BIMGI vol 4 no 1

Page 1


Susunan Pengurus Mitra Bestari

Tim Redaksi

Prof. Dr. dr. Kusharisupeni Djokosujono, Msc (Universitas Indonesia)

Yuliana Noor Setiawati Ulvie, S.Gz., M.Sc (Universitas Muhammadiyah Semarang)

dr. H.Engkus Kusdinar Achmad, MPH (Universitas Indonesia)

Muhammad Iqbal Basagili, S.Gz. MPH (Universitas Darussalam Gontor)

Diana Nur Afifah S.TP.,Ph.D (Universitas Diponegoro)

Lintang Purwara Dewanti, S.Gz., M.Gz. (Universitas Muhammadiyah Prof Dr. Hamka)

Rahayu Indriasari, SKM., MPHCN., PhD (Universitas Hasanuddin Makasar)

Nur Hikmawaty Universitas Hasanuddin Makasar

Aysha Ayunda Universitas Muhammadiyah Semarang

Ladyamayu Pinasti Universitas DarussalamGontor

Mila R Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka

Syifa Nala Universitas Diponegoro Maitri Prasetyo Universitas Indonesia Qisty Afifah Universitas Indonesia

Tim Humas dan Publikasi Aisyah Amini Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka

Sutamara L.N Universitas Hasanuddin

Pimpinan Umum

Makasar

Amalia Shabrina Universitas Indonesia

Sekretaris Alfu Nikmatul Laily Universitas Indonesia

Revina F. N.P Institut Pertanian Bogor Meica Else H.P STIK Carolus Dina Muslimah A Universitas Darussalam Gontor

Fadzila Musanti Institut Pertanian Bogor

Bendahara Angger Tarras R. Universitas Muhammadiyah Prof.DR. Hamka

Dinda Tri Lestari Universitas Hasanuddin Makasar

Tim Layout dan Desain Iklimatul Khoeriah Institut Pertanian Bogor Intan Nabiela C Universitas Muhammadiyah Semarang

Pimpinan RedaksI Nuria Wictania UniversitasMuhammadiyah Semarang

i


Daftar Isi

ISSN: 2303 - 3932

Susunan Pengurus ....................................................................................................................................................................... i Daftar Isi ......................................................................................................................................................................................... ii Petunjuk Penulisan ...................................................................................................................................................................iii Sambutan Pimpinan Umum ................................................................................................................................................... x

PENELITIAN Aplikasi Nanoenkapsulasi Mineral Besi (Fe) Dan Zinc (Zn) Nur Ahmad Habibi, Prettika Juhan Arini, Adisty Nurul Husna, Dziky Muhammad, Citra Tristi Utami ............................................................................................................................................................................................................. 1 Kadar Isoflavon Dan Pati Resisten Beras Tiruan Instan Tepung Komposit (Beras, Gadung Dan Kedelai) Sebagai Makanan Fungsional Penderita Diabetes Mellitus Rizal Yahya, Arif Sabta Aji, Dwi Yuwono Kristanto, Rois Alfarisi ............................................................................................................................................................................................................. 6

ADVERTORIAL Nutrient Profiling: Peran Terhadap Kesehatan Masyarakat Alfu Nikmatul Laily .......................................................................................................................................................................................................... 14

ARTIKEL PENYEGAR Lupin: The Alternative Food Stuff For Hipercholesterolemia, Vegetarian, And Autism Anita Anggraeni, Revina Febri Nadiasari Putri,Shelvi Sasmita .......................................................................................................................................................................................................... 18 Virus Zika, Bukan Virus Baru Yang Mematikan Aysha Ayunda Akbar, Nur Hikmawaty Syarifuddin .......................................................................................................................................................................................................... 24

TINJAUAN PUSTAKA Mengoptimalkan Performa Atlet Melalui Pengaturan Indeks Glikemik Pangan Bibi Ahmad Chahyanto .......................................................................................................................................................................................................... 28 Smootrops: Minuman Paduan Buah Tropis Berbasis Whole Food Dengan Potensi Antioksidan Sebagai Pencegah Penyakit Degeneratif Riska Amelia Mulyo, Indah Widia Ningsih, Abdul Aziz .......................................................................................................................................................................................................... 34

ii


Petunjuk Penulisan Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) Indonesian Nutrition Student Journal Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMGI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan kelompok bidang ilmu gizi dasar, ilmu gizi terapan, gizi masyarakat, gizi klinis, pendidikan gizi, biokimia gizi, ilmu pangan, sanitasi dan ketahanan pangan, nutrigenomik, serta artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu gizi dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa ilmu gizi.

Kriteria Artikel 1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu gizi, ilmu pangan, kesehatan masyarakat, dan ilmu gizi dasar. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang, abstrak, dan teks (pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan saran). 2. Tinjauan pustaka: tulisan artikel review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu dalam dunia gizi, ditulis dengan memerhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca. 3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Artikel ini ditulis sesuai pemeriksaan, analisis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi ilmu gizi. Format terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan. 4. Artikel penyegar ilmu gizi: artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik-topik yang sangat menarik dalam dunia pangan, gizi, dan atau kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau gizi yang perlu diketahui oleh pembaca. 5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia pangan, gizi dan kesehatan, mulai dari ilmu dasar gizi, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang pangan dan gizi, lapangan kerja sampai karir dalam dunia pangan dan gizi. Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa ilmu gizi. 6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan analisis atau tatalaksana yang ditulis secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa ilmu gizi).

iii


7. Advertorial: artikel singkat mengenai ilmu pangan dan gizi, kesehatan dan atau kombinasi terbaru, beserta penelitian, dan kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka. Petunjuk Bagi Penulis 1.

BIMGI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain.

2.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar, jelas, lugas, serta ringkas. Naskah diketik di atas kertas A4 dengan dua (2) spasi, kecuali untuk abstrak satu (1) spasi. Ketikan tidak dibenarkan dibuat timbal balik. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Batas atas, bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2.5 cm. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman.

3.

Naskah harus diketik dengan komputer dan harus memakai program Microsoft Word.Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksibimgi@bimkes.org dengan menyertakanidentitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

4.

Untuk

keseragaman

penulisan,

khusus

naskah

Penelitian

asli

harus

mengikuti

sistematikasebagai berikut: 1.

Judul karangan (Title)

2.

Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution)

3.

Abstrak (Abstract)

4.

Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (Introduction) - Metode (Methods) - Hasil (Results) - Pembahasan (Discussion) - Kesimpulan - Saran

5. 5.

Daftar Rujukan (Reference)

Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan pustaka harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1.

Judul

2.

Nama penulis dan lembaga pengarang

3.

Abstrak

4.

Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas) - Pembahasan - Kesimpulan - Saran

iv


5. 6.

Daftar Rujukan (Reference)

Judul ditulis dengan huruf besar, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan anak judul. Naskahyang telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan berupa catatankaki.

7.

Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikutidengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis.Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email.

8.

Abstrak harus dibuat dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak tidakmelebihi 200 kata dan diletakkan setelah judul makalah dan nama penulis.

9.

Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak lebih dari 5 kata, dan sebaiknya bukan merupakan pengulangan kata-kata dalam judul.

10. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 11. Tabel 12. Gambar 13. Metode statistik 14. Ucapan terima kasih 15. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan pemunculandalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat 1. Artikel dalam jurnal i. Artikel standar Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun 1;124(11):980-3. atau Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;124:980-3.

Penulis lebih dari enam orang Parkin Dm, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br j Cancer 1996;73:1006-12. ii. Suatu organisasi sebagai penulis The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise stress testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996;164:282-4. iii. Tanpa nama penulis Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15.

v


iv. Artikel tidak dalam bahasa Inggris Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996;116:41-2. v. Volum dengan suplemen Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994;102 Suppl 1:275-82. vi. Edisi dengan suplemen Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996;23(1 Suppl 2):89-97. vii. Volum dengan bagian Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6. viii. Edisi dengan bagian Poole GH, Mills SM.One hundred consecutive cases of flap laceration of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8. ix. Edisi tanpa volum Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4. x. Tanpa edisi atau volum Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33. xi. Nomor halaman dalam angka Romawi Fischer

GA,

Sikic

BI.Drug

resistance

in

clinical

oncology

and

hematology.Introduction. Hematol Oncol Clin North Am 1995 Apr;9(2):xi-xii. 2. Buku dan monograf lain i. Penulis perseorangan Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY): Delmar Publishers; 1996. ii. Editor, sebagai penulis Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York:Churchill Livingstone; 1996. iii. Organisasi dengan penulis Institute of Medicine (US).Looking at the future of the Medicaid program. Washington: The Institute; 1992. iv. Bab dalam buku Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: patophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New York: raven Press; 1995.p.465-78.

vi


v. Prosiding konferensi Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, Rienhoff O, editors.MEDINFO 92.Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992. vi. Makalah dalam konferensi Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical neurophysiology. Proceedings

of

the

10th

International

Congress

of

EMG

and

Clinical

Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam: Elsevier; 1996.Sep 610; Geneva, Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p.1561-5. vii. Laporan ilmiah atau laporan teknis 1.

Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor: Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed duringskilled nursing facility stays. Final report. Dallas (TX): Dept. of Health andHuman Services (US), Office of Evaluation and Inspection; 1994 Oct. Report No.:HHSIGOEI69200860.

2.

Diterbitkan oleh unit pelaksana : Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services research: workforce and education issues. Washington: National Academy Press; 1995.Contract no.: AHCPR282942008.Sponsored by the Agency for Health CarePolicy and research.

viii. Disertasi Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington univ.; 1995. ix. Artikel dalam Koran Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissionsannually. The Washington Post 1996 Jun 21;Sect A:3 (col. 5). x. Materi audiovisual HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): MosbyYearbook; 1995. 3. Materi elektronik i.

Artikel journal dalam format elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24 screens]. Available from: URL: HYPERLINK http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm

vii


ii.

Monograf dalam format elektronik CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, Maibach H. CMEA Multimedia Group, producers.2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995.

iii.

Arsip komputer Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando (FL): Computerized Educational Systems; 1993.

viii


Sambutan Pimpinan Umum Salam Sehat Gizi Seimbang untuk seluruh mahasiswa Gizi Indonesia Syukur Alhamdulillah, kami panjatkan kehadirat Allah SWT karna atas izin dan ridho- Nya jurnal elektronik BIMGI Vol.4 No.1 dapat terbit di bulan Februari ini. Tak lupa shalawat serta salam kita junjungkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang telah banyak mengajari kita sampai kita berada di zaman terang benderang seperti ini. BIMGI (Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia) merupakan jurnal elektronik yang berisikan artikel-artikel ilmiah dari mahasiswa gizi yang pertama dan satu-satunya di Indonesia. BIMGI di tahun ke empat ini, telah menerbitkan 6 edisi e-journal yang dapat diakses secara free di website www.bimkes.org. Seperti edisi sebelumnya, BIMGI Vol. 4 No.1 memiliki 7 artikel yang telah melewati proses penyeleksian secara ketat oleh dewan redaksi BIMGI. Artikel yang berkualitas merupakan satu dari beberapa tujuan utama kami dalam menyajikan jurnal elektronik BIMGI ini. Maka dari itu, kami berusaha sangat keras untuk menerbitkan artikel-artikel ilmiah yang berkualitas. Sehingga mahasiswa gizi yang mengirimkan artikel ke BIMGI juga merasa puas bahwa tulisan ilmiahnya memiliki wadah publikasi, serta mahasiswa gizi yang membaca terbitan jurnal elektronik BIMGI merasa terpenuhi keingintahuannya menganai informasi-informasi seputar gizi. Kami berharap dengan terbitnya BIMGI Vol.4 No.1 ini dapat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi mahasiswa gizi Indonesia. Keberhasilan dan kesuksesan terbitanya BIMGI ini dikarenakan banyak faktor. Satu diantaranya adalah dukungan dari semua pihak terkait. Untuk itu, kami ucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah terlibat baik langsung ataupun tidak langsung dalam membantu penerbitan e-journal ini. Kritik dan saran terhadap BIMGI sangat diperlukan untuk menciptakan BIMGI yang lebih baik lagi kedepannya.

Pimpinan Umum

Amalia Shabrina

ix



Penelitian

APLIKASI NANOENKAPSULASI MINERAL BESI (FE) DAN ZINC (ZN) Nur Ahmad Habibi, Prettika Juhan Arini, Adisty Nurul 1 Husna, Dziky Muhammad, Citra Tristi Utami, 1

Nutrition Science Faculty, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia E-mail : nurahmadhabibi95@gmail.com ABSTRAK Latar Belakang :Permasalahan gizi kurang pada bayi dan balita di Indonesia saat ini masih cukup tinggi. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Indonesia menunjukkan prevalensi gizi kurang pada bayi dan balita mencapai 19,6 %. Defisiensi zat besi (Fe) dan zink (Zn) merupakan permasalahan gizi yang sering ditemui pada bayi dan balita, namun pemberian Fe dan Zn melalui fortifikasi maupun suplementasi secara bersamaan untuk mengatasi permasalahan tersebut belum bisa dilakukan karena dapat menimbulkan interaksi yang dapat menurunkan bioavabilitas dari salah satu mineral. Nanoenkapsulasi merupakan teknologi untuk melindungi zat dari interaksi sebelum masuk dalam sel target serta meningkatkan bioavabilitas zat yang dibawanya. Tujuan Penelitian :Mempelajari pembuatan nanoenkapsulasi mineral Fe dan Zn dengan teknologi sonikasi sebagai alternatif sediaan fortifikasi maupun suplementasi Fe dan Zn. Metode : Penelitian ini meliputi 3 tahap kegiatan yaitu: (1) pembuatan nano mineral Fe dan Zn dengan metode sonikasi pada intensitas 80% selama 1-5 jam; (2) formulasi emulsi nano Fe dan Zn; (3) analisis produk yang meliputi stabilitas (in vivo) dan bioavaibilitas (in vitro). Hasil :Ukuran partikel produk konsentrat nano mineralFe dan Zn yang terbaik diperoleh dengan metode sonikasi dalam waktu 2 jam yaitu kurang dari 100 nm dengan kandungan Fe sebesar 44.579,31 ppm dan Zn 30.555,25 ppm. Produk serbuk nano mineral Fe dan Zn terbaik dibuat dengan menggunakan penyalut maltodekstrin (1:1) dengan metode pengeringan menggunakan spray dryer. Hasil stabilitas produk, tidak ada perubahan pada warna, bau ataupun kristal yang terbentuk, meskipun sudah disimpan selama 1 bulan. Bioavailabilitas (in vitro) Fe adalah sekitar 15.48 % hingga 18.55 % dan Zn adalah antara 7.1 % hingga 8.35%. selain itu nanoenkapsulasi menunjukkan stabilitas rasa, aroma dan warna. Kesimpulan :Nanoenkapsulasi mineral fe dan zinc mempunyai stabilitas pada warna, bau, dan pembentukan Kristal cukup baik, dan nanoenkapsulasi mempunyai biavailabilitas lebih tinggi dibandingkan mineral fe dan zn biasa. Kata kunci : Masalah gizi kurang, mineral Fe, mineral Zn, nanoenkapsulasi ABSTRACT Background :Child nutrition problem in Indonesia is really prevalent. Based on National Basic Medical Research (Riskesdas), under nutrition prevalent was 19.6%. Iron and zinc deficiency are the most frequent nutrition problems found in children, but the current program, supplementation and fortification, can not combat iron and zinc deficiency. There is an interaction between iron and zinc if they are given at the same period of time which can decrease the bioavailability of each mineral. Nano-encapsulation is the technic to cover the nutrient and prevent from any interaction with other nutrients before arriving at the target cells, this nano-encapsulation can also increase the bioavailability of the nutrient covered on. Method : This research is the study about nano-encapsulation using sonication method as the alternative solution for solving child nutrition problem beside supplementation and fortification of iron and zinc. There are three steps in this study: (1) the formation of nano mineral (iron and zinc) using 80% intensity of sonication for 1-2 hours; (2) formulation of nano iron and zinc emulsion; (3) product analysis of stability (in vivo) and bioavailability (in vitro). Result :The particle nano iron and zinc concentrate best size using the sonication method is less than 100 nm, it contains iron 44,579,31 and zinc 30,555.25 ppm. Nano iron and zinc powder is covered with maltodextrin (1:1) using spray dryer. Then the stability of products, there

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari –Juli 2016

1


was no alteration of product color, odor, and no formation of crystal after 1 month shelf life. The bioavailability (in vitro) iron is approximately 15.48-18.55% and zinc 7.1-8.35%. Conclusion :nanoencapsulated mineral Fe and Zn have a good stability of colour, odor, and crystal formation. Nanonencapsulated minerals have a higher bioavailability than microencapsulated mineral. Keywords:Under nutrition, iron mineral, zinc mineral, nano-encapsulation

1. PENDAHULUAN Prevalensi gizi kurang di Indonesia saat ini masih cukup banyak, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi balita gizi kurang dari 17,9 % pada tahun 2010 menjadi 19,6 % pada tahun 2013. Dimana angka tersebut belum mencapai target Millineum Development Goals Indonesia pada tahun 2015 yaitu menurunkan prevalensi gizi 1 kurang dibawah 17,5 %. Anak yang mengalami masalah gizi kurang biasanya mengalami defisiensi mineral Fe dan Zn dalam tingkat yang berat, sehingga diperlukan intervensi yang efektif untuk mengatasi masalah kekurangan mineral Fe dan Zn, intervensi tersebut umunya dapat dilakukan melalui fortifikasi mineral Fe dan Zn dalam bahan 2 makanan yang dikonsumsinya. Namun, pemberian Fe dan Zn secara bersamaan untuk mengatasi defisiensi tersebut tidak bisa dilakukan, dikarenakan Interaksi dua mineral tersebut dapat menyebabkan interaksi dan penurunan bioavailabilitas salah satu mineral. Selain itu, penambahan Fe dalam bahan makanan dapat menurunkan daya terima makanan karena bau khas dan warna makanan menjadi kurang menarik. Oleh karena itu, diperlukan teknologi yang tepat untuk mengatasi permasalahan ini yaitu meningkatkan bioavailabilitas dan daya terima dengan proses enkapsulasi. Saat ini telah berkembang pesat teknologi nanoenkapsulasi, yaitu sebuah teknologi untuk mengemas sebuah partikel kecil dengan ukuran 10-1000 nm pada materi inti dengan sebuah bahan penyalut sehingga membentuk kapsul yang dapat melindungi dari interaksi sebelum masuk dalam sel target serta meningkatkan bioavabilitas didalamnya hingga sampai pada sel target dimana teknologi ini telah banyak digunakan pada bidang industri 4,5 farmasi dan makanan.

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari –Juli 2016

Dengan penjelasan demikian, Peneliti ingin mengetahui pengaruh pembuatan nanoenkapsulasi mineral Fe dan Zn pada bioavailabilitas dan stabilitasnya, sehingga nantinya dapat menjadi sebagai solusi untuk mengatasi defisiensi Fe dan Zn. 2. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian eperimental secara in vivo dan in vitro yang dilakukan di Laboratorium Terpadu Universitas Diponegoro. Dalam penelitian ini, bahan yang digunakan diantaranya : larutan FeSO4, ZnSO4 danMaltodekstrin. Kemudian peralatan yang digunakan 6 diantaranya gelas kimia, dan sonikator. Penelitian ini meliputi 3 tahap kegiatan yaitu: (1) pembuatan nano mineral Fe dan Zn dengan metode sonikasi pada intensitas 80% selama 1-5 jam.Sonikator diatur pada intensitas 80% ketika materi dimasukkan dan ditambahkan nitrogen dalam bentuk cair untuk mengontrol suhu 0 pada 20-25 C. Tahap ini dilakukan untuk disintegrasi materi, diultrasonikasi selama sekitar 1 jam dengan daya 18 W. Langkah selanjutnya diperlukan sonikasi satu kali lagi selama 1,5 jam dengan penambahan elektrolit. (2) formulasi emulsi FeSO4 dan ZnSO4. Kandungan Fe dan Zn diuji menggunakan metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) dilakukan pada hari penyimpanan ke-0 dengan panjang gelombang 248.2 nm untuk Fe dan 213.9 nm untuk Zn. Uji ketengikan menggunakan uji TBA (Thiobarbituric Acid) dilakukan 2 kali, yaitu pada hari penyimpanan ke-0 dan hari penyimpanan ke-7 pada panjang gelombang 528 nm, keduanya diujikan di Laboratorium Terpadu Universitas Diponegoro (3) analisis produk yang meliputi stabilitas (in vivo) dan bioavaibilitas (in vitro) dengan persamaan 6 RBV (Reactive Bioavailability Value). Pembuatan nano mineral Fe dan Zn dilakukan dengan menggunakan teknologi sonikasi. Penggunaan gelombang

2


ultrasonik (sonikasi) dalam pembentukan materi berukuran nanosangat efektif. Gelombang ultrasonic merupakan gelombang longitudinal yang memiliki frekuensi 20 kHz keatas. Gelombang ultrasonic merupakan rambatan energi dan momentum mekanik, sehingga membutuhkan medium untuk merambat sebagai interaksi dengan molekul. Medium yang digunakan antaralain padat, cair dan 6 gas. Enkapsulasi Fe dan Zn menggunakan maltodekstrin (1:1) dalam akuades. Proporsi Fe dan Zn terhadap bahan penyalut adalah 5% dan 7%. Proses ini dimulai dengan pencampuran maltodekstrin dan akuades dengankonsentrasi 10%. Setelah itu ditambahkan mineral FeSO4 dan ZnCl2 dan selanjutnya dikeringkan menggunakan spray dryer. Selanjutnya, stabilitas dan bioavailabilitas Fe dan Zn yang telah dienkapsulasi diuji. Bioavailabilitas mineral diuji dengan menggunakan tikus jantan Sprague Dawley. Sebelum diberikan perlakuan, dilakukan adaptasi terhadap tikus selama 5 hari dan selama waktu adaptasi ini tikus diberi pakan standar AOAC. Tikus dibagi ke dalam 4 kelompok dan setiap kelompok berisi 6 ekor tikusUji stabilitas produk dilakukan dengan mengamati perubahan warna, bau, dan 6,7 pembentukan kristal. Data yang diperoleh ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif, uji beda dan ANOVA. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap daya terima, yang diuji dengan uji hedonik, maka dilakukan analisis ANOVA. Untuk mengetahui keberadaan perbedaan pengaruh perlakuan terhadap masing-masing kelompok tikus perlakuan, maka akan 8 dilakukan uji beda. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1) Nanoenkapsulasi Fe dan Zn

Bahan penyalut yang digunakan dalam penelitian ini adalah maltodekstrin dan proporsi Fe dan Zn : bahan penyalut adalah 1:1. Rendemen FeSO4 sekitar 68.21–72.3%, sedangkan rendemen ZnSO4 cenderung lebih tinggi yaitu sekitar 68.25– 79.04%. 2) Stabilitas Nanoenkapsulasi Mineral Fe dan Zn Pada uji TBA indikator yang digunakan untuk menentukan stabilitas Fe dan Zn yang dienkapsulasi didasarkan pada adanya perubahan warna, bau, dan pembentukan kristal. Berdasarkan hasil pengamatan organoleptik terhadap mineral yang telah dienkapsulasi menunjukkan bahwa dalam satu bulan lebih penyimpanan tidak terjadi perubahan baik dari segi warna, bau, maupun pembentukan kristal. Hal ini menunjukkan bahwa nano mineral Fe dan Zn stabil dalam suhu ruang. 3) Bioavailabilitas nano mineral Fe dan Zn Bioavailabilitas Fe dan Zn adalah jumlah mineral tersebut yang dapat tersedia, dapat dimanfaatakan dan dapat diserap oleh tubuh. Analisis bioavailabilitas Fe dan Zn dengan metode in vitro merupakan simulasi dari sistem pencernaan manusia pada traktus gastrointestinal. Pengujian bioavailabilitas mineral secara in vitro hanya menunjukkan jumlah mineral yang dapat diserap, bukan sampai pada tahap penggunaan mineral tersebut.Bioavailabilitas nano mineral Fe dan Zn ditunjukkan dalam tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa bioavailabilitas nanoenkapsulasi mineral Fe adalah 15.48–18.55% dan Zn 7.1–8.35%. Sementara itu, tabel 2 menunjukkan bioavailabilitas mineral dalam ukuran biasa, untuk mineral Fe adalah 16.09 %, dan zinc 6.0- 6.08. Hasil tersebut menunjukkan bioavailabilitas nanoenkapsulasi mineral Fe dan Zn lebih tinggi dibandingkan mineral dalam ukuran biasa.

Tabel 1. Bioavailabilitas nanoenkapsulasidan mineral Fe dan Zn Bioavailabilitasna Bioavailabilitas Bioavailabilitas Bioavailabilitas noenkapsulasi fe nanoenkapsulasizin fe (%) zinc (%) (%) c (%) Konsentrasi 18.55 7.1 16.09 6.08 mineral 7% Konsentrasi 15.48 8.35 16.09 6,05 mineral 5%

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari –Juli 2016

3


B. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini diketahui bahwa stabilitas nanoenkapsulasi mineral Fe dan Zn cukup baik, hal ini dikarenakan enkapsulasi dapat melindungi zat aktif yang ada di dalam kapsul. Keadaan tersebut dapat menurunkan terjadinya agregasi atau 6 kerusakan materi inti. apabila diaplikasikan dalam tubuh nanoenkapsulasi dapat 6 membawa zat aktif ke dalam sel target. Dalam penelitian ini diketahui bahwa bioavailabilitas mineral Fe dan Zn terenkapsulasi lebih tinggi dibandingkan mineral Fe dan Zn dalam ukuran biasa.Mineral Fe dan Zn terenkapsulasi memiliki bioavailabilitas 15.48–18.55% untuk Fe dan Zn 7.1–8.35%. kemudian untuk mineral Fe dan Zn biasa memiliki nilai bioavailabilitas sebesar 16.09 % untuk Mineral Fe, dan 6,0 – 6,08 % untuk mineral Zinc. Perbedaan tingkat bioavailibilitas antara mineral terenkapsulasi dengan biasa disebabkan karena ukuran nanoenkapsulasi lebih kecil dibandingkan 9 mineral biasa, yaitu 10-1000 nm. Ukuran ini akan mempermudah penyerapan dikarenakan sesuai dengan ukuran system 5 vesikuler. Pengiriman senyawa bioaktif apapun di dalam tubuh secara langsung 10-11 dapat dipengaruhi ukuran partikel. Oleh karena itu, nanoenkapsulasi berpotensi untuk meningkatkan bioavailabilitas, meningkatkan kontrol pelepasan substansi aktif dan mencapai target dari senyawa bioaktif dengan tepat dalam cakupan yang 12 lebih luas dari mikroenkapsulasi. Tingginya bioavailabilitas mineral Fe dan Zn terenkapsulasi juga mengindikasikan rendahnya interaksi antara Fe dan Zn. Dengan demikian dua mineral tersebut dapat lebih mudah dicerna dibandingkan Fe dan Zn dalam ukuran 6 biasa. 4. KESIMPULAN Nanoenkapsulasi mempunyai stabilitas pada warna, bau, dan pembentukan Kristal cukup baik, dan nanoenkapsulasi mempunyai biavailabilitas lebih tinggi dibandingkan mineral Fe dan Zn biasa. 5. SARAN Dibutuhkan penelitian lanjutan mengenai pengaruh nanoenkapsulasi

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari –Juli 2016

mineral Fe dan Zn secara in vivo pada balita gizi kurang. DAFTAR PUSTAKA 1. Riset Kesehatan Dasar. Hasil RISKESDAS 2013. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2. Lilik Kustiyah. Mikroenkapsulasi Mineral Besi Dan Seng Dalam PembuatanMakanan Tambahan Untuk Balita Gizi Kurang. Jurnal Llmu Pertanian Indonesia, Desember 2011, Him. 156-163 3. Edwin Ridwan. Kajian Interaksi Zat Besi Dengan Zat Gizi Mikro Lain Dalam Fortifikasi. Penel Gizi Makan 2012, 35(1): 49-54 4. Gouin, S. Microencapsulation: industrial appraisal of existing technologies and trends. Trends in Food Science and Technology,2004. 15(7–8), 330–347. 5. Couvreur, P., Dubernet, C., & Puisieux, F. Controlled drug delivery with nanoparticles: current possibilities and future trends. European Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics, 1995. 41, 2–13. 6. Ezhilarasi, P.N., Karthik, P., Chhanwal, N., dan Anandharamakrishnan, C. Nanoencapsulation Techniques for Food Bioactive Components : A Review. J Food Bioprocess Technol. Food and Bioprocess Technology. 2012.Volume 6, Issue 3, pp628-647 7. Naufalin, R., et al."Nanoenkapsulan Antioksidan Alami Berbahan Dasar Buah Kecombrang (Nicolaia speciosa) Fakultas pertanian Unsoed.2010. 8. Dahlan MS. Statistik untuk kesehatan dan kedokteran. 3, editor. Jakarta: Salemba Medika; 2010. 9. Konan, Y. N., Gurny, R., & Allémann, E. Preparation and characterization of sterile and freeze-dried sub-200 nm nanoparticles. International Journal of Pharmaceutics, 2002. 233, 239–252. 10. Hughes, G. A. Nanostructure-mediated drug delivery. Nanomedicine: Nanotechnology, Biology and Medicine, 2005. 1(1), 22–30. 11. Kawashima, Y. Nanoparticulate system for improved drug delivery. Advanced Drug Delivery Reviews,2001. 47, 1–2. 12. Mozafari, M. R., Flanagan, J., MatiaMerino, L., Awati, A., Omri, A.,

4


Suntres, Z. E., & Singh, H.. Recent trends in the lipidbased nanoencapsulation of antioxidants and their role in foods. Journal of the Science of Food and Agriculture,2006. 86(13), 2038–2045.

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari –Juli 2016

5


Penelitian

KADAR ISOFLAVON DAN PATI RESISTEN BERAS TIRUAN INSTAN TEPUNG KOMPOSIT (BERAS, GADUNG DAN KEDELAI) SEBAGAI MAKANAN FUNGSIONAL PENDERITA DIABETES MELLITUS Rizal Yahya, Arif Sabta Aji, Dwi Yuwono Kristanto, Rois 1 Alfarisi ABSTRAK 1 Program Studi Ilmu Gizi, Universitas Brawijaya E-mail : sabtaaji@gmail.com

ABSTRAK Pendahuluan : Sebagai makanan pokok beras putih memiliki nilai indeks glikemik yang tinggi sehingga dapat meningkatkan kadar gula dalam darah yang memicu terjadi dibetes mellitus. Untuk menekan konsumsi beras putih yang masih tinggi, dilakukan program diversifikasi pangan salah satunya dengan membuat beras tiruan yang terbuat dari tepung komposit dari tepung beras, tepung gadung dan tepung kedelai. Kelebihan dari beras tiruan tersebut yaitu memiliki kandungan indeks glikemik rendah sehingga memberi efek yang baik bagi penyakit diabetes mellitus. Selain dari indeks glikemik rendah, konsumsi isoflavon dan pati resisten juga dapat memberikan efek yang baik bagi penderita diabetes mellitus. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar isoflavon dan pati resisten pada beras tiruan instan tersebut. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan terlebih dahulu dilakukan penelitian eksperimental untuk mendapatkan produk beras tiruan instan. Hasil : Kadar isoflavon pada beras tiruan dengan penambahan tepung kedelai adalah 105,15 mg/100 g dan tanpa penambahan tepung kedelai adalah 0 mg/100 g, kadar pati resisten pada beras tiruan dengan penambahan tepung kedelai adalah 3,93 g/100 g dan tanpa penambahan tepung kedelai adalah 2,99 g/100 g. Kesimpulan : Beras tiruan dengan penambahan tepung kedelai memilki kelebihan dibanding beras tiruan dengan tanpa penambahan tepung kedelai, karena selain terdapat pati resisten juga terdapat isoflavon. Kata kunci : Beras Tiruan Instan, Isoflavon, Pati Resisten ABSTRACT Introduction : White rice as a staple food that had a high glycemic index value so it became one causes of diabetes mellitus. To reduced the consumption of rice that is still high, carried food diversification program by made artificial rice that was made from composite flour from rice flour, yam flour and soy flour. The advantages of the artificial rice that contained low glycemic index, make it useful in treating diabetes mellitus. Beside of a low glycemic index, foods containing isoflavones and resistant starch also can treat diabetes mellitus. Aims : Determine levels of isoflavones and resistant starch content in the instant artificial rice. Methods : Descriptive research with first performed experimental research to got instant artificial rice product. The observational data of artificional rice instant obtained descriptively by described data from a table results of observations and compared with the literature. Result : the level of isoflavones on artificial rice the addition of soy flour was 105,15 mg/100 g and the resistant starch content of the artificional rice with the addition of soy flour was 3,39 g/100g and the artificial rice without the addition soy flour was 2,99 g/100 g. Conclusion : Artificial rice with addition soy flour has adventages more than artificial rice without addition with soy flour, because besides there contained resistant starch also contained isoflavones. Keywords : Instant Artificial Rice, Isoflavones, Resistant Starch 1. PENDAHULUAN Beras merupakan sumber karbohidrat utama yang dikonsumsi lebih (1) dari 90% penduduk Indonesia. Namun untuk konsumsi bahan makanan sumber

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari –Juli 2016

karbohidrat lain selain beras masih sangat kurang, hal ini dikarenakan orang Indonesia masih menganggap bahwa makanan pokok hanya berupa beras. Namun, sebenarnya masih banyak sumber makanan pokok lain yang dapat kita manfaatkan sebagai

6


makanan fungsional yang nilai gizinya tidak kalah, bahkan memiliki kelebihan (2) dibandingkan beras putih biasa. Beras putih sebagai bahan makanan pokok dan sumber utama penyumbang energi bagi tubuh, memiliki nilai indeks glikemik yang tinggi. Konsumsi beras putih bagi penderita diabetes beras putih dibatasi karena kandungan indeks (3) glikemiknya yang dikenal tinggi. Oleh karena itu, konsumsi beras putih berlebihan merupakan salah satu penyebab Diabetes Mellitus. Salah satu pencegahan terjadinya Diabetes Mellitus adalah dengan diversifikasi pangan, melalui beras tiruan atau beras analog sebagai salah satu langkah alternatif. Hal ini dilihat dari modifikasi kandungan zat gizi beras bisa dimodifikasi sehingga menjadi beras yang memiliki indeks glikemik rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Aji (2014) menemukan bahwa beras tiruan dengan komposisi 60% tepung beras dan tepung gadung dengan penambahan tepung kedelai sebesar 40% menghasilkan produk beras tiruan yang (4) dapat diterima oleh masyarakat. Selain itu beras tersebut memiliki indeks glikemik (5) rendah, yaitu 41. Pati resisten dalam makanan dapat meningkatkan efek fisiologis makanan tersebut karena memiliki efek hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah setelah makan). Pati resisten merupakan sejumlah pati yang tidak dapat diserap dalam saluran pencernaan (usus halus). Oleh karena itu, pati resisten termasuk (6) bagian dari serat pangan. Kandungan Isoflavon (Daidzein, Genistein) banyak terdapat di dalam kedelai dapat membantu untuk mencegah komplikasi jangka pendek yang kerap ditimbulkan sebagai akibat penyakit (7) Diabetes Mellitus. Asupan pati resisten sedikitnya 6 g/hari dan isoflavon 100 mg dalam makanan dilaporkan dapat memberikan manfaat menurunkan gejala (8) penyakit Diabetes Mellitus. Melihat dari manfaat kedua zat gizi tersebut, pada beras tiruan instan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Aji (2014) dan Kristanto (2014) selain memilki kadar indeks glikemik yang rendah, beras tiruan ini juga berpotensi memiliki isoflavon dan pati resisten. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi terkait kandungan isoflavon dan pati resisten pada beras

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari –Juli 2016

tiruan yang memiliki manfaat bagi penderita Diabetes Mellitus. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyelenggaraan Makanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Laboratorium F-Technopark Fakultas Teknologi Pertanian IPB Bogor, Laboratorium Saraswati Indo Genetik Bintaro Jakarta Selatan, dan Laboratoium Ilmu Teknologi Terpadu IPB Bogor. Waktu penelitian dilakukan kurang lebih 3 bulan pada Desember 2013 – Februari 2014. Penelitian ini merupakan penelitian (4) lanjutan dari penelitian sebelumnya. Pada penelitian Aji (2014), telah dilakukan penelitian eksperimental untuk mendapatkan produk beras tiruan yang dapat diterima oleh masyarakat, selanjutnya pada penelitian ini dilakukan penelitian deskriptif untuk mengkaji kandungan isoflavon dan kadar pati resisten pada beras tiruan tersebut. Berdasarkan penelitian Aji (2014) produk beras tiruan yang diterima oleh masyarakat adalah produk dengan komposisi 60% tepung gadung dan tepung beras (60% : 40% dalam komposisi berat) dengan penambahan tepung kedelai 40%.Sampel tersebut dibandingkan dengan beras tiruan dengan komposisi 100% tepung gadung dan tepung beras (60% : 40% dalam komposisi berat) untuk dilakukan pengujian kadar isoflavon dan pati resisten. Setelah itu sampel kontrol (TK0) dengan komposisi 100% tepung gadung dan beras (60%:40%) dan sampel perlakuan (TK4) terbaik 60% tepung gadung dan beras (60%:40%) + tepung kedelai sebesar 40% yang masing-masing dua ulangan. (4)

Tabel 1. Perlakuan Sampel Perlakuan Tepung Gadung dan Tepung Beras TK0 100% TK1 90% TK2 80% TK3 70% TK4 60% TK5 50%

Tepung Kedelai 0% 10% 20% 30% 40% 50%

Tabel 2. Sampel Uji Kadar Isoflavon

7


Ulangan TK0 1 TK0 2 TK4 1 TK4 2

Tepung Gadung dan Beras 100% 100% 60% 60%

Jakarta Selatan. Pengamatan dan analisis kadar isoflavon pada beras tiruan dengan prosedur antara lain. Sampel sebanyak 2 gram ditimbang, kemudian dikeringkan dalam oven o pada suhu 40 C selama 6 jam. Selanjutnya sampel diekstrak dengan metanol absolut (3x50 ml) dalam labu pemisah, kemudian ekstrak ditampung o dan diinkunbasi pada suhu 4 C selama 24 jam. Cairan ekstrak dikering bekukansampai kering, kemudian dilarutkan dalam 10 ml larutan asam asetat 30% dan asetonitril. Selanjutnya ekstrak di sentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 20 menit, cairan yang jernih disaring dan diinjeksikan ke HPLC dengan fase gerak asetonitril : air (60 : 40). Kemudian dihitung dengan perhitungan senyawa isoflavon yang didapat dengan rumus berikut :

Tepung Kedelai 0% 0% 40% 40% (9)(10)

2.1 Analisis Kadar Isoflavon Alat yang dibutuhkan untuk analisis isoflavon adalah alat HPLC High Performance Liquid Chromatography). Bahan yang dibutuhkan adalah beras tiruan instan dengan berbahan dasar tepung beras, tepung gadung dan tepung kedelai. (9)

2.2 Analisis Kadar Pati Resisten Menggunakan analisis gravimetri multienzim.Bahan yang dibutuhkan adalah beras tiruan instan dengan berbahan dasar tepung beras, tepung gadung dan tepung kedelai. 2.3 Pengamatan Kadar Isoflavon

(9)(10)

Pada penelitian ini dilakukan di laboratorium Saraswati Indo Genetic,

{

đ?‘™đ?‘˘đ?‘Žđ?‘ đ?‘Žđ?‘&#x;đ?‘’đ?‘Žđ?‘?đ?‘œđ?‘›đ?‘Ąđ?‘œ â„Ž đ?‘™đ?‘˘đ?‘Žđ?‘ đ?‘Žđ?‘&#x;đ?‘’đ?‘Žđ?‘ đ?‘Ąđ?‘Žđ?‘›đ?‘‘đ?‘Žđ?‘&#x;đ?‘Ą

đ?‘šđ?‘” đ?‘Łđ?‘œđ?‘™đ?‘˘đ?‘šđ?‘’đ?‘Žđ?‘˜ â„Žđ?‘–đ?‘&#x; (đ?‘šđ?‘™ ) )}x { đ?‘Ľ 1000 1000 (đ?‘šđ?‘™ )

đ?‘Ľ[ ]đ?‘ đ?‘Ąđ?‘Žđ?‘›đ?‘‘đ?‘Žđ?‘&#x;đ?‘Ą (

100}

Bobot sampel (g) 2.4 Pengamatan dan analisa kadar pati (9) resisten Pada penelitian ini dilakukan di laboratorium Ilmu dan Teknologi Terpadu IPB Bogor. Pengamatan dan analisa pada kadar pati resiten beras tiruan instan dengan prosedur antara lain : - Sebanyak 0.5 gram sampel dilarutkan dengan 25 ml buffer fosfat 0.08 M (pH 6.0) dalam gelas piala 250 ml, lalu ditutup dengan aluminium foil. Kemudian ditambahkan 0.2 ml enzim termamyl, lalu campuran diinkubasi dalam penangas air suhu 95°C selama 30 menit. - Campuran diaduk lembut setiap interval 5 menit. Kemudian sampel didinginkan sampai suhu ruang. - Kemudian atur pH campuran hingga 4.5 dengan 5 ml larutan HCl 0.275 N dan ditambahkan 0.5 ml enzim amiloglukosidase lalu diinkubasi dalam penangas air bergoyang dengan suhu 60oC selama 30 menit. Setelah didinginkan sampai suhu ruang, pH campuran diatur menjadi 7.5 dengan BIMGI Volume 4 No.1 | Januari –Juli 2016

-

-

menambahkan 5 ml larutan NaOH 0.325 N, lalu ditambahkan 0.05 ml enzim protease (40 mg protease/50 ml buffer fosfat pH 6.0) dan campuran diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 60oC selama 30 menit. Setelah inkubasi selesai, larutan disentrifuse 3000 rpm selama 10 menit. Setelah itu diambil bagian pelet. Kemudian pelet dicuci dua kali dengan etanol 80% dan air destilata. Residu kemudian dikeringkan dalam oven suhu 40°C. Kadar pati resisten dihitung dengan cara membandingkan bobot residu dengan bobot sampel Kadar pati resisten (g/100 gram) = Residu – kadar abu – kadar protein

Data pengamatan beras tiruan instan yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan mendeskripsikan data dari tabel hasil pengalaman dan dibandingkan dengan literatur.

8


3. HASIL

Kadar rata-rata pati resisten beras tiruan (g/100g)

Berdasarkan hasil uji, diketahui bahwa kadar rata-rata pati resisten pada beras tiruan instan dengan komposisi 60% tepung gadung dan tepung beras (60%:40% dalam komposisi berat) dengan penambahan tepung kedelai sebesar 40% adalah 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0

Rata-rata

sebesar 3,93 g/100g dan pada beras tiruan instan dengan komposisi 100% tepung gadung dan tepung beras (60%:40% dalam komposisi berat) tanpa penambahan tepung kedelai adalah sebesar 2,99 g/100 gram. Bisa dilihat pada Gambar 1, merupakan pemaparan dari hasil analisis kadar pati resisten pada beras tiruan instan pada penelitian ini.

100% tepung gadung dan tepung beras (60%:40% dalam komposisi berat)

60% tepung gadung dan tepung beras (60%:40% dalam komposisi berat) + tepung kedelai sebesar 40%

2,99

3,93

Gambar 1. Hasil pengamatan rata-rata pati resisten pada beras tiruan dengan penambahan tepung kedelai dan pada beras tiruan tanpa penambahan tepung kedelai. 120 Kadar rata-rata isoflavon beras tiruan (mg/100g)

100 80 60 40 20 0

Rata-rata

100% tepung gadung dan tepung beras (60%:40% dalam komposisi berat)

60% tepung gadung dan tepung beras (60%:40% dalam komposisi berat) + tepung kedelai sebesar 40%

0

105,15

Gambar 2. Kadar Isoflavon pada beras tiruan dengan penambahan tepung kedelai dan pada beras tiruan tanpa penambahan tepung kedelai Seperti pada Gambar 2. Berdasarkan hasil uji kadar isoflavon BIMGI Volume 4 No.1 | Januari –Juli 2016

menunjukkan bahwa beras tiruan instan pada komposisi 60% tepung gadung dan

9


tepung beras (60%:40% dalam komposisi berat) dengan penambahan tepung kedelai sebesar 40% mempunyai kadar isoflavon sebesar 105,15 mg/100 g sedangkan untuk beras tiruan tanpa penambahan tepung kedelai tidak memiliki kadar isoflavon. 4. PEMBAHASAN 4.1 Jenis dan Kadar Pati Resisten Beras Tiruan Penambahan Tepung Kedelai Hasil dari analisis kadar pati resisten menunjukkan bahwa beras tiruan pada komposisi tepung gadung 60%, tepung beras 40%, tepung kedelai 40% memiliki kadar 3,93 g/100 g dan beras tiruan dengan komposisi tepung gadung 60%, tepung beras 40%, tepung kedelai 0% memiliki kadar 2,99 g/100g. Dalam klasifikasi pati resisten pada penelitian ini kedua sampel termasuk dalam pati resisten dengan kadar sedang/intermediet yaitu berkisar antara 2,5-5% atau 2,5-5 g/100 (11) g. Pada proses pengolahannya atau pembuatan beras tiruan, jenis pati resisten pada kedua beras tiruan ini termasuk jenis pati resisten tipe 3.Pati resisten tipe 3 merupakan pati resisten yang dibuat dari proses pengolahan dengan suhu tinggi kemudian mengalami pendinginan. Asupan pati resisten sedikitnya 6 g/hari dalam setiap makanan dilaporkan dapat memberikan efek baik terhadap (8) kadar gula darah dan level insulin. Hal ini juga dibuktikan oleh Kwak JH et al (2012) dengan memberikan 6 g/hari pati resisten pada beras pada pasien yang Pre Diabetes Mellitus dan yang sudah mengalami Diabetes Mellitus selama 4 minggu, terjadi (12) penurunan kadar glukosa post-prandial. Penelitian lain yang dilakukan oleh Behall et al (2006) juga menyebutkan bahwa konsumsi 6,5 gram pati reisten dengan 3,7 gram β glucan dapat menurunkan gula darah setelah makan (post-prandial glucose) dan respon insulin pada responden wanita dengan IMT normal dan overweight, sehingga jika mengkonsumsi sejumlah 100 gram beras tiruan ini atau mengkonsumsi 200 gram beras tiruan ini dalam sehari akan memberikan efek yang (13) baik bagi penderita Diabetes Mellitus. Manfaat pati resisten telah banyak diteliti, mekanisme pati resisten yang memberikan manfaat baik bagi penderita Diabetes Mellitus yaitu karena sifatnya tidak mudah dicerna sehingga tidak menghasilkan banyak molekul glukosa

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari – Juli 2016

maka dapat meningkatkan pelepasan hormon Glucagon Like-Peptide-1 (GLP-1) (8) pada usus halus. GLP-1 adalah hormon yang diproduksi di usus halus dan disekresikan sebagai respon terhadap pencernaan makanan dan memiliki peranan penting dalam pengaturan kadar gula darah setelah makan dan juga memungkinkan (14) terjadinya peningkatan sekresi insulin. Pati resisten ketika masuk di dalam usus besar difermentasi sehingga termasuk serat tidak larut air. Produk fermentasi serat tidak larut air yaitu salah satunya berupa asam lemak rantai pendek/ SCFA (Short-Chain Fatty Acid). Konsentrasi SCFA terbukti dapat menurunkan asam lemak bebas sehingga dapat meningkatkan (15) sensitivitas insulin. 4.2 Kadar Isoflavon Beras Tiruan Instan Penambahan Tepung Kedelai Pada penelitian ini diketahui bahwa beras tiruan mempunyai nilai kadar isoflavon yaitu 105,15 mg/100 sementara untuk beras tiruan yang tanpa penambahan tepung kedelai, tidak terdapat kadar isoflavon. Hal ini menjelaskan bahwa sumber isoflavon pada penelitian ini hanya terdapat pada kedelai. Selain itu, beberapa penelitian mengemukakan bahwa kadar isoflavon juga dapat memberikan efek menurunkan gejala penyakit Diabetes Mellitus. Hal ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Shao YC et al (2004) dengan memberikan intervensi 100 mg kapsul isoflavon pada wanita post menopouse dapat menurunkan kadar gula (16) darah puasa selam 6 bulan intervensi. Sementara sebuah penelitian lain yang memberikan kadar isoflavon yang lebih tinggi yaitu sebesar 132 mg/hari selama 12 minggu berupa suplementasi fitoestrogen juga dapat mengurangi resistensi insulin (17) pada wanita yang sudah menepouse. Sementara itu pada penelitian lain dengan kadar isoflavon yang berbeda dan dengan perlakuan yang berbeda juga menunjukkan hasil yang sama. Penelitian yang dilakukan Azadbakht (2007) dengan memberikan DASH diet (diet yang diterapkan khusus untuk penderita hipertensi) sebagai kontrol dan DASH diet dengan mengganti daging merah pada DASH diet dengan kacang kedalai sebesar 30 gram yang mengandung 102 mg/30 gram kacang kedelai pada 42 wanita postmenopaus dapat mengurangi gula darah puasa dan hasil test dari HOMA-IR

10


(Homeostasis Model Of Assessment-Insulin Resistance Score) menunjukkan (18) penurunan. Dari hasil penelitian-penelitian diatas dapat diketahui bahwa isoflavon memberikan efek yang menguntungkan bagi wanita yang post menopause. Hal ini disebabkan karena pada wanita yang post menopause mengalami defisiensi hormon estrogen sehingga berisiko mengalami masalah kesehatan seperti diabetes mellitus. Isoflavon bertindak mirip sebagai estrogen yang mampu mempengaruhi proses biologis terkait kesehatan tubuh (19) pada wanita yang post-menopause. Efek positif lainnya, seperti pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Shahbazian, et al (2007) dengan memberikan makanan soy protein tanpa lemak pada penderita Diabetes Mellitus, baik pria dan wanita yang berumur 39-70 tahun(17 wanita dan 9 pria). Makanan tersebut diberikan sebesar 25 gram dengan kadar isoflavon sebesar 50 mg/25. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan penurunan pada kadar HbA1C dan gula (20) darah puasa selama 3 bulan. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut maka kadar isoflavon pada beras tiruan pada penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penderita Diabetes Mellitus. 4.3 Persamaan dan Perbedaan Beras Tiruan Instan Penambahan Tepung Kedelai dan Tanpa Penambahan Tepung Kedelai Terdapat beberapa persamaan antara Beras tiruan dengan komposisi 100% tepung gadung dan tepung beras dan beras tiruan dengan komposisi 60% tepung gadung dan tepung beras dengan penambahan tepung kedelai sebesar 40% antara lain : Sama-sama memilki kadar pati resisten yaitu beras tiruan dengan komposisi 100% tepung gadung dan tepung beras memilki kadar pati resisten 2,99 g/100 gram dan beras tiruan dengan komposisi 60% tepung gadung dan tepung beras dengan penambahan tepung kedelai sebesar 40% memilki kadar yaitu sebesar 3, 93 g/100 gram ; Pati resisten pada kedua beras tersebut merupakan pati resisten tipe 3 dan kadar pati resisten pada kedua beras termasuk dalam kadar sedang 2,5-5 g/100 (11) g. Kedelai merupakan sumber bahan makanan yang banyak mengandung isoflavon, sehingga dengan adanya

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari – Juli 2016

penambahan tepung kedelai tersebut, maka beras tiruan dengan komposisi 60% tepung gadung dan tepung beras terdapat penambahan tepung kedelai sebesar 40% memilki isoflavon dengan kadar 105,15 mg/100 gram. Gambaran perbedaan pada kedua beras tiruan ini adalah beras tiruan dengan komposisi 60% tepung gadung dan tepung beras dengan penambahan tepung kedelai sebesar 40% memilki keunggulan daripada beras tiruan dengan komposisi 100% tepung gadung dan tepung beras. Namun, kedua beras ini bisa dikatakan sebagai makanan fungsional karena beras tiruan ini berupa makanan (bukan dalam bentuk kapsul, tablet atau bubuk) yang berasal dari bahan alami, beras tiruan ini merupakan bahan yang dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari dan memiliki suatu fungsi (21) khusus bila dikonsumsi. Kemudian dari jenis makanan fungsional, kedua beras tiruan ini merupakan jenis makanan fungsional modern, karena dari proses pengolahannya dibuat khusus menggunakan resep-resep baru dan ditujukan khusus untuk salah satu makanan alternatif bagi penderita Diabetes Mellitus. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terkait pati resisten dan kadar isoflavon pada beras tiruan instan, kesimpulannya adalah Beras tiruan instan dengan penambahan tepung kedelai mempunyai kadar pati resisten 3,93 g/100g. Lebih besar dari sampel tanpa penambahan tepung kedelai, yaitu 2,99 g/100g. Serta dilihat dari tipe pati resisten, beras tiruan instan ini termasuk pati resisten tipe 3. Beras tiruan instan dengan penambahan tepung kedelai mempunyai kadar isoflavon 105,15 mg/100g. Berbeda dengan sampel beras tiruan tanpa penambahan tepung kedelai yang tidak ditemukan kandungan isoflavon. Secara kualitas beras tiruan instan dengan penambahan tepung kedelai 40% memiliki manfaat lebih dibanding beras tiruan instan tanpa penambahan tepung kedelai. Selain itu, Kedua beras tiruan ini termasuk pangan fungsional modern karena proses pengolahannya dibuat khusus menggunakan resep baru dan ditujukan khusus untuk salah satu makanan alternatif bagi penderita Diabetes Mellitus.

11


6. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh konsumsi beras tiruan ini untuk dapat lebih menjelaskan efek positif yang dapat diperoleh bagi penderita penyakit diabetes mellitus. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan penelitian, yaitu pada jumlah sampel yang di uji dan pengolahan sampel tepung umbi gadung. Oleh karena itu diperlukan jumlah sampel yang lebih banyak dengan minimal 4 sampel per kelompok untuk dapat menguji perbedaan 2 perlakuan secara statistik, sehingga mempunyai nilai kemaknaan secara statistik. Selain itu, diperlukan ketelitian ekstra dalam proses pengolahan tepung umbi gadung untuk menghilangkan sifatnya yang masih mengandung racun.

(7)

(8)

(9)

(10)

7. UCAPAN TERIMA KASIH (11) Penelitian ini disponsori oleh PT INDOFOOD SUKSES MAKMUR Tbk dalam rangka program INDOFOOD RISET NUGRAHA 2014. DAFTAR PUSTAKA (1) Widiowati, S. Sehat Dengan Pangan Indeks Glikemik Rendah.Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 29, No.3. 2007. www.litbang.deptan.go.id. diakses Pada Tanggal 20 Maret 2013. (2) Roosganda, E. Strategi Pencapaian Diversifikasi dan Kemandirian Pangan: (3) Antara Harapan dan Kenyataan. Iptek Tanam Pangan. 2011;6(2):230-242. (4) Harini, S. Nilai Indeks Glikemik Beras Hitam (Oryza Sativa L.Indica), Beras Merah (Oryza Nivara) Dan Beras Putih (Oryza Sativa).Tugas Akhir. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. 2013. (5) Aji, AS. Analisis Kandungan Zat Gizi Makro Dan Uji Mutu Organoleptik Beras Tiruan Instan Berbahan Baku Tepung Komposit (Gadung, Beras, Dan Kedelai).Tugas Akhir. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang. 2014. (6) Kristanto, DY. Beras Tiruan Instan Dengan Pemanfaatan Tepung Komposit (Gadung,Beras,dan Kedelai) Sebagai Pangan Fungsional Dalam Mengontrol Gula Darah Dengan

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari – Juli 2016

(12)

(13)

(14)

(15)

(16)

(17)

Karateristik Low. Tugas Akhir. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang. 2014. Prangdimurti dkk. Metode Evaluasi Nilai Biologis Karbohidrat dan Lemak. Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan – FATETA-IPB.. www.ipb.ac.id. 2007. diakses Pada Tanggal 25 Maret 2013. Schoenhals. Prepared Foods. Virgo Publishing. Health & Nutrition Division.http://www.vpico.com. 2005. diakses pada 23 Maret 2013. Yuji Y, Seio H. Effect of bread containing resistant starch on postprandial blood glucose levels in humans. Biosci Biotechnol Biochem. 2005;69(3):559–66. AOAC. Official Methods of Analysis [Online].http://www.aoac.org.html. 1995. diakes pada tanggal 24 Maret 2013. Iswandari, R. Studi Kandungan Isoflavon pada Kacang Hijau (Vigna Radiata L), Tempe Kacang Hijau, dan Bubur Kacang Hijau. (Online), http://repository.ipb.ac.id/, 2006. diakses pada 24 April 2013. Goñi I, García DL, Mañas E, Saura CF. Analysis of resistant starch: a method for foods and food products. Food Chem. 1996 Aug;56(4):445–9. Kwak JH, et al. Dietary treatment with rice containing resistant starch improves markers of endothelial function with reduction of postprandial blood glucose and oxidative stress in patients with prediabetes or newly diagnosed type 2 diabetes.(Abstarct). Atherosclerosis. 2012 Oct;224(2):457– 64. Behall KM, et al. Consumption of Both Resistant Starch and β-Glucan Improves Postprandial Plasma Glucose and Insulin in Women. Diabetes Care. 2006 May 1;29(5):976– 81. Drucker, D. Development of GlucagonLike Peptide-1-Based Pharmaceuticals as Therapeutic Agents for the Treatment of Diabetes. Curr Pharm Des. 2001 Sep 1;7(14):1399–412. Mindy P, Maziarz. Role of Fructans and Resistant Starch in Diabetes Care. Diabetes Spectr. 2013 Feb 1;26(1):35– 9. Shao YC, et al. The Hypoglycemic Effects of Soy Isoflavones on

12


Postmenopausal Women. (Abstract). J Womens Health. 2004 Dec;13(10):1080–6. (18) Jayagopal V, Albertazzi P, Kilpatrick ES, et al. Beneficial Effects of Soy Phytoestrogen Intake in Postmenopausal Women With Type 2 Diabetes. Diabetes Care. 2002 Oct 1;25(10):1709–14. (19) Azadbakht L, et al . Soy inclusion in the diet improves features of the metabolic syndrome: a randomized crossover study in postmenopausal women. AJCN. 2007 March (85):735-741.

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari – Juli 2016

(20) Susan et al. Soy protein and isoflavones: their effects on blood lipids and bone density in postmenopausal women1. Am J Clin Nutr. 1998;68:1375S–9S. (21) Shahbazian H, Reza A, Javad S, et al. Beneficial effects of soy protein isoflavones on lipid and blood glucose concentrations in type 2 diabetic subjects. Saudi Med J. 2007;28(4):652–4. (22) Subroto, MA. Real Food True Health. Jakarta : Penerbit Agro Media. 2006.

13


ADVERTORIAL

NUTRIENT PROFILING: KESEHATAN MASYARAKAT

PERAN

TERHADAP

Alfu Nikmatul Laily Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok E-mail: alfunikmatul@gmail.com

ABSTRAK Kebutuhan zat gizi pada tiap individu berbeda-beda sehingga dibutuhkan pedoman untuk mencukupi kebutuhan diet seimbang yang berprinsip pada pemenuhan kebutuhan nutrien tubuh sesuai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Nutrient profiling merupakan sistem klasifkasi makanan berdasarkan nutrien yang terkandung di dalamnya untuk mencegah suatu outcome tertentu pada tubuh. Secara umum, nutrient profiling dikembangkan berdasarkan konsep densitas energi dan densitas nutrien yang diharapkan akan memicu kesadaran diri pada konsumen. Perkembangan nutrient profiling dapat dikatakan fluktuatif sesuai dengan masalah kesehatan masyarakat yang dihadapi pada suatu zaman. Tidak hanya diterapkan dalam bidang kesehatan masyarakat namun nutrient profiling telah merambah ke sisi komersial bahkan regulasi pemerintah. Nutrient profiling telah diakui sebagai media kesehatan yang kuat untuk membangun kesadaran masyarakat terkait makanan yang dikonsumsi namun tidak menutup kemungkinan bahwa nutrient profiling dapat menjerumuskan masyarakat mengenai anggapannya terhadap makanan. Dewasa ini, terdapat bermacam pro dan kontra selama perkembangan nutrient profiling, baik terkait dengan sistem validasi hingga berkaitan dengan budaya. Kata Kunci : Kesehatan masyarakat, konsumen, nutrient profiling, regulasi. ABSTRACT Regarding the variation of nutritional requirement among individuals, solid guideline ought to be established to maintenance the nutritional balance which the principle refers to fulfillment of body nutrient necessity based on several factors. Nutrient profiling is a food classification system for its containing nutrient to prevent unwanted disease. Commonly, nutrient profiling was adapted from energy density or nutrient density concepts to trigger consumer’s self awareness. The development of nutrient profiling may fluctuate in coherence with public health problems for those eras. Not only had been implemented through public health circumstance, nutrient profiling also been planted in commercial and regulatory system. Furthermore, nutrient profiling has been required as powerful tool in redefining public awareness towards their food consumption, but not impossible if nutrient profiling could be bad impact for public regarding their classification. Nowadays, there are pros and cons related with the development of nutrient profiling, not only towards its validation system but also cultural matter. Keywords : public health, consumer, nutrient profiling, regulation. 1. PENDAHULUAN Kesehatan masyarakat merupakan luaran yang bersifat holistik yang memerlukan kolaborasi dari berbagai aspek dalam pencapaiannya. Salah satu ciri dari kesehatan masyarakat adalah upaya pencapaiannya yang cenderung bersifat preventif daripada paliatif. Aspek konsumsi

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari – Juli 2016

sering disebut sebagai faktor yang berkontribusi dalam perkembangan penyakit yang ada dalam tubuh manusia, sehingga peran gizi dalam mengatur konsumsi seseorang dapat dikatakan sebagai upaya preventif penyakit. Konsep utama dari diet seimbang adalah asumsi bahwa seseorang memerlukan baik makronutrien maupun

14


mikronutrien dalam jumlah yang tepat sehingga dapat mempengaruhi kualitas [1] hidupnya. Faktanya tidak ada satu makanan yang dapat mencukupi semua kebutuhan gizi manusia, sehingga terciptalah disiplin ilmu yang mempelajari kandungan tiap bahan makanan dan memadu-padankan konsumsi makanan tersebut agar mencapai jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Contoh sederhananya: susu kaya akan lemak, kalsium dan protein namun memiliki kandungan vitamin yang rendah, sebaliknya jeruk memiliki kandungan vitamin yang tinggi namun rendah di bagian lemak, protein dan kalsium. Jika kedua jenis makanan tersebut dikonsumsi bersamaan maka diharapkan kebutuhan gizi dapat terpenuhi. Pendekatan ini diharapkan dapat menjadi media untuk mencapai diet seimbang. Sayangnya, setiap orang memiliki kebutuhan gizi yang berbeda. Seorang wanita berusia lanjut dengan aktivitas fisik sedang tentu memiliki kebutuhan gizi yang berbeda dengan bayi perempuan ataupun seorang petinju laki-laki yang sedang rutin latihan. Berangkat dari kejadian ini, setiap orang perlu mempertimbangkan tiap makanan yang dikonsumsi dengan memperhatikan komposisi gizi pada tiap makanan. Pengkategorian makanan dalam kelompok “tinggi suatu zat gizi tertentu” diasumsikan dapat membantu masyarakat luas untuk mencukupi kabutuhan zat gizinya. Salah satu sistem pengelompokan makanan berdasarkan kandungan gizinya dikenal dengan nutrient profiling. Sehingga, salah satu tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui perkembangan dari nutrient profiling dan efek positif maupun negatif yang menyertainya. 2. PEMBAHASAN 2.1 Nutrient Profiling Nutrient profiling adalah salah satu metode ilmiah untuk menaksir kualitas gizi pada makanan dan minuman sehingga dapat digunakan sebagai pedoman untuk mencapai tujuan diet pada kesehatan [2] masyarakat. Klasifikasi yang diterapkan berupa sistem ranking yang mengacu pada komposisi gizi pada makanan tersebut. Contohnya adalah keju yang dikategorikan sebagai makanan tinggi garam dan lemak namun rendah vitamin dan serat.

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari – Juli 2016

Menurut Drewnoski (2005), secara umum nutrient profiling ditegakkan berdasarkan 2 konsep penting, yaitu: (1) densitas energi, yaitu energi per unit berat dapat berupa kcal/100 g atau MJ/g, (2) densitas nutrien, yaitu jumlah suatu nutrien [3] per kalori. Nutrient profiling mempunyai kegunaan yang cukup beragam baik dari [4] segi kesehatan maupun sisi komersial. Contoh penerapan pada sisi komersial adalah anjuran untuk melabeli makanan hasil catering untuk mempermudah pembeli memesan makanan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Keadaan ini dapat menciptakan pasar kompetitif bernuansa kesehatan. 2.2 Perkembangan Nutrient Profiling Sejak 1970-an konsep profilisasi makanan telah berkembang di Amerika Serikat dengan mendefinisikan nutrien per kalori, kalori per nutrien dan rasio nutriennutrien sebagai upaya untuk menaksir kualitas nutrien pada makanan, namun tren ini beralih ke filosofi diet yang berpedoman bahwa tidak ada makanan yang “baik” [3] ataupun “buruk”. Nutrient profiling dapat dikatakan berkembang cukup pesat dalam satu dekade terakhir. Tahun 2005, pedoman diet nasional masyarakat Amerika telah menggunakan konsep nutrient profiling dengan tujuan untuk mendorong konsumsi [5] berbagai jenis makanan. Pada tahun 2009, WHO memulai kerangka kerja terkait nutrient profiling agar dapat dikembangkan dan diterapkan secara global untuk [2] berbagai kegunaan. Kegunaan yang dimaksud adalah pelabelan makanan, klaim gizi dan kesehatan, pemasaran produk anak-anak bahkan hingga mengarah ke efisiensi secara ekonomi. Agenda tersebut diadakan terkait dengan NonCommunicable Disease Action Plan Objective 3. Pada tahun 2013, WHO European Member States mengadopsi Vienna Declaration on Nutrition and Noncommunicable Disease 2020 yang mana menggarisbawahi mengenai kekawatiran tentang berat badan berlebih pada anak-anak yang terus mengalami kenaikan. Sehingga pada Desember 2013, sebuah konferensi diadakan dengan topik utama mengembangkan nutrient profile model untuk membatasi pemasaran [6] makanan anak-anak.

15


Nutrient profiling sistem juga telah diadopsi beberapa perusahaan makanan. Pada tahun 2004, salah satu perusahaan makanan tersebut mulai memperkenalkan metode nutrient profiling dengan mengurangi komposisi yang dianggap [7] menjadi penurun kualitas makanan. 2.3 Cara Mengembangkan Nutrient Profiling Beserta Validasinya Pengembangan algoritma profiling dapat ditempuh dengan beberapa cara, salah satu cara termudah adalah memilih nutrien yang terdapat pada label makanan dan mulai mendefinisikan skor sesuai [5] dengan kriteria FDA. Suatu makanan dengan kandungan nutrien tertentu (1020% FDA) akan memperoleh skor 1, sedangkan makanan dengan kandungan >20% FDA akan mendapatkan skor 2, dan seterusnya. WHO menyusun beberapa langkah untuk mengembangkan nutrient profiling, yaitu: (1) mengidentifikasi masalah kesehatan masyarakat terkait nutrien, (2) memeriksa bagaimana keterkaitan masalah tersebut dengan pola diet masyarakat, (3) mengembangkan daftar rekomendasi nutrien, (4) mengindentifikasi semua intervensi yang dapat dilakukan, (5) memilih intervensi yang membutuhkan nutrient profiling, (6) merapatkan secara [6] group project. Sedangkan validasi dimaksudkan untuk meyakinkan apakah nutrient profiling telah mengklasifikasikan makanan berdasarkan kandungan nutriennya secara benar. Salah satu halangan proses validasi nutrient profiling adalah tidak tersedianya [6] gold standard sebagai pedoman. Salah satu upaya validasi adalah membandingkan dengan model yang mempunyai fungsi serupa, sehingga lebih sesuai dikatakan sebagai kalibrasi dibandingkan dengan validasi. Penelitian systematic review oleh Braesco (2006) menghasilkan bahwa nutrient profiling merupakan alat yang kuat untuk mendefinisikan informasi nutrien terkait dengan diet individual, adapun sistemnya masih berada dalam level [8] moderate. Validasi juga dapat dilakukan dengan cara membandingkan dengan “makanan indikator” yang telah divalidasi sebagai “sehat” atau “tidak sehat” oleh metode lain. Menurut Darmon (2009) nutrient profiling dapat membuat model “diet sehat”, namun hampir tidak mungkin

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari – Juli 2016

jika membuat “model tidak sehat” dengan asupan energi yang realistis dari makanan[9] makanan tersebut. 2.4 Pro dan Kontra Nutrient Profiling Setidaknya terdapat 6 sistem nutrient profiling yang telah diterapkan. Salah satunya adalah FSA UK’s Ofcom model yang diluncurkan setelah pemerintah UK meminta Ofcom (penanggung jawab iklan media televisi setempat) untuk memperketat iklan minuman ringan yang dikawatirkan akan mempengaruhi pemilihan makanan anak-anak. Model ini menerapkan klasifikasi nutrien pada minuman ringan dan hanya menampilkan iklan bagi minuman ringan yang “lolos”. Sekilas tindakan tersebut mempunyai kesan melindungi konsumen dari makanan yang tidak sehat, namun terjadi perdebatan mengenai model ini. Scoring dilakukan berdasarkan densitas energi, sehingga dapat dikatakan bahwa over-scoring [10] minuman dengan kandungan gula tinggi. Sisi positif nutrient profiling dapat dirasakan secara luas terutama dalam bidang kesehatan karena tidak dapat dipungkiri bahwa obesitas dan penyakit degeneratif semakin meningkat belakangan ini, sehingga perlu dibangun sistem screening pada makanan sebelum dikonsumsi. Dengan adanya nutrient profiling banyak pihak yang dapat terbantu dalam menentukan dietnya namun terkadang dapat menimbulkan gesekan terhadap kebudayaan. Misalnya suatu makanan olahan tradisional akan dilabeli sebagai “ tidak sehat” karena tingginya kandungan lemak, namun makanan tersebut sudah membudaya di suatu suku. Sisi negatif yang lain dari nutrient profiling misalnya tidak adanya 1 sistem yang dapat diterapkan secara global. Sehingga dapat menyebabkan perbedaan definisi makanan jika diukur dengan nutrient profiling lain. Bahkan, gold standard untuk mengukur keakuratan belum ditemukan. 3. KESIMPULAN Nutrient profiling telah diterapkan dalam bidang kesehatan masyarakat, komersial dan regulasi sebagai sebuah sistem untuk mengawasi peredaran makanan berdasarkan kandungan gizinya. Nutrient profiling dapat berdampak positif maupun negatif bergantung pada faktor-

16


faktor yang dikaji, namun yang terpenting adalah integritas ilmiah mengenai bagaimana nutrient profiling dikembangkan dan disebarluaskan. Saran yang dapat diterapkan oleh Indonesia adalah penerapan nutrient profiling pada produk makanansesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) terbaru, namun perkembangan dan penyebarluasan perlu dilakukan secara komprehensif dan hati-hati sehingga tidak menyinggung pihak yang bersangkutan. DAFTAR RUJUKAN [1]

UK Food and Drink Federation. “Nutrition profiling: ‘Good’ Food;; a ‘Bad’ Concept?”. 7 Februari 2016 <https://www.fdf.org.uk/archivedresponses/ Annex%201.doc>. [2] World Health Organization. Nutrient Profiling: Report of a WHO/IASO Technical Meeting. Oleh Dorothy Mackerras, Hilary Cadman dan Sue Hobbs. 2011. 7 Februari 2016 <http://www.who.int/nutrition/publications/pr ofiling/WHO_IASO_report2010/en/>. [3]

Drewnowski A, Fulgoni VL, Young MK, Pitman S. “Nutrient-Rich Food: Applying Nutrient Navigation Systems to Improve Public Health”. JFS 73:9(2008): 222-228. [4]

Lobstein T, Davies S. “ Defining and labelling ‘healthy’ and ‘unhealthy’ food”. Public Health Nutr 12:3(2008):331-340.

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari – Juli 2016

[5]

Drewnowski A, Fulgoni V. “Nutrient profiling of foods: creating a nutrient-rich food index”. Nutr Rev 66:1(2008): 23-39. [6]

World Health Organization. WHO Regional Office for Europe nutrient profile model. Oleh João Breda, GaudenGalea, Jo Jewell danChizuru Nishida. 2015. 7 Februari 2016 <http://www.euro.who.int/__data/assets/pdf _file/0005/270716/Nutrient-ProfileModel_Version-for-Web.pdf?ua=1>. [7]

Nestle. Turut Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Lebih Sehat. Oleh anonim. 2008. 10 Februari 2016 <http://www.nestle.com/assetlibrary/documents/reports/csv%20reports/n ational%20report%202008/nestl%C3%A9_i ndonesia_2008.pdf>. [8]

Braesco VA, Goffi C, Labouze E. “Nutrient profiling: comparison and critical analysis of existing systems”. Public Health Nutr 9:5(2006): 613-622. [9]

Darmon N, Vieux F, Maillot M, Volatier JL, Martin A. “Nutrient profiles discriminate between foods according to their contribution to nutritionally adequate diets: a validation study using linear programming and the SAIN,LIM system”. Am J Clin Nutr 89(2009): 1227-1236. [10]

Bryans JA. “Nutrient profiling: consumer friend or foe?”. Aust. J. Dairy. Technol 64:1(2009): 142-147.

17


ARTIKEL PENYEGAR

LUPIN : BAHAN PANGAN ALTERNATIF UNTUK HIPERKOLESTEROLEMIA, VEGETARIAN, DAN ANAK AUTIS Anita Anggraeni, Revina Febri Nadiasari Putri,Shelvi 1 Sasmita ABSTRAK Mahasiswa Program Studi Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, 16680 Bogor Indonesia Email: shelvisasmita.ss@gmail.com 1

ABSTRAK Maraknya non-comunicable chronic disease di Indonesia diantaranya diabetes melitus tipe 2 dan hiperkolesterolemia membuat banyak orang semakin menyadari pentingnya memilih makanan yang dapat meningkatkan kesehatan. Meningkatnya konsumsi lemak jenuh dan jarangnya olahraga merupakan salah satu faktor peningkat resiko hiperkolesterolemia di Indonesia. Hiperkolesterolemia tidak hanya menjadi masalah di Indonesia tetapi juga menjadi masalah di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Seperti yang telah diketahui hiperlipidemia dapat memicu berbagai penyakit kronis. Berbagai penelitian di bidang kesehatan telah mengembangkan berbagai cara untuk menurunkan angka hiperkolesterolemia, salah satunya adalah menggunakan kacang lupin. Lupin (Lupinus spp) merupakan famili Fabaceae yang diklaim dapat menjaga kadar kolesterol dalam darah tetap normal. Kandungan protein dalam kacang lupin berperan dalam menjaga kadar kolesterol tetap normal. Protein pada kacang lupin sangat tinggi seperti kacang kedelai, namun dengan faktor antinutrisi yang rendah. Penyakit lain yang diakibatkan pola hidup tidak sehat adalah diabetes tipe 2, protein dari kacang lupin diklaim dapat menurukan kadar glukosa darah dan meningkatkan sensitivitas insulin pada manusia. Senyawa alkaloid yang terdapat dalam lupin yang berperan dalam menurunkan hiperglikemik pada penderita diabetes. Selain dapat digunakan untuk menurunkan kolesterol, protein kacang lupin dapat dikonsumsi oleh vegetarian sebagai makanan alternatif pengganti kedelai yang lebih murah. Lupin juga memiliki kekhasan yaitu kandungan gluten yang rendah. Gluten yang rendah ini dapat menjadi bahan dasar tepung pengganti tepung terigu bagi anak autis. Anak autis tidak dapat mengonsumsi gluten karena menderita celiac disease. Saat ini, pemanfaatan kacang lupin di Indonesia masih rendah karena pola konsumsi masyarakat masih bergantung pada kacang kedelai. Kacang kedelai biasa dimanfaatkan untuk pembuatan tempe. Harga kacang kedelai yang semakin melonjak membuat harga tempe juga ikut melonjak. Jika dibandingkan dengan kedelai, lupin harganya lebih terjangkau. Lupin sebenarnya juga dapat dimanfaatkan sebagai oncom dan es krim. Kandungan protein yang lebih tinggi dari kacang kedelai dan struktur yang mirip kacang kedelai membuat lupin dapat digunakan sebagai pengganti kedelai. Kata kunci: Autism, gluten, hipercholesterolemia, lupin, vegetarian. ABSTRACT High prevalance of consuming saturated fat and infrequent of excercise can lead hipercholesterolemia in Indonesia. Hipercholesterolemia is one of the health problem in the world, both developed and developing country. As has been known hipercholesterolemia can trigger a variety of chronic diseases. Various studies in the field of health have developed various ways to reduce the number of hipercholesterolemia, one of which is the use of lupine beans. Lupine (Lupinus spp.) is a legume family that is claimed to be able to keep blood cholesterol levels remained normal. Protein content in the lupine bean maintaining role in cholesterol levels remained normal. Protein at very high lupine beans such as soybeans, but with a low antinutrition factor. It can be used to lower cholesterol, lupine protein can be consumed by vegetarians as an alternative to soy foods are cheaper. Lupin also has the particularity that is a low gluten content. This low gluten can be raw starch wheat flour substitute for autism. The autism can not eat gluten because of celiac disease. Currently, the utilization of lupine beans in Indonesia is still low, because the pattern of consumption is still

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

18


dependent on soybeans. Soybeans usually used for making tempeh. Increasing the price of soybeans jumped make tempeh prices also soared. When compared with soybean, lupine more affordable. Lupin actually also can be used as oncom and ice cream. Higher protein content of soybeans and soy bean-like structure made of lupine can be used as a substitute for soybean. Keyword: Autism, gluten, hipercholesterolemia, lupin, vegetarian 1.

PENDAHULUAN

Saat ini, banyak orang yang hidup dengan pola makan tidak sehat. Hal ini disebabkan kesibukan aktivitas yang dapat menyita waktu dan semakin maraknya makanan cepat saji atau fast food. Banyak orang yang awalnya menerapkan pola hidup sehat beralih mengikuti perkembangan zaman dan cenderung lebih senang mengonsumsi fast food karena dianggap lebih praktis dan mengenyangkan. Padahal, mengonsumsi fast food dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kegemukan atau obesitas karena tinggi [1] kalori, tinggi lemak, dan rendah serat . Fast food yang sering dikonsumsi menyebabkan tingginya kadar lemak yang berdampak pada hiperkolestrolemia. Hiperkolestrolemia ini menjadi masalah yang umum tidak hanya di Indonesia, melainkan juga negara lain mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Ada beberapa alternatif solusi yang ditawarkan untuk penderita hiperkolesterolemia diantaranya dengan mengonsumsi makanan rendah lemak yang tinggi serat. Sumber serat yang dapat dikonsumsi biasanya berasal dari buah, sayur, dan kacang-kacangan. Kacang yang biasa digunakan dalam diet rendah lemak adalah kacang kedelai. Kacang kedelai paling banyak digunakan karena dapat diolah menjadi berbagai makanan. Namun, harga kedelai semakin meningkat dari tahun ke tahun. Harga kacang kedelai yang melonjak, memberikan dampak bagi masyarakat terutama vegetarian. Adanya kacang lupin dengan harga yang relatif murah dapat menjadi alternatif bahan pangan bagi vegetarian. Kacang lupin juga dapat diolah sebagai bahan pengganti kacang kedelai untuk tempe. Selain dapat dikonsumsi oleh vegetarian, kacang lupin juga dapat dikonsumsi untuk anak autis karena rendah gluten. Konsumsi gluten dapat menyebabkan celiac disease pada

individu autis. Celiac disease adalah penyakit autoimun yang mengakibatkan kerusakan pada epitel usus halus, yang menghasilkan malabsorbsi pada protein terutama gluten, sehingga anak autis [2] harus diet rendah gluten . Diet dengan rendah gluten itu sangat sulit untuk dilakukan mengingat banyaknya makanan yang mengandung gluten. Selain itu, makanan yang rendah gluten biasanya memiliki kualitas rendah, harga yang lebih [3] mahal, dan rasanya tidak enak . Berdasarkan masalah tersebut, penulis menganalisis kegunaan dan manfaat kacang lupin serta memberikan gagasan baru yaitu “LUPIN: Bahan Pangan Alternatif untuk Hiperkolesterolemia, Vegetarian, dan Anak Autis”. Besar harapannya, gagasan ini mampu direalisasikan dan mampu melakukan kerja sama dengan beberapa pihak serta mampu memberikan manfaat dalam mengatasi masalah terkait pola makan dan diet. 2. PEMBAHASAN 2.1 Kondisi Kekinian 2.1.1

Prevalensi Hiperkolesterolemia, Vegetarian, dan Autisme Proporsi penduduk Indonesia ≥15 tahun dengan kadar kolesterol total di atas [4] nilai normal berdasarkan Riskesdas adalah 35,9 % yang merupakan gabungan penduduk kategori borderline (nilai kolesterol total 200-239 mg/dl) dan tinggi (nilai kolesterol total >240 mg/dl). Berdasarkan jenis kelamin dan tempat tinggal didapatkan bahwa proporsi penduduk dengan kadar kolesterol di atas normal, pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki dan di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan. Kementerian Kesehatan menyatakan jumlah anak autis cukup tinggi di Indonesia. Walaupun belum ada data nasional, tetapi Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

19


menyatakan bahwa dari JanuariDesember 2013, ada sekitar 15% anak autis dari 6.600 kunjungan dengan ratarata usia anak diatas 3 tahun. Autisme paling banyak dialami anak laki-laki (86,9%) dan perempuan (13,1%). Jumlah ini paling banyak pada kelompok usia 5-9 [5] tahun . Selanjutnya, jumlah vegetarian yang terdaftar pada Indonesia Vegetarian Society (IVS) saat berdiri pada tahun 1998 sekitar 5.000 orang dan meningkat menjadi 60.000 anggota pada tahun 2007 atau sekitar 0,03%. Angka ini merupakan sebagian kecil dari jumlah vegetarian yang sesungguhnya karena tidak semua [6] vegetarian terdaftar menjadi anggota . 2.1.2

Potensi Kacang Lupin Kacang lupin (Lupinus spp.) merupakan keluarga Fabaceae yang memiliki kadar protein yang tinggi yaitu [7] 34.7% . Faktor antinutrisi kacang lupin juga rendah, selain itu proteinnya memiliki [8] potensi neutraceutical .Potensi neutraceutical dari protein kacang lupin yaitu dapat menurunkan kadar kolesterol yang tinggi dan menyeimbangkan rasio [9] [10] kadar LDL:HDL dalam darah . Sirtori menyatakan bahwa protein kacang lupin mampu menstimulasi reseptor LDL untuk menangkap LDL dalam plasma untuk dibawa ke dalam sel. Disisi lain penghambatan HMG-CoA reduktase, enzim yang berfungsi menyintesis kolesterol, meregulasi aksi dari SREBP-2, dan mampu mengurangi kadar kolesterol [10] dalam plasma . Tidak hanya itu, kacang lupin juga digunakan sebagai tepung untuk anak penyandang autis karena tidak [3] mengandung gluten . Tepung lupin juga memiliki keunggulan lain selain kadar gluten yang rendah yaitu mengandung antioksidan dan fitosterol yang baik untuk [12] kesehatan . Meskipun memiliki kadar protein yang tinggi, protein dari kacang lupin lebih mudah dicerna jika dibandingkan dengan kedelai sehingga vegetarian dapat mengonsumsinya untuk [13] memenuhi kebutuhan protein . 2.1.3

Kacang Lupin sebagai Alternatif Pengganti Kacang Kedelai Kedelai (Glycine max) adalah tanaman pangan yang paling penting ketiga setelah padi dan jagung. Kacang kedelai juga sumber protein nabati yang sehat, sehingga di Indonesia banyak

dimanfaatkan sebagai tempe yang merupakan makanan fermentasi tradisional Indonesia. Lebih dari 30% konsumsi kedelai adalah dalam bentuk tempe. Tingginya konsumsi kedelai dan rendahnya produksi membuat Indonesia terus mengimpor kedelai dari pasar dunia untuk menutupi defisit. Indonesia dapat menghabiskan sekitar 500 juta USD untuk mengimpor sekitar 1,2 juta ton kedelai per [14] tahun . Selain kacang kedelai, saat ini mulai muncul juga tempe yang terbuat dari kacang lupin. Lupin (Lupinus spp.) merupakan legum yang dapat digunakan untuk produksi tempe, dan sudah diakui sebagai tanaman alternatif pengganti kedelai. Lupin dapat digunakan sebagai sumber protein dan/atau serat makanan dalam produk yang sudah ada atau yang baru. Harga kacang lupin lebih murah yaitu Rp 6.500 per kilogram. Jika dibandingkan dengan kedelai pada tahun [15] 2012 harganya mencapai Rp 10.316 . Selain harganya yang murah, lupin memiliki keunggulan yaitu mudah ditanam, pemeliharaannya mudah, dan waktu [16] panennya singkat . Oleh karena itu kacang lupin lebih ekonomis dan merupakan bahan pangan potensial kaya zat gizi sebagai alternatif [14] pengganti kedelai . 2.1.4

Persebaran Kacang Lupin Kacang lupin berasal dari famili Fabaceae dan terdapat 200 spesies yang terdistribusi di daerah Mediterania, Afrika, dan Amerika. Lupin tumbuh dengan baik pada area yang memiliki tanah berwarna terang dan di dataran rendah. Saat ini kacang lupin sudah dibudidayakan di berbagai negara. Namun, kandungan alkaloid yang tinggi pada kacang lupin membuatnya hanya dijadikan sebagai makanan ternak. Sampai saat ini salah satu negara yang dapat menghilangkan zat alkaloid pada kacang lupin adalah Australia. Australia telah mampu menciptakan kacang lupin yang memiliki kadar alkaloid rendah melalui mutagenesis. Kacang lupin sebenarnya sudah dikonsumsi sejak lama di Indonesia namun masih belum dikembangkan dan [16] dimanfaatkan .

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

20


2.1.5

Pemanfaatan Kacang Lupin Saat Ini 1. Tempe Daerah di Indonesia yang sudah memanfaatkan lupin sebagai tempe adalah Malang. Pengrajin tempe di Malang mengganti kacang kedelai yang biasa mereka buat menggunakan lupin, karena harganya yang lebih murah sehingga biaya produksi dapat ditekan. Penampilan tempe lupin ternyata lebih menarik dibandingkan dengan tempe kedelai. Nilai gizi tempe lupin lebih unggul karena kandungan seratnya yang tinggi [14] yaitu 77.9% . 2. Oncom Oncom hitam merupakan salah satu produk alternatif yang dapat diproduksi dari kacang lupin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa oncom hitam lupin memiliki kadar air tertinggi diantara kacang tanah dan kacang [17] merpati . 3. Es Krim Es krim lupin terbuat dari susu lupin yang diekstrak dari biji kacang lupin. Pembuatan es krim lupin hampir sama seperti pembuatan es krim pada umumnya. Tujuan dari pembuatan es krim lupin adalah untuk mengambil manfaat dari lupin yang dapat menurunkan kadar LDL, trigliserida, dan kolesterol total, serta meningkatkan HDL. Warna dari es krim lupin tergantung dari jenisnya, sementara teksturnya tergantung pada jenis [18] penstabilnya . 4. Tepung Lupin Tepung lupin dapat dimanfaatkan sebagai hasil fermentasi seperti ditambahkan pada pasta, biskuit, dan daging emulsi yang dapat meningkatkan nilai zat gizi, aroma dan modifikasi [19] [3] tekstur . Menurut Levent dan Bilgicli kadar gluten tepung lupin rendah, sehingga sesuai untuk anak autis yang menderita celiac disease. Produk olahan yang menggunakan tepung lupin contohnya roti, muffins, pasta dan [19] biskuit . Roti, kue, atau olahan lain yang terbuat dari tepung lupin akan memiliki tekstur yang baik. Keberadaan tepung lupin ini membuat anak autis dapat mengonsumsi roti, kue, dan olahan

berbahan dasar [3] khawatir .

tepung

tanpa

rasa

2.2 Solusi Umum Solusi untuk penderita hiperkolesterolemia adalah berhenti merokok, diet rendah lemak, menjaga berat badan dengan rutin berolahraga. Makanan yang dianjurkan antara lain: kacang tanah, kedelai, brokoli, kembang kol, gandum dan beras merah karena bahan makanan ini berserat tinggi dan dapat menghambat penyerapan kolesterol pada usus, mengonsumsi susu skim, keju, krim asam dan yogurt yang rendah lemak, menghindari makanan yang diolah dengan cara menggoreng, mengonsumsi makanan yang direbus, dipanggang [20] ataupun dibakar . Namun, cara tersebut kurang mampu membuat kadar kolesterol [9] dalam darah terjaga normal . Vegetarian memiliki banyak kekurangan kandungan zat gizi seperti Fe, vitamin B12, vitamin D dan kalsium. Beberapa solusi untuk vegetarian adalah mengonsumsi fortifikasi kedelai, kacangkacangan, fortifikasi sereal dengan Fe dan B12, sayuran yang berdaun hijau gelap seperti brokoli dan buah-buahan kering [21] seperti aprikot . Solusi untuk anak autis secara umum adalah (1) menghindari makanan yang mengandung gluten sepeti semua makanan dan minuman yang dibuat dari terigu, (2) menghindari makanan sumber kasein seperti susu dan hasil olahannya, [22] (3) makanan yang diawetkan . Namun, diet dengan rendah gluten itu sangat sulit untuk dilakukan mengingat banyaknya makanan yang mengandung gluten, selain itu makanan yang rendah gluten biasanya memiliki kualitas rendah, harga yang lebih [3] mahal, dan rasanya tidak enak . 2.3 Hubungan dan Dampak Pemberian Kacang Lupin Konsumsi suatu bahan pangan dalam jangka panjang akan memberikan efek kesehatan pada orang yang mengonsumsinya, begitu juga dengan kacang lupin. Konsumsi kacang lupin selama empat minggu terbukti dapat menurunkan kadar kolesterol, sedangkan konsumsi kacang lupin dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan protein akan memberikan dampak yang baik untuk [9] menjaga profil lipid dalam darah . Selama kacang lupin yang dikonsumsi dalam

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

21


keadaan matang sempurna tidak akan [23] terjadi alergi . Sedangkan untuk anak autis pemberian pangan pengganti tepung dari kacang lupin dapat membantu anak autis tetap dapat merasakan roti atau kue [3] dari tepung lupin . Kacang lupin mengandung antioksidan dan fitosterol yang tinggi, sehingga mengonsumsinya secara rutin dapat meningkatkan [11] kesehatan seseorang . Belum ada penelitian tentang efek jangka panjang dari tepung kacang lupin bagi anak autis dan vegetarian selama jumlah yang dikonsumsinya sesuai dengan kebutuhan.

Langkah kedua yaitu mengiklankan manfaat lupin melalui pamflet, iklan, dan berbagai sosial media. Langkah ketiga adalah pengenalan lebih lanjut tentang kacang lupin kepada orang tua yang memiliki anak autis dan dapat juga untuk vegetarian serta penderita hiperkolesterolemia. Terakhir memberikan pengetahuan kepada para pengusaha atau mahasiswa untuk mengembangkan produk dari kacang lupin khususnya untuk penderita hiperkolesterolemia, penganut vegetarian, dan anak autis. 4.

2.4 Pihak yang Terlibat dalam Pendistribusian dan Pelaksanaan Gagasan Pendistribusian dan pelaksanaan gagasan kacang lupin tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Adapun pihak yang terlibat dalam pelaksanaan gagasan ini adalah pemerintah, dosen, mahasiswa, dan masyarakat. Pemerintah mengatur segala kebijakan yang ada di Indonesia. Adanya kacang lupin yang bisa ditanam di Indonesia yang dikenal dengan kesuburannya tentu sangat bermanfaat baik dari segi kesehatan maupun ekonomi.Kacang lupin dari segi kesehatan dapat menjadi solusi bagi hiperkolesterolemia, vegetarian dan anak autis sehingga dapat mengurangi masalah kesehatan yang ada di Indonesia. Dosen dapat memberi tahu kepada mahasiswanya akan manfaat yang ada pada kacang lupin yang kemudian dibuat produknya sehingga manfaat yang ada dikacang lupin dapat dirasakan masyarakat luas. Selanjutnya, masalah kesehatan di Indonesia seperti hiperkolesterolemia, defisiensi protein pada vegetarian, dan celiac disease pada anak autis diharapkan dapat berkurang prevalensinya. 2.5 Langkah Strategis dalam Gagasan Lupin sebagai Kacang Alternatif Penyebarluasan manfaat kacang lupin sebagai bahan pangan alternatif bagi penderita hiperkolesterolemia, vegetarian, dan anak autis memerlukan langkah strategis agar dapat dirasakan manfaatnya. Langkah awal yang digunakan untuk menyebarluaskan gagasan dengan mengadakan penelitian lanjut tentang kacang lupin di Indonesia dan hasilnya ditampilkan dalam seminar.

KESIMPULAN

Kacang lupin memiliki kandungan protein tinggi yang dapat digunakan sebagai alternatif lain untuk vegetarian dalam memenuhi kebutuhan protein dari pangan nabati disaat harga kedelai melonjak. Kandungan protein kacang lupin tidak hanya digunakan sebagai pangan alternatif, tetapi juga dapat menurunkan menurunkan kadar kolesterol darah dan menyeimbangkannya sehingga hiperkolesterolemia dapat diatasi hanya dengan mengonsumsi lupin secara rutin. Selain proteinnya yang bermanfaat, tepung lupin juga bermanfaat terutama untuk anak autis yang alergi terhadap gluten, karena kadar glutennya yang rendah. Adanya tepung lupin membantu anak autis dalam menjalankan diet bebas glutennya, tanpa kehilangan kesempatan mengonsumsi pangan yang terbuat dari tepung. Lupin sangat tepat digunakan sebagai bahan pangan alternatif untuk penyelesaian tiga masalah utama tersebut. DAFTAR PUSTAKA 1.

2.

3

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

Zulfa F. Hubungan Kebiasaan Konsumsi Fast Food Moderen dengan Status Gizi [jurnal]. Tasikmalaya: Universitas Siliwangi, 2011. Mlynekova Z, Chrenkova M, Formelova Z. Cereals and Legumes in Nutrition of People with Celiac Disease. International Journal of Celiac Disease. 2(3): 105-109, 2014. Levent H, Bilgicli N. Enrichment of gluten-free cakes with lupin (Lupinus albus L.) or buckwheat (Fagopyrum esculentum M.) flours. International

22


4

5

6

7

8

9

10

11

12

Journal of Food Sciences and Nutrition. 62(7):725-728, 2011. [Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar 2013. Pemeriksaan kadar kolesterol total. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Syarifah F. Jumlah anak autis semakin banyak [internet]. [diunduh 2014 Mar 13]. Tersedia pada: http://health.liputan6.com/read/20314 41/jumlah-anak-autis-semakinbanyak, 2014. Jannah M. Perbedaan asupan zat gizi dan non gizi yang berkaitan dengan kadar hemoglobin vegetarian vegan dan non vegan [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro, 2011. Makri E, Papalamprou E, Doxastakis G. Study of functional properties of seed storage proteins from indigenous european legume crops (lupin, pea, broad bean) in admixture with polysaccharides. Elseiver Ltd. (19):538-594, 2005. Capraro J, Maagni C, Fontanesi M, Budelli A, Duranti M. Aplication of Two-Dimensional Electrophoresis to Industrial Process Analysis of Protein in Lupin-Based Pasta. Elseiver Ltd. (41):1011-1017, 2008. Bahr M, Fechner A, Kramer J, Kiehntopf M, Jahreis G. Lupin Protein Positively Plasma LDL Cholesterol and LDL:HDL Cholesterol Ratio in Hypercholesterolemic Adults After Four Weeks of Supplementation: a Randomized, Controled Creossover Study. Nutrition Journal. (12) 107, 2013. Sirtori CR, Lovati MR, Manzoni C, Castiglioni S, Duranti M, Magni C, Morandi S, D’Agostina A, Arnoldi A. Proteins White Lupin Seed, a Naturally Isoflavone-Poor Legume, Reduce Cholesterolemia in Rats and Increase LDL Receptor Activity in Hepg2 Cells. Journal of Nutrition. (134): 18-23, 2004. Fontanari GG, Batistuti JP, da Cruz RB, Saaldiva PHN, Areas JAG. Cholesterol- lowering Effect of Whole Lupin (Lupinus albus) Seed and its Protein Isolate. Journal of Food Chemistry. (132) 1521-1526, 2012. Frias J, Miranda ML, Doblado R, Vidal-Valverde C. Effect of Germination and Fermentation on the

13

14

15

16

17

18

19

20

21

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

Antioxidant Vitamin Content and Antioxidant Capacity of Lupinus albus L. Var. Multolupa. Journal of Food Chemistry. (92): 211-220, 2005. Villaluenga CM, Frias J, VidalValverde C. Functional Lupin Seeds (Lupinus albus L. and Lupinus luteus L.) After Extraction of α-Galactosides. Journal of Food Chemistry. (98): 291299, 2006. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. The Advantage of Using Lupin in Manufacture of Tempeh. Bandung, 2010. [RPJMN] Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Bidang Pangan dan Pertanian 2015-2019. Jakarta : Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas, 2013. Weerakoon SR, Somaratne S. Agronomic Potential of Lupin (Lupinus spp.) in Sri Langka as an Alternative Crop : Growth and Yield Performance in Different AgroEcological Regions. Asian Journal of Agricultural Research .7 (1): 1-14, 2013. Iskandar YM, Priatni S, Kardono LBS. Influence of Tapioca Flour Concentration And Legumes Varieties on Characteristic of Black Oncom With Mucor Sp. As Inoculum. Teknologi Indonesia. Vol 1(33): 3844, 2010. Handayani R, Kardono LBS, Wijayanti I. Pengaruh Tingkat Substitusi Margarin Dengan Virgin Coconut Oil Dan Jenis Penstabil Terhadap Mutu Es Krim Susu Lupin (Lupinus angustifolius).Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. Vol5(1): 115135, 2007. Priatni S, Devi AF, Kardono LBS, Jayasena V. Quality And Sensory Evaluations Of Tempe Prepared From Various Particle Sizes Of Lupin Beans. Teknologi dan Industri Pangan.(24) : 2, 2013. Kusuma IF. Bahaya hiperkolesterolemia dan cara pencegahannya [artikel]. Jember: UPT UNEJ Medical Center Universitas Jember, 2012. NHS. The vegan diet [internet]. [diunduh 2015 Mar 29]. Tersedia pada : http://www.nhs.uk/Livewell/Vegetaria nhealth/Pages/Vegandiets.asp, 2013.

23


22 23

Aroni H. Terapi diet pada gangguan autisme [artikel]. Malang: Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang, 2014. Gayraud J, Mairesse M, Fontaine JF, Thillay A, Leduc V, Rance F, Parisot L, Moneret-Vautrin DA. The

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

Prevalence of Sensitization to Lupin Flour in France and Belgium: a Prospective Study in 5366 Patients, By the Alergy Vigilance Network. Eur Ann Allergy Clin Immunol. (41) 1: 1722, 2009.

24


ARTIKEL PENYEGAR

VIRUS ZIKA, MEMATIKAN

BUKAN

VIRUS

1

BARU

Aysha Ayunda Akbar , Nur Hikmawaty Syarifuddin

YANG 2

1

Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Semarang, Semarang 2 Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar Email: ayshayunda79@gmail.com

1. PENDAHULUAN Pada bulan April 2007, wabah penyakit yang ditandai dengan ruam, arthralgia, dan konjungtivitis dilaporkan pada Pulau Yap di Negara Federasi Mikronesia. Sampel serum dari pasien fase akut terkandung RNA dari virus Zika (ZIKV), flavivirus dalam keluarga yang sama seperti demam kuning, dengue, West Nile, dan virus ensefalitis Jepang. Temuan ini menunjukkan bahwa virus Zika telah [1] menyebar di luar rentang geografis. Virus Zika termasuk dalam family Flaviviridae dan genus Flavivirus. Pada manusia, virus ini dapat menyebabkan demam ringan yang disebut dengan demam Zika atau penyakit Zika. Masa inkubasi (waktu dari paparan gejala) penyakit virus Zika tidak jelas, tetapi [2] mungkin beberapa hari. Virus Zika sebenarnya sudah ditemukan pertama kali pada bulan April 1947 dari rhesus monyet macaque yang dikurung di hutan Zika, di wilayah Uganda, dekat sungai Victoria, oleh peneliti dari Institute Demam Kuning. Hal ini kemudian diidentifikasi pada manusia pada tahun 1952 di Uganda dan Republik Tanzania. Wabah penyakit virus Zika telah tercatat di [2,3] Afrika, Amerika, Asia dan Pasifik. Infeksi virus Zika disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi, biasanya menyebabkan demam ringan, ruam, konjungtivitis, dan nyeri otot. Gejalagejala ini biasanya ringan dan berlangsung [1,2,4,5] selama 2-7 hari. Pada Mei 2015, Pan American Health Organization (PAHO) mengkonfirmasi munculnya virus Zika di Brazil. Wabah di Brazil ini menyebabkan sindrom GuillainBarrĂŠ, wanita melahirkan bayi cacat dan [6] hasil kehamilan yang buruk. Selama wabah besar di Polinesia Prancis dan Brazil di masing-masing 2013 dan 2015, otoritas kesehatan nasional

melaporkan potensi komplikasi neurologis dan auto-imun penyakit virus Zika. Barubaru ini di Brazil, pihak berwenang kesehatan setempat telah mengamati peningkatan infeksi virus Zika di masyarakat umum serta peningkatan bayi yang lahir dengan microcephaly di timur [2] laut Brazil. Di Indonesia, Lembaga Eikjman telah melaporkan kehadiran virus Zika kepada Kementerian Kesehatan. Peneliti Eikjman Institute menemukan virus tersebut saat terjadi wabah demam dengue di Provinsi Jambi pada periode Desember 2014 [7] sampai April 2015. Penulisan artikel ini bertujuan untuk membahas lebih jauh mengenai virus Zika yang mulai meluas begitu cepat hingga WHO pun menyatakan penyakit yang terkait dengan virus Zika di Amerika Latin sebagai keadaan darurat kesehatan global yang memerlukan tanggapan terpadu, cara penyebaran, gejala dan dampak dari virus [8] ini. 2. PEMBAHASAN Wabah Zika telah terjadi di daerah Afrika, Asia Tenggara, dan Kepulauan Pasifik. Selama tahun 2015, virus Zika ditemukan di Amerika Selatan untuk pertama kalinya. Sejak itu, telah menyebar ke berbagai negara di Amerika Tengah dan Selatan, dan Karibia. Virus Zika ini pertama kalinya mewabah di daerah Pasifik pada tahun 2007 dan 2013 masing-masing di Yap dan Polinesia dan pada tahun 2015 dari Amerika tepat nya di Brazil dan Kolombia dan Afrika (Cape Verde). Selain itu, lebih dari 13 negara di benua Amerika telah melaporkan infeksi virus Zika sporadis menunjukkan ekspansi geografis cepat virus Zika. Selama epidemi di Yap, tiga perempat dari penduduk lokal diperkirakan juga telah terinfeksi.

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

25


Gejala dari infeksi virus Zika adalah demam ringan (antara 37,8°C dan 38,5°C), dan eksantema (ruam kulit), biasanya disertai dengan konjungtivitis, nyeri sendi, sakit kepala yang dimulai 2-7 hari setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi. Gejala virus Zika hampir sama dengan gejala demam berdarah karena vektor pembawanya yaitu nyamuk. Selain itu, gejala infeksi virus Zika yang lainnya antara lain sendi akan mengalami pembengkakan, mengalami gangguan pencernaan (sakit perut, diare, sembelit), sendi akan mengecil pada kaki [1,2,4,5,9] dan tangan. Dari 7 kasus virus Zika di Indonesia dijelaskan oleh Olson dkk (1980), semuanya memiliki demam, anoreksia, diare, sembelit, sakit perut, dan pusing. Satu pasien memiliki konjungtivitis tetapi tidak memiliki ruam. Wabah di Pulau Yap ditandai dengan ruam, konjungtivitis, dan arthralgia. Gejala yang sering muncul lainnya yaitu myalgia, sakit kepala, nyeri [1] retroorbital, edema, dan muntah. Secara manifestasi klinis virus Zika ini menyerupai virus dengue, tetapi secara kenyataan/bukti yang dialami oleh pasien yang terkena virus tersebut demamnya tidak ketahui bahwa demam tersebut akibat dari virus Zika. Di daerah endemis, studi epidemiologi menunjukkan tingginya prevalensi antibodi terhadap Zika. Misalnya, epidemi di Yap pada tahun 2007 mengakibatkan tingkat kematian sebesar 14,6 / 1.000 penduduk dan prevalensi dari [9] 75% setelah epidemi. Selama wabah virus Zika di Polinesia Prancis dilaporkan kasus pertama sindrom Guillain-BarrÊ(GBS) berkembang tujuh hari setelah penyakit seperti influenza membangkitkan infeksi Zika. Berdasarkan hasil serologi IgM / IgG dan Progressive Neural Resolution Therapy (PNRT) yang cukup spesifik untuk membedakan infeksi Zika dengan Dengue, disimpulkan bahwa ini adalah kasus rawat inap pertama di Polinesia Prancis karena infeksi Zika [9] parah. Sejak awal epidemi ini, sampai 8.200 kasus infeksi Zika yang dilaporkan dari 268.000 total penduduk, kejadian GBS meningkat 20 kali lipat di Polinesia Perancis, meningkatkan asumsi implikasi [9] potensial dari Zika. Semenjak virus Zika mewabah besar dikhawatirkan memberikan potensi komplikasi pada neurologis dan sistem auto imun. Peningkatan pada infeksi virus

Zika ini telah banyak terjadi pada masyarakat umum dan bayi yang baru lahir dengan microcephaly (kepala yang kecil). Virus Zika dapat ditularkan dari ibu hamil yang sudah digigit oleh nyamuk yang terinfeksi kepada bayinya selama kehamilan. Microcephaly ini berhubungan dengan virus zika tersebut dimana bayi lahir dengan cacat yang mengakibatkan otak bayi gagal berkembang untuk tumbuh seperti ukuran otak yang biasanya. Selain itu, virus Zika ini juga mengakibatkan bayi mengalami gangguan pendengaran dan penglihatan. Pemeriksaan laboratorium untuk orang yang terinfeksi virus Zika ini pada umumnya hanya mengalami penurunan kadar leukosit (sel darah putih) sama halnya jika terinfeksi dengan virus lainnya. Virus Zika ini tidak menurunkan kadar trombosit beda halnya dengan orang yang terinfeksi demam berdarah akan [9] mengalami penurunan kadar trombosit. Tes diagnostik yang dilakukan untuk infeksi virus Zika yaitu tes PCR pada sampel serum fase akut, mendeteksi virus RNA, dan tes lainnya untuk mendeteksi secara spesifik antibodi terhadap Zika di [1] serum. Virus Zika ini mirip dengan virus demam kuning yang terdapat pada monyet. Patogenesis virus Zika ini dari Flavivirus yang dimana bekas gigitannya akan mengenai sel dendrit dekat inokulasi yang akan menyebar ke kelenjar getah bening [1] dan aliran darah. Virus Zika ini juga merupakan suatu penyakit yang menyerang sistem auto imun yang dipicu oleh infeksi, dimana menyerang sistem kekebalan tubuh dan lapisan sel saraf myelin sehingga akan mengalami kelemahan dan kelumpuhan dari anggota badan bawah hingga ke [1] atas. Dua penelitian telah menunjukkan RNA virus Zika dalam air mani dan satu penelitian menemukan partikel virus Zika dalam air mani lebih dari tiga minggu setelah timbulnya gejala Zika. Tidak ada data konsentrasi virus dalam air mani dan hanya dua laporan kasus penularan seksual virus Zika. Data yang terbatas menunjukkan bahwa penularan virus Zika melalui air mani adalah mungkin tetapi peristiwa ini jarang terjadi. Risiko penularan [10] seksual akan diteliti lebih lanjut. Virus Zika juga telah terdeteksi dalam air liur selama fase akut penyakit tetapi

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

26


belum ada informasi mengenai keberadaan virus, berapa jumlahnya dan lama hidupnya. Risiko penularan melalui air liur belum dapat dikaji lebih lanjut untuk saat [10] ini. Virus Zika ini dapat dicegah dan dikendalikan dengan cara memberantas tempat perkembangbiakkan nyamuk. Pencegahan lainnya yaitu menggunakan obat nyamuk, tidak mengenakan pakaian yang gelap karena nyamuk menyukai gelap, memakai kelambu saat tidur, jangan ada genangan air karena nyamuk bisa berkembang biak di genangan air. Masyarakat juga harus mewaspadai sejak dini terjadinya penularan virus Zika ini dengan melakukan penyemprotan nyamuk [11] di tempat tinggal. Yang terpenting adalah selalu menjaga kebersihan dan kesehatan. Mengkonsumsi air putih dan vitamin yang didapat dari sayur dan buah-buahan dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Orang yang terinfeksi virus Zika ini tidak membutuhkan pengobatan secara khusus. Karena orang yang terinfeksi virus tersebut hanya membutuhkan istirahat yang cukup, minum air putih, dan mengonsumsi obat untuk penurun demam. Untuk mencegah terjadinya bayi yang lahir dengan Microcephaly, sebaiknya ibu hamil untuk tidak pergi ke daerah yang sedang mengalami transmisi virus Zika tersebut. Virus Zika ini sudah banyak mengenai ibu hamil dan melahirkan seorang bayi yang mengalami kecacatan. Sebaiknya juga para ibu hamil yang sedang berada di daerah transmisi virus Zika ini untuk mencegah terjadinya infeksi virus tersebut agar memakai pakaian lengan panjang. 3. KESIMPULAN Infeksi virus Zika merupakan suatu penyakit yang menyerang sistem auto imun yang dipicu oleh infeksi, dimana menyerang sistem kekebalan tubuh dan lapisan sel saraf myelin sehingga akan mengalami kelemahan dan kelumpuhan dari anggota badan bawah hingga ke atas. Infeksi virus Zika disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi virus Zika. Virus Zika termasuk dalam family Flaviviridae dan genus Flavivirus. Gejala dari infeksi virus Zika adalah demam ringan (antara 37,8°C dan 38,5°C), dan eksantema (ruam kulit), biasanya

disertai dengan konjungtivitis, nyeri sendi, sakit kepala yang dimulai 2-7 hari setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi. Gejala virus Zika hampir sama dengan gejala demam berdarah karena vektor pembawanya yaitu nyamuk. Virus Zika dapat ditularkan dari ibu hamil yang sudah tergigit oleh nyamuk yang terinfeksi kepada bayinya selama kehamilan yang mengakibatkanmicrocephaly (kepala yang kecil) pada bayi yang baru lahir. Virus Zika harus dicegah dan dikendalikan dengan berbagai cara, terutama menjaga kebersihan dan kesehatan sebagai cara mewaspadai sejak dini penularan virus Zika. DAFTAR PUSTAKA [1]

Hayes EB.“Zika Virus Outside Africa”. Emerg Infect Dis15 No.9 (2009): 1347 <doi: 10.3201/eid1509.090442>. [2]

World Health Organization (WHO). Zika virus. Januari 2016. 7 Februari 2016 <http://www.who.int/mediacentre/factsheets /zika/en/>. [3]

G. W. A. Dick, S. F. Kitchen, A. J. Haddow. “Communications : Zika Virus(I). Isolations And Serological Specificity”. Transactions Of The Royal Society Of Tropical Medicine And HygieneVol. 46. No. 5. (1952): 510. [4]

Pan American Health Organization (PAHO). Zika virus infection and Zika fever: Frequently asked questions. Februari 2016. 7 Februari 2016<http://www.paho.org/hq/index.php?o ption=com_content&view=article&id=9183 %3A2015-preguntas-frecuentes-virusfiebrezika&catid=8424%3Acontent&Itemid=4171 1&lang=en>. [5]

Foy DB,et al., “Probable Non–Vectorborne Transmission of Zika Virus, Colorado, USA”.Emerg Infect Dis. (2011): 17(5):880-1. <doi: 10.3201/eid1705.101939> [6]

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Zika Virus. Juni 2015. 7 Februari 2016 <http://www.cdc.gov/zika/>. [7]

National Geographic Indonesia. 4 Hal Seputar Virus Zika yang Perlu Diketahui.

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

27


Lutfi Fauziah. Januari 2016. 7 Februari 2016 <http://nationalgeographic.co.id/berita/2016 /01/4-hal-seputar-virus-zika-yang-perludiketahui>. [8]

BBC Indonesia. Virus Zika sebagai keadaan darurat kesehatan global. Februari 2016. 7 Februari 2016 <http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016 /02/160201_dunia_zika_who>. [9]

Syndrome – case report, French Polynesia, December 2013. Oehler, E, et al., Maret 2014. 8 Februari 2016. [10]

European Centre for Disease Prevention and Control. Rapid Risk Assessment: Zika virus disease epidemic: potential association with microcephaly and Guillain–Barré syndrome. 2016 [11]

Republik Februari

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

28

Rapid communications.Zika virus infection complicated by Guillain-Barré

Kementerian Kesehatan Indonesia. 7 2016.<depkes.go.id>.


Tinjauan Pustaka

MENGOPTIMALKAN PERFORMA ATLET MELALUI PENGATURAN INDEKS GLIKEMIK PAN 1 Bibi Ahmad Chahyanto 1

Peminatan Ilmu Gizi Manusia, Program Studi Ilmu Gizi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680 E-mail : bibiahmadchahyanto@rocketmail.com ABSTRAK

Konsep Indeks Glikemik (IG) pangan tidak hanya terkait dengan pengaturan diet untuk diabetisi, tetapi juga diet untuk atlet. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pengaturan diet berbasis IG pangan untuk mengoptimalkan performa atlet pada saat bertanding. Hasil studi literatur menunjukkan bahwa dua sampai tiga jam sebelum bertanding atlet dianjurkan mengonsumsi sumber karbohidrat dengan IG rendah. Setelah pertandingan dianjurkan mengonsumsi pangan IG tinggi jika periode istirahatnya pendek (<8 jam) dan pangan IG rendah jika periode istirahatnya panjang (>24 jam). Kata kunci : Performa, Atlet, Indeks Glikemik Pangan ABSTRACT Glycemic Index (GI) is not only associated with diet for diabetes, but also diet for athletes. This article aims to examine GI diet to optimize the performance of athletes. The study of literature shows that two to three hours befor competing athletes are advised to consume carbohydrates food with low GI. After the game are encouraged to consume high GI food if a short resting period (<8 hours) and low GI food if long rest periods (>24 hours). Keywords : Performance, Athlete, Glycemic Index 1. PENDAHULUAN Indeks glikemik (IG) pangan dapat didefenisikan sebagai tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah.Konsep IG telah dikembangkan oleh Dr. David Jenkins sejak tahun 1981.Sebelum konsep ini dikembangkan, seluruh pangan berkarbohidrat dengan kuantitas energi yang sama dianggapakan memberikan pengaruh yang sama terhadap perubahan kadar glukosa darah. Konsep tersebut mulai berubah setelah konsep IG dikembangkan. Konsep baru yang hingga saat ini dapat diterima adalah pangan berkarbohidrat meskipun memiliki kuantitas energi yang sama, maka pengaruhnya terhadap perubahan kadar glukosa darah akan berbeda (tidak selalu [1,2] sama). Selain digunakan dalam penatalaksanaan diet bagi penyandang diabetes, tujuan lain dari dikembangkannya konsep IG pangan ini adalah untuk melakukan pengaturan diet bagi olahragawan atau atlet. Apabila kita

menuliskan glycemic index and sport nutrition atau glycemic index and performance pada halaman pencarian google, maka akan keluar lebih dari 100.000 hasil pencarian terkait kata-kata tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa telah banyak isu-isu ataupun informasi terkait pengaturan IG pangan dan olahraga. Penelitian penelitian yang mengangkat topik tentang keterkaitan IG pangan dengan olahraga juga cukup banyak berkembang hingga saat ini, tetapi masih banyak pro dan kontra dari hasilhasil penelitian tersebut terutama dalam menentukan penggunaan IG rendah, sedang, ataupun IG tinggi pada olahragawan. Menurut beberapa penelitian,pengaturan IG pangan dapat mengoptimalkan performa olahragawan, tetapi ada juga yang menyatakan bahwa pengaturan ig pangan tidak berhubungan dengan performa olahragawan. Perbedaan hasil-hasil ini yang kemudian mendasari [3,4,5,6,7 penulisan artikel ini. Penulisan artikel editorial ini bertujuan untuk mengamati,

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

29


mengumpulkan fakta-fakta ilmiah serta memberikan saran untuk mengoptimalkan performa atlet/olahragawan melalui pendekatan pengaturan IG pangan.Literatur yang digunakan berasal dari hasil-hasil penelitian baik yang diterbitkan dalam jurnal nasional/internasional maupun yang tidak diterbitkan.

glikogen secara optimal diantara waktu latihan atau pertandingan. Konsumsi CHO sebelum berolahraga biasanya direkomendasikan untuk mempersiapkan penyimpanan cadangan glikogen, selama berolahraga CHO berfungsi sebagai sumber energi, dan setelah berolahraga digunakan untuk mensintesis kembali [2] simpanan glikogen secara optimal.

2.

2.2 Kategori Pangan berdasarkan Indeks Glikemik Pangan dapat dikategorikan menjadi pangan dengan IG tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan nilai indeks glikemiknya. Pangan dikategorikan memiliki IG rendah apabila nilai IG pangan tersebut kurang dari 55 (<55), kategori IG sedang apabila nilai IG pangan berkisar antara 55 sampai 70, dan kategori IG tinggi apabila nilai IG pangan lebih dari 70 [2,17] (>70). Tinggi rendahnya IG pangan sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kadar serat pangan, kadar amilosa dan amilopektin, daya cerna pati, [18] dan cara pengolahan pangan. Beberapa contoh pangan sumber karbohidrat beserta nilai IG dan kategorinya ditampilkan pada Tabel 1.

PEMBAHASAN

2.1 Peran Karbohidrat dalam Olahraga Karbohidrat (CHO) merupakan molekul organik yang paling berlimpah di alam.Karbohidrat berfungsi sebagai salah satu zat gizi terpenting sebagai sumber utama penghasil energi bagi manusia, serta berperan sebagai cadangan energi di dalam tubuh.Karbohidrat dikatakan sebagai sumber energi utama dan murah karena zat gizi inilah yang ketika masuk ke dalam tubuh akan langsung dan cepat dicerna tanpa membutuhkan energi yang besar untuk membentuk energi yang baru dalam proses metabolisme. Setiap 1 gram karbohidrat akan menghasilkan sekitar 4 kkal energi. Di dalam tubuh, karbohidrat akan dipecah menjadi molekul yang lebih sederhana yaitu glukosa. Jalur utama pembentukan energi dari glukosa melalui proses glikolisis yang membutuhkan sekitar [8] 2 ATP untuk menghasilkan 4 ATP. Semakin tinggi aktivitas seseorang, maka akan semakin besar pula kebutuhan energinya sehingga secara otomatis akan membutuhkan karbohidrat yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan orang yang beraktivitas sedang atau rendah.Seorang atlet membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan non-atlet karena aktivitasnya yang berbeda.Oleh karena itu, pengaturan asupan karbohidrat sangat penting dilakukan oleh atlet dengan tujuan untuk mengoptimalkan daya tahan dan kekuatan baik pada saat melakukan latihan [8, 2, 9] maupun bertanding (berkompetisi). IOC (2003) mengeluarkan persetujuan umum bagi para atlet untuk fokus terhadap kebutuhan karbohidrat dengan program konsumsi makanan sebelum pelatihan, pemenuhan gizi selama pelatihan, pemulihan pasca pelatihan, serta [3,10] interaksi zat gizi dan pelatihan. Pada kondisi olahraga, jenis CHO dan waktu untuk mengonsumsi makanan sangat penting diatur untuk menjaga dan/atau mensintesis kembali simpanan

Tabel 1. Nilai Indeks Glikemik Beberapa Pangan Sumber Karbohidrat Beserta Kategorinya

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

No 1 2 3 4 5 6 7 8

Produk Pangan Nasi (beras giling [19] Sarinah) Bubur pati resisten [20] singkong Sukun [21] goreng Sukun [21] kukus Sukun [21] rebus Nasi (beras [22] giling IR 42) Nasi (beras giling Batang [22] Lembang) Ubi cilembu [23] kukus

Nilai IG

Kategori IG

90

Tinggi

98

Tinggi

82

Tinggi

89

Tinggi

85

Tinggi

68

Sedang

63

Sedang

58

Sedang

30


No 9 10 11 12 13 14 15

Produk Pangan [24]

Papeda [24] Bubur sagu Suweg [25] kukus Suweg [25] rebus Suweg [25] goreng Tiwul [26] singkong Jagung manis [27] rebus

Nilai IG 63 70

Kategori IG Sedang Sedang

37

Rendah

46

Rendah

25

Rendah

29

Rendah

41

Rendah

2.3 Pengaturan IG Pangan Sebelum Berolahraga (Pre Exercise) Tujuan dari pengaturan IG pangan sebelum latihan atau berolahraga adalah agardapat menyediakan karbohidrat yang berguna untuk meningkatkan dan mempertahankan kadar glukosa darah tanpa meningkatkan kerja insulin secara drastis. Hingga saat ini penentuan kategori IG pangan yang dapat digunakan sebelum melakukan latihan atau pertandingan olahraga masih diperdebatkan karena hasil-hasil penelitian yang berbeda-beda. Hasil-hasil penelitian ini cukup beragam karena metode, jenis makanan intervensi, waktu konsumsi makanan dan jenis latihan [3,11] atau olahraga yang berbeda-beda. Secara umum, kesepakatan yang hingga saat ini dapat diterima secara global yaitu, bahwa konsumsi pangan karbohidrat dengan kategori IG rendah sebelum berolahraga lebih bermanfaat/ menguntungkan dibanding dengan konsumsi pangan dengan IG tinggi. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa konsumsi panganIG rendah sebelum bertanding dapat menjaga pelepasan glukosa ke aliran darah secara perlahan sehingga tidak menyebabkan hipoglikemia dan kelelahan pada awal [3] pertandingan. Menurut Lenner (2004), mengatur IG pangan sebelum latihan dapat berkontribusi terhadap peningkatan kinerja/performa, konsumsi pangan IG tinggi pada waktu 30 – 60 menit sebelum latihan dapat menyebabkan hiperinsulinemia dan hipoglikemia sehingga dapat menurunkan performa [12] (gangguan kerja) bagi atlet. Wu dan Williams (2006), membuktikan konsumsi pangan IG rendah 3 jam sebelum latihan/pertandingan akan meningkatkan

kapasitas daya tahan yang lebih besar jika dibandingkan dengan konsumsi pangan IG [13] tinggi. Wong et al. (2008), menganjurkan pemberian konsumsi pangan IG rendah 2 jam sebelum pelatihan/pertandingan karena dapat meningkatkan kinerja atlet [14] pelari 21 km. O’reilly et al. (2010),menambahkan bahwa keuntungan dari konsumsi pangan IG rendah sebelum latihan (pre exercise) adalah menurunkan resiko hiperinsulemia yang menyebabkan meningkatnya oksidasi asam lemak dan pemenuhan glukosa darah yang berkesinambungan [11] (berkelanjutan) selama latihan. Namun, tidak ada keuntungan yang pasti dari segi peningkatan performa (kinerja). Beberapa keuntungan terkait respon performa (kinerja) atlet yang mungkin terwujud dari konsumsi pangan IG rendah sebelum latihan yaitu menunda terjadinya rasa lelah dan terjadi peningkatan kecepatan lari [4] pada jarak 40 km. Sebagai contoh, penelitian terbaru berjudul “The effects of low and high glycemic index foods on exercise performance and beta-endorphin responses” oleh Jamurtas et al. (2011),membuktikan bahwa konsumsi pangan sumber karbohidrat dengan IGyang berbeda 30 menit sebelum latihan bersepeda tidak menghasilkan perubahan performa (kinerja) olahraga, tingkat betaendokrin dan oksidasi lemak selama latihan secara signifikan. Meskipun secara signifikan tidak berbeda nyata, tetapi untuk pangan IG rendah memacu perasaan lelah yang lebih lama dibandingkan pangan [6] dengan IG tinggi dan pangan control. Hasil penelitian Welis et al. (2014) berjudul “Influence of glycemic index-based menu on endurance performance of athletes”membuktikan bahwa performa daya tahan lari 5 km pada kelompok yang mengonsumsi pangan dengan IG rendah lebih baik dibandingkan kelompok IG tinggi dan terdapat pengaruh yang nyata antara pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap performa daya tahan lari 5 km pada atlet mahasiswa. Disimpulkan juga bahwa mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat dengan IG rendah 3 jam sebelum latihan dapat meningkatkan performa daya tahan lari 5 km pada atlet mahasiswa daripada mengonsumsi pangan [7] dengan IG tinggi.

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

31


2.4 Pengaturan IG Pangan Selama Berolahraga (During Exercise) American college of sports medicine (2007) menganjurkan untuk memberi asupan karbohidrat yang cukup pada olahraga yang membutuhkan waktu lama (lebih dari 1 jam) saat pertandingan.Jenis CHO yang dianjurkan adalah CHO yang mudah dicerna sebanyak 30 – 60 gram per jam. Tujuan dari pemberian cho selama latihan adalah untuk menjaga ketersediaan glukosa dalam darah agar dapat mempertahankan proses oksidasi dan [3,15] menunda rasa lelah. Makanan dengan IG tinggi dibutuhkan saat pertandingan berlangsung agar kadar glukosa darah dapat meningkat [2] dengan cepat. Makanan yang dianjurkan adalah makanan dalam bentuk cair karena mudah dicerna dan diserap dalam usus. Namun, anjuran konsumsi pangan IG tinggi pada saat berolahraga juga masih menjadi perdebatan karena masih terbatasnya penelitian terkait hal tersebut.Penelitian yang terkait konsumsi pangan dengan IG berbeda selama latihan terhadap performa belum banyak dipublikasikan. Salah satu penelitian yang secara jelas membuktikan hal tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Earnest et al. (2004) dengan judul “Low vs high glycemic index carbohydrate gel ingestion during simulated 64 km cycling time trial performance”.Pangan yang mewakili IG tinggi dalam penelitian ini adalah dekstrosa sedangkan yang mewakili IG rendah adalah madu. Hasil penelitian yang menggunakan 9 orang pesepeda terlatih laki-laki membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan performa yang nyata antara orang yang mengonsumsi gel IG tinggi dengan yang mengonsumsi gel IG [5] rendah. 2.5 Pengaturan IG Pangan Setelah Berolahraga (Pasca Exercise) dan Recovery Tujuan utama pemberian makanan setelah latihan atau pertandingan olahraga adalah untuk meningkatkan kadar glukosa darah secepat mungkin sehingga dapat menyediakan substrat untuk proses sintesis glikogen dengan cepat. Hasil penelitian membuktikan bahwa resintesis glikogen otot dapat terjadi ketika konsumsi CHO setiap 15 menit sebanyak 1 – 1.8 gram/kilogram/jam selama 2 – 4 jam [4,16] segera setelah latihan.

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa konsumsi pangan sumber CHO yang mengandung IG tinggi selama pemulihan setelah berolahraga dapat meningkatkan sintesis glikogen otot.Hal ini sangat penting terutama untuk atlet yang rutin berlatih dan/atau melakukan latihan olahraga lebih dari 1 kali dalam sehari sehingga keterbatasan waktu dalam pemulihan glikogen otot dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Pangan IG tinggi menjadi pilihan terbaik setelah latihan ketika periode pemulihan pendek (<8 jam). Namun, apabila waktu pemulihan lebih panjang, pangan dengan IG rendah dengan kombinasi protein dapat diberikan secara bebas. Konsumsi pangan IG rendah selama 24 jam pertama (setelah pemulihan) berperan penting dalam peningkatan performa atlet pada hari [4] selanjutnya. 3.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa pengaturan IG pangan pada atlet sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kerja atlet. Dua sampai tiga jam sebelum melakukan latihan/pertandingan, atlet dianjurkan mengonsumsi pangan sumber karbohidrat yang mengandung IG rendah. Manfaat yang akan didapatkan adalah menurunkan risiko hipoglikemia dan hiperunsilemia, menjaga glukosa darah secara berkesinambungan, mengurangi rasa kelelahan, serta dapat meningkatkan kinerja/performa atlet untuk beberapa jenis olahraga. Selama pelatihan/pertandingan atlet dianjurkan mengonsumsi pangan dengan IG tinggi sebanyak 30 – 60 gram per jam. Setelah latihan/pertandingan dianjurkan untuk mengonsumsi pangan IG tinggi jika periode pemulihan pendek (<8 jam) dan IG rendah jika periode pemulihan panjang (≥24 jam). DAFTAR RUJUKAN 1.

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

Jenkins DJA, Wolever TMS, Taylor RH, Barker H, Fielden H, Baldwin JM, et al. “Glycemic index of foods: a physiological basis for carbohydrate exchange”. Am J Clin Nutr.43(1981):362–366.

32


2. 3.

4.

5.

6.

7.

8.

9. 10.

11.

12.

13.

Rimbawan, Siagian A. Indeks glikemik pangan. Jakarta(ID): Penebar Swadaya, 2004. Burke LM, Hawley JA, Wong SHS, Jeukendrup AE. “Carbohydrates for training and competition”. Journal of Sports Sciences.(2011):1 – 11. Donaldson CM, Perry TL, Rose MC. “Glycemic index and endurance performance”. International Journal of Sport Nutrition and Exercise Metabolism.20(2010):154–165. Earnest CP, Lancaster SL, Rasmussen CJ, Kerksick CM, Lucia A, Greenwood MC, et al.“Low vs high glycemic index carbohydrate gel ingestion during simulated 64-km cycling time trial performance”. Journal of Strength and Conditioning Research.18:3(2004):466–472. Jamurtas AZ, Tofas T, Fatouros I, Nikolaidis MG, Paschalis V, Yfanti C, et al.“The effects of low and high glycemic index foods on exercise performance and beta-endorphin responses”.JISSN.8:15(2011):1-11. Welis W, Rimbawan, Sulaeman A, Riyadi H. “Influence of glycemic indexbased menu on endurance performance of athletes”. Asian Social Science.10:5(2014):173–180. Ferrier DR. Lippincot’s illustrated reviews biokimia edisi ke-6 jilid satu. Penerjemah Rudiharso W, Hartono A, Saputra L.Tangerang Selatan (ID):Binarupa Aksara Publisher, 2014. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman gizi olahraga prestasi. Jakarta(ID): Kementerian Kesehatan RI, 2014. Hargreaves M, Hawley JA, Jeukendrup AE. “Preexercise carbohydrate and fat ingestion: Effects on metabolism and performance”. Journal of Sports Sciences. 22 (2004):31-38. O’Reilly J, Wong SHS, Chen Y. “Glycaemic index, glycaemic load and exercise performance”. Sport Med. 40:1 (2010): 27–39. Lenner RA, Asp NG, Axelsen M, Bryngelsson S, Haapa E, Jarvi A, et al. “Glycaemic index: relevance for health, dietary recommendations and food labelling”. Scandinavian Journal of Nutrition. 48:2 (2004):84–94. Wu CL, Williams C. “A low glycemic index meal before exercise improves endurance running capacity in men”.

14.

15.

16. 17. 18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

International Journal of Sport Nutrition and Exercise Metabolism.16 (2006):510–527. Wong SH, Siu PM, Lok A, Chen YJ, Morris J, Lam CW. “Effect of the glycaemic index of pre-exercise carbohydrate meals on running performance”. European Journal of Sport Science. 8:1 (2008):23–33. American College of Sports Medicine.“American college of sports medicine position stand: exercise and fluid replacement”. Med Sci Sports Exer.39:2 (2007):377–390. Wright HH. “The glycaemic index and sports nutrition”. SAJCN. 18:3 (2005):222-228. Miller JB, Powell, Colgiuri. The GI factor: The GI solution. Australia: Hodder Headline Pty Limited, 1996. Abdullah, Budiyanto A., Hoerudin. “Nilai indeks glikemik produk pangan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya”. J Litbang Per. 32:3 (2013): 91-99. P., Setyaningsih. Karakteristik sifat fisiko kimia dan indeks glikemik beras berkadar amilosa sedang. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2008. Karimah I. Nilai indeks glikemik bubur instan pati singkong dan bubur instan pati resisten singkong. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2011. Rakhamawati FKR, Rimbawan, Amalia L. “Nilai indeks glikemik berbagai produk olahan sukun (Artocarpus Altilis)”. Jurnal Gizi dan Pangan. 6:1 (2011): 28-35. Akhyar. Pengaruh proses pratanak terhadap mutu gizi dan indeks glikemik berbagai varietas beras di Indonesia. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2009. Maulana B. Pengaruh berbagai pengolahan terhadap indeks glikemik Ubi Jalar (Ipomea Batatas) Cilembu. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2012. Riany YE. Pengaruh pengolahan terhadap indeks glikemik pangan berbagan baku sagu (Metroxylon sp.). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2006. Gunawan SA. Nilai indeks glikemik produk olahan Suweg (Amarphoallus campanulatus BI.). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2013.

33


26. Hasan V, Astuti S, Susilawati. “Indeks glikemik oyek dan tiwul dari umbi garut (Maratha arundinaceae L.), suweg (Amorphollus campanullatus BI), dan singkong (Manihot utilisima)”. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian. 16:1 (2011): 34-50.

27. Amalia SN, Rimbawan, Dewi M. “Nilai indeks glikemik beberapa jenis pengolahan jagung manis (Zea mays Saccharata Sturt)”. Jurnal Gizi dan Pangan. 6:1 (2011): 36-41.

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

34


Tinjauan Pustaka

SMOOTROPS: MINUMAN PADUAN BUAH TROPIS BERBASIS WHOLE FOOD DENGAN POTENSI ANTIOKSIDAN SEBAGAI PENCEGAH PENYAKIT DEGENERATIF 1 1 2 Riska Amelia Mulyo , Indah Widia Ningsih , Abdul Aziz 1

2

Mahasiswa Program Studi Gizi Masyarakat, Mahasiswa Program Studi Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor, Jalan Raya Dramaga, Kampus IPB Dramaga, Bogor, Jawa Barat, 16680 E-mail : Amelia.mulyo@gmail.com ABSTRAK Hingga saat ini penyakit degeneratif telah menjadi penyebab kematian terbesar di dunia. Hampir 17 juta orang meninggal lebih awal setiap tahun akibat epidemi global penyakit degeneratif. Kematian warga negara dengan pendapatan nasional sedang dan rendah akibat penyakit degeneratif mencapai 80%. Survei dari 41.590 kematian sepanjang tahun 2014 di Indonesia menunjukkan penyebab kematian akibat penyakit demigeneratif meningkat dari tahun ke tahun. Akhir-akhir ini teori radikal bebas banyak mendapat dukungan dari para ahli sebagai penyebab penyakit degeneratif. Pada teori ini disebutkan bahwa radikal bebas memicu terjadinya proses penuaan dan penyakit degeneratif. Salah satu anjuran pencegahan radikal bebas dalam tubuh adalah dengan diet pangan kaya antioksidan. Namun, kini kemudahan penggunaan bahan pangan murni atau hasil ekstraksi dalam proses pengembangan dan penerapan teknologi industri pangan banyak menghasilkan produk pangan yang praktis tetapi padat kalori, tinggi garam, rendah zat gizi mikro, rendah serat dan senyawa bioaktif. Trend pangan praktis ini menyediakan bahan pangan olahan yang memberikan peluang besar kemungkinan tubuh menjadi gemuk tetapi rendah zat gizi mikro, kekurangan serat serta senyawa bioaktif dan menaikkan kadar garam tubuh. Diet seperti ini telah dibuktikan menghasilkan berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes, jantung dan kanker, dan disebut sebagai diet tidak sehat. Pengembangan pangan praktis dengan kalori cukup, rendah garam, kaya zat mikro, kaya serat dan senyawa bioaktif dapat dilakukan dengan teknologi pasteurisasi dari bahan paduan buah dan sayur tropis Indonesia berbasis whole foodmenyediakan pangan aman, praktis dan sehat. Minuman smootrops adalah minuman smoothie yang dikembangkan dari buah pisang, mangga, nanas dan buah sayur tomat dengan pengkayaan antioksidan sari krokot menyediakan komponen vitamin, mineral, serat dan antioksidan. Smootrops menjadikan pangan sehat dan praktis yang berpotensi menghindarkan diri dari radikal bebas dan mengurangi risiko terkena penyakit degeneratif. Kata kunci: penyakit degeneratif, smootrops, teknologi pasteurisasi, whole food ABSTRACT The degenerative disease has been the cause of death in the world. Nearly 17 million people die prematurely every year due to the global epidemic of degenerative diseases. Death citizens with moderate and low national income due to a degenerative disease reached 80%. The survey of 41 590 deaths throughout 2014 in Indonesia showed the cause of death from degenerative disease increased. Lately, the free radical theory a lot of support from the experts as the cause of the degenerativedisease. On this theory states that free radicals lead to aging and degenerative diseases. One suggestion prevention of free radicals in the body is the food that was rich in antioxidants. However, now the ease of use of food ingredients pure or extracted in the process of technology development and application of food industry produce a lot of food products that are practical but calorie-dense, high-salt, low in micronutrients, low in fiber and bioactive compounds. Trend provides a practical food processed food ingredients that provide great opportunities possibility of body fat but low in micronutrients, lack of fiber and bioactive compounds and increase the salt content of the body. Such a diet has been proven produces a variety of degenerative diseases such as diabetes, heart disease and cancer, and is referred to as an unhealthy diet. Development of practical food with enough calories, low in salt,

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

35


a substance rich in micro-fiber and bioactive compounds can be carried out by pasteurization technology of alloy materials Indonesian tropical fruits and vegetables based whole food, safe and healthy. Smootrops is a smoothie drink that was developed from the banana, mango, pineapple and tomato that was rich in antioxidants provide components of vitamins, minerals, fiber and antioxidants. Smootrops was healthy food and avoid the practical potential of free radicals and reduce the risk of degenerative desease. Keyword: degenerative diseases, smootrops, technology pasteurized, whole food 1. PENDAHULUAN Indonesia saat ini masih mengalami masalah gizi ganda di bidang kesehatan. Hal ini karena di satu sisi terjadi peningkatan penyakit degeneratif, di sisi lain penyakit non infeksi juga masih merajalela. Hingga saat ini, penyakit degeneratif telah menjadi penyebab kematian terbesar di dunia. Hampir 17 juta orang meninggal lebih awal setiap tahun 1 akibat epidemi global penyakit degeneratif. Kematian warga negara dengan pendapatan nasional sedang dan rendah akibat penyakit degeneratif mencapai 80%. Survei dari 41.590 kematian sepanjang tahun 2014 di Indonesia menunjukkan penyebab kematian akibat penyakit degeneratif meningkat dari tahun ke tahun 2 . Penyakit degeneratif adalah penyakit tidak menular yang berlangsung kronis karena kemunduran fungsi organ tubuh akibat proses penuaan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, pola hidup dengan diet tinggi lemak (makanan cepat saji) dan tingkat stressor tinggi mempunyai kontribusi positif terhadap timbulnya penyakit degeneratif. Selain itu,terdapat korelasi yang positif juga antara umur dengan munculnya penyakit degeneratif. Terdapat banyak teori yang membahas tentang proses penuaan yang berkontribusi dengan munculnya penyakit degeneratif, yaitu teori genetika, teori tear and wear,teoricrosslink, teori lingkungan, teori imunitas, teori neuroindokrin, teori radikal 2 bebas dan lipofuchsin. Era modern saat ini, kemajuan teknologi di segala bidang semakin pesat, salah satunya ulapenggunaan bahan pangan murni atau hasil ekstraksi dalam proses pengembangan dan penerapan teknologi industri pangan banyak menghasilkan produk pangan yang praktis tetapi padat kalori, tinggi garam, rendah zat gizi mikro, rendah serat dan senyawa bioaktif. Trend pangan praktis ini menyediakan bahan pangan olahan yang

memberikan peluang besar kemungkinan terjadinya masalah gizi seperti kegemukan/obesitas. Diet seperti ini merupakan diet yang tidak sehat dan telah telah terbukti memicu berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes, jantung koroner, hipertensi, kanker, dan penyakit deegeneratif lainnya. Berdasarkan uraian di atas, oleh karena itu perlu dilakukannya pengembangan pangan praktis yang kaya akan zat gizi dengan menggunakan teknologi sederhana. Salah satu pengembangan produk tersebut adalah Smootrops. Smootrops merupakan minuman yang terbuat dari paduan buah dan sayur tropis Indonesia (nanas, mangga, tomat dan pisang) berbasis whole food. Pembuatan Smootrops dilakukan dengan menggunakan teknologi pasteurisasi bertujuan untuk meminimalkan kerusakan mutu dan zat gizinya. Sehingga produk Smootrops tersebut menjadi pangan yang aman, praktis, dan sehat dengan harga yang terjangkau. Smootrops diharapkan dapat menjadi salah satu pangan yang menyehatkan dan menjadi salah satu solusi untuk mencegah atau mengurangi risiko terkena penyakit degeneratif pada masyarakat Indonesia. Tujuan dari pembuatan minuman ini adalah menghasilkan suatu inovasi pangan yang aman, praktis, sehat dan berkualitas yang terbuat dari buah tropis Indonesia mengandung kaya zat gizi mikro, serat, antioksidan dan senyawa bioaktif, sehingga dapat menjadi salah satu solusi alternatif untuk mencegah atau mengurangi risiko terkena penyakit degeneratif pada masyarakat Indonesia. 2. BAHASAN 2.1 Formulasi Produk Tahap awal yang dilakukan dalam pembuatan produk ini adalah formulasi produk. Formulasi produk yang digunakan

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari - Juli 2016

36


dalam pembuatan smoothtrops, formulasi tersebut disajikan pada tabel berikut. Tabel 1 Formulasi pembuatan smootrops F1 F2 F3

M 50g 20g 20g

N 20g 20g 50g

T 20g 50g 20g

P 10g 10g 10g

G 10g 10g 10g

Keterangan : M : Mangga ; N : Nanas; T: Tomat; P: Pisang; G: Gula

2.2 Tahapan Pembuatan Smootrops Bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan smoothrops adalah buah mangga, pisang, nanas, tomat, dan gula, alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mangkuk, gelas, baskom, blender, sendok, spatula, timbangan digital, timbangan analitik, panci, wadah plastik, dan kompor. Metode yang digunakan dalam pembuatan ini meliputi tahapan pendahuluan formulasi pembuatan Smootrops dan tahapan uji kesukaan. Berikut merupakan tahapan pembuatan Smootrops. Langkah-langkah pembuatan produk ini adalah sebagai berikut Pertama dilakukan penetapan metode pembuatan Smootropsberdasarkan modifikasi 3 penelitian Hartati , dibuat minuman dengan tiga formula yang ditentukan. Pertama dilakukan pemilihan bahan yaitu berbagai buah kemudian buah disortasi setelah itu dilakukan pemotongan. Langkah berikutnya adalah melakukan pemblansiran pada suhu 85°C selama 10 menit, kemudian diblender dan dilakukan hot mixing untuk mencampur semua bahan agar tercampur dengan baik pada saat proses ini ditambahkan dengan sari krokot untuk memperkaya kandungan antioksidan didalamnya. Setelah itu dilakukan pengemasan di dalam botol dan dilakukan proses hot filling pada suhu 60-70°C, proses berikutnya adalah pasteurisasi untuk menjamin keamanan produk yang dilakukan pada suhu 70°C selama 15 menit. Proses terakhir adalah melakukan pendinginan terhadap produk. 2.3 Uji Kesukaan Pengujian organoleptik dilakukan menggunakan uji hedonik. Pengujian dilakukan terhadap 10 orang panelis. Panelis diminta tanggapannya yang dituliskan dalam lembar uji organoleptik

meliputi karakteristik warna, rasa, aroma, tekstur, dan keseluruhan dengan skala 1=sangat tidak suka, 2=tidak suka, 3=biasa, 4=suka, dan 5=sangat suka. Selanjutnya dilakukan penilaian pada hasil uji organoleptik untuk mengetahui kecenderungan produk yang disukai oleh panelis. Berikut merupakan hasil dari uji organoleptik yang telah dilakukan. Berikut merupakan hasil dari uji hedonik yang sudah dilakukan terhadap produk ini. Berikut merupakan hasil uji organoleptik yang dilakukan.

Hasil uji hedonik

4 3 2 1 0

F1 F2 F3

Gambar 1 kesukaan

Diagram

hasil

uji

Berdasarkan hasil uji hedonik yang dilakukan kepada 10 panelis, dapat disimpulkan bahwa produk dengan warna yang paling disukai adalah produk F1, produk dengan aroma paling disukai adalah produk F3, produk dengan rasa paling disukai adalah produk F3, produk dengan tekstur paling dsukai adalah produk F1, dan secara keseluruhan produk yang paling disukai adalah produk F3, yaitu produk dengan formula buah nanas yang lebih banyak dibandingkan dengan komposisi bahan lainnya. Hal ini karena buah nanas selain memberikan efek yang baik baik pada warna dan aroma, buah nanas juga memiliki rasa yang cukup enak sehingga secara keseluruhan produk dengan formula F3 dapat disimpulkan sebagai produk terpilih. 2.4 Analisis Kandungan Zat Gizi Kandungan energi, protein, dan lemak dari smoothrops diketahui dengan menjumlah kandungan energi, protein, dan lemak, serta karbohifdrat dan vitamin C yang terdapat pada seluruh bahan yang digunakan. Kandungan gizi bahan tersebut diperoleh dari Daftar Komposisi Bahan 4 Makanan. dan Daftar Penukar Bahan 4 Makanan II. Kandungan energi,

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari – Juli 2016

37


protein,lemak, protein, dan vitamin C, serta serat smootrops per100 gram disajikan pada tabel berikut ini.

kandungan serat yang terdapat dalam produk ini berkontribusi sebesar 33.9% dari kebutuhan sehari berdasarkan anjuran WHO.

Tabel 2 Kandungan gizi Smootrops/100g Bahan Tomat

E

P

4

0.2

26 9. 9 9. 2 50

0.2 0.1 2 0.0 8 0

99

0.6

L 0.0 6

Nanas Pisang Mangg a Gula TOTA L

0.1 0.0 2 0.0 4 0 0.2 2

KH 0.8 4 6.8 5 2.5 8 2.3 8 12 24. 6

VC 8 12 0.3 1.2 0 21. 5

S 4.6 9 2.8 5 0.3 8 0.5 5 0 8.4 7

Keterangan : E

: Energi (kkal)

P

: Protein (gram)

L

: Lemak (gram)

KH

: Karbohidrat (gram)

VC

: Vitamin C (miligram)

S

: Serat (gram)

Analisis kandungan gizi smoothrops formulasi terbaik hasil dari uji organoleptik. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa kandungan energi pada Smootrops termasuk rendah yaitu 99 kkal hal ini sesuai dengan salah satu tujuan dari pembuatan produk ini yaitu untuk menghasilkan produk berbasis whole food yang rendah energi. Sedangkan kandungan proteinnya sebesar 0.6g, lemak sebesar 0.22g, dan kandungan vitamin C yang baik bagi penyakit degeneratif cukup tinggi yaitu sebesar 21.5 mg. Jika dibandingkan dengan kecukupan vitamin C pada orang dewasa mengacu pada AKG 2014, kandungan vitamin C pada smootrops berkontribusi sebesar 26% dari kecukupan sehari. Apabila seseorang meminum produk ini sebanyak 100g maka orang tersebut perlu melengkapi kecukupan vitamin C sebesar 74% dari bahan pangan lainnya. Hal ini untuk menjaga pola pangan beragam dan seimbang sesuai dengan pedoman gizi seimbang yang akan berkontribusi baik terhadap kesehatan masyarakat Indonesia menuju Indonesia sehat 2020. Selain itu kandungan serat untuk produk ini juga cukup baik yakni sebesar 8.47g/100g produk, WHO menganjurkan konsumsi serat yang baik setidaknya mencapai 25g per hari sehingga

2.5 Pengkayaan Antioksidan dengan Sari Krokot Tumbuhan krokot (Portulaca oleraceae L.) tumbuh subur di Indonesia yang biasanya tumbuh sebagai gulma. Krokot ini tumbuhann liar yang bisa tumbuh dimana-mana, tidak hanya di persawahan yang subur tapi juga di daerah yang tanahnya tandus. Didunia global, tanaman ini sudah dimanfaatkan sebagai sayuran, 5 obat herbal dan terapi. Namun sayangnya di Indonesia tanaman ini belum banyak pemanfaatannya baik sebagai sayuran ataupun sebagai obat herbal. Krokot mendapatkan julukan power food of the future karena memiliki kandungan gizi yang 9 tinggi dan komponen antioksidan. Selain itu juga dilaporkan karena menjadi excellent source antioksidan vitamin alfa-tokoferol, asam askorbat, beta-karoten yang sama 5 baiknya dengan glutation. Daun dan batang krokot mengandung protein 23.47%, lemak 5.26%, serat 40.67% dan kadar abu 22.66%. lebih lanjut dilaporkan juga komponen antioksidan (total fenol, total flavonoid, klorofil dan karotenoid) pada serbuk krokot 8 kering dapat dilihat pada Tabel 3. Serta komponen mineralnya yang tinggi kalsium, kalium, magnesium dan besi yang jumlah kandungannya tertera pada Tabel 3.Pengeringan dengan udara panas atau freeze drying daun krokot dapat menghasilkan benefit yang optimum akan komponen bioaktif dan memiliki kapasitas 5 sebagai antiokidan yang tinggi. Rerekomendasi konsumsi krokot yang memiliki ragam komponen antioksidan dapat mencegah atau memperlambat oxidative stress yang diakibatkan oleh 5 radikal bebas. Tabel 3 Kandungan gizi krokot kering Komponen Total kandungan fenolik (GAE) Total flavonoid (quercetin) Klorofil A Klorofil B Total Klorofil Total Karotenoid

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari – Juli 2016

Jumlah (mg/100g) 354.23 95.94 32.24 21.63 53.87 110.97

38


Komponen Kalsium Sodium

Jumlah (mg/100g) 1178 649.93

Krokot ini merupakan pangan yang aman. Adapun uji toksitas pada tikus percobaan menunjukkan bahwa dosis yang dapat menyebabkan risiko akut sangat besar, yaitu lebih dari 3000mg/kg berat 6 badan. Dosis tersebut sangat besar sehingga aman untuk dikonsumsi. Sari krokot memberikan sumbangan beragam komponen bioaktif yang memiliki kapasitas antioksidan yang lebih tinggi dari trolox, 7 BHA dan BHT. Oleh karena itu penambahan sari krokot pada Smootrops memberikan sumbangan komponen antioksidan dan memperkaya senyawa bioaktif. Sari krokot memiliki rasa asam dan sedikit asin. Rasa asam alami sari krokot selain meningkatkan segi organoleptik juga berperan dalam penurunan pH produk hingga mencapai dibawah 4.6 sehingga persyaratan penggolahan dengan pasteurisasi terpenuhi. 3. KESIMPULAN Smootrops adalah inovasi pangan buah tropis berbasis whole food kaya antioksidan dan diperkaya dengan sari krokot yang kaya komponen bioaktif. Produk ini didesain menjadi pangan yang aman, praktis, sehat dan berkualitas serta mengandung tinggi zat gizi mikro, serat, antioksidan dan senyawa bioaktif, sehingga dapat menjadi salah satu solusi alternatif untuk mencegah atau mengurangi risiko terkena penyakit degeneratif pada masyarakat Indonesia. 4. SARAN Penelitian ini merupakan penelitian tahap awal yang dilakukan akan lebih baik apabila dilakukan penelitian secara mendalam terutama untuk analisis kandungan krokot basah sehingga bisa diketahui apakah lebih baik menggunakan

krokot basah atau kering dalam pengkayaan anti oksidan didalam produk. Selain itu untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk lebih mengeksplor buah tropis khas Indonesia selain yang sudah digunakan dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. [Kemenkes]. 2013. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Dasar Kesehatan. 2. Zakaria FR. 2015. Diet Sehat Cegah Penyakit Degeneratif. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. http://news.ipb.ac.id/ 3. Hartati S. 2011. Pemilihan Proses Pembuatan Saribuah Jambu Biji(Psidium guajava L.) untukMeningkatkan Ketahanan Waktu Saji. Sukoharjo :Widyatama. 4. Almatsier S. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia. 5. Muchtadi D. 2012. Pangan Fungsional dan Senyawa Bioaktif. Bandung: Alfabeta. 6. Naseeruddin SD, Kumar NS, Rao NJ. Acute toxicity and diuretic studies of petether extract of Portulaca oleracea (Linn.). International J of Analytical, Pharmaceutical and Biomedical Sciences 2:1. 7. Peksel A, Arisan-Atac I, Yanardag R. 2006. Antioxidant activities of aqueous extracs of Purslane (portulaca oleracea subsp Sativa L). J Food Sci 3:18. 8. El-Aziz HAA, Sobhy MH, Ahmed KA, El Hameed AKA, Rahman ZA, Hassan WA. 2014. Chemical and remedial effects of purslane (Portulaca oleracea) plant. Life Science Journal 11(6). 9. Dkhil MA, Moniem AEA, Al-Quraishy S, Saleh RA. 2011. Antioxidant effect of purslane (Portulaca oleracea) and its mechanism of action. J of Medicinal Plants Research 5(9):1589-156.

BIMGI Volume 4 No.1 | Januari – Juli 2016

39


BIMGI Volume 4 No.1 | Januari – Juli 2016

40


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.