ISSN 977 2088-8287
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
jurnal AGITPROP
KRITIK DAN EMANSIPASI - EPIK ATAU ROMANTIK? - DI BAWAH BATON CARLOS KLEIBER - MELACAK ANTROPOLOGI FILOSOFIS DALAM SENI REALISME SOSIALIS - GLOBALISASI DAN MONOPOLI KULTUR - PERCAYA KEPADA MASSA (II) - PATRICE LUMUMBA - ANTICHRIST - SITUASI DAN TUGASTUGAS MENDESAK PERBURUHAN - MENEROPONG JAKARTA DARI PERMUKIMAN KUMUH
KIRI ITU BENAR ADANYA No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
PROBLEMFILSAFAT
1
EDITORIAL
Tema jurnal PROBLEM FILSAFAT kali ini adalah “Apa itu Kritik?” Tema ini kami pilih karena dewasa ini kata “kritik” dan “kritis” telah begitu jamak kita dengar, namun kerapkali dengan pengertian yang tak terklarifikasi lagi. Sebuah kritik tentu adalah sebuah perlawanan. Tetapi soalnya: perlawanan terhadap apa dan dengan cara bagaimana? Pertanyaan ini tak pernah betul-betul dijelajahi sehingga muncul kepercayaan umum: kritik dengan sendirinya kritis, dan karena itu baik. Konsekuensinya, bersikap kritis jadi identik dengan bersikap netral, tak berpihak, kendatipun sejatinya berpihak secara sembunyi-sembunyi. Mengapa begitu? Karena selama kritik dimengerti secara abstrak-spekulatif (secara psikologistik)—dengan kata lain, selama kritik tidak dipahami dalam relasinya dengan situasi konkrit yang spesifik—kritik pun akan berubah menjadi sikap berjarak terhadap segala sesuatu. Dan sikap keberjarakan universal searti dengan sikap netral di hadapan situasi apapun. Akibatnya: kritik atas pembatasan berubah jadi pembatasan kritik. Begitu sikap kritis dimengerti sebagai sikap netral, maka kritikpun ditekuk ke dalam kepasrahan teoretik—betapapun ramai retorika resistensi yang dilontarkannya kepada situasi. Kalau itu yang terjadi, kalau kritik teoretik dibunuh dan digantikan dengan kritik retoris, maka kritik menjadi satu hal dan kenyataan menjadi hal lain; dengan kata lain, kenyataan tetap nyata, sebagaimana pada mulanya. Akibatnya, kritik atas realitas jatuh ke dalam kritik atas frase-frase tentang realitas, kritik atas esensi jatuh ke dalam kritik atas suasana. Demikianlah, kritisisme emansipatoris berubah jadi kritisisme atas cuaca, dan kita semua tahu: kritik atas hari yang mendung pada akhirnya adalah penerimaan atas hari yang mendung. Maka dari itu, kritik baru sungguh emansipatoris jika ia menjadi spesifik terhadap situasinya. Dalam kespesifikannya itulah keberpihakan terbentuk dan ia menjadi konkret. Kritik menjadi konkret ketika ia ada di tangan massa. Jika menjadi konkretnya kritik ditentukan oleh seberapa tinggi kadar kespesifikannya terhadap situasi, maka menjadi konkretnya kritik identik dengan gerak massa yang bertaut langsung dengan situasinya. Konkretisasi kritik, karenanya, adalah aksi massa. Di tangan massa, kritik bertemu dengan kenyataan. Hanya dalam kerangka massa lah kita dapat berbicara tentang kritik sebagai kenyataan dan kenyataan sebagai kritik. Oleh karenanya, radikalitas kritik mensyaratkan radikalitas terhadap massa, mengakar pada massa, berangkat dari titik pijak pengalaman massa, bertumpu pada pengandaian-pengandaian historis yang ada pada massa. Percaya pada kritik adalah percaya pada massa. Hanya dalam kerangka inilah kita bisa berbicara tentang “realisme sosialis” dalam arti yang sepenuh-penuhnya—tidak sebagai doktrin estetika semata, melainkan sebagai epistemologi politik Kiri. Tulisan-tulisan yang dimuat pada nomor ini, dengan satu atau lain cara, berupaya meneguhkan hal tersebut. Tiga artikel utama—yang ditulis oleh Martin, Rangga dan Anom—bergerak dalam semangat “menyerbu surga” (storming the heaven) ini. Ketiganya mengurai kritik dari perspektif filsafat, seni dan politik untuk membebaskan kritik dari melankolia akut yang membius kritik ke dalam impotensi, ke dalam kritisisme atas cuaca, ke dalam “kritisisme ugal-ugalan” (renegade criticism). Delapan artikel yang lain mengejawantahkan gerak politik perlawanan dalam berbagai dimensinya, mulai dari seni, sosiologi, sejarah dan kebudayaan. Kritik yang terbebaskan dari melankoli adalah massa yang terbangun dari dongengan seribu-satu-malam borjuasi. Kritik yang terbebaskan dari melankoli, karenanya, akan berseru: “Kiri itu Benar Adanya!” PROBLEMFILSAFAT Jurnal Problem Filsafat adalah berkala yang diterbitkan oleh AGITPROP, sebuah kelompok ‘kAjian epistemoloGI poliTik dan PROduksi Pengetahuan’. Jurnal ini mengorganisasikan makalah-makalah ilmiah, serta sejumlah tulisan lepas kreatif di berbagai bidang pengetahuan humaniora. Ini semua ditujukan sebagai upaya mendorong lahirnya wacana penciptaan pengetahuan baru. Redaksi dengan demikian terbuka terhadap segala artikel, tulisan, dan karya kreatif yang sejalan dengan visi dan misi jurnal ini. DEWAN REDAKSI: Anom Astika, Martin Suryajaya, Berto Tukan, Yovantra Arief, David Tobing, Rangga L. Utomo. KONTRIBUTOR NOMOR INI: Alexander Aur, Nouval Murzita, Paulus Suryanta Ginting, Hendaru Tri Hanggoro, Gema Mawardi, Nobodycrop. ILLUSTRASI DAN PERWAJAHAN: Yovantra Arief, Berto Tukan, DadaTerbit, Nobodycrop. ALAMAT: Jln. Kayu Manis VI, Gang Jarak 6, No. 06, Rt. 014, Rw. 06, Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur CP : 0813 1561 4331 E-MAIL : redaksi.problemfilsafat@gmail.com
2
PROBLEMFILSAFAT
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELUTAMA
KRITIK DAN EMANSIPASI Kontribusi bagi Pendasaran Epistemologi Politik Kiri (Sebuah Kritik Umum atas Goenawan Mohamad) oleh martin suryajaya
*Illustrasi: DadaTerbit
Emansipasi telah lama dikaitkan dengan sikap kritis. Tapi apa itu emansipasi dan apa itu sikap kritis? Apa artinya emansipasi bila ia berarti pembebasan individu dari totalitas kolektif dan apa artinya sikap kritis jika itu berarti sikap berjarak terhadap daya kritis untuk melakukan perombakan total? Selama emansipasi dan sikap kritis masih dipahami dalam kerangka ini, maka kita sebetulnya berbicara tentang kebalikannya: pembelengguan dan dogmatisme. Kedua hal inilah yang kita jumpai dalam tulisan-tulisan Goenawan Mohamad. Keseluruhan karyanya merupakan testamen yang mengisahkan secara diam-diam bahwa esensi dari emansipasi dan kritik adalah pembelengguan dan dogmatisme. Namun biarlah pembaca mengerti di sini bahwa
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
apa yang saya persoalkan bukanlah Goenawan Mohamad sebagai sosok. Apa yang saya persoalkan adalah suatu tipe umum cara berpikir yang diam-diam merasuki para aktivis, intelektual dan seniman kita yang, betapapun berlawanan secara politis dengan Goenawan Mohamad, sebetulnya berangkat dari asumsi yang sama dengannya. Asumsi itu adalah humanisme universal. Ini adalah sebuah asumsi yang bersumber dari filsafat zaman Pencerahan. Dalam asumsi ini, diyakini adanya esensi dasar yang mempertemukan semua manusia, yakni Rasio. Goenawan Mohamad, tentu saja, berangkat dari zaman yang lain. Ia berangkat dari zaman yang menyimpan trauma dan ketakutan paranoid terhadap Komunisme. Maka itu, kalaupun ia berbicara tentang hakikat manusia, maka itu ia pandang sebagai keterhing-
PROBLEMFILSAFAT
3
ARTIKELUTAMA
gaan atau ke-dhaif-an. Manusia mesti dipandang sebagai makhluk yang senantiasa berkekurangan agar Totalitarianisme (maksudnya: Marxisme-Leninisme) menjadi tidak masuk akal dan tertampik dengan sendirinya secara teoretis— begitu pikirnya. Kita tahu dia menulis dari awal tahun 60-an dari perspektif PSI yang begitu ketakutan terhadap PKI. Oleh karenanya, konsep kritik juga dimengertinya secara lain: tidak sebagai daya dobrak yang meruntuhkan tatanan dan membangun tatanan yang baru, melainkan sebagai sesuatu di antara keduanya—menolak bagian-bagian tertentu dari tatanan yang ada namun menolak juga untuk membangun sebuah tatanan yang baru. Emansipasinya, dengan demikian, merupakan pembebasan yang berhenti sebelum dimulai. Inilah versi spesifik dari doktrin humanisme universal Goenawan Mohamad yang juga meresapi tendensi pemikiran kaum intelektual Indonesia: manusia mesti dilihat pertama-tama sebagai makhluk yang terbatas sehingga lebih baik mengupayakan suatu konstruksi politik yang cocok dengan asumsi antropologi filosofis tentang keterhinggaan itu. Tulisan ini merupakan pembuktian argumentatif dari dugaan saya di muka. Orang bisa saja memandang tulisan ini sebagai tulisan yang dibuat oleh seorang “Marxis ortodoks”. Dengan senang hati saya menerimanya. Sebab saya sepakat dengan Georg Lukács: “Marxisme ortodoks [...] tidak mengimplikasikan penerimaan tidak kritis terhadap hasil penelitian Marx. [...] Sebaliknya, ortodoksi mengacu sepenuhnya pada metode.”1 Marxis ortodoks adalah Marxis yang berpegang pada metode Marx, yakni materialisme dialektis. Artinya, dalam tulisan ini saya akan memeriksa keterkaitan internal antara dimensi teoretik dan politis dari objek yang dibahas sedemikian sehingga artikulasi teoretik mesti dilihat dalam hubungannya dengan implikasi politiknya dan setiap gagasan politik mesti dikaji berdasarkan tesis teoretik yang dikandungnya. 1. Paradoks Kritik Kritik adalah paradigma orang Modern. Dalam kritik kita menemukan suatu laku destruksi kreatif: menghancurkan objek kritik sekaligus mengubahnya jadi baru. Dengan demikian, kritik meniscayakan adanya kebaruan. Dan dalam kebaruan itu kita temukan pembebasan. Itulah dimensi progresif dari kritik. Kritik sebagai emansipasi— itulah juga yang dikerjakan Marx dengan program kritik ekonomi-politiknya: menunjukkan dasar-dasar sistem ekonomi-politik kapitalis untuk kemudian membukakan jalan bagi transformasi radikal atasnya. Dari kritiklah sosialisme dibangun. Namun apakah yang terjadi dengan sikap kritis kita belakangan ini? Entah lewat para kritikus-ideologi maupun orang-orang pasca-modernis, entah lewat Kolakowski ataupun Lyotard, entah via Frankfurt maupun Paris, kita didorong untuk sampai pada keyakinan bahwa kritik mesti ‘diradikalkan’: kita mesti kritis terhadap sikap kritis kita. Kita didorong untuk percaya bahwa pretensi totalisasi dalam
4
PROBLEMFILSAFAT
kritik justru harus dikritik. Dengan kata lain, kita dipaksa mengiya-iya pada dogma bahwa segala bentuk totalitas mesti ditinggalkan karena manusia adalah makhluk yang secara hakiki fragmentaris, secara kodrati berkekurangan. Di bawah panji ‘filsafat kurang’ ini, kita digiring untuk meninggalkan semua harapan pada emansipasi total yang dikandung dalam ide-ide Marxisme. Di bawah panji itu juga kita ditarik untuk yakin bahwa sosialisme adalah pelanggaran HAM, bahwa Marxisme adalah totalitarianisme—bahwa emansipasi radikal hanyalah utopia yang memakan banyak korban jiwa. Di sini kita saksikan paradoks. Apa yang awalnya bermula sebagai kritik atas segala batas dan belenggu justru berakhir pada pembatasan atas segala kritik total. Paradoks ini sudah bisa kita jumpai dalam ‘filsafat kritis’ Immanuel Kant. Baginya, menjadi modern berarti menjadi kritis— dan itu artinya: menjadi sadar dan maklum pada batas-batas pengetahuan kita sendiri. Pemahaman Kantian tentang kritik inilah yang nantinya dikawinkan dengan pengertian Marxian oleh Horkheimer dan Adorno. Manusia modern adalah manusia yang dengan kemampuan totalisasi rasionya dalam menjaring realitas justru pada akhirnya menjaring dirinya sendiri, membuat dirinya terasing, mengembara tak tentu arah seperti Odisius menuju Ithaka yang selalu hilang dari ujung cakrawala. Akhirnya, pemahaman Kantian inilah juga yang melandasi pemikiran pasca-modernisme Derrida dan Lyotard. Mereka, pada dasarnya, menggabungkan filsafat Hegelian tentang ‘relasi-relasi internal’ (yakni paham bahwa hakikat sebuah ikhwal secara inheren ditentukan dalam hubungannya dengan ikhwal lain) yang dibaca dalam optik filsafat bahasa Saussurean dengan pemahaman Kantian tentang das Ding an sich yang senantiasa luput dari jerat bahasa/pemikiran. Sehingga yang tersisa adalah perayaan atas kesemuan-kesemuan (simulacra) sambil tetap berharap pada kesejatian yang terus luput di horison. Demikianlah, kritik jadi punah dalam perayaan kekurangan manusia, dalam perayaan keterbatasan kritik. Apa yang mulanya dihidupi sebagai emansipasi justru diakhiri sebagai pembelengguan atas nama rasa ‘tahu batas’ di hadapan Sang Maha Misteri. Inilah alasan mengapa abad pasca-modern bagi saya tampak seperti zaman romantik. Inilah zaman ketika rasionalitas dan keilmiahan dianggap totaliter, sementara intuisi, sentimen moralis dan cara berpikir yang penuh tekateki, yang penuh spekulasi, dianggap sebagai satu-satunya penanda kemanusiawian kita. Itulah alasan mengapa kegalauan hati pemuda Werther, kegilaan imajiner Don Quixote dan dilema eksistensial Baron von Münchhausen begitu memikat kita. Semua yang seolah mengelak dari birokrasi rasionalitas kita anggap luhur. Semua yang tak terengkuh totalisasi saintifik kita kuduskan sebagai Misteri. Dengan begitu, kritik sebagai saudara kandung rasionalitas menganulir dirinya ke dalam paranoia terhadap rasionalitas sekaligus fetisisme terhadap takhayul. Kesimpulannya: setiap kritik romantisis atas kritik niscaya berakhir dalam pembubaran
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELUTAMA
kritik sama sekali. Tak ada kritik romantik atas kritik, yang ada hanya desas-desus romantik atas kritik—desas-desus bahwa Sosialisme Ilmiah adalah totalitarianisme, kejahatan terhadap kemanusiaan, fasisme sosial dan semua umpatan yang mampu dipikirkan oleh inteligensia “kritis” kita. Maka itu, kritik spekulatif atas kritik mesti ditransformasi menjadi kritik ekonomi-politik atas kritik apabila kritik yang berarti masih mau dimungkinkan sama sekali. Sebab setiap kritik spekulatif adalah kritik ornamental—ia mengkritik bentuk-bentuk penampakan (Erscheinungsformen) tapi sekaligus bungkam terhadap landasan yang darinya bentuk-bentuk penampakan itu mengada. Kritik ekonomipolitik adalah kritik atas fondasi yang darinya kritik-kritik yang lain bertumbuh. Jadi kritik romantik atas alienasi hakikat-diri manusia mesti ditransformasi menjadi kritik ekonomi-politik yang membongkar dasar-dasar kenyataan. Dari pembongkaran dasar inilah kesan tentang alienasi hakikat individu dapat ditelanjangi sebagai ilusi optik yang menyembunyikan kenyataan penindasan kelas. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa setiap Goenawan Mohamad yang berdiam dalam kritik abstrak atas hilangnya kedaulatan individual di hadapan sistem
modal. Bukan ada dan bertautnya modal dalam kelas itu yang penting, melainkan hadirnya kekuasaan lain, kekuasaan politik, yang seakan-akan berdiri sendiri, menyisihkan manusia darinya.”2 Dengan kata lain, bukan kapitalisme yang penting untuk dipersoalkan, melainkan totalitarianisme. Kapitalisme, karenanya, dipandang sebagai kasus khusus dari totalitarianisme saja. Atas landasan inilah kemudian, seperti yang dengan gampang kita duga, ia bicara tentang alienasi di negeri-negeri komunis: di RRC akibat kultus Mao, di Soviet akibat kultus Stalin dan di seluruh belahan bumi komunis. Begitu kapitalisme dirumuskan sebagai varian dari totalitarianisme, dan bukan sebaliknya, maka Marxisme akan direduksi pada ideologi humanitarian-borjuis yang, pada analisis terakhir, dipakai untuk melikuidasi Marxisme itu sendiri—sebagai totalitarianisme, sebagai pelanggaran HAM, sebagai birokratisme-kolektivisme. Artinya, dengan mereduksi kritik atas kapitalisme menjadi kasus khusus dari kritik atas totalitarianisme, setiap Goenawan Mohamad zaman ini menggiring kita diam-diam untuk mencurigai Marxisme itu sendiri. Goenawan menjalankan strategi penggusuran teoretik ini dengan bersembunyi di balik panji kutipan Marx: de omnibus dubitandum
“......setiap Goenawan Mohamad yang berdiam dalam kritik abstrak atas hilangnya kedaulatan individual di hadapan sistem dengan sendirinya anti-Marxis, betapapun ia bermain-main dengan istilah-istilah Marxisme......” dengan sendirinya anti-Marxis, betapapun ia bermain-main dengan istilah-istilah Marxisme. Goenawan MohamadGoenawan Mohamad zaman kita telah keliru pada satu segi yang mendasar dalam kritik mereka: mereka merancukan relasi antara kritik atas totalitarianisme dan kritik atas kapitalisme. Ketimbang melihat kritik atas totalitarianisme sebagai bagian dari kritik atas kapitalisme, ketimbang memandang fenomena alienasi manusia sebagai akibat dari kapitalisme, mereka justru membalik persoalan—kritik atas kapitalisme adalah bagian dari kritik atas totalitarianisme dan bahwa kapitalisme adalah hasil dari alienasi manusia sebagai faktisitas—dan dengan demikian mempsikologiskan persoalan yang mulanya politis atau dengan kata lain, meromantisir penindasan kelas dengan mengindividualkan persoalan yang sejatinya struktural. Kritik atas totalitarianisme akan selamanya abstrak dan spekulatif selama totalitarianisme dimengerti sebagai fenomena universal ketertindasan manusia di dalam Sistem, entah apa persisnya Sistem itu. Dalam Marxisme dan ‘Aku’, Goenawan berbicara tentang alienasi untuk kemudian menulis bahwa “Marx [...] hanya separuh benar. Modal memang sebuah kekuasaan/ kekuatan sosial, tapi kekuatan sosial tidak identik dengan
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
(“meragukan segalanya”).3 Tujuan strategis dari pengutipan ini adalah untuk membuat kritisisme Marxian jadi reflektif, dengan kata lain menghantam Marxisme itu sendiri, yakni dengan mendelegitimasi segala capaian material dari Marxisme di abad ke-20 dengan anggapan bahwa kaum Marxis tak lagi kritis terhadap Marxisme itu sendiri. Goenawan, dengan mengangkat motto Marx, berbicara pada kita: setiap Marxis mesti kritis terhadap apapun termasuk Marxisme dan kritis berarti mengambil jarak, mengevaluasi dari sudut pandang eksternal. Dibahasakan secara lain, inilah ajaran ‘Marxis’ Goenawan Mohamad: setiap Marxis mesti punya kegagah-beranian untuk menjadi anti-Marxis, untuk bunuh-diri atau ganti profesi. Konsekuensinya, bagi Goenawan, esensi dari Marxisme adalah pembubaran Marxisme. Dengan kesadaran atas implikasi politik dari ‘operasi teoretik’ Goenawan inilah juga kita mesti mencermati pemakaian sistematisnya atas konsep ‘alienasi’ dalam Marx. Goenawan mengunci Marxisme ke dalam kerangka proyek penghapusan alienasi manusia. Karena alienasi dimengertinya sebagai ‘dehumanisasi’,4 maka proyek Marxisme adalah proyek humanisasi. Di sini Marxisme dipakainya untuk membenarkan ajaran humanisme universal à la Sjahrir seka-
PROBLEMFILSAFAT
5
ARTIKELUTAMA
pasi murni namun sekaligus membungkam kritik totalistik atas kenyataan yang ada. Kritik di tangannya menjadi sejenis “kritik panti jompo”, yakni kritik yang ditujukan untuk menghalang-halangi setiap kritik radikal atas realitas. Di sini kita menemukan kesamaan antara cara berpikirnya dengan posisi borjuis Prusia di sekitar Revolusi Maret 1848:
ligus untuk menganulir pencapian Marxisme historis, seperti Uni Soviet dan Cina, dengan menempatkannya dalam kerangka alienasi baru, yakni birokratisme partai. Untuk itu ia mengutip karya Milovan Djilas, Kelas Baru, yang pernah diterjemahkan ke bahasa Indonesia di tahun 50-an oleh Mochtar Lubis dalam rangka memerangi PKI. Model pembacaan seperti itu hanya mungkin bila Goenawan melepaskan konsep alienasi Marx dari akar ekonomi-politiknya. Dan memang itulah yang ia lakukan, misalnya dengan menempatkan alienasi dalam kerangka Weberian tentang rasionalitas instrumental untuk kemudian menyimpulkan bahwa Marx masih menggunakan rasionalitas jenis itu dan secara tidak langsung menyimpulkan bahwa pemikiran Marx sendiri memang alienatif.5 Inilah juga yang ia jalankan ketika dinyatakannya, seperti yang dikutip di muka, bahwa Marx hanya separuh benar, bahwa kapitalisme bukanlah persoalan utama melainkan justru totalitarianisme. Dengan begitu, Goenawan melokalisasi persoalan alienasi pada aras kebudayaan sambil mengabaikan akar ekonomi-politik dari alienasi tersebut. Akibatnya, ia dengan mudah berakhir dalam kritik spekulatif atas Sistem yang ‘menindas’, tanpa pernah jelas apa persisnya Sistem itu, tanpa pernah jelas problematik dari ‘penindasan’ itu. Marx mengajarkan kita untuk spesifik. Ia mengkritik kapitalisme sebagai sebuah sistem dengan elemenelemen spesifik yang tak bisa dipukul rata dengan feodalisme ataupun dicampurkan dengan semua modus produksi lain ke dalam suatu citraan imajiner-paranoid bernama totalitarianisme. Yang Marx persoalkan bukan Sistem yang abstrak melainkan sistem yang konkrit dan tertentu, yang Marx persoalkan bukan Manusia yang universal melainkan manusia dalam konfigurasi sosialnya yang spesifik. Berhenti pada kritik abstrak-humanitarian atas Totalitarianisme sama artinya dengan mundur kembali ke pemikiran kaum luddite yang merusak mesin-mesin pabrik karena menganggap Mesin itulah sumber penindasan. Demikianlah kritik dan emansipasi menjadi kebalikannya. Di tangan Goenawan Mohamad, kritik digiring oleh litani kefanaan dan kedhaifan manusia. Dengan giringan itu, pembebasan melalui kritik justru berubah jadi pembebasan dari kritik: membebaskan realitas dari kritik—dengan kata lain, membiarkan segala sesuatunya ada sebagaimana mestinya. Emansipasinya, oleh karena itu, sejatinya berarti membebaskan pikiran berkelana dalam enigma dan teka-teki seraya membiarkan realitas berjalan seperti biasanya. Tenggelam dalam mimpi tentang emansi-
6
PROBLEMFILSAFAT
tanpa kepercayaan pada diri mereka sendiri, tanpa kepercayaan pada rakyat, menggerutu terhadap yang di atas, merinding terhadap yang di bawah, egoistik terhadap kedua belah pihak dan sadar akan egoismenya, revolusioner dalam relasinya dengan yang konservatif dan konservatif dalam relasinya dengan kaum revolusioner, tak percaya kepada mottonya sendiri, penuh frase ketimbang ide, merasa terintimidasi oleh badai zaman, mengeksploitasi badai zaman, tak bersemangat di segala bidang, plagiarisme di segala bidang […] seorang jompo yang memandang dirinya terkutuk untuk membimbing dan mengalihkan dorongan-dorongan muda rakyat ke dalam kepentingan kolotnya sendiri—tanpa mata, tanpa telinga, tanpa gigi, tanpa apapun—itulah borjuasi Prusia yang berdiri di sekitar tahta negara Prusia sesudah Revolusi Maret.6
Di tangan Goenawan Mohamad, pada akhirnya, sikap kritis jadi tak terbedakan dari sikap nrimo: menerima kedhaifan manusia, ‘kelemah-syahwatan’ manusia, dan mengkritik dalam batas-batas kedhaifan itu. Revolusioner dalam relasinya dengan yang konservatif dan konservatif dalam relasinya dengan kaum revolusioner—itulah tipe umum setiap Goenawan Mohamad zaman kita. Revolusioner dalam relasinya terhadap kaum fundamentalis religius tetapi konservatif dalam relasinya dengan kaum Marxis. Jika pada mulanya adalah kedhaifan, maka pada akhirnya adalah kritisisme nanggung, suatu semi-kritisisme—atau dengan kata lain, bukan kritisisme sama sekali melainkan kepasrahan. 2. Emansipasi atau Konservasi? Dari paparan di muka, jelas bahwa Goenawan Mohamad bukan seorang Marxis. Tentu, tanpa perlu membaca tulisan inipun kita sudah bisa tahu bahwa ia memang bukan Marxis. Namun dalam tulisan-tulisannya—khususnya yang terkumpul dalam buku Marxisme, Seni, Pembebasan—ia nampak seperti sedang menjadi Marxis seraya menunjukkan alternatif lain untuk menjadi Marxis, yakni dengan menghindari Marxisme-Leninisme.7 Ujung-ujungnya kita ditarik keluar dari Marxisme sama sekali ke dalam sejenis demokrasi sosial Fabian, ke dalam sebentuk sosialisme uto-
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELUTAMA
pis. Dalam kerangka itu, kritik di muka perlu. Akan tetapi, kalaupun ia menghindar dengan menyatakan bahwa dirinya memang tidak berpretensi jadi Marxis, baiklah saya siapkan juga kritik untuk itu. Tentu tidak sepenuhnya fair untuk mengkritik posisi non-Marxis berdasarkan kriteria Marxis semata. Maka itu, satu-satunya syarat untuk melancarkan kritik yang sah dan telak atasnya adalah dengan menyelam ke dalam logika internalnya dan membuktikan berdasarkan kriteria internalnya sendiri bahwa pemikiran non-Marxis Goenawan Mohamad tentang emansipasi adalah keliru. Inilah yang akan kita jalankan. Apakah filosofi dasar Goenawan Mohamad? Keseluruhan pemikirannya adalah litani tentang ketakmurnian, keberlainan dan kedhaifan manusia. Konteks historisnya kita sudah tahu: Goenawan Mohamad sebagai bagian dari seniman yang diorganisir oleh PSI yang sedang kalah angin dari PKI di tahun 60-an. Karena konteks historis itulah tidak aneh jika ia begitu menekankan kegalauan hati individu di hadapan Sistem (entah birokrasi maupun revolusi), sebagaimana yang tercermin dalam puisi dan tulisan-tulisannya di tahun 60-an. Dengan masuknya ide-ide pasca-strukturalisme dan pasca-modernisme di Indonesia, lirisisme individual Goenawan Mohamad seakan mendapatkan pembenaran teoretiknya. Individu itu kini disamarkan dalam nama “yang-lain”, atau liyan sebagaimana Goenawan menjawakannya. Ada yang lain dari Sistem, yang lain ditekan di balik penampakan Sistem: sesuatu yang obscene di balik scene yang tampak kukuh dan padu. Yang lain itu adalah individu dalam keunikan dan kerapuhannya, yang tak bisa sepenuhnya dipukul-rata dalam kategori umum, seperti misalnya massa. Itulah mengapa pasca-modernisme—dengan segala glorifikasi repetitif yang nyaris jargonistik atas yang-lain— diterima oleh Goenawan Mohamad sebagai pembebasan. Sehingga jalan keluar ke arah pembebasannya adalah doktrin Heideggerian tentang kepasrahan meditatif (Gelassenheit) yang implisit dalam wacana pasca-modern, khususnya Derrida. Dengan kata lain, membiarkan yang-lain tampil dalam keberlainannya.8 Di situ kita temukan visi emansipasi Goenawan Mohamad. Namun apa yang membuat emansipasi emansipatif ? Apakah membebaskan yang-lain adalah suatu pembebasan? Tentu saja ya, bila kita berhenti pada terminologi—itu sama saja seperti menanyakan: apakah hijau adalah hijau? Keketatan berpikir setiap Goenawan Mohamad zaman kita tak pernah melampaui tautologi ini: pembebasan dengan sendirinya membebaskan. Mereka tak pernah repot-repot bertanya: yang-lain
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
yang mana? Mereka tak pernah mencoba lebih spesifik: siapakah yang-lain itu, terbebas dari apakah dia dan terbebas untuk melakukan apa? Mereka tak pernah beranjak lebih dari sekedar jawaban: bebas dari Sistem yang menindas. Inilah dimensi abstrak dan spekulatif yang inheren dalam wacana mereka. Persoalannya dengan gampang diketengahkan: bagaimana jika yang-lain itu adalah Hitler, mestikah kita “membiarkannya tampil dalam keberlainannya”? Kalau tidak, maka tidakkah kita lantas mesti berkesimpulan bahwa—memparafrasekan George Orwell sekaligus menodongkannya padanya—ada yang-lain yang lebih lain ketimbang yang-lain dan ada pula yang kurang lain daripada yang-lain? Inilah juga kebuntuan yang tak terjawab oleh setiap libertarian-humanis yang begitu memuja-muja kedaulatan dan keunikan individu di atas Sistem dengan mengutuk-sumpahi Sistem sebagai totaliter dan tidak manusiawi (baca: tidak sesuai dengan asumsi mereka tentang kodrat manusia sebagai individu-pemilik). Mereka lupa, atau sengaja menyembunyikannya dari pembaca, bahwa emansipasi yang-lain secara umum dari Sistem apapun, dalam kondisi sekarang, hanya berarti satu hal: kemenangan fundamentalisme pasar—kebebasan dari intervensi sistem negara atau sistem kolektif kerakyatan apapun. Sampai di sini kita baru mengerti pentingnya bertanya: apa yang emansipatif dari emansipasi? Tentu saja, setiap Goenawan Mohamad bisa mengelak: saya tidak mendukung fundamentalisme pasar, neoliberalisme atau apapun namanya, saya hanya mendukung pembebasan atas yang-lain untuk tampil dalam keberlainannya. Dibahasakan ulang: mereka tidak setuju pada fundamentalisme pasar tapi setuju pada asumsi dasarnya. Inilah yang dimaksud dengan berontak terhadap bentukbentuk penampakan kapitalisme namun sepakat dengan conditio sine qua non (syarat kemungkinan) dari adanya kapitalisme. Gaya argumentasi ini sebetulnya tidak seasing keli-
*Illustrasi: Henk Ngantung
PROBLEMFILSAFAT
7
ARTIKELUTAMA
hatannya. Argumentasi ini muncul dalam setiap pemikiran yang mengkritik ekses-ekses negatif dari kapitalisme— alienasi individu, komersialisasi kehidupan publik, leburnya masyarakat warga dengan pasar—tapi ikut mendukung syarat-syarat adanya kapitalisme itu sendiri: kepemilikan privat, asumsi antropologi-filosofis tentang self-interest sebagai kodrat manusia dan ide tentang individualitas yang diturunkan darinya. Ibaratnya: mereka bertidak-sepakat secara heboh tentang daun-daun tetapi setuju dengan keberadaan pohon itu sendiri. Dengan begitu, tak ada yang perlu diubah selain “nuansa”-nya. Emansipasi Goenawan Mohamad, karenanya, adalah suatu emansipasi dari emansipasi; melaluinya, kita terbebas secara intelektuil dari pembebasan nyata. Akhirnya, kalaupun Goenawan Mohamad bukan seorang Marxis, barangkali ia seorang Tengah dan melalui argumentasi di muka telah jelas bahwa esensi dari Tengah adalah Kanan, sebagaimana esensi dari emansipasi tautologis adalah emansipasi dari emansipasi. 3. Emansipasi dari Goenawan Mohamad Di Indonesia pasca-65, kita akan sulit menemukan adanya ajaran Marxisme. Yang kita temui lebih banyak adalah ajaran moral-humanistik tentang penindasan dan semangat anti-otoritarianisme yang meliputinya. Tentu saja, dengan pernyataan ini saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Marxisme berposisi anti terhadap etika ataupun nilai kemanusiaan. Yang saya persoalkan adalah metode. Humanisme dan moral tidak memiliki ‘peran penjelas’ (explanatory role) dalam Marxisme. Tentu keduanya dapat hadir sebagai ‘motif-motif tambahan’ (auxilliary motives) bagi perjuangan seorang Marxis, akan tetapi dalam melihat sebuah situasi seorang Marxis tidak memberikan putusan-putusan moral atasnya—misalnya bahwa “kapitalisme itu kejam dan tidak berperikemanusiaan”—melainkan menghadirkan suatu pemahaman konkrit tentang hubungan-hubungan ekonomipolitik yang menjadi syarat bagi tindakan untuk mengubah situasi tersebut. Dengan itu, saya hanya mau menekankan bahwa Marxisme bukanlah sejenis ‘sains moral’ melainkan sebuah sains revolusioner dalam artinya yang paling utuh. Di Indonesia pasca-65, Marxisme yang kerapkali kita jumpai adalah sebagai ‘sains moral’. Apa yang dinamai dengan ‘Goenawan Mohamad’ dalam tulisan ini adalah representasi dari tren umum tersebut. Itulah juga sebabnya kenapa gerakan pembebasan yang berlandaskan pada Marxisme tak dapat sepenuhnya
8
PROBLEMFILSAFAT
mengejawantahkan potensi revolusionernya di Indonesia pasca-65. Gerakan Marxis pasca-65 tidak berkembang bukan karena Marxisme-Leninisme dilarang pemerintah. Ia tak berkembang karena tidak pernah dilakukan suatu rekonstruksi atas metode Marxis yang ketat dalam analisis situasi. Yang kerap kita jumpai justru retorika moralis yang berapi-api namun sejatinya membuat kontradiksinya kabur. Seolah berbicara tentang ‘Penindasan’, ‘Penghisapan’, sudah membuat segalanya jelas dengan sendirinya—sama seperti model ‘emansipasi tautologis’ yang diurai di muka. Tentu di sini saya tidak mempersoalkan diksi yang digunakan dalam suatu aksi massa, sebab diksi itu ditentukan oleh kekhasan massa dan tak ada yang salah dengan itu. Yang saya persoalkan adalah kategori pembacaan situasi yang ada dalam pikiran para kader gerakan Marxis. Ketika retorika moralis secara tak disadari berubah jadi metode pembacaan situasi, problemnya segera mengemuka: realitas tidak berjalan sesuai dengan moral narasi kita dan akibatnya semakin kita berbicara semakin jauhlah kita dari akar kontradiksi yang nyata di dalam masyarakat yang mau kita ubah. Maka itu, Marxisme mesti dikembalikan pada hakikat dasarnya, yakni sebagai sains revolusioner dan bukan sains moral. Itu artinya, semua kategori retoris-moralis (‘alienasi’, ‘ketertindasan di bawah Sistem yang menghisap’, ‘dehumanisasi’, dst.) harus dapat direfrase atau dirumuskan ulang ke dalam pernyataan yang ilmiah, yang mengemukakan kesalinghubungan antar elemen dalam situasi dan titik kontradiksinya agar kemudian kita dapat berpikir tentang emansipasi yang nyata. Mandeknya Marxisme ke dalam retorika moralis itulah juga yang menjelaskan mengapa disorientasi kader-kader Kiri, khususnya pasca-98, menjadi fenomena yang massif. Ketiadaan pemahaman tentang kespesifikan metode Marxis, ketiadaan pengertian yang realis tentang situasi politik, itulah yang pada akhirnya menjelaskan mengapa busa-busa retorika moralis tentang ‘Penindasan’ itu dengan cepat berfermentasi menjadi buih-buih retorika moralis tentang ‘Keanekaragaman’ dan ‘Kedaulatan Individu’. Singkatnya: tanpa metode Marxis tak akan ada gerakan revolusioner Marxis yang sesungguhnya. Berangkat dari analisis dalam tulisan ini, kini tiba waktunya untuk memberikan simpulan umum. Kesimpulan yang akan saya tarik adalah ini: prasyarat ideologis dari emansipasi nyata di Indonesia adalah emansipasi dari Goenawan Mohamad, dari setiap cercah Goenawan Mohamad dalam diri kita. Singkatnya: syarat kemungkinan dari emansi-
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELUTAMA
atas Goenawan Mohamad. Agar mampu berpikir tentang relasi kritik dan emansipasi dalam kepenuhannya, apa yang kita perlukan adalah suatu “patahan epistemologis”, une coupure épistémologique, terhadap cara berpikir Goenawan Mohamad—sebuah patahan baik terhadap isi wacana maupun metode eksposisi-nya. Apa yang kita perlukan adalah sebuah kritik sinoptik, sebuah kritik total yang menyeluruh dan dari berbagai sudut, atas setiap Goenawan Mohamad: kritik atas ‘filsafat kurang’, kritik atas moralisasi politik, kritik atas lirisisme estetik, kritik atas humanisme (kedhaifan) universal, kritik atas kritik totalitarianisme dan kritik atas emansipasi tautologis. Dalam tulisan ini saya baru menjalankan dua kritik terakhir. Namun saya pikir dua kritik terakhir dapat menjadi dasar yang kuat bagi kritik sinoptik atas segala bentuk Goenawan Mohamad. Dengan bersenjatakan kritik yang tak mudah ditekuk ke dalam pasrahisme dan dengan mengerti kekeliruan visi emansipasi abstrak-tautologis, kita akan menang walau berhadapan dengan berjuta-juta Kolakowski dan bermilyar-milyar Goenawan Mohamad. Catatan Akir:
*Illustrasi: Henk Ngantung
pasi Indonesia adalah emansipasi dari Goenawan Mohamad. Kita masih dapat menyaksikan banyak cara berpikir Goenawan Mohamad dalam politik kita. Manakala kita mengelirukan relasi antara kritik atas kapitalisme dengan kritik atas totalitarianisme, maka kita terjatuh pada wacana romantik Goenawan. Manakala kita membalik logika “kapitalisme itu jahat karena ia bermasalah” menjadi logika “kapitalisme itu bermasalah karena ia jahat”, maka kita terjatuh pada moralisasi Marxisme seperti dalam wacana alienasi Goenawan. Manakala kita asyik berselancar dalam abstraksi tinggi dan generalisasi spekulatif tentang Humanisme seraya melupakan perbedaan spesifik dalam masyarakat dan kelaskelasnya, maka kita terjatuh pada ilusi Hegelian-borjuis tentang rekonsiliasi universal yang implisit dalam pemikiran Goenawan. Manakala kita mengajukan problem emansipasi secara seakan jelas dengan sendirinya dan sepenuhnya mengabaikan syarat materialisasinya, maka kita terjatuh dalam emansipasi model Goenawan: pembebasan atas ide-ide yang akan menjadikan pembebasan realitas tidak mungkin. Maka itu, berpikir tentang emansipasi di Indonesia berarti berpikir tanpa Goenawan Mohamad. Apa yang kita butuhkan bukanlah kritik parsial
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
1. Georg Lukács, History and Class Consciousness diterjemahkan oleh Rodney Livingstone (London: Merlin Press), 1990, hlm. 1. 2. Goenawan Mohamad, Marxisme, Seni, Pembebasan (Jakarta: Tempo & PT Grafiti), 2011, hlm. 151. 3. Ibid., hlm. 159. 4. Lih. Ibid., hlm. 150. 5. “Dan kitapun ingat yang dikatakan Marx, ketika ia membedakan manusia, sang arsitek, dengan lebah: dalam produksi yang dilakukan manusia, kesadaran mengendalikan, bahkan menguasai, praxis. Dengan kata lain, yang dimaksud Marx sebagai ‘kesadaran’ pada dasarnya tak berbeda dengan ‘rasionalitas’, dan dalam hal ini, untuk memakai istilah Max Weber, ‘rasionalitas instrumental’. Sebuah dunia baru tumbuh dari rasionalitas ini—tapi dengan catatan: dunia modern itu tak membebaskan. Weber sebenarnya berbicara tentang alienasi.” Ibid., hlm. 159. 6. Karl Marx, Bourgeoisie and Counter-Revolution dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works Volume I (Moscow: Foreign Languages Publishing House), 1962, hlm. 69. 7. “Marxisme […] pernah menjadi inti dari pemikiran Partai Sosialis Indonesia”. Goenawan Mohamad, op.cit., hlm. 162. 8. “Dalam hal Gelassenheit, yang bisa diartikan sebagai sikap melepas, membiarkan, sikap kita adalah membuka diri pada liyan, yang hadir sebagaimana adanya dalam kekhususannya, bersama kita yang terbatas. Mungkin kita bisa menggunakan kata Jawa sikap sumeleh di sini—yang berarti, kurang-lebih, meletakkan diri dalam posisi tidak bersikeras, karena kita pada akhirnya toh fana, terbatas: suatu orientasi yang memungkinkan kehadiran liyan dalam jamak, bergerak, tak hierarkis.” Ibid., hlm. 174.
PROBLEMFILSAFAT
9
ARTIKELUTAMA
EPIK ATAU ROMANTIK? tips menonton Opera Tan Malaka oleh rangga l. utomo
“Seni yang tidak politis adalah seni yang bersekutu dengan kelas penguasa!” [Bertolt Brecht, Kleines Organon für Das Theater, paragraf 55].
Perunjukan yang berat dan lain? Salah satu media massa besar di Indonesia, yaitu Tempo, berulang tahun ke-40 pada 2011. Untuk merayakannya, diadakanlah pentas teater pada Sabtu – Minggu, 23 – 24 April 2011 di Graha Bhakti Budaya (GBB) Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pentas tersebut membawakan lakon Opera Tan Malaka (OTM) yang dikarang dan disutradarai oleh pemimpin umum majalah Tempo dan komunitas Salihara yaitu, Goenawan Mohamad (GM). Dalam penggarapannya, OTM juga dikomandoi oleh komponis Tony Prabowo. Sebelum tampil di GBB, OTM sempat dipentaskan di teater Salihara dan sempat dicobakan untuk pentas di Malang dan Kediri, tempat jenazah Tan Malaka dimakamkan. Sayang, pentas di Malang dan Kediri batal karena dilarang oleh aparat setempat terkait dengan isi Tap MPRS/ XXV/1966. Sesunguhnya, pentas OTM di GBB sudah didahului oleh terbitnya teks Opera Tan Malaka dan Dua Lakon Lain karangan GM di akhir 2009. Kabarnya, tiket pertunjukkan OTM seharga dua ratus lima puluh ribu habis terjual. Ini adalah hal yang patut dikagumi mengingat pada kurun 2010 – 2011, bioskopbioskop menyuguhkan film-film picisan bertema horor dan kecabulan yang tidak mendidik. Dapat dikatakan, kaum urban yang datang menonton OTM menemukan titik cerah estetis pada pertunjukkan OTM. Dengan kata lain, usaha GM patut diacungi jempol bahwa dia masih menaruh harapan di Indonesia atas hadirnya pencerahan budi di tengah kekelaman jagat hiburan dan estetika tanah air. Selain itu, OTM juga bukan sekedar pertunjukan yang sewarna dengan pertunjukan-pertunjukan sold out macam Laskar Pelangi atau Ali Topan, pertunjukan yang berusaha keluar dari jebakan komersialisasi. Laporan di media-media massa besar mengatakan OTM ini lain. Rata-rata para penonton yang pernah menyaksikan Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Sang Pencerah atau Gie memberi kesan bahwa OTM ini berat. Apa yang lain pada OTM dapat kita cari dari pen-
10
PROBLEMFILSAFAT
galamannya dengan aparat di Malang – Kediri atau dari tulisan brosur pertunjukan tersebut. Aparat mencium adanya ideologi kiri atau komunisme dalam OTM. Sedangkan dalam brosur, tertulis,”Goenawan Mohamad dan Yudi Ahmad Tajudin, dua sutradara yang bekerja sama menggarap pementasan ini, memilih untuk mengambil model teater epik ala Erwin Piscator, Vladimir Mayakovsky, Vsvolod Meyerhold dan Bertolt Brecht dari masa revolusioner Jerman tahun 1930-an: yang ditampilkan adalah sebuah montase dari pelbagai anasir yang berbeda – multimedia, gerak, teks, reportase, kur, puisi – di atas panggung yang didesain dalam gaya Konstruktivisionis Rusia setelah Revolusi Oktober 1917.”1 Tan Malaka adalah tokoh kiri. Piscator, Mayakovsky, Meyerhold dan Brecht juga merupakan tokoh-tokoh estetikawan kiri dan Marxis. Jadi, dapat ditarik suatu spekulasi bahwa apa yang berat dan lain bagi penonton adalah sesuatu yang kiri. Dikatakan berat karena model teater ala Piscator, Meyerhold maupun Brecht bukanlah model teater konvensional seperti yang biasa dipentaskan di GBB. Dikatakan berat juga karena OTM ini adalah naskah asli yang mengambil model teater epik bukan teks-teks dramawan epik yang bisa dibaca sebelum menonton pertunjukan. Dikatakan lain karena apa yang kiri di Indonesia sudah lama dilumpuhkan dan disenyapkan paska 1966. Sejak 1966, apa yang kiri hanya bertebaran bagai remahremah, meskipun yang remah-remah itu ada yang meledak macam, tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer. Dapat dikatakan OTM bukanlah remah-remah karena dia berhasil hadir di Taman Ismail Marzuki, tempat di mana seniman W.S. Rendra dan Hardi pernah ditangkap karena kegiatan seninya. Yang dapat dianggap prestisius, GM yang pernah tergabung dalam kelompok Manikebu pengkritik LekraPKI adalah tokoh yang tidak pernah dipenjara oleh pemerintah Republik Indonesia. GM dalam karir ketokohan in-
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELUTAMA
telektualitasnya, tampaknya selalu punya posisi yang cerdik dan beruntung. Dengan berhasilnya pertunjukan OTM yang berat, lain dan beraroma kiri, pamor tentang yang cerdik dan beruntung tersebut kian kentara. Jika OTM dipandang sebagai pengusik Tap. MPRS/XXV/1966 sekaligus pionir jagat estetika Indonesia kontemporer, maka dapat dikatakan, sesungguhnya OTM adalah tahapan genesis dan GM adalah tokoh yang pertama merahimkannya. Literatur tentang ke-genesis-an seperti dalam kitab suci Abrahamistik, traktat big bang kosmologi, kisah Theogonia Hesiodos biasanya menggambarkan hal-hal yang sederhana, mudah dan lugas tentang hal-hal permulaan. Melihat kaitan historis ketokohan GM, keberhasilan pertunjukan OTM dengan suasana estetika-politik Indonesia paska 1966, kita dapat mengatakan OTM bukanlah pertunjukan yang berat, melainkan suatu permulaan sebagaimana yang ditulis GM dalam salah satu bait libreto OTM, ”Sebab pada mulanya adalah perbuatan. Dengan kata lain: ketidakpastian.” Maka terlalu nekat kiranya jika ada tulisan yang berusaha membedah secara tajam OTM seturut kaidah dramarturgi teater epik dan seturut pisau penilik maksudmaksud politik di balik OTM. Tentang genesis, tentang benarkah ada buah apel telarang yang dimakan Adam– Hawa seturut godaan ular iblis di taman Eden adalah tentang wilayah hablur-elusif jika harus ditembak oleh anakanak panah kritik ilmiah. Berhadapan dengan kisah genesis, titik pijak ilmiah menjadi bagaikan sendok makan perak di depan belut liar rawa-rawa. GM sendiri dalam kumpulan tulisan Marxisme Seni Pembebasan, mengatakan bahwa pada mulanya adalah kata. Konstruksi kata itu seperti belut; ada tetapi sulit ditangkap. Lebih-lebih GM juga sering mengatakan bahwa kata dan seni seharusnya multi tafsir dan tidak terkontrol secara totaliter. Lalu, apa yang dapat di-
lakukan untuk mencerap OTM dan juga pemikiran GM? Jika tidak ada yang dapat dilakukan, maka apresiasi terhadap OTM mungkin sebatas lintang-pukang keheranan tentang pertunjukan sensasional, elit dan sulit dimengerti. Jika teater absurd nan rumit oleh Samuel Beckett, Eugene Ionèsco, Jean Genet, Friedrich Dürrenmatt dan Fernando Arrabal saja dapat diapresiasi dan dinikmati lebih baik, mengapa OTM tidak? Apresiasi kritis terhadap OTM justru menempatkan pertunjukan tersebut sekaligus penciptanya dalam posisi terhormat tidak seperti pemeran topeng monyet yang posisinya begitu rendah karena hanya dihargai selembar uang seribu tanpa apresiasi kritis. Lalu, bagaimana caranya? Kita dapat pergi ke wilayah di mana model teater OTM itu ada. Ambil saja pembacaan terhadap sekelumit hal teater epik dan pemikiran Brecht (tokoh teater epik yang paling terkenal) sambil berharap pembacaan tersebut menghasilkan tips sederhana untuk memahami OTM dan pemikiran GM. Siapakah Brecht? Brecht lahir dengan nama, Eugen Berthold Friedrich Brecht. Brecht lahir pada 10 Februari 1898 di sebelah barat Munich, Jerman. Orangtua Brecht adalah Yahudi yang berkonversi menjadi Protestan dan Katolik sebagaimana kebiasaan orang-orang Yahudi Jerman paska kebijakan anti semit Otto von Bismarck. Ayah Brecht yang bekerja sebagai direktur pabrik kertas adalah orang yang cukup berada sehingga pendidikan Brecht dapat dijamin dengan baik. Ibu Brecht seorang Protestan yang cukup religius dan Brecht merasa cukup beruntung bisa mengenal sastra kitab suci dari ibunya. Saat berumur 16 tahun, Perang Dunia I pecah dan Brecht menjadi tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan kemiliteran dan perang. Terhadap ketertarikan itu,
*Foto: Berthold Brecht dan Walter Benjamin
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
P R O B L E M F I L S A F A T 11
ARTIKELUTAMA
ayahnya mengirim Brecht ke Universitas Munich pada tahun 1917 untuk belajar medis. Di Munich, Brecht bertemu Arthur Kutscher, seorang sejarawan Jerman dan peneliti drama. Brecht muda segera tertarik dengan drama kabaret ala Frank Wedekind, lalu segera mempelajari teater di bawah bimbingan Kutscher. Pada musim gugur 1918, Bert Brecht meninggalkan bangku universitas dan pergi ke medan perang sebagai petugas medis. Beberapa bulan kemudian setelah perang berakhir, Brecht mendapatkan seorang anak di luar nikah dari Paula Banholzer. Pada 1921, Brecht sempat ambil bagian dalam teater kabaret politis Karl Valentin. Brecht mengatakan Valentin seperti Charlie Chaplin di Inggris. Ketertarikan Brecht dengan komedi-komedi politis Valentin membuat Brecht kagum dengan Valentin, Wedekind dan Karl Georg Büchner, para tokoh teater modern Jerman. Pada 1922, karier Brecht sebagai dramawan mulai melejit. Saat itu, dia menikahi penyanyi opera, Marianne Zoff yang memberinya putri, Hanne Hiob yang akan menjadi artis terkenal di Jerman. Hubungan Brecht dengan Zoff mulai retak hingga bercerai pada 1927. Saat terjadi keretakan itu, Brecht menjalin hubungan dengan Elizabeth Hauptmann dan Helene Weigel. Stefan, putra Brecht dengan Weigel lahir Oktober 1924. Selama bergulat dengan kehidupan teater Jerman zaman Republik Weimar, film Chaplin Perburuan Emas dan film Sergei Eisenstein Kapal Tempur Potemkin yang muncul pada 1925, mempengaruhi Brecht. Brecht belajar tentang pesan-pesan yang disampaikan Chaplin untuk memikirkan visi teater Epik-nya. Sedangkan dari Eisenstein, Brecht banyak belajar tentang teori Montase. Pada 1926, beberapa seri drama diproduksi oleh Brecht yang dibantu oleh Hauptmann. Saat itu, Brecht mulai tertarik mempelajari sosialisme dan Marxisme. Tentang pengaruh Marxisme dalam dramanya, Brecht berkata, “Ketika aku membaca Kapital karya Karl Marx, aku memahami drama-drama yang aku tulis. Menurutku, Marx adalah satu-satunya penonton setia dari drama-dramaku.” Seputar 1927, Brecht mengaku dipengaruhi oleh Piscator dalam menyusun desain panggung pertunjukan. Menurut Brecht, Piscator membuka jalannya untuk mengkonstruksi teater yang epik, politis, dikdaktis (mendidik), konfrontatif dan dokumenter. Brecht bersama Piscator digolongkan dalam dramawan yang memperkenalkan Bentuk Baru Drama, suatu drama yang penuh teknik interupsi, montase dan hasil yang tidak selesai. Selama periode 1927 – 1928, Brecht bergulat menemukan metode untuk menampilkan drama yang menunjukkan relasi produksi kapitalisme yang kompleks. Kemudian, Brecht merasa berhasil menunjukkannya melalui drama Santa Yohana dari Stockyards yang dikerjakannya pada periode 1929 – 1931. Seputar 1927 – 1930 adalah awal kerjasama Brecht dengan komposer Kurt Weill dan desainer panggung, Caspar Neher. Kerjasama ketiganya membuat Brecht menyimpulkan suatu prinsip baru tentang teater yaitu, Pemisahan Unsur-unsur. Dalam prinsip estetika tersebut,
12
PROBLEMFILSAFAT
teori Montase Eisenstein dan Dziga Vertov berusaha diterjemahkan ke dalam pertunjukan teater. Unsur-unsur teater seperti, teks, kur, panggung dan dekorasi diposisikan secara mandiri dalam wilayah yang saling berseberangan untuk menggambarkan posisi tesis dan antitesis dalam Dialektika Materialisme. Jika dikaitkan dengan khazanah ke-teateran Jerman, maka prinsip ini berseberangan dengan prinsip Kesatuan Karya Seni (Gesamtkunstwerk) yang dicetuskan komposer Richard Wagner. Periode teater Brecht selama Republik Weimar berlangsung sukses hingga munculnya rezim NAZI pada 1933. Ketika Brecht lari dan berupaya berkegiatan di Amerika, dia mendapat cap komunis oleh House of Un-American Activities Committee. Ketika NAZI memulai program anti semitnya, Brecht meninggalkan Jerman pada Februari 1933. Brecht mengungsi di Denmark, Swedia dan Finlandia sembari menunggu visa ke Amerika yang baru muncul pada 3 Mei 1941. Selama Perang Dunia II berlangsung, Brecht menuliskan karya-karya eksil yang isinya menentang ideologi Nasionalisme Sosialis dan Fasisme. Karya-karya yang terkenal itu antara lain berjudul, Kehidupan Galileo, Ibu Berani dan Anak-anaknya, Orang Baik dari Setzuan, Kebangkitan Tak Terbantahkan Arturo Ui, Lingkaran Kaukasian dan Kengerian dan Kepedihan Rezim Reich Ketiga. Selama di Amerika, Brecht bekerja sama dengan sesama Yahudi pelarian Eropa seperti komposer Hans Eisler dan Fritz Lang dalam mengerjakan film dan pertunjukan. Perang Dunia II selesai pada 1945 dan Perang Dingin dimulai oleh Blok Barat dan Timur. Amerika yang masuk dalam Blok Barat mencap Brecht sebagai komunis dan musuh negara yang harus diawasi. Pada 30 Oktober 1947, Brecht bersaksi di depan sidang bahwa dia bukan anggota partai komunis. Keesokan harinya, Brecht kembali ke Eropa. Sesampainya di Swiss, Brecht memproduksi drama Antigon karya Sopokles berdasar terjemahan Friedrich Hölderlin. Esai mengenai pementasan tersebut yang berjudul Antigonmodell dan terbit 1948 menjelaskan tentang prinsip Drama Non Aristotelian. Dalam prinsip tersebut, Brecht menjelaskan bahwa suatu jenis drama yang berbeda bentuk serta prinsipnya dibanding penjelasan Aristotles dalam karya Poetika. Brecht menyebut penjelasan Aristoteles adalah penjelasan tentang tragedi dalam model dramatik. Sedangkan lawan dramatik tersebut adalah epik. Menurut Brecht, perbedaan dramatik dan epik terletak pada metode konstruksinya. Yang dimaksud sebagai metode konstruksi adalah relasi-relasi dalam drama yang dibangun (dikonstruksi) antara bagian-bagian dan keseluruhan drama tersebut. Drama epik merupakan relasi bagian-bagian yang saling berdialektika berbeda dengan drama dramatik yang seolah-olah sudah ditentukan kesatuannya sejak semula. Drama epik berbeda dari dramatik yang seturut naskah, menginterupsi naskah.2 Selain itu, Brecht juga membedakan isi filosofis antara epik dan dramatik. Menurut Brecht, yang epik mendasarkan diri pada filsafat Materialisme dan berprinsip untuk tidak mengaku-
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELUTAMA
mulasikan emosi penonton, tidak selalu wajar tetapi ada batas akhirnya, memiliki pesan yang jelas tetapi tidak mau terjebak pada penyampaian yang vulgar. Menurut Brecht juga, yang epik biasanya memiliki struktur yang cair dan penuh warna komedi. Dalam Poetika, Aristoteles menyebut komedi sebagai drama rendahan dan yang dianggap drama yang penuh unsur estetika serius adalah tragedi. Brecht mengkritik Aristoteles dengan mengatakan bahwa manusia selalu menjadi agen produksi yang terkait dengan relasi sosial-produksi dalam masyarakatnya. Posisi sosial dan historis manusia tersebut adalah titik estetika yang paling mendasar. Pengungkapan posisi tersebut dalam drama mendekati metode-metode komedi yang berupaya dengan realistis menangkap sejarah tidak seperti tragedi yang penuh unsur ahistoris. Dengan pembedaan ini, Brecht berupaya menegaskan bahwa drama epik berupaya menghadirkan estetika ilmiah sebagaimana upaya Marx – Frederick Engels menunjukkan sosialisme ilmiah melalui Pandangan Sejarah Materialis. Drama epik berupaya menunjukkan relasi produksi individu dalam suatu masyarakat yang memiliki modus produksi tertentu dan yang sedang berjalan dalam
jarah. Kegiatan Brecht selama di Jerman Timur membuatnya dihadiahi Penghargaan Stalin pada 1954. Pada 14 Agustus 1956, Brecht mendapatkan serangan jantung dan meninggal. Dia dimakamkan di pekuburan Dorotheenstädtischer Chausseestraβe Mitte Berlin. Brecht lahir dalam keluarga Yahudi borjuis di zaman Imperialisme. Ketertarikannya pada situasi perang imperialistis justru membawanya ke wilayah estetika. Brecht tampil sebagai seniman yang flamboyan mengingat hubungannya dengan banyak perempuan. Estetika borjuis adalah seni yang menghibur, jauh dari kecamuk dunia politik. Tetapi Brecht justru melihat adanya kaitan antara dunia sosialpolitik dan dunia kesenian. Pemikiran tentang keterkaitan itu membawanya untuk menjadi dramawan yang merombak prinsip-prinsip drama hiburan konvensional ala borjuis. Brecht menemukan bentuk awal gagasan-gagasannya estetikanya dalam istilah teater epik. Brecht semakin menegaskan teori teater epik-nya setelah memahami Marxisme berikut Pandangan Materialis Sejarah dan Dialektika Materialisme. Pemahaman tersebut ditegaskan Brecht dengan memilih Berlin, Jerman Timur yang dipimpin pemerintah komunis
Dalam ‘Poetika’, Aristoteles menyebut komedi sebagai drama rendahan dan yang dianggap drama yang penuh unsur estetika serius adalah tragedi. Brecht mengkritik Aristoteles dengan mengatakan bahwa manusia selalu menjadi agen produksi yang terkait dengan relasi sosial-produksi dalam masyarakatnya.
sejarahnya. Brecht kembali ke Berlin pada 1949 yang termasuk dalam kekuasaan Blok Timur. Meskipun mengaku tidak pernah masuk sebagai anggota partai komunis, Brecht mempelajari dan mengikuti Marxisme. Penjelasan Karl Korsch tentang dialetika Marxis sangat mempengaruhi Brecht untuk memikirkan teori estetika maupun praksis teaternya. Bagi Korsch, gagasan sentral Marx adalah Prinsip Khusus Historis. Prinsip tersebut menjelaskan suatu metode yang berupaya memahami seluruh dimensi sosial dalam usaha memahami sejarah. Menurut Korsch, Marx tidak pernah menciptakan kategori-kategori eksternal untuk memahami masyarakat dan sejarahnya. Artinya, Marx selalu berangkat dari masyarakat yang ada termasuk dari unsurunsur borjuisnya. Menurut Korsch, motor material sejarah yaitu, revolusi, beralih dari borjuis ke proletar. Korsch menekankan kerangka pemikiran tentang sejarah sehingga menurutnya, ilmu-ilmu dan filsafat yang sering dicap sebagai bentukan borjuis, tidak masalah dipakai untuk menegaskan kerangka sejarah sosialisme ilmiah. Korsch masuk dalam Partai Komunis Jerman tetapi berseberangan dengan Grigory Zinoviev, pejabat Partai Komunis Uni Soviet di bawah Joseph Stalin. Brecht mengagumi penafsiran Korsch tentang dialektika terutama tentang kerangka pemikiran se-
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
sub Uni Soviet sebagai tempat tinggalnya. Dengan demikian, dapat dikatakan Brecht adalah seorang Marxis dan warga komunis. Teori teater epik-nya yang tetap dipertahankan hingga akhir hayat pasti juga terkait dengan ideologi warga negaranya; suatu teori teater yang melawan ideologi estetika borjuis. Perlulah untuk memberi porsi pemahaman lebih lanjut mengenai apa teater epik itu sendiri. Apa yang dimaksud dengan epik? Mengapa Brecht sampai membaca Poetika Aristoteles? Ada dua hal yang dapat dispekulasikan. Pertama, Brecht ingin mencari pendasaran yang tegas bagi teater epik-nya. Aristoteles dikenal sebagai filosof besar dan salah satu filosof yang memperhatikan estetika termasuk drama. Dengan membaca dan mengkritik pemikiran estetika Aristoteles, Brecht mengharapkan dasar estetis teater epik menjadi kuat. Kedua, sesungguhnya Brecht ingin menghantam model-model teater sezamannya di Jerman. Dengan pergi jauh menuju tempat Aristoteles, Brecht berharap modelmodel teater sesudah Aristoteles dapat dikritik sehingga apa yang disebut aliran Bentuk Drama Baru Jerman yang dibawa Piscator dan Brecht memang bergaung kuat. Usaha Brecht ini dapat disetarakan dengan usaha Platon mengkritik Homeros dalam Politeia untuk menghantam tindakan
P R O B L E M F I L S A F A T 13
ARTIKELUTAMA
para sofis. Para maestro drama Jerman yang terkenal adalah Johann Wolfgang von Goethe juga Hölderlin. Keduanya dikenal sebagai dramawan romantik, seniman yang berusaha membangkitkan kembali kejayaan masa lampau. Kekaisaran Romawi melakukan gerakan romantik dengan berusaha membangkitkan kembali budaya Yunani Helenisme yang menurut mereka hebat. Goethe dan Hölderlin adalah penyuka tragedi-tragedi Yunani dan tentu saja, keduanya memahami betul apa yang ditulis Aristoteles dalam Poetika. Jika Brecht si pembawa Bentuk Drama Baru ini mengkritik Aristoteles tentang apa yang dramatik, tentu saja Brecht juga mengkritik tentang apa yang dikenal di Jerman hari itu sebagai yang romantik. Brecht menancapkan tonggak estetika modern dengan teater epik yang berantitesis dengan yang romantik. Jika hal ini dilihat dalam kerangka ideologi yang dianut Brecht, maka epik yang Marxis bertentangan dengan romantik yang borjuis. Secara sederhana, Brecht melihat drama-drama romantik sebagai karya estetika yang jauh dari dimensi politik. Tragedi-tragedi opera yang ditulis Goethe, Hölderlin maupun Wagner adalah drama-drama yang berkutat dengan emosi penonton. Dalam karya-karya romantik, penonton dibuai dengan segala perasaan heroik dan keagungan. Penonton ditunjukkan suatu ketragisan sebagai esensi sejarah manusia. Dalam estetika romantik tersebut Brecht melihat panteisme dalam karya Goethe dan Ludwig von Beethoven; melihat ateisme, pelampauan moral dan Kristianitas dalam pemikiran estetika Hölderlin, Wagner maupun Friedrich Nietzsche. Menurut Brecht, panteisme, ateisme dan Kristianitas estetika mereka bersifat ahistoris atau tidak memiliki hubungan apapun dengan keadaan nyata masyarakat. Yang nyata dan terkait dengan keadaan masyarakat adalah apa yang politis. Apa yang politis, menurut Brecht adalah estetika yang bergumul dan berkutat dengan didaktika dan perubahan keadaan masyarakat. Menurut Brecht, karya seni harus mampu membongkar kesadaran palsu.3 Dalam pemikiran Marx, dimensi politis masyarakat menggambarkan pertentangan kelas yang mendorong terjadinya kemajuan sejarah. Keadaan masyarakat dapat dimengerti dan kemudian diusahakan suatu perubahan setelah kondisi-kondisi relasi produksi masyarakat tersebut dipahami. Dalam pandangan Brecht, drama-drama romantik sama sekali tidak mengangkat dan menjelaskan kondisi relasi produksi terkini dalam masyarakat. Drama-drama romantik justru mengambil tema dan bahan-bahan usang dari masa lampau. Menurut Brecht, drama-drama romantik berikut estetikanya, tidak nyata bagi masyarakat karena tidak membawa perubahan dan kemajuan. Yang romantik tinggal sekedar sebagai hiburan. Brecht menentang hiburan, akumulasi emosi penonton, plot-plot lurus yang tragis, tidak progresif dan yang non politis sebagai prinsip-prinsip estetika modern. Brecht menegaskan pemikirannya tersebut dalam suatu polemik antara para pemikir Marxis. Dalam polemik yang ter-
14
PROBLEMFILSAFAT
kenal itu, Brecht bergumul dan saling berhadapan dengan Ernst Bloch, Georg Lukács, Walter Benjamin dan Theodor Adorno. Keempat-empatnya adalah Marxis berdarah Yahudi dan yang paling terkenal adalah Lukács, seseorang yang memulai polemik hebat tersebut. Secara khusus, Brecht berhadapan dengan Lukács. Lukács yang lahir di Hunggaria dan sempat menggeluti sastra di masa mudanya adalah filosof tangguh yang bekerja di Institut Marx-Engels-Lenin Moskwa bersama David Ryazanov. Karya Lukács, Sejarah dan Kesadaran Kelas bersama karya Korsch, Marxisme dan Filsafat menjadi tulang punggung berdirinya Mahzab Frankfurt, tonggak Marxisme Barat, yang diisi para teoritisi kritik masyarakat seperti, Max Horkheimer, Adorno, Benjamin, Herbert Marcuse dan Jürgen Habermas. Dalam hal estetika, Lukács melakukan studi teori dan sejarah sastra dari zaman Miguel Cervantes yang menulis Don Kisot (1605) hingga zaman Maxim Gorky yang menulis Ibunda (1907). Dari hasil studi tersebut, Lukács mengembangkan teori yang disebut Realisme Sosialis. Menurut Lukács, sastra merupakan tanda buruknya modernitas. Yang dimaksud keburukan modernitas adalah pecahnya subyektivitas individu dan dunia nyata tempat individu-individu tersebut berinteraksi. Lukács melihat roman modern lahir bersama dengan individu problematik yang semakin terasing dari dunianya. Lukács memotret keterasingan tersebut dalam karya Roman Historis yang berbicara tentang tokoh Sir Walter Scott dalam novel Honoré de Balzac. Scott adalah tokoh yang mereprentasikan perubahan zaman dari feodalisme ke borjuisasi dalam situasi Revolusi Perancis yang kental dengan atmosfir kapitalisme merkantilis. Mengikuti sastra romantik, Lukács menegaskan bahwa manusia hanya dapat mencapai eksistensi yang sungguh-sungguh dalam sikap tragis. Dengan melukiskan bagaimana manusia kehilangan individualitasnya, Lukács berpikir bahwa sastra seharusnya menjadi titik tolak sebuah perlawanan yang nyata. Sastra tidak boleh hanya mengangkat keburukan modernitas tetapi harus mengkritik dan menjadi filosofis. Menjadi jelas bagi Lukács, bahwa karya seni, khususnya sastra harus berpegangan pada apa yang nyata atau real. Yang real ini bukan berarti apa yang dilukiskan secara terang-benderang sebagaimana dalam naturalisme. Justru menurut Lukács, naturalisme menggambarkan ilusi bukan kondisi masyarakat dan sejarah sesungguhnya. Yang real adalah yang menggambarkan kondisi pertentangan kelas yang kemudian mendorong terjadinya gerak sejarah. Artinya juga, realisme ini menurut Lukács menggambarkan kemungkinan-kemungkinan revolusioner menuju kemajuan sejarah atau sosialisme. Oleh karena itu, teori Lukács tentang karya seni disebut Realisme Sosialis. Dalam banyak esainya tentang estetika, Lukács melawan tulisan-tulisan Franz Kafka dan Beckett yang disebutnya, mordernis, juga melawan aliran naturalisme, impresionisme, expressionisme dan surealisme. Aliran-aliran tersebut dituduh Lukács bersekutu dengan borjuasi. Lukács mendasarkan tuduhannya pada pemikiran Marx tentang relasi produksi
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELUTAMA
*Illustrasi: NobodyCrop.
dalam modus kapitalistik. Menurut Marx, relasi produksi selalu berada dalam dimensi keterkaitan total. Jika kapital menjadi basis adanya relasi produksi, maka relasi produksi dibangun atas dasar fetisisme komoditas atau pengkomodifikasian relasi-relasi antara produsen (reifikasi). Aliran-aliran seni yang tidak menunjukkan kontradiksi dalam relasi-relasi produksi, menurut Lukács masuk dalam ideologi borjuisasi yang tidak ingin reifikasinya terpatahkan. Pertentangan antara Brecht dan Lukács menjadi jelas, ketika kita menilik cara keduanya memandang bentuk dan isi karya seni. Brecht melihat sosialisme bukanlah transisi dari kapitalisme, melainkan pembuangan suatu sistem. Kapitalisme itu usang, sedangkan sosialisme itu baru dan maju. Jadi, modernisme itu menyelesaikan atau mengusangkan yang romantik. Menurut Brecht, dalam berkarya, kita harus menciptakan segala sesuatu yang baru sama sekali karena yang lama sudah terkorupsi dalam sistem kapitalisme. Dengan demikian, hal-hal yang katanya baru dalam seni tetapi selalu berpatokan pada kaidah-kaidah seni yang lama adalah sesuatu yang tidak dialektis. Brecht mengejek para pengarang kebanggaan Lukács seperti, Thomas Mann, Balzac dan William Shakespeare. Brecht justru mengagumi para pengarang eksentrik macam, Jonathan Swift, Francois Rabelais, Denis Diderot juga penyair kuno Tiongkok.
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
Brecht menuduh Lukács formalis dengan berusaha mendeterminasi realitas.4 Menghadapi Brecht dan juga, Benjamin, Lukács mengatakan pandangan estetika Brecht sebagai sesuatu yang miskin sama seperti ketika Marx menyerang pemikiran sosialisme Joseph Proudhon. Menurut Lukács, Brecht hanya unggul di teknik bukan dalam hal material seni. Brecht gagal menyampaikan pesan yang dapat mendorong terjadinya gerak revolusioner masyarakat. Kegagalan itu disebabkan karena Brecht dan Benjamin gagal mengapresiasi tradisi karya seni. Menurut Lukács, justru Brecht maupun Benjamin mengulangi apa yang dilakukan para ahli ilmu pengetahuan borjuis: seolah-olah mengklaim menciptakan sesuatu yang baru padahal yang baru itu selalu beralaskan karya-karya sebelumnya. Dalil Materialisme Historis yang dicetuskan MarxEngels mencontohkan bahwa generasi saat ini dapat bekerja di pabrik setelah menikmati sawah-kebun kerja generasi sebelumnya. Lukács justru menuduh balik Benjamin sebagai seorang Fasis-Yahudi dengan harapannya akan penebusan estetika dan menuduh Brecht sebagai seorang utopis yang frustrasi dengan kebenciannya terhadap segala hal masa lalu. Persengketaan estetika antara para Marxis tersebut setidaknya masih menyisakan satu hal esensial dalam Marxisme, semuanya setuju bahwa seni mendeskripsikan pertentangan kelas dalam masyarakat. Lukács maupun Brecht pun tidak saling serang tentang hal tersebut. Serangan Lukács tentang keusangan justru dapat dipakai untuk memperkaya pemahaman Brecht tentang romantik. Yang dimaksud romantik bukan berarti warisan sistemik yang secara naif diterima tetapi lebih-lebih, suatu relasi produksi reifikatif yang tetap dipertahankan. Karya seni yang tidak mengkritik borjuisasi dan segala aspeknya dapat dikatakan sebagai romantik. Jika pemahaman yang diperkaya itu diterapkan, maka Lukács pun bisa jadi menerima karena yang disasar adalah persoalan reifikasi dalam masyarakat kapitalis. Berkaitan dengan persoalan reifikasi, Brecht mengembangkan praxis-teknis luar biasa tentang penggambaran relasi produksi. Teknik itu kemudian menjadi hal pokok dalam teater epik. Teknik yang dimaksud adalah Verfremdungseffekt (Efek Penjarakan). Teknik praxis ini dimaksudkan untuk menghindarkan penonton menjadi agen pasif yang terbuai dan terbawa tontonan. Teknik ini memungkinkan penonton menjadi pengamat aktif sekaligus kritikus. Istilah Verfremdungseffekt berasal dari остранение (Rusia: membuat asing) yang dicetuskan seorang formalis Rusia, Viktor Shklovsky. Shklovsky menjelaskan teknik tersebut dalam Teori Prosa yang menyatakan bahwa dalam seni harus ada seni atau harus ada kebaharuan sehingga pembaca karya sastra menghadapi karya sastra sebagai persoalan nyata bukan alat manipulatif. Shklovsky yang pernah tergabung dalam resimen Tentara Merah tahun 1922 ini meninggal di Moskwa pada 1984 dan tekniknya banyak dipakai oleh pertunjukan teater di Leningrad yang salah satunya ditonton Brecht. Brecht menggubah istilah prosaik Shklovsky dalam bentuk
P R O B L E M F I L S A F A T 15
ARTIKELUTAMA
Jerman untuk mendorong penonton lepas dari arus naratif dan emotif pertunjukan. Menurut Brecht, suatu narasi yang membuai penonton hanya efektif lekat sebagai ilusi dalam kepala masing-masing penonton. Penonton yang merupakan bagian masyarakat tidak lagi memiliki daya dobrak terhadap kapitalisme, jika mereka hanya membawa pulang ilusi. Daya dobrak atau kritik tersebut dibangun dengan menjarakkan penonton dari emosinya. Dalam panggung pertunjukan, Brecht mengupayakan suatu panggung yang membuat aktor tidak berjarak dari penonton. Artinya, penonton terhindar dari ilusi tontonan yang selalu menyatakan bahwa tontonan selalu berarti aktor dan panggung pembatas sebagaimana burung berkicau dengan sangkarnya. Dalam penampilannya, sang aktor harus berupaya sebagaimana penonton, menjadi pengamat aktif. Aktor bebas mengejutkan penonton dengan interupsi-interupsi dan aktif menjarakkan dirinya dengan naskah. Teknik ini bertujuan mengeliminasi medium karya seni dan penonton sehingga penonton yang merupakan bagian masyarakat memahami akar persoalan (reifikasi) masyarakatnya. Dengan mengeliminasi medium, Brecht mendorong terjadinya kritik yang merupakan bagian praxis menurut Marx dalam Tesis-tesis tentang Feuerbach. Secara keseluruhan dalam dimensi teater epik, teknik pokok ini bermaksud mendidik masyarakat sebagaimana yang dikatakan Marx dalam tesis ke-3 Feuerbach, “Materialisme menyatakan bahwa manusia dihasilkan oleh kondisi dan didikannya. Oleh karena itu, Materialisme menyimpulkan bahwa manusia yang berubah adalah hasil dari kondisi dan pendidikan yang berubah. Tetapi, Materialisme usang melupakan bahwa manusialah yang mengubah keadaan dan para pendidik memerlukan pendidikan. Oleh karena itu, ajaran ini memaksakan diri untuk membagi manusia (secara antropologis) ke dalam dua golongan, yang satu golongan lebih unggul dari yang lain. Terjadinya secara bersamaan perubahan kondisi sekaligus aktivitas manusia, hanya dapat dibayangkan, dimengerti secara rasional dalam praxis revolusioner.� Yang dimaksud dengan epik adalah kritik dan didaktik. Sedangkan lawan epik, yaitu romantik adalah yang anti-kritik dan tidak mendidik. Epik atau Romantik? Setelah memahami Brecht dan teater epik selintas, kita dapat bertanya menggunakan daya kritis: OTM itu termasuk epik atau romantik? Jika dikatakan dalam brosur bahwa OTM itu mengambil model teater epik, kita juga dapat bertanya seperti jargon iklan minyak rambut: Sudah epikkah OTM? Pertanyaan-pertanyaan ini layak dilontarkan, jika kita memposisikan diri sebagai penonton yang dimaksudkan oleh Brecht atau jika kita sudah rela menghabiskan Rp.250.000 untuk tiket pertunjukan yang membuat kita terbengong-bengong. Bayangkan saja diri kita sebagai penonton yang setelah habis membeli tiket menggandeng pacar atau mengajak teman yang mengharapkan suatu pertunjukan yang luar biasa. Setelah mendapat tiket, kita akan mendapatkan
16
PROBLEMFILSAFAT
brosur-brosur bukan teks naskah yang ditampilkan. Dengan bekal brosur tersebut, kita menikmati pertunjukan, setelah alat-alat komunikasi di non-aktifkan. Pertama-tama, mungkin saja kita mengarahkan pandangan ke arah panggung, melihat berbagai tata panggung dan properti yang memenuhinya. Lalu, mungkin juga kita bisa mencuri-curi pandang tentang siapa saja pemeran, teknisi, sutradara, musisi dan anak gawangnya. Jika pertunjukan sudah dimulai, mungkin kita merasa jantung ini berdebar menanti sesuatu yang mengejutkan. Setelah pertunjukkan sudah berjalan dan rasanya, terlalu lama dahi ini berkerut, kita mungkin menyalakan senter di ponsel mencari jawaban teka-teki di brosur. Di brosur, tertera bahwa opera ini berjudul Opera Tan Malaka. Diharapkan kita mengenal sosok Tan Malaka sebelum menonton OTM. Jika tidak kenal, maka pertunjukkan ini akan serupa permainan puzzle bagi anak berkebutuhan khusus. Siapa itu Tan Malaka, tak nampak jua kejelasannya dalam bentuk cetak semua brosur itu. Setelah OTM berjalan sosok Tan Malaka jarang sekali dihadirkan atau tidak dihadirkan sama sekali. Mungkin penulis menafsir bahwa Tan Malaka bukanlah tokoh heroik flamboyan ala Soekarno dan yang lain. Tetapi, jika kita menelusuri monolog tokoh-tokoh melalui teks brosur, kita menemukan bahwa seringkali tokoh-tokoh tersebut mengharapkan kedatangan Tan Malaka sebagaimana gerakan mesianisme. Pola ini mungkin mengingatkan kita pada lakon-lakon carangan tentang punakawan dalam kisah pewayangan Jawa. Semar atau Petruk yang hilang dan sulit ditemukan. Semar yang sesungguhnya dewa yang lebih hebat dari Batara Guru menghilang karena ngambek, nasihat-nasihatnya tidak pernah didengarkan. Lalu, kekacauan yang terjadi di jagat manusia akhirnya dapat terselesaikan dengan kedatangan Semar. Apakah memang demikian maksud GM? Kita tidak pernah tahu karena brosur kecil ini tidak berbicara dengan jelas dan GM dalam Marxisme Seni Pembebasan, selalu berbicara bahwa multitafsir itu mencerahkan. Di sini tipsnya adalah: jika ingin serius mendapatkan elemen didaktik, maka penonton harus bertanya secara mendalam tentang maksud dan proses rekonstruksi Tan Malaka di zaman Indonesia kontemporer ini. Kemudian, mari kita alihkan padangan kita ke teksteks aria yang ada di brosur. Perhatikan bahwa GM sering sekali menulis dengan kata-kata: pada mulanya. Susah sekali menggaruk-garuk pemahaman dari kata-kata tersebut kecuali melayangkan rujukan atau padanannya dalam teks kitab suci dan Masyallah, teks Faust dari Goethe, dramawan besar romantik Jerman. Di teks Faust, terjemahan Agam Wispi (sastrawan eksil yang terkait dengan Lekra), pada fragmen awal disebutkan bahwa Allah Bapa, para malaikat dan iblis Mepistopeles menyatakan kata-kata: pada mulanya. Apakah ini berarti Tan Malaka disejajarkan dengan Faust atau dengan Ayub? Tidak tahu. Jika iya, maka konyol sekali bahwa pergerakan revolusioner yang dilakukan seorang Tan Malaka ditampilkan sebagai perjalanan kenabian. Marx tidak
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELUTAMA
pernah memaksudkan Pandangan Materialis Sejarah sebagai dogma agama baru tentang penebusan dan keselamatan umat manusia. Jika penonton ingin serius mengecap ariaaria OTM tanpa terbuai sekaligus menerapkan daya kritis, tipsnya, penonton harus mengunyah keras-keras kata kunci: pada mulanya. OTM pernah ditolak di Malang dan Kediri karena berkaitan dengan ideologi kiri. Yang kiri tetap menjadi masalah selama Tap. MPRS/XXV/1966 belum dicabut. GM sendiri mengaku bahwa OTM ini tentang Tan Malaka (tokoh kiri Indonesia pra 1966) dan mengambil model teater epik yang dikembangkan oleh para estetikawan kiri. Apakah ini pementasan kiri dan artinya terlarang? Ya, menurut aparat dan entah menurut GM. Jika menurut GM, iya, apakah berarti GM itu seorang kiri? Belum ada pengakuan jelas dari beliau. Jika beliau itu kiri, maka siap-siap saja menjadi tapol sebagaimana para seniman yang tersangkut undang-undang anti komunis seperti, Brecht di Amerika atau Pramoedya di Pulau Buru. Teka-teki antara kiri atau tidak membuat susunan tips ini sedikit sulit. Artinya, jika pertunjukan ini bukan kiri, maka penonton bisa menikmatinya tanpa repot-repot berpikir soal pertentangan kelas dan revolusi. Penonton bisa menikmatinya sambil menengok Twitter, Facebook dan BBM. Jika pertunjukan ini adalah drama kiri yang dilahirkan oleh pengarang kiri yang memiliki maksud-maksud (ideologi) kiri, maka tips ini harus dibuat sedikit serius. Jika OTM adalah kiri, maka penonton harus mau menonton sembari mengamati kondisi nyata mereka. Mereka harus masuk dalam kerangka pikir pertentangan kelas antara yang proletar dan borjuis. Daya kritis yang ditimbulkan selama menonton OTM diolah sebagai daya revolusioner untuk mengubah kondisi masyarakat menuju sosialisme. Risikonya adalah jelas bahwa penonton punya kemungkinan untuk ditangkap aparat, digelandang masuk bui dan dibuang di suatu penjara. Risiko dalam hal aktual juga jelas bahwa penonton yang merupakan warga masyarakat harus memposisikan diri dalam kelas tertentu yang melawan kelas lain. Dalam hal teater epik, penonton harus bersiap masuk dalam golongan proletar, pendobrak borjuisasi dan bersiap-siap menganggap pemilik bioskop 21 (sebelah GBB) sebagai mafia borjuisasi hiburan yang terkutuk. Tipsnya: dalamilah sejauh apa interupsi-interupsi Verfremdungseffekt OTM mendorong Anda untuk meseriusi lakon pertentangan kelas secara nyata. Bagi dramawan sekaliber Brecht, hingga akhir hay-
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
atnya, kiri dan revolusi adalah urusan serius, bukan urusan bikin kedai kopi centil dan komunitas seni. Persoalannya bukan lagi soal formalis atau multitafsir. Tetapi serius atau tidak ingin membebaskan dan memajukan masyarakat dengan mengambil segala risiko yang ada.5 Keseriusannya sama seperti Benjamin, Lukács, Lenin, Stalin, Zinoviev dan Pramoedya. Sehingga memang tidak ada unsur Brechtian dalam OTM dan memang tidak ada estetika komunikasi massa dalam OTM. Tips-tips yang sudah penulis berikan sekedar memperteguh dua ketiadaan yang baru disebutkan. Demi segala ketiadaan, ‘Selamat ulang tahun ke-40 untuk Tempo!’ Catatan:
1. Lih. Tan Malaka. Opera 3 Babak. 2011. Jakarta: Grafitti Press, hal. 4. 2. “Epic theatre is gestural. The extent to which it can also be literary in the traditional sense is separate issue. The gesture is it’s raw material and its task is utilization of this material.... Without anticipating the difficult study, yet to be made, of the function of the text in epic theatre, we can at least say that often its main function is not to illustrate or advance the action, but on the contrary, to interrupt it: not only the action of others, but also the action of one’s own.” Bdk. Walter Benjamin, Understanding Brecht (1998, London: Verso), hal. 3-4. 3. “The explanatory paradigm underlying Brecht’s picture of theater commodification and its misreprenstation by those involeved in it derives from the assumption that the agencies whose attitudes the notes are examining are the victim of what Friedrich Engels reffered to as falsches Bewuβtsein (false conssciousness).” Bdk. John J. White, Bertolt Brecht’s Dramatic Theory (New York: Camden House, 2004), hal. 32. 4. “Whether a work is realistic or not cannot be determined merely by checking whether or not it is like existing works which are said to be realistic, or were realistic in their time.” Lih. Ernst Bloch, Georg Lukács, Bertolt Brecht, Walter Benjamin & Theodor Adorno, Aesthetics and Politics ( London: Verso, 1980), hal. 85. 5. “They would have clearly recognized that waht if describes is not an eccentric poet for a walk but the flight, the escape of man to live any longer inside the barriers of class which – the Crimean War, with the Mexican adventure – was then the beginning to open up even the more exotic continents to its mercantile interests. Brecht thinks it is impossible to turn Rimbaud’s attitude of the footloose vagabond who puts himself at the mercy of chance and turns his back upon society – into a model reprensentation of proletarian fighter.” Bdk. Walter Benjamin, Understanding Brecht (1998, London: Verso), hal. 106.
P R O B L E M F I L S A F A T 17
ARTIKELUTAMA
DI BAWAH BATON CARLOS KLEIBER:
Menghadapi Ancaman Marxisme Ugal-ugalan oleh ANOM ASTIKA
PRELUDIA opus no.1 - Kelak Tak Ada Lagi Hening Kawan. Terang memang tak pernah tiba secepat harapanmu. Sesekali kerlingnya merayapi keraguan, menempa selalu dari tanya menuju tanya. Sampai juang pun, merunduk-runduk, menepi-nepi, melipat-lipat tanpa suara. Sesekali, sekian kali, setelah sekian kali, lelah sudah, hening merekah. Tang! Kau bertanya apakah sudah suara sama rasa sama rata?... Hening merekah. Tiiiiiing... sudah benarkah suara sama-sama itu?... Hening merekah. Taaaang... Ting!! Rata-rata sama, rasa-rasa sama, demikiankah?... Hening merekah. Di ruangan itu hening merekah. Di sekitarnya hening merekah. Tak sampai gaung getok-getok lesung menanda di telinganya. Tak sampai derum-derum geram mesin merongga di dadanya. Tak sampai cipak-kecipak air di selokan bernada di benaknya. Tak sampai aroma tubuh menyangga tiap notasinya. Semua yang tak sampai itu, lalu disebutnya sebagai alienasi. Yah...., mungkin...., seperti itu...., alienasi. Tampaknya ia mangkir dari jantung penjelasan tentang Alienasi!! Karenanya hening. Cadenza – Berulang Ku Jatuh Bangun Mencari Tetes Anggur yang Beri Daku Janji Manis Hari Kecewa [lirik lagu ‘Letih’, karya Titik Hamzah] Sepercik suara. Hanya dua detik. Sepercik suara, sedetik. Tanpa henti, terus-menerus seperti itu iramanya. Lambat geraknya. Resapkan luruh ruang pelipur lara. Dari keramaian yang tak dikehendaki. Dari keramaian yang menjanjikan keduniawian. “Percaya doaku, percaya imanku...”, demikian ucap ba-
18
PROBLEMFILSAFAT
tinnya. Akhirnya labuhan batu ragu jua jawabnya. “Apa yang terjadi jika diriku berpikir tentang kebenaran? Apa yang terjadi jika setiap orang menafkahi benaknya dengan macam-macam pertanyaan?”. Apa, apa, dan apa, demikian bergelimang menangkar resah. “Oleh pemikiranku, oleh pemikiran orang lain, apakah yang ku sampaikan berguna buat orang lain? Apalagi yang dapat ku lakukan dengan seluruh sisa hidupku ini? Apa yang perlu ku sampaikan ketika aku sudah tidak lagi berpikir tentang ‘yang lain’? Apalagi yang perlu ku sampaikan perihal kebudayaan? Lepas diriku dari kerumunan buruk ini!” “Percayakah mereka jika ku katakan bahwa di Indonesia tidak pernah ada diskursus tentang perempuan? Aku percaya, lantaran yang ku perhatikan di dalam sejarah tak lebih dari Kartini dan Kartini. Apa mungkin dibuka diskursus tentang perempuan sementara yang dikenal sebatas Kartini?. Banyak peristiwa sejarah yang tidak ku perhatikan dengan baik, dan sungguh-sungguh dengan sengaja tidak ku perhatikan dengan baik, karena sejarah bukanlah letak soal dari seluruh kehidupan ini. Aku dengar, tapi ku rasa tak terlalu penting juga untuk mencari tahu apa yang dilakukan oleh Kartini. Pun tak terlalu peduli juga aku dengan Dewi Sartika, Lasminingrat, Rohanna Kudus, Siti Sundari. Yahh... seterahlah mereka mau bikin sekolah, mau nerjemahin buku Belanda ke dalam bahasa dan aksara jawa, mau baca koran, surat-suratan. Ndak penting itu. Yang jelas mereka-mereka itu bisa demikian hebat karena berteman dengan orang-orang Eropa. Aku kan sudah bilang kepadamu
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELUTAMA
kalau Kartini itu bukan tokoh tapi pokok.1 Artinya ‘bukan karena gagasan feminisme maka Kartini ada, tetapi karena Kartini ada, maka ia seorang feminis’.2 Tidak mungkin ada feminisme dari pribumi Hindia Belanda sebelum Kartini. Tetapi justru karena Kartini bersuratsuratan dengan sahabatnya orang Eropa, maka gagasan emansipasi, itu menjadi mungkin. “Yang ingin saya katakan ialah bahwa bukan karena gagasan feminisme maka Kartini ada, tetapi karena Kartini ada, maka ia seorang feminis”. Artinya kita memang harus berterima kasih pada kolonialisme yang telah melahirkan Kartini. Tapi kan kau tahu, aku pasti anti kolonialisme. Pernah ku tuliskan kepadamu, ‘siapapun bersedia mati, bila ia harus dikembalikan ke masa silam yang bernama penderitaan’3. Akan tetapi kita juga perlu tahu, penderitaan semacam apa yang perlu kita tanggung sebagai dasar untuk dapat melancarkan perjuangan melawan kolonialisme. Oleh karena perjuangan melawan kolonialisme pada dasarnya adalah perjuangan kemerdekaan. Dan kepedulian kita terhadap penderitaan seseorang tidak mengandaikan penghilangan kemerdekaan/kebebasan orang lain. Sebab bagaimana mungkin ku ‘menjadi diriku sendiri tanpa muncul dari kehadiran ku bersama orang lain’4? Artinya perjuangan kemerdekaan itu perlu dilihat lebih utuh demi diri kita dan demi diri orang lain. Seperti yang akan ku sampaikan kepadamu saat ini,
bahwa yang lebih penting dalam kehidupan, di dalam banyak hal adalah ‘membentuk hubungan yang kreatif, dengan orang lain ia menyediakan satu dialog’5. Apa sebabnya, adalah karena bung Hatta pernah berkata dua hal : ‘pergerakan rakyat timbul bukan karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan’ itu yang pertama, dan yang kedua, ‘hari siang bukan karena ayam berkokok, akan tetapi ayam berkokok karena hari mulai siang’6. Dengan kata lain, pergerakan rakyat dan ayam berkokok adalah syarat untuk adanya pemimpin yang bersuara di siang hari, dan mungkin memang ada hubungan erat di antara pemimpin pergerakan rakyat dengan ayam berkokok. Salah seorang teman pernah memperingatkanku, agar jangan terlalu berlama-lama berpendapat dengan menggunakan pedoman-pedoman “keraguan yang beralasan” dari filsafat Descartes. Sebuah metode berpikir yang menegaskan bahwa segala sesuatunya harus dipertanyakan melalui sejumlah pengujian logika dan pikiran untuk membuktikan adanya satu unit tertentu yang bisa menjelaskan segalanya. Oleh temanku, sebuah konsep diberikan kepadaku. Tampaknya asing, dan kurang menangkap dengan jelas apa problematik di balik konsep tersebut. Ditulis oleh seseorang yang bernama Theodor W. Adorno, seperti ini bunyinya7: Kant menyatakan bahwa ada sebuah mekanisme rahasia di dalam jiwa yang mempersiapkan intuisi-intuisi dalam satu cara dimana intuisi-intuisi tersebut akan langsung dapat sesuai dengan sistem akal budi murni. Namun hari ini rahasia itu telah dibongkar. Ketika mekanisme adalah semua yang muncul, yang direncanakan oleh mereka yang mengolah data pengalaman, yaitu oleh industri budaya, ternyata kekuatan masyarakat justru mendorong maju industri budaya. Masyarakat yang tetap irasional, sejauh apapun kita berusaha merasionalisasinya; dan kekuatan masyarakat yang tak terselamatkan ini diolah melalui agensi agensi perdagangan, sehingga agensi-agensi ini mampu memberikan kesan baik akan kepemimpinannya.
Apa sebenarnya yang dimaksud oleh temanku dengan memberikan pernyataan Adorno ini? Apa salahnya dengan pendapat-pendapatku di muka? Apakah dengan demikian aku dianggap bodoh dan belum pernah belajar filsafat? Apabila bung Hatta adalah pelajar Marxis yang baik, maka aku sudah berhasil menggabungkan pemikiran Marx dan Nietzsche, melalui postulasi-postulasi berikut ini8:
*Illustrasi: DadaTerbit
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
1. di kancah pasar bisa ada tipudaya, persuasi, tekanan, penghisapan, namun juga dialog, proses belajar, dan kesempatan kreatif 2. dari tengah pasar juga ada dorong-mendorong, yang bisa menggairahkan dan menciptakan dinamika seraya menyisihkan mereka yang rudin dan tak untung, dan menumbuhkan mereka yang menang 3. pada saat yang sama, di pasar itu, di tengah kancah komo-
P R O B L E M F I L S A F A T 19
ARTIKELUTAMA ditas itu (di antara obat bius dan telenovela) kita bisa juga menemukan sebentuk keramik yang cantik
Bayangkan apakah Adorno tidak busung lapar berperang dengan postulasi-postulasiku? Percaya atau tidak, di dalam perkembangan hidup ini, seperti kata Sjahrir di tahun 1936 apa ”yang sepenuhnya rasional boleh dikata adalah sebuah kehidupan yang hanya seakan-akan (een schijnleven), sebuah kehidupan yang mengelabui diri9. Oleh karenanya, percaya atau tidak, politik dalam arti pengertian yang konseptual dapat dibayangkan sebagai sesuatu yang tak berdasar, dan dengan tanpa tujuan; sepanjang tujuan itu sendiri pada akhirnya tidak selalu melahirkan kebaikan. Toh Marx juga mengakui bahwa di dalam proses peradaban, represi dan ilusi adalah dua sisi dari koin peradaban10. Bagaimana bisa berpikir tentang politik yang tanpa tujuan? Ada banyak penjelasan politik yang pernah kuberikan. Pertama, di dalam perspektifku politik dimungkinkan oleh karena adanya komunikasi. Adanya politik dengan demikian selalu didasarkan atas pengandaianpengandaian tentang kesetaraan. Seperti apa pengandaian itu berbunyi? Saya bayangkan Sjahrir dalam pesawat Catalina itu sebelum mendarat. Ia melihat dataran, mungkin sawah, mungkin hutan, mungkin masa depan. Yang di bawah itu adalah sebuah negeri, sebuah polis, yangsetengah siap, dan harus disiapkan, sebuah ruang di mana yang publik harus dikukuhkan, sebuah arena dimana pengukuhan itu memerlukan persaingan hegemoni dan kekuasaan11.
Bagaimana pengadaian ini dapat dijelaskan? Jelas aku akan menunjukkan bagaimana politik saat ini. Pertama, “Sosialisme pun terpuruk; ternyata ‘ilmiah’ bukan berarti ‘tanpa salah’, ternyata Marxisme sebuah gagasan yang akhirnya harus mengakui bahwa dunia tak akan pernah bebas dari kontradiksi”12. Kedua, “Partai Komunis, atau partai yang revolusioner manapun, atau kekuatan politik mana pun, pada akhirnya akan terpaksa mengakui keterbatasannya di hadapan nasib majemuk manusia”13. Ketiga, “Perbedaan dan pertentangan paham telah berakhir dengan perbedaan dan pertentangan nasib” sebab “Nasib tak terbagi serentak beramairamai”14. Dengan kata lain, apa yang disebut dengan politik alternatif, politik perlawanan ataupun politik Kiri, bagiku sudah R u n t u h! Rondo Carlos Kleiber dan Sviatoslav Richter di Ruang Piano Antonin Dvorak Syukurlah! Aku telah mendapatkan surat-suratmu kembali. Sudah lama kiranya tak ku dengar kata-kata cantik yang penuh makna darimu. “Jeda”, “Lesap”, “Liyan”... aihh.. sampai perlu ku hentikan sepeda motorku di dekat selokan bau untuk “kelokan bahasa” perlu merenung.
20
PROBLEMFILSAFAT
Memang luar biasa kecerdasanmu. Banyak orang terhibur karena ungkap indah bahasamu, dan seolah mentari selalu berada di sekitarmu. Cerah rasanya jika berada di dekatmu. Seolah-olah kunci peradaban ada di tanganmu. Sampai kadang-kadang aku perlu berpikir sesekali, apakah kau berpikir tentang pikiran orang lain yang memikirkan dirinya, teman-temannya dan lingkungannya. Entahlah... akan ku simak dulu tulisan-tulisanmu. Sebentar akan ku berikan pendapat-pendapatku terhadap ide-idemu. Jadi begini kawan, aku tahu kalau kau memiliki sejumlah besar keraguan terhadap Marxisme. Tentunya bukan kau seorang semata di negeri ini yang meragukannya. Namun terus terang saja, aku meragukan keraguanmu. Dengan kata lain aku tidak tahu pasti apakah keraguanmu benar-benar meragukan dirimu yang berpikir tentang Marxisme. Bahkan aku pusing melilit mencari keberdayaan dari keraguanmu. Apakah dirimu meragu, ataukah justru Marxisme yang meragukan dirimu, semuanya selayak hiasan kerang dari pualam yang ingin sedap dipandang tetapi nyatanya sebatas asbak kegunaannya. Entah aku tak tahu pasti siapa yang lebih dulu meragu. Tak terlalu pandai juga aku bicara sejarah. Sehingga tak mudah juga bagiku untuk sekedar menularkan tinta di atas kertas. Kendati demikian ku kan tetap mencobai gagasan-gagasanmu yang aneh tentang Marxisme. Ku ikuti saja keresahan-keresahanmu akan ide dan praktek revolusi, dan bagaimana kau buat revolusi itu bagai diskursus demokrasi gaduh dan barang sampah. Kumpulan surat-suratmu yang pertama banyak sekali bercerita tentang tokoh-tokoh sejarah di negeri ini. Pantas kau beri judul kumpulan itu, Tokoh dan Pokok. Sedang kumpulan suratmu yang kedua lebih banyak berbicara tentang keraguan-keraguanmu terhadap Marxisme. Nampaknya dua buku ini adalah dua hal yang terpisah. Namun bagiku keduanya menyatu dalam tema ‘keraguan terhadap Marxisme’. Tak sebegitu bodohnya diriku untuk kau kelabui, lantaran semua tokoh yang kau bahas dalam kumpulan surat yang pertama selalu berada dalam aras tegangan pemikiran Kiri dan Kanan. Hingga perlu dirimu merumuskan kategori pelampauan dari mereka yang Kiri dan yang Kanan, yang Pokok dan yang Tokoh, ke Tiadaan dan ke Adaan. “Tapi dalam politik pembebasan, massa yang tak bernama itu punya paradoksnya: ia menggerakkan, membentuk, melahirkan tokoh-tokoh”15, demikian ujarmu. Sebagaimana estetikamu yang konyol, yang gemar memilah-milah ‘bentuk’ dan ‘isi’ dari sebuah karya sastra, maupun dari realitas relasi sosial di mana karya tersebut dilahirkan16. Seakan tidak pernah ada sejarah Taman Makam Pahlawan di kota-kota kecil; seakan kisah pembongkaran makam Letkol Heru Atmojo adalah lalat pengganggu nafsu makanmu; jika memang massa itu tak bernama namun menciptakan tokoh. Pantas kau begitu mudah berucap tentang politik pembebasan, tetapi begitu sulit mengeja nama seorang seniman lukis yang patah kaki digebuk aparat militer Orde Baru karena turut berdemonstrasi memprotes pembredelan majalah Tempo; Semsar Siahaan namanya,
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELUTAMA
bukan Simsar Siagian17. Bahkan untuk menghargai karya seni pelukis terkenal pun salah-salah lidahmu berkelok: yang seharusnya dilukis oleh Strakhov Braslavskij, dengan judul ‘Liberated woman, build up socialism!’, (1926), kau tulis sebagai karya El Lissitzky18. Entahlah apa kehendakmu sampai harus memaksa-maksa politik pembebasan dan revolusi harus memulai lagi semuanya dari awal terciptanya bumi, dari yang tak ada untuk menjadi “kreasi” estetis19. Hmmh... sudah abad ke 21 logika inkuisisi abad pertengahan masih dipakai juga. Tapi sudahlah. Ku anggap saja kau memiliki persepsi-persepsi sendiri tentang Revolusi yang begitu sulit ku percaya sebagai sebuah perspektif. Apakah itu dipanggang dalam wayang dengan sosok Semar yang muncul sebagai pertanda ‘zaman edan’20, ataukah itu serupa penggambaranmu tentang pertarungan Lekra-Manikebu di tahun 1960an21, seluruhnya dapat dianggap sebagai reka-reka tak berdasar. Apa sebabnya? Aku berpendapat bahwa apabila Revolusi memang sebuah perspektif dalam pemikiranmu, seperti kau sebut “...bagaimana memanggil datangnya kembali—kalaupun mungkin—imajinasi revolusioner”22, maka problematiknya bukan pada bagaimana Revolusi menghancurkan kesadaran berkesenian. Adanya revolusi bukan soal mewujudkan cita-cita kebebasan ataupun pembebasan nasional, tetapi soal berpikir tentang penyetaraan kolektif-kolektif dan kolektivitas ke dalam sebuah struktur sosial yang berkemampuan melahirkan kesadaran politik yang sama besarnya dengan kesadaran ekonomi, kesadaran memperjuangkan hak-hak politik sama besarnya dengan kesadaran mengorganisasikan alat-alat produksi. Perbandingan logisnya bisa ditemukan di dalam tulisan Marx yang berjudul The German Ideology23 : Para teoritisi Komunis, kaum komunis yang memiliki waktu untuk mengabdi pada studi sejarah, diistimewakan tepatnya oleh karena fakta penemuan mereka sendiri, bahwa sepanjang sejarah yang namanya ‘kepentingan umum’ itu diciptakan oleh individu-individu yang dianggap sebagai ‘orang-orang khusus’. Mereka tahu bahwa kontradiksi ini hanyalah sesuatu yang menampak, karena satu sisi dari hal ini, yaitu yang disebut sebagai ‘kepentingan umum’ terus-menerus diproduksi oleh sisi yang lain, kepentingan pribadi/privat, dan karenanya kepentingan pribadi/privat adalah kekuatan yang independen dengan sejarah yang independen –sehingga kontradiksi antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum terus-menerus dihancurkan dan direproduksi. Sehingga letak soalnya bukanlah pada ‘kesatuan negatif ’ antara dua sisi dari kontradiksi, tetapi secara material adalah penghancuran terhadap cara hidup individu yang sebelumnya, bersama dengan hilangnya kontradiksi tadi dan juga kesatuan kepentingan umum dan kepentingan privat di muka.
Problematiknya bukan soal apakah dirimu direndahkan atau disepelekan oleh para sastrawan Lekra di tahun 1960an. Oleh karena apapun yang dikritik oleh para sastrawan Lekra terhadap para eksponen Manikebu, dengan segala kekurangan dan perluasannya, perlu dilihat seb-
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
agai representasi dari pertarungan politik yang berlangsung di periode setengah abad lalu. Persoalannya apakah dirimu perlu berpikir perihal politik pada saat itu, sementara baru seberkas pengungkapan kebenaran tentang pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat yang dapat dijadikan dasar untuk diksi politismu? Apa belum bisa kau cerna dengan baik bahwa Revolusi yang sudah berlangsung dua dekade sebelumnya perlu disempurnakan selalu, dan oleh karenanya diperlukan kebersamaan untuk berlaku sebagai bangsa yang mandiri, lepas dari pengaruh maupun kontrol dari politik luar negeri milik negeri asing? Sudah tentu sulit bagimu untuk mencernanya oleh karena disebut dalam salah satu suratmu24: “... Tak ada puisi tanpa realitas... Seni pun merupakan suatu proses dan hasil dialektik, di mana harus ada seseorang yang merdeka, suatu kepribadian. Dan jika dengan realitas puisi membentuk suatu hubungan yang kreatif, dengan orang lain ia menyediakan suatu dialog”.
Praktis dirimu perlu berpikir lebih dalam atas pernyataanmu. ‘Puisi harus dengan realitas’, dan yang kau anggap sebagai realitas adalah individu pencipta, yang berhubungan dengan individu yang lain. Di luar individu adalah realitas juga, tetapi setelah ada hubungan kreatif. Hubungan penciptaan dari yang tiada menjadi ada. Ampun deh... sudah ratusan ribu rakyat Papua menderita oleh karena ‘proses kreatif ’ Freeport, tetap saja kau anggap rakyat Papua itu tak ada, begitukah? Problematik revolusi itu bukan sekedar soal apakah dirimu dan kebebasanmu itu diperhatikan atau tidak. Apakah surat kabarmu dan seluruh penerbitanmu itu perlu dilindungi atau tidak. Letak soal yang paling utama dari Revolusi Indonesia adalah tentang bagaimana menjadi Indonesia yang berdaulat dan berdikari. Tentunya kau setuju tentang hal ini berikut dengan ide tentang kebersamaan untuk memajukan Indonesia, kendati ‘pengertian yang sama’ sebagai hasil dari kebersamaan itu menjadi problematis bagimu, karena itu mengandaikan penghilangan potensi kreatif rakyat menurutmu.25 Tetapi bukankah proses kebersamaan dengan segala kekurangan dan kelebihannya adalah sebuah proses yang memang harus dilalui oleh sebuah bangsa yang baru merdeka dari segala macam bentuk penindasan? Coba kau perhatikan studi Victoria Bonnel, tentang poster-poster dan propaganda Soviet di masa pemerintahan Lenin dan Stalin26: Bagi Bolshevik, yang dakuan kekuasaannya berbasis pada ideologi yang menekankan arti penting sejarah perjuangan kelas proletariat, maka menjadi amat penting pula untuk membangun posisi heroik dan identitas kolektif kelas pekerja dalam wacana publik. … Sama pentingnya adalah kebutuhan untuk menanamkan konsep ‘kelas’ sebagai elemen sentral epistemologis dari ideologi resmi yang baru. Kelas—lebih dari kebangsaan, agama, gender ataupun etnisitas—berlaku sebagai dasar solidaritas sosial dan poli-
P R O B L E M F I L S A F A T 21
ARTIKELUTAMA tik. Masa sesudah revolusi sampai dengan tahun 1920-an, partai Bolshevik bergulat dengan problem pendefinisian identitas kolektif dan pembuatan kebijakan yang konsisten dengan pendefinisian tersebut.
Bolehlah lalu kau berpendapat, bahwa Mayakovsky pun merasa tertekan dengan kebijakan ‘seni untuk rakyat’ yang coba dipropagandakan oleh rezim Lenin, dan Stalin di kemudian hari. Tapi apa sih sebenarnya problem kesenian di Eropa pada saat itu, dan bagaimana pula problem yang berlangsung di Rusia pada periode awal berdirinya Soviet? Tak pernah kau jelaskan sama sekali, bahwa pada periode awal abad ke 20, terjadi pemberontakan di kalangan komposer musik yang dimotori oleh Igor Stravinsky, Bela Bartok, Leos Janacek, Maurice Ravel, dan Manuel de Falla untuk membaktikan diri pada musik-musik rakyat (folk).27 Sebuah pemberontakan terhadap hegemoni gaya simfoni Beethoven dan gaya opera Wagner yang begitu mendominasi gedung-gedung opera di Eropa. Hingga Bela Bartok kemudian menulis, “Kita harus meminum air minum kita tidak dari kantung-kantung perakmu tetapi dari sejuknya air dari sumber-sumber air di pegunungan”.28 Bahkan di Rusia sendiri terjadi perdebatan antara kelompok Balakirev versus kelompok Anton dan Nikolai Rubinstein, dengan tema kritik terhadap gaya Beethoven dan Mendelssohn, gaya musik Jerman dalam kehidupan musik di Rusia29. Bahkan di periode awal Revolusi Russia, kelompok Balakirev justru dikritik oleh kelompok Shostakovich dan Prokofiev sebagai kelompok yang tidak mau keluar dari imajinasi musik Tsar. Walaupun pada jaman Stalin kedua orang komponis yang terakhir cenderung disingkirkan. Letak soalnya bukan pada bagaimana Stalin mencacah-cacah dan menginjak-injak harkat hidup Shostakovich dan Prokofiev maupun seniman lainnya, sebagaimana yang kau sering gembar-gemborkan di dalam surat-suratmu. Tetapi kau tidak pernah bercerita bagaimana kehidupan berkesenian itu juga mampu menangkap visi tentang bentuk kesenian di masa datang, dengan membangun kritik terhadap kesenian yang ada. Dan membangun kritik berarti juga menghargai akan apa yang sudah berlangsung sebagai aktivitas seni di periode tertentu. Akan tetapi di dalam surat-suratmu dirimu seperti membatasi diri pada obyek sastra dan seni rupa, dan mediumnya yang tercetak atau kasat mata. Tampaknya kau lupa menghargai bagaimana RRI di Indonesia telah berhasil mengumpulkan banyak seniman, dan mengudarakan berbagai macam lagu-lagu daerah ke seluruh Indonesia. Tampaknya kau lupa bercerita bagaimana dinas penerangan dan kebudayaan Jepang yang berhasil mendidik orang-orang Indonesia menjadi para pembuat film dan teknisi radio. Tampaknya kau lupa bahwa lagu Indonesia Raya diaransir ulang oleh konduktor Belanda, bernama Jos Cleber dibawah pengawasan langsung presiden Soekarno30, sampai pada versi akhirnya Jos Cleber berhasil menafsirkan keinginan Bung Karno, ““Harus ada bagian yang liefelijk, yaitu pada bagian sebelum refrain. Refrain-nya
22
PROBLEMFILSAFAT
sendiri harus meledak agar menciptakan klimaks”31. Dan tampaknya kau lupa ada banyak bidang kesenian yang lain di luar dunia sastra. Apa sih sebenarnya gagasanmu tentang politik? Mereduksi yang lain untuk kemuliaan dirimu kah? Revolusi bukanlah sekedar soal pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan dan penghisapan kapitalisme, sekali lagi ku ulangkan pernyataan ini kepadamu. Problem revolusi belum dapat kau perlihatkan dengan jelas tetapi dirimu begitu sibuk menyanyikan dua litani agung dari seluruh suratmu. Pertama Litani Soekarno-Pramoedya untuk menjelaskan keadaan historis di Indonesia, dan kedua, Litani Stalin-Zdhanov untuk menjelaskan bahaya Revolusi dengan belajar dari pengalaman Revolusi di negeri lain. Bagaimana kemudian revolusi dapat dibayangkan jika pagar-pagarnya sudah ditampilkan terlebih dahulu? Lalu kau sebut Tan Malaka tak punya cita-cita Sosialisme dengan membandingkannya pada Soekarno32. Dari mana dirimu bisa sampai ke kalimat cupet macam demikian? Bukankah Tan Malaka sempat berucap33: “Saya bertemu Sano Manabu melalui kegiatan saya di Komintern. Saya juga kenal Ho Chi Minh dan pernah berdebat dengan Stalin. Maka saya yakin, saya mengerti tentang kedudukan negara-negara lain dan situasi internasional. Sejauh mengenai masalah kemerdekaan Indonesia, saya kira kemerdekaan itu … tidak bisa dicapai sekadar dengan sebuah pernyataan, tapi harus didukung oleh sebuah negara yang merdeka”.
Gimana ceritanya orang yang sepanjang hidupnya bekerja untuk perjuangan sosialisme, bekerja untuk Komintern tidak punya cita-cita sosialisme? Atau mungkin kau ingin berkata bahwa Tan Malaka adalah jejadian Nietzsche untuk konteks Indonesia? Berapa liang kubur yang musti membuktikan tesis itu? Ada banyak hal yang ingin kusampaikan perihal Marxisme dan politik Marxisme yang sering kau rendahrendahkan bagai kumpulan kegaduhan dari onggokan sampah dari kampung kumuh sekitaran Jakarta. Seumpama ucapmu tentang karya-karya sastra Lekra yang ‘senantiasa begitu’. Entah di bagian yang mana yang ‘senantiasa begitu’, entah begitu senantiasanya dirimu berpikir negatif tentang karya-karya yang tak sanggup kau kategorisasi sebagai sebuah karya, lantaran tak mungkin pula kau langgar petuahpetuah sakti dari A.Teeuw, H.B Jassin dan Dick Hartoko. Namun aku sudah tak terlalu perduli lagi dengan darimana dan bagaimana kau dapatkan pengetahuanmu. Kini yang lebih kupedulikan adalah cara pandang politikmu yang menurutku sungsang dan buluk. Pertama, di dalam dua kumpulan surat-suratmu, baik Tokoh dan Pokok maupun Marxisme, Seni, Pembebasan, tak pernah sekalipun bisa kau jelaskan dengan gamblang bagaimana dasar-dasar pemikiran Marx itu terbentuk. Entah apa alasanmu mengapa tidak mencoba mengelaborasi hal tersebut, tetapi menurutku justru di sana problem besar dari seluruh penjelasanmu tentang Marxisme. Bagimu
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELUTAMA
Marxisme seolah-olah kumpulan-kumpulan yang sebab dan yang akibat, yang aksi dan yang reaksi, sebagaimana momen dialektika tesa dan anti-tesa. Kukatakan kepadamu bahwa dialektika momen berpikir itulah dialektika Hegelian. Dialektika Marx, justru membaliknya. Ia tak pernah serupa pikiran-pikiran yang saling berdialog dalam perayaan keberagaman komoditi. Akan tetapi, yang pertama dari dialektika Marx adalah peristiwa sosial yang mencakup aktivitas-aktivitas sosial manusia, dengan seluruh perselisihan di antara kelompok atau kelas-kelas sosial yang ada, dengan seluruh pembagian kerja yang tercipta secara historis. Di peristiwa, dan juga berbagai peristiwa kemudian, terdapat gerak dialektika antara yang esensi atau yang material dan yang forma, yang ditampilkan, ataupun yang merepresentasikan materi/esensi. Gerak dari satu forma ke forma yang lain itulah yang disebut dengan waktu. Sampai di sini saja tak satu pun dari tulisan-tulisan suratmu ada sedikit yang menyinggungnya. Akan tetapi kau langsung meloncat ke analisa kapitalisme, analisa kelas, alienasi, fetishisme, kehancuran rejim-rejim komunis, humanisme, dan sebagainya. Namun tak sekalipun dirimu pernah membahas upah dan kelas pe-
*Illustrasi: DadaTerbit
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
kerja. Tiba-tiba kau ambil begitu saja analisa tolol Edward Said yang menyebut Marx sebagai pendukung kolonialisme, yang akan menghancurkan mode produksi Asiatik. Sementara kau tidak pernah meneliti dengan sungguhsungguh apakah pernyataan Marx tentang India merupakan argumentasi teoretik ataukah sekedar spekulasi. Dalam kasus Edward Said, sudah jelas penjelasannya diruntuhkan oleh Aijaz Ahmad dengan menyatakan bahwa Edward Said terlalu percaya dengan apa yang dikatakan oleh Marx dan tidak mencoba bersikap kritis, melihat kembali realitas sejarah India, untuk bisa menentukan apakah memang ada mode produksi Asiatik di India seperti yang digambarkan oleh Marx34. Nah bagaimana dengan dirimu? Tak sekalipun pernah kudengar dirimu melakukan penelitian empirik terhadap perkembangan kapitalisme di negeri ini, tetapi tibatiba bicara tentang Marxisme. Apa yang sebenarnya ingin kau katakan tentang Marxisme sebenarnya tidak terlalu rumit: kau tidak mengerti Marxisme dan karenanya kau mengira teori Marxisme gagal. Kedua, ketika dirimu berbicara tentang Kapitalisme begitu senang hatinya dirimu mengucap-ucap fetisisme dan alienasi. Seolah-olah itulah capaian tertinggi dari pemikiran Marx dan itulah yang paling hina dari kapitalisme. Seolah-olah dirimu akan merupawankan Marxisme serupa perona muka para pekerja seks komersial. Memang Marxisme kemudian tampak tetap merah, tetapi merah yang mudah memudar; yang hanya menarik sesekali, sesekali dinikmati, setelah itu dengan sengaja dihilangkan, sampai tak punya akar lagi dalam kehidupan ilmiah. Padahal yang demikian bermasalah adalah sistem kerja kapitalisme, yang tak pernah kau singgung sedikit pun bagaimana sistem tersebut meremukan badan, tulang belulang dan isi pikiran manusia secara kongkret. Pantaslah kau kira kapitalisme akan membawa kemajuan. Bagi dirimu ‘ya’. Tapi ‘tidak’ bagi puluhan juta rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kumpulan suratmu tak lebih serupa kumpulan cerita lucu tentang kekurang-tekunan mempelajari teks-teks yang ditulis oleh Karl Marx. Bahkan yang lebih jenaka kemudian, adalah upaya untuk mempopulerkan pemahaman yang salah dan malnutrisi itu sebagai pemahaman yang melampaui pemikiran Marx. Bagaimana mungkin mau melampaui kebenaran analisa kapitalisme Marx, sementara dalam seluruh isi surat-suratmu kadang kau akui juga kebenaran analisa ekonomi politik Marx, tetapi kadang meragu juga dengan konsekuensi praktisnya? Ada yang bilang bahwa demikianlah cara borjuis mempelajari Marxisme. Aku tolak pandangan seperti itu. Justru karena borjuis memiliki waktu senggang maka ia dapat memanfaatkan waktunya dengan baik untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Justru karena borjuis memiliki waktu senggang, maka dengan ketekunan-
P R O B L E M F I L S A F A T 23
ARTIKELUTAMA
nya ia memiliki kemampuan untuk mengembangkan, ataupun meruntuhkan tanpa ampun Marxisme secara teoretik maupun secara praktis. Dengan kata lain, setelah kubaca surat-suratmu tentang Marxisme, sungguh tak menampak kultur borjuasi di dalam mempelajari Marxisme. Apa ukurannya? Sederhana saja: tidak satu jurnal teoretik yang paling kanan sekalipun memuat tulisanmu yang membedah Marxisme secara teoretik. Lalu apa sebenarnya yang ditulis oleh Goenawan Mohammad tentang Marxisme? Entahlah. Dibilang Marxis kok isinya justru menegasi Marxisme, dibilang tidak Marxis kok pakai jargon-jargon Marxis. Yah seperti selinap-selinap di balik azab dan sembilu. Sekarang bukan lagi jamannya mengidentifikasi cara pandang, seraya memberikan cap-cap yang tidak punya akar sejarah di Indonesia. Sekarang waktunya memikirkan, mempertimbangkan, merumuskan, dan melaksanakan kegiatan membaca tulisan-tulisan Marx secara tekun dan sistematis sebagai sebuah aktivitas politik, sebagai salah satu bentuk Aksi Massa. Sehingga siapapun diri kita, dari manapun asalnya kita, memiliki kemampuan untuk mendebat, menginterogasi, mempertanyakan, dan sekaligus meluluhlantakkan pemahaman-pemahaman Marxisme malnutritif yang renyah, asoy dan centil itu dengan pemahaman baru Marxisme yang lebih kontekstual dan tepat guna. Sekontekstual jemari lincah dan kuat Sviatoslav Richter untuk memainkan piano concerto g minor Antonin Dvorak, sekuat tepat guna timbre ritmik dari orkestrasi yang dihela oleh baton Carlos Kleiber. Catatan Akhir
1. Goenawan Mohammad, “Kartini, Sebuah Pesona”, dalam Goenawan Mohammad, Tokoh + Pokok, Graffiti Pers, 2011, h.2 2. Ibid. 3. Goenawan Mohammad, “Surat buat Bung Hatta”, dalam ibid., h.12 4. Goenawan Mohammad, “Pada Mulanya Adalah Komunikasi”, dalam Goenawan Mohammad, Marxisme, Seni, dan Pembebasan, Graffiti Pers, 2011, h.55 5. Goenawan Mohammad, “Seribu Slogan dan Sebuah Puisi”, ibid. h. 52. 6. Kedua proposisi itu dalam Goenawan Mohammad, “Surat buat Bung Hatta”, opcit. h.13. 7. Theodor Adorno, “The Culture Industry; Englightenment as Mass Deception”, diambil dari situs web www.marxists.org 8. Goenawan Mohammad, “Zarathustra di Tengah Pasar”, dalam Goenawan Mohammad, Marxisme, Seni, dan Pembebasan, Graffiti Pers, 2011, h.203 9. Goenawan Mohammad, “Sjahrir di Pantai”, dalam Goenawan Mohammad, Tokoh + Pokok, opcit. h.22 10. Lihat Goenawan Mohammad, ibid, h.21 11. Ibid. h.25 12. Goenawan Mohammad, “Bung Karno, 1 Juni 1945”, dalam Goenawan Mohammad, ibid.h.33 13. Goenawan Mohammad, “Suatu Hari dalam Kehidupan Pramoedya Ananta Toer”, dalam Goenawan Mohammad, ibid.
24
PROBLEMFILSAFAT
h.55 14. Ibid. h.53 15. Ibid. “Pengantar”, h.v 16. Lihat Goenawan Mohammad, “Affair Manikebu, 1963-1964”, dalam Goenawan Mohammad, Marxisme, Seni dan Pembebasan, opcit. h.25. Kritiknya terhadap karya sastra Lekra, “... soal bagaimana karya sastra itu ‘berjalan’ menuju tema yang direncanakan, atau dengan ringkas: bentuknya –seakan-akan cuma bingkai yang terpasang pada isi, cuma tumbu pewadah pesan”. Lalu apakah pesan dapat mereduksi bentuk, sebagaimana bentuk dapat mereduksi pesan? Belum dapat dijawab olehnya. 17. Goenawan Mohammad, “Realisme dan Emansipasi”, ibid. h.111 18. Gambar poster dalam Goenawan Mohammad, “Poster, Politik, Paradoks”, dalam Goenawan Mohammad, ibid. h. 235 19. Silahkan diperbandingkan antara teks “Sejarah dibentuk oleh orang-orang tak bernama. ... Tapi dalam politik pembebasan massa yang tak bernama itu... melahirkan tokoh-tokoh” [GM, Tokoh dan Pokok, h.v] “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi.” [Alkitab, Kitab Kejadian, Bab 1:1-3] 20. Goenawan Mohammad, “Tentang Semar dan si Bodor”, dalam Goenawan Mohammad, Marxisme, Seni dan Pembebasan, opcit, h.205 21. Goenawan Mohammad, “Realisme dan Emansipasi”, opcit. h.121 22. Ibid. 23. Karl Marx, The German Ideology, diambil dari situs web www. marxists.org 24. Goenawan Mohammad, “Seribu Slogan dan Sebuah Puisi”, dalam Goenawan Mohammad, Marxisme, Seni dan Pembebasan, opcit, h. 52 25. Goenawan Mohammad, “Pada Mulanya Adalah Komunikasi”, ibid. h. 57 26. Victoria E. Bonnel, Iconography of Power: Soviet Political Posters under Lenin and Stalin, University of California Press 1997, h.2 27. Alex Ross, “The Rest is Noise: Listening to the Twentieth Century”, Picador, USA, 2007, h.83 28. Ibid. 29. Francis Maes, diterjemahkan oleh . Pomerans, Arnold J. and Erica Pomerans, “A History of Russian Music: From Kamarinskaya to Babi Yar” (University of California Press, 2002), h. 39 30. Kesaksian Joesoef Ronodipuro dalam wawancara bersama penulis, tertanggal 25 Oktober 2007. 31. Keterangan ini diambil dari situs web http://www.indrani. net/index.php?q=comment/reply/29 32. Goenawan Mohammad, “Tan Malaka, Sejak Agustus Itu”, dalam Goenawan Mohammad, Tokoh dan Pokok, opcit, h.29 33. Shigetada Nishijima, ‘The Independence Proclamation in Jakarta’, dikutip dalam Harry Poeze, “Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, Jilid 1: Agustus 1945 – Maret 1946”, Penerbit Buku Obor dan KITLV, 2008, h.40 34. Aijaz Ahmad, “In Theory: Classes, Nations and Literatures”, Verso, 1992, 241
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELTEMATIS
Melacak Antropologi Filosofis dalam Seni Realisme Sosialis oleh alexander aur
Life is not determined by consciousness, but consciousness by life. Karl Marx, German Ideology
*Illustrasi: NobodyCrop.
Pada mulanya adalah pertanyaan-pertanyaan Siapakah manusia? Dari mana manusia datang? Ke manakah tujuan atau arah hidup manusia? Itulah pertanyaan-pertanyaan mendasar untuk melacak konsep antropologi filosofis (filsafat manusia) dalam sebuah sistem pemikiran. Pertanyaan-pertanyaan itu yang akan menjadi panduan untuk melacak konsep antropologi filosofis dalam seni realisme sosialis, terutama dalam seni realisme sosialis George Lukacs. Sebelum lebih jauh masuk dalam usaha melacak antropologi filosofis dalam realisme sosialis George Lukacs, mungkin muncul sebuah pertanyaan di awal tulisan ini. Mengapa yang dilacak adalah antropologi filosofis dalam seni realisme sosialis Lukacs, bukan yang lain? Ada beberapa alasan. Pertama, melalui seni realisme Lukacs sangat gencar membela keberadaan manusia. Kegencaran Lukacs itu memunculkan pertanyaan lebih lanjut: Apakah status ontologis manusia (alasan ada-nya) sehingga dengan seni realisme sosialis Lukacs gencar membela keberadaan
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
manusia? Kedua, bila membaca gagasan Lukacs mengenai seni realisme sosialis1 dan karyanya yang lain,2 kita – sekurangkurangnya saya – tidak begitu saja mendapat gambaran yang jelas dan utuh tentang antropologi filosofisnya. Ketiga, dalam konsepnya tentang seni realisme sosialis, sebagai seorang Marxis, Lukacs mendasarkan pemikirannya pada pemikiran Karl Marx dan beberapa antropolog Marxis. Oleh karena itu, dalam upaya menemukan konsep antropologi filosofis dalam realisme sosialis, selain berpijak pada pemikiran Marx tentang Materialisme Historis, saya juga mendasarkan tulisan ini pada tafsiran para antropolog Marxis tentang Materialisme Historis. Tentu dengan harapan bahwa berdasarkan tiga alasan tersebut, pertanyaan mengenai status ontologis atau alasan ada-nya manusia dalam realisme sosialis Lukacs dapat terjawab melalui tulisan ini. Selain itu pertanyaanpertanyaan dasar antropologi filosofis pada awal tulisan ini
P R O B L E M F I L S A F A T 25
ARTIKELTEMATIS
pun dapat terjawab melalui lorong-lorong seni realisme sosialis. Realisme Sosialis: dari Filsafat Sejarah Hegel ke Materialisme Historis Marx Pada bagian ini dipaparkan terlebih dahulu secara ringkas gagasan Lukacs mengenai realisme.3 Dengan uraian singkat ini, kita dapat melihat apa problem besar yang dialami manusia, yang kemudian menjadi keprihatinan sekaligus dibela oleh Lukacs sebagai seorang Marxis. Di tengah kebengisan manusia yang saling bertempur dalam gelanggang Perang Dunia sehingga awan gelap memayungi manusia modern, Lukacs membangun sebuah harapan emansipatif bagi manusia melalui seni. Ia melihat bahwa bibit-bibit emansipasi manusia sesungguhnya sudah dirintis oleh Hegel melalui gagasannya tentang sejarah (filsafat sejarah). Sejarah bagi Hegel merupakan satu momen dari gerak dialektis roh. Manusia bagi Hegel adalah suatu produk dari sejarahnya sendiri. Dengan demikian hakikat gerak sejarah terletak pada manusia. Gerak sejarah itu sendiri merupakan manifestasi dari “roh universal” di dunia. Hegel menjelaskan hal itu melalui definisinya tentang nilai pekerjaan. Nilai pekerjaan terletak pada kemampuan dari pekerjaan itu sendiri sebagai upaya manusia memanusiakan objek di luar diri manusia. Kerja menurut Hegel tersebut oleh Lukacs dipahami sebagai gerak evolusi yang niscaya, semacam gerak organik dari evolusi. Meskipun Hegel memberi fondasi yang kukuh bagi sebuah gerak evolusi tetapi bagi Lukacs, gagasan Hegel terlalu abstrak sehingga tidak memberi gambaran yang jelas mengenai gerak dialektis teori dan praktik. Dialektika antara subjek dan objek pun tidak jelas dalam filsafat sejarah Hegel. Oleh karena itu, Lukacs kemudian mengerucutkan teori seni realisme sosialis dengan bertumpu pada teori Materialisme Historis Marx. Materialisme Historis, ungkap Lukacs, mampu membantu mencari akar material dari setiap gejala sosial dengan memandangnya sebagai gerak kesatuan yang menyejarah dan dalam gerak itu hukum-hukum perkembangannya dinyatakan.4 Prinsip dasar Materialisme Historis adalah bahwa bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan manusia melainkan sebaliknya keadaan sosial manusialah yang menentukan kesadarannya. Kesadaran atau apa yang dipikirkan tidak menentukan perkembangan masyarakat, melainkan situasi konkrit masyarakatlah (manusia) yang menentukan kesadarannya.5 Berbeda dengan teori dialektika Hegel yang tidak tegas dan jelas menggambarkan dialektika teori dan praktik, antara subjek dan objek, Materialisme Historis Marx merupakan penjelasan tentang dialektika yang lebih jelas dan menggambarkan dialektika subjek dan objek, antara teori dan praktik. Materialisme Historis juga lebih mudah untuk dipraktikkan.6 Dengan kata lain, bukan pikiran yang mengungkapkan dan menegaskan ada (being) manusia, melainkan pekerjaan jasmani atau aktivitas produktiflah yang mengungkapkan ada manusia.
26
PROBLEMFILSAFAT
“Filsafat sejarah Marx merupakan ajaran komprehensif yang memperhatikan kemajuan yang dilakukan oleh usaha kemanusiaan dari sejak masa komunisme primitif sampai pada zaman kita. Sekaligus merupakan perspektif yang menunjukkan pada kita perkembangan sejarah di masa depan,” aku Lukacs.7 Salah satu gagasan kunci dalam pengakuan Lukacs atas kelebihan Materialisme Historis Marx tersebut adalah “komunisme primitif ”. Gagasan kunci itu kemudian ditafsirkan dalam bingkai antropologi Marxis oleh antropolog Marxis. Dari gagasan emansipatif yang terinspirasi dari filsafat sejarah Hegel dan dialektika teori dan praktek yang aplikatif dalam Materialisme Historis, Lukacs kemudian menempatkan ide-ide itu dalam konteks seni realisme sosialis, khususnya sastrawan realis. Sastrawan realis, kata Lukacs, mempunyai tanggung-jawab etis terhadap proses pembebasan manusia dari segala bentuk kepalsuan (kesadaran palsu). Tanggungjawab itu merupakan buah dari pemahaman sastrawan terhadap eksistensi manusia di tengah perkembangan gerak historis.8 Oleh karena itu “prinsip realisme adalah mengantar manusia berkembang menuju keutuhannya sebagai persona.”9 Seni realisme sosialis khususnya sastra, bagi Lukacs, memiliki daya untuk mengubah kesadaran manusia.10 Bahkan jauh sebelum Lukacs, Marx sudah mengatakan bahwa seni bukan sekedar mimesis realitas eksternal, melainkan lebih merupakan usaha mendorong masuk realitas tadi ke dalam tujuan-tujuan manusia. Secara alamiah manusia menjadikan aktivitas hidupnya sebagai objek kesadaran. Dalam proses bekerja, manusia membangun kodrat dan kapasitas yang ia miliki. Seperti, “seorang pemain piano,” kata Marx, “mendorong proses produksi lewat caranya sendiri, antara lain membuat kita menjadi lebih aktif maupun dengan menciptakan rangsangan guna menimbulkan kebutuhan yang baru.”11 Baik Marx maupun Lukacs, seni secara umum dan khususnya seni sastra sebagai sebuah tindakan konkrit mengemban misi mesianik atau memiliki dimensi emansipatif yakni memungkinkan manusia memaksimalkan berbagai kemampuan dasar (potensi) yang terdapat dalam dirinya dan menghasilkan sesuatu yang baru. Misi mesianik dan dimensi emansipatif itu bukan buah dari kesadaran atau produksi pikiran spekulatif melainkan tindakan konkrit manusia. Seni sebagai tindakan konkrit menghasilkan sesuatu yang lain yang konkrit pula. Kerja: Transformasi dari kera besar ke manusia Pada aras perspektif seni realisme sosialis itulah, saya akan mengeksplisitkan kemungkinan-kemungkinan antropologi filosofis yang diusung oleh seni realisme sosialis. Namun sebelum itu, saya mengedepankan perspektif antropologi Marxis atas Materialisme Historis Marx. Perspektif antropologi Marxis berikut ini mempunyai titik sambung dengan pengakuan Lukacs mengenai “komunitas primitif ” ketika ia mengomentari teori Materialisme Historis.
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELTEMATIS
Para antropolog Marxis menemukan dalam teori Materialisme Historis gagasan mengenai modus produksi sebagai basis evolusi sosial.12 Hal itu bisa dilihat dalam tulisan Engels berjudul �The Part Played by Labour in the Transition from Ape to Man� yang dimuat di dalam Dialectis of Nature. Di bawah judul tulisan itu, Engels mengulas masalah antropogenesis (asal-usul manusia) berdasarkan doktrin Charles Darwin mengenai evolusi dan Thomas Huxley mengenai relasi dekat antara manusia dan kera besar yang menyerupai manusia (anthropoid apes). Pokok permasalahan yang diulas Engels dalam artikelnya tersebut adalah perihal kerja. Kerja, kata Engels, merupakan faktor utama dalam transformasi dari kera besar ke manusia purba.13 Proses evolusi terus berlangsung sampai pada manusia neandertal. Manusia Neandertal sudah mampu memproduksi alat-alat yang terbuat dari tanduk dan memproduksi senjata yang dibutuhkannya. Manusia Neandertal yang memproduksi
sampai para Marxis generasi kemudian termasuk Lukacs di dalamnya, eksistensi manusia sebagai makhluk sosial atau manusia yang berkomunitas menjadi hal utama yang dibela. Dengan kata lain, eksistensi manusia sebagai makhluk sosiallah yang menjadi jantung antropologi filosofis dalam seni realisme sosialis. Bagaimana manusia dalam seni realisme sosialis, akan kita lihat berikut ini.
Manusia dalam seni realisme sosialis: Pembebas dan yang dibebaskan dari reifikasi Seni realisme sosialis mengemban misi emansipatif terhadap manusia, yakni pembebasan manusia dari reifikasi. Uniknya, dalam seni realisme sosialis terdapat dua hal penting yang saling berkaitan yakni keterlibatan aktif seniman (sastrawan) dalam problem yang dialami manusia (pekerja) dan manusia pekerja sebagai korban dari reifikasi. Berbeda dengan dalam seni-seni yang lain hubungan antara seniman dan penikmat seni terlepas (tak terhubungkan) satu sama lain, dalam seni realisme sosialis hubungan antara seniman (sastra) dan �penikmat seni� yakni manusia pekerja yang mengalami reifikasi .....bahwa saling menunjang satu sama lain.16 sejarah konkritlah Apa yang dimaksudkan dengan reifikasi? Reifikasi yang membentuk dan menentukan atau pembedaan adalah proses reduksi keberadaan kesadaran manusia. Salah satu poin manusia menjadi setara dengan benda-benda material (alat-alat produksi). Manusia disamakan dengan pokok dalam sejarah alat-alat produksi. Padahal, eksistensi manusia menukonkrit rut Lukacs, adalah subjek yang tidak dikuasai oleh adalah kerja. sesuatu yang datang dari luar dirinya. Manusia sejati adalah manusia dengan seluruh kekayaan dimensionKerja yang dilakukan alnya yang tidak terhambat perkembangannya oleh manusialah yang pihak-pihak dan hal-hal di luar dirinya. Tetapi eksismembentuk cara berpikir manusia. tensi manusia yang demikian mengalami proses reifikasi oleh kapitalisme melalui mekanisme dan sistem alat-alat yang dibutuhkan ini, oleh Lenin, ditafsirkan seb- produksi. Relasi sosial sejati antarmanusia dan dengan peagai masa transisi dari kawanan primitif ke komunitas primitif.14 kerjaannya menjadi hancur. Reifikasi yang menimbulkan Engels dan antropolog Marxis yang lain ber- kesadaran palsu itu, membuat manusia terasing (mengalami pendapat bahwa proses evolusi manusia yang tampak dalam alienasi) dari dirinya sendiri, sesama manusia, dan terasing evolusi fisik manusia dari kera besar ke manusia tersebut di- dari pekerjaan yang dilakukannya.17 Reifikasi telah menimdeterminasi oleh ketergantungan secara langsung pada seja- bulkan dehumanisasi. Atas dasar itu Lukacs mengonstrukrah kerja dan masyarakat.15 Dalam kerangka yang lebih luas, sikan seni realisme sosialis untuk membebaskan manusia dengan berpijak pada teori evolusi Darwin dan pemikiran dari proses reifikasi yang kapitalistik itu dan membangun Thomas Huxley tentang hubungan dekat antara manusia kembali humanitas yang sesungguhnya. dan kera besar, Marx, Engels dan antropolog Marxis hen- Dalam proses pembebasan manusia pekerja dari dak mengatakan bahwa sejarah konkritlah yang membentuk reifikasi itu, seniman realis harus terlibat aktif di dalam dan menentukan kesadaran manusia. Salah satu poin pokok problem sosial yang dialami oleh manusia pekerja. Aktividalam sejarah konkrit adalah kerja. Kerja yang dilakukan tas seni sang seniman realisme sosialis merupakan bentuk dari pemahamannya terhadap eksistensi manusia di tengah manusialah yang membentuk cara berpikir manusia. Sebagai seorang Marxis, Lukacs dalam mengon- perkembangan sejarah. Seniman realisme sosialis sebagai struksikan gagasan seni realisme sosialis tidak melepaskan pembebas mempunyai tanggung jawab etis terhadap probdiri dari persoalan mengenai kerja. Di balik teropongnya lem keterasingan yang dialami oleh manusia akibat reifikasi. terhadap persoalan kerja, hal pokok yang mau dibela oleh Tanggung jawab etis itu datang dari dalam diri seniman. Lukacs melalui seni realisme sosialis adalah eksistensi ma- Itu berarti seniman sungguh-sungguh masuk dan terlibat nusia. Eksistensi manusia sebagai makhluk sosial menjadi dalam denyut persoalan manusia pekerja. Dengan demikian tekanan utama dalam seni realisme sosialis. Sejak dari Marx seniman dapat menyingkapkan kebenaran realitas sosial.18
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
P R O B L E M F I L S A F A T 27
ARTIKELTEMATIS
*Illustrasi: NobodyCrop.
”Serang realis sejati,” ucap Lukacs, ”adalah orang yang tidak hanya mampu mewujudkan atau melukiskan realitas objektif, melainkan lebih dari itu, mampu mengejawantahkan tuntutan dasariah manusia. Mereka paham bahwa kekacauan realitas objektif, urusan umum dan kepentingan tertentu yang memecah keutuhan pribadi manusia merupakan penghancuran jati diri manusia.”19 Dengan keterlibatan aktif seniman realis dengan realitas sosial, baik sebagai seniman, proses kreatifnya, dan hasil karya (karya seni) memungkinkan manusia yang tereifikasi dibebaskan dan mendapatkan kembali eksistensinya sebagai manusia utuh. Kesadaran palsu yang ditebar oleh kapitalisme dalam diri manusia yang tereifikasi hilang dan digantikan dengan kesadaran sesungguhnya: manusia menyadari dirinya sebagai sosok unik, sosok multidimensi, sosok yang hidup berkomunitas, sosok yang tak bisa disamakan dengan alat-alat produksi.
28
PROBLEMFILSAFAT
seni realisme sosialis.
Pada akhirnya adalah akhir yang terbuka (open ending) Apa status ontologis manusia sehingga seniman begitu gencar membela manusia? Pada mulanya manusia adalah sosok unik, sosok multidimensi, sosok yang hidup berkomunitas. Inilah eksistensi dasar manusia, status ontologis manusia. Tetapi kapitalisme telah mereifikasinya. Seni(man) realis mempunyai tanggungjawab etis mengembalikan manusia yang tereifikasi ke status ontologisnya. Secara samar-samar, manusia modern dalam seni realisme sosialis – sebagaimana juga yang ditafsirkan oleh para antropolog Marxis atas teori Materialisme Historis Marx – adalah evolusi dari kawanan primitif ke komunitas primitif dan berlanjut ke manusia modern. Memang sangat Darwinistik. Tetapi yang jelas adalah manusia yang dibela sejak Marx sampai para Marxis termasuk Lukacs adalah manusia historis, manusia konkrit, manusia yang bekerja, manusia yang mengalami keterasingan oleh sistem produksi kapitalistik. Tentunya kesimpulan tersebut adalah akhir yang terbuka: untuk didebat, dibantah, dan diruntuhkan, dan diganti dengan konsep yang lebih solid dan valid mengenai antropologi filosofis dalam
Desa Sukaragam, Bekasi, Jawa Barat – Desa Simbangdesa, Batang, Jawa Tengah, Juni 2011 – dalam sebuah Perjalanan Pergi. Catatan Akir:
*Alexander Aur adalah mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta. 1. Konsep seni realisme sosialis Lukacs yang menjadi acuan dalam tulisan ini adalah hasil penelitian yang dibuat oleh Ib. Karyanto. Lihat, Ib Karyanto, Realisme Sosialis George Lukacs, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama-Jaringan Kerja Budaya, 1997. 2. Karya Lukacs yang dimaksud adalah History and Class Conciousness. Dalam konteks tulisan ini, saya menggunakan edisi Indonesia yang diterbitkan oleh Ar-russ Media, Yogyakarta, 2010.
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELTEMATIS
3. Di sini tidak dipaparkan sejarah seni realisme sosialis dan langsung masuk dalam inti teori seni realisme sosialis Lihat, Ib Karyanto, opcit., hal. 52-80. 4. Bagi Lukacs, seniman realis adalah pribadi yang terus berkembang bersama lingkungan sosial yang terus berubah. Suatu karya sastra realis lahir dari pemahaman utuh tentang kondisi sosial dan kondisi individual yang tak terpisahkan. Karya sastra tidak hanya dibentuk oleh kesadaran lingkungan sosial tetapi daya untuk membentuk kesadaran. Seorang seniman realis adalah seorang humanis yang menyingkapkan kebenaran di balik kegelapan. Pemahaman seperti itulah yang menggerakkan kesadaran seniman realis dalam menciptakan karyakaryanya. Ibid., hal. 37-38. 5. Frans Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta, Gramedia, 1999, hal. 138139. 6. Ib. Karyanto, op.cit., hal. 55 7. George Lukacs, Studies in European Realism, London, Merlin Press, 1989, hal. 4. Lihat juga, Ib. Karyanto, op.cit. hal. 56. 8. Ibid., hal. 36. 9. Ibid., hal. 52. 10. Pauline Johnson, Marxist Aesthetics, London, Routledge & Kegan Paul, 1984, hal. 23. Lihat juga, Ib Karya, opcit., hal. 61. 11. Lihat, Greg Soetomo, Krisis Seni Krisis Kesadaran, Yogyakarta, Kanisius, 2003, hal. 30-31. 12. Meskipun para antropolog Marxis Soviet mempunyai tafsiran yang berbeda-beda perihal konsep Marx tentang modus produksi sebagai basis evolusi sosial, tetapi para antropolog tetap sepakat dengan konsep itu yang bagi mereka kemudian disebut dengan istilah “slave-holding order” atau sistem perbudakan. Lihat, C.D. Kernig (ed), Marxism, Communism & Western Society – A Comparative Encyclopedia Vol. 1, New York, Herder & Herder, 1972, hal. 124. 13. Ibid., hal. 125. 14. Kerja menjadi aspek penting dalam artikel Engels tersebut. Tentu hakikat kerja yang dimaksudnya sama dengan yang diungkapkan Marx, “Baik alam objektif maupun alam subjektif yakni kemampuan-kemampuan alami manusia, secara langsung tidak sesuai dengan hakikat manusia.” Meskipun manusia merupakan bagian dari alam, tetapi manusia tidak begitu saja mendapat sesuatu dari alam. Manusia harus menyesuaikan diri dengan alam. Sedangkan hewan langsung menyatu dengan alam. Bagi Marx, hewan juga memproduksi, misalnya membuat sarang sebagai tempat tinggal. Tetapi hewan memproduksi sesuatu yang secara langsung dibutuhkannya. Hewan memproduksi berdasarkan desakan naluri. Hal itu berbeda dengan manusia, yang memproduksi sesuatu bersifat universal dan bebas dari kebutuhan fisik. Dalam memproduksi, manusia bekerja secara bebas dan universal. Bebas karena manu-
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
sia dapat bekerja meskipun tidak menikmati langsung (misalnya membuat sepatu untuk dijual). Universal karena di satu sisi manusia dapat menggunakan berbagai cara untuk tujuan yang sama – misalnya manusia dapat membuat rumah dengan bahan dari kayu, tanah, rumput – dan di sisi yang lain manusia dapat menghadapi alam tidak semata-mata untuk memenuhi satu kebutuhan – misalnya memotong kayu untuk kaki meja, pentungan, patung, dsb. Karena aspek universal dan bebas itu maka hanya manusia yang dapat berproduksi menurut hukum keindahan. Karena manusia sebagai subjek pekerjaan, kata Marx, maka pekerjaan yang dijalankan harus merupakan objektivasi manusia. Manusia harus mengobjektivasi dirinya dalam pekerjaan yang dijalankan. Manusia tidak boleh terasing dari pekerjaannya melainkan mengalami kebahagiaan melalui pekerjaannya. Pekerjaan yang dijalankannya menjadi bukti mengenai realitas hakikat manusia. Dengan demikian manusia dapat melihat bakat dan kemampuan dirinya dalam hasil pekerjaannya. Itu pulalah yang membuat manusia merasa bangga dan bahagia. Itulah makna dari pekerjaan bagi manusia sebagai subjek pekerjaan. Lih., Franz Magnis-Suseno, opcit. hal. 89-92. 15. C.D. Kernig, opcit., hal. 126. 16. Saya membayangkan bahwa di luar seni realisme sosialis, seorang penikmat seni hanya berhubungan dengan hasil dari karya seni dan hubungannya dengan seniman (pembuat karya seni) terlepas sama sekali. Misalnya, si A yang membaca sebuah novel karya novelis (sastrawan) B, si A berhadapan dengan novel dan tidak punya hubungan secara langsung dengan B sebagai pengarang. Si A tidak terlibat dalam aktivitas si B. Berbeda dengan dalam seni realisme sosialis, seniman (sastrawan) realisme sosialis terkait erat (terlibat aktif) dengan manusia pekerja (buruh, proletar) yang dibelanya – saya menyebut manusia pekerja ini sebagai ”penikmat seni” yakni manusia yang mengalami secara langsung proses pembebasan dari seniman realis – melalui karya seni. Keterlibatan aktif itu untuk menangkap gerak historis yang dialami oleh manusia pekerja. Dalam konteks Indonesia, Pramoedya Ananta Toer bisa menjadi contoh mengenai keterlibatan aktif seniman realisme sosial dengan persoalan-persoalan yang dialami manusia. Tentang Pramoedya ini bisa dibaca secara lengkap dalam, Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2006. 17. Problem reifikasi bisa dibaca secara lengkap dalam buku Lukacs berjudul History and Class Consciousness. 18. Ib. Karyanto, opcit., hal. 36. 19. Kutipan ini saya cuplik dari terjemahan Ib. Karyanto dalam bukunya yang diacu di atas. Ib Karyanto menerjemahkan dari karya George Lukacs, Studies in European Realism, London, Merlin Press, 1989.
P R O B L E M F I L S A F A T 29
ARTIKELNONTEMATIS
GLOBALISASI DAN MONOPOLI BUDAYA
*Illustrasi: NobodyCrop.
oleh BERTO TUKAN
Pendahuluan Globalisasi tak pelak lagi adalah sumbangsih dari sistem kapitalisme (secara ekonomi) yang seiring sejalan dengan sistem liberalisme (manifestasinya dalam politik). Anthony McGrew menulis bahwa globalisasi merupakan warisan dari Pencerahan. Yang paling menonjol dari pemikiran Aufklaerung yang mencita-citakan bersatunya semua makhluk manusia dalam satu tujuan dan kepentingan adalah Marxisme dan juga Liberalisme. Keduanya, Liberalisme dan Marxisme, juga punya tendensi untuk menghancurkan sistem tertentu, yang juga warisan Aufklaerung, yakni kapitalisme untuk Marxisme dan negara untuk Liberalisme.1 Sejarah mencatat bahwa di akir abad XX Uni Sovy-
30
PROBLEMFILSAFAT
et, sebagai representasi sistem komunisme, runtuh; bisa dikatakan kalah dalam Perang Dingin. Dengan demikian, kapitalisme yang bergandengan dengan liberalisme pun melanglang buana tanpa penghalang yang berarti. Inilah kenyataan yang lantas oleh Francis Fukuyama dipandang sebagai akir sejarah yakni kapitalisme dan liberalisme. Kenichi Ohmae mengkritik pemikiran Fukuyama ini. Menurutnya, yang berakir adalah negara-bangsa. Contoh kecil hilangnya kekuatan negara bangsa adalah nasib seorang masyarakat kecil di pusat kota Jakarta tidak lagi ditentukan, secara penuh, oleh negara melainkan oleh salah satu perusahaan mobil Jepang yang hendak membangun show room di tempat tinggal si masyarakat kecil itu.2 Lebih lanjut, Kenichi Ohmae menulis:
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELNONTEMATIS Sejarah belum berakhir, justru kini makin banyak orangorang yang ingin ikut ambil bagian dalam sejarah. Namun, ketika mereka mencari perlindungan dan sumber-sumber ekonomi, ternyata negara sudah tidak berperan. Ternyata penentu dalam perekonomian pasca-sosialisme ini adalah kelompok-kelompok ekonomi lintas negara seperti OPEC, G7, ASEAN, APEC, NAFTA, EU. 3
Munculnya organisasi-organisasi bertaraf dunia yang mengatur aspek-aspek penting memandulkan peran negara. Bukan hanya peran negara yang mulai memudar oleh globalisasi yang ditandai juga, selain dengan bermunculannya organisasi-organisasi bertaraf internasional, oleh muncul media massa dan telekomunikasi yang ‘memampatkan’ ruang-waktu seperti yang dikatakan David Harvey. Marhsal McLuchan menyebutkan dunia akan menjelma sebuah kampung global ketika menyambut munculnya televisi di era 1950-1960an. Betapa tidak. Stasiun televisi di Amerika misalnya bisa ditonton oleh penduduk di Afrika. Melalui media yang mampu menjangkau keseluruhan dunia inilah monopoli budaya yang dimulai dengan imprealisme budaya dimungkinkan. Dalam tulisan ini, kita akan mencoba pertama melihat hubungan antara globalisasi, imprealisme budaya, dan homogenisasi budaya. Di bagian ini juga kita akan membedakan budaya yang hendak kita bahas4. Kedua kita coba memeriksa beberapa factor yang memungkinkan terjadinya imprealisme budaya. Dan, ketiga, bagian penutup, akan kita coba mengkritisi permasalahan monopoli budaya ini. Imprealisme Budaya dan Homogenisasi Budaya Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa kemajuan teknologi pada akir abad XX adalah juga salah satu penyebab berkembangnya globalisasi. Seperti yang dikatakan Marshal McLuchan bahwa dengan adanya televisi yang siarannya mampu menjangkau seluruh dunia, tentu saja dengan bantuan satelit yang kehadirannya juga turut mendorong imajinasi tentang globalisasi, dunia bisa berubah menjadi sebuah kampung global. Artinya, setiap manusia di seluruh dunia bisa menonton sebuah tayangan yang sama dari sebuah stasiun televisi yang sama pula. Dengan demikian imajinasi semua manusia di seluruh dunia bisa menjadi sama, seturut apa yang ditawarkan pada mereka oleh media yang mereka konsumsi bersama itu. Penjajahan atau imperealisme budaya pun sangat dimungkinkan dengan munculnya media baru ini. Dengan kemampuannya untuk memberikan satu tawaran pada seluruh umat manusia, media baru ini menjelma senjata dengan kemampuan menyebarkan budaya tertentu dan penundukan terhadap budaya tertentu pula. Dunia tak menunggu lama untuk membuktikan ini. Setelah televisi muncul, tak sampai setengah abad kemudian benih-benih imperelaisme budaya itu sudah mulai terasa. Adalah serial televisi Dallas dari Amerika yang pertama kali menjadi penanda imperealisme budaya pada 1980-an. Menurut penelitian oleh Ien Ang, Dallas menjadi tontonan kala itu untuk wilayah dari
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
Turki sampai Australia dan dari Hongkong sampai Inggris Raya.5 Dallas memang sebuah opera sabun yang menghibur dan dengan demikian sangat digemari oleh masyarakat. Namun demikian, bahkan seorang Menteri Kebudayaan Prancis, Jack Lang, mencapnya sebagai simbol dari imperealisme budaya Amerika yang bukan saja sebagai bukti semata dari imperealisme itu, melainkan juga sebuah ancaman atas budaya nasional yang otentik dari budaya Amerika yang komersil.6 Padahal, untuk beberapa kalangan—dari budaya lain selain budaya Amerika Serikat—menganggap budaya Amerika sebagai budaya dengan moralitas yang minim7. Maka menjadi wajarlah apa yang ditakutkan oleh seorang menteri dari Trinidad pada 1980-an: Jika kita pergi ke St. Vincent atau Grenada, kita akan mendapatkan akses ke sekitar delapan stasiun TV Amerika. Akibatnya benar-benar merupakan malapetaka bagi negeri-negeri itu. Benar-benar naas bahwa ada negara yang tak kuasa menyediakan panduan moral seba dunia luar—dengan memakai kemajuan teknologinya—telah mengambil alih peran tersebut. Ini seperti orang mabuk yang menyetir mobil.8
Kutipan ini menunjukan pula bahwa bagaimana peran negara-bangsa tertentu kehilangan kekuatannya. Namun demikian, di dalam proses globalisasi itu sendiri ternyata ada negara-bangsa lain yang menguat perannya dan lantas menyusup masuk dengan kekuatan kemajuan teknologinya untuk mengambil alih peran negara-bangsa yang lain. Di satu sisi ada negara-bangsa yang melemah namun di sisi lain ada negara-bangsa yang semakin menguat dan mengambil alih tugas dan peran negara-bangsa yang melemah tersebut. Jika masyarakat St. Vincent atau Grenada mampu menolak tawaran dari stasiun TV Amerika, tentu kekhawatiran di atas tak lantas menjadi sebuah masalah. Apakah berarti masyarakat di kedua tempat itu tidak punya pilihan lain ataukah memang kesadarannya belum muncul untuk melihat adanya bahaya pada kebudayaan mereka sendiri dengan kemunculan stasiun TV Amerika? Ternyata hal ini pun tidak beralasan. Bahkan seorang Ien Ang yang tengah mengadakan penelitian terhadap dampak buruk Dallas di Eropa pun tak kuasa menolak tawaran kenikmatan yang ada pada opera sabun tersebut, meski pun dia sebagai peneliti tentu tahu ideologi apa yang dibawa oleh Dallas.9 Rupanya, ada semacam bentuk pertarungan antara ideologi dari Dallas dengan kenikmatan yang dikandungnya. Ang lantas menyimpulkan bahwa kritik budaya pada titik ini tidak memperhitungkan kemampuan penonton—non-akademis—untuk mengkompromikan ideologi yang dikandung Dallas dengan kenikmatan yang ditawarkannya. Kebebasan audiens dalam menafsirkan teks di televisi tidak serta merta mengkerdilkan peran televisi sebagai senjata untuk menghomogenisasikan budaya dunia.
P R O B L E M F I L S A F A T 31
ARTIKELNONTEMATIS
Cees Hamelink menunjukan bahwa homogenisasi budaya ini berkaitan erat dengan proses kapitalisme global. Homogenisasi budaya atau sinkronisasi budaya ini bukanlah hal yang baru. Dalam sejarah hal ini sudah terjadi di antara budaya-budaya di dunia. Namun, homogenisasi yang terjadi secara keseluruhan sendiri, seperti yang terlihat dalam era globalisasi ini, adalah sesuatu yang baru.10 Contoh untuk hal ini bisa kita lihat pada kehidupan di Indonesia sendiri di mana dahulunya Indonesia terpengaruh misalnya oleh budaya Islam. Namun, hal serupa tidak terjadi di Thailand, misalnya. Sedangkan yang terjadi sekarang adalah di Indonesia orang menonton dan menjadikan gaya hidup dari MTV sebagai bagian dari hidup mereka, begitu juga di daerah-daerah atau negara-negara lainnya. Dan hal ini terjadi di setiap negara. Hamelink melihat hal ini sebagai bahaya terhadap keragaman budaya.11 Hal ini tampak pula dalam komentar Hamelink atas peraturan-peraturan yang dibuat oleh organisasi-organisasi internasional yang tidak berpihak terhadap keragaman budaya ini. Demikian tegasnya, “…meliberalisasikan perdagangan dunia hingga ke titik yang membuat negara yang lebih kecil dan lebih miskin sumber dayanya membuka pasar-pasar jasa mereka kepada orang luar, menstimulir perkembangan gaya hidup konsumeristik dan mengikis kapasitas kompetitif industri-industri kebudayaan milik masyarakat sendiri”12.
Bagi Hamelink, praktek-praktek sinkronisasi budaya yang dilakukan dengan cara-cara yang demikian adalah usaha pendominasian budaya yang dilakukan “di belakang punggung masyarakat”, tanpa diketahui oleh masyarakat13. Pemahaman soal sinkronisasi budaya yang ditawarkan Hamelink ini dikritik oleh John Tomlinson. Baginya, Hamelink melihat budaya sebagai sesuatu yang otonom. Sedangkan menurut Tomlinson sendiri, kegagalan budaya untuk mempertahankan keaslian bentuknya bisa juga dipandang sebagai cara beradaptasi ke dalam sebuah lingkungan baru yaitu lingkungan kapitalisme. Lebih lanjut, Tomlinson menyatakan bahwa harus dibedakan antara menolak sesuatu yang seragam dan buruk dari penyebaran keseragaman itu sendiri.14 Di sini kita melihat bahwa argumentasi Tomlinson berangkat pada kenyataan bahwa keadaan dunia sekarang memang berada dalam sistem kapitalisme dengan konsekuensi-konsekuensinya sendiri; adanya korporasi multinasional, persaingan pasar, dsb. Tomlinson membedakan antara perluasan sebuah jenis budaya tertentu yang pada dirinya memiliki sifat buruk dalam keseragamannya dan keniscayaan terjadinya keseragaman ini yang dikarenakan sebagai pengadaptasian terhadap sistem kapitalisme. Menurut saya, Tomlinson melihat keadaan sekarang yang sudah ada di bawah sistem kapitalisme dan karenanya budaya
*Illustrasi: NobodyCrop.
32
PROBLEMFILSAFAT
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELNONTEMATIS
yang menyeragam sebagai adaptasi atasnya adalah niscaya dan harus demikian. Sedangkan Hamelink menurut saya masih melihat adanya ketidakadilan dari sistem kapitalisme ini yang menggunakan berbagai cara untuk menyeragamkan budaya. Hamelink pada titik ini menurut saya melupakan satu cirri kapitalisme sendiri yakni persaingan antara sesama kapital dan kapital yang lebih kuat akan menelan kapital yang lebih lemah. Maka, jika globalisasi dimungkinkan oleh sistem kapitalisme (liberalisme) yang merajai dunia, usaha imprealisme budaya dari budaya sang kapital yang lebih kuat terhadap sang kapital yang lebih lemah niscaya terjadi. Homogenisasi budaya lantas terjadi ketika imprealisme budaya yang dilakukan kapitalimse yang kuat ke wilayah-wilayah kapitalimse yang lemah atau pun wilayah lainnya terjadi dan berhasil denga gilang gemilang. Contoh serial televisi Dallas menunjukan bagaimana imprealisme budaya ini sangat bisa berhasil gemilang. Homogenisasi budaya adalah penyeragaman budaya. Dengan logika kapitalisme yang disebutkan di atas berarti, budaya yang dibawa kapitalisme kuat mengalahkan budaya lainnya. Mengalahkan di sini haruslah dipahami sebagai menundukan, menonaktifkannya bila bertentangan, dan atau yang lebih mungkin dari itu adalah mengambil budaya lain tersebut menjadi miliknya. Namun demikian, akan menjadi rumit ketika kita membicarakan budaya dalam makna niscaya seragam yang dimaksudkan Tomlinson ini. Maka, bagian berikutnya dari tulisan ini akan membahas budaya sebagai komoditi budaya saja. Fakor Penunjang Imprealisme Budaya Ada beberapa faktor yang bisa disebutkan sebagai penunjang imprealisme budaya. Di tempat pertama kita bisa menyebutkan kemajuan teknologi komunikasi15 dan informasi serta hiburan mempunyai kemampuan menjangkau keseluruhan dunia sebagai penyebabnya. Namun tentu tak mungkin hanya teknologi tersebut saja tanpa dukungan dari hal lainnya. Yang harus dilihat di sini adalah peranan organisasi-organisasi taraf dunia mengatur media-media baru itu. Atau dengan kata lain, bagaimana kebijakan politik dunia menyikapi media-media baru ini. Selain organisasi-organisasi ini, kita juga harus melihat peran dari korporasi-korporasi media berskala multinasional yang sering bermain di balik organisasi internasional tersebut. Dan hal berikutnya yang penting adalah bagaimana menjelmanya budaya sebagai sebuah bentuk komoditas baru. Kita akan masuk pada masalah korporasi berskala internasional. Korporasi-korporasi media berskala inter-
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
nasional tentu saja membutuhkan isi bagi bentuk-bentuk media berteknologi baru ini. Maka korporasi internasional membutuhkan banyak konten untuk diisi di sana. Salah satu cara yang ditempuh korporasi internasional untuk mendapatkan sebanyak mungkin stok konten untuk media mereka adalah melakukan merger. Menurut mereka, merger bukan dalam tujuannya hanya sebagai merebut pasar namun lebih dari itu adalah invetarisir di bidang intelektual dan ekspresi kreatif yang merupakan komoditi paling berharga di abad XXI.16 Merger ini pada akirnya menciptakan hanya beberapa konglomerasi yang menguasai pasar budaya dunia secara keseluruhan. Kekuasaan mereka ini berdasarkan pada hak cipta yang mereka miliki dan lusanya jangkauan media yang mereka miliki. Dengan demikian, produk-produk budaya yang hak ciptanya ada di tangan mereka atau yang mau diserahkan kepada tangan mereka sajalah yang ditawarkan sebagai konsumsi pada para penikmatnya yang mencakup seluruh dunia. Hak Cipta ini sekarang lebih dikenal dengan sebutan HAKI (Hak Kekayaan Intelektual), terjemahan dari IPR (Intellectual Property Right). Penguasaan terhadap HAKI menjadi sesuatu yang sangat menguntungkan. Karena, berdasarkan data dari IIPA17 tahun 2002 bahwa pendapatan USA dari industri HAKI ini mencapai 7,75 persen dari pendapatan kotor USA yang berarti ia lebih tinggi dari industri makanan, mesin, dan industri elektronik.18 Menurut Goldstein, hak cipta ini berhubungan dengan uang yakni dalam merencanakan dan memasarkannya diperlukan uang yang besar. Selain itu juga hak cipta menyiratkan membuka peluang bagi orang lain untuk memperbanyak dan menyebarkannya demi uang, di samping tujuan utamanya untuk melarang pihak lain menebarkannya.19 Hak Cipta dengan demikian seperti melegitimasi kekuasaan pihak-pihak tertentu dalam ranah komoditi budaya. Smiers menulis demikian, “kebanyakan kreasi artistic dari masa lalu dan masa kini semakin menjadi hak milik para konglomerasi budaya yang jumlahnya terbatas, yang dengan satu dan lain cara selalu berusaha menyodorkan muatan kebudayaan milik mereka kepada kita20.� Siapakah yang bertanggung jawab atas munculnya HAKI ini? Tak lain dan tak bukan adalah WTO, sebuah organisasi internasional bentukan PBB. Di sini kita melihat betapa organisasi internasional ternyata memang benar-benar turut melanggengkan atau ikut adil menciptakan sebuah keadaan yang memungkinkan imprealisme budaya. UNESCO dan Komisi Dunia PBB menyatakan bahwa TRIPs (perjanjian hak kekayaan intelektual buatan WTO, “telah menyebabkan reorientasi tidak kentara hak cipta sehingga menjauh
P R O B L E M F I L S A F A T 33
ARTIKELNONTEMATIS
dari perspektif pencipta menuju perspektif yang berorientasi dagang.�21 Demikianlah, kita melihat bahwa munculnya bentuk-bentuk media komunikasi, informasi, dan hiburan yang diakibatkan kemajuan teknologi mewabah penggunaan di dunia pertama-tama dimungkinkan oleh adanya konglomerasi-konglomerasi taraf internasional yang menjadikan mereka sebagai komoditi. Setelah perangkat-perangkat ini menjadi milik masyarakat dunia, korporasi taraf internasional yang menguasa jejaring-jejaring itu membutuhkan banyak simpanan konten yang dapat digunakan untuk terus mengisi jaringan mereka sehingga tawaran konsumsi pada masyarakat selalu ada. Maka itu, mereka lantas mengumpulkan sebanyak mungkin hak kekayaan intelektual dan hak ekspresi kreatif. Di titik ini kita melihat bahwa korporasi yang punya modal kuat akan mengumpulkan sebanyakbanyaknya dan memberikan pada konsumen sesuai politik ekonomi mereka. Maka, monopoli budaya adalah monopoli dari konglomerasi-konglomerasi ini yang membuat komoditi-komoditi di dunia menjadi seragam. Dan kebijaksanaan HAKI yang merupakan produk WTO, sebagai sebuah organisasi politik internasional, melegitimasi dan melancarkan jalan monopoli ini. Penutup Globalisasi menciptakan monopoli budaya ini haruslah lebih dilihat pada budaya dalam pemahaman sebagai komoditi budaya. Monopoli di sini dipahami bahwa konsumsi budaya manusia bumi semakin lama ditentukan oleh korporasi-korporasi tertentu yang bertaraf internasional. Walau pun demikian bisa jadi pemaknaan atas tawaran itu tidak sepenuhnya di bawah kontrol konglomerasi-konglomerasi itu. Selain adanya konglomerasi internasional dengan kekuatan capital mereka yang besar, monopoli budaya ini pun didukung pula oleh corak politik internasional yang berfahamkan liberalisme. Secara praktis, kebijaksanaan WTO, salah satu organisasi internasional, telah menunjukan keberpihakannya pada konglomerasi internasional dengan demikian turut menciptakan adanya monopoli budaya ini. Keduanya ini mengada lantaran adanya penciptaan komoditi baru di awal abad XXI yakni hak kekayaan intelektual dan ekspresi kreatif. Monopoli budaya bisa saja dipandang sebagai sesuatu yang pasti terjadi ketika kita melihat dunia memang dikuasai oleh kapitalisme dan liberalisme. Namun, hal ini justru menyimpan ketidakadlian yang tersembunyi. Namun
34
PROBLEMFILSAFAT
di sini juga nyata ciri kapitalisme yakni adanya monopoli terhadap keragaman lantas dilepaskan pula pada konsumen komoditas budaya yang beragam sehingga terciptalah keberagaman komoditas yang ditawarkan pasar namun sesungguhnya itu berada pada monopoli beberapa pihak saja. Selain itu, karena adanya monopoli, maka yang terjadi juga adalah komoditi budaya yang tidak masuk atau tidak menjadi bagian dari milik mereka akan tak mendapatkan apresiasi yang luas. Ketidakadilan yang lain adalah system hak cipta atau HAKI yang lebih menguntungkan pihak ‘distributor’nya, dalam hal ini para konglomerasi, dari pada para penciptanya, intelektual, seniman, dsb. Catatan Akir:
1. Anthony McGrew dalam Anthony McGrew, Stuart Hall, dan David Held (eds.), Modernity and Its Future: Understanding Modern Societies, (Polity Press dan Open University, 1992), 62. 2. Adeline M. Tumenggung, Laba-laba Media: Hidup dalam Galaksi Informasi Menurut Pemikiran Manuel Castells, (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2005), 32. 3. Sebagaimana dikutip dalam, Adeline M. Tumenggung, ibid. 4. Budaya sangat luas cakupannya. Maka dalam tulisan ini hendak dikerucutkan pada soal budaya sebagai komoditas. 5. John Tomlinson dalam Frank J. Lechner dan John Boli (eds.), The Globalization Reader, (Oxford: Blackwell Publisher, 2000), 307. 6. John Tomlinson, ibid. 7. Hal ini dikatakan oleh misalnya Irving Kristol, sebagaimana ditulis oleh Joost Smiers, Art Under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi, penj. Umi Haryati, (Yogyakarta: INSISTPress, 2009), 51. 8. Sebagaimana dikutip dalam Joost Smiers, ibid. 9. John Tomlinson, 308. 10. John Tomlinson, 311-312. 11. John Tomlinson, ibid. 12. Sebagaimana dikutip dalam Joost Smiers, 261 13. John Tomlinson, 313. 14. John Tomlinson, 314-315. 15. Setelah televisi pada tahun 1950-an, muncul beragam bentuk media baru dengan muatan hiburan seperti games komputer, gadget, video jukebox,dll. 16. Joost Smiers, 90. 17. IIPA: International Intellectual Property Alliance. 18. Ignatius Haryanto dalam J. B. kristanto, Bre Redana, Nirwan A. Arsuka (eds), Bentara: Esei-esei Pilihan 2004, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), 516. 19. Ignatius Haryanto, 515. 20. Joost Smiers, 91. 21. Joost Smiers, ibid.
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELPOLITIK
PERCAYA KEPADA MASSA (2)
Perihal ‘Produksi dan Reproduksi’ Perlawanan Rakyat oleh ANOM ASTIKA
Setelah Sekian kali Mengenang Peristiwa 27 Juli 1996 Kawan, Aku tidak pernah terlalu yakin, apakah semua yang hebat sebagai tauladan perjuangan Kiri di periode Orde Baru kan menjadi inspirasi atau bahan pelajaran bagi pengembangan gerakan Kiri di saat sekarang. Pun aku tak pernah yakin, apakah gelombang 20.000 massa PDI Megawati yang berhasil menghantam barikade Kostrad di seputaran Gambir-Monas, 20 Juni 1996, bisa terulang kembali. Yang pasti aku yakini selalu berulang, adalah kehadiran kaum Kiri di tengah gejolak perlawanan rakyat. Yang aku ingat pasti pada tanggal 27 Juli 1996, semua jajaran pimpinan Partai Rakyat Demokratik, beserta ormas-ormasnya, berada di tengah massa yang siap berlaga menantang barikade rejim Orde Baru. Sesuatu yang wajar, walau banyak orang melihatnya heroik, dan memang demikian keharusan dan tugas kaum Kiri di manapun mereka berada. Realitas yang tersedia pada saat itu memang sudah menyediakan ruang bagi kaum Kiri untuk menyerang dan diserang, bertahan dan diburu, hingga akhirya disiksa dan dipenjarakan sampai dengan periode Reformasi dimulai. Realitas yang tersedia pada saat itu, tidak banyak memberikan pilihan kecuali berpihak kepada rakyat yang dizalimi hak-hak politiknya. Kini situasinya berbeda. Rejim Soeharto sudah lengser, dan ruang demokrasi terbuka di mana-mana. Kekuasaan tak lagi terpusat pada satu sudut penguasa di atas sana, melainkan meragam-ragam dan menyebar baik di tingkat nasional, maupun di tingkat lokal. Pertarungan perebutan kekuasaan pun turut meragam dan menebar dari tingkat kota hingga ke tingkat desa. Realitas ekonomi politiknya pun berlainan dengan yang berlangsung pada periode Orde Baru. Ada banyak pengelompokan kekuatan-kekuatan ekonomi nasional–internasional. Ada banyak mekanisme pertarungan ekonomi legal maupun ilegal yang tak mudah dideteksi. Ada begitu banyak informasi dan
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
pengetahuan yang diproduksi oleh berbagai macam kekuatan modal. Ada begitu banyak kekuatan politik yang pro kekerasan. Ada begitu banyak konflik-konflik politik yang horisontal maupun yang struktural baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Semuanya melahirkan kebudayaan, atau bahkan kesadaran politik masyarakat yang tak ditemui pada periode yang lalu. Ada sebagian masyarakat yang muak dengan realitas reformasi, dan kembali mencitacitakan kehidupan di periode Orde Baru. Ada sebagian masyarakat yang tak terlalu peduli dengan realitas politik apa yang sedang terjadi, tetapi lalu melihat politik sebagai sarana hiburan maupun sarana mencari tambahan penghasilan. Pun ada sebagian masyarakat yang terus memikirkan apa jalan keluar dari segala macam situasi buruk yang diakibatkan oleh Reformasi. Sehingga dalam keadaan yang demikian, orientasi dan kemudian pemikiran politik seseorang menjadi tidak mudah untuk dirumuskan, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh kelompok sosialnya. Bahkan tidak mudah juga untuk membangun sebuah organisasi politik yang alternatif, dan memiliki daya pukul yang kuat. Namun, selalu saja kau ajukan debat dari konsepkonsep politikmu yang rusuh. Sungguh tak menyenangkan tuk didengar. Tak cukup pula untuk sekedar membuka ruang diskusi. Seolah-olah di hadapanmulah semua orang harus tegas pilihan politiknya: mendukung A atau mendukung B. Politik seolah-olah dimulai dari pilihan keberpihakan. Sungguh ku tak mengerti dengan apa yang terjadi pada perabaanmu atas hidup yang tak bergerak ke luar dari tempurung penilaian apakah seorang kawan berkata-kata lurus atau bengkok. Tapi barangkali itu kan redakan kerinduanmu terhadap keluhuran budi pekerti banyak orang di sekeliling derai-derai kesedihanmu. Entah mungkin yang ada di benakmu sebatas, terka, terka, dan terka di mana selulit dan selilit perjuangan ini bermula dan berakhir. Tak ubahnya rata-rata imam-imam pemuka agama yang cara pandang sejarahnya sebatas awal dan akhir, alfa dan omega,
P R O B L E M F I L S A F A T 35
ARTIKELPOLITIK
*Joseph Cornell: Song Title Lunar Bottle, 1933
kelahiran dan kematian, yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah, dan semua yang berada di luar itu, bukanlah politik, bukanlah elan perjuangan itu sendiri. Tampaknya kunyahmu akan abjad, kata, dan kalimat kian terpancang pada tafsir-tafsir aneh tanpa fakta sejarah. Hingga sisa daging kebencian yang lalu menalangi liur ucap penuh dengki, agar dendam pantang henti. Sampai tiba kerangka kuasa yang tak layak bagi siapapun demi kerajaan pualam buah duri dalam daging kerusuhan berpikirmu. Tumpaslah kau di senandung dawai-dawai yang tak malu bersalam-salaman dengan keraguan dan kepastian. Tumpaslah kau, karena dialektika bukanlah sekedar soal memilih ataupun keberpihakan. Kesanku, seusai ku terima beberapa suratmu duatiga bulan lalu, dan ku baca berulangkali beberapa hari terakhir, kau sudah selesai berpikir. Itu saja. Menatap Langkah-langkah Dansa Tango Al Pacino
36
PROBLEMFILSAFAT
Kini sekedar terang dari lapang ruang peninju pikiran-pikiran rusuhmu. Pertama, sepanjang aku menulis kritik, tak pernah ada gurdi dalam benak tuk melubangi isi hatiku hingga keluar kata-kata ataupun bahasa yang bertujuan merendahkanmu, apalagi aktivitasmu ataupun organisasimu, semuanya tak. Kampak logika pun tak selayaknya aku tenteng-tenteng untuk menunjukkan kedigdayaan ide-ideku melawan kerusuhan berpikirmu. Tetapi sekarang aku ingin merupawankan gerak dari perjuangan kita dengan tetap menampilkan persoalan-persoalan yang muncul dalam sejarah. Apabila persoalan-persoalan ini tak direkahkan bagai bunga-bunga dari perjuangan maka kau akan lihat semua persoalan itu sebagai kegagalan, kesalahan, ketakberdayaan atau apapun yang perlu kau lihat sebagai penuh rasa penyesalan. Sesuatu yang tak boleh diulang kembali karena itu salah. Seperti yang kau katakan dalam suratmu, “perjuangan kita tidak bisa lagi mengulang-ulang kesalahan gerakan Kiri di masa lalu, namun musti menyusun langkah baru sesuai dengan kondisi kekinian�. Yah itu benar, tetapi bagaimana kalimat itu bukan sebagai sebuah seruan moral, bukan sebagai petunjuk dari orang-orang tua yang tak tertulis, tak terbahasakan, tetapi keramatnya luar biasa. Dengan kata lain, kalimatmu itu akan menjadi benar karena menurut rasio benar, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Apa itu arti dari dipertanggungjawabkan secara ilmiah? Ada metodenya, ada caranya, ada tahaptahapnya, ada pengujiannya dan ada pembuktiannya. Ia benar karena ada penyelidikan dan pengujian tertentu yang membuatnya menjadi benar, baik secara teoretis maupun secara praktis. Ia ilmiah bukan karena perkataan seseorang maka ia menjadi ilmiah. Tetapi ia ilmiah, karena ada proses yang membuatnya bisa dipelajari dan dikembangkan oleh banyak orang dan berguna untuk banyak orang pula. Sehingga ketika kau berkata tentang “Kesalahan�, itu berarti kau mengetahui dengan baik apa yang salah, apa yang membuatnya salah, dan dasar-dasar seperti apa yang dapat membuat yang salah menjadi benar. Bukan dalam arti memutarbalikkan yang salah, atau memelintir yang salah menjadi yang benar. Akan tetapi kita harus mulai berpikir bahwa yang dianggap sebagai sesuatu yang salah, itulah titik pijak menuju kebenaran. Apa yang dianggap sebagai yang kecil, tak bertenaga, serba kekurangan, itulah titik pijak menuju kebenaran. Karenanya yang lebih penting kemudian adalah membuat segala apa yang tersedia, segala apa yang ada pada kita sebagai potensi, dan bukan reruntuhan puing rasa sakit. Apakah dengan demikian aku berpikir bahwa derap perjuangan yang sudah dilakukan oleh Gerakan Kiri di Indonesia berdasar pada berbagai kelemahan yang belum dipelajari dengan baik? Aku belum berpendapat apak-
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELPOLITIK
ah Gerakan Kiri itu berdaya lemah atau kuat. Akan tetapi, yang hendak ku kemukakan adalah pada bagaimana melihat berbagai persoalan di dalam perkembangan Gerakan Kiri sebagai cara untuk merumuskan gagasan tentang Gerakan Kiri. Dalam tulisanku, Percaya Kepada Massa (1),1 telah aku kemukakan problem bahwa Gerakan Kiri hanya memiliki kemampuan menghancurkan lawan-lawan yang fenomenal, tapi tidak sampai menundukkan lawan yang fundamental. Hanya memiliki kemampuan menggulingkan rejim Soeharto, tetapi tidak cukup nafasnya untuk mendepak kapitalisme. Hanya mampu memobilisasi massa untuk menggelorakan isu sebagai tuntutan politik tetapi belum mampu merekatkan politik pada roda-roda perjuangan penggusuran kapitalisme. Ia memiliki kemampuan untuk menuntut “Turunkan/Gulingkan Soeharto” tetapi tidak berhasil menyelenggarakan pengadilan terhadap Soeharto, tidak berhasil menyita aset-aset kekayaan Soeharto, dan tidak berhasil menduduki pabrik-pabrik ataupun ladangladang ekonomi milik Soeharto. Bahkan ketika Soeharto meninggal pun, gerakan Kiri tidak mampu melawan kampanye besar “Soeharto Pahlawan Pembangunan”. Sehingga menjadi logis, ketika Soeharto sudah lengser dan menin-
mengalami serangkaian peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Bagiku pernyataan itu sebuah Kesalahan. Apabila Gerakan Kiri tidak mampu mendefinisikan siapa musuhnya secara jelas dan kongkret, itu sama artinya dengan Aktivis Kiri yang tak tahu menahu tentang berapa harga beras per kilo dan per karungnya. Dengan kata lain, sudah tidak tahu siapa musuhnya, cara mengurus masyarakat pun tak hendak diketahuinya pula. Tapi apa sebenarnya yang memungkinkan sebuah kesalahan seperti itu bisa terjadi? Apa kondisi-kondisi yang melahirkan pemahaman yang salah seperti itu? Seandainya pemahaman yang demikian sudah menjadi pemahaman umum yang lekat di benak aktivis Gerakan Kiri, bagaimana kemudian pemahaman seperti itu dapat dimanfaatkan, ataupun diolah sedemikian rupa untuk melahirkan pemikiran yang baru tentang musuh yang tidak jelas? Jawaban atas pertanyaan terakhir sebenarnya adalah petunjuk bagi kita untuk mulai mendesakkan gagasan tentang forma atau tampilan ‘tidak jelas’ yang merepresentasikan logika dasar dari kapitalisme. Sehingga yang “tidak jelas” dipahami sebagai representasi dari gerak perkembangan kapitalisme, dan karenanya ia kembali jelas, sejelasjelasnya.
“Bagaimana kemudian menjelaskan kepada masyarakat korban penggusuran misalnya, bahwa sekarang musuhnya tidak jelas? Sementara masyarakat korban tersebut mengalami serangkaian peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan.” ggal beberapa tahun kemudian, Gerakan Kiri begitu sulit menentukan lawannya, atau yang biasa dinyatakan oleh beberapa aktivis pimpinan “dulu musuhnya satu sekarang musuhnya banyak, nggak jelas lagi”. Sekarang coba kau perhatikan kalimat terakhir di muka, kan aku ulang lagi: “Dulu musuhnya satu sekarang musuhnya banyak, nggak jelas lagi”. Mari kita turunkan pernyataan tersebut dalam rumusan matematis: 1 = (x+1) + 0. Apakah angka ‘0’ di sini sebagai penunjuk ketidakjelasan dari musuh, adalah sama dengan kapitalisme? Aneh jika memang ‘ya’ jawabannya, yang mengandaikan bahwa kapitalisme adalah karunia surgawi, kalau bukan kiriman setan yang tak mudah dilacak lewat sinyal ponsel ataupun radar anti peluru kendali. Ataukah angka ‘0’ di sini adalah cara untuk menggambarkan kekuatan penindas yang maha tak tersentuh...., yang begitu sulit untuk diucapkan tetapi terasa di sanubari, dan selalu menyapa hati di kala suka maupun duka? Bagaimana kemudian menjelaskan kepada masyarakat korban penggusuran misalnya, bahwa sekarang musuhnya tidak jelas? Sementara masyarakat korban tersebut 1. Lihat, Bulletin Problem Filsafat No. 09 / Tahun I / Mei 2011.
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
Pertanyaan-pertanyaan seperti barusan inilah yang seharusnya dimunculkan ketika melihat berbagai persoalan yang muncul dalam perkembangan Gerakan Kiri. Apa sebabnya? Cara menilai sebuah peristiwa, cara memandang sebuah persoalan itu senantiasa berkembang sepanjang sejarahnya, dan banyak macam ragam titik pijaknya di setiap periode sejarah. Begitu pula dengan cara pandang seseorang terhadap dunia sekitarnya, maupun kesadaran masyarakat terhadap lingkungan RW-nya misalnya. Ada banyak aspek yang bisa membentuk cara pandang tersebut, dan representasinya di tingkat perilaku individu ataupun di dalam kesadaran masyarakat kian beragam. Sekarang mari kita ambil contoh perlawanan Rakyat Koja beberapa bulan lalu di tahun ini. Semua organisasi Kiri menyambut gembira berita perlawanan tersebut, dan sejak saat itu perlawanan terhadap Satpol PP menjadi salah satu agenda isu gerakan Kiri. Bagiku, perlawanan itu luar biasa, pada hari itu, pada hari peristiwa itu terjadi. Kesalahannya--ini tidak pernah disebut di dalam berbagai pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh berbagai organisasi Kiri di negeri ini--adalah bahwa perlawanan tersebut hanya
P R O B L E M F I L S A F A T 37
ARTIKELPOLITIK
terjadi sekali dalam satu hari tersebut, dan karenanya tidak memiliki kemampuan untuk berkembang dengan kualitas politik yang lebih maju. Kesalahannya, gerakan Kiri tidak berupaya masuk dan mengambil-alih kepemimpinan organisasional dari perlawanan rakyat Koja. Oleh karenanya, pantas lah jika disebut bahwa Gerakan Kiri adalah Gerakan KeRe, bukan karena isinya orang orang miskin, tetapi karena KEtinggalan keREta, atau mungkin Kurang pErcaya REalitas. Tapi sudahlah, anggap saja semua Kesalahan yang baru ku sebutkan, adalah ucapan dari seribu orang yang tidak tahu-menahu tentang Gerakan Kiri dengan seluruh isi perut dan tulang belulangnya. Apa yang lebih perlu diperhatikan kemudian adalah bagaimana merumuskan permasalahan dari yang dianggap ataupun disebut sebagai kesalahan. Artinya yang tampak sebagai kesalahan belum tentu adalah permasalahan; sesuatu yang membuat gerak kerja dari perjuangan itu mengalami ketersendatan. Bagaimana kemudian cara merumuskan permasalahan, dari sana pula sebenarnya dialektika itu dimulai. Tesisnya: Ada peristiwa tentang Rakyat Koja melawan. Antitesisnya bukan Rakyat Koja tidak melawan, melainkan tentang Rakyat Koja yang tidak melanjutkan perlawanan. Mengapa demikian, karena relasi tesis dan antitesis dalam pemikiran Marx sifatnya historis, dan dialektis progresif. Pemahamannya kemudian, tesis Rakyat Koja melawan bermakna atau berada dalam pengandaian bahwa ada sejarah yang membentuk kewilayahan masyarakat Koja, dan sejarah sosial masyarakat Koja yang membentuk kesadaran perlawanannya. Sehingga Tesis dalam pemikiran Marx itu sesuatu yang real, kongkret, dan politis. Tidak pernah ada Tesis dalam tulisan-tulisan Marx yang dimulai dengan kata atau kalimat tanya. Justru para filsuf mulai dari jaman Yunani Antik sampai dengan Hegel yang terus menerus menekankan bahwa yang penting di dalam pembentukan pemahaman manusia adalah pertanyaan seperti apa yang perlu dirumuskan. Apa perlu ku cuplikkan sedikit penjelasan dari karya Marx yang cukup ledak-ledakkan isi kepala para filsuf di masa itu maupun masa sekarang? Premis pertama dari semua sejarah manusia, tentunya, adalah keberadaan dari individu-inividu manusia yang hidup. Sehingga fakta utama yang perlu digariskan adalah organisasi fisik dari individu-individu ini dan hubungan-hubungan mereka dengan alam. Semua premis ini dapat diuji dengan cara yang sepenuhnya empiris2.
Dari tulisan di bab awal dari The German Ideology ini sudah jelas, bahwa Tesis itu adalah sesuatu yang riil, kongkret, dan bisa diuji secara empirik. Sehingga tidak mungkin membuat tesis ataupun antitesis dengan mengajukan pertanyaan atas realitas perlawanan rakyat Koja seperti misalnya, “apakah perlawanan rakyat Koja itu Kiri atau Kanan?� Dengan kata lain, sebagai sebuah metodologi berpikir maka tesis dan an2. Karl Marx, The German Ideology, diambil dari situs web www. marxists.org
38
PROBLEMFILSAFAT
titesis selalu dan selalu adalah pengorganisasian fakta tentang realitas masyarakat yang hidup, yang berlawan dengan cara apapun, terhadap realitas kontradiksi kapitalisme. Bagaimana kemudian realitas Tesis-Antitesis itu kemudian digambarkan? Aku akan buat sebuah cerita permisalan, bagaimana Tesis-Antitesis itu bekerja dalam kerangka metodologi berpikir, sebagaimana yang tertuang dalam cuplikan berikut: Pada tanggal 25 Maret 2011 terjadi perlawanan oleh rakyat yang tinggal di wilayah Koja, Jakarta Utara. Perlawanan ini berlangsung karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh Satpol PP. Perlawanan terjadi dalam dua gelombang. Perlawanan pertama berlangsung pukul 10 pagi hingga pukul 2 siang. Mereka yang terlibat rata rata adalah para pemuda dan anak anak pelajar yang baru pulang sekolah, berikut ibu-ibu yang berada di lokasi tersebut. Perlawanan kedua berlangsung pada pukul 2 siang hingga sore hari dan malam hari, seiring dengan pulangnya kaum lelaki Koja dari tempat kerjanya. (tesa-fakta empiris) Perlawanan ini berlangsung sengit mengingat wilayah Koja adalah wilayah penampungan kaum miskin kota yang tergusur di wilayah yang sebelumnya. Sehingga kesadaran perlawanan terhadap Satpol PP bisa dikatakan bersifat historis ketimbang insidental. Selain itu perlawanan ini juga berkait dengan rencana PT Pelindo untuk menggusur makam leluhur rakyat Koja secara sewenang wenang. (tesa-fakta historis) Lewat jeda shalat maghrib perlawanan tidak berlanjut seiring dengan hadirnya beberapa kompi aparat keamanan, berikut para pemuka masyarakat, dan kaum alim ulama. Sampai usai perlawanan itu berlangsung tidak tampak aktivitas politik lanjutan yang berlangsung di kawasan tersebut. Hanya beberapa aktivis muncul di sekitar lokasi untuk melihat -lihat bagaimana perkembangan situasi dari aktivitas perlawanan tersebut (antitese-fakta empirik). Contoh kisah di muka, adalah miniatur abal-abal dari penerapan Materialisme Historis. Sebuah upaya untuk mengidentifikasikan semua potensi perlawanan, dengan berangkat dari kondisi empirik dan kondisi historisnya untuk melihat sebab-sebab terjadinya perlawanan, dan melihat kemungkinan untuk pengorganisasian perlawanan yang lebih lanjut. Pada titik ini, irama tarian perlawanan mulai dilihat asal-usulnya, dicari bentuk-bentuk pergerakannya, untuk melihat kemana kaki dan tangan kaum Kiri dapat bergerak bersama rakyat yang berlawan. Jelas bukan pekerjaan yang mudah, dan sungguhsungguh menuntut kesabaran mendengarkan cerita rakyat. Materialisme Historis tidak mengandaikan interogasi terhadap kesadaran berpikir rakyat, tetapi mengandaikan upaya bekerja bersama rakyat, agar rakyat paham dan sadar bahwa pikirannya yang lama itu salah dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Materialisme Historis itu sesabar Al Pacino yang buta membimbing tangan, badan, dan kaki Gabrielle
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ARTIKELPOLITIK
Anwar untuk berdansa mengikuti irama dan melodi Tango dalam film Scent of A Woman3. Kulihat Terang Meski Tak Benderang Baiklah dari gambaran di muka, apa yang kemudian harus dilakukan? Sempat ku tulis sedikit corat-coret puitik untukmu: Ketika kelam mulai terkam kerinduan akan terang, tersedak-sedak ucap menutur ragu, bimbang, dan geliat resah. Tarung tawa menghias, dan cemooh dari dan untuk lawan menumpas semangat belajar; mulai detik-detik sampai ke hari-hari. Tak ayal tuntas keberanianmu. Sukmamu bagai menerawang, menarik ulur kendali layang-layang, mencari-cari angin kebenaran. Sejatinya, kau kalah, cara berpikirmu salah, anak buahmu marah. Namun pilu rasa hatimu menggantang kerak politik yang busuk parah. Apalagi yang hendak kau sembah, setelah dirimu dijadikan ruparupa serapah oleh para perindu suaka moral?
Intinya sudah saatnya kita harus mulai bicara tentang dialektika materialisme. Melihat gerak dari berbagai macam potensi, untuk melihat kemungkinan kemungkinan aktivitas politik, dan pelaksanaan dari aktivitas politik. Apakah pada titik ini kita boleh bertanya kepada rakyat: “Apakah anda setuju atau tidak untuk terlibat dalam aktivitas politik?�. Persoalannya bukan pada apakah rakyat itu setuju atau tidak terhadap aktivitas politik, tetapi gagasanmu, gagasan kaum Kiri sendiri apa tentang Perlawanan? Entah sudah berapa kali ku katakan kepadamu bahwa Aksi Massa, di dalam banyak hal adalah darah dari perjuangan kita. Darah, dalam artian, pernyataan yang paling pokok di dalam perjalanan perjuangan kita. Pernyataan yang berdekapan dengan kerangka berpikir perlawanan, yang berlaku di dalam penyelenggaraan setiap aktivitas perjuangan kita. Bahwa perjuangan kita perlu terus meyakini dan selalu diyakinkan tentang arti penting dari Aksi Massa, yang tak sekedar bermakna demonstrasi, unjuk rasa, mobilisasi massa, ataupun pengerahan massa. Akan tetapi, Aksi Massa di dalam banyak hal adalah sebuah perspektif, sebuah dasar untuk merumuskan derap perjuangan kita dengan segenap potensi, kemampuan dan keutamaan perjuangan kita. Dengan segala yang ada dalam diri kita, kecerdasan maupun keahlian, dengan segala keberanian kita
untuk melakukan hal-hal yang baru. Demikianlah, oleh karenanya, perbendaharaan pengetahuan kita kini mulai dipersiapkan untuk menangkap pengertian yang baru dari Aksi Massa. Adalah benar, jika dirimu berpendapat bahwa Aksi Massa adalah bentuk ekspresi masyarakat untuk mengajukan tuntutan-tuntutan politiknya. Benar juga, pendapatmu yang menyatakan bahwa Aksi Massa adalah usaha bersama masyarakat di dalam memperjuangkan tuntutantuntutan politiknya. Pun tidak ada salahnya, jika pendapat umum menyatakan bahwa Aksi Massa adalah sama dengan demonstrasi, unjuk rasa, pemogokan dan sebagainya. Seluruhnya dapat dibenarkan dengan satu dua alasan. Persoalannya sekarang, apabila Aksi Massa adalah seperti yang sudah diutarakan di muka, lalu bagaimana mungkin Aksi Massa itu dapat terjadi? Apa yang membuat Aksi Massa itu menjadi mungkin? Persoalan ini dapat dijawab secara teoretik maupun secara praktis. Secara teoretik di sini dapat dibangun pemahaman yang diasalkan dari pemikiran Marx. Oleh karenanya penting untuk mempelajari karyanya yang berjudul The German Ideology, atau Ideologi Jerman yang dalam salah satu bagiannya menyatakan: “Produksi kehidupan, baik dalam bentuk kerja perorangan maupun sebagai keberlanjutan hidup prokreasi sekarang muncul sebagai sebuah relasi ganda: yaitu sebagai hubungan dengan alam, dan sebagai hubungan sosial. Produksi kehidupan secara sosial dipahami sebagai kerja bersama dari sejumlah individu, lepas dari apa kondisi yang melatarinya, apa caranya atau apapun tujuannya�4
Pernyataan Marx di muka menegaskan bahwa di dalam sejarahnya manusia melahirkan, merawat, membangun kehidupan secara bersama-sama dengan manusia yang lainnya. Artinya, tidak mungkin ada kehidupan tanpa kerja bersama di antara sejumlah manusia, dan tentunya juga hubungan mereka dengan alam. Manusia tidak mungkin hidup sendiri. Ia perlu kelompok untuk dapat melanjutkan kehidupannya, dan perlu mempelajari alam agar bisa memproduksi bahan-bahan pangan. Penjelasan dari Marx di muka tentunya dapat menjadi dasar pemikiran tentang Aksi Massa. Dengan kata lain, Aksi Massa per teori menjadi mungkin, oleh karena dalam sejarahnya manusia harus berkelompok, hidup bersama, dan bekerja sama untuk mempertahankan hidupnya. Dengan kata lain, aksi massa menjadi mungkin 4. Karl Marx, op cit.
3. Silahkan lihat penampilannya di http://www.youtube.com/ watch?v=dBHhSVJ_S6A
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
P R O B L E M F I L S A F A T 39
ARTIKELPOLITIK
oleh sebab adanya kesadaran berkelompok, di dalam diri manusia sebagai bagian dari masyarakat, sebagai bagian dari upaya untuk berjuang mencapai tujuan politik produksi kehidupan. Oleh karenanya aksi massa bukan baru muncul ketika terjadi praktek penindasan oleh kapitalisme, ataupun oleh karena adanya pelanggaran-pelanggaran HAM misalnya. Pun ia tidak muncul sebagai sekedar reaksi terhadap aksi penindasan ataupun muncul seiring motto “di mana ada penindasan, di sana ada perlawanan�. Tetapi ia lahir sebagai bentuk pola relasi di antara mahluk hidup secara sosial dengan kehidupan alam. Demikian penjelasan yang berangkat dari gagasan filosofis Marx. Apa kemudian arti penting dari penjelasan yang demikian? Arti pentingnya justru terletak pada bagaimana kita membangun pemahaman tentang Aksi Massa sebagai sebuah totalitas dari gerak perjuangan perlawanan, dan bukan sebagai sebuah aktivitas yang terpisah. Ia tidak muncul dalam momen-momen tertentu, atau yang hanya serupa demonstrasi maupun unjuk rasa. Tetapi Aksi Massa lah yang merupakan logika dasar dari gerak organisasi. Apakah Aksi Massa ini sama dengan prinsip Gotong Royong? Ada benarnya. Kendati demikian, Aksi Massa adalah gotong royong yang diberi muatan konsepsi politik perlawanan, dan belum selalu gotong-royong membawa pengandaian kerja bersama dalam satu kepemimpinan politik. Sehingga jika Gotong Royong membawa semangat kerja bersama secara sukarela untuk kebersihan Kampung di satu wilayah RW, maka aksi massa, misalnya, adalah gotong royong membersihkan Kampung di satu wilayah Kecamatan secara bersama-sama, berhari-hari, untuk mengajukan tuntutan kepada negara agar menyediakan layanan sanitasi dan kesehatan yang memadai bagi rakyat. Apabila memang demikian, lalu bagaimana perspektif Aksi Massa itu dapat dikembangkan di tingkat yang lebih praktis? Dalam hal ini, aku ingin mengajak kalian mengingat-ingat kembali, bagaimana kalian mempersiapkan aksi massa, dalam arti demonstrasi atau pun unjuk rasa. Jelas, yang pertama, kalian perlu mengetahui, mempelajari persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Karena jika tidak demikian bagaimana mungkin kalian dapat mengajukan tuntutan-tuntutan politik mereka, dan atau memperjuangkan hak-hak mereka misalnya. Apa pendasarannya? Jika kita kembali pada contoh tulisan di muka maka apa yang tersedia dalam pembahasan Materialisme Historis itulah syarat untuk Dialektika Materialisme, syarat untuk adanya Aksi Massa. Artinya kalian perlu mengorganisasikan sumbersumber informasi, merumuskan permasalahan, dan menyusun rancangan perlawanan. Sumber-sumber informasi
40
PROBLEMFILSAFAT
tentang jumlah penduduk miskin di kota dan desa; tentang tingkat kesehatan rakyat; tentang pekerjaan tak menentu yang dijalani oleh rakyat; tentang tindak tindak kekerasan negara yang dialami oleh rakyat; dan segala macam bentuk informasi yang berkait dengan rancang bangun perlawanan kaum Kiri di negeri ini. Ini saja sebuah kerja besar yang tak mungkin dilakukan oleh satu dua organisasi, tetapi harus dengan kerja sama berbagai rupa organisasi. Kedua, kalian perlu berbicara dengan rakyat, berdiskusi, mencari jalan keluar bersama-sama atas persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Dengan kata lain, kalian mengorganisasikan rakyat untuk hadir dalam diskusi, maupun pertemuan untuk membicarakan persoalan-persoalan mereka. Dari dua macam kerja pengorganisasian itu, pengorganisasian informasi dan pengorganisasian massa akan bisa dilahirkan macam-macam kerja bersama, yang berujung pada dua kerja utama, yaitu kerja propaganda, dan kerja pengerahan massa. Kedua macam kerja ini tidak boleh terpisah, tetapi harus saling bahu-membahu. Kerja propaganda tidak mengandaikan hanya yang pintar saja yang bisa melakukannya, dan kerja pengorganisasian massa bukanlah kerja orang-orang yang malas baca dan menulis. Tetapi mereka yang melakukan kerja pengorganisasian massa adalah mereka yang mempropagandakan kerja-kerja bersama, dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena, akan tercipta banyak kerja, maka sudah sepantasnya kita tidak ragu melibatkan massa rakyat untuk berlibat bersama-sama dalam kerjakerja bersama. Pada titik itu, pada titik pelibatan itu maka logika Aksi Massa sudah berjalan sejak dalam pikiran, sejak dalam persiapan, dan pada tingkat pelaksanaan adalah konsekuensi logisnya. Maka dari itu kawan, ketika aku mengatakan kepada kalian Percaya Kepada Massa itu tidak berarti perjanjian utang-piutang maupun transaksi dagang. Tetapi upaya untuk mendidik massa rakyat agar mau bekerja memperjuangkan dirinya maupun lingkungannya secara bersamasama. Perjuangan kita tidak boleh berhenti hanya karena begitu banyak isu-isu politik berseliweran, yang semuanya tidak kita mengerti dengan baik. Tetapi perjuangan kita harus berupaya mencari jalan keluar persoalan-persoalan yang dihadapi oleh massa rakyat secara spesifik, dan semakin hari semakin mendesak semua isu politik yang tak mendidik ke pinggiran rawa-rawa sampah. Hingga pada akhirnya rakyat akan tahu dengan jelas dan kasat mata, siapa musuhnya yang tidak cukup disuarakan dengan slogan atau jargon Antek Neolib. Demikianlah kawan, cukupkanlah dirimu berkatakata politis tanpa makna. Jerih dan kelu nanti lidahmu tak bisa membeda-bedakan antara perkembangan, kemajuan, dan pencapaian. Terima Kasih.
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
TOKOH(POLITIK)
PATRICE LUMUMBA
Pejuang Pembebasan Afrika oleh nouval murzita
“The Congo has made me, I shall make the Congo - There is no compromise between freedom and slavery�. Patrice Lumumba dikenal dalam sejarah Afrika sebagai pahlawan nasional yang berasal dari Kongo. Dia berjuang untuk Rakyat dan negaranya dari penindasan kaum Kolonial. Kisah hidupnya sebagai pejuang, pembela Rakyat dan seorang revolusioner menjadikan dia sebagai juru bicara dan pemimpin bagi Rakyat Kongo. Patrice Emery Lumumba dilahirkan pada tanggal 2 Juli 1925, disebuah desa yang bernama Onalua propinsi Kasai. Kedua orang tuanya yang berada di Batetela menginginkan Patrice untuk menjadi guru di sekolah Katolik dan untuk memenuhi persyaratan itu maka Patrice dikirimkan ke Sekolah Misi Katolik yang berada di Katako-Kombe. Anak kecil itu menampakkan bakat yang sangat besar untuk belajar dan mempunyai kemampuan yang luwes untuk bergaul kepada orang-orang yang ditemuinya. Perhatian yang besar juga ditampakkan oleh Patrice kecil kepada para misionaris Protestan yang mengelola sekolah kedokteran asistensi bedah. Karena hubungannya dengan para misionaris Protestan itu maka Patrice kecil yang sudah beranjak remaja usia 12 tahun melanjutkan pendidikannya disekolah kedokteran tersebut. Pada usia 13 tahun Patrice remaja menjadi seorang penganut Protestan. Setelah menempuh pendidikan kodekteran selama dua tahun Patrice meninggalkan sekolah itu tanpa menggenggam ijazah. Selama dalam masa pendidikan Patrice remaja menunjukkan antusiasme yang tinggi kepada berbagai materi pelajaran yang diberikan kepadanya. Belajar menjadi suatu yang mudah bagi dirinya dan dia tumbuh menjadi remaja yang selalu ingin tau tentang berbagai dis-
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
iplin ilmu walaupun ilmu tersebut tidak diajarkan di sekolahnya. Patrice remaja juga menggemari Voltaire, Rousseu, Viktor Hugo dan Moliere serta para penulis modern lainnya. Karena rasa hausnya yang tinggi kepada ilmu pengetahuan mempengaruhi dan mendorong perkembangan pemikirannya kepada dunia buku. Banyak pertanyaan yang muncul didalam dirinya kepada guru-guru misionaris kulit putih tetapi pertanyaan-pertanyaan itu bukan merupakan pertanyaan yang lazim ditanyakan oleh seorang Afrika.
P R O B L E M F I L S A F A T 41
TOKOH(POLITIK)
Karena sebab itu maka hubungan Patrice remaja kepada guru-gurunya semakin renggang dan dia memutuskan untuk meninggalkan sekolahnya. Itulah alasan kenapa dia meninggalkan sekolahnya. Usianya telah menginjak 15 tahun, berbadan tinggi, kurus, dan berkulit gelap. Ciri-ciri ini merupakan hal yang umum pada setiap orang Afrika seusianya. Patrice remaja pergi menuju Kindu yaitu sebuah kota di Propinsi Katanga. Tetapi seperti para imigran yang biasa pergi menuju kota untuk mendapatkan pekerjaan, Patrice juga menemui di pintu-pintu atau halaman-halaman perkantoran, pabrik, toko dan tempat-tempat usaha lainnya sebuah plank kecil yang bertuliskan “tidak terdapat lowongan pekerjaan”. Selain dibidang usaha tadi Patrice juga sangat sulit mendapatkan pekerjaan pada olonial pertambangan yang ada. Pada akhir tahun 1939 meletus perang dunia ke 2 ditandai dengan serbuan tentara Fasis Jerman ke Polandia. Pada saat itu Negara-negara yang tergabung dengan kekuatan sekutu seperti Inggris, Perancis, Belanda, Belgia, dll bahu-membahu menyusun kekuatan untuk menahan laju maju tentara Fasis Jerman menuju Eropa Barat. Perang yang memakan biaya besar ini juga membutuhkan bahan material pendukung seperti biji besi, timah, minyak, dsb. Daerah Kindu termasuk daerah di Kongo yang mengandung cadangan deposit timah terbesar dan beberapa bahan mineral lainnya. Berduyun-duyun para pencari kerja pergi menuju kesana untuk mendapatkan pekerjaan di tambang-tambang timah dan tambang bahan-bahan mineral lainnya yang ada. Di kota Kindu Patrice menjalin kontak dengan beberapa orang pekerja tambang. Patrice dan teman-temannya itu sering berkumpul bukan hanya sekedar membicarakan pekerjaannya tetapi mereka semua mempunyai hobby yang sama yaitu membaca buku. Dari orang-orang inilah maka terbentuk kelompok kecil yang sering melakukan diskusi bersama-sama dan Patrice termasuk pimpinan diantara mereka. Patrice terus melanjutkan hobbynya yang membaca buku itu. Dia mengikuti dari surat kabar, majalah dan bukubuku tentang kondisi kekinian yang pada saat itu terjadi di seluruh dunia. Dia juga belajar sosiologi dan mulai belajar menulis. Pada awalnya dia belajar untuk membuat puisi tetapi puisi-puisi yang diciptakannya dirasa kurang mengena. Setelah itu dia juga menjalani profesi lain sebagai jurnalis yang kerjanya adalah menulis article dan membuat laporan berita kepada surat kabar local di Leopoldville. Bagaimanapun juga karena tulisan-tulisannya Patrice mulai mendapat perhatian dari oloni rekan-rekan wartawan dan para pembaca setia. Kebetulan dari para pembaca setia surat kabar dan para pekerja yang berprofesi sebagai wartawan itu kebanyakan berasal dari lingkaran Katolik. Patrice muda dikenal sebagai orang yang mempunyai gaya penulisan berbeda dari para wartawan lainnya dan tulisan-tulisan yang dibuat sering kali kritis cara pandangnya. Sebagai salah satu contoh pada tahun 1948 Patrice
42
PROBLEMFILSAFAT
menulis sebuah artikel yang berjudul “Mengapa beberapa orang kulit putih memperlakukan anjing peliharaannya lebih baik daripada pelayannya yang berkulit hitam?”. Tulisan Patrice menimbulkan kegemparan di kalangan kaum kolonialis tetapi di kalangan Rakyat Kongo mendapat sambutan yang hangat. Setelah beberapa tahun Patrice tinggal di kota Kindu maka dia memutuskan untuk pindah ke sebuah kota besar yang mana dia menganggap bahwa di kota itu nantinya akan mendapatkan pekerjaan yang lebih besar dan mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Leopodville adalah kota yang dituju. Setelah beberapa waktu sampai disana Patrice memperoleh pekerjaan di kantor pos dan dia juga mulai melanjutkan pendidikannya. Ditahun itu juga Patrice berkenalan dengan seorang gadis cantik di kampusnya yang bernama Pauline Opanga dan tidak lama kemudian gadis tersebut dinikahinya. Sesudah Patrice menyelesaikan sekolah pegawai pos-nya dia dipindahkan ke kota Stanleyville, yang merupakan ibukota propinsi Orientale. Dia diangkat menjadi manager kantor pos cabang desa Yangambi dekat Stanleyville. Dikota Stanleyville ini pandangan dia sebagai seorang pejuang untuk kemerdekaan dan pembebasan Kongo semakin tampak. Dia dengan cepat mendapatkan dukungan, dikenal serta dihormati sebagai tokoh progresif di kota itu. Pada pemilihan ketua ANPBC (Association of Native Personnel of Belgian Congo) di kota Stanleyville Patrice terpilih menjadi ketua organisasi tersebut. Banyak teman-temannya datang ke tempat tinggalnya hanya sekedar berkunjung atau juga melakukan diskusi persoalan-persoalan politik terkini. Beberapa tahun belakangan ini Patrice dan rekanrekan sejawat lainnya melihat dengan jelas bentuk-bentuk halus kolonialisme modern di Congo yang bersembunyi dibalik kata-kata “peradaban”. Tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah bukan pembangunan peradaban Rakyat Kongo melainkan perbudakan modern dari pemerintah kolonialisme Belgia terhadap Rakyat Kongo. Kondisi-kondisi buruk, penghinaan dan eksploitasi dari kaum kolonialis asing menyebabkan Rakyat menjadi tidak tahan, karena tekanan yang bertubi-tubi tersebut timbul diantara sebagian masyarakat kesadaran untuk melakukan perlawanan guna membela hak-haknya yaitu Pembebasan Nasional Kongo dari kekuasaan kaum Kolonial Belgia. Pada tahun 1945 setelah selesainya perang dunia ke 2 banyak terjadi pemogokan di Kongo. Salah satu diantaranya adalah pemogokan buruh pelabuhan di Matadi. Slogan-slogan anti Kolonial juga sudah dikumandangkan pada pemogokan-pemogokan besar dari para buruh tambang dan para pegawai kantoran yang terjadi tahun 1949-1950 di Leopodville. Tahun 1952 ditandai dengan kebangkitan gerakan Pembebasan Nasional di Kongo yang semakin besar sehingga mengguncang fondasi rezim Kolonial.
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
TOKOH(POLITIK)
Kesadaran politik untuk Pembebasan Nasional diantara segenap Rakyat Kongo tumbuh dengan sangat cepat. Pada saat itu kesadaran untuk bebas dan merdeka umumnya memang tumbuh berkembang di benua Afrika. Hal itu menandakan mulai collapse-nya aturan Colonial di Afrika. Mitos yang berkembang selama ini mengenai peradaban barat yang akan membantu masyarakat Afrika primitive dan terbelakang menjadi masyarakat modern menjadi terpatahkan dengan kebangkitan Rakyat Afrika menentang Imperialisme dan Kolonialisme. Mitos-mitos tersebut adalah illusi belaka dan memang sering ditiupkan oleh kaum Kolonialis. Selama berdekade-dekade kaum Kolonialis Belgia membangun mitos untuk menjadikan Kongo “koloni yang sangat baik” dimana terdapat “keharmonisan” antara penduduk asli dan kaum “penerang” Belgia serta kaum industrialist Eropa. Dan ini menjadi percontohan bagi daerahdaerah koloni yang lain di Afrika. Sebagai perbandingan gaji yang diterima oleh pegawai orang Belgia selama 1 tahun berkisar sekitar 500 ribu francs, sedangkan gaji yang diterima oleh pegawai tinggi Kongo yang bekerja di pertambangan berkisar 15 ribu francs dan itu adalah penghasilan maksimal yang dapat diperoleh. Keuntungan besar dari kaum colonial yang lainnya adalah penguasaan terhadap kekayaan sumber-sumber daya alam, seperti tambang. Ini mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Propaganda dari kaum Kolonial mengatakan bahwa hasil keuntungan dari pengusahaan dan penjualan hasil tambang tersebut akan dikembalikan kepada Rakyat Kongo dalam bentuk pembangunan infrastruktur kota dan desa serta membangun sekolah-sekolah. Tetapi kenyataan yang dapat dilihat dan dirasakan merupakan kebohongan besar, Rakyat Kongo hidup dibawah garis kemiskinan, sangat sedikit putra dan putri Kongo yang dapat mengenyam pendidikan, infrastruktur kota dan desa rusak parah kecuali beberapa tempat dikota besar yang mempunyai hubungan langsung dengan daerah pertambangan. Terdapat 5 perusahaan monopoly besar yang dikelola oleh kaum Kolonial Belgia yang mengontrol 90 percent dari investasi di Kongo. Modal Belgia memainkan peranan yang dominan didalam ekonomi Kongo tetapi peranan kaum Imperialis Inggris dan Amerika juga tidak kalah besar karena mereka juga mempunyai share sebanyak 25 percent di perusahaan-perusahaan monopoly itu. Berarti lengkap sudah penderitaan Rakyat Kongo yang dijajah oleh para pengusaha kaya dari Belgia, Inggris dan Amerika. Penjajahan itu dibacking oleh pemerintahan Kolonial Belgia yang bersenjata lengkap. O.P. Gilbert seorang penulis buku ternama dari Belgia pada tahun 1947 menulis sebuah buku yang berjudul “The Empire of Silence”. Buku ini hanya diterbitkan di Belgia tetapi sangat dilarang di Kongo. Diam-diam buku ini dibaca oleh kaum Progressive. Buku itu menggambarkan bagaimana kemurahan hati dan penindasan kaum Kolonial
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
di Kongo. Tambang-tambang, pabrik-pabrik, perkebunanperkebunan dan perusahaan-perusahaan komersial dimiliki oleh “Societe Generale” dan beberapa kartel. Kartel-kartel itu tampak seperti negara dalam negara dan cabang-cabangnya di daerah seperti juga menyerupai negara. Untuk mengelola perusahaan-perusahaan itu mereka memiliki ribuan pekerja tehnik dan pekerja tambang kulit putih yang membawahi 10 ribu pekerja kulit hitam. Mereka mempunyai pasukan polisinya sendiri dan mempunyai alat propagandannya sendiri. Mereka membiayai segala urusan yang berbau dengan bisnis dan berada di semua penjuru wilayah Kongo serta memerintah bagaikan Tuan Besar. Mereka menentukan apa saja terutama nasib kaum Buruh. Lumumba belajar banyak tentang arti modal, kekayaan dan kekuasaan dari buku tersebut. Dia mempunyai pengalaman bagaimana mendapatkan perlakukan yang bar-bar dan sewenang-wenang dari kaum Kolonialis yang menganggap bahwa ratusan ribu Rakyat pekerja itu seperti budak. Dengan semangat yang menggebu-gebu sebagai seorang pejuang Rakyat, Lumumba muncul sebagai seorang yang melawan aturan sewenang-wenang. Dia menghimbau Rakyatnya agar berperan aktif berjuang untuk mendapatkan hak-haknya sebagai manusia. Pemerintahan colonial yang menyaksikan semakin berkembangnya pengaruh Lumumba menjadi cemas dan pada tahun 1956 tanpa alasan yang jelas Lumumba di tangkap serta dimasukkan kedalam penjara dengan vonis 18 bulan. Rakyat kota Stanleyville menunjukkan solidaritas yang tinggi atas penangkapan tersebut dan mengorganisasikan sebuah seruan untuk bersolidaritas atas perjuangan Lumumba dan kawan-kawan. Setelah dia dibebaskan pada bulan Juni tahun 1957, Lumumba pindah menuju kota Leopodville, dimana dia mendapatkan pekerjaan di perusahaan minuman ringan dan bir. Pekerjaan ini memungkinkan Lumumba untuk bepergian ke luar kota atau daerah pinggiran kota. Lumumba banyak bertemu dan berbincang-bincang dengan orangorang yang hidup dibawah garis kemiskinan. Situasi ini membuat Lumumba menjadi seorang orator yang ulung karena sering berpidato didepan Rakyat dan karena ini pula maka Lumumba semakin popular menjadi figure yang dikenal di kota Leopodville dan lingkungan sekitarnya. Karena aktifitasnya ini membuat Lumumba menjadi seorang politikus dan menjadikannya sebagai ketua dari Federasi Batetela. Karena mewakili organisasi itu Lumumba datang menghadiri pertemuan partai Liberal. Tetapi aktifitas politik ini tidak juga memuaskan dirinya karena dia mempunyai satu tujuan yaitu penghilangan perbudakan di tanah Kongo dan dengan segera menuntut kemerdekaan negaranya. Kemerdekaan sejati dari Rakyat Kongo bebas dari penjajahan kaum Kolonialis Belgia. Untuk mewujudkan cita-citanya itu Lumumba berusaha mendirikan partai politik. Partai politik yang didirikannya itu merupakan partai Politik dari Rakyat Kon-
P R O B L E M F I L S A F A T 43
TOKOH(POLITIK)
go bukan partai politik yang berdasarkan kesukuan, yang bercita-cita memperjuangkan kemerdekaan Negara Kongo. Buat Rakyat Kongo ide partai seperti itu adalah sesuatu yang baru dan Revolusioner. Selain itu partai ini juga dibentuk untuk menandingi partai Abako yang dipimpin oleh Kasavubu. Partai Abako didirikan pada tahun 1950 dan basis pengikutnya berasal dari suku-suku tertentu. Partai yang seperti ini sangat didukung keberadaannya oleh pemerintahan Kolonial Belgia karena menjadikan Rakyat Kongo terbagi-bagi menjadi beberapa etnik yang berdasarkan kesukuan sehingga mudah di adu domba satu sama lain. Hal ini dilakukan agar terjadi perpecahan diantara Rakyat Kongo sehingga persatuan dan perjuangan Rakyat Kongo untuk Pembebasan Nasional dari kaum Kolonialis Belgia tidak akan pernah terwujud. Karena idenya ini maka Lumumba semakin popular di mata Rakyat Kongo. Popularitasnya ini tidak hanya terbatas pada Negara Kongo tetapi juga mulai terdengar seantero benua Afrika. Sebagai contoh berikut ini adalah
cember 1958 Lumumba datang menghadiri Konferensi Rakyat Afrika di Accra dan pada acara tersebut Lumumba terpilih menjadi anggota komite Rakyat Afrika. Terjadi kejadian yang dramatic sekembalinya Lumumba dari konferensi Rakyat Afrika di Accra. Pada tanggal 4 January 1959 ketika sedang melakukan perjalanan keliling di Leopodville untuk mensosialisasikan hasil-hasil keputusan konferensi maka pemerintahan Kolonial Belgia dengan segera melarang acara rally tersebut karena acara itu dianggap sebagai bagian dari gerakan Pembebasan Nasional. Tetapi himbauan dan larangan pemerintahan Kolonial itu tidak digubris, 15 ribu orang berbaris dengan rapih berpawai keliling kota dengan tujuan akhir berkumpul di Leopodville’s Victory Square untuk mendengarkan pidato Patrice Lumumba. Dibeberapa posisi strategis di dalam kota dijaga oleh ribuan aparat kepolisian dengan senjata lengkap. Keadaan semakin memanas dan akhirnya gesekan tidak dapat dihindari. Ketika barisan massa berusaha melewati daerah pusat kota yang dipasang barikade kawat berduri terdengar tembakan salvo dari aparat kepolisian yang
Pemerintahan Kolonial Belgia ... menjadikan Rakyat Kongo terbagi-bagi menjadi beberapa etnik yang berdasarkan kesukuan sehingga mudah diadu-domba satu sama lain. kutipan dari laporan luar negeri Inggris: Lumumba seorang pekerja keras, dari fisiknya saja tampak seorang yang cerdas dan pemberani. Dia adalah seorang nasionalis sejati yang sangat anti kepada politik suku-isme dan wilayah-isme. Lumumba terlihat sebagai seorang politkus Kongo yang mempunyai keinginan dan ambisi untuk menyatukan Rakyat Kongo. Tahun 1958 ditandai dengan semakin besarnya aktifitas Rakyat Kongo dalam dunia politik maka didirikanlah di Leopodville sebuah partai politik dengan nama Partai Nasional Kongo (CNM - Congo National Movement) yang dipimpin oleh Patrice Lumumba. Program politknya seperti yang ditetapkan pada tanggal 10 Oktober 1958 adalah menolak segala politik kesukuan dan politik wilyah serta bersama-sama dengan Rakyat Kongo menuntut penentuan nasib sendiri (self determination) oloni Kongo. Dan jika Kongo sudah merdeka dengan segera menyatukan segenap wilayah yang terpecah-pecah akibat politik suku dan wilayah itu. Lumumba dan partai CNM tidak hanya membatasi perjuangan untuk menentang Kolonialisme pada wilayah Kongo tetapi juga menyuarakan gerakan anti Kolonial keseluruh penjuru Benua Afrika dan juga menggalang solidaritas Rakyat Afrika anti Imperialis. Karena solidaritas tersebut CNM juga membangun kontak dengan berbagai organisasi perlawanan Afrika yang lainnya. Pada bulan De-
44
PROBLEMFILSAFAT
berjaga-jaga, kekacauan mulai timbul karena dari tengahtengah belasan ribu demonstran itu jatuh korban, puluhan orang tewas tertembak di tempat dan ribuan lagi bertahan diberbagai tempat melakukan perlawanan dengan menggunakan batu, bom Molotov, dsb. Rakyat Kongo yang berada di kota Leopodville segera melakukan pembalasan atas penembakan brutal dari aparat kepolisian. Pos-pos polisi yang berada di pinggiran kota diserang, kantor-kantor dan toko-toko yang dimiliki oleh orang-orang Belgia dan Portugis di distrik Afrika dibakar. Pertempuran jalanan terjadi selama 3 hari 3 malam. Aktivitas bisnis terhenti selama aksi-aksi perlawanan itu. Spontanitas dari perlawanan massa itu menandai sebagai dimulainya gerakan perlawanan untuk kemerdekaan. Karena besarnya perlawanan dan tekanan yang diberikan oleh Rakyat Kongo maka pemerintahan Kolonial Belgia memberikan beberapa konsesi. Pada tanggal 13 January, Raja Baudouin dari Belgia secara samar-samar memberikan janji Rakyat Kongo untuk kemerdekaan negerinya suatu hari kelak. Lumumba dan rekan-rekannya yang lain langsung bekerja lebih keras dan giat lagi. Tuntutan dari perjuangan yang dilakukan oleh mereka sekarang adalah KEMERDEKAAN!! Lumumba melakukan perjalanan ke distrik-distrik dan kota-kota, mengorganisasikan pertemuan-pertemuan
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
TOKOH(POLITIK)
dan melakukan pawai rally setelahnya. Selain itu dia juga mendirikan komite-komite distrik dan propinsi untuk partai CNM. Aktivitas Lumumba ini dinamakan “perjalanan menuju kemenangan”. Salah satu kota yang menjadi tujuan dari tour Lumumba adalah Elisabethville. Kota ini adalah basis terkuat dari Serikat Buruh kuning Miniere dan partai reaksioner pendukung pemerintahan Kolonial Belgia yaitu Partai Conakat yang dipimpin oleh Tshombe. Tetapi walaupun dalam kondisi yang mencekam pawai itu tetap dilakukan dan sukses dihadiri oleh ribuan penduduk kota. Pada bulan April 1959, saat kongres pertemuan dari partai-partai politik Kongo, Lumumba kembali mengungkapkan cita-cita kemerdekaan Kongo. Dia menghimbau agar kongres segera melakukan persiapan dan finalisasi untuk kemerdekaan Kongo yang sedianya akan dilakukan pada tanggal 1 January 1961 serta membentuk pemerintahan dari Rakyat Kongo sendiri. Kongres dari Partai Nasional Kongo dilakukan pada bulan Oktober 1959 di Stanleyville. Dengan dipimpin oleh Lumumba sendiri kongres menghasilkan resolusi untuk melakukan pertemuan antara wakil-wakil Rakyat Kongo dengan pemerintahan Kolonial Belgia dan dalam pertemuan itu nanti akan diserahkan petisi untuk menuntut kemerdekaan Kongo. Karena melihat partisipan kongres itu dihadiri oleh ribuan Rakyat Kongo maka pemerintahan Kolonial Belgia melakukan aktifitas reaksioner dengan cara melakukan berbagai usaha provokasi. Pawai damai disekitar acara kongres disambut dengan tembakan yang brutal dari aparat kepolisian dan tentara Belgia. Puluhan orang tewas dan ratusan lagi terluka. Beberapa hari kemudian keluarlah surat penahanan dengan tuduhan “menghasut Rakyat Kongo” dan “mengganggu ketertiban umum” dari pemerintahan Kolonial Belgia untuk Lumumba dan beberapa orang rekannya. Setelah menerima surat tersebut Lumumba bersama beberapa orang rekannya langsung digiring ke penjara oleh polisi Belgia. Tetapi tindakan represi yang dilakukan oleh kaum Kolonialis tidak menyurutkan semangat Rakyat Kongo untuk menuntut kemerdekaannya. Walaupun beberapa orang pimpinan mereka dijebloskan kedalam penjara tetapi hampir tiap hari terlihat aksi-aksi pawai massa dijalan yang menyuarakan kemerdekaan bagi Kongo dan juga tuntutan untuk dilepaskannya para tahanan politik. Karena tekanan yang dilakukan oleh kaum progresif dan Rakyat Kongo semakin hari nampak kian membesar dan juga pertumbuhan dari organisasi-organisasi Rakyat dari seluruh penjuru negeri yang menuntut kemerdekaan juga semakin banyak maka pada akhir January 1960 pemerintahan Belgia menggagas sebuah pertemuan dengan nama “konferensi meja bundar”. Pertemuan tersebut dihadiri oleh para pemimpin politik “moderate” dari Rakyat Kongo dan wakil pemerintahan Belgia. Dalam pertemuan itu dibahas mengenai soal-soal yang menyangkut kemerdekaan Kongo dikemudian hari.
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
Tanggal 18 January 1960 secara diam-diam Lumumba dan beberapa orang rekannya dipindahkan secara diam-diam dengan tangan terborgol dari penjara di kota Stanleyville ke kota Jadotville yang merupakan kota industry di distrik Katanga dan menjadi basis utama dari Serikat Buruh Kuning Miniere. Dua hari setelah berada di Stanleyville sebetulnya ada usaha dari pemerintahan Kolonial Belgia untuk memberangkatkan Lumumba dan kawankawannya ke Belgia, tetapi usaha reaksioner ini ditolak dan segala upaya pemaksaan akan dilakukan perlawanan. Karena sikap yang tidak kooperatif ini maka kaum kolonialis membatalkan rencana tersebut. Dan setelahnya karena tidak ada bukti dari tuntutan yang diajukan oleh pemerintah Kolonial maka Lumumba dan kawan-kawan dibebaskan oleh pengadilan. Pada “konferensi meja bundar” tersebut pemerintahan colonial Belgia sengaja hanya mengundang perwakilan dari kelompok moderate Rakyat Kongo dari 81 delegasi Kongo yang hadir, 22 diantaranya adalah perwakilan dari National Progress Party (NPP), yang mana setiap aktifitas politiknya dibiayai oleh pemerintahan Kolonial Belgia. Kaum Kolonialis berharap dapat mendikte keputusan yang dihasilkan oleh konferensi itu. Dan konferensi berakhir pada tanggal 30 Juni 1960 bertepatan dengan hari di proklamirkannya kemerdekaan Kongo. Musim semi tahun 1960, Patrice Lumumba tengah sibuk mempersiapkan diri dan partainya untuk mengikuti pemilihan parlement yang dilakukan untuk pertama kalinya di Kongo. Pemilihan umum yang dilakukan pada tanggal 1719 Mei 1960 menghasilkan kemenangan pada CNM. Partai yang dipimpin oleh Lumumba memperoleh 34 kursi di parlement. Setelah kemenangan yang dramatis itu maka CNM yang melakukan aliansi dengan Partai Solidaritas Afrika African Solidarity Party (ASP) yang dipimpin oleh Antonie Gizenga, Partai Balubakat dan beberapa partai yang lain, menerima mandate untuk membentuk satu pemerintahan Rakyat Kongo dengan Patrice Lumumba terpilih menjadi Perdana Menteri. Dengan terpilihnya Patrice Lumumba sebagai Perdana Menteri berarti menandakan untuk pertama kalinya dalam sejarah, Rakyat Kongo memiliki pemerintahannya sendiri. Pada tanggal 30 Juni 1960 Patrice Lumumba membacakan proklamasi kemerdekaan Negara Kongo yang mana hal tersebut menandakan berakhirnya perbudakan colonial di tanah Kongo. Berikut adalah cuplikan dari pidato kemerdekaan yang dilakukan oleh Perdana Menteri Patrice Lumumba: “Men dan women of the Congo Victorious independence fighters, I salute you in the name of the Congolese Government. I ask all of you, my friends, who tirelessly fought in our ranks, to mark this June 30, 1960, as an illustrious date that will be ever engraved in your hearts, a date whose meaning you will proudly explain to your children, so that they in turn might relate to their grandchildren dan great-grand-
P R O B L E M F I L S A F A T 45
TOKOH(POLITIK)
children the glorious history of our struggle for freedom. “……………………The Congo independence is a decisive step towards the liberation of the whole African continent. Our government, a government of national and popular unity, will serve its country. “……………………Eternal glory to the fighters for national liberation!! Long live independence and African unity!! Long live the independent and sovereign Congo!!” Setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan maka sambutan dari segenap anggota parlemen yang hadir sangat meriah. Di luar gedung parlemen puluhan ribu Rakyat Kongo berkumpul riang gembira menyambut pembacaan proklamasi kemerdekaan Kongo. Pemerintahan Kolonial Belgia goyah dengan dibacakannya proklamasi kemerdekaan. Jika mereka tetap bertahan di Negara Kongo pasti terjadi banjir darah, Rakyat Kongo akan mempertahankan kemerdekaannya dan untuk itu siap melakukan perlawanan dalam bentuk apapun. Tuntutan lain yang dibacakan oleh Parlemen Kongo setelah proklamasi kemerdekaan adalah penarikan semua pasukan dan polisi Belgia yang berada di seluruh wilayah Kongo, karena hanya dengan cara tersebut yang dapat memulihkan situasi keamanan yang selama ini goyah. Untuk mengawal proses peralihan pemegang kekuasaan dari pemerintahan Kolonial Belgia ke pemerintahan Rakyat
46
PROBLEMFILSAFAT
Kongo akan dipanggil pasukan PBB untuk melakukan pengamanan. Ditengah sambutan suka cita Rakyat Kongo karena kemerdekaan negerinya propinsi Katanga yang berada dibawah pengaruh Moise Tshombe melakukan pengumuman pemisahan diri dari Republik Kongo. Tshombe yang merupakan agen imperialis Belgia tidak menyetujui keputusan parlemen Kongo dan tengah bersiap-siap mempersenjatai diri dengan bantuan uang dari kaum Kolonial untuk menggagalkan semua daya upaya yang dilakukan Patrice Lumumba dan kawan-kawan. Tshombe ketika jaman pendudukan Belgia adalah seorang pengusaha besar yang mempunyai link bisnis dengan para pengusaha besar Belgia dan banyak perusahaan-perusahaan Belgia itu dipercayakan untuk dikelola oleh dirinya. Negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Kongo adalah Uni Sovyet. Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Kongo, Uni Sovyet membuka perwakilannya di Stanleyvile. Selain itu Uni Sovyet dengan segera memberi bantuan berupa makanan, obat-obatan, alat-alat transportasi berupa motor dan mobil, pengiriman dokterdokter ahli, serta membantu mendidik Rakyat Pekerja Kongo agar dapat membangun infrastruktur berupa jalan, rumah, jalur kereta api, dsb. Semua itu menandakan tanda dimulainya persahabatan yang erat antara Rakyat Kongo dan Rakyat Uni Sovyet. Didalam negeri dihembuskan isyu oleh agen Imperialis Tshombe bahwa Patrice Lumumba dan CNM adalah komunis. Dalam sebuah wawancara dengan Koran perancis “France-Soir” pada tanggal 22 Juli 1960 sang wartawan menanyakan sbb: Tanya: beberapa lawan politik anda menyatakan bahwa anda adalah seorang komunis, bagaimana anda menjelaskan hal ini? Jawab: ini adalah propaganda yang bertujuan untuk menjelekkan diri saya. Saya bukan seorang komunis. Kaum Kolonial berkampanye untuk melawan diri saya keseluruh negeri disebabkan karena saya adalah seorang revolusioner yang selalu konsisten menuntut kemerdekaan Negara Kongo dan menuntuk untuk digulingkannya rezim Kolonial Belgia. Rakyat Kongo menuntut kemerdekaan sebab pemerintahan Kolonial tidak menghargai martabat kemanusiaan. Kaum Kolonial memandang saya sebagai komunis karena saya menolak segala sogokan dari agen-agen imperialist!! Sejak tanggal 16 July 1960 pasukan perdamaian PBB datang ke Kongo, sejak awal parlemen Kongo mengamanatkan bahwa segera dilakukannya penarikan pasukan, polisi dan petugas administrative Belgia di Kongo. Tetapi setelah beberapa waktu pasukan PBB datang ke Kongo tidak terlihat usaha-usaha dari pihak PBB dan pemerintahan Belgia untuk menarik mundur aparatnya keluar dari Kongo. Malahan yang terjadi terlihat dilapangan pasukan PBB itu justru memperkuat kekuasaan pemerintahan Kolonial Belgia. Komunikasi dan kordinasi pasukan PBB justru dilaku-
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
TOKOH(POLITIK)
kan bukan kepada pemerintahan Rakyat Kongo pimpinan Patrice Lumumba tetapi kepada kaum Kolonial dan kelompok agenc Imperialis Tshombe. Dengan semakin kokohnya kekuasaan pasukan PBB di Katanga maka Tshombe yang bekerjasama dengan pemerintah Belgia mengadakan persiapan latihan militer untuk melawan pemerintahan yang syah di Leopodville. Pasukan PBB yang datang ke Kongo bukannya bersikap netral malahan berpihak kepada kaum pemberontak dan agen Imperialis Tshombe. Pemerintahan Kolonial Belgia juga mulai pindah ke Katanga. Tindakan represi yang brutal mulai dilakukan oleh para pengikut Tshombe kepada Rakyat Katanga yang dicurigai sebagai pendukung CNM. Tidak ada tindakan pengutukan dari pasukan dan perwakilan PBB akan berbagai aksi kekerasan yang dijalankan oleh para pengikut Tshombe. Dunia Barat terdiam membisu melihat kejadiankejadian brutal di Katanga. Pemerintahan Belgia, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dll sibuk di pertemuan PBB mengecam Patrice Lumumba dan kawan-kawanya sebagai orang-orang komunis yang merupakan Agen Uni Sovyet. Pada bulan Agustus 1960 terjadi demonstrasi yang hebat di seluruh penjuru negeri untuk mengutuk peristiwa pembantaian di Katanga. Karena derasnya tekanan dari Rakyat Kongo maka Dewan Keamanan PBB berjanji akan mengusut tuntas pembantaian itu dan akan menyeret serta mengadili pihak-pihak yang bersalah. Situasi yang bergejolak di seluruh Kongo ini berakhir anti klimaks dengan dikudetanya pemerintahan PM Patrice Lumumba pada tanggal 14 September oleh Kolonel Joseph Mobutu (yang nantinya dikenal dengan nama Mobutu Sese Seko, seorang dictator korup yang berkuasa di Kongo/Zaire sekitar 35 tahun) yang bekerjasama dengan Presiden Kasavubu dan menteri luar negeri Bamboko. Presiden Kasabuvu menyatakan bahwa PM Patrice Lumumba gagal dalam menjalankan pemerintahannya sehingga menurut undang-undang yang berlaku mandate harus dikembalikan kepada ketua parlemen yaitu Mr. Joseph Ileo. Perdana Menteri Patrice Lumumba dan rekan seperjuangannya yaitu Mr. Okito - Wakil ketua parlemen dan Mr. Polo - Menteri Pemuda ditahan oleh tentara ANC (Army National Congo) yang dikepalai oleh Kolonel Joseph Mobutu. Lumumba dkk dibawah menuju sebuah kamp pengungsi Ghana yang dikontrol oleh tentara di Leopodville. Setelah tidak lama berada di kamp tersebut Lumumba dkk di serahkan kepada pasukan PBB. Oleh pasukan PBB Lumumba dkk dikenakan tahanan rumah. Beberapa lamanya Lumumba, Mr. Polo dan Mr. Okito menjalani tahanan rumah. Sampai pada sekitar akhir bulan November 1961 Lumumba dkk berhasil melarikan diri, tetapi ketika dalam perjalanan menuju Stanleyville untuk bergabung bersama pasukan pemberontak yang melawan tentara ANC pimpinan Kolonel Joseph Mobutu, Lumumba dkk berhasil di tangkap oleh pasukan ANC dalam satu operasi militer di daerah Mweka. Menurut satu kesak-
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
sian sebelum ditangkap oleh tentara, Lumumba sehari sebelumnya masih terlihat berpidato di depan Rakyat Mweka. Setelah ditangkap maka Lumumba dkk dibawa ke Fort Francqui untuk selanjutnya diterbangkan dengan pesawat menuju Leopodville. Pada tanggal 2 december 1960 jam 5.15 pm di Njili airport Lumumba dkk tiba dan langsung dibawa oleh tentara dengan pengawalan yang sangat ketat dengan tujuan yang tidak diketahui. Tanggal 3 December Lumumba dkk dipindahkan menuju kamp Hardy di Thysville. Setelah ditahan lebih dari sebulan dan menjalani siksaan yang sangat kejam Lumumba dkk pada tanggal 17 january 1961 dipindahkan ke Elizabethville, Katanga. Dan pada hari itu juga Patrice Lumumba, Mr. Okito dan Mr. Polo dihukum mati oleh tentara pimpinan Tshombe. Sewaktu didalam penjara Thysville Patrice Lumumba masih sempat membuat surat untuk istrinya dan berhasil diselundupkan keluar penjara. Berikut adalah cuplikan surat tersebut: “My dear wife, I am writing these words to you, not knowing whether they will ever reach you, or whether I shall be alive when you read them. Throught out my struggle for independence or our country I have never doubted the victory or our sacred cause, to which I and my comrades have dedicated all our lives. “………….. I know and feel deep in my heart that sooner or later my peoples will rid themselves or their internal and external enemies, that they will rise up as one in order to say “No” to colonialism, to brazen, dying colonialism, in order to win their dignity in clean land”. “……… Without dignity there is no freedom, without justice there is no dignity and without independence there is no free men”. “……… It will be the history that will be taught in the countries which have won freedom from colonialism and its puppets. Africa will write its own history and in both north and south it will be history of glory and dignity. Do not weep for me. I know that my tormented country will be able to defend its freedom and its independence. Long live the Congo! Long Live Africa!” DAFTAR PUSTAKA The Black Panther, Saturday January 16, 1970. Patrice Lumumba – Fighter for Africa’s Freedom, Progress Publishers Moscow, 1963 *Nouval Murzita adalah aktifis Persatuan Perjuangan Indonesia.
P R O B L E M F I L S A F A T 47
REPORTASE
REFLEKSI ATAS SEJARAH ‘65 Dari Pembungkaman Suara Korban dan Menuju Demokratisasi Sejarah oleh DAVID TOBING
“…sejarawan tidak melulu mendeskripsikan, tetapi menjadi peserta aktif dalam membentuk ingatan atau memori kolektif mengenai kejadian, termasuk kejadian yang hendak ditutup-tutupi…”1 Narasi sejarah yang menjadi ingatan atau memori kolektif dalam suatu tatanan sosial-politik secara langsung berperan dalam proses pelegitimasian keberadaan suatu rezim.2 Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kelanggengan keberadaan rezim Orde Baru yang berkuasa 32 tahun—sebelum akhirnya tumbang oleh gerakan Reformasi 1998—menunjukkan betapa ampuh peran narasi sejarah dalam melegitimasi kekuasaan suatu rezim. Sejarawan Asvi Warman Adam lugas menulis demikian: “Konflik 1965 itu memang dipertahankan rezim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaannya.”3 Kelahiran dan keberlangsungan Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari peristiwa penculikan dan pembunuhan tujuh orang perwira tinggi Angkatan Darat pada 30 September 1965. Setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan terjadi, Angkatan Darat dibawah komando Mayor Jenderal Suharto langsung “mempersalahkan Partai Komunis Indonesia, mengorganisasi kelompok-kelompok sipil antikomunis dan merancang kampanye propaganda”.4 Setelah merekayasa sejarah, Orde Baru pun mereproduksi sejarah manipulatif tersebut demi melegitimasi keberadaannya.5 Asvi mencatat bahwa Orde Baru melakukan rekayasa sejarah dengan memanfaatkan medium pers, buku sejarah, peringatan hari bersejarah, film, museum, dan monumen.6 Ariel Heryanto menyebut peristiwa penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat yang dibekukan ke dalam novel dan film Pengkhianatan G30S/PKI sebagai “narasi utama” dalam sejarah resmi Indonesia sejak 1966. “Narasi utama” itu punya dua pesan, pertama PKI adalah dalang Gerakan 30 September dan kedua, Soeharto tampil sebagai pemimpin yang melancarkan aksi serangan balik atas gerakan tersebut demi menyelamatkan bangsa dari ancaman pengambil-alihan yang akan dilakukan oleh kelompok komunis.7 Namun, pertanyaannya—apakah peristiwa 1965 hanya semata-mata berkenaan dengan penculikan dan pembunuhan tujuh perwira tinggi Angkatan Darat? Baskara Wardaya mencatat bahwa pada “dua atau tiga minggu setelah operasi militer yang dilakukan kelompok Gerakan
48
PROBLEMFILSAFAT
Tigapuluh September,” secara bergelombang terjadi pergolakan sosial dalam bentuk pembunuhan massal, mulai dari Jawa Tengah lalu ke Jawa Timur kemudian Bali8—dan Sumatera.9 Mereka yang menjadi korban dalam peristiwa pembunuhan massal itu adalah orang-orang yang terlibat atau dituduh terlibat atau punya kaitan dengan Partai Komunis Indonesia.10 John Roosa menyimpulkan bahwa pembunuhan massal tersebut diorganisasi oleh Angkatan Darat.11 Meski peristiwa penculikan dan pembunuhan tujuh perwira tinggi Angkatan Darat dan pembunuhan massal ratusan ribu rakyat Indonesia terjadi, sejarah versi Orde Baru yang menjadi ingatan sosial kolektif atas peristiwa 1965 tidak memberi ruang bagi narasi yang berkenaan dengan pembunuhan massal. Narasi sejarah Orde Baru hanya berkisah tentang penculikan dan pembunuhan perwira tinggi Angkatan Darat oleh kelompok Gerakan Tigapuluh September di mana Partai Komunis Indonesia merupakan otak dari Gerakan Tigapuluh September. Orde Baru tampil menyelamatkan bangsa dan negara dari pengambilalihan yang akan dilakukan kaum komunis melalui Gerakan Tigapuluh September.12 Namun, kisah tentang pembunuhan masssal sama sekali berada di luar narasi sejarah Orde Baru. Atas dasar itu, secara umum dapat disimpulkan bahwa “ingatan sosial akan peristiwa 1965-66 dibentuk oleh propaganda negara dan pembungkaman korban”.13 Gerakan Reformasi 1998 mengubah konfigurasi politik Indonesia. Seiring dengan tumbangnya kekuasaan Orde Baru, narasi sejarah yang dipropagandakan oleh Orde Baru terkait peristiwa 1965 pun mendapat tanggapan kritis dari para ahli sejarah, semisal sejarawan Asvi Warman Adam. Narasi sejarah versi Orde Baru menyangkut peristiwa 1965 tidak lagi menghegemoni ingatan sosial bangsa Indonesia. Setelah reformasi 1998, suara korban-korban yang pernah dibungkam secara paksa oleh rejim militeristik Orde Baru kini turut serta dalam upaya pembentukan ingatan sosial bangsa Indonesia. Narasi sejarah versi Orde Baru yang berpusat pada subjektivitas penguasa atas peristiwa 1965 kini mendapat tanggapan kritis atau malah berdampingan dengan- suara warga negara yang menjadi
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
REPORTASE
*Illustrasi: Henk Ngantung
korban dalam peristiwa 1965.14 Suara korban tampil membentuk ingatan sosial melalui sejarah lisan. Sejarah lisan merupakan sejarah yang tidak menggunakan lembaran dokumentasi resmi sebagai sumber penulisan15, melainkan memanfaatkan ingatan para pelaku, saksi, juga korban16. Thomson menyimpulkan bahwa pembukaan alternatif sumber penulisan sejarah memungkinkan penulisan sejarah berlangsung secara demokratis.17 Penulisan sejarah secara demokratis dibutuhkan karena pembelajaran atas sejarah memberi inspirasi untuk bertindak demi mengubah keadaan.18 Hersi Setiawan berpendapat bahwa penulisan ulang atas sejarah peristiwa 1965 diperlukan bukan ditujukan sebagai medium pembersihan atau pembenaran, baik dari pihak pelaku atau pun korban. Penulisan ulang atas sejarah peristiwa 1965 ditujukan demi mendapatkan landasan berpijak dan bertindak bersama dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara.19 Catatan Akir:
1. Simpson, Bradley.R, Economist with Guns: Amerika Serikat, CIA, dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru (terjemahan Johanes Supriyono dan Kt. Arya Mahardika), Jakarta: PT. Gramedia, 2010, hal. vii 2. Bdk. Thomson, Paul, The Voice of The Past: Oral History, New York: Oxford University Press, 2000, hal. 1 “At the other extreme the social purpose of history can be quite blatant: used to provide justification for war and conquest, territorial seizure, revolution and counter-revolution, the rule of one class or race over another.” 3. Adam, Asvi Warman, 1965: Tahun yang tak pernah berakhir dalam Dewi Fortuna Anwar, dkk (ed.), Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hal. 38
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
4. Roosa, John, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (terjemahan Hersri Setiawan), Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008, hal. 315-319 5. Heryanto, Ariel, State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging, USA: Routledge, 2006, hal. 3 6. Adam, Asvi Warman, 1965: Tahun yang tak pernah.... hal. 39 7. Heryanto, Ariel, State Terrorism and Political Identity.... hal. 9 8. Wardaya, Baskara.T, Rekonstruksi dan Refleksi Tragedi ’65, 2011, hal. 3 9. Heryanto, Ariel, State Terrorism and Political Identity.... hal. 4 10. Wardaya, Baskara.T, Rekonstruksi dan Refleksi... hal. 3 11. Roosa, John, Dalih Pembunuhan Massal.... hal. 321 12. Wardaya, Baskara.T, Rekonstruksi dan Refleksi.... hal. 2 13. Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (eds.), Tahun yang tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan, 2004, hal. 17 14. Bdk. Southgate, Beverly, Postmodernism dalam Aviezer Tucker (ed.), A Companion to the Philosophy of History and Historiography, UK: Blackwell, 2009 hal. 540-549 15. Bdk. Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (eds.), Tahun yang tak Pernah Berakhir.... hal. 1-2 16. Bdk. Thomson, Paul, The Voice of The Past.... hal. 173-189 17. Ibid., hal. 8-9 18. Bdk. Thomson, Paul, The Voice of The Past.... hal. 22 “A history is required which leads to action: not to conform, but to change the world.” 19. Setiawan, Hersi, Peristiwa G30s 1965, Mengapa dan Bagaimana: Sebuah Renungan Pribadi, PROBLEM FILSAFAT No.9/Tahun I/Mei 2011, hal. 43-49. Bdk. Wardaya, Baskara.T, Rekonstruksi dan Refleksi Tragedi.... hal. 8. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak takut untuk belajar dari sejarahnya sendiri.”
P R O B L E M F I L S A F A T 49
RESENSIRESENSI oleh yovantra arief
/ (garis miring) Tiga Orang Madjoes dari Timur Apa yang kita tahu tentang Lars Von Trier? Sutradara kelahiran Denmark sekaligus salah satu penggagas gerakan Dogme 95 dalam dunia perfilman avant-garde ini menyadari bahwa perempuan juga suka melihat orang lain melakukan hubungan seksual, yang tidak mereka sukai adalah close-up tanpa akhir dari bagian tubuh yang saling bertubrukan tanpa cerita. Von Trier adalah orang pertama yang menyadari hal ini dan membuat film porno berkualitas untuk perempuan. Di samping itu, ia juga kerap terserang depresi, ketakutan dan fobia. Pada 2011, dewan direksi Cannes menolak Von Trier karena lelucon yang dia lontarkan mengenai Nazisme pada sebuah konferensi pers dari film terbarunya, Melancholia. Film 2009-nya, Antichrist, juga menuai kontroversi atas adegan unsimulated sex dan kekerasan yang dikandungnya. Film-filmnya banyak berbicara tentang sisi paling gelap dari kemanusiaan. Antichrist sendiri, yang akan saya ulas sekilas, menghubungkan tiga poin: teologi, gender dan psikologi. Poin pertama dapat dengan mudah ditemukan dalam judulnya, Antichrist. Di luar itu, film ini bisa dilihat sebagai kristianitas-terbalik dengan referensi dari kisah keterlemparan manusia dan penebusan. Poin kedua diantisipasi dengan permainan huruf dalam penulisan judul: menambahkan lingkaran di atas huruf ‘T’ sehingga membentuk simbol feminin. Hal ini diperkuat dengan penokohan protagonisnya yang anonimus, sekedar ‘Lelaki’ dan ‘Perempuan’, menandakan bahwa keduanya bukan sekedar individu melainkan wakil arketip dari gender masing-masing. Poin ketiga akan saya uraikan nanti. Baiklah. Antichrist. Film dibuka dengan prolog hitamputih yang disajikan dalam slow-motion tanpa suara–kecuali aria yang dinyanyikan entah oleh siapa, menyajikan soundtrack yang memilukan–dengan keanggunan dan keagungan yang nyaris kitsch-y, menggambarkan adegan persenggamaan dua tokoh utama, sepasang suami istri, dan anak mereka, Nick, yang baru saja terbangun dari tidurnya. Coitus berlangsung dari kamar mandi sampai kamar tidur. Nick turun dari tempat tidurnya dengan boneka di tangan, menoleh sepintas pada kedua orang tuanya yang sedang melakukan aktivitas
50
PROBLEMFILSAFAT
yang tidak ia mengerti, melihat ke luar jendela, terkesima oleh salju yang berjatuhan dari langit. Beberapa kali kamera beralih fokus; dari persetubuhan lelaki dan perempuan, dan Nick yang memanjat kursi, menyingkirkan tiga patung kecil personifikasi dari tiga pengemis–grief, pain dan despair–lalu (entah apa yang ia pikirkan) melompat ke luar jendela. Tubuhnya terhantam salju tanpa suara, tapi menyalakan alarm yang cukup keras dalam benak kita. Dari adegan ini kita menyaksikan kematian di tengah proses penciptaan. Adegan ini menjadi pemantik dari keseluruhan narasi Antichrist. Selepas pemakaman–‘Lelaki’ menangis sedikit saat itu, sedang ‘Perempuan’ nampak tanpa ekspresi sampai ahirnya jatuh pingsan—narasi melompat ke dua bulan setelahnya. ‘Perempuan’ menghabiskan bulan-bulan itu di rumah sakit, kesadarannya datang silih berganti. ‘Lelaki’— yang seorang terapis—tidak percaya akan terapi yang diterima ‘Perempuan’, memutuskan untuk memikul tanggung jawab atas istrinya. Dalam adegan-adegan ini, kita disuguhi drama keluarga tentang pasangan yang sedang berkabung. Istri jatuh pada depresi, sedang suami berusaha mengatasinya dengan membantu istrinya mengatasi kesedihan atas kehilangan anak mereka. Semuanya sangat rasional. Secara rasional ‘Lelaki’ merawat ‘Perempuan’, mencoba menelusuri keadaan psikologis istrinya, dan berusaha membantu istrinya keluar dari “penyakit” yang ia derita. Dengan rasionalisasi psikologis, ‘Lelaki’ mengajak ‘Perempuan’ untuk menghadapi kesedihannya, dengan cara mengatasi ketakutan dan memahami bahwa rasa takut tidak berbahaya. Sedangkan ‘Perempuan’, dalam kondisi depresi, memilih lari pada hubungan seksual yang “liar”, mencoba “memperkosa” ‘Lelaki’ pada setiap saat yang mungkin. Dalam beberapa percakapan, terungkap bahwa hutan adalah tempat yang paling ditakuti ‘Perempuan’. Lebih tepatnya, Eden, di mana mereka memiliki sebuah kabin di tengah belantara. ‘Lelaki’ menggambar sebuah piramida di atas kertas dan menulis “Eden (garden)” sebagai hal yang paling ‘Perempuan’ takuti, yang kemudian disanggah: Eden bukan yang paling ia ditakuti, melainkan sesuatu yang
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
RESENSIRESENSI
“lain”. Kemudian ‘Lelaki’ menaruh sebuah tanda tanya di pucuk piramida itu. Atas usulan ‘Lelaki’, mereka berdua pergi menuju Eden, agar ‘Perempuan’ bisa berkonfrontasi dan merasionalkan ketakutannya. Dari sini, rasionalitas mulai melebur. Jembatan yang mereka sebrangi menuju Eden adalah jembatan simbolis, garis batas antara kebudayaan dan alam, reason dan chaos. ‘Perempuan’ berjalan di atas tanah Eden yang membara, bukan di atas tanah surgawi—kembalinya mereka ke taman Eden bukanlah penebusan atau momen penyatuan dengan Tuhan, melainkan malah turunnya mereka pada neraka subkonsius. Beberapa kali ‘Lelaki’ mencoba menganalisa sumber ketakutan ‘Perempuan’ di sini. Ketika ‘Perempuan’ mengutarakan bahwa alam adalah “gereja Satan”, ‘Lelaki’ menuliskan Satan di posisi paling atas piramida, kemudian mencoretnya. Begitu ia mencapai kedalaman tertentu, ‘Lelaki’ menuliskan kata “aku”, ketakutan paling besar dari diri ‘Perempuan’ adalah dirinya sendiri–untuk kemudian dicoret lagi. “Tiga pengemis” adalah motif yang berkali-kali muncul dalam film ini. Pada adegan prolog, kita melihat patung kecil personifikasi atas ketiganya; kesedihan, rasa sakit dan putus-asa. Film ini pecah dalam empat bagian; grief, pain (chaos reigns), despair dan three beggars. Di Eden, kita mendapati ketiganya dalam simbol binatang; rusa yang membawa anaknya yang mati, rubah yang memakan dirinya sendiri dan burung gagak yang mati berkali-kali. Ketiganya menjadi simbol atas irasionalitas human nature dan mungkin merupakan garis besar tema ketiga film ini: psikologisme. Ego, rusa, hanyut dalam kesedihan akan kematian anak dan menghindari konfrontasi atas masalah itu, mengalihkannya pada seks. Super-ego, rubah, menggambarkan irasionalitas ujaran; ‘Perempuan’ dengan ketakutannya akan ‘sesuatu yang lain’ dan rubah yang memakan dirinya sendiri dan menyatakan “chaos reigns”. Terahir, burung gagak yang tersembunyi dalam lubang pohon, menyimbolkan Id yang tersembunyi di timbunan kesadaran, tidak bisa diusir meski berkali-kali dibunuh. Semakin ‘Lelaki’ berusaha mengontrol, ‘Perempuan’ semakin sulit untuk dikendalikan. Dalam framing kristianitas-terbalik dari kisah penyelamatan, tiga pengemis menggantikan tiga raja majus–yang datang untuk membawa berita lahirnya sang penebus–dan berperan sebagai agen chaos. Tak ada momen penyelamatan di sini–kecuali anda membaca adegan kastrasi di film ini sebagai penghancuran sumber rasa bersalah seksual, mengembalikan ‘Lelaki’ dan ‘Perempuan’ pada kesucian– yang ada hanya konfrontasi alam ‘Perempuan’ yang khaotik dengan rasionalitas ‘Lelaki’ yang berbudaya. Dalam flashback, kita menemukan bahwa ‘Perempuan’ membawa Nick ke kabin di Eden untuk mengerjakan tesis doktoralnya mengenai gynosida–istilah feminis untuk pembantaian dan penyiksaan atas perempuan–dan mendapati bahwa pengetahuan yang ia cari adalah bohong belaka. ‘Lelaki’ menunjukkan bahwa seharusnya ‘Perem-
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
puan’ membaca gynosida dengan kritis, tapi ‘Perempuan’ malah menerima gagasan bahwa perempuan benar-benar bersalah atas kejahatan yang dituduhkan atasnya. ‘Perempuan’ merangkul dosa atas keterlembaran manusia di dunia, sehingga Tuhan sendiri harus terlahir dan mati sebagai manusia untuk menebus dosa itu. ‘Perempuan’ bertanggung jawab atas kematian Anak Manusia ini. Perempuan adalah ibu dari segala penderitaan dengan kesedihan yang terlampau lapang untuk termuat dalam dunia yang didominasi oleh rasionalitas maskulin. Dengan kembali ke Eden, ‘Lelaki’ dihadapkan pada irasionalitas alam, kegilaan ‘Perempuan’–dan yang paling mengerikan, irasionalitas yang terredam rasio dalam dirinya sendiri. Tiga pengemis–kesedihan, rasa sakit dan putusasa–muncul satu persatu, hanya di hadapan ‘Lelaki’, dalam adegan yang tidak mengikut-sertakan ‘Perempuan’ sampai di penghujung cerita di mana ketiganya muncul bersamaan. Hal ini tidak hanya menandakan bahwa ‘Lelaki’ berhadapan dengan alam ‘Perempuan’, tapi juga berhadapan dengan alam dirinya sendiri. “Chaos berkuasa” bukan hanya atas diri ‘Perempuan’ tapi juga atas ‘Lelaki’, meski dalam usaha merasionalkan chaos, ‘Lelaki’ memproyeksikannya pada ‘Perempuan’. ‘Lelaki’ adalah bagian dari alam dan rasio yang ia miliki merupakan “hadiah” alam. Akan tetapi, ‘Lelaki’ dengan kesombongannya, ingin menundukkan alam pada rasio dan gagal menerima bagian irasional alam. Rasio menjadi penghalang, layaknya pemberat yang ditanamkan ‘Perempuan’ dalam kaki ‘Lelaki’ pada penghujung bagian ketiga film ini. Ketika ‘Lelaki’ berhasil melepaskan pemberat di kakinya, tiga pengemis dalam representasi rusa, rubah dan gagak datang, berkumpul di antara ‘Lelaki’ dan ‘Perempuan’. Adegan ini merupakan titik balik dari pergulatan ‘Lelaki’, di mana ia menyingkirkan rasio dan membiarkan chaos dalam dirinya berkuasa. Ia memandang dengan jijik monster dihadapannya dan balik menghancurkan ‘Perempuan’. Alam chaotik perempuan meledak dalam diri ‘Lelaki’. ‘Perempuan’ kemudian dibakar di pohon layaknya penyihir perempuan di abad pertengahan. Pembacaan ini menunjukkan bahwa cult misoginis laki-laki adalah berkuasanya alam irasional. Kejahatan sudah ada disana, di alam, jauh sebelum laki-laki dan perempuan. Kejahatan sudah ada di ‘taman Eden’ sebelum mereka ada di sana, termanifestasi sebagai misteri tanpa nama. Kita akan mendapati kejatuhan manusia–pada prolog di mana Nick jatuh dari jendela–tapi kita tidak melihat kehadiran ular. Hal ini menandakan, apapun yang menjadi sumber kejahatan, ia sudah melaksanakan tugasnya sebelum kita memasuki taman Eden. Akhir film menunjukkan skor; ‘Perempuan’ mati di tangan ‘Lelaki’, tapi bukan sebagai kemenangan rasio atas alam. Justru sebaliknya, rasio tunduk pada alam. Meskipun ‘Lelaki’ terus berusaha mengenyahkan alam, alam ada dalam dirinya juga. Tak heran bila pada akhirnya ‘Lelaki’ tidak bisa ditemukan dalam lautan feminin tanpa wajah: dia merupakan bagian dari lautan itu juga.
P R O B L E M F I L S A F A T 51
DESKRIPSI
SITUASI DAN TUGAS-TUGAS MENDESAK PERBURUAN oleh PAULUS SURYANTA GINTING
memproduksi Jeans dan T-Shirt, tempat dimana Adon dan 2 ribuan buruh lainnya bekerja, menggaji mereka dengan rendah, rata-rata Rp.1.380.000 per bulannya. Dari gaji tersebut, ibu satu anak yang telah bekerja 10 tahun ini harus menyisihkan gajinya untuk berbagai kebutuhan hidup: biaya kost, biaya makan dan minum, pakaian, biaya sekolah anak, transportasi, perobatan, dan sebagainya. Setiap harinya buruh PT. Makalot harus menghasilkan barang (Jeans dan T-Shirt) sebanyak 200 pieces per linenya, dimana setiap orang buruh menghasilkan 2 hingga 3 pieces jeans/T-Shirt, rata-rata per Jeans/T-Shirt yang dihasilkan berbandrol 200an ribu rupiah. Artinya setiap buruhnya menghasilkan rata-rata lebih dari 600an ribu rupiah, sedangkah per harinya mereka hanya di gaji kurang dari Rp. 50.000 untuk waktu kerja 8 Jam kerja. Adon dan kawan-kawannya tidak jarang harus lembur dan sering pula lembur mereka tidak dibayar. Sehingga, Adon per harinya menghasikan lebih dari 600an ribu rupiah, apalagi lembur (12 Jam kerja), akan lebih pula keuntungan yang didapat perusahan dan mendapatkan gaji yang tidak setimpal dengan apa yang dikerjakan dan waktu yang dikerjakan. Kondisi Adon beserta buruh-buruh PT. Makalot Industrial Indonesia yang hidup dengan upah rendah, lembur tidak dibayar, status kerja kontrak, tidak diberikannya hak cuti (hamil, haid, keguguran dan melahirkan) adalah cermin situasi perburuhan di negeri ini. *Illustrasi: DadaTerbit
Setiap paginya puluhan ribu buruh (mayoritas perempuan) berjalan seperti kawanan semut menuju kawasan industri berikat nusantara cakung (KBN Cakung). Adon adalah salah seorang di antara ribuan buruh yang bekerja di KBN Cakung. Adon, seperti jutaan buruh di negeri ini, hidup miskin dengan beban ekonomi dan sosial yang besar, sedangkan imbalan jerih payahnya tak setimpal dengan energi dan waktu yang diberikan. PT. Makalot Industrial Indonesia, misalnya, perusahaan garment asal Taiwan ini
52
PROBLEMFILSAFAT
Industrialisasi Nasional yang Rapuh Ekonomi pasar bebas (Free Market) yang digembargemborkan dapat mempercepat kemajuan ekonomi negeri kapitalis terbelakang, seperti Indonesia, nyatanya hanya pepesan kosong semata. Lihat saja, pertumbuhan ekonomi yang meningkat 6,4% plus cadangan devisa sebesar 105,7 Miliar Dollar AS serta kredit perbankan meningkat sebesar 24,6% (year on year) atau mencapai Rp1.772,4 triliun, tetapi tidak banyak pengaruhnya terhadap peningkatan upah, penambahan lapangan kerja, apalagi standar hidup yang layak. Faktor utama rendahnya kesejahteraan buruh dan rakyat bukan sekedar karena inflasi yang tinggi 6,65%
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
DESKRIPSI
atau infrastruktur (transportasi, jalan, listrik) lemah seperti yang didengungkan oleh IMF dan ekonom borjuis sebagai overheating, problematikanya lebih jauh daripada itu, lebih fundamental. Secara historis, kapitalisme Indonesia merupakan kapitalisme “cangkokan” yang dipersiapkan oleh kolonialisme Belanda, pada awalnya hanya untuk mengejar target trend perdagangan pada masa itu di Eropa, seperti gula, rempah-rempah, tekstil. Sehingga industri yang dibangun adalah industri yang menopang arah perdagangan Belanda di Eropa bukan membangun industri dasar yang kuat, seperti halnya yang dilakukan Inggris di India dengan membangun industri baja dan besi. Sehingga basis industri apapun bisa disiapkan sebab teknologinya bisa dikembangkan, bukannya diimpor. Tahun 1965 merupakan pintu masuk modal asing ke Indonesia. Tentu saja setelah menghancurkan penghambat utama modal asing: Soekarno dan kekuatan Anti Imperialis (komunis dan nasionalis kiri). Melalui UU PMA 1967 dan UU PMDN 1967 modal barat masuk ke negeri ini. Pembangunanisme (developmentalism) mulai dijalankan dengan mengandalkan investasi asing dan pinjaman luar negeri serta stabilisasi politik melalui Dwi Fungsi ABRI. Hasilnya, lapangan kerja terbuka dan angkatan kerja yang dapat terlibat dalam proses produksi meningkat. Produksi andalannya adalah tekstil, beras, kayu, dll. Akan tetapi, industri ini sejatinya rapuh, karena industri dasar (besi, baja), industri berat (mesin-mesin untuk produksi tekstil) dan industri ringannya (industri konsumsi) sedari awal tidak dibangun. Artinya, secara historis hingga saat ini industri dalam negeri merupakan industri yang memproduksi bahan mentah (Raw Material)—ini pun investasi terbesarnya adalah asing (Amerika, Jepang, dll)—yang selanjutnya di ekspor ke luar negeri, dan kemudian mengimpor barangbarang setengah jadi untuk dirakit menjadi barang jadi (misalnya, industri perakitan elektronik, otomotif, dll): industri subtitusi impor. Jadi, tidak ada pembangunan industri dari hulu hingga ke hilir di setiap sektornya, secara kuat dan terencana apalagi dalam soal teknologi, baik untuk eksplorasi, eksploitasi barang mentah hingga perakitan, 90an% masih tergantung kepada teknologi asing— tercatat 92% teknologi industri diimpor dari negeri-negeri industrialis seperti Jepang (37%), Amerika (9%), Eropa (27%), dan bahkan China (4%). Inilah yang membuat Indonesia menjadi negeri yang sangat bergantung pada pertumbuhan negeri-negeri kapitalis. Faktor tersebut pula yang menjadi dasar mengapa karakter borjuasi dalam negeri begitu sangat lemah, tunduk dihadapan modal asing (Imperialis)—wujud pengaruh kapasitas basis produksi terhadap superstruktur (kebudayaan, politik) borjuasi. Industri nasional yang lemah; rapuh; subtitusi impor ini pula yang disisi lain memberikan dampak yang besar terhadap situasi perburuhan, bahkan kesadaran (consciousness) kaum buruh industri itu sendiri. Substitusi impor yang sekedar mengandalkan
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
ekspor massif atas bahan-bahan mentah ataupun perakitan dan distribusi komoditi tidak menuntut tenaga kerja mahir sebagai tulang punggung industri ini—inilah yang menjadi pembeda utama dengan industri negeri maju yang berkembang teknologi, struktur dan manajemen industrinya, yang membutuhkan tenaga kerja professional secara massal— sehingga, prioritas utama penyerapan tenaga kerja adalah tenaga kerja yang siap menjadi pelengkap industri substitusi impor ini: buruh teknis. Bukan tenaga kerja professional yang mampu mengembangkan; menginovasi teknologi bukan sekedar mengoperasionalkan teknologi. Teknologi yang digunakan pun adalah teknologi yang sederhana; yang mudah untuk dioperasionalkan secara manual dan dengan manajemen yang tidak terlalu rumit. Itulah sebabnya, sejak masa kolonialisme Belanda, Jepang, terlebih masa Orde Baru, pembangunan sumber daya manusia di negeri ini lebih berorientasi bagaimana agar bisa cepat masuk dalam dunia industri kapitalis, konsep pendidikan Link and Match— pendidikan yang disesuaikan dengan tuntutan dunia bisnis. Begitupun juga terhadap upah. Upah yang rendah secara nasional, bahkan di beberapa tempat upah buruhburuhnya jauh lebih rendah dari rata-rata upah minimum nasional, seperti misalnya upah minimum Kabupaten Cilacap Rp. 675.000, faktor utamanya tidak hanya politik (kebijakan upah pemerintah) tetapi implikasi dari kapasitas dan karakter industri itu sendiri. Sebagaimana dipaparkan diatas, industri subtitusi impor, seperti di Indonesia, memiliki ketergantungan terhadap barang-barang modal (suku cadang, mesin, komputer, alat berat, dll), sehingga naik turunnya mata uang rupiah terhadap dollar, atau naik turunnya harga barang modal di level internasional berpengaruh terhadap tingkat keuntungan perusahaan. Agar komoditi yang dihasilkan harus bisa bersaing dalam hal harga dan kualitas dengan komoditi jadi dari perusahaan besar asing maka, sasaran penyerapan keuntungan perusahaan adalah upah buruh yang dibuat menjadi rendah. Modal yang kecil merupakan penyebab lainnya mengapa tingkat upah begitu rendah, sehingga penggunaan industri rendah teknologi untuk menghasilkan komoditi membuat hasil komoditi tidak layak saing dengan industri besar dengan teknologi lebih modern dan jumlah produksi lebih massal, biaya produksi lebih murah. Itulah sebabnya, tingkat eksploitasi kapitalis terhadap buruh (upah dan waktu kerja) di negeri-negeri subtitusi impor jauh lebih besar dibandingkan buruh-buruh di negeri kapitalis maju. Kapasitas industri yang rapuh ini juga berpengaruh terhadap sistem ketenagakerjaan/perburuhan. Jika diperbandingkan dengan Eropa, Amerika, dan Jepang atau negeri kapitalis maju lainnya, sistem perburuhan di Indonesia menyulitkan bagi buruh untuk mengembangkan dirinya sebagai buruh ataupun sebagai manusia pada umumnya. Status kerja yang kontrak, lembur tidak dibayar, perlindungan dan tunjangan kerja yang minim, dan lainnya, merupakan kenyataan sehari-hari dunia perburuhan di negeri ini.
P R O B L E M F I L S A F A T 53
DESKRIPSI
Kenyataan ini tentu ada hubungannya dengan tipe industri nasional yang substitusi impor tersebut. Karena modalnya yang kecil, ketergantungan yang besar tehadap barang modal (asing), terlebih tidak sedikit perusahaan yang non ekspor, maka, jalan untuk melapangkan percepatan akumulasi kapital adalah politik perburuhan (sistem perburuhan) itu sendiri. Sistem yang melegitimasi buruh: tidak dapat berorganisasi, tidak mendapatkan hak-hak normatifnya, tidak dapat mengembangkan kapasitasnya (pengetahuan, kesehatan, pengalaman), bahkan membuat buruh tidak berani melawan. Tapi, kemajuan sistem perburuhan di negeri kapitalis maju, walaupun masih dalam ruang lingkup hubungan produksi kapitalisme, sesungguhnya hasil dari perjuangan kaum buruh dan rakyat untuk memenangkan hak-hak ekonomi dan politiknya, bukan hadiah dari kapitalis dan kapitalisme. Neoliberalisme: Peningkatan Level Penghisapan Dijalankannya proyek Neoliberalisme, sebagai reformula “obat� krisis over produksi kapitalisme di negerinegeri maju, memberi dampak yang jauh lebih besar terhadap kondisi hidup buruh, tingkat kemiskinan dan level penghisapan. Neoliberalisme yang sedianya adalah konsep, bentuk dan metode agar kapitalisme bisa berputar kembali, mensyaratkan dihapuskannya monopoli; campur tangan negara dalam bidang ekonomi (perdagangan, keuangan, infrastruktur, subsidi sosial), agar perluasan: investasi, eksploitasi (alam dan sumber daya manusia), serta penumpukkan kapital, dapat berjalan secara cepat. Melalui berbagai regulasi ( UU, Perpu, PP, Perda), proyek neoliberalisme dijalankan. Tanggung jawab negara terhadap individu (warganya) mulai ditanggalkan, perlahan tapi pasti. Subsidi pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, energi (BBM, Listrik) mulai dikurang, bahkan dicabut. Rendahnya subsidi untuk pendidikan dan kesehatan ditunjukkan dengan pemberian untuk kesehatan sebesar Rp 9,9 triliun, pendidikan sebesar Rp 30,8 triliun (data 2010). Jauh lebih besar pengeluaran untuk pembayaran utang sebesar Rp 30,8 triliun. Bangladesh saja, biaya peningkatan pelatihan dan peningkatan sumber daya manusianya diatas US$ 1.00 per kapita;sedangkan di Indonesia dibawah US$ 1. Pengurangan subsidi pendidikan dan kesehatan jelas berpengaruh terhadap kualitas tenaga kerja negeri ini. Tanggung jawab mengembangkan kapasitas pengetahuan, pengalaman, manajemen diletakkan pada individu buruh, individu rakyat, tidak ada (bahkan tidak boleh ada) campur tangan pemerintah untuk mengembangkannya. Akibatnya, penggunaan tenaga kerja kurang ahli lebih diutamakan, selain karena memang ini yang tersedia. Padahal, menurut hasil kajian Maddison (1970) dan Robinson (1971), pembangunan di sektor pendidikan dan kesehatan memberikan kontribusi 40% terhadap pertumbuhan ekonomi negaranegara yang diteliti, karena dengan pembangunan pendi-
54
PROBLEMFILSAFAT
dikan dan kesehatan berhasil meningkatkan jumlah tenaga kerja profesional. Pencabutan subsidi BBM, listrik, liberalisasi pasar; keuangan, bahkan privatisasi badan usaha milik negara berdampak langsung dan tidak langsung terhadap buruh. Kelas buruh, sebagai individu maupun kolektif, menjadi bagian dari masyarakat (society) yang mengatur cara produksinya dalam hubungan produksi kapitalisme. Sehingga, perubahan metode penghisapan kapitalisme secara makro (misal dari Keynesian ke Neoliberalisme) berpengaruh terhadap buruh itu sendiri. Misalnya: i. Dengan di privatisasinya perusahaan-perusahaan milik negara maka semakin sedikit alokasi anggaran pemerintah untuk subsidi sosial ataupun penciptaan lapangan kerja bagi pengangguran; bahkan liberalisasi perusahaan negara di sektor energi, air, pupuk, membuat harga energi (listrik, BBM,) minuman, makanan, melonjak drastis dari biaya produksi awalnya; ii. pencabutan subsidi energi dan transportasi melonjakkan harga kebutuhan pokok (sewa rumah/kamar, beras, susu, daging, sayur-sayuran, minyak goreng, minyak tanah, listrik, dll); iii. liberalisasi perdagangan mengakibatkan naik-turunnya harga barang pokok cepat terjadi dan berbeda-beda harganya di satu tempat dengan tempat lainnya, karena tidak ada monopoli pemerintah, itulah yang disebut harga ditentukan sepenuhnya oleh hukum permainan pasar. Untuk kebutuhan-kebutuhan mendasar buruh yang tidak bisa sepenuhnya ditalangi dari gaji pokok buruh; iv. bahkan, liberalisasi keuangan sangat berpengaruh terhadap kondisi buruh. Gelembung modal yang semakin besar (financial buble), yang tidak menetes ke sektor-sektor riil, tetapi hanya masuk ke sektor-sektor non produktif (pinjaman bank, belanja negara dan militer, pembiayaan aparatus), suatu saat akan meledak dan implikasinya mengakibatkan negeri yang sangat bergantung kepada keuangan, teknologi, barang modal dan barang bahan baku, seperti Indonesia, akan membuat harga melonjak cepat, seperti yang pernah terjadi pada tahun 1997-1998 di Indonesia, Meksiko, Thailand, dll. Sehingga, walaupun upah minimum provinsi (UMP) secara nasional rata-rata naik sebesar 10% di tahun 2011. Misalnya DKI Jakarta yang meningkat sekitar 15,38% dari Rp 1.118.009 menjadi Rp 1.290.000, tetapi kenaikan biaya: sewa rumah/kamar, makanan, minuman, listrik, pendidikan, pakaian, transportasi, susu, cabai, daging, sayuran, membuat tidak ada banyak perbedaan bahkan sesungguhnya upah buruh menjadi lebih rendah. Lebih kongkretnya, Adon, buruh PT. Makalot Industrial Indonesia, hidup dengan gaji rata-rata Rp.1.380.000 (belum termasuk upah lembur yang dihitung dan seringkali kerja lemburnya tidak dibayar), harus mengeluarkan hasil kerjanya Rp.300.000 untuk sewa kamar, Rp. 900.000 untuk biaya makan dan minum (sudah termasuk minyak tanah, cabai, daging, susu, beras, bawang, sayur-sayuran, minyak
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
DESKRIPSI
goreng, bumbu, air galon, dll) per bulannya, Rp. 500.000 Apalagi masuk ke lapangan kerja industri berat yang memdikirimkan untuk biaya sekolah dan hidup anaknya di kam- butuhkan kecakapan penggunaan teknologi yang maju. Sepung, Rp. 100.000 untuk peralatan mandi dan perlengka- hingga, secara ekonomi, sistem kerja kontrak dan outsourcing pan perempuan. gagal meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan gaji sebesar itu, Adon harus menambah Tetapi lain halnya dengan peningkatan level akuintensitas kerjanya dengan lembur agar ada pendapatan mulasi kapital si kapitalis, dengan hanya membayar upah lebih. Tapi dengan upah sebesar itu juga Adon tidak bisa pokok buruh kontrak dan outsource, tanpa membayar pesanmengembangkan kapasitas untuk sekolah, mengikuti kur- gon, tunjangan-tunjangan masa kerja, ataupun dipusingkan sus-kursus, membeli buku, membeli koran, menonton film dengan persoalan PHK apalagi pendirian serikat pekerja atau lagu-lagu bermutu. Apalagi untuk urusan masa depan, yang bisa mengganggu si kapitalis meraup keuntungan dan berolahraga yang membutuhkan biaya (misalnya: renang), target produksi, alhasil fleksibilitas pasar tenaga kerja bermembeli tanah dan membangun rumah, menabung untuk hasil membantu kapitalis untuk meningkatkan level penghari tua. Kapitalisme, dengan metodenya paling mutakhir: hisapan (exploitation), dan selanjutnya level keuntungan (acuNeoliberalisme telah melummulation of capital). puhkan Adon sebagai manu Tapi dampaknya terhasia—yang seharusnya maju dap buruh sendiri, sungguh dan bebas— baik di Pabrik mengerikan. Buruh semakin maupun diluar pabrik. tak memiliki perlindungan Peningkatan level terhadap kondisi kerja mereksploitasi tidak hanya soal eka, ketidakpastian terhadap besaran upah dan pengelupendapatan, upah yang searan yang tinggi akibat penmakin rendah—nota bene etrasi neoliberalisme—yang tingkat daya beli secara namembuat harga barang dasional juga menurun— serta gangan (komoditi) meroket lemah posisi tawar (bargain jauh dari nilai sebenarnya— position) pekerja di hadapan tapi juga sistem kerja itu. kapitalis. Melalui konsep fleksibilitas Fleksibilitas pasar tenaga pasar kerja (Labour Market kerja juga berpengaruh terFleksibility) yang disahkan hadap semakin terdiferenoleh pemerintah melalui Unsiasinya upah dan tingkat dang-Undang 13/2003 Kekesejahteraan di antara butenagakerjaan, imperialism ruh itu sendiri, dan selain memenangkan kesempatanitu memfragmentasikan bunya untuk menghisap kaum ruh dalam dikotomi pekerja buruh lebih dalam lagi, dan tetap dan pekerja kontrak. lagi. Akibatnya, banyak serikat Fleksibilitas pasar buruh kehilangan anggotankerja (Labour Market Flexya karena perubahan status ibility), dengan bentuk status kerja (selain faktor PHK). kerja kontrak ataupun outSistem perburuhan semasourcing dijalankan dengan cam ini yang mempengaruhi *Illustrasi: DadaTerbit pembenaran ekonom borjuis agar ada pertumbuhan eko- perkembangan kekuatan dan solidaritas sesama kaum bunomi yang lebih baik karena: fleksibilisasi pasar kerja akan ruh. menghasilkan pemerataan kesempatan kerja yang selanjutnya dapat menciptakan perbaikan tingkat pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan, ternyata tidak lebih upaya Ruang Demokrasi yang Dipersempit kapitalisme, negara untuk lepas dari pemenuhan hak-hak Situasi kaum buruh yang terkungkung dengan mendasar buruh, bahkan “perbudakan” buruh itu sendiri. penindasan pabrik itu semakin diperparah dengan berb Pada kenyataanya, asumsi pertumbuhan ekonomi agai aturan, sistem yang menghambat perkembangan kaum ke arah yang lebih baik itu hanya “tong kosong nyaring buruh itu sebagai Kelas yang seharusnya memimpin perlabunyinya” saja. Obyektifnya, 95% tenaga kerja Indonesia wanan terhadap Kapitalisme. Hal itu ditunjukkan dengan kurang terampil, sehingga tidak mungkin pekerja untuk aturan-aturan yang menghambat kaum buruh untuk berordapat secara fleksibel berpindah dari satu pabrik ke pabrik ganisasi, mengembangkan organisasinya, menjalankan aklain, atau industri lain, atau sektor lain, atau daerah lain. tivitas organisasinya, berpendapat, bahkan melawan: Union
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
P R O B L E M F I L S A F A T 55
DESKRIPSI
Busting (pemberangusan serikat buruh). 1998-2002 adalah periode kebangkitan kaum buruh. Berbagai organisasi buruh independen berdiri (misal: FNPBI, SBKU, SBN, dll), terbentuknya federasi dan konfederasi serikat pekerja reformis (misal: SPMI, KSPI, SPSI Reformasi) hasil dari perpecahan di konfederasi serikat buruh kuning (KSPSI)— harus dipandang positif sebagai buah perjuangan reformasi—ataupun mobilisasi kaum buruh dalam menuntut perjuangan ekonominya di pabrik, perjuangan ekonomi secara nasional, perjuangan politik perburuhannya (misal penolakan revisi UU No. 13/2003). Akan tetapi, hasil perjuangan reformasi 1998 dalam soal partisipasi buruh dalam berorganisasi, menjalankan aktifitas organisasinya di pabrik, bebas berkumpul dan berpendapat di pabrik, kini mulai menyempit. Faktorfaktornya disebabkan oleh: 1. Perluasan eksploitasi Imperialisme (sebagai “obat� krisis) yang dilakukan melalui kawasan ekonomi khusus (KEK), fleksibilitas tenaga kerja, upah yang rendah membutuhkan stabilisasi modal, stabilisasi kondisi kerja di Pabrik. Stabilisasi iklim kerja di Pabrik inilah yang selanjutnya secara mikro diterjemahkan oleh pihak pengusaha dengan melarang buruh-buruhnya: berdemonstrasi, mogok, menjalankan aktifitas organisasinya, meskipun hak untuk berorganisasi sudah tertuang dalam undang-undang dasar ataupun UU 13/2003. 2. Selain faktor eksternal, kepentingan Imperialis dan Kapitalis dalam negeri, pada dasarnya kemunduran demokrasi di buruh disebabkan kapasitas gerakan buruh itu sendiri yang belum sanggup menajamkan kemenangan perjuangan 1998. Problem kapasitas gerakan buruh tersebut antara lain: a) Adaptasi beberapa serikat buruh non serikat buruh kuning terhadap tekanan kebijakan imperialis (SPN, SPSI Reformasi, KSBSI). Adaptasi ini ditunjukkan misalnya dengan (Aksi May Day dilakukan dengan gerak jalan, mendukung penyelesaian hubungan industrial secara bipartit, mendukung adanya fleksibilitas upah). b) belum sanggupnya, kekuatan serikat buruh progressif dan serikat pekerja reformis radikal menjadi kekuatan utama pendobrak demokrasi di perburuhan dan menjadi alternative dari dominasi serikat buruh kuning (KSPSI). c) penurunan kesadaran politik buruh secara umum yang disebabkan oleh tekanan yang besar akibat upah rendah yang berbeda-beda, status kerja, dll. Dominasi Serikat Buruh Kuning Dari pemaparan di atas, jelas sekali, bahwa gerakan buruh sedang kalah, bukan sepenuhnya kalah, tapi (sekali lagi) sedang kalah dan mengadaptasi kekalahannya dengan berbagai bentuk. Kekalahan utamanya bukan saja
56
PROBLEMFILSAFAT
soal bagaimana memanfaatkan ruang demokrasi hasil dari perjuangan reformasi 1998, kemudian menjadikan ruang tersebut untuk mengembangkan kekuatan dan kesadaran Proletariat. Gerakan buruh juga gagal memenangkan tuntutantuntutan minimumnya: baik dalam memenangkan tuntutan di pabrik (upah, lembur, status kerja, cuti, dll), maupun tuntutan perlindungan hukumnya (undang-undang, peraturan pemerintah, dll). Kekalahan (yang bisa sementara, bisa berlanjut dan semakin dalam) dalam soal memenangkan kesejahteraan minimum sektoralnya ini yang mengakibatkan kaum buruh (terutama buruh dari sektor makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, perkayuan) kesulitan untuk membangun syarat-syarat kemajuan kesadaran kelasnya (organisasi, pendidikan dan bacaan, mobilisasi massa), karena mereka terjebak dengan tekanan penindasan kapitalisme: upah, lembur, status kerja, disiplin kerja pabrik. Padahal, syarat bagi kaum buruh bisa berkembang kesadarannya, adalah ada ruang yang luas bagi buruh untuk berorganisasi, memajukan pengetahuan, sehat, berkebudayaan maju, dsb. Seperti yang sedikit dipaparkan diatas, kekalahan ini disebabkan oleh belum sanggupnya serikat buruh progressif mengembangkan kekuatan dan hegemoni politikideologinya. Padahal ada beberapa kemajuan di lihat dari konfigurasi kekuatan serikat pekerja paska reformasi 1998. Kalau kita lihat dari berbagai data komposisi serikat pekerja, terjadi perubahan peta organisasi buruh. Reformasi 1998, telah berhasil menghasilkan perubahan Pohon Serikat Pekerja yang mulanya pada masa Orde Baru dikuasai oleh Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI). Pra-1998 sebenarnya telah melahirkan serikat pekerja independent seperti PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia) dan SBSI (Solidaritas Buruh Sejahtera Indonesia). Paska tergulingnya rezim Soeharto, serikat buruh indepent ini bermunculan di berbagai daerah, baik itu hasil pengorgansiran kelompok LSM lokal, kelompok mahasiswa ataupun perpecahan di dalam tubuh SPSI. Perpecahan terbesar dalam tubuh SPSI sendiri menghasilkan 2 blok besar: SPSI dan SPSI Reformasi. SPSI Reformasi sendiri pecah menjadi beberapa kelompok contohnya: SPMI, SPN, SPTSK, dsb. SBSI sendiri mengalami perpecahan: KSBSI dan SBSI 92 yang kekuatan terbesarnya di Medan. KORPRI (Korps Pegawai Negeri) juga mengalami polarisasi, misalnya berpisahnya SP-PLN, Federasi Serikat BUMN Bersatu ( SP Angkasa Pura, SP Telkom, SP Merpati), hal serupa juga terjadi di serikat buruh perkebunan. Dasar perpecahan sendiri berbeda-beda, ada yang disebabkan semangat reformasi 98: kehendak mandiri dan
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
DESKRIPSI
bebas dari dominasi serikat pekerja kuning (SPSI) dan apresiasi terhadap politik mobilisasi .tapi tidak sedikit juga perpecahan yang didasari hal yang kurang prinsipil, misalnya pertarungan kepentingan elit pimpinan serikat pekerja itu sendiri. Tapi dari 11 tahun paska reformasi adalah beberapa hal yang menjadi kemajuan tapi tidak sedikit juga mengalami kemunduran, diantaranya: a. Konsolidasi serikat buruh-serikat buruh indepent berhasil membangun Aliansi Buruh Menggugat (ABM) pada tahun 2006 yang dimotori oleh Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), SBTPI, FPBJ, SBSI 92, GSBI, FNPBI dsb. Secara politik, ABM berhasil memberikan warna politik kiri dalam peta gerakan buruh. ABM pada perkembangannya berhasil menstruktur persatuan di berbagai daerah, memproduksi bacaan, menyelenggarakan pendidikan dan konferensi bersama, menyelenggarakan aksi serentak secara nasional bahkan menginisiasi pembentukan persatuan multisektoral (Front Pembebasan Nasional, Mei 2008). Akan tetapi, ABM tidak sanggup mempertahankan kontinuitas persatuannya sehingga lambat laun menjadi macet. b. Beberapa serikat pekerja yang berasal dari KORPRI mendirikan federasi independen dan memulai perjuangan anti privatisasi dan kebebasan berserikat dengan membangun KSN (SP Angkasa pura, SP Merpati, SP Telkom, SP Indosiar, dsb). Beberapa diantaranya juga terlibat dalam tuntutan yang lebih fokus mengenai kebebasan berserikat dalam Komite untuk Kebebasan Berserikat (KUKB). c. Serikat Pekerja Metal Indonesia bersama beberapa serikat pekerja lainnya lebih maju lagi dalam metode persatuan, berani mempelopori isu jaminan sosial (meski dengan segala kekeliruan programatiknya) dengan membangun Komite Aksi Jaminan Sosial. Hal yang positif dari poin a, b dan c meski dengan segala pemakluman atas kapasitasnya adalah: politik mobilisasi massa sebagai ujung tombak serangan politik buruh sudah diyakini dan persatuan serta serangan serentak sebagai metode untuk melipatgandakan kekuatan serta menaikkan kampanye serangan (baca: strategi atas) Tapi tidak sedikit serikat-serikat buruh yang mundur secara politik, bahkan memainkan peranan yang tipis perbedaanya dengan serikat buruh kuning. SPN dan KSBSI adalah salah satu diantaranya, ketika SPMI semakin dapat dikategorikan sebagai Serikat Pekerja Reformis Radikal dengan segala keterbatasan dan pertarungan didalamnya, SPN dan KSBSI justru bergerak semakin ke kanan. Adaptasi adalah istilah yang tepat ketika mereka secara politik memberikan dukungan dan mengamini kebijakan-kebijakan pemerintah yang melumpuhkan gerakan buruh secara politik, seperti: gerak jalan, upah fleksible, dsb. Akibatnya secara politik, secara tidak langsung komposisi kekuatan serikat buruh kuning semakin menguat. Dan hegemoni ideologi dan politik borjuasi yang dimotori oleh SPSI semakin kuat. Serikat buruh-serikat buruh independen (yang progresif) dan serikat pekerja reformis radikal belum sanggup mengalahkan dominasi dan
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
hegemoni politiknya karena: masih lemah dalam memobilisasi anggotanya—apalagi PHK massal, upah murah dan sistem kontrak menjadi faktor utama penurunan mobilisasi, kesulitan untuk mengakumulasi hasil serangan politiknya baik dalam aspek organisasi maupun politik, kesulitan memunculkan strategi atasnya (yang cukup berhasil KAJS dan ABM—pada masa puncaknya). Secara umum, baik serikat buruh independen (progressif) maupun serikat buruh reformis radikal yang belum bisa mempersatukan kekuatannya dalam satu wadah bersama dengan flatporm minimum yang demokratik memperlihat dengan tegas bahwa: fragmentasi diantara serikat buruh non kuning masih dominan terjadi. Fragmentasi ini, selain disebabkan oleh faktor obyektif: diferensiasi upah antar daerah, dan sistem administrasi negara yang mendorong penyelesaian perselisihan buruh ke daerah masing-masing saja, juga lemahnya konsep politik bersama diantara serikat buruh non kuning yang maju (SB Independen progressif dan SP Reformis Radikal). Tapi, dari berbagai kelemahan kapasitas serikat pekerja reformis radikal, problem lebih jauhnya lagi, terletak dipundak kelompok kiri yang memimpin serikat-serikat buruh indepen (progresif), apakah itu KASBI, FPBJ, GSBI ataupun PPBI. Kelompok kiri, tepatnya, belum mengapresiasi secara positif perkembangan maju serikat-serikat pekerja reformis radikal. Padahal, serikat-serikat pekerja reformis radikal ini (apakah yang berasal dari SPSI ataupun KORPRI) merupakan tenaga kerja professional (karena berasal dari industri berat). Sehingga, secara intelektual sesungguhnya sangat mudah menyerap pengetahuan politik kiri (Anti Kapitalis/Imperialis bahkan Sosialisme). Arah pengorgansian politik ( baik organisasi/bawah maupun atas/kampanye dan persatuan) yang belum cukup maksimal (sudah ada dengan pembangunan KUKB dan KSN). Padahal, serikat-serikat buruh independen yang mayoritas anggota buruhnya berasal dari industri makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, farmasi, transportasi, merupakan buruh-buruh industri yang mudah sekali terhempas dan akhirnya menjadi bagian dari deretan industrial reserve army (tentara cadangan industri). Sehingga kesulitan untuk menjadi bagian kekuatan perlawanan buruh yang berkelanjutan. *Paulus Suryanta Ginting aktif di Partai Pembebasan Rakyat).
P R O B L E M F I L S A F A T 57
DESKRIPSI
MENEROPONG JAKARTA DARI PERMUKIMAN KUMUH:
Sejarah Permukiman Kumuh di Jakarta 1945-1969 oleh hendaru tri Hanggoro
22 Juni lalu, warga Jakarta merayakan ulang tahun kotanya. Kembang api menyemburat dari lapangan Monas. Ribuan pasang mata menatap gemerlap langit malam yang memerah. Di Kemayoran, ratusan juta rupiah bergerincing tiap harinya sebagai perayaan sebulan suntuk hari jadi kota. Belanja larut malam di mal-mal (night-late shopping) sampai kesadaran kritis tercerabut juga merupakan salah satu bentuk perayaan warga kota. Terlepas dari kontroversi penentuan hari jadinya, kota ini telah berselang hampir 400-an tahun sejak menjadi kota pelabuhan pada abad ke-17 sampai menapaki zaman metropolitan sekarang ini; sejak disebut sebagai Venesia dari Timur sampai disumpah-serapahi lebih kejam daripada ibu tiri. Seiring waktu yang berselang, tentu banyak perubahan yang terjadi di dalam kota ini. Kota ini terus berubah. Dan semakin berubah, kota ini semakin sama meski hutan belantara sudah menjadi rimba beton. Sekarang anda sudah tak bisa menjumpai harimau dan binatang buas lainnya di tengah kota, yang ketika kota ini masih bernama Batavia merupakan daerah pinggiran. Pemekaran kota terjadi ke selatan kota karena wilayah utara kota semakin kumuh dan tidak sehat. Dalam abad ke-19, orang-orang Belanda mulai
*Foto: Dok. Pribadi
58
PROBLEMFILSAFAT
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
DESKRIPSI
membangun daerah pinggiran yang lebih sehat dan sejuk (Weltevreden). Wilayah ini sekarang merupakan Gambir dan sekitarnya. Ia sekarang menjadi salah satu pusat kota, tempat gedung-gedung pemerintahan dan perkantoran bercokol. Di Gondangdia, Menteng, Cikini, dan Pegangsaan rumahrumah mewah orang Belanda mulai berdiri memasuki awal abad ke-20 untuk melengkapi pembangunan wilayah Weltevreden. Lapangan kriket dan sekolah menjadi fasilitas penunjang permukiman orang-orang Belanda itu. Di sepanjang jalan yang menghubungkan Jatinegara dengan Gambir dan Kota, orang-orang pribumi bermukim di kampung miskin dengan rumah berdinding kayu atau bambu. Tentu tanpa dilengkapi dengan lapangan kriket. Keadaan yang kontras itu menandakan golongan yang menjajah dan dijajah.1 Meski pemerintah kota melakukan perbaikan kampung miskin (Kampung Verbetering) lantaran terdesak suarasuara elit pribumi seperti Mohammad Hoesni Thamrin, orang-orang pribumi tetap terbiasa bergelut dengan kekumuhan hingga masa kemerdekaan. *** Agustus 1945, Indonesia merdeka. Nama kota tempat naskah proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Soekarno bukan lagi Batavia. Sejak zaman pendudukan Jepang, Batavia berganti nama menjadi Jakarta. Meski di zaman Jepang kota ini bernama Jakarta, orang-orang pribumi tetap belum diizinkan menggulirkan roda pemerintahan kota. Barulah selepas proklamasi kota ini dijalankan oleh orang-orang pribumi. Soewirjo menjadi walikota pribumi pertama kota ini. Harapan baru warga kota tumbuh seraya proklamasi kemerdekaan. Pemerintahan kota yang dijalankan oleh pribumi diharapkan berbuat banyak demi kepentingan pribumi di kota. Harapan itu nyaris sirna ketika Belanda kembali merebut Jakarta dalam 1948. Jakarta kembali menjadi Batavia: dibangun dan dibayangkan dari dan untuk orang Belanda. Dalam kendali Belanda, kota ini disesaki oleh 823.356 penduduk.2 Meningkat sekitar 300.000 orang dari tahun sebelumnya. Peningkatan penduduk ini mengakibatkan peningkatan kebutuhan permukiman. Pemerintah kota memekarkan kota ke wilayah timur, barat, dan selatan untuk membuka wilayah permukiman baru seperti di Sentiong Besar Wetan, Petojo Centrum, dan Kompleks Tanjung Karang.3 Khusus di daerah selatan, pemerintah membangun sebuah kota satelit bernama Kebajoran Baru dengan menggusur permukiman 10.000 orang Betawi miskin.4 Permukiman-permukiman baru tersebut lebih ditujukan untuk kelas menengah. Akibatnya, para papa dari desa yang mengepung kota harus mencari tempat bermukim sendiri. Sementara kawan-kawannya yang lebih dulu mempunyai tempat bermukim, meski hanya dengan berbahan kayu atau bambu, tak pernah tersentuh pemerintah kota.
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
Belanda tak lama memegang Batavia. Akhir 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Jakarta pun kembali ke tangan orang Indonesia. Soewirjo kembali menjabat sebagai walikota. Ia harus berhadapan dengan kampungkampung miskin yang terabaikan elit-elit kota sebelumnya. Kampung-kampung miskin itu berdiri sejak zaman Jepang. Jepang memerintahkan penduduk Jakarta untuk menanam bahan-bahan kebutuhan perang tanpa mempertimbangkan kepemilikan tanah. Di atas tanah garapan itu, penduduk diperkenankan mendirikan gubuk-gubuk kumuh dan liar sebagai tempat bermukim. Gubuk-gubuk itu tetap bertahan hingga masa kemerdekaan sehingga membentuk kampungkampung yang sangat kotor, jalan yang tak beraspal, dan saluran pembuangan air yang tak mengalir. Daerah ini meliputi wilayah seluas 3.566 ha yang berada di sekitar Jalan Thamrin, Kebon Kacang, Hotel Asoka, dan President Hotel.5 Hingga akhir masa kepemimpinannya dalam 1951, Soewirjo belum mampu menyediakan permukiman yang layak bagi warga tidak mampu. Sementara itu, para pendatang dari desa terus memasuki kota. Dalam tahun 1950, penduduk kota sudah mencapai 1.432.085 jiwa. Bersamaan itu pula, gelandangan mulai tampak mencolok di jalanan ibukota. Mereka mengelana dari satu tempat ke tempat lainnya dan membangun gubuk-gubuk non-permanen dari hasil bekerja secara serabutan. Kadang sebagai pengumpul koran, lain hari sebagai pengumpul puntung rokok, esok lusa sebagai kuli, tak segan pula menjadi penarik becak, dan gelandangan perempuan mesti rela menggadaikan tubuhnya kepada lelaki hidung belang.6 Selain di jalanan, para gelandangan itu mudah ditemukan di stasiun Tanah Abang, Jatinegara, dan Pasar Senen; di dalam gerbong-gerbong kereta.7 Situasi ini membuat Sjamsuridjal risih. Walikota pengganti Soewirjo itu melakukan operasi pembersihan gelandangan demi membuat Jakarta tampak bersih dan indah. Ia memang mengimpikan Jakarta menjadi kota metropolitan yang teratur dan setaraf kota-kota di negara maju. Oleh karena itu, kebersihan dan keindahan kota menjadi hal yang sangat penting.8 Gelandangan, yang pada masa revolusi ikut berperan sebagai pejuang dan juga dikenal sebagai satria lelana, mulai diangkut dan dipindahkan ke pulau-pulau lain. Sisanya dikembalikan ke desa-desa di mana mereka berasal, tempat yang justru mereka tinggalkan karena kemiskinan yang akut. Selain membuang gelandangan dari kota, Sjamsoeridjal juga menggusur gubuk-gubuk kumuh yang dibangun secara liar. Di Kebon Kacang, penghuni permukiman kumuh harus kehilangan tempat bermukim sementaranya. Warga miskin yang kebanyakan hidup dari berdagang buah dan menguli itu direncanakan pindah ke wilayah Tanjung Barat, wilayah yang jauh dari pusat kota. Padahal, mereka memilih
P R O B L E M F I L S A F A T 59
DESKRIPSI
Kebon Kacang sebagai tempat tinggal karena dekat dengan aktivitas ekonomi sehingga mereka mampu menghemat ongkos perjalanan kerja. Tetapi, dalih seringnya kebakaran yang melanda permukiman kumuh mengalahkan semua keberatan itu.9 Kebakaran sendiri memang sering melanda permukiman kumuh. Di tahun 1952, tercatat ada sekitar 215 kali kebakaran. Sebagian besar melanda permukiman kumuh. Salah satu kebakaran terbesar terjadi di Krekot Bunder, wilayah kumuh di Pasar Baru, pada 28 Juli 1952. Sekitar 10.000 orang kehilangan tempat tinggalnya lantaran kobaran api.10 Sampai pergantian walikota dalam 1953, kebakaran masih sering terjadi di Jakarta. Salah satu bencana itu menimpa permukiman warga di Gunung Sahari dalam 1954. Seorang penyair, Ajip Rosidi, sempat menggambarkan getirnya perisitiwa kebakaran di permukiman kumuh itu. “...Kami bitjara tentang kebakaran Ibu hangus ajah tertembak Kampung habis dan kota kepadatan Namun kami tak menangis Kan menangis air mata habis...” 11 Puluhan ribu orang terancam menggelandang dengan menjadikan langit sebagai atap rumahnya. Orang-orang dari Cirebon, Bogor, Pekalongan, Bandung, Banyumas, Banten, dan wilayah lainnya bersiap menyerbu kota. Jumlah mereka sekitar 100.000 orang.12 Pengabaian pemerintah kota terhadap mereka berpotensi menimbulkan permukiman kumuh baru di kota. Permukiman kumuh baru dengan rumah padat dan berhimpit pun muncul di Jalan Kawi, Pedurenan.
*Foto: Dok. Pribadi
60
PROBLEMFILSAFAT
Padahal, sebelumnya wilayah itu merupakan wilayah lenggang dan penuh pepohonan.13 Selain itu, tepian kali Ciliwung yang melintasi pusat kota menjadi bukti pengabaian pemerintah kota terhadap mereka. Tepian kali Ciliwung merupakan tempat pilihan bagi orangorang yang tidak mampu membangun rumah secara layak. Di Jakarta, tepian kali melahirkan peradaban orang-orang miskin. Meskipun dalam dekade 1950-an kali itu telah mengalami pencemaran yang tinggi sehingga warna airnya berubah kuning, para gelandangan, pelacur jalanan, dan kaum miskin lainnya tetap memanfaatkan kali tersebut.14 Dalam bahasa imajinatif Pramoedya, “air kali yang kuning itu selamanya menyegarkan tubuhnya barang sedikit.”15 Di kali itulah mereka menyambung hidup di tengah kota yang papa dan tak mengetahui siapa bundanya itu. Tetapi, tidak demikian dengan kali Ciliwung. Ia tahu siapa bundanya sembari mengejek kota papa itu. Di tahun 1955, Rendra menggambarkannya dengan apik sebagai berikut : “Tjiliwung mengalir Dan menjindir gedung-gedung kota djakarta Kerna tiada bagai kota jang papa itu Ia tahu siapa bundanja...”16 Kota yang masih kekurangan tempat bermukim untuk golongan miskin itu justru menyombongkan dirinya kepada kaum papa. Kepada kaum miskin, ia tidak bersahabat seperti Ciliwung. Pembongkaran merupakan salah satu buktinya. Pembongkaran terhadap gubuk-gubuk tempat berdagang dan bermukim mereka dilakukan oleh pemerintahan Soediro pada Januari 1954. Dewan kota segera memanggil Soediro atas tindakannya itu. Mereka meminta penjelasan alasan pembongkaran itu. Selama dua hari berturut-turut Soediro dipanggil oleh Dewan Kota sembari berdialog dengan warga yang terkena pembongkaran di Pasar Senen itu.17 Pembongkaran-pembongkaran yang dilakukan oleh pemerintah kota pada masa itu tidak dibarengi dengan ganti rugi kepada warga yang terkena pembongkaran. Meski upaya pembongkaran itu dilakukan atas dasar penanggulangan permukiman kumuh, gubukgubuk kumuh dan liar tetap berdiri. Sebab, warga yang terkena pembongkaran kembali membangun gubuk-gubuk di tempat lain.18 Itu arti-
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
DESKRIPSI
nya, kekumuhan dan kemiskinan hanya berpindah tempat. Walikota Soediro mengakhiri hari-hari panjangnya sebagai gubernur (sejak 1958, jabatan walikota diubah menjadi gubernur) ibukota dalam 1959. Ia tidak mampu memecahkan permasalahan permukiman kumuh dalam rentang waktu tujuh tahun masa jabatannya meski sebuah konsepsi garisgaris besar perencanaan (outline plan) kota sudah dibuat dalam 1957. Memasuki masa Demokrasi Terpimpin, Jakarta mulai berada di bawah kendali pemerintah pusat. Soekarno yang memiliki posisi kuat—sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan—setelah Dekrit 1959, mulai terlibat dalam perencanaan Jakarta. Jakarta masuk ke dalam bayang-bayang Soekarno. Gubernur Soemarno yang menggantikan Soediro pun mesti ikut mengkongretisasikan bayangan Soekarno tentang Jakarta sebagai mercusuar kotakota di negara dunia ketiga. Di masa awal Demokrasi Terpimpin, jumlah penduduk Jakarta telah mencapai hampir tiga juta jiwa. Jumlah ini naik 10 kali lipat sejak tahun 1930. Pertambahan penduduk Jakarta jauh lebih cepat dibandingkan dengan kota-kota besar dunia lainnya seperti Bombay, Amsterdam, dan Roma. Rekor pertambahan penduduk Jakarta hanya bisa dikalahkan oleh kota Chicago.19 Dengan demikian, penyediaan tempat tinggal untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk merupakan suatu keharusan. Jakarta sendiri sejak 1960, kekurangan 16.000 rumah tiap tahunnya.20 Sementara secara umum, Indonesia kekurangan sebesar 4 juta rumah. Sekitar 300 meter dari Istana Merdeka, berdiri gubuk-gubuk kumuh dari puluhan gelandangan yang tak mampu membangun rumah permanen.21 Di tengah situasi seperti itu, keinginan tampil sebagai bangsa terpandang menyeruak. Politik menjadi panglima. Slogan-slogan revolusioner terhidang hampir tiap hari di koran-koran dan radio. Asian Games 1962 sudah menjelang. Gerak pembangunan kota pun dipercepat. Buruh-buruh dari desa (terutama Jawa Barat) berdatangan. Mereka mendapat kesempatan memakan remah-remah pembangunan Jakarta. Pembangunan fisik jelang Asian Games jelas menyedot banyak tenaga kerja. Di tempat proyek itu dikerjakan bermunculan gubuk-gubuk tempat tinggal sementara para buruh. Kontraktor pembangunan tidak menyediakan tempat penampungan sementara untuk mereka sehingga sebagian buruh terpaksa tidur di trotoar.22 Meski tidak mendapat tempat penampungan sementara, mereka berhasil menyelesaikan proyek-proyek seperti Jalan Djakarta by-pass, Hotel Indonesia, dan sarana pendukung Asian Games lainnya. Asian Games berhasil diselenggarakan dengan sukses. Nama Jakarta mulai dikenal dunia. Hotel Indonesia menjadi kenangan indah para turis dan duta olahraga yang berkunjung ke Jakarta. Lambaian tangan patung Selamat Datang membayang dalam ingatan mereka. Meski sampai Asian
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
Games pengerjaan Toserba Sarinah belum selesai, proyek itu mengundang decak kagum warga asing. Soekarno tampak puas dengan ‘halaman depan’ kota Jakarta itu. Di ‘halaman belakang’ kota, 100.000 gelandangan tertidur di dalam gerbong kereta, stasiun, dan pasar.23 Para penghuni permukiman kumuh di sekitaran Hotel Indonesia (beberapa meter dari Hotel Indonesia dan Jalan Thamrin) menatap nanar kemegahan hotel dari rumah bambu mereka yang dikelilingi timbunan sampah. Sebuah novel berjudul Si Sapar yang bertuturkan kehidupan penarik becak yang tinggal di sekitaran Hotel Indonesia dapat menggambarkan situasi tersebut.24 Mereka tetap bekerja keras sembari menghayati kekumuhan dan kemiskinannya agar tetap bisa bertahan di tengah keterbaiannya dari negara dan kota. Kegagalan Soekarno membawa perbaikan ekonomi warga Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya, memunculkan ketidakpuasan banyak kalangan. Posisi Soekarno semakin sulit setelah peristiwa G30S meletus. Kekuasaannya melemah. Impiannya tentang Jakarta segera menguap begitu Supersemar keluar. Soeharto memegang tampuk pimpinan nasional. Sementara itu, Mayor Jenderal KKO Ali Sadikin dilantik menjadi gubernur ibukota dalam 1966 menggantikan Soemarno. Ali Sadikin mencoba memecahkan permasalahan permukiman kumuh dengan berlandaskan pada Rencana Induk (masterplan) 1965—1985. Walaupun konsepsi komprehensif tentang perencanaan kota itu telah dibuat, penduduk kadung menyesaki kota dan permukiman kumuh muncul lebih dulu tinimbang rencana tersebut. Setelah G30S, gelandangan di Jakarta bertambah 50.000 orang.25 Permukiman kumuh telah tersebar di Tanjung Priok, Kota Tua Jakarta, Senen, Salemba, Gambir, Kebon Kacang, Pedurenan, Raden Saleh, Karanganyar, Tanah Sereal, Kramat, Gunung Sahari, Tanah Abang, Krekot Bunder, Pasar Baru, Kampung Cideng, Rawa Galur di sepanjang rel kereta api Senen-Jatinegara, dan tepi kali Ciliwung. Di akhir tahun 1968, Ali Sadikin, yang terkenal keras mengatur kota Jakarta, melaksanakan proyek perbaikan kampung. Kampung yang terdiri atas permukiman kumuh, padat, tidak teratur, sanitasi buruk, dan taraf hidup sosialmasyarakatnya rendah menjadi sasaran programnya. Meski langkah ini berbeda sama sekali dengan pembongkaran, permukiman kumuh terus bertumbuh dengan penghuni yang berbeda. Dan penghuninya tetap mampu bertahan hidup dalam kekumuhan. *** Minggu pagi, siaran stasiun TV swasta menghadirkan iklan apartemen dan perumahan megah dan mewah. Bintang iklan kadang menyelipkan kata “hanya” untuk mengesankan harga jual yang murah. Tetapi, secara kasat mata, jelas
P R O B L E M F I L S A F A T 61
DESKRIPSI
apartemen dan perumahan itu tak murah, bahkan untuk kebanyakan kalangan. Meskipun begitu, toh dengan harga di atas ratusan juta rupiah, apartemen dan perumahan itu tetap ada yang membeli. Kita jelas tak perlu berharap kepada pengembang untuk menyediakan permukiman kepada mereka yang hidup serba pas-pasan. Sebab, sejak zaman proklamasi mereka dibiarkan untuk bergelut mencari permukiman sendiri. Dan Jakarta, semakin berubah justru semakin sama. Catatan Akir:
*Hendaru Tri Hanggoro adalah alumnus Program Studi Sejarah, FIB, UI. 1. Abdurrachman Suryomihardjo (ed.), Beberapa Segi Masyarakat Budaya Jakarta, Jakarta : Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dinas Museum Dan Pemugaran, 2001, hlm 47. 2. Abdoel Djalal, “Perkembangan Penduduk Jakarta Abad 16— 20, Widyapura, Jakarta, 1977, hlm, 13. 3. Kementerian Penerangan Republik Indonesia, Kotapradja Djakarta Raja, Jakarta : Kementerian Penerangan, 1952, hlm 98—99. 4. Susan Abeyesakere, Jakarta : A History, Malaysia : Oxford University Press, 1990, hlm 158. 5. Edi Sedyawati et.al, Sejarah Kota Jakarta 1950—1980, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987, hlm 98— 100. 6. Widiyanto Paulus (ed), Gelandangan : Pandangan Ilmu Sosial. Jakarta : LP3ES, 1986, hlm 52. 7. Hendri F. Isnaeni, “Papa Mengepung Kota,” dalam http:// www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-283papa-mengepung-kota.html, diakses pada Jum’at, 13 Mei
2011, pukul 14.30 WIB. 8. Kees Grijns dan Peter J.M. Nas (ed.), Jakarta Batavia : Esai SosioKultural, Jakarta : KITLV, 2005, hlm 248. 9. Kotapradja, “Perumahan Rakjat,” September 1952, hlm 7. 10. Kementrian Penerangan, Op.Cit, hlm 295—296. 11. Ajip Rosidi (ed.), Djakarta Dalam Puisi, Jakarta : Dewan Kesenian Djakarta, 1972, hlm 28. 12. Kementrian Penerangan Op.Cit. 13. Firman Lubis, Jakarta 1950-an : Kenangan Semasa Remaja, Jakarta : Masup Jakarta, 2008, hlm 64. 14. Bambang Purwanto, dkk. (ed.). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta : Yayasan Obor. 2008, hlm 255. 15. Ibid. 16. Ajip Rosidi (ed.), Op.Cit, hlm 29. 17. Madjalah Kotapradja, “Masalah Pembongkaran Gubuk Dalam Sidang Dewan Kota,” Februari 1954, hlm 3. 18. Star Weekly, “Pembangunan dan Pembongkaran Rumah,” 13 Mei 1961, hlm 3. 19. Star Weekly, “Bertjermin Pada Masalah Kota Paris,” 1961. 20. Djaja, “Djakarta Akan Membangun Perumahan Massal,” 9 Maret 1963, hlm 3 21. Parsudi Suparlan (ed.), Kemiskinan di Perkotaan, Jakarta : Obor, 1984, hlm 231. 22. Djaja, “Apakah Jang Perlu Diketahui Para Pelaksanawan Projek Pembangunan di Djakarta Raya?”, 24 Oktober 1964,hlm 4. 23. Djaja, “Masalah Gelandangan Mendapat Perhatian Jang Serius Dari Pemerintah,” 12 Maret 1966, hlm 42. 24. Utuy T. Sontani, Si Sapar : Sebuah Novelette Tentang Kehidupan Penarik-Penarik Betjak di Djakarta, Jakarta : Jajasan Kebudayaan Sadar. 1964. 25. Parsudi Suparlan (ed.), Op.Cit, hlm 249.
Berlangganan Jurnal Problem Filsafat? 1. Langganan Kolektif Minimal 5/10 ex (@Rp. 20.000) per edisi = Rp. 100.000 / Rp. 200.000 + ongkos kirim* Langganan 1 tahun = Rp. 600.000 / Rp. 1.200.000 + masing-masing ongkos kirim* 2. Langganan Individual Langganan individual = 1 eks (@Rp. 25.000) per edisi = Rp. 25.000 + ongkos kirim* Langganan 1 tahun = Rp. 150.000 + masing-masing ongkos kirim* 3. Langganan Institusi Minimal 5/10 ex dengan harga paket individual. Silahkan menghubungi redaksi Jurnal Problem Filsafat jika berminat!!! *Ongkos kirim yang berlaku adalah ongkos kirim via TIKI dengan harga sesuai dengan kota tujuan m asing-masing.
62
PROBLEMFILSAFAT
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
SENISASTRA
PUISI-PUISI GEMA MAWARDI BERBARIS, TIKUSTIKUS, BERBARIS berbaris, tikustikus, berbaris peniup seruling melonjaklonjak menari girang menggiring tikustikus langsung ke jurang sambil bersuling berbaris, tikustikus, berbaris ke luar tembok kota ke jurang menganga mati bersamasama berbaris, tikustikus, berbaris seruling melengking tinggi melejit ke langit tikustikus melupa menjerit mencicit disingkirkan ke luar tembok kota ke jurang ke jurang mati bersamasama berbaris, tikustikus, berbaris berbaris menuju mati peniup seruling melonjak menari girang menggiring diri sendiri ke tepi tebing menuju mati menuju mati kematian sendiri
DELIRIUM TIMEBOMB dari keadaan tenang yang satu ke keadaan tenang berikutnya menuju sebuah titik ketidak tenangan yang sempurna: sebuah garis lurus dalam grafik pembelokan cahaya sebuah kesetimbangan tidak setara kausal yang tidak (pernah) akan saling terhubung apalagi saling mempengaruhi titik titik saling berlepasan dalam lingkaran lingkaran dalam jaringan serat semesta makro tak berhingga lingkaran lingkaran imajiner pembentuk bola bola kation anion semesta mikro perpotongan hiperealitas ingatan kesadaran mimpi materi waktu lupa arus bolak balik searah dalam sebuah molekul sistem cahaya yang melompat dan musik yang tidak terdengar setiap satu kemungkinan akan memecah menjadi kemungkinan kemungkinan baru dengan varian varian pembentuk kemungkinan tidak tetap atas konstanta sementara tidak lebih besar dari nol dan selalu tidak lebih kecil dari imajinasi visual paling liar di dalam kepala serangga serangga bermata heksagon perpaduan semua warna yang tidak hitam tidak putih yang saling bergesekan terus menerus tanpa saling bercampur saling menimbulkan getaran pada masing masing permukaan persentuhan sehingga tiap tiap gesekan dan getaran perpaduan warna warna tidak hitam tidak putih melahirkan bunyi bunyi berwarna baru yang tidak terekam tidak tertangkap dan tidak berulang dari keadaan tenang yang satu ke keadaan tenang berikutnya menuju sebuah titik ketidak tenangan yang sempurna *Gema Mawardi aktif sebagai pemain teater dan pernah juga menjadi sutradara. Ia pun sempat beberapa kali tampil membacakan puisi di berbagai kesempatan antara lain di FIB UI dan di TIM.
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011
P R O B L E M F I L S A F A T 63
ISSN 977 2088-8287
DAFTAR ISI : 1.
EDITORIAL …………………………………………….. 2
2. ARTIKEL UTAMA – “KRITIK DAN EMANSIPASI” Kontribusi bagi Pendasaran Epistemologi Politik Kiri (Sebuah Kritik Umum atas Goenawan Mohamad) OLEH MARTIN SURYAJAYA …………………………………………….. 3 3. ARTIKEL UTAMA – “EPIK ATAU ROMANTIK?” Tips Menonton Opera Tan Malaka OLEH RANGGA L. UTOMO …………………………………………….. 10 4. ARTIKEL UTAMA – “DI BAWAH BATON CARLOS KLEIBER” Menghadapi Ancaman Marxisme Ugal-ugalan OLEH ANOM ASTIKA …………………………………………….. 18 5. ARTIKEL TEMATIS – “MELACAK ANTROPOLOGI FILOSOFIS DALAM REALISME SOSIALIS” OLEH ALEXANDER AUR …………………………………………….. 25 6. ARTIKEL NONTEMATIS – “GLOBALISASI DAN MONOPOLI BUDAYA OLEH BERTO TUKAN …………………………………………….. 30 7. ARTIKEL POLITIK – “PERCAYA KEPADA MASSA (II)” Perihal ‘Produksi dan Reproduksi’ Perlawanan Rakyat OLEH ANOM ASTIKA …………………………………………….. 35 8. TOKOH (POLITIK) “PATRICE LUMUMBA” Pejuang Pembebasan Afrika OLEH NOUVAL MURZITA …………………………………………….. 41 9. REPORTASE – “REFLEKSI ATAS SEJARAH ’65” Dari Pembungkaman Suara Korban dan Menuju Demokratisasi Sejarah OLEH DAVID TOBING …………………………………………….. 48 10. RESENSIRESENSI – “ANTICHRIST” /(garis miring) Tiga Orang Majus dari Timur OLEH YOVANTRA ARIEF …………………………………………….. 50 11. DESKRIPSI – “SITUASI DAN TUGAS-TUGAS MENDESAK PERBURUAN” OLEH PAULUS SURYANTA GINTING …………………………………………….. 52 12. DESKRIPSI “MENEROPONG JAKARTA DARI PERMUKIMAN KUMUH” Sejarah Permukiman Kumuh di Jakarta 1945-1969 OLEH HENDARU TRI HANGGORO …………………………………………….. 58 11. SENI SASTRA – “PUISI-PUISI GEMA MAWARDI” …………………………………………….. 63
64
PROBLEMFILSAFAT
No. 01 / Tahun I / AGUSTUS 2011