudah disebutkan begitu tapi memang tidak spesifik. Film sebagai produk kebudayaan memang harus dijaga dan dipelihara. Difokuskan melalui UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman yang perlu dikoreksi. Kami melihat, ini adalah good­ will dari pemerintah. Seperti misalnya peradaban, setiap hari tentu perlu koreksi. UU ini juga. Kita baru bisa mengkoreksi jika ada kebersamaan. Ini harus disyukuri. Bahwa ini belum memuaskan, iya. Kita harus mengkoreksi hingga menjadi seperti di Negara-negara yang memiliki peradaban. Anda puas dengan hasil pelaksanaan HFN 2014? Bahwa acara itu seremonial, iya memang begitu. Kepres tahun 1999 tentang Hari Film Nasional itu merupakan ‘tanda’nya. Kalau kita belajar semiotika yang juga ada di film, itu artinya sebuah symbol. Kenapa ada patung, misalnya. Nah, orang hidup itu perlu symbol. Sekarang, bagaimana symbol itu supaya tidak sekadar monument tapi menjadi dokumen, sebuah gerakan. ‘Gerakan’ itu kan bisa dirasakan dari serangkaian kegiatan Hari Film Nasional kemarin. Kehadiran Rahmat Hidayat sampai artis muda-muda, itu bentuk sebuah kesungguhan kita masyarakat film. Jadi sebelum mengerjakan hal yang lain, bikin dong kesepakatan bersama dulu. Memang masih ada masyarakat di dalam industry, satu-dua yang tidak peduli. Tapi

BIOGRAFI ALEX KOMANG: Alex Komang lahir dengan nama Saifin Nuha di Jepara, Jawa Tengah 17 September 1961. Dia menjadi Ketua Badan Perfilman Indonesia periode 2014-2017 setelah terpilih dalam Musyawarah Besar (Mubes) Pembentukan Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang berlangsung 15-17 Januari 2014 di Hotel Balairung, Jakarta. BPI adalah badan bentukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman yang pembentukannya difasilitasi oleh pemerintah. Alex Komang adalah salah satu murid Teguh Karya di Teater Populer selain Slamet Rahardjo Djarot, yang pernah menjadi Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Indonesia (BP2N) sebelum digantikan oleh Djonny Sjafrudin, dan Deddy Mizwar. Filmografi: Doea Tanda Mata (1985) (aktor/skenario), Secangkir Kopi Pahit (1985) (aktor/skenario), Ibunda (1986), Mementos (1986) (aktor/ skenario), Pacar Ketinggalan Kereta (1989), Ca Bau Kan (2002), Puteri Gunung Ledang (2004), Long Road to Heaven (2007), Medley (2007), Sumpah Pocong Di Sekolah (2008), Chika (2008), Laskar Pelangi (2008), Anak Setan (2009), Romeo Juliet (2009), Rasa (2009), Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji (2009), Darah Garuda (2010), True Love (2011), Surat Kecil Untuk Tuhan (2011), 9 Summers 10 Autumns (2013), Sebelum Pagi Terulang Kembali (Mei 2014) **

Alex Komang. (Foto-foto: Dudut Suhendra Putra)

masak kita ngomongin yang tidak peduli? Dengan terwakili­ nya semua unsur masyarakat perfilman di HFN saya kira itu bagus. Cukup khidmat dan mo­ dern. HFN toh tidak sekadar kemarin. Karena berlanjut berupa campaign tentang kecintaan film hingga akhir tahun dan akan terus bergulir. Kita ada gerakan ‘ayo ke bioskop’ dan jangan ngajak nonton film ke pinggir kali. Kenapa ada bioskop? Inilah dalam sebuah bangunan BPI ada yang namanya ekosistem. Apa langkah yang akan dilakukan BPI ke depan? Kita berusaha menyuburkan masing-masing komponen, melakukan program study, dan menyiapkan SDM. Harus ada sekolah selain IKJ dan nantinya IKJ akan beranakpinak. Kita akan buat forum-forum lainnya, dimana para akademisi dari IKJ akan menularkan ilmu mereka. Setelah ada study, ada produksinya. Produksinya dalam hal ini, pemerintah harus membuat regulasinya agar suasana juga kondusif. Di sini ada ekshibitornya yaitu bioskop. Semuanya saling berkait. Ter-

masuk apresiasi, agar masyarakat punya kesadaran film yang baik seperti apa? Jangan-jangan karena masyarakat tidak tahu film yang baik seperti apa, dia tidak nonton. Inilah salah satu tugas BPI. Perlu berapa lama untuk mewujudkan cita-cita tersebut? Itu perlu waktu panjang minimal 25 tahun. Tapi untuk mencapai tangga 25 tahun harus ada step awal. Karena setinggi apapun, step awal harus dilalui. Nah, hari ini tahun ini kita lalui. Oya, berapa anggaran yang dikucurkan pemerintah untuk BPI? BPI lahir tanggal 17 Ja­nuari 2014 berarti dia tidak ada anggaran. Te­ tapi, kita juga tidak


PROFILM bisa mengabaikan adanya semangat untuk bisa bekerja. Pengalaman kita dan goodwill adalah modal utama. Yang lain­nya menyusul. HFN contohnya, itu sudah dianggarkan oleh Kemenparekraf sebelum BPI terbentuk. Pertanyaannya, sekarang bersama BPI dirasa lebih ada atau tidak? Goal-nya mungkin tidak perfect, tapi ada peningkatan. Tidak sekadar seremonial. Kita bukan menolak uang. Hany saja kita tidak mengelola anggaran HFN kemarin, tapi kita punya konsep. Ada juru bayarnya. Jadi, sama sekali keliru kalau BPI dianggap sebagai semacam EO. Maaf saja, memangnya kita cowok apaan? Kami bukan seperti itu. Kami punya uang, punya pekerjaan dan prestasi. Setiap pekerjaan di kementerian ada RAB-nya. Jadi sudah tetap. Misalnya, untuk hari puncak HFN diadakan malam hari, itu karena kami mengejar orang sudah tidak sibuk. Kenapa di Jakarta Teater, karena kita perlu hall yang besar. Di sini (Gedung Film-Red) juga bisa. Tapi karena ada anggaran yang memungkinkan untuk kita bekerjasama, maka jadilah di sana. Kita memaksimalkan anggaran yang ada, karena kita punya cita rasa, bukan sekadar proyek itu jalan lalu ada fotonya, selesai. Bukan seperti itu, karena itu uang rakyat. Kita juga minta pemikir Seno Gumira menulis dan membaca

orasi di Indonesia Kaya. Kita bekerjasama dan itu tidak bayar. Konsep kita tahun depan, setiap propinsi akan merayakan HFN. Uangnya dari mana? Mereka kan punya duit, dan kita hanya berikan software-nya. Mau bikin diskusi, ini lho, kami punya ahlinya dan seterusnya. Kemarin baru di dua kota Semarang dan Banjar. Itu pun karena sudah ada jadwal dari Kementerian, sebelum BPI terbentuk. Kita tidak tahu juga

mengapa harus di dua kota itu. Tapi ya sudahlah, dimaksimalkan saja. Lantas bagaimana dengan anggaran sehari-hari? Kita belum ada anggaran untuk operasional, termasuk gaji. Anggaran yang ada, adalah yang sudah diplot oleh kementerian setahun lalu sebelum ada BPI. Bahwa pekerjaannya segede ini, ini nggak ngarang. Kita melakukan pertemuan dengan atase ke-

TAKE 5 EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

budayaan Perancis, kemarin itu pakai uang sendiri. Dan Itu tidak jadi soal karena kewajiban kita. Justru yang perlu dibuat adalah anggaran untuk tahun ke depan, kali aja saya dapat gaji. Kali, lho ya? Anggaran saat ini dibuat tanpa keikutsertaan BPI untuk merancangnya, tapi agar dana itu bermanfaat dan tidak mubazir kita dampingi. Semua program dibikin goal point-nya. Kita punya kewajiban untuk itu, dan supaya didengar. Kalau tidak didengar juga tidak apa-apa. Kita akan lapor ke masyarakat. Termasuk anggaran pelaksanaan FFI, karena itu diamanatkan oleh UU Perfilman. Sekarang, BPI akan mengupayakan masyarakat perfilman ikut serta dalam FFI. Termasuk mereka yang selama ini menolak ikut. Kalau produser memboikot? Ya, kita rayu supaya mau dan mengajak yang mau. Ini kan masalah kepercayaan. Kalau kita percaya pada forum itu, tentunya kita harus dukung. Kalau tidak ikut, ya tidak apa-apa kan ini Negara demokrasi. Mengapa kesibukan HFN lebih terasa di Kemenparekraf dibanding di Kemendikbud? Mungkin ada benarnya, tapi tidak seluruhnya. Umumnya begitu. BPI tidak mengambil proyek di kementerian, tapi membantu menggoalkan gagasan. Musti­ nya memang saya bertemu men-

teri Dikbud. Saya kira kita paham, bahwa kami di sini orang bebas, bukan pembantu presiden. BPI adalah steering commite sebe­ tulnya. Dan yang mengerti tentang film bukanlah kementerian itu, makanya menteri perlu kita. Menteri atau pemerintah perlu masyarakatnya, jangan dibalik. Jangan jadi ndoro. Yang ndoro itu rakyat. Jadi, layani kami, jangan dibalik. Nanti dikatakan orang film minta dilayani? Bukan orang filmnya tapi masyarakat. Dan, orang film itu layanannya bukan yang sifatnya feodalistik. Jadi fungsinya di pemerintahan adalah public ser­ vice. Makanya tidak boleh tidur. Nah, paradigma feodalistik ini yang perlu diubah. Menurut Anda persoalan utama perfilman kita apa? Elemen-elemen di dalam ekosistemnya tidak tersupport dengan baik. Misalnya soal izinizin. Kalau soal regulasi, kan perannya pemerintah. Tapi, ini yang belum kondusif. BPI tidak akan membuat regulasi tapi memberi masukan. Kita tidak membawa suara satu organisasi, tapi seluruhnya sesuai AD/ART. Suara ini akan jadi masukan ke pemerintah. Jika BPI ‘cerewet’ apakah tidak merepotkan pemerintah? Yang namanya kritik pasti membangun. Tapi, ada cara-cara untuk mengkritik. Oya, BPI belum disahkah dan anggotanya belum dilantik? Dilantik atau tidak dilantik, kita orang film tetap jalan. (kf/ imam)


PROFILM

TAKE 6 EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

Helfi Kardit (kanan) saat mengarahkan pemain di film “Guardian”. (Foto-foto: Skylar Pictures)

Helfi Kardit

Seputar film action “Guardian” SUTRADARA film Helfi Kardit membuka tahun 2014 dengan suguhan film action. Sebagian biaya produksi film ini dipakai untuk grafis computer, untuk menghasilkan gambar yang lebih hidup. Berikut ini wawancara dengan Helfi Kardit tentang filmnya tersebut: Tahun 2014 banyak film action, salah satunya film Guardian. Bagaimana perasaannya berada dalam daftar tersebut? Yang pasti luar biasa senang, secara personal situasi industri film seperti ini yang saya tunggu. Beragam tema dengan high value production dan konten. Bikin film seperti Guardian ini cukup lama saya tunggu karena saya penggemar film action. Sejak kapan rencananya dibahas hingga proyek ini bisa benar-benar diwujudkan? Bersama produser eksekutif Sarjono Sutrisno kita sudah bahas sejak sekitar tahun 2010. Working titlenya masih 7 Hours. Ada beberapa poin yang mesti ditunda dulu karena faktor CGI. Kita merasa masih belum ketemu orang yang tepat. Akhirnya bertemu dengan tim efek visual yang sekarang, Eric Kawilarang. Mereka sudah pengalaman produksi di Hollywood. Sejauhmana pentingnya gra­fis komputer ini? Kita sih merasa cukup signifikan ya, untuk membuat adeganadegan yang fantastik dan meyakinkan… Berapa scene yang ada CGInya? Adegan apa saja yang diakali? Untuk CGI ada sekitar 700-an shot , cukup banyak memang. Mulai dari efek yang kecil hingga efek yang cukup besar dan rumit… Berapa biaya yang dihabiskan untuk proses CGI ini? Mung-

kin bisa dalam persentase. Ya, 20 persen dari anggaran Guardian hahaha, lumayan gede juga. Bisa bikin 2 atau 3 film Indonesia yang biayanya standar. Tentang Eric Kawilarang. Bisa ceritakan sedikit latarnya? Dia berkantor di Los Angeles, dan studio animasinya di Meksiko. Bersama timnya sudah banyak terlibat dalam produksi di Hollywood, misalnya Superman Returns, Hulk, dan Life of Pi. Mereka baru saja menyelesaikan proyek film animasi, judulnya Sava. Sebuah produksi Rusia dan sudaj dibeli oleh 21 Century Fox. Namun ada hal yang saya sampaikan ke Eric, saya maunya tim CGI ini merangkul animator lokal. Soalnya saya ingin tenaga kreatif yang terlibat 100 % orang Indonesia. Ujungnya ada generasi baru animator yang bisa dikasih kesempatan berkarya lebih dalam industry film. Film ini menghabiskan biaya belasan milyar. Apa pertimbangan produser memberi lampu hijau syuting film high budget ini? Ini mungkin bisa di sebut apresiasi dan kepercayaan atas potensi yang saya miliki Dari seorang investor atas potensi yang saya miliki, mungkin Pak Sarjono Sutrisno yakin menyer-

ahkan Guardian ini melihat pengalaman saya selama ini yang sudah cukup banyak showreel dari berbagai genre film. Apa sih kelebihan yang coba disodorkan dalam film ini? Bicara kelebihan pasti semua film mempunyai daya tarik tersendiri, Film Guardian menawarkan paket action yang bukan hanya body contact atau pukul-pukulan tapi ada adeganadegan fantastik, seperti ledakan rumah dan adegan tabrakan mobil… Apa pertimbangan mengajak bintang Hollywood dalam film ini? Alasan mengajak Sarah Carter? Pertama, karena memang bagian dari kebutuhan cerita, korelasi setiap karakter ini sangat kuat dalam skripnya . Gue nggak bisa share disini hahaha nonton aja filmnya. Bagaimana performance Sa­rah ketika proses syuting? Ah, tak jauh beda dengan pemain-pemain kita, sama saja. dan buat gue mau kerja bareng dengan siapapun nggak pernah mikirin asal-usulnya dari mana. Yang terpenting gue coba membangun chemistry kerja, dan kebetulan Sarah mempunyai kualitas akting yang bagus. (kf/imam/bobby)


PROFILM RUMAH Produksi Penavision memproduksi film bergenre remaja komedi “Kesana Mentok Kesini Mentok” dengan pemain antara lain ; Yurike Prastika, Dhea Anisa, Otis Pamutih, Haris Gepeng, Kawakibi Muttaqien, Fagih Alatas, Wiwid Razak, Jule Evoque, Iyus Gumelar, Rudi Sipit, Neng Risma, Fairly Watimena, Finta. Mengisahkan tentang kondisi jaman sekarang yang sulit mencari kerja namun biaya hidup semakin tinggi. Bekerja yang haram saja banyak persaingan apalagi bekerja yang halal. Kehidupan tidak selamanya memberikan kebahagiaan, adakalanya pahit getir harus pula dinikmati. Kondisi jaman yang semakin maju dengan kebutuhan hidup semakin tinggi membuat tiga mahasiswa harus berjuang mencari biaya kuliah dan kontrakan rumah. Ketiga mahasiswa itu, Gepeng, Awy dan Fagih. Mereka saling kompak mengontrak rumah dengan cara patungan. Hidup mandiri bagi mahasiswa sangat diperlukan untuk menambah pengalaman hidup. Mereka harus mencari uang dengan cara apapun agar kontrakan tetap dapat ditempati. Maklum mereka sudah menunggak sehingga pemilik kontrakan terus menerus menagih, jika mereka tidak bisa membayar

TAKE 7 EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

Drama Komedi Produksi Penavision

“KESANA MENTOK KESINI MENTOK” anak kecil..”Katanya seru sekali.

Para pemeran film “Kesana Mentok Kesini Mentok”. (Foto-foto: Penavision)

“Film ini bermuatan hiburan konyol namun ada unsur pendidikannya. Bahwa kita sebagai manusia tidak boleh takut dengan makhluk gaib. Adeganadegan konyol ketika melawan hantu akan memberikan hiburan tersendiri.”Ujar Wibi Aregawa selaku Sutradara dan Penulis Skenario. Menurut mantan bintang bom sex era tahun 80’an, Yurike

Prastika yang menjadi tante girang ini membuatnya tertawa ketika membayangkan adegan konyol yang diperankannya,” Film ini sih konyol banget, saya berperan sebagai tante girang yang sexy. Bawa cowok ke rumah terus ngasih kondom. Cowok itu udah berpikiran mesum, padahal sih enggak berbuat apa-apa. Malah cowok itu saya usir pulang setelah saya jadiin contoh buat

Cerita unik Film bertema horor selalu mendominasi bioskop dari cerita yang sangat menyeramkan sampai yang membuat terpingkalpingkal alias horor komedi. Begitu pula film yang judulnya saja sudah dapat ditebak bergenre komedi, Kesana Mentok Kesini Mentok. Judul yang mengingatkan pada film-film komedi terlaris sepanjang masa yang dibintangi Warkop. Bahkan pemainnya juga tiga orang mahasiswa yang mengontrak dan selalu bermasalah dengan keuangan serta dihiasi cewek-cewek cantik. “Sebenarnya ingin sekali mem­bangkitkan perfilman yang bertema komedi dengan cerita-cerita unik, menarik dan menghibur sesuai kondisi cerita jaman sekarang. Memang untuk film komedi yang laris sepanjang masa yah cuma film-filmnya Warkop DKI. Tentu harapannya film komedi bisa menarik minat penonton selain film bertema kekerasan dan horor yang beredar.” Ujar Wibi Aregawa optimis. Kesana Mentok Kesini Mentok mempunyai kisah unik yaitu mengisahkan tiga manusia yang ditakuti sama makhluk gaib. Rumah angker yang menyeramkan dan menakutkan semua orang ternyata makhluk gaibnya dapat diusir oleh ketiga pemuda yang lagi butuh uang buat bayar kon-

trakan. Film komedi selama ini memang digemari masyarakat karena memberikan hiburan menarik yang tidak menakutkan dan terkesan sadis. Namun film ini tidak menampilkan postur sexy para perempuan sebagaimana film-film horor yang ada selama ini. “Terkadang cerita yang menarik dan menghibur mampu menggantikan segala yang berpenampilan sexy. Targetnya untuk segala usia jadi enggak perlu menampilkan sekwilda atau bupati”Jawab Wibi Aregawa dengan mantap. (Sekwilda ; Sekitar Wilayah Dada atau Bupati ; Buka Paha Tinggi-tinggi). Film mengambil lokasi syuting di wilayah Jakarta, Depok dan Bogor memakan waktu selama 15 hari. (kf/wibi)

Sutradara Wibi Aregawa saat syuting film “Kesana Mentok Kesini Mentok”.

maka mereka harus segera pindah. Ketiga mahasiswa ini cukup cerdik mengelabui ibu kontrakan yang jutek dan sensual, hanya untuk mengulur waktu. Ketiga mahasiswa ini sibuk mencari kerjaan, hanya saja yang paling banyak lowongan sebagai artis atau bintang film. Mereka mendatangi PH untuk mengikuti casting sebagai bintang film. Ternyata mengikuti casting tidak mudah bagi yang belum berpengalaman, wajar saja jika mereka tidak pernah mendapat peran. Alhasil, mereka justru mendapat pekerjaan menjadi pengusir hantu di rumah angker. Apakah mereka berhasil mengusir hantu itu? Tunggu saja Filmnya di bioskop kesayangan anda.

Judul film Genre Eksutif Produser Co. Ekskutif Produser Produser Line Produser Pemain Penulis Skenario Penata Artistik Penata Musik Theme Song Penata Make Up Editor D.O.P Sutradara Produksi

: Kesana Mentok Kesini Mentok : Komedi Remaja : Dhandy Trivianto : Dodi Hananda, Dimas Prasojo : Happy Indraswanti, Selly Adriatika : Syaefullah Nawawi : Dea Anisa, Yurike Prastika, Otis Pamutih, Haris Gepeng, Kawakibi Muttaqien, Fagih Alatas, Wiwid Razak, Rudi Sipit, Neng Risma, Jule Evoqe, Iyus Gumelar, Fairly Watimena : Wibi Aregawa : Jay Sufi Art : Estu Studio : Wibi Aregawa & Estu : Reni Agus Sofyan : Uthunx : Muhammad Iqbal : Wibi Aregawa : Penavision


TAKE 8

PROFILM INDONESIAN Film Director Club (IFDC) adalah organisasi profesi sutradara film Indonesia yang diketuai Lasja Fauzia Susatyo. IFDC dideklarasikan bersama 8 asosiasi lainnya dalam Indonesian Movie Picture Association (Impas) pada 2 September 2013 di Jakarta. “Tugas saya sebagai komunikator IFDC. Kita pakai nama ‘club’ supaya tidak terbebani, seperti partai misalnya. Ini semua pekerjaan baru dan dampak positifnya sudah dirasakan anggota,” kata Lasja Susatyo kepada Teguh Imam Suryadi dari Tabloid Kabar Film di kawasan Cikini, Jakarta, 17 April 2014. Berikut ini petikan wawancara dengan sutradara yang baru merampungkan film Sebelum Pagi Terulang Kembali: Apa sih sebenarnya IFDC? Indonesian Film Director Club bukanlah partai, tapi semacam solidaritas. Solidaritas dengan teman, saling mendukung secara positif. Semuanya tentang hal positif, jadi soal negativitas jauh-jauhlah dari IFDC. Kalau ada sedikit negatif, biasalah friksi-friksi. Fine saja tapi harus ada solusinya. Apa semangat yang melatari berdirinya IFDC? Semangatnya adalah dalam rangka memajukan perfilman nasional. Sebenarnya pragmatis, misalnya syuting semakin susah dan banyak masalah yang kita tidak tahu harus curhat sama siapa. Jadi harus apa dan bagaimana supaya kita kuat bersatu? Nah, ngomonginnya untuk mencari solusi bukan jelek-jelekin. Begitu maksudnya. Seperti apa prosesnya? Jadi, beberapa tahun lalu saya bertanya pada beberapa orang termasuk teman-teman di KFT (organisasi Karyawan

LASJA SUSATYO, Ketua Indonesian Film Director Club (IFDC)

Kita harus siap hadapi pasar bebas

Lasja Susatyo (kanan) menyutradarai film “Sebelum Pagi Terulang Kembali”. (Foto: Dok.Pribadi)

Film dan Televisi-Red) dan para senior. Saya dan beberapa teman disarankan agar membuat asosiasi. Tadinya kita mau bikin perkumpulan, rame-rame seperti MFI (Masyarakat Film Indonesia-Red), tapi susah bener ya mengontrolnya. Terlalu banyak kepentingannya dan luas. Lebih baik diperkecil sambil terus difikirkan tentang bagaimananya. Saya mengajak, misalnya yang paling semangat ada Agni dari editing dan sinematografer.

Karena mereka cukup tertarik dengan organisasi. Bahwa ada KFT mungkin agak kurang ngepop atau apa. Ada teman-teman yang coba masuk KFT untuk membuat perubahan tapi kok susah amat, seperti stagnan. Akhirnya kita ngobrol lagi. Sebenarnya ada INAFed sudah ada sejak zaman MFI. Mereka sudah bikin-bikin tapi masih dianggap kurang, terus sinematografer kan sulit menempatinya. Akhirnya saya berfikir director

EMIRSYAH SATAR

Dampak besar film untuk dunia pariwisata DIREKTUR Garuda Indonesia, Emirsyah Satar mengungkapkan besarnya dampak film dalam memajukan pariwisata, tak hanya di Indonesia tapi juga dunia. “Beverly Hills Cop, atau film Hollywood lainnya yang berlokasi di Negara tertentu sangat mempengaruhi orang untuk datang ke sana. Indonesia juga bisa seperti itu,” kata Emirsyah Satar kepada tabloid Kabar Film, belum lama ini di Jakarta. Menurut dia, untuk promosi destinasi bisa dilakukan dengan film. “Hanya its investment. Jadi harus ada commercial value-nya juga. Bagi kita in a business harus ada commercial value, tidak bisa mengeluarkan (anggaran) tanpa ada return-nya. Kecuali kemenparekraf,” katanya.

EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

Emirsyah Satar. (Foto: Dudut SP)

Meski tidak tahu proses produksi film, namun Emir menilai sangat potensial jika ada sitcom semacam drama Oshin tapi diproduksi dengan setting Indonesia. “Saya tidak tahu bagaima-

na film itu dibuat. Tapi kalau ada sitcom semacam dramadrama seperti Oshin. Tapi dibuat atau dilakukan di kotakota yang menjadi tujuan yang akan kita promosikan. Bisa saja setiap hari ceritanya ada di Yogya atau dimana. Menurut saya, itu impact-nya akan sangat besar,” jelasnya. Film-film Indonesia menurut Emir cukup banyak yang ditayangkan di pesawat Garuda Indonesia. “Kita punya tim khusus untuk memilih film, kebetulan film Indonesia yang ditayangkan di pesawat Garuda makin lama semakin banyak. Saya kira film-film Indonesia sudah banyak yang bagus. Kalau saya memang tidak sempat nonton di bioskop, tapi selalu nonton di pesawat,“ katanya. (kf/ imam)

saja dulu. Saya ngajak Joko Anwar dan dia setuju, masingmasing saling menghubungi siapa-siapa, saya hubungi 15 orang, Joko 15 orang masuklah 30 orang. Setahun lebih kita mulai aktif dengan pertemuan setiap bulannya. Awalnya kita kumpul-kumpul untuk kangen-kangenan dan masih ada terfikir ke depannya kita mau ngapain, bikin program apa, menyusun ART dan termasuk akte. Program IFDC yang terdekat apa saja? Kita ingin menjadi sutradara dan film maker yang lebih baik. Jadi kita saling membantu. Ke depan akan ada workshopworkshop, tapi kalau sekarang kita bisa bekerjasama dengan British Council dan lembaga lainnya. Juga berusaha meningkatkan kemampuan dengan mendiskusikan film-film yang sudah keluar. Untuk jangka panjang? Kami masih menunggu renstra (rencana strategis-Red) dari Badan Perfilman Indonesia (BPI) supaya kita tidak jalan sendiri-sendiri. Jadi kita tidak selalu memulai lagi dari nol. Apakah IFDC mengatur anggotanya yang bersinergi dengan produser? Untuk hal yang berkaitan dengan produser, itu masih dilakukan masing-masing anggota. Tetapi misalnya, kita ketemu dengan investor atau produser yang mau bikin film seperti apa, kemudian saya merasa, wah film ini rasanya kurang pas sama gue dan lebih cocok untuk si Joko, misalnya maka diserahin ke Joko. Yang seperti itu biasa kami lakukan. Atau misalnya kita nitip Lucky

ke Cannes Film Festival tahun ini, karena IFDC diminta mewakili ke sana. Dia kan baru mau keluar filmnya. Jadi sekalian dia promosi film dan bertemu orang banyak sambil promosi IFDC. Siapapun nanti yang mendengar bisa masuk IFDC, dan untuk orang di luar sana akan tahu oh Indonesia punya IFDC sehingga kalau ada apa-apa bisa hubungi IFDC dan lain-lain. Yang menarik, setelah IFDC terbentuk maka profesu yang lain terpacu untuk bikin. Sebelumnya, Aprofi ragu-ragu mau jalan atau tidak. Tapi itupun tidak aneh, karena di lapangan yang mengajak juga sutradara, yang sebelum IFDC terbentuk saya sudah bicara ke banyak orang mulai dari pemain, senior dan siapa saja. Banyak yang skeptis ketilka itu. Jadi kita tahu seperti apa petanya, sementara perjalanan ke depan kan masih jauh. Bukan hanya filmnya atau kitanya saja, karena tidak mungkin kita lepas bebas begitu saja, terserah mau maju atau ambruk. Makanya dari kitanya dulu, jangan minta melulu. Kalau kita bisa, ya sudah jalanin. Apa saja peran IFDC di dalam BPI? Dengan adanya BPI sudah tidak ada istilah ‘mereka’ atau ‘kita’, mau tua atau siapa kek, tetapi semuanya adalah kami. Apalagi ada yang peduli film Indonesia, ayo sama-sama. Misalnya, soal BPI tidak usahlah dibikin kisruh juga. Langkah-langkahnya seperti apa, ngumpetnya dimana, kan kita sudah tahu. Karena kita sudah mengajak orang-orang masuk ke situ, ya kita bantu supaya mereka bisa jalankan untuk tugas-tugas yang diamanat-


PROFILM kan. Kita bantu BPI membuat renstra, termasuk dalam melaksanakan Hari Film Nasional kemarin. Semuanya mendukung all out. Jadi, Ke BPI apakah termasuk bicara masalah kesejahteraan? Soal itu mah bagian ke sekian. Itu masalah remeh-temeh. Kalau urusan utamanya itu, kita tidak maju-maju. Karena persoalan utamanya seputar perut dan kesejahteraa untuk masingmasing orang. Itu yang harus diubah mindset-nya. Kita mau film ini maju harus ada sacrifiting. Artinya kita harus kerja dobel terutama yang kita fikirkan untuk kemajuan semua. Kenapa ada Impas, kan intinya elemen film dalam produksi. Kalau kita kerjasama dengan baik, filmnya akan baik. Nah, orang-orang di perkumpulan ini akan bicara masalah jam kerja, dan itu sudah ada contoh anak-anak iklan yang mandek karena persoalan utamanya hanya itu. Kita juga tidak mengabaikan masalah kesejahteraan, tapi janganlah itu menjadi hal utama dalam bergerak. Apakah itu berarti kesejahteraan sutradara film Indonesia cukup? Mana pernah bisa cukup. Kalau mau dibandingkan dengan sutradara luar, ya selesai. Sama Korea saja kita jauh, nggak ada apa-apanya. Emang berapa sih? Ini pengalaman teman-teman yang ke Korea kemarin. Ketemu dengan asosiasi sutradara di sana. Kita lebih kecil 20 kali dari budget mereka. Any way, ada yang bagus dari katanya Adinia Wirasty yang sempat kuliah di LA. Dia bilang, yang penting sebenarnya adalah kesejahteraan ketika syuting. Sejahtera itu maksudnya seperti apa? Artinya begini, di dalam keterbatasan kita syuting sekarang, kita bisa sejahtera seperti apa sih? Kalau kita bisa syuting sejahtera, hasilnya pasti bisa meningkatkan kesejahteraan yang lainnya. Kesejahteraan syuting itu artinya, misalnya kita bekerja; jamnya jangan sampai terlalu gila. Tapi hasilnya bisa optimal. Misalnya kita tidak punya budget untuk bikin semacam Spiderman, maka dengan budget yang ada bisa dibuat film yang bagus dan ‘nendang’ tapi semua dilakukan dengan hati yang senang. Sehingga hasil yang kita berikan untuk masyarakat juga optimal. Dengan hasil yang optimal ini juga diharapkan masyarakat menyerap dengan baik. Kadang-kadang kita kan tidak bisa terus bilang, eh ayo dong nonton film Indonesia. Tapi kita juga harus memberikan yang terbaik, apa sih yang terbaik untuk film Indonesia. Kita juga tahu misalnya outlet film kita terbatas dibandingkan di Korea yang orangnya cuma 25.000 tapi bisa empat kali setahun rata-rata orang nonton film nasional. Sejahtera itu banyak hal, tidak hanya masalah mekanisme di lapangan. Selain produksinya,

misalnya lokasi syuting jangan susah-susah amat. Juga supaya ada peran serta masyarakat. Sekarang tempat-tempat umum yang biasa untuk syuting selalu dinaikan sewanya. Makin susah kan? Kita mau pakai daerahdaerah yang keren di Jakarta sudah susah. Harapan kami kepada pemerintah yaitu outlet yang banyak dan bagaimana kita bisa syuting. Apa saja masalah umum sutradara film Indonesia? Banyak. Cuma yang pertama keleluasaan berkreasi, banyak keterbatasan terkait sensor juga. Tapi kita juga belum apaapa sudah punya self sencoring. Belum lagi keterbatasan lainnya. Kalau soal kontrak atau fee, itu akan dibicarakan bisa sambil jalan berproses. Hal itu bisa dilihat berapa yang box office, berapa yang ikut festival kelas A, siapa yang sudah bikin berapa film, dan lain-lainnya nantinya akan terpetakan sendiri. Tapi yang paling penting, mengenai penulisan kontrak meskipun selama ini belum terlalu jadi masalah. Tetapi siapa tahu, ke depannya jadi problem. Karena sekarang orang senang bawa-bawa masalah hukum. Mungkin yang membuat itu mengira film glamour, banyak duit sehingga mereka jadi begitu. Salah ya film dikesankan glamour? Bagus juga, karena itu yang membuat orang-orang memperhatikan film. Kalau tidak glamour, apa menariknya? Tapi pada intinya, kita harus melek hukum. IFDC sudah bicara dengan ahli hukum dan ke depannya punya ahli hukum sendiri. Jadi soal kontrak kita sampaikan ke Aprofi agar ada standarisasi dan agar semua orang setuju. Bagaimana kesiapan IFDC memasuki pasar bebas 2015? Secara pribadi saya melihatnya tahun 2015 adalah pintu masuk, dimana tahun itu pasar bebas dan semunya bisa masuk. Kalau kita tidak punya badan atau asosiasi di dalam, tidak ada regulasi yang kita pasang untuk mengatur. Tapi juga tidak harus membatasi atau setidaknya jangan ‘makan habis’. Ada aturannya. Seperti juga dimiliki Negara-negara lain. Kita misalnya ada teman yang ditawari syuting di Inggris, harus ada referensi dari asosiasi yang menyatakan bahwa dia memiliki kapasitas. Kalau buat saya, IFDC ini kerennya adalah teman-teman yang biasanya kerja sendiri-sendiri tiba-tiba sekarang bisa saling menyapa. Ada komunikasi. Tentang festival apa dimana, kita bisa saling memberi kabar. Kadangkadang ada yang baru selesai bikin film kita nonton bersamasama, ini sesuatu yang baru buat kita dan menyenangkan. Anggota IFDC dipromosikan untuk dapat pekerjaan? Kalau punya karya dan punya simpanan karya yang bagus, kita terbuka untuk membuka peluang kepada yang lebih muda. Kita akan promosikan juga. Diantara kita juga seperti

itu. Misalnya, secara personal saya tidak suka-suka amat, tapi karyanya boleh juga. Artinya kita endors siapapun yang punya ide dan karya yang baik. Makin ke sini masalah personal sudah lewatlah. Childist tapi kadang itu penting buat lucu-lucuan. Kurang seru kalau ramah tamah, sopan-santun. Tapi setidaknya sekarang ini mereka rata-rata sudah cukup dewasa. Sudah lebih dari 15 tahun berkarya. Syarat menjadi anggota IFDC? Sudah bikin satu film layar lebar yang diputar secara komersial. Kita khusus sutradara film, karena untuk tivi sangat terlu luas. Tapi sejak tiga bulan terakhir ini, kami ada ketentuan baru untuk calon anggota, minimal dapat rekomendasi dari tiga anggota IFDC. Pertemuan anggota? Kami rutin bertemu setiap bulan di tanggal 15. Lucunya, minimal 8 orang pasti datang karena yang lainnya diantara kita kan punya kegiatan syuting, talkshow dan lainnya. Berapa anggota IFDC saat ini? Ada 30an orang. Dan sejak dideklarasikan beberapa waktu lalu jumlahnya bertambah. Dan kita kita ingin buat, ayo daftar lagi tapi aku masih menyiapkan dulu. Maksudnya, kalau mau berkumpul kan jauh lebih enak ya? Tapi siapapun yang mau menjadi anggota tinggal bilang saja. Toh kita sudah jadi, sudah ada. ** ANGGOTA IFDC: Adrianto Sinaga, Affandi Abdul Rachman, Agung Sentausa, Ardy Octaviand, Ario Rubbik, Chandra Endroputro, Dimas Jayadiningrat, Edwin, Erwin Arnada, Faozan Rizal, Gareth Evans, Hanung Bramantyo, Helfi Kardit, Ifa Isfansyah, Joko Anwar, Kamila Andini, Kimo Stamboel, Lance Mengong, Lasja Fauzia Susatyo (Ketua), Lola Amaria, Lucky Kuswandi, Monty Tiwa, Mouly Surya, Nanang Istiabudi, Nia Dinata, Ody C Harahap, Paul Haryanto Agusta, Putrama Tuta, Richard Oh, Riri Riza, Robby Ertanto Soediskam, Robert Ronny, Robin Moran, Salman Aristo, Teddy Soerjaatmaja, Timothy Tjahjanto, Upi Avianto, Viva Westi. BIOGRAFI LASJA SUSATYO: Lasja Susatyo adalah sutradara perempuan kelahiran 10 Oktober 1970, mengawali karir sejak 2004. Alumni Fakultas Sastra UI Jurusan Sastra Inggris ini mengambil master dari Towson University, Maryland, Amerika Serikat, jurusan Media Production, Liberal Arts. Selain membuat video musik dan film televisi, Lasja membuat film cerita dan film dokumenter. Karya filmnya antara lain Lovely Luna (2004), Dunia Mereka (2006), Bukan Bintang Biasa (2007), Perempuan Punya Cerita (2008), Langit Biru (2011), Kita versus Korupsi (2012), Mika (2013), Cinta Dari Wamena (2013), dan Sebelum Pagi Terulang Kembali (Mei 2014). **

TAKE 9 EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

Nonton dan diskusi film dokumenter ‘Hawa Mahameru’

SEBUAH film dokumenter bercerita tentang wanita pendaki gunung akan diputar di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Kuningan, Jakarta Selatan pada hari Minggu, 4 Mei 2014 mulai pukul 14.00 – 17.00 WIB. Film dokumenter dengan durasi sekitar 15 menit ini dibuat oleh Ressy Elang Andrian. “Film ini tentang sosok wanita pendaki gunung, yang meskipun sibuk sebagai ibu rumahtangga dan bekerja, namun dia masih bisa menjalani kegiatan hobbynya mendaki gunung,” kata Ressy., yang sempat menimba ilmu perfilman di KPU, PPHUI. Pemutaran film dan diskusi ini akan menghadirkan beberapa narasumber, antara lain Sha Ine Febrianti artis yang juga pehoby panjang gunung, dan Herman Lantang salah satu pendiri Mapala UI. “Silakan datang nonton dan gratis,” katanya. (kf/imam)

Riset ‘Tjokroaminoto’ ke perpustakaan di Belanda FILM kisah tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia ‘HOS Tjokroaminoto’ mulai digarap. Rset pun dilakukan hingga ke perpustakaan di Belanda. Jika tidak ada halangan, film ‘HOS Tjokroaminoto’ akan syuting antara Agustus-September 2014. Saat ini, film yang bakal disutradarai oleh Garin Nugroho itu masih dalam proses. “Persiapannya masih dalam proses. Ini masih menyusun draft awal scenario,” kata Eliza Hidayat, Line Producers rumah produksi PT PictLock ditemui di kawasan Jl Hang Lekir, Jakarta Selatan, Selasa (22/4/2014). Basecamp rumah produksi milik produser Dewi Umaya siang itu terlihat ada kesibukan. Beberapa tamu datang untuk mengikuti casting. Mereka duduk dan langsung mengamati serius fotocopy scenario yang disodorkan ke mereka. Juga datang petugas untuk memasang jaringan internet. Puluhan foto ukuran postcard bergambar dokumen pribadi Tjokroaminoto, dan sejumlah tempat serta pernik-pernik pada masa lalu terpampang di salah satu dinding ruangan. “Sejak setahun lalu kami sudah lakukan riset dan survey kepustakaan. Khusus untuk mencari data, kami dibantu Yayasan HOS Tjokroaminoto untukmencari sampai ke Belanda,” lanjut Eliza. Film ‘HOS Tjokroaminoto’ dipandu oleh scenario karya Arief Syarif, mengisahkan kehidupan pribadi ‘bapak para tokoh Indonesia’ tersebut di era tahun 1883 – 1920. Periode ini menceritakan mulai dari Tjokroaminoto masih bayi usia 35 hari, sampai dewasa dan dipenjara. Menurut Eliza, ketika film masih dalam bentuk gagasan, tim PictLock sempat juga bertanya-tanya, apa yang menarik dari kisah Tjokroaminoto. “Sebenarnya, yang menarik dari film ini adalah karena selama ini kita mengenal tokoh-tokoh besar seperti Soekarno yang merupakan salah satu murid dari Tjokroaminoto. Sementara, siapa guru atau bapak para tokoh besaritu, belum ada yang mengungkap di film,” katanya. Yang jugamenarik, lanjut Eliza, tentang potret kondisi pada zaman itu. “Dari alat transportasi, pakaian, dan gaya hidup masyarakat terutama para buruh di masa itu sangat menarik. Tapi itu baru pernik-perniknya saja, belum lagi tentang sosok pribadi Tjokroaminoto sendiri,” jelasnya. Meski periode itu terjadi perang, namun film ‘HOS Tjokroaminoto’ tidak spesifik mengangkat perangnya. Untuk lokasi syuting, pihak PictLock masih melakukan hunting. Namun, diperkirakan lokasi syuting di Jawa Tengah dan Jawa Timur. (kf/imam)


TOUR STORY

TAKE 10 EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

Gatot Brajamusti:

Dua hari bersama AKHIR pekan pertengahan April lalu, Gatot Brajamusti berada di pesawat Susi Air yang membawa rombongan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf ) Mari Elka Pangestu. Mereka bertolak ke Tasikmalaya mengadakan kunjungan kerja di kota Pangandaran, Ciamis, dan Tasikmalaya. “Saya mau cari lokasi syut-

Pantai Pangandaran. (Foto: Dudut Suhendra Putra)

ing film dan bertanya ke Sekjen Kementerian Parekraf Pak Ukus Kuswara yang ternyata akan mendampingi menteri meninjau ke tiga itu. Saya diajak, ya ikut sekalian saja,” kata Gatot Brajamusti kepada Tabloid Kabar Film di Pondok Indah, 14 April 2014, sehari setelah tur mendadaknya. Lokasi syuting film action terbaru PT Gatot Brajamusti Film

Melihat Pangandaran dari dekat KUNJUNGAN kerja Menteri Mari Elka Pangestu ke Pangandaran, Tasikmalaya, Ciamis di Jawa Barat merupakan program permintaan daerah agar menteri melihat perkembangan serta mendorong tumbuhnya pengembangan parekraf di sana. Pasca bencana tsunami tahun 2006, kehidupan ekonomi Pangandaran di Jawa Barat sempat lumpuh total. Kini telah pulih dan berkembang hingga menjadi proyek percontohan internasional sebagai wilayah terbaik dalam recovery pasca tsunami. Pangandaran mampu menopang kebutuhan ekonomi masyarakat dengan berbekal keindahan alam, produk kreatif serta kulinernya. Kabupaten Pangandaran memiliki garis pantai sepanjang 91 km, berbatasan dengan Cilacap dan Tasikmalaya serta destinasi lain yang tak kalah indahnya seperti Batu Karas, Batu Hiu serta Green Canyon. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf ) Mari Elka Pangestu mengatakan kunjungan wisatawan ke Pangandaran, Jawa Barat, meningkat setelah dilakukan pem-

benahan pascatsunami 2006. “Sebelum tsunami, wisatawan yang berkunjung mencapai 700.000 orang. Namun setelah tsunami dan dilakukan pembenahan, kunjungan mencapai 1,4 juta orang,” kata Mari Pangestu saat kunjungan kerja ke Pangandaran, Jawa Barat, Sabtu (12/4/2014). Menparekraf Mari Elka Pangestu didampingi Dirjen Pengembangan Destinasi Firmansyah Rahim dan Sekjen Kemenparekraf Ukus Kuswara mengunjungi Pangandaran untuk meninjau pengembangan pariwisata dan ekonomi kreatif di daerah tersebut. Mari mengatakan Pangandaran merupakan salah satu kisah sukses pengelolaan kawasan wisata pascabencana. Apalagi, Pangandaran memang termasuk kawasan rawan bencana. Menurut Mari, bencana tsunami yang melanda Pangandaran justru bisa diubah menjadi harapan untuk menghidupkan pariwisata dan menambah penghasilan penduduk setempat yang pada dasarnya adalah nelayan dan petani. “Hidupnya pariwisata juga

Menteri Mari Elka Pangestu berkesempatan menanam pohon mangrove di Pangandaran bersama sejumlah pejabat. (Foto: Ist)

menghidupkan banyak hal lain misalnya budaya. Di sini misalnya, tarian Ronggeng Gunung dan makanan pindang gunung yang sempat hilang bisa dihidupkan kembali,” ujarnya. Menurut Mari, di Kabupaten Pangandaran tidak hanya objek wisata pantai yang menjadi daya tarik. Di daerah tersebut terdapat tempat lain seperti gua, kemudian hutan mangrove, Green Canyon, kuliner,

budaya, dan pantai. “Kita perlu kembangkan objek wisata lain. Sehingga pengunjung lebih lama tinggal di sini. Saya rasa, konsep kita ke sana. Dan, itu kita awali dengan membenahi pantai. Karena itu menjadi ikon Pangandaran,” jelasnya. Untuk pembenahan lainnya, Mari menjelaskan bahwa akan ada zonasi. Seperti PKL, juga kapal nelayan. “Untuk tenda PKL, kita sudah koordinsi

dengan Pemkab, DMO untuk zonasi pkl, kuliner, dan parkir kapal nelayan,” ucapnya. Dirinya melihat saat ini kondisi PKL perlu dibenahi dan perlu adanya zonasi. Kini jumlah PKL ada sekitar 1.300. Dan itu akan ditata secara bertahap. Sementara itu, Penjabat Bupati Kabupaten Pangandaran Endjang Naffandy mengatakan bahwa Pangandaran harus menjadi kabupaten pariwisata. “Kita sadar, untuk mewujudkan


TOUR STORY

TAKE 11 EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

satu malam Menparekraf itu memang memadukan latar keindahan alam, dengan cerita utama tentang olahraga tinju. “Saya dapat rujukan yang tepat di tiga daerah itu,” kata Gatot. Masalahnya, dia nyaris tidak kuat mengikuti kegiatan protokoler Menteri Mari Pangestu. “Capek mengikutinya,” kata ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia yang juga pengurus Badan

Perfilman Indonesia (BPI) ini. Namun Gatot merasa beruntung menemukan lokasi yang dicari. “Alam Pangandaran sangat indah. Tapi di Tasik dan Ciamis juga ada tempat untuk syuting yang bagus,” ujarnya. Selama dua hari satu malam itulah, Gatot melihat cara kerja Menteri. Sesekali dia bertanyatanya, apa resepnya agar fisik

tetap bugar. Sebab dari pagi sampai malam jam 21.00 anggota rombongan termasuk Gatot sudah mengantuk karena lelah. “Tapi, Bu Menteri masih segar seperti tadi pagi,” ujar Gatot. Sebenarnya jika tidak terhalang protokoler, Gatot ingin mengajak menteri berbicara. Karena secara fisik mereka hanya berjarak beberapa meter. Na-

Gatot Brajamusti. (Foto: Dudut SP)

mun dia tak sempat berbicara langsung. “Kerja, kerja, dan kerja saja. Kalau makan tidak dianjurkan, mungkin beliau tidak meluangkan waktu untuk makan, saking padatnya acara,” lanjut Gatot

yang ikut menanam pohon mangrove di pesisir pantai Pangandaran. Atas semua yang dilihatnya itu, Gatot terkesan dengan Menteri Mari Pangestu yang mengingatkannya pada sosok mantan Perdana Menteri Inggris, Margareth Tatcher. “Pembawaannya mengingatkan saya pada sosok Margareth Tatcher. Beliau tidak sungkan mengajak ngobrol semua pedagang yang ditemui. Bahkan membeli barang dan souvenir pakai uang sendiri,” kata Gatot. Cerita soal membeli souvenir itu didengar Gatot dari salah seorang ajudan menteri. Sepenceritaan Gatot, masyarakat di setiap tempat menyambut antusias kedatangan menteri. Hal tu membuat crowded, hingga acara melenceng dari jadwal rundown. “Jadwal acara berantakan, tapi hasilnya tetap baik,” ujar Gatot. (kf/imam

Menteri Mari Elka Pangestu mengunjungi sentra industri kerajinan dan berdialog dengan para pedagang. (Foto: Ilham)

itu semua tidak mudah. Dan diperlukan komitken dan kerjasama antarpihak,” katanya. Bakau Pelindung Pantai Pa­ ngan­daran Selain mengunjungi Pantai Pangandaran, Mari juga meninjau lokasi penanaman bakau (mangrove) di Bulak Setra yang merupakan bagian dari aksi program “Sustainable Tourism through Energy Efficiency with Adaptation and Mitiga-

tion Measures” (STREAM) yang mendapat bantuan dari Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) untuk merevitalisasi Pangandaran pascatsunami. Sebagai pariwisata yang berkelanjutan, masyarakat setempat diajak berpartisipasi langsung untuk mengurus wisata ini. Seperti para ambasador mangrove yang merupakan anak-anak dari sekolah setempat. Atau pemilik perahu yang akan mengantarkan

pengunjung ke hutan. Menparekraf pun berkesempatan menanam pohon mangrove di area ini. Menparekraf juga menyempatkan diri berdialog dengan para pemangku kepentingan pariwisata Pangandaran yang terhimpun dalam “Local Working Group” (LWG), “Destination Management Organization” (DMO) dan petugas penjaga pantai yang tergabung dalam Badan Penyelamat Wisata Tirta

(Balawista). “Penjaga pantai ini penting karena menjadi alert system,” kata Mari. Sayangnya, masih banyak kekurangan di Balawista Pangandaran. Mari Pangestu berencana membuat standart untuk para penjaga pantai di seluruh Indonesia, termasuk Pangandaran. “Kami sudah catat, dan kami akan dukung mulai dari standarisasi hingga peralatan,” jelas Mari. Dalam kesempatan ini,

Menparekraf juga berkesempatan mengunjungi kantor pusat Susi Air di Pangandaran. Penerbangan langsung dari Jakarta ke Pangandaran bisa dilakukan wisatawan dengan menggunakan Susi Air. Menggunakan pesawat jenis Cessna Grand Caravan dengan kapasitas 12 orang, Susi Air menjadi transportasi cepat dan handal bagi wisatawan yang mengunjungi Pangandaran. (kf/imam)


TAKE 12

KOMUNITAS

PUSAT dokumentasi dan arsip film Sinematek Indonesia (SI) akan mengirim film ‘Naga Bonar’ dalam perhelatan film tingkat regional Heritage Film Festival ke-2 di Pnom Penh, Kamboja. Hal tersebut disampaikan Kepala Sinematek Adisurya Abdy kepada Tabloid Kabar Film, Kamis (24/4/2014) di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Jakarta. “Sinematek Indonesia akan hadir dan mengirim film Naga Bonar dalam format blueray dalam festival film Heritage ke-2 yang berlangsung di

Pnom Penh, Kamboja tanggal 31 Mei sampai 8 Juni 2014 mendatang,” kata Adisurya. Festival ini akan dihadiri oleh sebagian besar anggota organisasi SEAPAVAA (Arsip Film dan Vidoe Asia Pasifik). “Beberapa negara yang akan menjadi peserta di ajang ini antara lain dari Belanda, Perancis, dan lain-lain,” katanya. Tahun ini Heritage Film Festival Ke-2 mengangkat tema festival ‘Komedi’. Naga Bonar adalah film komedi produksi tahun 1987 yang mengambil latar peristiwa perang kemerdekaan Indonesia melawan pasukan Kerajaan Be-

EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

Adegan film “Naga Bonar”

landa pasca kemerdekaan Indo- Risyaf ini naskahnya ditulis oleh nesia di daerah Sumatera Utara. Asrul Sani menampilkan para Film yang disutradarai MT pemain seperti Nurul Arifin, Ded-

dy Mizwar, Wawan Wanisar, Roldiah Matulessy, Piet Pagau, dan lain-lain. (kf/imam)

What They Don’t Talk About borong Piala Jati Emas AFI 2014 AKADEMI Film Indonesia (AFI) 2014 memberi tiga Piala Jati Emas untuk film What They Don’t Talk About When They Talk About Love. Sementara film Tenggelamnya Kapal Van der Wijk (Soraya Intercine Films) meraih Piala Jati Emas sebagai Film Terlaris. Pengumuman dan penyenyerahan penghargaan di Bentara Budaya Jakarta, 24 Maret 2014 dihadiri 30 anggota Akademi Film Indonesia yang menobatkan film panjang kedua Mouly Surya sebagai karya terunggul untuk kategori Skenario, Sutradara, dan Film Terbaik. Sebagaimana tradisi penghargaan yang dirintis tahun lalu, Akademi FI turut menyiapkan satu Piala Jati Emas untuk Film Terlaris, yang tahun ini dibawa pulang Soraya Intercine Films. Film produksi mereka, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, tahun lalu mengumpulkan 1,72 juta penonton, jauh mengungguli 99 Cahaya di Langit Eropa dan Soekarno yang masing-masing mengumpulkan 1,18 juta dan 940 ribu penonton. Kemenangan Don’t Talk Love pada Akademi FI 2014 ini melampaui pencapaian Lovely Man

Para peraih Piala Jati Emas Akademi Film Indonesia 2014. (Foto: AFI)

karya Teddy Soeriaatmadja pada perhelatan tahun sebelumnya. Pada Akademi FI 2013, Lovely Man dinobatkan sebagai Skenario dan Sutradara Terbaik, namun Piala Jati Emas jatuh pada Postcards from the Zoo karya Edwin.

Adapun Piala Jati Emas untuk Film Terlaris tahun lalu dibawa pulang oleh Habibie & Ainun produksi MD Pictures, yang pada 2012 sukses menjaring 4.48 juta penonton. Untuk penghargaan tahun

ini, Akademi Film Indonesia menilai 93 film Indonesia yang ditayangkan selama 2013. Penilaian berlangsung dalam tiga tahap, sama halnya dengan yang terjadi tahun lalu. Tahap pertama adalah pengumpulan rekomen-

dasi film. Anggota Redaksi FI menyusun rekomendasi film-film yang dianggap layak untuk diunggulkan. Anggota Akademi lain yang tak tergabung dalam Redaksi FI punya hak dan kesempatan untuk mengusulkan film unggulan. Selanjutnya, setiap anggota AFI memilih lima unggulan berdasarkan peringkat, sesuai dengan kategori penghargaan. Baru pada tahap ketiga, pemilihan pemenang, setiap anggota Akademi mengajukan tiga film untuk masing-masing kategori penghargaan, yang kemudian ditabulasi oleh panitia untuk mencari tahu karya dan nama mana yang mendapat suara terbanyak. Film Terlaris masuk dalam kategori penghargaan, dengan alasan Akademi FI ingin mendorong pertumbuhan film tidak saja dari aspek keseniannya, tapi juga industrinya. Pasalnya, film sebagai kesenian hanya bisa bertumbuh sehat apabila ditunjang dengan industri yang sehat pula. Penghargaan untuk Film Terlaris dilandaskan pada catatan penonton yang redaksi filmindonesia.or.id kumpulkan setiap minggunya. (kf/imam)

Berikut unggulan dan pemenang Piala Jati Emas pada perhelatan Akademi Film Indonesia 2014: Piala Jati Emas untuk Film Terbaik What They Don’t Talk When They Talk About Love (Parama Wirasmo, Tia Hasibuan, Fauzan Zidni, Ninin Musa) Piala Jati Emas untuk Sutradara Terbaik Mouly Surya (What They Don’t Talk When They Talk About Love) Piala Jati Emas untuk Skenario Terbaik Mouly Surya (What They Don’t Talk When They Talk About Love) Piala Jati Emas untuk Film Terlaris Tenggelamnya Kapal van der Wijck (Soraya Intercine Films) Unggulan Film Terbaik 1. Belenggu (Upi, Frederica) 2. Sokola Rimba (Mira Lesmana) 3. Something in the Way (Teddy Soeriaatmadja, Indra Tamoron Musu) 4. Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya (Yosep Anggi Noen)

5. What They Don’t Talk When They Talk About Love (Parama Wirasmo, Tia Hasibuan, Fauzan Zidni, Ninin Musa) Unggulan Sutradara Terbaik 1. Mouly Surya (What They Don’t Talk When They Talk About Love) 2. Riri Riza (Sokola Rimba) 3. Teddy Soeriaatmadja (Something in the Way) 4. Upi (Belenggu) 5. Yosep Anggi Noen (Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya) Unggulan Skenario Terbaik 1. Mouly Surya (What They Don’t Talk When They Talk About Love) 2. Riri Riza (Sokola Rimba) 3. Teddy Soeriaatmadja (Something in the Way) 4. Upi (Belenggu) 5. Yosep Anggi Noen (Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya)


KOMUNITAS

TAKE 13 EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

7 Film Indonesia disertakan ke Festival Film ChopShots INDONESIA mengirim tujuh film dalam ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia 2014. Layu Sebelum Berkembang (Die Before Blossom) karya Ariani Djalal dan Masked Monkey: The Evolution of Darwin’s Theory karya Ismail Fahmi Lubis bersaing dengan 10 film lain dalam kategori Kompetisi Internasional (International Competition). Untuk kategori Film Pendek Asia Tenggara Terbaik (Best SEA Shorts), Indonesia diwakili Flaneurs#3 (Aryo Danusiri), Another Colour TV (Yovista Ahtajida & Dyantini Adeline), Farewell My School/Selamat Tinggal Sekolahku (Ucu Agustin), Children of Kubu/Kubu Terakhir (Benny Sumarna), dan Of the Dancing

Leaves/Digdaya Ing Bebaya (BW Purba Negara), bersaing dengan 13 film lain. Ketujuh film tersebut akan tayang di ChopShots mulai 2227 April di GoetheHaus, Kineforum, TIM XXI, dan Salihara. Film-film tersebut masuk dalam 58 film terpilih di antara 247 film dari 49 negara yang mendaftar pada 19 September 2013 sampai 10 Januari 2014. “Dari karya-karya yang masuk, kami menemukan keragaman dari segi kualitas, topik yang diangkat, gaya, maupun cerita dalam film-film dokumenter ini.” ujar Direktur Artistik ChopShots 2014 Marc Eberle pada saat konferensi pers di Jakarta pecan lalu. Para finalis akan memper-

ebutkan hadiah berupa penghargaan dan uang tunai sebesar 5.000 Euro untuk Film Dokumenter Panjang Internasional Terbaik, 3.500 Euro untuk Film Dokumenter Pendek Asia Tenggara Terbaik pertama, dan 1.500 Euro untuk Film Dokumenter Pendek Asia Tenggara Terbaik kedua. Ada pula hadiah sejumlah 500 Euro untuk Film Pilihan Penonton yang dipilih berdasarkan voting penonton selama festival berlangsung. Film-film dari Kompetisi Internasional akan dinilai oleh dewan juri yang terdiri dari Nick Deocampo (Filipina), Budi Irawanto (Indonesia), John Badalu (Indonesia), Bettina Braun (Jerman), dan Anna Har (Malaysia). Se-

dangkan dewan juri untuk Film Pendek Asia Tenggara Terbaik terdiri dari Chalida Uabumrungjit (Thailand), Nguyen Trinh Thi (Vietnam), dan Leonard Retel Helmrich (Belanda). Edisi kedua festival film dokumenter yang memiliki fokus pada wilayah Asia Tenggara tersebut akan dibuka dengan film Jalanan karya Daniel Ziv

pada 22 April 2014 di GoetheHaus. Sedangkan pengumuman pemenang akan berlangsung pada malam penutupan 27 April 2014 di tempat yang sama. Selain program kompetisi, ChopShots juga menghadirkan program non-kompetisi yang terdiri dari pemutaran film dan program pendamping. (kf/ imam)

Film ‘Penderes dan Pengidep’ raih penghargaan Mafifest 2014

Bowo Leksono, Direktur Cinema Lovers Community (Foto: Ist)

FILM dokumenter Penderes dan Pengidep karya SMA Negeri Kutasari Purbalingga meraih Terbaik di Malang Film Festival (Mafifest) 2014 yang berlangsung Sabtu (5/4/ 2014) di Theater Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Direktur Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga Bowo Leksono yang juga juri fiksi pendek mewakili para

pembuat film pelajar dari Purbalingga menerima penghargaan tersebut. Penderes dan Pengidep mengungguli dua film nominator lainnya yaitu Segelas Teh Pahit dari SMA Negeri Rembang Purbalingga dan Kampung Tudung dari SMK Negeri 1 Kebumen. Salah satu juri dokumenter pendek Dwi Sujanti Nugraheni mengatakan, kebanyakan karya yang dinilai hanya menyentuh persoalan di permukaannya saja,

para pembuat film kurang jeli hingga masuk pada persoalanpersoalan yang menarik. Sementara film Penderes dan Pengidep, lanjut Heni, unggul karena dibuat dengan pendekatan berbeda yaitu observasi yang jarang dilakukan pembuat film dokumenter, terlebih pelajar. “Pembuat film pelajar itu mampu melakukan pendekatan yang intens dengan para subyek dan cukup peka mengangkat persoalan yang dihadapi subyek,” tutur pegiat Festival Film Dokumenter (FFD) ini. Dokumenter produksi Papringan Pictures SMA Negeri Kutasari Purbalinggayang ini disutradarai Achmad Ulfi dengan durasi 30 menit. Berkisah tentang keluarga penderes (perajin gula merah) dan pengidep (perajin bulu mata) di Desa Candiwulan, Kecamatan Kutasari, Purbalingga.

Disela kesibukan sebagai ibu rumah tangga, Suwini, ibu tiga anak, menyempatkan ‘ngidep’. Sementara Suwitno, suaminya, sehari dua kali, pagi dan sore, harus naik-turun 21 pohon kelapa yang disewa untuk mengambil air nira. Semetara harga gula jawa setiap harinya tidaklah semanis rasa gulanya. Pegiat CLC Canggih Setyawan mengatakan, penghargaan ini membuka prestasi film-film pelajar Purbalingga yang diproduksi tahun 2014. “Meskipun kami menilai, film-film Purbalingga tahun ini menurun baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun, ini bagian dari proses kreatif yang harus terus dikobarkan semangatnya,” ujar mahasiswa jurusan Sosiologi Univesitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Selain Dwi Sujanti Nugraheni,

juri kategori dokumenter pendek pada Mafifest yang berlangsung 2-5 April 2014 ini adalah Akbar Yumni dari Forum Lenteng Jakarta, Tomy Taslim dari Forum Film Pelajar Indonesia, dan Damar Ardi pegiat JogjaNetpac Asian Film Festival. Sementara pada kategori dokumenter pendek mahasiswa, juri memutuskan tidak ada pemenang. (kf/ rel/imam)

Pembuat film pelajar itu mampu melakukan pendekatan yang intens dengan para subyek

Putar film bagian dari pendidikan politik

BELUM lagi layar tertancap di halaman belakang, hujan deras mengguyur seputaran Kota Purbalingga sejak sore hari. Bioskop Rakyat (Biora) yang sedianya dengan konsep bioskop terbuka pun akhirnya dilakukan di dalam ruangan. Namun demikian, tidak menyurutkan semangat anak-anak muda Purbalingga menghadiri program Biora yang digagas Cinema Lovers Community (CLC) untuk menyaksikan pemutaran film dan diskusi bertema Pemilu pada Sabtu malam, 12 April 2014 di Markas CLC jalan Puring nomor 7 Purbalingga.

Kali ini, film yang diputar untuk diapresiasi dan sekaligus sebagai pemantik diskusi berjudul “Children of a Nation” produksi Fictionary Films yang disutradarai Sakti Parantean. Film dokumenter berdurasi 77 menit itu bekisah tentang sejarah dan sisi lain Pemilihan Presiden 2009 dengan sudut pandang kuat dari para pembuat filmnya tentang apa yang mereka lihat dan rasakan pada masa kampanye Pemilihan Presiden di Indonesia. Sebuah pengalaman yang berdampak besar, yaitu bagaimana bangsa ini akan berjalan dalam 5 tahun ke depan.

Diskusi Pemilu Pada sesi diskusi, muncul beberapa pertanyaan dari penonton pada narasumber yang terdiri dari Endang Yulianti, S.H., M.H. Divisi Bidang Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Purbalingga, Pengamat Politik Unsoed Indaru Setyo Nurprojo, S.IP., M.A. dengan dimoderatori Bangkit Wismo, S.IKom dari braling.com. Sementara pembicara lain, Mey Nurlela, S.S. dari Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Hubungan Antarlembaga Komisi Pemilihan Umum Daerah

(KPUD) Kabupaten Purbalingga berhalangan hadir. Menjawab pertanyaan mengapa Panwaslu tidak mempunyai daya untuk menindak pelanggaran Pemilu, Endang Yulianti menjelaskan karena sistemnya tidak memungkinkan untuk itu. “Undang-undang kan yang membuat legislatif, jadi bagaimana itu dibuat untuk menguntungkan mereka saat Pemilu,” jelasnya. Sementara Indaru Setyo Nurprojo lebih melihat bagaimana peta politik lokal di Purbalingga yang juga didasari pada peta politik nasional. “Kita disini tentu

sepakat bahwa ke depan yang akan memimpin Purbalingga bukan lagi wajah-wajah lama yang tidak banyak diharapkan. Harus muncul generasi muda yang tampil,” tegasnya. Penanggung jawab Biora, Canggih Setyawan mengatakan, pemutaran film dan diskusi yang didukung In-Docs ini sebagai bagian dari partisipasi politik anak muda Purbalingga. “Lewat film kami belajar pendidikan politik, setidaknya ketika kami memutuskan untuk memilih atau tidak memilih dalam Pemilu, ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,” katanya. (kf/dudut)


ZOOM SEBENTAR lagi Indonesia akan memilih presiden baru. Pergantian pimpinan Negara akan merubah susunan kabinet. Namun, kalangan perfilman berharap Menteri Mari Elka Pangestu dipertahankan melanjutkan kepemimpinannya di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Mari Elka Pangestu dinilai cukup berhasil mengawal sejumlah pekerjaan di bidang perfilman. Sejak menggantikan posisi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik selama dua tahun terakhir, terjadi intensitas komunikasi antara masyarakat perfilman dengan sosoknya. Kalangan perfilman umumnya berharap proses regulasi di bidang perfilman tidak jalan di tempat. “Selama ini kita manajemen nasional di bidang film dihadapkan pada kenyataan, bahwa selalu terjadi perubahan kebijakan di saat kebijakan yang lama belum selesai karena digantinya pejabat menteri. Ini membuat perfilman jalan di tempat,” ujar Lola Amaria. Di bawah koordinasi Menteri Mari Pangestu, perubahan kebijakan perfilman mulai terasa. Misalnya dengan lahir Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang diawali proses pendekatan langsung ke masyarakat perfilman bersama sejumlah asosiasi profesi dari kalangan muda. Menurut Lola Amaria, masyarakat perfilman dan Negara Indonesia akan rugi apabila kebijakan itu selalu kandas akibat perubahan pucuk pimpinan nasional. “Soal kebijakan Negara, kita bisa ikuti negara lain seperti Amerika, misalnya. Di sana, pergantian pejabat tidak mengubah atau mengganti kebijakan sebelumnya yang mulai dirancang, Jadi ada estafet,” ujar Lola yang sempat menerima beasiswa sekolah perfilman di Amerika.

TAKE 14 EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

LANJUTKAN, BU MENTERI! Beberapa produk hukum yang dihasilkan Kemenparekraf serta cara berkomunikasi Mari Pangestu yang ‘cair’ dengan masyarakat perfilman selama ini membuat mereka merasa terlindungi. “Saya merasa happy karena cara pendekatan Bu Mari ke orang-orang kreatif di film tidak basa-basi seperti pejabat sebelumnya,” kata Lasja F Susatyo, sutradara. Dia berharap, “Sebaiknya Ibu Mari Pangestu jangan berhenti sampai di sini,” lanjut Lasja, yang baru saja menggarap film Sebelum Pagi Terulang Kembali.

Ungkapkan senada disampaikan oleh Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) yang juga pengurus Badan Perfilman Indonesia (BPI), Gatot Brajamusti. Dia menilai kinerja Mari Pangestu selama dua tahun terakhir sangat positif. “Saya usul kepada presiden yang baru nanti sebaiknya jangan mengganti Bu Mari Pangestu, karena beliau baru dua tahun menjabat tapi sudah terlihat hasilnya untuk perfilman,” kata Gatot Brajamusti. Kebijakan Kemenparekraf di bawah Mari Pangestu menumbuhkan semangat dan harapan

baru masyarakat perfilman. Salah satu yang perlu dicatat dalam periode Mari Pangestus adalah, berhembusnya angin baru perfilman dengan munculnya sembilan asosiasi profesi di bidang perfilman yang menamakan diri Indonesian Movie Pictures Association (Impass). Sebelum ini, suara mereka nyaris tidak terdengar dan sulit terwakili dalam proses pengambil kebijakan perfilman di tingkat nasional. Kesembilan asosiasi yang lahir di era Mari Pangestus adalah Indonesian Film Director Club (IFDC), Sinematografer Indone-

Para anggota pengurus asosiasi perfilman berfoto bersama pejabat kementerian Parekraf dan Kemendikbud sebelum Mubes pembentukan BPI dimulai. (Foto: Dudut SP)

sia (SI), Rumah Aktor Indonesia (RAI), Indonesia Film Editor (INAfed), Penulis Layar Lebar (Pilar), Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi), Indonesia Movie Pictures Audio Association (IMPact), Indonesian Production Designers (IPD), dan Asosiasi Casting Indonesia (ACI). Kumpulan asosisasi ini dideklarasikan pada Senin 2 September 2013 di Gedung Sapta Pesona (kantor Kemenparekraf ) disaksikan sejumlah pejabat pemerintah, termasuk Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu. “Pejabat kita tidak terlalu peduli pada orang film secara langsung. Dan Bu Mari melakukan hal berbeda. Beliau turun langsung dan selalu bertanya banyak hal dan berusaha memfolow up agenda yang harus dikerjakan,” kata Lasja, yang juga Ketua Indonesia Film Director Club (IFDC). Selesainya satu pekerjaan dan masih banyaknya pekerjaan di bidang perfilman, menurut wartawan yang juga artis Marissa Anita, merupakan symbol adanya keinginan dari pemerintah untuk melakukan perubahan. “Bu Mari Pangestu sedang berusaha menjalankan tugasnya secara baik. Bahwa masih ada yang belum selesai, seharusnya bisa dilanjutkan baik oleh beliau atau orang lain yang akan menggantinya nanti,” kata Marissa Anita. Menurut Marissa Anita, dirinya tidak dalam kapasitas untuk menilai atau mengevaluasi kinerja menteri. “Yang kita rasakan sekarang kan perfilman kita sudah mulai berubah, tapi juga masih ada yang perlu dibenahi. Saya tidak dalam kapasitas mengevaluasi kinerja beliau,” ung-


ZOOM kap artis pemeran di dua film yang akan tayang, Selamat Pagi Malam dan 3 Nafas Likas. Sementara sutradara film Rako Prijanto memiliki penilaian yang berbeda. Menurutnya, mekanisme pemerintahan di Indonesia sangat tergantung paratai penguasa. “Yang bisa menetapkan dan mengganti menteri kan presiden, dan itu tergantung tawarmenawar antarpartai pemenang. Jadi, saya kira kalau ada pergantian menteri, sebaiknya yang lebih peduli atau minimal sama pedulinya terhadap perfilman Indonesia,” ungkap sutradara Terbaik FFI 2013 untuk film Sang Kyai ini. Menteri peduli film. Harapan sejumlah insan film terhadap kehadiran Mari Pangestu memang tidak berlebihan. Karena sejak reformasi bergulir, belum terlihat pejabat pemerintah yang membidangi perfilman,

terlihat serius melayani orang film. “Saya berharap Bu Mari melanjutkan tugasnya di Kemenparekraf untuk mensuport perfilman Indonesia. Kalau menteri diganti belum tentu peduli pada film, artinya akan mulai dari awal lagi. Padahal proses perjalanan kebijakan di Kemenparekraf untuk mengurusi perfilman harus sampai tuntas,” ungkap Lasja Susatyo. Lola Amaria mengaku mengenal sosok Mari Pangestu ketika memimpin Kementerian Perdagangan dan Industri. “Waktu Bu Mari di Kementerian Perdagangan dan Industri kan kerjanya bagus. Artinya beliau orang yang mau bekerja dimanapun. Karena di Kemenparekraf baru dua tahun, tentu harus dimaksimalkan waktunya,” kata sutradara dan artis pemilik rumah produksi PT Lola Amaria Production. Sementara produser PT

Gatot Brajamusti Film menilai tanggung jawab dan kemampuan Mari Pangestu dalam bekerja sangat dibutuhkan tidak hanya oleh orang film, tapi juga masyarakat pariwisata. “B eliau punya sesuatu yang membuatnya disukai banyak kalangan. Tidak hanya orangorang film tapi masyarakat pariwisata,” lanjut Gatot yang mengaku melihat cara kerja Menteri saat dia ikut rombongan Menparekraf yang mengadakan kunjungan kerja ke Pangandaran, Ciamis dan Tasikmalaya pada 1213 April 2014 lalu. Masih menurut Gatot, selain tidak neko-neko dan mau bekerja, Mari Pangestu sungguhsungguh dalam pekerjaannya. “Saya kira beliau tidak punya ambisi macam-macam, selain ingin memajukan bangsa ini. Bagaimana supaya negeri ini, filmnya dan pariwisatanya meningkat secara kualitas dan kuantitas,” katanya. (kf/imam/dudut)

TAKE 15 EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

Film ‘Kemala Dewa Dewi’ warisan Fred Young di Sinematek NAMA Fred Young dikenal produktif sebagai produser dan sutradara film di tahun 1950an. Dari belasan karyanya, hanya film Kemala Dewa Dewi terasipkan di Sinematek Indonesia. Kemala Dewa Dewi adalah sebuah film yang diproduksi bersama dua perusahaan yakni Asiatic Film Coy dan Bintang Surabaja milik Fred Young pada tahun 1952. Sinematek Indonesia menyimpan warisan Fred Young ini dalam bentuk film seluloid. Sinematek adalah pusat data dan informasi perfilman Indonesia yang dikelola oleh Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail. Ada sekitar ribuan judul film koleksi dari tahun 1950-an hingga sekarang. Penelurusan tabloidkabarfilm.com pada Kamis (3/4/2014) di Sinematek tersimpan pula sejumlah foto-foto tentang film Kemala Dewa Dewi. Film drama ini menampilkan kostum para pemain seperti dalam cerita-cerita dari negeri 1001 Malam. Digarap oleh sutradara sekaligus penulis cerita Bambang Sudarto dengan para pemain antaranya Roostijati, Nur Hasanah, Kuntjung, Saleh, Chaidar Djafar, Djoni Sundawa, dan Boes Boestami. Di dalam film berdurasi 89 menit ini dikisahkan dua tukang sihir yakni Lahab dan Zambia yang berhasil menghancurkan kerajaan. Raja yang berkuasa ketika itu dibuat tertarik pada wanita jelmaan Zambia. Permaisuri dan para pembantu dekatnya dibuang ke hutan, termasuk dua orang khadam. Di hutan kedua khadam bertemu dengan permaisuri. Kemudian datang pertolongan dari orang suci yang memberi mereka batu sakti ‘Kemala Dewa Dewi’. Akhirnya permaisuri dan pengikut setianya merebut kembali istana kerajaan. Tentu saja setelah terlebih dulu permaisuri menjelmakan diri sebagai pangeran Akhmadsyah. (kf/imam)

Babak Baru Perkembangan Unyil

Menparekraf, Mari Elka Pangestu. (Foto: Agung)

Pemilik lisensi tokoh Unyil, Suyadi alias Pak Raden (kanan) di dampingi Direktur Utama Perum Film Negara (PFN) Shelvy Arifin (kiri) memberi keterangan pers tentang kesepakatan yang terjalin antara kedua belah pihak mengenai babak baru perkembangan Unyil di Kediaman Pak Raden, Petamburan, Jakarta, Kamis, (17/4). Suyadi alias Pak Raden memberikan kepercayaan kepada PFN untuk mengelola hak ekonomi karakter si Unyil selama 10 tahun yang akan di realisasikan untuk tahap awal animasi 3D Unyil pada awal tahun 2015. ANTARA FOTO/Teresia May


ZOOM

TAKE 16 EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

Masyarakat mempertanyakan sikap LSF dalam kasus film ‘Noah’ PEKAN lalu kontroversi pemutaran film Noah produksi Paramount Pictures ramai dibicarakan di media. Lembaga riset Awesometrics mencatat, masyarakat mempertanyakan sikap Lembaga Sensor Film (LSF). Menurut analis dari Awesometrics Ria Avriyanty, terlepas dari perdebatan tersebut, pendapatan film Noah diestimasi menjadi yang tertinggi di pasar Amerika,seperti yang dikutip dari artikel ‘Noah’ Is No. 1 Despite Complaints di nytimes. com. Sayangnya, tidak semua penonton bisa menyaksikan film adaptasi kisah nabi Nuh dari kitab Injil ini. Beberapa negara di Timur Tengah menolak untuk memutarnya. Penikmat film di Indonesia juga harus gigit jari karena tidak bisa menyaksikan kelihaian akting Russell Crowe di film ini lewat bioskop-bioskop kesayangan di negeri ini. Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia sebagai lembaga otoritas yang berhak atas penayangan film sudah memastikan bahwa Noah tidak akan tayang di Indonesia karena dianggap meresahkan dan mengandung SARA. Lantas, bagaimana reaksi penonton Indonesia terhadap keputusan dari LSF tersebut? Awesometrics pun mencoba memantau percakapannya di media sosial Twitter. Selama periode 24 Maret 2013 – 31 Maret 2013, Awesometrics menangkapbahwa film Noah dipercakapkan tak kurang dari 5.958 kali, dan satu hari sebelum peluncuran resmi perdananya di Amerika Utara, Noah sangat ramai dibicarakan. Ini terlihat pada tren grafik di bawah ini, penyebutan Noah kembali meningkat pada 27 Maret 2014. LSF Cekal Noah Keputusan LSF menolak masuknya film Noah ke Indonesia menuai beberapa tanggapan dari pengguna twitter. Dari total penyebutan di Twitter, ada sekitar 2.642 mention yang membahas isu sensor dengan berbagai sentimen. Pengguna twitter yang membahas sensor ini dominan menyikapinya secara netral. Dominasi sentimen Netral sangat jelas terlihat dalam pembagian sentimen, yakni sekitar 61% dari keseluruhan.

Film “NOAH”. (Foto: Ist)

Di wilayah ini, topik yang paling banyak diperbincangkan adalah terkait informasi pencekalan film Noah di Indonesia. Berikut contoh mention yang mendiskusikan pencekalan film Noah, termasuk dari akun media online maupun individual. Banyak diantaranya yang juga menyinggung LSF selaku lembaga yang melakukan pencekalan, tanpa memberikan tanggapan. Sementara itu, Awesometrics juga menangkap tanggapan negatif dari masyarakat terhadap pencekalan tersebut, meski jumlahnya tidak sebanyak mentions bersentimen Netral. Penilaian negatif ini muncul dari pernyataan publik yang secara frontal mengutarakan keberatannya atas keputusan LSF tersebut. Penonton tidak hanya menyampaikan kekecewannya karena film Noah tidak ditayangkan di dalam negeri, tapi sekaligus juga menilai sikap LSF yang dianggap memihak dalam melakukan penyensoran. Dalam hal ini, tweeps membandingkan penyensoran Noah dengan hasil penilaian LSF terhadap film-film nasional yang mengandung unsur pornografi yang dibalut dalam film bergenre komedi atau horor. Film-film yang mengandung unsur pornografi ini yang justru lulus sensor. Sementara, film Noah yang bercerita tentang kisah kenabian justru di-

tolak. Dampaknya, masyarakat lebih mengandalkan versi bajakan dari film ini, seperti terbaca di beberapa percakapan di bawah ini. Dengan kata lain, pencekalan yang dilakukan LSF tidak menghalangi niat masyarakat yang tetap ingin menyaksikan film tersebut, hanya medianya saja yang berbeda. Film Son of God? Dalam pemantauan kali ini, Awesometrics juga mendapati sekitar 80 mentions terkait film Son of God. Film besutan 20th Century Fox yang menceritakan perjalanan kehidupan Yesus ini juga diadaptasi dari kitab Injil. Akan tetapi, LSF menyatakan film ini layak tayang di Indonesia dan bisa disaksikan khusus di Blitz Megaplex mulai 28 Maret 2014. Banyak pengguna twitter yang bingung, mengapa film Son of God bisa lolos sensor sedangkan Noah tidak. Awesometrics Awesometrics tidak sekadar Media Monitoring, Awesometrics adalah media monitoring untuk memantau reputasi sebuah perusahaan dan brand. PT. Prima Rancang Buana, penyedia jasa layanan media monitoring, memperkenalkan produknya Awesometrics sejak setahun lalu. Awesometrics lahir dari kebutuhan pada ketersediaan data media (media coverage),

baik cetak, online, maupun sosial media yang cepat, akurat, dan terukur. Ketersediaan data dan infomasi ini sangat penting untuk mendukung proses pengambilan keputusan dan strategi perencanaan. Data hasil monitoring secara live, 24 jam dalam 7 hari penuh, tersebut akan menunjukan bagaimana sentiment pasar, dan media terhadap sebuah brand atau perusahaan atau seorang individu. Pergerakan sentimen publik melalui sosial media, dan media cetak serta online, yang kemudian akan dianalisa secara kuantitatif dan kualitatif, akan jadi pengukuran reputasi sebuah brand dan perusahaan atau individu, dan bisa dibandingkan dengan reputasi kompetitor. Perkembangan dunia yang dinamis membutuhkan keputusan cepat dan didasari data yang akurat. Didukung teknologi Nature Language Processing, menjadikan kami sebagai decision maker support, lebih dari sekedar listening tools. Didukung 3 perwakilan agama “Perwakilan agama di LSF semuanya menolak film Noah,” kata Mukhlis PaEni, Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) kepada tabloidkabarfilm.com, Senin (24/3/2014). Film Noah yang sempat dilarang di beberapa negara di Timur Tengah, dalam beberapa minggu terdisplay di website

milik jaringan bioskop Cinema 21. Pihak pengelola bioskop Cinema 21 mengatakan, “Pemilik film Noah, Paramount Pictures menjadwalkan tayang di Indonesia 28 Maret 2014, jadi meski dalam proses sensor, film itu sudah didisplay di website kami,” kata Catherine Keng, Corporate Secretary Cinema 21. Atas keputusan LSF tersebut, pemilik bioskop mengikuti aturan. “Kita mengikuti aturan saja. Kalau LSF bilang tidak lolos sensor, ya kita ikut,” kata Catherine, yang menerima surat pemberitahuan dari LSF, Senin hari ini. Sementara Mukhlis PaEni mengatakan LSF telah membuat surat keputusan tentang penolakan terhadap film Noah. “Seingat saya, surat keputusan itu saya tandatangani Jumat 21 Maret,” kata Mukhlis. Secara teknis, proses pengesahan penolakan film Noah dilakukan setelah tim LSF menonton film itu, dan merekomendasikan ‘menolak’. Rekomendasi itu disampaikan ke ketua LSF untuk ditandatangani. “Sebetulnya bukan hanya beberapa negara di Timur Tengah yang menolak Noah. Malaysia juga menolak,” katanya. Hantu dan pocong lolos sensor Di dalam LSF menurut Mukhlis terdapat perwakilan agama. “Dari unsur agama Islam seperti dari NU dan Muhammadiyah, kemudian ada dari Nasrani ada Kristen Katolik. Mereka ada dalam satu tim yang ikut menyensor film Noah,” ujarnya. Khusus film ‘Noah’ tim LSF menonton beberapa kali sebelum memberikan rekomendasi penolakan. “Alasan penolakan itu, cerita dalam film Noah bertentangan dengan cerita dari kitab-kitab termasuk Nasrani. Ini sangat peka jika dibuat dari sisi yang berbeda dari pengetahuan umum,” ungkap Mukhlis. Ketika ditanya soal lolosnya film-film bertema hantu, yang menghadirkan pocong, Mukhlis PaEni mengatakan ada beberapa alasan. “Film hantu kan sudah bekurang. Kita sudah berusaha mendekati pembuatnya, untuk mecari judul lainnya. Kalau mau keras, industri kita bisa kolaps dan diisi film impor,” ujar Mukhlis. (kf/imam)


GALA PREMIERE

TAKE 17 EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

Starvision hadirkan “Marmut Merah Jambu” BUKU ke-3 penulis Raditya Dika berjudul Marmut Merah Jambu diangkat jadi film oleh Starvision. Uniknya, apabila ‘Cin-

ta Brontosaurus’ dan diteruskan ‘Manusia Setengah Salmon’ berkisah tentang Raditya Dika dewasa, dalam Marmut Merah

Jambu dimensi ceritera menjadi lebih luas karena Dika bukan saja di masa kini, tetapi juga saat SMA.

Franda dan Raditya Dika. (Foto: Starvision)

Buku Marmut Merah Jambu adalah karya Raditya Dika yang paling laris, kisah cinta SMA saat mencintai secara diam-diam yang tentunya pernah dialami setiap orang, dan upaya siswa cupu untuk eksis di sekolahnya. ‘Bekerja bareng Raditya Dika’ adalah pengalaman menyenangkan, ibarat aktifitas ‘bermain barengbareng’, istilah yang selalu dipakai Dika dan 100% benar. Apabila di 2 film sebelumnya kontribusi Raditya Dika sebagai penulis buku, penulis skenario, dan pemain, dalam Marmut Merah Jambu bertambah dengan penyutradaraan. Lengkaplah mood hiburan dalam film Marmut Merah Jambu, sebagai karya film perdananya yang menggelitik dan romatik khas Raditya Dika. Pengalaman Raditya Dika dan keinginan belajarnya yang luar biasa di 2 film sebelumnya, membuatnya benar-benar siap melengkapi posisi sebagai sutradara. Proses persiapan sampai reading malah dilakukan di rumahnya. Menariknya lagi adalah semangat memberikan informasi dan pembelajaran bagi masyarakat penonton, melalui dibuatnya video diary dari seluruh proses produksi berikut 2 teaser Marmut Merah Jambu yang diupload di account YouTube Raditya Dika, dan mendapat sambutan viewers luar biasa. Saat tim produksi dibentuk, sebagian besar sudah dikenal Dika, di antaranya Director Of Photography Yadi Sugandi yang sudah bekerja di 2 film sebelumnya. Untuk pemain, praktis harus mencari pemeran 2 generasi, saat di SMA dan sekarang. Melalui proses casting yang cukup panjang, untuk Raditya Dika SMA dipilih Christoffer Nelwan, sedangkan tokoh Bertus sahabat Dika diperankan oleh Mohammed Kamga saat dewasa dan Julian Liberty saat SMA, Cindy oleh Franda saat dewasa dan Sonya Pandarmawan saat SMA. Pemeran pendukung film ini relatif bejibun, dari pemain watak seperti : Tio Pakusadewo, Jajang C Noer, Bucek, Dewi Irawan, Rowiena Sahertian, Pandji Pragiwaksono dan Audrey Papilaja, juga pemeran remaja, Youtubers, Stand Up Comedian, dan penyanyi seperti : Anjani Dina, Axel Matthew Thomas, McDanny, Feby Febiola, Sheryl Sheinafia, Ge Pamungkas, Boy Hamzah, Bayu Skak, Jovial Da Lopez, Andovi Da Lopez, Adipati Dolken, Kevin Julio, Chris Laurent, Jessica Mila, Fandy Christian, Bena Kribo, Jordi Onsu, Sheila Dara Aisha, Zaneta Georgina, Kevin Lukas, Ciccio Manassero, Julee Day dan lain-lain. (**)


AGENDA

TAKE 18 EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

Wamenparekraf gagas Indonesian International Film and TV Market WAKIL Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf ) Sapta Nirwandar berharap Indonesia punya event pemasaran film dan televisi tingkat internasional. “Kita akan mulai mengadakan Indonesian International Film and TV Market atau INA tahun 2015,” kata Sapta Nirwandar kepada tabloidkabarfilm.com, Jumat (11/4/2014) di Jakarta. Menurutnya, gagasan mengadakan INA muncul saat menghadiri Hong Kong International Film & Televisi Market pada 24-27 Maret yang lalu. Di ajang tahunan tersebut, produksi film Indonesia hadir untuk ke-7 kalinya. “Mengapa kita jadi peserta setiap tahun, kan Indonesia bisa bikin event yang sama? Nah, ide saya adalah mengadakan INA, dan mendapat sambutan dari para produser,” ujar Sapta. Beberapa hari kemudian rencana itu difollow-up melalui rapat di Jakarta. Pembahasan INA dihadiri semua tokoh unsur perfilman termasuk dari Badan Perfilman Indonesia (BPI). Disepakati INA 2015 akan dilaksanakan di Bali. “Cuma menurut mereka (asosiasi) event INA tidak bisa stand alone tapi harus dikaitkan dengan festival film, misalnya di-create secara internasional atau bergabung dengan event film internasional seperti Festival Film Asia Pasific,” ungkap Sapta. (kf/tis)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M.Nuh memotong tumpeng dalam rangka Peringatan Hari Film Nasional (HPN) ke-64 di Plaza Insan Berprestasi, Gedung A Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Kamis (27/3/2014). Kegiatan ini dihadiri ratusan anggota komunitas film yang dihimpun Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia (SENAKKI) dan juga dihadiri sejumlah tokoh perfilman nasional serta para pejabat Kemendikbud. Foto : Dudut Suhendra Putra

ISTILAH KATA AGENT (Agent Model) : Seseorang yang dipekerjakan oleh satu atau lebih talent agency atau serikat pekerja untuk mewakili keanggotaan mereka dalam berbegosiasi kontrak individual yang termasuk gaji, kondisi kerja, dan keuntungan khusus yangtidak termasuk dalam standard guilds atau kontrak serikat kerja. Orang ini diharapkan oleh para aktor/aktris untuk mencarikan mereka pekerjaan dan membangun karir mereka CALL : Waktu yang diharapkan dari seorang individu anggota staf perusahaan, pemain, atau kru untuk berada di set. Jadwal biasanya didaftarkan pada call sheet yang menjadi tanggung jawab asisten sutradara dan manajer produksi. CASTING DIRECTOR: Orang yang memimpin pemilihan dan pengontrakan aktor/aktris untuk memenuhi bagian yang dibutuhkan dalam sebuah naskah.

DATA PENONTON FILM INDONESIA SAMPAI DENGAN 23 APRIL 2014

Jomblo Keep Smile Kesurupan Setan Me & You vs The World Crush Jalanan

Sumber data: Berbagai sumber/ PPFI

41.708 36.029 42.119 40.330 5.530

Para penerima santunan di Hari Film Nasional ke-64. (Foto: Dudut Suhendra Putra)

10 Tokoh perfilman dapat santunan di HFN ke-64

HARI FIlm Nasional ke-64 pada Minggu 30 Maret 2014 berlangsung kegiatan marathon dari pagi hingga sore. Mulai dari ziarah ke makam tokoh perfilman, hingga potong tumpeng dan pemberian penghargaan pada sejumlah insan film. Dimulai pagi sekitar pukul 09.00 masyarakat perfilman yang dikoordinir Badan Perfilman Indonesia (BPI) melakukan ziarah ke ke makam pahlawan yang juga tokoh perfilman Sofia WD dan Djamaludin Malik di TMP Kalibata. Keduanya tokoh pejuang perfilman ini adalah tentara yang juga seniman. Sofia WD adalah aktris pada zamannya, istri dari aktor almarhum WD Mochtar. Sedangkan Djamaludin Malik adalah pemilik perusahaan film sekaligus pendiri Perfiini. Ziarah makam diilanjutkan ke makam Usmar Ismail (Bapak Perfilman Indonesia), Djadoeg Djajakusuma (Salah satu pen-

diri IKJ), dan Suryo Soemanto (wartawan dan pendiri PARFI -- dikenal sebagai Bapak Artis Indonesia) di TPU Karet Bivak. Makam ketiganya berada di satu baris berdampingan. Acara dihadiri sejumlah pengurus BPI, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu bersama stafnya, sejumlah artis, serta perwakilan dari keluarga almarhum Usmar Ismail yakni Irwan Usmar Ismail. Siang menjelang sore acara dilanjutkan di Balairung Gedung Sapta Pesona, Kantor Kementeroan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada kesempatan ini, Menteri Mari Pangestu memotong tumpeng sebagai bagian proses, dan ungkapan rasa syukur pada peringatan Hari Film Nasional ke-64 tahun. “Sudah 64 tahun perfilman Indonesia, tentu semakin bijaksana dan kita berharap selalu ada kemajuan hingga ulangtahun ke 100 dan

seterusnya,” kata Mari Pangestu, usai potong tumpeng. Yang juga dilaksanakan pada perayaan HFN ke-64 ini adalah pemberian apresiasi kepada 10 tokoh perfilman yang dianggap berdedikasi dan berprestasi. Mereka adalah para tokoh senior perfilman seperti aktor Rachmat Hidayat, sutradara dan penulis skenario Ida Farida, seniman Mpok Nori, Laila Sari, kameraman Sri Armo, sutradara Nurhadi Irawan, Aminah Cendrakasih, Judi Subroto, Nani S, dan Sundoro. Mereka masing-masing mendapatkan uang sebesar Rp10 Juta dari BPI yang difasilitasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Film Nasional yang juga dilaksanakan di sejumlah kota sejak 24 Maret 2014. Puncak acara HFN ke-64 akan dilaksanakan di Gedung Djakarta Theatre pada 1 April 2014. (kf/imam)

Garuda rambah Indonesia Timur PT Garuda Indonesia dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenpa­ rek­raf) sepakat meningkatkan konektivitas udara pulau-pulau di Indonesia timur sebagai salah satu upaya pengembangan pariwisata di Tanah Air. “Apa yang dilakukan Garuda Indonesia akan sangat membantu pengembangan sektor pariwisata,” kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Mari Elka Pangestu dalam seminar “Membuka Konektivitas Pulau-pulau di Indonesia Timur untuk Pengembangan Pariwisata” yang diselenggarakan Forum Wartawan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Gedung Sapta Pesona Jakarta, Rabu (26/3/2014). Pihaknya menyatakan sa­ ngat menghargai langkah maskapai pelat merah itu un-

tuk mengembangkan rute penerbangan ke wilayah terpencil di Indonesia timur dengan menggunakan pesawat ATR72-60- dan Bombardier. Seminar bertujuan untuk mengembangkan potensi wi­ sa­ta di Indonesia Timur. Hadir sebagai pembicara Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Tbk Emirsyah Satar dan Ketua Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI), Wiryanti Sukamdani. Dalam dua tahun terakhir, Garuda Indonesia kembali memperkuat jaringan penerbangan di pasar domestik antara lain dengan membuka rute ke ‘remote area’ menggunakan pesawat ATR72-600 dan Bombardier CRJ1000 NextGen sejak Oktober 2012. Pesawat itu mampu mel-

ayani rute-rute penerbangan ke wilayah-wilayah baru di kawasan timur Indonesia yang memiliki keterbatasan landasan. “Kami berharap, pelaku industri dapat bersinergi dengan Garuda Indonesia untuk mendukung pariwisata nasional sebagai sektor ekonomi yang punya potensi besar mendorong peningkatan peran ekonomi rakyat dalam kancah perekonomian nasional maupun global,” kata Menteri. Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar mengatakan pihaknya sejak 2011 telah menetapkan Makassar sebagai “hub” untuk wilayah Indonesia Timur yang menghubungkan Makassar dengan 15 kota-kota di sekitarnya, serta Jakarta dan Singapura. (kf/ yadi)


PANGGUNG

TAKE 19 EDISI 49 / TH VI / APRIL - MEI 2014

Ajang bakat dangdut di Amerika ABDUL Wali, tampak tersenyum senang ketika Ani Hartini, salah satu juri kompetisi Dang­ dut In Amerika memujinya karena mampu mengikuti cengkokan nada suara dangdut Melayu yang dilantunkan oleh Ani. “You are great”, kata Ani yang mantan vokalis group dangdut, Ken Dedes. “I wish I could be in the final”, ujar Abdul, warga Amerika yang pernah lolos audisi program American Idol. Abdul adalah salah satu penyanyi dari sekitar 50 peserta audisi Dangdut In America yang digelar di kota New York, Philadelphia, Washington DC dan Wilmington (Delaware). Mereka datang dari berbagai latar belakang dan profesi, mulai dari Mahasiswa, Penyanyi Hiphop, Sementara, Sania, penyanyi Indonesia yang juga menjadi juri memuji Freddy Kim, mahasiswa keturunan Korea yang mampu menyanyikan lagu-lagu bernada

tinggi. “Fredy, you have a great talent. Have you heard about Dangdut before?”, tanya Sania. “No, but I would like to learn”, jawab Fredy sambil tersenyum. Sania juga beberapakali naik panggung mengajak peserta untuk bergoyang dangdut. “Saya salut usaha mereka menyanyi dangdut, keren banget”, tambah Sania. Inilah suasana Audisi Dangdut In America yang berlangsung selama bulan April di pantai Timur Amerika Serikat. Dangdut In America adalah sebuah ajang kompetisi menyanyi untuk mencari penyanyi Dangdut asal Amerika. “Amerika dikenal mempunyai berbagai genre musik, seperti Hip-hop, Jazz, Blues dan Country. Lalu muncul pengaruh musik dari Latin dari negara-negara Mexico, Brazil dan Argentina. Nah sekarang giliran musik Dan-

Produser film malas kirim arsip ke Sinematek KEPALA Sinematek Indonesia (SI) Adisurya Abdy menilai banyak produser malas menyimpan arsip film. “Yang akan rugi nantinya adalah perfilman Indonesia, karena kesulitan mendapatkan data film,” katanya pada tabloidkabarfilm, Jumat (4/4/2014). Sinematek Indonesia adalah lembaga yang dikelola oleh Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail yang bertugas menyimpan dan merawat film dan dokumen lainnya. “Sinematek termasuk satusatunya lembaga arsip film di Indonesia, yang diakui oleh dunia internasional. Tugasnya selain merawat ‘titipan’ film dan dokumen perfilman, juga mengapresiasinya dalam bentuk kegiatan sosialisasi,” kata Adisurya. Meskipun jumlah koleksi film (seluloid, VCD, DVD, Betacam, dan H/P) terus bertambah di Sinematek, namun belum signifikan jika dibandingkan jumlah iproduksi film nasional. “Masih sedikit produser yang

sadar betapa pentingnya menitipkan film ke Sinematek. Akibatnya nanti, anak-cucu kita akan sulit mencari manuskrip dan referensi sejarah film kita,” lanjut Adisuirya. Salah satu contoh kasus tokoh perfilman Fred Young, yang produktif di era tahun 1950an. “Dari belasan karya Fred Young hanya ada film Kemala Dewa Dewi’ yang terasipkan di Sinematek Indonesia. Ini sangat disayangkan. Bahkan film-film hebat pada masanya seperti Turang sama sekali tidak tersimpan dan entah dimana,” katanya. Oleh karena itu, Adisurya mengimbau kepada produser film agar rajin menitipkan filmnya ke Sinematek Indonesia yang terletak di lantai IV Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. “Secepatnya saya juga akan mengirimkan surat resmi ke seluruh produser, agar mereka mulai lagi menyerahkan film ke Sinematek,” katanya. (kf/imam)

Suasa audisi di studio. (Foto: Naratama)

gdut dari Indonesia yang akan tampil di Amerika”, ujar Rissa Asnan, promoter dan produser musik dari NSR Entertainment di Delaware yang mempunyai ide kompetisi ini sejak tahun 2007. Konsep Dangdut In America ini pernah mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia atau MURI. Termasuk dengan dirilisnya album Dangdut In America pertama dengan penyanyi Arreal Tillghman. Selain Sania dan Ani, juri lainnya adalah Catherine Short de Arce, penyanyi opera dan pengajar musik terkenal dari Delaware yang sedang mendalami musik dangdut. Juga Rissa Asnan sendiri. Rencananya, kompetisi ini akan digarap menjadi program acara televisi dengan format reality show, berdurasi 60 menit dan ditayangkan di stasiun televisi nasional, mulai 27 April 2014 di TVRI, pukul 20.00 s/d 21.00 WIB.

“Ini adalah program yang unik dan menarik. Belum pernah ada distasiun televise manapun. TVRI mendukung program ini agar musik dangdut semakin dikenal di Amerika”, ungkat Tuty Purwaningsih, Programmer Kerjasama Produksi dan Siaran Luar Negeri TVRI. Sedangkan untuk produksi televisi, dilaksanakan oleh team Voice Of America (VOA) Indonesia yang sering memproduksi berbagai program Pop-Culture untuk stasiun televisi Indonesia, dengan Sutradara, Naratama. “Ini tantangan baru dan seru, menyutradarai program musik dangdut dengan penyanyi orang-orang Amerika yang tidak mengerti bahasa Indonesia. Kita akan menggunakan desain produksi serealitis mungkin, tanpa ada rekayasa”, kata Naratama, yang pernah menyutradarai berbagai progam reality dan musik seperti

Joe Millionaire Indonesia, Klakustik, VOA POP NEWS, VOA coverage in American Music Awards, Country Music Awards dan Red Carpet- Piala Oscar di Hollywood, LA. “Kita syuting dengan sistem Multikamera. Dan tantangan yang paling berat, ya, menjelaskan apa itu musik dangdut kepada para peserta Amerika”, tambah Naratama. Lalu untuk final akan dilangsungkan di Sigma Studio, Philadelphia. Studio ini sering dipakai rekaman oleh musisi papan atas seperti Billi Joel, Justin Timberlake dan Miley Cyrus. Untuk menentukan juara, para finalis diwajibkan untuk menyanyi dangdut dengan bahasa Indonesia. Final sudah diselenggarakan, dan pemenangnya akan dibawa ke Indonesia untuk tampil bersama musisi Dangdut Papan Atas di TVRI. Ningrum Spicer – Produser Dangdut In America.

Diskusi musik berbau isu politik dan kritik SEBUAH kegiatan diskusi musik mengangkat tema “Sketsa Sosial dan Politik” menampilkan Sawung Jabo, Oppie Andaresta, Bens Leo, dan pencipta lagu Shelly Pertiwi berlangsung di Cowboy Café & bar, kawasan Kemang Jakarta Selatan, Kamis (24/4/2014). Diskusi ini antara lain menyoroti tentang musik Indonesia yang akhir-akhir ini jarang mengangkat tema politik atau kritik sosial, namun tiba-tiba ramai orang membicarakan lagu Don’t Change The Wining Team yang beberapa pekan terakhir menghebohkan lewat youtube. Tampak Shelly Pertiwi hadir dalam seri diskusi yang dipandu pengamat musik Bens Leo. (kf/foto: dudut suhendra putra].



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.