BIMFI vol 4 no 1

Page 1



SUSUNAN PENGURUS PENASIHAT

Dr. Ag. Yuswanto, SU., Apt. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

PENANGGUNG JAWAB ISMAFARSI

PIMPINAN UMUM Ziana Walidah Universitas Gadjah Mada

PIMPINAN REDAKSI

Lodyta Nawang Tika Universitas Gadjah Mada

SEKRETARIS-BENDAHARA I Aida Fathia

Universitas Gadjah Mada

SEKRETARIS-BENDAHARA II Fauziah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

MITRA BESTARI

Prof. Elly Wahyudin, DEA., Apt. Fakultas Farmasi Universitas Hassanudin

Dr. Abdul Mun’im, M.Si., Apt. Fakultas Farmasi Universitas Indonesia

Karima Afandi Universitas Gadjah Mada Citra Utami Universitas Hassanudin

Fitri Arum Sari Universitas Indonesia

Ujang Pramana Institut Teknologi Bandung Jaya Sukmana Universitas Padjajaran

HUMAS DAN PROMOSI Yunida Shanti P. Universitas Muhammadiyah Surakarta Nur Ramadhani M. Siti Syifa Printiarti

Universitas Padjajaran

Institut Teknologi Bandung

Neva Melinda M. Universitas Muhammadiyah Malang Nurul Fazriyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mukarramah

Universitas Hassanudin

Jabal Rachmat H.

Universitas Hassanudin

TATA LETAK DAN LAYOUT Fitria Handayani Universitas Pancasila

Zwista Dimas H.

Universitas Gadjah Mada

Ariranur Haniffadli Institut Teknologi Bandung Nur Rizqiatul A.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

Armansyah Abdullah UIN Allaudin Makassar

Dr. Elin Julianti

Theresia Ratna P.

Prof. Dr. Achmad Fudholi, DEA., Apt. Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung

ii

DEWAN REDAKSI

Nurul Aisyah Universitas Indonesia

BIMFI

Universitas Gadjah Mada

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


DAFTAR ISI

Susunan Pengurus ................................................................................................................. ii Daftar Isi .................................................................................................................................... iii Petunjuk Penulisan ................................................................................................................ iv Setitik Ilmu ................................................................................................................................ ix Sambutan Pimpinan Umum ............................................................................................... x

PENELITIAN

Pembentukan dan Uji Disolusi Ko-kristal Hidroklortiazid dengan Asam Para Aminobenzoat sebagai Ko-Former Ayu Try Sartika, Haeria, dan Nurshalati Tahar

......................................................................................................................................................... 1 Formulasi Tablet Effervescent Bengkuang (Pachyrhizus erosus) sebagai Esterogen-Like Therapy untuk Pencegahan Osteoporosis Dyah Rahmasari dan Didin Lingga L.

......................................................................................................................................................... 8 Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Hipertensi dengan Komplikasi di RSUD Kota Surakarta tahun 2014 Desy Nurmalita Sari

......................................................................................................................................................... 13 Toksisitas Akut Jamur Laut Curvularia sp. untuk Bahan Obat Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) Nurul A.R., Putri N.R., M. Awaludin., Irina A.M., dan Abdul Azis A.

......................................................................................................................................................... 19 Moricent: Pemanfaatan Limbah Biji Mengkudu (Morinda citrifolia L.) sebagai Sumber Asam Linoleat untuk Antiobesitas dalam sediaan Tablet Efervesen Riri Nurul Suci, Bayu H., Baginda S.P., dan Zahra Adiyati

......................................................................................................................................................... 26

TINJAUAN PUSTAKA

Terobosan Jitu SNEEDS Ekstrak Kulit Apel Malang (Malus sylvestris Mill.) sebagai Agen Ko-Fitoterapi Pengobatan Efektif HIV-1 Christine A.H., Sekar Galuh, dan Layung Sekar Sih W.

......................................................................................................................................................... 37 ADVERTORIAL Formulasi SNEEDS Kombinasi Ekstrak Terpurifikasi Rimpang Kunyit (Curcuma longa) dan Herba Sambiloto (Andrographis paniculata) sebagai Antidiabetes Mellitus Tipe-2 Resisten Insulin Fitriana Hayyu Arifah

......................................................................................................................................................... 43

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

iii


PETUNJUK PENULISAN

Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmsi Indonesia (BIMFI) Indonesian Student Pharmacy Journal Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMFI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan kelompok bidang ilmu farmakologi, farmasetika, teknologi sediaan farmasi, farmakognosi, fitokimia, kimia farmasi, bioteknologi farmasi, artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa farmasi.

Kriteria Artikel 1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu farmasi, kesehatan masyarakat, dan ilmu dasar farmasi. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang, abstrak, dan teks (pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan saran). 2. Tinjauan pustaka: tulisan artikel review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu dalam dunia farmasi, ditulis dengan memerhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca. 3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Artikel ini ditulis sesuai pemeriksaan, analisis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi farmasi. Format terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan. 4. Artikel penyegar ilmu farmasi: artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topiktopik yang sangat menarik dalam dunia farmasi atau kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau farmasi yang perlu diketahui oleh pembaca. 5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia farmasi dan kesehatan, mulai dari ilmu dasar farmasi, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang farmasi, lapangan kerja sampai karir dalam dunia farmasi. Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa farmasi. 6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan analisis atau tatalaksana yang ditulis secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa farmasi). 7. Advertorial: artikel singkat mengenai obat atau kombinasi obat terbaru, beserta penelitian, dan kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka.

iv

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


Petunjuk Bagi Penulis 1. BIMFI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, lugas, dan ringkas. Naskah diketik dalam Microsoft Word, ukuran kertas A4 dengan margin kanan, kiri, atas, bawah berukuran 3433 cm. Naskah menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 cm, jarak antarbab atau antarsubbab yaitu 1 spasi (1x enter). Font Arial, size 10, sentence case, justify. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka. 3. Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksi bimfi@bimkes.org dan bimfi@ismafarsi.org dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi.sana yang ditulis secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa farmasi). 4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan - Metode - Hasil - Pembahasan - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan 5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan Pustaka dan Advertorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas) - Pembahasan - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan 6. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Artikel Penyegar dan Artikel Editorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Pendahuluan 2. Isi 3. Kesimpulan (Penutup) 7. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Laporan Kasus harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan - Laporan kasus - Pembahasan - Kesimpulan 5. Daftar Rujukan

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

v


8. Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis dengan Font Arial 14 pt dicetak tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf ditulis kapital), tidak digaris bawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.), tanpa singkatan, kecuali singkatan yang lazim. Penulisan judul diperbolehkan menggunakan titik dua tapi tidak diperbolehkan menggunakan titik koma. Penggunaan subjudul diperbolehkan dengan ketentuan ditulis dengan titlecase, Font Arial 12, center, dan dicetak tebal. 9. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis diketik titlecase, Font Arial 10, center, dan bold yang dimulai dari pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal instansi dimulai dari terkecil. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email. 10. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata dan tidak menuliskan kutipan pustaka. Abstrak Bahasa Indonesia dan kata kunci ditulis tegak. Abstrak Bahasa Inggris dan keyword ditulis italic (dimiringkan). 11. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Kata kunci sebanyak maksimal 8 kata benda yang ditulis dari umum ke khusus. 12. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 13. Setiap tabel gambar dan metode statistika diberi judul dan nomor pemunculan. 14. Ucapan terima kasih 15. Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat sebagai berikut: 1. SERIAL

Artikel jurnal dengan volume dan edisi Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume:Edisi (tahun terbit): halaman. Contoh: Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the Ideology of Romantic Silences.” Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35.

2. BUKU

i. Penulis Tunggal Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957.

ii. Dua atau Tiga Orang Penulis Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis selanjutnya. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Howe, Russell Warren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City: Doubleday, 1977. Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R. Sorensen. The Rope, the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of Texas, 1994.

vi

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


iii. Editor sebagai Penulis Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979.

iv. Penulis dan Editor Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit,Tahun terbit. Contoh: Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford UP, 1956. v. Penulis berupa Tim atau Lembaga Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory. Washington, D.C.: Natl. Inst. for Dispute Res., 1984.

vi. Karya multijilid/buku berseri Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963. vii. Terjemahan Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama penerjemah. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang diterjemah (italic), Tahun terbit buku yang diterjemah. Contoh: Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan Smith. London: Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L’Archéologie du savoir, 1969.

viii. Artikel atau Bab dalam Buku Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku. Contoh: Magny, Claude-Edmonde. “Faulkner or Theological Inversion.” Faulkner: A Collection of Critical Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. 66-78. ix. Brosur, pamflet, dan sejenisnya Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999.

3. PUBLIKASI ELEKTRONIK i.

BIMFI

Buku Online Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku. www.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>.

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

vii


ii. Artikel Jurnal Online Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal dan tahun akses jurnal <link online jurnal> Contoh: Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo’s Life of the Buddha.” Exemplaria 9.1 (1997). 22 June 1998 <http://web.english.ufl.edu/english/ exemplaria/calax.htm> iii. Artikel di Website “judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses. <link online artikel>. Contoh: “Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab. 2003. Purdue University. 6 Februari 2003. <http://owl.english.purdue. edu/handouts/research/r_mla.html>.

iv. Publikasi Lembaga Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama penulis 2, dan seterusnya. Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel>. Contoh: United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National Assessment. By Claire Johnson, Barbara Webster, dan Edward Connors. Feb 1996. 29 June 1998 <http:/www.ncjrs.org/txtfiles/pgang.txt>.

viii

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


SETITIK ILMU

Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) Indonesian Pharmacy Student Journal Satu-satunya jurnal mahasiswa farmasi Indonesia Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) atau Indonesian Pharmacy Student Journal merupakan berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia (ISMAFARSI) setiap enam bulan sekali. Berkala ilmiah ini merupakan langkah awal ISMAFARSI dalam memenuhi kebutuhan mahasiswa farmasi akan berkala ilmiah dan upaya pemetaan penelitian terkait ilmu kefarmasian di Indonesia. Maka dari itu, BIMFI berazaskan dari, oleh, dan untuk mahasiwa. Kriteria jenis tulisan yang tercantum dalam BIMFI adalah penelitian asli, tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar, editorial, petunjuk praktis, dan advertorial yang dibuat oleh mahasiswa farmasi Indonesia. Karya ilmiah yang dipublikasikan merupakan artikel terbaik yang sudah menjalani tahap penyaringan dan penilaian. Hal tersebut didukung oleh sistem redaksional yang digunakan, yaitu seleksi oleh editor dan redaktur, serta penilaian oleh mitra bestari, yang ahli di bidangnya masing-masing. Karya ilmiah yang dimuat dalam BIMFI terbagi dalam kelompok bidang ilmu, seperti Farmakologi, Farmakoterapi, Farmasetika, Teknologi Sediaan Farmasi, Farmakognosi, Fitokimia, Kimia Farmasi, Analisis Farmasi, Mikrobiologi Farmasi, dan Bioteknologi Farmasi. Karya yang dipublikasikan adalah tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa farmasi. Sebagai tahap awal penyebaran, BIMFI dalam bentuk cetak akan dibagikan ke beberapa Fakultas atau Prodi Farmasi di Indonesia. Pada tahap selanjutnya, BIMFI akan dibagikan ke seluruh Fakultas atau Prodi Farmasi, Asosiasi Institusi Farmasi, Organisasi Profesi Farmasi, dan beberapa perpustakaan di Indonesia untuk menjamin penyampaian informasi kepada para mahasiswa farmasi Indonesia. Selain itu, BIMFI juga tersedia dalam bentuk electronic journal yang bisa diakses di website. Dengan demikian, BIMFI diharapkan dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa farmasi akan informasi ilmu kefarmasian.

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

ix


SAMBUTAN PIMPINAN UMUM

Salam Dari Pimpinan Umum Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan kesempatan sehingga BIMFI dapat hadir kembali didunia kefarmasian Indonesia. Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan umat manusia hingga akhir zaman. Banyaknya penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Indonesia sudah tak perlu diragukan lagi. Namun mempublikasikan penelitian tersebut sebagai sebuah artikel dirasa belum banyak diaplikasikan. BIMFI hadir sebagai satu-satunya jurnal mahasiswa farmasi Indonesia untuk mewadahi artikel-artikel ilmiah yang telah ditulis oleh mahasiswa farmasi. Tersebar dipelbagai fakultas farmasi di Indonesia dari aceh hingga manado. BIMFI selama tiga tahun ini berusaha untuk terus mewadahi tulisan karya penelitian mahasiswa farmasi Indonesia, sehingga pendapat-pendapat baru dapat terungkapkan dan kemajuan teknologi dapat terus dilakukan. Melalui BIMFI, ISMAFARSI telah menunjukkan komitmen positifnya dalam mendukung Dirjen Dikti Kemendikbud Republik Indonesia mengenai wajib publikasi ilmiah bagi S1, sehingga dapat memberikan manfaat bagi perkembangan jumlah publikasi ilmiah di Indonesia. Mengingat bahwa ilmu kefarmasian terbagi dalam banyak bidang ilmu, artikel-artikel yang dipublikasian dalam BIMFI diklasifikasikan menjadi beberapa jenis tulisan. Sebanyak 5 artikel penelitian, 1 artikel tinjauan pustaka dan 1 artikel advertorial dimuat pada edisi ini. Hanya artikel yang berkualitas dan terbaik yang dapat dimuat di BIMFI kerena artikel-artikel yang masuk telah melalui proses seleksi yang panjang dan proses revisi dari dewan redaksi bersama mitra bestari. Besar harapan kami, agar jurnal ini dapat memberikan banyak manfaat bagi pembaca ataupun penulis, khususnya mahasiswa-mahasiswa farmasi diseluruh Indonesia dan dengan adanya BIMFI ini banyak harapan untuk dapat menumbuhkan semangat menulis, kultur ilmiah dan budaya publikasi bagi mahasiswa farmasi. Terimakasih kami ucapkan untuk semua pihak yang telah mendukung dan membantu terbitnya BIMFI ini dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan yang dilakukan oleh penyusun. Kami tak akan lelah untuk menampung karya hebat mahasiswa farmasi Indonesia, karena kami ada untuk terus memfasilitasi pengharum nama Indonesia. “Kemajuan teknologi bukan dihasilkan dengan pengulangan pendapat-pendapat lama, tapi karena adanya orang yang berani mengajukan pendapat-pendapat baru� (Ryu Hasan, MD)

Salam GO FORTH and WRITE! Hidup Mahasiswa Farmasi Indonesia! Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Ziana Walidah

x

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


Penelitian

PEMBENTUKAN DAN UJI DISOLUSI KO-KRISTAL HIDROKLORTIAZID DENGAN ASAM PARA AMINOBENZOAT SEBAGAI KO-FORMER Ayu Try Sartika1* , Haeria1, Nurshalati Tahar1 Program Studi Farmasi, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar *Corresponding author’s email : pharmayu@gmail.com 1

ABSTRAK Pendahuluan: Hidroklortiazid merupakan obat golongan diuretik yang digunakan untuk terapi hipertensi lini pertama bagi pasien tanpa riwayat penyakit diabetes, aterosklerosis, dan kardiovaskular. Hidroklortiazid termasuk dalam Biopharmaceutical Classification System (BCS) kelas IV yang memiliki kelarutan rendah sehingga kelarutannya merupakan salah satu faktor penentu tingkat bioavailabilitas obat dalam tubuh untuk memberikan efek terapi. Penelitian ini bertujuan meningkatkan kelarutan dari hidroklortiazid dengan teknik ko-kristalisasi menggunakan asam para aminobenzoat sebagai ko-former sehingga membantu meningkatkan bioavailabilitas obat. Metode: Metode ko-kristalisasi yang digunakan adalah metode evaporasi dengan metanol p.a. sebagai pelarut. Ko-kristal dibuat dengan perbandingan mol 1:0; 1:1; 1:2; dan 2:1 antara hidroklortiazid dengan asam para aminobenzoat. Ko-kristal dan hidroklortiazid diuji disolusi dengan metode keranjang (USP apparatus I) menggunakan HCl 0,1 N sebagai media disolusi. Hasil: Berdasarkan uji disolusi diperoleh bahwa ko-kristal rasio mol 1:1; 1:2; dan 2:1 meningkatkan persentase kelarutan dari hidroklortiazid dibandingkan hidroklortiazid standar sedangkan ko-kristal rasio mol 1:0 persentase kelarutannya lebih rendah dibandingkan standar. Serta berdasarkan plot profil disolusi pelepasan obat dari ko-kristal bahwa pelepasan obat mengikuti orde satu. Kesimpulan: Teknik ko-kristalisasi hidroklortiazid dengan asam para aminobenzoat dapat meningkatkan kelarutan dari hidroklortiazid dibandingkan hidroklortiazid tanpa ko-kristalisasi. Kata kunci: disolusi, ko-kristal, ko-former, hidroklortiazid, asam para aminobenzoat ABSTRACT Background: Hydrochlorothiazide is diuretic drug for first line hypertension therapy especially for patient with no history of atherosclerotic and cardiovascular diseases (ASCVD). Hydrochlorthiazide is belong to Biopharmaceutical Classification System (BCS) class IV with low solubility, so its solubility is one of determining factors to bioavailability level of drug in the body and giving therapeutic effect. This research’s aim was increasing solubility of hydrochlorothiazide by co-crystallization technique using para amino benzoic acid as coformer in order to obtain bioavailability of drug. Methods: Co-crystallization method which was chosen to be used in this research is evaporation method by using methanol pro analysis as solvent. Co-crystal was made with mole ratio 1:0; 1:1; 1:2; and 2:1 between hydrochlorothiazide and para amino benzoic acid. Co-crystals and hydrochlorothiazide were tested for their dissolution using basket method (USP apparatus I) and 0,1 N HCl as dissolution media. Results: According to dissolution tests, co-crystals with mole ratio 1:1; 1:2; and 2:1 increased releasing percentage of hydrochlorothiazide than standard whereas releasing percentage of co-crystal with mole ratio 1:0 was lower than standard. And also, according to plot of drug releasing dissolution profile of co-crystals, it followed first order releasing. Conclusion: Co-crystallization technique of hydrochlorothiazide with para amino benzoic was able to increase solubility of hydrochlorothiazide compare to hydrochlorothiazide without co-crystallization. Keywords: dissolution, co-crystal, co-former, hydrochlorothiazide, para amino benzoic acid. BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

1


1.

PENDAHULUAN Bioavailabilitas adalah kemampuan obat masuk ke dalam sistem peredaran darah dan memberikan efek terapeutik. Bioavailabilitas merupakan tahap yang penting dan harus dicapai oleh obat. Bioavailabilitas oral yang memadai merupakan kunci awal syarat untuk beberapa obat yang diberikan secara oral agar efektif secara sistemik.[1] Salah satu sifat yang mempengaruhi bioavailabilitas adalah kelarutan. Kelarutan sangat penting untuk memprediksikan absorpsi obat pada lumen. Kelarutan yang rendah dalam air seringkali memberikan bioavailabilitas yang rendah dan disolusi merupakan tahap yang membatasi kecepatan untuk absorpsi obat (rate limiting step). Disolusi (pelepasan obat dari bentuk sediaannya) merupakan hal yang penting untuk sediaan konvensional, pada umumnya adalah bentuk sediaan padat.[2] Penelitian ini bertujuan dapat memberikan referensi teknik untuk meningkatkan kelarutan dari obat yang memiliki kelarutan dan bioavailabilitas yang rendah sehingga diharapkan dapat membantu aksi dan efek terapi yang lebih cepat dan penurunan dosis obat yang diberikan kepada pasien. Kecepatan pelarutan dan disolusi obat dapat ditingkatkan dengan banyak metode, seperti dispersi padat, prodrug, kompleks inklusi obat dengan pembawa, dan modifikasi obat dalam bentuk garam dan solvat, serta ko-kristalisasi. Metode yang sederhana dan menarik untuk meningkatkan disolusi dan bioavailabilitas untuk obat yang memiliki kelarutan yang rendah adalah teknik ko-kristalisasi.[2] Ko-kristal adalah kompleks kristalin dan interaksi antara dua atau lebih molekul dalam perbandingan stoikiometri dan terhubung oleh ikatan hidrogen. Kokristal terdiri atas bahan aktif farmasi (BAF) dan ko-former yang membantu pembentukan ko-kristal seperti bahan tambahan, mineral, vitamin, pengawet, atau juga dapat berupa bahan aktif farmasi.[3] Hidroklortiazid merupakan obat golongan diuretik yang beraksi menghambat kemampuan ginjal menahan air, hidroklortiazid termasuk dalam Biopharmaceutical Class System (BCS) kelas IV yang memiliki kelarutan (0,7 g L-1 pada 298 K) dan permeabilitas (logP= -0,07) yang rendah. Akibat kelarutan dalam air yang buruk ini memberikan bioavailabilitas yang hanya mencapai 65%.[4] Hidroklortiazid digunakan

2

obat untuk terapi hipertensi yang direkomendasikan sebagai pengobatan awal untuk hipertensi. Hidroklortiazid adalah obat lini pertama untuk pasien hipertensi yang tidak memiliki riwayat penyakit, diabetes, aterosklerosis, dan penyakit kardiovaskular.[5] Selama dekade terakhir ini, ko-kristalisasi telah mengambil alih di industri farmasetikal sebagai senyawa kelas baru. Ko-kristalisasi merupakan metode kristalisasi baru yang akhir-akhir ini telah menarik perhatian para peneliti dalam bidang farmasetikal.[6] Penelitian di bidang ini pun telah banyak dilakukan dan dikembangkan terutama untuk meningkatkan kelarutan obat yang rendah. Dalam beberapa jurnal penelitian, teknik ko-kristalisasi telah berhasil meningkatkan kelarutan dari indometasin[7], karbamazepin[8], trimetoprim[2], tadalafil[9], itrakonazol, furosemid, norfloksasin, meloksikam, selekoksib, peroksikam[14], dan telah banyak obat-obat lain terutama obat BCS kelas II dan IV. Hidroklortiazid sebelumnya telah dibuat dalam ko-kristal dengan beberapa jenis ko-former (asam nikotinat, nikotinamid, suksinamid, asam para aminobenzoat, dan resorsinol) serta diuji kelarutannya dalam air[4]. Dalam penelitian lain pula bahwa hidroklortiaizid diko-kristalisasi beberapa bahan aktif obat dan dikarakterisasi dengan instrumen X-ray Diffractometry, Infrared Spectrofotometry, Raman, dan analisis termal.[10] Berdasarkan penelitian tersebut, bahwa teknik ko-kristalisasi terhadap hidroklortiazid telah berhasil dilakukan dan meningkatkan kelarutannya dalam air. Dalam penelitian ini, hidroklortiazid dimodifikasi dalam ko-kristal dengan asam para aminobenzoat sebagai ko-former dengan menggunakan metode evaporasi dan dilakukan uji disolusi menggunakan HCl 0,1 N sebagai pengganti cairan lambung manusia yang membedakannya dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Asam para aminobenzoat termasuk ke dalam Generally Regarded as Safe (GRAS) oleh United State-Food and Drug Administration (US-FDA).[11] Pemilihan ko-former harus mempertimbangkan keamanan serta gugus fungsional ko-former yang dapat berinteraksi membentuk ikatan hidrogen dengan gugus fungsional dari BAF. Asam para aminobenzoat memiliki gugus karboksil dan amina yang dapat berikatan hidrogen BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


dengan gugus sulfonamid dari hidroklortiazid. Dengan penelitian ini, diharapkan dapat meningkatkan kelarutan hidroklortiazid atau pelepasan obat dalam media disolusi HCl 0,1 N. 2. METODE 2.1. Alat dan Bahan a. Alat Alat-alat gelas, aparatus disolusi (SOTAX), Differential Scanning Calori-bmetry/ DSC (Perkin Elmer DSC 4000), Fourier Transform Infrared/FTIR spectrophotometer (SHIMADZU IR Prestige), kuvet kuarsa, lumpang dan alu, magnetic stirrer (Heidolph), Scanning Electron Microscopy/SEM (BRUKER), timbangan analitik (Kern), UVVisible Spectrophotometer (Thermo Scientific Genesys), X-Ray Diffractometry/XRD (RIGAKU Mini FlexII). b. Bahan Bahan yang digunakan adalah air suling, asam klorida pekat, asam para aminobenzoat (diperoleh dari Sigma Aldrich, Singapura), hidroklortiazid (diperoleh dari PT. Indofarma Tbk.), metanol p.a.. 2.2. Pembentukan Ko-kristal Hidroklortiazid dan asam para aminobenzoat dengan perbandingan rasio mol 1:0 (3:0 mmol); 1:1 (3:3 mmol); 1:2 (3:6 mmol) and 2:1 (6:3 mmol) dimasukkan ke gelas kimia dan dilarutkan dengan 50 mL metanol p.a. dengan pemanasan pada suhu 60oC kecepatan 250 rpm selama 1 jam menggunakan magnetic stirrer. Larutan dipindahkan ke cawan penguap dan disimpan pada suhu ruang hingga sisa pelarut menguap. Ko-kristal yang kering selanjutnya digerus menggunakan lumpang dan alu untuk mengurangi ukuran partikel dan diuji disolusi. 2.3. Pembentukan Kurva Baku Hidroklortiazid Dibuat seri pengenceran larutan hidroklortiazid dalam media disolusi dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50 dan 60 ppm. Masing-masing konsentrasi pengenceran diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum hidroklortiaizd. Selanjutnya dibuat kurva antara serapan berbanding dengan konsentrasi. 2.4. Uji Disolusi Uji disolusi dilakukan terhadap hidroBIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

klortiazid standar dan ko-kristal dengan semua perbandingan. Uji disolusi dilakukan dengan menggunakan aparatus disolusi tipe I (metode keranjang) yang diatur pada kecepatan 100 rpm dan suhu 37Âą0,5oC. Hidroklortiazid standar dan ko-kristal ditimbang 50 mg dan setara 50 mg. Sampel dimasukkan ke labu disolusi yang berisi 900 mL media disolusi (HCl 0,1 N). Sampel dicuplik sebanyak 5 mL pada interval menit ke 20, 40, 60, 80, dan 100. Media disolusi segera diganti dengan yang baru dengan volume yang sama ke labu disolusi. Sampel ditentukan konsentrasi atau kadar hidroklortiazid yang terlarut menggunakan spektrofotometer UV-Visibel, yang dihitung dengan rumus: C= Keterangan: C= konsentrasi b= konstanta pada persamaan linier kurva baku a= koefisien pada persamaan linier kurva baku 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Pembentukan Ko-kristal Pembuatan ko-kristal hidroklortiazid dengan asam para aminobenzoat pada penelitian ini menggunakan metode pelarutan yaitu penguapan pelarut. Metode penguapan pelarut merupakan metode yang konvensional yaitu dengan mencampur bahan dan melarutkannya dengan pelarut yang sesuai dan pelarutnya diuapkan. Metode ini merupakan metode yang terbaik dalam ko-kristalisasi sebab bahan aktif dan koformer akan terlarut dan akan memungkinkan berbagai reaksi ikatan hidrogen satu sama lain.[12] Pemilihan pelarut merupakan hal yang terpenting untuk menjamin bahwa bahan aktif dan ko-former akan sama-sama terlarut dalam pelarut dan tidak ada yang mengendap.[3] Ko-kristal dibuat dengan menggunakan metanol p.a. sebagai pelarut. Pemilihan pelarut metanol p.a. sebab hidroklortiazid dan asam para aminobenzoat dapat larut dalam metanol. Ko-kristal yang terbentuk digerus untuk memperkecil ukuran partikel dan mempermudah tahapan uji disolusi. Serbuk ko-kristal dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan analisis makroskopik ko-kristal terlihat mengkilap seperti serbuk

3


(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 1. Hasil ko-kristalisasi, ko-kristal (a) 1: 0, (b) 1: 1, (c) 1: 2, (d) 2: 1.

Gambar 2. Kurva baku hidroklortiazid Warna serbuk ko-kristal rasio 1:0 adalah putih sedangkan pada ko-kristal rasio 1:1, 1:2, dan 2:1 berwarna putih kekuningan dan lebih kekuningan dengan meningkatnya jumlah ko-former. 3.2. Kurva Baku Hidroklortiazid Semua perbandingan mol ko-kristal yang telah jadi diuji disolusinya dengan pertama kali membuat kurva baku hidroklortiazid dengan konsentrasi pengenceran 20, 30, 40, 50, dan 60 ppm. Sebelum

4

menentukan serapan dari tiap konsentrasi pengenceran, harus diukur penjang gelombang maksimum dari hidroklortiazid standar. Panjang gelombang maksimum hidroklortiazid yang diperoleh yaitu 316 nm. Setelah memplot antara serapan dengan BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


trasi ke dalam kurva linier akan diperoleh koefisien korelasi (R2) dan persamaan kurva baku (lihat Gambar 2). Persamaan kurva baku ini sangat berguna pada penentuan kadar saat uji disolusi. 3.3. Uji Disolusi Hasil uji disolusi menunjukkan persentase hidroklortiazid terlarut pada sampel hidroklortiazid standar dan kokristal (lihat Tabel 1 dan Gambar 3), dapat dilihat bahwa profil disolusi ko-kristal rasio 1:0 paling rendah yaitu 83,14% hingga menit ke-100 dibandingkan hidroklortiazid standar yaitu 90,13% pada urutan kedua, ko-kristal rasio 2:1 dengan persentase 90,56% pada urutan ketiga, ko-kristal rasio 1:1 dengan persentase 92,68% pada urutan keempat dan ko-kristal rasio 1:2 memiliki profil disolusi paling tinggi yaitu 98, 92%. Persentase terlarut ko-kristal rasio1:0 lebih rendah dibandingkan hidroklortiazid standar disebabkan karena hidroklortiazid pada kokristal rasio 1:0 mengalami proses rekristalisasi yang semakin memantapkan bentuk kristalnya sehingga kelarutannya menjadi lebih rendah.[13] Perbedaan persentase kelarutan ko-kristal dengan perbandingan berbagai rasio mol hidroklortiazid-asam para aminobenzoat yaitu 1:1; 1:2; dan 2:1 adalah karena perbedaan rasio stoikio-

metrinya.[14] Obat dikatakan mengalami pele-pasan segera (immediate release) jika hingga menit ke-45, obat terdisolusi hingga 75%[15]. Pada profil disolusi hidroklortiazid dan kokristal 1:0 menit ke-40 dapat dilihat bahwa persentase obat terlarutnya secara berturut-turut adalah 64,51% dan 58,79% bahkan hingga menit ke-60 persentase obat terlarut belum mencapai 75% yaitu 73,40 % dan 69,75%. Hal ini menunjukkan bahwa hidroklortiazid standar dan ko-kristal 1:0 tidak mengalami pelepasan segera. Sedangkan profil disolusi dari ko-kristal 1:1; 1:2; dan 2:1 mengalami pelepasan segera, sebab telah mencapai persentase pelepasan obat di atas 75% pada menit ke-40 yaitu secara berturut-turut 80,05%, 94,45%, dan 76,29%. Dalam penelitian ini pula dianalisis bagaimana model pelepasan hidroklortiazid berdasarkan orde reaksi. Berdasarkan nilai koefisien korelasi (lihat Tabel 2) bahwa hidroklortiazid dan ko-kristal cenderung mengikuti orde satu dengan nilai koefisien korelasi antara 0,91-0,98 dibandingkan koefisien korelasi pada orde nol yang lebih rendah yaitu antara 0,55-0,86. Kebanyakan obat yang digunakan dalam praktek klinik pada dosis terapi akan menunjukkan proses pelepasan orde satu.

Gambar 3. Profil disolusi hidroklortiazid dan ko-kristal.

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

5


Tabel 1. Persentase hidroklortiazid terdisolusi Waktu (menit) 20

Persentase Hidroklortiazid Terdisolusi (%) Kokristal Kokristal Kokristal Hidroklortiazid 1:0 1:1 1:2 53.28 39.86 67.84 82.96

Kokristal 2:1 53.60

40

64.50

58.79

80.05

94.45

76.29

60

73.40

69.75

86.98

97.29

81.22

80

80.41

77.38

91.04

98.02

87.34

100

90.12

83.13

92.68

98.91

90.56

Tabel 2. Koefisien korelasi orde nol dan satu Kokristal

Nilai Koefisien Korelasi (R2) Orde Nol

Orde Satu

Hidroklortiazid

0,8087

0,9649

Kokristal 1:0

0,8692

0,9869

Kokristal 1:1

0,6663

0,9228

Kokristal 1:2

0,5543

0,9196

Kokristal 1:1

0,7567

0,954

4. Kesimpulan Bersadarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa teknik ko-kristalisasi hidroklortiazid dengan koformer asam para aminobenzoat meningkatkan kelarutan obat dalam media disolusi dibandingkan hidroklortiazid standar. Hasil terbaik diperoleh pada ko-kristal rasio mol 1:2 dengan peningkatan ke-larutan hingga 1,3 kali. Ko-kristal rasio mol 1:1; 1:2; dan 2:1 mengalami pelepasan segera (immediate release) dan profil pelepasan hidrokortiazid standar maupun ko-kristal mengikuti orde satu. 5. Saran Demi kesempurnaan dan kelengkapan data dari perbaikan sifat fisika-kimia hidroklortiazid ini, disarankan untuk melakukan karakterisasi lebih lanjut terhadap ko-kristal hidroklortiazid, perbandingan penggunaan metode ko-kristalisasi, ataupun uji in vivo terkait permeabilitas ko-kristal hidroklortiazid. DAFTAR PUSTAKA [1] Dressman, J. and Johannes K. Pharmaceutical Dissolution Testing. United State: Taylor & Francis Group, 2005. [2] Zaini, E., et al. “Peningkatan Laju Pelarutan Trimetoprim melalui Metode Ko-kristalisasi dengan Nikotinamida”. Jurnal Farmasi Indonesia. 5: 4 (2011):

6

205-212. [3] Patole, T. and Ashwini D. “Co-crystallization a Technique for Solubility Enhancement”. IJPSR. 5: 9 (2014): 35663576. [4] Sanphui, P. and Lalit Rajput. “Tuning Solubility and Stability of Hydrochlorothiazide Co-crystal”. Acta Cryst. B70 (2014): 81-90. [5] Grouphealth. Hypertension Diagnosis and Treatment Guideline. United State: Group Health Cooperative, 2014. [6] Desale, P.K. “A Novel Method: Cocrystallisation”. International Journal of Pharmaceutical Invention. 3: 1 (2013): 19-26. [7] Jung, M.S., et al. “Bioavailability of Indomethacin-Saccharin Co-crystals”. Journal of Pharmacy and Pharmacology. 62 (2010): 1560-1568. [8] Rahman, Z., et al. “Physicomechanical and Stability Evaluation of Carbamazepine Co-crystal with Nicotinamide”. AAPS PharmSciTech. 12:2 (2011): 693-704. [9] Vinesha V., et al. “Enhancement of Solubility of Tadalafil By Co-crystal Approach”. International Research Journal of Pharmacy. 4: 4 (2013): 218-223. [10] Wang, J.R., et al. “Structural and Physicochemical Aspects of Hydrochlorothiazide Co-crystal”. CrystEngComm. 00: (2014): 1-8. BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


[11] “Food Additive Status List”. FDA. 2014. 16 Desember 2014. <http:// www.fda.gov/food/ ingredientspackaginglabeling/foodadditivesingredients/ ucm091048.htm.> [12] Kothur, R., et al. “An Outline of Crystal Engineering of Pharmaceutical CoCrystal and Applications: A Review”. International Journal of Pharmaceutical Research and Development. 4: 08 (2012): 1-5. [13] Triani, F. “Pengaruh Metode Pembentukan Ko-kristal Terhadap Laju Pelarutan

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

Karbamazepin Menggunakan Asam Suksinat sebagai Ko-former”. Skripsi. Depok: Fakultas MIPA Program Studi Ekstensi Farmasi UI, 2012. [14] Thakuria, R., et al. “Pharmaceutical Co-crystal and Poorly Soluble Drugs”. International Journal of Pharmaceutics. XXX: (2013): 1-24. [15] Kuwana, Rutendo. Dissolution Testing. Tazmania: World Health Organization, 2007.

7


Penelitian

FORMULASI TABLET EFFERVESCENT BENGKUANG (Pachyrhizus erosus) SEBAGAI ESTROGEN-LIKE THERAPY UNTUK PENCEGAHAN OSTEOPOROSIS Dyah Rahmasari1*, dan Didin Lingga L.1

Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Malang *Corresponding author’s email : dyahrahmasari@gmail.com 1

ABSTRAK Pendahuluan: Osteoporosis merupakan masalah kesehatan yang dikenal luas di dunia. Estrogen eksogen atau Hormone Replacement Therapy (HRT) merupakan salah satu pengobatan osteoporosis yang potensial, namun pengobatan ini jarang dipilih pasien karena adanya resiko kanker payudara dan kanker endometrium. Fitoestrogen (estrogenlike compounds), terutama isoflavon, adalah alternatif potensial yang aman sebagai HRT. Bengkuang (Pachyrhizus erosus) adalah salah satu tanaman yang mengandung senyawasenyawa fitoestrogen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan fitoestrogen isoflavon dalam bengkuang dan pengolahannya dalam tablet effervescent yang lebih mudah dikonsumsi sebagai alternatif pengobatan osteoporosis. Metode: Pembuatan tablet effervescent bengkuang menggunakan bahan baku bengkuang yang diekstraksi menggunakan etanol 96% p.a., dengan metode maserasi yang dipekatkan dengan rotary evaporator. Ekstrak kemudian diformulasikan dengan bahanbahan pembentuk effervescent seperti laktosa, manitol, asam sitrat, asam tartrat, natrium bikarbonat, sakarin, gelatin, PVP 40 (Polivinil Pirolidon) dan mg-stearat. Hasil: Dari hasil pengujian granul dan tablet yang dilakukan diperoleh hasil uji yang sesuai dengan kriteria tablet yang baik, yaitu formulasi ekstrak sebesar 12,5%, zat pengikat PVP sebesar 0,75%, zat pengisi manitol sebesar 47,75%, zat pelincir Mg-stearat sebesar 1%, zat pemanis sakarin sebesar 1%, asam sitrat sebesar 7%, asam tartrat 10% serta natrium bikarbonat sebesar 20%. Kesimpulan: Ekstrak etanol bengkuang dapat diformulasikan menjadi tablet effervescent menggunakan metode granulasi basah dan memiliki potensi yang dapat dikembangkan sebagai pengobatan osteoporosis. Kata kunci: Osteoporosis, fitoestrogen, Bengkuang (Pachyrhizus erosus), effervescent. ABSTRACT Background: Osteoporosis is widely recognize as a major public health problem. Exogenous estrogen or Hormone Replacement Therapy (HRT) is the potential therapy for osteoporosis, but this treatment is rarely chosen by the patient because of the risk of breast and endometrial cancer. Phytoestrogens or estrogen-like compounds, particularly isoflavones, are a potential safe alternative as HRT. Bengkuang (Pachyrhizus erosus) is one of the plants that contain many phytoestrogens. Thus, this research aimed to determine the use of phytoestrogen isoflavones in bengkuang and its processing in effervescent tablets that are more easily consumed as a treatment for osteoporosis. Methods: The manufacture of bengkuang effervescent tablets using raw materials that are extracted using 96% p.a. ethanol by maceration method that is concentrated by rotary evaporator. Then extract formulated with forming effervescent ingredients such lactose, mannitol, citric acid, tartaric acid, sodium bicarbonate, saccharin, gelatin, PVP 40 (Polivinil Pirolidon), and magnesium stearate. Results: From the test results of granules and tablets that have been done, test results obtained in accordance with the criteria of a good tablet, that is extract formulations of 12.5%, PVP binding agent of 0.75%, mannitol as filler at 47.75%, mg-stearate as lubricant at 1%, saccharin as sweeteners at 1%, citric acid at 7%, tartaric acid at 10% and sodium bicarbonate at 20%. Conclusion: Ethanol extract of bengkuang can be formulated into effervescent tablets using wet granulation method and has the potential to be developed as a treatment for osteoporosis. Keywords: Osteoporosis, phytoestrogen, Bengkuang (Pachyrhizus erosus), effervescent.

8

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


1.

PENDAHULUAN Seiring pertambahan usia, terutama pada wanita, terjadi penurunan sekresi estrogen oleh ovarium sehingga menyebabkan kerapuhan tulang atau biasa disebut osteoporosis.[1] Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara resorpsi dan formasi sehingga mempercepat kehilangan massa tulang.[2] Osteoporosis merupakan masalah kesehatan yang dikenal secara luas sebagai masalah kesehatan dunia. Di USA, penyakit ini diderita oleh 8 juta wanita dan 2 juta pria dimana 55% adalah orang berusia 50 tahun atau lebih.[3] Pengobatan osteoporosis dilakukan dengan pemberian antiresorpsi seperti risedronat dan alendronat. Kemudian dapat pula digunakan diuretik tiazid, kalsium, vitamin D, kalsitonin, atau Selective Estradiol Receptor Modulators (SERMs) seperti raloxifen.[4] Selain obat-obat tersebut, dikembangkan estrogen eksogen atau Hormone Replacement Therapy (HRT) sebagai pengobatan osteoporosis yang dapat menurunkan pengurangan massa tulang serta mengurangi resiko fraktur. Namun, pengobatan ini jarang dipilih pasien karena adanya efek samping yang tidak diinginkan dan resiko kanker payudara serta kanker endometrium.[5] Maka, diperlukan adanya terapi non-hormonal atau terapi dari bahan alam yang dapat diterima sebagai pengobatan pencegahan osteoporosis. Fitoestrogen atau senyawa mirip estrogen (estrogen-like), terutama isoflavon, adalah alternatif potensial yang aman sebagai Hormone Replacement Therapy (HRT). Fitoestrogen diproduksi oleh tanaman dan memiliki fungsi yang sama dengan estrogen endogen.[6] Senyawa isoflavon terbukti memiliki efek anabolik pada komponen tulang yang dapat mencegah osteoporosis.[7] Isoflavon menstimulasi formasi tulang osteoblastik dan mencegah resorpsi tulang osteoklastik berdasarkan efek genom dan efek nongenom yang melibatkan reseptor estrogen sehingga dapat meningkatkan massa tulang.[8] Pachyrhizus erosus atau bengkuang adalah salah satu tanaman yang mengandung fitoestrogen. Terdapat 4 senyawa fitoestrogen pada bengkuang yaitu daidzein, daidzein-7-O-β-glucopyranose, (8,9)-furanyl-pterocarpan-3-ol, dan 5-hydroxyBIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

daidzein-7-O-β-glucopyranose.[9] Tablet effervescent merupakan tablet berbuih yang dibuat dengan cara kompresi granul yang mengandung garam effervescent atau bahan-bahan lain yang mampu melepaskan gas ketika bercampur dengan air. Reaksi yang terjadi pada pelarutan effervescent adalah reaksi antara senyawa asam dan senyawa karbonat untuk menghasilkan gas CO2.[10] Bentuk sediaan seperti ini dapat meningkatkan tingkat kesukaan terhadap produk dan mempengaruhi aspek psikologis konsumen. Di samping itu, kesannya sebagai obat juga akan berkurang sehingga dapat menarik minat konsumen yang tidak suka mengkonsumsi obat-obatan.[11] Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai pemanfaatan fitoestrogen isoflavon dalam bengkuang dan pengolahannya dalam produk yang lebih mudah dikonsumsi, yaitu tablet effervescent sebagai pengobatan osteoporosis. 2. METODE 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitaian Penelitian dilakukan di Laboratorium Materia Medika Batu, Laboratorium Formulasi Sediaan Farmasi dan Laboratorium Sediaan Steril Universitas Muhammadiyah Malang pada bulan Februari – Mei 2014. 2.2. Alat dan Bahan a. Alat Toples kaca bertutup, erlenmeyer, rotary evaporator, kertas saring, penyaring Buchner, shaker, waterbath, oven, disintegran, batang pengaduk, friability tester, ayakan mesh 80/100, ayakan no.12 dan no.18, sudip, corong gelas, stopwatch, statif, penggaris, gelas ukur, cawan porselen, jangka sorong, analitic balance, sieve shaker, moisture balance, hardness tester, beaker glass, pipet, pinset, sendok penyu, loyang, kertas perkamen, mortir dan stamper, handscoon, serta pisau. b. Bahan Bengkuang (Pachyrhizus erosus) yang berasal dari umbi (cormus). Bahan yang digunakan untuk ekstraksi bengkuang adalah etanol 96% p,a., sedangkan bahan yang digunakan untuk pembuatan tablet effervescent adalah laktosa, manitol, asam sitrat, asam tartrat, natrium bikarbonat, sakarin, gelatin, PVP 40 (Polivinil Pirolidon) dan mg-stearat dengan spesifikasi teknis.

9


2.3. Pembuatan Ekstrak Etanol Bengkuang (Pachyrhizus erosus) Umbi bengkuang sebanyak 21,5 kg dikupas, dicuci bersih dan diiris tipis dengan ketebalan ± 3mm. Kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 600C sampai kering. Simplisia yang dihasilkan sebanyak 1,5 kg digiling dan diayak dengan mesh 80/100. Serbuk yang dihasilkan dibasahi dengan 500 ml etanol 96% p.a., kemudian dimasukkan ke dalam toples kaca dan ditambah etanol hingga terendam oleh pelarut setinggi 5 cm di atas permukaan serbuk, sehingga etanol 96% p.a. yang dipakai

sebanyak 1400 ml. Aduk, tutup toples dan biarkan selama 24 jam dengan pengaduk/ shaker. Selanjutnya, saring ekstrak dengan penyaring Buchner, tampung dalam botol, masukkan ampas ke dalam toples lagi. Tambahkan etanol 96% p.a. sebanyak 1300 ml pada ampas, aduk, tutup rapat dan biarkan di atas shaker selama semalam. Saring ekstrak yang didapat dan lakukan remaserasi. Tampung ekstrak cair yang pertama hingga akhir. Kentalkan ekstrak cair dengan rotary evaporator dan diuapkan di waterbath hingga kental seperti pasta.

2.4. Pembuatan Tablet Effervescent 2.4.1. Formulasi Tablet Effervescent Tabel 1. Formulasi Tablet Effervescent Ekstrak Etanol Bengkuang Bahan

F1

F2

F3

F4

F5

Ekstrak

12,5%

12,5%

12,5%

12,5%

12,5%

PVP 40 Gelatin Asam sitrat

0,5% 7%

0,75% 7%

0,5% 7%

0,75% 7%

0,75% 7%

Asam tartrat

10%

10%

10%

10%

10%

20%

20%

20%

20%

20%

48% 1% 1%

47,75% 1% 1%

48% 1% 1%

47,75% 1% 1%

47,75% 1% 1%

2000 mg

2000 mg

2000 mg

2000 mg

2000 mg

Natrium bikarbonat Laktosa Manitol Mg stearat Sakarin Bobot tablet

Pembuatan tablet effervescent dari ekstrak etanol bengkuang dimulai dengan pembuatan granul terlebih dahulu sebelum dikempa. Tablet effervescent dalam penelitian ini dibuat dengan menggunakan metode granulasi basah. Pertama-tama dilakukan pengeringan ekstrak dengan cabosil sebanyak 0,1-0,5% dari bobot ekstrak. Zat pengikat (PVP 40/gelatin) dilarutkan dalam etanol 96% p.a. dan ditambah sedikit zat pewarna makanan hingga larut dan dibagi menjadi 3 bagian, ⅓ bagian untuk fase asam dan ⅔ bagian untuk fase basa. Pada fase asam ekstrak etanol bengkuang ditambahkan dengan ½ zat pengisi (laktosa/manitol) hingga homogen kemudian ditambahkan ⅓ bagian zat pengikat (PVP 40/gelatin), asam sitrat dan asam tartrat. Sedangkan pada fase basa, natrium bikar-

10

bonat ditambahkan ½ zat pengisi (laktosa/ manitol) dan ⅔ bagian zat pengikat (PVP 40/gelatin) hingga homogen, aduk semua hingga menjadi granul yang baik. Setelah terbentuk granul asam dan granul basa, masing-masing diayak dengan ayakan no.12 dikeringkan pada suhu 500C hingga nilai MC mencapai 0,2-0,3% kemudian diayak kembali dengan ayakan no.18. Campurkan granul asam dengan granul basa kemudian ditambahkan Mg stearat dan sakarin. Setelah semua homogen dilakukan uji fisik granul, pencetakan tablet dan yang terakhir dilakukan uji fisik tablet. 2.5. Pengujian Granul dan Tablet Effervescent Pengujian untuk granul effervescent meliputi uji waktu alir, sudut diam, kelBIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


ukuran, uji disolusi, kekerasan tablet dan kerapuhan tablet.

lembaban, dan distribusi granul. Sedangkan pengujian untuk tablet effervescent meliputi keseragaman bobot, keseragaman

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Pengujian Granul Tabel 2. Data Pengujian Granul Pengujian Uji waktu alir Sudut diam Kelembaban Distribusi granul

F1 3,91 g/dt 350 0,28% Fines 40%

F2 3,42 g/dt 310 0,30% Fines 34%

Dari data tabel 2 dapat dilihat bahwa kelembaban (MC) dari kelima formula pada granul basa dan asam telah memenuhi persyaratan, dimana persyaratan rentang MC yang baik yaitu 0,2-0,3%. Namun untuk sudut diam formula 1-3 tidak memenuhi persyaratan dimana persyaratan granul mempunyai sudut diam bagus bila 100 gram granul mempunyai sudut diam ≤ 3.2. Pengujian Tablet

Pengujian Keseragaman bobot (% penyimpangan) Kekerasan tablet Kerapuhan tablet Uji disintegrasi

F3 3,10 g/dt 310 0,25% Fines 25%

F4 3 g/dt 270 0,24% Fines 21%

F5 3,20 g/dt 280 0,28% Fines 13%

300. Walaupun demikian, uji waktu alir kelima formula juga memenuhi persyaratan, yaitu uji waktu alir tidak lebih dari 10 g/detik, yang menunjukkan granul bebas mengalir. Sedangkan untuk distribusi granul, formula 1-4 tidak memenuhi jumlah ideal fines, sedangkan formula 5 telah memenuhi jumlah ideal fines, yaitu <20%.

Tabel 3. Data Pengujian Tablet

F1*

F2*

F3*

F4

F5

39%

31%

23%

11%

8%

132 detik

220 detik

> 240 detik

2kg 0,81% 145 detik

5kg 0,66% 96 detik

*tablet rapuh dan lengket pada punch ketika dicetak sehingga tidak dapat dilakukan pengujian mutu fisik tablet secara akurat Pada data kekerasan tablet effervescent yang dapat dilihat di tabel 3 menunjukkan dari kelima formula hanya formula 1-3 yang tidak dapat diidentifikasi sebab tablet rapuh saat pencetakan sedangkan untuk formula 4 dan 5 telah memenuhi persyaratan, yaitu kekerasan tablet yang baik adalah 4-8kg. Kerapuhan tablet effervescent dari kelima formula hanya formula 1-3 yang tidak dapat diukur sebab tablet lengket pada punch ketika proses tabletasi, sedangkan untuk formula 4 dan 5 telah memenuhi persyaratan, dengan nilai kerapuhan <1%. Pada data uji disintegrasi tablet effervescent, hanya formula 5 yang memenuhi persyaratan waktu melarut, yaitu tablet effervescent akan hancur dan larut dalam 1-2 menit. BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

4. KESIMPULAN Pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa ekstrak bengkuang dapat diformulasikan menjadi tablet effervescent menggunakan metode granulasi basah dengan formulasi ekstrak sebesar 12,5%, zat pengikat PVP sebesar 0,75%, zat pengisi manitol sebesar 47,75%, zat pelincir Mg stearat sebesar 1%, zat pemanis sakarin sebesar 1% dan bahan pembentuk effervescent yaitu asam sitrat sebesar 7%, asam tartrat 10% serta natrium bikarbonat sebesar 20%, yang ditabletasi menggunakan metode cetak langsung menjadi tablet effervescent dengan bobot tablet sebesar 2gram.

11


5. SARAN Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan uji efektivitas ekstrak etanol bengkuang sebagai estrogen-like therapy untuk pencegahan osteoporosis apabila diformulasikan menjadi bentuk sediaan tablet effervescent. DAFTAR PUSTAKA [1] Katzung, B. G. Basic and Clinical Pharmacology 10th Ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc., 2007. [2] Arjmandi, B. H., et al. “Soy Isoflavones Osteoprotective Role in Postmenopausal Women: Mechanism of Action.” Journal of Nutritional Biochemistry. 13 (2002): 130-137. [3] Dipiro, J. T., et al. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach Seventh Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc., 2008. [4] Brunton, L. L. Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics 11th Ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc., 2006. [5] Wei, P., et al. “Systematic Review of Soy Isoflavone Supplements on Osteoporosis in Women.” Asean Pasific Journal of Tropical Medicine. (2012): 243-248. [6] Urasopon, N., et al. “Isoflavone Content

12

of Rodent Diets and Its Estrogenic Effect on Vaginal Cornification in Pueraria mirifica-Treated Rats.” Science Asia. 34 (2008): 371-376. [7] Ma, Z. J., et al. “Supplemental Intake of Isoflavones and Zinc-Containing Mineral Mixture Enhances Bone Components in The Femoral Tissue of Rats with Increasing Age.” Journal of Health Science. 46(5) (2000): 363-369. [8] Yamaguchi, M. “Isoflavone and Bone Metabolism: Its Cellular Mechanism and Preventive Role in Bone Loss.” Journal of Health Science. 48(3) (2002): 209-222. [9] Nurrochmad, A., et al. “Phytoestrogens of Pachyrhizus erosus prevent Bone Loss in an Ovariectomized Rat Model of Osteoporosis.” International Journal of Phytomedicine. 2 (2010): 363-372. [10] Ansel, H. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi 4th Ed. Jakarta: UI Press, 2005. [11] Hidayati, I.L. “Formulasi Tablet Effervescent dari Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) sebagai Anti Hipertensi.” Skripsi. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 2007.

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


Penelitian

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI DENGAN KOMPLIKASI DI RSUD KOTA SURAKARTA TAHUN 2014 Desy Nurmalita Sari1* Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta *Corresponding author’s email : desynurmalitasari93@gmail.com 1

ABSTRAK Pendahuluan: Hipertensi merupakan suatu kondisi dimana jantung mengalami kelainan sehingga terjadi peningkatan tekanan darah dalam tubuh. Peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol dengan baik akan memunculkan berbagai komplikasi seperti gagal ginjal dan diabetes mellitus. Penggunaan obat dalam terapi hipertensi dengan penyakit penyerta ini perlu dimonitoring dengan baik, sehingga terwujud pemberian terapi yang rasional berdasarkan 4T, yaitu tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental, dengan desain studi retrospektif, yaitu penelitian yang bersifat back-ward looking atau melihat ke belakang. Pada penelitian ini RSUD Kota Surakarta dipilih sebagai tempat penelitian karena di rumah sakit ini angka kejadian hipertensi sangat tinggi yaitu sebanyak 132 kasus. Subjek penelitian ini sebanyak 22 pasien hipertensi dengan penyakit penyerta diabetes melitus dan 22 pasien hipertensi dengan penyakit penyerta gagal ginjal kronik. Hasil: Hasil evaluasi penggunaan obat antihipertensi dosis normal pada pasien hipertensi dengan penyakit penyerta diabetes melitus adalah 90,9% tepat indikasi, 68,18% tepat obat, 64,29% tepat dosis, dan 100% tepat pasien. Sedangkan pada pasien hipertensi dengan penyakit penyerta gagal ginjal kronik adalah 95,45% tepat indikasi, 72,68% tepat obat, 63,63% tepat dosis, dan 100% tepat pasien. Kesimpulan: Masih terdapat ketidaktepatan obat dan ketidaktepatan dosis pada penggunaan obat antihipertensi dengan dosis normal di RSUD Kota Surakarta pada tahun 2014 untuk pasien hipertensi dengan komplikasi diabetes mellitus dan gagal ginjal kronis. Kata kunci: hipertensi, gagal ginjal, Diabetes Melitus, 4T ABSTRACT Background: Hypertension is a heart defect that results in increased blood pressure in the body. Uncontrolled Increased blood pressure can lead to many various complications such as kidney failure and diabetes mellitus. The use of drugs in the treatment of hypertension with concomitant diseases needs to be monitored properly, to realize a 4T rational therapy based, that are the right indication, the right patient, the right medication and the right dosage. Methods: This study is a non-experimental, with a retrospective study design, which is a back-ward looking research. Surakarta City Hospital was choosen as a place of this research because of its most incidence rate of hypertension as many as 132 cases. Subjects of this study were 22 hypertensive patients with comorbidities of diabetes mellitus and 22 hypertensive patients with chronic renal failure comorbidities. Results: The evaluation results of the use of normal dose antihypertensive drugs in hypertensive patients with comorbidities of diabetes mellitus was 90.9% accurate indication, 68.18% the right drug, the right dose of 64.29%, and 100% right patient. While in hypertensive patients with chronic renal failure comorbidities is 95.45% accurate indication, 72.68% the right drug, the right dosage of 63.63%, and 100% right patient. Conclusion: There were still a drug imprecision and inaccuracy dose in use of antihypertensive drugs in normal doses in hospitals Surakarta in 2014 for hypertensive patients with complications of diabetes mellitus and chronic renal failure. Keywords: hypertension, renal failure, diabetes mellitus, 4T BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

13


1.

PENDAHULUAN Global Status Report on Noncommunicable Disease 2010 dari WHO menyebutkan bahwa 40 persen negara ekonomi berkembang memiliki penderita hipertensi, sedangkan negara maju hanya 35 persen. Di Indonesia, angka penderita hipertensi mencapai 32 persen pada tahun 2008 dengan kisaran usia di atas 25 tahun.[1] Hipertensi adalah suatu kondisi dimana jantung mengalami kelainan dengan adanya peningkatan tekanan darah dalam tubuh.[2] Gagal ginjal menjadi salah satu penyakit penyerta pada hipertensi yang dapat terjadi apabila tidak ditangani secara baik[3] Hipertensi dapat memicu terjadinya gagal ginjal baik akut atupun kronik, karena dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan fungsi ginjal untuk memfiltrasi darah dengan baik. Penurunan fungsi ginjal untuk memfiltrasi ini disebabkan adanya kerusakan pembuluh darah dalam ginjal.[4] Menurut persatuan nefrologi Indonesia (2009), angka kejadian gagal ginjal kronis di Indonesia mencapai angka 70.000 penderita. Diabetes melitus merupakan faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya aterogenik, termasuk pada hipertensi[5] Pada tahun 2008, hasil riset Kesehatan Dasar menunjukkan angka kejadian diabetes melitus di Indonesia mencapai angka 57% dari jumlah penduduk Indonesia. Peningkatan tekanan darah dan keberadaan penyakit penyerta menjadi acuan untuk menentukan terapi farmakologi pada hipertensi.[6] Penggunaan obat pada terapi antihipertensi ini, kemudian mempengaruhi rasionalitas peresepan pada terapi antihipertensi. Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011), separuh dari obat yang diresepkan, diberikan dan dijual dengan tidak tepat, hal ini menyebabkan pasien menggunakan obat dengan tidak tepat pula. Senada dengan hasil yang ditunjukkan oleh Charina (2014) di RS Bethesda Yogyakarta dengan 73 kasus pasien hipertensi, yakni 73 kasus hipertensi menerima obat dengan tepat indikasi, 8 kasus tidak tepat obat dan tidak tepat pasien, dan 22 kasus tidak tepat dosis. Hal tersebut menjadi latar belakang penulis untuk melakukan penelitian evaluasi ketepatan penggunaan obat antihipertensi di RSUD Kota Surakarta tahun 2014. Angka kejadian hipertensi di RSUD Kota Surakarta tahun 2014 menjadi angka kejadian terban-

14

yak, yakni sejumlah 132 kasus (Karomah, 18 Februari 2015 komunikasi pribadi) dan juga rumah sakit ini merupakan rumah sakit yang baru didirikan kurang lebih 3 tahun terakhir, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengevaluasi rasionalitas penggunaan obat antihipertensi di rumah sakit ini. 2. METODE 2.1. Kategori Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental, yakni penelitian tanpa adanya intervensi terhadap subjek penelitian. Desain penelitian ini adalah retrospektif, yaitu penelitian yang bersifat back-ward looking atau melihat ke belakang. 2.2. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Hipertensi, dalam penelitian ini yang dimaksud dengan hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah lebih dari 140 mmHg/90 mmHg.[7] 2. Komplikasi adalah adanya penyakit penyerta gagal ginjal kronik dan diabetes melitus. 3. Tepat indikasi adalah penggunaan obat dalam terapi harus sesuai dengan indikasi atau sesuai dengan diagnosis yg ditegakkan. 4. Tepat pasien adalah penggunaan obat dalam terapi harus mempertimbangkan kondisi pasien, yakni tidak terdapat kontraindikasi terhadap pasien. 5. Tepat obat adalah obat yang diberikan dalam terapi merupakan drug of choice atau fist line therapy dengan jenis obat yang diberikan sesuai dengan diagnosis yang ditegakkan. 6. Tepat dosis adalah pemberian obat dalam terapi harus sesuai dengan besarnya dosis yang diberikan, frekuensi pemberian aturan pakainya, dan rute pemberiannya. 2.3. Populasi dan Sampel 1. Populasi adalah semua pasien yang terdiagnosis hipertensi dan mendapatkan terapi obat antihipertensi di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Surakarta Tahun 2014. 2. Sampel adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Berikut kriteria inklusi dalam penelitian ini: a. Pasien hipertensi dengan penyakit BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


penyerta gagal ginjal kronik dan hipertensi dengan diabetes melitus. b. Pasien yang menjalani perawatan rawat inap. c. Pasien hipertensi dengan umur dewasa, yaitu umur pasien >18 tahun.[3] d. Pasien dengan data rekam medis yang lengkap (nomor rekam medik, nama pasien, berat badan pasien, umur pasien, tekanan dah pasien, diagnosa pasien, obat yang diberikan, rute pemberian obat, dosis, aturan pakai, serum kreatinin yang digunakan untuk mengukur fungsi ginjal, dan fungsi hati yang dapat dilihat dari kadar SGPT dan SGOT). e. Pasien dengan terapi antihipertensi. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Pasien dewasa dengan kondisi hamil. b. Pasien hipertensi tanpa penyakit lain. 2.4. Pengumpulan Data Desain penelitian ini adalah retrospektif, sehingga sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rekam medik. Selanjutnya data rekam medik pasien dicatat dengan lengkap, yakni nomor rekam medik, nama pasien, berat badan pasien, umur pasien, tekanan darah pasien, diagnosa pasien, obat yang diberikan, rute pemberian obat, dosis, aturan pakai, serum kreatinin yang digunakan untuk mengukur fungsi ginjal, dan fungsi hati yang dapat dilihat dari kadar SGPT dan SGOT. 2.5. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Ruang Rekam Medik RSUD Kota Surakarta. 2.6. Jalannya Penelitian Tahapan penelitian yang dilalui oleh penulis, sebagai berikut: 1. Penyusunan proposal penelitian 2. Pelengkapan administrasi penelitian Pada rangkaian pelengkapan administrasi penelitian diawali dengan permohonan ijin penelitian dari Fakultas Farmasi UMS kepada BAPPERDA Kota Surakarta dan KESBANGPOL Kota Surakarta, yang kemudian mendapatkan cap instansi sebagai tanda telah disetujuinya perijinan penelitian yang BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

diajukan. Kemudian, surat ijin penelitian yang telah disetujui oleh kedua instansi tersebut dilanjutkan ke RSUD Kota Surakarta, dan penulis mendapatkan surat disposisi sebagai tanda bahwa penulis telah diijinkan untuk melakukan penelitian di RSUD Kota Surakarta. 3. Observasi dan pengumpulan data, meliputi: a. Pengumpulan data rekam medik di RSUD Kota Surakarta yang memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan. b. Data yang dibutuhkan untuk pengolahan data pada penelitian ini, yaitu data rekam medik yang lengkap, meliputi: nomor rekam medik, nama pasien, berat badan pasien, umur pasien, tekanan darah pasien, diagnosa pasien, obat yang diberikan, rute pemberian obat, dosis, aturan pakai, kadar SGPT/SGOT, dan serum kreatinin, berikut rumus Cocroft and Gault untuk menghitung klirens kreatinin: Clcr=

x 0,85

(jika pasien wanita) Keterangan: Clcr = perkiraan klirens kreatinin (mL/min) Cr = serum kreatinin (mg/dL) 2.7. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini digunakan beberapa referensi untuk mengevaluasi tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, dan tepat pasien. Berikut adalah referensinya: • Tepat indikasi dianalisis dengan menggunakan referensi The Seventh Joint National Commitee tahun 2003 dan Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach tahun 2008.[3] • Tepat obat dianalisis dengan menggunakan referensi The Seventh Joint National Committee tahun 2003, Journal Clinical Diabetes tahun 2007, dan Indian Journal of Nephrology tahun 2005.[7.8,9] • Tepat dosis dianalisis dengan menggunakan referensi British National Formulary 57 tahun 2009 dan Drug Dosing in Critically Ill Patients with Renal Failure

15


2000.[10,11] • Tepat pasien dianalisis dengan menggunakan referensi British National Formulary 57 tahun 2009.[10] Dari hasil evaluasi yang diperoleh, kemudian dianalisis secara menyeluruh dengan menggunakan Ms. Excel dan disajikan dalam bentuk persentase.

3. HASIL 3.1. Evaluasi Tepat Indikasi Pemberian obat dalam terapi harus sesuai dengan indikasi yang ada, atau sesuai dengan diagnosa berikut tabel evaluasi tepat indikasi dalam penelitian ini:

Tabel 1. Evaluasi tepat indikasi pada penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi dengan gagal ginjal kronik Pasien Nomor

Obat yang diberikan

Ket

29 dan 38 34 39

Lisinopril Furosemid Amlodipin

TI TI TI

Jumlah dan Persentase (N=22) 2 (9,11%) 1 (4,55%) 1 (4,55%)

23, 28, 30 24, 26 27 25

Furosemid-verapamil Irbesartran-furosemidbisoprolol Captopril-verapamil Lisinopril-furosemid Captopril-irbesartanspironolakton-amlodipin Irbesartran-furosemid Irbesartran-amlodipin Irbesartan-furosemidamlodipin-bisoprolol Irbesartan-furosemidamlodipin Irbesartran-furosemid Furosemid peroral dengan furosemid intravena

TI TI TI TI

3 (13,67%) 1 (4,55%) 1 (4,55%) 1 (4,55%)

TI TI TI TI TI TI

1 (4,55%) 2 (9,11%) 1 (4,55%) 2 (9,11%) 4 (18,18%) 1 (4,55%)

TTI

1 (4,55%)

31 dan 42 41 37 dan 32 35,33,36, 40 43

44

Pada tabel 1 menunjukkan hasil 95,45% dari 22 subjek penelitian adalah tepat indikasi. Terdapat satu subjek penelitian yaitu pasien dengan nomor urut 44 menunjukkan hasil tidak tepat indikasi. Dalam data rekam medik, terdapat beberapa pasien yang mengalami oedem, sehingga perlu adanya obat untuk mengeluarkan cairan

dari dalam tubuh pasien. Penggunaan furosemid golongan loop diuretik dalam terapi ini diindikasikan untuk mengeluarkan cairan oedem. Namun, keterbatasan dalam penelitian ini penulis tidak mengetahui riwayat pengobatan pasien sebelumnya, sehingga kemungkinan pemberian terapi tersebut telah dipertimbangkan.

Tabel 2. Evaluasi tepat indikasi pada penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi dengan gagal ginjal kronik Pasien Nomor 7 dan 17 11 dan 12 14,21,dan 22 16 1 dan 5 2

16

3,6, 19 9 13 18 dan 20

Obat yang diberikan

Ket

Amlodipin Captopril Lisinopril Bisoprolol Captopril-furosemid-bisoprolol Irebsartan-furosemid-amlodipinbisoprolol Captopril-amlodipin Captopril-Furosemid Irbesartan-furosemid-amlodipin Irbesartan-furosemid

TI TI TI TI TI TI

BIMFI

TI TI TI TI

Jumlah dan Persentase (N=22) 2 (9,11%) 2 (9,11%) 3 (13,64%) 1 (4,55%) 2 (9,11%) Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

1 (4,55%) 3 (13,64%) 1 (4,55%) 1 (4,55%) 2 (9,11%)


Pasien Nomor 7 dan 17 11 dan 12 14,21,dan 22 16 1 dan 5 2 3,6, 19 9 13 18 dan 20 8 dan 10 4 1

Obat yang diberikan

Ket

Amlodipin Captopril Lisinopril Bisoprolol Captopril-furosemid-bisoprolol Irebsartan-furosemid-amlodipinbisoprolol Captopril-amlodipin Captopril-Furosemid Irbesartan-furosemid-amlodipin Irbesartan-furosemid Captopril-lisinopril Furosemid peroral-furosemid intravena CaCO3

TI TI TI TI TI TI

Jumlah dan Persentase (N=22) 2 (9,11%) 2 (9,11%) 3 (13,64%) 1 (4,55%) 2 (9,11%) 1 (4,55%) 3 (13,64%) 1 (4,55%) 1 (4,55%) 2 (9,11%) 2 (9,11%) 1 (4,55%) 1 (4,55%)

TI TI TI TI TI TTI TTI

Pada tabel 2 menunjukkan hasil 90,9% dengan indikasi atau tidak sesuai dengan subjek penelitian mendapatkan obat anti- diagnosa yang telah ditegakkan menyebabhipertensi yang sesuai dengan diagnosa kan terapi yang diberikan tidak rasional. 1. Evaluasi Tepat Obat yang telah ditegakkan. Senada dengan Tepat obat menurut DepKes RI hasil yang ditunjukkan pada tabel 2, dimana furosemid dalam terapi ini tidak diindikasi- (2015) adalah pemberian obat sesuai kan untuk hipertensi, namun berfungsi un- dengan kelas terapi yang sesuai dengan tukmengeluarkan cairan oedem dari dalam diagnosa yang telah ditegakkan. Dalam tubuh pasien. CaCO3 dalam terapi ini pun penelitian ini, tepat obat adalah obat yang tidak diindikasikan sebagai antihipertensi digunakan dalam terapi merupakan drug of melainkan sebagai penanggulangan ter- choice atau obat pilihan pertama. Berikut hadap defisiensi kalsium akibat kerusakan tabel evaluasi ketepatan pemberian obat. ginjal . Pemberian obat yang tidak sesuai Tabel 3. Evaluasi tepat obat pada penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi dengan gagal ginjal kronik Pasien Nomor 29 dan 38 34 39 23, 28, 30 24, 26 27 25 31 dan 42 41 37 dan 32 35,33,36,40 43 44

Obat yang diberikan

Rute pemberian

Ket

Lisinopril Furosemid* Amlodipin Furosemid*-verapamil Irbesartran-furosemid*-bisoprolol Captopril-verapamil Lisinopril-furosemid* Captopril-irbesartan-spironolakton-amlodipin Irbesartran-furosemid Irbesartran-amlodipin Irbesartan-furosemid-amlodipin-bisoprolol Irbesartan-furosemid*-amlodipin Irbesartran-furosemid*

Peroral Intravena Peroral Peroral Peroral Peroral Peroral Peroral Peroral Peroral Peroral Peroral Peroral

TO TTO TTO TTO TO TO TO TO TO TO TO TO TO

Jumlah dan Persentase (N=22) 2 (9,11%) 1 (4,55%) 1 (4,55%) 3 (13,67%) 1 (4,55%) 1 (4,55%) 1 (4,55%) 1 (4,55%) 2 (9,11%) 1 (4,55%) 2 (9,11%) 4 (18,18%) 1 (4,55%)

Furosemid peroral dengan furosemid intravena

Peroral

TTO

1 (4,55%)

Ket : *diberikan secara intra vena TO : tepat obat TTO : tidak tepat obat Pada tabel 3 menunjukkan hasil 72,68% subjek penelitian mendapatkan obat antihipertensi sesuai dengan first line therapy atau drug of choice. Menurut SaBIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

seen dan Maclaughlin (2008) obat pilihan pertama untuk terapi hipertensi pada pasien hipertensi dengan penyakit penyerta gagal ginjal kronik adalah antihipertensi golongan

17


ACEI atau ARB. ACEI dan ARB digunakan sebagai obat pilihan pertama ini pun sesuai dengan rekomendasi Indian Journal of Nephrology tahun 2005, dan KDIGO tahun

2012. Antihipertensi golongan ACEI atau ARB ini dapat mengurangi tekanan intraglomerular yang dapat mengurangi penurunan fungsi ginjal

Tabel 4. Evaluasi tepat obat pada penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi dengan diabetes melitus Obat yang diberikan

Rute Pemberian

Ket

Amlodipin Captopril Lisinopril Bisoprolol

Peroral Peroral Peroral Peroral

TTO TO TO TTO

Jumlah dan Persentase (N=22) 2 (9,11%) 2 (9,11%) 3 (13,64%) 1 (4,55%)

Captopril-furosemid*-bisoprolol Irebsartan-furosemid*-amlodipinbisoprolol Captopril-amlodipin Captopril-Furosemid* Irbesartan-furosemid-amlodipin Irbesartan-furosemid* Captopril-lisinopril Furosemid peroral-furosemid intravena CaCO3

Peroral Peroral

TO TO

2 (9,11%) 1 (4,55%)

Peroral Peroral Peroral Peroral Peroral Peroral

TO TO TO TO TTO TTO

3 (13,64%) 1 (4,55%) 1 (4,55%) 2 (9,11%) 2 (9,11%) 1 (4,55%)

Peroral

TTO

1 (4,55%)

Pasien Nomor 7 dan 17 11 dan 12 14,21,22 16 1 dan 5 2 3,6, 19 9 13 18 dan 20 8 dan 10 4 1

Ket : *diberikan secara intra vena TO : tepat obat TTO : tidak tepat obat Tabel 4 menunjukkan hasil 68,18% subjek penelitian mendapatkan terapi sesuai dengan drug of choice untuk terapi hipertensi dengan penyakit penyerta diabetes melitus. Sesuai dengan JNC VII tahun 2003, Journal of Clinical Diabetes tahun 2007, dan Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach tahun 2008, bahwa drug of choice untuk terapi hipertensi dengan penyakit penyerta diabetes melitus adalah antihipertensi golongan ACEI atau ARB. Dalam tabel tersebut menunjukkan pula adanya duplikasi obat yakni captopril dan lisinopril, dimana kedua obat ini merupakan

obat dalam satu golongan yaitu ACEI, memiliki mekanisme aksi yang sama, dan efek samping yang sama. Penggunaan obat dengan cara duplikasi ini dapat meningkatkan efek samping dari obat, sehingga hal ini menyebabkan pengobatan tidak rasional. 2. Evaluasi Tepat Dosis Tepat dosis dalam penelitian ini adalah pemberian obat dalam terapi harus sesuai dengan range terapi yang ada, ditinjau dari besarnya dosis yang diberikan dan frekuensi pemberian atau aturan pakainya (DepKes RI, 2015).

Tabel 5. Evaluasi tepat obat pada penggunaan obat antihipertensi dengan komplikasi DM Diagnosa

Nama Obat

Hipertensi-Diabetes Melitus

Furosemid Bisoprolol Captopril Irbesartran Amlodipin Lisinopril CaCO3

18

Dosis dan Aturan Pakai

Dosis dan Aturan Pakai (BNF 57)

Ket

Jumlah (N=42)

1x 40 mg 2x 1g* 1x 5 mg 2x 25 mg 1x 150 mg 1x 10 mg 1x 10 mg 1x 300 mg

1x 40 mg 1x 10mg/mL 1x 5-20 mg 1x 12,5-25 mg 1x 150-300 mg 1x 5-10 mg 1x 2,5-10 mg 1x 1g

TD TTD TD TTD TD TD TD TTD

5 (11,90 %) 6 (14,29%) 3 (7,14%) 8 (19,04%) 4 (9,52%) 7 (16,67%) 6 (14,29%) 1 (2,38%)

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


Ket : *diberikan secara intra vena TD : tepat dosis TTD : tidak tepat dosis Pada tabel 5 dapat dilihat pada hasil evaluasi ketepatan dosis penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi dengan komplikasi diabetes melitus, sebanyak 35,71% dari 42 obat antihipertensi yang diberikan kepada 22 subjek penelitian tidak tepat dosis. Ketidaktepatan dosis ini disebabkan oleh frekuensi pemberian yang

berlebihan. Hal ini merupakan pemberian obat yang tidak rasional. Namun keterbatasan dalam penelitian ini, penulis tidak mengetahui riwayat pengobatan pasien sebelumnya, sehingga pemberian obat dengan dosis dan frekuensi yang tercantum dalam tabel 5 dimungkinkan telah dipertimbangkan.

Tabel 6. Evaluasi tepat dosis pada penggunaan obat antihipertensi dengan komplikasi GGK Diagnosa Hipertensi-Gagal Ginjal Kronik

Nama Obat Furosemid Bisoprolol Captopril Irbesartran Amlodipin Lisinopril Verapamil Spironolakton

Dosis dan Aturan Pakai

Dosis dan Aturan Pakai (BNF 57)

Ket

Jumlah (N=42)

1x 40 mg 4x 2 g* 1x 2,5 mg 3x 25 mg 1x 300 mg 1x 10 mg 1x 5 mg 1x 40 mg 1x 25 mg

1x 40 mg 1x 10mg/mL 1x 5-20 mg 1x 12,5-25 mg 1x 150-300 mg 1x 5-10 mg 1x 2,5-10 mg 3x 40 mg 1x 100 mg

TD TTD TTD TTD TD TD TD TTD TTD

8 (14,54%) 10 (18,18%) 5 (9,09%)) 2 (3,64%) 13(23,64%) 12(21,82%) 2 (3,64%) 2 (3,64%) 1 (1,82%)

Ket : *diberikan secara intra vena TD : tepat dosis TTD : tidak tepat dosis Dalam tabel 6 evaluasi ketepatan dosis pada penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi dengan komplikasi gagal ginjal kronik, menggunakan parameter dosis untuk pasien hipertensi dengan kondisi ginjal yang normal. Dari data di atas diperoleh hasil 36,37% dari 55 obat antihipertensi yang diberikan kepada 22 subjek

penelitian tidak tepat dosis. 3. Evaluasi Tepat Pasien Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan tepat pasien adalah penggunaan obat dalam terapi harus mempertimbangkan kondisi pasien, yakni tidak terdapat kontraindikasi terhadap pasien (DepKes RI, 2015).

Tabel 7. Evaluasi tepat pasien pada penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi dengan komplikasi diabetes melitus Diagnosa HipertensiDiabetes Melitus

HipertensiGagal Ginjal Kronik

BIMFI

Nama Obat

Kontra Indikasi

Ket

Furosemid Bisoprolol Captopril Lisinopril Irbesartran Amlodipin

Hipokalemia berat, pingsan, serosis hati, nefrotoksik karena obat, anuria, hamil, hipersensitif, bradikardi

Tepat Pasien Tepat Pasien Tepat Pasien Tepat Pasien Tepat Pasien Tepat Pasien Tepat Pasien

Furosemid Spironolakton Captopril Lisinopril Verapamil Amlodipin Irbesartran Bisoprolol

Hipokalemia berat, pingsan, serosis hati, nefrotoksik karena obat, anuria, hamil, hipersensitif, bradikardi

Tepat Pasien Tepat Pasien Tepat Pasien Tepat Pasien Tepat Pasien Tepat Pasien Tepat Pasien Tepat Pasien Tepat Pasien

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

Jumlah dan Persentase (N=22) 22 (100%)

22 (100%)

19


Dalam tabel 7 jumlah ketepatan pasien dalam penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi dengan komplikasi diabetes melitus, dan pasien hipertensi dengan komplikasi gagal ginjal kronik adalah 100%. Berdasarkan data rekam medik yang ada, tidak terdapat catatan kondisi pasien seperti yang tercantum dalam kontra indikasi dalam tabel 7 tersebut. Sehingga pemberian obat antihipertensi pada subjek penelitian ini rasional. 4. KESIMPULAN Hasil evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi dengan penyakit penyerta diabetes melitus adalah 90,9% tepat indikasi, 68,18% tepat obat, 64,29% dari 42 penggunaan obat antihipertensi pada 22 subjek penelitian tepat dosis, dan 100% tepat pasien. Sedangkan pada pasien hipertensi dengan penyakit penyerta gagal ginjal kronik adalah 95,45% tepat indikasi, 72,68% tepat obat, 63,63% dari 55 penggunaan obat antihipertensi dengan dosis normal pada 22 subjek penelitian tepat dosis, dan 100% tepat pasien. 5. SARAN Penelitian perlu dilanjutkan dengan desain penelitian prospektif agar lebih mengetahui pertimbangan dokter dalam memberikan terapi pada pasien. DAFTAR PUSTAKA [1] Widiyani, Rosmha, 2013, Penderita Hipertensi Terus Meningkat, <http://

20

health.kompas.com> (diakses tanggal 8 Februari 2015) [2] Rusdi dan Nurlaela, Isnawati, 2009, Awas! Anda Bisa Mati Cepat Akibat Hipertensi dan Diabetes, Yogyakarta: Powerbook [3] Dipiro, T. J., Talbert, L. R., Yee, C. G., Matzke, R. G., Wells, G. B. & Posey, M. L., 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, United States of America: The Mc-Graw Hill Companies [4] Guyton, A. C., 2006, Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit (Edisi Ketiga), Jakarta: EGC [5] Creager, M.A. & Luscher, T.F., 2003, Diabetes and Vascular Disease: Patofisiology, Clinical Consequnces and Medical Therapy: Part 1 [6] Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. A. P. & Kusnandar, 2008, ISO Farmakoterapi, Jakarta, PT. ISFI Penerbitan [7]. James, A., et al. 2014-Evidence Based Guideline for The Management of High Blood Pressure in Adults Report From The Panel Members Appointed to The Eighth Joint National Commitee (JNC VIII). U.S: Department of Health and Human Service, 2014. [8]. Cavanaugh, K.L. “Diabetes Management Issues for Patients With Chronic Kidney Disease.� Clinical Diabetes. 25 (2007): 90-7. [9]. Gupta, R. “Hypertension in India: Definition, Prevalence and Evaluation. J Indian Med Assoc. 97 (1999): 74-80.

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


Penelitian

TOKSISITAS AKUT JAMUR LAUT CURVULARIA SP. UNTUK BAHAN OBAT MULTIDRUG-RESISTANT TUBERCULOSIS (MDR-TB) Nurul Asih R.2*, Putri N. R.1, M. Awaludin1, Irina Anindya M.1, Abdul Azis A.1 Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Padjajaran Fakultas Farmasi, Universitas Padjajaran *Corresponding author’s email : ramadhaninurulasih@gmail.com 1 2

ABSTRAK Pendahuluan: Kasus Multidrug-Resistant Tuberculosis (MDR-TB) setiap tahunnya mengalami peningkatan, sedangkan bakteri M. tuberculosis telah mengalami resistant (tahan) terhadap obat lini pertama, sehingga diperlukan obat baru untuk mengobati penderita MDR-TB. Seleksi isolat unggulan dengan aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa Curvularia sp. asal karang lunak (Sinularia sp.) mampu menghambat pertumbuhan bakteri MDR-TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis toksisitas akut dari Curvularia sp. sebagai tahapan praklinis pengembangan bahan baku obat MDR-TB. Metode: Metode ekperimen yang digunakan terdiri dari kelompok perlakuan dan kontrol. Hewan uji yang digunakan adalah tikus jantan (Rattus norvegicus) galur wistar. Uji toksisitas akut dilakukan kepada delapan kelompok (satu kelompok kontrol dan tujuh kelompok perlakuan dengan dosis bertingkat). Pengamatan dilakukan selama 14 hari meliputi jumlah hewan uji yang mati. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak Curvularia sp. dengan dosis 12.600 mg/kgBB tidak menimbulkan kematian pada hewan uji. Kesimpulan: Ekstrak Curvularia sp. termasuk ke dalam kategori praktis tidak toksik. Kata Kunci: Curvularia sp., toksisitas, MDR-TB,

ABSTRACT Introduction: The cases of Multidrug-Resistant Tuberculosis (MDR-TB) increase every year. Whereas M. tuberculosis bacteria have been resistant for first line drugs, so it necessary to find a new drugs to cure MDR-TB patient. The selection of superior isolate with antibacterial activities show that Curvularia sp. from soft coral (Sinularia sp.) can inhibit the growth of MDR-TB bacterial. This research is done in order to find out the acute toxicity level of Curvularia sp. as the preclinical stage of development of medicinal raw materials of Multidrug-Resistant Tuberculosis (MDR-TB). Methods: The method conducted in this study is an experimental method which consists of treatment and control groups, using the Wistar strain male rats (Rattus norvegicus) as the testing animals. The acute toxicity test is comprised of eight groups (one control group and seven treatment groups with a gradual dose). Observation has been made in 14 days including observing the dead testing animals. Result: The result shows that the dose of the extract of Curvularia sp. that is not lethal is 12,600 mg/kgBW. Conclusion: The extract of Curvularia sp. is categorized as practically nontoxic. Keywords: Curvularia sp., toxicity, MDR-TB

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

21


1.

PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dengan gejala umum batuk kronis. Pada saat ini, pengobatan tuberkulosis menemukan masalah yang krusial, dimana bakteri M. tuberculosis telah mengalami resistensi (tahan) terhadap obat lini pertama seperti rifampisin dan isoniazid, yang selanjutnya disebut sebagai keadaan Multidrug-Resistant tuberculosis (MDR-TB).[1] MDR-TB dapat berupa resistensi primer dan sekunder. Resistensi primer merupakan kondisi resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) sebelumnya, biasanya dapat dijumpai khususnya pada pasien-pasien positif HIV. Resistensi sekunder merupakan resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sudah sensitif terhadap obat. Resistensi M.tuberculosis terus me-ningkat terutama di negara sedang berkembang sehingga diperlukan alternatif obat baru.[2] WHO (2013), menyampaikan data bahwa, sekitar 3,6% dari kasus baru pasien TB di dunia telah menjadi MDR-TB. Kemudian diperkirakan bahwa ada sekitar 450.000 kasus baru MDR-TB di dunia dan sekitar 170.000 kematian akibat MDRTB terjadi di tahun 2012. Hampir 84.000 pasien MDR-TB tercatat oleh WHO secara global di tahun 2012, angka tersebut telah mengalami peningkatan dari tahun 2011 yaitu dari 62.000 pasien MDR-TB. Pengobatan terhadap pasien MDR TB lebih sulit, mahal dan memberikan hasil yang kurang memuaskan. WHO Green Light Committee (GLC) membuat strategi pengobatan MDRTB dengan promosi penggunaan obat lini kedua dan meningkatkan mutu obat lini kedua. Namun sejauh ini belum ditemukan OAT baru untuk mengatasi masalah MDRTB.[3] Bioprospeksi obat baru dari hasil eksplorasi laut telah banyak dilakukan untuk menghasilkan senyawa antibiotik seperti: alkaloid, makrolid, terpenoid, atau derivat peptide.[4] Eksplorasi endofitik mikrofungi seperti Penicillium janthinellam, Aspergillus conicus, Phomosis sp. telah diteliti untuk melihat kemampuannya dalam menghasilkan senyawa bioaktif dan aktivitas antibakteri.[5] Telah dilakukan uji pendahuluan untuk

22

mendapatkan isolat jamur simbion Curvularia sp. dari karang lunak Sinularia sp. yang berpotensi menghambat pertumbuhan bakteri Mycobacterium tuberculosis H37RV.[6] Ekstrak hasil fermentasi Curvularia sp. menunjukkan sensitivitas aktivitas antimikroba dari jamur tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri MDRTB dengan nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) adalah 0,5 %.[7] Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan dosis terendah toksisitas efek ekstrak Curvularia sp. secara in vivo pada hewan uji. Tahapan penelitian ini sangat penting dilakukan untuk menguji keamanan senyawa antibakteri jamur Curvularia sp. untuk dijadikan bahan baku obat MDR-TB yang dapat diaplikasikan terhadap manusia. 2. METODE 2.1. Persiapan Hewan Uji Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus (Rattus norvegicus) jantan strain Wistar yang berumur 2-3 minggu dengan berat badan tikus antara 120 - 170 gram. Proses adaptasi hewan sesuai dengan standar OECD 425, 2008. Penggunaan hewan coba dalam penelitian telah mendapatkan sertifikat etik dari komisi etik penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. 2.2. Persiapan Ekstrak Hasil Fermentasi Curvularia sp. Isolat Curvularia sp. merupakan kultur koleksi Laboratorium Mikrobiologi Unpad Metode kultivasi dan preservasi dilakukan berdasarkan metode dari Hasyim, dkk.[6] 2.3. Pembuatan Ekstrak Hasil Fermentasi Curvularia sp. Fermentasi jamur Curvularia sp. dilakukan dengan menggunakan Medium Potatoe Dextrose Yeast (PDY). Koloni murni hasil kultur pada cawan petri yang telah diinkubasi selama 7 hari, kemudian diambil tiga potongan berukuran Âą 1 x 1 cm lalu diinokulasikan ke dalam medium fermentasi cair PDY dan di fermentasi menggunakan rotary shaker dengan kecepatan 130 rpm. Fermentasi dilakukan pada suhu ruang selama 16 hari. Hasil fermentasi disentrifugasi agar diperoleh supernatan yang akan dilanjutkan ke tahap ekstraksi.[8] Pelarut yang digunakan untuk mengBIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


ekstraksi hasil fermentasi Curvularia sp. adalah pelarut etil asetat (semipolar) dan N-heksana (non polar). Hasil ekstraksi yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator pada tekanan rendah dan suhu 50oC sampai terbentuk ekstrak kental. Ekstraksi cair-cair terdiri dari dua tahap, yaitu pencampuran secara intensif sampel dengan pelarut, dan pemisahan kedua fasa cair sesempurna mungkin.

9100, 12.000, 12.600, dan 17.500 mg/ kgBB. Dosis main test ini ditentukan berdasarkan progresi dosis pada Tabel Annex Pedoman OECD 425 (2008).[9] 2.5. Pembuatan Preparat Histologi Organ Hati Pembuatan preparat histologi organ hati menggunakan metode parafin yang terdiri atas tahapan fiksasi, pencucian, dehidrasi, penjernihan, infiltrasi, penanaman, trimming, penyayatan, penempelan, pewarnaan, penutupan dan pelabelan berdasarkan metode.[10]

2.4. Uji Toksisitas Akut Tahapan uji dengan Limit test menggunakan hewan uji sebanyak lima ekor yang dipilih secara acak dan dibagi ke dalam dua kelompok perlakuan yaitu kelompok 3. HASIL DAN PEMBAHASAN dosis 2.000 mg/kgBB dan 5.000 mg/kgBB. 3.1. Batas Dosis Ekstrak Curvularia sp. Pengamatan dilakukan dalam waktu 14 Hasil Limit Test hari. Tahap uji Main Test dilakukan dengan Limit test merupakan uji pendahupemberian ekstrak sebanyak tujuh kelom- luan yang dilakukan untuk memperkirakan pok dosis yang masing-masing kelompok batasan dosis dari ekstrak Curvularia sp. terdiri dari lima ekor hewan uji. Main yang akan digunakan dalam Main Test Tatest terdiri dari satu kelompok kontrol bel 1. menampilkan hasil uji Limit Test pada dan tujuh kelompok perlakuan dengan tu- dua dosis berbeda. juh dosis diantaranya 5500, 6500, 7300, Tabel 1. Hasil Uji Limit Test Pada Tikus dengan Dosis Berbeda Jumlah tikus yang mati No Tikus

Dosis 2000 mg/kgBB

Dosis 5000 mg/kgBB

1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 Dari uji uji Limit LimitTest, Test,didapatkan didapatkanhasil hasil bahwa sehingga pemberian dosisekstrak tersebut jamur digunakan Curvularia sebagai sp. tidak menyebabkan bahwa pemberian ekstrak kematian jamur hewan Curvularia uji pada dosis menjadi tertinggi dosisyaitu batas 5000 bawah mg/kgBB untuksehingga uji Main dosis sp. tidak tersebut menyebabkan digunakan kematian sebagaihewan menjadi ujidosis Test. batas bawah untuk uji Main Test. pada dosis tertinggi yaitu 5000 mg/kgBB

3.2. Jumlah Tikus yang Mati pada Main Test Perlakuan tikus uji dengan pemberian tujuh dosis yang berbeda ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Main Test Pada Tikus dengan Dosis Bertingkat

BIMFI

Dosis mg/kgBB

Jumlah total tikus

Jumlah tikus mati

5500

5

0

6500

5

0

7300

5

0

9100

5

0

12.000

5

0

12.600

5

0

17.500

5

4

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

23


Hasil dari dari uji ujiMain MainTest Testmenunjukkan menunjukkanbahwa kusmulai uji sebanyak empat (80%). Artinya dari dosis 5500ekor – 12.600 mg/kgBB bahwa mulai dari dosis 5500 – 12.600 mg/ menyebabkan batas aman dosis yang tidak menimbulekstrak hasil fermentasi Curvularia sp. tidak kematian tikus uji, tetapi pada kgBB ekstrak yaitu hasil 17.500 fermentasi Curvularia kan kematian dari ekstrak sp. dosis tertinggi mg/kgBB menyebabkan adanya kematian tikusCurvularia uji sebanyak sp. tidak menyebabkan kematian tikus uji, 12.600 mg/kgBB, kategori praktis empat ekor (80%). Artinya batas aman dosis adalah yang tidak menimbulkan kematian dari [11] tetapi dosis tertinggi yaitu 17.500 tidak toksik menurut Loomis, (1978). ekstrakpada Curvularia sp. adalah 12.600mg/ mg/kgBB, kategori praktis tidak toksik menurut kgBB menyebabkan Loomis, (1978).[11] adanya kematian ti3.3. Hasil Uji Histopatologi pada Hati Tikus yang diberi Perlakuan Uji histopatologis hati tikus akibat pemberian ekstrak hasil fermentasi Curvularia

sp. diperlukan untuk mengkonfirmasi hasil uji Main Test. Gambar 1 menampilkan hasil preparat histologi hati tikus yang telah diberi perlakuan pada berbagai variasi dosis.

Gambar 1. Histologi hati tikus (Rattus norvegicus) dengan pewarnaan Haematoxilin Eosin pada perbesaran 400x (A) Kontrol, (B) Dosis 5500 mg/kgBB, (C) Dosis 6500 mg/kgBB, (D) Dosis 7300 mg/kgBB, (E) Dosis 9100 mg/kgBB, (F) Dosis 12.000 mg/kgBB, (G) 12.600 mg/kgBB, (H) 17.500 mg/kgBB (VS:Vena sentralis, N:Nekrosis) Gambar 1.A menampilkan histologi besar dan mendesak inti sel ke bagian tepi hati tikus tanpa diberi perlakuan ekstrak sel hati. Gambar 1.H menampilkan peruhasil fermentasi Curvularia sp. (kelompok bahan histologis hati tikus pada perlakuan kontrol) terlihat sel hepatosit normal yang dosis 17.500 mg/kgBB yang mengalami berbentuk kuboid, tersusun radier, inti sel kerusakan terbesar dilihat dari ukuran vena bulat letaknya sentral. Robbin (2007) me- sentralis dan sel hepatosit yang mengalami nyebutkan bahwa sinusoid berbentuk ir- nekrosis, hal ini mendukung hasil uji Main regular, ukurannya lebih besar dari kapiler test dengan banyaknya kematian tikus dan mempunyai dinding seluler yaitu ka- yang diuji. piler yang diskontinyu Histologi hati tikus Adanya kerusakan hati pada tikus uji deng-an perlakukan berbeda (Gambar kemungkinan dipengaruhi oleh adanya 1B – 1H) menunjukkan adanya kelainan kandungan kloramfenikol pada kandungan sel hepato-sit dan terlihat vena sentralis ekstrak hasil fermentasi Curvularia sp.[6] yang semakin membesar.[12] Sinusoid tam- Penelitian ini membuktikan bahwa klorampak melebar serta peningkatan jumlah sel fenikol mempunyai efek samping terhadap hepatosit yang mengalami nekrosis. Hal ini hati. Apabila kloramfenikol diberikan dalam terjadi karena akumulasi lemak di dalam dosis yang tinggi dan jangka waktu yang sel hati yang biasanya ditandai dengan lama akan terjadi efek toksik pada hepar adanya vakuola-vakuola kecil di dalam si- akibat sebagian besar kloramfenikol mengtoplasma. Vakuola-vakuola ini dapat mem- alami konjugasi sehingga dapat merusak

24

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


sel-sel hati walaupun begitu hati mempunyai kemampuan regenerasi yang tinggi sehingga dapat melakukan perbaikan sel sampai batas dosis tertentu.[12,13] Hasil penelitian ini dapat menunjukkan adanya potensi ekstrak hasil fermentasi Curvularia sp. untuk dapat dikembangkan menjadi kandidat obat baru untuk menggantikan OAT lini pertama. Penemuan obat baru ini akan memberi harapan bagi pasien TB yang sulit sembuh karena sudah resisten dengan OAT yang ada. Hasil penemuan tentang kemampuan isolat Curvularia sp. dalam menghasilkan senyawa anti TB berpotensi untuk dapat dipublikasikan pada jurnal ilmiah internasional. Proses produksi ekstrak hasil fermentasi Curvularia sp. dapat berpotensi untuk dipatenkan. 4.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, dapat disimpulkan bahwa dosis yang tidak menimbulkan kematian hewan uji dari pemberian perlakuan ekstrak jamur Curvularia sp. adalah 12.600 mg/kgBB dan nilai tersebut termasuk ke dalam kategori praktis tidak toksik. Berdasarkan kategori tersebut, ekstrak Curvularia sp. dapat dikatakan aman dan perlu dilakukan ke uji toksisitas selanjutnya sebagai perencanaan praklinik dalam pengembangan bahan baku obat MDR-TB. 5. SARAN Adapun saran dari penelitian ini yaitu penelitian ini memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi bahan obat MDR-TB sehingga perlu dilakukan uji toksisitas subakut sebagai tahapan praklinis keamanan bahan obat. Selain itu perlu dilakukan karakterisasi yang terdapat pada Jamur Curvularia sp. DAFTAR PUSTAKA [1]. Tuberculosis Infection Control. WHO. 1997. 15 Januari 2015. <www.who. int/tb/publications/.../tbhiv>. [2]. Koneman, E.W., et al. “Introduction to Microbiology: Part 1. In: Koneman’s color atlas and textbook of diagnostic microbiology. 6th edition.” Philadelphia: Lippincott & Williams & Wilkins. (2000): p. 1-48. [3]. International Standars for tuberculosis care (TBCTA), and the patient CharBIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

ter for tuberculosis care (World Care Council). WHO, 2006. 15 Januari 2015. <http://www.who/int/tb/publication/en>. [4]. Bugni, T.S., Ireland, C.M. 2004. “Marine-derived fungi A Chemically and Biologically Diverse Group of Microorganisms.” Nat. Prod. Rep. (21): 14363. [5]. Bharatidasan, R. dan Pannneerselvam, A.. “Isolation and Identification of Endhophytic fungi from Avicennia marina in Ramanathapuram District, Karankadu India.” European Journal of Experimental Biology. 1:3(2011): 31-36. [6]. Rahma, P.N., et al. “Pengujian Isolat Unggulan Jamur Endofit Karang Lunak Sinularia sp. sebagai Anti Multidrug-Resistant Tuberculosis (MDRTB).” Hibah PKM-P oleh Direktorat Perguruan Tinggi (DIKTI), 2014. [7]. Hasyim, et al. “Anti Tuberkulosis dari Laut: Potensi Jamur Sebagai Anti Mycobacterium Tuberculosis Alga Coklat dan Karang Lunak.” Jurnal biotika. Jatinangor. (2013). [8]. Sinaga, E., Noverita, Fitria, D. “Daya antibakteri jamur endofit yang diisolasi dari daun dan rimpang lengkuas (Alpinia galangal Sw.).” Jurnal Farmasi Indonesia. Vol 4(4): 161-170. [9]. OECD Guidelines For The Testing Of Chemicals 425: Acute Oral Toxicity. OECD. 2008. 15 Januari 2015.<http:// www.oecd.org/env/test-no-425-acuteoral-toxicity-up-and-down-procedure9789264071049-en.htm.> [10]. Humason, G.L. Animal Tissue Technique 4th ed. San Fransisco: W.H. Freeman and Company, 1979. [11]. Loomis, T.A. Toksikologi Dasar Ed. III Hal. 1-35. Donatus, I.A. Semarang: IKIP Semarang Press, 1978. [12]. Robbins. Buku Ajar Patologi Robbins. Ed 7. Vol 1. Jakarta: Kedokteran EGC, 2007. [13]. Saba AB, et al. “The toxic effect of prolonged administration of chloramphenicol on the liver and kidney of rats.” Afr Biomed. (2000): j.p.133-37. [14]. Junqueira and Carneiro. “Text book and Atlas Histology. Blackwel Science Ltd. 1035 (2007): 250-489.

25


Penelitian

MORICENT: PEMANFAATAN LIMBAH BIJI MENGKUDU (Morinda citrifolia L.) SEBAGAI SUMBER ASAM LINOLEAT UNTUK ANTIOBESITAS DALAM SEDIAAN TABLET EFERVESEN Riri Nurul S.1*, Bayu H.1, Baginda S.P.1, dan Zahra A.1 Program Studi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia *Corresponding author’s email : rrnurul@gmail.com 1

ABSTRAK Pendahuluan: Obesitas merupakan kondisi kelebihan lemak tubuh akibat ketidakseimbangan antara jumlah energi yang masuk dengan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologisnya, sehingga dapat memicu beberapa penyakit kronis seperti diabetes melitus tipe 2, penyakit jantung, dan lain-lain. Di Indonesia, pada tahun 2013 terjadi peningkatan prevalensi obesitas pada penduduk dewasa umur >18 tahun hingga mencapai 28,9%. Salah satu senyawa yang dapat menurunkan indeks masa tubuh penderita obesitas adalah asam linoleat yang terkandung dalam biji mengkudu (Morinda citrifolia) sebanyak 55% dari total minyak dalam biji mengkudu. Maka penelitian ini bertujuan untuk mendesain produk berupa tablet efervesen dari ekstrak biji mengkudu dengan rasa obat yang enak. Metode: Formulasi sediaan tablet efervesen yang penulis buat terdiri dari ekstrak biji mengkudu sebagai bahan aktif; asam sitrat dan natrium bikarbonat sebagai sumber asambasa pembentuk efervesen; manitol sebagai pengisi; aspartam sebagai pemanis; aerosil sebagai lubrikan; dan PVP sebagai binder. Hasil: Tablet dengan komposisi serbuk ekstrak biji mengkudu (6,6%), asam sitrat (30%), natrium bikarbonat (40%), manitol (10,2%), aspartam (1,7%), aerosol (7,5%), dan PVP (4%) memberikan hasil pengujian granul dan tablet yang baik. Kesimpulan: Serbuk ekstrak biji mengkudu dapat diformulasikan menjadi tablet effervescent menggunakan metode granulasi basah dan memiliki karakteristik tablet yang baik serta memudahkan pasien obesitas dalam menggunakannya. Kata kunci: Obesitas, asam linoleat, formulasi, Morinda citrifolia, tablet efervesen. ABSTRACT Background: Obesity can be defined as excess body fat caused by unequal balance between the amount of energy intake and the amount of energy required for a variety of biological functions of the body, moreover, it is a trigger of several chronic diseases such as type 2 diabetes mellitus, heart disease, and other diseases. In Indonesia, the prevalence of obesity is particularly increased up to 28,9% in population of adults above 18 years old in 2013. One of the compunds having the ability to lower the body mass index of people with obese is linoleic acid contained in noni (Morinda citrifolia) seed; as much as 55% of the total oil in noni seed. Thus, this research aimed to conceive a product design in the form of effervescent tablets from noni seed extract with a delicious taste of the drug. Methods: The formulation of the effervescent tablet made consists of noni seed extract as the active ingredient; citric acid and sodium bicarbonate as the acid and base to form the effervescent; mannitol as the filler; aspartame as the sweetener; aerosil as the lubricant; and PVP as the binder. Results: The formula consisted of noni seed extract powder 6,6%, citric acid (30%), sodium bicarbonate (40%), mannitol (10,2%), aspartame (1,7%), aerosil (7,5%), and PVP binding agent of (4%) has a good results in many granules test and tablet test. Conclusion: Noni seed extract powder can be formulated into effervescent tablets using wet granulation method and has the good tablet characteristic, more over, it is more easlily consumed by the patient of obescity. Keywords: Obesity, linoleic acid, formulation, Morinda citrifolia, effervescent tablet

26

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


1.

PENDAHULUAN Obesitas dapat didefinisikan sebagai kelebihan lemak tubuh. Penentu yang digunakan adalah indeks massa tubuh (IMT). Sedangkan overweight atau berat badan berlebih adalah tahap sebelum seseorang dikatakan obesitas secara klinis.[1] Obesitas dikatakan terjadi apabila terdapat kelebihan berat badan sebesar 20% karena lemak pada pria dan 25% pada wanita.[2] Pada umumnya, terdapat berbagai faktor yang menjadi risiko seseorang menderita obesitas, seperti: herediter, pola makan, aktivitas fisik, dan gangguan hormonal. Obesitas juga dapat menjadi salah satu faktor resiko bagi berbagai penyakit kronis meliputi kardiovaskular, sleep apneu, gangguan fungsi hati, masalah ortopedik yang berkaitan dengan obesitas, kelainan kulit serta gangguan psikiatrik.[3] Obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah energi yang masuk dengan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan.[4] Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010 prevalensi berat badan berlebih dan obesitas pada orang dewasa di Indonesia adalah 21,7%.[5] Namun, hasil RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013 menunjukkan peningkatan prevalensi obesitas pada penduduk dewasa umur >18 tahun mencapai 28,9% yang terdiri 13,5% berat badan lebih dan 15,4% obesitas.[6] Obesitas dapat meningkatkan kejadian diabetes mellitus (DM) tipe 2. Selain itu, obesitas juga berpotensi mengakibatkan gangguan metabolisme glukosa dan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, penyumbatan pembuluh darah dan lainlain. Pengaruh obesitas juga dapat menurunkan tingkat kecerdasan karena aktivitas dan kreativitas anak menjadi menurun dan cenderung malas akibat kelebihan berat badan.[3] Dari segi sosial, obesitas (kegemukan) akan berdampak terhadap perasaan rendah diri, kelambanan bergerak, kurang fashionable, dan malu bergaul. Adapun segi ekonomi, kegemukan mengurangi produktivitas kerja, hari produktif, usia produktif dan meningkatkan pengeluaran kesehatan.[7] Perkembangan pengobatan untuk obesitas telah banyak dilakukan, baik secara modern maupun tradisional. Saat ini, telah banyak jenis tumbuhan yang daBIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

pat dimanfaatkan sebagai pengobatan dalam mengurangi berat badan. Dalam penelitian ini, fokus penulis yaitu mencari sumber alami yang pemanfaatannya belum dioptimalkan akan tetapi berkhasiat sebagai penurun berat badan pada pasien obesitas. Oleh sebab itu, penulis bergagasan untuk memanfaatkan biji mengkudu (Morinda citrifolia) sebagai zat aktif penurun berat badan. Mengkudu (Morinda citrifolia) merupakan salah satu komoditas buah yang hampir seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan. Akhir-akhir ini banyak petani telah mulai membudidayakan mengkudu secara intensif karena dianggap dapat memberikan keuntungan yang menjanjikan. Daya adaptasinya yang luas serta mudah dibudidayakan dan diproses menjadi produk skala industri rumah tangga.[8] Produksi mengkudu di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa produksi mengkudu pada tahun 2003 sebesar 1910 ton meningkat menjadi 14.016 pada tahun 2007.[9] Produksi mengkudu di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, Sentra produksi mengkudu tahun 2005 yaitu di Jawa Timur dengan luas lahan produksi 321.568 hektar dan total produksi 1.840.315 ton, kemudian disusul oleh Jawa Barat, Banten dan beberapa daerah lainnya. Total lahan di Indonesia yang menanam mengkudu yaitu 725.815 hektar dan jumlah produksi 3.509.087 ton.[10] Badan Pusat Statistik mencatat pada tahun 2010 perkembangan produksi mengkudu sebanyak 14.613 ton dan pada tahun 2011 sebanyak 14.412 ton. Selama ini mengkudu dimanfaatkan buah, bunga, akar dan daunnya sebagai obat. Namun, pemanfaatan biji mengkudu belum banyak dilakukan. Berdasarkan studi literatur, biji buah mengkudu mengandung 16,1% minyak yang terdiri dari 5 komponen asam lemak yaitu linoleat (55%), Oleat (20,5%), Palmitat (12,8%), Ricinoleat (6,8%) dan Stearat (4,9%) (Dualatabad et al., 1989; Seidemann 2002). Berdasarkanpenelitian dari USDA (United States Department of Agriculture) (2007), minyak yang terkandung dalam biji mengkudu merupakan sumber asam linoleat yang baik, dan minyak yang di ekstrak dari biji mengkudu sama dengan minyak yang terkandung dalam minyak biji matahari.[11] Dalam min-

27


yak biji matahari ditemukan adanya CLA (Conjugated Linoleic Acid) yang berfungsi sebagai penurun berat badan melalui mekanisme antiobesitas Usulan PKB dengan cara penurunan energi/asupan makanan dan pengeluaran energi meningkat, penurunan diferensiasi praadiposit dan proliferasi, penurunan lipogenesis, dan peningkatan lipolisis dan oksidasi lemak. Asam linoleat (linoleic acid) tergolong kedalam asam lemak tidak jenuh ikatan ganda (Polyunsaturated Fatty Acid) yang esensial untuk tubuh. Asam linoleat berperan dalam pertumbuhan, pemeliharaan membran sel, pengaturan metabolisme kolesterol, menurunkan tekanan darah, menghambat lipogenesis hepatik, transport lipid, prekursor dalam sintesis prostaglandin, membentuk arakhidonat dan dalam proses reproduksi.[12] Pergantian diet tinggi asam lemak jenuh dari makanan, dengan mengkonsumsi asam linoleat telah direkomendasikan dalam usaha mencegah penyakit jantung coroner.[13] Tubuh memerlukan asam linoleat 3-6% dari seluruh kalori yang dibutuhkan dan yang direkomendasikan adalah 3 gram per harinya. Defisiensi asam linoleat dapat menyebabkan dermatitis, kemampuan reproduksi menurun, gangguan pertumbuhan, degenerasi hati, dan rentan terhadap infeksi.[14] Dewasa ini, masyarakat dunia mulai berubah sudut pandang dengan kembali menggunakan produk dari bahan alam untuk mengobati berbagai penyakit, termasuk untuk mengurangi berat badan untuk pasien overweight dan obesitas. Menilik hal tersebut, kandungan yang terdapat dalam biji mengkudu (Morinda citrifolia) dapat menjadi salah satu solusi untuk pengobatan obesitas. Penulis memberikan usulan untuk membuat produk tablet efervesen dengan bahan aktif berupa senyawa utama yang berasal dari biji mengkudu. Tablet efervesen merupakan salah satu bentuk sediaan tablet dengan cara pengempaan bahan-bahan aktif campuran asam-asam organik, seperti asam sitrat atau asam tartarat dan natrium bikarbonat. Efervesen didefenisikan sebagai bentuk sediaan yang menghasilkan gelembung gas sebagai hasil reaksi kimia larutan. Gas yang dihasilkan saat pelarutan efervesen adalah karbon dioksida sehingga dapat memberikan efek sparkling (rasa seperti air

28

soda).[15] Bila tablet ini dimasukkan ke dalam air, mulailah terjadi reaksi kimia antara asam dan natrium bikarbonat sehingga terbentuk garam natrium dari asam dan menghasilkan gas karbondioksida serta air. Reaksinya cukup cepat dan biasanya berlangsung dalam waktu satu menit atau kurang. Di samping menghasilkan larutan yang jernih, tablet juga menghasilkan rasa yang enak karena adanya karbonat yang dapat membantu memperbaiki rasa obat-obat tertentu. [16]

Minuman efervesen banyak disukai karena praktis, cepat larut dalam air, menjadikan larutan yang jernih dan memberikan efek sparkle seperti minuman bersoda. Gas tersebut merupakan gas CO2 yang merupakan hasil reaksi kimia antara asam dan natrium bikarbonat dan yang terjadi secara spontan ketika dilarutkan ke dalam air.[17] Tablet efervesen merupakan metode yang nyaman untuk pemberian sejumlah zat aktif atau bahan kimia yang telah diukur sebelumnya dengan disolusi. Larutan efervesen berkilau, lezat, dan menyediakan zat aktif dalam bentuk larutan dengan ketersediaan hayati yang terjamin bagi orang yang sulit menelan tablet atau kapsul biasa.[18] Keuntungan tablet efervesen adalah bentuk sediaan tablet dengan penyiapan bahan-bahan dalam waktu seketika jika mengandung dosis yang tepat. Sedangkan kerugian tablet efervesen adalah kesukaran untuk menghasilkan produk yang stabil secara kimia. Bahkan kelembaban udara selama pembuatan produk mungkin sudah cukup untuk memulai reaktivitas efervesen. Selama reaksi berlangsung, air yang dibebaskan dari bikarbonat menyebabkan autokatalisis dari reaksi. Kelembaban udara di sekitar tablet setelah wadahnya di buka juga dapat menyebabkan penurunan kualitas yang cepat dari produk, setelah sampai di tangan konsumen. Karena itu tablet efervesen dikemas secara khusus dalam kantong lembaran alumunium kedap udara atau kemasan padat dalam tabung silindris dengan ruang udara yang minimum. Alasan lain untuk kemasan adalah kenyataan bahwa tablet biasanya telah dikempa sehingga cukup mudah untuk menghasilkan reaksi efervesen dalam waktu yang cepat[15] Ada berbagai keuntungan sediaan tablet efervesen seperti di bawah ini: 1. Memberi cita rasa menyenangkan kaBIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


2.

3.

4.

5.

rena membantu menutup rasa zat aktif yang tidak menyenangkan. Tablet mudah digunakan setelah dilarutkan, nyaman dan merupakan bentuk sediaan yang mengandung zat aktif. Dapat dikemas secara individual untuk mencegah masuknya kelembaban sehingga menghindari masalah ketidakstabilan kandungan selama penyimpanan. Dapat diberikan kepada pasien yang sulit menelan tablet atau kapsul (setelah dilarutkan terlebih dulu dalam air minum). Zat aktif yang tidak stabil apabila disimpan dalam larutan bercair akan lebih stabil dalam tablet efervesen.[17]

Tablet efervesen antiobesitas ini diharapkan mampu menjadi solusi alternatif permasalahan kegemukan yang berasal dari herbal. Selain itu, pemanfaatan biji mengkudu dapat meningkatkan nilai jual biji mengkudu tersebut, sehingga hal ini diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petani mengkudu di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam: 1. Pemanfaatan tanaman unggulan nusantara berupa biji mengkudu (Morinda citrifolia) 2. Meningkatkan pemanfaatan limbah biji mengkudu (Morinda citrifolia) menjadi bernilai jual tinggi sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat. 3. Memperoleh bahan baku asam linoleat eco-friendly (ramah lingkungan) untuk produk sediaan farmasi. 4. Membentuk penduduk Indonesia yang mandiri karena pemanfaatan asam linoleat dapat diaplikasikan sebagai terapi untuk pasien obesitas sehingga menjaga produktivitas. 2. METODE 2.1. Alat dan Bahan a. Alat Alat Soxhletasi, Timbangan analitik, Mortar, Alu, Oven,Room dehumidifier, Alat cetakan tablet, Alat Friabilator,Hardness Tester, Alat uji densitas,Beaker Glass 600 ml,Beaker Glass 100 ml, Cawan Penguap 100 ml,Spatel logam, Gelas Ukur 100 ml, Gelas Ukur 10 ml, Corong, dan Wadah. BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

b. Bahan Perkamen, Sudip, Tisu, Biji Buah Mengkudu, Ekstrak biji mengkudu, Aerosil, Aspartam, Manitol, Natrium Karbonat, Asam Sitrat, PVP, dan Alkohol. 2.2. Ekstraksi Minyak Essensial dari Biji Mengkudu

Gambar 1. Skema Ekstraksi Minyak Essensial dari Biji Mengkudu.[19] 2.3. Cara Pembuatan Serbuk dari Ekstrak Kental Biji Mengkudu Ekstrak kental yang diperoleh dengan metode soxhletasi ditambahkan dengan absorben. Absorben yang digunakan yaitu aerosil dengan kosentrasi 7,5%, lalu di aduk hingga homogen. Ekstrak yang telah di campur dengan absorben tadi dimasukan kedalam wadah khusus, secara perlahan dihisap dengan menggunakan alat spray dryer kurang lebih proses pengerjaan alat adalah 1 jam yang kemudian langsung keluar dalam bentuk serbuk ekstrak biji mengkudu.[20] 2.4. Formulasi Tablet Efervesen Tabel 1. Formulasi Tablet Efervesen Moricent Formulasi

Kosentr asi (%)

1. Serbuk ekstrak biji mengkudu

Perhitungan Bahan Per Tablet (mg)

6,6

100

2. Asam Sitrat

30

450

3. Natrium Bikarbonat

40

600

4. Manitol

10,2

153

5. Aspartam

1,7

25,5

6. Aerosil 7. PVP JUMLAH

7,5 4 100

112,5 60 1500

29


2.5. Prosedur Pembuatan Tablet Efervesen dari Ekstrak Biji Mengkudu Granul dibuat dengan metode granulasi terpisah. Pengerjaan dilakukan pada kelembaban relatif rendah (RH ≤ 40%). Granul dibuat dengan metode granulasi terpisah. Pengerjaan dilakukan pada kelembaban relatif rendah (RH ≤ 40%). 1. Semua bahan ditimbang dan diayak 2. Serbuk mengkudu, asam sitrat, manitol, aspartam dan sebagian PVP dicampur dalam satu wadah kemudian campuran tersebut ditambahkan alkohol hingga massa dapat dikepal. 3. Campuran (2) diayak dengan ayakan mesh 14 kemudian granul basah yang didapat dikeringkan dalam oven pada suhu 40-50oC selama 18 jam 4. Granul yang sudah kering diayak kembali dengan ayakan mesh 16. Selanjutnya hasil ayakan ini disebut komponen asam 5. Dalam wadah lain, natrium bikarbonat dan sisa PVP dicampur lalu tambahkan alkohol hingga dapat dikepal 6. Campuran (5) diayak dengan ayakan mesh 14 kemudian granul basah yang didapat dikeringkan dalam oven pada suhu 40-50oC selama 16 jam 7. Granul yang sudah kering diayak kembali dengan ayakan mesh 16. Selanjutnya hasil ayakan ini disebut komponen basa 8. Komponen asam, komponen basa dan fasa luar dicampur lalu aduk hingga homogen. Hasilnya adalah granul efervesen sari biji mengkudu. 9. Granul yang dihasilkan dievaluasi dalam In Process Control (IPC) yang mencakup uji kandungan kelembaban, uji laju alir, uji sudut reposa, dan uji kerapatan bulk. 10. Granul yang telah dievaluasi dicetak. Untuk menghindari penyerapan kelembaban dari udara, tablet efervesen dimasukkan dalam desikator yang berisi silica gel. Tablet di evaluasi dalam Post Process Control (PPC). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Evaluasi sediaan a. Evaluasi Mutu Serbuk 1. Pengujian kandungan lembab granul Kandungan lembab granul diuji dengan menggunakan alat moisture

30

analyzer dengan memasukkan sampel pada wadah. Nilai kelembaban di tampilkan pada layar moisture analyzer menandakan sampel telah telah kering dan berat tidak lagi berubah.[21] Penulis tidak melakukan pengujan terhadap kandungan lembab granul karena keterbatasan waktu. 2. Indeks Kompresibilitas (Compressibility Index) Melalui indeks kompresibilitas, kita dapat mengetahui laju alir tablet. Uji ini dilakukan dengan menggunakan alat Tapped Bulk Density. Dicatat volume serbuk sebelum diuji, kemudian diketuk dengan alat sebanyak 300 kali, setelah itu dicatat volume serbuk setelah uji. Dari hasil tersebut, dapat dihitung bulk density (kerapatan sebelum pengetukan) dan tapped density (kerapatan setelah pengetukan). Kemudian dapat dihitung indeks kompresibilitasnya (Compressibility Index) dan Hausner Ratio-nya. Perhitungan[22]:

Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut: Indeks Kompresi -bilitas (%) ≤ 10

1,00 – 1,11

Good

11 – 15

1,12 – 1,18

Fair

16 – 20

1,19 – 1,25

Passable

21 – 25

1,26 – 1,34

Poor

26 – 31

1,35 – 1,45

Very poor

32 – 37

1,46 – 1,59

Very-very poor

>38

>1,6

Kriteria Excellent

Hausner Ratio

Hasil evaluasi terhadap tablet Moricent menunjukkan granul yang dihasilkan dapat dicetak karena memiliki indeks kompresibilitas 16.08 (Fair) dan Hausner Ratio 1.16 (Good) dengan data yang diperoleh sebagai berikut: BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


Percobaan 1 2 3

Tabel 3. Data Evaluasi Indeks Kompresibilitas Bulk Volume Berat Volume Density Tapped (ml) (gr) Bulk (ml) (gr/ml) 10.2 28 0.364 24 10.1 28 0.361 24 10.0 27 0.370 23.5

Percobaan 1 2 3 Rata-rata

Tapped Density (gr/ml)

Tabel 4. Hasil Evaluasi Indeks Kompresibilitas Indeks Kriteria Hausner Ratio Kompresibilitas (%) 16.76 Fair 1.17 16.62 Fair 1.17 14.86 Good 1.15 16.08 Fair 1.16

3. Sudut Reposa (Angle of Repose) Dengan mengetahui sudut yang terbentuk dari hasil aliran serbuk, kita dapat mengetahui apakah laju alir dari

0.425 0.421 0.425

Kriteria Good Good Good Good

serbuk baik atau tidak. Semakin landai tumpukan serbuk (semakin kecil sudut reposanya), semakin baik laju alirnya.

Tabel 5. Kriteria Sudut Reposa/Angle of Repose Kriteria Sudut Excellent 25° - 30° Good 31° - 35° Fair 36° - 40° Passable 41° - 45° Poor 46° - 55° Very poor 56° - 65° Very-very poor Lebih dari 66° Dalam uji ini, serbuk dijatuhkan dengan memakai Flowmeter. Setelah itu diukur diameter dan tinggi (h) dari tumpukan serbuk. Dengan rumus tan α

= h/r, dimana r adalah jari-jari, dapat dihitung sudut reposanya.[22] Dari evaluasi yang dilaksanakan, diperoleh hasil uji sebagai berikut:

Tabel 6. Hasil Evaluasi Sudut Reposa/Angle of Repose Percobaan

Waktu (detik)

Jarijari (cm)

Tinggi (cm)

Tan α = [h/r]

Sudut reposa (α)

Kriteria

1

10

3.75

2.6

0.69

34.60

Good

2

10

3.75

2.6

0.69

34.60

Good

3

10

3.9

2.6

0.67

33.82

Good

4. Laju Alir (Angle of Repose) Bersamaan dengan pengukuran sudut reposa di atas, dengan menggunakan Flowmeter, praktikan juga menghitung waktu (t) dari mulai serbuk dialirkan hingga serbuk tersebut habis, BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

kemudian menimbang massa serbuk (m).[22] Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan tabel berikut:

31


Tabel 7. Kriteria laju alir menurut The Science Dosage Forms, M. E. Aulton. Kecepatan Alir

Keterangan

>10

Sangat mudah mengalir

Tablet

4-10

Mudah mengalir

1,6-4

Kohesif

<1,6

Sangat Kohesif

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata

Tabel 8. Hasil Evaluasi Laju Alir Granul PerLaju Waktu Berat cobaalir Kriteria (s) (gr) an (gr/s) Mudah 1 10 42.9 4.29 mengalir Mudah 2 9.8 42.8 4.39 mengalir Mudah 3 9.9 42.7 4.32 mengalir Mudah Rata-rata 4.33 mengalir Kesimpulannya adalah granul memenuhi laju alir yang baik, yaitu mudah mengalir. b. Evaluasi mutu fisik tablet 1. Uji keseragaman bobot Sejumlah 10 tablet ditimbang secara seksama satu persatu, kemudiaan dihitung bobot rata-rata dan koefisien variasinya. Menurut Farmakope Indonesia edisi III, persyaratannya tidak satu tablet pun yang bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot rata rata yang ditetapkan kolom A dan tidak satu tabletpun yang bobotnya menyimpang lebih dari harga yang ditetapkan kolom B.[22] Tabel 9. Kriteria Evaluasi Keseragaman Bobot Bobot rata-rata <25 mg 26 – 150 mg 151 – 300 mg >300 mg

32

Hasil evaluasi yang dilaksanakan adalah sebagai berikut: Tabel 10. Hasil Evaluasi Keseragaman Bobot Tablet Moricent.

Penyimpangan bobot rata-rata (%) A B 15 30 10

20

7,5

15

5

10

Bobot (mg) 1527 1525 1525 1521 1523 1525 1520 1528 1527 1522 1524.3

Penyimpangan (%) 0.18 0.05 0.05 0.22 0.08 0.05 0.28 0.24 0.18 0.15 0.15

Kesimpulannya adalah tidak satupun tablet menyimpang dari % ratarata yang tertera pada kolom A dan B. Maka dari itu, tablet memenuhi syarat keragaman bobot. 2. Uji kekerasan tablet Tablet dimasukkan ke dalam alat Hardness tester, kemudiaan alat diputar hingga didapatkan angka atau nilai kekerasan. Kekerasan minimum yang sesuai untuk tablet adalah sebesar 4 Kp.[22] Dalam pelaksanaannya, digunakan 10 tablet yang dipilih secara acak untuk pengujian kekerasan. Hasil evaluasi kekerasan tablet Moricent adalah sebagai berikut: Tabel 11. Hasil Evaluasi Kekerasan Tabel Moricent. Tablet Kekerasan (Kp) 1 7,47 2 7,53 3 7,71 4 7,53 5 7,51 6 7,77 7 7,65 8 7,47 9 7,49 10 7,53 Rata-rata 7,64 3. Uji kerapuhan tablet Kerapuhan tablet dilakukan dengBIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


an membebasdebukan 20 tablet kemudian ditimbang dan dimasukkan ke dalam friabilator tester. Alat dijalankan selama 4 menit dengan kecepatan 25 putaran permenit. Setelah itu, tablet dibebasdebukan lagi dan ditimbang. Kerapuhan tablet yang masih dapat diterima yaitu kurang dari 1%. Kerapuhan dinyatakan dalam persentase.

Keterangan: W1 (weight) = berat tablet awal W2 (weight) = berat tablet setelah perlakuan.[22] Hasil evaluasi kerapuhan tablet Moricent adalah sebagai berikut: Tabel 12. Hasil Uji Kerapuhan Tablet Moricent Berat Tablet Bobot terhadap Perlakuan (gram) Berat Sebelum (W1) 31,26 Berat Sesudah (W2) 31,22

Kesimpulanya adalah tablet Moricent memenuhi syarat uji keregasan yaitu kehilangan bobot kurang dari 1%. 4. Uji waktu larut Waktu larut dilakukan dengan memasukkan sebuah tablet efervesen ke dalam aquades dengan volume 200 ml. Waktu hancur dihitung dengan stopwatch mulai tablet efervesen tercelup sampai semua tablet hancur dan larut. Tablet efervesen yang baik akan terlarut dengan cepat dalam waktu 1-2 menit.[22] Pada uji waktu larut yang dilakukan dengan melarutkan tablet Moricent ke dalam satu gelas air, didapatkan Moricent larut sempurna dalam waktu sekitar 3 menit. Waktu larut yang diperoleh tidak memenuhi kriteria waktu larut yang cepat, dimungkinkan karena reaksi yang dihasilkan oleh asam sitrat dan natrium bikarbonat tidak signifikan atau jumlah PVP sebagai pengikat melebihi jumlah yang diperlukan agar tablet larut lebih cepat. BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil yang Dicapai Produk Moricent yang dibuat penulis diformulasikan sebagai suplemen makanan berupa tablet efervesen antiobesitas. Tablet efervesen yang dihasilkan memiliki dikemas dalam tube kedap udara dilengkapi dengan absorben. Produk yang dibuat mengandung ekstrak biji mengkudu (Morinda citrifolia L.) yang mengandung asam linoleat. Asam linoleat terkandung dalam biji mengkudu sebanyak 55% dari total minyak dalam biji mengkudu. Asam linoleat adalah asam lemak yang esensial untuk tubuh. Asam linoleat berperan dalam pertumbuhan, pemeliharaan membran sel, pengaturan metabolisme kolesterol, menurunkan tekanan darah, menghambat lipogenesis hepatik, transport lipid, prekursor dalam sintesis prostaglandin, membentuk arakhidonat dan dalam proses reproduksi. Dalam penelitian yang dilakukan, penulis menjadikan ekstrak biji mengkudu yang mengandung asam linoleat sebagai sumber zat aktif dengan fungsi antiobesitas. Berdasarkan penelitian dari USDA (United States Department of Agriculture) (2007), minyak yang terkandung dalam biji mengkudu merupakan sumber asam linoleat yang baik, dan minyak yang di ekstrak dari biji mengkudu sama dengan minyak yang terkandung dalam minyak biji matahari.[11] Dalam proses pengerjaan ekstrak, biji mengkudu dikeringkan hingga kadar air kurang dari 10% dari berat awal lalu dihancurkan dengan cara ditekan dan ditumbuk dengan tujuan untuk memperluas permukaan kontak antara serbuk dengan pelarut sehingga proses ekstraksi berjalan dengan maksimal. Setelah itu diekstraksi dengan metode soxhletasi dengan pelarut non polar petroleum eter (PE) pada suhu 40o60oC selama tujuh siklus hingga diperoleh ekstrak kental sebanyak 25 gram. Hasil dari soxhletasi diuapkan hingga diperoleh ekstrak petroleum eter kental. Namun, karena keterbatasan waktu, penulis tidak melaksanakan uji identifikasi terhadap ekstrak yang didapatkan. Penulis merujuk pada hasil studi literatur yang menyatakan bahwa biji buah mengkudu mengandung 16,1% minyak yang terdiri dari 5 komponen asam lemak yaitu linoleat (55%), Oleat (20,5%), Palmitat (12,8%), Ricinoleat (6,8%) dan Stearat (4,9%).[23]

33


Setelah didapatkan ekstrak kental, ekstrak kental ditambahkan dengan absorben. Absorben yang digunakan yaitu aerosil dengan kosentrasi 7,5%, lalu di aduk hingga homogen. Berdasarkan studi literatur yang dilakukan ekstrak yang telah dicampur dengan absorben sebaiknya dimasukan kedalam wadah khusus, secara perlahan dihisap dengan menggunakan alat spray dryer kurang lebih proses pengerjaan alat adalah 1 jam yang kemudian langsung keluar dalam bentuk serbuk ekstrak biji mengkudu.[20] Pembuatan tablet efervesen kemudian dimulai dengan metode granulasi basah. Granul dibuat dengan metode granulasi terpisah dengan pengerjaan dilakukan pada kelembaban relatif rendah. Sebelum dicetak menjadi tablet, granul yang didapatkan dievaluasi terlebih dahulu dalam In Process Control (IPC) berupa pengujian indeks kompresibilitas, sudut reposa, dan laju alir. Hasil evaluasi indeks kompresibilitas terhadap tablet Moricent menunjukkan granul yang dihasilkan dapat dicetak karena memiliki indeks kompresibilitas 16,08 (Fair) dan Hausner Ratio 1,16 (Good). Selain itu, evaluasi terhadap sudut reposa dan laju alir dari granul tergolong baik. Pencetakan tablet dilakukan hingga diperoleh jumlah tablet yang dihendaki untuk produk akhir dan evaluasi akhir berupa Post Process Control (PPC). Evaluasi akhir yang dilakukan meliputi uji keseragaman bobot, uji kekerasan tablet, uji kerapuhan, dan uji waktu larut. Tablet yang dihasilkan hanya memiliki penyimpangan 0,15% dari keseragaman bobot. Pada uji kekerasan tablet, diperoleh kekerasan tablet ratarata 7,64 Kp. Uji kerapuhan menunjukkan bahwa setelah pengujian tablet mengalami kehilangan bobot sebanyak 0,128%. Namun, ketika dilakukan uji waktu larut, tablet efervesen yang dihasilkan larut sempurna dalam waktu kurang lebih 3 menit, lebih lama dari waktu larut yang diharapkan yaitu 1-2 menit. Penulis memprediksi hal ini terjadi dimungkinkan karena reaksi yang dihasilkan oleh asam sitrat dan natrium bikarbonat tidak signifikan atau jumlah PVP sebagai pengikat melebihi jumlah yang diperlukan agar tablet larut lebih cepat. Tablet yang dihasilkan kemudian dikemas dalam kemasan primer berupa tube kedap udara yang dilengkapi dengan silika gel sebagai absorben. Tube tersebut kemu-

34

dian dikemas kembali ke dalam kemasan sekunder berupa kotak dari karton dengan desain yang menarik. Permukaan kemasan ditempel dengan label yang memuat informasi mengenai:

Gambar 2. Label Informasi pada Moricent 4.2. Potensi Khusus Implementasi produk Moricent memiliki beberapa keuntungan utama yaitu Moricent merupakan produk dari limbah pengolahan daging buah mengkudu yaitu berasal dari bijinya yang belum banyak dimanfaatkan sehingga mengurangi biaya produksi dan aman untuk kesehatan. Manfaat lainnya adalah pertama, mengurangi resiko terjadinya efek samping pada pasien yang biasanya mengkonsumsi obat-obatan kimia untuk mengurangi berat badannya. Faktanya, obat-obatan kimia lebih beresiko terjadinya efek samping dibanding sediaan herbal. Kedua, memanfaatkan pengembangan teknologi farmasi dalam sediaan efervesen yang enak sehingga dapat meningkatkan efikasi pada pasien. Manfaat ketiga yaitu didapatkan kemudahan dalam mengonsumsi Moricent karena sediaan bukan dalam bentuk obat, namun minuman kesehatan yang rasanya enak dan dapat dikonsumsi oleh semua umur. Apabila penduduk Indonesia dapat memanfaatkan potensi ini dengan baik maka dengan demikian, diharapkan dapat mengurangi bahkan meniadakan penduduk Indonesia yang obesitas dan komplikasi penyakit yang ditimbulkan. BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


5.

KESIMPULAN Asam linoleat yang terkandung dalam biji mengkudu sebanyak 55% dari total minyak dalam biji mengkudu diformulasikan menjadi sediaan tablet efervesen dengan nama produk Moricent sebagai alternative terapi pada pasien obesitas. Formula Moricent dibuat dengan metode granulasi basah berkomposisi serbuk ekstrak biji mengkudu (6,6%), asam sitrat (30%), natrium bikarbonat (40%), manitol (10,2%), aspartame (1,7%), aerosol (7,5%), dan PVP (4%). Produk yang diperoleh memberikan hasil evaluasi yang memuaskan dalam uji indeks kompresibilitas, sudut reposa, dan laju alir. Setelah dilakukan pencetakan terhadap granul, diperoleh tablet yang secara umum memenuhi kriteria sebagai tablet efervesen. 6.

SARAN a. Penelitian mengenai senyawa asam linoleat yang terdapat dalam biji mengkudu sebagai antiobesitas perlu terus dilakukan agar didapatkan cara paling efektif dalam sistem penghantarannya. b. Pemberian pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya mencegah obesitas dengan gaya hidup sehat dan makanan yang sewajarnya. c. Dalam proses pembuatan tablet, sebaikanya produksi dilakukan sesuai dengan standar produksi tablet efervesen yang baik, dilakukan pemilihan eksipien yang lebih sesuai, serta mempertimbangkan sisi ekonomis.

DAFTAR PUSTAKA [1]. Guyton, A.C. and J.E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9. Jakarta: EGC, 2007. [2]. Ganong, W. Fisiologi Kedokteran.Jakarta: EGC, 2002. [3]. Sjarif, D.R. 2005. Obesitas pada anak dan permasalahannya. Dalam: trihono PP, Purnamawati S, Sjarif DR, Hegar B, Gunardi H, Oswari H, et al, editors. Hot topics in pediatrics II; p.219-34. Jakarta : FKUI [4]. Jahari, A. Penilaian Status Gizi Berdasarkan Antropometri. Bogor: Puslitbang Gizi dan Makanan, 2004. [5]. Badan Penelitian dan Pengembangan BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2010). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010. [6]. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. [7]. Humayrah. “Faktor Gaya Hidup dalam Hubungannya dengan Risiko Kegemukan Orang Dewasa di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta dan Gorontalo.” Skripsi. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, 2009. [8]. Djauhariya E. “Mengkudu (Morinda citrifolia L) Tanaman Obat Potensial.” Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. J Pengemb. Tek. TRO. 15:1(2003) : 1-16 [9]. Adrian, et al. “Eksplorasi Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Untuk Produksi Enzim Protease Dan Potensinya Sebagai Bahan Pengganti Rennet Pada Industri Keju.” Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3:3 (2014): p.1136-1144 [10]. Badan Pusat Statistik (BPS). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003. Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2003. [11]. Human Nutritition Research Center of Agricultural Research and Service. The USDA Food Search for Windows. USDA, 2007. [12]. Pudjiadi. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Jakarta: FKUI, 1997. [13]. Galli, C., Gallela, G. and Marangoni, F. The Biology of n-6 Fatty Acids, Recent Advances, in M.L. Wahlqvist, Nutrition in a Sustainable Environment, London: SmithGordon and Company Limited,, 1994. [14]. Erasmus, U. Fats that heal you, fats that kill you. Canada: Alive books, 1996. [15]. Banker, G.S and N.R. Anderson. The Theory and Practice of Industrial Pharmacy. Philadelphia: Lea and Febinger, 1986. [16]. Ansel, H.C., N.G. Popovich, and L.V. Allen. Pharmaceutical Dosage Forms and Drug Delivery System. Baltimore: Williams & Wilkins, 1995. [17]. Siregar, C.J.P. dan S. Wikarsa.

35


Teknologi Farmasi Sediaan Tablet Dasar- Dasar Praktis. Jakarta: Kedokteran EGC, 2010. [18]. Lieberman, H.A., L. Lachman and J.B. Schwart. Pharmaceutical Dosage Forms Vol 1. New York: Marcel Dekker Inc. 1992. [19]. Dyah Septyaningsih. “Isolasi dan Identifikasi Komponen Utama Ekstrak Biji Buah Merah (Pandanus conoideus lamk).” Skripsi. Surakarta:FMIPA Universitas Sebelas Maret, 2010. [20]. Dedy Akhfa. “Formulasi granul dan tablet eferfesen ekstrak belimbing manis (Averrhoa carambola L).” Skripsi. Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia., 2010.

36

[21]. Irma M Puspitasari. “Formulasi Sediaan Granul Efervesen Sari Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) Rasa Gula Asam Sebagai Food Supplement.” Skripsi. Bandung: Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, 2007. [22]. Thoke, S.B., et al.“Formulation Development and Evaluation of effervescent Tablet of Alendronate Sodium whit Vitamin D3.”Journal of Drug Delivery and Therapeutics, 3:5(2013), 65-67. [23]. Dualatabad, C.D., Mulla, G.M. and Mirajikar, A.M. “Riconoleic acid in Morinda citrifolia seed oil.” Oil technologist’s association of India.21(1989): 26-7.

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


Tinjauan Pustaka

TEROBOSAN JITU SNEDDS EKSTRAK KULIT APEL MALANG (Malus sylvestris Mill.) SEBAGAI AGEN KO-FITOTERAPI PENGOBATAN EFEKTIF HIV-1 Christine Alfiani Hana1 *, Sekar Galuh1, Layung S.S.1 Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta *Corresponding author’s email: christinealfianihana@ymail.com 1

ABSTRAK Pendahuluan: HIV/AIDS merupakan penyakit dengan jumlah penderita mencapai 35 juta orang di dunia pada tahun 2013. Prevalensi penyakit ini paling tinggi disebabkan oleh virus HIV-1. ARV (antiretroviral drugs) digunakan sebagai terapi HIV/AIDS. Namun, HIV/ AIDS berpotensi resisten terhadap ARV dan efek samping terapi ARV memicu terjadinya penyakit diabetes dan dislipidemia. Golongan flavonoid memiliki aktivitas sebagai antiviral dengan menghambat HIV-1 protease. Pembahasan: Kuersetin dari kulit apel malang (Malus sylvestris Mill������������������� .) merupakan senyawa flavonoid yang memiliki aktivitas antiviral dan mengatasi efek samping ARV. Namun, kuersetin termasuk senyawa BCS kelas II sehingga bioavailabilitasnya rendah dalam tubuh. Untuk itu, teknologi SNEDDS (Self-nanoemulsifying Drug Delivery Systems) perlu dikembangkan. Karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif potensi ekstrak kulit apel malang sebagai terapi pendamping ARV (ko-fitoterapi) pengobatan HIV/AIDS dengan menerapkan teknologi formulasi SNEDDS. Pada karya tulis ini, berhasil dibuktikan secara literatur bahwa kuersetin memiliki kemampuan sebagai antiviral melalui uji in silico dan uji in vitro. Secara in silico, afinitas kuersetin terhadap reseptor CD4 lebih kuat daripada nevirapine. Secara in vitro, diketahui bahwa terdapat efek sinergis antara senyawa herbal dengan protease inhibitor dalam terapi HIV. Formulasi SNEDDS yang diterapkan pada Ekstrak Kulit Apel Malang (EKAM) menggunakan surfaktan, kosolven, dan minyak yang dikombinasikan menjadi emulsi minyak dalam air (O/W). Selanjutnya, EKAM dikarakterisasi dengan TEM. Kesimpulan: Kuersetin mampu dikombinasikan dengan terapi ARV melalui mekanisme protease inhibitor dan reverse transcriptase dan kuersetin dapat diformulasikan dengan metode SNEDDS untuk meningkatkan biovailabilitasnya dalam tubuh. Kata kunci: ARV Ko-fitoterapi, ekstrak kulit apel malang, kuersetin, SNEEDS ABSTRACT Introduction: HIV / AIDS is a disease with 35 million people worldwide in 2013 as the patients. The highest prevalence of the disease is caused by HIV-1. ARV used for the treatment of HIV / AIDS. However, HIV / AIDS has the potential to be resistant, and side effects of ARV lead to diabetes and dyslipidemia. Flavonoid have an activity as antiviral by inhibiting HIV-1 protease. Discussion: Quersetin of malang skin apples (Malus sylvestris Mill.) is a flavonoid which have antiviral activity and overcome the side effects of ARVs. Quersetin is BCS Class II compounds so it has low bioavailability in the body. Because of that, SNEDDS (Self-nanoemulsifying Drug Delivery Systems) should be developed. This paper aims to comprehensively assess the potential of apple skin extract as a companion therapy of ARV (co-phytotherapy) in HIV / AIDS treatment by applying SNEDDS. At this paper, It has been demonstrated that Quersetin has the ability as antiviral through in silico and in vitro assays. In silico, Quersetin’s affinity for the CD4 receptor is stronger than Nevirapine. In vitro, there is a synergistic effect between herbal compounds with protease inhibitors. SNEDDS formulations were applied to the Malang Apples Skin Extract using a surfactant, co-solvent, and oil combined into emulsion oil in water (O / W). This extract is characterized by TEM. Conclusion: Quersetin can be combined with ARV through the mechanism of protease inhibitors and reverse transcriptase and can be formulated with SNEDDS method to improve the bioavailability in the body. Keywords: ARV Co-phytotherapy, malang apples skin extract, quersetin, SNEDDS BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

37


1.

PENDAHULUAN Karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk memberikan inovasi solutif terhadap pengobatan HIV-1 dengan memanfaatkan limbah kekayaan alam Indonesia, yaitu kulit apel malang (Malus sylvestris Mil.). Ide solutif karya tulis ilmiah ini terletak pada modifikasi bentuk ekstrak kulit apel malang menjadi bentuk SNEDDS. Inovasi ini mendukung perkembangan pengobatan yang efektif di Indonesia sehingga mampu mengurangi jumlah penderita HIV. HIV/AIDS termasuk salah satu penyakit mematikan dengan jumlah penderita yang besar. Pada akhir tahun 2013 terdapat 35 juta orang hidup dengan HIV di dunia[1]. Pada tahun 2015, wabah HIV/AIDS yang sudah berlangsung 35 tahun dan menjangkiti lebih dari 30 juta orang berpeluang besar untuk ditanggulangi.[2] Obat sintetik HIV atau ARV telah terbukti bermakna menurunkan angka kematian dan kesakitan orang dengan HIV/ AIDS (ODHA).[3] Dilaporkan bahwa sampai dengan September 2011, jumlah Odha (Orang dengan HIV/AIDS) mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843 orang dari 33 provinsi dan 300 kab/kota.[4] Meskipun begitu, ketidakefektifan terapi pengobatan HIV-1 masih menjadi masalah yang harus diselesaikan. Ketidakefektifan ini disebabkan oleh sifat virus HIV yang merupakan reverse virus yakni virus yang dapat berubah kode genetiknya dari ssRNA ke dsDNA, sehingga rawan terjadinya proses resistensi dan mengakibatkan target pengobatan menjadi kurang tepat. Selain itu, permasalahan lain yang timbul yakni efek samping yang ditimbulkan dari pengobatan HIV melalui terapi ARV baik NRTI (Nuclease Reverse Transcriptase Inhibitor) maupun NNRTI (Non- Nuclease Reverse Transcriptase Inhibitor) seperti diabetes, dislipidemia, osteoporosis, diare, anemia, dan berefek pada gastrointestina.l[5] Berdasarkan penelitian Hong-Xi Xu, et al., flavonoid dan tannin dari tumbuhan dilaporkan memiliki aktivitas sebagai antiviral dan flavonoid serta tanin yang dapat terhidrolisis dapat menghambat HIV-1 protease. Senyawa golongan flavonoid, yakni kuersetin, memiliki aktivitas antivirus dan mampu memodulasi diferensial ekspresi pro dan anti inflamasi sitokin di PBMC normal.[6] Apel malang (Malus sylvestris Mill)

38

secara empiris pernah digunakan sebagai antiviral pada penyakit HIV karena kandungan kuersetin pada kulit apel lebih tinggi daripada gabungan dari kulit dan buahnya[7]. Selain itu kuersetin dapat pula digunakan untuk mengatasi atherosklerosis, diabetes, dan mencegah kanker. Sehingga dapat digunakan meningkatkan efektivitas pengobatan obat ARV dengan menurunkan efek samping yang ditimbulkan. Akan tetapi, kuersetin merupakan senyawa BCS kelas II, yang mempunyai sifat kelarutan dalam air rendah.[8] Ide karya tulis ilmiah ini merupakan ide solutif dari realitas yang ada dan perluasan dari hasil penelitian yang sudah ada. Penulisan karya tulis ilmiah dorongan dalam memcahkan masalah ketidakefektifan terapi HIV di Indonesia. Oleh karena itu, pada karya tulis ini akan dikaji secara komprehensif mengenai potensi kuersetin dari kulit apel malang yang mampu meningkatkan efektivitas obat ARV dalam pengobatan HIV. Keterbatasan kuersetin diatasi dengan teknologi formulasi nanopartikel SNEDDS (Selfnanoemulsifying Drug Delivery Systems). Sistem SNEDDS membantu kuersetin agar mudah diabsorbsi dengan cara melarutkan kuersetin kedalam minyak pembawa yang akan teremulsi dengan cairan yang ada di lambung. Dengan demikian, diharapkan bentuk SNEDDS kuersetin dari apel malang mampu menjadi ko-fitoterapi obat ARV yang ampuh bagi penderita HIV/AIDS. 2. PEMBAHASAN 2.1. Potensi apel malang sebagai agen ko-fitoterapi HIV-1 Ketidakefektifan terapi pengobatan HIV-1 masih menjadi masalah yang harus diselesaikan melalui inovasi pengobatan HIV-1. Ketidakefektivan ini disebabkan oleh sifat virus HIV yang merupakan reverse viruse dan atau efek samping yang ditimbulkan dari pengobatan HIV melalui ARV. Obat sintetik HIV yang telah beredar di Indonesia bekerja melalui mekanisme reverse transcriptase, yakni menghambat perubahan balik dari virus RNA ke DNA. Sehingga mampu menghambat mekanisme replikasi dari virus HIV. Obat sintetik HIV tidak hanya digunakan dalam satu atau dua bulan, namun hingga bertahun-tahun. Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) tidak dianjurkan untuk terapi lini pertama dan BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


hanya digunakan sebagai lini kedua. Penggunaan pada lini kedua hanya bila pasien benar-benar mengalami intoleransi terhadap golongan NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine). Mekanisme resistensi obat ARV dapat terjadi pada penggunaan obat pada jangka waktu lama. Resistensi dapat disebabkan karena mutasi virus, penggunaan obat pada pasien (ketidakpatuhan, tidak tepat dosis) dan jangka waktu penggunaan yang lama.[9] Oleh karena itu, obat ARV memerlukan pendamping untuk meningkatkan keefektivan terapi. Disisi lain, Indonesia mempunyai kekayaan alam terutama buah-buahan. Salah satunya adalah apel malang (Malus sylvestris). Buah ini, banyak ditemukan di daerah Batu, Malang, Jawa timur dan merupakan produk lokal yang dapat menjadikan Indonesia eksporter buah asalnya. Komoditas apel merupakan salah satu potensi daerah Malang yang sudah cukup populer di kalangan masyarakat luas. Sampai saat ini sentra produksi apel utama di Indonesia hanya di Jawa Timur yang mulai tumbuh berkembang pada tahun 1970-an dan pada puncak perkembangannya pada tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an di Batu, Poncokusumo Malang dan Nongko Jajar Pasuruan.[7] Apel malang atau Malus sylvestris merupakan bahan pangan lokal yang dapat kita jumpai di Indonesia, khususnya di Malang Jawa Timur. Malus sylvestris telah diteliti mengandung beberapa senyawa yang berguna untuk pengobatan, yakni: tannin, flavonoid berupa kuersetin, Asam D-glukarat, asam tartrat dan lainnya.[10]. Flavonoid pada apel terkandung sebanyak 459.9 mg kg−1. Kuersetin berada dalam jumlah sekitar 60-75% dari flavonoid.[11] Kandungan kuersetin apel malang paling tinggi terdapat pada kulit buah. Kuersetin pada kulit apel lebih tinggi daripada gabungan dari kulit dan buahnya.[6] Kuersetin sebagai senyawa yang melimpah dalam apel telah diteliti secara in silico dan in vitro sebagai antivirus. Kuersetin secara in siliko di uji menggunakan molecular docking, yang mana afinitas terhadap reseptor CD4 lebih kuat dari pada obat sintetik. Docking dilakukan antara kuersetin dengan reseptor CD4 dan dibandingkan dengan obat sintetik nevirapine pada reseptor yang sama. Cluster Diferensiasi 4 (CD4) merupakan reseptor afinitas tinggi BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

untuk seluler pada HIV dan bertanggung jawab sebagai penjaga inisiasi dari AIDS. Nevirapine membentuk dua ikatan hidrogen dengan CD4 sedangkan kuersetin membentuk tiga dan dua ikatan hidrogen.

Gambar 1. Ikatan kuersetin dengan CD4.

Gambar 2. Ikatan Nevirapine dengan CD4. Nama senyawa

Docking score

Interaksi ikatan hydrogen

Bond length (Ao)

Kuersetin

-6.48*

Nevirapine

-4.34*

N----HO N----HO N----HO N----HO

3.4 3.4 2.3 2.8

Gambar 3. Docking Score Kuersetin dan Nevirapine. Senyawa alami kuersetin mempunyai aktivitas penghambat yang lebih poten daripada nevirapine yang ditunjukkan dengan kuatnya ikatan dengan reseptor CD4 (afinitasnya tinggi). Kuersetin merupakan senyawa yang poten untuk dikembangkan sebagai lead compound dalam pengobatan HIV. Disamping itu, kuersetin juga telah di uji secara in vitro. Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa flavonoid kuersetin memberikan hasil yang signifikan terhadap

39


penghambatan regulasi ekspresi sitokin pro-inflamasi dalam sel kultur melalui modulasi jalur sinyal NFkB dan p38MAPK. Sehingga kuersetin memberikan aktivitas antiHIV dengan modulasi diferensial ekspresi pro dan anti-inflamasi sitokin di PBMC normal.[12] Peneliti lain menyatakan bahwa mekanisme penghambatan HIV adalah melalui jalur protease inhibitor. Protease inhibitor merupakan mekanisme yang ada pada obat lini kedua yang keberadaannya di Indonesia belum ada karena harga yang mahal. Kuersetin jika dibandingkan dengan senyawa yang lain seperti Hypericin, kaempferol, kuersetin, dan allicin, secara in vitro dengan target P-gp dan/atau CYP3A4. P-gp merupakan transporter yang berfungsi membawa masuk dan keluarnya xenobiotik ke dalam sel. Peranannya dalam hal ini adalah membawa masuk dan keluarnya virus HIV yang telah menginfeksi protein permukaan sel. Dibuktikan secara in vitro bahwasannya terdapat sinergisitas dalam penggunaan konstituen herbal bersama dengan resep PI (Protease Inhibitor) yang substrat untuk P-gp dan/atau CYP3A4, dalam penghambatan HIV studi in vitro.[13] Berdasarkan penelitian yang sudah ada telah terbukti bahwa apel malang mengandung komponen flavonoid yakni kuersetin yang berperan dalam mekanisme penghambatan HIV melalui mekanisme Protease inhibitor. Apel malang dapat digunakan secara kombinasi dengan obat sintetik HIV yang sudah ada (ko-fitoterapi). Apel malang menghambat HIV melalui mekanisme protease inhibitor sedangkan obat sintetik ART melalui mekanisme reverse transcriptase. Kedua jalur virus HIV dapat dihambat dengan kombinasi kedua bahan. Terapi kombinasi bahan herbal dengan obat sintetik akan lebih efektif dikarenakan efeknya saling sinergis. 2.2. Formulasi SNEDDS untuk Meningkatkan Efektivitas Pengobatan HIV SNEDDS (self nano-emulsifying drug delivery systems) merupakan sistem penghantaran obat yang modern. Pada sistem ini obat dihantarkan secara self-nanoemulsifying. Kuersetin dilaporkan mempunyai kelarutan di air yang sangat rendah sehingga permeabilitas terhadap ga permeabilitas terhadap mukosa intestinal juga sangat rendah.[14] Maka dari itu, ekstrak kulit apel

40

malang yang mempunyai kandungan utama flavonoid kuersetin cocok untuk diformulasikan menjadi sediaan dengan terobosan baru yang menjanjikan, yaitu SNEDDS. Pembuatan SNEDDS memerlukan beberapa komponen yakni surfaktan, ko-surfaktan, sampel, dan minyak. Pada prinsipnya, SNEDDS akan membentuk emulsi O/W secara otomatis jika dilarutkan dalam air. Surfaktan pada SNEDDS dapat meningkatkan absorpsi pada membran sehingga terjadi perubahan permeabilitas (surfaktan yang digunakan bersifat hidrofilik dengan nilai HLB > 12). Lapisan mukosa bermuatan negatif, sehingga muatan positif pada droplet emulsi dapat menembus kedalam ileum.[15] Emulsi yang bermuatan positif/kation memiliki bioavaibilitas yang lebih baik dibanding yang bermuatan negatif/anion. [16] Komponen yang dapat digunakan dalam formulasi ini yakni: minyak (olive oil, corn oil, atau coconut oil), surfaktan (tween atau Span) dan kosolvent (PEG 400 dan Propilen Glikol). Tahap formulasi SNEDDS ekstrak kulit apel malang yakni : 1. Pembuatan serbuk kulit apel malang Apel malang dikumpulkan kemudian dikupas. Kulit apel malang dikeringanginkan selama 24 jam dan di oven 400C hingga kandungan airnya hilang. Kulit apel malang diserbukkan menggunakan alat penyerbuk. [17]

2. Ekstraksi kulit apel malang dalam etanol 70% Serbuk kulit apel malang diekstraksi dengan metode maserasi dengan etanol 70% sebanyak 1:10 selama 5 x 24 jam dalam gelas erlenmeyer tertutup rapat dan digojog pagi sore. Setelah 5 hari kemudian disaring, ampas yang diperoleh dimasukkan kembali ke dalam gelas erlenmeyer dan ditambah etanol 70 % sebanyak 1:10 (remaserasi). Ekstrak yang terkumpul kemudian dipekatkan dengan bantuan Rotary Evaporator, dan diperoleh ekstrak kental kulit apel malang yang selanjutnya disingkat EKAM. Ekstrak kental yang telah didapat kemudian di freeze dry untuk mendapatkan bentuk serbuk ekstrak keringnya.[17] 3. Pre-Formulasi dan Formulasi SNEDDS Ekstrak Kulit Apel Malang Tahap preformulasi dilakukan untuk mengetahui komposisi yang tepat surfakBIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


tan, kosurfaktan, dan minyak dan jenis dari ketiga komponen itu yang paling tepat dalam pembuatan SNEDDS. Tahap pertama yang dilakukan adalah uji kelarutan EKAM pada komponen SNEDDS dengan cara melarutkan 500 mg EKAM pada 1 ml masing-masing komponennya yaitu surfaktan (tween 80 dan span 80), minyak (minyak jagung, minyak zaitun, minyak canola, minyak kelapa sawit) dan kosolvent (PEG 400 dan Propilen Glikol). Metode pembuatan nanoemulsi dilakukan secara spontan atau langsung. EKAM akan membentuk emulsi yang stabil secara spontan dengan komponen yang lain. Setelah mendapatkan beberapa formulasi dari SNEDDS EKAM, maka dilakukan beberapa uji yakni: uji stabilitas, uji self-emulsifikasi (kelarutan); waktu emulsifikasi; serta dilakukan karakterisasi menggunakan transmission electron microscopy (TEM).[18] 4. Evaluasi Formula SNEDDS Ekstrak Kulit Apel Malang (EKAM) Formula yang telah diperoleh kemudian dilakukan evaluasi meliputi uji stabilitas, uji self-emulsifikasi (kelarutan), serta dilakukan karakterisasi menggunakan transmission electron microscopy (TEM). [18] Uji stabilitas dilakukan dengan melakukan pengamatan SNEDDS EKAM dibandingkan dengan campuran basis selama 7, 14, dan 30 hari.[18] Dilakukan pengamatan adanya pemisahan fase pada SNEDDS. Uji self-emulsifikasi dilakukan dengan cara meneteskan 0,1 ml SNEDDS EKAM dalam 20 ml aquadest. SNEDDS akan membentuk emulsi secara spontan ketika diteteskan ke dalam aquadest dengan penggojogan ringan. Uji yang terakhir adalah dengan karakterisasi menggunakan TEM, yakni mengamati ukuran partikel SNEDDS di bawah TEM. Berdasarkan syarat SNEDDS yakni berukuran 20-200 nm. Setelah didapatkan formulasi SNEDDS EKAM yang paling stabil, maka dapat dilakukan uji yang lebih lanjut untuk menjadikan produk ini dapat dipasarkan secara luas seperti uji in vivo, uji preklinik dan klinik dari sediaan SNEDDS EKAM. 2.3. Implementasi Gagasan Dalam mencapai terwujudnya gagasan ini, maka diperlukan beberapa langkah implementasi dan keterkaitan berbagai pihak. Pihak-pihak yang terkait untuk terwujudnya gagasan ini yakni: pemerintah, petani apel BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

malang terkhusus Kecamatan Poncokusumo, industri Farmasi, usaha pengolahan apel (dan pedagang oleh-oleh khas Malang) serta konsumen. Implementasi dari gagasan ini antara lain: a. Petani apel malang Merupakan pihak yang mengelola dan menjamin produksi apel malang. Pihak ini juga menyediakan kulit apel malang untuk industri farmasi serta buah apel malang untuk usaha pengolahan apel baik tingkat usaha rumahan, menengah, maupun industri. b. Industri farmasi Merupakan pihak yang mengelola kulit apel malang dan menghasilkan sediaan SNEDDS untuk pasar. Industri farmasi melakukan langkah lebih lanjut dari uji literature, yakni uji in vivo, klinik dan sediaan skala industri. c. Usaha pengolahan apel malang Merupakan pihak yang mengelola buah apel malang dari petani apel Malang. Usaha dapat berupa pengolahan apel malang menjadi kripik, manisan, atau makanan dan minuman yang lain. Tentunya, industri ini dapat meningkatkan produktivitas masyarakat sekitar. d. Pemerintah (Desa, Daerah atau Pusat) Pemerintah memegang peran dalam meningkatkan produksi petani apel malang, dengan memberikan bantuan usaha Tani. Pemerintah juga memberikan dukungan kepada Usaha pengolahan apel malang, agar terus berkembang dan tetap menjadi ciri khas dari daerah Malang. Apel malang juga dapat dijadikan salah satu kearifan lokal dari Malang e. Konsumen Konsumen dapat berupa rumah sakit (umum atau khusus HIV) atau masyarakat. Konsumen merupakan pihak yang menggunakan atau membeli produk dari apel malang yakni: SNEDDS kulit apel malang untuk peningkatan terapi pengobatan HIV atau hasil olahan buah apel malang (makanan dan minuman). 3. KESIMPULAN Ekstrak Kulit Apel Malang pun dapat diformulasikan menjadi nanopartikel dengan metode SNEDDS, untuk meningkatkan kelarutannya serta demi mencapai efek terapi yang optimal terapi yang optimal dan efektif dalam pengobatan HIV-1. Dengan demikian, kuersetin dari apel malang (Malus sylvestris) dapat membantu terapi

41


obat sintetik ART untuk HIV/AIDS melalui mekanisme kombinasi protease inhibitor dengan reverse transcriptase, dan secara in silico mempunyai afinitas yang kuat terhadap reseptor CD4. Penelitian lebih lanjut diperlukan baik secara in vivo, preklinik maupun klinik dari sediaan SNEDDS Ekstrak Kulit Apel malang. Implementasi dari gagasan ini melibatkan beberapa pihak. Sehingga diharapkan ide ini dapat terealisasi dalam rangka peningkatan pengobatan HIV-1. DAFTAR PUSTAKA [1] “Global Health Obsevatory Data of HIV/AIDS”. WHO. 2013. 24 Maret 2015. <www.who.int/gho/hiv/en> [2] “Tahun Penuh tantangan, Peluang dalam Penanggulangan HIV/AIDS”. VOA Indonesia. 2015. 24 Maret 2015. <m.voaindoneisa.com/a/tahunpenuh-tantangan-peluang-dalampenanggulangan-hiv/2593689.html> [3] Lichtenstein, K. A. “Clinical Assesment of HIV-Assosiated Lipodystrophy in An Ambulatory Population”. Official Journal Of The International AIDS Society, 15:11(2001): 1389-1398. [4] “Pedoman Nasional Tata Laksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa.” Spiritia. 2011. 7 Juli 2015. <http://spiritia.or.id/dokumen/pedoman-art2011.pdf> [5] Terapi Antiretroviral (ART). Spiritia. 2014. 7 Juli 2015. < http://spiritia.or.id/ li/pdf/LI403.pdf> [6] Chinici, F., et al. “Radical Scavenging Activities of Peels and Pulp from CV. Golden Delicious Apples as Related to The Phenolic Composition”. J. Agric Food Chem. 52:15(2004): 4684-4689. [7] “Pewilayahan Tanaman Apel di Jawa Timur”. Litbang Pertanian. 2008. 24 Maret 2015. <http://balitjestro.litbang. pertanian.go.id> [8] Lide, D. CRC Handbook of Chemist and Physics. Boca Raton:CRC Press, 1997. [9] “What Is Antibiotic Resistance and

42

Why Is It Problem?”. APUA. 1997. 22 Maret 2015. <www.apua.org> [10] Nair, M. P. N., et al. “The Flavonoid, Kuersetin, Inhibits HIV-1 Infection in Normal Peripheral Blood Mononuclear Cells”. Am. J. Infect. Dis. 5(2009): 135141. [11] Sultana, B. and Anwar, F. “Flavonols (Kaempeferol, Quercetin, Myricetin) Contents of Selected Fruits, Vegetables, and Medicinal Plants”. Jurnal Food Chemistry. 108:3(2008): 879-884. [12] Bent, H. H. and Odd, N. G. “In vitro Inhibition of CYP3A4 Metabolism and P-Glycoprotein-Mediated Transport by Trade Herbal Products”. Jurnal Basic & Clinical Pharmacology & Toxicology. 102:5(2008): 466-475. [13] Fesen, M.R., et al. “Inhibition of HIV1 Integrase by Flavones, Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE) and Related Compounds”. Biochem Pharmacol 2002. 48:3(1994): 595-608 [14] Gugler, R., Leschik, M., and Dengler, H. “Disposition of Kuersetin in Man After Single Oral and Intravenous Doses”. Eur. J. Clin. Pharmacol. 9(1975): 229-234. [15] Groves, M. dan Degalindez, D. “The Self‐emulsifying Action of Mixed Surfactants in Oil”. Acta Pharm. 13(1976): 361-372. [16] McClintic, J. Physiology of the Human Body. 2nd penyunt. New York: Wiley, 1976. [17] Putri, H., et al. “Cardioprotective and Hepatoprotective Effects of Citrus hystrix Peels Extract on Rats Models”. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. 3:5(2013): 371-375. [18] Gadri, M. Pengembangan Formula Nanoemulsi Ekstrak Metanol Urang Aring (Eclipta alba L.Hassk) dengan Minyak Kelapa Murni (Virgin Coconut Oil) dan Minyak Kemiri serta Uji Aktivitas in vivo pada Tikus Wistar Jantan. Jakarta: UI Press, 2014.

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


Advertorial

FORMULASI SNEEDS KOMBINASI EKSTRAK TERPURIFIKASI RIMPANG KUNYIT (Curcuma longa) DAN HERBA SAMBILOTO (Andrographis paniculata) SEBAGAI ANTIDIABETES MELLITUS TIPE-2 RESISTEN INSULIN Fitriana Hayyu Arifah1 * Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta *Corresponding author’s email: fitriana.hayyu.a@mail.ugm.ac.id 1

ABSTRAK Pendahuluan: Gaya hidup tidak sehat dapat meningkatkan risiko terjadinya diabetes mellitus (DM) tipe-2 resisten insulin. Diabetes mellitus (DM) merupakan sindrom kompleks dengan ciri-ciri seperti hiperglikemik kronis, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein akibat defisiensi sekresi dan/atau sekresi insulin. Terapi diabetes mellitus tipe2 resisten insulin selama ini mengggunakan obat sintetik hipoglikemik oral. Pembahasan:Indonesia dapat mengeksplorasi kekayaan alam sebagai alternatif terapi diabetes mellitus tipe-2 resisten insulin. Kunyit (Curcuma longa) mengandung kurkumin yang dapat menghambat translokasi GLUT2 menuju membran dengan mengganggu jalur signaling p38 MAPK sehingga mencegah uptake glukosa dari membran sel ke sirkulasi sistemik. Sambiloto (Andrographis paniculata) mengandung andrografolid yang mampu menurunkan PEPPK (phosphoenol pyruvate carboxy kinase) untuk mereduksi proses glukoneogenesis pada hati sehingga terjadi penurunan kadar glukosa plasma. Formulasi SNEDDS (self nano-emulsifying drug delivery system) dapat memperbaiki sifat fisiko-kimiawi dari kurkumin dan andrografolid yang bersifat kurang polar dan bioavailabilitas yang rendah. Kesimpulan: Kombinasi ekstrak terpurifikasi rimpang kunyit dan herba sambiloto memiliki efek komplementer dalam terapi diabetes mellitus tipe-2 resisten insulin serta formulasi SNEEDS dapat meningkatkan efikasi obat. Inovasi ini dapat dikembangkan menuju fitofarmaka sehingga dapat diaplikasikan pada tingkat klinik. Kata kunci: Curcuma longa, Andrographis paniculata, diabetes mellitus tipe-2 resisten insulin, SNEDDS, fitofarmaka ABSTRACT Background: Unhealthy lifestyle can increase the risk of diabetes mellitus (DM) type 2 insulin resistant. Diabetes mellitus (DM) is a complex syndrome with characteristics such as cronic hyperglycemic, metabolic disorders of carbohydrate, fat, and protein as a result of deficiency secretion and/ or insulin secretion. Therapy for diabetes mellitus type-2 insulin resistant was done by using oral hypoglycemic synthetic drug.. Discussion: Indonesia can explore natural resources as an alternative therapy of diabetes mellitus type-2 insulin resistant. Turmeric (Curcuma longa) containing curcumin that can inhibite GLUT2 translocation to the membrane with distrub the p38 MAPK signaling pathway thus preventing glucose uptake of the cell membrane to the systemic circulation. Bitter (Andrographis paniculata) containing andrographolide which is able to decrease PEPPK (phosphoenol pyruvate carboxy kinase) to reduce gluconeogenesis process in the liver so that plasma glucose level to be reduced. Formulation of SNEDDS (self nanoemulsifyingdrug delivery system) can improve physico-chemical properties of curcumin and andrographolide that are less polar and low bioavailability. Conclusion: Combination of turmeric and bitter herb purified extract has complementary effect in diabetes mellitus type-2 insulin resistant therapy and SNEDDS formulation can improve drug efficacy. This innovation can be developed to the phytopharmaca so can be applied on the clinical level. Keywords: Curcuma longa, Andrographis paniculata, diabetes mellitus type-2 insulin resistant, SNEDDS, phytopharmaca BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

43


1.

PENDAHULUAN Perubahan gaya hidup yang terjadi di masyarakat ini seperti makanan cepat saji, rokok, stress, serta kurang gerak mengakibatkan masalah kesehatan seperti penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif adalah penyakit tidak menular (PTM) karena kemunduran fungsi organ tubuh.[1] Penyakit degeneratif utama yang terjadi di Indonesia meliputi hipertensi, diabetes mellitus (DM), dan kanker.[2] Penderita DM seluruh dunia pada Maret 2013 sebanyak 347 juta orang, lebih dari 80% penderita berasal dari negara berkembang. Penderita DM diperkirakan tahun 2030 meningkat menjadi 552 juta oran.[3] DM merupakan sindrom kompleks dengan ciri-ciri hiperglikemik kronis, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, terkait dengan defisiensi sekresi dan/atau sekresi insulin.[4] Sebanyak 9095% dari total populasi penderita DM adalah diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) yang umumnya mempunyai latar belakang resistensi insulin.[5] Pengobatan DMT2 biasanya dilakukan dengan pemberian obat sintetik hipoglikemik oral. Metformin adalah salah satu obat hipoglikemik oral golongan biguanid yang memiliki aksi ekstrapankreatik dan dapat digunakan pada kondisi resistensi insulin. Metformin memiliki berbagai efek samping meliputi mual, muntah, diare, dan asidosis laktat yang fatal.[6] Berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan karena obat hipoglikemik oral, maka kita harus memberikan solusi alternatif lain. Indonesia merupakan negara kaya akan sumber daya alam dan biodiversitas. Berbagai macam tanaman tumbuh di Indonesia. Kekayaan alam tersebut dapat diekplorasi untuk dijadikan solusi penyakit DMT2 resisten insulin yang dialami masyarakat adalah rimpang kunyit dan herba sambiloto. Rimpang kunyit dan herba sambiloto yang digunakan adalah ekstrak yang telah terpurifikasi. Ekstrak terpurifikasi adalah ekstrak bahan alami yang diperoleh dengan menghilangkan kandungan kimia banal seperti lemak, karbohidrat, protein, klorofil, atau resin (zat ballast) sehingga diperoleh kadar kandungan kimia aktif yang lebih tinggi dibanding ekstrak kasarnya. Ekstrak terpurifikasi termasuk strategi dalam meningkatkan efikasi obat tradisional.[7] Kunyit memiliki kandungan utama kurkumin, serta senyawa lain seperti resin

44

dan minyak atsiri.[8] Kurkumin meningkatkan regulasi ekspresi activated protein kinase (AMPK)[9], menghambat translokasi GLUT2 menuju membran dengan mengganggu jalur signaling p38 MAPK, menurunkan GLUT2 dengan menstimulasi aktivitas peroxixome proliferator-activated receptor-gamma (PPARÎł)[10] sehingga berefek hipoglikemik. Kurkumin mampu menghambat fungsi sperma dan fertilitas hanya pada dosis tinggi. Uji toksisitas membuktikan bahwa kurkumin memiliki toksisitas yang rendah pada dosis tinggi.[11] Sambiloto memiliki kandungan utama andrografolid, yang telah terbukti mampu menurunkan kadar glukosa darah. Andrografolid memiliki aksi mirip insulin yaitu mampu menstimulasi translokasi GLUT4[12], menstimulasi proses transkripsi DNA pada sintesis GLUT4[13] dan menurunkan PEPPK (phosphoenol pyruvate carboxy kinase) untuk mereduksi glukoneogenesis pada hati sehingga terjadi penurunan kadar glukosa plasma.[14] Sambiloto tidak toksis pada dosis tinggi yang telah dibuktikan melalui hewan uji.[15] Andrografolid memiliki kekurangan yakni tingginya variasi kecepatan adsorpsi setiap individu dan rasa yang pahit.[37,38] Oleh karena itu, kunyit dan sambiloto memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi fitofarmaka apalagi di Indonesia belum ada fitofarmaka untuk penyakit diabetes tipe-2 resisten insulin. Gagasan yang diajukan adalah mengembangkan ekstrak terpurifikasi rimpang kunyit dan esktrak terpurifikasi herba sambiloto dalam formulasi SNEDDS menggunakan ekstrak terpurifikasi rimpang kunyit dan ekstrak terpurifikasi herba sambiloto sebagai zat aktif, asam oleat sebagai fase minyak, tween 20 (polisorbat 20) sebagai surfaktan, dan polietilen glikol sebagai co-solvent. Keunggulan SNEDDS ini adalah mampu meningkatkan bioavailabilitas oral, mengurangi dosis obat yang dibutuhkan, stabil di berbagai suhu, dan memudahkan distribusi di saluran gastrointestinal.[16] Sehingga diharapkan formulasi SNEDDS mampu memperbaiki bioavailabilitas kurkumin dan herba sambiloto. SNEDDS dapat dibuat menjadi kapsul keras maupun gelatin lunak sehingga lebih acceptable.[17]

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


2. PEMBAHASAN 2.1. Diabetes Melitus Tipe-2 Resisten Insulin Diabetes mellitus (DM) merupakan sindrom kompleks dengan ciri-ciri hiperglikemik kronis, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, terkait dengan defisiensi sekresi dan/atau sekresi insulin. DM dibagi menjadi dua kategori utama yaitu DM tergantung insulin (insulin dependent diabetes mellitus, IDDM) atau DM tipe 1 dan DM tidak tergantung insulin (non-insulin dependent diabetes mellitus, NIDDM).

guanid untuk penderita diabetes mellitus tanpa ketergantungan insulin yang memiliki aksi ekstrapankreatik dan dapat digunakan pada kondisi resistensi insulin. Metformin bekerja langsung pada hati, menurunkan produksi glukosa hati, tidak merangsang sekresi insulin sehingga hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemik. Namun, metformin memiliki berbagai efek samping meliputi mual, muntah, diare, dan asidosis laktat yang fatal.[6]

[4]

Diabetes mellitus tipe 1 (DMT1) terjadi karena kerusakan pada sel β Langerhans sehingga mengakibatkan produksi insulin berhenti atau sedikit sekali.[4] DMT1 ini berhubungan dengan human leucocyte antigen dan destruksi sel β selektif secara imunologis. Pada pasien ini, ketosis sering terjadi dan dibutuhkan insulin. Kontrol metabolik sejak dini pada penyakit ini dapat memperlambat komplikasi yang terjadi.[6] Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) ini disebabkan dua hal yaitu: 1) penurunan respon jaringan terhadap insulin, kondisi ini dinamakan resistensi insulin; dan 2) penurunan produksi insulin akibat regulasi sekresinya terganggu atau terjadi kerusakan fungsional pada sel β Langerhans. Faktor pertama mengakibatkan efek insulin berkurang, meskipun kadar insulinnya normal, sedangkan faktor yang kedua mengakibatkan penurunan sekresi insulin. Kedua faktor akhirnya menyebabkan kenaikan konsentrasi glukosa darah.[4] Pada kasus yang terjadi sebanyak 90-95% dari total populasi penderita DM adalah diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) yang umumnya mempunyai latar belakang resistensi insulin.[5] Pengobatan DM biasanya tergantung dari kegawatan penyakit. Pengobatan secara individual biasanya dilakukan dengan diet dan olahraga.[18] Apabila hal ini kurang efektif, maka dibutuhkan terapi farmakologis khusus seperti gabungan diet dan antidiabetik oral serta adakalanya gabungan diet dengan insulin. Pemberian terapi insulin atau obat hipoglikemik oral bertujuan mengendalikan kadar glukosa darah yang tidak dapat diatasi dengan diet dan olahraga.[5] Metformin (Gambar 1) adalah salah satu obat hipoglikemik oral golongan biBIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

Gambar 1. Struktur Metformin[5] 2.2. Kunyit (Curcuma longa) Kunyit (Curcuma longa) (Gambar 2) merupakan jenis tanaman semak dari famili zingiberaceae yang banyak tumbuh di Indonesia. Kunyit mengandung kurkuminoid (Gambar 3) terutama kurkumin, desmetoksikurkumin, bisdesmetoksikurkumin. Selain juga mengandung resin, minyak atsiri dengan komponen utama α, β turmeron, arturmeron, α,β atlanton, kurlon, zingiberen dan kurkumol.[8] Tanaman kunyit sering dimanfaatkan sebagai obat adalah bagian rimpang untuk antikoagulan, antiedemik, menurunkan tekanan darah, obat malaria, obat cacing, obat sakit perut, memperbanyak ASI, stimulan, mengobati keseleo, memar dan rematik. Kurkuminoid pada kunyit berkhasiat sebagai antihepatotoksik, enthelmintik, antiedemik, analgesik. Selain itu kurkumin juga dapat berfungsi sebagai antiinflamasi dan antioksidan.[19]

45


Gambar 3. Struktur Kurkuminoid[35] Fraksi kurkuminoid dosis 80 mg/kgBB (kadar kurkumin 56%b/b) mampu menurunkan kadar glukosa darah preprandial sebesar 51,29% dan 35,6% pada postpranial.[22] Kurkumin memiliki toksisitas yang rendah pada dosis yang tinggi dibuktikan dengan tidak menaikan secara signifikan level AST dan ALT.[11] Selain itu, juga sudah dilakukan uji klinik dengan dosis kurkumin 1125 mg/ hari dan tidak ditemukan efek samping pada manusia.[23] Namun kurkumin yang konsumsi secara oral mempunyai kadar yang rendah dalam plasma dan jaringan, hal ini dikarenakan absorpsi yang jelek.[24] Untuk mengatasi permasalahan ini maka dilakukan pengembangan formula sehingga akan meningkatkan absorpsi dan bioavailabilitas sehingga meningkatkan efikasi. 2.3 Sambiloto (Andrographis paniculata) Andrographis paniculata atau yang sering disebut tanaman sambiloto (Gambar 4) merupakan tanaman yang dapat tumbuh di semua jenis tanah sehingga tidak heran jika tanaman ini terdistribusi luas di belahan bumi. Habitat aslinya adalah tempat terbuka yang teduh dan agak lembab, seperti kebun, tepi sungai, pekarangan, semak, atau rumpun bambu.[25]

Gambar 4. Tanaman sambiloto (Andrographis paniculata)[15]

46

Tanaman sambiloto (Andrographis paniculata) merupakan tanaman obat yang secara empiris mempunyai banyak khasiat. Sudah banyak dilakukan uji khasiat dan keamanan pada hewan dan sebagian menggunakan darah manusia yang diuji secara in vitro. Penelitian yang mendukung penggunaan empirik antara lain sebagai antipiretika, antiinflamasi, diuretika, analgetika, rematik, menurunkan kontraksi usus, dan antidiabetes.[26] Sambiloto mengandung senyawa diterpenoid, flavonoid, dan polifenol. Kandungan utama pada herba sambiloto adalah andrografolid (Gambar 5). Sambiloto mengandung analog andrografolid, 14-deoksi-11,12-didehidroandrografolid, neoandrografolid, 14-deoksiandrografolid, 14-deoksi-14,15-dehidroandrografolid, isoandrografolid, 3,19-isopropiledenandrografolid, 14-asetilandrografolid. Serta empat flavonoid dari sambiloto yaitu 7-O-metilwogonin, apigenin, onisilin, dan 3,4-dikafeoilkuinik.[27]

Gambar 5. Struktur Andrografolid Senyawa andrografolid dapat menurunkan kadar glukosa darah pre dan postpranial yang tergantung dosis pada tikus diet fruktosa dan pakan tinggi lemak. [4] Sambiloto tidak toksis pada dosis tinggi yang telah dibuktikan melalui hewan uji. Pemejanan i.v andrografolid (10 mg/kg) pada kelinci tidak menimbulkan kelainan hati, ginjal, jantung, dan limpa. Tikus dengan pemejanan ekstrak sambiloto secara oral (10 g/kg) selama 7 hari tidak terjadi mortalitas. Andrografolid sangat direkomendasikan sebagai pharmaceutical agent pada aplikasi klinik.[15] 2.4 Mekanisme Aksi Kurkumin dan Andrografolid Pengembangan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia semakin meningkat seiring dengan adanya program BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


saintifikasi jamu untuk meningkatkan penggunaan jamu di kalangan medis dan dokter.[28] Hal ini memacu eksplorasi tanaman untuk pengobatan berbagai penyakit degeneratif seperti antidiabetes mellitus tipe 2 (DMT2) resisten insulin. Tanaman yang dapat kita manfaatkan sebagai solusi DMT2 adalah kunyit dan sambiloto yang secara empiris mempunyai aktivitas hipoglikemik. Kunyit mengandung kurkuminoid terutama kurkumin, desmetoksikurkumin, bisdesmetoksikurkumin, resin, minyak atsiri dengan komponen ι,β turmeron, arturmeron, ι,β atlanton, kurlon, zingiberen dan kurkumol.[8] Kurkumin mampu meningkatkan regulasi ekspresi activated protein kinase (AMPK), yang merupakan regulator seluler utama metabolisme lipid dan glukosa. [9] Kurkumin beraksi dengan menghambat translokasi GLUT2 menuju membran dengan mengganggu jalur signaling p38 MAPK sehingga mencegah uptake glukosa dari membran sel ke sirkulasi sistemik. Kurkumin menurunkan GLUT2 dengan menstimulasi aktivitas peroxixome proliferator-activated receptor-gamma (PPARγ)[10] sehingga kurkumin menurunkan kadar insulin plasma. Data tersebut membuktikan efektifitas kurkumin sebagai antihiperglikemik. Selain manfaat kurkumin yang terkandung pada kunyit sebagai antihiperglikemik, herba sambiloto juga memiliki aktivitas tersebut. Herba sambiloto memiliki kandungan utama yaitu senyawa andrografolid.[13] Andrografolid memiliki aksi mirip insulin yaitu mampu menstimulasi translokasi GLUT4[12] serta mampu menstimulasi proses transkripsi DNA pada sintesis GLUT4.[13] Andrografolid dapat menurunkan PEPPK (phosphoenol pyruvate carboxy kinase) untuk mereduksi glukoneogenesis pada hati sehingga terjadi penurunan kadar glukosa plasma.[14] Paparan diatas membuktikan bahwa kunyit dan sambiloto berpotensi untuk pengembangan obat tradisional alternatif DM-T2 resisten insulin, tidak toksik pada hewan uji, serta diharapkan kombinasi ini akan memberikan efek komplementer dalam terapi DM-T2 resisten insulin. 2.5 Formulasi SNEEDS Kombinasi Ekstrak Terpurifikasi Rimpang Kunyit dan Herba Sambiloto Rimpang kunyit segar dibersihkan, dicuci dengan air bersih, diiris, dan dikBIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

eringkan dengan sinar matahari selama 1 minggu. Rimpang kunyit kering dioven pada suhu 50oC selama 6 jam, kemudian diserbukkan.[29] Serbuk kering rimpang kunyit diekstraksi dengan etil asetat teknis untuk memperoleh kadar kurkuminoid yang lebih banyak. Ekstrak etil asetat selanjutnya difraksinasi n-heksana bertujuan untuk mengekstraksi dan defatisasi senyawa lemak, minyak atsiri, dan resin. Ekstrak kurkuminoid terpurifikasi difraksinasi dengan kloroform p.a. bertujuan untuk menarik senyawa kurkumin yang lebih polar dari demetoksikurkumin yang masih terdapat pada sisa fraksi etil asetat.[30] Pemeriksaan sisa residu kloroform dapat dilakukan dengan analisis menggunakan kromatografi gas. Ekstrak tidak boleh mengandung kloroform dan apabila masih terdapat sisa kloroform pada ekstrak maka harus diuapkan kembali. Herba sambiloto dicuci hingga bersih dan dikeringkan pada suhu 60oC, kemudian diserbuk dan serbuk kering sambiloto. Serbuk sambiloto dimaserasi dengan etanol 90%. Ekstrak diuapkan di atas penangas air hingga ekstrak kental. Ekstrak kental diekstraksi dengan n-heksana teknis. Ekstrak yang tidak larut n-heksana dipekatkan di atas penangas hingga menjadi ekstrak kental.[5] Formulasi SNEDDS ekstrak terpurifikasi rimpang kunyit dan ekstrak terpurifikasi herba sambiloto dibuat dengan bahan tambahan seperti asam oleat sebagai fase minyak, tween 20 (polisorbat 20) sebagai surfaktan, dan polietilen glikol sebagai cosolvent. Pembuatannya dengan cara sejumlah ekstrak terpurifikasi rimpang kunyit dan ekstrak terpurifikasi herba sambiloto dilarutkan dalam campuran surfaktan dan cosolvent. Kemudian dilakukan penggojogan. Selanjutnya ditambahkan asam oleat sebagai fase minyak. Campuran tersebut selanjutnya disonikasi selama 20 menit. Produk yang sudah jadi kemudian dilakukan kontrol kualitas. Produk SNEDDS yang dihasilkan selanjutnya dilakukan deteksi, identifikasi, dan karakterisasi untuk memahami manfaat serta ketoksikannya. Teknik analisis digunakana untuk identifikasi dan karakterisasi nonoemulsi. Teknik analisis ini meliputi pemisahan, karakterisasi dan teknik penggambaran. Teknik pemisahan diperlukan untuk mengisolasi nanoemulsi dari

47


produk sebelum dikarakterisasi. Alat yang bisa digunakan seperti size-exclusion chromatography (SEC), ion exchange chromatography (IEC) dan high perfomance liquid chromatography (HPLC). Teknik karakterisasi fisik teknik yang digunakan untuk nanoemulsi dari perspektif fisik misalnya, ukuran, distribusi ukuran, potensi zeta, dan kristalinitas nanoemulsi. Untuk teknik penggambaran (imaging) digunakan untuk mengetahui informasi mengenai ukuran, bentuk, dan agregasi dari nanoemulsi. Alat yang bisa digunakan seperti mikroskop jenis scanning electron microscopy (SEM) dan transmission electron microscopy (TEM).[31] Selain teknik analisis diatas produk SNEDDS juga dilakukan uji in vitro untuk mengetahui pelepasan obat di dalam tubuh. Kondisi dilakukan di luar tubuh dengan kondisi yang mirip seperti tubuh seperti suhu 37Âą0,5oC, pH buffer Âą6,8 dan tidak ada enzim yang dimasukkan ke dalam media. Selama uji pelepasan obat juga diambil beberapa sampel dari medium yang telah mengandung untuk diuji kadarnya dengan spektrofotometer UV-Vis.[32] 2.6 Prospek Menuju Fitofarmaka Penggunaan tanaman obat di Indonesia tidak saja di desa dengan fasilitas kesehatan dan obat modern yang kurang memadai, tetapi juga berlangsung di kota besar meskipun banyak tersedia fasilitas kesehatan dan obat modern. Tanaman obat digunakan sebagai obat alternatif karena mahalnya atau tidak tersedianya obat modern/sintesis dan adanya kepercayaan bahwa obat tradisional lebih aman. Selain untuk memelihara kesehatan dan mengobati penyakit ringan, yang mengkhawatirkan ialah tanaman obat juga digunakan sebagai obat pilihan untuk mengobati penyakit berat, seperti kanker dan AIDS, serta berbagai penyakit menahun misalnya hipertensi, hiperlipidemia, dan diabetes mellitus tanpa pengawasan/ sepengetahuan dokter.[33] Oleh karena itu, dibutuhkan suatu program sainstifikasi dan masterplan fitofarmaka yang akan menjadi produk unggulan Indonesia. Fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku. Pada proses pemili-

48

han ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti bahan baku yang relatif mudah diperoleh, didasarkan pada pola penyakit di Indonesia, perkiraan manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup besar, dan memiliki rasio resiko dan kegunaan yang menguntungkan penderita.[34] Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 761/MENKES/ SK/IX/1992, bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia, Materia Medika Indonesia. Penggunaan ketentuan diluar Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia, dan Material Indonesia harus mendapat persetujuan pada waktu pendaftran fitofarmaka. Untuk menjamin khasiat dan keamanan fitofarmaka harus diusahakan pengadaan bahan baku yang terjamin keseragaman komponen aktifnya, sehingga diperlukan pengujian analisis kualitatif dan kuantitatif. Agar fitofarmaka dapat dipertanggung jawabkan keamanan dan khasiatnya dalam pemakaiannya pada manusia maka pengembangan obat tradisional tersebut harus mencakup berbagai tahap pengujian dan pengembangan secara sistemik. Tahap-tahap ini meliputi: pemilihan bahan, pengujian farmakologi, pengujian toksisitas, pengujian farmakodinamik, pengembangan sediaan, standarisasi sediaan, dan pengujian klinik.[34] Pemanfaatan rimpang kunyit dan herba sambiloto sebagai terapi antidiabetes mellitus tipe-2 resisten insulin merupakan salah satu bentuk pengembangan produk herbal dengan memanfaatkan kekayaan alam Indonesia. Formulasi SNEDDS ekstrak terpurifikasi rimpang kunyit dan ekstrak terpurifikasi herba sambiloto merupakan formulasi yang diharapkan dapat memperbaiki sifat fisiko-kimiawi dari kurkumin dan menutupi rasa pahit dari herba sambiloto. Bentuk sediaan yang dianjurkan dari formulasi SNEDDS kombinasi ekstrak terpurifikasi rimpang kunyit dan ekstrak terpurifikasi herba sambiloto adalah berbentuk kapsul keras maupun kapsul lunak sehingga lebih acceptable bagi pasien. Dengan adanya fitofarmaka SNEDDS kombinasi ekstrak terpurifikasi rimpang kunyit dan ekstrak terpurifikasi herba sambiloto diharapkan dapat menjadi solusi dalam rangka menurunkan angka impor bahan baku obat sehingga mengurangi anggaran belanja negara. BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


3.

KESIMPULAN Rimpang kunyit dan herba sambiloto berpotensi sebagai antidiabetes mellitus tipe-2 resisten insulin. Mekanisme aksi rimpang kunyit sebagai hipoglikemik dengan meningkatkan regulasi ekspresi activated protein kinase (AMPK), menghambat translokasi GLUT2 menuju membran dengan mengganggu jalur signaling p38 MAPK, dan menurunkan GLUT2 dengan menstimulasi aktivitas peroxixome proliferator-activated receptor-gamma (PPARγ). Mekanisme aksi herba sambiloto sebagai hipoglikemik dengan menstimulasi translokasi GLUT4, menstimulasi proses transkripsi DNA pada sintesis GLUT4, menurunkan PEPPK (phosphoenol pyruvate carboxy kinase) untuk mereduksi glukoneogenesis pada hati. Kombinasi ekstrak rimpang kunyit dan herba sambiloto diharapkan memberikan efek komplementer pada terapi DM tipe-2 resisten insulin. Pembuatan formula SNEDDS terdiri ekstrak terpurifikasi rimpang kunyit dan ekstrak terpurifikasi herba sambiloto sebagai zat aktif, asam oleat sebagai fase minyak, tween 20 sebagai surfaktan, dan polietilen glikol sebagai co-solvent. 4. SARAN Masih perlu dilakukan penelitian tentang optimasi komposisi zat aktif dan bahan tambahan dalam formulasi SNEDDS kombinasi ekstrak terpurifikasi rimpang kunyit dan esktrak terpurifikasi herba sambiloto, standarisasi ekstrak terpurifikasi rimpang kunyit dan ekstrak terpurifikasi herba sambiloto dan uji pelengkapan preklinis lebih lengkap lagi sehingga memenuhi syarat untuk uji klinik kepada manusia. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Saya mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Suwijiyo Pramono, DEA., Apt. yang telah memberikan bimbingan dan arahan atas penulisan artikel ini. DAFTAR PUSTAKA [1]. Maryani, H., Handajani, A., and Roosihermiatie B. “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pola Kematian pada Penyakit Degeratif di Indonesia.” Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 13:1(2009): 42-53. [2]. Kementrian Kesehatan RI. Rencana BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2015-2019. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI, 2015. [3]. Diabetes. World Health Organization (WHO). 2013. 25 Desember 2015 <http://www.who.int/topics/diabetes_ mellitus/en/>. [4]. Nugroho, A.E. Farmakologi, ObatObat Penting dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. [5]. Solihah, I. “Isolasi Andrografolid dari Herba Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f) Ness) dan Efek Hipoglikemiknya pada Tikus Resisten Insulin pada Pemberian Tunggal dan Kombinasi dengan Kurkumin.“ Tesis. Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta, 2014. [6]. Neal, M.J. At A Glance Farmakologi Medis. Yogyakarta: Penerbit Erlangga, 2006. [7]. Pramono, S. Materi Kuliah Teknologi Farmasetik (Proses Produksi Ekstrak untuk Sediaan Obat Alam). Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM, 2014. [8]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Vedemekum Tanaman Obat untuk Saintifikasi Jamu. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010. [9]. Sun, C.H., et al. “Curcumin Improves Insulin Resistance in Skeletal Muscle of Rats.“ Harbin Medical University. 21 (2011): 526-533. [10]. Lin, J., and Chen, A. “Curcumin Diminishes the Impacts of Hyperglycemia on The Activation of Hepatic Stellate Cells by Suppressing Membrane Translocation and Gene Expression of Glucose Transporter-2.“ Mol and Cell Endrocrinology. 33 (2011): 160171. [11]. Pungcharoenkul, K., and Thongnopnua, P. “Effect of Different Curcuminoid Supplement Dosages on Total In Vivo Antioxidant Capacity and Cholesterol Levels of Healthy Human Subjects.“ Phytother Res. 25(2011): 1721-1726. [12]. Zhang, Z, et al. “Hypoglicemic and Beta Cell Protective Effects of Andrographolide Analogue for Diabetes Treatment.“ J. Translational Med. 7(2009): 62-63.

49


[13]. Chao, W.W., Kuo, Y.H., dan Lin, B.F. “Anti-Inflamatory Activity of New Compounds from Andrographis paniculata by NF-кB Trans-Activation Inhibition.“ J. Agric Food Chem. 58(2010): 25052512. [14]. Yu, B.C., et al. “Mediation of β-Endorphin in Andrographolide Induced Plasma Glucose Lowering Action in Type I Diabetes Like Animals.“ Naunyn-Schmiedeberg’s Arch Pharmacol. 377(2008): 529-540. [15]. Jayakumar, T., et al. “Experimental and Clinical Pharmacology of Andrographis paniculata and Its Major Bioactive Phytoconstituent Andrographolide.“ Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine. 2013(2013): 1-16. [16]. Makadia, et al. “Self-Nanoemulsofying Drug Delivery System (SNEDDS) : Future Aspects.“ Asian J. Pharm. Res. 3(2013): 21-27. [17]. Zhao, Yi, et al. “Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) for Oral Delivery of Zeodary Essential Oil: Formulation and Bioavailability Studies.“ International Journal of Pharmaceutics. 383(2010): 170 – 177. [18]. Taylor, R. “Insulin Resistance and Type 2 Diabetes.“ Diabetes. 61(2012): 778-779. [19]. Kunyit (Curcuma longa Linn.). Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC). 2014. 25 Desember 2015 <http://ccrc.farmasi.ugm.ac.id/?page_ id=345>. [20]. Lush Plants. Lush Plants. 2014. 25 Desember 2015 <https: //lushplants. com.au/shop/all-onlinepla nts-forsale/turmeric-plants-curcuma-longasyn-domestica>. [21]. European Medicines Agency (EMA). Assessment Report on Curcuma longa L. Rhizome. London: Committee on Herbal Medicines Product, 2009. [22]. Mulpratama, A. “Pengaruh Pemberian Fraksi Kurkuminoid Temulawak (Curcuma xanthorrizha, Roxb) terhadap Kadar Glukosa Serum Tikus Jantan Wistar dengan Resistensi Insulin.“ Tesis. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011. [23]. Lal, B, et al. “Efficacy of Curcumin in The Management of Chronic Ante-

50

rior Uveitis.“ Phytother Res. 13(1999): 318–322. [24]. Preetha, A., et al. “Bioavailability of Curcumin: Problems and Promises. Mol. Pharm.4(2007): 807-818. [25]. Widyawati, T. “Aspek Farmakologi Sambiloto (Andrographis paniculata Ness). Majalah Kedokteran Nusantara.40:3(2007): 216-222. [26]. Nuratmi, B. “Beberapa Penelitian Farmakologi Sambiloto.“ Warta Tumbuhan Obat Indonesia. 3:1(1996): p2324. [27]. Lin, B., and Chao, W. “Isolation and Identification of Bioactive Compounds in Andrographis paniculata (Chuanxinlian).“ Chinese Medicine. 5:17(2010): 1-15. [28]. Pramono, S. “Prioritas Penelitian Pendukung Program Saintifikasi Jamu dari Hulu hingga Hilir.“ Seminar Nasional Pokjanas TOI 41, Malang: 5 Oktober 2011. [29]. Kulkarni, S.J., et al. “Extraction and Purification of Curcuminoids from Tumeric (Curcuma longa L.).“ Int. Jour of Pharmacology and Pharm. Tech. 1:2(2012): 81-84. [30]. Syarif, R.A. “Efek Antidislipidemia dan Antiaterosklerosis Kombinasi Kurkumin dari Curcuma xanthorriza (Roxb). dengan Andrografolid pada Tikus Jantan Wistar Terbebani Fruktosa dan Diet Tinggi Lemak.“ Tesis. Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta, 2014. [31]. Afandi, K., Munawaroh, F., and Widyaningrum, S.A. “Inovasi Suplemen dari Kombinasi Minyak Buah Merah dan Alga Coklat dengan Formulasi SNEDDS (Self Nano-Emulsifying Drug Delivery System) sebagai Strategi Pencegahan Penyakit Metabolit.“ Karya Tulis. Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta, 2014. [32]. Jyoti, J., and Sreelakshmi. “Design and Evaluation of Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System of Flutamide.” J.of Young Pharmacist. 3:1(2011): 4-8. [33]. Dewoto, H.R. “Pengembangan Obat Tradisional Indonesia menjadi Fitofarmaka. Maj Kedok Ind. 57:7(2007): 205-211. [34]. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). Keputusan BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 761/MENKES/SK /IX/1992. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 1992. [35]. European Medicines Agency (EMA).

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016

Assessment Report on Curcuma longa L. Rhizome. London: Committee on Herbal Medicines Product, 2014.

51


52

BIMFI

Vol 4 No. 1 | Februari - Agustus 2016


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.