Media
Surat Kabar
Aesculapius PERANGKO BERLANGGANAN KP JAKARTA PUSAT 10000 NO. 3/PRKB/JKP/DIVRE IV/2014
Kedokteran dan Kesehatan Nasional
No. 03 06 l XLV XLVIl lJuli-Agustus Juli-Agustus2015 2014
Terbit Sejak 1970
Harga Rp3.000,00
ISSN No. 0216-4966
Konsultasi
Info Obat
Artikel Bebas
Cerdas Evaluasi Tatalaksana Tuberkulosis Paru
Bedaquiline, Secercah Harapan Baru Untuk Berantas MDR-TB
SIBODEC, Tusuk Gigi Pendeteksi Boraks
halaman 3
halaman 4
halaman 5
Kontak Kami @MedAesculapius @mediaaesculapius beranisehat.com
Dokter Okupasi sebagai Pilar Kesehatan BPJS Ketenagakerjaan
S
Siap atau tidak, 1 Juli 2015 lalu merupakan “garis mati” dari pengoperasian penuh BPJS Ketenagakerjaan. Bagaimanakah masa depan jaminan sosial nasional tersebut?
ebagai satu-satunya badan pemerintah di Indonesia yang berhak menyelenggarakan jaminan sosial nasional, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) memiliki lima program yang dijalankan. Badan yang dahulu bernama Jamsostek (jaminan sosial tenaga kerja), kemudian sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Pada pasal 6 ayat 2 UU tersebut tercatat empat program dari BPJS Ketenagakerjaan, yakni jaminan kecelakaaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian, yang ditambah dengan jaminan lainnya, yakni jaminan pensiun. Berbicara mengenai jaminan sosial, lantas terlintas pertanyaan, apakah perbedaan dari BPJS Ketenagakerjaan yang baru dijalankan ini dengan pendahulunya, yakni BPJS Kesehatan? Kepala Divisi Pengembangan Jaminan BPJS Ketenagakerjaan, drg. Endro Sucahyono, M.Kes, menegaskan bahwa BPJS Ketenagakerjaan hanya menanggung kasus yang memiliki hubungan dengan pekerjaan. Salah satu program BPJS, yakni program jaminan kecelakaan kerja, misalnya, bertanggung jawab menjamin kesehatan seorang tenaga kerja apabila terjadi kecelakaan, mulai dari ketika ia berangkat kerja, di tempat kerja, bahkan hingga saat pulang kerja. Di sisi lain, BPJS Kesehatan mencakup jaminan kesehatan penduduk secara umum yang tidak ada hubungannya dengan urusan kerja. Perbedaan lainnya, lanjut Endro, adalah BPJS Ketenagakerjaan tidak menggunakan sistem rujukan. “Kalau kita (BPJS Ketenagakerjaan –red) bebas, karena semua kecelakaan dianggap emergency jadi tidak
pakai jenjang-jenjang, langsung saja,” jelas Endro. Oleh karena cakupannya yang berbeda, peserta akan ditarik iuran kembali untuk keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan, meskipun ia sudah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Akan tetapi, besarnya iuran yang ditarik dari peserta tidaklah sama, yaitu bergantung pada besarnya risiko kesehatan akibat pekerjaan yang dialami oleh pekerja. “Kalau BPJS Ketenagakerjaan dilihat juga dari risiko perusahaan. Kalau makin besar risikonya, iurannya makin besar,” ucap Endro. Kata “jaminan” yang diemban berdampak pada ketuntasan pelayanan
kesehatan yang ditawarkan BPJS Ketenagakerjaan. Berbeda dengan program serupa, BPJS Ketenagakerjaan menjanjikan perawatan bagi peserta sampai tuntas sehingga dapat dikatakan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh BPJS untuk peserta menjadi tidak terbatas. Dengan demikian jaminan ini memastikan tenaga kerja yang mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dapat kembali kerja melalui program Return to Work (RTW). “Kita berharap orang yang kecelakaan kerja untuk kembali kerja,” ungkap analis produk jaminan sosial, dr. Woro Ariyandini, MKM, AAAK. Program rehabilitasi medik tentunya juga menjadi cakupan BPJS Ketenagakerjaan. “Orang yang berhenti bekerja, untuk kerja lagi akan malas dan dia
herlien/MA
membutuhkan semangat untuk kerja lagi. Bahkan, ada penelitian bahwa orang yang berhenti bekerja selama enam bulan itu 90% gagal dalam pekerjaannya ketika ia kembali,” terang Woro. Cara ini diharapkan dapat mengurangi angka pengangguran dan otomatis mengurangi beban negara akibat pengangguran. Dalam melakukan fungsinya, BPJS Ketenagakerjaan setidaknya melibatkan tiga pihak, yakni peserta, dokter BPJS, serta perusahaan. Dokter BPJS pada rumah sakit yang ditunjuk merupakan penentu benar tidaknya suatu kasus dikatakan sebagai kecelakaan kerja. Sementara itu, kembalinya seseorang ke tempat kerja pascapemulihan idealnya ditentukan oleh dokter okupasi. Namun, melihat jumlah dan distribusi dokter okupasi yang hingga kini belum cukup untuk pelaksanaan program berskala nasional, Woro menegaskan, “Seorang peserta BPJS Ketenagakerjaan ditentukan apakah dia bisa kembali kerja tidak harus dokter okupasi, tetapi juga dokter yang merawat, dokter rehab medis, atau dokter ortopedik,” Namun, pernyataan berbeda disampaikan dari sisi dokter okupasi. Dr. dr. Dewi Sumaryati Soemarko, SpOk, perwakilan Perhimpunan Dokter Okupasi Indonesia (Perdoki) di BPJS Ketenagakerjaan, dengan tegas menyatakan bahwa dokter umum tidak berkompetensi untuk menentukan boleh atau tidaknya seseorang untuk kembali bekerja. “Yang kita sangat takutkan adalah kompetensi ini untuk... bersambung ke halaman 7
Perluasan Jaminan Sosial di Indonesia: Anak Tangga Kemajuan Bangsa
P
Jaminan sosial diharapkan menjadi ujung tombak dalam memerangi kesengsaraan rakyat. Namun, mampukah menjadi titik tolak kemajuan Indonesia?
emerintah tidak lama lagi akan meresmikan program BPJS Ketenagakerjaan yang dulunya bernama Jamsostek. Bersama dengan BPJS Kesehatan, kini pemerintah telah menambah program jaminan pensiun melengkapi program-program yang telah ada sebelumnya, seperti jaminan sosial kecelakaan kerja, jaminan sosial kematian, jaminan sosial hari tua, dan jaminan sosial kesehatan. Penambahan program jaminan sosial ini perlu disambut dengan baik oleh masyarakat, terutama sebagai tenaga kerja. Bagaimana tidak, dengan adanya
program pensiun ini, seluruh tenaga kerja, baik pegawai negeri maupun swasta, akan memperoleh uang bulanan setelah pensiun guna memastikan kehidupan tenaga kerja yang layak. “Pekerja swasta nantinya akan seperti pegawai negeri karena mereka akan memperoleh dana pensiun tiap bulannya,” ujar drg. Endro Sucahyono, M.Kes, Kepala Divisi Pengembangan Jaminan BPJS Ketenagakerjaan. Akan tetapi, program ini tidak boleh membuat masyarakat cepat berpuas diri terhadap kinerja pemerintah. Apabila dibandingkan dengan jaminan sosial di negara-negara Asia Tenggara, Indonesia
masih tertinggal dari Laos, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Di negara tersebut, pemerintah setempat memberikan jaminan sosial bagi mereka yang tidak bekerja. Selain itu, pemerintah setempat juga memberikan jaminan sosial bagi keluarga yang sedang memiliki anakanak. Perbandingan lebih jauh lagi dapat ditemui apabila program jaminan sosial di Indonesia dibandingkan dengan program negara-negara di Asia, seperti Jepang dan Korea, maupun di Eropa. “Jaminan sosial di Indonesia memang masih tertinggal dibandingkan negara-negara seperti di Eropa yang memiliki dua atau tiga program
jaminan sosial lebih banyak,” ujar Endro. Ketertinggalan ini memang perlu dikejar oleh pemerintah. Dengan meningkatkan jumlah jaminan sosial bagi masyarakat, kualitas sumber daya manusia di Indonesia pun akan berangsurangsur meningkat. Peningkatan sumber daya ini tentu menjadi jaminan akan Indonesia yang lebih baik. Namun, langkah yang diambil pemerintah patut diapresiasi sebagai anak tangga menuju puncak kemajuan Indonesia. jimmy