![](https://assets.isu.pub/document-structure/230614145035-6e19109086df755a365e3a22ecf83daa/v1/8ef67b638b4202ff0eb0d5e7536a8e15.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
2 minute read
Live-IndiBoro
Pada tanggal 2 Juni - 8 Juni 2023, saya bersama teman-teman di kelas 11 SMA Santa Ursula Jakarta melakukan Live-In bersama. Live-In berlangsung di daerah Perbukitan Menoreh, tepatnya di Boro, Kulon Progo, Yogyakarta. Kami berangkat pada 2 Juni 2023 dari sekolah sekitar pk.20.00 menuju lokasi Live-In menggunakan bis. Perjalanan menuju Boro cukup lama dan memakan waktu kira-kira 8 jam. Sesampainya di Boro, hari telah berganti. Kami pun mengikuti penyambutan di Gereja St. Theresia Lisieux serta makan pagi bersama, lalu kami baru menuju lingkungan masing-masing.
Lingkungan yang saya tempati adalah Boro Suci dan keluarga baru saya merupakan sepasang suami istri, yaitu Bapak Jasman dan Ibu Suni. Pada hari pertama disana, saya masih beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Saya berkenalan dengan orangtua asuh dan berkeliling rumah. Mereka memelihara anjing, kucing, ayam, dan angsa. Setelah melihat-lihat lingkungan, saya bersama teman serumah saya beristirahat sejenak. Kami juga mengunjungi rumah ketua lingkungan untuk menyapa dan meminta tanda tangan. Keluarga baru saya ternyata memiliki kebiasaan selalu makan bersama sehingga kami pun makan siang dan makan malam bersama. Keesokan harinya, kami dan Ibu Suny pergi ke gereja di pagi hari. Bapak Jasman saat ini mengalami saraf kejepit sehingga belum dapat bepergian jarak jauh. Kami pun berjalan menuju Gereja St. Theresia Lisieux dan mengikuti misa disitu.
Advertisement
Pada hari Senin, kami membuat makanan tradisional bersama teman-teman lain di lingkungan Boro Suci. Kami berkumpul di rumah Pak Suwarto dan membuat keripik serta ketimus Di situ saya membantu dengan mengupas ubi. Setelah keripik digoreng dan ketimus selesai dibuat, kami mencicipinya bersama. Malam harinya, kami pergi ke Goa Maria Watu Blencong untuk rosario bersama.
Kami pergi ke pasar pada Selasa pagi dimana kami membeli aneka makanan dan sayur. Saya membeli kue apem dan sate yang setelah saya coba, ternyata sangat lezat. Setelah itu, kami mengikuti acara perpisahan pada malamnya karena merupakan hari terakhir di lingkungan Live-In. Kami mengikuti ibadat bersama dan mempersembahkan beberapa hadiah berupa nyanyian, surat, permainan, serta kesan pesan sebagai bentuk terima kasih bagi seluruh keluarga asuh. Setelah itu, hari Rabu pagi, kami menuju gereja untuk naik bis dan pergi ke IBARBO serta Candi Borobudur. Di IBARBO terdapat banyak sekali oleh-oleh dan kami juga makan siang disitu, dilanjutkan dengan perjalanan ke candi. Di Candi Borobudur kami banyak berfoto. Barulah setelah itu, kami makan malam dan kembali ke Jakarta.
Bagi saya, Live-In sangat membuka pikiran saya karena suasana di desa sangat jauh berbeda daripada di kota. Kota seringkali dipenuhi kebisingan dan kesibukkan dari kewajiban sehingga waktu terasa berjalan lebih cepat. Akan tetapi, waktu terasa berjalan lebih pelan di desa sehingga banyak hal yang dapat dilakukan dan banyak waktu untuk berefleksi serta menghayati kehidupan. Di desa saya belajar untuk lebih menghargai waktu. Warga di desa juga semuanya sangat ramah dan menyambut dengan hangat sehingga saya tidak merasa seperti orang asing. Rasa kekeluargaan dan gotong royong juga masih sangat kental disana. Mereka selalu memperlakukan siapa saja seperti keluarga sendiri dan betul-betul siap membantu. Berbeda dengan kota yang sebagian besar hidup secara individualis. Daerah Live-In juga masih sangat hijau sehingga udaranya sejuk dan menyegarkan sehingga tidak merasa panas.