Arsip Aksioma

Page 1




ISBN: 978-623-7489-46-7 Editor Brian Alvin Hananto, S.Sn., M.Ds. Desain sampul dan Tata letak Brian Alvin Hananto, S.Sn., M.Ds. Kartika Magdalena Suwanto, S.Ds. Penerbit Penerbit Fakultas Desain Universitas Pelita Harapan Redaksi Jl. M.H. Thamrin Boulevard 1100 Lippo Village – Tangerang Banten 15811 Telp: +62-21-5460901 Fax: +62-21-5460910 sod.uph@uph.edu Cetakan pertama, Juni 2021 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit iv


Editor Brian Alvin Hananto, S.Sn., M.Ds.

v


Kata Pengantar Pada tahun 2018, saya dan beberapa rekan-rekan mahasiswa-mahasiswi dari Program Studi Desain Komunikasi Visual mendapatkan undangan untuk ikut serta dalam sebuah kegiatan dalam membuat zine. Hal ini merupakan sebuah pengalaman baru bagi kami semua. Merancang sebuah layout untuk buku ataupun majalah, baik secara simulatif maupun untuk proyek-proyek real; namun untuk menulis dan mengolah naskah untuk menjadi bahan publikasi, hal tersebut adalah tantangan baru. Dalam waktu dua sampai tiga bulan, kami mempublikasikan Aksioma, sebuah zine eksperimental yang terdiri dari tulisan-tulisan dan artikel-artikel visual yang menggambarkan ‘kebenaran’ kami: sebuah perspektif yang tidak perlu pembenaran atau pembuktian lain. Zine Aksioma menjadi sebuah wadah kami untuk berekspresi, menuangkan gagasangagasan yang mungkin ‘idealis’ dan juga ‘egois’, tidak perlu mementingkan pertimbangan-pertimbangan luar yang terkadang ‘mengekang’ idealisme itu.

vi


Aksioma merupakan sebuah pengalaman yang berharga dan bermakna, hasil yang dicapai juga merupakan sebuah pencapaian yang bernilai; namun situasi dan kondisi membatasi kami untuk melanjutkan Aksioma sebagai sebuah zine. Akhirnya setelah nyaris tiga tahun, kami memutuskan untuk membukukan zine tersebut menjadi buku kecil ini. Tujuannya sederhana, untuk mempublikasikan Aksioma menjadi sebuah format yang lebih publik compact dan durable dibandingkan sebuah Zine (Aksioma sebelumnya hanya dicetak sebanyak 50 eksemplar). Buku yang berjudul “Arsip Aksioma” ini adalah sebuah arsip mengenai Aksioma kami. Kiranya dalam format buku ini, Aksioma bisa menjadi premis-premis baru untuk diskusi-diskusi dan pengembangan lebih lanjut lagi.

Brian Alvin Hananto, S.Sn., M.Ds. Chief Editor Aksioma

vii


Daftar Isi

viii

1

Prolog: Benar-Benar Benar

5

Industri Kreatif, Apakah Benar Kreatif? Oleh Kartika Magdalena

11

Desain Grafis Tidak Hanya Desain Grafis Oleh Rafi R. Krisananda

20

Tanda

27

Dikotomi Oleh Celine Wisuna

35

Desain Cetak vs Desain Digital Oleh Kartika Magdalena


46

Suara

53

Mencari Kreativitas dalam Waktu & Proses Oleh Eldad Timothy

59

Desain yang Tak Cuma Nampak namun Berdampak Oleh Felicia Kristella

83

Nyawa

91

Epilog

93

Credits

94

Ucapan Terima Kasih

ix


J

. 15 AGT

KT

. 15 AGT INd on es ia

T JK GT

15 A

15 A G T

rp 6

IA

I

DONES N

rp 6

IA

I

N

INd on esi a

DONES

AGT

AGT15 15 NºNº15577 1557771 71

Nº 15 57

Nº 15 57

Pro󰇰󰇰󰇰󰇰󰇰󰇰󰇰 Ben󰇧󰇧󰇧󰇧󰇧󰇧󰇧󰇧󰇧󰇧󰇧󰇧󰇧 Ben󰇧󰇧󰇧󰇧 Oleh Brian Alvin Hananto

77 1

77 1

NCE

ERE

REF

777

155.

Tiga atau empat tahun yang lalu saya pertama kali mendengar mengenai rencana-rencana yang dipersiapkan jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Pelita Harapan (DKV UPH) dalam membuat sebuah publikasi untuk jurusannya. Namun rencana tersebut hanyalah angan-angan indah yang terus terlepas dari genggaman para inisiatornya. Tetapi apakah membuat sebuah publikasi adalah hal yang sulit bagi para desainer ini? Apa yang menjadi hambatan dalam membuat publikasi tersebut? Lalu apakah publikasi tersebut sebegitu signifikannya sampai terus menerus dikejar namun tidak pernah terealisasi? Disini mungkin saya mencoba bersimpati dan membayangkan diri saya apa kendala-kendala yang memang dirasakan para desainer tersebut saat itu. Berbicara mengenai kesulitan dan juga hambatan saya hanya membayangkan bahwa kesulitan-

1

Arsip Aksioma


7.1

kesulitan tersebut muncul bukan dari aspek-aspek atau komponen-komponen mendesain. Karena mereka adalah desainer yang memang dalam kesehariannya mampu menggagas desain dengan tingkat kompleksitas yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, saya rasa problem klasik yang menjadi kesulitan utamanya terletak pada materi yang akan didesain, yaitu naskah tulisan yang ‘tidak kunjung ada’ itu. Kesulitan orang-orang menulis tentunya tidak lepas dari kesulitan orang-orang dalam membaca. Ibaratnya, bagaimana seseorang dapat memasak makanan enak jika tidak pernah memakan makanan tersebut? Bagaimana seseorang dapat bernyanyi dengan baik jika tidak pernah mendengarkan lagu atau musik dalam hidupnya? Bagaimana seseorang dapat menulis dengan baik jika ia tidak menkonsumsi tulisan-tulisan; bagaimana seseorang dapat menulis jika ia tidak membaca? Membaca dan juga menulis adalah sebuah hal fundamental yang sering kali disepelekan. Ia adalah sebuah kegiatan yang ‘diajarkan’ di pendidikan dasar namun kegiatan tersebut sering kali terabaikan seiring meningginya jenjang pendidikan (saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai hal tersebut). Ketika seseorang tidak membaca materi-materi tulisan secara utuh, rasanya sulit untuk mengharapkan orang tersebut menulis secara utuh dan menyeluruh. Saya tidak menunjuk satu atau dua orang, atau mengatakan bahwa saya ‘lebih baik’ dari orang-orang tersebut karena mampu menulis. Saya rasa ini adalah sebuah fenomena yang cukup umum ditemukan dewasa ini, dan saya ‘lebih baik’ dari orang-orang tersebut karena saya mau mencoba menulis.

2


Mengapa publikasi ini menjadi suatu hal yang signifikan, baik untuk jurusan, maupun untuk orangorang yang ada dalam jurusan tersebut? Saya rasa hal ini secara sederhana menjadi sebuah landasan, sebuah pernyataan atau statement yang menegaskan secara substansial siapa jurusan dan orang-orang ini, dan diferensiasi mereka dibandingkan yang lain. Ketika saya menyatakan bahwa saya adalah “X”, secara implisit saya menyatakan bahwa saya bukan “Y”, atau saya bukan “bukan X”; dan semoga pernyataan ini bukanlah pernyataan kosong atau tidak berlandaskan, namun merupakan sebuah aksioma. Aksioma, secara sederhana, dapat dipahami sebagai sebuah pernyataan atau proposisi yang menjadi landasan dan dipahami bahwa dirinya sendiri adalah benar. Setelah terlambat dan terbelengkalai selama empat tahun ini, kebutuhan untuk memberi pernyataan menjadi sesuatu hal yang sangat krusial. Tentu pernyataan ini tidak bisa bersifat prematur – digagas secara tergesa-gesa sehingga hadir sebelum waktunya. Sebuah aksioma adalah sebuah fondasi dan titik tumpu dari pernyataan atau dalil-dalil lainnya. Kebenaran dari sebuah aksioma adalah hal yang mutlak diperjuangkan dan juga dipertanyakan, karena kebenaran sebuah aksioma adalah dasar dari kebenaran-kebenaran lain yang muncul sebagai ekstensi dari eksistensi aksioma tersebut. Mengatakan bahwa apa yang kami coba ungkapkan dalam publikasi ini sebagai sebuah kebenaran tentu adalah hal yang berani dan mungkin cukup sesumbar jika tidak dipahami secara kontekstual. Kebenaran yang ditawarkan dalam aksioma ini adalah kebenarankebenaran yang muncul karena rangkaian kegiatan 3

Arsip Aksioma


reflektif yang telah dilakukan. Apa itu kebenaran sendiri tentu memiliki beberapa pandangan tersendiri yang masih diperbincangkan. Konsep ‘benar’ sendiri saja menjadi sebuah hal yang personal, apalagi ‘isi dari kebenaran’ itu sendiri. Tiga teori mengenai kebenaran yang cukup umum ditemukan yang kami adopsi dalam aksioma kami adalah bahwa kebenaran hadir karena korespondensi, konsensus dan juga koherensi (lagi, saya tidak ingin membahas lebih jauh mengenai ketiga hal tesebut). Ketiganya menjadi dasar dan dimanifestasikan menjadi metodologi penulisan untuk aksioma ini. Dalam monologue beberapa penulis-penulis mencoba memaparkan apa yang selama ini mereka pikirkan atau rasakan secara sistematis untuk mencapai kebenaran itu sendiri (secara koherensi). Dialogue dan trialogue menawarkan sebuah kebenaran yang hadir karena adanya konsensus dari segala pihak yang terlibat dalam percakapan tersebut. Polylogue merepresentasikan kebenaran yang muncul karena adanya korespondensi dari ratusan responden. Semua kebenaran yang ditawarkan ini dikemas menjadi satu publikasi, yaitu medium yang anda baca sekarang ini. Sebagai penutup, jikalau kebenaran-kebenaran ini adalah hal yang ‘relatif ’ atau ‘parsial’ apakah memang masih bisa disebut sebagai kebenaran? Pertanyaan ini pun tidak saya miliki jawabannya, setidaknya tidak saya miliki jawabannya sekarang. Ketika jawaban itu datang, tentu akan saya utarakan dan bagikan juga. Tapi sampai saat itu tiba, inilah aksioma kami: kebenaran yang kami pegang dan kebenaran yang menjadi landasan kami di jurusan DKV UPH. Prolog: Benar-benar Benar

4


Oleh Kartika Magdalena “Industri Kreatif, Apakah Benar Kreatif?” merupakan hasil wawancara dari Kartika Magdalena, mahasiswi Program Studi Desain Komunikasi Visual Universitas Pelita Harapan, dan Ferdinand Indrajaya, S.Sn., M.Hum., dosen pada program studi yang sama. Wawancara dilaksanakan pada 30 Mei 2018.

5

Arsip Aksioma


Dialog yang terjadi berlandaskan tulisan Bapak Ferdinand Indrajaya yang berjudul “Übermensch Sebagai Radikalisasi Filsuf Alamiah”. Tulisan tersebut merupakan sebuah usaha untuk menyuarakan alam pikir klasik, yakni pandangan Plato dengan kondisi dunia pendidikan desain di zaman sekarang ini. Menurut Bapak Ferdinand, masalah utama dalam dunia desain adalah adanya standarisasi kreativitas dalam membuat desain. Hal ini menyebabkan desain sendiri menjadi sekadar masalah template. Template ini sendiri bukan hanya dalam artian visualnya, melainkan juga dalam pemikirannya. Pemikiran Bapak Ferdinand ini tentu mempunyai sebuah latar belakang. Desain, pada masa ini, khususnya dalam lingkup Indonesia, sangat bergantung atau termasuk dalam bagian industri kreatif. Sadar tidak sadar, industri kreatif inilah yang sangat mempengaruhi desain itu sendiri. Di dalam industri kreatif terdapat dua determinasi yaitu, determinasi teknologi dan determinasi ekonomi. Kedua determinasi inilah yang menciptakan sebuah standarisasi kreativitas dalam dunia desain. Determinasi teknologi adalah determinasi yang menuntut orang-orang yang bergerak dalam dunia desain untuk terus membuat sesuatu yang ‘baru’. Baru yang dimaksud adalah menciptakan atau membuat sesuatu yang tadinya tidak ada menjadi ada. Sebagai contoh, adanya peralihan media dari media cetak menjadi media digital. Orang berhenti menggunakan media cetak dan berlomba-lomba menguasai media digital. Majalah-majalah cetak semakin sedikit namun majalah digital semakin berkembang. Adanya sebuah hal yang baru dengan manfaat yang baru juga. 6


Sementara determinasi ekonomi adalah determinasi yang menuntut supaya hasil karya desain yang ada memiliki nilai jual-beli tersendiri. Tidak bisa hanya sekadar ‘berkarya’, tetapi juga harus bisa menghasilkan uang dari hasil karya yang dibuat. Segala macam desain yang diciptakan oleh desainer, haruslah mempunyai nilai jual. Hal ini menyebabkan tidak jarang adanya orang-orang yang akhirnya lebih mementingkan ‘nilai jual’ daripada kualitas dari karya yang mereka hasilkan. 7

Arsip Aksioma


Bukan hanya determinasi-determinasi tersebut, keadaan desain sekarang juga dipengaruhi oleh konsep idola yang diutarakan oleh Francis Bacon. Francis Bacon sendiri adalah seorang filsuf, negarawan, dan seorang pemikir. Konsep idola yang diutarakan oleh Francis Bacon berkonsep bahwa adanya hal-hal tertentu yang langsung diterima oleh masyarakat umum, tanpa mempertanyakan kebenarannya terlebih dahulu. Rasa percaya dan ‘yakin benar’ yang ada ditimbulkan oleh karena adanya orang-orang lain yang ramai membicarakannya atau melakukannya. Istilah yang lebih mudah dimengerti adalah seperti “omongan pasar”. Beliau memberikan contoh ketika satu orang membeli barang di Toko A, kemudian ia mempromosikan barang tersebut yang membuat temannya percaya dan langsung ikut beli ke Toko A. Determinasi-determinasi dan konsep ‘idola’ tersebut yang menciptakan sebuah standarisasi terhadap desain. Terbentuklah sebuah template baik itu template pemikiran dan template visual dari desain itu sendiri. Seakan-akan ada kebebasan yang diberikan untuk mendesain, padahal justru orang-orang yang bergerak dalam industri kreatif ini ‘terjebak’. “Kebebasan yang ditawarkan hanyalah sebuah ilusi,” ungkap Bapak Ferdinand sendiri. “Memang dibebaskan untuk mendesain, untuk berkreatifitas. Tetapi dengan syarat pertama, harus baru, yang berarti belum ada sebelumnya. Syarat kedua, harus punya harga jual, kalau bisa cukup tinggi, dan menghasilkan untung. Dengan demikian, apakah masih bisa disebut ‘kreatif ’?” Padahal, menurut Bapak Ferdinand, hal baru tidak harus selalu menciptakan yang tadinya tidak ada Industri Kreatif, Apakah Benar Kreatif?

8


menjadi ada. Hal baru bisa saja ‘memperharui’ hal yang sudah ada. Beliau memberikan film ‘Alice In Wonderland’ sebagai contoh. ‘Alice In Wonderland’ punya lebih dari satu versi film, salah duanya adalah karya Disney dan Tim Burton. “Ceritanya mah itu-itu saja kan, tapi masing-masing film bisa mencerminkan karakter dari pembuat film itu masing-masing. Versi Disney dan versi Tim Burton punya karakter yang berbeda. Dan hal itu yang dapat menjadikan sebuah karya baru,” jelas Bapak Ferdinand. Selain itu, menurut Beliau, hal tersebutlah yang seharusnya menjadi tantangan untuk orang-orang desain pada masa ini. Apabila berhasil melewati tantangan tersebut, merekalah yang pantas disebut ‘kreatif ’.

9

Arsip Aksioma


Ketika ditanya keadaan dunia desain di masa depan, Pak Ferdinand berpendapat apabila tidak ada perubahan atau tidak ada orang yang melawan arus, maka kondisi yang ada akan tetap sama. Statis, atau malah manusia semakin nyaman di zona aman yang tercipta ini. Maka dari itu, mahasiswa-mahasiswa yang masih belajar inilah yang dapat diberikan harapan untuk ‘mengubah’ keadaan. Tetapi, meskipun masih percaya dan berperan dalam dunia pendidikan, beliau juga mempunyai rasa pesimis. Saran dari Bapak Ferdinand sendiri adalah lebih mengenal diri sendiri ketika memilih jurusan, khususnya ketika memutuskan untuk masuk ke dalam pendidikan desain. Sama seperti filsuf alamiah, orang yang memiliki kemampuan untuk cepat paham dalam sebuah kegiatan intelektual, memiliki ingatan yang kuat, keberanian, dan memiliki sikap yang mulia bersahaja. Ketika karakter-karakter tersebut dimiliki, tentu segala macam tantangan pun dapat dihadapi dengan baik. Seseorang bisa tetap bertahan sehingga kasus seperti pindah jurusan atau berhenti kuliah tidak ada. Dengan demikian, kondisi desain sekarang, seharusnya dapat menjadi hal yang positif. Menurut beliau, kondisi krisis industri kreatif saat ini sama seperti vaksin. Dengan adanya kondisi yang bisa dibilang masalah ini, seharusnya dapat mendorong orang-orang desain untuk berpikir lebih dalam dan berani mengubah. Ketika masalah ini ada, memunculkan orang-orang yang kritis akan keadaan ini. Sehingga, harapannya, dunia desain di Indonesia dapat berkembang. Berkembang, tentu saja ke arah yang lebih baik. Industri Kreatif, Apakah Benar Kreatif?

10


Teruntuk para ‘purist’ desain grafis. Oleh Rafi R. Krisananda Setelah tiga tahun lebih menempuh pendidikan formal di jurusan Desain Komunikasi Visual (peminatan desain grafis), begitu banyak hal yang patut menjadi perhatian. Jelas satu hal yang menjadi sorotan adalah bidang keilmuan desain grafis itu sendiri, yaitu materi-materi perkuliahannya. Selain itu hal lain yang tak kalah menarik adalah para mahasiswanya. Walaupun tidak dapat dipungkiri, demi mempertajam poin diskusi pembahasan juga akan berkenaan dengan hal-hal akademis. Seni rupa dan desain kerap kali dianggap masyarakat sebagai kaidah estetika semata, dan keperluannya hanya menjadi ‘pemanja mata’ saja. Kalaupun dianggap lebih penting, tingkatannya berubah menjadi sangat praktis. Contohnya, sebagai iklan yang tujuannya mengisi sektor marketing. Dilematisnya, pemahaman semacam ini bukan hanya menjangkit pemikiran masyarakat awam saja, namun juga seringkali ada pada para mahasiswa desain. 11

Arsip Aksioma


12


Zeitgeist Tidak ada yang perlu diherankan sebetulnya, karena memang seni rupa dan desain – terlebih dalam konteks ini desain grafis – adalah suatu hal yang sangat niche. Desain grafis bukan dianggap sebagai kebutuhan primer dalam kehidupan, berbeda dengan sektor ekonomi, politik, dan lainnya. Niche yang dimaksudkan adalah keberadaanya yang begitu segmented, tidak semua orang mengerti esensi dari desain grafis. Bila dianalogikan ke dalam konteks industri perfilman, desain grafis adalah film arthouse, bukan film komersil. Padahal desain grafis (menurut Kenya Hara, desainer grafis Jepang) berfungsi sebagai zeitgeist: menggambarkan bagaimana suatu ide dan kepercayaan dapat representatif terhadap era tertentu, atau dalam kalimat lain: mendeskripsikan spirit suatu waktu. Jelas spirit tidak akan terbentuk apabila desain grafis terus dianggap ‘tidak penting’ di masyarakat meluas dan hanya berdiri sendiri tanpa merepresentasikan apapun. Maka dari itu, untuk memecahkan pandangan tentang desain grafis hanya soal keindahan visual, para desainer grafis seharusnya dengan cermat ‘masuk’ ke keresahan-keresahan yang ada pada zaman terkait; lalu menanggapinya dengan karya desain grafis yang representatif dan relatable. Lebih dari itu bahkan menjadi solusi dari masalah yang ada. Namun sesungguhnya jelas sulit untuk mencapai objektif demikian apabila para calon desainer grafis (dalam hal ini mahasiswa) seringkali memposisikan dirinya seakan-akan mendukung definisi yang terlampau membendung di masyarakat itu. Para mahasiswamahasiswa desain grafis sering kali begitu tertutup, sehingga menganggap desain grafis hanyalah desain 13

Arsip Aksioma


grafis, desain grafis hanya persoalan dekoratif, hanya persoalan keindahan, sehingga pada akhirnya ‘miskin’ akan konteks. Ketidakpedulian terhadap kondisi sekitar seakan-akan menjadi hal yang biasa, rasanya kalimat semacam “Biarin lah, itu kan permasalahan orang lain, ngapain kita disuruh mikirin coba!”, “Wah gila, anak desain grafis disuruh belajar politik!”, “Duh biasa di depan laptop ngerjain desain, ini disuruh mikirin negara”, atau kalimat-kalimat senada lainnya sudah menjadi hal yang wajar didengar di lingkungan kampus, termasuk di kalangan mahasiswa desain grafis. Bahkan sikap apatisme seringkali menjadi sebuah keharusan bahkan tren. Tidak apatis sama dengan tidak keren. Dengan pemikiran demikian, jelas fungsi desain grafis sebagai zeitgeist tidak akan pernah terwujud sampai kapapun. Karena kenyataannya di balik visual yang konkret terdapat konteks yang kompleks. Visual dan konteks Salah satu contoh konkret atas pernyataan di atas adalah pergerakan desain grafis Punk yang dapat menjawab keresahan anak-anak muda Britania Raya dan Amerika Serikat pada tahun 1970an, bahkan hingga hari ini menyebar ke seluruh penjuru dunia. Pada awalnya Punk adalah musik. Namun dengan jelas para desainer grafis Punk, salah satunya Jamie Reid, dapat memperkuat pergerakan ini dengan forma visual yang amat konkret. Konteks menjadi peran utama atas terciptanya visual yang jelas: subkultur Punk pada saat itu termasuk para seniman dan desainer grafis di dalamnya memiliki spirit yang sama, yakni menginginkan adanya perubahan struktur sosial-politik-ekonomi, kemerdekaan individual, dan rasa yang amat sangat akan ketidakpuasan. Mereka Desain Grafis Tidak Hanya Desain Grafis

14


menuntut perubahan fundamental dalam masyarakat, perubahan gaya hidup masyarakat yang berorientasi pada uang, sehingga kapitalisme amat masif berputar. Punk adalah pemahaman sosial tentang anti kemapanan dan anti konsumerisme. Visual yang dihasilkan jelas menjawab kebutuhan tersebut. Menjadi manusia multidisiplin Bila dikaitkan dengan isu dalam negeri, mahasiswa pada umumnya dikenal publik meluas sebagai pribadi yang kritis, progresif, dan terbuka. Poin-poin tersebut dibuktikan pada era menjelang kejatuhan Orde Baru, dimana mahasiswalah yang menjadi tonggak terdepan diruntuhkannya rezim fasis otoritarian tersebut. Pada banyak kesempatan terkait kritik atas ketidakadilan pemerintah – seperti halnya harga kebutuhan pokok yang melonjak, sengketa agraria, ataupun impunitas dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia – para mahasiswa juga tak jarang ikut serta dalam menyuarakan haknya, baik melalui demonstrasi ataupun aksi-aksi sosial. Namun seiring berjalannya waktu, rasanya sikap kritis terhadap banyak hal memudar dikalangan mahasiswa. Terlepas benar atau tidak, setidaknya hal ini lah yang penulis rasakan. Sikap kritis tersebut perlahan berubah menjadi apatisme. Atau dalam kata lain ‘masa bodoh’. Sesungguhnya apabila dikaitkan dengan ilmu kedisiplinan desain grafis, sikap ‘masa bodoh’ ini jelas tidak dapat ditolerir. Karena pada dasarnya desain grafis tidak dapat berdiri sendiri. Bahkan, desain grafis seharusnya dapat mencangkup segala kondisi permasalahan. Lebih dari itu bila perlu menjadi jawaban atas permasalahan tersebut. Kata kuncinya adalah representatif. Representasi yang jelas 15

Arsip Aksioma


tidak akan terbentuk apabila seorang desainer grafis tidak mengetahui kondisi sosio-kultural sekitarnya. Permasalahan-permasalahan di masyarakat hanya akan menjadi ide-ide semu yang tidak dapat tereprenstasikan dengan jelas. Pada era keterbukaan segala akses ini memang sudah seharusnya setiap individu (tidak hanya mahasiswa) juga terbuka, tidak menutup diri atas kemungkinankemungkinan apapun dalam kehidupan. Seorang individu tidak seharusnya membatasi dirinya dengan apa yang sudah dipilih, karena hal ini bukan menjadi alasan untuk berhenti bereksplorasi. Sehingga, tidak terkekang oleh satu hal. Dengan begitu, manusia akan terus belajar akan premis-premis baru, tidak kolot: hanya membenarkan apa yang sekiranya dibenarkan dalam pikirannya. Dengan belajar manusia akan terus berkembang, menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih kaya. Pada dasarnya mungkin mahasiswa pada era kejatuhan rezim Orde Baru dan mahasiswa hari ini memiliki kesamaan, yakni kebencian. Kebencian akan politik. Namun kebencian yang dimiliki mahasiswa hari ini dan zaman orde baru sangatlah berbeda. Pada zaman Orde Baru kebencian yang ditimbulkan dilandasi oleh pengetahuan tentang kondisi sosialpolitik, pengetahuan tentang kemanusiaan, dan rasa empati berkehidupan secara kolektif. Sedangkan hari ini kebencian akan politik dilahirkan karena ketidaktahuan, karena ketidakingintahuan, dan karena sikap apatis. Dalam konteks ini, penulis tidak berusaha untuk membuat para mahasiswa sertamerta membeci pemerintahan yang berlaku atau bahkan menjadi ultra-nasionalis sampai melupakan Desain Grafis Tidak Hanya Desain Grafis

16


hak-hak kemanusiaan. Justru menjadi lebih peduli akan kondisi sosial sekitarnya. Sesederhana menjadi lebih kritis terhadap apa yang terjadi hari ini. Tidak sekedar bergelemut menghabiskan sisa studi kesarjanaannya hanya dalam pusaran Instagram, Pinterest, dan Behance, melainkan dapat memahami atau minimal berusaha mengetahui apa yang terjadi di lingkungan sekelilingnya. Karena dengan apatisme, desain grafis yang seharusnya dapat menjawab dan merepresentasikan kebutuhan akan gejolak di masyarakat justru hanya akan menjadi cita-cita utopis, yang (dilematisnya) mungkin tidak cita-citakan oleh para mahasiswa-mahasiswa hari ini.

17

Arsip Aksioma


Desain Grafis Tidak Hanya Desain Grafis

18


19

Arsip Aksioma


Tanda

Judul Artikel

20


Pasar Santa adalah salah satu pasar yang berada di Jakarta Selatan. Cukup hits di kalangan anak muda, pasar ini menjadi tempat tongkrongan yang tidak pernah sepi. Jenis barang yang dijual pun beragam, mulai dari barang unik hingga barang antik. Terdiri dari tiga lantai, penempatan toko yang ada di Pasar Santa bisa dibilang cukup berantakan. Sehingga, sering sekali orang-orang kesulitan untuk menemukan lokasi tertentu, terutama untuk orang baru. Apalagi, tanda-tanda penunjuk jalan yang ada kurang jelas bahkan jarang ditemukan. Oleh sebab itu, tanda direktori pasar santa ini dirancang dengan tujuan dapat menjadi solusi masalah tersebut. Dalam tanda direktori ini terdapat denah masing-masing lantai. Kemudian tersedia juga tempat untuk meletakkan kartu nama masing-masing kios sehingga informasi bisa tercantum dengan jelas.

21

Arsip Aksioma


Tanda

22


23

Arsip Aksioma


Tanda

24


25

Arsip Aksioma


Tanda

26


t

??

“Dikotomi” merupakan hasil wawancara dari Celine Wisuna, mahasiswi Program Studi Desain Komunikasi Visual Universitas Pelita Harapan, dan Drs. Winoto Usman, dosen pada program studi yang sama. Wawancara dilaksanakan pada 7 Mei 2018. Celine Wisuna Menurut bapak, apakah seni rupa itu? Winoto Usman Menurut saya, seni rupa secara singkat adalah menata rupa atau utak-utik rupa. Celine Wisuna Lalu, apakah desain? Mengapa desain seringkali dikaitkan dengan seni rupa? Apakah mereka berbeda atau sama? Winoto Usman Desain secara definitif menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah kerangka atau rancangan. Sehingga dari faktor definisi saja sesungguhnyaperbedaan antara keduanya telah terlihat. Selain dari segi definitif, perbedaan antara seni rupa dan 27

Arsip Aksioma


desain secara sederhana dapat dilihat pula dari aspek studi ketika dibawa ke jajaran edukasi. Materi yang didapatkan oleh mereka yang mempelajari seni rupa pasti berbeda dengan materi yang didapatkan oleh mereka yang mempelajari desain. Pengembangan gaya milik perseorangan yang sangat ditekankan di studi seni rupa untuk ekspresi dan eksplorasi seluasluasnya mungkin kurang ditemukan di materi studi desain yang mengedepankan kepekaan antara form dan function. Selain itu, perbedaan yang cukup jelas dapat dilihat pula dari target audience atau sasaran yang secara konteks berbeda. Seni rupa merupakan wujud kemerdekaan seseorang dalam mengekspresikan diri. Jarang sekali atau bahkan hampir tidak ada seniman yang memikirkan tentang presentase kemungkinan lakunya karya mereka di pasaran. Apalagi, keinginan untuk menyesuaikan karya dengan tuntutan pasar atau tren yang berlaku pada periode itu. Pesan yang ada pada karya seni dapat memiliki interpretasi yang variatif atau berbeda-beda. Lain halnya dengan desain yang memiliki target audience yang jelas. Suatu poster didesain dengan target yang jelas agar dapat mengemukakan pesan yang ada untuk dimengerti dengan benar. Celine Wisuna Bedasarkan perbedaan-perbedaan mendasar yang telah bapak sebutkan, apakah dapat disimpulkan bahwa kedua hal yang berbeda tersebut tidak terkait satu dengan yang lainnya? Winoto Usman Tidak. Justru meskipun memiliki substansi dasar 28


yang berbeda, keduanya tetap terkait satu dengan yang lain. Sesuai dengan profesi saya yang adalah desainer dan dosen di salah satu Universitas Swasta di Tangerang, saya memegang sebuah perkataan. Mengajak anak untuk mendesain bukan hanya sekedar belajar mendesain. Celine Wisuna Apa yang ingin bapak jabarkan dari perkataan bapak “Mengajak anak untuk mendesain bukan hanya sekedar belajar desain”? Winoto Usman Ada yang mengatakan bahwa desain bisa dipelajari secara instan oleh pihak manapun dikarenakan halhal teknis dan teoretis yang terdapat didalamnya. Tapi, apakah cukup untuk hanya mengetahui dan memahami hal-hal tersebut? Tentu tidak. Butuh Seni Rupa. Dititik inilah seni rupa dikaitkan atau terkait dengan desain. Ketentuan teknis dan teori-teori yang ada tidak cukup untuk mendesain atau menghasilkan sebuah desain yang baik. Celine Wisuna Berarti meskipun memiliki substansi dasar yang berbeda, dalam prakteknya, seni rupa merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari desain? Winoto Usman Benar. Nilai objektifitas pada seni rupa sangatlah kecil apabila dibandingkan dengan nilai subjektifnya. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, seni rupa merupakan wujud kemerdekaan seseorang dalam mengekspresikan diri. Oleh karena itu lahirlah 29

Arsip Aksioma


interpretasi yang bermacam-macam akan sebuah karya. Perasaan atau pemahaman yang dimiliki oleh pengamat yang satu kemungkinan berbeda dengan perasaan atau pemahaman yang dimiliki oleh pengamat lainnya. Bahkan mungkin saja, interpretasi dari pengamat berbeda dengan yang dimaksud oleh senimannya tersendiri. Tetapi, hal tersebut bukanlah sebuah masalah. Tumbuh ikatan emosional antara seniman dengan pengamatnya. Hal ini menunjukan nilai subjektif yang begitu besar pada seni rupa apabila dibandingkan dengan nilai objektifnya. Tuntutan objektif terhadap karya-karya seni rupa sangatlah minim. Berbeda halnya dengan desain. Nilai objektifitas dalam desain sangat besar. Sebuah desain mungkin dapat dinilai baik atau tidak didasarkan oleh pengetahuan akan teori dan prinsip yang ada. Apalagi, sebuah desain memang berfungsi untuk mengkomunikasikan issue yang telah ada. Meskipun begitu, nilai subjektif tetap terdapat dalam

Dikotomi

30


desain. Nilai Subjektif tersebut dapat dilihat dari segi warna. Misalnya; ketika desainer harus mendesain sebuah poster dengan konsep hightech, warna biru atau abu yang dipilih oleh desainer yang satu pasti berbeda dengan desainer lainnya. Bahkan dalam menghasilkan sebuah karya desain pun, kualitas garis yang dihasilkan oleh desainer yang satu pasti berbeda pula dengan desainer lainnya. Celine Wisuna Apabila harus dijabarkan secara sederhana, seberapa besarkah pengaruh seni rupa dalam desain menurut bapak? Winoto Usman Bandingkan seseorang yang memiliki intuisi atau taste dalam seni rupa yang tinggi dengan yang minim. Meskipun dua-duanya membawa seni rupa dalam dirinya, perbedaannya saja sudah cukup jelas bukan? Emosi yang dibawa oleh seseorang dengan seni rupanya yang tampak dalam desainnya dapat menghasilkan karya yang cenderung lebih fenomenal. Celine Wisuna Dalam pembicaraan sebelumnya bapak sempat menekankan perbedaan antara desainer sebagai nilai subjektif dalam desain. Kalau demikian, menurut bapak, apa saja yang mempengaruhi perbedaanperbedaan antara desainer tersebut? Winoto Usman Ya.. yang namanya desain itu tidak ada yang absolut. Maka daripada itu, setiap desainer memiliki karakternya masing-masing. Karakter masing-masing itu sudah pasti didasari oleh budaya dan gaya hidup 31

Arsip Aksioma


atau lifestyle yang berbeda-beda. Bahkan sebelum membicarakan budaya atau gaya hidup- cara berpikir masing-orang atau pada bahasan ini-desainer saja sudah pasti berbeda. Mungkin ada yang serupa, tetapi meskipun serupa juga pasti tidak sama. Pengaruhpengaruh tersebutlah yang pada akhirnya melahirkan perbedaan di setiap orang. Perbedaan-perbedaan tersebut kemudian melahirkan kekhasan seseorang dalam desainnya sebagai wujud subjektifitas dari desainer. Sebagai contoh, design house Artnivora berbeda dengan design house Thinking Room. Budaya pragmatis yang merajalela pun kini ditangani desainerdesainer dengan cara yang berbeda-beda mengingat adanya format yang bermacam-macam bentukannya (misalnya telepon genggam). Pada akhirnya, kekhasan atau perbedaan-perbedaan tersebut menjadi kualitas yang perlu diperhitungkan. Kekhasan tersebut menjadi faktor distinctive yang membedakan desainer yang satu dengan desainer yang lainnya. Celine Wisuna Dan dari kekhasan yang bapak maksud, tertuang seni rupa yang dibawa oleh masing-masing individu? Winoto Usman Benar. Seni rupa tidak akan lepas dari diri masingmasing desainer. Seni rupa dibawa oleh setiap desainer bersamaan dengan dirinya. Celine Wisuna Baik pak, terima kasih. Apakah ada segelintir katakata yang ingin bapak sampaikan sehubungan dengan topik pembahasan hari ini?

Dikotomi

32


Winoto Usman Seni rupa dan desain adalah dua hal yang memiliki substansi dasar yang berbeda. Namun seni rupa menjadi sesuatu yang dibawa oleh setiap individu, di dalam desain pun ada unsur-unsur seni rupa. Baik dari gambar-gambar yang ada, ataupun pemilihan warna dan yang lain-lainnya. Karena tidak ada satupun desain yang sifatnya absolut. Semua desainer memiliki karakternya masing-masing yang dibawa bedasarkan rasa seni mereka. Sehingga pada akhirnya, seni rupa dan Desain tidak bisa dikotomikan. Kesimpulan Seni rupa dan desain pada dasarnya adalah dua hal yang berbeda. Selain perbedaan definitif, perbedaan tersebut bisa juga dilihat dari aspek studi formalnya. Materi yang dipelajari dalam sekolah seni dan sekolah desain pasti berbeda. Selain itu, target audience

33

Arsip Aksioma


atau sasaran dari keduanya secara konteks pun berbeda. Dapat dilihat bahwa seni merupakan wujud kemerdekaan seseorang dalam mengekspresikan dirinya. Jarang sekali atau hampir tidak ada seniman yang mempertimbangkan kemungkinan sebuah karya untuk diterima di pasaran. Apalagi menyesuaikan apa yang dibuatnya dengan tren yang berlaku pada periode itu. Hal ini disebabkan oleh faktor dimana seni adalah wujud ekspresi dari seniman itu sendiri. Berbeda halnya dengan desain yang memiliki target audience yang jelas dengan pesan tertentu yang ingin dikemukakan atau disampaikan. Seni rupa memiliki nilai objektif yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai subjektifnya. Hal ini berbanding terbalik dengan desain yang nilai objektifnya lebih tinggi. Meskipun demikian, seni rupa tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari desain dalam prakteknya. Dalam desain tetap terdapat nilainilai subjektif. Nilai subjektif tersebut dibawa dari seni rupa yang dapat dilihat dari segi warna. Segi warna yang dimaksud adalah pemilihan warna atau kualitas garis yang dihasilkan. Selain itu, seni rupa juga menjadi sesuatu yang dibawa oleh setiap individu. Menyebabkan seni rupa sendiri akan terbawa kedalam desain. Tidak ada desain yang absolut karena setiap orang memiliki karakternya masing-masing. Karakter seseorang akan muncul dan tampak dalam karya desain dari rasa seninya yang dipengaruhi oleh cara berpikir, gaya hidup dan juga budaya. Pada akhirnya, ciri khas atau keunikan tersebut akan melahirkan desainer yang berkualitas. Sehingga sebagai kesimpulan, seni rupa dan desain tidak bisa dikotomikan. Dikotomi

34


Oleh Kartika Magdalena

“Desain Cetak vs Desain Digital” merupakan hasil wawancara dari Kartika Magdalena, mahasiswi Program Studi Desain Komunikasi Visual Universitas Pelita Harapan, dan Christo Wahyudi, dosen pada program studi yang sama. Wawancara dilaksanakan pada 25 Mei 2018. Kartika Selamat Pagi, Pak Christo. Saya, Kartika mau mewawancarai bapak dengan topik seputar desain dan fungsinya. Menurut Bapak sendiri, fungsi desain itu apa sih? Pak Christo Fungsi desain... Fungsi desain yang udah pasti, mempermudah semua pekerjaan manusia. Mau dari desain, kita tau ada desain produk, ada desain interior, sampai desain grafis, harusnya semua mempermudah. Kalau zaman dulu, desain grafis yang baik berarti mempermudah kita, misalnya mencari halaman atau 35

Arsip Aksioma


mencari artikel dari suatu buku berarti itu fungsi dari suatu desain. Misalnya indexing dari suatu application. Kalau jaman sekarang, kita bisa liat fungsi desain, dalam graphic design, suatu interface misalnya di phone atau dimanapun itu di digital product supaya kita gampang pakenya. Kartika Berarti, dengan kaya gitu, bisa aku simpulin ada perubahan desain dari yang dulu dan sekarang, gitu kan, Pak. Menurut Bapak itu, pengaruh sekali ga dengan desain? Pak Christo Saya rasa, desainnya sendiri ga berubah. Principles segala ga ada yang berubah. Medianya aja sih yang berubah. Karena medianya berubah, desain, kalo kita musti, kalo kita mau liat lagi lebih lanjut, desain kan selalu attached to technology with in it. Pada saat awal ada mesin cetak, desain ya, buat cetak. Makanya ada namanya desain grafis, desain yang di, secara as it graphic, image di print, karena pada saat itu teknologi yang paling oke, ya, print. Zaman sekarang mungkin medianya udah beda. Ga lagi cetak, mungkin ada yang namanya New Media. New Media itu macem-macem. Semua yang berhubungan dengan digital, digital product maksudnya, entar kita tau ada interfaces, kita tau ada programming websites, sampe applications. Bahkan sekarang ada banyak wearables, phones, bukan cuman phone, sorry, watches, hm, glasses, dan segala macemnya. Itu juga butuh grafis didalemanya kan. As the name you state it, grafis, gambar yang didesain orang supaya dapat menggunakan apapun itu. 36


Kartika Bapak bisa kasih salah satu contoh ekstrim yang konkret ga? Pak Christo Maksudnya? Kartika Contoh kaya misalnya, kejadian realnya, kaya misalnya, oh majalah ini bangkrut gara-gara ini terus sekarang dia beralih jadi gimana gitu? Pak Christo Banyak sih kalau kaya gitu. Maksudnya kalo dari sisi yang kaya gitu, kita liat Boston Globe sekarang udah ga ada versi print. Banyak banget sih ya. Hm majalahmajalah atau koran-koran luar yang semuanya purely berubah ke web as a website. Bahkan Kompas sekarang juga banyak melakukan itu. Mereka bisa langganan as a digital edition yang sebenernya isinya sama aja secara konten. Cuma caranya orang menikmati beritanya, menggunakan beritanya, mendapatkan informasinya aja yang beda. Kartika Berarti dengan kaya gitu pak, dengan adanya perubahan ini, kriteria fungsi desain yang baik juga ada perubahan dong di dalamnya? Pak Christo Saya rasa sih, kriteria fungsi desain yang baik tidak pernah berubah. Kalo kita liat dari 10 principles of good design, saya rasa itu masih relevan banget sama zaman sekarang. Good design tidak bikin orang itu jadi susah. Kalo zaman dulu itu applicable ke buku, 37

Arsip Aksioma


applicable ke benda-benda product. Zaman sekarang juga sama, interface kalo bikinnya occlusive, kita juga susah pakenya, pasti itu kan applied, cara orang menggunakannya juga susah. Kartika Terus menurut Bapak sendiri, ada keuntungan ga sih dengan perubahan yang tadi itu? Pak Christo Saya rasa sih banyak keuntungannya kalo buat, kalo orang mau ngeliatnya. Media zaman sekarang banyak banget, jauh lebih cepet. Zaman dulu kita kenal brosur, orang untuk bikin brosur harus datang ke desainer, dicetak sekian ribu eksemplar misalnya, terus dikasih ke orang yang ngebagi-bagian, misalnya tim marketingnya, lalu dikasih bisa kemana pun aja. Yang enaknya mungkin abis dikasih, dimasukkin ke tong sampah. Kalo zaman sekarang, mungkin mereka bisa punya satu database besar yang isinya orangorang yang sesuai dengan demografis, siapapun target marketnya. Lalu mereka dateng ke desainer bikin satu newsletter yang diblast melalui, hm, melalui email dan diterima langsung oleh orang-orang yang menerimanya. Perkara itu nanti masuk ke tempat sampah itu hal lain. Tapi pada saat zaman dulu, brosur itu orang cuma bisa, orang terima brosur, terus cuma bisa liat informasi. Jaman sekarang orang terima brosur as in newsletter di email, disitu ada call to action di setiap-setiap masing-masing hal yang ada di dalem newsletter elemen itu. Semua bisa dibikin jadi itu. Itu creates a new possibility. Kalo kita liat dari situ, fungsinya ga berubah atau ga bertambah berkurang saya rasa sih. Tapi berubah aja. Karena media kaya gitu dulu ga ada. Sekarang ada. Desain Cetak vs Desain Digital

38


Kartika Adanya berarti kaya, perkembangan dalam desain itu sendiri gitu kan, Pak? Menyesuaikan? Pak Christo Perkembangan dengan teknologi yang akhirnya bisa difill sama desain, sama desain zaman sekarang. Kartika Hm, Pak, tadi kan bapak ada sebut buat orang-orang yang mau ngikutin itu kan, emang ada orang-orang yang gamau ngikutin perkembangan ini? Pak Christo Saya rasa banyak sih. Kartika Menurut Bapak sendiri, kenapa mereka kaya gitu? Pak Christo Mungkin, intermediated, satu. Orang selalu berpikir, oh new technology apalagi digital, orang liat banyak

39

Arsip Aksioma


start up zaman sekarang, build upon orang yang komputernya, ngomong komputer aja orang zaman dulu mungkin udah intermediated sama yang namanya komputer. “Oh harus pake komputer”. Zaman sekarang ga cuma bisa pake komputer. Layar komputer isinya item terus cuma kode-kode tulisan segala macem. Tapi saya rasa itu sama kaya jaman dulu orang intermediated sama yang tadinya ngeprint pake metal, pake form of metal, terus berubah jadi lino, berubah jadi offset. Intermediated kan. Dari offset jadi CTP. Zaman sekarang no more printing, berubah jadi fully digital. Saya rasa sih cuma masalah orang, seberapa orang itu mau adapt sama mau berani untuk melihat hal-hal yang baru. Kartika Terus, Bapak sendiri sebagai graphic designer yang mau lah, turut ngikutin media yang berubah tadi itu. Bapak kaya ada mau ngasih kontribusi apa ga supaya akhirnya orang-orang yang tadinya gamau jadi mau dan sadar gitu? Pak Christo Kalo untuk level segitu saya rasa sih susah ya. Maksudnya, you cannot force someone untuk suka atau engga atau mau atau engga, tapi you can work in such way supaya orang bisa menikmati sesuatu media yang baru itu sebagaimana mestinya. Bahkan bisa innovate lebih lagi daripada itu. Tapi kalo, converting orang yang bisa atau educating orang yang mustinya jadi kaya baru atau engga, saya rasa itu akan create other problems. Dan banyak hal yang harus dipikirin daripada cuman ngomong, “oh mustinya kaya gini, mustinya kaya gitu”. Karena mungkin hubungannya sama culture, mungkin hubungannya sama, paling Desain Cetak vs Desain Digital

40


gampang ada orang yang masih glorify kertas ketimbang terima buku digital, ada yang fine-fine aja, ada yang “saya perlu pegang tekstur kertasnya” atau segala macem tentang itu. Ya, itu, balik lagi ya, itu saya rasa udah lebih dari sekedar orang itu mau terima atau engga tapi ya, it’s about, it’s like a culture. Kartika Terus menurut Bapak sendiri, pendidikan desain di Indonesia ini udah bergerak ke arah media yang baru itu belum? Pak Christo Nah itu juga sih yang disini. Karena saya ga tau kenapa, banyak yang bergerak ke sana yang bukan dari desain, which is lumayan ngeri harusnya buat desainer. Karena orang yang bergerak ke situ, mungkin bukan yang dari tanda kutip ‘desain’, ‘desain grafis’, mereka bahkan ga dibilang ‘desain grafis’, mungkin dibilang ada terminologi ‘front end developer’ zaman sekarang. Which is zaman dulu itu ya serupa sama, berhubungan dengan orang desain. Namun mungkin lebih technical. Tapi saya rasa sih mustinya, desain grafis kalo mau di, kalo mau diarahkan ke new media yang saat itu perlu adapt dan belajar bahwa ya desain ga cuma bikin logo, ga cuma branding atau marketing. Bahkan kalo ngomong marketing aja zaman sekarang cara orang doing marketing, jauh beda banget dengan social media dengan new media, bermacem-macem media yang ada zaman sekarang. Kartika Terus Pak, Bapak sendiri, ada kayak, menurut Bapak nih, anak-anak desain yang lagi belajar sekarang tuh gimana masa depannya, di masa depan? 41

Arsip Aksioma


Pak Christo Saya rasa kalo di masa depan udah pasti mereka akan counter sama orang-orang yang bergerak disini ya. Di new media. Dimana kalo kita liat zaman sekarang kaya gini, gimana di zaman depan. Udah pasti semua bergerak ke sana. Dan itu cepet. Pergerakannya selalu cepet banget. Dan saking cepetnya kalo saya rasa sih, the term of “stay hungry, keep on learning” itu bukan lagi hal yang kaya klise tapi emang mau gamau emang harus seperti itu sih zaman sekarang. Karena jauh lebih cepet daripada yang dulu. Jadi kita harus, orang yang udah profesional pun selalu constantly belajar, belajar, belajar, belajar. Kartika Jadi, bapak ada saran tersendiri ga, pesan khusus untuk anak-anak desain sekarang? Pak Christo Yang pasti sih buat anak desain zaman sekarang harus lebih aware sama sekitarnya, sama lebih aware sama apa yang ada zaman sekarang ini. Itu. Tanpa ngelupain itu asalnya darimana. Kalo kita liat misalnya, bahkan sampe kaya, hm, perusahaan besar, katakan Google atau Apple atau perusahaan teknologi besar kalo kita buka desain guidelinenya, kita akan ngeliat itu serupa banget, sama banget sama semua basic, hampir semua Bauhaus lakukan. Semua skillnya, semua proporsinya, itu bener-bener ‘old school’ dalam tanda kutip ya. Tapi itu emang yang terjadi zaman sekarang. Itu yang kenapa saya percaya, prinsip itu ga ada, ga ada agenya. Itu principles. Beda sama style atau apa.

Desain Cetak vs Desain Digital

42


Kartika Oh, iya. Kalau begitu, sekian aja, Pak, wawancaranya. Terima kasih! Pak Christo Baik. Kesimpulan Fungsi desain adalah untuk mempermudah semua pekerjaan manusia, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Christo. Baik itu desain produk, desain interior, sampai desain grafis sekalipun, semua ada untuk mempermudah pekerjaan manusia. Sebagai contoh, ketika mencari halaman tertentu dari suatu artikel. Dari waktu ke waktu, zaman yang berubah, fungsi desain tetap sama meskipun medianya berubah. Zaman yang terus berkembang membuat teknologi turut berkembang. Hal ini mempengaruhi dunia desain itu sendiri, seperti peralihan dari media cetak menjadi media digital. Ketika zaman dulu orang harus pergi mencetak sebuah brosur yang dibagikan, kini hanya perlu beberapa klik di ponsel masing-masing. Kalau dulu brosur sembarang dibagikan sehingga banyak kemungkinan dibuang, sekarang informasi dapat langsung disampaikan pada target yang sesuai. Secara sadar atau tidak sadar, sebenarnya perkembangan media desain yang ada memberi kemudahan tersendiri untuk kita. Menyebarkan informasi dengan lebih cepat, dapat menghemat biaya cetak, bahkan dapat menjangkau target yang lebih banyak. Meski demikian, banyak orang yang masih belum bisa menerima keadaan ini. Masih 43

Arsip Aksioma


ada banyak orang yang ‘menutup diri’ dan bertahan dengan media cetak. Beliau berpendapat, adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi, seperti budaya misalnya. Tetapi sebagai desainer grafis juga, beliau menyampaikan desain grafis sendiri bukan hanya sekedar membuat logo, atau branding. Tetapi juga mencakup desain digital seperti coding, yang sayangnya lebih dikuasai oleh orang-orang non-desain saat ini. Menurut beliau, kondisi ini seharusnya mengancam orang-orang yang berada di dunia desain. Oleh sebab itu, saran dari beliau, kita sebagai anak desain yang sedang belajar juga harus aktif dalam mengikuti perkembangan zaman. Lebih aware akan keadaan sekitar kita, sehingga jangan sampai kita ‘ketinggalan zaman’. Perkembangan akan terus terjadi dan bergerak dengan sangat cepat, makanya proses belajar dalam diri kita sendiri harus terus ada.

Desain Cetak vs Desain Digital

44


45

Arsip Aksioma


Suara

Judul Artikel

46


Desainer sebagai komunikator visual memiliki kemampuan dan juga kesempatan untuk menyuarakan opini mereka. Opini atau pendapat sendiri tentu merupakan hak yang dimiliki setiap manusia dewasa ini, namun terkadang ada momenmomen dimana hak tersebut terenggut karena oknumoknum tertentu. Hal tersebut menjadi sebuah isu yang kemudian diangkat, dan dikemukakan tiap-tiap mahasiswa desain grafis 2016 DKV UPH.

47

Arsip Aksioma


Suara

48


49

Arsip Aksioma Suara


Your words might ruin a life.



Suara

52


Oleh Eldad Timothy

Waktu dapat dikatakan sebagai musuh terbesar seorang desainer. Deadline yang mengejar dan waktu yang tidak pernah cukup, seakan selalu mengejar dalam semua pekerjaan dan membuat kita merasa tertekan. Meski demikian, banyak yang berkata bahwa waktu adalah teman yang baik dalam memberikan ide. Saat adanya tekanan dalam waktu (baca: kepepet) sebagian orang merasa menjadi lebih “termotivasi” dan memaksan ide-ide cemerlang untuk keluar. Sering kali kita mendengar, “jangan lupa proses, sketsa dulu, kalau proses diilangin ga akan bagus.” Hal ini saya akui sangat benar, process is key, tapi waktu terkadang menghalau kita untuk berproses. Waktu berhubungan erat dengan proses, karena waktu yang sedikit berarti proses yang sedikit juga. 53

Arsip Aksioma


Bila kita berbicara tentang proses dan waktu untuk menemukan kreatifitas, banyak yang mengatakan bahwa waktulah yang banyak memberikan ruang untuk berproses sehingga pada akhirnya banyak kreatifitas yang bisa didapatkan, sederhananya karena banyak waktu berarti banyak kesempatan berpikir. Tetapi, tidak bisa di pungkiri, waktu yang banyak memberi kesan santai dan menyebabkan adanya penundaan. Hal ini sudah saya buktikan berkali-kali. Sering kali kita sebagai mahasiswa desain mendapat kalimat ini, “Gimana sih masa gini doang, dulu jaman saya gaada nih komputer, internet, semua serba susah, semua serba ga ada. Masa kalian dimana semua gampang bikin cuman begini.” Well it’s kinda true. Teknologi yang serba ada dan serba gampang mempermudah kita dalam mempercepat proses, sehingga kita tidak butuh waktu yang panjang untuk mencapai apa yang dahulu kala lama di dicapai. So, here’s the thing… Bila teknologi mempermudah dan mempercepat proses (yang berarti mempercepat waktu tanpa mengurangi proses) dan proses adalah hal yang krusial dalam desain, mengapa kita masih mendapatkan adanya under-process atau underdeveloped design ideas? Dalam film Genesis: Together and Apart, seorang musisi bernama Peter Gabriel memberi insight yang membuat saya sadar akan sesuatu yang selama ini saya pertanyakan tentang kreatifitas dalam dunia serba ada ini. Saat ditanya mengapa pada album keduanya ia melarang drummer untuk memainkan cymbal, ia menjawab bahwa dengan memberikan mereka batasan, mereka bisa mencari cara kreatif 54


untuk melampauinya. Apa yang saya tangkap dari wawancara ini adalah, waktu yang terbatas, yang dianggap membatasi ide, sebenarnya bukanlah suatu hambatan. Dapat disimpulkan bahwa batasanlah yang justru memberikan ruang bagi seseorang untuk menjadi kreatif. Oke… Mulai masuk akal kenapa banyak orang yang mengatakan “kepepet” adalah sarana kreatif yang baik, simply karena batasan itu. Salah satu film dokumenter favorit saya adalah Side by Side. Film ini bercerita tentang peperangan seluloid dan digital dalam dunia perfilman. Menurut saya, film ini sangat menarik karena mereka menjabarkan aspek-aspek dalam perfilman dan membandingkan proses digital dengan film atau seluloid. Kreatifitas adalah salah satu faktor yang dibahas pada film ini, walaupun tidak secara langsung banyak membandingkan kualitas perfilman dahulu dengan sekarang. Bila kita ingat kata-kata tentang bagaimana enaknya menjadi mahasiswa desain sekarang dikarenakan adanya teknologi dan semua serba ada, film ini seakan membahas hal itu juga. Hal yang paling berkesan bagi saya, diantara banyaknya pelajaran yang saya dapat dari film Side by Side ini adalah wawancara dengan Anne V. Coates, editor film Lawrence of Arabia, saat membahas proses editing. Anne mengatakan bahwa dulu tidak semudah sekarang. Sekarang bila dalam skenario film ada instruksi untuk membuat dissolve hanya semudah menekan tombol dan jadilah efek yang di minta. Dulu untuk mendapatkan hasil yang serupa melewati proses yang panjang, memotong film pada 55

Arsip Aksioma


adegan yang tepat, menumpuknya pada waktu yang tepat, dan merekam ulang agar terjadi efek tersebut. Hal ini yang membuat Anne berfikir dan mencoba mencari alternatif dengan mengabaikan instruksi dan membuat direct cut. Salah satu adegan terbaik pada film Lawrence of Arabia adalah adegan “A Funny Sense of Fun” dimana cut antara Peter O’toole meniup korek menjadi salah satu cut film paling ikonik sampai sekarang, dan hal ini dikarenakan Anne mencari cara mengelabui batasan tersebut.

Hal lainnya yang saya dapat adalah dari David Fincher, sutradara Fight Club, saat membicarakan tentang directing. Dalam Film Se7en, David Fincher menggunakan seluloid. David berkata, “Sekarang enak shooting bisa langsung lihat hasilnya, dulu ada yang namanya daylies yaitu take yang diambil hari kemarin yang sudah dicuci dan dapat ditonton. Daylies menurut David adalah sarana yang membuat frustasi karena kita tidak bisa melihat apakah hasil take yang kita ambil sudah benar atau belum. Namun, terkadang hal ini memberikan kesan misteri pada take Mencari Kreatifitas dalam Waktu & Proses

56


tersebut. Saat keesokan harinya kita melihat hasil dari hari sebelumnya kita bisa terkejut dan merasa kagum akan adegan yang bagus, suatu hal yang tidak dapat didapatkan bila kita melihat langsung. Sutradara “Goodfellas” bernama Martin Scorsese berkata, “Terkadang kita butuh waktu untuk seakanakan mundur, menjernihkan pikiran, melihat dengan berjarak karya kita (dalam kasus ini adegan pada daylies) agar bisa merasakan kekurangan dan kekuatannya.” Kita harus bisa memberikan waktu yang lebih untuk melihat dengan perspektif baru dan menjadikannya bagian dari proses. Instan tidaklah selalu benar. Setelah melihat beberapa kasus yang dijabarkan, saya terkadang merasa iri, iri akan waktu dan proses yang dimiliki pendahulu kita karena batasan teknologi. Karena mereka tidak memiliki teknologi seperti sekarang (yang menjadi “batasan” bagi mereka), mereka jadi memiliki ruang berjarak. Waktu disini bukanlah luxury, bukan sebuah tambahan agar bisa lebih santai, tetapi waktu adalah proses mereka. Saya akhir-akhir ini menemukan keseruan dalam memainkan kamera analog. Saat pertama kali saya mencuci film, saya mendapat kejutan-kejutan seperti kata David Fincher. Hal ini membuat saya meromantisir teknologi lama tersebut. Batasan yang dibuat memberikan saya kepekaan dan rasa menghargai karya lebih lagi. Terkadang saya take for granted apa yang ada, merasa foto itu “gampang tinggal jepret,” kalau jelek ya hapus dan ulang lagi saja. Saat saya memainkan kamera analog saya merasa betapa berhaganya satu buah frame foto. 57

Arsip Aksioma


Saya tidak anti teknologi, juga saya tidak menulis ini untuk menyuruh orang meninggalkan teknologi dan kembali ke peralatan vintage. Tetapi, terkadang saya merasa dalam dunia serba instan ini kita bisa mencari kreatifitas dalam waktu dan proses, dalam suatu batasan. Ketika Anda dibatasi dan karena batasan itu Anda “dipaksa” memberikan waktu untuk proses, terkadang kreatifitas yang Anda cari akan datang. Setidaknya saya berharap tulisan ini memberi jalan alternatif bagi insan kreatif untuk mencari kreatifitas yang didambakan. Terkadang the act of limiting yourself bisa berbuah hal yang menarik, atau setidaknya Anda dapat lebih menghargai apa yang ada yang seringkali dianggap sudah biasa.

Mencari Kreatifitas dalam Waktu & Proses

58


Oleh Felicia Kristella “Desain yang Tak Cuma Nampak namun Berdampak” merupakan hasil wawancara dari Felicia Kristella, mahasiswi Program Studi Desain Komunikasi Visual Universitas Pelita Harapan, dan Dr. Martin Luqman Katoppo, S.T., M.T., Dekan Fakultas Desain Universitas Pelita Harapan. Wawancara dilaksanakan pada 31 Mei 2018. Felicia Selamat sore Pak Martin, saya Felicia mau mewawancarai bapak mengenai Desain untuk Lingkungan dan Masyarakat. Menurut bapak, apa itu desain lingkungan dan masyarakat? Pak Martin Karena desain lingkungan dan masyarakat cukup panjang sejarahnya maka secara sempit saja, yaitu di tahun 2011 atau 2012 School of Design diminta untuk merancang kurikulum baru, dimana di dalamnya kami berpikir bagaimana caranya kita mempunyai

59

Arsip Aksioma


mata kuliah yang bisa ada di semester bawah dan di semester atas yang dapat dilaksanakan bersama dari keempat jurusan. Untuk dibawah maka disepakati pelajaran-pelajaran basic seperti Philosophy of Art, sedangkan untuk angkatan atas kita berpikir sesuatu yang lebih mempunyai implikasi, lebih mempunyai dampak, maka kita berpikir kita kan designer, sebenarnya hasil dari designer untuk siapa sih? Tentu untuk masyarakat, dan sebagai designer kita harus menghasilkan desain-desain yang bertanggung jawab pada lingkungan. Dari situ maka digabung aja menjadi “Desain masyarakat dan lingkungan” dimana ada satu mata kuliah di semester atas yang ada pada keempat jurusan (Desain Komunikasi Visual, Desain Produk, Desain Interior, dan Arsitek). Dengan pikiran keempat jurusan ini bisa berkolaborasi, karena tidak cukup untuk masuk ke dalam masyarakat kalau masing-masing jurusan berjalan sendiri. Itulah ide dan cita-citanya saat awal. Disebut “Desain masyarakat dan lingkungan” karena mempunyai suatu mata kuliah yang memiliki basic design, juga berdampak pada masyarakat tapi bukan cuma itu kita juga mau memperhatikan permasalahan-permasalahan atau isu lingkungan yang waktu itu sedang ramai yaitu global warming, intinya menuju design yang berkelanjutan. Sepanjang berjalannya waktu, hal ini masih berlanjut namun ditambah dengan semangat yang baru. Kurikulum kan dirancang untuk 4 tahun, nah dalam proses itu ada perubahan, kita merasa bahwa UPH memiliki nilai-nilai dan visi misi yang disebut sebagai universitas Kristen, namun hal ini hanya terlihat dari mata kuliah FLA (Faculty of Liberal Arts), sedangkan dari mata kuliah design hanya berfokus pada design aja. Kenapa kita tidak menunjukan bahwa kita 60


mempunyai upaya pengajaran kepada mahasiswa bahwa design kita berbeda dengan design lain, bukan semata-mata design yang bernilai atau bervisi Kristen, kalau melihat nilai-nilai dalam keKristenan tujuannya adalah mentransformasi, jadi ada peluang mata kuliah desain lingkungan dan masyarakat menjadi mata kuliah yang menunjukan bahwa design itu bisa menyebabkan dampak transformatif yang baik ke masyarakat. Jadi aspek sosial dan aspek keteladanan terhadap nilai-nilai Kristiani (sharing, melayani, serving others) ini dapat ada di dalam desain masyarakat dan lingkungan. Felicia Bagaimana sebuah design dapat dikatakan berguna bagi lingkungan dan masyarakat? Pak Martin Disatu sisi, awalnya kan hanya sesederhana bagaimana sebuah design dapat berdampak masyarakat dan hanya gitu aja, tapi kemudian apabila kita mempunyai visi misi memberikan suatu keteladanan dan nilai-nilai Kristen yang baik, melayani dan lainnya, kita melihat kuliah design itu tidak melulu tentang membuat mahasiswa menjadi designer yang hebat, tapi kita ingin mendidik calon designer di UPH menjadi seorang designer yang punya hati untuk melayani siapa saja. Tentu dia harus memiliki skill design yang hebat juga tapi itu tidak cukup, yang kita inginkan adalah dia dapat melihat lebih jauh bahwa dengan keilmuan dia yang baru ini, dia memiliki kesempatan untuk mendesain bagi kalangan yang lebih luas. 61

Arsip Aksioma


Jadi kembali ke pertanyaanya, gimana si dapat melihatnya? Kita semua di sini latar belakangnya designer profesional, seorang designer profesional tau bahwa hubungan seorang designer dengan klien basisnya adalah transaksional, yaitu apabila saya menawarkan jasa design saya maka klien akan memberikan bayaran, nah hubungan itu basisnya disebut hubungan transaksional hanya karena uang semata-mata, klien dapat membayar sekian banyak, saya akan mengeluarkan design yang bagus. Salah ngga? Tidak dalam dunia profesional tidak salah, tapi bagi yang sudah cukup lama menjalani profesi merasa hubungan ini tidak cukup, banyak yang merasa kosong, hanya merasa melayani beberapa orang saja dan bukan banyak orang. Maka timbul keinginan untuk mendidik calon-calon designer ini untuk mempunyai visi dan misi yang sama seperti kita, kita tentu tetap punya hubungan transaksional sebagai profesional tapi juga melebarkan bahwa profesi kita dapat berdampak bagi masyarakat, dapat melayani banyak orang. Itu sebabnya kita membawa mahasiswa ke kampung, ke sini ke sana untuk menunjukan Desain yang Tak Cuma Nampak namun Berdampak

62


63

Arsip Aksioma


bahwa ilmu yang dimiliki mahasiswa tuh berguna banget dan dapat memberikan dampak yang luar biasa buat orang yang membutuhkan, yang mungkin tidak bisa membayar kita. Felicia Salah satu media bapak untuk keluar dan hubungan yang transaksional ini kan adalah melalui DAG, bagi yang belum tahu boleh dikasi tahu nggak apa itu DAG dan bermula dari mana? Pak Martin Bersambung dari cerita tadi, kalau dari saya sendiri, berubahnya pandangan itu pada tahun 2010, saya dan istri saya keduanya adalah arsitek, punya pengalaman membangun rumah dan segala macam, tapi lalu saat membangun rumah sendiri, kami merasa tidak bisa membangun rumah sendiri, semata-mata karena design itu mahal sekali. Jadi kesannya bahwa if you want a good design then it should be an expensive one. Karena selama ini prakteknya transaksional maka pandangannya seperti itu, tapi ternyata itu tidak cukup untuk membangun rumah sendiri, tidak bisa karena mahal lalu kami menjadi sadar bahwa this is very wrong, ada sesuatu yang salah dalam profesi kita. Belajar bertahun-tahun menjadi designer, menjadi arsitek, merancang rumah untuk orang, merancang bermacam-macam. Eh, disaat merancang untuk diri sendiri malah tidak bisa. Wah ini profesi aneh banget dong. Jadi kemudian kita mulai mengevaluasi lagi, profesi design ini sebenarnya seperti apa sih? Akhirnya kita harus pindah ke dalam kampung, ini setelah bertahun-tahun tahunya tinggal di dalam komplek, kami ke kampung karena ada tanah yang affordable Desain yang Tak Cuma Nampak namun Berdampak

64


untuk kami, yang diinginkan dengan luas tanah yang cukup bagi kami. Jadi saat melihat kondisi lingkungan di sana kami sangat terkaget-kaget karena melihat situasi ruang di dalam kampung dan situasi ruang di luar kampung yang jaraknya hanya sedikit sekali namun sangat berbeda. Komplek tentu saja didesain oleh arsitek, designer interior maupun, designer grafis dan di dekat sana ada kampung yang tidak teratur, orang membangun sembarangan dan sebagainya. Ini membuat kami bertanya “kemana designer?” Kenapa yang dilayani hanya yang mampu membayar namun tidak yang lain. Karena kekagetan-kekagetan ini kami merasa perlu untuk mengevaluasi ulang, ternyata teman-teman pun banyak memiliki pemikiran yang sama, ada lima orang di awal yang menjadi founder, kita berkumpul di awal sebagai desainer-desainer yang bisa design, bukan orang ekonomi bukan pembisnis atau ahli sosial politik, yang kita bisa sumbangsihkan ke masyarakat adalah kemampuan design kita. Jadilah di tahun 2012 dinamakan Design as Generator. Kenapa dinamakan Design as Generator? Kalau tahu cara kerja generator adalah tidak pernah kerja untuk diri sendiri, namun seperti saat lampu mati dan genset dipasang, maka dia akan menyalakan listrik. Kami mau seperti itu dimana design itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, namun kami ingin membuat desain-desain yang menjadi terang untuk yang lain. Siapapun bisa ikut dengan satu visi saja what do you see in design? Kalau melihat design untuk serving others dan bisa menjadi terang untuk yang lain maka ayok bergabung, kalau mau mencari bisnis atau project bukan disini tempatnya. 65

Arsip Aksioma


Felicia Dikatakan bahwa DAG membuat design yang praktis dan aplikatif dan menghindari design yang eksklusif. Project-project DAG yang sudah berjalan juga sudah banyak seperti Nabung Aer, TaTiTu, dan KaKiKuKeKo, bagaimana proses design dari project-project DAG dari sebuah ide sampai terealisasikan? Pak Martin Mudahnya begini, kita memiliki ide bahwa design dapat menjadi terang bagi yang lain, bahwa design dapat memberdayakan masyarakat. Ketika kita mau mencari hal ini didalam buku design tidak ditemukan, kalau design as a business banyak dapat ditemukan bukunya. Design as a community service hampir tidak ada, ada pun biasanya design for humanity tapi tidak dijelaskan methodsnya seperti apa prakteknya. Ibaratnya begini, ini kan adalah sesuatu yang sangat terbalik, kalau dalam hubungan transaksional, design kita dibayar, tetapi kalau mendesain untuk komunitas, gamungkin kita meminta komunitasnya membayar. Dari hal ini aja secara tata cara profesional sudah terbalik, kita mau mencari di buku bagaimana cara memfunding diri sendiri itu tidak ada. Ada pun memerlukan sejarah yang panjang, apabila kita bertanya bagaimana pertama kali, maka rata-rata akan menjawab dimulai dari ide besar yang lalu ditangkap oleh sponsorship yang besar, dari awal sudah begitu, sedangkan DAG dari awal siapa yang kenal? Siapa kan akan mensponsor? Jadi terasa tidak punya cara. Juga didalam design, transaksional bisa dipelajari bagaimana berhadapan dengan klien, misal harus Desain yang Tak Cuma Nampak namun Berdampak

66


berlaku sopan dan ada tata cara tersendiri, namun ke masyarakat bagaimana? Bukan satu orang lagi kliennya namun banyak orang. Ada satu ungkapan dalam desain kolaboratif/desain komunitas/desain partisipatori yaitu apabila membuat design untuk 10 orang maka bicaralah dengan 10 orang, apabila membuat design untuk 1000 orang maka bicaralah dengan 1000 orang. Tempat DAG kan di Pondok Pucung Tangerang Selatan, kalau kita mau kerja disitu misal kita mau kerja untuk 200 orang, maka bagaimana caranya? Siapa yang harus didengarkan dari 200 orang itu? Maka harus pinjam metode sosial, pinjam dari psikologi, dan dari FISIP yang langsung berhubungan ke masyarakat. Tapi kita berpikir kita kan designer, maka harus digabungkan kedua itu dari dunia designer maupun dunia sosial plus dunia ekonomi. Semua benda itu apabila diramu maka dasar paling besarnya memakai metode partisipatory action research dan design thinking kalau digabung maka menjadi satu metode yang kita sebut metode khusus kita, yaitu metode design as generator. Jadi kalau ditanya hal pertama kali yang kita lakukan adalah semua pengalaman-pengalaman dari berbagai macam event itu kemudian dikumpulkan menjadi satu metode atau cara yang cukup efektif untuk digunakan apabila bertemu dengan suatu situasi seperti itu lagi. Caranya secara singkat, bagaimana kita akan bergerak kita harus mempunyai level engagement yang bagus, ini adalah syarat pertamanya. Misal kita ditawarkan ke Sumba, projectnya menarik, tapi kita kalau dipikir-pikir kita tidak punya waktu untuk engagement, maka lebih baik tidak usah. Syarat yang kedua adalah kita tidak pernah datang dengan sebuah design tertentu, desainnya harus datang dari 67

Arsip Aksioma



masyarakat, desainnya akan muncul dari engagement designer dengan masyarakat. Syarat yang ketiga adalah masyarakat harus aktif, ini berhubungan lagi dengan syarat pertama walau tidak langsung, karena Design as Generator tidak pernah masuk untuk menawarkan uang. Seperti dalam KaKiKuKeKo masyarakat harus ikut partisipasi, dari dewasa maupun anak-anak, karena dengan begitu maka akan ada rasa kepemilikan dari design itu. Kalau semua syarat itu telah terpenuhi maka berikutnya adalah bersama-sama masyarakat merumuskan masalah yang ada dan solusinya apa, pada KaKiKuKeKo semua perumusan masalahnya tidak hanya datang dari anak-anak interior design semata, tapi berproses hasil desainnya pun dapat berubah-ubah, jadi tidak serta merta kita datang dan bilang bahwa hasil desainnya harus begini atau begitu, semua berasal dari kesepakatan-kesepakatan bersama masyarakat. Kita benar-benar ingin masyarakat merasa dia ikut mendesain dan ikut peran serta. Di dalam KaKiKuKeKo, project di interior itu dengan mencari permainan-permainan bersama anak-anak disana, jadi permainan itu tidak muncul tiba-tiba tetapi dicari bersama anak-anak permainan seperti apa yan mereka nikmati. Kalau di DKV mereka sampai ke mural karena mengobrol dengan anak muda dan karena memang ada masalah anak-anak muda mencoret-coret tembok tapi tidak beraturan. Sebenarnya Rumah Baca adalah rencana kemudian, apabila permainan-permainan sudah jadi, mural sudah jadi dan sudah berjalan, baru akan digagas rumah baca. Tapi Rumah Baca menjadi berbarengan dengan yang lain karena disaat itu banyak warga yang terlibat maka kan menjadi omongan satu kampung, kemudian 69

Arsip Aksioma


keluarga Pak Rusli mempunyai ide untuk memberikan teras rumah mereka disediakan untuk menjadi Rumah Baca. Inilah pencapaian besar di DAG yaitu ketika warga datang dan memberikan inisiatif sendiri. Felicia Kalau dalam proses ini bagian mana yang menurut bapak paling menantang dan bagian mana yang paling menarik? Pak Martin Felicia sendiri kan ada di dalam proses saat project KaKiKuKeKo, menurut kamu bagian mana yang paling menantang? Felicia Kalau menurut saya sih proses dari awal mendesain yang bisa berganti-ganti sampai hasil akhirnya, apakah kita mampu membangun design itu? Apakah design itu dapat bertahan? Dan apakah design itu sesuai dengan mau warga? Gitu sih pak. Pak Martin Betul, yang paling susah adalah disaat kita kan designer mempunyai asumsi-asumsi, nah, bagaimana menyesuaikan asumsi dikepala kita dengan apa yang ada dikepala warga. Kalau ditanya tantangan terbesar ya itu. Sampai ke titik dia bisa mengerti sebenarnya apa yang akan dilakukan bersama-sama saja prosesnya sudah panjang sekali, bolak-balik, ngobrol, dan lain-lain. Benarkah kita benar-benar mendesain untuk masyarakatnya dan bukan untuk kita. Kalau bagian paling menariknya, sama juga sih, ternyata masyarakat itu dimanapun dia berada, punya insight atau pemikiran yang sangat luar biasa dan Desain yang Tak Cuma Nampak namun Berdampak

70


71

Arsip Aksioma


tidak disangka-sangka. Mungkin desainer-desainer sepanjang di kampus yang diajarkan adalah we are really good at it, we are the creator. Namun ketika awal saya dan teman-teman DAG memulai pertama kali, maka kita merasa egonya benar-benar habis, bahkan kadang kita yang belajar dari masyarakat. Seperti dalam project TaTiTu malah warga yang mengajari kita bagaimana membuat bambu-bambu itu untuk menjadi tempat tanaman. Itusih yang paling menarik, proses saling belajarnya. Felicia Kalau melihat Pondok Pucung kan sudah banyak project-project yang dikerjakan, apakah menurut bapak sudah tercapai DAG atau Rumah besi menjadi generator di daerah itu? Pak Martin Hmm, iya dan tidak. Jadi begini kalau membicarakan tentang project-project yang besar, misal eksperimen tentang pengelolaan sampah organik dengan biopori yaitu Nabung Aer, dan ada eksperimen dengan penghijauan lingkungan yaitu TaTiTu dan yang terakhir adalah KaKiKuKeKo yang lebih ke anakanak. Yang menarik adalah yang paling berhasil adalah yang terakhir yaitu yang berinvestasi pada orang, yang berinvestasi pada sistem seperti Nabung Aer tidak berlanjut, dari 100 lubang biopori yang dibuat yang tersisa mungkin hanya 2 atau 3. Penghijauan dari 7 titik yang dibangun sudah tidak ada yang bertahan sama sekali. KaKiKuKeKo masih berlanjut sampai hari ini. Saya pikir ini juga menjadi evaluasi bagi seorang designer dalam hal design untuk lingkungan dan Desain yang Tak Cuma Nampak namun Berdampak

72


masyarakat. Designer seringkali setelah mendesain sesuatu maka sehabis itu yasudah kan, mau dipakai atau tidak, yang penting adalah dibayar. Tapi dalam design masyarakat dan lingkungan that’s not the case, once you did it maka harus dikerjakan selamanya. KaKiKuKeKo menjadi berhasil karena anak-anak mudanya menjadi aktif, walaupun RumahBaca juga sudah berenti, masih diadakan acara-acara dan kegiatan-kegiatan. Sampai akhirnya di tahun ini, anak muda dari Pondok Pucung datang ke DKV dan memberi masukan-masukan dan saran untuk desain masyarakat dan lingkungan di Januari kemarin. Bayangkan yang awalnya seorang masyarakat yang menerima, sekarang menjadi orang yang mereview design di UPH, memberikan saran jangan begini atau begitu menurut pengalamannya. Kalau menurut saya ini adalah sebuah keberhasilan, dari keinginan mendorong anak-anak untuk kreatif sekarang bisa menjadi benar-benar kreatif. Salah satu cerita yang luar biasa adalah ada satu anak muda yang saat itu mau mencoret-coret tembok, sudah siap-siap bersama teman-temannya dan waktu kita jalan dengan pak RW bertemu dengan mereka. Pak RW merasa malu kenapa malah bertemu dengan anak73

Arsip Aksioma


anak yang mencoret-coret dan membubarkan mereka. Pak Hady iseng menanyakan kepada anak-anak yang sudah membawa Pylox ini dan akhirnya diajak oleh Pak Hady untuk ikut dengan acara kita dalam mural. Mereka setelah acara ini lumayan sering mengadakan festival kreatif, dan salah satunya di tahun 2017 dibuat di akhir tahun, dan ketua panitianya adalah si anak yang ketahuan mau corat-coret ini. Bagi saya ini adalah the biggest prize buat apa yang ada di pikiran kita, kalau dibilang transformasi design ya ini, design yang mentransformasi ya ini, anak yang dulu coratcoret bisa menjadi ketua panitia festival kreatif. Lalu yang dua lagi gimana dong? Bambunya hancur, nabung air tidak jalan, dan rumah baca itu juga tidak jalan, lalu gimana? Nah, satu hal yang kita belajar adalah bahwa semua design yang kita laksanakan walaupun bersama-sama masyarakat, fungsinya itu hanya sebagai trigger dan satu hal lagi yang dapat kita pelajari bahwa design itu memang tidak pernah meant to be forever, misal kita disuruh untuk membuat design yang terbaik maka itu akan menjadi design yang selama-lamanya. Padahal kenyataanya, design harusnya selalu berubah. Dalam situasi seperti itu kita melihat bahwa dalam KaKiKuKeKo kita mengintervensi dengan membuat mural (untuk jurusan DKV) dan membuat permainan-permainan itu (untuk jurusan Interior). Eh, ujung-ujungnya malah yang berubah bukan suasana kampungnya namun anak-anaknya yang berubah menjadi lebih kreatif. Jadi kalau kembali kesana dapat dilihat kalo beberapa mural yang dibuat dulu sudah redup warnanya, namun yang berubah adalah disaat anak-anak mau mencoret-coret tembok jadi lebih rapih. Desain yang Tak Cuma Nampak namun Berdampak

74


Lalu juga dari TaTiTu, penghijauan yang dibuat kan sudah hilang semua, tapi yang muncul adalah kesadaran warga membuat taman-taman mereka lebih rapih dan cantik. Hal ini sebelumnya tidak ada dan menurut saya ini adalah sebuah keberhasilan. Jadi design hanya sebagai pemantik, lalu dia berimajinasi sendiri, yang cocok untuk dia mungkin bukan bambubambu yang dibuat tapi melalui bambu-bambu itu membuat dia merasa bisa untuk membuat tamannya sesuai dengan keinginannya. Felicia Jadi memang langsung berdampak ke masyarakatnya ya pak? Pak Martin Betul, dalam bentuk yang lain justru. Seperti dalam hal biopori, walaupun sudah tidak dipakai, di tahun 2015 muncul bank sampah. Mereka mulai berpikir karena DAG sudah mengagas biopori untuk sampah organik, sampah anorganiknya kemana? Maka mereka membuat bank sampah. Memang tahun 2016 bank sampah berhenti berjalan, tapi ada perubahan-perubahan lain juga seperti sekarang ada gerobak sampah, ada pemulung-pemulung yang rajin mengumpulkan sampah, dan menurut orang yang sudah 7 atau 8 tahun belum pernah kembali ke Pondok Pucung akan mengatakan bahwa kampungnya lebih bersih. Kalau perasaan saya sih nggak ya hahaha, masih berantakan juga. Felicia Hahaha karena bapak liat tiap hari ya jadi kurang keliatan. 75

Arsip Aksioma


Pak Martin Iya betul, dan juga perubahannya kadang-kadang tidak cepat, jadi ada disitu setiap apa yang kita lakukan ada dampaknya. Termasuk juga dengan kegagalan-kegagalan, kita gausah menutup mata bahwa yang awal-awal kita inisiasi sudah gaada semua. Tapi kita harus lagi melihat bahwa ada efekefek yang lain akibat dari apa yang kita lakukan. Nah ini tidak akan bisa kelihatan kalau kamu setelah mengintervensi setelah mendesain trus pergi. Maka itu kami merasa beruntung karena kalau di Pucung kan memang kami tinggal di situ. Nah itu yang terus kita lakukan, yang tadi saya bilang di hukum pertama, kalau DAG merasa tidak bisa engage dengan masyarakat maka kita tidak mau menerima itu, karena kita tahu once kita intervene something, kita berbuat sesuatu bersama masyarakat, ya kita mesti rajin datang, itu hubungan yang tidak akan selesai. Felicia Jadi engagement juga penting agar desainnya dapat bertahan ya pak? Pak Martin Betul agar desainnya dapat berlanjut. That’s the way kalau kita mau mendesain untuk masyarakat, ya hadirlah. Felicia Kalau boleh tahu pak, rencana-rencana DAG untuk kedepannya itu apa pak? Pak Martin Sekarang yang paling jadi fokus ada 2 project. Desain yang Tak Cuma Nampak namun Berdampak

76


Project yang pertama yaitu Nabung Aer Next yang kedua adalah pasar, kita mau intervening ke pasar, nah sisanya kita memimpin project yang sudah ada seperti project dengan anak muda di Pondok Pucung atau Prapatan Duren, tetapi sudah bukan kita yang mengatakan bikin ini bikin itu namun kita menjadi tukang kipas aja “Ayo bikin!!” kayak gitu, jadi projectnya sudah dapat dilepas sendiri. Yang kita mau gagas lagi yang 2 tadi, satu yang kita intervene ke Pasar Santa di tahun lalu, jadi ini juga menerangkan kalau DAG itu tidak punya, dan memang sengaja, tidak mau mempunyai satu tema khusus, seperti sampah aja atau kreatif aja. Nah, suatu waktu kita pernah mempunyai suatu kesempatan untuk merevitalisasi pasar, lucunya itu dari project tugas akhir mahasiswa kita suka liat bahwa tugas akhir ini menarik juga, apabila di support dan didorong dengan metode-metode kita maka bisa menjadi kerjasama yang baik. Ada satu anak yang mengajukan tugas akhir namanya Melissa, dia melihat bahwa Pasar Santa adalah pasar yang dulu hype banget, tapi sekarang sudah tidak, nah itu kemudian distudi dengan dia, dan cukup menarik. Jadi kemudian kita masuk ke Pasar Santa ini, kita kerjakan dengan metode-metode yang tadi saya sebutkan, yang menyenangkan adalah, walau kita belum bisa mengembalikan Pasar Santa menjadi hype seperti yang dulu, di 2017 akhir okupansi di Pasar Santa sudah naik. Kemudian PD. Pasar Jaya yang menaungi project tadi, dia tertarik dengan apa yang kita lakukan, dan mereka mengajak kita terus, dan pada bulan ini kita akan pindah ke Pasar Tebet. Jadi kita tunggu aja, bakal disuruh kemana lagi sama PD. Pasar Jaya. Sebenarnya kan prinsipnya sederhana aja, gimana 77

Arsip Aksioma


cara membuat orang mau pergi ke pasar. Direktur PD. Pasar Jaya khawatir bahwa apabila generasi tua habis maka gak ada lagi yang mau ke pasar, jadi kita disuruh pikirkan bagaimana pasar bisa bertahan. Yang kedua adalah project Nabung Aer Next , berkaca pada keberhasilan KaKiKuKeKo yang menginvest pada anak-anak dan juga melihat anak-anak Jepang yang dari kecil sudah dibentuk untuk segala macem seperti mandiri lah, ramah pada lingkungan lah, bekerja keras dan lainnya. Jadi kita kenapa masih memikirkan Nabung Aer, karena itu adalah isu besar, di Jakarta dan di Tangerang, isu besar sekali sebenarnya. Kita tuh sudah kesulitan sekali sama air, mungkin tidak kelihatan, tapi kenyataannya di Jakarta sampai sudah tidak boleh lagi membuat sumur tanah, karena air tanah sudah habis di Jakarta, maka kalau lebih dari itu permukaan tanah akan makin lama makin turun. Akibatnya sudah bukan banjir lagi, tapi bisa tenggelam. Isu ini related dengan isu global warming dan perubahan iklim, seperti air laut di Jakarta yang permukaanya terus naik. Nah ini kan hal-hal yang kalau tidak kita pikirin di generasi kamu dan anak kamu bisa tidak aman. Kalau menurut keilmuan diperkirakan air bersih akan habis di tahun 2050 atau kalaupun tidak habis, dunia akan masuk ke krisis air di tahun 2050, kamu baru umur berapa? Gitu, jadi kita berpikir bahwa Nabung Aer dapat menjadi cara untuk kita masuk dimana kita tidak peduli lagi dengan fisiknya tapi menjadikan Nabung Aer sebagai alat untuk menanamkan kesadaran kepada anak-anak, karena kita mau invest kepada anak-anak agar mereka memiliki pengetahuan, mudah-mudahan mereka bahkan bisa menjadi agent of change. Cuman si nabung aer ini agak tersendat Desain yang Tak Cuma Nampak namun Berdampak

78


karena kita terhalang biaya, tapi tetap akan berjalan terus, one of the jokes di DAG itu kalau ditanya fundingnya dari mana? Kita selalu mikir uangnya akan ada dari Tuhan. Felicia Iya pak, semoga dapat terealisasikan projectprojectnya. Pak Martin Amin. Felicia Kenapa bapak memilih untuk melibatkan mahasiswa kedalam project-project DAG? Pak Martin Sebenarnya sama jawabannya dengan Nabung Aer, walau kalian bukan anak kecil tapi kan you’re still the youngsters, kita percaya bahwa yang akan mengubah dunia bukan generasi saya nih, tugas kita hanya menginspirasi saja. Kita percaya bahwa yang bisa mengubah itu adalah anak-anak muda dan kenapa mahasiswa? Particularly kenapa mahasiswa UPH? Karena kita selalu melihat mahasiswa UPH itu sebenarnya punya akses yang lebih limitless, mungkin ada yang tidak, tapi tetap orang yang bersekolah di UPH adalah orang yang jauh lebih beruntung dibanding yang tidak. Alangkah menyenangkannya, kembali ke visi pertama dalam desain sosial tadi, kalau kita bisa membuat mahasiswa-mahasiswa UPH untuk mempunyai hati yang mau melayani orang. Dari pengalaman kita sendiri mahasiswa UPH sebenarnya luar biasa sih, hatinya untuk melayani. Saya ingat waktu pertama kali kita masuk kampung, 79

Arsip Aksioma


saya berpikir “Serius nih mau bawa mahasiswa UPH ke kampung?” karena kalau bercanda ya, dilihat dari tampilan aja udah beda banget, tapi lalu kita berpikir tidak apa deh dicoba saja. Karena saya yakin bahwa kebanyakan mahasiswa-mahasiswa UPH tuh dasarnya sudah tahu dari awal masuk memang dari keluarga yang baik pandangan Kristennya, jadi melayani tuh bukan suatu hal yang mengagetkan. Contohnya seperti KaKiKuKeKo banyak orang yang voluntarily ikut melayani, jadi kalau membayangkan itu aja ya memang this is the right place untuk menuai, tidak perlu nabur lagi, hanya menuai. Yang kedua adalah, kita benar-benar berharap mahasiswa-mahasiswa ini bisa keluar dan bisa punya pengalaman-pengalaman yang didapat, seperti pengalaman bertemu masyarakat yang “membutuhkan” bisa membuat kalian menjadi orang yang hebat, tidak harus menjadi seperti DAG, tapi tetap punya hati untuk melayani masyarakat. Makin kamu hebat makin kamu harus bisa melayani masyarakat. Itu kenapa kita melibatkan mahasiswa, because you are the future, kita membantu kalian untuk membentuk masa depan. Felicia Oke pak, itu saja dulu, terimakasih pak atas waktu dan sharing dari bapak. Pak Martin Iya terimakasih juga, nanti kapan-kapan berkolaborasi ya!

Desain yang Tak Cuma Nampak namun Berdampak

80


Kesimpulan Sebagai mahasiswa design seringkali yang ada di pikiran kita adalah lulus dengan nilai yang baik kemudian dapat menjadi designer yang sukses. Namun sharing dengan Pak Martin memberikan pandangan yang baru, yaitu bagaimana melayani sebagai seorang designer. Terkadang karena sudah biasa dengan ceritacerita di dunia kerja, kita diajarkan untuk membuat design yang dapat dibayar mahal, design yang bernilai tinggi. Kita kadang lupa bahwa design bukan hanya ditujukan untuk mereka yang dapat membayarnya, namun design untuk semua. Penting dalam proses agar kita sebagai calon-calon designer dapat berkembang, selain mempunyai skill dan mental yang baik sehingga dapat survive, kita juga harus mempunyai hati yang mau melayani, dimana berkarya bukan hanya untuk uang semata namun untuk mereka yang lebih membutuhkan juga. Berkarya di dalam dunia profesional tidak salah, namun apabila kita merasa ada panggilan lebih seperti Pak Martin dan rekan-rekannya, maka jangan takut untuk mewujudkan panggilan itu ke lingkungan dan masyarakat. Melalui wawancara ini, kita juga dapat belajar bahwa design yang mentransformasi tidak melulu berdampak secara fisik, namun design bisa mentransformasi manusia – bisa merubah cara pikir dan cara pandang. Melalui hal inilah, design yang kita buat bisa menjadi generator untuk orang lain. Semoga wawancara ini dapat menginspirasi calon-calon designer atau siapapun untuk menjadi generator yang memberikan terang bagi sekitarnya. 81

Arsip Aksioma



83

Arsip Aksioma


Nyawa

Judul Artikel

84


Kampanye anti rokok #THINKAHEAD Seakan-akan peduli, sebenarnya industri rokok sedang menghancurkan masa depan, khususnya generasi anak muda. Berawal dari sebuah gerakan yang disebut #TheyLieWeDie, kami mengadakan kampanye anti rokok di kampus kami yaitu Universitas Pelita Harapan. Faktanya menghabiskan sebatang rokok dibutuhkan kira-kira 10 menit. Lewat kampanye ini, kami mengajak teman-teman untuk #THINKAHEAD yaitu memikirkan kegiatan-kegiatan lain apa yang lebih berguna yang dapat dilakukan dalam 10 menit di hari kita. Harapannya tumbuh sebuah kesadaran terutama pada generasi muda untuk memakai waktu didalam hari-hari kita lebih baik dengan berpikir kedepan.

85

Arsip Aksioma



87

Arsip Aksioma


Nyawa

88



Nyawa

90


Epilog Kepada Idealismeku, Yang selingkuh dengan tetangga sebelah.

Pada akhirnya, terdorong rasa takut akan kematian, aku berhenti terhenti. Aku maju, dan aku berlari. Berlari hingga kau tak mampu mengejar dan tak mampu menggapai. Idealisme boleh hancur, harga diri boleh hilang, tapi hidup takkan kulepas. Ada halhal yang memintaku untuk bangkit dan maju. Suatu hari akan datang waktunya ketika idealisme adalah lelucon: sebuah penghiburan usia senja. Kau pernah menjadi milikku, Kau pernah menjadi panutanku, Kau pernah menjadi segalanya. Tapi idealismeku tidak pernah memberi nafkah, idealismeku tidak pernah menyuapkan nasi. Idealismeku lupa bahwa raga ini perlu nutrisi dan bukan hanya puisi. Idealismeku lalai menyadari bahwa aku cuma manusia. Seorang manusia belaka. Belajar perlu aku lakukan, sakit dan jatuh perlu aku rasakan. Karena sangsi muncul dari keyakinan, dan yakin muncul karena kesangsian. Aku pintar karena kamu bodoh, dan aku bodoh karena

91

Arsip Aksioma


kamu pintar. Apakah demikian? (Apakah segalanya seperti ‘1’ dan ‘0’? Sederhanakah mengatakan bahwa idealisme merupakan konsumsi dunia fana; dan semudah itukah mengungkapkan bahwa melayani kepentingan non-ideal adalah jalur orang baal? Aku ingin hidup ini semudah hitam dan putih, semudah benar atau salah, semudah cinta dan benci, semudah hidup atau mati: karena ketahuilah, akhirnya kuhidup segan mati tak mau. Begitulah hidup, begitulah kenyataan, begitulah. Ada hal yang perlu dilakukan, walaupun tak mau dilakukan: Menjadi seorang idealis puritan yang tolerir, atau menjadi realis praktis yang keukeuh berprinsip. Ada nasi yang perlu dicari, ada mimpi yang perlu dihidupi. Apakah hari ini aku terbangun dari mimpi, atau hari ini aku mimpi terbangun?

Selamat Malam cinta, Aku, gebetan yang tidak sah itu

92


Credits Industri Kreatif, Apakah Benar Kreatif? Ditulis oleh Kartika Magdalena Diedit oleh Josephine Olivia Diilustrasikan oleh Felicia Kristella Mencari Kreativitas dalam Waktu & Proses Oleh Eldad Timothy Diedit oleh Josephine Olivia Ilustrasi oleh Felicia Violetta Desain Grafis Tidak Hanya Desain Grafis Oleh Rafi R. Krisananda Diedit oleh Livia Margarita Ilustrasi oleh Rachelly Yahya

93

Dikotomi Oleh Celine Wisuna Diedit oleh Kartika Magdalena Ilustrasi oleh Celine Wisuna Desain Cetak vs Desain Digital Oleh Kartika Magdalena Diedit oleh Josephine Olivia Ilustrasi oleh Felicia Violetta Desain yang Tak Cuma Nampak namun Berdampak Oleh Felicia Kristella Ilustrasi oleh Felicia Kristella & Hernandityo Diedit oleh Livia Margarita Foto oleh Bapak Martin Luqman Katoppo


Ucapan Terima Kasih Design as Generator (DAG) Tim Perancang Direktori Pasar Santa Mahasiswa Studio Pendukung 2 Semester Genap 2017/2018 Tim Kampanye #TheyLieWeDie Vital Strategies Astragraphia Ibu Caroline F. Sunarko

94




97

Arsip Aksioma


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.