ANTROPOS HEMAN #5 : Fashion dan Antropologi

Page 1

Edisi 05 Fashion Issue Juni, 2015 Read Online At: http://issuu.com/antroposheman

OPINI

“Dari Tien Soeharto Hingga Iriana” ETNOMINI

“Komodifikasi Fashion di Indonesia” FUN FACTS

ANTROPOLOGI

“Darell Ferhostan: Model Androgini tidak sama dengan Transgender” EVENT

“Ada Apa dengan ADHA?” FILM

Girl Model

dan

[

PROFIL

[

F a S h I ON

“Dari Tanah Papua”


Sampaikan saran dan kritik kalian untuk ANTROPOS maupun untuk HeMAn 2015 melalui e-mail ke:

antropos.heman@gmail.com dengan subjek: KotakPos_Nama/inisial. Ditunggu suratnya!

Layouting ok. Ilustra si bisa ditambahin di bebera pa bagian biar isinya gak tulisan aja, misal di wawanc ara Imam dan Sipin. Publikasi udah oke, cuma ttp dipikirin a ja ya bua t antropos akan mena rik kalo ad a versi cetak.. (Ebi, Antro p’12)

an” kemarin Antropos edisi “mak knya menarik banget. Topi ngan sederhana & dekat de ri, jadi bisa kehidupan sehari-ha dut pandang ngeliat makan dari su at makan! Diyang berbeda. Selam os berikutnya tunggu menu Antrop , antrop’12) (Nadya P. Lukitasari

Komentarnya sih karena baru baca sekilas isinya menarik banget terutama yg filosofi nasi. Bahkan makanan aja punya makna sendiri, bukan hanya mengenyangkan perut. Semoga berikutnya makin seru lagi, dirunggu versi cetaknya hehehe:) (Annisa Dinda, antrop’14)

Punya banyak tulisan tapi bingung mau dipublikasi dimana? Pas banget! Antropos punya ruang khusus buat tulisan kamu mulai edisi ke 2! Buat kamu yang berminat, bisa mengirim tulisan kamu via e-mail ke: antropos.heman@gmail.com (dengan subjek: Kontribusi_Nama_Jurusan/angkatan). Pastikan tulisannya sesuai ketentuan dibawah ini ya! 1. Maksimal 3 halaman (tanpa foto) A4 2. Font Times New Roman, 12pt, Spasi 1.5 3. Jika ada foto, attach pada email 4. Tulisan adalah karya sendiri, bukan plagiat.

2

Pesan dari Redaksi


MENU

Hello!

Antropos kembali lagi untuk edisi kelima-nya! Di edisi keempat kemarin, tim telah membahas isu kuliner sebagai bentuk dari perwujudan kebutuhan dasar manusia, yaitu makanan (pangan). Kali ini, antropos mengangkat kebutuhan dasar manusia yang kedua, yaitu SANDANG atau bisa juga dipahami sebagai pakaian. Nah, ketika mendengar istilah ‘fashion’, sebagian besar dari kita akan mengaitkannya dengan pakaian. Bagi sebagian orang, dunia ‘fashion’ mungkin hanya dipandang sebagai hal yang sederhana dan kurang menantang secara akademis. Maka dari itu, lewat edisi kali ini, tim ANTROPOS mengajak para pembaca sekalian untuk lebih mengkritisi dunia fashion lewat kajian-kajian antropologi. Oh ya! jangan sampai melewatkan bagian terbaru dari ANTROPOS, yaitu FUN FACTS dengan tema fashion dan gender dari tanah Papua. Dijamin, kamu akan memperoleh informasi yang seru a la antropolog :)

KOTAK POS

2

EDITORIAL

3

DAFTAR ISI

3

DARA

4

FILM: GIRL MODEL

5

OPINI

6

PROFIL

8

ETNOMINI

10

CATATAN PERJALANAN: 14 IWAI

BUKU: Women in Clothes

EVENT:

Ada Apa Dengan

Redaksi ANTROPOS juga ingin mengucapkan selamat menikmati libur panjang dan selamat berpuasa bagi umat muslim sekalian :) Redaksi ANTROPOS

18

ADHA

FUN FACT

20

GALERI

21

REDAKSI ANTROPOS 2015

Editor: Widiningsih & Fikriana Writer: Saras Fauzia, Dian Anisa, Indraini Hapsari, Riani Sanusi, Arief Wicaksono, Widiningsih Layout: Fikriana

3

17


“Apa makna ‘fashion’ bagi kalian?”

“Fashion, terutama dalam hal berpakaian, itu media ekspressi buat gue yg gak bisa nulis lagu dan puisi, gambar, atau nari. Sekaligus jadi identitas juga.” - Fikriana (2012) “Fashion buat gue itu gimana lo percaya sama diri lo sendiri. gimanapun fashion yg lo punya, semua akan jadi terlihat menarik ketika lo percaya diri!” - Widiningsih (2012) “Ketika ngomongin fashion, orang-orang orientasinya cuma sekedar baju, tapi fashion tu berkaitan juga sama kebiasaan, perilaku, jadi apa yang ditunjukkan seseorang melalui fashionnya sebenernya ada identitas tertentu yang ingin dimunculkan seseorang dalam konteks tertentu” - Saras (2013) “You are what you wear. Fashion masa kini bukan hanya persoalan membalut tubuh melainkan menjadi ajang prestise dan mencerminkan kepribadian seseorang. So, dress nicely everytime” - Dian (2013) “Meskipun ada kutipan “jangan lihat buku dari sampulnya” tapi tetep aja, kalo kamu bertemu dengan orang baru, apa kamu berharap bisa langsung lihat ke dalam hatinya? Hehe. Ya, dengan kata lain, fashion itu penting sekali, untuk menciptakan identitas seseorang.” - Sari (2013)

“Fashion adalah visualisasi kepribadian seseorang. konsistensi gayanya mencerminkan karakter kesehariannya.” - Wicak (2014)

“Fashion merupakan media untuk berekspresi melalui pakaian yang ia kenakan. Di dalamnya mencerminkan kepribadian bahkan terkadang menjadi ciri atau simbol status sosial orang yang mengenakannya” - Riri (2014)

4


Di Balik Gemerlap Seorang Model Judul Film: Girl Model [Dokumenter] Tanggal Rilis: 10 Februari 2012 Sutradara: Ashley Sabin & David Remon Cast: Nadya Vall, Ashley Arbaugh, Rachel Blais Ketika bicara fashion, dunia modelling menjadi salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan. Kebutuhan akan individu untuk merepresentasikan produk dengan baik menjadi alasan berkembangnya dunia modelling di berbagai belahan dunia. Film dokumenter yang rilis tahun 2012 menceritakan situasi dibalik glamornya dunia modelling yang selama ini banyak dipublikasikan lewat berbagai media. Nadya Vall, seorang gadis berusia 13 tahun dari Siberia mengikuti audisi untuk mencari model yang dibutuhkan pasar Jepang yang dilakukan oleh seorang talent scout sekaligus model bernama Ashley Arbaugh. Berhasil lolos dalam acara pencarian bakat bernama ‘Elite Stars’, Nadya Vall kemudian memperoleh kontrak modelling dan diterbangkan ke Tokyo untuk berkarir di dunia modelling. Keberhasilan Nadya dalam ajang pencarian menjadi impian sejumlah wanita di Serbia yang tidak memiliki keahlian untuk dapat bersaing di dunia kerja.

sosok Ashley yang sebelum bekerja sebagai talent scout, ia juga menjadi model dengan awal karier yang serupa dengan Nadya. Meski memperoleh banyak uang dengan menjadi model dan menjadi seorang pencari bakat, terdapat banyak hal yang mengubah hidup Ashley, mulai dari upayanya untuk tetap eksis dengan berkali-kali melakukan operasi.

Film berdurasi 1 jam 17 menit ini menarik untuk disaksikan karena menampilkan gambaran sebenarnya dari perjalanan karier wanita-wanita muda di dunia modelling. Kondisi Nadya dan Ashley hanyalah sepotong kisah nyata dari banyak wanita muda yang berjuang untuk mencapai kemakmuran yang mereka harapkan dengan berbagai bentuk tantangan. Film ini juga menunjukkan bahwa wanita perlu memiliki modal yang cukup, secara materi maupun immateril, dalam menjadi seorang model karena dunia tersebut tidak berlangsung selamanya. Akan ada masa dimana seorang model bertambah tua dan tidak lagi dilirik oleh industri fashion Sesampainya Nadya di Tokyo, ia tidak sehingga pendapatan merekapun akan memperoleh pekerjaan yang dijanji berkurang, sehingga penting untuk tidak -kan oleh agensi model tetapi ia terus hanya bermodalkan tubuh saja, tetapi menerus mengikuti audisi dan bahkan juga bekal pengetahuan yang lebih melakukan sejumlah photoshoot tanpa banyak untuk menghadapi masa memperoleh bayaran yang seharusnya ia tersebut. peroleh. Selain kisah tentang Nadya Vall, (FKA) film dokumenter ini juga menceritakan

5


Dari Tien Soeharto Hingga Iriana Oleh: M. Arif Wicaksono

SETIAP perempuan menciptakan impresi, lebih-lebih ibu negara. Baik sengaja ataupun tidak, melalui gaya busana yang dikenakan. Tidak serta merta tuntutan protokoler, tetapi di situ melekat pula peran ibu negara sebagai sosok istimewa yang punya kekuatan, antara lain untuk menggerakkan ekonomi kreatif. Saya membincangkannya dengan Atik Triratnawati, salah seorang pengajar antropologi khususnya mata kuliah etnografi Jawa di Departemen Antropologi Universitas Gadjah Mada beberapa pekan yang lalu. “Saya selalu mengenakan rok, tentu saja ini identitas saya sebagai perempuan, dan yang terpenting, saya berusaha mengenakan batik. Saya ingin ada hari khusus di sini dan di tempat-tempat lain agar anakanak mengenakan pakaian batik�, Kata Atik memulai perbincangan. Para ibu negara adalah simbol, bukan saja terkait dengan kekuasaan politik semata, melainkan juga dalam konteks psikologi dan suasana emosi suatu rezim pemerintahan. Dalam menciptakan atmosfer ini, ibu negara jauh lebih berperan dibanding sang presiden atau raja itu sendiri. Seorang ahli teori komunikasi Marshall McLuhan mengingatkan kepa-

6

da kita, politik pada akhirnya akan digantikan oleh citra gambar yang ditangkap kamera. Dalam lingkup politik itulah ibu negara berada dan berperan. Di depan sorotan kamera, penampilan ibu negara menjadi urusan penting. Terhadap para istri duta besar Indonesia saja kita punya harapan agar mereka mem -bawakan kain Indonesia dengan desain dan gaya yang pas dalam pergaulan internasional. Apalagi terhadap ibu negara, tentu besar ekspektasinya. Dalam ingatan publik, Fatmawati Soekarno, first lady pertama Indonesia, tampil secara khas dengan kain panjang, kebaya ala kartini, dan kerudung. Sementara Ibu Tien Soeharto identik dengan kebaya kutubaru, jarik (kain panjang batik), dan selendang kecil yang dilipat di bahu. Berikutnya, Ainun Habibie, Sinta Nuriyah Wahid, dan presiden perempuan pertama, Megawati Soekarnoputri tidak membuat impresi pada gaya busana mereka. Atik menuturkan, “Kalau seseorang yang menjadi public figure sering berganti gaya pakaian atau busana berarti ia tidak menanamkan karakter penampilan yang kuat untuk diingat publik. Perlu konsistensi supaya orang ingat dan menangkap maknanya�.


Ibu negara selanjutnya, Ani Yudhoyono, selalu tampil dengan gaya busana modifikasi modern dan unsur tradisional. Selain batik dan kebaya, Ani juga sering tampil mengenakan busana berbahan tenun. Sebagai ibu negara pada masa itu, Ani dinilai cukup berkontribusi mendorong dokumentasi motif batik dan tenun Indonesia. Kini harapan para pengrajin dan pengusaha kecilmenengah kain tenun dan batik tradisional berpindah kepada Iriana Joko Widodo. Dimana pun ibu negara berada, harapan itu disematkan, baik ketika Iriana mendampingi presiden dalam forum-forum internasional, maupun ketika mendampingi presiden dalam kunjungan-kunjungan ke daerah (blusukan). Misalnya ketika meninjau pertanian, ibu-ibu petani ingin menyaksikan ibu negaranya bersahaja, namun tetap istimewa. Gaya busana menjadi penyampai pesan yang efektif ketika ditampilkan dengan konsep yang benar dan secara konsisten dalam berbagai kesempatan. Seandainya Iriana Joko Widodo memiliki i’tikad baik untuk mempromosikan tenun suatu daerah, misalnya, tenun bisa tetap dipakai dalam berbagai model yang khas, baik secara formal maupun

sehari-hari, dan tentunya tidak mengganggu pergerakan aktivitas sehari-hari. Bayangkan kalau ibu negara kita selama beberapa bulan, mengkampanyekan ulos melalui gaya busananya. Lalu mengambil tema busana dari daerah-daerah lainnya dan seterusnya. Tentu dengan gaya dan pembawaan yang selalu berkesinambungan. Ini akan sangat membantu para perajin batik, tenun, ulos, dan sebagainya. Pada posisi ibu negara, ada kekuatan yang bisa dimanfaatkan untuk mengangkat industri busana kita. Untuk mengangkat industri sandang ini, tata busana ibu negara pun membutuhkan konsep yang harus benar-benar matang dirancang demi memunculkan citra tertentu pada publik. Sebagai bentuk bahasa visual, urusan berbusana memang kadang rumit meski kelihatan sederhana. Namun, bahasa busana merupakan penyampai pesan yang efektif, bahkan ketika kita tidak menyadarinya.

7


PROFIL

Darell ferhostan

Model Androgini tidak sama dengan Transgender oleh: Dian A.

Apa yang terlintas di pikiran kalian saat mendengar istilah ‘gaya androgini’? Pernah melihat seorang model berpenampilan dengan pakaian yang biasa dikenakan lawan jenis mereka? Androgyny model adalah model yang dapat ‘mengaburkan’ batasan gender. Terkadang ia bisa tampil cantik seperti wanita namun juga bisa berpenampilan maskulin layaknya pria. Terlalu cantik jika disebut sebagai laki-laki, namun terlalu maskulin jika disebut sebagai perempuan.

bulan Mei 2011 Darell mulai memasuki panggung catwalk. Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF) 2011, yang merupakan fashion show pertamanya. Debut pertamanya tersebut membuat pria yang senang melukis ini semakin dilirik pemilik brand fashion ternama seperti Eddy Betty, Yosafat, Nikicio, Enny Ming dan Jeffry Tan. Penampilannya yang paling memorable adalah saat ia menggunakan see-through dress dan heels 18 centimeter! Awalnya Darell khawatir hanya akan di-bully oleh kalangan model pria. Namun, setelah dijalani tidak ada model pria yang risih akan keberadaannya. Mereka malah memperlakukannya dengan baik dan ramah. Sebagai model androgini, Darell mengaku beruntung karena tidak harus pergi ke gym untuk membentuk tubuhnya menjadi berotot. Tetapi, di sisi lain ia perlu melakukan diet untuk menjaga tubuh -nya tetap skinny. Berkat kerja kerasnya, sudah banyak prestasi yang ditorehkan hingga ke kancah internasional. Darell pernah muncul di majalah Elle dan Rolling Stone serta mengikuti Elle and Vogue fashion weeks di Bangkok.

Periode 2011-2012, tren mode androgini telah memberikan inspirasi bagi banyak perancang busana dunia, termasuk di Indonesia. Di rubrik profil kali ini, tim Antropos akan mengangkat profil seorang Darell Ferhostan, model yang didapuk sebagai model androgini pria pertama di Indonesia.

Pria kelahiran 16 November 1991 ini semasa kecil sering menemani kakak -nya, Tracy Langitan, yang sudah terlebih dahulu menjadi model cover girl. Andikha Dharmapermana, seorang pengarah gaya, menemukannya di Facebook lalu menawarkan photo shoot. Dari situ, karirnya dimulai dengan menjadi model katalog Fashion Indie pada Februari 2011. Selang tak berapa lama di

8


Pria bernama lengkap Darell Ferny Hosea Langitan ini tak menampik bahwa prestasinya tidak terlepas dari dukungan kedua orangtuanya. Awal -nya sang ibunda sempat kaget saat melihat dirinya tampil dengan riasan wanita di majalah, namun setelah dijelaskan apa itu model androgini, dukungan pun diterima oleh Darell.

ujar pria yang mengenyam pendidikan di Fakultas Teknik Perminyakan saat diwawancarai sedoniaguillone.com

Darell juga melihat kalau model androgini tetap menerima kodratnya sebagai laki-laki atau perempuan. Model androgini juga tetap mempunyai pasangan lawan jenis. Seperti seorang aktor, androgini bisa memerankan sisi feminin dan maskulin dengan ditunjang fisik.

Androgini merupakan terobosan art yang berbeda. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pro dan kontra. Anggapan yang marak berkembang di masyarakat Indonesia ialah model androgini pasti seorang transgender. “Aku bukan transgender, karena aku tidak pakai baju perempuan sehari-hari, kok. Rok atau high heels juga enggak. Gayanya feminin mungkin iya, tapi semua hanya sebatas job,” ungkapnya saat berbincang dengan Wolipop Detik. “Kalau aku ingin menjadi berbeda, pasti akan ada konsekuensi -nya. Dan aku harus memperjuangkan itu,” tambahnya.

“Everyone is different. Don’t try to be someone else because you are special. There is something that we can’t do like others can do, but there is something for sure we can do that others can’t do. Believe in yourself first, and others will believe in you. “ -Darell Ferhostan

referensi:

http://www.sedoniaguillone.com/blog/2013/11/06/ guest-super-model-darell-ferhostan/ http://www.businessweekindonesia.com/9012/kelebat-model-androgini-lokal#.VWFFxFwxHot http://wolipop.detik.com/read/2012/04/12/134047/189 0858/233/disebut-cantik-darell-model-androginy-indonesia-ukir-prestasi http://wolipop.detik.com/read/2012/04/12/114329/1 890745/233/darell-model-androginy-indonesia-aku-bukan-transgender http://wolipop.detik.com/read/2012/04/12/090450/1890 549/233/darell-model-androginy-pria-pertama-di-indonesia

Saat sedang tidak disibukkan dengan dunia modeling, Pria berdarah Manado ini senang menghabiskan waktunya dengan mempelajari hal-hal baru. “Traveling, making new friends, test new food, learning about new culture, and learning about different art from each country because I really love art,”

9

Sumber foto: http://darellferhostan.tumblr.com/


Etnomini Komodifikasi Fashion di Indonesia oleh: Tim Keilmuan He-MAn 2015

Kain Batik, Kain Tenun, Kain Songket, Kain Tapis, Kain Ikat. Siapa di antara kamu yang familiar dengan jenis-jenis kain tradisional tadi? Jika boleh saya menebak, mungkin sebagian besar diantara kamu sudah khatam dengan jenis-jenis kain tadi, atau minimal pasti pernah mendengarnya walau hanya sekelebatan saja. Berbicara tentang kain tradisional, akan lain ceritanya bila kita menyasar pula pada mereka yang mengikuti perkembangan dunia mode di Indonesia. Mode atau yang bahasa kerennya –karena mengacu ke bahasa Inggris-, disebut juga fashion, mempunyai artian yang cukup luas, yakni gaya hidup, cara berbusana, cara berprilaku dan sebagainya yang berlaku dan populer di suatu periode tertentu (1). Artinya, jika kamu termasuk ke dalam mereka yang mengikuti perkembangan dunia mode atau fashion di Indonesia, kamu pasti sudah hafal benar dengan salah satu bagian dari utama dari fashion yang akan kita bahas disini, cara berbusana, termasuk desain dan produk busana yang sedang tren tentunya. Awal Tren Fashion Indonesia Tercipta

Fashion lovers sejati yang mengikuti perkembangan dunia fashion di Indonesia tentu tidak asing lagi dengan pagelaran-pagelaran mode nomor wahid yang terselenggara di Ibukota seperti Jakarta Fashion Week dan Indonesia Fashion Week. Kedua ajang pekan mode akbar ini layaknya sebuah gerbang bagi penggelut, pemerhati, pecinta, dan jemaat setia dunia fashion di Indonesia untuk mengetahui apa-apa saja yang akan dan harus “diburu� lantaran jadi tren yang menonjol dalam rangkaian pekan mode. Meski kadang tidak diberitahukan secara eksplisit dengan pengumuman-pengumuman, berita-berita resmi atau pemunculan tekstual lainnya, tren fashion yang diacu akan terlihat secara implisit melalui peragaan-peragaan busana (fashion show) yang ditampilkan desainer untuk mempresentasikan karya fashion terbarunya. Dari sinilah kemudian tren fashion selama setahun ke depan akan diketahui karena pelaksanaan pekan mode memang mengacu pada perputaran fashion selam satu tahun kemudian. 10


Melalui pekan-pekan mode kenamaan itu pula tren “Cintai Produk Dalam Negeri” di dunia fashion Indonesia meroket ke langit nusantara. Desainer-desainer mode Indonesia satu persatu kemudian berbondong-bondong menampilkan koleksi-koleksi busana dengan sentuhan “ke-Indonesia-an” di dalamnya. Cara penampilan “ke-Indonesia-an” juga beragam, mulai dari inspirasi cerita keseluruhan koleksi yang katanya terinspirasi berbagai aspek Indonesia atau yang dengan terang benderang menggunakan aplikasi kain-kain tradisional seperti beberapa jenis yang telah disinggung diawal tulisan. Semua cara dilakukan untuk menampilkan sisi “ke-Indonesia-an”, beberapa ada yang konon memang tergugah, sementara sisanya tidak bisa jauh-jauh dari apa yang menjadi tren dan diminati pasar.

Minat pasar adalah salah satu hal yang tidak bisa pisahkan dari dunia fashion. Para pengusaha baik desainer dan produsen fashion akan mempertimbangkan hal ini dengan masak-masak sebelum melemparkan produk fashion terbarunya.Meski kerap ditunggangi dengan nilai-nilai seni yang sering digembar-gemborkan beberapa pihak, fashion tetap saja bukan seni murni karena seperti yang dikatakan oleh mantan editor legendaris majalah Harper’s Baazar dan Vogue, Diana Vreeland, “Fashion is...about business”. Dan bila mengembalikannya ke perihal minat pasar, para desainer dan produsen fashion atau yang lebih ringkasnya kita katakan saja sebagai pengusaha fashion akan menuruti minat pasar melalui perkiraan potensinya atau, menciptakan minat pasar dengan cara melakukan komodifikasi dan promosi yang menyusup ke alam kognisi target market fashion yang diinginkan. 11


Etnomini

Jargon Cintai Produk Dalam Negeri Sebagai Komodifikasi Fashion Apa yang kamu pikirkan ketika mendengar jargon “Cintai Produk Dalam Negeri”? Bagi saya, jargon ini segera membumbungkan ingatan saya pada semua produk dengan label “Aku Cinta Produk Indonesia” atau semua produk yang terlihat “Indonesia sekali” misalnya saja dengan menggunakan motif batik untuk mempercantik atau motif ikat kontemporer untuk menyemarakan motif. Akan tetapi, jargon “Cintai Produk Dalam Negeri” juga kerap terpampang secara implisit di setiap sudut pekan mode semisal Jakarta Fashion Week atau Indonesia Fashion Week. Bukan tanpa alasan saya berkata demikian tetapi itulah kenyataannya bila kita melihat produk-produk yang ditampilkan. Kain-kain tradisional yang bertebaran dimana-mana dengan aneka gaya.

Dalam melihat fenomena ini saya sedikit iseng berkaca pada teori komodifikasi milik Karl Marx. Teori komodifikasi ini bermula pada teori tentang komoditas. Komoditas, mengacu pada Marx, adalah suatu benda atau objek dengan segi-segi yang dimilikinya dapat memuaskan atau memenuhi keinginan manusia. Komoditas memiliki dua sisi, yaitu nilai guna dan nilai tukar (2). Merujuk pada teori Marx ini, produk fashion dengan sentuhan “ke-Indonesia-an” merupakan sebuah komoditas karena ia tidak sekadar memiliki nilai guna, melainkan memiliki nilai tukar sehingga dapat dipertukarkan dalam pasar. Proses penambahan nilai tukar pada produk fashion ini disebut sebagai proses komodifikasi yang didefinisikan Marx sebagai suatu bentuk transformasi dari hubungan yang awalnya terbebas dari nilai-nilai yang diperdagangkan menjadi hubungan yang sifatnya komersial. 12


Nah, jika yang jadi pertanyaan kemudian adalah, nilai apa yang ditambahkan sebagai nilai tukar? Jawabannya sederhana saja, “ke-Indonesia-an” atau yang dapat pula kita katakan sebagai nilai nasionalisme tentang Indonesia, yakni komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Komunitas ini dijelaskan mungkin saja tidak akan kenal sebagian besar anggota lainnya tapi di setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka (3).

Sisi “ke-Indonesia-an” yang kadang terasa mulia ditanamkan dalam produk-produk fashion seperti yang sering kamu lihat di pekan-pekan mode ternama, laman-laman majalah mode, televisi dan lain sebagainya akhirnya dapat dipertanyakan lagi disini. Apakah memang sebagai maksud baik melestarikan atau sebagai proses komodifikasi produk fashion agar lebih dapat diterima pasar? Agar kamu tidak hanya meresapi jargon “Cintai Produk Dalam Negeri” sebagai jargon penumbuh kecintaan terhadap nilai-nilai “ke-Indonesia-an” tetapi juga menghayatinya hingga membeli “mereka” yang dikomodifikasi. Fashion dalam negeri.

Note:

(1) Karena artikel berhubungan dengan dunia mode/fashion di Indonesia, rujukan fashion diambil dari Kamus Mode Indonesia karya Irma Hadisurya dkk. (2) Rudyansjah, Tony. 2011. Alam, kebudayaan, & yang Ilahi: Turunan, Percabangan, dan Pengingkaran dalam Teori-Teori Sosial Budaya. Depok: Titian Budaya. Hal 172

(3)Benedict Anderson, Imagined Communities (komunitas-komunitas terbayang). Yogyakarta: Insis, 2001.

13


Pria yang akrab dengan sebutan Iway ini memiliki nama panjang Wahyu Eka Putra. Ia adalah alumni Antropologi UI angkatan 2002 yang saat ini berprofesi sebagai peneliti. Pada hari Kamis tanggal 11 Juni 2015 yang lalu, antropos mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang dengannya seputar pengalaman penelitian pertamanya. Ia mulai meneliti sejak tahun 2010. Wilayah Kapuas Hulu yang terletak di Kalimantan Barat menjadi tempat penelitian pertama bagi dirinya. Saat itu, ia melakukan penelitian bersama beberapa orang dari tim PUSKA UI. Proyek penelitian itu adalah kerja sama antara PUSKA UI dan FFI dengan tema proyek penelitian mengenai REDD. Perjalanannya dimulai dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Pontianak. Setelah sampai di Pontianak, ia menginap selama sehari dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan naik pesawat kecil menuju daerah putu sibau. Daerah itu terletak di hulu Sungai Kapuas sehingga perlu naik speed-boat selama dua hingga dua setengah jam untuk sampai ke desa tempat penelitian. Selama perjalanan menuju desa, Iway disambut oleh sungai di sana yang memiliki lebar hingga puluhan meter, hutan dan desa di kanan-kiri atau sekitarnya, serta cuaca yang sangat panas karena wilayah tersebut terletak tepat di bawah garis khatulistiwa. Setelah sampai di desa tempat penelitian, Iway dan beberapa rekannya menemui dan meminta izin kepada kepala desa mengenai maksud kedatangannya. Mereka pun diterima di desa tersebut. Ketika antropos bertanya tentang kesan pertama berada di desa itu, Iway dengan antusias berkata: “Pengalaman menyenangkan! kita masuk ke lingkungan baru, yang beda dari kehidupan kita sehari-hari. Kalimantan.Di luar pulau Jawa dan di desa yang bener-bener jauh dari pusat kota. Masyarakatnya orang dayak yang mayoritas kristen. Bahkan, semua kristen ngga ada yg Islam. Mereka orang dayak kantu’. Awalnya canggung namanya ke lingkungan baru, tapi kita harus adaptasi. Pertama kali juga pasti kita yang jadi tontonan/objek�.

Iway kemudian mulai bercerita mengenai hal konyol yang pernah ia lakukan di sana. Pada suatu hari ketika malam, Iway pernah bergabung untuk minum arak bersama masyarakat yang terdiri dari para elite di sana. Ia meminum arak secara terus-menerus hingga membuat dia muntah. Keesokan harinya, ia menjadi disapa dan dikenal oleh masyarakat sana. Ini adalah hal konyol baginya, yang memang sengaja ia lakukan agar dikenal oleh masyarakat. Peristiwa tersebut dilakukan sebagai cara agar masyarakat dari desa yang menurutnya sangat luas itu, dapat mengenal dirinya se -hingga dirinya dapat diterima semua masyarakat.

14


Hal konyol seperti ini, menurut Iway tidak harus selalu dilakukan ketika penelitian karena kita dapat pula melakukan berbagai cara lain untuk menarik perhatian masyarakat, seperti sering mengikuti berbagai aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat atau sering menolong masyarakat untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Iway juga menambahkan bahwa ketika melakukan penelitian, peneliti sebaiknya membuka diri dengan masyarakat, serta tidak mengabaikan berbagai pantangan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Menurutnya, pantangan yang berlaku dalam masyarakat harus dihormati karena kita tidak akan pernah tahu hal-hal apa yang akan terjadi selanjutnya. Dalam hal ini, kita hanya sebagai tamu dan masyarakat-lah tuan rumah yang lebih tahu dan paham terhadap rumahnya sendiri. Selain itu, menurutnya, peneliti juga harus bisa berteman dengan berbagai kelompok masyarakat sehingga tidak hanya berkumpul atau dekat pada satu kelompok tertentu. Tetapi, di sisi lain, peneliti juga perlu mengingat posisinya sebagai peneliti agar bisa memberikan hasil penelitian yang objektif. Meskipun dalam setiap penelitian memang selalu ada unsur subjektivitas, namun paling tidak seorang peneliti harus bisa meminimalisir hal itu. Setelah bercerita mengenai sebagian pengalamannya di sana, Iway lalu memutar kembali cerita awal mula dirinya menjadi peneliti seperti sekarang. Sebelum menjadi peneliti, dirinya pernah bekerja di kantor atau “belakang meja/komputer� dan melihat teman-teman se-angkatannya yang sudah berkeliling Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri. Iway memiliki pandangan jika dirinya tetap berada di “belakang meja�, ilmu antrop yang ia miliki tidak dapat tersalurkan. Hal inilah yang memacu Iway untuk mengikuti jejak teman-temannya. Iway sendiri mengatakan bahwa pada dasarnya ia menjadi peneliti karena suka dan melalui penelitian dirinya bisa mendapatkan ilmu dan pengalaman yang banyak. Kedua hal ini adalah hal yang mahal dan berharga baginya. Pertama kali terjun sebagai peneliti, dirinya tidak terlalu memikirkan uang yang didapat. Menurut Iway, penelitian dapat menjadi kesenangan atau beban, tergantung kepada pembawaan diri masing-masing. Oleh karena itu, kita harus menyenangi apa yang kita lakukan agar tidak menjadi beban. Pada konteks penelitian di Kapuas Hulu ini, Iway menjelaskan bahwa ketertarikannya pada proyek ini dilatarbelakangi karena dirinya ingin membuktikan stereotip yang sering dibe -rikan di tanah Kalimantan ataupun pada orang dayak itu sendiri, seperti mistik yang masih kuat, dan sebagainya.

15


Namun, Iwai akhirnya mendapat kesimpulan bahwa mereka tidak seperti yang dikatakan negatif oleh orang-orang. Menurut Iwai, kita harus mengenal langsung seseorang dan membuktikannya secara empiris untuk mengetahui kebenarannya. Iwai lalu menceritakan duka yang ia alami pada penelitian pertamanya tersebut. Penelitian yang berlangsung selama 5 bulan itu membuat dirinya ternyata harus melewati hari lebaran di sana. Iwai merasa sedih karena rindu kepada keluarganya atau menginginkan bertemu langsung dengan keluarganya, sedangkan saat itu dirinya berada di satu desa yang semua penduduknya beragama kristen sehingga tidak me -rayakan hari lebaran. Berdasarkan apa yang dirasakannya tersebut, Iwai akhirnya menjadi tahu perasaan orang-orang yang rela berbondong-bondong mudik lebaran. Padahal sebelumnya, dirinya cenderung mengkritisi orang-orang yang mudik lebaran. Tetapi, peristiwa yang dialaminya tersebut membuat dirinya refleksi terhadap apa yang ia kritisi itu. Lima bulan berlalu, tibalah masa ketika Iwan dan rekan-rekannya pulang ke Jakarta dan berpisah dengan masyarakat. Perayaan pesta dibuat oleh masyarakat untuk perpisahan ini. Sedih dan tangis juga mewarnai perpisahan yang berlangsung tersebut. Sebagai penutup cerita, Iwai memberikan saran atau hal-hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan penelitian. Penelitian menurutnya harus dilakukan secara serius dan fokus. Kita harus berfokus pada apa yang ingin diteliti dan fokus terhadap posisi kita di sana. Kita juga harus memiliki kondisi fisik yang kuat atau sehat. Selain itu, kita harus menyukai dan menikmati penelitian yang dilakukan agar kita tidak menjalaninya dengan keterpaksaan. (WIDI)

16


Memahami Diri Lewat Berpakaian Judul Buku: Women in Clothes Penulis: Sheila Heti, Heidi Julavits, dan Leanne Shapton Penerbit: Blue Rider Press Tanggal Terbit: 4 September 2014 Jumlah Halaman: 528 Halaman Ketika mendengar istilah ‘fashion’, beberapa orang akan mengaitkannya dengan gaya berpakaian dan bagaimana seringnya istilah tersebut identik dengan dunia perempuan. Tidak dapat dipungkiri, perempuan memang menjadi sorotan utama ketika membahas gaya berpakaian, misalnya saja sebuah pandangan terkait dengan sikap seorang perempuan dengan panjang rok yang digunakan, dan masih banyak contoh-contoh lainnya. Ya, perempuan dan dunia fashion rasanya sulit untuk bisa dipisahkan, meskipun saat ini sosok pria juga tidak kalah dalam dunia tersebut. Buku yang ditulis oleh Sheila Heti, Heidi Julavits, dan Leanne Shapton berupaya menangkap bagaimana para perempuan dengan latar belakang budaya dan pengetahuan yang beragam melihat dirinya dan dunia fashion yang dalam hal ini adalah gaya berpakaian. Lewat menjawab 50 pertanyaan survey yang diajukan penulis, para wanita tersebut mencurahkan pandangan mereka tentang pakaian dan bagaimana lewat pakaian mereka dapat mengungkapkan identitas, menunjukkan rasa percaya diri mereka, dan membangun kehidupan.

Buku 528 halaman ini tidak hanya menyampaikan hasil survey yang dilakukan oleh penulis, tetapi juga hasil wawancara dengan sejumlah penulis, aktivis, dan artis seperti Cindy Sherman (seorang fotografer), Kim Gordon (musisi), Tavi Gevinson (fashion blogger dan editor), Lena Dunham (artis), dan Molly Ringwald (artis). ‘Women in Clothes’ juga disertai foto-foto dan ilustrasi untuk mendukung hasil wawancara serta memberikan gambaran nyata pada para pembacanya. Buku ini menyenangkan untuk dibaca karena memberikan potret bagaimana wanita dengan latar belakang yang beragam memahami dan menerapkan cara berpakaian, menjadi percaya diri, dan tentunya pandangan tentang menjadi sosok yang menarik. (FKA)

17


Event

ODHA atau ‘Orang dengan HIV/AIDS’, banyak orang, mungkin termasuk sebagian dari kita yang masih menganggap mereka berbeda dan berbahaya. Berjabat tangan pun segan, apa lagi bersosialisasi. ‘Takut tertular’, begitu alasan yang sering terlontar dari masyarakat. Para ODHA seakan hidup dengan dikelilingi oleh stigma-stigma negatif dari masyarakat. Stigma-stigma ODHA adalah orang-orang bersalah, telah berbuat hal-hal negatif, dan sebagainya, seakan terpatri di benak kita. Sadarkah bahwa di antara mereka ada istri-istri yang tak menahu apa-apa sampai anak-anak yang tak berdosa?

Rhino Ariefiansyah. Kegiatan ini ditujukan untuk memberikan edukasi kepada mahasiswa, khususnya mahasiswa FISIP mengenai HIV/AIDS, mengingat kurangnya informasi yang memadai mengenai isu HIV/AIDS. Tujuan lain -nya adalah meluruskan pemikiran yang salah mengenai HIV/AIDS sehingga dapat mengubah stigma yang selama ini melekat pada ODHA.

Acara ini diselenggarakan pada hari Selasa, 28 April 2015, di gedung H 102, FISIP UI. Acara dimulai pada pukul 17.00 WIB dan berakhir pada pukul 19.00 WIB. Rangkaian acara dibuka dengan pembukaan oleh MC, dilanjutkan dengan pemberian sambutan dari KetDivisi Sosial Masyarakat dan Divisi Kesenian dan Rekreasi dari Hémpunan ua Pelaksana yaitu Milka Angela (AntroMahasiswa Antropologi dengan meng- pologi 2013). Mulailah pada pukul 17.10 pemutaran film “Berikan Kami Harapan”. gandeng yayasan-yayasan seperti Lentera Anak Pelangi dan Kuldesak SG Setelah film berdurasi 25 menit itu selesai diputar, para narasumber mengadakan acara screening serta diskusi film berjudul “Berikan Kami menyampaikan materinya masingmasing. Harapan” yang disutradarai oleh

18


Sutradara film, Rhino Ariefiansyah, memberikan ulasan mengenai film ini yang bertujuan untuk memberikan perhatian lebih tentang kondisi para ADHA (anak dengan HIV/AIDS) yang seakan terpinggirkan dari kehidupan masyarakat. Anak-anak harus bermain, harus mendapatkan pendidikan yang baik, tak terkecuali bagi mereka yang menderita HIV/AIDS. Narasumber lain dari Yayasan Lentera Anak Pelangi juga berbagi cerita mengenai diskriminasi yang kerap kali dialami oleh ADHA, seperti di beberapa kasus diceritakan bahwa anak yang diketahui mengidap HIV harus dikeluarkan dari sekolahnya. Kejadian-kejadian tersebut terjadi dan berulang karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bagaimana HIV (human immunodeficiency virus) dapat menyebar.

Setelah narasumber menyampaikan materinya, acara selanjutnya adalah sesi tanya-jawab. Peserta acara yang jumlahnya cukup banyak itu terlihat sangat antusias mengikuti jalannya acara. Hal ini terbukti dari berbagai pertanyaan yang mereka ajukan kepada narasumber, pertanyaan-pertanyaan tersebut menggambarkan keingintahuan mahasiswa yang besar terhadap isu mengenai HIV/AIDS ini dan bagaimana mereka ingin mendapatkan pemahaman yang jelas sehingga kelak, mereka tidak lagi memiliki stigma negatif tentang para ODHA atau ADHA. Setelah sesi tanya-jawab, dilanjutkan dengan pemberian kesimpulan oleh moderator.

Salah satu kesimpulan yang dapat diambil adalah mengenai pentingnya edukasi bagi para masyarakat tentang isu yang menyangkut HIV/AIDS, misalnya dengan memberikan penjelasan yang lengkap tentang bagaimana cara penyebaran virusnya. Bilamana masyarakat telah memahami betul mekanisme penyebaran virus tersebut, diharapkan mereka tidak lagi mengucilkan para ODHA, khususnya anak-anak, dari lingkungan pergaulan. Mereka sama saja seperti masyarakat lainnya, mereka bisa bermain, bersekolah, dan melakukan kegiatan bermasyarakat lainnya. Jangan sampai dengan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bagaimana HIV menyebar, bisa merenggut hak-hak dasar mereka sebagai seorang manusia atau pun sebagai anggota dari masyarakat. Terakhir, acara ini ditutup dengan pemberian plakat kepada para narasumber dan sesi foto bersama (panitia, narasumber, dan peserta acara). (SARI)

19


F

UN ACTS

Setelah beberapa waktu hilang dari Antropos, rubrik ‘FUN FACTS’ kembali hadir untuk menambah wawasan pembaca sekalian. Untuk edisi kali ini, sejumlah fakta menarik berasal dari tanah Papua.

KOTEKA Mungkin bukan kata yang asing lagi ketika kita mendengar kata koteka. Ya, koteka merupakan “pakaian” yang sebatas menutupi alat kelamin laki-laki. Koteka, dikenakan oleh laki-laki Dani yang tinggal di lembah Baliem Wamena, kabupaten Jayawijaya, Papua. Namun taukah kalian bahan yang digunakan untuk membuat koteka? Serta bagaimana cara pembuatannya? Koteka terbuat dari kulit buah labu air berbentuk panjang, yang biasa disebut bobbe oleh orang Dani. Labu yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan koteka, kemudian dikeluarkan isinya. Selanjutnya, labu tersebut dipanggang di atas bara api untuk menghilangkan sisa-sisa bagian dalam labu. Setelah dilakukan pemanasan untuk kedua kalinya labu tersebut dikerok bagian dalamnya untuk memastikan hanya tersisa kulit bagian luar dan tidak ada serat-serat yang tersisa. Labu yang sudah bersih tersebut, selanjutnya dijemur di bawah sinar matahari selama dua hari hingga labu tersebut keras dan berwarna kecoklatan dan kemudian siap untuk digunakan. Terdapat perbedaan penggunaan koteka pada saat kehidupan sehari-hari dengan saat melakukan ritual atau upacara. Saat kehidupan sehari-hari atau saat bekerja, koteka yang digunakan berukuran pendek, sedangkan saat ritual lebih panjang dan dihias. RITUAL SEKSUALITAS yang ADA di PAPUA Taukan kalian, bahwa di Papua terdapat beberapa jenis ritual yang berkaitan dengan isu seksualitas, yang di paparkan dalam jurnal Antropologi Papua volum 3 tahun 2003 dalam sub judul Pengetahuan Perilaku Seksual Suku Bangsa Marim Animd , adalah sebagai berikut: (a) Pada orang Kolepom, hubungan seksual dalam upacara, biasanya antara seorang laki yang sudah menikah dengan seorang perempuan puber yang memasuki masa dewasa dalam suatu inisiasi. Hubungan seksual sebagai suatu pelengkap dalam upacara inisiasi untuk membuktikan bahwa ia telah dewasa. Sedangkan hubungan seks secara heteroseksual dapat dilakukan dengan siapa saja di antara wanita yang telah menikah, setelah mengakhiri suatu kegiatan pesta kematian, dan kegiatan mengayau (Serpenti 1968,1977, 1984) (b) Di kalangan orang Asmat, terjadi penukaran istri dengan lelaki yang disenangi, kadang-kadang dalam jumlah kecil pada suatu upacara. Secara umum persetubuhan secara heteroseksual bebas dengan wanita pilihannya, yang menghias dirinya dalam mengikuti kegiatan mengayau. Di lain pihak hubungan seks terjadi setelah laki-laki bebas dari rumah laki-laki, dan pada saat diadakan pengukiran patung nenek moyang (bis), (Zegwaard dan Boelaars 1982: 21-23; Eyde 1967: 205-210; Schneebaum 1988: 83; Kuruwaip 1984: 14; Sowada1961: 95; van Kampen 1956: 73-76). (SARAS)

Referensi: http://suarapapua.org/2014/09/29/5-fakta-suku-dani-di-papua/ http://suryapost.com/2013/01/cara-membuat-koteka-ternyata-mudah-sekali.html Dumartubum, A. E. & Staff Dosen Antropologi Cendrawasih. 2003. ‘Pengetahuan Perilaku Seksual Suku Bangsa Marim Animd ‘(Jurnal Antropologi vol.3).

20


Galeri

Tanggal 1 Mei yang lalu, bertapatan dengan Hari Buruh 2015, Divisi Antropologi Visual (Anvis) bersama dengan sejumlah mahasiswa lainnya berkesempatan mengabadikan sejumlah momen dalam kegiatan peringatan tersebut. Berikut adalah hasil tangkapan kamera dari peserta hunting foto bulan lalu.

21


Prepare Yourself For ANTROPOS #6! coming soon


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.