4 minute read

Merapah Reyog di tanah Leluhurnya

MERAPAH REYOG

DI TANAH LELUHURNYA

Advertisement

TEKS & FOTO DODY WIRASETO

Alun-alun Ponorogo, Jawa Timur mulai diselimuti mendung. Malam tanpa bintang dengan penerangan seadanya, Pentas Budaya Reyog dimulai. Diselingi hujan gerimis, satu persatu penampil muncul dengan pertunjukan utamanya adalah Reyog. Kabupaten di Jawa Timur ini memang dikenal sebagai kota Reyog. Atraksi budaya ini yang akhirnya jadi daya tarik tersendiri dan selalu dibawakan di pusat kota.

Walau hujan mulai turun perlahan, tetapi tidak menyurutkan semangat para penari yang tampil saat itu. Saya pun sudah kadung datang ke alun-alun, sayang rasanya melewati pentas ini di kota asalnya langsung. Kota Ponorogo, dikenal dan dipercaya sebagai awal mula budaya reyog ini muncul. Tema-tema ceritanya terus berkembang, tetapi tokoh utamanya selalu sama.

Dimulai dari Warog, dengan ciri khas seorang pria menggunakan topeng merah, Bujang Ganong yang biasa dimainkan oleh anak kecil yang berjumlah 3 atau lebih dengan ciri khas pakaian berwarna merah dan

Kota Ponorogo, dikenal dan dipercaya sebagai awal mula budaya reyog ini muncul. Tematema ceritanya terus berkembang, tetapi tokoh utamanya selalu sama.

bertopeng. Aksi Bujang Ganong jadi penghibur penonton dengan aksi-aksi lincah mereka. Tokoh lainnya adalah Jathilan, yang diperankan penari-penari wanita berpakaian putih dengan kuda lumping.

Tokoh lainnya yang jadi ikon Reyog adalah Singa Barong, yang dimainkan oleh 2 atau lebih penari pria dengan ciri khas hiasan singa dengan dadak merak diatas kepala mereka yang beratnya mencapai puluhan kilo.

Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asalusul Reyog dan Warog, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir.

Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anakanak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reyog, yang merupakan “sindiran” kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran

Merapah reog di kota leluhurnya jadi perjalanan wisata budaya yang menyenangkan. Menyaksikan pentas budaya reyog yang utuh hingga menyambangi sentra pembuatannya merupakan paket atraksi yang lengkap.

Reyog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reyog.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan ‘kerasukan’ saat mementaskan tariannya.

Hampir satu jam gerak-gerik lincah tokoh-tokoh ini diakhiri dengan penampilan Singa Barong yang atraktif. Liukan-liukan kepala singa serta energiknya langkah kaki penari menutup pentas seni reyog di alun-alun ini. “Memang hampir setiap bulan sering diadakan reyog di alun-alun ini,” ujar pedagang kacang rebus yang saya pinjam bangkunya untuk beristirahat.

Tidak hanya pagelaran reyog, tapi di Ponorogo juga banyak sekali sentra-sentra pembuatan reyog. “Tidak jauh mas, itu di sana juga ada,” ujar pedagang kacang tersebut sembari menunjuk jalan. Untung saja saya mencarinya tidak dengan jalan kaki, kalau tidak, saya pasti sudah gempor duluan sebelum sampai tujuan. Dengan motor saja

membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk sampai.

Beruntung sentra masih buka, tidak hanya membuat reyog, di sini juga menjual perlengkapan pagelaran reyog. Mulai dari topeng Bujang Ganong, pecut sampai Kuda Lumping. Tetapi yang paling laku dan biasanya dicari adalah Singa Barong.

Singa Barong jadi komoditas utama yang sudah diekspor ke beberapa negara. Dari sekian banyak kebutuhan pembuatan Singa Barong, bulu-bulu merak adalah yang paling sulit didapat. Dulu bulu yang digunakan masih asli dari Burung Merak. Tetapi seiring waktu, bulu-bulu tersebut diganti dengan bulu artifisial. Ternyata tidak hanya susah didapat, merangkai bulu merak tersebut juga butuh waktu lama dan ketelitian, wajar saja jika butuh waktu sekitar 3 bulan untuk jadi satu Singa Barong berukuran besar.

Merapah reog di kota leluhurnya jadi perjalanan wisata budaya yang menyenangkan. Menyaksikan pentas budaya reyog yang utuh hingga menyambangi sentra pembuatannya merupakan paket atraksi yang lengkap. Untuk kelestarian budaya reyog yang asli Indonesia ini dikenal dunia.

This article is from: