Media Aesculapius Surat Kabar
Kedokteran dan Kesehatan Nasional Terbit Sejak 1970
No. 02 l XLVIII l Mei-Juni 2018 ISSN No. 0216-4966 Konsultasi
Identifikasi Pasien Tuberkulosis (TB) untuk Penanganan yang Tepat halaman 3
Artikel Bebas
Air Alkali: Bermanfaat atau Merugikan?
Kontak Kami
Rubrik Daerah Melirik Kegiatan Internship di Kota Malang
@MedAesculapius beranisehat.com 0896-70-2255-62
halaman 10
halaman 6
Permasalahan Etik Dokter Indonesia: Sebuah Fenomena Iceberg Kode etik kedokteran yang notabene bertindak sebagai pelindung muruah profesi dokter masih saja dilanggar
T
uduhan maupun laporan kelalaian dokter saat ini bukanlah menjadi suatu fenomena yang baru. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2011, terdapat 127 kasus pelanggaran disiplin kedokteran yang masuk dan berhasil diselesaikan dalam lima tahun terakhir. Selain itu, terdapat puluhan kasus etik yang masuk dan ditangani oleh Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), baik di tingkat pusat, wilayah (provinsi), maupun cabang kota madya/kabupaten, serta Dewan Etik Perhimpunan Dokter Spesialis setiap tahunnya. Angka tersebut baru mencakup kasuskasus yang terlihat. Permasalahan etik dokter adalah suatu fenomena “gunung es” dengan jumlah kejadian yang sebenarnya banyak sekali, tetapi hanya sedikit terekam. Padahal, maraknya laporan, pengaduan, dan tuntutan atas dugaan kelalaian dokter tentu berdampak besar kepada citra dokter di mata masyarakat serta kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter dan hubungan dokter-pasien. Tidak Hanya Sekedar Aturan Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya dianggap sebagai profesi yang mulia (officium nobel) sehingga mendapat kehormatan yang istimewa di mata masyarakat, bahkan masyarakat memberi sapaan khusus untuk menghormati seorang dokter. Salah satu faktor yang menjadi pondasi mengapa kedokteran merupakan profesi yang memiliki muruah mulia menurut dr. Pukovisa Prawiroharjo, Sp.S,
Sekretaris MKEK PB IDI, adalah adanya tradisi nilai profesi dan kemanusiaan yang sangat luhur dan agung. Tradisi tersebut setia dijaga dan dipegang teguh dari generasi ke generasi hingga saat ini. Kemajuan teknologi dan ilmu kedokteran yang semakin pesat dan kekhasan nilai profesionalisme kedokteran membuat profesi dokter sejak zaman dahulu hingga saat ini semakin sulit dinilai hanya dari kacamata awam. Untuk dapat menilai kebenaran tindakan dan etika seorang dokter, dibutuhkan peran teman sejawat yang paling memahami likaliku dinamika ilmu dan penerapan kania/MA etika pada praktik sehari-hari. Oleh karena itu, profesi kedokteran di berbagai negara diminta untuk mengatur dirinya sendiri dan membentuk mekanisme internal dengan tujuan utama menghindarkan kerugian pada masyarakat awam yang kurang mengetahui secara detail perkembangan ilmu dan etika kedokteran. Sebagian pengaturan itu kemudian diundangkan resmi menjadi produk hukum di negara tempat dokter tersebut berpraktik dengan mekanisme prosedural sebagaimana umumnya, sebagian lainnya membentuk mekanisme internal organisasi profesi kedokteran terhadap
anggotanya. Dalam rangka pembuatan mekanisme internal tersebut, organisasi profesi kedokteran di setiap negara menyusun rambu-rambu etikanya sendiri. Di Indonesia rambu etika kedokteran ini dikenal dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang mengawinkan norma etika kedokteran secara global dengan kearifan lokal bangsa Indonesia. Realita yang Tak Sesuai Angan Kode etik kedokteran ada untuk melindungi masyarakat dari praktik kedokteran yang tidak bermartabat sekaligus menjaga kemuliaan muruah profesi dokter itu sendiri. Namun, kasus pelanggaran kode etik kedokteran yang dapat mengancam muruah profesi dokter masih sering terjadi, seakan-akan menimbulkan pertanyaan, mengapa masih ada kasus pelanggaran kode etik kedokteran padahal kode etik itu bertindak sebagai pelindung profesi? Belum sadarkah dokter di Indonesia akan manfaat dari adanya kode etik kedokteran atau belum sesuaikah kode etik kedokteran yang ada dengan kondisi negara Indonesia saat ini? Menilai tingkat kesadaran seorang
dokter terhadap manfaat adanya kode etik kedokteran memang tidak mudah. Tidak ada ukuran pasti yang dapat mengukur tingkat kesadaran seseorang terhadap suatu hal. Seyogianya, jika tingkat kesadaran para dokter terhadap manfaat dari adanya kode etik kedokteran tergolong tinggi, tingkat pelanggaran seharusnya rendah. Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Bagaimanapun, maraknya kasus pelanggaran kode etik kedokteran tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Terdapat berbagai faktor yang mendorong terjadinya pelanggaran tersebut, mulai dari belum kuatnya kontrol internal hingga masalah kesejahteraan. Oleh karena itu, penanganan kasus pelanggaran kode etik kedokteran memang bukan perkara yang mudah dan memerlukan kerja sama dari pihak terkait. Penanganan Kasus Pelanggaran Kode Etik Kasus pelanggaran kode etik kedokteran di Indonesia yang ditangani oleh MKEK dan pelanggaran disiplin kedokteran yang ditangani oleh MKDKI secara umum masih menganut asas tertutup dari publik. Hal ini bukan tanpa alasan. “Upaya mencari keadilan terhadap suatu dugaan praktik profesi kedokteran yang tidak bermartabat belum diberikan posisi yang proporsional dalam sistem yudikatif Indonesia sehingga seorang dokter dapat berpotensi diadili dua kali atau lebih untuk satu perkara yang sama. Hal ini menyimpang dari prinsip ne bis in idem,” ujar Pukovisa. bersambung ke halaman 11
Kembangkan Pengetahuan Dokter dengan Kedokteran Berbasis Bukti
Klarifikasi
Di tengah sibuknya kegiatan klinisi dan tidak sempatnya dokter melakukan penelitian sendiri untuk membuktikan beberapa keraguannya, kedokteran berbasis bukti menjadi solusi agar tetap up to date.
Pada artikel Senggang rubrik Liputan Surat Kabar Media Aesculapius edisi Maret-April 2018 terdapat kesalahan pencantuman curriculum vitae (CV) dari Prof. Dr. dr. Endang Basuki, MPH. Pada CV tersebut tercantum jabatan beliau sebagai “Konsultan Bedah Saraf RSCM”. Penulisan ini tidak benar dan beliau tidak berkecimpung dalam bidang bedah saraf. Pencantuman ini adalah kesalahan teknis dari kami. Kami menyadari fatalnya akibat yang ditimbulkan dari kesalahan ini. Oleh karena itu, kami mohon maaf sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. Endang Basuki, MPH. dan semua pihak lain yang terkait. Terima kasih.
I
lmu kedokteran terus berkembang dari masa ke masa. Metode pengobatan dan penelitian di bidang kesehatan semakin canggih hingga pendekatan pengobatan saat ini bukan hanya melalui komunitas (community-approach), melainkan juga individu (individualapproach). Seiring perkembangan tersebut, ilmu yang terus diperbarui tidak hanya memberikan keuntungan bagi dokter yang bersangkutan, tetapi juga bagi pasien berupa prosedur terapi tepat guna dan pelayanan medis yang lebih baik. Evidence-Based Medicine (EBM) atau kedokteran berbasis bukti merupakan metode untuk mengembangkan pengetahuan seorang dokter berdasarkan bukti yang diperoleh dari banyak
penelitian medis. EBM menggabungkan pengalaman klinis yang dimiliki dokter, nilai-nilai yang diakui pasien, dan bukti berupa hasil penelitian. Tujuannya adalah memperoleh pengetahuan terbaru dari berbagai penelitian guna menentukan penanganan masalah kesehatan yang sedang dihadapi berdasarkan bukti ilmiah tersebut. Praktik EBM adalah proses seumur hidup dan merupakan pembelajaran berbasis masalah untuk mendapatkan informasi medis penting berupa diagnosis, prognosis, tata laksana, dan etiologi suatu penyakit yang kemudian perlu disampaikan pada pasien. Perbedaan antara EBM dan kedokteran tradisional adalah adanya ketergantungan nyata terhadap bukti penelitian secara lebih dalam.
Pencapaian terbesar EBM adalah perkembangan systematic review dan meta analisis, dua tulisan ilmiah yang dapat digunakan peneliti dalam mengidentifikasi berbagai penelitian terkait topik tertentu, memilih studi-studi yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, serta menganalisis untuk menciptakan kesimpulan berdasarkan artikel-artikel ilmiah yang telah ditelaah. Beberapa tahun belakangan ini, EBM menjadi sangat berguna untuk menjawab beberapa pertanyaan medis yang tidak memiliki jawaban memuaskan atau keraguan ketika observasi semata justru memberikan banyak bahaya dibandingkan keuntungan bagi pasien. yuli, afiya, ilham
!