BIMKGI Volume 4 Nomor 2

Page 1


SUSUNAN PENGURUS Pelindung

Penyunting Ahli

Sekretaris Jendral Persatuan Senat Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia (PSMKGI)

Dr. drg. Haris Budi Widodo, M.Kes, A.P, S.I.P Universitas Jenderal Soedirman

drg. Helmi Hirawan, Sp. BM Universitas Jenderal Soedirman

Pimpinan Umum Citra Veony Finastika Universitas Jenderal Soedirman

drg. Fani Tuti Handayani, M.Med.Ed Universitas Jenderal Soedirman

drg. Irfan Dwiandhono, Sp. KG Universitas Jenderal Soedirman

drg. Fanni Kusuma Djati, M.Sc

Pimpinan Redaksi

Universitas Jenderal Soedirman

Ziyada Salisa

drg. Dian Noviyanti Agus Imam, M.D.Sc

Universitas Jenderal Soedirman

Sekretaris Dewi Sisma Putriasari Universitas Jenderal Soedirman

Rinda Dini Papista Universitas Jenderal Soedirman

Bendahara

Universitas Jenderal Soedirman

Penyunting Pelaksana Aryani Universitas Jenderal Soedirman Annida Fatiya Zahra Universitas Jenderal Soedirman Ichsani Alfina Universitas Jenderal Soedirman Hikmah Fajarosita Universitas Jenderal Soedirman Rahmah Hayati Universitas Jenderal Soedirman

Dewi Sisma Putriasari Universitas Jenderal Soedirman

Rinda Dini Papista Universitas Jenderal Soedirman

Humas dan Promosi Dedeh Pitriani Universitas Jenderal Soedirman Rakhmawati Universitas Jenderal Soedirman Minda Anita Universitas Jenderal Soedirman Dian Wulandari Universitas Jenderal Soedirman Wulan Ratnasari Universitas Jenderal Soedirman Sri Wulandari Universitas Jenderal Soedirman Arcadia Sulistijo Junior Universitas Jenderal Soedirman

Tata Letak dan Layout Putri Risma Dewi Universitas Jenderal Soedirman Fitria Ayu Mutiarasari Universitas Jenderal Soedirman Eka Aprianti Universitas Jenderal Soedirman Eka Novita Sari Universitas Jenderal Soedirman

i BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016


DAFTAR ISI

ISSN : 2302-6448

Susunan Pengurus...................................................................................................................................

i

Daftar Isi......................................................................................................................................................

ii

Petunjuk Penulisan ……......................................................................................................................... iii Sambutan Pimpinan Redaksi.............................................................................................................. ix

Research Kebocoran Mikro pada Tepi Restorasi Resin Komposit Nanohybrid Berdasarkan Lama Perendaman dalam Jus Jeruk Etwar Setyo Saputra, Isyana Erlita1, M. Yanuar Ichrom N ..................................................................................................................................................................................................................................

1

Pengaruh Pemberian Atorvastatin Per Oral Terhadap Jumlah Pembuluh Darah Kapiler dan Osteoblas dalam Penyembuhan Tulang Alveolar (Studi pada Tikus Model Sprague Dawley Periodontitis dengan Diabetes Melitus) Citra Veony Finastika, Eman Sutrisna, Fani Tuti Handayani ..................................................................................................................................................................................................................................

7

Pengaruh Genotoksik Rokok Terhadap Jumlah Binukleus, Broken Egg dan Apoptosis Sel Basal Epitel Mukosa Bukal Cintya Rakhma Duhita, Haris Budi Widodo, Dody Novrial .................................................................................................................................................................................................................................. 17

Perbedaan Perubahan Warna Resin Komposit Nanofiller pada Perendaman Larutan Kopi Arabika dan Teh Oolong Redhoni Alfiyandi, Isyana Erlita, Dewi Puspitasari .......................................................................................................................... ........................................................................................................ 25

Perbandingan Angka Indeks DMF-T Sebelum dan Sesudah Program Fit For School Tinjauan Terhadap Siswa Kelas 6 SDN Kebun Bunga 5 Banjarmasin 2015 M. Evan Rifqi, Rosihan Adhani, Widodo ...............................................................................................................................................................................................................................

32

Literature Study PALATOSCOPY: Analisis Pola Ruga Palatal Dalam Determinasi Jenis Kelamin Ade Amalia Rizqi, Bima Surya Heri I, Lulu Sharfina 38 .................................................................................................................................................................................................................................

PDGF Gene-Released Nano-Hydrogel Scaffold Sebagai Advanced Host Modulation Therapy Lokal Pada Penyakit Periodontal

Aprodita Permata Yuliana, Merina Dwi Pangastuti, Sarah Fitria Romadhoni ................................................................................................................................................................................................................................. 41

ii BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016


PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia (BIMKGI) Indonesian Dental Student Journal

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia (BIMKGI) merupakan publikasi ilmiah yang terbit setiap 6 bulan sekali setiap bulan maret dan September berada dibawah Dirjen Perguruan Tinggi. Dalam mempublikasikan naskah ilmiah dalam berkala ini, maka penulis diwajibkan untuk menyusun naskah sesuai dengan aturan penulisan BIMKGI. Ketentuan umum : 1. BIMKGI hanya memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan oleh publikasi ilmiah lain. 2. Naskah dengan sampel menggunakan manusia atau hewan coba wajib melampirkan lembar pengesahan laik etik dari institusi yang bersangkutan. 3. Penulisan naskah : a. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan baik dan benar, jelas, lugas, serta ringkas. b. Naskah diketik menggunakan microsoft word dengan ukuran kertas A4, dua (2) spasi, kecuali untuk abstrak satu (1) spasi, dengan batas margin atas, bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2,5 cm. c. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. d. Naskah terdiri dari minimal 3 halaman dan maksimal 15 halaman. 4. Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksibimkgi@bimkes.org dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Ketentuan menurut jenis naskah : 1 Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu kedokteran gigi, kesehatan gigi masyarakat, ilmu dasar kedokteran. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang, abstrak, dan isi (pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan saran). 2 Tinjauan pustaka: tulisan naskah review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu dalam dunia kedokteran dan kesehatan gigi, ditulis dengan memperhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca. 3 Laporan kasus: naskah tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Naskah ini ditulis sesuai pemeriksaan, diagnosis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi dokter gigi dan dokter gigi muda. Format terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan. iii BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016


4 Artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan gigi: naskah yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik-topik yang sangat menarik dalam dunia kedokteran atau kesehatan gigi, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Naskah bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau klinis yang perlu diketahui oleh pembaca. 5 Editorial: naskah yang membahas berbagai hal dalam dunia kedokteran dan kesehatan gigi, mulai dari ilmu dasar, klinis, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang kedokteran, lapangan kerja sampai karir dalam dunia kedokteran. Naskah ditulis sesuai kompetensi mahasiswa kedokteran gigi. 6 Petunjuk praktis: naskah berisi panduan diagnosis atau tatalaksana yang ditulis secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa kedokteran gigi). 7 Advertorial: naskah singkat mengenai obat atau material kedokteran gigi dan kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka. Ketentuan khusus : 1. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: a. Judul karangan (Title) b. Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution) c. Abstrak (Abstract) d. Isi (Text), yang terdiri atas: i. Pendahuluan (Introduction) ii. Metode (Methods) iii. Hasil (Results) iv. Pembahasan (Discussion) v. Kesimpulan vi. Saran vii. Ucapan terima kasih e. Daftar Rujukan (Reference) 2. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan pustaka harus mengikuti sistematika sebagai berikut: a. Judul b. Nama penulis dan lembaga pengarang c. Abstrak d. Isi (Text), yang terdiri atas: i. Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas) iv BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016


ii. Pembahasan iii. Kesimpulan iv. Saran e. Daftar Rujukan (Reference) 3. Judul ditulis dengan Sentence case, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan subjudul. Naskah yang telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan berupa catatan kaki. Terjemahan judul dalam bahasa Inggris ditulis italic. 4. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan institusi asal penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email. 5. Abstrak harus ditulis dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak tidak melebihi 200 kata dan diletakkan setelah judul naskah dan nama penulis. 6. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak lebih dari 5 kata, dan sebaiknya bukan merupakan pengulangan kata-kata dalam judul. 7. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 8. Tabel dan gambar disusun terpisah dalam lampiran terpisah. Setiap tabel diberi judul dan nomor pemunculan. Foto orang atau pasien apabila ada kemungkinan dikenali maka harus disertai ijin tertulis. 9. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan daftar pustaka dapat dilihat sebagai berikut :

1. Naskah dalam jurnal i. Naskah standar Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun 1;124(11):980-3. atau Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;124:980-3. Penulis lebih dari enam orang Parkin Dm, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br j Cancer 1996;73:1006-12. ii. Suatu organisasi sebagai penulis The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise stress testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996;164:282-4.

v BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016


iii. Tanpa nama penulis Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15. iv. Naskah tidak dalam bahasa Inggris Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996;116:41-2. v. Volum dengan suplemen Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994;102 Suppl 1:275-82. vi. Edisi dengan suplemen Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996;23(1 Suppl 2):89-97. vii. Volum dengan bagian Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in noninsulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6. viii. Edisi dengan bagian Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap laceration of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8. ix. Edisi tanpa volum Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4. x. Tanpa edisi atau volum Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33. xi. Nomor halaman dalam angka Romawi Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction. Hematol Oncol Clin North Am 1995 Apr;9(2):xi-xii.

2. Buku dan monograf lain i. Penulis perseorangan Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY): Delmar Publishers; 1996. ii. Editor, sebagai penulis Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York: Churchill Livingstone; 1996. iii. Organisasi dengan penulis Institute of Medicine (US). Looking at the future of the Medicaid program. Washington: The Institute; 1992. vi BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016


iv. Bab dalam buku Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: patophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New York: raven Press; 1995.p.465-78. v. Prosiding konferensi Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 1519; Kyoto, Japan. Amsterdam: Elsevier; 1996. vi. Makalah dalam konferensi Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, Rienhoff O, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p.1561-5. vii. Laporan ilmiah atau laporan teknis a. Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor: Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas (TX): Dept. of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspection; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860. b. Diterbitkan oleh unit pelaksana Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services research: work force and education issues. Washington: National Academy Press; 1995. Contract no.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and research. viii. Disertasi Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington univ.; 1995. ix. Naskah dalam Koran Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21;Sect A:3 (col. 5). x. Materi audiovisual HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year book; 1995.

vii BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016


3. Materi elektronik i. Naskah journal dalam format elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24 screens]. Available from: URL: HYPERLINK http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm ii. Monograf dalam format elektronik CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, Maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995. iii. Arsip computer Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando (FL): Computerized Educational Systems; 1993.

viii BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016


SAMBUTAN PIMPINAN UMUM Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam Sejahtera untuk kita semua. Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kelancaran dan kesuksesan sehingga Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia (BIMKGI) Volume Empat Nomor Dua dapat diterbitkan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran gigi menuntut para praktisi di bidang kedokteran gigi untuk terus mengikuti perkembangan tersebut demi memberikan pelayanan terbaik bagi pasien. Karya-karya terbaik yang diwujudkan melalui penelitian dan penemuan terbaru diperlukan untuk menjawab tuntutan tersebut. Banyak ide cemerlang yang terlahir khususnya di kalangan mahasiswa kedokteran gigi, namun masih sedikit yang muncul ke permukaan karena masih sedikit yang mewadahi. BIMKGI inilah salah satu wadah bagi seluruh mahasiswa kedokteran gigi seIndonesia untuk mempublikasikan karya terbaiknya. Publikasi karya ilmiah ini tidak hanya suatu usaha apresiasi dengan menampilkan karya tetapi juga suatu bentuk usaha ikut mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Kedokteran Gigi. Selain itu, merupakan suatu usaha untuk bertukar ilmu pengetahuan bagi sesama. Proses pembelajaran dalam penulisan, dari munculnya ide sampai terealisasikan menjadi sebuah karya tulis akan tersirat dan menjadi motivasi bagi yang lain untuk ikut berkontribusi. Semoga harapan ini dapat menjadi pemicu dan pemacu semua mahasiswa kedokteran gigi di Indonesia untuk turut berpartisipasi aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui karya nyata yang dilandasi semangat pengabdian berdedikasi tinggi. Sebagai pimpinan umum, saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengurus BIMKGI atas kerja sama dan kerja kerasnya sehingga dapat menerbitkan berkala ilmiah ini. Terima kasih dan apresiasi kepada seluruh penulis atas kerja keras yang dilakukan dalam usaha ikut mengembangkan ilmu pengetahuan, serta kepada Mitra Bestari yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk menilai karya ilmiah ini demi hasil yang terbaik. Semoga seluruh karya yang dipublikasikan dalam BIMKGI kali ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masyarakat luas, serta motivasi bagi seluruh mahasiswa kedokteran gigi untuk ikut berkontribusi dalam BIMKGI. Akhir kata, semoga seluruh harapan kami tercapai dan mohon maaf apabila terjadi kesalahan selama proses penyusunan hingga diterbitkannya Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia ini. Kritik dan saran sangat kami nantikan demi perbaikan di edisi selanjutnya. Together We Can, Together We Serve The Best! Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Purwokerto,

Oktober 2016

Citra Veony Finastika (Pimpinan Umum)

ix BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016


Research

KEBOCORAN MIKRO PADA TEPI RESTORASI RESIN KOMPOSIT NANOHYBRID BERDASARKAN LAMA PERENDAMAN DALAM JUS JERUK Etwar Setyo Saputra1, Isyana Erlita1, M. Yanuar Ichrom N1 1

Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

Daerah Istimew a Yogyakarta 55281

ABSTRAK Latar Belakang: Resin komposit merupakan suatu bahan restorasi yang biasa digunakan oleh dokter gigi untuk menumpat gigi yang karies. Komposit nanohybrid merupakan salah satu jenis komposit yang memiliki komposisi filler berukuran nano dan digabung dengan filler yang berukuran besar. Komposit memiliki sifat mengabsorpsi cairan cenderung larut bila bereaksi dengan asam (pH rendah) yang didalam kandungan jus jeruk. Akibat dari kedua sifat tersebut adalah terbentuknya celah antara tepi kavitas dan struktur gigi, hal tersebut akan menyebabkan kebocoran tepi. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya kebocoran tepi pada komposit nanohybrid akibat perendaman air yang bersifat asam (pH rendah) serta mengukur besar kebocoran tepi yang terjadi. Jenis penelitian ini merupakan eksperimental murni dengan rancangan post test-only with control design. Metode: Penelitian ini menggunakan gigi premolar sebanyak 32 buah yang dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok perlakuan perendaman didalam larutan salin (kontrol) dan perendaman didalam air jus jeruk 1 hari, 7 hari dan 14 hari yang diletakkan didalam inkubator yang disesuaikan dengan suhu rongga mulut 37ÂşC. Hasil: Didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan bermakna pada setiap kelompok perlakuan. Hasil yang didapat yaitu, pada perendaman 1 hari dengan perendaman 7 hari dengan nilai kemaknaan sebesar 0,000*, perendaman 1 hari dengan perendaman 14 hari dengan nilai kemaknaan sebesar 0,000*, dan perendaman 7 hari dengan 14 hari dengan nilai kemaknaan 0,000* serta terdapat perbedaan bermakna pula antara kelompok kontrol dengan kelompok perendaman jus jeruk 1 hari , 7 hari, 14 hari. Simpulan: Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa terdapat perbedaan kebocoran mikro komposit nanohybrid pada semua sampel di kelompok perlakuan lama perendaman didalam air jus jeruk selama 1 hari, 7 hari dan 14 hari . Kata Kunci: Komposit nanohybrid, kandungan jus jeruk pH asam 3.2, kebocoran mikro.

ABSTRACT Background: A composite resin or composite filling is a restorative material that is used by dentists to restore decayed teeth (dental caries). A nanohybrid composite is a type of composite that has nano-sized filler composition which combined with large-sized filler. A composite has a characteristic to absorb liquid which tends to dissolve when it reacts with acidic (low pH) within orange juice liquid. As a result of these both characteristics, it formed a gap between the edge of the cavity and the tooth structure, which leads to the cause of leak age edge. Purpose: The aim of this research was to determine the edge (surface) leak age in nanohybrid composite due to acidic (low pH) liquid immersion as well as a measuring the large of edge leak age that occur. This research was purely experimental design with randomized posttest-only control group design. Method: The method of this research is using 32 premolars were divided into 4 groups, which there is a treatment immersion group in saline liquid (control), a treatment immersion group in orange juice liquid 1 day, and 7 days and 14 days were placed in an incubator adjusted to a temperature of 37ÂşC oral cavity, and it showed that there are difference significant in

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

1


each treatment group. Result: The results are, a value of significance on 1 day immersion with 7 days immersion is 0.000 *, a value of significance on 1 day immersion and 14 days immersion is 0.000 *, a value of significance on 7 days immersion to 14 days immersion is 0.000 * and there is also a difference significant as well between the control groups of orange juice liquid immersion for 1 day, 7 days, and 14 days. Conclusion: Based on the research that has been conducted. It was found that there are difference significants of microleak age nanohybrid composite on each sample of the treatment immersion groups in orange juice liquid fpr 1 day, 7 days, and 14 days. Keywords: Nanohybrid composite, microleak age.

orange juice liquid contains

1. PENDAHULUAN Resin komposit adalah salah satu bahan kedokteran gigi yang terus berkembang. Bowen memperkenalkan komposit pertama kali pada tahun 1962. Komposit dapat didefinisikan sebagai gabungan dua atau lebih bahan berbeda dengan sifat-sifat yang unggul atau lebih baik dari pada bahan itu sendiri. [1,2,3] Resin komposit merupakan salah satu bahan tumpatan yang dapat menyurupai warna sisi estetika, dan memiliki sifat biokompabilitas yang tinggi. Resin komposit memiliki kelemahan yaitu penyusutan atau pengerutan yang terjadi pada saat polimerisasi. Kelemahan ini yang sampai sekarang masih menjadi hambatan untuk mendapatkan hasil tumpatan yang baik dan bertahan lama. Kelemahan lain yang terdapat pada resin komposit yaitu perbedaan koefisien ekspansi termal antara struktur gigi dan resin komposit. Perbedaan ini akan mempengaruhi kerapatan tepi restorasi antara resin komposit dan dinding kavitas. [1,2] Bahan resin komposit mengandung matriks resin, partikel pengisi anorganik, coupling (silane) yang diperlukan untuk memberikan ikatan antara bahan pengisi anorganik dan matriks resin, serta aktivator-inisiator yang diperlukan untuk polimerisasi resin. Bahan coupling dan aktivator-inisiator berfungsi untuk meningkatkan efektivitas dan ketahanan bahan. Komponen tambahan lain, yaitu sejumlah bahan kecil yang berfungsi untuk meningkatkan stabilitas warna (penyerap sinar ultra violet) dan mencegah polimerisasi dini atau bahan penghambat seperti hidroquinon.[3] Masalah estetik dan pengerutan polimerisasi di awali pada macrofill diatasi

pH 3.2 acidity,

dengan memulai formulasi resin komposit microfill. Resin komposit microfill lebih mudah untuk dihaluskan dan pengerutan yang terjadi lebih sedikit dibanding dengan komposit sebelumnya karena jumlah monomer yang lebih sedikit dan kandungan filler yang lebih kecil. Penggabungan suatu bahan diperlukan agar menghasilkan kekuatan yang memadai dengan meningkatkan kehalusan dan estetiknya serta membuat pengerutan yang terjadi semakin berkurang. Ukuran partikel pada jenis komposit sebelumnya dikecilkan lagi melalui proses grinding untuk menghasilkan suatu jenis komposit yang akhirnya disebut “small particle hybrid”. Resin komposit selanjutnya diklasifikasikan menjadi midifills, dengan ukuran partikel rata-rata sedikit lebih besar dari 1 µm yang mengandung sebagian dari microfillers fumed silica berukuran 40 µm. [3,4] Perbaikan lebih lanjut dalam ukuran partikel melalui peningkatan teknik milling dan grinding yang menghasilkan resin komposit dengan partikel sub-mikron, dengan ukuran rata-rata antara 0.4 – 1.0 µm. Pada awalnya disebut dengan nama minifills dan akhirnya disebut microhybrids. Material ini dipertimbangkan menjadi resin komposit universal yang bisa diaplikasikan pada bagian anterior dan posterior yang didasarkan pada kombinasi kekuatan dan kehalusannya. Inovasi terbaru telah membuat pengembangan, yaitu komposit nanofill, yang hanya mengandung partikel dalam skala nano. Kebanyakan produsen telah memodifikasi formulasi dari microhybridnya untuk memasukkan lebih banyak partikel nano, dan memungkinkan prepolymerized resin filler, mirip dengan yang ditemukan pada resin komposit microfill,

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

2


dan akhirnya kelompok ini diberi nama nanohybrids. Secara umum, sulit untuk membedakan nanohybrid dan microhybrid, karena sifatnya seperti kekuatan lentur dan modulus cenderung sama. Resin komposit nanohybrid menunjukkan pengerutan yang lebih sedikit dibanding dengan resin komposit microhybrid karena monomer yang lebih sedikit dan ukuran partikelnya yang kecil. Nanohibrid memiliki sifat biokompabilitas yang baik, tahan terhadap daya kunyah, dan pengerutan yang sedikit. [1,4] Kontak permukaan antara restorasi resin komposit nanohibrid dan kavitas gigi masih dapat menyebabkan terjadinya kegagalan tumpatan. Pengerutan yang terjadi saat polimerisasi, memiliki kelemahan yang terjadi tidak dapat mencapai daerah tertentu sehingga dapat mengakibatkan terjadinya celah. Celah ini yang dapat mengakibatkan terjadinya kebocoran mikro.[1] Permasalahan utama pada material resin komposit adalah shrink age yang mempengaruhi pengerutan pada saat polimerisasi yang menyebabkan celah, sehingga menimbulkan adanya kebocoran mikro. Resin komposit cenderung menyerap air atau cairan lain seperti saliva, komponen makanan atau minuman yang akan menciptakan pengaruh terhadap degradasi material resin komposit. [5.6.7] Minuman jus jeruk menjadi begitu popular seiring dengan adanya kesadaran masyarkat menjaga kesehatannya. Lebih dari 60% orang mengkonsumsi jus jeruk tiga kali. Minuman jus jeruk memiliki rasa yang asam dengan pH yang rendah. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pH minuman jus jeruk berkisar dari 3,63,8. [7.8] Kandungan asam yang biasanya terdapat pada minuman jus jeruk dapat mempengaruhi sifat fisik resin komposit. Kandungan pH rendah (asam) dapat mempengaruhi pelunakan matriks dalam resin komposit sehingga berpengaruh pada integritas resin komposit. Adanya microcrack s dan microvoids yang terletak diantara bahan pengisi dan matriks resin dapat menjadi jalan masuk penetrasinya zat warna ke dalam resin komposit. [5,7.8] Penelitian sebelumnya menjelaskan evaluasi dari 3 jenis minuman yaitu jus jeruk, wine dan coca-cola dapat mempengaruhi resin komposit nanohibrid. Peneliti dapat menyimpulkan bahwa

penggunaan resin komposit pada perendaman jus jeruk dapat berpengaruh pada waktu perendaman 1 hari, 7 hari dan 14 hari. [8] 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni (true experimental) dengan rancangan posttest only with control group design, yaitu penelitian untuk mengetahui ada tidaknya kebocoran mikro pada komposit nanohybrid akibat perendaman pada jus jeruk. Penelitian menggunakan simple random sampling terdiri dari 4 perlakuan yaitu direndam dengan larutan salin sebagai kontrol, di rendam 1 hari pada jus jeruk , 7 hari, dan 14 hari. Persiapan sempel yaitu gigi premolar RA/RB yang telah diekstraksi dengan mahkota yang baik tanpa karies dan direndam dalam larutan fisiologis (RL). Sampel dibagi dalam 3 kelompok kemudian masing-masing sampel ditanam dalam balok malam merah yang berukuran 3,5 x 1,5 x 1 cm hingga batas 0,5 mm dari tepi kavitas. Dipreparasi kavitas kelas V pada bagian fasial gigi (bukal). Kavitas di etsa selama 20 detik, di aplikasikan bahan bonding atau resin adhesive system dan dicuring selama 10 detik. Aplikasi resin komposit nanohybrid dan di-curing. Dibagi menjadi 4 kelompok, kelompok 1 sebagai kontrol, kelompok 2 direndam jus jeruk selama 1 hari, kelompok 3 direndam jus jeruk selama 7 hari, dan kelompok 4 direndam jus jeruk selama 14 hari. Kemudian dikeringkan dengan kertas tissue dan chip blower selama satu menit. Semua spesimen dimasukkan ke dalam tabung beker yang berisi 30 cc methylene blue 5% selama 24 jam pada inkubator dengan temperature 37Âş C. Dipotong menjadi 2 bagian dalam arah buko-palatal. Uji kebocoran tepi mikro dengan menggunakan mikroskop digital lalu analisis data. Data yang diperoleh diuji dilakukan analisis non parametrik Krusk all-wallis, dengan tingkat kepercayaan 95%. 3. HASIL PENELITIAN Hasil uji pH sampel jus jeruk didapatkan pH 3.2. Hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu kebocoran mikro restorasi resin komposit nanohybrid

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

3


setelah perendaman dalam air jus jeruk ditunjukan pada tabel dibawah ini:

terdapat perbedaan bermakna pula antara kelompok kontrol dengan kelompok perendaman jus jeruk 1 hari , 7 hari, 14 hari. 4.

Gambar 1. Grafik Rata-rata kebocoran tepi restorasi komposit nanohybrid Berdasarkan uji nonparametrik dengan uji Krussk al-Wallis didapatkan hasil nilai signifikansi (p<0,05). sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh perendaman terhadap kebocoran mikro antara kelompok kontrol dengan perendaman jus jeruk 1 hari, 7 hari dan 14 hari. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan bermakna pada setiap kelompok perendaman sehingga dilakukan uji post hoc lanjutan dengan uji Mann Whitney. Berdasarkan hasil uji Mann Whitney yang dilakukan,didapatkan hasil nilai perbedaan yang bermakna setiap kelompok perendaman. Tabel 1. Berdasarkan hasil uji Mann Whitney yang dilakukan, didapatkan hasil nilai perbedaan yang bermakna anatara setiap kelompok perendaman Berdasarkan tabel diatas didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan bermakna pada setiap kelompok Kelompok

Kont rol

Peren daman 1 hari

Peren daman 7 hari

Kontrol

-

0,015*

0,000*

Peren daman 14 hari 0,000*

Perendam an 1 hari Perendam an 7 hari Perendam an 14 hari

-

-

0,000*

0,000*

-

-

-

0,000*

-

-

-

-

perlakuan. Hasil yang didapat yaitu, pada perendaman 1 hari dengan perendaman 7 hari dengan nilai kemaknaan sebesar 0,000*, perendaman 1 hari dengan perendaman 14 hari dengan nilai kemaknaan sebesar 0,000*, dan perendaman 7 hari dengan 14 hari dengan nilai kemaknaan 0,000* serta

PEMBAHASAN

Resin komposit nanohybrid dengan merk Filtek Z250XT mengandung komposisi matriks resin Bis-GMA, UDMA, Bis-EMA, PEGDMA, dan TEGDMA. Untuk filler-nya sendiri, resin komposit ini memiliki kandungan zirconia dan silica dengan jumlah filler 82% dari beratnya. [9] Komposisi monomer pada matriks sangat mempengaruhi besarnya kebocoran mikro resin komposit. Bis-GMA merupakan monomer yang memiliki nilai viskositas yang tinggi, oleh karena itu dicampur dengan monomer yang mempunyai nilai viskositas yang rendah seperti TEDGMA. Saat proses polimerisasi, monomer resin komposit akan mengerut yang disebabkan jarak intermolekuler dari molekul monomer memendek yaitu dari 0,3 – 0,4 nm menjadi 0,15 nm. Pemendekan jarak intermolekul tersebut terjadi ketika dua ikatan berpolimerisasi menjadi rantai utama ikatan kovalen. [9] Monomer dimetacrylate pada dasarnya akan menghasilkan radikal bebas saat dilakukan polimerisasi. Perbandingan permukaan yang berikatan lebih besar dibandingkan dengan permukaan yang bebas, maka kontraksi saat polimerisasi akan meningkat. Berkurangnya volume tumpatan karena pemendekan jarak intermolekuler disebut dengan polimerisasi shrink age. [9, 10, 11] Perlakuan dengan perendaman lama jus jeruk 1 hari, 7 hari dan 14 hari dengan dibuat didalam inkubator ini untuk menyesuaikan suhu rongga mulut 37ºC. Resin komposit nanohybrid setelah perendaman dalam air jus jeruk mengalami peningkatan nilai rerata kebocoran tepi dari 1 hari, 7 hari, dan 14 hari. Resin komposit direndam dalam air maka akan terjadi penyerapan air. Resin komposit memiliki sifat mengabsorpsi cairan. Cairan yang terabsorpsi dapat mempengaruhi integritas marginal resin komposit dan jaringan gigi. Komponen matrik dari resin komposit yang bersifat hidrolitik yang menyebabkan resin komposit lebih bersifat absorpsi. Air yang terserap dapat bereaksi dengan interfacial

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

4


pengisi resin, pengisi inorganik ataupun memberikan efek buruk pada struktur resin. Air dengan pH rendah dapat mempengaruhi integritas permukaan resin komposit. [3] Semakin rendah pH semakin besar kerusakan material restorasi. Monomer dari resin komposit akan melepaskan diri disertai pelepasan bahan pengisi yang ada. Bahan pengisi resin komposit terdiri dari unsur litium, barium, atau strontium serta pigmen yang merupakan logam anorganik yang cenderung larut bila bereaksi dengan asam (pH rndah). [4] Kelarutan ini akan menyebabkan banyak ruang kosong di antara matrik polimer, sehingga memudahkan terjadinya ikatan antara unsur yang ada pada cairan dengan matriks polimer. [5] Kandungan asam yang biasanya terdapat pada minuman jus jeruk dapat mempengaruhi sifat fisik resin komposit. Kandungan pH rendah (asam) dapat mempengaruhi resin komposit, sehingga berpengaruh pada integritas resin komposit. Adanya microcrack s dan microvoids yang terletak diantara bahan pengisi dan matriks resin dapat menjadi jalan masuk penetrasinya zat warna ke dalam resin komposit. [5,7,8] Pada penelitian ini kebocoran tepi restorasi resin komposit diteliti secara in vitro sehingga memiliki kelemahan yaitu tidak adanya proses remineralisasi oleh saliva. Pada waktu perendaman tidak hanya mempengaruhi restorasi resin komposit tetapi dapat juga mempengaruhi sampel pada gigi. Air jus jeruk yang memiliki pH asam dapat melarutkan mineral gigi yang dapat mempengaruhi interfasial antara gigi dan restorasi, terdapat juga mineral gigi yang dapat mengalami reduksi dan oksidasi dengan sendirinya didalam perendaman baik dalam suasan asam ataupaun basa. Kelompok perlakuan yang direndam didalam rongga mulut akan terpapar air jus jeruk secara terus menerus tanpa adanya proses remineralisasi oleh saliva sehingga kurang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. 5. SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa terdapat perbedaan kebocoran mikro komposit nanohybrid pada semua sampel di kelompok perlakuan lama perendaman

didalam air jus jeruk selama 1 hari, 7 hari dan 14 hari. 6. SARAN Saran yang dapat diberikan setelah dilakukan penelitian perendaman komposit nanohybrid pada lama perendaman jus jeruk selama 1 hari, 7 hari dan 14 hari yaitu perlu adanya penelitian lebih lanjut menggunakan perendaman dengan saliva buatan dan perlu pengendalian beberapa variabel seperti pemilihan usia gigi, preparasi gigi dan jenis bonding. Bagi masyarakat yang menggunakan restorasi komposit dihimbau agar ketika meminum jus jeruk untuk lebih rajin menyikat gigi. DAFTAR PUSTAKA 1. Mulyani, Mulyawati E, dan Siswadi YL. Perbedaan Kebocoran Mikro antara Tumpatan Resin Komposit Nanohibrid Konvensional dan Nanohibrid Flowable. J Kedok teran Gigi (2011); 2(4):285-291. 2. Rimbun T. Penggunaan Komposit Berpenguat Serat Kevlar Sebagai Bahan Alternatif Mengatasi Kebocoran.Sk ripsi.Jakarta.Universitas Indonesia, 2010. hal 5. 3. Wahdaniah M. Pengaruh Metode Penyinaran Terhadap Kekuatan Ikatan Komposit Mikrohibrid dengan Base Berbasis Resin. Tesis. Makassar. Universitas Hasanuddin, 2014. hal 215. 4. Dapertemen Ilmu Material dan Teknologi Kedokteran Gigi Sumatra Utara. Universitas Sumatera Utara, 2010. hal 18. 5. Anisah AN. Pengaruh Perendaman Dalam Larutan Asam Sitrat pH3 terhadap Kebocoran Mikro Restorasi Resin Komposit Bulk-Fill Kavitaskelas 1. Sk ripsi. Yogyakarta. Universitas Gajah Mada, 2014. hal 2-6. 6. Magdy N, Hagzi H, Zaghlol N. Clinical Investigation of Nano-Hybrid Resin Composite Lined with Smart Dentin Replacement Flowable Resin Composite. Mansora Journal of Dentistry (2014); 1 (3):96-100.

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

5


7. Ahmed WM. Gingival Microleakage of Class V Resin Composite Restorations with Fiber Inserts. Thesis. Toronto: University of Toronto, 2012. hal.1-94. 8. Affaf AG, Irani R, Shiraguppi V, Hegde V. Effect of Cola, Orange Juice, and Wine On Surface Micro-Hardness of Nano-Composites : An in vitro study. Journal of Dental & Oro-facial Reserch Vol 10 issue Jan-Jun (2014). hal. 2430. 9. Walter R, Sheikh H. Effect of Temperatue on Composite Resin Shringkage. Quin Tessence (2009); 40(10):843-847. 10. Dahlan MS. Statistik untuk k edok teran dan k esehatan. Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika; 2013. hal.1-61 11. Craig, R.G., dan Warl, M.L., Restorative Dental Materials. Tenth Edition. USA: Mosby. 2002. Hal. 10.

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

6


Research

PENGARUH PEMBERIAN ATORVASTATIN PER ORAL TERHADAP JUMLAH PEMBULUH DARAH KAPILER DAN OSTEOBLAS DALAM PENYEMBUHAN TULANG ALVEOLAR (Studi pada Tikus Model Sprague dawley Periodontitis dengan Diabetes Melitus) Citra Veony Finastik a1, Eman Sutrisna2, Fani Tuti Handayani31 1

Kedokteran Gigi, Universitas Jenderal Soedirman, Purw okerto, Jaw a Tengah 2 Bagian Farmakologi, Kedokteran Umum, Universitas Jenderal Soedirman 3 Bagian Periodonsia, Kedokteran Gigi, Universitas Jenderal Soedirman

ABSTRAK Latar belakang: Periodontitis merupakan inflamasi kronik pada jaringan periodontal yang ditandai dengan kehilangan perlekatan (attachment loss) dan tulang alveolar (bone loss). Diabetes melitus dapat meningkatkan keparahan periodontitis, mempercepat kerusakan tulang alveolar (resorpsi), serta menghambat pembentukan pembuluh darah kapiler dan osteoblas pada proses penyembuhan tulang. Atorvastatin diketahui memiliki efek pleiotropik antara lain memicu angiogenesis dan memodulasi diferensiasi osteoblas dalam pembentukan tulang. Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian atorvastatin per oral terhadap peningkatan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas dalam penyembuhan tulang alveolar pada tikus model Sprague dawley periodontitis dengan diabetes melitus. Metode: Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratoris dengan menggunakan 35 tikus Sprague dawley jantan yang dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok 1 (kontrol sehat), kelompok 2 (kontrol negatif), kelompok 3 (periodontitis dengan diabetes melitus yang diberi atorvastatin dosis 5 mg/kg BB), kelompok 4 (periodontitis dengan diabetes melitus yang diberi atorvastatin dosis 10 mg/kg BB), dan kelompok 5 (periodontitis dengan diabetes melitus yang diberi atorvastatin dosis 20 mg/kg BB). Hasil penelitian dianalisis dengan uji one way ANOVA dan dilanjutkan uji post hoc Least Significant Difference (LSD). Hasil dan Pembahasan: Rerata jumlah pembuluh darah kapiler (11,160±1,397) dan osteoblas (64,760±14,819) kelompok 4 lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan jumlah pembuluh darah kapiler (5,940±1,651) dan osteoblas (29,620±5,562) kelompok 2. Hasil uji one way ANOVA dan post hoc LSD menunjukkan adanya perbedaan bermakna jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas (p<0,05) antara kelompok K1, K2, K3, K4, dan K5. Simpulan: Pemberian atorvastatin per oral dapat meningkatkan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas pada tikus model Sprague dawley periodontitis dengan diabetes melitus. Kata kunci: Atorvastatin, kapiler, osteoblas, penyembuhan tulang, periodontitis, diabetes melitus ABSTRACT Background: Periodontitis is chronic inflammatory on periodontal tissues characterized by the loss of attachment (attachment loss) and alveolar bone (bone loss). Diabetes mellitus can increase the severity of periodontitis, accelerate destruction of the alveolar bone (resorption), and inhibits the formation of capillary blood vessels and osteoblasts in the process of bone regeneration. Atorvastatin is k nown to have beneficial pleiotropic effects include triggering angiogenesis and modulating osteoblast differentiation in bone formation. Purpose: This study aims to determine the effect of orally administered atorvastatin to an increase in the number of capillary blood vessels and osteoblasts in alveolar bone healing in Sprague dawley rat model of periodontitis with diabetes mellitus. Methods: This research was an experimental laboratory with 35 male Sprague dawley rats which were divided into five groups: group 1 (healthy control), group 2 (negative control), group 3 (periodontitis with diabetes mellitus who were given atorvastatin dose of

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

7


5 mg/k g BW), group 4 (periodontitis with diabetes mellitus who were given atorvastatin dose of 10 mg/k g BW), and group 5 (periodontitis with diabetes mellitus who were given atorvastatin dose of 20 mg/k g BW). Results were analyzed by one way ANOVA test and followed by post hoc Least Significant Difference (LSD). Results and Discussion: The results showed that the mean number of capillary blood vessels of atorvastatin treatment groups by administering a dose of 10 mg/k g BW (11.160±1.397) was significantly higher compared with negative control group (5.940±1.651). The mean number of osteoblasts of atorvastatin treatment groups by administering a dose of 10 mg/k g BW (64.760±14.819) was significantly higher compared with negative control group (29.620±5.562). The result of one way ANOVA test and post hoc LSD showed that there were significant differences in the number of capillary blood vessels and osteoblasts (p<0.05) between groups K1, K2, K3, K4, and K5. Conclusion: Orally administered atorvastatin can increase the number of capillary blood vessels and osteoblasts in Sprague dawley rats model of periodontitis with diabetes mellitus. Keywords: Atorvastatin, capillary blood vessels, osteoblasts, bone healing, periodontitis, diabetes mellitus. . 1. PENDAHULUAN Periodontitis merupakan inflamasi kronik pada jaringan periodontal yang ditandai dengan adanya kehilangan perlekatan (attachment loss) dan tulang alveolar (bone loss) sehingga dapat menyebabkan kehilangan gigi pada tahap lanjut. [1] Akumulasi bakteri gram negatif merupakan faktor utama penyebab periodontitis. Keadaan tersebut dapat diperparah dengan adanya beberapa faktor risiko seperti kelainan sistemik, genetik, dan kebiasaan buruk. [2] Penelitian terdahulu membuktikan bahwa kelainan sistemik berupa penyakit diabetes melitus telah meningkatkan prevalensi dan keparahan periodontitis. [3] Hubungan antara diabetes melitus dengan periodontitis telah banyak diteliti. [1,4] Diabetes melitus terbukti berpotensi meningkatkan keparahan periodontitis dan mempercepat kerusakan tulang alveolar (resorpsi). Uji pada tikus dewasa yang diinduksi streptozotocin-nicotinamide dengan periodontitis menunjukkan adanya alveolar bone loss yang lebih besar dibandingkan hewan normal. [5] Penelitian lain juga menyatakan bahwa terdapat kerusakan tulang alveolar lebih besar disertai peningkatan tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan interleukin-1β (IL-1β) pada tikus yang diinduksi diabetes melitus dengan periodontitis dibandingkan hewan normal. [6] Diabetes melitus menunjukkan karakteristik hiperglikemia yang bertanggung jawab terhadap peningkatan keparahan periodontitis. [7] Hiperglikemia dapat memicu aktivasi jalur inflamasi dan meningkatkan respon inflamasi, advanced

glycation end-product (AGEs), serta reactive oxygen species (ROS). Hiperglikemia meningkatkan ekspresi sitokin proinflamasi seperti interleukin-1 (IL1), interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosis factor-α (TNF-α), serta receptor activator of nuclear factor k appa-B ligand (RANKL). Sitokin proinflamasi yang dihasilkan dapat menginduksi kerusakan jaringan periodontal menjadi lebih parah dan memiliki keterkaitan dengan aktivitas osteoklastik pada proses resorpsi tulang alveolar. [4,8] Kerusakan tulang alveolar pada periodontitis dengan diabetes melitus secara umum mengalami regenerasi yang lebih lambat karena gangguan proses penyembuhan (delayed healing). [9,10] Diabetes melitus menyebabkan angiogenesis terganggu. Angiogenesis merupakan fase penting pada proses regenerasi tulang yang ditandai dengan pembentukan pembuluh darah kapiler. Angiogenesis berfungsi menyediakan vaskularisasi untuk transpor oksigen, nutrisi, growth factor, dan metabolit untuk didistribusi ke semua jaringan tubuh, serta menyediakan saluran untuk perekrutan sel yang terlibat dalam osteogenesis. [11,12,13] Osteogenesis merupakan proses pembentukan tulang baru oleh osteoblas. Osteoblas berasal dari sel osteoprogenitor stroma sumsum tulang yang bertanggung jawab terhadap sintesis matriks tulang dan mineralisasi tulang. Osteoblas bertanggung jawab dalam regulasi osteoklas dan deposisi matriks tulang.14 Diferensiasi osteoblas diinduksi oleh growth factor dari golongan bone morphogenetic protein (BMP). Salah satu BMP yang berperan

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

8


penting dalam osteogenesis yaitu bone morphogenetic protein-2 (BMP-2). BMP-2 berperan dalam osteogenesis dengan meningkatkan regulasi ekspresi gen run related transcription factor-2 (Run-x) yang akan mempromosikan diferensiasi osteoblas. [15] Diabetes melitus telah terbukti memperlambat proses pembentukan tulang dan menghambat fungsi osteoblas. [16] Penelitian in vitro yang telah menunjukkan koloni osteoblas yang berasal dari sel-sel mesenkimal telah ditemukan berkurang jumlahnya maupun ukurannya pada penyakit diabetes melitus. [17] Penelitian pada hewan model diabetes melitus menunjukkan terjadinya penurunan ekspresi beberapa gen yang penting dalam proses osteogenesis, seperti Run-x dan BMP2. [13,18] Kondisi diabetes melitus diperkirakan menekan tingkat growth factor yang relevan terhadap proses osteogenesis. Ketidakseimbangan growth factor berpotensi menyebabkan adanya gangguan pada proses penyembuhan tulang. [13] Terapi tambahan pada periodontitis dengan diabetes melitus menggunakan alendronat masih digunakan. [19,20] Alendronat merupakan obat golongan bisphosphonate yang dapat menghambat maturasi dan aktivasi osteoklas sehingga akan menghambat resorpsi tulang, namun alendronat tidak mampu menstimulasi osteogenesis. [21,22] Penelitian lain membuktikan bahwa bisphosphonate memiliki efek anti angiogenesis. [23] Oleh karena itu, diperlukan suatu agen terapeutik lain dalam terapi tambahan periodontitis dengan diabetes melitus yang tidak hanya menghambat resorpsi tulang melainkan juga dapat mempercepat penyembuhan melalui peningkatan angiogenesis dan osteogenesis. Atorvastatin merupakan obat golongan statin yang saat ini menjadi salah satu terapi pada penderita hiperkolesterolemia karena paling poten menurunkan kolesterol. [24] Atorvastatin bekerja dengan memblokade hydroxymethylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA) reductase enzyme yang menghambat sintesis low density lypoprotein (LDL) oleh liver melalui jalur mevalonat.25,26 Penghambatan jalur mevalonat juga menimbulkan efek pleiotropik dari obat golongan ini. Efek pleiotropik tersebut antara lain memicu angiogenesis dan memodulasi diferensiasi osteoblas dengan meningkatkan ekspresi

BMP-2 dalam pembentukan tulang. [24,26,27,28,29] Beberapa penelitian terkait efek atorvastatin terhadap angiogenesis dan osteogenesis telah dilakukan. Pemberian atorvastatin dapat meningkatkan respon angiogenesis pada tikus yang diinduksi diabetes melitus melalui ekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF). [30] Pemberian atorvastatin pada tikus yang diinduksi periodontitis menunjukkan adanya ekspresi VEGF yang lebih besar dibandingkan hewan kontrol selama dan setelah induksi periodontitis. [31] Pemberian atorvastatin dosis 10 mg/kg BB per oral terbukti efektif dalam menurunkan alveolar bone loss dan meningkatkan osteoprotegerin (OPG) yang berperan dalam osteogenesis pada tikus yang diinduksi periodontitis. [32] Berdasarkan uraian pada latar belakang, telah jelas bahwa atorvastatin dapat meningkatkan angiogenesis dan osteogenesis. Saat ini, belum ada penelitian yang membuktikan bahwa atorvastatin efektif terhadap periodontitis pada diabetes melitus terutama dilihat dengan parameter pembentukan jumlah pembuluh darah kapiler dan jumlah osteoblas. Hal tersebut mendorong peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian atorvastatin per oral terhadap jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas dalam penyembuhan tulang alveolar (studi pada tikus model Sprague dawley periodontitis dengan diabetes melitus). Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian atorvastatin per oral terhadap peningkatan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas dalam penyembuhan tulang alveolar pada tikus model Sprague dawley periodontitis dengan diabetes melitus.

2. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah eksperimental laboratoris dengan rancangan penelitian post test only control group design. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Pangan dan Gizi Pusat Antar Universitas (LPSG PAU) Universitas Gadjah Mada untuk persiapan dan perlakuan hewan coba. Pembuatan preparat histologi dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

9


Mada. Pengamatan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas dilakukan di Laboratorium Histologi dan Biologi Sel Jurusan Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 35 tikus yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sampel penelitian. [33,34] Penelitian ini menggunakan alat berupa kandang tikus (alas berupa bak plastik berukuran 30 cm x 40 cm x 15 cm yang diisi sekam), tempat makan dan minum tikus (wadah makan kecil dan botol 300 ml dilengkapi pipa kecil), timbangan hewan uji (Camry EK5055 max 5k g, China), needle holder, pinset, gunting, spuit injeksi 1 cc (TerumoÂŽ Syringe DVR-5176, Philippines), timbangan analitik (AdamÂŽ PW-124, United Kingdom), gelas ukur, tabung eppendorf, cawan porselen, sonde lambung, tabung kaca, scalpel, blok cetak, microtom (Thermo Shandon Limited, United Kingdom), waterbath (Sak ura Waterbath, Japan), gelas objek, drying plate, kaca penutup, dan mikroskop (Olympus CX35, Japan), serta bahan penelitian yang berupa pakan tikus standar berupa AD II pellets, air minum tikus, ketamin (KTM 100, Guardian Pharmatama, Indonesia), benang silk dan A. actinomycetemcomitans dengan kekeruhan 1 McFarland, streptozotocinnicotinamide (Nacalai tesque, Inc., Kyoto, Japan), atorvastatin (Atorvastatin 20 mg, Pratapa Nirmala, Indonesia), aquadest, tulang alveolar tikus, aquadest, sodium citrate, buffer formalin 10%, alumunium klorida, asam klorida (HCL), asam formiat pekat, alkohol konsentrasi 70%, 80%, 95%, xylol, parafin cair, bahan pengecatan Mayer-Hematok silin dan Eosin (HE), dan canada balsam. Penelitian dimulai setelah mendapatkan sertifikat kelaikan etik (ethical clearence) dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Sampel dibagi menjadi lima kelompok, yaitu kelompok K1 (kontrol sehat) yang diberi aquadest tanpa induksi periodontitis dan diabetes melitus, kelompok K2 (kontrol negatif) yang diinduksi periodontitis dan diabetes melitus dengan pemberian aquadest, kelompok K3 (periodontitis dengan diabetes melitus yang diberi atorvastatin dosis 5 mg/kg BB), kelompok K4 (periodontitis dengan diabetes melitus yang diberi atorvastatin dosis 10 mg/kg BB), dan kelompok K5 (periodontitis dengan

diabetes melitus yang diberi atorvastatin dosis 20 mg/kg BB). Sampel diaklimatisasi selama satu minggu, kemudian pada hari ke-8 kelompok K2, K3, K4, dan K5 dilakukan pemasangan benang silk dan injeksi bakteri A. actinomycetemcomitans, sedangkan kelompok K1 dibiarkan sehat tanpa intervensi apapun. Induksi A. actinomycetemcomitans dilakukan setiap hari selama 7 hari dengan kekeruhan 1 McFarland sebanyak 0,2 ml setiap induksi pada labial gigi insisivus rahang bawah, selanjutnya kelima kelompok dilakukan pemeriksaan kondisi klinis dan radiografi (rontgen) berupa foto periapikal untuk menegakkan diagnosis periodontitis pada hari ke-15. Pengambilan darah seluruh sampel untuk pemeriksaan kadar glukosa darah awal dilakukan pada hari ke-8, selanjutnya seluruh sampel kelompok K2, K3, K4, dan K5 diinduksi diabetes melitus dengan injeksi streptozotocin-nicotinamide (STZ-NA). Penegakan diagnosis diabetes melitus dengan pemeriksaan klinis dan kadar glukosa darah pasca induksi diabetes melitus >200 mg/dl pada seluruh tikus dilakukan pada hari ke-18. Penelitian dilanjutkan dengan pemberian perlakuan atorvastatin tiga dosis berbeda pada masing-masing kelompok mulai hari ke-19 dan berlangsung selama 14 hari. Seluruh sampel dieutanasia dan diambil jaringan periodontal pada gigi insisivus rahang bawah pada hari ke-32, selanjutnya dibuat preparat dengan pewarnaan rutin Hematoxylin-Eosin (HE). [35] Pengamatan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas dilakukan menggunakan mikroskop elektrik pembesaran 400x dengan lima lapang pandang oleh dua pengamat (observer). Pembuluh darah kapiler yang dihitung adalah pembuluh darah terkecil pada ligamen periodontal yang tampak berwarna pucat dan dikelilingi oleh sel-sel endotel pipih dilihat dari potongan melintang. Osteoblas yang dihitung adalah sel berinti satu dan berbentuk kuboid sampai silindris dengan sitoplasma yang basofilik pada jaringan tulang alveolar dilihat pada potongan melintang. [36] Selama penelitian berlangsung, terdapat satu tikus pada sampel kelompok K2 (kontrol negatif) yang mengalami drop out, sehingga jumlah tikus yang dianalisis datanya berjumlah 25. Data hasil pengamatan mikroskop elektrik dilakukan analisis data. Data dianalisis dengan menggunakan bantuan

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

10


program software Statistical Pack age for Social Sciences (SPSS) 17.0. Uji yang digunakan pada penelitian ini adalah uji one way ANOVA untuk mengetahui adanya pengaruh pemberian atorvastatin per oral terhadap peningkatan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas antar kelompok. Pengujian data dilanjutkan dengan uji post hoc yaitu Least Significant Difference (LSD) untuk mengetahui kelompok yang memiliki perbedaan paling signifikan. [37]

3. HASIL Jumlah Pembuluh Darah Kapiler Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rerata pembuluh darah kapiler dari ligamen periodontal Sprague dawley tertinggi adalah kelompok K4 yaitu sebesar 11,160±1,397, sedangkan rerata pembuluh darah kapiler terendah adalah kelompok K2 yaitu sebesar 5,940±1,651. Hasil penelitian rerata pembuluh darah kapiler kelima kelompok pasca induksi periodontitis dengan diabetes melitus dapat dilihat pada Gambar 1.

Gam bar 1.

Sumber:

Diagram batang rerata jumlah pembuluh darah kapiler pada masing-masing kelompok dengan simpangan baku Data primer diolah, 2016

Jumlah Osteoblas Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rerata osteoblas dari tulang alveolar Sprague dawley tertinggi adalah kelompok K4 yaitu sebesar 64,760±14,819, sedangkan rerata osteoblas terendah adalah kelompok K2 yaitu sebesar 29,620±5,562. Hasil penelitian rerata osteoblas kelima kelompok pasca induksi periodontitis dengan diabetes melitus dapat dilihat pada Gambar 2.

Gam bar 2.

Diagram batang rerata jumlah osteoblas pada masing-masing kelompok dengan simpangan baku Sumber: Data primer diolah, 2016

Uji Beda Jumlah Pembuluh Darah Kapiler dan Osteoblas Hasil uji one way ANOVA terhadap jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas diperoleh nilai p=0,00 (p<0,05) atau dapat diartikan terdapat perbedaan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas yang signifikan antara kelompok K1, K2, K3, K4, dan K5. Hasil uji post hoc LSD jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) pada seluruh kelompok, kecuali kelompok K1 dengan K4 dan K3 dengan K5. Hasil uji post hoc LSD kelompok tikus periodontitis dengan diabetes melitus yang diberi atorvastatin per oral dengan dosis 10 mg/kg BB (K4) memiliki nilai p>0,05 yaitu p=0,534 untuk jumlah pembuluh darah kapiler dan p=0,315 untuk jumlah osteoblas yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol sehat (K1). Gambaran Histologis Jumlah Pembuluh Darah Kapiler dan Osteoblas Gambaran preparat histologi jaringan periodontal tikus yang diamati pada penelitian ini (Gambar 3 dan Gambar 4).

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

11


Keterangan: Gam bar 3.

Keterangan: Gam bar 4.

menunjukkan darah kapiler

pembuluh

Gambaran histologis pembuluh darah kapiler pembesaran 400x pasca pemberian atorvastatin per oral pada kelompok K1 (A), kelompok K2 (B), kelompok K3 (C), kelompok K4 (D), dan kelompok K5 (E).

menunjukkan

osteoblas

Gambaran histologis osteoblas pembesaran 400x pasca pemberian atorvastatin per oral pada kelompok K1 (A), kelompok K2 (B), kelompok K3 (C), kelompok K4 (D), dan kelompok K5 (E).

4. PEMBAHASAN Hasil uji beda one way ANOVA jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas diketahui terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol negatif (K2) dengan kelompok kontrol sehat (K1), kelompok perlakuan atorvastatin dosis 5 mg/kg BB (K3), kelompok perlakuan atorvastatin dosis 10 mg/kg BB (K4), dan kelompok perlakuan atorvastatin dosis 20 mg/kg BB (K5). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian atorvastatin per oral mampu meningkatkan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas dalam penyembuhan tulang alveolar pada tikus yang diinduksi periodontitis dengan diabetes melitus. Uji lanjut post hoc LSD menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara masing-masing kelompok. Hasil uji lanjut yaitu sebagai berikut. Hasil Uji Lanjut post hoc LSD Kelompok Kontrol Sehat (K1) dengan Kelompok Kontrol Negatif (K2) Hasil uji lanjut pos hoc LSD menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol sehat (K1) dengan kelompok kontrol negatif (K2). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemasangan benang silk dan injeksi bakteri

A. actinomycetemcomitans dengan kekeruhan 1 McFarland sebanyak 0,2 ml selama 7 hari, serta injeksi streptozotocin (STZ) dosis 60 mg/kg BB secara intravena dan nicotinamide (NA) dosis 120 mg/kg BB dapat menjadi indikator keberhasilan membuat hewan coba model periodontitis yang diperberat dengan diabetes melitus dilihat dari penurunan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas pada kelompok kontrol negatif (K2). Penggunaan metode pemasangan benang silk (ligature) dan injeksi bakteri A. actinomycetemcomitans akan memicu terjadinya proses inflamasi. Metode ligature menyebabkan inflamasi melalui tekanan pada gigi dan akumulasi plak, sedangkan injeksi bakteri A. actinomycetemcomitans menyebabkan inflamasi melalui endotoksin berupa lipopolisakarida (LPS) pada membran luar dari dinding sel. 6,38,39 Induksi diabetes melitus dengan injeksi STZ-NA menyebabkan kondisi hiperglikemia yang diketahui meningkatkan inflamasi yang dapat memperberat kondisi periodontitis. 40,41 Streptozotocin menginduksi hewan model diabetes yang permanen dengan merusak sel β pankreas sehingga berhenti memproduksi insulin dan menyebabkan kondisi hiperglikemia. 42 Hiperglikemia menyebabkan gangguan respon imun yang berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi terhadap bakteri patogen periodontal, pembentukan advanced glycation end-products (AGEs), dan peningkatan oxidative stress.43 Pembentukan AGEs akan memicu aktivitas sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6, PGE2, dan TNF-ι. 44 Peningkatan TNF-ι dan AGEs dapat menurunkan produksi osteoblas melalui penghambatan diferensiasi mesenchymal stem cell (MSC) menjadi osteoblas. 8 AGEs juga dapat mempengaruhi integritas struktural pada dinding pembuluh darah yang dapat memicu perubahan pada matriks dan interaksi molekul matriks serta mempengaruhi produksi VEGF yang menyebabkan penurunan angiogenesis. 13 Hasil Uji Lanjut post hoc LSD Kelompok Kontrol Negatif (K2) dengan Kelompok Perlakuan (K3, K4, K5) Hasil uji lanjut post hoc LSD menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian atorvastatin

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

12


dosis 5 mg/kg BB (K3), 10 mg/kg (K4), dan 20 mg/kg BB (K5) yang diberikan pada tikus model periodontitis dengan diabetes melitus berhasil. Keberhasilan tersebut dinilai dari peningkatan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas dari masing-masing kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (K2). Kemampuan atorvastatin dalam meningkatkan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas dikarenakan atorvastatin memiliki efek pleiotropik antara lain efek antiinflamasi, imunomodulator, antioksidan, antitrombotik, menstabilkan endotelium, produksi kolagen, memicu angiogenesis, dan diferensiasi osteoblas. 24,26,29,31 Golongan statin dapat meningkatkan ekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperan penting dalam pembentukan pembuluh darah kapiler. 30,31 Golongan statin diketahui dapat menghambat resorpsi tulang dan berpengaruh terhadap pembentukan tulang melalui stimulasi BMP-2 sebagai faktor osteogenesis pada jalur mevalonat. 27 BMP2 berperan dalam osteogenesis dengan meningkatkan regulasi ekspresi gen run related transcription factor-2 (Run-x) yang akan mempromosikan diferensiasi osteoblas. 15 Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya peningkatan ekspresi BMP-2 pada tibia tikus Wistar yang diberi atorvastatin per oral. 45,46 Hasil Uji Lanjut post hoc LSD Kelompok Kontrol Sehat (K1) dengan Kelompok Perlakuan (K3, K4, K5) Hasil uji lanjut post hoc LSD pada kelompok kontrol sehat (K1) dengan kelompok perlakuan K3, K4, dan K5 digunakan sebagai indikator melihat dosis terapeutik yang tepat untuk memberikan efek peningkatan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas yang mendekati jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas kelompok sehat (K1). Hasil uji lanjut post hoc LSD kelompok kontrol sehat (K1) dengan kelompok perlakuan yang diberi atorvastatin dosis 5 mg/kg BB (K3) dan 20 mg/kg BB (K5) menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan yang berarti tidak mampu meningkatkan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas mendekati kelompok kontrol sehat (K1). Penelitian ini membuktikan pemberian atorvastatin per oral dengan dosis 10 mg/kg BB (K4) tidak

menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol sehat (K1), yang berarti bahwa atorvastatin mampu meningkatkan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas yang paling mendekati kelompok kontrol sehat (K1). Pemberian atorvastatin dosis 20 mg/kg BB pada penelitian ini menunjukkan dampak penurunan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas pada kelompok tikus yang diinduksi periodontitis dengan diabetes melitus. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pemberian statin dosis 20 mg/kg BB dapat meningkatkan jumlah osteoblas lebih tinggi dibandingkan dosis 10 mg/kg BB pada tikus yang diinduksi alveolar bone loss tanpa diabetes melitus. 46 Perbedaan hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh kondisi diabetes melitus terhadap penyembuhan periodontitis yang dilihat dari parameter jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas pasca pemberian atorvastatin dosis tinggi pada penelitian ini. Kelainan diabetes melitus ditandai dengan kondisi hiperglikemia yang bertanggung jawab terhadap peningkatan keparahan periodontitis sekaligus penurunan respon penyembuhannya. 8,13,43,44 Kondisi hiperglikemia dapat meningkat dengan penggunaan atorvastatin dosis tinggi. Peningkatan hiperglikemia tersebut merupakan salah satu adverse effect penggunaan atorvastatin dosis tinggi yang juga dapat menurunkan efek pleiotropik atorvastatin pada periodontitis. 24 Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dosis tinggi atorvastatin tidak efektif dalam meningkatkan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas pada tikus periodontitis dengan diabetes melitus. Hasil Uji Lanjut post hoc LSD Kelompok Kontrol Sehat (K1) dengan Kelompok Perlakuan (K3, K4, K5) Hasil uji lanjut post hoc LSD antar kelompok perlakuan menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara kelompok perlakuan dosis 5 mg/kg BB (K3) dengan kelompok perlakuan dosis 10 mg/kg BB (K4), dan kelompok perlakuan dosis 10 mg/kg BB (K4) dengan kelompok perlakuan dosis 20 mg/kg BB (K5), sedangkan kelompok perlakuan dosis 5 mg/kg BB (K3) dengan kelompok perlakuan dosis 20 mg/kg BB (K5) tidak terdapat perbedaan signifikan.

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

13


Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian atorvastatin dosis 5 mg/kg BB dan 10 mg/kg BB dapat meningkatkan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas, namun lebih rendah dibandingkan dengan pemberian atorvastatin dosis 10 mg/kg BB. Pemberian atorvastatin dosis 10 mg/kg memberikan pengaruh yang lebih baik dalam meningkatkan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas dibandingkan dengan pemberian dosis 5 mg/kg BB dan 20 mg/kg BB pada tikus model periodontitis dengan diabetes melitus. Pemberian dosis rendah yaitu 5 mg/kg BB masih belum efektif dalam meningkatkan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas, sebaliknya pemberian dosis tinggi yaitu 20 mg/kg BB memberikan efek penurunan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas pada tikus yang diinduksi periodontitis dengan diabetes melitus. Pemberian atorvastatin dosis tinggi diketahui memiliki adverse effect pada kondisi diabetes melitus, sehingga menurunkan efektivitas atorvastatin dalam penyembuhan tulang. 24,47,48 Pemberian atorvastatin dosis 10 mg/kg BB pada tikus yang diinduksi periodontitis dengan diabetes melitus mampu meningkatkan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan yang lain. Hal ini membuktikan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Araujo dkk. (2013). 32 Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dosis 10 mg/kg BB efektif dalam meningkatkan penyembuhan tulang alveolar melalui peningkatan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas pada tikus periodontitis dengan diabetes melitus.

5. SIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian atorvastatin per oral terhadap peningkatan jumlah pembuluh darah kapiler dan osteoblas dalam penyembuhan tulang alveolar pada tikus model Sprague dawley periodontitis dengan diabetes melitus. DAFTAR PUSTAKA 1. Tunah, M. Ataoğlu, T. dan Çelik, I. “Apoptosis: An Underlying Factor for Accelerated Periodontal Disease Associated with Diabetes in Rats”

Clinical Oral Investigations. 18:(2014):1825-33. 2. Newman, M. G. et al. Carranza’s Clinical Periodontology, 9th ed., Missouri: Saunders Elseviers, 2012. 3. Pacios, S., et al. “Diabetes Aggravates Periodontitis by Limiting Repair through Enhanced Inflammation” Faseb Journa., 26:(2012):1423-30. 4. Toker, H., et al. “N-Acetylcysteine Decreases Alveolar Bone Loss on Experimental Periodontitis in Streptozotocin-Induced Diabetic Rats” Journal of Periodontal Research. 47:( 2012):793-9. 5. Kim, J. H., et al. “Diabetic Characteristics and Alveolar Bone Loss in Streptozotocin and StreptozotocinNicotinamide-Treated Rats with Periodontitis” Journal of Periodontal Research. 49:6(2014):792-800. 6. Jiang, Z. L., et al. “Study of TNF-α, IL1β, and LPS Levels in The Gingival Crevicular Fluid of a Rat Model of Diabetes Mellitus and Periodontitis” Disease Mark ers. 34:(2013):295-304. 7. Baynes, H. W. “Classification, Pathophysiology, Diagnosis, and Management of Diabetes Mellitus” Journal of Diabetes and Metabolism. 6:5(2015):1-9. 8. Wu, Y. Y. Xiao, E. dan Graves, D. T. “Diabetes Mellitus Related Bone Metabolism and Periodontal Disease” International Journal of Oral Science. 7:(2015):63-72. 9. Retzepi, M. dan Donos N. “The Effect of Diabetes Mellitus on Osseus Healing” Clinical Oral Implan Research. 21:(2010):673-81. 10. Maskari A. Y. Maskari, M. Y. dan Sudairy, S. “Oral Manifestations and Complications of Diabetes Mellitus: A Review” Squ Medical Journal. 11:2(2011):179-86. 11. Jung, S. dan Kleinheinz, J. Influence of Angiogenesis on Osteogenesis, dalam: S. Wislet-Gendebien (Ed.), Advances in Regenerative Medicine. China: InTech, 2011. 12. Nunez, S. P. Lozano, D. dan Esbrit, P. “Role of Angiogenesis on Bone Formation” Histology and Histopathology. 27:(2012):559-66. 13. Wallner, C., et al. “Application of VEGFA and FGF-9 Enhances Angiogenesis, Osteogenesis and Bone Remodeling in Type 2 Diabetic Long Bone

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

14


Regeneration” Plos One. 10:3(2015):119. 14. Kini, U. dan Nandeesh, B. N. Physiology of Bone Formation, Remodeling, and Metabolism, dalam: I. Fogelman, G. Gnanasegaran, H. V. der Wall (Eds.), Radionuclide and Hybrid Bone Imaging. Berlin: Springer, 2012. 15. Yang, J., et al. “Bone Morphogenetic Proteins: Relationship Between Molecular Structure and Their Osteogenic Activity” Food Science and Human Wellness. 3:(2014):127-35. 16. Graves, D. T., et al. “Impact of Diabetes on Fracture Healing” Journal of Experimental and Clinical Medicine. 3:1(2011):3-8. 17. Stolzing, A. et al. “Diabetes Induced Change in Rat Mesenchymal Stem Cells” Cells Tissues Organs. 191:(2010):453-65. 18. Xu, M. T., et al. “Diabetes Mellitus Affects The Biomechanical Function of The Callus and The Expression of TGFBeta 1 and BMP 2 in an Early Stage of Fracture Healing” Brazilian Journal of Medical and Biological Research. 49:1(2016):1-8. 19. Rocha, M., et al. “Clinical and Radiological Improvement of Periodontal Disease in Patients With Type 2 Diabetes Mellitus Treated With Alendronate: A Randomized, PlaceboControlled Trial” Journal of Periodontology. 72:2(2001):204-9. 20. Pradeep, A. R., et al. “Local Drug Delivery of Alendronate Gel for the Treatment of Patients With Chronic Periodontitis With Diabetes Mellitus: A Double-Masked Controlled Clinical Trial” Journal of Periodontology. 83:10(2012):1322-8. 21. Gupta, A., et al. Alendronate in Periodontics: Where are We, International Journal of Dental and Health Sciences, 1:4(2014):540-51. 22. Kataria, P. et al. “Statins: The Paradigm Shift in Periodontal Regeneration” SRM Journal of Research in Dental Sciences, 5:1(2014):26-30. 23. Wood, J. et al. “Novel Antiangiogenic Effects of The Bisphosphonate Compound Zolendronic Acid” The Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics, 302:3(2002):1055-61. 24. Purushotham, S. D’Souza, M. L. dan Purushotham, R. “Statin: A boon in

Periodontal Therapy” SRM Journal of Research in Dental Sciences. 6:4(2015):243-9. 25. Goes, P., et al. “Effect Of Atorvastatin In Radiographic Density On Alveolar Bone Loss In Wistar Rats” Brazilian Dental Journal. 21:(2010):193-8. 26. Kataria, P., et al. “Statins: The Paradigm Shift in Periodontal Regeneration” SRM Journal of Research in Dental Sciences. 5:1(2014):26-30. 27. Ruan, F., Qiang Z., dan Wang, J. “Mechanism of Bone Anabolism Regulated by Statins” Bioscience Reports. 32:( 2012):511-9. 28. Tsartsalis, A. N., et al. ”Statins, Bone Formation, and Osteoporosis: Hope or Hype” Hormones. 11:2(2012):126-39. 29. CDK. “Gel Atorvastatin Bermanfaat Memperbaiki Gejala dan Tanda-tanda Periodontitis” Cermin Dunia Kedok teran201, 40:2(2013):130-1. 30. Chaudagar, K. K. dan Mehta A. A, “Effect of Atorvastatin on The Angiogenic Responsiveness of Coronary Endothelial Cells in Normal and Streptozotocin (STZ) Induced Diabetic Rats” Canadian Journal of Physiology and Pharmacology. 92:(2014)338-49. 31. Balli, U., et al. “Effect of Atorvastatin on VEGF and MMP-9 in Rat Periodontium” Journal of Periodontology. 85:1(2014):178-87. 32. Araujo, R. F. d Junior, et al. “Atorvastatin Decreases Bone Loss, Inflammation and Oxidative Stress in Experimental Periodontitis” Plos One. 8:10(2013):1-7. 33. Ridwan, E. “Etika Pemanfaatan Hewan Prcobaan dalam Penelitian Kesehatan” Journal Indonesian Medical Association, 63:3(2013):112-6. 34. Sastroamoro, S. dan Ismael, S., Dasardasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi 2, Jakarta: Sagung Seto, 2002. 35. Ayu, K. V., Pemberian Minyak Biji Rami (Linum usitatissimum) Per Oral Meningkatkan Jumlah Osteoblas dan Kepadatan Tulang pada Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus) Galur Sprague dawley dengan Periodontitis, Tesis, Denpasar: Universitas Udayana, 2014. 36. Junqueira, L. C. dan Carneiro, J. Histologi Dasar: Tek s & Atlas, Edisi 12, Jakarta: EGC, 2012. 37. Dahlan, S. Statistik untuk Kedok teran dan Kesehatan, Jakarta: Salemba Medika, 2013.

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

15


38. Praptiwi, H. “Inokulasi Bakteri dan Pemasangan Cincin atau Ligatur untuk Induksi Periodontitis pada Tikus” Majalah Kedok teran Gigi. 15:1(2008):814. 39. Hienz, S. A., Paliwal, S., dan Ivanovski, S. “Mechanisms of Bone Resorption in Periodontitis” Journal of Immunology Research. 2015:(2014):1-11. 40. Pacios, S., et al. “Diabetes Aggravates Periodontitis by Limiting Repair through Enhanced Inflammation” Faseb Journal. 26:(2012):1423-30. 41. Baynes, H. W. “Classification, Pathophysiology, Diagnosis, and Management of Diabetes Mellitus” Journal of Diabetes and Metabolism. 6:5(2015):1-9. 42. Goud, B. J. Dwarakanath, V. dan Swamy, B. K. C. “Streptozotocin a Diabetogenic Agent in Animal Models” International Journal of Pharmaceutical Research. 3:1(2014): 253-69. 43. Zizzi, A., et al. “Gingival Advanced Glycation End-Products in Diabetes Mellitus-Associated Chronic Periodontitis: An Immunohistochemical Study” Journal of Periodontal Research. 48:(2013):293-301. 44. Ritchie, C. S. “Mechanistic Links Between Type 2 Diabetes and Periodontitis” Journal of Dentistry. 37:(2009):567-84. 45. Gradosova, I., et al. “The Role of Atorvastatin in Bone Metabolism in Male Albino Wistar Rats” Die Pharmazie International Journal of Pharmaceutical Sciences, 66:(2011):606-10. 46. Hagar, S., et al. “Histomorphometric and Histological Evaluations of The Simvastatin Effect on Alveolar Bone Loss Induced by Cyclosporine A in Rats” Indian Journal of Multidisciplinary Dentistry. 5:1(2015):2-9. 47. Koh, K. K. “Statins and Risk of NewOnset Diabetes Mellitus” Circulation. 127:(2013): e837. 48. Chogtu, B. Magazine, R., dan Bairy, K. L. “Statin Use and Risk of Diabetes Mellitus” World Journal Diabetes. 6:2(2015):352-7.

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

16


Research

PENGARUH GENOTOKSIK ROKOK TERHADAP JUMLAH BINUKLEUS, BROKEN EGG DAN APOPTOSIS SEL BASAL EPITEL MUKOSA BUKAL Cintya Rak hma Duhita1, Haris Budi Widodo2, Dody Novrial3 1 Kedokteran Gigi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa T engah Bagian Ilmu Penyakit Mulut, Kedokteran Gigi, Universitas Jenderal Soedirman 3Bagian Ilmu Patologi Anatomi, Kedokteran Umum, Universitas Jenderal Soedirman 2

ABSTRAK Latar belakang: Merokok merupakan kebiasaan buruk yang dapat berakibat buruk bagi kesehatan karena memiliki kandungan genotoksik. Indonesia menduduki peringkat ke-3 konsumsi rokok terbesar di dunia pada tahun 2015, dengan persentase rerata sebesar 29,3%. Deteksi dini kanker mulut akibat paparan genotoksik dapat dianalisis dengan melihat kondisi kerusakan kromosom dan apoptosis pada sel basal epitel mukosa bukal. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh genotoksik rokok terhadap jumlah binukleus, brok en egg, dan apoptosis sel basal epitel mukosa bukal. Metode: Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Teknik pengambilan sampel adalah metode consecutive sampling. Penelitian ini menggunakan sampel 36 responden yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 18 responden kelompok perokok dan 18 responden kelompok non perokok. Kelompok perokok memiliki kriteria inklusi yaitu perokok yang berjenis kelamin laki-laki, usia 20-40 tahun, dominan merokok jenis kretek >10 batang perhari, dan merokok selama ≼3 tahun. Kelompok non perokok memiliki kriteria inklusi berjenis kelamin laki-laki, usia 20-40 tahun, dan tidak pernah merokok. Kedua kelompok diambil sampel pada sel basal epitel mukosa bukal dengan menggunakan cytobrush dan dibuat preparat serta diamati sel yang mengalami perubahan binukleus, brok en egg, dan apoptosis. Analisis statistik yang digunakan yaitu uji Korelasi Pearson, uji Saphiro Wilk , uji Levene Test, Independent t-test, dan uji Regresi linier ganda. Hasil dan Pembahasan: Peningkatan jumlah binukleus dan brok en egg serta penurunan jumlah sel yang mengalami apoptosis pada perokok dibandingkan non perokok. Simpulan: Genotoksik rokok meningkatkan jumlah binukleus dan brok en egg serta menurunkan jumlah sel yang mengalami apoptosis sel basal epitel mukosa bukal. Kata kunci: Binukleus, broken egg, apoptosis, sel basal epitel mukosa bukal ABSTRACT Background: Smok ing is a bad habit which causes bad effect of human health. It contains of genotoxic that damage the smok er health. Indonesia is the third by cigarette consumption in the world (2015) with percentage 29,3%. Health technology has detected early of oral cancer caused by toxic in cigarette. The cancer is detected by identifying brok en chromosome and apoptosis in epithelium basal cell of oral cavity. Purpose: The purpose of this study was to determine the effect of cigarette genotoxic towards the number of binucleus, brok en egg and apoptosis in buccal mucosa epithelium basal cell. Methods: In this research, used observational analysis with cross sectional and consecutive sampling method. It provided 36 samples in form of respondent which were divided into two categories, 18 respondents of smok er and 18 respondents of nonsmok er. Inclusion criteria of smok er category were dominantly male, 20-40 years old and smok ing k retek as dominant. Moreover, they smok ed more than 10 cigarettes each day for more than 3 years. Meanwhile, inclusion criteria of non-smok er were dominantly male, 20-40 years old and not smok ing. Both categories provided some samples of buccal mucosa epithelium basal cell by using cytobrush sampling technique. Furthermore, the sample was observed in order to notice the change of the cell binucleus, brok en egg and apoptosis. Statistical analysis used validity test, correlation test of Pearson, normality test of Saphiro Wilk , homoscedasticity test of Levene, comparing the means by Independent

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

17


T-Test and identifying the effect by regression testing. Results and Discussion: The result of Independent T-test was (p<0,05) while regression testing was (p<0,05) showed there was an increasing number of binuk leus, brok en egg and it decreased in the number of apoptosis in smok ers. Conclusion: There was effect of cigarette genotoxic towards the number of binucleus, brok en egg, and apoptosis in buccal mucosa epithelium basal cell. Keyword: Binucleus, brok en egg, apoptosis, buccal mucosa epithelium basal cell . 1. PENDAHULUAN Merokok merupakan suatu kebiasaan yang berkaitan dengan perilaku seseorang atau suatu tindakan merusak diri sendiri yang menyebabkan timbulnya penyakit dan membawa kematian bila menghirup racun asap rokok secara kontinyu. Merokok merupakan kebiasaan buruk (bad habit) seseorang yang dapat menyebabkan masalah kesehatan yang sangat penting, sehingga perlu ditanggulangi di dunia ataupun di Indonesia. 1 Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat konsumsi rokok tinggi dengan persentase rerata sebesar 29,3% sejumlah 65 juta perokok dengan konsumsi rokok rata-rata sebanyak 270 milyar batang rokok. Kondisi ini membuat Indonesia menduduki peringkat ke-3 konsumsi rokok terbesar di dunia sesudah Cina (390 juta perokok) dan India (144 juta perokok). 2 Peningkatan kebiasaan merokok oleh penduduk Indonesia dapat mengakibatkan timbulnya efek atau dampak buruk bagi kesehatan, rokok memiliki kandungan genotoksik di antaranya adalah hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH), amin aromatik dan N-nitrosamine.3 Kandungan berbahaya tersebut dihasilkan sebagai asap rokok yang dapat menyebabkan kerusakan siklus pembelahan sel. 4 Kandungan lain adalah reactive oxygen species (ROS) seperti hidrogen peroksida (H2O2), atau radikal hidroksil (OH) yang terkandung dalam timbal dan akan menyebabkan terganggunya proses apoptosis. 5,6 Bahan genotoksik yang menyebabkan berbagai macam kerusakan kromosom akan berkontak langsung dengan sel epitel mukosa bukal rongga mulut. 7 Lapisan epitel ini terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan superfisial, lapisan intermediet dan lapisan basal. 8 Sel epitel mukosa bukal yang dibuat apusan

mukosa bukal adalah sel basal, karena sel basal dapat membelah diri secara aktif dan terus menerus untuk mengganti lapisan superfisial yang rusak. Oleh karena itu, sel epitel ini dapat dimanfaatkan untuk pengujian kerusakan kromosom dan dapat mengekspresikan kondisi gen lapisan epitel. 4 Seiring dengan perkembangan teknologi kedokteran, deteksi dini kanker mulut akibat paparan genotoksik dapat dilihat dari kondisi kerusakan kromosom pada sel basal epitel mukosa rongga mulut. 9,10 Kerusakan kromosom tersebut beragam dapat dalam bentuk mikronukleus, binukleus dan brok en egg. 9 Penelitian mengenai mikronukleus sudah dilakukan sebelumnya namun kerusakan kromosom lain yaitu binukleus dan brok en egg pada perokok sebelumnya belum pernah diteliti. 11 Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kerusakan kromosom binukleus terhadap kelompok dengan kebiasaan mengkonsumsi tembakau memiliki jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok normal, terutama berkaitan dengan umur dan lama mengkonsumsi tembakau. Oleh karena itu, kerusakan kromosom binukleus dapat diteliti pada perokok. 12 Binukleus terjadi sebagai indikasi kegagalan proses sitokinesis pada inti di lapisan sel basal. Gagalnya proses sitokinesis tersebut mengakibatkan sel menjadi aneuploid, sehingga sel memiliki dua inti yang sama besar di dalam sitoplasma. 13,14 Menurut penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kerusakan kromosom dalam bentuk brok en egg pada kelompok dengan kebiasaan mengkonsumsi sirih pinang memiliki jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal. Oleh karena itu, kerusakan kromosom brok en egg dapat diteliti pada perokok. 15 Brok en egg terjadi sebagai akibat proses aktif eliminasi material inti yang diperkuat oleh eliminasi kromosom yang berlebih pada

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

18


sel poliploid saat pencegahan pembentukan inti menjadi aneuploid. Eliminasi tersebut menyebabkan penyusutan inti pada salah satu ujungnya.

terhadap jumlah binukleus, broken egg, dan apoptosis sel basal epitel mukosa bukal

16,17,18

2. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan cross-sectional. Penelitian dilakukan di daerah Kecamatan Baturraden dan Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 36 orang (18 perokok dan 18 non perokok) yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sampel penelitian. 25 Penelitian dimulai setelah mendapatkan sertifikat kelaikan etik atau ethical clearence dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas MaretRSUD dr. Moewardi. Pengumpulan data diawali dengan kesediaan responden untuk dijadikan subjek penelitian mengisi informed consent dan form karakteristik probandus penelitian, yang sebelumnya dijelaskan secara rinci mengenai segala informasi terkait penelitian. Penelitian dilanjutkan dengan pemeriksaan rongga mulut terlebih dahulu untuk mengetahui keadaan mukosa bukal sampel penelitian. Pengambilan spesimen tiap subyek diambil menggunakan metode smear pada epitel superfisial mukosa bukal menggunakan cytobrush pada mukosa bukal kanan dan kiri dengan cara memutar sikat sekurang-kurangnya 360o dan cytobrush diusapkan pada gelas obyek. Pewarnaan preparat menggunakan metode reaksi Feulgen Rossenbeck yaitu reagen periodic acid schiff dan reagen Fast Green 1%. 26 Pengamatan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 400x dibantu dengan kamera Optilab Pro dan perangkat lunak Image Raster mencatat 1000 sel per slide kaca dihitung sel yang mengalami perubahan. Jumlah binukleus dan brok en egg dihitung masing-masing 1 unit/preparat, sedangkan untuk jumlah apoptosis diakumulasikan dari jumlah keempat bentuk sebagai 1 unit/preparat. Binukleus yang dihitung adalah sel terdiri dari 2 inti yang sama besar dan kedua inti tersebut berjarak dekat satu sama lain. Brok en egg yang dihitung adalah sel terdiri dari inti utama dan bud (tunas inti) yang terhubung sempit atau lebar dengan

Potensi keganasan selain dengan pemeriksaan kerusakan kromosom dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan apoptosis sebagai penanda biologi deteksi dini kanker mulut. 19 Berdasarkan penelitian tersebut dijelaskan bahwa pemeriksaan apoptosis dilakukan dengan melakukan perhitungan jumlah piknosis, kromatin gelap, karioreksis, dan kariolisis. Piknosis memiliki karakteristik inti yang menyusut dengan material inti yang padat, merata dan terwarnai. Piknosis terjadi sebagai representatif dari proses yang mengarah ke tahap apoptosis selanjutnya yaitu kromatin gelap dan karioreksis. 4,20 Kromatin gelap memiliki karakteristik sel dengan pola inti kasar dan berlurik, sel tersebut beragregasi dan terwarnai. 21 Karioreksis atau inti yang mengalami disintegrasi, ditandai oleh inti mulai hilang atau mengalami peluruhan ditandai dengan inti yang beragregsi lebih luas dibandingkan dengan kromatin gelap. Pola inti padat berbintik menunjukkan fragmentasi inti yang mengarah pada peluruhan inti secara keseluruhan. Tahap apoptosis terakhir adalah kariolisis saat inti sel benar-benar habis dan seperti menyerupai ghost image. 22 Berdasarkan hubungan dengan kerusakan kromosom dan apoptosis pemeriksaan ini baik digunakan sebagai indikator paparan genotoksik. Sangat efektif digunakan sebagai penanda biologi yang relevan terhadap deteksi dini kanker mulut yang mudah dan non invasif. 23 Penelitian lebih lanjut dapat dikembangkan dengan melakukan pemeriksaan kerusakan kromosom lain dan pemeriksaan apoptosis pada perokok dengan pewarnaan preparat menggunakan metode Feulgen-Rossenbeck dengan pewarnaan Periodic Acid Schiff dan Fast Green.24 Berdasarkan hal tersebut peneliti melakukan penelitian terkait pengaruh genotoksik rokok terhadap bentuk kerusakan kromosom yaitu jumlah binukleus dan brok en egg serta apoptosis pada sel basal epitel mukosa bukal perokok sebagai diagnosis awal lesi prekanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh genotoksik rokok

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

19


inti utama memiliki diameter sekitar setengah sampai seperempat dari inti utama. Sel piknotik yang dihitung adalah sel dengan satu inti kecil dan menyusut dengan diameter sekitar sepertiga dari inti normal. Kromatin gelap yang dihitung adalah sel dengan pola inti kasar berlurik dan beragregasi. Sel karioreksis yang dihitung adalah sel yang mengalami disintegrasi dimana inti mulai hilang atau mengalami peluruhan inti. Sel kariolisis yang dihitung adalah sel dengan inti benar-benar tidak terdapat DNA dan seperti gambaran ghost images. 27 Data hasil pengamatan mikroskop cahaya dilakukan analisis data. Data dianalisis dengan menggunakan bantuan program SPSS. Uji yang digunakan pada penelitian ini adalah uji Independent t-test untuk mengetahui perbedaan jumlah perokok dan perokok. Pengujian data dilanjutkan denggan analisis regresi linear ganda untuk melihat besar pengaruh antara masing-masing variabel. 28 3. HASIL Karakteristik Sampel Gambaran preparat sitologi apusan mukosa bukal yang diamati pada penelitian ini (Gambar 1 dan Gambar 2). A

B

A

B

C

D

Gam bar 2.

Preparat sel yang mengalami apoptosis apusan mukosa bukal. Tanda panah menunjukan gambaran inti sel kromatin gelap (A) inti sel karioreksis (B) inti sel piknosis (C) inti sel kariolisis (D) dengan pew arnaan Periodic Acid Schiff dan Fast Green perbesaran 400x Sumber: Data Primer, 2016

Perhitungan Rerata dan Komparasi Rerata Binukleus Perokok dan Non Perokok Perhitungan binukleus pada kelompok perokok dan kelompok non perokok. Hasil perhitungan rerata dan komparasi rerata binukleus per 1000 sel dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1.

Perhitungan Rerata Binukleus Per 1000 Sel

Kelompok Perokok NonPerokok

C

n 18 18

Rerata±SD

sig

11,204±2,404 3,204±1,657

0,000

Keterangan: N = Jumlah Sampel SD = Standar Deviasi Sumber: Data Primer yang Diolah, 2016

Gam bar 1.

Preparat sitologi kerusakan kromosom apusan mukosa bukal. Tanda panah menunjukan gambaran inti sel normal (A) inti sel binukleus (B) inti sel broken egg (C) dengan pew arnaan Periodic Acid Schiff dan Fast Green perbesaran 400x. Sumber: Data Primer, 2016

Tabel 1 menunjukkan kelompok perokok memiliki rata-rata sebesar 11,204 ± 2,404, sedangkan pada kelompok non perokok sebesar 3,204 ± 1,657. Berdasarkan uji Independent t-test, didapatkan nilai p<0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan jumlah binukleus per 1000 sel pada kelompok perokok dibandingkan dengan kelompok non perokok. Perhitungan Rerata dan Komparasi Rerata Broken Egg Perokok dan Non Perokok Perhitungan brok en egg pada kelompok perokok dan kelompok non perokok. Hasil perhitungan rerata dan

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

20


komparasi rerata brok en egg per 1000 sel dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2.

Perhitungan Rerata Broken Egg Per 1000 Sel

Kelompok Perokok NonPerokok

n 18 18

Rerata±SD 4,111±1,028 1,222±0,817

sig 0,00

Keterangan: n = Jumlah Sampel SD = Standar Deviasi Sumber: Data Primer yang Diolah, 2016

Tabel 2 menunjukkan kelompok perokok memiliki rata-rata sebesar 4,111 ± 1,028, sedangkan pada kelompok non perokok sebesar 1,222 ± 0,817. Berdasarkan uji Independent t-test, didapatkan nilai p<0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan jumlah brok en egg per 1000 sel pada kelompok perokok dibandingkan dengan kelompok non perokok. Perhitungan Rerata dan Komparasi Rerata Sel yang Mengalami Apoptosis Perokok dan Non Perokok Perhitungan sel yang mengalami apoptosis pada kelompok perokok dan kelompok non perokok. Hasil perhitungan rerata dan komparasi rerata sel yang mengalami apoptosis per 1000 sel dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Perhitungan Rerata Apoptosis Per 1000 Sel

Kelompok Perokok NonPerokok

n

Rerata±SD

sig

18 18

12,296±2,000 22,722±3,254

0,000

Keterangan: n = Jumlah Sampel SD = Standar Deviasi Sumber: Data Primer yang Diolah, 2016

Tabel 3 menunjukkan kelompok perokok memiliki rata-rata sebesar 12,296 ± 2,000, sedangkan pada kelompok non perokok sebesar 22,722 ± 3,254. Berdasarkan uji Independent t-test, didapatkan nilai p<0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan jumlah sel yang mengalami apoptosis per 1000 sel pada kelompok perokok dibandingkan kelompok non perokok.

Uji Pengaruh Jumlah Binukleus, Broken Egg dan Apoptosis pada Apusan Epitel Mukosa Bukal Kelompok Perokok Berdasarkan uji Regresi linier ganda, didapatkan persamaan koefisien yaitu y = 20,722-0,426 binukleus -0,890 brok en egg. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa setiap peningkatan jumlah binukleus/sel akan menurunkan jumlah sel yang mengalami apoptosis sebesar 0,426 dan peningkatan jumlah brok en egg/sel akan menurunkan jumlah sel yang mengalami apoptosis sebesar 0,890. Besarnya pengaruh peningkatan jumlah binukleus dan brok en egg terhadap penurunan sel yang mengalami apoptosis adalah sebesar 70,5%, dan sisanya sekitar 29,5% dipengaruhi oleh faktor lain yang dapat menyebabkan penurunan jumlah sel yang mengalami apoptosis. 4. PEMBAHASAN Pengaruh Rokok Terhadap Jumlah Binukleus dan Broken Egg pada Apusan Epitel Mukosa Bukal Hasil penelitian menunjukkan peningkatan yang bermakna (p = 0,000) antara jumlah binukleus per 1000 sel pada kelompok perokok dengan rerata 11,204 ± 2,404 dibandingkan dengan kelompok non perokok dengan rerata 3,204 ± 1,657, sedangkan hasil penelitian menunjukkan peningkatan yang bermakna pula (p = 0,000) antara jumlah brok en egg per 1000 sel pada kelompok perokok dengan rerata 4,111 ± 1028 dibandingkan dengan kelompok non perokok dengan rerata 1,222 ± 0,817. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa genotoksik rokok menyebabkan peningkatan binukleus dan brok en egg. Bahan genotoksik rokok yang dapat menyebabkan instabilitas kromosom seperti hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH), amin aromatik, dan N-nitrosamine. Kandungan berbahaya tersebut dihasilkan sebagai asap rokok yang dapat menyebabkan kerusakan siklus pembelahan sel. 4 Kerusakan kromosom binukleus terjadi akibat kegagalan proses sitokinesis pada inti di lapisan sel basal. Proses sitokinesis merupakan pembelahan sitoplasma yang diikuti dengan pembentukan sekat sel yang baru. Sekat memisahkan dua inti tersebut menjadi dua sel anakan. 9 Tahap sitokinesis dimulai saat telofase berakhir,

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

21


terjadi penguraian benang-benang spindel dan terbentuk cincin mikrofilamen yang menyempit di daerah bekas bidang ekuator. Kontraksi ke arah dalam ini menyebabkan celah yang mendalam pada permukaan sel, diikuti dengan pembagian isi dua sel secara terpisah. 27, 29 Kerusakan kromosom brok en egg terjadi akibat duplikasi gen, duplikasi kromosom maupun amplifikasi gen. Proses aktif eliminasi material inti ini diperkuat oleh eliminasi kromosom. Eliminasi tersebut menyebabkan penyusutan inti pada salah satu ujungnya. Hal ini dapat terjadi sebagai kesalahan pada rekombinasi homolog, kejadian retrotransposisi, ataupun duplikasi keseluruhan kromosom. Pemeriksaan pada kerusakan kromosom yang mengakibatkan kerusakan siklus pembelahan sel tersebut dapat dijadikan penanda biologi dalam mendeteksi dini karsinogenesis kanker mulut. 23 Pengaruh Rokok Terhadap Jumlah Sel yang Mengalami Apoptosis pada Apusan Epitel Mukosa Bukal Hasil penelitian ini menunjukkan penurunan yang bermakna (p=0,000) jumlah sel yang mengalami apoptosis per 1000 sel antara kelompok perokok dengan rerata 12,296 Âą 2,000 sedangkan pada kelompok non perokok memiliki rerata sebesar 22,722 Âą 3,254. Perbedaan yang bermakna yang berupa penurunan pada kelompok perokok dibandingkan kelompok non prokok, pada hasil pengujian dapat membuktikan bahwa rokok berpengaruh terhadap jumlah sel yang mengalami apoptosis. Bahan genotoksik rokok berupa reactive oxygen species (ROS) seperti hidrogen peroksida (H2O2), atau radikal hidroksil (OH) yang terkandung dalam timbal dan akan menyebakan terganggunya proses apoptosis. 5,6 Berbeda dengan pengamatan pada kerusakan kromosom yang cenderung akan meningkat apabila ada paparan genotoksik yang dalam hal ini akan meningkat pada perokok dibandingkan dengan non perokok, pengamatan pada tahapan apoptosis ini cenderung berkebalikan yaitu akan menurun apabila seseorang terpapar bahan genotoksik. Hal tersebut diakibatkan karena kandungan genotoksik rokok dapat menyebabkan apoptosis mengalami penurunan pada

kondisi keganasan akibat ketidakseimbangan protein pro-apoptosis dan anti-apoptosis melalui intrinsic pathway/mitocondrial pathway akibat paparan genotoksik. 19 Protein tersebut yaitu p53 dan Bcl-2. Protein p53 adalah suppressor tumor yang akan mengendalikan regulasi sel. Adanya paparan genotoksik mengakibatkan keabnormalan p53 menyebabkan meningkatnya proliferasi sel dan menurunnya tingkatan apoptosis. Protein Bcl-2 merupakan protein anti-apoptosis yang akan mempengaruhi permeabilitas membran sel dan mampu mencegah tejadinya apoptosis sehingga apoptosis menurun. 30,31 Pengaruh Rokok Terhadap Jumlah Binukleus, Broken Egg, dan Sel yang Mengalami Apoptosis pada Apusan Epitel Mukosa Bukal Pengaruh rokok terhadap jumlah binukleus, brok en egg, dan sel yang mengalami apoptosis dapat diketahui dengan uji Regresi linier ganda. Hasil menunjukkan terdapat pengaruh yang bermakna terhadap peningkatan jumlah binukleus dan brok en egg terhadap penurunan sel yang mengalami apoptosis adalah sebesar 70,5%, dan sisanya sekitar 29,5% dipengaruhi oleh faktor lain yang dapat menyebabkan penurunan jumlah sel yang mengalami apoptosis. Kerusakan kromosom yang cukup parah ditandai dengan adanya peningkatan jumlah binukleus dan brok en egg sehingga dapat memicu terjadinya suatu kondisi keganasan. 19 Potensi kondisi keganasan akan meningkat jika kerusakan kromosom yang tinggi tersebut tidak diseimbangkan dengan jumlah apoptosis yang meningkat pula. Kondisi keganasan ini dapat diawali dengan terbentuknya berbagai lesi pre-kanker. 32 Hasil penelitian di atas mampu menunjang pendeteksian dini karsinogenesis penyakit kanker mulut ditandai dengan adanya peningkatan binukleus, dan brok en egg serta penurunan jumlah sel yang mengalami apoptosis pada kelompok perokok merupakan penanda tingkatan perkembangan suatu kondisi keganasan. 33 Pemeriksaan binukleus, brok en egg dan sel yang mengalami apoptosis memliki banyak keuntungan yang diperoleh yaitu mudah dilakukan,

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

22


aman, tidak invasif, tidak memerlukan alat canggih dan biaya yang digunakan terjangkau. Hal ini juga masih perlu penelitian uji diagnostik lebih lanjut agar dapat diperoleh hasil yang akurat dan dijadikan sebagai deteksi dini lesi prekanker yang dapat berlanjut menjadi penyakit kanker mulut. 5. SIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa jumlah binukleus dan brok en egg pada kelompok perokok lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok non perokok, jumlah sel yang mengalami apoptosis pada kelompok perokok lebih rendah dibandingkan dengan kelompok non perokok dan terdapat pengaruh genotoksik rokok tehadap jumlah binukleus, brok en egg, dan sel yang mengalami apoptosis. DAFTAR PUSTAKA 1. Wigand, J.S. Additives, Cigarette Design, and Tobacco Product Regulation, a Report to: WHO, Tobacco Free Initiative. Tobacco Product Regulation Group, World Health Organization, 2006. 2. World Health Organization. WHO Library Cataloguing in Publication Data. Luxembourg: World Health Statistics, 2015. 3. Baca, C.T. dan Yahne, C.E. “Smoking Cessation During Substance Abuse Treatment: What You Need to Know” Journal of Substance Abuse Treatment. 36:2(2009):205-219. 4. Holland, N.N., et al. “The Micronucleus Assay in Human Buccal Cells As a Tool for Biomonitoring DNA Damage: The HUMN Project Perspective on Current Status and Knowledge Gaps” Mutation Research. 695:(2008):93-108. 5. Patrick, L. “Lead Toxicity Part II: The Role of Free Radical Damage and the Use of Antioxidants in the Pathology and Treatment of Lead Toxicity” Alternative Medicine Review. 11:2(2006):114-127. 6. Goniewicz, M.Ł., et al. ”Exposure to Carbon Monoxide from Second-Hand Tobacco Smoke in Polish Pubs” Central European Journal of Public Health. 17:4(2009):220-222.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

Silins, I. J. dan Hogberg, “Combined Toxic Exposures and Human Health: Biomarkers of Exposure and Effect” International Journal of Environmental Research and Public Health. 8:3(2011):629-647. Chandra, S., et al. Textbook of Dental and Oral Histology with Embriology and Multiple Choice Questions. New Delhi: Jaypee, 2007. Agarwal, M., et al. “Micronuclei Assay of Exfoliated Oral Mucosa Cells A Review” Annalysis of Dental Specialty. 2:2(2014):47-50. Blaszczyk, E. dan Svach, D.M. ”Micronucleus Assay In Epithelial Cells from the Oral Cavity and Urinary Tract in Female Smokers and NonSmokers” Environmental Biotechnology. 1:2(2014):60-66. Ahmad, H. dan Restadiamawati. “Pengaruh Merokok terhadap Frekuensi Pembentukan Mikronukleus pada Mukosa Mulut” Medica Hospitalia. 2:2( 2014):84-87. Kaur, G. dan Singh, A.P. “Evaluation of Micronuclei and Other Nuclear Abnormalities in Buccal Cells of Tobacco Chewers” Human Biology Review, 2:2(2013):185-192. Thomas, P., et al. “The Buccal Cytome and Micronucleus Frequency is Substantially Altered in Down’s Syndrome and Normal Ageing Compared to Young Healthy Controls” Mutation Research. 638:(2007):37-47. Thomas, P. dan Fenech, M., “Chromosome 17 and 21 Aneuploidy in Buccal Cells is Increased with Ageing and in Alzheimer’s Disease” Mutagenesis. 23:(2007):57-65. Patil, P.M. dan Yelikar, B.R. “Cytological Evaluation of Oral Mucosa in Habitual Pan Masala Eaters- a Comparative Study” Ameen Journal Medical Sciences. 6:2(2013):120-127. Fenech, M. dan Crott, J.W. “Micronuclei, Nucleoplasmic Bridges and Nuclear Buds Induced in Folic Acid Deficient Human LymphocytesEvidence For Breakage-Fusion-Bridge Cycles in the Cytokinesis-Block Micronucleus Assay” Mutation Research. 504:1-2(2002):131-136. Shimizu, N. Kamezaki, F. dan Shigematsu, S. “Tracking of Microinjected DNA in Live Cells

23


18.

19.

20.

21.

22.

23.

Reveals the Intracellular Behavior and Elimination of Extrachromosomal Genetic Material” Nucleic Acids Research. 33:19(2005):6296-6307. Nersesyan, A. K. “Nuclear Buds in Exfoliated Human Cell” Mutation Research. 588:1(2005):64-68. Dorea, L. T. Meireles, J. R. C. dan Lessa, J. P. R. “Chromosomal Damage and Apoptosis in Exfoliated Buccal Cells from Individuals with Oral Cancer” International Journal of Dentistry. 6:10(2012):1-6. Chen, C. “Cytogenetic Damage in Buccal Epithelia and Peripheral Lymphocytes of Young Healthy Individuals Exposed to Ozone” Mutagenesis. 21:2(2006):131-137. Thomas, P. “Buccal Micronucleus Cytome Assay” Nature Protocol. 4:6(2009):825. Sanchez-Siles, et al. “A Novel Application of the Buccal Micronucleus Cytome Assay in Oral Lichen Planus: A pilot study” Archives of Oral Biology. 56:10(2011):11481153. Pawitan, J.A. dan Suryono, I.A. “Sensitivity and Specificity of the

24.

25.

26.

27.

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

Mikronucleus Test in HypotonicSwollen Mononuclear Leucocytes Compared to the Micronucleus Test in Binucleated Lympocttest to Assess Chromosomal Breaks” Analytical and Quantitative Cytology and Histology. 28:3(2006):175-180. Pradeep, M.R., et al. “Comparative Study of Genotoxicity in Different Tobbaco related Habits Using Micronucleus Assay in Exfoliated Buccal Epithelial Cells” Journal of Cinical and Diagnostic Research. 8:5(2014):ZO21-ZO24. Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 2012. Setyowati, W. Purnomosari, D. dan Susilowati, R. Prosedur Kerja Bak u Pewarnaan Fast Green Laboratorium Histologi dan Biologi Sel, Yogyakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, 2011. Yadav, A.A. dan Jaggi, S. “Buccal Micronucleus Cytome Assay-A Biomarker Of Genotoxicity” Journal of Molecular Biomark er and Diagnosis. 6:3(2015):1-6.

24


Research

PERBEDAAN PERUBAHAN WARNA RESIN KOMPOSIT NANOFILLER PADA PERENDAMAN LARUTAN KOPI ARABIKA DAN TEH OOLONG Redhoni Alfiyandi1, Isyana Erlita1, Dewi Puspitasari1 1

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRAK Latar Belakang: Resin komposit adalah material sewarna gigi yang saat ini diminati masyarakat sebagai bahan tumpatan restorasi karena memiliki nilai estetik yang baik dan dapat digunakan untuk gigi anterior maupun posterior. Resin komposit memiliki sifat menyerap air secara difusi pada matriks resin dan absorpsi pada bahan pengisi. Minuman kopi arabika dan teh oolong dapat menyebabkan perubahan warna pada resin komposit nanofiller karena memiliki zat asam dan tannin yang menyebabkan perubahan warna pada resin komposit. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perubahan warna resin komposit nanofiller pada perendaman larutan kopi arabika dan teh oolong. Metode: penelitian ini merupakan eksperimental murni dengan rancangan pre and post test with control design. Sampel dalam penelitian ini adalah resin komposit nanofiller berdiameter 10mm dan ketebalan 2mm, sebanyak 12 buah yang dibagi menjadi 3 kelompok. Sampel direndam dengan larutan saline selama 24 jam dalam inkubator 37ยบC dan diukur perubahan warna menggunakan alat optical spectrometer (OPT 101 type of photo detector) dan microvolt digital, direndam ke dalam larutan kopi arabika dan larutan teh oolong. Perendaman dilakukan selama 5 hari. Setelah perendaman diukur nilai perubahan warna dengan alat optical spectrometer (OPT 101 type of photo detector) dan microvolt digital. Hasil penelitian diuji secara statistik dengan uji one way Anova dan post hoc LSD. Hasil dan Pembahasan: Berdasarkan Hasil uji one way Anova menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara tiap kelompok perlakuan terhadap perubahan warna resin komposit nanofiller (p<0,05). Simpulan: Penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan perubahan warna resin komposit nanofiller secara signifikan akibat perendaman dengan larutan kopi arabika dan larutan teh oolong yang berarti larutan kopi arabika lebih menyebabkan perubahan warna secara signifikan dibandingkan dengan larutan teh oolong. Kata kunci: Komposit Nanofiller, kopi dan teh, perubahan warna.

ABSTRACT Background: Composites resin is tooth-colored material, It is used as a restoration material because it has good aesthetic value and recomended for anterior and posterior teeth. Composites resin has absorption feature of water diffusion in the resin matrix and absorption on the filler. The arabica coffee and oolong tea drink can result the discoloration of the nanofilled composite resin due to acidity. Tannins may cause discoloration of the composite resin Purpose: The aim of this study was to determine the difference in discoloration of nanofilled composite resin between arabica coffee and oolong tea solutio. Method: This research was a true experimental research with pre and post test with control design. The samples in this research were nanofil led composites resin with diameter of 10 mm and 2mm thick , 12 samples divided into 3 groups. The samples were soak ed in saline solution for 24 hours in 37ยบC incubator then measured with optical spectrometer (OPT 101 type of photo detector) and digital microvolt. Then soak ed in arabica coffee and oolong tea solution. Soak ing had been done for 5 days. After the samples were soak ed in different media, the samples were measured to find the rate of discoloration with optical spectrometer (OPT 101 type of photo detector) and digital microvolt. Statistical tests used were one-way ANOVA test and post hoc LSD.

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

25


Result: Based on the statistical test results of one-way ANOVA showed a significant difference between each treatment group to discoloration of nanofilled com posite resin (p<0.05). Conclusion: This research showed the differences in discoloration of nanofilled composite resin significantly as a result of soak ing in a solution of arabica coffee and oolong tea solution which means a solution of arabica coffee caused more significant discoloration compared with oolong tea solution. Keywords: Nanofilled Composite, coffe and tea, discoloration. 1. PENDAHULUAN Resin komposit dapat didefinisikan sebagai gabungan dua atau lebih material berbeda dengan sifat-sifat yang unggul atau lebih baik dari bahan itu sendiri. Resin komposit mempunyai kelebihan, yaitu mempunyai kekuatan tarik dan tekan yang tinggi, koefisien muai panas yang rendah dan resistensi terhadap abrasi. S elain mempuny ai k elebihan, bahan t umpat an t ers ebut juga memilik i k ek urangan, y ait u dapat meny erap air y ang dapat mempengaruhi ik at an k omponen dalam res in k ompos it . Adanya partikel pengisi dalam matriks resin meningkatkan kekuatan dari resin komposit, ada beberapa jenis resin komposit menurut partikel pengisi adalah macrofilled, microfilled, small-particle, hibrid, microhybrid, nanofilled, nanohybrid, dan flowable composit. [1,2] Resin komposit nano filler merupakan bahan restorasi universal yang diaktifasi oleh visible-light yang dirancang untuk k eperluan meres t oras i gigi ant erior maupun pos t erior. Res in k ompos it nanofiller memilik i s ifat k ekuatan dan ketahanan hasil poles yang sangat baik. Resin ini dikembangkan dengan konsep nanotechnology, yang biasanya digunakan untuk membentuk suatu produk yang dimensi komponen kritisnya adalah sekitar 0.1 hingga 100 nanomer. Indikasi resin komposit ini cukup luas, meliputi restorasi direk gigi anterior maupun posterior, sandwich technique bersama dengan material resin glass ionomer, cusp buildup, core buildup, splinting, restorasi indirek gigi anterior maupun posterior termasuk inlay, onlay and veneer. [3] Material resin komposit mempunyai estetik yang lebih baik dibanding restorasi lain, keunggulan lainnya adalah warna yang mirip dengan struktur gigi asli, shrink age yang rendah, absorpsi cairan rendah, tekstur permukaannya dapat dipoles, namun selama pemakaian dapat mengalami perubahan warna. [4] Stabilitas warna resin komposit adalah salah satu

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

dari faktor-faktor penting keberhasilan restorasi estetik. Perubahan warna resin komposit menyebabkan pasien tidak puas dan menyebabkan kegagalan. Resistensi resin komposit terhadap perubahan warna penting karena stabilitas warna masih dianggap sebagai masalah utama. [4],[5] Perubahan warna pada resin komposit dapat terjadi karena faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik dapat disebabkan oleh material resin komposit itu sendiri yaitu jenis filler, perubahan matriks resin, kurang kuatnya penyinaran menyebabkan perubahan dari resin matrik itu sendiri dan perubahan antar muka antara matrik dan filler, monomer sisa yang tidak mengalami polimerisasi . [4,5] Stabilitas warna matriks resin juga rendah karena sifat resin yang dapat mengabsorpsi cairan. Banyak peneliti melaporkan bahwa stabilitas warna resin komposit dapat dipengaruhi oleh pemolesan permukaan yang bervariasi. Permukaan yang dipoles hingga licin mengkilap umumnya dianggap lebih tahan terhadap pewarnaan dibandingkan permukaan lainnya. [4] Faktor intrinsik melibatkan absorpsi bahan pewarna sebagai akibat kontaminasi dari berbagai sumber eksogen, seperti tembakau, minuman kopi, teh dan cola. Sejumlah peneliti menemukan kopi menghasilkan perubahan warna lebih banyak dibandingkan teh, cola dan air . [5,6] Kopi dan teh merupakan minuman yang sangat merakyat di dunia. Sama halnya seperti di Indonesia. Kopi merupakan biji buah pohon Genus coffea. Unsur-unsur yang terkandung dalam kopi terdiri atas kafein, trigonelin (C7H7NO2), sukrosa, monosakarida, asam klorogenat dan asam nikotinat. Ada dua jenis kopi yang komersial di dunia, yaitu kopi arabika dan kopi robusta. Kopi arabika adalah kopi dengan cita rasa terbaik. Sebagian besar kopi yang ada di pasaran, dibuat dengan menggunakan biji kopi jenis ini. [7,8]

26


Teh dapat diklasifikasikan dalam 4 jenis, yaitu teh hijau, teh oolong, teh hitam, dan teh putih. Perbedaan keempatnya terletak pada proses pengolahan teh tersebut sehingga mempengaruhi katekin (zat warna dalam teh). Teh oolong adalah teh tradisional China yang telah lama diyakini bermanfaat untuk diet dan kesehatan yang sekarang ini banyak diminum oleh masyarakat luas. [9] Teh oolong diproses melalui pemanasan daun dalam waktu singkat setelah penggulungan, oleh sebab itu teh oolong disebut dengan teh semifermentasi. Karakteristik teh oolong berada di antara teh hitam dan teh hijau. Salah satu kerugian dari mengonsumsi kopi arabika dan teh oolong adalah dapat menimbulkan terjadinya stain pada gigi dan restorasi resin komposit. [6,9,10] Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin meneliti perbedaan perubahan warna resin komposit nanofiller pada perendaman larutan kopi arabika dan teh oolong. [11] 2. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah true experimental (eksperimental murni) laboratorium dengan pre-post tes control group design, yaitu penelitian untuk mengetahui perubahan warna resin komposit nanofiller sebelum dan setelah dilakukan perendaman dalam larutan kopi arabika dan teh oolong. Penelitian ini menggunakan simple random sampling terdiri dari 3 perlakuan yaitu dengan larutan kopi arabika, larutan teh oolong dan aquades steril. Sampel pada penelitian ini menggunakan komposit jenis nanofiller berbentuk cakram berdiameter 10 mm, tebal 2mm (ISO 4049 (2000)) yang dibuat dengan cetakan mold dengan dimensi yang diinginkan. Cara menentukan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus Lemeshow. Sampel untuk 3 kelompok masing-masing berjumlah 4 buah, dengan total sampel ada 12 buah. Pengukuran perubahan warna dilakukan di Laboratorium Fisika Optik Fakultas Sains dan Tekhnologi Universitas Airlangga. Pembuatan sampel dilakukan di Laboratorium Kering Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat dengan prosedur sebagai berikut, Tahap pertama, 12 disk spesiemen dibuat untuk 3 kelompok larutan perendaman dengan

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

cetakan mold dengan diameter 10 mm dan tebal 2 mm. Alat polimerisasi cahaya light curing unit digunakan untuk polimerisasi resin komposit nanofiller. Ujung lampu ditunjukkan ke tengah selama 20 detik, ujung sinar harus diletakkan sedekat mungkin dengan permukaan resin, resin komposit dikeluarkan dari cetakan mold, di peroleh sampel resin komposit nanofiller.[12] Sampel diberi perlakuan dengan membagi menjadi 3 kelompok masingmasing 5 sampel untuk kelompok 3 perlakuan yaitu dengan larutan kopi arabika, larutan teh oolong dan aquades steril. Perendaman sampel dilakukan di Laboratorium Bakteriologi dan Mikologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Sampel direndam pada larutan saline terlebih dahulu selama 24 jam dengan suhu 37oC dalam inkubator agar dapat terjadi polimerisasi penuh, dan selanjutnya dilakukan pengukuran awal dengan rangkaian alat optical spectrometer (OPT 101 type of photo detector) dan microvolt digital pada setiap sampel. Setiap sampel direndam dengan 3 perlakuan yaitu dengan larutan kopi arabika, larutan teh oolong dan aquades steril. Persiapan larutan sebelumnya yaitu kopi arabika 10 gram di seduh dengan air panas sebanyak 200 ml dengan suhu 100o dan teh oolong 2,25 gram di seduh dengan air panas sebanyak 200 ml dengan suhu 100oC dan biarkan larutan tersebut hingga sesuai dengan suhu ruangan. Sampel dari tiap kelompok di ambil dengan menggunakan pinset dan di rendam dengan larutan kopi arabika, teh oolong dan aquadest steril selama 24 jam perhari selama 5 hari. Sebelumnya di lihat warna asli restorasi dengan menggunakan rangkaian alat optical spectrometer (OPT 101 type of photo detector) dan microvolt digital, kemudian dimasukkan kedalam larutan dan larutan di ganti setiap 24 jam. Sampel yang telah direndam sesuai waktunya, diambil satu persatu dari wadah menggunakan pinset dan diletakkan dalam nierbekken dan di ukur kembali dengan menggunakan rangkaian alat optical spectrometer (OPY 101 type of photo detector) dan microvolt digital. Uji normalitas Shapiro-Wilk test dan uji homogenitas Levene’s test. Data terdistribusi normal dan homogeny, maka dilakukan analisis parametrik dengan menggunakan uji hipotesis One Way

27


ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95% (Îą=0,05). Jika ada perbedaan bermakna, maka dilanjutkan dengan uji Post Hoc LSD. 3. HASIL Hasil pada penelitian perbedaan perubahan warna resin komposit nanofiller pada perendaman larutan kopi arabika, teh oolong dan aquadest steril dapat dilihat pada Gambar 1.

Gam bar 1. Diagram Rata-Rata perubahan warna resin komposit nanofiller pada perendaman larutan kopi arabika, teh oolong dan aquadest steril

Gambar 1 menunjukkan rata-rata untuk hasil pengukuran perubahan warna resin komposit nanofiller kelompok perendaman larutan kopi arabika (1,242 Âą 0,0340 mv) mengalami perubahan warna lebih tinggi dibandingkan larutan teh oolong (1,076 Âą 0,0094 mv) dan aquadest steril (0,958 Âą0,0356 mv). Setelah dilakukan pengukuran, didapatkan hasil dan dilakukan analisis data dengan menggunakan uji normalitas Shapiro-Wilk test. Semua kelompok mendapatkan hasil p>0,05 yang berarti data berdistribusi normal. Analisis data dilanjutkan dengan levene test untuk mengetahui varian atau homogenitas kelompok, hasil uji homogenitas menunjukkan nilai p=0,123 (p>0,05) yang berarti data homogen. Syarat uji parametrik adalah data terdistribusi normal dan homogen sehingga data ini dilanjutkan dengan uji parametrik One Way Annova. Dari hasil uji One Way Annova didapatkan nilai p=0,000 (p<0,05). Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna nilai perubahan warna resin komposit nanofiller pada perendaman larutan larutan kopi arabika dan teh oolong. Untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki perbedaan bermakna maka dilakukan uji post hoc LSD. Aquadest steril sebagai kontrol dibandingkan dengan kelompok larutan kopi arabika dan larutan teh oolong menunjukkan perbedaan yang bermakna

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

(p<0,5). Analisis dilanjutkan dengan melihat perbedaan antar kelompok perlakuan yaitu antara larutan kopi arabika, teh oolong dan aquadest steril, berdasarkan uji post hoc LSD didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan bermakna antara larutan kopi arabika dan teh oolong dengan nilai signifikasi p=0,000 yang berarti larutan kopi arabika secara signifikan lebih menyebabkan perubahan warna dibandingkan dengan larutan teh oolong. Adapun untuk nilai perbedaan ratarata larutan kopi arabika dan aquadest terdapat perbedaan bermakna dengan nilai signifikasi p=0,000 dan teh oolong dengan larutan kontrol aquadest menunjukkan nilai signifikasi p=0,000 yang berarti terdapat perbedaan bermakna dalam tiap perlakuan (p<0,05). 4. PEMBAHASAN Penelitian tentang perubahan warna resin komposit nanofiller terdapat perbedaan bermakna dalam tiap perlakuan (p<0,05). Hal ini dapat terjadi karena perbedaan masing-masing intensitas stain, perbedaan perubahan warna yang bermakna pada resin komposit nanofiller juga dapat berhubungan dengan kemampuan resin komposit nanofiller untuk mengabsorpsi dan atau mengadsorpsi pigmen warna yang ada di dalam minuman kopi arabika dan teh oolong. Penelitiaan Moon dkk (2004) menyatakan stain teh melekat pada bagian superfisial resin komposit dan lebih mudah hilang dibandingkan stain kopi setelah penyikatan gigi dengan pasta. [13] Burrow dan Makinson (1991) juga menyimpulkan bahwa perubahan warna resin komposit lebih terlihat akibat absorpsi dari minuman yang berwarna dibandingkan air. [14] Resin komposit merupakan bahan tumpatan pilihan yang potensial dan terus berkembang dengan sifat-sifat fisik, warna dan kekuatan perlekatan terhadap jaringan gigi sehingga memungkinkan penggunaan resin komposit untuk gigi anterior maupun posterior. [15] Bahan tumpatan estetik agar dapat diterima secara klinis tidak hanya harus sesuai dengan warna gigi, tetapi juga mampu menjaga stabilitas warna tersebut selama bertahun-tahun. Hal ini bertujuan mempertahankan restorasi gigi terlihat estetik sehingga menunjang penampilan s es eorang. S t aining merupak an mas alah t erbes ar dalam t ant angan menggunakan bahan restorasi sewarna

28


gigi. Umumnya resin komposit dapat bertahan selama 5-12 tahun jika dirawat dengan baik dan menghindari makanan atau minuman yang dapat meninggalkan noda. Perubahan warna menjadi salah satu penyebab bahan tambal perlu di ganti karena kurang estetik sehingga tidak menunjang penampilan seseorang. [11] Perubahan warna pada resin komposit dapat terjadi karena faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik berasal dari material resin komposit itu sendiri, berupa perubahan warna yang terjadi pada matriks resin atau pada celah penghubung matriks dan filler, sedangkan faktor ekstrinsik berasal dari terakumulasinya plak dan staining akibat penetrasi zat warna dari kontaminasi eksogen. Derajat perubahan warna eksogen dipengaruhi oleh kebersihan mulut, makanan dan minuman yang dikonsumsi. [16] Perubahan warna dapat terjadi karena penyerapan air oleh resin komposit dikarenakan matriks resin bersifat hidrofilik sehingga matriks mampu menyerap air, selanjutnya terjadi peristiwa hidrolisis. Hal ini yang dapat merusak ikatan antara silane dan filler merusak ikatan filler dan matrik s. Hidrolisis juga dapat mengakibatkan degradasi antar filler. Perubahan warna resin komposit nanofiller yang direndam pada larutan kopi arabika, teh oolong dan aquadest terjadi akibat terpapar larutan terus menerus selama 5 hari yang setara dengan mengonsumsi minuman kopi arabika dan teh oolong selama 5 tahun jika seseorang rata-rata 4 cangkir kopi dan teh setiap hari dengan durasi minum rata rata 1 menit. [11] Peningkatan perubahan warna resin komposit akibat perendaman dalam larutan kopi arabika dapat terjadi dikarenakan kopi mengandung zat warna tanin. Kandungan quinic acid yang terdapat di dalam minuman kopi dapat menyebabkan kelarutan dari bahan restorasi resin komposit nanofiller sehingga dapat mendukung terjadinya perubahan warna pada resin komposit nanofiller. Kandungan teh oolong memiliki kandungan asam fenolik, tannin, polifenol serta pigmen warna berupa klorofil dan karotenoid. Kandungan zat warna dan zat asam yang terdapat pada larutan kopi arabika dan teh oolong dapat menyebabkan degradasi pada permukaan restorasi resin komposit nanofiller sehingga zat warna pada larutan dapat masuk ke dalam resin komposit.[11,7]

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

Degradasi pada permukaan resin komposit nanofiller merupakan salah satu penyebab perubahan warna. Saat resin komposit direndam dalam larutan kopi arabika, teh oolong, dan aquadest steril, terjadi peningkatan massa resin komposit yang dihasilkan penyerapan air melalui akumulasi molekul air diruang mikro antar permukaan filler dan resin. Partikel – partikel glass filler tidak bisa menyerap cairan kedalam material, sehingga cairan hanya diserap pada permukaan resin komposit saja. Akumulasi air dapat menyebabkan perubahan sifat mekanik yaitu degradasi kombinasi filler atau matriks dan pembentukan microleak age sehingga memungkinkan terjadinya stain penetration dan perubahan warna pada resin komposit. [18] Resin komposit mengandung Bis-GMA, UDMA dan TEGDMA yang dapat mempengaruhi terjadinya perubahan warna. Resin komposit nanofiller memiliki kandungan TEGDMA yang lebih sedikit dan sebagai gantinya dilakukan penambahan UDMA yang menyebabkan resin komposit nanofiller lebih mudah diaplikasikan, sehingga penyerapan air jauh lebih sedikit dibanding resin komposit lainnya. Penambahan sedikit kandungan TEGDMA pada Bis-GMA pada resin komposit dapat meningkatkan penyerapan air pada resin komposit yaitu diserapnya larutan kopi arabika yang memiliki kandungan zat pewarna tannin. Larutan teh oolong memiliki kandungan polifenol serta pigmen berupa klorofil dan karotenoid ke dalam matriks resin sehingga menyebabkan perubahan warna pada permukaan resin komposit nanofiller. [19],[20] Dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan perubahan warna resin komposit nanofiller secara signifikan akibat perendaman dengan larutan kopi arabika dan larutan teh oolong yang berarti larutan kopi arabika lebih menyebabkan perubahan warna secara signifikan dibandingkan dengan larutan teh oolong. 5. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pengaruh perendaman larutan kopi arabika, teh oolong dan aquadest terhadap perubahan warna resin komposit nanofiller dapat disimpulkan bahwa Larutan kopi hitam jenis arabika dibandingkan larutan teh oolong diketahui mempunyai

29


pengaruh lebih bermakna terhadap perubahan warna resin komposit nanofiller dan terdapat perbedaan perubahan warna secara signifikan akibat perendaman dengan larutan kopi arabika dibandingkan teh oolong.

7.

8. 6. SARAN Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik pada penelitian berikutnya, maka peneliti dapat memberikan beberapa saran sebagai masukan: 1. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk mengembangkan penelitian ini dengan menggunakan sampel yang banyak dan menambah waktu yang lama untuk mendapatkan hasil yang signifikan. 2. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk mengembangkan penelitian ini dengan menguji perubahan warna pada resin komposit nanofiller dengan aneka minuman lain. 3. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk mengembangkan penelitian ini dengan menguji tingkat absorpsi dan adsorpsi larutan teh dan kopi terhadap perubahan warna resin komposit DAFTAR PUSTAKA 1. Baum P dan Lund. Buk u Ajar Ilmu Konservasi Gigi. Edisi III. Jakarta: EGC, 2002. p.74-81. 2. Cabe FJ, Walls AWG. Applied Dental Materials. 9th ed. USA: Blackwell Scientific Publications, 1984. p. 138152. 3. Permatasari R, Usman M. Penutupan Diastema dengan Menggunakan Komposit Nanofiller. Indonesian Journal of Dentistry (2008); 15 (3): 239-246 4. Mahdisiar F, Nasoohi N, Safi M, Sahraee Y, Zavareian. Evaluating The Effect of Tea Solution on Color Stability of Three Dental Composite (In Vitro). Original article
 J Res Dent Sci
 Spring (2014); 11(1): 14-19. 5. Hesmat H, Hoorizad, Gangkar M. Color Stability of Three Composite Resins Following Accelerated Artificial Aging: An In-Vitro Study. The Journal of Islamic Dental Association of IRAN (JIDA) Spring (2014); 1 : 9-14. 6. Yan-Fang R, Lin F, Diana S. Effects of Common Beverage Colorants on Color Stability of Dental Composite Resins: The Utility of A Thermocycling Stain Challenge Model in Vitro.

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

Journal of dentistry 40s (2012); 48-49. Prastowo B, Karmawati E, Rubijo, Siswanto. Budidaya dan Pasca Panen kopi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perk ebunan. (2010). p.1-14. Pintadi H, Annisa H. Pengaruh Konsentrasi Kopi Hitam terhadap Perubahan Warna Resin Komposit Hybrid.Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah (2011). p.1-20. Hartoyo Arif. Teh & Khasiatnya bagi Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius (2003). p. 9-11, 28-29. Vinodh Kumar.P, B S Shruthi. Tea: An Oral Elixir.Scholars Academic Journal of Pharmacy (SAJP) Sch. Acad. J. Pharm (2014); p.9-18. Hesmat H, Hajian M, Hoorizad Ganjkar M. Effect of Tea on Color Change of Silorane and Methacrylate based Composite Resins. The Journal of Islamic Dental Association of IRAN (JIDA) Summer (2013); 25(2): 142146. Archegas LR, Caldas DB, Rached R N, Viera S,Souza EM. Sorpotion and Solubility of Composite Cured with Quartz-tungsen Hologen and Light Emitting Diode Light-curing Alats. Journal Contemporary Dental practice (2008); 9(2) :128. Patel SB, Gordan VV,baret AA,shen C. The Effect of Surface Finishing and Storage Solutions on The Color Stability of Resin-Based Composite. JADA (2004); 135: 587-94. Burrow MF, Makinson OF, Color Change in Light-Cured Resins Exposed to Daylight. Quintessence International (1991); 22: p. 447-452. Tjuatja L, Mulyawati E, Halim F Setiady. Perbedaan Kekerasan Mikro Permukaan Resin Komposit Mikrofil dan Nanofil Pada Penggunaan Bahan Karbamid Peroksida 45% dan Hydrogen Peroksida 45% secara In Office Bleaching Kedokteran Gigi. (2011); 2 (4): p. 264-270. Martins ALB. Color Stability of A Nanofilled Resin: Influence of Polishing and Finishing and Fluoride Solutions According to Time (2014); 2(2): 119-128. Tham WL, Chow WS, Mohd Ishak ZA. Simulated Body Fluid and Water Absorption Effectson Poly (methylmethacrylate)/ Hydroxyapatite

30


Denture Base Composites. EXPRESS Polymer Letters (2010); 4(9): 517–528. 18. Geraldo SD, Scaramucci T, SteagallJr, et al. Interaction Between Staining and Degradation of A Composite Resin In Contact With Colored Foods. Brazil Oral research (2011); 25(4): 369-75. 19. Ren YF, et al. Effects of Common Beverage Colorants on Color Stability of Dental Composite Resins: The Utility of A Thermocycling Stain Challenge Model In Vitro. Journal of Dentistry (2012): 48-56. 20. Al-Dharrab A. Effect of Energy Drink On The Color Stability of Nanofilled Composite Resin. The Journal of Contemporary Dental Practice (2013); 14(4): 704-711.

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

31


Research

PERBANDINGAN ANGKA INDEKS DMF-T SEBELUM DAN SESUDAH PROGRAM FIT FOR SCHOOL Tinjauan Terhadap Siswa Kelas 6 SDN Kebun Bunga 5 Banjarmasin 2015 M. Evan Rifqi1, Rosihan Adhani1, Widodo1 1

Mahasisw a Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

ABSTRAK Latar Belakang: Odontologi forensik merupakan suatu bentuk aplikasi ilmu kedokteran Pendahuluan: Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari tiga provinsi yang mempunyai kesehatan gigi dan mulut yang cukup tinggi yaitu 36,1%. Banjarmasin memiliki prevalensi penduduk yang bermasalah dalam kesehatan gigi dan mulut sebanyak 38,2% dan pada anak-anak usia 5-9 tahun sebanyak 28,6% mengalami masalah gigi dan mulut. Usaha untuk mengatasi masalah kesehatan gigi pada anak adalah program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS). Salah satu metode dalam pelaksanaan UKGS inovatif untuk mengatasi masalah kesehatan gigi pada anak adalah Program Fit For School. Berdasarkan survei peneliti, SDN Kebun Bunga 5 Banjarmasin telah melaksanakan Program Fit For School sejak tahun 2014 dengan demikian Fit For School sudah berjalan selama 1 tahun. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan angka indeks dmf-t sebelum dan sesudah program fit for school pada siswa kelas 6 SDN Kebun Bunga 5 Banjarmasin 2015. Metode: Jenis penelitian ini yaitu analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Sampel pada penelitian ini adalah semua murid kelas 6 di Sekolah Dasar Negeri Kebuan Bunga 5 Banjarmasin yang sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan DMF-T oleh petugas puskesmas pada tahun 2014. Hasil dan Pembahasan: Data yang diperoleh dilakukan analisis menggunakan uji nonparametrik uji non parametrik wilcoxon dengan hasil signifikansi sebesar 0,003 (p<0,05). Simpulan: Terdapat perbandingan indeks DMF-T tahun 2014 sebelum program Fit For School dan indeks DMF-T tahun 2015 sesudah perogram Fit For School yang dilakukan di SDN Kebun Bunga 5 Banjarmasin. Kata kunci: Fit For School, perbandingan, indeks DMF-T.

ABSTRACT Background: South Kalimantan is one of three provinces with quite high rate of oral health problems which is at 36.1%. the prevalence of people with oral health problems in Banjarmasin is at 38.2% and 28.6% children at the age of 5-9 year old have oral and dental problems. Unit Kesehatan Gigi Sek olah (UKGS) is an effort to overcome dental health problems in children. One of the methods in the implementation of innovative UKGS to overcome dental health problems in children in Fit For School program. Based on survey of researchers, SDN Kebun Bunga % Banjarmasin has implemented Fit For School program since 2014 thus Fit For School has been running for a year. Purpose: To determine the comparison of DMT-index before after the Fit For School program implementation in SDN Kebung Bunga 5 Banjarmasin. Method: This study used an observational analytic with cross-sectional approach. The samples in this study were all grade 6 students in SDN Kebun Bunga 5 Banjarmasin which previously had been inspected with DMF-T by the public health service work er in year 2014. Result and Discussion: The data were analyzed using non-parametric Wilcoxon test a result of 0.003 significance (p<0.005). Conclusion: The conclusion of this study is that there is a comparison between DMT-index in year 2014 before the Fit For School program BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

32


implementation and DMF-T index in year 2015 after the Fit For School program was implemented at SDN Kebung Bunga 5 Banjarmasin. Keywords: comparison, DMF-T index, fit for school.

1. PENDAHULUAN Status kesehatan gigi dan mulut usia 12 tahun merupakan indikator utama pengukuran pengalaman karies gigi yang dinyatakan dengan indeks Decay Missing Filing Tooth (DMF-T). World Healt Organization dalam Health for All by the Year 2000 menargetkan pada tahun 2000 sebanyak 50% anak usia 5 - 6 tahun bebas karies, hingga saat ini target tersebut belum tercapai.[3] World Health Organization tahun 2001 menetapkan Oral Health Global Indicator for year 2015, skor Decay Missing Filling Tooth (DMF-T) pada usia 12 tahun < 3. Target nasional indeks Decay Missing Filling Tooth (DMF-T) rata-rata ≤ 2.[4] Oleh karena itu, dibutuhkan upaya pencegahan penyakit gigi melalui sekolah, pada jenjang yang lebih awal. [4] Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 di Indonesia indeks DMF-T Provinsi di Kalsel sebesar 7,2 tertinggi ke-2, sedangkan yang tertinggi Pertama di Bangka Belitung dengan indeks DMF-T 8,5 dan terendah adalah papua barat dengan indeks DMF-T 2,6. Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari tiga provinsi yang mempunyai kesehatan gigi dan mulut yang cukup tinggi yaitu 36,1%. Kota Banjarmasin memiliki prevalensi penduduk yang bermasalah dalam kesehatan gigi dan mulut sebanyak 38,2% dan pada anak-anak usia 5-9 tahun sebanyak 28,6% mengalami masalah gigi dan mulut.[1] Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 juga menyatakan hampir semua penduduk berperilaku menyikat gigi saat mandi dan sangat sedikit penduduk yang menyikat gigi setelah makan pagi, tetapi hampir setengah penduduk Provinsi Kalimantan Selatan menyikat gigi menjelang tidur malam dan penduduk yang berperilaku benar menggosok gigi sebanyak 5,0%. Hal ini menunjukkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang cara merawat kesehatan gigi, seperti cara dan waktu yang baik dalam menggosok gigi. [2] Dibutuhkannya perhatian dan penanganan serius dari tenaga kesehatan, agar target pencapaian gigi sehat WHO

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

tercapai baik dokter gigi maupun perawat gigi serta suatu tindakan pencegahan 5. Pencegahan ditujukan kepada murid sekolah melalui suatu program kesehatan yang terencana dan terpadu di sekolah dasar.[6],[7] Usaha untuk mengatasi masalah kesehatan gigi pada anak adalah program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS), yaitu salah satu program pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas dan dibawahi oleh program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah. UKGS memberikan pelayanan dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang di tujukan bagi anak usia sekolah di lingkungan sekolah binaan agar mendapatkan generasi yang sehat. [6] Salah satu metode dalam pelaksanaan UKGS inovatif untuk mengatasi masalah kesehatan gigi pada anak adalah Program Fit For School,menjadikan sekolah sebagai sarana anak-anak bertumbuh dan belajar adalah tujuan dari pendekatan Fit For School adalah sebuah konsep sekolah sehat inovatif dan menyeluruh yang pertamakali dikembangkan di Filipina dan diperkenalkan ke Negara Asia Tenggara lainnya, seperti Kamboja, Indonesia dan Laos. Pendekatan program Fit For School berpedoman pada tiga prinsip yaitu, sederhana dapat di perluas dan berkelanjuatan. Program sekolah sehat dan pelaksanaannya harus berdasarkan pada bukti terbaik, terjangkau serta dapat dilaksanakan sesuai kemampuan sekolah dengan sedikit upaya extra. Kerjasama erat dengan orang tua murid dan komunitas setempat. Sejalan dengan prinsip tersebut, kegiatan cuci tangan pakai sabun dan gosok gigi dengan pasta gigi berfluoride dilaksanakan sebagai kegiatan kelompok setiap hari, dilengkapi dengan pemberian obat cacing dua kali setahun. Kegiatan ini ditujukan untuk mencegah penyakit yang banyak menyerang anak sekolah. Untuk menciptakan lingkungan yang sehat, sekolah membutuhkan sarana cuci tangan dan gosok gigi serta toilet yang bersih. Sarana sekolah yang paling dasar ini adalah persyaratan awal untuk pembiasaan hidup sehat dan merupakan faktor utama yang menentukan kesehatan anak.[8]

33


2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan pendekatan cross sectional yaitu penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data variabel bebas dan variabel terikat hanya satu kali pada satu waktu tanpa ada tindak lanjut. Populasi pada penelitian ini adalah semua murid kelas 6 di Sekolah Dasar Negeri Kebun Bunga 5 Banjarmasin. Populasi ini didapatkan dari hasil data pemeriksaan DMF-T yang sebelumnya telah dilakukan oleh petugas puskesmas pada tahun 2014. Sehingga peneliti menggunakan populasi berdasarkan hasil data yang di dapat untuk membandingkan hasil DMF-T pada murid yang sama. Populasi yang digunakan yaitu sebanyak 45 orang siswa. Sampel pada penelitian ini adalah semua murid kelas 6 di Sekolah Dasar Negeri Kebuan Bunga 5 Banjarmasin sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan DMF-T oleh petugas puskesmas pada tahun 2014. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling. Total sampling adalah teknik pengambilan sampel di mana jumlah sampel sama dengan populasi. Alasan mengambil total sampling karena menurut jumlah populasi yang kurang dari 100 seluruh populasi dijadikan sampel penelitian semuanya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel yang digunakan untuk penelitian ini sama dengan total populasi yang ada yaitu sebanyak 45 orang. Tahap awal dalam penelitian ini yaitu membuat surat izin penelitian dari Fakultas K edok t eran univers it as Lambung Mangk urat . S urat iz in penelit ian diajuk an kepada Manager GIZ-Regional Fit For S c hool P rogram Indones ia, K epala Dinas K es ehat an K ot a Banjarmasin, Kepala Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin, Kepala Puskesmas Cempaka Putih dan Kepala SDN Kebun Bunga 5 B anjarmas in. Melakukan pengumpulan data sebelum melakukan Fit For School yang diperoleh dari Dinas Kesehatan, Puskesmas dan Sekolah. Setelah itu kunjungan awal kesekolah untuk mengumpulkan biodata berupa nama, jenis kelamin dan tanggal lahir siswa yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Setelah tahapan persiapan selesai dilanjutkan dengan tahap pelaksanaan penelitian. Tahapan ini diawali dengan meminta kesediaan siswa-siswi SDN Kebun Bunga 5 Banjarmasin untuk menjadi sample penelitian, setelah

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

responden bersedia untuk menjadi sampel penelitian, selanjutnya dilakukan pemeriksaan indeks DMF-T. Setelah mendapatkan indeks DMF-T responden dari hasil pemeriksaan kemudian data diolah dan dianalisis untuk mendapatkan hasil penelitian. 3. HASIL DMF-T siswa SDN Kebun Bunga 5 Banjarmasin pada tahun 2014 sebelum melakukan Fit For School di Puskesmas Cempaka Putih dan pengambilan sampel indeks DMF-T 2015 setelah Fit For School. Sampel pada penelitian ini yaitu sejumlah 45 orang siswa. Setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan hasil indeks DMF-T kemudian dilakukan analisis data. Tabel 1. DMF-T sebelum Fit For School D M F DMF-T 55

0

6

61

90%

0%

10%

100%

Hasil Tabel 1 dapat dilihat data indeks DMF-T sebelum Fit For School dengan nilai indeks D (Decay) memiliki nilai presentase paling tinggi dibandingkan presentase M (Missing) dan F(Filing). Nilai presentase indeks D (Decay) yang didapat yaitu 90% dengan jumlah sampel yang digunakan 45 orang siswa. Tabel 2. DMF-T sesudah Fit For School

D 63 98%

M 1 2%

F 0 0%

DMF-T 64 100%

Setelah dilakukan penelitian oleh peneliti dan petugas Puskesmas dengan jumlah sampel 45 orang siswa maka diperoleh indeks DMF-T sesudah Fit For School. Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat nilai indeks D (Decay) memiliki nilai presentase paling tinggi dibandingkan presentase M (Missing) dan F(Filing). Nilai presentase indeks D yang didapat yaitu 98%. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan didapatkan nilai rerata indeks DMF-T sebelum dan sesudah penelitian dapat dilihat berdasarkan tabel 3.

34


Tabel 3. Nilai Rata-rata indeks DMF-T sebelum dan sedudah dilakukannya Fit For School. Perlakuan

Fit For School

Rata-rata Indeks DMF-T Sebelum

Sesudah

1,58

2,37

Hasil uji normalitas dengan Shapiro wilk didapatkan hasil bahwa data tidak terdistribusi normal sehingga dilanjutkan dengan uji non parametrik menggunakan uji wilcoxon. Berdasarkan metode perhitungan yang dilakukan dalam rumus Wilcoxon Signed Ranks tes, nilai-nilai yang didapat adalah: a. Negative Ranks atau selisih antara DMF-T 2 dan DMF-T 1 yang negatif sebanyak 2 orang, dengan kata lain terdapat 2 orang pada penghitungan DMF-T 2 yang kurang dari (mengalami penurunan) dari DMF-T 1. b. Positive Ranks atau selisih antara DMF-T 2 dan DMF-T 1 yang positif sebanyak 13 orang, dengan kata lain terdapat 13 orang pada perhitungan DMF-T 2 yang lebih dari (mengalami peningkatan) dari DMF-T 1. c. Ties atau tidak ada perbedaan antara DMF-T 1 dan DMF-T 2 sebanyak 30 orang. Selanjutnya berdasarkan hasil dari perhitungan Wilcoxon Signed Rank Test, Maka p value sebesar 0,003 dimana kurang dari batas kritis penilaian 0,05. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa terdapat perbedaan indeks DMF-T sebelum dan sesudah program Fit For School sehingga H1 diterima dan H0 ditolak. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal yang dibuat bahwa H0 diterima dan H1 ditolak. Berdasarkan persentasi perbandingan kegiatan Fit For School yang dilakukan di SDN Kebun Bunga Banjarmasin dapat dilihat pada Gambar 1.

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

Gam bar 1. Persentase hasil perbandingan indeks DMF-T berdasarkan uji statistik.

Hasil presentase nilai DMF-T tersebut didapatkan dari: DMF-T tetap didapatkan dari 30 orang DMFT yang tetap dibagi 45 responden dikalikan 100% dan didapatkan hasil 67% DMF-T yang tetap. DMF-T menurun didapatkan dari 2 orang DMF-T yang menurun dibagi 45 responden dikalikan 100% dan didapatkan hasil 4% DMF-T yang menurun. DMF-T meningkat didapatkan dari 13 orang DMF-T yang meningkat dibagi 45 responden dan dikalikan 100% dan didapatkan hasil 29% DMF-T yang meningkat. 4. PEMBAHASAN Nilai perbandingan yang diperoleh berdasarkan data yang didapatkan sebelum dan sesudah program Fit For School di SDN Kebun Bunga 5 Banjarmasin menunjukan kriteria indeks DMF-T sama yaitu rendah tetapi terjadi peningkatan pada kariesnya (Decay) sebanyak 29% setelah dilakukannya program Fit For School. Hasil penelitian ini terdapat perbandingan antara sebelum dan sesudah program Fit For School, hasil ini terjadi karena adanya beberapa faktor. faktor menurut Keyes tiga faktor utama penyebab karies yaitu gigi dan saliva, mikro organisme, substrat atau makanan. Oleh Newburn teori tiga faktor ini ditambah dengan faktor waktu sehingga menjadi empat faktor penyebab karies yang saling mempengaruhi yaitu host, agent, environmen, dan time. [9] Salah satu program Fit For School yang dijalankan adalah sikat gigi bersama disekolah pada siang hari, sedangkan pada malam hari siswa tidak terkontrol akan menyikat giginya sebelum tidur. Proses terjadinya karies lebih mudah terjadi saat kita beristirahat pada malam hari sebelum tidur. Kebiasaan menggosok gigi 35


yang baik di malam hari adalah setelah makan atau sebelum tidur malam, menggosok gigi yang efektif adalah sebelum tidur malam. [10] Menyikat gigi malam sebelum tidur adalah kegiatan membersihkan plak dari gigi dan mulut yang dilakukan pada malam hari sebelum tidur dan merupakan hal yang perlu mendapat lebih banyak perhatian, penting dilakukan karena interaksi bakteri dan sisa sisa makanan yang berasal dari makan malam dapat terjadi ketika tidur malam. [11] Ada berbagai alasan, alasan pertama adalah pada saat kita masih terjaga produksi saliva cukup banyak. Saraf parasimpatis dan simpatis di tubuh kita mengandalkan produksi saliva yang keluar dari kelenjar saliva sublingual agar tidak terhambat, hasilnya pada saat kita terjaga proses pembersihan gigi secara alami berlangsung dengan baik. Sebaliknya, di malam hari pada saat kita tidur produksi aliran saliva berkurang, sehingga mulut menjadi relative lebih kering dari fungsi self cleansing dan penetralan plak tidak akan berlangsung optimal. Penetralan plak yang tidak optimal dapat menyebabkan pH plak di bawah pH kritis. [12] yang akhirnya menyebabkan terjadinya dimeneralisasi email. Berkurangnya kadar flour berarti proses mineralisasi menurun dan k emungk inan pros es demineralis as i meningk at . Flour berperan memic u remineralis as i. Masyarakat dapat dengan mudah memperoleh flour dari pasta gigi, semakin sering menyikat gigi dengan pasta gigi yang mengandung flour, semakin sering terpapar ion flour sehingga dapat meningkatkan remineralisasi, menghambat demineralisasi terutama pada malam hari pada saat potensi saliva menurun. [13] 5. SIMPULAN DAN SARAN Terdapat perbandingan indeks DMF-T tahun 2014 sebelum program Fit For School dan indeks DMF-T tahun 2015. Indeks DMFT sebelum program tahun 2014 adalah 1,58 dengan kriteria rendah. Indeks DMF-T sesudah program tahun 2015 adalah 2,37 dengan kriteria rendah Perbandingan indeks DMF-T tahun 2014 dan tahun 2015 didapatkan hasil 30 orang dengan presentase sekitar 67% anak dengan indeks DMF-T yang tetap dan dapat disimpulkan bahwa program Fit For School berhasil diterapkan di SDN Kebun Bunga 5 Banjarmasin di lihat pada presentasenya

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

yang cukup baik, tetapi terdapat kekurangan dari hasil yang didapatkan bahwa terdapat 13 orang dengan persentase 29% yang mengalami peningkatan indeks DMF-T sesudah dilakukan pemeriksaan dan 2 orang dengan presentase 4% mengalami penurunan. Adanya evaluasi untuk program Fit For School agar siswa diberikan pretest dan posttes tentang program Fit For School sehingga siswa dapat menerapkan program Fit For School secara optimal. Perlu adanya evaluasi oleh Dinas Kesehatan dan Puskesmas untuk seluruh guru yang memandu kegiatan Fit For Scool disekolah agar tercapainya tujuan dari kegiatan Fit For School, salah satunya yaitu terjadinya penurunan indeks karies. Pemberian penyuluhan dari Dinas Kesehatan maupun petugas Puskesmas kepada kelompok orang tua murid secara bertahap disekolah yang melaksanakan program Fit For School, dengan tujuan agar orang tua murid dapat membantu berjalannya program Fit For School dengan optimal untuk mengurangi angka indeks karies pada anak khususnya di Provinsi Kalimantan Selatan. Saran pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Adanya evaluasi untuk program Fit For School agar siswa diberikan pretest dan posttes tentang program Fit For School sehingga siswa dapat menerapkan program Fit For School secara optimal. 2. Perlu adanya evaluasi oleh Dinas Kesehatan dan Puskesmas untuk seluruh guru yang memandu kegiatan Fit For School disekolah agar tercapainya tujuan dari kegiatan Fit For School, salah satunya yaitu terjadinya penurunan indeks karies. 3. Pemberian penyuluhan dari Dinas Kesehatan maupun petugas Puskesmas kepada kelompok orang tua murid secara bertahap disekolah yang melaksanakan program Fit For School, dengan tujuan agar orang tua murid dapat membantu berjalannya program Fit For School dengan optimal untuk mengurangi angka indeks karies pada anak khususnya di Provinsi Kalimantan Selatan.

36


DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Laporan Nasional tahun 2013. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Dapertemen Kesehatan RI. 2013. 2. Laporan Hasil Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013. Jakarta : Badan Penelitian dan Perhubungan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2013. 3. Petersen PE, Bourgeois D, Brathall D, Ogawa H. Oral Health Information Systems-Towards Measuring Progress in Oral Health Promotion and Disease Prevention. Bulletin of the World Health Organization (2005); 83 (50) : 690. 4. Anonymous. Pedoman Pelaksanaan Kesehatan Gigi Sekolah. Direktorat Jendral Pelayanan Medik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 1999. p. 510. 5. Angelia A. Pencegahan Primer pada Anak yang Beresiko Karies Tinggi. Dentik a Dent J (2005); 38: (3): 130. 6. Herijulianti E, Indriani TS, Artini S. Pendidikan kesehatan gigi. Jakarta: EGC. 2002. p. 119-132.

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

Anonymous. Pedoman Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS). Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan Dasar Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan Kementrian Kesehatan ; 2012. p. 1-5; 7-12. Fit For School, Edisi 1 , Velaghaus monsenstein in van nerdat OHG, Munster,germanny. 2014. Hal: 5. Pitts N, Fejerskov O, Fehr F.v.d. Caries Epidemiology with special emphasis on diagnostic standards in Dental Caries. Oxford: Oxford journal; 2003. p. 1 -23. Potter, PA., & Perry, A.G. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Prak tik ( Vol.2 Edisi 4) (Yasmin Asih et al, Penerjemah). Jakarta. EGC ; 2005. Hockenberry, M., & Wilson, D. Wong’s nursing care of infants and children. St.Louis: Mosby Elsevier. 2007. Fatherstone, JDB. The science and practise of caries prevention. JDA (2000); 131: 887-899. Finn, S.B., Clinical Pedodontic, 2 nd edition, W.B Saunder 10, Philadelphia, London ; 1962.

37


Literature Study

PALATOSCOPY: ANALISIS POLA RUGA PALATAL DALAM DETERMINASI JENIS KELAMIN Ade Amalia Rizqi1, Bima Surya Heri I 1, Lulu Sharfina1 1

Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia, Depok

ABSTRAK Latar Belakang: Odontologi forensik merupakan suatu bentuk aplikasi ilmu kedokteran gigi dalam disiplin forensik. Pada keadaan tertentu seperti kasus mayat terbakar atau telah mengalami dekomposisi terdapat limitasi penggunaan sidik jari, DNA, atau rekam medis kedokteran gigi sebagai metode identifikasi mayat. Analisis ruga palatal (Palatoscopy) sebagai salah satu metode identifikasi jenis kelamin menunjukkan prospek yang menjanjikan karena morfologinya yang unik pada tiap individu. Selain itu, pos isi anatomis ruga palatal yang berada dalam rongga mulut dilindungi oleh otot -otot pipi, bibir, gigi dan lidah sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya perubahan ruga palatal akibat penyakit, trauma, zat kimia, maupun temperatur yang tinggi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tidak ada perubahan siginifikan pola ruga palatal akibat efek termal dan dekomposisi seperti pada kasus kebakaran atau kadaver. Tinjauan Pustaka: Analisis pola ruga palatal dilakukan dengan model studi sebagai catatan antemortem. Ruga palatal dapat diklasifikasikan menjadi empat bentuk yaitu lurus, busur, bergelombang, dan sirkular. Klasifikasi lain menyebutkan bahwa bentuk ruga palatal dibagi menjadi unifikasi dan non-spesifik. Berdasarkan klasifikasi-klasifikasi tersebut, terlihat pola signifikan berupa ruga konvergen pada wanita, sedangkan bentuk sirkular pada laki-laki. Penggunaan Analisis Regresi Logistik (ARL) terhadap pola ruga palatal mempunyai keakuratan tinggi sebagai analisis tambahan dalam memprediksi jenis kelamin. Kesimpulan: Analisis pola ruga palatal (palatoscopy) dapat dipertimbangkan sebagai metode alternatif untuk mengidentifikasi jenis kelamin dalam odontologi forensik. Kata kunci: Pola ruga palatal, identifikasi, jenis kelamin, odontologi forensik ABSTRACT Background: Forensic odontology is the application of dental science in forensic discipline. It is widely ack nowledged that in some forensic situations (burned or decomposing bodies), there are limitations to identify the deceased by fingerprints, DNA and dental records. Analysis of palatal rugae (Palatoscopy) shows great promise as a method in sex determination because morphology of palatal rugae are unique to each individual. In addition, the anatomical position of the rugae inside the mouth surrounded by cheek s, lips, tongue, and buccal pad of fat, teeth and bone k eeps them well protected from disease, trauma, chemical substances and high temperatures. The formerly research showed that there is no significant change in palatal rugae pattern due to thermal effects and decomposition in some forensic situations. Discussion: Analysis of palatal rugae pattern uses a model study as antemortem records. Palatal rugae could be classfified into four pattern, such as straight, curved, wavy and circular. The other classification divided palatal rugae into unification and non-specific. According to that classifications, the presence of the converging type was found to be significantly higher in females while the presence of the circular type was found to be significantly higher in males. Hence, Logistic Regression Analysis (LRA) enabled highly accurate result as an alternative method on sex determination. Conclusions: Analysis of palatal rugae pattern (palatoscopy) may also be considered as an alternative method for determining sex in forensic odontology. Keywords: Palatal ruga pattern, identification, sex, forensic odontology BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

38


1. PENDAHULUAN Di negara Indonesia, sering terjadi kejadian -kejadian yang mengakibatkan korban jiwa seperti pembunuhan, kecelakaan, dan bencana alam. Berdasarkan data publikasi Badan Pusat Statistik, pada tahun 2014 terjadi 325.317 kasus kriminalitas, 35,38% korban merupakan wanita. [1] Kasus pembunuhan selama tahun 2014 sejumlah 1.277 kasus. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada tahun 2015 terjadi 1.687 kejadian bencana dengan 291 orang meninggal dan hilang yang sebagian besar merupakan korban tanah longsor. Bencana dengan korban terbesar yang pernah dicatat oleh BNPB adalah tsunami di Aceh pada tahun 2004 dengan jumlah korban 167.851 jiwa. [2] Kasus tertentu seperti pada kasus yang mengakibatkan kondisi fisik korban yang tidak utuh dan mempersulit idemtifikasi jenis kelamin korban secara langsung diperlukan ilmu identifikasi forensik. Beberapa metode identifikasi forensik yang biasa dilakukan adalah tes DNA korban, sidik jari, dan sidik bibir. [3] Tes DNA dan sidik jari menghasilkan data yang akurat. Namun, proses identifikasi menggunakan metode ini memerlukan waktu yang cukup lama, biaya yang mahal, dan teknologi yang memadai. Metode ini menjadi tidak memungkinkan untuk dilakukan pada situasi yang memerlukan evakuasi dan identifikasi cepat dan untuk jumlah korban yang banyak. Dengan demikian, diperlukan suatu metode alternatif untuk identifikasi forensik. Ilmu odontologi forensik dalam membantu identifikasi jenis kelamin korban merupakan alternatif yang dapat dilakukan, salah satunya adalah analisis pola ruga palatal (palatoscopy). [4] Metode ini dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Hasil yang didapatkan pun tergolong akurat apabila dibandingkan dengan odontologi forensik lainnya. Penggunaan ruga palatal sebagai acuan pun menunjukkan prospek yang menjanjikan karena morfologinya yang unik pada setiap individu dan secara anatomis terlindungi oleh adanya perubahan dengan adanya otot-otot, pipi, bibir, gigi, dan lidah. [5]

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

Selain itu, belum ada metode identifikasi forensik lain yang dapat digunakan untuk identifikasi jenis kelamin secara cepat dan tepat. Oleh karena itu, sangat diperlukan kajian mengenai analisis pola ruga palatal (palatoscopy) sebagai salah satu metode identifikasi jenis kelamin dalam penerapan ilmu odontologi forensik. 2. PEMBAHASAN Dalam bidang forensik, terdapat tiga metode utama yang umumnya digunakan yaitu aspek visual, sidik jari, serta karateristik gigi geligi. Pada beberapa kasus, seperti identifikasi mayat dengan kondisi terbakar atau mengalami dekomposisi, membatasi penggunaan sidik jari, DNA, atau rekam medis kedokteran gigi sebagai metode identifikasi. Dalam keadaan darurat diperlukan suatu metode identifikasi yang sederhana, cepat dan keakuratannya dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu metode identifikasi yang efektif dan efisien yang baru-baru ini sedang dikembangkan dalam bidang odontologi forensik adalah palatoscopy dengan memanfaatkan ruga palatal mayat yang akan diidentiikasi. Ruga palatal memiliki morfologi yang unik dan membentuk suatu pola pada setiap individu. [6] Selain itu, posisi anatomis ruga palatal yang berada dalam rongga mulut dilindungi oleh otototot pipi, bibir, gigi dan lidah sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya perubahan ruga palatal akibat penyakit, trauma, zat kimia, maupun temperatur yang tinggi. Pada penelitiannya, Thomas dan Kotze mencetak model studi dari rahang atas mayat setelah itu ditandai polanya dengan pensil hitam untuk selanjutnya diamati polanya. [7] Setelah diamati, terdapat 5 persebaran tipe pola ruga palatal yaitu tipe melingkar, tipe lurus, tipe bergelombang, tipe berlekuk, dan tipe unifikasi: tipe konvergen dan divergen. [8]

39


Tabel 3.1. Statistik deskriptif dari perbedan tipe ruga palatal berdasarkan jenis kelamin.[8]

Tipe Ruga Divergen Konvergen Bergelomb ang Kurva Lurus Sirkular *

Jenis Kela min L P L P L P L P L P L P

No

Medi an

zvalue

60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60

0 0 0 2 3 2 2 2 1 1 1 0

3,8* 19,8* 4,82* 3,82* 0,17 15,33*

Nilai diferensiasi secara signikan p<0,05

Berdasarkan analisis statistik deskriptif diatas, pola bergelombang dan melengkung tidak ditemukan perbedaan secara signifikan pada laki-laki dan perempuan sedangkan tipe divergen justru jarang ditemukan pada laki-laki dan perempuan. Dalam statistik deskriptif diatas juga dapat dilihat bahwa persebaran tipe konvergen dan sirkular paling banyak ditemukan dimana pada laki-laki banyak ditemukan pola sirkular dan perempuan banyak ditemukan pola divergen. Tabel 3.2. Klasifikasi Analisis Regresi Logistik(10)

Pada penelitian Thomas dan Kotze, semua pola ruga palatal yang telah diidentifikasi polanya, diuji kembali dengan menggunakan Analisis Regresi Logistik untuk memastikan tingkat keakuratan dari ruga palatal untuk indentifikasi jenis kelamin. Berdasarkan tabel 3.2 hasil uji Analisis Regresi Logistik terhadap pola ruga palatal mencapai angka 99,2%. Hal ini mengindikasikan bahwa pola ruga palatal memiliki keakuratan yang tinggi untuk mengidentifikasi jenis kelamin. 3. SIMPULAN Proses identifikasi merupakan hal yang cukup kompleks dan untuk mendapatkan identifikasi positif dari

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

seseorang maka harus didukung sejumlah data-data dari berbagai metode identifikasi. Analisa terhadap pola ruga palatal yang unik dan individualistik dapat menjadi solusi apabila memerlukan identifikasi yang akurat dan efisien. Metode ini memberikan keuntungan dari ruga palatal adalah proses analisanya sederhana, ketahanannya terhadap sejumlah faktor seperti suhu, dekomposisi, usia, atau intervensi perawatan dan memungkinkannya pengumpulan data antemortem. DAFTAR PUSTAKA 1. Badan Pusat Statistik. Statistik Kriminal. 2015. 2. BNPB. INFO BENCANA Informasi Kebencanaan Bulanan Teraktual. 2015;(April):1–4. Available from: http://www.bnpb.go.id/uploads/publi cation/1099/INFO BENCANA -Edisi April 2015 rev 2.pdf 3. Subramanian P, Jagannathan N. Palatal rugoscopy as a method of sex determination in forensic science. 2015;8(2). 4. Caldas IM, Magalh T, Afonso A. Establishing identity using cheiloscopy and palatoscopy. Vol. 165, Forensic Science International. 2007. p. 1–9. 5. Harchandani N, Marathe S, Rochani R, Nisa S. Palatal Rugoscopy: A new era for forensic identification. J Indian Acad Oral Med Radiol [Internet]. 2015;27(3):393. Available from: http://www.jiaomr.in/text.asp?2015/ 27/3/393/170469. 6. Nayak P, Acharya AB, Padmini AT, Kaveri H. Differences in the palatal rugae shape in two populations of India. Arch Oral Biol. 2007;52(10):977–82. 7. Kathuriya P, Balgi P, Bhalekar B, Bhalerao K, Bhide E, Palaskar S. Study of palatal rugae pattern in gender identification. J Dent Allied Sci [Internet]. 2014;3(1):13. Available from: http://www.jdas.in/ text.asp?2014/3/1/13/156519. 8. Saraf A, Bedia S, Indurkar A, Degwekar S, Bhowate R. Rugae Patterns As an Adjunct To Sex Differentiation in Forensic Identification:14–9. 40


Literature Study

PDGF GENE-RELEASED NANO-HYDROGEL SCAFFOLD SEBAGAI ADVANCED HOST MODULATION THERAPY LOKAL PADA PENYAKIT PERIODONTAL Aprodita Permata Yuliana1, Merina Dwi Pangastuti1, Sarah Fitria Romadhoni 1

Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Airlangga

ABSTRAK Penyakit periodontal merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut utama yang memiliki prevalensi 96,58% pada semua kelompok umur di Indonesia. Kerusakan jaringan akibat penyakit periodontal merupakan interaksi antara bakteri patogen dengan respon inflamasi host, yang mengakibatkan defek pada jaringan penyangga, termasuk tulang alveolar, sementum, dan ligamen periodontal. Host modulation therapy (HMT) merupakan perawatan penunjang penyakit periodontal dengan konsep memodifikasi aspek destruktif dari jaringan host. HMT dapat dilakukan secara sistemik maupun lokal. Terapi HMT lokal salah satunya dengan pemberian growth factor yang dapat meningkatkan respon tubuh untuk regenerasi jaringan akibat bone loss. Salah satu growth factor yang paling ekstensif untuk aplikasi klinis adalah Platelet derived Growth factor (PDGF) yang dihasilkan oleh platelet selama proses pembekuan darah untuk merangsang migrasi dan proliferasi sel fibroblas, sementoblas, serta osteoblas. Sebagai delivery vehicle yang akan melepaskan PDGF dalam proses remodeling tulang, dibutuhkan suatu media pembawa yaitu scaffold. Scaffold hidrogel terbuat dari bahan yang memiliki struktur berpori sehingga dapat dilekati sel untuk pertumbuhan jaringan. Partikel nano dengan diameter kurang dari 100 nm memiliki luas permukaan yang besar sehingga efektif sebagai fungsinya untuk melepaskan faktor biologis seperti gen, obatobatan dan growth factor. Scaffold hidrogel dalam partikel nano akan mempercepat proses delivery PDGF ke daerah defek tulang, karena osteoblas memiliki perlekatan yang lebih tinggi dengan partikel berukuran nano dibandingkan mikro, sehingga mempercepat proses proliferasi serta diferensiasi sel pada tissue regeneration. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menelaah potensi PDGF dalam scaffold hidrogel dengan ukuran partikel nano sebagai Host modulation therapy yang efektif dan aplikatif pada perawatan penyakit periodontal. Kata Kunci: Host modulation therapy, PDGF, partikel nano, scaffold hidrogel, penyakit periodontal

ABSTRACT Periodontal disease is a major problem in dentistry, with prevalence of 96.58% in all age groups in Indonesia. Tissue damage due to periodontal diseases is an interaction between pathogenic bacteria and host inflammatory response, that results in defects of the supporting tissue, including alveolar bone, cementum, and periodontal ligament. Host modulation therapy (HMT) is the supporting treatment of periodontal disease that performed by modifying the concept of the destructive aspects of the host. HMT can be done systemically and locally. One of local HMT is performed by providing growth factor to enhance host response for tissue regeneration due to bone loss. One of the most extensive growth factor for clinical applications is Platelet derived Growth factor (PDGF) which is produced by platelets during blood clotting process to stimulate the migration and proliferation of fibroblasts, cementoblast, and osteoblasts. In this process, scaffold as a delivery vehicle that will release PDGF in bone remodeling process is needed. Hydrogel

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

41


scaffold is made of materials that have a porous structure so that it can cling to the cells for tissue growth. Nano particles with diameters less than 100 nm have a larger surface area that can be an effective agent to release biological factors such as genes, drugs, and growth factor. Nano-hydrogel scaffold will accelerates the delivery process of PDGF to the bone defect, as osteoblasts have a higher attachment with nano-sized particles compared to the micro-sized particles, thus speeding up the process of proliferation and differentiation of cells in tissue regeneration. The purpose of this paper is to examine the potential of PDGF in the hydrogel scaffold with nano-sized particles as an effective and applicable Host modulation therapy in the treatment of periodontal disease. Keywords: Host modulation therapy, PDGF, nanoparticle, hydrogel scaffold, periodontal disease.

1. PENDAHULUAN Penyakit periodontal merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut utama yang memiliki prevalensi 96,58% pada semua kelompok umur di Indonesia. [1] Penyakit periodontal merupakan suatu proses inflamasi yang melibatkan jaringan penyangga gigi seperti gingiva, ligament periodontal, sementum, dan tulang alveolar. [2] Penyakit periodontal merupakan hasil interaksi antara mikroorganisme atau faktor virulensi bakteri dengan respon inflamasi host. Mikroorganisme utama yang berperan dapat menyebabkan destruksi jaringan periodontal yaitu Aggregatibacter actinomycetemcomitans (Aa) dan Porphyromonas gingivalis (Pg). [3] Terapi periodontal konvensional yang selama ini digunakan antara lain debridement (scaling root planing), kuretase, rekonstruksi tulang, antibiotika, dan antiseptik, namun hasil terapi ini belum optimal. Kondisi ini disebabkan oleh kolonisasi bakteri yang persisten sehingga kerusakan jaringan periodontal masih terjadi. Berangkat dari masalah tersebut, terapi periodontal modern saat ini berfokus pada regenerasi kerusakan jaringan dan respon host.[3] Host modulation therapy (HMT) merupakan suatu perawatan penunjang pada terapi periodontal dengan konsep memodifikasi atau mengurangi aspek destruktif dari respon host agar respon imun dan inflamasi host tidak memperparah kerusakan pada jaringan peridontal. Terapi ini selain bertujuan untuk mengurangi kerusakan jaringan juga meregenerasi periodonsium dengan

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

menurunkan aspek destruktif respon host dan meningkatkan respon proteksi. [3,4] Terapi HMT dapat diberikan secara lokal maupun sistemik. HMT lokal dapat ditemukan pada konsep tissue engineering berupa peningkatan penyembuhan jaringan. Beberapa agen terapi HMT lokal telah terbukti memiliki potensi sebagai tambahan dalam prosedur bedah, tidak hanya untuk mempercepat penyembuhan jaringan tetapi juga menstimulasi regenerasi dari bone loss, ligamen periodontal dan sementum, sehingga mengembalikan secara utuh perlekatan periodontal. Agen-agen tersebut antara lain enamel matrix protein, bone morphogenic protein 2 dan 7, growth factor (Platelet-derived growth factor dan insulin-lik e growth factor), dan tetrasiklin. [5] Menurut Langer dan Vacanti, regenerasi jaringan periodontal yang terlibat dalam konsep tissue engineering memiliki tiga komponen utama, yaitu: sinyal molekul yang sesuai, regenerasi sel, dan scaffold. Sinyal molekul (salah satunya berupa growth factor) yang berperan untuk memodulasi aktivitas seluler serta merangsang sel-sel untuk berdiferensiasi dan memproduksi matriks untuk regenerasi jaringan. [6] Salah satu growth factor yang paling ektensif digunakan yaitu platelet-derived growth factor (PDGF). PDGF sebagai host modulating agent dapat meningkatkan kemotaksis neutrofil dan monosit, stimulasi proliferasi fibroblas dan matriks ekstraseluler, meningkatkan proliferasi dan dIferensiasi sel endotel, stimulasi proliferasi mesenchymal progenitor cell (MPC), dan diferensiasi fibroblas. [7] 42


Nevins et al. (2005) mendemonstrasikan bahwa PDGF yang digabungkan dengan allograft tulang dapat menghasilkan regenerasi jaringan periodontal yang kuat baik pada kasus furkasi kelas II maupun defek infraboni interproksimal. [8] Scaffold dengan bahan dasar injectable hydrogel merupakan substrat yang menjanjikan dalam proses perbaikan jaringan. Keunggulan dari bahan ini adalah memiliki konten air yang menyerupai jaringan asli, kemampuan untuk menyelubungi sel secara homogen, media transfer yang efisien, sifat fisiknya yang mudah dimanipulasi, serta proses penghantaran dengan risiko tindakan pembedahan minimal. [9] Nano-scaffolding merupakan suatu proses dalam bidang medis yang digunakan untuk meregenerasi jaringan dan tulang. Scaffold hidrogel dalam partikel nano akan mempercepat proses delivery PDGF ke daerah defek tulang, karena osteoblas memiliki perlekatan yang lebih tinggi dengan partikel berukuran nano dibandingkan mikro, sehingga mempercepat proses proliferasi serta diferensiasi sel pada tissue regeneration. Seiring dengan terjadinya proses regenerasi, scaffold akan diabsorbsi oleh tubuh. Penggunaan scaffold nano ini memungkinkan proses regenerasi yang lebih cepat dan efektif. [10] Oleh karena ini, dalam literature review ini penulis akan menelaah mengenai potensi PDGF dalam scaffold hidrogel dengan ukuran partikel nano sebagai Host modulation therapy yang efektif dan aplikatif pada perawatan penyakit periodontal. 2. PEMBAHASAN Host modulation therapy adalah suatu konsep terapi yang bertujuan untuk mengurangi kerusakan serta meregenerasi jaringan periodonsium dengan cara meregulasi aspek destruktif dari respon host dan meningkatkan respon protektif dan regeneratif jaringan. [11] Tujuan tersebut dapat dicapai dengan beberapa cara yaitu meneliti host modulations therapeutic agents dalam percobaan klinis dengan tujuan melihat potensi sebagai terapi penunjang setelah prosedur bedah BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

periodontal. Tidak hanya untuk meningkatkan proses penyembuhan luka, namun juga untuk menstimulasi proses regenerasi dari bone loss, ligamen periodontal, sementum, serta mengembalikan periodontal attachment. Yang termasuk dalam host modulating agents diantaranya adalah Enamel Matrix Protein (EMP), Bone Morphogenetic Protein (BMP) 2 dan 7, tetrasiklin, dan Growth factor. [12] Growth factor merupakan molekul alami biologis yang memiliki peran penting dalam memediasi dan meregulasi aktivitas masing-masing sel pada proses tissue repair. Growth factor akan berikatan dengan reseptor yang terletak pada permukaan sel target dan memacu aktivitas proliferasi sel, kemotaksis, diferensiasi, dan sintesis matriks ekstraseluler. Berbeda dengan host modulating agent lainnya, growth factor dapat berperan di berbagai target sel yang mengalami kerusakan serta tidak terbatas pada satu macam sel. [13] PDGF merupakan salah satu growth factor yang berpotensi sebagai host modulating agent karena dapat meningkatkan kemotaksis dari neutrofil dan monosit. PDGF dapat menstimulasi proliferasi fibroblas dan sintesis matriks ekstraseluler, meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel endotel, menstimulasi proliferasi dari sel progenitor mesenkim, serta diferensiasi dari sel fibroblast. [8] PDGF yang digunakan sebagai HMT lokal didapat dari darah yang diambil dari tubuh penderita sendiri, dalam bentuk plasma kaya trombosit / plasma rich protein (PRP). PRP dapat diperoleh dengan melakukan sentrifugasi terhadap plasma darah yang telah dicampur dengan antikoagulan (Na Sitrat) dan diperoleh secara autologus. Dalam PRP dapat terkandung hingga 1.000.000 trombosit / mikroliter dalam 5 ml plasma. PRP diketahui mengandung tujuh macam growth factor yaitu: PDGF-AA, PDGF-BB, PDGF-AB, TGF-β1, TGF-β2, VEGF, EGF. Konsentrasi trombosit dalam PRP dapat meningkat delapan kali dari kadar trombosit di dalam darah sehingga kadar growth factor di dalam PRP juga meningkat hingga delapan kali. Beberapa cara pembuatan dan proses pengambilan PRP ini sudah banyak 43


beredar seperti Smart Prep Autologous Platelet Concentrate system (Harvest Technologies Corp) dan Magellan Autologous Separator (Medtronic, Inc, Minneapolis). [14] Reseptor untuk PDGF (PDGFR) ada dua macam yang telah diidentifikasi: alpha-type dan beta-type PDGFR. Reseptor alfa berikatan dengan PDGFAA, PDGF-BB, dan PDGF-AB, sedangkan PDGFR tipe beta mengikat PDGF-BB dan PDGF-AB dengan afinitas yang tinggi. [15] Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Nevins et al didapatkan hasil bahwa purified rhPDGFR-BB yang dikombinasi dengan allograft tulang dapat mempercepat regenerasi jaringan periodontal pada defek yang melibatkan furkasi kelas II dan defek infraboni interproksimal. PDGF menunjukkan efek yang kuat dalam mendukung proses penyembuhan pada jaringan lunak dan tulang. [8] Scaffold memiliki peran yang sangat penting dalam proses perbaikan jaringan. Scaffold merupakan bahan biomaterial yang berperan sebagai tempat, lingkungan untuk tumbuh, berkembang, dan berdiferensiasinya sel sesuai dengan target jaringan yang akan direkonstruksi. Selama sepuluh tahun terakhir, scaffold dalam sediaan hidrogel telah menunjukkan hasil yang efektif untuk meningkatkan spesifikasi dari target obat, menurunkan toksisitas sistemik obat, meningkatkan absorpsi, serta melindungi aspek farmakologis obat dari degradasi biokimia. Hal-hal tersebut merupakan goals yang harus dicapai dari proses drug delivery. [16] Penggunaan nanopartikel dalam sistem drug delivery memiliki keunggulan antara lain; ukuran partikel dan karakteristik permukaan nanopartikel dapat dengan mudah dimanipulasi, memperpanjang durasi pelepasan growth factor sehingga meningkatkan efikasi, targetting growth factor ke sisi spesifik yang dituju dapat dicapai dengan memberikan ligan pada permukaan partikel, meningkatkan stabilitas dari obat/protein yang ‘dibawa’, serta sistem nanopartikel dapat diberikan dalam berbagai macam rute pemberian, dan akan sangat efektif dalam proses

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

absorbsi apabila diaplikasikan secara topikal. [17] Nano hydrogel scaffold terdiri dari komponen polimer kimia yang berisi PDGF, dalam hal ini scaffold tersebut akan ‘membawa’ PDGF melewati barrier fisiologis sehingga dapat meningkatkan repon host dalam proses perbaikan jaringan periodontal. PDGF yang diikat dalam scaffold yang berukuran nano dapat memperpanjang durasi pelepasan PDGF. Nanopartikel tersebut akan mempercepat proses delivery PDGF ke daerah defek tulang, karena sel target pada jaringan periodontal memiliki perlekatan yang lebih tinggi dengan partikel berukuran nano. Nano hydrogel scaffold yang melepaskan PDGF berpotensi sebagai host modulating therapeutic agent dalam host modulation therapy lokal pada penyakit periodontal. 3. SIMPULAN PDGF gene-released nano-hydrogel scaffold berpotensi sebagai host modulating therapeutic agent dalam host modulation therapy lokal pada penyakit periodontal. DAFTAR PUSTAKA 1. Nadya, Erni MS, Augustina EF. Status Kesehatan Jaringan Periodontal pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Dibandingk an Dengan Pasien Non Diabetes Mellitus Berdasark an GPI. Available from: http://journal.unair.ac.id. Diakses: 23 April 2016. 2. Anonymous. Periodontal DiseaseGingivitis. www.diagnose-me.com/ cond/C519065.html. Diakses: 9 Mei 2016. 3. Carranza FA, Newman FG, Takei HH. Carranza’s Clinical Periodontology 11th ed. 2011. Philadelphia. WB Saunders. 4. Shinwari MS, Farzeen T, Pakiza RH, Muhammad HS. Host Modulation Therapeutics in Periodontics: Role as An Adjunctive Periodontal Therapy. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pak istan (2014); 24 (9): 676-684. 5. Deshmukh J, Jawali MA, Kulkarni VK. Host Modulation Therapy – A Promising New Concept In Treating Periodontal Diseases. International 44


Journal of Dental Clinics (2011); 3(2):48-53. 6. Langer R, Vacanti J. Tissue Engineering. Science (8).1993; 260: 920. 7. Gulati, M., Anand, V., Govila, V. and Jain, N. Host Modulation Therapy: An Indispensable Part of Perioceutics. Journal of Indian Society of Periodontology (2014), 18(3), p.282. 8. Nevins M, Giannobile WV, McGuire MK, Kao RT, Mellonig JT, Hinrichs JE, et al. Platelet Derived Growth Factor (rhPDGF-BB) Stimulates Bone Fill and Rate of Attachment Level Gain, Results of A Large, Multicenter Randomized Controlled Trial. J Periodontal (2005); 76:2205– 15. 9. Drury JL, Mooney DJ, Hydrogels for Tissue Engineering: Scaffold Design Variables and Applications, Biomaterials (2003); 24 (24): 4337– 4351. 10. http://nanoscaffoldtech.com/ May 17, 2013. Archived December 29, 2008, at the Wayback Machine. ”Nanoscaffolding regrows limbs, organs". TechCrunch. 19 November 2008. 11. Oringer R. Modulation of The Host .

BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni- Desember 2016

12.

13.

14.

15.

16.

17.

Response In Periodontal Therapy. Journal of Periodontology (2002);73(4):460-70. Ryan ME. Nonsurgical Approaches for The Treatment of Periodontal Diseases. Dental Clinics of North America (2005); 49(3):611-36. Heldin, C. H. Platelet-derived growth factor—an introduction. Cytokine Growth Factor Rev. 15, 195, 2004. Weibrich G, Kleis WK, Buch R, Hitzler WE, Hafner G. The Harvest Smart PRePTM System Versus The Friadent-Schütze Platelet-Rich Plasma Kit. Clin Oral Implants Res (2003) Apr;14(2):233-9. Betscholtz, C. Biology of plateletderived growth factors in development. Birth Defects Res. 2003, 69, 272–285. Khang G, Lee SJ, Kim MS, Lee HB. Biomaterials: Tissue Engineering and Scaffold. In Webster J (ed.). Encyclopedia of Medical Devices and Instrumentation (2006); 2:366– 83. Buzea C, Blandino IIP, Robbie K. Nanomaterial and Nanoparticles: Sources and Toxicity, Biointerphases (2007); 2: MR170– MR172.

45


BIMKGI Volume 4 No.2 | Juni – Desember 2016

2


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.