SKMA Edisi September-Oktober 2016

Page 1

Media edia Aesculapius PERANGKO BERLANGGANAN KP JAKARTA PUSAT 10000 NO. 3/PRKB/JKP/DIVRE IV/2014

Surat Surat Kabar Kabar

Kedokteran Kedokteran dan dan Kesehatan Kesehatan Nasional Nasional Terbit Sejak 1970

Harga Harga Rp3.000,00 Rp3.000,00

No. 04 06 l XLVII XLVI l lJuli-Agustus September-Oktober 2014 2016

ISSN ISSNNo. No.0216-4966 0216-4966

Kontak Kami

ma info

info obat

advertorial

Diagnosis dan Tata Laksana Bagi Penderita Hipotiroid Subklinis   halaman 2

Brivarasetam, Tata Laksana Terbaru untuk Epilepsi halaman 4

Operasi Bariatrik: Masih Ada Harapan untuk Obesitas

halaman 5

@MedAesculapius @mediaaesculapius beranisehat.com

Sudah Sejahterakah Residen Indonesia? Status residen sebagai peserta didik menimbulkan pro dan kontra mengenai adanya pemberian insentif selama masa pendidikan di rumah sakit.

M

eskipun masih tergolong sebagai mahasiswa, residen telah memiliki kapasitas sebagai seorang dokter. Kehadirannya di rumah sakit bukan hanya sebagai peserta didik yang pasif menerima ilmu, melainkan juga sebagai pemberi layanan kesehatan. Oleh karena itu, sejatinya residen juga memiliki hak terhadap rumah sakit untuk diperhatikan kesejahteraannya. Mengenai hak tersebut, Indonesia telah mengaturnya dalam Undang-Undang RI No. 20 tentang Pendidikan Kedokteran. Dalam pasal 31 ayat 1 secara jelas disebutkan bahwa setiap mahasiswa memiliki hak untuk memperoleh insentif di rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran lainnya. Hal ini berlaku untuk mahasiswa program dokter layanan primer serta dokter dan dokter gigi spesialissubspesialis. Selain itu, juga disebutkan bahwa setiap mahasiswa tersebut berhak atas waktu istirahat. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah RI No. 93 Tahun 2015, pasal 31 ayat 1 UU RI No. 20 bukan satu-satunya yang mewajibkan RS pendidikan untuk memperhatikan kesejahteraan residennya, terutama melalui pemberian insentif. Hal ini yang mendorong Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) untuk mulai memberikan insentif kepada residennya. “Mulai semester ini pemberian insentif residen kami berlakukan. Tujuannya adalah menjalankan amanah undang-undang, terutama PP No. 93 Tahun 2015” ujar Dr. dr. C. H. Soejono, SpPD, K-Ger, MEpid, FACP, FINASIM, selaku Direktur Utama RSCM. Atas dasar kepedulian terhadap kesejahteraan residen, pihak manajemen RSCM juga menghimbau setiap departemen untuk memperhatikan kebutuhan istirahat residennya. Hal ini dinilai penting sebab

berhubungan langsung dengan keselamatan pasien. Namun, dalam pengaturannya secara rinci, Soejono membebaskan masingmasing program studinya. Antara Beban Kerja dan Kesejahteraan Residen Residen memiliki waktu pribadi yang terbilang sedikit akibat jam kerja dan tuntutan akademis yang tinggi. Padahal, selayaknya manusia, ada kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi. Ditambah lagi dengan biaya pendidikan yang tidak terbilang murah, tidak sedikit residen yang memutuskan untuk mencari sumber penghasilan tambahan. Melakukan praktik di rumah sakit lain dengan terpaksa dilakoni, meski harus menyita waktu istirahat di akhir pekan atau setelah pulang dari RS pendidikan. “Hal ini terasa sulit, terutama di tahun pertama karena kegiatannya padat dan kami harus follow up bangsal,” ujar dr. Reza selaku residen sebuah departemen di FKUI-RSCM. Selain itu, di tahun pertama, satu orang residen dapat memiliki kewajiban jaga malam

sebanyak 9-11 kali per bulan ditambah kewajiban kerja standar RSCM pukul 07.3015.30 WIB. Sejak semester ini, residen tahun pertama di departemen tersebut mendapatkan insentif sekitar Rp1.500.000,00 per bulan. Insentif akan bertambah sesuai dengan tingkatan residen, yaitu Rp2.500.000,00 untuk tingkat dua, Rp3.500.000,00 untuk tingkat tiga, dan seterusnya. Nominal insentif yang diberikan juga bergantung pada absensi, kelengkapan dalam menuliskan status pasien, dan ketepatan waktu dalam menyelesaikan tugas.

“Dalam hal ini, kami merasa adil sebab performa kerja kami juga turut dinilai. Jika kinerjanya bagus, insentifnya akan diberikan secara gabriella/MA utuh,” tutur Reza. Pemberian insentif dengan nominal tersebut, meski tidak tergolong banyak, menurut Reza cukup membantu dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Daripada tidak diberikan sama sekali, seperti ini lebih baik. Setidaknya bisa memenuhi kebutuhan

Teropong Nasib Residen di Negara Lain

I

nsentif finansial menjadi salah satu motivasi penting bagi tenaga kesehatan, termasuk dokter yang sedang menjalani program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Sebelum dikeluarkannya UndangUndang RI No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, dokter residen harus mencari cara agar dapat membiayai pendidikan spesialis sekaligus menghidupi keluarga di tengah padatnya waktu belajar dan bekerja di RS Pendidikan. Berbeda dengan Indonesia, dokter residen di negara-negara lain menerima insentif dari pemerintah. Rata-rata upah yang diterima oleh residen di Amerika Serikat tahun 2016 adalah $56,500 atau sekitar 740 juta rupiah. Dokter residen di India menerima Rs55.000

(sekitar 10 juta rupiah) per bulannya. Di Malaysia, dokter yang baru mengikuti program magang menerima 4100 RM per bulan atau sekitar 15 juta rupiah. Jumlah tersebut bertambah seiring dengan semakin tinggi tingkatan residensinya. Di lain pihak, dokter di Papua Nugini, Vietnam, Kamboja, Vietnam, dan Thailand mengalami ketidakpuasan kerja, bahkan beberapa diantaranya sampai bermigrasi karena rendahnya upah yang diberikan. Meskipun demikian, negara-negara tersebut berusaha mengompensasinya dengan memberikan keuntungan dan kemudahankemudahan bagi tenaga kesehatannya. Di Thailand, sebagai contohnya, dokter yang bekerja di daerah terpencil akan

mendapatkan beberapa keuntungan, seperti peningkatan upah hingga tiga kali dari upah yang biasa didapatkan. Berbanding jauh dengan keadaan yang ada di Indonesia, pemberian insentif bagi residen baru mulai diberlakukan, walaupun belum seluruh rumah sakit pendidikan. Besar harapan semua kalangan agar Indonesia mengejar sistem yang telah berjalan di beberapa negara tetangga. “Dengan pemberian insentif ini, diharapkan timbul jiwa profesionalisme dari para dokter muda dan mendorong mereka untuk lebih bertanggung jawab dalam proses pendidikannya,” ujar dr. Setyo Widi Nugroho, SpBS. farah, abdi, levina

makan dalam sebulan.” ucapnya. Selain itu pemberian insentif ini tentu dapat meringankan sebagian beban residen yang telah berkeluarga. Untuk selanjutnya, Reza berharap besaran insentif dapat ditingkatkan lagi. Selain itu, ia juga berharap ada pihak yang berkenan membuat aturan baku mengenai waktu batas jam kerja residen setiap pekannya, baik dari pihak pemerintah maupun RS pendidikan. Hal ini, tentunya secara tidak langsung memengaruhi waktu istirahat residen. “Waktu istirahat residen belum ada yang mengatur sehingga berbedabeda di setiap departemen. Sebaiknya hal ini ditentukan dengan jelas, sebab memengaruhi kinerja kami dan keselamatan pasien” ujar Reza. Tantangan dan Harapan Pemberian Insentif Residen Aturan mengenai pemberian insentif kepada residen nantinya juga tercantum dalam Standar Nasional Pendidikan Kedokteran (SNPK) yang sedang dirancang oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) RI. “Residen sebagai komponen yang memberikan pelayanan kepada pasien memang sudah sepantasnya mendapatkan insentif. Pemberian insentif kepada residen sudah menjadi standar yang baku di seluruh dunia. Semua residen di dunia bukannya membayar, tapi dibayar atas pekerjaan yang mereka lakukan,” tutur dr. Setyo Widi Nugroho, Sp.BS, selaku anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) bidang Kesejahteraan Dokter, Advokasi, dan Monev Terapan JKN untuk Masyarakat... bersambung ke halaman 7

Pojok MA “Semua residen di dunia dibayar bukannya membayar, dibayar atas pekerjaan yang mereka lakukan” – Setyo Widi Nugroho Kalau tidak dibayar cocoknya jadi superman, bukan residen


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.