BIMGI Volume 4 Nomor 2

Page 1


Susunan Pengurus Mitra Bestari Prof. Dr. dr. Kusharisupeni Djokosujono, Msc (Universitas Indonesia)

Yuliana Noor Setiawati Ulvie, S.Gz., M.Sc (Universitas Muhammadiyah Semarang)

Tim Redaksi Nur Hikmawaty Universitas Hasanuddin Makasar

Aysha Ayunda Universitas Muhammadiyah Semarang

Ladyamayu Pinasti Universitas Darussalam Gontor

dr. H.Engkus Kusdinar Achmad, MPH

Mila R

(Universitas Indonesia)

Syifa Nala

Muhammad Iqbal Basagili, S.Gz. MPH

Universitas Diponegoro

(Universitas Darussalam Gontor)

Diana Nur Afifah S.TP.,Ph.D (Universitas Diponegoro)

Lintang Purwara Dewanti, S.Gz., M.Gz. (Universitas Muhammadiyah Prof .Dr. Hamka)

Rahayu Indriasari, SKM., MPHCN., PhD (Universitas Hasanuddin Makasar)

Pimpinan Umum

Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka

Maitri Prasetyo Universitas Indonesia

Qisty Afifah Universitas Indonesia

Tim Humas dan Publikasi Aisyah Amini Universitas Muhammadiyah Prof.DR. Hamka

Sutamara L.N Universitas Hasanuddin Makasar

Revina F. N.P Institut Pertanian Bogor

Meica Else H.P

Amalia Shabrina

STIK Carolus

Universitas Indonesia

Dina Muslimah A

Sekretaris Alfu Nikmatul Laily

Universitas Darussalam Gontor

Fadzila Musanti Institut Pertanian Bogor

Universitas Indonesia

Bendahara

Tim Layout dan Desain Iklimatul Khoeriah

Angger Tarras R.

Institut Pertanian Bogor

Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka

Intan Nabiela C

Dinda Tri Lestari

Universitas Muhammadiyah Semarang

Universitas Hasanuddin Makasar

Pimpinan Redaksi NuriaWictania Universitas Muhammadiyah Semarang

i


Daftar Isi

ISSN: 2303 - 3932

Susunan Pengurus ......................................................................................................................................... i Daftar Isi .........................................................................................................................................................ii Petunjuk Penulisan..................................................................................................................................... iii Sambutan Pimpinan Umum ......................................................................................................................ix

PENELITIAN Perbedaan Pola Konsumsi Bahan Makanan Sumber Protein Keluarga Di Daerah Pantai, Dataran Rendah Dan Dataran Tinggi Di Wilayah Kota Semarang Siti Hamidah, Agus Sartono, Hapsari Sulistya Kusuma ........................................................................................................................................................................... 1 Faktor Risiko Gizi Terhadap Kejadian Demensia Pada Lanjut Usia Di Panti Werda Elim Semarang Nuria Wicitania, Agustin Syamsianah, Yuliana Noor Setiawati Ulvie ........................................................................................................................................................................... 9 Perbedaan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Makro (Karbohidrat, Protein, Lemak, Dan Air) Berdasarkan Tingkat Stres Pada Remaja Putri Penghuni Rusunawa Putri Unimus Residence I Hariyati Fitriana, Agustin Syamsianah, Yuliana Noor Setiawati Ulvie ........................................... 16

ADVERTORIAL Pentingnya Sarapan Sehat Bagi Anak Usia Sekolah Dasar sebagai Modal Jangka Panjang Mencapai Hidup Sehat dan Produktif Mohammad Brachim Ansari .......................................................................................................................................... 22

EDITORIAL Hubungan Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Andi Mukramin Yusuf ........................................................................................................................................................................ 30

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Pada Pasien Kemoterapi Di Tiga Rumah Sakit Dwi Sugiarti

.......................................................................................................................................... 35 Peran Empedu Dan Manajemen Gizi Terhadap Penderita Batu Empedu Arif Sabta Aji

.......................................................................................................................................... 39 Fortifikasi Protein Dari Jangkrik Pada Gula Kelapa Sebagai Alternatif Solusi Kekurangan Energi Kronis Pada Ibu Hamil Mufidah Ahmad, Stefani Verona Indi Andani, Vidya Anggarini Rahmasari .......................................................................................................................................... 46

ii


Petunjuk Penulisan Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) Indonesian Nutrition Student Journal Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMGI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan kelompok bidang ilmu gizi dasar, ilmu gizi terapan, gizi masyarakat, gizi klinis, pendidikan gizi, biokimia gizi, ilmu pangan, sanitasi dan ketahanan pangan, nutrigenomik, serta artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu gizi dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa ilmu gizi.

Kriteria Artikel 1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu gizi, ilmu pangan, kesehatan masyarakat, dan ilmu gizi dasar. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga

pengarang,

abstrak,

dan

teks

(pendahuluan,

metode,

hasil,

pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan saran). 2. Tinjauan pustaka: tulisan artikel review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu dalam dunia gizi, ditulis dengan memerhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca. 3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Artikel ini ditulis sesuai pemeriksaan, analisis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi ilmu gizi. Format terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan. 4. Artikel penyegar ilmu gizi: artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topiktopik yang sangat menarik dalam dunia pangan, gizi, dan atau kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan serta

mengingatkan pada hal-hal dasar atau gizi yang

perlu diketahui oleh pembaca. 5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia pangan, gizi dan kesehatan, mulai dari ilmu dasar gizi, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang pangan dan gizi, lapangan kerja sampai karir dalam dunia pangan dan gizi. Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa ilmu gizi.

iii


6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan analisis atau tatalaksana yang ditulis secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa ilmu gizi). 7. Advertorial: artikel singkat mengenai ilmu pangan dan gizi, kesehatan dan atau kombinasi terbaru, beserta penelitian, dan kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka. Petunjuk Bagi Penulis 1.

BIMGI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain.

2.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar, jelas, lugas, serta ringkas. Naskah diketik di atas kertas A4 dengan dua (2) spasi, kecuali untuk abstrak satu (1) spasi. Ketikan tidak dibenarkan dibuat timbal balik. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Batas atas, bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2.5 cm. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman.

3.

Naskah harus diketik dengan komputer dan harus memakai program Microsoft Word.Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksibimgi@bimkes.org dengan menyertakanidentitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

4.

Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematikasebagai berikut: 1.

Judul karangan (Title)

2.

Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution)

3.

Abstrak (Abstract)

4.

Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (Introduction) - Metode (Methods) - Hasil (Results) - Pembahasan (Discussion) - Kesimpulan - Saran

5. 5.

Daftar Rujukan (Reference)

Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan pustaka harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1.

Judul

2.

Nama penulis dan lembaga pengarang

3.

Abstrak

4.

Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)

iv


- Pembahasan - Kesimpulan - Saran 5. 6.

Daftar Rujukan (Reference)

Judul ditulis dengan huruf besar, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan anak judul. Naskahyang telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan berupa catatankaki.

7.

Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikutidengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis.Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email.

8.

Abstrak harus dibuat dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak tidakmelebihi 200 kata dan diletakkan setelah judul makalah dan nama penulis.

9.

Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak lebih dari 5 kata, dan sebaiknya bukan merupakan pengulangan kata-kata dalam judul.

10. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 11. Tabel 12. Gambar 13. Metode statistik 14. Ucapan terima kasih 15. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan pemunculandalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat 1. Artikel dalam jurnal i. Artikel standar Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun 1;124(11):980-3. atau Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;124:980-3.

Penulis lebih dari enam orang Parkin Dm, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br j Cancer 1996;73:1006-12.

v


ii. Suatu organisasi sebagai penulis The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise stress testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996;164:282-4. iii. Tanpa nama penulis Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15.

iv. Artikel tidak dalam bahasa Inggris Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996;116:41-2. v. Volum dengan suplemen Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994;102 Suppl 1:275-82. vi. Edisi dengan suplemen Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996;23(1 Suppl 2):89-97. vii. Volum dengan bagian Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6. viii. Edisi dengan bagian Poole GH, Mills SM.One hundred consecutive cases of flap laceration of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8. ix. Edisi tanpa volum Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4. x. Tanpa edisi atau volum Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;32533. xi. Nomor halaman dalam angka Romawi Fischer

GA,

Sikic

BI.Drug

resistance

in

clinical

oncology

and

hematology.Introduction. Hematol Oncol Clin North Am 1995 Apr;9(2):xi-xii. 2. Buku dan monograf lain i. Penulis perseorangan Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY): Delmar Publishers; 1996. ii. Editor, sebagai penulis Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York:Churchill Livingstone; 1996.

vi


iii. Organisasi dengan penulis Institute of Medicine (US).Looking at the future of the Medicaid program. Washington: The Institute; 1992. iv. Bab dalam buku Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: patophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New York: raven Press; 1995.p.465-78. v. Prosiding konferensi Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, Rienhoff O, editors.MEDINFO 92.Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992. vi. Makalah dalam konferensi Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam: Elsevier; 1996.Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p.15615. vii. Laporan ilmiah atau laporan teknis 1.

Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor: Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed duringskilled nursing facility stays. Final report. Dallas (TX): Dept. of Health andHuman Services (US), Office of Evaluation and Inspection; 1994 Oct. Report No.:HHSIGOEI69200860.

2.

Diterbitkan oleh unit pelaksana : Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services research: workforce and education issues. Washington: National Academy Press; 1995.Contract no.: AHCPR282942008.Sponsored by the Agency for Health CarePolicy and research.

viii. Disertasi Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington univ.; 1995. ix. Artikel dalam Koran Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissionsannually. The Washington Post 1996 Jun 21;Sect A:3 (col. 5). x. Materi audiovisual HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): MosbyYearbook; 1995.

vii


3. Materi elektronik i.

Artikel journal dalam format elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24 screens]. Available from: URL: HYPERLINK http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm

ii.

Monograf dalam format elektronik CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, Maibach H. CMEA Multimedia Group, producers.2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995.

iii.

Arsip komputer Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando (FL): Computerized Educational Systems; 1993.

viii


Sambutan Pimpinan Umum Salam Sehat Gizi Seimbang untuk seluruh mahasiswa Gizi Indonesia Syukur Alhamdulillah, kami panjatkan kehadirat Allah SWT karna atas izin dan ridho-Nya jurnal elektronik BIMGI Vol.4 No.2 dapat terbit di bulan Oktober ini. Tak lupa shalawat serta salam kita junjungkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang telah banyak mengajari kita sampai kita berada di zaman terang benderang seperti ini. BIMGI (Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia) merupakan jurnal elektronik yang berisikan artikel-artikel ilmiah dari mahasiswa gizi yang pertama dan satu-satunya di Indonesia. BIMGI di tahun ke empat ini, telah menerbitkan 7 edisi e-journal yang dapat diakses secara free di website www.bimkes.org. Seperti edisi sebelumnya, BIMGI Vol. 4 No.2 memiliki 8 artikel yang telah melewati proses penyeleksian secara ketat oleh dewan redaksi BIMGI. Artikel yang berkualitas merupakan satu dari beberapa tujuan utama kami dalam menyajikan jurnal elektronik BIMGI ini. Maka dari itu, kami berusaha sangat keras untuk menerbitkan artikel-artikel ilmiah yang berkualitas. Sehingga mahasiswa gizi yang mengirimkan artikel ke BIMGI juga merasa puas bahwa tulisan ilmiahnya memiliki wadah publikasi, serta mahasiswa gizi yang membaca terbitan jurnal elektronik BIMGI merasa terpenuhi keingintahuannya menganai informasi-informasi seputar gizi. Kami berharap dengan terbitnya BIMGI Vol.4 No.2 ini dapat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi mahasiswa gizi Indonesia. Keberhasilan dan kesuksesan terbitanya BIMGI ini dikarenakan banyak faktor. Satu diantaranya adalah dukungan dari semua pihak terkait. Untuk itu, kami ucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah terlibat baik langsung ataupun tidak langsung dalam membantu penerbitan e-journal ini. Kritik dan saran terhadap BIMGI sangat diperlukan untuk menciptakan BIMGI yang lebih baik lagi kedepannya.

Pimpinan Umum

Amalia Shabrina

ix


PENELITIAN

PERBEDAAN POLA KONSUMSI BAHAN MAKANAN SUMBER PROTEIN KELUARGA DI DAERAH PANTAI, DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI DI WILAYAH KOTA SEMARANG Siti Hamidah, Agus Sartono, Hapsari Sulistya Kusuma Program Studi S1 Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Semarang.

ABSTRAK Pendahuluan: Pola konsumsi terdiri dari keragaman, jumlah dan frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi. Perbedaan pola konsumsi antar kelompok masyarakat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah potensi daerah tempat tinggal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pola konsumsi bahan makanan sumber protein keluarga di daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. Metode: Penelitian analitik dengan desain belah lintang dan metode survei. Jumlah sampel 30 KK pada setiap tipe wilayah yang diambil dengan cara random sampling. Uji ANOVA digunakan untuk mengetahui perbedaan pola konsumsi bahan makanan sumber protein keluarga di daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. Hasil: Hasil penelitian mengungkapkan rata-rata jumlah konsumsi bahan makanan sumber protein, daerah pantai 117,56 gram/kapita/hari (hewani 59,31gram dan nabati 58,24 gram), dataran rendah 154,25 gram/kapita/hari (hewani 51,49 gram dan nabati 103,33 gram), dataran tinggi 154,40 gram/kapita/hari (hewani 77,50 gram dan nabati 75,56 gram). Rata-rata tingkat keragaman bahan makanan sumber protein daerah pantai 14, 8 jenis, dataran rendah 12,1 jenis, dataran tinggi 15,6 jenis. Rata-rata frekuensi bahan makanan sumber protein perbulan daerah pantai 32,17 kali nabati dan 47,7 kali hewani, dataran rendah 21,17 kali nabati dan 44,13 kali hewani, dataran tinggi 35,43 kali nabati dan 40,2 kali hewani. Uji ANOVA menunjukkan ada perbedaan tingkat keragaman(p= 0,020), frekuensi (p=0,003) dan jumlah (p=0,008) bahan makanan sumber protein yang dikonsumsi keluarga di daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. Kesimpulan: Ada perbedaan pola konsumsi bahan makanan sumber protein keluarga di daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. Kata Kunci: Pola Konsumsi, Keragaman, Tingkat Keragaman, Jumlah, Frekuensi. ABSTRACT Introduction: The consumption patterns consist of the variation, quantity and frequency of food material. The differences in consumption patterns intergroup of societies were caused by many kinds of factors , one of them is potential of the region residence. The research aimed to know the differences in family consumption patterns food source of protein in littoral area, lowland and highland. Methods: The analytic research use split of latitude design and survey methods. The number of sample area 30 families of each type taken up by random sampling method. Anova test used to know the differences in family consumption patterns food source of protein in littoral area, lowland and highland. Results: The result of researh shows that the average number of consumption food source of protein, in littoral area is 117,56 /grams/capita per day (animal 59,31gram and vegetable 58,24 grams), in lowland is 154,25/grams/capita/day (animal 51,49 gram and vegetable 103,33 grams), in highland is 154,40/grams/capita per day (animal 77,50 gram and vegetable 75,56 grams). The variation average level of food material of protein source in littoral area is 14, 8 varieties, in lowland is 12.1 varieties, and in highlands 15.6 varieties. The frequency average of food material of protein source per month littoral area is 32,17 vegetable times and 47,7 animal times, in lowland is 21,17 vegetable times and 44,13 animal times, in highland is 35,43 vegetable times and 40,2 animal times. Anova test shows that there are differences of variation level (p = 0,020 ), frequency ( p = 0,003 )

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016

1


and the number of ( p = 0,008 ) food material of protein source consumed by the families which live in littoral area, lowland and highland.Conclusions: There are differences in family consumption patterns food source of protein in the littoral area , lowland and highland. Keywords: Consumption patterns , variety , variety level , number , frequency. 1. PENDAHULUAN Protein dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk membangun jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Kebutuhan protein seseorang pada masa muda, relatif lebih besar dibanding pada masa [1] dewasa maupun tua. Penduduk Indonesia mengkonsumsi berbagai jenis bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan protein, yang secara umum dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan makanan hewani dan nabati, Sumber protein hewani dikatakan baik, terutama dilihat dari segi besar kandungan protein per 100 gram bahan makanan maupun dari mutunya. Bahan makanan sumber protein hewani adalah ikan, udang dan makanan hasil laut, daging unggas, telur, susu, dan daging ternak besar (sapi, kambing, kerbau dan lainlain).Bahan makanan sumber protein nabati adalah, jamur, padi-padian, kacang-kacangan (kedelai, kacang tanah dll) serta hasil olahanya (tempe, tahu, oncom dan lain-lain). Pola konsumsi makanan terdiri dari keragaman, tingkat keragaman, jumlah dan frekuensi bahan makanan dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan sekelompok orang. Salah satu faktor yang diduga sangat kuat berpengaruh pada pola pangan sumber protein adalah tipe wilayah yang erat kaitannya dengan potensi wilayah tersebut dalam menyediakan bahan makanan secara alami bagi penduduknya. Ketersediaan aneka ragam pangan banyak ditentukan oleh kondisi geografis (termasuk topografis) wilayah karena akan berpengaruh pada jumlah dan jenis pangan yang dapat dihasilkan oleh [2] wilayah tersebut. Dilihat dari keadaan geografis dan sumber daya perairan, masyarakat di daerah pantai yang sebagian besar adalah nelayan akan lebih banyak mengkonsumsi makanan sumber protein hewani yang berasal dari laut seperti ikan, kerang dan sejenisnya. Masyarakat di daerah pegunungan

sebagian besar adalah petani sawah atau ladang sehingga akan cenderung lebih banyak mengkonsumsi bahan makanan sumber karbohidrat dan sumber protein nabati. Masyarakat di daerah pegunungan akan cenderung lebih banyak mengkonsumsi bahan pangan, sumber protein yang berasal dari ternak kecil, seoerti unggas dan [3,4] sejenisnya. Di ketiga daerah yang akan diteliti, akses untuk memperoleh bahan makanan sumber protein sangat mudah walaupun akses untuk ke pasar jauh, dikarenakan adanya pedagang keliling baik di wilayah pantai (kelurahan Bandarharjo), dataran rendah (kelurahan Rowosari) maupun dataran tinggi (kelurahan Mijen). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan pola konsumsi bahan makanan sumber protein keluarga di daerah pantai, dataran rendah ,dan dataran tinggi. 2. METODE PENELITIAN Penelitian analitik dengan desain belah lintang dan metode survei. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dengan menggunakan instrumen kuesioner untuk data jumlah anggota keluarga, pola konsumsi yang meliputi: jumlah, keragaman, tingkat keragaman dan frekuensi. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan cara mencatat data yang sudah ada meliputi gambaran umum dan profil Desa wilayah pantai (Bandarharjo), Dataran Rendah (Rowosari) dan Dataran Tinggi (Mijen). Analisis deskriptif dilakukan untuk menganalisis perbedaan keragaman atau jenis bahan makanan sumber protein keluarga. Analisis data menggunakan uji ANOVA untuk melihat perbedaan rata-rata tingkat keragaman, jumlah, dan frekuensi.

2 BIMGI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


3. HASIL DAN PEMBAHASAN Karekteristik Tipe Wilayah Sampel dari masing-masing wilayah 30 keluarga, diambil secara acak sederhana, baik di daerah pantai,

dataran rendah maupun dataran tinggi. Adapun jumlah populasi di daerah pantai 4,759 keluarga, dataran rendah 3,214 keluarga dan dataran tinggi 804 keluarga.

Tabel 1. Distribusi Keluarga Responden Menurut Jumlah Anggota Keluarga dan Tipe Wilayah No. Tipe Wilayah Jumlah Anggota Keluarga Total

1. 2. 3.

Kelurahan Bandarharjo Kelurahan Rowosari Kelurahan Bubakan Jumlah

1-3

4-6

7-10

11 15 7 33

18 14 23 55

4 1 5

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa rata-rata besar keluarga tertinggi adalah Kelurahan Bandarharjo 3,50±1,00 dan terendah adalah kelurahan bubakan 4,20±1,03. Rata-rata besar keluarga di Kelurahan Bandarharjo adalah 4,30±1,82 orang, Kelurahan Rowosari adalah 3,50 orang dan Kelurahan Bubakan 4,20±1,03 orang.

30 30 30 90

sumber protein di daerah dataran tinggi lebih beragam dibandingkan dengan daerah dataran rendah dan dearah pantai. Walaupun tinggal di daerah dataran tinggi, tetapi masyarakat sering mengkonsumsi bahan makanan sumber protein dari hasil laut seperti udang, kerang, cumi-cumi dan ikan asin, serta ikan tawar, selain mengkonsumsi tahu tempe dan hasil ternak kecil seperti ayam serta telur ayam, Hal ini disebabkan karena masing-masing keluarga tidak kesulitan dalam memperoleh berbagai jenis bahan makanan yang dibutuhkan dikarenakan akses memperolehnya yang mudah. Selain mendapatkan dengan membeli dari pedagang keliling, warung, atau pasar.

Keragaman (Jenis) Bahan Makanan Sumber Protein Berdasarkan hasil penelitian, keragaman konsumsi bahan makanan sumber protein menurut wilayah yaitu daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi dapat dibaca pada tabel 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi bahan makanan

Tabel 2. Keragaman Bahan Makanan Sumber Protein Keluarga Menurut Tipe Wilayah No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Bahan Makanan Sumber Protein Daging Sapi Daging Kambing Babat Telur Ayam Telur Puyuh Telur Asin Ikan Kerang Kepiting Udang Cumi-cumi Daging Ayam Bebek Susu Kacang Tanah

Pantai

Dataran Rendah

Dataran Tinggi

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

3 BIMGI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


No 16. 17. 18. 19. 20.

Bahan Makanan Sumber Protein Kacang hijau Kacang Mete Tempe Tahu Tempe Gembus

Pantai

Dataran Rendah

Dataran Tinggi

√ √ √ √ √

√ √ √ √

√ √ √ √

Rata-rata Tingkat Keragaman Bahan Makanan Sumber Protein Hewani Berdasarkan Tipe Wilayah Rata-rata tingkat keragaman bahan makanan sumber protein hewani tertinggi adalah di dataran tinggi 10,43±3,84 dan terendah adalah di dataran rendah 7,73±3,65. Uji beda rata-rata tingkat keragaman bahan makanan sumber protein hewani menggunakan uji ANOVA, hasilnya adalah p-value 0,020 (p-value < 0,05) menunjukkan ada perbedaan tingkat keragaman bahan makanan sumber protein hewani antara daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi.

9,33

7,73

10,43

Gambar 1. Tingkat Keragaman Bahan Makanan Sumber Protein Hewani Menurut Tipe Wilayah Rata-rata Tingkat Keragaman Bahan Makanan Sumber Protein Nabati Yang Dikonsumsi Keluarga Menurut wilayah. Tingkat keragaman bahan makanan sumber protein nabati tertinggi adalah pantai 5,50±1,16 dan terendah dataran tinggi 5,14±1,45. Uji beda rata-rata tingkat keragaman bahan makanan sumber protein nabati menggunakan uji ANOVA, hasilnya adalah p-value 0,604 (p-value > 0,05) menunjukkan tidak ada perbedaan antara tingkat keragaman bahan makanan sumber protein nabati di daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. Hal ini disebabkan setiap hari responden di daerah pantai,

dataran rendah dan dataran tinggi mengkonsumsi protein nabati seperti tahu dan tempe. 5,5 5,27

5,14

pantai Dataran Dataran Rendah Tinggi

Gambar 2. Tingkat Keragaman Bahan Makanan Sumber Protein Nabati Menurut Tipe Wilayah Jumlah Bahan Makanan Sumber Protein yang Dikonsumsi Keluarga Berdasarkan Tipe Wilayah Jumlah konsumsi bahan makanan sumber protein di daerah pantai adalah 117,56 gram/kapita/hari (protein hewani 59,31 gram dan protein nabati 58,24 gram), di daerah dataran rendah adalah 154,25 gram/kapita/hari (protein hewani 51,49 gram dan protein nabati 103,33 gram/kapita/hari, dan di daerah dataran adalah 154,40 gram/kapita/hari (protein hewani 77,50 gram dan protein nabati 75,56 gram). Jumlah konsumsi bahan makanan sumber protein hewani yang tertinggi adalah di daerah dataran tinggi yaitu 77,50 gram/kapita/hari dan terendah adalah di daerah dataran rendah yaitu 51,49 gram/kapita/hari. Hal ini disebabkan responden daerah dataran tinggi mengkonsumsi bahan makanan lebih beragam dibandingkan daerah dataran rendah dan pantai,walaupun responden tinggal di daerah dataran tinggi responden dataran tinggi sering mengkonsumsi bahan makanan sumber protein hasil laut seperti ikan, sedangkan konsumsi bahan makanan sumber protein nabati tertinggi adalah daerah dataran rendah

4 BIMGI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


103,33 gram/kapita/hari dan terendah adalah daerah pantai 58,24 gram/kapita/hari. Apabila dibandingkan dengan PPH (pola pangan harapan) konsumsi bahan makanan sumber protein hewani dari masing-masing wilayah masih kurang dibandingkan standar konsumsi [5] ideal sebesar 150 gram/kapita/hari. Konsumsi protein hewani di wilayah pantai 39,54%, dataran rendah 34,33%, sedangkan dataran tinggi 51,67%, belum mencukupi kebutuhan protein hewani yang ideal baik di wilayah pantai,dataran rendah dan dataran tinggi. Berdasarkan pemenuhan kebutuhan protein masyarakat masih tertumpu pada protein nabati idealnya protein hewani minimal 50% dari total konsumsi protein hewani untuk mencapai kualitas sumberdaya manusia yang baik dan mampu [6] bersaing pada tataran global. Ketersediaan pangan sepanjang waktu, dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau sangat menentukan tingkat konsumsi pangan di tingkat rumah tangga. Selanjutnya pola konsumsi pangan rumah tangga akan berpengaruh pada komposisi konsumsi [7] pangan. Hasil uji ANOVA, menunjukkan ada perbedaan antara konsumsi bahan makanan sumber protein daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi ( p = 0,008) . 200 150 100 50 0

117,5 154,2 6 5

154,4 Jumlah Konsumsi Bahan Makanan Sumber Protein

Gambar 3. Rata-rata Jumlah Konsumsi Bahan Makanan Sumber Protein Menurut Tipe Wilayah Hasil uji ANOVA, menunjukkan ada perbedaan antara konsumsi bahan makanan sumber protein hewani daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. (p= 0,001).

Rata-rata julah konsumsi bahan makanan sumber protein hewani yang tertinggi adalah di daerah dataran tinggi yaitu 77,5 gram/kapita/hari dan terendah adalah di dataran rendah yaitu 51,49 gram/kapita/hari. Hal ini disebabkan karena responden daerah dataran tinggi mengkonsumsi bahan makanan sumber protein hewani lebih beragam dibandingkan dengan daerah dataran rendah, responden dataran tinggi lebih sering mengkonsumsi bahan makanan sumber protein hewani dari hasil laut seperti ikan, udang, cumi-cumi dan lain-lain dikarenakan akses untuk mendapatkan bahan makanan sumber protein hewani dari hasil laut mudah, sedangkan responden dataran rendah sering mengkonsumsi bahan makanan sumber protein nabati dari kacang-kacangan dikarenakan tingkat pendapatan rendah. 77,5 80 60 40 20 0

59,31

51,49 Jumlah Konsumsi Bahan Makanan Sumber Protein Hewani

Gambar 4. Rata-rata Jumlah Konsumsi Bahan Makanan Sumber Protein Hewani Hasil uji ANOVA, menunjukkan ada perbedaan antara konsumsi bahan makanan sumber protein nabati daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi (p = 0,001). Ratarata jumlah konsumsi bahan makanan sumber protein nabati tertinggi adalah di dataran rendah, yaitu 103,33 gram/kapita/hari dan terendah di daerah pantai yaitu 58,24 gram/hari/kapita. Protein nabati kacang-kacangan seperti kedelai, dapat menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein dan [5] pola makan.

5 BIMGI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


150 100 50 0

103,33 75,56 58,24

Jumlah Konsumsi Bahan Makanan Sumber Protein Nabati

Gambar 5. Rata-rata Jumlah Konsumsi Bahan Makanan Sumber Protein Nabati Frekuensi Konsumsi Bahan Makanan Sumber Protein Hewani Keluaraga Menurut Tipe Daerah Rata-rata frekuensi konsumsi sumber protein hewani. Frekuensi sumber protein tertinggi adalah di daerah dataran tinggi 35,43±16,46 x/bulan, sedangkan frekuensi terendah di daerah dataran rendah 21,17±13,49 x/bulan. Hal ini dikarenakan daerah dataran tinggi setiap hari mengkonsumsi sumber protein hewani, sedangkan di daerah dataran rendah tidak setiap hari mengkonsumsi sumber protein hewani sebagian besar mengkonsumsi sumber protein nabati. Daerah pantai rata-rata konsumsi protein hewani 32,17±18,89 x/bulan. Bahan makanan yang sering dikonsumsi di daerah pantai adalah ikan, daging ayam, dan telur ayam, konsumsi daging sapi dan daging kambing sangat rendah. Tingginya tingkat konsumsi ikan laut dan ikan air tawar serta udang disebabkan tingkat ketersediaan konsumsi ikan laut dan ikan air tawar serta udang pada [9] wilayah pesisir. Daerah dataran rendah bahan makanan sumber protein yang sering dikonsumsi adalah sumber protein nabati seperti tahu tempe, sumber protein hewani yang sering dikonsumsi telur ayam, sedangkan konsumsi sumber protein yang paling rendah adalah daging sapi, daging kambing dan makanan hasil laut seperti ikan,cumi-cumi kerang dan kepiting. Daerah dataran tinggi bahan makanan sumber protein yang sering dikonsumsi adalah ikan, udang, cumicumi, kerang, daging ayam, dan telur

ayam. Sedangkan sumber bahan makanan sumber protein yang jarang dikonsumsi adalah daging kambing dan daging sapi. Umumnya masyarakat daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi mengkonsumsi daging sapi dan daging kambing apabila ada hajatan atau pada waktu perayaan seperti idul Fitri atau idul Adha. Uji beda rata-rata frekuensi konsumsi bahan makanan sumber protein hewani menggunakan uji ANOVA hasilnya adalah p-value 0,003 (p-value < 0,005) menunjukkan ada perbedaan frekuensi konsumsi bahan makanan sumber protein hewani di daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. Penelitian ini sejalan dengan Umami bahwa ada perbedaan yang nyata frekuensi konsumsi daging, telur, ikan pindang dan susu diantara [8] perkotaan dan perdesaan.

32,17

21,17

35,43

pantai Dataran Dataran Rendah Tinggi Gambar 6. Rata-rata Frekuensi Konsumsi Bahan Makanan Sumber Protein Hewani Frekuensi Konsumsi Bahan Makanan Sumber Protein Nabati Keluarga Menurut Tipe Daerah Rata-rata frekuensi konsumsi bahan makanan sumber protein nabati yang paling tinggi adalah di daerah pantai yaitu 47,70 ± 22,86 kali per bulan dan terendah adalah di daerah dataran tinggi, yaitu 40,20±27,46 kali per bulan. Protein nabati seperti kacangkacangan dan olahannya (tahu tempe) dikonsumsi 1-2 kali dalam sehari, baik di daerah pantai, dataran rendah maupun dataran tinggi. Hal ini dikarenakan harga tempe tahu terjangkau dan mudah untuk didapatkan oleh masyarakat. Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak ada perbedaan frekuensi konsumsi bahan makanan sumber protein nabati di daerah pantai,

6 BIMGI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


dataran rendah dan dataran tinggi (p = 0,520) Rendahnya konsumsi protein hewani sangat erat hubungannya dengan daya beli masyarakat. Namun protein nabati dari kacang-kacangan seperti kedelai, dapat menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein dan pola makan namun ketersediaan aneka kacang-kacangan 47,7

44,13

40,2

pantai Dataran Dataran Rendah Tinggi sebagai sumber protein nabati, relatif [5] masih kurang memadai. Gambar 7. Rata-Rata Frekuensi Konsumsi Bahan Makanan Sumber Protein Nabati 4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Rata-rata jumlah konsumsi bahan makanan sumber protein keluarga di daerah pantai adalah 117,56 gram/kapita/hari. Tingkat keragaman daerah pantai adalah 18 jenis, sumber protein yang paling sering dikonsumsi keluarga di daerah pantai adalah ikan, telur ayam, daging ayam. Bahan makanan sumber protein yang paling sedikit dikonsumsi adalah daging sapi dan daging kambing. Rata-rata frekuensi konsumsi bahan makanan sumber protein hewani dalam sebulan adalah 32,17±18,89 kali dan protein nabati 47,7±22,86 kali. Rata-rata jumlah konsumsi bahan makanan sumber protein keluarga di daerah dataran rendah adalah 154,25 gram/kapita/hari. Tingkat keragaman daerah dataran rendah adalah 15 jenis, sumber protein yang paling sering dikonsumsi tahu, tempe, dan telur ayam. Bahan makanan sumber protein yang paling sedikit dikonsumsi daging sapi, daging kambing, ikan, cumicumi,kerang dan kepiting. Rata-rata frekuensi konsumsi bahan makanan sumber protein hewani dalam sebulan adalah 21,17±13,49 kali dan protein nabati 44,13±25,43 kali.

Rata-rata jumlah konsumsi bahan makanan sumber protein keluarga di daerah dataran tinggi adalah 154,40 gram/kapita/hari. Tingkat keragaman daerah dataran tinggi adalah 18 jenis, sumber protein yang paling sering dikonsumsi ikan, udang, cumi-cumi, kerang, daging ayam, dan telur ayam. Bahan makanan sumber protein yang paling sedikit dikonsumsi daging sapi dan daging kambing. Rata-rata frekuensi konsumsi bahan makanan sumber protein hewani dalam sebulan adalah 35,43±16,46 kali dan protein nabati 40,2±27,46 kali. Ada perbedaan tingkat keragaman bahan makanan sumber protein hewani di daerah pantai, dataran dataran rendah dan dataran tinggi. Tidak ada perbedaan tingkat keragaman bahan makanan sumber protein nabati di daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. Ada perbedaan jumlah konsumsi bahan makanan sumber protein daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. Ada perbedaan jumlah konsumsi bahan makanan sumber protein hewani di daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. Ada perbedaan jumlah konsumsi bahan makanan sumber protein nabati di daearah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. Ada perbedaan frekuensi konsumsi bahan makanan sumber protein hewani di daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. Tidak ada perbedaan frekuensi konsumsi bahan makanan sumber protein nabati di daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. Saran Dinas Kesehatan Kota Semarang melalui Puskesmas setempat, perlu meningkatkan pendidikan kesehatan, khususnya promosi gizi untuk meningkatkan konsumsi protein hewani kepada masyarakat wilayah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. DAFTAR PUSTAKA 1. Peraturan Menteri Kesehatan RI No 75 tahun 2013. Angka

7 BIMGI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Setyawati, Tutik. 2013. Pergeseran Pola Konsumsi Bahan Makanan Penduduk Indonesia Tahun 2002-2011. Malang, Jawa Timur. Anugerah, Y.G.I. 2015. Diversifikasi Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pedesaan di Desa Sukolilo Kecamatan Wajak Kabupaten Malang. Jurnal Universitas Abdurachman Saleh Situbondo. Situbondo Auliya,Cholida,. 2015. Profil Status Gizi Balita Ditinjau Dari Topografi Wilayah Tempat Tinggal ( Studi Di wilayah Pantai dan Di wilayah Punggung Bukit Kabupaten Jepara). Skripsi Unnes. Semarang Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI.2012. ROADMAP Diversifikasi Pangan 2011-2015. Jakarta Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG). 2008. Jakarta : Angka Kecukupan Karbohidrat, Protein, dan Lemak. No. IX Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011 – 2015. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Jakarta Umami, S., K. 2014. Hubungan Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Serta Aktivitas Fisik Dengan Massa Otot Pada Remaja di Perdesaan dan Perkotaan. Departemen Gizi

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Skripsi. IPB. Bogor Firmansyah dan Farhan Muhammad. 2014. Analisis Pola Konsumsi Daging Sapi pada Masyarakat Pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Vol.XVII No. 2 Depkes. 2011. Strategi nasional penerapan pola konsumsi aktivitas fisik untuk mencegah penyakit tidak menular. Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta Listari. T. S., 2005. Perbedaan Tingkat Konsumsi Energi, Protein dan Status Gizi Anak Balita di Daerah Pantai dan Daerah Pegunungan Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara. KTI Unimus. Semarang Notoadmojo, Soekidjo.2002. Metode Penelitian Kesehatan. PT. Rineka Cipta. Rikesdas. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. Sidiatava, R., Putra. 2013. Gizi dan Diet. D-Medika Anggota Ikapi.Widodo, R. 2009. Makanan, Suplemen, dan Obat Pada Anak. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hayami, Y dan Kikuchi, M. 1987. Dilema Ekonomi Desa, Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Terjemahan oleh Sahara, D. Noer. Penerbit yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

8 BIMGI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


FAKTOR RISIKO GIZI TERHADAP KEJADIAN DEMENSIA PADA LANJUT USIA DI PANTI WERDA ELIM SEMARANG

PENELITIAN

Nuria Wicitania, Agustin Syamsianah, Yuliana Noor Setiawati Ulvie Program Studi S1 Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Semarang

ABSTRAK Pendahuluan: Demensia adalah gejala yang disebabkan oleh penyakit otak yang biasanya bersifat kronis atau progresif. Demensia adalah gejala penurunan fungsi intelektual umumnya ditandai terganggunya minimal tiga fungsi yaitu bahasa, memori dan emosional. Dua faktor yang sangat berkaitan erat dengan demensia yaitu protective factors (tingkat pendidikan, aktivitas fisik, pola konsumsi) dan risk factors (usia, tingkat pendidikan dan riwayat demensia keluarga). Pola konsumsi dapat dilihat dengan tingkat kecukupan zat gizi mikro, karena zat gizi mikro seperti vitamin B6, asam folat, B12 dan mineral magnesium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko gizi yang paling mempengaruhi kejadian demensia pada lansia di Panti Werda ELIM Semarang. Metode: Jenis penelitian adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian 44 lanjut usia yang tinggal di Panti Werda ELIM Semarang. Uji hipotesis menggunakan analisis statistik Chi-square dan uji regresi logistik. Tingkat kecukupan zat gizi mikro berdasarkan perbandingan asupan dengan AKG berbasis data food weighing (penimbangan makanan). Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tingkat kecukupan vitamin B6 (56,8%), asam folat (75%), vitamin B12 (61,4%), dan magnesium (63,6%) termasuk dalam kategori tingkat kecukupan kurang. Tingkat demensia dengan kategori definite gangguan kognitif yaitu 72,7%. Analisis statistik menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin B6 berhubungan dengan kejadian demensia (p=0,03; OR=5,67). Tingkat kecukupan asam folat tidak berhubungan dengan kejadian demensia (p=0,24; OR=0,733), demikian juga pada vitamin B12 (p=0,31; OR=0,81), dan magnesium (p=0,48; OR=0,83). Kesimpulan: Tingkat kecukupan B6 merupakan faktor risiko gizi terhadap kejadian demensia pada lanjut usia. Kata Kunci: risiko gizi, vitamin, mineral, kejadian demensia, lanjut usia ABSTRACT Introduction: Dementia is a syndrome due to brain disease that is usually chronic or progressive. Dementia is a symptom of decline in intellectual function generally indicated minimal disruption of the three functions of language, memory and emotional. Two factors very closely related to dementia the protective factors (levels of education, physical activity, consumption patterns) and risk factors (age, levels of education and dementia) family history. The consumption patterns can be seen with adequate level of the micro nutrients, because the nutrients micro as vitamin B6, folic acid, B12 and mineral magnesium. This research aims to determine nutritional risk factors that most influence the incidence of dementia in the elderly in Panti Werda ELIM Semarang. Methods: The kind of research is analytic with the approach of cross sectional study. The sample of 44 elderly who live in the Panti Werda ELIM Semarang. The hypothesis using the statistical analysis Chi-square test and logistic regression. Sufficient levels of micronutrient intake by comparison with the AKG data-based food weighing (weighing food). Results: The results showed sufficient levels of vitamin B6 (56,8%), folic acid (75%), vitamin B12 (61,4%), and magnesium (63,6%) included in the category of lacking sufficient levels.Rates of dementia with cognitive impairment definite category is 72.7%. Analysis statistic indicates that the adequacy vitamin B6 relating to the dementia (p = 0,03; OR = 5,67). The adequate level of the folic acid is not relating to the incident dementia (p = 0.24; OR = 0,733), also for vitamin B12 (p = 0,31; OR = 0,81), and magnesium (p = 0,48;

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016

9


OR = 0,83). Conclusions: B6 is adequate risk factors nutrition on dementia on the elderly. Keywords: risk of nutrition, vitamins, minerals, dementia, elderly 1. PENDAHULUAN Demensia berkaitan dengan lanjut usia, bahkan bisa menyerang pada pra lanjut usia. Demensia pun tidak dapat dianggap penyakit yang biasa terjadi pada lanjut usia. Demensia merupakan gejala yang disebabkan karena beberapa penyakit tertentu sehingga akan terjadinya perubahan perilaku dan kepribadian yang akan bertindak dalam [1] kehidupan sehari-harinya. Dua faktor yang sangat berkaitan erat dengan demensia yaitu protective factors terdiri dari tingkat pendidikan, aktivitas fisik, pola konsumsi dan risk factors terdiri dari usia, riwayat penyakit, dan riwayat [2] demensia keluarga. Peningkatan angka kejadian demensia terjadi seiring bertambahnya usia. Prevalensi demensia meningkat dua kali setiap pertambahan usia 5 tahun setelah melewati usia 60 tahun. Terdapat 7,2% populasi lanjut usia yang berusia 60 tahun keatas pada tahun 2010 di Indonesia. Belum ada data yang pasti tentang prevalensi demensia di [3] Indonesia. Zat gizi mikro vitamin maupun mineral yang sering mengalami defisit atau kekurangan yaitu pada vitamin B6, asam folat, dan B12. Zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral sangat dibutuhkan untuk lanjut usia, contohnya sebagai pengatur tubuh dengan memperlancar proses oksidasi, memelihara fungsi normal otot dan saraf, vitalitas jaringan dan menunjang fungsi lain, meskipun tampak sehat, kekurangan vitamin dan mineral tetap [4] saja berlangsung pada lanjut usia. Beberapa penelitian membuktikan bahwa telah terjadi defisiensi vitamin B6, asam folat, B12, dan vitamin D. Vitamin merupakan senyawa kimia yang sangat esensial bagi tubuh walaupun ketersediaan dalam tubuh hanya diperlukan dalam jumlah sedikit, namun manfaatnya sangat diperlukan untuk tubuh seperti mencegah timbulnya radikal bebas pada lanjut usia dan bermanfaat untuk sistem imunitas pada [5] lanjut usia.

Zat gizi mikro seperti zat besi, zink, selenium, magnesium, mangan, kromium, kalsium, memiliki efek antipenuaan yang di butuhkan untuk setiap [5] orang termasuk pada lanjut usia. Memperhatikan zat gizi hingga mikro seperti vitamin dan mineral sangatlah penting. Asupan vitamin A, E, C, Fe dan Zn yang cukup dapat mengurangi risiko [6] demensia pada lanjut usia. Asupan vitamin B12 sangat berpengaruh tinggi terhadap kejadian kognitif pada lanjut [7] usia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko gizi sebagai faktor risiko kejadian demensia pada lanjut usia di Panti Werda ELIM Semarang. 2. METODE PENELITIAN Jenis penelitian adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh lanjut usia penghuni Panti Werda ELIM sebanyak 57 orang dengan menggunakan teknik purposive sampling. Sampel penelitian diambil sebanyak 44 orang dengan memperhatikan kriteria inklusi dan eksklusi. Data Primer dalam penelitian ini meliputi, identitas sampel tinggi badan, berat badan, data kejadian demensia, data konsumsi makanan, data asupan vitamin dan mineral yang meliputi asupan vitamin B6, asam folat, B12 dan magnesium. Data sekunder meliputi gambaran umum lokasi penelitian. Data tingkat kecukupan vitamin B6, asam folat, B12 dan magnesium diperoleh dengan menghitung rata-rata asupan zat gizi mikro tersebut dibandingkan dengan AKG. Adapun rumusnya sebagai berikut : Tingkat Kecukupan Zat Gizi asupan zat gizi = đ?‘Ľ 100% AKG Hasil perhitungan tingkat kecukupan zat gizi tersebut kemudian dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu :

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016

10


Tabel 1. Kategori Kecukupan Zat Gizi Mikro Kategori Tingkat Kecukupan Zat Gizi Mikro (% AKG) Cukup ≥ 77% Kurang < 77% Sumber : Gibson, 2005 Data kejadian demensia diukur dengan menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE) yang terdiri dari 11 pertanyaan dan setiap pertanyaan memiliki skor 1 – 5 untuk kejadian demensia dari yang paling ringan hingga paling berat. Hasil jawaban kemudian dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu : Tabel 2. Kategori Kejadian Demensia Kategori Skor Stres Normal 24 – 30 Probable Gangguan Kognitif 17 – 23 Definite Gangguan Kognitif 0 – 16 Sumber : Kaplan, 2010 Uji hipotesis dianalisis menggunakan Chi-Square dan regresi logistik. Hubungan antar variabel ditentukan dengan melihat tingkat signifikansi 0,05. Variabel yang diuji

dikatakan signifikan signifikansi < 0,05.

apabila

tingkat

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lanjut Usia Karakteristik lanjut usia yang tinggal di Panti Werda ELIM dapat dilihat pada tabel 3. Rata-rata skor kejadian demensia adalah 16,500 ± 7,822 termasuk kedalam kategori definite gangguan kognitife. Hal ini terjadi karena usia yang semakin tua, aktivitas yang rendah serta asupan makan yang tidak mencukupi sesuai dengan kebutuhan. Tingkat kecukupan vitamin B6 rata-rata 1,032 ± 0,183 mg/hari termasuk dalam kategori kurang. Hasil penelitian ini didapatkan semua subjek mengkonsumsi nasi sebagai bahan makanan utama. Tempe dan tahu merupakan lauk nabati utama yang hampir setiap hari dikonsumsi subjek, sedangkan kacang-kacangan jarang disajikan dan dikonsumsi. Lauk hewani yang dikonsumsi diantaranya telur, daging ayam dan ikan. Rata-rata subjek jarang menghabiskan lauk hewani dan kacang-kacangan, karena masakan yang disajikan tidak ada rasa, tidak [7] enak, ataupun tekstur yang keras.

Tabel 3. Karakteristik Lanjut Usia Karakteristik Responden Umur (tahun) 45 – 59 60 – 75 76 – 90 > 90 Jumlah Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Kejadian Demensia Normal Definite Gangguan Kognitif Jumlah Tingkat Kecukupan B6 Kurang Cukup Jumlah Tingkat Kecukupan Asam Folat Kurang Cukup Jumlah

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016

Jumlah (n)

Persentase (%)

1 14 28 1 44

2,3 31,8 63,6 2.3 100

9 35 44

20,5 79,5 100

12 32 44

27,3 72,7 100

25 19 44

56,8 43,2 100

33 11 44

75,0 25,0 100

11


Karakteristik Responden Tingkat Kecukupan B12 Kurang Cukup Jumlah Tingkat Kecukupan Magnesium Kurang Cukup Jumlah Tingkat kecukupan asam folat pada lanjut usia memiliki rata-rata 247,064 ± 56,807 mcg/hari yang termasuk dalam kategori kurang. Sumber makanan yang di dapat berasal dari jagung manis, kacang hijau, roti, dan pepaya. Lanjut usia hanya sebagian kecil yang menghabiskan makanan tersebut. Selebihnya lanjut usia tidak menghabiskan makanan yang telah disajikan. Kurangnya mengkonsumsi buah dan sayuran juga dapat menyebabkan terjadinya defisiensi asam [8] folat. Tingkat kecukupan vitamin B12 didapatkan rata-rata 1,5991 ± 0,3133 mcg/hari dengan kategori kurang. Vitamin B12 adalah vitamin yang banyak berhubungan dengan darah dan sistem susunan saraf pusat, ditemukan oleh dua peneliti yang bekerja secara terpisah pada tahun 1948, yaitu E.L Smith di Inggris dan L.F. Parker di Amerika Serikat. Sumber makanan Vitamin B12 yang sering dikonsumsi yaitu telur, daging ayam, tahu, tempe dan ikan. Dapat disimpulkan bahwa lanjut usia yang mengalami tingkat kecukupan kurang ada 27 orang. Hal ini dikarenakan lanjut usia tidak menghabiskan makanan yang telah disajikan, bahkan sebagian besar jarang

Jumlah (n)

Persentase (%)

27 17 44

61,4 38,6 100

28 16 44

63,6 35,4 100

memakan lauk pauk yang telah disajikan. Tingkat kecukupan magnesium rata-rata 218,093 ± 39,8839 mg/hari yang termasuk dalam kategori kurang. Sumber makanan yang mengandung magnesium diantaranya susu, kacangkacangan, ikan, pisang, dan sayuran hijau yang jarang dihabiskan para lanjut usia. Dibuktikan dengan tingkat kecukupan kurang terdapat 28 orang. Mineral magnesium disebut sebagai ―mineral awet muda‖ dan magnesium berperan sebagai katalisator dalam reaksi biologi termasuk metabolisme energi, karbohidrat, lipid, protein dan asam nukleat, serta dalam sintesis, degradasi, dan stabilitas bahan gen DNA di dalam semua sel jaringan lunak. Kekurangan mineral ini menyebabkan kemunculan tanda-tanda penuaan lebih [5] dini. Hubungan Tingkat Kecukupan Vitamin B6 dengan Kejadian Demensia Vitamin B6, yang terdiri dari tiga senyawa kimia yang berbeda piridoksal, pyridoxamine, dan piridoksin, terlibat dalam regulasi fungsi mental dan suasana hati.

Tabel 4. Tingkat Kecukupan Vitamin B6 dengan Kejadian Demensia Demensia Tingkat Jumlah p Kecukupan OR CI 95% Normal Demensia n (%) value B6 n (%) n (%) Kurang 10 (40,0) 15 (60,0) 25 (100) 1,067 – 0,030 5,667 Cukup 2 (10,5) 17 (89,5) 19 (100) 30,085 Hasil uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p = 0,03 (p ≤ 0,05), maka dapat disimpulkan ada hubungan bermakna antara tingkat kecukupan B6 dengan kejadian demensia. Kekuatan hubungan antara tingkat kecukupan B6 dengan kejadian demensia dapat dilihat

dari nilai OR yaitu 5,667 dengan 95% CI = 1,067 – 30,085 artinya responden yang tingkat kecukupan dalam kategori kurang memiliki risiko 5,7 kali untuk mengalami demensia. Hasil ini sejalan dengan penelitian Utami et al., pada tahun 2013

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016

12


dengan menggunakan uji korelasi antara tingkat kecukupan vitamin B1, B2, dan B6 dengan kejadian demensia yang menunjukkan menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin B1, B2, dan B6 dengan kejadian demensia (p<0,05). Hal ini berarti semakin rendah tingkat kecukupan vitamin B1, B2, dan B6 maka semakin tinggi nilai CDR. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kekurangan vitamin B dengan gangguan metabolik pada penyusun struktural jaringan otak, seperti phospholipids dan myelin, serta sinyal molekul, seperti neurotransmitter.

Vitamin B6 penting untuk mempertahankan fungsi otak yang sehat, pembentukan sel darah merah, pemecahan protein, sintesa antibodi sebagai bagian dari sistem kekebalan [9] tubuh. Hubungan Tingkat Kecukupan Vitamin Asam Folat dengan Kejadian Demensia Folat adalah bentuk vitamin B9, atau yang sering disebut B9 yang khususnya ditemukan dalam sayuran berwarna hijau. Asam folat berperan sebagai koenzim penting yang berguna dalam berbagai macam metabolisme.

Tabel 5. Tingkat Kecukupan Vitamin Asam Folat dengan Kejadian Demensia Demensia Tingkat Jumlah Kecukupan p value OR CI 95% Normal Demensia % Asam Folat n (%) n (%) Kurang 11 (33,3) 22 (66,7) 33 (100) 0,540 – 0,24 0,733 Cukup 1 (9,1) 10 (90,9) 11 (100) 0,995 Hasil analisis menunjukkan hubungan tingkat kecukupan asam folat dengan kejadian demensia memiliki p=0,24 (p≤0,05), maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan bermakna antara tingkat kecukupan asam folat dengan kejadian demensia. Kekuatan hubungan antara tingkat kecukupan asam folat dengan kejadian demensia dapat dilihat dari nilai OR yaitu 0,733 dengan 95% CI = 0,540 – 0,995 artinya asam folat tidak termasuk kedalam risiko kejadian demensia. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Riska pada tahun 2011 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara asupan asam folat dengan status kognitif. Hal ini dapat disebabkan karena status kognitif tidak hanya dipengaruhi oleh asupan asam folat, tetapi juga oleh faktor lain diantaranya usia dan pekerjaan. Seiring

dengan meningkatnya usia akan menyebabkan penurunan semua fungsi sistem homeostatis dalam tubuh. Hal ini akan mempengaruhi penurunan kemampuan otak yang selanjutnya akan [10] menyebabkan gangguan kognitif. Hubungan Tingkat Kecukupan Vitamin B12 dengan Kejadian Demensia Vitamin B12 adalah jenis vitamin yang larut dalam air. Vitamin ini terikat pada protein dalam makanan. Asam dalam perut melepaskan B12 dari protein pada saat pencernaan. Defisiensi vitamin B12 umum terjadi pada lanjut usia akibat ketidakmampuan untuk melepaskan vitamin B12 dari protein makanan, malabsorbsi usus atau kurangnya asupan vitamin B12 dari [8] makanan sehari-hari.

Tabel 6. Tingkat Kecukupan Vitamin B12 dengan Kejadian Demensia Demensia Tingkat Jumlah Kecukupan p value OR CI 95% Normal Demensia % B12 n (%) n (%) Kurang 9 (33,3) 18 (66,7) 27 (100) 0,573 – 0,315 0,810 Cukup 3 (17,6) 14 (82,4) 17 (100) 1,144 dengan demensia. Kekuatan hubungan Hasil uji statistik Chi-Square antara tingkat kecukupan B12 dengan diperoleh nilai p=0,315 (p≤0,05), maka kejadian demensia dapat dilihat dari dapat disimpulkan tidak ada hubungan nilai OR yaitu 0,810 dengan 95% CI = bermakna antara tingkat keckupan B12

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016

13


0,573 – 1,144 artinya responden yang tingkat kecukupan tidak termasuk risiko kejadian demensia. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Bunga pada tahun 2009, menunjukkan bahwa asupan B12 tidak signifikan p=1,000 terhadap kejadian demensia. Hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian lainnya yang melaporkan bahwa kekurangan vitamin B12 atau rendahnya konsentrasi vitamin B12 di dalam plasma

berhubungan dengan [11,12] fungsi kognitif.

kemunduran

Hubungan Tingkat Kecukupan Magnesium dengan Kejadian Demensia Magnesium merupakan kation terbanyak ke empat di dalam tubuh dan kation terbanyak kedua di dalam intraseluler setelah potasium. Magnesium (Mg) mempunyai peranan penting dalam struktur dan fungsi tubuh manusia.

Tabel 7. Tingkat Kecukupan Mineral Magnesium dengan Kejadian Demensia Demensia Tingkat Jumlah Kecukupan p value PR CI 95% Normal Demensia (%) Magnesium n (%) n (%) Kurang 9 (32,1) 19 (67,9) 28 (100) 0,5900,487 0,835 Cukup 3 (18,8) 14 (81,3) 16 (100) 1,182 Hasil uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p = 0,487 (p ≤ 0,05), maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan bermakna antara tingkat kecukupan magnesium dengan demensia. Kekuatan hubungan antara tingkat kecukupan magnesium dengan kejadian demensia dapat dilihat dari nilai OR yaitu 0,835 dengan 95% CI = 0,590-1,182 artinya tingkat kecukupan magnesium tidak berisiko terhadap kejadian demensia. Magnesium mengatur sejumlah tahapan selama sintesis asam nukleat (DNA dan RNA) dan protein. Sejumlah enzim ikut serta dalam sintesis karbohidrat dan lemak yang membutuhkan magnesium untuk mengaktifkannya. Glutation, merupakan antioksidan penting yang membutuhkan magnesium untuk sintesisnya. Magnesium mempunyai peranan penting pada struktur tulang, membran [13] sel dan kromosom. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Tingkat kecukupan B6 merupakan faktor risiko gizi terhadap kejadian demensia pada lanjut usia. Saran 1. Sebaiknya pihak Panti Werda ELIM menambahkan ahli gizi untuk menjaga kualitas makanan untuk para lanjut usia.

2. Pihak pengelola Panti Werda ELIM sebaiknya menyediakan makanan sesuai dengan kebutuhan lanjut usia. 3. Bentuk makanan disesuaikan dengan kondisi lanjut usia, dimana lanjut usia sebaiknya mengkonsumsi makanan dalam bentuk lunak dan dimasak dengan cara dikukus ataupun direbus. DAFTAR PUSTAKA 1. Gray S.L., Anderson M.L., Crane P.K., Breitner J.C., McCormick W., Bowen J.D., Teri L., & Larson E. 2008. Antioxidant vitamin supplement use and risk of dementia or Alzheimer’s disease in older adults. Jornal of the American Geriatrics Society, 56(2), 291—96. 2. Richard J.H., Solane P.D., Warshaw G.A., Bernard M.A., & Flaherty E. 2007. Primary care geriatrics- a case based approach. Elsevier, 5,156—164. 3. Kemenkes RI, 2010. Pedoman rehabilitasi kognitif. Jakarta: Kemenkes RI. 4. Utami C.P., Sri Anna M., dan Melly Latifah. 2013. Pola Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik, Riwayat Penyakit, Riwayat Demensia Keluarga, dan Kejadian Demensia pada Lansia di Panti Werdha Tresna Bogor. Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016

14


5. Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Penerbit Erlangga 6. Aisyah B. 2009. Hubungan Asupan Zat Gizi Mikro, Aktivitas Fisik, dan Latihan Kecerdasan dengan Kejadian Demensia pada Lansia di Kelurahan Depok Jaya Tahun 2009. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program Sarjana Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Depok. 7. Triantari R. 2011. Hubungan Asupan Vitamin B6, Vitamin B12, Asam Folat, Aktivitas Fisik dan Kadar Homosistein dengan Status Kognitif Lansia. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro. Semarang. 8. Suter P. 2006. Vitamin Metabolism and Requrements in Elderly: Selected Aspect. In: Geriatric Nutrition: The Health Proffesional’s rd Handbook. 3 edition. Canada: Jones and Barlett Publisher; 2006.p.31. 9. Koseoglu, M., Hur, A., Atay, A., Cuhadar, S. 2011. Effect of Hemolysis Interference On Routine Biochemistry Parameters. 10. AKG. 2013. Angka Kecukupan Gizi Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

11. Clarke R. 2007. Homocysteine, B Vitamins, and The Risk of Dementia. 12. McCracken C., Matilde Leonardi, et al. 2006. Methylmalonic Acid and Cognitive Function in the Medical Research Council Cognitive Function and Ageing Stud. American Journal of Clinical Nutrition, 84: 1406-11. 13. Hartwig, Marry S., Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol 1. Edisi . Jakarta: EGC. H 1063-1069. 14. AKG. 2013. Angka Kecukupan Gizi Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 15. Gibson R.S. 2005. Principles of Nutritional Assessment: Edisi ke-2. Oxford University Press. New York (USA). 16. Kaplan H.I., Sadock B.J. 2010. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid Satu. Editor: Dr. I. Made Wiguna S. Jakarta : Bina Rupa Aksara; 2010,p. 529-547. 17. Saniawan. 2009. Nutritional Status of Elderly at anjar Paang Teel in rd North Peguyangan Village 3 Pulic Health Centre Work Territorial in North Denpasar 2007.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016

15


PENELITIAN

PERBEDAAN TINGKAT KECUKUPAN ZAT GIZI MAKRO (KARBOHIDRAT, PROTEIN, LEMAK, DAN AIR) BERDASARKAN TINGKAT STRES PADA REMAJA PUTRI PENGHUNI RUSUNAWA PUTRI UNIMUS RESIDENCE I Hariyati Fitriana, Agustin Syamsianah, Yuliana Noor Setiawati Ulvie Program Studi S1 Ilmu Gizi Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Semarang ABSTRAK

Pendahuluan: Masa remaja merupakan masa yang rentan dengan permasalahan, karena pada masa tersebut emosi belum stabil. Masalah yang saat ini banyak dialami remaja adalah manifestasi dari stres seperti depresi, kecemasan, pola makan yang tidak teratur, penyalahgunaan obat serta penyakit lainnya. Gambaran kondisi emosional remaja yang tidak stabil menyebabkan individu cenderung melakukan pelarian diri dengan cara banyak makan-makanan yang mengandung kalori atau kolesterol tinggi, sehingga dapat menyebabkan kegemukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perbedaan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Makro (Karbohidrat, Lemak, Protein, dan Air) berdasarkan Tingkat Stres Pada Remaja Putri Penghuni Rusunawa Putri Unimus Residence I. Metode: Jenis penelitian adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian sebanyak 84 orang remaja putri yang ditentukan dengan metode simple random sampling. Analisis data menggunakan uji One Way ANOVA. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (73,8 %) remaja putri penghuni Rusunawa UNIMUS mengalami stres sedang. Tingkat kecukupan zat gizi makro remaja putri sebagian besar juga masih tergolong defisit dan kurang, yaitu (73,8 %) defisit tingkat kecukupan karbohidrat, (53,6 %) defisit tingkat kecukupan lemak, (36,9 %) defisit tingkat kecukupan protein, dan (83,3 %) kurang tingkat kecukupan air. Kesimpulan: Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan karbohidrat (p= 0,271), lemak (p= 0,341), protein (p= 0,770) dan air (p= 0,523) berdasarkan tingkat stres pada remaja putri. Kata Kunci : tingkat kecukupan, zat gizi makro, tingkat stres, remaja putri. ABSTRACT Introduction: Adolescence is the susceptible to the problems, because at that time emotion not stable. A problem that currently experienced many teenagers is a manifestation of stress such as depression, anxiety, irregular eating patterns, drug abuse as well as other diseases. The states of teenagers’ unstable emotional causes the individuals inclined to conduct a fugitive away by eating lot of foods which containing calories or high cholesterol, so as to cause obesity. This study attempts to know the difference adequate level of the macro nutrients (carbohydrates, fats, proteins, and water) based on the level stress on adolescent girls the inhabitants of the daughter in Rusunawa UNIMUS Residence I. Methods: The kind of research is analytic with the approach cross sectional. The 84 samples are about the adolescent girls determined by the simple random sampling. The data analysis is using test of one-way ANOVA. Results: The research results show that most of (73, 8%) adolescent girls who occupant Rusunawa UNIMUS experience medium stress. The adequate level of adolescent girls’ macro nutrient largely also is still classified as the deficit and less , it is ( 73,8 % ) deficit adequacy levels of carbohydrates , ( 53.6 % ) deficit the adequate level of fat , ( 36.9 % ) deficit the adequate level of protein , and ( 83,3 % ) less the adequate level of water. Conclusion: While from the statistical tests indicate that there is no the difference in the adequacy carbohydrates ( p = 0,271 ) , fat ( p = 0,341 ) , protein ( p = 0,770 ) and water ( p = 0,523 ) based on the level stress on adolescent girls

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

16


Keyword: the adequate level, macro nutrient substance, the level of stress, adolescent girls 1. PENDAHULUAN Remaja merupakan aset bangsa untuk terciptanya generasi mendatang yang baik. Masa remaja atau disebut juga dengan adolescene adalah waktu perubahan-perubahan yang berlangsung cepat dalam hal pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial atau tingkah laku. Usia remaja merupakan usia transisi dari masa kanak-kanak menuju masa remaja, dimana banyak terjadi perubahan karena bertambahnya masa otot, bertambahnya jaringan lemak dalam tubuh juga terjadi perubahan hormonal. Perubahan-perubahan tersebut akan mempengaruhi kebutuhan gizi dan makanan pada remaja. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak menuju masa dewasa yang disertai dengan perkembangan semua aspek atau fungsi untuk memasuki [1] masa dewasa. Masa remaja merupakan masa yang rentan dengan permasalahan, mengingat emosi mereka yang belum stabil. Pada saat ini masalah yang banyak dialami remaja adalah manifestasi dari stres seperti depresi, kecemasan, pola makan yang tidak teratur, penyalahgunaan obat serta [2] penyakit lainnya. Kebiasaan makan yang diperoleh saat remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Prilaku makan pada remaja putri sangat kompleks dan dipengaruhi oleh [3] berbagai interaksi faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku makan pada remaja diantaranya adalah keluarga, teman sebaya, faktor kognitif, fisik, emosional, sosial dan gaya hidup Pada remaja putri akan terjadi peningkatan zat gizi yang berkaitan dengan percepatan pertumbuhan yang dialaminya, dimana zat gizi yang diserap oleh tubuh akan digunakan untuk meningkatkan berat badan dan tinggi badan, yang disertai dengan meningkatnya jumlah ukuran jaringan sel tubuh untuk mencapai pertumbuhan optimal. Perubahan fisik karena pertumbuhan yang terjadi akan

mempengaruhi status kesehatan dan [4] gizinya. Gambaran kondisi emosional remaja yang tidak stabil menyebabkan individu cenderung melakukan pelarian diri dengan cara banyak makanmakanan yang mengandung kalori atau kolesterol tinggi, energi dan protein, sehingga berakibat pada kegemukan. Hal ini terutama ditemukan pada kondisi [5] kehidupan yang penuh stres. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nishitani dan Sakakibara (2006) mengungkapkan bahwa kondisi kehidupan penuh stres akan mempengaruhi perilaku makan, yaitu lebih pada konsumsi berlebih dan berkontribusi terhadap kejadian [6] obesitas. Begitu juga hasil penelitian O’connor (2004) menyatakan bahwa orang-orang karakteristik tertentu pada saat berada dalam kondisi stres mengkonsumsi kudapan lebih banyak dan mengalami peningkatan total [7] konsumsi makan. Stres dapat berupa perubahan peristiwa kehidupan yang terjadi, baik di lingkungan sekolah, tempat tinggal maupun masyarakat. Stres psikososial yang terjadi pada remaja menuntut penyesuaian tersendiri. Bila penyesuaian tersebut gagal, maka individu dapat mengalami beberapa gangguan, salah satunya adalah gangguan makan. Stres berhubungan dengan peningkatan berat badan dan penurunan berat badan. Beberapa individu memilih untuk mengkonsumsi garam, lemak dan gula untuk menghadapi ketegangan dan kemudian mengalami penambahan berat badan. Turunnya berat badan adalah salah satu akibat yang paling umum dari keadaan [2] stres kronis. Sistem pencernaan penderita stres kemungkinan terganggu sehingga penderita tidak berselera makan karena merasa mual dan muntah [8] - muntah. Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS) merupakan universitas yang menerapkan sistem wajib asrama bagi mahasiswa baru pada 1 tahun pertama perkuliahan. Para mahasiswa atau santri yang tinggal di asrama akan mengalami perubahan dan penyesuaian terhadap lingkungan baru

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

17


yang ditempatinya, sehingga akan mengalami berbagai permasalahan yang pada akhirnya akan membuat mereka stres. Biasanya permasalahan yang muncul berawal dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial di tempat [9] baru. Pernyataan di atas dan survai yang telah dilaksanakan pada tanggal 9 september 2015 berdasarkan data tiga tahun sebelumnya penghuni Rusunawa UNIMUS Residence I mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa stres sering dialami oleh remaja khususnya pada remaja putri, bahwa mereka yang tinggal di asrama dan berjauhan dengan keluarga serta harus beradaptasi mengikuti aturan yang ditentukan asrama merupakan kelompok yang beresiko mengalami stres yang akhirnya akan mengakibatkan asupan zat gizi tidak seimbang. Oleh karena itu, asupan gizi yang baik diperlukan untuk menjaga kesehatan dan daya tahan tubuh. Alasan-alasan diatas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian untuk melakukan penelitian mengenai perbedaan tingkat kecukupan zat gizi makro (karbohidrat, lemak, protein dan air) berdasarkan tingkat stres pada remaja putri penghuni Rusunawa UNIMUS Residence I. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan tingkat kecukupan zat gizi makro (karbohidrat, lemak, protein dan air) berdasarkan tingkat stres pada remaja putri penghuni Rusunawa UNIMUS Residence I.

badan (TB), berat badan (BB), tingkat stres, tingkat kecukupan zat gizi makro (karbohidrat, lemak, protein dan air). Sedangkan data sekunder terdiri dari gambaran umum lokasi penelitian, data jumlah mahasiswi dan daftar nama mahasiswi yang tinggal di lokasi penelitian. Identitas sampel dan data primer lainnya diperoleh dengan menggunakan form kuesioner data pribadi responden penelitian. Data tingkat stres didapat dengan menggunakan kuesioner NSAD Stress Questionnaire, dimana kategori stress dikelompokkan menjadi tiga yaitu stress ringan, stress sedang dan stress berat. Data tingkat konsumsi zat gizi makro (Karbohidrat, lemak, protein dan air) didapat dengan formulir recall makanan 3 x 24 jam. Kemudian rata-rata asupan responden dibandingkan dengan AKG yang sudah terkoreksi berat badan. Berikut adalah cara menghitung berat badan koreksi: AKG koreksi BB =

BB aktual x AKG dalam tabel BB AKG

Setelah diperoleh hasil berat badan koreksi, selanjutnya menghitung pencapaian AKG setiap individu dengan cara: Tingkat kecukupan =

× 100%

2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional yang dilakukan di Rusunawa Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS) Residence I yang bertempat di Kompleks Kampus Terpadu Jl. Kedung Mundu Raya No. 18 Semarang. Populasi penelitian ini yaitu remaja putri penghuni Rusunawa Unimus Residence I sebanyak 308 orang. Pengambilan sampel menggunakan metode simple random sampling dan diperoleh sampel 84 orang. Data primer pada penelitian ini identitas responden (sampel), tinggi

asupan aktual (gr) AKG

Kecukupan konsumsi karbohidrat, lemak, dan protein dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu ≥ 100% termasuk ke dalam kategri baik, 80 – 90% sedang, 70 -80% kurang dan < 70% defisit. Sedangkan untuk kecukupan konsumsi air dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu ≥ 110% termasuk ke dalam kategori lebih, 90 – 110% cukup, dan kurang < 90%. Uji kenormalan data dilakukan dengan Kolmogorov Smirnov-Z. sedangkan analisis bivariat menggunakan uji One Way ANOVA.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

17


3. DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Rentang usia responden berkisar antara 18 sampai 21 tahun. Sebagian besar responden berusia 18 tahun yaitu (82,1%) yang dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan usia responden Frekuensi Persentase Usia (tahun) (n) (%) 18 69 82,1 19 13 15,5 20 1 1,2 21 1 1,2 Jumlah 84 100 Remaja merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, [10] psikologis, emosional, dan social. Remaja akhir merupakan tahap perkembangan, dimana akan memasuki usia dewasa. Pada masa ini remaja akan mengalami suatu kondisi yaitu [11] ―storm dan stress‖. Perubahan kondisi fisiologis dan perkembangan yang dialami berupa peningkatan kadar hormone. Hal ini mengakibatkan mahasiswa labil dalam menghadapi permasalahan-permasalahan dalam kehidupannya. Mahasiswa cenderung terlihat kurang berpengalaman dalam [12] menyelesaikan suatu masalah. Oleh sebab itu, mahasiswa cenderung lebih mudah mengalami stress. Tabel 2. Distribusi berdasarkan status gizi

7

Persentase (%) 8,3

12

14,3

54 1 10

64,3 1,2 11,9

84

100

Tingkat Frekuensi Stres (n) Kurus tingkat berat Kurus tingkat ringan Normal Gemuk tingkat ringan Gemuk tingkat berat Jumlah

responden

Sebagian besar responden termasuk ke dalam kategori status gizi baik (normal) yaitu sebesar 64,3% yang

terlihat pada tabel 2. Almatsier (2001), mengatakan status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat. Konsumsi makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan di kalangan remaja bisa menyebabkan gizi salah (malnutrisi) yang dapat berupa gizi lebih dan gizi [13] kurang. Penelitian pada 176 siswa remja SMA di Bogor, diketahui bahwa kasus obesitas sebesar 34,7 % dan [14] overweight sebesar 23,8 %. Disamping itu, juga ditemukan kasus akibat gizi kurang seperti anemia pada mahasiswi yang mengikuti Ujian Seleksi Masuk (USMI) IPB yaitu sebesar 12,2 %. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan pada 77 remaja di SMU Methodist -8 Medan, diketahui bahwa sebanyak 30 orang (39,0 %) tergolong ke dalam ststus gizi normal (baik) dan sebanyak 9 orang (11,7 %) termasuk kedalam status gizi [2] lebih (obesitas). Tingkat stress yang dialami responden, sebagian besar mengalami tingkat stres sedang (89,3%), sedangkan stres ringan sebesar 2,4%, dan stress berat sebesar 23,8%. Distribusi tingkat stres responden dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan tingkat stres Tingkat Frekuensi Persentase Stres (n) (%) Stres ringan 2 2,4 Stres 62 73,8 sedang Stres berat 20 23,8 Jumlah 84 100 Berdasarkan survey Nur’aini (2011) pada mahasiswi asrama Universitas Andalas, sebesar 73,33% mahasiswi mengalami stres sedang dalam tiga bulan terakhir, karena berbagai faktor seperti kecemasan karena ujian akhir semester yang semakin dekat, tugas perkuliahan yang menumpuk, permasalahan dengan teman, masalah keuangan, ataupun karena perasaan homesick, dan 8 orang mahasiswi mengalami stress ringan (26,67%). Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

18


Paramitha (2012) pada 106 mahasiswa, ditemukan bahwa lebih banyak mahasiswa dengan stress yang tinggi (71,7%), sedangkan mahasiswa [14] dengan stress rendah (28,3 %). Tingkat kecukupan zat gizi makro (karbohidrat, lemak, protein) terdapat responden yang masih termasuk kategori defisit konsumsi karbohidrat dengan persentase 73,8%,

defisit konsumsi lemak dengan persentase 53,6%, defisit konsumsi protein dengan persentase 36,9%, sedangkan tingkat kecukupan air juga terdapat responden yang masih termasuk kategori kurang yaitu dengan persentase 83,3%. Dimana tingkat kecukupan zat gizi tersebut dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan tingkat kecukupan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Tingkat Kecukupan Defisit Karbohidrat Kurang Sedang Baik Jumlah Tingkat Kecukupan Defisit Lemak Kurang Sedang Baik Jumlah Tingkat Kecukupan Defisit Protein Kurang Sedang Baik Jumlah Tingkat Kecukupan Kurang Air Cukup Lebih Jumlah Berdasarkan hasil recall 3x24 jam menunjukkan bahwa remaja putri penghuni rusunawa unimus mempunyai pola makanan yang tidak teratur. Hal tersebut terlihat pada pola makan yang hanya 2 kali sehari. Selain itu sumber bahan makanan pokok yang yang paling sering dikonsumsi adalah nasi, roti dan mie. Bahan makanan sumber protein yang paling sering dikonsumsi adalah daging ayam, telur, tahu dan tempe. Bahan makanan sumber lemak yang paling sering dikonsumsi adalah gorengan, coklat, wafer coklat dan lain sebagainya. Disamping itu hasil studi yang dilakukan oleh Anggraini (2012) pada mahasiswa asrama UI, ditemukan bahwa pada perempuan sebagian besar kebutuhan tidak tercukupi, karena kepedulian responden dalam hal makanan masih tergolong [15] rendah.

Frekuensi (n) 62 11 7 4 84 45 9 19 11 84 31 10 27 16 84 70 6 8 84

Persentase (%) 73,8 13,1 8,3 4,8 100 53,6 10,7 22,6 13,1 100 36,9 11,9 32,1 19,0 100 83,3 7,1 9,5 100

Hasil studi yang dilakukan oleh Singleton dan Rhoads, dalam Shaw, Mary (1998) yang menyatakan alasan bahwa sebagian besar remaja jarang melakukan sarapan dikarenakan tidak ada waktu sebesar 43%, tidak merasa lapar sebesar 42%, sedangkan alasan lain diantaranya sedang menjalani diet penurunan berat badan (BB), tidak ada yang menyiapkan makanan, tidak suka dengan makanan yang disediakan, dan [16] tidak ada ketersediaan makanan. Pola makan yang tidak teratur disebabkan berbagai macam hal. Salah satu penyebab yang paling sering adalah perubahan pola makan pada [17] remaja putri. Stress bisa menyebabkan penyakit melalui perubahan prilaku makan serta selera makan. Perubahan pola makan pada seseorang yang mengalami stress, baik pada orang yang memiliki kecenderungan untuk makan lebih [18] banyak maupun lebih sedikit.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

19


Menurut Oliver, Wardle dan Gibson (2000), terdapat hubungan antara apa yang seseorang makan dengan apa [19] yang seseorang rasakan. Stres dapat berupa perubahan peristiwa kehidupan yang terjadi, baik di lingkungan sekolah, tempat tinggal maupun masyarakat. Stres psikososial yang terjadi pada remaja menuntut penyesuaian tersendiri. Bila penyesuaian tersebut gagal, individu dapat mengalami beberapa gangguan, salah satunya adalah gangguan [2] makan. Perbedaan Karbohidrat Stres

Tingkat Kecukupan Berdasarkan Tingkat

[5]

berakibat pada kegemukan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nishitani dan Sakakibara (2006) mengungkapkan bahwa kondisi kehidupan penuh stres akan mempengaruhi perilaku makan, yaitu lebih pada konsumsi berlebih dan berkontribusi terhadap kejadian [6] obesitas. Begitu juga hasil penelitian O’connor (2004) menyatakan bahwa orang-orang karakteristik tertentu pada saat berada dalam kondisi stres mengkonsumsi kudapan lebih banyak dan mengalami peningkatan total [7] konsumsi makan. Perbedaan Tingkat Kecukupan Lemak Berdasarkan Tingkat Stres 120,00%

72,00% 69,62% 70,00% 66,51% 68,00% 66,00% 64,00% 62,00% 58,96% 60,00% 58,00% 56,00% 54,00% 52,00%

100,34%

100,00% 80,00%

71,77% 70,22%

60,00% 40,00% Kecukupan Karbohidrat berdasarkan Tingkat Stres

20,00% 0,00%

Gambar 2. Kecukupan berdasarkan tingkat stres Gambar 1. Kecukupan berdasarkan tingkat stres

karbohidrat

Hasil analisis dengan menggunakan uji statistik diperoleh nilai p = 0,271 (p > 0,05) sehingga dapat disimpulkan ada efek negative tingkat kecukupan karbohidrat berdasarkan tingkat stres. Namun, apabila dilihat pada gambar 1 menunjukkan ada kecenderungan konsumsi karbohidrat responden mengalami peningkatan berdasarkan tingkat stress, dimana semakin berat tingkat stress konsumsi karbohidrat semakin banyak. Gambaran kondisi emosional remaja yang tidak stabil menyebabkan individu cenderung melakukan pelarian diri dengan cara banyak makan-makanan yang mengandung kalori atau kolesterol tinggi, energi dan protein, sehingga

Kecukupan Lemak berdasarkan Tingkat Stres

lemak

Hasil analisis perbedaan tingkat kecukupan lemak berdasarkan tingkat stres diperoleh nilai p = 0,341 (p > 0,05) sehingga terdapat efek negative tingkat kecukupan lemak berdasarkan tingkat stress. Namun, pada gambar 2 terlihat bahwa ada kecenderungan responden untuk mengkonsumsi lemak lebih banyak berdasarkan tingkat stresnya. Hasil penelitian O’connor (2004) menyatakan bahwa orang-orang karakteristik tertentu pada saat berada dalam kondisi stres mengkonsumsi kudapan lebih banyak dan mengalami [7] peningkatan total konsumsi makan. Oliver dkk (2000), mengatakan bahwa dengan mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan gula dapat mengurangi [19] rasa ketidaknyamanan stress. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa stress, emosi, suasana hati (mood), dan pemilihan makanan

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

17


[19]

mempengaruhi satu sama lain. Begitu pula studi yang dilakukan Epel dkk (2000), di San Fransisco, Amerika Serikat juga menemukan terjadi peningkatan konsumsi makanan manis dan tinggi lemak pada seseorang yang mempunyai level kortisol tinggi yang [20] merupakan respon stress. Perbedaan Tingkat Kecukupan Protein Berdasarkan Tingkat Stres 95,00%

91,80%

90,00% 85,00% 80,00%

81,07% 78,48%

75,00%

Kecukupan Protein berdasarkan Tingkat Stres

70,00%

konsumsi buah, sayur, daging, dan ikan dilaporkan lebih sedikit atau tidak mengalami perubahan jumlah konsumsinya pada saat seseorang [21] dalam keadaan stress. Hasil studi yang dilakukan oleh Anggraini (2012) pada mahasiswa asrama UI, ditemukan bahwa pada perempuan sebagian besar kebutuhan tidak tercukupi, karena kepedulian responden dalam hal makanan masih [15] tergolong rendah. Hampir semua responden yang tinggal di asrama mendapat kiriman uang bulanan dari orang tuanya, sehingga mereka mengatur sendiri uang yang diberikan orang tuanya untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari. Penelitian yang dilakukan oleh Amran (2003), juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara uang saku bulanan dengan pola konsumsi [15] makanan pada mahasiswa di asrama. Perbedaan Tingkat Kecukupan Air Berdasarkan Tingkat Stres 90,00% 85,49%

Gambar 3. Kecukupan berdasarkan tingkat stres

protein

Hasil analisis perbedaan tingkat kecukupan protein berdasarkan tingkat stress menunjukkan p = 0,770 (p > 0,05) sehingga disimpulkan terdapat efek negatif tingkat kecukupan protein berdasarkan tingkat stres. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nadeak dkk (2013), dimana tidak terdapat hubungan antara status stress dengan tingkat konsumsi protein dengan nilai p= 0,317. Namun, jika dilihat pada gambar 3, ada kecenderungan responden untuk mengkonsumsi protein lebih sedikit pada [2] tingkat stress berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara stress dengan konsumsi makanan yang tidak sehat. Pada kondisi stress dilaporkan lebih banyak mengkonsumsi makanan manis dan coklat bahkan pada kelompok yang mempunyai kecenderungan untuk makan lebih sedikit pada saat stress. Sebaliknya,

80,00% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00%

69,73% 65,21%

Kecukupan Air berdasarkan Tingkat Stres

Gambar 4. Kecukupan air berdasarkan tingkat stres Hasil analisis menunjukkan perbedaan tingkat konsumsi air berdasarkan tingkat stress responden dengan nilai p = 0,523 (p > 0,05), sehingga dapat disimpulkan ada efek negatif tingkat kecukupan air berdasarkan tingkat stress responden. Hal ini dikarenakan apabila seseorang bisa mengelola stressor dengan koping yang tepat, maka dapat menghasilkan

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

18


suatu keadaan yang adaptif (Smeltzer dan Bare, 2008, sehingga tidak [22] berpengaruh pada konsumsi air. Agolla & Ongori (2009) yang menyatakan bahwa stress dapat berdampak positif atau negatife tergantung pengelolaan dari masing[23] masing individu. Air adalah salah satu unsure penting dalam tubuh dan termasuk kedalam zat gizi makro selain karbohidrat, lemak, dan protein. Manusia dapat bertahan bermingguminggu tidak makan, sementara manusia tidak dapat hidup jika tidak [24] minum untuk beberapa hari saja. Air merupakan komponen terbesar yang menyusun tubuh manusia, sebesar 5070 % dari berat badan manusia terdiri dari air. Sebesar 73% dari jaringan bebas lemak tersusun dari air, sedangkan pada jaringan adipose [24] sebesar 20% mengandung air. 4. KESIMPULAN Remaja putri yang mengalami stress ringan sebesar 2,4 %, stress sedang sebesar 73,8 %, dan stress berat sebesar 23,8%. Tingkat kecukupan zat gizi makro remaja putri, yaitu defisit tingkat kecukupan karbohidrat sebesar 73,8 %, defisit tingkat kecukupan lemak sebesar 53,6 %, defisit tingkat kecukupan protein sebesar 36,9 %, dan kurang tingkat kecukupan air sebesar 83,3 %.Tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan karbohidrat (p= 0,271) berdasarkan tingkat stres pada remaja putri. Tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupani lemak (p= 0,341) berdasarkan tingkat stres pada remaja putri. Tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan protein (p= 0,770) berdasarkan tingkat stres pada remaja putri. Tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan air (p= 0,523) berdasarkan tingkat stres pada remaja putri. 5. SARAN 1. Sebaiknya pihak pengelola asrama mengadakan kegiatan edukasi mengenai manajemen stress dan pola makan yang baik dengan gizi seimbang yaitu dengan memperhatikan porsi, waktu dan

jenis makanan yang dikonsumsi untuk mencapai atau mempertahankan status gizi optimal terhadap remaja putri (mahasiswa baru) penghuni Rusunawa Unimus Residence I dengan bekerja sama dengan program studi keperawatan dan program studi gizi. 2. Sebaiknya remaja putri makro meningkatkan konsumsi zat gizi seperti karbohidrat, dan protein dengan cara menyediakan kantin atau mengadakan catering oleh pihak pengelola asrama bagi remaja putri penghuni penghuni Rusunawa Unimus Residence I, sehingga dapat memudahkan untuk mendapatkan makanan dan pola makan menjadi baik. DAFTAR PUSTAKA 1. Andriani, M. dan Wirjatmadi, B. 2012. Peran Gizi Dalam Siklus Kehidupan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2. Nadeak, Tienne, A.U., Siagian, Albiner. & Sudaryati, Etti. 2013. Hubungan Status Stres Psikososial dengan Konsumsi Makanan dan Status Gizi Siswa SMU Methodist-8 Medan. Jurnal Gizi, Kesehatan Reproduksi dan Epidemiologi, 2 (6). 3. Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Buku Ajar Ilmu Gizi Buku Kedokteran EGC: Jakarta. 4. Pujiatun, Tri. 2014. Hubungan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein dengan Kejadian Kurang Energi Kronis (KEK) pada Siswa Putri Di SMA Muhammadiyah 6 Surakarta. Jurnal. UMS. 5. Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Ghalia Indonesia. Bogor. 6. Nishitami, N. & Sakakibara, H. 2006. Relationship of Obesity to Job Stress and Eating Behavior in Male Japanese Workers. International Journal of Obesity, 30, pp. 528-533. 7. O’Connor, D.B. 2004. The Effect of Job Strain on British General

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

19


8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

Practitioners Mental Health. Journal Mental Health, 9 : 637. Tirta, M. P.L.K, et al. 2006. Status Stres Psikososial dan Hubungan denganStatus Gizi Siswa SMP Stella Duce 1 Yogyakarta. Jurnal Klinik Indonesia, Volume 6, No 3. Maret 2010. Handono, Tri, O. 2013. Hubungan antara Penyesuaian Diri dan Dukungan Sosial terhadap Stres Lingkungan pada Santri Baru. Yogyakarta. UAD. Bakrie, I. 2010. Ciri-ciri Penting Remaja Akhir. http://www.tnol.co.id/id/spiritualpsychology Tobroni. 2010. Stres yang Dialami Mahasiswa. http://tobroni.staff.umm.ac.id/wp -content/plugins/aspdf/generate.php?post=45 Lavers, Sian, Ashton, Andi, et al. 2010. BTEC Level 2 Health and Social Care. Edexcel Foundation. (File Pdf). Sari, D.F. 2007. Hubungan antara Toleransi Stres dengan Indeks Prestasi pada Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia Semester Dua Angkatan 2004. http://medicine.uii.ac.id Paramitha, N.M. 2012. Hubungan Stres dan Faktor Lainnya dengan Konsumsi Makanan Mahasiswa Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Tahun 2012. Skripsi. Depok. UI. Anggraini, Suci. 2012. Faktor Lingkungan dan Faktor Individu Hubungannya dengan Konsumsi Makanan Pada Mahasiswa Asrama Universitas Indonesia Depok Tahun 2012. Skripsi. Depok. UI.

16. Shaw, Mary E. 1998. Adolescent Breakfast Skipping: An Australian Study. Adolescence, Winter 1998, 33(132): 851-861. 17. Susilawati., Palar, Stella., Waleleng .J, Bradley. 2013. Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Sindroma Dispepsia Fungsional Pada Remaja Di Madrasah Aliyah Negeri Model Manado. Jurnal. Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. 18. Steptoe, A., Pollard, T. M., Wardle, J. 1998. Motive Underlying Healthy Eating. Appetite. 19. Oliver, Georgina., Wardle, Jane., Gibso, E Leigh. 2000. Stress and Food Choice: A Laboratory Study. The American Psychosomatic Society. 20. Epel, E. 2001. Stress May Add Bite to Appetite in Women: a Laboratory Study of Stressinduced Cortisol and Eating Behavior. Psychoneuroendocrinology, 26(1): 37-49. 21. Mikolajczyk, R.T., Ansari, W.E., & Maxwell, A.E. 2009.Food Consumption Frequency and Perceived Stress and Depressive Symptoms Among Students in Three European Countries. Nutrition Journal, 8, 31.www.nuttritionj.com/content/8 /1/31 22. Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. 2008. Brunner & Stadarth’S textbook Of medical-surgical th nursing. Volume 1. (11 ed). Lippicontt. Philladelpia. 23. Agolla, J.E, & Ongori, H. 2009. An Assasment of Academic Stress Among Undergraduate Student. Academic Journal, Educational research and review vo. 4 (2). Pp. 063-067

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

20


24. Wardlaw, Gordon M. dan Jeffrey S. Hampl. 2007. Perspective in Nutrition, Seventh Edition. New York : The McGraw Hill Companies, Inc.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

21


ADVERTORIAL

PENTINGNYA SARAPAN SEHAT BAGI ANAK USIA SEKOLAH DASAR SEBAGAI MODAL JANGKA PANJANG MENCAPAI HIDUP SEHAT DAN PRODUKTIF Mohammad Brachim Ansari Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto E-mail: ansaribrachim@gmail.com ABSTRAK

Perbaikan gizi diperlukan mulai dari masa kehamilan, bayi dan anak balita, prasekolah, anak usia sekolah dasar, remaja, dan dewasa, sampai usia lanjut untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menurut RISKESDAS, penduduk yang mengonsumsi makanan di bawah 70% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan tahun 2004 sebanyak 40,6%. Keadaan ini banyak dijumpai pada anak usia sekolah yaitu sebesar (41,2%). Anak Sekolah Dasar (SD) adalah anak usia 6-12 tahun. Pertumbuhan dan perkembangan anak sangat membutuhkan gizi yang cukup agar tidak terjadi penyimpangan pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Makan pagi atau sarapan pagi mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan energi anak sekolah. Pada umumnya sarapan menyumbangkan energi sebesar 25% dari kebutuhan gizi sehari. Konsumsi sarapan pagi dimulai antara bangun pagi sampai jam 9 pagi untuk memenuhi sebagian kebutuhan gizi harian atau sekitar 15-30% dari kebutuhan gizi harian dalam rangka mewujudkan hidup sehat, aktif, dan cerdas dengan kadar tidak lebih dari 300-400 kkal atau 25% dari kebutuhan kalori harian sebesar 1.400-1.500 kkal. Jenis makanan untuk sarapan dapat dipilih dan disusun yang terdiri dari makanan-makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah-buahan, dan minuman dalam jumlah yang seimbang. Faktor-faktor kebiasaan hidup tidak sehat dari anak usia sekolah selalu ditemui. Oleh karena itu, diperlukan suatu introspeksi dan perubahan perilaku hidup sehat dari anak usia sekolah agar terwujudnya anak yang sehat dan produktif. Kata Kunci : Sarapan sehat, anak usia sekolah dasar, hidup sehat dan produktif

ABSTRACT Improvements required from the nutrition during pregnancy, babies and toddlers, preschool, elementary school-age children, adolescents and adults, to the elderly to create quality human resources. According to RISKESDAS, people who consume food in the bottom 70% of Nutritional Recommended Adequacy (NRA) score in 2004 as much as 40.6%. This situation often found in children of school age in the amount (41.2%). Kids Elementary School (ES) is children aged 6-12 years. The growth and development of children in dire need of adequate nutrition to avoid deviations on the growth and development of children. Breakfast has an important role in meeting the energy needs of school children. In general, breakfast donate energy of 25% of the daily nutritional needs. Consumption begins the morning breakfast between waking up in the morning until 9 in the morning to meet most of the daily nutritional needs, or about 15-30% of the daily nutritional needs in order to realize healthy living, active and intelligent with a concentration no more than 300 to 400 kcal, or 25% of the needs of daily calories 1,4001,500 kcal. The type of food for the breakfast can be selected and prepared in accordance with the circumstances and will be better when it consists of a food staple food, side dishes, vegetables, fruits and drinks in an equal number. Factors unhealthy habits of children of school age are always met. Therefore, we need a change of introspection and healthy behavior of school-age children in order to realize a healthy and productive children.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

22


Keywords : Breakfast, elementary school-age children, life healthy and productive

1. PENDAHULUAN Permasalahan gizi di dunia belum terpecahkan sampai saat ini. Permasalahan gizi tersebut lebih perlu diperhatikan karena merupakan salah satu faktor pengaruh dari kualitas sumber daya manusia yang ada. Seperti yang kita ketahui bahwasanya sumber daya manusia adalah penggerak mobilitas kemajuan suatu negara. Sumber daya manusia yang berkualitas membutuhkan asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhannya. Apabila asupan gizi tidak terpenuhi akan berefek pada kualitas dari sumber daya manusia sehingga kurang berkualitas. Permasalahan tersebut perlu dipertimbangkan beberapa hal yang terkait selain permasalahan pada bidang gizi itu sendiri, sebenarnya masalah tersebut termasuk dalam masalah kesehatan masyarakat yang dimana perlu dikaji, dievaluasi, dan perlu intervensi gizi lebih lanjut untuk mencapai keluarga sehat. Perlu diingat, bahwa pencapaian hal tersebut membutuhkan beberapa pendekatan yang sesuai dan dukungan tambahan agar dapat berjalan dengan baik. Perbaikan gizi diperlukan mulai dari masa kehamilan, bayi dan anak balita, prasekolah, anak usia sekolah dasar, remaja, dan dewasa, sampai usia lanjut. Salah satunya di Indonesia saat ini permasalahan gizi pada anak usia sekolah relatif banyak dari tahun ke tahun. Semua itu dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal. Berdasarkan peringkat Human Development Index pada tahun 2011, Indonesia berada pada urutan 124 dari 187 negara, dan masih berada jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapore (26), Brunei (33), Malaysia (61), Thailand (103) dan Filipina (112). Faktor-faktor yang menjadi penentu HDI yang dikembangkan oleh UNDP (United Nations Development Program) adalah pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Ketiga faktor tersebut sangat berkaitan dengan status gizi masyarakat. Anakanak sekolah dasar merupakan salah satu kelompok yang rawan mengalami

gizi kurang diantara penyebabnya ialah tingkat ekonomi yang rendah dan asupan makanan yang kurang seimbang serta rendahnya pengetahuan orang tua. Anak sekolah dengan pola makan seimbang cenderung memiliki status gizi [6] yang baik . Menurut RISKESDAS, penduduk yang mengonsumsi makanan di bawah 70% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan tahun 2004 sebanyak 40,6%. Keadaan ini banyak dijumpai pada anak usia sekolah (41,2%), remaja (54,5%), dan ibu hamil [1] (44,2%) . Dalam hal ini, anak sekolah dasar merupakan sasaran strategis dalam perbaikan gizi masyarakat karena pada masa anak fungsi organ otak mulai terbentuk mantap sehingga perkembangan kecerdasan cukup pesat. Anak Sekolah Dasar (SD) [2] adalah anak usia 6-12 tahun . Pertumbuhan dan perkembangan anak sangat membutuhkan gizi yang cukup agar tidak terjadi penyimpangan pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Ketidakseimbangan antara asupan dan kecukupan gizi akan menimbulkan masalah gizi, baik itu masalah gizi lebih [7] maupun gizi kurang . Permasalahan yang relatif banyak pada anak sekolah di Indonesia yaitu sebagian besar anak melewatkan sarapan pagi. Sarapan pagi merupakan hal utama yang wajib dipenuhi karena merupakan modal utama dalam beraktivitas. Makan pagi atau sarapan pagi mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan energi anak sekolah, karena dapat meningkatkan konsentrasi belajar dan memudahkan menyerap pelajaran disekolah, sehingga prestasi belajar menjadi baik. Pada umumnya sarapan menyumbangkan energi sebesar 25% [3] dari kebutuhan gizi sehari . Apabila sarapan dilewatkan oleh anak-anak, maka prestasi belajar di sekolah akan menurun juga diikuti dengan risiko-risiko kesehatan yang dapat menurunkan derajat kesehatan anak. 2. PEMBAHASAN 2.1 Pentingnya Sarapan Sehat Sarapan penting bagi setiap orang untuk mengawali aktivitas

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

23


sepanjang hari. Sarapan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi di pagi hari, sebagai bagian dari pemenuhan gizi seimbang, dan bermanfaat dalam membantu mencegah hipoglikemia, menstabilkan kadar glukosa darah, dan mencegah dehidrasi setelah berpuasa [4,9] sepanjang malam . Sarapan atau makan dan minum pagi adalah kegiatan makan dan minum yang dilakukan antara bangun pagi sampai jam 9 untuk memenuhi sebagian (15-30%) kebutuhan gizi harian dalam rangka mewujudkan hidup sehat, aktif, dan [4] cerdas . Berbagai kajian membuktikan bahwa gizi yang cukup dari sarapan membekali tubuh untuk berpikir, beraktivitas fisik secara optimal setelah bangun pagi. Bagi anak sekolah, sarapan terbukti dapat meningkatkan kemampuan belajar dan stamina anak [9] . Dalam jangka panjang, sarapan bermanfaat untuk mencegah kegemukan yang kejadiannya semakin meningkat di Indonesia karena kebiasaan sarapan menanamkan pola makan yang baik. Hal ini dipertegas [10] dengan hasil penelitian , menunjukkan bahwa anak-anak yang terbiasa sarapan tidak akan makan berlebih di waktu makan berikutnya pada hari tertentu mereka tidak sarapan. Selain itu dengan kebiasaan sarapan juga dapat membantu pengaturan berat badan bagi para penderita obesitas, yaitu dengan cara mengurangi asupan energi dari sarapan dan tetap makan secara teratur dengan asupan energi [11] dan zat gizi yang normal . Penelitian longitudinal selama 20 tahun pada anak di Australia menunjukkan kebiasaan tidak sarapan memiliki risiko peningkatan lingkar pinggang, kadar total kolesterol darah, dan kadar [12] kolesterol jahat atau LDL . Asupan gizi yang tidak seimbang dan aktivitas yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik, ketahanan fisik, dan kemampuan belajar anak sekolah. Berdasarkan penelitian, telah dibuktikan bahwa anak-anak usia 9-11 tahun dengan status gizi kurang yang tidak sarapan, memiliki kemampuan kognitif yang rendah dibanding kontrol [13] . Sejak pertengahan dekade 1990-an, Kementerian Kesehatan RI sudah memperhatikan pentingnya sarapan melalui prinsip 4 Sehat 5 Sempurna.

Pedoman 4 Sehat 5 Sempurna hanya sesuai perkembangan IPTEK dan permasalahan gizi pada masanya dimana pedoman gizi ini hanya berdasarkan prinsip keragaman dari lima kelompok pangan. Akan tetapi pedoman 4 Sehat 5 Sempurna belum memadai untuk mencapai hidup sehat dan cerdas dan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam bidang gizi serta masalah dan tantangan yang dihadapi Indonesia saat [5] ini . Oleh karena itu, dilakukan penyempurnaan pedoman gizi dari 4 Sehat 5 Sempurna menjadi Pedoman Gizi Seimbang yang lebih implementatif. Pedoman Gizi Seimbang bertujuan untuk memberikan panduan konsumsi makanan sehari-hari dan berperilaku sehat berdasarkan prinsip konsumsi aneka ragam pangan, perilaku hidup bersih, aktivitas fisik, dan memantau berat badan secara teratur dalam rangka mempertahankan berat badan normal. Perhatian Pemerintah dalam mengatasi anak yang tidak atau jarang sarapan di perdesaan terutama desa tertinggal diwujudkan melalui pelaksanaan INPRES Nomor 1 Tahun 1997 tanggal 15 Januari 1997 tentang Pemberian Makanan Tambahan bagi Anak Sekolah (PMT-AS) yang berlangsung secara nasional dalam [14] kurun waktu 1997 sampai 2002 . Selanjutnya, dalam rangka implementasi kebijakan percepatan pencapaian prioritas pembangunan nasional, pada tahun 2010 ini telah menetapkan INPRES Nomor 1 tahun 2010 tanggal 19 Februari 2010, yang salah satunya mengamanatkan Pemberian Makanan Tambahan bagi Anak Sekolah (PMTAS) kepada peserta didik TK/SD dan RA/MI, terutama di daerah tertinggal, terisolir, terpencil, perbatasan, di pulaupulau kecil, dan terluar serta di daerah [15] pedalaman . Sayangnya kebijakan PMT-AS ini mengalami pasang surut. Data tentang masalah sarapan yang ada selama ini di Indonesia didasarkan pada data skala kecil, yaitu data hasil survei Harian Kompas pada tahun 2011 dan belum pernah ada data berskala nasional yang mengungkap tentang masalah jenis dan jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi saat sarapan, mutu gizi sarapan, dan

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

24


peranannya terhadap kebutuhan gizi harian anak sekolah. 2.2 Kebiasaan Pola Makan Anak Usia Sekolah Gaya hidup yang kurang sehat atau kebiasaan jajan yang tidak sehat pada anak sekolah harus segera ditangani agar mereka dapat terhindar dari berbagai macam gangguan penyakit gizi. Kebiasaan membeli jajanan yang kurang terjamin kesehatannya dapat menyebabkan keracunan, gangguan pencernaan dan jika dibiarkan berlangsung lama akan menyebabkan status gizi yang buruk [16] pada anak . Asupan zat gizi pada seseorang dapat menentukan tercapainya tingkat kesehatan, atau sering disebut status gizi. Enam puluh dua persen lebih anak di perkotaan memiliki tinggi badan normal dari segi umur, sedangkan anak di pedesaan [17] hanya 49% . Anak usia sekolah 6-12 tahun sangat memerlukan perhatian khusus terutama dalam pemenuhan [18] kebutuhan gizi . Apabila konsumsi makanan yang bergizi pada anak tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh, maka akan terjadi kesalahan akibat gizi (malnutrition). Keadaan gizi yang tidak normal ini mencakup kelebihan gizi disebut gizi lebih (overnutrition), dan kekurangan gizi atau kurang gizi [19] (undernutrition) . Adanya aktivitas mulai dari waktu sekolah, kursus, mengerjakan tugas yang diberikan dari sekolah, membuat stamina anak cepat menurun kalau tidak ditunjang dengan intake pangan dan gizi yang cukup dan berkualitas. Agar stamina anak usia sekolah tetap fit selama mengikuti kegiatan di sekolah ataupun kegiatan ektrakurikuler, maka saran utama dari segi gizi adalah jangan mengabaikan atau melupakan sarapan pagi. Ada yang merasa waktu sangat terbatas karena jarak rumah ke sekolah cukup jauh, terlalu lama bangun, atau tidak ada [20] selera untuk sarapan pagi . 2.3 Hidup Sehat dan Produktif Gaya hidup sehat adalah segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup sehat dan menghindari kebiasaan buruk [21] yang dapat mengganggu kesehatan . Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, yang dimaksud dengan sehat

ialah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara [22] sosial dan ekonomis . Sehat adalah suatu keadaan fisik, mental, dan sosial yang terbebas dari suatu penyakit sehingga seseorang dapat melakukan aktivitas secara optimal, sedangkan produktivitivitas merupakan faktor mendasar yang mempengaruhi performansi kemampuan. Selain itu, produktivitas adalah salah satu ukuran seseorang dalam mencapai tujuannya [23] . Berdasarkan hal tersebut, manfaat sarapan sehat di pagi hari bagi anak usia sekolah dasar itu penting sebagai modal jangka panjang untuk mencapai kehidupan yang sehat tumbuh kembangnya dan terhindar dari segala masalah gizi dan risiko kesehatan lainnya, serta hidup produktif dalam peningkatan prestasi belajar dan aktif dalam segala kegiatan positif yang dilakukannya. 2.4 Status Gizi Anak Usia Sekolah Status gizi baik terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara optimal, sedangkan status gizi kurang terjadi apabila tubuh mengalami kekurangan [24] satu atau lebih zat-zat gizi esensial . Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah yang berlebihan sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan. Masalah gizi di Indonesia masih didominasi oleh masalah gizi kurang yaitu Kurang Energi Protein (KEP), anemia, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), dan kekurangan vitamin A. Disamping itu juga terdapat masalah gizi mikro lainnya seperti defisiensi zink yang sampai saat ini belum terungkap karena adanya keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi gizi. Kekurangan gizi juga dapat menyebabkan penyakit infeksi [25] yang menjadi penyebab kematian . Menurut data RISKESDAS tahun 2007, pada anak usia 6-14 tahun, prevalensi anak gizi kurang menggunakan nilai rerata IMT, umur, dan jenis kelamin paling tinggi di Nusa Tenggara Timur (laki-laki 23,1% dan perempuan 19,1%),

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

25


dan prevalensi paling rendah di Bali (laki-laki 8,3% dan perempuan 6,9%), sedangkan prevalensi anak kurang gizi di Sumatera Selatan, yaitu laki-laki [26] 14,9% dan perempuan 13,8% . Dari data RISKESDAS 2010, prevalensi anak pendek masih tinggi pada anak usia 612 tahun adalah 35,8%, dan untuk anak kurus pada usia 6-12 tahun adalah 11% [1] . Tidak hanya masalah gizi kurang, masalah gizi lebih juga harus diperhatikan karena prevalensi gizi lebih meningkat dengan bertambahnya usia. Data RISKESDAS 2007 menyatakan bahwa prevalensi paling tinggi anak lakilaki usia 6-14 tahun dengan berat badan lebih di Sumatera Selatan (16,0%) dan anak perempuan di Nanggroe Aceh Darussalam (12,0%), sedangkan prevalensi berat badan lebih paling rendah di Nusa Tenggara Timur, laki-laki [27] (4,6%) dan perempuan (3,2%) . 2.5 Kebutuhan Gizi Anak Usia Sekolah Konsumsi sarapan pagi dimulai antara bangun pagi sampai jam 9 pagi untuk memenuhi sebagian kebutuhan gizi harian atau sekitar 15-30% dari kebutuhan gizi harian dalam rangka mewujudkan hidup sehat, aktif, dan cerdas dengan kadar tidak lebih dari 300- 400 kkal atau 25% dari kebutuhan kalori harian sebesar 1.400-1.500 kkal [4] . Anak dari golongan usia sekolah memerlukan makanan yang kurang lebih sama dengan yang dianjurkan untuk anak prasekolah tetapi porsinya harus

lebih besar karena kebutuhannya yang lebih banyak, mengingat bertambahnya [28] berat badan dan aktivitas . Nutrisi pada anak berubah seiring bertambahnya pertumbuhan anak-anak seperti fisik, mental, dan emosional. Anak yang tidak cukup kebutuhan nutrisinya khususnya energi dan protein. Apabila kekurangan zat gizi ini berbulanbulan hingga bertahun-tahun menyebabkan anak tumbuh pendek (stunting) dan prestasi belajarnya lebih rendah daripada anak-anak yang [29] mendapatkan asupan gizi yang baik . Status gizi juga merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang dimasukkan ke dalam tubuh (nutrien input) dengan kebutuhan tubuh (nutrien output) akan zat gizi tersebut [25] . Masalah gizi anak secara garis besar merupakan dampak dari ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi (nutritional imbalance), yaitu asupan yang melebihi keluaran atau sebaliknya, disamping kesalahan dalam memilih bahan makanan untuk [30] disantap . Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia yaitu ―Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat, Serat, dan Air yang dianjurkan untuk orang Indonesia (perorang perhari)‖ bagi anak usia [31] sekolah 6-12 tahun dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Anak Usia Sekolah Dasar 6-12 Tahun

2.6 Menu Rekomendasi Minimal Sarapan Sehat Jenis makanan untuk sarapan dapat dipilih dan disusun sesuai dengan keadaan dan akan lebih baik bila terdiri dari makanan makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah-buahan dan

minuman dalam jumlah yang seimbang. Menu rekomendasi sarapan anak usia sekolah dasar harus sesuai standar porsi piring makanku dan pedoman gizi [5] seimbang dapat dilihat pada gambar 1 dan 2.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

26


Gambar 1. Piring Makanku untuk Sajian Sekali Makan Sepuluh jenis makanan yang paling favorit dikonsumsi saat sarapan oleh anak 6-12 tahun adalah nasi putih, telur ceplok/dadar, tempe goreng, sayur berkuah, ikan goreng, mie instan, nasi goreng, sayuran (tumis), tahu goreng, serta roti dan turunannya. Lima jenis minuman yang paling favorit dikonsumsi saat sarapan oleh anak 6-12 tahun adalah air putih, teh manis, susu kental manis, susu instan, dan air teh. Hampir

Gambar 2. 10 Pesan Pedoman Gizi Seimbang

separuh (44.6%) anak sarapan dengan mutu gizi rendah. Sekitar 44.6%, 35.4%, 67.8%, 85.0%, 89.4%, dan 90.3% anak hanya mengonsumsi <15% kebutuhan gizinya (berturut-turut untuk energi, protein, vitamin A, zat besi, kalsium, dan [32] serat) . Kandungan gula dalam alternatif sarapan dan jumlah kalori dalam beberapa pilihan menu sarapan [32] dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Kandungan Gula dalam Alternatif Sarapan dan Jumlah Kalori dalam Beberapa Pilihan Menu Sarapan bagi Anak Usia Sekolah Dasar 6-12 tahun

3. KESIMPULAN Adapun kesimpulan dari penulisan ini adalah makan pagi atau sarapan pagi mempunyai peranan penting dalam menyumbangkan energi

sebesar 25% dari kebutuhan gizi sehari. Manfaat sarapan sehat di pagi hari bagi anak usia sekolah dasar itu penting sebagai modal jangka panjang untuk mencapai kehidupan yang sehat tumbuh

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

27


kembangnya dan terhindar dari segala masalah gizi dan risiko kesehatan lainnya, serta hidup produktif dalam peningkatan prestasi belajar dan aktif dalam segala kegiatan positif yang dilakukannya. Konsumsi sarapan pagi dimulai antara bangun pagi sampai jam 9 pagi untuk memenuhi sebagian kebutuhan gizi harian atau sekitar 1530% dari kebutuhan gizi harian dalam rangka mewujudkan hidup sehat, aktif dan cerdas dengan kadar tidak lebih dari 300- 400 kkal atau 25% dari kebutuhan kalori harian sebesar 1.400-1.500 kkal. Ketidakseimbangan antara asupan dan kecukupan gizi akan menimbulkan masalah gizi, baik itu masalah gizi lebih maupun gizi kurang. Sarapan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi di pagi hari, sebagai bagian dari pemenuhan gizi seimbang dan bermanfaat dalam membantu mencegah hipoglikemia, menstabilkan kadar glukosa darah, dan mencegah dehidrasi setelah berpuasa sepanjang malam. Jenis makanan untuk sarapan dapat dipilih dan disusun sesuai dengan keadaan dan akan lebih baik bila terdiri dari makanan makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah-buahan dan minuman dalam jumlah yang seimbang. Faktor-faktor kebiasaan hidup tidak sehat dari anak usia sekolah selalu ditemui diantaranya gaya hidup yang kurang sehat atau kebiasaan jajan yang kurang terjamin kesehatannya dapat menyebabkan keracunan, gangguan pencernaan dan jika dibiarkan berlangsung lama akan menyebabkan status gizi yang buruk pada anak. DAFTAR RUJUKAN 1. Kementerian Kesehatan RI. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI, 2010. 2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelayanan Pusat Sterilisasi (CSSD) di Rumah Sakit. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001. 3. Azwar, Azrul. Pengantar Epidemiologi. Edisi Revisi. Jakarta Barat : Binarupa Aksara, 2002. 4. Hardinsyah. Masalah dan Pentingnya Sarapan Bagi Anak.

Materi Simposium Sarapan Sehat tanggal 16 Juni 2012. Diunduh dari http://pergizi.org. Diakses tanggal 30 Mei 2016. 5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Pedoman Gizi Seimbang. Diunduh dari http://gizi.depkes.go.id tanggal 30 Mei 2016. 6. Hapsari IA, Putu YA, Luh SA. 2011. ―Gambaran Status Gizi Siswa SD Negeri 3 Peliatan Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar‖. Diunduh di http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/ article/download/6695/5104. Diakses tanggal 30 Mei 2016. 7. Kementerian Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2010. 8. Ipriyona Tri Noli. ―Hubungan Kebiasaan Makan Dengan Status Gizi Anak SD Kelas VI di Tiga SD Swasta di Kota Palembang‖. SKRIPSI. Palembang : Jurusan Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2011. 9. Gibson SA and Gunn P. 2011. ―What’s for breakfast? Nutritional implications of breakfast habits: insights from the NDNS dietary records‖. Nutrition Bulletin 36, 2011. 78-86. 10. Kral TVE, Whiteford LM, Heo M, and Faith MS. ―Effects of eating breakfast compared with skipping breakfast on ratings of appetite and intake at subsequent meals in 8to 10-y-old children‖. Am J Clin Nutr 93:2 (2011) 284-91. 11. Schusdziarra V, Hausmann M, Wittke C, Mittermeier J, Kellner M, Naumann A, Wagenpfeil S, and Erdmann J. ―Impact of breakfast on dailyenergy intake–an analysis of absolute versus relative breakfast calories‖. Nutrition Journal 10, 2011. 5. 12. Smith KJ, Gall SL, McNaughton SA, Blizzard L, Dwyer T, and Venn AJ. ―Skipping breakfast : longitudinal associations with

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

28


13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

cardiometabolic risk factors in the Childhood Determinants of Adult Health Study‖. American Journal of Clinical Nutrition 92:13 (2010) 1625. Simon DT, Grantham-McGregor S. ―Effects of missing breakfast on the cognitive functions of school children of differing nutritional status‖. American Journal Clinical Nutrition 49:6 (1989) 46-53. Presiden Republik Indonesia. INPRES Nomor 1 tahun 2010 tanggal 19 Februari 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional tahun 2010. Jakarta : Presiden Republik Indonesia, 2010. Presiden Republik Indonesia. INPRES Nomor 1 Tahun 1997 tanggal 15 Januari 1997 tentang Program Makanan Tambahan Makanan Sekolah. Jakarta : Presiden Republik Indonesia, 1997. Saputri, L.O, Kristiawati, Krisnana, I. 2012. Peningkatan Pengetahuan Dan Sikap Dalam Pemilihan Jajanan Sehat Menggunakan Alat Permaian Edukatif Ular Tangga. Diunduh di http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Art ikel%20anak_%202%20jajanan%2 0sehat.doc. Diakses tanggal 30 Mei 2016. Atmarita, Tatang S.F. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Proseding Widyakarya Nasional. Pangan dan Gizi VIII. Jakarta : Direktorat Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan, 2004. 3,26. Handari, R. T. Siti dan Siti Humaeroh. ―Perbedaan Status Gizi Siswa Sekolah Dasar disekolah Berdasarkan Status Sosial Ekonomi di Jakarta Selatan Tahun 2004‖. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2005. 157-159. Notoatmodjo, S. Dr. Prof. Ilmu Kesehatan Masyarakat PrinsipPrinsip Dasar. Cetakan Kedua. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, 2003. Khomsan, A. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat,

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

28.

29.

30.

31.

32.

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, 2003. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku Panduan Manajemen Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Tingkat Propinsi. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1997. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. UU RI No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1992. Ervianto, Wulfram I. Teori Aplikasi Manajemen Konstruksi. Yogyakarta : Andi, 2008. Istiany, Ari M.Si dan Ruslianti, Dr, M.Si. Penilaian Status Gizi dalam Gizi Terapan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2013. Supariasa I Dewa Nyoman, Bachyar Bakri, dan Ibnu Fajar. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC, 2002. Kementerian Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan RI, 2007. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. Adriani, M. dan Wirjatmadi, B., Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan. Jakarta : Kencana, 2012. A. Roth, R. Nutrition And Diet th Therapy 10 Edition. Fort Wayne : Indiana Delmar Cencage, 2011. Arisman. Gizi dalam Daur Kehidupan. Palembang : Universitas Sriwijaya Press, 2009. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Ruxton, Carrie. The Benefits of Breakfast and Breakfast Cereals. Germany : Dietitian and Public Health Nutritionist European Breakfast Cereal Association, 2011.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

29


EDITORIAL

HUBUNGAN POLA ASUH DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK Andi Mukramin Yusuf Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat , Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok E-mail : andimu@rocketmail.com

1. PENDAHULUAN Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Indonesia menduduki peringkat kelima dunia untuk jumlah anak dengan kondisi stunting, prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi dari pada negara-negara lain di Asia Tenggara, Seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand [1] (16%). Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 mencatat prevalensi stunting nasional mencapai 37,2% persen, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 35,6% pada tahun 2010 dan sebesar [2] 36,8% pada tahun 2007. Stunting terjadi mula saati janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia 2 tahun. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh [3] tak maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia. Sebuah penelitian menyebutkan ada sekitar 35% anak dibawah 5 tahun meninggal dan 11% total keseluruhan tentang penyakit yang dihubungkan dengan under nutrition. Sebagai contoh, menyusui, terutama pada usia 6 bulan asi eksklusif, mempunyai suatu efek penting dalam pengurangan angka kematian dari 2 penyebab dari 5 faktor penyebab kematian yaitu, diare dan [4] radang paru-paru. Menurut Soekirman (2000), Pola pengasuhan anak berupa sikap perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat,

kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya. Ke semuanya berhubungan dengan keadaan ibu terutama dalam kesehatan, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau di masyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga, masyarakat dan sebagainya dari ibu atau pengasuh anak. 2. PEMBAHASAN Tulisan ini disusun dengan melakukan telaah pada 4 penelitian tentang pola asuh ibu dengan kejadian stunting anak di Indonesia. Penelitian pertama adalah penelitian Azhar (2008) tentang pola asuh makan dan status gizi pada bayi di Kelurahan PB Selayang Medan, Kecamatan PB Selayang II Medan. Jenis penelitian survei dengan desain cross sectional study. Populasi adalah seluruh bayi yang ada di kecamatan PB Selayang II Medan. Dari hasil survei gizi di kota Medan diketahui bahwa jumlah balita di kecamatan Medan Selayang adalah 1658 balita. Lokasi penelitian ditentukan di kecamatan tersebut dengan alasan di kecamatan tersebut masih ditemukan 4,7% (132 balita) gizi [5] kurang dan 8 balita dengan gizi buruk. Penelitian kedua pada Christine (2012) tentang hubungan riwayat pola asuh, pola makan, asupan zat gizi terhadap kejadian stunting pada anak usia 24 – 59 bulan di kecamatan Biboki Utara kabupaten Timor Tengah Utara propinsi NTT. Penelitian ini menggunakan studi observasional dengan rancangan case control dengan alat ukurnya menggunakan kuesioner untuk mengetahui riwayat pola asuh, pola makan dan asupan zat gizi menggunakan recall 24 jam. Jumlah

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

30


sampel sebanyak 152 yang terdiri dari 76 anak sebagai kasus dan 76 anak [6] sebagai kontrol. Penelitian ketiga adalah penelitian Renyoet (2013) tentang hubungan pola asuh dengan kejadian stunting anak usia 6-23 bulan di wilayah pesisir kecamatan Tallo kota Makassar. Jenis penelitian analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang mempunyai anak usia 6 - 23 bulan, Jumlah populasi pada saat penelitian adalah sebanyak 209 anak usia 6 - 23 bulan. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik exhaustive sampling pada semua anak usia 6 - 23 bulan dengan ibu sebagai responden. Analisis data dilakukan dengan [7] menggunakan uji chi-square. Penelitian keempat oleh Susilaningdyah (2013) terkait pola asuh sebagai faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan di kota Yogyakarta, yang bertujuan menganalisis besarnya risiko pola asuh terhadap kejadian stunting pada anak usia 6 – 24 bulan di Kota Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan rancangan case control. Populasi penelitian adalah anak usia 6 – 24 bulan di kota Yogyakarta. Besar sampel yang dibutuhkan adalah 121 kasus stunting dan 121 anak tidak stunting. Pengumpulan data menggunakan kuesioner terstruktur dan recall 24 jam. Data dianalisis dengan uji Chi Square untuk melihat hubungan antara pola asuh dengan kejadian stunting serta variabel luar dengan stunting. Variabel - variabel yang bermakna secara statistik kemudian diikutsertakan dalam analisis multivariat [8] dengan uji regresi logistik ganda. 2.1 Pola asuh sebagai Faktor Risiko Stunting Pola asuh makan pada bayi meliputi pemberian gizi yang cukup dan seimbang melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pada bayi pemberian ASI dan MP-ASI yang tidak benar ditengarai sebagai penyebab tingginya angka kesakitan dan gizi kurang. Manfaat ASI untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi sudah dibuktikan secara akurat yaitu untuk imunitas tubuh, ekonomis,

psikologis, praktis dan lain-lain. Pemberian ASI secara eksklusif yaitu pemberian ASI saja tanpa makanan lain direkomendasikan selama 6 bulan. Sedangkan MP-ASI direkomendasikan setelah usia bayi 6 bulan seiring dengan bertambahnya kebutuhan gizi bayi dan [5] menurunnya produksi ASI. Dalam penelitian Azhar, dkk (2008) menunjukkan bahwa ibu yang dapat memberi ASI secara tidak terjadwal pada umumnya adalah ibu yang tidak bekerja di luar rumah ataupun kalau bekerja maka jenis pekerjaan ibu adalah yang dilakukan di rumah seperti berdagang, menjahit, ataupun usaha (salon). Pemberian ASI sesuka bayi juga bukan berarti bahwa otomatis bayi mendapat ASI eksklusif (selain ASI juga mendapat makanan tambahan lain). Beberapa bayi yang disusui dengan frekuensi sesuka bayi adalah bayi yang mendapat ASI eksklusif (ASI saja tanpa makanan [5] lain). Selain itu, sebuah studi juga menyebutkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, status sosial ekonomi keluarga dan pemberian ASI eksklusif sebagai determinan kejadian stunted pada anak [9] balita. Penelitian tentang riwayat pola asuh, pola makan, asupan zat gizi terhadap kejadian stunting yang dilakukan oleh Christine (2012) menunjukkan riwayat pola asuh kurang (53,9%), pola makan (55,9%), asupan energi (55,9%), asupan protein (52,6%), asupan kalsium (52,0%), budaya (61,1%), penyakit infeksi (51,3%), ekonomi keluarga (61,8%), ketahanan pangan (71,7%), berdasarkan analisis bivariat yang dilakukan diperoleh variabel riwayat pola asuh, pola makan, asupan zat gizi, budaya, penyakit infeksi, ekonomi keluarga memiliki hubungan yang signifikan (p<0,05), ketahanan pangan tidak signifikan terhadap kejadian stunting (p>0,05). Analisis multivariat diperoleh variabel riwayat pola asuh paling dominan berpengaruh terhadap kejadian stunting. Terdapat hubungan yang bermakna pada variabel pola asuh, pola makan, asupan zat gizi, budaya, ekonomi keluarga dan penyakit infeksi terhadap kejadian stunting, tidak terdapat hubungan yang bermakna pada variabel

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

31


ketahanan pangan terhadap kejadian [6] stunting. Penelitian yang dilakukan Renyoet (2013) menunjukkan jenis kelamin perempuan memiliki persentase status gizi normal mencapai 47,5% dan memiliki masalah stunting sebesar 32,2% pada kategori pendek. Jumlah anak stunting di Kecamatan Tallo adalah 81 anak dengan persentase 54% dan 69 anak atau 46% yang berstatus gizi normal. hasil analisis variabel menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara perhatian/dukungan ibu terhadap anak dalam praktek pemberian makanan, rangsangan psikososial, kebersihan / hygiene dan sanitasi lingkungan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan kejadian Stunting anak pada usia antara 6-23 bulan dengan nilai p=0.001, p=0.000, p=0.000 dan p=0.006. Pola asuh terutama ibu memiliki kontribusi yang besar dalam proses pertumbuhan anak dimana pola asuh menunjukan hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting pada anak 6-23 bulan di wilayah pesisir. Hasil penelitian Susilaningdyah (2013) menggambarkan bahwa secara bivariat pola asuh berhubungan secara signifikan dengan kejadian stunting. Variabel luar yang berhubungan secara signifikan dengan kejadian stunting yaitu tinggi badan ibu, berat badan lahir serta penyakit infeksi. Pada analisis multivariat diketahui bahwa variabel yang lebih berisiko menyebabkan kejadian stunting adalah berat bayi lahir, tinggi badan ibu dan penyakit infeksi. Sehingga hubungan antara pola asuh dengan kejadian stunting secara statisti tidak bermakna karena dikendalikan oleh variabel luar yaitu berat bayi lahir rendah, tinggi badan ibu pendek dan [8] adanya penyakit infeksi. 2.2 Peran Program 1000 Hari Pertama Kehidupan Barker (2007) dalam Buku Kerangka Kebijakan Gerakan 1000 HPK (2012) diketahui bahwa semua masalah anak pendek, gemuk, PTM bermula pada proses tumbuh kembang janin dalam kandungan sampai anak usia 2 tahun. Apabila prosesnya lancar tidak ada gangguan, maka anak akan tumbuh kembang dengan normal sampai dewasa sesuai dengan faktor keturunan

atau gen yang sudah diprogram dalam sel. Sebaliknya apabila prosesnya tidak normal karena berbagai gangguan diantaranya karena kekurangan gizi, maka proses tumbuh kembang terganggu. Akibatnya terjadi ketidak normalan, dalam bentuk tubuh pendek, meskipun faktor gen dalam sel menunjukkan potensi untuk tumbuh normal. Pola asuh ibu sangatlah penting dalam keluarga, praktik pemberian makan pada kelompok kasus, diberi makanan prelaktal, diberi kolostrum, ASI Ekslusif, pemberian MP-ASI yang baik,. Selain itu dengan melihat adanya hubungan antara pola asuh ibu dalam praktik pemberian makan dengan status gizi balita usia 6-24 bulan, praktik pemberian kolostrum, praktik pemberian ASI Eksklusif dan praktik pemberian MP-ASI maka sebaiknya agak lebih memaksimalkan kesadaran yang lebih tentang praktik pemberian makan pada balita bagi masyarakat, diaktifkannya kelas ibu dan pemanfaatan pekarangan [10] rumah. 2.3 Peran Program Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) Dalam Pedoman Strategi Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) keluarga sadar gizi Depkes RI, yang dimaksud dengan keluarga sadar gizi (KADARZI) adalah suatu keluarga yang mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya. Suatu keluarga disebut KADARZI apabila telah berperilaku gizi yang baik yang dicirikan minimal dengan: 1) menimbang berat badan secara teratur, 2) memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI Ekslusif), 3) makan beraneka ragam, 4) menggunakan garam beryodium, dan 5) minum suplemen gizi (tablet tambah darah, kapsul vitamin A dosis tinggi) sesuai anjuran. Tujuan umum program KADARZI adalah Meningkatnya persentase keluarga Indonesia yang menerapkan perilaku sadar gizi, sedangkan tujuan khususnya yaitu a. Meningkatkan dukungan kebijakan peningkatan KADARZI dari para pengambil keputusan di pusat, provinsi dan kabupaten/kota b. Meningkatkan aksi nyata berbagai komponen

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

32


masyarakat untuk menumbuh kembangkan perilaku KADARZI c. Meningkatkan pengetahuan, sikap dan [12] perilaku keluarga yang sadar gizi. Sasaran perilaku KADARZI adalah 80% balita ditimbang setiap bulan, 80% bayi 0-6 bulan diberi ASI saja (ASI eksklusif), 90% keluarga menggunakan garam beryodium, 80% keluarga makan beraneka ragam sesuai kebutuhan dan 80% balita (6-59 bulan) dan mendapat kapsul vitamin A sesuai [12] anjuran (Depkes, 2007). Peran KADARZI diperkuat oleh penelitian Noor dan Setiarini (2012) tentang hubungan penerapan perilaku keluarga sadar gizi (KADARZI) dengan kejadian stunting pada balita menggunakan data Survei PSGKADARZI Provinsi Sumatera Barat. Peneltian menggunakan desain crosssectional dan sampel 18.864 rumah tangga. Pengolahan dan analisis data uji chi-square (bivariat) dan uji regresi logistik ganda model faktor risiko (multivariat). Diketahui prevalensi stunting 31,5% dan perilaku KADARZI 9,7% menunjukkan adanya hubungan antara penerapan perilaku KADARZI dengan kejadian stunting pada balita setelah dikontrol variabel umur, jenis kelamin, pendidikan ibu dan wilayah tempat tinggal. Wilayah tempat tinggal merupakan faktor dominan hubungan perilaku KADARZI dengan kejadian [11] stunting pada balita. 3.

menunjukan hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting pada anak 623 bulan di wilayah pesisir. Adapun faktor lain yang lebih berkontribusi terhadap kejadian stunting adalah tinggi badan ibu yang pendek, berat bayi lahir rendah dan adanya penyakit infeksi. 4. SARAN Adapun saran yang bisa diberikan berdasar dari kesimpulan adalah sebagai berikut : •

KESIMPULAN

Melihat hasil dari penelitian ini maka dapat disimpulkan tidak semua bayi mendapat frekuensi pemberian ASI secara on demand. Adanya hubungan yang bermakna pada variabel pola asuh, pola makan, asupan zat gizi, budaya, ekonomi keluarga dan penyakit infeksi terhadap kejadian stunting. Selain itu juga terdapat adanya hubungan yang signifikan antara perhatian/ dukungan ibu terhadap anak dalam praktek pemberian makanan, rangsangan psikososial, kebersihan/ hygiene dan sanitasi lingkungan, dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan kejadian Stunting anak pada usia antara 6-24 bulan. Pola asuh terutama ibu memiliki kontribusi yang besar dalam proses pertumbuhan anak dimana pola asuh

Upaya meningkatkan status gizi bayi maka diperlukan kesadaran dan pengetahuan ibu tentang perlunya pemberian ASI eksklusif dan pemberian MPASI yang baik dan benar. Perbaikan pola edukasi oleh kader posyandu atau petugas kesehatan tentang inisiasi menyusui dini serta pemberian MPASI secara tepat waktu dan pembuatan MPASI yang sesuai dengan kebutuhan gizi bayi. Responden sebaiknya mulai dari sekarang memperhatikan kembali dan mengubah pola asuh yang selama ini keliru, serta mulai menjaga kebersihan/ hygiene, sanitasi dan mulai dari sekarang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada agar kesehatan dan pertumbuhan anak tetap terpantau. Mendukung kebijakan/progran yang fokus pada penerapan perilaku KADARZI, pembangunan yang merata dan pendidikan yang lebih tinggi untuk kaum wanita.

DAFTAR PUSTAKA 1.

2.

3.

Global Nutrition Report (2014). Actions And Accountability To Accelerate The World’s Progress On Nutrition. Kementerian Kesehatan RI. (2013). Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013. Kementerian Kesehatan RI. Bhutta, ZA, Ahmed, T., Black, RE, et al. Maternal and Child Under nutrition 3: What Works? Interventions for Maternal and Child Undernutrition and Survival. Lancet 2008: 371: 417.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

33


4.

5.

6.

7.

8.

Arabi, Mandana, Mangasaryan, Nune, et al. 2012. Infant And Young Child Feeding In Developing Countries. Child Development [Online] 3245.http://onlinelibrary.wiley.com/ [diakses 20 Maret 2016]. Azhar, Taufik; Lubis, Zulhaida; Aritonang, dkk. (2008). Analisis Pola Asuh Makan Dan Status Gizi Pada Bayi Di Kelurahan Pb Selayang Medan. Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. Jurnal Penelitian Rekayasa.Volume 1/ 2 Desember 2008. Nabusa, Debora, Christine. 2012. Hubungan Riwayat Pola Asuh, Pola Makan, Asupan Zat Gizi Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Usia 24 – 59 Bulan di Kecamatan Biboki Utara Kabupaten Timor Tengah Utara Propinsi Nusa Tenggara Timur. Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta. Renyoet, Brigitte Sarah, Hadju Veni, dkk. (2013). Hubungan Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar. Susilaningdyah, Andri. (2013). Pola Asuh Sebagai Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 6-24 Bulan di Kota Yogyakarta. Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat UGM.

9.

Terati, Sartono, dkk. (2013). Studi Determinan Kejadian Stunted pada Anak Balita Pengunjung Posyandu Wilayah Kerja Dinkes Kota Palembang Tahun 2013. Tesis. Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes RI Palembang. 10. Susanti, Marina. Samino.dkk. (2013). Hubungan Pola Asuh Ibu Dalam Praktik Pemberian Makan Dengan Status Gizi Balita Usia 6 – 24 Bulan Di Kampung Tempuran Kecamatan Trimurjo Tahun 2012. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati B. Lampung. 11. Noor, Mismaini; Setiarini, Asih. (2013). Hubungan Penerapan Perilaku Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) dengan Kejadian Stunting pada Balita. Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. 12. Departemen Kesehatan RI, 2007. Pedoman Strategi KIE Keluarga Sadar Gizi (KADARZI). Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Jakarta.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

34


Tinjauan Pustaka

MASALAH GIZI PADA PASIEN KEMOTERAPI DI TIGA RUMAH SAKIT Dwi Sugiarti Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

ABSTRAK Pendahuluan: Pada penderita kanker dengan pengobatan kemoterapi seringkali mengalami efek samping berupa mual, muntah, stomatitis, tenggorokan terasa kering dan sakit menelan sehingga mengalami banyak masalah gizi. Efek samping tersebut akan mengakibatkan penurunan asupan makanan. Selain itu keadaan kanker sendiri menyebabkan anemia dan gangguan metabolisme zat gizi di dalam tubuh, yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan status gizi. Metode:Artikel ini merupakan penelusuran literatur dengan menelaah tiga penelitian tentang masalah-masalah gizi pada pasien kanker dengan kemoterapi di tiga rumah sakit. Hasil: Dari ketiga penelitian tersebut diketahui bahwa asupan energi dan protein yang rendah dan tidak sesuai kebutuhan, dimiliki pasien kanker sebagai akibat dari efek samping kemoterapi. Status gizi buruk (IMT <17) terjadi pada pasien kanker stadium IIIB karena kakeksia kanker.Pasien dengan IMT rendah, memiliki asupan energi dan protein yang rendah. Kata kunci: status gizi, asupan makanan, efek kemoterapi ABSTRACT Introduction: In patient with chemotherapy treatments often have side effects such as nausea, vomiting, stomatitis, dry and sore throat to swallow so it had a lot of nutritional problems. These side effects will lead to a decrease in food intake. Beside the state’s own cancer causing anemia and metabolic disorders nutrients in the body, which ultimately resulted in decrease in the nutritional status. Methods: This article is a literature search to examine three studies on chemotherapy effect with cancer patient’s nutrition problems. Result: Of the three studies it was found that the intake of energy and protein are low and not as needed, owned by cancer patients as a result of side effects of chemotherapy. Severe nutritional status (BMI <17) occurred in patients with stage IIIB cancer because of cancer cachexia. Patients with low BMI, has low energy and protein intake. Keywords: nutritional status, food intake, chemotherapy effect

1. PENDAHULUAN Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama di seluruh dunia. Pada tahun 2012, kanker menjadi penyebab kematian sekitar 8,2 juta orang. Berdasarkan Data GLOBOCAN, International Agency for Research on Cancer (IARC) diketahui bahwa pada tahun 2012 terdapat 14.067.894 kasus baru kanker dan 8.201.575 kematian akibat kanker di [3,4] seluruh dunia.

Di Indonesia, hasil survey Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan angka prevalensi penyakit kanker pada penduduk semua umur sebesar 1,4%, dengan prevalensi kanker tertinggi berada pada Provinsi DI Yogyakarta, yaitu sebesar 4,1% berikutnya Provinsi Jawa Tengah dan [5] Bali, yaitu sebesar 2,1% dan 2,0%. Penyakit kanker saat ini sudah menjadi masalah kesehatan di Indonesia.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

35


Diperkirakan prevalensi penyakit kanker semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan selsel jaringan tubuh yang tidak normal. Sel-sel kanker akan berkembang dengan cepat, tidak terkendali dan akan terus membelah diri, selanjutnya menyusup ke jaringan sekitarnya (invasive) dan terus menyebar melalui jaringan ikat, darah dan menyerang organ-organ penting serta syaraf tulang belakang. Penatalaksanaan medis pada pasien kanker bertujuan untuk mengendalikan jumlah penyebaran selsel kanker. Salah satu penanganan medis pada kanker adalah dengan pengobatan kemoterapi. Lebih dari separuh penderita mendapatkan tindakan pengobatan dengan kemoterapi dan efeknya bagi banyak penderita sangat sensitif. Kemoterapi adalah tindakan terapi pemberian senyawa kimia (obat) untuk mengurangi, menghilangkan atau menghambat pertumbuhan parasit atau mikroba ditubuh pasien. Kanker baik lokal maupun sistemik dan pengobatan kemoterapi dapat menyebabkan anoreksia (hilangnya atau berkurangnya nafsu makan), perubahan ambang rasa kecap, penurunan berat badan, anemia, gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Mual dan muntah yang hebat ini disebabkan oleh zat antitumor (kemoterapi) yang mempengaruhi hipotalamus dan kemoreseptor otak untuk mengalami mual dan muntah, sehingga dapat mempengaruhi asupan makan penderita kanker. Pasien dengan status gizi baik akan lebih baik dalam mentoleransi pengobatan kanker dibandingkan pada pasien dengan status gizi kurang. Salah satu penilaian status gizi pada orang dewasa adalah dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang ditentukan dengan pengukuran antropometri. IMT juga sering digunakan dalam penelitian epidemiologi dan telah terbukti bahwa obesitas berhubungan positif dengan risiko berbagai penyakit kanker. IMT merupakan alat yang sederhana untuk [8] memantau status gizi orang dewasa.

IMT dihitung dari pengukuran berat badan dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan kuadrat dalam meter. Status gizi melalui penghitungan IMT digunakan untuk mengetahui apakah berat badan seseorang dinyatakan normal, kurus atau obesitas. 2. METODE Artikel ini merupakan hasil penelusuran literatur dari telaah tiga penelitian masalah gizi pada pasien kanker dengan kemoterapi. Penelitian pertama dengan judul Pengaruh Kemoterapi Terhadap Asupan Makan dan Status Gizi Penderita Kanker Nasofaring di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi di Surakarta, yang ditulis oleh Dyah Ayu Retno Ningrum, merupakan penelitian cross sectional. Pengambilan sampel dilakukan secara non probability sampling dengan teknik consecutive sampling. Data asupan menggunakan metode Comstock untuk makanan dari dalam rumah sakit dan makanan dari luar rumah sakit dengan metode recall 24 jam selama 3 hari berturut-turut. Sedangkan penentuan status gizi diperoleh dari parameter IMT. Data dianalisis dengan Fisher’s Exact Test. Penelitian kedua dilakukan oleh Mirzana Ismi Maulvi dengan judul Asupan Energi, Protein dan Status Gizi Pada Pasien Kanker Serviks Dengan Terapi Kemoradiasi di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Penelitian deskriptif ini dilakukan pada bulan Maret-April 2008 dengan sampel sebanyak15 orang yang diambil secara purposive. Data yang diperoleh meliputi karakteristik subjek, asupan energi, protein, dan status gizi. Penelitian ketiga tentang Gambaran Indeks Massa Tubuh Pada Pasien Kanker Yang Menjalani Kemoterapi, dilakukan oleh Randi Hardiano, Nurul Huda dan Jumaini. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif (descriptive research). Penelitian dilakukan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru pada bulan Juni 2015 dengan 51 responden yang diambil secara purposive sampling sesuai dengan kriteria inklusi, yaitu pasien yang menjalani kemoterapi, usia berada pada rentang 19-70 tahun, memiliki skor ECOG 1, 2, 3. Instrumen yang digunakan adalah lembar

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

36


observasi, timbangan injak seca untuk pengukuran berat badan dan microtoise untuk mengukur tinggi badan. Untuk menganalisis data digunakan uji Chi Square dan uji Mann Whitney. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Masalah gizi pada pasien kanker yang sering terjadi akibat efek samping kemoterapi adalah penurunan asupan makanan dan penurunan berat badan. Hal ini disebabkan karena mulut kering, stomatitis, konstipasi, diare dan anoreksia yaitu hilangnya atau berkurangnya nafsu makan yang merupakan faktor utama dalam terjadinya malnutrisi pada pasien kanker. Obat obatan kemoterapi menstimulasi otak sehingga menyebabkan mual dan muntah, serta retensi cairan. Pengobatan kanker dengan kemoterapi, efeknya tidak hanya berdampak pada tubuh yang terkena kanker saja tetapi dapat mempengaruhi kondisi tubuh secara keseluruhan. Sel-sel tubuh yang semula normal dapat menjadi rusak. Penelitian Ningrum mendapatkan hasil bahwa sebagian besar subjek yang menjalani kemoterapi mengalami mual dan atau muntah (85%). Asupan gizi tidak baik yaitu <80% kebutuhan dialami sebagian besar subyek penelitian, dengan rata-rata asupan energi tidak baik (95% subyek), ratarata asupan protein tidak baik (95% subyek), rata-rata asupan lemak tidak baik (90% subyek) dan rata-rata asupan karbohidrat tidak baik (90% subyek). Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara efek kemoterapi terhadap intake energi dan protein, namun signifikan hubungannya dengan intake lemak dan karbohidrat. Sejalan dengan penelitian Maulvi yang menunjukkan asupan energi dan protein yang buruk pada pasien stadium IIIB, pasien dengan seri kemoterapi ketiga, dan frekuensi radiasi 12 kali juga memiliki asupan energi, protein yang buruk. Asupan makanan yang tidak adekuat ini merupakan salah satu faktor dalam terjadinya penurunan berat badan, selain karena terjadinya hipermetabolisme pada penderita kanker.

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan [1] status gizi kurang, baik dan lebih. Keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan gizi dan penggunaan zat gizi tersebut atau keadaan fisiologi akibat dari tersedianya zat gizi dalam [8] sel tubuh. Pada penelitian Ningrum diperoleh hasil status gizi subjek sebagian besar dalam kategori tidak baik (60%), sedangkan subjek dengan kategori status gizi baik sebanyak [7] 40%. Hal ini dipertegas dengan penelitian Maulvi yang menunjukkan hasil bahwa pasien kanker stadium IIIB memiliki IMT rendah (<17) yang termasuk dalam kategori kekurangan [6] berat badan tingkat berat. Sedangkan penelitian Hardiano, dkk., mendapatkan IMT penderita kanker yang menjalankan kemoterapi mayoritas adalah normal (18,5-22,9) yaitu 25 orang (49%). Kategori gemuk obesitas I (25-29,9) sebanyak 8 orang (15,7%), kategori gemuk obesitas II (>30) sebanyak 4 orang (7,8%), dan kategori gemuk tingkat ringan (23-24,9) sebanyak 1 orang (2%). Kategori tingkat ringan (1718,5) sebanyak 7 orang (13,7%), kategori tingkat berat (<17) sebanyak 6 [2] orang (11,8%). Dari permasalahan terkait gizi tersebut maka pasien kanker perlu untuk memenuhi zat gizi sebagai sumber energi yang membantu proses penyembuhan. Gizi yang optimal dapat memberikan beberapa manfaat bagi pasien kanker diantaranya meningkatkan fungsi imun, memperbaiki sel tubuh, membangun jaringan tubuh dan mengurangi risiko infeksi. 4. KESIMPULAN Asupan energi, protein, lemak dan karbohidrat yang rendah dan tidak sesuai kebutuhan dimiliki pasien kanker dengan kemoterapi. Hal tersebut akibat dari efek samping kemoterapi. Pasien dengan IMT rendah, memiliki asupan energi dan protein yang rendah. Namun tidak bermakna secara statistik. Rata-rata subyek penelitian mempunyai status gizi normal berdasarkan IMT, namun pada pasien

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

37


kanker stadium IIIB sering terjadi status gizi buruk (IMT <17). Efek samping yang terjadi selama kemoterapi ini membuat pasien kanker sulit untuk mengonsumsi makanan secara optimal. sehingga perlu penanganan lebih lanjut agar pasien dapat memperbaiki status gizinya yang dapat membantu proses penyembuhan penyakitnya. 5. SARAN Penulis berharap untuk penelitian selanjutnya dapat melakukan pengkajian IMT sebelum dan setelah dilakukan pemberian kemoterapi. DAFTAR PUSTAKA 1. Almatsier, Sunita. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia, 2001. 2. Hardiano, Randi dkk. Gambaran Indeks Massa Tubuh Pada Pasien Kanker Yang Menjalani Kemoterapi. JOM Vol 2 No 2 hal1381-1388 (2015). 8 Juni 2016 <JOM.UNRI.AC.ID/INDEX.PHP/jo mpsik/ARTICLE/vIEWfILE/8310/79 79>. 3. International Agency for Research on Cancer. 2012. GLOBOCAN 2012: Estimated Cancer Incidence, Mortality and Prevalence Worldwide in 2012. WHO.<http://globocan.iarc.fr>. 4. Kementerian Kesehatan RI. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Edisi Semester I Tahun 2015. Jakarta: 2015. 27 Februari 2016. <http://www.kemkes.go.id>.

5. Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar tahun 2013. 13 Desember 2015. <http://www.depkes.go.id/resource s/download/general/Hasil%20Riske sdas%202013.pdf>. 6. Maulvi, Mirzana I. Asupan Energi, Protein dan Status Gizi Pada Pasien Kanker Serviks Dengan Terapi Kemoradiasi di RSUP Dr. Kariadi Semarang. 8 Juni 2016. <download.portalgaruda.org/article. php?...GAMBARAN%20HASIL%20 T>. 7. Ningrum, D. Pengaruh Kemoterapi Terhadap Asupan Makan dan Status Gizi Penderita Kanker Nasofaring di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi di Surakarta.eprints.ums.ac.id/39826/ 9/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf. 8 Juni2016.<https://core.ac.uk/downl oad/files/379/11722156.pdf>. 8. Supariasa.Penilaian status gizi. Cetakan I. Jakarta: EGC, 2001. 9. Weigley, Emma S., Mueller, Donna H., Robinson, Corrinne H. Basic th Nutrition and Diet Therapy 8 ed. New Jersey, 1997.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

38


Tinjauan Pustaka

PERAN EMPEDU DAN MANAJEMEN GIZI TERHADAP PENDERITA BATU EMPEDU Arif Sabta Aji Peminatan Ilmu Gizi Klinik, Program Studi Ilmu Biomedik, Sekolah Pascasarjana, Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK Organ pencernaan dalam tubuh berperan penting terhadap proses metabolisme zat gizi dalam tubuh. Proses pencernaan dan penyerapan zat gizi dimulai dari mulut sampai ke dalam sistem Gastro Intestinal Tract (GIT) hingga proses sekresi dan ekresi zat sisa dalam tubuh. Empedu adalah cairan yang diproduksi oleh Hati yang mempunyai fungsi sebagai emulsifikasi dan absorbsi lemak. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji peran empedu terhadap proses metabolisme zat gizi dan manajemen gizi terhadap penderita batu empedu. Hasil studi literatur menunjukkan bahwa pola diet yang mengkonsumsi terlalu tinggi bahan makanan sumber lemak dapat meningkatkan risiko terjadinya batu empedu. Dampak dari batu empedu dapat menyebabkan operasi terhadap pengangkatan kantong empedu dari dalam tubuh. Kata kunci: Empedu, Hati, Diet, Lemak, Metabolisme ABSTRACT Digestion organ has important role in the process of nutrients metabolism in the body. Digestion and absorption nutrients process start from the mouth to the Gasto Intestinal Tract System through secretion and excretion of waste prducts in the body. Bile is a fluid that produced by liver as emulsification and absorption of fat. This review study aims to examine the bile function in the metabolism of nutrients and nutrition care in Gallstone. The study of literature showed that the high fat consumption diet can increase the risk of gallstones. Gallstone impacts can lead to gallbladder operation that have to be taken. Keywords: Bile, Liver, Diet, Fat, Metabolism

1. PENDAHULUAN Empedu di dalam tubuh diproduksi oleh Hati. Organ hati dalam tubuh mensekresi empedu untuk proses emulsifikasi dan absorbsi lemak. Selain itu, garam empedu juga berperan dalam pengeluaran kolesterol dari tubuh. Kendali pada sekresi cairan empedu ini diatur oleh faktor saraf (impuls parasimpatis) dan hormon (sekretin dan kolesistokinin) yang sama dengan [1] pengaturan sekresi cairan pankreas. Hati sebagai tempat penghasil empedu, yaitu suatu campuran zat-zat yang disimpan dalam kandung empedu sampai diperlukan. Empedu tidak mengandung enzim pencernaan, tetapi mengandung garam empedu, yang bertindak sebagai deterjen dan membantu dalam pencernaan dan penyerapan lemak. Empedu juga

mengandung pigmen yang merupakan hasil sampingan perusakan sel darah merah dalam hati. Pigmen empedu ini akan dikeluarkan dari tubuh bersama [2] feses. Lemak adalah salah satu zat gizi makro. Hal ini berarti lemak merupakan salah satu sumber zat gizi penting yang dibutuhkan oleh tubuh. Menurut kebutuhan gizinya manusia membutuhkan tidak lebih dari 20% untuk orang dewasa. Dari 2000 kalori maka jika 20% berarti 400 kalori dari [3] lemak. Dalam proses pencernaan, konsumsi lemak yang berlebih akan disimpan di dalam tubuh oleh karena tubuh mempunyai mekanisme pencadangan, jika suatu saat diperlukan lagi. Dari semua zat gizi makro, lemak merupakan zat gizi penghasil energi [4] terbesar, yaitu 9 kkal.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

39


Proses pencernaan makanan dimulai dari mulut sampai ke lambung. Di lambung makanan akan dihancurkan menjadi molekul yang lebih kecil lagi. Setelah itu makanan yang bentuknya sudah cair masuk ke duodenum. Di tempat inilah tubuh merespons jika dalam makanan tersebut terdapat lemak, maka garam empedu yang sudah terdapat di kandung empedu keluar melalui saluran empedu untuk membantu emulsifikasi dan absorbsi [5] lemak. Pada fase ini menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak, dan vitamin larut lemak, sehingga membantu penyerapannya di [6] usus. Salah satu bentuk lemak adalah kolesterol. Konsumsi makanan yang tinggi kolesterol dapat memicu kondisi kelainan pada sistem pencernaan lemak dan organ-organ penting dalam tubuh. Salah satunya adalah Batu Empedu. Ketika konsumsi lemak tinggi maka kinerja hati untuk menghasilkan empedu juga meningkat. Jika hal ini berlangsung lama dan sering akan memicu munculnya pasir-pasir empedu. Jika hal tersebut terjadi berulang kali maka pasir empedu tersebut akan berubah menjadi batu. Akibatnya pencernaan lemak terganggu dan penderita akan mengalami kolik atau rasa nyeri yang hebat pada bagian abdomennya. Oleh karena itu pola hidup atau gaya hidup kita lewat kebiasaan makan kita harus sangat diperhatikan. Gaya hidup seimbang harus dijadikan pedoman untuk hidup sehat dan mencegah [3,7,8] terjadinya penyakit. Berdasarkan studi literatur di atas, pada artikel ini akan membahas terkait perannya empedu terhadap sistem pencernaan empedu dalam fisiologis saluran cerna, terutama pada lemak. Serta kelainan atau gangguan yang sering dialami oleh manusia yang berhubungan dengan empedu dan pencernaan lemak. 2. PEMBAHASAN 2.1 Anatomi Empedu dan kandung Empedu Hati adalah organ yang memiliki lobus, berasda di atas lambung. Peranannya adalah sebagai penghasil empedu yang dikeluarkan di saluran

empedu. Empedu dibuat terus menerus oleh hepatosis. Produksi empedu distimulasi oleh garam empedu, sekretin, dan stimulus vagus. Hormon kolesistokinin, yang dilepas oleh usus halus, menstimulasi kandung empedu untuk berkontraksi sehingga memungkinkan empedu memasuki [9] duodenum. Kandung empedu adalah sebuah kantong berbentuk seperti terong dan merupakan membran berotot. Letaknya di dalam sebuah lekukan dibawah permukaan bawah hati, sampai di pinggiran depannya. Panjangnya 8-12 [1] cm dan dapat berisi kira-kira 60 ccm. 2.2 Fungsi Empedu dan Kandung Empedu Empedu sebagian besar adalah hasil ekskresi dan sebagian adalah sekresi dari pencernaan. Zat-zat yang terkandung dalam empedu adalah air, garam empedu, pigmen empedu, kolesterol, garam anorganik, asam [9] lemak, lesitin, dan lemak. Empedu memiliki fungsi sebagai emulsifikasi yang bertindak seperti deterjen pada partikel lemak makanan yang menyebabkan tetesan lemak untuk dipecah atau diemulsikan setiap menit, tetesan mikroskopis. Emulsifikasi tidak mencerna per detik, tetapi sangat penting karena sangat meningkatkan luas permukaan lemak sehingga membuatnya tersedia untuk pencernaan oleh lipase yang tidak dapat mengakses bagian dalam tetesan lipid. Selain itu, untuk menetralkan asam sehingga menetralkan khime asam yang berasal dari lambung yang dipersiapkan untuk pencernaan usus, ekskresi asam empedu, kolesterol disamping untuk mengeluarkan obat, racun, pigmen empedu dan berbagai bahan anorgani seperti tembaga, air raksa, dan seng, [10] dan metabolisme pigmen empedu. Asam empedu adalah operator lemak dan mampu melarutkan banyak lemak dengan membentuk misel agregat lemak seperti asam lemak, kolesterol dan monogliserida - yang tinggal di dalam air. Asam empedu juga penting untuk transportasi dan penyerapan vitamin yang larut dalam [11] lemak.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

40


2.3 Mekanisme Kerja Empedu Hampir semua lemak dalam suatu hidangan mencapai usus halus dalam kondisi sepenuhnya belum tercerna. Hidrolisis lemak adalah permasalahan khusus, karena molekul lemak tidak larut dalam air. Garam empedu dari kandung empedu yang disekresikan ke dalam lapisan duodenum akan melapisi droplet-droplet lemak yang sangat kecil dan mencegahnya agar tidak menyatu, suatu proses yang disebut emulsifikasi. Karena droplet itu kecil, maka luas permukaan lemak yang besar menjadi terpapar ke lipase, enzim yang menghidrolisis molekul lemak. Contoh pada ikan (pisces) terdapat kelenjar pencernaan yang berupa hepar yang terletak dalam rongga badan sebelah anterior dan mengandung vesica felea yang bersaluran menuju ke intestinum, sedangkan kelenjar [12] pankreas tidak terpisah dari hati. Keberadaan cairan empedu dalam saluran pencernaan hewan dan manusia sangat penting. Cairan empedu membantu pencernaan semua makanan berbahan dasar lemak dan turunannya. Bila garam empedu bergabung dengan kolesterol, gliserida, dan asam lemak, maka akan terbentuk micel yang dapat diserap oleh dinding usus. Empedu merupakan cairan bersifat basa yang pahit dan berwarna hijau kekuningan karena mengandung pigmen bilirubin, biliverdin, dan urobilin, yang disekresikan oleh hepatosit hati pada sebagian besar vertebrata. Pada beberapa spesies, empedu disimpan di dalam kandung empedu dan dilepaskan ke usus dua belas jari untuk membantu [2] proses pencernaan makanan. Dalam proses pencernaan makanan, pengaturan getah empedu mempunyai jalur tersendiri bersamaan dengan sekresi getah pankreas. Setelah makanan di pecah di dalam lambung, dalam kondisi asam, khime lemak masuk ke dalam duodenum yang menyebabkan keluarnya kolesistokinin dan sekretin dari sel-sel enteroendokrin dinding duodenum. Sekretin adalah hormon untuk menghasilkan getah penkreas berfungsi untuk mengubah lemak menjadi emulsi lemak. Kolesistokinin adalah hormon untuk menghasilkan empedu berfungsi untuk

mengubah emulsi lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Kemudian kolesistokinin dan sekretin masuk ke dalam sirkulasi darah. Garam empedu dan sekretin dibawa dalam aliran darah untuk stimulasi hati dalam produksi empedu lebih dengan cepat. Stimulasi vagal menyebabkan melemahnya kontraksi kandung empedu. Kolesistokinin lewat aliran darah menyebabkan kandung empedu berkontraksi dan sfingter hepatopankreatik untuk relaksasi; [13] empedu memasuki duodenum. 2.4 Kolelitiasis (Batu Empedu) Kolelitiasis atau batu empedu sering terjadi dan meningkat seiring bertambahnya usia, kejadian ini juga ditentukan oleh jenis kelamin, berat badan, dan ras. Untungnya, hampir semua batu empedu tidak menyebabkan gejala yang parah seperti jaundice dan kolik. Batu empedu paling baik dideteksi dengan ultrasonography (USG), meskipun endoskopi dan scanning magnetic resonance diperlukan untuk saluran empedu. Penderita batu empedu secara umum ditangani dengan metode koleksistektomi dan 2/3 dari prosedur ini dapat dilakukan dengan laparoskopi. Saluran batu empedu mungkin bisa diperlakukan dengan endoscopic retrograde pancreatography, sphincterotomy, dan ekstraksi, atau dengan pembukaan koledoktomi. Gejala permanen setelah operasi biasa terjadi dan kadang-kadang susah untuk disembuhkan. Proses pembentukan batu empedu merupakan hasil dari kelainan tripel, yaitu pasien dengan batu empedu mempunyai empedu yang lebih tidak stabil dibanding orang sehat, mereka mempunyai aktivitas kandung empedu yang lebih lambat, yang membuat kristal berkembang menjadi batu yang lebih besar, dan mereka juga lebih mudah untuk membentuk kristal nukleat di tempat pertama, kemudian memicu proses batu empedu. Komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol, yang hati bersihkan dari tubuh lewat biliary tract dan usus halus, tetapi pigmen bilirubin dapat membentuk batu, dan garam kalsium juga bergabung dalam proses untuk

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

41


meningkatkan derajatnya. Hampir 80% kasus pada batu empedu, komponen terbesar batu empedu adalah [7] kolesterol. Selain itu, pasien batu empedu (Gallstones) mempunyai empedu yang abnormal, sehingga sangat jenuh akan kolesterol. Bermacam-macam faktor seperti infeksi dapat menyebabkan empedu yang sudah sangat jenuh ini mengendapkan kelebihan kolesterol sebagai kristal. Jika kristal yang baru terbentuk tidak diekskresikan ke usus oleh empedu, maka kristal tersebut akan [10] membatu. Batu pigmen, terdiri dari kalsium bilirubinat, merupakan urutan berikutnya yang penting setelah batu kolesterol. Pigmen empedu merupakan produk sisa dari sel darah merah. Tidak seperti batu kolesterol, batu ini sering kali muncul murni, berwarna hitam pekat, yang kemudian disebut jack stones atau bila dicampur berbentuk bola, biasanya berdiameter dibawah 1 cm. Hampir tidak pernah terjadi tunggal dan mungkin ada jumlah yang besar. Kalsium karbonat yang cukup, ditemukan pada 10-20% dari semua batu empedu sendiri, menunjukkan radioopak (tidak tembus cahaya), tapi batu kalsium karbonat murni jarang. Pembentukan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pembentukan empedu yang supersaturasi, nukleasi atau pembentukan inti batu, dan berkembang karena penambahan endapan. Kelarutan kolesterol adalah masalah terpenting dalam pembentukan semua [14] batu, kecuali batu pigmen. Batu empedu umum terjadi pada perempuan dan dewasa usia 40 tahun atau pada kelompok umur yang lebih tua lagi. Hal ini dikarenakan estrogen dapat meningkatkan jumlah kolesterol pada empedu dan menurunkan gerakan kantong empedu, yang dapat menyebabkan batu empedu. Faktor lain yang dapat meningkatkan risiko batu empedu adalah diabetes, riwayat keluarga menderita batu empedu, tinggi trigliserida, rendahnya aktifitas fisik, rendahnya HDL, obesitas, kehamilan, dan penurunan berat badan yang [15] cepat.

2.5 Manajemen Gizi Pada Penderita Batu Empedu Tidak ada secara spesifik perlakuan diet untuk mencegah kolelitiasis. Beberapa faktor yang terlibat dalam kejadian kolelitiasis adalah kondisi obesitas dan puasa yang terlalu lama. Diet yang cocok untuk kolelitiasis adalah diet rendah lemak untuk mencegah kontraksi kandung empedu Setelah dilakukan operasi pengangkatan kandung empedu, asupan oral biasanya kembali lagi dengan kembalisnya bising usus dan setelah pasien dapat mentoleransi untuk pergantian Nasogastric Tube, diet dapat dirubah menjadi diet biasa. Dengan tidak adanya kandung empedu di dalam tubuh, empedu langsung disekresi dari hati ke dalam usus. Saluran empedu melebar dengan membentuk ―simulated pouch‖ dari waktu ke waktu, untuk memungkinkan empedu dapat dikeluarkan sesuai dengan cara kandung empedu aslinya. Diet restriksi terhadap lemak dalam makanan harus diikuti oleh pengetahuan pasien akan bahan makanan yang dianjurkan dan yang tidak dianjurkan untuk dikonsumsi. Contoh makanan dan minuman tersebut dapat dilihat di Tabel 1. Faktor risiko pada kelainan [16] empedu. adalah (1) obesitas dan penurunan berat badan, obesitas dihubungkan dengan meningkatnya risiko batu empedu. Penurunan berat badan mungkin bisa menurunkan risiko pembentukan batu empedu, tetapi terlalu cepat penurunan berat badan juga dapat meningkatkan perkembangan batu empedu atau meningkatkan risiko the silent gallstones yang terjadi secara symptomatic. Peningkatan risiko dihubungkan dengan penurunan berat badan yang sangat cepat mungkin karena peningkatan rasio kolesterol dengan garam empedu dalam kandung empedu dan dalam stasis empedu yang dihasilkan dari penurunan pada kontraksi kandung empedu. (2) Alergi makanan, Kandung empedu dapat menjadi sasaran target organ untuk reaksi alergi yang sudah dibuktikan pada eksperimen hewan coba. Pada suatu studi dalam reaksi alergi telah menginduksi dalam kandung empedu pada rhesus monyet lewat

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

42


injeksi Intravena Protein Cottonseed setelah secara kepekaan pasif kandung empedu. Reaksinya berupa edema, hiperemia, meningkatnya sekresi mukosa, dan infiltrasi eosinifolik. Reaksi yang sama juga terlihat pada kandung empedu dari kelinci untuk serum domba dan kemudian diinokulasi dengan serum domba ke dalam rongga kandung empedu. Reaksi ini disebut "Alergi kolesistitis" oleh para peneliti yang melakukan dua studi ini. (3) Konsumsi Kolesterol dan Lemak,Dalam tiga minggu percobaan random, peningkatan asupan kolesterol

(sekitar 500-1000 mg/hari) menunjukkan peningkatan saturasi kolesterol empedu pada kedua responden yang sehat dan pasien dengan asimptomatik batu empedu. Kenaikan saturasi kolesterol empedu ini mungkin akan meningkatkan risiko pembentukan batu empedu. Pada studi observasional, tingginya asupan lemak jenuh atau lemak trans dihubungkan dengan peningkatan insidens batu empedu. Sebaliknya, tinggi asupan Polyunsaturated atau Monounsaturated Fatty Acid dihubungkan dengan penurunan risiko batu empedu. [17]

Tabel 1. Diet Restriksi Lemak Makanan yang tidak dianjurkan

Makanan yang dianjurkan Minuman Susu skim, kopi, teh, jus buah, soft drink Roti dan sereal Mie, nasi, makaroni, gandum, popcorn

Keju Desserts Gelatin, ice cream with skim milk, putih telur, cake, kraker, buah, gula Telur 3 butir/minggu Buah-buahan Sesuai keinginan Daging, ikan, unggas Makan daging secukupnya mulai dari daging ayam tanpa kulit, daging babi, hati, kambing

Susu full cream, susu cokelat Biskuit, roti, roti manis, pancake, sereal dengan tambahan makanan sumber lemak Keju dari susu full cream Cake, pie, pastry, es krim, cokelat Telur >1 butir per hari Buah-buahan Alpukat dalam jumlah yang banyak Jerohan, kulit ayam, daging babi bagian kaki, peanut butter, tuna, salmon [2]

Tabel 2. Makanan yang Menimbulkan Gejala Batu Empedu Makanan Persentase Reaksi Pasien (%) Telur 93 Babi 64 Unggas 52 Susu 35 Kopi 22 Jeruk 19 Jagung 15 Biji-bijian 15 Kacang-kacangan 15 Apel 6 Tomat 6

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

43


(4)Vegetarian Diet, Pada studi crosssectional, prevalensi penyakit batu empedu secara signifikan lebih rendah pada wanita yang vegetarian daripada wanita normal (12% vs 25%). Kemudian, pada studi kohort prospektif sebanyak 80,898 wanita ditemukan bahwa peningkatan konsumsi protein nabati dihubungkan dengan penurunan risiko untuk kolesistektomi. Pada evaluasi terpisah pada kohort yang sama ditemukan bahwa peningkatan konsumsi buah dan sayur dihubungkan dengan penurunan insiden batu empedu. (5) Konsumsi Serat, Pada studi observasional, tinggi asupan serat dihubungkan dengan lebih rendah prevalensi batu empedu. Kemudian, suplementasi pada diet dengan 10-50 g/hari atau lebih gandum selama 4-6 minggu menurunkan saturasi kolesterol pada empedu responden yang sehat, dengan konstipasi, dan pasien dengan batu empedu. Serat dari padi-padian mempunyai peran utama dalam hal pencernaan di usus besar. Penurunan pembentukan doxycholic acid oleh bakteri usus dan peningkatan chenodoxycholic acid. Hal ini akan meningkatkan litogenitas empedu, yang mana chenodeoxycholic acid menurunkan litogenitas dan telah digunakan sebagai salah satu terapi untuk memutus batu empedu. Berdasarkan studi tersebut, dianjurkan untuk konsumsi tinggi serat dapat memberikan manfaat untuk mencegah risiko pembentukan batu empedu. 3. KESIMPULAN Empedu di dalam tubuh di produksi oleh Hati. Organ hati dalam tubuh mensekresi empedu untuk proses emulsifikasi dan absorbsi lemak. Asam empedu bekerja dengan getah pankreas untuk membantu proses pencernaan dan penyerapan lemak dalam tubuh. Gangguan kesehatan paling sering adalah batu empedu. Fisiologi saluran cerna lemak sangat tergantung oleh organ hati. Begitu pentingnya peran organ hati dalam tubuh sampai disebut sebagai Dapur dalam tubuh. Hal ini berkaitan dengan hampir semua metabolisme dalam tubuh berlangsung di hati. Ketika pasien batu empedu dengan indikasi operasi pengangkatan kandung empedu, fungsi

pencernaan lemak masih bisa berjalan karena empdeu dibuat di hati, bukan di kandung empedu. Tempat penyimpanan sementara empedu setelah di sekresi dari hati adalah di kandung empedu. Sistem homeostasis tubuh akan mengatur keseimbangan sekresi empedu sehingga bisa mirip seperti awalnya saat masih ada kandung empedu. Diet gizi untuk penunjang pencegahan dan mengendalikan prognosis pasien batu empedu adalah dengan Diet Restriksi Lemak. 4. SARAN Diharapkan untuk semua orang agar selalu menjaga konsumsi makanannya. Menunjang kesehatan dengan menerapkan gizi seimbang, sehingga proses metabolisme zat gizi dalam tubuh tetap terjaga dan fisiologis saluran cerna bisa berjalan dengan semestinya terkait peran empedu dalam pencernaan dan penyerapan lemak. DAFTAR PUSTAKA 1. Anatomi & Fisiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001. 2. Campbell, N. A, et al. Biologi Edisi Kelima-Jilid 3. Jakarta, Indonesia: EGC, 2004. 3. Hardinsyah. Fungsi Lemak dalam Gizi. 19 Maret 2016. <http://www.perspektifbaru.com/wawan cara/747>. 4. Sunita, Almatsier. Pengantar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. 5. "Gallbladder and Biliary Tract". Merck Manuals Consumer Version. 19 Maret 2016. <http://www.merckmanuals.com/home/d igestive-disorders/biology-of-thedigestive-system/gallbladder-and-biliarytract>. 6. Debby O.L Sihombing, Lucia D.U.A Lubis, Nisrina Setiowati, Septa Sophiana. Fungsi Empedu dalam Pencernaan Lemak. 2010. 4 Juni 2016. <https://mybiologystory.files.wordpress. com/2014/11/percobaan-3-fungsiempedu-dalam-pencernaan-lemak.pdf>.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

44


7. Bateson, MC. "Gallbladder disease". BMJ. 318 : 7200(1999):1745–8. 8. Rapelino, Ferdiansyah. Pedoman Gizi Seimbang. 2014. 19 Maret 2016. <http://gizi.depkes.go.id/pgs-2014-2>. 9. Mitchell, et al. Gray’s Basic Anatomy. International. Philadelphia: Elsevier, 2012. 10. Fadiel, Oenzil. Ilmu Gizi : Pencernaan, Penyerapan, dan Detoksikasi Zat Gizi. Jakarta: Hipokrates, 1995. 11. R, Bowen. Secretion of Bile and the Role of Bile Acids In Digestion. 2001. 9 April 2016. <http://www.vivo.colostate.edu/hbooks/p athphys/digestion/liver/bile.html>. 12.Jasin, M. Sistematik Hewan. Invertebrata dan Vertebrata. Surabaya: Sinar Wijaya, 1984. 13. University of Washington. Regulation of Bile Release. 9 April

2016. <https://courses.washington.edu/conj/be ss/bile/bile.html>. 14. Robbins, Kumar. Buku Ajar Patologi III, edisi 4. Jakarta: EGC, 1995. 15. U.S. Department of Health and Human Services. Dieting and Gallstones. 2013. 6 April 2016. <http://www.niddk.nih.gov/healthinformation/health-topics/weightcontrol/dieting_gallstones/Pages/dieting -and-gallstones.aspx>. 16. Gaby, AR. "Nutritional approaches to prevention and treatment of gallstones". Altern Med Rev J ClinTher. 14 : 3(2009): 258–67. 17. L. Kathleen Mahan, Sylvia EscottStump. Krause’s Food and Nutrition Therapy. 12th ed. Missouri: Saunders Elsevier, 2008.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

45


Tinjauan Pustaka

FORTIFIKASI PROTEIN DARI JANGKRIK PADA GULA KELAPA SEBAGAI ALTERNATIF SOLUSI KEKURANGAN ENERGI KRONIS PADA IBU HAMIL Mufidah Ahmad, Stefani Verona Indi Andani, Vidya Anggarini Rahmasari Departemen Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya E-mail : Fidamuf@yahoo.com ABSTRAK

Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah salah satu masalah gizi yang paling sering dialami oleh ibu hamil yang akan berdampak buruk bagi kesehatan janin maupun sang ibu. Penyebab KEK sendiri adalah karena kekurangan gizi (kalori dan protein) dalam waktu yang lama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik sebagai alternatif solusi Kekurangan Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil. Jangkrik adalah salah satu jenis serangga yang habitatnya luas, mudah dikembangbiakkan, dan bergizi tinggi sehingga sesuai untuk menjadi fortificant. Sedangkan, gula kelapa merupakan salah satu bahan pangan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat luas dan berbasis kearifan lokal yang memenuhi syarat-syarat untuk menjadi food vehicle yang sesuai. Pemanfaatan jangkrik sebagai tepung yang dicampurkan pada bahan pembuatan gula kelapa dapat menghasilkan produk gula kelapa yang padat gizi, menambah nilai ekonomis dan daya guna dari jangkrik yang selama ini belum termanfaatkan secara maksimal. Dalam setiap 100 gr Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik mengandung 336,84 Kalori, 54,2 gram karbohidrat, 19,8 gram protein, dan 9,6 gram lemak.Berdasarkan hasil perhitungan takaran saji Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik yang tepat untuk ibu hamil trimester 1 adalah sebesar 10 gram atau setara dengan 1 sendok makan, sedangkan ibu hamil trimester ke 2 dan 3 sebesar 15 gram atau setara dengan 1,5 sendok makan. Dengan mengkonsumsi Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik sesuai takaran dapat memenuhi kebutuhan zat gizi tambahan pada ibu hamil berkisar 10-21 %. Kata kunci : Fortifikasi, jangkrik, gula kelapa, KEK ABSTRACT Chronic Energy Deficiency (CED) is one of nutrition problems that most happen in pregnant women which has bad effect on health of the fetus and mother. Causation of CED is nutrition deficiency (calorie and protein) within long period of time. This research has aim to know Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik as alternative solution of Chronic Energy Deficiency (CED) in pregnant women. Cricket is one type of insect that are widely spread, easy to breed, and has high nutrition so it is appropriate to be a fortificant. Whereas coconut sugar or brown sugar is one kind of food that widely consumed and based on local wisdom, which is fulfill the requirements to be an appropriate food vehicle. Utilization of cricket as powder combined to the material of brown sugar can produce brown sugar with high nutrition, increase the economic value and the function of cricket that had not been used maximally. In 100 grams of Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik contains 336.84 cal, 54.2 grams carbohydrate, 19.8 grams protein, and 9.6 grams fat. Based on calculations, appropriate serving size of Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik for pregnant women trimester I is 10 grams or equal with 1 tablespoon, whereas for pregnant women trimester II and III is 15 grams or equal with 1,5 tablespoon. By consuming Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik accord with the serving size, can supply amount of nutrition addition required by 10-21%. Keywords : Fortification, cricket, brown sugar, CED

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

46


1. PENDAHULUAN Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui fortifikasi protein dari jangkrik pada gula kelapa sebagai alternatif solusi kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil. Kurang Energi Kronis (KEK) adalah masalah gizi yang paling sering dialami oleh ibu [1] hamil. Prevalensi risiko KEK pada ibu hamil di Indonesia (tahun 2007) sebesar 21,6% kemudian meningkat menjadi [2,3] 24,2% (tahun 2013). Ibu hamil yang mengalami KEK dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat bila [4] prevalensinya ≼ 10%. Ibu hamil yang mengalami KEKdapat menimbulkan resiko, baik pada ibu maupun janin. Resiko tersebut diantaranya komplikasi seperti anemia, pendarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal, dan terkena penyakit infeksi. Adapun resiko terhadap janin dapat menimbulkan keguguran, abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, asfiksia intra partum (mati dalam kandungan), lahir dengan berat badan [2] rendah (BBLR). KEK terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan untuk pemenuhan kebutuhan dan pengeluaran [5] energi. Pedoman Penanggulangan Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronis yang dibuat oleh Depkes RI pada tahun 1999 memaparkan KEK pada ibu hamil disebabkan oleh kekurangan gizi (kalori dan protein) yang berlangsung lama [6] atau menahun. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk menangani masalah gizi pada ibu hamil yang mengalami KEK adalah dengan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT[7] P) dan penyuluhan bagi ibu hamil. Penelitian yang dilakukan Nugrahini dkk menyatakan bahwa Program PMT-P belum memberikan hasil sesuai harapan, ditandai dengan sedikitnya jumlah ibu hamil KEK yang mengalami perubahan status gizi menjadi normal, serta tidak terdapat perbedaan asupan energi dan protein setelah program PMT-P terhadap keberhasilan perbaikan status gizi ibu hamil KEK di Puskesmas [1] Kota Surabaya. Strategi lain yang dapat digunakan sebagai solusi penanganan

KEK pada ibu hamil adalah fortifikasi pangan. Fortifikasi pangan diharapkan mampu menghasilkan produk pangan dengan kandungan fortifikan yang dapat mencegah dan menanggulangi terjadinya KEK jika dikonsumsi pada jumlah normal serta memiliki harga yang lebih terjangkau.Salah satu bahan yang berpotensi digunakan sebagai fortifikan adalah jangkrik. Jangkrik memiliki kandungan zat gizi yang tinggi terutama kandungan protein. Berdasarkan penelitian Udjianto Kandungan gizi yang telah dianalisa di laboratorium BPT Ciawi-Bogor adalah Protein : 73,3%, lemak ; 12,4%, dan abu [8] ; 6,7%. Badan FAO (tahun 2013) menyebutkan dalam Edible Insects : Future Prospects for Food and Feed Security bahwa jangkrik aman [9] dikonsumsi. sedangkan selama ini jangkrikbelum dimanfaatkan secara maksimal yaitu hanya sebagai bahan pakan ternak. Gula kelapa merupakan salah satu bahan pangan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat luas dan berbasis kearifan lokal yang diproduksi oleh produsen yang terbatas jumlahnya sehingga mempermudah proses pengendalian dan pengawasan fortifikasi. Oleh karena itu gula kelapa dianggap cocok menjadi salah satu food vehicle atau produk yang difortifikasikan. 2.

PEMBAHASAN

2.1 Gula Kelapa Sebagai Food Vehicle Gula kelapa merupakan produk lokal yang menjadi salah satu komoditi ekspor Indonesia. Terbuat dari bahan alam yang ketersediaannya cukup melimpah pada beberapa daerah di Indonesia yaitu nira pohon kelapa. Tidak hanya melimpah, bahan dan cara pembuatan gula kelapa sangat mudah dan sederhana, meskipun memakan waktu yang agak lama. Pembuatannya cukup dengan air nira kelapa dipanaskan hingga suhu tertentu kemudian didinginkan sambil diaduk terus menerus hinga kental dan terakhir dimasukkan ke dalam cetakan hinga memadat. Dalam proses pembuatannya, tidak lepas dari peran petani tradisional karena hingga saat ini perkembangan

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

47


pembuatan gula kelapa belum menggunakan alat modern, namun masih menggunakan tungku dan tenaga manusia. Kendati demikian, justru dengan menggunakan peralatan yang tradisional akan menjaga kemurnian dan sifat organik gula kelapa, sebab dalam prosesnya tidak dicampurkan bahan kimia apapun. Gula kelapa memiliki peranan sangat penting ditinjau dari fungsi gula secara umum sebagai salah satu dari 9 unsur bahan pokok. Berdasarkan penelitian, gula kelapa merupakan gula kesehatan karena memiliki indeks glikemik (IG) yang rendah bila dibandingkan dengan gula lain. Indeks glikemik gula kelapa adalah 35, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan gula pasir yang indeks glikemiknya 85-93, gula aren 70,

[10]

serta madu 55. Secara sederhana, indeks glikemik dapat dikatakan sebagai tingkatan atau rangking pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah. Semakin rendah indeks glikemik pangan ,semakin lamban peningkatan glukosa dalam darah yang dihasilkan. Hal ini menjadi pendukung penting bagi kestabilan gula darah, sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit diabetes dan obesitas yang rawan terjadi pada [10] ibu hamil. Saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia mengonsumsi gula pasir. Hanya beberapa masyarakat yang mengonsumsi gula kelapa. Padahal Jika dibandingkan, gula kelapa memiliki keunggulan lebih dibandingkan gula pasir.

Tabel 1. Perbandingan Sifat Gula Pasir dan Gula Kelapa No 1 2 3 4

Gula Pasir Manis Tidak ada kandungan garam mineral Mengandung glukosa yang tinggi Kandungan nutrisi minim

5

Tidak bisa bila di buat terapi kesehatan

6

8

Mengkonsumsi yang berlebihan bisa memicu batuk dan demam Kadang berakibat efek sakit pada tubuh, misalnya radang pada tenggorokkan Tidak berkhasiat untuk kesehatan

9

Hanya sebagai pemanis

7

Gula Kelapa Manis dan lezat Terdapat kandungan garam mineral Kandungan glucosa lebih keci Thiamine, Nicotimic acid, Ribovlavin, ascorbic acid dan protein Cocok dipakai untuk terapi seperti asma, anemia atau kurang daran, kusta dan bisa untuk pertumbuhan anak Baik untuk pengobatan batuk dan demam Bagus sebagai makanan awwal untuk penderita typhoid Sangat baik diet, meredam panas pankreas, membantu pertumbuhan gigi kuat, memperkuat kinerja jantung Memiliki khasiat seperti madu

Sumber : www.google.com/images Gula kelapa berpotensi sebagai food vehicle atau makanan kendaraan yang menampung zat fortifikan karena selain memiliki keunggulan yang lebih dibandingkan jenis gula yang lain, gula kelapa juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1) Pangan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat, termasuk masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Konsumsi gula kelapa di Indonesia memang belum mencapai seluruh lapisan masyarakat, namun

masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah mengonsumsi gula kelapa sebagai pengganti gula pasir karena harga lebih terjangkau dan dapat diproduksi sendiri. 2) Pangan tersebut diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, agar mudah diawasi proses fortifikasinya 3) Tidak semua daerah di Indonesia yang memproduksi gula kelapa, hanya daerah tertentu yang dekat dengan bahan dasar pembuatan gula

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

48


kelapa. Sehingga untuk melakukan fortifikasi dapat dilakukan pada beberapa daerah produksi saja, dan lebih mudah diawasi proses fortifikasi karena jumlah daerah produksi yang terbatas. 4) Tersedia teknologi fortifikasi untuk pangan yang dipilih. Pembuatan gula kelapa dengan alat tradisional dan sederhana dapat memudahkan dilakukannya fortifikasi. Teknologi yang digunakan sangat mudah didapatkan, bahkan dapat dibuat sendiri. 5) Tetap aman dalam arti tidak membahayakan kesehatan. Gula kelapa setelah difortifikasi oleh zat gizi dalam tubuh jangkrik tetap aman bagi kesehatan, terutama kesehatan ibu hamil. Justru setelah dilakukan fortifikasi, kemungkinan besar nilai gizi pada gula kelapa semakin meningkat dan dapat memenuhi beberapa persen kebutuhan gizi ibu hamil. 6) Pangan tidak berubah rasa, warna dan konsistensi setelah difortifikasi. Rasa gula kelapa sebelum fortifikasi adalah manis legit, karena berasal dari nira pohon kelapa. Setelah mengalami fortifikasi oleh zat gizi jangkrik dengan dosis tertentu dan tidak berlebihan, kemungkinan besar tidak terjadi perubahan rasa. Rasanya tetap seperti sebelumnya yaitu legit manis. Begitu pula dengan warna, karena warna gula kelapa adalah coklat kemerahan atau coklat gelap sama dengan warna tubuh jangkrik, maka kemungkinan besar tidak terjadi perubahan warna pada gula kelapa. 2.2. Tepung Jangkrik sebagai Fortifikan Jangkrik yang selama ini hanya berfungsi sebagai pakan ternak atau hewan aduan, ternyata memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi. Akan tetapi ada masalah psikologis bagi sebagian besar masyarakat untuk mengkonsumsi jangkrik dalam bentuk aslinya, sehingga perlu pengubahan bentuk untuk dapat memanfaatkan sebagai bahan pangan. Salah satu pengubahan bentuk jangkrik yang telah dilakukan yaitu menjadikan jangkrik menjadi tepung jangkrik.

Tabel 2. Kandungan Gizi Tepung Jangkrik per 100 gram Kalori (kal) 140,2 kal Karbohidrat (g) 3 gr Protein (g) 83 gr Lemak (g) 6,8 gr 11 Sumber : FINKE MD. 2002. Jangkrik memiliki siklus hidup yang singkat dan cepat berkembangbiak membuat mudah untuk diternak. Saat ini di pulau banyak berkembang peternakan dan budidaya jangkrik, sementara di luar pulau jawa jangkrik banyak didapatkan dari alam. Selain memiliki keunggulan, jangkrik juga memenuhi syarat sebagai fortifikan yang baik, yaitu sebagai berikut: 1) Sensorik Pada dosis fortifikasi yang digunakan, tepung jangkrik tidak akan mengubah warna, rasa, dan konsistensi gula kelapa sebagai food vehicle. Karena warna tubuh jangkrik sama dengan warna gula kelapa, sehingga tidak akan mempengaruhi atau merubah warna gula kelapa. Sedangkan dari sisi rasa juga tidak akan menimbulkan perubahan, karena ditambahkan dengan dosis yang tidak berlebihan. 2) Interaksi Zat gizi dalam tepung jangkrik sebagian besar merupakan zat gizi makro seperti karbohidrat, lemak, protein, air, dan serat. Sedangkan zat gizi pada gula kelapa sebagian besar juga merupakan zat gizi makro sama halnya dalam tepung jangkrik, hanya saja ada tambahan kalsium dan fosfor. Namun kemungkinan interaksi antar zat gizi makro atau zat gizi mikro 3) Bioavailabilitas Kandungan zat gizi dalam tepung jangkrik merupakan zat gizi yang dengan mudah dapat diserap tubuh karena merupakan pendukung metabolisme tubuh. Terutama pada ibu hamil, zat gizi yang ditambahkan berperan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan janin. 4) Keamanan Dosis penambahan fortifikan yang tepat sangat aman dikonsumsi bagi kesehatan.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

49


Jangkrik yang digunakan sebagai fortifikan dalam pembuatan gula kelapa berfortifikasi, diubah terlebih dahulu menjadi bentuk butiran-butiran halus atau granila agar dapat larut dalam cairan nira kelapa. Tahapan pembuatan granula jangkrik adalah melalui proses sebagai berikut : 1. Proses pembersihan, yaitu disiram dengan air panas dan direndam air panas selama 15 menit dengan tujuan melemahkan jangkrik, selanjutnya jangkrik dibersihkan dari sayap dan kakinya.. 2. Jangkrik di sangrai seperti menyangrai kopi sampai jangkrik berwarna kecoklatan (setengah matang) 3. Setelah di sangrai didinginkan, kemudian jangkrik di giling atau di blender hingga jangkrik berbentuk seperti cincangan daging. 4. Ulangi proses 3 dan 4 sehingga jangkrik berbentuk butiran-butiran halus atau granula.

3.1. Fortifikasiprotein dari Jangkrik Pada Gula Kelapa sebagai Inovasi Solusi Kurang Energi Kronis pada Ibu Hamil Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik merupakan kombinasi antara gula kelapa sebagai food vehicle dan jangkrik yang dijadikan bentuk tepung sebagai fortifikan. Setelah dilakukan fortifikasi pada gula kelapa, terbentuk gula kelapa berfortifikasi dengan zat gizi yang lebih tinggi sehingga diharapkan mampu berfungsi sebagai solusi masalah gizi pada ibu hamil, yaitu KEK (Kurang Energi Kronis).

Gambar 1. Bagan Alur Pembuatan Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik

kelapa

Tahapan pembuatan gula dan pencampuran dengan

granula jangkrik sampai terbentuk Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik.

Gambar 2. Tahapan Pembuatan Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik 3.2. Nilai giziGula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik sebagai Solusi KEK (Kurang Energi Kronis) pada Ibu Hamil KEK (Kekurangan Energi Kronis) pada ibu hamil adalah akibat dari ketidakseimbangan antara asupan untuk pemenuhan kebutuhan dan pengeluaran energi. Kebutuhan gizi ibu hamil lebih tinggi daripada saat tidak hamil, karena metabolisme tubuh meningkat. Apabila asupan gizi ibu hamil kurang, maka terjadilah ketidakseimbangan. Tabel 3. Angka Kecukupan Gizi Ibu Hamil dalam Sehari Kebutuhan Zat Gizi Trimester 2 Trimester 1 dan 3 Kalori (Kal) +180 +300 Karboidrat +25 +40 (gr) Protein (gr) +20 +20 Lemak (gr) +6 +10 Sumber : AKG 2013 Peningkatan kebutuhan energi dan zat gizi terjadi seiring pertambahan usia kehamilan. Untuk itu perlu diformulasikan takaran konsumsi Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik pada ibu hamil setiap harinya. Makanan tambahan memenuhi asupan gizi sekitar 10 – 15 % dari

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

50


kebutuhan gizi yang diperlukan. Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik berfungsi sebagai makanan tambahan yang memenuhi kebutuhan tambahan gizi pada ibu hamil. Untuk mengetahui persentase kebutuhan zat gizi yang dapat dipenuhi dengan mengonsumsi Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik dilakukan perhitungan sebagai berikut :

Tabel 4. Kandungan zat Gizi pada Nira Kandungan/ 100 Gram Nira Kandungan/80 Gram Nira 386 308,8 67 53,6

Zat Gizi Kalori (Kal) Karbohidrat (gr) Protein (gr) Lemak (gr)

4 10

Zat Gizi Kalori (Kal) Karbohidrat (gr) Protein (gr) Lemak (gr)

Zat Gizi Kalori (Kal) Karbohidrat (gr) Protein (gr) Lemak (gr)

Perbandingan komposisi nira dan granula jangkrik pada proses pembuatan Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrikadalah 8 banding 2. Dalam perhitungan ini diasumsikan bahwa nira yang sudah matang sebanyak 80 gram ditambahkan kedalamnya granula jangkrik sebanyak 20 gram.

3,2 8

Tabel 5. Kandungan Gizi Granula Jangkrik Kandungan/100 Gram Granula Kandungan/ 20 Gram Jangkrik Granula Jangkrik 140,2 28,04 3 0,6 83 16,6 6,8 1,36

Tabel 6. Kandungan Zat gizi pada Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik Kandungan/ Kandungan/ Kandungan/ 100 gram 10 gram 15 gram 336,84 33,68 50,52 54,2

5,42

8,13

19,8 9,36

1,98 0,93

2,97 1,4

Tabel 7. Perhitungan Persentase Pemenuhan Kebutuhan Tambahan Gizi pada Trimester 1 dengan Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik 10 Gram Kebutuhan Trimester Kandungan/ Persentase zat gizi Zat Gizi 1 10 gram yang terpenuhi Kalori +180 Kal 33,68 Kal 18,7 % Karbohidrat +25 gr 5,42 gr 21,6 % Protein +20 gr 1,98 gr 9,9 % Lemak +6 gr 0,93 gr 15,5 % Tabel 8. Perhitungan Persentase Pemenuhan Kebutuhan Tambahan Gizi pada Trimester 2 dan 3 dengan Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik 15 Gram. Kebutuhan Trimester Kandungan/ Persentase zat gizi Zat Gizi 2 dan 3 15 gram yang terpenuhi Kalori +300 Kal 50,52 Kal 16,8 % Karbohidrat +40 gr 8,13 gr 20,3 % Protein +20 gr 2,97 gr 14,8 % Lemak +10 gr 1,4 gr 14 %

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

51


Berdasarkan perhitungan di atas, takaran yang konsumsi yang tepat untuk ibu hamil trimester 1 adalah sebesar 10 gram atau setara dengan 1 sendok makan, sedangkan ibu hamil trimester ke 2 dan 3 sebesar 15 gram atau setara dengan 1,5 sendok makan. Dengan mengkonsumsi Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik sesuai takaran dapat memenuhi kebutuhan zat gizi tambahan pada ibu hamil berkisar 10-21 %. KESIMPULAN Gula kelapa layak digunakan sebagai food vehicle dan jangkrik sebagai fortifikan dalam pembuatan Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkriksebagai Solusi Kekurangan Energi Kronis (KEK) pada Ibu Hamil. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang efektifitas Gula Kelapa Berfortifikasi Jangkrik sebagai solusi KEK (Kekurangan Energi Kronis) pada ibu hamil. DAFTAR RUJUKAN 1. Nugrahini, Evi Yunita.Jusuf Effendi.Dewi Herawati. Asupan Energi Dan Protein Setelah Program Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan Ibu Hamil Kurang Energi Kronik Di Puskesmas Kota Surabaya. Bandung : Unversitas Padjajaran.< http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2014/06/AsupanEnergi-Dan-Protein-SetelahProgram-Pemberian-MakananTambahan.pdf>.[diakses 06/01/2016] 2. Sandjaja. ―Risiko Kurang Energi Kronik (KEK) pada Ibu Hamil di Indonesia‖. Gizi Indon. (2009). 6 Januari 2016 < http://ejournal.persagi.org/go/index.p hp/Gizi_Indon/article/viewFile/76/73> .

3. Depkes. 2013. RISKESDAS 2013. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Panduan Penyelenggaraan PMT Pemulihan Bagi Balita Gizi Kurang dan Ibu Hamil KEK. [diakses 06/01/2016] 4. Departemen Kesehatan,RI. 2009. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 5. Sari, Ratna Indra. 2012. FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Remaja Usia 12-15 tahun di Indonesia Tahun 2007 (Analisis Data Sekunder Riskesdas Tahun 2007). Depok : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 6. Depkes RI. 1999. Pedoman Penanggulangan Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronis. Jakarta : Direktorat Pembinaan Kesehatan Masyarakat. 7. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 2010. Panduan Penyelenggaraan PMT Pemulihan bagi Balita Gizi Kurang dan Ibu Hamil KEK. [diakses 06/01/2016] 8. Udjianto, A.. ―Ruang Lingkup Budidaya Pemeliharaan Jangkrik Kalung Kuning.‖ Lokakarya Fungsional Non Peneliti. (1999). 6 Januari 2016 <http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/202 94684-SRatna%20%Indra%20Sari.pdf> 9. FAO. 2013. Edible Insects : Future Prospects for Food and Feed Security. Rome. 10. ―Kenapa Gula Kelapa Lebih Sehat dari Gula Aren.‖ Bunga Palm Gula Kesehatan. 2011. 7 Januari 2016. http://gulapalm.com/?menu=Kenapa %20Gula%20Kelapa%20Lebih%20S ehat%20Dari%20Gula%20Aren 11. Finke MD. 2002. Complete nutrient composition of commercially raised invertebrates used as food for insectivores. Zoo Biol 21:286–29.

BIMGI Volume 4 No.2 | Juli – Desember 2016

52


BIMGI Volume 4 No.1 | Juli - September 2016

53


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.