4 minute read

Karisma Tenun Indonesia

TEKS & FOTO DODY WIRASETO

Layaknya kain batik yang sudah menjadi identitas Indonesia di mata dunia. Kain Tenun pun merupakan warisan budaya yang patut untuk dibanggakan. Budaya menenun sudah tersebar ke seluruh pelosok Indonesia. Di tiap pulau-pulau Nusantara, budaya menenun adalah bagian dari kearifan lokal masyarakatnya. Penuh karisma yang menunjukan wajah asli Indonesia.

Advertisement

Kain tenun juga sudah menjadi daya tarik wisata. Mulai dari dijadikan sebagai oleh-oleh dari suatu wilayah hingga menjadi incaran para kolektor kain tenun Indonesia. Daerah-daerah berikut ini bisa menjadi rekomendasi untuk Anda menelusuri pesona kain tenun Indonesia.

KAIN TENUN IKAT SUMBA

Tenun ikat merupakan bagian keseharian dari masyarakat asli Sumba dalam perilaku cara berpakaian. Corak warna dan motif Tenun ikat berbeda-beda di setiap suku-suku di pulau Sumba yang dibuat dengan cara tenun manual. Kain tenun Sumba tak lepas dari nilai-nilai religius. Hal ini tergambar dari salah satu jenis kain tenun yang bernama Hinggi Pasola. Sumba Timur dan Sumba Barat memiliki kekuatan kain tenun yang berbeda.

Jika kain tenun Sumba Timur tampak ramai dengan motif-motif yang unik dan rumit dengan dominasi pola motif faunanya, maka kain tenun Sumba Barat justru mencerminkan kesederhanaan yang dihiasi dengan gari-garis halus indigo. Permukaannya polos tanpa ornamen, hanya di bagian bawah dan atas yang dihiasi gambar-gambar simetris seperti kotak dan segitiga yang dikombinasikan menyerupai bunga.

Kreasi baru terus bermunculan yang menjadikan Tenun Ikat Sumba sebagai karya seni dinamis tanpa kehilangan cita rasa lokalnya yang khas.

KAIN SONGKET PALEMBANG

Salah satu budaya yang kini malah bertransformasi menjadi identitas budaya Palembang adalah kain tenun songket. Oleh para leluhurleluhur terdahulunya songket adalah perlambang kemewahan. Kerajinan tenun songket telah dimulai sejak zaman kerajaan Sriwijaya. Mulanya bahan yang digunakan adalah kulit kayu, kemudian rajutan daun-daunan,

dan akhirnya ditanamlah kapas sebagai bahan dasar pembuatan kain tenun.

Warna emas memang menjadi ciri khas kain tenun songket. Emas pula yang menjadikan songket terlihat mewah. Pada zaman dulu, kain tenun songket hanya digunakan oleh kalangan bangsawan untuk menunjukan derajat dan kemuliaan pemakainya. Pada motifnya pun memiliki ciri khas-ciri khas tersendiri.

Motif hias songket Palembang biasanya berbentuk geometris atau berupa aplikasi flora dan fauna yang memiliki perlambangan yang baik. Misalnya saja motif bunga melati, bunga mawar, bunga cengkeh, dan bunga tanjung yang harum melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki, dan segala kebaikan lain.

Motif lain yang biasanya terdapat pada songket Palembang yaitu motif nago betarung, tabur limar, cantik manis (cempuk), lepus berakam, kenango makan ulet, bungo cino, bungo intan, bungo jepang, bungo pacik, biji pare, nampan perak, pulir, bintang kayu apuy, bintang berante, tigo negeri, dan lain-lain.

KAIN TENUN WARNA ALAMI BADUY

Budaya menenun di Baduy telah diturunkan sejak nenek moyang mereka. Menenun hanya dilakukan oleh kaum perempuan yang sudah diajarkan sejak usia dini. Ada mitos yang berlaku bila pihak laki-laki tersentuh alat menenun terbuat dari kayu ini maka laki-laki tersebut akan berubah perilakunya menyerupai tingkah laku perempuan.

“Ciri khas kain Tenun Baduy itu adalah warna-warna putih dan warna biru tua,” ujar Rasudin, salah satu warga Baduy Luar di Desa Ciboleger. Ciri khas kain tenun Baduy adalah penggunaan warna alami yang diambil dari tumbuhtumbuhan.

Bahan-bahan pewarna alami diambil dari tanamantanaman di Baduy merupakan yang relatif mudah ditemukan di lingkungan sekitar. Semisal untuk mencari pewarnaan biru dapat diambil dari daun tarum (indigo), abu-abu dari daun jawer kotok, kuning dari daun puteri malu, hitam dari kulit pohon tunjung atau dari karat besi tua, coklat dari kulit mahoni, merah dari akar pohon mengkudu, coklat muda dari kulit pohon jeungjing dan kuning gading dari kulit pohon rengrang.

Penggunaan warna alami ini mengembalikan filosofi menyatu dengan alam bagi suku Baduy Luar. Menjaga

budaya agar selalu lestari dan tidak hilang dimakan zaman.

TENUN IKAT TANIMBAR

Wilayah Maluku juga memiliki budaya menenun yang khas. Khususnya di Kepulauan Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Tenun ikat Tanimbar dikenal dengan nama “Tais Pet” dengan warna khas cokelat dan hitam, dimana para penenunnya merupakan perempuan asli Tanimbar yang menguasai filosofi motif-motif Tanimbar.

Tenun ikat Tanimbar biasanya dipakai oleh kaum bangsawan Tanimbar untuk menghadiri beberapa acara adat. Memang motifnya sangat beragam, yang mengandung nilai luhur sebagai jati diri masyarakat. Motifnya antara lain, Sair (Bendera), Tunis (Anak Panah), Eman Matan (Mata Cawat), Luhun Walun (Wajah Lesung) dan Katkatan Walun (Wajah Penjepit).

Selain itu ada motif yang menggambarkan flora dan fauna, seperti Lelemuku (Bunga Anggrek), Ulerati (Ulat Kecil), Wulan Lihir (Bulan Sabit), Lakbuka (Cicak/Kadal Hutan), Kilunka Isa (Daratan Menjorok Keluar), Inelak (Laut Dangkal), Lau Nifan (Gigi Kuda Laut) dan Lak Matan (Mata Musang).

Biasanya yang menenun adalah kalangan wanita dan dilakukan di ruang tengah rumah mereka. Dengan alat tenun yang sederhana, mereka merangkai helai demi helai benang menjadi sebuah motif yang bernilai. Ketrampilan mereka turun temurun yang dipelihara hingga anak cucu. Ini menjadi sebuah identitas mereka, bahwa budaya lahir dari kebiasaan sehari-hari.

KAIN TENUN LOMBOK

Suku Sasak, suku terbesar di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat juga memiliki budaya menenun yang khas. Corak kain tenun khas Sasak terbagi menjadi 3 bagian besar, yaitu sentra tenun desa Sukarara di Lombok Barat, sentra tenun sekaligus desa adat Sade di Lombok Tengah serta sentra tenun desa Pringgasela di Lombok Timur.

Di Desa Sukarara, bahan kain tenunnya sebagian besar dari benang kapas. Beberapa motif tenun di daerah ini yakni Motif Pengantin, Motif Rangrang, Motif Keker dan Motif Gecko. Sedangkan di Desa Sasak Sade, memproduksi kain tenun dengan benang dan teknik pewarnaan mirip dengan Sukarara namun motif yang dihasilkan tidak sekompleks motif di Sukarara. Motif di Desa Sasak Sade lebih banyak menyesuaikan untuk produksi selendang dan syalnya. Sedangkan di Pringgasela, pilihan warnanya dan tekstur garislah yang memberikan kesan berbeda.

This article is from: