BIMIKI Volume 4 Nomor 2

Page 1

ISSN 2338-4700

BIMIKI

Volume 4 No. 2 Juli - Desember 2016 BERKALA ILMIAH MAHASISWA ILMU KEPERAWATAN INDONESIA

BIMIKI


Penasehat

SUSUNAN PENGURUS

Nuning Khurotul Af’ida Tiara Dea Ananda Sifak Nikmatul F.

Pimpinan Umum

Ryharti Amaliatus S. Universitas Brawijaya

Sekretaris Isnawati

Universitas Lambung Mangkurat

Bendahara

Cindy Safitri Utami Universitas Gajah Mada

Tim Public Relations Muhammad Imam M. STIKES Kepanjen Malang

Rafita Ramdan Nurul Fuadah Universitas Gajah Mada

Faizah Wahyuningprianti Universitas Jember

Fajar Rizki Rahayu

Universitas Lambung Mangkurat

Tim Layouting

Sandy Dwi Aryanto Universitas Gajah Mada

Galih Adi Pratama Universitas Gajah Mada

Fatika Maulidyah Yuwanto Universitas Brawijaya

Aris Septia Putra

STIKES Kepanjen Malang

Pimpinan Redaksi Petrisia Ristantini Universitas Brawijaya

Dewan Redaksi

Vivi Leona Amelia Universitas Indonesia

Bernadetta Germia Aridamayanti Universitas Lambung Mangkurat

Kadek Dewi Cahyani Universitas Gajah Mada

Siti Fatmawati Universitas Brawijaya

Neneng Dwi Saputri Universitas Jember

Annisa Ryan Susilaningrum Universitas Gajah Mada

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│i


PENYUNTING AHLI UNIVERSITAS GAJAH MADA

Eri Yanuar Akhmad B. S, S.Kep., Ns., M.Nisc (IC)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA Ns. Ikhda Ulya, S.Kep., M.Kep

Ns. Nuning Khurotul Af’ida, S.Kep

UNIVERSITAS JEMBER

Ns. Muhammad Zulfatul A’la, S.Kep., M.Kep Ns. Retno Purwandari, S.Kep., M.Kep

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT Ns. Abdurrahman Wahid, S.Kep., M.Kep

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│ii


DAFTAR ISI

ISSN : 2338-4700

Susunan Pengurus . ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... .......

Penyunting Ahli ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... .......

Daftar Isi ...... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... Petunjuk Penulisan ........ ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ...... Sambutan Pimpinan Umum ...... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ......

Penelitian

i ii iii v xi

Efektivitas Beta Vulgaris L. sebagai Suplemen Penurun Tekanan Darah Lansia Hipertensi di Panti Wredha Harapan Ibu Semarang Husnia Tahta Afwina, Nurul Inabah, Linda Surya W, Zulfa Nur Aini, Rianti Putri Tsani

............................................................................................................................................................................................

1

Tiara Dea Ananda, Retno Lestari, Wening Prastowo ............................................................................................................................................................................................

11

Hubungan Antara Dukungan Teman Sebaya dengan Kemampuan Perawatan Diri Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan

Artikel Penyegar

Optimalisasi Peran Kader untuk Peningkatan Perilaku Hidup Bersih Sehat di Rumah Tangga Vivi Leona Amelia ............................................................................................................................................................................................

Literatur Review

20

Strategi Mandiri dalam Pencegahan dan Penanganan Burnout Bagi Perawat IGD Athia Alit Artawan, Adhe Kurnia Destiana ............................................................................................................................................................................................

24

Isnawati, Larasati ............................................................................................................................................................................................

33

Peran Nursing Home dalam Bidang Kegawatdaruratan dan Bencana dalam Menghadapi Era MEA Kaitannya dengan UU Indonesia No. 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan

Tinjauan Pustaka

BEST (Bracelet Self-Triage): Gelang Berbasis Mikrokontroler Berteknologi Sensor Nadi dan Tekanan Darah sebagai Inovasi Pendeteksi Triase pada Korban Bencana Dewi Resti Nuzully Qiran, Asih Hutami Rudy Arsita, Nanda Ayu Susanti ............................................................................................................................................................................................

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

43

│iii


Aplikasi Overcoming The Nurse’s Problem Using Ball Chair (VIROBAR) sebagai Inovasi Mengurangi Stres pada Perawat Critical Care di Instalasi Gawat Darurat Kurniawan Haryadi, Agustin Nanda, Fatmawati Siti ............................................................................................................................................................................................

50

Ryharti Amaliatus Sholeha, Nanda Ayu Susanti, Ghenniy Rachmansyah, Heri Kristanto ............................................................................................................................................................................................

58

Smart Wound Care sebagai Perangkat Monitoring Wound Healing pada Luka Bakar Berdasarkan Analisis Citra Luka

Maggot sebagai Biotheraphy pada Perawatan Luka Diabetik

Mutmainnah Sari, Trini Andini Muhtar, Muh. Syahrul Ramli ............................................................................................................................................................................................

Potensi Bibliotheraphy dalam Mengurangi Hospitalisasi pada Anak Usia Sekolah

Kecemasan

Akibat

Nabila Chairani ............................................................................................................................................................................................

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

64

76

│iv


PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel

Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) Indonesian Nursing Student Journal 1. BIMIKI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain.

2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, lugas, dan ringkas. Naskah diketik dalam Microsoft Word, ukuran kertas A4 dengan margin kanan, kiri, atas, bawah berukuran 3433 cm. Naskah

menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 cm, jarak antarbab atau antarsubbab yaitu 1 spasi (1x enter). Font Arial, size 10, sentence case, justify. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka.

3. Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksi.bimiki@bimkes.org atau bimiki.ilmiki.gmail.com dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul

2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak

4. Naskah (Text), yang terdiri atas: -

Pendahuluan Metode Hasil

Pembahasan Kesimpulan Saran

5. Daftar Rujukan

5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan Pustaka dan Advertorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│v


2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak

4. Naskah (Text), yang terdiri atas: -

Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)

Pembahasan Kesimpulan Saran

5. Daftar Rujukan

6. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Artikel Penyegar dan Artikel Editorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Pendahuluan 2. Isi

3. Kesimpulan (Penutup)

7. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Laporan Kasus harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul

2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak

4. Naskah (Text), yang terdiri atas: -

Pendahuluan

Laporan kasus Pembahasan Kesimpulan

5. Daftar Rujukan

8. Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis dengan Font Arial 14 pt dicetak

tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf ditulis kapital), tidak digaris bawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.), tanpa singkatan, kecuali singkatan yang

lazim. Penulisan judul diperbolehkan menggunakan titik dua tapi

tidak diperbolehkan menggunakan titik koma. Penggunaan

subjudul diperbolehkan dengan ketentuan ditulis dengan titlecase, Font Arial 12, center, dan dicetak tebal.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│vi


9. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan

bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis diketik titlecase, Font Arial 10, center, dan bold yang dimulai dari pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal instansi dimulai dari terkecil. Nama penulis

harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email.

10. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan

panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata dan tidak menuliskan

kutipan pustaka. Abstrak Bahasa Indonesia dan kata kunci ditulis tegak.

Abstrak Bahasa Inggris dan keyword ditulis italic

(dimiringkan).

11. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kata kunci diletakkan di bawah judul

setelah abstrak. Kata kunci sebanyak maksimal 8 kata benda yang ditulis dari umum ke khusus.

12. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic).

13. Setiap tabel gambar dan metode statistika diberi judul dan nomor pemunculan.

14. Ucapan terima kasih 15. Penulisan

sitasi

menggunakan

sistem

Vancouver

dengan

penomoran yang runtut. Diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat sebagai berikut:

1. BUKU

i. Penulis Tunggal

Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh :

Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957.

ii. Dua atau tiga orang penulis

Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis

selanjutnya. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│vii


terbit.

Contoh :

Howe, Russell Warren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City: Doubleday, 1977.

Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R.

Sorensen. The Rope, the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of Texas, 1994.

iii. Lebih dari tiga penulis

Nama penulis 1 (dibalik), et al. judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh :

Edens, alter, et al. Teaching Shakespeare. Princeton. Princeton UP, 1997.

iv. Editor sebagai penulis

Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh :

Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979. v. Penulis dan editor

Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh :

Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford UP, 1956.

vi. Penulis berupa tim atau lembaga Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.

Contoh :

National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory. Washington, D.C.: Natl. Inst. for Dispute Res., 1984.

vii. Karya multi jilid/buku berseri

Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│viii


Contoh :

Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963.

viii. Terjemahan

Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama penerjemah. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang diterjemah (italic), Tahun terbit buku yang diterjemah. Contoh :

Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan Smith. London: Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L’Archéologie du savoir, 1969. ix. Artikel atau bab dalam buku

Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku. Contoh :

Magny, Claude-Edmonde. “Faulkner or Theological Inversion.”

Faulkner: A Collection of Critical Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. 66-78.

x. Brosur, pamflet dan sejenisnya

Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.

Contoh:

Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999.

2. SERIAL

Artikel jurnal dengan volume dan edisi Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume : Edisi (tahun terbit) : halaman. Contoh :

Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the

Ideology of Romantic Silences.” Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│ix


3. PUBLIKASI ELEKTRONIK i. Buku Online Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku. Tanggal dan tahun akses <link online buku> Contoh :

Austen, Jane. Pride and Prejudice. Editor Henry Churchyard. 1996.

10

September

1998

<http://viiiwww.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>.

ii. Artikel jurnal online

Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal dan tahun akses jurnal <link online jurnal>. Contoh :

Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo’s

Life of the Buddha.” Exemplaria 9.1 (1997). 22 June 1998 <http://web.english.ufl.edu/english/exemplaria/calax.htm>

iii. Artikel di website

“judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses. <link online artikel>. Contoh :

“Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab. 2003. Purdue University. 6 Februari 2003.

<http://owl.english.purdue.

edu/handouts/research/r_mla.html>.

iv. Publikasi lembaga

Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama

penulis 2, dan seterusnya. Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel>. Contoh:

United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National Assessment. By Claire Johnson, Barbara

Webster, dan Edward Connors. Feb 1996. 29 June 1998 <http://www.ncjrs.org/txtfiles/pgang.txt>

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│x


SAMBUTAN PIMPINAN UMUM

Ucap syukur, saya ucapkan atas keberhasilan diterbitkannya Berkala

Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) Volume Keempat Edisi

Pertama ini, setelah melalui perjalanan panjang dan dukungan oleh berbagai pihak yakni MITBES Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia,

seluruh pengurus BIMIKI periode tahun 2015-2016, aktivis Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Indonesia (BIMKES) dan rekan-rekan yang turut andil.

BIMIKI merupakan salah satu berkala ilmiah keperawatan di Indonesia

yang bertujuan untuk memberikan peluang bagi mahasiswa dalam publikasi ilmiah berbasis teknologi. Sehubungan dengan tujuan tersebut, maka diperlukan

sebuah tempat yang mampu menampung dan menyebarluaskan hasil kreativitas mahasiswa, khususnya terkait publikasi artikel ilmiah. Penerbitan berkala ini

membuktikan perjuangan tiada akhir dalam meningkatkan profesionalisme keperawatan. Kami menorehkan harapan pada berkala ilmiah ini agar dapat

memberikan manfaat yang optimal bagi dunia keperawatan di Indonesia. Semoga BIMIKI dapat mempermudah mahasiswa Ilmu Keperawatan dalam mengakses

perkembangan informasi-informasi ilmiah terbaru, baik dalam bentuk penelitian asli, tinjauan pustaka, dan jenis artikel lainnya.

Akhir kata, saya mohon maaf bila terdapat kesalahan penulisan pada

BIMIKI Volume Keempat Edisi Pertama ini. Oleh karena itu, kritik dan saran

sangatdiharapkan demi perbaikan pada edisi selanjutnya. Akhirnya semoga kajian ini mampu memberikan khasanah tersendiri dalam ranah penelitian. Sesuatu dan seseorang dikenang karna memiliki sejarah. Mulailah berkarya, agar sejarah mengenang nama dan karyamu. kecil.”

Hidup mahasiswa! dan Salam Ilmiah! “Hal yang besar berawal dari yang

Ryharti Amaliatus Sholeha

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│xi


Penelitian

EFEKTIVITAS BETA VULGARIS L. SEBAGAI SUPLEMEN PENURUN TEKANAN DARAH LANSIA HIPERTENSI DI PANTI WREDHA HARAPAN IBU SEMARANG Husnia Tahta Afwina, Nurul Inabah, Linda Surya W, Zulfa Nur Aini, Rianti Putri Tsani Mahasiswa Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan desain Quasy Experiment dengan menggunakan rancangan penelitian non-randomized pretest and posttest design yang digunakan untuk mengetahui efektivitas Beta Vulgaris L. sebagai suplemen penurun tekanan darah pada lansia hipertensi di Panti Wredha Harapan Ibu Semarang. Teknik sampling yang digunakan yaitu purposive sampling dengan memperhatikan kriteria inklusi. Jumlah sampel sebanyak 16 responden yang dibagi menjadi dua kelompok, kontrol dan intervensi. Kelompok intervensi diberikan perlakuan dengan memberikan sari Beta Vulgaris L. sebanyak 250 mL selama 5 hari. Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini yaitu sphygmomanometer atau tensimeter. Analisis yang digunakan yaitu univariat dan bivariat dengan uji Wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan tekanan darah sistolik dan diastolik mengalami penurunan setelah dilakukan perlakuan dengan nilai p value masingmasing0,025 untuk sistolik dan 0,035 untuk diastolik. Hasil penurunan pada tekanan darah pre dan post sistolik dan diastolik lansia hipertensi di Panti Wredha Harapan Ibu Semarang setelah perlakuan yaitu rata-rata tekanan darah sistolik lansia sebelum intervensi sebesar 148,5 mmHg turun menjadi 135,38 mmHg dengan selisih penurunan sebesar 13,12 mmHg. Rata-rata tekanan darah diastolik juga mengalami penurunan dari 96,5 mmHg menjadi 90,21 mmHg dengan selisih penurunan 6,29 mmHg. Kata kunci: Hipertensi, Lansia, Beta Vulgaris L. ABSTRACT This study uses Quasy Experiment design with non-randomized study design pretest and posttest that is used to determine the effectiveness of Beta Vulgaris L. supplements as lowering blood pressure in elderly hypertensive at Panti Wredha Harapan Ibu Semarang. Sampling technique used is purposive sampling by taking into account the inclusion criteria. The total sample of 16 respondents were divided into two groups, control and intervention. The intervention group received treatment by providing cider Beta Vulgaris L. were 250 mL for 5 days. Measuring instruments used in this research is sphygmomanometer. The analysis is univariate and bivariate by Wilcoxon. The results showed systolic and diastolic blood pressure decreased after treatment with p value 0.025 for systolic and 0.035 for diastolic. The result of a decrease in blood pressure pre and post systolic and diastolic hypertension in the elderly Panti Wredha Harapan Ibu Semarang after treatment with an average systolic blood pressure of elderly before the intervention amounted to 148.5 mmHg decreased to 135.38 mmHg with a margin decreased by 13.12 mmHg, The average diastolic blood pressure also decreased from 96.5 mmHg be 90.21 mm Hg with a decrease of 6.29 mmHg difference. Keywords: Hypertension, Elderly, Beta Vulgaris L.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│1


1. PENDAHULUAN Lansia menurut Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 13 tahun 1998 yang dimaksud dengan lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010, populasi lansia di Indonesia mencapai 18,1 jiwa (7,6% dari total penduduk 237.641.326). Pada tahun 2015 sendiri mencapai 8,5 % dari total penduduk 255.461.686. Hal ini akan terus meningkat. Bahkan pada tahun 2035 diperkirakan naik 15, 8% mencapai 36 juta jiwa.[1] Jumlah lansia yang terus meningkat ini dapat menjadi aset bangsa bila sehat dan produktif. Namun lansia yang tidak sehat dan tidak mandiri dapat meningkatkan angka beban tanggungan yang dapat berdampak terhadap kondisi sosial dan ekonomi bangsa. Proses penuaan dapat berdampak pada berbagai aspek kehidupan salah satunya dari aspek kesehatan. Seiring bertambahnya usia kelompok lansia akan mengalami penurunan kesehatan dan rentan terhadap keluhan fisik. Hal ini bisa dikarenakan faktor alamiah atau fisiologis maupun patologis atau penyakit. Di dapat dari sumber kemenkes RI pada tahun 2013 terdapat 10 penyakit terbanyak pada lansia di tahun 2013 adalah 1) hipertansi, 2) artritis, 3) stroke, 4) penyakit paru obstruktif kronik, 5) diabetes militus, 6) kanker, 7) penyakit jantung koroner, 8) batu ginjal, 9) gagal jantung, dan 10) gagal ginjal. Daftar penyakit diatas dapat dilihat prevalensi kejadian hipertensi pada lansia di indonesia masih cukup tinggi. Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan peningkatan tekanan darah sistolik yang lebih dari 140 mmHg dan diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dalam selang waktu lima menit dalam keadaan tenang[2]. Hipertensi yang berlangsung lama dapat menyebabkan pemicu berbagai macam penyakit salah satunya stroke. Stroke merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di Indonesia. Berdasarkan estimasi penduduk sasaran program pembangunan kesehatan tahun 2014 dalam pusat data dan informasi kesehatan RI, penderita stroke di Indonesia mencapai 3.050.949 jiwa dari jumlah penduduk 252.124.458 jiwa. [2]

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

Kejadian hipertensi pada lansia dapat ditangani dengan berbagai macam cara yaitu farmakologi dan non farmakologi. Terapi farmakologi dapat dilakukan dengan berbagai macam terapi salah satunya terapi obat. Terapi non farmakologi adalah bentuk pengobatan dengan cara pendekatan, edukasi, dan pemahaman tentang suatu penyakit tertentu. Pengobatan non farmakologi pada hipertensi meliputi memperbaiki pola hidup dengan olahraga secara teratur dan menjaga pola makan, dengan cara diet kalori (bila kegemukan), membatasi asupan garam, serta mengkonsumsi jus dari buah segar.[3] Terapi nonfarmakologi ini biasanya minim akan efek samping dibandingkan dengan terapi farmakologi karena menggunakan bahan yang alami. Suplemen juga dapat digunakan sebagai pendamping makanan untuk melengkapi kebutuhan asupan nutrisi lansia. [4] Oleh karena itu penelitian-penelitian yang dikembangkan saat ini lebih banyak menggunakan bahan-bahan alami salah satunya menggunakan buah bit (Beta Vulgaris L). Tanaman ini merupakan salah satu jenis rumput-rumputan. Batang bit sangat pendek dan akar tunggangnya tumbuh menggelembung membentuk umbi yang digunakan sebagai tempat menyimpan makanan. Beta Vulgaris L ini juga sudah banyak dijumpai di Indonesia. Terdapat dua macam varietas yaitu berwarna merah keunguan dan putih keemasan. Buahnya sendiri dapat dipanen pada umur 60-80 hari sejak ditanam.[5] Buah yang dapat menurunkan tekanan darah tinggi yaitu buah yang kaya akan kandungan nitrat seperti buah Beta Vulgaris L. atau buah bit.[6,7] Zat aktif dalam tanaman ini yang mempunyai aktivitas antihipertensi adalah nitrat. Nitrat tersebut dapat bermetabolisme menjadi nitrit yang dapat menghasilkan nitrat oksida (NO). Salah satu fungsi yang paling penting dari NO endogen adalah untuk mempertahankan fungsi endotel. Endotelium memainkan peran penting dalam regulasi homeostasis vaskular dengan menjaga aktivitas trombotik, fungsi trombosit, tonus pembuluh darah dan keseimbangan antara pelepasan vasodilatasi (NO dan prostasiklin) dan agen vasokonstriksi (endotelin-1 dan tromboksan).[6,7]

│2


Penipisan ketersediaan NO dapat ditandai dengan penuaan, dan menjadi salah satu penyebab utama dari disfungsi endotel. Disfungsi endotel diusulkan sebagai faktor risiko utama untuk beberapa gangguan kardiovaskular dan telah terlibat dalam patogenesis hipertensi dan aterosklerosis. NO dapat menjadi suplemen yang dapat memperbaiki fungsi endotel. Oleh karena itu, Beta Vulgaris L. sebagai NO donor alami, telah dieksplorasi sebagai pendekatan nutrisi untuk melestarikan atau mengembalikan fungsi endotel.[8] Namun penelitian akan aktivitasnya dalam menurunkan tekanan darah pada lansia masih terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas Beta Vulgaris L. sebagai suplemendalam menurunkan tekanan darah pada lansia di panti wreda di Panti Wreda Harapan Ibu Semarang. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini ingin membuktikan bahwa jus buah Beta Vulgaris L. dapat menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi usia lansia. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa jus buah Beta Vulgaris L. yang dapat menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi pada usia 20 sampai dengan 45 tahun sebanyak 10 MmHg dalam rentang waktu 24 jam.[6] 2.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain Quasy Experiment dengan menggunakan rancangan penelitian nonrandomized pretest and posttest design yang digunakan untuk mengetahui efektivitas Beta vulgaris L. sebagai suplemen penurun tekanan darah pada lansia hipertensi di Panti Wredha Harapan Ibu Semarang. Penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi.[7] Penelitian Quasy Experimenta dengan rancangan non-randomized pretest and post-test design dapat digambarkan sebagai berikut: O¹-----------------X¹---------------------O² O3-----------------X²---------------------O4

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

Keterangan : O¹ = Tekanan darah lansia sebelum intervensi pada kelompok kontrol X¹ = Intervensi konsumsi suplemen dari buah Beta Vulgaris L. pada kelompok kontrol O² = Tekanan darah lansia setelah intervensi pada kelompok kontrol O3= Tekanan darah lansia sebelum intervensi pada kelompok intervensi X² = Intervensi konsumsi suplemen dari buah Beta Vulgaris L. Pada kelompok perlakuan O4 = Tekanan darah lansia setelah intervensi pada kelompok intervensi Design diatas dilakukan pada dua kelompk yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Kelompok kontrol merupakan kelompok pembanding dengan tanpa perlakuan atau intervensi, sedangkan kelompok intervensi merupakan kelompok yang diberikan perlakuan. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini yaitu dengan memberikan sari buah bit kepada kelompok intervensi. Kedua kelompok sebelum dan sesudah intervensi akan dilakukan pengukuran tekanan darah sebagai data penelitian. Hasil pengukuran teknan darah yaitu hasil pre dan post-test tekanan darah pada lansia hipertensi. Penelitian dilakukan selama lima hari berturut-turut. Hari pertama peneliti mengukur tekanan darah kedua kelompok penelitian sebelum intervensi. Setelah pengukuran tekanan darah, kelompok intervensi akan diberikan sari Beta Vulgaris L. sebagai intervensi sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan atau intervensi. Setelah pemberian intervensi pada kelompok intervensi akan dilakukan posttest pengukuran tekanan darah dengan waktu peninjauan 1 jam setelah intervensi, 4 jam setelah intervensi dan 6 jam setelah intervensi untuk mendapatkan data fluktuasi tekanan darah setelah perlakuan. Pengolahan data penelitian menggunakan aplikasi pengolahan data SPSS versi 19. Peneliti menggunakan analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat untuk mendapatkan distribusi tekanan darah sebelum dan sesudah intervensi dengan menganalisis nilai-nilai

│3


tendensi kontrol (mean, median) dan nilai-nilai varian (nilai minimum, maksimum dan standar deviasi). Analisis bivariat dilakukan dengan membandingkan data sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan. Uji yang digunakan pada penelitian ini yaitu Uji Wilcoxon. Uji Wilcoxon digunakan karena terdapat sebaran data tidak normal dengan p<0,05. Uji statistik ini melihat pengaruh Beta Vulgaris L. sebagai suplemen penurun tekanan darah pada lansia hipertensi dengan derajat kemaknaan p=0,05 sehingga p value < 0,05 maka ada pengaruh yang bermakna (Ha diterima, Ho ditolak). 2.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Panti Wredha Harapan Ibu di Ngaliyan Semarang 5 hari berturut-turut pada tanggal 27 April 2016 hingga tanggal 1 Mei 2016. 2.3 Populasi dan Sampel Populasi adalah seluruh objek, seperti manusia, hewan, tumbuhan, benda mati, dan peristiwa serta gejala yang terjadi di masyarakat atau di alam yang diteliti atau yang diselidiki.[9] Sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi objek peneliti, namun hasilnya dapat mewakili atau dapat mencakup seluruh objek yang diteliti. [9] Populasi dari penelitian ini yaitu lansia hipertensi di Panti Wredha Harapan Ibu Semarang, sedangkan sampel dari penelitian ini ialah lansia hipertensi dengan kriteria inklusi. Teknik pengambilan sample yaitu dengan purposive sampling dengan kriteria inklusi sebagai berikut: 1. Usia ≼ 60 tahun 2. Tekanan darah sistolik ≼ 140 mmHg; tekanan darah diastolik ≼ 90 mmHg (Tabel 2.) 3. Tidak memiliki riwayat diabetes mellitus yang dibuktikan dengan tes kadar gula darah sewaktu sebelum penentuan sampling 4. Tidak memiliki gangguan menelan 5. Bersedia menjadi responden serta mengikuti seluruh prosedur penelitian sampai tahap akhir

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

Teknik pengambilan sampel pada populasi yang berjumlah kurang dari 100 yaitu dengan mengambil seluruh populasi sebagai sampel atau yang disebut dengan total sampling[10], sedangkan menurut Puspaningrum (2013), teknik pengambilan sampel untuk populasi kurang dari 100, yaitu dengan mengambil sekurang-kurangnya 50% dari total populasi.[11] Populasi pada penelitian ini yaitu lansia hipertensi di Panti Wredha Harapan Ibu berjumlah 20 orang dengan total lansia di panti sebanyak 40 lansia dan sampel berjumlah 16 orang dengan dengan pembagian kelompok kontrol 8 lansia dan kelompok intervensi 8 lansia. Distribusi jenis kelamin 100% perempuan. 2.4 Alat dan Bahan 2.4.1 Alat Penelitian ini menggunakan alat meliputi spyghmomanometer sebagai alat ukur tekanan darah untuk pengambilan data, juicer sebagai alat pengolahan pada sari Beta Vulgaris L. untuk kelompok intervensi, pisau sebagai alat potong, wadah baskom sebagai tempat meletakkan benda, gelas ukur sebagai gelas untuk mengukur jumlah sari Beta Vulgaris L. yang dihasilkan dan gelas minum untuk mempermudah responden mengkonsumsi sari Beta Vulgaris L. 2.4.2 Bahan Penelitian ini menggunakan bahan utama dan satu-satunya yaitu Beta Vulgaris L. 2.5 Tahap Penelitian Penelitian yang dilakukan memiliki

beberpa tahapan yaitu:

1. Menentukan responden kriteria inklusi dan eksklusi 2. Mengukur tekanan darah responden pre-test sebelum dilakukan intervensi 3. Mengelompokkan responden dan menggabungkan responden yang memiliki tekanan darah tinggi 4. Setelah mengelompokkan responden sesuai dengan tipe hipertensi, peneliti memberikan

│4


3. HASIL 3.1 Analisis Univariat Analisis univariat berupa data distribusi rata-rata tekanan darah pre dan post intervensi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Analisis univariat berupa nilai-nilai tendensi kontrol (mean) dan nilai-nilai varian (nilai minimum, maksimum dan standar deviasi) yang digambarkan dalam tabel dibawah ini:

intervensi buah Beta Vulgaris L. Yang telah di olah menjadisari dengan menggunakan juicer tanpa menggunakan air dan gula sebanyak 250 mL 5. Peneliti memantau responden yang dikelompokkan menjadi 1 jam, 4 jam dan 6 jam setelah intervensi 6. Intervensi dilakukan berulang selama 5 hari berturut-turut 7. Peneliti memperoleh hasil dan mengolahnya

Tabel 1. Nilai Tendensi Kontrol Tekanan Darah Sebelum dan Setelah Intervensi Kelompok Kontrol Tekanan Darah Sitolik Pre Sistolik Post Diastolik Pre Diastolik Post

N

Mean

8 161,25 8 161,25 8 97,5 8 100,0

Std. Deviation 20,3101 24,74874 7,07107 9,25820

Minimum

Maximum

140,0 140,0 90,0 90,0

200,0 220,0 110,0 120,0

Berikut rata-rata tekanan darah pengukuran tekanan darah pada sistolik kelompok kontrol sebelum kelompok kontrol. Rata-rata tekanan dilakukan perlakuan yaitu 161,25 mmHg darah sistolik setelah perlakuan yaitu dengan nilai minimum 140 mmHg dan 161,25 mmHg dengan nilai minimum 140 maksmium 200 mmHg. Sedangkan ratammHg dan nilai maksimum 220 mmHg. rata tekanan darah diastolik kelompok Rata-rata tekanan darah diastolik setelah intervensi sebelum perlakuan yaitu 97,5 perlakuan pada kelompok intervensi yaitu mmHg dengan nilai minimum 90 mmHg 100 mmHg dengan nilai minimum 90 dan maksimum 110 mmHg. mmHg dan nilai maksimum 120 mmHg. Setelah dilakukan perlakuan pada kelompok intervensi, dilakukan kembali . Tabel 2. Nilai Tendensi Kontrol Tekanan Darah Sebelum dan Setelah Intervensi Kelompok Intervensi Tekanan Darah Sistolik Pre Sistolik Post Diastolik Pre Diastolik Post

N 8 8 8 8

Mean 148,5 135,3743 96,5 90,2078

Rata-rata tekanan darah sistolik kelompok intervensi sebelum dilakukan perlakuan pada tabel 2 yaitu 148,5 mmHg dengan nilai minimum 126 mmHg dan maksmium 186 mmHg. Sedangkan rata-rata tekanan darah diastolik kelompok intervensi sebelum dilakukan perlakuan yaitu 96,5 mmHg dengan nilai minimum 82 mmHg dan maksimum 104 mmHg. Setelah dilakukan perlakuan sesuai dengan tabel 2 pada kelompok

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

Std. Deviation 18,53953 7,27866 7,30949 5,68244

Minimum 126,0 125,0 82,0 80,66

Maximum 186,0 146,0 104,0 95,33

intervensi, dilakukan kembali pengukuran tekanan darah. Rata-rata tekanan darah sistolik setelah perlakuan yaitu 135,4 mmHg dengan nilai minimum 125 dan nilai maksimum 146 mmHg. Rata-rata tekanan darah diastolik setelah perlakuan pada kelompok intervensi yaitu 90,2 mmHg dengan nilai minimum 80,66 mmHg dan nilai maksimum 95,33 mmHg.

│5


Tabel 3. Nilai Rata-Rata Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik Kelompok Intervensi Setelah dilakukan perlakuan SIstolik + 1 Jam 133.875 mmHg

Sistolik + 4 jam 138.75 mmHg

Sistolik +6 Jam 134.75 mmHg

Setelah dilakukan perlakuan dilakukan kembali pengukuran tekanan darah pada kelompok intervensi 1, 4 dan 6 jam setelah perlakuan. Berdasarkan data tabel 3, penurunan tekanan darah efektif pada pengukuran tekanan sistolik setelah satu jam dilakukan perlakuan dengan penurunan menjadi 138,875 mmHg dari data sebelum perlakuan pada tabel 2 yaitu 148,5 mmHg. Sedangkan pada hasil pengukuran diastolik, penurunan paling efektif pada enam jam setelah intervensi yaitu 89,75 mmHg dari data sebelum perlakuan pada tabel 2 96,5 mmHg. 3.2 Analisis Bivariat Analisa ini digunakan untuk membandingkan dua nilai dengan membandingkan perbaedaan nilai pertama dan kedua secara signifikan menggunakan uji t dependen. Uji t dependen dilakukan setelah uji normalitas sebaran data. Setelah dilakukan uji normalitas sebaran data didapatkan sebaran data yang tidak normal atau sangat bervariasi dengan p<0,05 maka dilakukan analisis bivariat menggunakan uji Wilcoxon untuk mengetahui perbandingan nilai pada hasil sebelum dan sesudah perlakuan. Tabel 4. Nilai Perbandingan Tekanan Darah Sebelum dan Sesudah Intervensi Kelompok Kontrol dengan Uji Wilcoxon Sistolik Diastolik Z 0,00 -0,816 P value 1,00 0,414 Perbandingan tekanan darah sistolik pre dan post intervensi pada kelompok kontrol yang ditunjukkan pada tabel 4 memiliki p value 1,00. P value > 0,05 menunjukkan tidak adanya pengaruh pada perlakuan kelompok kontrol. Perbandingan tekanan darah diastolik pre dan post intervensi pada kelompok kontrol memiliki p value 0,414 >0,05 menunjukkan tidak ada pengaruh pada hasil tekanan darah diastolik pre dan post intervensi pada kelompok kontrol.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

Diastolik + 1 Jam 91 mmHg

Diastolik + 4 Jam 91.375 mmHg

Diastoliki + 6 Jam 89.75 mmHg

Tabel 5. Nilai Perbandingan Tekanan Sebelum dan Sesudah Intervensi Kelompok Intervensi dengan Uji Wilcoxon Sistolik Diastolik Z -2,240 -2,103 P value 0,025 0,035 Perbandingan tekanan darah sistolik pre dan post intervensi pada kelompok intervensi yang ditunjukkan pada tabel 5 memiliki p value 0,025. P value <0,05 menunjukkan adanya pengaruh pada perlakuan kelompok intervensi. Perbandingan tekanan darah diastolik pre dan post intervensi pada kelompok intervensi memiliki p value 0,035 menunjukkan adanya pengaruh pada hasil tekanan darah diastolik pre dan post intervensi kelompok intervensi. Hasil pengukuran tekanan darah pre dan post sistolik dan diastolik lansia hipertensi di Panti Wredha Harapan Ibu Semarang mengalami penurunan yang berarti. Rata-rata tekanan darah sistolik lansia sebelum intervensi sebesar 148,5 mmHg turun menjadi 135,38 mmHg dengan selisih penurunan sebesar 13,12 mmHg. Rata-rata tekanan darah diastolik juga mengalami penurunan dari 96,5 mmHg menjadi 90,21 mmHg dengan selisih penurunan 6,29 mmHg. 4. PEMBAHASAN Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik, dengan nilai dewasa normalnya berkisar dari 100/60 mmHg sampai dengan 140/90 mmHg. Ratarata tekanan darah normal biasanya 120/80 mmHg.[12] Hipertensi atau tekanan darah tinggi menurut departemen kesehatan RI

│6


2014, merupakan peningkatan tekanan darah sistolik yang lebih dari 140 mmHg dan diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dalam selang

waktu lima menit dalam keadaan tenang. Hipertensi memiliki beberapa macam golongan. Berikut tabel tekanan darah[10]:

Tabel 6. Klasifikasi Tekanan Darah Kategori Sistolik Diastolik Optimal <120 <80 Normal <130 <85 Normal-tinggi 130-139 85-89 Hipertensi derajat 1 (ringan) 140-159 90-99 Subkelompok : borderline 140-149 90-94 Hipertensi derajat 2 (sedang) 160-179 100-109 Hipertensi derajat 3 (berat) ≼180 ≼110 Hipertensi sistolik terisolasi ≼140 <90 Subkelompok : borderline 140-149 <90 *Jika tekanan darah sistolik dan diastolik berbeda kategori maka yang digunakan yang lebih tinggi. Rata-rata tekanan darah lansia hipertensi di Panti Wredha Harapan Ibu Semarang ialah hipertensi derajat I atau hipertensi ringan dengan rentang tekanan darah sistolik antara 140-159 mmHg dan diastolik 90-99 mmHg. Ratarata tekanan darah lansia hipertensi di Panti Wredha Semarang ialah sistolik 154,9 mmHg dan diastolik 99 mmHg yang dihitung dari jumlah populasi lansia hipertensi dipanti Wredha Harapan Ibu Semarang. Tingginya angka tekanan darah sistolik dan diastolik pada lansia dikarenakan suatu proses menghilangnya secara perlahanperlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.[13] Lanjut usia merupakan usia yang beresiko tinggi terhadap penyakit-penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, diabetes militus, gout (rematik) dan kanker. Salah satu penyakit yang sering dialami oleh lanjut usia adalah hipertensi.[12] Terapi non farmakologi adalah bentuk pengobatan dengan cara pendekatan, edukasi, dan pemahaman tentang suatu penyakit tertentu. Pengobatan non farmakologi pada hipertensi meliputi rajin berolahraga secara teratur dan menjaga pola makan, dengan cara pengurangan asupan kalori

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

(bila kegemukan), membatasi asupan garam, serta bisa juga dengan pembuatan jus dari buah segar.[5] Buah merupakan salah satu terapi hipertensi non farmakologi dengan cara dijadikan suplemen pendamping makan. Salah satu buah yang dapat menjadi suplemen untuk menurunkan tekanan darah tinggi pada penderita hipertensi adalah buah Beta Vulgaris L.[6] Berdasarkan hasil penelitian diatas, tekanan darah lansia hipertensi di Panti Wredha Harapan Ibu turun. Hasil pengukuran tekanan darah pre dan post sistolik dan diastolik kelompok intervensi pada lansia di Panti Wredha Harapan Ibu Semarang mengalami penurunan yang berarti. Rata-rata tekanan darah sistolik lansia sebelum intervensi sebesar 148,5 mmHg turun menjadi 135,38 mmHg dengan selisih penurunan sebesar 13,12 mmHg. Rata-rata tekanan darah diastolik juga mengalami penurunan dari 96,5 mmHg menjadi 90,21 mmHg dengan selisih penurunan 6,29 mmHg. Kandungan Beta Vulgaris L. yaitu asam folat 34%, kalium 14.8%, serat 13.6%, vitamin C 10.2%, magnesium 9.8%, Triptofan 1.4%, zat besi 7.4%, tembaga 6.5%, fosfor 6.5%, caumarin dan betasianin.[8] Penurunan yang terjadi pada kelompok intervensi dikarenakan Beta Vulgaris L.merupakan buah yang banyak mengandung nitrat yang dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan.[9,14]

│7


Nitrat dalam jus Beta Vulgaris L. memiliki manfaat untuk mengurangi tekanan darahdengan mekanismenitrat yang dikonsumsi diabsobrsi oleh darah dan bercampur dengan endogen yang diproduksi salah satunya lalu NO3 disekresi oleh saliva dan NO3 NO2 bercampur dibantu oleh saliva lalu NO2 diproses dalam lambung bercampur dengan asam lambung menjadi NO, NO3 diekskresi melalui urin, siklus nitrat ini dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan produksi endothelium dan menurunkan agregasi platelet.[15] Jus buah bit mengandung nitrat ±13,2±0,94 x 10-3 mol per liter.[9] Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ghosh et al 2013 membuktikan bahwa buah Beta Vulgaris L. dapat menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi usia 20 sampai dengan 45 tahun sampai dengan 10 mmHg dalam waktu peninjauan selama 24 jam dengan meminum 250 mL jus buah bit. Sedangkan menurut Kapil et al 2014 menunjukkan bahwa jus buah bit mengandung ±25,7±5,3 mmol per liter, dan dalam 250 ml jus buah bit dapat melengkapi kebutuhan nitrat tubuh sebanyak ±6,4 mmol.[16] Penelitian tersebut menunjukkan bahwa tekanan darah dapat turun hingga maksimum 11,2 mmHg untuk sistol dan 7,7 mmHg untuk diastol dalam rentang usia 18 hingga 85 tahun.[16] Beberepa penelitian sebelumnya tersebut mendukung hasil penelitian di Panti Wredha Harapan Ibu Semarang. Tiga puluh menit setelah mengkonsumsi jus buah bit akan menaikkan level plasma nitrat dan nitrit.[17] Keuntungan yang didapatkan adalah menunjuk pada mulut dan sistem gastrointestinal yang merupakan komponen kunci untuk meningkatkan level nitrit dan mengaktifkan terus pengaruh yang ditimbulkan. Siklus nitrit menyerupai siklus entheropathic pada sistem biliary. Pada siklus ini cairan akan diserap oleh usus dan ditransportasikan ke hati. Pada dasarnya mengkonsumi jus buah bit yang mengandung nitrat baik untuk tubuh dalam menurunkan tekanan darah, mengurangi agregasi platelet serta produksi endhotelium. Konsumsi nitrit juga dapat melebarkan pembuluh darah sehingga transportasi darah lancar

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

sehingga yang pada awalnya memiliki tekanan darah tinggi dapat turun. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa intervensi Beta Vulgaris L. pada lansia hipertensi paling efektif pada 1 jam setelah intervensi, dan pada tekanan darah diastolik 6 jam setelah intervensi.Berdasarkan data tabel 3, penurunan tekanan darah efektif pada pengukuran tekanan sistolik setelah satu jam dilakukan perlakuan dengan penurunan menjadi 138,875 mmHg dari data sebelum perlakuan pada tabel 2 yaitu 148,5 mmHg. Sedangkan pada hasil pengukuran diastolik, penurunan paling efektif pada enam jam setelah intervensi yaitu 89,75 mmHg dari data sebelum perlakuan pada tabel 2 yaitu 96,5 mmHg. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian pada lansia hipertensi di Panti Wredha Harapan Ibu Semarang dapat ditarik kesimpulan: 1. Hasil pengukuran tekanan darah pre dan post sistolik dan diastolik lansia hipertensi di Panti Wredha Harapan Ibu Semarang mengalami penurunan yang berarti. Perbandingan tekanan darah sistolik pre dan post intervensi pada kelompok intervensi memiliki p value 0,025. P value < 0,05 menunjukkan adanya pengaruh pada perlakuan kelompok intervensi. Perbandingan tekanan darah diastolik pre dan post intervensi pada kelompok intervensi memiliki p value 0,035 menunjukkan adanya pengaruh pada hasil tekanan darah diastolik pre dan post intervensi kelompok intervensi. 2. Rata-rata tekanan darah sistolik lansia sebelum intervensi sebesar 148,5 mmHg turun menjadi 135,38 mmHg dan rata-rata tekanan darah diastolik juga mengalami penurunan dari 96,5 mmHg menjadi 90,21 mmHg 3. selisih penurunan tekanan darah sistolik sebesar 13,12 mmHg dan selisih penurunan tekanan darah diastolik sebesar 6,29 mmHg. 4. Penurunan tekanan darah efektif pada pengukuran tekanan sistolik setelah satu jam dilakukan perlakuan dengan penurunan menjadi 138,875

│8


mmHg dari data sebelum perlakuan pada tabel 2 yaitu 148,5 mmHg. Sedangkan pada hasil pengukuran diastolik, penurunan paling efektif pada enam jam setelah intervensi yaitu 89,75 mmHg dari data sebelum perlakuan pada tabel 2 yaitu 96,5 mmHg 6. Saran Saran yang dapat diberikan dari penulis ialah: 1. Bagi Lansia Diharapkan lansia yang mengalami hipertensi di Panti Wredha Harapan Ibu Semarang maupun lansia lain untuk menjadikan Beta Vulgaris L. sebagai suplemen yang dapat membantu menurunkan tekanan darah lansia agar lansia sejahtera dan bebas dari hipertensi. 2. Bagi Instansi Kesehatan Diharapkan instansi setempat seperti puskesmas sampai dengan Dinas Kesehatan dapat menanggulangi fenomena hipertensi pada lansia salah satunya dengan menggunakan Beta Vulgaris L. sebagai intervensi. 3. Bagi Peneliti lain Diharapkan artikel ini dapat dijadikan evidence based untuk peneliti yang ingin meneliti lebih lanjut tentang Beta Vulgaris L. Diharapkan juga Beta Vulgaris L. dapat diteliti lebih lanjut pengolahan dan manfaatnya bukan hanya untuk hipertensi saja. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang turut membantu, mendukung, memberikan kritik dan saran yang membangun, bimbingan dan arahan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kemenristek (Kementerian Riset dan Teknologi) selaku pemberi dana hibah 2. Ns. Elis Hartati, S.Kep., M.Kep sebagai dosen pembimbing 3. Dr. Ir. Suryanti, M.Pi sebagai dosen pembina 4. Ketua dan jajaran petinggi Panti Wredha Harapan Ibu Semarang

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

5. Responden dan segenap lansia di Panti Wredha Harapan Ibu Semarang 6. Pihak-pihak yang turut membantu terwujudnya penelitian Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan penelitian selanjutnya. Penulis harap penelitian memberikan kebermanfaatan yang luas. DAFTAR PUSTAKA 1. Pusdatin RI. Situasi dan Analisis Lanjut Usia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2014 2. Pusdatin RI. Hipertensi. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 1-8, 2014 3. Adzakia. Pencegahan Hipertensi Dengan Terapi Jus, 2012. Diakses tanggal 16 September 2015 dari http://www.pustakaundip.ac.id// 4. Rizki, Farah. The Miracle of Vegetables. Jakarta: AgroMedia Pustaka. 25 – 29, 2013. Diakses tanggal 16 September 2015 dari https://books.google.co.id/books?isb n=9790064470 5. Dalimartha, S., & Adrian, F. Fakta Ilmiah Buah & Sayur. Jakarta: Penebar Plus, 2013 6. Ghosh et al. Enhanced Vasodilator Activity of Nitrite in Hypertension: Critical Role for Erytrhocytic Xanthine Oxidoreductase and Translational Potential. AHA. Vol 61: 1091-1102, 2013 7. Wood, Shelly. Beet This: More Evidence of BP-Lowering Effects of Dietary Nitrate. Medscape, 2013. Diunggah 16 April 2013 dari http://www.medscape.com/viewarticl e/782590 8. Clifford, T., Howatson, G., West, D. J., & Stevenson, E. J. The Potential Benefits of Red Beetroot Supplementation in Health and Disease. Nutrients , 2801-2822, 2015 9. Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta, 2012 Kuswardhani, RA Tuty. Penatalaksanaan Hipertensi pada Lanjut Usia. J Peny Dalam. Vol. 7 (2). ci, N. (2008). Mother was Right:

│9


Eat Your Vegetables and Do Not Spit! When Oral Nitrate Helps with High Blood Pressure. AHA. Vol. 51: 617-9, 2006 10. Puspaningrum, Qodriannisa. Pengaruh Latihan Meditasi Otogenik terhadap Peningkatan Konsentrasi LatihanStudi Eksperimen terhadap Atlet Karate Kata Kei Shin Kan Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia, 2013. Diakses tanggal 5 April 2016 dari 11. Triyanto, E. Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita Hipertensi. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014 12. Darmojo, B. Teori Proses Menua. In: H.Hadi Martono dan Kris Pranarka (eds): Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp.14.102, 2009

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

13. Steenis. Buah Bit (Beta vulgaris L). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2005 14. David, Wink, Paolocci, N. Mother was Right: Eat Your Vegetables and Do Not Spit! When Oral Nitrate Helps with High Blood Pressure. AHA. Vol. 51: 617-9, 2008 15. Kapil et al. Dietary Nitrate Provides Sustained Blood Pressure Lowering in Hipertensive Patients: A randomized, Phase 2, Double Blind, Placebo Controlled Study. AHA. Vol. 65: 320-7, 2014 16. Web et al. 2008. Acute Blood Pressure Lowering, Vasoprotective, and Antiplatelet Properties of Dietary Nitrate via Bioconvertion to Nitrite. AHA. Vol 51: 784-790

│10


Penelitian

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN TEMAN SEBAYA DENGAN KEMAMPUAN PERAWATAN DIRI LANSIA DI UPT PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA PASURUAN Tiara Dea Ananda1, Retno Lestari2, Wening Prastowo3 1 Mahasiswa

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya 2 Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya 3 Dosen Departemen Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya ABSTRAK Populasi lanjut usia meningkat dengan sangat cepat di berbagai Negara di dunia, padahal banyaknya lansia yang tidak terawat dapat menjadi beban dan tanggungan bagi Pemerintah. Dukungan teman sebaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan perawatan diri. Dukungan tersebut memiliki peran penting dalam meningkatkan kemampuan perawatan diri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan teman sebaya dengan kemampuan perawatan diri lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan. Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan teknik non-probability sampling untuk pengambilan sampel penelitian. Variabel dukungan teman sebaya diukur dengan kuisioner Berlin Social Support Scale (BSSS) dan kuisioner kemampuan perawatan diri diukur dengan Health Assessment Questionnaire (HAQ) yang sama-sama telah dimodifikasi. Sampel yang digunakan adalah 52 lansia yang memenuhi kriteria inklusi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji statistik Spearman’s Rho. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa 45,6% responden telah memperoleh dukungan yang baik dari teman-teman sesama lanjut usia. Didapatkan data bahwa 50,9% dari total responden memiliki kemampuan perawatan diri yang baik. Hasil analisa data menunjukkan bahwa p value 0,000 < 0,10, sehingga H0 ditolak. Kekuatan korelasi yang sebesar 0,615 termasuk dalam kategori korelasi kuat dengan arah korelasi positif. Kesimpulannya adalah terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan teman sebaya terhadap kemampuan perawatan diri lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan. Saran untuk tempat penelitian agar menambah kegiatan yang dapat meningkatkan kekompakan lansia dengan teman sebaya, seperti kegiatan berkebun, menghias wisma, serta makan dan sharing bersama. Kata Kunci: Dukungan Teman Sebaya, Kemampuan Perawatan Diri, Lansia ABSTRACT Many elderly who live with inability of self-care can be burden to the government. It’s associated with the fast growth of elderly population. Peer support is one of factor that influences self-care ability. This support has important role for increasing the self-care ability. The aim of this research was to look for the correlation between peer support and self-care ability of the elderly at UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan. The research used cross sectional design with non-probability sampling technique for choosing the sample of respondents. Variable of peer support was measured by Berlin Social Support Scale (BSSS) questionnaire and self-care ability variable was measured

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│11


by Health Assessment Questionnaire (HAQ), which was modified. There were 52 elderly as respondents of this research that fulfilled inclusion criteria. The data was analyzed using Spearman’s Rho statistic test. The result of research indicated that 45,6% of the respondents received good support from their peer-group and 50,9% of the respondents have good self-care ability. Result of data analysis shows that p value 0,000 < 0,10, indicating H0 is rejected. The result has correlation coefficient 0,615 indicates strong correlation between both variables with positive relation. There is significant correlation between peer support and self-care ability of the elderly at UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan. Suggestion for UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan is adding to activities that be able to increase solidarity of elderly, like gardening, decorating room, having mealtime, and sharing together. Keyword: Peer Support, Self-Care Ability, Elderly 1. PENDAHULUAN Populasi lanjut usia meningkat dengan sangat cepat di berbagai Negara di dunia, padahal banyaknya lansia yang tidak terawat dan terabaikan dapat menjadi beban dan tanggungan bagi Pemerintah, baik dari segi sosial, kesehatan, ekonomi, serta menjadi tantangan tersendiri pada aspek kesejahteraan umum. Data United Nations Population Fund (2013), memperkirakan di tahun 2025 terdapat 1,2 milyar lansia dan di tahun 2050 akan menjadi 2 milyar jiwa. Sekitar 80% lansia hidup di negara berkembang. Wilayah Asia-Pasifik merupakan bagian dunia yang mengalami peningkatan jumlah lansia tercepat, termasuk negara Indonesia.[1] Salah satu konsekuensi dari meningkatnya populasi usia lanjut adalah banyaknya orang yang akan terus hidup dengan penurunan fungsional tubuh. Lansia membutuhkan perhatian khusus untuk menghadapi perubahanperubahan kompleks dalam aspek kehidupannya, seperti kemunduran fisik, gerakan melamban, dan penurunan fungsi organ penting lainnya. Penurunan dan keterbatasan tersebut berpengaruh dengan kemampuan perawatan diri lansia. Kemampuan perawatan diri dengan status kesehatan memiliki keterkaitan satu sama lain. Studi di Swedia menemukan bahwa usia lanjut dan status kesehatan yang rendah berhubungan dengan lemahnya kemampuan perawatan diri.[2] Pada studi lainnya dinyatakan bahwa kemampuan perawatan diri yang kurang baik akan berdampak pada koping dan kesehatan

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

jiwa, serta tingkat kepuasan hidup yang rendah.[3] Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perawatan diri pada kelompok usia lanjut. Salah satunya adalah dukungan dari lingkungan sekitar yang ikut berpengaruh terhadap kemampuan perawatan diri lansia.[4] Dukungan dari teman sebaya memiliki peran penting dalam meningkatkan kemampuan tersebut.[5] Dukungan teman sebaya bagi lanjut usia merupakan hal yang menjadi sangat berharga dan akan menambah ketentraman hidup. Dukungan tersebut dapat berupa informasi verbal dan/atau non-verbal, bantuan nyata, dan tindakan yang diberikan, sehingga terjalin pertalian sosial yang baik.[6] Teman sebaya di kalangan lansia merupakan tempat berbagi untuk mencurahkan perasaan dan tempat untuk mengasah interaksi sosial. Interaksi lansia dengan teman sebaya yang tercipta dapat menjadi dukungan yang kuat. Para lansia yang ada di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan merupakan lanjut usia yang terlantar dan mengakui bahwa sistem dukungan terbesar yang mereka miliki berasal dari teman sebaya. Dari hasil studi pendahuluan diketahui alasan-alasan mengapa para lansia tinggal di pelayanan khusus tersebut, seperti tidak memiliki keluarga satu pun, ditelantarkan anaknya, hingga ditangkap Satpol PP karena tidak memiliki identitas diri. Para lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan menghabiskan sebagian besar waktu yang dimiliki dengan kegiatan bersama dengan teman sebayanya, seperti senam lansia, terapi aktivitas kelompok, kerja bakti, dan

│12


kegiatan lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat dukungan teman sebaya pada UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan termasuk dalam kategori baik. Berdasarkan pemaparan masalah dengan adanya fenomena-fenomena, maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara tingkat dukungan teman sebaya dengan tingkat kemampuan perawatan diri lanjut usia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan.

2. METODE PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik observasional dengan metode pendekatan Cross Sectional. Jenis sampling dalam penelitian ini adalah non-probability sampling, yaitu dengan tenik consecutive sampling. Penetapan sampel dilakukan dengan cara memilih setiap lansia yang memenuhi kriteria penelitian. Jumlah sampel pada penelitian diperoleh dari hasil perhitungan:

Keterangan: n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi d = Tingkat signifikan (0,1).[7] Dari rumus di atas didapat: Peneliti menilai dukungan teman sebaya menggunakan lembar kuisioner Berlin Social Support Scale (BSSS) yang telah dimodifikasi, berjumlah 14 pertanyaan, dengan nilai uji reliabilitas 0,899 (>rtabel 0,3233). Alat ukur variabel kemampuan perawatan diri menggunakan lembar instrumen Health Assessment Questionnaire (HAQ), berjumlah 16 pertanyaan, dengan nilai uji reliabilitas 0,925 (>rtabel 0,3233). Jumlah skoring dari dukungan teman sebaya akan dikategorikan menjadi tinggi, sedang, dan kurang. Penilaian kemampuan perawatan diri lansia juga akan dikategorikan menjadi baik, cukup, dan kurang dari akumulasi skor jawaban. Jika nilai 29-42, maka dukungan teman sebaya dikategorikan tinggi. Jika nilai 1528, maka dukungan teman sebaya

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

dikategorikan sedang. Dan jika nilai 0-14, maka dukungan teman sebaya kurang. Uji variabel menggunakan Spearman. 3. HASIL PENELITIAN Dari penelitian ini diantaranya: 3.1 Karakteristik Responden Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan Klasifikasi Frekuen Persentas Usia si e Elderly (60-74 39 75% tahun) Old (75-89 12 23,1% tahun) Very Old (lebih 1 1,9% dari 90 tahun) Total 52 100% Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan Jenis Frekuensi Persentase Kelamin Perempuan 31 59,6% Laki-Laki 21 40,4% Total 52 100% Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan Lama Frekuensi Persentase tinggal 6 bulan – 5 34 65,3% tahun >5 tahun – 11 21,2% 10 tahun >10 tahun 7 13,5% Total 52 100% Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Gangguan Kognitif Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan Jenis Gangguan Frekuensi Persentase Kognitif Tidak Ada Gangguan 34 65,4% Kognitif Gangguan Kognitif 18 34,6% Sedang Total 52 100%

│13


3.2 DATA KHUSUS Tabel 5. Gambaran Dukungan Teman Sebaya yang Diperoleh Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan Dukungan Teman Frekuensi Persentase Sebaya Tinggi 25 48,1% Sedang 23 44,2% Rendah 4 7,7% Jumlah 52 100% Tabel 6. Gambaran Dukungan Instrumental yang Diperoleh Lansia dari Teman Sebayanya di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan Dukungan Frekuensi Persentase Instrumental Tinggi 19 36,5% Sedang 25 48,1% Rendah 8 15,4% Jumlah 52 100% Tabel 7. Gambaran Dukungan Emosional yang Diperoleh Lansia dari Teman Sebayanya di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan Dukungan Frekuensi Persentase Emosional Tinggi 40 77% Sedang 7 13,4% Rendah 5 9,6% Jumlah 52 100% Tabel 8. Gambaran Dukungan Emosional yang Diperoleh Lansia dari Teman Sebayanya di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan Dukungan Frekuensi Persentase Emosional Tinggi 40 77% Sedang 7 13,4% Rendah 5 9,6% Jumlah 52 100% Tabel 9. Gambaran Dukungan Penghargaan yang Diperoleh Lansia dari Teman Sebayanya di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan Dukungan Frekuensi Persentase Penghargaan Tinggi 39 75% Sedang 5 9,6% Rendah 8 15,4% Jumlah 52 100%

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

Tabel 10. Gambaran Dukungan Informatif yang Diperoleh Lansia dari Teman Sebayanya di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan Dukungan Frekuensi Persentase Informatif Tinggi 25 48% Sedang 19 36,6% Rendah 8 15,4% Jumlah 52 100% Tabel 11. Gambaran Kemampuan Perawatan Diri Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan Kemampuan Frekuensi Persentase Perawatan Diri Baik 28 53,8% Cukup Baik 24 46,2% Jumlah 52 100% 3.3 Analisa Bivariat Tabel 12. Tabulasi Silang antara Dukungan Teman Sebaya dengan Kemampuan Perawatan Diri Lansia

Dukunga n Teman Sebaya

Tinggi Sedan g Renda h

Total

Kemampuan Perawatan Diri Baik Cuku p 18 7 (34,6 (13,5 %) %) 10 13 (19,2 (25%) %) 4 (7,7% ) 28 24 (53,8 (46,2 %) %)

Total 25 (48,1 %) 23 (44,2 %) 4 (7,7% ) 52 (100 %)

Sebagian besar lansia yang memiliki kemampuan perawatan diri yang baik ternyata memperoleh dukungan yang tinggi dari teman sebayanya, yaitu sebanyak 34,6% (18 orang lansia). Sebanyak 13,5% (7 orang lansia) memperoleh dukungan yang tinggi dari teman sebayanya, tetapi memiliki kemampuan perawatan diri yang cukup. Terdapat pula responden yang memiliki kemampuan perawatan diri yang baik, namun merasa dukungan teman sebaya yang diperoleh dalam kategori sedang, yaitu sebanyak 19,2% atau 10 orang lansia. Sebanyak 25% (13 orang lansia) menyatakan bahwa dirinya memperoleh

│14


dukungan teman sebaya dalam kategori sedang dengan kemampuan perawatan diri yang dimiliki juga dalam kategori cukup baik. 7,7% atau 4 responden menyatakan bahwa dirinya memperoleh dukungan yang kurang dari teman sebaya di panti dan merasa bahwa kemampuan perawatan diri yang dimiliki dalam kategori cukup. Tidak ada responden yang mengeluh kesulitan dalam melakukan perawatan diri. Tabel 13. Uji Korelasi Rank Spearman pada Variabel Dukungan Teman Sebaya dengan Kemampuan Perawatan Diri Lansia Koefisien Korelasi p-value 0,000 0,622 Hasil analisis diperoleh nilai signifikan 0,000 (P-value<0,1), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan teman sebaya dengan kemampuan perawatan diri lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan. Dilihat dari hasil koefisien korelasi didapatkan bahwa korelasi bersifat positif dan bermakna bahwa hubungan antara variabel dukungan teman sebaya dengan kemampuan perawatan diri bersifat searah. Semakin tinggi dukungan teman sebaya yang diperoleh lansia, maka semakin baik pula kemampuan perawatan dirinya. Kekuatan korelasi bernilai 0,622 menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan yang kuat. Tabel 14. Uji Korelasi Rank Spearman pada Jenis-Jenis Dukungan Teman Sebaya dengan Kemampuan Perawatan Diri Lansia Jenis Koefisien p-value Dukungan Korelasi Dukungan 0,663 0,000 Instrumental Dukungan 0,578 0,000 Emosional Dukungan 0,298 0,024 Penghargaan Dukungan 0,599 0,000 Informatif Seluruh jenis dukungan teman sebaya yang diperoleh lansia memiliki hubungan yang signifikan terhadap kemampuan perawatan diri (p-value < 0,1). Hasil analisa data menunjukkan

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

bahwa dukungan instrumental memiliki hubungan yang kuat dan positif terhadap kemampuan perawatan diri lansia. Dukungan emosional dan informatif memiliki hubungan yang sedang dan positif terhadap kemampuan perawatan diri lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan, sedangkan dukungan penghargaan hanya berkorelasi lemah terhadap kemampuan perawatan diri lansia. 4. PEMBAHASAN 4.1 Dukungan Teman Sebaya yang Diperoleh Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan Dukungan teman sebaya adalah hubungan interpersonal yang ada di dalamnya berisi pemberian bantuan yang melibatkan aspek-aspek informasi, perhatian emosi, penilaian dan penghargaan, serta bantuan instrumental yang diperoleh lansia melalui interaksi dengan teman sebayanya. Hasil penelitian menemukan bahwa dukungan dari teman sebaya yang paling memberi kontribusi terhadap kemampuan perawatan diri responden adalah dukungan instrumental. Dukungan emosional dan dukungan penghargaan merupakan dukungan yang paling tinggi diperoleh lansia dari teman sebayanya. Dukungan instrumental mencakup bantuan secara langsung yang diberikan kepada orang lain, seperti bantuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari termasuk perawatan diri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 36,5% responden mendapatkan dukungan instrumental dari teman sebayanya dalam kategori tinggi. Sebanyak 48,1% menyatakan mendapatkan dukungan instrumental sedang dari teman sebaya dan 15,4% sisanya menyatakan mendapatkan dukungan instrumental yang rendah. Bentuk dukungan ini sangat berkontribusi terhadap perawatan diri lansia karena bantuan ini diberikan secara nyata. Terbukti dari hasil analisa koefisien korelasi antara dukungan instrumental dengan kemampuan perawatan diri

│15


yang bernilai 0,663 dan memiliki arti bahwa hubungan diantara keduanya bersifat positif dan kuat. Semua lansia yang menjadi responden adalah lansia yang tinggal di wismawisma non perawatan khusus, artinya tidak ada pemberian bantuan secara instrumental dari petugas panti dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari para lansia. Lansia melakukannya secara mandiri di wisma, sehingga apabila terdapat sedikit kesulitan maka teman sewisma yang akan membantu. Sebagian besar responden menyatakan bahwa sebisa mungkin aktivitasnya dalam perawatan diri dilakukan secara mandiri. Dukungan emosional merupakan wujud dari kasih sayang yang diberikan teman sebaya kepada lansia yang tinggal di panti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 77% responden mendapatkan dukungan emosional yang tinggi dari teman sebayanya. Tingginya persentase dukungan emosional antara lansia dengan teman sebayanya ditunjukkan dengan sikap sesama lansia penghuni panti yang saling menyayangi dan mengayomi, selalu rukun, dan berusaha selalu melakukan aktivitas yang bermanfaat secara bersama-sama. Lansia yang ada di UPT mengakui bahwa mereka menghindari perdebatan, permusuhan, gosip, dan hal-hal negatif yang lain selama di wisma. Lansia juga menambahkan bahwa mereka berusaha meninggalkan hal yang sia-sia dan menggantinya dengan kegiatan rohani agar selalu dapat dekat dengan Tuhan di sisa usia senjanya. Namun, dukungan emosional sedikit berkontribusi terhadap kemampuan perawatan diri lansia. Hasil analisa koefisien korelasi dukungan emosional dengan kemampuan perawatan diri bernilai 0,578 dan memiliki makna bahwa hubungan diantara keduanya bersifat positif dan dalam kategori sedang. Dukungan penghargaan diberikan dalam bentuk feedback, respon, dan dorongan yang positif, seperti memberikan nasehat yang baik atau persetujuan gagasan yang

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

disampaikan lansia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 75% dari total responden merasa memperoleh dukungan penghargaan yang tinggi dari teman sebayanya. Hal ini ditunjukkan dengan sikap terbuka para lansia untuk mendengarkan gagasan temannya dalam pengambilan keputusan. Para lansia juga saling mendukung untuk tetap semangat dalam menjalani hari-hari, namun dukungan penghargaan tidak terlalu berkontribusi terhadap kemampuan perawatan diri lansia. Hasil analisa koefisien korelasi dukungan penghargaan dengan kemampuan perawatan diri bernilai 0,298 dan memiliki makna bahwa hubungan diantara keduanya bersifat positif, tetapi lemah. Dukungan informasi dari teman sebaya mencakup bantuan berupa petunjuk, saran, instruksi, nasehat, dan saran sehubungan dengan perawatan diri lansia. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 48% memperoleh dukungan informatif yang baik dari teman sebayanya. 36,6% responden merasa mendapatkan dukungan informatif dalam kategori sedang dan 15,4% responden menyatakan kurang mendapat dukungan informatif dari teman sebaya. Variasi dukungan informatif yang diperoleh lansia ini tergantung dengan karakter masingmasing lansia. Sebagian besar merasa bahwa nasehat dari teman sewisma adalah hal yang patut dipertimbangkan mengingat mereka adalah orang yang tahu tentang permasalahannya. Sebagian responden lainnya merasa bahwa lebih baik meminta nasehat atau informasi penting kepada perawat, pengasuh, dan pengurus wisma karena orang-orang tersebut adalah pihak penting di panti. Dukungan informatif ini sedikit berkontribusi terhadap kemampuan perawatan diri lansia. Hasil analisa koefisien korelasi dukungan penghargaan dengan kemampuan perawatan diri bernilai 0,599 dan memiliki makna bahwa hubungan diantara keduanya bersifat positif dan dalam kategori sedang.

│16


Berbagai kegiatan dapat dilakukan oleh lansia di wisma untuk meningkatkan dukungan teman sebaya. Kegiatan berkebun dengan memanfaatkan lahan yang tersedia dapat menjadi alternatif bagi lansia untuk mengisi waktu luang bersama teman sebaya. Kegiatan lain yang dapat dilakukan lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan adalah menghias wisma bersama-sama. Menghias wisma di waktu luang dapat meningkatkan rasa kekeluargaan dan kekompakan lansia. Kegiatan lainnya yang bisa meningkatkan kebersamaan lansia dengan teman sebaya di wisma adalah dengan makan bersama dan saling sharing antar lansia. 4.2 Kemampuan Perawatan Diri Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan Lansia yang menyatakan bahwa dirinya sepenuhnya mampu melakukan perawatan diri ditunjukkan dengan sikap dan perilaku mandiri dalam memenuhi kebutuhan di dalam wisma, sedangkan lansia yang menyatakan bahwa dirinya memiliki kemampuan perawatan diri dalam kategori sedang masih merasa terdapat sedikit atau beberapa kesulitan apabila terdapat penyakit yang kambuh, misal asam urat atau hipertensi. Asam urat atau gout arthritis merupakan salah satu penyakit degeneratif yang menyerang sistem muskuloskeletal. Gout arthritis dapat terjadi karena berbagai faktor, salah satunya adalah penuaan yang menyebabkan kerusakan tulang rawan sendi yang progresif. Kerusakan tersebut menyebabkan perubahan metabolisme tulang serta peningkatan aktivitas enzim yang merusak makro molekul matriks tulang rawan sendi. Peningkatan aktivitas enzim tersebut mempengaruhi penurunan kadar proteoglikan dan berdampak pada perubahan sifat kolagen yang semakin memburuk. Kolagen bersifat menyimpan air dalam tulang rawan sendi, sehingga apabila kolagen

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

memburuk maka kadar air pada tulang rawan sendi akan berkurang. Banyak aktivitas yang melibatkan tulang rawan sendi, terutama di bagian anggota gerak. Aktivitas yang sering dilakukan ini juga menurunkan kadar kolagen di dalam tulang, sehingga menimbulkan robekan pada permukaan sendi dan menimbulkan laserasi[8]. Laserasi tersebut akan menyebabkan nyeri dan menyebabkan ketidaknyamanan dalam melakukan aktivitas, termasuk dalam melakukan perawatan diri. Saat gout arthritis kambuh dan menyerang seseorang, maka akan terasa nyeri di bagian anggota gerak. Lansia yang mengalami asam urat akan mengalami penurunan kemampuan perawatan diri dan membutuhkan orang lain untuk membantu dirinya memenuhi kebutuhan. Hipertensi merupakan penyakit kronis yang hanya bisa dikontrol dengan menjalankan gaya hidup sehat. Banyak penyebab dan faktor risiko dari hipertensi, salah satunya adalah penuaan. Penuaan menyebabkan penurunan elastisitas dan kemampuan meregang pada aorta. Tekanan aorta meningkat sangat tinggi dengan penambahan volume intravaskuler yang sedikit menunjukkan kekakuan pembuluh darah pada lansia. Secara hemodinamik, hipertensi ditandai penurunan kelenturan pembuluh darah arteri resisten perifer yang tinggi, pengisian diastolik abnormal, dan bertambahnya masa ventrikel kiri. Berbagai permasalahan pembuluh darah tersebut menyebabkan beban kerja jantung meningkat. Beban kerja jantung yang meningkat ini berdampak pada vasokonstriksi pembuluh darah sistemik, termasuk di area vaskular serebral. Vasokonstriksi vaskular serebral akan menstimulasi ujung saraf bebas, sehingga menyebabkan pusing.[9] Lansia yang mengalami kekambuhan hipertensi dan mengalami pusing akan kesulitan melakukan perawatan diri. Lansia tersebut akan membutuhkan pertolongan orang lain untuk memenuhi kebutuhan dirinya.

│17


Faktor penyakit-penyakit degeneratif tersebut menyebabkan 46,2% lansia menyatakan bahwa dirinya memiliki kemampuan perawatan diri dalam kategori cukup. Responden pada penelitian ini tidak ada yang mengeluhkan rendahnya kemampuan perawatan diri yang dimiliki. Para lansia menjelaskan apabila dirinya merasa sudah benarbenar tidak sanggup melakukan perawatan diri, maka akan dpindahkan ke wisma perawatan khusus untuk mendapatkan bantuan dari petugas panti. 4.3 Hubungan antara Dukungan Teman Sebaya dengan Kemampuan Perawatan Diri Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hubungan dukungan teman sebaya dengan kemampuan perawatan diri lansia pada 52 responden di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan. Hal ini dibuktikan dengan uji hipotesis menggunakan Spearman dengan taraf signifikan 10% (0,1), didapatkan nilai Sig. 2-tailed sebesar 0,000 (Pvalue < 0,1) yang memiliki arti terdapat hubungan yang signifikan di antara kedua variabel. Kekuatan korelasi dari bivariat ini bernilai 0,622, artinya dukungan teman sebaya dengan kemampuan perawatan diri lansia memiliki hubungan yang kuat dan bersifat positif. Koefisien determinan (r2 x 100%) dari analisa bivariat sebesar 38,68%. Artinya dukungan teman sebaya memberikan sumbangsih terhadap kemampuan perawatan diri lansia sebesar 38,68%, sedangkan 61,32% kemampuan perawatan diri lansia berhubungan dengan faktorfaktor lain di luar dukungan teman sebaya. Dukungan yang diperoleh lansia dari teman sebayanya dapat berupa empati untuk menghibur di saat sedih, saling mendengarkan apabila ingin bertukar cerita, saling bahumembahu dan tolong-menolong ketika terdapat sesuatu hal yang tidak dapat ditangani sendiri, dengan

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

hadirnya teman sebaya juga dapat meningkatkan semangat yang meredup, serta lansia akan mendapatkan informasi tentang pentinnya perawatan diri dari teman sebayanya. Kebanyakan lansia masih sanggup untuk menggunakan pakaian, memakai sampo saat mandi, berdiri dari kursi, naik dan turun dari tempat tidur, makan sendiri, berjalan hingga menaiki beberapa anak tangga, menjangkau benda yang ada di atas atau di bawah lansia, membuka pintu sendiri, hingga merawat tanaman. Sebagian besar lansia menyatakan bahwa tanpa kesulitan apapun mampu merawat diri sendiri, beberapa lainnya menyatakan bahwa masih terdapat hal-hal yang dilakukan dengan sedikit atau banyak kesulitan. Dukungan instrumental merupakan jenis dukungan yang secara nyata berkorelasi terhadap kemampuan perawatan diri. Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan yang tinggal di wisma nonperawatan khusus merasa bahwa ada teman sebaya yang dapat diandalkan ketika lansia mengalami kesulitan melakukan perawatan diri, membantu ketika tidak mampu merawat diri, dan jika terdapat banyak hal yang harus ditangani sendiri, maka selalu ada teman sebaya yang akan membantu. Berdasarkan hasil penelitian ini dukungan teman sebaya memiliki hubungan terhadap kemampuan perawatan diri lansia dalam setting panti wredha. Sebagian besar responden memperoleh dukungan teman sebaya dalam kategori tinggi. Sebagian besar lansia juga memiliki tingkat kemampuan perawatan diri yang baik. Sehingga semakin tinggi dukungan teman sebaya yang diperoleh lansia, maka semakin baik pula kemampuan lanjut usia dalam melakukan perawatan diri. 5. KESIMPULAN Berdasarkan uji Spearman didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan teman sebaya dengan kemampuan perawatan

│18


diri lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan ditunjukkan dengan nilai Sig. 2-tailed sebesar 0,000 (P-value < 0,1). Dilihat dari hasil koefisien korelasi hubungan kedua variabel bersifat positif dan dari analisa kekuatan korelasi didapatkan nilai 0,622 yang menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan yang kuat. Dari hasil penelitian ini D\diharapkan lansia, khususnya yang ada di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan dapat terus meningkatkan dukungan teman sebaya dengan menambah kegiatan yang dapat meningkatkan kekompakan antar lansia, seperti kegiatan berkebun di lahan yang tersedia di depan wisma, menghias wisma yang dilakukan bersama-sama, serta makan dan sharing bersama. Tingginya tingkat dukungan teman sebaya tersebut diharapkan berdampak pada tingkat kemampuan perawatan diri lansia. 6. SARAN Berdasarkan simpulan hasil penelitian di atas, maka penulis mencoba untuk menyampaikan beberapa saran, yaitu: 1. Diharapkan lansia, khususnya yang ada di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan dapat terus meningkatkan dukungan teman sebaya dengan menambah kegiatan yang dapat meningkatkan kekompakan antar lansia, seperti kegiatan berkebun di lahan yang tersedia di depan wisma, menghias wisma yang dilakukan bersamasama, serta makan dan sharing bersama. Tingginya tingkat dukungan teman sebaya tersebut diharapkan berdampak pada tingkat kemampuan perawatan diri lansia. 2. Melihat adanya hubungan antara dukungan teman sebaya dengan kemampuan perawatan diri pada lansia, maka diharapkan pelayanan keperawatan dapat melibatkan teman sebaya yang dimiliki lansia dalam pemberian intervensi untuk meningkatkan kemampuan perawatan diri pada lanjut usia. 3. Penelitian selanjutnya yang tertarik dengan topik yang sama, hendaknya mengukur atau meneliti hal-hal lain yang dipengaruhi oleh dukungan teman sebaya, misalnya angka

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

kejadian hipertensi dan gout arthritis lansia dan menggunakan pendekatan lain, seperti Case Control Study. DAFTAR PUSTAKA 1. United National Population Fund. 2013. Ageing. [online]. (http://www.unfpa.org/ageing, diunduh pada 31 Maret 2015). 2. Dale, Bjorg., Soderhamn. 2011. SelfCare Ability Among Home-Dwelling Older People In Rural Areas In Southern Norway. Scandinavian Journal of Caring Sciences. 3. Muko, Sri Yulan. 2014. Perbedaan Personal Hygiene pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Ilomata dan Beringin Provinsi Gorontalo. Tesis. Universitas Negeri Gorontalo. 4. Wartonah. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika 5. Chambers, Ruth., Wakley, Gill., Blenkinsopp, Alison. 2006. Supporting Self-Care in Primary Care. United Kingdom: Radcliffe Publishing Ltd. 6. Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC. 7. Hidayat, Alimul. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis. Jakarta: Salemba Medika. 8. Lukman. 2012. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika. 9. Corwin. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

│19


Artikel Penyegar

OPTIMALISASI PERAN KADER UNTUK PENINGKATAN PERILAKU HIDUP BERSIH SEHAT DI RUMAH TANGGA Vivi Leona Amelia, S.Kep.,Ns1 1Mahasiswa

Program Magister Keperawatan Komunitas, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN “Mencegah lebih baik daripada mengobati” merupakan ungkapan yang tidak lekang dimakan zaman. Hal ini menggambarkan pentingnya dari upaya pencegahan suatu penyakit, yaitu upaya yang disebut dengan promosi kesehatan dengan melakukan upaya pemberdayaan kepada masyarakat untuk menciptakan masyarakat sehat[1]. Pemberdayaan masyarakat dimulai dari rumah tangga atau keluarga, karena rumah tangga yang sehat merupakan aset atau modal pembangunan di masa depan yang perlu dijaga, ditingkatkan dan dilindungi kesehatannya. Perilaku hidup bersih sehat merupakan cerminan pola hidup keluarga yang senantiasa memperhatikan dan menjaga kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan dapat berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan pemeliharaan kesehatan. Manajemen peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) diupayakan mulai dari tatanan terkecil yakni rumah tangga dengan sasaran individu dan keluarga kemudian akan berkembang kearah desa / kelurahan, kecamatan / puskesmas dan Kabupaten / kota sehat hingga pada akhirnya secara nasional akan terwujud seluruh masyarakat Indonesia yang berperilaku hidup bersih dan sehat.[1] Penerapan 10 indikator PHBS di tingkat rumah tangga sangat tergantung dengan kesadaran dan peran serta aktif masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya masing-masing. Upaya untuk mewujudkan lingkungan yang sehat akan menunjang pola perilaku kehidupan rakyat yang sehat secara berkelanjutan.[1] Capaian rata-rata

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

Indonesia untuk PHBS dalam rumah tangga yaitu sebesar 32.3%[2], yang ini sangat jauh dari Rencana Strategis (Renstra) Indonesia tahun 2010-2014 yaitu sebesar 65%.[3] Upaya mendukung peningkatan capaian PHBS, telah dilakukan banyak cara, diantaranya meningkatkan pembinaan kegiatan masyarakat secara terintegrasi (Posyandu, desa siaga, kadarsi), penyebarluasan informasi baik secara langsung maupun tidak langsung melalui media, serta meningkatkan peran swasta, ormas dan LSM.[4] Kader memiliki peran yang sangat penting untuk pencapaian PHBS rumah tangga baik kader secara kolektif membuat program untuk daerahnya masingmasing yang terdapat dalam 6 peran kader 1 maupun sebagai pendukung program yang telah diwacanakan oleh pemerintah.[2] Kader merupakan lini depan dengan perannya membantu pemerintah meningkatkan PHBS karena berada di masyarakat dan dekat dengan masyarakat. 2. TUJUAN Pada artikel ini akan digambarkan peran kader dalam peningkatan PHBS rumah tangga, kemudian rancangan sistem untuk optimalisasi peran kader tersebut, dan juga kepemimpinan dan pemerintah dalam mendukung dan memonitor peningkatan peran kader. 3. PEMBAHASAN Kader sebagai perpanjangan tangan dari sistem pelayanan primer Secara global, program pemberdayaan masyarakat melalui sistem kader telah diterapkan selama 60 tahun ini, cara seperti ini banyak

│20


diterapkan di negara-negara Afrika dan Asia. Cara untuk mendapatkan kader yaitu dengan pengenalan wilayah dan beberapa anggota masyarakat yang terlibat aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, kemudian dilaksanakan pelatihan dasar yang mendukung mobilisasi dari aktivitas komunitas. Peran utama dari kader sendiri yaitu melakukan interaksi dengan masyarakat sekitarnya, menjadi jembatan antara tenaga kesehatan dengan masyarakat, memberikan edukasi kepada masyarakat dan merespon kebutuhan kesehatan dari masyarakat. Saat ini telah dikembangkan pelatihan kader secara formal, peningkatan kemampuan klinis, dan peningkatan supervisi yang berhubungan dengan dukungan terhadap sistem pelayanan kesehatan.[5] Harapan dari adanya kader yaitu meningkatkan akses dari pelayanan primer yang akan menguatkan sistem kesehatan seluruh dunia.[6] Kader merupakan komponen dari sistem pelayanan kesehatan primer, yang seharusnya terintegrasi penuh, dengan tujuan untuk memfasilitasi rujukan dan mendukung pelayanan kesehatan primer. Pengintegrasian kader sebagai bagian dari sistem pelayanan kesehatan primer dikarenakan kader mampu untuk menurunkan batasan dari akses pelayanan kesehatan, dapat meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan, penghubung dari tenaga kesehatan kepada masyarakat. Sisem kader ini merupakan sistem yang paling efektif sebagai dukungan dari bagian sistem pelayanan primer.[5]

Gambar 1. Kader sebagai bagian dari pelayanan kesehatan[5]

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

Peran kader dalam PHBS rumah tangga Terdapat 6 peran kader untuk peningkatan PHBS rumah tangga, yaitu: (1) Melakukan pendataan rumah tangga yang ada di wilayahnya dengan menggunakan kartu PHBS atau pencatatan PHBS di rumah tangga pada buku kader; (2) Melakukan pendekatan kepada kepala desa / lurah dan tokoh masyarakat untuk memperoleh dukungan dalam pembinaan PHBS di rumah tangga; (3) Sosialisasi PHBS di rumah tangga ke seluruh rumah tangga yang ada di desa / kelurahan melalui kelompok dasawisma; (4) Memberdayakan keluarga untuk melaksanakan PHBS melalui penyuluhan perorangan, penyuluhan kelompok, penyuluhan massa dan penggerakan masyarakat; (5) Mengembangkan kegiatan-kegiatan yang mendukung terwujudnya rumah tangga sehat, (6) Memantau kemajuan pencapaian rumah tangga sehat di wilayahnya setiap tahun melalui pencatatan PHBS di rumah tangga.[1] Penelitian yang telah dilakukan, dilaporkan bahwa dengan meningkatnya kader di masyarakat pedesaan mengawali meningkatknya status kesehatan yaitu penurunan 30% angka kematian bayi yaitu dengan ditolongnya persalinan oleh tenaga kesehatan, selain itu juga meningkatkan partisipasi masyarakat terkait imunisasi.[7] Selama ini di Indonesia peran kader paling banyak pada penimbangan bayi dan balita dengan program Posyandu dan juga pemeriksaan jentik berkala. Peran kader lainnya belum dijalankan dengan baik oleh kader termasuk memberikan penyuluhan kesehatan terkait dengan PHBS.[8] Desain operasional sistem kerja kader Terdapat beberapa literatur yang menggambarkan sistem kerja kader sehingga kader dapat secara optimal menjalankan perannya. Berikut merupakan rangkaian yang dikerjakan oleh kader: (1) melakukan kunjungan rumah pada zona yang telah ditentukan sebelumnya, atau berkunjung ke seluruh zona untuk menentukan zona yang ingin dilakukan intervensi; (2) identifikasi dan mengunjungi keluarga yang membutuhkan monitoring dan

│21


perawatan; (3) menyediakan rujukan pada tahap komunitas bagi anggota keluarga yang sakit; (4) merujuk ke pelayanan kesehatan dan sebagai rujukan dari pelayanan kesehatan primer.[5]

Gambar 2. Sistem kerja kader[5] Pada gambar 2 digambarkan bahwa terdapat beberapa hal yang masih kurang dari kader yang ada di Indonesia, seperti adanya sistem data menggunakan HP, suplai barang-barang untuk bertemu masyarakat, dan juga alur informasi yang tidak secara langsung dilaporkan. Untuk laporan jentik berkala dilakukan setiap enam bulan sekali, dan juga untuk kartu PHBS banyak yang belum menggunakan ini karena sosialisasi dari pemerintah yang kurang. Suplai yang dibawa oleh kader dapat berubah-ubah sesuai dengan tujuan kader bertemu dengan keluarga. Pada PHBS sendiri yaitu membawa kartu kontrol PHBS, senter untuk memantau jentik, dan juga peralatan seperti timbangan yang digunakan pada saat posyandu.[1] Kegiatan kader dapat dimodifikasi tergantung dengan program yang akan dilaksanakan, dan juga area yang akan dilalui. Untuk meminimalisir terjadinya kelebihan kerja, maka dibutuhkan supervisor, pendanaan dan pelatihan terkait dengan program, dan juga dipastikan bahwa kader terintegrasi dan terkoordinasi.[9] Kepemimpinan dan pemerintah dalam mendukung dan memonitor program kader Untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang baik maka harus selaras antara sektor swasta dan juga pemerintah. Kepemimpinan dan pemerintah memegang peranan penting

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

untuk memastikan pelayanan kesehatan yang diberikan akurat dan efektif sesuai dengan kebutuhan. Untuk menurunkan barier pada perawatan dan mencegah munculnya barier yang lainnya diperlukan manajemen yang kuat dan kepemimpinan dari pemerintahan yang mengawali adanya pengkajian dari proses, pelaksanaan dan hadil dan juga teknik dari pelibatan manajemen untuk peningkatan kualitas.[9] Salah satu bentuk dari dukungan pemerintah adalah pendanaan, pada penelitian yang diadakan di Nepal, dalam memberikan imunisasi kepada anak, maka pemerintah menerapkan sistem pembayaran pada kader, kader disini melakukan fungsi primer, yaitu memastikan semua anak diwilayah tersebut telah diimunisasi, yang melakukan penyuntikan imunisasi adalah tenaga kesehatan. Hasil yang didapat adalah keberhasilan program imunisasi, dengan adanya supervisi dan dukungan logistik dapat meningkatkan performa kader sehingga dapat mendukung keberhasilan program.[10] Banyak penelitian yang mengatakan bahwa dengan kuatnya supervisi dan juga penerapan informasi masyarakat sebagai pengambilan keputusan akan meningkatkan kualitas hasil pelayanan kesehatan.[5] Supervisi yang efektif dilakukan dengan dialog dalam pemecahan masalah dengan tenaga kesehatan, membandingkan pelayanan kesehatan yang diberikan dengan norma dan standar yang ada, dan menguji informasi dengan hasil yang diinginkan. Manajemen yang kuat dapat berupa umpan balik dari kader, input dan umpan balik dari performa kader di komunitas, pelatihan dan peer review, pertemuan kepemimpinan antara kader dan supervisor.[11] Proses infromasi dan hasil dilaporkan dan berhubungan dengan data nasional dan pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan review terhadap aturan-aturan yang telah ada. Komunikasi antara kader dan level diatasnya dapat menjadi jembatan untuk perencanaan aturan tentang sistem kesehatan selanjutnya.

│22


4. KESIMPULAN Terdapat enam peran kader pada PHBS, peran tersebut masih banyak yang harus ditingkatkan. Untuk mempermudah kerja kader maka dilakukan optimalisasi peran kader dengan rancangan sistem kerja kader yang sesuai dengan tujuan kader akan berinteraksi dengan masyarakat. Untuk memperkuat peran kader tersebut perlulah kepemimpinan dan dukungan pemerintah terkait dengan programprogram pengembangan kader. 5. SARAN 1. Perlu adanya pembuatan sistem kerja kader yang sesuai dengan wilayah kerja masing-masing dari kader. 2. Perlu adanya peran pemerintah untuk mendukung optimalisasi peran kader termasuk pada pendaan, supervisi, pelatihan, dan komunikasi. 3. Perlu adanya keselarasan dari hal yang terjadi di masyarakat dengan peraturan pemerintah sehingga akan tercipta kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2012). 10 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia . (2013). Data dan Informasi Tahun 2014 (Profil Kesehatan Indonesia). Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 4. Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta . (2013). Profil Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2013. Yogyakarta: Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

5. Singh, Prabhjot and Sarah Sullivan. (2014). One Million Community Health Workers: Technical Task Force Report. Columbia: The Earth Istitute Columbia University. 6. Viswanathan M, Kraschnewski J, Nishikawa B, Morgan LC, Thieda P, Honeycutt A, Lohr KN, Jonas D. (2009). Outcomes of Community Health Worker Interventions. Evidence Report/Technology Assessment No. 181 (Prepared by the RTI International–University of North Carolina Evidence-based Practice Center under Contract No. 290 2007 10056 I.) AHRQ Publication No. 09-E014. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality. 7. World Health Organization. (2007). Community Health Workers: What Do We Know About Them? The State of The Evidence on Programmes, Activities, Costs And Impact on Health Outcomes of Using Community Health Workers. Geneva: World Health Organization 8. Novianti dan Sri Maywati. (2013). Survey Rumah Tangga Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Ciawi Kabupaten Tasikmalaya. GASTER, Vol. 8, No. 2 Austus 2013 (741 749). 9. World Health Organization. (2014). World Health Report 2014: Reducing Risk, Promoting Healthy Life. Geneva: World Health Organization. 10. Glenton et al. (2010) The female community health volunteer programme in Nepal: Decision makers’ perceptions of volunteerism, payment and other incentives. Social Science & Medicine, 70: 1920-1927. 11. Lewin SA, Dick J, Pond P, Zwarenstein M, Aja G, van Wyk B, Bosch-Capblanch X, Patrick M. (2005). Lay Health Workers in Primary and Community Health Care. Cochrane Database Syst Rev (1):CD004015.

│23


Literatur Review

STRATEGI MANDIRI DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGANAN BURNOUT BAGI PERAWAT IGD I Putu Athia Alit Artawan, Adhe Kurnia Destiana Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Falkultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta ABSTRAK

Pendahuluan: Perawat merupakan profesi yang mempunyai resiko cukup tinggi untuk mengalami stres di rumah sakit. Perawat yang mengalami tingkat stres paling tinggi salah satunya adalah perawat bagian Instalasi Gawat Darurat. Tingkat stres yang tinggi tersebut timbul karena keadaan pekerjaan yang mengharuskan perawat melakukan tindakan terhadap pasien secara tepat dan cepat karena keadaan gawat darurat yang menyangkut kehidupan dan kematian pasien. Stres kerja yang dialami oleh perawat dapat berkepanjangan sehingga ini dapat mengakibatkan kelelahan fisik, mental, dan emosional yang dapat berujung terjadinya burnout. Burnout dapat di definisikan sebagai respon psikologis seseorang untuk menggambarkan kelelahan jangka panjang (kronis) dan berkurangnya minat, biasanya digunakan dalam konteks pekerjaan dan berhubungan dengan stres kerja. Tugas yang dijalankan oleh perawat Instalasi Gawat Darurat bukanlah tugas yang ringan maka dari itu perlu adanya intervensi mandiri yang tepat untuk menangani maupun mencegah terjadinya burnout pada perawat IGD. Metode: Metode yang digunakan adalah metode literature review. Metodologi yang dilakukan bertujuan untuk mengeksplorasi permasalahan aktual terkait dengan burnout pada perawat IGD, mencari relevansinya dengan referensi yang sudah ada, dan merangkum referensi tersebut ke dalam suatu intervensi mandiri. Hasil dan Pembahasan: Apabila ditinjau dari berbagai aspek psikososial yang mempengaruhi terjadinya stres pada perawat di IGD perlu adanya pencegahan dan penanganan burnout secara mandiri. Terdapat enam masalah yang berpotensi mengakibatkan burnout yang kerap terjadi di lingkungan kerja perawat IGD dan strategi kunci yang dapat dilakukan dari setiap masalah tersebut, antara lain: Masalah Beban Kerja: Resilience atau meningkatkan ketahanan, Kontrol Masalah: Autonomy atau meningkatkan otonomi dengan cara meningkatkan kualitas diri, Masalah Penghargaan: Speak atau keberanian berbicara dalam mengungkapkan pendapat, Masalah di Lingkungan Kerja: Communication atau meningkatkan komunikasi yang lebih baik, Masalah Keadilan: Respect atau menumbuhkan rasa saling menghormati dan menghargai, Masalah Dilema Etik: Value atau memperbanyak wawasan mengenai pengambilan keputusan yang telah dipertimbangkan dari berbagai aspek nilai. Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa untuk mengurangi burnout pada perawat IGD salah satunya dapat dilakukan dengan beberapa strategi yang dikemas secara sederhana dalam pencegahan dan penanganan burnout yang terjadi pada kalangan perawat di IGD. Kata Kunci: Perawat IGD, Strategi Mandiri, Burnout ABSTRACT Introduction: The nurse is a profession that has a high enough risk to experience stress in the hospital. Nurses who experience the highest stress level one is a nurse at the emergency room (ER). The high levels of stress arising from a job that requires nurses act appropriately and quickly to patients in emergencies involving the life and death of the patient. Work stress experienced by nurses may be prolonged so that these can lead to physical fatigue, mental, and emotional which can lead to burnout. Burnout can be

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│24


defined as a person's psychological response to illustrate the long-term exhaustion and diminished interest, usually used in the context of employment and job-related stress. Duties performed by the ER nurse is not an easy task and therefore the need for an independent intervention to deal with and prevent burnout in ER nurses. Methods: The method used is the method of literature review. Methodology conducted aimed at exploring the actual problems associated with burnout in ER nurse, look for relevance to the existing references, and references summarize them into an intervention. Result: When viewed from various aspects that affect the psychosocial stress in the ER nurses need for prevention and treatment of burnout independently. There are six issues that could potentially lead to burnout that often occur in the workplace ER nurses and key strategies that can be done on each of these issues, among others: Workload problems: Resilience or increase endurance, Problems control: Autonomy or increase the autonomy by improving the quality of self, Awards issues: speak or courage to speak in expressing opinions, Workplace problems: communication or enhance better communication, Justice problems: respect or foster mutual respect and appreciation, Dilemmas Ethics problems: Value or reproduce insight into the decision-making that has been consideration of various aspects of value. Conclusion: So, to reduce burnout in ER nurses one of which can be done with a few simple strategies that are packaged in the prevention and treatment of burnout that occur in the nurse in the ER. Keyword: ER Nurse , Independent strategy, Burnout. 1. PENDAHULUAN Sekitar 60% tenaga kesehatan adalah tenaga perawat yang bekerja pada berbagai sarana dan tatanan pelayanan kesehatan dengan pelayanan 24 jam sehari, 7 hari seminggu dan merupakan penyedia kontak pertama dengan pasien. Keperawatan merupakan inti dari berbagai kegiatan penyelenggaraan upaya kesehatan. Dinyatakan juga bahwa tenaga perawat merupakan salah satu komponen utama dalam pemberian layanan kesehatan, sehingga memiliki peranan penting terkait dengan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (2006) dinyatakan bahwa 50,9% perawat mengalami stres kerja.[6] Sebagai sebuah profesi, pekerjaan menjadi perawat mempunyai resiko yang cukup tinggi untuk mengalami stres di rumah sakit. Soejitno (2002) mengungkapkan bahwa perawat yang mengalami tingkat stres paling tinggi adalah perawat bagian rawat inap dan bagian instalasi gawat darurat. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan stres kerja pada perawat antara lain pola dan beban kerja, hubungan interpersonal pada saat bekerja, hubungan dengan pasien dan keluarga pasien, organisasi

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

kerja dan manajemen kerja, aspek teknis keperawatan, dan permasalahan personal. Tingkat stres yang tinggi tersebut timbul karena keadaan pekerjaan yang mengharuskan perawat melakukan tindakan terhadap pasien secara tepat dan cepat karena keadaan gawat darurat yang menyangkut kehidupan dan kematian pasien. [19] Stres kerja yang dialami oleh perawat dapat berkepanjangan sehingga ini dapat mengakibatkan kelelahan fisik, mental, dan emosional yang dapat berujung terjadinya burnout.[18] Burnout dapat di definisikan sebagai respon psikologis seseorang untuk menggambarkan kelelahan jangka panjang (kronis) dan berkurangnya minat, biasanya digunakan dalam konteks pekerjaan dan berhubungan dengan stres kerja. Burnout sering diterangkan sebagai hasil dari periode pengeluaran usaha di tempat kerja yang terlalu banyak sementara waktu istirahat yang dimiliki hanya sedikit. Pada intinya, burnout merupakan dampak dari stres kerja yang berlebihan dalam kurun waktu yang panjang yang dapat mempengaruhi aspek fisik maupun psikologis seseorang dan jika tidak di tangani secara bijak dapat berdampak kepada diri sendiri, pasien, maupun instansi tempat bekerja. Petugas kesehatan, termasuk perawat

│25


seringkali rentan terhadap burnout. Jika dilihat secara nyata bahwa didapatkan beberapa tanda-tanda yang harus diperhatikan jika perawat telah mengalami burnout, misalnya perawat menunjukkan perilaku seperti memberikan respon yang tidak menyenangkan kepada pasien, menunda pekerjaan, mudah marah disaat rekan kerja ataupun pasien bertanya hal yang sederhana, mengeluh jika cepat lelah dan pusing serta lebih parahnya tidak mempedulikan pekerjaan dan keadaan disekitarnya. Menurut penelitian, sekitar 82% perawat Instalasi Gawat Darurat mengalami burnout tingkat sedang.[18] Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi burnout pada perawat IGD diantaranya karena tuntutan pekerjaan, gaya kepemimpinan yang kurang memberikan dukungan terhadap bawahannya, beban pekerjaan, beban pernikahan, kondisi pekerjaan yang buruk, kurang dapat mengontrol lingkungan pekerjaan, perekonomian keluarga, dan koping terhadap burnout.[18] Perawat yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat memiliki stressor yang tinggi karena perawat setiap hari akan berhadapan dengan aspek lingkungan fisik dan lingkungan psikososial yang tinggi dari pekerjaannya. Ketidakmampuan perawat dalam menjawab tuntutan lingkungan akan menimbulkan situasi stres dalam lingkungan kerja sehingga stres yang berkepanjangan secara sadar ataupun tidak dapat menimbulkan kelelahan fisik, mental, dan emosional yang dapat berujung terjadinya burnout yang nantinya akan memengaruhi kualitas kerja dan perilaku perawat itu sendiri. Burnout juga dapat mengakibatkan waktu tunggu yang semakin lama dan konsekuensinya akan meningkatkan perilaku agresi dan kekerasan pasien terhadap tenaga kesehatan. Sehingga untuk dapat menangani dan memberikan pelayanan yang optimal, tentunya perawat yang bekerja di IGD dituntut untuk memiliki kecekatan, ketrampilan, dan kesiagaan setiap saat.[10] Tidak dipungkiri bahwa perawat yang bekerja di IGD memiliki resiko tinggi untuk mengalami burnout, mengingat beban kerja yang diberikan kepada

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

perawat IGD yang sangat fluktuatif tergantung kondisi pasien yang ditangani, ditambah banyaknya jumlah pasein dan shift kerja yang panjang melebihi kapasitas kerja manusia normal dikhawatirkan akan mengakibatkan penurunan produktivitas dan stres akibat beban kerja yang tinggi. Apabila perawat IGD mengalami burnout, maka akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien, efektifitas pekerjaan menurun, hubungan sosial antar rekan kerja menjadi renggang, dan timbul perasaan negatif terhadap pasien, pekerjaan, dan tempat kerja perawat.[18] Dikhawatirkan nantinya seiring dengan terjadinya burnout akan menyebabkan penurunan kinerja pada perawat IGD. Kekhawatiran akan menurunnya kinerja perawat telah dibahas dalam Rakernas Asosiasi Rumah Sakit Daerah (Arsada) tahun 2013. Rakernas tersebut menemukan bahwa tekanan kerja menyebabkan stres yang tinggi dan menurunkan motivasi serta kinerja perawat. Stres kerja perawat diprediksi akan meningkat pada tahun-tahun mendatang dan menjadi tren yang tidak bisa diabaikan karena berkaitan erat dengan keselamatan perawat dan pasien. Tugas yang dijalankan oleh perawat Instalasi Gawat Darurat bukanlah tugas yang ringan. Hal ini disebabkan karakteristik penyakit pasien Instalasi Gawat Darurat sendiri, yaitu pasien dengan kondisi gawat darurat yang dapat mengancam kehidupannya. Maka dari itu perlu adanya intervensi mandiri yang tepat untuk menangani maupun mencegah terjadinya burnout pada perawat IGD ditinjau berdasarkan beberapa aspek psikososial yang mempengaruhi terjadinya stress pada perawat IGD. Hal ini dirasa penting karena untuk meningkatkan kesadaran perawat IGD terhadap pencegahan dan penanganan burnout. 2. METODE PENULISAN Metode penulisan yang digunakan dalam pengembangan Staregi Mandiri Dalam Pencegahan Dan Penanganan Burnout Bagi perawat IGD adalah menggunakan metode literature review. Metodologi yang dilakukan bertujuan

│26


untuk mengeksplorasi permasalahan aktual terkait dengan burnout pada perawat IGD, mengembangkan gagasan yang akan diambil, dan mencari relevansinya dengan referensi yang sudah ada dan bagaimana merangkum referensi tersebut ke dalam suatu gagasan. Literatur yang digunakan sebagai landasan teori didapatkan dari text book, jurnal, skripsi, serta thesis. Thesis yang mendukung penulisan ini berjudul Surviving Chaos: Predictors of Occupational Stress and Well-Being in Emergency Nurses[16] berhubungan erat dengan kondisi psikologis perawat gawat darurat. Adapun jurnal yang ikut serta mendukung penulisan ini berjudul The relationship between Psychosocial Job Stress and Burnout in Emergency Department: An exploratory Study[11] dan Goal Orientation Predicts Work Engagement and Burnout in Emergency Nurses[4] yang didalamnya membahas tentang beberapa aspek psikososial perawat gawat darurat dan dimensi burnout yang saling berhubungan yang dijadikan tinjauan pustaka dalam penulisan ini. Serta Text book yang berjudul Banishing Burnout[14] dan Burnout for Experts[13] yang didalamnya membahas tentang beberapa upaya yang dapat digunakan dalam mencegah maupun menangani burnout. Penggunaan jurnal dan text book digunakan untuk meninjau hal-hal yang dapat dijadikan acuan dalam kerangka pikir penyusunan gagasan. Tahap yang selanjutnya digunakan adalah dengan meninjau kembali hasil penelitian terkini atau evidence based yang telah ada melalui jurnal, skripsi, dan thesis. Peninjauan dilakukan dengan menelaah fenomena terbaru dalam pencegahan dan penanganan burnout, khususnya untuk meninjau strategi mandiri bagi perawat IGD. Selama proses pembentukan gagasan hingga tahap penyusunan prosedur juga dilakukan konsultasi pakar bidang keperawatan kegawatdaruratan. Konsultasi pakar dilakukan bertujuan untuk menambah informasi terkait dengan data-data yang dibutuhkan, mendapatkan pertimbangan gagasan terkait penerapan gagasan di lapangan,

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

sehingga relevansi ditingkatkan.

gagasan

dapat

3. HASIL dan PEMBAHASAN 3.1 Analisis Kondisi Saat ini belum adanya kesadaran mengenai intervensi yang tepat untuk mencegah maupun menangani terjadinya burnout. Secara umum, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan ketika seseorang beresiko mengalami stres kerja yang berujung pada burnout. Salah satu diantaranya adalah menghindari stres dengan cara meningkatkan ketahanan diri. Ketahanan merupakan salah satu respon individu yang dapat disadari maupun tidak dalam pekerjaan individu itu sendiri. Banyak yang tidak menyadari dan bahkan belum mengetahui akan pentingnya ketahanan diri terhadap banyaknya tuntutan kerja yang harus dialami oleh seseorang khususnya pada lingkup kerja perawat di Instalasi Gawat Darurat. Beberapa hasil penelitian saat ini menyebutkan bahwa perawat di IGD beresiko mengalami stres kerja yang dapat memicu terjadinya burnout karena dipandang mempunyai tuntutan kerja yang banyak dan salah satunya berhubungan dengan keselamatan (life saving) pasien. Akibat banyaknya tuntutan kerja yang menjadi beban kerja seorang perawat di IGD menunjukkan ciri dan gejala fisik dan perilaku yang dapat memicu terjadinya burnout, antara lain: terjadinya gangguan tidur, selera makan menurun, gangguan pencernaan, sering mengalami pusing dan sakit kepala, adanya rasa jenuh dalam melakukan pekerjaan, terkadang menjadi mudah marah karena pasien atau keluarga pasien yang tidak kooperatif, dan terjadinya konflik dengan sesama rekan kerja.[19] 3.2 Staregi Mandiri Dalam Pencegahan Dan Penanganan Burnout Bagi perawat IGD Staregi Mandiri Dalam Pencegahan Dan Penanganan Burnout Bagi perawat IGD merupakan suatu strategi mandiri yang bertujuan untuk mencegah dan menangani burnout dalam lingkup keperawatan gawat darurat khususnya pada perawat IGD.

│27


d.

Gambar 1. Gambaran Strategi Mandiri dalam Pencegahan dan Penanganan Burnout Bagi Perawat IGD. Sebelum memahami lebih lanjut mengenai strategi menghadapi burnout, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh perawat IGD antara lain: a. Mengetahui permasalahan secara objektif: dalam hal ini perawat perlu menganalisa seberapa besar masalah yang dihadapi. Apabila perawat telah melakukan hal ini, maka akan memudahkan perawat untuk merencanakan tindakan yang harus dilakukan untuk menghadapinya dan memilih salah satu strategi yang sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi. b. Mengambil tindakan: bertindak segera sesuai dengan strategi yang dipilih dan sesuai dengan kemampuan diri. Jika individu dirasa kurang tepat memilih strategi maka jangan menunda untuk mengambil strategi yang lain yang dirasa lebih tepat. c. Mengetahui konsekuensi strategi yang dipilih: penting bagi perawat khususnya yang bertugas di IGD untuk mengetahui konsekuensi yang akan terjadi dalam memilih setiap strategi baik konsekuensi bagi diri sendiri, teman sejawat, maupun pasien dan keluarga.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

Mengetahui perkembangan: mengidentifikasi setiap proses yang dilewati dalam pengambilan strategi untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi. e. Membangun relasi: tidak menutup kemungkinan bahwa setiap strategi memiliki kesempatan untuk bekerja sama dengan orang lain. f. Yang terpenting adalah selalu berpikir dan bersikap positif dalam setiap masalah yang dihadapi. Setelah mengetahui beberapa hal yang harus diperhatikan harapan kedepannya perawat akan lebih mudah dalam menerapkan gagasan ini. Adapun strategi atau intervensi mandiri yang dikemas dalam gagasan ini mencakup pencegahan dan penyelesaian dari enam kunci masalah yang dapat menyebabkan burnout khususnya pada perawat yang bertugas di IGD, antara lain: a. Masalah Beban Kerja: Resilience Salah satu tanda seorang perawat di IGD mengalami burnout adalah merasa kelelahan di pagi hari ketika menghadapi pekerjaan. Jika terjadi secara berkepanjangan akan menimbulkan penurunan ketahanan diri dan gejalanya berupa stamina berkurang, kerja keras menurun, dan tidak menikmati pekerjaan sehingga tuntutan kerja terasa semakin berat. Jika digambarkan dalam sebuah siklus masalah beban kerja ini tidak berujung seperti halnya lingkaran setan. Alternatif strategi yang sangat direkomendasikan untuk menghadapi beban kerja adalah ketahanan yang tentunya dapat dipertahankan. Ketahanan merupakan gabungan dari kesejahteraan fisik dan perilaku positif. Ketahanan mampu meningkatkan kualitas kerja, meningkatkan kekuatan fisik dan stamina dimana itu merupakan hal utama dalam menumbuhkan rasa nyaman dalam bekerja. Menurunnya ketahanan seorang perawat IGD dalam bekerja juga dapat menurunkan sistem imun yang nantinya mempengaruhi kesehatan perawat itu sendiri. Untuk itu perawat perlu meningkatkan ketahanan agar senantiasa terhindar maupun

│28


mengatasi ketika sedang mengalami burnout. b. Kontrol Masalah: Autonomy Kurangnya kontrol terhadap setiap masalah ditandai dengan kurangnya manajemen terhadap diri sendiri sehingga hal ini berpengaruh terhadap kerja tim. Dalam hal ini ketika seorang perawat di IGD yang dituntut bekerja dalam sebuah tim tidak kooperatif dan tidak bisa berkolaborasi dengan profesi lainnya sehingga dapat menghambat kerja tim. Pada dasarnya adanya otonomi yang baik pada perawat merupakan hal yang penting dalam peningkatan manajemen terhadap diri sendiri sehingga berpengaruh baik dalam kerja tim. Pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan otonomi dalam diri adalah dengan cara meningkatkan kualitas dan kemampuan diri salah satunya dengan belajar dari aspek pengalaman klinis maupun akademis dan memperbanyak relasi rekan kerja sehingga dengan adanya peningkatan otonomi dari dalam diri perawat IGD maka akan dapat mengontrol masalah yang dihadapi dan tentunya perawat juga dapat mengontrol terjadinya burnout. c. Masalah Penghargaan: Speak Menurut hasil penelitian dari beberapa literatur, sering kali perawat yang bertugas di IGD dengan banyaknya tuntutan kerja dan berhubungan dengan keselamatan (life saving) pasien merasa kurang diakui dan dihargai. Selain itu perawat tidak memiliki kebebasan dalam bekerja dimana keluarga pasien menuntut ingin menjadi prioritas utama bagi pasien itu sendiri padahal banyak hal yang harus dipertimbangkan dan menjadi prioritas lainnya. Rasa ingin dihargai sangat melekat pada diri perawat itu sendiri dilihat dari seberapa optimal kinerja yang ia lakukan. Terkadang perawat merasa adanya ketidakadilan antara reward yang ia dapatkan dan usaha yang ia lakukan. Hal yang dapat dilakukan ketika mengalami ketidakpuasan dalam pekerjaan adalah dengan cara mengungkapkan pendapat. Tidak

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

ada batasan bagi sebuah profesi dalam mengungkapkan pendapat begitu pula seorang perawat di IGD. Hal yang perlu dimiliki oleh perawat adalah keberanian untuk berbicara sesuai dengan apa yang dirasakan. Sehingga hal ini dapat memberikan rasa ketenangan dan meningkatkan kenyamanan dalam bekerja dan terhindar dari burnout. d. Masalah di Lingkungan Kerja: Communication Kenyamanan di lingkungan kerja didapatkan dengan cara membangun hubungan sosial dengan teman sejawat. Ketika hubungan dalam berinteraksi sosial baik dengan teman sejawat maupun dengan profesi lainnya kurang efektif akan berpotensi mengalami masalah yang cukup serius dan berujung pada burnout. Perawat IGD yang tidak dapat mempertahankan hubungan baik di lingkungan kerja sangat berpotensi mengalami hal ini sehingga ia merasa diasingkan. Sebaliknya, jika Ia mampu mempertahankan hubungan sosial yang baik di lingkungan kerja akan selalu mendapatkan dukungan dari teman-temannya, contohnya ia akan mendapat simpati ketika ia tertimpa masalah. Meningkatkan komunikasi yang lebih baik adalah strategi yang tepat dalam meningkatkan kenyamanan di lingkungan kerja khususnya di lingkungan kerja perawat IGD. Melatih kemampuan dalam berkomunikasi dapat ditingkatkan secara mandiri dengan memperkaya berbagai literatur dari buku, video, dan program pelatihan, maupun media lainnya. Selain itu, perawat yang memiliki kualitas kerja yang baik pastinya memiliki komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik pada perawat di IGD sangat penting karena tidak hanya berperan untuk hubungan sosial antar profesi, tetapi juga berperan penting bagi pasien dan keluarga pasien sebagai edukator. Di sisi lain perawat memiliki peran sebagai pendengar bagi pasien dan keluarga maka dari itu perawat harus menjadi pendengar yang baik karena komunikasi yang baik adalah komunikasi dua arah.

│29


e.

Masalah Keadilan: Respect Tidak dipungkiri diskriminasi juga sering menjadi masalah di lingkungan kerja begitu pula di lingkungan kerja perawat IGD. Diskriminasi terjadi berdasarkan karakteristik individu meliputi ras, etnik, gender, orientasi seksual, dan umur. Seringkali peawat memberikan pelayanan yang berbeda terhadap pasien dan keluarga karena perbedaan ras maupun gender begitu pula sebaliknya pasien maupun teman di lingkungan kerja melakukan hal yang sama kepada perawat yang memiliki perbedaan budaya. Dalam hal ini jika tidak adanya keadilan bagi perawat yang bekerja di IGD maka akan menimbulkan tingkat kepercayaan diri yang rendah dan memicu terjadinya isolasi sosial sahingga berujung terjadinya burnout. Menumbuhkan rasa saling menghormati dan menghargai antar profesi maupun pasien di lingkup kerja perawat IGD sangat penting. Strategi yang dapat diterapkan untuk masalah keadilan di lingkungan kerja perawat IGD adalah dengan mempromosikan dan menghargai perbedaan. f. Masalah Dilema Etik: Value Seringkali perawat yang bertugas di IGD dihadapkan dengan dilema dimana antara jumlah perawat tidak sebanding dengan pasien yang dirawat dalam jumlah yang banyak dengan kondisi yang mengkhawatirkan. Dengan demikian sulit bagi perawat untuk menentukan prioritas karena mengalami dilema etik dan memicu terjadinya burnout. Strategi yang dapat diterapkan ketika sedang berada dalam situasi ini adalah perawat diharapkan tetap dalam kondisi tenang dan berusaha untuk mengidentifikasi nilai paling tidak mempertimbangkan secara matang mengenai tindakan yang akan dilakukan. Memperbanyak wawasan mengenai pengambilan keputusan berdasarkan etik merupakan hal yang harus diperhatikan agar keputusan yang dipilih telah dipertimbangkan dari berbagai aspek nilai[14].

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

4. KESIMPULAN Staregi Mandiri Dalam Pencegahan Dan Penanganan Burnout Bagi perawat IGD merupakan salah satu intervensi mandiri yang didalamnya terdapat strategi yang dikemas untuk mencegah dan menangani burnout dalam lingkup keperawatan gawat darurat khususnya pada perawat yang bertugas di IGD. Strategi ini mudah dipahami dan mudah diterapkan karena dikemas dalam bentuk sederhana ditinjau dari beberapa aspek psikososisl serta mampu meningkatkan pengetahuan dalam melakukan intervensi secara mandiri pada perawat IGD ketika mengalami burnout dan sebagai salah satu usaha peningkatan kesadaran perawat IGD dalam mencegah, mengurangi, dan mengendalikan burnout di lingkungan kerja. 5. SARAN Diharapkan Staregi Mandiri Dalam Pencegahan Dan Penanganan Burnout Bagi perawat IGD dapat meningkatkan kesadaran dan kepekaan perawat akan pentingnya mencegah dan mengatasi burnout yang akan mempengaruhi kualitas kerja perawat di IGD dan tentunya keselamatan (life saving) pasien untuk selanjutnya dapat dikembangkan dan diteliti lebih lanjut dari berbagai aspek fisik maupun aspek psikososial keperawatan gawat darurat agar nantinya didapatkan strategi yang lebih tepat. Sangat diharapkan adanya publikasi mengenai pentingnya pencegahan dan penanganan burnout khususnya di lingkup kerja perawat IGD berdasarkan gagasan ini. Harapan kedepannya adalah adanya pelatihan bagi perawat gawat darurat yang mencakup pentingnya intervensi yang tepat untuk mencegah dan menangani burnout yang didasari oleh adanya gagasan Six Strategies of Burnout Intervention in Emengency Nursing: Staregi Mandiri Dalam Pencegahan Dan Penanganan Burnout Bagi perawat IGD.

│30


DAFTAR PUSTAKA 1. Adriaenssens, Jef.,Gucht, Vronique, De., Maes, Stan, P. 2011. Exploring the Burden of Emergency Care; Predictors of Stress-Health Outcomes in Emergency Nurses. Journal of Advanced Nursing:13171328. 2. Adriaenssens, Jef.,Gucht, Vronique, De., Maes, Stan, P. 2012. The Impact of Traumatic Events on Emergency Room Nurses: Findings from a Questinnaire Survey. International Journal of Nursing Studies:1411-1422. 3. Adriaenssens, Jef.,Gucht, Vronique, De., Maes, Stan, P. 2013a. Causes and Consequences of Occupational Stress in Emergency Nurses a Longitudinal Study. Journal of Nursing Management. 4. Adriaenssens, Jef.,Gucht, Vronique, De., Maes, Stan, P. 2013b. Goal Orientation is Associated with Work Engagement and Burnout in Emergency Nurses. Journal of Occupational Health. 5. Adriaenssens, Jef.,Gucht, Vronique, De., Maes, Stan, P. 2014. Determinants and Prevalance of Burnout in Emergency Nurses: A Systematic Review of 25 Years of Research. International Journal of Nursing Studies. 6. Ambarwati, D. 2014. Pengaruh Beban Kerja Terhadap Stres Perawat IGD dengan Dukungan Sosial Sebagai Variabel Moderating. Skripsi. Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro. 7. Febrianti, L. 2009. Stres Kerja pada Perawat Unit Gawat Darurat. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. 8. Haryanti., Aini Faridah., Purwaningsih Puji, 2013. Hubungan Antara Beban Kerja dengan Stres Kerja Perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Kabupaten Semarang. Jurnal Managemen Keperawatan. Vol 1. Mei 2013. 4856. 9. Haryuni, S., Ratnawatii, R., Kapti R. E. 2013. Hubungan Antara Stres Kerja dengan Kinerja Perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ngudi Waluyo Kabupaten Blitar dan RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar. Jurnal

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

10.

11.

12.

13.

14. 15.

16.

17.

18.

19.

Keperawatan ISSN 2086-3071. Vol. 4. No. 1: 56-62. Hendianti, Gian Nurmaindah., Somantri, Irman., Yudianto, Kurniawan. 2012. Gambaran Beban Kerja Perawat Pelaksana Unit Instansi Gawat Darurat RS Muhammadiyah Bandung. Skripsi. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran. Bandung. Jawa Barat. Izquierdo, Mariano, Garcia., RiosRisquez, Maria, Isabel, P. 2012. The Relationship Between Psychosocial Job Stress and Burnout in Emergency Departements:An Exploratory Study. Nursing Outlook:322-329. Kaharu, T. R. 2015. Hubungan Locus of Control dengan Stres Kerja Perawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Prof. Dr. H. I. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Skripsi. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Negeri Gorontalo. Kohler, Sabine Bahrer. 2013. Burnout for Experts:Prevention in the Context of Living and Working. Spinger publisher. Leiter, Michael P., Leiter, Christina Maslach. 2005. Banishing Burnout (1st ed.). Jossey Bass Publisher. Lumintang, P., Kumaat, L., Mulyadi. 2015. Perbedaan Tingkat Stres Kerja Perawat Instalasi Gawat Darurat dan Unit Rawat Inap di Rumah Sakit Pancaran Kasih GMIM Manado. ejurnal Keperawatan (e-Kep). Vol. 3. No. 1:1-6. Mariana Jozef. 2014. Surviving Chaos:Predictors of Occupational Stress and Well-Being in Emergency Nurses. PhD thesis. Leiden University. The Netherlands. McCormack, Nancy., Cotter, Catherine. 2013. Managing Burnout in the Workplace: A Guide for Information Professionals. Chandos Publishing. Nurullaxmi, S. 2014. Hubungan Persepsi terhadap Lingkungan Kerja dengan Burnout pada Perawat di Ruangan Rawat Inap RSUD Prof. DR. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Skripsi. Jurusan Ilmu Keperawatan FIKK UNG. Pongoh, V., Warouw, H., Hamel, R., 2015. Perbedaan Stres Kerja Antar

│31


Shift Perawat di Ruangan Gawat Darurat Medik RSUP Dr. R. D. Kandou Manado. ejurnal Keperawatan (e-Kep). Vol. 3. No. 2:1-8. 20. Puspitasari, Dian Eka., Widjajanto Edi., Rini, Ika Setyo. 2012. Hubungan Kompetensi Perawat Gawat Darurat dengan Kinerja Perawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD dr. H. Mohammad Anwar Sumenep dan RSUD Sampang. Jurnal Kesehatan Wiraja Medika:79-88. 21. Schwartzhoffer, Rachel V. 2009. Psychology of Burnout:Predictors and Coping Mechanisms. Nova Science Publisher,Inc. 22. Suratmi. Wisudawan, A. S. 2015. Hubungan Beban Kerja dengan Stres Kerja Perawat Pelaksana di Ruang IGD RSUD Dr. Soegiri Lamongan.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

Jurnal Keperawatan E-ISSN 24430900:142-148. 23. Ulfa Mariana., Rahmat Ibrahim., Wirasto, Ronny Tri. 2014. Hubungan Antara Stres Kerja dengan Burnout pada Perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Program Studi Ilmu Keperawatan. Yogyakarta. 24. Widodo Panggah. 2008. Hubungan Beban Kerja dengan Waktu Tanggap Perawat Gawat Darurat Menurut Persepsi Pasien di Instalasi Gawat Darurat RSU Pandan Arang Boyolali. Berita Ilmu Keperawatan ISSN 19792697, Vol.1, September 2008:125130. 25. Yana, D. 2015. Stres Kerja pada Perawat Instalasi Gawat Darurat di RSUD Pasar Rebo Tahun 2014. Jurnal Administrasi Kebijakan Kesehatan. Vol. 1 No. 2:107

│32


Literatur Review

PERAN NURSING HOME DALAM BIDANG KEGAWATDARURATAN DAN BENCANA DALAM MENGHADAPI ERA MEA KAITANNYA DENGAN UU INDONESIA NO. 38 TAHUN 2014 TENTANG KEPERAWATAN Isnawati 1, Larasati1 1Program

Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat ABSTRAK Pendahuluan : Perawat merupakan pembentuk sektor terbesar dalam bidang kesehatan yang mencakup ruang lingkup yang luas diantaranya dalam bidang kegawatdaruratan dan bencana. Keperawatan gawat darurat merupakan pelayanan keperawatan yang komprehensif yang diberikan kepada pasien dengan cidera akut atau sakit yang mengancam kehidupan. Sedangkan, keperawatan bencana itu sendiri mencakup promosi kesehatan, pencegahan penyakit, dan merawat pasien yang sakit, cacat dan pasien yang meninggal. Kemudian terkait dengan era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) diperlukan peningkatan peran serta aktif dari perawat Indonesia khususnya nursing home untuk dapat meningkatkan kualifikasi praktik profesional yang lebih baik yang akhirnya meningkatkan kualitas SDM yang ada di Indoesia. Tujuan : mengetahui dan menjabarkan peran nursing home dalam bidang kegawatdaruratan dan bencana dalam menghadapi era MEA sehingga diharapkan terjadinya peningkatan peran perawat dalam lingkup area ini. Metode : digunakan metode integrative literature review untuk spesifik area pada peran nursing home. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode studi pustaka berdasarkan studi literatur konvensional dan e-library yang mendukung uraian dan analisis pembahasan. Pembahasan dan Kesimpulan : Perawat memiliki peran yang penting dalam bidang kegawatdaruratan dan bencana dimana perawat harus memastikan bahwa dia memahami apa saja yang dapat dilakukannya, hak dan kewajibannya sebagai perawat dan memahami konsep praktik profesional sesuai bidangnya. Nursing home harus memastikan perencanaan yang dibuat dapat diterapkan sesuai aspek yang terkait. Nursing home minimal dapat melakukan pertolongan pertama dan membantu proses evakuasi dengan tetap memperhatikan kompetensi yang dimilikinya. Diperlukan pembentukan pelatihan intensif dan terstruktur untuk meningkatkan kompetensi perawat tersebut. Kata Kunci : Peran, Nursing Home, Kegawatdaruratan, Bencana, UU Keperawatan ABSTRACT Introduction : Nurses one of the biggest former in health sector that entail wide cavity which one of it is emergency dicipline and disaster. Emergency nursing offer comprehensive nursing care which given to patients with acute injury or threatening of their lives. While diasater nursing entail health promotion, disease prevention, and caring to patients with their sickness, physical deformity, and until they passes away. Futhermore, related to AEC era, essential to increase active participation by Indonesian nurses especially nursing home to improve professional practice qualification who can improve Indonesiaan human resources.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│33


Objective : to know and describe nursing home roles in emergency and disaster in order to face AEC era, and then role of Indonesian nurses will be increased in this area. Method : used integrative literature review method for specific area nursing home roles. Data collection used literature based on conventional literature and e-library which support description and analysis of study. Discussion and Conclusion : nurses have an important role on emergency dicipline and disaster which are nurses should to know what kind of that they can do, their right and responsibilities as a nurse and understand conceptual of professional practice as their diciplines. They should defining the plan that their made can be implementated and appropriate with all of aspects which related to it. Nursing home at least can do first aid and help evacuation process based on consideration of their competencies which they have to. Essensial to create an intensive and structured training to improve nurses competencies. Keyword: Role, Nursing Home, Emergency, Disaster, UU Keperawatan 1. PENDAHULUAN Di era masyarakat ekonomi ASEAN (MEA), negara-negara ASEAN berupaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia mereka dengan tujuan agar mereka dapat bersaing dan terciptanya kualitas sumber daya yang lebih baik. Semakin baik kualitas tersebut, maka produktivitas pun akan semakin meningkat pula. Salah satu sumber daya manusia yang memiliki peran penting dalam pembangunan di Indonesia adalah perawat.[1,3,23] Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundangundangan.[16] Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Perawat dituntut melakukan peran dan fungsi sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan.[12] Dari profil kesehatan 2009 disebutkan bahwa sampai dengan tahun 2009, jumlah tenaga kesehatan di Indonesia mencapai 519.599 orang yang mana proporsi tenaga kesehatan terbesar adalah perawat dan perawat gigi, yaitu sebesar 173.948 orang (44%) Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa perawat masih menempati proporsi tenaga kesehatan terbesar di Indonesia sampai saat ini.[5] Rasio perawat terhadap penduduk sebesar 116,1 perawat per 100.000 penduduk. Provinsi dengan rasio tertinggi terdapat di Papua Barat sebesar 320,1 perawat per

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

100.000 penduduk, Maluku sebesar 305,2 perawat per 100.000 penduduk dan Maluku Utara sebesar 280,1 perawat per 100.000 penduduk. Provinsi dengan rasio perawat terendah terdapat di Sumatera Utara sebesar 65,7 perawat per 100.000 penduduk, Jawa Barat sebesar 68,2 perawat per 100.000 penduduk dan Banten sebesar 68,4 perawat per 100.000 penduduk.[9] Perawat yang merupakan salah satu bagian dari Team Gawat Darurat mempunyai ruang lingkup yang luas, mempunyai karakteristik unik serta peran yang penting dalam pemberian asuhan gawat darurat.[20] Keperawatan gawat darurat (Emergensy Nursing) merupakan pelayanan keperawatan yang komprehensif yang diberikan kepada pasien dengan cidera akut atau sakit yang mengancam kehidupan. Nursing home merupakan komponen penting sistem kesehatan U.S. Survei Nasional nursing home tahun 2004 memperkirakan bahwa hampir 1,5 juta orang dewasa terdaftar dalam 16.100 nursing home negeri setiap tahunnya. Hampir setengah seluruh wanita dan sepertiga laki-laki diduga pernah menerima perawatan nursing home pada hal yang sama selama hidup mereka.[21] Perawat membentuk sektor terbesar dalam ketenagakerjaan pelayanan kesehatan dan pasti akan menjadi yang terdepan dalam suatu respon emergensi.[1] Keperawatan Gawat Darurat bersifat multi dimensional yang termasuk dalam dimensi tersebut ialah, responsibilitas, fungsi, peran dan ketrampilan yang memerlukan body of

│34


knowledge yang spesifik. Dimensi tersebut dimanifestasikan melalui karakteristik peran/proses dan tingkah laku dari Perawat Gawat Darurat meliputi pengkajian diagnosa, investasi terhadap keadaan urgen dan tidak urgen dari individu tanpa memandang usia, trase dan prioritas, serta persiapan terhadap bencana.[11, 20] Bencana didefinisikan sebagai kejadian distruktif yang mengacaukan fungsi normal dari komunitas. Bencana merupakan bagian integral pengalaman manusia sejak dulu, yang menyebabkan kematian prematur, gangguan quality of life, dislokasi, dan perubahan status kesehatan. Bencana berakibat pada status kesehatan komunitas,[24] Manajemen bencana mempunyai keunikan sendiri, kompetensi dasar dam kemampuan penyedia layanan kesehatan perlu untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik.[8] Peranan perawat sangat penting dalam memberikan intervensi dari sebuah proses keperawatan. Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktik keperawatan. Hal ini dapat disebut sebagai suatu pendekatan untuk memecahkan masalah (problemsolving) yang memerlukan ilmu, teknik, dan keterampilan interpersonal yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan klien, keluarga, dan masyarakat.[17] Oleh karena itu, penting untuk mengetahui dan memahami apa saja peran perawat terutama dalam bidang kegawatdaruratan dan bencana yang mana diharapkan perawat yang ada dapat menjalankan tugasnya secara profesional dan mampu bersaing baik dalam negeri dan ruang lingkup internasional khususnya ASEAN. 2. METODE 2.1 Sumber dan Jenis Data Sumber data karya tulis ini adalah situs umum Google-web, google scholar, situs online, dan situs resmi pemerintahan. Jenis data berupa buku konvensional, publikasi resmi pemerintahan Indonesia, publikasi resmi beberapa situs online keperawatan.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

2.2 Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data pada karya tulis ini digunakan metode studi pustaka, berdasarkan studi terhadap berbagai literatur konvensional dan elibrary (Google-Web, Google-Schoolar) yang telah teruji validitasnya, berhubungan satu sama lain, relevan dengan kajian tulisan serta mendukung uraian dan analisis pembahasan dengan kata kunci pencarian data adalah “Emergency, Nursing Home, Role, Disaster, UU Keperawatan�. 2.3 Analisis Data Setelah data yang diperlukan terkumpul, dilakukan pengolahan data dengan menyusun data dari yang terkumpul secara sistematis yaitu dengan metode integrative literature review dengan spesifik area. 2.4 Penarikan Kesimpulan Setelah melalui proses analisis data, dilanjutkan pada proses sintesis melalui proses menarik dan menghubungkan rumusan masalah, tujuan penulisan serta pembahasan yang dilakukan secara sistematis hingga ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dan beberapa rekomendasi untuk ditindak lanjuti. 3. PEMBAHASAN Masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) merupakan perjanjian di antara negaranegara ASEAN dengan tujuan menjamin kestabilan perekonomian di wilayah ASEAN. Karakteristik MEA menimbulkan beberapa dampak yaitu terciptanya pasar bebas modal, jasa, barang, dan tenaga kerja sehingga terbentuknya aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, dan modal. Dampak ini dapat berakibat baik apabila Indonesia dapat memanfaatkan dan memanajemennya dengan baik. Salah satunya pada bidang pemasaran jasa dan barang yang meningkat hingga 2,5 kali lipat dari pasar Indonesia sendiri. Pasar yang ada di Indonesia adalah sekitar 250 juta orang, sedangkan pasar pada MEA dapat mencapai 624 juta orang. Selain itu, tenaga kerja Indonesia dapat dengan bebas bekerja di negara-negara lain

│35


pada kawasan ASEAN.[3,23] Oleh karena itu, agar Indonesia mendapatkan dampak yang positif dari MEA adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya termasuk perawat. Meningkat kualitas sumber daya perawat dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kualitas perannya. Berdasarkan hal itulah mengetahui dan memahami peran perawat tersebut menjadi penting bagi pembangunan sumber daya manusia Indonesia. [3,23] Dari profil kesehatan Indonesia tahun 2009 disebutkan bahwa sampai dengan tahun 2009, jumlah tenaga

kesehatan di Indonesia mencapai 519.599 orang yang terdiri dari 410.067 tenaga kesehatan dan 109.532 tenaga non kesehatan. Dari jumlah tersebut proporsi tenaga kesehatan terbesar adalah perawat dan perawat gigi, yaitu sebesar 173.948 orang (44%) diikuti oleh bidan dengan proporsi sebesar kurang lebih setengah dari jumlah perawat dengan 93.889 orang (23%). Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa perawat masih menempati proporsi tenaga kesehatan terbesar di Indonesia sampai saat ini[5].

Gambar. 1 Rasio Perawat terhadap 100.000 Penduduk Indonesia tahun 2013 Sumber: Badan PPSDM Kesehatan, Kemenkes RI, 2014 dalam Profil Kesehatan Indonesia, Kemenkes RI, 2014 Rasio perawat terhadap penduduk sebesar 116,1 perawat per 100.000 penduduk. Provinsi dengan rasio tertinggi terdapat di Papua Barat sebesar 320,1 perawat per 100.000 penduduk, Maluku sebesar 305,2 perawat per 100.000 penduduk dan Maluku Utara sebesar 280,1 perawat per 100.000 penduduk. Provinsi dengan rasio perawat terendah terdapat di Sumatera Utara sebesar 65,7 perawat per 100.000 penduduk, Jawa Barat sebesar 68,2 perawat per 100.000 penduduk dan Banten sebesar 68,4 perawat per 100.000 penduduk.[9]

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundangundangan.[16] Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Perawat dituntut melakukan peran dan fungsi sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan.[12] Perawat melaksanakan layanan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat untuk

│36


mencapai kemandirian masyarakat baik di sarana pelayanan kesehatan (Kepmenpan No.94 tahun 2001).[15] Pada dasarnya keperawatan itu melayani atau membantu. Perawat berusaha membantu manusia (pasien) dalam mengatasi masalah sehat sakit serta akibatnya. Menurut Zaidin (2001), Kepmenkes RI Nomor 279/MENKES/SK/IV/2006 mendefinisikan pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan biopsiko-sosio- spiritual yang komprehensif dan ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.[15,25] Pelayanan keperawatan merupakan pelayanan kesehatan profesional, yakni praktik keperawatan didasarkan atas profesi keperawatan yang dilakukan oleh perawat. Salah satu ciri praktik keperawatan profesional adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan standar praktik dan kode etik profesi.[12] Oleh karena itu, perawat dalam melakukan perannya penting untuk melakukan praktik keperawatan profesional tersebut. Peran perawat yang utama adalah sebagai pemberi layanan keperawatan. Layanan keperawatan tersebut berupa asuhan keperawatan keperawatan secara langsung kepada pasien (individu, keluarga, maupun komunitas) sesuai dengan kewenangannya. Layanan keperawatan tersebut merupakan bentuk bantuan yang diberikan kepada pasien yang mengalami kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemauan dalam melaksanakan hidup sehat secara mandiri.[2] Begitu pula halnya dengan nursing home. Nursing home merupakan komponen penting sistem kesehatan U.S. Survei Nasional nursing home tahun 2004 memperkirakan bahwa hampir 1,5 juta orang dewasa terdaftar dalam 16.100 nursing home negeri setiap tahunnya. Hampir setengah seluruh wanita dan sepertiga laki-laki diduga pernah pernah menerima

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

perawatan nursing home pada hal yang sama selama hidup mereka.[21] Nursing home juga memiliki peran dalam bidang kegawatdaruratan (emergency nursing) dan bencana. [7,8,13] Keperawatan gawat darurat (Emergensy Nursing) merupakan pelayanan keperawatan yang komprehensif yang diberikan kepada pasien dengan cidera akut atau sakit yang mengancam kehidupan.[11] Keperawatan Gawat Darurat bersifat multi dimensional yang termasuk dalam dimensi tersebut adalah responsibilitas, fungsi, peran dan ketrampilan yang memerlukan body of knowledge yang spesifik. Dimensi tersebut dimanifestasikan melalui karakteristik peran/proses dan tingkah laku dari Perawat Gawat Darurat meliputi pengkajian diagnosa, investasi terhadap keadaan urgen dan tidak urgen dari individu tanpa memandang usia, trase dan prioritas, serta persiapan terhadap bencana.[20] Pelaksanaan keperawatan gawat darurat berdasar pada sintesa konsep dan prinsip ilmu keperawatan gawat darurat melalui penerapan ilmu dan teknologi keperawatan ke dalam bentuk asuhan keperawatan klien yang mengalami perubahan fisik dengan gangguan struktur pada berbagai sistem tubuh.[11] Istilah kesiapan emergensi mencakup kesigapan emergensi dan bencana. Manajemen bencana memiliki istilah unik, kebutuhan akan kompetensi dasar dan kemampuan penyedia layanan kesehatannya sendiri sehingga dapat diberikan secara efektif selama fase bencana.[8] Keperawatan bencana yang mana didalamnya mencakup promosi kesehatan, pencegahan penyakit, dan merawat pasien yang sakit, cacat dan pasien yang meninggal. Advokasi, promosi keamanan lingkungan, penelitian, partisipasi dalam sistem kesehatan dan edukasi merupakan kunci utama peran perawat.[6,8] 3.1 Terkait Praktik Keperawatan dan UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan Jumlah perawat Indonesia yang memiliki surat tanda registrasi STR menurut provinsi tahun 2011 sampai

│37


desember tahun 2013 adalah 198.414 orang[19]. Praktik Keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk Asuhan Keperawatan. Pasal 28 dimana praktik Keperawatan dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat lainnya sesuai dengan Klien sasarannya. Pasal 18, Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki STR. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Keperawatan kepada Perawat yang telah diregistrasi setelah memenuhi persyaratan.[18] Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki izin (pasal 19). Surat Izin Praktik Perawat yang selanjutnya disingkat SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Perawat sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan Praktik Keperawatan.[18] Praktik Keperawatan berasaskan[18] : a. perikemanusiaan; b. nilai ilmiah; c. etika dan profesionalitas; d. manfaat; e. keadilan; f. pelindungan; dan g. kesehatan dan keselamatan Klien. 3.2 Peran Nursing Home dan Praktik dalam Kegawatdaruratan dan Bencana kaitannya dengan UU No. 38 Tahun 2014 Praktik keperawatan yang dapat dilakukan oleh nursing home dalam bidang keperawatan gawat darurat dan bencana sudah memiliki landasan hukum yaitu UU No. 38 tahun 2014 tentang keperawatan. Pada pasal 28, disebutkan bahwa praktik keperawatan dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat lainnya sesuai dengan klien sasarannya. Selanjutnya pada pasal 29, bahwa dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, perawat bertugas sebagai[18]: a. pemberi Asuhan Keperawatan; b. penyuluh dan konselor bagi Klien; c. pengelola Pelayanan Keperawatan;

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

d. peneliti Keperawatan; e. pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atau f. pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.[18] Perawat dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang upaya kesehatan perorangan, Perawat berwenang memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan kompetensi (pasal 30, bagian h). Dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama, perawat dapat melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai dengan kompetensinya. Pertolongan pertama bertujuan untuk menyelamatkan nyawa klien dan mencegah kecacatan lebih lanjut. Keadaan darurat sebagaimana dimaksud merupakan keadaan yang mengancam nyawa atau kecacatan Klien. Keadaan darurat ditetapkan oleh perawat sesuai dengan hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya.[18,19] Pada pasal 28 (1) Praktik Keperawatan dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat lainnya sesuai dengan Klien sasarannya. Kemudian lebih lanjut keterkaitannya adalah Pasal 29 (1) Dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, Perawat bertugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan, hal berarti perawat dapat melakukan asuhan keperawatan dimanapun dan kapanpun dengan tetap memperhatikan dasar praktik keperawatan seperti yang tertuang dalam pasal (3) UU Keperawatan No. 38 tahun 2014.[19] Perawat mempunyai kemampuan unik untuk keseluruhan aspek dari bencana yang termasuk pengkajian, pengaturan prioritas, kolaborasi, dan merujuk pada pencegahan dan perawatan kebutuhan akut. The World Association for Disaster and Emergency Medicine (WADEM) mencakup sebuah bagian dari keperawatan. Bagian keperawatan WADEM melayani hingga menerima dan menyatakan perawat dari seluruh negara dengan tujuan dan keinginan untuk memperkuat dan meningkatkan praktik dan pengetahuan mengenai disaster nursing.[8] Setiap nursing home harus memiliki tambahan normal suplai elektrik, energi dan

│38


pencahayaan emergensi di area tempat hunian. Perawat harus terampil untuk memulai dan membuat ukuran penyelamatan yang esensial dan mengimplementasikan prosedure pada pasien.[13] Istilah kesiapan emergensi mencakup kesigapan emergensi dan bencana. Manajemen bencana memiliki istilah unik, kebutuhan akan kompetensi dasar dan kemampuan penyedia layanan kesehatannya sendiri sehingga dapat diberikan secara efektif selama fase bencana. Fase bencana ada 4 model yaitu mitigasi, Fase bencana ada 4 model yaitu mitigasi, respon, pemulihan dan kembali ke mitigasi. Mitigasi meliputi persiapan dan perencanaan untuk mencegah atau menurunkan efek bencana. Bagian terpenting dari mitigasi yaitu pengkajian ketersediaan, populasi, dan kapasitas hingga efektifitas respon. Penyedia pelayanan kesehatan harus siap siaga terhadap populasi risiko tinggi dan mengidentifikasi apa yang dapat dilakukan untuk mengeliminasi atau setidaknya menurunkan kerentanannya.[6,8, 22, 24] Selama bencana biasanya representatif nursing home mencakup suplai farmaseutikal dan medis. Nursing home juga mencakup suplai makanan dan minuman yang memadai. [13,21] Hal pertama yang dapat lakukan pada saat terjadi kejadian bencana adalah berusaha untuk tenang, liat sekeliling dan menyeluruh pada lokasi kejadian. Pengamatan visual memberikan kesan dan menyeluruh pada lokasi kejadian. Pengamatan visual juga perkiraan mengenai jumlah dan tipe bantuan yang diperlukan untuk mengatasi situasi yang terjadi. Laporkan secara singkat pada call center dengan bahasa yang jelas mengenai hasil dari pengkajian, meliputi hal-hal sebagai berikut.[10] a. Lokasi kejadian b. Tipe insiden yang terjadi c. Adanya ancaman atau bahaya yang mungkin terjadi d. Perkiraan jumlah pasien e. Tipe bantuan yang harus diberikan.[10] Peran potensial Nursing Home (NH), yaitu [13] 1. NH dijelaskan akan menerima penghuni dari daerah rumah

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

sakit tetapi termasuk menyuarakan tentang kejelian pasien dan kapasitas fasilitas dan staf. 2. NH dapat menyediakan perawatan dasar medis dan dalam jangka waktu pendek untuk komunitas penghuni. 3. Fasilitas NH tidak ditujukan untuk menyimpan alat dan mencadangkan obat. Peran nursing home lainnya adalah penting bagi nursing home untuk mengingat bahwa keputusan pertama yang dibuat saat kejadian juga untuk evakuasi pada fasilitas atau tempat perlindungan. Jika diputuskan untuk ke tempat perlindungan maka diperlukan keamanan fasilitas, suplai energi, suplai makanan atau minuman yang cukup selama 3-10 hari, suplai preskripsi, suplai medis dan perlengkapan, emergensi medis, komunikasi, dan kapabilitaas staf.[13] Nursing home juga harus memastikan bahwa perencanaan respon emergensi dapat dilakukan dan melingkupi aspek-aspek dan hubungannya dengan emergensi medis nasional secara umum ataupun spesifik, team emergensi siap ketika dipanggil untuk memberikan layanan emergensi, melatih staf terkait prosedur respon emergensi. Semua staf memahami tanggungjawabnya dalam kejadian emergensi serta adanya partisipasi dalam latihan kesiapan emergensi. [18]. Nursing home juga merawat populasi pasien tertentu selama keadaan emergensi misalnya pasien Alzheimer, gangguan kognitif atau pasien jatuh tinggi (root). Walau cakupan staf selama keadaan emergensi sifatmya universal namun beberapa pastinya ingin merawat keluarganya sendiri.[21] Nursing home harus memastikan bahwa ketika dia ditarik dan diletakkan di tempat emergensi dia memperkirakan mengenai kontrol infeksi, termasuk strategi isolasi, fasilitas isolasi dan alat kontrol infeksi untuk mengontrol dan mencegah menyebaran infeksi penyakit. Selain itu, setiap nursing home harus memahami pencegahan adekuat melawan risiko kebakaran berdasarkan aturan terkait keamanannya. [18]. Peran penting dalam keadaan gawat darurat dan bencana bagi perawat adalah

│39


sebagai pembuat keputusan. Nursing home gawat darurat harus merencanakan manajemen yang mencakup rencana individual dan alternatif untuk melakukan evakuasi bersama dengan tim respon emergensi lainnya. Nursing homes merawat lansia rentan dan orang dengan kecacatan yang dipertanggungjawabkan dengan rencana komprehensif terkait tindakan mereka.[7] Kemudian, area kritis harus juga dimasukan dalam program respon emergensi. Rencana respon emergensi harus dikembangkan dengan tetap mempertimbangkan berbagai bahaya, rencana evakuasi dan tempat perlindungan, kolaborasi dengan agensi managemen emergensi lokal, kontingensi komunikasi, ketersedian transportasi, identifikasi penduduk.[7] Akhirnya untuk mengembangkan kompetensi perawat dalam melakukan perannya diperlukan upaya pengembangan dengan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mereka dalam melakukan praktik keperawatan yang dapat berupa pelatihan intensif dan terstruktur dimulai sejak dalam jenjang pendidikan dasar keperawatan. KESIMPULAN Perawat memiliki peran yang penting dalam bidang kegawatdaruratan dan bencana. Dalam menjalankan perannya perawat harus memastikan bahwa dia memahami apa saja yang dapat dilakukannya, hak dan kewajibannya sebagai perawat dan memahami konsep praktik profesional. Sesuai dengan UU Nomor 38 tahun 2014 tentang keperawatan, perawat dapat memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat yaitu untuk memberikan pertolongan pertama, perawat dapat melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai sesuai dengan kompetensi. Pertolongan pertama bertujuan untuk menyelamatkan nyawa klien dan mencegah kecacatan lebih lanjut. Keadaan darurat sebagaimana dimaksud merupakan keadaan yang mengancam nyawa atau kecacatan Klien. Keadaan darurat ditetapkan oleh perawat sesuai dengan hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya. 4.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

Perawat harus terampil untuk memulai dan membuat ukuran penyelamatan yang esensial dan mengimplementasikan prosedur pada pasien dengan baik. Nursing home juga harus memastikan bahwa perencanaan respon emergensi dapat dilakukan dan melingkupi aspek-aspek terkait. Penting bagi nursing home untuk mengingat bahwa keputusan pertama yang dibuat saat kejadian bencana juga untuk evakuasi pada fasilitas atau tempat perlindungan. Kemudian, semua staf memahami tanggungjawabnya dalam kejadian emergensi serta adanya partisipasi dalam latihan kesiapan emergensi. Setiap nursing home juga harus memahami pencegahan adekuat melawan risiko kebakaran berdasarkan aturan terkait keamanannya. Perawat juga mempunyai peran sebagai pembuat keputusan dalam keadaan tertentu dalam kegiatan evakuasi. Nursing home minimal dapat melakukan pertolongan pertama dan membantu proses evakuasi dengan tetap memperhatikan kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi tersebut dapat ditingkatkan dengan suatu program pelatihan intensif dan terstruktur dimulai pada jenjang pendidikan dasar keperawatan. SARAN Dalam memahami peran sebagai perawat profesional harus memahami landasan hukum dalam melakukan praktik terutama di era MEA. Era MEA hendaknya menjadi peluang positif bagi semua pihak terutama perawat sebagai tenaga kesehatan terbesar di Indonesia dan hal itu perlu komitmen yang kuat dan kerja sama yang baik dengan tim kesehatan yang lain beserta pemerintah. Kemudian dapat diberikan suatu pelatihan intensif dan terstruktur untuk meningkatkan kompetensi perawat dibidang ini. 5.

DAFTAR PUSTAKA 1. American Nurses Association. Considering Nursing ?, 2011. Retrieved 28 Oktober 2015, from http://www.nursingworld.org/Espe ciallyForYou/StudentNurses.aspx

│40


2. 3.

4. 5.

6.

7.

8.

9.

10.

11. 12. 13.

14.

Asmadi. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC, 2008. Association of Shoutheast Asian Nations. ASEAN Economic Community Blueprint. Jakarta : ASEAN Secretariat, 2008. www.asean.org Boswick, J. Perawatan Gawat Darurat. Jakarta : EGC, 1997. Dirjen Dikti Kemendikbud. Potret Ketersediaan dan Kebutuhan Tenaga Perawat. Research and Development Team, Healt Profesional Education Quality (HPEQ Project). 2010 Emergency Nurses Association. Competencies for Nurse Practitioners in Emergency Care. Des Plaines : Emergency Nurses Association, 2008. www.ena.org Florida Health Care Association. National Criteria for Evacuation Decision-Making in Nursing Homes. University of South Florida Hassmiller, S.B, dan Sharon A.R.S. Chapter 23 : Public Health Nursing and Disaster Management Cycle. Issues and Approaches in PopulationCentered Nursing Part 4, 2011. Indonesia, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI, 2014. http://www.kemkes.go.id/ Kartikawati. N., D. Buku Ajar Dasar-dasar Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Salemba Medika, 2011. Kristanty, P., et all. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta : Trans Info Media, 2009. Kusnanto. Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta: EGC, 2004. Marinelli, V. Caring in a Crisis : Nursing Home Emergency Preparedness. FEI Behaviouran Health, 2012. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor: 128/MENKES/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

15.

16.

17.

18. 19.

20.

21.

22.

Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Menteri Kesehatan, 2004. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 279/MENKES/SK/IV/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Upaya Keperawatan Kesehatan Masyarakat di Puskesmas. Jakarta: Menteri Kesehatan, 2006. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/148/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat. Jakarta: Menteri Kesehatan, 2010 Nursalam. Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktik. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika. 2008 Nursing Home Standards Workgroup. Enhanced Nursing Home Standards. 2014 Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan, Edisi Salinan. Jakarta : Kementerian Sekretariat Negara RI, 2014. http://hukor.depkes.go.id/ Radiono, B., Handoyo dan Dina, I.D.S. Efektivitas Pemasangan Kateter dengan Menggunakan Jelly yang dimasukkan Uretra dan jelly Y yang dioleskan di Kateter terhadap Respon Nyeri Pasien. Jurnal Kesehatan soedirman (The soedirman journal of nursing) volume 3 no 2 Jurusan keperawatan FKIK Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, 2008. Root, D. E, Jacqueline. B.A, dan Shulamit B. Nursing Home in Public Emergencies : Spesial Needs and Potensial Roles, Focus Group Discussion Planning at Nursing Home. Prepared by RTI International Under Contract No. 290-00-0018. Rockville : AHRQ Publication, 2007. www.ahrq.gov Ruder, S. Emergency Preparedness for Home Healthcare Providers. Vol. 36, no. 6. Home Healthcare Nurse. Lippincott Williams and Wilkins,

│41


23.

2012. www.homehealthcarenurseonline. com Suroso GT. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan perekonomian Indonesia, 2015. Retrieved 20 Oktober 2015, from http://www.bppk.kemenkeu.go.id/p ublikasi/artikel/150-artikelkeuangan-umum/20545masyarakat-ekonomi-asean-meadan-perekonomian-indonesia,

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

24. Veenema, T.G. Disaster Nursing and Emergency Preparedness : For Chemical, Biological, and Radiological Terrorism and Other Hazard. Third Edition. New York : Springer Publishing Company, 2013. 25. Zaidin, Ali. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta: Widya anaMedika, 2001.

│42


Tinjauan Pustaka

BEST (BRACELET SELF-TRIAGE): GELANG BERBASIS MIKROKONTROLER BERTEKNOLOGI SENSOR NADI DAN TEKANAN DARAH SEBAGAI INOVASI PENDETEKSI TRIASE PADA KORBAN BENCANA Dewi Resti Nazully Qiran1, Asih Hutami Rudy Arsinta1, Nanda Ayu Susanti1 1Program

Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK Latar belakang: Dalam penanggulangan bencana, penanganan kegawatdaruratan diawali dengan mengidentifikasi secara cepat korban berdasarkan kondisi medisnya, untuk kemudian dapat menentukan triase. Gagasan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penggunaan metode triase dalam penanggulangan bencana dengan sebuah alat bernama BEST (Bracelet Self-Triage) yang dapat mendeteksi nadi dan tekanan darah sehingga dapat mengidentifikasi syok pada korban bencana, yang akan menentukan triase korban. Metode penulisan: Karya tulis ini merupakan bentuk studi kepustakaan, dimulai dengan membaca, mengutip, dan menyimpulkan. Pembahasan: Komponen alat yang dapat memenuhi fungsi alat ini yaitu mikrokontroler, sensor nadi dan tekanan darah, bateri sebagai sumber energi, serta LED sebagai sumber warna triase, yaitu merah dan kuning. Dalam triase biasa, terdapat 4 warna yang digunakan yaitu merah, kuning, hijau dan hitam. Namun pada BEST (Bracelet SelfTriage) tidak terdapat warna hitam dan hijau. Hal ini karena korban dengan triase hitam tidak diprioritaskan dan tidak memerlukan re-triase, sedangkan korban dengan triase hijau adalah korban dengan kondisi fisiologis maupun psikologis baik, dimana triase kuning memiliki urgensi yang lebih tinggi untuk dilakukan re-triase. Mekanisme kerja BEST (Bracelet Self-Triage) diawali dari informasi nadi dan tekanan darah yang diperoleh dari sensor kemudian diolah oleh mikrokontroler dengan cepat. Mikrokontroler akan mengolah informasi berdasarkan database yang telah tersimpan di dalamnya. Kemudian hasil pengolahan tersebut memberikan output berupa perintah untuk menyala pada salah satu warna LED (merah atau kuning). Kesimpulan dan saran: Untuk dapat menggunakan alat ini sesuai dengan fungsinya, maka diperlukan kerjasama yang baik dari berbagai pihak mulai dari pembuatan alat, edukasi pelaksana, hingga penggunaan alat. Kata kunci: Triase, Bracelet Self-Triase ABSTRACT Background: Emergency management in disaster is always started with a simple and rapid physical assessment, that will determine priority of victims to be treated, which is called triage method. This inovation is aimed to increase the effectivity of triage method in disaster management using a new triage tool called BEST (Bracelet Self-Triage) that detects radial pulse and blood pressure to identify shock of disaster victims to determine triage of each victims, that will decrease the deaths due to disaster as expected. Method: This paper is written using a literature study method.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│43


Discussion: Some components that used in BEST is microcontroller, pulse and blood pressure sensor, battery as energy resource, and LED as triage color which is red and yellow LED. Triage is always used with 4 colors which is red, yellow, green, and black. But BEST (Bracelet Self-Triage) does not use black and green. This is because of a victim with black triage is not a priority and does not need to be re-triaged, then a victim with green triage is a victim whose physically and psychologically good, while a victim with yellow triage has a higher urgency to be prioritized and re-triaged. Work mechanism of BEST (Bracelet Self-Triage) is started from blood pressure and pulse rate information which is detected by the sensor, then will be rapidly processed by microcontroller. Microcontroller will process the information based on the database that had been saved in it. Then the result will be an output as a command to turn on for one LED color (red or yellow). Conclusion and Suggestion: The good collaboration of the government, private entities, volunteers, and society from the production, education for implementing, until the real implementation is very important, so that BEST can be used properly. Keywords: Triage, Bracelet Self-Triage 1. PENDAHULUAN Menurut Departemen Kesehatan RI (2007), Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana, baik bencana alam maupun karena ulah manusia. Dalam management penanggulangan bencana, penanganan kegawatdaruratan diawali dengan mengidentifikasi secara cepat korban berdasarkan kondisi medisnya, untuk kemudian dapat ditentukan prioritas penanganannya, atau yang biasa disebut metode triase. Prioritas korban di tempat kejadian bencana ditandai dengan kode warna yang terdiri dari warna merah (membutuhkan stabilisasi segera), kuning (memerlukan pengawasan ketat, tetapi perawatan dapat ditunda sementara), hijau (tidak memerlukan pengobatan atau pemberian pengobatan dapat ditunda), dan hitam (korban yang telah meninggal dunia).[5] Lee, C.H., (2010) menerangkan bahwa pada situasi bencana masal, sangat dibutuhkan metode triase cepat dan efektif. Namun ada beberapa tumpang tindih dalam prinsip-prinsip dasar dari korban massal dan sistem triase bencana yang sedang digunakan di seluruh dunia, hanya saja data yang tersedia masih terbatas dalam literatur. Selain itu, sistem triase yang menentukan status korban, siapa yang harus diberi pertolongan segera atau tidak, dapat berubah sewaktu-waktu sehingga membutuhkan pengkajian secara berulang (re-triase). Oleh karena itu, metode triase manual sangat

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

beresiko untuk menjadi tidak efektif pada bencana besar yang menimbulkan korban dalam jumlah yang sangat besar, yang bahkan jauh lebih besar dari jumlah tim pertolongan pertama. Mengingat tujuan triase yang digunakan untuk menentukan prioritas pertolongan segera, maka kesalahan dalam menentukan triase korban dapat berakibat kematian terhadap keselamatan korban tersebut. Pada akhirnya, hal ini akan mengakibatkan peningkatan jumlah korban jiwa akibat bencana. Oleh karena itu diperlukan suatu inovasi yang dapat meminimalisir kesalahan dalam menentukan triase korban bencana. Oleh karena itu, penulis mengajukan gagasan BEST (Bracelet Self-Triage) sebagai inovasi metode triase yang mudah dan efektif. Dalam menentukan triase korban, yang paling utama disebut dalam Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana oleh Depkes adalah kondisi syok. Syok menggambarkan perfusi sirkulasi yang inadekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Salah satu tanda yang signifikan adalah hipotensi, umumnya Systolic Blood Pressure (SBP) berada di bawah 70 mmHg. Syok terdiri dari beberapa tipe yaitu syok hipovolemik (contohnya pada perdarahan dan dehidrasi), kardiogenik (infark miokard, temponade jantung), septik, neurogenik dan anafilaktik. Stewart juga menjelaskan bahwa nadi normal (60100 kali/menit) dan bradikardia (nadi <60 kali/menit) juga dapat terjadi pada

│44


syok hipovolemik yang diakibatkan oleh perdarahan (hemorrhagic shock), yang merupakan respon terhadap perdarahan di dalam rongga perut (contohnya trauma abdomen).[10] 2. PEMBAHASAN Karya tulis ini disusun dengan metode studi kepustakaan. Dimulai dari gagasan untuk membuat sebuah alat untuk memudahkan metode triase, kemudian mengumpulkan bahan dengan membaca, mengutip, dan menyimpulkan secara langsung dari bahan-bahan yang berhubungan dengan karya tulis ini, baik dari media elektronik maupun media cetak yang berupa internet, jurnal, text book, serta artikel berbasis ilmiah. Bahan-bahan mengenai triase dan alat-alat yang dibutuhkan untuk mewujudkan alat ini kemudian dikumpulkan, dianalisa dengan metode menghubungkan literatur satu dengan yang lainnya, untuk memperjelas makna literatur-literatur tersebut. Kemudian berdasarkan literatur tersebut, penulis mensintesisnya dalam bentuk tulisan. Triase terbagi menjadi tiga jenis, dimana salah satunya adalah triase di tempat. Triase di tempat merupakan triase yang dilakukan di tempat korban ditemukan atau di tempat penampungan yang mencakup pemeriksaan, klasifikasi, pemberian tanda dan pemindahan korban ke pos medis lanjutan. Triase ini dilakukan oleh tim Pertolongan Pertama atau Tenaga Medis Gawat Darurat. Triase memang cukup membantu karena dapat menggolongkan korban sesuai dengan kondisinya kesehatannya akibat bencana. Pada kenyataannya kondisi korban dapat berubah sewaktu-waktu, sehingga sangat perlu dilakukan retriase.[6] Pada saat terjadi bencana dengan korban masal, re-triase sulit untuk dilakukan karena keterbatasan waktu yang mengharuskan tim pertolongan pertama melakukan evakuasi dengan cepat. Berdasarkan metode triase START (Simple Triage and Rapid Treatment) dalam Veenema (2013), dapat disimpulkan bahwa warna merah digunakan untuk prioritas 1 (korban dengan syok), warna kuning untuk

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

prioritas 2 (korban dengan resiko syok), warna hijau untuk prioritas 3 (korban dengan kesadaran penuh dan mampu berjalan), serta warna hitam untuk korban yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu, penulis berinovasi untuk menerapkan BEST dalam proses evakuasi bencana. BEST dapat mengidentifikasi korban bencana yang mengalami syok dan resiko syok dengan mendeteksi nadi dan tekanan darah. Apabila tekanan darah dan nadi abnormal, maka korban teridentifikasi sebagai korban dengan syok (triase merah). Apabila tekanan darah dan nadi normal, maka korban teridentifikasi sebagai korban dengan resiko syok (triase kuning). Untuk korban tanpa syok dan resiko syok, yaitu korban dengan kesadaran penuh (triase hijau), akan dikenakan identitas biasa, tanpa gelang triase atau BEST. Hal ini dikarenakan karakteristik syok antara triase hijau dan kuning berdasarkan Depkes (2007) tidak dapat dibedakan dari nadi dan tekanan darah, namun dari tingkat keparahan etiologi syok. Pada triase kuning, tingkat keparahan etiologi syok lebih tinggi daripada triase hijau, sehingga re-triase lebih urgent dilakukan pada triase kuning. Oleh karena itu, BEST digunakan dua triase tertinggi yaitu merah dan kuning. Untuk korban dengan triase hitam merupakan korban yang tidak diprioritaskan dan tidak memerlukan re-triase. Metode yang disarankan dalam pertolongan pertama menggunakan BEST ini adalah dengan meminta korban yang masih mampu berjalan untuk berjalan ke tempat yang telah disediakan. Kemudian untuk pasien yang tidak mampu berjalan akan dikenakan BEST. BEST dapat berfungsi sebagai triase awal maupun re-triase. Sehingga dapat mempermudah monitoring pada triase medik dan triase evakuasi. BEST merupakan gelang berbasis mikrokontroler yang dilengkapi dengan sensor nadi dan tekanan darah yang secara otomatis dapan mendeteksi denyut nadi dan tekanan darah korban bencana. Proses evakuasi dengan menggunakan BEST akan meminimalisir kesalahan triase oleh tim pertolongan pertama serta mempercepat proses evakuasi korban.

│45


Dengan menggunakan BEST ini, maka re-triase tidak diperlukan karena BEST dengan otomatis akan melakukan retriase sesuai dengan perubahan nadi dan tekanan darah korban. BEST secara umum terdiri dari bagian buckle sebagai pengunci, tiga lapis strap (dengan masing-masing warna LED) dan pengait yang terbuat dari karet elastis, lubang pengunci pada strap, serta bagian ujung sebagai penyatu ketiga strap yang juga terbuat dari karet elastis. Alat ini berbentuk

seperti gelang agar mudah dipasang pada tangan korban. Gelang ini dilengkapi dengan LED berwarna merah dan kuning, berbasis mikrokontroler dan dilengakapi dengan sensor nadi dan tekanan darah serta mikrokontroler sebagai penyimpan database dan pengolah input yang berasal dari sensor untuk kemudian menghasilkan output berupa warna LED yang menyala yaitu merah atau kuning, tergantung pada database yang telah tersimpan di dalam mikrokontroler.

c c c v v v

Buckle

Pengait

Lubang pengunci

LE D

Strap

Ujung penyat u

c c c v v v

Penghubung strap dengan pengunci

Sensor nadi dan tekanan darah Gambar 1. Desain BEST (Bracelet Self-Triage)

Mikrokontroler berada di bagian dalam strap, satu sisi terhuubung dengan sensor dan sisi yang lain terhubung dengan LED. Selain itu, di bagian dalam juga terdapat baterai yang merupakan sumber energi bagi komponen-komponen alat di dalam BEST. Sensor yang digunakan adalah Piezoelectric Sensor sebagai sensor tekanan yang akan menghasilkan suatu bentuk gelombang yang menyerupai gelombang tekanan arterial.[12] Piezoelectric Sensor juga dapat digunakan sebagai sensor nadi karena mempunyai respon dinamik yang baik.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

Sinyal nadi diperoleh dari Piezoelectric Sensor yang diproses melalui sirkuit pemroses sinya.[7] Sedangkan salah satu tipe mikrokontroler AVR untuk aplikasi standar yang memiliki fitur memuaskan ialah ATmega16.[4] 2.1 Mekanisme kerja BEST (Bracelet Self-Triage) Sensor nadi dan tekanan darah yang digunakan adalah Piezoelectric sensor. Sensor ini dapat mendeteksi nadi dan tekanan darah beberapa detik setelah dipasang di pergelangan tangan. Sensor ini akan bekerja dengan baik jika menempel tepat pada nadi radialis.

│46


SENSOR

INPUT

MIKROKONTROLER

PROSES

LED (merah, kuning)

OUTPUT

Bagan 1. Mekanisme kerja BEST (Bracelet Self-Triage) Oleh karena itu, posisi Piezoelectric Sensor berada dekat dengan bagian pengunci agar memudahkan tim pertolongan pertama untuk memasangkan gelang dengan posisi sensor yang tepat. Informasi nadi dan tekanan darah yang diperoleh oleh sensor kemudian diteruskan ke mikrokontroler. Informasi nadi dan tekanan darah yang diperoleh dari sensor kemudian diolah oleh mikrokontroler dengan cepat. Mikrokontroler akan mengolah informasi berdasarkan pada database yang telah tersimpan di dalamnya. Kemudian hasil pengolahan tersebut memberikan output berupa perintah untuk menyala pada salah satu warna LED (merah atau kuning). Makna dari masing-masing warna LED sama dengan makna yang sebenarnya pada triase yang selama ini digunakan. Sebelumnya, belum pernah ada penelitian mengenai alat yang dapat mempermudah triase. Oleh karena itu tidak ada alat atau teknologi triase yang berkembang. Sehingga penilaian triase selama ini hanya dilakukan dengan mengkaji secara manual kriteria pasien/korban yang termasuk ke dalam tingkatan-tingkatan triase. 2.2 Penerapan BEST (Bracelet SelfTriage) di Indonesia Pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengawasai jalannya suatu sistem baru di bidang sarana prasarana keamanan dan keselamatan transportasi di Indonesia. Peran pemerintah dalam hal ini berkaitan

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

dengan pendanaan proses pembuatan BEST. Tim sukarelawan merupakan gabungan dari beberapa lembaga yang terdiri dari POLRI, TNI, PMI, Dokter, Perawat dan lain-lain. Dengan adanya alat ini dapat membantu proses penyelamatan dan pengevakuasian korban bencana dengan cepat dan tepat. Untuk mencapai sasaran program diperlukan investasi dan dukungan berbagai kebijakan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Dana investor diharapkan dapat berperan dalam memberikan pelayanan yang baik dan dukungan fasilitas yang memadai, seperti pembuatan sarana prasarana penunjang untuk keamanan dan keselamatan transportasi. Tujuan dibuat BEST ini adalah untuk mempercepat proses pertolongan korban bencana, sehingga diharapkan korban dapat diidentifikasi dan di selamatkan dengan cepat. Sehingga dapat menurunkan tingkat kecemasan keluarga. Maka dari itu, diperlukan kerjasama dari masyarakat untuk mendukung inovasi BEST. 3. KESIMPULAN BEST (Bracelet Self-Triage) merupakan sebuah inovasi dalam triase korban bencana yang memanfaatkan sensor nadi dan tekanan darah untuk mengkaji secara tepat dan cepat sehingga dapat menentukan triase korban dengan cepat dan tepat pula. Sensor yang dipasang pada BEST akan

│47


menerima informasi nadi dan tekanan darah korban, untuk kemudian diteruskan ke mikrokontroler yang akan berfungsi sebagai pengolah informasi tersebut. Mikrokontroler kemudian menghasilkan output berupa perintah untuk menyala pada LED (merah atau kuning). BEST dapat mengkaji korban dengan cepat dan tepat serta memberikan triase yang tepat pula, sehingga dapat meminimalisir kesalahan dalam pemberian pertolongan, dan meningkatkan angka keselamatan korban. Dalam pengaplikasian BEST ini, dibutuhkan peran dari pihak-pihak yang terkait, seperti pemerintah, tim sukarelawan, pihak swasta, dan masyarakat. 4. SARAN Dengan adanya inovasi BEST, diharapkan pemerintah dapat membantu mewujudkan inovasi ini di Indonesia, sehingga pertolongan bencana yang efektif dapat tercapai. Tim pertolongan pertama pada bencana juga diharapkan dapat mengaplikasikan alat ini, sehingga dapat memberikan pertolongan pertama yang cepat dan tepat. Untuk dapat mencapai tujuan, pembuatan alat harus dilakukan dengan penuh perhatian dengan kerjasama yang baik antara pemerintah, tenaga kesehatan, dan tenaga ahli elektro sebagai pembuat alat untuk meminimalisir device error. Selain itu, untuk dapat menggunakan alat dengan baik, diperlukan edukasi bagi para tim pertolongan pertama mengenai cara penggunaan BEST yang efektif. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Ns. Ikhda Ulya M.Kep. selaku Dosen Pembimbing yang selalu memberikan arahan dalam penyusunan karya tulis ini. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan saran untuk karya tulis ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik dan tepat waktu.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

DAFTAR PUSTAKA 1. Andrianto, Heri. 2013. Pemrograman Mikrokontroler AVR ATMega16. Bandung: Informatika. 2. Anggraini, D. 2010. Aplikasi Mikrokontroler ATMega16 sebagai Pengontrol Sistem Emergency dan Lampu Jalan yang Dilengkapi dengan Sensor Cahaya (Ldr) pada Miniatur Kompleks Perumahan Modern: 6 (online) http://eprints.polsri.ac.id/1157/3/BAB %20II.pdf (diakses 1 Mei 2016). 3. Budiharto, Widodo & Gamayel Rizal. 2007. Belajar Sendiri 12 Proyek Mikrokontroler Untuk Pemula. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. 4. Budiharto, W. Panduan Praktikum : Mikrokontroler AVR Atmega16, Jakarta: Gramedia, 2008. 5. Depkes RI, 2007. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana. Jakarta. 6. Lee, Christopher H. 2010. Clinical Pearl: Disaster and Mass Casualty Triage. Virtual Mentor 12 (6): 466470. 7. Narayanan, C., Kumar, A.D, Priyadharshini, S., and Revathy S. 2015. Cardiac Disorder Diagnosis Through Nadi (Pulse) Using Piezoelectric Sensors: 209 – 212 (online) http://rdmodernresearch.org/wpcontent/uploads/2015/09/28.pdf (diakses 1 Mei 2016). 8. Prastika, Sonia. 2016. Mewaspadai Virus Zika dan Virus Ganas Lainnya Pada Wanita. Jakarta: Banana Books. 9. Pusat Penanggulangan Krisis. 2007. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 10. Stewart, Joseph V. 2003. Vital Sign and Monitoring. Texas: Landes Bioscience. 11. Veenema, Tener Goodwin. 2013. Disaster Nursing and Emergency Preparedness. New York: Springer. 12. Setiadi, R., Rizal A., dan Murti, M A. 2016. Alat Monitor Tekanan Darah

│48


Noninvasive Berbasis PC: 1 (online). https://www.academia.edu/8027862/ Alat_Monitor_Tekanan_Darah_Noni nvasive_Berbasis_PC (diakses 1 Mei 2016).

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│49


Tinjauan Pustaka

APLIKASI OVERCOMING THE NURSE’S PROBLEM USING BALL CHAIR (VIROBAR) SEBAGAI INOVASI MENGURANGI STRES PADA PERAWAT CRITICAL CARE DI INSTALASI GAWAT DARURAT Kurniawan Haryadi1, Agustin Nanda1, Fatmawati Siti1 1Program

Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang

ABSTRAK Latar belakang: Menurut Selye[1], stres dalam arti secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang baik secara fisik maupun psikologis. Stres dapat dialami oleh siapa saja termasuk perawat. Profesi keperawatan memegang peranan yang penting dalam memberikan pelayanan kesehatan dalam bentuk asuhan keperawatan secara bio-psiko-sosio-spiritual secara komperhensif.[2] Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lexshimi[3] menunjukkan bahwa 100% perawat yang menjadi responden mengatakan pernah mengalami stres selama bertugas di ruang IGD. Apabila stres yang dialami perawat IGD tidak segera diatasi maka akan berdampak pada kinerja perawat dan akan meningkatkan resiko kesalahan dalam pemberian perawatan pada pasien. Tujuan: Karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk memberikan gambaran stres yang dialami oleh perawat critical care di IGD, serta memberikan inovasi metode dalam mengurangi stres pada perawat critical care di IGD. Metode penulisan: Karya tulis ini merupakan bentuk studi kepustakaan. Dan artikel ini didapatkan dari beberapa jurnal, artikel, dan buku. Pembahasan: Salah satu metode untuk mengurangi stres adalah metode distraksi (Distraction Strategies) yang dilakukan dengan melibatkan diri dalam aktivitas yang menyenangkan dan meningkatkan perasaan kendali terhadap masalah. Ketika seseorang merasa senang tubuh akan memproduksi hormon endorphin. Hormon ini akan membuat tubuh rileks dan nyaman. Namun, metode distraksi hanya dapat mengurangi stres tanpa mengatasi masalah yang menjadi penyebab stres tersebut. Sehingga Overcoming the Nurse’s Problem Using Ball Chair (VIROBAR) merupakan inovasi metode penurunan stres yang menggabungkan metode distraksi dengan metode bercerita. VIROBAR dapat digunakan oleh perawat critical care yang mengalami stres ringan hingga berat. Dengan menggabungkan metode distraksi dan bercerita VIROBAR ini dapat mengurangi stres dan juga mengatasi masalah yang menjadi penyebab stres tersebut. Kesimpulan dan saran: Saat ini VIROBAR masih belum pernah diterapkan untuk mengurangi stres pada perawat critical care, sehingga penulis berharap VIROBAR ini dapat segera diterapkan pada perawat agar kinerja perawat menjadi lebih baik. Keyword: Stres, perawat critical care, Overcoming the Nurse’s Problem Using BallChair (VIROBAR)

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│50


Abstract Background: According to Selye[1], stress in general means feeling depressed, anxious and tense, both physically and psychologically. Stress can be experienced by anyone, including nurses. The nursing profession plays an important role in providing health care in the form of nursing care as a bio-psycho-socio-spiritual comprehensively[2]. The results of research conducted by Lexshimi[3] showed that 100% of nurses who became respondents said that they had experienced stress during duty in the ER (Emergency Room) room. If the stress experienced by emergency nurses not addressed, it will have an impact on the performance of nurses and increase the risk of errors in the delivery of care to patients. Objective: This scientific paper aims to provide an overview of stress experienced by a critical care nurse in the ER, as well as providing innovative methods to reduce the stress on critical care nurse in the ER. Writing method: This paper is a form of literature studies. And this article was obtained from some journals, articles, and books. Discussion: One of methods in reducing stress is a distraction method (Distraction Strategies) that is conducted by engaging in fun activities and increasing the feeling of control over a problem. When a person feels happy, a body will produce endorphins hormone. These hormones will keep your body relaxed and comfortable. But the distraction methods can only reduce stress without overcoming the problems that cause the stress. So, Overcoming the Nurse’s Problem Using Ball Chair (VIROBAR) is an innovative method of stress reduction method that combines distraction method and storytelling method. VIROBAR can be used by critical care nurses who experience mild to severe stress. By combining distraction method and storytelling, VIROBAR method can reduce stress and also solve the problems that cause the stress. Conclusions and suggestions: Currently, VIROBAR has never been applied to reduce the stress on critical care nurse. Thus, the writer expects this VIROBAR can be immediately applied to nurse so that the nurse performance becomes better. Keyword: Stress, critical care nurses, Overcoming the Nurse’s Problem Using Ball Chair (VIROBAR) 1. PENDAHULUAN Perawat merupakan tenaga kesehatan dengan jumlah yang paling banyak di rumah sakit. Profesi keperawatan memegang peranan yang penting dalam memberikan pelayanan kesehatan dalam bentuk asuhan keperawatan secara bio-psiko-sosiospiritual secara komperhensif.[2] Perawat sebagai anggota membawa perfektif yang unik dalam interdisiplin tim. Selain itu, perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Keberhasilan kerja dalam memberikan saran / rujukan / arahan merupakan kolaborasi antara dokter dan perawat sangat ditentukan oleh perawat yang mampu memberikan pelayanan

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

dengan mutu terbaik[4]. Perawat wajib membekali diri dengan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan bahkan mengikuti pelatihan-pelatihan yang menunjang kemampuan perawat dalam menangani pasien secara cepat dan tepat sesuai kasus yang terdapat di IGD.[5] Instalasi Gawat Darurat (IGD) berkaitan dengan kondisi mengancam kehidupan yang membutuhkan penanganan medis segera. IGD menangani berbagai kondisi kritis seperti infark miokard, trauma, dan CPOD. Di dalam IGD terdiri dari dua jenis perawat yaitu Critical Care Nurses dan Triage Nurses. Critical Care Nurses merupakan istilah dari perawat perawatan khusus yaitu perawatan khusus yang

│51


berhubungan dengan manusia secara khusus tanggapan terhadap masalahmasalah yang mengancam nyawa. Perawat perawatan kritis adalah perawat professional berlisensi yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa sakit akut dan kritis pasien dan keluarga mereka menerima perawatan yang optimal.[6] Sedangkan Triage Nurses merupakan perawat yang mengklasifikasikan prioritas klien berdasarkan berat ringannya kondisi klien/kegawatannya yang memerlukan tindakan segera. Pada perawat tipe ini mempunyai batas waktu untuk mengkaji keadaan dan memberikan intervensi secepatnya kurang dari 10 menit.[5] Halhal tersebut menuntut perawat dalam pelatihan, tidak hanya dalam pengoperasian alat tetapi juga menangani pasien. Karena pasien biasanya tiba di IGD dalam keadaan tidak stabil dengan riwayat yang tidak diketahui serta harus sesegera mungkin diberikan pertolongan. Oleh karena itu, perawat dapat mengalami stres.[6] Dari kedua tipe perawat yang berada di IGD tersebut, yang rentan mengalami stres yaitu Critical Care Nurses.[5] Stres merupakan ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh manusia, baik fisik, emosional, dan spiritual yang sangat memengaruhi kesehatan manusia tersebut. Ketika individu mengalami stres yang berkepanjangan maka aspek dan system tubuh mengalami penurunan. Jika dilihat dari burn out perawat yang memiliki arti suatu kondisi dimana perawat mengalami kelelahan kronis, marah, mudah tersinggung sering sakit kepala, gangguan pencernaan, depresi, berat badan normal atau kurang, insomnia, dan sesak karena stres dalam bekerja. Hal ini akan berdampak pada kualitas dan profesionalitas perawat[7]. Perawat di IGD harus bertindak secara cepat dan efektif dengan informasi yang minimal, karenanya, lebih rentan terhadap stres. Stres yang terjadi pada perawat IGD ini disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya yaitu tuntutan-tuntutan dalam kegawatdaruratan.[8,9] Apabila perawat di IGD dibiarkan mengalami stres, kecenderungan untuk terjadi kesalahan dalam perawatan akan semakin tinggi.[10] Dalam Instalasi perawatan kritis perawat mengalami stres tingkat tinggi

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

dan bervariasi tergantung pada pekerjaan di ruang Gawat Darurat. Sebagian besar pencetus stres di IGD adalah hasil perawatan yang tidak baik terutama pada pasien kronis dan / atau tidak stabil. Di IGD perawat banyak yang mengalami kelelahan emosional. Hal itu disebabkan dari banyak faktor, diantaranya pasien yang mengeluh akan penyakitnya yang tidak kunjung sembuh, keluarga dari pasien yang banyak menuntut kesembuhan, serta rekan kerja yang tidak sejalan.[12] Perawat IGD yang mengalami stres tingkat tinggi ini perlu adanya strategi dalam menurunkan stres yang dihadapi. Cara menurunkan stres ini dibutuhkan dukungan dari keluarga, teman kerja, dan pasangan. Lingkungan sosial sangat berpotensi dalam memberikan dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan suatu kebersamaan sosial dimana individu berada di dalamnya yang memberikan dukungan, seperti bantuan nyata, dukungan informasi, dukungan emosional sehingga dapat merasakan kenyaman.[12] Sehingga dukungan sosial yang didapatkan perawat IGD dari tempat kerjanya dapat memberikan kontribusi pada produktivitas dan kesejahteraan dari perawat IGD tersebut. Rekan kerja perawat yang berada di IGD memiliki peranan besar dalam dukungan sosial untuk mengurangi stres kerja yang dihadapi sesama perawat IGD. Dukungan social yang dapat dilakukan antar sesama perawat IGD yaitu dengan cara saling mendengarkan masalah yang dihadapi baik masalah pribadi maupun pekerjaan, saling berbagi informasi, kerja sama yang menyenangkan, dan saling membantu.[8] Dukungan sosial dapat diberikan ketika waktu istirahat. Disitu perawat IGD saling melepaskan kepenatan dengan saling berkomunikasi antar sesama perawat. Dari dukungan social yang diberikan oleh rekan kerja sesama perawat IGD mampu mengurangi ketegangan dan memberikan rasa nyaman dalam bekerja. Berdasarkan uraianlatar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul �Overcoming The Nurse Problem Use Ball Chair (VIROBAR) Sebagai Inovasi Dalam Menurunkan Stres Pada Perawat Critical Care Di

│52


Instalasi Gawat Darurat.� Sehingga diharapkan ada penelitian lebih lanjut dalam metode VIROBAR, dan dalam penelitian nanti dilakukan diruang Critical Care Di Instalasi Gawat Darurat. 2. PEMBAHASAN 2.1 Kondisi Stres Critical Care di IGD Di dalam IGD terdiri dari dua jenis perawat yaitu Critical Care Nurses dan Triage Nurses. Critical Care Nurses merupakan istilah dari perawat perawatan khusus yang merupakan perawatan khusus yang berhubungan dengan manusia secara khusus tanggapan terhadap masalah-masalah yang mengancam nyawa. Seorang perawat perawatan kritis adalah perawat professional berlisensi yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa sakit akut dan kritis pasien dan keluarga mereka menerima perawatan yang optima.[6] Sedangkan Triage Nurses merupakan perawat yang mengklasifikasikan prioritas klien berdasarkan berat ringannya kondisi klien/kegawatannya yang memerlukan tindakan segera. Pada perawat tipe ini mempunyai batas waktu untuk mengkaji keadaan dan memberikan intervensi secepatnya kurang dari 10 menit. Dari kedua tipe perawat yang berada di IGD tersebut, yang rentan mengalami stres yaitu Critical Care Nurses.[5] Menurut Mealer, dalam Sukahat[13] Perawat Critical Care bekerja pada bagian di IGD rentan mengalami Post Traumatic Stres Disorder (PTSD) dibandingkan dengan Perawat Biasa Post Traumatic Stres Disorderatau PTSD (gangguan stres pasca trauma) yaitu gangguan stres yang timbul berkaitan dengan peristiwa traumatis luar biasa. Misalnya, melihat orang dibunuh, disiksa secara sadis, korban kecelakaan, bencana alam, dan lain-lain. PTSD merupakan gangguan kejiwaan yang sangat berat, karena biasanya penderita mengalami gangguan jiwa yang mengganggu kehidupannya. Menurut hasil penelitian oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia menunjukkan terdapat 50,9% perawat mengalami stres kerja dengan memunculkan kondisi keluhan yang meliputi sering merasa pusing, lelah, tidak memiliki isirahat. Keluhan tersebut terjadi dikarenakan

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

beban kerja yang terlalu tinggi dan menyita waktu serta gaji yang rendah.[11,14,20] Lexshimi[3] dalam penelitiannya, menunjukkan bahwa 100% perawat yang menjadi responden mengatakan pernah mengalami stres selama bertugas di ruang IGD. Mereka mengalami keluhan sakit kepala, nyeri dada, nyeri perut, bahkan ada yang menyampaikan kehilangan libido. Dari responden didapatkan bahwa yang menyebabkan mereka stres diantaranya adalah beban bekerja dengan alat canggih yang sangat menegangkan, adanya ketidaknyamanan bekerjasama dengan staf lain dan kurangnya pengalaman bekerja di ruang Gawat Darurat. Hal ini diperkuat oleh McNeeseSmith & Nazarey dalam Morrison mengatakan bahwa faktor-faktor yang berkontribusi terhadap munculnya stres kerja termasuk kurangnya penghargaan dan keadilan, upah yang tidak memadai, beban kerja meningkat dengan pasien lebih kritis, dan hubungan yang buruk dengan rekan kerja.[15] Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yana hampir separuh dari perawat IGD RSUD Pasar Rebo memiliki stres tinggi. Variasi di setiap daerah berbedabeda karena kondisi yang tak menentu dari kegawatdaruratan. Kondisi tak menentu dalam hal ini seperti, jumlah penduduk, gaya hidup masyarakat disetiap daerah, dan risiko-risiko kecelakaan.[16] 2.2 Faktor-faktor yang menyebabkan perawat mengalami stres di Instalasi perawatan kritis menurut Hudak[17] adalah : A. Hubungan yang kurang baik dengan dokter, rekan perawat, pasien, dan keluarga pasien. B. Perawat menciptakan harapan yang tinggi atas diri mereka sendiri sebagai cara untuk mempertahankan keseimbngan emosional. C. Kejenuhan, sebab kejenuhan antara lain karena : a. Pekerjaan rutin yang diulangulang. b. Setiap langkah harus ditulis. c. Perpindahan perawat di tempat lain.

│53


d. Situasi akut yang sering terjadi. e. Bahaya fisik, antara lain karena ancaman tertusuk jarum suntik dan terpapar sinar radiasi. f. Mengangkat beban yang terlalu berat. g. Pasien yang tidak sadar. h. Teman sejawat yang bingung. i. Bunyi maupun suara yang terus menerus dari alat monitor maupun dari pasien yang menjerit, menangis, atau merintih. j. Terlalu sering melihat dan mencium bau tubuh pasien yang mengeluarkan darah, muntahan, urin, dan juga feses yang mengotori tubuh dan ranjang pasien. 2.3 Aplikasi Overcoming the Nurse’s Problem Using Ball Chair (VIROBAR) sebagai inovasi mengurangi stres pada perawat critical care di Instalasi gawat darurat A. Konsep Overcoming the Nurse’s Problem Using Ball Chair (VIROBAR) VIROBAR menggunakan teknik pengalihan dan teknik bercerita sebagai teknik utama dalam pelaksanaannya. Strategi pengalihan (distraction strategies), antara lain melibatkan diri dalam aktivitas yang menyenangkan dan cenderung meningkatkan perasaan kendali kita, seperti berbelanja, bermain game dan lain sebagainya. Tujuan strategi pengalihan adalah menjauhkan diri dari pikiran negatif dan mendapatkan kembali perasaan menguasai masalah.[18] Sedangkan teknik bercerita dilakukan dengan cara menumpahkan pemikiran dan perasaan pribadi yang membuat malu atau tertekan. Bercerita juga bermanfaat bagi orang yang menyimpan rahasia menyakitkan. Teknik ini dapat memperburuk keadaan jika dilakukan bersama orang yang menghakimi, tidak dapat membantu, atau mengingkari kepercayaan Anda. Keuntungan

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

yang ditimbulkan dari bercerita hanya terjadi jika teknik ini memunculkan pengetahuan dan pemahaman terhadap sumber atau tingkat kepentingan masalah.[21] VIROBAR dapat digunakan dengan beberapa cara: (1) perawat dapat duduk di atasnya dan memantul-mantulkan diri di atasnya, (2) duduk bersandar pada kursi bola lalu memantulkan diri dengan bantuan tembok sebagai penahan kursi bola, (3) atau ketika perawat duduk bersandar pada kursi bola ia menggelindingkan kursi bola menggunakan punggungnya. Tidak terdapat batasan teknik untuk menggunakan kursi bola ini, yang terpenting adalah penggunaanya dapat membuat perawat merasa senang. Setelah perawat sudah merasa tenang dan dapat berpikir jernih VIROBARdilanjutkan ke tahap menceritakan masalah yang dihadapi pada teman sesama perawat, ketua tim, atau kepala ruang untuk mencari solusi bersama-sama. Diperlukan waktu total 9 menit untuk menggunakan VIROBAR, 4 menit untuk mengukur tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan sesudah menggunakan VIROBAR, 2 menit untuk penggunaan kursi bola, dan 3 menit untuk menceritakan permasalahan yang dihadapi. Jika perawat hanya memiliki waktu senggang yang sedikit, perawat dapat menggunakan VIROBAR hanya untuk mendistraksi stres yang dialami tanpa berlanjut ke tahap bercerita. VIROBAR dapat memicu perasaan senang pada perawat ketika menggunakannya. Ketika seseorang merasa senang kelenjar pituitari akan menghasilkan hormon endorphin. Hormon ini dapat membuat seseorang merasa tenang, nyaman, dan rileks.[19] VIROBAR dapat diterapkan pada perawat yang mengungkapkan stres secara verbal atau non verbal. Perawat mengungkapkan secara verbal ditandai dengan mengeluh akan masalah-masalah yang dihadapi, sakit kepala, dan susah

│54


tidur. Perawat menunjukkan gejala stres secara non verbal seperti gelisah, emosi labil, sulit berpikir jernih dan mengambil keputusan, serta terlihat khawatir. VIROBAR dapat digunakan oleh perawat dengan tingkat stres ringan hingga berat. B. Persiapan peralatan Overcoming the Nurse’s Problem Using Ball Chair (VIROBAR a. 2 Kursi bola: digunakan sebagai media untuk mengalihakan perhatian perawat dari kondisi stres dan masalah yang dihadapi dengan cara menumbuhkan perasaan senang pada diri perawat. Kursi bola yang dipilih adalah yang berwarna cerah dan memiliki diameter 55 cm. b. Sphygmomanometer (Tensimeter): digunakan untuk mengukur tekanan darah perawat sebelum dan sesudah menggunakan VIROBAR sebagai bahan evaluasi kondisi stres yang dialami perawat. c. Lembar dokumentasi: digunakan untuk mencatat identitas perawat, kondisi sebelum dan sesudah menggunakan VIROBAR, permasalahan yang dihadapi, dan solusi yang didapat. d. Alat tulis: digunakan untuk mengisi lembar dokumentasi. C. Prosedur Pelaksanaan Overcoming the Nurse’s Problem Using Ball Chair (VIROBAR) a. Mengukur tekanan darah dan nadi perawat yang mengalami stres b. Mengisi lembar dokumentasi pada bagian tingkatan stres c. Menggunakan VIROBAR untuk mendistraksi stres d. Menceritakan masalah yang dihadapi dan mencari solusi bersama perawat lain, ketua tim, atau kepala ruang

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

e. Mengukur kembali darah dan nadi f. Melengkapi lembar

tekanan

g. dokumentasi

Gambar 1. Rentang waktu pelaksanaan VIROBAR

2.4 Kelebihan dan kekurangan Overcoming the Nurse’s Problem Using Ball Chair (VIROBAR)

Gambar 2. Kelebihan dan Kekurangan VIROBAR 3. Kesimpulan a. Perawat Critical Care di IGD rentan mengalami Post Traumatic Stres Disorder (PTSD) dibandingkan dengan Perawat Biasa.[13] b. VIROBAR menggunakan teknik pengalihan dan teknik bercerita sebagai teknik utama dalam pelaksanaannya. Teknik pengalihan dapat memicu perasaan senang pada perawat ketika menggunakannya. Ketika seseorang merasa senang

│55


c.

kelenjar pituitari akan menghasilkan hormon endorphin. Hormon ini dapat membuat seseorang merasa tenang, nyaman, dan rileks. VIROBAR dapat digunakan oleh perawat emergency dengan tingkat stres ringan hingga berat. Dari segi waktu, biaya,efek sosial, tempat, dan alat menunjukkan kelebihan. Sehingga pada VIROBAR ini tidak menunjukkan memiliki kekurangan.

4. Saran Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Overcoming the Nurse Problem Use Ball Chair (VIROBAR)” diharapkan dapat dikembangkan sebagai terapi distraksi pada perawat IGD yang mengalami stres kerja. Penulis Karya Tulis Ilmiah juga menyarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap inovasi VIROBAR. Dengan demikian terciptalah suatu terapi distraksi sebagai upaya mengurangi stres kerja pada perawat IGD.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

5. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Alfrina Hany S.Kp MN selaku Dosen Pembimbing yang selalu memberikan arahan dalam penyusunan karya tulis ini. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan saran untuk karya tulis ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik dan tepat waktu. DAFTAR PUSTAKA 1. Selye, Hans. Selye's Guide to Stress Research. New York: Van Nostrand Rainhold, 1980. 2. PPNI. Standar Kompentensi Perawat Indonesia. 2012. 18 Mei 2016 <www.hpeq.dikti.go.id> 3. Lexshimi, R., Tahir. S., Santhna, L.P., Nizam, M. D. Prevalence of Stres and Coping Mechanismamong Staff Nurses in the Intensive Care Instalasi 2: 2(2007): 146-153. 4. Hafsyah, H. Hubungan Stress Kerja Dengan Kinerja Perawat

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

11.

12.

13.

14.

RuangInstalasi Gawat Darurat RSU Salewengang Maros. 2008. 16 Mei 2016. <repository.unhas.ac.id> Kathleen, et. al. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC, 2008. ARNS. How Severe is Nurse Burnout in the Emergency Department. 2007. 17 Mei 2016. <http://www.asrn.org/journalnursing/234-how-severe-is-nurseburnout-in-the-emergencydepartment.html.> Aleandri A, Sansoni J. Nurses and burnout: a survey in an Emergency Department in the Lazio Region. Prof Inferm. 59: 3 (2006) : 165-70. Kurnianingsih et. Al. Efektifitas Terapi Musik Klasik Terhadap penurunan Stres kerja perawat IGD di RSUD dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga Tahun 2013, 2012 Lumintang, Pascal, et. al. Perbedaan Tingkat Stres Kerja Perawat Instalasi Gawatdarurat Dan Unit Rawat Inap Di Rumah Sakit Pancaran Kasih GMIM Manado. ejoural Keperawatan (e-Kep). 3: 1 (2015) Sabine Stordeur, William D'Hoore & Christian Vandenberghe. Leadership, Organizational Stres, and Emotional Exhaustion among Hospital Nursing Staff. Journal of Advanced Nursing. 35: 4 (2001) : 533-542 Smith, M., Segal R., Segal, J. Posttraumatic Stress Disorder (PTSD): Symptoms, Treatment, and SelfHelp. Canada: Thomson Learning Inc., 2008 Ambarwati, Diah. Pengaruh Beban Kerja Terhadap Stres Perawat Igd Dengan Dukungan Sosial Sebagai Variabel Moderating. 2014. 23 April 2016.<http://eprints.undip.ac.id/4337 6/1/01_AMBARWATI.pdf> Sukahat, Agus. Gambaran Tingkat Stres Kerja Perawat Di Ruang Perawatan Biasa Dengan Perawat Di Ruangan Perawatan Kritis Di Rumah Sakit Wahiddin Sudirohusodo Makassar. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin: Makassar, 2012 Notoatmojo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 2006.

│56


Morrison, M. J. Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC, 2008. 16. Yana, Dewi. Stres Kerja pada Perawat Instalasi Gawat Darurat di RSUD Pasar Rebo Tahun 2014. Jurnal ARSI. (2015): 107-115 17. Hudak, C. M., Gallo, B. M. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Jilid 1. Jakarta: EGC, 2007. 18. Anwar, Sholihul. Pengaruh Tingkat Religiusitas terhadap Pemilihan Jenis Coping Stres Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang Sedang Menyusun Skripsi. 2011. 2 Mei 2016 <http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/ 15.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

bitstream/123456789/4247/1/SHOLI HUL%20ANWAR-FPS.pdf.> 19. Sukadiyanto. Stres dan Cara Menguranginya. Cakrawala Pendidikan. XXIX (1): 55-66, 2010. 20. CIC. Types of stress and symptoms. 2010. 2 Mei 2016 <http://www.ciclearning.co.uk/alertnettrauma/study/page/show/159/underst anding_stress/types_of_stress_and_ symptoms.> 21. Wade, Carole. & Tavris, Carol. Psikologi, Edisi 9, Jilid 2. Terjemahan Mursalin Padang & Dinastuti. Jakarta: Penertbit Erlangga, 2007.

│57


Tinjauan Pustaka

SMART WOUND CARE SEBAGAI PERANGKAT MONITORING WOUND HEALING PADA LUKA BAKAR BERDASARKAN ANALISIS CITRA LUKA Ryharti Amaliatus Sholeha1, Nanda Ayu Susanti1, Ghenniy Rachmansyah2, Heri Kristanto3 1Mahasiswa

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya 2Mahasiswa Program Studi Ilmu Komputer Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya 3Dosen S2 Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

ABSTRAK Latar Belakang: Di Indonesia, luka bakar masih merupakan masalah yang masih terbilang berat dalam penanganan. Perawatan dan rehabilitasinya masih sukar dan memerlukan ketekunan, biaya mahal, tenaga terlatih dan terampil. Prevalensi kejadian luka bakar di Indonesia sebesar 2,2%, dengan prevalensi tertinggi terdapat di provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Riau sebesar 3,8%. Berdasarkan kelompok umur, prevalensi luka bakar yang paling banyak dijumpai adalah pada kelompok umur dibawah satu tahun/bayi 3,3%. Sejauh ini, di Indonesia pengkajian terhadap luka masih dilakukan secara manual yang prosesnya membutuhkan waktu yang cukup lama dan menghasilkan suatu hasil yang lebih subyektif. Dengan adanya permasalahan tersebut, maka dibutuhkan sebuah inovasi berupa sistem yang membantu dalam pengkajian luka, meliputi penggolongan komposisi jaringan luka, pengukuran daerah luka atau wound size, dan memonitor perubahan yg terjadi pada luka. Pengukuran dengan bantuan komputer (computer aided) diperlukan untuk mengukur ukuran luka berdasarkan penggolongan komposisi jaringan luka dengan penilaian yang lebih akurat. Pengkajian luka dengan pendekatan citra digital dikenal dengan istilah digital planimetry yang mengidentifikasi batas luka dan jenis jaringan luka berdasarkan citra atau gambar. Penggolongan komposisi jaringan luka dan pengukuran berdasarkan pendekatan segmentasi citra (wound segmentation). Metode: Tulisan ini menggunakan metode tinjauan literature dari berbagai sumber tentang Perkesmas, yaitu jurnal internasional, sumber dari buku dan hasil konferensi internasional. Hasil: Smart Wound Care merupakan sebuah gagasan sistem monitoring wound healing yang dibangun untuk membantu dalam proses pengkajian luka berdasarkan analisis pada citra luka dalam upaya mengoptimalkan penanganan pada pasien luka bakar. Dalam task pengolahan dan analisis citra luka digunakan segmentasi citra (wound segmentation) untuk mengidentifikasi beberapa region atau daerah luka sesuai dengan karakteristik, seperti warna, tekstur, atau kecerahan. Kemudian berdasarkan hasil analisis citra, akan diarahkan pada bagaimana cara penanganan (treatment) yang tepat. Sistem ini merupakan media yang dapat membantu tenaga kesehatan untuk melakukan penanganan yang cepat dan tepat, sehingga mampu mencapai tujuan secara optimal. Hasil yang diharapkan yaitu dapat menciptakan sebuah sistem mengenai monitoring wound healing sebagai solusi penanganan luka bakar secara optimal yang membantu tenaga kesehatan dalam hal pemilihan treatment yang tepat pada pasien luka bakar. Kesimpulan: Penggunaan pengkajian manual pada kasus luka bakar masih terdapat banyak kelemahan, dimana banyak peran yang belum diketahui oleh perawat. Dengan

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│58


pemanfaatan teknologi dapat menjawab permasalah tersebut. Sehingga, pengkajian luka bakar yang nantinya dilakukan oleh perawat dapat lebih efektif dan efisien. Kata Kunci: Luka Bakar, Digital Planimetry, Wound Segmentation, Smart Wound Care. 1. PENDAHULUAN Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya pun tinggi.[1] Di Indonesia, luka bakar masih merupakan masalah yang masih terbilang berat dalam penanganan. Perawatan dan rehabilitasinya masih sukar dan memerlukan ketekunan, biaya mahal, tenaga terlatih dan terampil.[2] The National Institute of Burn Medicine yang mengumpulkan data-data statistik dari berbagai pusat luka bakar di seluruh Amerika Serikat mencatat sebagian besar pasien 75% merupakan korban dari perbuatan mereka sendiri.[3] Selain itu, didapatkan data dari hasil riset di Rumah Sakit Pusat Pertamina menunjukkan bahwa setiap tahun terdapat Âą40 pasien luka bakar. Sedangkan prevalensi kejadian luka bakar di Indonesia sebesar 2,2%, dengan prevalensi tertinggi terdapat di provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Riau sebesar 3,8%. Berdasarkan kelompok umur, prevalensi luka bakar yang paling banyak dijumpai adalah pada kelompok umur dibawah satu tahun/bayi 3,3%.[4] Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan melalui berbagai upaya kesehatan dalam rangkaian pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu didukung oleh suatu sistem kesehatan nasional. Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan sistem keilmuannya masing-masing berinteraksi satu sama lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan atau kedokteran berkembang sangat pesat yang harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan yang bermutu, membuat semakin kompleksnya permasalahan dalam rumah sakit.[5] Penggunaan alat bantuan komputer (computer aided) dalam kesehatan, baik dalam hal pelayanan maupun penangan pasien dapat menjadi alat yang ampuh

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

untuk membuat lebih efektif dan jauh lebih efisien.[6] Dalam hal penanganan luka bakar, proses pengkajian luka masih dilakukan secara manual yang prosesnya membutuhkan waktu yang cukup lama dan menghasilkan suatu hasil yang lebih subyektif.[6] Dengan adanya permasalahan tersebut, dibutuhkan sebuah sistem yang membantu dalam pengkajian luka, meliputi penggolongan komposisi jaringan luka, pengukuran daerah luka atau wound size, dan memonitor perubahan yg terjadi pada luka. Pengukuran dengan bantuan komputer (computer aided) diperlukan untuk mengukur ukuran luka berdasarkan penggolongan komposisi jaringan luka dengan penilaian yang lebih akurat. Catatan mengenai perkembangan ukuran dan sifat luka itulah yang digunakan untuk menentukan bagaimana cara penanganan yang tepat. Dengan demikian, tindakan perawatan (treatment) dan pengobatan pasien dapat dilakukan lebih konsisten dan akurat. Maka dari itu dibutuhkan suatu inovasi Smart Wound Care sebagai sistem monitoring wound healing berdasarkan analisis pada citra luka dalam upaya mengoptimalkan penanganan pada pasien luka bakar. Sistem ini merupakan media yang dapat membantu tenaga kesehatan untuk melakukan penanganan yang cepat dan tepat, sehingga mampu mencapai tujuan secara optimal. 2. METODE Tulisan ini menggunakan metode tinjauan literatur (literature review) dari berbagai sumber tentang pengkajian luka bakar, yaitu jurnal internasional dimana jurnal internasional tersebut menggunakan metode yang berbedabeda, di antaranya pendekatan kualitatif, tinjauan literatur dari artikel yang dipublikasikan, studi deskriptif, metode survei, desain intervensi pre-post dan studi observasional serta menggunakan sumber dari buku dan hasil konferensi internasional.

│59


3. KAJIAN KEPUSTAKAAN Penggunaan alat bantuan komputer untuk analisis dan pengukuran luka berdasarkan citra atau wound images atau dikenal dengan istilah digital planimetry.[6] Segmentasi luka (wound segmentation) dan pengukuran luka secara komputerisasi diterapkan pada citra luka kronis oleh Fauzi et al., Kemudian, hal yang sama juga dilakukan oleh Filko et al., yang mengembangkan perangkat lunak untuk analisis citra luka, pengukuran luka, dan penggolongan jaringan luka berdasarkan citra digital. Task utama lebih pada penggolongan citra (wound characterization) luka kronis dan memantau indikator penyembuhan luka (wound healing) berdasarkan perubahan luas luka (wound size) dan jenis jaringan luka (wound tissue).[7,8,9] Masih terkait digital planimetry, penelitian dilakukan oleh Lee yang membandingkan hasil pengukuran dengan pendekatan digital planimetry dan pendekatan standard ruler. Penelitian menunjukkan bahwa hasil dengan pendekatan digital planimetry menghasilkan hasil yang lebih akurat dibandingkan dengan pengukuran secara manual. Selanjutnya, terkait pengukuran luasan luka dengan pendekatan digital planimetry dengan penambahan kalibrasi untuk meningkatkan akurasi dan presisi hasil pengukuran. Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan 2 ruler.[7,8,9] 4. PEMBAHASAN Smart Wound Care merupakan suatu sistem yang dirancang untuk memonitor proses wound healing berdasarkan analisis pada citra luka, yang meliputi proses penggolongan komposisi jaringan luka dan pengukuran daerah luka. Kemudian berdasarkan hasil analisis citra akan diarahkan pada bagaimana cara penanganan (treatment) yang tepat. Secara keseluruhan desain umum sistem digambarkan pada skema berikut (Gambar 1) (Terlampir). Kemudian, untuk fitur apa saja yang disediakan sistem akan dijelaskan pada beberapa poin berikut: 1. Sistem menyediakan fitur untuk input data pasien. 2. Sistem menyediakan fitur untuk mengunggah (upload) citra atau gambar luka bakar hasil capture

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

device dan mengolah citra luka untuk menggolongkan komposisi jaringan luka dan pengukuran tiap jaringan atau daerah luka. 3. Sistem menyediakan fitur untuk melakukan kajian luka untuk pemilihan treatment. 4. Sistem menampilkan history atau catatan data hasil monitoring sebelumnya, berupa catatan perkembangan ukuran dan sifat luka guna memonitor perubahan yg terjadi pada luka. Metode Pengambilan Gambar Kamera yang digunakan dalam pengambilan gambar luka minimal memiliki resolusi 640x480 pixel untuk pengolahan menggunakan Smart Wound Care. Pada saat pengambilan gambar yang perlu diperhatikan adalah posisi kulit yang akan dipotret dan kalibrasi/ skala. Biasanya tanda kalibrasi dibuat menggunakan kertas ukuran 10 mm. Tanda panah diletakkan bersebelahan dengan luka lalu tanda panah diarahkan ke kepala pasien. Hal ini sangat berguna ketika mengatur posisi luka pada program Smart Wound Care sehingga dapat dipandang dari segala sisi. Jarak pengambilan foto 0,5 meter dari luka. Dianjurkan untuk mengambil gambar beberapa kali sehingga jika terjadi kesalahan masih terdapat dokumentasi gambar yang diperlukan. File gambar disimpan dalam format JPEG atau BMP. Gambaran Sistem Berikut merupakan rincian dari sistem monitoring wound healing. 1. Input berupa citra atau gambar digital. Berikut merupakan struktur dari citra luka untuk tiap pasien yang digambarkan pada Gambar 2. Pasien 1 . . .

Pasien X

Luka (Wound) 1 Luka (Wound) 2 . . .

Examination 1 Examination 2 . . .

Luka (Wound) i

Examination j

Luka (Wound) X

Examination X

Gambar 2. Struktur Data Citra Luka Pasien

│60


2. Input data demografi pasien. 3. Memasukkan data pengkajian luka yang perlu didokumentasikan antara lain lokasi dan kategori luka. 4. Kalibrasi gambar luka untuk pengukuran luas luka. 5. Mengukur luka yang terdiri atas luas luka dan jenis jaringan pada luka serta hasil berupa rekomendasi untuk pemilihan treatment yang tepat. Berikut merupakan ilustrasi dari pengukuran luka dan perlakuan terhadap luka (Gambar 3) (Terlampir). 6. Melaporkan hasil kesimpulan berupa catatan data hasil monitoring sebelumnya, berupa catatan perkembangan ukuran dan sifat luka guna memonitor perubahan yg terjadi pada luka. Secara garis besar, gambaran sistem yang hendak diterapkembangkan digambarkan pada skema berikut (Gambar 4) :

Gambar 4. Gambaran Sistem 5. KESIMPULAN Smart Wound Care merupakan sebuah sistem monitoring wound healing yang dibangun untuk membantu dalam proses pengkajian luka berdasarkan analisis pada citra luka dalam upaya mengoptimalkan penanganan pada pasien luka bakar. Penggunaan pengkajian manual pada kasus luka bakar masih terdapat banyak kelemahan, dimana banyak peran yang belum diketahui oleh perawat. Dengan pemanfaatan teknologi dapat menjawab permasalah tersebut. Sehingga, pengkajian luka bakar yang nantinya dilakukan oleh perawat dapat lebih efektif dan efisien.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

DAFTAR PUSTAKA 1. Wim de Jong. 2005. Bab 3 : Luka, Luka Bakar : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC. Jakarta. p 66-88. 2. David, S. 2008. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka. Dalam : Surabaya Plastic Surgery. 3. Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Prevalensi Luka Bakar. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 5. Rodrigues P., Hering F. P., Campagnari J. C. 2008. Impact of Urodynamic Learning on the Management of Benign Prostate Hyperplasia Issue. Canada : Canadian Medical Journal. 6. Fauzi, Muhammad Faizal Ahmad., Khansa, Ibrahim., Catignani, Karen., Gordillo, Gayle., Sen, Chandan K., Gurcan, Metin N. (2015). Computerized segmentation and measurement of chronic wound images. Elsevier Computers in Biology and Medicine, 60, 74-85. 7. Carvajal HF, Griffith JA. Burn and inhalation injury. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric critical care. Edisi ke- 3. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. hlm. 1565-74. 8. Cox S, Rode H. Modern management of pediatric burns. CME. 2010;28(3):113-8. 9. Harris, Connie. (2009). The Bates Jensen Wound Assessment Tool: Development of a Pictorial Guide for Training Nurses. Journal of Wound Care Canada, 7(2). 10. Hettiaratchy S, Dziewulski P. ABC of burns Introduction. BMJ. 2004;329:504-6. 11. Machado NM, Gragnani A, Ferreira LM. Burns, metabolism and nutritional requirements. Nutr Hosp. 2011;26:692-700. 12. Maulana, R. A. 2015. Faktor Resiko yang Berperan Pada Mortalitas Penderita Luka Bakar Rawat Inap di RSUPH Adam Malik Medan dari Tahun 2011–2014. 13. Moenadjat Y. 2009. Luka bakar masalah dan tata laksana. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hlm 90-110

│61


14. Peden M, Oyegbite K, OzanneSmith J, Hyder AA, Branche C, Rahman AF,dkk. World report on child injury prevention. World Health Organization. 2008:79-94. 15. Prins. Nutritional management of the burn patient. S Afr J clin Nutr. 2009;22(1):9-15. 16. Taringan R, Pemila U. Moist Wound Healing. 2007. Magister Fakultas Ilmu Keperawatan : Universitas Indonesia 17. Veredas, Francisco., Mesa, Hector., Morente, Laura. (2010). Binary Tissue Classification on Wound Images With Neural Networks and Bayesian. IEEE 18. Transactions On Medical Imaging. 29(2). 410-427.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

19. Wannous, Hazem., Lucaas, Yves., Treuillet, Sylvie., Albouy, Benjamin. (2011). Enhanced Assessment of the Wound-Healing Process by Accurate Multiview Tissue Classification. IEEE Transactions On Medical Imaging, 30(2), 315326. 20. Yurt RW, Howell JD, Greenwald BM. Burns, electrical injuries, and smoke inhalation. Dalam: Nichols DG, penyunting. Roger's textbook of pediatric intensive care. Edisi ke- 4. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2008. hlm. 41425. 21. Xu RX. 2004. Burns regenerative medicine and therapy. Basel: Karge

│62


Lampiran Preprocessing dan Perbaikan citra

Labelling dan pengukuran tiap komposisi jaringan luka

Segmentasi Citra

Citra Luka (Input)

Luasan tiap komposisi jaringan luka

Citra Luka Tersegmentasi (Output) Kajian Luka Berdasarkan Citra

Pemilihan Treatment Luka Bakar

Gambar 1. Desain Sistem

Gambar 3. Ilustrasi Pengukuran Luka

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│63


Tinjauan Pustaka

MAGGOT SEBAGAI BIOTHERAPHY PADA PERAWATAN LUKA DIABETIK Mutmainnah Sari,1 Trini Andini Muhtar,2 Muh. Syahrul Ramli3 1,2,3

Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Makassar ABSTRAK Pendahuluan: Laporan statistik dari International Diabetes Faderation (IDF) menyebutkan bahwa di tahun 2012 sudah ada lebih dari 371 juta penderita Diabetes Melitus (DM) dengan tiap tahun angka kejadian DM naik 3 persen atau bertambah 7 juta orang. American Diabetes Association melaporkan bahwa tiap 21 detik ada satu orang yang terkena diabetes. Prediksi sepuluh tahun yang lalu bahwa jumlah diabetes akan mencapai 350 juta pada tahun 2025, ternyata sudah jauh terlampaui. Salah satu komplikasi yang sering terjadi pada penderita DM adalah terjadinya luka diabetik yang sulit disembuhkan. Salah satu alternatif untuk menangani luka diabetik yaitu dengan debridement. Diberbagai negara saat ini telah banyak yang menerapkan metode debridement dengan media maggot sebagai biotherapy. Salah satu Negara ASEAN yang sudah menerapkan maggot therapy adalah Malaysia. Di Indonesia sendiri perawatan luka menggunakan maggot therapy belum diterapkan. Nancy Wigston mengemukakan bahwa maggot tidak beracun bagi jaringan yang sehat serta mudah dibersihkan (dari luka) dengan pembilasan menggunakan larutan salin. Metode: Penulisan ini, bersifat library research (penelitian pustaka) yang disajikan secara deskriptif melalui beberapa literatur yang relevan dengan tulisan ini. Hasil: Mekanisme kerja maggot dalam penyembuhan luka terbagi atas tiga tahap yakni debridement luka yaitu dengan memakan jaringan nekrotik tanpa menyentuh jaringan yang sehat, jaringan nekrotik dihancurkan dengan enzim proteolitik, aktifitas antimikroba untuk menghambat dan menghancurkan biofilm yang terdapat pada luka, menstimulasi penyembuhan luka dengan merangsang pembentukan fibroblas serta sebagai micromassage untuk mempercepat pembentukan jaringan granulasi. Kesimpulan: Dari berbagai penelitian yang dilakukan perawatan luka diabetik dengan maggot therapy sangat efektif dan signifikan dibandingkan dengan perawatan konvensional. Kata kunci: Luka Diabetik, Debridement, Maggot Therapy ABSTRACT Background: Statistical Report from International Diabetes Faderation (IDF) said that in 2012 there were already more than 371 million people with diabetes mellitus (DM) with a yearly incidence of diabetes increase 3 percent or an increase of 7 million people. American Diabetes Association reports that every 21 seconds one person affected diabetes. Prediction ten years ago that diabetes will reach 350 million on 2025, was already far exceeded. One complication that often occurs in people with diabetes is the occurrence of diabetic ulcer that are difficult to cure. One alternative is to handle diabetic ulcer is debridement. In many countries today they already to apply the method debrediment with media use maggot as biotherapy. One of the ASEAN countries already use maggot therapy is Malaysia. In Indonesia , treatment which using maggot therapy has not been applied. Nancy Wigston suggested that maggot not toxic to healthy tissue and easy to clean (from the wound) by flushing using saline. Method: This research using library research were presented descriptively through some literature that is relevant with thisresearch.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│64


Result: Mechanism of action of maggot in wound healing is divided into three phases, which debrediment wound that is by eating necrotic tissue without touching the healthy tissue, necrotic tissue is destroyed by proteolytic enzymes, activities of antimicrobials to inhibit and destroy biofilm which found in wounds, stimulates wound healing by stimulating micromassage formation of fibroblasts as well as to accelerate the formation of granulation tissue Conclusion: From the various studies and research conducted in diabetic ulcer care with maggot therapy is highly effective and significantly compared to conventional treatments. Keywords: Diabetic Ulcer, Debridement, Maggot Therapy 1. PENDAHULUAN Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu keadaan peningkatan kadar gula darah secara menahun disertai dengan berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi menahun pada berbagai organ target.[1] Umumnya, DM disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil atau sebagian besar dari sel-sel betha dari pulau-pulau langerhans pada pankreas yang berfungsi menghasilkan insulin, akibatnya terjadi kekurangan insulin.[2] Ibaratnya, Insulin berfungsi sebagai kunci yang membuka pintu agar glukosa dapat masuk ke dalam sel dan disimpan sebagai cadangan energi. Sehingga jika produksi insulin berkurang, sementara glukosa yang masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang banyak, maka glukosa hanya akan beredar di dalam pembuluh darah dan menyebabkan kadar glukosa dalam tubuh meningkat yang disebut hiperglikemia. Laporan statistik International Diabetes Faderation (IDF) menyebutkan bahwa di tahun 2012 sudah ada lebih dari 371 juta penderita DM dengan tiap tahun angka kejadian diabetes naik 3 persen atau bertambah 7 juta orang. American Diabetes Association melaporkan bahwa tiap 21 detik ada satu orang yang terkena diabetes. Prediksi sepuluh tahun yang lalu bahwa jumlah diabetes akan mencapai 350 juta pada tahun 2025, ternyata sudah jauh terlampaui. Faktanya, lebih dari setengah populasi diabetes berada di Asia, terutama di India, Cina, Pakistan, dan Indonesia. Diabetes telah menjadi penyebab kematian terbesar ke 4 di dunia. Di tahun 2012 mencapai 4,8 juta kematian disebabkan langsung oleh diabetes. Tiap 10 detik ada satu orang atau atau tiap menit ada 6 orang yang

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

meninggal akibat penyakit yang berkaitan dengan diabetes. Di Amerika yang sudah maju sekalipun, angka kematian akibat diabetes bisa mencapai 200.000 orang pertahun. World Diabetes Atlas edisi 2012 bahkan mencatat bahwa 471 miliar dollar Amerika (Atau lebih dari 4.500 triliun rupiah) telah dihabiskan pasien diabetes untuk berobat.[3] Prevalensi penderita DM di Provinsi Sulawesi Selatan tiap tahun meningkat. Berdasarkan hasil penelitian epidemologi peningkatan prevalensi DM yang terjadi di Sulawesi Selatan khususnya Makassar meningkat dari 1,5% pada 1981 menjadi 2,9% tahun 1998, dan 12,5% pada tahun 2005[4]. Adapun hasil penelitian dari Riskesdas (2013) prevalensi DM yang terdiagnosis dokter atau berdasarkan gejala pada usia ≼ 15 tahun sebanyak 3,4%, jumlah tersebut termasuk dalam peringkat ke-3 tertinggi di antara provinsi yang ada di Indonesia.[5] Salah satu komplikasi yang sering terjadi pada penderita DM adalah terjadinya luka diabetik yaitu luka yang sulit disembuhkan karena adanya kerusakan saraf perifer (neuropati). Tercatat lebih dari 1 juta orang yang diamputasi akibat luka diabetik setiap tahun. Ini berarti setiap 30 detik ada kasus amputasi kaki karena diabetes yang terjadi diseluruh dunia. Di Indonesia, angka amputasi mencapai 15-30% dan angka kematian 17-32% serta hari perawatan untuk 28-40 hari. Untuk negara maju seperti Amerika menghabiskan 10% dana dari 5 keseluruhan pengelolaan DM.[6] Menurut The National Institute Diabetes and Digestive and Kidney Disease diperkirakan 16 juta orang Amerika Serikat diketahui menderita diabetes, dan jutaan diantaranya beresiko untuk menderita diabetes. Dari keseluruhan penderita diabetes, 15 persen menderita luka di kaki, dan 12-14 persen dari yang

│65


menderita luka di kaki memerlukan amputasi.[7] Ada beberapa alternatif untuk menangangi luka diabetik diantaranya dengan mengendalikan gula darah, offloading dengan mengurangi beban pada kaki yang sakit, debridement, pemberian antibiotik, revaskularisasi, dan dressing.[3] Debrediment merupakan salah satu metode membersihkan luka dengan membuang jaringan yang telah membusuk, rusak atau bernanah agar cepat tumbuh jaringan yang baru yang sehat[3]. Di berbagai negara saat ini telah banyak yang menerapkan metode debridement dengan media maggot sebagai biotherapy dalam menyembuhkan luka. Dengan dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) banyak negaranegara yang kemudian bersaing meningkatkan kualitas ekonomi dan produktivitas penduduknya, termasuk pelayanan kesehatan yang semakin dikembangkan, salah satunya penggunaan maggot sebagai biotherapy dalam menyembuhkan luka diabetik. Salah satu negara ASEAN yang sudah mengaplikasikan dan mengembangkan perawatan luka dengan media maggot yaitu Malaysia. Sampai saat ini negara kita sendiri belum ada yang mengaplikasikan perawatan luka dengan menggunakan maggot, hal ini terjadi karena masih kurangnya penelitian yang dilakukan di Indonesia terkait penggunaan maggot. Padahal Indonesia adalah negara tropis dengan ribuan jenis lalat tersebar dari Sabang sampai Merauke. Salah satu hikmah dari kisah-kisah orang-orang terdahulu yang juga menginspirasi kami untuk menggali lebih dalam berbagai referensi tentang maggot sebagai biotherapy dalam penyembuhan luka adalah hikmah dari kisah Nabi Ayyub As. Nabi Ayyub As adalah nabi yang diuji oleh Allah SWT dengan kenikmatan hartanya, keluarganya, dan badannya. Nabi Ayyub As menderita penyakit kulit yang dahsyat dari kepala hingga kaki dimana tubuh beliau membusuk dan mengeluarkan nanah, sehingga banyak ulat (belatung) yang menggerogoti tubuhnya. Al-kisah meyebutkan bahwa ketika Nabi Ayyub As ingin menunaikan shalat, belatung itu

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

kemudian dilepas dari tubuhnya, dan ketika beliau selesai shalat belatung itu kembali diletakkan di tubuhnya. Setelah belatung memakan bagian tubuh beliau yang busuk, Nabi Ayyub As berangsurangsur pulih dari penyakitnya. 2. METODE PENULISAN 2.1 Jenis Tulisan Tulisan ini bersifat library research (penelitian pustaka) yang disajikan secara deskriptif melalui beberapa literatur yang relevan dengan tulisan ini. 2.2 Teknik Pengumpulan Data Data karya tulis ini diperoleh dari beberapa literatur buku, prosiding seminar, jurnal yang membahas tentang luka diabetik serta penggunaan maggot sebagai biotherapy. Keuntungannya adalah data yang didapatkan jelas dan akurat. 2.3 Pengolahan Data Setelah dilakukan pengumpulan data dan informasi, semua data dan informasi tersebut diseleksi kerelevanan dengan masalah yang dikaji. Untuk menyajikan masalah yang akan dibahas maka data yang terkumpul di analisis secara deskriptif. 2.4 Analisis dan Sintesis 2.4.1 Menggunakan metode analisis komparatif untuk melihat perbandingan antara pikiran utama karya tulis ini dengan beberapa teori yang relevan. 2.4.2 Menggunakan metode analisis deskripsi untuk mengolah dan menafsirkan data yang telah diperoleh sehingga didapatkan gambaran jelas tentang keadaan sebenarnya pada objek yang dikaji. 2.5 Rekomendasi Setelah dilakukannya sebuah analisis, penulis memberikan alternatif model pemecahan masalah atau gagasan kreatif sebagai solusi permasalahan yang diangkat dalam karya tulis ini kemudian disusun menjadi suatu hasil pembahasan dan kesatuan suatu kesimpulan. Kemudian diberikan sebuah rekomendasi hasil pemecahan

│66


masalah menjadi sebuah adopsi pengetahuan, sebagai landasan berpikir penengahan masalah yang telah dirumuskan. 3. HASIL/PEMBAHASAN 3.1 Masalah Luka Diabetik di Indonesia Jumlah penderita Diabetes Melitus (DM) di Indonesia dari tahun ke tahun diprediksi akan meningkat. Dampak dari meningkatnya angka penderita DM di Indonesia menyebabkan angka komplikasi DM baik akut maupun kronik juga meningkat. Salah satu komplikasi kronik yang sering terjadi dan paling ditakuti adalah luka diabetik. Penyebab munculnya luka dikarenakan akibat dari polineuropati simetris yang bermanifestasi klinis dengan munculnya penurunan sensasi tekanan pada kulit, getaran, dan hilangnya reflex lutut pada lutut penderita, hal ini merupakan penyebab utama munculnya luka dengan prevalensi 75%-90% pada penderita DM. Munculnya luka pada kaki sering menyebabkan amputasi sebagai akibat dari penyakit makrovaskuler dengan prevalensi 30%-40%, sedangkan angka kematian 3 tahun pada penderita DM yang mengalami amputasi adalah 50%[8]. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa sekitar 4-10% akan mengalami masalah pada kaki diabetik dan sebagian besar diantaranya (4070%) harus menjalani amputasi pada organ kaki yang memiliki luka diabetik.[9] Riset tentang luka diabetik di Indonesia tergolong masih sangat minim. Hal ini ditandai dengan masih sulitnya menemukan referensi legal dan update tentang penderita luka diabetik di Indonesia. Beberapa referensi mengenai luka diabetik, yaitu prevalensi penderita luka diabetik di Indonesia sebesar 15% dari jumlah penderita DM.[10] Adapun persentase komplikasi DM di RSCM tahun 2011, didapatkan komplikasi terbanyak adalah neuropati yang dialami oleh 54% penderita, PAD (Pheripheral Arterial Disease) 10,90% sedangkan luka diabetik 8,70%.[5] Tingginya angka komplikasi neuropati menyebabkan peluang untuk bertambahnya jumlah penderita luka diabetik semakin meningkat, karena faktor utama

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

munculnya luka diabetik adalah adanya neuropati dan angiopati termasuk PAD. Sebuah penelitian epidemologi yang dilakukan oleh Saldy Yusuf dkk (2016) tentang “Prevalence and Risk Factor of Diabetic Foot Ulcers in a Regional Hospital, Eastern Indonesia� didapatkan bahwa prevalensi faktor risiko luka diabetik adalah 55,4% dan prevalensi dari luka diabetik adalah 12%.[11] Tingginya prevalensi tersebut menjadi bukti nyata perlunya penatalaksaan yang lebih profesional dan memadai bagi para penderita DM di Indonesia. Penderita luka diabetik di Indonesia memerlukan biaya yang tinggi sebesar 1,3 juta sampai Rp. 1,6 juta perbulan dan Rp. 43,5 juta per tahun untuk seorang penderita.[12] Angka tersebut tergolong sangat mahal, terlebih lagi jika penderita luka diabetik adalah orang yang kurang mampu. Kesempatan mendapatkan pelayanan yang cukup memadai akan sangat sulit. Walaupun ada pembiayaan dari pemerintah, masalah luka diabetik bisa jadi akan menjadi pembiayaan terbesar di Indonesia. Seperti halnya di Amerika Serikat, penderita luka diabetik memerlukan biaya yang tinggi untuk perawatan yang diperkirakan antara $10.000-$12.000 per tahun untuk seorang penderita.[13] World Diabetes Atlas edisi 2012 bahkan mencatat bahwa 471 miliar dollar Amerika (Atau lebih dari 4.500 triliun rupiah) telah dihabiskan pasien DM untuk berobat.[3] Komplikasi luka diabetik dapat menyebabkan amputasi hingga kematian. Luka yang muncul akan mengalami nekrosis (kematian jaringan), jika hal ini tidak ditangani luka akan dengan cepat manjadi gangren dan membusuk, menyebabkan luka akan diamputasi. Pasien yang mengalami amputasi, akan merasa kurang percaya diri dengan tubuhnya, mereka akan mengalami gangguan citra tubuh, hingga menyebabkan pasien dapat mengalami isolasi sosial karena malu dengan kondisinya. Untuk itu, perawatan luka diabetik harus ditingkatkan, peran petugas kesehatan sangat besar dalam proses kesembuhan luka diabetik. Banyaknya biaya yang dihabiskan untuk satu orang penderita luka diabetik tiap tahunnya menyebabkan butuhnya alternatif perawatan yang murah dan berkualitas. Perawatan luka yang saat ini

│67


mulai dikembangkan di berbagai negaranegara di dunia yaitu menggunakan maggot sebagai biotherapy dalam perawatan luka diabetik. Maggot therapy mulai dikembangkan sebagai terapi berbasis makhluk hidup yang dapat membantu dalam mempercepat penyembuhan luka. MEA, baru saja dimulai, negaranegara ASEAN kian bersaing untuk meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas masyarakatnya. Salah satu negara ASEAN yang sudah mengaplikasikan maggot therapy adalah Malaysia. Kemampuan tenaga kesehatan di Indonesia dapat ditingkatkan dengan memperkenalkan maggot therapy. Bisa dibayangkan, jika tenaga kesehatan dari negara asing yang lebih dulu memperkenalkan maggot therapy di Indonesia, hal ini akan menyebabkan negara Indonesia menjadi lebih tertinggal dan kalah bersaing dengan tenaga kesehatan asing. Untuk itu, peran tenaga kesehatan dalam meningkatkan pelayanan perawatan luka diabetik perlu ditingkatkan, salah satunya dengan menggunakan maggot therapy. Dengan meningkatkan pelayanan penyembuhan luka diabetik, maka angka amputasi dan kematian akibat diabetik sedini mungkin dapat dicegah. 3.2 Metode Perawatan dengan Maggot Therapy 3.2.1 Tahap Persiapan Maggot Kebersihan maggot yang digunakan harus terjamin, terlebih dahulu maggot harus disterilkan. Tujuannya untuk menghilangkan segala jenis mikroorganisme hidup yang dapat mengurangi keberhasilan dari maggot therapy. Untuk melakukan sterilisasi, ada beberapa cara yang bisa digunakan, namun dari berbagai hasil penelitian maggot lebih efektif jika didesinfeksi. Desinfeksi adalah memusnahkan mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit. Desinfeksi merupakan benteng manusia terhadap paparan mikroorganisme patogen penyebab penyakit, termasuk di dalamnya virus, bakteri dan protozoa parasit.[14] Baer (1931) telah melaporkan bahwa perlunya penggunaan maggot steril pada pasien. Dalam percobaan

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

awal, penggunaan maggot non-steril digunakan sebagai agen debridement. Namun, pasien kemudian terinfeksi sekunder seperti tetanus.[15] Penelitian yang dilakukan di Malaysia oleh Yeong dkk (2011) menggunakan sodium hipoklorit (NaClO) dan formaldehida sebagai desinfektan utama dalam mendesinfeksi telur dari maggot lucilia suprina. Hasil penelitian menyebutkan maggot lucilia suprina mencapai sterilitas dan bersih dari bakteri, sehingga maggot dapat aman digunakan.[16] Penelitian lain dari Thyssen dkk (2013) menyebutkan penggunaan 0,5% sodium hipoklorit (NaClO) dengan merendam telur efektif untuk mensterilkan maggot.[17] Maggot yang akan digunakan sebaiknya dipesan langsung di perusahaan tempat dikembangbiakkan dan disterilkan secara langsung. Jurnal medical entomology menyebutkan di beberapa negara bagian Australia dan di luar negeri, persetujuan dari Departemen Pertanian atau otoritas karantina yang relevan harus diterima sebelum pengiriman. Jika tidak pengiriman dapat membahayakan. Sebuah pernyataan atau surat persetujuan dari otoritas yang tepat harus ditampilkan dengan jelas pada paket maggot.[18]

Gambar 1. Botol maggot lucilia sericata Botol maggot dikirim dalam esky polistiren (kemasan karton box dengan lapisan plastik) dengan setidaknya dua batu bata es untuk menjaga lingkungan yang dingin. Eskies ditempatkan dalam sebuah kotak kardus kokoh. Berat total paket kurang dari 1 kilogram. Maggot harus digunakan sesegera mungkin setelah dilahirkan (menjadi larva), atau disimpan dalam lemari es di 4-8oC tidak

│68


lebih dari 48 jam karena kelangsungan hidup maggot mungkin akan berkurang. Tiap botol berisi sekitar 60-80 maggot dan memiliki biaya $60,00.[18] Sebelum memesan maggot, petugas kesehatan dan klien dapat berdiskusi untuk memilih bentuk maggot yang paling tepat untuk digunakan. Maggot tersedia dalam dua bentuk, maggot 'free-range' yang diaplikasikan langsung ke luka, dan dibiarkan berkeliaran bebas di atas permukaan luka mencari daerah jaringan nekrotik. Bentuk kedua tersedia dalam bentuk kantong teh atau 'larve bags'. Maggot diapit atau terkandung dalam tas kain kecil yang ditempatkan langsung pada permukaan luka. Maggot dalam tas dapat digunakan dalam beberapa situasi, maggot mungkin memiliki kontraindikasi seperti luka dekat anus atau rongga tubuh lainnya. ‘larve bags’ dapat dipindahkan di sekitar luka. Penggunaan maggot dengan ‘larve bags’ mungkin lebih disukai oleh beberapa pasien, maggot dengan ‘larve bags’ tidak bisa bergerak bebas di permukaan luka selain itu, maggot tidak dapat menemukan jalan mereka ke sinus atau rongga pada luka. Akan tetapi, penggunaan maggot freerange lebih efektif dari pada maggot larve bags.[19] 3.2.2 Tahap Persiapan Klien Sebelum memulai mengaplikasikan maggot therapy, kesiapan klien harus diperhatikan. Petugas kesehatan harus melakukan penilaian terhadap klien, diantaranya[20]: a. Kekhawatiran Klien 1) Sebuah kekhawatiran emosional termasuk kecemasan, masalah kesehatan mental, masalah kognitif, dan masalah perilaku yang akan menghalangi penggunaan maggot therapy. 2) Dampak lingkungan klien pada perawatan klien. 3) Persetujuan klien/keluarga klien untuk menggunakan maggot therapy. 4) Kemampuan keluarga klien/ motivasi untuk memahami, berpartisispasi dalam mematuhi rencana pengobatan.

b. Faktor resiko penyembuhan luka 1) Gangguan status gizi 2) Kondisi medis 3) Status oksigenasi kulit dan jaringan di bawahnya 4) Faktor gaya hidup 5) Usia lanjut 6) Obat-obatan yang mengganggu penyembuhan luka (OAINS, antineoplastics, kortikosteroid sistemik, antikoagulan, vasopressor) 7) Kemapuan untuk mempertahankan off loading luka setiap saat selama terapi. 3.2.3 Tahap-Tahap Maggot Therapy Penggunaan maggot therapy dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut[19]: Persiapan Maggot a. Tambahkan ke tabung maggot sekitar 5 ml saline steril, yang setara dengan kedalaman sekitar 1-2 cm di bawah tabung, saline steril akan melepaskan semua maggot dari dinding tabung ke dalam larutan. Setelah maggot terendam dalam saline steril tuangkan maggot dan larutan saline ke dalam suatu wadah.1 (Rasional: Larutan salin melepaskan semua maggot dari atas dan dinding samping dari tabung ke dalam saline steril. Mengumpulkan semua maggot dalam satu wadah dengan cara ini mempercepat dan memfasilitasi proses aplikasi). Persiapan prosedur steril b. Mengatur bahan-bahan dan tata letak pada tempat yang sesuai, dengan menggunakan teknik aseptik (segala upaya yang dilakukan untuk mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh yang kemungkinan besar akan mengakibatkan infeksi). (Rasional: Wadah yang berisi maggot steril dan salin akan memastikan bahwa tindakan aseptik dapat dipertahankan). c. Pastikan klien diposisikan nyaman dan dalam posisi yang cocok untuk pemberian maggot dan pastikan bahwa klien memahami semua aspek pengobatan. 1

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

Gunakan 5-8 maggot/cm 2[21].

│69


(Rasional: Membantu klien untuk rileks, dan menambah keyakinan klien terhadap maggot therapy). Persiapan lokasi luka d. Buka balutan lama dan bersihkan luka dengan air hangat terutama untuk menghilangkan sisa-sisa balutan luka yang masih melekat. (Rasional: Beberapa sisa balutan pada luka, misalnya hidrogel yang mengandung propylene glycol, dapat menghambat kerja maggot). e. Potong lubang di lembar hidrokoloid dan ukur sesuai bentuk dan ukuran luka dan pastikan kulit disekitarnya tetap aman.2 (Rasional: Untuk melindungi lapisan kulit luka dan bentuk lapisan atasnya untuk memasang nilon bersih). f. Luka dengan ukuran kecil dan kedalaman terbatas dapat diterapakan lapisan ganda hidrokoloid sehingga membentuk seperti chamber (ruang) untuk meletakkan maggot. (Rasional: Hal ini dilakukan untuk memberikan ruang pada maggot untuk berkembang dan mencegahnya terjepit). g. Jika hidrokoloid tidak dapat digunakan, kulit sekitar luka dapat dilindungi dengan strip dari perban yang diresapi dengan senyawa zinc pasta misalnya tape atau viscopaste. (Rasional: Beberapa pasien bereaksi buruk terhadap hidrokoloid. Mencari dressing alternatif untuk melindungi kulit harus dipersiapkan). h. Potong nilon (LarvE Net) yang berfungsi sebagai retensi (penghalang) steril, sedikit lebih kecil dari pada hidrokoloid untuk memastikan nilon cukup besar untuk menutupi daerah luka. Pemindahan maggot dari wadah i. Perlahan tuangkan salin steril yang telah bercampur dengan maggot di atas nilon (LarvE Net) yang bersih. Jenis hidrokoloid misalnya: Duoderm transparan atau comfeel. Hidrokoloid berfungsi melidungi lapisan kulit luar, mencegah pasien agar tidak mendeteksi sensasi merangkak dari maggot, dan membantu sebagai penahan maggot, atau menjadi segel.[18] 2

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

j. Nilon harus ditempatkan di atas kasa swab untuk mengatasi efek tegangan permukaan. k. Jika maggot dituang terlalu cepat, salin steril dan beberapa maggot akan tidak tepat jatuh di daerah nilon dan merembes ke daerah sekitar. (Rasional: Ketika salin yang mengandung maggot dituang di atas nilon, maka saline akan jatuh di kasa swab sedangkan maggot akan tetap tertahan di atas nilon). Peletakan maggot pada luka l. Balikkan nilon yang sudah berisi maggot di atas luka, pastikan hidrokoloid aman dan menggunakan pita perekat tahan air misalnya sleek. (Rasional: Tindakan ini secara efektif akan mencegah maggot untuk bergerak bebas ke daerah kulit sekitar yang tidak luka). m. Letakkan swab (kasa) yang dibasahi dengan salin steril (tidak jenuh) di atas nilon (ditutup longgar dengan kasa lembab). n. Kemudian ditutup dengan sebuah film seperti tegapore (sebagai alternatif adalah opsite atau tegaderm yang telah dilubangi dengan 10 lubang/5 cm2 menggunakan probe tajam). (Rasional: Hal ini dilakukan karena maggot membutuhkan udara untuk kelangsungan hidup dan, maggot bisa tercekik jika film tidak berlubang. Jaringan nekrotik yang cair harus mengalir melalui dressing dan mengamankan film dengan pita tahan air (misalnya sleek).[18] Berdasarkan referensi pada Seminar Internasional Perawatan Luka’ oleh Mohd Rahime Ab Wahab mengatakan bahwa, setelah maggot didiamkan dalam luka, maggot akan mengalami perubahan dua kali, meningkatkan panjang 1-2 mm menjadi 8-10 mm, dan peningkatan ketebalan tubuh, dalam jangka waktu 48-72 jam dengan menelan jaringan mati pada luka, luka akan bersih dan memudahkan proses penyembuhan.[22] Setelah maggot didiamkan selama 3 hari (kurang lebih 48-72 jam) di dalam luka, kita dapat mengeluarkan maggot dengan menggunakan forceps atau dicuci dengan salin steril dan selanjutnya maggot di masukkan ke dalam tas

│70


limbah, disegel dan dihancurkan.[18] Hal tersebut dilakukan untuk mencegah kemungkinan penularan penyakit yang dibawa oleh maggot. 3.3 Mekanisme Kerja Maggot sebagai Biotherapy 3.3.1 Debrediment luka Debrediment luka dengan media maggot dilakukan dengan diawali dari luar tubuh maggot, dengan hasil sekresi yang dikeluarkan dari tubuh maggot. Hasil sekresi berupa enzim proteolitik yang akan mempercepat dan membantu maggot dalam mencerna jaringan nekrotik yang akan diubah menjadi bubur untuk dijadikan bahan makanan bagi maggot dengan cara menyerapnya.[23] Maggot sangat selektif dalam melakukan proses debrediment, karena maggot hanya akan mencerna jaringan nekrotik saja dan tidak akan menyentuh jaringan sehat disekitarnya. Selain itu, sekresi maggot tidak beracun bagi jaringan sehat. Maggot akan mudah dibersihkan (dari luka) dengan pembilasan menggunakan larutan Saline.[24] Eksudat, bau luka dan tingkat nyeri akan menurun secara signifikan setelah debrediment dengan media maggot dan jaringan nekrotik berkurang sebesar 33% dalam 4 minggu dibandingkan dengan dressing sendiri, maggot mensekresikan empat enzim proteolitik, yang terdiri dari dua protease serin (seperti tripsin dan enzim kimotripsin), metaloproteinase dan sebuah proteinase asparti. [25] Penelitian terbaru dari enzim yang dihasilkan dari sekresi dan ekseresi (ASE) maggot menujukkan jika enzim proteolitik masuk ke dalam konteks debridement dan penyembuhan luka, dan termasuk dalan matriks metaloproteinase (MMP). MMP berperan penting dalam tahap perbaikan jaringan dan penyembuhan luka termasuk hempstasis, trombosis, aktivasi sel inflamasi, degradasi kolagen, fibroblast dan perubahan jaringan.[23] 3.3.2 Aktivitas Antimikroba Bakteri dalam luka kronis sering berada dalam biofilm yang melindungi mereka dari antibiotik dan sistem kekebalan tubuh, yang akan memperlambat proses penyembuhan.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

Biofilm bakteri adalah kumpulan dari sel mikroba yang stabil, yang menempel satu sama lain di permukaan luka, atau tertanam dan tercampur diproduksi sendiri kompleks ekstraseluler polimer.[25] Sekresi maggot diketahui aktif membunuh bakteri. Selain itu maggot telah terbukti aktif terhadap biofilm bakteri dengan menurunkan lendir polisakarida yang membuat biofilm bertahan. Hal ini penting karena biofilm sangat tahan terhadap antimikroba lainnya. Biofilm melindungi bakteri dari antibiotik dan sistem respon imun[26]. Sekresi maggot diyakini memiliki spektrum luas aktivitas antimikroba meliputi: allantoin, urea, phenylacetic asam, phenylacetaldehyde, kalsium karbonat dan enzim proteolitik.[27] Menurut uji turbidimetri pertumbuhan bakteri, hasil eksresi dan sekresi maggot menunjukkan aktivitas antimikroba yang signifikan terhadap spesies, baik Gram-positif dan Gramnegatif seperti S. aureus, Bacillus thuringiensis, E. coli, Enterobacter cloacae dan P. Aeruginosa.[25] Selain itu, dalam studi vitro telah menunjukkan bahwa maggot menghambat dan menghancurkan berbagai bakteri patogen termasuk methicillin-resistant staphylococcus aureus (MRSA), kelompok A dan B streptokokus, dan Gram-positif aerobik dan strain anaerobik.[27] 3.3.3 Menstimulasi Penyembuhan Luka Selain menghilangkan jaringan nekrotik dan mencegah infeksi, maggot juga dapat menstimulasi penyembuhan luka.[23] Sekresi dari maggot akan merangasang pertumbuhan fibroblas. Fibroblas merupakan jenis jaringan ikat yang akan membentuk dan meletakkan serat-serat dalam matriks, terutama serat kolagen. Fibroblas mensekresi molekul tropokolagen kecil yang bergabung dalam substansi dasar membentuk serat kolagen. Kolagen akan memberikan kekuatan dan integritas pada semua luka yang akan sembuh dengan baik. Sekresi maggot juga mengandung zat yang disebut allantoin (2,5-Dioxo-4imadazolidinyl urea) dan ammonia biocarbonate yang bertanggung jawab untuk pertumbuhan jaringan granulasi.

│71


Adapun, gerakan maggot pada daerah luka biasa disebut sebagai micromassage yang akan semakin mempercepat pembentukan jaringan granulasi.[27]

memakan jaringan yang mati, ini lebih efektif dibandingkan dengan pengangkatan jaringan yang dilakukan oleh dokter.

Gambar 3. Lalat Lucilia Sericata

Gambar 2. Perubahan Ukuran dan Keparahan Luka Selain itu, Sekresi maggot memudahkan dalam diferensiasi monosit menjadi makrofag berubah dari proinflamasi menuju ke pro-angiogenik. Sekresi maggot dapat menghambat proinflamasi monosit manusia. Luka kaki diabetik ditandai dengan tidak teraturnya fase inflamasi yang berkepanjangan, keseimbangan antara pro-inflamasi dan makrofag anti inflamasi terganggu, mengakibatkan meningkatnya produksi dan pelepasan pro-inflamasi sitokin, protease dan spesies oksigen reaktif yang menyebabkan faktor pertumbuhan inaktivasi dan kerusakan jaringan.[28] Meskipun pada luka akut respon sitokin proinflamasi ini akan sangat penting, namun pada luka kronis sitokin proinflamasi akan dapat merugikan pada inflamasi yang sudah berkelanjutan. 3.4 Analisis SWOT Maggot Therapy 3.4.1 Streght/kelebihan maggot therapy a. Bahan dasar terapi ini adalah maggot yang sudah sterilkan, sebagai salah satu hasil kekayaan SDA. Maggot yang digunakan berasal dari jenis lucilia sericata dan lucilia cuprina. Maggot hanya

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

b. Metode yang sederhana, cepat dan ekonomis untuk membersihkan dan memulai penyembuhan beberapa luka yang membandel.[29] c. Harga satuan maggot steril yang cukup terjangkau dibandingkan dengan biaya pengobatan lain seperti perawatan luka konvensional. Berdasarkan informasi dari Seminar Internasional Perawatan Luka oleh Mohd Rahime Ab Wahab menerangkan bahwa kisaran harga maggot steril di Malaysia dipasarkan 1 RM untuk satu ekor maggot. d. Dari berbagai referensi penelitian yang ditelusuri, ditemukan bahwa tingkat keberhasilan maggot therapy sangat signifikan di berbagai kasus luka diabetik. 3.4.2 Weaknesess/kekurangan maggot therapy a. Belum adanya pengembangan secara signifikan tentang sosialisasi perawatan luka dengan maggot therapy. Hal ini menyebabkan masyarakat masih awam terhadap maggot therapy dan menganggap terapi ini termasuk hal yang menjijikan. b. Masih sedikitnya spesies lalat yang diidentifikasi yang dapat

│72


c.

digunakan untuk terapi ini, jika dibandingkan dengan jumlah populasi lalat yang tersebar di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Tidak semua jenis luka dapat di terapkan dengan maggot therapy seperti luka kering dan luka yang berongga.

3.4.3 Oppurtunity/peluang maggot therapy a. Maggot therapy dapat diaplikasikan di Indonesia, populasi lalat lucilia sericata dan lucilia suprina dapat ditelusuri di Indonesia, karena dengan iklimnya yang tropis memungkinkan ribuan populasi lalat ada di Indonesia. b. Timbulnya masalah resistensi antibiotik penggunaan maggot pada luka mulai lagi di gunakan pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.[25] Untuk itu, penggunaan antiboiotik pada luka kronik seperti luka diabetik, dapat digantikan dengan maggot therapy. 3.4.4 Threat/ancaman maggot therapy a. Banyaknya masyarakat yang belum mengetahui tentang maggot therapy, menyebabkan besar kemungkinan maggot therapy akan ditolak karena persepsi masyarakat terhadap maggot sebagai hewan yang menjijikkan. b. Jangka waktu penggunaan maggot setelah disterilkan cukup singkat, yaitu tidak lebih dari 48 jam (disimpan dalam suhu dingin 4-8oC), setelah itu kelangsungan hidup maggot perlahan akan menurun. Hal ini dapat menyulitkan penggunaan maggot. 4. KESIMPULAN Adapun kesimpulan dari penulisan ini adalah maggot sangat tepat digunakan sebagai alternatif perawatan luka diabetik. Maggot sebagai biotherapy

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

(terapi berbasis makhluk hidup) membersihkan luka dengan memakan jaringan nekrotik (jaringan yang mati) pada luka tanpa memakan jaringan hidup, yang sangat berguna dalam proses penyembuhan luka. Mekanisme kerja maggot dalam penyembuhan luka terbagi atas tiga tahap yakni debrediment luka dengan menghancurkan jaringan nekrotik dengan enzim proteolitik, aktifitas antimikroba untuk mengahambat dan menghancurkan biofilm yang terdapat pada luka, menstimulasi penyembuhan luka dengan merangsang pembentukan fibroblas serta sebagai micromassage untuk mempercepat pembentukan jaringan granulasi. Dari berbagai penelitian yang dilakukan perawatan luka diabetik dengan maggot therapy sangat efektif dan signifikan dibandingkan dengan perawatan konvensional. 5. SARAN Adapun saran dari penulisan ini sebagai berikut: 1. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan peneliti dapat mengembangkan jenis-jenis spesies lalat yang dapat digunakan dalam maggot therapy. 2. Dalam menghadapi MEA, khususnya dibidang kesehatan, maggot therapy dapat menjadi salah satu alternatif pengembangan ilmu kesehatan yang akan menambah wawasan dan skill tenaga medis untuk bersaing dengan tenaga medis dari luar negeri. 3. Untuk perkembangan dunia medis di Indonesia, maggot therapy dapat diaplikasikan dalam perawatan luka diabetik, dengan menggunakan maggot therapy diharapkan angka penderita luka diabetik di Indonesia dapat berkurang. UCAPAN TERIMA KASIH 1. Ibu Syisnawati, S.kep.,M.Kep.Ns.Sp.Kep.J selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa memberi kritikan dan masukan dalam perbaikan karya tulis ini. 2. Kepada Bapak Saldy Yusuf, S.Kep.,Ns.,ETN., Ph.d yang

│73


membagikan ilmu perawatan luka yang sangat luar biasa. 3. Kepada Ibu Agrina Syahrul, S.Kep.,Ns.,M.Kep yang senantiasa memotivasi dan memberikan saransaran untuk kami. 4. Kepada kakak yang juga senantiasa memberikan masukan dan semangat kepada kami. Kak Akbar, Kak Wardani, Kak Syaiful, Kak Juharni, dan Kak Arman terima kasih atas semua pengalaman dan ilmu yang telah diberikan kepada kami. DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan RI. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes. Oleh Abdul Muchid, dkk. 2005. 22 Maret 2016. <http://binfar.kemkes.go.id/?wpdmact =process&did=MTc2LmhvdGxpbms= .>. 2. H.R Hasdianah. Mengenal Diabetes Mellitus pada Orang Dewasa dan Anak-anak dengan Solusi Herbal. Yogyakarta: Numed, 2012. 3. Tandra, Hans. Life Healthy With Diabetes: Diabetes Mengapa & Bagaimana?. Yogyakarta: Andi, 2013. 4. Sutiawati, Mubarti. “Pengaruh Edukasi Gizi terhadap Pengetahuan, Pola Makan dan Kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 RSUD Lanto’ Dg Pasewang Jeneponto.” Media Gizi Masyarakat Indonesia. 2:2 (2013): 78-84. 5. Kementrian Kesehatan RI. Infodatin: Situasi dan Analisis Diabetes. 2014. 20 Maret 2016 <http://www.depkes.go.id/download.p hp?file=download/pusdatin/infodatin/i nfodatin-diabetes.pdf.>. 6. Fransisca, Kristiana. Awas Pankreas Rusak Penyebab Diabetes. Jakarta: Cerdas Sehat, 2012. 7. Hariani, Lynda & David Perdanakusuma. “Perawatan Ulkus Diabetes.” Media Jurnal Rekonstruksi dan Estetik. Juli 2012. 22 Maret 2016 <http://journal.unair.ac.id/filerPDF/ab strak_426974_tpjua.pdf>. 8. Stephen & William. Pathophysiology of Disease: An Introduction to Clinical medicine (Patofisiologi Penyakit Pengantar Menuju KedokteranKlinis Edisi 5). Jakarta: EGC, 2011.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

9. Hardiman, H dkk. Tumbuh: Diabetes dan Komplikasi. Surakarta: Media Komunikasi RS DR.OEN Surakarta, 2013. 10. Fauziyah, Nida Faradisa. Hubungan Pengetahuan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 tentang Risiko terjadinya Ulkus Diabetik dengan Kejadian Ulkus Diabetik di RSUD dr. Moewardi. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012. 11. Yusuf, Saldy, dkk. “Prevalence and risk factor diabetic foot ulcers: A cross sectional study among DM type 2 in eastern Indonesia.” Open Journal of Nursing. 2016. 22 Maret 2016 <http://dx.doi.org/10.4236/ojn.2016.6 1001.>. 12. Suyono S. Diabetes melitus di Indonesia, Dalam : Aru W, Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 4. Jakarta: FK UI, 2007. 13. William C. The Diabetic Foot, In (Ellenberg, Rifkin’s, eds), Diabetes Mellitus, Sixth Edision. USA, 2003. 14. Bitton, Gabriel. Wastewater Microbiology, A John Wiley &Sons, INC. New York, 1994. 15. Baer. W.S. “The Treatment of Chronic Osteomyelitis with The Maggot (larva of the blow fly).” Journal of Bone and Joint Surgery. Juli 1931. 22 Maret 2016 <http://jbjs.org/content/13/3/438.full.p df>. 16. Yeong, Y.S dkk. “Scanning electron microscopic evaluation of the successful sterilization of Lucilia cuprina (Wiedemann) utilized in maggot debridement therapy (mdt).” Tropical Biomedicine. 2011. 24 Maret 2016 <http://www.msptm.org/files/325__332_Yeong_Y_S.pdf>. 17. Thyssen, Patricia Jacqueline dkk. “Sterilization of immature blowflies (Calliphoridae) for use in larval therapy.” Journal of Medicine and Medical Sciences. Oktober 2013. 22 Maret 2016 <http://www.interesjournals.org/fullarticles/sterilization-of-immatureblowflies-calliphoridae-for-use-inlarval-therapy.pdf?view=inline>. 18. Institute of Clinical Pathology and Medical Research (ICPMR). “Maggot

│74


19.

20.

21.

22.

23.

Wound Therapy.” Fact Sheet Medical Entomology. 13 Juli 2005. 24 Maret 2016. <http://medent.usyd.edu.au/MedicalE ntomologyMDTfactsheet.pdf>. Baker, Anthea. “Guidelines for The Use of Sterile Maggot Therapy in Wound Management.” Primary Care Trust. Maret 2012. 24 Maret 2016 <http://www.derbyhospitals.nhs.uk/E asysiteWeb/getresource.axdassetID= British Columbia Provincial Nursing Skin and Wound Committee. “Guideline: Maggot Debridement Therapy in Adults & Children.” Developed by the BC Provincial Nursing Skin and Wound Committee in collaboration with Wound Clinicians. Desember 2014. 22 Maret 2016. <https://www.clwk.ca/buddydrive/file/ guideline-maggot-debridementtherapy/>. Tobias, Karen &Danielle Browning. “A Fly in My Ointment: Maggot Therapy.” NAVC Clinician’s Brief. April 2012. 24 Maret 2016 <http://www.cliniciansbrief.com/sites/ default/files/A%20Fly%20in%20My% 20Ointment.pdf>. Wahab, Mohd Rahime Ab. Seminar Internasional Perawatan Luka: Teknologi Terkini pada Perawatan Luka Terapi Debridement dengan Belatung (Maggot). Makassar. Tanggal 2 Juni 2015. Sherman, Rhonald A. “Review Article Mechanisms of Maggot-Induced Wound Healing: What Do We Know, and Where Do We Go from Here?” Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine. 2014. 22 Maret 2016. <http://www.hindawi.com/journals/ec am/2014/592419/>.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

7106&type=full&servicetype=Attachm ent.>. 24. Wigston, Nancy. “Microsurgery, maggot style.” Rogers Publishing Limited. Vol. 41. Oktober 2005. 25. Valachova, dkk. “Lucilia Sericata Medicinal Maggots: A New Source Of Antimicrobial Compounds.” Formatex: Microbial pathogens and strategies for combating them: science, technology and education. 2013. 24 Maret 2016. <http://www.formatex.info/microbiolo gy4/vol3/1745-1753.pdf>. 26. Koerber, Adrian dkk. “3 Role of Maggots in Wound Healing”. Mathematics-in-Medicine Study Group Nottingham 2001. 24 Maret 2016. <http://www.maths-in medicine.org/uk/2001/maggots/> 27. El-Tantawy, Nora Labeeb. Weekly Seminars on Mansoura University: Maggot Therapy. 2008. 22 Maret 2016 <http://www1.mans.edu.eg/FacMed/e nglish/dept/parasitology/Semianr/Ma ggot%20Therapy.pdf>. 28. Van der plas, Mariena J.A dkk. “Maggot Secretions Skew MonocyteMacrophage Differentiation Away from a Pro-Inflammatory to a ProAngiogenic Type.” Plos One: Open Access Journal. November 2009. 22 Maret 2016 <http://journals.plos.org/plosone/articl e?id=10.1371/journal.pone.0008071> 29. Geary MJ, dkk. “Maggots Down Under.” Wound Practice and Research. Februari 2009. 24 Maret 2016 <http://www.awma.com.au/journal/17 01_04.pdf>.

│75


Tinjauan Pustaka

POTENSI BIBLIOTHERAPY DALAM MENGURANGI KECEMASAN AKIBAT HOSPITALISASI PADA ANAK USIA SEKOLAH Nabila Chairani Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Pendahuluan: Hospitalisasi dapat menyebabkan kecemasan pada anak. Penatalaksanaan untuk mengurangi kecemasan pada pasien anak perlu dilakukan, diantaranya dengan terapi membaca. Bibliotherapy adalah penggunaan buku atau literatur sebagai media untuk mengekspresikan perasaan, memecahkan masalah dan meningkatkan koping. Tujuan: mengidentifikasi penggunaan bibliotherapy untuk mengurangi kecemasan akibat hospitalisasi pada anak usia sekolah. Pembahasan: Beberapa penelitian telah menunjukkan penurunan tingkat kecemasan anak selama hospitalisasi setelah dilakukan bibliotherapy. Pada prosedur bibliotherapy diperlukan beberapa strategi dan pemilihan buku yang tepat bagi anak. Bibliotherapy dapat menjadi salah satu intervensi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak yang mengalami kecemasan pada anak selama hospitalisasi. Apabila kecemasan anak dapat teratasi maka akan mendukung koping yang efektif, mendukung pengobatan yang optimal serta membantu kelancaran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Kata kunci :

bibliotherapy, kecemasan, hospitalisasi, anak usia sekolah ABSTRACT

Introduction: Hospitalization can cause anxiety in children. Management to reduce anxiety in pediatric patients is needed including the reading therapy. Bibliotherapy is use of literature to enhance expression of feelings, active problem solving, coping or insight. Aim: Identified bibliotherapy to reduce anxiety of school-age children who underwent hospitalization. Discussion: Several studies have shown a decrease in the level of children's anxiety during hospitalization after bibliotherapy. Bibliotherapy required several strategies and the selection of appropriate books for children. Bibliotherapy can be applied as a nursing intervention to reduce anxiety during hospitalization. If the child's anxiety during hospitalization can be resolved, it will support effective coping, optimal treatment and help nurses providing the nursing care. Keywords :

bibliotherapy, anxiety, hospitalization, school-age children.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

│76


1. PENDAHULUAN Anak usia sekolah adalah anak dalam rentang kehidupan usia 6-12 tahun dimana anak sudah mulai masuk pada lingkungan sekolah, mulai senang bergabung dengan teman seusianya dan mulai mempelajari budaya kanak-kanak yang merupakan hubungan dekat pertama diluar anggota keluarganya.[11] Pada anak usia sekolah didapati banyak permasalahan kesehatan yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. Masalah kesehatan tersebut meliputi gangguan kesehatan umum, gangguan perkembangan, gangguan perilaku, dan gangguan belajar.[13] Perubahan status kesehatan atau kondisi penyakit sehingga mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit disebut hospitalisasi. Populasi anak yang dirawat di rumah sakit di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Nasional (Susenas) 2010 adalah 14,44% dari keseluruhan jumlah penduduk. Kelompok usia 0-4 tahun sebesar 25,8%, usia 5-12 tahun sebanyak 14,91%, usia 13-15 tahun sekitar 9,1%. Sumaryoko dalam Wijayanti[33] menyatakan prevalensi kesakitan anak di Indonesia yang dirawat di rumah sakit cukup tinggi yaitu sekitar 35 per 100 anak.[33] Hospitalisasi pada anak merupakan suatu proses karena suatu alasan yang direncanakan atau darurat mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai anak dapat dipulangkan kembali ke rumah. Selama proses tersebut, anak dapat mengalami berbagai kejadian berupa pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan stress.[28] Nursalam et al[17] menyatakan hospitalisasi merupakan krisis utama yang tampak pada anak. Anak dapat mengalami stres karena perubahan status kesehatannya dan memiliki keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang bersifat menekan.[17] Respon terhadap hospitalisasi bersifat individu dan bervariasi. Tergantung pada usia, pencapaian tugas perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia dan kemampuan koping yang dimiliki anak. Reaksi umum berupa kecemasan, kehilangan, perlukaan tubuh dan rasa nyeri. Pada usia sekolah timbul respon emosi seperti tingkah laku protes, bosan,

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

kesepian, frustasi, menarik diri, regresi, mencari informasi, merengek, menggertakkan gigi, mengerang, bertindak berani.[11] Respon tersebut timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak nyaman dan merasakan sesuatu yang menyakitkan.[28] Perawatan di rumah sakit memaksa anak meninggalkan lingkungan yang dicintai, keluarga, kelompok sosial sehingga menimbulkan kecemasan. Kehilangan kontrol berdampak pada perubahan peran dalam keluarga, kehilangan kelompok sosial, perasaan takut mati, kelemahan fisik.[12] Penyebab dari kecemasan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor dari petugas (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya), lingkungan baru maupun keluarga yang mendampinginya selama perawatan. Lingkungan rumah sakit sendiri merupakan penyebab stress dan kecemasan pada anak. Anak yang dirawat di rumah sakit akan muncul tantangan-tantangan yang harus dihadapinya seperti mengatasi suatu perpisahan, penyesuaian dengan lingkungan yang asing baginya, penyesuaian dengan banyak orang yang mengurusinya, dan harus berhubungan dan bergaul dengan anak-anak yang sakit serta pengalaman mengikuti terapi yang menyakitkan. Beberapa anak tidak mampu mengungkapkan rasa stres yang dialami secara terbuka dan pada anak yang pendiam biasanya kurang memiliki koping yang baik dalam menangani stres.[21] Reaksi tersebut dapat mengganggu kenyamanan anak saat berada di rumah sakit dan dibutuhkan koping yang baik bagi anak hingga anak dapat melewati masa hospitalisasinya dan kembali ke rumah dengan tidak membawa efek negatif akibat hospitalisasi. Untuk itu perlu pengembangan model pelayanan kesehatan yang menekankan pada dimensi biopsikososial dengan saling menghubungkan antara dimensi biologis, psikologis, sosial, kultural dan spiritual anak.[23] Penatalaksanaan untuk mengurangi kecemasan pada pasien anak perlu dilakukan, diantaranya dengan terapi membaca. Bibliotherapy merupakan penggunaan terapeutik buku atau literatur untuk meningkatkan koping dan memecahkan masalah.[3] Pardeck[19] menjelaskan bibliotherapy adalah penatalaksanaan

│77


kesehatan mental dengan menggunakan buku untuk membantu meningkatkan koping anak terhadap perubahan, masalah emosional dan mental. Membaca mengenai kesulitan orang lain yang sama dengan mereka, dapat memberi anak kesadaran dan pemahaman terhadap masalah. Membaca buku dapat memicu anak untuk mengenal perasaan mereka yang tergambar dari karakter di buku, berdiskusi kepada orang lain, mengungkapkan perasaan sehingga mengarahkan mereka kepada resolusi terapeutik yaitu mengurangi kecemasan.[22] Jika kecemasan anak selama hospitalisasi dapat diatasi diharapkan anak akan lebih kooperatif dan merasa lebih nyaman sehingga akan mempercepat penyembuhan penyakit dan memperpendek lama rawat di rumah sakit. 2. PEMBAHASAN Artikel yang digunakan dalam tinjauan pustaka ini didapat melalui penyedia akses jurnal elektronik yang tersedia di perpustakaan universitas yaitu EBSCO, Proquest dan NCBI. Kata kunci yang dipakai adalah bibliotherapy, bibliotherapy and anxiety, hospitalization. Artikel yang dipilih adalah terbitan tahun 2005-2013 serta beberapa literatur yang mendukung dalam proses penulisan studi literatur. 2.1 Kecemasan Akibat Hospitalisasi pada Anak Usia Sekolah Stresor utama dari hospitalisasi antara lain adalah cemas akibat perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh, dan adanya nyeri. Reaksi tersebut dapat mengganggu kenyamanan anak selama berada di rumah sakit.Reaksi anak terhadap krisis-krisis tersebut dipengaruhi oleh usia perkembangan, pengalaman sebelumnya tentang penyakit, perpisahan, keterampilan koping yang dimiliki anak, keparahan diagnosis, dan sistem pendukung yang ada.[12] Mekanisme pertahanan utama anak usia sekolah adalah reaksi formasi, yaitu mekanisme pertahanan yang tidak disadari, anak menganggap suatu tindakan adalah berlawanan dengan dorongan hati yang mereka sembunyikan. Anak usia sekolah bereaksi terhadap perpisahan dengan menunjukkan kesendirian, kebosanan, isolasi, dan depresi. Anak mungkin juga

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

menunjukkan agresi, iritabilitas serta ketidakmampuan berhubungan dengan saudara kandung dan teman sebayanya. Perasaan kehilangan kendali dikaitkan dengan ketergantungan kepada orang lain dan gangguan peran dalam keluarga. Takut cedera dan nyeri merupakan akibat dari rasa takut terhadap penyakit, kecatatan dan kematian.[30] Anak usia sekolah mengalami sakit dan dirawat di rumah sakit tidak hanya mengalami masalah dalam pemenuhan kebutuhan fisik, kebutuhan psikologis karena cemas yang didapat akibat perpisahan dengan orang tua, lingkungan asing, prosedur tindakan dan pengobatan. Dalam pelayanan klinik seringkali perawat dan keluarga berfokus pada pemenuhan kebutuhan fisik tanpa memperhatikan kecemasan anak, sehingga menyebabkan anak menjadi susah makan, susah tidur dan susah untuk minum obat. Keadaan tersebut dapat menyebabkan proses penyembuhan anak menjadi terganggu. Stress hospitalisasi dapat menekan imun anak sehingga menghambat proses penyembuhan yang menyebabkan waktu perawatan semakin lama bahkan berpotensi menimbulkan komplikasi.[17] Pemberi pelayanan kesehatan harus memberikan pelayanan yang komprehensif yang menunjang kebutuhan personal anak dan kebutuhan tumbuh kembang anak. Jadi diperlukan intervensi dalam mengatasi kecemasan pada anak selama hospitalisasi untuk dapat memfasilitasi anak untuk mengekspresikan perasaannya. Apabila kecemasan anak selama hospitalisasi dapat teratasi maka akan mendukung koping yang efektif dan mendukung kelancaran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Sehingga anak dapat melewati masa hospitalisasinya dan kembali ke rumah dengan tidak membawa efek negatif akibat hospitalisasi. 2.2 Penggunaan Terapeutik Bibliotherapy Bibliotherapy adalah aktivitas menggunakan buku yang sesuai dengan usia dalam terapi pengobatan dan biasanya dilanjutkan dengan diskusi sesuai dengan topik masalah kehidupan yang sesuai dengan kondisi saat itu.[18] Metode bibliotherapy dianggap sebagai biaya pengobatan yang efektif sejak

│78


terjadinya Perang Dunia I dan II. Menurut Schechtman[25] banyak tentara kembali dari medan pertempuran mengalami gangguan pasca trauma. Sejak itulah, metode bibliotherapy diperluas dan pada saat ini dapat dilakukan pada semua profesi, semua kelompok usia dan sekumpulan populasi khusus. Bibliotherapy digunakan oleh konselor sekolah, pekerja sosial, perawat kesehatan, guru dan pustakawan.[25] Bibliotherapy bagi anak adalah penggunaan buku sebagai terapi untuk mendukung kebutuhan anak dalam memproses pengalaman pribadi yang sulit seperti pengalaman yang menyakitkan dan membingungkan.2 Bibliotherapy dapat diterapkan pada anak yang dihospitalisasi untuk mengetahui apa yang diharapkan anak, mengatasi rasa takut dan kesalahpahaman anak serta mendukung koping anak yang akan dilakukan pembedahan.[4] Bibliotherapy juga dapat diterapkan pada kondisi anak yang sakit atau kecatatan seperti pada anak dengan penyakit HIV-AIDS (Human Immuno Deficiency Virus-Acquired Immunodeficiency Syndrome) ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), asma, alergi, autisme, kanker, cerebral palsy, cystic fibrosis, keterlambatan perkembangan, diabetes, down syndrome, epilepsi, deformitas, gangguan pendengaran, juvenile rheumatoid arthritis, transplantasi hati, multiple sclerosis, donor organ dan jaringan dan spina bifida.[4] Dengan membaca buku atau mengeksplorasi sumber-sumber baru dari internet, anak dapat mengekspresikan perasaannya kepada orangtuanya, kemudian anak akan mempelajari strategi koping baru yang berhubungan dengan permasalahan sulit seperti bullying.[9] Pada bibliotherapy, diskusi sederhana setelah membaca dapat membantu menyelesaikan permasalahan anak.[32] Haeseler[10] menyatakan bibliotherapy dapat membantu pembentukan koping pada anak usia sekolah dasar dan disarankan buku-buku yang dapat digunakan dalam bibliotherapy pada anak sekolah dapat meliputi tema yang terkait dengan tema penyakit medis, kehilangan, abuse, penerimaan diri, dan kontribusi masyarakat. Anak usia sekolah yang telah memilki kemampuan menulis dan membaca buku dengan baik, memungkinkan anak dapat

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

memanfaatkan buku untuk memahami pengalamannya dan mengekspresikan perasaan melalui membaca dan menulis untuk menurunkan kecemasan saat hospitalisasi. 2.3 Efektivitas Bibliotherapy dalam Mengurangi Kecemasan Akibat Hospitalisasi pada Anak Usia Sekolah Apriliawati[1] menyebutkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada tingkat kecemasan anak selama hospitalisasi setelah dilakukan bibliotherapy.[1] Hasil tersebut menunjukkan bibliotherapy dapat menurunkan tingkat kecemasan anak usia sekolah yang menjalani hospitalisasi, karena bibliotherapy dapat membantu anak mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaannya yang didukung dengan hubungan yang nyaman antara perawat dan anak.[27,31] Thomson dalam Apriliawati[1] penelitiannya menggunakan bibliotherapy untuk menurunkan kecemasan pada anak kelas lima sekolah dasar, menunjukkan adanya hunbungan antara pemberian bibliotherapy dalam tingkat kecemasan pada anak usia sekolah.[1] Maydina[14] mengadakan penelitian yang bertujuan mengetahui efektivitas bibliotherapy dalam mengurangi kecemasan pada penderita kanker. Penelitian dilakukan kepada pasien yang baru divonis menderita kanker dan mengalami kecemasan. Hasilnya menunjukkan adanya penurunan kecemasan setelah mendapatkan bibliotherapy. Rata-rata skor yang diperoleh pada Hamilton Anxiety Scale maupun Death Anxiety Scale semakin menurun mulai dari pemberian treatment pertama hingga posttest dibandingkan pretest.[14] 2.4 Prosedur Bibliotherapy dalam Mengurangi Kecemasan Akibat Hospitalisasi pada Anak Usia Sekolah Bibliotherapy terdiri dari tiga tahapan yaitu identifikasi, katartis, dan wawasan mendalam (insight).[26] Penjelasan dari masing-masing tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

│79


1. Identifikasi Anak mengidentifikasi dirinya dengan karakter dan peristiwa yang ada dalam buku, baik yang bersifat nyata maupun fiktif. Bila bahan bacaan yang disarankan tepat, maka klien akan mendapatkan karakter yang mirip atau mengalami peristiwa yang sama dengan dirinya. Digunakan buku yang sesuai dengan tahapan perkembangan usia anak dan mirip dengan situasi yang dialami anak. 2. Katartis Anak menjadi terlibat secara emosional dalam kisah dan menyalurkan emosi yang terpendam dalam dirinya (melalui diskusi atau karya seni). Selain diikuti dengan diskusi, memungkinkan bagi anak yang sulit mengungkapkan perasaannya secara verbal menggunakan cara lain yaitu melalui tulisan, mewarnai, menggambar, drama dengan menggunakan boneka atau bermain peran. 3. Wawasan mendalam (insight) Anak menyadari bahwa masalah yang mereka hadapi bisa diselesaikan. Permasalahan anak mungkin saja ditemukan dalam karakter tokoh dalam buku sehingga dalam menyelesaikan masalah dengan mempertimbangkan langkah-langkah yang ada dalam cerita. Aplikasi bibliotherapy dilakukan dengan cara[29]: 1. Mengidentifikasi kebutuhan anak. Dilakukan melalui pengamatan, berbicara dengan orang tua, penugasan untuk menulis dan pandangan dari sekolah atau fasilitasfasilitas yang berisi rekam hidup anak. 2. Menyesuaikan anak dengan bahan bacaan yang tepat. 3. Memutuskan susunan waktu, sesi, serta bagaiman sesi diperkenalkan pada anak 4. Merancang aktivitas tindak lanjut setelah membaca seperti diskusi, menulis, menggambar atau drama. 5. Memotivasi anak dengan aktivitas pengenalan seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan pokok dan mulai berdiskusi tentang bacaan. Secara berkala, simpulkan apa yang terjadi secara detail. 6. Memberi jeda waktu beberapa menit agar anak dapat merefleksikan materi bacaannya.

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

7. Mendampingi anak mengakhiri terapi melalui diskusi dan menyusun daftar jalan keluar yang mungkin atau aktivitas lainnya. 2.5 Pemilihan Bahan Bacaan Anak Usia Sekolah untuk Bibliotherapy Bahan bacaan yang digunakan dalam bibliotherapy harus sesuai dengan tingkat kemampuan membaca dan pemahaman anak dan tulisannya harus menarik. Dalam memilih buku harus disesuaikan dengan umur dan tingkat perkembangan anak. Tema bacaan seharusnya sesuai dengan kebutuhan yang telah diidentifikasi dari klien dan karakter dalam buku harus dapat dipercaya serta mampu memunculkan rasa empati. Alur kisah harus realitis danmelibatkan kreativitas dalam menyelesaikan masalah.[29] Dengan memilih buku dan karakter cerita yang benar, dapat memandu anak mengalami distres atau tantangan.[8] Bahan bacaan dapat berupa buku, artikel, puisi atau majalah. Pemilihan bahan bacaan tergantung pada tujuan dan tingkat intervensi yang diinginkan.Secara garis besar, bahan bacaan dapat dibedakan menjadi dua yaitu didaktif dan imajinatif. Bahan bacaan didaktif memfasilitasi suatu perubahan dalam individu melalui pemahaman diri yang lebih bersifat kognitif, bersifat instruksional dan mendidik seperti buku ajar dan buku petunjuk, materinya adalah bagaimana suatu perilaku baru harus dibentuk atau dihilangkan, bagaimana mengatasi masalah, relaksasi dan meditasi. Bahan bacaan imajinatif atau kreasif merujuk pada presentasi perilaku manusia dengan cara yang dramatis. Kategori ini meliputi novel, cerita pendek, puisi dan sandiwara.[29] 2.6 Kerjasama dengan Berbagai Pihak dalam Pengembangan Bibliotherapy di Indonesia 1. Kerjasama dengan organisasi profesi PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) Perawat membutuhkan informasi dan kemampuan khusus dalam melaksanakan bibliotherapy. PPNI menjalankan fungsi sebagai pengembang pendidikan keperawatan berjenjang lanjut, pembina serta pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan. PPNI dapat

│80


mengambil peran penting dalam membenahi sistem pelayanan keperawatan dengan berusaha memberikan asuhan keperawatan profesional dalam upaya mengurangi kecemasan akibat hospitalisasi pada anak. PPNI dapat merencanakan, melaksanakan mengawasi bibliotherapy dengan menyelenggarakan riset, workshop dan pelatihan khusus dalam penggunaan terapeutik bibliotherapy di Indonesia. PPNI juga dapat memfasilitasi kerja sama antara pemerintah, rumah sakit atau stake holder dalam penyediaan bahan bacaan serta pelatihan pada pustakawan dan tutor yang akan membantu dalam pemilihan bahan bacaan yang terapeutik. Pengembangan advokasi perawat dalam bidang bibliotherapy yang diiringi kerjasama dari berbagai pihak diharapkan dapat mengembangkan bibliotherapy dalam praktik klinis di Indonesia. 2. Kerjasama dengan pustakawan dan tutor dalam penerapan bibliotherapy Bibliotherapy merupakan bagian dari fungsi perpustakaan, maka perlu diadakan kerjasama pihak rumah sakit dengan pustakawan dan tutor dalam upaya penerapan bibliotherapy di berbagai tatanan layanan kesehatan. Salah satu rumah sakit di Indonesia yang telah menerapkan fungsi bibliotherapy ini adalah Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Rumah sakit ini bekerjasama dengan Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI) untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam bentuk program pendidikan Hospital Schooling ‘Sekolahku’. Dalam penerapannya, tatanan pelayanan kesehatan telah memiliki perpustakaan sendiri. Koleksi buku harus tersedia dengan baik mulai dari komik, ensiklopedia, maupun buku-buku cerita. Pustakawan memilah buku yang tepat sesuai dengan kondisi penyakit anak kemudian diberikan pada anak. Setelah anak membaca buku yang telah diberikan, tutor menemani anak beserta orang tua agar ketika terdapat kesulitan dalam memahami isi bacaan dapat langsung diterangkan. Tutor juga mempersiapkan waktu yang tepat agar bacaan tidak membuat anak bosan. Biasanya anak diberikan waktu kurang dari dua jam untuk membaca buku.[5]

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

Terkadang anak memiliki keterbatasan untuk bisa membaca. Tutor dapat langsung membacakan buku atau berdiskusi dengan orang tua untuk membacakan buku. Setelah anak selesai membaca buku masuklah pada tahap inkubasi.Inkubasi merupakan kegiatan memberikan waktu sejenak (biasanya 1-2 hari) bagi anak agar bisa menelaah isi buku yang telah dibaca atau dibacakan, dengan tujuan menstimulus pikiran anak untuk dapat memikirkan hal-hal positif yang terdapat dalam isi bacaan. Tutor mengarahkan anak agar mengerti isi bacaan atau member tugas-tugas yang mengacu pada isi bacaan.[5] Pada tahap akhir, dilakukan diskusi untuk mengetahui seberapa jauh anak memahami isi bacaan. Dengan bantuan tutor, anak diharapkan dapat menerapkan hasil pengetahuan yang didapat dalam bacaan untuk diterapkan pada kehidupan nyata. 3. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Penerapan bibliotherapy pada anak‐anak harus mempertimbangkan tingkat perkembangan anak baik dari sisi perkembangan kognisi, emosi, dan sosial anak. 2. Bibliotherapy dapat menjadi salah satu terapi dalam mengurangi kecemasan anak selama hospitalisasi. 3. Bibliotherapy diharapkan dapat diaplikasikan dalam masalah-masalah kesehatan mental yang ada di Indonesia, yang umumnya berkaitan dengan kondisi medis. 4. Perlu kerjasama antara tenaga kesehatan, penyedia layanan kesehatan, pustakawan dan tutor dalam upaya mengembangkan bibliotherapy. DAFTAR PUSTAKA 1. Apriliawati. Pengaruh Bibliotherapy terhadap Tingkat Kecemasan Anak Usia Sekolah yang Menjalani Hospitalisasi di Rumah Sakit Islam Jakarta. Thesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011. 2. Austin, C. Bibiotherapy for Children 2010. Diakses dari: www.clanet.org/included/docs/handout 1.pdf.

│81


3. Bulechek, G. M et al. Nursing Interventions Classification (NIC). 5th ed. Kidlington: Elsevier Global Right; 2008. 4. Clough, J. Using Book to Prepare Children for Surgery. Pediatr Nurs PMID 16315814 [PubMed- indexed for MEDLINE] 2005 Nov: 17(9): 28-30. Diakses dari:http://www. ncbi.nlm.nih.gov. 5. Darmawan, W et al. Penerapan Biblioterapi di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. eJournal Mahasiswa Universitas Padjadjaran 2012; 1 (1). 6. Eliasa, E.I. Bibliotherapy sebagai Metode Tindakan yang Bermakna. Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta 2007. Diakses dari: Staff.uny.ac.id. 7. Foss, E. Bibliotherapy: Helping Children Cope with Emotional and Developmental Distress through Books. Journal of University of Maryland; 2010. 8. Goddard, A.T. Children’s books for use in bibliotherapy. Pediatric Health Care 2011; 25(11): 57-61. 9. Gregory, K E dan Judith A.V. Bibliotherapy: A Strategy to Help Students With Bullying. The Journal of School Nursing DOI: 10.1177/10598405040200030201 J Sch Nurs 2004; 20: 127. 10. Haeseler, L.A. Biblio-Therapeutic Book Creations by Pre-Service Student Teachers: Helping Elementary School Children Cope. Journal of Instructional Psychology 2009 Jun; 36 (2) : 113118. 11. Hidayat, A.A. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta: Salemba Medika; 2005. 12. Hockenbery, M. J et al. Wong’s Essential Pediatric Nursing. 8th edition. St. Louis: Mosby Elsevier; 2009. 13. Judarwanto, W. Permasalahan Umum Kesehatan Anak Usia Sekolah. Disampaikan pada Seminar Ilmiah Populer Kesehatan Anak Usia Sekolah; 2005. Available form: URL: http://www.pdpersi.co.id. 14. Maydina, T. Efektivitas Bibliotherapy untuk Mengurangi Kecemasan pada Pendderita Kanker [skripsi]. Fakultas Psikologi. Universitas Katolik Soegijapranata Semarang; 2009. 15. Mu’afifah, K. Pengaruh Clay Therapy terhadap Kecemasan Akibat Hospitalisasi pada Pasien Anak

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

16. 17.

18.

19.

20.

21. 22.

23.

24.

25.

26.

27.

UsiaPrasekolah di RSUD Banyumas [skripsi]. Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto; 2013. Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2005. Nursalam, dkk. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak untuk Perawat dan Bidan. Jakarta: Salemba Medika; 2005. Oppenheimer, C. Use of bibliotherapy as an adjunctive therapy with bereaved children [grant proposal]. California State University; 2010. Pardeck, J. K. 2005. Using children’s books as an approach to enhancing our understanding of diability. Journal of Social Work in Disability and Rehabilitation 2005; (4): 77-85. Pardeck, J.T. Bibliotherapy: an innovative approach for helping childrenEarly Child Development and Care. H.W. Wilson – EDUC1995; (106): 83-85. Potts, N. L et al. Pediatric Nursing: Caring for Children and Their Families. Canada: Delmar Learning; 2007. Prater, M.A; Johnstun, M.L; Tina T.D; Johnstun, M.R.Using Children's Books as Biblioteraphy for At-Risk Students: A Guide for Teachers. Preventing School Failure2006; 50 (4) : 5-13. Rivera B. R. et al. The pediatric cancer hospitalization experience: reality coconstructed. Journal of Pediatric Oncology Nursing 2008; 25(6): 340530. Setiowati, E.A. Mengembangkan Keterampilan Sosial dan Mengelola Emosi bagi Anak Melalui Biblioterapi. Prosiding Seminar Nasional Psikologi (SEMPSI); 2011; Semarang Universitas Islam Sultan Agung. Shechtman, Z. Treating Child and Adolescent Aggression Through Bibliotherapy. The Springer Series on Human Exceptionality. Springer Science Business Media. 2009. DOI 10.1007/978-0-387-09745-9_9. Shinn, M. Content analysis of bibliotherapeutic books on childhood depression [dissertation]. Walden University; 2007. Stuart, G.W & Laraia. Principle and Practice of Psychiatric Nursing 8th

│82


28. 29. 30.

31.

Edition. St Louis: Elsevier Mosby; 2005. Supartini, Yupi. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC; 2004. Suparyo, Y. Bagaimana menerapkan biblioterapi 2010. Diakses dari: http://www.kombinasi.net. Utami, Yuli. 2014. Dampak Hospitalisasi terhadap perkembangan Anak. Jurnal Ilmiah WIDYA 2014 Jul; 2 (2). Walsh, Tina. The Power of Book : Books can help improve the confidence and self-esteem of people with mental health conditions. Nursing Standard RCN Publishing Company 2010; 24 (49).

│BIMIKI | Volume 4 No 2 | Juli - Desember 2016

32. White, J. 2008. Children’s book on bullying: best book for elementary students about bullying 2008: http://www.suite101.com. 33. Wijayanti, Pradita Dwi. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Regresi Anak Prasekolah Saat Hospitalisasi di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta [skripsi]. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2009.

│83


www.bimkes.org

Organized by Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia

Supported by

Universitas Brawijaya

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi KEMENDIKBUD


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.