JIMKI vol 4 no 1

Page 1


SUSUNAN PENGURUS Penasehat Prof. dr. Saleha Sungkar, DAP&E, MS, SpParK

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc., Akp., SpGK Universitas Udayana

Penanggung Jawab

Penyunting Pelaksana

Agya Ghilman Faza

Euginia Christa

Universitas Sebelas Maret

Universitas Indonesia

Pimpinan Umum Muhammad Faisal Putro Utomo Universitas Udayana

Pimpinan Redaksi

Vera Amalia Lestari Universitas Padjajaran

Aninditya Verinda Putrinadia Universitas Sebelas Maret

Ayu Novita Kartikaningtyas Universitas Brawijaya

Pande Mirah Dwi Anggreni Universitas Udayana

Sekretaris Ni Made Erika Suciari Universitas Udayana

Bendahara Kevin Ezekia Universitas Udayana

Humas dan Promosi Anindia Reina Yolanda Universitas Udayana

I Gusti Ayu Putu Putri Ulandari Universitas Warmadewa

Ahmad Fahrisal Universitas Lampung

Ahmad Fahrisal Universitas Lampung

Penyunting Ahli

Dea Athaya Budiman

Prof. Dr. dr. Bambang Budi Siswanto, Sp.JP(K)

Universitas Jendral Achmad Yani

Universitas Indonesia

Tata Letak

Prof. Dr. Suradi, dr. Sp.P, MARS

Dewa Ayu Sri Agung Suandewi

Universitas Sebelas Maret

Universitas Udayana

Dr. Dra. Diffah Hanim, M.Si

Dito Setiadarma

Universitas Sebelas Maret

Universitas Udayana

Rovina Ruslami, dr., Sp. PD, Ph.D

Nyoman Tarita Dewi

Universitas Padjajaran

Universitas Warmadewa

Shelly Iskandar, dr., Sp. Akp., Ap.KJ, M.Si, Ph.D

Dewa Ayu Viennita Universitas Warmada

Universitas Padjajaran

Dr. dr. Dwi Yuni Nur Hidayati, M.Kes Universitas Brawijaya

dr. Agustin Iskandar, M.Kes, Sp. PK Universitas Brawijaya

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari - Juni 2016

i


DAFTAR ISI

ISSN : 2302-6391

Susunan Pengurus .......................................................................................................... i Daftar Isi ............................................................................................................................ ii Petunjuk Penulisan ...................................................................................................... iv Sambutan Pimpinan Umum ................................................................................... xiii

Editorial Siapkah Indonesia Menerapkan Program Dokter Layanan Primer (DLP)? Pande Mirah Dwi Anggreni

............................................................................................................................................... 1

Penelitian Mommordica charantia L., Solusi Antihelmintik Alami Atasi Infeksi Cacing Parasit: Uji In Vitro pada Cacing Ascaridia

Muhammad Dimas Reza Rahmana, Deby Aulia Rahmi, Lina Permatasari, Habil Alam Rahman, Sitti Rahmah Umniyati .........................................................................................................................................................................................................3

Depresi Pra-Menstruasi pada Siswi SMP Dewi Lutpiyah, Lulu Eva Rakhmilla, Lynna Lidyana ..................................................................................................................................................................................................... 10

Angka Kejadian Kelahiran Preterm Dihubungkan dengan Gambaran Berat Badan Lahir dan Kematian Perinatal di Rumah Sakit Prikasih Tahun 2010-2014 M. Ilyas Saputera, Taufik Zain, Nina Afiani, Ilham Murtala, Fahmi Akbar ..................................................................................................................................................................................................... 17

Tinjauan Pustaka Vaksin Vektor Virus Penguat BCG Sebagai Upaya Eliminasi Tuberkulosis (TB) Mutiara Chairsabella, Valensa Yosephi, Yustina Wahyuningtiyas, Kis Djamiatun ..................................................................................................................................................................................................... 24

Kombinasi Cardiopulmonary Resuscitation dengan Impedance Threshold Device: Strategi Optimalisasi Keberhasilan Cardiopulmonary Resuscitation pada Pasien Henti Jantung Ivana Beatrice Alberta, Anastasia Christina Soebadiono, Anna Listiana

..................................................................................................................................................................................................... 35

Polylactic-Glycolic Acid-Curcumin Nanopartikel Senyawa Kurkumin sebagai Terapi Potensial dalam Penanganan Kanker Prostat Prio Wibisono, Karunia V. Japar, Albert Riantho, Audrey S. Soetjipto, Theo A. Y. Lemuel

..................................................................................................................................................................................................... 42

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

ii


Artikel Penyegar Peran Konsumsi Air Mineral pada Obesitas Anak Ferry Liwang, Zharifah Fauziyyah Nafisah ..................................................................................................................................................................................................... 57

Advetorial Bifidobacterium lactis : Probiotik dalam Pencegahan dan Pengobatan Diare Akut pada Anak di Bawah Usia Lima Tahun Tommy, Steven Johanes Adrian, Ivana Beatrice Alberta ..................................................................................................................................................................................................... 62

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

iii


PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) Indonesia Medical Students Journal Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) merupakan publikasi ilmiah yang terbit setiap 6 bulan sekali dalam setahun. Dalam mempublikasikan naskah ilmiah dalam berkala ini, maka penulis diwajibkan untuk menyusun naskah sesuai dengan aturan penulisan JIMKI yang disesuaikan degan panduan penulisan format penulisan berkala ilmiah mahasiswa kesehatan A. JENIS-JENIS ARTIKEL 1. Penelitian Asli Definisi : hasil penelitian asli dalam ilmu kedokteran, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, keperawatan, gizi, kebidanan, dan farmasi. Format penulisan : Judul penelitian Nama dan lembaga pengarang Abstrak Pendahuluan Metode penelitian Hasil penelitian Pembahasan atau diskusi Kesimpulan dan saran Daftar pustaka 2. Advertorial Definisi : Penulisan berdasarkan metode studi pustaka. Format penulisan : Judul Nama penulis & lembaga Pengarang Abstrak Pendahuluan Pembahasan Kesimpulan Daftar rujukan 3. Artikel Penyegar Definisi : Artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik-topik yang sangat menarik dalam dunia kedokteran atau kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau klinis yang perlu diketahui oleh pembaca. Format Penulisan : Pendahuluan Isi Kesimpulan 4. Tinjauan Pustaka Definisi : Tulisan artikel review atau sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

iv


atau ilmu dalam dunia kedokteran, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, keperawatan, gizi, kebidanan, dan farmasi, ditulis dengan memperhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca. Format penulisan : Judul Nama penulis & lembaga Pengarang Abstrak Pendahuluan Pembahasan Kesimpulan Daftar rujukan 5. Laporan Kasus Definisi : artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Format Penulisan ; Judul Abstrak Background Kasus Pemeriksaan penunjang Differential diagnosis Tatalaksana Outcome and follow up Discussion Take home message Reference Note : laporan kasus butuh pengesahan dari supervisor atau dosen pembimbing penulis 6. Artikel Editorial Definisi : Artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia kedokteran, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, keperawatan, gizi, kebidanan, dan farmasi. Memuat mulai dari ilmu dasar, klinis, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang keahlian tersebut di atas, lapangan kerja sampai karir dalam dunia kesehatan. Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa. Format Penulisan : Pendahuluan Isi Penutup B.

KETENTUAN PENULISAN SECARA UMUM 1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, lugas, dan ringkas. 2. Naskah diketik dalam microsoft word 2003 3. Menggunakan ukuran kertas A4 dengan margin kanan=3cm, kiri=4cm, atas=3cm, bawah=3cm. 4. Naskah menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 Cm, jarak antar bab atau antar subbab yaitu 1 spasi (1x enter) 5. Menggunakan Font arial reguler, size 10, sentence case, justify. 6. Naskah maksimal terdiri dari 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka.

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

v


C. KETENTUAN PENULISAN JUDUL & SUB-JUDUL Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis tidak terlalu panjang, maksimal 20 kata dalam bahasa Indonesia. Ditulis dengan font arial 14 pt dicetak tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf ditulis kapital), tidak digarisbawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.), tanpa singkatan, kecuali singkatan yang lazim. Penulisan judul diperbolehkan menggunakan titik dua tetapi tidak diperbolehkan menggunakan titik koma. Penggunaan sub-judul diperbolehkan dengan ketentuan ditulis dengan titlecase, font arial 12, center, dan dicetak tebal. D. KETENTUAN PENULISAN NAMA PENULIS Dibuat taat azas tanpa penggunaan gelar dan dilengkapi dengan penjelasan asal instansi atau universitas. Penulisan nama pengarang diketik titlecase, font arial 10, center, dan bold yang dimulai dari pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal instansi dimulai dari terkecil . contoh: Nurul M. Rahmayanti,1 Desri Astuti,2 1 Departemen

Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 2 Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jakarta E. PENULISAN ABSTRAK Abstrak merupakan miniatur dari artikel sebagai gambaran utama pembaca terhadap artikel Anda. Abstrak berisi seluruh komponen artikel secara ringkas (pendahuluan, metode, hasil, diskusi dan kesimpulan). Abstrak dibuat terstruktur dengan sub bagian dengan ketentuan sub bagian dicetak tebal dan dibubuhi tanda titik dua sebelum kata selanjutnya. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata (dan tidak menuliskan kutipan pustaka. Dilengkapi dengan kata kunci sebanyak maksimal 3-5 kata benda yang ditulis dari umum ke khusus. Abstrak Bahasa Inggris dan keyword ditulis italic (dimiringkan). Abstrak Bahasa Indonesia dan kata kunci ditulis tegak. Kalimat pertama menyampaikan kontribusi penulis terhadap literatur dan menjelaskan perbedaan penelitian/telaah yang dilakukan dibanding dengan artikel lain yang sudah ada. Jelaskan mengapa penelitian dilakukan, bagaimana cara melakukannya, seberapa signifikan kontribusi dari penelitian tersebut, dan hal apa saja yang bisa dikembangkan setelah penelitian berakhir. F. KETENTUAN PENULISAN PENDAHULUAN (UPPERCASE, LEFT, BOLD, FONT ARIAL 10) Format utama penulisan berkala ini terdiri dari 2 kolom, yang ditulis dengan MS Word, page size A4, 1 spasi, sentence case, justify, regular, font arial 10. Pada bagian pendahuluan tuliskan latar belakang, penjelasan mengenai penelitian terkait yang telah lebih dulu dipublikasikan (jika ada). Selain itu dijelaskan pula hal-hal spesifik dalam penelitian. Kutipan dari referensi atau daftar pustaka dibuat dengan tanda superscrift 1, dengan 1 menunjukkan

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

vi


nomor dalam daftar pustaka. Istilah dalam bahasa asing dan simbol matematika ditulis dengan huruf miring. Kalimat pertama dari pendahuluan menyampaikan tujuan dari penelitian ini untuk memberikan kontribusi pada bidang tertentu dengan melakukan atau menemukan sesuatu. Kutip beberapa hasil penelitian terbaru mengenai topic yang dibahas beseta relevansinya. Jelaskan mengapa menulis artikel ini dan kontribusi apa yang diberikan pada pengembangan keilmuan Jelaskan kebijakan yang mungkin timbul atau implikasi yang mungkin diterapkan sebagai hasil dari penemuan tersebut (hanya jika hal tersebut relevan) Jelaskan apakah penelitian mendukung atau memperluas hasil penelitian yang sudah ada atau justru menyanggah hasil penelitian sebelumnya. G. KETENTUAN PENULISAN METODE PENELITIAN (UPPERCASE, LEFT, BOLD, ARIAL 10) Penulisan metodologi penelitian berisikan desain penelitian, tempat, dan waktu, populasi dan sampel, teknik pengukuran data, dan analisis data. Sebaiknya menggunakan kalimat pasif dan kalimat narasi, bukan kalimat perintah. Petunjuk: Merupakan bagian penting dalam artikel Ketahui metode penelitian terkini yang paling sesuai untuk bidang keilmuan yang dibahas Ketahui apakah jenis metode lain ternyata lebih memberikan signifikansi terhadap hasil penelitian dibanding dengan metode penelitian lama yang digunakan. H. KETENTUAN PENULISAN HASIL (UPPERCASE, LEFT, BOLD, FONT ARIAL 10) Penulisan hasil Setengah bagian dari keseluruhan artikel membahas tentang bagian ini Tiap tabel atau grafik harus diikuti satu paragraph yang mendeskripsikan hasil yang tercantum dalam tabel atau grafik tersebut. Edit bagian ini berulang kali sampai kita benar-benar yakin bahwa pembaca memahami apa yang disampaikan di bagian ini. 3.1 Judul Isi Hasil (Titlecase, Left, Bold, Font Arial 10) Judul dan subjudul yang muncul dalam bab ini dituliskan dengan nomor bertingkat seperti contoh ini. 3.2 Subjudul Hasil (Titlecase, Left, Bold, Font Arial 10) Rumus kimia atau matematika dituliskan seperti contoh berikut : √A + B3 + CO2 = ∫ X2

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

(1)

vii


Tabel dan gambar dapat disisipkan di tengah-tengah artikel seperti contoh ini, atau di bagian akhir artikel. Judul terletak diatas tabel, hanya menggunakan garis horizontal dengan 2 atau 3 garis, tanpa menggunakan garis vertikal. Tulisan Tabel 1 ditebalkan (bold), dengan menggunakan ketentuan penomoran dari angka Arab. 1, 2, 3 dst (angka arab), I, II, III (angka Romawi). Tabel 1. Judul Tabel ( Titlecase,Center,Regular, Arial 10) No Judul Artikel Penulis

Penulisan gambar: Terletak dibawah gambar, dengan Bold pada tulisan gambar. Penomoran gambar menggunakan angka Arab,

I.

J.

Gambar 1. Judul Gambar (titlecase,center,regular, arial 10) KETENTUAN PENULISAN PEBAHASAN (UPPERCASE, LEFT, BOLD, ARIAL 10) Pembahasan merupakan bagian terpenting dari keseluruhan isi artikel ilmiah, sehingga pada umumnya memiliki proporsi paling banyak. Fungsi pembahasan adalah menjawab masalah penelitian atau menunjukkan pencapaian tujuan penelitian, dengan cara menafsirkan/menganalisis hasil penelitian, juga membandingkan hasil penelitian dengan hasil dari penelitian-penelitian yang dipakai sebagai referensi. Pada bagian ini dilakukan juga kajian kesesuaian hasil dengan teori-teori yang dipakai. Bahas apa yang ditulis dalam hasil, tetapi tidak mengulang hasil. Jelaskan arti kemaknaan statistik (misal p<0.001, apa artinya?), juga kemaknaan biologis (ukuran asosiasi penyakit—OR, RR), jika ada. Tekankan aspek baru dan penting. Sertakan juga bahasan dampak penelitian dan keterbatasannya. KETENTUAN PENULISAN KESIMPULAN Kesimpulan berisikan jawaban atas pertanyaan penelitian. Kesimpulan harus menjawab tujuan khusus. Bagian ini dituliskan dalam bentuk esai dan tidak mengandung data angka hasil penelitian. Terdiri atas

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

viii


maksimal tiga paragraf yang merangkum inti hasil penelitian dan keterbatasan penelitian, serta kemungkinan pengembangan penelitian yang bisa dilakukan oleh pihak lain untuk mengembangkan hasil yang sudah diperoleh. K. KETENTUAN PENULISAN SARAN Saran berisi rekomendasi hal-hal yang perlu dilakukan oleh satu atau beberapa pihak, berdasarkan kesimpulan yang telah diperoleh dari penelitian. Saran berorientasi pada perbaikan situasi kesehatan masyarakat, sehingga dibuat untuk dilaksanakan melalui advokasi, perbaikan perilaku, pembuatan kebijakan, atau penelitian berikutnya. Saran dibuat dalam bentuk esai (dalam paragraf-paragraf) atau dalam poin-poin. Contoh penulisan Pembahasan, Kesimpulan, Saran 2. PEMBAHASAN (UPPERCASE, LEFT, BOLD, ARIAL 10) 2.1 Judul Isi Bahasan (titlecase, left, bold, Arial 10) 2.1.1 Subjudul Isi Bahasan (titlecase, left, bold, Arial 10) 3. KESIMPULAN 4. SARAN L. KETENTUAN PENULISAN UCAPAN TERIMAKSIH Ucapan terimakasih bersifat opsional. Jika ditulis, maka ditujukan kepada pihak lain yang telah membantu atau terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam penelitian. M. KETENTUAN PENULISAN TABEL DAN GAMBAR Judul tabel di tulis dengan title case, subjudul ada pada tiap kolom, sederhana, tidak rumit, tunjukkan keberadaan tabel dalam teks (misal lihat tabel 1), dibuat tanpa garis vertical, dan ditulis diatas tabel. Contoh penulisan tabel yang benar: Tabel 1 Distribusi Status Pernikahan Penderita HIV AIDS di Kota X Tahun Y Status Pernikahan N % 1.

Menikah

28

60,87

2.

Tidak Menikah

18

39,13

46

100

Total

Penulisan Gambar Judul gambar ditulis dibawah gambar. Contoh:

Gambar 1. Logo BIMKES N. KETENTUAN PENULISAN SITASI

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

ix


Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Ditulis dengan nomor sesuai urutan. Untuk penulisan sitasi yang berasal dari 2 sumber atau lebih, penomoran dipisahkan menggunakan koma. Nomor kutipan ditulis superskrip dan dibuat dalam tanda kurung siku [‌]  Contoh penulisan sitasi : Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata). Cacing tanah termasuk kelas Oligochaeta. Famili terpenting dari kelas ini adalah Megascilicidae dan Lumbricidae.[1] Bagi sebagian orang, cacing tanah masih dianggap sebagai makhluk yang menjijikkan dikarenakan bentuknya, sehingga tidak jarang cacing masih dipandang sebelah mata. Namun terlepas dari hal tersebut, cacing ternyata masih dicari oleh sebagian orang untuk dimanfaatkan. Menurut sumber, kandungan protein yang dimiliki cacing tanah sangatlah tinggi, yakni mencapai 58-78 % dari bobot kering. Selain protein, cacing tanah juga mengandung abu, serat dan lemak tidak jenuh. Selain itu, cacing tanah mengandung auxin yang merupakan hormon perangsang tumbuh untuk tanaman.[2]Manfaat dari cacing adalah sebagai Bahan Baku Obat dan bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit. Secara tradisional cacing tanah dipercaya dapat meredakan demam, menurunkan tekanan darah, menyembuhkan bronkitis, reumatik sendi, sakit gigi dan tipus.[1,2] O. KETENTUAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA 1. BUKU Penulis Tunggal Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957. Dengan dua atau tiga orang penulis Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis selanjutnya. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Howe, Russell Warren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City: Doubleday, 1977. Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R. Sorensen. The Rope, the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of Texas, 1994. Lebih dari tiga penulis Nama penulis 1 (dibalik), et al. judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Edens, Walter, et al., Teaching Shakespeare. Princeton: Princeton UP, 1977.

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

x


Editor sebagai penulis Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979. Penulis dan editor Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford UP, 1956. Penulis berupa tim atau lembaga Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory. Washington, D.C.: Natl. Inst. for Dispute Res., 1984. Karya multi jilid/buku berseri Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963. Terjemahan Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama penerjemah. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang diterjemah (italic), Tahun terbit buku yang diterjemah. Contoh: Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan Smith. London: Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L'Archéologie du savoir, 1969. Artikel atau bab dalam buku Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku. Contoh: Magny, Claude-Edmonde. "Faulkner or Theological Inversion." Faulkner: A Collection of Critical Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. 66-78. Brosur, pamflet dan sejenisnya Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999.

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

xi


Makalah seminar, konferensi dan sejenisnya Mann, Jill. “Chaucher and the ‘Woman Question.’” This Noble Craft: Proceedings of the Tenth Research Symposium of the Dutch and Belgian University Teachers of Old and Middle English and Historical Linguistics, Utrect, 19-10 January 1989. Ed. Erik Kooper. Amsterdam: Radopi, 1991.173--88. 2. SERIAL Artikel jurnal dengan volume dan edisi Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume:Edisi (tahun terbit): halaman Contoh: Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the Ideology of Romantic Silences.” Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35. 3. PUBLIKASI ELEKTRONIK Buku Online Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku. Tanggal dan tahun akses <link online buku> Contoh: Austen, Jane. Pride and Prejudice. Editor Henry Churchyard. 1996. 10 September 1998 <http://www.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>. Artikel jurnal online Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal dan tahun akses jurnal <link online jurnal> Contoh: Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo’s Life of the Buddha.” Exemplaria 9.1 (1997). 22 June 1998 <http://web.english.ufl.edu/english/exemplaria/calax.htm> Artikel di website “judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses. <link online artikel> Contoh: “Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab. 2003. Purdue University. 6 Februari 2003. <http://owl.english.purdue. edu/handouts/research/r_mla.html>. Publikasi lembaga Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama penulis 2, dan seterusnya. Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel> Contoh: United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National Assessment. By Claire Johnson, Barbara Webster, dan Edward Connors. Feb 1996. 29 June 1998 <http://www.ncjrs.org/txtfiles/pgang.txt.

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

xii


SAMBUTAN PIMPINAN UMUM , Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) volume 4 nomor 1. JIMKI bukan hanya sekadar

wadah

publikasi

ilmiah,

namun

JIMKI

juga

merupakan

representatif

perkembangan keilmiahan mahasiswa kedokteran di seluruh Indonesia. JIMKI saat ini terus berusaha untuk mempertahankan eksistensi dan juga kualitas artikel – artikel yang diterbitkan sehingga dapat memberikan manfaat bagi seluruh pembaca. JIMKI yang saat ini tergabung dalam Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan (BIMKES) dimana disini tujuh jurnal dari tujuh profesi dalam rumpun ilmu kesehatan (Kedoktera Umum, Kedokteran Gigi, Kesehatan Masyarakat, Keperawatan, Farmasi, Gizi, dan Kebidanan). BIMKES sebagai pelopor konsep ejournal dalam mahasiswa kesehatan terus memberikan dukungan sepenuhnya kepada ketujuh jurnal mahasiswa kesehatan sebagai wujud dari Interprofessional Collaboratin. Mempublikasikan suatu karya bertujuan untuk menyebarluaskan ide dan gagasan yang kita miliki sehingga karya kita berhak mendapatkan pengakuan dan penghargaan. Di samping itu, publikasi ilmiah juga merupakan salah satu syarat kelulusan bagi S1, maka dari itu sudah seharusnya budaya menulis ilmiah semakin meningkat di kalangan mahasiswa kedokteran. Dan perlu diingat bahwa hal paling penting dari suatu tulisan adalah kebermanfaatannya bagi masyarakat. Maka dari itu, marilah berkarya demi kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran sehingga dapat menghasilkan suatu tulisan yang berkualitas dan memiliki manfaat yang berharga bagi umat manusia. Pada kesempatan ini saya mewakili JIMKI ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung JIMKI dari awal hingga akhir yang namanya tidak bisa saya tuliskan satu per satu. Mari kita tingkatkan iklim menulis ilmiah di kalangan mahasiswa kedokteran Indonesia. Cogito Ergo Sum !

Muhammad Faisal Putro Utomo Pimpinan Umum Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

xiii


Editorial

SIAPKAH INDONESIA MENERAPKAN PROGRAM DOKTER LAYANAN PRIMER (DLP)? Pande Mirah Dwi Anggreni 1

Dokter layanan primer (DLP) tengah menjadi isu hangat dikalangan masyarakat terutama paramedis. Berdasarkan pasal 8 ayat 3 UU No 20 Tahun 2013, DLP adalah jenjang baru pendidikan yang dilaksanakan setelah program profesi dokter dan program intership, yang sederajat dengan jenjang pendidikan profesi spesialis dengan bergelar Sp.FM. Peran DLP dalam pelayanan kesehatan lebih dititikberatkan pada kemampuan preventif, promotif, dan manajerial yang dibutuhkan oleh penyedia pelayanan [1,2] kesehatan (PPK). Keberadaan program DLP ini untuk menunjang keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah dimulai sejak 1 Januari 2014. Program ini diharapkan dapat menguatkan peran dokter umum di [3] layanan primer sebagai gatekeeper. Hal tersebut dapat mendorong efisiensi dalam pelayanan kesehatan. Namun demikian, terdapat beberapa aspek terkait kesiapan pemerintah perlu dikaji oleh pemerintah sebelum menggulirkan program DLP ini. Pasal 8 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2013 menyebutkan bahwa universitas yang boleh membuka program pendidikan DLP adalah universitas yang dapat mempertahankan atau memiliki [1] akreditasi A. Berdasarkan data Badan Akreditasi Nasional, terdapat 16 universitas dengan program studi pendidikan dokter yang berakreditasi A [4] di Indonesia. Minimnya jumlah perguruan tinggi tersebut tidak sebanding dengan tinggi jumlah lulusan dokter di Indonesia. Permasalahan akan muncul jika daya tampung 16 perguruan tinggi tersebut tidak mampu menampung tingginya jumlah lulusan dokter yang ingin melanjutkan pendidikan DLP. Selain itu dengan tingginya jumlah peseta didik dan

1

Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

minimnya staf pengajar akan mempengaruhi kualitas pendidikan dokter layanan primer. UU No. 20 Tahun 2013 menegaskan bahwa yang berwenang menjadi PPK di tingkat primer adalah [1] DLP. Undang-undang tersebut mengikat mahasiswa kedokteran maupun dokter umum yang ingin berkarir dibidang klinis untuk menempuh pendidikan DLP dalam 2-3 tahun. Ditilik dari segi biaya pendidikan, program ini juga cukup menambah beban bagi mahasiswa kedokteran dan dokter umum. Selain itu, mereka juga harus kembali harus merelakan beberapa tahun dalam hidup mereka untuk menempuh pendidikan DLP. Aspek ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah sehingga program ini tidak merugikan bagi calon dokter dan dokter umum yang mengabdikan diri mereka untuk menjaga kesehatan masyarakat. Anggaran ideal dalam bidang kesehatan adalah sebesar 5%, namun Indonesia hanya menganggarkan dana [5] dibawah 5% untuk bidang kesehatan. Minimnya anggaran tersebut tentunya akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan program DLP. Anggaran dana yang tidak memadai tersebut akan memicu permasalahan underutilisasi atau peningkatan rujukan dari dokter yang tidak mau merugi. Selain itu, pemerintah juga harus menganggarkan dana untuk membenahi fasilitas kesehatan di daerah terpencil untuk menunjang pelayanan kesehatan yang memadai. Keberadaan program DLP ini sesungguhnya sangat baik untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Akan tetapi, perencanaan dan kesiapan pemerintah untuk menerapkan program DLP harus dimatangkan sehingga kelak program ini berdampak positif terhadap masyarakat

1 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


dan tidak merugikan tenaga medis. Program DLP dengan tujuan yang mulia ini tidak akan berhasil bila persiapan pemerintah masih prematur. Menilik berbagai problematika tersebut, persiapan pemerintah dalam menerapkan program DLP masih dipertanyakan. Penolakan IDI terhadap program DLP juga tidak menghentikan jalan pemerintah untuk menjalankan program ini. Siap tidak siap kita harus menjalankan program DLP. Jadi, tugas kita kini adalah ikut serta dalam menyelesaikan segala problematika yang akan dihadapi dalam pelaksanaan program DLP. Mahasiswa kedokteran

yang nantinya bergelut di dunia medis seyogyanya selalu mengikuti perkembangan ilmu medis dan berbagai kebijakan pemerintah dalam bidang kesehatan. Dengan demikian, kita dapat mengawal dan menjalankan program DLP dengan optimal sehingga tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia dapat terwujud. DAFTAR PUSTAKA 1. Presiden RI. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pendidikan Dokter. Jakarta: DPR RI dan Presiden RI, 2013.

2 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Penelitian

MOMMORDICA CHARANTIA L., SOLUSI ANTIHELMINTIK ALAMI ATASI INFEKSI CACING PARASIT: UJI IN VITRO PADA CACING ASCARIDIA GALLI 1

1

Muhammad Dimas Reza Rahmana, Deby Aulia Rahmi, Lina 2 1 3 Permatasari, Habil Alam Rahman, Sitti Rahmah Umniyati 1

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 2 Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

3

ABSTRAK Pendahuluan: Prevalensi kecacingan di Indonesia mencapai lebih dari 20%, dengan infeksi Ascaris lumbricoides (askariasis) sebagai kasus terbanyak. Penggunaan antihelmintik sintetik seperti albendazol dipilih sebagai pengobatan askariasis, namun dapat menimbulkan efek samping seperti nyeri kepala, mual dan muntah. Disisi lain, tanaman pare (Momordica charantia L.) diketahui memiliki daya antihelmintik. Tujuan penelitian :Mengetahui efek antihelmintik, Lethal Concentration (LC) dan Lethal Time (LT) infus buah pare dan albendazol serta kombinasi keduanya pada Ascaridia galli secara in vitro. Metode: Penelitian ini menggunakan desain posttest only with control group. Subjek penelitian menggunakan cacing A. galli sebanyak 560 ekor. Penelitian diawali dengan uji fitokimia untuk mengetahui kandungan zat aktif pada infus buah pare. Selanjutnya dilakukan uji in vitro dengan merendam cacing A. galli pada berbagai konsentrasi infus buah pare dan larutan albendazol. Uji in vitro dilakukan dalam tahap pendahuluan untuk menentukan variasi konsentrasi larutan pada uji akhir, dan tahap akhir untuk mengetahui LC50 dan LT50. Analisis menggunakan metode regresi probit dan One Way Anova untuk melihat perbandingan daya antihelmintik infus buah pare, albendazol dan kombinasi pada berbagai konsentrasi berdasarkan LC50, LT50dan perbedaannya. Hasil: LC50 infus buah pare dan albendazol adalah 22,09% dan 0,173%. Terdapat perbedaan LT50 antara kedua larutan, yang mana LT50 infus buah pare adalah 12,04 jam dan LT50 albendazol adalah 10,94 jam. LT50 untuk kombinasi 25%A-75%P, 50%A-50%P serta 75%A-25%P adalah 13,92 jam, 14,27 jam dan 17,09 jam. LT 50 kelima kelompok tidak bermakna secara statistik dengan p>0,05. Kesimpulan: Infus buah pare (Momordica charantia L.) memiliki efek antihelmintik yang tidak berbeda bermakna dengan albendazol pada cacing A.gali secara in vitro. Kata Kunci: Askariasis, A. galli, Momordica charantia L., infus buah pare, albendazol ABSTRACT Background: Helminthiasis prevalence in Indonesia has reached more than 20%, with infection of Ascaris lumbricoides (ascariasis) being the most common disease. Synthetic anthelmintic such as albendazole has been widely chosen to treat ascariasis but has side effect such as headache, nausea and vomit. Meanwhile, bitter melon (Momordica charantia L.) also known has anthelmintic potency. Objective: To determine anthelmintic effect, Lethal Concentration (LC), Lethal Time (LT) and combination of bitter melon fruit infusion and albendazole on Ascaridia galliin vitro. Methods: This study was quasi experimental using posttest only with control group design that used 560 A. galli worms as subject. This study started by phytochemistry test to determine active compound from bittermelon infusion. Study continued by in vitro study, A. galliwas soaked in bitter melon infusion and albendazole solution at various concentrations. In vitro study consist of initial stage to determine various concentration of albendazole and bitter melon infusion for final test, and final stage todetermine LC50 and LT50. Data analysis conducted by probit regression method and One Way Anova to

3 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


determine anthelmintic effect of bitter melon infusion, albendazole and the combination based on LC50,LT50 and its signification Results: LC50 of bittermelon infusion and albendazole were 22,09% and 0,173%. There were LT differences between bittermelon, albendazole, and combination at 25%A-75%P, 50%A-50%P and 75%A-25%P with LT50 being 12,04 hours, 10,94 hours, 13,92 hours, 14,27 hours and 17,09 hours. But the result not significantly different using One Way Anova analysis with p>0,05. Conclusion: Bitter melon (Momordica charantia L.) fruit infusion has anthelmintic effect which not significantly different with albendazole on Ascaridia galli in vitro. Keywords: Ascariasis, A. galli, Momordica charantia L., bittermelon infuse, albendazole 1. PENDAHULUAN Sebagian besar daerah di Indonesia merupakan daerah yang memiliki prevalensi infeksi Soiltransmitted helminth (STH) sebesar 20% dan terdapat sekitar 195 juta penduduk Indonesia yang tinggal di [1] daerah endemik STH. Ada banyak faktor yang memungkinkan terjadinya infeksi STH, di antaranya keberadaan telur dan larva cacing pada tanah, kondisi sanitasi yang buruk, serta kebiasaan anak bermain di tanah yang [2] lama. Kondisi sanitasi yang buruk juga masih menjadi masalah bagi [3] masyarakat Indonesia. Salah satu spesies cacing yang termasuk kelompok STH adalah Ascaris lumbricoides yang merupakan cacing yang paling umum menginfeksi manusia, terutama di [4] daerah tropis. Antihelmintik seperti albendazol menjadi strategi WHO dalam [5] memberantas askariasis. Pengobatan dengan antihelmintik sintesis tersebut bisa menimbulkan efek samping seperti nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri [6] perut. Harga obat di Indonesia juga tergolong mahal, menyebabkan kurangnya akses masyarakat terhadap [7] obat. Di samping itu, 32,87% masyarakat Indonesia masih menggunakan obat tradisional dalam [8] mengatasi penyakit. Hal ini menjadi penting untuk dilakukannya penelitian pada tanaman herbal sebagai alternatif antihelmintikaskariasis. Tanaman pare (Momordica charantia L.) tersebar luas di seluruh wilayah di Indonesia. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa daun dan biji buah pare mempunyai efek sebagai antihelmintik infeksi kecacingan pada manusia, diduga karena kandungan senyawa saponin, alkaloid dan tanin, namun penelitian terhadap

buahnya belum dilakukan, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek antihelmintik pada buah [9,10] pare. Pelarut air diperlukan untuk melarutkan kandungan alkaloid, saponin [11] dan tannin, sehingga buah pare dibuat dalam sediaan infus. Penelitian daya antihelmintik pada A. lumbricoides dewasa membutuhkan proses yang sulit karena cacing harus dikeluarkan dalam keadaan hidup dari tubuh penderita tanpa pengaruh obat sehingga perlu dilakukan dengan menggunakan cacing gelang ayam spesies Ascaridiagalli yang sifatnya mirip dengan cacing A. lumbricoides. A. galli memiliki hubungan dengan A. lumbricoides karena masih termasuk dalam ordo yang sama yakni Ascaridida, namun berbeda famili yakni Ascaridiidae [12] dengan genus Ascaridia. Populasi terbesar cacing A. galli fase dewasa [13] ditemukan pada ayam. Daur hidup cacing ini dimulai sejak telur infektif masuk hingga ke duodenum unggas. Penulisan artikel ini diharapkan mampu memberikan manfaat aplikatif sebagai informasi kepada masyarakat sehingga masyarakat bisa mempertimbangkan buah pare sebagai alternatif pengobatan cacingan. Melalui penelitian ini juga diharapkan mampu berkontribusi dalam pengembangan buah pare yang mampu menghasilkan respon optimal dalam pengobatan cacingan, sehingga mampu menyaingi obat sintetik yang efeknya optimal, namun memiliki efek samping tinggi. 2. METODE 2.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimental dengan desain post-test only with control group. Penelitian menggunakan bahan buah pare yang didapat dari Pasar Kranggan 4

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Yogyakarta, serta subyek penelitian cacing A.galli yang diperoleh dari Pasar Terban Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Alat yang dibutuhkan antara lain panci infusa, oven,kompor, stoples, nampan plastik, spuit injeksi, cawan petri, lidi, gelas ukur, tabung ukur, magnetic stirrer, timbangan mikro. Bahan yang dibutuhkan antara lain buah pare, larutan garam fisiologis NaCl 0,9%, tablet albendazole 400mg, dan akuades. Farmakologi Fakultas Kedokteran UGM, Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran UGM dan Laboratorium Biologi Fakultas Farmasi UGM pada bulan April-Mei 2015. Subyek Penelitian Cacing A. galli diperoleh dari usus ayam yang telah dipotong dan dipastikan dengan melihat morfologi cacing A. galli. Cacing ini pada tahap dewasa memiliki bentuk panjang, tebal, berwarna kekuningan. Jumlah cacing yang digunakan yaitu 560 ekor. Alat dan Bahan Penelitian Pembuatan Infus Buah Pare Buah pare dipilih yang masih muda (berwarna hijau) dengan ukuran yang relatif sama dicuci bersih, selanjutnya dipisahkan bijinya dan dibuat potongan yang lebih kecil, kemudian dikeringkan dengan suhu 50°70°C di dalam oven hingga kering. Persiapan dilanjutkan dengan pembuatan infus buah pare. Infus buah pare konsentrasi 1% dibuat dengan mencampur 1 gram pare kering dengan 100 ml akuades. Pembuatan Larutan Albendazol Larutan albendazol dibuat dengan melarutkan tablet albendazol 400 mg yang telah dihaluskan. Tiap tablet albendazol 400 mg memiliki berat 610 mg, sehingga untuk membuat larutan albendazol setiap 1% (1 g/100 ml) dibutuhkan 1525 mg serbuk albendazol yang dilarutkan dalam 100 ml akuades dan diaduk menggunakan magnetic stirrer. Koleksi Cacing Ascaridia galli Cacing Ascaridia galli diperoleh dari lumen usus ayam kampung yang telah disembelih. Cacing didapatkan dalam keadaan hidup, kemudian segera dimasukkan ke dalam toples berbentuk tabung berisi 500 ml larutan NaCl 0,9%. Tiap toples berisi minimal 1 ekor cacing

dan maksimal 200 ekor cacing. Cacing segera digunakan paling lama 1 jam setelah pengumpulan. Uji Fitokimia Uji fitokimia dilakukan untuk memeriksa kandungan alkaloid, saponin dan tannin pada infus buah pare. Uji Alkaloid dilakukan dengan memasukkan larutan infus buah pare 1 ml dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 9 ml diklorometana, 1 ml amoniak, dan 20 tetes H2SO4 2N, selanjutnya dikocok sehingga terbentuk 2 lapisan yang kemudian lapisan atas direaksikan dengan beberapa tetes pereaksi Meyer, yang akan menunjukkan hasil positf jika terbentuk endapan putih.Uji Saponin dilakukan dengan memasukkan larutan infus buah pare 1 ml ke dalam tabung reaksi, lalu dikocok kuat selama 15 menit dan menunjukkan hasil positif jika busa tidak hilang dengan penambahan 1 tetes HCl pekat.Uji Tanin dilakukan dengan memasukkan 5 ml larutan infus buah pare ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml FeCl3 dan menunjukkan hasil positif jika terbentuk endapan berwarna hijau. Uji Pendahuluan Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui variasi konsentrasi infus buah pare dan larutan albendazol optimal tertinggi yang mampu membunuh 80% cacing, konsentrasi optimal terendah yang mampu membunuh hingga 20% cacing,serta mengetahui lama hidup cacing dalam garam fisiologis untuk penentuan waktu perendaman pada uji akhir tahap I. Disiapkan 5 buah cawan petri untuk kelompok perlakuan infus buah pare konsentrasi 80%; 40%; 10%; 2,5%; dan 0,625%, 12 buah cawan petri untuk kelompok perlakuan albendazol konsentrasi 12%; 8%; 6%; 4%; 2%; 1%; 0,5%; 0,25%; 0,125%; 0,0625%; 0,0315% dan 0,0152%, serta 1 buah cawan petri untuk kontrol negatif menggunakan NaCl 0,9%. Tahap selanjutnya dimasukkan 20ml masingmasing larutan uji, serta 8 ekor cacing A. galli ke dalam cawan petri. Percobaan dilakukan 1 kali. Penentuan waktu perendaman maksimal pada uji akhir dengan melihat waktu kematian cacing pada cawan petri XIII (kontrol negatif), dan dihentikan bila telah

5 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


didapatkan persentase mortalitas cacing [16] sebesar 20%. . Uji AkhirTahap I Disiapkan 13 buah cawan petri. Cawan petri IA – VIA berisi infus buah pare 20 ml dengan variasi konsentrasi 80%; 29,1%; 11,3%; 4,3%; 1,6% dan 0,625%. Cawan petri IB – VIB berisi larutan albedazol 20 ml dengan variasi konsentrasi 2%; 0,75%; 0,28%; 0,11%; 0,04% dan 0,015%. Cawan petri VII berisi 20 ml NaCl 0,9%. Penentuan konsentrasi infus buah pare dan larutan albendazol pada uji ini berdasarkan konsentrasi optimal pada uji pendahuluan dan dilakukan perhitungan menggunakan increment factor berdasarkan rumus berikut:

F

n

1

LD SD

F: increment factor n: jumlah variasi konsentrasi LD: konsentrasi tertinggi SD: konsentrasi terendah Masing-masing 5 ekor cacing A. galli dimasukkan ke dalam 13 cawan petri. Percobaan dilakukan 3 kali replikasi sesuai dengan perhitungan replikasi Federer menggunakan 6 [19] kelompok perlakuan. Jumlah cacing yang mati dicatat pada lama paparan 11 jam, yang merupakan lama maksimal pengamatan berdasarkan uji pendahuluan, kemudian dilakukan analisis regresi probit untuk mengetahui nilai LC50 infus buah pare dan albendazol. Uji Akhir Tahap II Disiapkan 6 buah cawan petri I – VI berisi infus buah pare 22,09%, larutan albendazol 0,173%,larutan kombinasi dengan persentase albendazol:pare (25:75), (50:50), (75:25) serta NaCl 0,9% sebagai kontrol negatif dengan volume masing-masing 20 ml. Percobaan dilakukan 2 kali replikasi agar dapat dilakukan analisis One Way Anova. Konsentrasi infus buah pare dan albendazol pada uji ini merupakan LC50 larutan uji berdasarkan uji akhir tahap I. Sebanyak 5 ekor cacing A. galli dimasukkan ke dalam cawan petri, dan diamati jumlah cacing yang mati setiap 1 jam hingga terdapat kematian 100% cacing pada masing-masing kelompok perlakuan dan dihentikan bila terdapat

100% kematian pada kontrol negatif. Selanjutnya dilakukan analisis regresi probit untuk mengetahui nilai LT50 infus buah pare, albendazol dan kombinasinya. 2.2 Analisis Data Data dianalisis dengan metode regresi probit dan One Way Anova menggunakan program statistika A. WOODS U.N.S.W versi 1.1 untuk mengetahui LC50, LT50dan kemaknaan perbedaannya. 3. HASIL Uji Fitokimia Uji fitokimia infus buah pare secara kualitatif menunjukkan hasil positif pada saponin, serta hasil negatifpada alkaloid dan tannin. Uji Pendahuluan Pada uji pendahuluan, didapatkan kematian 87,5% cacing A. galli pada kelompok perlakuan infus buah pare pada paparan 11 jam sehingga pengamatan dihentikan karena tujuan sudah tercapai. Data pengamatan tercantum pada Gambar 1. Selanjutnya ditentukan konsentrasi optimal tertinggi dan terendah secara berturut-turut adalah 80% dan 0,625% pada infus buah pare dengan nilai F=2,63; serta 2% dan 0,015% pada larutan albendazole dengan nilai F=2,66.

Gambar 1. Hasil Uji Pendahuluan Infus Buah Pare dan Albendazol. Uji Akhir Tahap I Pada uji akhir tahap I ditentukan 6 variasi konsentrasi infus buah pare adalah 80%; 29,1%; 11,3%; 4,3%; 1,6%; 0,625%, serta ditentukan konsentrasi pada larutan albendazole adalah 2%, 0,75%, 0,28%, 0,11%, 0,04%, 0,015%. Uji akhir tahap I dihentikan pada waktu 11 jam karena sudah terdapat mortalitas 20% pada pada kontrol negatif pada paparan 12 jam. Analisis hasil uji akhir tahap I diperoleh LC50 infus buah pare 6

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


dan albendazole secara berturut-turut adalah 22,09% dan 0,173%.

Gambar 2. Data Kematian Cacing pada Uji Akhir Tahap I Uji Akhir Tahap II Terdapat kematian 100% cacing kontrol negatif pada jam ke-37. Data hasil uji akhir tahap II ditunjukkan pada Tabel 1. Analisis hasil uji akhir tahap II diperoleh LT50 untuk infus buah pare ialah 12,04 jam. Sementara untuk hasil LT50 dari kombinasi I (25%A:75%P) ialah 13,92 jam, kombinasi II (50%A:50%P) ialah 14,27 jam serta kombinasi III (75%A:25%P) ialah 17,09 jam. Selain itu juga dilakukan analisis one way annova dengan hasil pada kelima kelompok tidak berbeda secara bermakna. Tabel 1. Hasil Analisis Data Uji Tahap II Kel Albe P Kom Kom kom om nda a bina bina bina pok zole r si I si II si III (kon e (25% (50% (75% trol A:75 A:50 A:25 +) %P) %P) %P) LT5 10,9 12, 13,9 14,2 17,0 4 04 2 7 9 0 Sig 0, 0,84 0,84 0,32 . 4 0 0 4 2 6 *menggunakan one way annova, p>0,05 4. PEMBAHASAN Hasil positif pada uji saponin menunjukkan bahwa sediaan infus buah pare mengandung saponin. Saponin diduga memiliki daya antihelmintik dengan menyebabkan perubahan permeabilitas pada membran sel cacing sehingga terjadi kerusakan pada tubuh [17] cacing yang menyebabkan kematian. Pada uji akhir, didapatkan nilai LC50 infus buah pare sebesar 22,09%. Hal ini berarti bahwa dengan paparan

11 jam, konsentrasi infus buah pare 22,09% efektif menimbulkan persentase mortalitas A. galli sebesar 50%. Larutan albendazole memiliki nilai LC50 yang lebih kecil, yakni 0,173%. Hal tersebut diduga terjadi karena konsentrasi zat aktif pada albendazole menimbulkan daya antihelmintik lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi zat aktif yang terdapat pada buah pare. Analisis data selanjutnya dilanjutkan dengan melihat LT pada infus buah pare dan albendazole. Hasil analisis menunjukkan LT50 infus buah pare adalah 12,04 jam, artinya infus buah pare 22,09% mampu membunuh 50% cacing dalam waktu 12,04 jam. Pada albendazol, didapatkanLT50 lebih cepat yaitu 10,94 jam. Namun demikian, analisis One Way Anova menunjukkan tidak ada perbedaan LT50 bermakna antara infus buah pare dan albendazol (p>0,05). Analisis data juga dilakukan dengan melihat nilai LT50 dari kombinasi infus buah pare dan albendazol. LT50 kombinasi 75% infus buah pare dan 25% albendazol, kombinasi 50% infus buah pare dan 50% albendazole, serta 25% infus buah pare dan 75% albendazole secara berturut-turut adalah 13,92 jam, 14,27 jam dan 17,09 jam. Analisis One Way Anova menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna jika dibandingkan dengan albendazol (p>0,05). Artinya pemberian kombinasi infus buah pare dan albendazol dengan kombinasi diatas memberikan efek antihelmintik yang hampir sama dengan pemberian albendazol. 5. KESIMPULAN Infus buah pare memiliki aktivitas anti helmintik yang disebabkan karena adanya kandungan saponin pada infus buah pare. Infus buah pare mampu membunuh 50% cacing dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari konsentrasi yang dibutuhkan albendazole untuk membunuh 50% cacing. Namun, analisis terhadap LT50 dari infus buah pare dan kombinasi pada tiga kelompok tidak berbeda bermakna secara signifikan terhadap albendazol pada LT50. Penelitian ini secara umum membutuhkan waktu pengamatan yang cukup lama. Sehingga membutuhkan 7

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


kesiapan fisik dari tim peneliti. Untuk selanjutnya, diharapkan ada pengembangan metode yang lebih efisien. 6. SARAN Perlu dilakukan penelitian lanjutan berbasis in vivo pada hewan coba. Selain itu, dapat juga dilakukan pengembangan infus buah pare berbasis produksi sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. DAFTAR PUSTAKA 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. World Health Organization 2012. Neglected Tropical Diseases in IndonesiaAn Integrated of Action Ministry of Health Indonesia 2011 – 2015. Database WHO Int Ino Searo. 13 April 2014<http://www.ino.searo.who.int/Li nkFiles/Neglected_Tropical_Disease _NTD2011.pdf> 2. Sumanto, D. 2010. Faktor risiko infeksi cacing tambang pada anak sekolah. Tesis. Semarang. Universitas Diponegoro. 3. Winters, MS. Karim, AG. Martawardaya, B. 2014. ‘Public Service Provision under Conditionsof Insufficient Citizen Demand: Insights fromthe Urban Sanitation Sector in Indonesia’. World Development. vol. 60. pp. 31 - 42. 13 April 2014 <http://www.sciencedirect.com/scien ce/article/pii/S0305750X14000837> 4. Dent, AE. dan Kazura, JW. 2011. ‘Ascariasis (Ascaris lumbricoides)’ dalam KJ Marcdante. RM Kliegman. HB Jenson & RE Behrman (eds). Nelson essentials of pediatrics. 11 ed. Saunders Elsevier. Philadelphia. pp. 1217 – 1218 5. WHO 2012. Eliminating soiltransmitted helminthiases as a public health problem in children: progress report 2001-2010 and strategic plan 2011 2020. 13 April 2014<http://whqlibdoc.who.int/public ations/2012/9789241503129_eng.pdf > 6. Schleiss, MR dan Chen, SF. 2011. ‘Antiparasitic Therapy’. dalam KJ. Marcdante, RM. Kliegman, HB. Jenson dan RE Behrman (eds). Nelson essentials of pediatrics. 11

ed. Saunders Elsevier. Philadelphia. pp. 1177. 7. Siahaan, S dan Sasanti, R. 2008. ‘Akses masyarakat terhadap obatobat esential pada unit pelayanan kesehatan di Indonesia’. Buletin penelitian sistem kesehatan. vol. 11. no.3. pp. 212 – 222. 01 Februari 2015. <http://ejournal.litbang.depkes.go.id/i ndex.php/hsr/article/view/1867> 8. Idward. 2012. ‘Seberapa besar manfaat pengobatan alternatif?’. Web Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 13 Juli 2014.<http://www.gizikia.depkes.go.i d/archives/artikel/seberapa-besarmanfaat-pengobatan-alternatif> 9. Kumar, SD, Sharathnath, KV, Yogeswaran, P, Harani, A, Sudhakar, K, Sudha, P dan Banji, D. “A Medical Potency of Momordicacharantia”, International journalof pharmaceutical science review and research, vol. 1, no.2, pp. 95 – 100. (2010). 23 September 2013<http://www.globalresearchonlin e.net/volume1issue2/Article%20018. pdf> 10. Muley, P., Upadhyay, A., Dhongade, H.,dan Pandey, A.“Anthelmintic Activity of Ethanolic and Aqueous Extracts of Fruits Peels of Momordicacharantia (curcubitaceae)”.International journal of herbal drug research. vol.1, no. 4, pp. 10 – 13. (2012). 23 September 2013<http://peternakan.litbang.depta n.go.id/index.php?option=com_conte nt&view=article&id=3328%3Asemnas &catid=312%3Asemnas2001&Itemid =121> 11. Dewi, IDADY, Astuti, KW., Warditiani, NK.“Identifikasi kandungan kimia ekstrak kulit buah manggis (GarciniamangostanaL.)”.ojs unud, pp. 13-17. (2013). 2 Februari 2015 <http://www.ojs.unud.ac.id/index.php/ jfu/article/view/8404> 12. Myers, P., Espinosa, R., Parr, CS., Jones, T., Hammond, GS.,dan Dewey, TA. “Ascaridia Galli’,“Ascaris Lumbricoides”.The Animal Diversity Web (online). (2014). 11 Juli 2014 <http://animaldiversity.ummz.umich.e du/>

8 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


13. Yazwiski, TA. dan Tucker,. 2008. CA. “Nematodes and Acantocephalans”.dalam YM. Saif, AM. Fadly, GR. Glisson, LR. McDougald, LK. Nolan, dan DE Swayne(eds).Disease of Pultry. 12 ed. Blackwell Publishing Professional. Iowa,pp.1025–1066. 14. Syamsuhidayat, SS. dan Hutapea, JR.Inventaris Tanaman Obat Indonesia. vol. I. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 1991 15. Drug. Albendazole. Drugbank. (2014). 07 Juli 2014 <http://www.drugbank.ca/drugs/DB00 518> 16. Suwasono, H dan Soekirno, M.“Uji Coba Beberapa Insektisida Golongan Phyrethroid Sintetik Terhadap Vektor Demam Berdarah Dengue Aedesaegyptidi Wilayah Jakarta Utara”. Jurnal Ekologi Kesehatan. vol. 3, no.1, pp. 43 – 47. (2004). 23 Desember 2014 <http://ejournal.litbang.depkes.go.id/i ndex.php/jek/article/viewFile/1329/pd f> 17. Al-Rofaai, A, Rahman, AW., dan Sulaiman, SF. “In Vitro Anthelmintic

Activity of Cassava (Manihot Esculenta) Extract on Trichostongyloid Larvae”.Proceedings of the 7th IMTGT UNINET and The 3rd In ternational PSU-UNS Conferences on Bioscience. (2014). 19 Juni 2015 <http://rdo.psu.ac.th/bioscience2010/ Extended%20Ab/file%20.pdf/Extend_ Complete/NPM/NPMPoster/NPM_P2 %20In%20vitro%20anthelmintic%20a ctivity%20of%20Cassava%20_Manih ot%20esculenta_%20extract%20on.p df> 18. Kendyartanto, R.2008. “Uji Anthelmintik Infus Daun dan Infus Biji Pare (Momordica charantia) terhadap Cacing Gelang Ayam (Ascaridia galli) secara in Vitro”.Skripsi. Semarang, Universitas Diponegoro. 19. David dan Arkeman, H. “Evaluation of the Oral Toxicity of Formaldehyde in Rats”. Universa Medicina.vol. 27, no.3, pp. 106 – 112. (2008). 14 September 2014 <www.univmed.org/wpcontent/uploa ds/2011/02/david1.pdf>

9 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Penelitian

DEPRESI PRA-MENSTRUASI PADA SISWI SMP 1

2

Dewi Lutpiyah, Lulu Eva Rakhmilla, Lynna Lidyana

3

1 Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, Bandung Departemen Epidemiologi dan Biostatistik, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung 3 Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin, Bandung

2

ABSTRAK Pendahuluan: Depresi adalah salah satu gangguan emosional dengan angka kejadian cukup tinggi pada remaja, terutama pada remaja puteri. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya depresi adalah kondisi pra-menstruasi. Depresi pada remaja memberikan efek buruk terhadap akademik, perilaku, dan pola pikir. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran depresi saat pra-menstruasi pada siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Metode: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kategorik kuantitatif potong lintang dengan populasi penelitian adalah siswi-siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berada di wilayah Kecamatan Jatinangor. Penelitian dilaksanakan pada bulan September hingga November tahun 2015. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan data primer melalui kuesioner Child Depression Inventory (CDI) untuk mengukur depresi pada anak dan remaja. Hasil: Subjek yang terlibat dalam penelitian ini adalah 177 siswi Sekolah Menengah Pertama yang sudah mengalami menstruasi. Setelah dilakukan analisis data, diperoleh hasil bahwa angka kejadian depresi pada siswi Sekolah Menengah Pertama adalah 53.1%. Diskusi: Hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian lain dengan angka kejadian depresi yang bervariasi. Simpulan: Angka kejadian depresi saat pra-menstruasi pada siswi Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Jatinangor cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perlunya dilakukan intervensi lebih lanjut dan pencegahan terhadap depresi. Kata kunci: depresi, depresi pada remaja, sindrom pra-menstruasi. ABSTRACT Introduction: Depression is an emotional disturbance with a high frequency among teenagers, especially in teenage girls. One of the factors that influence depression is premenstrual conditions. Depression in teenagers have a negative effect towards education, behavior, and thoughts. The aim of this study is to describe depression in premenstrual Junior High School students. Method: This study used a quantitative categorical descriptive method with a crosssectional design among the study population consisting of Junior High School students in the district of Jatinangor. This study was conducted between September and November 2015. Primary data were collected using the Child Depression Inventory (CDI) questionnaire that measured depression in children and teenagers. Results: Subjects of this study involved 177 Junior High School students who have experienced menstruation. Results from data analysis showed that the frequency of depression in Junior High School students was as much as 53.1% Discussion: The results are similar to previously conducted studies with varying prevalence in depression. Conclusion: Frequency of depression in premenstrual Junior High School students in the district of Jatinangor is high. There is a need for further intervention to prevent depression.

10 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Keywords: depression, depression in teenagers, premenstrual syndrome. 1.

PENDAHULUAN Masalah psikiatri pada remaja merupakan masalah yang jarang diangkat pada kesehatan remaja. Salah satu masalah psikiatri pada remaja adalah depresi. Depresi merupakan perasaan sedih, tidak bahagia, putus asa, kehilangan minat atau kesenangan, mudah lelah, adanya penurunan aktivitas yang dirasakan minimal selama dua minggu disertai dengan gejala lain, seperti perasaan bersalah, gangguan dalam berpikir dan membuat keputusan, berkurangnya nafsu makan, dorongan [1],[2] seksual dan gangguan tidur. Depresi sering dimulai pada usia muda, biasanya lebih sering terjadi pada [2] perempuan daripada laki-laki. Penelitian di Malaysia menunjukan bahwa prevalensi depresi pada remaja sebanyak 11,10% dengan derajat [3] berat. Prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas. Prevalensi gangguan mental emosional di Provinsi Jawa Barat sekitar 9,3% menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 di [4] Indonesia. Depresi merupakan salah satu gejala emosional dari Premenstrual Syndrome (PMS). Premenstrual syndrome (PMS) adalah penyebab umum dari masalah fisik, psikologis dan [5] sosial pada wanita usia reproduksi. PMS ini terjadi dua minggu menjelang menstruasi (fase luteal dari siklus [6] menstruasi). Biasanya PMS ini dipicu oleh peristiwa hormonal berikutnya [7] setelah ovulasi. Depresi pada PMS merupakan gejala tersering kedua pada saat pra-menstruasi dengan presentase sebanyak 72,3%. Adapun gejala yang lainnya yaitu perasaan kelelahan atau kelesuan (84%), perasaan tiba-tiba sedih atau tearfulness (70,3%), kecemasan (70%), sakit punggung [8] (69%) dan masalah tidur (66%). Hasil penelitian lain di Mashhad dilaporkan bahwa 45,5% dari subjek mengalami depresi pada satu minggu sebelum menstruasi, selama menstrusi dan satu [9] minggu setelah menstruasi. Depresi pada remaja dapat memberikan efek buruk antara lain penurunan akademik,

pembolosan, perilaku antisosial, penyalahgunaan zat, hubungan seksual, [2] dan pelarian diri. Oleh karena itu, pentingnya dilakukan pencegahan depresi pada remaja. Untuk melakukan tindakan pencegahan yang tepat, diperlukan penelitian mengenai gambaran depresi saat pra-menstruasi pada remaja puteri. Penelitian ini dilakukan pada siswi SMP di Kecamatan Jatinangor. Hal ini dikarenakan belum adanya penelitian sebelumnya yang meneliti hal tersebut di Indonesia, khususnya di Kecamatan Jatinangor. 2.

METODE Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif potong lintang. Populasi penelitian ini adalah siswi-siswi SMP di Kecamatan Jatinangor. Penelitian dilakukan pada bulan September hingga November 2015. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah siswi SMP yang berusia 12 - 15 tahun, tinggal di wilayah Kecamatan Jatinangor, sudah mengalami menstruasi dan bersedia mengikuti penelitian. Kriteria eksklusinya adalah responden yang tidak mengisi kuesioner dengan lengkap. Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus besar sample deskriptif kategorik dengan besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah 96 orang. Cara pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan metode simple random sampling dengan memilih secara random dua SMP dari delapan SMP yang berada di Kecamatan Jatinangor. Pada SMP terpilih akan diambil sebagian siswa yang sesuai kriteria umur yang ditentukan dengan menggunakan metode mutistage proportional sampling. Dimana, jumlah subjek pada masing-masing sekolah akan diambil secara proporsional berdasarkan kelas sampai jumlah sampel terpenuhi. Setelah dilakukan randomisasi pada SMP yang berada di Kecamatan Jatinangor, SMP yang terpilih adalah SMPN 1 Jatinangor dan SMP PGRI 1 Jatinangor. Subjek yang bersedia mengikuti penelitian dari masing-masing sekolah adalah 101 dan 107 orang.

11 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Pada SMPN 1 Jatinangor dari 101 subjek, 88 subjek yang memiliki data lengkap, 13 subjek lainnya tidak memiliki data lengkap. Sedangkan dari 107 subjek yang berada pada SMP PGRI 1 Jatinangor, 89 subjek memiliki data lengkap dan 18 orang tidak memiliki data lengkap. Subjek yang tidak memiliki data lengkap pada masing-masing sekolah tidak dapat dimasukkan dalam analisis data. Maka, total keseluruhan subjek yang memiliki data lengkap dalam penelitian ini adalah 177 orang. Variabel yang dinilai dalam penelitian ini adalah status depresi dari responden. Responden yang menunjukkan gejala-gejala depresi dalam dua minggu menjelang menstruasi. Selain itu, dalam penelitian ini menilai juga karakteristik dari responden yang terdiri dari usia, usia menstruasi pertama, pola menstruasi, Body Mass Index (BMI), pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, penghasilan ayah dan penghasilan ibu dari masing-masing responden. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner Child Depression Inventory (CDI). Child Depression Inventory (CDI) adalah kuesioner yang dikembangkan oleh Maria Kovacs pada tahun 1992. Instrumen ini berbentuk pelaporan diri yang berorientasi terhadap gejala depresi pada anak dan remaja. Kuesioner ini terdiri dari 27 pertanyaan. Pada penelitian ini, kuesioner yang digunakan adalah CDI versi Indonesia. Penentuan validitas dan reabilitas kuesioner CDI versi Indonesia ini telah diteliti oleh Yongky pada tahun 1990. Setiap item CDI diberi nilai numerik dari 0 sampai 2. Nilai yang lebih tinggi dikaitkan dengan perilaku klinis yang lebih parah, yaitu 0 = tidak ada gejala; 1 = gejala sedang, 2 = gejala berat. Kuesioner ini memiliki “cutoff score” 12 untuk mendeteksi sindroma depresi dengan sensitivitas 99,02% dan

spesifisitas 94,29%, sedangkan “cutoff score” 13 untuk menyaring sindroma depresi dengan sensitivitas 90,20% dan spesifisitas 94,29% serta telah dibuktikan bahwa instrumen ini reliabel untuk menentukan suatu sindroma [10],[11] depresi. Selain itu, instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah formulir data responden, alat pengukur berat badan dan tinggi badan. Proses penelitian yang dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pemilihan populasi penelitian dan sampel penelitian, pendataan awal terhadap responden berupa pendataan tanggal menstruasi dan kontak yang dapat dihubungi, kemudian responden mengisi lembar informed consent, apabila responden setuju maka dilanjutkan dengan pengisian kuesioner yang diisi oleh responden sendiri sesuai siklus menstruasi masing-masing responden. Kuesioner diisi pada satu hari sebelum menstruasi apabila tanggal menstruasi setiap bulannya teratur dan jika tanggal menstruasi tidak teratur maka kuesioner diisi oleh responden pada hari-hari awal menstruasi. Kemudian dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan dari responden. Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Izin Etik dan permohonan izin pengambilan data primer telah dilakukan oleh peneliti kepada Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumedang dan Kepala Sekolah dari masing-masing sekolah. Data dianalisis dengan menggunakan komputer untuk mengetahui proporsi kejadian depresi saat pra-menstruasi dan karakteristik dari responden. Kemudian data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. 3. HASIL PENELITIAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh 177 subjek yang berasal dari dua SMP di Kecamatan Jatinangor dengan hasil sebagai berikut:

12 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian Karakteristik N Usia (tahun), median 13 Usia Menstruasi 12 Pertama (tahun), median Pola Menstruasi (%) Teratur 105 (59.3) Tidak Teratur 72 (40.7) 2) BMI, (kg/m , median 20.17 Tingkat Pendidikan (%) Ayah Tidak Tamat SD 8 (4.5) Tamat SD 45 (25.4) Tamat SMP 36 (20.3) Tamat SMA 74 (41.8) Sarjana 13 (7.3) Pascasarjana 1 (0.6) Ibu Tidak Tamat SD 11 (6.2) Tamat SD 54 (30.5) Tamat SMP 52 (29.4) Tamat SMA 52 (29.4) Sarjana 7 (4) Pascasarjana 1 (0.6) Pekerjaan (%) Ayah Pegawai 11 (6.2) Negeri TNI/POLRI 8 (4.5) Pegawai 29 (16.4) Swasta Wiraswasta 75 (42.4) Buruh 46 (26) Lain-Lain 8 (4.5) Ibu Pegawai 4 (2.3) Negeri Pegawai 23 (13) Swasta Wiraswasta 28 (15.8) Buruh 18 (10.2) Ibu Rumah 91 (51.4) Tangga Lain-Lain 13 (7.3) Penghasilan (%) Ayah Rendah 71 (40.1) Menengah 65 (36.7) Tinggi 30 (16.9) Lain-Lain 11 (6.2) Ibu Rendah 36 (20.3) Menengah 31 (17.5) Tinggi 12 (6.8) Lain-Lain 98 (55.4)

Tabel 1 menunjukkan karakteristik subjek penelitian. Dari seluruh subjek penelitian, usia rata-rata subjek adalah 12 tahun dan usia menstruasi pertama adalah 13 tahun. Subjek yang memiliki pola menstruasi teratur sebanyak 59.3%. Adapun, BMI dari subjek 2 tergolong normal yaitu 20.17 kg/m . Rata-rata pendidikan terakhir ayah adalah Sekolah Menengah Atas, sedangkan pendidikan terakhir ibu adalah Sekolah Dasar. Mayoritas pekerjaan ayah dari subjek bekerja sebagai wiraswasta dan ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan mayoritas penghasilan orangtua dari subjek baik ayah maupun ibu memiliki penghasilan yang rendah.

94 (53.1%)

83 (46.9%)

Gambar 1. Proporsi depresi pada subjek penelitian Grafik 1 menunjukkan proporsi depresi pada subjek. Setelah dilakukan skoring pada kuesioner yang telah diisi oleh seluruh subjek penelitian, didapatkan bahwa 94 orang dapat dikategorikan menderita depresi dari total subjek 177 orang. Oleh karena itu, diperoleh prevalensi depresi yang cukup tinggi, yaitu 53.1 %. Tabel 2. Proporsi depresi subjek berdasarkan usia Usia n (%) (Tahun) 12 15 (8.5) 13 30 (16.9) 14 41 (23.2) 15 8 (4.5) Total 94 (53.1)

13 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Tabel 2 menunjukkan proporsi depresi subjek berdasarkan usia. Subjek penelitian ini terdiri dari usia 12-15 tahun. Namun, subjek yang banyak mengalami depresi adalah usia 14 tahun.

Gambar 2. Pola Rata-Rata Skor Depresi Subjek Berdasarkan Usia Grafik 2 menunjukkan pola ratarata skor depresi subjek berdasarkan usia. Dari seluruh subjek penelitian, terdapat peningkatan rata-rata skor depresi seiring dengan bertambahnya usia. Pada usia 12 tahun, rata-rata skor depresi yaitu 12,69 dengan minimal dan maksimal skor adalah 7 dan 21. Namun, pada usia 13 tahun terdapat sedikit penurunan rata – rata skor depresi, yaitu 12,00 dengan skor depresi minimal dan maksimal adalah 4 dan 33. Pada usia 14 tahun, rata-rata skor mengalami peningkatan kembali yaitu 14,42 dengan skor minimal dan maksimal adalah 3 dan 29. Sedangkan pada usia 15 tahun, rata-rata skor yaitu 13,92 dengan skor depresi minimal dan maksimalnya adalah 6 dan 22. 4.

PEMBAHASAN Masa remaja merupakan salah satu masa transisi yang sangat penting dalam kehidupan dimana terjadi [12] pertumbuhan yang sangat cepat. Depresi pada remaja dapat memberikan [2] efek buruk dalam kehidupannya. Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh bahwa angka kejadian depresi saat pra-menstruasi pada siswi Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Jatinangor, yaitu 53.1 %. Penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya di Zahedan University (Iran), dimana 72,8% mahasiswi yang berusia 18-27

tahun mengalami perasaan depresi saat [8] pra-menstuasi. Selain itu, penelitian di Iran pada siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) menunjukkan bahwa 45,5% subjek mengalami depresi pada satu minggu sebelum menstruasi, selama pendarahan dan satu minggu setelah [9] menstruasi. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa pada wanita usia reproduksi antara 18-45 tahun di China, mengalami gejala depresi saat pramenstruasi dengan prevalensi sebanyak [13] 68,31%. Hasil penelitian ini, bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya diatas memiliki angka kejadian yang cukup tinggi. Secara teori, depresi diperkirakan terjadi akibat adanya penurunan ketersediaan norepinefrin dan/atau [1] serotonin didalam otak. Pada fase pramenstruasi, munculnya gejala-gejala Premenstrual Syndrome (PMS) terjadi karena adanya aktivitas hormon setelah [7] ovulasi. Pada fase ini adanya produksi progesteron oleh ovarium. Terdapat dua neurotransmitter yang terlibat, yaitu GABArgic dan sistem serotonergik. Metabolit progesteron yang dibentuk oleh korpus luteum ovarium akan mengikat pada reseptor GABA yang ada diotak, sehingga dapat menurunkan pusat GABA. Selain itu, adanya penurunan serotonin yang menimbulkan [7] menurunnya aktivitas serotonin di otak. Selain itu, timbulnya gejala PMS diperkirakan akibat adanya fluktuasi [14] kadar hormon gonad. Adapun fungsi normal dari norepinefrin dan serotonin yaitu keduanya dapat menimbulkan dorongan pada area limbik dalam otak untuk memperkuat rasa nyaman, menciptakan rasa bahagia, rasa puas, nafsu makan yang baik, dorongan seksual, dan keseimbangan [1] psikomotor. Masa remaja dibagi menjadi tiga periode yaitu remaja awal (10-13 tahun), remaja pertengahan (14-16 tahun) dan [12] remaja akhir (16-20 tahun). Hasil dari penelitian ini, diperoleh bahwa terjadi peningkatan rata-rata skor depresi seiring dengan bertambahnya usia subjek. Subjek yang mengalami depresi lebih banyak pada usia 14 tahun, dimana usia tersebut termasuk dalam periode remaja pertengahan. Pada periode tersebut, remaja cenderung memiliki resiko untuk memiliki masalah,

14 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


menarik diri dari orangtuanya karena ingin mempunyai privasi lebih. Sehingga perhatian dari orang tua akan berkurang dan remaja cenderung untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Secara minoritas (20-30%), remaja mengalami stress dan berjuang untuk [12] melewati periode tersebut. Hal-hal tersebut yang dapat menjadi resiko depresi pada subjek. Masih sedikitnya penelitian sebelumnya yang membahas mengenai depresi saat pra-menstruasi. Di Indonesia, belum ditemukan penelitian sebelumnya yang membahas mengenai depresi saat pra-menstruasi. Sehingga tidak bisa dilakukan perbandingan penelitian ini dengan penelitian yang lain di Indonesia. 5.

KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah angka kejadian depresi pramenstruasi pada siswi SMP di Kecamatan Jatinangor cukup tinggi. Pentingnya dilakukan intervensi lebih lanjut terhadap gejala tersebut supaya bisa ditangani secara cepat dan tepat. Selain itu, perlu diadakannya pencegahan – pencegahan dengan cara memberikan penyuluhan – penyuluhan mengenai depresi. Bagi orang tua, hal ini bisa menjadi kewaspadaan orangtua yang memiliki remaja putri yang sudah mengalami menstruasi untuk lebih memberikan perhatian kepada anaknya, sehingga bisa mencegah terjadinya depresi. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah recall bias, dimana pengisian kuesioner dilakukan pada hari-hari awal periode menstruasi antara hari pertama sampai hari ketiga, sebaiknya pengisian kuesioner dilakukan pada 1 hari sebelum menstruasi. Hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu yang ada, sehingga kurangnya follow up terhadap responden. Selain itu, proporsi subjek berdasarkan usia tidak terdistribusi dengan baik sehingga tidak mewakili populasi. 6.

SARAN Saran untuk penelitian selanjutnya adalah penelitian dapat dilakukan pada populasi yang lebih luas, tidak hanya pada siswi SMP tetapi siswi SMA sehingga dapat mewakili semua

populasi remaja. Selain itu, bisa dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai derajat dari gejala depresi tersebut. DAFTAR PUSTAKA 1. Guyton. Arthur C, dan John E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC, 2007. 2. BJ Sadock, dan Sadock VA. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychitry. New York: Lippincott Williams & Wilkins, 2007. 3. Ibrahim N, Amit N, Suen MWY. "Psychological Factors as Predictors of Suicidal Ideation among Adolescents in Malaysia." PLoS ONE. 9:10(2014): e110670. 4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Tahun 2013. 2013. 3 Juli 2015. <http://www.depkes.go.id/article/view /201410270011/stop-stigma-dandiskriminasi-terhadap-orang-dengangangguan-jiwa-odgj.html>. 5. Marjoribanks J, Brown J, O'Brien PM, Wyatt K. "Selective serotonin reuptake inhibitors for premenstrual syndrome." The Cochrane database of systematic reviews. 6:1(2013): Cd001396. 6. O'Brien PMS, Bäckström T, Brown C, Dennerstein L, Endicott J, Epperson CN, et al. "Towards a consensus on diagnostic criteria, measurement and trial design of the premenstrual disorders: the ISPMD Montreal consensus." Archives of women's mental health. 14:1(2011): 13-21. 7. Rapkin AJ, Akopians AL. "Pathophysiology of premenstrual syndrome and premenstrual dysphoric disorder." Menopause international. 18:2(2012): 52-9. 8. Bakhshani NM, Mousavi MN, Khodabandeh G. Prevalence and severity of premenstrual symptoms among Iranian female university students. JPMA The Journal of the Pakistan Medical Association. 59:4(2009): 205-8. 9. Mohamadirizi S, Kordi M. "Association between menstruation signs and anxiety, depression, and stress in school girls in Mashhad in 2011-2012." Iranian journal of

15 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


nursing and midwifery research. 18:5(2013): 402-7. 10. Yongky. "Penentuan Validitas dan Reliabilitas Child Depression Inventory." Perpustakaan Universitas Indonesia (UI). (1990). 11. Kovacs M. "Children's Depression Inventory." FRIENDS National Resource for Community-Based Child Abuse Prevention. 2005. 1 Juli 2015 <http://friendsnrc.org/component/joo mdoc/outcomeaccountability/evaluationtoolkit/cdi.pdf/download?Itemid=55>.

12. Kliegman RM, et al. Nelson Text Book Of Pediatrics. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2007. 13. Qiao M, Zhang H, Liu H, Luo S, Wang T, Zhang J, et al. "Prevalence of premenstrual syndrome and premenstrual dysphoric disorder in a population-based sample in China." European journal of obstetrics, gynecology, and reproductive biology. 162:1(2012) :83-6. 14. Yonkers KA, O’Brien PMS, Eriksson E. "Premenstrual syndrome." Lancet. 371:9619(2008): 1200-10.

16 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Penelitian

ANGKA KEJADIAN KELAHIRAN PRETERM DIHUBUNGKAN DENGAN GAMBARAN BERAT BADAN LAHIR DAN KEMATIAN PERINATAL DI RUMAH SAKIT PRIKASIH TAHUN 2010-2014 1

2

2

M. Ilyas Saputera, Taufik Zain, Nina Afiani, Ilham Murtala, 1 Fahmi Akbar 2

1 Fakultas Kedokteran, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Departemen Kandungan dan Kebidanan, Fakultas Kedokteran, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ABSTRAK Pendahuluan: Kelahiran preterm masih menjadi masalah global, baik di Indonesia ataupun di dunia. Kelahiran preterm menjadi masalah yang penting mengingat dampak dari kelahiran ini sangat besar, diantaranya adalah lahirnya bayi dengan berat badan lahir rendah atau sangat rendah, dan risiko kematian perinatal yang jauh lebih tinggi dibandingkan bayi aterm. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian kelahiran preterm, berat badan lahir, dan kematian perinatal, serta hubungan antara ketiga variabel tersebut di Rumah Sakit Prikasih pada tahun 2010-2014. Metode: Penelitian dilakukan dengan potong lintang dan metode analitik berdasarkan rekam medis seluruh subjek yang melahirkan di Rumah Sakit Prikasih pada tahun 20102014 yang berjumlah 4.063 kelahiran. Hasil: Dari penelitian didapatkan bahwa angka kejadian kelahiran preterm sebesar 0,3%, bayi dengan berat badan lahir di bawah normal sebesar 10%, dan angka kematian perinatal sebesar 32 per 1.000 kelahiran. Angka kematian perinatal akibat kelahiran preterm sebesar 69,2%, dan persentase kematian perinatal ini semakin menurun dengan bertambahnya usia janin dan meningkatnya berat badan lahir bayi preterm. Kesimpulan: Kelahiran preterm secara signifikan bermakna dalam menyebabkan berat badan lahir di bawah normal dan kematian perinatal (p<0,05). Kata Kunci: kelahiran preterm, berat badan lahir, kematian perinatal. ABSTRACT Background: Preterm birth remains a global problem, both in Indonesia and the world. Preterm birth becomes an important issue considering its large impact, low or very low birth weight babies at birth and higher risk of perinatal mortality. This study aimed to determine the incidence of preterm birth, birth weight, perinatal mortality, and their association in Prikasih Hospital in 2010-2014. Methods: The study was conducted using cross sectional analytic methods based on clinical records of all subjects who had labor at the Prikasih Hospital in the period 20102014 which amounts to 4063 births. Results: From the study, we found that the incidence of preterm birth was 0.3%, the incidence of low and very low birth weight was 10%, and the incidence of perinatal mortality was 32 deaths per 1,000 births. The perinatal mortality rate due to preterm birth was 69.2%, and the percentage of perinatal mortality decreased with increase of gestational age and birth weight of preterm infants. Conclusion: Preterm birth was significantly associated with low and very low birth weight and perinatal mortality (p<0,05) Keywords: preterm birth, birth weight, perinatal mortality

17 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

1


1. PENDAHULUAN Angka kematian perinatal masih menjadi masalah yang perlu diperhatikan dan dicegah, mengingat kematian perinatal masih memiliki persentase yang tinggi. Menurut WHO tahun 2012, angka kematian bayi umur di bawah 1 tahun mencapai 15 bayi per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan berdasarkan Demographic Health Survey (DHS) tahun 2012, angka kematian perinatal di Indonesia masih mencapai angka 26 bayi per 1.000 [1] kelahiran. Dua pertiga dari kematian perinatal di Indonesia disebabkan oleh kelahiran preterm atau yang biasa disebut dengan prematur, tertinggi kedua setelah gangguan atau kelainan napas. Selain itu, kelahiran preterm merupakan faktor penting dalam lahirnya neonatus dengan berat badan dibawah rata-rata yang memiliki kontribusi 60-80% dalam terjadinya [1-4] kematian perinatal. Kelahiran preterm, berat badan lahir, dan kematian perinatal merupakan satu kesatuan masalah yang perlu diangkat menjadi sebuah topik penelitian, mengingat penelitian tentang hal tersebut masih minim di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian persalinan preterm, berat badan lahir, dan kematian perinatal, serta hubungan dari variabel tersebut, sehingga dapat menjadi penelitian awal yang dapat digunakan untuk basis dalam penelitian-penelitian selanjutnya yang diharapkan dapat meningkatkan kepedulian masyarakat tentang kelahiran preterm dan melakukan hal-hal preventif untuk menghindarinya. Peningkatan kepedulian masyarakat tersebut, dapat membantu menurunkan kasus prematuritas berupa berat badan lahir rendah atau sangat rendah dan mortalitas. 2. METODE Penelitian ini menggunakan studi analitik dengan desain potong lintang. Populasi target pada penelitian ini yaitu seluruh kelahiran di Rumah Sakit Prikasih, Pondok Labu, Jakarta Selatan dari 1 Januari 2010 sampai 31 Desember 2014. Adapun cara pemilihan subjek penelitian yang digunakan adalah

total sampling, dan data didapatkan dari data sekunder berupa rekam medis [5-7] pasien. Kelahiran preterm didefinisikan sebagai kelahiran pada usia kurang dari 37 minggu. Kelahiran preterm ini dibagi menjadi 4 kategori, yaitu extreme preterm (20-27 minggu), very preterm (28-31 minggu), dan late preterm (32-36 minggu). Adapun berat badan lahir dibagi menjadi 4 kategori, yaitu: berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu berat badan dibawah 1500 gram; berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu berat badan antara 1500 gram sampai dengan 2499 gram; berat badan lahir normal (BBLN) yaitu berat badan lahir antara 2500 gram sampai 3999 garam; dan berat badan lahir berlebih (BBLB) yaitu berat badan lahir lebih dari sama dengan 4000 gram. Sedangkan kematian perinatal didefinisikan sebagai kematian janin usia lebih dari sama dengan 20 minggu sampai kematian [1,8-13] bayi kurang dari 7 hari. Variabel-variabel tersebut di dihubungkan dan dianalisis menggunakan uji chi-square, dan dinyatakan bermakna secara statistik apabila p<0,05. 3. HASIL Jumlah kelahiran dari tanggal 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2014 di RS Prikasih sebanyak 4036 Kelahiran, dengan rerata kelahiran setiap tahunnya sebanyak 807 kelahiran. Adapun rasio jenis kelamin (RJK) bayi laki-laki terhadap bayi perempuan sebesar 110. Tabel 1. Jumlah Kelahiran dan Jenis Kelamin di RS Prikasih Tahun 20102014 Jumlah Jenis Kelamin Tahun Kelahiran (Orang) Lk (org) Pr (Org) 2010

861

453

408

2011

906

486

420

2012

927

486

441

2013

699

356

343

2014

643

330

313

Total

4036

2111

1925

Rerata

807

422

385

18 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


3.1. Analisis Univariat 3.1.1. Insidensi Kelahiran Preterm Insidensi kelahiran preterm di RS Prikasih dari tahun 2010-2014 sebesar 0,3%, dengan peningkatan insiden dari tahun 2010 sebesar 0,1%, menjadi 0,6% pada tahun 2014. Tabel 2. Insidensi Kelahiran Preterm di RS Prikasih Tahun 2010-2014 Jumlah Kelahiran Tahun Kelahiran Pretem % (orang) (orang) 2010

861

1

0,1

2011

906

2

0,2

2012

927

3

0,3

2013

699

3

0,4

2014

643

4

0,6

Total

4063

13

0,3

3.1.2. Insidensi Berat Badan Lahir Dari Tabel 3, dapat kita lihat bahwa terjadi peningkatan angka bayi yang lahir dengan berat badan normal, yang pada tahun 2010 hanya sebesar 86%, menjadi 90% pada tahun 2014, dan secara rerata dapat kita lihat bahwa bayi dengan BBLN sebesar 88%. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) mengalami penurunan dari tahun 2010 sampai tahun 2014. Bayi dengan BBLSR tahun 2010 sebesar 1% dan pada tahun 2014 hanya sebesar 1%, dan secara rata-rata dari tahun 2010 sampai tahun 2014 sebesar 1%. Sedangkan bayi dengan BBLR pada tahun 2010 sebesar 11% dan pada tahun 2014 hanya sekitar 7%, dan secara rerata sebesar 9%, 3.1.3. Insidensi Kematian Perinatal Dari Tabel 4, dapat kita lihat bahwa angka kelahiran jumlah kematian setiap tahun mengalami penurunan. Dari angka insidensi sebesar 43 per 1.000 kelahiran pada tahun 2010, menurun menjadi 26 per 1.000 kelahiran pada tahun 2014, walaupun sempat terjadi kenaikan pada tahun 2012 yaitu 32 per 1.000 kelahiran.

3.1.4. Insidensi Berat Badan Lahir dan Kematian Perinatal pada Bayi Preterm Berdasarkan Tabel 5, didapatkan bahwa semua kelahiran preterm berada pada kategori berat badan di bawah normal, baik di berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) ataupun berat badan lahir rendah (BBLSR). Dapat dilihat pula bahwa angka persentase BBLSR semakin menurun dengan bertambahnya usia preterm, sebaliknya angka persentase BBLR semakin meningkat. Secara rerata, kelahiran preterm menyebabkan bayi dengan kategori BBLSR sebanyak 69%, dan sisanya menyebabkan bayi dengan kategori BBLR yaitu sebanyak 31%. Dari Tabel 6, didapatkan bahwa walaupun persentase kematian perinatal tertinggi terjadi pada usia kelahiran 2831 minggu, namun angka kematian perinatal semakin menurun dengan bertambahnya usia janin. Dan didapatkan bahwa rerata angka mortalitas perinatal pada kelahiran preterm cukup tinggi yaitu sebesar 69,2%. Berdasarkan tabel di atas, dapat kita lihat bahwa pada kelahiran preterm, kematian perinatal tertinggi terjadi pada bayi dengan Berat Badan Sangat Rendah (BBLSR) yaitu sebesar 77,8%. Angka presentase kematian menurun dengan meningkatnya berat badan lahir bayi preterm. 3.2. Analisis Bivariat 3.2.1. Hubungan antara Jenis Kelahiran dengan Berat Badan lahir Dari Tabel 7, didapatkan bahwa jumlah kelahiran yang memiliki berat badan lahir rendah/sangat rendah (BBLR/SR) dan berat badan lahir normal (BBLN) sebanyak 3982 bayi. Terdapat 81 kelahiran dari seluruh kelahiran (4.063 kelahiran) yang tidak dimasukkan, karena memiliki berat badan lahir besar (BBLB). Dari hasil analisis, didapatkan bahwa kelahiran preterm memiliki hubungan yang signifikan bermakna dalam menyebabkan berat badan lahir dibawah normal (BBLR/SR) dengan nilai p<0,05.

19 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Tabel 3. Insidensi Berat Badan Lahir di RS. Prikasih tahun 2010-2014 Kategori Berat Badan Lahir Tahun

BBLSR

BBLR

BBLN

Jumlah (orang)

BBLB

N*

%

N*

%

N*

%

N*

%

2010

9

1%

94

11%

744

86%

14

2%

861

2011

6

1%

78

8%

824

89%

19

2%

927

2012

28

3%

79

9%

774

85%

25

3%

906

2013

8

1%

65

9%

618

88%

8

1%

699

2014

7

1%

43

7%

578

90%

15

2%

643

Rerata

12

1%

72

9%

708

88%

16

2%

799

Tabel 4. Insidensi Kematian Perinatal di RS Prikasih Tahun 2010-2014 Tahun

Jumlah Kelahiran (orang)

Kematian Perinatal (orang)

Angka Insidensi (per 1.000 kelahiran)

2010

861

37

43

2011

906

27

30

2012

927

30

32

2013

699

22

31

2014

643

17

26

Total

4036

133

32

Tabel 5. Gambaran Berat Badan lahir berdasarkan Kategori Preterm tahun 2010-2014 Kategori Preterm Kategori Jumlah Extreme Very Late Berat (<28 minggu) (28-31 minggu) (32-36 minggu) Badan Lahir N* % N* % N* % N* % BBLSR 7 100% 1 50% 1 25% 9 69% BBLR 0 0% 1 50% 3 75% 4 31% BBLN 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% BBLB 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% Jumlah 7 100% 2 100% 4 100% 13 100% * Jumlah bayi Preterm (orang) Tabel 6. Gambaran Kematian Perinatal berdasarkan Kategori Preterm dan Berat Badan Lahir tahun 2010-2014 Status Perinatal Presentase Kategori Preterm/Berat Jumlah Kematian Badan Lahir (orang) Hidup (org) Meninggal (org) Perinatal Extreme (<28 minggu)

1

6

7

85,7%

Very (28-31 minggu)

0

2

2

100%

Late (32-36 minggu)

3

1

4

25%

BBLSR

2

7

9

77,8%

BBLR

2

2

4

50,0%

Jumlah

4

9

13

69,2%

20 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Tabel 7. Hubungan antara Kelahiran Preterm dengan Kejadian Berat Badan Lahir di Bawah Normal (BBLR/SR) Berat Badan lahir P-Value Jumlah BBLR/SR BBLN N (%) N (%) Kelahiran

Preterm

13 (100%)

0 (0%)

13

Normal

404 (10,2%)

3565 (89,8%)

3969

Jumlah

417 (10,5%)

3565 (89,5%)

3982

0,00

Tabel 8. Hubungan antara Kelahiran Preterm dengan Kematian Perinatal Kematian Perinatal

Kelahiran

Meninggal N (%)

Hidup N (%)

Jumlah

Preterm

9 (69,2%)

4 (30,8%)

13

Normal

124 (3,1%)

3926 (96,9%)

4050

Jumlah

133 (3,3%)

3930 (96,7%)

4063

3.2.2. Hubungan antara Jenis Kelahiran dengan Kematian Perinatal Dari Tabel 8 didapatkan bahwa jumlah kematian perinatal sebesar 133 bayi (3,3%). Dari analisis diatas, didapatkan bahwa kelahiran preterm memiliki hubungan yang signifikan bermakna dalam menyebabkan kematian perinatal dengan nilai p<0,05. 4. PEMBAHASAN Kelahiran bayi preterm, bayi dengan berat badan lahir rendah, dan kematian perinatal adalah masalah global yang masih belum bisa dituntaskan, termasuk di Indonesia sendiri, hal ini terbukti dengan masih tingginya angka insidensi dari masalahmasalah tersebut. Pada penelitian ini didapatkan bahwa angka kejadian persalinan preterm di Rumah Sakit Prikasih tahun 2010-2014 sebesar 0,3%. Angka ini lebih rendah dari data analisis Riskesdas tahun 2010 yang menunjukkan data 4,1%. Salah satu kemungkinan penyebab rendahnya angka kelahiran preterm ini adalah kebijakan rumah sakit yang merujuk pasien dengan janin risiko tinggi ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lebih baik, yang termasuk di dalamnya pasien yang memiliki usia kehamilan di bawah 37 minggu atau kehamilan preterm, hal ini dibuktikan dari penelitian Deswita

P-Value

0,00

pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa angka kejadian bayi prematur dan berat badan lahir rendah rerata 1416 bayi perbulan di RSAB Harapan Kita dan sekitar 26-30 bayi perbulan di [14-15] RSUP Fatmawati Jakarta Selatan. Berat badan lahir bayi di RS Prikasih mengalami perbaikan dari tahun 2010-2014, hal ini dilihat dari menurunnya persentase bayi dengan BBLR dan peningkatan persentase bayi dengan BBLN. Adapun bayi dengan BBLSR dan BBLB memiliki persentase yang relatif sama tiap tahunnya. Secara rerata persentase bayi dengan berat badan lahir dibawah normal sebesar 10%, dengan BBLSR sebesar 1% dan BBLR sebesar 9%, hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil Riskedas tahun 2013 yang menyatakan bahwa angka kejadian BBLR di Indonesia sebesar [3] 10,2% dan di DKI Jakarta sekitar 10%. Jumlah insidensi kematian perinatal juga mengalami perbaikan setiap tahunnya, walaupun secara keseluruhan insidensi kematian perinatal dari tahun 2010-2014 sebesar 32 per 1.000 kelahiran, dan angka ini lebih tinggi dari data epidemiologi Indonesia dan DKI Jakarta yang berturut-turut sebesar 26 dan 18 per 1.000 kelahiran. Tingginya angka kematian perinatal di rumah sakit ini dibandingkan dengan angka insidensi Nasional dan DKI Jakarta, karena angka epidemiologi

21 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Nasional dan DKI Jakarta tersebut merupakan angka keseluruhan kelahiran yang termasuk di dalamnya kelahirankelahiran yang tidak berisiko yang dilakukan di bidan atau fasilitas kesehatan tingkat pertama, sedangkan angka insidensi di rumah sakit akan lebih tinggi karena sebagian besar kelahiran yang dilakukan di rumah sakit adalah kelahiran-kelahiran yang berisiko sehingga risiko angka kematian perinatal juga akan meningkat. Namun, angka insidensi kematian perinatal tahun 2014 sudah sama dengan angka insidensi nasional. Oleh karena itu, hal ini perlu dipertahankan, bahkan ditingkatkan agar dapat menurunkan angka kematian perinatal serendah [1] mungkin. Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa semua bayi preterm memiliki berat badan dibawah normal. Secara rerata, kelahiran preterm menyebabkan bayi dengan kategori BBLSR sebanyak 69%, dan sisanya menyebabkan bayi dengan kategori BBLR yaitu sebanyak 31%. Semakin bertambahnya usia kehamilan bayi preterm, semakin bertambah pula berat badan bayi, Hal ini sesuai dengan beberapa referensi yang menyatakan bahwa kelahiran preterm adalah penyebab utama dalam terjadinya berat [13] badan lahir rendah (BBLR). Angka mortalitas perinatal pada kelahiran preterm cukup tinggi yaitu sebesar 69,2%, hal ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Rush R. W. yang menyatakan bahwa kelahiran preterm menyebabkan 85% kematian [16] perinatal. Persentase kematian perinatal semakin menurun dengan bertambahnya usia janin dan meningkatnya berat badan lahir bayi preterm. Dengan tingginya angka tersebut, sesuai dengan laporan WHO yang menyatakan bahwa berat badan dibawah normal memiliki kontribusi sebesar 60-80% dari seluruh kematian [17] bayi. Secara analisis menggunakan chi-square didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik antara kelahiran preterm dengan berat badan lahir di bawah normal dan kematian perinatal (p<0,05). Hal ini sesuai dengan penelitian Allen J. dkk, yang dilakukan pada 400.000 kelahiran di Norwegia,

bahwa terdapat keterkaitan yang kuat antara berat badan lahir dengan kematian perinatal yang disebabkan oleh usia kehamilan, dan usia kehamilan merupakan faktor prediksi yang baik terhadap berat badan lahir dan harapan hidup perinatal. Oleh karena itu, tindakan preventif dari kelahiran preterm akan sangat bermanfaat dalam menurunkan angka BBLR ataupun BBLSR, serta angka kematian [18] perinatal. Namun akibat beberapa keterbatasan, penelitian ini masih belum dapat mengetahui faktor-faktor apa saja yang bermakna secara signifikan menyebabkan kelahiran preterm, dan masih belum dapat mengetahui kualitas hidup atau outcome dari bayi preterm yang dapat melalui masa perinatalnya, karena bayi yang lahir preterm selain memiliki risiko yang lebih untuk mengalami kematian perinatal juga memiliki risiko untuk mengalami komplikasi baik yang jangka pendek seperti gangguan pernapasan, gangguan saraf, ataupun jangka panjang seperti gangguan kognitif dan [19] neurologi saat usia sekolah. 5. KESIMPULAN Pada penelitian ini diketahui bahwa angka kejadian kelahiran preterm pada tahun 2010-2014 di Rumah Sakit Prikasih sebesar 0,3%, dan persentase bayi dengan berat badan lahir di bawah normal sebesar 10%, serta angka kematian perinatal sebesar 32 per 1.000 kelahiran. Angka kematian perinatal akibat kelahiran preterm sebesar 69,2%, dan persentase kematian perinatal ini semakin menurun dengan bertambahnya usia janin dan meningkatnya berat badan lahir bayi preterm. Kelahiran preterm secara signifikan bermakna dalam menyebabkan berat badan lahir di bawah normal dan kematian perinatal (p<0,05). DAFTAR PUSTAKA 1. WHO. Maternal and perinatal country profil Indonesia: Department of Maternal, Newborn, Child and Adolescent Health. 2. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Edisi 4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008

22 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


3. Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan; 2013. 4. WHO. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota. Jakarta: WHO Indonesia; 2008 5. Dahlan S. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 4. Jakarta: Salemba Medika; 2009 6. Dahlan S. Langkah-langkah membuat proposal penelitian bidang kedokteran dan kesehatan. Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto; 2010 7. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasardasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto; 2010 8. Howson, Kinney MV, Lawn JE. Born Too Soon: The Global Action Report on Preterm Birth. Geneva: World Health Organization; 2012. 9. Beck S, Wojdyla D, Say L, Betran A P, Meraildi M, Requejo J H, et al. The worldwide incidence of preterm birth: a systematic review of maternal mortality and morbidity. Bull World Health Organ 2010;88:31–38 10. ACOG. Preterm (prematur) labor and birth. FAQ 087, 2014. 11. WHO. Preterm Birth, 2014. Available from: 31 Januari 2015 <http://www.who.int/mediacentre/fact sheets/fs363/en/> 12. American Academy of Pediatrics. Clinical report – Standar terminology of fetal, infant, and perinatal deaths.

American Academy of Pediatrics. 2011. 13. Behrman R E, Kliegman R M, Jenson H B. Nelson texbook of pediatrics. th 17 ed. USA: Saunders, An Imprint of Elsevier. 2014. 14. Agustiana T. Faktor-faktor yang berhubungan dengan persalinan prematur di Indonesia tahun 2010 (analisis data Riskesdas 2010). Jakarta: FKM UI; 2012. 15. Deswita. Pengaruh perawatan metode kangguru terhadap respon fisiologis bayi prematur dan kepercayaan diri ibu dalam merawat bayi di dua rumah sakit di Jakarta. Jakarta: FIK UI; 2010. 16. Rush RW, Keirse MJ, Howat P, Baum JD, Anderson AB, Turnbull AC. Contribution of preterm delivery to perinatal mortality. British Medical Journal. 1976;2(6042):965-968. 17. WHO. Care of the preterm and/or low-birth-weight newborn. Januari 2015 <http://www.who.int/maternal_child_a dolescent/topics/newborn/care_of_pr eterm/en/> 18. Wilcox A J, Skjaerven R. Birth Weight and Perinatal Mortality: The Effect of Gestational Age. Am J Public Health. 1992;82:378-382 19. Marlow N, Wolke D, Bracewell MD, et al. Neurologic and developmental disability at six years of age after extremely preterm birth. New

England Journal 2005;352(1):9-19.

of

Medicine.

23 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Tinjauan Pustaka

VAKSIN VEKTOR VIRUS PENGUAT BCG SEBAGAI UPAYA ELIMINASI TUBERKULOSIS (TB) 1

1

Mutiara Chairsabella, Valensa Yosephi, Yustina 1 2 Wahyuningtiyas, Kis Djamiatun 1 4

Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Semarang Magister Ilmu Biomedik, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK

Pendahuluan: WHO tahun 2014 menunjukkan bahwa 9,6 juta orang menderita TB dan 1,5 juta orang meninggal karena TB. Hal ini diperberat dengan timbulnya kasus multidrug resistant, extensively drug resistant sampai koinfeksi TB dengan HIV. Vaksin bacille Calmette-GuĂŠrin (BCG) merupakan satu-satunya vaksin yang hanya tersedia untuk melawan TB. BCG mencegah kasus TB milier pada anak namun efektivitas proteksi terhadap TB pulmoner dewasa masih diperdebatkan. Oleh karena itu, untuk mencapai target eliminasi TB 2050 pengembangan terbaru melalui vaksin untuk mengontrol TB sangat penting untuk dilakukan. Artikel review ini bertujuan untuk menelaah kandidat vaksin-vaksin vektor virus termutakhir dalam upaya tercapainya eliminasi TB pada tahun 2050. Pembahasan: Vaksin vektor virus yang sedang dikembangkan saat ini adalah MVA85A, Ad5Ag85A, Crucell Ad35/Aeras-402, ChAd0x1 85A + MVA85A, kombinasi Crucell Ad35+ MVA85A, dan FP85A. Vaksin vektor virus menggunakan virus yang dilemahkan dan tidak dapat bereplikasi untuk mentranspor DNA Mtb ke sel manusia. Sel inang akan memproduksi protein antigenik yang dapat merangsang berbagai respon imun, termasuk + + antibodi, sel T CD4 , dan sel T CD8 . Vaksin vektor virus untuk TB pada umumnya aman, imunogenik, dan efektif dengan hasil untuk ChAdOx1 85A dan kombinasi Adeno35/AERAS-402 + MVA85A belum dipublikasikan. Kesimpulan: Vaksin vektor virus merupakan salah satu kandidat vaksin TB penguat BCG untuk mencapai target pengeliminasian TB pada 2050. MVA85A merupakan vaksin yang diunggulkan karena mampu meningkatkan induksi sel kekebalan protektif melalui + + modulasi sel T CD4 , sel T CD 8 , dan sel TH17 dibandingkan kandidat lainnya.

Kata kunci: Tuberkulosis, vaksin TB, penguat BCG, vaksin vektor virus, MVA85A, Ad5Ag85A, Aeras-402 ABSTRACT Introduction: WHO in 2014 showed that 9,6 million people have suffered from TB and 1.5 million people died because of TB. This becomes serious due to the increase of MDR-TB, XDR-TB and TB-HIV confections. BCG is the only vaccine available against TB. It prevents severe miliary TB in children, but effective protection towards pulmonary TB in adults is argued. This review aimed to study about the most advanced viral vector vaccines as TB vaccine candidates in efforts to eliminate TB by 2050. Discussion: Some latest viral vector vaccines which are under developing experiment, there are MVA85A, Ad5Ag85A, Crucell Ad35/Aeras-402, ChAd0x1 85A + MVA85A, combination Crucell Ad35 + MVA85A, and FP85A. Viral vector vaccines make use of attenuating and non-replicating viruses to transport Mtb DNA to human cells. Pejamu cells will produce antigenic proteins which will stimulate various immune responses, + + include antibody, CD4 T cells, and CD8 T cells. Viral vector vaccines for TB are generally safe, immunogenic, and effective with the result for ChAdOx1 85A and the combination of Adeno35/AERAS-402 + MVA85A not yet published.

24 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Conclusion: Viral vector vaccine is one of the candidate of TB vaccine by boosting BCG to achieve the elimination of TB in 2050. MVA85A is the vaccine that is favored for its + + induction of protective immune cells via modulation of CD4 T cells, CD8 T cells, and TH17 cell compared to other candidates.

Keywords: tuberculosis, TB vaccine, BCG booster, viral vector vaccine, MVA85A, Ad5Ag85A, Aeras-402 1.

PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit nomor dua penyebab kematian terbanyak yang disebabkan oleh suatu agen infeksi tunggal di dunia setelah HIV. Data World Health Organization (WHO) tahun 2014 menunjukkan bahwa 9,6 juta orang menderita TB dan 1,5 juta [1] orang meninggal karena TB. Data ini menunjukkan bahwa tiga orang [2] meninggal akibat TB setiap menitnya. Angka penderita TB terus menurun dari tahun-tahun sebelumnya tetapi [1] penurunannya terjadi sangat lambat. Kasus TB paling banyak terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Indonesia merupakan salah satu negara yang ditetapkan sebagai negara dengan beban masalah TB yang tinggi (high[1] burden countries) oleh WHO. Prevalensi TB di Indonesia termasuk TB dengan HIV pada tahun 2014 adalah 647/100.000 populasi yaitu 1.600.000 kasus, sedangkan insidensinya adalah 399/100.000 populasi (1.000.000 [1] kasus). TB juga menjadi perhatian pada orang dengan infeksi HIV/AIDS (ODHA) karena 12% kasus TB di dunia merupakan koinfeksi dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Pada tahun 2014, diperkirakan terdapat 1.2 juta kasus TB baru pada kasus HIV positif termasuk pasien yang [1,3] mengonsumsi antiretrovirus (ARV). Koinfeksi TB dengan HIV akan memperpendek jangka hidup dari [4] penderita HIV. Sampai saat ini, TB merupakan penyebab kematian terbanyak pada ODHA, yaitu sebesar [1,3] 390.000 kematian di dunia. Masalah TB diperberat dengan timbulnya kasus multi-drug resistant (MDR-TB), bahkan extensively drug resistant (XDR-TB). MDR-TB adalah kasus TB yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Mtb) yang minimal tidak merespon terhadap pemberian isoniazid dan rifampisin yang merupakan pengobatan lini pertama

yang paling kuat terhadap bakteri TB. Sedangkan pada XDR-TB, obat yang direspon Mtb lebih sedikit dan XDR-TB termasuk obat anti-TB lini kedua yang [5] paling efektif. Tahun 2014, dari seluruh kasus TB diperkirakan 5% merupakan kasus MDR-TB, yaitu 480.000 kasus dan 190.000 orang meninggal akibat MDR-TB. XDR-TB sendiri telah dilaporkan di 105 negara pada 2014. Rata-rata terdapat 9.7% kasus XDR-TB [1, 5] pada penderita dengan MDR-TB. Stop TB Partnership merupakan suatu kerja sama global antara 1.300 partner yang berasal lebih dari 100 negara. Kerja sama ini bergerak dalam mempermudah akses masyarakat dalam diagnosis dan pengobatan TB, riset dan perkembangan alat diagnostik, obat, vaksin TB yang baru, dan mencari jalan keluar untuk kasus MDR-TB. Target dari Stop TB Partnership adalah mengurangi kematian dan prevalensi TB hingga 50% pada tahun 2015 dibandingkan dengan tahun 1990 dan menekan insidensi global TB menjadi kurang dari 1 per sejuta populasi, dengan kata lain mengeliminasi TB dari masalah kesehatan masyarakat dunia [6] pada tahun 2050. Vaksin bacille Calmette-GuĂŠrin (BCG) merupakan satu-satunya vaksin sampai saat ini yang masih digunakan untuk memberikan proteksi terhadap kasus tuberkulosis terhadap neonatus maupun infant dengan risiko tinggi guna mengurangi dampak TB milier seperti kasus TB meningitis pada anak. Namun demikian, efektivitas proteksi BCG masih sangat minim terhadap TB pulmoner yang paling banyak diderita [7,8] populasi dewasa. BCG belum mampu mencegah terbentuknya infeksi primer dan reaktivasi TB laten sebagai sumber utama penularan di komunitas dari dewasa ke anak maupun dewasa [9] lainnya. Salah satu kemungkinan penyebabnya ialah melemahnya imunitas yang diinduksi oleh BCG untuk melawan TB karena respon sel T yang

25 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


diinduksi BCG berangsur-angsur [8] berkurang pada saat dewasa. Selain itu strain variasi genetik yang masih terbatas, frekuensi reaksi lokal vaksin, risiko adenitis dan limfadenitis pada populasi sehat, tidak adanya vaksin penguat, dan efeknya terhadap reaksi tes Tuberculin positif palsu menjadikan alasan lain masih terbatasnya efektivitas [10] penggunaan BCG dalam komunitas. Berbagai fakta seperti mudahnya penularan TB, tingginya kasus TB aktif dan kematian akibat TB, berkembangnya kasus MDR-TB dan XDR-TB, dan kurang efektifnya vaksin BCG dapat mengakibatkan upaya diagnostik dan terapeutik yang dilakukan tidak cukup untuk mencapai target eliminasi TB pada tahun 2050. Hal tersebut menjadi pertimbangan bahwa pengembangan vaksin baru untuk mengontrol TB sangat penting [11,12] untuk dilakukan. Vaksin vektor virus penguat BCG merupakan vaksin yang menggunakan vektor virus hidup yang dilemahkan untuk membawa gen yang mengode antigen yang dapat menginduksi imunitas protektif ke dalam sel manusia. Vektor berfungsi sebagai sumber antigen yang menyebabkan tingginya jumlah antigen di dalam pejamu yang akan menginduksi sistem imun dengan + kuat melalui modulasi sel T CD4 dan + [13,14] sel T CD8 . Virus-virus tersebut mampu menginfeksi sel namun tidak [13] bereplikasi pada sel manusia. 2. PEMBAHASAN 2.1 Patogenesis Infeksi TB TB merupakan penyakit yang sangat mudah menular melalui droplet penderita di udara. Apabila penderita TB paru batuk, bersin, atau berteriak, droplet yang berukuran 1-5 mikron akan tersebar dan dapat bertahan di udara hingga beberapa jam tergantung lingkungannya. Tidak semua orang yang terpapar dengan droplet akan terinfeksi TB karena terdapat faktor seperti status imun seseorang, jumlah droplet yang dikeluarkan, kondisi lingkungan yang mempengaruhi konsentrasi bakteri TB, serta frekuensi dan durasi paparan [15] bakteri TB terhadap pejamu. Kontrol terhadap Mtb terutama merupakan hasil kerja sama dari populasi sel T dan makrofag. Mtb dapat

bertahan di dalam makrofag dan sel dendritik di dalam fagosom. Produk gen dipresentasikan oleh Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas + II ke sel T CD4 yang berisi peptida Mycobacterium. Di sisi lain, stimulasi sel + T CD8 memerlukan presentasi peptida Mycobacterium oleh molekul MHC kelas I di sitosol, baik melalui pengeluaran antigen Mycobacterium ke sitosol maupun cross-priming. Kemudian makrofag akan melepaskan badan apoptosis yang membawa peptida Mycobacterium berupa vesikel-vesikel. Vesikel-vesikel ini diambil oleh sel dendritik untuk kemudian dipresentasikan peptida tersebut. Sel T + helper CD4 (TH) terpolarisasi menjadi subset berbeda yang memiliki fungsinya masing-masing. Sel dendritik dan makrofag mengekspresikan pattern recognitition receptor (PRR) yang mengenali pola molekuler pada patogen. Sel T H1 memproduksi interleukin (IL)-2 untuk aktivasi sel T, dan interferon-γ (IFN-γ) atau tumor necrosis factor (TNF) untuk aktivasi makrofag. Sel TH17 yang mengaktivasi sel granulosit polimorfonuklear berkontribusi pada pembentukan awal imunitas protektif pada paru setelah vaksinasi. Sel TH2 dan sel Tregulator (Treg) mengurangi proteksi yang dimediasi oleh TH1 melalui IL-4, transforming growth factor (TGF), atau + IL-10. Sel T CD8 memproduksi IFN-γ dan TNF yang mengaktivasi makrofag. Mereka juga berperan sebagai limfosit T sitolitik dengan mensekresi perforin dan granulisin yang melisiskan sel pejamu dan menyerang Mtb secara langsung. Sel-sel T efektor ini dibantu oleh sel T memori (TM). Sel TM memproduksi banyak sitokin, terutama IL-2, IFN-γ, dan TNF. Pada granuloma padat saat pencegahan penyebaran secara aktif, Mtb berhenti pada fase dorman dan [16] tidak menyerang pejamu. Kelelahan dari sel T dimediasi oleh interaksi antara sel T dan sel dendritik melalui jalur programmed death (PD)-1. Treg mensekresi IL-10 dan TGF. Proses ini menyebabkan resusitasi Mtb, yang berlanjut pada terbentuknya nekrosis kaseosa pada granuloma dan teraktivasinya penyakit [16] (Gambar 1).

26 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Gambar 1. Respon Imun yang Terjadi Pada TB 2.2 Pengembangan Vaksin dalam Pengedalian TB Vaksin TB yang dikembangkan saat ini dapat dibagi menurut tujuan pengembangan dan jenis dari vaksinnya. Berdasarkan tujuan pengembangannya, vaksin TB terbagi [17] atas: 1. Vaksin yang ditujukan untuk mencegah infeksi. Vaksin ini diberikan sebelum paparan terhadap Mtb untuk mencegah infeksi awal dan penyakit. 2. Vaksin yang ditujukan untuk mencegah penyakit. Vaksin ini dapat diberikan setelah paparan terhadap Mtb, kepada orang-orang yang terinfeksi namun mungkin asimptomatik dan memiliki risiko berkembangnya penyakit di kemudian hari. Vaksin jenis ini akan mencegah manifestasi TB aktif dan akan berguna untuk mengurangi transmisi. 3. Vaksin yang ditujukan untuk mencegah rekurensi. Vaksin jenis ini diadministrasikan setelah terjadi infeksi dan pengobatan TB untuk mencegah reaktivasi dan transmisi lebih lanjut. Berdasarkan jenisnya, kandidat vaksin TB yang dirancang saat ini dapat berupa vaksin primer (prime vaccine), vaksin penguat (booster vaccine), dan

[16]

vaksin imunoterapeutik (therapeutic [17,18] vaccine). Vaksin primer merupakan vaksin pengganti BCG yang memiliki efikasi yang lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama untuk dapat mencegah infeksi Mtb pada infant yang belum terinfeksi Mtb. Vaksin primer dapat berupa modifikasi BCG atau Mtb [17] yang secara genetik dilemahkan. Contoh kandidat vaksin primer yang saat ini sedang dikembangkan adalah VPM1002 yang telah mencapai pengembangan fase IIb dan MTBVAC [18] pada fase I. Vaksin penguat diberikan saat remaja atau dewasa muda untuk mencegah infeksi dan/atau progresi TB aktif pada orang-orang dengan infeksi laten akibat imunitas BCG yang menurun. Jenis vaksin ini bekerja dengan cara meningkatkan imunitas BCG yang menurun pada saat dewasa. Vaksin penguat dapat berupa vaksin vektor virus (viral vector vaccine) dan vaksin protein rekombinan dengan adjuvan (adjuvanted subunit vaccine). Contoh vaksin vektor virus yang sedang dikembangkan saat ini adalah MVA85A, Ad5Ag85A, Crucell Ad35/Aeras-402, ChAd0x1 85A + MVA85A, kombinasi [18] Crucell Ad35 + MVA85A, dan [19] FP85A. Sedangkan, vaksin protein rekombinan dengan adjuvan menggabungkan antigen-antigen Mtb

27 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


dengan adjuvan yang akan menguatkan imunitas alami tubuh. Terdapat lima vaksin protein rekombinan dengan adjuvan yang saat ini dikembangkan, yaitu: M72 + AS01, Hybrid 1 + IC31, Hybrid 4 + IC31, Hybrid 56 + IC31, ID93 [19] + GLA-SE. Jenis vaksin terakhir yaitu vaksin imunoterapeutik, digunakan untuk orang-orang yang memiliki TB aktif yang sedang menjalani pengobatan TB. Pemberian vaksin ini bertujuan untuk

memperpendek durasi terapi dan/atau mengurangi rekurensi setelah pengobatan selesai. Contoh vaksin imunoterapeutik yang sedang dikembangkan saat ini terdiri dari vaksin RUTI yang menggunakan fragmen Mtb, vaksin yang menggunakan sel M. indicus pranii utuh, dan vaksin yang [18] menggunakan sel M. vaccae utuh. Kandidat vaksin TB dan perkembangannya sampai saat ini dapat dilihat pada Tabel 1. [18,19]

No 1

2

Tabel 1. Kandidat Vaksin TB yang Aktif Dikembangkan Agen Strategi Jenis Sponsor M. indicus Whole-cell M. Imunoterapeutik Kementerian pranii indicus pranii Sains dan Teknologi India, Cadilla Pharmaceuticals M. vaccae Whole-cell M. Imunoterapeutik AnHui Longcom vaccae

3

MVA85A

Prime-boost

Viral vector

4

M72 + AS01

Prime-boost

Protein/adjuvan

5

VPM1002

Primer

Rekombinan rBCG hidup

6

Crucell Ad35 Hybrid 1 + IC31

Prime-boost

Viral vector

Prime-boost

Protein/adjuvan

8

Hybrid 4 + IC31

Prime-boost

Protein/adjuvan

9

Hybrid 56 + IC31 RUTI Ad5Ag85A

Prime-boost

Protein/adjuvan

Imunoterapeutik Prime-boost

Fragmen MTB Viral vector

7

10 11

Perkembangan Fase III

Fase III

Oxford University, Aeras, European & Developing Countries Clinical Trials Partnership (EDCTP) GlaxoSmithKline, Aeras Vakzine Projekt Management GmbH, Max Planck Institute for Infection Biology, TuBerculosis Vaccine Initiative (TBVI). Serum Institute of India Crucell, Aeras

Fase IIb

Statens Serum Institute (SSI), TBVI, EDCTP, Valneva SSI, Sanofi, Institut Pasteur, Aeras SSI, Valneva, Aeras Archivel Farma McMaster University, CanSino

Fase IIa

Fase IIb Fase IIb pending

Fase IIb

Fase IIa Fase IIa Fase IIa Fase I

28 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


12

ChAd0x1 85A + MVA85A Combination Crucell Ad35 + MVA85A DAR-901

Prime-boost

Viral vector

Oxford University

Fase I

Prime-boost

Viral vector

Crucell, Oxford University, Aeras

Fase I

Prime-boost

ID93 + GLASE

Prime-boost

16

MTBVAC

Primer

17

FP85A

Prime-boost

Dartmouth University, Aeras Infectious Disease Research Institute, Aeras University of Zaragoza, Biofabri, TBVI Oxford University

Fase I

15

Whole-cell M. obuense Protein/adjuvan

13

14

Mtb hidup yang dilemahkan secara genetik Viral vector

2.3 Vaksin Vaktor Virus Vaksin vektor virus merupakan vaksin yang menggunakan virus atau bakteri hidup yang dilemahkan untuk membawa gen yang mengode antigen yang dapat menginduksi imunitas protektif ke dalam sel manusia. Vektor berfungsi sebagai sumber antigen yang menyebabkan tingginya jumlah antigen di dalam pejamu yang akan menginduksi sistem imun dengan [13] kuat. Vektor yang dapat digunakan untuk vaksinasi TB yaitu Mycobacterium [13] bovis, virus vaccinia, virus adeno, dan [13,19] virus pox. Virus-virus tersebut mampu menginfeksi sel namun tidak [13] bereplikasi pada sel manusia.

Fase I

Fase I Fase I

Kelebihan dari vaksin vektor virus yaitu mampu menginduksi imunitas seluler dan humoral terhadap antigen [13] yang diekspresikan vektor tanpa pemberian adjuvan. Vaksin protein, sebaliknya, meski umumnya lebih aman, kurang imunogenik dibanding vaksin [20] [13] vektor virus dan kurang efektif. Inilah sebabnya vaksin protein memerlukan adjuvan untuk menginduksi [16] imunitas seluler (TH1), dan meningkatkan imunogenitas dengan [21] mencegah degradasi antigen in vivo. Gambar 2 menjelaskan mengenai mekanisme kerja vaksin vektor virus secara umum melalui modulasi sel T + + CD4 dan sel T CD 8 .

Gambar 2. Mekanisme Kerja Vaksin Vektor Virus

[14]

29 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


2.3.1

MVA85A MVA85A merupakan strain rekombinan dari virus Vaccinia Ankara yang dimodifikasi untuk mengekspresikan protein imunodominan antigen 85A (Ag85A) Mtb dan didesain untuk meningkatkan respon imun [22] terhadap vaksinasi BCG. Vektor ini tidak bereplikasi pada sel manusia. MVA85A saat ini merupakan kandidat vaksin vektor virus yang sudah diuji paling jauh bersama dengan AERAS402. MVA85A bekerja dengan cara mengamplifikasi respon sel T yang sudah diinduksi oleh virus pox yang [23] tidak bereplikasi dalam sel. Ekspresi Ag85A pada MVA85A sangat + meningkatkan respon sel T CD4 spesifik dan ekspresi interleukin-2 (IL-2), tumor necrosis factor alpha (TNF-α), interferon gama (IFN-γ), interleukin-17 (IL-17), granulocyte-macrophage colonystimulating factor (GM-CSF), serta menginduksi secara moderat respon sel + T CD8 pada manusia yang sebelumnya [23-26] divaksinasi BCG. Respon ini dapat bertahan hingga 6 tahun setelah [24] vaksinasi. Uji klinik fase I terhadap populasi dewasa di Inggris pada tahun 2008 menunjukkan MVA85A menginduksi + lebih banyak sel T CD4 spesifik Ag85A (>2 kali lipat) dibandingkan dengan revaksinasi BCG, pada minggu ke-52 [27] setelah vaksinasi. Keamanan dan imunogenitas vaksin ini telah teruji secara luas pada infant, anak-anak, remaja, dewasa, bahkan pada orang yang terinfeksi Mtb juga orang dengan HIV+. Ada efek samping lokal maupun sistemik ringan yang berhubungan dengan vaksin namun secara keseluruhan vaksin ini aman dan dapat ditoleransi dengan baik, dan tidak ada efek samping serius terkait vaksin yang dilaporkan sampai [22-29] saat ini. MVA85A pada umumnya [19,22-30] diberikan secara intradermal. Namun saat ini sudah terdapat uji klinik fase I yang memberikan vaksin ini secara aerosol. Pemberian secara aerosol aman dan dapat menginduksi respon imun selular pada mukosa saluran pernapasan yang lebih baik dibanding pemberian intradermal, sementara respon sistemik yang

dihasilkan ternyata sama baiknya dengan vaksin yang diberikan secara [26] intradermal. MVA85A diberikan dengan 7 dosis umum 5x10 plaque-forming units (pfu). Dosis ini dapat dinaikkan menjadi 8 1x10 pfu dimana dosis ini [21,24,25,29] aman. Dosis ini lebih [25,26] menginduksi sistem imun spesifik. Akan tetapi, efek dari perbedaan dosis [30] ini tidak berpengaruh pada infant. Uji klinik fase IIb di Afrika Selatan menunjukkan pemberian vaksin ini tidak efektif pada infant yang telah divaksinasi BCG karena respon sel T spesifik Ag85A pada infant tidak sebesar pada dewasa. Hasil ini tidak signifikan [22] pada uji hewan dan uji klinik lainnya. Temuan ini, meskipun demikian, bukan prognosis akhir bagi MVA85A atau vaksin TB lain yang sedang dikembangkan. Untuk memahami alasannya, hasil dari uji ini harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas. Kandidat vaksin yang menggunakan virus pox lainnya sebagai vektor, yaitu virus Fowlpox (FP9) yang mengekspresikan Ag85A Mtb (FP85A) sudah memasuki uji klinik fase I terbukti aman dan dapat ditoleransi dengan baik tetapi gagal menginduksi respon imun [19] spesifik Ag85A. 2.3.2 Ad5Ag85a Ad5Ag85a adalah strain rekombinasi dari vektor human adenovirus tipe 5 (AdHu5) yang mengekspresikan antigen Mtb Ag85A yang memiliki sifat defisien [18,31] replikasi. AdHu5 telah terbukti sebagai vektor transfer gen yang sangat poten untuk memicu aktivasi sel T secara in vivo dan banyak digunakan untuk imunisasi melawan infeksi pada [32-34] manusia, termasuk TB. Data penelitian preklinis sebelumnya menunjukkan bahwa Ad5Ag85A menyediakan perlindungan yang poten dan efektif, baik saat digunakan sebagai primer atau sebagai penguat setelah vaksinasi BCG pada tikus, marmot, kambing, dan sapi yang diinduksi TB pulmoner. Penelitian juga menunjukkan bahwa administrasi secara intranasal akan memberikan proteksi yang lebih kuat dibandingkan [31,35,36] administrasi secara intramuskuler.

30 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Ad5Ag85A telah berhasil melalui tahap penelitian klinis fase I pada 12 orang dewasa yang sudah divaksin dengan BCG dan 12 orang yang belum divaksin di Universitas McCaster, [31,37] Kanada. Studi ini memperlihatkan bahwa kandidat vaksin ini mampu + + memicu respon sel T CD4 dan CD8 pada masing-masing kelompok. Respon imun yang dihasilkan walaupun demikian, lebih besar pada kelompok yang sudah divaksinasi BCG terlebih dahulu. Hal ini karena Ad5Ag85A memberikan aktivasi yang seimbang sel + + T CD4 dan T CD8 pada orang yang sudah divaksinasi BCG, sedangkan pada orang yang belum divaksinasi yang terutama diaktivasi adalah sel T + [31] CD4 saja. Hal ini menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan di mana Ad5Ag85A terutama mengaktivasi + sel T CD8 pada penelitian hewan coba bila dibandingkan penelitian pada [30,38] manusia. Mekanisme imun yang ditimbulkan Ad5Ag85A juga berbeda dengan MVA85A. MVA85A lebih banyak + mengaktivasi sel T CD4 pada orang [28] yang sudah divaksinasi BCG. Penelitian fase I ini juga menunjukkan bahwa banyak relawan yang memiliki imunitas humoral yaitu anti-Adhu5. Imunitas ini dapat sedikit melemahkan [31] potensi dari Ad5Ag85A. Kandidat vaksin ini juga terbukti aman dan dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dialami oleh relawan terbatas pada efek samping lokal, seperti sakit dan bengkak kemerahan pada tempat injeksi vaksin yang diadministrasikan secara intramuskuler. Efek samping sistemik derajat I juga ditemukan, seperti sakit kepala, kelelahan, dan malaise yang ditemukan pada sepertiga relawan. Efek samping [31] serius tidak ditemukan. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Vaksin ini hanya diujicobakan pada manusia sehat. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut harus dilakukan untuk mengetahui apakah Ad5Ag85A akan aman dan efektif pada TB laten atau TB dengan koinfeksi HIV. Uji coba pada daerah endemik TB juga perlu dilakukan. Selain itu, percobaan yang lebih besar harus dilakukan untuk mengetahui apakah imunitas anti-Adhu5 memiliki efek negatif terhadap potensi [30] vaksin ini. Pengembangan

selanjutnya, Aeras berfokus pada penelitian untuk mengantarkan vaksin melalui aerosol yang memiliki potensi lebih besar untuk memicu sistem [18] imun. 2.3.3 Vaksin Adeno35/AERAS-402 Vaksin Adeno35 merupakan vaksin rekombinan adenovirus serotype35 tidak bereplikasi yang berisi DNA pengkode fusi protein dari antigen Mtb Ag85A-Ag85B-TB10. Vaksin ini direkomendasikan sebagai penguat vaksin BCG yang sudah di berikan pada [9] awal usia 0-3 bulan. Vaksin ini sudah memasuki uji klinik fase I, uji klinik fase II terhadap populasi sehat yang sebelumnya telah divaksinasi BCG, serta pada infant yang telah divaksinasi BCG. Hasil untuk uji klinik fase II pada infant belum [39] dipublikasikan. Vaksin Adeno35 diketahui mampu meningkatkan potensi + + induksi sel T CD4 dan CD8 polifungsional dalam memproduksi [9] sitokin IFN-γ, TNF-α, dan IL-2, tetapi + tidak menginduksi sel T CD4 untuk [9,40] memproduksi IL-17. Adeno35 meningkatkan produksi sitokin oleh sel T + + CD4 maupun sel T CD8 , baik secara tunggal maupun kombinasi, pada dewasa sehat yang sebelumnya di vaksin BCG dibanding plasebo. Hal ini mendukung penggunaan Adeno35 [40] sebagai vaksin penguat. Pengembangan vaksin di Afrika Selatan sudah sampai tahap untuk vaksin penguat pada populasi pengidap HIV dengan atau tanpa terinfeksi TB yang sudah di vaksin BCG dengan + 3 jumlah sel T CD4 >350 sel/mm . Vaksin penguat ini tidak banyak berpengaruh + pada jumlah sel T CD4 , tetapi mampu menginduksi dihasilkannya 3 sitokin (sitokin IFN-γ, TNF-α serta IL-2) atau 2 sitokin (TNF-α serta IL-2) serta aman dan mampu ditoleransi dengan baik. Rencana penelitian lebih lanjut dimungkinkan untuk memberikan 2 dosis eskalasi terhadap efek imunogenik yang lebih tinggi, tetapi rencana ini diputuskan untuk tidak dilanjutkan dengan pertimbangan adanya vaksin [9] kombinasi TB lain. Kombinasi pemberian Adeno35 sebagai vaksin primer diikuti MVA85A sebagai vaksin penguat saat ini sedang diuji keamanan dan imunogenitasnya dalam uji klinik

31 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


fase I tetapi hasil uji tersebut belum [41] dipublikasikan. Kandidat vaksin yang menggunakan virus adeno lainnya sebagai vektor, yaitu virus adeno simpanse (ChAdOx1) yang membawa Ag85A Mtb (ChAdOx1 85A) saat ini [42] sedang berada pada uji klinik fase I. 3. KESIMPULAN Pengembangan vaksin TB menjadi sesuatu yang menantang oleh karena adanya target untuk mengeliminasi TB dari masalah kesehatan dunia pada tahun 2050. Pemberian vaksin penguat yang berbeda jenis (strategi prime-boost) merupakan pendekatan pragmatis. dimana diperkirakan bahwa hampir delapan puluh persen bayi yang baru lahir di seluruh dunia telah diinokulasi dengan BCG. Vaksin penguat yang efektif akan menguntungkan proporsi yang signifikan dari populasi global yang telah menerima vaksinasi BCG. Vaksin vektor virus membawa gen yang mengode antigen yang dapat menginduksi imunitas protektif ke dalam sel manusia. Vektor berfungsi sebagai sumber antigen yang menginduksi sistem imun. Vektor virus yang dapat digunakan untuk vaksinasi TB yaitu virus vaccinia, virus adeno, dan virus pox. Virus-virus tersebut mampu menginfeksi sel tetapi tidak bereplikasi pada sel manusia. Vaksin vektor virus lebih imunogenik dan efektif dibanding vaksin protein. Vaksin vektor virus disamping itu tidak memerlukan adjuvan. Vaksin vektor virus untuk TB yang saat ini dikembangkan dalam uji klinik yaitu MVA85A, Ad5Ag85A, Crucell Ad35/AERAS-402, ChAd0x1 85A + MVA85A, kombinasi Crucell Ad35 + MVA85A, dan FP85A. MVA85A dan Adeno35/AERAS-402 merupakan kandidat vaksin TB yang sudah diuji paling jauh. Hasil uji klinik pada vaksin vektor virus untuk TB menunjukkan bahwa vaksin vektor virus pada umumnya aman, imunogenik, dan efektif dengan hasil untuk ChAdOx1 85A dan kombinasi Adeno35/AERAS-402 + MVA85A belum dipublikasikan. MVA85 meskipun efektif pada uji klinik sebelumnya, tidak efektif ketika diujikan pada fase lanjutan menggunakan populasi infant. Oleh karena itu

mekanisme imunitas terhadap TB harus dieksplorasi bersamaan. Telaah berbagai jenis vaksin vektor virus untuk TB menunjukkan bahwa kandidat vaksin pilihan utama adalah MVA85A. MVA85A merupakan vaksin yang diunggulkan karena mampu meningkatkan induksi sel kekebalan + protektif melalui modulasi sel T CD4 , + sel T CD8 , dan sel TH17 dibandingkan kandidat lainnya. Pada akhirnya, investasi lebih lanjut pada penelitian dasar, uji klinis, dan kampanye vaksinasi massal sangat penting untuk mencapai tujuan ambisius pemberantasan TB 2050. DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. 2015. 10 Januari 2016. <http://www.who.int/tb/publications/ global_report/en/>. 2. United Nations Office for Project Services The Stop TB Partnership. The Stop TB Partnership, Leading the Fight against TB. 2014. 16 Juli 2015. <http://www.stoptb.org/assets/docu ments/resources/publications/acsm/ NEW%20STOP%20TB%20BROC HURE.pdf>. 3. World Health Organization. TB/HIV Facts. 2015. 10 Januari 2016. < http://www.who.int/hiv/topics/tb/tbhi v_facts_2015/en/>. 4. U.S. Centers for Disease Control and Prevention. TB and HIV Coinfetion. 2008. 16 Juli 2015. <http://www.cdc.gov/tb/publications/ pamphlets/tb_hivcoinfection/tbhivco ninfection.pdf>. 5. World Health Organization. Multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) 2015 update. 2015. 10 Januari 2016. <http://www.who.int/tb/challenges/ mdr/mdr_tb_factsheet.pdf?ua=1>. 6. United Nations Office for Project Services The Stop TB Partnership. Stop TB Partnership. 2015. 16 Juli 2015. <http://www.stoptb.org/about/>. 7.

Pathan, A.A., et al. “Effect of Vaccine Dose on the Safety and Immunogenicity of a Candidate TB Vaccine, MVA85A, in BCG

32 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


8.

9.

10.

11.

12.

13. 14.

15.

16.

17.

18.

Vaccinated UK Adults.” Vaccine. 30:38 (2012): 5616– 24. Tameris, M., et al. “The Candidate TB Vaccine, MVA85A, Induces Highly Durable Th1 Responses.” PLoSONE. 9:2 (2014): e87340. Churchyard, G.J., et al. “The Safety and Immunogenicity of an Adenovirus Type 35-Vectored TB Vaccine in HIV-infected, BCGVaccinated Adults with CD4+ T cell counts >350 cells/mm3.” Vaccine. 33:15 (2015): 1890-6. Lahey, Timothy, dan C. Fordham von Reyn. “Tuberculosis and Nontuberculous Myobacterial Infections.” Mycobacterium bovis BCG and New Vaccine against Tuberculosis. Editor David Schlossberg. Washington DC: ASM Press, 2011. Tuberculosis Vaccine Initiative. Why New Vaccines? 2015. 16 Juli 2015. <http://www.tbvi.eu/abouttb/why-new-vaccines.html>. AERAS. The Need for New Vaccines. 2015. 16 Juli 2015. <http://www.aeras.org/pages/needfor-new-vaccines>. Khan, Fahim Halim. The Elements of Immunology. Delhi: Dorling Kindersley, 2009. Kaufmann, S.H.E., et al. “Progress in Tuberculosis Vaccine Development and Pejamu-Directed Therapies—a State Of The Art Review.” Lancet Respir Med. 2:4 (2014):301–20. U.S. Centers for Disease Control and Prevention. Transmission and Pathogenesis of Tuberculosis. 2008. 16 Juli 2015. < http://www.cdc.gov/tb/education/cor ecurr/pdf/chapter2.pdf> Kaufmann H.E.S., G. Hussey, dan P.H. Lambert. “New vaccines for tuberculosis.” Lancet. 375:9731 (2010):2110–9. World Health Organization. Tuberculosis Vaccine Development. 12 Mei 2015. 16 Juli 2015. <http://www.who.int/immunization/r esearch/development/tuberculosis/ en/>. “The Tuberculosis Vaccines Pipeline, Back to Basic Science.” Pipeline Reports. 2014. 16 Juli

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

2015. < http://www.pipelinereport.org/2014/t b-vaccine> Rowland, R., et al. “Safety and Immunogenicity of an FP9Vectored Candidate Tuberculosis Vaccine (FP85A), Alone and with Candidate Vaccine MVA85A in BCG-Vaccinated Healthy Adults: A Phase I Clinical Trial.” Hum Vaccin Immunother. 9:1 (2013): 50-62. Draper, S.J., dan J.L. Heeney. “Viruses as Vaccine Vectors for Infectious Diseases and Cancer.” Nat Rev Microbiol. 8:1 (2010): 62-73. Perrie, Y., et al. “Vaccine Adjuvant Systems: Enhancing the Efficacy of Sub-Unit Protein Antigens.” Int J Pharm. 364:2 (2008): 272-80. Tameris, M.D., et al. “Safety and Efficacy of MVA85A, A New Tuberculosis Vaccine, In Infants Previously Vaccinated With BCG: A Randomised, Placebo-Controlled Phase 2b Trial.” Lancet. 381:9871 (2013): 1021-28. Brookes, R.H., et al. “Safety and Immunogenicity of the Candidate Tuberculosis Vaccine MVA85A in West Africa.” PLoS ONE. 3:8 (2008): e2921. Tameris, M., et al. “The Candidate TB Vaccine, MVA85A, Induces Highly Durable Th1 Responses.” PLoS ONE. 9:2 (2014): e87340. Scriba, T.J., et al. “Modified Vaccinia Ankara-expressing Ag85A, a Novel Tuberculosis Vaccine, is Safe in Adolescents and Children, and Induces + Polyfunctional CD4 T Cells.” Eur J Immunol. 40:1 (2010): 279-90. Satti, I., et al. “Safety and Immunogenicity of a Candidate Tuberculosis Vaccine MVA85A Delivered by Aerosol in BCGVaccinated Healthy Adults: A Phase 1, Double-Blind, Randomized Controlled Trial.” Lancet Infect Dis. 14:10 (2014): 939-46. Whelan, K.T., et al. “Safety and Immunogenicity of Boosting BCG Vaccinated Subjects with BCG: Comparison with Boosting with a

33 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


New TB Vaccine, MVA85A.” PLoS 28. Sander, C.R., et al. “Safety and Immunogenicity of a New Tuberculosis Vaccine, MVA85A, in Mycobacterium tuberculosis– infected Individuals.” Am J Respir Crit Care Med. 179:8 (2009): 724– 33. 29. Hawkridge, T., et al. “Safety and Immunogenicity of a New Tuberculosis Vaccine, MVA85A, in Healthy Adults in South Africa.” J Infect Dis. 198:4 (2008): 544-52. 30. Scriba, T.J., et al. “Dose-finding Study of the Novel Tuberculosis Vaccine, MVA85A, in Healthy BCGvaccinated Infants.” J Infect Dis. 203:12 (2011):1832–43. 31. Smaill, F., et al. “A Human Type 5 Adenovirus-Based Tuberculosis Vaccine Induces Robust T Cell Responses in Humans Despite Preexisting Anti-Adenovirus Immunity.” Sci Trans Med. 5:205 (2013): 205ra134. 32. Rollier, C.S., et al. “Viral Vectors as Vaccine Platforms: Deployment in Sight.” Curr Opin Immunol. 23:3 (2011): 377-82. 33. Lasaro, M.O., dan H.C. Ertl. “New Insights on Adenovirus as Vaccine Vectors.” Mol Ther. 17:8 (2009): 1333-9. 34. Tamminga, C., et al. “Adenovirus-5Vectored P. falciparum Vaccine Expressing CSP and AMA1. Part B: Safety, immunogenicity and protective efficacy of the CSP component.” PLoS One. 6:10 (2011): e25868. 35. Xing, Z., et al. “Intranasal Mucosal Boosting With an AdenovirusVectored Vaccine Markedly Enhances the Protection of BCGPrimed Guinea Pigs against Pulmonary Tuberculosis.” PLoS One. 4:6 (2009):e5856. 36. Pérez de Val, B., et al. “Goats Primed with Mycobacterium bovis BCG and Boosted with A

37.

38.

39.

40.

41.

42.

ONE. 4:6 (2009): e5934. Recombinant Adenovirus Expressing Ag85A Show Enhanced Protection against Tuberculosis.” Clin Vaccine Immunol. 19:9 (2012):1339-47. U.S. National Institutes of Health. Study of the Safety and Immunogenicity of an Adenovirusbased Tuberculosis Vaccine. 6 Agustus 2013. 20 Juli 2015. <https://clinicaltrials.gov/ct2/show/N CT00800670>. Sullivan, N.J., et al. “CD8+ Cellular Immunity Mediates Rad5 Vaccine Protection against Ebola Virus Infection of Nonhuman Primates.” Nat Med. 17:9 (2011):1128-31. U.S. National Institutes of Health. Study of AERAS-402 in Healthy Infants. 12 Oktober 2015. 20 Juli 2015. <http://clinicaltrials.gov/show/NCT0 1198366>. Abel, B., et al. “The Novel Tuberculosis Vaccine, AERAS-402, Induces Robust and Polyfunctional + + CD4 and CD8 T Cells In Adults.” Am J Respir Crit Care Med. 181:12 (2010):1407–17. U.S. National Institutes of Health. Safety Study of Tuberculosis Vaccines AERAS-402 and MVA85A. 16 September 2014. 20 Juli 2015. <https://clinicaltrials.gov/ct2/show/N CN01683773?term=NCT01683773 &rran=1>. U.S. National Institutes of Health. Safety Study of ChAdOx1 85A Vaccination With and Without MVA85A Boost in Healthy Adults. 28 Agustus 2015. 20 Juli 2015. <https://clinicaltrials.gov/ct2/show/N CT01829490?term=NCT01829490 &rank=1>.

34 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Tinjauan Pustaka

KOMBINASI CARDIOPULMONARY RESUSCITATION DENGAN IMPEDANCE THRESHOLD DEVICE: STRATEGI OPTIMALISASI KEBERHASILAN CARDIOPULMONARY RESUSCITATION PADA PASIEN HENTI JANTUNG 1

Ivana Beatrice Alberta, Anastasia Christina Soebadiono, 1 Anna Listiana 1

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

ABSTRAK Pendahuluan: Henti jantung masih merupakan penyebab kematian utama di dunia. Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), insidensi henti jantung di Indonesia pada orang dewasa dibawah usia 35 tahun mencapai 300.000 sampai 350.000 kejadian per tahun. Salah satu tatalaksana henti jantung adalah Cardiopulmonary Resuscitation (CPR). Namun kenyataannya, kualitas CPR masih kurang optimal padahal kualitas CPR memberi pengaruh sangat besar terhadap angka survival rate. Kualitas CPR yang belum optimal ini dapat dikombinasi dengan Impedance Threshold Device (ITD). Pembahasan: ITD bekerja mencegah masuknya udara pasif selama fase dekompresi CPR sehingga terjadi peningkatan tekanan negatif rongga dada yang mengakibatkan meningkatnya venous return, stroke volume, cardiac output, dan perfusi ke organ vital. Kesimpulan: Hasil studi pustaka-telaah sistematis menunjukkan kombinasi CPR-ITD dapat meningkatkan keberhasilan CPR pada pasien henti jantung dan dapat digunakan sebagai strategi dalam mengoptimalkan keberhasilan CPR pada pasien henti jantung terutama di Indonesia. Kata Kunci: Cardiopulmonary Resuscitation, Impedance Threshold Device, efektivitas, efisiensi, henti jantung. ABSTRACT Introduction: Cardiac arrest is a leading cause of death in the world. According to Cardiovascular Specialist Doctors Association of Indonesia (PERKI), the incidence of cardiac arrest in Indonesia in adults under the age of 35 year reaches 300,000 to 350,000 events per year. The management of cardiac arrest is cardiopulmonary resuscitation (CPR). In reality, the quality of CPR is still less than optimal despite the fact that it gives a significant influence on the survival rate figures. The quality of CPR could be optimized if it is combined with impedance threshold device (ITD). Discussion: ITD works by preventing passive air influx during the decompression phase of CPR so as to increase the negative pressure of the chest cavity resulting in increased venous return, stroke volume, cardiac output, and perfusion to vital organs. Conclusion: The results of a systematic literature study showed that a combination of CPR-ITD can improve the outcome of CPR in cardiac arrest patients and it can be used as a strategy to optimize the outcome of CPR in cardiac arrest patients, especially in Indonesia. Keywords: Cardiopulmonary Resuscitation, Impedance Threshold Device, effectiveness, efficiency, cardiac arrest 1.

PENDAHULUAN World Health Organization (WHO) mencatat sekitar 17 juta orang

meninggal karena penyakit kardiovaskular dan sekitar 32 juta orang mengalami serangan jantung dan stroke 35

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

1


[1]

setiap tahunnya. Masalah kardiovaskular ini tidak hanya menjadi masalah di negara maju karena sekitar 80% kematian akibat penyakit tersebut terjadi di negara berkembang. Salah satu masalah kardiovaskular yang menjadi perhatian adalah henti jantung. Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), insidensi henti jantung di Indonesia pada orang dewasa dibawah usia 35 tahun, mencapai 300.000 sampai 350.000 kejadian henti jantung [2] per tahun. Untuk menolong pasien henti jantung dilakukan CPR, yang dilakukan dengan memadukan chest compression dan bantuan pernapasan untuk mengoksidasi darah. Dengan penekanan ini maka aliran darah dan kandungan oksigen akan tetap terjaga [3] terutama bagi organ vital seperti otak. Penggunaan CPR diharapkan akan meningkatkan survival rate secara maksimal. Akan tetapi, pada kenyataannya, angka survival rate henti jantung masih sangat rendah. Dari data American Heart Association disebutkan bahwa di Amerika penggunaan CPR tanpa bantuan alat memiliki survival rate [4] sebesar 37%. Berbagai usaha sudah dilakukan untuk meningkatkan survival rate pasien cardiac arrest, misalnya dengan merevisi tata cara pedoman CPR. Berdasarkan data, revisi ini masih jauh [5] dari optimal. Penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa CPR yang dilakukan mengikuti pedoman hanya mampu menyediakan sejumlah 10-30% dari aliran darah normal ke jantung dan 30-40% ke otak atau dengan kata lain hanya membantu setengah dari sirkulasi [6] normal. Kualitas CPR ini sebenarnya dapat dioptimalkan melalui kombinasi dengan alat bantu lain. Salah satu alat yang dapat digunakan adalah impedance threshold device (ITD). Data American Heart Association (AHA) menyatakan bahwa kombinasi CPR dan ITD secara bersamaan dapat meningkatkan survival rate sebesar 55%. Jumlah ini sangat signifikan dibandingkan dengan penggunaan CPR tanpa ITD dengan survival rate sebesar [4] 37%.

Pada orang dewasa, kombinasi CPR-ITD ini telah terbukti meningkatkan tekanan perfusi koroner, aliran darah ke organ vital, meningkatkan hasil jantung selama resusitasi dari henti jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup pasien secara menyeluruh. 2.

METODE Karya tulis ilmiah ini dibuat dengan dengan metode studi pustaka – telaah sistematis. Penulis mencari sumber pustaka melalui search engine ilmiah. Penelusuran pustaka menggunakan Proquest dan Google Scholar, dengan 3 pasang kata kunci yaitu 1. Cardiopulmonary Resuscitation dan Impedance Threshold Device dan efficiency dan cardiac arrest dan adults; 2. Cardiopulmonary Resuscitation dan Impedance Threshold Device dan effectiveness dan cardiac failure dan adults; 3. Cardiopulmonary Resuscitation dan Impedance Threshold Device dan benefit dan cardiac arrest dan adults. Penulis melakukan identifikasi, penyaringan dan penilaian eligibilitas terhadap artikel ilmiah dengan kriteria inklusi yaitu publikasi artikel ilmiah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, membahas mengenai judul yang diangkat, tersedia dalam bentuk pdf, full text, dan bahasa Inggris. Selanjutnya dilakukan penyaringan dengan menghilangkan duplikasi, dan pemilihan artikel ilmiah berdasarkan judul, abstrak, dan isi. Selanjutnya, analisis dan sintesis dibuat dari hasil pembahasan artikel ilmiah yang didapat dan dirangkum dalam tabel abstraksi. 3. PEMBAHASAN 3.1. Impedance Threshold Device ITD adalah alat yang dapat meingkatkan pernapasan dan sistem sirkulasi untuk menciptakan tekanan negatif pada rongga dada selama fase dekompresi saat CPR, sehingga tekanan di dalam paru-paru relatif rendah dan stabil jika dibandingkan tanpa menggunakan alat ini. Tekanan intrapulmoner yang rendah dan stabil ini menyebabkan meningkatnya venous return sehingga cardiac output semakin meningkat. Alat ini dapat digunakan [6] sebagai penunjang CPR. ITD merupakan alat non-invasif dan habis

36 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


pakai yang terbuat dari katup plastik yang dapat dilekatkan pada masker [7] wajah atau tracheal tube.

Gambar 1. Alat Impedance Threshold [8] Device. Tekanan dalam rongga dada pada orang normal hanya berkisar antara -1,4 hingga -3 cmH2O. Pada pasien henti jantung yang ditangani dengan CPR saja, tekanan rongga dada sekitar -1,4 sampai -8 cmH2O, sedangkan pada pasien henti jantung yang ditangani dengan kombinasi CPR dan ITD, tekanan rongga dada [7] mencapai -10 hingga -16 cmH2O. Dari data tersebut, ITD terbukti meningkatan tekanan negatif rongga dada. Semakin negatif tekanan dalam rongga dada, venous return (aliran darah yang kembali ke jantung) dan cardiac output (aliran darah yang keluar dari jantung) [9] akan semakin meningkat. Efek ini diperoleh karena ITD bekerja dengan cara mencegah masuknya aliran udara pasif pada fase dekompresi CPR. ITD juga terbukti meningkatkan tekanan hemodinamik, perfusi organ vital, meningkatkan tekanan darah sistolik selama resusitasi serta meningkatkan [10] survival rate jangka pendek.

Gambar 2. Diagram Aliran Udara [11] Melalui Impedance Threshold Device.

Aliran udara melewati alat selama inspirasi spontan dan ekspirasi. Suplementasi oksigen dapat ditambahkan pada oxygen port. Di dalam ITD terdapat diafragma berpegas yang membutuhkan ambang permulaan (threshold) untuk “menembus tekanan” selama inspirasi dan sebelum ITD memasukkan aliran udara. Selama ekspirasi, diafragma tertekan keluar dan mengeluarkan udara keluar melalui ventilation port. Pengaturan pegas ITD adalah konstan pada level tertentu yang menambah resistensinya. ITD menurunkan tekanan intratoraks, analog dengan maneuver Muller yakni inspirasi [11] melawan glotis yang tertutup. Dengan kata lain, ITD secara selektif mencegah udara masuk kembali ke jantung selama fase dekompresi atau rekoil dinding dada. Mekanisme ini dapat meningkatkan tekanan negatif yang akan menarik lebih banyak darah kembali ke jantung dan menurunkan tekanan intrakranial sehingga lebih banyak pula aliran darah ke organ vital. Selain itu, ITD juga dilengkapi dengan lampu untuk mengatur pompa toraks dalam meningkatkan venous return, menurunkan tekanan intrakranial, dan meregulasi aliran darah ke otak secara spontan pada pasien henti jantung yang [12,13] menerima CPR. 3.2. Kombinasi Cardiopulmonary Resuscitation dan Impedance Threshold Device sebagai Tatalaksana Henti Jantung Cardiac arrest atau henti jantung adalah berhentinya jantung secara mendadak. Keadaan ini adalah keadaan darurat yang harus segera ditangani karena akan berakibat fatal jika melewati waktu kematian biologis tubuh. Jika keadaan ini terus dibiarkan maka akan menimbulkan syok sistemik dan pada akhirnya akan menyebabkan kematian. Kebanyakan pasien henti jantung tidak mendapatkan pertolongan pertama secara tepat dan cepat sehingga mereka terlanjur tidak [14] tertolong. Pertolongan pertama dapat dilakukan CPR yang bermanfaat untuk memperpanjang waktu sebelum kematian biologis terjadi yaitu dengan cara melanjutkan aliran darah pasien sehingga organ-organ vital dapat terus bertahan hidup. Saat CPR dilakukan, 37

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


pelaku CPR harus menekan bagian dada pasien sehingga jantung di bawah tulang dada tertekan dan menimbulkan efek pompa buatan sehingga cardiac [11] output (CO) dapat tetap stabil. ITD dapat meningkatkan venous return. Peningkatan venous return dapat meningkatkan CO sehingga secara tidak langsung ITD dapat meningkatkan CO dan dapat menambah aliran darah ke [11] organ-organ vital, misalnya otak. ITD yang dipasang pada pasien yang mengalami henti jantung akan menimbulkan perbedaan tekanan antara rongga dada dan atmosfer sesuai besar pengaturan pada ITD, misalnya ITD diatur dengan tekanan negatif 7 mmHg dengan atmosfer. Perbedaan tekanan ini akan menurunkan daya recoil paru sehingga tekanan di dalam rongga dada akan relatif stabil. Tekanan rongga dada yang menurun menyebabkan aliran balik vena darah ke jantung akan lebih besar dan isi sekuncup jantung meningkat. Aliran balik ini untuk selanjutnya meningkatkan cardiac output pada jantung sehingga darah akan lebih banyak dipompa. Peningkatan cardiac output akan meningkatkan suplai oksigen dan zatzat nutrisi ke organ-organ vital. Oleh sebab itu, peningkatan efektifitas CPR akan meningkatkan survival rate pasien [15,16] henti jantung. 3.3. Cara Pelaksanaan Kombinasi Cardiopulmonary Resuscitation dan Impedance Threshold Device pada Pasien Henti Jantung Dewasa Active Compression Decompression Cardiopulmonary Resuscitation (ACD-CPR) dilakukan menggunakan alat seperti tangan yang terdiri dari sebuah tabung penghisap yang ditempelkan pada dada, sebuah tuas, metronom dengan kecepatan 80 kali per menit, dan alat pengukur untuk mengetahui dalamnya tekanan rongga dada. Tindakan ACD-CPR memerlukan operator untuk melakukan penekanan yang sama seperti CPR standar. Alat yang digunakan untuk tindakan ACDPCR yaitu Impedance Threshold Device (ITD), suatu alat dengan resistensi inspirasi 16 cmH2O dan impedansi ekspirasi kurang dari 5 cmH2O, dihubungkan dengan suatu masker untuk mengalirkan udara lebih. Selain

bantuan masker udara, dapat juga digunakan bantuan corong pada mulut untuk penyaluran udara, sehingga tekanan darah dapat kembali meningkat dan venous return dapat kembali [17,18] mengalir normal. 3.4. Efektivitas dan Efisiensi Kombinasi Cardiopulmonary Resuscitation dan Impedance Threshold Device dalam Mengoptimalisasi Hasil pada Tatalaksana Pasien Henti Jantung Optimalisasi keberhasilan CPR menggunakan ITD yang dikombinasikan dengan CPR dapat meningkatkan keberhasilan hidup pada pasien henti jantung. Studi di Amerika yang dilakukan pada 20 orang dewasa menyatakan bahwa kombinasi CPR bersama active-ITD dibandingkan dengan CPR bersama sham-ITD (ITD palsu sebagai kontrol) memberikan hasil yang lebih optimal pada CPR bersama active-ITD. Pada subjek yang menerima active-ITD dengan tekanan 7 cmH2O memperlihatkan peningkatan tekanan darah sistolik (122 mmHg) yang dikaitkan dengan peningkatan stroke volume (138 mL) dan cardiac output (9,3 L/min) dibandingkan dengan tekanan darah sistolik (115mmHg), stroke volume (125 mL), dan cardiac output (7,8 L/min) pada subjek yang menerima sham-ITD. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme utama ITD yang mendasari peningkatan tekanan darah arteri adalah penambahan kenegatifan tekanan rongga dada sehingga meningkatkan venous return, stroke volume, dan cardiac output serta dengan penghalangan pengambilan udara [11,19] selama fase dekompresi dada.

Gambar 3. Grafik Perbandingan Nilai Rerata Tekanan Darah Sistolik, Stroke Volume, dan Cardiac Output pada Penggunaan active-ITD dan sham-ITD [11] pada 20 Subjek. 38

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Pada studi yang sama, dapat dilihat grafik cardiac output terhadap dekompensasi hemodinamik, tekanan darah sistolik menggunakan active-ITD menunjukkan hasil 40 mmHg lebih tinggi pada dibandingkan dengan sham-ITD (p=0.004). Peningkatan tekanan darah sitolik dengan active-ITD ini berkaitan dengan cardiac output yang lebih besar dan peningkatan 12% (p=0.006) pada waktu rerata untuk dekompensasi hemodinamik. Hal ini juga meningkatkan toleransi yang lebih besar pada pemanjangan periode stres hemodinamik.

Gambar 4. Grafik cardiac output terhadap dekompensasi hemodinamik pada subjek dengan active-ITD [11] dibandingkan dengan sham-ITD. Selain itu, volume darah total mempengaruhi tekanan intrakranial. Semakin rendah volume darah maka semakin rendah pula tekanan intrakranial. Ketika tekanan intrakranial dalam keadaan rendah maka tekanan perfusi otak ikut menurun. Menjaga tekanan perfusi otak secara adekuat sewaktu penurunan tekanan intrakranial terbukti dapat mencegah progresi menuju iskemik otak yang berkaitan dengan henti jantung. Oleh karena itu, penggunaan ITD bersama CPR yang dapat meningkatkan 50% volume darah sentral dapat menurunkan insidensi [11] henti jantung. Studi lain terhadap 8.718 orang percobaan memaparkan bahwa meskipun tidak ada perbedaan signifikan pada kelompok active-ITD dengan sham-ITD tetapi pada kelompok active-ITD memberikan perkembangan signifikan pada kelangsungan hidup dan

[10]

status fungsionalnya (p<0.01). Hal ini didukung dengan studi yang dilakukan pada 16.088 pasien yang juga menyatakan bahwa kombinasi CPR dengan active-ITD menghasilkan hasil neurologis yang lebih baik (7.9%) dibandingkan CPR dengan sham-ITD (5,7%) (p=0.027). Pada sirkulasi spontan, penggunaan ITD menjadi sangat signifikan (p=0.002) dan untuk meningkatkan efektifitas kompresi dada [19] (CPR). 4.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil telaah sistematis, dapat disimpulkan bahwa kombinasi cardiopulmonary resuscitation dengan impedance threshold device dapat meningkatkan atau mengoptimalkan hasil cardiopulmonary resuscitation pada pasien henti jantung dewasa yang disebabkan oleh penyakit jantung. Kombinasi CPR-ITD terbukti mampu meningkatkan keberhasilan CPR karena ITD bekerja mencegah masuknya udara pasif selama fase dekompresi CPR sehingga terjadi peningkatan tekanan negatif rongga dada yang mengakibatkan meningkatnya venous return, stroke volume, dan cardiac output serta perfusi ke organ vital. Selain itu kombinasi CPR dan ITD mampu meningkatkan survival rate henti jantung. Karya tulis ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak yang terkait seperti organisasi seminat terkait, pemerintah ataupun kementerian kesehatan untuk mempertimbangkan penggunaan ITD ini sebagai salah satu solusi untuk mengoptimalkan keberhasilan CPR pada pasien henti jantung dewasa sebagai suatu bagian dari tatalaksana kegawatdaruratan medis di bidang jantung di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA 1. WHO | World Health Organization Cardiovascular disease. <http://www.who.int/en/> 2. Home | Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI). <http://www.inaheart.org/>

39 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


3.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Available from: <http://www.depkes.go.id/folder/vie w/01/structure-publikasi-data-pusatdata-dan-informasi.html> 4. article.php. <http://download.portalgaruda.org/a rticle.php?article=313445&val=754 9&title=METODE%20CARDIO%20 PULMONARY%20RESUSCITATIO N%20UNTUK%20MENINGKATKA N%20%20SURVIVAL%20RATES% 20PASIEN%20%20POST%20CAR DIAC%20%20ARREST> 5. Cardiocerebral resuscitation: advances in cardiac arrest resuscitation. <http://download.portalgaruda.org/a rticle.php?article=169490&val=612 4&title=Cardiocerebral%20resuscit ation:%20advances%20in%20cardi ac%20arrest%20resuscitation> 6. Demestiha TD, Pantazopoulos IN, Xanthos TT. Use of the impedance threshold device in cardiopulmonary resuscitation. World J Cardiol. 2010 Feb 26;2(2):19–26. 7. ResQpod - ResQGARD impedance threshold device - enhanced CPR circulation - assisted ventilation. <http://www.resqpod.com.au/faqs.h tml> 8. Impedance Threshold Devices CPR - Ventilation - Resuscitation Central. <http://www.resuscitationcentral.co m/ventilation/impedance-thresholddevice/> 9. Aufderheide TP, Nichol G, Rea TD, Brown SP, Leroux BG, Pepe PE, et al. A Trial of an Impedance Threshold Device in Out-of-Hospital Cardiac Arrest. N Engl J Med. 2011 Sep 1;365(9):798–806. 10. Convertino VA, Ryan KL, Rickards CA, Glorsky SL, Idris AH, Yannopoulos D, et al. Optimizing the respiratory pump: harnessing inspiratory resistance to treat

systemic hypotension. Respir Care. 2011;56(6):846–57. 11. Advanced Circulatory. How the ResQPOD® Works During CPR. 12.ResQPOD-Physiology-Guide-490937-000-02.pdf. <http://www.advancedcirculatory.co m/wpcontent/uploads/2014/04/ResQPO D-Physiology-Guide-49-0937-00002.pdf> 13. Yannopoulos D, Aufderheide TP, Abella BS, Duval S, Frascone RJ, Goodloe JM, et al. Quality of CPR: An important effect modifier in cardiac arrest clinical outcomes and intervention effectiveness trials. Resuscitation. 2015;94:106–13. 14. Cardiac Arrest. Br Heart Found [Internet]. <http://www.nwas.nhs.uk/media/22 9797/BHF%20Cardiac%20Arrest.p df> 15. Frascone RJ, Wayne MA, Swor RA, Mahoney BD, Domeier RM, Olinger ML, et al. Treatment of nontraumatic out-of-hospital cardiac arrest with active compression decompression cardiopulmonary resuscitation plus an impedance threshold device. Resuscitation. 2013 Sep;84(9):1214–22. 16.Don P, Vic C, Ahamed I, MD, Stephen S, David L, Brent P, Medic, et al. The Impedance Threshold Device (ITD-7) a new device for combat casualty care to augment circulation and blood pressure. J Spec Oper Med. 2009 Spring;9(2):49-53. 17. Tom PA, Ralph JF, Marvin AW,et al. Comparative Effectiveness of Standard CPR versus Active Compression Decompression CPR with Augmentation of Negative Intrathoracic Pressure for Treatment of Out-of-Hospital Cardiac Arrest: Results from a Randomized Prospective Study. Lancet. 2011; 377(9762): 301–311.

40 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


18. Indik JH. Can we improve outcomes by using active compressiondecompression and impedance threshold devices during resuscitation? Crit Care Med. 2015;43(4):929–30.

19. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.<http://www.depkes.go.id /folder/view/01/structure-publikasidata-pusat-data-daninformasi.html>

41 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Tinjauan Pustaka

POLYLACTIC-GLYCOLIC ACID-CURCUMIN NANOPARTIKEL SENYAWA KURKUMIN SEBAGAI TERAPI POTENSIAL DALAM PENANGANAN KANKER PROSTAT 1

1

1

Prio Wibisono , Karunia V. Japar , Albert Riantho , 1 2 Audrey S. Soetjipto ,Theo A. Y. Lemuel 1 2

Fakultas Kedokteran, Universitas Pelita Harapan, Tangerang Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Universitas Pelita Harapan, Tangerang ABSTRAK

Pendahuluan: Kanker prostat adalah suatu keganasan pada pria berusia lanjut pada usia 65-75 tahun. Insidensi kanker prostat menempati posisi ke-4 jenis kanker terbanyak di dunia, yaitu sebanyak 670.000 pria pertahun. Kurkumin merupakan suatu senyawa yang terdapat dalam tanaman kunyit yang dipercaya memiliki efek pada perkembangan kanker. Metode:Metode penulisan bersifat studi pustaka. Data-data yang berasal dari berbagai literatur kepustakaan selama 2001-2014 yang berasal dari Pubmed. Jenis data yang diperoleh variatif, bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Teknik analisis data bersifat deskriptif argumentatif. Hasil: Beberapa studi menyatakan bahwa kurkumin dapat memodifikasi beberapa jalur sinyal sel kanker termasuk kanker prostat dengan cara memberi dampak terhadap beberapa kelompok protein seperti COX2, CXCR4, PI3k, dan lain-lain. Bioavailabilitas kurkumin yang rendah menjadi kendala dalam efektivitas penanganan kanker prostat. Pendekatan nanopartikel dilakukan untuk meningkatkan bioavailibilitas kurkumin. Diskusi: Polylactic-glycolic acid (PLGA) adalah salah satu polimer sintesis yang biasa digunakan sebagai bahan nanopartikel polimerik. Sediaan kurkumin dalam bentuk nano particle (NP) akan meningkatkan bioavailabilitas free curcumin (CUR). Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa PLGA-CUR NPs lebih efektif dalam menghambat proliferasi, dan efektif untuk memodulasi signaling onkogenik sel kanker prostat dibandingkan dengan kurkumin bebas. PLGA-CUR NPs juga menyebabkan regresi selsel tumor dengan tingkat efektivitas yang lebih baik dibandingkan dengan kurkumin bebas. PLGA-CUR NPs juga meningkatan ekspresi dari tumor suppressor PKD1, STAT3, dan fosforilasi AKT pada DU-145, PC-3 dan C4-2 sehingga menyebabkan terjadinya apoptosis. Kesimpulan: Senyawa kurkumin merupakan senyawa yang memiliki potensi terhadap penanganan kanker prostat sebagai antikanker. Senyawa kurkumin dalam bentuk nanopartikel (PLGA-CUR NP’s) memiliki bioavailabilitas yang lebih tinggi dan terbukti memiliki tingkat efisiensi yang lebih tinggi di bandingkan dengan kurkumin bebas sebagai antikanker. Kata Kunci: bioavailabilitas, kurkumin, nanopartikel, kanker prostat ABSTRACT Introduction: Prostate cancer is a type of malignant tumor which arises from the prostate and it is common in older men from age of 65-75 years. The incidence of prostate cancer in men is around 670,000 per year, the 4th highest cancer in the world. Curcumin is an active compound found in turmeric plants and is believed to play a role in interfere the development of cancer. Methods: This was a literature review of literatures published at Pubmed beetwen 2001and2014.Data obtained wasvaried including qualitative and quantitative data. The data analysis technique was descriptive argumentative.

42 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Results: Several studies have shown that curcumin modified some cancer cells signalling pathways, including prostate cancer cells by affecting several groups of proteins such as COX2, CXCR4, PI3K and others. Due to its low bioavailability, the use of curcumin as an effective anti cancer is not yet optimal. To increase the bioavailability of curcumin, nanoparticle was used. Discussion: Polylactic-glycolic acid (PLGA) is one of the synthesize polymer that were use as polymeric nanoparticle. The preparation of curcumin in the form of nanoparticle (NP) will increase the bioavailability of free curcumin (CUR). Some studies have shown that PLGA-NPs CUR more effective in inhibiting the proliferation and modulating the oncogenic signaling of the prostate cancer cells compared with free curcumin. PLGACUR NPs also cause regression of tumor cells with a better level of effectiveness compared with free curcumin. PLGA-CUR NPs also increase the expression of tumor suppresor PKD1, STAT3, and phosphorylation of AKT in cell line DU-145, PC-3, C4-2 and cause apoptosis. Conclusion: Curcumin is an active compound that has anticancer properties, and is potential for the treatment of prostate cancer. Nanoparticles form of curcumin (PLGACUR NP's) has a higher bioavailability and was proved to be more efficient compared to free curcumin. Keywords: bioavailability, curcumin, nanoparticles, prostate cancer 1.

PENDAHULUAN Kanker prostat merupakan keganasan non-kulit terbesar pada pria. Sebanyak 670.000 pria per tahun terkena kanker prostat, dan kanker prostat menempati posisi ke 4 di dunia setelah kanker kulit, paru dan usus besar. Di Indonesia, kanker prostat menempati urutan kedua jenis kanker [1,2] terbanyak pada tahun 2008 dengan [3] rata-rata usia penderita 68.3 tahun. Kurkumin (diferuloylmethane) merupakan senyawa polifenol yang didapat dari Curcuma longa linn dan temulawak (Curcuma xanthorrhiza [4] roxb). Kurkumin mempunyai efek yang poten sebagai antiinflamasi, antioksidan, [5] antikanker. Beberapa penelitian sudah membuktikan bahwa kurkumin dapat menekan aktivitas dari sel kanker seperti transaktivasi dan ekspresi genAndrogen Receptor (AR) dan AR kofaktor, biomarker kanker seperti Prostate Spesific Antigen (PSA), proliferasi reseptor Epidermal Growth Factor (EGF), Human Epidermal Growth Factor-2 (HER-2), Phosphatidylinositol4,5-bisphosphate-3-kinase (P13K/AKT), [6-9] angiogenesis, sepertiVascular endothelial growth factor (VEGF), Nuclear Factor Of Kappa Light Polypeptide Gene Enhancer In B-Cells (NFkB), Tumor Necrosis Factor (TNF), Receptor activator of nuclear factor [10-13] kappa-B igand (RANKL) progresi dan formasi, seperti Fibroblast growth

[14,15]

factor 2 (FGF 2), Cyclin D1, [16-19] autocrine growth factor (IL-6), metastasis melalui Chemokine (C-X-C [20] Motif) Receptor 4 (CXCR4), keberlangsungan hidup sel kanker melalui B-cell lymphoma-2(bcl-2,bcl-x), X-linked Inhibitor of Apoptosis Protein (XIAP), Cellular FLICE-like Inhibitory [21-23] Protein (cFLIP), dan surviving. Kurkumin juga dapat menekan inflamasi melalui jalur Cyclooxygenase-2 (COX2), Prostate inflammatory atrophy (PIA), dan Prostate intraepithelial neoplasia [21-26] (PIN). Karakteristik ini membuat senyawa kurkumin menjadi senyawa yang potensial untuk terapi kanker prostat, akan tetapi konsumsi kurkumin secara oral memiliki kadar yang rendah didalam plasma dan jaringan akibat penyerapan yang kurang baik, metabolisme serta eliminasi sistemik [27-29] yang cepat. Oleh karena itu, kurkumin berpotensi untuk dikembangkan sebagai terapi obat dengan beberapa penyempurnaan pada sistem pengantaran untuk meningkatkan [30] penyerapan oleh sel. Kajian pustaka ini diharapkan dapat membahas potensi senyawa kurkumin dan sistem pengantaran nanopartikel kurkumin dalam terapi kanker prostat. 2.

METODE Metode penulisan bersifat studi pustaka. Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini

43 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


berasal dari berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Kepustakaan yang dipilih adalah literatur dalam bahasa inggris selama 2001-2014 dan dapat diakses penuh di pubmed. Beberapa referensi utama yang digunakan adalah jurnal ilmiah edisi online, buku pelajaran kedokteran, serta artikel ilmiah yang bersumber dari internet. Jenis data yang diperoleh variatif, bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan topik kajian, kemudian dilakukan penyusunan karya tulis berdasarkan data yang telah dipersiapkan secara logis dan sistematis.Teknik analisis data bersifat deskriptif argumentatif. Simpulan yang ditarik mempresentasikan pokok bahasan karya tulis, serta didukung dengan saran praktis sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya. 3. HASIL 3.1. Kanker Prostat Kanker prostat merupakan keganasan pada prostat dengan predileksi usia 65-75 tahun. Insidensi kanker prosat menempati posisi 4 di dunia dan menempati posisi 2 di [31,32] Indonesia. Penyebab kanker prostat belum diketahui secara jelas, meskipun beberapa penelitian menunjukan keterlibatan androgen dalam [27] patogenesisnya. Lebih dari 95% kanker prostat merupakan adenokarsinoma. Tabel 1. Beberapa Gen yang Terlibat Pada Kanker Prostat Gen/ Fungsi Refrensi Molekul Bcl-Xl;MclAntiapoptosis 28, 29 (survival) 1 STAT-3 Progresi 30, 28 metastasis PI3K / AKT Progresisel 21,30,31 kanker Androgen Faktor 27,30,31 Reseptor Transkripsi (AR)  ;͞  βcatenin Prostate Biomarker 27,30,31 Spesific pada kanker Antigen prostat (PSA)

3.1.1

Gejala Klinis Pada stadium awal, kanker prostat tidak menimbulkan gejala. Gejala yang timbul merupakan manifestasi dari obstruksi akibat penekanan massa tumor pada uretra, berupa kesulitan berkemih yang menyerupai hiperplasia prostat jinak. Selain itu, kanker prostat dapat menyebakan hematuria dan terjadinya penahanan air kemih mendadak. Kanker prostat dapat menyebar secara perkontinuitatum ke daerah sekitarnya, seperti uretra, leher vesika urinaria, dan vesikula seminalis. Selain penyebaran secara perkontinuitatum, kanker prostat dapat bermetastasis melalui jalur limfatik dan hematogen. Prevalensi tempat yang paling sering adalah kelenjar limfa pelvis [28] dan kerangka. 3.1.2 Patogenesis Kanker Prostat Patogenesis kanker prostat terdiri dari empat tahap yaitu: aktivasi androgen, migrasi dan adesi sel, kontrol siklus sel, dan kerusakan genom. Pertama, testosteron akan diubah menjadi dihidrotestosteron yang akan membuat reseptor androgen. Hal ini akan memfasilitasi regulasi transkripsi gen yang sudah ditargetkan sehingga mekanisme apoptosis berkurang dan proliferasi bertambah. Kemudian adesi protein seperti E-cad, CD44 dan TSLC1 terjadi karena adanya hipermetilasi promoter saat terjadi invasi dan metastasis kanker prostat. Hipermetilasi ini akan menghilangkan fungsi regulasi siklus sel seperti p16,p27 yang akan mengakibatkan kerusakan genom. 3.2. Kurkumin Kunyit atau kunir (Curcuma Longa) adalah salah satu jenis tanaman rempah-rempah yang termasuk kelompok Zingiberaceae yang tumbuh dalam jangka waktu yang cepat secara natural di daerah India dan juga daerah[4,33,34] daerah tropis. Kurkumin (CUR) merupakan salah satu senyawa polifenol yang dapat berperan sebagai antioksidan, antiinflamasi, antiproliferasi, dan dapat berperan untuk melawan beberapa jenis sel kanker seperti kanker serviks, payudara, kolorektal dan juga kanker [35] prostat. 3.2.1 Struktur Senyawa Kurkumin Warna kuning yang dihasilkan dari kunyit berasal dari senyawa

44 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


polifenol kurkuminoid, yang ada sekitar 3-5% di dalam setiap pengolahan kurkumin. Ekstrak dari kurkumin secara garis besar terdiri dari 3 komponen kurkuminoids, yaitu kurkumin, demetoksikurkumin (kurkuminII), dan bisdemetoksikurkumin (kurkumin III). Secara komersial, kurkumin yang tersedia bukan merupakan kurkumin secara murni, tetapi merupakan senyawa campuran dari kurkumin I (77%), demeoksikurkumin (18%) dan bisdemetoksikurkumin (5%). Kurkumin tidak stabil pada pH netral dan basa, dan terdegradasi menjadi asam ferulat (4-hidroksi-3-asammetoksisinamat) dan [5] metana feruloil. 3.2.2 Bioavailabilitas Kurkumin Dalam beberapa tahun terakhir ini, studi yang menunjukkan bahwa kurkumin memiliki bioavailabilitas yang rendah dalam proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi di dalam tubuh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kurkumin memiliki bioavailabilitas yang rendah karena metabolisme dari kurkumin yang [65] dipercepat di dalam tubuh. Beberapa studi melaporkan bahwa 60% sampai 75% dari dosis kurkumin oral tersebut diekskresikan ke dalam feses dan konjugasi sulfat [66] diekskresikan di dalam urin. Rendahnya tingkat bioavailabilitas kurkumin yang diadministrasikan secara oral, memicu banyak penelitian untuk meningkatkan bioavailabilitas kurkumin. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan bioavailabilitas dari administrasi kurkumin secara oral adalah pengemasan kurkumin dalam bentuk nanopartikel. 3.2.3 Efek Senyawa Kurkumin Terhadap Kanker Prostat Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kurkumin dapat dijadikan sebagai anti inflamasi dengan cara menurunkan tingkat regulasi dari sitokin yang berperan sebagai faktor pro-inflamasi dan faktor transkripsi. Selain itu kurkumin juga memiliki potensi sebagai antioksidan untuk melawan [28] radikal bebas. Kurkumin telah dibuktikan dapat mengurangi transaktivasi dan ekspresi Androgen Receptor(AR) dan AR-Related [36,37] cofactors, yang menyebabkan penurunan ekspresi NKX3.1, gen

spesifik terhadap prostat. Selain itu, kurkumin telah dijadikan sebagai [38] antagonis reseptor androgen. Kurkumin juga menghambat Prostate Specific Antigen(PSA), biomarker untuk progresi kanker prostat melalui aktivasi [39,40] NFkB.

Gambar 1. Beberapa Jalur Target [28] Kurkumin terhadap Kanker Prostat. Beberapa studi menyatakan bahwa kurkumin merupakan suatu molekul yang dapat memodifikasi beberapa jalur sinyal sel-sel kanker, termasuk kanker prostat dengan cara memberi dampak terhadap beberapa kelompok protein. Protein tersebut meliputi Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) dan EGFR-tyrosine kinase yang diekspresikan pada kanker [41-43] prostat untuk proliferasi sel. Kurkumin juga dapat menginduksi degradasi proteolitik Human Epidermal Receptor (HER2) dan menghambat [44,45] aktivitas tirosin kinase. Kurkumin dapat menurunkan ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan [46-48] angiogenesis in vivo. Fibroblast Growth Factor-2(FGF2) adalah faktor pertumbuhan pleiotopik yang telah diimplikasikan dalam pembentukan dan progresi kanker prostat karena secara signifikan meningkatkan proliferasi dan [49] migrasi cell line LNCaP. Kurkumin juga dapat menghambat ekspresi matrix metalloproteinase gelatinase B, yang distimulasi oleh FGF2, yang akan berpengaruh pada respon [50] angiogenesis. Selain itu, kurkumin juga dapat menghambat ekspresi dan aksi IL-6,autocrine growth factor untuk [51,52,53] kanker prostat. Karsinoma prostat yang bermetastasis juga menggunakan jalur SDF-1/CXCR4 untuk melokalisasi ke tulang dan ekspresi CXCR4 ada pada [54] cancer cell lines. Belakangan ini

45 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


penelitian membuktikan bahwa kurkumin [55] dapat menghambat ekspresi CXCR4. Selain Itu, jalur PI-3K/AKT mempunyai peran penting dalam proliferasi sel [30,56] kanker prostat. PTEN, fosfatase yang meregulasi jalur ini termutasi dalam kanker prostat sehingga terjadi aktivasi konstitutif AKT. Jadi penghambatan AKT memiliki potensi untuk menekan proliferasi sel kanker prostat. Studi laboratorium menunjukkan bahwa kurkumin juga dapat [42] menghambat aktivasi AKT. Cyclin D1 dibutuhkan untuk progresi sel dari fase G1 menuju S pada siklus sel. Sel kanker prostat diketahui mengekspresikan cyclin D1 yang tinggi. Studi menunjukkan bahwa kurkumin menghambat ekspresi cyclin D1 pada [57] sel kanker prostat. Protein antiapoptosis seperti bcl2, bcl-Xl, XIAP.cFLIP, dan surviving terekspresi pada kanker prostat dan berperan penting dalam resistensi kanker terhadap pengobatan. Kurkumin telah dibuktikan untuk menghambat [58-60] ekspresi protein-protein ini. Protein yang berperan dalam respon inflamasi juga diregulasi oleh kurkumin seperti COX-2 yang [57,61] meregulasikan PIA, prekursor PIN. Selain itu, inhibisiNFkB telah dibuktikan mensupresi angiogenesis, invasi, dan [62] metastasis kanker prostat. Kurkumin telah terbukti dapat menjadi [63] penghambat aktivasi NFkB. Penelitian membuktikan bahwa kanker prostat yang sudah bermetastasis ke tulangmenginduksi osteoclastogenesis. RANKL, bagian keluarga TNF, adalah mediator penting untuk osteoclastogenesis. Dari penelitian sebelumnya, kurkumin dapat mensupresi RANKL-induced [64] osteoclasto- genesis. Penelitian telah menyarankan kurkumin sebagai multitargeted agent yang memiliki potensi sebagai pencegahan dan terapi untuk kanker prostat. Penelitian telah membuktikan bahwa kurkumin dapat mensupresi aktivasi NFkB, STAT3, ekspresi COX2, aktivasi AKT, cyclin D1, dan [20,22,25,45,47,58] TNF. Saat ini, target yang sering digunakan untuk terapi kanker adalah EGFR, HER2, VEGF, proteasome, COX2 dan microtubule assembly

apparatus. Studi-studi menunjukkan bahwa agen yang hanya dapat menahan satu jalur faktor perkembangan kanker memiliki efektivitas yang minimal. Penghambatan beberapa jalur akan lebih baik, termasuk untuk pengobatan [32] kanker prostat. Kurkumin memiliki potensi sebagai pencegahan dan terapi untuk kanker prostat karena dapat menekan beberapa jalur. Pertama, kurkumin telah digunakan sebagai agen antioksidan dan antiinflamasi, dimana kedua antioksidan dan NSAIDs telah dihubungkan dengan penghambatan 62) dari karsinogenesis prostat. Kedua, kurkumin telah dibuktikan untuk menekan aktivasi NFkB, STAT3, AKT, ekspresi COX2, EGFR, dan aktivitas inflammatory cytokine (TNF, IL-6,IL-8) [23,48-4950] pada sel tumor. Ketiga, kurkumin telah dibuktikan untuk menekan mekanisme pertahanan yang dibutuhkan untuk proliferasi kanker [42,43] prostat. Keempat, bukti epidemiologi telah membuktikan bahwa insiden kanker prostat di India, dimana kurkumin telah dikonsumsi secara luas, adalah sekitar 5% dari insidensi di Amerika [31] Serikat. Tabel 2.Gen yang Dipengaruhi oleh Kurkumin pada Kanker Prostat Fungsi yg Gen Ref. terpengaruh Inflamasi COX2; IL-1β, 23, TNF-α,NF-κB 47,48, 49 Proliferasi EGF receptor, 15,19, HER2, PI3K/ 20,23 AKT pathway Angiogenesis VEGF, NFkB, 37,40, TNF, RANKL 41,45 Progresi dan Formasi

FGF2, cyclin D1

21,31

Metastasis

CXCR4 Bcl-2, Bcl-x, XIAP, cFLIP PSA (Prostatespecific antigen) IL-6

23,33, 41,42

STAT3 (1)

28

Marker kanker prostat Autocrine growth-factor Antiapoptosis

24,25 34

46 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


3.3 Nanopartikel 3.3.1 Definisi Nanopartikel dan Karakteristik Nanopartikel (NP) adalah dispersi atau partikel padat dengan ukuran 101.000 nm,memiliki dua pengertian yaitu senyawa obat yang melalui suatu cara tertentu dibuat berukuran nanometer yang disebut dengan nanokristal dan senyawa obat dienkapsulasi dalam suatu sistem pembawa tertentu berukuran nanometer yang disebut [32] dengan nanocarrier. Beberapa tahun belakangan ini, biodegradable polymeric nanoparticles, terutama yang diselubungi dengan polimer hidrofilik seperti poly(ethylene glycol)(PEG), yang dikenal sebagai long-circulating particles, telah digunakan sebagai alat pengantaran obat yang berpotensi karena kemampuan mereka untuk bersirkulasi dalam waktu yang lama pada target obat tertentu, sebagai carrier DNA dalam terapi gen, dan kemampuan mereka untuk mengantarkan protein, peptida dan [67] gene. 3.3.2 Absorbsi Nanopartikel dalam Saluran Gastrointestinal Strategi untuk meningkatkan interaksi nanopartikel dengan enterosit dan sel M peyer patchadalah dengan mengikat ligan atau reseptor secara spesifik dan dengan mekanisme absorbsi yang tidak spesifik. Permukaan enterosit dan sel M menunjukkan cellspecific carbohyd-rates, yang bisa dijadikan tempat mengikat bagi colloidal drug carriers yang mengandung ligan yang sesuai. Glikoprotein dan lektin tertentu terikat secara spesifik pada struktur permukaan dengan mekanisme receptor-mediated yang spesifik. Menurut beberapa penelitian, lektin yang berbeda seperti bean lectin dan tomato lectin dapat meningkatkan absorbs peptida ora. Untuk proses intrinsik ini, diperlukan mukoprotein yang dihasilkan oleh gaster dan mengikat secara spesifik pada kobalamin. Mukoprotein akan mencapai ileum secara total dimana resorbsi akan dimediasi oleh [68,69] reseptor yang spesifik. Secara umum, penyerapan makromolekul dan material tertentu mengikut sertakan jalur paraselular atau endositosis. Jalur penyerapan paraselular nanopartikel menggunakan

kurang dari 1% luas permukaan mukosa saluran pencernaan. Dengan [68] menggunakan polyacrylate, chitosan [6,71] atau pati, permeabilitas paraselular dari makromolekul dapat ditingkatkan. Jalur absorbsi nanopartikel bisa dilakukan secara receptor-mediated maupun endositosis, yaitu secara active targeting, atau absorptive endocytosis yang tidak memerlukan ligan apapun. Proses ini diinisiasi oleh absorbsi fisik tidak spesifik materi ke permukaan sel dengan energi elektrik seperti hydrogen [72] bonding atau interaksi hidrofobik. Absorbsi endositosis bergantung pada ukuran dan permukaan materi. Apabila muatan permukaan nanopartikel tersebut positif atau tidak bermuatan, permukaan materi tersebut akan mempunyai afinitas untuk absorpsi enterosit melalui interaksi hidrofobik. Tetapi apabila permukaan nanopartikel bermuatan negatif dan hidrofilik, afinitas permukaan materi tersebut akan bertambah untuk adsorpsi enterosit dan sel M. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi ukuran, muatan permukaan dan sifat hidrofilik memiliki peran penting dalam afinitas. Hal ini didemonstrasikan dengan nanopartikel poly(styrene) [72] ketika mengalami karboksilasi. 3.3.3 Poliasam laktat-glikolat Polylactic-glycolic acid (PLGA) adalah salah satu polimer sintesis yang biasa digunakan sebagai bahan nanopartikel polimerik. Material polimer memiliki sifat yang menguntungkan seperti: kemampuan terdegradasi dalam tubuh, modifikasi permukaan dan fungsi yang dapat disesuaikan dengan keinginan. Sistem polimerik dapat mengatur sifat farmakokinetik obat yang dimuatkan yang mengakibatkan obat berada pada kondisi stabil.Kelebihankelebihan ini membuktikan bahwa nanopartikal polimerik merupakan sistem yang efektif dalam mengikat obat yang biasanya sensistif terhadap perubahan lingkungan. Nanopartikel polimerik yang mengikat peptida dapat digunakan sebagai penghantaran melalui oral yang diperpanjang dan dapat meningkatkan penyerapan dan ketersediaan hayati. Walaupun sistem polimerik memiliki banyak keuntungan, sistem ini masih memiliki kekurangan seperti partikel pembawa obat akan

47 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


dibuang dari sistem sirkulasi oleh makrofag. Hal ini merupakan masalah utama apabila sel nonfagosit dalam [32] tubuh merupakan target pengobatan. 4. PEMBAHASAN 4.1 Analisis Permasalahan Pada saat ini kita dihadapkan dengan sebuah masalah dimana kanker prostat memiliki angka insiden yang cukup tinggi dan memposisikan kanker prostat sebagai kanker dengan posisi ke [32-33] 4 tertinggi di dunia. Penyakit prostat adalah penyakit keganasan yang paling sering diderita oleh pria yang berada di negara barat dan kanker prostat adalah penyebab kematian ketiga karena kanker pada pria. Ada perbedaan besar dari angka insiden kanker prostat antara negara barat (kurang dari 120 setiap 100.000 di Amerika Utara) dengan negara Asia (kurang dari 10 setiap [73] 100.000 di Asia). Terlebih dari itu, ketika orang Asia bermigrasi ke negara barat, angka insiden prostat mereka meningkat. Hal ini mendukung ide bahwa gaya hidup, aspek diet, faktor lingkungan serta faktor genetik mempromosikan perkembangan kanker [74,75] prostat, dimana salah satu diet orang Asia termasuk penggunaan rempah-rempah seperti kunyit (Curcuma longa) sebagai bumbu dalam masakan. Kanker prostat memiliki kecenderungan untuk menjadi resisten terhadap agen sitotoksik yang konvensional seperti cisplatin. Belakangan ini terdapat beberapa pengobatan untuk hormone resistant prostate cancer yang sangat efektif, dan agen baru dibutuhkan untuk membunuh sel kanker secara selektif. Resistensi kanker prostat diasosiasikan dengan ekpresi yang berlebih dari Bcl-2, Androgen Receptor, epidermal growth factor receptor, HER2, cyclin D1, dan cyclooxygenase (COX-2), semua dihubungkan dengan aktivasi dari NFkB, [76--81] yang merupakan faktor transkripsi. Sehingga sebuah agen yang dibutuhkan harus bisa memodulasi kemoresisten dan mekanisme keberlangsungan sel untuk prevensi dan pengobatan kanker prostat. Kurkumin adalah salah satu agen yang bisa memodulasi beberapa jalur tersebut. Walaupun kurkumin memiliki banyak kelebihan, tetapi kurkumin juga

memiliki beberapa kekurangan. Studi farmakokinetik memperlihatkan bahwa kurkumin melalui metabolisme yang cepat dimana hal tersebut disebut sebagai pokok masalah dari rendahnya bioavailabilitas pada sirkulasi sistemik. Kurkumin yang diadministrasikan secara oral dengan dosis 1.000 mg/kg pada tikus menghasilkan bahwa kurang lebih 75% dosis yang diberikan diekskresikan didalam feses dan hanya jumlah sedikit [82-83] yang dideteksi didalam urin. 4.2 Sintesis Berdasarkan uraian diatas, maka kami menemukan beberapa jurnal penelitian yang memberikan pembahasan dari permasalahan tujuan dari studi ini adalah untuk mengevaluasi efek anti kanker polylactic-glycolic acid curcuminnano particles (PLGA-CUR NPs) pada androgen-dependent dan androgen-independent kanker prostat cell line, seperti DU-145, C4-2, dan PC3. 4.2.1 Interaksi dari NPs dengan Sel Kanker Prostat Internalisasi PLGA-CURNPs bergantung pada waktu. Pada waktu 1 jam terdapat beberapa jumlah NPs yang dicerna didalam membran vesikel dan pada waktu 3 jam, NPs secara total telah terinternalisasi kedalam sel (panah biru). Pada waktu 18 jam, NPs telah berlokasi didekat nukleus (Gambar 2). Formulasi nano yang terendositosis dapat lolos dari endosom, terlokalisasi di dalam sitoplasma/sitosol dan [32] terdistribusi di sekitar nukleus. Pelepasan obat NPs pada tahap ini dapat menginduksi toksisitas [32,84] superior/efek terapi.

Gambar 2. Internalisasi PLGA-CUR Nps yang Bergantung Waktu pada Sel [32] Kanker DU 145. Selain dari segi internalisasi, dan akumulasi jangka panjang,tingkat retensi juga penting untuk meningkatkan efikasi

48 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


terapi obat kanker. Banyak obat kanker yang gagal untuk mencapai dosis efektif didalam sel karena degradasi yang cepat atau ekspor selular. Untuk mengakses PLGA-CUR NPs didalam hal tersebut, penulis mengkaji studi retensi CUR bebas dan PLGA-CUR NPs pada hari 1,2 dan 4 dengan flow cytometry (Gambar 3).

Gambar 4.PLGA-CUR NPs Secara Efisien Mengganggu Struktur Sel dan Menginduksi Terbentuknya Vakuola [32] pada Sel Kanker Prostat.

Gambar 3. PLGA-CUR Nps Menunjukkan Tingkat Cellular Uptake dan Retensi yang Lebih Baik daripada [32] CUR pada Sel Kanker Prostat. PLGA-CUR NPs menunjukkan akumulasi dan retensi yang lebih tinggi setiap waktu dibandingkan dengan CUR bebas. Sel DU-145 menunjukkan akumulasi tertinggi, dimana puncaknya terdapat pada hari ke 2 dan secara signifikan lebih rendah pada hari ke 4. Sel C4-2 telah meningkat dari hari ke 12 dan secara relatif tetap sama pada hari ke 4. PC-3 mempunyai retensi yang lebih sedikit daripada kedua kurkumin bebas dan PLGA-CUR NPs, dengan [32] akumulasi tertinggi pada hari ke 2. Vakuola yang berada di perifer inti seldimana NPs dan pelepasan bioactive CUR terinternalisasi merupakan hal penting untuk diperhatikan. Eksistensi PLGA-CUR NPs didalam sel kanker prostat dihasilkan pada protusi sel membran dan sistoskeleton yang terganggu dengan cara menginduksi [32,85,86] vakuola di dalam tubuh sel. CUR bebas tidak bisa menginduksi vakuolisasi seperti ini didalam sel kanker [32] prostat (gambar 4).

4.2.2 Pengaruh pada Proliferasi Pada saat penggunaan kurkumin bebas ataupun PLGA-CUR NPs, terlihat perubahan morfologi pada sel seperti penyusutan, agregasi, menjadi lebih spferis, dan mikronukleasi. Perubahan morfologi dan kerusakan pada membran sel merupakan tanda yang jelas dari proses apoptosis. Untuk mengukur secara kuantitas efek dari CUR dan PLGA-CUR NPs, dilakukan pengukuran proliferasi sel dengan metode kalorimetrik MTS. Pada PLGA-NPs yang kosong, terlihat tidak memberikan efek pada pertumbuhan sel, meskipun dalam dosis yang tinggi sekalipun. Pada CUR dan PLGA-CUR NPs memperlihatkan efek yang bersifat dose-dependent pada tingkat proliferasi sel.

Gambar 5. PLGA-CUR Nps Mengurangi Proliferasi Sel Kanker Prostat. (B) MTS assay menunjukkan bahwa PLGA-CUR Nps secara signifikan menghambat proliferasi sel kanker [32] prostat.

49 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Pengobatan dengan PLGA-CUR NPs juga menghasilkan peningkatan ekspresi tumor suppressor PKD1 (Gambar 7B), yang penting untuk menghambat sinyal onkogenik yang diinduksi oleh nuclear [86] β-catenin pada sel kanker prostat.

Gambar 6.PLGA-CUR NPs Menghambat Potensi Klonogenik Sel Kanker Prostat. (A) Fotografi dari pola clonogenic dalam Multimage™ light cabinet (Alpha Innotech Corporation, San Leandro, CA) merepresentasikan inhibisi terhadap formulasi clonogenic dengan PLGACUR NPs. (B) Perbadingan dari potensi clonogenic daripada CUR atau PLGA[36] CUR NPs pada sel kanker prostat. Sel pada kelompok kontrol memproduksi koloni yang besar, sedangkan pengobatan dengan CUR menghasilkan penghambatan formasi koloni yang bergantung dengan jumlah dosis. Formulasi PLGA-CUR NPs mempunyai aktivitas inhibisi pada formasi koloni, bahkan pada konsentrasi 2 dan 4 µm, dibandingkan dengan CUR bebas. Pada ke 3 cell lines, PLGA-CUR NPs juga lebih efektif pada konsentrasi 4 dan 6 µm jikadibandingan dengan CUR bebas. Selain itu juga terdapat observasi yang menarik, PLGA-CUR NPs mempunyai efek yang besar pada sel PC-3 apabila dengan efek inhibisi pada MTS assay (Gambar 6), menunjukkan bahwa paparan CUR yang terus-menerus efektif dalam menginhibisi pertumbuhan dari cell line yang resisten seperti PC-3. Secara keseluruhan, pelepasan CUR yang lambat dan terus-menerus dari PLGACUR NPs yang terinternalisasi memungkinkan untuk meningkatkan [32] efek anti kanker daripada kurkumin. 4.2.3 Modulasi Signaling Onkogenik Pengobatan dengan PLGA-CUR NPs secara substansial menurunkan ekspresi AR didalam nukleus dan meningkatkan lokalisasi β-catenin pada membran sel (Gambar7A dan B).

Gambar 7.Efek daripada PLGA-CUR NPs pada AR dan β-catenin. (A) PLGA-CUR NPs menurunkan ekspresi AR pada sel C4-2. Sel yang diberikan kurkumin dan PLGA-CUR NPs menunjukkan menurunnya AR staining yang signifikan bila dibandingakn dengan sel C4-2 kontrol (B) Pemberian PLGA-CUR NPs meningkatkan lokalisasi selular β-catenin dan PKD1. Sel yang diberikan CUR dan PLGA-CUR NPs menunjukkan pewarnaan membran β-catenin dan lokalisasi dengan PKD1 yang lebih tinggi bila dibandingkan [86] dengan sel-sel C4-2 kontrol. Sel kanker prostat yang diberikan CUR ataupun PLGA-CUR NPs, terlihat eksibisi dari PARP-cleavage dan inhibisi ekspresi protein antiapoptosis, yaitu BclXl dan Mcl-1 (Gambar 8). Clevaged PARP, merupakan suatu tanda apoptosis. Tingginya ekspresi Bcl-Xl berperan dalam ketahanan hidup dan resistensi kemoterapi atau [32] radioresistensi sel kanker tersebut.

Gambar 8.PLGA-CUR NPs Menghambat Protein Onkogen dan Menginduksi Apoptosis pada Sel Kanker Prostat C4-2. (A) Representative Western Blot 36 daripada PARP, Bcl-Xl, dan Mcl-1.

50 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Selain itu, pemberian PLGA-CUR NPs juga menginhibisi ekspresi signal transducer and activator of transcription 3(STAT-3) dan fosporilasi AKT. STAT-3 meningkatkan progresivitas metastasis dari kanker prostat dan penggunaan PLGA-CUR bisa menginhibisi ekspresi dari STAT-3 secara signifikan apabila dibandingkan dengan kontrol. Selain itu, pada CUR juga tidak terlihat adanya efek bahkan pada 20 µm. PI3K/AKT pathway juga terekspresikan pada kasus kanker prostat dan peningkatan fosforilasi dari AKT bertanggung jawab dalam progresi sel kanker tersebut.

Gambar 9.PLGA-CUR NPs menghambat protein onkogen dan menginduksi apoptosis pada sel kanker prostat C4-2. (B) STAT-3 dan p-Akt.[87] PLGA-CUR NPs juga berdampak pada AR yang berperan sebagai faktor transkripsi. Inhibisi AR dapat menghambat serta mengurangi tingkat invasif dari kanker prostat tersebut. CUR sendiri telah diketahui dapat menurunkan regulasi dan ekspresi gen AR pada sel kanker prostat. Pemberian PLGA-CUR NPs secara drastis menurunkan ekspresi gen AR dibandingan dengan CUR saja [87] (Gambar 9). 5.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil studi pustaka mengenai peran nanopartikel kurkumin terhadap penanganan kanker prostat, dapat disimpulkan bahwa senyawa kurkumin merupakan senyawa yang memiliki potensi terhadap penanganan kanker prostat sebagai antikanker. Senyawa kurkumin dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan dari sel kanker melalui internalisasi kurkumin dalam sitosol sel kanker, menghambat proliferasi, dan modulasi signaling onkogenik. Akan tetapi, rendahnya bioavailabilitasoral kurkumin menjadi kendala dalam efektivitas penanganan kanker prostat. Senyawa kurkumin

dalam bentuk nanopartikel (PLGA-CUR NP’s) terbukti memiliki tingkat efisiensi yang lebih tinggi di bandingkan dengan kurkumin bebas sebagai antikanker prostat. 6.

SARAN Untuk pengembangan dari literature review lebih lanjut, maka penulis memberikan saran yang bermanfaat : 1. Perlunya peninjauan yang lebih dalam terhadap senyawa PLGACUR NPs pada aspek klinis terutama untuk melihat dosis dan efek toksisitas. 2. Perlunya penelitian lebih lanjut terhadap gen-gen yang terlibat dalam perkembangan dari sel kanker yang masih belum terlalu diperhatikan oleh para peneliti, seperti Yin-Yang 1(YY1) yang merupakan co-activator p53 agar dapat meningkatkan efektivitas dari penanganan pasien kanker prostat. DAFTAR PUSTAKA 1. Murai M, Cheng Ch, Khauli R, Lee E, Sahabududdin RM, Sasidharan K, et al. “Epidemiology of Prostate th cancer in Asia.” Prostate cancer. 6 International Consultation on New Developments in Prostate Cancer and Prostate Diseases. 2006. h. 57-65. 2. “International Agency for Research on Cancer.” Globocan. 2011. 5 Agustus 2011 < www.globocan.com> 3. Indonesian Society of Urologic Oncology (ISUO) meeting. 2011. 4. World Health Organization. Rhizoma curcumae longae. WHO: Geneva, Switzerland, 1999; Volume 1, pp. 115-124 5. Aggarwal, B.B., Surh, Y.J., Shishodia, S. The Molecular Target and Therapeutic Usesof Curcumin in Health and Disease. Springer: New York, USA, 2007. 6. Tillotson JK, RD. “Densitydependent regulation of epidermal growth factor receptor expression in DU 145 human prostate cancer cells.” Prostate 1991; 19(1):53-61. 7. Jung Y, Xu W, Kim H, Ha N, Neckers L. “Curcumin-induced degradation of ErbB2: A role for the

51 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

E3 ubiquitin ligase CHIP and the Michael reaction acceptor activity of curcumin.” Biochim Biophys Acta 2007; 1773(3):383-90. Hong RL, Spohn WH, Hung MC. “Curcumin inhibits tyrosine kinase activity of p185neu and also depletes p185neu.” Clin Cancer Res 1999; 5(7):1884-91. Aggarwal S, Ichikawa H, Takada Y, Sandur SK, Shishodia S, Aggarwal BB. “Curcumin (diferuloylmethane) downregulates expression of cell proliferation and antiapoptotic and metastatic gene products through suppression of IkappaBalpha kinase and Akt activation.” Mol Pharmacol 2006; 69(1):195-206. Gururaj AE, Belakavadi M, Venkatesh DA, Marme D, Salimath BP. “Molecular mechanisms of antiangiogenic effect of curcumin.” Biochem Biophys Res Commun 2002; 297(4):934-42. Arbiser JL, Klauber N, Rohan R, et al. “Curcumin is an in vivo inhibitor of angiogenesis.” Mol Med 1998; 4(6):376-83. Singh S, Aggarwal BB. “Activation of transcription factor NFkappaB is suppressed by curcumin (diferuloylmethane).” J Biol Chem 1995; 270(42):24995-5000. Bharti AC, Takada Y, Aggarwal BB. “Curcumin (diferuloylmethane) inhibits receptor activator of NFkappaB ligand-induced NFkappaB activation in osteoclast precursors and suppresses osteoclastogenesis.” J Immunol 2004; 172(10):5940-7. Mohan R, Chintala SK, Jung JC, et al. “Matrix metalloproteinase gelatinase B (MMP-9) coordinates and effects epithelial regeneration.” J Biol Chem 2002; 277(3):2065-72. Mukhopadhyay A, Banerjee S, Stafford LJ, Xia C, Liu M, Aggarwal BB. “Curcumin-induced suppression of cell proliferation correlates with downregulation of cyclin D1 expression and CDK4mediated retinoblastoma protein phosphorylation.” Oncogene 2002; 21(57):8852-61. Okamoto M, Lee C, Oyasu R. “Interleukin-6 as a paracrine and autocrine growth factor in human

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

prostatic carcinoma cells in vitro.” Cancer Res 1997; 57(1):141-6. Giri D, Ozen M, Ittmann M. “Interleukin-6 is an autocrine growth factor in human prostate cancer.” Am J Pathol 2001; 159(6):2159-65. Cho JW, Lee KS, Kim CW. “Curcumin attenuates the expression of IL-1beta, IL-6 and TNFalpha as well as cyclin E in TNFalpha-treated HaCaT cells; NFkappaB and MAPKs as potential upstream targets.” Int J Mol Med 2007; 19(3):469-74. Bharti AC, Donato N, Aggarwal BB. “Curcumin (diferuloylmethane) inhibits constitutive and IL-6inducible STAT3 phosphorylation in human multiple myeloma cells.” J Immunol 2003; 171(7):3863-71. Skommer J, Wlodkowic D, Pelkonen J. “Gene-expression profiling during curcumininduced apoptosis reveals downregulation of CXCR4.” Exp Hematol 2007; 35(1):84-95. Aggarwal S, Ichikawa H, Takada Y, Sandur SK, Shishodia S, Aggarwal BB. “Curcumin (diferuloylmethane) downregulates expression of cell proliferation and antiapoptotic and metastatic gene products through suppression of IkappaBalpha kinase and Akt activation.” Mol Pharmacol 2006; 69(1):195-206. Catz SD, Johnson JL. “Transcriptional regulation of bcl-2 by nuclear factor kappaB and its significance in prostate cancer.” Oncogene 2001; 20(50):7342-51. Herrmann JL, Briones F Jr, Brisbay S, Logothetis CJ and McDonnell TJ. “Prostate carcinoma cell death resulting from inhibition of proteasome activity is independent of functional Bcl-2 and p53.” Oncogene 1998; 17(22):2889-99. Shishodia S, Amin HM, Lai R, Aggarwal BB. “Curcumin (diferuloylmethane) inhibits constitutive NFkappaB activation, induces G1/S arrest, suppresses proliferation, and induces apoptosis in mantle cell lymphoma.” Biochem Pharmacol 2005; 70(5):700-13. Aggarwal BB, Takada Y, Oommen OV. From chemoprevention to chemotherapy: common targets

52 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


26.

27.

28.

29.

30.

31.

32.

33.

34. 35.

36.

and common goals. Expert Opin Investig Drugs 2004; 13:1327-38. Abbruzzese JL and Lippman SM. “The convergence of cancer prevention.”Cancer Cell . 2004;6(4):321-6 Benedettini E, Nguyen P, Loda M. “The pathogenesis of prostate cancer: from molecular to metabolic alterations.” Diagnostic histopathology. 2008;14(5):195201. Ravindranath,V. Chandrasekhara, N. “Absorption and tissue distribution of curcumin in rats.” Toxicology 1980, 16(3), 259-265. Antoinette SP, Ruth F, Karen W. "The emerging roles of DNA methylation in the clinical management of prostate cancer.” Endocr Relat Cancer 2006, 15, 357-377. Ravindranath,V. Chandrasekhara, N. “In vitro studies on the intestinal absorption of curcumin in rats.” Toxicology 1981, 20(2-3), 251-257 Lin J, Adam RM, Santiestevan E and Freeman MR. “The phosphatidylinositol 3'-kinase pathway is a dominant growth factor-activated cell survival pathway in LNCaP human prostate carcinoma cells.” Cancer Res 1999; 59(12):2891-7. Yallapu MM, Khan S, Maher DM, Ebeling MC, Sundram V, Chauhan N, et al. “Anti-cancer activity of curcumin loaded nanoparticles in prostate cancer.” Biomaterials. 2014;35(30):8635-48. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO).Turmeric: Post-Production Management for Improved Market Access for Herbs and SpicesTurmeric: Rome, Italy,2003. “Spices Board of India.” Indian Spices. 2011. 24 Maret 2014. http://www.indianspices.com/ Rajesh E, Sankari LS, Malathi L, Krupaa JR. “Naturally occurring products in cancer therapy.” Journal of pharmacy & bioallied sciences. 2015;(7):S181-3 Nakamura K, et al. “Curcumin downregulates AR gene expression and activation in prostate cancer

37.

38.

39.

40.

41.

42.

43.

44.

45.

46.

cell lines.” Int J Oncol 2002; 21(4):825-30. Zhang HN, Yu CX, Zhang PJ. “Curcumin downregulates homeobox gene NKX3.1 in prostate cancer cell LNCaP.” Acta Pharmacol Sin 2007; 28(3):423-30. Ohtsu H, et al. “Antitumor agents 217. “Curcumin analogues as novel androgen receptor antagonists with potential as anti-prostate cancer agents.” J Med Chem 2002; 45(23):5037-42. Chen CD, Sawyers CL. “NFkappaB activates prostate-specific antigen expression and is upregulated in androgen-independent prostate cancer.” Mol Cell Biol 2002; 22(8):2862-70. T Yang L, Zhang LY, Chen WW, et al. “Inhibition of the expression of prostate specific antigen by curcumin.” Yao Xue Xue Bao 2005; 40(9):800-3. Dorai T, Gehani N, Katz A. “Therapeutic potential of curcumin in human prostate cancer-I. curcumin induces apoptosis in both androgen-dependent and androgen-independent prostate cancer cells.” Prostate Cancer Prostatic Dis 2000; 3(2):84-93. Tillotson JK, RD. “Densitydependent regulation of epidermal growth factor receptor expression in DU 145 human prostate cancer cells.” Prostate 1991; 19(1):53-61. Korutla L, Cheung JY, Mendelsohn J, Kumar R. “Inhibition of ligandinduced activation of epidermal growth factor receptor tyrosine phosphorylation by curcumin.” Carcinogenesis 1995; 16(8):17415. Jung Y, Xu W, Kim H, Ha N, Neckers L. “Curcumin-induced degradation of ErbB2: A role for the E3 ubiquitin ligase CHIP and the Michael reaction acceptor activity of curcumin.” Biochim Biophys Acta 2007; 1773(3):383-90. Hong RL, Spohn WH, Hung MC. “Curcumin inhibits tyrosine kinase activity of p185neuand also depletes p185neu.”Clin Cancer Res.5:7(1999):1884-91. Gururaj AE, Belakavadi M, Venkatesh DA, Marme D, Salimath

53 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


BP. “Molecular mechanismsof antiangiogenic effect of curcumin.”Biochem Biophys Res Commun. 297:4(2002):934-42. 47. Arbiser JL, Klauber N, Rohan R, et al. “Curcumin is an in vivo inhibitor of angiogenesis.” Mol Med. 4:6(1998): 376-83. 48. Catz SD, Johnson JL. “Transcriptional regulation of bcl-2 by nuclear factor kappaB and its significance in prostate cancer.”Oncogene. 20:50(2001):7342-51. 49. Hatziapostolou M, Polytarchou C, Katsoris P, Courty J, Papadimitriou E. “Heparin affinregulatory peptide/pleiotrophin mediates fibroblast growth factor 2 stimulatory effects on human prostate cancer cells.”J Biol Chem. 281:43(2006): 32217-26. 50. Mohan R, Chintala SK, Jung JC, et al. “Matrix metalloproteinase gelatinase B (MMP-9) coordinates and effects epithelial regeneration.”J Biol Chem.277:3(2002):2065-72. 51. Okamoto M, Lee C, Oyasu R. “Interleukin-6 as a paracrine and autocrine growth factor in human prostatic carcinoma cells in vitro.”Cancer Res.57:1(1997):1416. 52. Giri D, Ozen M, Ittmann M. “Interleukin-6 is an autocrine growth factor in human prostate cancer.” Am J Pathol. 159:6(2001):2159-65. 53. Cho JW, Lee KS, Kim CW. “Curcumin attenuates the expression of IL-1beta, IL-6 and TNFalpha as well as cyclin E in TNFalpha-treated HaCaT cells; NFkappaB and MAPKs as potential upstream targets.”Int J Mol Med. 19:3(2007): 469-74. 54. Taichman RS, Cooper C, Keller ET, Pienta KJ, Taichman NS and McCauley LK. “Use of the stromal cell-derived factor-1/CXCR4 pathway in prostate cancer metastasis to bone.”Cancer Res.62:6(2002): 1832-7. 55. Skommer J, Wlodkowic D, Pelkonen J. “Gene-expression profiling during curcumin induced apoptosis reveals downregulation

56.

57.

58.

59.

60.

61.

62.

63.

of CXCR4.”Exp Hematol.35:1(2007):84-95. Davies MA, Koul D, Dhesi H, et al. “Regulation of Akt/PKB activity, cellular growth and apoptosis in prostate carcinoma cells by MMAC/PTEN.”Cancer Res. 59:11(1999):2551-6. Mukhopadhyay A, Banerjee S, Stafford LJ, Xia C, Liu M, Aggarwal BB. “Curcumin-induced suppression of cell proliferation correlates with downregulation of cyclin D1 expression and CDK4mediated retinoblastoma protein phosphorylation.” Oncogene. 21:57(2002):8852-61. Aggarwal S, Ichikawa H, Takada Y, Sandur SK, Shishodia S, Aggarwal BB. “Curcumin (diferuloylmethane) downregulates expression of cell proliferation and antiapoptotic and metastatic gene products through suppression of IkappaBalpha kinase and Akt activation.” Mol Pharmacol. 69:1(2006): 195-206. Catz SD, Johnson JL. “Transcriptional regulation of bcl-2 by nuclear factor kappaB and its significance in prostate cancer.”Oncogene. 20:50(2001):7342-51. Herrmann JL, Briones F Jr, Brisbay S, Logothetis CJ and McDonnell TJ. “Prostate carcinoma cell death resulting from inhibition of proteasome activity is independent of functional Bcl-2 and p53.”Oncogene 17:32(1999): 288999. Lessard L, Begin LR, Gleave ME, Mes-Masson AM, Saad F. “Nuclear localisation of nuclear factorkappaB transcription factors in prostate cancer: an immunohistochemical study.”Br J Cancer. 93:9(2005):1019-23. Huang S, Pettaway CA, Uehara H, Bucana CD and Fidler IJ. “Blockade of NFkappaB activity in human prostate cancer cells is associated with suppression of angiogenesis, invasion and metastasis.”Oncogene. 20:31(2001):4188-97. Singh S, Aggarwal BB. “Activation of transcription factor NFkappaB is suppressed by curcumin

54 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


64.

65.

66.

67.

68.

69.

70.

71.

72.

73.

(diferuloylmethane) [corrected].”J Biol Chem. 270:42(1995):249955000. Bharti AC, Takada Y, Aggarwal BB. “Curcumin (diferuloylmethane) inhibits receptor activator of NFkappaB ligand-induced NFkappaB activation in osteoclast precursors and suppresses osteoclastogenesis.”J Immunol. 172:1(2004):5940-7. Wahlstrom, B. ;; Blennow, G. “A study on the fate of curcumin in the rat. Acta Pharmacol.”Toxicol. (Copenh). 43:2(1978): 86-92. Ravindranath V, Chandrasekhara N. “Absorption and tissue distribution of curcumin in rats.”Toxicology. 16:3(1980): 259265. Kumar TR, Soppimath K, Nachaegari SK.”Novel delivery technologies for protein and peptide therapeutics. Current pharmaceutical.” Biotechnology. 7:4(2006):261-76. Bjork E, Isakkson U, Edman P, Artursson P. “Starch microspheres induce pulsatile delivery of drugs and peptides across the epithelial barrier by reversible separation of the tight junctions.”J Drug Target. 2:6(1995): 501-507. Florence AT, Hussain, N. “Transcytosis of nanoparticle and dendrimer delivery systems: evolving vistas.”Adv Drug Deliv Rev. 50 Suppl 1(2001): S69-89. Schipper N, Olsson S, Hoogstrate J, de Boer A, Varum K, Artursson P. “Chitosans as absorption enhancers for poorly absorbable drugs. 3: Influence of mucus on absorption enhancement.”Eur J Pharm Sci. 8:4(1999): 335-43. Lehr C, Bowstra J, Tukker J, Junginer H. “Intestinal transit of bioadhesive microspheres in an in situ loop in the rat.”J Control Release.13(1999): 51-62. Jani P, Halbert GW, Langridge J, Florence AT. “The uptake and translocation of latex nanospheres and microspheres after oral administration to rats.”J Pharm Pharmacol.41:12(1989): 809-12. Parkin DM, Bray F, Ferlay J, Pisani P. “Global cancer statistics,

74. 75.

76.

77.

78.

79.

80.

81.

82.

2002.”CA Cancer J Clin. 55:2(2005): 74-108 Gronberg H. “Prostate cancer epidemiology.”Lancet. 361:9360(2003): 859-864 Whittemore AS, Kolonel LN, Wu AH, John EM, Gallagher RP, Howe GR, Burch JD, Hankin J, Dreon DM, West DW et al. “Prostate cancer in relation to diet, physical activity and body size in blacks, whites and Asians in the United States and Canada.”J Natl Cancer Inst. 87:9(1995): 652-661 Craft N, Chhor C, Tran C, et al. “Evidence for clonal outgrowth of androgen-independent prostate cancer cells from androgendependent tumors through a twopstep process.”Cancer Res. 59:18(1999): 5030-6 Raffo AJ, Perlman H, Chen MW, Day ML, Stretman JS, Buttyan R. “Overexpression of bcl-2 protects prostate cancer cells from apoptosis in vitro and confers resistance to androgen depletion in vivo.”Cancer Res. 55:19(1995): 4438-45 Shah RB, Ghosh D, Elder JT. “Epidermal growth factor receptor (ErbB1) expression in prostate cancer progression: correlation with androgen independence.”Prostate.66:13(200 6): 1437-44 Wang X, Jones TD, Zhang S, et al. “Amplifications of EGFR gene and protein expression of EGFR, Her2/neu, c-kit and androgen receptor in phyllodes tumor of the prostate.”Mod Pathol. 20:2(2007): 175-82 Fu M, Wang C, Li Z, Sakamaki T and Pestell RG. “Minireview;; Cyclin D1: normal and abnormal functions.”Endocrinology. 145:12(2004):5439-47 Liu XH, Yao S, Kirschenbaum A and Levine AC.“NS398, a selective cyclooxygenase-2 inhibitor, induces apoptosis and downregulates bvl-2 expression in LNCaP cells.”Cancer Res. 58(19)1998:4245-9 Catlett-Falcone R, Landowski TH, Oshiro MM, Turkson J, Levitzki A, Savino R, et al. “Constitutive activation of Stat3 signaling confers

55 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


resistance to apoptosis in human U266 myeloma cells.”Immunity.10:1(1999): 105-15. 83. Iversen T, Skotland T, Sandig K. “Endocytosis and intracellular transport of nanoparticles: present knowledge and need for future studies.”Nanotoday. 6(2011):17685 84. Mo L, Hou L. Guo D. Xiao X, Mao P. Yang X. “Preparation and characterization of teniposide PLGA nanoparticles and their uptake in human glioblastoma U87MG cells.”Int J Pharm. 436:12(2012): 815-24. 85. Mukerjee A, Vishwanatha JK. “Formulation, characterization and evaluation of curcumin-loaded

PLGA nanospheres for cancer therapy.”Anticancer Res.29:10(2009):3867-75 86. Sundram V, Chauhan S(1)C, Ebeling M, Jaggi M. “Curcumin attenuates betacatenin signaling in prostate cancer cells through activation of protein kinase D1.”PloS One. 7:4(2012):e35368 87. Aoki H, Takada Y, Kondo S, Sawaya R, Aggarwal BB, Kondo Y. “Evidence tat curcumin suppresses the growth of malignant gliomas in vitro and in vivo through induction of autophagy: role of Akt and extracellular signal-regulated kinase signaling pathways.”Mol Pharmacol. 72:1(2007):29-39

56 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


Artikel Penyegar

PERAN KONSUMSI AIR MINERAL PADA OBESITAS ANAK 1

Ferry Liwang, Zharifah Fauziyyah Nafisah

1

1

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Obesitas merupakan penyakit yang ditandai dengan akumulasi lemak [1] yang berlebihan dalam tubuh. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa angka penderita overweight dan obesitas telah meningkat menjadi dua kali lipat pada 2014 dibandingkan 1980. Lebih dari 1,9 milar penduduk dunia berusia lebih dari 18 tahun mengalami overweight, dengan 600 juta diantaranya mengalami obesitas. Selain itu, kematian akibat obesitas pada beberapa negara lebih tinggi daripada gizi buruk. Data WHO tahun 2015 menunjukkan persentase obesitas di Indonesia 0-6%, dengan 1,3% laki-laki usia lebih dari 20 tahun dan 4,5% perempuan berusia lebih dari 20 [2] tahun. Selain itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan peningkatan angka obesitas di Indonesia, yaitu 7,8% pada 2010 [3] menjadi 19,7% pada 2013. Obesitas tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja, kasus obesitas pada anak semakin banyak ditemui. Menurut data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), obesitas pada anak meningkat dua kali lipat dalam 30 tahun terakhir. Diperkirakan satu dari tiga anak di dunia pada tahun 2012 mengalami overweight atau [4] obesitas. Usfar, et al pada tahun 2007 menunjukkan angka anak obesitas di Indonesia, yakni 12% anak usia di bawah 5 tahun, 6% anak usia 6-14 tahun, dan 19% pada anak usia lebih [5] dari 15 tahun. Berbagai penelitian menunjukkan obesitas pada anak dapat mengalami masalah kesehatan serius, seperti komplikasi ortopedis (kelainan pertumbuhan tulang, nyeri sendi dan tulang), masalah psikologis (kecenderungan menutup diri, depresi, mengalami kekerasan dan bunuh diri), dan penyakit degeneratif. Selain itu, kualitas hidup anak dengan obesitas menurun hingga setara dengan anak penderita kanker. Diperkirakan 9 juta

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

anak overweight dengan 4.5 juta diantaranya berisiko tinggi untuk diabetes mellitus (DM) tipe II, kelainan jantung, kanker, asma, dan penyakit [6] kronik lainnya. Farmakoterapi dalam obesitas adalah sibutramin dan orlistat. Akan tetapi, berbahaya pada anak di bawah 12 tahun sehingga penggunaannya tidak disetujui oleh U.S. Foods and [7] Drugs Administration (FDA). Demikian juga tata laksana non-farmakoterapi, yaitu Roux-en-Y gastric bypass (RYGB) dan laparoscopic adjustable gastric banding (LAGB). Kedua pembedahan tersebut menurunkan indeks massa tubuh (IMT) secara signifikan (RYGB: 2 17,8 hingga -22,3 kg/m , LAGB: -13,7 2 hingga -10,6 kg/m ; IK 95%), tetapi komplikasi yang ditimbulkan sangat berbahaya. RYGB dapat menimbulkan emboli paru, syok, obstruksi intestinal, perdarahan, malnutrisi berat, sedangkan LAGB dapat menimbulkan komplikasi berupa defisiensi mikronutrien, hernia [8] hiatal, dan lain sebagainya. Dengan demikian, belum ada penatalaksanaan yang tepat pada obesitas anak. Penyebab utama malnutrisi adalah ketidakseimbangan energi yang [4] dikonsumsi dan dikeluarkan. Asupan energi berlebih diakibatkan oleh makanan dengan pemanis atau gula [9] dan tinggi lemak. Salah satu cara menjaga energi yang dikonsumsi adalah dengan konsumsi air mineral. Penelitian di Inggris menunjukkan konsumsi air mineral dan minuman lain pada anak usia 4-10 tahun: 276 mL/hari dan 620 mL/hari; anak usia 11-18 tahun: 453 [10] mL/hari dan 680 mL/hari. Selain itu, studi di Eropa mengungkapkan satu dari tiga anak usia 4-8 tahun dan 50% anak usia 9-13 tahun tidak mengonsumsi air [11] mineral secara adekuat. Beauchamp, et al menunjukkan bayi yang diberikan minuman pemanis semenjak lahir akan lebih memilih minuman dan makanan manis saat berumur 6 bulan dibandingkan dengan bayi yang hanya

57


diberikan air mineral semenjak [12] kelahiran. Penelitian Silveira, et al juga menunjukkan pemberian minuman pemanis pada bayi meningkatkan berat badan 2,5 kali lipat dibandingkan dengan bayi yang diberikan ASI [13] eksklusif. Akibatnya, bayi akan cenderung mengalami obesitas akibat energi yang dikonsumsi berlebihan. Hal ini menunjukkan gaya hidup seseorang dapat diubah sejak kecil dengan memodifikasi preferensinya terhadap makanan yang tidak mengandung pemanis. Oleh karena itu, salah satu tata laksana anak overweight maupun obesitas yang dianjurkan adalah pengurangan konsumsi minuman manis [12] dan peningkatan konsumsi air. Pentingnya Air Mineral Bagi Kesehatan Air merupakan komponen utama bagi organ vital. Saat lahir, sekitar 7585% berat badan adalah air. Proporsi tersebut semakin berkurang seiring bertambahnya usia sehingga komposisi air dalam tubuh menjadi 60-70% pada orang dewasa dan 45-55% pada [14] obesitas (Gambar 1). Air mineral atau air yang dikonsumsi sehari-hari berperan penting dalam proses fisiologis, seperti sistem sirkulasi, air bertindak sebagai medium transpor dari nutrisi dan substansi [14] lainnya. Oleh karena fungsi air yang sangat penting dalam tubuh dan untuk mengganti air yang hilang saat ekskresi, maka diperlukan air sebanyak 35 ml/kgBB pada orang dewasa dan 50-60 ml/kgBB pada anak atau diperkirakan kandungan air dalam makanan, 3,7 L untuk laki-laki dan 2,7 L untuk perempuan dewasa, tergantung berat

Gambar 1. Distribusi komposisi air [11] dalam tubuh. JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

badan. Bahkan, bayi memerlukan lebih banyak air (600-700 mL) akibat kapasitas ginjal yang masih rendah, persentase komposisi air dalam tubuh, dan luas permukaan tubuh per berat [14,15] badan yang besar. Air berfungsi sebagai termoregulator. Air akan hilang dari tubuh sebanyak 0,3 L/jam pada keadaan sedenter, 2,5-3 L/jam pada aktivitas normal, bahkan 6 L/jam pada [15] aktivitas dan suhu ekstrim. Ketika tidak diseimbangkan dengan asupan air yang cukup, maka terjadi hipohidrasi yang mempengaruhi sistem sirkulasi dan sistem lainnya dengan gejala ringan, seperti pusing, sulit konsentrasi, dan lainnya, hingga gejala berat, seperti sinkope. Kondisi tersebut juga sering terjadi pada saat bekerja pada ruangan dengan air conditioner (AC) yang mengganggu osmoreseptor sehingga rasa haus akan lebih jarang dan menghasilkan kondisi dehidrasi. Modifikasi Gaya Hidup pada Obesitas: Peran Air Mineral Modifikasi gaya hidup adalah hal terpenting dalam penatalaksanaan obesitas. Konsep 4 sehat 5 sempurna telah diganti oleh Departemen Kesehatan sejak tahun 1995. Konsep baru dengan mengadaptasi dari Amerika disebut dengan Tumpeng Gizi Seimbang 2014 (Gambar 2). Hal terpenting dari tumpeng tersebut adalah air putih sebanyak 8 gelas, aktivitas fisik, dan menjaga kebersihan. Kemudian pada mulai dari bagian bawah tumpeng adalah karbohidrat, sayur dan buah, protein, dan pembatasan 4 sendok gula, 1 sendok [16] teh garam, 6 sendok makan minyak.

Gambar 2. Tumpeng gizi seimbang [13] 2014. 58


Obesitas disebabkan oleh multifaktor. Nasi putih, sebagai makanan pokok Indonesia, dikonsumsi berlebihan pada anak dan remaja sehingga setiap harinya konsumsi kalori [17] berlebih. Primacakti et al menunjukkan kalori yang dikonsumsi remaja non-obesitas 1.266,7 kcal/hari, sedangkan pada obesitas mencapai 1.695,7 kcal/hari. Selain itu, pada remaja non-obesitas, aktivitas fisik tingkat sedang-berat hanya 26,4 menit dan waktu menonton televisi adalah 1,8 [18] jam per hari. Guelinckx et al melakukan studi jumlah minuman yang dikonsumsi anak [19] dan remaja pada beberapa negara. Remaja berusia 10-17 tahun mengonsumsi sekitar 200 mL minuman ringan setiap harinya atau setara dengan 78 kalori. Studi yang dilakukan di Belanda dengan mengikuti selama 18 bulan, terdapat 7,37 kg pertambahan berat badan pada kelompok anak yang mengonsumsi minuman dengan gula, sedangkan hanya 6,35 kg pada [20] kelompok anak minuman bebas gula. Konsumsi air mineral berpengaruh pada jumlah asupan energi. Beberapa studi menunjukkan konsumsi air mineral pada anak dan remaja selama 30-60 menit sebelum makan dan tepat sebelum makan

menujukkan penurunan asupan energi [21] (ΔTEIwa) = −5.0% (Gambar 3). Penggantian air mineral dengan minuman lainnya meningkatkan asupan energi, seperti jus (ΔTEIwa=14,4%), susu [20] (ΔTEIwa=1,.2%) , minuman mengandung sukrosa dan high fructose [22] corn syrup (HFCS) (ΔTEIwa=8%) , dan minuman mengandung glukosa dan [23] fruktosa (ΔTEIwa=19,3%). Dennis et al melakukan intervensi 0,5 L air setiap sebelum makan dan setelah 12 minggu terlihat penurunan berat badan 5,4 kg yang signifikan dibandingkan kelompok kontrol [24] (Gambar 4a). Akers et al juga melakukan studi intervensi 16 fl os (± 473,176 mL) pada subjek yang telah melakukan program penurunan berat [25] badan. Selama 12 bulan, terdapat 87% penurunan berat badan yang lebih besar dibandingkan kelompok kontrol (Gambar 4b).

Gambar 4. Perbandingan penurunan berat badan pada kelompok intervensi [24] [25] (a) 12 minggu dan (b) 12 bulan.

Gambar 3. Penurunan asupan energi pada konsumsi air mineral sebelum [21] makan (b) dan saat makan (w).

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

Konsumsi air mineral 500 mL setiap sebelum makan terbukti signifikan menurunkan asupan energi dan berat badan. Oleh karena itu, pada anak dengan obesitas primer (nutrisional), penting meningkatkan konsumsi air mineral yang diimbangi dengan diet gizi seimbang dan aktivitas fisik. Kemudian, diperlukan penelitian penurunan berat badan akibat konsumsi air mineral pada anak dengan obesitas di Indonesia.

59


DAFTAR PUSTAKA 1. “Overweight and obesity.” International Classification of Diseases. 2015. ICD10Data. 29 September 2015. <http://www.icd10data.com/ICD10C M/Codes/E00-E89/E65-E68/E66-> 2. Obesity and overweight. World Health Organization. Januari 2015. 29 September 2015. <http://www.who.int/mediacentre/fa ctsheets/fs311/en/> 3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Kemenkes, 2013. 4. Childhood obesity facts. Centers for Disease Control and Prevention. Agustus 2015. 29 September 2015. <http://www.cdc.gov/healthyschools /obesity/facts.htm> 5. Usfar, Avita, et al. “Obesity as a poverty-related emerging nutrition problems: the case of Indonesia.” Obesity Reviews. 11:12(2010):924928 6. Wieting, Michael. “Cause and effect in childhood obesity: solutions for a national epidemic.” The Journal of the American Osteopathic Association. 2008;108:(2008):545552 7. Whitlock, Evelyn, et al. “Effectiveness of weight management programs in children and adolescents.” Evidence Reports/Technology Assessment. 170:(2008):1-308. 8. Treadwell, Jonathan, Sun, Fang, dan Schoelles, Karen. “Systematic review and meta-analysis of bariatric surgery for pediatric obesity.” Annals of Surgery. 248:5(2008):763–776 9. Rudolf, Mary. Tackling obesity through the healthy child programme: a framework for action. Inggris: University of Leeds, 2009. 10. Bates, Beverley, editor, et al. National Diet and Nutrition Survey Headline Results from Years 1, 2, and 3 (combined) of Rolling Programme (2008/2009 – 2010/11). London: Department of Health and the Food Standards Agency, 2012. 11. European Food Standards Agency. “Scientific Opinion on Dietary

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

Reference Values for Water.” EFSA Journal. 8:3(2010):1459. Beauchamp, Gary, dan Moran, Marianne. “Dietary experience and sweet taste preference in human infants.” Appetite. 3:2(1982):139152. Silveira, Jonas, et al. “The role of exclusive breastfeeding and sugarsweetened beverage consumption on preschool children's weight gain.” Pediatric Obesity. 10:2(2015):91-97. Mahan, L Kathleen, dan EscottStump, Sylvia. Krause’s Food & nutrition therapy. Canada: Saunders Elsevier, 2008. Popkin, Barry M, D’Anci, Kristen E, dan Rosenberg, Irwin H. “Water, hydration, and health.” Nutrition Reviews. 68:8(2010):439-458. Pedoman gizi seimbang 2014. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. 29 September 2015. <http://gizi.depkes.go.id/pgs2014-2> Luo, Hanqi, dan Kennedy, Ellen T. “Rice consumption and selected indikator of dietary and nutritional status among Children and adolescents using National Health and Nutrition Examination Survey 2007-2008.” Nutrition Today. 50:3(2015):142-148. Primacakti, Fitri, Sjarif, Damayanti R, dan Advani, Najib. “Physical activity assessments in obese and non-obese adolescents using the Bouchard diary.” Paediatrica Indonesiana. 54:3(2014):137-143. Guelinckx, Isabelle, et al. “Intake of water and beverages of children and adolescents in 13 countries.” European Journal of Nutrition. 54:(2015):69–79. de Ruyter, Janne C et al. “A trial of sugar-free or sugar-sweetened beverages and body weight in children”. The New England Journal of Medicine. 367:(2012):1397-1406. Daniels, Melissa C, dan Popkin, Barry M. “The impact of water intake on energy intake and weight status: a systematic review.” Nutrition Reviews. 68:9(2010):505– 521. DellaValle, Diane M, Roe, Liane S, dan Rolls, Barbara J. “Does the

60


consumption of caloric and noncaloric beverageswith a meal affect energy intake?” Appetite. 44:(2005):187–193. 23. Akhavan, Tina, dan Anderson, G Harvey. “Effects of glucose-tofructose ratios in solutions on subjective satiety, food intake, and satiety hormones in young men.” American Journal of Clinical Nutrition. 86:(2007):1354–1363 24. Dennis, Elizabeth A, et al. “Water consumption increases weight loss

JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016

during a hypocaloric diet intervention in middle-aged and older adults.” Obesity. 18:(2010):300–307. 25. Akers, Jeremy D, et al. “Daily selfmonitoring of body weight, step count, fruit/vegetable intake, and water consumption: a feasible and effective long-term weight loss maintenance approach.” Journal of Academy Nutrition Dietary. 12:5(2012):685-692.

61


Advertorial

BIFIDOBACTERIUM LACTIS : PROBIOTIK DALAM PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN DIARE AKUT PADA ANAK DI BAWAH USIA LIMA TAHUN 1

1

Tommy , Steven Johanes Adrian , Ivana Beatrice Alberta 1

1

Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta ABSTRAK

Pendahuluan: Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) adalah menurunkan angka kematian anak. Satu orang anak di bawah usia lima tahun meninggal setiap tiga menitnya di Indonesia, dengan diare sebagai penyebab nomor satu menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2015 dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Diare sebenarnya dapat dicegah dan diobati; salah satunya dengan pemberian probiotik pada anak. Bifidobacterium lactis adalah salah satu jenis probiotik yang dapat mencegah dan mengobati diare akut pada anak di bawah usia lima tahun. Hal ini berdasarkan kemampuan Bifidobacterium lactis, seperti memodulasi sistem imun, menginhibisi bakteri patogen, serta memproduksi agen anti-mikroba melalui produksi asam laktat ataupun dengan menginduksi secara langsung maturasi sel-sel imun. Karya tulis ini bertujuan untuk membahas mengenai potensi Bifidobacterium lactis dalam menurunkan angka kematian anak di Indonesia. Diskusi: Bifidobacterium lactis memiliki peran dalam pencegahan diare akut yaitu mengurangi insidensi diare akut. Dalam hal pengobatan, Bifidobacterium lactis mampu mengurangi frekuensi dan durasi diare, serta memberikan efek terapeutik lebih baik dengan kombinasi terapi rehidrasi oral. Bifidobacterium lactis dapat diberikan pada anak di bawah usia lima tahun dengan cara-cara seperti suplementasi susu formula, yogurt, bubuk sachet, kapsul, dan dikombinasikan bersama terapi rehidrasi oral. Kesimpulan: Hasil studi pustaka-telaah sistematis menunjukkan berbagai potensi yang dimiliki Bifidobacterium lactis dalam mencegah diare, yaitu dengan mengurangi replikasi virus (rotavirus) dan meningkatkan respon sel B dalam menghasilkan IgA, sehingga di masa depan dapat dipertimbangkan penggunaan Bifidobacterium lactis sebagai salah satu solusi menurunkan angka kematian anak di bawah usia lima tahun terutama yang disebabkan oleh diare akut. Kata Kunci: Diare akut, balita, pengobatan, pencegahan, Bifidobacterium lactis. ABSTRACT Background: One of the goals of Millenium Development Goals (MDGs) is to decrease child mortality. Every three minutes, one child under five years old died in Indonesia. Diarrhea is the number one cause according to Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2015 and Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Diarrhea can be prevented and treated; one of the ways to treat and prevent diarrhea is by giving probiotics to children. Bifidobacterium lactis is one of the probiotics that can prevent and treat acute diarrhea in children under five years old. It is based on the abilities of Bifidobacterium lactis, such as modulating the immune system, inhibits pathogenic bacteria, as well as producing anti-microbial agents through the production of the lactic acid or directly inducing the maturation of immune cells. This study aims to discuss the potential of Bifidobacterium lactis in reducing child mortality rate in Indonesia. Discussion: Bifidobacterium lactis has role in preventing acute diarrhea and in reducing incidency of acute diarrhea. Bifidobacterium lactis can reduce the frequency and duration of diarrhea. When combined with oral rehydration therapy, the treatment result becomes

62 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


better. Bifidobacterium lactis can be given to children under five years old with various ways, such as infant formula, yoghurt, powder, capsule, and combined with oral rehydration therapy. Conclusion: Bifidobacterium lactis has a lot of potency in preventing and treating diarrhea by reducing the replication of viruses (rotavirus) and also improving the response of B cells to produce IgA. In the future, Bifidobacterium lactis can be considered as one of the solution in reducing child mortality rate in children under five years old, especially those caused by acute diarrhea. Keywords: Acute diarrhea, toddler, treatment, prevention, Bifidobacterium lactis. 1.

PENDAHULUAN Butir keempat dari Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015 menyatakan bahwa salah satu tujuan pembangunan milenium ini adalah menurunkan angka kematian anak. Namun kenyataannya, masih ada satu anak di bawah usia lima tahun (balita) meninggal dunia setiap tiga menit di [1] Indonesia. Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2015 dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada [2,3] bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%). Diare yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan dehidrasi yang berujung pada kematian, terutama pada [4] anak. Salah satu pendekatan yang dalam beberapa tahun terakhir banyak diteliti untuk pencegahan dan pengobatan diare adalah dengan [5] pemberian suplementasi probiotik. Probiotik telah terbukti memberikan manfaat seperti mencegah dan mengobati diare akut, alergi, inflammatory bowel disease, irritable bowel syndrome, dan necrotizing enterocolitis. Salah satu jenis probiotik, yaitu Bifidobacterium lactis memiliki peran dalam mencegah diare akut pada anak dengan berbagai mekanisme seperti modulasi sistem imun, inhibisi bakteri patogen, serta produksi agen [6] anti-mikroba. Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, penulis bertujuan untuk membahas mengenai potensi Bifidobacterium lactis dalam menurunkan angka kematian anak di Indonesia terutama dengan mencegah insidensi dan mengobati diare akut pada anak di bawah usia lima tahun.

2. PEMBAHASAN 2.1 Bifidobacterium lactis Sebagai Probiotik Berdasarkan definisi dari World Health Organization (WHO), probiotik merupakan mikroorganisme hidup dan jika diberikan dalam jumlah yang adekuat dapat memberikan manfaat positif bagi kesehatan manusia. Penggunaan probotik dalam pencegahan dan pengobatan terhadap diare akut pada anak telah banyak menjadi bahan penelitian untuk saat ini. Studi Abou El-Soud, dkk. (2015) melaporkan bahwa terdapat agen probiotik, seperti Lactobacillus rhamnosus dan Bifidobacterium lactis yang terbukti secara kuat dapat memberikan efek pencegahan terhadap diare akut melalui mekanisme langsung ataupun tidak langsung seperti dengan mengurangi gangguan mikrobiota, memodulasi imun, menginhibisi bakteri patogenik, meningkatkan fungsi barrier [6] dan memproduksi agen anti-mikroba. Probiotik juga resisten terhadap asam dari lambung dan empedu sehingga mampu bertahan pada saluran [6] pencernaan. Bifidobacteria merupakan sebuah genus dari bakteri gram-positif, tidak membentuk spora dan banyak ditemukan pada traktus gastrointestinal pada manusia dan hewan. Bifidobacterium lactis merupakan salah satu flora kolon yang dominan pada bayi yang mendapatkan air susu ibu (ASI). Bifidobacterium lactis memiliki kemampuan fermentasi dari berbagai jenis karbohidrat dan dapat menghasilkan asam dan tidak menghasilkan gas. Proses katabolisme heksosa yang dimiliki Bifidobacterium lactis tergolong unik karena menggunakan jalur ‘fructose-6phosphate shunt’ atau ‘bifid pathway’, atau ‘bifid shunt’. Enzim utama dalam

63 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


proses ini adalah fruktosa-6-fosfat fosoketolase yang membelah heksosa fosfat menjadi eritrosa-4-fosfat dan asetil fosfat. Kemudian terbentuk pentosa fosfat dengan enzim transketolase dan transaldolase. Produk akhir dari proses ini adalah 2.5 ATP dari 1 mol glukosa, 1.5 mol asetat, dan 1 mol [7] laktat. Proses anti-mikroba Bifidobacterium lactis dipercaya berasal dari produksi asam dan zat anti-mikroba selain asam organik. Fermentasi karbohidrat oleh bakteri asam laktat menimbulkan akumulasi asam organik sehingga terjadi penurunan pH pada medium. Hasil akhir dari metabolisme Bifidobacterium lactis adalah 2 asam laktat dan 3 asam asetat dari 2 molekul heksosa. Bifidobacterium lactis mampu memproduksi asam laktat dan asetat dengan jumlah lebih banyak daripada [8,9] Lactobacillus. 2.2 Cara Pemberian Bifidobacterium lactis pada Anak di Bawah Usia Lima Tahun Berbagai cara dapat digunakan dalam pemberian Bifidobacterium lactis sebagai probiotik terhadap anak di bawah usia lima tahun, antara lain adalah dengan pemberian susu formula yang disuplementasi dengan Bifidobacterium lactis sebanyak 14.5 x 6 10 CFU (colony forming unit)/100 ml [6] diberikan setiap hari selama 7 hari. Dapat juga diberikan yogurt yang mengandung Bifidobacterium lactis 9 sebanyak 5.9Ă—10 CFU/hari diberikan sebanyak 2 x 100 g tubs setiap hari [10] selama 7 hari. Penggabungan dengan terapi rehidrasi oral juga dapat mengurangi lamanya pengobatan di rumah sakit dan menurunkan durasi diare. Bifidobacterium lactis dapat diberikan dengan susu yang disterilisasi [11] juga. 2.3 Efektivitas dan Efisiensi Bifidobacterium lactis dalam Mencegah dan Mengobati Diare Akut pada Anak di Bawah Usia Lima Tahun Efek preventif dari penggunaan Bifidobacterium lactis telah dibuktikan dalam beberapa penelitian. Studi yang dilakukan di India pada anak usia 2-5 tahun daerah dengan kondisi ekonomi rendah melaporkan bahwa pemberian probiotik seperti Lactobacillus paracasei

dan Bifidobacterium animalis subspesies lactis menurunkan insidensi diare dan demam. Pasien yang mendapatkan Bifidobacterium lactis memiliki insidensi diare paling rendah (13,3%). Insidensi diare secara keseluruhan pada musim hujan mengalami penurunan signifikan pada kelompok dengan pemberian [12] Bifidobacterium lactis (0,8%, p<0,05). Studi lain dengan penggunaan yogurt mengandung probiotik Lactobacillus GG, Lactobacillus acidophilus, dan Bifidobacterium lactis menurunkan insidensi diare akut pada anak. Enam dari 36 orang anak dengan pemberian plasebo mengalami diare berat dibandingkan dengan kelompok probiotik yang tidak mengalami diare berat. Terjadi juga penurunan durasi dan perbaikan konsistensi feses pada [10] pemberian yogurt probiotik. Selain berfungsi dalam pencegahan diare pada anak, Bifidobacterium lactis juga memiliki efek terapeutik. Sebuah Randomized Controlled Trial (RCT) yang dilakukan di Indonesia oleh Dewi, dkk. (2015) menggunakan pemberian sinbiotik, yaitu kombinasi probiotik dan prebiotik. Ratarata durasi diare pada kelompok dengan pemberian sinbiotik adalah 50 jam, sementara pada pemberian plasebo [13] adalah 63 jam. Studi lain dilakukan di Turki menggunakan probiotik Bifidobacterium 10 lactis 5x10 CFU dengan prebiotik inulin 900 mg pada anak usia 2 sampai 60 bulan dengan diare akut. Hasilnya adalah durasi diare berkurang menjadi rata-rata 31 jam. Jumlah feses pada hari ketiga diare juga berkurang secara signifikan jika dibandingkan dengan [14] pemberian plasebo. Sebuah Randomized Controlled Trial double blind di Mesir pada 50 orang anak usia 1-23 bulan dengan diare akut menunjukkan juga bahwa pemberian susu formula yang disuplementasi dengan Bifidobacterium 6 lactis 14,5 x 10 CFU/100ml per hari menurunkan durasi diare (p=0,02), frekuensi diare (p=0,04), dan lama [6] perawatan di rumah sakit (P=0,048). Penelitian yang dilakukan oleh Erdogan, dkk. (2012) membandingkan pemberian 2 jenis probiotik pada gastroenteritis pada anak yang

64 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


disebabkan oleh rotavirus. Pasienpasien diare dibagi menjadi 3 kelompok, yang pertama mendapatkan terapi rehidrasi oral dan 282,5 mg/hari Saccharomyces boulardii. Kelompok kedua mendapatkan terapi rehidrasi oral dan 30mg/hari Bifidobacterium lactis. Kelompok ketiga mendapatkan hanya terapi rehidrasi oral. Durasi diare pada kelompok kedua dengan Bifidobacterium lactis lebih singkat dibanding kelompok lainnya (p<0,001). Dengan demikian, pemberian terapi rehidrasi oral dengan tambahan probiotik terbukti lebih baik dibandingkan dengan pemberian terapi [15] rehidrasi oral saja. 3.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil telaah sistematis, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak potensi yang dimiliki oleh Bifidobacterium lactis dalam mencegah dan mengobati diare akut pada anak di bawah usia lima tahun. Artikel ilmiah yang ditelaah menunjukkan potensi seperti: mengurangi gangguan mikrobiota, memodulasi sistem imun manusia, menginhibisi bakteri patogenik, meningkatkan fungsi barrier, dan memproduksi agen anti-mikroba. Pemberian dari Bifidobacterium lactis sendiri cenderung mudah, karena dapat dikombinasikan dengan pemberian rehidrasi oral, melalui susu formula, susu steril, yogurt, bubuk sachet, dan dalam bentuk kapsul. SARAN Perlu dilakukan percobaan dan kajian lebih lanjut untuk pemanfaatan secara langsung probiotik ini terhadap diare akut pada anak di bawah usia lima tahun di Indonesia. Hal ini mengingat bahwa kebanyakan artikel ilmiah yang didapatkan bukan berasal dari negara Indonesia. Keterbatasan inilah yang menjadi penyulit peneliti mengenai potensi lebih lanjut dalam penggunaan Bifidobacterium lactis untuk pencegahan dan pengobatan diare akut pada anak usia di bawah usia lima tahun di Indonesia. Selain itu juga diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi Bifidobacterium lactis dalam mencegah dan mengobati diare akut pada anak di

bawah usia lima tahun, terutama yang dilakukan di Indonesia. 4.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan terhadap semua pihak yang terlibat dalam pembuatan karya tulis ini, terutama terhadap dr. Nurul Itqiyah Hariadi, FAAP, Unit Pendidikan Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta selaku pembimbing dalam pembuatan karya tulis ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak. UNICEF Indonesia. 2012. 5 September 2015. <http://www.unicef.org/indonesia/id/ A5__B_Ringkasan_Kajian_Kesehatan_ REV.pdf> 2. United Nations Millennium Development Goals. Millennium Development Goals and Beyond. 2015. 5 September 2015. <http://www.un.org/millenniumgoals /bkgd.shtml> 3. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. 4 September 2015. <http://www.depkes.go.id/folder/vie w/01/structure-publikasi-pusdatinprofil-kesehatan.html> 4. Loscalzo, et al., "Harrison’s Principles of Internal Medicine". Diarrhea and Constipation : Introduction. Editor Joseph A. Murray. New York: McGraw-Hill Medical, 2012. 650-1 5. Sanders ME. "Probiotics: Definition, Sources, Selection, and Uses." Clinical Infectious Diseases 46(2008): 58–61. 6. Helmy N, El-Soud A, Said RN. "Bifidobacterium lactis in Treatment of Children with Acute Diarrhea. A Randomized Double Blind Controlled Trial." Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences. (2015). 7 September

65 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016


2015. <http://www.mjms.mk/Online/OAMJ MS_OnlineFirst/oamjms.2015.088v. pdf> 7. Pokusaeva K, Fitzgerald GF, van Sinderen D. "Carbohydrate Metabolism in Bifidobacteria." Genes & Nutrition 6:3(2011): 285– 306. 8. Mayo B, Sinderen D van. "Bifidobacteria: Genomics and Molecular Aspects." Horizon Scientific Press (2010): 276. 9. Jungersen M, et al., "The Science behind the Probiotic Strain Bifidobacterium animalis subsp. lactis BB-12®." Microorganisms 2:2(2014): 92–110. 10. Fox MJ, et al., "Can Probiotic Yogurt Prevent Diarrhoea in Children on Antibiotics? A DoubleBlind, Randomised, PlaceboControlled Study." BMJ Open 5:1(2015): e006474. 11. Chattha KS, et al., "Probiotics and Colostrum/Milk Differentially Affect Neonatal Humoral Immune Responses to Oral Rotavirus Vaccine." Vaccine 31:15(2013): 1916–23. 12. Hemalatha R, et al., "A Communitybased Randomized Double Blind

Controlled Trial of Lactobacillus paracasei and Bifidobacterium lactis on Reducing Risk for Diarrhea and Fever in Preschool Children in an Urban Slum in India." European Journal of Food Research & Review 4:4(2014): 325–41. 13. Dewi MR, Soenarto Y, Karyana IPG. "Efficacy of Synbiotic Treatment in Children with Acute Rotavirus Diarrhea." Paediatrica Indonesiana. (2015). 7 September 2015. <http://paediatricaindonesiana.org/p dffile/55-2-3.pdf> 14. İşlek A, et al., "The Role of Bifidobacterium lactis B94 plus Inulin in the Treatment of Acute Infectious Diarrhea in Children." Turkish Journal of Gastroenterology 25:6(2014): 628–33. 15. Erdo, et al., The "Comparition of the Efficacy of Two Different Probiotics in Rotavirus Gastroenteritis in Children." Journal of Tropical Medicine (2012): e787240.

66 JIMKI Volume 4 No.1 | Januari – Juni 2016



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.