SKMA Edisi Mei-Juni 2018

Page 1

Media Aesculapius Surat Kabar

Kedokteran dan Kesehatan Nasional Terbit Sejak 1970

No. 02 l XLVIII l Mei-Juni 2018 ISSN No. 0216-4966 Konsultasi

Identifikasi Pasien Tuberkulosis (TB) untuk Penanganan yang Tepat halaman 3

Artikel Bebas

Air Alkali: Bermanfaat atau Merugikan?

Kontak Kami

Rubrik Daerah Melirik Kegiatan Internship di Kota Malang

@MedAesculapius beranisehat.com 0896-70-2255-62

halaman 10

halaman 6

Permasalahan Etik Dokter Indonesia: Sebuah Fenomena Iceberg Kode etik kedokteran yang notabene bertindak sebagai pelindung muruah profesi dokter masih saja dilanggar

T

uduhan maupun laporan kelalaian dokter saat ini bukanlah menjadi suatu fenomena yang baru. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2011, terdapat 127 kasus pelanggaran disiplin kedokteran yang masuk dan berhasil diselesaikan dalam lima tahun terakhir. Selain itu, terdapat puluhan kasus etik yang masuk dan ditangani oleh Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), baik di tingkat pusat, wilayah (provinsi), maupun cabang kota madya/kabupaten, serta Dewan Etik Perhimpunan Dokter Spesialis setiap tahunnya. Angka tersebut baru mencakup kasuskasus yang terlihat. Permasalahan etik dokter adalah suatu fenomena “gunung es” dengan jumlah kejadian yang sebenarnya banyak sekali, tetapi hanya sedikit terekam. Padahal, maraknya laporan, pengaduan, dan tuntutan atas dugaan kelalaian dokter tentu berdampak besar kepada citra dokter di mata masyarakat serta kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter dan hubungan dokter-pasien. Tidak Hanya Sekedar Aturan Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya dianggap sebagai profesi yang mulia (officium nobel) sehingga mendapat kehormatan yang istimewa di mata masyarakat, bahkan masyarakat memberi sapaan khusus untuk menghormati seorang dokter. Salah satu faktor yang menjadi pondasi mengapa kedokteran merupakan profesi yang memiliki muruah mulia menurut dr. Pukovisa Prawiroharjo, Sp.S,

Sekretaris MKEK PB IDI, adalah adanya tradisi nilai profesi dan kemanusiaan yang sangat luhur dan agung. Tradisi tersebut setia dijaga dan dipegang teguh dari generasi ke generasi hingga saat ini. Kemajuan teknologi dan ilmu kedokteran yang semakin pesat dan kekhasan nilai profesionalisme kedokteran membuat profesi dokter sejak zaman dahulu hingga saat ini semakin sulit dinilai hanya dari kacamata awam. Untuk dapat menilai kebenaran tindakan dan etika seorang dokter, dibutuhkan peran teman sejawat yang paling memahami likaliku dinamika ilmu dan penerapan kania/MA etika pada praktik sehari-hari. Oleh karena itu, profesi kedokteran di berbagai negara diminta untuk mengatur dirinya sendiri dan membentuk mekanisme internal dengan tujuan utama menghindarkan kerugian pada masyarakat awam yang kurang mengetahui secara detail perkembangan ilmu dan etika kedokteran. Sebagian pengaturan itu kemudian diundangkan resmi menjadi produk hukum di negara tempat dokter tersebut berpraktik dengan mekanisme prosedural sebagaimana umumnya, sebagian lainnya membentuk mekanisme internal organisasi profesi kedokteran terhadap

anggotanya. Dalam rangka pembuatan mekanisme internal tersebut, organisasi profesi kedokteran di setiap negara menyusun rambu-rambu etikanya sendiri. Di Indonesia rambu etika kedokteran ini dikenal dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang mengawinkan norma etika kedokteran secara global dengan kearifan lokal bangsa Indonesia. Realita yang Tak Sesuai Angan Kode etik kedokteran ada untuk melindungi masyarakat dari praktik kedokteran yang tidak bermartabat sekaligus menjaga kemuliaan muruah profesi dokter itu sendiri. Namun, kasus pelanggaran kode etik kedokteran yang dapat mengancam muruah profesi dokter masih sering terjadi, seakan-akan menimbulkan pertanyaan, mengapa masih ada kasus pelanggaran kode etik kedokteran padahal kode etik itu bertindak sebagai pelindung profesi? Belum sadarkah dokter di Indonesia akan manfaat dari adanya kode etik kedokteran atau belum sesuaikah kode etik kedokteran yang ada dengan kondisi negara Indonesia saat ini? Menilai tingkat kesadaran seorang

dokter terhadap manfaat adanya kode etik kedokteran memang tidak mudah. Tidak ada ukuran pasti yang dapat mengukur tingkat kesadaran seseorang terhadap suatu hal. Seyogianya, jika tingkat kesadaran para dokter terhadap manfaat dari adanya kode etik kedokteran tergolong tinggi, tingkat pelanggaran seharusnya rendah. Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Bagaimanapun, maraknya kasus pelanggaran kode etik kedokteran tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Terdapat berbagai faktor yang mendorong terjadinya pelanggaran tersebut, mulai dari belum kuatnya kontrol internal hingga masalah kesejahteraan. Oleh karena itu, penanganan kasus pelanggaran kode etik kedokteran memang bukan perkara yang mudah dan memerlukan kerja sama dari pihak terkait. Penanganan Kasus Pelanggaran Kode Etik Kasus pelanggaran kode etik kedokteran di Indonesia yang ditangani oleh MKEK dan pelanggaran disiplin kedokteran yang ditangani oleh MKDKI secara umum masih menganut asas tertutup dari publik. Hal ini bukan tanpa alasan. “Upaya mencari keadilan terhadap suatu dugaan praktik profesi kedokteran yang tidak bermartabat belum diberikan posisi yang proporsional dalam sistem yudikatif Indonesia sehingga seorang dokter dapat berpotensi diadili dua kali atau lebih untuk satu perkara yang sama. Hal ini menyimpang dari prinsip ne bis in idem,” ujar Pukovisa. bersambung ke halaman 11

Kembangkan Pengetahuan Dokter dengan Kedokteran Berbasis Bukti

Klarifikasi

Di tengah sibuknya kegiatan klinisi dan tidak sempatnya dokter melakukan penelitian sendiri untuk membuktikan beberapa keraguannya, kedokteran berbasis bukti menjadi solusi agar tetap up to date.

Pada artikel Senggang rubrik Liputan Surat Kabar Media Aesculapius edisi Maret-April 2018 terdapat kesalahan pencantuman curriculum vitae (CV) dari Prof. Dr. dr. Endang Basuki, MPH. Pada CV tersebut tercantum jabatan beliau sebagai “Konsultan Bedah Saraf RSCM”. Penulisan ini tidak benar dan beliau tidak berkecimpung dalam bidang bedah saraf. Pencantuman ini adalah kesalahan teknis dari kami. Kami menyadari fatalnya akibat yang ditimbulkan dari kesalahan ini. Oleh karena itu, kami mohon maaf sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. Endang Basuki, MPH. dan semua pihak lain yang terkait. Terima kasih.

I

lmu kedokteran terus berkembang dari masa ke masa. Metode pengobatan dan penelitian di bidang kesehatan semakin canggih hingga pendekatan pengobatan saat ini bukan hanya melalui komunitas (community-approach), melainkan juga individu (individualapproach). Seiring perkembangan tersebut, ilmu yang terus diperbarui tidak hanya memberikan keuntungan bagi dokter yang bersangkutan, tetapi juga bagi pasien berupa prosedur terapi tepat guna dan pelayanan medis yang lebih baik. Evidence-Based Medicine (EBM) atau kedokteran berbasis bukti merupakan metode untuk mengembangkan pengetahuan seorang dokter berdasarkan bukti yang diperoleh dari banyak

penelitian medis. EBM menggabungkan pengalaman klinis yang dimiliki dokter, nilai-nilai yang diakui pasien, dan bukti berupa hasil penelitian. Tujuannya adalah memperoleh pengetahuan terbaru dari berbagai penelitian guna menentukan penanganan masalah kesehatan yang sedang dihadapi berdasarkan bukti ilmiah tersebut. Praktik EBM adalah proses seumur hidup dan merupakan pembelajaran berbasis masalah untuk mendapatkan informasi medis penting berupa diagnosis, prognosis, tata laksana, dan etiologi suatu penyakit yang kemudian perlu disampaikan pada pasien. Perbedaan antara EBM dan kedokteran tradisional adalah adanya ketergantungan nyata terhadap bukti penelitian secara lebih dalam.

Pencapaian terbesar EBM adalah perkembangan systematic review dan meta analisis, dua tulisan ilmiah yang dapat digunakan peneliti dalam mengidentifikasi berbagai penelitian terkait topik tertentu, memilih studi-studi yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, serta menganalisis untuk menciptakan kesimpulan berdasarkan artikel-artikel ilmiah yang telah ditelaah. Beberapa tahun belakangan ini, EBM menjadi sangat berguna untuk menjawab beberapa pertanyaan medis yang tidak memiliki jawaban memuaskan atau keraguan ketika observasi semata justru memberikan banyak bahaya dibandingkan keuntungan bagi pasien. yuli, afiya, ilham

!


2

MEI - JUNI 2018

JULI

DARI KAMI “Tak ada gading yang tak retak”. Manusia memang tidaklah sempurna. Tenaga kesehatan adalah manusia, tetapi senantiasa berusaha mencapai kesempurnaan itu ketika melayani pasien. Namun, sering kali dalam praktik di lapangan, jalan tidaklah mulus. Sebagian mengalami masalah, termasuk dalam hal etika berpraktik. Banyak kasus mengenai praktik kurang beretika dokter Indonesia. Sebagai sesama tenaga kesehatan, apa peran kita? Bagaimana peraturan dan hukum di negara kita menyelesaikan masalah semacam ini? Dalam rubrik Headline kami sajikan ulasannya langsung dari narasumber yang berkecimpung di bidang ini. Mewujudkan pelayanan terbaik butuh pemahaman kuat. Dalam rubrik Klinik dapat Anda simak ulasan untuk menjadi handal melakukan kuretase. Mari mengingat kembali ilmu obstetri dan ginekologi yang telah lalu. Menjadi pribadi yang baik juga berarti belajar dari kesalahan masa lalu. Memaknai setiap kejadian dan mengambil hikmah tiap pengalaman membuat kita berhati-hati dalam melangkah. Refleksi ini dapat kita tarik dari cerita Troy di rubrik Opini dan Humaniora. Setelah membaca beberapa artikel, segarkan kembali pikiran Anda dengan mengerjakan kuis cari kata dan melirik khasiat air alkali dalam rubrik Ilmiah Populer. Bicara tentang cinta, bicara tentang yoga. Ada apa antara cinta dan yoga? Mari simak Senggang dalam rubrik Liputan. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih dan selamat membaca!

Veronika Renny Pemimpin Redaksi

MA FOKUS

Benar dalam Berpraktik, Bermoral dalam Bermedia Sosial Kemajuan teknologi informasi dikenal sebagai pedang bermata dua yang mana di satu sisi membawa penerangan, tetapi dapat menjadi “penusuk” di sisi lain. Tak jarang tertulis banyak opini, baik bersifat positif maupun negatif, ketika suatu tulisan dilayangkan ke media sosial. Di saat arus informasi begitu deras dan kebebasan berpendapat terbuka lebar seperti sekarang ini, “hati-hati” adalah kata yang harus selalu dicamkan ketika akan menulis di media sebagai tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan, terutama dokter, sangat terikat dengan kode etik profesi di manapun berada. Dari banyak pasal dalam buku Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), pasal tentang kerahasiaan sering kali disebut ketika terjadi masalah pada tulisan yang dipublikasikan ke media. Contoh kasus yang pernah ditemui adalah diskusi mengenai penyakit pasien dan pengunggahan foto tanpa seizin pasien di media sosial. Dalam KODEKI 2012 jelas tertulis bahwa dokter terikat pada kewajiban simpan rahasia. Pembukaan informasi kepada pihak ketiga atau masyarakat luas membutuhkan izin persetujuan pasien. Sejalan dengan hal ini, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektrolik melarang adanya publikasi informasi yang bersifat rahasia tanpa seizin pihak terkait, apa lagi hingga mengakibatkan kerugian. Pihak pelanggar dapat dihukum dengan pidana maksimal 10 tahun penjara atau denda maksimal Rp5.000.000.000,00. Mengingat posisi terhormat profesi dokter di mata masyarakat, membentengi diri dari pelanggaran, baik sengaja maupun tidak, merupakan upaya yang patut dilakukan. Penghapusan identitas dilakukan untuk mencegah adanya pihak yang mampu melacak privasi pasien. Pengaturan privasi akun media sosial juga perlu diperhatikan sesuai kebutuhan penggunaan dan tujuan publikasi. Tak hanya berhati-hati agar tidak menuliskan identitas pasien, hubungan dengan pasien di media sosial patut dijaga dalam batas aman. Kedekatan dengan pasien secara nonprofesional bisa jadi menambah kebebasan dalam berbagi informasi hingga menjurus pada pembukaan informasi yang tidak perlu. Curahan hati pada pasien yang telah dianggap dekat di media sosial juga dapat berujung pada pencemaran nama baik teman sejawat atau institusi tertentu. Pemanfaatan media sosial sebagai sarana edukasi pun hendaknya didasari niat tulus dan jujur. Pasal 4 KODEKI 2012 memaparkan bahwa dokter tidak selayaknya melakukan tindakan memuji diri, walaupun mungkin secara tidak sengaja. Promosi dan urusan periklanan dilakukan sesuai peraturan disiplin berisi informasi yang relevan dan terpercaya, misalnya informasi berdasarkan penelitian ilmiah terbaru serta akurat. Dalam hal ini, testimoni bukanlah dasar informasi yang kuat. Menjadi panutan masyarakat tidak berarti harus berhenti berekspresi demi menjaga citra profesi tetap baik. Namun, dengan memerhatikan etika bermedia sosial, seorang dokter tak hanya melindungi diri sendiri, melainkan juga pasien serta teman sejawatnya.

KLINIK

MEDIA

AESCULAPIUS

MA KLINIK

Waspada Glaukoma saat Konsumsi Steroid Di balik gelarnya sebagai obat untuk mengatasi radang, steroid menyimpan ancaman besar bagi kesehatan mata.

G

laukoma akibat steroid adalah gangguan penglihatan dan lapang pandang yang dipicu oleh peningkatan tekanan intraokular (TIO) akibat penggunaan steroid secara topikal, lokal, atau sistemik. Peningkatan TIO secara mekanis akan merusak saraf optik yang berperan penting dalam proses penglihatan. Sejatinya, tidak semua penggunaan steroid mampu memicu peningkatan TIO. Jenis, dosis, frekuensi, durasi, dan cara pemakaian steroid sangat menentukan terjadinya glaukoma akibat steroid. Penelitian yang dikembangkan oleh Armaly dan Becker melaporkan bahwa sekitar 5-6% pasien yang memperoleh terapi deksametason dan betametason selama 4-6 minggu mengalami peningkatan TIO. Angka ini berbanding lurus dengan peningkatan dosis dan durasi pengobatan yang diterapkan pada masing-masing pasien. Peningkatan TIO bisa muncul sejak seminggu hingga setahun setelah penggunaan steroid rutin. Penggunaan steroid topikal di sekitar mata diketahui memiliki efek yang paling cepat dalam merangsang peningkatan TIO dibandingkan metode administrasi lainnya. Steroid memicu terjadinya serangkaian proses mekanis dan kimiawi yang mengganggu drainase akuos di tuberkulum. Kondisi ini menyebabkan akumulasi akuos sehingga berakhir pada peningkatan tekanan bola mata hingga lebih dari 35 mmHg. Tekanan tinggi ini akan merangsang respons cedera mekanis dari struktur di sekitarnya, termasuk saraf optik. Pasien glaukoma primer sudut terbuka dan orang dengan riwayat glaukoma memiliki kecenderungan untuk mengalami glaukoma sekunder akibat penggunaan steroid. Selain itu, penderita diabetes dan gangguan mata lainnya, seperti miopia tinggi turut menjadi kristian/MA faktor risiko glaukoma akibat steroid. Pemeriksaan mata secara berkala perlu dilakukan pada pasien dengan status pengobatan steroid rutin untuk menilai peningkatan TIO yang mungkin terjadi dan kepentingan pengambilan tata laksana segera jika diperlukan. Kondisi peningkatan TIO akibat penggunaan steroid sering kali sulit terdeteksi sejak dini. Penggunaan obat oles mata yang mengandung kombinasi antibiotik dan steroid tanpa pengawasan dokter meningkatkan insidensi peningkatan TIO yang tidak terkontrol. Obat ini sering diresepkan oleh dokter pada kasus alergi mata dan kemudian dibeli sendiri oleh pasien secara terusmenerus tanpa adanya kontrol ulang. Pasien baru akan memeriksakan keadaannya ke dokter setelah muncul keluhan penglihatan akibat kerusakan saraf mata yang berat.

MEDIA AESCULAPIUS

Gejala glaukoma akibat steroid sebenarnya menyerupai glaukoma sudut terbuka. Pasien Narasumber: akan mengeluhkan Dr. dr. Virna Dwi Oktariana, SpM(K) Kepala Divisi Glaukoma penglihatan yang Departemen Ilmu Kesehatan Mata buram dan tampak FKUI - RSCM Kirana gambaran pelangi akibat terjadinya radang kornea, meskipun mata tidak tampak merah. Peningkatan TIO akan terus berlangsung jika penggunaan steroid tidak dihentikan dan tidak mendapatkan penanganan yang sesuai. Pada pasien bayi, gejala yang tampak dapat menyerupai glaukoma kongenital. Prinsip utama tata laksana glaukoma akibat steroid adalah penghentian penggunaan steroid setelah terdeteksi adanya peningkatan TIO. Pada glaukoma akibat steroid ringan hingga sedang, penghentian penggunaan steroid mampu menurunkan TIO secara signifikan. Namun, terdapat beberapa kondisi yang mengharuskan penggunaan steroid tidak dihentikan. Untuk itu, disarankan pemberian steroid alternatif, seperti tetrahidrotriamsinolon dan medrison yang memiliki potensi lebih lemah, sehingga peningkatan TIO masih dapat dikontrol. Jika peningkatan TIO tidak kunjung turun dengan penghentian penggunaan steroid, pemberian obat-obatan khusus glaukoma dapat membantu menurunkan TIO. Penghambat beta (timolol), inhibitor karbonik anhidrase (asetazolamid atau brinzolamid), dan analog prostaglandin (latanoprost atau travoprost) merupakan beberapa obat pilihan yang bisa digunakan. Khusus untuk analog prostaglandin, penggunaannya harus lebih diperhatikan pada penderita uveitis karena obat jenis ini diketahui mampu menginduksi radang mata yang lebih parah. Tindakan operatif seperti operasi filtrasi dan pemasangan implan glaukoma dilakukan apabila obat-obatan tidak mampu mengontrol peningkatan TIO. Keberhasilan tindakan operatif pada glaukoma dapat menurun seiring berjalannya waktu. Oleh sebab itu, pengawasan berkala harus tetap dilakukan. Pemeriksaan lapang penglihatan dan pencitraan lapisan serabut saraf retina (RNFL/Retinal Nerve Fiber Layer) merupakan modalitas pemeriksaan pilihan yang bisa dilakukan. Apabila ditemukan progresivitas kerusakan saraf, diperlukan intervensi yang lebih agresif.

Pelindung: Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis M. Met. (Rektor UI), Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP (Dekan FKUI) Penasihat: Dr. Arman Nefi, S.H., M.M. (Direktur Kemahasiswaan UI), dr. Affan Priyambodo Permana, SpBS(K) (Koordinator Kemahasiswaan FKUI) Staf Ahli: Seluruh Kepala Bagian FKUI/RSUPNCM, Prof. Dr. Ma’rifin Husein (CHS), dr. Muki Reksoprodjo, dr. Boen Setiawan, dr. Sudarso, dr. E. Oswari, DPH, Prof. Dr. Arjatmo Tjokronegoro, PhD, dr. Hapsara, DPH (Kemenkes RI), dr. Fahmi Alatas, Prof. dr. Marwali Harahap, SpKK, Prof. Dr. Umar Fahmi Achmadi, MPH Pembantu Khusus: Seluruh Alumni Aesculapius dan Media Aesculapius

Pemimpin Umum: Maria Isabella. PSDM: Dewi Anggraeni, Reyza Tratama, Yusuf Ananda, Teresia Putri. Pemimpin Produksi: Shafira Chairunnisa. Tata Letak dan Cetak: Idzhar Arrizal. Ilustrasi dan Fotografi: Kristian Kurniawan. Staf Produksi: Kania Indriani, Fiona Muskananfola, Devi Elora, Nathaniel Aditya, Anthonius Yongko, Irfan Kresnadi, Teresia Putri, Hansel T. Widjaja, Itsna Arifatuz Z., Kelvin Gotama, Skolastika Mitzy, Meutia Naflah G., Dewi Anggraeni, Bagus Radityo Amien, Arlinda Eraria Hemasari, Robby Hertanto, Anyta Pinasthika, Gabriella Juli Lonardy, Herlien Widjaja, Dinda Nisapratama. Pemimpin Redaksi: Veronika Renny Kurniawati. Wakil Pemimpin Redaksi: Levina Putri Siswidiani. Redaktur Senior: Rifka Fadhilah, Shierly Novitawati, Irma Annisa, Hiradipta Ardining, Tommy Toar, Farah Vidiast, Phebe Anggita Gultom, Clara Gunawan. Redaktur Desk Headline: Reyza Tratama. Redaktur Desk Klinik: Renata Tamara. Redaktur Desk Ilmiah Populer: Tiffany Rosa. Redaktur Desk Opini & Humaniora: Vannessa Karenina. Redaktur Desk Liputan: Aisyah Rifani. Reporter Senior: Puspalydia Pangestu, Salma Suka Kyana Nareswari, Camilla Sophi Ramadhanti. Reporter Junior: Joanna Erin, Fadlika Harinda, Abdillah Y Wicaksono, Maria Isabella, Nadhira Najma, Stefanus Sutopo, Nur Afiahuddin, Dina Fitriana, Farah Qurrota, Afiyatul M., Nathalia Isabella, Rayhan Farandy, Yuli Maulidiya, M. Ilham Dhiya, Filbert Liwang, Alexander Kelvyn. Pemimpin Direksi: Trienty Batari. Finansial, Sirkulasi, dan Promosi: Angela Kimberly, Koe Stella Asadinia, Tiara Grevillea, Felix Kurniawan, Elizabeth Melina, Faya Nuralda Sitompul, Jevi Septyani Latief, Heriyanto Khiputra, Tania Graciana, Novitasari Suryaning Jati, Rahma Maulidina Sari, Aisyah Aminy Maulidina, Ainanur Aurora, Yusuf Ananda, Agassi Antoniman, Alice Tamara, Safira Amelia, Syafira Nurlaila, Lowilius Wiyono, Jeremy Rafael, Iskandar Geraldi. Buku: Reganedgary Jonlean, Husain Muhammad Fajar Surasno, Nadira Prajnasari Sanjaya, Roberto Bagaskara, Tiroy Junita, Indah Fitriani, Sabrina Tan, Gilbert Mayer C, Marie Christabelle, Andi Gunawan K., Bunga Cecilia. Alamat: Media Aesculapius BEM IKM FKUI. Gedung C lantai 4, Rumpun Ilmu Kesehatan, Kampus UI Depok. E-mail: medaesculapius@gmail.com, Rek. 157-0004895661 Bank Mandiri Cabang UI Depok, website: beranisehat.com Alamat Redaksi/Sirkulasi: Media Aesculapius PO BOX 4201, Jakarta 10042, Harga Langganan: Rp18.000,00 per enam edisi gratis satu edisi (untuk seluruh wilayah Indonesia, ditambah biaya kirim Rp. 5.000,00 untuk luar Jawa), fotokopi bukti pembayaran wesel pos atau fotokopi bukti transfer via Bank Mandiri dapat dikirim ke alamat sirkulasi. MA menerima kiriman naskah dari pembaca untuk rubrik MA Klinik (khusus untuk dokter dan staf pengajar), Asuhan Keperawatan (khusus untuk perawat dan mahasiswa keperawatan) Sepuki, Suma, Suduk, Kolum, Arbeb, Kesmas, Seremonia, dan Konsultasi (berupa pertanyaan). Kirimkan email permohonan penulisan ke redaksima@yahoo.co.id dan kami akan mengirimkan spesifikasi rubrik yang Anda minati.

Kirimkan kritik dan saran Anda:

redaksima@yahoo.co.id

Website Media Aesculapius

beranisehat.com

Dapatkan info terbaru kami: @MedAesculapius


MEDIA

AESCULAPIUS

KLINIK

JULI

MEI - JUNI 2018

3

KONSULTASI

Identifikasi Pasien Tuberkulosis (TB) untuk Penanganan yang Tepat Kapan pasien TB harus dirujuk? Pertanyaan: Bagaimana manifestasi klinis pasien TB yang dapat ditangani layanan primer, kapan rujukan dilakukan ke dokter spesialis, serta bagaimana edukasi pencegahan TB? - dr. Anita Dwi Shanti, Sukoharjo

T

B adalah penyakit akibat infeksi ​ Mycobacterium tuberculosis ​yang biasanya menyerang paru-paru dan ditularkan melalui udara. Penyakit ini sebenarnya dapat dicegah maupun disembuhkan. Hingga saat ini, TB masih menjadi masalah kesehatan yang besar di Indonesia dan dunia. Kasus baru TB mencapai 10,4 juta termasuk 1,02 juta kasus TB ditemukan di Indonesia. Permasalahan TB yang belum selesai juga diperparah dengan kemunculan TB resisten terhadap rifampisin (R) dan isoniazid (INH) yang disebut ​TB multidrug resistant ​(TB MDR). Dokter umum perlu mengenali kasus TB secara tepat sehingga bisa ditangani dengan baik serta perlu mengenal kriteria rujukan sehingga tidak terjadi resistensi terhadap tata laksana dan komplikasi lainnya. Manifestasi klinis TB paru ditandai dengan batuk lebih dari dua minggu, keringat malam hari, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, dan lesu. Pada beberapa kasus dapat ditemukan adanya demam, sesak napas, batuk berdarah, dan nyeri dada. Temuan pemeriksaan fisik beragam bergantung organ yang terlibat dan pada infeksi awal sering tidak ditemukan adanya kelainan. Pada umumnya, kelainan paru ditemukan di daerah lobus superior, yakni di daerah apeks dan segmen posterior.

Selain itu, dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, melemah, ronki basah, serta tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum. Penegakan diagnosis TB memerlukan pemeriksaan fisis dan penunjang. Saat ini, modalitas utama diagnosis TB adalah melalui cek sputum basil tahan asam (BTA). Pada pasien dengan kecurigaan MDR, perlu dilakukan pemeriksaan tes cepat molekular (Xpert Mtb, Line Probe Assay) dan biakan TB. Saat ini, tes cepat molekular juga dipertimbangkan untuk menegakkan diagnosis semua kasus TB. Sementara itu, untuk mendiagnosis TB ekstra paru, diperlukan biakan dari jaringan yang diduga terinfeksi. Penggunaan foto toraks juga dapat membantu menegakkan diagnosis TB BTA negatif. Pada prinsipnya, penanganan TB paru dapat dikerjakan oleh dokter umum, kecuali pada kondisi curiga TB MDR, TB ekstra paru yang berat, komplikasi berat akibat TB, efek samping mayor obat TB, dan TB dengan komorbid. Bila terdapat tanda TB MDR, segera rujuk pasien ke fasilitas rujukan yang memiliki pemeriksaan untuk mengidentifikasi obat, seperti tes cepat

molekular dan kultur resistensi. Pasien dengan komplikasi TB berat perlu dirujuk ke fasilitas memadai. Contoh komplikasi berat TB antara lain hemoptisis massif, sesak yang memberat, dan penurunan kesadaran yang memerlukan penanganan segera. Beberapa TB ekstra paru yang sulit untuk ditangani di layanan primer juga perlu dirujuk, seperti spondilitis TB berat. Efek samping mayor obat TB perlu diperhatikan selama pengobatan TB, terutama saat fase intensif. Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan diantaranya tuli, gangguan keseimbangan (vertigo dan nistagmus), ikterik/hepatitis imbas obat, gatal dan kemerahan pada kulit, gangguan penglihatan, muntah yang disertai ​ confusion, serta gangguan sistemik seperti purpura hingga syok. Saat ini komorbid paling sering menyertai terput/MA infeksi TB adalah infeksi HIV dan diabetes mellitus (DM). Pasien TB sebaiknya diperiksakan kedua penyakit tersebut, begitu juga sebaliknya. Hal ini penting terutama bagi populasi rentan, seperti pasien HIV yang tinggal bersama dengan pasien TB, pasien HIV yang sedang hamil, dan pasien HIV yang tinggal di daerah konsentrasi, seperti pengungsian, penjara, dan lain-lain.

Narasumber: dr. Diah Handayani, Sp.P Divisi Infeksi Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP Persahabatan

Edukasi pencegahan TB dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya menjelaskan kepada pasien bahwa TB bersifat menular, mengharuskan penggunaan masker pada pasien BTA positif, mengajari cara dan etika batuk yang baik. Jika memungkinkan, lakukan kunjungan rumah dan evaluasi ventilasi serta pajanan matahari di rumah. Identifikasi keluarga yang tinggal bersama pasien dan lakukan skrining TB serta berikan terapi pencegahan pada populasi rentan. Terakhir, pasien dan keluarga juga perlu diingatkan akan pentingnya kepatuhan berobat dan adanya pengawas menelan obat sehingga pengobatan bisa selesai sampai tuntas. Kirimkan pertanyaan Anda seputar medis ke redaksima@yahoo.co.id. Pertanyaan Anda akan dijawab oleh narasumber spesialis terpercaya.

TIPS DAN TRIK

Handal Lakukan Kuretase

K

Kuretase terlihat umum dilakukan, namun sudahkah Anda tahu cara tepat melakukan kuretase?

uretase merupakan salah satu aktivitas klinis yang dilakukan pada kondisi kedaruratan kebidanan. Indikasi dilakukan kuretase adalah ketika dibutuhkannya pengosongan uterus segera. Sebagai salah satu keahlian yang harus dimiliki oleh dokter, khususnya dokter spesialis obstetri dan ginekologi, kuretase harus bisa dilakukan dengan cara yang tepat. Siapkan instrumen yang diperlukan seperti tenakulum, spekulum sims, spekulum cocor bebek, klem ovum, set sendok kuret, set dilator serviks, cunam tampon, dan sonde uteri. Selanjutnya, lakukan upaya pencegahan infeksi seperti mencuci tangan dan menggunakan peralatan steril. Tindakan persiapan bagi pasien adalah pasien diminta berkemih terlebih dahulu. Selain itu, bentuk persiapan pasien lainnya adalah pemberian dukungan secara psikologis. Setelah pasien siap, berikan petidin 1-2 mg/ kgBB secara intramuskular (IM) atau intravena (IV). Kemudian, suntikkan sepuluh unit oksitosin atau 0,2 mg IM. Tujuan pemberian oksitosin adalah membuat uterus berkontraksi dan mengurangi risiko terjadinya perforasi.

Langkah selanjutnya adalah meminta pasien berada dalam posisi litotomi. Lalu lakukan pemeriksaan bimanual yang bertujuan untuk menentukan bukaan serviks, arah, besar, dan konsistensi uterus serta kondisi forniks. Usapkan antiseptik pada vagina dan serviks menggunakan teknik tanpa sentuh. Setelah itu, lakukan pemasangan spekulum sims bawah dan atas serta usahakan posisi spekulum dipertahankan dengan baik. Pada posisi tersebut, periksa apakah terdapat hasil konsepsi di kanalis servikalis atau robekan serviks. Jika ya, segera ambil

adit/MA

menggunakan forsep ovum. Lakukan penjepitan bibir depan porsio menggunakan tenakulum pada pukul 11 atau 1. Pada bibir depan atau belakang serviks, suntikkan lignokain 0,5% sebanyak 1 ml sebagai anestesi. Jika dibutuhkan, dilatasi dapat dikerjakan menggunakan dilator kecil sampai kanalis. Lakukan sondase uterus yang bertujuan memeriksa arah dan kedalaman kavum uteri. Tindakan ini dijadikan pedoman saat proses kerok dinding uterus dilakukan. Lalu, masukkan sendok kuret dan lakukan proses kerok dinding uterus hingga bersih. Jika sudah, lepaskan tenakulum. Periksa apakah terdapat perdarahan pada bekas jepitan tenakulum. Lepaskan seluruh alat yang digunakan, rendam di larutan klorin 0,5%, dan bersihkan vagina. Lakukan kembali pemeriksaan bimanual untuk menilai kondisi uterus pasien. Pasien juga dapat diberikan ergometrin 0,152 mg atau merthergin 0,2 mg IM. Ketika kuretase sudah selesai dilakukan, periksa keadaan pasien secara umum. Jika tidak terdapat komplikasi, pasien boleh pulang. Perawatan pascatindakan adalah pemberian antibiotik, analgesik, dan oksitoksin. Pasien juga diharuskan beristirahat selama 4-6 minggu. Kontrol dilakukan setiap dua minggu sekali selama tiga bulan untuk mengetahui keadaan pasien.​ nathalia

JASA PEMBUATAN BUKU Media Aesculapius menyediakan jasa penyusunan buku yang sangat fleksibel baik dalam hal desain cover dan isi, ukuran dan tebal buku, maupun gaya penulisan termasuk menyunting tulisan anda. Tak terbatas hingga penyusunan saja, kami siap melayani distribusi buku anda. Adapun buku yang pernah kami buat: buku biografi tokoh, buku pemeriksaan fisik berbagai departemen, buku jurnal, dan Kapita Selekta Kedokteran.

Hubungi Hotline MA: 0896-70-2255-62 (SMS/WhatsApp)


4

MEI - JUNI 2018

KLINIK

JULI

MEDIA

AESCULAPIUS

MA INFO

Siap Terima Pasien Sindrom Koroner Akut Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kondisi yang membutuhkan penanganan dan diagnosis yang tepat dengan segera. Dokter pada tingkat layanan primer harus dapat melakukan hal tersebut dengan baik.

S

KA terjadi akibat stenosis pembuluh koroner sehingga menyebabkan kondisi iskemia. Kecilnya diameter pembuluh koroner dapat disebabkan oleh obstruksi atau spasme. Penyebab terbanyak kasus SKA adalah pecahnya plak ateroma yang memicu terbentuknya trombus. Terbentuknya trombus memicu pelepasan zat vasoaktif sehingga memperparah kondisi iskemia.

idzhar/MA

SKA dapat dibedakan berdasarkan pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan marka jantung. SKA dibagi menjadi tiga yakni infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST Segment Elevation Myocardial Infarction), infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI: Non-ST Segment Elevation Myocardial Infarction), dan angina pektoris tidak stabil (UAP: Unstable Angina Pectoris). STEMI akan menunjukkan terjadinya elevasi segmen ST pada pemeriksaan EKG, sedangkan NSTEMI dan UAP dibedakan berdasarkan ada tidaknya peningkatan marka jantung secara signifikan. Uji marka jantung yang dilakukan berupa uji troponin I/T dan CK-MB. Pada NSTEMI akan terjadi peningkatan marka jantung secara signifikan, tetapi tidak pada UAP. Pasien dengan nyeri dada harus segera dilakukan tes EKG dan tes marka jantung segera setelah tiba di ruang gawat darurat. Dokter harus segera menentukan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar langkah penanganan selanjutnya. Terapi awal pada pasien curiga SKA meliputi MONACO (morfin, oksigen, nitrat, dan aspirin).

Pada saat pasien datang, segera lakukan tirah baring. Jika saturasi oksigen arteri <90% atau mengalami gagal napas, segera beri suplemen oksigen (Kelas I-C). Suplementasi oksigen tidak direkomendasikan jika saturasi oksigen ≥90% (Kelas III). Pemberian aspirin 160-320 mg dapat dilakukan segera kepada pasien yang tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tanpa salut lebih dipilih mengingat lebih cepatnya absorbsi sublingual. Pemberian nitrogliserin (NTG) spray atau tablet sublingual baik dilakukan pada pasien jika angina masih berlangsung saat pasien datang. Pemberian dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali jika angina tidak hilang. Apabila pasien tetap tidak berespons setelah pemberian tiga kali NTG, berikan NTG intravena. NTG dapat diganti dengan isosorbid dinitrat (ISDN) bila tidak tersedia. Morfin sulfat 1-5 mg intravena juga dapat diberikan pada pasien yang tidak respons terhadap NTG subligual. Pemberiannya dapat diulang setiap 10-30 menit. Selain obat di atas, terdapat pula penghambat reseptor ADP yang biasa diberikan pada pasien dengan dugaan SKA. Ticagrelor diberikan dengan dosis awal 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg. Obat ini tidak diberikan pada pasien yang akan menjalani reperfusi dengan

agen fibrinolitik. Pasien yang direncanakan reperfusi dengan agen fibrinolitik dapat diberikan clopidogrel sebagai pengganti ticagrelor dengan dosis awal 300 mg dan dilanjutkan dosis pemeliharaan sebesar 75 mg per hari. Berdasarkan stratifikasi risiko, pasien NSTEMI dan UAP dengan risiko tinggi hingga sangat tinggi dapat dilakukan terapi invasif dengan melibatkan angiografi yang memiliki empat kategori. Kategori pertama adalah strategi invasif segera (<2 jam) pada pasien yang memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi. Kategori kedua adalah strategi invasif awal dalam 24 jam yang dilakukan pada pasien dengan skor GRACE >140 atau yang memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi primer. Kategori ketiga adalah strategi invasif awal dalam 72 jam yang dilakukan pada pasien dengan kriteria risiko tinggi atau gejala berulang. Sedangkan kategori keempat adalah strategi konservatif yakni tindakan tanpa angiografi dan dilakukan pada pasien tanpa risiko tinggi sampai sangat tinggi. Sementara itu, pasien STEMI sebisa mungkin mendapat terapi reperfusi dengan primary PCI atau fibrinolitik jika onset nyeri dada <12 jam atau berulang setelah 12 jam. farah

ASUHAN KESEHATAN

Perawatan Hemofilia: Luka yang Terus Terbuka Benarkah perdarahan pada hemofilia tidak bisa berhenti?

H

emofilia merupakan kondisi gangguan penggumpalan darah akibat defisiensi Faktor VIII (Hemofilia A) atau Faktor IX (Hemofilia B) yang berperan pada proses pembentukan benang fibrin. Gangguan ini menyebabkan perdarahan yang sukar berhenti (terutama setelah tindakan intervensi medis. Perdarahan yang paling sering terjadi adalah perdarahan sendi saat berjalan atau berlari. Pasien hemofilia sering mengeluhkan persendian yang membengkak, membiru, dan nyeri, terutama pada sendi panggul, lutut, dan telapak kaki. Hal ini karena persendian tersebut berfungsi menahan tekanan berat badan. Ketika berjalan, terjadi mikrotrauma pada pembuluh darah di sekitar sendi yang tertekan saat menahan berat badan. Pada individu normal, mikrotrauma dapat tertutup dengan cepat, tetapi pada hemofilia akan menjadi perdarahan yang berlanjut hingga terjadi bengkak dan nyeri sendi. Manajemen nyeri dapat dilakukan dengan pendekatan awal

RICE: Rest (istirahat), ketika terjadi perdarahan, daerah yang mengalami perdarahan harus diistirahatkan; Ice (es), pemberian es pada daerah perdarahan selama 10-15 menit setiap dua jam; Compression (tekanan), pemberian tekanan pada daerah berdarah dengan ​elastic bandage ​(perban elastis) untuk mengurangi perdarahan); dan Elevation (mengangkat daerah perdarahan di atas jantung) untuk mengurangi hemoragia. Jika memungkinkan, pemberian faktor pembekuan dapat dilakukan sesuai dengan jenis hemofilianya. Jika masih dirasakan nyeri, dapat dilakukan pemberian analgesik yang tidak menghambat faktor agregasi platelet. Analgesik pilihan pada pasien hemofilia adalah parasetamol, jika tidak efektif, ditingkatkan perlahan dengan pemberian analgesik lanjut seperti kodein, tramadol, hingga morfin. Faktor pembekuan diberikan baik untuk menangani perdarahan ataupun sebagai manajemen profilaksis pada pasien hemofilia, sesuai dengan jenis hemofilianya. Dosis faktor pembekuan yang diberikan adalah 2540 IU/kgBB tiga kali seminggu (hemofilia A) atau dua kali seminggu (hemofilia B).

fiona/MA

JASA TERJEMAHAN Kabar Gembira! Media Aesculapius menyediakan jasa terjemahan IndonesiaInggris dan Inggris-Indonesia dengan waktu pengerjaan singkat (3 x 24 jam) serta hasil terjamin. Tidak hanya jasa terjemahan, kami juga menyediakan jasa Alexander Kelvyn Mahasiswa FKUI Tingkat III Pemberian faktor pembekuan hendaknya dilakukan pagi hari mengingat pada aktivitas dapat terjadi mikrotrauma. Selain itu, perlu diperhatikan v ​ ena akses pemberian obat ​ (karena vena akan digunakan seumur hidup, direkomendasikan menggunakan jarum kecil – 23G atau 25G). Pasien hemofilia tetap membutuhkan aktivitas fisik untuk meningkatkan perkembangan neuromuskular, terutama dengan olahraga nonkontak seperti berenang, badminton, bersepeda, mendayung, dan sejenisnya. Olahraga dengan kontak seperti tinju dan sepak bola tidak direkomendasikan karena dapat menyebabkan cedera yang berbahaya. Persendian hendaknya dilindungi dengan ​hand splint (bebat) untuk mencegah persendian bergeser berlebihan dan menyebabkan mikrotrauma. kelyvn

pembuatan slide presentasi dan poster ilmiah sesuai kebutuhan Anda.

Hubungi Hotline MA: 0896-70-2255-62 (SMS/Whatsapp)


MEDIA

Ilmiah Populer

AESCULAPIUS

JULI

MEI - JUNI 2018

5

hanselMA

KESMAS

Lawan Tuberkulosis (TB) dengan TOSS TB TB telah lama memuncaki isu kesehatan global. Lantas, bagaimana peran TOSS TB dalam mengeradikasi TB di Indonesia?

T

B bukanlah masalah kesehatan baru yang dihadapi masyarakat dunia dan terus menjadi isu kesehatan global yang tak kunjung terselesaikan. Sejak tahun 1992, World Health Organization (WHO) mencanangkan TB sebagai global emergency yang mana pencegahan dan eradikasinya menjadi tanggung jawab masyarakat global. Data terakhir oleh WHO menempatkan TB sebagai satu dari sepuluh penyebab kematian tertinggi di dunia. Global Tuberculosis Report yang dirilis WHO pada tahun 2017 menempatkan Indonesia di posisi kedua dengan pengidap TB tertinggi di dunia. Kementerian Kesehatan RI memperkirakan ada sekitar satu juta kasus TB di Indonesia, tetapi tidak lebih dari separuh yang berhasil terlaporkan. Statistik tersebut tentunya memacu pemangku kebijakan untuk kembali menggaungkan gerakan TOSS TB (Temukan Obati Sampai Sembuh Tuberkulosis), program nasional yang pertama kali diperkenalkan pada peringatan hari TB sedunia tahun 2016. Mengusung tema “Peduli TBC, Indonesia Sehat�, peringatan hari TB sedunia tahun ini kembali mengajak seluruh masyarakat untuk melakukan gerakan TOSS TB. Pencegahan dan pengendalian kasus TB diangkat sebagai fokus utama gerakan TOSS TB tahun ini,

dengan aktif melakukan deteksi dini TB serta mengobati penderita hingga tuntas. Salah satu langkah konkret yang diambil adalah dengan mengerahkan seluruh kader yang tersebar di 34 provinsi agar terjun langsung ke lapangan untuk menemukan dan memberantas penularan. Melalui kegiatan ini, ditemukan 1.857 penderita TB baru yang kemudian akan diobati dan dipantau hingga sembuh. Sejatinya, masalah utama eradikasi infeksi TB di Indonesia terkait dengan kurangnya pemerataan sistem deteksi dini. Masalah tersebut menjembatani penularan infeksi yang tidak terkontrol. Kondisi ini diperparah oleh minimnya informasi yang diterima masyarakat tentang pengobatan TB. Menurut Menteri

Kesehatan Republik Indonesia, Nila F. Moeloek, obat TB diberikan secara gratis dan harus dikonsumsi teratur selama enam hingga delapan bulan sesuai anjuran dokter. Pengobatan yang kurang baik dapat memicu resistensi kuman TB dan jika terjadi, akan diperlukan jenis pengobatan berbeda yang lebih mahal dengan durasi lebih lama. Masalah lain yang tak kalah penting adalah kondisi sosioekonomi. Kemiskinan menjadi pintu utama penularan infeksi TB akibat minimnya pengetahuan dan keinginan berobat. Tak hanya itu, kemiskinan terkait erat dengan determinan sosial lain seperti taraf pendidikan rendah dan pengangguran sehingga menurunkan akis/MA prioritas mengenai kesehatan tubuh. Pembiayaan yang erat kaitannya dengan penyediaan

fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan ahli juga menjadi masalah krusial dalam eradikasi TB. Jika pemerintah tidak mampu mengalokasikan dana yang cukup, cita-cita Indonesia bebas TB hanya menjadi impian semata. Berbagai masalah terkait eradikasi TB merupakan tantangan yang harus diselesaikan. Seluruh elemen diharapkan dapat bersatu dalam menyuarakan pentingnya deteksi dini dan pengobatan TB. Gerakan TOSS TB yang dicanangkan pemerintah dapat dijadikan acuan untuk menyukseskan tujuan ini. Selain itu, semangat yang dibawa gerakan ini selaras dengan program nasional gerakan masyarakat hidup sehat (GERMAS). Pendekatan keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat menjadi kunci dalam menumbuhkan kesadaran individu tentang bahaya TB dan pentingnya deteksi dini. Oleh sebab itu, akan sangat baik jika kedua kegiatan ini dapat berlangsung beriringan dalam mewujudkan program Indonesia sehat melalui pendekatan keluarga (PIS-PK). Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat, cita-cita Indonesia bebas TB tahun 2035 akan lebih mudah tercapai. afiahuddin

INFO OBAT

Nifedipin: Menjaga Janin pada Hipertensi Kehamilan Menyelamatkan dua orang sekaligus dengan antagonis kanal kalsium

N

ifedipin, yang tergolong sebagai calcium-channel blockers (CCB) jenis dihidropiridin (DHP), merupakan salah satu pilihan terapi hipertensi (termasuk hipertensi pada pre-eklampsia) maupun angina vasospastik. Obat ini bekerja dengan mengurangi masuknya ion kalsium dalam sel sehingga menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah (terutama arteriol) dan penurunan resistensi vaskular. Akibatnya, diharapkan terjadi efek hipotensi. Berbeda dengan otot rangka yang memiliki penyimpanan ion kalsium intraseluler, kontraktilitas dan tonus otot polos bergantung pada influks kalsium yang masuk. Selain itu, nifedipin juga berefek pada otot jantung yang membutuhkan influks kalsium pada setiap potensial aksi agar dapat berkontraksi. Sebagai antagonis kanal kalsium, nifedipin tidak menghambat seluruh kanal kalsium karena kanal yang dipengaruhi hanyalah kanal calcium voltage—gated yang bekerja secara perlahan (slowly inactivating). Kanal kalsium pada sel saraf, serabut purkinje, dan kanal transient-potential pada sel jantung tidak terpengaruhi. Efek kerja nifedipin spesifik pada sel-sel endotel otot polos. Waktu paruh nifedipin empat jam dengan bioavailabilitas 45-70%. Sama dengan CCB lainnya, nifedipin diberikan sebagai obat aktif dengan efek metabolisme lini pertama yang tinggi, ikatan protein plasma yang tinggi, dan metabolisme yang ekstensif. Oleh karena itu, untuk membantu pemberian nifedipin, kini terdapat inovasi

berupa tablet Oral Osmotic System (OROS). OROS mengandung tiga komponen utama, diantaranya zat aktif, komponen osmotik pendorong, dan tutup kapsul. Berbeda dengan tablet biasa yang akan langsung larut dan diserap, komponen osmotik pendorong akan mendorong obat sehingga laju keluar obat dikontrol melalui lubang pada badan kapsul. Kini nifedipin tersedia dalam tiga jenis sediaan utama: sediaan biasa (tab 10 mg), lepas lambat (prolonged-action) dengan dosis 20 mg, dan Gastrointestinal Therapeutic System (GITS)/OROS. Hingga saat ini, sediaan yang ada dalam Formularium Nasional (Fornas) adalah sediaan biasa dan sediaan lepas lambat. Sediaan OROS adalah pengembangan dari lepas lambat, yaitu pelepasan obat bergantung pada kompartemen pendorong yang mengembang seiring dengan peningkatan tekanan osmotik akibat obat berada dalam kondisi isotonis dalam tubuh di mana selanjutnya isi obat akan terdorong keluar melalui dinding tablet yang berlubang. Alhasil, konsentrasi obat akan relatif lebih stabil seiring dengan waktu, menjaga kadar nifedipin dalam darah, dan memberikan efek hipotensi yang lebih lama. Terdapat beberapa indikasi penggunaan nifedipin pada kasus kehamilan, antara lain sebagai tata laksana hipertensi pada kehamilan dan agen tokolitik pada proses persalinan. Saat ini, nifedipin dan metildopa menjadi pilihan kedua setelah labetalol sebagai lini pertama terapi antihipertensi pada ibu hamil. Kendati demikian, nifedipin

memiliki efek kerja yang berbeda dibanding labetalol. Labetalol menurunkan tekanan darah dengan cepat dengan efek hipotensi 2,5 jam setelah pemberian dosis, sedangkan nifedipin menghasilkan profil tekanan darah siang hari yang relatif stabil. Dari sisi fetus, pemberian labetalol intravena dengan nifedipin oral pada pasien dengan eklampsia tidak menghasilkan perubahan hemodinamik yang berbeda bermakna sehingga sebaiknya pemilihan kedua obat bergantung pada kriteria lain seperti harga, ketersediaan, dan kontraindikasi masing-masing obat. Namun, sebuah studi tahun 2012 menemukan bahwa nifedipin memiliki insidensi intrauterine growth restriction (IUGR) dan perburukan janin yang lebih sedikit dibandingkan labetalol pada pasien dengan hipertensi gestasional dan preeklampsia sedang. Efek samping yang perlu diwaspadai dari penggunaan obat jenis CCB diantaranya penurunan kontraktilitas jantung yang dapat menyebabkan bradikardia, AV blok, hingga gagal jantung, tetapi efek ini jarang ditemukan pada pemakaian klinis. Selain itu,

efek samping yang cukup sering ditemukan adalah wajah kemerahan, rasa pusing, mual, konstipasi, dan edema perifer. Pemberian nifedipin pada ibu hamil masih memerlukan studi lebih banyak untuk menilai efek samping pada kehamilan (karena juga masih belum banyak studi yang menilainya) dan digunakan sebagai terapi lini kedua. Penggunaannya terutama ditujukan pada kondisi tertentu dan dibenarkan pada kondisi darurat. Dalam pemberiannya, pasien perlu diberikan edukasi dan pengenalan tanda-tanda bahaya apabila terjadi efek samping. kelvyn

kelvin/MA


6

MEI - JUNI 2018

JULI

Ilmiah Populer

MEDIA

AESCULAPIUS

ARTIKEL BEBAS

Air Alkali: Bermanfaat atau Merugikan? Sempat populer di publik, seperti apa sebetulnya khasiat air alkali untuk kesehatan?

A

ir alkali merupakan salah satu produk air mineral yang tidak asing di kalangan masyarakat. Jenis air mineral ini memiliki perbedaan dengan air mineral pada umumnya dan menawarkan berbagai manfaat, khususnya di bidang kesehatan. Dibandingkan air biasa, air alkali memang memiliki tingkat kebasaan lebih tinggi. Tingkat keasaman atau kebasaan suatu zat dinilai dengan menggunakan skala pH dari 0 hingga 14. Air minum umumnya memiliki tingkat keasaman netral (pH 7), sementara pH air alkali biasanya berkisar antara 8 hingga 9. pH yang lebih basa tersebut dinilai dapat menetralisir keasaman di dalam tubuh sehingga air alkali dipromosikan memiliki manfaat kesehatan seperti mencegah penuaan, meningkatkan kesehatan pencernaan, menjaga kesehatan tulang, meningkatkan imunitas tubuh, serta berbagai manfaat lain. Air alkali menimbulkan kontroversi karena banyak praktisi kesehatan menganggap khasiat yang digembargemborkan oleh penjual air alkali terlalu berlebihan. Selain itu, penelitian yang menyelidiki khasiat air alkali ini dinilai masih kurang sehingga dasar dari klaim manfaat air tersebut belum kuat. Namun, sebuah penelitian tahun 2012 memperlihatkan efek terapeutik air alkali bagi penderita refluks enzim lambung. Air alkali dengan pH 8,8 dinilai dapat mendenaturasi enzim pepsin yang menyebabkan penyakit refluks. Selain itu, air ini dapat menetralisir asam lambung sehingga membantu meringankan gejala

pada penderita. coba dengan tujuan melihat keberadaan Studi lain memperoleh bahwa dampak terhadap keberlangsungan hidup konsumsi air alkali setelah olahraga dapat mencit jika hanya mengonsumsi air dengan menurunkan viskositas darah dengan pH basa. Berdasarkan penelitian tersebut, lebih signifikan dibandingkan konsumsi air alkali dinilai dapat meningkatkan air mineral biasa. Viskositas darah keberlangsungan hidup bagi mencit menggambarkan bagaimana darah setelah dua tahun konsumsi dan bergerak di dalam pembuluh darah. dapat menurunkan faktor penuaan. Viskositas darah yang tinggi Selain itu, penelitian lain pada menandakan darah lebih sulit mencit juga menemukan untuk mengalir dibandingkan penurunan kerusakan dengan viskositas yang lebih hati serta pengurangan rendah. Setelah berolahraga, pembentukan advanced penurunan volume cairan glycation end products plasma akibat dehidrasi (AGE) yang dapat meningkatkan diasosiasikan dengan viskositas darah. penyakit Alzheimer Apabila seseorang dan diabetes. mengonsumsi Akan tetapi, air alkali, penelitian ini peningkatan baru dilakukan viskositas pada hewan darah akan coba sehingga berkurang belum sehingga diketahui darah lebih apakah akan mudah menghasilkan mengalir efek yang untuk sama pada menghantarkan manusia. oksigen dan Di sisi lain, nutrisi yang artikel yang dimuat diperlukan setelah pada British Medical berolahraga. Journal tahun 2016 Air alkali juga telah mengemukakan bahwa adit/MA diteliti menggunakan hewan klaim dari pendukung air alkali

mengenai manfaatnya untuk mengobati kanker belum memiliki dasar penelitian yang cukup. Oleh karena itu, klaim peran air alkali sebagai terapi pengobatan kanker masih perlu ditelusuri lebih jauh dan sebaiknya tidak menjadi bahan promosi. Penelitian lain membahas mengenai efek peningkatan konsumsi makanan dan minuman dengan pH alkali, diantaranya air alkali, dengan pertumbuhan tulang. Berdasarkan penelitian tersebut, air alkali yang kaya akan kandungan ion bikarbonat dan kalsium dapat menurunkan resorpsi tulang dan diduga dapat meningkatkan massa jenis tulang dalam jangka panjang. Namun, masih diperlukan studi lebih lanjut untuk membuktikan klaim tersebut. Air alkali dapat bermanfaat dalam situasi tertentu, seperti pada pasien refluks asam lambung atau konsumsi pascaolahraga. Namun, berbagai klaim manfaat yang diberikan masih belum memiliki bukti yang cukup kuat. Di samping itu, sebaiknya terdapat lebih banyak studi yang meneliti efek jangka panjang konsumsi air alkali dan mengetahui apakah produk ini dapat direkomendasikan untuk penggunaan sehari-hari. Konsumsi air alkali sebaiknya dimulai dengan kadar yang rendah sebelum ditingkatkan guna mencegah efek basa yang dapat merusak tubuh. filbert

SEGAR

Cari Kata - Sistem Saraf

DOPAMIN GABA LIMBIK MOTORIK NEURON OTONOM PARIETAL PONS SENSORIK SEREBRI SIMPATIS SPINAL VAGUS VENTRIKEL VESTIBULAR filbert/MA


MEDIA

AESCULAPIUS

IPTEK

Ilmiah Populer

Antibody Drug Conjugates (ADCs):

Terapi Kanker dengan Sistem Terbaharui Kombinasi agen sitotoksik dengan teknik selektivitas tinggi menghasilkan terapi yang lebih efektif

K

anker merupakan penyakit yang timbul akibat proliferasi sel yang tidak terkendali karena beberapa hal, diantaranya abnormalitas proses replikasi, kesalahan proses perbaikan DNA, atau terpapar karsinogen sehingga terjadi mutasi DNA. Jenis kanker yang paling sering ditemui pada laki-laki adalah kanker prostat, paru-paru, dan kolorektal. Sementara untuk perempuan, kanker payudara merupakan kanker yang paling sering terjadi diikuti dengan paru-paru dan kolorektal. Salah satu teknik terapi kanker adalah kemoterapi. Kemoterapi bertujuan untuk membunuh sel dengan mekanisme menghambat fungsi mikrotubulus, sintesis DNA, atau fungsi protein di dalam sel tersebut. Walaupun kemoterapi cukup efisien dalam menangani kanker, terdapat efek samping yang selalu ditakutkan karena paparan zat sitotoksik ini dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Hal tersebut mendorong para peneliti untuk mencari inovasi baru terapi kanker yang lebih efektif dengan efek samping minimal. Barubaru ini diperkenalkan dua macam AntibodyDrug Conjugates (ADCs) yaitu T-DM1 dan brentuximab vedotin untuk terapi kanker. ADCs adalah inovasi pengobatan yang menggabungkan terapi target selektif dengan potensi sitotoksik obat kemoterapi sehingga pengobatan menjadi lebih efektif. Selain peningkatan efikasi, sitotoksisitas sistemik juga dapat berkurang. Struktur ADCs yang cukup kompleks terdiri dari tiga unit struktural dengan karakteristik yang berbeda, yaitu antibodi monoklonal (mAb), agen

sitotoksik, dan linker. Antibodi monoklonal berperan sebagai penghantar agen sitotoksik ke sel kanker secara spesifik, sedangkan linker bertugas memengaruhi farmakokinetik, indeks terapeutik, dan efikasi ADCs. Setelah molekul ADCs memasuki tubuh dan mencapai aliran darah, komponen antibodi akan mengenali dan berikatan dengan antigen permukaan sel yang diekspresikan sel kanker target. Setelah itu, terjadi internalisasi kompleks ADCs-antigen melalui endositosis yang kemudian akan

kristian/MA

diproses lisosom dan menghasilkan cytotoxic payload dalam bentuk bioaktif di dalam sel. Cytotoxic payload akan mengganggu rantai DNA atau mikrotubulus, menekan topoisomerase, atau menghambat RNA polimerase sehingga mengakibatkan kematian sel. T-DM1 yang merupakan jenis pertama ADCs dapat bekerja pada kasus keganasan nonhematologis. T-DM1 tersusun atas IgG1 anti-HER-2 Ab yang bergabung dengan maytansinoid (DM1). T-DM1 terbukti sebagai

second-line setting yang dilakukan oleh FDA di tahun 2013 pada pasien HER-2 positif. Jenis ini juga terbukti bermanfaat pada terapi kanker metastasis payudara dengan HER2 positif. Namun, terdapat efek samping berupa ruam, kelelahan, transaminitis, mual, dan trombositopenia. Jenis kedua dari ADCs, brentuximab vedotin, tersusun atas anti-CD30 mAb yang bergabung dengan potent tubulin inhibitor monomethyl auristatin E (MMAE). Brentuximab vedotin yang berikatan dengan permukaan sel akan menginisiasi proses internalisasi dan lysosomal proteolytic cleavage dari linker penghasil MMAE. Brentuximab vedotin terbukti mampu menjadi terapi bagi pasien dengan relaps atau refraktori CD30 + HL. Selain itu, terapi ini dapat menangani pasien dengan anaplastic large cell lymphoma (ALCL) sebagai lini kedua dan pada penderita Hodgkin’s lymphoma pada singlearm phase II clinical trial. Brentuximab vedotin memiliki beberapa efek samping berupa neuropati sensoris perifer, neutropenia, kelelahan, mual, dan trombositopenia. Pendekatan lain untuk ADCs adalah penggunaan molekul dengan afinitas yang tinggi seperti asam folat atau hormon pertumbuhan sebagai karier agen sitotoksik. Zat-zat tersebut memungkinkan pengiriman obat yang lebih efektif dan meningkatkan aksi antitumor. Sebagai terapi kombinasi, ADCs dengan teknologi linker dan penggunaan agen sitotoksik yang lebih kuat tampak menjanjikan untuk menangani kanker. dina

ADVERTORIAL

Aspirin Elektronik: Solusi Atasi Sakit Kepala Saat rasa nyeri kepala terus menetap meski telah mengonsumsi analgesik, dapatkah aspirin elektronik menjadi solusinya?

H

ampir semua orang pasti pernah mengalami sakit kepala. Salah satu jenis sakit kepala yang sering dialami adalah migrain. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), migrain merupakan salah satu penyakit yang terkait dengan disabilitas di seluruh dunia. Penyakit ini dapat menyebabkan berbagai masalah seperti beban finansial dan penurunan kualitas hidup. Salah satu terobosan untuk mengatasi migrain, yang berfokus pada pengendalian nyeri, dibuat oleh Autonomic Technologies, Inc. dalam bentuk aspirin elektronik. Perusahaan yang terletak di Redwood, California ini sedang mengembangkan dan memantau teknologi aspirin elektronik secara klinis. Alat yang dikembangkan tersebut diharapkan dapat membantu pasien menghilangkan migrain dan nyeri kepala lain, baik akut maupun kronis. Perangkat ini terdiri dari dua alat terpisah, yaitu neurostimulator yang diletakkan pada mulut dan remote controller. Neurostimulator adalah sebuah implan yang akan menghambat sinyal dari ganglion sphenopalatine yang menghantarkan rasa nyeri di kepala, sementara remote controller berfungsi untuk menghidupkan dan mematikan neurostimulator. Prosedur pemasangan implan ini tidaklah rumit dan memiliki efek samping yang minimal. Implan diletakkan secara

permanen di gusi bagian atas, tempat yang paling sering merasakan nyeri saat sakit kepala. Bagian ujung implan terhubung dengan berkas ganglion sphenopalatine, kumpulan saraf yang berada jauh di dalam rongga tulang di area wajah tengah. Setelah terpasang, penggunaan alat ini juga cukup mudah. Saat pasien merasakan nyeri di kepala, pasien langsung dapat meletakkan remote controller ke pipi yang hansel/MA

A

/M

sel

n ha

terdekat dengan implan dan menekan tombol pada remote controller. Listrik yang dihasilkan akan menstimulasi sel-sel saraf dan menahan sinyal nyeri yang seharusnya dikeluarkan. Pasien dapat menyalakan dan mematikan alat tersebut sesuai keinginan, tidak ada batas maksimal dalam penggunaannya. Aspirin elektronik mempunyai beberapa efek samping, diantaranya hipotensi, mual, serta mati rasa pada tenggorokan yang dapat berlangsung hingga beberapa jam. Mati rasa pada tenggorokan dapat disebabkan

prosedur medis ketika pemasangan alat tersebut. Oleh karena itu, pasien disarankan untuk tidak makan dan minum saat fase ini untuk menghindari kemungkinan tersedak. Gejala lainnya yang cukup jarang muncul adalah mimisan, infeksi pada rongga hidung, dan peningkatan nyeri kepala transien. Studi mengenai blokade ganglion sphenopalatine mulai diteliti sejak 1908 karena terdapat banyak keluhan mengenai sakit kepala terus-menerus. Beberapa pasien merasakan efektivitas dari aspirin elektronik dalam mengurangi rasa nyeri, walaupun membutuhkan waktu lima belas menit atau lebih untuk menghilangkan rasa nyerinya. Berdasarkan suatu penelitian mengenai aspirin elektronik, 75% pasien mengalami peningkatan kualitas hidup, 68% pasien merasakan perbaikan sakit kepala, baik dari frekuensi maupun rasa sakit, dan 31% pasien mengatakan bahwa kejadian sakit kepala mingguan berkurang. Meskipun hasil percobaan ini memuaskan, terdapat studi lain yang mengatakan bahwa aspirin elektronik belum memiliki bukti kuat mengenai kemanjurannya untuk penggunaan rutin sebagai pencegahan migrain. Hingga saat ini, teknologi nonfarmakologis berupa aspirin elektronik untuk mengatasi nyeri kepala masih dalam tahap penelitian. Dengan pemasangan alat invasif minimal serta efek samping yang tidak berat, aspirin elektronik berpotensi menjadi salah satu solusi penanganan sakit kepala, tetapi efektivitasnya masih perlu diteliti lebih lanjut. rayhan

JULI

MEI - JUNI 2018

7

JOURNAL READING

Efektivitas Ablasi Kateter pada Fibrilasi Atrium dengan Gagal Jantung

F

ibrilasi atrium sering terjadi beriringan dengan gagal jantung, menyebabkan angka mortalitas lebih tinggi dibandingkan gagal jantung biasa. Oleh sebab itu, peneliti membandingkan ablasi kateter dan terapi konvensional pada pasien disfungsi ventrikular kiri dengan fibrilasi atrium untuk mengetahui terapi yang paling efektif. Pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrium paroksismal atau persisten dipilih secara acak dengan kriteria pemilihan terkait konsumsi obat aritmia absensi respons, efek samping yang tidak dapat ditoleransi, atau penolakan pasien. Sementara itu, pemilihan dari kelas gagal jantung: pasien mengalami gagal jantung kelas II, III, atau IV dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri sebesar 35% atau kurang. Pertama, pasien menjalani fase run-in selama lima minggu untuk menyesuaikan pemberian obat gagal jantung. Kemudian, dilakukan evaluasi dasar dan pasien dibagi menjadi kelompok ablasi kateter, yang bertujuan mengisolasi vena pulmonalis dan mengembalikan irama sinus, atau terapi medikamentosa. Pemantauan ritme jantung dilakukan pada seluruh pasien. Rekurensi didefinisikan sebagai kelangsungan aritmia lebih dari tiga puluh detik. Terdapat 179 pasien yang termasuk dalam kelompok percobaan ablasi kateter dan 184 tergabung dalam kelompok dengan terapi medikamentosa. Follow up dilakukan secara teratur pada bulan ke-3, 6, 12, 24, 36, 48, dan 60. Titik akhir primer, yakni kematian karena perburukan kondisi gagal jantung atau penyebab lain, didapatkan lebih rendah secara signifikan pada kelompok ablasi kateter dibandingkan kelompok terapi medikamentosa [51 pasien (28,5%) vs. 82 pasien (44,6%)] dengan P=0,006 menggunakan uji log-rank. Titik akhir sekunder adalah kematian karena berbagai sebab: perawatan rumah sakit tak terencana terkait gagal jantung, penyakit kardiovaskular, insidensi serebrovaskular, kematian karena penyakit kardiovaskular, serta perawatan rumah sakit dan penyebab lain. Penurunan titik akhir sekunder terjadi secara signifikan pada kelompok ablasi kateter dibandingkan terapi obat. Kematian oleh berbagai sebab terjadi pada 24 (13,4%) pasien ablasi kateter dan 46 (25%) pasien obat. Pasien yang mengalami admisi akibat gagal jantung sebanyak 37 orang (20,7%) pada kelompok ablasi kateter dan 66 orang (35,9%) pada kelompok obat. Sebanyak 20 pasien (11,2%) pada kelompok ablasi kateter dan 41 pasien (22,3%) pada kelompok terapi obat mengalami kematian akibat kondisi kardiovaskular. Pasien yang dirawat akibat kardiovaskular sebanyak 64 orang (35,8%) pada kelompok ablasi kateter dan 89 orang (48,4%) pada kelompok obat. Terdapat sebanyak 5 pasien (2,8%) pada kelompok ablasi kateter dan 11 pasien (6,0%) yang mengalami insidensi serebrovaskular. Penelitian lain yang serupa juga menunjukkan bahwa ablasi kateter dapat menurunkan beban akibat fibrilasi atrium, meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan meningkatkan jarak pada 6-minute walking test. Dapat disimpulkan bahwa ablasi kateter mampu menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrium secara signifikan serta meringankan beban yang ditimbulkan fibrilasi atrium. farah Referensi: Marrouche, N., Brachmann, J., Andresen, D., Siebels, J., Boersma, L., Jordaens, L., et al . Catheter ablation for atrial fibrillation with heart failure. NEngJMed. 2018; 378(5):417-27.


8

MEI - JUNI 2018

JULI

OPINI & HUMANIORA

MEDIA

AESCULAPIUS

SUARA MAHASISWA

Gerakan Mahasiswa Kini: Sebuah Momentum atau Malapetaka? Akankah kemajuan teknologi selaras dengan kemajuan gerakan mahasiswa atau malah menjadi malapetaka yang menyeret mundur potensi pemuda bangsa?

E

ra milenial telah memberikan banyak manfaat, terutama dalam menghubungkan dunia secara global. Informasi terus berdatangan melalui kanal internet secara massif dan segalanya dapat diakses dengan sentuhan jari. Namun, teknologi telah membuat generasi milenial terlena dengan segala kenikmatan yang diberikannya. Padahal, penggunaan teknologi yang massif ini dapat dijadikan senjata yang potensial untuk pergerakan mahasiswa. Sejak dulu, masa depan bangsa selalu disematkan pada pundak pemuda. Dimulai dari didirikannya wadah perjuangan Boedi Oetomo pada tahun 1908 oleh pelajar STOVIA, lalu dilanjutkan dengan ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Hingga akhirnya kemerdekaan Indonesia direngkuh pun mahasiswa tetap berapi-api untuk mewujudkan kemajuan bangsa dan negara dengan tetap setia menjadi mitra kritis pemerintah. Tumbangnya rezim orde lama, perlawanan terhadap komunisme, dan pergerakan oposisi terhadap rezim orde baru merupakan peristiwa yang tak luput dari andil mahasiswa. Puncak pergerakan mahasiswa sangat terasa pada tahun 1998 ketika gedung DPR/MPR diduduki oleh mahasiswa untuk menumbangkan rezim orde baru dan mencetuskan era reformasi. Kini, tepat 20 tahun pascareformasi, gerakan mahasiswa cenderung membosankan, tidak efektif, dan monoton. Perlu diakui bahwa saat ini, sebagian besar kajian yang dibuat mahasiswa memiliki analisis dan dasar argumentasi yang lemah.

KOLUM

Aksi dan demonstrasi mahasiswa tidak memberikan solusi yang konkret. Hubungan antara pemerintah dan mahasiswa juga semakin terlihat seperti pencitraan politis semata. Melihat kondisi saat ini, penulis menyarankan agar gerakan mahasiswa meningkatkan strata permainannya dengan menerapkan beberapa poin berikut. Pertama, kemajuan teknologi harus dimanfaatkan dengan baik. Patut diapresiasi sebuah gerakan berskala nasional yang dilakukan beberapa bulan lalu untuk mengenakan pidana pada Ketua DPR, Setya Novanto, terkait kasus korupsi megaproyek e-KTP. Gerakan tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa berhasil menggunakan kanal internet dengan baik hingga mampu memberikan tekanan massa yang optimal. Propaganda kreatif untuk edukasi dan persuasi telah disalurkan melalui media sosial. Hal ini dapat dilihat melalui tulisan dan meme yang disebarkan di platform media sosial. Jika dibandingkan dengan tekanan massa pada tahun 1998, tekanan massa secara online kepada Setya Novanto jauh lebih efektif dan hanya memerlukan sedikit

aksi dan demonstrasi di jalanan. Kedua, gerakan mahasiswa harus mampu mengikuti perkembangan zaman yang dinamis. Gerakan mahasiswa hendaknya bersifat kreatif dan inspiratif agar tepat sasaran. Gerakan kitabisa.com adalah sebuah contoh gerakan halus nonpolitis yang mampu menginspirasi masyarakat untuk berbuat baik dan membantu sesama. Harus diingat bahwa gerakan mahasiswa tidak selalu mengarah pada aksi militan seperti demonstrasi atau politik karena menginspirasi terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik merupakan esensi penting yang harus selalu dijunjung. Ketiga, kutipan dari Widji Thukul, aktivis dan penyair orde lama, yang berbunyi “apa guna banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu� menggambarkan secara sempurna identitas dari mahasiswa sekaligus menjadi alasan eksistensi pergerakan mahasiswa yang bersifat netral tanpa ditunggangi kepentingan politis apa pun. Untuk memberikan manfaat bagi masyarakat, mahasiswa dituntut untuk memiliki ilmu devi/MA pengetahuan yang tinggi, tetapi tetap mempunyai kerendahan hati untuk merasakan keinginan dan keluhan rakyat.

Raoul Abdullah Koordinator Bidang Sosial dan Politik BEM IKM FKUI 2018 Mahasiswa, segelintir manusia paling beruntung di Indonesia karena memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi, mempunyai tanggung jawab moral untuk menjadi seseorang yang kritis dan bijak dengan menebarkan kebaikan serta manfaat bagi masyarakat. Pergerakan mahasiswa yang sejak dulu menjadi kendaraan dalam mewujudkan hal tersebut harus dikobarkan kembali melalui semangat 20 tahun pascareformasi dan perkembangan teknologi. Beranikah kita, pemuda Indonesia, menyongsong momentum pergerakan mahasiswa kini untuk menciptakan masa depan yang didambakan? erin

Aku dan Dosa Terbesarku Ketika depresi dan ketidakpedulian bergabung menjadi satu, menghancurkan hidup manusia yang tak tahu-menahu.

H

alo, namaku Troy. Bila suatu hari kau bertemu denganku, aku mungkin akan tampak seperti mahasiswa pada umumnya. Aku belajar dengan giat, bergaul dengan banyak orang, dan tentu saja punya cita-cita yang tinggi. Sama seperti temantemanku yang lain, aku ingin menjadi dokter yang hebat. Aku ingin menolong pasien dan memberikan mereka harapan. Tapi‌ Apakah kau tahu bahwa aku yang sekarang sangat berbeda dari aku yang dulu? Tahukah kau bahwa aku punya satu kisah kelam yang mengubah cara pandangku? Inilah kisahku. Sebuah pengalaman pahit yang akan kujadikan pelajaran sepanjang hidupku. Semua ini berawal dari diriku yang mudah sedih dan mengeluh. Harus diakui bahwa kehidupan SMA-ku dipenuhi dengan kesedihan yang dibuat-buat. Aku sedih karena masalah akademis, sedih karena masalah pertemanan, sedih karena masalah keluarga, dan sedih karena masalah percintaan. Setiap hari aku hanya duduk di pinggir kelas, menundukkan kepala, dan sibuk menyesali hidupku yang terasa tidak penting. Pada saat itulah, sosok Sika, temanku, hadir dalam hidupku. Cita-citanya untuk menjadi psikolog mungkin salah satu faktor yang mendorongnya untuk mengamati dan mendekatiku saat itu. Ia berusaha mengajakku mengobrol untuk mencari tahu masalahku. Mungkin dia sedang memainkan

peran psikolog dan menganggapku sebagai kliennya, entahlah. Sebagai “klien� yang baik, aku menceritakan banyak hal padanya, tak terkecuali mengenai pendapatku tentang depresi yang terkadang terasa menyenangkan. Kukatakan bahwa banyak orang akan memerhatikanmu ketika sedang depresi sehingga kau akan merasa dipedulikan. Celakanya, Sika sepertinya terlalu menganggap serius permasalahanku. Beberapa bulan kemudian, sifat burukku ini menghilang dan seakan pindah padanya. Ia perlahan menjadi pribadi mudah sedih dan mengeluh, bahkan sudah menunjukkan gejala-gejala depresi yang sesungguhnya. Namun berbeda denganku, tidak ada satu teman pun yang peduli padanya. Mereka malah ketakutan dengan itsna/MA sikap

anehnya yang suka melempar-lemparkan buku ke dinding tanpa tujuan. Mereka menjauh dengan teratur, meninggalkan Sika dan dunianya. Aku sendiri tidak takut dengan Sika. Akan tetapi, saat itu aku terlalu sibuk untuk peduli. Aku sudah sibuk dengan urusan organisasi, pacar, dan tuntutan orang tua yang ingin sekali aku sukses di masa depan. Aku terus mengabaikannya sampai suatu hari ia menghilang selama beberapa hari, absen dari kegiatan belajar mengajar di sekolah. Sebagai seseorang yang pernah mendapatkan kepeduliannya, tentu saja aku khawatir. Aku mulai mencari tahu alamat rumah Sika dan mengajak teman-teman sekelasku untuk menjenguknya. Dari luar rumahnya, aku bisa mendengarkan berbagai macam suara. Teriakan, tangisan, dan makian berbaur menjadi satu, menciptakan rasa sesak bagi siapa pun yang mendengarnya. Keadaan seketika berubah menjadi senyap ketika kami mengetuk pintu rumah tersebut. Seorang wanita, dengan wajah yang lebam dan tampak habis menangis, kemudian membuka pintu. Meskipun tampak enggan menyambut kedatangan kami, wanita yang ternyata adalah ibu Sika tersebut tetap mempersilakan kami masuk. Setelah mendengar cerita ibu Sika dan diberikan izin, kami mengunjungi Sika di kamarnya. Awalnya, ia menatap kami dengan pandangan kosong yang membuat kami bingung harus berbuat

Rayhan Farandy Mahasiswa Tingkat III FKUI apa. Namun, tak berselang lama tangisnya pun pecah. Teman-teman perempuan langsung menghampiri Sika dan berusaha menenangkannya. Setelah kondisinya lebih stabil, Sika akhirnya menceritakan semua permasalahannya, terutama terkait keluarganya. Tak ingin mengulangi kesalahan yang sama, kami kali ini mendengarkannya dengan penuh empati dan berusaha memberikannya dukungan moral. Saat itu aku tersadar bahwa ia sebenarnya ingin diperhatikan, seperti dalam ceritaku. Pesan dari kejadian ini membekas jelas dalam pikiranku: jangan salah gunakan lidah kalian karena dapat merusak hidup seseorang. Ketahuilah, depresi bukan penyakit yang bisa diremehkan. rayhan


MEDIA

AESCULAPIUS

OPINI & HUMANIORA

JULI

MEI - JUNI 2018

9

SUKA DUKA

dr. Angky Budianti, Sp.MK: Dokter adalah Pendidik Setelah menjadi dokter spesialis, mendidik calon dokter adalah tanggung jawab kedua.

C

ita-cita semasa kecil tidaklah selalu sama dengan dewasa. Begitu pula yang dialami oleh dr. Angky Budianti, Sp.MK. Meskipun dulu tidak berniat untuk menjadi seorang dokter, takdir mengantarnya menjadi seperti sekarang, yakni sebagai seorang spesialis mikrobiologi klinik sekaligus dosen. Dokter kelahiran Magetan, 4 Juli 1983 ini mengaku memilih untuk melanjutkan pendidikan di fakultas kedokteran karena dorongan dari keluarga dan pihak sekolahnya. Ia kebetulan merupakan orang pertama di keluarganya yang memutuskan untuk menjadi seorang dokter. Melalui jalur undangan, Angky lolos menjadi bagian dari mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Setelah itu, ia juga melanjutkan sekolah spesialisnya di tempat yang sama. Sebagai seorang perempuan yang juga mengemban tanggung jawab sebagai ibu, Angky tertarik untuk memiliki pekerjaan di bidang spesialis dengan efisiensi waktu yang baik. Selain itu, ia menyukai pekerjaan di laboratorium dan hal-hal yang detail serta rutin. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, ia akhirnya melanjutkan pendidikan spesialisnya di mikrobiologi klinik. Tugas seorang dokter di bidang ini adalah membantu manajemen rumah sakit dalam pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) melalui partisipasi aktif dalam komite PPI RS, membantu manajemen rumah sakit dalam pencegahan dan pengendalian resistensi antibiotik (PPRA) melalui partisipasi aktif dalam komite PPRA, serta membantu dokter penanggung jawab pasien (DPJP)/klinisi

RESENSI

dalam manajemen pasien penyakit infeksi. Menjadi seorang ahli mikrobiologi klinik tidaklah selalu menemui jalan yang mudah. Meskipun Angky merasa bahagia karena dapat membantu pasien melalui pekerjaannya, ia mengaku juga memiliki tantangan pekerjaan yang tak kalah banyak. Hal ini ditunjukkan dengan masih banyaknya tenaga kesehatan dan rumah sakit yang belum memahami pentingnya pengelolaan spesimen yang benar sebelum dikirim ke laboratorium dan belum tahu-menahu mengenai pentingnya PPI serta PPRA di rumah sakit. Meskipun demikian, hal itu tidak menyurutkan semangat Angky untuk menyebarkan manfaat bagi banyak orang di sekitarnya sebagai seorang spesialis mikrobiologi klinik. Di samping tantangan di atas, Angky menyayangkan sedikitnya orang yang tertarik menekuni spesialisasi mikrobiologi di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih kurangnya kesadaran terhadap pentingnya spesialis di bidang ini. Ia berharap akan ada peningkatan minat terhadap dunia mikrobiologi ke depannya. Selain menjadi seorang dokter, Angky merangkap sebagai dosen di FKUI sejak tahun 2010 hingga kini. Tujuannya adalah membawa para calon dokter untuk bisa menjadi dokter yang baik nantinya. Bagi Angky, pahala yang terus mengalir karena manfaat ilmu yang diberikannya adalah bonus untuknya. Setelah delapan tahun menjadi dosen, Angky mengaku bahwa mendidik para calon dokter bukanlah hal yang mudah. “Adanya

Nama Lengkap dr. Angky Budianti, Sp.MK Tempat dan Tanggal Lahir Magetan, 4 Juli 1983 Pendidikan • Program Pendidikan Dokter FKUI tahun 2000 • Program Pendidikan Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik FKUI tahun 2011

mahasiswa yang kurang disiplin, malas, dan tidak jujur terkadang membuat saya sedikit sedih,” ungkapnya. Namun, ia tetap menganggap hal tersebut sebagai tantangan yang harus dilalui oleh seorang pendidik untuk mencetak generasi yang lebih baik. “Oleh karena itu, memanfaatkan waktu untuk menjadikan diri memiliki kompetensi mumpuni sebagai seorang dokter adalah sebuah keharusan,” ujar Angky. Sebagai seorang dokter, tanggung jawab yang dipegang sangatlah besar. Oleh karena itu, Angky mengimbau para calon dokter untuk mencari pengalaman sebanyak-banyaknya, melakukan yang terbaik untuk pasien, dan senantiasa belajar. Tidak hanya itu, untuk menjadi dokter yang berkualitas, kemampuan dalam bekerja sama, berkomunikasi dengan baik, serta profesionalisme juga sangat

Penelitian Terbaru 2018 - Pengembangan Uji Molekuler untuk Deteksi Helicobacter pylori dan Pola Resistensinya terhadap Antibiotik pada Pasien Tersangka Penderita Gastritis Publikasi Terbaru Detecting Mycobacterium leprae Using Real-time PCR in Paucibacillary Leprosy Patient with Negative Acid-Fast Bacilli Penghargaan Terbaru 2016 - Penerima Insentif Pelaksanaan Mata Kuliah Daring/Pengajaran Jarak Jauh PDITT dari UI-DIKTI dibutuhkan. “Setelah mengusahakan yang terbaik dalam menangani pasien, jangan lupa untuk menyerahkan semuanya kepada Tuhan yang menyembuhkan segala penyakit,” pesan Angky. dina

Tangan Penuh Keajaiban

“Saya percaya masing-masing dari kita dikaruniai talenta: kemampuan istimewa yang dapat kita kembangkan untuk membantu kita melayani Tuhan dan kemanusiaan.” – Ben Carson

P

Judul

: Gifted Hands: The Ben Carson Story

Genre

: Dokumenter Drama

Produser

: Thomas Carter

Pemeran

: Cuba Gooding Jr.

Tahun

: 2009

ada masanya, belum ada dokter yang mampu menyelamatkan kedua bayi pada kasus kelahiran kembar siam occipital craniopagus. Ben Carson, seorang ahli bedah saraf anak, juga pernah dihadapkan pada dilema kasus tersebut. Film yang dirilis pada tahun 2009 ini mengisahkan perjalanan hidup dr. Ben Carson sejak ia masih kecil hingga dikenal sebagai ahli bedah saraf anak dunia. “Gifted Hands: The Ben Carson Story” merupakan film bergenre drama dan biografi. Film ini dimulai dari pertemuan antara dr. Ben Carson dengan pasangan Peter dan Augusta Rasch yang memiliki bayi kembar siam. Meskipun telah setuju untuk melakukan operasi pemisahan, Ben meminta waktu empat bulan untuk mencari cara menghentikan eksanguinasi, yaitu penyebab utama tidak pernah berhasilnya operasi pemisahan bayi kembar siam occipital craniopagus. Film ini kemudian membawa penonton ke tahun 1961 saat Ben sering gagal semasa sekolahnya. Karena sering diejek oleh teman-temannya, Ben bahkan mengklaim dirinya sebagai anak yang paling bodoh di dunia. Ibunya selalu menyemangati dengan meyakinkan Ben bahwa ia adalah anak yang pintar dan dapat melakukan segala sesuatu yang orang lain dapat lakukan, bahkan lebih baik. Ketika masuk dalam dunia perkuliahan, Ben berkembang menjadi pelajar dengan akademis yang cemerlang. Setelah lulus, Ben

kemudian mendaftar sebagai residen bedah saraf di Rumah Sakit Johns Hopkins yang terkenal dengan seleksinya yang sangat ketat. Kendati demikian, Ben berhasil menjadi salah satu dari dua orang yang diterima. Film diakhiri dengan keberhasilan Ben menjalankan operasi pemisahan kedua bayi kembar tersebut. Ben dengan semua timnya memutuskan untuk menggunakan teknik henti jantung, walau ia tahu bahwa ia hanya memiliki waktu satu jam sebelum henti jantung tersebut menyebabkan kerusakan pada otak. Film yang merupakan perjalanan hidup nyata dari dr. Ben Carson ini patut diberikan apresiasi. Sentuhan sedikit drama dan bumbu dunia kedokteran pada film ini berhasil membuat penonton tak berkedip menatap layar. Hal yang mengagumkan adalah film ini tidak membuai penonton dengan keberhasilan yang instan. Perjuangan dr. Ben Carson dalam hal akademis maupun kerasnya dunia residen secara lengkap ditampilkan dalam film berdurasi 90 menit ini. Sayangnya, transisi antara satu scene dengan scene lainnya masih terasa janggal. Peringatan bahwa setiap manusia telah diberikan talentanya masing-masing terasa kental di sepanjang film ini. Besarnya optimisme yang terpancar dari sosok dr. Ben Carson membuat film ini sangat direkomendasikan bagi mereka yang sedang bergumul mencari motivasi dalam hidupnya. Selamat menonton! erin

JASA PEMBUATAN SYMPOSIUM HIGHLIGHT Media Aesculapius menyediakan jasa pembuatan Symposium Highlight. Symposium highlight adalah peliputan sebuah seminar atau simposium, yang kemudian hasilnya akan dicetak dalam sebuah buletin, untuk dibagikan pada peserta seminar. Simposium yang telah kami kerjakan antara lain PIT POGI 2010, ASMIHA 2011, ASMIHA 2016, ASMIHA 2017, JiFESS 2016, JiFESS 2017, dan lain-lain. Hubungi Hotline MA: 0896-70-2255-62 (SMS/Whatsapp)


10

MEI - JUNI 2018

Liputan

JULI

MEDIA

AESCULAPIUS

RUBRIK DAERAH

Melirik Kegiatan Internship di Kota Malang Meski tidak ke daerah terpencil, tetap banyak pengalaman berharga yang bisa ditemui selama internship.

P

rogram internship dokter mulai dilaksanakan pada tahun 2010. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemahiran dokter yang baru lulus dan memeratakan ketersediaan dokter di daerah-daerah terpencil Indonesia. Program internship dokter disebut juga sebagai pre-registration training, yaitu pemahiran yang wajib diikuti oleh dokter baru sebelum mendapat surat tanda registrasi dokter. Surat tanda registrasi dokter inilah yang nantinya digunakan oleh dokter untuk mengurus surat izin praktik. Program internship sendiri tidak selalu dilaksanakan di tempat terpencil. Para lulusan dokter dibebaskan untuk memilih wahana internship sesuai kehendak. Pemilihan wahana dilangsungkan secara online. Pemerintah sangat mempersilakan lulusan dokter yang ingin menimba ilmu di pelosok Indonesia, tetapi yang mau mencari pengalaman bekerja di kota juga diperbolehkan. Saya melaksanakan program internship di Kota Malang, tepatnya di RS Lavalette. RS Lavalette merupakan rumah sakit umum tipe B yang ramai dikunjungi pasien. Dalam satu shift akhir pekan di IGD, pasien yang datang bisa mencapai 50 orang. Kasus yang saya temui di RS Lavalette juga sangat

beragam, mulai dari kasus sederhana seperti batuk pilek sampai gagal ginjal dengan komplikasi edema paru. Tidak jarang juga setiap kali jaga malam, saya diharuskan untuk melakukan pertolongan pada pasien gagal jantung. Saat menjalani rotasi di RS Lavalette, selain melakukan pekerjaan seperti dokter fungsional, kami para dokter internship juga diwajibkan untuk membuat tulisan ilmiah. Tulisan ilmiah ini bertujuan untuk menambah

irun/MA

pengetahuan seputar ilmu kedokteran dan mendiskusikan kasus nyata yang kami temui di rumah sakit. Adapun tugas lain yang bertujuan untuk memahirkan para lulusan

dokter baru adalah dengan mengisi daftar tilik tindakan. Tindakan medis yang terdapat dalam daftar tilik tersebut meliputi pemasangan infus, penjahitan luka, pemasangan kateter dan NGT, pertolongan pada partus spontan, dan eksisi luka. Internship di RS Lavalette berlangsung selama 8 bulan. Empat bulan pertama saya menjalani rotasi di IGD dan empat bulan berikutnya saya menjalani rotasi di bangsal. Kemudian, empat bulan terakhir dari masa internship dihabiskan di puskesmas. Puskesmas tempat saya bertugas terletak di pinggiran Kota Malang, Puskesmas Mulyorejo namanya. Puskesmas Mulyorejo seharihari melayani lebih dari 100 pasien. Selain pelayanan di poliklinik, dokter internship juga diberi tugas untuk melakukan intervensi berkaitan dengan kesehatan masyarakat yang sesuai dengan program puskesmas, contohnya program KIA di puskesmas. Pada program KIA, dokter internship wajib memberikan imunisasi serta penyuluhan terkait imunisasi tersebut. Program internship sangat bermanfaat dalam meningkatkan kualitas lulusan dokter

dr. Dea Nathania Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Tahun 2010 Indonesia. Pada saat menjadi co-ass banyak hal belum boleh dilakukan, contohnya memberi terapi pada pasien gawat. Namun, pada saat menjalani internship, dokter diperbolehkan memberi terapi pada pasien gawat yang tentunya dilakukan di bawah supervisi pembimbing. rayhan

SEPUTAR KITA

Mengenal Lebih Jauh Konjungtivitis Konjungtivitis sering tidak tertangani dengan tepat. Lantas, sejauh mana pengetahuan dokter umum tentang penyakit ini?

dokumen penulis

P

enyakit mata merupakan salah satu penyakit yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, masih banyak orang yang tidak mengetahui bahaya di balik penyakit mata dan terkesan abai terhadapnya. Atas dasar inilah Liga Medika Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menggelar Symposium and Workshop on Current Updates of Ophthalmologic Disorders and Managements for Physicians and Medical Students (CORNEA) 2018. Acara ini bertujuan untuk menginformasikan

pentingnya pemahaman tentang kesehatan mata dan menunjukkan perkembangan teknik pengobatan berbagai gangguan mata. Dilaksanakan pada tanggal 28 April 2018 di Gedung IMERI FKUI, Symposium and Workshop CORNEA 2018 dihadiri oleh dokter-dokter yang kompeten di bidang oftalmologi dan peserta kompetisi INAMSC yang merupakan mahasiswa kedokteran dari seluruh Indonesia. Salah satu simposium yang dihelat dalam acara ini berjudul “Approach to Eye Infection” yang banyak membahas tentang

konjungtivitis mikroba sebagai infeksi mata tersering oleh dr. Rina La Distia Nora, SpM(K). Rina menyampaikan bahwa sekitar 1-2% kasus infeksi di Indonesia adalah infeksi mata dengan pencetus yang berbeda-beda. “Sekitar 20-70% konjungtivitis disebabkan oleh virus dan bersifat self limiting, selebihnya disebabkan oleh bakteri,” ungkap Rina. Menghadapi angka kejadian yang tinggi, dokter tidak jarang mengalami dilema dalam menentukan pilihan pengobatan untuk pasien. Pasalnya, masih banyak dokter yang tidak mampu membedakan antara konjungtivitis yang disebabkan oleh virus dan bakteri. Untuk itu, keterampilan dalam menganamnesis dan pemahaman terhadap gejala konjungtivitis sangat dibutuhkan dalam penegakan diagnosis. Gejala dari konjungtivitis secara umum meliputi mata merah, gatal, terasa lengket, dan berair. Namun, gejala yang paling sering tampak adalah mata kemerahan dan terasa gatal. Kondisi ini membuat pasien akan terus menggosok dan menggaruk daerah sekitar matanya. Mata terasa lengket dan berair memicu penumpukan debris berwarna putih di tepi mata. Informasi mengenai riwayat penyakit yang serupa dalam keluarga, riwayat infeksi pernapasan, kontak mata dengan benda asing, dan alergi perlu dihimpun dari pasien untuk kepentingan diagnosis. “Adenovirus merupakan etiologi tersering konjungtivitis virus dengan

angka 65-90%,” jelas Rina. Pasien dengan konjungtivitis virus biasanya akan mengeluhkan gangguan respirasi yaitu pharyngo-conjungtival fever. Ciri utama dari konjungtivitis virus adalah kemudahannya untuk menular. Lain halnya dengan konjungtivitis virus, konjungtivitis bakteri jarang disertai gangguan respirasi. Penyebab terseringnya adalah bakteri sexual transmitted diseases (STD), seperti Neisseria gonorrhoeae. Konjungtivitis bakteri juga sering kali menyebabkan munculnya ulkus yang berisi pus di lokasi infeksi. Tata laksana dari konjungtivitis bergantung pada agen penyebabnya. Konjungtivitis virus tidak membutuhkan tata laksana definitif, melainkan terapi suportif berupa kompres dingin dan antihistamin topikal yang dioleskan di sekitar mata. Adapun tata laksana pada konjungtivitis bakteri membutuhkan obat tetes mata (OTM) kloramfenikol. Khusus pada konjungtivitis dengan pencetus bakteri STD, terapi definitifnya berupa injeksi seftriakson. Edukasi harus dilakukan demi mencegah terjadinya perburukan kondisi pasien dan penularan kepada orang lain. Mencuci tangan yang benar dan tidak menggosok mata merupakan kebiasaan yang perlu diterapkan dan diedukasikan kepada pasien. afiahuddin


MEDIA

Liputan

AESCULAPIUS

JULI

MEI - JUNI 2018

11

SEPUTAR KITA

Bagaimana Tata Laksana Tepat Gawat Darurat pada Anak? Menentukan dengan tepat pasien yang memerlukan intervensi segera atau tidak merupakan kompetensi penting bagi tenaga medis. Mampukah Anda memutuskan?

T

erbentuknya tim bantuan medis yang ada pada hampir setiap fakultas kedokteran di Indonesia menjadi salah satu wadah untuk mengembangkan minat dan bakat. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan kompetensi tim bantuan medis di Indonesia agar ke depannya dapat membantu lebih banyak orang. Hal itulah yang mendasari Tim Bantuan Medis Chrestotes Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan untuk mengadakan seminar yang berjudul “Emergency Medicine: Pro Re Nata ‘Medicine, as Needed’” pada Sabtu, 26 Mei 2018 di Auditorium Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Mengundang dr. Andry Juliansen, Sp.A, seminar ini mengangkat salah satu topik yang berjudul “Systematic Approach to The Seriously Ill or Injured Children”. Kondisi pasien anak dapat dinilai dari kesan awal saat pasien datang. Kesan awal yang penting untuk dinilai adalah penampilan, sistem pernapasan, dan sistem sirkulasi pasien. Komponen penilaian penampilan meliputi kemampuan berinteraksi dengan orang lain, kontak mata, dan kemampuan verbal. Tahapan setelah melihat kesan awal adalah mengevaluasi kegawatdaruratan yang ada pada pasien. Evaluasi yang dilakukan meliputi penilaian primer, sekunder, dan diagnostik. Penilaian primer dapat berupa ABCDE (airway, breathing, circulation,

disability, exposure), tanda vital, dan saturasi oksigen. Sementara itu, penilaian sekunder berupa riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Terakhir, penilaian diagnostik yaitu pemeriksaan laboratorium, radiologi, atau pemeriksaan penunjang lainnya. Gangguan pada sistem pernapasan dapat terlihat melalui laju, sifat, dan ritme pernapasan. Selain itu, adanya napas cuping hidung atau kontraksi otot bantu napas merupakan gejala abnormalitas sistem respirasi. Penilaian sistem sirkulasi meliputi denyut dan irama jantung, nadi, capillary refill time, warna kulit, dan tekanan darah. Capillary refill time >2 detik menunjukkan adanya obstruksi atau syok pada pasien. Penilaian disability menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian exposure dilakukan untuk menilai adanya jejas atau trauma pada pasien. Penilaian sekunder berupa riwayat penyakit dapat menjadi salah satu petunjuk untuk menentukan penyebab masalah pasien. Riwayat yang perlu dinilai meliputi alergi, riwayat obat, riwayat medis, dan kejadian yang mungkin bisa menyebabkan trauma. Selain itu, pemeriksaan fisik yang paling penting dilakukan meliputi penilaian adanya respiratory distress dan gagal jantung. Menurut Andry, setelah melakukan hal tersebut, tenaga medis kemudian mengidentifikasi jenis dan tingkat keparahan

masalah yang diderita pasien anak. Identifikasi ini merupakan langkah penting untuk menentukan intervensi yang akan dilakukan. Contoh bentuk identifikasi adalah penentuan adanya obstruksi saluran napas atas melalui penemuan sindrom gagal napas. Setelah mengidentifikasi, tenaga medis melakukan intervensi sesuai dengan masalah pasien. Intervensi yang dilakukan pada pasien dengan respiratory distress dapat meliputi ventilasi oksigen dengan intubasi. Pasien yang mengalami syok

dokumen penulis

sepsis dapat diberikan epinefrin, sedangkan syok hipovolemik dapat diberikan NaCl 0,9% secara intravena. Selain itu, penilaian fungsi ginjal juga perlu dilakukan. Penilaian ini dikerjakan dengan mengevaluasi urin yang keluar melalui kateter pasien. Urin dalam jumlah sedikit pada kateter dapat mengindikasikan adanya syok atau gagal ginjal. farah

RUBRIK DAERAH

Kisah di Puskesmas Sarmi: Belajar Memberikan yang Terbaik Berada di kabupaten yang jauh dari laut, tantangan seperti apa yang dapat ditemui?

dr. Dewi Margaretha Hasibuan Puskesmas SARMI, Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua

H

idup di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua membuat saya banyak sekali belajar. Pasien demi pasien yang datang ke Puskesmas Sarmi terus menggoreskan arti di lubuk hati saya. Tidak hanya mengaplikasikan segala teori yang tersimpan di memori, saya juga banyak belajar tentang bagaimana menjadi seorang dokter yang berkualitas dari segi pelayanan. Beberapa bulan yang lalu, Puskesmas Sarmi kedatangan dua orang yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Diagnosis untuk kedua orang tersebut adalah patah tulang (open fracture). Kami, di Puskesmas

Sarmi, tidak bisa melakukan tata laksana bagi kedua orang tersebut sehingga yang harus dilakukan adalah merujuk keduanya ke rumah sakit terdekat. Namun, saat itu kondisi tidak mendukung. Hujan deras membasahi bumi diikuti dengan banjir yang tidak kunjung surut. Hal ini terus berlangsung dari siang hingga matahari terbenam. Melihat kedua pasien tersebut tidak dapat diberikan pelayanan terbaik, keluarga pasien mulai mengeluh dan marah. Mereka sangat kecewa karena menganggap kami tidak bisa memberikan penanganan dengan cepat. Di tengah amarah keluarga pasien, saya hanya bisa menjelaskan bahwa ini masalah jalur transportasi. Fasilitas di Puskesmas Sarmi hanya bisa menyediakan transportasi jalur darat untuk menuju ke rumah sakit sehingga pasien tidak bisa segera dibawa. Akhirnya, arus banjir mulai turun saat tengah malam. Meskipun begitu, tantangan tidak berhenti sampai di sini saja. Kami masih harus terjebak banjir di perjalanan tengah malam tersebut selama tiga jam. Perjalanan yang harus kami tempuh untuk membawa pasien tersebut ke rumah sakit memakan waktu sekitar sepuluh jam. Padahal, seharusnya perjalanan dapat ditempuh dalam enam hingga delapan jam. Banjir yang menghalangi jalan kami tersebut sangat tinggi yaitu sekitar satu meter. Kekhawatiran bertambah karena takut mobil tiba-tiba mogok di tengah jalan. Namun, semua tidak seburuk yang kami pikirkan.

Meskipun lama, semua berjalan dengan aman. Mobil yang membawa kami tidak mogok sama sekali. Kedua pasien tersebut juga aman sampai ke rumah sakit dan segera diberikan tata laksana oleh tenaga kesehatan yang bertugas. Cerita ini merupakan salah satu pengalaman yang bisa mengajarkan saya tentang bagaimana menjadi dokter yang baik. Selama prosesnya, meskipun sangat sulit, saya belajar tentang bagaimana tetap melayani dengan ikhlas dan sepenuh hati. Ketika keluarga pasien bertanya-tanya tentang penanganan di puskesmas, saya belajar mengerti bahwa keluarga tersebut khawatir akan keselamatan pasien. Oleh sebab itu, tim medis harus bisa menjelaskan

keadaan dengan sebaik-baiknya tanpa mengurangi rasa hormat kepada keluarga pasien. Setelah itu, tim medis seperti saya harus menunjukkan bahwa pelayanan yang diberikan adalah pelayanan yang terbaik. Meskipun harus melewati perjalanan di tengah malam dengan kondisi cuaca yang buruk dan menghabiskan waktu yang sangat lama, tim medis tidak boleh mengeluh sebagai bentuk pelayanan terbaik yang bisa diberikan bagi pasien. Kondisi yang buruk dan fasilitas yang tidak mendukung ini membuat saya belajar untuk tidak khawatir, melainkan semakin percaya akan kebaikan dan adanya campur tangan Tuhan di dalam kehidupan ini. nathalia

Permasalahan Etik...

sambungan dari halaman 1

Meskipun demikian, MKEK telah mengemukakan dalam internal organisasinya terkait wacana pengungkapan sanksi etika kepada publik. Pengungkapan ini meliputi jenis pelanggaran yang secara nyata menyimpangkan persepsi publik terhadap suatu tradisi kedokteran yang luhur, telah merugikan atau berpotensi merugikan masyarakat dan upaya kesehatan masyarakat dalam skala besar, atau pelanggaran etika tersebut dikategorikan berat sehingga sejawat yang melanggar dipecat tetap dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ide wacana di atas berasal dari negara tetangga, Singapura, yang mana posisi hukum dari peradilan profesi dokternya telah jelas. Jika terdapat seorang dokter yang melakukan pelanggaran kode etik, profil dokter dan bentuk pelanggaran yang dilakukannya akan dimuat dalam surat kabar. Hal tersebut tentu akan meningkatkan kontrol internal para dokter. Dengan adanya peningkatan kontrol internal tersebut, kualitas kerja para dokter akan meningkat. yuli, afiya, ilham


12

MEI - JUNI 2018

JULI

Liputan

MEDIA

AESCULAPIUS

SEREMONIA

Mommapedia: Ketika Ibu dan Anak Dekat

dokumen panitia

M

inggu, 8 April 2018, telah berlangsung acara puncak Mommapedia di Gedung Rumpun Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia, Depok. Sebelumnya, acara ini telah didahului dengan kegiatan assessment di Kampung Lio dan Kompleks Samudra Depok. Acara ini

diselenggarakan oleh Center for Indonesian Medical Students’ Activities (CIMSA) UI dengan tema “Kedekatan Ibu dan Anak”. Kegiatan yang dihadiri oleh 15 pasang ibu dan anak ini mengundang seorang psikolog, Fadillah, M.Psi, sebagai pembicara. filbert

Peduli Kesehatan dengan Berlari di Malam Hari

dokumen panitia

P

ara peserta lari maraton 5 km bersiap di belakang garis start. Tahun ini, Have Fun Go Med Liga Medika 2018 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hadir dengan tema “Night Run for Charity” yang bertujuan menggalang dana guna

membiayai operasi katarak bagi masyarakat kurang mampu. Berlangsung pada malam hari, maraton dilakukan sepanjang jalan lingkar kampus Universitas Indonesia, Depok. Acara dilaksanakan pada tanggal 28 April 2018. kelvyn

SENGGANG

Bicara tentang Cinta, Bicara tentang Yoga “Yoga mengubah tubuhku, yoga mengubah hidupku”

K

etika berbicara tentang definisi cinta, yoga adalah hal yang selalu terlintas dalam pikiran drg. Dwi Kartika Setyorini, MPH. Bermula dari tahun 2009, Dwi sudah mencoba aktivitas olah tubuh ini, meskipun tidak rutin. Akhirnya, pada tahun 2015, Dwi kembali terjun ke dunia yoga dengan tujuan ingin hidup sehat. Tanpa disangka, yoga berhasil membuatnya jatuh cinta hingga saat ini. Binar kebahagiaan selalu ada di mata Dwi ketika ia berbicara tentang yoga. Kecintaan Dwi akan yoga ini membuat Dwi terus belajar. “Ketika kita sudah cinta terhadap sesuatu, pasti kita ingin mengenalnya lebih jauh,” ungkap Dwi sambil tersenyum. Akhirnya, hal ini mendorong Dwi untuk belajar di salah satu sekolah yoga resmi di Indonesia. Ketika sudah mendapat sertifikat lulus menjadi guru yoga, awalnya Dwi masih merasa belum pantas untuk mengajar. Namun, pada akhirnya keberaniannya muncul karena ia menyadari bahwa menjadi guru yoga bukan tentang kemampuan yang luar biasa, tetapi bagaimana membagikan energi positif dan membantu orang lain melakukan yoga dengan metode yang benar. Banyak sekali pengalaman dan manfaat yang didapatnya saat menjadi guru yoga. Tidak hanya memberikan ilmu, Dwi juga mendapatkan banyak ilmu. “Menjadi guru yoga juga membantu saya menjadi pendengar yang baik dan membantu mencari

dokumen pribadi

solusi sesuai kemampuan saya,”ucapnya. Dwi mengaku masih banyak gaya yoga yang belum mampu ia lakukan, tetapi hal tersebut bukan yang dicarinya saat menekuni kegiatan ini. Bagi Dwi, hal yang ia syukuri ketika menekuni hobinya ini adalah perasaan selama dan sesudah melakukan yoga yang sangat sulit untuk dideskripsikan.

Segala hal yang didapatkannya dari yoga dapat terlihat di dalam kehidupan seharihari. Menurut Dwi, yoga melatih dirinya menjadi pribadi yang lebih sabar dan positif setiap harinya. Tidak hanya masalah mental, yoga juga memberikan perubahan bagi fisik Dwi. Postur tubuh Dwi lebih baik dan lebih fleksibel. “Menurut orang-orang terdekat,

sejak rutin beryoga, ada aura positif yang saya keluarkan dan penampilan saya menjadi lebih berbeda dari sebelumnya,” ungkap Dwi dengan mata berbinar. Yoga juga memberikan dampak positif bagi profesi Dwi sebagai seorang dokter gigi. Interaksi dokter gigi dan pasien jadi semakin baik sehingga diagnosis dan tata laksana yang diberikan pun semakin baik. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa profesi dokter gigi menyebabkan postur tubuh menjadi tidak baik akibat terlalu lama duduk. Dulu, Dwi juga merasa agak bungkuk. Namun, semenjak yoga, ia jadi terbiasa duduk tegak. “Kalaupun sesaat saya lupa dan menjadi bungkuk, tubuh saya akan mengeluarkan sinyal tidak nyaman yang mengingatkan saya untuk membetulkan posisi saya,” cerita Dwi. Selama menekuni kegiatan ini, tentu saja terdapat suka dan duka yang mengiringi. Bagi Dwi sendiri, yoga lebih banyak membawa perasaan sukacita dalam hidupnya, walaupun kelelahan atau rasa sakit akibat memaksakan diri belajar gaya baru sering dirasakannya. Jika sudah lelah atau sakit, ia tentu saja akan beristirahat sebagai tanda “permintaan maaf” ke tubuhnya. Namun, rasa lelah atau sakit tidak akan mematahkan semangat Dwi. Alasan di balik semua ini adalah rasa cintanya yang terlalu besar pada yoga sehingga ia mampu mengabaikan segala duka yang ada. nathalia


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.