al-islam.my.id
Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Membina Keluarga
Sakinah
2014
my Identity
Catatan Ayah Sibuk
Profil: Miftah Faridl: Ulama yang Dirindukan Umat
Do’a Do’a Mensyukuri Nikmat
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh. (Q.S. An-Naml [27]: 19)”
Doa Nabi Sulaiman dalam mensyukuri nikmat, tercantum dalam QS. An-Naml [27]: 19
2
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
Redaksi
Daftar Isi 5 | Bahasan Utama: Tantangan Membina Keluarga Sakinah 10 | Opini: Rumah bagi Pewaris KIta 15 | Keluarga JR: Catatan Ayah Sibuk 18 | Padepokan Tasawuf: Antara Ikhtiar dan Doa 21 | Bilik Langit: Berlindung 24 | Horizon: Menapak Jejak Al Fatih, Merajut Sinergi 27 | Profil: Miftah Faridl: Ulama yang Dirindukan Umat 32 | Pojok Kajian Al-Hikam: Tanda Terlalu Mengandalkan Amal 35 | Renungan: Chapters of Life
Al-ISLAM my Identity Awak Media Penasehat: Nashir Budiman, Johansyah Pemimpin Usaha : M. Fuad Soffa Pemimpin Redaksi : Dijan Soebromo Dewan Redaksi: Heru Prabowo, Suharjono Harjodiwirjo Redaktur Pelaksana: Tri Boedi Hermawan, Nilna Iqbal, Reno Andryono Keuangan: Ahmad Hamdani, Syahrial Muharam. Dukungan Teknologi: Fathansyah, Zamakshari Sidiq Alamat Redaksi: Rumah Alumni, Salman ITB, Jalan Ganesha No.7, Bandung Alamat Email: redaksi@al-Islam.my.id Twitter: @alislammyid | Google+ & YouTube Channel: alislam.my.id@gmail.com Website: www.al-islam.my.id
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
3
Al-ISLAM my Identity
Pengantar
Assalamu’alaikum Warahmatullahi wa-Barakatuh.
Sahabat Al-Islam yang mulia, Kami sampaikan rasa syukur ke Hadlirat Allah SWT yang dengan Karunia-Nya kita dibimbing dan diberikan kesempatan untuk melanjutkan silaturrahmi ini. Melalui media ini kita laksanakan sambung-rasa dan sambung kalam, untuk merajut ukhuwwah sebagai salah satu amanat kebersamaan. Pada edisi ke-3 di Tahun II ini, kita akan menyimak topik penting yang sering luput dari perhatian kita bersama. Kesibukan memikirkan hal-hal makro terkadang melalaikan kewajiban yang besar dan utama di dalam ‘diri’ kita. Masalah Keluarga, kita angkat dalam perbincangan mula dalam keseluruhan edisi kita saat ini. Perbincangan itu tentu tak akan mampu mengangkat semua dimensi dalam permasalahan yang dikemukakan. Kita hanya menangkap satu sudut pandang, yang dengannya semoga wacana kita untuk menjadikan keluarga sebagai pusat aktivitas, menjadi dekat. Perhatikanlah bahwa deru persoalan khalayak, ummat, yang demikian deras.. dalam arus politik kontemporer, sungguh menjadikan persoalan dasar ini sering luput dari perhatian. Beberapa narasumber penting hadir dalam perbincangan ini, baik memandang dari tafsir kontemporer, mewaspadai gempuran budaya, hingga mengusulkan perhatian dan komunikasi keluarga. Semua sajian itu masih akan dilengkapi dengan berbagai wacana tazkiatunnafs, akidah, akhlak, dan sajian lainnya. Semoga dapat memperkaya pandangan kita akan wacana yang terkait dengan Al-Islam pada umumnya. Selamat menyimak. Segala Puji hanya untuk-Nya, semoga kita semua senantiasa dianugerahi kesadaran akan pentingnya nilai keutamaan dalam jagad yang tengah bertransformasi ini. Salam kami, Wassalamu’alaikum Wr.Wb.,
Redaksi Al-Islam
4
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
Bahasan Utama
Foto: @Zakaria Hamzah
Oleh: Sakib Machmud Untuk dapat mengoptimalkan perjuangan hidup, orang memerlukan home base yang nyaman. Dalam suasana tenteram orang dapat berpikir jernih, dan dengan pikiran jernih dia mampu menyelesaikan masalahnya. Tempat berteduh dan sekaligus markas perjuangan yang sesuai bagi setiap orang adalah keluarga. Sungguh, tantangan berkeluarga di era kini memerlukan dasar yang kokoh, memedomani Qur'an dan sunnah dalam membentuk keluarga Sakinah.
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
5
A
da sebuah pepatah Arab yang menyatakan: Alhayatu silsilatun minal imtihan - kehidupan itu merupakan untaian dari ujian demi ujian. Manusia adalah makhluk yang berakal, karena itu Allah menetapkannya sebagai khalifah fil ardhi petugas yang memimpin pengelolaan bumi. Maka manusia bukan hanya menjalani kehidupan tetapi menghadapi berbagai masalah yang senantiasa muncul di dalam kehidupannya. Dia menyaksikan di bumi ini, hal-hal baik yaitu yang sesuai dengan keinginannya, dan juga hal-hal buruk yakni yang tidak diharapkannya.
Kemudian mengikuti arahan Allah SWT, orang beriman melaksanakan prosedur akad nikah, membentuk keluarga yang berintikan laki-laki sebagai suami dan wanita sebagai isteri. Akad nikah dikatakan sebagai mitsaqan ghalidza ikatan yang kuat (TQS. An-Nisaa [4]:21), karena ikrar nikah itu diucapkan di hadapan Allah dan akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Rasulullah SAW menyatakan bahwa nikah itu merupakan pola hidup muslim, maka barang siapa tidak suka kepada pernikahan, dia tidak masuk ke dalam ‘golonganku’, kata Rasul.
Oleh karena itu, manusia senantiasa mengerahkan akal dan potensi lain yang dimilikinya untuk mengubah apa yang buruk menjadi baik dan menjaga yang sudah baik agar tetap baik. Untuk dapat mengoptimalkan perjuangan itu orang memerlukan home base yang nyaman, yaitu yang menjadikan hati tenang tenteram. Dalam suasana tenteram orang dapat berpikir jernih, dan dengan pikiran jernih dia mampu menyelesaikan masalahnya. Tempat berteduh dan sekaligus markas perjuangan yang sesuai bagi setiap orang adalah keluarga. Allah Yang Maha Bijaksana telah menurunkan sunnah-Nya sedemikian sehingga pemenuhan kebutuhan manusia itu serasi dengan kecenderungan fitrahnya. Dia menakdirkan makhluk ini berpasang-pasangan, sebagaimana segala sesuatu di alam dunia ini Dia pasangkan pula (TQS. Adz-Dzaariyaat [51]:49). Khusus tentang manusia Allah SWT menjelaskan: “Dan di antara tanda-tanda keagungan-Nya ialah, Dia menjadikan jodoh-jodoh dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berpikir.” (TQS. Ar-Ruum [30]:21). Maka, menjadi naluri laki-laki untuk tertarik kepada wanita sebagaimana wanita tertarik kepada laki-laki (TQS. Ali Imran [3]:14).
6
Foto: @Irfan Fan
Menjadi jelas, tujuan menikah adalah memperoleh kehidupan yang sakinah - tenang tenteram. Namun kondisi seperti itu tidak otomatis terbentuk oleh pernikahan. Ketenteraman jiwa akan terjadi bila dua orang yang berpasangan itu mampu melebur diri dalam kesatuan keluarga, seia-sekata dalam ucapan maupun perbuatan. Masing-masing berkeinginan kuat untuk memberi yang terbaik kepada pasangannya, dan dengan memberi, mereka merasa bahagia. Alangkah indahnya sebuah rumah tangga, yang ketika suami menghadapi masalah rumit, isteri dengan pendekatan kewanitaan yang lembut mampu meniupkan udara segar, sehingga suami merasa dadanya lapang kembali. Sang suami tentunya akan
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H Desember 2014
berujar sebagaimana Rasul: Baiti jannati Rumahku adalah surgaku! Sebaliknya, manakala isteri merasakan kecemasan yang mengganggu batin, suami dengan jantan mampu menenteramkan isterinya. Isteripun pun serta merta akan mengiyakan suasana batin sebagaimana Rasul sampaikan, Baiti jannati - Rumahku memang adalah surgaku.
A Home is Built by Hearts Sungguh, ketenteraman dan kenikmatan hidup lahir dari kebersamaan suami isteri. Pepatah menyatakan: A house is built by hands but a home is bulit by hearts. Pepatah itu menguakkan misteri, bahwa membangun keluarga bukanlah semudah mendiringan bangunan rumah belaka. Tidak selalu, orang yang menikah merasakan ketenteraman hati. Banyak rumah tangga ‘idaman’ tiba-tiba berubah menjadi arena pertengkaran, bahkan di saat pasangan masih ber-‘bulan madu’. Salah satu penyebabnya ialah, salah satu pihak atau keduanya kecewa, bahwa ternyata pasangan hidupnya tidak seperti yang diangankan. Mereka telah ta’aruf - berkenalan cukup lama, dan mengira sudah saling memahami satu sama lain dengan amat baik. Nyatanya, banyak fakta yang tidak diketahui sebelum menikah. Pada masa pacaran orang biasa mengenakan kaca mata cinta, yang cenderung menepis cela pada diri insan yang dicintai. Selain itu, pada masa ini orang suka mengenakan topeng-topeng penutup watak, yang secara instinktif dipakai pada saat berada di depan khalayak. Apalagi, di hadapan seseorang yang tengah dipinang hatinya. Tetapi setelah pernikahan berlangsung dan keduanya hidup di bawah satu atap dalam pergaulan yang akrab dan terbuka, tanggallah satu demi satu topeng penutup diri. Lalu berperagalah sifat asli yang selama beberapa masa berusaha keras
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
disembunyikan. Kondisi ini sebetulnya bisa jadi tidak masalah, manakala pasangan mampu mengimbangi dengan pengertian, saling memaafkan, dan ada kemauan menyesuaikan diri. Namun bila hal itu tidak ada, kekecewaan akan mewujud dan menorehkan luka hati menganga. Kadangkala sangat sulit untuk dipertautkan kembali. Kekecewaan berikutnya kemudian muncul, dan menyebabkan makin suramnya hubungan. Suami atau isteri, yang dahulu memakai kacamata terlalu bening, sekarang tergantikan dengan kacamata hitam, yang menyebabkan pandangan nampak serba buram dan buruk. Situasi ini bila dibiarkan berlarut, bisa menjadikan retaknya kebersamaan suami isteri. Banyak pasangan akhirnya hanya menunggu waktu untuk berpisah. Fakta menunjukkan bahwa angka perceraian di lingkungan kita cukup tinggi. Sebuah media harian di Bandung menulis fakta mengejutkan, pada 2008, setiap 5 jam penduduk Bandung mengajukan permohonan cerai. Sedikit sekali pengajuan itu yang dibatalkan, meskipun Pengadilan telah mengupayakan ishlah – perdamaian. Kita tentu mahfum, bahwa mereka muslim dan mengetahui Rasulullah SAW sangat membenci suasana ini. Sabda Beliau, ‘’bahwa perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah bercerai’’. (HR Abu Daud dan Ibnu Hibban). Perselisihan memang tak terelakkan, terjadi di semua rumah tangga. Termasuk di dalam rumah tangga yang paling bahagia sekalipun. Dua insan yang berbeda dalam watak, sifat, latar belakang budaya, pendidikan, dan sebagainya, berhimpun dalam satu rumah. Karena itu, suami dan isteri sungguh diminta untuk senantiasa bertolak angsur, saling memberi dan saling menerima. Kelebihan yang ada pada suami digunakan untuk mengimbangi kekurangan isteri, sebaliknya kelebihan isteri dimanfaatkan untuk menambal
Desember 2014
7
kekurangan suami. Masing-masing berkeinginan kuat untuk memberi yang terbaik kepada pasangannya, dan dengan memberi itu dapat diraih kebahagiaan. Bila suasana ini terbentuk, dari hati masing-masing akan terucap perkataan indah seperti yang dinyatakan Juliet kepada Romeo dalam drama Shakespeare, “The more I give to thee, the more I have - Semakin banyak aku memberi kepadamu, aku merasa semakin kaya”. Selanjutnya, apabila pada suatu ketika pertengkaran terjadi, masing-masing pihak mesti mampu menahan diri dan mengendalikan nafsu. Orang harus menyadari bahwa tidak pernah ada pertengkaran yang menghasilkan kepuasan. Maka dia seharusnya berhenti sebelum sampai pada point of no return, yang kelak akan disesalinya, karena akan mendatangkan mudharat yang besar.
Kemudian, ketika perselisihan usai, hendaknya suami maupun isteri merenungkan kembali ucapan pasangannya yang terlontar spontan. Di situ ada suara-suara jujur, yang mengekspresikan perasaan suami atau isteri tentang dirinya. Perasaan itu, selama beberapa waktu dipendamnya di dalam hati, dan tidak terucapkan kecuali pada saat bertengkar. Maka punguti kenyataan tersebut dengan besar hati dan gunakan sebagai bahan muhasabah, untuk memperbaiki diri pada hari-hari yang mendatang. Ada kalanya di hati suami atau isteri bertumpuk kekesalan terhadap pasangan, yang menghimpit menekan keras perasaannya. Pada saat itu syaitan datang membujuknya untuk membicarakan keburukan pendamping hidupnya dengan orangorang lain. Banyak orang yang mengikuti rayuan iblis itu dan mengira dapat mengendurkan tekanan batin yang menghentak-hentak meminta penyaluran. Padahal yang didapatnya hanyalah kelegaan sesaat, yang justru menjadikannya semakin tersiksa dalam dahaga. Itulah adzab pertama yang datang dari dirinya sendiri. Adzab kedua datang tanpa disadari, dari
8
Foto: @Chris HS
masyarakat lingkungan. Ketika seseorang membicarakan keburukan rumah tangga, masyarakat menganggap orang itu sebagai manusia yang tidak dapat dipercaya; maka mereka pun melemparkan penghormatannya ke tanah. Adzab ketiga dijatuhkan Allah SWT. Dia mengecam keras orang yang senang bergunjing, dengan mengumpamakannya sebagai orang yang ‘mengunyah-ngunyah daging mayat’ saudara sendiri. Sesuatu di luar kepatutan. (TQS. AlHujurat [49]:12). Maka cara terbaik tanpa side effect di dalam menyalurkan kekesalan dan kegundahan, adalah mencurahkannya ke hadapan Allah SWT. Karena itu, tatkala orang merasa resah dan gelisah, jangan cari orang lain untuk diajak bergunjing. Ambil air wudhu yang menyegarkan kulit dan tunaikan shalat syukrul wudhu yang menyejukkan hati. Setelah itu silakan menumpahkan semua yang ada dalam hatinya, kepada Allah yang Maha Segala-galanya. Dengan cara itu tension dan stress akan mengendur, dan kita akan menikmati kembali ketenteraman hati. Pada saat yang sama petunjuk Allah akan mengalir ke
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H Desember 2014
dalam rasio dan perasaan kita. Nah, dengan ketenanangan yang didapat, kita pun menjadi tahu bagaimana seyogyanya menyelesaikan problema besar yang mengganggu dirinya itu. Insya Allah.
Bila komunikasi batin yang tulus telah terjalin erat, suami dan isteri dapat menunaikan fungsinya masing-masing dengan baik. Dalam rumah tangga Islami, suami adalah pemimpinnya. Keterangan Allah pada ayat 34 surah An-Nisaa’ bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, sangat jelas dalam konteks rumah tangga.
Hakikat pemimpin adalah penanggungjawab, karenanya suami adalah orang pertama yang harus mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang berlangsung di rumah-tangganya, kepada Allah SWT. Kewenangan, yang diberikan kepada suami adalah sarana untuk dapat melaksanakan tanggungawab itu. Karenanya, janganlah sekaliSeni Komunikasi kali suami menyelewengkan kewenangan menjadi Keluarga kesewenang-wenangan. Isteri Muslimah, di era Tentu saja mana pun.. wajib taat kepada suami. Namun yang ketidakpuasan diharapkan bukan ketaatan pasif, sekedar suami atau isteri kepada pasangan hidupnya tidak mengikuti apapun yang diperintahkan suami. Dia, boleh dibiarkan datang kembali. Kesalahpahaman dengan segala kelebihan yang dimiliki seorang tidak boleh berlarut-larut. Segala masalah mesti wanita, harus mampu menjadi dzamir - hati nurani didiskusikan, tetapi diskusi hanya akan rumah tangga, hati nurani keluarga. Peran wanita menghasilkan pemecahan masalah bila ada dalam keluarga menjadi penting, bukan saja komunikasi batin di antara dua manusia. Maka menjadi daya sokong suami dalam mengambil jalinan kasih yang tulus harus dibangun, dan keputusan dan mengingatkannya manakala suami sebagaimana yang kita baca pada tarjamah QS Ar keliru. Ibu masa kini juga menjadi madrasah bagi -Rum [30]:21 di atas, Allah SWT telah anak-anak dan menjadi penghimpun rasa menganugerahkan kepada suami dan isteri, tenteram, keteduhan dan kasih sayang bagi potensi mawaddah wa rahmah - cinta kasih yang segenap anggota keluarga. murni. Maka potensi pemberian Allah itu harus Sungguh indah gambaran insan mulia dalam dipelihara, antara lain dengan kebersamaan. keluarga sakinah. Sungguh tantangan keluarga di Salah satu momen kebersamaan dalam era kini kian memberat. Namun marilah kita mendekatkan diri kepada Allah adalah shalat mengiringi semua ikhtiar untuk membina berjamaah. Dengan shalat berjamaah, kedua keluarga sakinah, dengan memohon kepada insan melakukan dua komunikasi sekaligus, yaitu Allah, kiranya berkenan menganugerahkan komunikasi dengan Allah dan komunikasi dengan rahmah, taufiq dan hidayah-Nya kepada tiap-tiap pasangan yang dicintainya. Maka suami dan isteri kita menyongsong keberhasilan di hari ini dan hari perlu membiasakan diri dan menikmati -hari ke depan. Aamiin ya Rabbal ‘alamin. kebersamaan dalam shalat berjamaah, baik ketika bersama-sama ke masjid maupun ketika Sakib Mahmud, Alumnus ITB, Pengajar, menunaikan ibadah mahdhah atau ritus Islam itu Kolumnis dan Pengampu Siaran Tafsir Quran di di rumah. berbagai media.
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
9
Opini
Foto: @Hamdi Azis
Mari kita perhatikan bayi dan anak-anak kita. Dalam waktu yang singkat, dengan mudah ia mengenal nama kita, nama ayah, ibu, kakak, adik, nenek, nama benda, sifatnya, termasuk juga karakter fisik dari setiap barang yang ada di rumah. Bukankah itu luar biasa? Bagaimana begitu cepat ia mengetahui semuanya, bahkan tanpa kita berikan pelajaran secara khusus? Semua berlangsung secara alamiah.
Pintu-Pintu Belajar
K
ita tahu, setiap anak, anak negara manapun, anak siapa pun adalah pemilik otak terhebat di dunia. Walau beratnya kurang dari 1,5 kg, kemampuan otak anak beribu kali lebih hebat dari super komputer terhebat di dunia. Dan anak-anak kita pun memilikinya!
Penelitian tentang otak memperlihatkan bahwa ada dua "pintu" belajar yang aktif pada setiap manusia, baik pada anak ataupun orang dewasa. Pintu belajar pertama adalah otak sadar. Pintu
10
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H Desember
belajar kedua adalah otak bawah sadar.
tersimpan di bawah sadar sebagai KEBENARAN.
Otak sadar, aktif saat kita sengaja melakukan sesuatu, atau ketika kita waspada/awas. Salah satu karakter utamanya adalah kritis, logis, matematis. Ketika seorang anak belajar secara serius, berpikir, menganalisis, mengurutkan, melakukan perbandingan dan pertimbangan, maka saat itu bisa dikatakan, anak itu sedang belajar dengan menggunakan otak-sadarnya. Otak sadar biasa digunakan ketika belajar di sekolah, atau belajar secara serius.
Sebagai contoh, kalau orang tua sering mengatakan kepada anaknya bahwa ia bodoh dan pemalas, maka kalimat itu akan disimpan oleh otak bawah sadar anak kita sebagai kebenaran. Maka tidaklah mengherankan, jika kemudian self concept (konsep diri) anak itu akan percaya bahwa ia memang bodoh dan pemalas, dan kemudian semakin terbukti pula oleh berbagai kejadian dalam kesehariannya.
Berbeda sekali dengan cara belajar menggunakan otak bawah sadar. Otak ini aktif 24 jam sehari, terus menerus, tanpa henti. Ia bekerja sejak kita masih berada dalam kandungan sampai kita dewasa dan mati. Dari berbagai penelitian ditemukan fakta bahwa ternyata pada otak bawah sadar inilah “terinstall” semua potensi hidup manusia, yang nantinya akan keluar dalam bentuk sikap, paradigma kehidupan, skill, kecerdasan, kepribadian dan kebiasaan seseorang. Salah satu karakter utama otak bawah sadar adalah tidak kritis, tidak logis, peka dengan warna, irama, visualisasi dan emosi. Otak bawah sadar tidak kritis, artinya, apapun input yang masuk lewat pintu ini, “tidak disaring” sama sekali. Ia akan FULL MASUK, dan tersimpan lama. Apalagi jika konten input tersebut terus dilakukan berulang-ulang, sehingga akan semakin KUAT pengaruhnya dalam diri kita. Otak bawah sadar juga tidak logis, maksudnya apapun input yang masuk, banyak yang tidak diverifikasi oleh PIKIRAN KRITIS kita. Walaupun mungkin sebagian input ada yang melalui proses filter/saringan dan bahkan diverifikasi oleh pengetahuan kritis kita, akan tetapi jika KONTEN INPUT itu sering masuk, berulangulang (misalnya saja iklan), maka perlahan tapi pasti … konten itu pun akan membekas
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Otak bawah sadar juga peka dengan warna, irama, dan emosi. Itulah sebabnya input yang masuk dalam kemasan penuh warna, nada yang khas, apalagi jika input itu juga dikemas dalam pola yang bisa menyentuh emosi, maka input itu akan sangat mudah masuk dan tersimpan rapi dalam diri seorang anak. Anak-anak dengan begitu mudah menghafal lagu, menghafal adegan sebuah drama, ataupun peka dengan suatu nada. Begitu pula sebaliknya, seorang anak yang sering mendengar Al-Qur’an diputar dalam irama yang merdu, maka tanpa ia sadari, anak itu tiba-tiba telah hafal ayat-ayat yang sering ia dengar itu. Bagaimana Bayi dan Anak Belajar? Lalu, bagaimana seorang bayi atau anak usia dini bisa mempelajari segala sesuatu begitu cepat dan mengetahui sekeliling kehidupannya dengan sangat mudah? Jawabannya adalah, karena mereka belajar menggunakan PINTU OTAK BAWAH SADAR. Seorang bayi, misalnya, tentu saja otak sadarnya masih belum dominan. Ia belum memiliki pengetahuan, belum mampu berpikir, menyaring input yang datang ke otaknya, apalagi mengkritisi. Jadi pintu belajar yang dominan pada dirinya adalah pintu otak bawah sadar. Karena itu, bayi dan anak-anak sangat mudah MENYERAP PENGETAHUAN, apapun.
Desember 2014
11
Prosesnya berlangsung TANPA SADAR, tanpa diajari secara sengaja bahkan. Lantaran pintu belajar yang AMPUH bagi bayi dan anak-anak adalah pintu otak bawah sadar, maka sebaiknya kita gunakan saluran itu dengan sepenuhnya. Usia Pembentukan
sajikan kepada bayi dan anak-anak kita? Materi (konten) apa yang sedang terinstall ke dalam otak bawah sadarnya, ketika ia menjalani 8 tahun kehidupan awalnya? Apabila kita tidak punya “kurikulum” yang direncanakan dengan baik, maka tidaklah
Benyamin S. Bloom, professor pendidikan dari Universitas Chicago, membeberkan fakta yang cukup mengejutkan tentang usia sebenarnya pembentukan karakter manusia. Menurut Bloom, 50% potensi yang akan dipakai seorang manusia, terbentuk sejak anak berada dalam kandungan sampai usia 4 tahun. Lalu 30 % potensi berikutnya terbentuk pada usia 4 – 8 tahun. Ini berarti 80% potensi dasar manusia terbentuk sebagian besar di rumah, sebelum mulai masuk sekolah. Akan seperti apa kemampuannya, nilainilai hidupnya, kebiasaannya, kepribadiannya dan sikapnya … 80% tergantung pada hasil pendidikan dalam keluarganya. Sebagai ayah dan ibu, kita adalah guru anak-anak kita. Baik kita melakukannya dengan benar ataupun salah. Baik “dibentuk” secara sengaja atau pun tidak. Dari mana bayi dan anak mempelajari segala sesuatu? Seluruh panca inderanya adalah pintu masuk informasi. Apapun yang ia dengar, yang ia lihat, yang ia rasakan, semua langsung tersimpan (ter-install file-nya ) di otak anak. Akan menjadi siapa anak kita, bagaimana cara berpikir dan bersikapnya ditentukan sepenuhnya oleh informasi dan pengetahuan (konten) yang tersimpan di otaknya. Ia akan belajar tentang sikap dan kepribadian dari orang-orang yang mengasuhnya. Bagaimana ayah ibunya berbicara, apa yang dikatakan, bagaimana ia bereaksi terhadap emosi-emosi tertentu, bagaimana orang tua bereaksi terhadap tekanan amarah, tangisan dan kerewelan. Semua akan direkam oleh otak bawah sadar anak. Pertanyaan mendasarnya bagi kita sebagai orang tua adalah, seperti apa "kurikulum" yang kita
12
mengherankan apabila akhirnya kurikulum “alamiah”-lah yang secara tak sengaja akan ter-install ke dalam dirinya.
Foto: @Iphoenk Graphic
Kurikulum yang akhirnya dipelajari anak-anak kita adalah kurikulum-alamiah yang diciptakan oleh lingkungan tempat kita saat ini hidup dan berada. Lewat program-program di televisi, interaksi pergaulan di sekitar lingkungan rumah kita, dan juga semua yang berlangsung dalam komunikasi di rumah tangga kita sendiri. Jadi, apa yang “diajarkan” (tanpa sengaja) pada bayi dan anak-anak kita? Apakah ada hal negatif yang “ter-input” ke dalam otak bawah sadar anak
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H Desember
-anak kita? Dimana anak-anak kita sekarang? Dimana mereka pada sebagian besar waktu hidupnya? Apa yang mereka pelajari? Siapa guruguru mereka? Siapa idola mereka? Apa kata-kata yang meluncur dari otaknya? Adakah kegiatan-kegiatan pembelajaran yang
program yang bisa kita lakukan, jika kita ingin mengubah masa depan anak-anak kita: 1. Orang tua dulu yang harus jadi "orang baik", berperilaku shaleh. Apabila orang tua mampu mempertahankan diri (istiqamah) untuk selalu berakhlak baik, beramal shaleh, maka secara otomatis akan muncul kekuatan duplikasi. Semua anak pada umumnya meniru perilaku orang tuanya. 2. Orang tua (ayah dan ibu), perlu terus belajar, khususnya ilmu pendidikan anak. Mari kita mendidik anak dengan ilmu. Nasehat terkenal dari sahabat Ali bin Abi Thalib RA, adalah, "Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya. Karena mereka hidup bukan di zamanmu". Artinya, orang tua perlu belajar agar lebih cerdas dalam mempersiapkan anak-anaknya. Sebab zaman yang akan mereka hadapi berbeda dengan zaman kita. "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (TQS. Az-Zumar [39]:9)
kita programkan secara sengaja? By design? Memang masih ada semacam keyakinan keliru, yang sayangnya masih jadi paradigma kuat di kalangan banyak orang tua, bahwa anak-anak “bersekolah” ya dimulai sejak TK. Akibatnya banyak yang mengabaikan proses belajar anak yang umumnya berlangsung tak sengaja, tanpa sadar, masuk lewat pintu otak bawah sadar sang anak. Dan proses ini terus berlangsung setiap detik. Lewat televisi, lewat internet, lewat teman bergaulnya. Apa Yang Perlu Disiapkan? Jika kita menyadari fakta-fakta ini, ada beberapa
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
3. Kenali dan kendalikan jenis input informasi (ucapan/penglihatan/pendengaran/pergaulan) yang masuk lewat pintu otak bawah sadar anak kita. Dengan begitu bisa kita programkan secara sengaja berbagai muatan positif. Install programprogram positif ke otak bawah sadar anak kita. Misalnya input pendengaran. Maka kita perlu kendalikan kata-kata kita. Apapun situasinya, jaga mulut. “Katakan yang baik-baik saja, atau kalau tidak lebih baik diam,” pesan Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya. “…fal yakun khairan au lisashmut”. Juga program/install otak anak kita dengan input yang disengaja. Misalkan tatkala menidurkan bayi, apa salahnya kita memperdengarkan ayatayat Qur’an kepada bayi kita, baik melalui kaset maupun kita sendiri yang membacakannya. Bahkan ketika masih dalam kandungan, kita bisa
Desember 2014
13
"ajari" anak-anak kita. Lewat bacaan yang kita baca, lewat lagu yang kita putar, bahkan lewat bisikan kita kepadanya. Semua input yang disengaja ini membekas dan ter-install dengan baik di otak bawah sadarnya.
programnya. Ayah adalah kepala sekolahnya. Ibu adalah wakil kepala sekolahnya. Ayah dan ibulah yang akan mempertanggungjawabkan manajemen pendidikan anak-anaknya langsung ke hadapan Allah SWT.
Kita juga bisa setiap hari membacakan buku-buku cerita-cerita ilahiyah, memperkenalkan Allah dan segala sifat-sifatnya, lalu juga kisah-kisah perjuangan Rasulullah dan para sahabat, dan berbagai kisah teladan lainnya. Semua kisah itu akan membekas ke dalam jiwa anak kita!
"Sesuatu yang paling utama yang hendaknya dipelajari oleh anak kecil adalah sesuatu yang diperlukannya ketika mereka sudah beranjak dewasa." (Ali bin Abi Thalib RA.)
Lalu juga kita perlu menyaring betul cerita dan film apa saja yang boleh mereka lihat di televisi, atau mungkin beberapa ada yang perlu kita dampingi dan kita diskusikan bersama mereka.
Akan lebih bagus bila kita kini menyiapkan ‘’kurikulum” pendidikan anak. Bukan hanya bergantung pada kurikulum yang disodorkan oleh sekolah. Pada hakikatnya, orang tua adalah "menteri pendidikan" anak-anak kita.
Ini bukan berarti kita mau mendikte “masa depan 4. Kita juga perlu mengendalikan "sumber anak kita”. Sama sekali tidak. Apapun jalan informasi" atau sumber pembelajaran anak-anak hidupnya nanti setelah dewasa, kita serahkan kita. Saat ini tantangan sangat besar yang perlu pada Allah SWT. Yang kita upayakan dan kita kritisi adalah televisi dan handphone. Jika tingkatkan secara sengaja adalah potensi anak-anak kita "belum siap", maka barangkali kita kemanusiaan (human being)-nya. Bukan hanya perlu menahan diri memperkenalkan gadget pada keterampilan profesionalnya (professional skillmereka. Sebab jika salah langkah, berbagai nya). Jelas, kita harus menyiapkan karakter, sikap, dampak yang tak bisa kita kendalikan akan perilaku, kebiasaan, dan sikap keberagamaan terjadi. (aqidah)-nya. 5. Orang tua perlu mengendalikan lingkungan "pertemanan" anak-anaknya dan mengajari mereka cerdas-sosial. Bergaul dengan orangorang yang baik dan saleh akan membantunya mencapai derajat ketinggian insani. Sementara bergaul dengan orang yang jahat akan mendorong anak ke jurang kehancuran. Hal itu juga dikutip oleh Al-Qur’an, betapa penyesalan orang yang salah memilih teman. TQS. Al-Furqan [25] ayat 28 menyebut, "Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan jadi teman akrab(ku). "
Bukankah memang kewajiban kita sebagai orang tua untuk mendidik anaknya agar menjadi hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi ini? Bagaimana kita menjawab pertanyaan Allah SWT kelak mengenai hal ini?
6. Orang tua adalah "pimpinan sekolah" bagi anak -anaknya. Sekalipun kita "outsourcing" anak-anak kita dengan cara menyekolahkan mereka ke berbagai lembaga pendidikan formal/informal, tetapi pada hakikatnya orang tualah manager
Mungkin karena pada umumnya pengalaman haji berposisi diskontinyu dan mungkin irrelevan dengan tahapan-tahapan peningkatan kualitas kepribadian seseorang melalui proses Islamisasi diri dalam kehidupan nyata. Mungkin. NI
14
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..." (TQS. AtTahrim [66]: 6). Renungan ini menyisakan tanda tanya, sudahkah siapkah kita menjawab pernyataan penting ini?
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H Desember
Keluarga JR
Foto: @Francessco Iannuzzi
T
uhan memberi karunia yang besar bagi keluarga kami. Tiga anak yang tengah tumbuh, menjadi mutiara dan inspirasi. Tak henti-henti kami bersyukur atas karunia kesehatan dan kebahagiaan yang kami raih saat ini. Karunia itu tampak bertambah lengkap dengan hadirnya anak-anak asuh yang melengkapi ruang batin kami untuk berbagi. Dua anak kami yang besar, kami titipkan di beberapa pesantren terpilih. Kecuali anak paling kecil, ketiga anak kami – karena tidak tinggal bersama keluarga – sangat jarang bertemu dengan saya yang sibuk. Ibunya, tiap dua minggu atau sebulan sekali menemui dua anak kami yang berangkat remaja di pesantren. Saya, dulu, ke pesantren dua-tiga bulan sekali atau lebih lama lagi jaraknya. Kadang, karena berbagai kegiatan, baru ketemu anak saat mereka liburan, enam bulan sekali.
Kalau banyak kawan mengisi hari-hari Sabtu dan Minggu dengan olah raga bersama rekan-rekan kerja atau bercengkerama dengan keluarga di rumah, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk diri sendiri. Saya hadiri berbagai seminar, kursus, kuliah, atau mengurus keperluan yayasan yatim. Waktu itu, saya berpikir bahwa ibunyalah yang akan mengurus anak. Dia tentu akan mewakili suaminya, bapak anak-anak – manakala anak bertanya. Jadi, tak masalah kalau saya jarang menemui mereka.
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
15
Sampai suatu hari, tahun lalu, sepulang dari pesantren, Sri, istri saya menyampaikan pesan dari Isal, putra kami. Dengan raut muka sedih, Isal mengeluh kepada ibunya, "Bapak begitu sibuk, hingga sulit bertemu anaknya sendiri. Bapak jarang ke sini. Isal juga ingin ketemu Bapak. Ngobrol santai dengan Bapak, atau makan nasi bungkus bersama Bapak di pesantren." Terhenyak saya mendengar pesan anak kedua kami itu. Saya lupa, rupanya, selama ini saya terlalu mementingkan diri sendiri. Merasa sibuk dengan pekerjaan dan acara-acara lainnya. Untuk keperluan anak-anak, rasanya, bisa didelegasikan kepada ibunya, atau – tak jarang – diwakilkan kepada orang lain. Karena kami sering menerima banyak tamu dari tempat yang jauh, kadang-kadang, kami minta tolong seorang tetangga dekat atau anak-anak yatim yang sudah senior untuk mengurus keperluan anak kami. Anak kami merasa heran, orang tua mereka, khususnya bapaknya, lebih memberikan perhatian kepada kegiatan lain dibanding anaknya. Saya sering menilai sesuatu dengan melihat skala prioritas, berdasarkan logika pribadi semata. Saya lupa, anak-anak adalah jiwa, juga punya pikiran dan perasaan tumbuh, dan memerlukan kehadiran kita. Saya lupa, bahwa yang tumbuh itu memerlukan partisipasi. Pandangan mereka bisa saja berbeda, namun kita harus memastikan kehadiran orang tua untuk bersama melihatnya. Sebetulnya, memang bukan ”terlalu”, namun pengalaman ini menjadi guru. Anak tidak
16
Foto: @Jamil 700
sepatutnya dikesampingkan oleh aneka kepentingan orangtua seolah ia absen dari percaturan ‘keluarga’ dan relasinya dengan dunia luar. Kini saya merenung, mentafakuri diri. Ternyata saya egois. Sebagaimana banyak keluarga modern yang mengejar ‘kesibukan’, saya pun menjadi korban. Saya menomersekiankan perhatian kepada keluarga. Saya baru tersadar setelah Isal bilang, "Bapak jarang menemui saya. Padahal saya hanya ingin ngobrol santai dan makan bersamanya!" Katakata itu, terngiang-ngiang di telinga, menusuk hati, menyalahkan diri. Saya meneteskan air mata. Cerita ini menjadi lengkap ketika saya ke sekolah anak yang berada di Bandung. Guru konseling mengundang saya ke ruangannya. Pak Cucu, seorang guru hebat, dengan metode mangajar yang sering diadopsi Diknas, perlu menyampaikan satu hal khusus ke saya. Sembari itu ia memutar hasil wawancara murid yang telah ia videokan untuk saya. Guru favorit itu menayangkan rekaman wawancara putri kami, Bila, yang segera muncul di layar laptop. "Saya senang bapak saya punya kepedulian yang
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H Desember
tinggi terhadap orang lain. Saya suka bapak berbuat baik dan disukai tetangga. Saya bangga mempunyai ayah yang mengurus anak-anak yatim. Waktu bapak habis untuk mereka. Tetapi, saya, anaknya, perlu perhatian juga. Saya juga ingin sering bertemu bapak. Bapak sangat jarang mengunjungi saya!" Bila berbicara, sementara air matanya bercucuran. Saya tatap wajah anak yang mengadukan ayahnya. Saya terpukul menyesali diri. Cairan hangat meleleh, saya menangis lagi. Sejak itu, saya berusaha mengubah cara berpikir “modern” saya yang demikian egois. Saya mulai mengubah keadaan. Pada setiap acara khusus di sekolah atau pesantren anak-anak, sesibuk apa pun – walau kadang kondisi badan juga kurang sehat – saya sempatkan menghadiri. Saya merasakan hari-hari yang sangat nikmat. Makan di warung nasi kecil bersama keluarga. Makan nasi padang di halaman pesantren dengan anak-anak. Bungkus nasi hangat terasa di tangan. Istri saya biasa memesan nasi padang sebanyak teman sekamar anak-anak. Isal Foto: @Hakan Nural
dan Iki, anak-anak kami, malah tak jarang menambah pesanan untuk teman-temannya dalam kelompok kegiatan ekstra kurikuler mereka. Saat itulah momen-momen bahagia hadir.. Dan anak-anak kami pun merasakan bahagia luar biasa. Berbicara tentang sibuknya orangtua yang kemudian kehilangan waktu komunikasi keluarga ini, saya pernah mendengar kisah seorang pengusaha kaya raya di Amerika. Ia mempunyai bisnis di beberapa negara bagian. Hartanya, saking banyaknya, nyaris tak terhingga. Dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Tak ada waktu untuk bercanda bersama keluarga. Suatu hari, pengusaha itu jatuh sakit. Dokter mengatakan bahwa pebisnis terkenal ini terserang kanker ganas. Pada hari-hari terakhirnya, orang kaya itu mengalami penyesalan yang dalam. Dia merasa berdosa kepada anak dan istrinya. Selama ini, dia habiskan waktunya untuk pekerjaan – yang sebenarnya juga, nanti, untuk dinikmati bersama keluarga. Tetapi saat untuk beristirahat sejenak bersama anak dan istri, menikmati hasil jerih payah usahanya selama ini, tak pernah terjadi. Pengusaha kaya itu keburu sakit. Dia pergi meninggalkan harta yang banyak, tetapi ia dan keluarganya tidak bahagia. Saya ingin mengingatkan rekan-rekan saya, dan juga banyak keluarga yang mulai abai memikirkan perhatian kepada yang dekat. Bahwa ukuran kebahagiaan bukan pada simbol-simbol material yang telah menipu banyak keluarga modern saat ini. Mereka, tanpa sadar meninggalkan keluarga tanpa sentuhan kasih sayang paling sederhana, perjumpaan dan komunikasi yang tulus. Pernahkah Anda menatap mata anak-anak yang demikian merindukan perhatian orang tuanya? Mulai hari ini tataplah, sebelum penyesalan menggelayuti pikiran kita. Semoga Allah senantiasa membimbing kita dan menjadikan keluarga kita dipenuhi rahmah dan cinta sebagaimana ditulis dalam Kitab Mulia.
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
17
Padepokan Tasawuf
Foto: @S. Mohd Almosawi
P
embicaraan tentang lebih dulu mana antara doa dan ikhtiar seorang manusia dalam kehidupannya menjadi topik yang hangat di kalangan santri di Padepokan Tashawwuf, sehingga ketika ada suatu kesempatan bercengkrama dengan Sang Guru Bijak Bestari, salah seorang santri menanyakannya kepada Sang Guru.
Santri: Guru, dalam menghadapi suatu masalah, manakah sikap yang sebaiknya kita ambil, berikhtiar dulu semampu kita lalu menyempurnakannya dengan berdoa? Ataukah Berdoa dulu dengan keyakinan kemudian dilanjutkan dengan ikhtiar kita? Guru: Pertanyaan yang bagus anakku.. Memang dalam sejarah hidup manusia, pertanyaan itu senantiasa muncul di kalangan umat. Namun ketika seseorang sudah mencapai kesempurnaan dalam hikmah kehidupan, niscaya dia akan mengerti tentang persoalan tersebut dengan segala variasinya.
18
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H Desember
Anakku, sebenarnya kedua sikap itu sama-sama benarnya, hanya saja masing-masing memiliki sebab dan kondisi berbeda, yang Allah kuasakan supaya kita melakukan itu. Ketika kita sadar bahwa kemampuan kita -‘pinjaman serta titipan’ dari Kemampuan Allah yang hendaknya kita gunakan secara optimal untuk menyelesaikan masalah, maka kita akan bersikap mengupayakan ikhtiar dulu secara optimal. Baru setelah itu menyempurnakannya dengan doa. Kita saat itu menyadari bahwa sempurnanya doa kita memerlukan syarat ikhtiar dulu. Maka kita akan berusaha sekuat tenaga kita untuk berikhtiar dulu baru kemudian berdoa. Sementara pada kondisi yang lain, ketika pengenalan kita terhadap Allah yang melingkupi semua aspek Af’al (Perbuatan-perbuatan), Asma (Nama-nama), Shifat (Sifat) serta Dzat-Nya sedang menguat sedemikian rupa sehingga menyebabkan kita sadar dan yakin bahwa ternyata Wujud Dia-lah satu-satunya sumber segala daya dan kemampuan di semesta alam ini. Termasuk kemampuan kita, yang awalnya berasal dari pelimpahan kemampuan dari-Nya. Maka sebuah doa terasa menjadi wajib bagi kita yang akan kita panjatkan dengan keyakinan tinggi. Dan ia akan merupakan awal dari ikhtiar kita dalam menempuh kehidupan. Di sini, sempurnanya doa kita bersumber dari kesadaran akan posisi kita sebagai ciptaan yang lemah tanpa daya, berhadapan dengan Dia Sang Pencipta yang Maha Rahman, Pemelihara yang Sempurna. Santri: Lalu bagaimana caranya kita bisa tahu kita sedang berada pada kondisi kesadaran di atas Guru? Guru: Anakku, dalam hidup ini kita harus selalu melatih diri untuk senantiasa melihat peristiwa keluar, maupun ke dalam diri kita. Dan hendaknya kita jujur serta dapat menyelaraskan keduanya. Dengan kejujuran pada diri sendirilah
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
yang kita bangun secara bertahap akan berelasi dengan kondisi obyektif kesadaran dan keyakinan kita terhadap hidup dan Dia Yang Maha Hidup, Pengelola kehidupan dan segala hakikat kehidupan ini. Secara bertahap kita akan dapat mengetahui tahap kesadaran batin apa yang kita miliki. Untuk itu kita hendaknya senantiasanya meningkatkan pengetahuan dan pengenalan kita terhadap Allah Rabb al-Alamin, serta mencermati suasana batin kita dalam merespons bertambahnya pengetahuan tersebut. Santri: Maksudnya bagaimana Guru? Guru: Karena antara pengetahuan dan sikap batin kita adalah dua hal berbeda, maka meningkatkan pengetahuan adalah satu hal, sedangkan mengendalikan sikap batin adalah hal yang lain lagi. Kita bisa saja memiliki pengetahuan tentang tauhid yang paripurna karena pengetahuan itu bisa dipelajari. Tetapi, pada saat yang sama karena kita tidak bisa memenangkan pertempuran keyakinan dalam batin kita. Bisa saja keyakinan kita tentang Allah sebagai sumber dari segala sesuatu (kondisi, masalah, kekuatan, rezeki, dan lainnya) lemah. Akibatnya, kita lebih khawatir terhadap kondisi yang akan menimpa kita dari pada yakin bahwa semua kondisi yang kita hadapi, adalah seizin Allah dan Dia tujukan sebagai sarana pembelajaran buat kita. Santri: Bisa dijelaskan supaya jelas Guru? Guru: Mari coba kita aplikasikan pada persoalan sehari-hari kita. Misalnya kita seorang sarjana S-1 bidang tertentu. Baru lulus dan belum memperoleh pekerjaan. Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Allah sebagai sumber rezeki sudah berkali-kali kita baca, mengerti, bahkan kita hafal. Tetapi soal memenangkan pertempuran batin akan kecemasan masa depan ekonomi dan status kita, adalah hal berbeda. Ia dipengaruhi oleh seberapa luas dan lengkap pengetahuan kita
Desember 2014
19
mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (TQS.Thaaha [20]:132) “Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksisaksi (hari kiamat)” (TQS.Al-Mumin [40]:51)
Foto: @Arabians Lens
tentang Allah terkait rizki meresap di dalam batin kita.
Pikiran kita yang logis membuat pengetahuan yang benar kita pahami, tetapi dzikr, perilaku akhlak mulia serta kesadaran batin pengakuan kita terhadap kesempurnaan Allah-lah yang mempengaruhi kemenangan batin kita untuk meyakini sesuatu yang kita pahami. Jadi, pengetahuan tentang rezeki, Allah sumber rezeki (Ar-Raazak), haruslah kita lengkapi dengan latihan batin berupa senang berdzikr di setiap kondisi. Mengamalkan akhlak mulia, agar kekhawatiran masa depan rezeki kita bisa ditenangkan oleh keyakinan bahwa Allah Ar-Raazak sudah mengatur rezeki kita secara bijaksana dan tak pernah ”salah bagi”. Dan Allah-lah yang menjamin kebahagiaan masa depan kita, selama kita mengikuti Kehendak-Nya.
“Dan berikanlah berita gembira kepada orangorang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah, dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kembalinya segala sesuatu.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 155-156) “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(TQS. AlBaqarah [2]:115) Nah..anakku, semoga uraianku ini bisa kau mengerti, dan kalian dapat bersikap sesuai dengan kapasitas keyakinan kalian masingmasing. Yang penting, kalian jujurlah pada diri sendiri. Dan .. jangan kalian membiasakan menilai tindakan orang lain dengan kacamata kalian. Sebab sesungguhnya lapis demi lapis kebenaran dan hikmah itu sedemikian lebar dan di luar jangkauan nalar kita.
Bila kita membiasakan bertindak demikian dalam hidup ini, maka secara bertahap keyakinan kita terhadap ayat-ayat berikut ini Insya Allah akan Allah kuatkan:
Santri: Subhanallah Guru, berat nian pengertian sikap yang Guru ajarkan. Semoga Allah menolong kami memahami dengan baik apa yang disampaikan Guru. Semoga Dia membimbing kami dalam memahami serta mengamalkan doa dan ikhtiar secara benar. Terimakasih atas penjelasan Guru.
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu
Guru: Alhamdulillahi Rabbil Alamiin. TBH
20
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H Desember
Bilik Langit
Foto: @Ali Trisno Pranoto
F
uad merasa serba salah. Keadaannya yang ‘longgar’ menjadikannya buah bibir di antara para rekan. Dia, manajer proyek bantuan sosial dengan ‘omzet’ pekerjaan miiliaran rupiah. Rekanrekannya yakin dia pun punya banyak uang yang ‘bebas’ karenanya. Tetapi kenyataannya, acapkali seorang rekan meminta sumbangannya untuk hal tertentu, ia seringkali menolaknya. “Andai saja, dari pekerjaanmu itu ente dapat 2,5 persen dari para penerima bantuan, berapa miliar kekayaan ente sekarang?”, kata seorang temannya. ”Itu sudah lumrah, ente gak usah malu”. Fuad tersenyum kecut. Pikirannya tertuju pada Hatib yang beberapa hari lalu mendatanginya. Dia bingung—menyumbang banyak, tidak punya uang. Menyumbang sedikit, tak enak pula kepada teman.
”Masjid kampung kita lama terbengkelai”, Hatib mengeluh. ”Sejauh ini masyarakat hanya mengandalkan hasil pasir galian dari sungai kecil yang mengaliri kampung. Saya dengar ente penanggungjawab bansos pendidikan. Pastilah punya duit banyak. Bisa dong sisihkan sedikit untuk bangun masjid”. Sejenak Fuad diam. Dia mengusap jam seken yang dibeli dari toko loakan. ”Hatib kamu tidak mengerti”, gumamnya dalam hati.
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
21
Foto: @Andhika Satya
“Itu bantuan, bukan uang pribadi, Tib”, Fuad menjelaskan. ”Tapi kan biasanya ada potongan atau tanda terima kasih dari penerima bantuan”, sergah Hatib mendesak. Fuad menunduk. Hatib bisa jadi benar. Mestinya dia bisa potong sedikit atau terima uang terima kasih, lalu membagikannya kembali kepada yang butuh. Bukankah selama ini bantuan tidak merata? Dan ini ada celah menciptakan pemerataan? Tetapi secara aturan, ini ‘kan tidak bisa. Ah, itu kan aturan manusia. Yang penting manfaatnya! Dada Fuad bergemuruh. Perang batinnya berkecamuk. Memang, pernah berharap suatu ketika menjadi orang berpunya, orang kaya. Dia bisa leluasa membantu orang. Tapi dia tak tahu cara bagaimana mewujudkannya. Dia hanya mengikuti khayalannya. Apa mungkin ada suatu peristiwa seperti tergambar dalam benaknya. Ada seseorang yang sangat kaya bermimpi bertemu sosok tua penuh wibawa. Orang tua itu menyuruhnya menemui Fuad dan memberinya separuh harta yang dimilikinya. Selekasnya di pagi buta, orang kaya itu bergegas menemui Fuad... “Pak Fuad, ini ada uang 77 miliar. Bapak bisa lakukan apa saja asal membantu orang yang tidak mampu. Saya percaya bapak sepenuhnya”. Orang itu berkata dengan nada bergetar. Sadar dari lamunannya. Fuad hanya tersenyum geli demi mengingat cerita khayal dalam benaknya. Namun sekarang, khayalannya itu memang jadi bagian dari dirinya. Ia tidak berurusan dengan orang kaya yang menitipkan uang. Namun saat ini dia memiliki posisi itu. Dia
22
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
memiliki kekuasaan penuh atas sejumlah ‘uang besar’ bahkan melebihi 77 miliar.. untuk suatu program bantuan pendidikan yang, sayangnya tidak ada di dalamnya skema bantuan membangun masjid. Dia sama sekali tak diijinkan memakai dana itu untuk membangun masjid, sebagaimana usulan Hatib, sekalipun itu untuk kemaslahatan umum. ”Fuad”, Hatib menyela! Memecahkan lamunannya. ”Iya Hatib. Saya tidak bisa, Tib. Bagaimana mungkin di satu sisi saya membantu orang lain untuk kemaslahatan, namun untuk itu saya memotong bantuan yang diamanatkan kepada saya”, tukasnya pada Hatib. Ia betul-betul berharap Hatib paham. Bagi Fuad, inilah ujian keistiqamahannya. Ia sadar.. Syetan bisa menjelma dalam pikiran atau tindakan yang sepintas benar. Ia kemudian mengingat wejangan Kanjeng Nabi, seperti dituturkan Imam Bukhari, ”Syetan itu merasuk ke dalam diri manusia seperti darah. Menelusupi setiap bagian tubuh. Aku sangat khawatir ia menanamkan sesuatu pada kalian tanpa kalian sadari”. Saat mengingat pesan Nabi itu, rasa khawatir Fuad terasa memuncak. Dia lalu berulang kali melantunkan doa yang diajarkan Al-Qur’an, ”Tuhanku, aku mohon perlindungan dari bisik rayu syetan. Aku mohon, dengan sangat, janganlah ia sampai mendatangiku, merasuki hatiku’’. (TQS. 23:97-98). Fuad berusaha sekuat tenaga melawan kecenderungan dirinya. Selanjutnya, Ia ingin kesadaran akan jebakan syetan ini bisa menjadi bagian penting alam bawah sadarnya. Orang bisa saja mengatakan dia keliru, karena kesadarannya lebih didominasi was-was ketimbang mengingat Allah. Tetapi baginya itu masih lebih baik. Karena setidaknya dia tidak melakukan hal buruk, mengikuti syetan.
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Sekalipun baginya tidak melakukan kebaikan. Bukankan menghindari syetan merupakan bentuk kebajikan lainnya yakni tetap mengingat Allah. Dia merasa, dalam sejumlah aktivitas yang mengandung amaliah kebaikan, selalu saja pikiran buruk menyergap, dalam berbagai bentuknya: keraguan, was-was, berprasangka. Ini semua membuatnya paham, mengapa Allah menyuruh kita berta’awudz. Bacaan mohon perlindungan kepada Allah sebelum melafalkan Basmalah ketika kita hendak membaca AlQur’an. Karena itu, tanpa disadari Fuad berusaha sesering mungkin membaca ta’awudz sebagai benteng diri, kapan saja, baik kala akan membaca Al-Qur’an, atau melaksanakan aktivitas lainnya Bacaan ini begitu menenangkan hatinya, dan membuatnya kian yakin bahwa Allah melindungi hamba-Nya. A’uudzubillahiminasysyaithaanirrajiim. Ya Allah, hamba berlindung kepada-Mu dari syetan yang menggiring kepada keburukan. Lindungi hamba ya Allah, dari sikap dan perbuatan buruk yang menjauhkan kami dari kebenaran. Hindarkan hamba ya Rabbana, dari perbuatan yang seolah baik, padahal ia seringkali menjerumuskan.. Maha Suci Engkau, ya Allah.. Perlahan, pikiran Fuad menjadi tenang.. mengenang keputusan yang ia lakukan. Seraya berlindung dari sikap dan perilaku buruk, yang biasanya menjadi ide menjerumuskan dari syetan sang pengganggu. Mereka senantiasa menawarkan hal yang seolah bagus di mata manusia, namun tidak di mata Tuhan. Je Abdullah, Penulis Buku Khafilah Al Fathihah.
Desember 2014
23
Horizon
Foto: @Michael Kosachyov
Rasulullah SAW ketika menggali parit pada Perang Khandaq, menyampaikan sabda, “Konstatinopel (Istanbul) akan jatuh ke tangan tentara Islam. Rajanya adalah sebaik baik raja, tentaranya adalah sebaik baik tentara.” (HR. Imam Ahmad).
M
engingat perang Khandaq yang menjadi milestone bagi kehebatan Sahabat Salman alFarisi, Nabi mengingatkan bahwa kegigihan dan kesucian hati akan membawa kejayaan tersendiri bagi ummat Islam. Pada saat itu semua pasukan muslim menggelegak semangatnya dan bahkan anak-keturunan pasukan muslim itu akhirnya mampu mewujudkan gambaran situasi yang disampaikan Nabi saat perang Khandaq terjadi. Hadits Nabi yang terkenal ini pun akhirnya benar-benar terbukti. Pada seitar 8 Abad sesudah Nabi menyampaikan pesan menggelora ini, kemudian tentara Islam melahirkan Panglima yang tiada bandingnya: Sultan Muhammad Al Fatih, khalifah kerajaan Usmaniyyah, yang memimpin penakhlukan Konstantinopel, 1453 M, ibukota Romawi bersama 15O.OOO tentara yang tidak ada tandingannya. Kejatuhan Konstantinopel (bahasa Turki: İstanbul'un Fethi) adalah penaklukan ibu kota Kekaisaran Romawi Timur, yang terjadi setelah pengepungan sebelumnya, di bawah komando Al-Fatih, yang kala itu berusia 21 tahun. Strategi jitu yang menjadi legenda melawan tentara bertahan yang dikomandoi oleh Kaisar Bizantium Konstantinus XI. Penakhlukan ini, berdasar tarikh merupakan akhir dari Abad Pertengahan yang dihiasi oleh era berkuasanya Kekaisaran Kristen di Eropa dan Asia. Zaman baru penakhlukan Romawi merupakan
24
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
tonggak sejarah tersendiri dan tidak banyak diungkap bahwa sejarah bukan saja mencatat kelahiran juru perang baru, namun telah membukukan sebuah epos bagi ‘Tentara Suci’ yang mampu menakhlukkan kemegahan dunia. Di mana sesungguhnya kehebatan Sang Pemimpin yang mampu menakhlukkan ‘pusat dunia’ pada saat itu?
Majalah paling populer di Amerika, Foreign Policy Magazine bahkan menobatkannya sebagai orang nomor satu dari 100 tokoh paling berpengaruh di dunia.
Semangat Gulen inilah yang kemudian menghantarkan sinergi bagi berbagai aktivitas yang dibangun antar-sesama komunitas muslim di berbagai penjuru dunia saat ini. ‘’Intinya, Inilah yang dikenang dalam catatan sejarah, tinta ummat Islam tidak boleh kalah dalam persaingan emas pencapaian kualitas muslim yang diidamkan masa kini yang diharapkan unggul di semua lini Rasul. Pertama, semua tentara Sultan profesional yang saat ini banyak dikuasai bangsa Muhammad, tidak pernah meninggalkan shalat Barat’’, tambah Kasim. fardhu sejak baligh walau sekalipun. Kedua, Di Indonesia, melalui Pasiad (Pacific Countries, setengah tentara Sultan Muhammad tidak pernah Sosial Economic Solidarity Association) dan meninggalkan shalat fardhu dan shalat rawatib kerjasama antarnegara saat ini dibangun berbagai sejak baligh walau sekalipun. Ketiga, Sultan fasilitas kerjasama pendidikan, ekonomi dan Muhammad sendiri tidak pernah meninggalkan kebudayaan yang melahirkan sejumlah tonggak shalat fardhu, shalat rawatib dan shalat tahajjud prestasi. Khususnya bidang pendidikan, menurut sejak baligh walau sekalipun.. Subhanallah! Inilah Kasim, kerjasama Indonesia Turki yang profil sebaik baik raja dan sebaik baik tentara yang melahirkan sekolah ‘mitra Pasiad’ berasrama telah diinsyarakatkan Rasulullah SAW. dengan dwibahasa – di berbagai kota besar di Melanjutkan Semangat Fatih Indonesia, telah berhasil menghimpun anak-anak muda berakhlak yang jagoan olimpiade sains. ‘’Pada intinya, perjuangan Muhammad Al Fatih ‘’Tahun ini saja kami menyabet anugerah puluhan itulah yang menjadi inspirasi bagi bangsa kami medali tingkat nasional dan internasional dari untuk menebarkan semangat keislaman modern yang mampu menjawab tantangan zaman’’, tegas Kasim Uludag, Ketua Bidang Pengajaran Sekolah Sekolah Kesatuan Bangsa --sebuah sekolah unggulan yang berafiliasi dengan Organisasi Nirlaba Pasiad Turki. Pasiad, yang merupakan payung aktivitas pendidikan dan budaya di bawah naungan Fethullah Gulen Foundation yang memiliki aktivitas di lebih dari 90 negara. Gulen, sebagaimana diketahui adalah ulama kharismatik Turki yang kini bermukim di Pensylvania US, merupakan ideolog gerakan sosial Turki masa kini yang ingin kembali meraih kejayaan Islam bersama umat muslimin di negaranegara sahabat, termasuk Indonesia. Gülen atau yang akrab disapa Hocaefendi, merupakan sosok ulama kharismatik dan paling berpengaruh di Turki bahkan di seluruh dunia saat ini. Pada 2008
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
Foto: @Ivan Irawan
25
murid-murid Indonesia di Sekolah Mitra Pasiad seluruh Indonesia’’, tambah Kasim. Ada 10 sekolah yang menyebar dari Aceh hingga Makassar yang antara lain menjalin kerjasama pendidikan unggul, memfasilitasi bantuan pendidikan dan sarana sekolah di berbagai wilayah dan memanggil anak-anak berbakat untuk melanjutkan studi S1 sampai S3 dari sekolah mitra di tingkat SLA itu.
kawan-kawannya yang memperoleh beasiswa adalah kesan bahwa Turki, pada umumnya kini telah memulai suatu genre baru dalam pengajaran dan dakwah, yakni mengutamakan pembangunan karakter dan nilai keislaman yang diorientasikan untuk berani memenangkan persaingan di era global dengan bangsa lain.
Mengenai keunggulan ini, mendiang Presiden Abdurrahman Wahid memuji habis upaya yang Hasil-hasil kerjasama yang tampak nyata itu dilakukan Fethulag Ghulen Foundation di Turki, bukan saja disebabkan oleh kuatnya pengajaran ‘’Kita berutang pada jasa Fethulah Ghulen dan sains, melainkan pendidikan budi pekerti dan para pengusaha Turki yang luar biasa gigih karakter yang memang menjadi perhatian utama memberikan layanan pendidikan dalam kerjasama program kerjasama unggulan ini. Di setiap kota yang luar biasa dengan bangsa lainnya. yang terdapat mitra Pasiad, lembaga ini Pendidikan di Indonesia seharusnya belajar menggandeng mahasiswa universitas berprestasi banyak dari mereka yang menghasilkan manusia dari kalangan khusus untuk menjadi hub (mentor) unggul yang terbangun akhlak dan karakternya. yangberada di asrama pelayanan (Hizmet) – untuk Itulah yang dibutuhkan Indonesia saat ini’’, melaksanakan berbagai aktivitas sosial tegasnya beberapa waktu lalu. kemasyarakatan di lingkungan pendidikan tinggi Kini , memang tiba saatnya untuk memulai suatu tersebut. Dari semangat ‘melayani’ inilah lahir gerakan baru dalam bersinergi. Apa yang dirintis kader-kader dakwah yang bukan saja ‘pandai’ Pasiad Indonesia yang mencoba menggalang secara akademik namun memiliki karakter khas kerjasama mutual tanpa pamrih dan demi cita-cita yang santun dan berakhlak mulia sebagaimana kejayaan Islam sebagaimana diinspirasi oleh diidamkan pendidikan islami. ideolog Fethulah Gulen itu, kita harapkan terus ‘’Kami benar-benar digembleng untuk mencapai bertumbuh dan luas dukungannya di hari prestasi setinggi-tingginya dalam persaingan mendatang. Tentu sayang apabila ikhtiar yang global. Pendidikan Pasiad di Indonesia telah dipenuhi visi ke depan yang cerlang itu harus mengantarkan kami menuju Turki dan tertambat di landasan, manakala kita abai pada mendapatkan beasiswa pendidikan terbaik di sini ajakan simpatik untuk ikut ‘’mengubah wajah dengan dukungan penuh, ’’ tegas Rama Arisandi, dunia saat ini’’. pelajar Sekolah Mitra dari Sulsel yang DS, Laporan Syahrul Mawardi (Jogja) dan mendapatkan beasiswa di Yildiz Technical Azmi Sajidan (Istanbul). University, Istanbul. Pengalaman Rama dan
26
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
Profil
Penjaga moral umat yang santun dan lebih mengedepankan ukhuwah. Profil ulama pendamai. Prof. Dr. K.H. Miftah Faridl: Sosok yang meneguhkan visi keulamaan dalam karya dan mampu menunaikan tugas keumatan yang menyejukkan di segenap era, sebagaimana harapan umat.
G
uru, ulama dan sosok santun yang meneduhkan itu, tetap berdiri tegar manakala anak-anak muda menghampirinya. Kata-katanya lembut, meneduhkan hati. Pikirannya terang dan runut, hampir tak termakan usia. Sang Guru penyejuk hati umat itu, kini telah memasuki usia senja, namun karya dan kiprahnya patut dikenang semua orang yang rindu sosok ulama lengkap di zaman yang berubah demikian cepat seperti saat ini. Kerinduan umat akan sosok seperti Prof. Miftah, memang sangat beralasan. Pada masa-masa sulit di era Orba, hidup generasi muda yang rindu perjuangan melawan angkara, sontak terbakar oleh gelora semangat yang disiramkan K.H. Miftah saat berceramah. Namun hati yang membara sejenak kemudian menjadi tenteram oleh siraman ruhani yang sejuk bagai embun yang meluncur melalui mimbar yang dihadiri ribuan orang. Tua-muda, laki-perempuan, di era itu bagai menemukan oase, sosok ulama yang meneduhkan dengan lisan yang rapi bertutur dan untaian kata yang mengharu-biru
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
27
kerinduan akan nilai-nilai keilahian paripurna. Ulama yang santun pasti dirindukan, karena umat menanti kelahiran kader-kader ulama yang memiliki integritas di era kini. “Ulama yang ikhlas dan salih semakin langka. Banyak di antara beliau sudah berpulang. Ada pula, ulama yang meninggalkan umat karena tertarik pada hal lain, dan tak sedikit umat yang meninggalkan ulama karena akhlaknya tidak dapat dicontoh,” tegas Guru Miftah, kepada Al-Islam di kediamannya yang teduh di bilangan Bandung Timur.
dengan dunia pergerakan dan para tokohnya. Pengalaman tersebut membentuk keinginan kuat dalam diri Miftah untuk menjadi penerus kegiatan dakwah yang mumpuni sebagaimana Ayah dan lingkungan perjuangan yang dibinanya. Sebagaimana lazimnya anak tokoh pada masanya, Miftah kecil mendapatkan pendidikan formal di Sekolah Rakyat pada pagi hari, sore hari ia mengikuti pendidikan informal di Madrasah Diniyah Selepas SR, ia melanjutkan ke Pesantren Syamsul Ulum, Sukabumi. Pesantren ini
Di usianya yang sudah melebih 70 tahun, dengan kesehatan yang sering terganggu, semangat Miftah Faridl masih utuh. Dalam benaknya pemikiran masa depan umat tak boleh berhenti. Sebab itu, berbagai gagasan keumatan baik pendidikan, bisnis, sampai kepada relasi politik dan sosial tetap menghias hidupnya yang barkah di usia senjanya. Ia melihat, sosok ulama yang tulus, demikian langka. Maka hadirnya menjadi pelita dan pelipur lara bagi umat yang membutuhkan sosok ulama paripurna.
Mengenal Pergerakan Miftah lahir pada 18 Oktober 1944, atau 1 Dzulhijjah 1363 H, di Pacet, Cianjur, Jawa Barat. Ia anak pertama pasangan H.M. Misbach dan Umi Kultsum. Ayahnya anggota dan aktivis Partai Masyumi. Miftah dibesarkan dalam keluarga pejuang dakwah. Kakeknya dari ibu, H. Thoyib, adalah anggota Partai Masyumi. Dikenal sebagai sosok dermawan yang memiliki perhatian besar terhadap persoalan umat. Kediamannya yang nyaman sering digunakan sebagai pusat dakwah dengan mengundang ulama dan kyai dalam majelis ilmu di lingkungan masyarakat Jawa Barat. Tokoh pergerakan beken seperti K.H. Isa Anshari - “singa podium” dan tokoh Masyumi - kerap datang. Inilah persentuhan pertama Miftah kecil
28
berafiliasi ke PUI (Persatuan Umat Islam). “Gaya fikihnya mirip Persis, amaliahnya seperti Muhammadiyah”, tambah Miftah. Pendidikan pesantren yang ketat ia tekuni bersamaan dengan pendidikan formal di pagi hari di Tsanawiyah. Di pesantren sore inilah Miftah mendapatkan gemblengan pada K.H. Acep Zarkasi, K.H. Badri Sanusi dan Ketua MUI Jabar, K.H. EZ Muttaqin. Miftah muda juga menyalurkan kegemarannya berorganisasi melalui PII.
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
Menjadi Aktivis Atas kemauan sendiri, selepas sekolah lanjutan pertama, Miftah ‘merantau’ ke Jawa Tengah, tepatnya di Solo. Ia menyelesaikan pendidikan di Aliyah, di lingkungan NU. Pada 1962, ia masuk ke Baitul Qadla, UNU – yang dijalaninya hanya beberapa bulan saja, lalu pindah ke Perguruan Tinggi Agama Islam Jamsaren. Semangat belajarnya terus menyala dan dilanjutkan hingga sarjana muda di dua PT yakni Fak. Dakwah Universitas Al-Irsyad (1965) dan Fak Tarbiyah
menyebabkan terjadi “pertarungan” yang ketat, panas dan keras antar aktivis ketiga kekuatan itu. Kota Solo, bagi Miftah, seperti Kawah Candradimuka yang “menggodoknya” menjadi aktivis dakwah yang mumpuni, militan dan tahan banting. Di Kota Batik ini pula Miftah bertemu dan berinteraksi dengan tokoh-tokoh muda Islam, yang militansi kejuangannya tanpa tanding, seperti Abu Bakar Ba’asyir, dan Abdullah Salim Ghuzi – yang kemudian menjadi tokoh dakwah di Solo. Semasa mahasiswa, Miftah tergolong sangat aktif di dunia pergerakan mahasiswa. Berbagai jabatan kunci seperti Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Al-Irsyad, Ketua Umum HMI Cabang Solo selama dua periode (1965-1967), Presidium KAMI Solo, Koordinasi Kesatuan Pemuda Islam Solo, Ketua Himpunan Keluarga Jawa Barat di Solo (19671969) dan Sekretaris Lembaga Ilmu Politik Islam di Solo (1969). Dunia jurnalistik ia lakoni pula dan tercatat menjadi staf redaksi Majalah “Siaran Da’wah Ihsaniyah” Solo tahun 1969.
IAIM (1968). Miftah kemudian menyelesaikan sarjana di Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM) Solo - sekarang Universitas Muhammadiyah Solo, tahun 1969. Masa pasca kemerdekaan yang genting, menggembleng jiwa kejuangan Miftah. Di Solo, masa itu, kekuatan Islam, Kristen dan Komunis seimbang. Kita tahu Solo memang merupakan basis pergerakan PKI saat itu. Indikasinya, antara lain, adanya Universitas Pemerintah Kota Solo yang didirikan Utomo Ramlan, Wali kota waktu itu, seorang kader PKI. Kondisi seperti itu
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
“Ketika menjadi Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Al-Irsyad Solo itulah saya mengenal Abu Bakar Baasyir, karena ia adalah wakil saya”. ”Bersama Ba’asyir kami membina eks PKI untuk kembali kepada ajaran Islam paska pemberangusan tahun 1965”, tambahnya. Miftah mengaku periode aktif di Solo ini ia mendapatkan gemblengan langsung dari beberapa tokoh reformis yang mumpuni di bidangnya, seperti K.H. Ghozali (pendiri Al-Islam Solo, ahli ilmu Hadits), K.H. Umar Hubeisy (Al-Irsyad), K.H. Hasbi AshShidiqie (ahli ilmu Tafsir) dan K.H. Mukhtar Yahya (ahli ilmu Fiqih).
Dakwah yang Menyejukkan Saat menjabat sebagai Ketua Umum HMI Cabang Solo, para sahabat muda di HMI Pusat yang padat pemikiran seperti Nurcholish Madjid, Imaduddin
Desember 2014
29
Abdulrahim dan Endang Saifuddin Anshari menjadi kolega perjuangan dakwah era itu. Tak kurang nama-nama tokoh politik kini seperti Jusuf Kalla, Akbar Tanjung dan Fahmi Idris menjadi teman bermainnya. Miftah pun berperan penting pada proses terpilihnya Nurcholish Madjid sebagai Ketua Umum PB HMI, dalam Kongres Solo 1966.
Padjadjaran, UIN SGD, beberapa perguruan tinggi swasta hingga ITB.
Sikap dan cara pandang yang terbuka, menyebabkan Miftah bisa diterima dengan baik oleh banyak pihak dan golongan, dari kelompok “keras” sampai kelompok “paling lunak”. Miftah dikenal dekat dengan tokoh berbagai organisasi massa dan partai politik Islam dan dalam kancah pergolakan politik di semua era. Latar belakang dan kelengkapan relasi inilah yang menyebabkan nama Miftah sampai kini masih tercatat sebagai Ketua Umum MUI Kota Bandung.
Perilaku Sosial Politik Kyai: Studi pada Masyarakat Transisi di Wilayah Cirebon dan Bandung”.
Miftah menikahi Sri Aryati Farida pada 3 September 1969. Kini dikaruniai 4 orang anak dan 8 cucu. Farida adalah anak pasangan Abdul Fatah Marda’i dan Sumiyati. Marda’i – mantan Kepala Studio RRI Bandung - adalah teman dekat Suhud, Tampak suatu keunikan dalam kehidupan dan ayahnda Prof. Amien Rais. Pada awal Farida pendidikan serta aktivitas di dunia pergerakan menempuh pendidikan di Solo, ia dititipkan di yang dilakoni Miftah. Ia dilahirkan dalam keluarga rumah keluarga ini. Inilah ‘hubungan’ yang Masyumi, lalu nyantri di PUI dan belajar di menjelaskan kedekatan Miftah dan Amien Rais. lingkungan NU (UNU), serta Al-Irsyad dan Muhammadiyah. Miftah muda lalu beraktivitas di Mendapat Kehormatan Guru Besar ITB HMI. Rangkaian perjalanan yang panjang dan lengkap, diikuti tokoh pergerakan yang beraneka Miftah menyelesaikan program doktornya di UIN watak dan dimensi ini menjadikan Miftah dikenal Syarif Hidayatullah, Jakarta tahun 2000 dan lulus sebagai figur pendamai yang jempolan dalam dengan predikat cum laude. Ia menulis disertasi perjuangan umat sejak dahulu. berjudul: “Peranan Persepsi Teologis dalam
Bagi warga Jawa Barat, sosok Miftah sudah menjadi ikon hampir seluruh generasi. Sosok ulama, guru, pembimbing dan pembina berbagai aktivitas dakwah saat ini dikenal sebagai ulama yang pendidik dan meneduhkan. Dunia dakwah dan pendidikan agaknya menautkan minat Miftah dalam artikulasi dakwahnya. Sejak merintis karir sebagai dosen pendidikan agama hingga menjabat PRI di Universitas Islam Siliwangi (Unisi), awal 1970-an merupakan masa subur Miftah berkarir di dunia pendidikan formal. Beberapa universitas terkemuka di Bandung memintanya mengampu pendidikan agama antar alain FKIT IKIP Bandung, FMIPA Universitas
30
Puncak profesi Miftah sebagai pendidik rupanya terpaut di kampus teknik tertua berlambang gajah, ITB. Setelah genap mengampu mata kuliah Pendidikan Agama selama kurang lebih 40 tahun, ITB menganugerahinya gelar profesor. Luar biasa, karena Miftah adalah guru besar bidang humaniora ITB yang pertama yang dianugerahkan oleh ITB. Pemberian gelar Profesor oleh ITB kepada seorang dosen agama, adalah sebuah fenomena menarik karena ITB tidak memiliki Program Studi Agama. Selama lebih dari 45 tahun perjalanan dakwahnya, Miftah telah menulis sekitar 38 buku – dengan topik beragam. Beliau memberikan berbagai training, ceramah, khutbah dari mimbar. Uniknya, kesantunannya ditunggu jamaah baik di kota maupun di pelosok desa. Dari pojok negeri hingga ke manca negara. “Menjadi jalan, semua ini tidak lepas dari peranan Bang Imad (Imaduddin Abdulrahim). Beliaulah yang memberi rekomendasi mengajar di ITB”, ungkap Miftah
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H Desember
dengan rendah hati. Ia mengenang khusus gelora semangat Bang Imad di kancah dakwah LDMI. Miftah pun sering diajak ke beberapa daerah bahkan hingga ke berbagai negara dan bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Sejak itulah Miftah mengenal dan dikenal tokoh pergerakan di dunia Islam seperti Anwar Ibrahim, Ahmad Totonji dan
Majlis Pembina Masjid Istiqamah, Ketua Umum MUI Kota Bandung, Ketua Umum Pengurus Yayasan Unisba, Ketua Umum Pembina Yayasan ad-Da’wah Bandung, Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat dan Ketua Pembina Dompet Dhuafa Jawa Barat. Pada kondisinya yang ”fit” ia juga masih menjadi
nara sumber mimbar dakwah di berbagai media cetak dan elektronik dengan mengampu berbagai masalah umat, dari yang global sampai yang pelik -pelik. “Semua tugas harus dinikmati dengan ikhlas”, tambahnya dengan senyum yang tulus. Dalam kesehariannya kini Miftah tetap sebagai Wajahnya yang bersih, walaupun saat sakit sosok guru dan ulama yang dinantikan menghampiri, tak menyurutkan semangatnya pendapatnya secara ajeg oleh berbagai kalangan. untuk tetap menggelorakan semangat dakwah Ia tak ingin terjun lebih dalam ke dunia politik. Di kepada yang muda. “Seyogyanya memang, ulama sela aktivitas formalnya di MUI Bandung, ia tetap tampil menjaga moral umat, Indonesia saat ini seorang “kyai” tempat umat bertanya tentang merindukan sekali sosok ulama, sebagian besar berbagai persoalan. Sambil menulis buku sebagai ulama yang mumpuni telah tiada”, sergahnya warisan khasanah intelektual, Miftah mendirikan menghela nafas. Namun senyum tulus itu masih “pesantren mahasiswa” untuk melakukan tersisa. Senyum tenang yang amat dirindukan kaderisasi dakwah kepada yang muda. umat. yang lain. Beberapa kali Miftah menghadiri kegiatan World Assembly of Moslem Youth dan International Islamic Federation of Student Organizations.
Berbagai organisasi sosial kini masih memintanya Ulama yang mumpuni, senantiasa dirindukan menjadi penasihat. Kini, Miftah masih menjadi umat. Tetaplah bersinar, Guru! JS anggota Majelis Pembina YPM Salman ITB, Ketua
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
31
Pojok Kajian Al-Hikam
Foto: @Michael Kosachyov
Hikmah #1 Kitab Al Hikam, Karya Ibnu Atthailah
“Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya adalah kurangnya ar-raja’(rasa harap kepada rahmat Allah), di sisi alam yang fana/tidak kekal."
S
eorang disebut bersandar kepada amal-amalnya adalah jika dalam menjalani hidup ini, meskipun secara lisan dan pikirannya dia menyatakan bahwa hanya kepada Allah SWT saja dia bergantung, namun secara hakiki, dalam qalbnya tidak seperti yang diucapkan keadaannya.
Sementara tentang makna ar-raja’ (berharap), Imam An-Nawawi (semoga Allah meridhai beliau), dalam kitabnya Riyadhus Shalihin, menjelaskan ar-raja’ adalah mengharapkan ridha, rahmat, kasih sayang serta ampunan Allah Ta'ala dengan disertai amal perbuatan yang menyebabkan Allah
32
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H Desember
mengabulkannya. Menegaskan tentang diri-Nya, Allah SWT dalam surah Thaaha [20] berfirman, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang haq) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.” (TQS. Thaaha [20]:14) Dalam sebuah hadits Qudsy, dari Abdullah bin Umar RA, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah menggenggam bumi atau bumi-bumi dan langit-langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian Dia berfirman : ‘Akulah Al-Malik (Raja)’". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari). Tentang kebesaran rahmat-Nya, Allah SWT berfirman dalam surah Al-A’raaf [7], "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami." (TQS. Ar-A’raaf[7]:156) Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita, tentang sangat mendalamnya kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya sebagai berikut, Dari Umar bin Al-Khaththab RA, katanya, "Kepada Rasulullah SAW disampaikanlah tawanan perang. Tiba-tiba ada seorang wanita dari golongan kaum tawanan itu berjalan ketika menemukan seorang anak yang juga termasuk dalam kelompok tawanan tadi. Wanita itu lalu mengambil anak tersebut lalu diletakkannya pada perutnya, kemudian disusuinya. Rasulullah SAW lalu bersabda, "Adakah engkau semua dapat mengira-ngirakan bahwa wanita ini akan sampai hati meletakkan anaknya dalam api?". Kita -yakni para sahabat- menjawab, "Tidak, demi Allah -maksudnya wanita yang begitu sayang pada anaknya, tidak mungkin akan sampai meletakkan anaknya dalam api." Selanjutnya beliau Nabi SAW
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
bersabda,"Sesungguhnya Allah itu lebih kasih sayang kepada sekalian hamba-hamba-Nya dari pada kasih sayang wanita ini kepada anaknya." (HR. Riwayat Bukhari dan Muslim). Pada kesempatan berbeda, Nabi SAW menjelaskan. Dari Abu Hurairah RA, katanya, "Rasulullah SAW bersabda, "Ketika Allah menciptakan semua makhluk, maka ditulislah oleh-Nya dalam suatu kitab, maka kitab itu ada di sisi-Nya di atas 'Arasy, yang isinya: bahwasanya rahmat-Ku itu dapat mengalahkan kemurkaan-Ku”. Dalam riwayat lain disebutkan, ‘Telah mengalahkan kemurkaan-Ku’, dan dalam riwayat lainnya lagi disebutkan, ‘Telah mendahului kemurkaan-Ku’ - maksudnya bahwa Rahmat Allah itu jauh lebih besar dari pada kemurkaan-Nya. (HR. Riwayat Bukhari dan Muslim). Syaikh Ibnu Athaillah RA sebagai seorang pembimbing jalan spiritual (mursyid) - yang bertanggung-jawab kepada Allah SWT untuk membimbing murid-murid mensucikan jiwa menegaskan bahwa penting untuk kita senantiasa merawat kemutlakan harapan, hanya dengan mengandalkan rahmat Allah semata. Pada keseluruhan hikmah yang ditulisnya dalam kitab Al-Hikam, beliau mengajari para penempuh jalan suluk untuk senantiasa meneliti posisi batin kita sebagai seorang hamba. Dengan semata berharap sepenuhnya pada Allah, kita diminta untuk senantiasa berkhidmat dengan segenap tatakrama, sopan-santun serta etika sebagai hamba, terhadap Allah SWT, Sang Pencipta (AlKhaliq) sekaligus Tuhan (Rabb) kita. Mengenai mutlaknya Rahmat Allah atas makhluk-Nya, bahkan Rasulullah SAW menerangkan,” Seorang masuk surga bukan karena amalnya tetapi karena rahmat Allah Ta'ala. Karena itu bertindaklah yang lurus (baik dan benar).” (HR. Riwayat Muslim) Posisi batin yang tunduk dalam naungan
Desember 2014
33
Kemutlakan Allah ini, merupakan aspek penting yang melambari pandangan batin seorang pejalan spiritual. Agar dalam menempuh jalan ia tidak tersesat, maka para pembimbing spiritual senantiasa mengingatkan apa yang ditulis oleh Syaikh Ibnu Athaillah RA. Agar dalam
istilah Athaillah: terlalu ‘mengandalkan amal’ yang kita lakukan. Pada hakikatnya, tanpa Perkenan, Rahmat dan Kekuasaan-Nya, ikhtiar kita yang berujud amal, berkemungkinan kurang memiliki ‘nilai’ dalam pandangan Allah Ta’ala.
Foto: @Pavel Minaev
menghaluskan ketinggian rasa keilahian - betapa seseorang diminta untuk lebih mendahulukan pandangan mengenai berbagai kekuasaan dan kebesaran Allah ketimbang menimbang besarnya upaya dalam beramal - dilihat dari sisi pandangan Allah SWT. Para mursyid senantiasa berpesan, agar kita, senantiasa merendahkan diri di hadapan-Nya. Jangan pula kita tergesa memaknai kesempurnaan amal atau dalam
34
Subhanallah..Alhamdulillahirabbil alaamin. Laa haula wa laa quwwata illa billahil ‘Aliyyul ‘Adhiim.. Ya Allah kuatkanlah kami dalam beramaliah sesuai dengan Rahmat dan Perkenan-Mu. TBH, Terjemahan Zamzam A. Jamaluddin.
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H Desember
Renungan
Foto: @Mohd Amir
Oleh: Watung A. “Urip mung mampir ngombe’’. Hidup itu cuma bersinggah untuk minum.
Sahabat.. Sembari mengukur jalan ini, mari kita membuang kembali ingatan ke masa kecil, yang kata orang, masa paling indah. Ingatkah ruang itu, ketika kita menyusuri kebun tebu dan melempari danau bersama kawan-kawan sebaya, tanpa tuntutan, tanpa prasyarat? Dan jejak-jejak gairah itu, luka itu, rasanya baru kemarin, bukankah demikian? Dan sungguh, waktu meluncur begitu cepat. Hal-hal yang tak terbayangkan di masa kecil, kini kita hadapi. Maka sampailah kita di sini, para penyusur jalanan dan gedung-gedung kota yang suram. Pergi pagi pulang petang. Lalu untuk apa? Mengisi lambung yang hanya seukuran setengah bantal ini? Menunggu maut? Sahabat..
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
35
Ijinkan saya bercerita tentang bab-bab kehidupan, perjalanan sebagian besar kita, yang bermula dari suatu masa jauh sebelum kita dilahirkan, dan berakhir dengan …. entahlah, saya ingin membiarkan jari-jari ini jatuh kemana pun yang disuka. Hanya dengan memahami bab-bab awal itu, kita akan beroleh ‘’clue’’ di mana kita sekarang, untuk apa, dan kemana semuanya ini menuju.
CHAPTER 1
Akan tetapi, lihatlah diri ini kini. Ingatkah kita tentang semua kejadian itu? Ingatkah kita akan sosok “wajah” yang kepada-Nya kita menghadap dahulu? Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami, dan dia lupa kepada kejadiannya… (TQS [36]:78) Kebanyakan kita, tak sedikit pun mampu mengingatnya. Mengapa? Coba kita teruskan, barang sebentar.
Bersama Tuhan
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul, kami menjadi saksi”. (TQS [7]:172) Tentang apakah ayat ini berkisah? Siapakah itu jiwa-jiwa keturunan Adam, yang berhadaphadapan dengan Allah Yang Maha Tinggi itu, teguh bersaksi tiada ragu “Betul, kami menjadi saksi? Kita, sahabat.. Itu kita. Saya, Anda, masingmasing, semuanya! Jiwa yang ada di sana itu, adalah juga yang ada di sini. Sosok yang bercakapcakap dengan Sang Raja Diraja Semesta Raya itu, adalah juga sosok yang ini. Bukan siapa-siapa, bukan para tokoh di dongeng dan kisah pahlawan, tapi kita. Kita adalah saksi tentang keesaan Tuhan, bukankah demikian? Kita lah, makhluk mulia yang diciptakan dengan sebaik-baiknya ini, yang akan angkat suara atas segala keraguan tentang keberadaan Tuhan. Karena bukankah kita telah melihat Dia, teman-teman yang baik? Berbicara dengan-Nya? Kita lah yang paham benar, kita yang tahu. Siapapun itu: presiden dan tukang cukur, guru dan para murid, sarjana dan kaum awam, laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin, tak satu pun terkecuali. Kita berasal dari sana, kita semua bersaksi, dan akan dituntut tentang persaksian itu. … agar di hari kiamat engkau tak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orangorang yang lengah terhadap ini.” (TQS [7]:172)
36
Foto: @Thomas Zimmer
CHAPTER 2 Di Dalam Rahim
Di rahim ibu, lumbung kokoh nan penuh kasih sayang, sebuah “kendaraan” pun hati-hati disiapkan, ditumbuhkan dari segumpal tanah. Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya. (TQS [71]:17) Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. (TQS [39]:6). Empat bulan lamanya (atau 120 hari, atau 3 kali 40
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H Desember
hari) adalah usia janin ketika terjadi apa yang di dunia kedokteran disebut sebagai quickening, ketika sang ibu mulai merasakan gerak-gerik yang kuat di rahimnya, ketika seluruh bagian tubuh mengalami perkembangan cepat — yang oleh sebagian tafsir disebut sebagai saat ketika jiwa dan ruh mulai ditiupkan. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh-Nya… (TQS [32]:9)
belajar tentang dunia barunya, dunia yang asing yang kini musti dijalani, bumi beserta seluruh penghuninya, juga tubuh — kendaraan barunya ini, yang memungkinkannya merambah belantara, samudra dan angkasa, di sini. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menjadi abdi-Ku. (TQS [51]:56) Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” (TQS [2]:30) Dan babak baru pun dimulai…
CHAPTER 3 Dunia, Tempat Persinggahan
Tubuh, kata Al-Ghazali, adalah kendaraan bagi jiwa, kendaraan kita. Tubuh dengan kepala dan kaki, tangan dan punggung yang kita sentuh ini, adalah bak kereta kuda bagi kita kusirnya, sang pengendali kuda. Namun semenjak hari pertama itu pun, kita menumbuhkan “aku” yang lain, egoisme, dan melakukan apa saja demi keakuan yang baru ini. Kita bercermin, dan menyangka bayangan itulah diri kita. Kita mengambil foto dan meyakinkan semua orang, lihatlah diriku, betapa ayu dan gagah sungguh.
Teman-teman yang baik, adakah sama, kusir dengan keretanya? Adakah sama, “aku” dengan “tubuhku”? Pernahkah kita bertanya, Foto: @Jimmy Papia di manakah diri kita yang sebenarnya, kini? Di manakah kita yang dulu berhadap-hadapan Dia-lah yang menciptakan kamu dari turaab, dengan Sang Penguasa Semesta? Kapan terakhir kemudian dari nuthfah, sesudah itu dari ‘alaqah, kita sanggup melihat-Nya? kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak… (TQS [40]:67). Jiwa anak-anak adalah jiwa Dan keserakahan, hawa nafsu, syahwat pun kian yang bersih nan suci, begitu kata Rasulullah SAW. mewabah. Sang bayi yang telah tumbuh besar itu pun kini tak lagi mudah tersenyum pada orangLihatlah bayi-bayi itu, teman-teman yang baik. orang, atau berbicara pada pohon dan kupuMereka tersenyum kepada setiap orang, walau kupu. Kita jadi mudah marah, dan merasa diri tetap sensitif pada setiap bersitan niat buruk telah bersikap tegas. Kita mengurangi timbangan yang hadir, bukankah begitu? Mereka bercakap- pelanggan dan karyawan, dan merasa diri telah cakap dengan hewan dan tumbuhan, bahkan melakukan hal yang cerdik. Kita pergi haji, dan bercanda memandang ke arah sesuatu yang kita merasa lengkaplah sudah satu set kapling di tak mampu melihatnya. Mereka menyentuh sana dunia dan villa di surga. Padahal kepada Tuhan dan sini, memasukkan apa saja ke mulutnya, dan kisah para nabi, diam-diam kita menepisnya
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
Desember 2014
37
“Dongengan jaman dulu! Berbicara dengan Tuhan? Ah, hari gini?’’, sembari mengangkat cawan selamat hari raya, demi koneksi dan relasi.
… seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. (TQS [59]:19). Sahabat semua, jiwa ini telah lumpuh! Digerogoti oleh prahara dosa, nafsu dan amarah. Lumpuh, dalam arti sebenarnya, pingsan dan tak sadarkan diri, tak bisa bangkit, terpuruk! Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS [91]:10). Maka siapakah kini yang tengah berjalan-jalan ini? Sahabat, kereta kuda itu telah melalang buana tanpa kendali, pergi kemanapun yang disuka:
38
kepada harta, kekuasaan, dan senggama. Terbangun di pagi hari, sampai terkulai di malam hari, tubuh kita menjalankan berbagai hal, tanpa tahu untuk apa semua itu. Mari pikirkan baik-baik persaksian itu. Adakah tubuh ini turut bersaksi di sana? Tentu tidak! Tubuh terbentuk di dalam rahim, dan tak tahu menahu tentang persaksian yang kita alami. Tubuh tak punya “acara” di bumi ini, selain sebagai kendaraan bagi jiwa, bagi kita. Tubuh tak peduli soal kita yang musti menjadi abdi-Nya, yang musti menjadi wakil-Nya, khalifah -Nya di muka bumi. Teman-teman yang baik, kita lah yang merekam peristiwa persaksian itu, tubuh tak ingat apa-apa. Hati yang bersih yang akan sanggup mengingatnya, otak tak tahu apa-apa. Tubuh tak ada di sana! Namun bila bahkan jiwa
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H Desember
dan hati ini tak mengingat apapun… wahai, tidakkah itu berarti jiwa ini tengah sekarat, temanteman yang baik? Tanpa sang kusir, bukankah tubuh akan bak kereta kuda yang pergi kemana pun yang disuka, melakukan apapun yang dimauinya? Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya… Mereka itu tak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya. (TQS [25]:43-44) Dan hal ini pun berlangsung, sampai senja menyadarkan kita… tatkala jiwa dilepaskan, dicabut Foto: @Thomas Zimmer dari tubuhnya, maka kita akan paham. Kita akan tahu, teman-teman yang baik, kita akan melihat semuanya! Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. (TQS [50]:22)
Maka, bila kita (jiwa ini) dalam keadaan lumpuh, bagaimana kita akan melanjutkan perjalanan yang jauh nan panjang nanti? Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan. (TQS [17]:72) Teman-teman yang baik, kita masing-masing di sini, di tempat persinggahan ini, ditugaskan untuk mengambil sesuatu, dan kita diberi fasilitas yang berbeda-beda. Tiap-tiap diri dimudahkan sesuai dengan untuk apa ia diciptakan. (Rasulullah SAW — HR Bukhari). Dan Al-Qur’an adalah sebuah peta rahasia, yang menceritakan tentang seluruh alam ini, kehidupan ini, apa yang akan dihadapi, dan bagaimana melewatinya dengan baik, dari awal sampai akhir, bukankah begitu? Al-Qur’an pada dasarnya berkisah tentang diri kita, ketika berbicara tentang orang-orang kafir dan para pencinta dunia. Al -Qur’an menunjuk diri kita, ketika berbicara tentang penyembah berhala yang menuhankan hawa nafsunya Al-Qur’an tidak menunjuk siapa-siapa, ketika berkisah tentang Bani Israil. Kita, temanteman yang baik. Kita yang ditunjuk. **** Semoga sebuah kehendak yang sungguhsungguh untuk kembali… barangkali itu sebuah awal yang baik. Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (TQS [7]:23)
CHAPTER 4, 5.. Khatimah
Dan chapter 4 adalah sebuah perjalanan di alam yang berbeda, alam barzakh. Sebuah kehidupan yang jauh lebih panjang, jauuuuhh lebih lama dari yang kita jalani di dunia sekarang ini. Sebuah ma-
al-Islam.my.id | Edisi 3 Tahun II Safar 1436 H
sa yang berawal ketika jiwa dan ruh “dicabut” dari tubuh, ketika tubuh menyelesaikan tugasnya dan kembali ke tanah dan kita (jiwa) meneruskan perjalanannya, dan berakhir tatkala sangkakala mulai ditiup, yang menandai awal dari qiyamah ketika semesta raya ditutup dan seluruh makhluk dikumpulkan di sebuah padang, Chapter akhir dari kehidupan.
Allah menarik orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada-Nya orang yang kembali. (TQS [42]:13) Kembali, Sahabat yang baik. Dan jika kita kembali berjalan menuju-Nya, Dia akan berlari menjemput. Itu pasti. Insya Allah. Watung A.
Desember 2014
39
Al-ISLAM my Identity
“Sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang berjalan pada saat gelap menuju masjid, dengan cahaya yang sempurna pada hari Kiamat.� (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)