Media
Aesculapius PERANGKO BERLANGGANAN KP JAKARTA PUSAT 10000 NO. 3/PRKB/JKP/DIVRE IV/2014
Surat Kabar
Kedokteran dan Kesehatan Nasional Terbit Sejak 1970
No. 02 06 l XLV XLVIl lMei-Juni Juli-Agustus 2015 2014
Harga Rp3.000,00
ISSN ISSN No. 0216-4966 No. 0216-4966
Kontak Kami
Artikel Bebas
Senggang
Suka Duka
Fakta dan Mitos Suplemen Vitamin E
Strike Prestasi dengan Joran dan Umpan
Melayani Negeri Sepenuh Hati
halaman 4
halaman 8
@MedAesculapius beranisehat.com
halaman 6
Kemesraan Dokter dengan Perusahaan Obat: Ilegalkah? Benarkah budaya gratifikasi telah masuk ke dalam praktisi kedokteran?
K
etika seorang medical representative (medrep) menemui seorang dokter, serentetan informasi mengenai produk obat dikeluarkan. Kemudian, sang dokter akan mengambil keputusan objektif tentang produk tersebut, sembari mengharapkan yang terbaik untuk pasiennya. Namun, fakta yang terjadi di lapangan acapkali tak seindah itu. Medrep memberi iming-iming kepada dokter agar produknya bisa memenuhi tiap lembaran resep sang dokter. Sejumlah komisi pun lalu dijanjikan. Jumlahnya bergandengan dengan kuantitas produk yang diresepkan. Alhasil, obat tersebut menjadi andalan sang dokter, meskipun masih ada obat berkhasiat sama yang ekonomis untuk pasiennya. Fenomena ini merupakan suatu bentuk gratifikasi. Menurut Drs. apt. Purwadi MM, ME, Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, gratifikasi adalah pemberian kepada orang lain dalam bentuk apapun. Pada UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 12B, disebutkan bahwa gratifikasi meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pemberian ini dapat berindikasi suap atau tidak. Berindikasi suap ketika pemberian tersebut berdampak pada pengambilan keputusan yang berbeda dan berhubungan dengan jabatan seseorang yang menyebabkan seseorang kehilangan kemandiriannya. Bagaikan musuh dalam selimut, praktik gratifikasi sudah merajalela di dunia kedokteran tanpa banyak terumbar, tanpa banyak terdengar. Gratifikasi yang
anyta/MA
dilakukan antara dokter dengan perusahaan farmasi tidak terbatas pada bentuk nominal rekening yang bertambah saja. Misalnya, perusahaan obat mendanai perjalanan dan akomodasi seorang dokter untuk mengisi seminar di luar kota. Setelah mengisi seminar, sang dokter pun “difasilitasi” untuk berekreasi keliling kota. “Sebenarnya memberikan liburan tidak apa-apa, asal tidak ada perjanjian di belakangnya,” ucap Drs.
Rezi Riadhi, dosen Etika Hukum Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Namun, sekalipun tidak ada perjanjian hitam di atas putih, tidak jarang dokter merasa berhutang budi jika sudah menerima banyak pemberian dari pihak farmasi. Rasa hutang budi tersebut dibayarkan dengan meresepkan lebih banyak obat perusahaan farmasi tersebut dibandingkan obat merek lainnya. Ketidakjelasan pada UU yang berlaku dan ambiguitas gratifikasi itu membuat banyak dokter terjebak dalam kasus gratifikasi. Lebih lagi, pengetahuan yang minim akan gratifikasi dan menurunnya nilai luhur profesi seorang dokter dapat memperbesar kemungkinan untuk terjerat dalam kasus gratifikasi. Menurut Peraturan
bersambung ke halaman 7
Dekadensi Keluhuran Profesi Kedokteran Indonesia
S
“Seorang dokter dalam setiap keputusannya harus mendahulukan kesehatan pasiennya”
edari dulu, masyarakat selalu menganggap dokter sebagai profesi yang luhur –the noble profession. Ketika membicarakan dokter, gambaran yang terlintas di pikiran adalah betapa mulia, rela berkorban, dan bertanggung jawabnya dokter. Dengan penuh kerelaan, masyarakat yang datang berobat ke dokter akan menuruti apapun permintaan sang dokter dan menyetujui tindakannya karena mereka percaya pada sang dokter. Mungkin terkesan mendewakan, tetapi seperti itulah anggapan masyarakat terhadap dokter. Itu dahulu. Kini, bagaimana anggapan masyarakat terhadap dokter? Di tengah era BPJS, maraknya sorotan media terhadap bidang kedokteran dapat bertindak sebagai pisau bermata dua. Apalagi ditambah banyaknya kasus malpraktik dan gratifikasi oleh dokter, citra dokter sebagai the noble profession kian runtuh di mata
masyarakat. “Padahal yang terpenting dari sebuah profesi itu adalah trust,” ujar Prof. dr. Menaldi Rasmin, SpP(K), mantan ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) periode 2009-2014. Tanpa kepercayaan itu, dokter tidak akan dapat bekerja secara optimal. Memang sepatutnya, dokter berjuang untuk membuat dirinya bisa dipercaya. Bagaimana caranya? “Dengan menghormati profesi kita sendiri,” ucap Menaldi. Ketika seorang dokter tahu ilmu yang harus diketahui, kemampuan yang harus dikuasai, dan praktik yang patut kerjakan; dalam arti lain menjadi dokter yang profesional, pasti rasa percaya masyarakat akan menetap. Menjadi seorang dokter yang profesional nyatanya jauh berbeda dengan hanya menjadi seorang dokter. Profesionalitas seorang dokter dapat dilihat dari tiga elemen, yaitu etika, kompetensi klinis, serta kemampuan komunikasi yang dimilikinya. Tidak hanya itu, sikap profesionalisme
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014 Pasal 1, gratifikasi yang menyalahi aturan adalah gratifikasi yang dianggap suap dimana gratifikasi yang diterima oleh aparatur kementerian kesehatan berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas penerima. Akan tetapi, sulit untuk menilai terganggunya kemandirian seorang dokter. Oleh karena itu, pemeriksaan diarahkan bukan pada tindakan dokternya, melainkan pada pemberian yang diterimanya. Sayangnya, hal ini cenderung terkesan tidak adil mengingat banyak pemberian yang datang ke dokter secara cuma-cuma. “Kalau tidak ada timbal balik, semestinya tidak dimasukkan dalam kategori gratifikasi”, tutur Prof. dr. Menaldi Rasmin, SpP(K), Mantan Ketua Konsil Kedokteran Indonesia periode 2009–2014. Kemudian timbul pertanyaan, pemberian seperti apa yang sebenarnya boleh diterima oleh dokter? “Misalkan, dokter sedang praktik di daerah pelosok, kemudian pasiennya senang karena sudah diobati dan sembuh. Kemudian, pasiennya memberi si dokter ayam dua ekor. Itu tidak ada kaitan dengan jabatan dokter, tetapi pasiennya sayang dengan dokternya karena sudah menyembuhkan,” papar Purwadi. Pemberian itu tidak dimaksudkan untuk memengaruhi kinerja dan penilaian dokter. Ibaratnya dengan seorang dokter diberi ayam, bukan berarti kemudian pasiennya tersebut disuntik dengan lebih baik. Itulah yang disebut gratifikasi nonsuap.
juga memiliki empat pilar, yaitu akuntabilitas, kemanusiaan, keutamaan, dan altruisme. Dunia kedokteran sendiri paling erat kaitannya dengan nilai altruisme, artinya mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri. “Seorang dokter dalam setiap keputusannya harus mendahulukan kesehatan pasiennya,” jelas Menaldi. Dengan menghormati keluhuran profesi dokter, niscaya akan sulit bagi seorang dokter untuk tersandung kasus malpraktik ataupun gratifikasi. “Sudah seyogyanya dokter kembali meresapi alasan memilih profesi ini, yaitu untuk menolong orang, bukan menyusahkan,” tutur Menaldi. Inilah saatnya untuk “meredefinisikan” alasan menjadi seorang dokter karena dokter juga merupakan bagian dari masyarakat! jihaan
Pojok MA Pasien belum masuk, resep sudah tersedia. Entah zaman yang semakin canggih atau moral yang semakin ringkih.