6 minute read
B. Dana Sosial Keagamaan
biasa tanpa memerhatikan nilai- nilai kebutuhan pendidikan bagi peserta didik. Selain itu guru jugabelum mampu menjalankan tugas utamanya dalam mengajar dan berinovasidalam kegiatan pembelajaran, serta sebagian guru belum dapat menerapkan strategi dan model pembelajaran yang kreatif, efektif, efisien, dan menarik terhadap pencapaian hasil belajar yang optimal seperti tujuan pendidikan pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Guru dituntut memiliki kompetensi dasar sebagai seorang pendidik, kompetensi dasar inilah yang akan berperan pada keberhasilan guru sebagai pendidik. Pada bidang pendidikan guru harus memiliki kecakapan individu tertentu yang membutuhkan keahlian atau kompetensi di bidangnya. Sebagaimana tercantum pada Undang-Undang No.14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen, pada bab 20 butir (b), sebagai profesi, guru bertanggung jawab menambah serta meningkatkan kemampuan akademik serta kompetensi sebagai pembelajaran berkelanjutan.
Advertisement
Peningkatan kompetensi gurudapat dilakukan dengan beberapa program atau kegiatan untuk meningkatkan kompetensi guru baik itu kompetensi pedagogi, kepribadian, sosial, dan profesionalisme. Dengan demikian, guru memiliki kemampuan dan kompetensi dalam kegiatan pembelajaran dan dapat meningkatkan prestasi peserta didik. Program peningkatan komptensi dapat dilakukan melalui KKG/MGMP, Guru Pembelajar, Bimtek, Pelatihan dan Diklat Berjenjang.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan kegiatan Evaluasi Program Peningkatan Kompetensi Guru dengan mendalami Pembinaan Profesionalisme Guru yang sudah dilakukan. Kegiatan evaluasi ini juga bertujuan untuk melihat ketercapaian program peningkatan kompetensi guru.
B. Dana Sosial Keagamaan
Agama yang diakui di Indonesia, Islam, Kristen, Katolik, Buddha Hindu, dan Konghucu menempatkan kedermawanan sebagai salah satu ajaran penting dalam kemaslahatan umat. Terdapat kesenjangan yang mencolok antara teori dan fakta, seperti masih banyak orang miskin dan rentan yang belum mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat sekitar. Untuk mengukur kemiskinan, Biro Pusat Statistik (BPS) menggunakan konsep kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Artinya kemiskinan itu diukur dari kemampuan ekonomi seperti pemenuhan kebutuhan dasar makanan, dan rata-rata pengeluaran perkapita yang masih dibawah garis kemiskinan.
Faktor penyebab tingginya angka kemiskinan, di antaranya adalah lemahnya etos kerja dan berusaha, lemahnya solidaritas di kalangan masyarakat, dan kurang berfungsinya
lembaga-lembaga yang seharusnya melindungi dan membantu masyarakat terutama masyarakat miskin. Meskipun saat ini banyak berdiri lembaga-lembaga sosial dan keagamaan yang fokus pada perlindungan dan pemberdayaan masyarakat miskin, namun menurut laporan dari beberapa penelitian, aspek manajemen sistem pengelolaan di lembagalembaga sosial dan keagamaan tersebut masih sangat lemah.
Lemahnya manajemen pengelolaan dana sosial di banyak organisasi keagamaan ini karena: kurangnya kesadaran para pemeluk agama dalam mengaktualisasikan nilai nilai yang ada dalam ajaran agama sehingga pengumpulan dana tidak maksimal, dan lemahnya manajemen pengelolaan lembaga-lembaga agama dalam mengelola dana sosial keagamaan, sehingga berdampak pada kurangnya kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap lembaga-lembaga keagamaan tersebut.
Lembaga keagamaan sesungguhnya telah banyak memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakat Indonesia. Berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakannya baik di bidang ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, keagamaan, serta berbagai kegiatan lainnya telah bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat. Lembaga keagamaan telah terbukti berkontribusi nyata bagi terwujudnya kesejahteraan bangsa, memiliki peran yang signifikan dalam pemberdayaan umat baik dari sisi sosial ataupun dari sisi ekonomi.
Pengelolaan dana sosial yang diatur dalam undang-undang dilakukan oleh badan amil zakat serta lembaga amil zakat dan beberapa lembaga yang diakui oleh Negara sebagai pelaksana pengelola dana sosial keagamaan berdasarkan UU Nomor 38 Tahun 1999. Badan Amil Zakat disemua tingkatan memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif dan informatif. Pengurus badan amil zakat terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu, yaitu yang memiliki sifat amanah, adil, berdedikasi, profesional, dan berintegritas tinggi. Organisasi badan amil zakat terdiri atas unsur pertimbangan, unsur pengawas dan unsur pelaksana.
Sesuai dengan yang dijabarkan dalam undang-undang bahwa pendistribusian dana sosial hendaknya diberikan kepada orang yang benar-benar tidak mampu dan membutuhkan bantuan atau dalam Islam dikenal dengan golongan 8 (delapan) Asnaf yang di dalamnya termasuk anak yatim piatu. Dapat juga didayagunakan bagi orang yang ingin membuka usaha namun tidak mempunyai modal, tentunya pemberian bantuan harus disertai dengan survey kepada orang yang ingin membuka usaha, penyuluhan dan pengawasan terhadap usaha yang dijalankan, oleh badan atau lembaga amil zakat yang telah memberikan modal.
Persoalan utama kemasyarkatan yang dihadapi dan memprihatinkan, yakni masalah pendidikan, pengangguran, kemiskinan dan krisis akhlak. Berkaitan dengan hal tersebut,
Kementerian Agama telah membuat beberapa program dan langkah untuk mengatasi persoalan tersebut. Dalam bidang pendidikan telah secara nyata, bahwa kualitas pendidikan agama dan keagamaan yang ada selama ini, telah menunjukan kemajuan, seiring dengan tuntutan zaman. Selanjutnya dalam upaya menanggulangi masalah kemiskinan, Kementerian Agama telah memberikan kontribusi secara positif, melalui pemberdayaan Lembaga-Lembaga Sosial Keagamaan, serta melakukan kerja sama dengan dinas dan instansi terkait, termasuk mengembangkan kebijakan dalam bidang pengelolaan zakat, infak, shodakoh, wakaf, dana sosial keagamaan dan sebagainya. Kementerian Agama akan mempertajam substansi dan efektivitas tugas pokok, yang telah dilaksanakan selama ini berkaitan dengan pengelolaan dana sosial keagamaan.
Peningkatan pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan merupakan salah satu langkah strategis dalam usaha meningkatkan kesejahteraan umat dan mengurangi angka kemiskinan. Sumber-sumber ekonomi keagamaan tersebut sampai saat ini belum terkelola dengan baik. Untuk itu, pemerintah memandang perlu memberikan dukungan dan fasilitasi agar pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan itu dapat berjalan optimal sehingga dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar. Sejumlah potensi yang ditengarai dapat mendukung upaya peningkatan pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan, antara lain: a. Tingginya animo masyarakat dalam menjalankan ibadah sosial keagamaan dalam berbagai jenis dan bentuknya. b. Tersedianya kerangka regulasi sebagai landasan yuridis bagi optimalisasi pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan seperti UU Nonor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf dan Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pendaftaran
Administrasi Wakaf Uang. c. Melalui UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, pemerintah telah membentuk Badan Amil Zakat (BAZ) sebagai lembaga pengelola zakat. Eksistensi
BAZ diharapkan dapat membangun kemitraan yang kokoh dengan LAZ, bahkan diharapkan menjadi lembaga pengelola zakat yang profesional dan kompeten, sehingga menjadi model bagi lembaga pengelola zakat lainnya. Demikian juga melalui UU
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pemerintah telah membentuk Badan Wakaf
Indonesia (BWI) sebagai lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan nasional. Keberadaan BWI ini diharapkan mampu membina pengelola wakaf (Nazhir)
secara nasional sehingga menjadi pusat pengembangan ekonomi umat berbasis wakaf, dan menjadi lembaga yang mendorong tumbuhnya profesionalisme pengelolaan, pemberdayaan, dan pengembangan wakaf produktif. d. Tingginya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan.
Pemerintah dalam hal ini dapat berperan sebagai mitra strategis peningkatan mutu pengelolaan melalui pengembangan berbagai program pembinaan dan asistensi pelayanan.
Sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat menghambat upaya peningkatan pemanfaatan dana dan aset sosial keagamaan, antara lain: a. Masih terdapat persepsi keliru bahwa fungsi dana dan aset sosial keagamaan itu hanya diperuntukan bagi peningkatan kesejahteraan penganut agama bersangkutan. Sumbersumber ekonomi keagamaan itu belum dapat dimanfaatkan bagi masyarakat secara lintas agama. b. Masih berkembang sikap “curiga” terhadap usaha-usaha pemerintah dalam meningkatkan mutu pengelolaan sumber-sumber ekonomi keagamaan. Jika pemerintah merancang kebijakan dan progam untuk mengoptimalkan pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan cenderung dianggap sebagai turut campur soal ibadat. c. Dana dan aset sosial keagamaan umumnya masih dikelola secara tradisional.
Diperlukan perhatian dan dukungan yang sungguh-sungguh semua pihak, terutama pemerintah.
Optimalisasi potensi dan pendayagunaan dana sosial keagamaan, antara lain melalui: a. Peningkatan mutu pelayanan dan pengelolaan zakat, wakaf, infak, sedekah, kolekte, dana punia, dan dana paramita serta ibadah sosial lainnya. b. Peningkatan kapasitas lembaga pengelola dana sosial keagamaan, melalui pemberian bantuan operasional kelembagaan, peningkatan sarana prasarana, pengembangan manajemen, peningkatan kualitas tenaga pengelola, dan pengembangan jaringan. c. Peningkatan sistem pengelolaan wakaf produktif melalui kegiatan sosialisasi hukum wakaf dan program bantuan fasilitasi dan pembimbingan. d. Peningkatan peran lembaga keuangan berbasis agama/perbankan syariah sebagai salah satu pilar perekonomian masyarakat, melalui program fasilitasi dan penguatan regulasi yang melindungi kepentingan masyarakat kurang mampu.