Antropos #06: Antropologi dan Rumah

Page 1

Edisi 06 ‘Antropologi & Rumah’ Issue Desember 2015 Baca Online di: http://issuu.com/antroposheman

etnomini

Melihat Arsitektur Lewat Antropologi liputan khusus

ANTHROPOLOGY FESTIVAL 2015 & ANTROP UI CUP 2015

fun facts

film

Tiga Cerita Di Balik Rumah Adat

Into The Wild 1


Sampaikan saran dan kritik kalian untuk ANTROPOS maupun untuk HeMAn 2015 melalui e-mail ke: antropos.heman@gmail.com dengan subjek: KotakPos_Nama/inisial. Ditunggu suratnya!

l, Walaupun calon tungga es dan semoga pemiranya suks akin menjadikan He-MAn sem tu baik ke depannya. Un k isinya Antropos, tema setiap ed f selalu inovatif dan kreati

Buat himpunan, sarannya semakin aktif dan produktif supaya makin yowww (yo). Buat Antropos, sekali-kali konyol biar wolesss.

[NN]

[Bunga Bangke]

Edisi Fashion kemarin keren. Layout dan design-nya makin bagus. Suka banget baca rubrik profile model androgini. Semoga ada versi cetaknya ya! [Dhea Erissa]

Punya banyak tulisan tapi bingung mau dipublikasi dimana? Pas banget! Antropos punya ruang khusus buat tulisan kamu mulai edisi selanjutnya! Buat kamu yang berminat, bisa mengirim tulisan kamu via e-mail ke: antropos.heman@gmail.com (dengan subjek: Kontribusi_Nama_Jurusan/angkatan). Pastikan tulisannya sesuai ketentuan dibawah ini ya! 1. Maksimal 3 halaman (tanpa foto) A4 2. Font Times New Roman, 12pt, Spasi 1.5 3. Jika ada foto, attach pada email 4. Tulisan adalah karya sendiri, bukan plagiat.

2


MENU

Salam Redaksi Melengkapi dua edisi ANTROPOS sebelumnya yang bertemakan sandang dan pangan, ANTROPOS edisi ke-6 hadir dalam nuansa papan. ANTROPOS berusaha menghadirkan ‘papan’ yang diartikan secara sederhana sebagai rumah ini dengan bera -gam perspektif dan pengertian. Rumah bisa berarti tempat berlindung, tempat berpulang, tempat berasal, dan lain sebagainya. Tentunya, dengan tidak meninggalkan fitrah antropologi dalam setiap pembahasannya. Selain menyajikan hal-hal baru yang mungkin tidak banyak diketahui pembaca sebelumnya, ANTROPOS edisi ke-3 ini juga menyajikan berita dan “laporan” eventual yang ada di kehidupan kemahasiswaan kita selama kurang lebih tiga bulan ke belakang. Selain itu, kami dari tim ANTROPOS masa bhakti He-Man 2014-2015 mengucapkan terima kasih dan mohon maaf sebesarbesarnya jika ada kesalahan selama penerbitan antropos baik dari edisi 4, 5, dan 6. Sampai jumpa di antropos edisi-edisi berikutnya dan selamat membaca!

KOTAK POS

2

EDITORIAL

3

DAFTAR ISI

3

DARA

4

FILM:

5

Into the Wild

OPINI

6

PROFIL

8

ETNOMINI

10

CATATAN PERJALANAN:

14

Widiningsih

LIPSUS:

Festival 2015 & AUIC

BUKU:

20

The Geography of Bliss

FUN FACT

REDAKSI ANTROPOS 2015 Pemimpin Redaksi: Arief Wicaksono Kontributor: Saras Fauzia, Dian Anisa, Indraini Hapsari, Riani Sanusi, Fikriana, Widiningsih, Arief Wicaksono Layout: Fikriana

3

17

Anthropology

21


“Menurut kalian, apa itu rumah?�

Rumah itu buat gue adalah tempat untuk merasa aman, nyaman, dan bisa jadi tempat mencari inspirasi. - Fikriana [2012] Tempat untuk mencari ketenangan dan kedamaian dengan cara berbagi cerita, serta tawa-canda. Rumah buatku tak hanya merujuk pada satu benda berukuran luas dengan barang-barang yang biasa dilukiskan, tetapi lebih dari itu. Rumah adalah jati diri, keluarga, teman baik, dan pasangan! - Widi [2012] Rumah adalah suatu tempat bahkan suatu kondisi di mana kita merasa aman dan nyaman berada di dalamnya. Kondisi ini dapat tercipta karena ada orang lain di dalamnya. Sehingga, keberadaan keluarga, teman, atau orang lain yang menciptakan perasaan nyaman inilah yang saya sebut sebagai “rumah� - Saras [2013]

Rumah adalah tempat berkumpul dengan orang-orang terkasih sambil melepas lelah dan bercanda ria. There’s no place like home. - Dian [2013] Rumah adalah tempat untuk menyimpan segalanya, termasuk rahasia-rahasia terdalam seseorang. - Sari [2013]

Rumah (home) adalah tempat untuk berpulang, beda dengan (r)umah (house) sebagai tempat berlindung. Rumah, adalah bangsa, sedangkan rumah adalah negara. Bagi saya, Rumah adalah tempat untuk kembali setelah lama pergi belajar dan mencari bekal. - Wicak [2014]

Menurut gue Rumah itu bukan sekedar tempat pulang. Melainkan suatu kisah tentang kenangan, masa depan, dan perjalanan - Riri [2014] 4


Judul film : Into the Wild Tanggal rilis : 21 September 2007 Sutradara : Sean Penn Cast : Emile Hirsch, Mercia Gay Harden, William Hurt, Jena Malone, Kristen Stewart

Film ini dibuka dengan sebuah kutipan dari Lord Byron yang dideklamasikan oleh narator. “There is a pleasure in the pathless woods; There is a rapture on the lonely shore; There is society, where none intrudes; By the deep sea, and music in its roar; I love not man the less, but Nature more....�

Kalimat-kalimat tersebut yang nampaknya terbersit dan menjadi ter -patri di benak Christopher McCandless (Emile Hirsch) saat dirinya merasa tidak bahagia hidup di tengah keluarganya yang berkecukupan. Uang tidak membuatnya bahagia. Orangtua yang ia miliki juga tidak memberikan kebahagiaan baginya. Kebahagiaan seakan tak lagi dapat ia temukan di lingkungan sekitarnya. Chris ingin mencari kebebasan yang hakiki, dengan begitu, ia dapat menjadi manusia yang bahagia. Kebebasan hakiki baginya saat itu adalah meninggalkan semua yang ia miliki – uang, keluarga, bahkan namanya. Chris mengubah namanya menjadi Alexander Supertramp, ya, supertramp. Ada harapan dan tujuan di dalam nama barunya. Alex, kini sapaannya, memulai untuk menjadi pengembara yang super. Mengembara di alam liar, into the wild. Tujuan akhirnya adalah Alaska. Dengan terbebas dari segala hingar bingar dunia material, Alex berharap mendapatkan kebebasan hakiki yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Pengembaraannya mengajarkan ia banyak hal dan memberinya banyak teman yang tulus mencintainya. Di saat ia sampai ke tujuan akhirnya, Alaska, tempat di mana kebebasan hakiki dan kebahagiaan berada, apakah Alex mendapatkan semua itu? Ternyata, kesendirian tidak membuatnya lebih bahagia dari sebelumnya. Happiness only real when shared. [SARI]

5


Opini: Sisi lain dari terbakarnya hutan

Tentu masih segar diingatan kita, bulan September silam fenomena kabut asap menyelimuti pulau Sumatra selama kurang lebih satu bulan lamanya. Asap yang muncul akibat kebakaran maupun pembakaran hutan dan sejumlah lahan tak berpenghuni itu tentunya merugikan banyak pihak. Namun, di sisi lain, masyarakat di Desa Teluk Meranti, Riau, menggantungkan hidupnya pada kegiatan pembakaran lahan. Dalam rubrik opini kali ini, ANTROPOS mewawancarai salah seorang mahasiswi antropologi sosial yang sempat melakukan penelitian di desa tersebut. ANTROPOS menemui Inas Syahirah beberapa waktu lalu yang terlihat bersemangat ketika membagi pengalaman seputar kegiatan pembakaran tersebut. Berikut hasil wawancara Antropos dengan Inas. Antropos (A): Apa sih sebenarnya yang menyebabkan kebakaran lahan sampai timbul kabut asap di lokasi penelitian Inas? Inas (I): Saat Inas dan tim peneliti berkunjung ke Kampar Riau, terutama Desa Teluk Meranti, sebetulnya belum ada asap setebal apa yang diberitakan media. Tapi informan di sana sering memberikan perkembangan lewat telefon, katanya ‘kak di sini lagi kabut’. Ibaratnya bagi mereka seperti nggak bisa ngeliat matahari karena tertutup asap. Nah, sebelum ada larangan membakar lahan, asap itu sendiri muncul dari pembakaran lahan gambut oleh masyarakat dan ada juga oleh perusahaan untuk alih fungsi lahan untuk menanam sawit. Lahan gambut perlu dibakar jika ingin digunakan karena memiliki tingkat keasaman atau pH yang rendah agar lahan menjadi netral dan siap untuk digunakan, baik untuk dijadikan lahan penanaman sawit atau untuk menanam sejumlah tanaman lainnya. Kalau sekarang, masyarakatnya sendiri sudah tidak melakukan pembakaran lahan, tapi kalau perusahaan masih melakukan kegiatan pembakaran tersebut. Selain pembakaran dengan sengaja, sumber api itu sebetulnya bisa muncul dari sumbersumber lain. A: Bagaimana masyarakat di Desa Teluk Meranti menangani dan menanggapi kegiatan pembakaran tersebut? I: Sebetulnya kegiatan membakar itu sendiri sudah dilarang oleh Pemerintah, bahkan sudah ada aturan tertulisnya. Tapi, atur-

6


an itu sebenarnya malah membuat beberapa warga malah jadi ‘nakal’, mengingat memang sebelumnya mereka membakar untuk membuka lahan. Kalau pembakaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang ada di sekitar wilayah tersebut, masyarakat yaa ga bisa apa-apa karena mereka (perusahaan –red) punya izin. Yang menarik dari masyarakat di sana adalah, lahan yang terbakar, baik sengaja atau tidak, menjadi idaman masyarakat. Alasannya adalah karena dengan adanya lahan yang terbakar, artinya ada kesempatan bagi mereka untuk menggarap lahan untuk ditanami sawit dan palawija yang hasil-hasilnya dapat mereka konsumsi sendiri. Tanaman ekstraktif itu menjadi penting untuk kelangsungan hidup masyarakat di sana karena harga-harga kebutuhan pokok di sana itu mahal. Biasanya, masyarakat di sana kalau terjadi kebakaran, untuk meredakan api ataupun mengurangi asap ya hanya bisa menunggu hujan. A: Kalau pendapat Inas sendiri, dari hasil observasi selama penelitian, bagaimana sih peran pemerintah dan korporat dalam kegiatan pembakaran dan fenomena kabut asap ini? I: Kalau dilihat-lihat sih, korporat punya peran yang cukup besar dalam fenomena kabut asap tersebut, karena luas lahan yang mereka gunakan lebih besar dari yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Teluk Meranti. Dapat dikatakan yaa asapnya banyak muncul dari perusahaanperusahaan tersebut meskipun sebenarnya mereka itu punya teknologi yang canggih untuk membuka lahan. Kalau peran Pemerintah, sebenar -nya sudah tepat dengan mengeluarkan aturan terkait pembakaran lahan, misalnya dengan melarang masyarakat untuk membakar lahan gambut. Tetapi hanya sebatas aturan saja. Pemerintah rasanya kurang memberikan solusi nyata bagi kondisi di sana, misalnya saja dengan memberikan akses untuk memperoleh mesin-mesin yang dapat mengurangi dampak pembakaran lahan atau lapangan kerja pengganti yang sesuai.

A: Harapan Inas ke depannya gimana? I: Desa Teluk Meranti itu adalah desa yang punya banyak potensi. Harapannya agar Pemerintah, baik pusat atau terutama daerah, bisa melihat potensi tersebut dan memberikan bantuan demi memaksimalkan potensi -nya. Bantuan di sini maksudnya seperti kemudahan akses alat berat untuk buka lahan, karena hidup masyarakatnya bergantung pada lahan. Kemudian, masyarakat lokal juga harus diberdayakan. [FKA]

7


PROFIL

Nold Egenter: Evolution of Architecture as Evolution of Culture.

Pada kesempatan kali ini, ANTROPOS mencoba membahas salah satu tokoh antropologi yang berkecimpung di dunia arsitektur. Nold Egenter, seorang ethnologist sekaligus architectural anthropologist asal Swiss ini telah banyak menelurkan puluhan karya tulis terkait isu antropologi arsitektur, japanology, etnologi, arkeologi, filsafat, semiotika hingga sejarah agama.

Egenter merupakan lulusan arsitektur dari ETH Z端rich (Institut Teknologi Konfederasi Z端rich), salah satu universitas paling terkemuka di Swiss. Sepanjang karirnya, ia pernah menjadi dosen etnologi di University of Z端rich, peneliti di ETH-Z端rich dan ETH-Lausanne serta menjadi dosen tamu di sekolah arsitektur CEPT-Amedabad, India. Di tahun 1969, Egenter mendapat beasiswa

dari Pemerintah Jepang (Mombusho) di Kyoto University yang menghantarkannya untuk meneliti semantic architecture pada masyarakat penganut kepercayaan Shinto (ujigami). Hal inilah yang menjadi titik awal ketertarikannya pada antropologi arsitektur.

8

Pria kelahiran Muttenz, Swiss 77 tahun silam ini melihat bahwa Antropologi Arsitektur berperan dalam menganalisis aspek-aspek sosial-budaya dalam pembangunan serta penggunaan sebuah karya arsitektur. Bidang ilmu ini mencoba menginterpretasi simbol yang ada pada karya arsitektur buatan manusia yang akan menempati ruang tersebut. Perbedaan gaya dalam karya arsitektur yang terjadi antar daerah dan waktu disebabkan karena ada -nya perbedaan rumusan bentuk estetika masing-masing.


Perbedaan dalam rumusan bentuk estetika dapat menggambarkan kondisi pengalaman yang diterima oleh masyarakat. Maka dari itu, Egenter melihat karya arsitektur sebagai sebuah jenis baru dari obyek budaya yang berjalan seiring (paralel) dengan seluruh evolusi kebudayaan manusia. Egenter melihat bahwa penelitian arsitektur selain menganalisis evolusi estetika juga berimplikasi pada evolusi kebudayaan. Perubahan bentuk hunian dari satu tipe masyarakat ke tipe masyarakat lainnya dikarakteristikkan dalam lima fase kelas.

Anggota dari IUAES (International Union of Anthropological and Ethnological Sciences) ini telah mempublikasi buku 8 volume-nya dengan judul ‘Architectural Anthropology - Research Series’ (1992) yang membahas mengenai bagaimana pendekatan antropologi arsitektur dapat membantu dalam memahami hubungan antara manusia, ide mereka tentang dunia dan kreasi untuk membangun lingkungan berkelanjutan. Pada karyanya yang lain berjudul ‘Semantic and Symbolic Architecture’ (1995), Egenter menampilkan seni arsitektur dari 100 desa di Jepang. Perbedaan bentuk arsitektur dapat menjadi simbol untuk menggambarkan perbedaan pengalaman yang dimiliki masyarakat. Egenter juga memiliki sebuah website yang bernama Implosion (http://home.worldcom.ch/negenter/) dengan pembahasan Antropologi Arsitektur secara lebih mendalam. [Dian] 9

Sumber referensi: http://home.worldcom.ch/negenter/


Etnomini

Antropologi & Arsitektur oleh Divisi Keilmuan He-MAn

Membicarakan arsitektur dari jendela antropologi adalah salah satu cara untuk melihat arsitektur dari orbit luarnya. Salah satu harapan dari upaya pengembangan penelitian arsitektur dengan sudut pandang antropologi adalah untuk mencoba memahami fenomena arsitektur secara holistik. Gagasan mengenai arsitektur atau lingkungan binaan sebagai unit budaya berhuni bisa ditelusuri dari Levi Straus juga Habitus oleh Peter Bordieu dan Nold Egenter dengan konseptualisasi empat tipe habitat, yaitu ruang semantik, ruang domestik, arsitektur pemukiman dan ruang urban. Konseptualisasi gagasan tersebut mengarah pada kritik terhadap istilah-istilah seperti arsitektur, bangunan, kota yang kemudian dipandang terlalu parsial dan teknis, karenanya perlu diganti dengan istilah yang dapat memberikan penjelasan yang lebih holistik. Melalui jendela antropologi, kita akan melihat arsitektur sebagai sebuah proses kebudayaan yang

10

utuh. Oleh karena itu, melalui sudut pandang antropologi, proses penciptaan “karya arsitektur” dipahami sebagai sebuah wujud kebudayaan meliputi gagasan, tindakan dan artefak. Unsur pertama yang akan selalu ada dalam proses ini adalah keindahan atau estetika. Keindahan merupakan gagasan mengenai bentuk teknik dan metode dalam arsitektur. Dalam hal ini keindahan atau estetika merupakan sebuah gagasan yang muncul dalam sebuah kebudayaan. Keindahan atau estetika suatu “karya arsitektur” pada sebuah kelompok masyarakat hanya dapat diterjemahkan dengan mengacu pada kebudayaan masyarakat tersebut. Seperti misal -nya, kita dapat memahami keindahan atau estetika tata ruang pemukiman Minangkabau hanya dengan memahami kebudayaan matrilineal yang menjadi dasar pembentukan tata ruang tersebut. Gagasan keindahan atau estetika dalam suatu kebudayaan mewujud pada praktik-praktik penciptaan “karya arsitektur”.


Etnomini

gagasan yang abstrak selalu dipengaruhi oleh pengalaman masing-masing individunya maupun pengalaman kolektif yang dialami kelompok masyarakat tertentu. Pengalaman ini meliputi: pengembangan kepercayaan terhadap kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi; hubungan sosial dengan orang atau kelompok lain; ekspresi kepribadian individual kepada lingkungan masyarakat di sekitarnya; mengupas makna-makna masyarakat yang diterima dalam lingkungan (Mulder 1975, dalam Koentjaraningrat 2005).

Dalam proses penciptaan “karya arsitektur”, teknik-teknik tertentu yang sudah terbentuk menjadi struktur sistem baku dalam dunia arsitektur merupakan wujud arsitektur sebagai wujud tindakan dalam kebudayaan. Wujud gagasan dan tindakan ini pada akhirnya menjelma sebagai wujud artefak. Dalam hal ini, wujud fisik kebudayaan atau artefak yang mewujud dalam bentuk “karya arsitektur” akan mengkomunikasikan kebudayaan masyarakat yang membentuknya. Meskipun tidak secara utuh mampu menggambarkan kebudayaan masyarakatnya, namun sebuah “karya arsitektur” mengandung simbol-simbol yang mewakili kebudayaannya.

Apabila dilihat dari proses yang terjadi, maka tahap gagasan merupakan tahap awal terjadinya proses penciptaan “karya arsitektur” tersebut. Proses ini diawali oleh gagasan melalui tindakan hingga akhirnya menghasilkan sebuah karya fisik. Keberadaan konsep estetika sebagai wujud

11

Dengan demikian, proses penciptaan “karya arsitektur” tidak terlepas dari konteks yang membentuk pengalaman-pengalaman masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dari perubahan gaya arsitektur pada masyarakat tertentu dari masa ke masa. Pada arsitektur praYunani kuno, penciptaan “karya arsitektur” sangat terkait dengan kondisi bangsa Yunani yang kaya dengan mitologi dan seni.


Etnomini

Hal ini nampak dari fungsi dan bentuk bangunan utama sebagai bagian dari ritual pemujaan. Ideologi kebudayaan masyarakat pra-Yunani kuno tersebut menjadi dasar terbentuknya konsep nilai estetika yang pada saat itu terfokus pada terciptanya bangunan-bangunan megah dan besar sebagai upaya mendekatkan manusia terhadap dewa-dewi alam semesta. Pada abad pertengahan, penciptaan “karya arsitektur� didasarkan pada menguatnya pengaruh agama dalam masyarakat. Arsitektur gothic berkembang sebagai simbol cahaya dan pencerahan terhadap manusia. Wahyu Tuhan melalui ajaran gereja merupakan landasan ideologis mutlak. Manusia dan kehidupan duniawi cenderung terbelenggu sehingga semua ilmu diarahkan untuk kepentingan pengembangan gereja. Filsafat berkembang seputar manusia sebagai makhluk

12

penuh dosa yang dilahirkan untuk mengabdi kepada Tuhan. Dalam hal ini, satu-satunya yang dapat menolong adalah cahaya Tuhan melalui ajaran gereja yang direpresentasikan oleh adanya keindahan permainan cahaya dalam bangunan-bangunan bergaya gothic. Era Renaissance merupakan masa peralihan dari zaman pertengahan ke zaman modern. Arsitektur Renaissance menggambarkan perjuangan lepas dari doktrin gereja. Ornamen-ornamen organis muncul sebagai bagian dari keindahan bangunan. Cahaya masih menjadi bagian dari keindahan bangunan, namun unsur-unsur duniawi juga muncul dalam bentuk detaildetail yang indah. Detail yang bersifat duniawi pada era pertengahan sangat dibatasi. Kemunculan detail ini dilandasi oleh ideologi untuk melepaskan diri dari doktrin gereja.


Salah satu contoh penelitian antropologi arsitektur adalah penelitian yang dilakukan oleh Ashadi mengenai konsep tata ruang arsitektur Kauman, yakni komunitas yang bertempat tinggal di sekitar masjid Menara Kudus di kota Kudus lama, propinsi Jawa Tengah. Dalam hal ini, konsep tata ruang arsitektur Kauman didasarkan pada kosmologi yang berlaku pada masyarakat. Terdapat konsep ruang dan waktu dalam suatu konfigurasi yang khas bagi kultur Kauman, dimana nilai-nilai Islam ikut terjalin di dalamnya. Pada mula terbentuknya komunitas Kauman dan sekitarnya, terjalin hubungan pertalian darah antar keluarga; mereka memiliki norma perkawinan endogami. Hal ini menciptakan sistem kekerabatan yang rapat pada komunitas Kauman. Setelah terjadi pergaulan perdagangan dengan luar wilayahnya, maka terjadi perkawinan eksogami. Dengan demikian, mulai terjalin hubungan-hubungan baru dengan kerabat kedua belah pihak (suami-istri). Dalam rangka pemenuhan hidup, komunitas Kauman dengan menggunakan pengetahuan kulturalnya yang diperoleh dari pengalaman dan proses

belajar, telah merubah tata ruang arsitekturnya yang semula mereka memiliki ruang permukiman yang terbuka dengan pola rumah tinggal deretnya, kemudian merubah menjadi ruang permukiman yang tertutup dengan dinding tembok tinggi di sekitarnya. Dalam tata ruang arsitektur Kauman, telah terjadi proses saling `membentuk’ antara ruang-ruang arsitektur sebagai wadah aktivitas dan orang-orang Kauman itu sendiri sebagai pelaku atau subyek. Generasi terdahulu telah menciptakan dan membentuk ruang-ruang arsitektur Kauman, dengan dinding-dinding pembatas ruang dibuat secara tegas dan jelas. Sementara generasi sekarang, sikap dan perilakunya dibentuk oleh ruang-ruang tersebut. Apabila generasi sekarang memiliki keinginan dan kemampuan (ekonomi) tidak menutup kemungkinan akan menghilangkan dinding tembok tinggi yang mengelilingi rumahnya. Hal ini bisa terjadi karena di antara ruang-ruang arsitektur dan orangorang yang melakukan aktivitas di dalamnya senantiasa terdapat suatu hubungan timbal balik. [KEILMUAN]

Referensi: Ashadi. 2004. Tata ruang arsitektur Kauman : sebuah kajian antropologi-arsitektur (Tesis) Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi I. Rineka Cipta. Surajiyo. 2007. . Jakarta: Bumi Aksara.

13


Harus Berani! Oleh: Widiningsih

Pada bulan Juni-Agustus 2015 yang lalu, saya bersama tim PUSKA UI yang berjumlah 10 orang, pergi ke Kampar Riau. Kami melakukan penelitian di desa yang berbeda-beda. Setiap desa terdiri dari dua orang. Saya mendapatkan kesempatan meneliti bersama Dede Syarifudin yang kerap disapa dengan nama Udin. Udin adalah alumni Antropologi UI angkatan 2006. Ia memang berprofesi sebagai peneliti. Sedangkan, saya pribadi adalah seorang mahasiswi Antropologi UI angkatan 2012 yang masih duduk di semester 7. Penelitian tersebut adalah penelitian pertama saya di luar Jawa. Menyenangkan dan sangat berkesan! Saya dan Udin meneliti salah satu desa yang bernama Desa Segamai. Desa Segamai masuk ke dalam Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau. Pertama kali tiba di Pekanbaru, kami menginap selama satu malam di sana. Keesokan paginya, kami pergi ke Pangkalan Kerinci untuk naik speed-boat menuju masing-masing

desa. Satu-satunya akses menuju Desa Segamai hanya melalui transportasi air (Sungai Kampar). Perjalanan dari Pangkalan Kerinci ke Segamai menempuh waktu kurang lebih 3 jam. Sesampainya di Segamai, saya dan Udin harus naik ke atas dermaga dengan memanjat tangga setinggi kurang lebih 8 meter. Kemudian, kami disambut oleh Pak Rizal selaku kepala desa. Kami tinggal di rumah kepala desa selama lebih dari satu bulan.

14

Sebagai orang yang baru pertama kali terjun di lapangan “sungguhan�, pada awalnya saya cukup terkejut melihat kondisi lapangan. Saya sebut sebagai lapangan “sungguhan� karena medan penelitian yang menurut saya pribadi cukup sulit. Hampir 95 % jalanan di Segamai masih berupa jalanan tanah gambut. Tanah gambut bukanlah seperti tanah liat (tanah pada umumnya). Tanah ini memiliki tingkat keasaman yang tinggi, serta pada dasarnya merupakan tanah yang berasal dari serpihan-serpihan kayu puluhan tahun silam.


Kondisi jalan tanah gambut menemui puncak keberhasilannya dalam membuat saya hampir menangis ketika hujan tiba. Hujan yang turun akan membuat tanah menjadi tergenang dan ketika diinjak, tanah gambut akan membuat kaki terperangkap di dalamnya alias jeblos.

yak menghabiskan waktu berbincang dengan ibu-ibu sembari mandi bersama di parit, membantu mereka memasak maupun memanen jagung. Seperti lazimnya suatu masyarakat, mereka tidak terlepas dari berbagai permasalahan hidup. Intinya, dalam tulisan ini saya ingin berbagi pengalaman kepada pembaca Antropos bahwa setiap tempat baru dan pertemuan dengan orang-orang yang baru dikenal adalah satu hal yang sangat menyenangkan karena setiap detik akan menjadi sangat berharga. Banyak hal dan pelajaran baru yang dapat saya ambil selama melakukan penelitian di sana. Tidak hanya sebatas data yang kemudian ditulis dalam tugas akhir, tetapi lebih dari itu. Persaudaraan baru, pertemanan baru, pengalaman, pelajaran dalam menempuh kehidupan di kemudian hari, dan hal-hal bermakna lainnya.

Listrik belum masuk ke Desa Segamai sehingga mereka menggunakan mesin genset berbahan bakar solaruntuk menyalakan listrik. Banyak rumah yang telah memiliki genset. Tetapi, masih banyak pula yang tidak memilikinya. Biasanya, mereka hanya me -nyalakan listrik saat hari mulai gelap (jam 6 sore) hingga jam 11 malam ketika mereka sudah bersiap untuk tidur. Selain itu, Desa Segamai adalah desa yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang sedikit. Hal ini terlihat dari jarak antar rumah yang dapat mencapai kurang lebih 20 meter, serta ada beberapa parit yang memiliki jarak antar parit kurang lebih 1 kilometer. Masyarakat Segamai pada mulanya tidak cukup terbuka karena mereka cenderung takut untuk menerima orang baru. Hari demi hari berjalan, kami pun seakan mulai diterima oleh masyarakat. Masyarakat mulai banyak “curhat� tentang kehidupannya. Saya sendiri pun yang awalnya sedikit mengalami stress karena harus terbiasa tidur tanpa listrik, serta berjalan sangat jauh untuk menempuh rumah-rumah warga, pada akhirnya dapat beradaptasi dan mulai mencari data melalui percakapan-percakapan dengan para warga, khususnya ibuibu. Selama di sana, saya lebih ban-

Saya sangat senang mendapatkan kesempatan penelitian tersebut. Terima kasih, khususnya kepada Mas Aji yang telah memberikan kepercayaan pada saya untuk turut serta dalam penelitian tersebut. Terima kasih juga kepada teman-teman tim PUSKA proyek Kampar yang telah mengajarkan banyak hal dalam meneliti. Senang pula rasanya dapat berbagi cerita di Antropos mengenai kesempatan perdana saya meneliti di sana.Semoga tulisan ini memberikan manfaat dan menginspirasi!

15


Liputan Khusus Anthropology Festival 2015

FOLKLOR:

Mengenang Prof. James, Merayakan Indonesia

SEBAGAI agenda tahunan dan kerap menjadi yang ditunggu-tunggu baik oleh warga Antropologi maupun oleh warga FISIP UI, Himpunan Mahasiswa Antropologi mengambil tema folklor dalam ajang Anthropology Festival 2015 ini. Folklor, secara sederhana didefinisikan sebagai bagian dari kebudayaan: tarian rakyat, makanan tradisional, lagu-lagu daerah, cerita-cerita, dongeng, arsitektur rumah adat, takhayul, teka-teki, dan lain sebagainya. Juga, folklor dalam kemasan yang lebih kontemporer misalnya meme, karikatur kritik sosial, arsitektur bangunan masa kini, dan lain sebagainya. Folklor menjadi tema yang menarik sebab kita bisa semakin menghargai dan mencintai, bahkan merayakan ke-Indonesia-an melalui hal-hal kecil yang telah disebutkan contohnya di atas.

Anthropology Festival 2015 diadakan sejak 3 November 2015 hingga 6 Noveber 2015. Selama empat hari itu tentu banyak mata acara yang dipersembahkan. Selain berbagai acara inti dari kegiatan Anthropology Festival sendiri, juga diramaikan dengan bazar dan kompetisi fotografi yang dibuka untuk umum. Yang menarik selain itu semua, rangkaian acara Anthropology Festival 2015 ini juga dibuka dengan pre-event dengan layar tancep film Kuntilanak yang diadakan di Takor FISIP pada Jumat, 29 Oktober 2015. Pre-event ini cukup banyak dihadiri oleh warga FISIP dengan antusias. Kuntilanak menjadi bagian dari folklor karena ia merupakan takhyul di masyarakat, yaitu kepercayaan-kepercayaan lokal terhadap hal-hal gaib.

16


Secara resmi, Anthropology Festival 2015 dibuka pada 3 Desember 2015 oleh Ketua Program Studi Sarjana 1 Departemen Antropologi FISIP-UI yaitu Dr. Drs. J. Emmed M. Prioharyono, MA, M.Sc. Dalam sambutannya, ia menyampaikan bahwa folklor menjadi kajian menarik bukan hanya dalam antropologi, tetapi juga bagi studi-studi lain untuk kepentingan membangun bangsa. Armadina Az Zahra, sebagai project officer acara ini juga mengungkapkan ketertarikannya terhadap folklor sejak ia mendapat mata kuliah ini pada semester tiga. Rangkaian acara dibuka melalui model fashion parade dalam tajuk ‘folklor dalam mode’ karya Lenny Agustin. Fashion juga merupakan bagian dari folklor. Ia selalu berkembang mengikuti zaman dan selalu menghadirkan cerita pada setiap pasang busana hingga aksesoris yang dipamerkan, dari segi desain, warna, hingga material kain yang digunakan. Acara kemudian dilanjutkan dengan seminar dan diskusi “Folklore and The Internet” sebagai kajian paling kontemporer mengenai folklor, yaitu folklor yang bertransformasi bentuk dan media, misalkan dari berupa cerita yang disampaikan secara lisan menjadi disebarkan melalui media sosial di jagad maya. Tampil sebagai pembicara dalam diskusi ini adalah Hilarius S. Taryanto, Imam Ardhianto, dan Febrian. Pada tanggal 4 Desember 2015, acara dilanjutkan dengan diadakan Workshop Penulisan Kreatif bertajuk ‘Create Art with Folklore’ yang diadakan di Audiotorium Juwono Sudarsono dari pukul 15.00 hingga 16.30 WIB. Acara ini terbuka untuk umum. Sebagai pembicara adalah Clara Ng, seorang penulis buku yang sudah tak asing lagi. Ia menulis Malaikat Jatuh, Dimsum Terakhir, Indiana Chronicle, dan lain-lain. Dalam kegiatan ini, yang ingin dikembangkan adalah sisi kreativitas dalam kepenulisannya. Semua orang bisa menulis, tetapi perlu diperhatikan kreativitasnya. Sebab, tulisan tidak akan menarik tanpa adanya unsur kreatif dari penulisnya. Banyak peserta yang hadir berasal dari luar antropologi. Artinya, antusias untuk mengembangkan daya kreatif dalam menulis ini sangat tinggi di kalangan mahasiswa.

17


Rangakaian acara dilanjutkan pada 5 Desember 2015 dengan pemutaran film musikal pendek yang indah, Drupadi, yang diselenggarakan di Cinema Room Perpustakaan Pusat UI. Film karya Riri Riza ini dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra, Aryo Bayu, Dwi Sasono, Dony Alamsyah, dan Butet Kartaradjasa. Selain pemutaran film, juga terdapat diskusi bersama Nungki Kusumastuti (Dosen Institut Kesenian Jakarta dan aktris), Mia Siscawati (Ketua Program Studi Kajian Gender Program Pascasarjana UI) dan dipandu oleh Paramita Budhi Utami (Sekretaris Eksekutif Pusat Kajian Antropologi FISIP UI).

Film Drupadi memang selama ini seperti hanya seperti mitos, antara ada dan tak ada. Banyak yang membicarakan film ini tetapi belum menonton karena film yang di bintangi Dian satro dan Nicholas Saputra ini tidak tayang di bioskop hanya diputar di beberapa fesival film dan belum diproduksi dalam bentuk DVD. Rencananya, film berdurasi 45 menit yang rilis tahun 2008 silam akan dirilis dalam bentuk DVD. Hal tersebut tentunya ditunggu-tunggu oleh penikmat film, karena sayang sekali jika film yang sudah di garap dengan serius dengan hasil yang luar biasa ini tidak dinikmati generasi generasi muda sekarang. Mereka berhak tahu jika ada film nasional yang mengangkat tentang budaya walau cerita mahabarata itu dari India tetapi nenek moyang kita juga mewariskan kebudayahan tersebut. Film Drupadi karya dari sutradara Riri Reza adalah film perlawanan perempuan yang dijadikan komoditas laki laki (para suami). Dengan kelembuatan dan kecerdasannya, Drupadi mampu memberi perlawanan ketika mengalamai kekerasan dan penghinaan tidak hanya itu ketika dia di taruhkan di meja judi oleh Yudistira dia mengutuk suami suami (pandawa) yang hanya diam tak mampu berbuat apa apa. Rangkaian kegiatan Anthropology Festival 2015 ini ditutup dengan malam puncak berupa pertunjukan wayang potehi dan music festival. Selain itu, juga ada pegumuman pemenang kompetisi foto esai dan pemenang undian berhadiah yang dipersembahkan oleh Woods’ Peppermint Lozenges. Pertunjukan wayang potehi menampilkan pementasan berjudul “Sie Jin Kwi�. Pementasan ini dibawakan dengan apik oleh Rumah Cinwa. Sedangkan pada music festival menampilkan guest star yang tak kalah menarik, yaitu: Danilla, Masa Muda Recycled, Lomba Sihir, MRT, Feast, dan Chewing Sparkle.

18


James Danandjaja Yang tidak kalah penting dalam seluruh rangkaian Anthropology Festival ini bahwa acara ini merupakan persembahan untuk Prof. James Danandjaja, guru besar folklor UI dan juga bisa dikatakan sebagai Bapak Folklor Indonesia. James Danandjaja alias Tan Soe Lien lahir di Jakarta Barat, 13 April 1934 dan meninggal di Cilodong, Depok, 21 Oktober 2013 pada umur 79 tahun, adalah juga seorang antropolog. Ia adalah salah seorang pakar folklor Indonesia dan dunia. Beberapa bukunya telah beredar luas baik soal folklor Indonesia maupun folklor dunia dan menjadi buku bacaan penting bagi studi folklor di Indonesia. James Danandjaja telah mengajar antropologi di Universitas Indonesia sejak tahun 1960. Ia penah aktif mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta untuk mata kuliah Foklor Indonesia dan Antropologi Psikologi. James juga aktif terlibat di dalam Paguyuban Marga Tionghoa Indonesia (PMTI). James juga seorang penari balet pria di Indonesia, yang mulai belajar balet pada umur 14 tahun kepada Puck Meijer. Ia kemudian mendalami balet di Royal Ballet School London atas beasiswa dari British Council pada tahun 50-an sebagai penari pria Indonesia yang pertama. Ia juga dikenal sebagai guru tari dan koreografer dengan karya ‘The Gamelan Player’ (1960). James wafat di Rumah Sakit Bhakti Yudha, Depok, hari Senin dini hari tanggal 21 Oktober 2013. Setelah diberkati dalam misa requiem di rumahnya, jenazahnya dimakamkan di Kalimulya, Cilodong. [WICAK]

19


Liputan Khusus

Antrop UI Cup 2015 Senin (11/10) lalu, telah berlangsung pembukaan Antrop UI Cup 2015 yang bertempat di Lapangan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI. Antrop UI Cup merupakan program terbaru dari Divisi Departemen Olahraga (DEPOR) He-Man UI berupa pertandingan futsal antar SMA se-Jabodetabek.

Antrop UI Cup dilaksanakan selama seminggu yaitu pada tanggal 11-18 Oktober 2015. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan jurusan Antropologi kepada siswa jenjang menengah ke atas. Lebih luas lagi, acara ini juga diharapkan mampu menjadi pendorong potensi generasi muda dalam bidang olahraga serta dapat menumbuhkan sportifitas. Tim sekolah yang mendaftar dalam Antop UI Cup berjumlah 13 tim. Mayoritas asal sekolah tersebut yaitu Jakarta dan Depok. Total hadiah yang diperebutkan dalam acara ini sebesar Rp 5.000.000,00.

Pertandingan dilaksanakan di lingkungan Universitas Indonesia seperti di Gymnasium, Pertamina Hall Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), dan Lapangan Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Pada 17 Oktober, pertandingan final yang dilaksanakan dengan hasil akhir SMAN 1 Depok sebagai juara 3, SMAN 5 Depok sebagai juara 2 dan juara satu diraih oleh SMK Bakti 17. Sesuai dengan tema yang diusung pada Antrop UI Cup tahun ini yakni “Semangat Insan Muda� , panitia Antrop UI Cup berharap agar semangat selalu ada dalam jiwa setiap pemuda di Indonesia. [Riri] 20


21


Judul buku : The Geography of Bliss Penulis : Eric Weiner Penerbit : Penerbit Qanita, PT Mizan Pustaka Bulan/tahun terbit: Mei 2013 (Cetakan VI) Jumlah halaman : 512

Apakah kalian bahagia? Kalau ‘iya’, apa ukuran kebahagiaan kalian (atau, sebaliknya)?

Ikuti perjalanan panjang Eric Weiner, seorang pria yang mengklaim kalau dirinya tidak bahagia, untuk mencari kebahagiaan di berbagai negara; Belanda, Swiss, Bhutan, Qatar, Islandia, Moldova, Thailand, Britania Raya, India, dan Amerika. Di dalam bukunya ini, The Geography of Bliss, Weiner mengisyaratkan, di mana kita adalah sangat penting bagi siapa kita. Apakah “kebebasan” di Belanda membuat rakyatnya bahagia? Atau, rakyat Qatar akan sangat bahagia karena negaranya yang kaya raya? Bagiamana dengan Islandia, dengan cuaca yang sangat ekstrem? Buku ini menjadi bacaan wajib bagi setiap orang, baik bagi orang yang merasa dirinya tidak bahagia, seperti Weiner, atau orang yang sudah sangat bahagia, atau bagi orang yang tidak tahu, apakah dirinya bahagia atau tidak. Alasan mengapa setiap orang wajib membaca buku ini karena alurnya yang menarik (Weiner tahu betul cara menghibur pembaca tulisannya dengan tetap memasukkan tulisan yang cerdas namun tidak membosankan). Mengutip kata-kata dari John Helliwell, “ada lebih dari satu jalan menuju kebahagiaan”. Begitu pun dengan temuan-temuan Weiner, pendefinisian “bahagia” bisa sangat beragam. Negara yang kaya raya, belum tentu warganya bahagia. Demikian pula dengan Islandia yang memiliki cuaca ekstrem, ternyata, warganya sangat bahagia. Sebagai penutup, Weiner mengatakan, “tidak ada yang namanya kebahagiaan pribadi, kebahagiaan seratus persen bersifat relasional. Kebahagiaan bukanlah kata benda atau kata kerja. Dia adalah kata sambung. Jaringan penghubung”. [SARI]

22


F

UN ACTS

“Orang-orang Suku Korawai, di wilayah Kaibar, Kabupaten Mappi, Papua, tinggal di rumah pohon setinggi 15 sampai 50 meter, bahkan pada tahun 2011 Suku Korawai muncul dalam film dokumentasi BBC Human Planet, dalam tayangan tersebut ditunjukan bagaimana orang Korawai membuat rumah pohon setinggi 114 meter dalam waktu 2 minggu. Tujuan mereka tinggal di atas pohon adalah untuk berlindung dari hewan-hewan buas dan roh-roh jahat. Mereka percaya, semakin tinggi rumah mereka maka semakin aman dari roh-roh jahat yang akan mengganggu.” “Ini bukanlah Hanoi, rumah adat orang Dani, melainkan Mbaru Niang yaitu rumah adat suku Wae Rabo, yang berada di Pulau Flores. Tinggi Mbaru Niang ini tidak lebih dari 5 meter, namun terbagi menjadi 5 lantai, dan masing-masing lantai memiliki nama serta fungsi. Lantai pertama disebut lutur merupakan tempat si pemilik untuk beraktivitas. Lantai kedua disebut lobo, merupakan tempat menyimpan barang atau bahan makanan. Lantai tiga lentar, digunakan untuk tempat menyimpan benih tanaman untuk bercocok tanam. Lantai empat di sebut lempa rae digunakan sebagai tempat menyimpan cadangan makanan, jika hasil panen kurang banyak, dan lantai kelima digunakan sebagai tempat menyimpan sesaji.” “Tongkonan merupakan rumah adat orang Toraja, uniknya rumah ini harus menghadap ke arah utara, karena arah utara merupakan lambang bahwa leluhur mereka berasal dari utara, dan suatu saat nanti mereka akan berkumpul di utara. Selain menghadap utara, kepala kerbau juga suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari Tongkonan, semakin banyak kepala kerbau yang terpasang di tiang rumah, maka semakin tinggi derajat keluarga tersebut.” [SARAS]

23


siap untuk

Antropos edisi 07 ?

24


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.