Media edia Aesculapius PERANGKO BERLANGGANAN KP JAKARTA PUSAT 10000 NO. 3/PRKB/JKP/DIVRE IV/2014
Surat SuratKabar Kabar
Kedokteran Kedokterandan danKesehatan KesehatanNasional Nasional
No. 03 06 l XLVI l Mei-Juni Juli-Agustus 2016 2014
Kenali Tatalaksana Pneumotoraks dengan Tepat
Kontak Kami
Atasi Kaki Diabetik, Cegah Ulkus dan Amputasi
Kami Ingin Hidup Sekarang dan Nanti
halaman 3
halaman 4
halaman 3
Harga Rp3.000,00 Harga Rp3.000,00
ISSN ISSN No. 0216-4966 No. 0216-4966 Artikel Bebas
Asuhan Keperawatan
MA Klinik
Terbit Sejak 1970
@MedAesculapius @mediaaesculapius beranisehat.com
Moratorium Fakultas Kedokteran: Duel Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan di Indonesia Di tengah berbagai permasalahan pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan di Indonesia, munculnya kabar pendirian sejumlah fakultas kedokteran baru menggemparkan dunia profesi kedokteran dan masyarakat luas.
P
ada tanggal 29 Maret 2016 lalu, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kementristekdikti) Republik Indonesia memberikan izin kepada delapan perguruan tinggi untuk mendirikan program studi pendidikan kedokteran. Seperti dilansir dari Harian KOMPAS edisi Rabu, 30 Maret 2016. Prof. Drs. H. Muhammad Nasir, M.Si., Akt., Ph.D. selaku Menteri Ristekdikti mengatakan pendirian kedelapan Fakultas Kedokteran (FK) baru tersebut dilakukan guna meningkatkan kualitas pendidikan kedokteran di Indonesia. Berita tersebut langsung menggemparkan seluruh profesi dokter Indonesia. Pasalnya, pada 28 September 2015 lalu, Kementristekdikti bersama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), dan Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia (ARSPI) telah sepakat untuk menutup keran pembukaan FK baru mulai 2016. “Moratorium menurut KBBI bukan berarti tidak boleh membuka, melainkan menunda. Penundaan ini dilakukan sebab kita harus melakukan pembinaan pada FK-FK yang sudah ada,” ujar Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, Sp.A (K), ketua KKI, pada “Diskusi Publik: Moratorium FK” tanggal 1 Juni 2016 yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Ikatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (BEM IKM FKUI) dan Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI). Moratorium sendiri sebenarnya sudah tidak asing lagi di ranah pendidikan kedokteran Indonesia. Pada Januari 2010, KKI pernah mengeluarkan
keputusan untuk menghentikan pembukaan program studi kedokteran baru karena adanya FK yang tidak mematuhi aturan. Namun, pada Agustus 2014, Kemristekdikti mencabut moratorium dan mendirikan FK baru. Menanggapi hal itu, pada Maret 2015 KKI menyatakan bahwa semua FK yang didirikan selama rentang waktu diberlakukannya moratorium adalah ilegal. Setelah mendapat dukungan dari IDI, akhirnya pada September 2015 Kementristekdikti kembali memberlakukan moratorium FK. Bambang juga memaparkan perkiraan alasan Kemenristekdikti melanggar rekomendasi keempat stakeholder utama untuk menjalankan moratorium, antara lain kurangnya jumlah dan persebaran dokter umum serta kemungkinan pendirian FK baru yang berkualitas. Akan tetapi, nampaknya ketiga argumen tersebut dapat dipatahkan. Prof. Dr. dr. Ilham Oetama Marsis, Sp.OG, ketua PB IDI, mengatakan target jumlah dokter umum di Indonesia pada tahun 2015 telah melampaui target, yaitu sebanyak 40,541 dokter per 100.000 populasi.
Di lain pihak, persebaran FK di Indonesia memang belum merata. Namun, dari delapan FK yang baru didirikan, tiga di antaranya terletak di Surabaya, di mana telah banyak berdiri pendidikan kedokteran. Selain itu, optimisme untuk mendirikan FK baru yang lebih baik dibandingkan yang sudah ada juga dalam perdebatan karena kualitas suatu FK tidak dapat ditentukan
dewi/MA
hanya dalam waktu singkat. Oleh karena argumen-argumen tersebut telah dipatahkan, muncul kontroversi adanya campur tangan “politik” dalam pendidikan kedokteran
Indonesia. Hingga saat ini, baik IDI, KKI, maupun stakeholder lain belum berhasil menghubungi pihak Kementristekdikti untuk membicarakan lebih lanjut mengenai carutmarut pendidikan kedokteran Indonesia ini. Masih banyak carut-marut dalam penyelenggaraan pendidikan kedokteran di Indonesia yang tentunya akan semakin sulit dibenahi jika moratorium tidak diberlakukan. Salah satunya adalah angka kelulusan Uji Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter (UKMPDD) yang masih fluktuatif dan jauh di bawah target pemerintah. Jumlah mahasiswa yang mengulang UKMPDD pun diproyeksikan menumpuk hingga 12.988 mahasiswa pada tahun 2016. Hal ini dapat memperpanjang daftar antrian internship, yang justru akan semakin menambah beban pemerintah. Terlebih lagi, beban pemerintah akan semakin berat dengan meningkatnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, termasuk Rumah Sakit Pendidikan (RSP), jika terdapat pendirian FK baru. RSP yang memadai merupakan bagian krusial dari pendidikan kedokteran, khususnya sebagai sarana pembelajaran mahasiswa klinik, sebagaimana yang dinyatakan pada Standar Pendidikan Profesi Kedokteran yang disahkan oleh KKI pada tahun 2006. Saat ini, belum semua FK memiliki RSP sendiri. Untuk mengukur kualitas sebuah institusi pendidikan, Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi (BAN-PT) pun melakukan akreditasi yang terstandardisasi. Data dari BAN-PT pada tahun 2015 menyatakan bahwa dari 75 FK yang ada di Indonesia, hanya 16 fakultas kedokteran yang memperoleh akreditasi A. Sebanyak 30 FK mendapatkan akreditasi B dan 25 lainnya... bersambung ke halaman 7
Menjemput Izin Pembukaan Fakultas Kedokteran
Pojok MA
Berkenaan dengan nyawa, dia tidak bisa asal dibuka. Ada syarat yang harus dipenuhi.
Moratorium fakultas kedokteran seharusnya dapat memperbaiki carut marut pendidikan kedokteran Indonesia dari hulunya. Jika dibatalkan, mungkinkah ada motif lain?
U
ndang-undang RI Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran menyebutkan empat hal yang dijadikan syarat minimal untuk mendirikan fakultas kedokteran yaitu tenaga kependidikan, gedung, laboratorium, dan rumah sakit pendidikan. Keempat persyaratan tersebut selanjutnya dirinci oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dalam Standar Pendidikan Profesi Dokter (SPPD) tahun 2012. Berdasarkan SPPD, rasio minimal dosen dan mahasiswa adalah 1:10 untuk tahap preklinik dan 1:5 untuk tahap klinik. Seluruh dosen pun harus mencapai
strata pendidikan minimal S2 atau spesialis dan telah mendapatkan pelatihan metode pendidikan kedokteran. Dari segi fasilitas, fasilitas minimal yang harus dimiliki adalah ruang kuliah, ruang diskusi, laboratorium, dan ruang keterampilan klinis. Dalam setiap ruangan harus tersedia fasilitas untuk menunjang kegiatan pembelajaran. Selain itu, fakultas kedokteran selayaknya memiliki rumah sakit pendidikan utama, rumah sakit pendidikan afiliasi, dan rumah sakit pendidikan satelit. Berbagai hal tersebut, beserta kriteria lain di dalam SPPD, merupakan objek penilaian KKI, IDI, dan stakeholder lainnya dalam menerbitkan rekomendasi yang
akan menjadi bahan pertimbangan Kemenristekdikti. “Ini merupakan sistem yang telah disepakati bersama. Di sini, peranan stakeholder, terutama KKI tidak bisa dikesampingkan,” ujar Prof. Dr. dr. Ilham Oetama Marsis, Sp.OG. Untuk mendapatkan rekomendasi KKI, fakultas kedokteran harus melampaui batas nilai yang telah ditetapkan sehingga layak untuk diberikan izin oleh Kemenristekdikti. “KKI selalu tegas dan sesuai dengan ketentuan. Kami tidak akan takut dan terpengaruh oleh pihak manapun.” tegas Prof. Dr. dr. Bambang Supriatno, Sp.A(K).