BIMFI Volume 4 Nomor 2

Page 1



SUSUNAN PENGURUS PENASIHAT

Dr. Ag. Yuswanto, SU., Apt. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

PENANGGUNG JAWAB ISMAFARSI

PIMPINAN UMUM Ziana Walidah Universitas Gadjah Mada

PIMPINAN REDAKSI

Lodyta Nawang Tika Universitas Gadjah Mada

SEKRETARIS-BENDAHARA I Aida Fathia

Universitas Gadjah Mada

SEKRETARIS-BENDAHARA II Fauziah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

MITRA BESTARI

Prof. Elly Wahyudin, DEA., Apt. Fakultas Farmasi Universitas Hassanudin

Prof. Dr. Achmad Fudholi, DEA., Apt. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

Dr. Ika Puspita Sari, M.Si., Apt. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

Indah Purwantini, M.Si., Apt. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

ii

DEWAN REDAKSI Karima Afandi Universitas Gadjah Mada Citra Utami Universitas Hassanudin

Fitri Arum Sari Universitas Indonesia

Ujang Pramana Institut Teknologi Bandung Jaya Sukmana Universitas Padjajaran

HUMAS DAN PROMOSI Yunida Shanti P. Universitas Muhammadiyah Surakarta Nur Ramadhani M. Siti Syifa Printiarti

Universitas Padjajaran

Institut Teknologi Bandung

Neva Melinda M. Universitas Muhammadiyah Malang Nurul Fazriyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mukarramah

Universitas Hassanudin

Jabal Rachmat H.

Universitas Hassanudin

TATA LETAK DAN LAYOUT Fitria Handayani Universitas Pancasila

Zwista Dimas H.

Universitas Gadjah Mada

Theresia Ratna P.

Universitas Gadjah Mada

Ariranur Haniffadli Institut Teknologi Bandung Intan Permata Sari Universitas Sriwijaya Nurul Aisyah Universitas Indonesia Nur Rizqiatul A.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Armansyah Abdullah UIN Allaudin Makassar

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


DAFTAR ISI

Susunan Pengurus ................................................................................................................. ii Daftar Isi .................................................................................................................................... iii Petunjuk Penulisan ................................................................................................................ iv Setitik Ilmu ................................................................................................................................ ix Sambutan Pimpinan Umum ............................................................................................... x

PENELITIAN

Penambatan Molekuler Senyawa Derivat Andrographolida terhadap Enzim Siklooksigenase-2 (COX-2): Molecular Docking of Andrographolide Derivate on Cyclooxigenase-2 Enzyme Yohanes Medika S.D

......................................................................................................................................................... 1 Kombinasi Ekstrak Serai (Cymbopogan nardus) dan Limbah Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa) sebagai Antidiabetes Cece Furwanti, Roessalin Permataningrum, Aliyah Nia Fauziah Daud, Nabella Murtadho, Dita Yuliana Fransiska

.......................................................................................................................................................... 11 Formulasi dan Uji Karakteristik Fisik Microsphere Mucoadhesive Propranolol dengan Polimer Kitosan dari Limbah Kulit Udang (Penaeus Monodon) Emilia Utomo, Desi Ambarwati, Ernawati, Adhan, Adhea Priyanka Indira, Andi Dian Permana

.......................................................................................................................................................... 16 Formulasi dan Evaluasi Bioselulosa Mengandung Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) dan Kunyit (Curcuma Domestica Val.) sebagai Patch Antiinflamasi secara In Vivo Desi Ambarwati Suripto, Emilia Utomo, Ernawati, Rangga Meidianto Asri

......................................................................................................................................................... 22 Optimasi Formulasi Sediaan Lipstik Menggunakan Ekstrak Umbi Bit (Beta Vulgaris L.) Hilda Srivaliana Ilham

......................................................................................................................................................... 27 Formulasi Kapsul Ekstrak Rimpang Jahe (Zingiber Officinale) sebagai Alternatif Antituberkulosis Himmatul Ulya, Tazyinul Q. Alfauziah,

......................................................................................................................................................... 34

TINJAUAN PUSTAKA Personal Drug Monitoring (PDM) sebagai Strategi Peningkatan Kepatuhan Pasien Tuberkulosis di Indonesia Tazyinul Q. Alfauziah, Mia N. A. Fatin, Annisa E. Fitrianti

......................................................................................................................................................... 39

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

iii


PETUNJUK PENULISAN

Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmsi Indonesia (BIMFI) Indonesian Student Pharmacy Journal Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMFI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan kelompok bidang ilmu farmakologi, farmasetika, teknologi sediaan farmasi, farmakognosi, fitokimia, kimia farmasi, bioteknologi farmasi, artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa farmasi.

Kriteria Artikel 1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu farmasi, kesehatan masyarakat, dan ilmu dasar farmasi. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang, abstrak, dan teks (pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan saran). 2. Tinjauan pustaka: tulisan artikel review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu dalam dunia farmasi, ditulis dengan memerhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca. 3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Artikel ini ditulis sesuai pemeriksaan, analisis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi farmasi. Format terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan. 4. Artikel penyegar ilmu farmasi: artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topiktopik yang sangat menarik dalam dunia farmasi atau kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau farmasi yang perlu diketahui oleh pembaca. 5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia farmasi dan kesehatan, mulai dari ilmu dasar farmasi, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang farmasi, lapangan kerja sampai karir dalam dunia farmasi. Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa farmasi. 6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan analisis atau tatalaksana yang ditulis secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa farmasi). 7. Advertorial: artikel singkat mengenai obat atau kombinasi obat terbaru, beserta penelitian, dan kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka.

iv

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


Petunjuk Bagi Penulis 1. BIMFI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, lugas, dan ringkas. Naskah diketik dalam Microsoft Word, ukuran kertas A4 dengan margin kanan, kiri, atas, bawah berukuran 3433 cm. Naskah menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 cm, jarak antarbab atau antarsubbab yaitu 1 spasi (1x enter). Font Arial, size 10, sentence case, justify. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka. 3. Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksi bimfi@bimkes.org dan bimfi@ismafarsi.org dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi.sana yang ditulis secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa farmasi). 4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan - Metode - Hasil - Pembahasan - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan 5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan Pustaka dan Advertorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas) - Pembahasan - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan 6. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Artikel Penyegar dan Artikel Editorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Pendahuluan 2. Isi 3. Kesimpulan (Penutup) 7. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Laporan Kasus harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan - Laporan kasus - Pembahasan - Kesimpulan 5. Daftar Rujukan

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

v


8. Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis dengan Font Arial 14 pt dicetak tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf ditulis kapital), tidak digaris bawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.), tanpa singkatan, kecuali singkatan yang lazim. Penulisan judul diperbolehkan menggunakan titik dua tapi tidak diperbolehkan menggunakan titik koma. Penggunaan subjudul diperbolehkan dengan ketentuan ditulis dengan titlecase, Font Arial 12, center, dan dicetak tebal. 9. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis diketik titlecase, Font Arial 10, center, dan bold yang dimulai dari pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal instansi dimulai dari terkecil. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email. 10. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata dan tidak menuliskan kutipan pustaka. Abstrak Bahasa Indonesia dan kata kunci ditulis tegak. Abstrak Bahasa Inggris dan keyword ditulis italic (dimiringkan). 11. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Kata kunci sebanyak maksimal 8 kata benda yang ditulis dari umum ke khusus. 12. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 13. Setiap tabel gambar dan metode statistika diberi judul dan nomor pemunculan. 14. Ucapan terima kasih 15. Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat sebagai berikut: 1. SERIAL

Artikel jurnal dengan volume dan edisi Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume:Edisi (tahun terbit): halaman. Contoh: Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the Ideology of Romantic Silences.” Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35.

2. BUKU

i. Penulis Tunggal Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957.

ii. Dua atau Tiga Orang Penulis Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis selanjutnya. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Howe, Russell Warren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City: Doubleday, 1977. Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R. Sorensen. The Rope, the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of Texas, 1994.

vi

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


iii. Editor sebagai Penulis Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979.

iv. Penulis dan Editor Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit,Tahun terbit. Contoh: Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford UP, 1956. v. Penulis berupa Tim atau Lembaga Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory. Washington, D.C.: Natl. Inst. for Dispute Res., 1984.

vi. Karya multijilid/buku berseri Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963. vii. Terjemahan Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama penerjemah. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang diterjemah (italic), Tahun terbit buku yang diterjemah. Contoh: Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan Smith. London: Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L’Archéologie du savoir, 1969.

viii. Artikel atau Bab dalam Buku Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku. Contoh: Magny, Claude-Edmonde. “Faulkner or Theological Inversion.” Faulkner: A Collection of Critical Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. 66-78. ix. Brosur, pamflet, dan sejenisnya Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999.

3. PUBLIKASI ELEKTRONIK i.

BIMFI

Buku Online Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku. www.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>.

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

vii


ii. Artikel Jurnal Online Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal dan tahun akses jurnal <link online jurnal> Contoh: Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo’s Life of the Buddha.” Exemplaria 9.1 (1997). 22 June 1998 <http://web.english.ufl.edu/english/ exemplaria/calax.htm> iii. Artikel di Website “judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses. <link online artikel>. Contoh: “Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab. 2003. Purdue University. 6 Februari 2003. <http://owl.english.purdue. edu/handouts/research/r_mla.html>.

iv. Publikasi Lembaga Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama penulis 2, dan seterusnya. Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel>. Contoh: United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National Assessment. By Claire Johnson, Barbara Webster, dan Edward Connors. Feb 1996. 29 June 1998 <http:/www.ncjrs.org/txtfiles/pgang.txt>.

viii

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


SETITIK ILMU

Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) Indonesian Pharmacy Student Journal Satu-satunya jurnal mahasiswa farmasi Indonesia Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) atau Indonesian Pharmacy Student Journal merupakan berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia (ISMAFARSI) setiap enam bulan sekali. Berkala ilmiah ini merupakan langkah awal ISMAFARSI dalam memenuhi kebutuhan mahasiswa farmasi akan berkala ilmiah dan upaya pemetaan penelitian terkait ilmu kefarmasian di Indonesia. Maka dari itu, BIMFI berazaskan dari, oleh, dan untuk mahasiwa. Kriteria jenis tulisan yang tercantum dalam BIMFI adalah penelitian asli, tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar, editorial, petunjuk praktis, dan advertorial yang dibuat oleh mahasiswa farmasi Indonesia. Karya ilmiah yang dipublikasikan merupakan artikel terbaik yang sudah menjalani tahap penyaringan dan penilaian. Hal tersebut didukung oleh sistem redaksional yang digunakan, yaitu seleksi oleh editor dan redaktur, serta penilaian oleh mitra bestari, yang ahli di bidangnya masing-masing. Karya ilmiah yang dimuat dalam BIMFI terbagi dalam kelompok bidang ilmu, seperti Farmakologi, Farmakoterapi, Farmasetika, Teknologi Sediaan Farmasi, Farmakognosi, Fitokimia, Kimia Farmasi, Analisis Farmasi, Mikrobiologi Farmasi, dan Bioteknologi Farmasi. Karya yang dipublikasikan adalah tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa farmasi. Sebagai tahap awal penyebaran, BIMFI dalam bentuk cetak akan dibagikan ke beberapa Fakultas atau Prodi Farmasi di Indonesia. Pada tahap selanjutnya, BIMFI akan dibagikan ke seluruh Fakultas atau Prodi Farmasi, Asosiasi Institusi Farmasi, Organisasi Profesi Farmasi, dan beberapa perpustakaan di Indonesia untuk menjamin penyampaian informasi kepada para mahasiswa farmasi Indonesia. Selain itu, BIMFI juga tersedia dalam bentuk electronic journal yang bisa diakses di website. Dengan demikian, BIMFI diharapkan dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa farmasi akan informasi ilmu kefarmasian.

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

ix


SAMBUTAN PIMPINAN UMUM

Salam Dari Pimpinan Umum Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan kesempatan sehingga BIMFI dapat hadir kembali didunia kefarmasian Indonesia. Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan umat manusia hingga akhir zaman. Banyaknya penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Indonesia sudah tak perlu diragukan lagi. Namun mempublikasikan penelitian tersebut sebagai sebuah artikel dirasa belum banyak diaplikasikan. BIMFI hadir sebagai satu-satunya jurnal mahasiswa farmasi Indonesia untuk mewadahi artikel-artikel ilmiah yang telah ditulis oleh mahasiswa farmasi. Tersebar dipelbagai fakultas farmasi di Indonesia dari aceh hingga manado. BIMFI selama tiga tahun ini berusaha untuk terus mewadahi tulisan karya penelitian mahasiswa farmasi Indonesia, sehingga pendapat-pendapat baru dapat terungkapkan dan kemajuan teknologi dapat terus dilakukan. Melalui BIMFI, ISMAFARSI telah menunjukkan komitmen positifnya dalam mendukung Dirjen Dikti Kemendikbud Republik Indonesia mengenai wajib publikasi ilmiah bagi S1, sehingga dapat memberikan manfaat bagi perkembangan jumlah publikasi ilmiah di Indonesia. Mengingat bahwa ilmu kefarmasian terbagi dalam banyak bidang ilmu, artikel-artikel yang dipublikasian dalam BIMFI diklasifikasikan menjadi beberapa jenis tulisan. Sebanyak 6 artikel penelitian dan 1 artikel tinjauan pustaka dimuat pada edisi ini. Hanya artikel yang berkualitas dan terbaik yang dapat dimuat di BIMFI kerena artikel-artikel yang masuk telah melalui proses seleksi yang panjang dan proses revisi dari dewan redaksi bersama mitra bestari. Besar harapan kami, agar jurnal ini dapat memberikan banyak manfaat bagi pembaca ataupun penulis, khususnya mahasiswa-mahasiswa farmasi diseluruh Indonesia dan dengan adanya BIMFI ini banyak harapan untuk dapat menumbuhkan semangat menulis, kultur ilmiah dan budaya publikasi bagi mahasiswa farmasi. Terimakasih kami ucapkan untuk semua pihak yang telah mendukung dan membantu terbitnya BIMFI ini dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan yang dilakukan oleh penyusun. Kami tak akan lelah untuk menampung karya hebat mahasiswa farmasi Indonesia, karena kami ada untuk terus memfasilitasi pengharum nama Indonesia. “Kemajuan teknologi bukan dihasilkan dengan pengulangan pendapat-pendapat lama, tapi karena adanya orang yang berani mengajukan pendapat-pendapat baru� (Ryu Hasan, MD)

Salam GO FORTH and WRITE! Hidup Mahasiswa Farmasi Indonesia! Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Ziana Walidah

x

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


Penelitian

PENAMBATAN MOLEKULER SENYAWA DERIVAT ANDROGRAPHOLIDA TERHADAP ENZIM SIKLOOKSIGENASE-2 (COX-2): Molecular Docking of Andrographolide Derivate on Cyclooxigenase-2 Enzyme Yohanes Medika S.D1* Program Studi Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta *Corresponding author’s email : yomedelic@gmail.com 1

ABSTRAK

Pendahuluan: Telah diketahui bahwa ekstrak klorofom sambiloto (Andrographis paniculata Ness.) memiliki efek anti-inflamasi terhadap tikus jantan yang diinduksi karagenan. Senyawa golongan andrographolida yang merupakan kandungan A. paniculata diduga memiliki efek anti-inflamasi. Penelitian ini akan mengkonfirmasi senyawa derivat andrographolida yang memiliki aktivitas antiinflamasi berdasarkan energi ikatan hasil penambatannya pada binding-site enzim COX-2 dan mengidentifikasi interaksi hidrogen yang terbentuk pada sisi ikatannya. Empat senyawa derivat andrographolida yakni neoandrograpaholida, 14-deoksiandrographolida, 14-deoksi-11, 12-didehidroandrographolida dan andrographanin digunakan, lalu dipilih diklofenak sebagai kontrol antagonisnya dan asam arakhidonat sebagai kontrol agonisnya. Protein target merupakan enzim COX-2 yang didapatkan dari situs PDB (Protein Data Bank) dengan kode 1PXX. Dari penelitian ini dapat dilakukan pengembangan rancangan senyawa anti-inflamasi dari derivat andrographolida yang lebih aktif terhadap sisi ikatan enzim COX-2. Metode: Senyawa uji dan protein target dipreparasi dan dioptimasi terlebih dahulu dengan menambahkan muatan parsial gasteiger charges dan forcefield autodock. Dilakukan superposisi pada protein target dan dipilih salah satu rantai pada protein target sebagai target penambatan. Penambatan molekuler senyawa uji pada sisi ikatan enzim COX-2 dilakukan menggunakan program ArgusLab 4.0.1 dan dengan metode ArgusDock yang telah divalidasi. Data hasil energi ikatan dibandingkan dengan kontrol dan divisualisasi ikatan hidrogennya. Hasil dan Pembahasan : Didapatkan hasil analisa yakni senyawa uji neoandrographolida, 14-deoksiandrographolida dan andrographanin memiliki nilai energi bebas ikatan yang lebih rendah dibanding asam arakhidonat pada sisi ikatan enzim COX-2. Kesimpulan: Senyawa uji neoandrographolida, 14-deoksiandrographolida dan andrographanin mampu menghambat ikatan asam arakhidonat sehingga senyawa tersebut dikonfirmasi aktif sebagai anti-inflamasi. Interaksi hidrogen senyawa uji pada sisi ikatan enzim COX-2 dapat diidentifikasi. Kata kunci: penambatan, siklooksigenase-2, andrographolida, in silico

ABSTRACT

Introduction: It is known that the chloroform extract of Andrographis paniculata Ness. have antiinflammatory effects against carrageenan-induced male mice. Andrographolida class compound which is the contents of A. paniculata is thought to have anti-inflammatory properties. This study will confirm andrographolida derivative compounds which is predicted to have anti-inflammatory activity by viewing binding energy results of docking in COX-2 binding site and identify the interaction of hydrogen formed in COX-2’s binding site. This studi confirmed four-andrographolide derivates that are neoandrographolide, 14-deoxyandrographolide, 14-deoxy-11,12-didehydro-andrographolide and andrographanin using diclofenac as antagonist control and arachidonic acid as agonist control. The target protein is COX-2 enzyme that is obtained from PDB (Protein Data Bank) with code of 1PXX. This research can be used to development an anti-inflammatory compounds from andrographolida derivatives those are more active to inhibit the COX-2 enzyme. Methods: CTest compounds and target proteins were prepared and optimized by adding the gasteiger partial charges and a forcefield autodock. Superposition of target proteins were conducted and one chain of target protein was selected as a docking target. Molecular docking was performed in the binding site of COX-2 enzyme using ArgusLab 4.0.1, with ArgusDock method that have been validated. Then we compared the binding energy to the control and visualized the hydrogen bonding. Results and Discussion: The results shows that neoandrographolide, 14-deoxyandrographolide and andrographanin have the lower free binding energy than arachidonic acid’s on the binding site of the COX-2 enzyme. Conclusion: Neoandrographolide, 14-deoxyandrographolide and andrographanin are able to inhibit binding of arachidonic acid, so the compounds were confirmed active as an anti-inflammatory agents. The interaction of hydrogen bonding of test compounds on the enzyme COX- 2 can be identified. Keywords: docking, cyclooxygenase-2, andrographolide, in silico BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

1


1.

PENDAHULUAN Penelitian dalam rangka menemukan obat baru dengan metode trial and errorr membutuhkan biaya dan waktu yang besar, sehingga metode yang lebih menjanjikan dengan bantuan ilmu komputasi semakin dikembangkan pada era modern ini. Salah satunya adalah untuk menentukan se-nyawa yang paling berpotensi memiliki aktifitas inhibisi kerja enzim COX-2, suatu enzim yang berperan dalam proses inflamasi yang biasanya menjadi gejala suatu penyakit yang harus ditangani dengan tepat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkonfirmasi senyawa derivat andrographolida yang memiliki aktivitas anti-inflamasi dan mengidentifikasi interaksi hidrogen-nya yang terbentuk pada sisi ikatan enzim sikooksigenase-2 (COX-2) secara in silico. Penelitian ini akan menunjukan senyawa derivat andrographolida yang paling berpotensi untuk menginhibisi kerja COX-2. Hal ini tentu berkontribusi pada cabang ilmu farmakologi dimana akan jelas diketahui senyawa derivat andrographolida yang aktif sebagai anti-inflamasi. Andrographis paniculata Ness. atau di Indonesia dikenal dengan sebutan sambiloto merupakan salah satu tanaman obat yang berasal dari daerah Asia selatan dan Cina. Tanaman ini dikenal sebagai tanaman obat tradisional Cina sejak beberapa ratus tahun yang lalu dan telah tercantum dalam Chinese Pharmacopoeia[1]. Komponen senyawa primer dari A. paniculata adalah andrographolida, berupa kristal tak berwarna, memiliki rasa pahit dan mempunyai struktur cincin diterpen lakton. Derivat dari andrographolida diantaranya adalah 14-deoksiandrographolida, neoandrographolida, 14-deoksi-11,12-didehidroandrographolida, 14-deoksi-14,15-didehidro-andrographolida, andrograpanin, isoandrographolida, 14-asetilandrographolida, 19-o-asetilanhidroandrographolida. Adapun komponen senyawa lain yakni 5,7,2’,3’-tetrametoksiflavon dan 5-hidroksi-7,2’,3’-trimetoksiflavon yang merupakan senyawa golongan flavonoid[2]. Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya manfaat dari A. paniculata antara lain sebagai anti-influenza dan antipiretik[3], anti-hiv secara in vitro[4], hepatoprotektif[5] dan anti-inflamasi secara in vivo[6]. Diketahui ekstrak kloroform A. paniculata

2

dengan dosis 200mg/kgBB mampu mengurangi edema pada tikus yang diinduksi karagenan dan hasil statistiknya menunjukan efek anti-inflamasi yang signifikan[6]. Senyawa golongan andrographolida merupakan kandungan yang diketahui memiliki efek anti-inflamasi[7]. Neoandrographolida sendiri merupakan salah satu derivat andrographolida telah diketahui memiliki aktivitas biologis terhadap enzim COX-2[8]. Siklooksigenase (COX) atau prostaglandin endoperoksida sintase (PGHS) merupakan enzim bifungsional yang akan mengubah asam arakhidonat menjadi prostaglandin G2 (PGG2) melalui reaksi dioksigenasi, kemudian mengkatalis peroksidasi PGG2 menjadi PGH2. Senyawa PGH2 adalah prekursor pembentukan beberapa mediator penting pada kejadian inflamasi. Siklooksigenase memiliki bentuk isoform yaitu COX-1 dan COX-2. COX-2 bersifat terinduksi dan berada pada jaringan yang mengalami inflamasi. Penghambatan enzim COX-2 ini, sebagian besar merupakan mekanisme kerja utama dari obat-obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID)[9]. Pada penelitian ini, digunakan empat senyawa derivat andrographolida yakni neoandrographolida, 14-deoksiandrographolida, 14-deoksi-11,12-didehidro-andrographolida dan andrographanin. Pendekatan yang digunakan yakni in silico. In silico merujuk pada studi interaksi senyawa dengan memanfaatkan perangkat lunak pada sebuah komputer. Salah satu teknik in silico yang sering digunakan adalah dengan pemodelan molekul[10]. ArgusLab[11] merupakan salah satu perangkat lunak pemodelan molekul, ArgusLab[11] menyediakan dua jenis metode penambatan, yaitu ArgusDock dan GADock yang mampu melakukan penambatan molekular dengan cara menempatkan suatu ligan pada suatu sisi ikatan dari protein target[9]. Dalam perkembangannya, uji aktivitas anti-inflamasi dari berbagai ekstrak tanaman telah dilakukan, salah satunya pada tanaman sambiloto (Andrographis paniculata Ness.) yang terbukti memiliki efek antiinflamasi terhadap tikus. Namun sejauh ini, belum dapat dipastikan senyawa apa saja dari derivat andrographolida yang berpotensi menginhibisi COX-2 dan bagaimana interaksi yang terjadi pada sisi ikatannya. Penelitian ini berkontribusi terhadap strategi pengembangan obat baru, dimana dapat BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


dilakukan rancangan analog dari derivat andrographolida yang lebih aktif terhadap sisi ikatan enzim COX-2. Penelitian ini mendukung penelitian terdahulu mengenai efek anti-inflamasi dari ekstrak A. paniculata secara in vivo yang dilakukan oleh Radhika et al. 2009 yakni mengenai pengujian daya antiinflamasi ekstrak kloroform A. paniculata terhadap tikus yang telah diinduksi karagenan[6]. Penelitian ini akan mengonfirmasi senyawa-senyawa derivat andrographolida yang memiliki potensi terbesar sebagai anti-inflamasi dengan menganalisis nilai energi bebas ikatan hasil penambatannya. 2. METODE PENELITIAN Desain penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental berbasis komputasi dengan variabel bebasnya berupa senyawa uji yang akan ditambatkan dan variabel terikatnya berupa nilai energi bebas (Gibbs energy -∆G) dan interaksi hidrogen yang terjadi pada sisi ikatan. Penelitian dilakukan pada komputer PC (Personal Computer) dengan spesifikasi CPU AMD Athlon II X2 @3.2ghz, RAM 3GB, kartu grafis Powercolor HD4850 1GB 256bit, dengan sistem operasi Windows 8 build 9200 pada tanggal 2 April-21 Mei 2016. Dipilih empat senyawa derivat andrographolida yang akan ditambatkan yakni neoandrographolida, 14-deoksiandrographolida, 14-deoksi-11,12-didehidroandrographolida dan andrographanin. Senyawa yang telah jelas memiliki aktivitas menghambat kerja enzim COX-2 digunakan sebagai kontrol antagonis, yakni diklofenak yang telah terbukti menghambat ikatan substrat alamiah COX-2[12], sedangkan kontrol agonis berupa substrat alamiah COX-2 yakni asam arakhidonat yang akan berikatan secara normal dengan enzim COX-2. Struktur dua dimensi senyawasenyawa yang akan ditambatkan diperoleh dari ChemSpider[13] dan telah tervalidasi. Bahan protein target COX-2 diperoleh dari PDB[14] (Protein Data Bank) dengan kode 1PXX. Bahan protein target berupa struktur kristal enzim COX-2 dengan diklofenak terikat pada sisi aktifnya. 2.1. Persiapan bahan-bahan penambatan Struktur dua dimensi senyawasenyawa yang akan ditambatkan diunduh BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

dari ChemSpider[13] dan protein target COX2 diunduh dari PDB[14] dengan kode 1PXX. Struktur dua dimensi senyawa disimpan dalam bentuk .mol sedangkan bahan protein target disimpan dalam bentuk .pdb. 2.2. Optimasi geometri struktur senyawa uji Struktur dua dimensi senyawasenyawa yang akan ditambatkan dibuka melalui program VegaZZ[15] dan ditampilkan dalam bentuk tiga dimensinya lalu ditambahkan atom hidrogen. Senyawa diperbaiki muatannya dengan menambahkan muatan parsial gasteiger charges lalu diberi forcefield autodock. Senyawa diminimisasi sebanyak 3000 langkah untuk memperoleh konformasi yang paling stabil[16]. 2.3. Validasi metode penambatan ArgusLab[11] menyediakan dua metode penambatan yakni Lamarckian Genetic Algorithm (GADock) dan Exhaustive Search (ArgusDock). Metode ArgusDock menggunakan pendekatan struktur dan ligan yang ditambatkan hanya diarahkan pada suatu posisi tertentu sedangkan pada metode GADock, ligan yang ditambatkan akan diarahkan pada berbagai posisi yang memungkinkan sehingga metode ini bersifat non-reprodusibel[9]. Native-ligan diklofenak di-copy lalu di-paste-kan dan disebut ligan-copy. Ligan-copy ditambatkan ulang pada sisi ikatan native-ligan dengan kedua metode tersebut. Hasil penambatan ulang ligan-copy digunakan untuk mencari nilai RMSD (Root Mean Square Deviation) lalu dibandingkan nilai tersebut antar kedua metode. Nilai RMSD menggambarkan perbedaan koordinat antara dua ligan, semakin kecil nilai RMSD maka akan semakin mirip posisi tumpangtindih antar dua ligan. Nilai RMSD yang masih dapat diterima yakni <2,0 Angstroms[17]. Dilakukan pengaturan parameter penambatan meliputi resolusi grid, sisi pengikatan (x,y,z), angka pose maksimal, tingkat presisi, fleksibilitas ligan hingga didapatkan nilai RMSD <2 Angstroms. 2.4. Preparasi protein target dan superposisi rantai Struktur protein dihapus dari residu non-standar dan pelarut (air). Struktur protein COX-2 terdiri atas empat rantai. Rantai dipisahkan menggunakan program Chimera[17]. Hasil pemisahan rantai dilaku-

3


kan pengujian superposisi. Salah satu rantai pada protein target disuperposisi dengan rantai lain pada protein. Apabila superposisi antar rantai dalam satu protein menghasilkan struktur yang mirip maka dipilih salah satunya sebagai target penambatan[16]. 2.5. Optimasi protein target Rantai protein target yang telah disuperposisi kemudian dioptimasi untuk persiapan penambatan. Struktur protein ditambahkan atom hidrogen kemudian diperbaiki muatannya dengan menambahkan gasteiger charges dan diberikan forcefield autodock[16]. Optimasi dilakukan menggunakan VegaZZ[15]. 2.6. Penambatan senyawa protein target COX-2 Penambatan molekul

uji

pada

dengan metode ArgusDock. Keempat senyawa uji beserta kontrol yang telah dioptimasi ditambatkan pada sisi ikatan protein sesuai parameter yang telah diatur. Hasil perhitungan energi bebas dicatat dan hasil penambatan disimpan dalam format .pdb. 2. 7. Analisis data dan visualisasi penambatan Makromolekul hasil penambatan di buka menggunkan ArgusLab[11] untuk divisualisasikan jarak dan interaksi hidrogen yang terjadi. Hasil perhitungan energi bebas masing-masing senyawa uji dibandingkan dengan kontrol agonis (asam arakhidonat) dan kontrol.

dilakukan

3. HASIL

a.) Neoandrographolida

d.) 14-deoksi-11,12-didehidroandrographolida

b.) 14-deoksiandrographolida

e.) Asam arakhidonat

c.) Andrographanin

f.) Diklofenak

Gambar 1. Struktur 2D senyawa-senyawa penambatan. Struktur senyawa diperoleh dengan mengunduh dari ChemSpider[13]

4

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


a.) Neoandrographolida

d.)

b.) 14-deoksiandrographolida

14-deoksi-11,12-didehidro-andrographolida

e.) Asam arakhidonat

c.) Andrographanin

f.) Diklofenak

Gambar 2. Struktur 3D senyawa-senyawa penambatan yang telah dioptimasi. Masing-masing senyawa ditambahkan hidrogen dan diperbaiki muatannya dengan gasteiger charges dan forcefield autodock menggunakan VegaZZ [15]

Gambar 3. Tumpang tindih ligan (native-ligan diklofenak: kuning; ligan-copy: hijau) dengan metode ArgusDock menghasilkan nilai RMSD 1.840361 Angstroms

Gambar 3. Native-ligan diklofenak (kuning) dan ligan-copy (hijau) berinteraksi dengan cara yang sama yakni berikatan hidrogen dengan asam amino SER530 dan TYR385 BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

5


Tabel 1. Nilai energi bebas ikatan senyawa uji hasil penambatan

Senyawa Uji Diklofenak (kontrol antagonis) Asam arakhidonat (kontrol agonis) Neoandrographolida 14-deoksiandrographolida 14-deoksi-11,12-didehidro-andrographolida Andrographanin

Nilai AScore atau energi ikatan -∆G (kkal/mol) -11,8026 -11,3026 -14,3969 -11,8198 -11,1189 -12,0928

Gambar 5. Hasil superposisi menggunakan Chimera [18] pada COX-2 (1PXX) menunjukan kemiripan pada keempat rantai

Tabel 2. Hasil identifikasi interaksi hidrogen menggunakan ArgusLab [11] Senyawa uji

Jumlah ikatan hidrogen

Gugus asam amino yang berikatan

Jarak ikatan (Angstroms)

Diklofenak (kontrol antagonis) Asam arakhidonat (kontrol agonis) Neoandrographolida

2

O pada TYR385 O pada SER530

1

N pada ARG44

2,8525 2,6125 2,0877

2

14-deoksiandrographolida

3

14-deoksi-11,12-didehidroandrographolida

3

Andrographanin

2

O pada TYR385 O pada GLY526 N pada ALA527 O pada TYR355 O pada SER530 N pada ALA527 N pada ALA527 O pada GLY526 N pada TRP387 O pada TYR355

2,6521 2,7906 2,9435 2,4698 2,5232 2,5086 2,8578 2,8643 2,9755 2,5875

6

BIMFI

Gugus senyawa yang berikatan O-O O-O O-N O-O O-O O-N O-O O-O O-N O-N O-O O-N O-O

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


a). Kontrol agonis (asam arakhidonat) a). Kontrol agonis (asam arakhidonat)

b). Kontrol antagonis (diklofenak) b). Kontrol antagonis (diklofenak)

c). Neoandrographolida

d). 14-deoksiandrographolida

e).14-deoksi-11,12-didehidroe).14-deoksi-11,12-didehidroandrographolida andrographolida

f). Andrographanin f). Andrographanin

Gambar 6. Visualisasi interaksi hidrogen terhadap masing-masing senyawa uji (hijau) menggunakan ArgusLab[11] PEMBAHASAN Struktur dua dimensi masing-masing senyawa uji diunduh dan dipersiapkan seperti yang disajikan pada Gambar 1, lalu dioptimasi geometrinya menggunakan VegaZZ[15] sehingga didapatkan hasil optimasi seperti yang disajikan pada Gambar 2. Kemudian dilakukan validasi metode dengan membandingkan posisi native-ligan diklofenak yakni 2701DIF terhadap sisi ikatan COX-2 dengan ligancopy. Didapatkan parameter hasil validasi yakni sisi pengikatan (x,y,z) : 20,187000 x 23,350000, 22,409000 dengan resolusi grid 0,4 Ă…, angka pose maksimal diatur 150 pose, tingkat presisi diatur regular dan BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

ligan diatur fleksibel. Kondisi fleksibel memungkinkan ligan melakukan penyesuaian struktur untuk mencapai keadaan yang paling stabil pada sisi ikatannya. Penilaian terhadap validasi didasarkan pada RMSD, Nilai RMSD menunjukkan perbedaan posisi koordinat antara dua ligan (nativeligan diklofenak dan ligan-copy). Semakin kecil nilai RMSD, maka posisi tumpangtindih kedua ligan akan semakin mirip. Nilai RMSD yang didapat dari metode GADock yakni sebesar 7,519273 Ă… sedangkan metode ArgusDock sebesar 1,840361 Ă… seperti yang disajikan dalam Gambar 3. yang artinya metode ArgusDock dengan pengaturan parameter tersebut dapat di-

7


katakan valid sehingga dalam penelitian ini ArgusDock dipilih sebagai metode penambatan. Visualisasi hasil tumpangtindih ligan menunjukan bahwa native-ligan diklofenak dan ligan-copy berinteraksi pada sisi ikatan enzim COX-2 dengan cara yang sama yakni terbentuknya ikatan hidrogen pada gugus O senyawa diklofenak dengan O pada residu serin 530 dengan jarak ikatan native-ligan diklofenak: 2,526298 Å; ligancopy: 2,892684 Å, terbentuknya ikatan hidrogen pada gugus O (hidroksi) diklofenak dengan O pada residu tirosin 385 dengan jarak ikatan native-ligan diklofenak: 2,991511 Å; ligan-copy: 1,907139 Å seperti yang disajikan pada Gambar 4. Protein target dipreparasi dengan menghapus semua residu non-standar dan pelarutnya (molekul air) untuk mencegah terjadinya interferensi ketika dilakukan penambatan. Residu non-standar yang dihapus yakni heme, B-oktilglukosida, Nasetil-D-glukosida, dan diklofenak. Selanjutnya struktur rantai pada protein target (1PXX) dipisahkan menjadi empat rantai yakni rantai A, B, C dan D. Masingmasing rantai disuperposisi dengan cara rantai ditumpangtindihkan sehingga didapat kemiripan struktur dari keempat rantai seperti yang disajikan pada Gambar 5. Dipilih rantai A sebagai target penambatan. Optimasi protein target penambatan dilakukan dengan menambahkan muatan parsial gasteiger charges dan pemberian forcefield autodock. Sisi pengikatan protein dipilih residu arginin 120 yang merupakan binding-site asam arakhidonat eksperimental[16]. Didapatkan data hasil penambatan berupa nilai AScore. Nilai AScore didefinisikan sebagai fungsi perhitungan energi bebas ikatan. Nilai energi bebas ikatan (AScore) didasarkan pada persamaan berikut: ΔGikat = ΔGvanderwaals + ΔGhidrofobik + ΔGikatan + ΔGikatan hidrogen (chg) + ΔGpemecahan + ΔG0 hidrogen Persamaan tersebut menyatakan bahwa perhitungan energi bebas ikatan merupakan kontribusi dari ikatan van der waals, efek hidrofobik, efek ikatan hidrogen dari atom-atom netral, efek ikatan hidrogen atom-atom bermuatan, efek jumlah ikatan berotasi dan nilai dari regresi[9]. Nilai AScore dari senyawa uji disajikan pada Tabel 1. Dapat dilihat bahwa senyawa neo-

8

andrographolida, 14-deoksiandrographolida, andrographanin dan diklofenak mampu menghambat ikatan asam arakhidonat pada sisi pengikatan enzim COX-2, ini dibuktikan dengan nilai energi bebas ikatan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan asam arakhidonat. Hal tersebut akan membuat enzim COX-2 memiliki kecenderungan untuk berikatan dengan senyawa-senyawa tersebut daripada asam arakhidonat yang merupakan substrat alamiahnya. Enzim COX-2 bertugas untuk mengkatalisir produksi prostaglandin yakni senyawa yang berperan pada proses inflamasi[19]. Penghambatan terhadap enzim COX-2 akan menghasilkan efek anti-inflamasi. Efek antiinflamasi paling kuat dimiliki oleh senyawa neoandrographolida karena memiliki nilai energi bebas ikatan yang paling rendah. Hal ini selaras dengan pernyataan Liu et al. bahwa senyawa neoandrographolida memiliki aktivitas biologis pada enzim COX-2[8]. Hasil tersebut juga selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Radhika et al. yang mana menyatakan ekstrak A. paniculata memiliki daya anti-inflamasi terhadap tikus yang diinduksi karagenan[6]. Diketahui bahwa senyawa 14-deoksi-11,12-didehidro-andrographolida tidak mampu menghambat ikatan asam arakhidonat terhadap enzim COX-2, ini dibuktikan dengan nilai energi bebas ikatannya yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan asam arakhidonat. Hal tersebut mungkin disebabkan ketiadaan atom hidrogen pada posisi 11 dan 12 yang menyebabkan senyawa ini tidak cukup stabil untuk berikatan pada binding-site COX-2. Hasil visualisasi ikatan hidrogen menunjukan bahwa semua senyawa uji mampu membentuk ikatan hidrogen dalam binding-site COX-2 dengan jarak ikatan <3 Å. Senyawa neoandrographolida diketahui memiliki interaksi hidrogen yang sama bila dibandingkan dengan diklofenak sebagai kontrol antagonis yakni terbentuknya ikatan hidrogen dengan gugus O pada residu tirosin 385. Senyawa 14-deoksiandrographolida juga memiliki interaksi hidrogen yang sama bila dibandingkan dengan diklofenak yakni terbentuknya ikatan hidrogen dengan gugus O pada residu serin 530. Interaksi senyawa uji dengan protein target hanya ditampilkan ikatan hidrogennya saja hal ini dikarenakan keterbatasan ArgusLab[15] yang hanya mampu membaca jenis ikatan BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


hidrogen. Jumlah ikatan hidrogen paling banyak terbentuk pada senyawa 14-deoksiandrographolida dan 14-deoksi-11,12didehidro-andrographolida yakni 3 ikatan hidrogen namun nilai energi bebas ikatan paling tinggi dimiliki oleh senyawa neoandrographolida yang hanya membentuk 2 ikatan hidrogen saja. Penilaian terhadap penambatan lebih diutamakan pada hasil energi bebas ikatannya(AScore) daripada penentuan jumlah ikatan hidrogennya, karena nilai energi bebas ikatan merupakan kontribusi dari berbagai efek ikatan, efekefek elektronik lain dan nilai regresi yang terjadi selama proses penambatan. Adapun secara eksperimental energi bebas ikatan (Gibbs) berhubungan langsung dengan konstanta inhibisi, dengan demikian penentuan nilai energi bebas ikatan dapat memprediksi kemampuan senyawa untuk menghambat kerja enzim[9]. 4. KESIMPULAN Hasil penambatan menunjukan senyawa neoandrographolida, 14-deoksi andrographolida, andrographanin mempunyai kecenderungan untuk berikatan dengan enzim COX-2 dibanding asam arakhidonat sehingga senyawa tersebut dikonfirmasi memiliki aktivitas anti-inflamasi. Hasil penelitian selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Radhika et al. (2009) dimana ekstrak A. paniculata memiliki daya anti-inflamasi terhadap tikus terinduksi karagenan[6]. Diketahui nilai energi bebas ikatan terendah dimiliki oleh neoandrographolida, ini artinya senyawa neoandrographolida memiliki potensi tertinggi sebagai senyawa anti-inflamasi. Interaksi hidrogen senyawa derivat andrographolida pada sisi ikatan arginin 120 enzim COX-2 dapat diidentifikasi. 5. SARAN Dapat dilakukan modifikasi struktur pada senyawa neoandrographolida sebagai strategi pengembangan senyawa anti-inflamasi. Perlu dilakukan perhitungan prediksi nilai IC50 untuk melihat korelasinya dengan hasil nilai energi bebas ikatan senyawa uji. DAFTAR PUSTAKA [1] “Andrographis paniculata: The Key Facts for Therapeutic Use”. Scientific Affairs. 2002. 24 Mei 2016. <http://scientificafBIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

fairs.com> [2] Chao, W.W. and Lin B.F.”Isolation and Identification of Bioactive Compounds in Andrographis paniculata (Chuanxinlian)”. Chinese Med 5:17(2010): 1-15. [3] Anonim. Use a Paniculata I, II dan III to Threat Acute Infection. Sichuan: Research Group of Sichuan Provicial Her Institute, 1973. [4] Chan, R.S., et al. ”Dehydroandrographolide Succinic Acid Monoester as an Inhibitor Against the Human Im munodeficiency Virus”. Proc Soc Exp Bio Med 1:(1991): 59-66. [5] Handa, S.S. and Sharma, A. ”Hepatoprotective activity of Andrographolide Against Galactosamine and Paracetamol Intoxication in Rats”. Ind.J.Med. Res 92:(1990):284-292. [6] Radhika, P., et al. ”Anti-inflammatory Activity of Chloroform Extract of Andrographis paniculata Ness. Stem”. Res.J.Biotech 4:2(2009): 35-38. [7] Levita, J., et al. “Andrographolide: A Review of its Anti-Inflammatory Activity via Inhibition of NF-kappaB Activation from Computational Chemistry Aspects”. Int.J.Pharmacol 6:5(2010): 569-576. [8] Liu,J., et al. ”Inhibitory Effect of Neoandrographolide on Nitric Oxide and Prostaglandin E2 Production in LPSStimulated Murin Machrophage”. Mol. Cell.Biochem. 298:(2007): 49-57. [9] Kartasasmita, R.E., et al. ”Docking Turunan Kuersetin berdasarkan Studi Interaksi Flavonoid terhadap Enzim Siklooksigenase-2”. Indo.J.Chem 9:2(2009): 297-302. [10] Wishart, D.S., et al. ”Drugbank: a Comprehensive Resource for In Silico Drug Discovery and Explanation”. Nucl.Acid. Res 34:(2006): 1-5. [11] Thompson, M. ArgusLab. 24 Mei 2016. <http://www.arguslab.com>. [12] Rowlinson, S.W., et al. ”A Novel Mechanism of Cyclooxygenase-2 Inhibition Involving Interactions with Ser-530 and Tyr-385”.The Journal of Biological Chemistry (2003). 24 Mei 2016.<http://www.jbc.org/content/278/46/45763.full> [13] Royal Society of Chemistry. ChemSpider. 24 Mei 2016.<http://www. chemspider.com> [14] RCSB. Protein Data Bank. 24 Mei

9


2016.<http://www.rcsb.org/pdb/> [15] Drug Design Laboratory. VegaZZ. 24 Mei 2016. <http://www.nova.disfarm. unimi.it/cms/>. [16] Adelin, T., Frengki, and Aliza D. ”Penambatan Molekuler Kurkumin dan Analognya pada Enzim Siklooksigenase-2”. Jurnal Medika. Vet. 7:1(2013):30-34. [17] Morris, G.M. and Lim-Wilby, M.

10

”Molecular Docking in Methods in Molecular Biology”. Methods. Mol. Biol 443:(2001): 365. [18] University of California, San Francisco. UCSF Chimera. 24 Mei 2016.<http://www.cgl.ucsf.edu> [19] Kumar, V., Abbas A.K and Fausto N. Acute and Chronic Inflammation in Pathologic Basis of Disease. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2005.

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


Penelitian

KOMBINASI EKSTRAK SERAI (Cymbopogan nardus) DAN LIMBAH KULIT JENGKOL (Pithecellobium jiringa) SEBAGAI ANTIDIABETES Cece Furwanti1*, Roessalin Permataningrum1, Aliyah Nia Fauziah Daud1, Nabella Murtadho1, Dita Yuliana Fransiska1 Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Malang *Corresponding author’s email : cecefurwanti@yahoo.com 1

ABSTRAK

Pendahuluan: Glikosida seperi antrakuinon, saponin, flavonoid, dan steroid memiliki peran penting dalam patogenesis dan terapi diabetes mellitus. Saponin diketahui memiliki efek hipoglikemik dengan meningkatkan akumulasi glikogen sehingga terjadi peningkatan sinyal insulin serta memperbaiki homeostasis glukosa. Saponin dapat ditemukan pada tanaman serai (kandungan terbesar) dan kulit jengkol. Metode: Penelitian ini menggunakan metode The Post Test Only Control Group Design yaitu dilakukan pengamatan atau pengukuran kadar glukosa darah sesudah perlakuan. Hewan uji disuntik dengan Aloksan 150 mg/kgBB secara intraperitoneal untuk menginduksi diabetes. Selanjutnya, kelompok pertama diberikan kombinasi ekstrak kulit jengkol dosis 750 mg/kgBB ekstrak serai dosis 250 mg/kgBB, kelompok kedua diberikan kombinasi ekstrak kulit jengkol dosis 750 mg/kgBB - ekstrak serai dosis 125 mg/kgBB, kelompok ketiga diberikan kombinasi ekstrak kulit jengkol dosis 1500 mg/kgBB - ekstrak serai dosis 125 mg/kgBB, kelompok keempat (kontrol positif) diberikan Glibenklamid dengan dosis 0,09 mg/200gBB, kelompok kelima (kontrol negatif) Aquadest dosis 2,0 ml. Hasil dan Pembahasan : Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi ekstrak kulit jengkol dan serai dapat menurunkan kadar gula darah pada tikus. Kombinasi ekstrak kulit jengkol dosis 1500 mg/kgBB ekstrak serai dosis 125 mg/kgBB merupakan dosis optimal untuk menurunkan kadar gula darah pada tikus. Berdasarkan uji two ways anova tukey, tidak terdapat perbedaan yang bermakna diantara kelompok-kelompok perlakuan tersebut (nilai p (sig.)>0.05), sehingga dapat diartikan bahwa bahan uji I, II dan III (kombinasi ekstrak serai dan kulit jengkol) mempunyai aktivitas yang sama dengan kontrol positif (glibenklamid) yaitu dapat menurunkan kadar gula darah. Kesimpulan: Berdasarkan data penelitian kombinasi ekstrak serai-kulit jengkol memberikan efek sebagai antidiabetes dengan dosis optimal pada kombinasi ekstrak kulit jengkol dosis 1500 mg/kgBB-ekstrak serai dosis 125 mg/kgBB. Kata kunci: antidiabetes, Cymbopogan nardus, Pithecellobium jiringa, saponin

ABSTRACT Introduction: Glycosides such as anthraquinone, saponins, flavonoids and steroids is important in the pathogenesis dan therapy of diabetes mellitus. Saponin is known to have a hypoglycemic effect by increasing glycogen accumulation, thus leads the insulin signaling and improve glucose homeostasis. Saponins can be found on the citronella (the largest content) and bark of phithecolobium. Methods: This research is a Posttest Only Control Group Design that observe or measure the blood glucose levels after treatment. The animals was injected intraperitoneally with Aloksan 150 mg/kgBW to induce diabetes. First group was treated with combination bark of phithecolobium 750 mg/kgBW citronella extract 250 mg/kgBW, second group was treated combination bark of phithecolobium dose of 750 mg/kgBW - citronella 125 mg/kgBW, third group was given combination bark of phithecolobium 1500 mg/kgBW - citronella extract 125 mg/kgBW, the fourth group (positive control) was given Glibenclamide 0.09 mg/200Gwb, While the fifth group (negative control) was given Aquadest 2.0 ml. Results and Discussion: The results showed that the combination bark of phithecolobium and citronella extract can decrease the blood glucose level in rats. The combination bark of phithecolobium 1500 mg/kgBW - citronella extract 125 mg/kgBW is an optimal dose to lower blood sugar levels in rats. Based on the two-way ANOVA tukey test, there were no significant difference among the treatment groups (p value (sig.)> 0.05), so it can be interpreted that the sample I, II and III (combination citronella extracts and bark of phithecolobium extract) have the same activity compared to positive control (glibenclamide) which can lower the blood glucose levels. Conclusion: Based on data, combination bark of phithecolobium and citronella extract have an antidiabetic effect with optimal combination dose of bark of phithecolobium 1500 mg/kgBB - citronella extract 125 mg/kgBB. Keywords: antidiabetic, Cymbopogon nardus, Pithecellobium jiringa, saponin. BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

11


1.

PENDAHULUAN Setiap tahun, terdapat 1,5 juta kematian akibat diabetes. Penyakit diabetes terjadi karena gangguan metabolisme kronis yang disebabkan oleh peningkatan glukosa darah (gula darah) yang lama kelamaan dapat mengakibatkan kerusakan serius pada jantung, pembuluh darah, mata, ginjal, dan saraf. Penyakit ini terjadi saat pankreas tidak menghasilkan cukup insulin atau saat tubuh tidak bisa menggunakan insulin. Diabetes mellitus tipe 2 terjadi akibat ketidakmampuan tubuh untuk merespon aktivitas insulin yang dihasilkan pankreas dengan wajar (resistensi insulin), sehingga tidak tercapai kadar glukosa yang normal dalam darah[1]. Glikosida penting dalam patogenesis dan terapi diabetes mellitus[2]. Glikosida diantaranya meliputi antrakuinon, saponin, flavonoid, dan steroid[3]. Saponin diketahui memiliki efek hipoglikemik[4]. Saponin meningkatkan akumulasi glikogen sehingga terjadi peningkatan sinyal insulin serta memperbaiki homeostasis glukosa[5]. Indonesia memiliki potensi bahan alam yang sangat tinggi dan masih belum tergali. Beberapa diantaranya yaitu tanaman serai dan kulit jengkol. Tanaman serai hampir tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia. Pada saat ini, buah jengkol telah dimanfaatkan sebagai olahan yang bernilai ekonomis sedangkan kulitnya hanya dianggap sebagai limbah yang tidak bernilai, yaitu dengan memanfaatkannya sebagai alternatif pengobatan diabetes[6]. Menariknya, kulit jengkol dan tanaman serai mengandung senyawa saponin. Bahkan saponin dalam tanaman serai merupakan kandungan senyawa terbesarnya. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk membuktikan aktivitas anti-diabetes dari kombinasi kedua herbal ini melalui kajian in vivo. 2. METODE PENELITIAN 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biomedik Universitas Muhammadiyah Malang selama Âą 4 bulan. 2.2. Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu timbangan hewan (untuk menimbang tikus), alat pemeliharaan tikus (bak tikus, penutup kandang dari anyaman kawat, botol air, sekam), botol ekstrak serai dan kulit jengkol, sonde,

12

serta alat pengukuran gula darah tikus. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu hewan uji (Tikus putih strain wistar), pakan tikus, Glibenklamid, Aloksan, ekstrak serai dan kulit jengkol. 2.3. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan metode The Post Test Only Control Group Design yaitu dilakukan pengamatan atau pengukuran kadar glukosa darah sesudah perlakuan. 2.4. Kelompok Uji Kelompok uji penelitian ini adalah tikus jantan, adapun kelima kelompok mencit tersebut terdiri dari : 1. Kelompok I : Pemberian Aloksan dosis 150 mg/kgBB dan kombinasi ekstrak kulit jengkol dosis 750 mg/kgBBekstrak serai dosis 250 mg/kgBB 2. Kelompok II : Pemberian Aloksan dosis 150 mg/kgBB dan kombinasi ekstrak kulit jengkol dosis 750 mg/kgBBekstrak serai dosis 125 mg/kgBB 3. Kelompok III : Pemberian Aloksan dosis 150 mg/kgBB dan kombinasi ekstrak kulit jengkol dosis 1500 mg/ kgBB-ekstrak serai dosis 125 mg/kgBB 4. Kelompok IV : Kontrol positif diberikan Aloksan dosis 150 mg/kgBB dan Glibenklamid dengan dosis 0.09 mg/200gBB (Livia, 2014) 5. Kelompok V : Kontrol negatif diberikan Aloksan dosis 150 mg/kgBB dan Aquadest dosis 2.0 ml. 2.5. Kriteria Sampel Kriteria inklusi yaitu tikus putih dewasa, umur 2-3 bulan, berat badan 150-200 gram, jantan (Strain wistar), sehat (gerakan yang aktif, mata yang jernih, bulu tebal, licin, mengkilat dan bersih). Kriteria eksklusi yaitu tikus yang sakit selama proses perlakuan, tikus yang tidak mau makan, dan tikus yang mati selama proses perlakuan karena berbagai sebab. 2.6. Variabel Penelitian Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pemberian kombinasi ekstrak serai (Cymbopogon nardus) dan kulit jengkol (Pithecellobium jiringa). Sedangkan variabel tergantung dalam penelitian ini adalah penurunan kadar glukosa darah tikus putih (Rattus novergicus) strain wistar. 2.7. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah random sampling. BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


2.8. Rancangan Penelitian Analisis statistik yang digunakan adalah Two Way ANOVA bertujuan untuk menguji hipotesis kesamaan rata-rata antar kelompok (>2 kelompok), apakah rata-rata sampel berbeda signifikan atau tidak den-

gan tingkat kepercayaan Îą = 0,05. Bila diperoleh p > 0,05 artinya tidak ada perbedaan yang bermakna sebaliknya bila p < 0,05 menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna.

2.9. Alur Penelitian

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan terhadap 25 ekor tikus dan dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok bahan uji, kontrol negatif dan kontrol positif. Dimana seluruh kelompok diberikan penginduksi diabetes yaitu

aloksan secara intraperitoneal selama 3 hari berturut-turut. Setelah itu, masingmasing kelompok di berikan perlakuan sesuai dengan kelompoknya. Hasil pengukuran kadar gula darah dapat dilihat

Tabel 1. Kadar Gula Darah Tiap Kelompok Perlakuan

Bahan Uji I

Bahan Uji II

Bahan Uji III

BIMFI

Kadar Gula Darah (mmol/L) t-0 t-3 t-10

Perlakuan

Kadar Gula Darah (mmol/L) t-0 t-3 t-10

5.4

31.2

20.6

3.9

20.6

4.4

4.6

-

-

4.4

21

3.5

6.3

-

-

4.5

28

5

5.6

30.4

7.6

4.6

28.9

5.3

4.9

-

-

4.6

37.0

6

5.1

-

-

4.4

34.0

-

4.8

25.3

-

5

35.0

-

5

28.9

-

3.8

20.6

-

4.5

-

-

4.2

32.7

2

5.4

30.5

11.5

4.5

-

-

6.9

35.0

1.3

3.7

30.5

2.7

3.8

29.7

4.9

4.9

25

3.9

5.4

28

4.4

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

IV (Kontrol Positif)

V (Kontrol Negatif)

13


Berdasarkan pada tabel 1, pengecekan kadar gula darah dilakukan 3 kali yaitu t-0, t-3 dan t-10. Kadar gula darah normal tikus yaitu 5.0 mmol/L - 6.1 mmol/L (setara dengan 90 mg/dL - 110 mg/dL). t-0 merupakan kadar gula darah awal tikus sebelum diberi perlakuan (kadar gula darah normal). t-3, kadar gula darah tikus setelah diinduksi aloksan selama 3 hari. Pada t-3, tikus dalam keadaan hiperglikemia atau dikatakan tikus diabetes yang dapat dilihat dari kadar gula darah yang tinggi (melebihi rentang normal). t-10 merupakan kadar gula darah setelah tiap kelompok diberi perlakuan selama 6 hari. Pada kelompok yang diberikan bahan uji yaitu kombinasi ekstrak serai dan kulit jengkol secara oral, bahan uji tersebut dapat menurunkan kadar gula darah. Penurunan kadar gula darah yang optimal terjadi pada kelompok bahan uji III yaitu kombinasi ekstrak kulit jengkol 1500

mg/kgBB - serai 125 mg/kgBB. Hasil perbandingan perhitungan ratarata kadar gula darah pada t0, t3, dan t10 dapat dilihat pada tabel 2. Pada tabel, hanya dibandingkan bahan uji III, kontrol positif dan kontrol negatif. Telah dipaparkan sebelumnya, bahwa bahan uji III merupakan dosis optimal terlihat dari rata-rata penurunan gula darah selang waktu tertentu menghasilkan nilai yang tidak jauh berbeda dengan penurunan kadar gula darah pada kontrol positif. Kadar gula darah kontrol negatif pada t10 tidak terukur dikarenakan hewan uji masuk dalam kriteria eksklusi. Hal tersebut kemungkinan disebabkan kadar gula darah yang terlampau tinggi. Berdasarkan pertimbangan rata-rata kadar gula darah pada t10, maka diketahui bahwa bahan uji III memiliki efek dapat menurunkan kadar gula darah.

Tabel 2. Rata-rata Kadar Gula Darah Bahan Uji III, Kontrol Poitif dan Kontrol Negatif

t0 6.9 3.7 3.8 4.9 5.4 x=4.94

Kadar Gula Darah Kontrol Positif t0 t3 t10 3.9 20.6 4.4 4.4 21 3.5 4.5 28 5 4.6 28.9 5.3 4.6 37.0 6 x=4.4 x=27.1 x=4.84

Bahan Uji 3 t3 t10 35.0 1.3 30.5 2.7 29.7 4.9 25 3.9 28 4.4 x=29.64 x=3.44

t0 4.4 4.8 5 5 3.8 x=4.6

Kontrol Negatif t3 34.0 25.3 35.0 28.9 20.6 x=28.76

t10 -

Ket : x = Rata-rata ; t = Waktu Selain melihat rata-rata kadar gula darah pada t10, dilakukan uji statistika dengan Two Way ANOVA Tukey yang hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut : (I) Kelompok

(J) Kelompok bahan uji 2 bahan uji 3 bahan uji 1 kontrol positif kontrol negatif bahan uji 1 bahan uji 3 Bahan uji 2 kontrol positif kontrol negatif bahan uji 1 bahan uji 2 Bahan uji 3 kontrol positif kontrol negatif bahan uji 1 bahan uji 2 Kontrol positif bahan uji 3 kontrol negatif bahan uji 1 bahan uji 2 Kontrol negatif bahan uji 3 kontrol positif

14

Sig. .994 .357 .481 .715 .994 .174 .258 .461 .357 .174 1.000 .977 .481 .258 1.000 .996 .715 .461 .977 .996

sehingga berpengaruh pada hasil statistikanya. Berdasarkan hasil analisis, maka bahan uji III merupakan dosis optimal dalam menurunkan kadar gula darah tikus. 4.

KESIMPULAN Dari data penelitian, dapat disimpulkan bahwa kombinasi ektrak serai – jengkol memberikan efek antidiabetes dengan dosis optimal pada kombinasi ekstrak kulit jengkol dosis 1500 mg/kgBB-ekstrak serai dosis 125 mg/kgBB. 5.

SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menganalisis senyawa potensial dari serai dan kulit jengkol, isolasi senyawa, pengujian senyawa murni serta pengujian praklinik dan klinik yang lebih lanjut.

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


6.

UCAPAN TERIMA KASIH Dengan selesainya penelitian ini, peneliti mengucapkan terima kasih kepada ibu Naylis Syifa’, S.Farm., M.Sc. Apt. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan dukungan, arahan dan bimbingannyaselama berjalannya penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA [1] Maulana M. Mengenal Diabetes Melitus Panduan Praktis Menangani Penyakit kencing Manis. Yogyakarta: Katahati; 2008. [2] Riganti C, Campia I, Kopecka J, Gazzano E, Doublier S, Aldieri E, Bosia A, Ghigo D. Pleiotropic effects of cardioactive glycosides. Current Medicinal Chemistry. 2011;18(6): 872-885. [3] Evans WC, Trease GE. Trease dan

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

Evans. Pharmacognosy. New York: WB Saunder; 2002. [4] Singh LW. Traditional medicinal plants of Manipur as anti-diabetics. J Med PlantRes. 2011; 5(5): 677–687. [5] Kwon DY, Kim YS, Hong SM, Park S. Long-term consumption of saponins derived from Platycodi radix (22 years old) enhances hepatic insulin sensitivity and glucosestimulated insulin secretion in 90 % pancreatectomized diabetic rats fed a highfat diet. Br J Nutr. 2009;101(3): 358–366. [6] Syafnir L, Yani K, Maziatul I. Uji aktivitas antidiabetes ekstrak etanol kulit jengkol (Archidendron pauciflorum) (Benth.) I.C. Nielsen). Skripsi. 2014. Program Studi Farmasi, Fakultas MIPA, Universitas Islam Bandung, Bandung.

15


Penelitian

FORMULASI DAN UJI KARAKTERISTIK FISIK MICROSPHERE MUCOADHESIVE PROPRANOLOL DENGAN POLIMER KITOSAN DARI LIMBAH KULIT UDANG (Penaeus monodon) Emilia Utomo1*, Desi Ambarwati1, Ernawati1, Adhan1, Adhea Priyanka Indira2, Andi Dian Permana1

Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin, Makassar Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar *Corresponding author’s email : emilia.utomo@gmail.com 1 2

ABSTRAK

Pendahuluan: Propanolol merupakan obat yang sering diberikan untuk pasien hipertensi. Namun diketahui bahwa propranolol HCl memiliki waktu paruh singkat dan bioavailabilitas rendah. Maka dari itu, propranolol HCl diformulasi dalam bentuk microsphere mucoadhesive. Salah satu polimer yang dapat digunakan dalam memformulasi microsphere mucoadhesive adalah kitosan yang dapat diperoleh dari limbah kulit udang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengoptimasi pemanfaatan limbah kulit udang sebagai salah satu polimer microsphere mucoadhesive dalam usaha meningkatkan waktu paruh dan bioavailabilitas propanolol HCl. Metode: Isolasi kitosan dari kulit udang melalui tahap demineralisasi menggunakan larutan HCl 3%, deproteinasi menggunakan larutan NaOH 4%, dan deasetilasi menggunakan larutan NaOH 60%. Evaluasi kitosan meliputi perhitungan persen rendamen, uji kelarutan, uji pH, uji viskositas, uji derajat amin bebas, penentuan bentuk partikel dan uji difraksi X-Ray. Formulasi microsphere mucoadhesive menggunakan metode emulsifikasi gelasi internal dengan variasi konsentrasi kitosan yaitu 0,25%, 0,5%, dan 0,75%. Evaluasi microsphere mucoadhesive meliputi uji distribusi partikel, uji efisiensi penjerapan, penentuan bentuk partikel, dan uji mucoadhesive. Hasil dan Pembahasan : Kitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang memiliki karakteristik yang sama dengan kitosan murni dengan persen rendamen sebesar 18,99%. Berdasarkan hasil evaluasi sediaan, diperoleh diameter terbesar pada formula F1 sebesar 3,05 Âľm. Sementara itu, pada pengujian persentase efisiensi penjerapan diperoleh efisiensi penjerapan tertinggi pada F1 sebesar 33,64% dan hasil pengujian mucoadhesive diperoleh persentase mucoadhesive tertinggi pada F1 yaitu 60,81% setelah 15 menit dan 39,43% setelah 30 menit Kesimpulan: Kitosan dapat diisolasi dari limbah kulit udang dan dapat digunakan sebagai polimer pada pembuatan microsphere mucoadhesive. Hasil evaluasi menunjukkan formula microsphere mucoadhesive dengan konsentrasi polimer kitosan 0,25% memiliki sifat mukoadesif yang baik. Kata kunci: hipertensi, propranolol, kitosan, kulit udang, microsphere mucoadhesive

ABSTRACT

Introduction: Propranolol HCl is an antihypertensive medicine that usually given to the patient. However, it is known that propanolol HCl has a short half-life and low bioavailability. Therefore, propranolol HCl is formulated into microsphere mucoadhesive . One of the polymer that can be used in microsphere mucoadhesive formulation is chitosan which can be isolated from shrimp shell waste. The aim of this study is to optimize the utilization of shrimp shell as one of the microsphere mucoadhesive polymer to improve the half-time and bioavailability of propanolol HCl. Methods: Chitosan isolation from shrimp shell was done through demineralization using 3% hydrochloride acid, deproteination using 4% sodium chloride, and deacetylation using 60% sodium chloride. Chitosan was evaluated its rendament percentation, solubility test, pH test, viscosity test, free amine degree test, particle shape determination, and X-Ray diffraction test. Formulation of microsphere mucoadhesive using emulsification internal gelation method varied chitosan concentration that are 0,25%, 0,5%, and 0,75%. Microsphere mucoadhesive evaluation were particle distribution test, entrapment efficiency test, particle shape determination, and mucoadhesive test. Results and Discussion: Chitosan isolated from shrimp shell waste had the same characteristics with standard chitosan with rendament percentation of 18,99%. According to microsphere evaluation, the longest diameter was F1 (3.05 Âľm). Besides, the highest entrapment efficiency was F1 (33,64%) and the longest mucoadhesive time was F1 (60,81% after 15 minutes and 39,43% after 30 minutes). Conclusion: Chitosan can be isolated from shrimp shell and can be used as a mucoadhesive polymer in microsphere mucoadhesive. The evaluation results indicate mucoadhesive microsphere formulation with polymer concentration of 0.25% chitosan has good mucoadhesive properties. Keywords: hypertension, propranolol, chitosan, shrimp shell, microsphere mucoadhesive

16

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


1.

PENDAHULUAN Hipertensi merupakan faktor resiko penyebab kematian di dunia dan menempati urutan ketiga yang dapat menyebabkan kecacatan[1]. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun keatas di Indonesia cukup tinggi mencapai 25,18%[2]. Menurut laporan WHO, hipertensi merupakan penyebab nomor 1 kematian di dunia. Propranolol merupakan salah satu obat antihipertensi golongan β-bloker dengan waktu paruh singkat yaitu 2-3 jam, dan hanya 25% yang dapat mencapai sirkulasi sistemik[3]. Microsphere adalah sistem penghantaran obat yang memiliki kelebihan antara lain karena ukurannya yang sangat kecil sehingga dapat diberikan langsung secara oral atau melalui jaringan darah langsung menuju pusat rasa sakit. Namun, keberhasilan microsphere ini terbatas karena waktu kontak dengan area penyerapannya singkat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem agar dapat berkontak lebih lama dengan membran absorbsi. Pengembangan ini dilakukan melalui sistem penghantaran microsphere mucoadhesive. Sistem penghantaran obat mucoadhesive adalah sistem yang memanfaatkan kemampuan polimer bioadhesion tertentu untuk menjadi perekat dan digunakan untuk menargetkan obat pada daerah dan waktu tertentu [4]. Selain memiliki potensi untuk digunakan dalam menentukan dan mengatur pelepasan obat, mucoadhesive untuk mikrospher memiliki keuntungan tambahan yaitu penyerapannya yang efisien meningkatkan bioavailabilitas obat, kontak lebih lama dengan mukus, serta target obat yang spesifik dapat dicapai[5]. Kitosan merupakan salah satu polimer untuk microsphere mucoadhesive yang diperoleh dari deasetilasi kitin. Secara biologis sistem ini aman, tidak beracun, biodegradable dan biocompatible. Kitosan telah luas digunakan dalam perkembangan sistem penghantaran obat karena sifat mukoadhesifnya[6]. Limbah udang memiliki potensi yang besar untuk diolah menjadi kitosan karena ketersediaan limbah udang sebagai bahan baku cukup besar dan mudah diperoleh[7]. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan limbah kulit udang sumber kitosan alami yang dapat digunakan BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

sebagai polimer dalam pembuatan microsphere mucoadhesive propranolol untuk meningkatkan efisiensi pengobatan penyakit hipertensi. 2. METODE Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Juni 2016 di Laboratorium Farmasetika dan Biofarmaka, Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin, Makassar. 2.1. Penyiapan Alat dan Bahan Alat yang digunakan antara lain sendok tanduk, batang pengaduk, blender kering, ayakan, baskom, cawan porselen, toples kaca, kertas perkamen, gelas arloji, labu erlenmeyer, gelas ukur, labu tentukur, gelas beker, pH meter, mikroskop optik (Olympus CX22LED) mikropipet (SocorexÂŽ), spektrofotometer UV-Visible (Shimadzu UV-1800), kaca preparat, timbangan analitik (Chyo JL 200) Scanning Electron Microscopy, alat disolusi, spoit, viskometer, spektrometer difraksi sinar X dan alat penunjang lainnya. Bahan yang digunakan antara lain propranolol HCl, limbah kulit udang, kalsium karbonat, natrium alginat, metanol, parafin cair, span 80, n-heksan, lem sianoakrilat, asam klorida, aquadest, natrium hidroksida, asam asetat glasial, lambung tikus, tissue, sarung tangan, aluminium foil, kertas saring Whatmann, silika gel, plastic wrap, masker dan bahan pendukung lainnya. 2.2. Proses Penyiapan Sampel Dicuci limbah udang dengan air sambil dibersihkan. Limbah udang dibiarkan dalam kantong plastik pada suhu kamar (28 Âą 2oC) selama 24 jam. Selanjutnya, kulit udang dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC kemudian dihaluskan menggunakan blender kering. 2.3. Proses Isolasi Kitin dari Kulit Udang Proses isolasi kitin dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama adalah demineralisasi, dilakukan dengan merendam kulit udang dalam larutan asam klorida 3% pada suhu kamar selama 16 jam. Selanjutnya residu dicuci dan direndam dalam air suling hingga pH netral. Tahap kedua adalah deproteinisasi, dilakukan dengan merendam kulit udang dengan larutan natrium hidroksida 4% pada suhu kamar selama 20 jam.

17


2.4. Proses Pembentukan dan Pemurnian Kitosan Residu limbah kulit udang dicuci dengan air suling hingga pH netral. Kemudian dilakukan proses deasetilasi dengan merendam kulit udang pada larutan natrium hidroksida 60% pada suhu 65oC selama 20 jam. Residu kemudian dicuci hingga pH netral dengan air suling. Setelah itu, kitosan yang telah diperoleh dikeringkan pada suhu 65oC. 2.5. Evaluasi Kitosan 2.5.1. Pengukuran pH Sebanyak 1 gram sampel kitosan dan kitosan murni masing-masing dilarutkan dalam asam asetat glasial 3% lalu dicukupkan hingga 50 ml. pH larutan diukur menggunakan pH meter. 2.5.2. Pengukuran Viskositas Sebanyak 1 gram sampel kitosan dan kitosan murni masing-masing dilarutkan dalam asam asetat glasial 3% lalu dicukupkan hingga 50 ml. Viskositas larutan diukur menggunakan viskometer. 2.5.3. Uji Kelarutan Sebanyak 1 gram sampel kitosan dan kitosan murni masing-masing dilarutkan dalam asam asetat glasial 3% lalu diamati

kelarutan kitosan tersebut. 2.5.4. Pengukuran derajat amina bebas Ditimbang masing-masing sebanyak 0.01 gram kitosan baku dan kitosan hasil isolasi dari kulit udang. Kemudian masingmasing dilarutkan dalam 10 ml HCl 0.1 N dan ditambahkan 2 tetes fenolftalein. Selanjutnya, dititrasi dengan NaOH 0.1 N hingga terjadi perubahan warna dari bening hingga merah muda. Dihitung volume titran yang digunakan. Secara terpisah ditimbang 1 g sampel kitosan lalu dikeringkan pada suhu 105oC hingga bobot konstan, dihitung persentase kandungan air kitosan. 2.5.5. Spektrometri difraksi sinar X Sebanyak 100 mg kitosan diuji menggunakan spektrometri difraksi sinar X. 2.5.6.Scanning Electron Microscopy Sebanyak 50 mg kitosan diamati strukturnya menggunakan scanning electron microscopy. 2. 6. Formulasi dan Pembuatan Microsphere Mucoadhesive Dibuat tiga jenis formula microsphere mucoadhesive dengan variasi konsentrasi kitosan yaitu 0,25%, 0,5%, dan 0,75% seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Formula mikrosphere mucoadhesive No.

Bahan

Formula F1

F2

F3

Fase Air 1

Propranolol HCl

1 g

1g

1g

2

Natrium alginat

1g

1g

1g

3

Kalsium karbonat

6g

6g

6g

4

Air suling (tambahkan hingga)

100 ml

100 ml

100 ml

1,5 g

1,5 g

1,5 g

150 ml

150 ml

150 ml

Fase Minyak 5

Span 80

6

Parafin cair (tambahkan hingga) Bagian Asam

7

Asam asetat glasial

13 ml

13 ml

13 ml

8

Parafin cair (tambahkan hingga)

50 ml

50 ml

50 ml

Polimer Mucoadhesive

18

9

Kitosan

0,25 g

0,5 g

0,75 g

10

Asam asetat glasial

50 ml

50 ml

50 ml

11

Parafin cair (tambahkan hingga)

100 ml

100 ml

100 ml

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


2.7. Evaluasi Microsphere Mucoadhesive 2.7.1. Pengujian distribusi ukuran partikel Diamati microsphere di bawah mikroskop optik kemudian dihitung ukuran partikel microsphere. 2.7.2. Penentuan persentase efisiensi penjerapan a. Pembuatan kurva baku Dilarutkan 50 mg propranolol HCl dalam cairan lambung tanpa enzim (1000 ppm). Kemudian dibuat seri pengenceran 20, 30, 40, 50, dan 60 ppm yang diukur pada spektrofotometer UVVis pada panjang gelombang 293,6 nm. b. Pengukuran efisiensi penjerapan Sebanyak 50 mg microsphere (F1, F2, dan F3) digerus terlebih dahulu kemudian dilarutkan dalam metanol (1000 ppm). Selanjutnya, dibuat pengenceran hingga diperoleh konsentrasi teoritis 100 ppm. Sampel kemudian diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 293,6 nm. c. Perhitungan persentase efisiensi penjerapan EE =

Kadar obat terjerap Kadar obat total

x 100%

2.7.3. In vitro wash-off test Potongan mukosa intestinal segar (2 x 2 cm) dari tikus diletakkan pada pada kaca preparat (3 x 1 inch) dengan lem sianoakrilat. Dua buah kaca preparat yang dihubungkan dengan penyangga yang sesuai, sekitar 100 microsphere disebarkan di atas spesimen jaringan yang basah dan penyangga digantung pada lengan mesin penghancur tablet. Ketika mesin dioperasikan, spesimen jaringan dibilas dengan cairan uji (900 ml HCl 0.1 N) pada suhu 37 Âą 0.5o C. Setelah 30 menit, 1 jam, dan 5 jam, mesin dihentikan dan jumlah microsphere yang tetap menempel pada jaringan dihitung dengan rumus berikut: Persentase mukoadesif =

Berat mikrosphere yang menempel Berat mikrosphere yang diaplikasikan

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Isolasi dan Evaluasi Kitosan dari Limbah Kulit Udang Setelah dilakukan proses demineralisasi, deproteinisasi dan pemurnian, diperoleh kitosan dengan persen rendamen 18,99 %.

Gambar 1. Kitosan hasil isolasi Hasil evaluasi kelarutan menunjukkan bahwa baik kitosan hasil isolasi dan kitosan murni larut dalam asam asetat glasial 3%. Pada evaluasi pH, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa pH kitosan hasil isolasi dan kitosan murni adalah sama yaitu 5. Pada evaluasi viskositas dilakukan perbandingan antara viskositas kitosan hasil isolasi dan kitosan murni. Hasilnya, viskositas kitosan hasil isolasi adalah 3493,33 cps dan kitosan murni adalah 2653,33 cps. Pada evaluasi derajat amin bebas diperoleh hasil 1,31% untuk kitosan hasil isolasi dan 1.36% untuk kitosan murni. Pada evaluasi dengan pengukuran menggunakan alat X-Ray Difraction dipereroleh peak yang menunjukkan adanya kitosan (gambar 2).

x 100%

Gambar 2. Hasil Pengujian X-Ray Diffraction BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

19


Hasil pengukuran rata-rata ukuran partikel menunjukkan F1 3,01 µm, F2 2,91 µm, dan F3 2,87 µm. Sedangkan hasil evaluasi in vitro wash off test dengan menggunakan lambung tikus dalam medium asam lambung tanpa enzim diperoleh hasil seperti tabel berikut ini.

Formula

Gambar 2. Hasil Pengujian X-Ray Diffraction 3.2. Hasil formulasi dan evaluasi granul microsphere mucoadhesive Hasil penetapan panjang gelombang maksimum memperlihatkan bahwa serapan tertinggi propranolol HCl dengan pelarut cairan lambung tanpa enzim berada pada panjang gelombang 293,6 nm, selanjutnya digunakan untuk menentukan persentase efisiensi penjerapan dan persentase pelepasan obat dari microsphere mucoadhesive. Perhitungan efisiensi penjerapan dillakukan dengan membandingkan kadar propranolol HCl yang terkandung dalam tiap gram microsphere dan hasil yang diperoleh berada pada kisaran 15% – 40% dengan persentase masing-masing formula adalah formula I (33,64%), formula II (26,09%), dan formula III (19,53%), seperti terlihat pada Gambar 4. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil konsentrasi kitosan yang digunakan, semakin besar efisiensi penjerapannya.

Gambar 4. Efisiensi penjerapan F1, F2, dan F3

20

Presentase mukoadhesif (%) 15’

30’

F1

60,81

39,43

F2

60,48

7,29

F3

23,78

23,45

Hasil penentuan bentuk partikel menggunakan Scanning electron microscopy menunjukkan formula F1 merupakan partikel yang bulat dan memiliki dinding penyelubung yang lebih tebal dibandingkan F2 dan F3.

Gambar 5. Hasil SEM formula F1

Gambar 6. Hasil SEM formula F2

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


Gambar 7. Hasil SEM formula F3 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kitosan dapat diisolasi dari limbah kulit udang. Kitosan hasil isolasi dapat digunakan sebagai polimer pada pembuatan microsphere mucoadhesive. Hasil evaluasi menunjukkan formula microsphere mucoadhesive dengan konsentrasi polimer kitosan 0,25% memiliki sifat mukoadesif yang baik. 5. SARAN Inovasi pengembangan mikrosphere mukoadhesif pada obat propranolol HCl dapat menjadi salah satu metode untuk meningkatkan efektivitas pengobatan hipertensi. Oleh karena itu, diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menjadi landasan untuk penelitian selanjutnya yaitu secara in vivo dan in vitro serta penelitian ini dapat dilanjutkan oleh pihak-pihak yang terkait untuk hasil lebih optimal.

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

DAFTAR PUSTAKA [1] Kearney PM, Megan W, Kristi R, Paul M, Whelton PK, Jiang H. Global burden of hypertension: analysis of worldwide data. The Lancet. 2005; 365(9455): 217-223. [2] Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Infodatin: Hiperetensi. Kementrian Kesehatan RI; 2014. [3] Akash Y, Dinesh KJ. Formulation and evaluation of mucoadhesive microsphere of propranolol hydrochloride for sustained drug delivery. Asian Journal of Pharmacy and Medical Science. 2011;1(1). [4] Parmar H, Bakliwal S, Gujarathi N, Rane B, Pawar S. Different methods of formulation and evaluation of mucoadhesive microsphere. 2010; 1(3): 1557-1167. [5] Shivanand P. Different of techniques of formulation and evaluation of mucoadhesive microsphere. International Journal of Pharma and Bio Science. 2010; 1(2): 1-7 . [6] Salman S, Meryza M, Novita D. Formulasi granul mukoadhesif dipersi padat ketoprofen-PVP K-30 menggunakan kitosan. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. 2013; 18(1): 49-55. [7] Widodo A, Mardiah, Prasetyo A. Potensi Kitosan Dari Sisa Udang Sebagai Koagulan Logam Berat Limbah Cair Industri Tekstil. Surabaya: ITS, 2006.

21


Penelitian

FORMULASI DAN EVALUASI BIOSELULOSA MENGANDUNG EKSTRAK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) DAN KUNYIT (Curcuma domestica Val.) SEBAGAI PATCH ANTIINFLAMASI SECARA In Vivo Desi Ambarwati1*, Rangga Meidianto Asri1

Emilia

Utomo1,

Ernawati1,

Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin, Makassar *Corresponding author’s email : emilia.utomo@gmail.com 1

ABSTRAK Pendahuluan: Rimpang kunyit dan temulawak telah digunakan secara tradisional untuk pengobatan inflamasi. Penelitian menunjukkan bahwa kunyit dan temulawak mengandung kurkumin yang memiliki aktivitas antiinflamasi. Untuk mengatasi kekurangan dalam penggunaan secara tradisional, kunyit dan temulawak diformulasi dalam bentuk patch bioselulosa yang bertujuan mempercepat regenerasi sel-sel dan melindungi luka dari kontaminasi lingkungan. Metode: Ekstraksi rimpang kunyit dan temulawak dilakukan menggunakan etanol 70% selama 3x24 jam pada suhu ruangan, dan pembuatan bioselulosa menggunakan air kelapa dan biakan Acetobacter xylinum yang diinkubasi selama 2-3 hari pada suhu 25oC. Selanjutnya dilakukan purifikasi bioselulosa dan dikeringkan. Formulasi patch dilakukan dengan mencelupkan bioselulosa ke dalam larutan kunyit dan temulawak selama 30 menit. Evaluasi ekstrak meliputi perhitungan persen rendemen dan pengukuran kadar fenolik total. Evaluasi sediaan meliputi uji ketebalan, uji keseragaman bobot, uji kelembaban, uji serapan lembab, uji keseragaman kandungan, dan uji in vivo. Hasil dan Pembahasan: Persen rendemen ekstrak yang diperoleh sebesar 7.7745% untuk ekstrak kunyit dan 5.4174% untuk ekstrak temulawak. Kadar fenolik total ekstrak kunyit, ekstrak temulawak, dan gabungan kunyit dan temulawak berturut-turut adalah 2.66%, 4.28%, dan 7.78%. Bobot bioselulosa sebesar 0.136 g dengan ketebalan 0.96 mm. Kadar fenolik total pada ekstrak gabungan temulawak dan kunyit lebih tinggi dibandingkan kadar fenolik masing-masing ekstrak tersebut yang menunjukkan peningkatan aktivitas antiinflamasi. Hasil evaluasi bioselulosa menunjukkan karakteristik yang baik. Hasil pengujian in vivo menunjukkan bahwa patch ini memberikan aktivitas antiiinflamasi dan analgetik yang signifikan dibandingkan kelompok kontrol tanpa perlakuan dan kontrol bioselulosa (P<0.05). Kesimpulan: Kunyit dan temulawak memiliki efek sinergis sebagai antiinflamasi dan patch bioselulosa merupakan sediaan yang cocok untuk mengoptimalkan aktivitas antiinflamasinya. Kata kunci: Inflamasi, kunyit, temulawak, bioselulosa, patch

ABSTRACT Introduction: Turmeric and temulawak rhizomes have been used traditionally for inflammation treatment. Some research reported that they contain curcumin which has antiinflammation activity. To solve the weakness in traditional usage, these plants were formulated in biocellulose patch in order to increase cell regeneration and protect the scar from environment contamination. Methods: Turmeric and temulawak rhizomes were extracted using ethanol 70% for 3 days in room temperature. The biocellulose was made using coconut water and Acetobacter xylinum that was incubated for 2-3 days in 25oC. Then, the biocellulose was purified and dried. The patch was formulated by dying the biocellulose in turmeric and temulawak solution for 30 minutes. Evaluation of extract were yield percentage and total phenolic content. Evaluation of patch were thickness test, weight uniformity test, moisture content, moisture loss, content uniformity test, and in vivo test. Results and Discussion: Yield percentage of turmeric extract and temulawak extract were 7.7745% and 5.4174% respectively. Total phenolic content of turmeric extract, temulawak extract, and combination of turmeric and temulawak were 2.66%, 4.28%, and 7.78% respectively. The weight of biocellulose was 0.136 g with 0.96 mm thickness. In vivo test showed that patch was effective for antiinflammation (P<0.05). The increasing of total phenolic content in combination of turmeric and temulawak extract meant they had better antiinflamation activity. Evaluation of biocellulose showed good characteristics. In vivo test showed that patch have a good effect in inflammation. Conclusion: Turmeric and temulawak had sinergetic effect as antiinflammation agent. Biocellulose patch became a good pharmaceutical preparation as antiinflammation. Keywords: Inflammation, turmeric, temulawak, biocellulose, patch

22

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


1.

PENDAHULUAN Inflamasi merupakan respon terhadap kerusakan jaringan akibat berbagai rangsangan yang merugikan, baik rangsangan kimia maupun mekanis infeksi serta benda asing[1]. Obat-obat inflamasi yang terbagi atas golongan antiinflamasi non steroid (AINS) dan golongan antiinflamasi steroid (AIS) selain berguna untuk mengobati juga memiliki efek samping yang dapat menimbulkan rekasi toksisitas kronis bagi tubuh[2]. WHO merekomendasikan penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan, dan pengobatan penyakit[3]. Salah satu bahan alam yang biasa digunakan sebagai obat tradisional adalah rimpang kunyit dan temulawak. Keduanya mengandung senyawa kurkumin yang berfungsi sebagai antiinflamasi[4,5]. Akan tetapi, penggunaan kunyit dan temulawak secara tradisional memiliki beberapa kekurangan diantaranya tidak praktis dan pengolahan yang masih tradisional. Oleh karena itu, dilakukan formulasi ekstrak kunyit dan temulawak dalam bentuk patch transdermal dari bioselulosa. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa bioselulosa dapat merangsang pertumbuhan jaringan baru dan untuk penggantian jaringan lunak sehingga sangat cocok digunakan untuk pengobatan inflamasi[6].

Simplisia yang kering diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 70% selama 3x24 jam pada suhu kamar. Kemudian hasil maserasi disaring, lalu diuapkan hingga diperoleh esktrak kental. 2.4. Pembuatan Bioselulosa Alat-alat yang diperlukan dicuci, dikeringkan, lalu disterilkan. Medium produksi disiapkan dengan memanaskan air kelapa pada suhu 80oC kemudian ditambahkan sukrosa, magnesium sulfat, amonium sulfat, dan diatur pH menggunakan asam asetat glasial. Diinkubasi pada suhu 25oC selama 2-3 hari. Bioselulosa yang telah dipanen, dipurifikasi menggunakan HCl 3% dan NaOH 3%. Bioselulosa dikeringkan pada suhu 40-45oC. 2.5. Formulasi Bioselulosa Bioselulosa dipotong dengan ukuran 1x1 cm kemudian dicelupkan dalam larutan ekstrak kunyit dan temulawak selama 30 menit. Selanjutnya, bioselulosa dikeringkan kemudian ditempelkan dalam hipafix untuk dikemas. 2.6. Evaluasi Ekstrak 2.6.1. Perhitungan Persen Rendemen Ekstrak kental yang diperoleh ditimbang bobotnya kemudian dihitung persen rendamen terhadap simplisia kering dengan rumus:

2. METODE PENELITIAN 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan September hingga November 2015 di Laboratorium Fitokimia, Mikrobiologi, Farmasetika dan Biofarmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin, Makassar. 2.2. Bahan dan Alat Alat yang digunakan antara lain timbangan analitik, spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu UV-1800), vortex mixer, spoit, alat spigmometer dan alat penunjang lainnya. Bahan yang digunakan antara lain rimpang kunyit dan temulawak, etanol 70%, starter Acetobacter xylinum, reagen Folin-Ciocalteau, dan bahan pendukung lainnya. 2.3. Penyiapan dan Ekstraksi Sampel Rimpang kunyit dan temulawak diambil dari daerah Tamalanrea, Makassar. rimpang kemudian disortasi basah, dicuci, dirajang, dan dikeringkan pada suhu 50oC.

2.6.2. Pengukuran Kadar Fenolik Total Dibuat larutan stok ekstrak kunyit dan temulawak dengan melarutkan masing-masing 50 mg ekstrak dalam 50 ml air suling. Selanjutnya dibuat pengenceran konsentrasi 160 ppm dengan penambahan reagen Folin-Ciocalteau dan Na2CO3 sebanyak 5 kali pengulangan. Kadar fenolik total diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV-Visible dengan baku pembanding asam gallat. 2.7. Evaluasi Patch Bioselulosa 2.7.1. Uji Ketebalan Ketebalan patch diukur dengan jangka sorong dengan tebal minimal 0.01 mm. Keseragaman ketebalan diuji terhadap 5 tempat berbeda untuk dirata-ratakan. 2.7.2. Uji Keseragaman Bobot Sebanyak 3 buah patch dari tiap batch ditimbang untuk uji keseragaman bobot. Pengujian dilakukan untuk menguji keseragaman bobot dan variasi bobot antarbatch.

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

23


2.7.3. Uji Kelembaban (Percentage of Moisture Loss) Perhitungan persentasi lembab yang hilang dilakukan untuk menguji integritas lapisan dalam keadaan kering. Patch ditimbang saksama kemudian disimpan dalam desikator yang berisi silika gel. Setelah 3 hari, patch diambil kemudian ditimbang kembali. 2.7.4. Uji Serap Lembab (Percentage of Moisture) Patch ditimbang saksama kemudian dimasukkan ke dalam desikator yang mengandung kondisi humiditas 80-90 RH. Patch disimpan hingga bobot seragam diperoleh dengan mengambil patch keluar lalu ditimbang. 2.7.5. Uji Keseragaman Kandungan Dipotong patch yang mengandung ekstrak dengan luas 1 cm2 dan dilarutkan dalam 100 ml larutan dapar fosfat pH 7.4, dan digojog selama 12 jam lalu disonikasi selama 15 menit, disentrifuge dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit. Saring ekstrak yang mengandung bioselulosa dengan kertas saring whatman no.42, kemudian sebanyak 1 ml filtrat dimasukkan pada tabung uji dan diencerkan sebanyak 5 kali dengan pelarut yang sama untuk selanjutnya dianalisis menggunakan spektrofotometer UV-Visible double beam dengan panjang gelombang 223 nm. 2.7.6. Uji In Vivo Kaki tikus diinjeksi dengan larutan putih telur 1% kemudian volume inflamasi yang terbentuk diukur. Selanjutnya, dilakukan pengujian menggunakan patch pada daerah inflamasi. Pengukuran kembali untuk mengetahui perubahan volume inflamasi dilakukan setiap 12 jam. Pengujian dan pengukuran ini dilakukan selama 3 hari. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Ekstrak Kunyit dan Temulawak Dari proses ekstraksi dengan metode maserasi yang dilakukan terhadap sampel kunyit dan temulawak diperoleh hasil %rendamen ekstrak kunyit sebanyak 7,7745% sedangkan untuk %rendamen ekstrak temulawak yaitu 5,4174%.

24

(a) (b) Gambar 1. (a) ekstrak kunyit dengan bobot 72,19 g; (b) ekstrak temulawak dengan bobot 23.36 g. 3.2. Hasil Evaluasi Kadar Fenolik Total Ekstrak Kunyit dan Temulawak Bioselulosa yang diperoleh dari hasil fermentasi medium air kelapa menggunakan biakan bakteri Acetobacter xylinum selama 2-3 hari, kemudian dimurnikan. Hasilnya berupa bioselulosa murni yang kemudian dipotong dengan ukuran 1x1 cm.

(a) (b) Gambar 2. (a) Bioselulosa hasil fermentasi yang telah dimurnikan; (b) Bioselulosa yang telah dipotong dengan ukuran 1x1 cm. 3.3. Hasil Formulasi Patch Bioselulosa yang Mengandung Ekstrak Kunyit dan Temulawak Bioselulosa yang telah dipotong ukuran 1x1cm kemudian dicelupkan kedalam larutan ekstrak kunyit dan temulawak yang mengandung 10 mg ekstrak kunyit dan 10 mg ekstrak temulawak yang dilarutkan dalam 10 ml etanol 70%.

Gambar 3. Patch bioselulosa yang mengandung ekstrak kunyit dan temulawak.

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


3.4. Hasil Evaluasi Persen Rendamen Ekstrak Kunyit dan Temulawak Tabel 1. Persen rendemen ekstrak kunyit dan temulawak Ekstrak Ekstrak Kunyit Temulawak Bobot 928.55 gram 431.2 gram simplisia Bobot 72.19 gram 23.36 gram Ekstrak Persen 7.7745 % 5.4174 % rendamen 3.5. Hasil Evaluasi Kadar Ekstrak Kunyit dan Temulawak Tabel 2. Persen rendemen ekstrak kunyit dan temulawak Ekstrak

Konsentrasi Fenolik Total

% Recovery

Kunyit

4.256 ppm

2,66%

Temulawak

6.848 ppm

4,28%

Kombinasi

10,8997 ppm

7,78%

Pada pengujian kadar fenolik total ini, diperoleh bahwa kadar fenolik total pada kombinasi ekstrak kunyit dan temulawak lebih tinggi yaitu 7.78% dibandingkan pada masing-masing ekstrak kunyit dan temulawak yaitu 2.66% dan 4.28%. Hasil ini menunjukkan bahwa konsentrasi fenolik (kurkumin) dalam ekstrak kombinasi lebih tinggi dan juga akan searah dengan meningkatnya aktivitas antiinflamasi. 3.6. Hasil Evaluasi Patch Bioselulosa yang Mengandung Ekstrak Kunyit dan Temulawak Tabel 3. Karakterisasi patch bioselulosa ekstrak kunyit dan ekstrak temulawak Uji

Hasil

Ketebalan

0,96 mm

Keseragaman Bobot

0,136 gram

Kelembaban

77,94%

Serapan Lembab

47%

Keseragaman Kandungan

%RSD = 0,39%

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

3.7. Hasil Evaluasi In Vivo Patch Bioselulosa yang Mengandung Ekstrak Kunyit dan Temulawak Pada pengujian in vivo digunakan 3 kelompok hewan coba yaitu kontrol, bioselulosa, dan bioselulosa mengandung ekstrak kunyit dan temulawak. Semua hewan coba diinduksi inflamasi menggunakan larutan putih telur 1%. Tabel 4. Persen rendemen ekstrak kunyit dan temulawak I

Hewan II

III

Kontrol

-0,075

0,065

-0,01

Bioselulosa

0

0,035

0,04

Patch

0,035

0,04

0,07

Perlakuan

Hasil pengujian in vivo yang diperoleh menunjukkan bahwa patch bioselulosa yang mengandung ekstrak kunyit dan temulawak efektif dalam menurunkan inflamasi pada kaki tikus. Uji statistik dengan batas kepercayaan 95% menunjukkan nilai P<0.05 yang berarti patch yang mengandung ekstrak temulawak dan kunyit memberikan efek yang signifikan sebagai antiinflamasi dibandingkan kelompok kontrol dan bioselulosa saja.

Gambar 4. Grafik Penurunan Volume Inflamasi pada Kaki Tikus

(a) (b) Gambar 5. (a) Kaki tikus saat diinduksi inflamasi; (b) Pengukuran volume inflamasi pada kaki tikus

25


(a) (b) Gambar 6. (a) Pemasangan patch bioselulosa pada kaki tikus; (b) pengukuran volume inflamasi setelah perlakuan 4.

KESIMPULAN Kunyit dan temulawak dapat berefek sinergis sebagai antiinflamasi dan patch bioselulosa dapat menjadi sediaan yang efektif untuk indikasi sebagai antiinflamasi. 5.

SARAN Dapat dilakukan uji in vitro untuk menentukan laju permeasi ekstrak pada kulit. Selain itu, pengujian lanjutan yang dapat dilakukan yaitu uji daya hambat bioselulosa dan patch ekstrak temulawak dan kunyit untuk mengetahui kemampuan produk menghambat mikroba tertentu.

26

DAFTAR PUSTAKA [1] Hidayati NA, Listyawati S, Setyawan, AD. Kandungan kimia dan uji antiinflamasi ekstrak etanol lantana camara l. pada tikus putih (Rattus novergicus l.) jantan. Bioteknologi. 2008; 5(1): 10-17. [2] Katzung JB. Basic and Clinical Pharmacology Fifth Edition. New Jersey: Prantice Hall Inc; 1992. [3] World Health Organization. WHO Traditional Medicine Strategy: 2014-2023. World Health Organization. Tersedia di: www.who.int/medicines/publications/traditional/trm_strategy14_23/en/ [Diakses pada 27 November 2016]. [4] Sears B. The Anti-Inflammation Zone-Reversing the Silent Epidemic That’s Destroying Our Health. New York: Harper Collins Publishers; 2005. [5] Sudarsono, et al. Tumbuhan Obat. Yogyakarta: Pusat Penelitian Obat Tradisional Universitas Gadjah Mada; 1996.

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


Penelitian

OPTIMASI FORMULASI SEDIAAN LIPSTIK MENGGUNAKAN EKSTRAK UMBI BIT (Beta vulgaris L.) Hilda Srivaliana Ilham1 Program Studi Farmasi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang *Corresponding author’s email : d.hil20@yahoo.com 1

ABSTRAK Pendahuluan: Telah banyak diketahui bahwa BPOM dan FDA menemukan banyak jenis lipstik yang mengandung zat warna berbahaya di pasaran. Zat-zat tersebut dapat masuk kedalam tubuh dan menjadi pemicu kanker. Umbi bit mengandung pigmen merah violet dan banyak dimanfaatkan sebagai pewarna alami yang dapat digunakan sebagai alternatif zat warna yang lebih aman. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk mengoptimasi formulasi sediaan lipstik menggunakan pigmen warna dari ekstrak umbi bit berdasarkan karakteristik fiisk dan kimianya. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan pembuatan lipstik yang dibagi menjadi 3 kadar ekstrak umbi bit yang berbeda. Kelompok uji sediaan lipstik terdiri dari FI (kadar ekstrak 5%), FII (kadar ekstrak 10%) dan FIII (kadar ekstrak 15 %) dengan 3 kali replikasi. Selanjutnya dilakukan uji karakteristik fisik dan kimia terhadap sediaan yang telah dibuat. Hasil: FI, FII dan FIII berbau vanilin, berwarna merah muda, berbentuk torpedo dan warnanya tersebar homogen. Sediaan lipstik tersebut tidak meninggalkan warna pada kulit saat dioleskan. FI, FII dan FIII memiliki rerata titik leleh berturut-turut sebesar 66oC, 55oC dan 64oC dan rerata nilai kekerasan sebesar 6,13 N, 5,90 N dan 4,80 N. FI, FII dan FIII memiliki rerata pH berturut-turut sebesar 6,6 , 6,6 dan 6,5. Stabilitas bentuk dan bau FI, FII dan FIII tetap selama 30 hari, namun warnanya berubah menjadi coklat setelah 14 hari. Kesimpulan: Besarnya kadar ekstrak berpengaruh terhadap titik leleh lipstik, namun tidak berpengaruh pada kekerasan dan pH lipstik. Kata kunci: Lipstik, Formulasi, Umbi bit, Beta vulgaris L., ABSTRACT Introduction: BPOM and FDA found many lipsticks that contain harmful dye in the market. These substances can enter the body and lead to cancer. Bit tuber containing red violet pigment and widely used as natural dyes which can be used to be safer alternative dye. Therefore, this research aims to optimize the formulation of lipstick from bit tuber extract pigmen based on its phisical and chemical characteristics. Methods: This study was conducted with the manufacture of lipstick divided into three different levels of tuber extract bits. The test group consisted of FI lipstick preparations (extract content of 5%), FII (extract content of 10%) and FIII (extract content of 15%) with 3 times replication. Then the phisical and chemical characteristic was analyzed. Results: The FI, FII and FIII odorless vanillin, pink, torpedo-shaped and the color is spread uniformly, but do not leave the color on the skin when applied topically. The physical characteristics: FI, FII and FIII had a mean melting point in a row by 66oC, 55oC and 64oC, had a mean hardness of 6.13 N, 5.90 N and 4.80 N. Chemical characteristics FI, FII and FIII had a mean pH in a row by 6.6, 6.6 and 6.5. The stability of the shape and smell of FI, FII and FIII remained after 30 days, but the color changed to brown after 14 days. Conclusion: The amount of extract concentration effect on the melting point of lipstick, but no effect on the hardness and pH lipstick. Keywords: Lipstick, Formulation, Bit tuber, Beta vulgaris L.,

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

27


1.

PENDAHULUAN Kecantikan sebagai bagian dari kehidupan manusia. Produk-produk kosmetik dipakai secara berulang setiap hari, sehingga diperlukan persyaratan agar aman untuk dipakai. Salah satu produk kosmetik yang digunakan sehari-hri adalah lipstik. Sediaan lipstik digunakan pada bibir dan tanpa sengaja dapat tertelan, sehingga keamanannya sangat perlu dijaga. Penelitian FDA (United State Food and Drug Administration) pada tahun 2012, menemukan 400 jenis lipstik yang mengandung zat warna berbahaya. Sedangkan BPOM menarik 17 sediaan lipstik karena mengandung bahan berbahaya seperti zat warna merah K3 (rhodamin B) dan zat warna merah K10 (pewarna tekstil, kertas dan tinta)[1]. Umbi bit mengandung zat warna yang berwarna merah violet yang disebut dengan betalain[2]. Swati pada tahun 2013 telah melakukan penelitian formulasi sediaan lipstik dengan menggunakan bit (Beta vulgaris L.) sebagai zat pewarna. Hasilnya, lipstik tidak mengiritasi kulit, mudah untuk dioleskan, dan lembut[3]. Dalam penelitian ini akan dibuat formulasi lipstik dengan zat warna dari umbi bit dengan variasi konsentrasi. Formulasi yang dibuat mengacu pada formulasi Swati (2013), yaitu olive oil sebagai fase minyak, paraffin wax dan bees wax sebagai fase lilin, namun serbuk buah shikakai matang sebagai surfaktan diganti dengan tween 80 dan span 20[3]. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui organoleptis, stabilitas, hasil dari uji kesukaan dan pengaruh kadar ekstrak umbi bit (5%, 10% dan 15%) terhadap karakteristik fisika (kekerasan, titik leleh, daya oles) dan kimia (pH) lipstik.

Selain itu untuk mengetahui formulasi yang tepat afar pigmen dari umbi bit dapat tercampur secara homogen dalam basis lipstik. Hipotesis dari penelitian ini adalah formulasi sediaan lipstik menggunakan ekstrak umbi bit memiliki karakteristik fisika dan kimia yang baik. 2. METODE 2.1. Bahan Umbi bit, paraffin wax, span 20, tween 80, bees wax, vaselinum album, BHT, minyak zaitun, etanol 96%, pengaroma vanilin. 2.2. Alat Timbangan analitik (Scout Pro Dhaus), penangas air (Memert), mortir, stemper, termometer, cetakan lipstik, rotary evaporator (Buchi), pH meter (Scout Instrument), dan tensile strenght. 2.3. Cara kerja 2.3.1. Pengolahan sampel Umbi bit dibersihkan, dihilangkan daunnya, lalu ditimbang. Setelah itu umbi bit dipotong-potong. 2.3.2. Pembuatan Ekstrak umbi bit Umbi bit diblender, lalu ditambahkan pelarut (etanol 96%) dengan perbandingan umbi dengan pelarut 1:2, kemudian diaduk menggunakan mixer dengan kecepatan 543 rpm selama 25 menit. Setelah itu dibiarkan selama 17 jam. Tahap selanjutnya campuran umbi dengan pelarut disaring menggunakan buchner dan dipekatkan menggunakan rotary evaporator dan oven. 2.3.3. Pembuatan Lipstik Menggunakan Ekstrak Umbi Bit Komposisi sediaan lipstik dapat dilihat pada Tabel 1. Cara pembuatan Lipstik:

Tabel 1. Komposisi Sediaan Lipstik Menggunakan Ekstrak Umbi Bit dengan kadar 5 % (Formula I), 10 % (Formula II) dan 15 % (Formula III)

28

Nama Bahan

Formula I (g)

Formula II (g)

Formula III (g)

Minyak Zaitun

24,54

24,54

24,54

Paraffin Wax

8,4

8,4

8,4

Bees Wax

5,46

5,46

5,46

Vaselin album

13,74

13,74

13,74

Ekstrak umbi bit

3 (5%)

6 (10%)

9 (15%)

Tween 80

0,66

0,66

0,66

Span 20

2,94

2,94

2,94

BHT

0,06

0,06

0,06

Pengaroma vanilin

1,2

1,2

1,2

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


dimulai dengan pembuatan basis lisptik, yaitu dengan meleburkan beeswax, parafin wax dan vaselin album. Minyak zaitun dan mortir dipanaskan, minyak zaitun di tempatkan pada cawan porselin. Setelah beeswax, parafin wax dan vaselinum album lebur, dituangakan ke dalam mortir dan dicampur dengan minyak zaitun dan BHT, diaduk hingga homogen. Ketika suhu campuran mencapai 40-50 oC maka ekstrak umbi bit, surfaktan dan pengaroma vanilin dimasukkan ke dalam mortir dan diaduk hingga homogen. Jika sudah homogen, sediaan siap dimasukkan dalam cetakan. Setelah dimasukkan ke dalam cetakan, sediaan diletakkan pada freezer selama ½ jam agar lipstik mengeras [4]. 2.4. Evaluasi sediaan 2.4.1. Pemeriksaan Organoleptis Pemeriksaan organoleptis yang dilakukan meliputi warna, bentuk dan bau. 2.4.2. Pemeriksaan Karakteristik Fisik 1. Pemeriksaan Homogenitas Lipstik Sediaan lipstik dioleskan pada kaca transparan. Jika pada kaca terlihat butir butir kasar berwarna merah, hal tersebut menunjukkan bahwa sediaan tidak homogeny[5]. 2. Pemeriksaan Titik Leleh Lipstik Titik leleh lipstik ditentukan dengan cara memanaskan lipstik diatas waterbath pada wadah dan sebuah termometer diletakkan didalamnya untuk mengetahui suhu saat lipstik meleleh. Perubahan kondisi suhu lingkungan dan kondisi iklim di Indonesia yang tropis maka suhu leleh lipstik sebaiknya 42oC[6]. 3. Pemeriksaan Kekerasan Lipstik Dilakukan untuk menentukan kekerasan lipstik. Pengamatan dilakukan menggunakan alat tensile strenght. Alat ini mengukur gaya yang dibutuhkan untuk mencapai titik dimana lipstik mengalami kerusakan atau patah[7]. 4. Pemeriksaan Daya Oles Lipstik Salah satu pertimbangan konsumen dalam memilih lipstik adalah daya oles, yaitu tingkat menempelnya lipstik pada bibir. Dilakukan dengan cara mengoleskan lipstik pada punggung tangan sebanyak 5 kali [8]. 2.4.3. Pemeriksaan Karakteristik Kimia (pH) Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter. Besarnya pH BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

mengacu pada besarnya pH kulit, yaitu 4.5-7.5. hal ini berkaitan dengan keamanan penggunaan sediaan untuk menghindari terjadinya iritasi. Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter[9]. 2.4.4. Pemeriksaan Stabilitas Dilakukan dengan rentang waktu tertentu. Jenis pemeriksaan mengacu pada spesifikasi sediaan. Pemeriksaan dilakukan pada beberapa interval waktu yang telah ditetapkan setelah pembuatan, (hari ke 0,7,14,21 dan 28). Setelah itu diamati apakah ada perubahan bau, warna dan bentuk pada lipstik. 2.4.5. Uji Kesukaan Uji Kesukaan atau Hedonic Test adalah pengujian terhadap kesan subyektif terhadap suatu produk. Pelaksanaan uji ini sebaiknya melebihi 20 orang. Jumlah lebih besar tentu akan menghasilkan kesimpulan yang dapat diandalkan[10]. Uji kesukaan ini dinilai berdasarkan kemudahan pengolesan lipstik dan homogenitas lipstik saat saat dioleskan. 2.5.

Analisis data Analisa data pada pemeriksaan organoleptis dilakukan secara visual dengan mengamati sediaan secara langsung meliputi bau, warna dan bentuk. Untuk analisa uji karakteristik fisik dan kimia sediaan menggunakan uji One-way Anova. Dari data yang didapatkan dilakukan analisa statistik dengan derajat kepercayaan Îą = 0,05. Analisa data pada pemeriksaan stabilitas dilakukan secara deskripstif. Analisa data uji kesukaan dilakukan dengan cara menghitung persentase rata-rata skor yang didapat pada masing-masing formula. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Pengolahan sampel Hasil dari penimbangan didapatkan berat seluruh umbi bit 1 kg. 3.2. Pembuatan Ekstrak umbi bit Hasil dari pemekatan dari 2 liter ekstrak cair didapatkan ekstrak kental sebanyak 300 gram. 3.3. Evaluasi Sediaan 3.3.1. Pemeriksaan Organoleptis Formula I, II dan III berbau vanilin, berbentuk torpedo dan berwarna merah muda.

29


Tabel 4. Hasil pengukuran kekerasan sediaan lipstik dari ekstrak umbi bit (tiga kali percobaan)

Keterangan: Sediaan lipstik menggunakan ekstrak umbi bit kadar 5% (Formula I); kadar 10% (Formula II); dan kadar 15% (Formula III).

Gambar 1. Dari kiri ke kanan sediaan lipstik dari ekstrak umbi bit kadar 5% (Formula I); kadar 10% (Formula II); dan kadar 15% (Formula III) 3.3.2. Pemeriksaa Karakteristik Fisik 1. Pemeriksaan Homogenitas Lipstik Tabel 2. Hasil pengamatan homogenitas sediaan lipstick dari ekstrak umbi bit (tiga kali percobaan) Formula 1

2

3

Replikasi 1 2 3 1 2 3 1 2 3

Homogenitas Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen

Keterangan: Sediaan lipstick menggunakan ekstrak umbi bit kadar 5% (Formula I); kadar 10% Formula II); dan kadar 15% (Formula III)

Dari seluruh formula yang dibuat, homogenitas sediaan baik. Dari tampilan fisik lipstik, tersebar merata pada seluruh bagian dan saat dioleskan pada permukaan kaca tidak nampak butir-butir kasar. 2. Pemeriksaan Titik Leleh Lipstik Tabel 3. Hasil pengukuran titik leleh sediaan lipstik dari ekstrak umbi bit (tiga kali percobaan)

Keterangan: Sediaan lipstik menggunakan ekstrak umbi bit kadar 5% (Formula I); kadar 10% (Formula II); dan kadar 15% (Formula III). Ketiga formula tersebut memasuki persyaratan titik leleh lipstik(5), yaitu di atas 42oC.

30

Hasil analisis statistik dengan One-Way Anova didapatkan nilai p (0,003) < nilai Îą (0,05), yang berarti terdapat perbedaan titik leleh yang bermakna. Hasil analisis statistik dengan One-Way Anova didapatkan nilai p (0,549) > nilai Îą (0,05), yang berarti tidak terdapat perbedaan kekerasan yang bermakna. 4. Pemeriksaan Daya Oles Lipstik Dari seluruh formula yang dibuat, tidak ada satupun yang meninggalkan bekas warna pada kulit. Untuk penelitian selanjutnya, agar lipstik dapat meninggalkan bekas warna kulit, mungkin dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kekentalan, konsentrasi ektrak umbi bit atau digunakan metode ekstraksi menggunakan serbuk umbi bit. 3.3.3. Pemeriksaan Karakteristik Kimia (pH) 1. Pemeriksaan Homogenitas Lipstik Tabel 4. Hasil pengukuran pH sediaan lipstik menggunakan ekstrak umbi bit

Keterangan: Sediaan lipstik menggunakan ekstrak umbi bit kadar 5% (Formula I); kadar 10% (Formula II); dan kadar 15% (Formula III).

Hasil analisis statistik dengan OneWay Anova didapatkan nilai p (0,616) > nilai Îą (0,05), yang berarti tidak terdapat perbedaan pH yang bermakna. pH sediaan masuk dalam rentang pH yang diinginkan, yaitu sesuai dengan pH kulit 4,5-7,5 [8].

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


3.3.4. Pemeriksaan Stabilitas Tahap berikutnya adalah pemeriksaan stabilitas sediaan. Pada hari ke-7 pada seluruh sediaan yang dibuat belum terdapat perbedaan apapun, baik dari bau, warna dan tekstur. Namun, pada hari ke-14, warna mulai berubah. Pada hari ke-0 dan 7 warna semua sediaan merah muda, sedangkan pada hari ke-14 warna mulai berubah menjadi coklat. Hal ini membuktikan bahwa zat warna betasianin dari umbi bit yang diformulasikan ke dalam sediaan lipstik memiliki stabilitas yang pendek.

3.3.5. Uji Kesukaan Tabel 5. Skor kesukaan sediaan lipstik menggunakan ekstrak umbi bit

Keterangan: Sediaan lipstik menggunakan ekstrak umbi bit kadar 5% (Formula I); kadar 10% (Formula II); dan kadar 15% (Formula III).

3.

Gambar 2. Warna sediaan lipstik menggunakan ekstrak umbi bit dengan kadar 5% (F1), 10% (F2) dan 15 % (F3) replikasi 3 pada hari ke-14 Tahap berikutnya adalah pemeriksaan stabilitas sediaan. Pada hari ke-7 pada seluruh sediaan yang dibuat belum terdapat perbedaan apapun, baik dari bau, warna dan tekstur. Namun, pada hari ke-14, warna mulai berubah. Pada hari ke-0 dan 7 warna semua sediaan merah muda, sedangkan pada hari ke-14 warna mulai berubah menjadi coklat. Hal ini membuktikan bahwa zat warna betasianin dari umbi bit yang diformulasikan ke dalam sediaan lipstik memiliki stabilitas yang pendek.

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

Pembahasan Telah dilakukan penelitian untuk menentukan pengaruh konsentrasi ekstrak umbi bit dengan kadar 5%, 10% dan 15% terhadap karakteristik fisika, kimia dan stabilitas sediaan lipstik. Pada penelitian ini, sediaan lipstik menggunakan ekstrak umbi bit diformulasikan menggunakan minyak zaitun, beeswax, vaselinum album, dan paraffin solidum sebagai basis lipstik. Selain itu juga ditambahkan BHT untuk antioksidan dan pengaroma vanilin untuk memberikan aroma yang baik pada lipstik. Agar ekstrak umbi bit yang bersifat polar dapat tercampur pada basis lipstik yang bersifat nonpolar, maka ditambahkan kombinasi surfaktan berupa tween 80 dan span 20. Ekstrak umbi bit yang dibuat berasal dari umbi bit (Beta vulgaris L.) yang berumur 2,5 bulan didapatkan dari Desa Ngenep, Kabupaten Malang. Umbi bit mengandung betasianin, yaitu pigmen merah violet [2]. Pada penelitian ini digunakan etanol 96%

31


Pada penelitian ini digunakan etanol 96% sebagai pelarutnya. Pembuatan lipstik menggunakan ekstrak umbi bit dimulai dengan pembuatan basis lisptik, yaitu dengan meleburkan beeswax, parafin solid dan vaselin album. Selagi menunggu lebur, minyak zaitun dan mortir dipanaskan, minyak zaitun di tempatkan pada cawan porselin. Setelah beeswax, parafin solid dan vaselinum album lebur, dituangakan ke dalam mortir dan dicampur dengan minyak zaitun dan BHT, diaduk hingga homogen. Sambil terus diaduk, campuran tersebut diamati suhunya. Bila suhunya sudah mencapai 40-50 0C maka ekstrak umbi bit, surfaktan dan pengaroma vanilin dimasukkan ke dalam mortir , sambil diaduk hingga homogen. Jika sudah homogen, sediaan siap dimasukkan dalam cetakan. Setelah dimasukkan ke dalam cetakan, sediaan diletakkan pada freezer selama ½ jam agar lipstik mengeras. Sediaan lipstik yang telah jadi diperiksa organoleptisnya. Hasil yang didapat yaitu, setiap formula memiliki warna yang hampir sama, yaitu merah muda dan terlihat homogen. Kemudian, untuk bentuk sediaan, pada formula I, II dan III berbentuk torpedo sesuai dengan bentuk cetakan, dan bau dari sediaan berbau vanilin. Pada gambar 1 warna sediaan lipstik formula I, II dan III terlihat sama, namun, jika dilihat langsung dari sediaannya antara formula I, II dan III memiliki sedikit perbedaan intensitas / ketajaman warna. Formula I memiliki ketajaman warna lebih rendah daripada formula II dan III serta formula II memiliki ketajaman warna yang lebih tinggi dari formula I dan lebih rendah dari formula III. Jadi, intensitas warnanya semakin meningkat dari formula I ke formula III. Hal tersebut disebabkan karena konsentrasi ekstrak umbi bitnya semakin tinggi dari formula I ke formula III. Lipstik yang dibuat memiliki warna merah muda, hal tersebut berasal dari betasianin yang terkandung dalam ekstrak umbi bit. Lipstik mempunyai bau khas karena menggunakan bahan tambahan vanilin. Lipstik yang dibuat berbentuk padat dan sedikit berminyak, sehingga sudah sesuai dengan yang diharapkan. Adanya tambahan vaselinum album dalam formulasi membuat lipstik sedikit berminyak. Hal tersebut akan membuat bibir tampak

32

lembab, sehingga meningkatkan nilai estetika dari lipstik. Tahap pertama dilakukan pemeriksaan pada pH sediaan. Pada tiap-tiap formula menunjukkan rerata±SD formula I (6,6±0,04), formula II (6,6±0,20), dan formula III (6,5±0,07). Kemudian dilanjutkan dengan uji statistic menggunakan Oneway Anova, didapatkan nilai p (0,616) > nilai α (0,05), yang berarti tidak terdapat perbedaan pH yang bermakna. pH sediaan masuk dalam rentang pH yang diinginkan, yaitu sesuai dengan pH kulit 4,5-7,5. Tahap kedua dilakukan uji homogenitas sediaan. Dari seluruh formula yang dibuat, homogenitas sediaan baik. Dari tampilan fisik lipstik, warna tersebar merata pada seluruh bagian dan saat dioleskan pada permukaan kaca, tidak nampak butir-butir kasar. Tahap ketiga adalah adalah uji titik leleh sediaan. Masing-masing formula memperoleh hasil yaitu formula I (66±1,7) o C, formula II (55±2,65) oC, dan formula III (64±2,65) oC. Untuk mengetahui adanya pengaruh peningkatan kadar ekstrak umbi bit yang digunakan pada sediaan, dilakukan analisis statistik dengan One-way Anova didapatkan nilai p (0,003) < nilai α (0,05), yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna. Untuk mengetahui signifikansi perbedaan tiap formula dilakukan uji HSD Tukey sehingga didapatkan antara formula I & II terdapat perbedaan bermakna (p=0,003), formula I & III tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,587), serta formula II & III tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,09). Titik leleh lipstik formula I, II dan III memasuki persyaratan titik leleh lipstik (Departemen Kesehatan RI, 1993), yaitu di atas 42 oC. Tahap yang keempat adalah uji kekerasan sediaan. Dari masing-masing formula diperoleh hasil, yaitu formula I (6,13±1,64) N, formula II (5,90±1,92) N dan formula III (4,80±0,70) N. untuk mengetahui adanya pengaruh peningkatan kadar ekstrak umbi bit yang digunakan pada sediaan terhadap nilai kekerasan sediaan lipstik dilakukan analisis statistik dengan One-way Anova, didapatkan nilai p (0,549) > nilai α (0,05), yang berarti tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Seharusnya nilai kekerasan semakin menurun dengan penambahankadar ekstrak umbi bit yang memiliki konsistensi sedikit cair sehingga BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


menyebabkan kekerasan lipstik berkurang. Tahap kelima adalah pemeriksaan stabilitas sediaan. Pada hari ke-7 pada seluruh sediaan yang dibuat belum terdapat perbedaan apapun, baik dari bau, warna dan tekstur. Namun, pada hari ke-14, warna mulai berubah. Pada hari ke-0 dan 7 warna semua sediaan merah muda, sedangkan pada hari ke-14 warna mulai berubah menjadi coklat. Hal ini membuktikan bahwa zat warna betasianin dari umbi bit yang diformulasikan ke dalam sediaan lipstik memiliki stabilitas yang pendek. Tahap yang keenam adalah uji daya oles sediaan. Dari seluruh formula yang dibuat, tidak ada satupun yang meninggalkan bekas warna pada kulit. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi ekstrak umbi bit yang diberikan teralu rendah. Selanjutnya tahap yang terakhir adalah uji kesukaan sediaan yang dilakukan pada 23 responden perempuan dengan rentang usia 19-24 tahun yang diambil secara accidental. Responden yang dipilih adalah perempuan karena sediaan lipstik adalah produk yang biasa digunakan oleh perempuan. Responden yang dipilih usia 19-24 tahun karena mudah dijumpai oleh peneliti. Uji kesukaan ini dinilai berdasarkan kemudahan pengolesan lipstik dan homogenitas lipstik saat dioleskan. Hasil penelitian uji kesukaan sediaan dapat dilihat pada table 5. Dari hasil uji kesukaan yang dilakukan didapatkan bahwa formula yang paling disukai adalah formula III yang mengandung ekstrak umbi bit (15%), meskipun dari seluruh formula yang dibuat tidak satupun yang meninggalkan bekas warna pada kulit. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa: Sediaan lipstik menggunakan ekstrak umbi bit (Beta vulgaris L.) yang dibuat dengan kadar 5%, 10% dan 15% berbau vanilin, berwarna merah muda dan berbentuk torpedo, memiliki homogenitas warna yang baik , tidak dapat meninggalkan warna pada kulit saat dioleskan dan memiliki stabilitas warna selama 14 hari. Lipstik dengan kadar ekstrak 15% mendapat persentase kesukaan paling tinggi. Besarnya kadar ekstrak berpengaruh terhadap titik leleh lipstik, namun tidak berpengaruh pada kekerasan dan pH lipstik. BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

5. SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan, dapat disarankan untuk penelitian selanjutnya menggunakan metode ekstraksi lain, seperti ekstraksi menggunakan serbuk umbi bit agar lipstik yang dihasilkan dapat meninggalkan bekas warna pada kulit saat dioleskan. Selain itu, untuk memperpanjang stabilitasnya, terutama stabilitas warna, dapat digunakan kadar ekstrak umbi bit yang lebih tinggi. DAFTAR PUSTAKA

[1] Badan Pengawas Obat dan Makanan. Public Warning No. HM. 03.03.1.43.12.14.7870. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2014. [2] Institut Pertanian Bogor. Southeast asianfood and agriculture science and technology center-bogor agriculture university. Tersedia di: http://seafast.ipb.ac.id [Diakses pada 25 Juni 2015]. [3] Swati D, Manisha S, Sonia S, Kanade PM, Dhiraj P, Ganesh N. Formulation and eveluation of natural lipstick prepared from bixaorellana seeds and beta vulgaris root extract and their comparative study. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences (ISSN- 09751491). 2013; 5(4): 68-70. [4] Silverson. Cosmetics and lipstic manufacturer. Silverson: Application Report Issue No. 61TA1. Tersedia di: http://www. silverson.com/images/uploads/documents/ TLipstick.pdf [Diakses pada 27 Desember 2016]. [5] Direkorat Jendral Badan Pengawas Obat dan Makanan. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 1979. [6] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Formularium Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 1995. [7]. Tensile Strength. Tersedia di: http://www.sciencedaily.com/term/tensile [Diakses pada 11 November 2015]. [8]. Faradiba, et al. Formulasi krim wajah dari sari buah jeruk lemon (Citrus lemon L.) dan anggur merah (Vitis vinivera L.) dengan variasi konsentrasi emulgator. Majalah Farmasi dan Farmakologi. 2013; 17(1): 1720 (ISSN : 1410-7031). [9]. Soekarto, Soewarno T. Penilaian Organoleptik. Bogor: Pusbangtepa Institut Pertanian BogorTranggono; 1981.

33


Penelitian

FORMULASI KAPSUL EKSTRAK RIMPANG JAHE (Zingiber officinale) SEBAGAI ALTERNATIF ANTITUBERKULOSIS Himmatul Ulya1*, Tazyinul Q. Alfauziah1 Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, Jatinangor *Corresponding author’s email : himmatul.ulya2013@gmail.com 1

ABSTRAK Pendahuluan: Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu suku Zingiberaceae yang berperan penting dalam berbagai aspek di masyarakat Indonesia.Kandungan 10-gingerol di dalamnya secara in vitro aktif menghambat bakteri Mycobacterium tuberculosis.Penelitian ini bertujuan untuk membuat sediaan kapsul dari ekstrak jahe sebagai alternatif dalam pengobatan tuberkulosis. Metode: Penelitian dimulai dengan ekstraksi menggunakan metode soxhletasi, penapisan fitokimia, karakterisasi ekstrak, dan pembuatan kapsul ekstrak jahe. Hasil dan Pembahasan: Ekstrak yang diperoleh sebanyak 72 gram, atau randemen ekstrak sebesar 7,2 % b/b. Penapisan fitokimia menunjukkan bahwa rimpang jahe tidak mengandung alkaloid. Senyawa gingerol termasuk ke dalam golongan fenol. Formula kapsul ekstrak rimpang jahe terdiri dari ekstrak, amilum, dan magnesium stearat, tiap kapsul mengandung 125 mg ekstrak. Kesimpulan: Rimpang jahe (Zingiberis Officinale) mengandung senyawa gingerol yang berkhasiat sebagai antitberkulosis dapat dibuat sediaan herbal terstandar berupa kapsul rimpang jahe. Kata kunci: Rimpang jahe, ekstrak, soxhlet, gingerol, kapsul, tuberkulosis ABSTRACT Introduction: Ginger (Zingiber officinale) is one of the Zingiberaceae which plays an important role in various aspects of Indonesian society. Its active compound, 10-gingerol is active against Mycobacterium tuberculosis. This research aims to create a capsule of ginger extract as an alternative in the treatment of tuberculosis. Methods: The study began with extraction using Soxhletation method, phytochemical screening, characterization extract, and manufacture of ginger extract capsules. Results and Discussion: The extract obtained as much as 72 grams (randemen was 7.2% w/w). Phytochemical screening showed that the ginger rhizome does not contain alkaloids. Gingerol compounds included in the group of phenol. The formula consist of extracts, starch, and magnesium stearate, each capsule contains 125 mg of extract. Conclusion: Ginger rhizome (Zingiberis officinale) contains gingerol compounds are efficative as antitberkulosis and can be made as capsules of ginger rhizome. Keywords: Ginger rhizome, extract, soxhlet, gingerol, capsules, tuberculosis

34

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


1.

PENDAHULUAN Tuberkulosis atau TB adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyerang paru-paru dan organ tubuh lain[1]. Pengobatan TB membutuhkan waktu yang cukup lama. Pengobatan awal biasanya membutuhkan enam bulan, kemudian dievaluasi kembali oleh dokter. Pengobatan yang cukup lama sering kali membuat pasien putus berobat atau tidak teratur menjalani terapi. Ini berakibat fatal karena kuman justru bisa resisten. Belum lagi obat-obatan tidak selalu cocok dengan pasien sehingga bisa mengakibatkan alergi. Lini pertama pengobatan tuberkulosis pada tahap intensif di antaranya adalah kombinasi rifampisin, isoniazid, etambutol, pirazinamid[2]. Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu dari temu-temuan suku Zingiberaceae yang berperan penting dalam berbagai aspek di masyarakat Indonesia[3]. Rimpang jahe sudah digunakan sebagai obat secara turuntemurun karena mempunyai komponen minyak atsiri dan oleoresin yang tinggi. Selain sebagai pencahar, antirematik dan pereda masuk angin, rimpang jahe juga berguna dalam pengobatan tuberkulosis[4]. Jahe mengandung 10-gingerol yang secara in vitro aktif menghambat bakteri Mycobacterium tuberculosis[5]. Menurut Sarah Kriswanti, jahe dan mengkudu bersifat imunostimulan atau dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Hal ini didukung dengan penelitian S.G Franzblau dan R.T Rosent yang menyatakan bahwa gingerol dalam jahe mampu meningkatkan daya tahan tubuh dan membunuh bakteri penyebab tuberkulosis[6]. Penelitian ini bertujuan untuk membuat sediaan kapsul dari ekstrak jahe sebagai alternatif dalam pengobatan tuberkulosis. Pemanfaatan jahe sebagai ajuvan (obat pendukung) untuk pengobatan tuberkulosis ini dapat dilakukan dengan hanya menggunakan jahe saja atau dengan menambahkan herbal lain. 2. METODE 2.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmasi Bahan Alam Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran dari September sampai dengan Desember 2015. BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

2.2. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan penelitian ini adalah Chamber, Cangkang kapsul no. 0, Indikator pH universal, kertas saring whatman, krus, lampu UV 254 nm dan 366 nm, labu alas bulat, mortir, neraca analitik, piknometer, pipa kapiler, plat klt, silika gel, seperangkat alat soxhlet, stamper, dan tabung reaksi. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah amilum, amonia 1 %, aquadest, reagen Dragendorff, etanol 96%, eter, etil asetat, FeCl3, HCl 2 N, H2SO4 pekat, kloroform, KOH 5%, magnesium stearat, reagen Mayer, reagen Liebermann, rimpang jahe (Zingiberis rhizoma), toluen, dan vanilin 10%. 2.3. Ekstraksi dengan metode Soxhletasi Sebanyak 1 kg simplisia dimasukkan ke dalam alat Soxhlet, kemudian ditambahkan pelarut etanol 96 % sebanyak 200 mL. Ekstraksi dilakukan selama kurang lebih 3 jam. Setelah dingin, ekstrak dikeluarkan dari alat Soxhlet, lalu dipekatkan menggunakan rotavapor. 2.4. Penapisan Fitokimia Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam rimpang jahe. Golongan senyawa yang diperiksa antara lain alkaloid, saponin, tanin, triterpenoid, steroid, monoterpenoid dan sesquiterpenoid. 2.5. Karakteristisasi Ekstrak Karakteristik ekstrak yang diamati di antaranya adalah parameter spesifik dan parameter nonspesifik, baik pada ekstrak encer maupun ekstrak kental. 2.6. Pembuatan Kapsul Ekstrak Rimpang Jahe Kapsul esktrak jahe dibuat dengan formula yang tertera dalam Tabel 1. Optimasi perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah amilum yang diperlukan. Sediaan kapsul yang telah dibuat sebagian dikemas dan sisanya dilakukan evaluasi keseragaman bobot. Tabel 1. Rancangan formula kapsul

35


3. HASIL 3.1. Ekstraksi dengan Soxhlet Ekstrak yang diperoleh sebanyak 72 gram, dengan demikian randemen ekstrak sebesar 7,2 % b/b. 3.2. Penapisan fitokimia Hasil penapisan fitokimia menggunakan berbagai reagen, ditemukan beberapa golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak rimpang jahe seperti yang tertera pada tabel 2. Tabel 2. Hasil penapisan fitokimia ekstrak rimpang jahe

3.3. Karakterisasi Ekstrak Uji karakteristik ekstrak menghasilkan data seperti yang tercantum dalam tabel 3 dan gambar 1. Tabel 3. Karakterisasi ekstrak jahe

(c) (d) Gambar 1. Pola KLT Ekstrak Cair Rimpang Jahe (Zingiberis Rhizoma): (a) Farmakope Herbal Indonesia, (b) sinar tampak, (c)sinar UV 254 nm, dan (d) sinar UV 366 nm. 3.4. Pembuatan Kapsul Ekstrak Rimpang Jahe Dengan bobot campuran bahan 0,63 gram per kapsul. Maka kapsul yang digunakan adalah kapsul No. 0. Tabel 4 menjelaskan banyaknya bahan yang digunakan dalam formulasi kapsul ekstrak rimpang jahe. Tabel 4. Formula kapsul ekstrak rimpang jahe

Hasil evaluasi keseragaman bobot kapsul adalah sebagai berikut. Hasil evaluasi keseragaman bobot kapsul adalah sebagai berikut. • Bobot 20 kapsul kosong: 2,00 gram • Bobot isi seluruh kapsul: 14,24 – 2,00 = 12,24 gram • Bobot rata-rata isi seluruh kapsul: 12,24 gram/ 20 = 0,612 gram

(a)

36

(b) BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


Tabel 5. Hasil Uji Keseragaman Bobot

Berdasarkan hasil tersebut, tidak ada bobot kapsul yang melebihi batas Âą 7,5% dan Âą15% sehingga dapat dikatakan bahwa hasil evaluasi sediaan keseragaman bobot ini sesuai dengan persyaratan yang tertera pada Farmakope Indonesia edisi III. 4. PEMBAHASAN Ekstraksi adalah proses penarikan senyawa kandungan kimia metabolit sekunder dengan pelarut yang sesuai. Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode soxhlet, yaitu metode ekstraksi cara panas menggunakan pelarut yang sesuai dengan alat khusus (alat soxhlet) sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Pelarut dan sampel dipisahkan ditempat yang berbeda. Prinsip soxhetasi adalah penyarian berulang-ulang sehingga hasil yang didapatkan sempurna dan pelarut yang digunakan relatif sedikit. Bila penyarian ini telah selesai, maka pelarutnya diuapkan kembali dan sisanya adalah zat yang tersari. Senyawa utama dalam tanaman jahe adalah gingerol.Gingerol merupakan golongan dari fenol dari poliketida pada jalur asam asetat. Kandungan gingerol dalam minyak jahe sekitar 20 sampai 30 persen berat jahe. Senyawa gingerol memiliki banyak gugus hidroksil sehingga bersifat polar[7]. BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

Gambar 2. Struktur kimia gingerol Berbagai penelitian membuktikan bahwa jahe mempunyai sifat antioksidan. Beberapa komponen utama dalam jahe seperti gingerol, shogaol, dan gingeron memiliki aktivitas antioksidan di atas vitamin E. Selain itu, [10]-gingerol dalam jahe dilaporkan sangat aktif menghambat bakteri M.tuberculosis penyebab penyakit tuberkulosis.[5] Perhitungan rendemen ekstrak bertujuan untuk mengetahui berapa banyak ekstrak yang diperoleh dari sekian gram simplisia yang diekstraksi. Hal demikian dilakukan karena ekstrak yang diperoleh dari simplisia tidak akan sama banyaknya dengan jumlah simplisia yang dipakai dalam ekstraksi.Berat ekstrak yang didapat yaitu sebanyak 72,02 gram, dari simplisia yang dipakai seberat 1000 gram. Dari data tersebut diperoleh rendemen ekstrak sebesar 7,202 %. Perolehan rendemen ini bergantung pada jumlah simplisia yang digunakan, metode ekstraksi, pelarut yang digunakan, juga bentuk simplisia yang diekstraksi. Semakin tinggi persentase rendemen yang diperoleh dari suatu simplisia, menandakan semakin efisien pemakaian simplisia untuk menghasilkan ekstrak. Sediaan yang dibuat adalah bentuk kapsul. Formulasi sediaan kapsul ekstrak rimpang jahe yangdigunakan adalah ekstrak kental rimpang jahe 125 mg, amilum 500 mg, dan magnesium stearat 1 %. Dosis pemakaian sehari 2 kali 2 kapsul karena ini merupakan dosis terapi untuk penyakit tuberkulosis. Amilum berfungsi sebagai pengisi dan penambah bobot kapsul serta pengeringan karena dapat berfungsi sebagai pengikat sehingga dapat menyerap lembab dari ekstrak yang masih terdapat cairan pelarut. Sedangkan penambahan Magnesium Stearat berfungsi sebagai pelicin karena dapat mempengaruhi sifat fisis campuran bahan dan sebagai pengikat karena memiliki sifat hidrofob serta mempengaruhi sifat-sifat kapsul seperti keseragaman bobot dan waktu hancur. Digunakan kapsul no.0 karena kapsul tersebut mempunyai

37


kapasitas 325-900 mg serbuk sehingga akan cukup diisi 630 mg serbuk. Uji keseragaman bobot dilakukan untuk memastikan bahwa bobot yang terdapat didalam kapsul pada suatu formula memiliki jumlah yang sama dan zat akttif yang sama dengan anggapan serbuk formula terdistribusi homogen. Sediaan kapsul yang dibuat, telah sesuai dengan syarat produksi kapsul yang tertera pada Farmakope Indonesia. 5.

KESIMPULAN Dari hasil percobaan yang dilakukan dapat diketahui bahwa rimpang jahe (Zingiberis Officinale) mengandung senyawa gingerol yang dapat berkhasiat sebagai anti-TB serta dapat dibuat sediaan herbal terstandar kapsul rimpang jahe. Metode ekstraksi yang digunakan untuk membuat kapsul rimpang jahe (Zingiberis Officinale) adalah dengan alat soxhlet dengan pelarut etanol. Formulasi yang digunakan untuk kapsul rimpang jahe adalah ekstrak kental rimpang jahe, magnesium stearat dan amilum

[6]. Miri P. Antibacterial Activity of [10]-gingerol and [12]-gingerol isolated from ginger rhizome against periodontal bacteria, phytother res. Phytotherapy Research. 2008; 22(22): 1446-1449. [7]. Tejasari F, Zakaria FR. Ginger (Zingiber officinale Roscue) root bioactive compounds increased cytolitic response of natural killer (NK) cells against leucemic cell line k-562 in vitro. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 2009; 17(2): 294-304.

6.

SARAN Makalah yang diharapkan dapat menjadi sumber ilmu dan media pembelajaran bagi pembaca dan disarankan penelitian ini terus berlanjut dan dapat dikembangkan ke arah fitofarmaka. DAFTAR PUSTAKA [1]. World Health Organization. Tuberculosis. Tersedia di: http:// www.who.int/mediacentre/factsheets/ fs104/en/ [Diakses 1 Oktober 2015]. [2]. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Tersedia di: http://www. klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html [Diakses pada 5 Oktober 2015]. [3]. Bermawie N, Purwiyanti S. Botani, Sistematika dan Keragaman Kultivar Jahe. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik; 2013. [4]. Kartika R. Peluang Tanaman Rempah Sebagai Sumber Pangan Fungsional. Tersedia di: http://litbang.bogor.or.id/ tamanan_rempah_indonesia [Diakses pada 28 September 2015]. [5]. Kikuzaki H. Antioxidant effects of some ginger constituents. Journal of Food Science. 2006; 58(6):1407– 1410.

38

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


Tinjauan Pustaka

PERSONAL DRUG MONITORING (PDM) SEBAGAI STRATEGI PENINGKATAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS DI INDONESIA Tazyinul Q. Alfauziah1*, Mia N. A. Fatin1, Annisa E. Fitrianti1 Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, Jatinangor *Corresponding author’s email : tazyinul12001@mail.unpad.ac.id 1

ABSTRAK Pendahuluan: Tuberkulosis merupakan penyakit penyebab kematian ketiga terbesar di Indonesia. Penanganan tuberkulosis merupakan terapi dalam jangka waktu yang lama dan jumlah obat yang banyak. Hal tersebut menjadi faktor penyebab terjadinya ketidakpatuhan dalam pengobatan tuberkulosis. Ketidakpatuhan tersebut menyebabkan kegagalan terapi, pengulangan terapi, maupun resistensi obat. Oleh karena itu diperlukan strategi yang baru untuk meningkatkan kepatuhan pasien tuberkulosis. Pembahasan: dalam strategi Personal Drug Monitoring, apoteker memiliki peran dalam melakukan pemantauan penggunaan obat yaitu apoteker memberikan konseling mengenai pentingnya melakukan terapi tuberkulosis sampai dinyatakan sembuh, memberikan informasi obat serta cara penggunaan tuberbottle. Tuberbottle merupakan wadah obat yang memiliki alarm sebagai pengingat mengonsumsi obat serta terintegrasi kepada smartphone apoteker sehingga apoteker dapat menilai tingkat kepatuhan pasien tersebut. Apoteker akan memberikan apresiasi jika tingkat kepatuhan tersebut sudah baik dan memberikan motivasi jika tingkat kepatuhan masih rendah melalui SMS kepada pasien. Selain itu, direkomendasikan juga penerapan Fix Dose Combination (FDC) dimana beberapa zat aktif berada dalam satu tablet sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien. Kesimpulan: Strategi Personal Drug Monitoring dapat diterapkan di Indonesia sebagai upaya untuk meningkatkan kepatuhan pasien tuberkulosis di Indonesia. Kata kunci: Tuberbottle, konseling, apresiasi dan motivasi, Fix Dose Combination (FDC), kepatuhan ABSTRACT Introduction: Tuberculosis is the third leading cause of death in Indonesia. Tuberculosis not only has long term therapy but also a lot of drugs was prescribed. It became non-compliance factor in tuberculosis therapy. Non-compliance causes treatment failure, repetition of therapy, and drug resistance. Therefore, we need a new strategy for improving tuberculosis patient compliance. Discussion: Personal Drug Monitoring strategy arose pharmacists play the role in monitoring drugs, counseling about the importance of tuberculosis therapy, providing information about drugs and explaining how to use the tuberbottle. Tuberbottle is a drug container which has an alarm inside as a patient reminder to use medicine. This bottle integrated to pharmacist’ smartphone, so pharmacist can assess patient compliance level. After that, pharmacist will give feedback, whether a appreciation or motivation depend on patient compliance level. In addition, we also recommended Fix Dose Combination (FDC) to help improving patient compliance. Conclusion: Personal Strategies Drug Monitoring can be applied in Indonesia as an effort to improve the compliance of tuberculosis patients. Keywords: Tuberbottle, counseling, appreciation and motivation, Fixed-Dose Combination (FDC), compliance

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

39


1.

PENDAHULUAN Indonesia termasuk kedalam lima negara yang memiliki prevalensi tuberkulosis tertinggi di dunia[1]. Pada tahun 2013, prevalensi tuberkulosis mencapai 400 jiwa dari 100.000 penduduk[2]. Selain itu, tuberkulosis merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia[3]. Menurut WHO, kematian yang disebabkan oleh tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 25 jiwa dari 100.000 penduduk[4]. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan 80% menyerang paruparu[5]. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang sulit untuk ditangani sehingga pengobatan untuk tuberkulosis membutuhkan waktu yang lama dengan obat yang banyak[6]. Hal tersebut merupakan faktor penyebab tebesar ketidakpatuhan pasien tuberkulosis dalam mengonsumsi obat[7]. Kepatuhan pasien tuberkulosis adalah mengonsumsi obat secara teratur dengan waktu yang tepat sampai pasien tersebut dinyatakan sudah sembuh[8,9]. Faktor lainnya yang menyebabkan ketidakpatuhan pasien tuberkulosis adalah pasien tidak yakin terapi tersebut dapat mengobati sehingga menghentikan terapi sebelum dinyatakan sembuh, kurangnya pengetahuan pasien mengenai tuberkulosis serta terapinya, hubungan pasien dengan petugas kesehatan, maupun faktor ekonomi[8,10,11]. Pasien tuberkulosis di Indonesia yang melakukan pengobatan dengan teratur hanya mencapai 59%[12]. Menurut WHO, tingkat kepatuhan pasien harus diatas 85% untuk dianggap terapi berhasil[13]. Ketidakpatuhan dalam terapi tuberkulosis dapat menyebabkan kegagalan terapi, pengulangan terapi, maupun peningkatan morbiditas[14,15,16,17]. Selain itu, ketidak-patuhan meminum obat sebanyak 5 dosis atau lebih setiap bulan akan menyebabkan timbulnya resistensi obat[18]. Oleh karena itu diperlukan strategi Personal Drug Monitoring (PDM) oleh apoteker secara personal untuk meningkatkan kepatuhan mengonsumsi obat pada pasien tuberkulosis sehingga dapat meningkatkan angka kesembuhan pasien. Komponen Personal Drug Monitoring (PDM) terdiri dari konseling,

40

tuberbottle, penerapan fix dose combination (FDC) serta pemberian apresiasi dan motivasi kepada pasien. . 2. PEMBAHASAN Personal Drug Monitoring (PDM) merupakan strategi kuratif penyakit tuberkulosis dimana dalam proses pengobatannya pasien TB dipantau secara personal oleh seorang apoteker. Pemantauan pasien secara personal ini dibantu dengan alat Tuberbottle yang terintegrasi pada smartphone atau PC apoteker. Alur pada strategi Persoal Drug Monitoring (PDM) terlihat pada Gambar 1. Fokus dalam strategi ini adalah meningkatkan angka kepatuhan pasien tuberkulosis. Untuk mencapai tujuan tersebut, strategi PDM ini dibagi menjadi 4 komponen utama, yaitu: 2.1. Tuberbottle sebagai Inovasi media Promosi kesehatan Tuberkulosis Tuberbottle merupakan suatu inovasi media promosi kesehatan dalam strategi PDM. Dengan adanya media ini, apoteker dapat menilai tingkat kepatuhan pasien secara cepat dan berkala. Pada tuberbottle, ditanam Microelectromechanical System (MEMS) yang mampu mendeteksi perubahan massa dalam botol menggunakan sensor cantilever[19]. Pengurangan massa dalam botol mengindikasikan bahwa pasien TB mengambil obatnya. Selain itu, di dalamnya terdapat alarm yang hanya dapat di setting waktunya oleh apoteker dengan persetujuan pasien. Alarm yang berbunyi akan berhenti bila tablet atau pil diambil sehingga massa dalam botol berkurang. Sinyal pengurangan massa dalam botol ini kemudian akan dikirimkan pada smartphone atau PC apoteker melalui jaringan nirkabel dan output-nya masuk ke server sehingga apoteker dapat menghitung tingkat kepatuhan pasien. Merujuk pada prinsip perhitungan kepatuhan metode pill count, tingkat kepatuhan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut[20]:

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


Gambar 1. Alur Strategi Personal Drug Monitoring (PDM)

Gambar 2. Rancangan tuberbottle Tuberbottle ini dirancang dengan kapasitas 60 tablet atau pil dan daya baterai botol ini dapat bertahan selama kurang lebih 200 hari. Jika alarm berbunyi dan tidak mati dalam waktu 15 menit, secara otomatis akan terhubung ke smartphone atau PC apoteker sehingga apoteker dapat langsung mengingatkan pasien untuk segera meminum obatnya. Dengan demikian, selain dapat menilai kepatuhan pasien dalam meminum obat, pengobatan pasien TB dapat dikontrol secara langsung oleh apoteker.

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

2.2. Pemberian Apresiasi dan Motivasi sebagai Inovasi Metode Promosi Kesehatan Tingkat kepatuhan pasien yang terus dimonitoring oleh apoteker, tidak hanya bermanfaat bagi apoteker dan dokter untuk evaluasi pengobatan, namun juga bermanfaat bagi kesembuhan pasien. Hal ini juga dapat disampaikan kepada pasien untuk meminimalisir rasa jenuh selama pengobatan dan meningkatkan motivasi pasien untuk sembuh dari penyakit tuberkulosis. Apresiasi atau penghargaan pada pasien menjadi hal yang penting, karena penghargaan memiliki

41


nilai mendidik, dapat berfungsi sebagai motivasi, dan dapat memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial[21]. Tingkat kepatuhan pasien akan direkapitulasi secara berkala, yaitu setiap tiga minggu, kemudian data diolah dan disampaikan kepada pasien. Bila terjadi peningkatan kepatuhan maka pasien akan diberi apresiasi, sedangkan bila terjadi penurunan kepatuhan maka pasien akan diberi motivasi. Penyampaian dapat dilakukan melalui SMS atau program chatting lainnya yang mendukung. 2.3. Penerapan Obat Antituberkulosis Fixed-Dose Combination sebagai Lini Pertama Pengobatan Tuberkulosis Obat antituberkulosis dengan kombinasi dosis yang telah difiksasi (FixedDose Combination/FDC) direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1996 dengan pertimbangan sebagai berikut[22]: 1. FDC mencegah monoterapi dan diharapkan dapat menurunkan resistensi obat tuberkulosis. 2. FDC dapat menyederhanakan pengobatan sehingga kesalahan dapat diminimalisasi dan kepatuhan pasien meningkat. 3. FDC menyederhanakan manajemen stok dan distribusi. 4. FDC menurunkan risiko salah penggunaan rifampisin untuk kondisi selain tuberkulosis. Dapat dilihat pada Tabel 1, bahwa dengan penggunaan FDC, jumlah tablet yang dikonsumsi pasien berkurang dan

hal ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien selama pengobatan. Jenis-jenis tablet FDC dikelompokkan menjadi 2, yaitu: FDC untuk dewasa dan FDC untuk anak-anak. Tablet FDC untuk dewasa terdiri tablet 4FDC dan 2FDC. Tablet 4FDC mengandung 4 macam obat yaitu: 75 mg Isoniasid (INH), 150 mg Rifampisin, 400 mg Pirazinamid, dan 275 mg Etambutol. Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif dan untuk sisipan. Tablet 2 FDC mengandung 2 macam obat yaitu: 150 mg Isoniasid (INH) dan 150 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu dalam tahap lanjutan. Baik tablet 4FDC maupun tablet 2FDC pemberiannya disesuaikan dengan berat badan pasien. Untuk melengkapi paduan obat kategori kedua tersedia obat lain yaitu: tablet etambutol @400 mg dan streptomisin injeksi (vial @750 mg). Tablet FDC untuk anak-anak terdiri dari tablet 3FDC dan 2FDC. Kedua jenis tablet diberikan kepada pasien TB anak yang berusia 0 – 14 tahun. Tablet 3FDC mengandung 3 macam obat antara lain: 30 mg INH, 60 mg Rifampisin, dan 150 mg Pirazinamid. Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif. Tablet 2FDC mengandung 2 macam obat yaitu: 30 mg INH dan 600 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap lanjutan. Sama halnya dengan pemberian pada pasien dewasa, pemberian jumlah FDC pada pasien anak juga disesuaikan dengan berat badan anak.

Tabel 1. Gambaran Jumlah Tablet yang dikonsumsi Setiap Hari pada Tahap Intensif

42

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


2.4. Konseling Pemahaman pasien terhadap terapi yang sedang dijalani dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obatnya. Faktor yang mempengaruhi hal ini di antaranya adalah kurangnya komunikasi antara pasien dengan apoteker atau dokter. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatannya saat ini dapat dilakukan konseling pasien. Konseling merupakan bentuk komunikasi antara farmasis dengan pasien, dan merupakan implementasi dari Pharmaceutical Care[23]. Pengetahuan pasien yang meningkat diharapkan dapat meningkatkan angka kepatuhan pasien, karena pasien diberikan informasi tentang obat mencakup nama obat, indikasi, dosis, waktu dan jadwal minum obat serta informasi mengenai penyakitnya. Konseling ini dapat dilakukan saat pasien melakukan refill obat ke apotek atau klinik. 3. SIMPULAN Strategi Personal Drug Monitoring (PDM) dapat meningkatkan kepatuhan dan menilai tingkat kepatuhan pasien tuberkulosis dalam mengonsumsi obat melalui keempat komponennya yang saling melengkapi yaitu tuberbottle sebagai botol pintar untuk mengingatkan pasien dan menilai kepatuhan pasien, pemberian apresiasi dan motivasi pada pasien, Fixeddose combination, dan konseling. 4. SARAN Strategi ini diharapkan didukung penuh oleh pemerintah dengan memasukkan pembiayaan tuberbottle ke dalam program BPJS. DAFTAR PUSTAKA [1] World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2010. Geneva: WHO Publications; 2010. [2] Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Jawa Barat Tahun 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013. [3] Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Tersedia di: http://www. klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html [Diakses pada 5 Oktober 2015]. [4] World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2014. Geneva: BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016

[5]

[6]

[7]

[8]

[9]

[10]

[11]

[12]

[13]

WHO Publications; 2014. World Health Organization. Tuberculosis Tersedia di: http:// www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs104/en/ [Diakses 1 Oktober 2015]. Lienhardt C, Cook SV, Burgos M, Yorke-Edwards V, Rigouts L, Anyo G, Kim SJ, Jindani A, Enarson DA, Nunn AJ. Efficacy and safety of a 4-drug fixeddose combination regimen compared with separate drugs for treatment of pulmonary tuberculosis: the study c randomized controlled trial. jama. 2011; 305(14): 14151423. Stanhope EL, Lancaster B. Strategies to Promote Adherence to Tuberculosis Treatment. An International Journal. 2006; 15(3): 776-819. Mokgoadi B. Knowledge, Beliefs and Feelings about tuberculosis among hospitalised patients at Dr Machupe Mphahlele Memorial Hospital in the Limpopo Province of South Africa. Polokwane: University of Limpopo; 2002. Glatthaar E. Tuberculosis control in south africa. The South African Medical Journal. 2003; 17: 36-41. World Health Organisation. Guidelines for Implementing collaborative TB and HIV programme activities. Geneva: WHO Publications; 2003. Shyrock EB. Determinants of treatment adherence among smear-positivepulmonary tuberculosis patients in South Africa. Unpublished Masters Dissertation. Pretoria: University of Pretoria; 2007. Badan Litbangkes Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta : Kemenetrian Kesehatan RI; 2010. World Health Organisation. Compendium for indicators, monitoring and evaluation framework. Geneva: WHO Publications; 2008.

43


[14] Harrison B. Principles of Internal Medicine. New York: McGraw Hill; 2001. [15] Gandhi R. Treatment compliance and its contributory factors on pulmonary TB. Unpublished Masters Dissertation. Bangalore: University of Health Sciences; 2010. [16] Steenwinkel JE, Kate MT, Knegt GJ, Verbrugh HA, Aarnoutse RE. Consequences of noncompliance for therapy efficacy and emergence of resistance in murine tuberculosis caused by the Beijing genotype of Mycobacterium tuberculosis. Antimicrob Agents Chemother. 2012; 56: 4937–4944. [17] Chattergee P, Benerjee B, Dutt D, Pati RR, Mullick AK. A Comparative evaluation of factors and reasons for defaulting in tuberculosis treatment in the states of west bengal, jharkhand and arunachal pradesh. Indian J Tuberc. 2003; 50: 17–21. [18] World Health Organisation. The control of tuberculosis through DOTS strategy in pacific island countries. Geneva: WHO Publications; 2010. [19] Abadal G, Davis ZJ, Helb B, Borrise X, Ruiz R, Boisen A, Campabadal F,

44

[20]

[21]

[22]

[23]

Esteve J, Figueras E, Perez-Murano F, Barniol N. Electromechanical model of a resonating nano-cantileverbased sensor for high-resolution and high-sensitivity mass detection. Nanotechnology. 2001; 12: 100-104. Vik SA, Colleen JM, David BH. Measurement, correlates, and health outcomes of medication adherence among seniors. The Annals of Pharmacotherapy. 2004; 38: 303-312.. Dewi M. Nursiswati, Ridwan. Hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan pasien TBC dalam menjalani pengobatan obat antituberkulosis di tiga puskesmas, Kabupaten Sumedang. Majalah Keperawatan UNPAD. 2008; 10(19): 60-75. World Health Organization. Fixeddose combination tablets for the treatment of tuberculosis. Geneva: World Health Organization; 1999. Siregar, Charles JP, Endang K. Farmasi Klinik Teori dan Penerapan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.

BIMFI

Vol 4 No. 2 | Juli - Desember 2016


52

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Januari - Juni 2016


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.