SKMA Edisi Mei-Juni 2017

Page 1

Media Aesculapius Surat Kabar

Kedokteran dan Kesehatan Nasional Terbit Sejak 1970

Harga Rp3.000,00

No. 05 l XLVIII l Mei-Juni 2017 ISSN No. 0216-4966 Artikel Bebas

Suara Mahasiswa

Si Kembar Vitamin E: Serupa tapi Berbeda

Altruisme dalam Pergerakan Mahasiswa Kedokteran

halaman 6

Rubrik Daerah

Tanggap Cepat Atasi Gigitan Ular Berbisa

halaman 8

Kontak Kami @MedAesculapius beranisehat.com 082-229-229-362

halaman 11

Wajib Kerja: Solusi Terbaik Pemerataan Dokter Spesialis? Ditetapkannya WKDS sebagai solusi pemerataan dokter spesialis baru-baru ini menuai pro dan kontra. Apakah kebijakan ini dapat menyelesaikan masalah pemerataan dokter spesialis yang ada?

is/

MA

RI dengan dibentuknya Komite Penempatan WKDS. Namun, solusi ini bersifat sementara, harus dicari penyelesaian yang komprehensif sesuai pasal 26 ayat 1-5 UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah.” Usman menjelaskan bahwa proporsi dokter spesialis saat ini masih sangat timpang. “Tidak hanya dokter spesialis, dokter umum juga tidak merata. Jakarta kini rasionya 1:700. Namun, di Papua, rasionya bisa 1:10.000,” terang Usman. Oleh karena itu, WKDS diharapkan bisa menjadi sebuah solusi dalam pemerataan dokter spesialis. Dokter spesialis yang mengikuti program ini akan mendapatkan insentif dari pemerintah berkisar 23-30 juta rupiah. Pemerintah daerah juga wajib memberikan tambahan insentif. Selain itu, pemerintah akan memastikan bahwa dokter spesialis yang mengikuti WKDS ini mendapatkan jasa layanan dan tempat tinggal. Rumah sakit tipe C yang menjadi tempat wajib kerja dokter spesialis dipilih berdasarkan pengajuan dan permintaan ak

P

emerataan dokter spesialis di Indonesia masih jauh dari kata cukup. Kebutuhan dokter spesialis di Indonesia dikatakan masih sangat tinggi. Selain jumlah yang kurang, dokter spesialis yang ada juga terpusat di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan hampir semua ibu kota provinsi. Pemerataan dokter spesialis belum dirasakan pada sebagian wilayah Indonesia bagian timur, seperti Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara. Perhimpunan dan kolegium dokter spesialis menyarankan kepada pemerintah untuk merancang suatu pola distribusi yang baik dan adil bagi pemenuhan hak masyarakat melalui Program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS). Usulan tersebut kemudian disetujui oleh Kementerian Kesehatan dalam bentuk disahkannya Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2017 tentang Program WKDS. WKDS merupakan sebuah program wajib kerja untuk dokter spesialis dengan cara penempatan dokter spesialis di daerah terpencil selama minimal satu tahun. Kewajiban ini dibentuk dalam rangka pengabdian dokter spesialis secara profesional kepada masyarakat yang sangat dihargai pemerintah. Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan RI, drg. Usman Sumantri, M.Sc., menjelaskan, “Berbeda pengertiannya dalam Konvensi ILO, ‘wajib’ di sini dalam artian untuk pemerataan distribusi dan pelayanan ini didukung oleh kolegium, IDI, perguruan tinggi, Kemenristekdikti RI, dan Kemenkes

kebutuhan dokter spesialisnya. Nantinya, tim dari Kemenkes RI akan melakukan visitasi untuk melihat apakah rumah sakit layak dan sanggup menerima dokter spesialis. Setelah dinilai layak, akan dibuatkan rekomendasi yang dianalisis kembali oleh Kemenkes RI sebelum akhirnya ditetapkan. Dasar Pemilihan Spesialisasi yang Dikirim Walaupun baru disahkan pada tanggal 12 Januari, hingga saat ini sudah ada dua rombongan dokter spesialis yang mengikuti program ini. Sekitar 70 orang telah dikirim pada gelombang pertama. Tidak semua dokter spesialis terlibat dalam program ini. Menurut Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof. dr. Ilham Oetama Marsis, SpOG(K), WKDS hanya diberlakukan untuk lima spesialis besar karena dirasa paling dibutuhkan, meskipun mungkin selanjutnya dapat secara bertahap untuk semua bidang spesialis. Dasar pemilihan lima spesialisasi di atas adalah empat di antaranya, yang terdiri atas bedah, anak, penyakit dalam, serta obstetri

Wajib Kerja untuk Spesialis di Negara Lain Indonesia baru-baru ini menetapkan kebijakan wajib kerja bagi lulusan dokter spesialis. Adakah program serupa di negara lain?

M

ewajibkan dokter untuk bekerja di daerah tertentu ternyata telah diterapkan di berbagai negara dengan kebijakan yang berbeda-beda. Umumnya, kebijakan ini berada di bawah regulasi pemerintah dan dilaksanakan untuk memeratakan persebaran dokter di seluruh bagian negara tersebut. Di Malaysia, setelah menjalani 2 tahun housemanship, meutia/MA istilah yang menyerupai ko-asistensi di Indonesia, lulusan dokter bekerja berbasis kontrak dengan pemerintah selama 2 tahun sebagai medical officer di berbagai lokasi rumah sakit

pemerintah di Malaysia. Jika dokter tersebut tidak menyelesaikan wajib kerja, ia dianggap melanggar Medical Act 1981. Menurut pasal 14 peraturan ini, pelanggaran akan berakibat pada penarikan surat registrasi dokter tersebut. Wajib kerja di Malaysia tersebut hanya diperuntukkan kepada lulusan dokter umum, bukan dokter spesialis. Wajib kerja bagi lulusan dokter umum juga dapat ditemukan di berbagai negara lain, seperti Australia, Turki, Thailand, Vietnam, dan Pakistan. Lain halnya dengan India yang melibatkan dokter spesialis dalam aturan wajib kerjanya. Negara ini mewajibkan lulusan dokter umum dan dokter spesialis untuk bekerja di daerah

terpencil dengan total waktu satu tahun. Akan tetapi, tidak semata-mata semua dokter harus mengikuti keduanya. Jika setelah lulus sebagai dokter umum ia telah menjalani wajib kerja, ia tak perlu ikut kembali ketika telah menyelesaikan pendidikan spesialis. Sebaliknya, apabila karena alasan tertentu dokter tersebut tidak menyelesaikan kewajiban kerja sebelumnya, ia perlu memenuhi ‘hutang’ tersebut setelah menjadi spesialis. Tampil beda, Indonesia memberikan kewajiban bagi dokter umum dan dokter spesialis untuk mengabdi ke masyarakat dalam bentuk internship dan wajib kerja. Harapannya, akses kesehatan dapat berubah menjadi lebih baik. Hal ini bergantung pada seluruh pihak terkait dan proses jalannya program anyar ini. reyza, aisyah, tiffany

dan ginekologi, merupakan spesialisasi dasar yang dibutuhkan dalam sebuah rumah sakit. Selain empat bidang dasar tersebut, anestesi juga menjadi salah satu spesialisasi yang dikirim karena merupakan salah satu spesialisasi yang menjadi penyokong, terutama dalam melakukan pembedahan. “Baru tahun depan kita tambahkan patologi klinik atau radiologi sesuai kebutuhan. Jadi, baru lima yang dikirim sesuai yang paling penting itu apa, belum semua karena kebutuhan mendasarnya itu,” terang Usman. WKDS Bukan Tanpa Kontroversi Persatuan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) menganggap bahwa penerapan WKDS sebagai solusi pemerataan dokter spesialis di Indonesia merupakan bentuk pemaksaan dan tidak sesuai dengan hak asasi manusia (HAM). PDIB berpegangan pada Konvensi ILO Nomor 105 Tentang Penghapusan Kerja Paksa yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UndangUndang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2009. Menurut konvensi ini, tidak boleh lagi ada pelaksanaan kerja paksa atau wajib kerja dalam segala bentuk. “Kata ‘wajib’ pada dokter yang tidak dibiayai pendidikannya oleh pemerintah adalah kata yang melanggar hak asasi,” terang PDIB. Dalam WKDS ini, pemerintah juga tidak memberikan batasan waktu yang jelas terhadap seberapa lama dokter spesialis bersambung ke halaman 11

SKMA Untuk Anda! Mari bersama membuat SKMA menjadi lebih baik.

!

1. Apakah konten SKMA bermanfaat/ relevan dengan kondisi kesehatan saat ini? 2. Apakah anda masih membutuhkan SKMA edisi selanjutnya? Jawab dengan format: Nama-Umur_Kota/Kabupaten_Unit Kerja_Jawaban 1_Jawaban 2

Contoh: Rudiyanto_43_Jakarta Pusat_RSCM_Ya_ Ya Kirim melalui WhatsApp/SMS ke 0822 229 229 362 atau mengisi formulir pada bit.ly/surveyskma Lima orang pengisi survei yang beruntung akan mendapatkan cenderamata dari Media Aesculapius


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.