Media Aesculapius Surat Kabar
Kedokteran dan Kesehatan Nasional Terbit Sejak 1970
Maret-April 2019 / Edisi 01 / Tahun XLVIII / ISSN 0216-4996
@MedAesculapius |
beranisehat.com |
KONSULTASI
KESMAS
RUBRIK DAERAH
Pahami Kondisi dan Penanganan pada Pasien TB hlm 3
Hindari Kanker dengan CERDIK hlm 5
Hakikat Seorang Dokter: Tangani Pasien Bukan Penyakitnya hlm 11
0896-70-2255-62
BPJS Kesehatan Berbayar: Untung atau Buntung? Di penghujung tahun 2018, peraturan sistem urun biaya peserta JKN-KIS disahkan dan disinyalir menjadi solusi menutup defisit yang dialami BPJS Kesehatan.
P
elaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia kembali menuai kendala. Belum lama ini, Kementerian Kesehatan RI menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 51 Tahun 2018 tentang pengenaan urun biaya dan selisih bayar program Jaminan Kesehatan NasionalKartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Peraturan ini menjelaskan pembebanan tarif tambahan kepada peserta dalam mengakses fasilitas kesehatan di luar iuran rutin yang dibayarkan. Hal ini tentunya menegaskan bahwa BPJS Kesehatan tidak lagi gratis. Sejumlah tanggapan terus mengalir dari berbagai kalangan. Banyak pihak yang mendukung, namun tak sedikit pula yang merasa bahwa peraturan ini cukup membebani masyarakat. Menilik Berbagai Aspek di Balik Urun Biaya Menanggapi pengesahan peraturan ini, M. Iqbal Anas Ma’ruf, Kepala Humas BPJS Kesehatan, memiliki pandangannya sendiri. “Dikatakan dalam Permenkes No. 51 Tahun 2018 Pasal 2, urun biaya bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan BPJS Kesehatan,” tegas Iqbal. Penerapan urun biaya merupakan bentuk regulasi bagi masyarakat agar tidak menggunakan asuransi secara berlebihan. Regulasi ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai sistem rujukan yang tepat. Sejatinya, perancangan sistem urun biaya dan selisih bayar ini merupakan bentuk implementasi dari Perpres No. 82 Tahun 2018. “Jadi, kebijakan
ini tidak muncul tiba-tiba sebetulnya. Hanya saja sistem urun biaya ini belum pernah diimplementasikan hingga sekarang,” imbuh Iqbal. Berbagai studi literatur dan analisis data survei ikut mewarnai perjalanan sahnya peraturan ini. Berdasarkan data-data tersebut, kondisi finansial secara makro dan daya beli masyarakat tentunya menjadi pertimbangan utama penerapan kebijakan ini. Pengaplikasian A sistem jaminan /M an fi kesehatan di ar berbagai negara
lanjut, Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr. PH., Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Kesehatan Indonesia menjelaskan tentang sistem urun biaya. Menurut Hasbullah, urun biaya secara teori mampu membatasi pemanfaatan layanan BPJS yang berlebihan dari para penggunanya. “Apabila seseorang terus diberi apapun yang dia inginkan, pasti ada kecenderungan dalam dirinya untuk menginginkan hal yang lebih dari seharusnya. Hal ini berlaku juga pada BPJS. Urun biaya ini bisa dijadikan rem untuk mencegah perilaku konsumtif tersebut,” terang Hasbullah.
arfian/MA
cenderung berbeda. Menurut Kepala Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan (AKK) FKM UI, Dr. Pujiyanto, S.KM., M.Kes., penerapan sistem jaminan kesehatan harus disesuaikan dengan ideologi negara, kondisi infrastruktur, dan tingkat kolektabilitas masyarakat. Pujiyanto menilai bahwa sistem urun biaya mencerminkan penerapan nilai gotong royong yang identik dengan keseharian masyarakat Indonesia. Lebih
Sayangnya, Hasbullah masih meragukan peran pemangku kebijakan yang nantinya akan bersinggungan langsung dengan sistem urun biaya ini. Hasbullah menuturkan bahwa iuran BPJS saat ini masih terkesan berat sebelah. “Iuran BPJS seorang PNS hanya dipotong dari gaji pokoknya yang besarannya relatif kecil. Padahal, PNS masih mendapat tambahan honor seperti gaji pokok dan tunjangan. Apabila mengacu pada prinsip gotong royong yang dibawa oleh Jaminan
Kaleidoskop Separuh Dekade BPJS Kesehatan Lima tahun berdirinya BPJS Kesehatan telah membawa dampak perubahan terhadap sistem kesehatan di Indonesia, namun apakah target telah tercapai?
C
ita-cita jaminan kesehatan semesta sudah ada sejak awal kemerdekaan. Akan tetapi, langkah nyata pemerintah untuk mencapai cita-cita tersebut baru terealisasi dengan beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014. Salah satu target besar yang diharapkan adalah mencapai universal health coverage (UHC) 2019. Per 1 Februari 2019, 217.549.455 jiwa tercatat sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). “Dalam waktu dekat ini, kami ingin meningkatkan jumlah kepesertaan hingga 95%,” ujar M. Iqbal Anas Ma’ruf. Selaras dengan hal tersebut, tahun ini BPJS Kesehatan juga meningkatkan jumlah penerima bantuan iuran jaminan kesehatan (PBI-JK) menjadi 96,8 juta jiwa dari sebelumnya 92,4 juta jiwa.
Selain jumlah kepesertaan, masih banyak parameter lain yang dapat menggambarkan pencapaian BPJS Kesehatan. “Salah satunya ialah tingkat kepuasan peserta yang telah meningkat dari 79,7% tahun lalu menjadi 85% dan tingkat pemahaman peserta yang mencapai 86%,” sebut Iqbal. Jumlah pemanfaatan pelayanan kesehatan di seluruh tingkat fasilitas layanan yang mencapai 233,8 juta (ratarata 640.765 per hari), menunjukkan bahwa masyarakat telah menuai manfaat program JKN-KIS secara optimal. Serangkaian pencapaian positif BPJS Kesehatan tersebut tak luput dari sejumlah kendala, salah satunya defisit keuangan. “Adanya defisit ini disebabkan oleh penetapan iuran yang salah oleh pemerintah dan mereka sadar akan
hal itu sejak awal,” ungkap Prof. dr. Hasbullah Thabrany. Hasbullah menuturkan, pemerintah belum bersikap realistis dan rasional dalam menetapkan besaran iuran JKN-KIS. Tetapi, Iqbal menjanjikan bahwa defisit keuangan tersebut tidak akan menghentikan BPJS Kesehatan untuk tetap beroperasi. Tidak dapat dipungkiri, BPJS Kesehatan memang belum sempurna. Akan tetapi, keberadaannya selama 5 tahun terakhir telah membawa sistem pelayanan kesehatan Indonesia ke arah yang lebih baik. Dalam mewujudkan UHC 2019, pemerintah harus terus berbenah dalam menyempurnakan sistem pelayanan kesehatan sebagai hak warga negara yang harus dipenuhi. elvan, billy, leo
Kesehatan Nasional (JKN), regulasi tersebut relatif tidak adil dan inkonsisten,” ungkap Hasbullah. Hasbullah berharap pemerintah juga berbenah diri dan proaktif meningkatkan kedisiplinan pelaksana kebijakan dalam konteks mematuhi aturan yang sudah dibuat. Urun Biaya dan Defisit BPJS Iqbal menegaskan bahwa urun biaya ini tidak bertujuan semata-mata untuk menutupi defisit yang dialami BPJS. “Untuk urun biaya sendiri hanya berkisar Rp10.000,00 untuk kelas C dan D, serta Rp20.000,00 untuk kelas A dan B. Saya rasa besaran tersebut belum mampu menutupi defisit BPJS Kesehatan saat ini,” jelas Iqbal. Urun biaya ini memang bertujuan untuk mengubah pola pandang dan perilaku masyarakat terkait penggunaan layanan BPJS. Menanggapi pernyataan tersebut, Hasbullah memiliki pandangan berbeda. Hasbullah berpendapat bahwa penerapan sistem urun biaya saat ini masih terlihat berorientasi untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan saja. “Rancangan urun biaya BPJS ini seharusnya segera direvisi untuk memperjelas bahwa hasil urunannya menjadi hak bagi fasilitas kesehatan,” tegas Hasbullah. Saat ini, masih terdapat sejumlah kebutuhan medis di sistem pelayanan kesehatan yang tidak tertutupi oleh anggaran BPJS. Masalah ini harus segera diverifikasi dan dibenahi oleh BPJS beserta pemerintah. Defisit yang terjadi di BPJS Kesehatan tidak hanya disebabkan oleh minimnya kucuran dana yang bersambung ke halaman 11
SKMA untuk Anda! Mari bersama membuat SKMA menjadi lebih baik.
!
1. Apakah konten SKMA bermanfaat/ relevan dengan kondisi kesehatan saat ini? 2. Apakah anda masih membutuhkan SKMA edisi selanjutnya? Jawab dengan format: Nama-Umur_Kota/Kabupaten_Unit Kerja_ Jawaban 1_Jawaban 2 Contoh: Rudiyanto_43_Jakarta Pusat_RSCM_Ya_Ya Kirim melalui WhatsApp/SMS ke 0896-702255-62 atau mengisi formulir pada bit.ly/ surveyskma Lima orang pengisi survei yang beruntung akan mendapatkan cenderamata dari Media Aesculapius