4 minute read
Gua Batu Cermin, Jerat Indah Perut Bumi
Lubang batu tak begitu besar menjadi pintu masuk sebuah gua nan eksotis. Kita harus rela berjalan jongkok sambil menunduk agar bisa masuk dalam gua ini. Gua Batu Cermin menjadi salah satu destinasi favorit para pencari pesona alam di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
TEKS & FOTO RISTIYONO
Advertisement
Pagi itu udara cukup bersahabat di pinggir Pantai Waecicu, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Memang, Labuan Bajo sangat terkenal akan keindahan pantai dan gugusan pulaunya nan menawan. Terlebih lagi, salah satu yang paling terkenal hingga mancanegara adalah keberadaan komodo, hewan purba yang tinggal di habitat aslinya di Pulau Komodo dan Pulau Rinca yang masuk wilayah Taman Nasional Komodo. Tidak hanya itu, keindahan alam bawah lautnya juga mengundang decak kagum para penyelam baik lokal maupun internasional.
Namun, kali ini saya ingin mengeksplor sesuatu yang berbeda. Setelah menuntaskan sarapan di Ayana Komodo Resort Waecicu Beach, sebuah resort bintang lima pertama di Labuan Bajo, saya bersama teman-teman bergegas memulai perjalanan ke Gua Batu Cermin. Kamera dan senter tidak ketinggalan. Dari Ayana Resort, jalanan aspal tak begitu lebar berkelok naik turun bukit gersang menjadi tantangan tersendiri menuju lokasi Gua Batu Cermin. Hanya sekitar 30 menit perjalanan dengan mobil, kami sudah sampai di pelataran parkir yang cukup luas. Gua Batu Cermin ini berada di Bukit Batu, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.
Setelah membayar tiket masuk, kami diantar seorang pemandu lokal menuju gua. Jalanan dari gerbang masuk menuju gua sudah bagus dan rapi. Kanan kiri jalan
ditumbuhi rumpun bambu yang rindang. Pohon bambu ini tidak seperti bambu yang biasa saya temui, karena pohon bambu di sini adalah jenis bambu berduri. Setelah beberapa saat kami berjalan kaki, kami sampai di lokasi gua. “Ini masih bagian luar, kita harus menapaki anak tangga itu biar sampai ke lubang pintu gua,” jelas Maria, orang lokal yang menjadi pemandu kami.
Deretan anak tangga yang cukup curam itu membawa kami ke bagian luar gua yang cukup luas dan sangat memesona. Ada yang menarik perhatian, satu formasi batu yang menjulang menyerupai pilar berwarna kebiruan ketika diterpa sinar matahari. Menurut penjelasan Maria, itu karena lumut tertentu yang menyelimuti batu tersebut. Sementara, di bagian dinding gua tampak tumpukan batu karang laut. “Dulu, gua ini ada di dasar laut, Gua Batu Cermin ini dulu ditemukan oleh Theodore Verhoven, seorang pastor Belanda sekaligus seorang arkeolog pada 1951,” lebih lanjut Maria menjelaskan kepada kami semua.
Sampailah kami di lubang pintu masuk gua. Setelah mendapat pengarahan dan helm pelindung kepala, kami pun satu persatu masuk. Jika tidak membawa senter, dapat menggunakan senter di telepon genggam. Masuk lubang ini saya harus jalan jongkok sembari menunduk. Selama menyusur jalan masuk ini harus melewati beberapa lubang sempit dan jalanan yang juga sempit diapit dinding batu menjulang. Kondisi cahaya di dalam gua ini benarbenar minim bahkan hampir gelap gulita. Itulah mengapa, kita dianjurkan membawa senter. Meski kondisi cahaya yang minim, namun kami masih bisa menikmati pesona stalaktit dan stalagmit yang luar biasa indah.
Tak berapa lama menyusuri lorong dalam gua ini, akhirnya kami sampai di ruang yang cukup luas. Di sini, saya merasa seperti benar-benar di dalam perut bumi. Ruang yang cukup luas ini menjadi salah satu ruang favorit setiap pengunjung gua. Karena, dalam ruang gua ini
kita bisa menemukan keajaiban, diantaranya fosil kura-kura yang terdapat di dinding atas kepala kita. Ada juga fosil ikan yang seolah menjulur keluar dari dinding gua. Sepanjang menyusur ruang dalam gua ini, tidak terasa pengap karena sirkulasi udara cukup bagus dan terasa sejuk.
Maria, sang pemandu membawa kami lebih dalam lagi sampai pada ruang inti gua ini. Ya, berupa lorong sempit yang diapit dinding batu menjulang tinggi yang di ujung atasnya terdapat lubang. Melalui lubang inilah sinar matahari masuk menembus dalam gua. Sinar yang masuk terpantul oleh dinding gua dan mengakibatkan kondisi ruang sekeliling sedikit terang. Menariknya, dinding-dinding gua yang terpapar sinar matahari menjadi berwarna kebiru-biruan.
Puas menikmati fenomena alam nan indah tersebut, akhirnya Maria mengajak kembali keluar gua. Tiada henti Maria menjelaskan perihal gua-gua tersebut. Tanpa terasa kami sudah berada di pelataran luar gua. Setelah mengabadikan beberapa sudut gua, kami pun melangkahkan kaki kembali ke gerbang utama. Namun, sebelum sampai di pelataran parkir, Maria mengajak ke satu spot menarik lagi yang tak jauh dari gua tadi. Batu Payung, mereka memberi nama spot menarik ini. Dan memang betul, jika diperhatikan sekilas formasi bebatuan yang kami lihat menyerupai bentuk payung yang terkembang. Besar dan tinggi, sehingga banyak orang yang mengabadikannya dengan berfoto di bawah batu tersebut. Puas menikmati keindahan bebatuan, akhirnya kami menyudahi petualangan siang itu. Nyatanya, Labuan Bajo tak hanya menyimpan pesona keindahan pantai dan alam bawah lautnya saja, tapi pesona daratannya juga tak kalah menarik.