pancarpendarnusantara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak ekslusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut aturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
pancarpendarnusantara Š Arsitektur Hijau Foto Sampul: Arsitektur Hijau Foto Dalam: Arsitektur Hijau Perancang Grafis dan Tata Letak: Andri Syawalza Cetakan Pertama, November 2010 Arsitektur Hijau
pancarpendarnusantara
'Journey to Wonderland' 'Perjalanan ke Negeri Ajaib’ ‘Negeri ajaib' bukanlah nama tempat. Bukan juga suatu lokasi. Namun tersebar di seluruh pelosok Nusantara Indonesia. 'Negeri ajaib' ini‌ suatu kondisi peradaban yang indigenous.., yang lahir dari tanah air Nusantara kita sendiri. Mereka bukan legenda. Mereka sungguh ada dan di antara kita sampai sekarang ini.
Sepintas, segala sesuatunya terlihat begitu mengherankan, tidak biasa, bahkan aneh, ataupun tampak irasional. Berawal dari rasa penasaran, lambat laun kami mulai belajar memahami dan menyelami. Dan kami sampai pada rasa takjub yang tak pernah kami sangka sebelumnya.
Yang kami kunjungi sebenarnya hanyalah kampung-kampung atau dusun-dusun kecil di pelosok Nusantara. Namun yang kami lihat bukanlah kampung belaka, melainkan sebuah negeri yang telah memiliki konsepsi yang jelas dalam penataan wilayah, ruang, dan bangunannya. Konsepsi kosmologis. Sebuah 'bahasa', yang menyatukan suatu kultur peradaban.
Sadar penuh akan keberadaan dirinya hanya sebagai 'bagian' dari alam semesta, negeri ini memiliki kerinduan untuk hidup harmonis dengan alam di sekelilingnya. Kerinduan ini lahir mewujud dengan arsitektur yang 'akrab alam'. Kerinduan ini pula yang memicu kreativitas masyarakat setempat untuk menciptakan lingkungan binaan, yang pesona keindahannya masih dapat kita nikmati hingga sekarang. Sebuah wujud fisik arsitektur yang merupakan cerminan dari suatu peradaban dengan fenomena-fenomena budayanya secara menyeluruh. Sebuah wujud fisik yang mendefinisikan hubungan antara manusia dengan manusia dan alam sekitarnya, serta antara manusia dengan Sang Pencipta-nya.Sebuah wujud fisik dari sebuah ke-harmonis-an. Sebuah 'negeri ajaib'‌
Sebuah negeri yang memandang 'rumah' bukan sebagai 'tempat untuk tinggal'. Jauh lebih dalam, 'rumah' adalah sebuah 'badan sakral', yang mendefinisikan kehadiran manusia sebagai salah satu bagian dari keberadaan alam di sekelilingnya, keberadaan jagat raya.
sumatra
kalimantan
airsena mentok mentawai ranah minang
ensaid panjang muara enggelam
jawa
dukuh naga keramba apung baduy dalam
lombok
bilok & birak tanah petak daye
papua
sulawesi
asmat
kajang
kepulauan flores bena nage tambera tepal wolotopo
asmat
1994
Masyarakat Asmat. Dipercayai dan diungkapkan oleh sebuah nyanyian, berawal dari seorang wanita bernama Tewerawuts (wanita bunga liana) dan seorang pria bernama Beworpits (pria bertubuh indah). Masyarakat ini merupakan masyarakat pemburu dan peramu (hunting, fishing, and gathering), yang membuat mereka berpindahpindah (nomad) untuk bertahan hidup. Kehidupan mereka sangat dekat berhubungan dengan alam, terlihat dari bagaimana mereka sangat jujur dan polos melihat alam itu sendiri. Demikian pula dalam kisah legenda sejarahnya, alam diletakkan sejajar dengan manusia.
Kondisi alam merupakan faktor utama dalam pembentukan budaya tradisional suku Asmat. Teknik konstruksi, bahan-bahan bangunan, syair lagu, dan beberapa upacara ritual berhubungan langsung dengan iklim, flora, dan fauna. Mereka seolah-olah telah menyatu dengan alam lingkungannya. Lama mereka menetap di suatu daerah tergantung dari sedikit banyaknya sumber alam yang tersedia untuk mempertahankan hidupnya. Pola hidup orang Asmat yang sifatnya non-permanen, menuntut pola tempat tinggal yang mudah dipindahpindahkan, serta menggunakan bahan setempat. Permukiman orang Asmat biasanya terdapat di belokan sisi luar yang terbuka sebuah sungai yang lebarnya sedang sampai besar atau sepanjang anak sungai di mana ia bergabung dengan sungai induknya. Pada situasi ini oendatang atau musuh dari kampung-kampung tetangga akan terlihat pada saat mereka menghampiri dari arah lain. Sangat mustahil adanya kemungkinan penyerangan dari hulu anak sungai.
Sebuah kampung terdiri dari satu atau lebih yew, dikelilingi oleh rumah-rumah keluarga (cem) yang menjadi anggotanya. Masing-masing yew secara konseptual dapat disamakan dengan sebuah kelompok rumah pria beserta tambahan untuk istri-istri dan anak-anaknya. Di sini kata yew berarti: rumah panjang dan kelompok sanak keluarga yang bersangkutan. Rumah yew lebih berarti sebagai rumah bujang daripada sekedar rumah pria. Tempat ini merupakan kediaman dari remaja dan pria yang belum menikah. Rumah ini memiliki tungku di mana pemimpin menyatukan dan memimpin perayaan. Jumlah tungku yang ada sesuai dengan jumlah marga (yang ditunjukkan dengan banyaknya rumah bujang) dan dibiarkan terbengkalai sampai runtuh dengan sendirinya. Rumah ini berfungsi sekaligus sebagai pusat komunikasi dan interaksi sosial, termasuk pula pendidikan kaum mudanya.
Posisi rumah yang menghadap ke dermaga sungai sangat strategis dan mudah dicapai dari setiap rumah di kampung. Karena ukurannya yang cukup besar maka mudah dibedakan dari rumah biasa (cem). Rumah yew dibangun di atas tiangtiang (tumpukan balok) penyangga yang berbentuk bulat lengkap dengan kulit kayunya. Kerangka lama dibuat dari cabang-cabang kayu yang lurus-lurus, masih dengan kulitnya sehingga terkesan kasar. Dindingnya terbuat dari anyaman daun sagu yang dipasang berlapis seperti pemasangan sirap. Atapnya pun demikian juga, yang kemudian ditindih dengan jepit berupa cabang kayu sehingga tidak mudah lepas. Struktur dan konstruksinya pun cukup kokoh untuk digunakan puluhan laki-laki Asmat dalam tarian pesta-pesta Adat. Sesuai dengan fungsinya, di dalam rumah yew terdapat sebuah ruangan besar yang terbuka tanpa sekat-sekat pemisah, kecuali tiang-tiang perapian yang membujur di tengah. Rumah ini
memiliki tungku dan pintu masuk sesuai dengan jumlah marga yang ditampung. Di sini kaum pria Asmat mengukir, membuat patung di dalam dan serambi depan. Pada malam hari remaja yang meningkat dewasa tidur di rumah yew itu untuk mendengarkan berbagai kisah tradisional mereka sebagai pengetahuan hidup. Semua pengambilan keputusan pun dilakukan di dalam rumah ini, seperti rencana peperangan, hukuman, dan lain-lain. Rumah-rumah keluarga (cem) dibangun di antara bangunanbangunan yew ini. Masing-masing rumah memiliki beberapa tungku dan beberapa pintu, termasuk satu pintu kecil yang mengarah ke hutan. Banyaknya tungku dan pintu sama sekali tidak berhubungan satu sama lain. Penggunaan pintu lebih tergantung dari hubungan keluarga. Idealnya masing-masing keluarga inti memiliki pintunya sendiri-sendiri.
Proses pembuatan rumah yew memerlukan waktu yang cukup lama. Proses ini diawali dengan musyawarah seluruh penduduk kampung yang dipimpin oleh tetua-tetua adatnya yang dapat memakan waktu sampai satu bulan. Setelah itu, maka dimulailah pengumpulan bahan-bahan bangunan secara gotong royong. Wanita memiliki tugas antara lain untuk membuat anyaman daun sagu untuk atap. Memotong rotan untuk tali pengikat serta mengumpulkan dan menyiapkan makanan untuk prianya. Sedangkan pria Asmat memotong kayu untuk pembuat rumah yew. Biasanya proses ini berlangsung lebih kurang satu sampai dua minggu. Setelah semua bahan terkumpul, maka dimulailah upacara penanaman tiang utama tungku. Kaum wanita mengumpulkan bahan makanan untuk pesta dan acara pukul tifa. Setelah itu barulah dilakukan pembuatan tungku untuk masing-masing marga dengan upacara pukul tifa lagi. Pemasangan dinding, lantai, dan atap rumah yew ini biasanya memakan wajtu satu
sampai dua hari. Setelah sampai bubungan, tepat di atas tungku utama tidak boleh ditutup dahulu. Kemudian penduduk dikumpulkan dalam keadaan tenang sampai terdengar suara dari hutan. Suara ini menandakan bahwa mereka sudah boleh memasang atap. Setelah selesai, kemudian mereka berpesta dan pukul tifa sampai pagi hari. Untuk pemasangan api pun ada prosesnya. Biasanya hal ini dimulai dari tungku utama. Setelah itu api masing-masing tungku marga diambil dari tungku tengah. Selama fase ini tidak boleh ada perselisihan. Jika hal itu terjadi, maka pembangunan akan dihentikan dan dilanjutkan kembali setelah permasalahan selesai. Setelah semua hal selesai, penduduk kemudian berbondong-bondong ke hutan untuk mengumpulkan bahan makanan. Pesta besar-besaran dimulai. Pada pagi hari setelah selesai, mereka semua mandi di sungai untuk membersihkan diri.
bena
mendengar percakapan rumah bena 1996
Letak Kepercayaan Agama Suku
: Desa Triworiwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, Flores Tengah, Nusa Tenggara Timur : Kebudayaan Megalitik : Katolik : Suku Bejawa, Klan Bena
Melalui jalan berbatu yang penuh kelokan, Melingkari sisi bukit, menyusuri tepian jurang. Menuju lembah di bawah sana, Di mana selimut kabut melintasi ranting-ranting kering Dan dahan pohon cengkih‌ Menuju Bena,
Di mana alam disanjung dan dihargai
Bena adalah sebuah kampung kecil yang terletak di tengah-tengah daerah pegunungan selatan Flores. Pada suatu tapak memanjang di tengah lembah, kampung Bena menampilkan sosoknya yang magis. Dua gunung tepat mengapit kampung Bena, yaitu gunung Inerie dan Surulaki. Dari sana lah sekilas terlihat laut Flores dan pulau Sumba (di sebelah Selatan pulau Flores) di sela-sela barisan pegunungan yang mengelilingi. Bena terletak pada muka sebuah cembungan tanah, sebuah bukit memanjang yang muncul di tengah-tengah lembah. Pada dataran tinggi di puncak bukit itu lah kampung Bena menciptakan sebuah tatanan massa dan ruang. Walau dikelilingi pepohonan yang cukup rimbun, tidak ada satu pun batang pohon yang tumbuh di tengah-tengah desa. Hal ini menyebabkan Bena mudah terlihat dari segala arah, menjadikan Bena nampak sebagai pusat lembah.
Mereka percaya akan jalinan yang kuat antara kampung ini dengan alam di sekitarnya. Dua gunung yang mengapit kampung ini yaitu gunung Inerie dan Surulaki dianggap berjiwa seperti halnya manusia dan dipercaya sebagai awal dari penciptaan kampung Bena. Kampung Bena dipercaya beribukan gunung Inerie dan berbapakan gunung Surulaki, bahwa rumah-rumah di Bena tidak lain adalah anak-anak kedua gunung tersebut yang berjiwa seperti manusia. Bukan manusia yang berjiwa. Itulah paham yang mewarnai kehidupan penduduk Bena. Seperti manusia, segala sesuatu yang ada di alam ini, gunung, batu, hewan, sungguh berjiwa. Lebih dari itu, alam bukanlah sesuatu yang ada hanya untuk dimanfaatkan manusia, melainkan manusia ada karena alam tersebut. Dengan pemahaman demikian lah, kampung Bena melukiskan keindahan alam di sekitarnya ke dalam tatanan massa dan ruang kampung itu sendiri.
Anak-anak gunung Inerie dan Surulaki itu dilahirkan untuk menjadi jiwa-jiwa yang rukun. Mereka hadir di dunia ini untuk hidup berpasangan sehingga dapat saling berbicara dan berbagi. Sehingga mereka hidup. Seperti manusia yang tidak hidup sendirian tapi berpasangan sehingga dapat saling menemani dan berkomunikasi. Kepercayaan inilah yang menjadi dasar mengapa perletakan rumah di Bena sangat rapih an tertib yaitu saling berpasangan dan berhadapan satu sama lain. Sebuah klan baru dilahirkan saat pria klan Bena menikahi wanita dari luar klan Bena. Lalu mereka mendirikan dua pasang symbol yang menandakan kelahiran sebuah klan baru di tengah-tengah ruang kampung. Sepasang Ngadhu dan Bagha serta sepasang Sakalobo dan Sakapu'u akan selalu mengingatkan kodrat manusia untuk hidup berpasangan.
Ngadhu yang berbentuk seperti payung dengan dua tangan memegang senjata melambangkan peranpria sebagai pelindung wanita dan keluarga. Bagha berbentuk rumah-rumahan sebagai lambing perempuan yang merumahi, menyatukan suami dan anak-anaknya. Perletakan Ngadhu dan Bagha yang Nampak menyebar di ruang tengah kampung, sebenarnya memiliki pola berulang, yaitu posisi Ngadhu dengan kedua tangannya berada di depan Bagha apabila dilihat dari gerbang kampung. Posisi tersebut merupakan symbol dari kodrat pihak pria yang sepantasnya melindungi pihak wanita dari dunia luar. Sementara posisi Bagha sendiri adalah menghadap gerbang kampung. Selain Ngadhu dan Bagha, rumah Bena pun memiliki peran penting dalam keberadaan sebuah klan di kampung ini. Rumah keluarga inti pria akan berfungsi sebagao Sakalobo (rumah pokok yang melambangkan pihak pria) sedangkan rumah keluarga inti wanita menjadi Sakapu'u (rumah pokok yang melambangkan pihak wanita).
Dari gerbang kampung Bena, kita bisa melihat keberadaan dua baris rumah mengapit sebuah ruang terbuka. Kontur yang menanjak membuat kedua barisan rumah tadi seakan menarik kita untuk terus berjalan menuju titik tertinggi di ujung sana yaitu pada akhir ruang terbuka kampung. Berjalan menuju titik tertinggi kampung Bena kita dapat melihat bahwa barisan rumah di kampung ini saling berhadapan. Tidak ada satu pun rumah yang tidak memiliki pasangan. Ketika kita menaiki susunan tangga di ujung kampung sekilas kita dapat menyaksikan keindahan barisan pegunungan yang mengelilingi sebuah lembah hijau di bawah sana. Dan saat kita berbalik arah.., kita akan melihat keseluruhan Bena. Bena terlihat sebagai suatu hamparan lapangan yang dikelilingi dua barisan rumah yang saling berpasangan dengan atap limasnya yang tinggi, di tengah kehijauan alam di kaki gunung Inerie dan gunung Surulaki.
Ruang yang sangat dominan di dalam kampung adalah ruang tengah berupa lapangan terbuka tersebut. Ruang ini berfungsi sebagai tempat berlangsungnya upacara adat (pendirian rumah, kematian, perkawinan) aktivitas komunal penduduk (bermain volley, bercakap-cakap), dan sebagai tempat perletakan artifak-artifak adat (ngadhu, bagha, kuburan menhir, kuburan biasa). Sebagai suatu kesatuan komunitas, penduduk Bena percaya bahwa kampung tetap bertahan karena kebersamaan dan keterbukaan dalam hidup bermasyarakat. Setiap keluarga memiliki derajat yang sama dan berhak berpendapat dalam segala permasalahan yang timbul di kampung ini. Secara fisik prinsip tadi dapat terbaca dengan tidak ditemukannya satu rumah pun yang tidak mendapatkan akses pencapaian serta visual ke arah ruang tengah yang dianggap sebagai ruang publik kampung. Bagaimana mereka mengutamakan komunikasi dan keterbukaan secara sederhana tapi tegas terlihat dari
pembentukan dan penempatan teras semi terbuka di sisi muka rumah yang menghadap ke ruang tengah tadi. Pada siang hari kita dapat mendengarkan percakapan riuh rendah dari satu rumah ke rumah yang lain. Si pemilik rumah tinggal duduk meneduh di terasnya masing-masing sambil mengomentari segala aktivitas yang berlangsung di dalam ruang tengah kampung ini, tanpa perlu meninggalkan aktivitas di rumah masing-masing. Begitu mudahnya suatu masalah dilontarkan dari rumah yang satu kepada yang lain sehingga dapat dipecahkan bersamasama. Ada perhatian dan keakraban yang senantiasa diwadahi oleh ruang tengah kampung ini. Anak-anak gunung Inerie dan Surulaki itu dilahirkan untuk menjadi jiwa-jiwa yang rukun. Mereka hadir di dunia ini untuk hidup berpasangan, sehingga dapat saling berbicara dan berbagi, Sehingga mereka hidup.
Ada jiwa yang ditanamkan dalam tatanan kampung Bena, suatu penghargaan pada bentukan alam pegunungan dan padang stepa Flores. Ada jiwa yang ditanamkan dalam rumah-rumah Bena. Rumah Bena senantiasa hadir mengingatkan kodrat manusia yang lahir di dunia ini untuk hidup saling berpasangan. Ada jiwa yang ditanamkan dalam sebuah ruang tengah kampung. Sebuah ruang yang mengikat setiap warga kampung ini dalam kebersamaan dan keterbukaan hidup. Ada suatu apresiasi yang tulus dari sebuah kampung sederhana di tengah alam Flores pada suatu karya arsitektur. Di sini, di tengah-tengah kosmis Bena, Manusia dapat selalu melihat kehadiran kedua gunung, Bapak dan mama kampung Sambil merasakan keteraturan dua deretan rumah Sehingga selalu ingat Pada percakapan abadi antara Sakalobo dan Sakapu'u.
wolotopo 1996
Letak Pencapaian Tipologi Kampung Kepercayaan
: Wolotopo, Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende, Flores - Nusa Tenggara Timur : Kampung Wolotopo berjarak lebih kurang 10km dari kota Ende. : Kampung tenun dan agraris : Animisme dan Dinamisme - Sebelum Agama Katolik masuk
Desa Wolotopo terletak kurang lebih 10 km di sebelah timur kota Ende, tepatnya di kecamatan Ndona, kabupaten Ende, pulau Flores, propinsi Nusa Tenggara Timur. Pada bangunan sao adat (rumah adat) di desa Wolotopo, fungsi hunian tidak hanya dipakai sebagai tempat tinggal, ada fungsi tertentu yang digunakan ketika ada event-event yang berkaitan dengan musolaki/ tetua adat yang tinggal di rumah tersebut. Dalam memaknai nilai-nilai yang dimiliki, masyarakat Wolotopo mengaitkannya dengan alam sekitar. Bangunan, atau bagiannya, atau ruang yang dibentuk dapat melambangkan bagian dari tubuh manusia atau juga dapat merupakan perumpamaan jenis kelamin pria dan wanita. Binatang seperti ular, lalat, kupu-kupu, kadal yang banyak dipakai pada ukiran memiliki unsur simbolik tersendiri.
Penduduk Desa Wolotopo Kedatangan misionaris ke Flores sekitar abad-16 dalam rangka penyebaran agama Katolik membawa pengaruh yang sangat besar dalam menjadikan Katolik sebagi agama mayoritas. Sebelumnya kebanyakan dari mereka menganut ajaran animisme dan sebagian lagi menganut agama Islam. Aktivitas Sehari-hari Pada siang hari, kegiatan yang paling menonjol di kawasan ini adalah bertenun. Kegiatan ini banyak dilakukan oleh kaum wanita dengan sedikit bantuan dari kaum pria, kaum pria pergi ke ladang untuk bertanam sejak pukul 7 pagi sampai pukul 5 sore. Sedangkan anak-anak pergi bersekolah lalu bermain di sekitar desa. Pada malam hari, masyarakat Wolotopo memilih untuk berkumpul bersama keluarga di rumahnya masing-masing.
Deskripsi Arsitektural & Fenomena-nya Bangunan kheda-kanga Kheda-kanga merupakan bagian dari desa yang dianggap tempat yang paling suci, sebagai tempat penghormatan kepada para leluhur. Di tempat ini masyarakat Wolotopo melakukan berbagai upacara yang berkaitan dengan adat kepercayaannya. Kheda-kanga menempati puncak bukit yang mewakili tempat tertinggi dalam lembah yang membentuk desa. Susunannya yang memanjang searah dengan terbit-tenggelamnya matahari, memberikan kesan seakan-akan Kheda-kanga menyatukan lembah yang melingkunginya dengan gunung Meja diseberangnya. Hunian/ rumah Rumah di Wolotopo dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan penghuninya, yaitu sao adat dan bukan sao adat. Sao adat adalah 'rumah besar' yang dihuni oleh musolaki dan kerabatnya. Di Wolotopo terdapat delapan sao adat. Sao adat ini memiliki tipologi ruang tertentu, tetapi pada penggunaan ukuran dan bentuk atapnya terdapat beberapa perbedaan. Tatanan Massa Massa-massa yang berada di Wolotopo membentuk kelompok-kelompok massa hanya karena dibatasi oleh ketersediaan ruang akibat kontur yang curam. Bentukan kelompok massa yang terjadi merupakan kesepakatan bersama yang selanjutnya memanfaatkan ruang tersebut sebagai ruang kerja. Pada skala desa, tidak terdapat order tertentu yang mempengaruhi perletakan massa. Akan tetapi terdapat aturan khusus untuk beberapa sao adat bahwa ada beberapa sao adat tidak boleh dipindahkan, sedangkan untuk semua sao adat, tanpa terkecuali harus dapat melihat kheda-kanga dari dalam sao melalui pintu masuk utamanya.
mentok akulturasi dua budaya
2001
Nama kota Tipologi kampung Kota Kabupaten Propinsi Suku dan kebudayaan
: Mentog : pecinan pesisir pantai : Mentog : Bangka : Bangka - Belitung : kaum tionghoa - suku hokkien (memuja dewa laut ) dan suku hakka ( memuja dewa bumi )
Bangka. Begitu kita mendengar kota Bangka, terbesit bangsa Cina dipikiran kita. Asal Muasal ada Cina rantau di Indonesia ini diawali pada saat masa kejayaan amada laut bangsa Cina. Armada ini mendirikan tempat-tempat perhentian di sepanjang wilayah pantai malaka dan pesisir utara Jawa. Seiring berjalannya waktu, mereka menetap di Indonesia dan berkembang menjadi sebuah kota. Mereka yang membangun pemukiman tersebut membawa serta kebudayaan Cina tidak terkecuali dari segi budaya dan arsitekturnya. Penataan pemukiman yang dibangun mengikuti prinsip-prinsip yang biasa diterapkan dataran Cina, dimana keberadaan kelenteng dan penyikapannya menjadi elemen yang sangat penting. Pada pemukiman Cina pesisir/Selatan (sebagian besar adalah suku Hokkien) yang memuja Dewi Laut Ma Tzu, pola hunian merupakan pola yang berekspansi dengan satu kelenteng pusat yang meghadap ke Laut (banyak ditemukan di wilayah Palembang)
Sedangkan pada pemukiman Cina Utara (suku Cina Hakka) pola huniannya lebih terbatas karena dibatasi oleh kelenteng yang memuja dewa bumi, yang menghadap ke arah jalan (banyak ditemukan di daerah Kalimantan). kedua dasar pola inilah yang nantinya akan mempengeruhi pola arsitektur kota mentok. Penataan pemukiman yang dibangun mengikuti prinsip-prinsip yang biasa diterapkan dataran Cina, dimana pemukiman Cina pesisir/Selatan yang memuja Dewi Laut Ma Tzu, pola hunian merupakan pola yang berekspansi dengan satu kelenteng pusat yang meghadap ke laut, sedangkan pada pemukiman Cina Utara pola huniannya lebih terbatas karena dibatasi oleh kelenteng yang memuja dewa bumi, yang menghadap ke arah jalan. Penempatan Kelenteng sebagai suatu elemen penting dalam pemukiman Cina juga terlihat pada pola pemukiman di kota Mentok. Kelenteng terletak pada ujung jalan menghadap ke laut.
Ruang terbuka sebagai ruang publik pada kota Mentok terbentuk dari tatanan massa rumah yang mengelilingi suatu pelataran, membentuk kantong dengan berbagai aktifitas didalamnya. Kantong ini juga berperan dalam menghubungkan jalan-jalan yang ada. Munculnya ruang terbuka ini menjawab kebutuhan ruang tempat kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial. Layaknya tipologi alun-alun Indonesia, yang didekatnya ada pasar, terminal dan pusat kegiatan masyarakat lainnya. Pada ruang terbuka inilah terdapat mesjid sebagai kepercayaan utama masyarakat melayu yang merupakan masyarakat asli pulau Bangka. Mesjid ini juga menjadi simpul aktivitas keagamaan masyarakat kota mentog selain klenteng-klenteng yg telah disebutkan. Wujud arsitektur masjid ini pun memiliki keunikan tersendiri karena memiliki wujud yang unik karena adanya perpaduan antar budaya.
Kota Mentok memiliki sebuah square dan dua daerah pusat keramaian yaitu pasar dan terminal. Pasar di sini sangat mendominasi pola perkembangan kota mentok. Hal tersebut dapat dilihat dari deretan bangunan sekitarnya berupa fungsi komersil.
Permukiman Cina di Kota Mentok memiliki pola yang secara garis besar sama dengan pola pemukiman Cina Rantau di Indonesia pada umumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk rumah-rumah toko yang berderet di sepanjang jalan, dan juga bentuk rumah toko yang memanjang ke belakang. Deretan toko yang mendominasi ini membentuk ruang jalan yang mejadi orientasi utama bagi bangunan di sampingnya.
Percampuran antar dua budaya Cina dan Melayu tidak hanya terasa di pola kawasan saja, melainkan hingga bagaimana penyikapan bangunan terhadap alam, ragam hias dan juga teknologi membangun pada masa itu di bangka. Pada umumnya untuk bangunan lama pada kota mentok ini masih menggunakan material sederhana seperti kayu dan genting keramik. Seiring berkembangnya zaman dan struktur beton, kaca, dan pintu besi pun mulai digunakan, sehingga banguna dua lantai mulai mendominasi. Selain itu, penyikapan mereka terhadap iklim indonesia yang beriklim tropis lembab. dapat dilihat dari bukaan yang cukup banyak dan adanya teritis yang lebih lebar dari bangunanbangunan asli negri Cina.
airsena 2002
Letak Suku
: Desa Air Asuk, kecamatan Pal Matak, Kabupaten Natuna, Propinsi Riau (3Ëš16' LU dan 106Ëš17' BT) : Tionghoa, Suku Laut dan Dayak
Kampung Airsena terletak pada tepi pulau Matak yang dikelilingi oleh pulau-pulau kecil disekitarnya. Secara administratif Airsena termasuk di dalam desa Air Asuk, kecamatan Pal Matak, Kabupaten Natuna, Propinsi Riau (3Ëš16' LU dan 106Ëš17' BT) Airsena ialah perkampungan nelayan yang memiliki ciri khas yang berbeda dengan perkampungan nelayan lainnya karena penduduknya merupakan percampuran dari suku Tionghoa, suku Laut dan Dayak. Menjejakkan langkah awal di Airsena, kita akan disuguhi dengan tatanan rumah-rumah panggung yang berderet membentuk suatu kesatuan Utara-Selatan dengan beton selebar 1,5 meter sebagai tali penghubung antar rumah. Pelantar-pelantar kayu yang memanjang dari darat menuju laut menghubungkan antara rumah Airsena dan jalan beton.
Pada mulanya kawasan ini sepi tak berpenghuni, sampai tahun 1800-an datanglah para penjelajah berlabuh di tepian pulau ini. Mereka datang secara berkelompok dan mulai mendiami kawasan ini pada daerah yang terpisah menurut kelompoknya masing-masing. Kelompok yang terdiri dari suku Tionghoa mendiami kawasan bagian Utara, suku Laut menempati bagian Tengah, sedangkan suku Dayak menempati bagian Selatan. Lambat laun, ketiga kelompok ini mulai berbaur dan mulai terjalin ikatan persaudaraan diantara mereka. Sekitar tahun 1985 terjadi perubahan mata pencaharian, dari mencari ikan menjadi memelihara ikan, Mulailah bermunculan tempat-tempat pemeliharaan ikan (kamp) di laut sekitar rumah Airsena , yang membuat arah perkembangan rumah Airsena semakin mengarah ke tengah laut bukannya mengarah ke daratan Ikan yang dipelihara adalah ikan Napoleon yang memiliki harga jual cukup tinggi dengan pasaran umumnya adalah para pembeli dari luar negri, yang datang di waktu-waktu tertentu (foto kapal lagi ngangkut ikan) yang tentu saja menaikkan taraf hidup manusia Airsena.
Rumah Airsena memiliki tipe yang mirip dengan rumah-rumah di kampung Melayu lainnya. Satu hal yang membedakan adalah orientasi pintu rumah mereka yang umumnya menghadap ke laut (Timur) sementara orientasi pintu rumah Melayu menghadap pelantar. Penduduk Airsena dapat membeli atau membangun rumah mereka sendiri. Jika mereka membeli rumah, biasanya mereka merubah orientasi rumah dengan cara merubah letak pintu rumah atau mengubah posisi rumahnya. Sesuai dengan watak hidup seorang nelayan, manusia Airsena adalah manusia yang hidup dengan penuh kepraktisan. Ini tercermin pula di rumah Airsena yang berada di atas air bukan di atas tanah, lebih mudah,praktis dalam membuat, dan gampang untuk dipindah-pindah. Rumah Airsena pun terasa lebih dingin kalau diatas air daripada di atas tanah, serta gampang untuk membuang sampah, air kotor dan limbah, karena langsung dibuang ke dalam laut.
naga
sebuah negri karunia dewi sri 2002
Nama kampung Desa Kecamatan Kabupaten Propinsi Batas
suku
: Naga : Neglasari : Salawu : Tasikmalaya : Jawa barat : Kampung Naga terlihat sebagai suatu kelompok permukiman yang dikelilingi oleh Sungai Ciwulan, balong,lereng bukit yang tinggi, dan sawahsawah. Kondisi ini menjadi batas alami bagi luas lahan permukimasuku : Sunda
Berangkat dari ketinggian 1000-2000 mdpl melangkah menapaki ratusan anak tangga yang meliuk teratur, menuruni bukit, membelah rimbunannya pepohonan yang menutup rapat punggung bukit. Perjalanan semakin ke dasar lembah, mempertemukan pandangan pada sebuah hamparan lembah terbuka beralaskan sawah nan hijau ditengah gemuruh derasnya Sungai Ciwulan. Dan kejutan nuansa baru telah menanti, menyeruaknya suhunan panjang berbalutkan ijuk yang menjulang megah namun mencerminkan kesahajaan yang mendalam. KAMPUNG NAGA, begitulah jajaran suhunan panjang yang berada dalam pelukan perbukitan bertanah subur dan dilindungi oleh Leuweung Biuk (Hutan keramat Naga) itu disebut.
Berada di kaki lereng bukit dengan kondisi lahan kampung yang berkontur terjal, mendorong masyarakat Naga bersikap bijaksana dalam menyikapi tantangan alam tanpa merusaknya. Lahan kampung berbatasan langsung dengan Sungai Ciwulan dan menurun dari barat ke timur dengan sengked berundaknya, menempatkan barisan rumah Naga di bagian datarnya. Adanya keterbatasan lahan untuk menampung rumah menyebabkan pembangunan rumah baru di area dalam pagar Kampung Naga tidak diperkenankan lagi. Dengan kata lain membangun rumah baru berarti keluar kampung. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kelestarian kawasan, baik internal Kampung Naga maupun lingkungan sekitarnya. Orientasi kampung pada skala besar menghadap ke arah timur , yaitu ke arah Sungai Ciwulan, Pada skala kecil, orientasi rumah Naga adalah utaraselatan. Secara logis, hal ini dimengerti sebagai usaha untuk menghindari sinar matahari frontal. Deretan rumah penduduk rapat satu sama lain. Di antara satu deretan dengan deretan yang lain tercipta lorong-lorong cukup sempit sebagai jalur sirkulasi antar deretan rumah. Kontras
dengan kondisi tersebut, di depan mesjid dan Bale Patemon terdapat sebuah ruang terbuka yang cukup luas tepat berhadapan dengan entrance masuk kampung. Ruang ini digunakan untuk kegiatan ritual kampung dan kegiatan lainnya seperti menjemur padi hasil panen. Semua bangunan di daerah permukiman memiliki bubungan atap yang memanjang ke arah barat-timur, dengan pintu di bagian panjang bangunan, yaitu sisi utara-selatan. Secara keseluruhan orientasi atap ini membuat kampung terlihat 'menghadap' ke arah timur. Arah hadap ini dapat dimengerti sebagai usaha untuk menghindarkan bangunanbangunan dari sinar matahari langsung.
Masyarakat Naga hidup dengan bersawah dan berhuma. Melalui kepercayaan kepada Dewi Sri, mereka menempatkan padi sebagai dasar kemakmuran dan mempertahankan jenis padi warisan karuhun yaitu pare gede dan pare segon. Bertani, bersawah dan berhuma adalah pekerjaan utama masyarakat Naga. Di dukung oleh kepercayaan mereka terhadap Dewi Sri, mereka menempatkan padi sebagai dasar kemakmuran mereka. Jenis padi yang dipertahankan adalah jenis pare gede, pare saegon, (padi tradisional yang di tanam di sawah masyarakat Kampung Naga. Pare tersebut merupakan salah satu pusaka warisan karuhun.
Kedekatan lokasi Kampung Naga dengan sumber modernisasi sama sekali tidak mempermudah masuknya pengaruh modern tersebut. Pada kenyataannya, nuansa kesederhanaan dan kesahajaan yang jauh dari sentuhan modernisasi tetap dipertahankan dari masa ke masa. Kesahajaan yang tersirat dalam pesan moral rumah tinggal mereka. Baik dari aspek bahan, tipe, dan arsitekturnya yang menunjukkan kesederhanaan dalam keseragamannya. Urang Naga meyakini bahwa manusia hendaknya hidup selaras dengan alam. Baik manusia maupun alam merupakan ciptaan Tuhan yang sama-sama berhak hidup. Dengan demikian, manusia dalam menata ruang hidupnya hendaknya jangan sampai merusak alam sekitarnya. Hal ini menjadi salah satu faktor penentu dalam pemilihan bahan bangunan.
Semua bangunan di daerah permukiman memiliki bubungan atap yang memanjang ke arah barat-timur, dengan pintu di bagian panjang bangunan, yaitu sisi utara-selatan. Secara keseluruhan orientasi atap ini membuat kampung terlihat 'menghadap' ke arah timur. Arah hadap ini dapat dimengerti sebagai usaha untuk menghindarkan bangunan-bangunan dari sinar matahari langsung. Rumah merupakan perwujudan sifat kesederhanaan yang dianut masyarakat Kampung Naga. Kesahajaan hidup itulah yang menjadi panduan mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Segala pertengkaran, keserakahan, iri hati, maupun sifat-sifat buruk lain, selalu diusahakan dihindari. Oleh karena itu, para leluhur (karuhun) telah menggariskan supaya bahan, bentuk, maupun arah rumah di kampung Naga harus tetap sama.
Rumah di Kampung Naga berjenis rumah panggung dengan ketinggian sekitar 40-60 cm di atas permukaan tanah. Antara rumah yang satu dengan yang lain dibatasi oleh batu-batu yang disusun berderet. Apabila diamati lebih jauh, kaitan antara hirarki ruang dengan kosmologinya, tatanan massa di Kampung Naga terbagi menjadi domain sakral (meliputi bumi ageung, mesjid, sawah, perairan dan kuburan) dan domain profan (yaitu pemukiman). Sedangkan jika dikaitkan dengan sosio kulturalnya, terbagi menjadi domain rumah pemimpin dan domain rumah masyarakat. Dan antara kedua domain tersebut biasanya dipisahkan secara jelas. Pada kampung Naga pemisahan tersebut terlihat dari adanya pagar bambu, baik yang mengelilingi bumi ageung ataupun kampung. Pendirian rumah tidak boleh dilakukan dengan sembarangan. Ada persyaratan yang harus dipenuhi, seperti adanya izin dari kuncen, mulai waktu pembangunan pada hari tertentu yang dianggap hari baik, dan letak rumah juga ditentukan. Rumah anak yang lebih muda tidak boleh berada di sebelah timur orang tua atau kakaknya. Kejadian tersebut disebut ngalangkangan (membayangi).
Tradisi leluhur tidak membuat mereka menolak pengaruh baru yang masuk, melainkan mengadaptasikannya dengan merujuk pada kebudayaan dan adat istiadat yang telah ada. Dengan mengemban warisan inilah, penduduk Kampung Naga mengembangkan dunianya untuk melanjutkan kehidupan mereka. Di balik bentuk fisiknya, Kampung Naga akan selalu mengingatkan kita akan kesederhanaan dan kesahajaan dan keinginan diri untuk selalu menyelaraskan hidup dengan alam sekitarnya.
teu saba,teu soba, teu banda,teu boga, teu weduk,teu bedas,teu gagah, teu pinter,jeung teu bo do-bodo acan
“Tak kemana-mana tak menguasai siapapun, tak berharta tak mempunyai apa-apa, tak kebal tak kuat, tak gagah tak pintar, meskipun tak terlalu bodoh�
ensaid panjang Manusia dayak dan alamnya bercerita tentang sebuah kehidupan yang saling membutuhkan Rumah betang dan penghuninya bercerita tentang sebuah kehidupan bersama yang sederhana, jujur, dan apa adanya. 2006
Letak Pencapaian Suku
: Desa Ensaid Panjang, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. : Dapat dicapai dari kota sintang selama kurang lebih waktu 2 jam menggunakan kendaraan bermotor. : Dayak Iban
Ensaid Panjang merupakan salah satu pemukiman dayak yang masih dapat ditemui di Kalimantan Barat. Kampung ini terletak di Desa Ensaid Panjang Kecamatan Kelam Permai Kabupaten Sintang . Masyarakat Ensaid Panjang adalah masyarakat yang masih memegang tradisi dan masih hidup bersama dalam rumah Betang Ensaid Panjang yang memiliki panjang 115 meter dan lebar bangunan utamana 14 meter. Di depan rumah betang terdapat ruang terbuka yang cukup luas, pada daerah depan dan selatan rumah betang. Di sebelah Utara terdapat dua massa rumah tambahan, rumah ini dibuat oleh penduduk yang ingin lepas dari rumah betang. Area belakang rumah adalah daerah kandang babi dan ternak lainnya.
Masyarakat Ensaid Panjang Suku Dayak utama di Kalimantan Barat terdiri dari 4 Suku Besar dengan 405 sub suku Dayak yang tersebar diseluruh kabupaten di Kalbar. Keempat suku besar tersebut adalah Suku Dayak Darat, Dayak Mulavic, Suku Dayak Iban serta Suku Dayak Taman Masyarakat Ensaid Panjang merupakan Suku Dayak Desa yang merupakan bagian dari suku Dayak Iban. Masyarakat Ensaid Panjang saat ini adalah masyarakat agraris. Mereka menggantungkan hidupnya dari alam, hutan dan sungai memeberi makanan pada mereka. Rumah dan perlengkapan hidup mereka menggunakan bahan-bahan dari alam. Mereka membuka ladang dan membuat sawah untuk memperoleh padi kemudian mengolahnya menjadi beras dengan cara-cara tradisional. Sumber penghasilan utama masyarakat ensaid panjang adalah karet. Hasil menoreh karet ini cukup untuk menghidupi mereka, membeli kebutuhan hidup sehari-hari, hingga membiayai sekolah anak-anak. Beberapa dari mereka bahkan mampu menyekolahkan anak-anak merika hingga ke perguruan tinggi.
Aktifitas mengolah padi merupakan aktifitas sehari-hari. Setiap pagi ibu-ibu mengambil hasil padi di lumbung, kemudian memisahkan bulir-bulir padi dari tangkainya. Siang hari adalah waktu untuk menjemur padi. Setelah dijemur beras dikisar dan ditumbuk. Aktifitas menumbuk padi adalah suatu hal yang menarik. Kegiatan ini dilakukan ibu-ibu di dalam rumah betang pada daerah di depan bilik yang disebut teluk. Masyarakat Ensaid Panjang juga memiliki kebiasaan menangkap ikan dengan istilah nuba ikan yaitu menangkap ikan dengan menggunakan cairan tuba. Kegiatan nuba ikan adalah kegiatan bersama sekaligus hiburan seluruh penghuni rumah betang. Dari orang tua sampai anak-anak baik laki-laki ataupun perempuan semua turun ke sungai untuk menangkap ikan bersama-sama dan juga dijadikan ajang mejeng anak-anak muda.
Rumah Betang Ensaid Panjang Pada jaman dahulu, suku-suku Dayak saling bersaing untuk memperoleh tempat, dan binatang buruan. Ketika itu juga dikenal adanya budaya mengayau, yaitu budaya memenggal kepala sebagai syarat bagi seorang pria untuk dapat menikah. Hal-hal inilah yang menjadi penyebab seringnya terjadi perang antar suku di Kalimantan Barat. Adanya persaingan antar suku memberikan alasan bagi mereka untuk membentuk rumah bersama yang juga menjadi rumah pertahanan. Menurut cerita, ketinggian lantai rumah betang ketika itu dapat mencapai 8 - 10 meter dari tanah dengan tangga masuk yang hanya dibatasi dari dua sisi guna mengantisipasi serangan dari suku lain.Sekarang rumah betang telah banyak telah banyak berubah. tetapi rasa keterikatan yang kuat dan budaya saling berbagi tetap dipertahankan. Tangga masuk menuju rumah betang terdapat pada dua sisi dan pada beberapa titik di sisi depan. Lantai bangunan pun hanya berjarak 1,5 meter dari tanah. Rumah betang memiliki sebuah ruang bersama yang terletak di depan yang disebut ruai dengan 28 bilik yang berderet rapi menghadap ruai. Bilik terdiri dari kamar, ruang tamu dan tungku mun (dapur).Di antara bilik dan ruai terdapat area dengan ketinggian yang lebih rendah disebut teluk. Keseluruhan bagian dari rumah betang menggunakan bahan kayu belian digunakan sebagai tiang tiang utama penyangga lantai. Pondasi yang digunakan menggunakan struktur tiang tongkat, dengan hanya menanamkan kayu ke tanah dengan batu sebagai alasnya.
petak daye diantara kearifan lokal dan inspirasi kekinian 2007
Letak Pencapaian Batas
Suku
: Desa Loloan, Kecamatan Bayan, Lombok Utara. : dapat dicapai dari Mataram, melalui ampenan, terus melalui area Pantai Senggigi. Perjalanan ini memakan waktu 3-4 jam dari Mataram. : Utara : Dusun Tanah Petak Lawu Timur : Sambielen Barat : Desa Anyar Selatan : Desa Batu Gerantung : Sasak
"Don't walk in front of me, I may not follow. Don't walk behind me, I may not lead. Walk beside me and be my friend." - Albert Camus
Terletak di area pegunungan Lombok Utara, dusun Tanah Petak Daye terdiri dari kelompok-kelompok massa bangunan yang tersebar di sebuah puncak bukit. Kelompok-kelompok massa ini didefinisikan dengan adanya pagar kayu atau bambu, pohon atau tanaman, yang memisahkan masing-masing kelompok massa. Tanah Petak Daye sekilas nampak sebagai kumpulan dari kompleks-kompleks yang lebih kecil. Kumpulan kelompok massa ini pun terbagi menjadi dua tanah (area) yang memiliki karakter masing-masing. Yang pertama adalah Tanah Adat, yaitu sebuah tatanan yang terikat adat. Sebagai contoh, setiap orang yang manginjak daerah ini harus menaati peraturan tertentu. Dalam hal berpakaian misalnya. Setiap pria yang ingin memasuki daerah ini dilarang mengenakan pakaian dalam, celana, ataupun pakaian lainnya. Pria yang ingin masuk daerah ini harus mengenakan sehelai kain sarung atau tenun yang diikat dengan kain pengikat pinggang serta ikat kepala, yang tentunya merupakan pakaian adat dari Tanah Petak Daye. Sementara untuk yang wanita, ada pakaian adat yang berupa kemben dan sarung yang tentunya para wanita ini juga tidak diperkenankan mengenakan pakaian dalam ataupun pakaian lainnya. Aturan lainnya, tentunya wanita yang sedang datang bulan tidak diperkenankan untuk masuk ke daerah ini.
Penduduk tanah adat tentunya mengenakan pakaian seperti deskripsi diatas dalam kehidupan kesehariannya. Namun, selain berpakaian, penduduk Tanah Adat tidak diperbolehkan menggunakan minyak, sebagai bahan bakar. Kebutuhan seperti memasak ataupun penerangan dipenuhi dengan menggunakan kayu, buah pohon jarak serta kapas. Penduduk yang ada di Tanah Adat menolak adanya listrik, termasuk barangbarang eloktronik tentunya. Sehingga pada waktu malam, kondisi Tanah Adat sangat gelap dan sepi. Yang kedua adalah Tanah Biasa, atau tanah dusun di luar Tanah Adat yang merupakan daerah yang tidak terikat dengan aturan tertentu. Luas dari Tanah Biasa ini mencapai 5 kali Tanah Adat. Tanah Biasa ini tidak terikat aturan khusus, setiap orangnya bebas mengenakan pakaian apapun, dan bisa menggunakan minyak ataupun Listrik dalam kehidupan keseharian mereka. Daerah ini tentunya lebih ramai dan terang saat malam hari, karena terdapat listrik di beberapa daerah.
Kosmis vs tatanan U-S Pada dasarnya masyarakat Sasak percaya seperti dalam cerita rakyat mereka bahwa nenek moyang orang sasak yaitu Bathara Indra beserta istrinya Dewi Anjani, tinggal di gunung rinjani. Hal ini membuat masyarakat percaya bahwa seluruh pusat kehidupan masyarakat sasak berada di Gunung Rinjani. Selain itu, Gunung Rinjani juga dianggap sebagai Gunung Mahameru yang adalah gunung suci tempat bersemayamnya para leluhur dan dewadewi. Perlindungan berada di sebelah selatan, hal ini jugalah yang membuat masyarakat meletakkan pintu masuk ke pangkuan mereka termasuk pelataran di utara sedang ruang-ruang dalam di sebelah Selatan. Demikian juga, peletakkan massa bangunan di letakkan linear dengan hirarki dari Selatan ke Utara, dengan posisi tertinggi diletakkan pada bagian Selatan
Kelompok Massa Tanah Adat merupakan kelompok massa yang terbagi menjadi dua kelompok massa lagi. Kelompok massa pertama merupakan area perumbak, kelompok massa ini terdiri dari tiga massa yaitu sebuah hunian (pangkuan), sebuah dapur dan sebuah tempat berkumpul yang biasa disebut berugaq. Sedang pada kelompok massa yang kedua, terdapat lima massa bangunan yang terdiri dari dua pangkuan, dua tempat menyimpan padi atau geleng, serta sebuah tempat berkumpul (berugaq). Pada dasarnya kelompok massa ini memiliki tatanan peletakkan pangkuan(hunian), secara linear dari Selatan ke Utara dengan Hirarki tertentu yaitu dimulai dari Perumbak lalu Pembekel, Amaloka, dan rakyat. Perumbak merupakan dukun desa yang dianggap memiliki nilai spiritual tertinggi, sedang Pembekel adalah seolah pemimpin adat, orang yang mengatur jalannya adat kebiasaan, dan Amaloka adalah pembantu dari perumbak.
Dimensi yang Menggugah Dunia Ragam pengalaman perjalanan yang kami tempuh, menghantarkan kami ke dalam suatu dimensi yang menakjubkan keenam inderawi. Ada satu dimensi. Satu ruang, yang mencerminkan dan mengukir, pandangan dunia mengenai hubungan antara sang pencipta dan penghuninya.
Dimensi ini mewujud di tengah kehidupan masyarakat yang selalu kita juluki primitif. Di mata kita, mereka selalu terbelakang. Tidak relevan dan janggal. Animisme. Mungkin ini lah yang menjadi jurang antara kita (masyarakat kini) dan mereka (masyarakat primitif). Animisme itu sudah punah dan sangat konyol. Bagaimana mungkin ada kearifan yang masih dapat dipertahankan dari konsep tersebut? Namun, ini lah yang kami temukan. Kelompok masyarakat yang mencoba memahami dan menghayati arti kehadiran manusia sebagai bagian dari alam jagat raya ini. Antara keberadaan manusia dan keberadaan alam jagat itu sendiri. Baik tentang hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta dan leluhurnya, maupun tentang hubungan antara manusia dengan alam semesta itu sendiri. Mereka memandang alam jagat raya sebagai 'dunia besar' (makrokosmis), sedangkan lingkungan pemukiman mereka sebagai 'dunia kecil' (mikrokosmis). 'Dunia kecil' ini merupakan bagian dari 'dunia besar', yang mana apa pun yang terjadi di 'dunia kecil' akan berdampak pada 'dunia besar', demikian pula sebaliknya. Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang ada di alam jagat raya ini saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Dengan
begitu, setiap ruang di dalam 'dunia kecil' mempunyai nilai tertentu, karena selalu dikaitkan dengan sikap dan tindakan manusia di dalamnya. Apa pun itu, tak peduli sekecil apa, akan selalu dikaitkan pada keberadaan 'dunia besar', yakni alam jagat raya itu sendiri. Satu hal yang sangat berbeda dengan masyarakat modern yakni; bahwa masyarakat ini memandang manusia setara dengan mahkluk hidup yang lain, bahkan dengan benda mati yang ada di jagat raya ini. Manusia hadir bukan untuk mendominasi dan mengeksploitasi, namun untuk hidup berdamping-dampingan, saling berbagi ruang dengan yang lain, apa pun itu. Sikap dan tindakan manusia dengan keyakinan seperti ini jelas akan berbeda dengan manusia yang mengganggap dirinya sebagai spesies yang paling unggul dan berhak untuk menguasai yang lain.
Bahkan pada satu titik, masyarakat ini nampak lebih mengagungkan alam daripada manusia, dengan memberi ruang yang lebih terhormat bagi alam daripada sekedar untuk kebutuhan manusia.Sikap demikian jelas mempengaruhi tindakan mereka dalam memperlakukan alam. Di mata mereka, manusia tidak memiliki status yang lebih tinggi dari alam, namun manusia lah yang hidup di dalam gelaran alam. Dan, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Hukum alam menjadi sangat definit, bukan sesuatu yang dapat dipandang sebelah mata atau bahkan disabotase. Kehidupan sehari-hari mayarakat ini sangat bergantung pada sumber alami lokal, maka terjalinlah hubungan yang intim dengan lingkungan alam sekitarnya. Manusia melihat dirinya melekat dengan alam, berjalan bersama-sama dengan alam, dan menjaga hubungan yang saling memberi dengan alam. Pola pikir seperti di atas lah yang menjadi kaidah penataan ruang dan massa pada lingkungan permukiman masyarakat primitif ini. Setiap kaidah selalu dikaitkan dengan keberadaan dan keberlanjutan 'dunia besar'. Kaidah ini pula yang dibawa turun temurun secara tradisi, dan mencakup berbagai ritual dan upacara sarat makna. Dalam luasan tidak lebih dari 4ha per satuan
permukimannya, masyarakat primitif ini mampu menata segenap aspek kehidupan mereka mewujudkan peradaban yang demikian peduli dan tanggap terhadap keberadaan dan keberlanjutan alam jagat raya. Bagaimana dengan masyarakat modern-masyarakat kekinian yang menasbihkan dirinya sebagai spesies yang paling unggul? Inilah dimensi yang menggugah dunia. Empat hektar, mencoba berpartisipasi seutuhnya untuk keberlanjutan 14.800.000.000 hektar luasan bumi.
Indonesia 6' LU – 11' LS 97' -141' BT
Negara kepulauan terbesar di dunia 17.500 pulau 740 suku 726 bahasa
Bhinneka Tunggal Ika Berbeda-beda tapi satu
Siapakah Indonesia? Seperti apakah Indonesia? Tidak pernah cukup 'satu' untuk mencitrakan keberagaman. Ratusan karakter, ribuan sosok, jutaan mimik , hadir memikat di setiap jengkal sebaran pulaunya. Kumpulan citra dan cerita dari perjalanan-perjalanan sebelumnya mencoba untuk menggambarkan keberagaman tersebut. Betapa tiap masyarakat di kepulauan Indonesia memiliki ragam 'rumah'-nya masing-masing, baik yang masih lekat dengan tradisi arsitektur vernakular maupun yang telah dipengaruhi oleh budaya asing. Hasilnya? Warisan arsitektur yang sangat beragam dan kompleks. Kami bahagia dan sangat bangga sempat bergaul dan merasakan Indonesia yang sejati dengan mata kepala kami sendiri. Pengalaman yang kaya akan keberagaman ini, tidak membuat Indonesia nampak tercerai-berai, namun justru membukakan mata kami akan karakter
Pada dasarnya, ragam 'rumah' tersebut berasal dari tradisi-tradisi arsitektur vernakular yang bervariasi, beradaptasi, dan bertransformasi, baik karena tuntutan karakter alam setempat, maupun pengaruh dari budaya asing. Tradisi-tradisi arsitektur vernakular di Indonesia ini memiliki asal yang sama, yakni dari kebudayaan Austronesian yang berawal dari daerah pantai dan sungai-sungai Cina Selatan dan Vietnam Utara sekitar 4000 tahun Sebelum Masehi. Masyarakat tersebut bermigrasi ke Taiwan (4000 SM) dan berlanjut ke Filipina (3000 SM). Hingga mencapai Kepulauan Sulawesi dan Indonesia Bagian Timur sekitar 2000 SM, dan akhirnya Indonesia Bagian Barat sekitar 1000 SM. Kesamaan budaya Austronesian yang terbawa di sebaran pulau Indonesia, menyebabkan adanya keserupaan properti dan bentuk morfologis struktur dasar1 dari ragam 'rumah' yang ada. Dari kombinasi bentuk yang lahir di sepanjang kepulauan Indonesia ini, terdapat setidaknya dua hal yang sangat berulang. Pertama yakni garis lengkung atap yang elegan, memukau secara skala dan proporsi, serta perpaduannya dengan elemen dekorasi 'tanduk' di ujung atap. Kedua, struktur lantai panggung yang terangkat dari tanah dan dibangun di atas tiang-
Setelah kedua hal tersebut, terdapat beberapa elemen yang hampir selalu hadir dalam kombinasi bentuk yang terwujud. Elemen-elemen tersebut antara lain: keberadaan ruang atau bangunan publik, poros terhadap elemen natural, pembagian menjadi tiga ruang; bawah (untuk binatang ternak)-tengah (manusia)-atas (barang-barang berharga dan pusaka), atap jerami-ijuk-rumbia (penggunaan material alami lokal), barisan tiang struktur rumah panggung, tangga untuk mencapai lantai panggung yang terbuat dari balok atau gelondong kayu, teknik pasak (tanpa paku), tungku (dapur di dalam rumah), dan tempat penyimpanan barang di bagian atas tungku. Selain dari keserupaan fisik yang semuanya terwujud dari material alami lokal, terdapat beberapa properti yang selalu dominan hadir dalam setiap ragamnya, yaitu rumah (uma), lumbung, dan balai/ bale (tempat ritual, upacara dan pertemuan warga) 1. Kehadiran lumbung sebagai sesuatu yang istimewa diyakini berkaitan dengan budaya Austronesian itu sendiri. Budaya tersebut antara lain bercocok tanam untuk pangan, keterampilan beternak, membuat perahu, pembakaran tembikar, menenun kain, dan ragam penggunaan alat dan alat makan.
Dari peta, dapat terlihat bahwa Pulau Irian tidak termasuk dalam wilayah persebaran budaya Austronesian. Hal ini menjelaskan mengapa masyarakat Asmat terasa berbeda dengan yang lain, yakni budaya berburu (hunting, fishing, and gathering) yang membuat mereka berpindah-pindah untuk bertahan hidup. Uniknya, walau memiliki bahasa dan budaya yang jauh berbeda, keserupaan bentuk arsitektural tersebut tetap hadir. Walaupun pada akhirnya terdapat ragam bentuk fisik, namun terminologi makna simbolik yang terkandung dari setiap ragam tersebut adalah serupa. Keserupaan tersebut dapat ditemukan dalam gagasan bahwa rumah mencerminkan status sosial penghuni dan cara berinteraksi antar penghuninya. Gagasan ini diterjemahkan dalam kebijakan-kebijakan dan tradisi-tradisi yang mengatur ruang dan tatanan berdasarkan gender, kekerabatan, usia, tingkatan sosial, asal muasal, dan lain-lain. Rumah menjadi pengejawantahan fisik dari kepercayaan bahwa terdapat tiga tingkatan alam, yang terdiri dari 'dunia tengah'habitat manusia yang di antara 'dunia atas' dan 'dunia bawah'. Rumah menjadi semacam badan sakral yang memiliki kekuatan spiritual tertentu, diperteguh dengan tradisi menyimpan berbagai pusaka dan ornamen di rumah mereka serta melakukan berbagai ritual yang diyakini dapat menjadi semacam medium untuk berhubungan dengan nenek moyangnya. Dengan memenuhi berbagai tradisi tersebut, keseimbangan dan keharmonisan antara dunia spiritual dan lahiriah dapat terjaga, sehingga mereka terhindar dari kekuatan spiritual yang destruktif. Selalu menghormati dan menjunjung tinggi asal muasal mereka (nenek moyang), watak ini diwujudkan dalam pengaturan tatanan ruang dan massa yang hampir selalu memiliki polar tertentu
terhadap 'asal muasal' tersebut. Hal ini juga menjelaskan mengapa mereka memiliki berbagai jenis orientasi dalam ruang; yakni depan-belakang, timur-barat, rendah-tinggi, kiri-kanan, dalam-luar, dan sebagainya; dikaitkan dengan pembagian status sosial yang ada. Tradisi dan kebijakan inilah yang menjadikan setiap generasi masyarakat tersebut selalu disuguhkan dan diperingatkan akan asal muasal mereka, serta tidak menjadi lupa diri. Inilah, suatu kelompok masyarakat. Dengan nilai-nilai keyakinan yang sama, yang tertuang dalam suatu konsepsi tatanan yang sakral, yang akhirnya melahirkan sebuah peradaban yang harmonis, arif, dan puitis. Sebuah lingkungan binaan yang sarat akan nasihat-nasihat simbolik dan visual mengenai kekuatan sosial. Inilah suatu negeri. Negeri ajaib.. Dan, sampai di sini lah mata kami terbuka. Akan satu Indonesia. Satu identitas. Satu karakter. Orisinil dan lokal. Sesuatu yang nampak terkubur oleh waktu, dipandang sebelah mata dan diabaikan. Dibisukan hingga hampir tak terdengar sampai ke generasi kami. Hanya haru yang sanggup kami perdengarkan, bahwa kami masih sempat bersua... Akhirnya, dalam luapan kebahagiaan dan kebanggaan, dengan segenap hati, pikiran, dan jiwa, kami sepakat melantangkan.. BHINNEKA TUNGGAL IKA, TAN HANA DHARMA MANGRWA!