Analisis Pajak Lahan Perkotaan Studi Kasus : Mall Ciputra

Page 1


Danna Prasetya N 21040113120008

Halimatussa’diah 21040113120016

Riska Nur Oktafiani 21040113120020

Gita Maharani 21040113120022

Nofika Fitasari 21040113120026

Aida Ulfa Faza 21040113120028

Nelli G Purba 21040113120030

Olyna Ayuning 21040113120032

Rizani Violita 21040113120036

Yeti Ulfah T 21040113120042

Novi Yanti 21040113120048

Reksa Istiana 21040113120052

Nafinas Anas 21040113120054

M. Saifuddin A 21040113120058

Godlive H I S 21040113120064

Diandra Rachmah 21040113140080

Firdaus Nugroho 21040113130074

Istiqomah A 21040113130078

Hanifah Marsha 21040113130084

Septi Ayuningtyas 21040113130088


Jonathan B WS 21040113140098

Ayu Setya K 21040113140102

Yoshe R A M P 21040113130106

Dhafina Almas 21040113130108

Iffan Shahriztan 21040113130110

Jefri Alexius Siregar 21040113140112

Yoga Bagas S 21040113130116

M. Hafidz Satria P. 21040113130118

Ahmad Aulia N H 21040113130120

Tegar Satriani 21040113130128

Annisa Bayanti N 21040113140132

Septian Edo A P 21040113130136

Aditia Madya K 21040111140102

Ovi Nurbalqis 21040112120012

Asa Bintang K 21040112120016

I Dewa Gede Dwi 21040111140020

Abdul Rohim 21040111120026

Marcellus Lendra 21040112140040

Shafira Leliana P 21040112130058

Ivan Kurnia Adi 21040111130041


Daftar Isi Daftar Tabel........................................................................................................................................... ii BAB I Pendahuluan.............................................................................................................................. 1 1.1

Latar belakang ...................................................................................................................... 1

1.2

Rumusan Masalah ............................................................................................................... 2

1.3

Tujuan dan Sasaran............................................................................................................. 2

1.3.1

Tujuan ............................................................................................................................ 2

1.3.2

Sasaran .......................................................................................................................... 2

1.4

Sistematika Laporan ............................................................................................................ 2

BAB II Kajian Literatur ......................................................................................................................... 3 2.1

Nilai Ruang Perkotaan Berdimensi Horizontal ................................................................ 3

2.1.1

Teori Sewa Lahan David Ricardo .............................................................................. 3

2.1.2

Teori Sewa Lahan Von Thunen ................................................................................. 3

2.2

Nilai Ruang Perkotaan Berdimensi Vertikal (Teori Ketinggian Bangunan Bergel) .... 4

2. 3

Prinsip Pajak Lahan Perkotaan yang Adil ........................................................................ 5

2.3.1

Prinsip-Prinsip Perpajakan.......................................................................................... 5

2.3.2

Teori Mengenai Prinsip Keadilan dalam Perpajakan .............................................. 7

BAB III Nilai Ruang Vertikal Perkotaan Untuk Pemanfaatan Perdagangan ............................. 11 3.1

Perhitungan NVRP ............................................................................................................. 11

3.2

Perhitungan NPP dan PBB ............................................................................................... 13

BAB IV KONSEPSI PAJAK LAHAN PERKOTAAN UNTUK PEMANFAATAN PERDAGANGAN YANG MEMENUHI PRINSIP KEADILAN ...................................................... 15 4.1

Analisis Pajak Bumi Bangunan Berdasarkan NPP Mall Ciputra Land ....................... 15

BAB V PENUTUP............................................................................................................................... 18 5.1

Simpulan .............................................................................................................................. 18

5.2

Rekomendasi ...................................................................................................................... 18

i


Daftar Tabel Tabel 3.1 Perhitungan Nilai Variabel Ekonomi dan Variabel Psikologi Mall Ciputra Land Kota Semarang ............................................................................................................................................ 11 Tabel 3.2 Perhitungan Nilai Vertikal Ruang Perkotaan Untuk Mall Ciputra Land Kota Semarang ............................................................................................................................................ 12 Tabel 4.1 Data Dasar Perhitungan Pajak Bumi Bangunan ........................................................ 15 Tabel 4.2 Perbandingan PBB dari NPP dan NVRP ...................................................................... 16

Daftar Grafik Grafik 3.1 Nilai Vertikal Ruang Perkotaan Mall Ciputra Land Kota Semarang........................ 12 Grafik 4.1 Perbangingan NPP dan NVRP Mall Ciputra Land Kota Semarang ........................ 17

ii


BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar belakang Menurut ilmu ekonomi dan pertanian, lahan merupakan segala hal mencakup semua

sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan di bawah, pada, maupun di atas permukaan suatu bidang geografis. Pada kenyataannya, lahan tidak selalu berupa tanah, karena dapat mencakup pula kolam, rawa, danau, atau bahkan lautan. Sesuai dengan batasannya, kandungan mineral di bawah permukaan lahan atau di atas suatu permukaan lahan juga menjadi bagian dari lahan dan ini menentukan nilai ekonominya. Kebutuhan lahan meningkat tetapi lahan terbatas sehingga muncul ketentuan bahwa setiap bangunan didirikan secara vertikal untuk menghemat penggunaan lahan yang ada. Peningkatan kebutuhan lahan ini disebabkan oleh semakin tingginya kegiatan urbanisasi sehingga muncul CBD baru di perkotaan. Akibatnya harga lahan di pusat kota semakin meningkat tajam, sehingga muncullah properti berlantai banyak di perkotaan dengan berbagai pemanfaatan. Penggunaan lahan biasanya dikenakan pajak sebagai sumber penerimaan negara yang penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang/badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat darinya, oleh sebab itu wajar apabila kepada mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak. Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Pajak yang diberikan seharusnya memperhatikan variable-variabel nilai vertikal ruang perkotaan. Nilai tersebut terdiri dari dua variable utama yaitu variable ekonomi dan variable psikologi. Variabel ekonomi dilihat dari aksesibilitas, motif berinfestasi, dan nilai jual kembali. Sedangkan variable psikologi ditinjau dari tingkat kenyamanan, privasi, pemandangan, keamanan, gaya hidup, kebisingan, resiko bencana. Setiap lantai di bangunan berlantai banyak perkotaan pasti memiliki variable yang berbeda-beda. Maka dari itu perlu di analisis lebih lanjut mengenai pemungutan pajak yang seharusnya diberikan kepada pihak yang memanfaatkan lahan perdagangan di Mall Ciputra sehingga diperoleh prinsip pajak lahan perkotaan yang berkeadilan.

1


1.2

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dari penyusunan laporan ini, maka muncul permasalahan

yaitu berapa Pajak Bumi Bangunan berdasarkan Nilai Vertikal Ruang Perkotaan (NVRP) dan Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) dan konsepsi pajak properti lahan perkotaan yang memenuhi prinsip keadlian untuk pemanfaatan lahan perdagangan di Mall Ciputra Semarang.

1.3

Tujuan dan Sasaran Tujuan dan sasaran dari laporan ini adalah sebagai berikut :

1.3.1 Tujuan Tujuan dari penyusunan laporan ini adalah mengetahui Pajak Bumi Bangunan berdasarkan NVRP, NPP dan konsepsi pajak properti lahan perkotaan yang memenuhi prinsip keadalian untuk pemanfaatan lahan di perdagangan Mall Ciputra. 1.3.2 Sasaran  Teridentifikasinya persamaan regresi NVRP dan Nilail NPP untuk pemanfaatan lahan perdagangan di Mall Ciputra.  Teridentifikasinya variabel ekonomi dan variabel psikologi Mall Ciputra.  Teridentifikasinya Pajak Bangunan Lahan Perkotaan di Mall Ciputra.

1.4

Sistematika Laporan

BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sasaran, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang nilai ruang perkotaan yang terbagi menjadi dua yaitu nilai ruang perkotaan berdimensi horizontal dan nilai ruang perkotaan berdimensi vertikal. Selain itu, dalam bab ini berisi tentang prinsip pajak lahan perkotaan yang adil. BAB III NILAI RUANG VERTIKA PERKOTAAN UNTUK PEMANFAATAN PERDAGANGAN Bab ini berisi tentang persamaan regresi berganda nilai ruang vertikal perkotaan untuk pemanfaatan perdagangan yang didapat melalui pendekatan rasionalistik. BAB

IV

KONSEPSI

PAJAK

LAHAN

PERKOTAAN

UNTUK

PEMANFAATAN

PERDAGANGAN YANG MEMENUHI PRINSIP KEADILAN Bab ini berisi tentang membandingkan PBB berdasarkan NPP dan NVRP BAB V PENUTUP Bab ini berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi.

2


BAB II KAJIAN LITERATUR 2.1

Nilai Ruang Perkotaan Berdimensi Horizontal Lahan merupakan tempat berpijaknya manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Dalam kaitannya dengan properti,akan disampaikan dalam teori nilai horizontal lahan perkotaan. Jika ditinjau dari proses perkembangan spasial fisik kota dapat diidentifikasi yakni sentrifugal (proses bertambahnya ruang perkotaan yang berjalan kea rah luar dari daerah perkotaan yang sudah terbangun dan mengambil tempat didaerah pinggiran kota (Yunus,1999). Proses inilah yang memicu dan memacu bertambahnya luas areal perkotaan. Semakin cepat proses ini berjalan, maka semakin cepat pula perkembangan kota secara fisik. Selain sentrifugal, terdapat juga istilah sentripental (prose perubahan bangunanbangunan perkotaan di bagian dalam kota pada lahan kosong atau ruang terbuka kota). 2.1.1 Teori Sewa Lahan David Ricardo Ricardo mengembangkan ide sewa lahan berdasarkan pola tingkatan dan produktivitas tanah. Semakin subur dan produktif tanah, maka semakin tinggi kemauan petani untuk membayar sewa atau lahan yang digarapnya, guna menghasilkan produkproduk pertanian dalam memenuhi permintaan pasar. Dalam menjelaskan ide sewa lahan, karakteristik ekonomi lokal yang berlaku diasumsikan oleh Ricardo, yaitu:  Harga input dan output pertanian sama di semua lokasi (harga tetap)  Terdapat pajak dalam industri pertanian dan dalam kondisi pasar yang demikian keuntungan yang diperoleh adalah keuntungan ekonomi  Ada tiga jenis tingkat kesuburan tanah yaitu subur, cukup subur dan kurang subur.  Sewa lahan yang dibayarkan kepada pemilik tanah adalah sewa tertinggi  Biaya transportasi karena produk pertanian akan laku dijual dengan harga tinggi di lokasi produksi Berdasarkan pada ide dan asumsi-asumsi diatas, tampak bahwa pola sewa lahan untuk ketiga jenis tanah pertanian sangat tergantung pada tingkat kesuburannya. Analisis kesuburan tanah pertanian yang dikemukakan Ricardo dapat digunakan untuk memprediksi akibat suatu kebijakan pemerintah (kebijakan umum) terhadap harga/sewa lahan. Konsep dan pemikiran Ricardo tentang harga sewa/lahan pertanian dalam fenomena perkembangan ruang kota, aplikasi empirisnya masih cukup relevan. 2.1.2 Teori Sewa Lahan Von Thunen Von Thunen menguraikan tentang distribusi pola penggunaan lahan yang dianggap paling

menguntungkan

pada

suatu

wilayah

dengan

topografi

beragam.

Dalam

mengembangkan teorinya, Von Thunen menggunakan empat asumsi (Yunus, 1999) yaitu: 3


 Daerah terisolasi, yang menunjukkan bahwa dalam daerah hipotik hanya tedapat satu kota yang terletak di tengah-tengah daerah. Kota ini berfungsi sebagai satu-satunya pasar untuk semua produk pertanian dan tidak ada produk pertanian dari daerah lain yang mampu menembus masuk ke daerah ini, sehingga harga pasarnya sama.  Daerah dataran, yang menunjukkan bahwa daerah yang dimaksud berada pada dataran yang beragam dan diseluruh bagian daerahnya memiliki kondisi lingkungan fisik yang homogen.  Biaya transportasi seragam kesegala arah dan berbanding lurus dengan jaraknya.  Semua petani dianggap memahami informasi pasar, sehingga ia berperilaku sama dan menginginkan keuntungan yang setinggi-tingginya. Bertitik tolak

pada asumsi-asumsi di atas, pada daerah terisolasi akan terjadi

persebaran penggunaan lahan. Dari sinilah tercipta istilah “sewa lokasi” yang menunjukkan aktifitas ekonomi dari sauat tempat tertentu untuk produksi tertentu,yang didefinisikan sebagai penghasilan total yang diterima petani untuk produk tertentu pada sebidang tanah setelah dikurang dengan biaya produksi dan biaya transportasi.

Sumber : Harry W. 1978 pp. 23 Gambar 2.1 MODEL ZONA KONSENTRIS, JH. VON THUNEN

Dengan memperhatikan pola pemikiran Von Thunen dan kemampuan masing-masing aktivitas perkotaan dalam membayar tawaran sewa dan biaya transportasi, maka penggunaan lahan perkotaan akan membentuk zona-zona konsentris.

2.2

Nilai Ruang Perkotaan Berdimensi Vertikal (Teori Ketinggian Bangunan Bergel) Teori ketinggian bangunan dikemukakan oelh Bergel pada tahun 1955 yang

mengatakan bahwa ruang vertikal perkotaan ternyata mampu mengakomodasi kan aktifitas penduduk kota dengan menyediakan ruang ke atas. Aksesibilitas sebagia faktor penarik fungsi ruang kota tidak hanya menunjukkan sifat yang sejalan dengan dimensi Distance Decay Principal From The Center, tetapi juga dimensi High Decay Principle From The Ground oleh Yunus tahun 1999. Variabel ini menjadi perhatian di Negara-negara maju 4


karena menyangkut hak seseorang uhnutk menikmati sinar matahari, keindahan alam dari tempat tertentu,batas kepadatan bangunan, batas kepadatan penghuni, dan pemanfaatan lahan dengan aksesibilitas fisik yang tinggi. Penentuan ruang vertikal mampu mengakomodasi kegiatan-kegiatan penduduk kota maupun memberi ruang tinggal. Pada daerah pusat kota harga lahan sangat mahal, aksesibilitas sangat tinggi dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan secara vertikal. Pada kenyataanya ruang yang aksesibilitasnya paling tinggi adalah lantai dasar maka ruang-ruang akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat ekonominya. Pada ruang yang terletak pada tingkat yang paling tinggi walaupun berada di pusat kota (aksesibilitas tertinggi secara horizontal namun karena letaknya paling atas menjadi menurun nilai aksesibilitas secara horizontal) dan mungkin dapat dimanfaatkan pada tingkat atas untuk tempat tinggal semata. 2. 3 Prinsip Pajak Lahan Perkotaan yang Adil Prinsip – prinsip pajak dan prinsip – prinsip keadilan perpajakan lahan perkotaan menurut beberapa ahli dijelaskan sebagai berikut : 2.3.1 Prinsip-Prinsip Perpajakan Waluyo (2007) mengutip empat prinsip perpajakan yang dimukakan oleh Smith, yaitu: (1) Equality (keadilan); pajak yang dikenakan kepada Wajib Pajak harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima (benefit principle). Semakin tinggi kemampuan membayar pajak seseorang maka semakin besar porsi pajak yang dibayarkan. Selain itu, semakin besar pajak yang dibayarkan maka semakin besar manfaat yang diterima oleh pembayar pajak. (2) Certainty (kepastian hukum); Berdasarkan prinsip Certainty (Kepastian Hukum), penetapan pajak tidak boleh ditentukan sewenang-wenang. Ada kejelasan dan kepastian mengenai besar pajak yang terutang, kapan harus dibayar serta batas waktu pembayaran. Ketidakjelasan akan hukum pajak dapat menimbulkan kesewenangan aparatur pajak dalam menentukan pajak yang terutang. (3)Convenience (kenyamanan); Wajib Pajak harus diberikan kemudahan untuk membayar di saat-saat yang tidak menyulitkannya. Wajib Pajak dapat mencicil pembayaran pajak tahunannya sehingga pada akhir tahun tanpa sadar utang pajaknya sudah terlunasi. (4) Economy (Ekonomis);

biaya pemungutan terhadap Wajib Pajak diharapkan

seminimum mungkin demikian pula dengan beban yang dipikul Wajib Pajak. Biaya pemungutan pajak yang tinggi dan tidak sebanding dengan penerimaan pajak yang diterima Negara akan memboroskan keuangan Negara. Beban pajak yang dipikul 5


Wajib Pajak bila terlalu besar akan menurunkan pendapatan usaha Wajib Pajak yang akhirnya menurunkan juga nilai pajak yang terutang atas pendapatan tersebut. Beban Wajib Pajak yang terlalu besar juga mendorong Wajib Pajak untuk menghindari pajak. Sedikit berbeda dengan Smith, Stiglizt mengemukakan lima kriteria dari sistem perpajakan yang baik seperti yang dikutip oleh Sidik (2007) yaitu: (1) Prinsip Efisiensi Ekonomi (Netralitas) yang mengharuskan pajak tidak boleh menganggu alokasi sumberdaya; (2) Prinsip Kesederhanaan Administrasi yang menuntut sistem pemungutan pajak dibuat sesederhana

mungkin

sehingga

mudah

dimengerti

dan

menghemat

biaya

pemungutannya; (3) Prinsip Fleksibilitas yaitu sistem pemungutan pajak yang dapat merespon perubahan dengan cepat; (4) Prinsip Tanggung Jawab Politik yaitu pajak yang dibayar dapat dievaluasi penggunaannya; (5) Prinsip Keadilan yaitu besar pajak tergantung pada keadaan ekonomi Wajib Pajak dan adanya perlakuan yang sama bila Wajib Pajak dalam keadaan yang sama. Davey sebagaimana dikutip Ismail (2005), juga memberikan beberapa kriteria umum tentang perpajakan yang hampir sama yaitu: (1) Prinsip Kecukupan dan Elastisitas yaitu penerimaan dari pajak harus cukup besar untuk membiayai anggaran dan elastis terhadap pendapatan masyarakat; (2) Prinsip Pemerataan yaitu pajak ditanggung semua golongan sesuai kemampuannya; (3) Prinsip Kelayakan Administrasi yaitu adanya fasilitas dan pegawai yang berkemampaun baik dalam menjalankan administarsi pajak; (4) Prinsip Kesepakatan Politis yaitu kebijakan pajak dapat diterima oleh masyarakat; dan yang terakhir (5) Prinsip Netralitas yaitu distorsi terhadap perekonomian yang seminimal mungkin sehingga pajak jangan sampai membebani masyarakat secara berlebihan. Sebagai pengembangan dari asas-asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Smith, Musgrave (1989) menyatakan tujuh persyaratan struktur pajak yang baik yaitu: (1) Penerimaan dan Pendapatan harus ditentukan dengan tepat; (2) Distribusi beban pajak harus adil, setiap orang harus dikenakan pembayaran sesuai kemampuannya; (3) Yang menjadi masalah penting bukan hanya pada titik-titik mana pajak itu harus dibebankan tapi oleh siapa pada akhirnya harus ditanggung; (4) Pajak yang dipilih harus sedemikian rupa untuk meminimumkan keputusan ekonomi dalam hubungannya dengan pasar efisien; 6


(5) Struktur pajak harus memudahkan kebijakan fiskal untuk mencapai stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi; (6) Sistem pajak harus menetapakan administrasi yang wajar dan tegas/pasti serta harus dipahami Wajib Pajak; (7) Biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya harus serendah mungkin jika dibandingkan dengan tujuan-tujuan lainnya. Dari pendapat keempat ahli perpajakan di atas, prinsip keadilan dan pemerataan selalu menjadi unsur yang penting dalam sistem perpajakan yang ideal. Bila prinsip keadilan dilanggar maka fungsi distribusi dari pajak untuk mempersempit kesenjangan pendapaatn di masyarakat tidak dapat dipenuhi. 2.3.2 Teori Mengenai Prinsip Keadilan dalam Perpajakan Musgrave sebagaimana dikutip oleh Boediono (2000) menyatakan bahwa sistem pajak yang adil tidaklah sederhana, struktur pajak yang rumit, selain merangsang Wajib Pajak untuk berusaha menghindari pajak (tax avoidance) juga merangsang penghindaran pajak secara ilegal (tax evasion) yang pada akhirnya akan mengurangi aspek keadilan Zee menyatakan bahwa cara yang paling baik untuk menentukan suatu pajak adil atau tidak adalah dengan melihat pada distribusi pendapatan dari masyarakat. Suatu pajak dikatakan adil apabila berhasil menurunkan jarak kesenjangan variabel pendapatan dibandingkan dengan sebelum diberlakukannya pajak atau kenaikan pajak. Dan sebaliknya, pajak dikatakan tidak adil bila kesenjangan tersebut makin besar atau tidak terpengaruh dengan penetapan pajak atau kenaikan pajak. (Shome, 1995, p.31) Musgrave (1989) menyatakan dua cara menganalisis kriteria keadilan dalam perpajakan yaitu pendekatan manfaat (benefit principle) dan kemampuan membayar (abilityto-pay). Prinsip manfaat (benefit principle) mempunyai kelebihan karena menghubungkan sisi pengeluaran dan sisi penerimaan pajak dalam kebijakan anggaran. Prinsip ini tidak dapat langsung diterapkan karena penilaian konsumen terhadap jasa-jasa publik tidak diketahui oleh pemerintah dan harus diperoleh melalui proses politik. Kelemahan lain juga karena tidak diikutsertakannya pertimbangan yang bersifat redistributif. Menurut prinsip kemampuan membayar (ability-to-pay), distribusi pajak harus sesuai dengan kemampuan ekonomis yang bersangkutan sesuai dengan keadilan vertikal dan horizontal. Keadilan vertikal dipenuhi dengan adanya perlakuan pajak yang berbeda pada kemampuan ekonomi yang berbeda. Keadilan horizontal dipenuhi dengan adanya perlakuan pajak yang sama pada kemampuan ekonomi yang sama. Prinsip keadilan vertikal diterapkan dengan adanya tarif pajak progresif pada berbagai tingkat kemampuan ekonomi Wajib Pajak. Dengan tarif progresif, semakin besar tingkat kemampuan ekonomi Wajib Pajak, semakin besar tarif pajak yang dikenakan. Prinsip ini juga sejalan dengan teori keadilan 7


Wegner yang menyatakan bahwa pajak harus mempunyai fungsi mengatur kembali (redistribution of income) dengan melakukan pengenaan pajak progresif yang disalurkan kembali ke masyarakat melalui fasilitas umum (Mansury, 2009). Berdasarkan prinsip kemampuan membayar (ability-to-pay) dalam teori Musgrave, Davey sebagaimana dikutip Boediono (2000) membedakan keadilan dalam perpajakan dalam 3 dimensi yaitu keadilan vertikal, keadilan horizontal dan keadilan geografikal. Maksud dari prinsip keadilan vertikal adalah adanya perlakuan pajak yang berbeda pada kemampuan ekonomi yang berbeda. Pembebanan pajak dikatakan baik bila bersifat progresif karena terjadi kenaikan beban pajak seiring dengan kenaikan pendapatan. Dan dikatakan buruk bila bersifat regresif karena terjadi penurunan beban pajak seiring dengan kenaikan pendapatan. Maksud dari prinsip keadilan horizontal adalah adanya perlakuan pajak yang sama pada kemampuan ekonomi yang sama. Apapun sumber penghasilannya, dikenakan beban pajak yang sama. Misalnya bila jumlah hasil jual petani dan gaji pegawai kantor adalah sama maka keduanya harus dikenakan pajak dengan jumlah yang sama pula. Maksud dari prinsip keadilan geografikal adalah adanya perlakuan pajak yang sama pada setiap daerah, seseorang tidak dikenakan pajak lebih besar karena tinggal di suatu tempat tertentu. Salanie (2003) menyatakan keberatan atas konsep keadilan vertikal yang diusung selama ini yang tidak mempedulikan jenis Objek Pajak atau Subjek Pajaknya. Menurutnya, beberapa karakteristik individu dan objek yang dipajaki dapat mempengaruhi efek pajak yang diterima. Misalnya untuk penghasilan yang sama, efek pajak akan terasa berbeda antara Wajib Pajak yang lajang dengan Wajib Pajak yang menikah. Demikian pula dengan Objek Pajak berupa barang dengan permintaan elastis dengan inelastis, efek pajak akan lebih terasa pada barang-barang inelastis seperti pangan dan papan yang merupakan kebutuhan

mendasar

bagi

manusia.

Sehingga

konsep

keadilan

vertikal

perlu

mempertimbangkan karakteristik khusus tersebut. Masih berkaitan dengan prinsip kemampuan membayar (ability-to-pay) yang dikemukakan Musgrave, Mansury (1996) mengungkapkan lima kriteria keadilan horizontal berkenaaan dengan Objek Pajak yaitu: (1) Prinsip Definisi Penghasilan yaitu penghasilan yang dikenakan pajak memenuhi suatu definisi tentang penghasilan yang paling mencerminkan kemampuan semua Wajib Pajak untuk membayar; (2) Prinsip Globalitas yaitu prinsip yang menyatakan bahwa indeks yang dipakai untuk membandingkan kemampuan membayar Wajib Pajak yang satu dengan Wajib Pajak yang

lainnya

harus mencakup tambahan

kemampuan

secara keseluruhan

darimanapun sumbernya (global income);

8


(3) Prinsip Net Income (Penghasilan Bersih) yaitu penerimaan atau perolehan tambahan kemampuan membayar yang dipergunakan untuk membiayai upaya mendapatkan penghasilan hendaknya dikurangkan dari tambahan yang dikenakan pajak, (4) Prinsip Personal Exemption (Pengurangan Biaya Hidup Orang Pribadi) yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi juga harus diperkenankan untuk dikurangkan dari Dasar Pengenaan Pajak (tax base) sejumlah tertentu yang digunakan untuk membiayai kehidupan pribadi dan keluarganya; (5) Prinsip Equal Treatment For Equals (Perlakuan Sama untuk Yang Sama) yaitu jumlah penghasilan yang sama dikenakan pajak dengan tarif yang sama tanpa membedabedakan jenis penghasilan Mansury juga memberikan kriteria keadilan vertikal yaitu: (1) Prinsip Unequal Treatment for The Unequals (Perlakuan Beda untuk Yang Beda) yang membedakan tarif pajak adalah jumlah penghasilan ekonomis bukan karena perbedaan sumber ataupun jenis penghasilan dan (2) Prinsip Progresivitas yaitu bila jumlah penghasilan Wajib Pajak lebih besar, dia harus membayar jumlah pajak yang lebih besar dengan tarif pajak yang persentasenya lebih besar pula. Tidak jauh berbeda dengan Mansyuri, Noreegard menjelaskan empat determinan dari progresivitas yang dapat didentifikasi antara lain: (1) pilihan dari unit pajak yang tergantung pada Subjek Pajak atau siapa saja yang dikenakan pajak. Misalnya apakah pendapatan yang diterima anak kecil atau lembaga keagamaan termasuk dalam unit yang dipajaki atau tidak; (2) sumber pendapatan yang menjadi Objek Pajak karena komposisi pendapatan pada umumnya berubah dengan seiring berubahnya distribusi pendapatan. Biasanya, pendapatan yang berasal dari modal (capital income) seperti bunga, deviden, hasil sewa, selisih nilai aktiva (capital gain) akan bertambah porsinya seiring dengan bertambahnya pendapatan. Sumber pendapatan yang demikian sudah sewajarnya dikeluarkan dari perhitungan pemajakan menyeluruh (global income taxation) dan menjadi objek pendapatan yang dikenakan pemajakan terpisah dengan tarif proporsional (flat rate schedular taxation). Karena pada capital income, penghasilan bertambah dengan naik turunnya nilai investasi aset yang dimiliki, tidak seperti penghasilan lain yang sifatnya lebih teratur dan pasti seperti gaji atau laba usaha; (3) penyisihan pajak (tax allowance) dan kredit pajak yang menyangkut beban apa saja yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (gross income) atau pengurangan pajak yang terutang (kredit pajak) yang diberikan pada Wajib Pajak dalam keadaan tertentu; dan 9


(4) stuktur tarif pajak (tax schedule) yaitu pengenaan tarif pajak dengan sistem bracket yaitu sistem pengenaan tarif berbeda untuk lapisan pendapatan yang berbeda. Dengan sistem progresif, semakin tinggi batas lapisan pendapatan, semakin besar tarif pajaknya. (Shome, 1995, p.130-131).

10


BAB III NILAI RUANG VERTIKAL PERKOTAAN UNTUK PEMANFAATAN PERDAGANGAN 3.1

Perhitungan NVRP Perhitungan Nilai Vertikal Ruang Perkotaan (NVRP) digunakan untuk melakukan

perhitungan Pajak Bumi Bangunan dengan prinsip keadilan. Teknik pengumpulan data yang dibutuhkan untuk NVRP adalah survey (penyebaran kuesioner). Responden dari kuesioner ini adalah sampel pemilik kios di tiap lantai, responden tiap lantai sebanyak 15 responden. Pertanyaan dalam kuesioner merupakan pemberian nilai untuk variabel ekonomi dan variabel psikologi. Tabel 3.1 Perhitungan Nilai Variabel Ekonomi dan Variabel Psikologi Mall Ciputra Land Kota Semarang NVRP

Konstanta

X1

X2

X3

X4

Y1

5.503

0.818

1329.631

0.125

902.8761

0.103

352.0395

0.176

17.4

Y2

4.901

0.818

1156.1594

0.125

825.8919

0.103

344.6559

0.176

38.28

Y3

4.299

0.818

829.47962

0.125

871.137

0.103

328.8339

0.176

43.92

Y4

3.697

0.818

829.47962

0.125

871.137

0.103

328.8339

0.176

43.92

Sumber : Hasil Analisis Kelompok 2B Ekonomi Wilayah dan Kota, 2014

Berikut adalah hasil pengolahan kuesioner untuk menentukan nilai variabel ekonomi (X1) dan variabel psikologi (X2, X3, X4). Kedua variabel tersebut selanjutnya akan dugunakan dalam perhitungan Nilai Vertikal Ruang Perkotaan dalam pemanfaatan fungsi perdagangan di Mall Ciputra Kota Semarang. Nilai tiap variabel menunjukan penurunan tiap lantai, dimana semakin tinggi tingkat lantai semakin rendah nilai kedua variabel. Dengan persamaan regresi dari penelitian terdahulu : Y = 5,503 + 0,818 x1 + 0,125 x2 + 0,103 x3 – 0,176 x4 Y = Nilai vertikal ruang perkotaan kios ( dipengaruhi oleh letak ketinggian lantai) Konstanta : indeks PBB obyek bumi lantai dasar kondominium/apartemen

11


Tabel 3.2 Perhitungan Nilai Vertikal Ruang Perkotaan Untuk Mall Ciputra Land Kota Semarang Sumber : Hasil Analisis Kelompok 2B Ekonomi Wilayah dan Kota, 2014

LANTAI

Konstanta

X1

X1

X2

X3

NVRP

Lantai 1

5.503

1087.638

112.85951

36.26007

3.0624

1,239.198

Lantai 2

4.901

945.7384

103.23649

35.49956

6.73728

1,082.638

Lantai 3

4.299

790.8678

89.814875

31.04513

3.168

912.859

Lantai 4

3.697

678.5143

108.89213

33.86989

7.72992

817.243

RUANG NILAINILAI RUANG VERTIKAL PERKOTAAN MALL VERTIKAL NILAI RUANG PERTOKOAN; CIPUTRA LAND Lantai 1; 1.239,198

VERTIKAL PERTOKOAN; Lantai 2; 1.082,638

NILAI RUANG VERTIKAL NILAI RUANG PERTOKOAN; VERTIKAL Lantai 3; 912,859 PERTOKOAN; Lantai 4; 817,243

Sumber : Hasil Analisis Kelompok 2B Ekonomi Wilayah dan Kota, 2014

Grafik 3.1 Nilai Vertikal Ruang Perkotaan Mall Ciputra Land Kota Semarang

Berdasarkan grafik diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan atas NVRP pada fungsi perdagangan (lantai 1 dengan lantai 4) yang ditandai dengan menurunnya kurva NVRP. Hal ini diakibatkan oleh lebih kuatnya variabel ekonomi bila dibandingkan dengan variabel psikologis. Semakin menjauhi lantai 1, nilai NVRP akan semakin rendah, grafik NVRP turun dari kiri atas ke kanan bawah seperti terlihat pada grafik diatas. Nilai ruang tertinggi berada pada lantai dasar karena dilihat dari dua variabel yang dijabarkan menjadi beberapa kriteria, diantaranya variabel ekonomi dan variabel psikologi. Variabel ekonomi terdiri dari tiga kriteria, yaitu: motif berinvestasi dengan melihat pangsa 12


pasar, nilai jual/sewa kembali dengan melihat peluang laba, dan aksesibilitas dengan melihat lokasi strategis. Masing-masing memiliki parameternya, sebesar 66,03%; 31,94%; 2,03%. Variabel psikologi juga terdiri dari tiga kriteria, yaitu: tingkat kenyamanan dengan melihat kebersihan lingkungan, tingkat keamanan dengan melihat jaminan keamanan yang diberikan, dan tingkat ancaman terhadap bencana dengan melihat kerawanan akan bencana. Masingmasing memiliki parameternya, sebesar 67,53%; 26,37%; 6,00%. Teknik pengumpulan yang dilakukan untuk mendapatkan data-data dari kedua variabel tersebut diatas yaitu dengan menggunakan kuesioner dengan respondennya adalah pemilik kios di Mall Ciputra Semarang. Semakin menjauhi lantai dasar, nilai NVRP nya semakin rendah. Hal ini dikarenakan semakin menjauhi lantai dasar aksesibilitasnya semakin diperhitungkan karena dibutuhkan tangga, lift, maupun eskalator. 3.2

Perhitungan NPP dan PBB Perhitungan Nilai Perbandingan Proporsional dilakukan untuk selanjutnya dalam

perhitungan Pajak Bumi Bangunan (PBB) berdasarkan NPP. Nilai Perbandingan Proporsioal merupakan nilai yang tidak memperhatikan letak ketinggian lantai, berbeda dengan NVRP. Berikut tahap perhitungan menentukan NPP dan komponen lainnya untuk menghitung PBB :  Hitung nilai perbandingan proposional (NPP) unit perdagangan Mall Ciputra Land dengan rumus:

đ?‘ đ?‘ƒđ?‘ƒ =

đ??żđ?‘†đ?‘› Ă— 100% đ?‘‡. đ??żđ?‘†đ?‘›

Keterangan



Sn

: Satuan unit kios (unit perdagangan)

LSn

: Luas unit kios

TLSn

: Total luas unit kios

Hitung luas bumi (tanah) proposional

đ??żđ?‘˘đ?‘Žđ?‘ đ??ľđ?‘˘đ?‘šđ?‘– (đ?‘‡đ?‘Žđ?‘›đ?‘Žâ„Ž) đ?‘ƒđ?‘&#x;đ?‘œđ?‘?đ?‘œđ?‘&#x;đ?‘ đ?‘–đ?‘œđ?‘›đ?‘Žđ?‘™ = đ?‘ đ?‘ƒđ?‘ƒ Ă— đ??żđ?‘˘đ?‘Žđ?‘ đ?‘‡đ?‘Žđ?‘›đ?‘Žâ„Ž đ??ľđ?‘’đ?‘&#x;đ?‘ đ?‘Žđ?‘šđ?‘Ž 

Hitung luas bangunan proposional

đ??żđ?‘˘đ?‘Žđ?‘ đ??ľđ?‘Žđ?‘›đ?‘”đ?‘˘đ?‘›đ?‘Žđ?‘› đ?‘ƒđ?‘&#x;đ?‘œđ?‘?đ?‘œđ?‘&#x;đ?‘ đ?‘–đ?‘œđ?‘›đ?‘Žđ?‘™ = đ?‘ đ?‘ƒđ?‘ƒ Ă— đ?‘‡đ?‘œđ?‘Ąđ?‘Žđ?‘™ đ??żđ?‘˘đ?‘Žđ?‘ đ??ľđ?‘Žđ?‘›đ?‘”đ?‘˘đ?‘›đ?‘Žđ?‘› đ??ľđ?‘’đ?‘&#x;đ?‘ đ?‘Žđ?‘šđ?‘Ž 

Hitung Nilai Jual Objek Pajak (NJOP): đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒ đ??ľđ?‘˘đ?‘šđ?‘– đ?‘ƒđ?‘&#x;đ?‘œđ?‘?đ?‘œđ?‘&#x;đ?‘ đ?‘–đ?‘œđ?‘›đ?‘Žđ?‘™ = đ??żđ?‘˘đ?‘Žđ?‘ đ??ľđ?‘˘đ?‘šđ?‘– đ?‘ƒđ?‘&#x;đ?‘œđ?‘?đ?‘œđ?‘&#x;đ?‘ đ?‘–đ?‘œđ?‘›đ?‘Žđ?‘™ Ă— đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒ đ?‘Ąđ?‘Žđ?‘›đ?‘Žâ„Ž đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒ đ??ľđ?‘Žđ?‘›đ?‘”đ?‘˘đ?‘›đ?‘Žđ?‘› đ?‘ƒđ?‘&#x;đ?‘œđ?‘?đ?‘œđ?‘&#x;đ?‘ đ?‘–đ?‘œđ?‘›đ?‘Žđ?‘™ = đ??żđ?‘˘đ?‘Žđ?‘ đ??ľđ?‘Žđ?‘›đ?‘”đ?‘˘đ?‘›đ?‘Žđ?‘› đ?‘ƒđ?‘&#x;đ?‘œđ?‘?đ?‘œđ?‘&#x;đ?‘ đ?‘–đ?‘œđ?‘›đ?‘Žđ?‘™ Ă— đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒ đ?‘?đ?‘Žđ?‘›đ?‘”đ?‘˘đ?‘›đ?‘Žđ?‘› đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒ đ?‘ˆđ?‘›đ?‘–đ?‘Ą đ??žđ?‘–đ?‘œđ?‘ = đ??żđ?‘˘đ?‘Žđ?‘ đ?‘ˆđ?‘›đ?‘–đ?‘Ą đ??´đ?‘?đ?‘Žđ?‘&#x;đ?‘Ąđ?‘’đ?‘šđ?‘’đ?‘› Ă— đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒ đ?‘?đ?‘Žđ?‘›đ?‘”đ?‘˘đ?‘›đ?‘Žđ?‘› Nilai Jual Objek Pajak bangunan telah ditetapkan kantor pajak setempat. Perhitungan NJOP diatas dijumlahkan untuk memperoleh NJOP total.



Hitung NJOP Kena Pajak (NJOPKP) 13


đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒđ??žđ?‘ƒ = đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒ đ?‘‡đ?‘œđ?‘Ąđ?‘Žđ?‘™ − đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒ đ?‘‡đ?‘–đ?‘‘đ?‘Žđ?‘˜ đ??žđ?‘’đ?‘›đ?‘Ž đ?‘ƒđ?‘Žđ?‘—đ?‘Žđ?‘˜ (đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒđ?‘‡đ??žđ?‘ƒ) Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak adalah nilai yang telah ditetapkan pemerintah sebesar Rp 10.000.000,-. Setelah nilai Nilai Perbandingan Proporsinal (NPP) dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) maka dapat di identifikasi PBB berdasarkan NPP, berikut langkah perhitungan PBB : Ketentuan dalam perhitungan PBB sebagai berikut : 

Untuk unit objek pajak yang nilainya < Rp 1 miliar, rumusnya adalah

đ?‘ƒđ??ľđ??ľ = 0,5% Ă— 20 % Ă— đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒđ??žđ?‘ƒ 

Untuk unit objek pajak yang nilainya > Rp 1 miliar, rumusanya adalah

đ?‘ƒđ??ľđ??ľ = 0,5% Ă— 40 % Ă— đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒđ??žđ?‘ƒ

14


BAB IV KONSEPSI PAJAK LAHAN PERKOTAAN UNTUK PEMANFAATAN PERDAGANGAN YANG MEMENUHI PRINSIP KEADILAN 4.1

Analisis Pajak Bumi Bangunan Berdasarkan NPP Mall Ciputra Land Untuk menganalisis pajak bumi bangunan berdasarkan nilai perbandingan proporsional

Mall Ciputra Land dibutuhkan data dasar yang terdiri dari jumlah unit, luas unit, luas tanah, serta luas bangunan. Data dasar tersebut disajikan dalam tabel sebagai berikut : Tabel 4.1 Data Dasar Perhitungan Pajak Bumi Bangunan No

Jumlah Unit

1

210

Sumber:



Luas Unit (m2) 15

Luas Tanah (m2) 20000

Luas Bangunan (m2) 46000

www.malciputrasemarang.com, 2014

Dari tabel tersebut, dapat diketahui nilai perbandingan proporsionalnya, dengan perhitungan menggunakan rumus yang ada: đ?‘ƒđ?‘ƒ =

15 Ă— 100% 15 Ă— 210

= 0.004761905 

Setelah mendapatkan nilai perbandingan proporsional, bisa dicari nilai luas bumi (tanah) proporsional, dengan perhitungan menggunakan rumus yang ada: đ??żđ?‘˘đ?‘Žđ?‘ đ??ľđ?‘˘đ?‘šđ?‘– (đ?‘‡đ?‘Žđ?‘›đ?‘Žâ„Ž) đ?‘ƒđ?‘&#x;đ?‘œđ?‘?đ?‘œđ?‘&#x;đ?‘ đ?‘–đ?‘œđ?‘›đ?‘Žđ?‘™ = 0.004761905 Ă— 20000 = 95.24



Dari hasil perhitungan luas bumi (tanah) proporsional bias didapatkan nilai luas bangunan proporsional, perhitungan menggunakan rumus yang ada, seperti berikut: đ??żđ?‘˘đ?‘Žđ?‘ đ??ľđ?‘Žđ?‘›đ?‘”đ?‘˘đ?‘›đ?‘Žđ?‘› đ?‘ƒđ?‘&#x;đ?‘œđ?‘?đ?‘œđ?‘&#x;đ?‘ đ?‘–đ?‘œđ?‘›đ?‘Žđ?‘™ = 0.004761905 Ă— 46000 = 219.0476



Hasil perhitungan luas bumi (yanah) proporsional, luas bangunan proporsional dapat digunakan untuk mencari nilai NJOP Bumi Proporsional serta NJOP Bangunan Proporsional, sedangkan untuk NJOP Unit Kios didapat dari luas unit apartemen serta NJOP Bangunan. đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒ đ??ľđ?‘˘đ?‘šđ?‘– đ?‘ƒđ?‘&#x;đ?‘œđ?‘?đ?‘œđ?‘&#x;đ?‘ đ?‘–đ?‘œđ?‘›đ?‘Žđ?‘™ = 95.24 Ă— 2925000 = 278571428.6 đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒ đ??ľđ?‘Žđ?‘›đ?‘”đ?‘˘đ?‘›đ?‘Žđ?‘› đ?‘ƒđ?‘&#x;đ?‘œđ?‘?đ?‘œđ?‘&#x;đ?‘ đ?‘–đ?‘œđ?‘›đ?‘Žđ?‘™ = 219.0476 Ă— 2200000 = 481904761.9



Setelah itu lakukan perhitungan NJOP Unit Kios dengan data luas unit kios dan NJOP Bangunan, berikut perhitungannya: đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒ đ?‘ˆđ?‘›đ?‘–đ?‘Ą đ??žđ?‘–đ?‘œđ?‘ = 15 Ă— 2200000 = 33000000 15




Kemudian hitung NJOPKP dengan hasil data yang sudah diolah yaitu NJOP total serta NJOPTK. Berikut perhitungannya: đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒđ??žđ?‘ƒ = đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒ đ?‘‡đ?‘œđ?‘Ąđ?‘Žđ?‘™ − đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒ đ?‘‡đ?‘–đ?‘‘đ?‘Žđ?‘˜ đ??žđ?‘’đ?‘›đ?‘Ž đ?‘ƒđ?‘Žđ?‘—đ?‘Žđ?‘˜ (đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒđ?‘‡đ??žđ?‘ƒ) đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒđ??žđ?‘ƒ = 793476190.5 – 10000000 783476190.5



Setelah itu hitunglah nilai PBB dengan menggunakan ketentuan yang kedua, yaitu NJOP > dari 1 miliar dikalikan dengan 40%, dengan rumus seperti ini: đ?‘ƒđ??ľđ??ľ = 0,5% Ă— 40 % Ă— đ?‘ đ??˝đ?‘‚đ?‘ƒđ??žđ?‘ƒ



Masukkan nilai NJOPKPmaka hasilnya ialah 783476. Dilihat dari hasil perhitungan, PBB dari NPP tidak memperhatikan nilai-nilai psikologis.

Lain hal dengan PBB dari NVRP yang memperhatikan nilai-nilai psikologis. Perbandingan tersebut bisa dilihat dari Tabel IV.2 Perbandingan PBB dari NPP dan NVRP berikut: Tabel 4.2 Perbandingan PBB dari NPP dan NVRP TIPE 15 m2 PBB dari NPP PBB dari NVRP (Rp) (Rp) 783476 220900

NO

LANTAI

1

1

2

2

783476

195897

3

3

783476

168784

4

4

783476

153514

Sumber: Hasil Analisis Kelompok 2B, 2014

Nilai PBB dari NPP tidak ada yang berbeda meskipun terletak di lantai yang berbeda, sedangkan nilai PBB dari NVRP berubah semakin menurun sesuai dengan teretak di lantai mana kios tersebut. Pada intinya, nilai PBB dari NPP tidak mempertimbangkan letak kios berada di lantai berapa pun, akan tetap dikenakan nilai PBB yang sama. Sedangkan, nilai PBB dari NVRP mempertimbangkan letak kios terdapat di lantai berapa. Maka nilai PBB dari NVRP ditentukan oleh lantai dimana kios tersebt terletak, semakin tinggi lantai semakin rendah nilai PBB dari NVRP. Dengan begitu PBB dari NVRP dikatakan lebih adil karena nilai PBB yang dikenakan sesuai dengan yang didapatkan oleh penyewa.

16


Axis Title

PBB dari NPP; PBB dari NPP; PBB dari NPP; NVRP 1; 783476Perbandingan 2; 783476 NPP dan 3; 783476

PBB dari NVRP; 1; 220900

PBB dari NVRP; 2; 195897

PBB dari NPP

PBB dari NVRP; 3; 168784

PBB dari NPP; 4; 783476

PBB dari NVRP; 4; 153514

PBB dari NVRP

Sumber : Hasil Analisis Kelompok 2B Ekonomi Wilayah dan Kota, 2014 Grafik 4.1 Perbangingan NPP dan NVRP Mall Ciputra Land Kota Semarang

Perhitungan PBB obyek bumi kios di Mall Ciputra Land berdasarkan NPP menunjukan nilai yang tetap untu setiap lantai, sedangkan perhitungan PBB obyek bimi kios dengan meninjau Multivariate Regression NVRP untuk pemanfaatan kios. Secara total terjadi perubahan pembebanan PBB Obyek Bumi. Sehingga dapat diidentifikasi Pembebanan PBB Obyek Bumi tidak memenuhi prinsip keadilan.

17


BAB V PENUTUP

5.1

Simpulan Berdasarkan hasil analisis nilai pajak dapat disimpulkan bahwa :

1.

Teridentifikasinya persamaan regresi NVRP dan Nilail NPP untuk pemanfaatan lahan perdagangan di Mall Ciputra yang hasilnya adalah semakin menjauhi lantai 1, nilai NVRP akan semakin rendah, grafik NVRP turun dari kiri atas ke kanan bawah yang berarti bahwa nilai ruang tertinggi berada pada lantai dasar karena dipengaruhi oleh beberapa variabel.  Variabel ekonomi yaitu motif berinvestasi dengan melihat pangsa pasar, nilai jual/sewa kembali dengan melihat peluang laba, dan aksesibilitas dengan melihat lokasi strategis.  Variabel psikologi yaitu tingkat kenyamanan dengan melihat kebersihan lingkungan, tingkat keamanan dengan melihat jaminan keamanan yang diberikan, dan tingkat ancaman terhadap bencana dengan melihat kerawanan akan bencana.

2.

Nilai PBB dari NPP tetap dikenakan nilai PBB yang sama. Sedangkan, nilai PBB dari NVRP mempertimbangkan letak kios terdapat di lantai berapa. Maka nilai PBB dari NVRP ditentukan oleh lantai dimana kios tersebut terletak, semakin tinggi lantai semakin rendah nilai PBB dari NVRP. Maka dari itu PBB dari NVRP dikatakan lebih adil karena nilai PBB yang dikenakan sesuai dengan yang didapatkan oleh penyewa.

5.2

Rekomendasi Pada penentuan nilai PPB untuk pemanfaatan perdagangan sebaiknya ditinjau dari

NRVP, hal ini dikarenakan nilai PBB yang dikenakan sesuai dengan yang didapatkan oleh penyewa untuk mendapatkan nilai keadilan. Berdasarkan analisis yang dilakukan maka perlu adanya peninjauan kembali mengenai NJOP dengan memperhatikan tingkat lantai baik secara ekonomi dan psikologis untuk menentukan

18


DAFTAR PUSTAKA

Agista, Chika Nadia. 2013. Faktor Penentu Nilai Vertikal Ruang Perkotaanpada Rumah Susun Sederhana

Sewa

Bandarharjo-

Semarang.

Dalam

http://10.35.11.250/digilib-

pwk/pdf/CHIKA%20NADIA%20AGISTA/CHIKA%20NADIA%20AGISTA.html. Diunduh pada Selasa, 08 Oktober 2013 - 14:17:39 WIB.

Yunus, Hadi Sabari. 2004. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

19


Daftar Pustaka

Agista, Chika Nadia. 2013. Faktor Penentu Nilai Vertikal Ruang Perkotaanpada Rumah Susun Sederhana Sewa Bandarharjo- Semarang. Dalam http://10.35.11.250/digilibpwk/pdf/CHIKA%20NADIA%20AGISTA/CHIKA%20NADIA%20AGISTA.html. Diunduh pada Selasa, 08 Oktober 2013 - 14:17:39 WIB.

Yunus, Hadi Sabari. 2004. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta : Pustaka Pelajar



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.