re l i gi
PeranKokol otandal am Up acara DaurHi dupMasyarakat Desa Gajeboh, BaduyL uar MUHAMMADI RF AN, CHANDRA seti awan, r oberto
EKO L O GI
EKOSI STEM SUNGAI MASYARAKATBADUY mEGA ANNI SA W. , BI ANCA CARI SSA A. , F ADI AHSABI L L AF .
OR SOS
si stem penamaan bagiorang kanekes NURULCHOI RANI , NATASYA ANGGI TA, WI WI DGAL UHP .
fol kl o re
fol kl orebaduy fi nda prafi anti , ni ta chaeruni sa, tamiai syah
EKO NO MI
sistem ekonomi masyarakat baduy aninda kharistiyanti. Siti Yuliani. Tiara ariestasari
emenuhi kebutuhan hidup adalah salah bangan jarak yang jauh pemilik warung satu hal yang penting bagi keberlangsunbiasanya lebih memperhitungkan jumlah gan hidup manusia. Cara manusia mekomoditas yang dibelinya. menuhi kebutuhan hidupnya menyebabkan munculnya gejala Salah satu komoditas ekonomi yang terjadi yang menjadi khas pada masyarakat. Baduy adalah kain Gejala ekonomi tersetenunnya. Penduduk but terwujud yang Gajeboh yang menjadisebut Polanyi (1998) di agen kain tenun sebagai resiprositas. Baduy adalah Mang Kemudian, gejalaArsid, biasanya Mang gejala ekonomi yang Arsid menjual kain muncul di masyarakat tenun Baduy sampai membentuk sebuah ke kota, bahkan tak sistem ekonomi yang jarang ia mengikuti mungkin saja berbeda pameran-pameran Gula Aren sebagai komoditas yang dijual di setiap masyarakat. untuk memperkenaldi warung penduduk. kan kain Baduy ke Dari 1 sampai 4 Juni 2018, kami berkemasyarakat yang lebih luas. Kain tenun sempatan untuk melihat lebih dalam yang dijual oleh Mang Arsid sangat beragsistem ekonomi masyarakat Baduy. am, mulai dari ukuran sampai harganya. Melalui Ethno Edu Trip, bersama He-MAn Terdapat pula komoditas lain yang dijual, UI, mahasiswa Antropologi UI dapat menseperti tas, gelang, benang, pakaian khas gamati dan berpartisipasi langsung Baduy, sendal gunung, dan lampu surya. dengan masyarakat Baduy di Desa GajebKomoditas seperti kain, tas, dan gelang oh, Lebak. Pengamatan kami menemukan adalah hasil Kain Tenun Baduy bahwa rantai komoditas di Desa Gajeboh, kerja masLebak memiliki cakupan yang lebih luas y a r a k a t pada sistem ekonomi masyarakat Baduy Baduy dari secara luas. berbagai kampung, Kami melihat beberapa warung di rumah tidak hanya penduduk dengan komoditas yang seragdari Desa am. Desa Gajeboh memang sering dikunGajeboh. jungi atau hanya sekadar dilewati pengunjung yang akan atau datang dari Baduy Dalam, sehingga warung tersebut menyediakan tambahan komoditas yang dibutuhkan pengunjung, selain komoditas pokok. Pemilik warung biasanya membeli barang dagangannya di pasar yang berlokasi di Lebak, sehingga dengan pertim-
GLO BALI SASI
interkoneksitas masyarakat baduy elita putri f. Tiara audina. ulfa
Sebelum memasuki pemukiman Baduy, terlebih dahulu kita memarkirkan kendaraan di Terminal Ciboleger, Leuwidamar. Lalu kita memasuki jalan kecil yang menanjak. Di sepanjang jalan, kami menemui masyarakat Baduy Luar yang berjualan pernak pernik, berjualan sembako, bahkan ada Sekolah Dasar. Penduduk Baduy Luar yang kita temui memakan baju berwarna hitam dengan lengan panjang serta rok yang terbuat dari kain berwarna biru dengan corak khas Baduy. Namun tidak jarang kita akan menjumpai orang-orang yang memakai pakaian biasa masa kini. Setelah melewati jalan kecil yang merupakan akses menuju pemukiman Baduy, kita akan tiba di sebuah gerbang. Di sana tertera aturan-aturan yang harus dipatuhi selama berada dalam pemukiman Baduy. Selain itu juga terdapat kata-kata mutiara berisi prinsip-prinsip masyarakat adat Baduy yang ditulis dalam bahasa Sunda. Setelah itu barulah kita memasuki pemukiman Baduy. Di sepanjang jalan kita akan menemukan rumah-rumah yang terbuat dari rotan dan kayu. Seluruh pondasi hingga lantai rumah terbuat dari bahan yang terbuat dari kayu dengan atap dari jerami. Masyarakat kebanyakan bekerja sebagai peternak atau berkebun. Tidak jarang kita berpapasan masyarakat yang membawa kelapa, singkong, hingga durian. Selain itu ada juga yang berprofesi sebagai pengrajin - yang kebayakan adalah perempuan. Mereka duduk dengan alat tenun di beranda rumah dan membuat tenunan. Ada juga yang membuat perhiasan seperti kalung dan gelang untuk dijual. Tidak ada aliran listrik disana sehingga kita tidak akan menemukan benda-benda elektronik seperti TV, kulkas, atau radio disana. Pemukiman Baduy terletak di dataran tinggi sehingga perjalanan yang kita lalui kebanyakan mendaki. Tidak ada kendaraan disana sehingga kita harus berjalan
kaki. Di ketinggian kita akan melihat banyak pepohonan yang rindang serta perkebunan dengan berbagai macam tanaman. Di beberapa titik kita akan menemukan sungai yang beriak dan bebatuan besar. Masyarakat juga sering melakukan aktivitas disana. Mulai dari mandi, mencuci, hingga mengambil air untuk diminum. Disana juga terdapat jembatan yang terbuat dari kayu dan tali. Jembatan itu kabarnya telah berumur puluhan tahun namun masih tetap kokoh meskipun tanpa besi dan semen. Setelah menempuh perjalanan yang cukup memakan waktu, yaitu sekitar 90 menit, sampailah kami semua di desa ke-5 yaitu desa Gazebo. Warga disana cukup ramah namun tidak bisa dibilang menyambut, mungkin karena mereka sudah terbiasa dengan adanya pendatang. Di desa ini, rupanya masyarakat sudah banyak menggunakan teknologi . Banyak sekali masyarakat yang sudah memiliki handphone, memiliki aki dan juga memiliki lampu tenaga surya. Hal ini tentu saja hanya diketahui oleh masyarakat setempat, jika ketahuan oleh masyarakat Baduy Dalam, maka mereka harus menerima sansksi adat. Barang-barang teknologi tersebut diambil dan dihancurkan.
elita putri f. Tiara audina. ulfa
Yang menjadi fokus kelompok kami disini adalah lampu tenaga surya. Lampu ini dibeli secara kolektif oleh masyarakat ke satu orang warga yang memang rajin bolak-balik ke kota untuk berjualan. Satu lampu tenaga surya seharga Rp.300.000,- dan lampu itu ternyata dibeli dari luar negeri lewat aplikasi e-commerce dan dikirim ke Jakarta ke tempat teman bapak A, lalu bapak A datang ke tempat temannya dan membawa lampu tersebut ke desa. Lampu ini hanya perlu di charge menggunakan tenaga matahari, dan dapat dipakai selama kurang lebih 8 jam. Yang menarik dalam case ini adalah bagaimana bapak A bisa memperomosikan lampu tersebut, dan bagaimana masyarakat desa gazebo yang seharusnya sudah terbiasa hidup tanpa teknologi, mulai tertarik dengan keberadaan lampu tersebut dan rela merogoh kantong untuk membelinya. Uang sejumlah Rp300.000 tentu bukan jumlah yang sedikit.
Di sini mulai terlihat masuknya globalisasi, bagaimana pelan-pelan masyarakat mulai mengerti kegunaan teknologi dan kebutuhan akan internet, walaupun bukan mereka sendiri yang memesan lampu tersebut di e-commerce, mereka tahu lampu tersebut tidak dijual di kota, hanya bisa didapat melalui online sebab dikirim dari luar negeri. Biasanya sebelum pulang, para pendatang tidak lupa untuk membeli souvenir khas baduy yang harganya cukup murah karena dibuat langsung oleh masyarakat desa gazebo. Ada yang membeli kalung, gelang, kain, tas rajut, dll yang terbuat dari bahan alam yang ditemukan di pemukiman Baduy. Yang menjual barang-barang tersebut adalah istri Pak A yang berprofesi sebagai penenun.
KE SENI AN
tenunan, suara, dan baduy christin. gladys. valen “Hari yang indah untuk memulai petualangan,� pikir Christin, seorang mahasiswi Antropologi Universitas Indonesia tingkat tiga.
Siapa sangka, pemikiran seperti itu ternyata juga terlintas di pikiran kedua teman kelompoknya: Gladys dan Valen mahasiswi Antropologi Universitas Indonesia. Selama di Gajeboh, kami memiliki seorang gatekeeper, yaitu Kang Jaya. Kami mengetahui banyak hal mengenai siapa yang dapat kami tuju dari Kang Jaya. Sabtu, 2 Juni 2018, Christin, Gladys, dan Valen berkunjung ke rumah Mang Arsyid dan Kang Jaya. Sesampainya kami di rumah Mang Arsyid, kami bertemu dengan istrinya. Namun sayangnya beliau hendak pergi ke sungai untuk mencuci. Akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi warung di sebelah rumah Mang Arsyid karena di depan rumahnya kami melihat ada alat tenun. Juriah, si ibu penjaga warung bercerita mengenai kegiatan di kampung tersebut yang saat itu sedang sibuk karena ada hajatan. Hal itulah yang membuat para ibu di sana tidak ada yang menenun pada saat itu karena mereka harus membantu di rumah yang sedang hajatan. Ibu Juriah menjelaskan bahwa kegiatan menenun mulai dilakukan oleh anak perempuan sejak ia berusia 9-10 tahun. Ilmu menenun yang didapatkan seorang anak perempuan berasal dari ibunya. Setiap harinya sejak kecil, seorang anak perempuan akan memperhatikan jika ibunya sedang menenun. Kain tenun Baduy memiliki berbagai jenis: suat, poleng, adumancung, dan janggawari. Saya mendapatkan sedikit penjelasan mengenai kain-kain tersebut dari Kang
Jaya. Pertama adalah kain suat yang bermotif mata. Kain ini biasa digunakan untuk gendongan atau dijadikan songket. Kedua adalah kain adumancung yang memiliki kisaran harga Rp300.000. Selanjutnya ada kain janggawari yang merupakan jenis tenun yang paling mahal dikarenakan tingkat kesulitan pembuatannya yang cukup rumit. Kain ini harganya sekitar Rp1000.000. Selanjutnya ada kain poleng yang memiliki motif kotak-kotak. Kain ini biasa dipakai untuk acara adat seperti pernikahan. Pengantin laki-laki menggunakan Poleng Hideng (hitam) yang dibuatkan oleh pengantin perempuannya, sedangkan pengantin perempuan menggunakan poleng yang dibelikan oleh pengantin perempuan. Poleng juga digunakan dalam acara peperan, yaitu ritual yang dilakukan untuk anak perempuan yang menginjak usia 4-5 tahun. Kain poleng terdiri dari beberapa macam: Poleng Hiding, Poleng Kacang herang yang biasa digunakan para ibu saat sedang ada acara, Poleng Magrib dan Poleng Pepetikan. Setelah selesai mengobrol dengan ibu Juriah, akhirnya kami kembali ke rumah Kang Jaya, tempat di mana peserta Ethno Edu Trip 2018 berkumpul. Kami bertanya mengenai kain dan tradisi yang ada di Baduy dan ia menjelaskan bahwa Baduy Luar memiliki kain khusus untuk pernikahan bernama Hideung yang berwarna hitam-putih. Untuk laki-laki: kain Poleng Hideung berupa kain sarung kotak-kotak yang warna biru hitam, dengan sabuknya bernama adu mancung. Untuk perem-
christin. gladys. valen puan: Kain Sampah Hideung, dengan ikatan bernama Karembong berwarna putih polos. Apabila dalam pernikahan tidak bisa membuat kain-kain tersebut, maka bisa minta bantuan kepada tetangga untuk dibuatkan. Dalam adat Baduy, untuk mempelai perempuan juga harus memberikan mas kawin yaitu membuat kain Poleng Hideung dengan tangannya sendiri untuk mempelai laki-laki. Selain itu, Kang Jaya juga menjelaskan kain yang biasanya digunakan oleh ibu-ibu dalam kehidupan sehari-hari yang bernama Kain Poleng Kacang Herang, Poleng Magering, dan Poleng Petikan. Kain menjadi hal yang memiliki peran tersendiri bagi masyarakat Baduy. Namun, saat kami berada di Gajeboh, sedang diadakan hajatan, sehingga aktivitas menenun tidak dapat kami temukan di daerah Gajeboh karena para perempuan sibuk untuk memasak dan turut bergotong-royong mempersiapkan hajatan. Tetapi, selain kain tenun, Kang Jaya juga menceritakan mengenai kesenian lain, seperti angklung, di mana masyarakat Baduy memainkan angklung pada saat dua bulan sebelum hajatan. Saat musim panen, angklung juga turut dimainkan dan prosesinya dari rumah hingga sampai di ladang. Saat ritual ini berlangsung, tarian khas Baduy yang dilakukan oleh laki-laki saja turut menjadi bagian dari ritual ini. Ketika berada di Gajeboh, Minggu, 3 Juni 2018, Christin mendengar suara tumbukan padi yang memiliki irama dan tempo tersendiri, dan ternyata, menumbuk padi tersebut hanya dilakukan oleh laki-laki saja dan pasti memiliki tempo tertentu. Walaupun tidak ada yang dapat melihat prosesi tersebut, namun suara tumbukan yang keras cukup terdengar sampai depan rumah Kang Jaya.
Hal menarik mengenai kesenian juga ditemukan oleh teman-teman kami, yaitu ketika mereka menemukan Aki Asinah (orangtua dari Mang Arsyid, seorang penjual kain tenun di Gajeboh) bermain seruling dan ternyata bermain seruling sering dilakukan di waktu kosong. Kesenian merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat Baduy, khususnya masyarakat yang ada di Desa Gajeboh. Kesenian lekat dengan prosesi dan ritual yang dilakukan, mulai dari suara, gerakan, hingga aturan siapa yang dapat melakukan jenis kesenian tertentu. Kain tenun memang menjadi salah satu hal konkret yang dapat dilihat mengenai kesenian, selain itu, kain tenun juga menjadi salah satu sumber pemasukkan ekonomi bagi masyarakat Baduy. Tidak terbatas pada tenunan, pada berbagai ritual yang dilakukan masyarakat Baduy, juga sering ditampilkan musik ataupun tarian, misalnya seperti dalam acara hajatan. Tetapi, di luar daripada itu, kesenian yang masyarakat Baduy lakukan ada dan hidup di tengah-tengah mereka.
PARI WIS ATA
pembentukan image orang baduy di dunia pariwisata fanny syawbriyanti. dewi sartika. shavira putri danila
Pariwisata memiliki keterkaitan dengan teori dan kasus dalam dunia Antropologi. Dalam Antropologi Pariwisata, terdapat dua konsep pendekatan. Pertama digunakan untuk memahami asal-usul pariwisata. Kedua adalah untuk mengungkapkan dampak-dampak yang dihasilkan dari pariwisata. Namun seringkali dalam penelitiannya, apabila kita ingin mengeksplor lebih jauh tentang asal-usul pariwisata, kita lebih memusatkan perhatian pada turis. Sedangkan jika kita ingin mengeksplor lebih jauh tentang dampak pariwisata, kita lebih cenderung melihat ke sisi penduduk lokal. Dalam agenda Ethno Edu Trip 2018 ini, kelompok kami mendapat tema Antropologi Pariwisata. Selama di sana, kami menemui beberapa informan. Salah satunya adalah Ibu Rukhayah, penjual kain tenun Baduy. Beliau menjual banyak kain yang rupanya telah dijual hingga ke luar negeri. Bahkan, Ibu Rukhayah pernah pergi ke Jepang, dibiayai oleh Kementerian Pariwisata untuk berkontribusi dalam acara pameran kerajinan tangan. Di sana ia menampilkan kain tenun khas Baduy. Ia juga sempat bercerita bahwa selama di Jepang ia tidak mengunjungi tempat-tempat lainnya untuk sekedar berjalan-jalan. Di sana ia hanya hadir dalam acara pameran dan tidur di hotel karena harus mematuhi jadwal yang sudah ditentukan. Berbicara tentang kain tenun Baduy, rupanya, setiap kain memiliki pola yang sama yang disebut dengan swatsongket. Menurut Ibu Rukhayah, beliau sendiri tidak tahu filosofi yang sebenarnya. Namun, ia mengatakan bahwa pola tersebut sudah diwariskan secara turun temurun oleh para pendahulu. Cara orang Baduy men-
jual kain tersebut adalah melalui orang Jakarta. Menurutnya, orang Jakarta akan menghubungi orang Baduy apabila mereka ingin memesan kain. Setelah itu orang Baduy akan membawa kain-kain tersebut kepada orang Jakarta. Ibu Rukhayah mengatakan bahwa cara mereka untuk menghubungi orang luar adalah dengan menggunakan handphone. Ia juga sempat memperagakan dengan menggunakan tangan untuk menunjukkan jalan bagaimana mereka mencari sinyal, “dari sini naik ke atas, rumah yang paling atas itu banyak sinyal. Naik terus, rumah paling ujung biasanya banyak�. Rupanya, sudah ada orang luar yang ‘dikenal’ oleh orang Baduy untuk menjual kain-kain tersebut. Apabila kain-kain itu tidak laku, maka mereka akan mengembalikannya kepada Ibu Rukhayah. Rupanya, orang Baduy Dalam pun mengambil kain dari Ibu Rukhayah, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sehari-hari. Terkait dengan topik kami, Antropologi Pariwisata, kami bertanya mengenai kehadiran orang-orang luar yang datang ke Baduy Luar. Menurut Ibu Rukhayah, orang luar sering datang ke Baduy. Sejak ia kecil, sudah banyak orang luar yang datang. Asal para wisatawan tidak hanya dari daerah-daerah di Indonesia, wisatawan asingpun kerap berkunjung ke Baduy. Kebanyakan wisatawan asing yang datang dari luar negeri berasal dari Jerman, Belanda, dan Prancis dengan bantuan pemandu wisata dari Jakarta. Uniknya, orang Baduy tidak merasa kesulitan berkomunikasi dengan wisatawan asing karena biasanya para wisatawan ini mampu berbahasa Indonesia dan dapat dimengerti dengan baik oleh warga setempat. Walaupun begitu, ia menga-
fanny syawbriyanti. dewi sartika. shavira putri danila
takan bahwa orang Baduy “suka malu-malu” jika diajak berbicara oleh orang luar. Kami juga bertanya kepada Teh Rina mengenai hal tersebut. Ia sendiri tidak masalah dan tidak terganggu jika ada orang luar yang datang berkunjung karena biasanya rentang waktu paling lama untuk orang luar yang berkunjung hanyalah dua hari. Namun dari pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan terkait pariwisata, banyak hal-hal yang tidak terjawab secara mendalam. Rata-rata argumen yang diberikan oleh informan kami ialah “ya memang sudah biasa seperti itu sejak dulu” sehingga kami berpendapat bahwa orang Baduy sendiri belum sepenuhnya menyadari bahwa mereka telah dijadikan destinasi pariwisata oleh orang luar. Di sisi lain, kami sering melihat orang menggunakan pakaian khas Baduy dan menjual madu sebagai salah satu daya tarik wisata. Bu Rukhayah mengatakan bahwa orang Baduy tidak pernah memproduksi madu dan dijual hingga keluar, bahkan menurut beliau, yang memproduksi madu hanyalah Baduy Dalam. Madu tersebut hanya bisa diproduksi satu tahun untuk satu botol madu. Kemudian, beliau mengatakan bahwa madu-madu yang sering dijual oleh orang Baduy khususnya di perkotaan sebenarnya diproduksi oleh agen di Tanah Abang, Jakarta. Mereka menggunakan ‘cap’ Baduy dalam kemasan madu tersebut agar terlihat otentik. Ketika kami bertanya apakah hal tersebut mengganggu orang Baduy atau tidak, beliau mengatakan tidak terganggu sama sekali karena orang Baduy juga mendapatkan keuntungan dari penjualan madu tersebut. Namun lain halnya dengan Kang Jaya, informan kami yang lain, beliau mengatakan bahwa orang Baduy juga memproduksi madu dan dijual ke luar. Dari sini kami menemukan kontradiksi antara pernyataan Bu Rukhayah dan
Kang Jaya. Nampaknya, setiap orang yang memiliki kepentingan dalam usaha madu Baduy memiliki persepsi masing-masing terkait bagaimana alur produksi dan distribusi baik dari dalam masyarakat Baduy maupun ketika sudah dipasarkan di luar Baduy. Dari sini juga terlihat bahwa industri pariwisata dari dalam Baduy juga cenderung dikelola secara individu, terlihat dari munculnya aktor-aktor independen yang masing-masing memiliki pengetahuan dan keterampilan sendiri dalam memasarkan potensi wisata ke dunia luar. Dengan begitu, citra orang Baduy dalam dunia pariwisata dapat dikatakan terbentuk secara simultan baik secara internal maupun eksternal. Dari dalam, kita bisa melihat bagaimana orang Baduy membuka akses bagi orang luar (turis) untuk mengamati langsung gaya hidup mereka sehari-hari serta bagaimana mereka berusaha mempromosikan identitas mereka sebagai orang Baduy lewat pemasaran produk-produk tertentu seperti kain dan madu meski kebanyakan penjualan produk didorong oleh permintaan dari luar Baduy. Adapun dari sisi eksternal, apa yang dilihat oleh orang luar terkait orang Baduy, misalnya kebiasaan mereka mengenakan pakaian hitam tanpa alas kaki atau berjualan kain tenun dan madu seolah menjadi citra yang diasosiasikan dengan identitas Baduy itu sendiri, sehingga citra yang disematkan dari hasil konstruksi orang luar Baduy tersebut secara berkelanjutan diterima dan ditampilkan sebagai ikon pariwisata lokal. Hal ini terlihat dari banyaknya orang yang berjualan produk-produk seperti kain, madu, dan aksesoris tradisional seperti gelang dari serabut pohon bertuliskan ‘Baduy’ di pintu masuk menuju area perkampungan.
gal e r i