BIMKMI Volume 4 Nomor 2

Page 1

Volume 4 No. 2 Juli-Desember 2016


SUSUNAN PENGURUS Penasehat

Pimpinan Redaksi

Deni Frayoga Nasution, S.KM

Dewayan Ekowati Universitas Andalas

Penanggung Jawab Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Seluruh Indonesia (ISMKMI)

Pimpinan Umum Nining Purnawati

Universitas Negeri Semarang

Dewan Redaksi Nadya Nova E Universitas Airlangga Hanifati Sharfina Universitas Lambung Mangkurat Puspa Rani Universitas Lambunng Mangkurat Sartika Bestarini Universitas Lambung Mangkurat Dian Sophi F Universitas Lambung Mangkurat M. Rizal Fahmi Universitas Muhammadiyah Aceh Nurul Khikmah Universitas Negeri Semaraang

Administrator Khusnul Khotimah

Universitas Lambung Mangkurat

Penanggung Jawab Public Relation Putrisuvi Nurjannah Z Universitas Indonesia

Tim Public Relation Ratna Marta Sari Universitas Lambung Mangkurat Puspita Selviani Universitas Sriwijaya Nur Ainah Universitas Lambung Mangkurat Yulita Marlen Universitas Nusa Cendana

Layout dan Multimedia Syifa Nurhakiki Universitas Muhammadiyah Jakarta Nadhira Khairani UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nindi Elsa Nindi Universitas Lambung Mangkurat

i BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli - Desember 2016


MITRA BESTARI Administrasi Kebijakan Kesehatan Putri Nilam Sari, S.KM, M.Kes Universitas Andalas

Fauzie Rahman, S.KM, M.PH Universitas Lambung Mangkurat

Madelina Ariani, S.KM, M.PH Universitas Lambung Mangkurat

Kesehatan Reproduksi dan Keluarga

dr. Meitria Syahadatina Noor, M.Kes Universitas Lambung Mangkurat

Gizi Kesehatan Masyarakat Prof. Dr. dr. Oktia Woro Kasmini Handayani, M.Kes Universitas Negeri Semarang

Epidemiologi

Drs. Fauzi Ali Amin, M.Kes

dr. M. Ato Illah Iskandiari, M.Kes

Universitas Muhammadiyah Aceh

Universitas Airlangga

Fahrini Yulidasari, S.KM, M.PH

Dian Rosadi, S.KM, M.PH

Universitas Lambung Mangkurat

Universitas Lambung Mangkurat

Lukman Fauzi, S.KM, M.Sc Universitas Negeri Semarang

Thresya Febrianti, S.KM, M.Epid Universitas Muhammadiyah Jakarta

Isti’anah Surury, S.KM, M.Epid

Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku dr. Meitria Syahadatina Noor, M.Kes Universitas Lambung Mangkurat

Universitas Muhammadiyah Jakarta

Kesehatan Lingkungan Lenie Marlinae, S.KM, M.KL Universitas Lambung Mangkurat

Arum Sriwiendrayanti, S.KM, M.Kes

Biostatistika dan Kependudukan Sigit Ari Santoso, S.KM, M.Kes Universitas Airlangga

Musafaah, S.KM, M.KM Universitas Lambung Mangkurat

Universitas Negeri Semarang

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nizwardi Azka, S.KM, M.PPM, M.Pd, M.Si Universitas Andalas

ii BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli - Desember 2016


DAFTAR ISI

ISSN: 2302-7835

Susunan Pengurus.............................................................................................................................................

i

Mitra Bestari…………………………………………………………………………………………………………….. Daftar Isi.................................................................................................................................................................

ii iii

Petunjuk Penulisan............................................................................................................................................ Sambutan Pimpinan Umum BIMKMI….....................................................................................................

iv x

Editorial Penuntasan Masalah Penyakit Lusung di Desa Teluk Pongkal Kabupaten Melawi Deni Frayoga .................................................................................................................................................................................................................................................

1

Penelitian Pengaruh Penyuluhan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Pengetahuan BUTEKI

Husda Oktaviannoor, Renny Ismaya, Junaidi, Lourensia Ester, Rezki Agustina, Satria Muhtadi Yusuf .................................................................................................................................................................................................................................................

3

Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seksual Berisiko HIV/AIDS pada Anak Jalanan di Kota Jayapura Papua Rispan Kendek, Farida P. Situmorang, Enos Erastra, Natalia H. Kambuaya, Inriyanti Assa

.................................................................................................................................................... .............................................................................................

8

Gambaran Indikator Entomologis dan Maya Index di Wilayah RW III Sumurbroto Banyumanik Semarang Sari Fatul Mukaromah

.................................................................................................................................................................................................................................................

21

Pengaruh Kualitas Pelayanan Rawat Jalan terhadap Kepuasan Pasien di RSUD Kabupaten Mangusada Putu Erma Pradnyani, Ketut Hari Mulyawan

.................................................................................................................................................................................................................................................

29

Hubungan antara Pendapatan dan Status Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Balita di Pemukiman Kumuh Atik Qurrota A’yunin Al-Isyrofi .................................................................................................................................................................................................................................................

36

Perilaku Remaja dalam Pencegahan Seks Berisiko (Studi pada Sekolah Berbasis Agama di Kecamatan Karawangen II Kabupaten Demak) Arip Ambulan Panjaitan, Aprianti, Fauziyah, Septyaningrum Dei K, Harjianti F. Rahayu

.................................................................................................................................................................................................................................................

iii BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli - Desember 2016

46


PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (BIMKMI) Indonesian Public Health Student Journal Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (BIM KMI) adalah publikasi per semester yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur.Naskah diterima ol eh redaksi, mendapat sel eksi validitas oleh mitra bes tari, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMKMI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan dunia kese hatan masyarakat meliputi epidemiologi, kesehatan lingkungan, keselamatan dan kesehatan kerja, administrasi dan kebijakan kesehatan, biostatistik dan kependudukan, promosi kesehatan dan ilmu perilaku, ilmu gizi kesehatan masyarakat, kesehatan reproduksi, kesehatan global, dan on e health baik penelitian lapangan maupun laboratorium, artikel tinjauan pus taka, laporan kasus, artikel peny egar ilmu kesehatan masyarakat, advertorial, petunjuk praktis, serta edi torial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa kesehatan masyarakat. Ketentuan umum :

1. Penulis merupakan lulus an mahasiswa S1 atau masih menempuh jenjang pendi dikan S2 program studi kesehatan masyarakat saat mengirimkan artikel.

2. Bila penulis lebih dari satu orang, maka minimal salah s atunya harus berasal dari mahasiswa program studi kesehatan masyarakat. Maksimal terdiri dari enam orang dalam satu kelompok.

3. BIMKMI hanya menerima tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain. 4. Penulisan naskah : a.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahas a Inggris dengan baik dan benar, jel as, lugas, serta ringkas.

b.

Naskah diketik menggunakan microsoft word 2003

c.

Menggunakan ukuran kertas A4 dengan margin kanan 3 cm, kiri 4 cm, atas 3 cm, dan bawah 3 cm

d.

Naskah menggunakan 1 spasi dengan spacing after befo re 0 cm, jarak antar bab atau antar subbab yaitu 1 spasi (1x enter)

e.

Menggunakan jenis tulisan (font) Arial Reguler, ukuran 10, sentence case, justify

f.

Naskah maksimal terdiri dari 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka

5. Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksibimkmi@bimkes.org dengan meny ertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihbungi Ketentuan menurut jenis naskah :

1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu kesehatan masyarakat. Format terdi ri atas judul penelitian, nama dan lembaga pengarang, abs trak, dan teks (pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan saran).

iv BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli - Desember 2016


PETUNJUK PENULISAN 2. Tinjauan pustaka: tulisan artikel review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu dalam dunia kesehatan masyarakat, ditulis dengan memperhatikan as pek aktual dan bermanfaat bagi pembaca.

3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Artikel ini ditulis sesuai pemeriksaan, di agnosis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi kesehatan masyarakat.

4. Artikel penyegar : artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik -topik yang sangat menarik dalam dunia kesehatan masyarakat, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, s erta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal hal dasar atau klinis yang perlu diketahui oleh pembaca.

5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam duni a kesehatan masyarakat. M emuat mulai dari ilmu dasar, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang kesehatan masyarakat, lapangan kerja s ampai karir dalam dunia kesehatan masyarakat. Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa.

6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan di agnosis atau tatalaks ana yang ditulis secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa kesehatan).

7. Advertorial: Penulisan mengenai obat dan kandungannya berdasarkan metode studi pustaka Ketentuan khusus : 1. Untuk kes eragaman penulisan, khusus naskah Penelitian Asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: a.

Judul karangan (Title)

b.

Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution)

c.

Abstrak (Abstract)

d.

Isi (Text), yang terdiri atas: i. Pendahuluan (Introduction) ii. Metode (Methods) iii. Hasil (Results) iv. Pembahasan (Discussion) v. Kesimpulan vi. Saran vii. Ucapan terima kasih

e.

Daftar Pustaka (Reference)

2. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan Pustaka , Advertorial, dan Artikel Editorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: a.

Judul

b.

Nama penulis dan lembaga pengarang

c.

Abstrak

v BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli - Desember 2016


PETUNJUK PENULISAN d.

Isi (Text), yang terdiri atas: i. Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas) ii. Pembahasan (Isi) iii. Kesimpulan iv. Saran

e.

Daftar Rujukan (Reference)

3. Untuk kes eragaman penulisan, naskah Artikel Penyegar harus mengikuti sistematika sebagai berikut: a.

Pendahuluan

b.

Isi

c.

Kesimpulan

4. Judul di tulis dengan Sentence case, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan subjudul. Naskah y ang telah disajikan dal am pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan berupa catat an kaki. Terjemahan judul dalam bahasa Inggris ditulis italic. 5. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan institusi asal penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email. 6. Abstrak harus di tulis dalam bahas a Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abs trak ti dak melebihi 200 kata dan diletakkan setelah judul naskah dan nama penulis. 7. Kata kunci (key wo rds) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahas a Inggris dan bahasa Indonesia. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak lebih dari 5 kata, dan sebaiknya bukan merupakan pengulangan kata-kata dalam judul. 8. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 9. Tabel dan gambar disusun terpisah dalam lampiran terpisah. Setiap tabel diberi judul dan nomor pemunculan. Foto orang atau pasien apabila ada kemungki nan dikenali maka harus disertai ijin tertulis. 10. Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut dan di tulis dengan nomor sesuai urutan. Apabila sitasi berasal dari 2 sumber atau lebih, penomoran dipisah menggunakan koma. Nomor kutipan ditulis superskrip dan dibuat dalam tanda kurung siku [‌] 11. Daftar pustaka disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor ses uai dengan pemuncul an dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad.

Contoh cara penulisan daftar pustaka dapat dilihat sebagai berikut :

1. Naskah dalam jurnal i. Naskah standar Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transpl antation is associated wi th an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun 1;124(11):980-3.

vi BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli - Desember 2016


PETUNJUK PENULISAN atau Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transpl antation is associated wi th an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;124:980-3. Penulis lebih dari enam orang Parkin Dm, Cl ayton D, Black RJ, Mas uyer E, Freidl HP, Iv anov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br j Cancer 1996;73:1006-12. ii. Suatu organisasi sebagai penulis The Cardi ac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise stress testi ng. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996;164:282-4. iii. Tanpa nama penulis Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15. iv. Naskah tidak dalam bahasa Inggris Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996;116:41-2. v. Volum dengan suplemen Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994;102 Suppl 1:275-82. vi. Edisi dengan suplemen Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996;23(1 Suppl 2):89-97. vii. Volum dengan bagian Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Pl asma and urine sialic acid i n noninsulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6. viii. Edisi dengan bagian Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap laceration of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8. ix. Edisi tanpa volum Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoi d arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4. x. Tanpa edisi atau volum Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33. xi. Nomor halaman dalam angka Romawi Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction. Hematol Oncol Clin North Am 1995 Apr;9(2):xi-xii.

vii BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli - Desember 2016


PETUNJUK PENULISAN 2. Buku dan monograf lain i. Penulis perseorangan Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurs es. 2nd ed. Albany (NY): Delmar Publishers; 1996. ii. Editor, sebagai penulis Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York: Churchi ll Livingstone; 1996. iii. Organisasi dengan penulis Institute of M edicine (US). Looking at the future of the M edicaid program. Washington: The Institute; 1992. iv. Bab dalam buku Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and s troke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: patophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New York: raven Press; 1995.p.465-78. v. Prosiding konferensi Kimura J, Shibasaki H, edi tors. Recent advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam: Elsevier; 1996. vi. Makalah dalam konferensi Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, D egoulet P, Piemme TE, Rienhoff O, edi tors. MED INFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p.1561-5. vii. Laporan ilmiah atau laporan teknis a. Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor: Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. D allas (TX): D ept. of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Ins pection; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860. b. Diterbitkan oleh unit pelaksana Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services research: work force and education issues. Washi ngton: National Academy Press; 1995. Contract no.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and research. viii. Disertasi Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington univ.; 1995.

viii BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli - Desember 2016


PETUNJUK PENULISAN ix. Naskah dalam Koran Lee G. Hos pitalizations tied to ozone pollution: study es timates 50, 000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21;Sect A:3 (col. 5). x. Materi audiovisual HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby -Year book; 1995.

3. Materi elektronik i. Naskah journal dalam format elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infectious diseas e. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24 screens]. Available from: URL: HYPERLINK http://www.cdc.gov/ncidod/EID /eid.htm ii. Monograf dalam format elektronik CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, Maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995. iii. Arsip computer Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando (FL): Computerized Educational Systems; 1993.

ix BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli - Desember 2016


SAMBUTAN PIMPINAN UMUM BIMKMI Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Kehebatan menyebarluaskan ide dan gagasan apabila diawali dengan menulis dan berakhir pada publikasi. Menulis dan publikasi adalah 2 hal yang sama-sama penting dalam dunia K esehatan Masyarakat. Bidang kajian kesehatan masyarakat yang sangat luas membuat publikasi ilmiah adalah sarana yang tepat dalam menginformasikan dan menyebarluaskan ide, temuan dan kajian -kajian penting kesehatan masyarakat. Oleh karena itu upaya menulis dan publikasi perlu te rus dikembangkan oleh mahasiswa sebagai proses belajar dan penyampaian informasi serta menyebarluaskan gagasan, temuan-temuan maupun isu-isu mengenai kesehatan masyarakat. Sebanyak 1 artikel editorial dan 6 artikel penelitian berhasil dimuat dalam BIMKMI Volume 4 Nomor 2 setelah melalui serangkaian proses seleksi, review dan pengeditan yang cermat dari tim penyusun. Terimakasih atas partisipasi dari seluruh penulis yang telah mengirimkan artikel untuk dipublikasikan, kepada segenap TIM BIMKMI, mitra bestari dan seluruh pihak yang sudah berusaha menyajikan publikasi karya terbaik. Mohon maaf sebesar-besarnya apabila banyak dijumpai kekurangan-kekurangan. Kritik dan saran y ang membangun sangat kami harapk an demi terwujudnya BIMKMI sebagai wadah publikasi ilmiah yang kompeten dan terakreditasi. Semoga dengan diterbitkannya satu edisi terbaru BIMKMI, semangat mahasiswa kesehatan masyarakat terus terpacu untuk mulai menulis dan berpartisipasi dalam mempublikasikan karya -karya ilmiahnya pada edisi selanjutnya. Selamat Menik mati, “Public health is around us”. Wassalamu’alaik um Warahmatullahi Wabarak atuh

Semarang, September 2016 Pimpinan Umum BIMKMI 2015-2016 Nining Purnawati

x BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli - Desember 2016


Editorial

PENUNTASAN MASALAH PENYAKIT LUSUNG DI DESA TELUK PONGKAL KABUPATEN MELAWI Deni Frayoga 1,2 1Alumni

Program Studi Kesehatan Mas yarak at Fak ultas Kedok teran Universitas lambung Mangk urat 2Peneliti Kesehatan Riset Etnografi Kesehatan Kabupaten Melawi, Pusat Humaniora dan Manajemen Kesehatan Balitbang Kemenk es RI Kalimantan Barat merupakan provinsi yang terletak pada garis khatulistiwa. Salah satu masalah kesehatan yang ada di Kalimant an Barat adalah kasus penyakit lusung (Tinea Imbrik ata). Penyakit Lusung merupakan penyakit endemis di Provinsi Kalimantan Barat yang hanya ada di satu daerah yaitu Desa Teluk Pongkal Kecamatan Sokan kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Lusung atau Tinea Imbrik ata merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh agen penyakit jamur Trycophyton Conc entricum. Penyakit ini menginfeksi kulit, sehingga terasa g atal dan permukaan kulit menjadi mengelupas. Penderita penyakit ini

mengalami gejala awal berupa gatal gatal dengan bintik merah di permukaan kulit, dan ada pula yang permukaan kulitnya bercorak seperti obat nyamuk spiral. Penamaan lusung berasal dari masyarakat yang mengalami penyakit ini yaitu suku Dayak di Kabupaten Melawi. Istilah ini hanya terdapat di Kalimantan Barat yang dalam bahasa Dayak Sepauk (suku Dayak di Desa Teluk Pongk al) disebut juga dengan kodal yang artinya bersisik. Penyakit ini memang terjadi pada kulit yang terinfeksi jamur hingga timbul sisik pada permukaan kulit yang berbentuk konsentris. [1]

Gambar 1. Gejala Awal Penyakit Lusung (kiri) dan Gejala Lanjutan (kanan) Sumber: (Bramono) Penyakit ini telah menjadi masalah menahun bagi masyarakat Desa Teluk Pongkal. Hal ini menunjukkan bahwa perlu penanganan yang tepat terhadap pemberantasan penyakit ini. Berdasarkan data Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P 2PL) Dinas Kesehatan kabupaten Melawi dalam (Frayoga), jumlah penderit a penyakit lusung di Desa Teluk Pongkal hingga tahun 2015 berjumlah 89 orang. [2]

Desa Teluk Pongk al yang menjadi endemis penyakit lusung berada di lokasi yang jauh dari tempat pelayanan kesehatan. Desa ini termasuk desa dengan kategori pelosok sehingga memerlukan waktu tempuh sekitar 6 jam perjalanan darat dan hanya dapat ditempuh dengan menggunakan motor jenis trail. Oleh karena itu, alternatif perjalanan untuk menuju desa ini adalah menggunakan jalur sungai dengan kendaraan perahu motor. [2]

1 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli - Desember 2016


Masalah terhadap akses pelayanan kesehatan menjadi salah satu alasan sulitnya menangani penyakit lusung di Desa Teluk Pongkal. Selain itu, sejauh ini Dinas Kesehat an setempat hanya melakuk an int ervensi kesehatan pada aspek kuratif, yaitu dengan pengobatan secara gratis serta pembagian sabun dan handuk. [2] Padahal, intervensi terhadap kasus lusung di Desa Teluk Pongkal tidak cukup pada aspek kuratif saja, tetapi juga harus mengutamak an aspek promotif dan preventif. Upay a preventif dalam pengendalian penyakit lusung di Desa Teluk Pongkal harus dapat dilakukan dengan cara menghilangkan sumber penyakit. Tryc ophyton Concent ricum adalah agen penyakit jenis jamur, sifat jamur tentunya akan mudah mati jika kondisi lingkungan juga baik, yaitu kelembaban udara dan pencahayaan dengan kadar yang seharusny a. Oleh karena itu, dalam hal ini kita perlu meninjau kondisi pemukiman masyarakat apakah sudah sesuai dengan standar kesehatan atau belum? Jika kondisi tersebut masih jauh dari standar kesehatan, perbaikan pemukiman masyarakat menjadi hal yang penting dan solutif untuk menghilangkan sumber penyakit. Selain itu, program kesehatan harus memiliki berbagai cara dengan menggabungkan 3 aspek kesehatan yaitu preventif, promotif dan kuratif. Ada beberapa cara yang dapat ditawarkan sebagai solusi penanganan masalah penyakit lusung, di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Pengawasan kons umsi obat. Seperti halnya TB C, penyakit lusung juga memerlukan konsumsi obat dalam jangka panjang secara kontinyu. Pengobatan pada lusung dengan obat-obatan anti jamur seperti k etoconazole dan itraconaz ole memerlukan waktu yang panjang dan tidak boleh terput us (drop out). Oleh karena itu, penderita harus disiplin dalam mengkonsumsi obat agar dapat sembuh total sehingga pengawas menelan obat (PMO) bagi penderita lusung ini menjadi hal yang penting. PMO bisa berupa anggota keluarga dari penderita

yang sebelum nya diberikan pembekalan atau training oleh petugas kesehatan. 2. Rumah lusung, merupakan tempat bagi para penderita lusung untuk mendapatkan pelayanan komunikasi informasi dan edukasi (KIE). Hal ini dilakukan karena jarak Desa Teluk Pongkal ke tempat Pelayanan Kesehatan sangat jauh. Selain itu, rumah lusung juga harus difungsikan untuk memberikan moti vasi bagi para penderita lusung sehigga penderita memiliki kemauan yang kuat untuk kesembuhan serta tidak merasa minder dalam pergaulan sehari-hari. 3. Pencegahan dengan pendekatan adat, seperti membuat aturan adat mengenai kegiat an bersih desa. Kegiatan bersih desa akan membantu memperbaiki kondisi sanitasi desa agar lebih bersih dan sehat. 4. Bedah rumah, yaitu perbaikan pemukiman warga desa agar tidak kumuh. Kegiatan bedah rumah ini bertujuan agar rumah yang sebelumnya tidak sehat diperbaiki menjadi rumah s ehat, yaitu rumah yang memenuhi standar kesehatan. Masalah penyakit lusung di Desa Teluk Pongk al Kabupaten Melawi, merupakan masalah kesehatan yang menahun dan tidak pernah selesai. Penanganan masalah dengan kolaborasi aspek preventif, promotif dan kuratif menjadi hal yang penting dan bisa menjadi solusi untuk menunt askan permasalahan penyakit lusung di Desa Teluk Pongkal. Daftar Pustaka 1. Bramono, Kusmarinah. "Chronic Recurrent Dermatophytosis in the Tropics:." Korean J Med Mycol (2012): 1-7. 2. Frayoga, Deni. "Menemukan Misteri di Bumi Khatulistiwa." Agung Dwi Laksono, dkk. Jelajah Nusantara 3: catatan enam belas peneliti kesehatan. Jakarta: Pusat Humaniora & Manajemen Kesehatan Badan Penelitian Pengembangan Kemenkes RI, 2016. 103 -113.

2 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli - Desember 2016


Penelitian

PENGARUH PENYULUHAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF TERHADAP PENGETAHUAN BUTEKI Husda Oktaviannoor1, Renny Ismaya 1, Junaidi 1, Lourensia Ester1, Rezki Agustina 1, Satria Muhtadi Yusuf1 1Program

Studi Kesehatan Masyarak at, Fak ultas Kedok teran, Universitas Lambung Mangk urat

ABSTRAK Latar Belakang: Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif merupakan suatu program yang dibuat oleh pemerintah untuk menanggulangi permasalahan kesehatan terutama kesehatan pada bayi/balita. Pola asuh ibu khus usnya pengetahuan ibu dalam pemberian AS I Eksklusif yang kurang menjadi salah satu faktor terjadinya kasus kematian pada bayi di Desa Dalam Pagar. Penelitian ini bertujuan unt uk mengetahui pengaruh penyuluhan pemberian ASI Eksklusif pada bayi terhadap pengetahuan Buteki di Desa Dalam Pagar, Kecamatan Martapura Timur, Kabupaten Banjar. Metode: Rancangan pada penelitian ini menggunakan metode quasi ek sperimental yaitu one group pre post test dengan perlakuan penyuluhan dan pembagian leaftlet. Populasi adalah Ibu Menyusui (Buteki) sebanyak 65 orang. Sampel penelitian di Desa Dalam Pagar sebanyak 27 orang. Data dianalisis dengan uji paired sample T test. Hasil: Hasil penelitian yang dilakuk an menunjukkan terdapat perbedaan sebelum dan sesudah penyuluhan terhadap pengetahuan Buteki dengan nilai p=0,000 p (<0,05). Kesimpulan: Penyuluhan sebagai upaya promosi kesehatan memberikan pengaruh dalam peningkatan pengetahuan B uteki terhadap pemberian ASI Eksklusif di desa Dalam Pagar. Diharapkan bagi petugas kesehatan di Puskesmas agar memberikan penyuluhan tentang ASI Eksklusif serta penyuluhan gizi lainnya guna membantu meningkatkan pengetahuan masyarakat serta membantu mewujudkan pencapaian pemberian ASI Eksklusif. Kata Kunci: Penyuluhan, ASI Eksklusif, Buteki ABSTRACT Background: Exclusive breastfeeding (ASI) is a program created by t he governme nt to solve the health problems, especially health in infants/toddlers. Maternal parenting especially mothers lack ing k nowledge about breastfeeding becomes one factor of deat h cases of baby in Dalam Pagar Village This study aim to determine the effect of counseling on exclusive breastfeeding in infants of k nowledge Butek i In the village of Fence, East Martapura Subdistrict, Banjar District. Methods: The design of this research used quasi experimental one group pre posttest method with c ounseling t reatment and leaflet distribution. P opul ation in this research was the breastfeeding mother (Butek i) as many as 65 people. Sample research in Dalam Pagar village was 27 people. Data were analyzed by paired sample T test. Di scussion: The results showed difference before and after counceling with mother’s k nowledge with p = 0.000 p value (< 0.05). Conclusion: Counseling as a health promotion efforts to give effect in improving Butek i’s k nowledge in Dalam Pagar village. This research is expected for health work ers in healt h centers in order to give counseling about breastfeeding and other nutrition counseling for help to improve the public’s k nowledge and help to realize the achievement of exclusive breastfeeding. Keywords: Counseling, Exclusive breastfeeding, Butek i 1.

PENDAHULUAN Kesehatan atau hidup s ehat adalah hak setiap orang. Oleh karena itu, kesehatan baik individu, kelompok maupun

masyarakat merupakan aset yang harus dijaga, dilindungi bahkan harus ditingkatkan. [1] Kesehatan merupakan hak fundamental setiap individu yang

3 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desemberi 2016


dinyatakan secara global dalam konstitusi WHO, yang telah disepakati dalam komitmen global Millenium Development Goals (MDGs). Komitmen ters ebut menyatakan pembangunan kesehatan adalah pangkal kecerdasan, produktifitas dan kesejahteraan manusia. Komitmen ini dilanjutkan oleh Kementerian K esehatan yang menetapkan visi “Masyarakat Sehat Yang Mandiri Dan Berkeadilan�. Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingk ungan baik secara biologis, psikologis maupun sosio budaya. [2] Hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (S DKI) tahun 2011 menunjukkan angka kematian bayi (AKB) 34 per 1000 kelahiran hidup.Estimasi AKB sebesar 44 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan di Kalimantan Selatan diket ahui terdapat 75 per 1. 000 kelahiran hidup dengan kematian bayi disebabkan oleh multifaktor. [3] Pola asuh ibu khususnya pengetahuan ibu dalam pemberian ASI Eksklusif yang kurang menjadi salah satu faktor terjadinya kasus kematian pada bayi di desa Dalam Pagar. [4] Berdasarkan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 128, setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis. Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerint ah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus yaitu di tempat kerja dan tempat sarana umum. Menurut undang-undang di at as alasannya karena ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi karena mengandung zat gizi paling sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi dibandingkan dengan makanan selain ASI yang bisa mengakibatkan gangguan pencernaan bayi disebabkan sistem pencernaan bayi yang masih lemah. [5,6] Desa Dalam P agar merupakan salah satu desa yang memegang kepercayaan dan adat istiadat yang kuat sehingga adanya ritual yang diberikan ketika bayi baru lahir seperti sedikit makanan salah satunya adalah buah kurma. Selain itu juga pemahaman ibu yang masih kurang tentang seperti apa makna pemberian ASI Eksklusif.Hal tersebut dapat dilihat dari ibu yang memberikan ASI Ekskliusif namun

juga sudah memberikan makanan pendamping AS I dibawah umur 6 bulan yang merupakan faktor dominan yang menghambat pemberian ASI Eksklusif. Penelitian ini bert ujuan untuk mengetahui pengaruh penyuluhan pemberian ASI Eksklusif pada bayi terhadap pengetahuan Buteki di Desa Dalam Pagar, Kecamatan Mart apura Timur, Kabupaten Banjar. 2.

METODE PENELITIAN Ranc angan pada penelitian ini menggunakan metode quasi experimental yaitu one group pre post test dengan perlakuan penyuluhan dan pembagian leaftlet. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu yang menyusui bayi dan balita di Desa Dalam Pagar sebanyak 65 orang. Sampel penelitian sebanyak 27 orang dengan inklusi yaitu Buteki yang bersedia diberikan penyuluhan. Dalam rancangan ini tidak ada kelompok pembanding (kontrol) tetapi dilakuk an observasi pertama dengan pre test sehingga memungkinkan peneliti dapat menguji perubahan yang terjadi setelah adanya perlakuan yaitu dengan melakukan penyuluhan. Lokasi dalam penelitian ini dilakuk an di Desa Dalam Pagar Kecamat an Martapura Timur Kabupaten B anjar. Waktu penelitian dilakukan selama satu hari. Pengetahuan Buteki didefinisikan sebagai kemampuan ibu menjawab pert anyaan-pertanyaan tentang ASI Eksklusif, pengetahuan responden dikategorikan menjadi 2, yaitu responden dengan pengetahuan baik (>70% menjawab benar) dan responden dengan pengetahuan kurang (<65% benar). Analisis data dilakukan dengan uji statistic Paired sample T t est berdasarkan data yang berdistribusi normal. 3.

HASIL Tabel 1 menunjukkan bahwa responden dengan umur antara 18-26 tahun lebih banyak dibandingkan umur responden dengan umur antara 27-35 tahun yakni sebesar 15 responden dengan umur antara 18-26 tahun (55,5%) dan 12 responden dengan umur 27-35 tahun (45,5% ). Adapun Pendidikan responden terbanyak adalah SD yaitu sebesar 13 responden (48,1%), SMP sebesar 10 responden (37%), dan SMA sebesar 4 responden (14,9%).

4 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desemberi 2016


Variabel Umur 18-26 27-35 Pendidikan SD SMP SMA

Tabel 1. Distribusi karakteristik responden Frekuensi

Gambar 1 menunjukkan bahwa pengetahuan But eki berdas arkan hasil pre test pada responden yang berpenget ahuan baik sebanyak 24 orang (85,2%) dan yang

%

15 12

55,5 44,5

13 10 4

48,1 37 14,9 berpengat ahuan kurang (14,8% ).Hasil post test pada responden yang berpenget ahuan baik sebanyak 27 orang (100%).

Gambar 1. Distribusi Frekuensi Hasil Pre Test dan Post Test pada Buteki

Berdasarkan hasil analisis dengan paired sample t test pada tabel 2, diperoleh rata-rata pengetahuan responden sebelum diberikan penyuluhan sebesar 76,1 dan sesudah penyuluhan sebesar 88,3. S elain it u t hitung adalah -

11,000 dengan nilai probabilitas (p=0,000), oleh karena (p< 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan.

Tabel 2. Perbedaan Rata-rata saat Pre Test dan Post Test pada Buteki Variabel Pengetahuan

4.

Mean

Pre Test

76,1

Post Test

88,3

PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan rata-rata umur responden termuda 18 tahun dan yang tertua 35 tahun. Menurut Syamsianah et al (2010) berpendapat bahwa umur memiliki pengaruh terhadap pengetahuan. Sebab dengan umur yang lebih muda memungkinkan ses eorang lebih aktif dan proaktif untuk mengetahui dan memahami sesuatu.[7]

T

P

-11,000

0,000

Berdasarkan pers entase pendidikan terakhir yang terbanyak adalah SD. Pendidikan merupakan salah satu faktor pengetahuan dan pemahaman dalam memperoleh informasi khususnya pada Buteki terhadap pemberian AS I Eksklusif. Hasil penelitian Syamsianah,et al (2010) menyatakan bahwa pendidikan berperan dalam aspek sosial masyarakat sehingga apabila pendidikan seseorang relatif rendah, maka pengetahuannya akan

5 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desemberi 2016


kurang sedangkan orang yang pendidikannya lebih tinggi pengetahuannya akan lebih baik. [7] Begitu juga menurut Handasari (2010) dalam Singarimbun (1998), menyatakan bahwa pada umumnya salah satu faktor berperan dalam pengetahuan seseorang adalah tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang tinggi akan semakin baik pengetahuannya, karena dengan pendidikan yang lebih tinggi seseorang akan lebih mudah dalam menerima hal -hal baru yang berpengaruh pada sikap positif. [8] Penyampaian informasi kepada responden sangat penting dalam menambah pengetahuannya bahwa pentingnya dalam pemberian ASI Eksklusif. [9] Berdasarkan Kepmenkes No. 450/2004 tentang Pemberian ASI Secara Eksklusif pada B ayi di Indonesia terdiri atas lima ketetapan temasuk penetapan mengenai pemberian ASI Eksklusif juga ditetapkan bahwa tenaga kesehatan agar menginformasikan kepada ibu mengenai anjuran ASI Eksklusif. Pemberian informasi ini untuk mengacu pada 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM). Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pengetahuan responden sebelum dilakukan penyuluhan berk ategori baik sebesar 85,2 %. Kemudian set elah dilakukan penyuluhan sebesar 100%. Hal ini berarti sebagian besar pengetahuan responden terhdap pemberian ASI Eksklusif sudah dalam rata-rata kategori baik namun beberapa ada yang masih belum tahu pentingnya pemberian ASI Eksklusif. Setelah diberikan penyuluhan pengetahuan responden meningkat. Pengetahuan ini akan mempunyai manfaat untuk meningkatkan sikap dan perilaku Buteki kearah yang lebih baik dalam hal ini pemberian ASI Eksklusif (Ancok, 1989). [10] ASI Eksklusif dianggap sebagai sumber gizi paling lengkap untuk bayi karena ASI mengandung lemak esensial, karbohidrat, protein, dan factor imunologi yang diperlukan untuk perk embangan bayi dan melawan infeksi formatif di tahun pertama kehidupan. Menurut Cadwell dalam Barry (2004) dan Jones, dkk (2003) dalam analisis strategi kelangsungan hidup anak yang telah menyusu ASI Eksklusif di enam bulan pert ama dan terus sampai dengan 11 bulan merupakan sebagai salah satu intervensi pencegahan yang paling efektif dalam mengurangi angka

kematian bayi, dengan potensi menyelamatkan 1,3 jutajiwa per tahun. Hal yang sama juga dinyat akan oleh LeonCava dkk (2002) telah mengamati ASI Eksklusif merupakan praktik yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Namun, Konselor ASI telah mencatat telah terjadi penurunan perilaku di antara ibu yang sedang menyusui.[11] Menurut Lawrence Green dalam Notoadmodjo (2007) bahwa sikap dan perilaku merupakan faktor pemudah atau predisposisi (predisposing factors) dan faktor pendorong (renf orcing factors) yang terwujud dalam tindakan. Sikap dan perilaku mempunyai 3 komponen utama yaitu: 1. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu obyek. 2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek. 3. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave). Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap dan perilaku yang utuh (tot al attitude). Sikap tentang pemberian ASI eksklusif merupakan faktor yang menentukan seseorang berperilaku untuk bersedia atau kesiapan untuk memberikan ASI secara eksklusif. [12] 5.

KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian ini ditarik kesimpulan bahwa penyuluhan sebagai upaya promosi kesehatan memberikan pengaruh dalam peningkatan pengetahuan Buteki terhadap pemberian AS I Eksklusif. Hasil penelitian menunjukkan sebelum melakukan penyuluhan, sampel yang mengetahui tentang ASI Eksklusif sebanyak 23 orang (85,2% ) dan masih belum mengetahui tentang ASI Eksklusif sebanyak 4 orang (14,8%). Sedangkan setelah penyuluhan, sampel yang mengetahui tentang ASI Eksklusif sebanyak 27 orang (100% ). Hasil penelitian menggunakan Paired sample T test didapatkan nilai p=0,000 p(< 0,05). Diharapkan bagi petugas kesehatan di Puskesmas agar memberikan penyuluhan tentang ASI Eksklusif serta penyuluhan gizi lainnya guna membantu meningkatkan pengetahuan masyarakat serta membantu mewujudkan pencapaian pemberian ASI Eksklusif serta adanya dukungan moral dan pengawasan oleh keluarga khususnya orang tua dan suami terhadap ibu

6 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desemberi 2016


menyusui tersebut agar ibu tersebut mau melakukan pemberian ASI eksklusif pada anak bayi dan balitanya. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih banyak kepada temanteman mahasiswa kesehatan masyarakat Fakultas Kedokteran Unlam yang t elah membantu memberikan pikiran-pikiran dalam pembuatan soal pre-test dan posttest dan pengumpulan data dan juga kepada dosen pembimbing yang t elah membimbing kami dalam melakukan penelitian sampai pembuatan laporan penelitian. Juga terimakasih kepada instansi-instansi terkait yang t elah berkontribusi dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Harjati., Thaha, Ridwan M., Natsir, Sudirman. Konsep Sehat Sak it Terhadap Kesehatan Ibu dan Anak pada Masyarak at Suk u Bajo Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Makassar: Akademi Keperawatan Batarijo., Jurusan Promosi Kesehatan Universitas Hasanuddin. 2011. 2. Devitra, Anferi. Analisis Implementasi Clinical Pathway K asus Strok e Berdasark an INA-CBGs di Rumah Sak it Strok e Nasional. Bukittinggi: Program Pasca Sarjana Universitas Andalas Program Studi Kes ehatan Masyarakat. 2011. 3. Lestari, Wilanda Suci., Dewi, Yulia Irvani., HD, Siti Rahmalia. Gambaran Pengetahuan dan Gaya Hidup Ibu Hamil P reek almspia. Akademi Keperawatan UR di RSUD Arifin Achmad. 2012. 4. Soepardi, Jane. Buk u Profil Data Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Bakti Husada. 2012. 5. UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

6.

Kepmenkes RI No. 450/ME NKES/SK/IV/2004 t entang Pemberian ASI secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia. 7. Syamsianah A, et al. “Hubungan Tingkat Pendidik an dan Pengetahuan Ibu tentang AS I dengan Lama Pemberian ASI Eksklusif pada Balita Usia 6-24 Bulan di Desa Kebonagung Kec. Kebonagung Kab. Pacitan Prov. Jawa Timur.”Jurnal Kesmas Indonesia. Vol. 6:2. (2010). 8. Handarsari E, et al. Hubungan Pendidikan dan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Anak TK Nurul Bahri Desa Wukur Sari K ec. Batang K ab. Batang.”J urnal Kesmas Indonesia. 6:2(2010). 9. Fikawati S, Syafiq A. “Kajian Implementasi dan Kebijakan Air Susu Ibu Eksklusif dan Inisiasi Menyusu Dini di Indonesia.”Mak ara K esehatan, 14:1 (2010): 17-24. 10. Indrawati T. “Pengaruh Umur, Tingkat Pengetahuan, dan Sikap Bidan Praktik Swasta (BPS) pada Penggunaan Partograf Acuan Maternal Neonatal dalam Pertolongan Persalinan Normaal di wilayah Dinas Kesehatan Kota Semarang. ”Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. 4:2 (2009). 11. Adeyinka T., et al. “A Hospital-Based assesment of breast-feeding behavior and practice among nursing mothers in Nigeria and Ghana.”Pak istan Journal of Nutrition.7: 1(2008): 165171. 12. Wenas W., et al. Hubungan antara Pengetahuan dan Sik ap Ibu Menyusui dengan Pemberian Air Susu Ibu Eksk lusif di Wilayah Kerja Pusk esmas Tompaso Kec. Tompaso. 2012

7 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desemberi 2016


Penelitian

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU SEKSUAL BERISIKO HIV/AIDS PADA ANAK JALANAN DI KOTA JAYAPURA PAPUA Rispan Kendek1,2, Farida P. Situmorang 1,2, Enos Erastra 1, Natalia H. Kambuaya 1, Inriyanti Assa 3 1Peminatan

Epidemiologi, Fak ultas Kesehatan Masyarak at, Universitas Cenderawasih 2 Divisi Penelitian, Papuan Youth Health 3 Dosen Fak ultas Kesehatan Masyarak at, Universitas Cenderawasih ABSTRAK Pendahuluan: Provinsi Papua menempati urutan ketiga jumlah kasus HIV/AIDS terbanyak dengan prevalensi kasus tertinggi di Indonesia. Penyebab tingginya kasus HIV/A IDS di P apua yaitu masih rendahnya pengetahuan dan sebagian besar masyarakat terlibat dalam perilaku seksual berisiko. Perilaku seks yang berisiko dapat menyebabkan seseorang terinfeksi HIV. Anak jalanan merupakan kelompok yang rentan untuk tertular HIV/AIDS karena turut melakukan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS. Metode: Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Cara pengambilan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner standar oleh FHI, 2000. Responden penelitian berjumlah 48 anak jalanan, teknik pengambilan sampel secara consec utive sampling. Analisis data menggunakan analisis univariat (deskriptif) dan analisis bivariat melalui uji chi-square dengan tingkat signifikansi (Îą) = 0.05. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak jalanan memiliki pengetahuan tentang pencegahan dan penul aran HIV/AIDS pada k ategori baik (64.6%) dan sebanyak 30 responden (62.5% ) melak ukan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS. Terdapat hubungan antara penggunaan miras (p=0.01) dan ganja (p=0.016) terhadap perilaku seksual berisiko HIV/A IDS dan tidak terdapat h ubungan antara penggunaan aibon (p=1.000) dan penget ahuan tentang pencegahan dan penularan HIV/AIDS (p=0.483) dengan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS pada anak jalanan di Kota Jayapura. Kesimpulan: Faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS pada anak jalanan di Kota Jayapura adalah penggunaan miras dan ganja. Kata kunci: Risiko, HIV/AIDS, Anak jalanan. ABSTRACT Backgroud: P apua Provinc e placed the third rank of the highest number of HIV/AIDS cases in Indonesia. The high case of HIV/AIDS in Papua occured because many people were still lack of k nowledge and engaged in risk y sexual behavior. The risk y sexual behavior made someone highly potential infected by HIV/AIDS. Street children are one of the susceptible groups to HIV/AIDS infection since many of them involved in risk y sexual behavior. Method: This researc h using cross sectional approach analytic observasional method. The instrument of collecting data interviewed using standard questionnaire of Family Healt h International, 2000. The total number of respondents in this research was 48 street children. The samples were tak en using consecutive sampling. The dat a was analyzed using univariate analysis (descriptive) and bivariate analysis (chi -square test) with reliability level was 95% (Îą= 0.05). Result: The result of the res earch s howed t hat most street children or 64. 6% respondents have good k nowledge toward the prevention and spreading of HIV/AIDS and 30 respondents (62.5%) involved in unsafe sexually behavior which leads to HIV /AIDS infection. There was relationship bet ween the alcohol abuse (P=0.01) and marijuana (P=0.016) in the unsafe sexual behavior of HIV/AIDS, and there was no relationship

8 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desemberi 2016


between the use of aibon (P=1.000) and the k nowledge of prevention and infection of HIV/AIDS (P=0.483) in uns afe sexual behavior of HIV/AIDS on street children in Jayapura. Conclusions: Factors associated with risk y sexual behavior of HIV/AIDS among street children in Jayapura City are the use of alcohol and marijuana. Keywords: Risk , HIV/AIDS, Street children. 1

PENDAHULUAN Secara global, World Healt h Organization (WHO) melaporkan bahwa hingga tahun 2014 sebanyak 36.9 jut a orang hidup dengan HIV (ODHA ), sedangkan sebanyak 2 juta orang yang hidup dengan HIV merupakan jumlah kasus baru yang ditemukan. [1] Adapun untuk wilayah Asia P asifik terdapat sebanyak 5 juta orang hidup dengan HIV dan diperkirakan bahwa 340.000 merupakan kasus baru (31% adalah kasus baru tahun 2000-2004). [2] Indonesia menempati urutan ketiga jumlah kasus HIV/AIDS terbany ak seAsia Pasifik setelah India dan China yait u sebanyak 610 ribu kasus, di mana tren jumlah k asus baru di Indonesia antara tahun 2001-2002 mengalami peningkatan sebesar 2,6 kali. [3] Provinsi Papua menempati urutan ketiga jumlah kasus HIV/AIDS terbanyak di Indonesia setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur dengan kumulatif jumlah kasus HIV/AIDS per triwulan 4 tahun 2012 sebanyak 17.908 kasus. [4] Hasil survei menunjukkan bahwa Provinsi Papua memiliki prevalensi kasus AIDS tertinggi di Indonesia dengan angk a prevalensi sebesar 2,4%.[5] Survei Terpadu HIV dan Perilaku (S THP ) 2006 menunjukkan bahwa prevalensi HIV/A IDS di Papua telah berada pada level Epidemi Meluas (Generalized Epidemic), ini artinya bahwa HIV/AIDS di Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat ) telah memasuki kelompok masyarakat umum di masyarakat.[5] Anak jalanan merupakan kelompok yang rent an untuk melakukan perilak u berisiko terhadap kesehatan. Anak jalanan berada pada kelompok berisiko lebih tinggi untuk terkena HIV. Rendahnya pengetahuan yang berhubungan dengan pencegahan penyakit menular seksual dan kurangny a akses terhadap pelayanan kesehatan akan meningkatkan kerent anan pada anak jalanan. [6] Hasil penelitian yang dilakukan di Kinshasa, DRC terhadap anak jalanan menemukan bahwa 85,8% anak jalanan memiliki pengalaman

seksual dan 55, 8% melakukan hubungan seks pertama kali saat tinggal di jalan, rendahnya penggunaan kondom saat pertama kali melakukan hubungan seksual serta sebagian besar anak jalanan perempuan mempuny ai pasangan lebih dari satu dan penggunaan kondom tergantung dari jenis pasangan seksual mereka. [6] Penelitian yang dilakukan sebelumnya, di Papua ditemukan perilaku seksual berisiko yang tinggi pada masyarakat Papua yang memungkinkan mereka tertular dan terinfeksi HIV/AIDS, seperti melakukan hubungan seksual sebelum menikah, mempunyai pasangan seks yang lebih dari satu, melakukan hubungan seks di usia muda, melakukan seks coba-coba, melakukan seks diam diam dan pesta seks remaja. [7] Kementerian Sosial Republik Indonesia pada tahun 2007 mencatat jumlah anak jalanan di Indonesia sebanyak 104.497 anak sedangkan jumlah anak jalanan di wilayah Provinsi Papua berjumlah 354 anak dan Provinsi Papua Barat sebanyak 227 anak, [8] dan di antaranya terdapat anak jalanan perempuan yang merupakan pekerja seks. [9] Keterlibatan anak jalanan yang tinggi dalam perilak u seksual berisiko terhadap penularan HIV/A IDS terkait dengan banyak faktor. Faktor-faktor tersebut menempatkan anak jalanan sebagai kelompok yang rentan tertular HIV/AIDS. Berdasarkan permasalahan yang terjadi, penelitian ini akan mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS pada anak jalanan di Kota Jayapura. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam rangka meningkatkan upaya-upay a pencegahan HIV/AIDS pada k elompok anak jalanan di wilayah Kota Jayapura. Selain itu, diharapk an adanya suat u perhatian khusus bagi kelompok anak jalanan. 2

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan

9 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desemberi 2016


pendekatan Cross Sectional. Tempat penelitian dilakukan di Kota Jayapura. Waktu pelaksanaan dilakuk an selama lima bulan yaitu pada bulan Maret hingga Juni tahun 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak jalanan di Kota Jayapura yang berjumlah 200 orang.[10] Jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 48 responden, pengambilan sampel dilakuk an secara consecutive sampling yaitu semua subyek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukan dalam penelitian sampai jumlah s ubyek yang diperlukan terpenuhi.[11] Sampel dipilih menurut kriteria inklusi yaitu anak jalanan yang berumur 15-21 tahun dan teridentifikasi sebagai anak jalanan yang ditemui di lokasi-lokasi pertemuan at au tempat tinggal anak jalanan di Kota Jayapura, belum menikah/berkeluarga dan bersedia menjadi responden penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan (Informed consent), sedangkan k riteria ekslusi adalah anak jalanan yang berumur dibawah 15 tahun dan di atas 21 tahun, sudah menikah dan tidak bersedia menjadi res ponden penelitian. Cara pemilihan sampel dimulai dengan menyusun sebuah daft ar lokasi tempat anak jalanan dan dilakukan pemetaan lokasi-lokasi anak jalanan tersebut berdasarkan data dari Dinas Kesejahteraan Sosial K ota Jayapura, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani anak jalanan, berbagai referensi lainnya seperti buku, artikel dan hasil wawancara dengan pihak-pihak yang dianggap mengetahui tent ang anak jalanan, hal ini dilakukan agar sampel yang dipilih representatif. Pengambilan sampel dilakukan di lokasi -lokasi tempat terbesar yang dilaporkan menjadi tempat tinggal dan tempat pertemuan/beraktivitas dari anak jalanan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sebuah kuesioner yang sudah distandardisasi oleh Family Healt h International (2000).[12] Cara pengumpulan data dilakukan dengan mewawancarai responden dengan menggunakan kuesioner yang telah disediakan sebelumnya, dalam proses wawancara tidak diperkenankan

keberadaan orang lain, guna menjaga kerahasiaan dan jawaban yang benar dari responden. Pencarian dan penentuan responden penelitian dilapangan didampingi oleh seorang petugas lapangan dari LSM Yayasan Harapan Ibu Papua. S ebelum proses wawancara dilakuk an latihan das ar antar peneliti untuk memastikan bahwa pewawancara telah mengerti dengan seluruh pert anyaan yang akan ditanyakan. Kuesioner diterjemahkan k e dalam B ahasa Indonesia dan menyusun beberapa pertanyan yang dibut uhkan berdasarkan tujuan penelitian sebelum digunakan, selain itu kuesioner diuji cobakan kepada responden yang bukan menjadi sampel untuk mencocokkan beberapa item yang diperlukan untuk disesuaikan atau diganti. Analisis statistik menggunakan analisis univariat (analisis deskriptif) untuk mendeskripsikan karakteristik anak jalanan, pengetahuan anak jalanan tentang pencegahan dan penularan HIV/A IDS, riwayat penyakit menular seksual dan akses terhadap pelayanan HIV/A IDS dalam bentuk distribusi frekuensi untuk melihat hubungan antara pengetahuan dan karakteristik responden (variabel independen) terhadap perilak u seksual berisiko HIV/AIDS (variabel dependen) menggunakan analisis bivariat dengan menggunakan uji chi-square dengan nilai tingkat signifikansi (Îą= 0.05). 3 HASIL 3.1 Karakteristik Responden Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin didominasi oleh laki-laki yaitu sebanyak 39 orang (81.2% ). Jumlah responden pada kelompok umur remaja menengah (15 -17 tahun) dan remaja akhir (18-19 tahun) adalah sama yaitu masing-masing sebanyak 24 orang (50%).Karakteristik responden berdasarkan pendidikan terlihat bahwa sebagian besar responden pernah mengenyam pendidikan yaitu sebanyak 46 orang (95.8%) dan sebagian besar hanya menamatkan pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 19 orang (41.3%).

10 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desemberi 2016


Tabel 1. Distribusi Karakteristik Anak Jalanan di Kota Jayapura Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase (%) Jenis Kelamin Laki-laki 39 81.2 Perempuan 9 18.8 Umur 15-17 tahun 24 50.0 18-21 tahun 24 50.0 Pendidikan Ya 46 95.8 Tidak 2 4.1 Tingkatan pendidikan yang diselesaikan jika pernah bersekolah Tidak tamat SD 10 21.7 SD 19 41.3 SMP 13 28.3 SMA 4 8.7 Bekerja Ya 40 83.3 Tidak 8 16.7 Jenis pekerjaan yang dilakukan jika responden bekerja Pelayan (Toko, Angkat barang) 23 57.5 Penjual 2 5 Tukang parkir 1 2,5 Kondektur 6 15 Pemungut kaleng 2 5 Pekerja seks 4 10 Lain-lain 2 5 Waktu tinggal di jalan ≤ 1 tahun 10 20.8 2–4 tahun 19 39.6 ≥ 5 tahun 19 39.6 Tempat istirahat Dirumah orangtua atau keluarga 14 29.2 Bersama teman 11 22.9 Terminal 17 35.4 Tempat/sarana umum (emperan toko atau 6 12.5 taman) Miras Ya 37 77.1 Tidak 11 22.9 Ganja Ya 20 41.7 Tidak 28 58.3 Aibon Ya 21 43.8 Tidak 27 56.2 Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar anak jalanan di K ota Jayapura mempunyai pekerjaan untuk menghasilkan uang yaitu sebanyak 40 orang (83.3% ), dengan pekerjaan tertinggi untuk mengahasilkan uang sebagai penjual jasa (57.5% ). Sebagian besar responden yaitu sebesar 36.6% telah tinggal atau memut uskan untuk

turun k e jalan selama 2-4 tahun dan ≥5 tahun. Berdasarkan tempat tinggal paling sering digunakan istirahat dimalam hari adalah terminal (35.4% ).Selain itu, dalam hal penggunaan miras, ganja, dan aibon hasil penelitian menemuk an bahwa 77.1% responden pernah menggunakan miras, 41.7% pernah menggunakan

11 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desemberi 2016


ganja dan 43.8% pernah menggunakan aibon. 3.2 Tindakan Seksual Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa dari 48 responden, sebagian besar responden pernah berhubungan seksual yaitu sebanyak 34 orang (70.8% ) dan sebagian besar responden (53% ) melakukan hubungan s eksual pertama kali pada usia ≼15 tahun. Jumlah responden yang menyatakan pertama kali melakukan hubungan seksual saat masih tinggal bersama orang tua dan saat sudah turun ke jalan tidak jauh berbeda yaitu sebany ak 18 orang (52% ) dan 16 orang (47.1%), sebagian besar di antaranya tidak menggunakan kondom yaitu sebanyak 19 orang (55,9%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak jalanan di Kota Jayapura sangat aktif dalam hubungan seksual, sebagian besar

responden yaitu sebanyak 30 orang (88.2% ) menyatakan pernah melakukan hubungan s eksual dalam 12 bulan terakhir, di antaranya terdapat 15 orang (50% ) yang pernah melakukan hubungan seksual dengan pasangan komersial dan hanya 6 orang (40.0% ) yang mengaku menggunakan kondom. Namun, di sisi lain sebagian besar responden juga menyatakan pernah melakukan hubungan seksual dengan pasangan bukan komersial dalam 12 bulan terak hir yaitu sebanyak 27 orang (90% ), dan 20 orang (74.1%) mengaku tidak menggunak an kondom. Jumlah pasangan komersial dalam 12 bulan terakhir yang paling banyak dimiliki oleh responden adalah <5 pasangan yaitu sebanyak 11 orang (73,3%), sedangkan jumlah pasangan seksual bukan komersial yang terbanyak adalah <5 pasang yaitu sebanyak 25 orang (92,6%).

Tabel 2. Distribusi Tindakan Seksual Anak Jalanan di Kota Jayapura Tindakan Seksual Jumlah (n) Persentase (%) Pernah melakukan hubungan seksual Ya 34 70.8 Tidak 14 29.2 Umur pertama kali melakukan hubungan seksual < 15 tahun 16 47.0 ≼ 15 tahun 18 53.0 Tempat tinggal saat pertama kali melakukan hubungan seksual Bersama orang tua 18 52.9 Tinggal di jalan 16 47.1 Penggunaan kondom saat pertama kali melakukan hubungan seksual Ya 15 44.1 Tidak 19 55.9 Pernah melakukan hubungan seksual 12 bulan terakhir Ya 30 88.2 Tidak 4 11.8 Jumlah pasangan seksual (Komersial) 12 bulan terakhir < 5 pasangan 11 73.3 5-10 pasangan 0 0 > 10 pasangan 4 26.6 Jumlah pasangan seksual (Bukan komersial) 12 bulan terakhir < 5 pasangan 25 92.6 5-10 pasangan 1 3.7 > 10 pasangan 1 3.7 Pernah melakukan hubungan seksual dengan pasangan komersia l dalam 12 bulan terakhir Ya 15 50.0 Tidak 15 50.0 Penggunaan kondom saat terakhir kali berhubungan seksual dengan pasangan komersial 12 bulan terakhir Ya 6 40.0 Tidak 9 60.0

12 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desemberi 2016


Tindakan Seksual Jumlah (n) Persentase (%) Pernah melakukan hubungan seksual dengan pasangan bukan komersial 12 bulan terakhir Ya 27 90.0 Tidak 3 10.0 Penggunaan kondom saat terakhir kali berhubungan seksual dengan pasangan bukan komersial 12 bulan terakhir Ya 7 25.9 Tidak 20 74.1 3.3 Riwayat Penyakit Menular Seksual Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa dari 34 responden yang pernah melakukan hubungan seksual, sebagian besar responden menyat akan tidak pernah mengalami gejala penyakit menular seksual dalam 12 bulan terakhir yaitu sebanyak 29 orang (85.3%), sedangkan hanya lima orang (14.7% ) yang menyatakan mengalami gejala penyakit menular seksual dalam 12

bulan terakhir. Berdasark an gejalagejala penyakit menular seksual yang dirasakan oleh responden dapat diketahui bahwa sebanyak dua orang (40.0% ) meny atakan mengalami gejala kencing terasa sakit dan luka di sekitar kelamin dan gejala lain seperti luka di sekitar kelamin, kencing nanah, keputihan berbau dan berwarna hijau, serta gatal-gatal di sekitar kelamin dialami oleh masing-masing sebanyak satu orang (20%).

Tabel 3. Distribusi Riwayat Penyakit Menular Seksual pada Anak Jalanan di Kota Jayapura Gejala Penyakit Menular Seksual Jumlah (n) Persentase (%) Mengalami gejala IMS 12 bulan terakhir Ya 5 14.7 Tidak 29 85.3 Jenis gejala IMS dialami dalam 12 bulan terakhir Kencing terasa sakit dan luka di sekitar kelamin 2 40.0 Luka di sekitar kelamin 1 20.0 Kencing nanah 1 20.0 Keputihan berbau, berwarna hijau dan gatal1 20.0 gatal di sekitar kelamin 3.4 Akses terhadap Program Pelayanan HIV/AIDS Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden

menyatakan tidak pernah melakukan tes HIV yaitu sebanyak 43 orang (89.6% ) sedangkan hanya lima orang (10.7% ) yang pernah melakuk an tes HIV.

Gambar 1. Persentase Responden Menurut Akses Terhadap Program Pelayanan HIV/AIDS pada Anak Jalanan di Kota Jayapura

13 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desemberi 2016


3.5 Pengetahuan tentang Pencegahan dan Penularan HIV/AIDS Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan tentang

pencegahan dan penularan HIV/AIDS pada kategori baik yaitu sebanyak 31 orang (64.8%) dan hanya 17 orang (35.4% ) yang berada pada kategori pengetahuan kurang.

Gambar 2. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Pencegahan dan Penularan HIV/AIDS pada Anak Jalanan di Kota Jayapura 3.6 Hubungan antara Penggunaan Miras dengan Perilaku Seksual Berisiko HIV/AIDS Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat bahwa jumlah responden yang terlibat dalam perilaku seksual berisiko lebih banyak mengaku pernah mengonsumsi miras yaitu sebanyak 28 orang (75.7% ) dibandingkan yang tidak pernah yaitu sebanyak 2 orang (18.2% ). Pengujian statistik chi-square diperoleh nilai pvalue sebes ar 0.01 pada alpha (Îą) 5%. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermak na antara

mengonsumsi minuman keras dengan perilaku seksual berisiko HIV/A IDS. Nilai OR juga menunjukkan bahwa responden yang mengonsumsi minuman keras berisiko 14.0 kali lebih tinggi terlibat dalam perilaku s eksual berisiko HIV/AIDS bila dibandingkan dengan responden yang tidak mengonsumsi minuman keras. Berdasarkan hasil analisis maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara mengonsumsi minuman keras dan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS.

Tabel 6. Hubungan antara Penggunaan Miras dengan Perilaku Seksual Berisiko HIV/AIDS di Kota Jayapura Perilaku seksual Penggunaan Berisiko Tidak Berisiko Total POR (95% Miras value CI) n % n % n % Ya 28 75.7 9 24.3 37 100 14.0 Tidak 2 18.2 9 81.8 11 100 0.01 (2.541Total 30 62.5 18 37.5 48 100 77.122) 3.7 Hubungan antara Penggunaan Ganja dengan Perilaku Seksual Berisiko HIV/AIDS Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa jumlah responden yang terlibat dalam perilaku seksual berisiko lebih banyak mengaku pernah menggunakan ganja yaitu sebany ak 17 orang (85% ) dibandingkan yang tidak pernah yaitu

sebanyak 13 orang (46.4%). Pengujian statistik chi-square diperoleh nilai pvalue sebesar 0.016 pada alpha (Îą) 5%. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermak na antara penggunaan ganja dengan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS. Nilai OR juga menunjukkan bahwa responden yang menggunakan ganja berisiko 6.538

14 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desemberi 2016


kali lebih tinggi terlibat dalam perilaku seksual berisiko HIV/A IDS bila dibandingkan dengan responden yang tidak menggunakan ganja. Berdasarkan

hasil analisis chi-square maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara penggunakan ganja dan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS.

Tabel 7. Hubungan antara Penggunaan Ganja dengan Perilaku Seksual Berisiko HIV/AIDS di Kota Jayapura Perilaku seksual Penggunaan Berisiko Tidak Berisiko Total P-value OR (95% Ganja CI) n % n % n % Ya 17 85 3 15 20 100 6.538 Tidak 13 46.4 15 53.6 28 100 0.016 (1.55827.838) Total 30 62.5 18 37.5 48 100 3.8 Hubungan antara Penggunaan Aibon dengan Perilaku Seksual Berisiko HIV/AIDS Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat bahwa jumlah res ponden yang terlibat dalam perilaku seksual berisiko lebih banyak mengaku tidak pernah menggunakan aibon yaitu sebanyak 17 orang (63.0% ) dibandingkan yang pernah yaitu sebanyak 13 orang (61. 69%). Pengujian

statistik chi-square diperoleh nilai pvalue sebesar 1.000 pada alpha (Îą) 5%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermak na antara penggunaan aibon dengan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS. Berdasarkan hasil analisis chi-square maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara penggunaan aibon dan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS.

Tabel 8. Hubungan antara Penggunaan Aibon dengan Perilaku Seksual Berisiko HIV/AIDS di Kota Jayapura Perilaku seksual Total Penggunaan Berisiko Tidak Berisiko POR (95% Aibon value CI) N % n % n % Ya 13 61.9 8 38.1 21 100 0.956 Tidak 17 63.0 10 37.0 27 100 1.000 (0.295Total 30 62.5 18 37.5 48 100 3.102) 3.9 Hubungan antara pengetahuan tentang pencegahan dengan penularan HIV/AIDS dengan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS Berdasarkan tabel 9 dapat dilihat bahwa jumlah responden yang terlibat dalam perilaku seksual berisiko lebih banyak memiliki kategori pengetahuan baik yaitu sebanyak 21 orang (67.7% )

dibandingkan yang memiliki kategori pengetahuan kurang yaitu sebanyak 9 orang (52.9% ). Pengujian statistik chisquare diperoleh nilai p-value sebesar 0.483 pada alpha (Îą) 5%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan tentang pencegahan dan penularan HIV/AIDS dengan perilaku seksual berisiko HIV/A IDS.

Tabel 9. Hubungan antara Pengetahuan Tentang Pencegahan dengan Penularan HIV/AIDS dengan Perilaku Seksual Berisiko HIV/AIDS di Kota Jayapura Perilaku seksual Pengetahuan Total P-value OR (95% Berisiko Tidak Berisiko CI) N % n % n % Kurang 9 52.9 8 47.1 17 100 0.536 Baik 21 67.7 10 32.3 31 100 0.483 (0.1591.804) Total 30 62.5 18 37.5 48 100 4

PEMBAHASAN Faktor risiko utama penyebab penularan HIV/AIDS di Provinsi Papua

adalah melalui hubungan seksual dengan faktor risiko tertinggi yaitu secara heteroseksual. [13] Beberapa

15 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desemberi 2016


kegiatan yang mendukung penularan HIV melalui hubungan seksual adalah hubungan seksual berganti – ganti pasangan dan pemanasan sebelum melakukan hubungan seksual seperti penggunaan minuman beralkohol dan ganja di mana hal tersebut membuat kesadaran seseorang menurun sehingga tidak menggunakan pelindung (kondom) saat melakukan hubungan seksual serta mudah terjadi luka pada tubuh sebagai jalan masuk virus HIV. Penggunaan kondom yang relatif rendah saat berhubungan seksual pada masyarakat di Papua,[5] masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS menjadi penyebab meningkatnya kasus HIV/AIDS di Tanah Papua. Hal ini didukung oleh hasil Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) tahun 2006 yang menemukan bahwa hanya sebesar 51,8% penduduk tanah Papua yang pernah mendengar atau mendapat informasi tentang HIV/AIDS. [5] Berbagai penelitian menunjukkan anak jalanan merupakan kelompok yang sangat rentan terlibat dalam perilaku seksual berisiko yang membuat mereka dapat tertular HIV/AIDS, penelitian terhadap anak jalanan di Kenya menemukan bahwa untuk bertahan hidup anak jalanan perempuan harus terlibat dalam prostitusi, selain itu lingkungan sosial dijalanan yang sangat bebas membuat mereka terlibat dalam penggunaan minuman beralkohol, narkoba dan hubungan seks diumur yang relatif muda, hal ini menempatkan mereka sebagai kelompok yang sangat berisiko tertular HIV/A IDS. [14] Penelitian lainnya, yang dilakukan terhadap anak jalanan di Malawi menyimpulkan bahwa kelompok anak jalanan merupakan kelompok yang berisiko untuk tertular HIV/A IDS dan infeksi menular seksual (IMS ) hal ini disebabkan oleh rendahnya pengetahuan anak jalanan tentang HIV/A IDS dan IMS, tindakan seksual yang berisiko, hubungan seks yang tidak aman dikalangan mereka sendiri saat melakukan hubungan seks dan tidak adanya fasilitas tempat tinggal yang aman. [15] Hasil penelitian ini menemukan bahwa sebanyak 30 (62.5%) anak jalanan melakukan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS dan sebanyak 18

(37.5% ) tidak melakukan perilaku seksual berisiko HIV/A IDS, serta faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS anak jalanan adalah penggunaan ganja dan minuman keras, sedangkan penggunaan aibon dan pengetahuan tentang pencegahan dan penularan HIV/AIDS bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual berisiko HIV/A IDS anak jalanan di Kota Jayapura. Selain itu, hasil penelitian menemukan bahwa sebagian besar pengetahuan anak jalanan tentang pencegahan dan penularan HIV/AIDS berkategori baik 64.6% (gambar 2) 4.1 Hubungan antara Penggunaan Miras dengan Perilaku Seksual Berisiko HIV/AIDS Sebagian besar orang menggunakan minuman keras sebelum melakukan hubungan seksual agar dapat berhubungan seksual (membantu menghilangkan rasa segan), dapat lebih santai dan rileks, pengunaan minuman keras (alkohol) membuat peningkatan hasrat seks seseorang, dan lebih merasa bergairah. [16] Seseorang yang berada dalam kondisi mabuk akibat penggunaan minuman keras dapat mengurangi kesadaran yang berakibat melakukan hubungan seks yang tidak aman atau tidak memakai pelindung (kondom). Kondisi mabuk atau hilangnya kesadaran saat melakukan hubungan seksual yang disebabkan oleh penggunaan minuman keras dapat menjadi pemic u penyebaran HIV/AIDS di Papua yang setiap tahun meningkat secara terus-menerus. Masyarakat di Papua dengan budaya dan kebiasaannya mempunyai risiko untuk terinfeksi HIV/AIDS, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku seks bebas dan minuman keras mempunyai pengaruh terhadap risiko terjangkit penyakit AIDS. [17] Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat di Kabupaten Biak Numfor Papua menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan miras dan risiko terinfeksi HIV/AIDS, hasil temuan menunjukkan bahwa masyarakat yang mengosumsi minuman beralkohol berisiko empat kali lebih

16 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


tinggi bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mengonsumsi alkohol. [17] Selain itu, pada sebuah penelitian terhadap anak jalanan, di Kumpala, Uganda ditemukan bahwa penggunaan alkohol merupakan suatu hal biasa yang mereka gunakan saat berada dijalanan, mereka menyebutkan bahwa setelah menggonsumsi alkohol mereka sering terlibat dalam perilaku seksual berisiko. [18] Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan minuman keras dan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS (p=0,01) serta anak jalanan yang mengonsumsi minuman keras 14 kali berisiko untuk terlibat dalam perilaku seksual berisiko HIV/AIDS. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kossay (2009) yang menemukan bahwa penggunaan milo (minuman lokal) berisiko tiga kali lebih tinggi untuk tertular HIV pada anak jalanan di Kabupaten Jay awijay a. [19] Hal yang sama ditemukan pula pada hasil STHP (2006), yang menunjukkan bahwa konsumsi minuman keras berkait an erat dengan kejadian HIV/AIDS di Tanah Papua, hasil surveilans menunjukkan bahwa sebesar 13, 6% kebiasaan masyarakat di Papua yang mengonsumsi minuman beralkohol sebelum melakukan hubungan seksual.[5] Penggunaan minuman keras seperti pada kalangan anak jalanan di Kota Jayapura juga ditemukan pada anak jalanan di K ota Semarang, di mana hasil penelitian mengungkapkan bahwa seluruh informan pernah menggunakan NAP ZA seperti minuman keras, lem, bahkan juga dit emukan mereka pernah menggunakan jenis NAP ZA lainnya seperti pil dextro, pil B I (buto ijo), pil kasaran, dan rokok. [20] Selain itu, penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Asante (2014) yang menemukan bahwa penggunaan minuman beralkohol pada anak jalanan berhubungan denga keterlibat an dalam hubungan seksual dan konsistensi penggunaan kondom, anak jalanan yang menggonsumsi minuman belalkohol berisiko enam dan 22 kali lebih tinggi untuk terlibat dalam perilaku seksual berisiko (hubungan seks dan tidak menggunakan kondom

saat melakukan hubungan seks), penelitian ini menyimpulkan bahwa anak jalanan yang pernah mengonsumsi minuman berlakohol dan mengonsumsiny a dalam satu bulan terakhir berhubungan dengan perilaku seksual berisiko (pernah berhubungan seks, tidak menggunkan kondom, gantiganti pasangan seksual dan prostitusi seks). [21] 4.2 Hubungan antara Penggunaan Ganja dengan Perilaku Seksual Berisiko HIV/AIDS Faktor lain yang berhubungan dengan perilaku seksual berisiko HIV/A IDS dalam penelitian ini adalah penggunaan ganja di kalangan anak jalanan di Kota Jayapura (P= 0,016), dimana ditemukan bahwa anak jalanan yang menggunakan ganja berisiko enam kali lebih tinggi untuk terlibat dalam perilaku seksual berisiko HIV/AIDS. Penggunaan ganja di kalangan anak jalanan di K ota Jayapura dapat membuat mereka tertular HIV/AIDS. Hal tersebut dapat terjadi akibat penggunaan ganja yang dapat membuat hilangnya kesadaran (mabuk) saat melakukan hubungan seksual sehingga anak jalanan tidak menggunakan kondom atau pelindung. Selain itu, efek penggunaan ganja dengan dosis kecil akan meningkatkan minat dan daya tanggap terhadap seks, merangsang pemikiran erotis, dan meningk atkan perasaan erotis dan sensual erotis. [14] Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kayembe,et al (2008) yang menemukan bahwa penggunaan narkoba pada anak jalanan pria di Kinshasa, Kongo tiga kali berisiko untuk melak ukan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS, seperti tidak menggunakan kondom saat berhubungan seksual dan berganti-ganti pasangan seksual. [6] Selain itu, penelitian ini sejalan dengan penelitian Asante dkk, di Accra, Ghana pada tahun 2014 yang menemukan bahwa penggunaan ganja, berhubungan dengan perilaku seksual berisiko seperti pernah berhubungan seksual, anak jalanan yang menggunakan ganja berisiko 11 kali lebih tinggi untuk terlibat dalam seksual aktif bila dibandingkan dengan yang tidak menggunakan ganja, hasil lainnya menunjukkan bahwa

17 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


penggunaan ganja berhubungan dengan hubungan seks berganti-ganti pasangan (OR = 16,6, 95% CI = 4,5 60,6) dan prostitusi (seks berbayar karena kebutuhan) (OR = 8,3, 95% CI = 2,5-28,4), ini artinya anak jalanan yang menggunakan ganja di Accra berisiko 17 dan delapan kali lebih tinggi untuk terlibat dalam perilaku berganti-ganti pasangan dan terlibat dalam prostitusi. [21]

4.3 Hubungan antara Penggunaan Aibon dengan Perilaku Seksual Berisiko HIV/AIDS Penggunaan lem aibon pada anak jalanan di K ota Jayapura dapat ditemukan dengan mudah dik arenakan mereka sangat gampang menemukan lem aibon karena harganya yang murah dan mudah didapatkan di toko -toko, hasil penelitian menemuk an bahwa sebanyak 21 (43.8%) responden menggunakan lem aibon, Penggunaan lem aibon dapat membuat mabuk, yang berdampak pada hilangnya kesadaran s ehingga terlibat dalam perilaku seksual berisiko HIV/A IDS. Lysergic Acid Diethylamide atau LSD yang terdapat pada lem aibon termasuk dalam jenis Halusinogen, penggunaan lem aibon dapat menjadi penghambat atau penguat seks tergantung pada k ondisi emosional sebelumnya dan lingkungan sosial dimana orang berbeda. [16] Penelitian ini menemukan bahwa faktor penggunaan lem aibon tidak berhubungan dengan perilaku seksual berisiko HIV/A IDS pada anak jalanan di Kota Jayapura (P=1.000). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian lainnya yang dilakukan terhadap anak jalanan di Kabupaten Jayawijaya tidak menemukan hubungan antara penggunaan lem aibon dengan penularan HIV/AIDS. [19] Hasil penelitian yang tidak menemukan hubungan antara penggunaan aibon dengan perilaku seksual berisiko dapat disebabkan oleh jumlah sampel yang terbat as, hal ini dikarenakan mobilitas anak jalanan di Kota Jayapura yang tinggi, aktivitas anak jalanan yang dilakukan pada malam hari, sulitnya mengidentifikasi anak jalanan di Kota Jayapura, serta karakteristik anak Jalanan di K ota

Jayapura yang sifatnya musiman dan suka berpindah tempat, menyebabkan sampel yang diperoleh dan analisisnya terbatas. 4.4 Hubungan antara pengetahuan tentang pencegahan dengan penularan HIV/AIDS dengan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS Pengetahuan yang benar terhadap HIV/A IDS sangat membantu untuk mengubah perilaku berisiko penularan HIV/A IDS.[6] Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang baik tentang HIV/AIDS dapat mendukung tindakannya untuk tidak melakukan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pengetahuan tentang pencegahan dan penularan HIV/AIDS tidak berhubungan dengan perilaku seksual berisiko HIV/A IDS (P=0.483), hasil penelitian yang berbeda ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Amiruddin dan Yanti (2012) yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dan tindakan berisiko tertular HIV/A IDS, [22] hasil penelitian ini berbeda dengan dengan teori dan hasil penelitian sebelumnya disebabkan karena sampel penelitiannya yang kecil, menyebabkan analisisnya terbatas. Namun, dapat dilihat bahwa proporsi anak jalanan yang berpenget ahuan baik justru lebih banyak melakukan perilaku seksual berisiko HIV/A IDS, yaitu sebesar 21 responden (67.7% ) (tabel 9) anak jalanan yang berpenget ahuan baik justru melakukan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktorfaktor lain, seperti faktor lingkungan. Lingkungan anak jalanan yang lebih permisif, serta pengetahuan yang dimiliki anak jalanan dipengaruhi oleh hasil pengamatan dari pengalaman dan aktivit as temanny a di jalanan.[22] Berdasarkan teori pemahaman sosial dari Albert Bandura dalam Amiruddin dan Y anti (2012) diketahui bahwa lingkungan menjembatani antara pengetahuan dan lingkungan. Lingkungan menentukan terjadinya perilaku anak jalanan, pengetahuan yang mereka peroleh berdasarkan apa yang mereka lihat, dengar dan alami

18 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


dari teman-temannya. [22] Anak jalanan yang melihat temannya melakukan hubungan seksual, mengonsumsi minuman keras, narkoba, dan lem aibon membuat mereka cenderung untuk mengikutinya sehingga anak jalanan tetap melakukan perilaku s eksual berisiko HIV/A IDS meskipun mereka memiliki pengetahuan yang baik. 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sebagian besar pengetahuan responden adalah baik, namun sebagian besar responden tetap melakukan perilaku seksual berisiko HIV/A IDS. Terdapat hubungan yang bermakna ant ara penggunaan miras dan ganja dengan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan aibon dan pengetahuan tentang penc egahan dan penularan HIV/A IDS dengan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS. 5.2 Saran 1. Kementerian sosial diharapkan menyediakan rumah singgah bagi anak jalanan di Kota Jayapura sebagai suat u tempat beristirahat dan sarana untuk pembelajaran dalam meningkatkan pengetahuan anak jalanan, secara khusus tentang dampak penggunaan NAP ZA dan pengetahuan tentang HIV/AIDS. 2. Dinas Kesehatan diharapkan dapat melakukan penjaringan pemeriksaan infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/A IDS bagi anak jalanan di K ota Jayapura. 3. Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor lainnya yang berhubungan dengan perilaku seksual berisiko HIV/A IDS pada anak jalanan di Kota Jayapura. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada Petugas Lapangan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Harapan Ibu Papua yang mendampingi para peneliti selama penelitian dilakukan. DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organiz ation (WHO). Global Summary of The AIDS

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Epidemic: Juny 2015. 11 Februari 2016 <http://www.who.int/hiv/ data/ epi_cor e_july2015.png?ua=1> United Nations Programe on AIDS (UNAIDS). Fact Sheet 2015, Global Statistic: September 2015. 11 February 2016. <http://www.unaids. org/sites/ default/files/media_asset/20150901 _FactSheet_2015_en.pdf> United Nations Programme on AIDS (UNAIDS). HIV in Asia and the Pacific, UNAIDS Report 2013: January 2013. 11 February 2016. < http:// www. unaids.org/sites/default/files/media_ asset/2013_HIV-AsiaPacific_en_0.pdf> Kemenkes RI. Ditjen PP & PL Kemenkes RI. Cases of HIV/AIDS in Indonesia, statistik k asus HIV/AIDS di Indonesia: 1 Juni 2013. 21 September 2013 <www. spiritia.or.id/ Stats/ StatCurr.php? lang=id&gg=> Departemen K esehat an Republik Indonesia dan Dinas Kesehatan Tanah Papua. Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006; Hasil STHP Tahun 2006 di Tanah Papua. Jakarta, 2006. Kayembe K, Patrick, Mapatano A, Mala, Fatuma B, Alphonsine, et al. “Knowledge of HIV, Sexual Behaviour and Correlates of Risky Sex among Street Children in Kinshasa, Democratic Republic of Congo. “East African Journal of Public Health, 5:3 (2008):186-192. Diars vitri W, Utomo D,. Sexuality among senior high school students in Papua and West Papua Provinces, Indonesia. Proceeding of the International Conference on Advanced Science, Engineering and Information Technology; 2011 Jan 14-15: Malaysia; 2011.p.702-706. Kementerian Sosial RI. Jumlah Anak Jalanan di Indonesia Tahun 2007: Juni 2007. 1 Oktober 2013.<www,menegpp, go,id/ aplikasidata/ index,php ?option= com> Rumbino R., H. Gambaran Karakteristik dan Perilaku Seksual Anak Jalanan Perempuan Binaan

19 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

LSM Yayasan Harapan Ibu di Distrik Jayapura Selatan K ota Jayapura. Skripsi. Jayapura: Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih, 2012. Yigibalom, N. Studi Pada Anak Jalanan di Kota Jayapura. Thesis. Jayapura: Program Studi Ilmu Pemerintahan Program Pasca Sarjana Universitas Cenderawasih, 2013. Susila dan Suyanto. Metodologi Penelitian Cross Sectional. Klaten: Boss Script, 2015. Family Health International (FHI). Behavioral Surveilance Surveys, Guidelines for reported behavioural surveys in population at risk of HIV. USA: Family Health International., 2000 Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Informasi HIV/A IDS Provinsi Papua triwulan ketiga. Jayapura, 2013. Oino, P., Sorre, B. “The danger of HIV/A IDS Prevalence Among Street Children on t he Public In Kenya: Experiences from Eldoret Miunicipality.” International Journal of Science and Research (IJSR). 2:3(2013):159-164. Mandalazi, P., Banda, C., Umar E. “Street Children’s Vulnelabirity to HIV and Sexually Transmitted Infection in Malawian Cities.” Malawi Medical Journal. 25:1(2013)1-4 Browne K, et al. Kesehatan Sek sual, Buk u Bahan Ajar Pencegahan HIV Melalui Transmisi Sek sual, Yogyakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya, 2014.

17. Seth, M, H, A, Asdie H, A, Mukti G, A, et al. ”Perilaku dan Risiko Penyakit HIV/AIDS di asyarakat Papua Studi Pengembangan Model Lokal Kebijakan HIV/AIDS. ”Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehat an, 04:13 (2010):206-219. 18. Swahn, H, M., Haberlen, M., Palmier, B, Jane, Et al. “Alcohol and Drug Use and Other High-Risk Behaviors among Youth in the Slums of Kumpala, Uganda: Perceptions and Contexts Obtained Through Focus Groups”. International Journal of Alcohol and Drug Research 3:4 (2014):289-205. 19. Kossay, B. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Penularan HIV pada Anak Jalanan di Distrik Wamena K abupaten Jayawijaya. Skripsi. Jayapura; Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih, 2009. 20. Azmiyati, R. S., Cahyati, H. W., Handayani, K. W. O. “Gambaran Penggunaan NAP ZA pada A nak Jalanan di Kota Semarang. ”Kemas 9:2 (2014):137-143. 21. Asante, O, A., Weitz, M, A., Petersen, I. “S ubstance Use and Risky Sexual Behaviours among Street Connected Children and Youth in Accra, Ghana” Substance Abuse Treatment, Prevention, And Policy, 9:45 (2014):1-9. 22. Amiruddin, R., Yanti, F. “Tindakan Berisiko Tertular HIV-A IDS Pada Anak Jalanan di Kota Makassar. Repository Unhas. (2012). 9 April 2014 <http://repository.unhas.ac.id/handle /123456789/ 6692?show= full

20 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Penelitian

GAMBARAN INDIKATOR ENTOMOLOGIS DAN M AYA INDEX DI WILAYAH RW III SUMURBOTO BANYUMANIK SEMARANG Sari Fatul Mukaromah1 1Jurusan

Ilmu Kesehatan Masyarak at Universitas Negeri Semarang ABSTRAK Latar belakang: Indonesia yang merupakan negara tropis dan endemis DBD memiliki Case Fatality Rate (CFR) DBD yang meningkat dari tahun 2013 ke pert engahan Desember 2014 (0,77% menjadi 0,89% ). Upaya pengendalian vektor (nyamuk) masih diutamak an karena belum ditemukanny a vaksin dan obat spesifik untuk DB D. Efek upaya pengendalian vektor dilihat dari indik ator entomologis berupa indikator Stegomyia tradisional yaitu House Index (HI), Container I ndex (CI), dan B reteau Index (BI). Penelitian bertujuan mendeskripsikan risiko perkembangbiakan nyamuk di tiap rumah dengan ukuran Maya Index. Metode: Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan analisis deskriptif dan dilakukan di RW III, Kelurahan Sumurboto, Kecamatan B anyumanik, Kota Semarang pada September 2015. Hasil: Hasil menunjukkan bahwa HI, CI, dan BI secara berturut-turut terkategori tinggi, tinggi, dan sedang, dengan capaian masing-masing 19,17%, 5,24%, dan 23,28%. Maya Indextinggi dimiliki oleh 21 rumah (28,76% ), sedang oleh 18 rumah (24,65%), dan rendah oleh 34 rumah (46,57%). Kesimpulan: Wilayah studi memiliki kepadatan larva tinggi berdasarkan indikat or HI dan CI dan sebagian besar rumah res ponden berisiko rendah dalam perkembangbiakan nyamuk. Kata kunci: Indikator Entomologis, Maya Index, Pengendalian Vektor ABSTRACT Background: As a tropical and dengue haemorrhagic fever (DHF)-endemic country, Indonesia had DHF-case fatality rate (CFR) that increased from 0,77% in 2013 to 0,89% in mid-December 2014. Some efforts to reduce the larval density still become t he main strategy due to the absence of the spesific medicines and vaccines for DHF. In common, the effect of the larval reduction efforts measured by entomologic indicators that are Stegomyia traditional indices such as Hous e Index (HI ), Container Index (CI), dan Breteau Index (BI). The risk of the breeding sites of mosquito in each house that given by Maya Index needed to describe for the purpose in vector control planning. Method: A cross sectional survey with a descriptive analysis was carried out in RW III, Sumurboto Village, Banyumanik Subdistrict, Semarang Municipality in September 2015. Result: The results showed that HI, CI, and BI categorized to high, high, and medium in larval density, by 19,17%, 5,24%, dan 23,28 in number, respectively. Twent y one houses (28,76%) categorized to high Maya Index, 18 hous es (24,65%) categorized to medium Maya Index, and 34 houses (46,57%) categorized to low Maya Index. Conclusion: These results concluded that the study area had the high level in larval density by HI and CI and that the most houses had the low risk of being the breeding sites of mosquito. Key words: Entomologic Indicators, Maya Index, Vector Control 1

PENDAHULUAN Di negara-negara tropis dan subtropis (wilay ah antara 3,50LU-4,50LS ), kasus dengue berkembang dan menyebar dengan laju yang mengkhawatirkan. [1,2]

Demam dengue merupakan arbovirus terpenting/signifikan yang berdampak pada manusia. [3] Demam Berdarah Dengue (DBD) dan DB D disertai sindrom syok dengue sebagai manifestasi parah

21 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


dari kasus dengue memiliki angka kematian berselisih 30% antara kasus yang tidak ditangani dengan tepat dan kasus yang ditangani dengan tepat. [4] Indonesia yang merupakan salah satu negara tropis sekaligus endemis DBD pada tahun 2013 memiliki kasus DBD sebanyak 112.511 dengan 871 kematian, dan 71. 668 kasus dengan 641 kematian pada awal 2014 hingga pertengahan Desember tahun 2014. [5,6] . DBD adalah salah satu penyakit potensial KLB, menurut Permenkes RI No. 1501/Menkes/Per/ X/2010. Kasus DBD menunjukkan capaian yang signifikan pada musim penghujan hingga sering menyebabkan terjadiny a KLB di berbagai daerah. Pengendalian DBD masih mengutamak an pengendalian vektor yang efektif. [2] Hal itu disebabkan oleh masih nihilnya vaksin dan obat spesifik untuk DBD. Pengendalian kasus dengue berprinsipkan pengurangan/penekanan vektor (nyamuk ), bukan eradikasi. [7] Sebagai indikat or efek pengendalian nyamuk/program sanitasi, indikator entomologis secara luas digunak an, terutama indikator k epadatan nyamuk fase larva yang merupakan indikator Stegomyia tradisional (TDR WHO, 2003). Hous e Index (HI), Container Index (CI), dan B reteau Index (BI) banyak digunakan karena relatif mudah diterapkan di lapangan daripada indikat or nyamuk fase lainnya. Ketiga indikator tersebut memiliki interpretasi makna rasio penularan DBD.[8] Indikator entomologis menunjukkan kepadatan vektor dan risiko penularan DBD dalam suatu wilayah. Sementara itu, dalam suatu wilayah, tidak setiap rumah/bangunan memiliki potensi yang sama unt uk menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. [9] Miller, et al. pada 1992 mengembangkan suatu indikator yang mampu menerangkan risiko perindukan nyamuk per rumah/bangunan berupa Maya Index.[9] Indikator Maya Index berhasil mengestimasi perindukan nyamuk Aedes aegypti di wilayah-wilayah endemis, dan penting digunakan untuk meningkatkan upaya pengendalian vektor. Identifikasi faktor risiko tingkat rumah tangga pada tiap musim akan menyediakan informasi untuk pembuat keputusan dalam meningkatkan upaya pengendalian. [10]

Indikator Maya Index memanfaatkan data kontainer air untuk menggambarkan risiko perkembangbiakan nyamuk. Jawa Tengah menjadi s alah s atu provinsi di Indonesia dengan angka kematian/Case Fatality Rate (CFR) DB D mencapai 1,12%, sehingga melebihi CFR DBD nasional sebesar 0,77% pada tahun 2013. Semarang, dengan capaian kasus 86,06 per 100.000 penduduk, merupakan salah satu kota di Jawa Tengah dengan incidence rate (IR) DB D melebihi target nasional di tahun 2014 (t arget nasional adalah 51 per 100.000 penduduk). [11] Wilayah dengan angka kasus dengue yang tinggi memenuhi kriteria tempat dilakukannya survei entomologis, selain mencakup juga kepadat an larva yang tinggi, adany a perbedaan tipe bangunan (residential dan non-residential), serta adanya perbedaan status sosioekonomi. [3] Angka bebas jentik (ABJ)—yang merupakan salah satu indikator kepadatan larva pada tahun 2014—untuk kota Semarang baru mencapai 84,3%, sehingga tidak memenuhi target nasional sebesar 95%. Sumurbot o menjadi salah satu kelurahan dalam 10 besar kelurahan ber-ABJ terendah se-K ota Semarang tahun 2014, dengan capaian 69,8% dan IR-nya tertinggi (144,15 per 100.000 penduduk). RW III Sumurboto menjadi wilayah dengan capaian ABJ terendah sekelurahan, dengan angka 84,3%, menurut laporan hasil sampling survei kepadatan larva oleh Petugas Surveilans Kesehatan (Gasurkes) pada April 2015. Pada studi ini, akan dideskripsikan indikator entomologis berupa HI, CI, dan BI serta indikator Maya Index di wilayah RW III Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. Deskripsi tersebut bermanfaat untuk menilai hasil upaya pengendalian vektor dan dapat dijadikan acuan upaya lanjutan. Pada wilayah yang sama, belum dilakukan penelitian serupa dengan studi ini. 2

METODE Tempat penelitian ialah wilayah RW III Kelurahan Sumurbot o Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. Waktu penelitian selama bulan Sept ember 2015. Studi ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain cross-sectional berjenis analitik-deskriptif. Besar sampel sebanyak 73 rumah, dan telah memenuhi

22 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


besar sampel minimal melalui perhitungan besar sampel untuk penelitian dengan analisis berjenis perbandingan 2 proporsi data tidak berpasangan. Teknik pengambilan sampel ialah proportionate simple random sampling, yaitu mengambil sampel secara proporsional dari masing-masing RT di wilayah penelitian. Unit sampel adalah rumah, dengan unit analisis berupa kontainer air. Teknik observasi diterapkan untuk memperoleh gambaran capaian indikator entomologis dan Maya Index. Data jumlah dan jenis kontainer, rumah positif larva, dan kont ainer positif larva diambil dengan memakai instrumen berupa pedoman observasi. Keseluruhan analisis deskriptif dilakukan dengan program SPSS 16.0. 3 HASIL 3.1 Indikator Entomologis Survei entomologis berjenis spot check s dan door-to-door yang dilakukan terhadap 73 sampel rumah menghasilkan data 14 rumah positif larva (jentik) nyamuk, dengan 2 rumah ditemukan larva sekaligus pupa nyamuk. Hasil survei juga menunjukkan bahwa 17 kont ainer air ditemukan positif larva dari 324 kontainer yang diperiksa. Di bawah ini adalah capaian indikator entomologis berupa indikator Stegomyia tradisional (fase larva) dengan perhitungan berdasarkan rumus oleh WHO (2011): 1.

House Index (HI)

2.

Container Index (CI)

3.

Breteau Index (BI)

3.2 Karakteristik Kontainer Air Hasil penelitian menunjukkan jumlah total kontainer yang dimiliki res ponden penelitian adalah sebanyak 553 kontainer, terdiri atas controllable cites (CS) meliputi yang berisi dan tidak berisi air sebanyak 364 kontainer, disposable sites (DS) sebanyak 86 kontainer, underc ontrollable sites sebanyak 31 kontainer, dan kontainer jenis lain sebanyak 72 kontainer. CS meliputi kontainer air yang dipakai di rumah tangga dan dapat dimanipulasi terkait potensinya sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk, seperti misalnya bak mandi, ember, tong, dan sebagainya. DS mencakup kontainer air yang sudah tidak dipakai di rumah tangga, terbuang atau memang sengaja diletakkan di luar rumah hingga dapat menampung air hujan dan menjadi tempat perinduk an ny amuk, seperti misalnya ember bekas, pot bekas, dan lainnya. Sedangkan underc ontrollable sites adalah kontainer air yang tidak potensial menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk karena merupakan habitat organisme pemakan jentik. Jenis CS yang terbanyak ditemukan adalah ember. Jenis DS terbanyak adalah kaleng/toples bekas meliputi yang berbahan plastik maupun seng. Undercontrollable Sites terbanyak adalah akuarium. 3.3 Maya Index Maya Index ditentukan dengan mengkombinasikan 2 indikatornya, yaitu Breeding Risk indicator (BRI) dan Hygiene Risk Indicator (HRI).[6] Kategori BRI dan HRI masing-masing rumah diperoleh setelah ditentukannya distribusi tertil (distribusi yang membagi data menjadi 3 bagian dengan prinsip proporsi dan distribusi normal). Sebelum ditentukan kategorinya, nilai BRI dan HRI tiap rumah dihitung berdasarkan data kontainer air terkontrol (Controllable Sites/CS) dan kont ainer air bekas (Disposable Sites/DS) yang terdapat di rumah tangga. Rumus BRI adalah jumlah kontainer terkontrol dalam suatu rumah dibagi rata-rata kontainer dalam suatu wilayah. [6] HRI dihit ung dengan membagi jumlah kontainer bekas dalam suatu rumah dengan rata-rata kontainer air dalam suatu wilayah. Nilai -nilai BRI maupun HRI kemudian dikategorikan

23 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


menjadi rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan interval distribusi tertil. Kategori Maya Index diperoleh melalui

matriks kombinasi BRI dan HRI seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Maya Index BRI 1 (Rendah)

BRI 1 (Rendah)

BRI 1 (Rendah)

HRI 1 (Rendah)

Bersih dan risiko perindukan rendah

Bersih dan risiko perindukan sedang

Bersih dan risiko perindukan tinggi

HRI 2 (Sedang)

Cukup bersih dan risiko perindukan rendah Kotor dan risiko perindukan rendah

Cukup bersih dan risiko perindukan sedang Kotor dan risiko perindukan sedang

Cukup bersih dan risiko perindukan tinggi Kotor dan risiko perindukan tinggi

HRI 3 (Tinggi)

Keterangan: Maya Index rendah Maya Index sedang Maya Index tinggi 3.2.1 Breeding Risk Indicator (BRI) Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah kontainer di wilayah penelitian adalah 6,16 kontainer per rumah. Rata-rata B RI adalah 0, 81 per rumah, dengan standar deviasi sebesar 0,61. Dari data tersebut dapat ditentukan interval kelas BRI dengan hasil sebagai berikut: BRI rendah: <0,45 BRI sedang: 0,45—0,87 BRI tinggi: >0,87 Rumah dengan BRI sedang berjumlah 29 rumah (39,72%), rumah dengan BRI tinggi berjumlah 24 rumah (32,87%), dan rumah dengan BRI rendah berjumlah 20 rumah (27,39%). Hasil

tersebut menunjukkan 29 rumah responden memiliki risiko perkembangbiakan nyamuk sedang, 24 rumah memiliki risiko tinggi, dan 20 rumah berisiko rendah. 3.2.2 Hygiene Risk Indicator (HRI) Tiga puluh sembilan rumah (53,42%) terkategori memiliki HRI rendah, 20 rumah (27,39%) memiliki HRI tinggi, dan 14 rumah (19,17% ) memiliki HRI sedang. Capaian HRI tersebut menandakan bahwa 39 rumah responden terkategori bersih, 20 rumah terkat egori k otor, dan 14 rumah terkategori cuk up bersih. Adapun asil penentuan maya index ditunjukkan pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Tabel Kontingensi BRI dan HRI BRI Rendah HRI Rendah HRI Sedang HRI Tinggi

12 (16,43%) 5 (6,84%) 3 (4,10%)

BRI Sedang 17 (23,28%) 5 (6,84%) 7 (9,58%)

BRI Tinggi 10 (13,69%) 4 (5,47%) 10 (13,69%)

Keterangan: Maya Index rendah Maya Index sedang Maya Index tinggi

Rumah dengan Maya Index rendah berjumlah 34 rumah (46,57% ). Rumah dengan Maya Index sedang berjumlah 18 rumah (24, 65%) dan rumah dengan Maya Index tinggi berjumlah 21 rumah

(28,76%). Artinya, 34 rumah responden memiliki risiko rendah untuk menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. Dua puluh satu rumah memiliki risiko perkembangbiakan nyamuk tinggi, dan

24 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


18 rumah berisiko sedang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. 4 PEMBAHASAN 4.1 Indikator Entomologis Survei entomologis berjenis spot check s dan door-to-door yang dilakukan terhadap 73 sampel rumah menghasilkan data 14 rumah positif larva (jentik) nyamuk, dengan 2 rumah ditemukan larva sekaligus pupa nyamuk. Hasil survei juga menunjukkan bahwa 17 kontainer air ditemukan positif larva dari 324 k ontainer y ang diperiksa. Di bawah ini adalah capaian indik ator entomologis berupa indikat or Stegomyia tradisional (fase larva) dengan perhitungan berdasarkan rumus oleh WHO (2011): Menurut Pant dan Self (1999), capaian HI sebesar >10% termasuk kategori tinggi dalam risiko terjadinya penularan DB D di suatu wilayah. [11] HI sebesar >15% merupakan kriteria yang memungkinkan terjadinya prevalensi tertinggi kasus DBD.[6] Untuk profilaksis (upaya pencegahan) di wilayah tropis, HI sebesar < 5% perlu diupayakan. [6] Wilayah penelitian memiliki HI 19, 17% sehingga terkategori tinggi dalam kepadatan larva dan potensial menimbulkan kasus DB D yang tinggi. Untuk itu, diperlukan upaya penurunan HI melalui peningkatan PSN. Untuk indikator CI, WHO dalam Ramadani dan Hendry Astuti (2009) menetapkan bahwa capaian > 5% masuk kategori tinggi kepadatan larva. Maka, CI di wilayah RW III Sum urboto terkat egori tinggi. BIdikategorikan rendah jika berada pada rentang 5-20, sedang jika berada pada rentang 20-35, dan tinggi jika berada pada rentang 35-50.[12] Dari ketiga indikator Stegomyia tradisional, BI yang merupakan temuan lebih baru dibanding 2 indikator lainnya, adalah indikator terbaik karena mengkombinasikan jumlah rumah dan jumlah kont ainer dalam perhitungannya. [6] Nilai HI memiliki keterbat asan berupa kemampuan menerangkan kepadatan larva hanya rumah positif larva, tanpa informasi kontainer positif. Adapun nilai CI merupakan indikator terlemah karena hanya menerangkan kontainer positif per wilayah, dan nihil informasi jumlah kontainer positif per rumah atau per orang.

Indikator Stegomyia tradisional memiliki sejumlah keterbatasan salah satunya adalah nihilnya informasi produktivitas tiap-tiap jenis kontainer. [6] Kontainer air dengan jenisnya masing masing memiliki produktivitas yang berbeda dalam “menghasilkanâ€? larva, bergantung pada frekuensi pengurasan/ penggantian air. Indikator ini tidak mempertimbangkan anomali cuaca dan imunitas kelompok (herd immunit y). Pada wilayah berbeda, tingkat supresi/profilaksis yang diperlukan pun berbeda untuk indikator Stegomyia tradisional. [6] Di Indonesia, tingkat pencegahan minimal yang diperlukan adalah jika AB J ≼95%. Namun, pada dasarnya, indikator terbaik ialah jumlah nyamuk dewasa per orang, karena fase larva kurang dapat merepresentasikan kepadatan sesungguhnya sebab tingkat kematian larva (yang relatif lebih tinggi daripada fase pupa dan dewasa) juga berpera n. [6] Kontainer kunci (k ey container) di wilayah penelitian ialah bak mandi semen. Hasil tersebut serupa dengan hasil penelitian yang diperoleh Ayuningtyas di wilayah Bangetayu Wetan Semarang. [13 ] Menurut Lozano, et al, drum dari logam dan concret e-built tank s adalah kontainer kunci di daerah tropis. [8] Menurut Troyo, et al, kontainer yang terbanyak ditemuk an larva ialah kontainer permanen berukuran besar dengan keberadaan debris organik, seperti misalnya bak mandi besar dan talang air yang sulit dibersihkan. [14] Diharjo mengatakan bahwa kont ainer yang sering menjadi preferensi nyamuk untuk berkembang biak adalah kont ainer dengan permuk aan kasar, karena oviposisi (peletakan telur) nyamuk menjadi mudah. [15] 4.2 Karakteristik Kontainer Air Hasil studi Ayuningtyas didukung oleh hasil penelitian Troyo, et al dan Danis -Lozano, et al, menyatakan bahwa kontainer yang seringkali paling banyak terdapat larva ialah kontainer berkarakteristik menampung air dalam jumlah banyak dan sulit dibersihkan. [8,13,14] Pada wilayah penelitian, kontainer tampungan air yang terbanyak ditemukan ialah ember plastik. Ember yang menampung air dengan waktu tidak lebih dari 24 jam oleh karena

25 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


penggunaan air yang sering, tidak potensial menjadi tempat perindukan nyamuk. Menurut Kemenk es, waktu 1-2 hari diperlukan telur nyamuk DB D untuk menjadi larva. [16] Namun demikian, kemungkinan tidak dilakukannya pengurasan/ penggunaan air tetap ada. Oleh karena itu, int ervensi berupa penutupan kontainer tetap diperlukan. Ibarra, et al menyatakan bahwa pengaturan praktik penggunaan kontainer air di musim kemarau sangat penting. [9] Praktik pengat uran penggunaan kontainer tersebut merupakan respon terhadap kebiasaan masyarakat yang cenderung menampung air saat musim kemarau. [2] Praktik pengaturan penggunaan kontainer di musim kemarau merupakan respon logis, seperti halnya praktik membersihkan barang-barang bek as di luar rumah yang potensial menampung air ketika musim hujan. 4.3 Maya Index Maya Index sebagai indikator yang lebih baru dalam pengendalian vektor dibandingkan indikat or entomologis, berhasil mengestimasi perkembangbiakan nyamuk di wilayah endemis. [6] Penelitian Rokhmawanti di Semarang menemuk an bahwa Maya Index merupakan faktor risiko kejadian DBD. [17] Purnama dan Tri Baskoro serta Suhermanto, dkk juga menemukan adanya hubungan antara Maya Index dengan keberadaan jentik. [18] Selain itu, Danis -Lozano, et al menyatak an bahwa BRI dan HRI berhubungan dengan keberadaan jentik.[6] Signifikansi hubungan antara Maya Index dengan keberadaan larva dan kejadian DBD menunjukkan bahwa pengendalian nyamuk perlu mengacu pada data Maya Index. Menurut Murti, pengetahuan-penget ahuan tentang determinan/faktor risiko (dalam hal ini Maya Index) bermuara pada pemanfaatannya bagi pembuatan kebijakan kesehatan masyarakat, perencanaan strategi pengendalian penyakit, dan penyediaan pelayanan kesehatan. [19] Data Maya Index dan indikator entomologis per kelurahan bahkan per RW atau RT perlu untuk diperbarui tiap bulan, sebagai referensi dalam evaluasi dan perencanaan program pengendalian

DBD, penentuan daerah prioritas pengendalian, dan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD). [15] Variasi iklim mempengaruhi penularan dengue dan dinamika populasi Aedes aegypti, sehingga informasi iklim potensial digunakan untuk mengembangkan intervensi kesehatan masyarakat. [9] Data Maya Index dan indikator entomologis yang diperbarui tiap bulan diharapkan dapat menggambark an situasi risiko penularan dengue dan dinamika populasi nyamuk berdasarkan iklim/musim. Penularan DB D meningkat berdasarkan musim; kejadian luar biasa (KLB) dipengaruhi oleh variasi iklim, melimpahnya populasi nyamuk, dan jumlah serotype virus yang bersirkulasi. [9] Peningkatan pemakaian kontainer air sebagai akibat dari tidak memadainya suplai air bersih dan tidak adanya akses terhadap air bersih dengan sistem perpipaan merupakan faktor risiko keberadaan larva di rumah tangga. Penelitian Wisfer, dkk menyimpulkan bahwa jumlah TPA (tempat penampungan air) berhubungan dengan keberadaan larva. [20] Penghancuran, pengubahan, pembuangan, atau daur ulang wadah dan habitat larva alamiah yang menghasilkan jumlah terbesar nyamuk Aedes spp dewasa pada setiap komunitas merupakan fokus penatalaksanaan lingkungan.[2] Hal tersebut menunjukkan bahwa intervensi pengendalian nyamuk perlu difokuskan pada rumah tangga dengan keberadaan kontainer air yang tinggi dan suplai airnya tidak memadai. 5.

KESIMPULAN HI terkategori tinggi dalam kepadatan larva, CI terkategori tinggi, dan BI terkategori sedang. Sebagian besar rumah terkategori memiliki Maya Indexrendah, sebagian terkat egori memiliki Maya Index tinggi, dan sebagian kecil terkategori memiliki Maya Index sedang. 6.

SARAN Saran bagi pihak pemegang program pengendalian nyamuk di Sumurboto ialah peningkatan upaya surveilans serta agar upaya pengendalian difokuskan pada bak mandi semen sebagai kont ainer kunci, dengan tet ap memperhatikan potensi kontainer jenis lainny a. Penelitian

26 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


ini hanya mencakup wilayah yang relatif sempit (1 RW), berbeda dengan penelitian Danis-Lozano, et al (2002) yang mencakup wilayah bagian selatan Mexico. Studi dengan cakupan wilayah yang lebih luas lebih dapat mendeskripsikan dengan baik karakteristik area dimana pengendalian vektor dilakukan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang, pembimbing penelitian Ibu Dyah Mahendrasari Sukendra, sert a Lurah Kelurahan Sumurboto Bapak Sapto Dwi Karnadi dan staf. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Suhermanto, Bapak Sang Gede Purnama, Bapak Sunaryo, Ibu Anggun Paramitha Djati, dan Ibu Bina Ikawati bantuannya. DAFTAR PUSTAKA 1. Ali, A., Habib ur Rehman, Muhammad Nisar, Shazia Rafique, Sadia Ali, Abrar Hussain, Naus heen, Muhammad Idrees, Sabeen Sabri, Hakeem Zada, dan Shah Hussain. “Seroepidemiology of Denguefever in Khy ber Pakhtunkhawa, Pakistan”. International J ournalof Infectious Diseases. 17 (2013): e518–e523. 2. WHO. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. India: WHO Southeast Regional, 2011. 3. Chiaravalloti-Neto, F., Mariz a Pereira, Eliane Aparecida Fávaro, Margareth Regina Dibod, Adriano Mondinie, Antonio Luiz RodriguesJunior, Ana Patrícia Chierotti, and Maurício Lacerda Nogueira. “Assessment of the relationship between entomologic indicators of Aedes aegypti and the epidemic occurrence of Denguevirus 3 in asusceptible population, São José Do Rio Preto, São Paulo, Brazil”. Acta Tropica. 142 (2015): 167–177. 4. Ooi, Eng-Eong, Kee-Tai Goh, dan Duane J. “Dengue prevention and 35 years of vector control in

5. 6.

7.

8.

9.

10. 11.

12.

13.

14.

Singapore”. Emerging Inf ectious Diseases. 12:6 (2006). Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2013, 2014. WHO, UNICEF, UNDP, dan World Bank (Special P rogramme for Research and Training in Tropical Disease [ TDR]),A review of entomological sampling methods and indicators for dengue vectors, 2003. Widjaja, Junus. “Surveientomologi Aedes spp pra dewasa di Dusun Satu Kelurahan Minomartani Kecamatan Depok Kabupaten Sleman Provinsi Yogyakarta”. Aspirator. 4:2: 64-72. Danis -Lozano, R., Mario H. Rodríguez, Mauricio HernándezA vila. “Gender-related family head schooling and Aedes aegyptilarval breeding risk in Southern Mexico”. Salud Pública De México. 44: 3 (2002). Ibarra, A.M.S, Sadie J. Ry an, Efrain Beltran, Rau ´l Mejia, Mercy Silva, Angel Munoz. “Dengue vector dynamics (Aedes aegypti) influenced by climate and social factors in Ecuador: implications for target ed control”. PLOS One. 8:11: e78263. Dinas Kesehatan Kota S emarang. Data Kasus DBD 2014, 2015. Sunaryo dan Nova Pramestuti. “Surveilans Aedes aegyptidi daerah endemis demam berdarah Dengue”. Jurnal Kesehatan Masyarak at Nasional Kesmas. 8:8 2013. De Resende, M.C., Ivoneide Maria Silva, Brett R. Ellis, dan Álvaro Eduardo Eiras. “Acomparison of larval, ovit rap and mosquit rap surveillance for Aedes (Stegomyia)aegypti”. Mem Inst Oswaldo Cruz. 108:8 (2013). Ayuningtyas, Eka Devia. Perbedaan keberadaan jentik Aedes aegypti berdasarkan karakteristik kontainer di daerah endemis demam berdarah Dengue (studi kas us di Kelurahan Bangetayu Wetan Kota Semarang Tahun 2013). Unnes Journal of Public Health.Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2013. Troyo, A., Olger Calderón-Arguedas, Douglas O. Fuller, Mayra E. Solano, Adrian A vendaño, Kristopher L.

27 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Arheart, Dave D. Chadee, dan John C. Beier. “Seasonal profiles of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) larval habitats in an urban area of Costa Rica with a history of mosquito control”.J Vector Ecol. 33:1 (2012): 76-88. 15. Diharjo, Riswan.Survei entomologis dan penent uan Maya Index nyamuk vek tor penyak it demam berdarah Dengue di RW IXKelurahan Tahunan Kecamatan Umbulharjo Kotamadya Y ogyak arta Tahun 2006. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2006. 16. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. (Online), diakses pada 23 April 2015, (http://www.depkes.go.id/).

17. Rokhmawanti, Novia. Hubungan Maya Index dengan kejadian demam berdarah dengue di Kelurahan Tegalsari Kota Tegal. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro, 2014. 18. Purnama, Sang Gede dan Tri Baskoro. “Maya Index dan kepadatan larva A edes aegypti terhadap infeksi Dengue”. Mak ara Seri Kesehatan. 16:2: 57-64. 19. Murti, Bhisma. Prinsip dan met ode riset epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997.Wisfer, Erniwati Ibrahim, dan Makmur Selomo, Hubungan Jumlah Penghuni, Tempat Penampungan Air Keluarga dengan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Wilayah Endemis DB D Kota Mak assar, 2014

28 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Penelitian

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN RAWAT JALAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN DI RSUD KABUPATEN BADUNG MANGUSADA Putu Erma Pradnyani,1Ketut Hari Mulyawan 2 1 Mahasiswa

Program Studi Kesehatan Masyarak at, Fak ultas Kedok teran Universitas Udayana 2 Dosen Program Studi Kesehatan Masyarak at, Fak ultas Kedok teran Universitas Udayana ABSTRAK Pendahuluan: Kabupaten Badung Provinsi Bali memiliki 1 rumah sakit daerah yang merupakan rumah sakit rujukan dengan pelayanan meliputi rawat jalan, rawat inap, dan gawat darurat. Berdasarkan standar pelayanan minimal rumah sakit, kepuasan pasien terhadap pelayanan rawat jalan harus mencapai ≼ 90% , namun RSUD Kabupaten Badung Mangusada belum mewujudkan kepuasan pasien sesuai standar. Kepuasan pasien akan terlihat apabila pelayanan yang diberikan berkualitas . Penelitian kepuasan pada pelayanan rawat jalan RSUD ini belum pernah dilakukan, maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain crossectional. Sampel penelitian ini adalah 100 orang pasien lama pada rawat jalan yang diambil dengan teknik consecutive sampling. Variabel yang diteliti adalah kepuasan pasien dan kualitas pelayanan dari 5 dimensi mutu yaitu tangible, responsivennes, reliability, assurance, dan emphaty. Hasil: Hasil penelitan menunjukkan 75% pasien merasa puas terhadap kualitas pelayanan rawat jalan yang diberikan. Berdasarkan hasil uji bivariat, 5 dimensi kualitas pelayanan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan pasien. Akan tetapi, hasil uji multivariat menunjukkan bahwa hanya 3 dimensi yang berpengaruh signifikan terhadap kepuasan pasien. Tiga dimensi kualitas pelayanan tersebut dirasakan kurang memberi rasa puas bagi pasien. Dimensi tersebut adalah dimensi tangible (p 0,013 dan OR 14,33), dimensi reliability (p 0,005 dan OR 7,27), dan dimensi responsiveness (p 0,027 dan adjusted OR 4,65). Kesimpulan: Hanya 3 dimensi kualitas pelayanan yang berpengaruh signifikan terhadap kepuasan pasien. Demi meningkatkan kepuasan pasien, perlu adanya evaluasi terhadap tiga dimensi yang masih kurang memberikan rasa puas seperti kondisi tempat duduk, kejelasan alur pengobatan, lamanya waktu tunggu, dan keramahan petugas dan dokter. Kata kunci: Kepuasan pasien, pelayanan rawat jalan, dan kualitas pelayanan ABSTRACT Introduction: Badung regency of Bali province has one regional hospital which is a referral hospital that serves outpatient, inpatient, and emergency department. Minimum service standards for hospitals, patient satisfaction with care in outpatient services should reach ≼ 90%, but Badung Mangusada hospitals do not realize the patient satisfaction according to the standard. Patient satisfaction will be seen if the quality of services provided. Satisfaction research at this hospital outpatient services has never been done, and therefore this study aims to look at the impact of service quality to client satisfaction. Methods: This was an observational analytic study that uses a quantitative approach with the cross-sectional design. The sample was 100 people long patients on outpatient tak en with consecutive sampling technique. The variables studied were patient satisfaction and quality of service of five dimensions of quality that is tangible, responsivennes, reliability, assurance, and empathy. Results: The results showed 75% of patients are satisfied with the quality of outpatient care provided. The results of the bivariate 5 dimensions of service quality significantly influence patient satisfaction but only 3 dimensional multivariate results that significantly influence patient satisfaction. 3 dimensions of service quality are felt less gives a sense of

29 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


satisfaction for patients. The dimension is the dimension of tangible (p 0,013, OR 14,33), the dimension of reliability (p 0,005 , OR 7,27), and the dimensions of responsiveness (p 0,027,OR 4,65). Conclusion: Only three dimensions of service quality that significantly influence patient satisfaction. In order to enhance patient satisfaction need for evaluation of the threedimensional still not give a sense of satisfaction as the condition of the seating, clarity groove treatment, waiting time, and the friendliness of staff and doctors. Keywords: Patient satisfaction, outpatient services, and quality of service. 1

PENDAHULUAN Rumah Sakit Umum Daerah (RS UD) Kabupaten Badung Mangusada adalah satu-satunya fasilitas kesehatan rujukan milik pemerintah di Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Rumah sakit ini memberikan pelayanan rawat jalan, rawat inap, IGD, laboratorium, dan pelayanan lainnya. Pelayanan rawat jalan di rumah sakit menjadi pusat perhatian karena merupakan gerbang awal penerimaan pasien dan jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan pelayanan medik lainnya. Pelayanan ini harus memberikan kualitas pelayanan yang baik sehingga nantinya pasien ak an puas dan tetap loyal dengan rumah sakit. Data rumah sakit tahun 2015 menyebutkan bahwa kunjungan pasien rawat jalan adalah 101.689 sedangkan rawat inap hanya mencapai 11.251 kunjungan. Rawat jalan merupakan sumber pangsa pasar yang diprediksi mampu meningkatkan finansial rumah sakit apabila rumah sakit dapat meningkatkan kualitas pelayanan rawat jalan. [1] Data survei indeks kepuasan masyarakat oleh pihak internal pada pelayanan rawat jalan RSUD Kabupaten Badung Mangusada dari tahun 2013 2015 mengalami fluk tuasi. Survei yang dilakukan tahun 2013 menunjukkan nilai indeks kepuasan pasien 78, 50%, tahun 2014 menurun menjadi 76,65% dan meningkat pada tahun 2015 menjadi 82,45%. [2] Ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan yang diberikan rumah s akit dapat berdampak negatif seperti berkurangny a kunjungan pasien, peralihan tempat pelayanan, penurunan kepercay aan terhadap tenaga kesehatan, pengaduan ketidakpuasan ke media massa, penurunan citra rumah sakit, dan lain-lain. [3] Terkait pencegahan hal itu setiap rumah sakit dituntut unt uk selalu mengutamakan kepuasan pasien. Kepuasan pasien juga akan terlihat apabila pelayanan yang diberikan

berkualitas. [4] Kepuasaan pasien juga dapat dilihat dari persepsi pasien terkait kualitas pelayanan dari segi bukti fisik, kehandalan, day a tanggap, jaminan, dan empati yang diberikan oleh pihak rumah sakit. [5] Kualitas pelayanan memiliki pengaruh sangat besar terhadap kepuasan pasien. Dalam penelitian Mumu,et al (2015) menyebutkan bahwa kualitas pelayanan dari segi daya tanggap merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi kepuasan pasien. [6] Demi mencapai tingkat kepuasan yang maksimal serta mencegah ketidakpuasan pasien, maka penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien rawat jalan di RSUD Kabupaten Badung Mangusada. 2

METOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada April 2016 dan merupakan penelitian observasional analitik yang menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain crossectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien lama pada pelayanan rawat jalan di rumah sakit daerah K abupaten Badung Mangusada. Sampel dalam penelitian ini adalah 100 orang pasien rawat jalan yang sudah pernah berkunjung sebelumnya ke RSUD Kabupaten Badung Mangusada dengan perhitungan besar sampel menggunakan P1 0,79 dan P 2 0,51. Sampel yang diambil adalah pasien yang sudah berumur ≼17 tahun dan berkunjung tahun 2016 namun sudah pernah berkunjung sebelumnya. Pengumpulan data menggunakan kuisioner dan wawancara. Pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling. V ariabel yang diteliti adalah kepuasan pasien dan kualitas pelayanan dari 5 dimensi yaitu tangible, responsivennes, reliability, assurance, dan emphat y. Analisis data pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan

30 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


pasien rawat jalan dilakukan dengan menggunakan regresi logistik pada uji bivariat dan multivariat. 3

HASIL Adapun hasil penelitian ini diperoleh bahwa dari 100 pasien rawat jalan yang dijadikan res ponden, 75% pasien rawat jalan merasa puas terhadap pelayanan rawat jalan yang diberikan dan 25% merasa tidak puas. Karakteristik terbanyak res ponden adalah kelompok umur > 45 tahun sebanyak 44%, responden terbany ak adalah perempuan sebesar 58%, status pendidik an tinggi (SMA hingga perguruan tinggi) sebanyak 72%. Pekerjaan responden yang

terbanyak adalah responden yang bekerja sebanyak 68%.Sebagian responden memiliki jarak akses ≤10 km (jarak dekat) sekitar 53%. Dari keseluruhan responden 51% responden memiliki jaminan kesehatan berupa BPJS/Jamkesmas/KIS. 3.1 Analisi s Bivariat Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap Kepuasan Kualitas pelayanan rawat jalan RSUD Kabupaten Badung Mangusada pada Gedung A dinilai dari 5 dimensi mutu pelayanan yang terdiri dari dimensi tangible, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy.

Tabel 1. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Crude Kualitas Pelayanan Puas Tidak Puas P 95% CI OR OR Tangible Tidak Baik 37 (60,66%) 24 (39,34%) Baik 38 (97,44%) 1 (2,56%) 0,002 24,64 3,17-191,6 Reliability Tidak Baik 30 (57,69%) 22 (43,31%) Baik 45 (93,75%) 3 (6,25%) <0,001 11 3,02- 40,02 Responsivenes Tidak Baik 7(38,89%) 11 (61,11%) Baik 68 (82,93%) 14 (17,07%) <0,001 7,63 2,51-23,12 Assurance Tidak Baik 8 (50%) 8 (50%) Baik 67 (79,76%) 17 (20,24%) 0,016 3,94 1,29-12,02 Empaty Tidak Baik 3 (30%) 7 (70%) Baik 72 (80%) 18 (20%) 0,002 9,33 2,19-39,7 Dari 100 res ponden 61% menyebutkan bahwa dimensi pelayanan tangible dalam kondisi tidak baik dan 39% dalam kondisi baik. Responden berpendapat bahwa 52% dimensi reliability dalam kondisi tidak baik dan 48% dalam kondisi baik. Pendapat responden menyebutkan bahwa 82% kondisi dimensi responsiveness baik dan 18% dalam kondisi tidak baik. Sebagian besar responden menyebutkan bahwa 84% dimensi assurance dalam kondisi baik dan hanya 16% yang menyatakan tidak baik. Dimensi emphaty 90% responden meny atakan kualitas pelayanan sudah baik dan 10% berpendapat berbeda mengatakan kondisi tidak baik. Pengaruh kualitas pelayanan rawat jalan dari 5 dimensi semuanya memiliki nilai p< 0,05 yang artinya bermakna

secara statistk mempengaruhi kepuasan pasien (t abel 1). Dimensi tangible (kondisi fisik) yang baik membuat 97,44% res ponden meras a puas sedangkan 60,66% kondisi fisik yang tidak baik membuat responden merasa puas. Hasil perhitungan nilai OR 24,64 dengan 95% CI OR 3,17-191,65 menunjukkan bahwa dimensi tangible bermakna secara statistik dengan nilai p 0,002. Pengaruh kualitas pelayanan rawat jalan dari 5 dimensi pelayanan yang terdiri dari tangible, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy semuanya memiliki nilai p< 0,05 yang artinya bermakna secara statistk mempengaruhi kepuasan pasien (tabel 5.5). Dimensi tangible (kondisi fisik) yang baik membuat 97,44% responden merasa puas sedangkan 60,66% kondisi

31 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


fisik yang tidak baik membuat responden merasa puas. Hasil perhitungan nilai OR 24,64 dengan 95% CI OR 3,17-191,65 menunjukkan bahwa dimensi tangible bermakna secara statistik dengan nilai p 0,002. B esar efek pasien merasa puas terhadap kualitas dari dimensi tangible yang baik adalah 24,64 kali. Dimensi reliability (k ehandalan) yang baik menyebabkan responden puas sebesar 93,75% sedangkan dimensi reliability yang tidak baik 57,69% membuat responden meras a puas. Dimensi reliability bermakna secara statistik dengan nilai p <0,001 dan hasil OR menunjukkan bahwa kehandalan yang baik dapat meningkatkan rasa puas terhadap pelayanan 11 kali dibandingkan kehandalan yang tidak baik. Dimensi kualitas pelayanan responsiveness (daya tanggap) yang baik 82,93% membuat responden merasa puas sedangkan 38,89% merasa puas dengan dimensi daya tanggap yang tidak baik. Dimensi responsiveness memiliki nilai OR 7,63 dengan 95% CI OR 2,52-23,12 dan bermakna secara statistik dengan nilai p <0,001. Dimensi assurance (jaminan) yang baik membuat 79,76% responden merasa puas dan 50% res ponden yang berpendapat dimensi assurance tidak baik merasa puas terhadap pelayanan.

Dimensi assurance menunjukkan nilai p 0,016 y ang artinya bermakna secara statistik dan nilai OR 3,94. Dimensi empati yang baik 80% membuat pasien merasa puas dan 30% pasien yang menganggap dimensi empati dalam kualitas pelayanan rawat jalan tidak baik yang merasa puas. Dimensi empati didapatkan hasil OR 9,33 dan 95% CI 2,19-39,7 dan bermakna secara statistik dengan nilai p 0,002. 3.2 Analisi s Multivariat Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap Kepuasan Analisis menggunak an metode back ward seluruh variabel dimasukkan dalam uji analisis multivariat dan secara bertahap dikeluarkan karena nilai p >0,05. Dari keseluruhan uji analisis multivariat dengan regresi logistik diperoleh 3 variabel yang bermakna secara statistik yaitu dimensi tangible, reliability, dan responsiveness dengan nilai p <0,05 (tabel 2). Berdasarkan uji goodness of fit tiga variabel terakhir dalam model dengan nilai p 0,11 yang artinya p>0,05 menandakan bahwa model pengaruh dimensi tangible, reliability, dan responsiveness terhadap kepuasan pasien cocok diuji dengan regresi logistik.

Tabel 2. Hasil Multivariat Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Kualitas P OR 95%CI OR Tangible 0,013 14,33 1,75-117 Reliability 0,005 7,27 1,81-29 Responsive-ness 0,027 4,65 1,19-18 Hasil dari analisis multivariat juga menunjukkan bahwa kualitas pelayanan dari dimensi dimensi tangible, reliability, dan responsiveness memiliki pengaruh 36% terhadap kepuasan pasien di RSUD Kabupaten Badung dan sisanya adalah variabel lainnya yang mungkin belum diteliti. 4

PEMBAHASAN Kepuasaan pasien akan terwujud apabila kualitas pelayanan yang diberikan berkualitas. Kualitas pelayanan dapat diukur dari 5 dimensi pelayanan yang sering dikenal dengan SerQual yang terdiri atas dimensi tangible, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy. [3] Kualitas pelayanan dari

dimensi tangible adalah dimensi yang dapat dirasakan dan dilihat dengan menggunakan indera secara langsung. Penampilan petugas pendaftaran dan dokter yang rapi adalah item pernyataan yang bernilai sangat besar dirasakan oleh pasien yang datang. Pengaruh panca indra penglihatan yang ditampilkan petugas dan dokter sangat berpengaruh terhadap pembentukan rasa puas pasien rawat jalan yang sudah pernah berk unjung kesana sebelumnya. [7] Analisis pengaruh kualitas pelayanan rawat jalan dari dimensi tangible terhadap kepuasan pasien di RSUD Kabupaten Badung Mangusada peneliti menemukan bahwa 97, 44% pasien puas dengan dimensi tangible

32 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


yang baik dan secara bivariat maupun multivariat menunjukkan bahwa dimensi tangible memiliki pengaruh bermakna terhadap kepuasan pasien dengan nilai p 0,013 dan adjusted OR 14,33. Nilai OR menunjukkan besar efek dimensi tangible yang baik dapat meningkatkan rasa puas sebesar 14,33 kali dibandingkan dengan kondisi yang tidak baik. Dimensi tangible merupakan faktor yang dominan dari kualitas pelayanan rawat jalan yang mempengaruhi kepuasan pasien di RS UD K abupaten Badung Mangusada. Hal serupa dengan penelitian Mumu, et. al (2015) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien di RSUP Manado mengemukakan bahwa bukti fisik yang merupakan wujud kenyataan secara fisik yang terkait fasilitas, peralatan, penampilan, dan sarana berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan pasien dengan nilai p =0,03 dan dapat mempengaruhi keput usan untuk kembali lagi menggunak an layanan yang diberikan. [5] Dimensi reliability merupakan dimensi yang hasilnya sangat bergantung dari tindakan manusia. Dari 4 item pernyataan, waktu tunggu selama proses pelay anan rawat jalan yang terdiri dari pendaftaran di loket hingga diberikan pengobatan di poliklinik ataupun pemeriksaan tambahan sangat lama dirasakan dan hal ini merupakan masalah yang banyak membuat pasien tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan. Standar baku waktu tunggu pada pelayanan rawat jalan yang sesuai standar pelayanan minimal rumah s akit adalah ≤60 menit. [8] Hasil analisis bivariat maupun multivariat menunjukkan bahwa dimensi reliability memiliki pengaruh bermakna terhadap kepuasan pasien dengan hasil bivariat (p <0,001,OR= 11) dan hasil multivariat (p= 0,005,OR= 7,27). Nilai OR menunjukkan besar efek kehandalan yang baik dapat meningkatkan kepuasan pasien 7,27 kali dibandingkan dengan kehandalan yang tidak baik. Hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan hasil penelitian Faizal,et. al (2013) yang mengemukakan bahwa kehandalan tidak ada hubungannya dengan tingkat kepuasan pasien rawat jalan di RS UP Kota Manado, sedangkan hasil yang diperoleh Mumu, et al (2015)

menyebutkan hal yang sama bahwa kehandalan memiliki pengaruh yang signifikan (p=0,004) terhadap kepuasan pasien dengan nilai OR 7,1.[6,9] Namun hasil serupa diperoleh Syahputra (2015) yang mendapatkan kesimpulan bahwa ada hubungan antara mutu pelayanan kehandalan dengan kepuasan pasien di Intalasi Rawat Inap Kelas II Rumah Sakit Umum Daerah Sekayu. [10] Kualitas pelayanan dari dimensi responsiveness merupakan kesediaan pemberi layanan dalam meres pon dan memberi pelayanan yang cepat dalam menangani keluhan pasien. Berdasarkan hasil analisis pengaruh kualitas pelayanan rawat jalan dari dimensi responsiveness terhadap kepuasan pasien sec ara bivariat maupun multivariat, dimensi ini memiliki pengaruh bermakna terhadap kepuasan pasien sesuai nilai p 0,027 maupun adjusted OR 4,65. Hasil adjusted OR menunjukkan bahwa kualitas pelayanan dari dimensi responsiveness yang baik meningkatkan kepuasan pasien rawat jalan 4,65 kali dibandingkan kualitas yang tidak baik. Hal serupa diungkapkan oleh Wira (2014) dengan 110 responden mengemukakan bahwa daya tanggap baik yang berupa kemampuan membantu dan merespon permintaan konsumen dengan cepat 59,6% membuat pasien puas dan berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan pasien dengan nilai p =0,032 dan OR=2,404. [5] Dimensi assurance (jaminan) berhubungan dengan kesopanan dan kepercay aan pelanggan terhadap petugas. Keramahan dan kesopanan adalah poin penting dalam uk uran kualitas pelayanan dan dapat membantu meningkatkan kepuasan pasien.Pemenuhan pelayanan dari dimensi ini dapat membuat pasien yang datang merasa terbebas dari risiko. [5,10] Pengukuran kualitas pelayanan dari dimensi jaminan terdiri dari 4 item pernyataan, keramahan dari dokter maupun petugas pendaft aran masih sangat rendah penilaiannya dibandingkan yang lainnya. Hal ini menunjukkan masih perlunya adanya evaluasi terhadap keramahan oleh dokter, perawat ataupun petugas pendaftaran. Apabila keramahan ini tidak ditingkatkan, nantinya pasien yang datang ke rumah

33 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


sakit dapat berkurang tingkat kepercay aan mereka terhadap pelayanan yang diberikan. Analisis pengaruh kualitas pelayanan rawat jalan dari dimensi assurance terhadap kepuasan pasien secara bivariat bermakna secara signifikan terhadap kepuasan pasien dengan nilai p 0,016 dan crude OR 3,94 namun hasil multivariat menunjukkan tidak bermakna terhadap kepuasan pasien sesuai nilai p 0,794 dan adjusted OR 1,21. Walaupun hasil multivariat menunjukkan tidak ada pengaruh yang siginifikan namun dari besar efek dapat dilihat bahwa kualitas pelayanan rawat jalan dari dimensi assuranc e yang baik meningkatkan peluang pasien merasa puas 1,21 kali dibandingkan bila kondisi tidak baik. Hasil yang diperoleh serupa dengan penelitian Faizal, et .al (2013) yang mengemukakan bahwa dimensi jaminan tidak memiliki hubungan dengan kepuasan pasien, sedangkan Khamis (2014) dengan menggunak an 424 responden menyebutkan bahwa dimensi assuranc e adalah dimensi dengan tingkat pertama yang mempengaruhi kepuasan pasien diantara 5 dimensi kualitas pelayanan lainnya.[9,11] Kriteria dimensi empati atau perhatian lebih menekankan bagaimana memberikan perhatian terhadap pengguna jasa. Analisis pengaruh kualitas pelay anan rawat jalan dari dimensi emphat y terhadap kepuasan pasien sec ara bivariat bermakna secara signifikan terhadap kepuasan pasien dengan nilai p 0,002 dan c rude OR 9,33 namun hasil multivariat menunjukkan tidak bermakna t erhadap kepuasan pasien s esuai nilai p 0,475 dan adjusted OR 1,93. Ketidakbermaknaan hasil multivariat tidak menutupi besar efek yang dapat ditimbulkan oleh dimensi empati yang baik, dimana dapat meningkatkan 1,93 kali rasa puas pasien apabila dibandingkan dengan dimensi empati yang tidak baik. Hasil penelitian ini bila dibandingkan dengan hasil penelitian Wira (2014) yang menyebutkan bahwa dimensi emphat y memiliki hubungan signifikan terhadap kepuasan pasien dengan nilai p 0,032 dan adjusted OR 2,594 sangatlah berlawanan karena hasil penelitian tersebut selain terdapat perbedaan pada jumlah sampel juga terkait indikator

pengukuran dimensi empati khususnya komunikasi dengan pasien yang bertujuan memberi dukungan untuk kesembuhannya. [5] Penelitian Suharmiati dan Didik tahun 2007 menyebutkan bahwa dimensi empati berupa cara berbicara tenaga kesehatan dalam mendampingi pasien menentuk an tingkat kepuasan seseorang. [12] 5

KESIMPULAN Pengaruh dimensi kualitas pelay anan terhadap kepuasan pasien di RSUD Kabupaten Badung Mangusada secara analisis bivariat dengan metode simple logistic regression dapat dilihat bahwa 5 dimensi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pasien, namun hasil analisis multivariat menunjukkan hanya 3 dimensi yaitu dimensi tangible, reliability,dan responsiveness yang memiliki pengaruh murni yang signifikan terhadap kepuasan pasien. 6

SARAN Rekomendasi yang peneliti dapat sampaikan adalah perlunya evaluasi oleh pihak manajemen rumah sakit mengenai kondisi sarana tempat duduk yang masih kurang, kejelasan alur pengobatan, lamanya waktu tunggu proses rawat jalan, dan keramahan petugas dan dokter. Peneliti selanjutnya juga dapat meneliti lebih banyak poi n pernyataan atau pertanyaan yang dapat mengukur semua dimensi kualitas pelayanan yang dapat mempengaruhi kepuasan pasien pada pelayanan rawat jalan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih ditujukan kepada Ketua PS.KM FK Unud,dosen kepala bagian biostatistik dan kependudukan yang sekaligus dosen pembimbing, seluruh pegawai RSUD Kabupaten Badung Mangusada, responden penelitian, orang tua, saudara, dan orang terkasih, teman-t eman IKM 12 dan Luck y Seven,serta semua pihak lain yang telah membantu pengambilan d ata dan penyusunan jurnal ini yang penulis tidak dapat disampaikan satu persatu yang telah memberikan bimbingan, saran, dan masukan selama proses penulisan hingga penyusunan jurnal ini dapat terselesaikan tepat waktu.

34 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


DAFTAR PUSTAKA 1. MIKM UNDIP. Analisis Pengaruh Fak tor Customer Relationship Mark eting Terhadap Sik ap Pasien Lama Untuk Membangun Hubungan Jangk a Panjang Dengan Unit Rawat Jalan Di Rumah Sak it William Booth Semarang. Oleh ArifKurniawan. 2006. 2 Januari 2016. <https://core.ac.uk /download/pdf/11 716739.pdf> 2. RSUD Kabupaten Badung Mangusada. Survei K epuasan Masyarakat Rumah S akit Umum Daerah Kabupaten Badung Mangusada Tahun 2015 Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparat ur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16 Tahun 2014. 2015. 3. Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Padjadjaran.Pengaruh Kepuasan Atas Kualitas Pelayanan Kesehatan dan Tarif Rumah Sak it terhadap Pasien Pulang Pak sa: Suatu Kajian Literatur.ErdiGunawan. 2013. 3 Februari 2016<pustak a.unpad.ac.id/arc hives/ 126284> 4. Muninjaya, A.A.G. Manajemen Mut u Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Kedokteran EGC, 2011. 5. Wira, Ida Ayu Dwidyaniti. “Hubungan antara pers epsi Mut u Pelayanan as uhan Keperawatan Dengan Kepuasan Pasien Rawat Inap Kelas III di RS UD Wangay a Kota Denpasar.”P ublic Health and Preventive Medicine Archive. 2:2(2014):150-155 6. Mumu, Like J, et al.”A nalisis FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Kepuasan Pasien di Poliklinik Penyakit Dalam RS UP Prof. Dr.R. D. Kandou Manado.”J urnal ilmu

Kesehatan Masyarak at Unsrat. 5: 4(2015). 7. Notoatmodjo, S. Ilmu Perilak u Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 2010. 8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Standar P elayanan Minimal Rumah Sak it. Oleh Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 2008. 1 Januari 2016 <perpustak aan.depkes.go.id:8180/b itstream//.../787/4/BK2008-G1.pdf> 9. Faisal,et al. ”Hubungan ant ara Pelayanan Perawat dengan Kepuasan Pasien Di Instalasi Rawat Inap BlU RSUD Kot a Manado.”Jurnal Kesehatan Masyarak at Universitas Sam Ratulangi. 1:9(2013). 10. Akademi Keperawatan Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin. Hubungan Mut u Pelayanan BPJS Kesehatan dengan Kepuasan Pasien di Instalasi Rawat Inap Kelas II Rumah Sak it Umum Daerah Sek ayu Tahun 2015. Oleh Agus Diman Syaputra. 10 A gustus 2015.2 Mei 2016<repository.unhas.ac.id/bitstrea m/handle/123456789/.../KTI%20Jadi .pdf> 11. Khamis, at al. “Patient’s Level of Satisfaction on Quality of Healt h Care at Mwananyamala Hospital in Dar es Salaam, Tanzania.”B MC Healt h Services Reasearch. (2014).7 Januari 2016<http://www.biomedcentral.com /1472-6963/14/400> 12. Suharmiati dan Didik Budijanto. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kepuasan Respoden Pengguna Rawat Jalan Rumah Sakit Pemerint ah di Indonesia. “Buletin Penelitian Sistem Kesehatan”.10: 2(2007):123-130.

35 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Penelitian

HUBUNGAN ANTARA PENDAPATAN DAN STATUS KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DENGAN STATUS GIZI BALITA DI PERMUKIMAN KUMUH Atik Qurrota A’Yunin Al-Isyrofi 1 1Departemen

Gizi Kesehatan, Fak ultas Kesehatan Masyarak at, Universitas Airlangga, Surabaya ABSTRAK Pendahuluan: Aspek gizi merupakan salah satu aspek paling penting dalam tumbuh kembang balita. Berbagai faktor dapat mempengaruhi status gizi balita, termasuk pendapatan dan status ketahanan pangan rumah tangga. Indonesia sebagai negara berkembang juga memiliki banyak isu pembangunan yang terkait erat dengan masalah gizi pada balita, diantaranya pada permukiman kumuh. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara pendapatan dan status ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi balita pada permukiman kumuh. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan besar sampel sebanyak 55 rumah tangga di Kecamatan Bulak, Kota Surabaya. Sampel ditentukan menggunakan teknik proportional random sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui antropometri untuk mengukur status gizi balita usia 2-5 tahun berdasark an indeks BB/U serta wawancara dengan kuesioner terstruktur dan instrumen US -HFSSM (USHousehold Food Security Survey Module). Hasil: Hasil uji korelasi spearman menunjukkan signifikansi sebesar 0,017 < (Îą = 0, 05) yang berarti bahwa ditemukan terdapat hubungan antara status ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi balita. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara status ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi balita di permukiman kumuh. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangga melalui kolaborasi lintas sektoral serta partisipasi aktif orang tua balita. Kata kunci: Status gizi, Pendapatan, Ketahanan pangan, Permukiman kumuh, Balit a. ABSTRACT Introduction: Nutritional aspect is one of the most important aspect in the growt h and development of toddler. Many factors can affect nutritional status of chidren under five, including income and household food securit y status. Indonesia as a developing country has various development issues that are closely related t o nut ritional problems in toddler, especially in slums area. This research aims to analyze the relationship bet ween income and household food security status with nutritional status of toddler in slum area. Method: This res earch used c ross sectional design with sample size of 55 households in Bulak , Surabaya. S ample was determined using proportional random sampling. Data has been collected through anthropometry to measure nutritio nal status of children aged 2-5 years old based on weight for age index as well as interviews with structured questionnaire and US-HFSSM (US-Household Food Security Survey Module) instrument. Result: The results of spearman correlation test showed the significance of 0,017 < (Îą = 0,05) it means there is a relationship between household food securit y status with nutritional status of toddler. Conclusion: There is a relationship bet ween hous ehold food security status with nutritional status of toddler in slum area. So it suggested that need efforts to improve household food security status through intersectoral collaboration and active participation of parents. Key words: Nutritional status, Income, Food security, Slum area, Toddler. 1

PENDAHULUAN Aspek gizi adalah salah satu aspek terpenting dalam proses pertumbuhan

dan perkembangan. Hal tersebut disebabkan adanya keterkaitan erat antara aspek gizi dengan aspek

36 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


kesehatan dan kecerdasan.[1] Berbagai masalah akibat kekurangan gizi telah banyak muncul di masyarakat, terut ama pada kelompok balita sebagai salah satu kelompok rent an. Oleh karena itu, status gizi balita telah dijadikan sebagai salah satu indikator gizi masyarakat yang juga dikembangkan menjadi salah satu indikator kesehatan serta kesejahteraan masyarakat. [2] Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita secara nasional mencapai 19,6%. Sedangkan di Jawa Timur, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang mencapai 19,1%. [3] Angka tersebut t elah mendekati cut off point masalah kesehatan masyarakat yang dianggap serius, yaitu jika prevalensi gizi buruk dan gizi kurang antara 20%29%.[4] Banyak faktor yang dapat mempengaruhi status gizi balita. Pada tingkat rumah tangga, status gizi balita sangat dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga dalam memenuhi asupan gizi balita. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan rumah tangga untuk menyediakan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup, termasuk akses untuk memperoleh pangan yang berhubungan dengan pendapatan dan status ketahanan pangan rumah tangga. Pendapat an yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penghasilan rata-rata rumah tangga dalam satu bulan. Sedangk an ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggot anya dalam jumlah, mut u, dan ragam yang seimbang dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melaksanakan kegiatan sehari -hari secara produktif. Kecukupan pangan mencakup segi kuantitas dan kualitas, sehingga agar rumah tangga dapat memenuhi kecuk upan pangan tersebut, maka rumah tangga harus memiliki akses yang memadai untuk memperoleh pangan. [5] Terkait dengan pendapatan, penelitian Putri (2015) di wilayah kerja Puskesmas Nanggalo Padang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendapatan rumah tangga dengan status gizi balita.[6] Demikian

pula hasil penelitian lain yang juga menunjukkan adanya hubungan antara pendapatan rumah tangga dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Kalijambe.[7] Selain itu, terk ait dengan status ketahanan pangan rumah tangga, hasil penelitian Natalia (2013) yang menunjukkan adanya hubungan antara ketahanan pangan tingkat keluarga dengan status gizi batita di Desa Gondang Winangun, Temanggung, Jawa Tengah.[8] Larson dan Story (2011) juga memaparkan adanya hubungan antara status ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi anak dan keluarga di Amerika Serikat.[9] Indonesia sebagai negara berkembang menyimpan berbagai masalah dan isu pembangunan, termasuk urbanisasi. Urbanisasi terjadi hampir di seluruh kota besar di Indonesia, termasuk di Kota Surabaya. Hal tersebut memicu munculnya permukiman kumuh yang ditandai dengan kondisi lingkungan dan bangunan rumah kurang layak huni. Hampir sebagian besar penduduk bergerak di sektor ekonomi informal, dan banyak diantaranya termasuk keluarga miskin. Kondisi ters ebut berpengaruh terhadap status gizi masyarakat, termasuk kelompok balita. Berdasarkan hasil survey Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun 2014 di Kota Surabaya, Kecamatan Bulak yang masuk dalam wilayah kerja Puskesmas Kenjeran adalah salah satu kawasan dengan kasus gizi buruk dan gizi kurang tertinggi (14,31%).[10] Pada kawasan ini juga tersebar banyak permukiman kumuh nelayan yang sebagian besar juga menampung penduduk pelaku urbanisasi, terut ama dari Pulau Madura. Kecamatan Bulak adalah kawasan yang berbatasan dengan Selat Madura. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh tim RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kot a Surabaya, terdapat 37 titik kawasan permukiman kumuh di Kota Surabay a. Sebagian besar lokasi permukiman kumuh terletak di perbatasan Kota Surabaya. Salah satu kawasan yang termasuk permukiman kumuh tersebut terletak di Kecamatan Bulak. Kawasan yang memiliki 4 kelurahan ini memiliki tingkat

37 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


kepadatan cukup tinggi dan lingkungannya relatif tidak tert ata. Salah satu penyebabnya adalah pertumbuhan penduduk alami dan hasil urbanisasi yang tidak terkendali. Selain itu, belum ada perencanaan penataan lingkungan yang komprehensif di kawasan ini, Sebagian besar penduduk nya adalah nelayan dan pedagang hasil tangkapan laut.[11] Pada umumnya, nelayan seringkali mengalami keterbatasan aset, lemahnya kemampuan modal, posisi tawar dan akses pasar. Keterbat asan kepemilikan aset adalah salah satu ciri umum masyarakat miskin yang berisiko rawan pangan. Selain itu, masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh seringkali merupakan masyarakat pendatang yang tidak memiliki identitas penduduk setempat. Hal ters ebut membuat masyarakat tidak tercakup dalam berbagai program, terut ama terkait social safety net termasuk program di bidang pangan dan gizi, ekonomi serta program lainnya. Berdasarkan permasalahan diatas, maka peneliti tertarik untuk menganalisis hubungan antara pendapatan dan status ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi balita di permukiman kumuh. 2

METODE Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang bersifat observasional dengan metode deskripstif analitik. Desain penelitian ini menggunakan studi cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga yang memiliki balita berusia 2-5 tahun pada permukiman kumuh di Kecamatan Bulak Kota Surabaya. Berdasarkan perhitungan besar sampel, didapatkan hasil sebanyak 49 keluarga yang ditambah 10% per unit sampel sehingga besar sampel menjadi 55 keluarga. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode proportional random sampling, yaitu s atuan sampling dipilih secara acak dan proporsional. Peluang untuk terpilih harus diketahui besarnya, sehingga didapatkan besar unit sampel yang dapat mewakili satu kecamatan. Pengambilan sampel memperhitungkan jumlah balita di tiap kelurahan. Penelitian dilakukan di 2 dari 4 kelurahan pada permukiman kumuh di

Kecamatan Bulak yang dipilih secara purposif, sehingga terpilih K elurahan Sukolilo Baru dan Kelurahan Bulak yang memiliki jumlah balita terbany ak. Waktu untuk melakukan penelitian ini adalah dalam rentang waktu Mei-Juli 2016. Tahap pengumpulan dat a dimulai dengan pengambilan data sekunder dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya, Kantor Kecamatan Bulak dan Puskesmas Kenjeran untuk memperoleh data balita serta dat a umum yang lain. Lalu pengambilan data primer melalui posyandu di 2 kelurahan yang telah terpilih dengan melakukan antropometri untuk balita dan wawanc ara k epada ibu balita setelah menandat angani informed consent. Kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data. Instrumen penelitian terdiri dari timbangan digital untuk mengukur berat badan balita dengan rentang usia 2 -5 tahun, kuesioner terstruktur, dan instrumen US-HFSSM (Household Food Security Survey Module) yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia untuk menguk ur status ketahanan pangan rumah tangga. Analisis data dilakukan dengan analisis univariat untuk memperoleh gambaran tentang pendapatan, status ketahanan pangan rumah tangga, dan status gizi balita. Analisis bivariat menggunakan uji chi-square (Îą = 0,05) untuk menguji hubungan antara pendapatan rumah tangga dengan status gizi balita serta uji korelasi spearman (Îą = 0,05) untuk menguji hubungan antara status ketahanan apngan rumah tangga dengan status gizi balita. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendapatan dan status ketahanan pangan rumah tangga. Sedangkan variabel terikatnya adalah status gizi balita. 3 HASIL 3.1 Analisis Univariat Hasil analisis univariat dalam penelitian ini ditunjukkan pada tabel 1 berikut.

38 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Tabel 1. Gambaran Pendapatan, Status Ketahanan Pangan Rumah Tangga, dan Status Gizi Balita di Kecamatan Bulak, Surabaya Tahun 2016 Variabel Pendapatan Rumah Tangga Status Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Status Ketahanan Pangan Anggota Rumah Tangga Balita Status Gizi Balita

Kategori < mean ≼ mean Tahan Pangan Rawan Pangan Tanpa Kelaparan Rawan Pangan dengan Derajat Kelaparan Sedang Rawan Pangan dengan Derajat Kelaparan Berat Tahan Pangan atau Rawan Pangan Tanpa Kelaparan Rawan Pangan dengan Derajat Kelaparan Sedang Rawan Pangan dengan Derajat Kelaparan Berat Gizi Buruk Gizi Kurang Normal

Pendapat an rumah tangga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah pendapatan rata-rata per bulan kedua orang tua balita yang menjadi responden. Variabel ini diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu ≼ mean dan < mean, yaitu Rp 2.479. 636, -. Klasifikasi menggunakan kategori mean karena data berdistribusi normal. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1, dapat diketahui bahwa sebagian besar keluarga balita yang menjadi responden memiliki pendapatan rata-rata per bulan < Rp 2.479.636,- yaitu sebanyak 56,4%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga balita memiliki pendapatan di bawah rata-rata. Status ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi ketahanan pangan rumah tangga yang dinilai sesuai dengan apa yang dirasakan responden terkait akses pangan. US-HFSSM mengklasifikasikan status ketahanan pangan rumah tangga menjadi empat kategori. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1, dapat diketahui bahwa hanya 18,2% rumah t angga yang t ahan pangan. Sebagian besar rumah tangga mengalami rawan pangan dengan derajat yang berbeda-beda, ant ara lain 40% rumah tangga mengalami rawan pangan tanpa kelaparan, 36,4% rawan pangan dengan derajat kelaparan

Jumlah 31 24 10

Persentase (%) 56,4 43,6 18,2

22

40,0

20

36,4

3

5,5

39

70,9

15

27,3

1

1,8

2 11 42

3,6 20,0 76,4

sedang, 5,5% mengalami rawan pangan dengan derajat kelaparan berat. US-HFSSM juga dapat menggambarkan status ketahanan anggota rumah tangga balita yang diklasifikasikan menjadi tiga kategori. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1, dapat diketahui bahwa sebagian besar rumah tangga yang menjadi responden dalam penelitian ini, balitanya tergolong berstatus tahan pangan atau rawan pangan tanpa kelaparan (70,9%). Namun demikian masih terdapat 27,3% rumah tangga yang balitanya mengalami rawan pangan dengan derajat kelaparan sedang, dan 1, 8% rumah tangga yang balitanya berstatus rawan pangan dengan derajat kelaparan berat. Hasil tersebut menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar rumah tangga mengalami rawan pangan, namun nampaknya tidak sampai berpengaruh besar pada status ketahanan pangan balita. Status gizi balita yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keadaan fisik balita yang ditent ukan dengan pengukuran ant ropomet ri berdasarkan indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U). Variabel ini diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu: Gizi buruk (BB/U: < -3 S D), gizi kurang (BB/U: < -2 SD), dan normal (BB/U: ≼ -2 S D).

39 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1, dapat diketahui bahwa prevalensi underweight (berat badan kurang) pada balita sebesar 23,6% yang terdiri dari 20,0% gizi kurang dan 3,6% gizi buruk. Sebagian besar balita berstatus gizi normal, yaitu sebesar 76,4%.

3.2 Analisis Bivariat Hasil analisis bivariate dalam penelitian ini ditunjukkan pada table 2 berikut.

Tabel 2. Hubungan antara Pendapatan dan Status Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bulak, Surabaya Tahun 2016 Variabel Bebas

Status Gizi Kurang Normal

Total

P-value

23 (74,2%) 19 (79,2%)

31 (100%) 24 (100%)

0,912

9 (90,0%) 19 (86,4%)

10 (100%) 22 (100%)

13 (65,0%)

20 (100%)

1 (33,3%)

3 (100%)

Pendapatan Rumah Tangga 8 (25,8%) 5 ≼ mean (20,8%) Status Ketahanan Pangan Rumah Tangga 1 Tahan Pangan (10,0%) Rawan Pangan 3 Tanpa Kelaparan (13,6%) Rawan Pangan 7 dengan Derajat (35,0%) Kelaparan Sedang Rawan Pangan 2 dengan Derajat (66,7%) Kelaparan Berat Status Ketahanan Pangan Anggota Rumah Tahan Pangan atau Rawan 6 Pangan Tanpa (15,4%) Kelaparan Rawan Pangan 6 dengan Derajat (40,0%) Kelaparan Sedang Rawan Pangan 1 dengan Derajat (100%) Kelaparan Berat < mean

Analisis ini menguraikan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendapat an dan status ketahanan pangan rumah tangga. Sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah status gizi balita. Dilakukan penggolongan kembali untuk variabel terikat, yaittu status gizi balita yang digolongkan menjadi dua kat egori saja, yaitu gizi kurang (underweight ) dan gizi normal. [12] Gizi kurang merupakan penggabungan antara gizi kurang (moderate underweight) dengan gizi buruk (severe underweight).

0,017

Tangga Balita 33 (84,6%)

39 (100%)

9 (60,0%)

15 (100%)

0 (0%)

1 (100%)

0,018

Hasil penelitian pada tabel 2 menunjukkan bahwa diantara rumah tangga yang pendapatannya dibawah rata-rata, sebagian besar balitanya berstatus gizi normal (74,2% ). Demikian pula pada rumah tangga yang pendapatannya sama dengan atau diatas rata-rata, sebagian besar balitanya berstatus gizi normal (79,2%). Hasil uji chi-square menunjukkan nilai p > Îą (0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan antara pendapat an rumah tangga dengan status gizi balita. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 2, dapat diketahui pula bahwa diantara rumah tangga yang berstatus

40 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


rawan pangan dengan derajat kelaparan berat, sebagian besar balitanya berstatus gizi kurang (66,7% ). Diant ara rumah tangga yang berstatus rawan pangan dengan derajat kelaparan sedang, sebagian bes ar balitanya berstatus gizi normal (65,0% ). Demikian pula pada rumah tangga yang berstatus rawan pangan tanpa kelaparan, dimana sebagian besar balitanya juga berstatus gizi normal (86,4% ). Begitupun dengan rumah tangga yang berstatus tahan pangan, sebagian besar balitanya berstatus gizi normal (90,0%). Hasil uji korelasi spearman menunjukkan nilai p < Îą (0,05) yang berarti ditemukan hubungan antara status ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi balita. Selain itu, diuraikan pula hubungan antara status ketahanan pangan anggota rumah tangga balita dengan status gizi balita. Hasil penelitian pada tabel 2 menunjukkan bahwa diantara rumah tangga yang anggot a rumah tangga balitanya berstatus rawan pangan dengan derajat kelaparan berat, 100% balitanya berstatus gizi kurang. Diantara rumah tangga yang anggota rumah tangga balitanya berstatus rawan pangan dengan derajat kelaparan sedang, sebagian besar status gizi balitanya normal (60,0% ). Demikian pula pada rumah tanggan dengan anggota rumah tangga balita yang berstatus tahan pangan atau rawan pangan tanpa kelaparan, dimana sebagian besar status gizi balita tersebut adalah normal (84,6% ). Hasil uji korelasi spearman menunjukkan nilai p < Îą (0,05) yang berarti ditemukan hubungan antara status ketahanan pangan anggota rumah tangga balita dengan status gizi balita. 4 PEMBAHASAN 4.1 Analisis Univariat 4.1.1 Pendapatan Rumah Tangga Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar keluarga balita memiliki pendapatan dibawah rata-rata. Pendapat an merupakan salah satu faktor ekonomi yang sangat berkorelasi dengan kualitas lingkungan suatu kawas an. Pada kawasan kumuh, sebagian besar masyarakat seringkali berpenghasilan rendah. Hal ini membuat masyarakat setempat tidak dapat berbuat banyak,

apalagi peduli sekitar.[13]

terhadap

lingkungan

4.1.2

Status Ketahanan Pangan Rumah Tangga Secara umum, sebagian besar rumah tangga yang menjadi responden dalam penelitian ini mengalami rawan pangan dengan derajat yang berbeda beda. Meskipun demikian, sebagian besar anggota rumah tangga balita berstatus tahan pangan atau rawan pangan tanpa kelaparan. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun sebagian besar rumah tangga mengalami rawan pangan, namun tidak sampai berdampak besar terhadap anggota rumah tangga yang kelompok usianya paling rentan, yaitu balita. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa lebih banyak rumah tangga yang masih mengutamakan kebutuhan pangan anak untuk menjaga anaknya tetap dalam kondisi tahan pangan, sekalipun harus mengorbankan kebutuhan pangan rumah tangga secara umum. Masih banyak rumah tangga yang mengalami rawan pangan di Kecamatan Bulak sesuai dengan penelitian Hemawati, et al. (2012) yang juga menunjukkan bahwa di kawasan permukiman kumuh, sebagian besar rumah tangganya tidak tahan pangan[14] . Kondisi tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain yaitu tidak merat anya kemampuan rumah tangga dari segi akses dan ketersediaan pangan dalam rumah t angga. Hal tersebut dapat dipicu oleh keterbatasan aset dan akses pasar yang merupakan karakteristik umum masyarak at berstatus rawan pangan. 4.1.3 Status Gizi Balita Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi underweight (berat badan kurang) pada balita di Kecamat an Bulak lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi underweight secara nasional menurut hasil Riskesdas 2013, yakni sebesar 19,6%. Demikian pula jika dibandingkan dengan prevalensi underweight di Jawa Timur sebesar 19,1%.[3] Angka tersebut menunjukkan bahwa masalah underweight di Kecamatan Bulak telah memenu hi nilai cut off point masalah kesehatan

41 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


masyarakat yang dianggap serius, yaitu antara 20%-29%. Kondisi lingkungan di kawasan permukiman kumuh dapat meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan, termasuk masalah gizi pada kelompok rentan, terutama balita. Selain itu, praktik pengasuhan pada balita, khususnya terkait hygiene perorangan dapat sangat berpengaruh pada status kesehatan balita. Demikian pula kondisi sanitasi di lingkungan sekitar balita yang juga berperan penting menent ukan status kesehatan, berikut status gizi balita. 4.2 Analisis Bivariat 4.2.1 Hubungan Pendapatan dengan Status Gizi Balita Hasil penelitian menunjukkan bahwa status gizi tidak selalu berhubungan dengan pendapat an keluarga karena banyak faktor lain yang lebih menentukan status gizi balita. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Rarastiti (2013) yang menyat akan tidak adanya hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi anak.[15] Demikian pula hasil penelitian Djola (2012) yang juga menunjukkan tidak adanya hubunggan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita di Desa Bongkudai Kecamatan Modayag Barat.[16] Menurut berbagai pustaka, peningkatan pendapatan akan berbanding lurus dengan kondisi kesehatan yang berkaitan pula dengan status gizi. Rendahnya pendapatan dan lemahnya day a beli dapat menghambat upaya perbaikan gizi yang efektif, terutama pada balita. Kepustakaan yang sama juga menyebutkan bahwa kemiskinan merupakan salah satu penyebab utama gizi kurang pada kondisi yang umum.[17] Tetapi dalam penerapannya di masyarakat, keluarga dengan pendapatan yang tinggi belum tentu tergerak untuk memperbaiki komposisi makanan yang dikonsumsinya. Sehingga belum t entu juga mutu makananny a lebih baik daripada keluarga yang berpenghasilan lebih rendah. Selain itu, tidak semua pendapat an keluarga digunakan untuk konsumsi pangan, sehingga pendapatan tidak berkorelasi secara langsung dengan status gizi balita. Pendapatan tinggi juga belum

tentu akan berimplikasi pada penyediaan makanan yang lebih berkualitas bagi anak, apabila tidak diimbangi dengan pengetahuan gizi dan kesehatan serta keterampilan pemilihan pangan yang baik. 4.2.2

Hubungan Status Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Balita Hasil penelitian sesuai dengan studi yang dilakuk an Rohaedi, et al. (2014) yang menunjukkan adanya hubungan antara tingkat ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi balita di Kabupaten Indramayu[18] . Demikian pula hasil penelitian Marsaoly (2010) yang juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi balita di Kecamatan Rumbia Kabupaten Jeneponto[5] . Status ketahanan pangan rumah tangga menggambarkan tingkat ketersediaan pangan yang ada di rumah tangga, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Berbagai kepustakaan menyebutkan bahwa kerawanan pangan dalam keluarga dapat mengakibatkan penurunan fungsi fisik dan psikososial, bahkan rendahnya prestasi akademik. Terdapat dua faktor yang terkait langsung dengan masalah gizi, yaitu asupan zat gizi yang bersumber dari makanan dan infeksi penyakit. Kedua faktor yang saling mempengaruhi tersebut terkait dengan berbagai faktor penyebab tidak langsung, salah satunya yakni ketahanan pangan. Kondisi ketahanan pangan dalam rumah tangga tidak hany a dilihat dari kemampuan rumah tangga meny ediakan pangan dal am keluarga, namun juga memperhatikan dimensi waktu dan stabilitas tiap subsistem. Ketersediaan pangan yang cukup pada satu waktu tidak selalu menggambarkan kondisi tahan pangan dalam rumah tangga. Ketersediaan harus stabil dalam jumlah, mutu, dan aman untuk dikonsumsi. [19] Terkait dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masih banyak rumah tangga dengan status rawan pangan, dapat tergambar pula bahwa rumah tangga yang mengalami kerawanan pangan mencoba menghindari kelaparan dengan mengurangi porsi makan anggota

42 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


keluarga, terutama orang dewasanya agar di hari berikutnya mereka tidak melewatkan mak an. Pola ini terlihat dari status ketahanan pangan unt uk balita dalam rumah tangga yang cenderung lebih banyak berada dalam kondisi tahan pangan. Sedangkan status ketahanan pangan rumah tangga secara umum justru lebih banyak berada dalam kondisi rawan pangan. Hal ini yang menyebabkan status gizi balita tetap normal, meskipun berada di keluarga yang rawan pangan. Selain itu, kondisi rawan pangan yang banyak dialami oleh rumah tangga responden dapat dikaitkan dengan mata pencaharian penduduk yang sebagian besar adalah nelayan. Nelayan seringkali mengalami keterbatasan kepemilikan aset, salah satunya dibuktikan dengan pendapatan rata-rata rumah tangga per bulan yang kebanyakan di bawah ratarata. Keterbatasan kepemilikan aset adalah salah satu ciri umum masyarakat miskin yang berisiko rawan pangan. Masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh juga banyak yang merupakan masyarakat pendatang, sehinga terk adang tidak memiliki identitas sebagai penduduk setempat. Kondisi ini dapat pula mengancam kondisi ketahanan pangan karena masyarakat pendatang seringkali tidak tercakup dalam berbagai program, terutama terkait social safety net termasuk program di bidang pangan dan gizi, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Kondisi tersebut pada akhirnya dapat berimplikasi pada status gizi balita. 5

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara status ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi balita pada permukiman kumuh di Kecamatan B ulak Kota Surabaya. Namun tidak ditemukan hubungan antara pendapatan rumah tangga dengan status gizi balita pada permukiman kumuh di Kecamatan Bulak Kota Surabaya. 6

SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, saran yang diberikan peneliti adalah sebagai berikut:

1) Puskesmas Kenjeran dapat melakukan upaya berikut. a. Perbaikan gizi yang lebih intensif berupa pemberday aan posyandu, konsultasi dan pendidikan gizi, baik di Puskesmas maupun di lapangan dengan metode serta media yang kreatif dan inovatif. Pendidikan gizi dapat dilakukan dengan pendekatan positive deviance, yaitu menjadikan balita dengan status gizi normal pada keluarga yang karakteristiknya hampir sama sebagai role model bagi keluarga lain disekitarnya. b. Pemantauan status gizi secara lebih intensif disertai pendampingan pada keluarga balita dengan masalah gizi. c. Revitalisasi desa siaga sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas lingkungan. 2) Dinas K esehat an Kot a Surabaya dapat melakukan upaya berikut. a. Memberikan bantuan sumber daya untuk mendukung berbagai program Puskesmas. b. Menjalin kerjasama yang baik dengan berbagai lembaga lintas sektoral dalam rangka mendukung upaya intervensi gizi sensitif. 3) Kantor Ketahanan Pangan Kota Surabaya dapat melakukan upaya berikut. a. Memasyarakatkan program P2KP (Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan) B2SA (Beragam Bergizi Seimbang dan Aman) sert a LDPM (Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat). b. Mengalokasikan dana serta melakukan pembinaan dan pengembangan UMKM di bidang pangan dengamemanfaatkan potensi kawasan Bulak sebagai daerah penghasil ikan. 4) Pemerintah Kota Surabaya dapat melakukan upaya sebagai berikut. a. Membentuk dan mengembangkan kampung tematik di Kecamatan Bulak sesuai dengan potensi dan kearifan lokal di kawasan ini untuk mengubah citra kawasan Bulak dari permukiman kumuh menjadi kampung yang menghidupkan geliat ekonomi masyarakat.

43 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


b. Memberikan fasilitas berupa modal usaha dan pelatihan berbasis wirausaha kepada masyarakat. c. Menjadi leading sector untuk mengintegrasikan berbagai program lintas SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). 5) Kecamatan Bulak dapat melakukan upaya sebagai berikut. a. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai program yang diselenggarakan. b. Melakukan penertiban adminsitrasi kependudukan secara periodik untuk menjamin pemerataan berbagai program terkait social safety net. 6) Orang Tua Balita harus berperan aktif dalam berbagai program yang diselenggarakan unt uk meningkatkan kualitas hidup anak dan keluarga. 7) Peneliti selanjutnya dapat melakukan hal-hal berikut. a. Melakukan penelitian sejenis dengan merinci berbagai faktor yang belum dapat dijelaskan secara detail dalam penelitian ini. b. Melakukan penelitian sejenis dengan meneliti kelompok balita lain yang lebih rentan, yaitu pada kelompok usia 0-2 tahun yang hidup di permukiman kumuh.

4.

5.

6.

7.

8.

9. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih penulis ucapkan kepada Pemerintah Kota Surabaya, Kecamatan Bulak, Puskesmas Kenjeran, para kader Posyandu Kelurahan Bulak dan Suk olilo Baru, Ibu Balita di Kecamatan B ulak yang telah bersedia menjadi responden, kedua orang tua, asisten peneliti, Dosen Pembimbing dan Fak ultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. DAFTAR PUSTAKA 1. Proverawati, A, dan Erna. Ilmu Gizi untuk Keperawatan dan Gizi Kesehatan. Yogyakarta: Media Pustaka, 2010. 2. Aries, Muhammad. “Determinan Gizi Kurang dan Stunting Anak Umur 036 Bulan Berdasarkan Dat a Program Keluarga Harapan (PKH) 2007.” Jurnal Gizi dan P angan. 7: 1 (2012): 19-26. 3. Balitbang Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar (Risk esdas)

10.

11.

12.

13.

Tahun 2013. Jak arta: Badan Penelitian dan P engembangan Kesehatan Kemenkes RI, 2013. WHO. World Health Statistics 2010. 9 Januari 2016 < http://www.who. int/whosis/whostat/%20EN_WHS10 _Full.pdf>. Marsaoly, Erfina. Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Rumbia Kabupaten Jeneponto. Makassar: Universitas Hasanuddin, 2010. Putri, R. F., Sulastri, D., dan Lestari, Y. “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja P uskesmas Nanggalo Padang.” Jurnal Kesehatan Andalas. 4:1 (2015): 254-261. Handini, Dian. Hubungan Tingk at Pendapat an Keluarga dengan Status Gizi Balita di Wilayah K erja Pusk esmas Kalijambe. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2013. Natalia, L. D., Rahayuning, D., dan Fatimah, S. “Hubungan Ketahanan Pangan Tingkat Keluarga dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Gizi Batita Di Desa Gondangwinangun Tahun 2012. ” Jurnal Kesehatan Masyarak at FKM Undip. 2:2 (2013): 1-19. Larson, N. I., dan Story, M. T. “Food Insecurity and Weight Status Among U.S. Children and Families.” American Journal of Preventive Medicine. 40:2 (2011): 166-173. Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Hasil Survey Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun 2014. Surabaya: Dinkes Kota Surabaya, 2015. Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Jawa Timur. Penyusunan Studi Penanganan Kawasan Kumuh Perk otaan Surabaya dan Sek itarnya. Surabaya: Dinas Permukiman dan Pras arana Wilayah Jawa Timur, 2007. Mirayanti, Ni K etut Ayu. Hubungan Pola Asuh Pemenuhan Nutrisi dalam Keluarga dengan Status Gizi Balita di Kelurahan Pasir Gunung Selatan Kecamatan Cimanggis Kota Depok . Depok: Universitas Indonesia, 2012. Hery ati. Identifik asi dan Penanganan Kawasan Kumuh Kot a

44 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Gorontalo. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo, 2008. 14. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Studi Ketahanan Pangan dan Coping Mechanism Rumah Tangga di Daerah Kumuh. Hemawati, N., Sukandar, D., dan Khomsan, A. 11 Juli 2016 <http:// web.ipb.ac.id/~lppm/lppmipb/peneliti an/hasilcari.php?status=buka&id_ha slit=STRANAS/023.12/ER/s>. 15. Rarastiti, Chairunisa Nur. Hubungan Karak teristik Ibu, Frek uensi Kehadiran Anak k e Posyandu, Asupan E nergi dan Protein dengan Status Gizi Anak Usia 1-2 Tahun. Semarang: Universitas Diponegoro, 2013. 16. Djola, Rolavensi. Hubungan ant ara Tingk at Pendapatan Keluarga dan Pola Asuh dengan Stat us Gizi Anak Balita di Desa Bongk udai

Kecamatan Modayag Barat. Manado: Universitas Sam Rat ulangi, 2012. 17. Nur’aeni. Hubungan antara Asupan Energi, Protein dan Fak tor Lain dengan Status Gizi Baduta (0 -23 Bulan) di Wilayah Kerja Pusk esmas Depok Jaya Tahun 2008. Depok: Universitas Indonesia, 2008. 18. Rohaedi, S., Julia, M., dan Gunawan, I. M. A. ”Hubungan antara Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Balita pada Rumah Tangga di Daerah Rawan Pangan Kabupaten Indramayu.” Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia. 2:2 (2014): 95-103. 19. Badan Ketahanan Pangan. Laporan Badan Ketahanan P angan Tahun 2013. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan Departemen P ertanian RI, 2013.

45 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Penelitian

PERILAKU REMAJA DALAM PENCEGAHAN SEKS BERISIKO (Studi pada Sekolah Berbasis Agama di Kecamatan Karangawen II Kabupaten Demak) Arip Ambulan Panjaitan 1, Aprianti 1, Fauziyah1, Septyaningrum Dwi .K1, Harjianti F.Rahayu 1 1Mahasiswa

Magister Promosi Kesehatan, Fak ultas Kesehatan Masyarak at, Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK Pendahuluan: Remaja merupakan salah satu kelompok risiko tinggi terpapar kasus kehamilan tidak diinginkan (K TD), aborsi, Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV dan A IDS. Perilaku seks berisiko merupakan salah satu pintu masukny a penularan IMS termasuk HIV dan A IDS. Perilaku ters ebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu di luar individu dan faktor di dalam individu. Remaja sangat membutuhkan dukungan dan motivasi dalam memutuskan unt uk tidak melakukan perilaku sek s berisiko. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan perilaku remaja dalam pencegahan seks berisiko. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan rancangan cross sectional. Populasi terjangkau adalah siswa -siswi yang berada pada bangku s ekolah Madrasah Alliyah (MA ) di K ecamatan Karangawen II K abupaten Demak. Pemilihan sampel dengan random sampling dan berjumlah 113 responden. Pengumpulan data menggunakan kuesioner, analisis data menggunakan analisis bivariat menggunaka n uji statistik uji chi square. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden belum mendapatkan pengetahuan tentang pencegahan seks berisiko dengan baik. Variabel yang berhubungan adalah tingk at pendidikan orang tua (p=0,001), dukungan orang tua/wali (p=0,009), dukungan guru (p=0, 005), dukungan teman sebaya (p=0,039), tempat tinggal (p=0,009), aktivitas pengisi waktu luang (p=0,000), pengetahuan remaja tent ang kesehatan reproduksi (p=0,016), persepsi kemampuan diri remaja (p=0,006) dan sikap remaja (p=0,049). Kesimpulan: Persepsi kemampuan diri remaja merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap perilaku remaja dalam pencegahan seks berisiko. Upaya meningkatkan program kesehat an reproduksi harus lebih dini dan remaja memiliki tanggungjawab serta berperilaku sehat. Kata kunci: Remaja, Perilaku, Seks Berisiko ABSTRACT Introduction: A dolescent are at high risk of unwanted pregnanc y, abortion, Sexually Transmitted Infections (STIs), including HIV and AIDS. Risk y sexual behavior is one of the entrance transmissions of STIs. Such behavior can be influenced by various factors, beyond and within the individual f actors.Teens need the s upport and motivation in deciding not to do risk y sexual behavior.The purpose of this study was to investigate the determinants of adolescent behavior in the prevention of risk y sex. Methods: This research used cross-sectional design. The populations were students of senior high school in District Karangawen II Demak . There were 113 respondents chosen by simple random sampling technique for this study. All data were collected using questionnaires and than analysed using bivariate (chi square). Result: The results showed that the majorit y of respondents did not have good k nowledge about the prevention of risk y sex.The related variable is the level of parental education (p=0.001), the support of parents/guardians (p= 0.009), support teachers (p=0.005), peer support (p=0.039), residence (p=0.009), a pastime activity (p=0.0001), k nowledge of adolescents about reproductive health (p=0.016), perception ability of adolescents (p=0.006) and attitude of adolescents (p=0.049). Conclusion: Adolescent self-perception abilities are variables that most influence on the behavior of adolescents in the prevention of risk y sex. Efforts to improve reproductive

46 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


health programs should be early and young people have responsibilities as well as healthy behaviors. Keywords: Adolescents, Behavior, Risk y Sex 1.

PENDAHULUAN Permasalahan kesehatan reproduksi pada remaja perlu mendapatkan perhatian serius. Saat ini, perilaku seksual remaja berisiko tinggi terhadap kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/A IDS. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKK RI) menunjukkan bahwa dari 10 juta remaja, 1% remaja perempuan dan 5-6% remaja laki-laki mengaku telah berhubungan seksual. [1] Survei Kesehat an Das ar tahun 2010 menunjukkan bahwa hanya 11,4% remaja yang berumur 15-24 tahun memiliki penget ahuan kesehatan reproduksi komprehensif. Hal ini menunjukkan masih rendahnya cakupan kegiatan penyebaran informasi kesehatan reproduksi komprehensif kepada remaja. Perilaku seksual remaja berisiko salah satunya disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai kesehatan reproduksi yang diakibatkan oleh rendahnya penyediaan informasi oleh orangtua/pengaruh atau sekolah. [1] Perilaku seksual remaja, terutama perilaku seks berisiko, masih mendominasi perdebat an dan sisi moral, psikologis dan fisik. Hubungan seks berisiko pada remaja adalah masalah serius karena berkait an dengan rendahnya penggunaan kontrasepsi. Selain itu, remaja juga cenderung memiliki lebih banyak pasangan seksual karena mulai berhubungan seks berisiko pada usia yang lebih dini. Menurut Glasier et all, seks yang tidak aman merupakan faktor risiko terpenting kedua terhadap timbulnya kecacat an dan kematian di negara-negara maju. Hubungan seks berisiko pada remaja mengalami peningk atan selama abad ke 20. Usia remaja mulai berhubungan seks berisiko bervariasi di tiap-tiap negara, berkisar dari 12-17,5 tahun dan rata-rata dimulai sejak usia 15 tahun. [2,3,4] Isu yang masih diperdebatkan sampai saat ini mencakup motivasi utama remaja untuk melakukan inisiasi seks berisiko pada usia yang lebih dini selain kaitan antara sumber-sumber informasi seksual dan perilaku seks berisiko remaja yang terbatas. Artikel ini

bertujuan menjabarkan hasil survei mengenai perilaku remaja dalam pencegahan seks berisiko. Penelitian yang dilakukan dikalangan santri pondok pes antren terkait kesehatan reproduksi telah banyak dilakukan. Prabamurti N. Priyadi (2015) dalam penelitian di beberapa pondok pesantren menyimpulan bahwa pemberian informasi kesehatan reproduksi perlu ditingkatkan dengan cara mengajak institusi terkait, baik pemerintah maupun swasta, yang mampu berkontribusi untuk mengedukasi mengenai kesehatan reproduksi pada keluarga, sekolah, masyarakat dan media. [5] 2.

METOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan cross sectional dan dilakukan pada bulan November-Desember 2015 di Kecamatan Karangawen II Kabupaten Demak. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja di Kecamatan Karangawen II Kabupaten Demak sebanyak 799 orang. Sampel ditentukan menggunakan metode random s ampling dengan jumlah sampel diperoleh sebanyak 113 responden terdiri dari MA Tunas Bangsa, MA Al -Wakhidiyah dan MA Sunan Kalijaga. Adapun kriteria inklusi, yaitu remaja yang berumur 15-16 tahun, tidak sedang sakit dan bersedia menjadi responden dengan mengisi lembar persetujuan. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar pertany aan berupa kuesioner. Analisis data yang digunakan di antaranya adalah analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan variabel bebas. Analisis bivariat yang digunakan adalah uji Chi square dengan nilai Îą=0,05 unt uk untuk menjelaskan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. 3. HASIL 3.1. Karakteristik Responden Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 36, 3% responden berumur 15 tahun, terdiri atas laki -laki 36, 6% dan

47 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


perempuan 63,7%, sebagian besar (51,3% ) responden kelas X, 64,6% responden berpenget ahuan baik dan 33,6% responden memiliki sikap

baik/mendukung terhadap pencegahan perilaku seks berisiko serta 46% responden mengaku pernah melakukan hubungan seks berisiko.

Tabel 1. Distribusi Berdasarkan Karakteristik Responden Karakteristik Kategori Jml Umur 14 tahun 22 15 tahun 41 16 tahun 22 17 tahun 19 18 tahun 8 19 tahun 1 Jenis Kelamin Laki-Laki 41 Perempuan 72 Kelas X 58 XI 21 XII 34 Pengetahuan Baik 73 Kurang Baik 40 Sikap Baik 75 Kurang Baik 38 Perilaku Seks Berisiko Pernah 52 Tidak Pernah 61 3.2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seks Berisiko Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden belum mendapatkan pengetahuan tentang pencegahan seks berisiko dengan b aik. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kurangnya pemberian informasi kesehatan reproduksi secara komprehensif. Variabel yang berhubungan adalah tingkat pe ndidikan

% 19,5 36,3 19,5 16,8 7,1 0,9 36,6 63,7 51,3 18,6 30,1 64,6 35,4 66,4 33,6 46,0 54,0

orang tua, dukungan orang tua/ wali, dukungan guru, dukungan teman sebaya, tempat tinggal, aktivitas pengisi waktu luang, pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi, persepsi kemampuan diri remaja dan sikap remaja. Persepsi kemampuan diri remaja merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap perilaku remaja dalam pencegahan seks berisiko.

Tabel 2. Faktor-Fakor yang Berhubungan dengan Perilaku Pencegahan Seks Berisiko Variabel Indpenden Tempat Tinggal Jauh dari Orang tua Bersama Orang tua Tingkat Pendidikan Orangtua Tinggi (>SMP) Rendah (<SMP) Dukungan Teman Ada Tidak Ada Dukungan Keluarga Ada Tidak Ada Dukungan Guru Ada Tidak Ada

Perilaku Pencegahan Seks Berisiko Tidak Pernah Pernah n % n %

Uji Statistik

25 60

58,1 85,7

18 10

41,9 14,3

p = 0,001

38 47

70,4 79,7

16 12

29,6 20,3

p = 0,003

49 36

86,0 64,3

8 20

14,0 35,7

p = 0,006

58 27

95,1 51,9

3 25

4,9 48,1

p = 0,045

59 26

92,2 53,1

5 23

7,8 46,9

p = 0,013

48 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Variabel Indpenden Pengetahuan Kurang Baik Baik Sikap Kurang Mendukung Mendukung Aktivitas Pengisi Waktu Luang Ada Tidak Ada Persepsi Kemampuan Diri Mampu Kurang mampu

Perilaku Pencegahan Seks Berisiko Tidak Pernah Pernah n % n %

Uji Statistik

61 24

77,2 70,6

18 10

22,8 29,4

p = 0,009

63 22

76,8 71,0

19 9

23,2 29,0

p = 0,016

32 53

74,4 75,7

11 17

25,6 24,3

p = 0,002

55 30

87,3 60,0

8 20

22,7 40,0

p = 0,000

4. PEMBAHASAN 4.1. Keterbatasan Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional, yaitu seluruh variabel yang diamati ketika penelitian berlangsung sehingga penelitian hanya sebatas menjelaskan hubungan antara dua variabel dan tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat serta tidak mengontrol faktor pengganggu. Isi kuesioner memberi pengarahan pada responden, cakupan pengetahuan masih kurang, jumlah pertanyataan masih kurang, adanya sikap netral membuat responden memberi penilaian terpusat, dan kemungkinan responden tidak jujur dalam menjawab yang sifatnya pribadi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan terdapat hubungan antara tempat tinggal dengan perilaku pencegahan seks berisiko, dengan hasil uji statistik chi square nilai p=0,001 (p<0,05). Responden yang tinggal bersama orangtua memiliki perilaku baik untuk pencegahan s eks berisiko. Mengingat bahwa responden sebagian besar tinggal bersama orangtua, maka int ervensi yang dapat dipilih adalah intervensi berbasis keluarga. Pencerahan pada orangtua tetap perlu dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman karena orangtua menganggap pendidikan s eks merupakan isu yang sensitif. Remaja menghadapi t antangan yang sulit dalam memahami pubertas. Cara orangtua berkomunikasi tentang seks kepada anak merupakan hal yang bermanfaat dalam mengatasi tantangan tersebut. [5]

Tingkat pendidikan orangtua secara bermakna berhubungan dengan perilaku pencegahan seks berisiko, dengan hasil uji statistik chi square nilai p=0,003 (p<0,05). Responden dengan tingkat pendidikan orangtua yang tinggi memiliki perilaku baik untuk pencegahan seks berisiko. Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh memberikan respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon lebih rasional terhadap informasi yang datang dan akan berpikir seberapa jauh keuntungan yang mungkin diperoleh dari gagasan tersebut. Pendidikan dapat menjadi saran a untuk membuka wawasan sehingga seseorang dengan pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih mudah menerima perubahan (Caple, dkk, 2010). Namun demikian, unt uk meningkatkan pencegahan seks berisiko tidak harus dengan cara meningkatkan pendidikan formal mereka tetapi dapat dilakukan dengan meningk atkan pengetahuan tentang pencegahan seks berisiko melalui pendidikan, penyuluhan, ataupun segala bentuk promosi kesehatan lainnya. Terdapat hubungan antara dukungan teman dengan perilaku pencegahan s eks berisiko, dengan hasil uji statistik chi square nilai p=0,006 (p<0,05). Responden y ang terpengaruh oleh teman untuk tidak melakukan s eks berisiko memiliki perilaku baik untuk pencegahan seks berisiko. Pengaruh teman sebaya menjadi faktor yang dominan dalam mempengaruhi perilaku seks berisiko pada remaja. Sesuai

49 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


dengan pendapat Bandura dalam Teori Pembelajaran Sosial, bahwa teman memaink an peranan yang penting dalam perubahan perilaku. [6] Terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku pencegahan seks berisiko, dengan hasil uji statistik chi square nilai p=0,045 (p<0,05). Responden yang mendapat dukungan keluarga memiliki perilaku baik untuk pencegahan s eks berisiko. Keluarga merupakan lingkungan primer hampir setiap individu sejak lahir sampai datang ia meninggalkan rumah untuk keluarga sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan ant ar manusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Oleh karena itu, sebelum mengenal norma-norma dan nilai-nilai dari masyarakat umum, pertama kali ia menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya. Norma tersebut diturunkan melalui pendidikan dan pengasuhan orang tua terhadap anak-anak mereka secara turuntemurun. [7] Sebagian besar orang tua tentunya tidak menginginkan atau mengijinkan anaknya melakukan perilak u seks berisiko. Orang tua seharusnya dapat mengawasi anakny a dengan baik. Masa remaja merupakan masa y ang rawan karena mereka memiliki rasa ingin tahu yang besar dan ingin mencoba-coba, termasuk dalam hal seksualitas. Oleh sebab itu, orang tua seharusnya menanamkan norma yang baik kepada anaknya, sehingga mereka tidak terjerumus ke dalam perilaku seks berisiko. Misalnya dalam budaya Jawa, apabila seorang pria mengunjungi seorang gadis dirumahnya, mereka diawasi dengan baik oleh ibu si gadis. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Asfriyati, ditemukan hubungan faktor keluarga dengan perilaku seks pranikah pada remaja santri di pesantren Purbasari Tapanuli. Bandura juga menjelaskan dengan adanya modeling simbolik yang tersedia dalam televisi, film dan media visual lainnya, maka orang tua, guru dan role mode lainnya memiliki peran penting dalam pembelajaran sosial. Ketika orang tua sudah tidak lagi mengawasi anaknya, maka institusi pendidikan perlu memfasilitasi peserta didik untuk melakukan klarifikasi nilai. [8] Penelitian ini

juga sejalan dengan hasil studi Heubner & Laurie yang menemukan asosiasi antara hubungan orang tua dan anak dengan perilaku seks remaja. Waktu atau saat komunikasi dilakukan memegang peranan cukup besar terutama bila dilakukan sebelum remaja mulai beruhubungan seks pranikah. Kualitas komunikasi antara orang tua dengan remaja ditentukan oleh k emampuan orang tua untuk terbuka dan memberi respons yang tepat. [9] Terdapat hubungan antara dukungan guru dengan pencegahan perilaku seks berisiko, dengan hasil uji statistik chi square nilai p=0,013 (p<0,05). Responden yang mendapat dukungan guru memiliki perilaku baik untuk pencegahan perilaku seks berisiko. Guru merupakan role model terhadap remaja dalam melakuk an suatu tindakan. Guru harus memberikan pengetahuan dan wawasan kepada remaja tentang pencegahan perilaku seks berisiko. Dalam hal ini, guru juga dapat memberikan motivasi dan dorongan agar remaja mampu untuk tidak melakukan perilaku seks berisiko. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa remaja lebih kooperatif unt uk menyampaikan materi pendidikan kesehatan reproduksi dengan berbagai metode dan media yang tersedia. Sehingga remaja lebih dapat memahami dan tidak mudah lupa tentang pendidikan kesehatan reproduksi. Sejalan dengan penelitian oleh Panjaitan Arip (2016) ditemukan pengaruh pendidikan kesehatan reproduksi melalui fasilitator guru terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap remaja dalam perilaku pencegahan seks berisiko di Sintang, para guru dan pengelola sekolah pun harus memiliki persepsi yang sama serta menyediakan sumber day a dan sarana yang berkualitas sehingga informasi kesehatan reproduksi dapat diterima remaja dengan baik. [10] Keterlibatan dengan organisasi mitra yang berk ecimpung di bidang kesehatan remaja perlu dijalin. Program-program terkait kesehatan reproduksi dapat disampaikan dan bukan sek adar materi “tempelan� belaka yang tidak penting. Toleransi terhadap keanekaragaman dalam pandangan dan perilaku didukung melalui kurikulum dan kebijakan sekolah. [5]

50 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Kurikulum didasarkan pada kebutuhan dan kemampuan yang sesuai dengan perkembangan remaja, menggunakan berbagai metode mengajar yang melibatkan remaja, melibatkan guru-guru terampil yang nyaman dengan mat eri itu sert a dapat menyediakan iklim kelas yang aman dan penuh kepercayaan. Oleh karen a itu, pengembangan profesional dan pelatihan para guru untuk program ini sangat esensial. Orangtua maupun organisasi masyarakat yang relevan perlu senantias a diberi informasi tentang tujuan dan arah program ini sehingga mereka dapat mendukung apa yang terjadi di sekolah. Bahk an, hal-hal spesifik tentang program ini dan program-program serupa dikembangkan melalui konsultasi dengan masyarakat luas. [5] Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan seks berisiko, dengan hasil uji statistik chi square nilai p=0,009 (p<0,05). Res ponden dengan pengetahuan baik memiliki perilaku baik untuk pencegahan seks berisiko. Menurut Risher (2006) pengetahuan adalah kemampuan “berpikir” yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana yaitu “mengingat”, sampai dengan kemampuan untuk memecahkan suatu masalah (problem solving). Pengetahuan adalah hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengideraan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihat an, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat dalam membentuk tingkatan seseorang overt behavior. [11] Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan indrawati. Pengetahuan munc ul ketika seseorang menggunakan indra atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. [12] Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Michael Layuk Linggi S, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan perilaku

seksual pranikah. [13] Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Joko Pranoto menunjukkan bahwa terdapat hubungan y ang bermakna antara pengetahuan dengan perilaku seksual pranikah. [14] Terdapat hubungan antara sikap dengan perilaku pencegahan seks berisiko, dengan hasil uji statistik chi square nilai p=0,016 (p<0,05). Responden yang bersikap mendukung memiliki perilaku baik untuk pencegahan seks berisiko. Sikap merupak an reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat langsung tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. [11] Sikap juga merupakan evaluasi atau reaksi perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak memihak (unfavorable) pada objek tertentu. [15] Menurut Risher (2006) sikap/kualitas pribadi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan “perasaan”, “sistem nilai” dan “sikap hati” y ang menunjukkan penerimaan dan penolakan terhadap sesuatu. Berdasarkan teori yang ada dengan hasil penelitian yang di dapat, maka teori dan hasil terdapat keterkaitan, yaitu bahwa mereka dapat menyikapi dengan baik masalah seksual berisiko, dengan kata lain mereka dapat melakukan penolakan terhadap perilaku seksual berisiko. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Michael Layuk Linggi S, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dengan pencegahan perilaku seksual pranikah. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Joko Pranoto, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna ant ara sikap dengan pencegahan perilaku seksual berisiko. [12.13] Terdapat hubungan antara aktivitas pengisi waktu luang dengan perilaku pencegahan seks berisiko, dengan hasil uji statistik chi square nilai p=0,002 (p<0,05). Responden yang banyak

51 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


mengisi aktivitas waktu luang memiliki perilaku baik untuk pencegahan seks berisiko. Remaja mulai melakukan perilaku seks berisiko disebabkan oleh berbagai faktor dan faktor yang berperan penting adalah situasi yang mendukung terjadinya perilak u seks berisiko te rsebut. Menurut Paikoff, remaja melakukan perilaku seks berisiko akibat situasi atau kesempatan remaja bersama-sama di dalam ruangan yang pribadi dan kondisi ini disebut “situations of sexual possibility�. Selain itu, remaja menyatakan bahwa seks dilakukan sesekali atau jarang, sehingga sulit unnntuk diprediksi. Oleh sebab itu, alasan remaja mulai melakukan hubungan seks pranikah lebih banyak tidak diketahui, selain karena hasrat atau dorongan seksual. Seks dianggap mencerminkan kebebasan, memelihara hubungan, kedek atan, keintiman atau cinta. Rasa ingin tahu serta tekanan dari teman sebaya dan pasangan dapat meningkatkan terjadinya perilaku seks berisiko. [9] Terdapat hubungan ant ara persepsi kemampuan diri dengan perilaku pencegahan seks berisiko, dengan hasil uji statistik chi square nilai p=0,000 (p<0,05). Res ponden dengan persepsi kemampuan diri yang baik memiliki perilaku baik untuk pencegahan seks berisiko. Beberapa pemahaman yang keliru dan pendapat -pendapat yang masih banyak diyakini oleh remaja tentunya berpengaruh dalam sikap, persepsi kemampuan diri dan perilaku remaja dalam penc egahan seks berisiko. Persepsi remaja terhadap k emampuan dirinya dalam menc egah perilaku seks berisiko adalah jawaban secara subjektif remaja utnuk menilai dirinya sendiri yaitu penilai diri merasa dirinya mampu atau tidak mampu dalam mencegah perilaku seks berisiko. Persepsi kemampuan diri menjadi hal yang cukup penting dari seseorang dalam berperilaku. Seperti tertuang dalam teori social learning yang menyatakan bahwa self efficacy adalah kemampuan diri seseorang dapat dengan sukses melakukan suatu perilaku. Seseorang yang mempunyai self efficacy tinggi akan lebih percaya diri terhadap kemampuan mereka dalam melakukan perubahan perilaku dibandingkan dengan orang yang mempunyai self efficacy rendah akan banyak berpikir terhadap

kegagalan. Persepsi kemampuan diri ini merupakan faktor yang cukup kuat dalam perubahan seseorang. [16] 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Tingkat pendidikan orang tua, dukungan orang tua/wali, dukungan guru, dukungan teman sebay a, tempat tinggal, aktivit as pengisi waktu luang, pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi, persepsi kemampuan diri remaja, dan sikap remaja terhadap pencegahan perilaku seks berisiko merupakan faktor-faktor yang terbukti secara statistik berhubungan dengan perilaku remaja dalam pencegahan seks berisiko. Persepsi kemampuan diri remaja menjadi determinan yang paling berpengaruh terhadap perilaku remaja dalam pencegahan perilaku s eks berisiko. Remaja dapat memperoleh sumber informasi tent ang kesehatan reproduksi dari Pusat Informasi dan KonselingKesehatan Reproduksi Remaja (P IKKRR), Pusat Kesehatan Reproduksi Remaja (PK RR), Sanggar Kesehatan Reproduksi (SKR), Youth Center dan lainnya. Program lembaga tersebut banyak dilaksanakan di masjid, gereja, sekolah Islam, universitas dan organisasi remaja serta pandu. [1] Instansi lain seperti BKKBN, Departemen Agama dan Departemen Kesehatan bahk an sudah menyusun modul pelatihan tentang kesehatan reproduksi remaja dalam nuansa Islami dengan memasukkan dalildalil kitab suci Al Quran didalamnya. [17] 5.2. Saran Pemberian dukungan bagi para remaja untuk merasa perc aya diri dan mau memberikan menerima pendidikan seksualitas sangat perlu karena pendidikan seksualitas merupakan hal yang sangat penting. Salah satunya adalah dengan meluruskan pendapat yang masih keliru. Pada ak hirnya, remaja mau dan merasa mampu memberikan pendidikan seksualitas melalui organisasi intra sekolah atau menggunakan pendekatan teman sebaya guna penyampaian fakta atau bukti empirik yang menyatakan pada remaja bahwa risiko sudah menghadang para remaja. Tidak ada alasan untuk menunda lagi menerima pendidikan seksualitas pada

52 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


remaja. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja masih sangat perlu disosialisasikan kepada guru dan orangtua/wali yang mempunyai remaja. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini khususnya kepada pihak sekolah yang telah bers edia menjadi tempat penelitian dan pengelola P rogram Magister Promosi Kesehat an Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang serta remaja yang kooperatif dalam mengikuti penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional RI. Survei Kesehatan Reproduk si Remaja Indonesia 2007. Jakarta, 2007. 2. Situmorang, S. Adolescent Reproductive Health in Indonesia. JakartaL USAID STA RH Program Johns Hopkins University/Center for Communication Program Jakarta, 2003. 3. Suwarni, L. Perilak u Monitoring Parental dan Perilak u Teman Sebaya Terhadap Perilak u Sek sual Remaja SMA di Kota Pontianak (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro, 2009. 4. Widyastari, D.A., Shaluhiyah, Z., Widjanarko, B. Adolescent in Peril: Internet and other Influencing Factors to Adolescents ’ Sexual Attitudes. Kesehatan Reproduksi, 2010. 5. Pramburti N. Priyadi. Pacaran dan Pengalaman Sek sual Santri Studi pada Beberapa P ondok Pesantren di Kota Semarang. Prosiding Seminar dan Saras ehan Nasional Kesehatan Masyarakat. Healt h Adovakasi dan Persakmi Jawa Timur, 2015. 6. Bandura, A. Perceived Self Efficacy in The E xercise of Control Over AIDS Infection. Eval Program Plann, 1990. 7. Sarwono, S.W. Psik ologi Remaja. Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 2006

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

Notoatmodjo, S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilak u. Rineka Cipta, Jakarta., 2007. Komang YR, Adi Utarini dkk. Perilak u Seks Pranik ah Remaja. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7 No. 4. 2012. Panjaitan A. Arip. Pengaruh Pendidik an Kesehatan Reproduk si Melalui Fasilitator terhadap Peningk atan Pengetahuan dan Sik ap Remaja dalam Pencegahan Perilak u Sek s Berisik o di Kabupaten Sintang. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Semarang, 2016. Astini. Sek s pranik ah ancaman masa depan remajadiakses melaluihttp://www.osissmandapura.net/index. php?pilih= hal&id=20, 2009, pada 25 April 2016. Saifuddin, AF, dkk. Perilak u Sek sual Remaja di Kota dan di Desa: Kasus Kalimantan Selat an. Jakart a Laboratorium Antropologi Jurusan Antropologi FISIP Universitas Indonesia, 1997. Michael Layuk L.S. Hubungan Antara Pengetahuan Sek sualitas dan Sik ap Terhadap Pendidik an Sek sual dengan Perilak u Sek sual pada Siswa SMA Negeri 3 Malang Tahun 2007diakses melalui http://library.um.ac.id/free-con tents/index.php/ pub/ detail/hubungan -antara-pengetahuan-seksualitasdan-sikap-terhadap-pendidikanseksualitas -dengan-perilakuseksual-pada-siswa-sma-negeri-3malang-oleh-machael-layuk-linggi-s32510.html,2007, pada 28 April 2016. Joko Pranot o. Hubungan Pengetahuan dan Sik ap Remaja Terhadap Tindak an Hubungan Sek sual Pranik ah di SMK “X ” Medan Tahun 2009 diakses melalui http://www.researchgate.net/publicat ion/42355761_Hubungan_P engetah uan_Dan_Sikap_Remaja_Terhadap _Tindakan_Hubungan_Seksual_Pra nikah_Di_Smk_Negeri_X_Medan_T ahun_2009

53 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


15. Azwar, S. Sik ap Manusia teori dan penguk urannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2009. 16. Niken Meilani, Zahroh S, Antono S. Perilak u Ibu dalam Memberik an Pendidik an Seksualitas Remaja

A wal. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8. 2014. 17. Lukman AJ. Remaja Hari ini adalah Pemimpin Masa Depan. BKKBN. Jakarta, 2007.

54 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


2 BIMKMI Volume 4 No.2 | Juli-Desember 2016


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.