Media
Surat Kabar
Aesculapius PERANGKO BERLANGGANAN KP JAKARTA PUSAT 10000 NO. 3/PRKB/JKP/DIVRE IV/2014
Kedokteran dan Kesehatan Nasional Terbit Sejak 1970
Harga Rp3.000,00
No. 05 06 l XLV XLVIl lNovember-Desember Juli-Agustus 2014 2015
ISSN No. 0216-4966 ISSN No.
Konsultasi
Info Obat
Artikel Bebas
Cerdas Evaluasi Tatalaksana Tuberkulosis Paru
Bedaquiline, Secercah Harapan Baru Untuk Berantas MDR-TB
SIBODEC, Tusuk Gigi Pendeteksi Boraks
halaman 3
halaman 4
halaman 5
Kontak Kami @MedAesculapius @mediaaesculapius beranisehat.com
Dokter Okupasi sebagai Pilar Kesehatan BPJS Ketenagakerjaan Siap atau tidak, 1 Juli 2015 lalu merupakan “garis mati” dari pengoperasian penuh BPJS Ketenagakerjaan. Bagaimanakah masa depan jaminan sosial nasional tersebut?
S
ebagai satu-satunya badan pemerintah di Indonesia yang berhak menyelenggarakan jaminan sosial nasional, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) memiliki lima program yang dijalankan. Badan yang dahulu bernama Jamsostek (jaminan sosial tenaga kerja), kemudian sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Pada pasal 6 ayat 2 UU tersebut tercatat empat program dari BPJS Ketenagakerjaan, yakni jaminan kecelakaaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian, yang ditambah dengan jaminan lainnya, yakni jaminan pensiun. Berbicara mengenai jaminan sosial, lantas terlintas pertanyaan, apakah perbedaan dari BPJS Ketenagakerjaan yang baru dijalankan ini dengan pendahulunya, yakni BPJS Kesehatan? Kepala Divisi Pengembangan Jaminan BPJS Ketenagakerjaan, drg. Endro Sucahyono, M.Kes, menegaskan bahwa BPJS Ketenagakerjaan hanya menanggung kasus yang memiliki hubungan dengan pekerjaan. Salah satu program BPJS, yakni program jaminan kecelakaan kerja, misalnya, bertanggung jawab menjamin kesehatan seorang tenaga kerja apabila terjadi kecelakaan, mulai dari ketika ia berangkat kerja, di tempat kerja, bahkan hingga saat pulang kerja. Di sisi lain, BPJS Kesehatan mencakup jaminan kesehatan penduduk secara umum yang tidak ada hubungannya dengan urusan kerja. Perbedaan lainnya, lanjut Endro, adalah BPJS Ketenagakerjaan tidak menggunakan sistem rujukan. “Kalau kita (BPJS Ketenagakerjaan –red) bebas, karena semua kecelakaan dianggap emergency jadi tidak
pakai jenjang-jenjang, langsung saja,” jelas Endro. Oleh karena cakupannya yang berbeda, peserta akan ditarik iuran kembali untuk keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan, meskipun ia sudah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Akan tetapi, besarnya iuran yang ditarik dari peserta tidaklah sama, yaitu bergantung pada besarnya risiko kesehatan akibat pekerjaan yang dialami oleh pekerja. “Kalau BPJS Ketenagakerjaan dilihat juga dari risiko perusahaan. Kalau makin besar risikonya, iurannya makin besar,” ucap Endro. Kata “jaminan” yang diemban berdampak pada ketuntasan pelayanan
kesehatan yang ditawarkan BPJS Ketenagakerjaan. Berbeda dengan program serupa, BPJS Ketenagakerjaan menjanjikan perawatan bagi peserta sampai tuntas sehingga dapat dikatakan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh BPJS untuk peserta menjadi tidak terbatas. Dengan demikian jaminan ini memastikan tenaga kerja yang mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dapat kembali kerja melalui program Return to Work (RTW). “Kita berharap orang yang kecelakaan kerja untuk kembali kerja,” ungkap analis produk jaminan sosial, dr. Woro Ariyandini, MKM, AAAK. Program rehabilitasi medik tentunya juga menjadi cakupan BPJS Ketenagakerjaan. “Orang yang berhenti bekerja, untuk kerja lagi akan malas dan dia
herlin/MA
membutuhkan semangat untuk kerja lagi. Bahkan, ada penelitian bahwa orang yang berhenti bekerja selama enam bulan itu 90% gagal dalam pekerjaannya ketika ia kembali,” terang Woro. Cara ini diharapkan dapat mengurangi angka pengangguran dan otomatis mengurangi beban negara akibat pengangguran. Dalam melakukan fungsinya, BPJS Ketenagakerjaan setidaknya melibatkan tiga pihak, yakni peserta, dokter BPJS, serta perusahaan. Dokter BPJS pada rumah sakit yang ditunjuk merupakan penentu benar tidaknya suatu kasus dikatakan sebagai kecelakaan kerja. Sementara itu, kembalinya seseorang ke tempat kerja pascapemulihan idealnya ditentukan oleh dokter okupasi. Namun, melihat jumlah dan distribusi dokter okupasi yang hingga kini belum cukup untuk pelaksanaan program berskala nasional, Woro menegaskan, “Seorang peserta BPJS Ketenagakerjaan ditentukan apakah dia bisa kembali kerja tidak harus dokter okupasi, tetapi juga dokter yang merawat, dokter rehab medis, atau dokter ortopedik,” Namun, pernyataan berbeda disampaikan dari sisi dokter okupasi. Dr. dr. Dewi Sumaryati Soemarko, SpOk, perwakilan Perhimpunan Dokter Okupasi Indonesia (Perdoki) di BPJS Ketenagakerjaan, dengan tegas menyatakan bahwa dokter umum tidak berkompetensi untuk menentukan boleh atau tidaknya seseorang untuk kembali bekerja. “Yang kita sangat takutkan adalah kompetensi ini untuk... bersambung ke halaman 7
Perluasan Jaminan Sosial di Indonesia: Anak Tangga Kemajuan Bangsa
P
Jaminan sosial diharapkan menjadi ujung tombak dalam memerangi kesengsaraan rakyat. Namun, mampukah menjadi titik tolak kemajuan Indonesia?
emerintah tidak lama lagi akan meresmikan program BPJS Ketenagakerjaan yang dulunya bernama Jamsostek. Bersama dengan BPJS Kesehatan, kini pemerintah telah menambah program jaminan pensiun melengkapi program-program yang telah ada sebelumnya, seperti jaminan sosial kecelakaan kerja, jaminan sosial kematian, jaminan sosial hari tua, dan jaminan sosial kesehatan. Penambahan program jaminan sosial ini perlu disambut dengan baik oleh masyarakat, terutama sebagai tenaga kerja. Bagaimana tidak, dengan adanya
program pensiun ini, seluruh tenaga kerja, baik pegawai negeri maupun swasta, akan memperoleh uang bulanan setelah pensiun guna memastikan kehidupan tenaga kerja yang layak. “Pekerja swasta nantinya akan seperti pegawai negeri karena mereka akan memperoleh dana pensiun tiap bulannya,” ujar drg. Endro Sucahyono, M.Kes, Kepala Divisi Pengembangan Jaminan BPJS Ketenagakerjaan. Akan tetapi, program ini tidak boleh membuat masyarakat cepat berpuas diri terhadap kinerja pemerintah. Apabila dibandingkan dengan jaminan sosial di negara-negara Asia Tenggara, Indonesia
masih tertinggal dari Laos, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Di negara tersebut, pemerintah setempat memberikan jaminan sosial bagi mereka yang tidak bekerja. Selain itu, pemerintah setempat juga memberikan jaminan sosial bagi keluarga yang sedang memiliki anakanak. Perbandingan lebih jauh lagi dapat ditemui apabila program jaminan sosial di Indonesia dibandingkan dengan program negara-negara di Asia, seperti Jepang dan Korea, maupun di Eropa. “Jaminan sosial di Indonesia memang masih tertinggal dibandingkan negara-negara seperti di Eropa yang memiliki dua atau tiga program
jaminan sosial lebih banyak,” ujar Endro. Ketertinggalan ini memang perlu dikejar oleh pemerintah. Dengan meningkatkan jumlah jaminan sosial bagi masyarakat, kualitas sumber daya manusia di Indonesia pun akan berangsurangsur meningkat. Peningkatan sumber daya ini tentu menjadi jaminan akan Indonesia yang lebih baik. Namun, langkah yang diambil pemerintah patut diapresiasi sebagai anak tangga menuju puncak kemajuan Indonesia. jimmy
22
KLINIK
JULI-AGUSTUS 2015
DARI KAMI
Patria Wardana Yuswar Pemimpin Redaksi
MA FOKUS
Jaminan Kecelakaan Kerja, Sungguhkah Benar-benar Siap? Diwujudkan pertama kali oleh Otto von Bismarck, politikus Prussia di tahun 1883 konsep social security langsung membawa banyak perdebatan. Cemooh bahwa sistem ini merupakan jalan tengah perseteruan kaum penganut sosialisme dan kapitalisme belum pudar sampai sekarang. Namun toh kenyataannya negara-negara adidaya, seperti Amerika Serikat dan Inggris hingga kini masih menjalankan program jaminan. Sekarang, Indonesia terengah-engah menyusul. Masih hangat terdengar carut-karut berita yang mempersoalkan terseok-seoknya BPJS Kesehatan. Hangat karena “api” permasalahan ketidakpuasan pasien pada pelayanan rumah sakit, sementara rumah sakit mati-matian menghindar dari kesekaratan karena dana BPJS Kesehatan yang kadang turun, kadang mampet. Kini, BPJS Ketenagakerjaan berusaha menyusul di Bulan Juli 2015. Akankah mengulangi kesalahan yang sama dengan BPJS Kesehatan? Perlu diingat bahwa BPJS Ketenagakerjaan akan melibatkan tenaga kesehatan dalam pelaksanaannya. Program Return to Work misalnya, diputuskan oleh dokter. Walaupun masih belum jelas sampai sekarang dokter okupasi saja yang boleh menentukan atau dokter praktik umum juga diperbolehkan, mengingat dokter okupasi tidak tersebar merata di seluruh Nusantara. Lalu, kalau sehari-hari kita melenggangkan kaki di sekitar kawasan pembangunan yang sarat akan risiko kecelakaan kerja, kita akan melihat pemandangan yang khas. Pekerja yang bersentuhan dengan zat kimia tanpa sarung tangan, mengelas tanpa kacamata pelindung, berjalanjalan tanpa helm di kepala, mengoperasikan mesin yang meraungraung tanpa peredam bising di telinga, dan masih banyak lagi. Entah menggunakan dabus atau bermodal doa semata, namun jelas risiko kecelakaan kerjanya secara gamblang menjadi berlipat ganda. Kalau pekerjaan sehari-hari para pekerja tetap berjalan demikian, bisa-bisa jebol kas BPJS Ketenagakerjaan. Akan tetapi, mungkin ini sudah dipikirkan oleh para stakeholder yang berpengalaman. Mungkin. Semoga saja demikian.
AESCULAPIUS
MA INFO
Waspada Beban Ganda Koinfeksi TB-HIV
Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera bagi kita semua.
Di edisi pertengahan tahun ini, kami memperkenalkan “adik” BPJS Kesehatan yang telah dilaksanakan lebih dahulu, yaitu BPJS Ketenagakerjaan. Serupa namun tak sama, BPJS Ketenagakerjaan turut memberikan layanan jaminan sosial kepada masyarakat tanah air, tetapi khusus tenaga kerja saja. Dokter pun dilibatkan kembali dalam jaminan nasional ini. Pertanyaannya, hanya dokter spesialis okupasi sajakah atau dokter “umum” juga bisa berpartisipasi? Topik utama edisi Juli-Agustus ini akan mengulas jawabannya. Tatalaksana TB paru seringkali dihadapkan pada kendala tahap evaluasinya. Pemeriksaan yang harus dilakukan jika pengobatan gagal dan pengambilan langkah jika menemui efek samping hepatitis imbas obat, lengkap dibahas di rubrik Konsultasi. Bagaimana menghadapi MDR TB? Ternyata, kini sudah hadir obat baru untuk melawan TB kebal tersebut, yaitu bedaquiline. Apakah obat ini membuka harapan baru untuk melawan kuman TB? Rubrik Info Obat akan membantu menuntaskan keingintahuan Anda tersebut. Di rubrik Artikel Bebas, SIBODEC, hasil karya kebanggan tanah air disajikan. Pendeteksi boraks ultracepat, mudah, dan murah ini ternyata buah keringat anak SMA nusantara. Lantas sudah sejauh manakah perkembangan “alat” ini? Tahukah Anda penyakit paru masih menjadi masalah serius di Indonesia? Tertarik mendalami ilmu pulmonologi untuk mengentaskan penyakit paru dari Indonesia? Rubrik Info Spesialistik kali ini menghadirkan sekilas pandang pendaftaran spesialisasi pulmonologi FKUI. Akhir kata, kami segenap keluarga besar Media Aesculapius mengucapkan selamat merayakan hari raya Idul Fitri 1436 Hijriah, mohon maaf lahir dan batin! Wassalamualaikum wr wb,
MEDIA
Setelah berhasil mencapai target MDGs dalam pengendalian TB, kini Indonesia harus menghadapi peningkatan koinfeksi TB-HIV. Bagaimana diagnosis dan tatalaksana TB-HIV yang tepat?
I
nfeksi HIV meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. TB laten dapat dengan mudah berkembang menjadi TB aktif pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien koinfeksi TB-HIV di dunia mencapai empat belas juta orang, dengan tiga juta di antaranya dijumpai di Asia Tenggara. Di Indonesia, jumlah kasus AIDS berjumlah 23.131 kasus. Infeksi penyerta terbanyak adalah TB yang mencapai hampir 50% dari total kasus. Oleh karena tingginya epidemiologi koinfeksi ini, dibutuhkan diagnosis yang tepat dan tatalaksana yang sesuai. Penegakkan diagnosis TB didasarkan pada pemeriksaan mikroskopik dahak. Pada ODHA dengan TB, seringkali hasil pemeriksaan basil tahan asam (BTA) negatif. Selain itu, gejala klinis TB farah/MA paru pada ODHA juga tidak spesifik, seperti demam dan penurunan berat badan yang signifikan, diare terus-menerus, pembesaran kelenjar limfe leher, sesak napas, dan lain-lain. Oleh karena itu, diagnosis infeksi TB pada ODHA sulit ditegakkan. Penegakan diagnosis TB pada ODHA dilakukan sesuai rekomendasi Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Koinfeksi TB-HIV tahun 2013. Dalam juknis ini, pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis sudah tidak direkomendasi lagi. Penentuan diagnosis lebih ditekankan pada pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan biakan dahak. Pada pasien rawat jalan, pemeriksaan mikroskopik dahak harus dikerjakan pada kunjungan pertama sehingga pengobatan TB dapat mulai diberikan bila hasilnya positif. Bila negatif, pada kunjungan berikutnya perlu dilakukan pemeriksaan lain, seperti foto toraks, pengulangan mikroskopik dahak, dan penentuan stadium klinis HIV. Bila hasil pemeriksaan menunjukan positif TB, obat antituberkulosis (OAT) segera diberikan. Pada pasien dengan hasil yang tidak mendukung TB, perlu diberikan antibiotik spektrum luas atau pengobatan pneumonia pneumokistis (PCP). Jika respons baik, lanjutkan pengobatan dan dianggap bukan kasus TB. Apabila respons kurang baik, perlu
MEDIA AESCULAPIUS
dilakukan pemeriksaan ulang untuk TB. Sebaliknya, pasien TB juga perlu diperiksa kemungkinan adanya koinfeksi HIV dengan memerhatikan riwayat kesehatan, gejala, dan tanda koinfeksi HIV. Gejala yang mungkin terjadi adalah penurunan berat badan, diare, sakit tenggorokan, sensasi terbakar pada kaki. Tanda yang diperiksa antara lain bekas luka herpes zoster, pruritus, sarkoma Kaposi, dan borok pada alat kelamin. Luka yang banyak di daerah mulut juga meningkatkan dugaan terdapatnya infeksi HIV. Pada pasien TB dengan kecurigaan koinfeksi HIV perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap, seperti adanya anemia, leukopenia, dan trombositopenia yang tidak diketahui penyebabnya. Pasien TB-HIV yang dalam pengobatan antiretroviral (ARV) perlu dirujuk pada fasilitas yang dapat memberikan layanan ARV untuk pengobatan koinfeksi TB-HIV. Pada pasien TB-HIV yang belum mendapat pengobatan ARV, berikan OAT dan rujuk ke RS yang dapat memberikan layanan ARV. Pemberian OAT menjadi prioritas dan terapi ARV baru diberikan dua hingga delapan minggu kemudian. Perlu dijelaskan kepada pasien mengenai kemungkinan munculnya ‘sindrom pulih imun’ pascapemberian ARV. Pada keadaan ini, sistem imun pasien meningkat sehingga terjadi inflamasi yang bermanifestasi sebagai perburukan gejala. Selain itu, diperlukan pemantauan rutin terhadap kemajuan pengobatan TB-HIV, dengan mengamati keadaan klinis serta hasil pemeriksaan penunjang. Pemantauan kadar sel CD4+ secara teratur sangat penting untuk mengetahui keadaan imunologis pasien. Penemuan dan penanganan pasien TB secara bermakna dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB. Hal ini juga merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Oleh karena itu, tenaga kesehatan di tingkat manapun diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup akan cara diagnosis dan tatalaksana yang tepat, termasuk pasien dengan koinfeksi TB-HIV. Dengan demikian, diharapkan angka kejadian koinfeksi TB-HIV dapat diturunkan. puspalydia
Pelindung: Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis M. Met. (Rektor UI), Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM(K) (Dekan FKUI) Penasihat: Prof. Dr. Bambang Wibawarta, S.S., M.A. (Direktur Kemahasiswaan UI), dr. Ahmad Fuady, MSc (Koordinator Kemahasiswaan FKUI) Staf Ahli: Seluruh Kepala Bagian FKUI/RSUPNCM, Prof. Dr. Ma’rifin Husein (CHS), dr. Muki Reksoprodjo, dr. Boen Setiawan, dr. Sudarso, dr. E. Oswari, DPH, Prof. Dr. Arjatmo Tjokronegoro, PhD, dr. Hapsara, DPH (Kemenkes RI), dr. Fahmi Alatas, Prof. dr. Marwali Harahap, SpKK, Prof. Dr. Umar Fahmi Achmadi, MPH Pembantu Khusus: Seluruh Alumni Aesculapius dan Media Aesculapius
Pemimpin Umum: Indra Wicaksono. PSDM: Berli Kusuma, Dwitya Wilasarti, Annisaa Yuneva, Ferry Liwang, Laksmi Bestari, Aditya Indra Pratama. Pemimpin Produksi: Zharifah Fauziyyah. Wakil Pemimpin Produksi: Kartika Laksmi, Dhiya Farah Tata Letak dan Cetak: Vanya Utami Tedhy. Ilustrasi dan Fotografi: Aditya Indra Pratama. Website: Selvi Nafisa Shahab, Andrew John WS. Staf Produksi: Hafizh Ahmad Boenjamin, Stephanie Wijaya, Inda Tasha Bastaman, Andreas Michael S, Muhammad Reza Prabowo, Edo Rezaprasga, Meivita Sarah Devianti, Annisaa Yuneva, Arief Dimas Dwiputro, Karin Nadia Utami, Eiko Bulan Matiur, Rosyid Mawardi, Selvi Nafisa Shahab, Andrew John, Aditya Indra, Nobian Andre, Vanya Utami Tedhy, Zharifah Fauziyyah, Dhiya Farah, Kartika Laksmi, Herlien Widjaja, Gabriella Juli Lonardy, Anyta Pinasthika, Robby Hertanto, Dinarda Ulf Nadobudskaya, Fatira Ratri Audita, Dinda Nisapratama. Pemimpin Redaksi: Patria Wardana Yuswar. Wakil Pemimpin Redaksi: Sukma Susilawati. Redaktur Senior: Amajida Fadia Ratnasari, Paulina Livia Tandijono Ade Irma Malyana Artha, Zatuilla Zahra Meutia, Herdanti Rahma Putri, Halida Umi Balkis, Nadim Marchian Tedyanto, Tiara Kemala Sari. Redaktur Desk Headline: Ferry Liwang. Redaktur Desk Klinik: Edwin Wijaya. Redaktur Desk Ilmiah Populer: Andy William. Redaktur Desk Opini & Humaniora: Elva Kumalasari. Redaktur Desk Liputan: Nadia Zahratus Sholihat. Reporter Senior: Arief Kurniawan, Jusica Putri, Nabila Aljufri, Alima Mawar Tasnima, Berli Kusuma, Juniarto Jaya Pangestu. Reporter Senior: Fidinny Hamid, Rusfanisa, Yasmina Zahra Syadza. Reporter: Hiradipta Ardining, Irma Annisa Priyadi, JIhaan Hafirain, Jimmy Oi Santoso, Raditya Dewangga, Rifka Fadhilah, Shierly Novitawati, Tommy Toar Huberto. Pemimpin Direksi: Hardya Gustada. Finansial: Wilton Wylie Iskandar, Diadra Annisa Setio Utami, Damar Upahita, Indra Wicaksono, Fatimah Sania, Fahmi Kurniawan, Nurul Istianah, Faya Nuralda Sitompul, Jevi Septyani Latief, Heriyanti Khiputra, Tania Graciana. Sirkulasi dan Promosi: Catharina Nenobais, Anita Tiffany, Teguh Hopkop, Febrine Rahmalia, Ryan Reinardi Wijaya, Dyah Ayu, Novtasari Suryaning Jati, Rahma Maulidina Sari, Aisyha Aminy Maulidina. Buku: Indah Lestari, Fildzah Hilyati, Elvina J. Yunasan, Apri Haryono Hafid, Fadhli Waznan, Tiroy Junita. Alamat : Media Aesculapius BEM IKM FKUI. Gedung C lantai 4, Rumpun Ilmu Kesehatan, Kampus UI Depok. E-mail: redaksima@yahoo.co.id, Rek. 6691592 BNI Capem UI Depok website: beranisehat.com Alamat Redaksi/Sirkulasi : Media Aesculapius PO BOX 4201, Jakarta 10042, Harga Langganan: Rp 18.000,00 per enam edisi gratis satu edisi (untuk seluruh wilayah Indonesia, ditambah biaya kirim Rp. 5.000,00 untuk luar Jawa), foto kopi bukti pembayaran wesel pos atau foto kopi bukti transfer via BNI dapat dikirim ke alamat sirkulasi. MA menerima kiriman naskah dari pembaca untuk rubrik MA Klinik (khusus untuk dokter dan staf pengajar), Asuhan Keperawatan (khusus untuk perawat dan mahasiswa keperawatan) Sepuki, Suma, Suduk, Kolum, Arbeb, Kesmas, Seremonia, dan Konsultasi (berupa pertanyaan). Kirimkan email permohonan penulisan ke redaksima@yahoo.co.id dan kami akan mengirimkan spesifikasi rubrik yang Anda minati.
Kirimkan kritik dan saran Anda:
redaksima@yahoo.co.id
Website Media Aesculapius
beranisehat.com
Dapatkan info terbaru kami: @SKMAesculapius
MEDIA
KLINIK
AESCULAPIUS
JULI
JULI-AGUSTUS 2015
3
KONSULTASI
Cerdas Evaluasi Tatalaksana Tuberkulosis Paru
Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-4 di dunia. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,7% dari total jumlah pasien TB dunia. Setiap tahun ada 450.000 kasus baru dan 65.000 kematian. Gejala umum TB paru adalah batuk lebih dari dua minggu disertai gejala pernapasan, seperti sesak napas, nyeri dada, batuk darah. Selain itu, dapat ditemukan gejala tambahan seperti nafsu makan berkurang, berat badan menurun, keringat malam dan mudah lelah. Diagnosis Pada pasien terduga TB harus dilakukan pemeriksaan bakteriologis untuk mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis BTA (Basil Tahan Asam) dapat dilakukan dengan mengambil bahan dahak sewaktu–pagi–sewaktu. Pemeriksaan biakan dilakukan bila fasilitas memadai. Saat ini juga tersedia di fasilitas tertentu pemeriksaan metode diagnostik cepat yang
telah mendapat rekomendasi WHO, seperti pemeriksaan Xpert MTB/RIF. Definisi kasus TB menurut WHO tahun 2013 adalah: · Kasus Terduga TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda yang mengarah pada TB. · Kasus TB dengan konfirmasi bakteriologis adalah kasus TB dengan BTA positif, biakan positif, atau hasil pemeriksaan Xpert positif. · Kasus TB diagnosis klinis adalah kasus TB yang tidak dapat memenuhi kriteria konfirmasi bakteriologis, tetapi ditegakkan diagnosis TB aktif oleh klinisi atau praktisi medis lainnya dan memutuskan untuk memberikan OAT secara lengkap. Terapi Pengobatan TB terdiri atas fase intensif dan fase lanjutan. WHO merekomendasikan paduan standar OAT untuk kasus baru berupa 2RHZE/4RH. Paduan lainnya adalah 2RHZE/4R3H3 (obat dikonsumsi setiap hari pada fase intensif dan tiga kali seminggu pada fase lanjutan). Pasien yang mengonsumsi OAT harus disertai pengawasan ketat secara langsung untuk setiap dosis obat. Program TB yang diselenggarakan pemerintah Indonesia anyta/MA
Pertanyaan : 1. Jika pasien diketahui DILI karena pengobatan dengan obat antituberkulosis (OAT), lalu dilakukan monitoring terhadap fungsi hatinya. Jika fungsi hati membaik dan obat OAT kembali diberikan, bagaimana cara mengevaluasi keberhasilan penggunaan OAT pada pasien, khususnya di daerah perifer? 2. Bagaimana cara mendeteksi TB-MDR atau TB gagal pengobatan pada pasien di daerah perifer yang tidak memiliki pemeriksaan Xpert MTB/RIF? dr. MR di Papua
Narasumber: DR. dr. Erlina Burhan MSc. SpP (K) Kepala Divisi Infeksi Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI/RS Persahabatan
menggunakan OAT dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap (KDT). Paduan obat yang digunakan adalah 2RHZE/4R3H3. Untuk kondisi khusus, seperti ada efek samping atau komorbid, diberikan OAT lepasan, bukan KDT. Pada kondisi-kondisi tersebut diperlukan penyesuaian paduan atau dosis obat. Evaluasi Pengobatan Semua pasien harus dievaluasi teratur untuk menilai respons terapi. Biasanya setelah dua bulan pemberian OAT, kondisi klinis pasien akan membaik dan berat badan akan meningkat. Penilaian objektif terbaik untuk mengevaluasi respons pengobatan adalah memeriksa apusan dahak BTA. Pemeriksaan BTA dilakukan pada akhir fase intensif, bulan ke-5, dan akhir pengobatan. BTA positif pada akhir fase intensif mengindikasikan beberapa hal, di antaranya pasien tidak patuh, dosis dan paduan OAT yang kurang sesuai, pasien memiliki M. tuberculosis resisten obat. Bila BTA
masih positif pada bulan ke-5 atau akhir pengobatan, berarti pengobatan gagal. Pada kasus ini, harus dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi terhadap OAT lini satu. Bila tidak ada fasilitas, lakukan rujukan ke laboratorium di tingkat provinsi atau regional. Biaya program TB resisten obat saat ini ditanggung oleh pemerintah. Bila dalam masa pengobatan terjadi efek samping, misalnya hepatitis imbas obat, lakukan penatalaksanaan untuk mengembalikan nilai enzim hati (SGOT dan SGPT) menjadi normal. Hepatitis imbas obat dapat disebabkan oleh isoniazid, rifampisin atau pirazinamid. Keadaan peningkatan enzim hati ringan (kurang dari lima kali nilai normal tanpa gejala klinis) bukan indikasi penghentian OAT. Bila timbul gejala hepatomegali, ikterus, atau keluhan muntah, harus segera dilakukan pengukuran kadar enzim hati dan penghentian OAT. Penapisan penyebab hepatitis lain harus dilakukan. Bila enzim hati sudah normal, dilakukan rechallenge terhadap OAT satu per satu dengan dosis rendah sembari tetap memonitor kadar enzim hati sampai kombinasi optimal dapat tercapai. Pada kondisi ini, KDT tidak dapat diberikan. Konsultasi ke dokter spesialis diperlukan untuk tata laksana lebih lanjut. hiradipta Kirimkan pertanyaan Anda seputar medis ke redaksima@yahoo.co.id. Pertanyaan Anda akan dijawab oleh narasumber spesialis terpercaya.
TIPS DAN TRIK
Torakosentesis Tangani Efusi Pleura Selamatkan paru yang “tenggelam” dengan evakuasi cairan pleura.
S
ecara anatomis, paru-paru dilindungi oleh selaput pleura yang terdiri dari pleura parietalis dan pleura viseralis. Di antara keduanya terdapat cairan yang berperan untuk melindungi paru-paru dari gesekan dan benturan. Apabila jumlah cairan tersebut meluap melebihi batas normal, paru-paru menjadi sulit mengembang dan pasien akan kesulitan bernapas. Peningkatan volume cairan dalam rongga pleura ini disebut dengan efusi pleura. Penanganan efusi pleura dilakukan dengan mengeluarkan kelebihan cairan melalui proses torakosentesis. Selain untuk mengurangi jumlah cairan dan mengatasi sesak yang dialami pasien, prosedur ini juga bersifat diagnostik untuk mengetahui etiologi efusi pleura. Jika cairan berupa transudat, berarti terjadi penurunan tekanan osmotik plasma. Keadaan ini kerap ditemui pada gagal jantung, sirosis hati, dan sindrom nefrotik. Sementara itu, efusi pleura akibat infeksi dan keganasan memiliki karakteristik cairan berupa eksudat. Belum diketahui secara pasti keamanan prosedur torakosentesis pada pasien koagulopati, trombositopenia, dan gangguan pendarahan lainnya. Apabila terdapat infeksi dan luka pada kulit, serta pasien tidak kooperatif selama prosedur, maka tindakan torakosentesis tidak dapat dilaksanakan. Peralatan yang dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan torakosentesis, antara lain povidon iodin, lidokain 1%,
robby/MA
sarung tangan steril, kateter torakosentesis, spuit 5–10 mL, spuit 35–60 mL, kontainer cairan pleura, kasa steril, stopcock, highpressure tubing, tabung spesimen, serta kain perban. Jika tidak ada kontraindikasi dan peralatan telah tersedia, prosedur siap dilakukan. Jarum torakosentesis tidak oleh dimasukkan di bawah tulang iga ke-9 untuk menghindari probabilitas terjadinya luka pada organ-organ intraabdominal dan retroperitoneal. Berkas neurovaskular yang terletak di sepanjang permukaan inferior tulang iga harus diperhatikan supaya tidak
terluka. Lokasi prosedur yang disarankan adalah pada triangle of safety yang terletak mulai dari basis aksilla hingga sela iga ke-5 dan dibatasi oleh sisi lateral dari otot pektoralis mayor dan latisimus dorsi. Prosedur dimulai dengan penjelasan kepada pasien mengenai torakosentesis dan komplikasinya yang bisa mengakibatkan pneumotoraks, hemotoraks, empiema, pendarahan, dan infeksi. Jika memungkinkan, pasien diposisikan di tepi tempat tidur dengan tangan diletakkan pada bedside table. Kemudian, dokter melakukan perkusi dada belakang untuk menilai perubahan suara dari redup ke timpani. Sebelum melakukan injeksi jarum torakosentesis pada rongga pleura, dokter memberikan obat anestesi pada regio yang akan ditusuk dengan jarum ukuran sekitar 25. Selanjutnya, buat portal masuk untuk kateter menggunakan jarum ukuran 16 atau 18. Periksa spuit untuk memastikan cairan pleura memasuki spuit atau tidak. Tampung cairan pleura ke dalam spuit ukuran 35–60 mL dan masukkan cairan ke dalam kontainer penampung. Cairan pleura tersebut bisa dipakai untuk pemeriksaan laboratorium. Sisa cairan pleura bisa ditampung dalam wadah seperti botol. Prosedur dihentikan bila tidak ada lagi cairan yang bisa dikeluarkan atau pasien mengalami gejala seperti batuk. Rekomendasi jumlah maksimal cairan yang boleh dikeluarkan adalah 1,5 liter. irmapriyadi
PENAWARAN JASA Media Aesculapius selalu setia membantu Anda dalam hal jurnalistik dan sastra. Kami menyediakan jasa: 1.
2.
Terjemahan Kami menyediakan jasa terjemahan Indonesia-Inggris/ Inggris-Indonesia untuk jurnal dan textbook. Harga disesuaikan dengan materi dan waktu pengerjaan. Info lebih lanjut, hubungi: Faya Nuralda (087821989049)
Media partner
Ingin acara Anda terpublikasi secara luas? Kami menyediakan jasa media partner untuk acara Anda. Info lebih lanjut, hubungi:
Rahma Maulidina (081567850057) 3.
Ingin punya KSK IVmu sendiri? Dapatkan KSK IV di toko buku kesayangan Anda! Harga KSK IV (2 jilid): Rp 240.000,00* *harga tergantung masing-masing toko buku
Info lebih lanjut, hubungi: Indah Lestari (081807485400)
42
JULI-AGUSTUS 2015
Ilmiah Populer
MEDIA
AESCULAPIUS
KESMAS
Pneumonia: Masih Terlupakan? Upaya proteksi, pencegahan, dan tata laksana pneumonia pada balita adalah harga mati.
A
Upaya Eliminasi Pneumonia Dalam rangka mengeliminasi pneumonia, WHO dan UNICEF sebenarnya telah merumuskan Global Action Plan for Pneumonia and Diarrhoea (GAPPD) dengan target mengurangi 75% insidensi dan mortalitas akibat pneumonia dan diare berat pada balita dari tingkat insidensi pada tahun 2010. Rumusan ini menitikberatkan pada upaya proteksi, pencegahan, dan tata laksana, seperti pemberian ASI, gizi cukup, pemberian vaksin (H. influenzae tipe B, Rotavirus, dan Pneumococcus), hingga edukasi mengenai pentingnya perilaku /M
Potret Pneumonia pada Balita di Indonesia Indonesia menempati peringkat ke-9 sebagai negara dengan jumlah kematian balita tertinggi akibat pneumonia dan diare dengan 29.000 kematian setiap tahun. Berdasarkan data UNICEF tahun 2013, diperkirakan 14% dari total kematian balita Indonesia disebabkan oleh pneumonia, diikuti oleh diare (5%) dan malaria (1%). Menurut hasil Riskesdas tahun 2013, terdapat kecenderungan peningkatan period prevalence pneumonia pada semua umur, dari 2,1% (2007) menjadi 2,7% (2013). Prevalensi tertinggi terjadi pada umur 1–4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45–54 tahun dan seterusnya. Lima provinsi dengan
insiden pneumonia balita tertinggi adalah daerah Nusa Tenggara Timur, Aceh, Bangka Belitung, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Tengah.
ira
tidak mendapat ASI dan imunisasi lengkap, serta kondisi padat penduduk. Tidak heran, di negara maju, pneumonia tidak lagi menjadi momok. Insidensi pneumonia pada balita di negara maju adalah 2–4/100 anak/tahun, sementara insidensi di negara berkembang adalah 10–20 kasus/100 anak/tahun, belum lagi angka kematian akibat pnemonia yang mencapai angka jutaan per tahunnya.
fat
T
he forgotten killer of children— begitulah julukan yang sering disandingkan dengan pneumonia, salah satu penyakit infeksi saluran napas yang mematikan. Satu dari lima kematian pada balita disebabkan oleh pneumonia dengan estimasi lebih dari dua juta balita meninggal per tahun akibat pneumonia. Tak ayal, “pandemik yang terlupakan” ini pun dinyatakan sebagai pembunuh utama balita di dunia. Pneumonia adalah infeksi akut pada parenkim paru yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, maupun jamur. Patogen yang terinhalasi akan masuk ke saluran napas, menuju alveolus, kemudian menyebabkan peradangan. Mikroorganisme penyebab pneumonia tersering untuk semua kelompok umur adalah S. pneumonia. Namun demikian, pada balita, pneumonia lebih sering disebabkan oleh virus, seperti Respiratory Syncitial Virus (RSV) dan influenza virus. Balita dan orang lanjut usia (≥ 65 tahun) merupakan kelompok yang paling rentan mengalami pneumonia. Risiko meningkat apabila terdapat defek anatomi bawaan, malnutrisi, riwayat berat badan lahir rendah,
berobat ke rumah sakit jika terdapat gejala pada anak. Sementara itu, pemerintah sendiri telah mencanangkan Program Pengendalian ISPA (P2 ISPA) yang bertujuan menurunkan angka kesakitan dan kematian karena pneumonia di Indonesia. Fokus utama dalam program ini adalah penemuan dan tata laksana kasus pneumonia. Tata laksana standar pneumonia yang sedini mungkin diharapkan mampu mencegah kematian balita hingga sebesar 60–80%. jihaan
INFO OBAT
Bedaquiline, Secercah Harapan Baru Untuk Berantas MDR-TB Bagaikan angin segar di tengah riuhnya kasus MDR-TB yang tak kunjung pudar, Bedaquiline hadir dengan cara kerja yang belum pernah ada sebelumnya.
S
menyebabkan kematian pada bakteri. Obat ini tidak mempengaruhi kerja ATP-sintase selain milik M. tuberculosis. Sediaan Bedaquiline tersedia dalam bentuk tablet 100 mg dan bersifat immediaterelease. Bedaquiline diabsorpsi dua kali lebih baik jika diadministrasikan setelah makan makanan dengan kandungan lemak yang tinggi. Waktu paruh bedaquiline adalah 24-30 jam, dan memiliki ikatan protein yang tinggi (>99%) di dalam plasma tubuh manusia. Volume distribusi
aditya/MA
udah bukan menjadi rahasia lagi bahwa MDR-TB menjadi salah satu momok kesehatan terbesar di berbagai negara, tak terkecuali di Indonesia. MDRTB didefinisikan sebagai infeksi strain Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap setidaknya dua obat TB lini pertama, yakni isoniazid dan rifampin. MDR-TB dapat disembuhkan namun membutuhkan pengobatan yang ekstensif (hingga 2 tahun). Empat puluh tahun sudah berlalu tanpa terdengar berita adanya terobosan baru untuk mengobati MDR-TB. Akhirnya pada tanggal 28 Desember 2012, FDA menyetujui penggunaan bedaquiline, yang belum pernah digunakan pada regimen obat anti-TB sebelumnya, untuk mengobati MDR-TB. Memiliki aktivitas antimikobakterial yang spesifik dan unik, Bedaquiline adalah obat pertama dan satusatunya yang diindikasikan secara spesifik untuk mengobati MDR-TB. Bedaquiline termasuk di dalam kelas baru agen antimikrobial yakni diarylquinolines. Obat dengan nama dagang Sirturo ini memiliki kemampuan untuk menginhibisi pompa proton pada ATP-sintase mikobakterial. ATP-sintase adalah enzim yang berperan penting dalam sintesis ATP bakteri M. tuberculosis. Ikatan antara bedaquiline dengan subunit-c ATP-sintase mikobakterial menyebabkan terhambatnya sintesis ATP, yang pada akhirnya
bedaquiline diperkirakan sebesar 164 L. Setelah bekerja, bedaquiline akan dimetabolisme oleh enzim CYP3A4 didalam liver dan diekskresikan sebagian besar melalui feses. Kerja bedaquiline bersifat time-
dependent. Pada hari kedua hingga keempat terapi, belum ditemukan adanya aktivitas bakterisidal. Aktivitas bakterisidal baru terlihat pada hari keempat hingga ketujuh, namun penurunan jumlah koloni yang terjadi hanya sedikit. Aktivitas bakterisidal bedaquiline meningkat dalam waktu satu hingga empat minggu. Aktivitas bakterisidal bedaquiline terhadap bakteri yang dorman inilah yang menyebabkan durasi terapi MDRTB dapat berkurang. Dosis bedaquiline yang direkomendasikan untuk pengobatan MDR-TB pada pasien dewasa (>18 tahun) adalah 400 mg secara oral, satu kali sehari untuk 2 minggu pertama dan 200 mg 3 kali seminggu untuk selanjutnya. Total lama pengobatan menggunakan bedaquiline adalah 6 bulan, yang jauh lebih singkat dibandingkan dengan pengobatan menggunakan regimen OAT MDRTB standar saat ini yakni selama 2 tahun. Pemberian bedaquiline harus dikombinasikan dengan setidaknya 3 obat anti TB yang masih bersifat sensitif terhadap pasien tersebut.1 Hingga saat ini, belum terdapat data yang adekuat mengenai keamanan dan efikasi bedaquiline pada populasi pediatri dan geriatri. Penggunaan bedaquiline untuk ibu hamil hanya dilakukan jika indikasi pemberian yang jelas.
Disamping berbagai keunggulan yang dimiliki bedaquiline, obat ini memiliki beberapa efek samping yang harus diperhatikan. Sama seperti obat TB lini kedua, bedaquiline memiliki efek samping berupa anoreksia, arthalgia, nyeri dada, sakit kepala, hemoptisis, peningkatan amilase, mual, dan ruam kulit. Tidak ada kontraindikasi pemberian bedaquiline, namun obat ini diasosiasikan dengan peningkatan risiko mortalitas yang tidak bisa dijelaskan, sehingga hanya boleh digunakan jika sudah tidak ada regimen lain yang bisa diberikan. Bedaquiline juga diasosiasikan dengan peningkatan interval QT, sehingga pasien harus dimonitor menggunakan EKG sebelum pengobatan dan setidaknya pada waktu 2, 12, dan 24 minggu setelah memulai pengobatan. Bedaquiline harus dihentikan jika terjadi arritmia ventrikular yang signifikan. Salah satu kekurangan dari pengobatan ini adalah biayanya mahal, yakni $900 untuk pengobatan selama 24 minggu atau sekitar 12 juta rupiah. Disamping itu, peredaran obat yang menjanjikan untuk memberantas MDRTB ini baru terbatas pada beberapa negara di Amerika dan Eropa, belum tersedia di Indonesia. hiradipta Nama generik Nama dagang Indikasi Kontraindikasi Cara pemberian Harga
: Bedaquiline : Sirturo : MDR-TB :: Topikal : Rp 12.000.000,00 untuk 24 minggu pengobatan
MEDIA
Ilmiah Populer
AESCULAPIUS
JULI
5
EBM
ARTIKEL BEBAS
SIBODEC, Tusuk Gigi Pendeteksi Boraks
S
JULI-AGUSTUS 2015
Hanya dalam lima detik sudah dapat mendeteksi kandungan boraks dalam makanan!
iapa sangka, dua peneliti muda asal Indonesia berhasil menyabet medali emas dalam ajang International Exhibition for Young Inventors (IEYI) yang berlangsung tanggal 30 Oktober-– 1 November 2014 lalu di Jakarta. IEYI merupakan lomba berskala internasional yang mengadu karya-karya inovatif para peneliti muda di bidang sains dan teknologi . Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berlaku sebagai penyelenggara IEYI ke-10 yang diadakan di Indonesia tersebut. Dua peneliti muda yang telah sukses mengalahkan tiga ratus peserta dari 11sebelas negara, termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, Jepang, Taiwan, Hongkong, Filipina, India, Nigeria, Mesir, dan Iran, itu adalah Dayu Laras Wening dan Luthfia Adila. Siswi asal SMA Negeri 3 Semarang sekitarini tidak menyangka bahwa karya mereka dapat bersaing hingga memperoleh medali emas untuki bidang Food and Agriculture. Keduanya mengharumkan nama bangsa melalui temuan yang diberi nama SIBODEC (Stick of Borax Detector). Temuan dua siswi ini sebelumnya juga meraih medali perunggu dalam ajang National Young Innovator Award (NYIA) tahun 2013. SIBODEC merupakan perangkat sederhana berupa tusuk gigi yang dapat mendeteksi boraks dalam makanan hanya dalam waktu sekitar lima detik. Analisis kandungan boraks dalam makanan dilakukan dengan menusukkan tusuk gigi tersebut ke dalam makanan. Apabila makanan tersebut mengandung boraks, dapat terlihat perubahan warna menjadi warna merah pada alat tersebut. Keduanya mengakumendapat mendapat inspirasi dari maraknya isu daging yang dicampur boraks. untuk Boraks, yang sangattlah berbahaya bagi kesehatan, merupakan karena bersifat racun yangdan
dapat menyebabkan kanker hati pada pada konsumsi jangka panjang. Ironisnya, bahan ini kerap digunakan para pedagang makanan untuk mengawetkan dan meningkatkan tekstur makanan seperti mie, bakso, lontong, dan tahu agar lebih kenyal dan tahan lama. Selama ini, hasil analisis deteksi boraks dalam makanan baru dapat diperoleh dalam beberapa jam hingga hari yang tentunya tidak praktis. Tak ayal, Dayu dan Luthfia pun tergerak untuk menciptakan lahalat deteksi boraks yang mudah dibawa, mudah digunakan dinda/MA oleh siapa saja dan di mana saja, serta praktis dan murah karena tidak perlu dibawa ke laboratorium untuk untuk mengetahuidiketahui hasilnya. Tujuannya sederhana, yakni ingin membantu masyarakat agar dapat mengetahui makanan mana yang telah dicampur boraks dengan mudah. SIBODEC terbukti dapat mendeteksi kandungan boraks dengan cepat. Walaupun belum dapat mengetahui persentase kandungan boraks, Wening memastikan bahwa boraks dalam jumlah sedikit saja sudah dapat dideteksi oleh SIBODEC. S Penggodokan ide SIBODEC dimulai sejak Wening dan Adila duduk di bangku kelas X. Pada tahun 2013, mereka kemudian menemukan racikan bahan herbal SIBODEC. Pembuatan SIBODEC ini cukup mudah, yaitu cukup merendam tusuk gigi dalam racikan bahan herbal yang salah satunya berasal dari kunyit, kemudian dikeringkan, dan alat pun sudah siap dipakai. Di bawah bimbingan
guru sekolah mereka, Agus P, Wening dan Adila menyempurnakan perangkat ini selama berbulan-bulan hingga terciptalah SIBODEC. Tidak hanya itu, Balai Besar POM (Pengawas Obat dan Makanan) Semarang pun ikut membantu dalam pengujiannya dan menyatakan bahwa alat ini sangat efisien, meski masih ada yang perlu diperbaiki . Sangat disayangkan, cita-cita Wening dan Adila untuk memproduksi SIBODEC secara massal belum kesampaian, tetapi sudah ada saja oknum yang memplagiat temuan mereka untuk kemudian diperjualbelikan dalam nyasangatmasihdi lapak-lapak online. Selain kecewa karena temuannya diplagiat, kedua peneliti muda ini juga khawatir menjadi sasaran tidak menghargai karya mereka karena risme jika terdapat kesalahan dalam kandungan tusuk gigi pendeteksi boraks yang kemudian merugikan masyarakat lantaran tidak adanya koordinasi antara si pembuat dengan Wening maupun Adila. Padahal, SIBODEC sendiri masih harus disempurnakan agar hasil deteksi boraks yang dimunculkan senantiasa akurat. Saat ini, kedua penemu SIBODEC ini tengah mengupayakan hak patennya. Setelah mendapatkan hak paten SIBODEC, mereka berencana untuk segera memasarkan dalam kemasan kotak kecil berisi 35 sachet dengan harga 35 ribu rupiah saja. Harga tersebut dianggap murah karena satu sachet berisi dua tusuk gigi. Selain itu, alat ini juga bisa digunakan beberapa kali karena bagian dari tusuk gigi yang sudah dipakai untuk mendeteksi dapat dipotong dan dibuang, sementara sisanya dapat dipakai kembali. Keduanya menetapkan harga yang murah untuk alat ini agar setiap lapisan masyarakat dapat merasakan manfaat SIBODEC untuk. puspalydia
SEGAR
Sepintas Canda Vaksinasi Pada suatu hari, seorang tenaga kesehatan bernama Andi melakukan penyuluhan di desa X. Dalam penyuluhan tersebut, Andi menjelaskan mengenai pentingnya vaksinasi bagi masyarakat. Setelah selesai menyuluh, tiba-tiba ia dihadang oleh salah seorang warga. Warga: “Pak, saya menentang vaksinasi. Saya tidak akan melakukan vaksinasi pada kelima anak saya.” Andi: “Waduh! Kenapa pak? Kan tadi sudah saya jelaskan bahwa vaksinasi dapat menyelamatkan nyawa, termasuk anak-anak bapak.” Warga: “Iya saya tahu. Masalahnya saya juga baru tergabung dalam program keluarga berencana. Dua anak lebih baik!”
Berita Baik dan Buruk Dokter: “Saya punya berita buruk dan berita baik untuk anda.” Pasien: ”Apa berita buruknya dok?” Dokter: “Anda menderita penyakit Alzheimer yang sangat parah.”
kartika/MA
Efikasi dan Keamanan Obat Antipsikotik Atipikal untuk Demensia
D
emensia, penyakit dengan prevalensi global mencapai dua puluh empat juta kasus, diperkirakan akan meningkat hingga empat kali lipat pada tahun 2050. Gejala neuropsikiatri yang terdapat pada 70% pasien demensia merupakan beban yang berdampak besar bagi pasien, pelaku rawat, dan orang di sekitarnya. Pengobatan gejala neuropsikiatri dengan pemberian antipsikotik tipikal (haloperidol atau thioridazin) dengan atau tanpa intervensi psikososial dan lingkungan telah umum digunakan untuk terapi pasien demensia dalam beberapa dekade terakhir. Di sisi lain, antipsikotik atipikal (risperidon, olanzapin, quetiapin, aripiprazol, ziprasidon, dan klozapin) juga mulai digunakan secara luas, tetapi keamanan dan efikasinya untuk mengatasi gejala neuropsikiatri pada pasien demensia masih kontroversial. Dalam meta-analisis oleh Tan L, et al (2015) yang menggunakan basis data dari PubMed, EMBASE, Cochrane Controlled Trials Register, dan Cochrane Database of Systematic Review, diperoleh beberapa valuasi23 double-blind, placebo-controlled, randomized controlled trials (RCT) dengan total 5819 partisipan. Review artikel dilakukan oleh dua investigator independen. Hasil meta-analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan efikasi yang signifikan antara obat antipiskotik atipikal dibandingkan plasebo untuk mengatasi gejala psikiatri pada pasien demensia. Weighted mean difference (WMD) untuk perubahan skor gejala psikiatri lebih condong pada aripiprazol (-4,4, 95% CI: -7,04 hingga -1,77) dan risperidon (-1,48, 95% CI: -2,35 hingga -0,61) dibandingkan dengan plasebo. Pasien yang mendapat antipsikotik atipikal tidak menunjukkan perbedaan risiko mengalami cedera yang signifikan secara statistik (P > 0.05), tetapi memiliki risiko lebih tinggi (P < 0.05) untuk mengalami somnolen, infeksi saluran kemih, edema kaki, dan gaya berjalan abnormal. Tidak terdapat bukti yang signifikan untuk kasus kematian yang dilaporkan. Dengan demikian, berdasarkan penelitian meta- analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa obat antipsikotik atipikal aripiprazol dan risperidon dapat memperbaiki gejala psikiatri dan menunda penurunan fungsi kongnitif, rata-rata dalam dua belas minggu, pada pasien demensia dengan gejala neuropsikiatri dengan efek samping tanpa perbedaan risiko yang bermakna untuk mengalami efek samping. awang
Pasien: “Berita baiknya? “ Dokter: “Saya dapat mengenakan Anda biaya dua kali lipat dan Anda tidak akan ingat! Hahahaha!“ Pasien: “Apa berita buruknya dok?“ Dokter: … tommy
Referensi: Tan L, Tan L, Wang HF, Wang J, Tan C, Tan MS,et al. Efficacy and safety of atypical antipsychotic drug treatment for dementia: a systematic review and meta-analysis. Alzheimers Res Ther. 2015; 7(1):20-32.
62
OPINI & HUMANIORA
JULI-AGUSTUS 2015
MEDIA
AESCULAPIUS
SUARA MAHASISWA
JKN, Indonesia dalam Krisis Identitas Ideologi Terobosan yang ditawarkan oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) cukup sensasional. Namun, adakah ideologi yang melatarbelakanginya?
L
ebih dari setengah abad yang lalu para pendiri negara kita menyusun sebuah ideologi baru yang disebut dengan Pancasila. Sama seperti ideologi-ideologi yang lain, Pancasila juga dijadikan pedoman bagi Indonesia untuk mengatasi berbagai masalah yang ada, termasuk masalah kesehatan. Sila kelima dari Pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” nampaknya ingin diwujudkan dalam program JKN. Program JKN, yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, bertujuan untuk menciptakan rasa keadilan sosial (dalam JKN, keadilan sosial yang dimaksud adalah kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia). Jika dipikir lagi, sila kelima ini mirip dengan ideologiideologi sosialis yang ditawarkan oleh Marx dan Engels hampir dua abad silam. Hanya saja, terlalu gamblang jika saya menyatakan bahwa sosialisme merupakan paham yang dianut oleh sistem JKN ini. Masalahnya di Indonesia, sosialisme dan seluruh ideologi berbau “kiri” lainnya, dianggap sebagai suatu paham yang merusak kesatuan bangsa Indonesia. Akan tetapi, pada praktiknya JKN bukanlah suatu sistem kesehatan yang murni sosialis. Walau kenyataannya dalam masyarakat modern ini sudah banyak sekali adaptasi dan percampuran dari berbagai ideologi, tidak berarti bahwa racikan tersebut berakhir dengan sempurna. Seringkali kita temui paham-paham yang saling kontradiktif dicampur dalam satu sistem, JKN pun salah satunya. Anggaplah sosialisme telah
dinar/MA
menyumbangkan segelintir paham pada pelaksanaan JKN. Namun, sosialisme ini sendiri terbentur dengan paham lainnya yang dianut oleh JKN juga, seperti kapitalisme. Menurut Michael Newman dalam bukunya “Socialism: A Very Short Introduction”, kapitalisme dianggap sebagai hambatan bagi penciptaan masyarakat yang setara dikarenakan adanya kepemilikan pribadi yang membuat kesenjangan dalam masyarakat sehingga agaknya sulit untuk menerapkan kedua ideologi ini ke dalam satu sistem yang sama. Dalam JKN, kapitalisme sendiri memegang peranan yang besar. Makna kapitalisme dapat disimpelkan sebagai sebuah sistem ekonomi yang sebagian besar barang-barang produksinya dimiliki oleh pribadi, lalu diperdagangkan sehingga laba yang didapat akan berakhir pada si pemegang modal tersebut. Dalam kasus ini, BPJS berperan sebagai pemegang modal
dengan menyediakan sistem kesehatan kepada seluruh masyarakat. Masyarakat pun disuruh untuk ikut membayar premi sebagai iuran supaya mendapatkan hak kesehatannya. Terdengar baik, lalu apa yang menjadi permasalahannya? Dalam hal ini, masyarakat memercayakan sistem kesehatan kepada BPJS. Iuran yang dibayar tiap bulan, ditambah dengan sokongan dana APBN, merupakan modal yang digunakan untuk mengikuti JKN. Hanya saja ada sedikit kejanggalan disini. Dana APBN, yang seharusnya menjadi tulang punggung dari pelaksanaan JKN, dikucurkan sedikit sekali. Untuk sektor kesehatan, Indonesia hanya mengalokasikan 3,5% dari APBN (alokasi APBN yang paling banyak adalah untuk gaji PNS). Angka ini bahkan lebih rendah dari negara-negara berpenghasilan rendah, seperti Rwanda dan Liberia. Hal ini diperburuk dengan tingginya budaya korupsi di Indonesia yang membuat dana untuk JKN semakin minim dan kualitas dari pelayanan kesehatan memburuk. Dari penjelasan saya di atas, kesejahteraan sosial nampaknya masih sulit untuk dicapai oleh Indonesia, setidaknya untuk kesejahteraan kesehatan. Namun, apakah suatu ideologi berperan penting dalam kasus-kasus seperti ini? Sosialisme yang paling murni sendiri masih diterapkan di negara-negara seperti Kuba. Kuba sendiri merupakan negara yang kesejahteraan kesehatannya membuat para negara-negara maju iri. Sosialisme yang diterapkan oleh Kuba menekan semua ongkos produksi
Tommy Toar Huberto Mahasiswa FKUI Tingkat II sehingga pemerintah dapat meminimalisasi biaya yang diperlukan untuk kesehatan. Dokter pun tersebar dengan merata di seluruh penjuru Kuba dengan rasio 6,8 dokter per 1000 orang. Untuk mencapai kesejahteraan sosial pun tidak harus menerapkan sosialisme seperti Kuba. Jika Kuba mengandalkan sistem yang meringankan biaya, banyak negara maju di Eropa dan Amerika mengandalkan gross domestic product (GDP) yang memang tinggi. Dapat dilihat bahwa negara dengan tingkat kesehatan yang tinggi memang kebanyakan negara-negara dengan penghasilan yang besar. Pada akhirnya, secara ekstrem pilihan yang dimiliki oleh Indonesia ada dua. Antara menjadi negara dengan sistem sosialis seperti Kuba atau berani mengucurkan dana APBN yang banyak seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju. Untuk menciptakan dunia utopis seperti Kuba nampaknya cukup mustahil mengingat pandangan masyarakat Indonesia yang “antikomunis”. Atau, Indonesia juga dapat mencoba untuk mengalokasikan dana APBN lebih banyak lagi untuk kesehatan kita. Walau demikian, dengan banyaknya kepentingan elitis, apakah Indonesia mau?
KOLUM
Di Balik Setiap Pilihan Manusia hidup dalam pilihan. Namun, tak perlu berseteru karena pilihan.
gabiella/MA
21.22 29 Mei 2015 Sudah 25 hari semenjak ia resmi dilantik menjadi Ketua BEM fakultas. Hingga larut malam, untuk mengurus Akhir-akhir ini, di kala bulan bersinar ia bergulat dengan urusan birokrasi ini-itu lengkap dengan tumpukan revolusi yang akan diusungnya setahun ke depan, sementara ketika siang menjelang ia perhatiannya tertumpu pada belasan proposal yang tertumpuk menjulang untuk ditandatangani. *** 22.45 29 Mei 2015 Seperti biasa, kalau sudah jam segini, Bagus akan terlihat tengah mengalunkan ayat-ayat suci Al-Quran dari dalam kamarnya. Di kalangan teman-temannya, Bagus terkenal karena ketekunannya yang luar biasa dalam mempelajari ilmu agama. Ia berpegang teguh pada prinsip bahwa ia tak akan melibatkan diri untuk hal-hal di luar akademis ataupun keagamaan. ***
22.59 29 Mei 2015 Pendar lampu kamar kos mulai temaram. Chandra masih tenggelam dalam keasyikannya membaca kalimat-demikalimat yang tercetak rapi di buku fisiologi. Belajar adalah hobi yang telah dibiasakannya sejak kecil. Oleh karena kerajinannya, Chandra seringkali dipercaya temantemannya untuk menjadi narasumber pada berbagai diskusi bahan kuliah. *** 23.12 29 Mei 2015 Tinggal 12 jam menjelang tenggat waktu pengumpulan karya ilmiah. Dika sedang merevisi tulisannya dengan sangat teliti agar tak ada kesalahan sepele. Belakangan, ia sangat senang mengikuti lomba ilmiah. Entah sejak kapan hal ini dimulai dan apa yang membuatnya sulit untuk diakhiri, Dika berambisi untuk menyabet prestasi dalam bidang keilmiahan. *** 10.29 2 April 2012 Di sebuah wilayah perkampungan pinggiran Jakarta, Andy mengadakan penyuluhan tentang kesehatan. Tak disangkanya, keadaan tempat tersebut sangat mengkhawatirkan. Ia tidak mengira bahwa ada ketimpangan nasib yang begitu besar antara orang kaya dan orang kurang mampu. ***
10.29 2 April 2012 “Nak, anak ibu nantinya tidak boleh terlena dengan kesenangan yang ditawarkan dunia. Anak ibu nantinya akan menjadi orang yang berpengaruh, tetapi tidak melupakan aturan agama. Kamu mengerti kan, Bagus?” *** 10.29 2 April 2012 Tumpukan biografi orang-orang hebat di kamarnya telah usang. Oleh karena sudah berkali-kali Chandra menekuni buku-buku tersebut, tanpa disadari ia menjadi bijak dan mampu memahami makna kehidupan. *** 10.29 2 April 2012 Kemarin, kakaknya baru saja pulang dan menceritakan pengalamannya selama studi di Eropa. Dika agak risih dengan pujianpujian yang dilontarkan untuk negara Barat itu. “Masih banyak celah keilmuan yang mesti diintervensi demi kemajuan kehidupan masyarakat dunia,” pikir Dika. *** Andy. Bagus. Chandra. Dika. Jalan yang mereka tempuh berbeda. Itu pilihan. Andy memutuskan untuk mengabdikan diri demi terciptanya kehidupan di yang lebih baik untuk orang sekitar. Kekangan aturan ataupun birokrasi tidak dipedulikannya karena satu-satunya hal yang memengaruhinya adalah nasib orang lain. Itu pilihan.
Irma Annisa Mahasiswa Tingkat II FKUI Bagus tak tergoyahkan oleh ajakan teman-temannya untuk menjalani hal lain di luar akademis dan agama. Glamor kehidupan dan kesenangan duniawi tak mempan untuk mengalihkan perhatiannya. Ia memutuskan menjadi orang baik bagi orang lain menurut caranya. Itu pilihan. Chandra tekun menimba ilmu dalam studinya karena kedua orangtuanya berpesan bahwa orang yang bisa memengaruhi dunia adalah orang yang berilmu. Itu pilihan. Dika menenggelamkan keingintahuannya pada penelitian karena desakan diri untuk membangun peradaban dunia menuju ke arah kemaslahatan. Ia percaya penemuan-penemuan baru akan membawa perubahan. Itu pilihan. Masing-masing orang memiliki perannya sendiri dalam kehidupan. Dalam sebuah pilihan, pasti ada alasan di baliknya. Ketika pilihan-pilihan yang berbeda itu mengantarkan kita pada tujuan yang sama dan dalam prosesnya tidak ada asas yang dilanggar, maka apalah artinya beda pilihan. Manusia punya tujuan. Manusia pun punya cara sendiri untuk sampai pada titik tersebut.
MEDIA
Liputan
AESCULAPIUS
JULI
JULI-AGUSTUS 2015
7
SEPUTAR KITA
Defensive Medicine, Solusi Dokter dari Intaian Penjara? Dapatkah dokter tetap teguh akan sebuah sumpah Hipokrates: To cure sometimes, to treat often, and to comfort always.
M
ahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh sejumlah dokter pada Senin (20/4). PK ini bermula saat sejumlah dokter tersebut memprotes putusan MK yang menjatuhkan hukuman sepuluh bulan bagi dr. Ayu dan teman-temannya atas kasus meninggalnya pasien yang mereka tangani. Hal ini memelopori sejumlah dokter untuk mengajukan judicial review atas pasal 66 Ayat (3) UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang pelanggaran dalam praktik kedokteran. Menurut pengaju PK, pelanggaran dalam praktik kedokteran sebaiknya ditindaklanjuti secara bertahap melewati aturan kode etik dan kedisiplinan profesi kedokteran saja. Selama unsur pidana pada kasus tidak ada, pengadilan umum seharusnya tidak perlu perlu mengintervensi. Namun, alasan tersebut ternyata tidak cukup kuat untuk membuat MK melakukan PK. Akibat putusan MK itu, muncul ketakutan dapat mendekam di balik jeruji besi yang menghantui para dokter. Pada Rabu (29/05) di ruang KC-303, Gedung RIK, Kampus UI, Depok diselenggarakan Diskusi Publik bertema “Defensive Medicine” oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Ikatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Kastrat BEM IKM FKUI).
anyta/MA
“Diskusi ini merupakan salah satu bentuk pencerdasan kepada mahasiswa kedokteran di era defensive medicine ini,” ujar Ayu Putri Balqis, Ketua Departemen Kastrat BEM IKM FKUI. Panelis pertama, dr. Marius Widjajarta, SE dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPPKI), berbicara mengenai hak hukum masyarakat dalam praktik kedokteran. Marius mengatakan bahwa pada prinsipnya, defensive medicine tidak perlu ada, asalkan setiap dokter
INFO SPESIALISTIK
Spesialisasi Pulmonologi FKUI: Pencetak Klinisi Handal dalam Bidang Pulmonologi Program Pendidikan Spesialis Pulmonologi FKUI merupakan program pendidikan spesialis pulmonologi pertama di Indonesia. Program studi yang telah berdiri sejak 1 September 1978 ini telah mencetak banyak lulusan hebat di bidang pulmonologi. Akan tetapi, kebutuhan spesialis pulmonologi masih cukup tinggi di Indonesia mengingat empat dari sepuluh penyakit terbanyak di Indonesia adalah penyakit paru. “Setiap tahun peminat kami cukup banyak, pernah mencapai angka 40 orang. Biasanya lebih dari 20 orang. Dari 20 orang itu, kapasitas yang bisa kami terima hanya sembilan orang per semester,” jelas dr. Prasenohadi, SpP-KIC, Ketua Program Studi (KPS) Pulmonologi FKUI. Ketentuan pendaftaran bagi calon residen antara lain IPK ≥ 2,75, nilai TOEFL robby/MA ≥ 500, dan dapat melakukan ACLS/ ADLS. Umur maksimal pendaftar adalah 35 tahun. Selain itu, calon residen juga harus mengikuti beberapa tes, yaitu ujian lisan, ujian tertulis, psikotes, dan uji kejiwaan MMBI. Nilai tambah yang dapat diajukan yaitu mendapat surat rekomendasi instansi tempatnya bekerja untuk studi di spesialisasi pulmonologi FKUI. Mulai semester depan, proses pendaftaran program studi berakreditasi A ini harus melalui jalur SIMAK UI terlebih dahulu sebelum masuk ke semua ketentuan
pendaftaran yang telah ditentukan di atas sehingga seleksinya akan lebih ketat. Jika diterima, calon residen harus membayar uang kuliah seharga Rp 7.500.000 setiap semesternya. Lama studi spesialisasi pulmonologi FKUI mencapai delapan semester, terbagi menjadi tahap junior (4 semester awal), senior (2 semester tengah), dan chief (2 semester akhir). Tahap junior merupakan tahap pembekalan. Pada tahap ini, para residen diwajibkan mengikuti kegiatan mata kuliah umum, pendidikan dasar pulmonologi, kegiatan di bangsal, dan magang di stase spesialis lain. Setelah itu, para residen baru dapat melanjutkan ke tahap senior, yaitu tahap magang. Di tahap magang, residen melakukan tatalaksana kegawatdaruratan paru di IGD. Di tahun terakhir, residen tersebut masuk ke tahap chief, yaitu tahap mandiri. Di tahap terakhir ini, residen terjun langsung ke poliklinik, ICU, dan bangsal, serta mendidik junior, instruktor, dan menjawab konsul pasien. Setelah menyelesaikan studinya, lulusan spesialis pulmonologi FKUI dapat melanjutkan praktik sebagai klinisi. Selain itu, saat program studi, para residen akan dipantau kemajuannya. Apabila residen berprestasi, menonjol, dan mempunyai attitude yang baik, residen tersebut memiliki kesempatan menjadi staf di Departemen Pulmonologi FKUI. puspalydia
melaksanakan praktiknya dengan sebaikbaiknya dan tidak melanggar 28 prinsip praktik kedokteran yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Marius juga membela dokter yang secara objektif tidak melakukan kesalahan dalam praktiknya. Panelis kedua adalah Prof. dr. Med. H. Ali Baziad, SpOG(K) selaku Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDI). Ali memaparkan mengenai peran MKDKI dalam menilai praktik kedokteran.
Dokter Okupasi...
MKDKI memiliki peran dalam menilai profesionalisme dokter. Jika terbukti bersalah, Surat Tanda Registrasi (STR) dokter akan dicabut dengan waktu minimal satu bulan, atau maksimal ditarik selamanya, tergantung derajat pelanggarannya. Pasien pun berhak mengajukan perkara ke pengadilan umum. Akan tetapi, pengadilan umum memiliki dasar KUHP yang tidak ada sangkut-paut dengan Standar Operasional (SOP) praktik kedokteran sehingga akan memanggil saksi ahli dari profesi kedokteran. Prof. dr. H. Menaldi Rasmin, SpP(K), FCCP selaku Mantan Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), menutup sesi panelis dengan pembahasan defensive medicine secara umum. Defensive medicine terjadi saat dokter melakukan tindakan atau menghindari pasien berisiko tinggi untuk mengurangi risiko malpraktik. Padahal, yang paling penting adalah jalinan komunikasi yang baik antara dokter dan pasien. Dokter juga harus memiliki etika yang baik serta mampu melakukan pelayanan kesehatan sesuai pasien sesuai dengan sumpah Hipokrates.Profesi dokter bukanlah suatu pekerjaan yang harus ditakuti apalagi hingga melakukan defensive medicine. Keraguan dapat dihilangkan jika kita melakukan praktik kedokteran sesuai prosedur dan tingkat kompetensinya. fadhli, awang
sambungan dari halaman 1
...menentukan RTW, intinya kompetensi untuk menentukan ini bukan kompetensinya dokter umum, telah tercantum dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Itu akan sangat bahaya jika dikerjakan oleh dokter yang tidak punya kompetensi seperti itu,” tegas Dewi. Bahaya yang dimaksud adalah aspek legal dalam keputusan RTW. Pekerjaan di industri, termasuk pembuatan keputusan di bidang kesehatan tenaga kerja, sangat kental dengan aspek legal. Ketika perusahaan tidak menyukai keputusan yang dibuat atau jika ada kesalahan sedikit saja dapat membuat hukum turun tangan menyelidiki dasar pembuatan keputusan. Melihat begitu krusial peran dokter okupasi dalam BPJS Ketenagakerjaan, maka siapkah seluruh dokter okupasi di Indonesia menjalankan peran ini? “Kalau dilihat bagaimana kesiapan, sebenarnya kita sudah diminta untuk bersiap-siap. Akan tetapi, jika ditanya apakah sudah 100% siap, kita belum karena untuk menggerakan teman-teman se-Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jadi kita rencananya akan bikin regional dulu karena kalau regional kita punya teman-teman sejawat di situ,” jelas dr. Dewi. Menurut beliau, tenaga dokter okupasi di regio uji coba tersebut sudah memadai dan akan mudah menyediakan cadangan sumber daya manusia bila dibutuhkan. Meskipun belum tercapainya idealisme kedua pihak mengenai penentu keputusan RTW, baik pihak BPJS Ketenagakerjaan maupun dokter okupasi sepakat bahwa program jaminan sosial ini perlu segera direalisasikan pada Juli 2015 guna menjamin kesehatan tenaga kerja mengingat BPJS Ketenagakerjaan sebagai satu-satunya badan pelaksana jaminan sosial yang sah saat ini. Tenaga kerja yang sebelumnya dianggap tidak bisa kembali bekerja pascakecelakaan kerja diharapkan memiliki kesempatan untuk lebih produktif dan terjamin di masa depannya dengan bantuan program jaminan ini. jimmy, rifka, shierly
Saya yang bertandatangan di bawah ini, Nama: Pekerjaan: Alamat Lengkap (untuk pengiriman):
FORMULIR BERLANGGANAN
Telepon/HP: Email: memohon untuk dikirimi Surat Kabar Media Aesculapius selama kurun waktu (beri tanda silang): 1. Enam edisi (GRATIS 1 edisi): Rp18.000,00 2. Dua belas edisi (GRATIS 2 edisi): Rp36.000,00 Biaya kirim ke luar pulau Jawa Rp5.000,00 per enam edisi. Cara pembayaran: 1. Wesel pos ke Redaksi MA FKUI 2. Transfer ke rekening Media Aesculapius di BNI Capem UI Depok No. 0006691592 Mohon untuk menyertakan bukti pembayaran baik bukti transfer maupun fotokopi wesel pos dengan formulir berlangganan ke MA.
( ) Nama Lengkap
82
Liputan
JULI-AGUSTUS 2015
MEDIA
AESCULAPIUS
SEREMONIA
Menilik Peruntungan Dokter di Bawah Peraturan Perundang-undangan
Aksi 21 Mei BEM SI Getarkan Istana Negara
dokumentasi panitia
M
enanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji UU Praktik Kedokteran, Lembaga Kajian dan Keilmuan (LK2) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mengadakan sebuah kajian dalam Diskusi Rutin IV bertema “Polemik Penolakan Permohonan Pengujian Pasal 66 Ayat (3) UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran oleh MK”. Diskusi dilaksanakan pada Kamis (21/05) di Kampus FHUI, Depok, dengan pembicara seorang dokter sekaligus mahasiswa FHUI, dr. Amelia Martiara, SpAn. irmapriyadi
Dept. Kastrat BEM IKM FKUI
B
ertempat di depan Istana Negara, 2.500 mahasiswa dari 51 Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang tergabung dalam Aliansi BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) melakukan aksi besar pada Kamis (21/05). Dalam aksi tersebut, mahasiswa mengajukan tiga tuntutan kepada Pemerintah, yaitu mencabut kebijakan harga BBM dari mekanisme pasar bebas dan mengembalikan subsidi BBM, mengambil alih 100% kekayaan dan aset blok Mahakam dan Freeport ketika kontrak berakhir, serta mengevaluasi program Kartu Indonesia Sehat (KIS). jihaan
INSTITUSI
Yayasan Pulih, Menyehatkan Psikis Korban Kekerasan Tak hanya bergerak dari segi preventif, Yayasan Pulih juga aktif dalam upaya rehabilitasi psikis korban kekerasan.
M
araknya konflik sosial, kekerasan, kriminalitas, dan bencana alam di Indonesia mendorong enam orang aktivis berlatar belakang psikologi untuk mendirikan Yayasan Pulih pada 24 Juli 2002. Mereka adalah Livia Iskandar, Kristi Poerwandari, Ali Aulia, Saparinah Sadli, Irwanto dan Karlina Supeli. Yayasan Pulih memiliki visi untuk memulihkan dan menguatkan masyarakat korban kekerasan dan bencana sehingga terwujud masyarakat yang sehat secara psikis dan bebas dari
gabriella/MA
kekerasan. Yayasan ini memberikan layanan psikologis bagi korban bencana, kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan konflik politik. Sejak masa awal berdirinya, Yayasan Pulih telah terlibat langsung dalam banyak kegiatan rehabilitasi. Salah satunya ketika bencana tsunami Aceh yang terjadi pada tahun 2004, Yayasan Pulih mengambil andil dalam proses penyembuhan psikologis para korbannya. Dalam kerusuhan antara umat beragama Islam dan Kristen yang terjadi di Ambon tahun 1999, Yayasan Pulih juga turut membantu melakukan rehabilitasi
psikis korban akibat perseteruan antaragama tersebut. Saat ini, Yayasan Pulih berada di dua lokasi yakni Jl. Teluk Peleng 63 A Komplek AL-Rawa Bambu Pasar Minggu, Jakarta Selatan dan di Banda Aceh. Yayasan Pulih terdiri dari beberapa divisi, yakni divisi klinik, divisi advokasi dan edukasi publik, divisi riset publikasi dan dokumentasi, dan divisi umum. Gisella Tani Pratiwi, M.Psi, Psi., koordinator divisi klinik Yayasan Pulih Jakarta, menjelaskan, “Saat ini divisi klinik menyediakan layanan konsultasi psikologis dan saksi ahli psikologis.” Konsultasi psikologis bertujuan membantu korban yang membutuhkan penanganan profesional untuk masalah psikologis yang dialaminya, misalkan pada korban perkosaan atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jasa konsultasi ini dapat dengan mudah diakses melalui telpon dengan nomor 02178842580. Kemudian, staf akan menghubungi psikolog dan mengaturkan jadwal untuk konsultasi. Gisella menjelaskan bahwa proses konsultasi ini dilakukan dalam berberapa tahap, yaitu rapporting guna membangun hubungan dan kepercayaan antara terapis dan klien, melakukan penjajakan dan identifikasi masalah, serta pemberian penanganan yang tepat. Masing-masing klien ditangani sesuai masalah yang dimiliki. Klien dapat diberikan terapi khusus, misalnya klien anak memperoleh terapi dalam bentuk permainan. Terapi khusus lainnya dapat pula berupa cognitive behavioral therapy (CBT)
ataupun stabilisasi emosi terlebih dahulu. Layanan saksi ahli psikologis diperuntukkan untuk keperluan proses hukum. Setelah sekitar 4–5 kali pertemuan, Yayasan Pulih dapat memberikan surat keterangan psikologis bagi klien tersebut. Yayasan ini juga dapat menjadi saksi ahli di pengadilan atau mendukung korban kekerasan dalam proses pengadilan. Dalam sebulan, divisi klinik melayani 15–20 kasus, dengan 20–30 sesi pertemuan. Divisi advokasi dan edukasi publik berperan dalam menyuarakan isuisu kekerasan dan psikososial kepada masyarakat dalam bentuk penyuluhan, kampanye, pelatihan, hingga talk show. Saat ini, isu yang sedang diangkat oleh Yayasan Pulih adalah kekerasan dalam pacaran (KDP). Kegiatan yang sudah dilakukan di antaranya kampanye edukasi cara membina relasi yang sehat untuk kalangan pelajar dan mahasiswa. “Masalah kekerasan dalam pacaran bagaikan gunung es. Banyak masalah yang belum tersentuh karena tidak tampak wujudnya di permukaan, seringkali korban kekerasan dalam pacaran menyalahartikan tindak kekerasan sebagai bentuk cinta,” ujar Gisella. Gisella berharap ke depannya Yayasan Pulih dapat terus menjadi pionir yayasan yang bergerak di bidang psikososial dan memiliki staf serta psikolog yang kuat, baik dari segi mental maupun skill. Gisella juga berharap dukungan masyarakat dalam menanggapi kasus kekerasan dalam pacaran atau rumah tangga sehingga terbangun relasi yang sehat. hiradipta