Media Aesculapius Surat Kabar
Kedokteran dan Kesehatan Nasional Terbit Sejak 1970
No. 01 l XLVIII l Maret-April 2018 ISSN No. 0216-4966 Konsultasi Berhadapan dengan Hemoptisis di Praktik Umum
halaman 3
Rubrik Daerah
Artikel Bebas
Catatan Pengabdian dari Provinsi Seribu Sungai
Inikah Rasanya Jadi Ibu Hamil?
Kontak Kami @MedAesculapius beranisehat.com 0896-70-2255-62
halaman 10
halaman 6
Mengintip Potret Status Gizi Anak Indonesia Pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan program untuk memperbaiki status gizi masyarakatnya. Efektifkah program tersebut dijalankan?
S
tatus gizi seorang anak sangat berpengaruh terhadap perkembangannya sehingga pemenuhan gizi haruslah dilakukan dengan tepat. Dua fase penting dalam pemenuhan gizi pada anak terjadi saat seribu hari pertama kehidupan dan setelahnya. Fase seribu hari pertama kehidupan terhitung sejak anak masih dalam kandungan hingga dua tahun setelah lahir ketika anak masih mendapatkan air susu ibu (ASI). Oleh karena itu, pemenuhan gizi anak sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi sang ibu. Fase kedua merupakan fase ketika anak tidak lagi mendapatkan ASI dan faktor-faktor eksternal mulai berperan besar. Berdasarkan Kerangka Teori UNICEF tahun 1997 dan 1998, ada tiga faktor yang memengaruhi status nutrisi. Faktor pertama yang berperan adalah infeksi. Makanan tidak higienis berpeluang menimbulkan infeksi, salah satunya diare pada anak. Diare menyebabkan berkurangnya absorbsi nutrisi yang dibutuhkan dan dapat menurunkan status gizi. Selain infeksi, kualitas dan kuantitas asupan makanan memengaruhi status gizi anak. Kedua faktor tersebut berhubungan erat dengan kondisi ekonomi masyarakat, yaitu rendahnya tingkat sosioekonomi meningkatkan kecenderungan asupan gizi menjadi lebih rendah. Namun, sebenarnya pemerintah dapat melakukan intervensi melalui berbagai cara. Faktor ketiga yang dapat memengaruhi status gizi adalah determinan perilaku dan budaya, terlihat dari waktu yang diluangkan ibu untuk memberi makan anaknya atau karakteristik makan keluarga secara
keseluruhan. “Waktu yang diluangkan ibu untuk memberi makan memengaruhi antusiasme anak untuk makan. Jika ibunya kerja, sementara pembantu atau neneknya yang tidak mengerti cara memberi makan mengurus anak tersebut, status gizinya dapat memburuk,” kata dr. Rina Agustina, M.Sc., Ph.D. selaku Ketua Human Nutrition Research Center IMERI FKUI. Selain itu, faktor budaya yang masih kuat mungkin juga mengurangi kesempatan anak mendapat nutrisi secara adekuat, contohnya pada masyarakat dengan paham paternalisme kuat. Pemerintah telah adit/MA Bergerak sejak Dua Tahun Lalu Pemenuhan gizi secara tidak tepat tentunya mengundang terjadinya permasalahan. Saat ini masalah gizi yang sangat disoroti di dunia, termasuk Indonesia, adalah gizi buruk dan gagal tumbuh (stunting). Angka stunting umumnya dijadikan sebagai indikator kemiskinan suatu negara. Jika ingin menyusul negara-negara maju, tentu Indonesia perlu menekan habishabisan angka ini. Menurut WHO, tahap pertama tata
laksana gizi buruk adalah menemukan dan mengobati underlying disease yang dimiliki. Anak yang mengalami gizi buruk karena terinfeksi misalnya, tidak boleh diberi asupan tinggi zat besi karena akan memperparah kondisi. Selanjutnya, diikuti tahap rehabilitasi yang dilakukan di puskesmas pada minggu ke-2 hingga ke-26 dan follow up pada minggu ke-7 hingga ke-26. Terkait masalah di atas, pemerintah Indonesia telah meluncurkan dua program yang dimulai sejak 2016 lalu, antara lain Program Indonesia Sehat Pendekatan Keluarga (PIS PK) dan Gerakan Masyarakat Sehat (Germas). “PIS PK dan Germas merupakan program yang berjalan sebagai satu kesatuan dalam mengintervensi status gizi masyarakat,” terang Ir. Doddy Izwardy, MA., Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI. PIS PK berfokus pada pemberdayaan puskesmas di daerah-daerah agar memiliki cara intervensi yang lebih kuat untuk memantau kesehatan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan oleh PIS PK adalah mengontrol secara rutin kesehatan
Kurang di Awal, Kurang Pula di Akhir Kurang memadainya asupan gizi di masa awal kehidupan bertanggung jawab atas beragam gangguan kesehatan di masa tua. Benarkah demikian?
A
hli gizi di seluruh dunia telah sepakat bahwa status gizi kurang menjadi pintu utama masuknya beragam gangguan kesehatan. Pemenuhan nutrisi yang memadai mutlak dibutuhkan pada pertahanan awal individu dalam menghadapi sejumlah faktor pencetus infeksi dan gangguan pertumbuhan. Dampak gizi kurang dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu dampak jangka pendek dan jangka panjang. Penurunan kemampuan imunitas dan retardasi pertumbuhan menjadi dampak utama jangka pendek yang terjadi setelah seseorang didiagnosis mengalami gizi kurang. Asupan zat besi, seng, dan vitamin A yang rendah dapat menghambat pembentukan awal sel imun (sel T helper 1
dan 2) sehingga meningkatkan kerentanan seseorang terhadap infeksi. Infeksi yang berkelanjutan ini akan berdampak pada penurunan kemampuan sistem pencernaan dalam menyerap nutrisi yang dibutuhkan. Kemampuan penyerapan nutrisi yang turun disertai asupan nutrisi yang rendah pada individu gizi kurang dapat mengakibatkan retardasi pertumbuhan. Sejumlah penyakit metabolik yang muncul saat dewasa diketahui menjadi dampak jangka panjang utama kurangnya pemenuhan gizi saat kecil. “Sesuai Hipotesis Barker, seseorang yang kurang gizi sewaktu masa mudanya, berisiko besar terkena penyakit tidak menular atau noncommunicable disease di masa tuanya,” ujar dr. Rina Agustina, M.Sc., Ph.D., Ketua Human
Nutrition Research Cluster IMERI FKUI. Selain itu, cadangan nutrisi yang kurang dapat mengganggu perkembangan sistem saraf dan mengakibatkan terhambatnya kemampuan kognitif serta motorik, seperti penurunan IQ, memori, kemampuan bahasa, dan perkembangan prestasi di sekolah. Dari beberapa dampak yang telah dijabarkan, dapat diketahui bahwa seluruh faktor pencetus infeksi dan gangguan kesehatan dengan sangat mudah menyerang tubuh saat status gizi kurang. Keseluruhan dampak tersebut juga saling terkait satu sama lain sehingga memerlukan tata laksana secara holistik dan komprehensif. afiahuddin, dina, farah
masyarakat dan mendatangi rumah-rumah untuk memperluas jangkauan pelayanan kesehatan. Germas sendiri merupakan program sistematis untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat di Indonesia melalui pendekatan promotif dan preventif. Contoh kegiatan yang ditargetkan oleh Germas antara lain makan sayur dan buah, peningkatan aktivitas sehari-hari, dan pemeriksaan kesehatan secara rutin. Apakah Penurunan Prevalensi Berarti Kesuksesan? Berdasarkan data Riskesdas, PIS PK dan Germas berhasil menurunkan angka gizi buruk dan stunting di Indonesia. Di Gorontalo, angka stunting mengalami penurunan sebesar 4% setiap tahunnya. Selain itu, jika dilihat dari Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 oleh Kementerian Kesehatan, angka anak dengan kondisi sangat kurus secara nasional menurun dari 3,1% pada tahun 2016 menjadi 2,8% pada tahun 2017. Prevalensi gizi buruk di Indonesia pada tahun 2016 sebesar 3,4%, menurun daripada dua tahun sebelumnya, yaitu 4,7% dan 3,9%. Sementara itu, prevalensi gizi kurang berada di angka yang lebih tinggi yaitu 14,4%. Penurunan prevalensi ini menunjukkan penanganan status gizi buruk di Indonesia cukup baik. “Indonesia relatif berhasil dalam menangani masalah berat badan kurang,” ujar Wahyu Kurnia Yusrin Putra, S.KM., M.K.M., Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Permasalahan gizi di Indonesia memiliki hubungan dengan adanya masalah bersambung ke halaman 11
SKMA Untuk Anda! Mari bersama membuat SKMA menjadi lebih baik. 1. Apakah konten SKMA bermanfaat/ relevan dengan kondisi kesehatan saat ini? 2. Apakah anda masih membutuhkan SKMA edisi selanjutnya?
!
Jawab dengan format: Nama-Umur_Kota/Kabupaten_Unit Kerja_Jawaban 1_Jawaban 2
Contoh: Rudiyanto_43_Jakarta Pusat_RSCM_Ya_ Ya Kirim melalui WhatsApp/SMS ke 0822 229 229 362 atau mengisi formulir pada bit.ly/surveyskma Lima orang pengisi survei yang beruntung akan mendapatkan cenderamata dari Media Aesculapius