Media
Surat Kabar
Aesculapius PERANGKO BERLANGGANAN KP JAKARTA PUSAT 10000 NO. 3/PRKB/JKP/DIVRE IV/2014
Kedokteran dan Kesehatan Nasional Terbit Sejak 1970
No. 01 l XLV l Maret-April 2015 Advertorial
Konsultasi
Tanggap Antisipasi Kejang Epilepsi dengan Smartwatch
Perlukah Insulin Diganti Obat Oral Pasca Rawat Inap pada DM Tipe 2?
halaman 4
Harga Rp3.000,00
ISSN No. 0216-4966 Senggang
Belajar Mawas Diri dengan Mountain Bike
halaman 3
Kontak Kami @SKMAesculapius beranisehat.com
halaman 8
Vaksinasi, Sebuah Suntikan Polemik Tanpa Batas Ketika ada yang menutup mata dari vaksinasi, apakah yang mereka hindari risiko atau justru manfaat yang ditawarkannya?
L
ebih dari seratus tahun berlalu sejak Louis Pasteur mengemukakan vaksin kepada dunia kesehatan. Sejak itu pula ribuan insiden penyakit mematikan dapat dicegah setiap tahunnya. Vaksin memperoleh kemampuannya dari olahan antigen patogen (bakteri atau virus) yang dilemahkan, inaktivasi, atau sekadar mengambil sebagian dari proteinnya. Antigen yang dimasukkan ke tubuh akan tetap memicu sistem imun tanpa menimbulkan reaksi penyakit. Dengan demikian, seseorang menjadi terlindung dari penyakit tertentu. Efek pencegahan penyakitnya yang spesifik membuat vaksin lebih unggul dibanding metode preventif lainnya. Tak ayal, pemerintah telah menyerukan kewajiban imunisasi terjadwal terhadap Hepatitis B, polio, campak, BCG, DPT, dan Haemophilus influenzae B. Selain itu, paradigma kesehatan yang telah beralih pada tindakan preventif juga berhasil mendorong masyarakat untuk mengembangkan produk vaksin dan menyongsong program imunisasi. Di balik berbagai keuntungan yang ditawarkan vaksin, rupanya terdapat pula efek samping yang menyertainya, yaitu efek lokal dan sistemik. Efek lokal vaksin dirasakan sebagai nyeri, gatal, atau bengkak pada daerah sekitar suntikan, sedangkan efek sistemiknya demam. Kedua hal ini biasanya menjadi bahan pertimbangan bagi banyak orang karena dipandang akan menurunkan kinerja dan aktivitas sehari-hari. Menanggapi hal tersebut, dr. Dirga Sakti Rambe, M.Sc (VPCD) sebagai ahli vaksinologi Indonesia menjelaskan, “Demam adalah tanda terstimulasinya sistem imun. Setelah pemberian vaksin, selsel radang terpicu sehingga memunculkan
demam tersebut. Dengan begitu, tubuh akan membentuk antibodi untuk melawan patogen jenis yang sama seperti vaksin tadi.” Kekhawatiran masyarakat juga merujuk pada data Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). KIPI merupakan catatan segala kejadian yang terjadi sehabis imunisasi, termasuk berita bayi yang meninggal dunia tidak lama setelah imunisasi sehingga sering terjadi miskonsepsi di kalangan masyarakat mengenai vaksin. Selain itu, penyebaran informasi tanpa saringan, terutama melalui internet, turut menguatkan anggapan bahwa vaksin tidak aman. “Tidak semua KIPI memiliki hubungan sebabakibat dengan vaksin atau imunisasi. Jika memang vaksin berdampak pada KIPI yang sangat serius, tentu saja vaksin akan ditarik fatira/MA dari peredaran,” ungkap dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) selaku aktivis provaksin sekaligus sekretaris umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Di sisi lain, pihak kontravaksin justru menggembar-gemborkan laporan KIPI ini. Kelumpuhan dan kanker, bahkan kematian yang dianggap mempunyai hubungan kausatif dengan vaksin menjadi momok menakutkan bagi kaum tertentu.
Yang Aman, yang Menyehatkan Menurut Dirga, setidaknya terdapat tiga vaksin yang pada proses pembuatannya bersinggungan dengan enzim berasal dari babi. Meskipun sebenarnya produk akhir vaksin sendiri setelah melalui serangaian proses kimiawi tidaklah lagi mengandung babi, paham fiqih agama dipercaya kerap mengalihkan sejumlah orang dari
Dana dan Teknologi Terbatas Ganjal Imunisasi Dewasa Indonesia Di tengah maraknya isu imunisasi anak, usaha pembangunan kekebalan diri terhadap kuman pada dewasa seolah aman-aman saja. Padahal, imunisasi dewasa masih belum terlepas dari sejumlah masalah.
M
endengar kata imunisasi, yang terlintas di pikiran masyarakat pada umumnya adalah imunisasi pada bayi dan anak. Padahal, imunisasi pada dewasa tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan imunisasi pada anak. Dr. dr. Iris Rengganis, SpPD-KAI, menjabarkan pentingnya imunisasi dewasa dalam temu media “Perkembangan Program Imunisasi di Indonesia” yang diselenggarakan di Ruang Kuliah Parasitologi, FKUI pada 4 Maret 2015. “Imunisasi dewasa dapat mencegah kematian seratus kali lebih banyak daripada anak karena cukup banyak penyakit yang dapat dicegah penularannya dengan vaksinasi pada orang dewasa dan usia lanjut,” jelas
Anggota Satuan Tugas Imunisasi Dewasa PAPDI tersebut. Akan tetapi, imunisasi dewasa ini belum disosialisasikan secara massal lantaran layanannya masih tergolong lemah dan tersebar secara sporadis. Di Indonesia, vaksin anak mayoritas diproduksi oleh PT. Biofarma, sementara khusus dewasa harus diimpor. Keharusan mengambil dari luar negeri tak terlepas dari masalah dana. Dalam temu media tersebut, Ketua Lembaga Eijkman, Prof. dr. Amin Soebandrio, PhD, SpMK(K), memaparkan contoh biaya yang perlu dikucurkan oleh Indonesia. “Dengan populasi penduduk sekitar 240 juta orang, Indonesia membutuhkan 230 juta dosis. Jika harga vaksin diasumsikan sekitar 10 USD per dosis, dibutuhkan 2.300 juta USD,
yakni sekitar 30 triliun rupiah,” tutur Amin. Jika disesuaikan dengan anggaran kesehatan dalam APBN RI 2015, harga vaksin mencapai tiga perempat anggaran kesehatan itu sendiri. Persoalan berikutnya teknologi. Teknologi vaksin di Indonesia terbatas dan masih jauh di bawah negara-negara maju yang sanggup memproduksi vaksinnya sendiri. Peneliti masih berupaya mengembangkan vaksin yang efektif, murah, dan aman dengan berbagai teknik rekombinan DNA. “Pemerintah telah berusaha untuk menyediakan vaksin baru dengan Konsersium Riset Vaksin, seperti konsersium vaksin tuberkulosis, dengue, dan AI,” jelas Amin. fidi, nadia, irmapriyadi, puspa
memperoleh vaksin tertentu. Tak ayal kontroversi kehalalan produk vaksin kian menjadi dilema komunitas bermayoritas muslim, tidak terkecuali Indonesia. Untuk menanggapi hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) berusaha menyuarakan hak konsumen agar mendapatkan vaksin yang halal. “MUI selalu mendukung program kesehatan pemerintah. Tidak ada larangan untuk melakukan vaksinasi jika terdapat produk vaksin halal yang tidak mengandung babi seperti yang beredar selama ini,” ujar Osmena Gunawan selaku Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Jakarta. Dengan demikian, keharamannya bukan pada tindakan vaksinasi melainkan karena penggunaan vaksin yang diharamkan. Hal ini yang mendasari keluarnya Fatwa MUI NO 06 Tahun 2010 yang mengharamkan vaksin meningitis jenis Mancevax ACW135 Y yang diproduksi oleh Glaxo Smith Kline (GSK), Beecham Pharmaceutical dari Belgia.Rupanya memperoleh vaksin halal bukan suatu hal yang nadir. Tidak semua vaksin dinyatakan haram oleh MUI, misalnya jenis Manveo Meningococcal A, C, W135 and Y Conyugate Vaccine yang diproduksi Novartis Vaccine and Diagnostics S.r.i dan Meningococcal Vaccine yang diproduksi Zheijiang Tianyuan Bior Pharmaceutical Co. Ltd dinyatakan halal karena tidak tercemar babi dalam pembuatannya. Hanya saja, ketersediaan vaksin halal masih terbatas di Indonesia. bersambung ke halaman 7
Pojok MA “Jangan biarkan asumsi mengaburkan fakta. Jangan biarkan kontroversi merusak kesehatan bangsa. Akankah kontroversi vaksin ini mengorbankan masa depan generasi berikutnya?”