BIMABI Volume 4 Nomor 2

Page 1


SUSUNAN PENGURUS Pelindung Sekretaris Jendral Ikatan Lembaga Mahasiswa Kebidanan Indonesia (IKAMABI) Nisaatul Maharanita Universitas Gajah Mada

Penyunting Ahli Ivon Diah Wittiarika, S.Keb., Bd. M.Kes Universitas Airlangga

Dwi Iz’zati, S.Keb., Bd. M. Sc Universitas Airlangga

Yulizawati, SST, M.Keb Universitas Andalas

Board of Director Winda Rinawan, S.Keb Universitas Brawijaya

Pimpinan Umum Bintang Dwita Dewantari Universitas Airlangga

Sekretaris Atika Nadia Universitas Airlangga

Bendahara Romadhinniar Febriana

Redaksi Novi Dwi Ambarsari Universitas Airlangga Zulfa Navila F.S.J Universitas Airlangga Fajar Dwi P. Universitas Airlangga Resti Zulhaijah Universitas Airlangga Dian Rahma U.S Universitas Brawijaya

Public Relation Puput Maulidah Universitas Brawijaya Erni Rosita Dewi Universitas Airlangga Siwi Arum Sari W. Poltekes Kemenkes Semarang Yuniarti Arsitasari Universitas Negeri Sebelas Maret

Universitas Airlangga

Tata Letak dan Layout Zukhaila Salma Universitas Airlangga Wanda Mardhotillah Universitas Gajah Mada Rindang Atikah Kusuma P. Universitas Brawijaya

Rizka Sriyouni Universitas Andalas

i BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


DAFTAR ISI

ISSN : 2442 — 9171

Susunan Pengurus ......................................................................................................................................... i Daftar Isi ............................................................................................................................................................ ii Petunjuk Penulisan ....................................................................................................................................... iv Sambutan Pimpinan Umum ...................................................................................................................... xi

PENELITIAN Pola Pemberian ASI dan Faktor yang Mempengaruhinya pada Tingkat Individu Zulfa Navila Farroh S.J, Netti Herlina, Siti Pariani, Dwiyanti Puspitasari ....................................................................................................................................................................................................... 1

Pengetahuan dan Sikap Remaja tentang Kesehatan Reproduksi terhadap Seks Bebas di SMAN Y Surabaya Siti Fatimah, Sunjoto, Atika ....................................................................................................................................................................................................... 11

Menjaga Genetalia Tetap Kering Dapat Mencegah Kejadian Keputihan Ukhti Mukminah Ilmi Amila, Dwi Purwanti, Sulistiawati, Gatut Hardianto ....................................................................................................................................................................................................... 17

Pencegahan Kanker Serviks dengan Vaksinasi Human Papiloma Virus Berdasarkan Teori Health Belief Model Lucky Citra Safitri, Evi Pratami ....................................................................................................................................................................................................... 25

TINJAUAN PUSTAKA Refleksi Peran Bidan : Kajian Kekerasan Seksual Pada Remaja Perempuan di Indonesia Nur Anisah Rahmawati ....................................................................................................................................................................................................... 33

PENYEGAR Inisiasi Menyusu Dini Sebagai Langkah Efektif Cemerlangnya Keberhasilan Pemenuhan Nutrisi 1000 Hari Pertama Kehidupan Anak Siwi Arumsari Widyaningsih ....................................................................................................................................................................................................... 39 ii BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


DAFTAR ISI

ISSN : 2442 — 9171

Penyebab dan Penatalaksanaan Mastitis, Haruskah Ibu Berhenti Menyusui ? Septi Kurnia Wati ....................................................................................................................................................................................................... 42

iii BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (Bimabi) Indonesian Midwifery Student Journal

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (BIMABI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMABI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan bidang ilmu kebidanan, artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa kebidanan. Petunjuk Bagi Penulis : 1.

BIMABI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain.

2.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, lugas, dan ringkas.Naskah diketik dalam Microsoft Word, ukuran kertas A4 dengan margin kanan, kiri, atas, bawah berukuran 3433 cm. Naskah menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 cm, jarak antarbab atau antarsubbab yaitu 1 spasi (1x enter). Font Arial, size 10, sentence case, justify. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka.

3.

Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksibimabi@bimkes.org dan bimabi_ikamabi@yahoo.com dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

4.

Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: a.

Judul

b.

Nama penulis dan lembaga pengarang

c.

Abstrak

d.

Naskah (Text), yang terdiri atas: 

Pendahuluan



Metode



Hasil iv

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Pembahasan

Kesimpulan

Saran

e. Daftar Rujukan 5.

Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan Pustaka dan Advertorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut : a.

udul

b.

Nama penulis dan lembaga pengarang

c.

Abstrak

d.

Naskah (Text), yang terdiri atas:

e. 6.

Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)

Pembahasan

Kesimpulan

Saran

Daftar Rujukan

Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Artikel Penyegar dan Artikel Editorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut:

7.

a.

Pendahuluan

b.

Isi

c.

Kesimpulan (Penutup)

Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Laporan Kasus harus mengikuti sistematika sebagai berikut: a.

Judul

b.

Nama penulis dan lembaga pengarang

c.

Abstrak

d.

Naskah (Text), yang terdiri atas:

e. 8.

Pendahuluan

Laporan kasus

Pembahasan

Kesimpulan

Daftar Rujukan

Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis dengan Font Arial 14 pt dicetak tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf ditulis kapital), tidak digaris bawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.), tanpa singkatan, kecuali singkatan yang lazim. Penulisan judul diperbolehkan menggunakan titik dua tapi tidak diperbolehkan menggunakan titik koma. Penggunaan subjudul diperbolehkan dengan kev

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


tentuan ditulis dengan titlecase, Font Arial 12, center, dan dicetak tebal. 9.

Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis diketik titlecase, Font Arial 10, center, dan bold yang dimulai dari pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal instansi dimulai dari terkecil. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email.

10. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata dan tidak menuliskan kutipan pustaka. Abstrak Bahasa Indonesia dan kata kunci ditulis tegak. Abstrak Bahasa Inggris dan keyword ditulis italic (dimiringkan). 11. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Kata kunci sebanyak maksimal 8 kata benda yang ditulis dari umum ke khusus. 12. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 13. Setiap tabel gambar dan metode statistika diberi judul dan nomor pemunculan. 14. Ucapan terima kasih 15. Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat sebagai berikut: Contoh cara penulisan daftar pustaka dapat dilihat sebagai berikut : Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Ditulis dengan nomor sesuai urutan. Untuk penulisan sitasi yang berasal dari 2 sumber atau lebih, penomoran dipisahkan menggunakan koma. Nomor kutipan ditulis superskrip dan dibuat dalam tanda kurung siku [‌] Contoh penulisan sitasi : Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata). Cacing tanah termasuk kelas Oligochaeta. Famili terpenting dari kelas ini adalah Megascilicidae dan Lumbricidae.[1] Bagi sebagian orang, cacing tanah masih dianggap sebagai makhluk yang menjijikkan dikarenakan bentuknya, sehingga tidak jarang cacing masih dipandang sebelah mata. Namun terlepas dari hal tersebut, cacing ternyata masih dicari oleh sebagian orang untuk dimanfaatkan. Menurut sumber, kandungan protein yang dimiliki cacing tanah sangatlah tinggi, yakni mencapai 58-78 % dari bobot kering. Selain protein, cacing tanah juga

vi BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


mencapai 58-78 % dari bobot kering. Selain protein, cacing tanah juga mengandung abu, serat dan lemak tidak jenuh. Selain itu, cacing tanah mengandung auxin yang merupakan hormon perangsang tumbuh untuk tanaman.[2]Manfaat dari cacing adalah sebagai Bahan Baku Obat dan bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit. Secara tradisional cacing tanah dipercaya dapat meredakan demam, menurunkan tekanan darah, menyembuhkan bronkitis, reumatik sendi, sakit gigi dan tipus.[1,2] A. KETENTUAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA 1. BUKU Penulis Tunggal Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957. Dengan dua atau tiga orang penulis Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis selanjutnya. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Howe, Russell Warren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City: Doubleday, 1977. Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R. Sorensen. The Rope, the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of Texas, 1994. Lebih dari tiga penulis Nama penulis 1 (dibalik), et al. judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Edens, Walter, et al. Teaching Shakespeare. Princeton: Princeton UP, 1977.

vii BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Editor sebagai penulis Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979. Penulis dan editor Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford UP, 1956. Penulis berupa tim atau lembaga Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory. Washington, D.C.: Natl. Inst. for Dispute Res., 1984. Karya multi jilid/buku berseri Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963. Terjemahan Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama penerjemah. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang diterjemah (italic), Tahun terbit buku yang diterjemah. Contoh: Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan Smith. London: Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L'ArchĂŠologie du savoir, 1969.

viii BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Artikel atau bab dalam buku Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku. Contoh: Magny, Claude-Edmonde. "Faulkner or Theological Inversion." Faulkner: A Collection of Critical Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. 66-78. Brosur, pamflet dan sejenisnya Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999. 2.SERIAL Artikel jurnal dengan volume dan edisi Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume:Edisi (tahun terbit): halaman Contoh: Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the Ideology of Romantic Silences.” Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35. 3. PUBLIKASI ELEKTRONIK Buku Online Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku. Tanggal dan tahun akses <link online buku> Contoh: Austen, Jane. Pride and Prejudice. Editor Henry Churchyard. 1996. 10 September 1998 <http://www.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>. Artikel jurnal online Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal dan tahun akses jurnal <link online jurnal>

ix BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Contoh: Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo’s Life of the Buddha.”

Exemplaria

9.1

(1997).

22

June

1998

<http://

web.english.ufl.edu/english/exemplaria/calax.htm> Artikel di website “judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses. <link online artikel> Contoh: “Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab. 2003. Purdue University. 6 Februari 2003. <http:// owl.english.purdue. edu/handouts/research/r_mla.html>. Publikasi lembaga Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama penulis 2, dan seterusnya. Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel> Contoh: United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National Assessment. By Claire Johnson, Barbara Webster, dan Edward Connors. Feb 1996. 29 June 1998 <http://www.ncjrs.org/txtfiles/ pgang.txt>.

x BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


SAMBUTAN PIMPINAN UMUM Assalamu’alaikum wr. Wb. Alhamdulillah, Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa kami dapat menerbitkan BIMABI Volume 4 nomor 2. Pada kesempatan ini juga saya ingin mengucapkan terimakasih kepada seluruh tim penerbit, penulis, dan mitra bebestari serta seluruh mahasiswa kebidanan di Indonesia yang telah berpartisipasi aktif dalam penerbitan BIMABI di awal tahun 2016. Selain itu saya juga ingin mengucapkan terimakasih kepada Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Asosiasi Institusi Pendidikan Kebidanan Indonesia (AIPKIND) serta Ikatan Lembaga Mahasiswa Kebidanan Indonesia (IKAMABI) yang telah memberikan dukungan dan membantu dalam menyelesaikan beberapa hambatan selama proses pembuatan jurnal. Saya berharap dengan diterbitkannya BIMABI Volume 4 nomor 2 ini, bisa meningkatkan minat menulis dan publikasi artikel ilmiah mahasiswa kebidanan di Indonesia. Besar harapan saya pula BIMABI bisa berkontribusi untuk kemajuan keilmuan kebidanan di Indonesia. Saya dan segenap jajaran pengurus mohon maaf apabila terdapat kekurangan pada BIMABI volume 4 nomor 2 ini. Semoga apa yang telah dilakukan bisa bermanfaat bagi kita semua. Wassalammu’alaikum Warahmatullahhi Wabarakatuh

Surabaya, 12 Agustus 2016

Bintang Dwita Dewantari (Pimpinan Umum)

xi BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Penelitian

POLA PEMBERIAN ASI DAN FAKTOR YANG MEMPERNGARUHINYA PADA TINGKAT INDIVIDU Zulfa Navila Farroh S.J1, Netti Herlina2, Siti Pariani3, Dwiyanti Puspitasari4 1

Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya 2 Jurusan Kebidanan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya, Surabaya 3 Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat - Kedokteran Pencegahan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya 4 Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya ABSTRAK Pendahuluan :Cakupan ASI Eksklusif di Kota Surabaya masih di bawah target nasional (80%). Puskesmas Gundih di Kota Surabaya mengalami penurunan cakupan selama tahun 2012-2014. Studi pendahuluan menunjukkan bahwa 7 dari 10 ibu sudah tidak menyusui eksklusif dan sebagian besar dipengaruhi oleh faktor pada tingkat individu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi pola pemberian ASI dan faktor yang mempengaruhinya pada tingkat individu. Metode : Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan metode deskriptif eksploratif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam sampai terjadi saturasi data. Informan dipilih dari populasi ibu yang memiliki bayi usia 0-6 bulan dengan teknik purposive dan snowball sampling. Hasil : Jumlah informan berdasarkan saturasi data yaitu 28 orang (13 informan ASI Eksklusif dan 15 informan Non-ASI Eksklusif). Seluruh informan menyatakan keinginannya untuk menyusui bayinya, namun tidak semua mewujudkannya dengan baik. Sebagian besar informan memiliki pengetahuan yang baik tentang ASI eksklusif. Mereka yang pernah mengalami gangguan kesehatan atau masalah menyusui, baik pada ibu maupun bayi, memilih untuk tetap menyusui. Informan dengan pengalaman parenting sebelumnya, cenderung memiliki pola menyusui yang sama pada anak selanjutnya, kecuali pada informan dengan pengalaman menyusui yang negatif sebelumnya. Seluruh informan yang melahirkan dengan intervensi medis mengalami penundaan interaksi dini ibu-bayi serta milk onset delay. Kesimpulan : Adanya kemauan untuk menyusui dan pengetahuan tidak cukup untuk mendorong ibu memberikan ASI eksklusif. Keduanya perlu didukung dengan adanya kemampuan dan keaktifan dalam memanfaatkan kesempatan untuk menyusui melalui pengalaman melahirkan, interaksi dini ibu-bayi dan status kesehatan bayi yang baik. Kata kunci : Pemberian ASI, faktor individu ABSTRACT Introduction: The coverage of exclusive breastfeeding in Surabaya still below of the target (80%). Gundih Public Health Center’s in Surabaya showed decreased coverage for 3 years in a row. The prelimenary study showed that breastfeeding practices in those area was mostly influenced by individual level factors . objective of this study was to explore about the pattern of breastfeeding practices and its individual level factors . 1

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Methods :a qualitiative research with descriptive exploratory. The data was conducted by in-depth interview involved 28 mothers. They were selected by purposive sampling and snowball sampling methods. Results :Thirteen of 28 informants known still gave their baby an exclusive breastfeeding while the others already gave a solid foods/formulas. All informants had intention to breastfeed their baby but they had different intensity and perseverance. Most informants had knowledge about exclusive breastfeeding. Informants who had prior health problem before or their baby choose to continue breastfeed. Also they who had skills and parenting experience mostly had same breastfeeding pattern on their next child. The birth experience which involved intervention like induction or sectio cesaera was related with delayed mother-infant early interaction as well as milk onset delay . Conclusion : Mothers’ knowledge and intention was not sufficient to influence exclusive breastfeeding practices. Both factors should be supported by capability and actively take an advantage of every opportunity to brestfeed through birth experience, mother-infant early interaction , along with baby’s well-health status. Keywords : breastfeeding, individual level factors. 1. PENDAHULUAN Pemberian Air Susu Ibu (ASI) sangat penting untuk pertumbuhan perkembangan optimal bayi baik secara fisik maupun mental. Adanya faktor protektif dan nutrien yang sesuai dalam ASI menjamin status gizi bayi baik serta kesakitan dan kematian anak menurun. Secara keseluruhan, di Indonesia cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan masih jauh dari target nasional (80%) yaitu 52,3% pada tahun 2014. Sepanjang tahun 2012-2014 terjadi kecenderungan peningkatan jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif di Kota Surabaya. Namun kondisi yang berkebalikan justru terjadi di Puskesmas Gundih. Dinas Kesehatan Kota Surabaya mencatat cakupan ASI eksklusif di wilayah tersebut yaitu 68,17% pada tahun 2012 dan menurun menjadi 34,57% pada tahun 2014. Studi pendahuluan yang dilakukan pada ibu menyusui di Puskesmas Gundih pada Oktober 2015 menunjukkan bahwa 7 dari 10 ibu sudah tidak menyusui secara eksklusif. Sebagian besar ibu mengungkapkan bahwa mereka mengalami kesulitan seperti puting lecet atau ASI tidak keluar saat awal masa menyusui. Hal ini terutama ditemukan pada ibu yang melahirkan dengan seksio sesarea dan ibu primi. Beberapa alasan di atas merupakan gambaran dari faktor tingkat individu. Faktor pada tingkat individu terdiri atas keinginan ibu untuk menyusui, pengetahuan yang dimilikinya, kemampuan dan pengalaman mengasuh anak, pengalaman melahirkan, resiko

kesehatan dari ibu dan bayi, dan sifat interaksi awal antara ibu dan bayi.[1] Faktor tersebut menunjukkkan bahwa belum ada kemauan, kemampuan, dan kesempatan yang cukup untuk mendorong terbentuknya perilaku menyusui eksklusif . Permasalahan dalam pemberian ASI sebenarnya tidak dapat digeneralisasikan, sehingga perlu dilakukan studi secara kualitatif. Atas dasar tersebut, sangat penting untuk mengetahui dan memahami gambaran faktor tingkat individu yang mempengaruhi pemberian ASI oleh ibu menyusui melalui pendekatan kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam tentang faktor yang mempengaruhi pemberian ASI oleh ibu menyusui pada tingkat individu (individual level factors) meliputi niat ibu, pengetahuan ibu, kemampuan dan pengalaman mengasuh anak, status kesehatan ibu, pengalaman melahirkan, status kesehatan bayi dan interaksi awal antara ibu-bayi, serta pola perilaku ibu menyusui di wilayah kerja Puskesmas Gundih Kota Surabaya. 2. METODE Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif ekskploratif. Populasinya adalah semua ibu yang memiliki bayi usia 0-6 di wilayah kerja Puskesmas Gundih Kota Surabaya periode Maret-April 2016 bulan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling. Peneliti mengumpulkkan data sampai terjadi saturasi data. Kriteria infor2

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


man. Pada penelitian ini adalah ibu yang memiliki bayi usia 0-6 bulan, bersedia menjadi responden, dan mudah diajak berkomunikasi. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah wawancara mendalam (indepth interview). Proses pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dengan terjun langsung ke lapangan. Peneliti mencari informan dengan melakukan pendataan awal di posyandu dan setelah didapatkan data status pemberian ASI, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan mendatangi informan satu persatu. Instrumen utama pada penelitian ini adalah peneliti. Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar

pengumpul data, buku catatan, tape recorder, dan kamera. Analisis data dalam penelitian ini dilaksanakan langsung di lapangan bersama-sama dengan proses pengumpulan data. Analisis data dilakukan secara induktif dengan tahapan sebagai berikut : (1) Membuat transkrip data, (2) menentukan meaning unit, (3) meringkas dan mengorganisir data, (4) melakukan abstraksi data, (5) mengidentifikas variabel dan hubungan antar variabel secara kualitatif, serta (6) menarik kesimpulan. Pada tahap akhir ini, peneliti mengintegrasikan hasil secara keseluruhan ke dalam bentuk deskriptif naratif.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini, jumlah informan ditentukan berdasarkan saturasi data yaitu sebanyak 28 orang. Berikut ini adalah karakteristik dari informan : Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian Karakteristik

Kriteria

Jumlah

%

Usia

<20 tahun 20-35 tahun >35 tahun

1 26 1

3,57% 92,86% 3,57%

Pendidikan

Pendidikan dasar Pendidikan menengah Pendidikan tinggi

10 10 8

35,71% 35,71% 28,57%

Jumlah Anak

1 2 3-4

9 12 7

32,14% 48,60% 25%

Pekerjaan

Bekerja Tidak bekerja

7 21

25 % 75%

Suku

Jawa Madura

18 10

64,29% 35,71%

Agama

Islam

28

100%

Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar informan pada penelitian ini berada pada rentang usia produktif yaitu usia 20-35 tahun (92,86%). Selain itu, status pendidikan informan relatif bervariasi baik dari tingkat dasar sampai tinggi. Karakteristik informan lainnya yang terlihat yaitu sebagian besar ibu tidak bekerja atau ibu rumah tangga dan memiliki karakteristik keluarga dengan 2 orang anak. Hal ini menunjukkan karakteristik lingkungan sosial di sekitar informan dimana mereka

lebih memilih fokus untuk mengurus anak daripada mengerjakan pekerjaan diluar rumah bersamaan. Pada penelitian ini, terdapat 13 informan yang menerangkan bahwa mereka hanya memberikan bayinya ASI saja tanpa diberikan asupan tambahan lainnya sejak lahir. Dua informan yang memberikan prelakteal berupa air legen dan susu formula diketahui disebabkan ASI belum keluar lancar pada permulaan masa laktasi 3

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Kondisi tersebut merupakan salah satu pertimbangan kondisi kesehatan yang menjadi pertimbangan untuk pemberian susu formula yaitu adanya gangguan laktogenesis.[2] Tiga informan yang sudah memberikan nasi/pisang/air legen diketahui berasal dari suku Madura. Pada awalnya bayinya rewel dan atau ASI belum lancar sehingga mereka mencoba memberikan MPASI dini seperti kebiasaan turun-temurun dari daerah asalnya. Suku Madura diketahui memiliki kebiasaan/adat istiadat memberikan makanan padat sebelum bayi berusia 6 bulan. Hasil penelitian ini sejalan dengan Mubarak yang menyatakan bahwa kebiasaan, adat istiadat, dan perilaku masyarakat seringkali merupakan penghalang atau penghambat terciptanya pola hidup sehat di masyarakat. [3] \ Sepuluh informan yang sudah memberikan susu formula memiliki alasan, karakteristik dan pola perilaku yang beragam. Hal-hal tersebut akan dibahas lebih dalam pada sub bab selanjutnya. 3.1

Eksplorasi Niat Ibu Menyusui Hasil wawancara mendalam pada 28 informan menunjukkan bahwa semua informan menyatakan niatnya untuk menyusui, namun hanya 19 informan yang mewujudkannya dengan melakukan persiapan menyusui seperti perawatan payudara atau senam hamil. “Pas hamil dulu sering tak cuci pake air anget, tak kompres gitu. Ya dirawat gitu mbak, ben bersih, gak mampet ASIne.”(E05, 31 th) (Saat hamil dulu sering dicuci dengan air hangat, di kompres. Ya dirawat gitu mbak, supaya bersih, tidak macet ASInya) “Nggak sih, paling ya yang waktu hamil dibersihkan, terus diolor-olor itu putingnya, biar bisa untuk neteki.” (E06, 35 th) Persiapan di atas merupakan wujud dari niat ibu untuk menyusui bayinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Raffle dkk [4] yang menyatakan bahwa niat ini diwujudkan dalam bentuk rencana atau persiapan mereka untuk menyusui sejak sebelum melahirkan. Persiapan yang dapat ibu lakukan dalam mempersiapkan masa laktasi dapat dimulai saat kehamilan baik se-

cara fisik seperti merawat payudara; maupun dengan mencari berbagai informasi tentang pemberian ASI.[5] Sebelas dari 13 informan (85%) yang masih memberikan ASI eksklusif memiliki upaya yang kuat seperti mengonsumsi multivitamin atau tetap berusaha menyusui walaupun ASI masih keluar sedikit, sedangkan pada informan yang tidak memberikan ASI eksklusif didapatkan hanya 9 dari 15 informan (60%). Kan pertama belum seberapa lancar kan ASI nya. Ya tak kasih ASI terus biar kata’e kalo pertama dikasih biar cepetcepet keluar gitu. Tak coba terus mbak, terus nyoba disusui bayi’e. Ya itu akhirnya langsung keluar dikit-dikit. Sekarang ya lancar.” (P18, 26 th) “Minum susu minum vitamin aja paling kalo sekarang.” (E12, 32 th) Pada kondisi dimana informan bekerja atau melanjutkan studi, ditemukan beberapa pola yaitu berhenti bekerja atau tetap bekerja/studi dengan memberikan ASI perah; dan memberikan susu formula saat ditinggal. Kedua pola tersebut sesuai dengan yang digambarkan oleh Lowdermilk, dkk, dimana kembali bekerja merupakan alasan yang paling umum untuk pengalihan nutrisi secara dini, namun banyak juga wanita yang dapat menjalankan menyusui dan pekerjaanya, mengikuti sekolah, atau komitmen lainnya secara bersama-sama dengan sukses.[6] 3.2

Eksplorasi Pengetahuan Ibu Menyusui Hasil wawancara mendalam menunjukkan bahwa 19 dari 28 informan (68%) dapat menjelaskan pengertian ASI eksklusif dengan benar. Ibu yang masih memberikan ASI eksklusif pada bayinya diketahui memiliki pengetahuan yang lebih baik. Selain itu, mereka juga dapat menjelaskan manfaat ASI dan teknik menyusui dengan jelas. “ASI Eksklusif itu menyusui bayi 0-6 bulan diberi ASI saja, nggak ada tambahan makanan minuman lainnya. Banyak keuntungannya, nutrisi lengkap, ada semua bahan, jadi ya nggak perlu tambahan dari luar. Terutama sih biar nggak alergi juga, kan kalo susu formula itu bahannya belum tentu pas, 4

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Jadi kan ASI itu pas buat anaknya.� (E11, 22 th) Kondisi tersebut sesuai dengan pendapat Notoatmodjo[7] bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Pengetahuan yang dimiliki oleh informan tersebut merupakan salah satu domain yang dapat mendorong mereka untuk memberikan bayinya ASI eksklusif. Sebaliknya, terdapat 3 informan yang tidak dapat menjelaskan pengertian ASI eksklusif namun tetap memberikan bayinya ASI Eksklusif. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa ke depannya ketiga responden tersebut akan beralih keputusan untuk tidak memberikan bayinya secara eksklusif, terutama saat menemui masalah menyusui. Hal ini dikarenakan perilaku yang tidak didasari pengetahuan umumnya bersifat kurang langgeng daripada yang didasari oleh pengetahuan.[7] Hasil eksplorasi juga menunjukkan bahwa terdapat 9 informan yang dapat menjelaskan pengertian ASI eksklusif dengan benar namun sudah tidak memberikan ASI eksklusif. Hal ini disebabkan masih banyaknya faktor lain yang dapat mengurangi peran faktor pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan bukan satu-satunya faktor penentu perilaku. Perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organisme itu timbul akibat respon dari stimulus atau rangsangan dimana sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan.[7] [8] Secara keseluruhan, sebagian besar informan pada penelitian ini dapat menjelaskan pengertian ASI eksklusif dan frekuensi menyusui. Hal ini juga tidak lepas dari tingkat pendidikan informan dimana sebagian besar (68%) memiliki tingkat pendidikan menengah-tinggi (Tabel 1). Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan.[7] Selain itu, pendidikan juga dapat menentukan cara berpikir ibu dalam menerima pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat. Tingginya tingkat pendidikan diharapkan membantu individu untuk memberikan respon yang lebih objektif dan rasional terhadap berbagai informasi dan kebiasaan di lingkungan sekitar. Pendidikan seorang ibu yang rendah memungkinkan ia lambat dalam mengadopsi pengetahuan baru, khususnya

tentang hal-hal yang berhubungan dengan pola pemberian ASI. 3.3

Eksplorasi Kemampuan dan Pengalaman Mengasuh Anak oleh Ibu Menyusui Hasil wawancara menunjukkan bahwa, 7 informan yang berstatus ibu primi menyatakan kerepotannya dalam mengasuh anaknya, terutama saat mengalami masalah dalam menyusui. “Kesulitan itu mbak, paling kalo telat, nanti nangis. Nangise itu keras, minta ampun gitu lho mbak. Soalnya aku juga kebingungan. Baru pertama.� (P15, 23 th) Kondisi tersebut menggambarkan bahwa Ibu primi cenderung memiliki kepercayaan diri yang rendah tentang bagaimana merawat bayi dan potensi mereka untuk menyusui secara eksklusif. Selain itu, ibu primi belum terbiasa dengan situasi atau ketidaknyamanan seperti puting lecet atau bayi susah menyusu sehingga sering terjadi ibu yang mengeluh dan berhenti menyusui.[4][5] Sembilan belas informan lainnya merupakan ibu multipara dan beberapa diantaranya menyatakan bahwa proses menyusui pada anak selanjutnya cenderung lebih mudah karena sudah memiliki pengalaman sebelumnya. “Yang kedua lebih gampang lah, soalnya yang pertama kan masih belum pernah ya. Maksudnya kaget kalo ternyata nyusuin itu sakit lah gini, apalagi pumpingnya pertama kali itu ternyata sakit juga. Terus bayangannya yang kedua sakit juga nih kalo mau pumping, tapi ternyata ggak sesakit yang pertama. Pokoknya lebih enakan yang anak ini.� (E04, 26 th) Orang yang memiliki pengalaman akan mempunyai pengetahuan/ kemampuan yang lebih baik bila dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki pengalaman dalam segi apapun. [3] Adanya pengalaman dan kemampuan ibu akan berdampak pada pola menyusui dimana ibu akan lebih tahu apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Pada penelitian ini, diketahui bahwa informan yang memberikan ASI Eksklusif pada anak sebelumnya, kembali menyusui anak terakhir secara eksklusif. 5

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Pada dasarnya, wanita cenderung memilih metode yang sama untuk pada setiap anaknya.[6] Hal ini mengindikasikan bahwa sikap terbentuk berdasarkan pengalaman langsung sering kali memberikan pengaruh yang lebih kuat pada tingkah laku daripada yang terbentuk berdasarkan pengalaman tidak langsung atau pengalaman orang lain. Pengalaman bonding yang dialami ibu selama masa menyusui mendorong ibu untuk kembali menyusui bayinya secara eksklusif. Di sisi lain, informan yang sebelumnya memberikan MPASI dini pada bayinya tanpa menemui masalah kesehatan, kembali melakukan hal yang sama pada anak selanjutnya. Ibu yang tidak mengalami kesulitan selama memberikan MPASI dini memutuskan untuk menyusui bayinya secara parsial. Selain itu, terdapat 2 informan yang beralih memberikan ASI secara eksklusif karena pada anak sebelumnya mengalami infeksi saluran pencernaan akibat pemberian MPASI dini. “Ya tadi itu mbak, kalo anak pertama sempet dikasih pisang pas kecile, terus kena infeksi usus kata dokter’e. Jadi saya nggak brani, trauma. Kalo yang anak dua tiga ini nggak dikasih apa-apa.” (E06, 35 th) Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Lowdermilk dkk [6], yang menerangkan bahwa apabila dalam mengasuh anak sebelumnya ibu mengalami gangguan atau situasi sulit dalam menyusui, maka ada kecenderungan untuk tidak menyusui dengan pola yang sama pada anak selanjutnya. 3.4

Kondisi tersebut merupakan kondisi yang umumnya menjadi masalah dalam pemberian ASI antara lain insufisiensi susu dan puting lecet. [9] Gangguan kesehatan tersebut tidak mempengaruhi keberlangsungan menyusui informan (tetap menyusui bayinya). Pada dasarnya, gangguan kesehatan yang dialami oleh ibu menyusui pada penelitian ini bukan termasuk daftar penyakit atau kondisi yang dapat menganggu pemberian ASI. Oleh karena itu, seluruh informan yang mengalami gangguan kesehatan tersebut tetap menyusui bayinya seperti biasa. Selain faktor fisik, faktor psikologis ibu menyusui sangat besar pengaruhnya terhadap proses menyusui. Hal ini terutama dialami oleh ibu bekerja yang saat kembali bekerja. “...ya cuma dikit mbak. Nggak banyak. Mungkin juga karena banyak pikiran, kan katanya mempengaruhi.” (P25, 27 th) Wanita yang kembali bekerja sering kali menghadapi tantangan dalam melanjutkan untuk menyusui. Beberapa tubuh wanita menyesuaikan suplai susu terhadap waktu ibu menyusui bayinya, apabila tidak ada rangsangan untuk memproduksi ASI (isapan bayi atau pompa) maka suplai susu akan berkurang dengan cepat.[6] Hal ini sejalan dengan penelitian Perera P.J dkk[10] di Srilanka yaitu alasan utama untuk meninggalkan ASI eksklusif adalah ibu memulai pekerjaan dan kecemasan ibu tentang kecukupan ASI. Bila ada stress dari ibu menyusui maka akan terjadi blokade dari refleks “let down”. Ini disebabkan oleh karena adanya pelepasan dari adrenalin (epinifirin) yang menyebabkan vasokontriksi dari pembuluh darah alveoli, sehingga oksitosin sulit mencapai target organ mioepitelium.[11]

Eksplorasi Status Kesehatan Ibu Menyusui Sembilan belas dari 28 informan pernah memiliki gangguan kesehatan atau masalah dalam menyusui. Gangguan kesehatan yang sering dialami oleh ibu menyusui adalah batuk, pilek, dan demam 3.5 Eksplorasi Pengalaman ringan. Sedangkan masalah dalam Melahirkan pada Ibu Menysuui menyusui yang dominan yaitu lecet pada Sembilan dari 28 informan pada puting. penelitian ini melahirkan dengan sectio caesarea atau induksi. Hasil eksplorasi “...ya paling lecet-lecet. Kan kuat menunjukkan 8 diantaranya merupakan nyusunya.” (E04, 26 th) informan yang tidak memberikan bayinya ASI eksklusif. Temuan lain dari penelitian “Sempet lecet juga ini mbak, perih, pas ini yaitu seluruh informan yang melahirkan awal-awal itu...” (P26, 26 th) dengan bantuan intervensi medis 6

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Mengalami penundaan pengeluaran ASI pertama. “Lahirnya dulu SC mbak, diagnosanya itu plasenta di bawah. Habis SC itu sama sekali nggak bisa apa-apa kan, suruh tiduran. Habis itu juga kerasa sakit giman gitu dibekasnya. Jadi pas awal kalo mau nyusu ya susah, gak keluar.” (P26, 26 th)

Ibu yang melahirkan secara normal, tanpa intervesi medis, maka tubuh ibu akan segera mengeluarkan hormon prolaktin dan oksitosin. Pada persalian dengan metode cesarea, pengeluaran kedua hormon tersebut akan sedikit terganggu. Penggunaan obat anastesi pada persalinan caesar juga dapat mempengaruhi tingkat kesadaran ibu dan kemampuan refleks sucking dan swallowing bayi.[4][12] Kondisi tersebut berperan terhadap terjadinya penundaan pengeluaran ASI (milk onset delay) yang mendorong sebagian besar ibu untuk memilih memberikan susu formula. Selain itu, ibu yang melahirkan dengan operasi akan mengalami nyeri post -op dan gangguan mobilisasi akibat efek anastesi, pemasangan kateter dan infus yang dapat menyulitkan proses menyusui. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Warsini[13] di Sukoharjo yang menyatakan bahwa ibu yang melahirkan pervaginam akan lebih berhasil dalam memberikan ASI Eksklusif 3,97 kali lebih baik bila dibandingkan dengan seksio sesarea. Pada persalinan induksi, penggunaan oksitosin eksogen dalam jumlah besar saat persalinan dapat mengganggu produksi dan regulasi (mekanisme feedback alami) dari oksitosin endogen. Hal ini dapat bertahan sampai 24-48 jam postpartum.[14] Kondisi ini akan menganggu suplai ASI (tidak adekuat) dan apabila tidak ditangani dengan tepat, maka akan terjadi insufisiensi air susu di kemudian hari.

“Waktu lahir sudah mbak. Iya didedapkan di dada. Waktu ditempelkan ke saya itu, langsung pas itu anaknya bisa netek.” (E06, 35 th) “Pas habis melahirkan itu kan ditaruh di dada itu ya kan katanya melatih supaya ASI nya bisa cepet keluar, sama biar adeknya bisa nyusuin kan. Nah itu udah keluar, cuma adeknya emang belum bisa nyusuin.” (E12, 32 th) Hal ini sesuai dengan tahapan IMD dimana pada tahap akhir bayi akan mulai bergerak ke arah payudara dan diharapkankan dapat menemukan puting dan melekat dengan baik.[15] Informan yang melakukan interaksi awal dengan bayinya melalui IMD memiliki kesempatan untuk menyusui lebih baik. Hal ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan diri ibu terhadap kemampuan dirinya dalam menyusui bayinya. Adanya kontak skin to skin yang dilakukan secara dini berpengaruh positif terhadap efikasi diri ibu. [16] Interaksi awal ibu dan bayi yang dilakukan secara dini melalui IMD akan mempengaruhi keberlangsungan menyusui. Hal ini kemungkinan karena adanya isapan bayi secara dini pada puting ibu yang menyebabkan terjadinya hubungan neural dan neuro transmitter-neurohormon lebih cepat sehingga merangsang oksitosin dan Iet down reflek lebih cepat terjadi, dan ASI lebih cepat keluar dari puting ibu.[17] 3.7

Eksplorasi Status Kesehatan Bayi Pada penelitian ini didapatkan informasi tentang status kesehatan bayi sejak lahir. Hampir seluruh bayi lahir dalam keadaan normal dan aterm. Namun, terdapat 1 informan yang bayinya lahir dengan kondisi asfiksia.

“....kan keracunan air ketuban, badannya juga biru semua. Soale aku ini dua belas 3.6 Eksplorasi Interaksi Awal Ibu bulan lebih. Terus akhirnya sama Allah dan Bayi ta’ala diganti masih hidup. Terus dibawa Hasil wawancara mendalam sama bidannya ke inkubator.” (P18, 26 th) menunjukkan 16 dari 28 informan pada penelitian ini melakukan interaksi awal Selanjutnya, 16 dari 28 informan dengan bayinya melalui Inisiasi Menyusui memiliki bayi yang sempat mengalami Dini (IMD). Seluruh informan tersebut gangguan kesehatan. Gangguan menjelaskan bahwa saat melakuan kesehatan yang paling sering menyerang interaksi tersebut, dirinya merasa senang bayi pada penelitian ini adalah demam, dan lega. batuk, dan pilek.

7

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Informan yang bayinya mengalami kondisi tersebut tetap memberikan ASI seperti biasa dan mengaku tidak berpengaruh pada proses menyusui. Berdasarkan pendapat Soetjiningsih dkk [11] , kondisi seperti batuk,pilek, atau demam bukan termasuk karakteristik bayi yang dapat mempengaruhi keberlangsungan menyusui seperti masalah organik, kelainan anatomik, BBLR, atau bayi kembar. 3.8

Informan yang bayinya mengalami asfiksia mengemukakan bahwa produksi ASI nya sedikit. Kondisi yang dialami bayi tersebut menyebabkan bayi sering mudah lelah ketika menyusui, memiliki isapan yang lemah, dan tonus yang rendah; faktor -faktor ini dapat berperan dalam asupan susu yang tidak adekuat.[6]

Pola Perilaku Ibu Menyusui di Wilayah Kerja Puskesmas Gundih Kota Surabaya

Berdasarkan faktor tingkat individu menyusui yang dilihat dari ada tidaknya yang telah dibahas sebelumnya, maka kemauan, kemampuan, dan kesempatan ditemukan beberapa pola perilaku ibu pada ibu. Tabel 2. Pola Perilaku Ibu Menyusui No 1. 2. 3. 4. 5.

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Jumlah Informan

Pola Perilaku Ibu menyusui eksklusif Ada kemauan, ada kemampuan, ada kesempatan Ada kemauan, ada kemampuan, tidak ada kesempatan Ada kemauan, tidak ada kemampuan, ada kesempatan Ada kemauan, tidak ada kemampuan, tidak ada kesempatan Tidak ada kemauan, ada kemampuan, tidak ada kesempatan Ibu menyusui non-eksklusif Ada kemauan, ada kemampuan, ada kesempatan Ada kemauan, ada kemampuan, tidak ada kesempatan Ada kemauan, tidak ada kemampuan, tidak kesempatan Tidak ada kemauan, ada kemampuan, tidak kesempatan Tidak ada kemauan, tidak ada kemampuan, kesempatan Tidak ada kemauan, tidak ada kemampuan, tidak kesempatan Total

7 1 3 1 1

ada

2 1 3

ada

2

ada

4

ada

3 28

Keterangan : Kemauan (Niat Ibu); Kemampuan (Pengetahuan, Kemampuan & Pengalaman parenting, Status Kesehatan Ibu); Kesempatan (Pengalaman melahirkan, Interaksi awal Ibu-bayi, Status kesehatan bayi)

Tabel 2. menunjukkan bahwa terdapat 5 pola perilaku ibu menyusui secara eksklusif dimana sebagian besar informan memiliki pola perilaku ‘ada kemauan, ada kemampuan, ada kesempatan’. Informan dengan pola perilaku ini memiliki kemauan atau niat dalam memberikan ASI. Sebagian besar informan melakukan persiapan menyusui dan berbagai upaya/usaha untuk tetap

menyusui secara eksklusif, seperti mengonsumsi multivitamin. Ketujuh informan ini memiliki pengetahuan yang baik tentang pemberian ASI. Sebagian besar informan memiliki pengalaman positif dan kemampuan mengasuh anak yang baik, serta status kesehatan yang baik untuk menyusui. Faktor yang ketiga yaitu faktor kesediaan atau kesempatan. Seluruh informan pada 8

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


penelitian ini memiliki pengalaman melahirkan normal sehingga mendapat kesempatan untuk memiliki interaksi awal dengan bayinya melalui Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Kesempatan menyusui yang dilihat dari kondisi bayi dimana bayi tidak mengalami gangguan atau masalah kesehatan sejak lahir. Kondisi-kondisi tersebut yang menyebabkan ibu mampu memberikan ASI secara eksklsuif. Sedangkan, pada kelompok ibu menyusui non eksklusif terdapat 6 pola perilaku dimana sebagian besar informan memiliki pola perilaku ‘tidak ada kemauan, tidak ada kemampuan, ada kesempatan’. Empat informan yang memiliki pola perilaku ini tidak mewujudkan kemauannya dengan memilih untuk tidak melakukan persiapan menyusui. Sebagian ada yang melakukan upaya untuk tetap menyusui namun hanya dilakukan dalam waktu yang singkat. Dilihat dari segi kemampuannya, sebagian besar informan tidak memiliki pengetahuan yang cukup, pengalaman dan kemampuan parenting yang kurang, dan memiliki masalah dalam menyusui. Informan lainnya memiliki pengetahuan yang baik, namun memiliki pengalaman dan kemampuan parenting yang kurang, serta kondisi kesehatan yang buruk. Sebenarnya mereka memiliki kesempatan untuk menyusui dengan lebih baik melalui pengalaman melahirkan yang normal serta interaksi dengan bayinya secara dini, namun tidak memanfaatkannya dengan baik. Keseluruhan eksplorasi di atas menggambarkan bagaimana masingmasing faktor mempengaruhi perilaku ibu menyusui pada tingkat individu. Ketujuh faktor individu tersebut membentuk interaksi yang mendorong terbentuknya suatu perilaku dari dalam individu yang diwujudkan dalam bentuk kemauan, kemampuan, dan kesempatan ibu berkaitan dengan pemberian ASI. Beragam pola perilaku yang ditemukan pada informan menunjukkan bahwa dengan pola perilaku yang sama, seorang individu bisa memberikan bayinya ASI eksklusif atau tidak memberikan ASI eksklusif. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara faktor pada tingkat individiu dan faktor lainnya yang juga mempengaruhi pemberian ASI oleh ibu menyusui.

4. SIMPULAN DAN SARAN Secara umum, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ASI di wilayah kerja Puskesmas Gundih sebagian besar dipengaruhi oleh faktor-faktor pada tingkat individu yaitu kemauan atau niat, kemampuan (pengetahuan, kemampuan dan pengalaman parenting, status kesehatan ibu), dan kesempatan (pengalaman melahirkan, interaksi awal ibu-bayi, dan status kesehatan bayi). Namun, masih terdapat ketidakseimbangan antar faktor-faktor pada masing-masing individu. Adanya kemauan atau niat untuk menyusui dan pengetahuan tidak cukup untuk mendorong ibu memberikan ASI secara eksklusif. Keduanya perlu didukung dengan adanya kemampuan lain seperti pengalaman parenting dan status kesehatan ibu, serta keaktifan dalam memanfaatkan kesempatan untuk menyusui dengan lebih baik. Keterkaitan ketiga aspek tersebut merupakan poin penting yang perlu diperhatikan oleh tenaga kesehatan, termasuk bidan. Asuhan pada ibu menyusui merupakan bagian dari asuhan kebidanan yang holistik. Dalam memberikan asuhan, bidan perlu melakuan pendekatan yang komprehensif, baik pada tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat. Pemahaman atas adanya faktor kemauan, kemampuan, dan kesempatan pada tingkat individu merupakan salah satu langkah awal dalam melakukan pendekatan/asuhan kebidanan pada ibu menyusui. Petugas kesehatan khususnya bidan sebaiknya dalam memberikan asuhan pada ibu menyusui memperhatikan kondisi atau pola perilaku ibu terlebih dahulu agar asuhan yang diberikan lebih efektif. Ibu menyusui yang memiliki kemauan, kemampuan, dan kesempatan sebaiknya tetap didampingi menjalani proses laktasi. Selain itu, pendampingan sebaiknya dilakukan bagi calon ibu menyusui sejak kehamilan, terutama pemberian motivasi dan edukasi untuk menumbuhkan niat atau kemauan ibu menyusui eksklusif. Asuhan yang berbeda diberikan bagi ibu yang belum memiliki kemampuan yang baik. Bidan sebaiknya menekankan edukasi tentang teknik menyusui yang benar dan cara mengatasi masalah saat menyusui. Selain itu, perlu dilakukan pendampingan sejak dini terhadap ibu primi 9

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


yang belum memiliki pengalaman dan ke- 9. Bahiyatun. Buku Ajar Asuhan mampuan parenting agar terbentuk sikap Kebidanan Nifas Normal. Jakarta : positif terhadap ASI Eksklusif EGC, 2009. Komitmen petugas kesehatan 10. Perera P.J.et al. “Actual Exclusive khususnya bidan untuk memberikan keBreastfeeding Rates And Determinants sempatan bagi ibu agar dapat menyusui Among A Cohort Of Children Living In secara eksklusif hendaknya perlu ditingkatGampaha District Sri Lanka: A kan Komitmen ini dapat diwujudkan Prospective Observational Study.” International Breastfeeding Journal. dengan proses persalinan yang aman dan nyaman bagi ibu serta mendampingi Vol. 7:21 (2012). proses interaksi awal ibu dengan bayinya 11. Soetjiningsih, dkk. ASI : Petunjuk melalui Inisiasi Menyusu Dini (IMD) yang Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta : benar. EGC, 2012. 12. La Leche League International (LLLI). DAFTAR PUSTAKA “Childbirth and Breastfeeding.” (2009). 1. Hector, D., Lesley King, dan Karen 2 Maret 2016 <htttp://www.org./docs/ Webb. “Factors Affecting Brastfeeding lad/ChildbirthandBreastfeeding.pdf> Practices : Applying a Conceptual 13. Warsini.”Hubungan Antara Jenis Framework.” NSW Public Health Persalinan, Tingkat Pendidikan, Bulletin. Vol. 16 : 3-4 (2005) : 52-55. Tingkat Pendapatan, dan Status 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Bekerja Ibu dengan Keberhasilan ASI Indonesia Menyusui. Jakarta : Badan Eksklusif 6 (Enam) Bulan di Penerbit IDAI, 2010. Kecamatan Baki, Kabupaten 3. Mubarak, Wahit Iqbal, et al. Pengantar Sukoharjo.” (2015). 24 April 2016 dan Teori Ilmu Sosial Budaya Dasar <https://digilib.uns.ac.id> Kebidanan. Jakarta : EGC, 2013. 14. Jonas W, dkk. “Effects Of Intrapartum 4. Raffle, H., Ware, L. J., Borchardt, A. Oxytocin Administration And Epidural R., & Strickland, H. A. “Factors That Analgesia On The Concentration Of Influence Breastfeeding Initiation And Plasma Oxytocin And Prolactin, In Persistence In Ohio’s Appalachian Response To Suckling During The Region.” Athens, OH: Voinovich Second Day Postpartum.” Breastfeed Med. Vol. 4:2 (2009) :71-U31. School of Leadership and Public Affairs at Ohio University, 2011. 15. Roesli, Utami. Inisiasi Menyusui Dini 5. Ruowei, L., Fein, S. B., Chen, J., Plus ASI Eksklusif. Jakarta : Pustaka Grummer-Strawn, L. M. “Why Mothers Bunda, 2008. Stop Breastfeeding: Mothers’ Self- 16. Aghdas, Karimi, Khadivzadeh Talat Reported Reasons For Stopping dan Bagheri Sepideh. “Effect Of During The First Year.” Pediatrics. 122 Immediate And Continuous Mother– (2008) :69-76. Infant Skin-To-Skin Contact On 6. Lowdermilk, Deitra Leonard, Shannon Breastfeeding Self-Efficacy Of E. Perry, dan Kitty Cashion. Maternity Primiparous Women: A Randomised Nursing. Jakarta : Salemba Medika, Control Trial.” Women and Birth.Vol 27 2013. (2014) : 37–40. 7. Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi 17. Guyton, A.C. dan Hall, J.E. Buku Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Ajar Fisiologi Kedokteran: Edisi 9. Rineka Cipta, 2007. Jakarta: EGC, 2007. 8. Dahro, Ahmad. Psikologi Kebidanan: Analisis Perilaku Wanita untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika, 2012.

10

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


DAN SIKAP REMAJA Penelitian PENGETAHUAN TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI TERHADAP SEKS BEBAS DI SMAN Y SURABAYA Siti Fatimah1, Sunjoto2, Atika3 1

Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya 2 Departemen/SMF Ginekologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya Indonesia 3 Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya ABSTRAK Pendahuluan: Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang mendominasi jumlah penduduk dunia dan 85% hidup di negara berkembang. Survei pada tahun 2012 menunjukkan bahwa remaja di beberapa sekolah di Surabaya usia 10-19 tahun sudah menunjukkan sikap dan perilaku seks bebas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dengan sikap terhadap seks bebas di SMAN Y Surabaya. Metode: Jenis penelitian ini adalah analitik dengan desain cross sectional. Populasinya adalah siswa kelas X SMAN Y Surabaya tahun ajaran 2013/2014. Pengambilan sampel dengan teknik simple random sampling. Besar sampel 87 remaja. Variabel dependennya sikap terhadap seks bebas dan variabel independennya adalah pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Instrumen penelitian menggunakan kuisioner dengan pertanyaan tertutup. Analisis data menggunakan uji chi square dengan α = 0,05. Hasil: Hasil penelitian menggambarkan dari 87 responden didapatkan 59% memiliki pengetahuan baik, dan 64% memiliki sikap yang positif terhadap seks bebas. Hasil uji chi square didapatkan p = 0,470 (p > α). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dengan sikap terhadap seks bebas. Kesimpulan: Kesimpulan penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dengan sikap terhadap seks bebas di SMAN Y Surabaya. Kata kunci : tingkat pengetahuan, kesehatan reproduksi, sikap terhadap seks bebas, remaja. ABSTRACT Introduction: Teenagers are the future generation who dominated the world's population and 85% live in developing countries. Survey in 2012 showed that adolescents in several schools in Surabaya aged 10-19 years had demonstrated the attitude and sex behavior. The purpose of this study is to analyze relationship between knowledge of adolescents about reproductive health with attitude towards free sex in SMAN Y Surabaya. Methods: The method of this study is analytic cross sectional design. Its population is class X student of SMAN Y Surabaya 2013-2014 school year. Sampling with simple random sampling technique. Large sample of 87 adolescents. The dependent variable attitude toward free sex and the independent variable is the knowledge about reproductive health. Instrument research using questionnaires with closed questions. Data analysis using chi square test with α = 0.05. Result: Results illustrate of 87 respondents found 59% had good knowledge, and 64% have a positive attitude towards sex. The results obtained chi square test p=0.470 and the valueof α = 0.05 (p> α).This suggests that there is no relationship between know11 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


ledge of adolescents about reproductive health with attitude towards free sex. Conclusion: The conclusion is there is no relationship between knowledge of adolescents about reproductive health with attitude towards free sex in SMAN Y Surabaya. Keywords : knowledge, reproductive health, attitude towards free sex, adolescents. 1.PENDAHULUAN Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pusat merilis 64 juta remaja Indonesia rentan memiliki perilaku seks bebas dan pengguna zat tropika berbahaya. Catatan BKKBN menunjukkan bahwa pernikahan dini dan kelahiran dari kelompok usia remaja cenderung meningkat yakni 48/1000 kelahiran. Hal ini bertolak belakang dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJMN) 2010-2014 yang menargetkan 30 kelahiran dari 1000 perempuan remaja. Angka itu menggambarkan bahwa para remaja sudah memiliki perilaku seks bebas [1] . Sekitar 1 miliar manusia atau setiap 1 di antara 6 penduduk dunia adalah remaja. Sebanyak 85% di antaranya hidup di negara berkembang. Di Indonesia, jumlah remaja dan kaum muda berkembang sangat cepat. Antara tahun 1970 dan 2000, kelompok umur 15-24 jumlahnya meningkat dari 21 juta menjadi 43 juta atau dari 18% menjadi 21% dari total jumlah populasi penduduk Indonesia [2] . Survei pada tahun 2010 oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan 51% remaja Jabodetabek telah melakukan seks pranikah, di Surabaya tercatat 54%, di Bandung 47% dan di Medan sebesar 52%. Survei yang dilakukan oleh Hotline Pendidikan dan Yayasan Embun Surabaya terhadap 450 siswa SMA, SMK, MA dan Sekolah Menengah Kristen yang berusia 15-17 tahun, selama Juli-Oktober 2012 menyebutkan sekitar 44% pelajar setingkat SMA di Surabaya berpandangan bahwa hubungan seks selama pacaran diperbolehkan, dari angka itu sebanyak 16% diantaranya telah melakukan hubungan seks. Responden memperoleh informasi mengenai seks dari berbagai sumber yaitu 52% dari televisi, 42% dari teman, dan 28% dari internet dan telepon pintar [3].

2.METODE Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan SMAN Y Surabaya, pada bulan April - Juni 2014. Responden penelitian ini adalah remaja kelas X SMAN Y Surabaya tahun ajaran 2013/2014. Teknik sampling menggunakan simple random sampling dengan jumlah sample 87 orang. Variabel independen yang diteliti yakni tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi. Variabel dependen yang diteliti yakni sikap remaja terhadap seks bebas. Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Analisis bivariat dan univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel. Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi dengan menggunakan uji statistik Chi square menggunakan software SPSS 16 for windows. 3. HASIL Gambaran umum responden Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Informasi Kesehatan Reproduksi Mendapat informasi kesehatan Pernah Belum Pernah Total

Frekuensi

Persentase

54

62%

33

38%

87

100%

Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar (62%) responden sudah pernah mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi yaitu 54 orang.

12 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Informasi Sumber Informasi

Frekuensi

Persentase

Media cetak

27

16%

Media elektronik

37

22%

Internet

53

31%

Petugas kesehatan

8

5%

Guru

14

8%

Keluarga Lain-lain

28 3

16% 2%

Total

170

100%

Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir internet yaitu 53 orang (31%). Responden seluruh responden mendapatkan informasi dapat memilih jawaban lebih dari satu. tentang kesehatan reproduksi melalui Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pengetahuan dan Sikap di SMAN Y Surabaya Tahun 2014 Variabel

Frekuensi

Persentase

4 35 48 87

5% 40% 55% 100%

56 31 87

64% 36% 100%

Pengetahuan Kurang Cukup Baik Total Sikap Positif Negatif Total

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian be- duksi yaitu 48 orang dan sebanyak 56 sar (55%) responden memiliki pengeta- orang (64%) memiliki sikap positif terhadap huan yang baik tentang kesehatan repro- seks bebas. Analisa Hasil Penelitian Tabel 4. Pengetahuan Remaja tentang Kesehatan Reproduksi dengan Sikap terhadap Seks Bebas di SMAN Y Surabaya Tahun 2014 Pengetahuan KurangCukup Baik Total

Sikap

Total Frekuensi

Negatif

%

Positif

%

16

41,0

23

59,0

39

15

31,2

33

68,8

48

100

31

35,6

56

64,4

87

100

Penggabungan variabel kurang dan cukup menjadi kurang-cukup pada tabel 4 dikarenakan tidak layak uji chi square. Terlihat bahwa dari 33 dari 48 remaja yang memiliki pengetahuan baik memiliki sikap positif (68,8%). Hasil uji Chi

%

Nilai P

100 0,470

Square (Îą=0,05) menunjukkan p = 0,470 (p > Îą), maka hipotesis penelitian ditolak yang berarti tidak ada hubungan antara pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dengan sikap terhadap seks bebas.

13 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Paparan Informasi Tentang Kesehatan Reproduksi dengan Sikap dan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dengan Sikap dan Pengetahuan Paparan Informasi Variabel Sikap Positif Negatif Total Pengetahuan Kurang-Cukup Baik Total

Belum pernah

%

Pernah

%

18 15 33

54,5 45,5 100

38 16 54

70,4 29,6 100

15 18 33

38,5 37,5 100

24 30 54

44,4 55,6 100

Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 54 responden yang pernah mendapat informasi tentang kesehatan reproduksi, 38 responden diantaranya memiliki sikap positif (70,4%). Selain itu, diketahui bahwa 30 dari 54 responden yang sama memiliki pengetahuan yang baik (55,6%). 4.PEMBAHASAN Setelah dilakukan perhitungan dan uji mengenai hubungan tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dengan sikap terhadap seks bebas di SMAN Y Surabaya, dari 87 responden, 55% memiliki pengetahuan baik dan 64% memiliki sikap positif. uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan (p > Îą) antara pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dengan sikap terhadap seks bebas. Hal ini terjadi karena ada faktor lain yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap, diantaranya media massa, pengalaman pribadi, faktor agama, dan pengaruh orang lain yang dianggap penting. Informasi merupakan salah satu hal penting untuk memperoleh pengetahuan dan pembentukan sikap seseorang. Mubarak (2007) menyampaikan bahwa kemudahan memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan.[4] Ada 6 tingkatan pengetahuan yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi [5]. Mengacu pada pendapat tersebut, dalam penelitian ini tidak dikaji seberapa dalam tingkat pengetahuan responden. Penelitian ini hanya mengkaji keterpaparan responden terhadap informasi kesehatan

reproduksi. Tabel 1 tentang distribusi frekuensi berdasarkan responden yang mendapat informasi kesehatan reproduksi menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah pernah mendapatkan informasi kesehatan reproduksi. Sebagian besar responden (70,4%) yang pernah mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi memiliki sikap positif terhadap seks bebas. Sedangkan dari 33 responden yang belum pernah mendapat informasi tentang kesehatan reproduksi, hanya 54,5% yang memiliki sikap positif (tabel 5). Hal ini membuktikan bahwa responden yang pernah mendapat informasi memiliki sikap positif lebih banyak daripada responden yang belum pernah mendapat informasi. Penyebaran informasi yang begitu cepat ditambah keingintahuan remaja tentang masalah seks sering mengakibatkan remaja mengalami perubahan pola pikir. Perubahan itu mempengaruhi cara pandang remaja terhadap seksualitas dan membentuk perilaku seksual tersendiri [6]. Responden yang sudah pernah mendengar tentang kesehatan reproduksi, sumber yang paling banyak digunakan adalah melalui internet, kemudian media elektronik (TV, radio, dll), media cetak (koran, majalah, brosur, leaflet, dll), keluarga, guru, petugas kesehatan, dan lainlain. Penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pesanpesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu [7] .

14 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Selain itu, dalam pembentukan sikap juga dipengaruhi oleh pengaruh orang yang dianggap penting seperti orang tua dan pengalaman pribadi yaitu pengalaman berpacaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden pernah berpacaran dan orang tua mengetahui hubungan tersebut. Pengaruh dari keluarga sangat berpengaruh terhadap terbentuknya sikap seseorang, terlihat dalam penelitian ini responden yang keluarganya mengetahui pernah atau belum pernah berpacaran memiliki sikap positif yang lebih banyak daripada keluarga yang tidak mengetahui. Kontrol dan kedekatan dengan orang tua menjadi hal penting untuk menentukan sikap seseorang. Penelitian yang dilakukan Yayuk (2010) menyatakan bahwa ada hubungan positif antara pola asuh orang tua dengan sikap remaja tentang seks bebas. Responden yang mempunyai pengalaman berpacaran akan lebih mengenal tentang perilaku seksual yang akan mempengaruhi sikapnya terhadap seks bebas. Namun, orang tua mengajarkan pada anak bagaimana orang tua menghargai perilaku jika anak bertingkah laku sesuai dengan yang diajarkan orang tua. Aturan-aturan yang diberlakukan di rumah menjadi media pembelajaran anak untuk bersikap bertanggungjawab. Selanjutnya, adanya pengalaman pribadi dapat mempengaruhi pemikiran dan pembentukan sikap seseorang. Apa yang telah dan sedang dialami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial [6]. Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dengan sikap terhadap seks bebas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 15 dari 48 responden dengan pengetahuan yang baik memiliki sikap negatif, sedangkan 23 dari 39 responden dengan pengetahuan yang kurang-cukup memiliki sikap yang positif. Pengetahuan kesehatan reproduksi yang benar seharusnya menimbulkan sikap yang positif terhadap seks bebas, namun teori tersebut tidak sesuai dengan kondisi yang ditemukan penelitian ini. Hal ini mungkin terjadi karena dalam penelitian ini tidak diteliti seberapa jauh pemahaman responden tentang seks bebas terhadap kesehatan reproduksi serta

faktor-faktor lain yang dapat membentuk sikap positif remaja. Penyebab lain yang dapat membuat penelitian ini tidak berhubungan adalah karena kuisioner untuk mengukur variabel tersebut dibuat sendiri oleh peneliti, sehingga kuisioner belum mengukur variabel secara menyeluruh. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Fadhila (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dengan sikap seksual pranikah remaja.[8] Perbedaan hasil penelitian ini terdapat pada jumlah sampel, jumlah soal pertanyaan dan pernyataan pada kuisioner yang lebih sedikit, serta adanya perbedaaan waktu dan tempat pelaksanaan penelitian. Selain itu, penelitian ini juga tidak sesuai dengan penelitian Yayuk (2010) yang menerangkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dengan sikap remaja tentang seks bebas.[6] Hasil pada penelitian ini dapat berbeda dapat dikarenakan perbedaan metode pengambilan sampel, jumlah sampel, serta perbedaan tempat dan waktu penelitian dilaksanakan. Individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Orang lain di sekitar remaja merupakan salah satu komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap mereka. Seseorang yang dianggap penting, seseorang yang berarti khusus seperti orang tua, akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap individu terhadap sesuatu. Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Pada masa remaja orang tua menjadi figur yang paling berarti bagi anak [9]. Pada penelitian ini terlihat bahwa sebagian besar remaja yang pernah berpacaran dan orang tuanya mengetahui, memiliki sikap positif yang lebih banyak daripada yang orang tua tidak mengetahui. Keterbukaan remaja kepada orang tua juga menunjukkan adanya intensitas komunikasi orang tua dan pola asuh yang cukup baik yang dapat membentuk sikap positif tersebut. Selain itu, informasi yang di dapat responden paling banyak berasal dari internet. Sumber informasi yang salah dapat menghasilkan pemahaman dan pengetahuan yang tidak maksimal.

15 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Oleh karena itu, diperlukan peran bidan untuk memberikan asuhan remaja pra nikah dalam hal ini pendidikan mengenai seks bebas Terlihat dari penelitian ini bahwa sumber informasi mengenai kesehatan reproduksi yang didapat responden dari petugas kesehatan tergolong rendah yaitu 5%. Bidan sebagai petugas kesehatan perempuan yang peduli terhadap wanita dan anak-anak, sudah menjadi tugas dan kewajiban untuk mendampingi remaja dalam proses tumbuh kembangnya terutama tentang kesehatan reproduksi dan seks bebas. 5. SIMPULAN Sebagian besar remaja memiliki pengetahuan baik tentang kesehatan reproduksi dan memiliki sikap positif terhadap seks bebas. Selain itu, tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dengan sikap terhadap seks bebas. 6. SARAN Saran dari hasil penelitian ini adalah diharapkan remaja tidak hanya memperdalam pengetahuannya, tetapi juga meningkatkan faktor media, pengalaman pribadi, dan hubungan dengan orang tua karena tingkat pengetahuan yang baik belum tentu menghasilkan sikap yang positif. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor yang mempengaruhi sikap remaja terhadap seks bebas seperti pengalaman pribadi, media massa, lembaga pendidikan dan agama. Selain itu dapat diteliti lebih lanjut dengan subjek siswa SMA kelas XI, dan tentang perbedaan pengetahuan dan sikap antara sekolah di kota dengan di desa. Sikap positif terhadap seks bebas tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, namun dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti orang lain yang dianggap penting, lingkungan, kebudayaan, media massa, faktor emosional, serta lembaga pendidikan dan agama.

DAFTAR PUSTAKA 1. “64 Juta Remaja Galau Rentan Seks Bebas.” Tempo.co. 2013. 4 Maret 2014. <http://www.tempo.co/read/ news/2013/05/11/173479516/64-JutaRemaja-Galau-Rentan-Seks-Bebas>. 2. Kusmiran, Eny. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba Medika, 2012. 3. Aisyah, Risa. A. “Adolescent Sexual Behavior In The Faculty Of Education State University Of Surabaya.” Jurnal BK UNESA 3.1, 2013. 7 Juni 2014. <http:// ejournal.unesa.ac.id/article/5952/13/ article.pdf>. 4. Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar Ma n g a j a r dalam Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. 5. Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2012. 6. Yayuk, D.O., 2010. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang Kesehatan Reproduksi Remaja Dan Pola Asuh Orang Tua Dengan Sikap Remaja Tentang Seks Bebas Di SMAN 1Tawangsari Sukoharjo, Skripsi, UMS. 7. Azwar, Saifuddin. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. 8. Fadhila, Arbi D.K., 2010. ‘Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Sikap Seksual Pranikah Remaja’, Skripsi, UNS. 9. Azwar, Saifuddin. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

16 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


GENITALIA TETAP KERING Penelitian MENJAGA DAPAT MENCEGAH KEJADIAN KEPUTIHAN Ukhti Mukminah Ilmi Amila1, Dwi Purwanti2, Sulistiawati3, Gatut Hardianto4 1

Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya 2 Jurusan Kebidanan Poltekes Kemenkes, Surabaya 3 Departemen IKM-KP Fakultas Kedokteran Universitas Air;angga, Surabaya 4 Departemen Obetetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK Pendahuluan : Keputihan merupakan keadaan keluarnya cairan selain darah haid melalui liang vagina dengan ciri sebagai berikut warna cairan putih seperti keju lembut, atau berwarna kuning kehijauan, atau berwarna keabu abuan, menimbulkan rasa gatal, berbau tidak sedap seperti ragi roti atau amis. Salah satu penyebab keputihan adalah adanya jamur akibat keadaan lembab pada genitalia. Perilaku yang mempengaruhi kelembapan genitalia adalah frekuensi ganti celana dalam, pemilihan bahan celana dalam yang menyerap keringat (katun) yang penggunaan celana dalam atau luaran yang longgar, serta kebiasaan mengusap genitalia menggunakan tisu, handuk, atau semacamnya setelah BAB dan BAK. Beberapa perilaku ini dapat digolongkan sebagai kebiasaan mengeringkan genitalia. Kebiasaan yang tidak baik dapat menimbulkan tumbuhnya bakteri atau jamur penyebab keputihan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan kebiasaan mengeringkan genitalia dengan kejadian keputihan pada siswi remaja di MA Masyhudiyah Gresik Jawa Timur. Metode : cross sectional dengan populasi seluruh siswi kelas X di MA Masyhudiyah Gresik Jawa Timur. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling dengan mengambil semua sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sebanyak 64 responden. Hasil : Hasil penelitian dengan 64 responden menunjukkan 62,5% responden mengalami kejadian keputihan dan terdapat 56,2% responden memiliki kebiasaan mengeringkan genitalia yang baik. Hasil analisis data dengan uji chi-square antara dua variabel tersebut terapat nilai signifikansi (p=0,037) dan nilai koefisien kontingensi =0,281 (nilai p=0,019) berarti adanya hubungan yang signifikan dengan kekuatan hubungan rendah antara kebiasan mengeringkan genitalia dengan kejadian keputihan pada siswi remaja di MA Masyhudiyah Gresik Jawa Timur. Simpulan : kebiasaan mengeringkan genitalia yang baik dapat mencegah kejadian keputihan. Kata Kunci : Kebiasaan Mengeringkan Genitalia, Keputihan, Frekuensi Ganti Celana Dalam, Penggunaan Celana Katun, Penggunaan Celana Longgar. ABSTRACT Introduction: Leucorrhea is defined as a state of condition of a vaginal discharge other than menstrual blood through vaginal tract with whitish smooth cheese like discharge, yellow green or grayish color, itchy, smells like yeast of fishy. One of vaginal discharge cause is due to moist genital condition of vaginal area. Behavior that can be 17 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


affect genitals’s moist are frequency of changing panties, the use of sweat-absorbing panties (cotton) , the use of loose panties or outer, and habit of drying genital using wipes, towel, or other fabric after defecating or urinating. Some of those habits can be classified as genital drying habit. Bad habits could lead to bacterial of fungus growth that can cause leuchorrhea. The aim of this study was to analyze association of genital drying habits with leucorrhea in adolescent female student in MA Masyhudiyah Gresik East Java. Method : cross sectional method with all grade X female student MA Masyhudiyah Gresik East Java as a population. Sampling technique used in this study was total sampling method by enrolling all 64 sample that meet the inclusion and exclusion criteria. Result : The result of the reasearch shown that 62,5% respondents has got leucorrhea and 56,2% respondents had a good genital drying habit. Chi-square data analysis result between those two variables shown a significance value significance value (p=0,037) and contingency coefficient of = 0,281 (p value = 0,019) this study shown that there was a low-strength significant association beween the habits of genital drying with vaginal discharge occurrence in adolescent female student in MA Masyhudiyah Gresik East Java. Conclusion : have a good genital drying habit to prevent of leukhorhea. Key words : genital drying habit, leukhorrhea, panties changing frequency, use of cotton panties, use of loose pants. 1. PENDAHULUAN Keputihan pada remaja merupakan masalah kesehatan reproduksi yang kurang diperhatikan. Keputihan merupakan keadaan atau kondisi keluarnya cairan dari vagina selain darah haid. Penyebab terjadinya keputihan beragam salah satu diantaranya dikarenakan perawatan genitalia yang kurang tepat. Perawatan genitalia kurang tepat dapat menyebabkan genitalia menjadi lembab hal ini yang mempermudah timbulnya jamur penyebab keputihan (candida) [1,7,9]. Pada penelitian terdahulu disebutkan bahwa beberapa kebiasaan yang dapat membuat lembabnya genitalia diantaranya adalah frekuensi ganti celana dalam, penggunaan bahan celana dalam yang tidak menyerap keringat, penggunaan celana dalam atau luaran yang tidak longgar (ketat), serta kebiasaan tidak terbiasa mengusap genitalia menggunakan tisu , handuk atau semacamnya setelah BAB dan BAK [1,2,3,8,10] . Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kebiasaan mengeringkan genitalia berdasarkan empat indikator kebiasaan yang telah disebutkan dengan kejadian keputihan.

penelitian ini adalah seluruh siswi remaja kelas X MA Masyudiyah Gresik Jawa Timur. Sampel dari penelitian ini adalah sebagian siswi remaja kelas X yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di MA Masyhudiyah Gresik Jawa Timur. Dengan teknik sampling yang digunakan adalah type total sampling dengan kriteria inklusi yaitu : siswi remaja kelas X, bersedia menjadi responden, sudah menstruasi. Dan sebagai kriteria eksklusi adalah : siswi remaja yang sedang mendapatkan terapi antibiotik, sedang sakit keras. Pada saat pencarian sampel terdapat 2 siswi remaja yang belum menstruasi, dan 2 siswi remaja yang tidak bersedia menjadi responden. Sehingga didapatkan 64 siswi remaja yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengumpulan data yang dgunakan dengan metode pengisian kuesioner yang ditunjang dengan anamnesa secara langsung. Dengan mengukur dari variabel bebas (dependen) terlebih dahulu yaitu kejadian keputihan kemudian variabel terikat yaitu kebiasaan mengeringkan genitalia (frekuensi ganti celana dalam, penggunaan celana dalam yang menyerap keringat, penggunaan celana (dalam atau luaran) yang longgar, kebiasaan 2. METODE mengusap genitalia menggunakan tisu, Penelitian ini dilakukan di MA handuk, atau semacamya setelah BAB dan Masyhudiyah Jalan Sunan Giri 18F/8 BAK) . Gresik Jawa Timur. Desain penelitian ini menggunakan cross sectional. Populasi 18 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Analisis data pada penelitian itu yaitu: (1) analis univariat yang menghasilkan frekuensi dan persentase dari setiap variabel. (2) analsis bivariat yang menghasilkan hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen dengan menggunakan uji chi square. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik subyek penelitian Jumlah total subjek penelitian ini yaitu sebanyak 64 responden (seluruhnya) dengan karakteristik remaja muda usia 15 tahun. Selanjutnya Subjek penelitian dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok siswi remaja yang memiliki kebiasaan mengeringkan yang baik dan tidak baik. Pengelompokan subjek ditentukan oleh indikator kebiasaan mengeringkan genitalia. Hasil analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis univeriat dan bivariat, yaitu sebagai berikut :

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Siswi Berdasarkan Kebiasaan Mengeringkan Genitalia di MA Masyhudiyah Gresik Jawa Timur bulan Maret-April 2016 Kebiasaan Mengeringkan Baik Tidak baik Total

Frekuensi (n=64)

Perse ntase

36

56,2

28

43,8

64

100,0

Distribusi frekuensi siswi berdasarkan kebiasaan mengeringkan genitalia dapat dikategorikan menjadi dua yaitu “baik� dan “tidak baik�. Berdasarkan tabel.2 terdapat lebih dari setengah responden (56,2%) yang memiliki kebiasaan baik dan 43,8% memiliki kebiasaan mengeringkan genitalia yang tidak baik. Berdasarkan Tabel 4. bahwa mayoritas siswi remaja kelas X MA Masyhudiyah menggunakan celana dalam yang berbahan menyerap keringat (katun) ANALISIS UNIVARIAT yaitu sebanyak lebih dari setengah Tabel 1. Disribusi Frekuensi Siswi Berterdapat 4 indikator kebiasaan dasarkan Angka Kejadian Keputihan di MA mengeringkan genitalia yang perlu Masyhudiyah Gresik Jawa Timur bulan diperhatikan. Berikut merupakan Maret-April 2016 kebiasaan yang telah dinilai berdasarkan Ferekuensi Persentase jawaban responden pada kuesioner dalam Variabel (n=64) (%) penelitian ini : Keputihan

40

62,5

Tidak keputihan

24

37,5

Total

64

100,0

Berdasarkan Tabel 1. mengenai distribusi frekuensi siswi dengan kejadian keputihan didapatkan lebih dari setengah responden (62,5%) mengalami keputihan.

19 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


1) Frekuensi ganti celana dalam setiap harinya Tabel 3. Distribusi Frekuensi Siswi Berdasarkan Frekuensi Ganti Celana Dalam Setiap Harinya di MA Masyhudiyah Gresik Jawa Timur bulan Maret-April 2016. Berdasarkan Tabel 3. hanya kurang Perilaku ≼2 kali sehari < 2 kali sehari Total

Frekuensi (n=64)

Persentase (%)

29

45,3

35

54,7

64

100,0

dari setengah responden (45,3%) yang memperhatikan frekuensi ganti celana dalam setiap harinya yaitu ≼2kali setiap harinya. Sisanya yaitu lebih dari setengah (54,7%) responden mengganti celana dalamnya <2 kali sehari (1 kali sehari bahkan hingga 3 hari sekali). 2) Bahan celana dalam yang berbahan menyerap keringat Tabel 4. Distribusi Frekuensi Siswi Berdasarkan Pemilihan Celana Dalam yang Berbahan Menyerap Keringat di MA Masyhudiyah Gresik Jawa Timur bulan Maret-April 2016. Perilaku Celana Dalam Bahan Katun Celana Dalam Bahan Selain Katun Total

Frekuensi (n=64)

Persenta se (%)

44

68,8

20

31,2

64

100,0

Celana Dalam atau Luaran Ketat Total

38

59,4

64

100,0

Berdasarkan Tabel 5. diketahui bahwa terdapat lebih dari setengah responden yaitu sebanyak 59,4% yang memiliki kebiasaan menggunakan celana dalam atau celana luaran yang ketat setiap harinya. 4) Mengusap genitalia menggunakan tisu atau handuk atau setelah BAK, BAB Tabel 6. Distribusi Frekuensi Siswi Berdasarkan Kebiasaan mengusap Genitalia Menggunakan Tisu, Handuk atau Semacamnya setelah BAB dan BAK di MA Masyhudiyah Gresik Jawa Timur bulan Maret-April 2016 Perilaku

Frekuensi (n=64)

Persentase (%)

Mengusap Genitalia Menggunakan Tisu, Handuk atau Semacamnya setelah BAB dan BAK

15

23,4

Tidak terbiasa mengusap Genitalia Menggunakan Tisu,Handuk atau Semacamnya setelah BAB

49

76,6

Total 64 100,0 celana dalam berbahan yang sulit menyerap keringat (selain katun) yaitu Berdasarkan hasil dari Tabel 6. 31,2%. bahwa mayoritas responden (76,6%) yaitu 3) Penggunaan celana dalam atau luaran 49 siswi remaja kelas X di MA yang longgar Masyhudiyah Gresik tidak terbiasa mengusap genitalia menggunakan tisu, Tabel 5. Distribusi Frekuensi Siswi handuk atau semacamnya setelah BAB Berdasarkan Penggunaan Celana Dalam dan BAK. atau Luaran Longgar di MA Masyhudiyah Empat perilaku diatas telah dinilai Gresik Jawa Timur bulan Maret-April 2016. berdasarkan kriteria yang disebutkan sebelumnya. Berdasarkan penilaian Frekuensi Persentase Perilaku tersebut didapatkan kurang dari setengah (n=64) (%) responden (43,8%) yaitu 28 responden Celana yang memiliki kebiasaan mengusap Dalam atau 26 40,6 genitalia yang tidak baik sesuai dengan Luaran Tabel 2. Longgar 20 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


ANALISIS BIVARIAT Tabel 7. Hubungan Indikator Kebiasaan Mengeringkan Genitalia dengan Kejadian Keputihan Keputihan

Indikator

Keputihan

Tidak Keputihan

Total

17 (58,6%) 23 (65,7%)

12 (41,4%) 12 (34,3%)

29 (100%) 35 (100%)

0,746

25 (56,8%) 15 (75,0%)

19 (43,2%) 5 (25,0%)

44 (100%) 20 (100%)

0,265

15 (57,7%) 25 (65,8%)

11 (42,3%) 13 (34,2%)

26 (100%) 38 (100%)

0,693

Memiliki kebiasaa n

7 (46,7%)

8 (53,3%)

15 (100%)

Tidak memiliki kebiasaa n

33 (67,3%)

16 (32,7%)

49 (100%)

40 (62,5%)

24 (37,5%)

64 (100%)

Kebiasaan Mengeringkan Frekuensi Ganti Celana Dalam

≼ 2 kali sehari < 2 kali sehari

Celana Dalam Berbahan Menyerap Keringat

Katun

Penggunaan Celana (Dalam atau Luaran) yang Longgar

Longgar

Mengusap genitalia menggunakan handuk, tisu kering setelah BAB dan BAK Total

Continuity corection

Selain Katun

Ketat

(Nilai P)

0,253

Pada hasil analisa hubungan frekuensi ganti celana dalam dengan kejadian keputihan pada siswi remaja MA Masyhudiyah Gresik Jawa Timur menunjukkan nilai p>0,05 angka tersebut berarti secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna, namun pada tabel diatas dapat diketahui bahwa lebih dari setengah dari responden (65,7%) yang tidak memperhatikan frekuensi ganti celana dalamnya dengan kata lain responden yang mengganti celana dalam kurang dari dua kali sehari mengalami keputihan. Hal ini tidak sesuai dengan teori pada penelitian sebelumnya bahwa frekuensi ganti celana dalam merupakan salah satu dari faktor penyebab keputihan [8] . Frekuensi ganti celana dalam setiap harinya dapat mempengaruhi kelembapan genitalia yang dapat menyebabkan keputihan. frekuensi ganti celana dalam setiap hari seharusnya dilakukan ≼ 2 kali

sehari, penyebab terjadinya keputihan lebih tinggi pada kebiasaan mengganti celana dalam kurang dari 2 kali perhari [3,4,5,10] . Pada hasil analisis variabel penggunaan bahan celana dalam yang menyerap keringat (katun) dengan kejadian keputihan terdaoat lebih dari setengah responden yang menggunakan katun (68,8%) sedangkan yang tidak menggunakan celana dalam berbahan katun sebanyak (31,2%). Serta didapatkan persentase kejadian keputihan pada responden yang tidak menggunakan celana dalam berbahan katun yaitu sebanyak 75%. Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan uji chi-square tidak terdapat hubungan yang bermakna pada pemilihan bahan celana dalam dengan kejadian keputihan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan celana 21

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


dalam berbahan katun tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian keputihan, walaupun didapatkan data statistik yang menyimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna. Hal ini tidak sesuai dengan yang dikemukakan sebelumnya bahwa bahan celana dalam yang disarankan untuk digunakan setiap harinya adalah bahan yang menyerap keringat (katun). Celana yang berbahan selain katun (nilon dan polyester) boleh digunakan dalam waktu tertentu saja karena penggunaan celana dalam yang tidak mudah menyerap keringat akan menambah panas dan lembab genitalia sehingga bakteri mudah berkembang. Selain itu pemilihan bahan celana dalam yang digunakan setiap harinya dapat menjadi faktor penyebab lembabnya genitalia. Bahan katun merupakan bahan yang menyerap keringat , penggunaan bahan celana dalam yang dari katun dapat mengurangi timbulnya keringat yang berlebih yang dapat membuat kondisi genitalia lembab. [1,3,4,5].

Pada analisis variabel penggunaan celana (dalam atau luar) yang menyerap longgar diketahui terdapat sebanyak lebih dari setengah responden (59,4%) memiliki kebiasaan menggunakan celana (dalam atau luar) yang tidak longgar atau ketat baik itu jeans, celana dalam, leging dan lainnya setiap hari. Analisis statistik dengan uji chi-square ditemukan bahwa terdapat hubungan yang tidak bermakna dari penggunaan celana dalam dan luaran yang longgar dengan kejadian keputihan (p>0,05), namun persentase kejadian keputihan pada reponden yang tidak menggunakan celana yang longgar (ketat) yaitu 65,8%. Hal ini tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh penelitian sebelumnya bahwa penggunaan celana yang ketat baik itu celana dalam atau luaran dapat mempengaruhi tingkat kelembaban vagina, sehingga keadaan genitalia yang lembab dapat meningkatkan resiko timbulnya jamur atau mikroorganisme patogen penyebab keputihan[3,4,5]. Selain itu Suryanti (2012) juga menyatakan bahwa penggunaan pakaian dalam yang ketat dapat menyebabkan daerah kewanitaan menjadi lembab dan penggunaan pakaian yang ketat dapat menyebabkan kulit daerah genitalia menjadi iritasi [6].

Pada variabel kebiasaan mengusap genitalia menggunakan tisu,handuk atau semacamnya setelah BAB dan BAK terdapat mayoritas dari jumlah responden yang memiliki kebiasaan mengusap genitalia menggunakan tisu, handuk atau semacamnya setelah BAB dan BAK pada siswi remaja kelas X di MA Masyudiyah yaitu 76,6% atau sebanyak 49 siswi remaja. Setelah di analisis menggunakan uji chi-square tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara kebiasaan mengeringkan genitalia menggunaan tisu, handuk, atau semacamnya setelah BAB dan BAK (p>0,05). Dan dari tabel 7 dapat diketahui bahwa persentase kejadian keputihan yang terjadi pada responden yang tidak terbiasa mengeringkan genitalia menggunakan tisu, handuk, atau semacamnya setelah BAB dan BAK yaitu sebanyak 67,3%. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa menjaga kelembapan genitalia merupakan salah satu cara menghindari terjadinya keputihan sehingga salah satu penyebab lembabnya genitalia adalah kebiasaan tidak mengeringkan genitalia menggunakan tisu , handuk atau semacamnya setelah buang air kecil atau buang air besar. Genialia yang lembab dapat menimbulkan tumbuhnya jamur penyebab keputihan. Penyebab timbulnya candidiasis adalah adanya perawatan genitalia yang kurang tepat [3,4,5]. Tabel 8. Hubungan Kebiasaan Mengeringkan Genitalia dengan Kejadian Keputihan Variabel

Keputihan Ya

Tidak

Total

18 18 Baik (50,0 Kebiasaan (50,0%) %) Mengering kan 6 22 Genitalia Tidak (21,4 Baik (78,6%) %)

36 (100 %) 28 (100 %)

24 40 (37,5 (62,5%) %)

64 (100 %)

Total

Continuity correction nilai p = 0,037 Koefisien kontingensi = 0,281 (nilai p = 0,019)

22 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Pada tabel diatas didapatkan mayoritas (78,6%) responden memiliki kebiasaan mengeringkan genitalia yang tidak baik mengalami keputihan. Penggolongan kebiasaan mengeringkan genitalia menjadi baik (melakukan minimal dua indikator kebiasaan mengeringkan genitalia) atau tidak baik (melakukan kurang dari dua indikator kebiasan mengeringkan genitalia). Pada saat dilakukan uji chi square didapatkan hubungan yang bermakna (p<0,05) antara hubungan antara kebiasaan mengeringkan genitalia dengan kejadian keputihan pada siswi remaja di MA. Masyhudiyah Gresik Jawa Timur dengan kekuatan hubungan ya ng r enda h an tar a k ebias aan mengeringkan genitalia dengan kejadian keputihan pada siswi remaja. Kekuatan hubungan rendah bila nilai coefficient contingency antara 0,20-0,399. 4. SIMPULAN DAN SARAN Kebiasaan mengeringkan genitalia berdasarkan indikator yaitu frekuensi ganti celana dalam kurang dari 2x sehari, pemilihan bahan celana dalam selain katun, penggunaan celana (dalam atau luaran) yang ketat, serta kebiasaan tidak mengusap genitalia menggunakan tisu, handuk, dan semacamnya setelah BAB dan BAK memerupakan salah satu penyebab keputihan. Untuk mengurangi angka kejadian kepuihan pada siswi remaja, maka sangat diperlukan edukasi mengenai keputihan dan kebiasaan mengeringkan genitalia yang dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yaitu membaca buku, internet, siaran televisi atau mengikuti seminar mengenai kesehatan reproduksi terutama keputihan. Selain itu untuk instansi dapat mengadakan seminar atau penyuluhan yang bekerjasama dengan pelayanan kesehatan mengenai hal terkait. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai variabel lain yang berpengaruh terhadap kejadian keputihan.

DAFTAR PUSTAKA 1. Badaryati, Emi. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Penegahan dan Penanganan Keputihan Patologis pada Siswi SLTA atau Sederajat di Kota Banjarbaru Tahun 2012 [Skripsi]. Depok: FKM-UI. 2012. 26 2. Indriyani, R. Indriyawati, Y., Hubungan Personal Hygine dengan Kejadian Keputihan pada Siswi MA Al-Hikmah Aeng Deke Bluto [Skripsi]. Sumenep: Program Studi Diploma KebidananUNIJA. 2012 3. Putri, Bening. Hubungan Perilaku Hygine Organ Genitalia Eksterna dengan Jenis Keputihan pada Ibu Hamil Usia Gestasi 11-24 minggu [Skripsi]. Jakarta : FKIK-UIN. 19-37. 2013 4. Hay P, Czeizel AE. Asymptomatic Tricomonas and Candida colonization and pregnancy outcome. 1st Engl. ed. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynecology. 21 : 403-9. 2007. 5. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Badan Penelitian Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2007 6. Suryanti,B. Perilaku Kebersihan Remaja saat menstruasi. Jurnal Health Qualit. 2012. 7. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2011 8. Triyanu, Risna. Bidan Prada, Jurnal Ilmiah Kebidanan, 4:1(2013) 9. Manuaba, Ida Ayu Chandranita, Gadar Obstetri & Ginekologi & Obstetri Ginekologi Sosial Untuk Profesi Bidan. Jakarta, EGC. 2009 10. Sandri. Fajarwati, Indra. A, Watief. Rahman. Perilaku Personal Hygine Genitalia Santriwati di Pesantren Ummul Mukminin Makassar Sulawesi Selatan. 2012

23 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Penelitian

PENCEGAHAN KANKER SERVIKS DENGAN VAKSINASI HUMAN PAPILOMA VIRUS BERDASARKAN TEORI HEALTH BELIEF MODEL Lucky Citra Safitri1, Evi Pratami2 1

Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya 2 Jurusan Kebidanan Poltekes Kemenkes, Surabaya ABSTRAK Pendahuluan : Kanker serviks menjadi salah satu jenis kanker yang banyak diderita oleh perempuan di seluruh dunia dan infeksi Human Papilloma Virus (HPV) risiko tinggi merupakan penyebab utama penyakit kanker serviks. Vaksinasi HPV sebagai salah satu upaya pencegahan primer kanker serviks merupakan pencegahan yang dinilai efektif terhadap infeksi HPV. Metode : Desain penelitian yang digunakan adalah case control dengan jumlah responden yang melakukan vaksinasi HPV sebagai kelompok kasus sebanyak 54 responden dan jumlah responden yang tidak melakukan vaksinasi HPV sebagai kelompok kontrol sebanyak 54 responden. Variabel independen pada penelitian ini adalah persepsi kerentanan, persepsi keseriusan, persepsi manfaat, persepsi hambatan, dorongan untuk bertindak, dan efikasi diri, dan variabel dependen adalah vaksinasi HPV. Hasil : Hasil penelitian dengan ι = 0,05 pada persepsi kerentanan didapatkan nilai signifikansi (p) = 0,000, pada persepsi keseriusan didapatkan nilai signifikansi (p) = 0,000, pada persepsi manfaat didapatkan nilai signifikansi (p) = 0,292, pada persepsi hambatan didapatkan nilai signifikansi (p) = 0,000, pada persepsi dorongan untuk bertindak didapatkan nilai signifikansi (p) = 0,000, dan pada efikasi diri didapatkan nilai signifikansi (p) = 0,045. Simpulan : Persepsi kerentanan, persepsi keseriusan, persepsi hambatan, dorongan untuk bertindak, dan efikasi diri berhubungan dengan vaksinasi Human Papilloma Virus yang dilakukan individu sebagai upaya pencegahan kanker serviks. Kata kunci : Persepsi, Pencegahan Kanker Serviks, Vaksinasi Human Papilloma Virus, Health Belief Model ABSTRACT Introduction : Cervical cancer is one of the most common diseases among women in the world, and the high-risk of Human Papilloma Virus (HPV) infection is the major precursor of cervical cancer. The HPV Vaccination was the part of the primary prevention which effective to against HPV infection. This study aims to determine the relation between the individual perception of cervical cancer prevention with HPV vaccination by using a theoretical approach to Health Belief Model. Method : Design of the study is observational analytic by using case control approach with the women who took HPV vaccination as the case group, and the women who didn’t take HPV vaccination as the control group. Data was collected by interviews the respondents using a questionnaire and needed 54 respondents sample for each group. The independent variables were perceived susceptibility, perceived seriousness, perceived barriers, cues to action, and self efficacy and HPV Vaccination as the dependent

24 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Result : The result showed that there is a relationship between the perception (perceived susceptibility, perceived seriousness, perceived barriers, cues to action, and self efficacy) of cervical cancer prevention with HPV vaccination. Conclusions : The perception of cervical cancer prevention, is the factor that influenced women to take the HPV vaccination to prevent herself from the HPV infection. Keywords: Perception, Cervical Cancer Prevention , Human Papilloma Virus Vaccination, Health Belief Model 1. PENDAHULUAN Data Globocan International Agency for Research on Cancer (IARC) menyebutkan bahwa total kasus baru kanker serviks di seluruh dunia diperkirakan mencapai 528.000 kasus dengan mortalitas mencapai 266.000 kematian[1]. Di Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa, terdapat 52 juta perempuan terancam kanker serviks, dan diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker serviks setiap tahunnya[2]. Di Provinsi Jawa Timur, frekuensi kasus baru kanker serviks (per 31 Mei 2013) mencapai 72.497 kasus [3] . Kanker serviks disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus (HPV) risiko tinggi yang ditemukan pada 95 % kasus kanker serviks dan ditularkan melalui hubungan seksual[4,5,6]. Pencegahan primer terhadap kanker serviks dinilai paling berkontribusi karena merupakan alternatif disaat teknologi modern memiliki keterbatasan dalam pengobatan dan cenderung berbiaya mahal, dan upaya yang termasuk di dalamnya adalah vaksinasi[7]. Vaksinasi HPV sebagai pencegahan primer kanker serviks terbukti dapat mengurangi infeksi virus karena memiliki kemampuan proteksi > 90%[7]. Lebih dari 40 negara di dunia juga telah memperkenalkan vaksinasi HPV sebagai program vaksin nasional[8]. Serangkaian penelitian ternyata membuktikan bahwa upaya pemanfaatan vaksinasi HPV sebagai tindakan preventif terhadap kanker serviks memiliki angka partisipasi yang cenderung rendah. Penelitian yang dilakukan di Malaysia menunjukkan hasil bahwa masih masih terdapat 48,5% responden yang belum melakukan vaksinasi HPV[9]. Penelitian serupa yang dilakukan di Indonesia, yaitu di Kota Bogor menunjukkan bahwa 98,7% responden dalam penelitian tersebut belum melakukan vaksinasi HPV[6]. Sebuah penelitian yang dilakukan di Kota Kediri bahkan menyebutkan bahwa 24% responden yang tidak melakukan vak-

sinasi HPV memiliki alasan bahwa mereka tidak merasa perlu, merasa tidak berisiko, dan merasa tidak memiliki keluhan[10]. Data dan penelitian yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa manfaat yang akan diperoleh melalui vaksinasi HPV dan risiko kerentanan terhadap infeksi HPV yang semakin meningkat rupanya berbanding terbalik dengan perilaku perempuan yang ternyata memiliki alasan tersendiri untuk tidak melakukan pencegahan kanker serviks dengan vaksinasi HPV. Teori Health Belief Model (HBM) merupakan teori tertua dan paling luas digunakan dalam bidang kesehatan masyarakat, yang dapat digunakan untuk mengetahui alasan individu dalam berperilaku dan bereaksi terhadap penyakit yang berpotensi mengancam kesehatannya sehubungan dengan kesiapan individu untuk menghindari dan memperkecil risiko penyakit[11]. Teori tersebut banyak digunakan pada penelitian mengenai perilaku kesehatan, teori ini menjelaskan bahwa individu yang merasa memiliki kerentanan terhadap suatu penyakit, merasa bahwa penyakit tersebut memiliki tingkat keseriusan yang tinggi, mengerti akan manfaat yang didapat, dapat melewati sejumlah hambatan, dan mendapatkan dorongan untuk bertindak, cenderung akan memiliki efikasi diri (komponen teori Health Belief Model) yang akan mendorong individu tersebut melakukan proteksi atau pencegahan terhadap penyakit, tidak terkecuali kanker serviks. Semakin banyak kriteria kepercayaan yang terpenuhi (positif) pada komponen teori HBM, maka akan semakin mendukung seseorang untuk berperilaku kesehatan yang baik[12]. Mempelajari perilaku kesehatan masyarakat sangat penting bagi tenaga kesehatan yang akan bekerja di komunitas karena akan berfungsi sebagai media atau sarana untuk menyediakan kondisi sosiopsikologis sedemikian rupa, sehingga individu atau masyarakat akan berperilaku 25

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


sesuai dengan norma-norma hidup sehat [13] . Bidan selaku tenaga kesehatan yang menjadi mitra perempuan dan secara langsung memberikan asuhan pada ranah promotif dan preventif, perlu mempelajari perilaku kesehatan dan melalui hal tersebut, bidan diharapkan dapat memberi asuhan promotif dan preventif yang efektif, efisien, dan sesuai kebutuhan, khususnya kebutuhan perempuan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan perempuan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis alasan individu melakukan suatu perilaku kesehatan, yang dalam hal ini melakukan perilaku pencegahan kanker serviks dengan vaksinasi HPV melalui pendekatan teori Health Belief Model. 2. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional dengan menggunakan pendekatan kasus kontro. Populasi kasus adalah seluruh perempuan usia subur yang memiliki faktor risiko dan kerentanan yang sama terhadap infeksi human papilloma virus dan telah melakukan vaksinasi HPV, sedangkan populasi kontrol yang digunakan adalah seluruh perempuan usia subur yang memiliki faktor risiko dan kerentanan yang sama terhadap infeksi human papilloma virus namun tidak melakukan vaksinasi HPV. Teknik sampling yang digunakan adalah non-probability sampling dengan jenis consecutive sampling. Sampel pada penelitian ini diambil berdasarkan kriteria inklusi yaitu: Warga Negara Indonesia, perempuan rentang usia 19-55 tahun, status pernikahan satu kali, usia menikah pertama diatas 18 tahun, dan bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Adapun kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah : suami responden sedang atau pernah menderita kanker penis, responden merokok, dan responden hamil. Jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 54 responden sebagai kelompok kasus dan 54 responden sebagai kelompok kon-

trol. Lokasi penelitian dilakukan di dua lokasi yaitu di Rumah Vaksinasi Surabaya dan Rumah Sakit Umum (RSU) Haji Surabaya. Pengumpulan data dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi subjek dengan efek (kelompok kasus), dan mencari subjek yang tidak mengalami efek (kelompok kontrol), lalu ditelusuri secara retrospektif tehadap alasan individu baik pada kelompok kasus maupun kontrol dengan melakukan wawancara secara langsung menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Variabel yang diteliti dalam peneitian ini (variabel dependen) adalah persepsi kerentanan (perceived susceptibility), persepsi keseriusan (perceived seriousness), persepsi manfaat (perceived benefits), persepsi hambatan (perceived barriers), dorongan untuk bertindak (cues to action), dan efikasi diri (self efficacy) yang hasil ukurnya dikategorikan menjadi sangat baik, baik, kurang, dan sangat kurang. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini berjenis skala likert yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi responden. Jumlah pertanyaan yang digunakan pada komponen persepsi kerentanan (perceived suspectibility), keseriusan (perceived seriousness), dan dorongan untuk bertindak (cuess to action) terdiri atas enam pertanyaan pada kuesinoner penelitian, pada persepsi keuntungan (perceived benefits), digunakan lima pertanyaan, pada komponen persepsi hambatan (perceived barriers), digunakan lima belas pertanyaan, pada komponen self efficacy, digunakan tiga pertanyaan.. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis baik secara deskripstif untuk mengetahui karakteristik dan distribusi frekuensi responden, dan dilakukan analisis untuk mengetahui hubungan antar variabel dependen dan variabel independen dengan uji chi square dengan tingkat kemaknaan (ι) = 0,05 dan uji Fisher’s Exact dilakukan jika uji yang dilakukan sebelumnya tidak memenuhi syarat.

26 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Karakteristik Umum Responden Penelitian Vaksinasi HPV Karakteristik

Ya

Tidak

n

%

n

%

Usia Responden 19 – 24 tahun 25 – 30 tahun 31 – 36 tahun 37 – 42 tahun 43 – 48 tahun 49 – 55 tahun JUMLAH

2 27 8 13 4 0 54

3,7 50 14,8 24,1 7,4 0 100

0 14 18 11 8 3 54

0 26 33,3 20,4 14,8 5,5 100

Usia Pertama Menikah 19 – 24 tahun 25 – 30 tahun 31 – 36 tahun JUMLAH

35 19 0 54

64,8 35,2 0 100

34 17 3 54

63 31,5 5,5 100

Jenjang Pendidikan Terakhir SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat PT JUMLAH

0 0 3 51 54

0 0 5,5 94,5 100

1 4 9 40 54

1,8 7,4 16,7 74,1 100

Pendapatan Keluarga*) < Rp. 2.710.000,≥ Rp. 2.710.000,JUMLAH

3 51 54

5,5 94,5 100

0 54 54

0 100 100

*) UMK Kota Surabaya Tahun 2015

Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui bahwa pada karakteristik usia, jumlah responden yang telah melakukan vaksinasi HPV didominasi oleh kelompok responden dengan rentang usia 25 – 30 tahun (50%), sementara responden yang tidak melakukan vaksinasi HPV didominasi oleh kelompok responden dengan rentang usia 31 – 36 tahun (33.3%). Pada karakteristik usia menikah pertama kali, baik kelompok responden yang telah melakukan vaksinasi HPV maupun kelompok responden yang tidak melakukan vaksinasi HPV didominasi oleh responden dengan rentang usia 19 – 24 tahun, dengan persentase 64.8% responden yang telah melakukan vaksinasi HPV dan 63% responden yang tidak mela-

kukan vaksinasi HPV pada rentang usia yang sama. Sebagian besar responden pada penelitian ini, yaitu sebanyak 94.5% responden yang telah melakukan vaksinasi HPV dan 74.1% responden yang tidak melakukan vaksinasi HPV telah menyelesaikan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi. Sementara pada karakteristik pendapatan keluarga, semua responden (100%) yang tidak melakukan vaksinasi HPV dan 94.5% responden yang telah melakukan vaksinasi HPV telah memiliki pendapatan diatas UMK Kota Surabaya tahun 2015. Adapun hasil analisis pada penelitian ini adalah sebagai berikut

:

27 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Tabel 2. Hubungan Persepsi Pencegahan Kanker Serviks dengan Vaksinasi Human Papilloma Virus Vaksinasi HPV Variabel

Ya

Tidak

n

%

n

%

Persepsi Kerentanan Sangat Baik Baik + Kurang + Sangat Kurang

40 14

71,4 26,9

16 38

28,6 73,1

Persepsi Keseriusan Sangat Baik Baik + Kurang + Sangat Kurang

40 14

65,6 29,8

21 38

34,4 59,4

Persepsi Manfaat Sangat Baik Baik + Kurang + Sangat Kurang

41 13

53,9 40,6

35 19

Persepsi Hambatan Sangat Baik Baik + Kurang + Sangat Kurang

26 28

92,2 35

Dorongan Untuk Bertindak Sangat Baik Baik + Kurang + Sangat Kurang

43 11

Efkasi Diri Sangat Baik Baik + Kurang + Sangat Kurang

51 3

P

CI 95 %

6,786

2,918-15,774

0,000

4,490

1,981-10,178

46,1 59,4

0,292

1,712

0,741-3,955

2 52

7,1 65

0,000

24,143

5,554-109,268

64,2 26,8

24 30

35,8 73,2

0,000

4,886

2,083-11,460

54,3 21,4

43 11

45,7 78,6

0,045

4,349

1,139-16,601

Berdasarkan tabel 2 pada hubungan variabel persepsi kerentanan dengan vaksinasi HPV, diperoleh data bahwa sebagian besar responden (71,4%) memiliki persepsi kerentanan yang sangat baik dan melakukan upaya pencegahan kanker serviks dengan vaksinasi HPV, dan terdapat sebagian kecil responden (28,6%) yang juga memiliki persepsi kerentanan yang sangat baik, namun memilih untuk tidak melakukan vaksinasi HPV. Pada hasil uji statistik diperoleh nilai p < 0.001 dan OR = 6,786. Variabel hubungan persepsi keseriusan dengan vaksinasi HPV menunjukkan data bahwa sebagian besar responden (65,6%) yang memiliki persepsi keseriusan dengan kategori sangat baik melakukan upaya pencegahan kanker serviks dengan vaksinasi HPV, dan juga terdapat 21 responden (34,4%) yang memiliki persepsi keseriusan yang sangat baik, namun memilih untuk tidak melakukan vaksinasi

0,000

OR

HPV. Pada hasil uji statistik diperoleh nilai p < 0.001 dengan OR = 4,490. Sementara pada variabel hubungan persepsi manfaat dengan vaksinasi HPV menunjukkan hasil bahwa terdapat 41 responden (53,9%) memiliki persepsi manfaat yang sangat baik sehingga melakukan upaya pencegahan kanker serviks dengan vaksinasi HPV, dan terdapat 35 responden (46,1%) yang juga memiliki persepsi manfaat yang sangat baik, namun memilih untuk tidak melakukan vaksinasi HPV. Pada hasil uji statistik diperoleh nilai p > 0.05 yang menunjukkan hubungan tidak bermakna dalam penelitian ini. Berdasarkan tabel 2 juga didapatkan hasil hubungan variabel persepsi hambatan dengan vaksinasi HPV yang menyatakan bahwa hampir seluruh responden 28

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


(92,9%) memiliki skor persepsi hambatan dengan kategori sangat baik, yang dalam penelitian ini memiliki arti bahwa semakin baik skor persepsi hambatan yang dimiliki, maka responden cenderung semakin mudah melewati hambatan untuk melakukan vaksinasi HPV. Sebanyak 65% responden yang tidak bervaksin masih memiliki hambatan yang mempengaruhi ketidakikutsertaan respoden dalam melakukan vaksinasi HPV. Pada hasil uji statistik diperoleh nilai p < 0.001 dengan OR = 24,143. Variabel hubungan dorongan untuk bertindak dengan vaksinasi HPV menunjukkan hasil bahwa 43 responden (64,2%) memiliki persepsi dorongan untuk bertindak yang sangat baik sehingga melakukan upaya pencegahan kanker serviks dengan vaksinasi HPV. Terdapat 24 responden (35,8%) yang memiliki persepsi dorongan untuk bertindak sangat baik namun memilih untuk tidak melakukan vaksinasi HPV. Pada hasil uji statistik diperoleh nilai p < 0.001 dengan OR = 4,886. Pada komponen variabel efikasi diri dengan vaksinasi HPV diperoleh data bahwa terdapat 51 responden (54,3%) memiliki efikasi diri yang sangat baik sehingga melakukan upaya pencegahan kanker serviks dengan vaksinasi HPV, dan 43 responden (45,7%) yang juga memiliki efikasi diri yang sangat baik, memilih untuk tidak melakukan vaksinasi HPV. Pada hasil uji statistik diperoleh nilai p < 0.05 dengan OR = 4,349. 4. PEMBAHASAN Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara persepsi kerentanan dengan vaksinasi HPV yang dilakukan individu untuk penegahan kanker serviks. Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa individu cenderung termotivasi melakukan suatu perilaku kesehatan jika mereka percaya bahwa mereka rentan menderita suatu penyakit tertentu[14,15]. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Korea juga mengemukakan bahwa, perempuan yang ibunya mempunyai riwayat skrining kanker serviks yang positif (terdiagnosa kanker serviks) akan 1,42 kali lebih mungkin untuk melakukan vaksinasi HPV secara komplit dibanding dengan perempuan yang tidak memiliki ibu dengan

riwayat hasil skrining negatif karena merasa cenderung rentan terkena kanker serviks[16]. Jika individu berpikir bahwa ia rentan terhadap masalah kesehatan tertentu, maka ia akan melakukan perilaku pencegahan seperti imunisasi[11], tidak terkecuali melakukan vaksinasi HPV sebagai pencegahan terhadap kanker serviks. Hasil analisis pada komponen persepsi kerseriusan juga menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan antara persepsi keseriusan dengan vaksinasi HPV yang dilakukan oleh individu. Penelitian serupa mengenai vaksinasi HPV yang dilakukan di Korea juga menunjukkan hasil yang sama bahwa, skor persepsi keseriusan (perceived seriousness) perempuan yang melakukan vaksinasi HPV berada pada nilai yang tinggi (2.91 score) sehingga mereka cenderung melakukan pencegahan kanker serviks dengan vaksinasi HPV[17]. Hal tersebut dijelaskan oleh McCormick-Brown (1999) yang mengungkapkan bahwa persepsi keseriusan merupakan keyakinan individu mengenai efek serius sebuah penyakit. Informasi yang didapat dan pengetahuan individu mengenai suatu penyakit membentuk persepsi dan keyakinan individu bahwa efek keseriusan sebuah penyakit akan memberikan kesulitan pada kehidupan individu. Keseriusan ini ditambah dengan akibat dari suatu penyakit, misalnya kematian, pengurangan fungsi fisik dan mental, kecacatan, dan dampaknya terhadap kehidupan sosial [15] . Berdasarkan hasil analisis terhadap komponen persepsi manfaat, didapatkan bahwa, tidak terdapat hubungan persepsi manfaat dengan vaksinasi HPV yang dilakukan oleh individu. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa, individu yang percaya bahwa manfaat jauh lebih besar dibandingkan konsekuensi melanjutkan perilaku lama, akan cenderung mengabaikan dan dapat melalui hambatan yang dirasakan sehingga mengadopsi suatu perilaku 29

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


bahwa manfaat dari perilaku yang dilakukan untuk mengatasi kondisi atau penyakit lebih besar daripada biaya[15,18]. Berdasarkan hal tersebut dapat kita ketahui bahwa individu akan cenderung mengabaikan manfaat suatu perilaku jika biaya atau hambatan yang ada lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya. Individu tidak akan melakukan suatu perilaku kesehatan bila persepsi hambatan lebih berperan dibandingkan persepsi manfaat (perceived benefits minus perceived barriers)[19]. Hal tersebut dikuatkan oleh hasil analisis penelitian pada komponen persepsi hambatan yang menyebutkan bahwa, terdapat hubungan antara persepsi hambatan dengan vaksinasi HPV. Salah satu poin hambatan yang paling kuat untuk mempengaruhi tindakan vaksinasi HPV individu adalah aspek biaya vaksinasi. Serangkaian penelitian di berbagai negara Asia dan Eropa seperti Malaysia, Hongkong, dan Turki yang juga menyebutkan bahwa biaya vaksinasi yang mahal menjadi salah satu alasan perempuan tidak bersedia melakukan vaksinasi HPV [9,20] . Hambatan-hambatan yang dirasakan individu tersebut terjadi karena individu cenderung tidak akan mengambil tindakan bila kerugian pribadi, fisik, atau keuangan yang ditimbulkan sangat tinggi[21]. Individu yang percaya bahwa manfaat jauh lebih besar dibandingkan konsekuensi melanjutkan perilaku lama, akan cenderung mengabaikan dan dapat melalui hambatan yang dirasakan sehingga mengadopsi suatu perilaku kesehatan[14]. Sehingga dapat ditarik simpulan bahwa persepsi hambatan merupakan faktor penentu yang signifikan dalam perubahan perilaku individu[22]. Hasil analisis pada komponen dorongan untuk bertindak juga menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan antara dorongan untuk bertindak dengan vaksinasi HPV yang dilakukan oleh individu. Hal ini disebutkan dalam sebuah teori yang menyatakan bahwa, dalam teori health belief model, perilaku kesehatan yang dilakukan oleh individu dipengaruhi oleh dorongan untuk bertindak yang didapatkan individu tersebut, diantaranya melalui orang-orang disekeliling individu termasuk pengalaman menderita penyakit yang dialami langsung oleh anggota keluarga individu, media massa, saran dari kerabat dan

teman-teman, serta penyedia layanan kesehatan[15]. Penekanan informasi melalui media massa mengenai vaksinasi HPV adalah point penting untuk membangun kesadaran, pengetahuan, dan persepsi mengenai HPV dan kanker seviks[23]. Norma sosial dan dukungan sosial adalah faktor penentu utama terbentuknya inisiasi vaksinasi HPV yang dilakukan oleh individu[24]. Hasil analisis pada komponen efikasi diri menunjukkan bahwa, terdapat hubungan antara efikasi diri dengan vaksinasi HPV. hal tersebut dijelaskan dalam sebuah teori yang menyatakan bahwa, komponen efikasi diri Efikasi diri merupakan komponen penentu terkuat dalam teori health belief model karena menyempurnakan kegunaan komponen lain (persepsi kerentanan, persepsi keseriusan, persepsi manfaat, persepsi hambatan, dan dorongan untuk bertindak) dalam menentukan alasan individu berperilaku[14]. Sehingga individu yang memiliki self efikasi yang baik akan melakukan tindakan preventif terhadap kanker serviks, salah satunya dengan melakukan vaksinasi HPV. 5. SIMPULAN Terdapat hubungan antara persepsi kerentanan (perceived susceptibility), persepsi keseriusan (perceived seriousness), persepsi hambatan (perceived barriers), dorongan untuk bertindak (cues to action), dan efikasi diri (self efficacy) dengan vaksinasi human papilloma virus. Komponen persepsi manfaat (perceived benefits) dalam penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan dengan vaksinasi human papilloma virus. 6. SARAN Bidan selaku tenaga kesehatan yang menjadi mitra perempuan dan secara langsung memberikan asuhan pada ranah promotif dan preventif perlu mempelajari perilaku kesehatan karena melalui hal tersebut, bidan diharapkan dapat memberi asuhan promotif dan preventif yang efektif efisien, dan sesuai kebutuhan, khususnya kebutuhan perempuan yang dalam hal ini dengan membangun persepsi positif perempuan terhadap vaksinasi HPV 30

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


sebagai upaya pencegahan primer terhadap kanker serviks sesuai slogan “lebih baik mencegah daripada mengobati” dan tentunya diharapkan dapat berkontribusi dalam peningkatan derajat kesehatan perempuan. 10. DAFTAR PUSTAKA 1. IARC. ‘Estimated Cancer Insidence, Mortality, and Prevalence Worldwide In 2012’, Globocan International Agency for Research on Cancer, 2012. 25 Agustus 2015,<http://globocan.iarc.fr/ Pages/fact_sheets_cancer.aspx> 2. Rasjidi, I, ‘Studi Pustaka: Epidemiologi Kanker Serviks’, Indonesian Journal of Cancer, 3:3 (2009) : 103-108. 3. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012.Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, Surabaya, 2013. 4. Andrijono. ‘Vaksinasi HPV Merupakan Pencegahan Primer Kanker Serviks’, Majalah Kedokteran Indonesia, 57:5 (2007): 153-158. 5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 796 Tentang Pedoman Teknis Pengendalian Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim, 2010. 06 September 2015. 6. Sulistiowati, E & Sirait, AM. ‘Pengetahuan Tentang Faktor Resiko, Perilaku, dan Deteksi Dini Kanker Serviks dengan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) Pada Perempuan di Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor’, Buletin Penelitian Kesehatan, 42:3 (2014) :193-202, 20 Juni 2015, <http:// bpk.litbang.depkes.go.id/index.php/ BPK/article/view/3632> 7. Rasjidi, I. Epidemiologi Kanker pada perempuan, CV Sagung Seto, Jakarta, 2010. 8. Yidirim, GJ & Arabaci, Z. ‘Innovation in HPV Vaccine and Nurse Roles in Cervical Cancer Prevention’, Asian Pacific Journal of Cancer Prevention, 15:23 (2014) :10053-10056. 31 Agustus 2015, <http://dx.doi.org/10.7314/ APJCP.2014.15.23.1005> 9. Al-Naggar, RA & Bobryshev, YV . ‘Practice Towards Human Papillomavirus Vaccine Among Malaysian Women: a Survey of the General Population’, Asian Pacific Journal of Cancer Prevention, vol.12, (2011) :

11. 12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

2045-2049. 17 September 2015, <http://www.apocpcontrol.org/ paper_file/issue_abs/ Volume12_No8/2045-49%20c7.30% 20Al-Naggar.pdf> Sari, AP. ‘Faktor yang Berhubungan dengan Tindakan Vaksinasi HPV Pada Wanita Usia Dewasa’, Jurnal Berkala Epidemiologi, 2:3 (2014) : 321-330. 30 Agustus 2015. Edberg, Mark. Buku Ajar Kesehatan Masyarakat Teori Sosial dan Perilaku, EGC, Jakarta, 2010. Wuryanto, MA. ‘Aspek Sosial Dan Lingkungan Pada Kejadian Luar Biasa (KLB) Chikungunya (Studi Kasus KLB Chikungunya di Kelurahan Bulusan Kecamatan Tembalang Kota Semarang)’, Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 4:1 (2009) : 68-74. 28 September 2015,<http://ejournal.undip.ac.id/ index.php/jpki/article/ download/2410/2135> Pratiwi, NL. Pemberdayaan Masyarakat dan Perilaku Kesehatan (Teori dan Praktik), Airlangga University Press, Surabaya, 2013. Orji, R, Vassileva, J & Mandryk, R. ‘Towards An Effective Health Interventions Design: An Extension Of The Health Belief Model’, Online Journal of Public Health Informatics, 4:3 (2012). 05 Mei 2016. Hayden, J. Introduction to Health Behavior Theory, Jones and Bartlett Publisher, LLC, Sudbury, Massachusetts, USA, 2013. Chao, C, Slezak, JM, Coleman, KJ, Jacobsen, SJ. ‘Papanicolaou Screening Behavior in Mothers and Human Papillomavirus Vaccine Uptake in Adolescent Girls’, American Journal of Public Health, 99:6 (2009) : 11371142. Lee, EJ & Park, JS. ‘Knowledge About Cervical Cancer, Health Beliefs and Human Papilloma Virus Vaccination Rate in Female University Students’, J Korean Oncology Nurs, 11:1 (2011) : 65-73. 03 Mei 2016, <http:// synapse.koreamed.org/Synapse/Data/ PDFData/0139JKON/jkon-11-65.pdf> Conner, M. ‘Health Behaviors’, University Of Leeds, 2002. viewed 19 September 2015,<http://userpage.fuberlin.de/~schuez/folien/ conner2002.pdf> 31

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


19. Gochman, DS. Handbook of Health 8401100101.pdf%20?sequence=2> Behavior Research : Personal and So- 23. Gerend, MA & Magloire, ZF. cial Determinants, Plenum Press: ‘Awareness, Knowledge, and Beliefs NYC, 1997. about Human Papilloma Virus in a Ra20. Tsui J, LaMontagne DS, Levin C, Bingcially Diverse Sample of Young Adults’, ham A & Menezes, L. ‘Policy DevelopJournal of Adolescent Health, Vol. 42, ment For Human Papillomavirus Vac(2008): 237-242. 30 April 2016, cine Introduction in Low-Resource Set<doi:10.1016/ tings. Open Vaccine J, Vol.2 j.jadohealth.2007.08.022> (2009) :113-22. 24. Lee, A, Ho, M, Cheung, CKM & Keung, 21. Wade, C & Tavris, C. Psikologi Edisi VMW. ‘Factors Influencing Adolescent Ke-9 Jilid 1, Erlangga, Jakarta, 2007. Girls Decision in Initiation for Human 22. Janz, NK. & Becker, MH 1984, ‘The Papilloma Virus Vaccination: A Cross HBM: A Decade Later’, John Willey & Sectional Study in Hong Kong’, BMC Sons, Inc, New York, 11: 1 (1987): 1Public Health, Vol. 14 : 925 (2014). 04 47. 11 Oktober 2015, <http:// M e i 2 0 1 6 , < h t t p : / / deepblue.lib.umich.edu/bitstream/ www.biomedcentral.com/1471handle/2027.42/66877/10.1177_10901981 2458/14/925>

32 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Artikel Tinjauan Pustaka

REFLEKSI PERAN BIDAN : KAJIAN KEKERASAN SEKSUAL PADA REMAJA PEREMPUAN DI INDONESIA Nur Anisah Rahmawati1 1

Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

DINAMIKA REMAJA PEREMPUAN DAN KEKERASAN SEKSUAL Kesehatan keluarga merupakan salah satu fokus dari pembangunan kesehatan nasional. Target yang hendak dicapai yaitu setiap keluarga harus memiliki akses dalam membentuk keluarga yang berkualitas dalam lingkungan yang sehat. Selain lingkungan yang sehat, kondisi kesehatan dari tiap anggota keluarga sendiri juga merupakan salah satu syarat dari keluarga yang berkualitas.[1] Meski demikian, ibu dan anak merupakan anggota keluarga yang perlu mendapatkan prioritas dalam upaya penyelenggaraan kesehatan. Hal ini disebabkan karena ibu dan anak merupakan kelompok yang rentan terhadap keadaan keluarga dan sekitarnya secara umum. Oleh karena itu, penilaian status kesehatan dan kinerja upaya kesehatan ibu dan anak penting untuk dilakukan. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur status kesehatan ibu pada suatu wilayah, yaitu angka kematian ibu (AKI).[2] Faktanya, angka kematian ibu di Indonesia memprihatinkan. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian ibu sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara–negara tetangga di Kawasan ASEAN.[3] Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk menjamin setiap ibu memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas, akses terhadap keluarga berencana dan pentingnya melakukan intervensi lebih ke hulu yakni kepada kelompok remaja dan dewasa muda.[4] Penekanan intervensi kepada remaja disebabkan karena kelompok tersebut merupakan kelompok usia yang tengah bersiap memasuki usia produktif. Jumlah anak usia SD/setingkat 7 – 12 tahun di Indone-

sia pada tahun 2014 tercacat sebanyak 29.496.390 dan jumlah penduduk usia muda < 15 Tahun sebanyak 72.777.368. Apabila kedua kelompok usia ini dijumlahkan maka berada di urutan kedua setelah penduduk usia produktif.[2] Oleh karena itu, kesehatan remaja sangat penting untuk diperhatikan. Selain karena jumlahnya yang hampir 20% dari populasi, remaja merupakan asset sekaligus investasi generasi mendatang.[5] Kelompok remaja dan dinamika kehidupannya memang cukup kompleks untuk dibahas meskipun kelompok ini diasumsikan selalu sehat oleh masyarakat. Banyak remaja yang meninggal sebelum waktunya akibat kecelakaan, percobaan bunuh diri, kekerasan serta kehamilan yang mengalami komplikasi yang sebenarnya bisa dicegah atau diobati.[5] Kehamilan remaja kurang dari 20 tahun memberi resiko kematian ibu dan bayi 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan kehamilan pada ibu berusia 20-35 tahun. Keadaan di atas diperburuk oleh kenyataan bahwa derajat kesehatan fisik remaja belum optimal. Sekitar 35% remaja puteri menderita anemia dan sebagian diantaranya juga menderita kurang energi kronis (KEK). Hal ini menunjukan ketidaksiapan remaja puteri secara fisik untuk menghadapi kehamilan di kemudian hari.[6] Kekerasan yang dialami remaja salah satunya merupakan kekerasan secara seksual. Menurut survei SKRRI tahun 2007 tentang kesehatan reproduksi remaja, remaja perempuan pada usia 15-24 tahun melakukan hubungan seksual pertama kali karena dipaksa oleh pasangannya sebanyak 21, 2 %. Tidak hanya itu 84 orang dari responden yang pernah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, mengalami/ melakukan aborsi sebanyak 60%.[7] Pemaksaan merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual yang tidak hanya mengancam diri remaja 33

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


perempuan, melainkan bayi yang dikandungnya. Kekerasan seksual yang terjadi pada masa remaja merupakan suatu peristiwa krusial karena membawa dampak negatif pada kehidupan korban di masa dewasanya. [8] Berdasarkan Catatan Tahunan Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Perempuan tahun 2016 menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan baik pada istri, kekerasan saat pacaran maupun kekerasan pada anak, pada tahun 2015 sebanyak 321.752 kasus. Jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah kekerasan yang terjadi di ranah personal. Dalam ranah tersebut, kekerasan fisik menempati peringkat pertama dengan persentase 38% atau 4.304 kasus, diikuti dengan kekerasan seksual 30% atau 3.325 kasus. Hal ini berbeda dengan data tahun 2014 yaitu kekerasan seksual menempati peringkat ketiga. Bentuk kekerasan seksual tertinggi adalah perkosaan 72% atau 2.399 kasus, pencabulan 18% atau 601 kasus, dan pelecehan seksual 5% atau 166 kasus. Selain di ranah personal, kekerasan seksual juga terjadi di ranah komunitas sebanyak 5.002 kasus (31%).[9] PROYEKSI KEKERASAN SEKSUAL DI MASA DEPAN Remaja, kelompok usia yang berada dalam periode transisi antara anak-anak dan orang dewasa, mengalami segala perkembangan biologis, kognitif, maupun psikososial. Masa remaja menawarkan peluang untuk tumbuh, bukan hanya dalam dimensi fisik,tetapi juga dalam kompetensi kognitif dan sosial.[10] Perkembangan ini memungkinkan perubahan dari makhluk aseksual menjadi seksual akibat dari kematangan hormonal. Kematangan ini ditandai dengan menguatnya karakteristik seksual primer dan sekunder yang sejalan dengan perkembangan emosionalnya. Proses ini menyebabkan remaja rawan dengan meningkatnya aktivitas seksual baik secara aktif maupun pasif.[11] Perubahan ini patut diwaspadai karena seksualitas tidak hanya menyangkut aspek biologis saja, melainkan aspek kehidupan yang lain yang luas dan mendalam.[12] Sayangnya, tidak semua remaja mengalami siklus yang normal dalam perkembangan masa reproduksinya. Banyak remaja yang mengalami kekerasan dalam

proses perkembangan seksualnya yang disertai dengan tekanan psikologis atau fisik. [13] Tekanan ini berdampak buruk ke depan. Sebagai contoh, seorang remaja perempuan korban kekerasan seksual membutuhkan waktu 14 tahun untuk mengembalikan kondisi psikologisnya. [14] Tidak hanya itu, pengalaman kekerasan seksual di masa remaja berhubungan dengan adanya stress emosional di masa dewasa (adult emotional distress) dan kesulitan menjalin relasi intim saat dewasa. Padahal dalam menjalin suatu hubungan, keakraban atau keintiman dan keterbukaan sangatlah diperlukan [15] Dampak lain dari kekerasan seksual yaitu gangguan pembentukan identitas diri pada remaja sehingga proses yang terjadi keluar dari tahap normal. Proses pembentukan identitas ini berbeda pada masingmasing remaja perempuan yang mengalami kekerasan seksual.[16] Hal ini disebabkan karena masing-masing subyek memiliki kepribadian, cara mengatasi masalah, cara memanipulasi kognisi, serta dukungan sosial yang berbeda. Meskipun dampaknya berbeda, namun secara umum timbul adanya perilaku traumatis pada korban kekerasan seksual. Untuk meminimalisir tekanan-tekanan psiologis, dibutuhkan strategi coping, yaitu mencari dukungan sosial dari LSM, mengikuti kegiatan konseling, menggunakan aktivitas alternatif untuk melupakan rasa kecewa atas perilaku traumatis, mengembalikan semua kejadian yang menimpanya pada yang Maha Kuasa, berusaha membangun suatu pemikiran yang positif serta mencari dukungan moral, simpati dan pemahaman terhadap stresor yang dihadapinya.[17] REFLEKSI PERAN BIDAN DALAM KEKERASAN SEKSUAL REMAJA PEREMPUAN DI INDONESIA Data organisasi kesehatan dunia / WHO menyatakan bahwa pencegahan kekerasan pada perempuan belum memadai karena sepertiga perempuan di seluruh dunia masih dilecehkan secara fisik. Dalam Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 pemerintah menunjukkan kepeduliannya terhadap perempuan. Strategi yang dilakukan yaitu memperkuat sistem perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan,melalui gerakan nasional perlindungan anak, meningkatkan 34

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


kapasitas kelembagaan perlindungan anak dan perempuan melalui penguatan sistem informasi yang terkait.[18] Kendala yang dihadapi saat ini yaitu masih kurangnya kesadaran masyarakat dan petugas kesehatan untuk melaporkan kejadian kekerasan.[19] Untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan kekerasan seksual tersebut, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menetapkan Permenkes no. 68 tahun 2013 tentang kewajiban pemberi layanan kesehatan untuk memberikan informasi apabila ada dugaan kasus kekerasan. Hal ini dilakukan karena upaya pencegahan dan penanganan harus dilakukan oleh semua pihak baik dari tenaga kesehatan, masyarakat, keluarga maupun pemerintah. [20] NCPC - Practice Brief menegaskan bahwa apabila remaja, menjadi korban tindakan kekerasan (khususnya seksual) maka merupakan suatu kewajiban bagi orang yang lebih dewasa, yang mengetahui hal tersebut, untuk secepatnya membantu, mendukung serta mendampingi dalam rangka menolong dan menjaga keamanannya.[23] Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang dalam lingkup wewenangnya bertugas melakukan asuhan pada kesehatan reproduksi termasuk kesehatan reproduksi remaja.[21] Sebagaimana disebutkan sebelumnya, remaja membutuhkan mekanisme coping salah satunya yaitu konseling. Salah satunya konseling mengenai kesehatan. Tetapi yang menjadi kendala informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja dewasa ini belum cukup memadai dan kebanyakan baru ditangani oleh masyarakat di kota besar.[22] Fasilitas kesehatan di tingkat pelayanan dasar belum banyak menyediakan pelayanan tersebut, sehingga remaja belum mendapat bekal pengetahuan yang cukup untuk menjalani perilaku reproduksi sehat. Mereka belum sepenuhnya mengetahui cara melakukan kegiatan promotif dan preventif dalam kesehatan reproduksi remaja. Padahal target cakupan pelayanan kesehatan remaja melalui jalur sekolah sebesar 85 % dan jalur pelayanan melalui jalur luar sekolah sebesar minimal 20% belum tercapai. Pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang bersifat promotif dan preventif terfokus pada pelayanan KIE/konseling, yang memasukkan materi-materi Family Life dan Life Skill Education. Pelayanan

kesehatan reproduksi remaja memperhatikan aspek fisik, termasuk kesehatan dan gizi, agar remaja perempuan dapat dipersiapkan menjadi calon ibu yang sehat. Pelayanan kesehatan reproduksi remaja secara khusus bagi remaja bermasalah dengan memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan masalahnya.[6] Sayangnya tidak semua remaja memiliki kesadaran untuk mendapatkan konseling kesehatan reproduksinya. Mereka masih menghadapi kendala yaitu rasa malu ketika harus mengakses pelayanan kesehatan reproduksi karena takut akan kehilangan kepercayaan diri, dan anggapan bahwa tenaga medis akan menekan remaja secara judgmental. Hal ini dimulai dari kekurangan pengetahuan tentang kebutuhan mereka sehingga cenderung menghindari layanan kesehatan reproduksi. Pengetahuan ini hanya sebatas pada pengetahuan teoritik dan tidak banyak berpengaruh pada pola seksual mereka. Selain itu kebijakan yang tidak akomodatif pada kebutuhan remaja akan layanan kesehatan reproduksi terutama layanan yang berpihak pada remaja.[24] Untuk mengatasi masalah yang terjadi, PKBI DIY menyebutkan 4 pendekatan yang diutamakan pada perkembangan remaja, pendekatan berdasar hak-hak, perubahan perilaku dan promosi kesehatan. Tujuan utama dari pendidikan kesehatan seksual melalui 4 pendekatan ini adalah untuk mendukung remaja dalam mengambil keputusan sendiri mengenai kehidupan seksualnya. Pendidikan seksual yang komprehensif yaitu hak seksual dan reproduksi dikaitkan satu sama lain secara terpadu dalam pendekatan kesehatan yang lebih luas. Perubahan perilaku yang positif diharapkan tercapai sehingga remaja mau dan mampu mengambil keputusan dan apabila terjadi pengaruh sosial yang negatif dapat memiliki keterampilan untuk mengambil keputusan. Hal ini sesuai dengan definisi Siecus yakni, “sikap dan keterampilan merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan, dimana seksualitas dilihat dari konteks kualitas hidup yang lebih luas.[25] Bidan dapat melakukan sebuah pendidikan kesehatan di sekolah, perkumpulan remaja perempuan / organisasi baik di masyarakat maupun sekolah, forum masyarakat baik di desa maupun kota, fasilitas kesehatan baik puskesmas, rumah 35

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


sakit maupun bidan praktik mandiri serta melalui klinik kesehatan reproduksi. Selain itu tutor sebaya juga dapat dilakukan sebagai langkah untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi remaja. Hal ini dilakukan karena pendekatan berbasis lingkungan membawa dampak yang positif pada sebuah promosi kesehatan pada remaja. Tidak hanya itu, bidan menyediakan akses informasi mengenai kesehatan reproduksi melalui leaflet, slogan, tulisan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Dengan penyebaran informasi serta komunikasi yang adekuat diharapkan masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap remaja perempuan. Selain itu, pelayanan kekerasan seksual di berbagai tempat memiliki perbedaan. Di tingkat desa, peran bidan desa dapat melakukan rujukan kasus di pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Di tingkat fasilitas kesehatan tingkat pertama bidan dapat melakukan asuhan sesuai wewenangnya dan melakukan rujukan. Di fasilitas rujukan primer, bidan melakukan pelayanan komprehensif kesehatan reproduksi remaja dengan psikolog maupun dokter. Konseling kesehatan reproduksi yang berisi pendidikan seksual harus berkualitas mengingat masa remaja adalah masa pencarian identitas diri. Remaja tidak cukup hanya mengetahui kesehatan reproduksi secara mentah, melainkan mampu melakukan upaya kesehatan untuk dirinya sendiri. Terlebih lagi mampu untuk mengajak rekan remaja menjaga kesehatan reproduksinya. Tahap yang dilakukan di fasilitas kesehatan yaitu : 1. Kontak remaja 2. Anamnesis meliputi identitas, penggalian pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi, perilaku hidup sehat, persiapan berkeluarga, serta masalah yang dihadapi 3. Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda anemia, KEK, Ktp dan semua keluhan yang membutuhkan rujukan 4. Pelayanan konseling meliputi kesehatan reproduksi remaja, perilaku hidup sehat bagi remaja, persiapan berkeluarga serta konseling masalah 5. Jika tidak dapat ditangani dilakukan rujukan

Dari tahapan tersebut, hal yang paling dasar dari layanan pendidikan kesehatan yaitu kontak dengan remaja. Membina hubungan yang baik dengan remaja sebaiknya dilakukan agar remaja lebih terbuka, mau menyampaikan masalah sekaligus membantu mengatasi masalah kesehatan yang ada. Semakin besar kontak dengan remaja dapat dilakukan, semakin banyak kasus yang dapat ditangani. Dari bidan yang bersahabat, tumbuh remaja yang sehat, ibu yang kuat serta generasi mendatang yang hebat. DAFTAR PUSTAKA 1. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 : Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, Dan Sistem Informasi Keluarga. 2014. 25 Mei 2016 <www.kemenkopmk.go.id> 2. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2014. 2015. 26 Mei 2015 3. Badan Pusat Statistik. Laporan Pendahuluan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2012. 2013. 26 Mei 2016 4. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin : Situasi Kesehatan Ibu 2013. 2014. 26 Mei 2016 5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Kesehatan Remaja Di Indonesia. Buku The 2nd Adolescent Health National Symposia. Current Challenges in Management. Rinni Yudhi Pratiwi. September 2013. 26 Mei 2013. 26 Mei 2016. <www.idai.or.id> 6. Departemen Kesehatan RI. Program Kesehatan Reproduksi dan Pelayanan Integratif di Tingkat Pelayanan Dasar. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. 2008. 26 Mei 2016. 7. BKKBN. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia tahun 2007. 2008. 26 Mei 2016 <www.bkkbn.go,id litbang > pusna> 8. Laksananto, Siska. Faktor-faktor yang Berkontribusi Terhadap Terjadinya Anemia Defisiensi Besi Pada remaja putrid di SMU Muhammadiyah Kota Tegal. 2009. <lib.ui.ac.id/file? file=digital/124839-TESIS0568% 20GAY%20NO> 36

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


9. Komisi Nasional Perlindungan Anak. Lembar Fakta Catatan Tahunan (Catahu) 2016. 2016. 26 Mei 2016. 10. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. 2001.27 Mei 2016 11. Mahati, PW. Perasaan dan Harapan Pria Saat Memasuki Pubertas. Jakarta : Universitas Indonesia. 2001. 12. Semaoen. Penuntun Kaum Buruh. Jakarta : Penerbit Jendela. 2000. 13. Matlin, Margareth W. The psychology of woman. United State Of America : Thomson Wardsworth. 2008 14. Soeparjanto. Konsep Dasar Remaja. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. 2008. 15. Mac Beath, John dan Peter Mortimore. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor : Desmita. 2005 16. Universitas Sumatera Utara. Gambaran Pembentukan Identitas Diri Pada Remaja Perempuan Korban Kekerasan Seksual. Mirna S. Giovany dan Eka Ervika. 2014. 27 Mei 2016 17. Fuadi, Anwar. “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi”. Jurnal Psikologi Islam (JPI) 8:2 (2011). 18. Presiden RI. Perlindungan Perempuan dari Ancaman Kekerasan Seksual. 26 Mei 2015. 27 Mei 2016.

19.

20. 21. 22.

23. 24.

25.

<www.presidenri.go.id/perempuan-dan -anak/perlindungan-perempuan-dariancaman-kekerasan-seksual.html> “Peran Petugas Kesehatan Cegah Kekerasan Anak”. Dokteranak, net. 12 April 2011. 28 Mei 2016. <dokteranakku.net/articles/2011/04/ peran- petugas-k es ehatan -c egah kekerasan-anak.html> Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan no. 68 tahun 2013. 2013. 28 Mei 2016 Kementerian Kesehatan RI. Standar Asuhan Kebidanan. Kepmenkes no 938 Tahun 2007. 2007. 26 Mei 2016 Dinas Kesehatan Bali. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). 2011. <www.dinkes.baliprov.go.id > PELAYANAN-KESEHATAN-PEDULIREMAJA.html> Anindya J, Ghina. Kekerasan Seksual. 2015. 27 Mei 2016 <www.angsamerah.com> MW, Tjahjono, S. “Analisis kendala dan kebutuhan remaja akan layanan dan pendidikan kesehatan reproduksi remaja di DIY tahun 2015”. Jurnal Medika Respati 10:1 (2015). PKBI. Pendidikan Kesehatan Reproduksi-upaya nyata cegah kematian ibu. 2015. 27 Mei 2016. <pkbi-diy.info/? p=3904>

37 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Artikel Penyegar

INISIASI MENYUSU DINI SEBAGAI LANGKAH EFEKTIF CEMERLANGNYA KEBERHASILAN PEMENUHAN NUTRISI 1000 HARI PERTAMA KEHIDUPAN ANAK Siwi Arumsari Widyaningsih1 1

Program Studi DIV Kemenkes, Semarang

INISIASI MENYUSU DINI Topik mengenai masalah kesehatan ibu dan anak selalu menjadi perbincangan di masyarakat. Kegagalan Millenium Development Goals (MDGs) yang menargetkan, bahwa pada tahun 2015 Indonesia mampu menurukan tiga per empat dari Angka Kematian Ibu (AKI) dan dua per tiga dari jumlah Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) yang menjadikan WHO merumuskan kembali metode terbaru Sustainable Development Goals (SDGs) dengan targetan yang baru pula yaitu menurunkan Angka Kematian Neonatal setidaknya hingga 12 per 1.000 KH dan Angka Kematian Balita 25 per 1.000 KH. Banyak upaya yang di lakukan untuk menyukseskannya. Salah satunya menggalakakkan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). IMD adalah proses membiarkan bayi menyusu sendiri setelah kelahiran segera setelah dilahirkan, Bayi diletakkan di atas dada atau perut atas ibu selama paling sedikit satu jam untuk memberi kesempatan pada bayi untuk mencari dan menemukan puting ibunya [1]. IMD yang dilakukan minimal satu jam akan membantu bayi dari berkembangnya infeksi dan menurunkan tingkat kematian bayi[2]. Dengan IMD seorang bayi. ASI diketahui sebagai sumber makanan pertama bayi yang mengandung berbagai zat imunitas seperti imunitas maternal, antimikroba, imunomodulator, dan faktor inflamasi. Sebagai contoh dalam pemberian ASI yang pertama kali keluar yang disebut dengan Kolostrum berperan sebagai imunisasi pertama bayi baru lahir yang akan meningkatkan sistem imun bayi dari infeksi dan membantu melindungi dinding usus bayi yang masih lemah selain itu juga penting untuk pemenuhan nutrisi neonatus. Sebuah pene

Kebidanan,

Politeknik

Kesehatan

litian diaceh menunjukkan bahwa IMD merupakan faktor protektif dari tingkat kematian neonatus dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Neonatus dengan BBLR yang tidak diberi ASI dalam satu jam setelah lahir berisiko kematian 2.9 kali lebih besar daripada neonatus yang diberikan IMD dalam 1 jam [3]. Walaupun pada tahun 2007 SDKI menunjukkan penurunan cakupan tingkat pemberian ASI eksklusif pada bayi yang diberikan IMD namun kembali naik menjadi 42% pada tahun 2012, didukung beberapa jurnal penelitian menunjukkan bahwa IMD berperan aktif dalam menyukseskan ASI eksklusif pada bayi usia 0 hingga 6 bulan [4,5]. IMD DALAM SERIBU HARI PERTAMA KEHIDUPAN Indonesia sedang memperjuangkan untuk tercapainya suksesnya 1000 hari kehidupan pertama. 1000 hari kehidupan pertama adalah masa selama 270 hari (9 bulan) dalam kandungan ditambah 730 hari (2 tahun) pasca lahir. Periode itu sangatlah penting karena pada masa itulah seluruh organ dan system tumbuh dan berkembang sangat pesat dan bersifat permanen, selain itu ada yang menyebutnya “Periode Emas� sehingga diperlukannya stimulasi dan monitoring pertumbuhan dan perkembangan anak. Stimulasi dan monitoring dapat menurunkan resiko adanya penyakit tidak menular pada anak seperti Hipertensi, Diabetes dll, gangguan perkembangan otak dan gangguan pertumbuhan [6]. Pertumbuhan dan perkembangan ini tentunya dibutuhkan faktor pendukung yaitu faktor genetik dan lingkungan. Selama ini seseorang berpendapat bahwa pendek, gemuk, kurus, dan beberapa penyakit tertentu berasal dari faktor genetik, sehingga menganggap bahwa seseorang 38

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


tidak bisa melakukan apa apa untuk memperbaikinya [7]. Faktanya bahwa tumbuh kembang anak dapat di stimulasi dengan pemberian kebutuhan Asuh Asih dan Asah[1]. 1000 hari pertama kehidupan anak ditekankan pada pemberian Asuh pada anak usia 0 hingga 2 tahun. Asuh yang terdiri dari pemberian gizi. Gizi yang seimbang, dapat membantu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tubuh dan otak. Sehingga apabila terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang tidak optimal, gizi merupakan faktor penentunya. Hal ini berkaitan dengan tujuan pemberian ASI secara eksklusif yang dilakukan juga untuk memenuhi nutrisi, khususnya neonatus yang berusia 0 hingga 6 bulan. Sebagai negara berkembang Indonesia masih terjebak dalam masalah pemenuhan gizi yang seimbang. Lebih dari 20 juta bayi Neonatus di dunia dengan berat badan lahir rendah 95% terjadi di negara berkembang. Pada tahun 2010, dari 23 juta balita di Indonesia , 7,6 juta tergolong pendek dan terkait dengan masalah berat badan lahir rendah[8]. Penatalaksanaan IMD yang dilakukan pada bayi dengan berat badan lahir rendah berfungsi untuk mengerjar ketertinggalan berat badan dan tinggi badan yang nantinya bisa menyebabkan genetik pendek dan menghasilkan anak pendek intergenerasi [7]. PEMENUHAN KEBUTUHAN Penatalaksanaan IMD untuk mencapai keberhasilan pemenuhan kebutuhan gizi menggunakan metode Asih, Asah dan Asuh pada bayi dan Nutrisi sebagai medianya. Harmoni hormon yang terjadi dalam proses produksi ASI dipengaruhi faktor kasih sayang sebagai faktor eksternalnya. Rasa cinta yang timbul dari ibu yang menjadikannya bahagia memiliki seorang buah hati dapat meningkatkan produksi ASI dan produksi ASI ini sangat dipengaruhi oleh tingkat perasaan ibu menyusui, memberikan nutrisi adalah salah satu bentuk penerapan Asih pada bayi. Pada Nutrisi yang cukup yang diberikan saat IMD adalah faktor yang menjadikan ibu yakin didapatkan bayi ketika IMD akan meningkatkan energi bayi dan dapat menstimulasi bayi untuk terus tumbuh dan berkembang ssesuai

perkembangannya. Bayi untuk terus berkembang Dan Pemenuhan kebutuhan emosi dan spiritual pada bayi akan menimbulkan rasa cinta dan kasih antara ibu dan bayi yang nantinya akan menciptakan hubungan batin yang kuat [4]. Kebutuhan Asih yang diberikan juga dapat terjadi ketika bayi melakukan kontak kulit, merangkak dan melakukan isapan. Ibu dapat memberikan rasa aman dan kehangatan pada bayi. Pada waktu yang sama bayi dapat membantu merangsang oksitosin dan prolaktin yang berfungsi dalam pengeluaran dan produksi ASI. Peningkatan hormone oksitosin dan prolaktin akan menyebabkan ASI mengeluarkan banyak ASI. Pemberian nutrisi adalah salah satu faktor penting kedua setelah pemberian kasih sayang yaitu Asuh atau pemberian pengasuhan, melindungi bayi dari tingginya infeksi neonatus melalui zat imunitas yang terkandung dalam ASI dapat menurunkan resiko bayi meninggal pada 1 minggu pertama kelahiran. Kebutuhan Asah berupa pendidikan yang dapat ibu lakukan dengan mengajak bayi berinteraksi, kontak mata yang dilakukan dan komunikasi yang sederhana. Bayi baru lahir memiliki ukuran otak 25% dari ukuran dewasanya dan memiliki banyak sinaps, pemberian ASI pada satu jam pertamanya akan meningkatkan percabangan sinaps dalam otaknya[1]. Bayi yang cerdas sebagai tujuan penatalakasanaan 1000 hari pertama kehidupan pada anak. Upaya demi upaya yang telah dilakukan, dengan tujuan menciptakan generasi yang memiliki potensi yang optimal. Pemberian promosi tentang ASI eksklusif terus dilakukan dalam mewujudkan 1000 hari pertama kehidupan. Asi eksklusif dapat membuat perbedaan hidup dan mati anak anak di Negara berkembang,jutaan anak dapat diselamatkan melalui pemberian ASI eksklusif . IMD yang dilanjutkan dengan ASI eksklusif merupakan langkah yang sangat efektif dalam menjaga kesehatan bayi dalam 1000 hari pertama kehidupannya. Menyusui merupakan bagian inti dari perolehan gizi yang benar yang dalam tahap ini yaitu 1000 hari pertama kelahiran. Dapat menjadi salah satu penyukses gerakan 1000 hari pertama kehidupan. Dibuktikan dengan beberapa penelitian.

39 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


DAFTAR PUSTAKA 1. Roesly,U.Inisiasi Menyusu Dini plus ASI Eksklusif. Jakarta. Pustaka Bunda, 2008. 2. World Health Organization. Infant and Young Child Feeding Fact Sheet No 342. 27 Oktober 2015 <www.who.Intmediacentre>. 3. Berkat S, Rosnah Sutan. The Effect of Early Initiation of Breastfeeding on Neonatal Mortality among Low Birth Weight in Aceh Province, Indonesia: An Unmatched Case Control Study. Hindawi Publishing Corporation Advances in Epidemiology Volume 2014, Article ID 358692, 7 pages http:// dx.doi.org/10.1155/2014/35869 4. Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes.Pesan Pesan tentang IMD dan ASI ekskusif untuk Tenaga Kesehatan dan Keluarga Indonesia.Depkes bina Gizi 2008 5. Wasdinar, Aziani D. Keberhasilan Pemberian ASI Eksklusif. 4: 2 (2014) :77-141.

6. Achadi E, Seribu Hari yang Menentukan Kehidupan Bangsa. 26 Oktober 2015. <pdrc.or.i>. 7. Kementrian Kesehatan RI . Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK). Kementrian Kesehatan RI, 2013. 8. Dirjen Bina Gizi. Kesehatan Dalam Kerangka Sustainable Developmnent Goals (sdgs). Dirjen Bina Gizi, 2015. 9. Kementrian Kesehatan RI. Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Kementrian Kesehatan RI, 2010. 10. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin.Kementerian Kesehatan RI, 2014. 11. Gerswin, ME dkk. Nutrition and Immunology principle and practice. New jersey. Humana press In, 2000. 12. Roesly Utami, spa, MBA, IBCLC. Inisiasi menyusu untik awali sepatu ASI Eksklusif di diet.

40 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Artikel Penyegar

PENYEBAB DAN PENATALAKSANAAN MASTITIS, HARUSKAH IBU BERHENTI MENYUSUI ? Septi Kurnia Wati1 1

Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Mastitis adalah peradangan payudara, yang dapat atau tidak disertai infeksi. Penyakit ini muncul pada masa laktasi, sehingga disebut juga mastitis laktasional atau mastitispuerperalis. Apabila tidak diberi tindakan adekuat, keadaan ini dapat menjadi fatal. Komplikasi terberat adalah abses payudara yaitu pengumpulan nanah lokal di dalam payudara.[1] Angka kejadian Mastitis dapat terjadi 3-20% pada ibu menyusui. Dua hal yang perlu diperhatikan dari mastitis; pertama, mastitis dapat menurunkan produksi ASI, sehingga ibu beralasan untuk tidak menyusui ekslusif. Kedua, mastitis berpotensi meningkatkan transmisi vertikal pada beberapa penyakit. Sebagian besar mastitis terjadi dalam 6 minggu pertama setelah bayi lahir (paling sering pada minggu ke-2 dan ke-3), meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa mastitis dapat terjadi sepanjang masa menyusui

bahkan pada wanita yang sementara tidak menyusui.[2] Word Health Organisation (WHO) pada tahun 2005 merilis data bahwa jumlah kasus infeksi payudara yang terjadi pada wanita seperti kanker, tumor, mastitis, penyakit fibrocustik terus meningkat, dimana 12% diantaranya merupakan infeksi payudara berupa mastitis pada wanita pasca post partum. Akan tetapi, Departemen Kesehatan (2008) menyatakan di Indonesia hanya 0,001/100.000 angka kesakitan akibat infeksi berupa mastitis.[3] Dua penyebab utama mastitis adalah statis ASI dan infeksi. Gunther meyimpulkan dari pengamatan kinis bahwa mastitis diakibatkan oleh stagnasi ASI di dalam payudara. Pengeluaran ASI yang efisien dapat mencegah keadaan tersebut. Dibawah ini adalah tabel perbedaan antara statis asi, mastitis non infeksiosa dan mastitis infeksiosa.[1]

Tabel 1. Perbandingan Jumlah Bakteri dan Leukosit pada Perkembangan Mastitis Leukosit Leukosit < 106/ ml Leukosit > 106/ ml Bakteri Bakteri <103 /ml ASI

Statis ASI

3

Bakteri >10 /ml ASI Penyebab utama mastitis adalah statis ASI. Statis ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan dengan efisien. Penyebab lainnya termasuk isapan bayi yang buruk, penghisapan yang tidak efektif, pembatasan frekuensi atau durasi menyusui, dan sumbatan pada saluran ASI. Situasi lain yang dapat menjadi faktor predisposisi statis ASI adalah suplai ASI yang berlebih atau menyusui untuk anak kembar. Isapan yang buruk sebagai penyebab pengeluaran ASI yang tidak efisien menjadi faktor predisposisi utama mastitis. Faktor mekanis lain yang dapat

Mastitis nonifeksia Mastitis infeksiosa

menjadi faktor predisposisi diantaranya: 1. Frenulum yang pendek (tounge-lie) pada bayi dapat mengganggu kenyutan pada payudara menyebabkan putting luka, dan pecahpecah. 2. Penggunaan dot atau botol dan puting karet. Penggunaan dot berkaitan dengan kenyutan yang tidak tepat pada payudara, bendungan, dan pengurangan frekuensi dan durasi menyusui. Pakaian yang ketat dan posisi tidur telungkup.[1] Kondisi tersebut 41

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


menyebabkan bakteri akan lebih mudah berkembang biak dalam kondisi yang lembab. Penyebab kedua mastitis adalah infeksi. Organisme yang paling sering ditemukan pada mastitis pada abses payudara adalah organisme koagulasepositif Staphylococcus aureus dan Staph. albus, Escherichia coli, dan Strepcoccus. Candida pada puting dan mastitis, khususnya berulang. Namun, kadidiasis sering terjadi setelah terapi antibiotik. Nyeri payudara yang dalam seperti terbakar selama dan setelah menyusui sering diakibatkan oleh infeksi kandida.[1] Kejadian mastitis dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. yang Oleh karena itu, ibu dan bidan harus mengetahui faktor predisposisi dari mastitis untuk menilai resiko kejadian pada ibu. Faktor-faktor pendorong yang dapat meningkatkan kejadian mastitis yaitu:[1,4] 1. Umur Sebuah studi retrospektif menunjukkan wanita berumur 21-35 tahun lebih sering menderita mastitis. 2. Paritas Primipara ditemukan sebagai faktor resiko mastitis. Primipara ditemukan sebagai faktor risiko terjadinya mastitis karena primipara merupakan seorang wanita yang baru pertama kali melahirkan sehingga tubuh yang mengalami perubahan akibat melahirkan belum memiliki kekebalan terhadap infeksi 3. Serangan sebelumnya Banyak penelitian bahwa mastitis pertama cenderung berulang. Hal ini disebabkan oleh teknik menyusui yang buruk tidak diperbaiki. 4. Komplikasi Melahirkan 5. Gizi Faktor gizi sering menjadi faktor predisposisi pada mastitis. Asupan garam dan lemak yang tinggi, dan anemia menjadi pemicu penyakit tersebut. Antioksidan dari vitamin E, vitamin A, dan Selenium diketahui mengurangi risiko mastitis pada hewan menyusui 6. Faktor kekebalan dalam ASI 7. Stres dan kelelahan 8. Pekerjaan di luar rumah 9. Trauma Dengan mengetahui faktor-faktor resiko tersebut, bidan dapat

merencanakan pencegahan penatalaksanaan asuhan kebidanan dalam masalah mastitis dengan komperhensif. Orang disekeliling ibu baik keluarga maupun tenaga kesehatan harus memberikan perhatian dini terhadap semua tanda statis ASI sebagai penyebab pertama mastitis. Periksa payudara untuk melihat adanya benjolan, nyeri, kemerahan, nyeri puting, puting pecah-pecah, demam atau merasa sakit kepala.[1] Hal-hal tersebut menjadi gejala klinis yang sering timbul pada mastitis. Apabila ibu merasakan tandatanda tersebut, ibu disarankan untuk :[1,5] 1. Beristirahat Istirahat sangat dipertimbangkan dan lebih baik ditempat tidur. Tirah baring dengan bayi sangat berguna muntuk meningkatkan frekuensi menyusui. Tirah baring juga menurunkan tegangan payudara pada ibu. 2. Sering menyusui Dengan sering menyusui membantu ibu mengeluarkan sumbatan pada ASI 3. Mengompres, berendam, atau pancuran hangat pada payudara yang terkena. Penggunaan kompres air hangat karena dapat meningkatkan hormon oksitosin untuk mengeluarkan ASI. 4. Memijat dengan lembut setiap daerah benjolan saat bayi menyusu. Hal itu akan membuat rasa nyeri berkurang. 5. Mencari pertolongan kesehatan Semua ibu harus mendapat bantuan dan dukungan yang terlatih dalam teknik menyusui dan menyusui on demand. Perawatan payudara harus diajarkan bidan untuk menambah pengetahuan ibu langkah preventif komplikasi pada masa nifas serta menyukseskan program ASI ekslusif. Apabila terdapat sumbatan saluran payudara pijat menggunakan gerakan jempol ke arah putting dengan lembut. Bila terdapat bintik putih pada putting susu harus segera disingkirkan dengan kuku, kain kasar, atau bantuan jarum steril. Dalam pencegahan mastitis ini, hal yang pertama harus dilakukan bidan adalah mengidentifikasi faktor predisposisi dan menambah pengetahuan ibu dalam pengetahuan penyebab dan gejala klinis mastitis serta mengajarkan teknik menyusi yang benar. Penatalaksaan yang tepat dan bisa dilakukan dirumah ketika gejala klinis 42

BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


mulai timbul harus diajarkan bidan ketika ibu hendak pulang setelah melahirkan atau kunjungan pertama masa nifas. Pada dasarnya, mastitis merupakan kondisi yang sering terjadi dan dapat dicegah dengan mudah. Penyakit tersebut disebabkan oleh pengeluaran ASI yang tidak efisien dan juga infeksi bakteri. Pencegahan dalam asuhan kebidanan penting pada 24 jam pertama masa nifas. Perbaikan praktik menyusui termasuk kontak kulit dini antara ibu dan bayinya, rawat gabung, bantuan terlatih bayi dapat mengisap payudara dengan baik dan menyusui eksklusif adalah hal penting yang harus dilakukan bidan selama masa 24 jam masa nifas. Bidan dan pihak keluarga perlu memahami hal ini untuk mendukung wania dalam praktik terbaik. Ibu perlu mengetahui bagaimana tandatanda mastitis, statis ASI dan sumbatan payudara, apa yang dapat dilakukan dirumah untuk mengatasi dam mencegah keadaan menjadi lebih buruk. Mastitis bukan alasan untuk ibu berhenti menyusui karena sakit, nyeri atau takut terhadap efek pemberian ASI pada bayi. Penatalaksanaan yang bisa dilakukan pertama kali adalah upaya pengeluaran

ASI disertai manejemen nyeri. Ketersedian petugas kesehatan atau konselor ASI dapat memberikan bantuan yang tepat dan adekuat untuk memperbaiki teknik menyusi yang masih salah sehingga ASI ekslusif dapat tercapai dengan baik. DAFTAR PUSTAKA 1. WHO. Mastitis : Penyebab dan Penatalaksanaan. Penerjemah Bertha Sugiarto. Jakarta : Widya Medika, 2000. Terjemahan dari Mastitis : Causes and Management, 2003. 2. “Mastitis : Pencegahan dan Penanganan.� IDAI. 2013. 26 Mei 2016. <http:// www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/mastitispencegahan-dan-penanganan>. 3. Depkes RI. Panduan Pelayanan Antenatal. Jakarta : Depkes RI, 2008. 4. Inch , Xylander. Mastitis Penyebab dan Penatalaksanaan. Jakarta : Widya Medika, 2012. 5. Tri Anasari, Sumarni. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Mastitis Di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.� Jurnal Involusi Kebidanan. 4:7. (2014) : 40-52.

43 BIMABI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.