Media
Surat Kabar
No. 06 l XLVI l Mei-Juni 2014
Aesculapius PERANGKO BERLANGGANAN KP JAKARTA PUSAT 10000 NO. 3/PRKB/JKP/DIVRE IV/2014
Kedokteran dan Kesehatan Nasional
Terbit Sejak 1970
Harga Rp3.000,00
Artikel Bebas Asam Basa Tereduksi, Bukan Sembarang Pelepas Dahaga halaman 6
Tips Dan Trik Ekstirpasi Lipoma, Bedah Minor Milik Semua halaman 3
ISSN No. 0216-4966
Seputar Kita
Ketika Pemerintah Bicara Obesitas
halaman 11
Kontak Kami @SKMAesculapius beranisehat.com 021-31930364
Dokter Layanan Primer: Solusi atau Polusi? Pengesahan UU Pendidikan Kedokteran yang memperkenalkan dokter layanan primer mengundang kontroversi. Akankah program ini menyisihkan dokter praktik umum di Indonesia?
M
isteri kalimat “dokter layanan primer (DLP) setara spesialis” yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran terjawab sudah. UU tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dokter adalah dokter, dokter layanan primer, serta dokter spesialis-subspesialis. DLP sengaja diusung sebagai strata baru pendidikan kedokteran dengan tujuan memfasilitasi pembentukan dan peningkatan mutu dokter di layanan kesehatan primer Indonesia. Selama ini, dipegang oleh dokter atau yang sehari-hari lebih dikenal dengan istilah dokter umum, jenjang layanan primer seolah terbengkalai. Hal tersebut disebabkan rendahnya apresiasi dan kepercayaan masyarakat terhadap tenaga kesehatan nonspesialistik. Padahal, tingkat layanan primer merupakan fondasi pelayanan kesehatan. Dirasa tidak cukup mematahkan stigma yang telah melekat melalui penguatan pendidikan dokter saja, DLP pun dipopulerkan sebagai alternatif. Asal mula pengembangan DLP tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. dr. med. Akmal Taher, SpU(K) selaku Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Indonesia dalam seminar Jakarta Meeting in Family Medicine di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Jakarta, awal Maret silam. Lantas apa yang membedakan DLP dan dokter? Dalam panduan Standard for Training
Primary Care Physician for ASEAN Region, kompetensi yang harus dimiliki DLP, antara lain keterampilan dalam berkomunikasi dan menjaga hubungan. Di samping itu, aplikasi pengetahuan dan keterampilan sebagai pelaksana profesi, pemahaman
vanya/MA
kesehatan populasi dalam konteks layanan primer, peran dalam profesi dan etik kedokteran, serta
berorganisasi dan dimensi hukum dalam praktik kedokteran pun perlu dikuasai. Seperti yang disampaikan Kepala Divisi Kedokteran Keluarga Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, dr. Dhanasari Vidiawati Sanyoto, MSc, CM-FM, “Secara konkret yang membedakan DLP dengan dokter umum adalah pendekatan biopsikososiokultural yang peduli mutu dan biaya. Hal tersebut masih sangat sedikit dilaksanakan pada layanan primer di Indonesia.” Meski dicanangkan setara spesialis, proses meraih gelar DLP terbilang unik. Lama pendidikan hanya perlu ditempuh dalam 2,5-3 tahun. Dokter peserta pendidikan DLP juga tidak perlu meninggalkan praktik karena adanya program pendidikan jarak jauh melalui fasilitas internet. Ditambah lagi, transfer SKS bisa dilakukan oleh peserta program diploma ataupun magister kesehatan keluarga. Semua sarana tersebut mendukung percepatan peralihan dokter yang sudah ada menjadi DLP. Dalam hal materi yang dipelajari, pendidikan DLP menggunakan konsep work place-based. Artinya, calon DLP yang berniat untuk ditempatkan di daerah perkotaan akan memperoleh materi pembelajaran yang berbeda dengan yang memilih daerah pedesaan. Bahan ajaran tersebut dimasukkan dalam kurikulum yang terbagi menjadi tiga tahap, yaitu pengayaan, magang, dan praktik. Dhanasari mengatakan, FKUI telah menyatakan kesiapannya sebagai pionir pelaksana program pendidikan dokter
Selayang Pandang Dokter Keluarga
K
onsep layanan primer semakin berkembang dalam beberapa dekade terakhir seiring kian kompleksnya masalah kesehatan. Menurut World Organization of Family Doctors (WONCA) dalam buku panduannya, layanan primer saat ini lebih dari sekadar kontak pertama dengan pasien yang berakhir dengan pengobatan atau rujukan ke ahli dan fasilitas yang sesuai. Suatu layanan primer yang baik harus berkesinambungan, tidak berhenti begitu saja saat pasien dinyatakan sembuh. Pelayanan juga harus bersifat komprehensif, berorientasi pada komunitas, dan memperhatikan aspek fisik, psikologi, sosial, dan budaya tiap
individu yang berkontribusi terhadap kesehatan sambil berkoordinasi dengan praktisi kesehatan lainnya. yang tidak kalah penting adalah kualitas layanannya; harus tetap terjaga dengan pertimbangan biaya yang efektif. Biarpun banyak praktisi kesehatan yang terlibat dalam sistem layanan primer ini, WONCA menilai bahwa dokter keluarga memiliki kompetensi paling sesuai untuk menjalankan seluruh fungsi tersebut. Dokter keluarga atau family physician telah menjadi sebuah spesialis di bidang kedokteran sejak tahun 1969 di Amerika Serikat dengan nama family medicine specialty sebagai jawaban atas penurunan pelayanan dokter praktik umum akibat berlebihnya jumlah dokter spesialis yang ada.
American Academy of Family Physicians menyatakan bahwa layanan yang diberikan dokter keluarga dilakukan di strata primer dan menjadi lini terdepan pelayanan kesehatan seluruh lapisan masyarakat, tanpa peduli status ekonomi atau sosialnya. Berbeda dengan spesialis lainnya, dokter keluarga memiliki kemampuan untuk menangani penyakit pasien segala umur dan jenis kelamin secara menyeluruh. Layanan menyeluruh ini berarti bahwa dokter keluarga tidak hanya fokus untuk mendiagnosis dan menangani penyakit, tetapi juga promosi kesehatan dan pencegahan penyakit secara rutin di komunitas misalnya melalui penggalakkan skrining, imunisasi, check-up rutin, dan konseling. edwin
layanan primer. Selain itu, beberapa fakultas kedokteran lain dengan akreditasi A pun rupanya berencana memulai program pada tahun ini. Sebut saja Fakultas Kedokteran Univesitas Hasanuddin dan Universitas Negeri Sebelas Maret. Bukan Tanpa Konsekuensi Di lain pihak, keberadaan DLP tersebut justru menimbulkan masalah. Pada hakikatnya, tujuan pendidikan dokter adalah menghasilkan dokter yang melakukan pelayanan primer dengan pendekatan keluarga dan mampu bersaing secara global. Menurut Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Prof. dr. Menaldi Rasmin, SpP(K), apabila program DLP ini tetap dilanjutkan, akan menimbulkan dampak yang buruk bagi pendidikan kedokteran di Indonesia. “Pendidikan dokter di dunia adalah dokter dan dokter spesialis,” tegas Menaldi. Keberadaan DLP membuat dokter di Indonesia secara global menjadi lebih rendah. Terlebih lagi, pada 2015 mendatang ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dibuka, Indonesia harus membuka pintu bagi semua dokter dari negara ASEAN lainnya untuk menggantikan dokter (umum) Indonesia yang tidak berdaya, sebab mereka bukan DLP. Bila dokter tetap melakukan praktik, maka bisa saja dianggap melanggar undang-undang dan jalur hukum telah siap menunggu. Menurut Menaldi, ada beberapa hal yang seharusnya dilakukan untuk mencegah dampak negatif kemunculan DLP. bersambung ke halaman 11
Pojok MA “Katanya sejawat, lahan orang kok diembat?”