ISSN 977 2088-8287
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
jurnal AGITPROP
HABIB RIZIEQ: SEBUAH WAWANCARA, SEBUAH KESIMPULAN DUNIA JAGOAN - SOSIALISME DAN ILMU PENGETAHUAN NUBUAT PENDEKAR SYAIR BERDARAH DI BUKIT MERIANG (II) - TRI TUNGGAL MAHA UANG - KOLONIALISME, KESATRIA BERJUBAH PERAK DI PASAR INDUK - MELIHAT REVOLUSI BOLESHEVIK DARI KACAMATA LACAN - KEBERANIAN: WANI YO WANI NING OJO KEWANEN - LIBERAL PUITIS MENGGUGAT LIBERAL GADUNGAN
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
PROBLEMFILSAFAT
1
EDITORIAL
Kawan, Beberapa hari terakhir awan mendung yang kerap menggelayut menyapu-nyapu kota-kota besar di Indonesia dengan angin ributnya. Sempat ku baca beberapa info dari mereka yang belajar klimatologi. Sejauh yang ku ingat mereka sebut bahwa wilayah Indonesia turut tersambar kibas dari ekor badai di Filipina. Sehingga tak mengherankan jika banyak pohon tumbang melanda jalanan ibu kota, berikut sejumlah korban jiwa karenanya. Aku lalu bertanya-tanya sok bijak a la penyanyi liris ‘meronta-ronta’ Ebiet G. Ade, “apakah belum cukup beragam badai membentuk kesadaran politik masyarakat Indonesia?” Rasa-rasanya bagi banyak orang Indonesia beragam badai adalah bagian dari siasat hidup. Tampaknya bagi orang Indoensia tak ada upaya mencari jawab mengapa terjadi kecelakaan, dan bencana alam tetapi semuanya adalah nasib. Ketika diupayakan jawabannya, orang Indonesia malah masuk dalam wiracarita wangsit dunia Atlantis. Dan ketika semua adalah nasib, maka jalan keluarnya adalah keteguhan iman. Teguh yang aku kenal adalah pemain drum band semasa ku duduk di SMA. Ayahnya seorang pensiunan kolonel angkatan darat bernama pak Saterjan. Setiap ku main ke rumah Teguh, selalu ada saja upaya Pak Saterjan ini menceramahiku sebagai anak muda harapan bangsa. “Pemuda itu harus berani menantang maut, harus berani menunjukkan siapa dirinya”. Si Teguh putranya yang terkasih, menimpalinya, “makanya Pak aku tiap malam minggu ikut balapan motor. Mesti menang taruhan Pak. Paling kalau kecelakaan nanti kan Papa yang bayar rumah sakitnya” Terkejut Pak Saterjan dengan timpalan putranya, langsung menghardiknya, “jangan kurang ajar kamu!” Lalu Pak Saterjan berdiri menuding aku dan Teguh, sambil berkacak pinggang, “berani-beraninya kalian melawan orang tua. Mulai besok tidak boleh ke luar malam lagi”. Teguh tertunduk lesu, imannya goncang meronta-ronta. Lain halnya dengan Iman. Putra ke lima dari sebelas bersaudara anak-anak Pak Ikhsan, Rektor Ikip Malang akhir tahun 1970-an. Ia jauh di atasku angkatannya semasa sekolah di sekolah dasar Lab IKIP Malang. Terkenal pandai, rajin, dan tidak neko-neko. Apa artinya semua ini? Teguh dan Iman memang tidak ada hubungan saudara sama sekali. Teguh menjadi sesuatu karena ia diberi awalan ‘ke-’ dan akhiran ‘-an’, maka ia menjadi sesuatu banget gitu loh. Tapi pada dasarnya keteguhan artinya sama juga dengan kebandelan. Iman ada banyak definisi tentangnya. Namun ia menyerupai sesuatu yang misterius namun mengendalikan segalanya. Layaknya roh ia mencari-cari selalu siapa dirinya. Walaupun Iman yang ku kenal semasa SD ku dengar sudah sukses sebagai peneliti minyak bumi, tak pernah ku dengar lagi ia mencari cari namanya yang lain selain Iman. Begitu juga dengan istri David Bowie seorang peragawati yang bernama Iman. Sampai sejauh ini perkawinan mereka rukun-rukun saja tidak mengundang banyak kontroversi, tapi para jurnalis gagal membuktikan bahwa perkawinan mereka belum masuk pengadilan agama di Indonesia oleh karena gugatan perceraian karena si Iman menggunakan nama Iman. Jadi apa sebenarnya badai yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia untuk mengerti keteguhan iman? Apakah aku kembali harus liris meronta-ronta dengan bernyanyi ‘tanyakan saja pada rumput yang bergoyang’? Yah tampaknya bangsa Indonesia harus terus merontaronta menuntut semua pihak mengerti dirinya. Apakah aku harus meronta-ronta menuntut PDI Perjuangan berlaku serevolusioner yang aku pikirkan, sembari berteria-teriak, “PDI Perjuangan, Golkar, dan parpol-parpol semuanya anti demokrasi, tidak konsisten, oportunis, parasit!”? Apakah aku harus terus menerus berteriak politisi busuk dan politisi busuk tak pantas hidup di negeri ini? Tapi aku kira juga aneh jika bersikap seperti itu hanya untuk memperjuangkan IMAN yang tak jelas ibu bapanya. Entah itu Iman Revolusioner, Muhammad Iman Ambubasin, atau siapa juga IMAN itu, yang jelas semua organisasi politik yang lahir sesudah Orde Baru berkuasa dan tetap berlanjut pada periode Reformasi memang pada hakekatnya dan menurut sejarahnya, dengan seluruh orang orang yang ada di dalamnya tidak pernah mendapat Kursus Politik Marxisme. Sehingga sungguh tidak masuk akal menuntut mereka yang lebih besar jumlah massanya, lebih besar sumber dananya, lebih menguasai ruang-ruang publik, untuk mengerti apa yang kita pikirkan. Justru sebaliknya IMAN kita perlu diperiksa kembali mulai dari pencerapan panca indra sampai ke pengolahan di dalam benak kita untuk dapat
2
PROBLEMFILSAFAT
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
EDITORIAL
menerima realitas politik sebagai realitas ilmiah, dan bukan realitas perasaan yang dikoyak-koyak oleh sembilu perilaku orang lain yang mewakili partai politik tertentu. Politik adalah soal pengorganisasian pikiran, bukan bisnis perasaan. Oleh karenanya realitas politik perlu diselidiki untuk dicari akar kontradiksi ekonomi politiknya. Dan untuk mengerti realitas politik adalah tidak masuk akal kalau kita hanya berjarak dari realitas tersebut dengan mengatasnamakan obyektivitas. Jikalau Iman kita sebagai intelektual menurut sabda Lenin adalah untuk membuka antagonisme ekonomi yang dikaburkan oleh sejarah politik dan hukum, maka sudah semestinya arah dari aktivitas politik bukanlah berlaku seperti malaikat pencabut sukma tetapi nyatanya cuma sekedar rombongan kecoa di selokan dan septik tank. Tetapi masuk dan bereksperimen di dalam realitas politik yang paling menjijikkan sekalipun agar terbuka jalan untuk mengungkap kontradiksi ekonomi politik dari rejim burjuasi. Seandainya kita berjarak, maka kita tak ubahnya ustad atau imam rumah rumah ibadah yang berlaku suci tetapi ternyata bisnis alat alat kesehatan iman. Kritik kita pun kritik moral, padahal kritik haruslah ideologis, dan untuk itu adalah nonsense untuk tidak berlumuran lumpur tubuh dan pikiran kita di tengah realitas politik. Menerima realitas itu bukan soal Iman dan Keimanan, dan bukan juga soal Manusia dan Kemanusiaan, tetapi soal metodologi penyelidikan ilmiah, soal cara cara memperhatikan realitas untuk kemudian mengubahnya menurut langkah-langkah metodologi ilmiah. Di luar itu, semuanya adalah jebakan relativisme kalau bukan konservatifisme. Aneh di tengah situasi krisis yang melanda kehidupan setiap insan di negeri ini, di tengah situasi serba darurat yang menelusup di setiap ruas rusuk bayi-bayi negeri ini, masih ada juga yang menyimpulkan bahwa problem masyarakat Indonesia adalah masalah iman dan keberanian, layaknya perjuangan dan doa buah karya Rhoma Irama. Teriakanmu yang keras memaki-maki anggota parlemen dan pemerintahan tak membuatmu lebih revolusioner daripada Marx dan Lenin kok. Apalagi dengan mengatasnamakan Kehendak Massa, sementara kau tidak pernah membuat satu tulisan pun tentang apa beda antara Kehendak, Kesadaran, Kemarahan Massa. Jangan-jangan dirimu yang bermasalah dengan massa tapi perlu berpikir imajinatif tentang massa yang kau anggap sebagai Iman. Di situlah misteri Iman yang artinya tak sesuatu pun yang kau mengerti tentang massa. Sungguh dari dulu aku memang tidak suka Rhoma Irama, walaupun ia diminati oleh massa rakyat tertindas negeri ini. Bukan soal musiknya, tapi semua liriknya tak lebih hanya menggambarkan betapa kehancuran dunia ini sudah tak bisa diobati dan hanya perjuangan dan doalah penyelesaian dari semua persoalan sosial. Terus terang saja jika perjuangan dan doa itu diletakkan dalam konteks metodologi ilmu pengetahuan, maka keduanya adalah yang anti metodologi pro relativisme. Karenanya daripada aku mencari cari kritisisme Rhoma Irama yang tidak pernah ada tapi kerap diada-adakan oleh para pemuja ‘relativisme posmodernitas’, lebih baik aku mengajakmu kawan untuk membaca tulisan Rara Sekar Larasati, Muhamad Fauzi, Berto Tukan, Yovantra Arief, Martin Suryajaya, Henry Stephen, dan Anom Astika. Semuanya lebih penting daripada soal Iman dan Keberanian. *Cover: Pekerja anak di pabrik rokok, prangko, dan rekening listrik.
Jurnal Problem Filsafat adalah berkala yang diterbitkan oleh AGITPROP, sebuah kelompok ‘kAjian epistemoloGI poliTik dan PROduksi Pengetahuan’. Jurnal ini mengorganisasikan makalah-makalah ilmiah, serta sejumlah tulisan lepas kreatif di berbagai bidang pengetahuan humaniora. Ini semua ditujukan sebagai upaya mendorong lahirnya wacana penciptaan pengetahuan baru. Redaksi dengan demikian terbuka terhadap segala artikel, tulisan, dan karya kreatif yang sejalan dengan visi dan misi jurnal ini. DEWAN REDAKSI: Anom Astika, Martin Suryajaya, Berto Tukan, Yovantra Arief, Laura Harsoyo. KONTRIBUTOR NOMOR INI: Rara Sekar Larasati, M. Fauzi, Ragil Nugroho, Henry Stephen, Khudori Husnan. ILLUSTRASI DAN PERWAJAHAN: Yovantra Arief, Berto Tukan, DadaTerbit, NobodyCrop. ALAMAT: Jln. Kayu Manis VI, Gang Jarak 6, No. 06, Rt. 014, Rw. 06, Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur CP : 0813 1561 4331 E-MAIL : redaksi.problemfilsafat@gmail.com
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
PROBLEMFILSAFAT
3
DESKRIPSI
Habib Rizieq: Sebuah Wawancara, Sebuah Kesimpulan oleh RARA SEKAR LARASATI
Wah, ga nyangka banget. Beberapa bulan yang lalu, rasanya animo masyarakat tentang isu FPI ga setinggi sekarang. Sekarang kayanya hampir semua tweet didedikasikan buat merayakan kebencian kita terhadap kekerasan FPI.. Surprise, surprise. Sedikit berbagi dan berpartisipasi dalam animo masyarakat saat ini, dan berhubung skripsiku membahas tentang FPI (judulnya: Religious Fundamentalism in the Age of Globalization. Case Study: Front Pembela Islam as an Islamic Extremist Group in Indonesia), aku bakal bercerita sedikit tentang pengalaman wawancaraku dengan Habib Rizieq. Setelah beberapa kali bimbingan, Prof. Bob, pembimbingku, tanya, “Kamu ga mau coba wawancara orang FPInya sendiri? Supaya skripsimu ini lebih objektif. Bukan jadi skripsi yang menjelek-jelekkan FPI. Hahaha.” Terus aku jadi mikir sendiri. Bisa gitu—wawancara Habib? Apa mungkin dia mau nyempetin waktu yang sibuk dia pakai buat
4
PROBLEMFILSAFAT
nyerang diskotek satu dan lainnya, cuma buat wawancara sama anak 21 tahun yang baca Qur’annya aja sangat terbata-bata ini? Ah tapi nekat aja. Akhirnya aku coba hubungin teman-teman dari media; teman-teman di KontraS, teman-temannya teman, pokoknya semua dihubungi sampai aku nyari nomor handphone Habib di Kaskus! Hahaha. Okay, itu rada maksa sih, tapi ngerti lah ya, perjuangannya. Akhirnya sih dapat. Tapi ga tahu kenapa pending semua, dua nomor yang aku dapat itu. Apa sms-ku kepanjangan? Memang mirip sms-sms penipuan kejutan berhadiah sih panjangnya. Tapi aku coba berkali-kali dengan berbagai versi, versi panjang, pendek, singkat, sok urgen, tetap ga ada yang lolos. Tapi aku tidak putus asa. Akhirnya aku mikir, “ya sudah, coba saja langsung datangi Petamburan!” Diserang, diserang lah! Hahaha, lebay. Jadi aku merencakan buat ke
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
DESKRIPSI
Petamburan, dan tentunya, disarankan untuk membawa teman. Tadinya aku mau ngajak Nayaka, temanku yang punya pengetahuan yang cukup dalam tentang Islam. Ini sebenarnya bentuk antisipasi, siapa tahu Habib nanya-nanya atau ngetes ayat terus aku ga tahu? Ada Nayaka. Hahaha. Tapi sayangnya, karena lagi musim UAS, Nayaka berhalangan. Aku coba menghubungi semua teman dan juga pacarku (yang sayangnya berhalangan juga). Akhirnya, Lukas Tambunan, seorang temanku, bersedia nemenin aku ke Petamburan. Lukas Tambunan. Batak. Kurang nekat apa lagi coba? Hahaha. Sedikit nyasar, tapi akhirnya kita sampai di depan Gang Petamburan. Suasananya lumayan menarik. Banyak orang-orang bermuka curiga nangkring di sana-sini, statusnya seperti antara pengangguran dan mata-mata. Aku curiga mereka anggota FPI. Aku datang sama Lukas, aku pakai celana longgar hitam, baju tangan panjang longgar hitam, dan kerudung yang sok-sok dimodif jadi hijab namun gagal (biar ngetrend aja kaya hijabers jaman sekarang :p), sementara Lukas aku minta pakai baju koko dan celana agak ngatung beserta sendal jepit. Kita berharap penampilan kita ini sudah sempurna jadi metode mimikri ke Petamburan. Eh… ternyata ga juga. Haha! Karena terlihat linglung, akhirnya kami disamperin sama beberapa abang-abang. Ditanya, “Mau ke mana ya?” Dengan polos aku menjawab, “Mau ke FPI, Bang. Ketemu Habib.” Azek. Sok kenal banget nadanya. Hahaha. Lumayanlah, 2 tahun jadi pemain kabaret di Pasar Malam Kampus, berguna juga di dunia asli. Si Abang nunjukkin jalan ke gang lebih dalam lagi menuju Markas FPI. Di depan Markas, banyak rumahrumah dan penghuni yang duduk-duduk santai di depan rumahnya. Lumayan heran sih aku; itu siang bolong, dan ga ada yang kerja. Apa udah kaya raya ya, semua orang di daerah Petamburan? Hahaha. Tiba-tiba Lukas mencoba untuk tidak kelihatan awkward, sok-sok nanya ke warga sekitar, “Saya mau ketemu Pak Habib, Pak.” Jedaang! Udah fail aja nih Lukas di awal-awal! Hahaha. “Pak” dan “Habib”, dua panggilan yang bertumpuk! Hahaha. Langsung aku ambil alih, “Ini Pak, saya mau ketemu Habib. Mau wawancara untuk tugas kuliah. Dari Bandung.” Dengan baik hati si bapak yang tadi nongkrong depan Markas FPI masuk ke dalam, dan tiba-tiba ke luar dan bilang, “Silakan masuk.” Dan di situlah, ada seorang bapak-bapak berbaju kebon putih sedang duduk di lantai depan perpustakaan. Sesaat aku sama sekali ga ngenalin itu siapa. Ternyata pas lebih dekat, oh itu Habib! Deg-degan sedikit. Takut salah gerak. Tapi aku berusaha PD aja. Pas kenalan, aku tentu ngasih gerakan salaman non-muhrim style (ga nyentuh Habib). Sip. I’m in the zone, alright. Wawancara berjalan lancar, kira-kira 45 menit - 1 jam. Yang terekam di iPod-ku sih 45 menit, tapi setelah itu
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
sebenarnya masih ada pembicaraan sedikit, ketika Habib mengundang aku untuk datang ke Markas lagi untuk tabligh akbar. Hahaha. Ini dia Habib Rizieq Shihab. Agak susah untuk ditulis semua hasil wawancara di sini, karena banyak juga yang agaknya kurang penting. Haha. Jadi aku bakal kasih highlight aja dari wawancaraku dengan Habib Rizieq: 1. Markas FPI itu sebenarnya rumahnya Habib. Sumpah demi 4JJI, rumahnya besar sekali. 4 atau 3 tingkat aku lupa persisnya, tapi mirip rumah-rumah di sinetron gitu bentuknya. DAN, pas aku datang, lagi ada perluasan— semacam ekstensi gedung baru. Duit-nya dari mana aja ya, kalau benar pengakuan Habib di wawancara bahwa kerjanya dari dakwah saja? 2. Habib udah ga punya bapak semenjak umur 11 bulan (apa mungkin ini punya dampak psikologis ke dirinya?) dan saat ini punya 7 anak. Anak-anaknya yang sudah dewasa sedang kuliah di luar negeri semua, ada yang Mesir, ada yang di Yemen, dll. 3. Menurut Habib, Barat itu memang tidak semuanya salah, tapi banyak yang tidak sesuai dengan Syariat Islam, salah satunya demokrasi. Menurut Habib, demokrasi itu sangat berbeda dengan musyawarah di Islam. Kalau di demokrasi menurut Barat, mereka itu bisa “sepakat dalam kemaksiatan”, sementara di Islam, itu tidak mungkin terjadi. Kebayang ga muka aku pas dengar itu gimana? Hahaha. 4. Salah satu poin menarik dari Habib adalah mengenai Piagam Jakarta. Menurut Habib, Indonesia itu negara Islam. #jreng! Kenapa? Karena, pada saat Piagam Jakarta ditolak oleh Soekarno, Soekarno tidak melibatkan para kaum nasionalis Islam, maka hasil rapat tersebut tidak valid. Pancasila yang valid adalah Pancasila yang tercantum dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, karena disepakati oleh “seluruh founding fathers.” Alasan ini juga didukung kalimat pembuka UUD kita, “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”. menurut Habib, tidak ada agama lain yang punya frase semacam itu, hanya Islam yang punya. Maka jelas, Indonesia itu negara Islam. Ketika masyarakat Indonesia mengatakan bahwa Indonesia negara sekuler dan bukan negara berbasis Syariat Islam, masyarakat yang mengaku muslim-lah yang telah berkhianat, begitu kata Habib. Hmmm, “menarik” kan? Lanjut... 5. Aku nanya ke Habib, kalau memang anti-Barat, anti-Yahudi, kenapa Habib punya facebook? Hahaha. Habib jawab, “Karena yang baik ya harus kita gunakan! Tidak semua dari Barat itu buruk.” Mulai bingung, ini gerakan ideologis atau oportunis ya?
PROBLEMFILSAFAT
5
DESKRIPSI
6. ‘Ku tanya kepada Habib tentang tafsir Qur’an, memang semua itu mutlak kebenaran Allah? Habib jawab kalau ada dua jenis tafsir, yang mutlak (tidak mungkin salah) dan yang multitafsir. Jadi, sebenarnya ada suatu titik di mana ideologi FPI menerima kenyataan bahwa kebenaran itu relatif. Tapi lucunya, ketika dia menjelaskan kebenaran yang multitafsir, tafsir tersebut harus sesuai dengan metode yang ada. Kalau tafsir liberal atau yang lainnya itu menurut FPI di luar koridor kebenaran. Kira-kira parameter bener dan salahnya apa ya? “Ya Syariat Islam yang sejati!� kata Habib. Hah. Udah masuk ke debat teologis, susah dan tidak ada guna juga untuk berdebat di ranah ini.. Dari berbagai jawaban dan penjelasan Habib, aku sampai di beberapa poin-poin kesimpulan: 1. Ketika kita berbicara tentang kebenaran, rasanya agak susah ya untuk menghakimi seseorang itu seutuhnya salah dan benar. Aku sempet mikir gini: bayangkan, ketika seseorang dari lahir percaya dan mengimani suatu keyakinan dengan teguh, hingga ia dewasa, dan juga ditambah dengan pembelajaran Islam dari Saudi Arabia, (pusat Wahabisme); dan tiba-tiba ia dihadapkan dengan orang-orang yang mempunyai pandangan tentang hidup, tentang Tuhan, tentang ayat, tentang Islam yang berbeda, siapa yang benar? Siapa yang punya otoritas untuk menyatakan yang satu itu lebih benar dari yang lainnya? Kita sering bilang kalau FPI itu suka main Tuhan sendiri, sedangkan kalau kita balik pemikirannya dan jadiin argumen tadi sebagai bumerang, bukankah kita
6
PROBLEMFILSAFAT
juga sedang melakukan hal yang sama? Maka menurutku, kalau untuk permasalahan kepercayaan, di sinilah letak nilai toleransi yang seharusnya dijunjung tinggi di negara kita. Walaupun mungkin FPI tidak merepresentasi Islam, menurutku, tidak seharusnya aku juga menjadi tidak toleran terhadap perbedaan tafsir yang ada. Namun, Ini sepenuhnya berbicara tentang hak memiliki kepercayaan, ya. Karena akan berbeda cerita ketika udah masuk ke dalam penggunaan kekerasan. Karena kita (seharusnya) tinggal di negara hukum, tindakan yang melanggar hukum memang harus diberikan sanksi yang tegas, apapun ideologinya, apapun kepercayaannya, apapun partainya, apapun kepentingan politik yang berada di belakangnya. Hahaha. Tapi menurutku, adalah suatu hal yang kurang bijak ketika kita membenci FPI karena orangnya semata. Yang harus kita lawan adalah kekerasannya, bukan agamanya, bukan tafsirnya. Karena manusia memang didesain sedemikian rupa untuk menjadi tidak sempurna sih, menurutku, jadi kita memang tidak bisa selalu mengharapkan kesempurnaan dari kemanusiaan. 2. Kebetulan di akhir wawancara, dua anaknya yang masih SD berbaju pramuka pulang dan menghampiri Habib untuk salim. (Btw, anak-anaknya cantik loh, kaya Sarah Azhari junior gitu. Hahaha) Nah, di sini aku ngeliat sesuatu yang sering aku lupain ketika melihat Habib di tv, di youtube, di serangan-serangan FPI ke kedutaan AS, dll; yaitu dualitas dalam kepribadiannya. Di satu sisi, Habib adalah ketua FPI yang tegas, bersuara lantang, orator yang cukup bisa membawa massa yang banyak untuk bergerak ke satu tujuan,
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
DESKRIPSI
seorang pemimpin agama yang disegani oleh pengikut, tentunya.. Tapi, di sisi lain, dia juga seorang Ayah yang menyuruh anaknya untuk memberikan barang dengan tangan kanan, menyuruh anaknya untuk menyapu di daerah yang tidak terlalu berdebu supaya anaknya tidak batuk... Seorang Ayah yang bisa bertutur lembut. Lucu sekali, menurutku. Hari itu aku seperti mewawancarai dua orang yang berbeda! Hahaha! Tapi ya memang begitulah sisi yang kita, sebagai outsider, ga akan pernah bisa ngerti. Menurut kita, kok bisa sih pengikutnya ada segitu banyak? Kok bisa sih, ada yang mau nurut diteriak-teriakin ideologi yang radikal seperti itu? Kok bisa? Ternyata ya ini jawabannya, bahwa pemimpin yang cenderung bisa dikatakan “karismatik” mempunya caranya sendiri untuk menarik hati para pengikutnya di kesehariannya. Mungkin hampir sama dengan pemimpin-pemimpin radikal Islam di dunia, contoh Osama bin Laden. Dibenci seluruh dunia, tapi dicintai pengikutnya. Haha.. 3. FPI di era Globalisasi ini sebenarnya ikut terombang-ambing. Dari yang mencoba untuk menjadi ideologis dan idealis, akhirnya menjadi oportunis. Punya facebook account, sempat punya twitter juga, ditunggangi berbagai kepentingan politis dan juga ekonomi dari pihak luar maupun dalam. Rasanya unsur Islam-nya sudah sangat memudar, menurutku. Karena apa lagi yang diperjuangkan oleh kaum radikal Islam seperti FPI? Perkembangan masyarakat dan peradaban jauh lebih cepat dari perkembangan tafsir mereka. Semua menjadi sulit untuk diperjuangkan, karena fondasinya menjadi tiada. Akhirnya? FPI menjadi kendaraan untuk para pemimpinnya mendapatkan keuntungan finansial dengan menggunakan agama dan ideologi Islam radikal, yang menawarkan kepastian Surga, sebagai fondasi kendaraan mereka. Aku bahkan baca, juga mendengar sendiri cerita tentang bagaimana FPI sering mendatangi diskotek dan bar-bar, meminta uang “keamanan”, supaya mereka tidak diserang oleh FPI. Bagaimana anggota FPI, ketika mau ke Bali, minta untuk dijamu dengan kamar hotel dan pelacur. Bagaimana FPI digunakan untuk melindungi ruko yang memiliki permasalahan sengketa lahan. Sangat mengecewakan memang. Rasanya, kalau untuk masalah ini, ideologi apa yang harus aku kasih toleransi? Tapi di sisi lain, FPI yang mana yang harus kita persalahkan untuk kasus-kasus seperti ini? Karena keanggotaan FPI itu ada 4 jenis; Habib, kaum intelektual dan mahasiswa, Laskar Pembela Islam, dan orang-orang kecil yang memiliki latar belakang pendidikan yang minim. Memang memalukan, mengaku paling beragama, tapi tingkah lakunya begitu murah. Sekarang pertanyaan selanjutnya, apakah FPI harus dibubarkan karena hal ini? 4. Menurutku, pertanyaan lebih cocok adalah, apakah FPI bisa dibubarkan? Karena ide tidak bisa mati. Ketika kita basmi satu, masih ada seribu. Gara-gara terlalu
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
fokus dengan FPI, kita lupa dengan ormas-ormas Islam radikal lainnya. FUI, GARIS, FBR, dll. Bahkan, Habib sendiri, dalam wawancara, bilang, “kalau FPI dibubarkan, silakan. Kita akan muncul lagi dengan nama berbeda, orang yang sama.” Ga susah kan? Hahaha. Jangan sampai aja kita hanya berpikir short-term, long-term itu sangat penting karena punya kontinuitas. Setiap aku belajar spiritualitas, sering diingkatkan supaya jangan tindakan-tindakan kita hanya bersifat reaktif dan emosional semata, karena sebenarnya, tidak akan ada yang terselesaikan di masa depannya. Nah, penyelesaiannya jadi harus gimana ya? #jengjeng. Udah panjang terus ga tau gimana menyelesaikannya. Hahaha. Ya.. Menurutku sendiri sih, ada beberapa usulan amatir yang mungkin ga ada artinya dibanding research para analis politik Indonesia. Hehehe.. Beberapa adalah: 1. Salah satu alasan kelahiran FPI adalah momentum di mana adanya political and legal vacuum di Indonesia. Merasa negara tidak becus menegakkan hukum, akhirnya FPI main hukum sendiri dengan hukum yang berlandaskan Syariat Islam. Terlepas dari rumor yang bilang bahwa FPI itu didirikan atas inisiatif kepolisian Indonesia untuk jadi moral vigilantes, permasalahan utamanya adalah lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Kalau penegakan hukum itu ada dan kerangka hukum untuk memberikan sanksi kepada ormas yang menyiarkan kebencian (seperti kata Prof. @sociotalker) itu ada, tentunya ormas seperti FPI ga akan menjadi isu yang krusial. (Halo, masih ada kemiskinan, kualitas pendidikan, kesejahteraan rakyat, yang menurutku seharusnya menjadi prioritas negara) Tapi di Indonesia memang agak lucu sih, penegakan hukumnya. Masalah narkoba aja ga bisa ditangani secara baik, masalah ormas yang melakukan tindak kekerasan juga, apalagi permasalahan yang lebih besar, ya? Jelas lah ya, kenapa korupsi di negara kita ga kunjung beres.. 2. Aku suka heran, banyak juga ya, simpatisan FPI? Ga sedikit jumlahnya. Tapi kenapa bisa ada begitu banyak orang yang tertarik bergabung dengan FPI? Di skripsiku, aku pakai teori Islamist Radicalization Root Cause Model dari Clingendael Institute untuk menjelaskan kenapa organisasi Islam ekstrem seperti FPI bisa lahir, dan di dalam teori itu disebutkan beberapa faktor; di dalam level makro ada keadaan politik, ekonomi dan budaya, globalisasi dan modernisasi. Sementara, di level mikro ada identifikasi sosial, di mana ada peleburan antara identitas “aku” dengan identitas yang lebih besar seperti “identitas kelompok” atau ideologi. Misalnya, Rizieq Shihab bukan lagi melihat dirinya sebagai Rizieq, tapi Si Muslim, atau FPI. Juga ada interaksi sosial, dan yang juga sangat penting adalah relative deprivation. Kebanyakan dari anggota FPI, terutama yang sering kita
PROBLEMFILSAFAT
7
DESKRIPSI
lihat di jalan adalah anggota Laskar dan anggota dari orang-orang dengan latar belakang pendidikan yang rendah dan ekonomi yang lemah. Bahkan Habib sendiri mengakui ini. Penjual asongan, pengangguran, bekas preman. Mereka yang secara ekonomi tidak terpenuhi kebutuhannya, mempunya tingkat deprivasi yang cukup tinggi karena tuntunan finansial, dan juga sosial, tinggal di Jakarta yang oh sangat keras kehidupannya, tiba-tiba bertemu dengan seorang yang dipercaya sebagai keturunan asli Nabi Muhammad SAW (Habib), dan diimingimingi kepastian masuk Surga dengan bergabung dengan suatu organisasi. Ya bergabunglah mereka, dengan penuh keyakinan! Kalau negara mampu mensejahterakan lebih dari masyarakatnya, negara mampu menjamin pendidikan untuk warganya, menurutku, jumlah masyakarat yang tertarik untuk bergabung dengan FPI pun akan menurun. Sepertinya. Semoga. Jadi, selain penegakan hukum, dan pengadaan kerangka hukum yang lebih tegas untuk memberikan sanksi pada ormas yang melanggar hukum, rasanya kesejahteraan juga salah satu unsur penting dalam permasalahan yang patut diberikan perhatian lebih. 3. Paling penting, paling fundamental, paling krusial, adalah pendidikan. Karena aku bukan tipe orang yang terlalu suka berpolitik, kalau di HI pun aku ga gitu tertarik dengan isu-isu yang sering disebut high politics (walaupun, menurutku, sebutan ini agak diskriminatif sih. Haha). Menurutku, salah satu penyelesaian yang paling penting adalah pengadaan pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas. Values education. Sesuatu yang Indonesia tidak punya, yang kita punya itu PPKn, Pmp, Pkn—apapun lah modifikasi nama yang selalu berganti tiap tahunnya—yang mengajarkan pelajar Indonesia untuk menghafal Pancasila, dan memilih antara menolong atau menendang ketika ada nenek mau menyebrang jalan. Pendidikan itu sangat penting. Pendidikan yang baik adalah aset bangsa Indonesia. Tapi bukan jumlah sekolah aja yang harus ditingkatkan, atau budget pendidikan yang sering dibangga-banggakan oleh pemerintah, tapi kualitas pendidikan itu sendiri juga harus ditingkatkan. Ketika hierarki IPA dan IPS dalam pendidikan menentukan mimpi seseorang, ketika aktualisasi diri sang anak terhalang oleh stigma masyarakat tentang arti kesuksesan, ketika pendidikan agama hanya untuk menghafal mana najis besar dan mana najis kecil; bagaimana bisa kita berharap penerus bangsa kita akan kritis, menjunjung nilai-nilai moral, dan memiliki altruisme dalam dirinya? #dramatis #tapiserius Eksistensi suatu bangsa itu sangat ditentukan oleh karakter yang ia miliki. “Pendidikan karakter itu adalah mental investment�, Soekarno dulu pernah menekankan. Jika masyarakat kita mempunyai karakter yang diinginkan oleh Pancasila; toleransi, bhinneka tunggal ika, kema-
8
PROBLEMFILSAFAT
nusiaan yang adil dan beradab, harusnya, kalaupun ada perbedaan tafsir tentang agama, masyarakat kita akan jauh lebih beradab untuk memilih mana yang benar dan mana yang salah, terutama di depan hukum. Mental untuk taat hukum harusnya juga bisa terbangun. Oh, alangkah indahnya. Sayang sekali kita masih jauh dari itu. Tapi dengan adanya gerakan #IndonesiaTanpaFPI (walaupun aku lebih setuju dengan #IndonesiaTanpaKekerasan), kita harus bersukacita karena akhirnya suara masyarakat mulau lagi menuju ke posisi yang seharusnya, suara yang kembali didengar oleh DPR dan pemerintah Indonesia. Kalau pemerintah Indonesia ga bisa bangun sendiri, memang mungkin satusatunya jalan ya dibangunkan oleh masyarakatnya sendiri. Sekian cerita tentang FPI. Maaf jika panjang (padahal ga ada yang baca juga. HAHA). Sebelum mengakhiri, ada dua pesan yang ingin aku sampaikan: hanya dengan aksi unjuk rasa di Bunderan HI tidak akan menyelesaikan apaapa kalau tidak dibawa sampai ke proses politik. Bisa baca timeline twitter-nya @sociotalker dan @yanuarnugroho untuk informasi lebih lanjut, lebih dalam dan lebih berbobot. Hehehe. (Btw, yang sekarang aksi di Bunderan HI, dan biasanya ngomongin aktivis-aktivis HAM atau buruh yang sering aksi, ngerasain `kan rasanya putus asa dan rasanya ga ada cara lain selain unjuk rasa? Ya itulah salah satu alasan kenapa aksi menjadi opsi bentuk protes kepada pemerintah :p ) Terakhir, jika kita hanya bisa membenci FPI karena orangnya, ideologinya, atau tindakannya, kita ga ada bedanya dengan mereka. Kita malah jadi kelompok ekstremis juga, ekstrem membenci FPI, kita menjadi seperti mereka. (maklum, anak buah Gandhi, pacifist sejati :p). Sebagai anak muda, lebih baik kita memulai gerakan-gerakan yang konstruktif dan positif untuk membangun karakter bangsa, ga harus langsung besar, mungkin bisa dimulai dari diri sendiri. :D #likeAAGYM Kebetulan aku sedang ngerjain suatu proyek yang selaras dengan tujuan itu. Tapi karena masih jauh dari rampung, mohon doanya supaya bisa cepat terlaksana yaa, teman-teman! Sekian & Terima kasih. Terutama untuk yang udah baca sampai akhir. Selamat Subuh. *Rara Sekar Larasati adalah alumnus Universitas Parahiyangan, Bandung.
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
DESKRIPSI
DUNIA JAGOAN oleh M. FAUZI
Stasiun Senen Tempo Dulu (anrctect.blogspot.com)
Preman beberapa pekan terakhir ini telah menarik perhatian dan ramai dibicarakan, terutama di pers baik cetak maupun elektronik. Istilah preman sesungguhnya bukan hal baru, jika kita telusuri lagi dalam sejarah. Sebutan preman mulai dikenal luas sejak Orde Baru dan era sesudahnya. Istilah preman yang populer untuk menyebut mereka yang akrab dengan kriminalitas, kejahatan, atau kekerasan belum dikenal luas pada 1950-1960-an. Dalam hal ini, ada kecenderungan memberi makna preman sebagai penjahat, dan karena itu sosok preman menjadi penting. Publik pun tidak hanya diberi makna penyelewengan dan ilegal, tapi juga suatu kekuasaan di dalam bahasan preman. Peran dan distribusi preman di berbagai kota juga menunjukkan bahwa ruang menjadi pokok dan basis material keberadaan mereka di suatu wilayah. Dari sanalah, kekuasaan sesungguhnya mulai dibangun dan dikembangkan sekaligus dikuasainya, dan dibangun lewat jalan kekerasan. Tampaknya sulit bagi kita menemukan preman tanpa sebuah ruang sebagai basis bagi legitimasi kekuasaannya.1 Istilah preman bisa bermakna tunggal dan sekaligus jamak. Preman berasal dari bahasa Belanda yaitu vri-
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
jman. Asal-usulnya bisa ditelusuri hingga abad ke-17 saat Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) berkuasa di Hindia Timur. Sebutan preman untuk mereka yang tak bekerja pada VOC, tapi diizinkan tinggal di Hindia Belanda dan melakukan transaksi niaga untuk keuntungan VOC. Mereka adalah pedagang, tapi tak masuk daftar gaji perusahaan. Dalam hal ini, vrijman adalah perantara bebas (a free agent) di bidang perniagaan dengan syarat bahwa perniagaannya mengikuti syarat yang dilakukan VOC. Vrijman juga bukan karyawan di perusahaan atau orang perusahaan dalam urusan perniagaan waktu itu.2 Sebutan preman telah dipakai di perkebunan Deli, Sumatra Utara, pada awal abad ke-20. Di sana, vrijman adalah mandor atau kuli harian yang tak terikat kontrak dengan perkebunan, tapi bekerja di perkebunan itu.3 Pemaknaan itu menunjukkan, vrijman adalah orang merdeka, mandiri atau bebas. Meskipun vrijman orang bebas, ketergantungan terhadap pihak lain sangatlah kuat. Mereka tak sepenuhnya mandiri ataupun bebas, apalagi jika ketergantungannya terkait kepentingan ekonomi atau politik. Di atas disinggung bahwa sebutan preman dan maknan-
PROBLEMFILSAFAT
9
DESKRIPSI
ya terkait kriminalitas mulai meluas penggunaannya sejak Orde Baru. Sedangkan pada 1950-60an, atau sebelumnya, sebutan preman terutama di wilayah Jakarta dan sekitarnya dikenal dengan istilah jagoan. Di beberapa daerah jagoan dikenal pula dengan nama lenggaong, benggol, gedor, garong, koyok, grayak, bromocorah. Setidaknya ada empat puluh istilah tentang preman dalam berbagai bahasa daerah, dan ini menegaskan tentang kehadirannya di berbagai daerah.4 Para jagoan inilah yang mengendalikan wilayah perdesaan Jawa seperti disebut dalam laporan yang menggegerkan pemerintah kolonial dari C. Amand, pengusaha perkebunan tembakau di Kediri, Jawa Timur, pada 1872.5 Ia menggambarkan dunia petani Jawa yang diisi pencurian ternak, pemerasan, penyelundupan candu, kekerasan, dan teror sebagai gejala keseharian dalam masyarakat Jawa. Laporan ini tentu tak seindah gambaran yang dilihat penguasa tentang Hindia yang molek dan damai. Sisi hitam Jawa itu juga bisa ditemukan dalam beberapa prasasti dari masa Jawa Kuna yang diteliti Boechori seperti prasasti Balingawan (813 Saka), Mantyasih (829 Saka), dan Kaladi (831 Saka). Isi ketiga prasasti itu menunjukkan bahwa masyarakat Jawa Kuna ternyata bukan pula masyarakat yang aman, tentram dan damai, atau jauh dari kriminalitas, tapi justru dikelilingi berbagai aksi pembegalan, perampokan, dan perkecuan disertai penusukan/pembacokan.6 Masyarakat bawah dalam masyarakat kolonial pun ternyata menyimpan potensi yang mampu menerjang apa pun yang menghambat, termasuk keamanan dan ketentraman masyarakat kolonial. Pelaku yang jadikan masyarakat kolonial tidak tenang dan kerap ketakutan yaitu jagoan. Laporan itu juga menyatakan bahwa tak ada kepala desa yang menganggap desanya bebas dari rasa aman jika tidak mempekerjakan seorang atau beberapa pencuri yang berada di bawah perintah pencuri tua dan cerdik yang disebut jago.7 Laporan ini secara tak langsung menunjukkan keberadaan jaringan jagoan yang tidak hanya terbatas pada Kediri, tetapi mereka justru menyebar ke berbagai daerah lain di Jawa. Pendapat itu senada dengan simpulan bahwa kelompok kriminal telah menyebar ke seluruh Jawa dan membentuk semacam masyarakat yang berbeda dan satu sama lain sesungguhnya saling kenal.8 Jauh sebelum Amand menulis laporan itu, Pangeran Diponegoro memberi kedudukan penting kepada jagoan sebagai komandan militer di wilayahnya ketika bertempur melawan Belanda dalam Perang Jawa (1825-1830).9 Keberadaan jagoan itu bisa dipahami pula sebagai ketidakmampuan pemerintah kolonial dan aparat keamanan mengendalikan Jawa di tangan mereka sehingga jagoan dipakai untuk menopang kekuasaan. Melibatkan jagoan untuk mengendalikan Jawa tentu diimbangi dengan imbalan, seperti membebaskan jagoan menjalankan aktivitas kriminal di wilayah kekuasaannya.10 Isi laporan Amand itu menunjukkan jagoan tak akan berkembang dan berpengaruh tanpa ada hubungan dengan kekuasaan lokal. Salah satu peran jagoan yang menonjol hingga kini adalah sebagai perantara (tusschenpersonen), dan kedudukan ini terus
10
PROBLEMFILSAFAT
bertahan sepanjang sejarah Indonesia dan juga selama masa revolusi. *** Jagoan juga merupakan sebutan bagi pahlawan lokal, pemberani, pelaku kejahatan, orang kebal atau orang yang memiliki kekuatan gaib. Jagoan identik dengan kekuatan, kekebalan, kekerasan, kejahatan, dan menempati kedudukan penting dalam masyarakat. Dihormati sekaligus ditakuti. Dalam hal ini jagoan dapat dipandang sebagai modal sosial dan politik bagi individu, organisasi, bahkan negara.11 Selain berbagai sebutan dan karakter itu, jagoan disebut sebagai orang desa yang lebih pintar daripada penduduk lain dan banyak dimanfaatkan untuk kepentingan penguasa. Mereka dimanfaatkan sebagai penjaga keamanan dan ketertiban, serta sebagai penarik pajak, pengawas kerja paksa, dan tugas lain yang terkait pekerjaan penguasa. Penguasa pun memakai jagoan untuk mengawasi jagoan lain dalam rangka keamanan dan ketertiban di wilayahnya, dengan kata lain “menangkap maling dengan maling� dipraktikkan penguasa dalam mengelola pemerintahan.12 Pada 1950-an, seorang jagoan terkenal di Jakarta Kota membantu kepolisian memberantas pencoleng yang meresahkan warga Jakarta Utara. Kerjasama serupa juga terjadi di Glodok dan Pintu Kecil. Di kedua wilayah terakhir, pedagang menyanggupi kepada kepolisian untuk mengumpulkan sejumlah uang yang kemudian dipakai membentuk organisasi jagoan yang akan membantu kepolisian mengatasi keamanan di wilayah mereka.13 Situasi keamanan di Jakarta pada awal 1950-an memang meresahkan penduduk. Pada awal Januari 1951, di Jakarta terjadi 300 kasus kejahatan dan jumlah ini kemungkinan hanya pada satu jenis kejahatan tertentu saja seperti pembunuhan, perampokan, atau kejahatan berat.14 Sejak awal 1950-an pula, banyak organisasi penjaga keamanan berlatar belakang eks laskar dan sipil yang muncul di Jakarta, dan asal-usul pembentukan organisasi ini bertujuan menjaga keamanan di kawasan bisnis dan perumahan. Setidaknya dari 31 organisasi penjaga keamanan yang ada dengan jumlah keseluruhan anggota mencapai sekitar 13.000 orang, hanya 20 organisasi yang disahkan Komando Militer Kota Besar Djakarta Raja (KMKBDR) pada awal April 1954, termasuk di dalamnya Cobra yang dibentuk oleh Pi’i dan paling berpengaruh di kalangan jagoan Jakarta. Organisasi penjaga keamanan itu tersebar di berbagai tempat di Jakarta dan kekuasaan mereka dibagi dalam beberapa rayon atau kecamatan yang sekaligus menjadi wilayah kekuasaan mereka atas kantor dan perumahan. Inilah cikal-bakal organisasi penjaga keamanan di tingkat perumahan dan kawasan bisnis yang berkembang kemudian. Di tempat-tempat yang telah ditentukan pemerintah dan aparat keamanan itu mereka menghidupi diri dan keluarga, organisasi serta membangun solidaritas sosial di kalangan mereka. Pendapatan dari sumber-sumber ekonomi setempat ini kemudian mereka gunakan dan kelola untuk berbagai kebutuhan organisasi dan anggota. Sumber utama
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
DESKRIPSI
penghasilan organisasi ini berasal dari iuran pelaku bisnis atau perumahan yang memakai jasa mereka. Persaingan di antara organisasi atau antarindividu lain kadang terjadi. Perebutan ruang dan properti pun menjadi bagian dari keberadaan organisasi ini bertahan di Jakarta. Oleh karena itu, pemeritah kemudian mengusulkan agar dibentuk semacam federasi (bond) dari organisasi penjaga keamanan yang ada, mempunyai tempat atau markas untuk setiap organisasi, dan membangun solidaritas dengan masyarakat.15 Seleksi terhadap organisasi keamanan itu dilakukan karena kerap terjadi penyimpangan di tingkat operasonal mereka. Sebagai persyaratan, setiap anggota organisasi penjaga keamanan harus disertai pas foto dan stempel dari KMKBDR. Beberapa kasus menyangkut organisasi kerap terjadi dan salah satunya pada Ular Belang. Disebutkan aparat keamanan telah menangkap dua puluh anggota Ular Belang karena menggunakan seragam tentara saat memaksa penduduk menjadi pelanggan jasa keamanan Ular Belang. Kasus lain adalah ketidaktertiban dalam penagihan uang keamanan kepada pelanggan. Satu perusahaan dapat saja ditagih oleh lebih dari satu organisasi penjaga keamanan. Uang keamanan ternyata menjadi sumber kekisruhan dalam pengaturan dan pembagian wilayah organisasi penjaga keamanan. Pihak militer pada akhirnya menertibkan semua organisasi yang ada agar dalam satu rumah atau perusahaan hanya ada satu uang keamanan untuk satu organisasi penjaga keamanan.16 Cobra merupakan satu-satunya di antara kedua puluh organisasi penjaga keamanan yang diberi izin beroperasi di dua rayon atau kecamatan : Salemba dan Senen. Pembentukan Cobra bukan hanya untuk menampung eks anak buah Pi’i di masa revolusi baik bekas laskar maupun bukan, yakni mereka yang disegani atau menjadi jagoan di kampungnya, tapi juga untuk menguasai dan mengendalikan wilayah Senen dan sebagian Jakarta.17 Pi’i memang jagoan terkenal dan disegani di kalangan “dunia bawah� Jakarta pada 1950-1960-an. Foto Pi’i yang dipasang di setiap toko atau tempat hiburan, biasanya di dekat meja kasir, menjadi jaminan bagi si pemilik toko atau tempat hiburan bahwa tempat usahanya tidak akan ada berani yang mengganggu.18 Kerja sama jagoan dengan aparat keamanan mengatasi keamanan di Jakarta atau sebagai pemberi informasi kepada mereka dilakukan sebagai upaya menekan kriminalitas. Di sisi lain, batas-batas penggunaan kekerasan secara legal dan juga ilegal untuk mengganggu ketentraman dan ketertiban pemerintahan sangatlah tipis. Oleh karena itu, pemerintahan yang bersandar pada kekerasan (political gangsterism) dan bukan pada hukum mengakibatkan banyak jagoan digunakan di sini dan bukan polisi profesional untuk menjalankan pengamanan.19 Perlindungan terhadap jagoan yang kriminal di mata penguasa juga terjadi. Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk ketakutan terhadap sepak terjang jagoan di wilayahnya, seperti terjadi pada jagoan terkenal di Cikampek dan Rengasdengklok bernama Lempoeg Bapa Emah.
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
Ia pelarian dari penjara Cirebon pada pertengahan Juni 1946. Namun, pelariannya berakhir di Kampung Plawad, Desa Selang, Kecamatan Telagasari, Cikampek, pada 28 September 1946. Penduduk sekitar menolak memberi tahu tempat persembunyian Lempoeg, bahkan mengatakan tak mengenal jagoan ini kepada polisi. Saat penangkapan, Lempoeg melawan dan mencoba menghunuskan goloknya ke polisi yang meringkus dirinya. Ia justru tewas ditembus peluru anggota polisi yang menyergapnya.20 Berbagai mitos tentang kekebalan jagoan kerap menyelimuti mereka di masyarakat. Kisah mengenai Mat Item yang meresahkan penduduk di sekitar Kebayoran Lama, Kebon Jeruk, dan Palmerah contohnya. Ia dikenal sebagai jagoan yang kebal dan mampu menghilang karena mempunyai jimat yang selalu melekat pada tubuhnya. Berbagai kelebihan pada jagoan inilah yang terkadang menjadikan dirinya sebagai pahlawan bagi masyarakat lokal. *** Jagoan tidak hanya menjalin relasi dengan penguasa lokal atau aparat keamanan, tapi juga dengan partai politik atau serikat buruh sejak muncul organisasi ini di masa pergerakan. Partai Komunis Indonesia (PKI) misalnya memiliki kontak dengan jagoan sejak 1920-an. Di Jakarta, PKI melalui Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran (SBPP) membangun hubungan dengan jagoan Tanjung Priok, terutama yang berasal dari Banten. Kepindahan jagoan asal Banten ke Tanjung Priok ini juga karena alasan ekonomi. Di pelabuhan ini, jagoan bertindak sebagai mandor dan perekrut buruh, yang sebagian besar berasal dari kampung atau daerah asal jagoan. Memang Pelabuhan Tanjung Priok adalah pelabuhan ekspor-impor yang sangat sibuk di Hindia Belanda. Ekspor hasil perkebunan dan pertanian Indonesia dikapalkan ke berbagai negara melalui pelabuhan ini. Maka, kebutuhan tenaga kerja di pelabuhan ini sangatlah besar, termasuk buruh bongkar-muat barang dari kapal ke gudang atau sebaliknya. Orang yang berperan dalam menyediakan buruh bongkar-muat ini adalah mandor. Kaum buruh pelabuhan menganggap mandor sebagai jagoan di wilayah kerja dan tempat tinggal mereka.21 Ia juga berperan menghubungkan antara aktivis partai atau serikat buruh dan buruh pelabuhan. Selain itu, jagoan dipekerjakan pula sebagai opas, centeng, atau penjaga keamanan oleh Belanda di beberapa perkebunan pemerintah di Bandung, Bogor, Cianjur, Jakarta, Puncak, Sukabumi, dan Tangerang.22 Seiring perluasan perkebunan di Jawa, pihak perkebunan membutuhkan jagoan untuk dipekerjakan sebagai penjaga keamanan perkebunan sekaligus berperan sebagai perekrut buruh. Tuan kebun tidak langsung berurusan dengan buruh perkebunan jika perlu tenaga untuk dipekerjakan di perkebunannya. Jagoan lah yang menangani tugas itu untuk mencukupi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan.23 Hal serupa itu terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok. Posisi mandor sangat penting dalam perekrutan buruh pelabuhan untuk perusahaan bongkar-muat barang. Kedudukan sebagai perantara ini
P R O B L E M F I L S A F A T 11
DESKRIPSI
menunjukkan peran penting jagoan dalam hubungan ekonomis, politis maupun sosial. Pola relasi sosial seperti di atas terus berlangsung hingga ke tahun berikut. Dalam kedudukan seperti itu, jagoan dapat memainkan dua peran sekaligus yakni ke atas kepada penguasa/pemilik perkebunan/pemilik perusahaan dan ke bawah kepada rakyat biasa/buruh. Posisi seperti ini penting dalam hubungan antara atasan dan bawahan. Peran sebagai perantara dalam wilayah politis diperlihatkan jagoan Senen, Imam Sjafe’i atau Pi’i, yang dikenal dekat dengan Jenderal A.H. Nasution dan perwira di Divisi Siliwangi, Jawa Barat. Kedekatan Pi’i dan perwira ini telah berlangsung sejak masa revolusi. *** Pi’i disebut sebagai tokoh yang mempunyai andil memobilisasi demonstran saat peristiwa 17 Oktober 1952 di muka Istana Negara. Dalam peristiwa itu, demonstran menuntut pembubaran parlemen dan penyelenggaraan pemilu.24 Peristiwa ini merupakan peristiwa nasional kedua yang menyebut keterlibatan Pi’i di dalamnya. Melihat para perwira yang terlibat dalam peristiwa 17 Okober, yang sebagian memiliki hubungan dengan Nasution atau Divisi Siliwangi, maka keterlibatan Pi’i tak mengejutkan. Peristiwa nasional pertama yang menyebut keterlibatan Pi’i adalah rapat Ikada (kini Lapangan Monas) di Jakarta pada 19 September 1945. Ia disebut berperan menggerakkan massa agar menghadiri rapat tersebut.25 Nama Pi’i kembali disebut saat terjadi gelombang demonstrasi mahasiswa terhadap Presiden Soekarno pertengahan 1960-an. Oleh demonstran, ia mendapat julukan sebagai ketua bajingan di Jakarta, ketua perkumpulan copet Cobra di Jakarta, penguasa “dunia bawah” Jakarta, dan ahli teror.26 Pada 1966, ketika Presiden Soekarno me-
12
PROBLEMFILSAFAT
minta Pi’i menduduki posisi menteri negara khusus urusan pengamanan, ia lalu menemui Nasution untuk meminta pendapatnya mengenai tawaran Soekarno itu.27 Pi’i memang populer di kalangan “dunia bawah” Jakarta dan pengaruhnya itu tampaknya menjadi pertimbangan bagi Soekarno memilihnya dalam jajaran kabinetnya. Hubungan antara Pi’i dan tokoh-tokoh politik sebenarnya berlangsung sejak revolusi saat mereka masih berjuang dalam kelaskaran Jakarta dan sekitarnya. *** Paragraf-paragraf di atas menunjukkan bahwa jagoan sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari kekuasaan atau ketergantungannya kepada orang lain. Kendati jagoan sebagai perantara dalam panggung kekuasaan, peran yang dipegang jagoan sangatlah penting dalam keseluruhan alur kisah tentang kekuasaan yang melibatkan jagoan di dalam relasi kekuasaan ini. Dalam berbagai literatur, revolusi Indonesia pun kerap ditulis dan hanya berkisah mengenai perjuangan bersenjata ataupun diplomasi saja. Sedangkan gejolak yang terjadi di kalangan laskar-laskar di masa yang penuh gejolak itu sedikit diungkapkan. Pelaku revolusi Indonesia yang perannya tak dapat diabaikan begitu saja adalah jagoan, dan juga masyarakat kelas bawah lainnya. “Revolusi Indonesia dimulai oleh para paria Medan Senen,” demikian tulis Pramoedya Ananta Toer dengan cetak miring dalam memoarnya.28 Pengalaman Pi’i bersama laskar dan paria Senen merupakan periode penting dalam revolusi Indonesia, sekaligus menunjukkan bahwa mereka ada dan menjadi bagian penting di dalamnya. Revolusi Indonesia sendiri memang bukan hasil kerja keras dan pengorbanan elit politik dan militer seperti dipahami awam selama ini. Revolusi Indonesia pada dasarnya juga jerih payah dan perjuangan jagoan, pelacur, atau orang-orang marjinal dan dipandang sebagai “sampah masyarakat”. Historiografi jagoan pun seolah tenggelam dalam seluruh jalinan kisah heroik dengan menyembunyikan peran mereka di pusaran revolusi itu. Di Surakarta, misalnya, penggrayakan, penggedoran, penggarongan, dan penculikan memang terjadi pada masa itu. Ada beberapa alasan dan motif yang melatarbelakangi berbagai aksi jagoan itu. Tekanan dan pemerasan yang dilakukan pihak kraton, pamong praja, tuan tanah, kesulitan ekonomi, serta dukungan terhadap pihak Belanda dan Jepang men-
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
DESKRIPSI
jadi alasan terjadinya sejumlah aksi kekerasan di daerah itu. Di sisi lain, penolakan terhadap kebijakan rasionalisasi pemerintah Hatta dan kekecewaan terhadap pembersihan orang-orang komunis setelah peristiwa Madiun 1948 punya andil terjadinya aksi kekerasan jagoan. Rasionalisasi yang memangkas jumlah tentara justru menimbulkan keguncangan di kalangan pejuang dan laskar. Sasaran kebijakan ini terutama badan perjuangan atau laskar yang tidak disiplin, tidak profesional atau terlatih. Mereka juga pantang menyerah atau tunduk begitu saja kepada kebijakan baru pemerintah menyangkut kelaskaran. Mereka lah sesungguhnya yang menjadi inti dari berbagai kelompok atau gerombolan benggol yang beraksi di Surakarta.29 Aksi jagoan itu bisa dipahami sebagai ketidakpuasan rakyat terhadap pemimpin lokal dan tradisional. Sementara dalam pandangan masyarakat, jagoan kerap dilindungi karena memberi “rasa aman” dalam wilayahnya, atau karena masyarakat ketakutan terhadap mereka.30 Para benggol itu bahkan dipandang sebagai pahlawan karena aksi grayak mereka dianggap sebagai protes masyarakat atas ketertindasan yang dialaminya pada masa sebelumnya, baik dilakukan oleh penguasa asing maupun bangsawan.31 Revolusi Indonesia pun tak luput dari aksi kejahatan yang merugikan penduduk serta mencemarkan perjuangan laskar yang memang berjuang untuk mempertahankan republik. Penggedoran rumah penduduk dan perampasan hak milik sering terjadi. Pelaku kejahatan ini dilaporkan berasal dari kesatuan bersenjata. Mereka pun sering menjual barang yang dianggap sebagai “laba pertempoeran (oorlogsbuit)”, bahkan di antara barang itu dipinjam dari penduduk dan tak pernah dikembalikan kepada si pemilik.32 Di masa revolusi, laskar memang mempunyai kekuasaan yang besar terutama menyangkut keluar-masuk barang dari dan ke suatu daerah di wilayah kekuasaannya. Di Krawang, yang dikenal sebagai pusatnya jagoan, laskar setempat melakukan tugas atau bertindak seperti polisi. Mereka menguasai Stasiun Krawang yang menjadi salah satu pintu masuk arus barang ke kota ini. Semua barang yang tiba di Stasiun Krawang tidak dapat diambil langsung oleh pemilik tanpa seizin laskar. Dari Krawang dan Cikarang pula, penyelundupan dijalankan secara teratur dan mempergunakan nama badan perjuangan, atau setidaknya atas sepengetahuan badan perjuangan setempat. Selain itu, di tapal batas wilayah musuh tumbuh beberapa pasar gelap seperti Rawaroke, Jarakesta, Pasirlimun, yang mendapat
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
perlindungan dari orang-orang berpengaruh di tempat ini seperti Djole (Rawaroke) dan Camat Cibitung, Nata, dibantu Komin alias Akang. Besar kemungkinan Komin jagoan setempat yang kerap membantu pekerjaan Camat Nata di wilayah kekuasaannya. Para tokoh masyarakat tidak mempergunakan pengaruhnya untuk memberantas penyelundupan ini, bahkan beberapa orang justru melindungi kejahatan ini. Polisi pun mengalami kesulitan membubarkan pasar gelap ini.33 Jika melihat kekuasaan laskar Krawang dalam mengatur atau mengontrol arus keluar-masuk barang melalui Stasiun Krawang di masa revolusi, maka Pi’i dan kelompoknya mungkin mempunyai kekuasaan yang sama besar di Stasiun Senen dan wilayah sekitarnya. Di luar semua ini, kontribusi jagoan dalam revolusi penting, tapi mereka justru tidak menjadi bagian dari kebanggaan nasional menyangkut para pahlawan revolusioner mana pun. Mereka sensasional, tapi tak layak dikenang, dan memikat tanpa harus menjadi penting.34 Sebagai organisasi, Cobra mempunyai aturan bagi anggotanya. Jika menyangkut pencurian, Cobra akan menyerahkan anggotanya kepada kepolisian. Sebaliknya, kalau ada anggotanya dianggap kurang baik atau tak disiplin misalnya mengambil atau mencuri milik anggota lain tanpa izin, maka mereka akan dipukul dengan ekor ikan pari sebanyak 2-3 pukulan atau bahkan lebih. Cobra juga membuka perjudian di berbagai tempat di Jakarta, seperti di Glodok, Tanah Tinggi, dan Jatinegara. Tempat perjudian mereka dapat berpindah ke tempat lain misalnya ke Tugu, Puncak-Jawa Barat, jika aparat keamanan berencana merazia. Sistem keamanan internal di kalangan jagoan dengan jejaring yang tersebar, termasuk jejaring mata-mata atau dikenal pula sebagai “tjumi-tjumi”, di berbagai tempat dan aparat keamanan menyebabkan gerak mereka lebih cepat daripada aparat keamanan sendiri.
P R O B L E M F I L S A F A T 13
DESKRIPSI
Jagoan pun mengelola keuangan secara teratur, sebagian disisihkan untuk organisasi, keluarga, dan pendidikan. Cobra menyisihkan sebagian pendapatan untuk pendidikan. Organisasi jagoan lain juga melakukan kebijakan serupa, misalnya mereka akan mengurus anggota yang tertangkap dan dijebloskan ke tahanan, termasuk pula mengurus istri dan anaknya selama suami ditahan. Makanan akan diantar oleh istrinya ke penjara atau di antara sesama jagoan yang datang berkunjung ke penjara dengan membawa makanan atau barang-barang yang dibutuhkan selama berada di tahanan. Dengan begitu, bagi jagoan yang ditahan, mereka tak perlu lagi memikirkan ekonomi keluarga selama menjalani hukuman.35 Ini menciptakan suatu pengelolaan keuangan dan ekonomi di kalangan jagoan. Pengalaman Cobra di tahun 1950-1960-an menunjukkan bahwa organisasi jagoan mampu menjalankan organisasi dan mengelola ekonomi untuk kesejahteraan mereka (moral economy of the poor).36 Jika pada masa revolusi jagoan aktif dalam perjuangan di berbagai tempat dan membentuk laskar sendiri, maka sejak 1950-an jagoan Jakarta justru memegang kendali atau kontrol atas ruang atau wilayah secara resmi melalui organisasi jagoan, dan model serupa ini terus berlanjut hingga di era Orde Baru dan sesudahnya. *** Aktivitas jagoan cukup luas di pusat ekonomi dan transportasi publik seperti pasar, bioskop, stasiun, terminal, pertokoan, kereta api, trem, bis kota, dan bahkan perumahan. Di lokasi itulah setiap hari selalu terjadi berbagai kejahatan seperti perampokan, pencurian, perampasan, pencatutan, bahkan pembunuhan. Sedangkan di angkutan umum, setiap hari selalu saja terjadi kasus-kasus pencopetan, pencatutan, dan perampasan. Pencopetan memang salah satu kejahatan yang meresahkan warga Jakarta. Sejak akhir 1930-an, organisasi pencopet yang sangat terkenal dan ditakuti warga Jakarta adalah Koempoelan 4 Cent.37 Pi’i disebut sebagai salah satu pendiri organisasi ini.38 Organisasi ini bermarkas di Senen dan merupakan suatu organisasi rahasia. Anggotanya sebagian berasal dari luar Jakarta. Nama organisasi tersebut berasal dari uang empat sen yang harus diberikan setiap anggota kepada organisasi sebagai “fonds pertoeloengan” atau “djaminan”. Dana ini kemudian dipakai untuk anggota yang mendapat kesulitan atau ditangkap polisi. Jika anggota kumpulan yang ditangkap mempunyai istri, maka istrinya akan mendapat tunjangan dari organisasi dan dana diambil dari “fonds pertoeloengan” ini. Sewa rumah setiap anggota juga dibayar perkumpulan.39 Koempoelan 4 Cent mempunyai aturan bahwa jika seorang anggotanya ditangkap polisi, maka ia tak boleh melakukan perlawanan. Namun, jika yang menangkap masyarakat atau bukan anggota kepolisian, maka organisasi justru melawan. Koempoelan 4 Cent dibentuk karena banyak kelompok beroperasi di Senen, baik di stasiun maupun pasar, dan di antara satu kelompok dan kelompok lain sering bersaing. Anggota satu kelompok dengan kelompok lain juga
14
PROBLEMFILSAFAT
tak saling kenal. Para pentolan pencopet atau jagoan Senen ini adalah Boesong, Galing, Ketol, Mariang, dan Senan, dengan jumlah anggota keseluruhan mencapai puluhan orang. Jumlah anggota komplotan yang beroperasi di stasiun dengan di pasar daging saja mencapai tiga puluh orang. Lima kongsi pencopet inilah yang menguasai Senen sebelum terbentuk Koempoelan 4 Cent. Persaingan di antara komplotan justru memudahkan kepolisian membekuk anggota komplotan yang diburu, dan lima puluh persen laporan mengenai pencopetan yang masuk ke kepolisian diselesaikan. Polisi juga memanfaatkan informasi yang diperoleh dari anggota komplotan yang ditangkap untuk menangkap anggota komplotan lain yang dikejar. Menangkap maling dengan maling, dalam hal ini berdasarkan informasi pencopet yang ditangkap, dipraktikkan ulang oleh kepolisian pada 1950-1960-an. Selain Koempoelan 4 Cent, jagoan lain Senen yang meresahkan warga adalah para “pendjaga sajoeran” yang berjumlah mencapai puluhan orang. Mereka terdiri dari tiga kelompok dengan pimpinannya adalah Soeria, Opit, dan Adjam. Mereka adalah anak-anak dari bekas murid-murid si Tjonat−dikenal sebagai “kepala penjamoen”−dan bekerja sebagai kacung atau pesuruh di pasar sayur-mayur Senen. Para jagoan ini menarik sejumlah uang dari para pedagang sayur-mayur. Jika para pedagang menolak memberikan uang, maka jagoan inilah yang akan mengambil sayuran.40 Pedagang tentu resah dengan aksi jagoan yang merugikan usahanya. Pedagang Tionghoa contohnya mengumpulkan sejumlah uang dan mengusulkan agar dibentuk suatu “politie-agenten particulier” atau “tjenteng-tjenteng” untuk membantu polisi memberantas kejahatan di sekitar Senen. Usulan mereka juga karena sangat sedikit jumlah polisi yang bertugas menangani kriminalitas di Senen. Hanya ada dua reserse untuk menangani kejahatan di Senen. Para pedagang Tionghoa juga memakai sejumlah orang Tionghoa dan mempersenjatai mereka dengan pentungan, golok, dan rantai untuk membasmi kejahatan di tempat tinggal dan lokasi bisnisnya. Kekerasan baik terhadap pedagang maupun orang yang datang ke Senen terus saja terjadi dan tanpa ada yang mampu menghentikannya.41 Di Jakarta, di sebagian besar pasar berkumpul pula jagoan yang mengatur atau mengontrol pasar atas nama “keamanan”. Pedagang atau pemilik toko harus mengetahui itu dan memenuhi kewajiban yang dibebankan kepada mereka oleh jagoan ini. Begitu pula di terminal atau stasiun, jagoan berkumpul di tempat-tempat seperti ini. Jakarta sejak bernama Batavia memang menyediakan banyak tempat sebagai sumber penghasilan sekaligs kehidupan bagi jagoan dan organisasinya. “Kedjahatan a la djagoan” berupa pencopetan, pencatutan, pencurian, pemerasan yang dilakukan di berbagai kawasan bisnis dan hiburan atau jalan terus terjadi di Jakarta dan meresahkan warganya. Kejahatan juga harus dilihat dalam hubungan dengan kondisi perekonomian dan eks anggota laskar atau badan perjuangan waktu itu, serta
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
DESKRIPSI
jumlah personil polisi yang tersedia. Pada pertengahan Juni 1950, jumlah anggota kepolisian mencapai dua ribu orang untuk daerah seluas Jakarta dengan jumlah penduduk mencapai kurang lebih satu setengah juta orang, atau perbandingannya 1 polisi berbanding 750 orang. Perbandingan yang tidak seimbang jika dilihat dari cakupan wilayah dan tingkat keamanan Jakarta waktu itu. Sementara itu, salah satu upaya pemerintah daerah Jakarta mengurangi kejahatan yang kian meresahkan warga adalah mewajibkan pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) terhadap penduduk yang berada di perbatasan Jakarta mulai Februari 1953. Tujuan pembuatan KTP ini adalah mencegah orang-orang yang dicurigai akan mengganggu keamanan baik di perbatasan maupun di pinggiran kota masuk ke Jakarta.42 Kejahatan juga mencemaskan warga kaya Jakarta sehingga membentuk persepsi mereka tentang keamanan. Mereka berupaya mempertahankan diri dari berbagai aksi kejahatan dengan mengubah bangunan tempat tinggal yakni pemakaian teralis atau besi sebagai pelengkap jendela atau pintu rumah sejak 1950an. Kejahatan di kota seperti Jakarta yang baru menata diri selepas revolusi memang mencemaskan dan meneror warganya, terutama orang kaya. Merekalah yang tampak paling cemas terhadap aksi kejahatan di Jakarta, seperti tercermin pada pemakaian besi untuk keamanan rumah dan harta miliknya. Namun, justru di Jakarta inilah sesungguhnya lahan subur bagi kalangan “dunia bawah” untuk menggarap kawasan bisnis dan perumahan, serta menguasai ruang ini untuk menunjukkan kekuasaannya terhadap masyarakat dan negara. Pada tataran tertentu, kejahatan di atas merupakan protes terhadap properti orang kaya Jakarta, atau sebagai reaksi terhadap komersialisasi dan kemajuan yang tak dapat dihindari oleh kelas berbahaya ini. Jagoan di kota ini justru membuat “kegelapan” yang menjadi impian keamanan dan ketenangan bagi orang-orang kaya atau masyarakat Jakarta menjadi “terang benderang” bagi hidup mereka, karena di kegelapan inilah justru tersimpan harta benda yang menjadi sasaran jagoan. Bayangan jagoan tentang kemakmuran terpantul dari rumah-rumah tembok dengan pagar besi dan teralis itu. Dengan kata lain, kejahatan tak lain sebagai manipulasi dari kegelapan itu sendiri dan jagoan Jakarta pada 1950-1960-an telah mengubah semua itu dengan cara mereka sekaligus membalikkan nilai-nilai dari “dunia yang lurus” (straight world) dengan tetap bergantung kepadanya. Dunia jagoan dengan penekanan pada era Pi’i yang meniti karier dari bawah dan berujung pada penahanan atas dirinya saat masih menjabat sebagai menteri sebagai akibat peristiwa G 30 S menjadi bagian penting dalam sejarah Indonesia, sekaligus sinyal tentang kontribusinya dalam menegakkan dan memberi watak bagi republik ini saat berjuang dalam kelaskaran di masa revolusi. Ia seolah menampik realitas sejarah bahwa hanya kaum milter dan sipil saja yang punya arti dalam menegakkan republik ini. Paria Senen dan kaum marjinal di sekitar wilayah ini yang menjadi bagian dari Pi’i dan organisasi Cobra dalam berjuang seolah tak
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
punya hak menyatakan diri punya andil bagi republik. Dunia jagoan yang telah membesarkan Pi’i dan menunjukkan kejagoannya setidaknya menunjukkan arti penting jagoan terkemuka Jakarta ini dalam gerak masyarakat, juga jatuhbangunnya kekuasaan yang tak lain hasil relasinya dengan para jagoan atau preman. Catatan Akir:
1. Jerome Tadie. Wilayah Kekerasan di Jakarta. Depok: Komunitas Bambu, 2009, hlm 212. 2. Loren Ryter. “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto’s Order?,” Indonesia 66 (October 1998), hlm 45-73. 3. Ryter. Ibid. 4. Tadie. Op.cit. 5. Henk Schulte Nordholt. “A Genealogy of Violence,” dalam Roots of Violence in Indonesia: Contemporary Violence in Historical Perspective. Freek Colombijn dan J. Thomas Lindblad (eds). Leiden: KITLV Press, 2002, hlm 39. 6. Boechari. “Perbanditan di Dalam Masyarakat Jawa Kuna,” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, Cipanas, 3-9 Maret 1986. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan – Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Jakarta, 1986. 7. Henk Schulte Nordholt dan Margreet van Till. “Colonial Criminals in Java, 1870-1910,” dalam Figures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and Colonial Vietnam. Vicente L. Rafael (ed). Ithaca, New York: Southeast Asia Program-Cornell University, 1999, hlm 50. 8. Ibid., hlm 50-51. 9. Peter Carey. The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1885. Leiden: KITLV Press, 2008, hlm 47-53. 10. Nordholt. Op.cit., hlm 39. 11. Ian Douglas Wilson. The Politics of Inner Power: The Practice of Pencak Silat in West Jawa. Tesis Ph.D. School of Asian Studies Murdoch University, Western Australia, 2002, hlm 240. 12. Kasus berawal dari pencurian gorden di rumah Residen Madiun, J.J. Donner, pada malam 6 Oktober 1899 dan pencurian di beberapa rumah orang Belanda sesudahnya menarik untuk melihat peran jagoan dalam kekuasaan. Kepanikan, paranoia, dan kecurigaan yang muncul pascapencurian gorden antara Residen Donner dan Bupati Madiun, Raden Mas Adipati Brotodiningrat, memperlihatkan situasi krisis di pemerintahan. Usulan bupati mengatasi krisis pun dianggap kebijakan dan langkah subversif, misalnya rumah orang Belanda diberi penerangan yang lebih baik pada malam hari, mendaftar setiap pembantu rumah tangga orang Belanda di Madiun. Meskipun bupati berhasil menemukan si pencuri bernama Suradi dan curiannya, residen tetap menuduh bupati sebagai dalang pencurian. Residen lalu meneliti cara bupati mengungkap kasus pencurian. Kesimpulan residen bahwa bupati menggunakan jagoan atau weri (mata-mata bupati). Pada awal abad ke-20, ada sekitar 400-500 weri di Keresidenan Madiun. Oleh bupati, jagoan digunakan menjaga ketentraman di wilayah kekuasaannya karena ketiadaan kepolisian. Residen lalu melaporkan temuan itu ke pemerintah di Batavia. Yang mengagetkan dalam laporan ini bahwa bupati menggunakan jagoan dari dunia kriminal untuk menangani tugas-tugas kepolisian di wilayahnya, bahkan orang kepercayaan bupati adalah pemilik rumah pelacuran dan diduga penjahat ulung.
P R O B L E M F I L S A F A T 15
DESKRIPSI
Hubungan bupati dengan jagoan inilah yang mengejutkan pemerintah Hindia Belanda. Onghokham. “The Inscrutable and the Paranoid: An Investigation into the Sources of the Brotodiningrat Affair,” dalam Southeast Asian Transitions: Approaches Through Social History. Ruth T. McVey (ed.). New Haven: Yale University Press, 1978, hlm 112-157. 13. “Kaum Pentjoleng Dapat Giliran,” Pedoman, 2 Nopember 1950; “Fonds untuk Bantu Keamanan,” Pedoman, 25 Nopember 1950. 14. “Kriminaliteit di Djakarta,” Pedoman, 27 Djanuari 1951. 15. “20 Perusahaan Keamanan Diberi Ultimatum,” Pedoman, 17 September 1951. 16. “Rekening Penagih Organisasi Pendjaga Malam Partikelir Harus Disertai Stempel KMKB,” Indonesia Raya, 9 Djanuari 1954; “Soal Djaga Malam di Djakarta,” Indonesia Raya, 11 Djanuari 1954; “Lagi 9 Orang dari ‘Ular Belang’ Ditangkap,” Indonesia Raya, 12 Djanuari 1954; “Sekitar Ular Belang,” Indonesia Raya, 13 Djanuari 1954. 17. Tadié. Op.cit, hlm 241. 18. Alwi Shahab. “Ketika Cobra Menguasai Keamanan Ibu Kota,” dalam Robin Hood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe. Alwi Shahab. Jakarta: Republika, 2002, hlm 160. 19. Onghokham. “Bromocorah Dalam Sejarah Kita,” dalam Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang. Onghokham. Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo, 2003, hlm 179-181. 20. “Laporan Tentang Penangkapan Lempoeg Bapa Emah,” Inventaris Arsip Kepolisian Negara 1947-1949 No. 495, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). 21. Wawancara dengan Irwan Sjafi’ie, 9 Desember 2005. 22. Lihat peran centeng atau penjaga keamanan asal Madura bernama Darsam yang bekerja pada dan untuk kepentingan Nyai Ontosoroh, majikannya, seperti dikisahkan dalam roman Pramoedya Ananta Toer. Bumi Manusia. 23. Wilson. Op.cit., hlm 252. 24. Achmadi Moestahal. Dari Gontor ke Pulau Buru: Memoar H. Achmadi Moestahal. Yogyakarta: Syarikat, 2002, hlm 138. 25. Alwi Shahab. “Cara Bang Pi’ie Jinakkan Preman,” Republika, 16 November 2008. 26. Soe Hok Gie. “Di Sekitar Demonstrasi-demonstrasi Mahasiswa di Jakarta,” dalam Soe Hok Gie. Zaman Peralihan, hlm 10. 27. Wawancara dengan Irwan Sjafi’ie, 9 Desember 2005. 28. Pramoedya Ananta Toer. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2. Jakarta: Lentera, 1997, hlm 163. 29. Julianto Ibrahim. Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta. Wonogiri: Bina Citra Pustaka, 2004. 30. Lihat “Laporan Tentang Penangkapan Lempoeg Bapa Emah,” Op.cit. 31. Beberapa bandit atau benggol terkenal di Surakarta masa revolusi antara lain Mbah Panca, Kentrung, dan Suradi Bledeg. Kentrung beraksi di Desa Juluk dan Gebok. Ia memobilisasi massa untuk melakukan penggedoran terhadap penduduk yang dianggap pro-Jepang selama masa pendudukan Jepang. Gedoran kemudian dibagikannya kepada penduduk. Benggol
16
PROBLEMFILSAFAT
lain yaitu Suradi Bledeg adalah anggota laskar di Boyolali. Setelah kebijakan rasionalisasi diberlakukan, ia justru memilih bergabung dengan gerakan Merapi Merbabu Complex dan melakukan aksi kriminal di sekitar lereng Gunung Merapi dan Merbabu. Suradi memimpin sejumlah gerombolan yang beraksi di wilayah itu antara 1949 dan 1950. Setelah Suradi meninggal pada 1951 di Klaten, posisinya digantikan oleh Umar Junani, yang pernah menjadi pimpinan Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) dan perwira TNI di Salatiga. Alasan Umar memilih bergabung dengan kelompok Suradi karena kecewa terhadap rasionalisasi dan ketidaksetujuan terhadap pembersihan orang-orang komunis setelah peristiwa Madiun. Lihat Ibrahim. Op.cit., hlm 221-224. 32. Lihat “Laporan Tentang Keadaan Keresidenan Djakarta Bagian Boelan 8 dan 9 Tahoen 1946,” Inventaris Arsip Kepolisian Negara 1947-1949 No. 495. ANRI. 33. Lihat “Laporan Tentang Keadaan Keresidenan Djakarta Bagian Boelan 8 dan 9 Tahoen 1946,” Ibid. 34. Lihat James T. Siegel. Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Politik dan Kriminalitas. Yogakarta: LKiS, 2000, hlm 10-12. 35. Lihat “Tukang Tjopet di Djakarta Berorganisasi,” Merdeka, 2 Djuli 1955. 36. Lihat “Boeaja-boeaja di Senen Bersariket Dalam ‘Koempoelan 4 Cent’,” op.cit.; “Tukang Tjopet di Djakarta Berorganisasi,” ibid.; E.P. Thompson. “The Moral Economy of the English Crowd in the Eighteenth Century,” Past and Present, No. 50, Februari 1971, hlm 79. 37. Data tentang organisasi pencopet Koempoelan 4 Cent ini berasal dari “Ganggoehan Toekang Tjopet dan Sebrot di Senen,” Hong Po, 18 Mei 1939; “Boeaja-boeaja di Senen Bersariket Dalem ‘Koempoelan 4 Cent’,” Hong Po, 20 Mei 1939; “Politie Contra Tjopet,” Hong Po, 8 Juni 1939; “Tipoe-tipoe dari Toekang Tjopet,” Star Magazine, Januari 1941, hlm 59-62; “SENEN Daerah Buaja dan Pelarian. Salah Satu Pinggiran Kota Djakarta jang Berbusa,” Siasat, 24 Mei 1953. 38. Keterangan berbeda tentang Koempoelan 4 Cent disebutkan bahwa organisasi ini menghimpun wong cilik, pedagang kecil, pedagang sayur, pedagang kaki lima di depan pertokoan, pedagang asongan, sais, tukang becak, calo taksi di berbagai pasar di Jakarta, kuli angkut sampai ke pintu pasar ikan dan pasar Tanjung Priok. Organisasi ini memungut iuran hingga memenuhi dua guci recehan. Dengan dana yang terkumpul itu, Pi’i bisa memberikan bantuan kepada anggota organisasi sehingga “anak nakal” di pasar menerima bantuan dan mengurangi kejahilan mereka terhadap sesama. Pi’i lalu mulai mengadakan kampanye anti-Belanda dan dijebloskan ke bui karena dituduh mencuri. Lihat Tadié. Op.cit, hlm 237. 39. Lihat “Tukang Tjopet di Djakarta Berorganisasi,” Merdeka, 2 Djuli 1955. 40. Lihat “Politie Contra Tjopet,” Hong Po, 8 Juni 1939. 41. Lihat “Boeaja-boeaja di Senen Bersariket Dalem ‘Koempoelan 4 Cent’,” op.cit. 42. Lihat Harian Rakjat, 1 Djuni 1953; Madjalah Kotapradja, 13 Djuni 1953, No. 18-19 Tahun III, hlm. 14.
*M. Fauzi bergiat di Institut Sejarah Sosial Indonesia
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELUTAMA
SOSIALISME DAN ILMU PENGETAHUAN oleh MARTIN SURYAJAYA
Tema diskusi kita kali ini adalah tentang pembangunan kembali visi ‘Sosialisme Ilmiah’ yang pernah dicanangkan Marx dan diujicobakan secara konkret oleh Lenin dan sederet negarawan sosialis besar dari abad yang lampau. Visi ini di kemudian hari, khususnya mulai paruh kedua abad ke-20, ditempatkan dalam pengawasan yang ketat oleh para inteligensia Marxis di Barat. ‘Keilmiahan’ sosialisme lalu cenderung dipandang sebagai klaim ideologis yang menjustifikasi tatanan represif baru yang mengekang kebebasan. Kritik atas tatanan tersebut dengan cepat bertransformasi menjadi penolakan atas visi ‘sosialisme ilmiah’ itu sendiri. Kita, karenanya, mesti mulai dari sana: memeriksa kembali argumen penolakan kaum inteligensia Marxis atas sosialisme ilmiah dan implikasi dari diterimanya penolakan ini. 1. Penghancuran Visi ‘Sosialisme Ilmiah’ dalam Marxisme Kontemporer Kita akan mulai paparan kita dengan beberapa kutipan yang, bagi beberapa orang, menarik. Inilah kutipan pertama kita: Bagaimana kita dapat mengubah dunia tanpa mengambilalih kekuasaan? Pada akhir buku ini, sebagaimana pada awalnya, kita tidak tahu. Kaum Leninis tahu, atau pernah tahu. Kita tidak tahu. ... Namun, ini lebih dari itu: ketidaktahuan kita adalah juga ketidaktahuan mereka yang paham bahwa ketidaktahuan ialah bagian dari proses revolusioner. Kita telah kehilangan setiap kepastian, tetapi keterbukaan pada ketakpastian adalah sesuatu yang sentral dalam revolusi.
Tulisan tersebut memuja ketidaktahuan sebagai elemen kunci dalam politik revolusioner—sebuah politik yang didefinisikannya sebagai ‘mengubah dunia tanpa mengambilalih kekuasaan’. Keburaman, sesuatu yang obscure dan tanpa dasar (Abgrund) dipandang sebagai faktor utama yang mendefinisikan sebuah revolusi. Keutamaan obskurantis inilah, menurut teks itu, yang tak dimiliki oleh kaum Leninis yang selalu menghendaki pengetahuan dan kepastian. Percaya atau tidak, semangat ‘argumentasi’ semacam itu kian digemari belakangan ini. Apabila dimensi asertorik di muka dirumuskan dalam bahasa kritik, maka kita akan
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
memperoleh kutipan kedua berikut yang memuat bentuk negatif dari kutipan di muka: Leninisme ... meyakini bahwa terdapat suatu kelas ‘pada-dirinya’ yang hanya dapat diakses oleh pelopor yang tercerahkan—yang sikapnya terhadap kelas pekerja hanyalah sekadar pedagogis. Akar dari politik otoritarian terletak dalam kekelindanan antara ilmu pengetahuan dan politik.
Kita saksikan di sini bagaimana politik yang dibangun atas dasar ilmu pengetahuan—politik yang dilandasi oleh klaim keilmiahan dan persis karena klaim keilmiahan tersebut senantiasa terbuka bagi kritik dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional—dipandang sebagai elemen esensial dari definisi tentang politik otoritarian. Kepeloporan organisasional kemudian dilihat sebagai inkarnasi dari otoritarianisme itu karena kepeloporan dipandang sebagai modus ‘monopoli kebenaran’. Di balik argumen ini, karenanya, terletak asumsi bahwa tidak ada kriteria objektif tentang kebenaran, bahwa kebenaran adalah soal artikulasi subjektif yang beragam sehingga benar/tidaknya sesuatu samasekali tidak memiliki basis objektifnya pada realitas, melainkan direduksi pada politik perbedaan pendapat. Kriteria tentang kebenaran, dengan begitu, menjadi pragmatis: kebenaran adalah fungsi dari persuasi. Berdasarkan asumsi subjektivis itulah kejijikan terhadap kepeloporan organisasional mengemuka. Konsekuensi langsung dari penolakan total atas representasi semacam itu tampak gamblang dalam kutipan ketiga kita: Sosialisme bukanlah—dan tak akan pernah menjadi—sebuah tahapan atau jalan menuju komunisme. Sosialisme adalah bentuk tertinggi, bentuk superior dari rasionalitas ekonomi kapital, dari rasionalitas laba. Ia masih berkembang di atas hukum nilai, namun membawanya kepada derajat sentralisasi dan sintesis umum yang mengaitkan bentuk-bentuk manajemen ekonomi sosialis yang terencana dengan berfungsinya permesinan politiko-yuridis dari Negara.
Penolakan atas kepeloporan organisasional adalah setali tiga uang dengan penolakan atas kediktatoran proletariat. Sosialisme, sebagai fase intermedier menuju komunisme,
P R O B L E M F I L S A F A T 17
ARTIKELUTAMA
adalah momen kediktatoran proletariat yang terorganisasikan dalam bentuk partai dan negara sosialis dimana perencanaan (planning) memegang peranan penting. Dalam teks dikatakan bahwa sosialisme justru merupakan bentuk paripurna dari kapitalisme itu sendiri karena sosialisme masih bekerja atas dasar hukum nilai (yakni bahwa komoditas dipertukarkan sesuai nilainya—dan karenanya relasi kerjaupahan masih ada). Adanya perencanaan dan sentralisme negara-partai justru dipandang oleh teks itu sebagai ‘sintesis umum’ dari kapitalisme. Dengan demikian, tidak ada emansipasi sosialis. Ketiga kutipan tersebut tidak didapat dari tangan seorang penulis. Kutipan pertama berasal dari John Holloway (Changing the World without Taking Power)1, yang kedua dari Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (Hegemony and Socialist Strategy)2, sementara yang ketiga dari Antonio Negri (Marx Beyond Marx)3. Ketiga kutipan tersebut, karenanya, berangkat dari tiga mazhab pemikiran Marxis yang berlainan: Holloway dari aliran Open Marxism, Laclau-Mouffe dari Post-Marxism, sementara Negri dari Marxisme Otonomis. Kendati berangkat dari tradisi yang berlainan, ketiganya terangkai lewat sebuah benang merah yang diamini semuanya. Benang merah ini dapat dirumuskan ke dalam proposisi berikut: Ilmu pengetahuan, kepeloporan organisasional dan perencanaan yang tersentralisasi adalah hambatan bagi mungkinnya emansipasi. Apabila kita parafrasekan proposisi negatif tersebut ke dalam bentuk positif, kita akan memperoleh proposisi berikut sebagai konsekuensi logisnya: Obskurantisme, artikulasi spontan dan anarki pasar ialah kunci bagi mungkinnya emansipasi. Menolak kekelindanan antara politik dan ilmu pengetahuan—menolak pendasaran saintifik atas politik—berarti menyatakan bahwa politik mesti dibasiskan pada sesuatu yang eksternal terhadap ilmu pengetahuan. Sesuatu yang eksternal itu bisa apa saja, mulai dari nilai-nilai moral, agama, hobi, kenakalan remaja, khayalan di siang bolong, kegalauan hati lelaki paruh baya, keyakinan paranoid tentang invasi alien, keisengan sesaat dan lain sebagainya. Dengan kata lain, politik dibasiskan pada obskurantisme yang menghindari segala bentuk justifikasi ilmiah. Menolak kepeloporan organisasional—yang merupakan materialisasi dari visi tentang politik yang berbasis ilmu pengetahuan— berarti menyatakan bahwa politik ialah persoalan mengekspresikan apa yang kebetulan melintas di benak masingmasing individu dan memperjuangkannya sambil menolak adanya kriteria objektif tentang kebenaran yang bisa dipakai untuk mengevaluasi lalu-lintas ekspresi tersebut. Dengan demikian, setiap individu atau kelompok individual tampil dalam individualitasnya yang unik. Seorang yang percaya
18
PROBLEMFILSAFAT
bahwa sate adalah makanan terenak di dunia akan memperjuangkan secara politik kepercayaannya agar diratifikasi dalam undang-undang dasar. Sementara kelompok pecinta petak umpet akan memperjuangkan secara politik agar masyarakat diatur berdasarkan prinsip permainan petak umpet. Dengan kata lain, politik jadi soal artikulasi gosip. Terakhir, menolak perencanaan yang terpusat—sebagai bentuk konkret dari pendasaran ilmiah atas politik serta kepeloporan organisasional—berarti hanya mengakui perencanaan individual. Oleh karena perencanaan individual (entah sebagai person ataupun badan usaha) tak terkoordinasi secara sentral, maka apabila perencanaan-perencanaan individual dilihat dari perspektif makro apa yang akan kita saksikan tak lain adalah perencanaan pasar alias anarki pasar. Penolakan total atas sentralisme sama dengan pengakuan atas efektivitas daya kreatif self-interest individu manusia. Demikianlah ketiga perwakilan dari pemikiran Marxis kontemporer telah mengantarkan kita semua dengan selamat ke jantung antipoda dari Marxisme itu sendiri, yakni libertarianisme. Sebabnya tak lain karena ketiga elemen di muka justru merupakan tiga kredo utama libertarianisme. Kita akan mengeksplisitkannya dalam paparan berikut. 2. Penghancuran Visi ‘Sosialisme Ilmiah’ oleh Kaum Libertarian Austria Apabila benar demikian pemahaman intelektual Marxis masa kini tentang emansipasi, maka mereka mesti belajar pada kaum libertarian Austria, pada Ludwig von Mises, Friedrich von Hayek serta orang-orang dari Mont Pelerin Society. Keserupaannya terlalu gamblang untuk tidak terlihat. Kita akan mengamatinya dalam gagasan kaum libertarian ini di wilayah kajian dasar mereka, yakni ilmu ekonomi. Dalam wilayah ilmu ekonomi, kaum libertarian mengembangkan pandangan ekonomi neoklasik atau modern berkenaan dengan teori nilai. Berlawanan dengan para ekonom Klasik termasuk juga Marx yang melihat nilai komoditas sebagai sesuatu yang inheren dalam komoditas— sebagai konsekuensi dari pembagian kerja yang tertentu dalam ranah produksi—, para ekonom neoklasik termasuk kaum libertarian memandang nilai sebagai perkara yang sepenuhnya subjektif-individual, tergantung pada evaluasi konsumen berdasarkan hasratnya.4 Kaum libertarian meradikalkan tendensi subjektivis ekonomi neoklasik dengan memberikan penekanan khusus pada dimensi ketakpastian atau ketakmungkinan pengetahuan menyeluruh tentang situasi ekonomi dan dari situ mereka berbicara tentang peran ‘revolusioner’ kaum wirausahawan (entrepreneur) sebagai agen perubahan atau motor penggerak kapitalisme.5 Argumen inilah juga yang digunakan oleh von Mises (dan kemudian juga Hayek) untuk melawan Oskar Lange dan Otto Neurath dalam Debat Kalkulasi Sosialis di tahun 1930-an. Karena ekonomi dijalin dalam tabir ketidaktahuan, maka badan sentral yang mengkalkulasi nilai komoditas yang
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELUTAMA
beredar untuk mendistribusikannya secara setara tidak mungkin ada.6 Oleh karena pengetahuan komprehensif itu tak ada, maka sosialisme pasti gagal. Solusi mereka atas persoalan distribusi kemakmuran, kemudian, adalah dengan membiarkan proses distribusi itu terjadi secara spontan dalam pertukaran di pasar. Dengan ini, masuklah teori Hayek tentang ‘tatanan spontan’ (spontaneous order). Tatanan spontan ialah suatu kondisi harmoni yang justru terbentuk dari elemen-elemen yang berbeda dan kerapkali saling bertentangan. Tatanan seperti itu terlihat seolah merupakan hasil dari desain yang sadar, kendati sejatinya tak lain ketimbang hasil yang tak disengaja (unintended consequences) dari tindakan individual elemen-elemennya tanpa koordinasi langsung satu sama lain.7 Ide ini digunakan, baik sebelum ataupun sesudah Hayek, sebagai argumen tentang proses evolusi spesies, pembentukan sarang semut, hingga tentang perkembangan internet.8 Pemakaian utama Hayek atas argumen ini, tentu saja, adalah untuk menerangkan proses formasi pasar. Pasar adalah tatanan harmonis yang secara spontan terbentuk dari interaksi kepentingan-diri agen-agen yang menyusunnya. Secara historis, ide ini berasal dari Adam Smith. Dalam Wealth of Nations Smith menulis: “Bukanlah dari kemurahan-hati si tukang daging, peramu minuman maupun tukang roti kita mengharapkan hidangan kita, akan tetapi dari perhatian mereka pada kepentingan-dirinya sendiri.”9 Justru karena setiap individu mengejar kepentingan-dirinya sendiri maka masyarakat, pasar, terbentuk. Visi Hayek tentang tatanan spontan, dengan demikian, adalah visi tentang artikulasi spontan individu yang beragam, yang masing-masing unik dalam perbedaannya dengan yang lain, sebagai basis tatanan sosial-politik.10 Dari gambaran umum tentang kaum libertarian Austria ini dapat kita lihat bagaimana ide tentang politik yang berbasiskan ilmu pengetahuan, yang mewujud dalam kepeloporan organisasional dan perencanaan terpusat ditolak dengan argumen yang sebangun dengan penolakan kaum inteligensia Marxis kontemporer dari dunia Barat. Manusia—kata kaum libertarian ini—ialah sosok yang kedapatsalahannya lebih mengedepan ketimbang kedapatbenarannya. Oleh karenanya, manusia tak boleh diatur oleh manusia sebab segala perencanaan sosial niscaya mubazir sehingga ia mesti dibebaskan dari segala belenggu sosial yang artifisial dan karenanya mesti dibiarkan mengekspresikan diri serta mengejar kepentingan-dirinya. Justru karena itu, tatanan spontan yang terbuka pada pluralitas individu, masing-masing dalam keunikannya, dimungkinkan. Demikianlah versi libertarian dari posisi Marxis kontemporer di muka.
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
3. Penemuan Kembali Visi ‘Sosialisme Ilmiah’ Sosialisme ilmiah, seperti kita ketahui, dirumuskan dalam distingsi terhadap ‘sosialisme utopis’. Dalam sebuah pamflet yang ditulis beberapa saat sesudah Lenin meninggal, Georg Lukács menunjukkan letak soalnya: Tujuan dari realisme Lenin, realpolitik-nya, adalah penghapusan total atas segala bentuk utopianisme, pemenuhan konkrit atas isi dari program Marx: sebuah teori yang menjadi praktis, sebuah teori tentang praktik. [...] Utopianisme revolusioner adalah suatu upaya untuk mengangkat diri dengan jalan menarik rambutnya sendiri, untuk mendarat dengan sekali lompatan ke sebuah dunia yang sepenuhnya baru, ketimbang melalui pemahaman—dengan bantuan dialektika—tentang evolusi dialektis yang baru dari yang lama.11
Kutipan tersebut secara implisit memuat distingsi yang tajam antara sosialisme ilmiah dan utopis. Sosialisme utopis atau ‘utopianisme revolusioner’ mensyaratkan sejenis lompatan iman menuju tatanan yang serba-membebaskan secara serentak. Sosialisme ilmiah atau ‘realisme Lenin’ mensyaratkan penyelidikan tentang transformasi dari yang lama ke yang baru. Bagaimana penyelidikan ini dijalankan? Apa prinsipprinsipnya? Lukács menyebut soal dialektika. Dalam tradisi Marxis, kita mengenal materialisme dialektis. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan materialisme dialektis? Umumnya dikenal bahwa itu tak lain adalah filsafat Marxisme. Sebagai pandangan filsafat, materialisme dialektis memuat ontologi dan epistemologi tertentu. Kita, pada kesempatan ini, tidak akan masuk ke situ. Kita akan menggali dimensi lain dari materialisme dialektis yang lebih dekat maknanya dengan kutipan Lukács di muka, yakni sebagai metode analisis situasi. Bagaimana filsafat Marxisme sebagai metode ini dijelaskan? Kita dapat menjawabnya lewat kontekstualisasi pada peta umum wacana-wacana keilmuan dewasa ini. Kita hidup di sebuah era dimana sains dipandang hanya berfungsi instrumental dan kerapkali justru dipandang sebagai faktor yang alienatif terhadap eksistensi manusia. Ilmu pengetahuan dengan pendasaran metodologis yang ketat dianggap hanya sebagai salah satu dari sekian banyak model konstruksi kebenaran, seperti misalnya kebiasaan kultural, kepercayaan mito-poetik tertentu dan sebagainya. Bahkan tak jarang keseluruhan ilmu pengetahuan dipandang tak lebih ketimbang efek kekuasaan tertentu, suatu bentuk rezim pengetahuan yang melayani kepentingan rezim tertentu. Dengan begitu, ilmu pengetahuan secara keseluruhan lantas disamakan dengan ideologi dan,
P R O B L E M F I L S A F A T 19
ARTIKELUTAMA
oleh karena itu, dipandang berciri relatif. Sebagai bagian dari efek kultural umum zaman kita inilah lantas Marxisme dibaca. Demikianlah, Marxisme direduksi menjadi sekadar kritik ideologi. Hasil dari reduksi Marxisme ini kemudian bisa kita saksikan dengan jelas. Ketika Marxisme diidentikkan dengan kritik ideologi dan kritik ideologi ini berangkat dengan asumsi tiadanya distingsi antara sains dan ideologi (bahwa segala sesuatunya ideologis, relatif terhadap kuasa), maka sejatinya Marxisme itu sendiri dibuat jadi ideologi semata, dibuat jadi sejenis sistem kepercayaan yang posisinya relatif terhadap sistem-sistem kepercayaan yang lain. Marxisme, dengan kata lain, direduksi menjadi relativisme sehari-hari. Wacana para fisikawan cuma melambangkan kepentingan para fisikawan, wacana para guru cuma melambangkan kepentingan para guru, wacana penjual siomay cuma melambangkan kepentingan penjual siomay dan, akhirnya, wacana kaum buruh cuma melambangkan kepentingan kaum buruh. Artinya, tidak ada wacana yang benar, semua wacana bersifat relatif dan tak lebih dari sekadar efek kuasa. Dalam kerangka reduksi itu, semua justifikasi argumentatif dipandang sia-sia sebab justifikasi argumentatif cuma melambangkan kepentingan dari pihak yang berargumen. Tidak ada kebenaran, yang ada hanya fabrikasi kebenaran. Jika Marxisme dibaca secara relativis dan dilucuti dari kapasitasnya sebagai sains, lantas apakah kriteria dasar dari pembacaan atas sebuah situasi? Tak pelak lagi: suatu percampuran antara sentimen, mood, gejolak batin dan frase-frase hafalan yang mengemuka dalam konsep-konsep abstrak seperti Kemanusiaan, Kebebasan, Penindasan, Keadilan dan sederet konsep lain yang tak dihubungkan dengan kondisi material-objektif bagi keberadaannya. Akibatnya, Marxisme diyakini sekadar karena kebetulan, bukan karena Marxisme itu benar adanya. Marxisme yang relativis akan berakhir dalam humanisme yang tak sadar akan syarat material bagi humanitas-nya sendiri. Marxisme yang relativis akan jatuh secara berturut-turut ke dalam kasuisme, romantisisme, mistisisme dan akhirnya barbarisme. Itulah konsekuensi dicerabutnya dimensi saintifik dari Marxisme. Lantas apa yang dimaksud dengan menjadi ilmiah? Menjadi ilmiah adalah soal menjadi paham akan kenyataan yang berada di luar subjek penahu. Mengetahui x bukanlah soal mengetahui kesan kita tentang x, melainkan mengetahui x itu sendiri terlepas dari kesan kita tentangnya. Dengan demikian, adanya sains atau ilmu pengetahuan yang terseparasikan dari ideologi mensyaratkan adanya pemilahan antara esensi dan penampakan. “Segala sains akan mubazir apabila bentuk penampakan [Erscheinungsform] dari sesuatu secara langsung identik dengan esensinya,” tulis Marx.12 Tugas sains adalah mencapai pengetahuan tentang esensi sesuatu dan bukan kesan-kesan yang menampak dari sesuatu. Materialisme dialektis sebagai metode analisis situasi, dengan demikian, berurusan dengan prosedur untuk mencapai pengetahuan tentang esensi situasi, bukan keragaman fenomenalnya.
20
PROBLEMFILSAFAT
Materialisme dialektis menuntun kita untuk memusatkan pencarian pada syarat material minimal dari adanya sesuatu. Di mana terdapat syarat material minimal dari x, di sanalah juga terletak esensi dari x. Dalam setiap situasi kita selalu menjumpai keragaman fenomena. Materialisme dialektis mengantar kita untuk mencari syarat minimal dari adanya situasi tersebut yang tersembunyi di balik awanawan fenomena—sebuah bumi material tempat totalitas situasi itu bertumpu. Pertanyaan pembimbing analisisnya ialah: konfigurasi elemen material manakah yang jika itu dihilangkan maka keseluruhan situasi akan tumbang? Isi dari syarat material itu bisa bermacam-macam sesuai dengan perbedaan situasinya—petani, buruh, kaum miskin kota— namun fungsinya dalam sistem selalu sama, yakni sebagai topangan material minimal yang diperlukan bagi adanya situasi. Agar dapat mencapai pengertian itu, materialisme dialektis mesti kita pahami dengan tepat sebagai visi tentang gerak dialektis realitas yang dikondisikan oleh materialitas konkret. Ada tendensi umum yang memahami frase ‘dialektis’ dalam konsep materialisme dialektis sebagai sejenis relativisme.13 Dalam model pembacaan itu, apa yang dialektis disamakan dengan apa yang terus-menerus berubah tak menentu. Apa yang benar adalah sekaligus juga keliru dari perspektif yang lain dan apa yang keliru adalah sekaligus juga benar dari perspektif tertentu, sehingga benar atau salah sepenuhnya relatif—inilah salah satu ekspresi dari penyamaan ‘dialektis’ dengan ‘relatif ’. Konsekuensi praktis dari pembacaan macam itu dalam analisis situasi adalah pengaburan distingsi antara esensi dan penampakan dari situasi. Karena semuanya serba tergantung, maka segala sesuatunya adalah penampakan tanpa ada esensi di baliknya. Apa yang terjadi kemudian adalah ini: kita akan memperjuangkan sebatang pohon yang teralienasi karena ditebang oleh pemuda desa yang kelaparan, kita akan memperjuangkan perasaan keterasingan pemilik pabrik raksasa di depan aksi massa para pekerja yang menuntut upahnya, kita akan memperjuangkan alienasi-diri kita sebagai individu di tengah lautan massa dengan mengutuki massa itu sebagai dungu dan tak otentik. Ketika dialektis dimengerti sebagai relatif, maka realitas akan direduksi pada parade fenomena-fenomena yang semuanya harus dijadikan fokus—dan karenanya semuanya menjadi fokus, maka sejatinya tidak ada yang menjadi fokus. Konsekuensi praktis yang parah inilah yang mesti dihindari dengan memahami ulang materialisme dialektis: tidak sebagai relativisme, melainkan sebagai dialektika realitas yang dikondisikan oleh syarat material dari adanya realitas itu. Dialektika dimungkinkan sejauh materialitas diakui sebagai basis pijakan. Kendati transformasi atas realitas—emansipasi—mensyaratkan perubahan dialektis atas kondisi material, tetapi dialektika perubahan tak pernah tidak bertumpu pada adanya sesuatu yang mau diubah—dengan kata lain, kondisi material itu sendiri. Tak ada perubahan tanpa adanya sesuatu yang diubah dan sesuatu itu materialitas situasi, kondisi objektifnya—sesuatu
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELUTAMA
yang jelas mesti ada dulu, dan dipelajari dengan baik terlebih dahulu, agar perubahan dimungkinkan. Tidak ada sosialisme tanpa ilmu pengetahuan. Catatan Akir:
1. John Holloway, Changing the World without Taking Power: The Meaning of Revolution Today (London: Pluto Press), 2002, hlm. 131. 2. Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy (London: Verso), 2001, hlm. 59. 3. Antonio Negri, Marx Beyond Marx: Lessons on the Grundrisse diterjemahkan oleh Harry Cleaver, etl.al. (New York: Autonomedia), 1991, hlm. 166. 4. “The subjective theory of value traces the exchange ratios of the market back to the consumers’ subjective valuations of economic goods.” Ludwig von Mises, Epistemological Problems of Economics diterjemahkan oleh George Reisman (Alabama: Ludwig von Mises Institute), 2003, hlm. 178. 5. “The term entrepreneur as used by [my] theory means: acting man exclusively seen from the aspect of the uncertainty inherent in every action. In using this term one must never forget that every action isembedded in the flux of time and therefore involves a speculation.” Ludwig von Mises, Human Action: A Treatise on Economics (San Fransisco: Fox & Wilkes), 1996, hlm. 253. “Those fighting for free enterprise and free competition do not defend the interests of those rich today. They want a free hand left to unknown men who will be the entrepreneurs of tomorrow and whose ingenuity will make the life of coming generations more agreeable. They want the way left open to further economic improvements. They are the spokesmen of material progress.” Ibid., hlm. 82-83. 6. “In light of the system of consumer goods’ prices thus determined, and of the existing knowledge of the technical conditions of production, entrepreneurs seeking to maximize monetary profit bid against one another to acquire the services of the productive factors currently available and owned by these same consumers (including those in entrepreneurial roles). ... In the absence of competitive bidding for productive resources by entrepreneurs, there is no possibility of assigning economic meaning to the amalgam of potential physical productivities embodied in each of the myriad of natural resources and capital goods now in the hands of the socialist central planners. Even if planners observed the money prices which continued to be generated on an unhampered market for consumer goods, or substituted their own unitary scale of values for those of their subject consumers, there would still be no possibility for the central planners to ever know or guess the ‘opportunity cost’ of any social production process. Where actors, in principle, are not in a position to compare the estimated costs and benefits of their decisions, economizing activities, by definition, are ruled out.” Ludwig von Mises, Economic Calculation in Socialist Commonwealth (Alabama: Ludwig von Mises Institute), 1990, hlm. 36-37. 7. “The fundamental criterion for classifying anything as an instance of spon-taneous order is that it exhibit the appearance
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
of deliberate and intelligent design without being the product of a designing intelligence.” Louis Hunt, “The Origin and Scope of Hayek’s Idea of Spontaneous Order” dalam Louis Hunt dan Peter McNamara (ed.), Liberalism, Conservatism and Hayek’s Idea of Spontaneous Order (New York: Palgrave Macmillan), 2007, hlm. 49-50. 8. Ibid., hlm. 43. 9. Adam Smith, The Wealth of Nations diedit oleh Edwin Cannan (New York: The Modern Library), 1937, hlm. 14. 10. “[T]rue individualism is the only theory which can claim to make the formation of spontaneous social products intelligible.” Friedrich A. Hayek, “Individualism: True and False” dalam Friedrich A. Hayek, Individualism and Economic Order (Chicago: The University of Chicago Press), 1958, hlm. 10. 11. Georg Lukács, Lenin: A Study on the Unity of His Thought diterjemahkan oleh Nicholas Jacobs (Massachusetts: MIT Press), 1971, hlm. 73-75. 12. Karl Marx, Capital Volume III diterjemahkan oleh David Fernbach (Middlesex: Penguin Books), 1981, hlm. 956. Pemahaman penulis tentang adanya tendensi ini didapat dari I Gusti Anom Astika dalam salah satu diskusi yang diselenggarakan oleh Komunitas AGITPROP.
Kepustakaan: Hayek, Friedrich A. 1958. “Individualism: True and False” dalam Friedrich A. Hayek, Individualism and Economic Order. Chicago: The University of Chicago Press. Holloway, John. 2002. Changing the World without Taking Power: The Meaning of Revolution Today. London: Pluto Press. Hunt, Louis. 2007. “The Origin and Scope of Hayek’s Idea of Spontaneous Order” dalam Louis Hunt dan Peter McNamara ed. Liberalism, Conservatism and Hayek’s Idea of Spontaneous Order. New York: Palgrave Macmillan. Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. 2001. Hegemony and Socialist Strategy. London: Verso. Lukács, Georg. 1971. Lenin: A Study on the Unity of His Thought diterjemahkan oleh Nicholas Jacobs. Massachusetts: MIT Press. Marx, Karl. 1981. Capital Volume III diterjemahkan oleh David Fernbach. Middlesex: Penguin Books. von Mises, Ludwig. 1990. Economic Calculation in Socialist Commonwealth. Alabama: Ludwig von Mises Institute. ------------. 1996. Human Action: A Treatise on Economics. San Fransisco: Fox & Wilkes. ------------. 2003. Epistemological Problems of Economics diterjemahkan oleh George Reisman. Alabama: Ludwig von Mises Institute. Negri, Antonio. 1991. Marx Beyond Marx: Lessons on the Grundrisse diterjemahkan oleh Harry Cleaver, etl.al. New York: Autonomedia. Smith, Adam. 1937. The Wealth of Nations diedit oleh Edwin Cannan. New York: The Modern Library.
P R O B L E M F I L S A F A T 21
ARTIKELUTAMA
NUBUAT PENDEKAR SYAIR BERDARAH DI BUKIT MERIANG Perihal Logika Produksi Komoditi dan Politik Etika “Intelektual” dan “Massa” Bagian Kedua oleh ANOM ASTIKA
Kawanku yang baik, Sampai pada saat ku tulis surat ini belum juga tiba tanggapan darimu. Kalau tak salah, lewat dua purnama yang lalu sejak surat pertama ku kirimkan padamu. Entah apa sebabnya, sementara sangka dan dugaku terus bercerita tentang ketakpahamanmu atas semua yang sudah ku tuliskan. Amat wajar jika memang demikian persoalannya. Ini mengingat banyak dari kata-kata dan kalimat-kalimatku di sana lebih serupa rangkaian perumpamaan dan metafora, yang ku campur lagi dengan berbagai macam kutipan dan bahasan teoretik mengenai asal-usul konsepsi materialisme
22
PROBLEMFILSAFAT
historis. Oleh karenanya memang tidak mudah dipahami, perlu dibaca berulang-ulang, dan akan makin jelas jika dirimu mulai menanggapinya dengan berbagai pertanyaan. Apakah tanggapan itu serupa serangan balas kepadaku, ataukah sekedar bertanya yang sifatnya informatif, semuanya kan ku perhatikan dan ku jawab dengan baik. Akan tetapi, yang kuandaikan dan ku sangka tak sampai-sampai jua kebenarannya. Lalu ku putuskan saja untuk memberikan penjelasan yang lebih luas dan mendalam kepadamu. Ini ku kira akan lebih baik ketimbang segenap sangka dan duga terus bersenandung tanpa nada dasar.
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELUTAMA
Satu hal yang demikian mengganggu pikiranku di dalam banyak hal adalah pernyataanmu tentang ‘intelektual yang tidak kenal massa’. Sebuah pernyataan yang setara logika dengan pernyataan ‘berbicara semata tanpa mampu bertindak’ ataupun ‘kacang yang lupa kulitnya’. Ketiganya memiliki pola kalimat yang sama dan maknanya pun saling mendekati satu dengan yang lainnya. Ketiganya mengandaikan pertentangan antara sesuatu yang perlu dikecilkan di satu sisi, dan sesuatu yang perlu diperbesar di lain sisi. Bahkan ketiganya seolah mengharapkan agar yang kecil mengikuti kehendak yang besar. Lebih-lebih karena yang kecil sesungguhnya adalah bagian dari yang besar. Dengan kata lain, yang kecil harus ditentang karena tak sesuai dengan entahlah, bisa pandangan, nilai, maupun tindakan, terhadap yang besar. Nah sekarang apa masalahnya jika yang kecil tidak hendak bersesuaian dengan yang besar? Boleh jadi yang kecil dapat dianggap sebagai yang sombong dan durhaka oleh yang besar. Boleh jadi yang kecil akan semakin dikucilkan oleh yang besar. Oleh karenanya, yang kecil berhak diperlakukan lebih rendah oleh yang besar, apapun itu bentuk dan caranya. Lalu apa masalahnya pula jika yang besar tidak hendak bersesuaian dengan yang kecil? Boleh jadi yang besar dianggap bebal, bodoh dan pemberang. Boleh jadi yang besar akan terus menerus dikritik dan ditertawakan dengan mengatasnamakan kebebasan, demokrasi, kesetaraan, kreativitas, kritisisme, keunikan, oleh si kecil apapun itu bentuk dan caranya. Oleh karena itu, jikalau antara yang kecil dan yang besar saling menertawakan, saling merendahkan antara satu dengan yang lain, lalu apa yang dapat menjadi basis untuk adanya problematika di antara yang kecil dengan yang besar? Apabila ketiga pernyataan peribahasa di muka diperbandingkan dengan peribahasa “Bagai Badak Makan Anak”--yang berarti segala apapun yang sudah dipersatukan oleh manusia pasti akan cerai-berai karena manusia lebih mengutamakan harta benda--maka bukankah semua yang besar yang terungkap dalam kata “massa”, “kulit”, dan “bertindak” itu menjadi tidak bermakna apa-apa? Bukankah perumpamaan “Bagai Badak Makan Anak” itu serupa dengan ungkapan: “Demonya besar tapi bayaran semua massanya”, atau “Massanya besar tetapi cair, tidak solid”, sehingga massa itu sendiri menjadi tidak bermakna apa-apa kecuali sebagai komoditi atraksi politik? Dengan kata lain, kau bisa mengkritikku sebagai “intelektual yang tidak kenal massa”, aku juga bisa membalasnya dengan “demomu besar massanya, tapi bayaran semua” misalnya, mengingat dirimu adalah yang paling tahu lapangan dan dekat ‘deep in your heart’ dengan massa. Lalu ku bahasakan ulang pertanyaanku di muka: Apa sebenarnya inti dari perdebatan kita? Apakah diriku perlu bersimbah darah menyabung nyawa bersama massa bayaranmu, ataukah dirimu perlu menungging penuh makna untuk mendapatkan pengetahuan intelektualku?
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
Pertanyaan terakhir yang barusan ku ungkapkan adalah gambaran dari pertentangan yang eksistensialis, yang saling mendaku siapa yang lebih dari yang lainnya. Jawaban yang lazim diterima oleh masyarakat apabila dihadapkan pada pertentangan-pertentangan yang saling mendaku tersebut adalah jawaban etis yang mengingatkan masing-masing dari peserta pertentangan, agar tidak saling menyombongkan diri, dan saling merendahkan hati. Biasanya diungkap dengan pepatah, “di atas gunung masih ada gunung”, dan kemudian “padi semakin berisi semakin merunduk”. Tujuannya agar ada saling pengertian antara satu pihak dengan pihak yang lainnya. Apabila dikembalikan lagi ke dalam konteks perdebatan kita, maka jawabannya adalah jawaban etis juga, yaitu adanya saling pengertian antara intelektual dan massa. Seandainya memang demikian jawaban atas perdebatan kita, lalu mengapa juga kita berpikir tentang Marxisme, tentang revolusi, tentang perlawanan rakyat, tentang intelektual, dan tentang massa? Bukankah pada akhirnya semua pertentangan melandas ke persoalan-persoalan saling pengertian? Jadi konflik antara buruh dan majikan itu soal saling pengertian menurutmu? Sebenarnya, pada pertanyaan-pertanyaan yang barusan ku ajukan, aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku sama sekali tidak tersinggung dengan pernyataanmu tentang diriku sebagai “intelektual yang tidak kenal massa”. Akan tetapi, aku justru ingin memperlihatkan bahayabahaya dari pernyataanmu--bukan bagiku, tetapi bagi khalayak ramai, atau yang biasa kau sebut sebagai massa. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut aku ingin mengajakmu berpikir bahwa letak persoalannya bukanlah pada diriku sebagai “intelektual yang tidak kenal massa”. Dengan kata lain, problematiknya bukan pada bagaimana kita mengkatagorikan intelektual berdasarkan pada kemampuannya untuk bersosialisasi dengan masyarakat--kenal atau tidak kenal massa. Ini tak ada bedanya dengan logika suratkabar yang menjerumuskan khalayak ramai ke dalam perdebatan apakah seorang Wakil Menteri Hukum dan HAM pantas atau tidak pantas menampar seorang sipir Lembaga Pemasyarakatan. Bahkan sampai pada upaya pembuktian analitik apakah benar atau tidak benar penamparan itu dilakukan oleh sang Wakil Menteri. Sehingga, aku sendiri sebenarnya ingin tahu apa sebenarnya gagasanmu tentang “intelektual” dan “massa”. Karena sampai saat ku tulis surat ini, aku masih terus bertanya-tanya apakah dirimu merasa cukup intelektual untuk menentukan arah perjuangan massa, ataukah dirimu terlampau bingung untuk mengerti siapa massa dan bukan massa? Sejauh yang ku tangkap dari berbagai pernyataanmu di berbagai media massa dan media sosial, “massa” yang kau maksud adalah massa yang kau anggap politis, berada bersama denganmu, dan mungkin juga berada di bawah kepemimpinanmu. Konsekuensinya, “berbicara” akan kau anggap kerja atau “bertindak” jika itu sesuai dengan kehendakmu. Jikalau memang demikian gagasanmu, maka sebenarnya tidak ada gagasan apapun dalam dirimu,
P R O B L E M F I L S A F A T 23
ARTIKELUTAMA
dan atau pernyataanmu mengenai “intelektual yang tidak kenal massa” pada dirinya (an sich) itu sudah bermasalah. Anehnya dirimu tidak cukup malu untuk mengakumulasi massa yang kau kenal dan pasti bersimpuh mencium kasutmu untuk menciptakan komoditi intelektual dengan kategori ‘intelektual palsu’ dan ‘intelektual murni’, yang kemudian ekuivalensinya adalah ‘marxis murni’ dan ‘marxis gadungan’. Loh, apa sih sebenarnya yang hendak kau pertukarkan denganku? Gagasanmu tentang intelektual atau kesucian dirimu sebagai intelektual yang berenang-renang di tengah lumpur kemiskinan massa? Begini saja, sekarang aku akan pergunakan kerangka teori yang telah ku sampaikan di dalam bagian pertama dari suratku untuk menjelaskan siapa itu “intelektual” dan siapa itu “massa”. Hal pertama yang ingin ku tekankan kepadamu, yaitu bahwa aku mengakui adanya realitas sosiologis, kaum intelektual dan massa rakyat; realitas yang tampak terpisah antara mereka yang terpelajar dan masyarakat kebanyakan. Menurut asal-usulnya, kata “intelektual” mulai dipergunakan di Eropa sejak abad ke 19, sebagai kata benda untuk seseorang yang memiliki kemampuan khusus1. Karl Marx, yang terkenal dengan diktumnya: “sebagaimana filsafat menemukan senjata materialnya di dalam kaum proletar, maka kaum proletar mendapatkan senjata intelektualnya di
kat. Sekalipun demikian, sudah sewajarnya kita melihat realitas ‘kaum intelektual’ dengan berangkat dari sejarah penciptaannya. Dengan kata lain, kaum tersebut tidak lahir karena kutukan atau berkah dari alam semesta. Kaum tersebut tidaklah seperti gambaran Pendekar Atlantis yang kau cita-citakan di masa kini dengan menafsir bekas kotoran hewan sebagai artefak purba peninggalan puluhan ribu tahun lalu. Kaum tersebut tidaklah hidup di tengah monyet yang sudah menggunakan sarung cap Salak Pondoh, jaket kulit Nautica, bersepatu sandal Bierkenstock, dengan tambur bertamasya ke rimba, sembari meraung berseru “Rakataka, Rakataka! Hidup Buruh!”. Yang jelas, kaum intelektual ini lahir dari realitas kerja. Realitas dasar yang selalu menyertai kehidupan manusia dimana pun dan kapan pun. Seperti yang sudah ku kemukakan dalam bagian pertama dari suratku, maka Kerja yang juga esensi dari kehidupan masyarakat manusia, selalu memiliki empat aspek, produksi, reproduksi, praksis/pengetahuan baru dan relasi sosial. Sehubungan dengan aktivitas intelektual, maka aspek praksis atau penciptaan pengetahuan baru menjadi yang lebih berperan. Akan tetapi praksis sebagai upaya penciptaan pengetahuan baru bukanlah suatu bentuk aktivitas yang hanya mampu dilakukan oleh seba-
“Yang jelas, kaum intelektual ini lahir dari realitas kerja. Realitas dasar yang selalu menyertai kehidupan manusia dimana pun dan kapan pun.” dalam filsafat”, pada akhirnya menyadari bahwa realitas keterpisahan tersebut berpengaruh di dalam kesadaran politik kelas buruh2. Tentunya menarik untuk melihat gambaran kaum terdidik, yang menjadi bagian dari lumpen proletariat ternyata dimanfaatkan juga oleh Louis Bonaparte untuk menekan parlemen Perancis3. Pun Lenin, di dalam karyanya “What’s The Friend of The People and How They Fight the Social Democrat”, menjelaskan secara rinci tentang tugas-tugas kaum intelejensia untuk menyingkap antagonisme ekonomi yang dipalsukan oleh sejarah politik4. Demikian pula dengan peringatan Walter Benjamin akan perkembangan kaum intelektual yang justru memperkaya pengetahuan tentang politik dan teknologi sampai pada peringkat ekstremnya, yang dapat membawa manusia ke dalam pemuliaan akan Perang sebagai pencapaian tertinggi dari intelektualitas5. Sehingga dari sekian pemikiran yang telah ku baca, dan dari pengamatanku sendiri, aku paham realitas intelektual itu nyata dan hidup di tengah masyara-
24
PROBLEMFILSAFAT
gian orang yang berkepandaian tinggi. Dengan kata lain, praksis bukanlah perpaduan dari kumpulan tenaga dalam yang tinggi, yang berpusar-pusar di inti tenaga tubuh manusia, sehingga siapapun yang bisa mendalami praksis pasti memiliki ilmu meringankan tubuh yang demikian tinggi. Tentunya kita jangan sampai juga membayangkan bahwa dengan menguasai praksis pasti jarak Jakarta-Surabaya akan ditempuh dalam waktu tiga jam dengan tenaga kilat meringankan tubuh, tanpa harus khawatir karcis kereta api digandakan, tanpa harus khawatir berapapun harga BBM dinaikkan, berapa kali pun direksi-direksi Pertamina, Perkebunan, Pertambangan dan BUMN diganti, maupun penjualan BUMN ke pihak investor asing. Tidak dan sekali lagi tidak serupa khayalanmu tentang Pendekar Atlantis yang mengandaikan praksis sama dengan pukulan tiga jurus, tiga langkah, tiga patukan cakar maut dari mahluk-mahluk setengah dewa setengah tumbuh-tumbuhan, yang pada kenyataannya kelewat bingung memilih peran sebagai Men-
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELUTAMA
teri atau tukang sapu jalan tol. Tapi sekarang coba perhatikan baik-baik dari apa yang sudah ku ungkapkan dalam suratku yang terdahulu, yaitu bahwa pada dirinya dan pada dasarnya kerja adalah sesuatu yang bersifat sosial. Sehingga praksis pun mau tidak mau bersifat sosial. Dalam artian, praksis tidak pernah hanya serupa pengetahuan teoritis. Ia selalu berangkat dari pengetahuan praktis, mulai dari tahap pengenalan/pengamatan, penyelidikan sampai pada tahap memodofikasi dan atau mengubah realitas6. Sebagai konsekuensinya, melalui rangka pengolahan atas realitas tersebut, setiap manusia, siapapun dirinya dan apapun latar belakangnya, sesungguhnya adalah sang penemu dan pencipta realitas7. Dengan demikian, adanya pengetahuan bukan oleh karena keraguan manusia terhadap realitas yang tidak dapat dimengerti, ataupun yang misterius, yang jawabannya kan mudah ditemukan di rumah-rumah hantu gelaran pasar malam di kampung-kampung. Akan tetapi ia lahir dari ruang-ruang sosial pengetahuan berpikir (episteme) dan ruang-ruang sosial pengetahuan bertindak (techne) yang berlangsung selama praksis bergerak dari satu peristiwa ke peristiwa yang lainnya, dengan melalui berbagai macam pengujian baik dari segi sistematika berpikir maupun dari segi sistematika tindakan. Tanpa itu semua, yang tersedia sebatas desas-desus yang hinggap menurut musim-musim sensasi di media massa (baca: busung lapar peradaban). Sekitar tiga empat dasawarsa sebelum Jean Paul Sartre menuliskan gagasannya tentang intelektual, Antonio Gramsci melalui kerangka berpikir yang mirip dengan Sartre menyatakan bahwa setiap manusia sesungguhnya adalah filsuf pada dirinya, dan legislator bagi sesamanya, kelompok sosialnya.8 Akan tetapi sejarah kepemilikan terhadap alat-alat produksi dan karenanya sejarah pembagian kerja dan proses produksi menciptakan adanya diferensiasi dan homogenisasi kerja, termasuk kerja intelektual itu sendiri. Artinya, ketika dirimu berbicara bahwa diriku adalah “intelektual yang tidak kenal massa”, itu sama dengan menempatkan dirimu sebagai bagian dari kaum burjuasi yang begitu tangkas menuntut diri orang lain berlaku dan berpikir menurut agenda purifikasi berdasarkan kategori-kategori pembagian kerja yang ada di kepalanya. Tetapi aku tidak ingin terlalu gegabah menilai dirimu. Ada kemungkinan dirimu menyatakan diriku sebagai “intelektual yang tidak kenal massa” berdasarkan bacaanmu terhadap para pemikir Kiri seperti Mao Tse Tung9: “Untuk menghubungkan diri dengan massa, maka seseorang harus bertindak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan massa. Semua kerja yang dilakukan untuk massa harus lah berangkat dari kebutuhan massa, dan bukan dari hasrat individual seseorang, betapapun bagus niatannya. Seringkali terjadi bahwa secara obyektif massa membutuhkan sebuah perubahan tertentu, tetapi secara subyektif mereka belum sadar akan kebutuhan, belum berkehendak atau pun memutuskan untuk membuat perubahan. Dalam kasus
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
semacam itu kita harus menunggu dengan sabar. Kita seharusnya tidak membuat perubahan sampai, melalui kerja kita, sebagian besar massa menjadi sadar akan kebutuhan untuk membuat perubahan, berkehendak dan memutuskan untuk melaksanakan perubahan. Jika tidak demikian, kita akan mengisolasi diri kita dari massa.… Ada dua prinsip di sini: pertama kebutuhan aktual massa yang lebih dari sekedar apa yang kita suka dari kebutuhan massa, dan yang kedua, adalah keinginan massa, yang harus mereka gali sendiri tanpa perlu campur tangan kita untuk membentuk pikiran mereka”.
Barangkali juga dirimu perlu berpikir lebih jauh terhadap apa yang dikemukakan oleh Mao Tse Tung. Oleh karena apa yang dikemukakan oleh Mao Tse Tung lebih serupa kesadaran politik yang harus dimiliki oleh mereka yang berpikir tentang perubahan sosial dalam lingkup yang lebih politis, dan oleh karenanya juga menuntut studi yang lebih mendalam terhadap realitas sosial. Dengan kata lain, apabila dirimu menggunakan nubuat Mao Tse Tung itu untuk menilai diriku, maka aku akan bertanya lebih jauh: Apakah sebenarnya yang kau ketahui tentang “massa” itu sendiri? Pertanyaan yang barusan ku ajukan bukanlah pertanyaan yang demikian mudah untuk dijawab. Marx dan Engels sendiri baru sampai pada penggambaran tentang massa, dan menjelang akhir hidupnya Marx baru merumuskan secara metodologis bagaimana seharusnya sebuah penyelidikan terhadap massa buruh bisa dilakukan melalui angket/kuesioner dengan seratus pertanyaan dasar10. Sekalipun demikian menarik melihat penggambaran yang dibuat oleh Engels mengenai apa dan siapa kelas buruh di Inggris itu, sebagaimana yang tertera dalam kutipan berikut ini11: “Seluruh pakaian kelas pekerja itu, bahkan dengan anggapan pakaian itu dalam kondisi yang baik, sangat tidak sesuai dengan cuaca. Kelembaban udara Inggris, dengan perubahan temperatur yang seringkali tiba-tiba, dan menyebabkan penyakit selesma, membuat hampir seluruh kelas menengah memakai pakaian dari bahan flannel, dan kemeja dan syal dari bahan flannel sangat umum dipakai. Kelas pekerja bukannya tidak bisa berjaga-jaga dengan mengenakan pakaian tebal, tapi bahkan pakaian berbahan wol saja sangat jarang mereka miliki; dan bahan katun tebal, walaupun lebih tebal, lebih kaku dan lebih berat daripada wol, memberikan perlindungan yang kurang terhadap cuaca dingin dan basah, dan menjadi lembab dalam waktu yang lama karena sifat bahan yang tebal dan tidak memiliki kepadatan dan kerapatan seperti pada kain wol.”
Gambaran yang lebih mendekati dengan keadaan saat ini adalah hasil penelitian Supriyono tentang keadaan buruh di Tangerang12: Kesehatan bagi buruh yang bekerja di pabrik ply-
P R O B L E M F I L S A F A T 25
ARTIKELUTAMA wood tersebut tidak dijamin sepenuhnya oleh perusahaan. Perusahaan akan menanggung sepenuhnya bagi buruh yang mengalami kecelakaan yang parah, yang bisa mengakibatkan cacat, dan bila terjadi di tempat kerja. Sementara bagi buruh yang sakit ringan; pilek, masuk angin, batuk, tipes, dan lainnya, perusahaan akan memberikan uang kebijaksanaan saja, artinya tidak sepenuhnya, walaupun penyakit ringan yang terjadi di tempat kerja. Dalam hal ini buruh harus membiayai dirinya sendiri untuk berobat. Yuli, perempuan lajang ini pernah menderita penyakit tipes dan kurang darah selama sebulan. Biaya pengobatan ditanggung oleh kakaknya sendiri yang tinggal di Cihideng. Berobat pertama menghabiskan uang 60 ribu rupiah, berobat kedua 50 ribu rupiah, untuk beli obat-obatan 400 ribu (rupiah, termasuk ke tukang urut. Selama sakit hingga sembuh, Yuli pun tidak mendapatkan uang kebijaksanaan untuk biaya pengobatan dari perusahaan. Yuli sudah bekerja di pabrik tersebut sekitar satu tahun, tapi selama cuti sakitnya, dia tetap tidak mendapatkan upah dari perusahaan. Lebih parah lagi, perusahaan tempat Yuli bekerja tidak memberikan hak cuti haid dan melahirkan bagi buruh perempuan yang mayoritas. Dalam menghadapi itu, buruh perempuan lebih memilih tetap bekerja, daripada kehilangan upahnya.
Dua gambaran di muka memang bisa menimbulkan persepsi yang berbeda-beda. Akan tetapi yang perlu diperhatikan kemudian, apabila dikembalikan pada konsep kerja yang mencakup empat aspek--produksi, reproduksi, praksis, dan relasi sosial--maka kedua gambaran tersebut tidak memungkinkan keempat aspek kerja itu berfungsi sepenuhnya. Dalam artian, kaum buruh memang berproduksi dan bereproduksi, tetapi dalam kondisi yang sangat terbatas. Kaum buruh memang bekerja tetapi bukan untuk dirinya melainkan untuk kaum yang mempekerjakannya, kaum pemilik modal. Kaum buruh pun melakukan reproduksi tetapi itu dengan kondisi yang amat terbatas, yang tidak pernah dibayar secara layak oleh kaum pemilik modal. Sehingga kaum buruh tidak mungkin melakukan praksis oleh karena syarat produksi dan reproduksinya tidak memadai. Problemnya kemudian apakah yang dapat dianggap sebagai relasi sosial di dalam dua gambaran di muka? Tentunya dirimu masih ingat bahwa Marx pernah menuliskan13: Relasi sosial berhubungan erat dengan kekuatankekuatan produksi. Untuk mendapatkan kekuatankekuatan produktif yang baru manusia/masyarakat mengubah mode produksinya, dan dalam rangka mengubah mode produksinya mengubah juga cara mereka mencari nafkah, sehingga mereka mengubah semua relasi sosialnya. Sanggar tenun menyediakan kisah tentang tuan-tuan feodal; pabrik-pabrik uap menyediakan masyarakat dengan kapitalis industrial. Mereka-mereka ini yang membangun relasi-relasi sosialnya sesuai dengan produktivitas material, yang
26
PROBLEMFILSAFAT
juga menghasilkan prinsip-prinsip, ide-ide dan kategori-kategori yang sesuai dengan relasi-relasi sosial mereka.
Artinya di sini relasi sosial tidak sama arti dengan kongko-kongko berhadiah nomor sakti judi togel. Pun ia tidak sama arti dengan pertemuan antar dua pendekar pantun, yang saling melempar syair untuk sekedar mencari kesepahaman harga mahar yang pantas untuk mempelai lakilaki/perempuan. Akan tetapi relasi sosial, pada dasarnya adalah kerja bersama untuk kebutuhan bersama yang kemudian diistilahkan oleh Marx sebagai realitas kerja kongkret. Tentunya realitas kerja kongkret ini bukan sama sekali tidak ada contohnya tetapi semakin hari semakin memunah keberadaannya karena sebagian besar masyarakat hidup dengan bekerja untuk para pemilik alat produksi, dan atau para pemilik modal. Ia, kerja kongkret ini hanya tersedia dalam bentuk kerja-kerja sukarela untuk kepentingan komunitas atau keluarga dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Menariknya ketika seorang wartawan bertanya kepadamu, siapakah massa yang akan berlawan menuntut pembatalan kenaikan harga BBM, dirimu menjawab, “massa buruh, tani, mahasiswa dan kaum miskin kota”. Kenapa menarik karena dirimu berpikir ketika hendak berlawan tersebut massa buruh sudah bisa diliburkan dari jadwal kerjanya di pabrik, kaum tani sudah bisa dibebaskan dari jadwal menunggu sawah, kaum mahasiswa sudah dibebaskan juga dari disiplin kuliah, dan kaum miskin kota sudah memiliki penghasilan tetap. Seolah-olah dirimu lah yang mampu mengendalikan ‘massa’ itu karena telah membebaskan kaum buruh dari penindasan Kapitalisme. Padahal aku yakin sekali kaum buruh yang bersepakat denganmu, adalah mereka yang sedang memperjuangkan pembebasannya dari kapitalisme. Tapi dirimu lalu berlagak sebagai yang mampu menentukan arah hidup kaum buruh dengan menyatakan bahwa mereka akan berlawan. Sehingga aku akan bertanya lagi kepadamu: alat produksi apa lagi dari kaum buruh yang hendak kau akuisisi untuk menjadikanmu sebagai pemimpin kaum buruh? Akan lebih baik jika kau kemukakan bahwa massa yang akan berlawan adalah mereka yang memiliki perhatian terhadap persoalan-persoaan ekonomi politik yang terjadi di tingkat akar rumput, yang berasal dari berbagai macam sektor kerja masyarakat. Mengapa demikian, karena begitu dirimu menyebut massa buruh--tanpa embel embel ‘yang sadar’--maka itu bisa dibaca dengan pengandaian bahwa massa buruh tersebut sudah dibiayai hidupnya oleh dirimu. Ya mungkin saja apa yang baru ku kemukakan ini tidak terlalu penting juga bagimu, karena yang lebih penting kan prakteknya, entah seperti apa itu bentuk praktek yang kau maksudkan. Yang jelas, aku tak menemukan namamu di dalam aksi-aksi kecil dan tidak terkenal seperti yang termuat dalam berita ini14: Puluhan karyawan tempat hiburan malam Top One, di Jalan Daan Mogot berunjuk rasa di depan tempat mereka bekerja. Mereka menuntut kepada sang pe-
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELUTAMA
milik gedung agar membuka kembali tempat mereka bekerja mengais rezeki, Selasa malam, (05/01). [Mereka] ….memblokir pintu masuk ke kompleks tempat hiburan tersebut. Mereka duduk dengan muka lesu. Para wanita penghibur menuntut agar tempat mereka bekerja bisa dibuka kembali. Pasalnya, tempat tersebut adalah satu-satunya sumber penghasilan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sudah pasti kaum pekerja seks komersial ini tidak masuk dalam hitungan ‘kaum buruh’ menurutmu, sehingga tak satu pun dari tulisan-tulisanmu ataupun kerja-kerjamu pernah menampakkan identitas mereka sebagai bagian dari kelas buruh. Bahkan kerap aku temui pemberitaan tentang aksi-aksi massa besar yang tak terdeteksi oleh kepolisian maupun oleh dirimu, seperti yang termuat dalam berita berikut ini:15 Menyusul ditetapkan sebagai tersangka beberapa pengurus p3uw termasuk ketuanya, Nafian Faiz,seluruh petani tambak melakukan unjuk rasa selama lebih kurang 1 bulan, satu minggu di kantor Gubernur Lampung pada awal bulan Oktober, satu minggu pertengahan bulan Oktober di lokasi pertambakan dan yang terakhir adalah aksi massa 7 ribu plasma tambak udang selama 21 hari dilokasi tambak udang, sejak tanggal 5 Januari 2011 sampai dengan 26 Januari,....... Kerugian plasma tentu bukan sedikit, ratusan ton udang yang siap panen sia-sia dan menjadi busuk, akibat seluruh aktifitas pendukung berhenti total. [Aksi 21 hari].... banyak meninggalkan masalah, seperti tertundanya penebaran benur oleh perusahaan, tidak tertampungnya udang-udang petani tambak di pabrik pengolahan perusahaan yang disebabkan adanya stagnasi penjadwalan panen akibat adanya aksi massa, dan tertundanya dibagikan biaya bulanan petani tambak, yakni sebuah hak plasma yang didapat setiap bulannya bagian dari modal kerja dari pihak bank dan itu masuk dalam hutang plasma yang wajib dibayar melalui hasil panen udang, hal-hal tersebut menjadi masalah krusial dan akan menjadi bom waktu kalau tidak segara diselesaikan.
terus menerus dipersalahkan untuk segala hal yang berlaku di dunia tanpa dirimu harus berpikir tentang tanggungjawabmu sebagai pencipta realitas. Tetapi dirimu selalu berlaku sebagai wakil rakyat, sebagai yang mampu mengartikulasikan persoalan-persoalan rakyat dengan pemahaman yang minim tentang keadaan sosial-politik-ekonomi dan budaya massa itu sendiri. Sehingga pengetahuanmu memang tidak mengartikulasikan apa-apa kecuali kebodohan dirimu di dalam membaca realitas. Entah kesia-siaan apalagi yang sedang kau perjuangkan.*** Catatan Akir:
1. Raymond Williams, “Intellectual”, di dalam Raymond William, Keywords, Oxford University Press, 1983 hlm. 169-171. 2. Shlomo Avineri, “Marx and the Intellectuals”, Journal of the History of Ideas, Vol. 28, no.2, 1967, hlm. 269-278. 3. Karl Marx, “The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte”, diambil dari situs web www.marxists.org. 4. V. I. Lenin, “What the Friends of the People and How They Fight the Social Democrat”, diambil dari situs web www.marxists.org. 5. Walter Benjamin, “Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction”, dalam Walter Benjamin, Illuminations, Fontana, 1973, hlm. 219. 6. Jean Paul Sartre, “A Plea for Intellectuals”, ….. 7. Ibid. 8. Antonio Gramsci, www.marxists.org. 9. Mao Tse Tung, “The United Front in Cultural Work” di dalam Mao Tse Tung Selected Works, Vol III, Foreign Language Publishing House, hlm. 236-237. 10. Karl Marx, “Enquette Ovruiere”, di dalam situs web www. marxists.org. 11. Frederick Engels, “The Condition of the Working Class in England”, di dalam situs web www.marxists.org. 12. Supriono, “Kebijakan Upah, yang bersosok UMK belum mensejahterakan Kaum Buruh”, (Makalah tidak diterbitkan), Workshop Penulisan Penelitian Sejarah Lisan Buruh ELSAM & ISSI, 2007, hlm.5. 13. Karl Marx, “The Poverty of Philosophy”, diambil dari situs web www.marxists.org. 14. ____”Wanita Penghibur Unjuk Rasa”, 5 Januari 2011, diambil dari situs web http://klikm.net/read/4223/wanita-penghiburunjuk-rasa. 15. ____”Biaya Hidup Bulanan Petambak akan segera Dibagikan”, 20 Februari 2011 dimuat dalam situs web http://ekonomi. kompasiana.com/agrobisnis/2011/02/20/biaya-hidup-bulananpetambakakan-segera-dibagikan/.
Awalnya ku kira dirimu cukup kritis di dalam membaca realitas. Aku kira pemberitaan barusan setidaknya bisa membuatmu lebih berpikir apakah benar dirimu kenal dengan massa, dan benar tahu lapangan. Namun lama-lama setelah ku selidiki yah memang cuma sebegitu saja pengetahuanmu tentang intelektual, tentang kaum yang harus
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
P R O B L E M F I L S A F A T 27
ARTIKELUTAMA
TRI TUNGGAL MAHA UANG
UANG SEBAGAI NILAI, UANG SEBAGAI KOMODITAS, DAN UANG SEBAGAI HARGA oleh BERTO TUKAN
I. Adalah uang yang membuat anda bisa membaca tulisan saya ini. Entah dengan mentransfer, menyerahkannya secara langsung. Ada uang ada ProblemFilsafat. Kita memang hidup di zaman kapitalisme yang mana kemakmuran diakibatkan oleh akumulasi atau timbunan komoditas.1 Dan ketika membicarakan komoditas, tentu kita tak bisa tidak harus membicarakan tentang uang; ada uang ada barang. Uang adalah perantara, uang adalah pelacur kelas wahid dunia, demikian Marx. Dalam kondisi hidup seperti itu, kehadiran uang sungguhlah signifikan untuk hidup kita. Maka, dalam lari cepat hidup anda hari ini, luangkanlah waktu sejenak— yang saya yakin sudah anda sisihkan ketika anda membeli lembaran foto kopian ini; jika anda tipikal orang dermawan yang berbaik hati, yakinlah anda tak akan mendapat pahala di surga—untuk sedikit merenung tentang uang. Bab III Kapital Buku I bertajuk ‘Uang atau Pereda-
28
PROBLEMFILSAFAT
ran Komoditas’. Bab III ini terbagi dalam tiga seksi yakni ‘Ukuran Nilai’, ‘Alat Peredaran’, dan ‘Uang’. Tulisan ini akan membahas hanya seksi pertama yakni ‘Ukuran Nilai’. Dalam seksi ini pembahasannya Marx mencakup persoalan uang, nilai, dan juga harga; kiranya tiga kata ini menjadi kata kunci pula untuk seksi ini. Perkara uang sedikit banyak sudah dibahas pada bab-bab sebelumnya. Sedangkan perkara nilai sepertinya sudah menjadi fokus Marx terlebih dahulu di Bab I. Sejak kata pengantar untuk edisi pertama Kapital Buku I kita sudah menemukan hubungan antara uang dan nilai, “bentuk-nilai, … mendapatkan bentuknya yang sepenuhnya dalam bentuk uang”2. Jadi uang adalah ekspresi dari bentuk-nilai atau uang adalah “bentuk barang” dari nilai itu. Mari coba kita lihat apa yang disebut uang itu yang paling dekat dengan kita saat ini. Yang dikatakan sebagai uang saat ini pada saya
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELUTAMA
adalah logam berbentuk lingkatan dengan icon bunga melati dan Garuda Pancasila yang bernilai Rp 500,- dan selembar uang bergambar Pangeran Diponegoro serta perempuan Pengrajin Tenun yang bernilai Rp 5.000,-. Tentu saja ada sebuah perkembangan sejarah tertentu sehingga yang disebut uang tersebut menjelma dalam dua rupa itu pada kekinian kita.3 Jika kita merujuk pada apa yang dikatakan Marx di atas bahwa uang adalah bentuk nilai maka dua buah uang yang ada pada saya di atas merupakan ekspresi dari sesuatu yang bernilai sama seperti keduanya itu. Dan saya bisa mendapatkan seketika persamaannya yakni rokok Djarum Super setengah bungkus. Maka, nilai setengah bungkus Djarum Super itu adalah Rp 5.500,- yang adalah sama dengan harganya. Dengan demikian, terlihat bahwa nilai sama dengan harga. Namun, perlu pula kita ingat bahwa uang tidak sesederhana itu menurut Marx. Dalam Manuskrip Paris 1844 Marx menyatakan bahwa4: Dengan memiliki properti untuk membeli segala sesuatu, dengan memiliki properti untuk merampas semua obyek, maka uang dengan demikian adalah obyek dari milik yang berkuasa. Universalitas dari kepemilikan atas uang adalah keberkuasaan atas keberadaan uang. Karenanya dianggap sebagai yang melampaui segala-galanya.… Uang adalah mucikarinya kebutuhan manusia dan obyek, mucikarinya hidup manusia dengan sarana hidup manusia. Tetapi uang yang memediasikan hidup saya dan saya, juga memediasikan eksistensi orang lain bagi saya. Bagi saya uang adalah person yang lain.
Dari kutipan ini, jelas bagi kita bahwa perkara uang tidak sesederhana Rp 5.500,- adalah harga sekaligus nilai sebuah benda tertentu. Uang bisa dikatakan, dengan bahasa yang sedikit metafisik dan juga mungkin teologis, adalah suatu properti yang melampaui properti lainnya. Dari kutipan ini kita melihat bahwa uang bukan sekadar alat tukar sederhana melainkan ia sebagai alat tukar pada gilirannya akan melampaui segala obyek yang diwakilkan olehnya. Namun logika apa yang menyebabkan uang menjadi demikian, itulah yang coba ditelusuri Marx. Kesalahan para pemikir yang coba dilampaui Karl Marx adalah ia berusaha mencari hakikat dan logika uang itu sendiri, tidak hanya sekadar melihat uang sebagai alat tukar5. Kini kita kembali pada apa yang dibahasnya dalam Seksi Pertama Bab III Kapital Buku Pertama. Kalimat pertama Seksi Satu ini adalah, “dalam karya ini, saya mengasumsikan emas adalah komoditi uang, dengan alasan kesederhanaan.”6 Selanjutnya dijelaskan bahwa penggunaan emas ini dalam rangka bisa menemukan sebuah bahan yang mana pada bahan itu komoditas-komoditas mendapatkan persamaannya atau dapat mendapatkan bahan untuk mewakili nilai mereka. Jadi, secara kronologis, sebelum ada uang sudah ada nilai dalam komoditas. Menurut Michael Williams, bagi Marx emas bukanlah uang tetapi emas adalah benda di
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
mana di dalamnya uang berada. Williams mengutip Marx, “Gold and silver, in and of themselves, are not money. Nature does not produce money, any more than it produces a rate of exchange or a banker”.7 Di sini jelaslah bahwa kita tidak bisa menyamakan emas dengan uang. Emas merupakan sebuah benda nyata yang dihasilkan oleh alam sedangkan uang tidaklah diciptakan oleh alam. Namun, di dalam emas itu terdapat uang. Maka, kalimat pertama Marx pada Seksi ini yang sudah kita kutip di atas ada baiknya kita artikan bahwa konsep uang meminjam materi emas untuk membuat dirinya ada. Tentu yang saya maksudkan di sini bukanlah sesuatu yang berbau Roh yang Menubuh, namun sesutau yang lebih teknis sifatnya. Kita dengan demikian ada baiknya membedakan antara “uang sebagai konsep”, “uang sebagai komoditas”, dan “uang sebagai harga”. “Uang sebagai konsep” dalam kronologinya ada atau hadir lebih dahulu dari pada “uang sebagai komoditas”. “Uang sebagai konsep” mengemban tugasnya sebagai pengukur nilai antara satu komoditas dengan komoditas lainnya. Sedangkan seperti yang sudah kita dapatkan pada pembacaan dan diskusi sebelumnya8 bahwa kerjalah yang menciptakan nilai pada sebuah komoditas. Marx menulis demikian, “karena semua komoditi, sebagai nilai-nilai, adalah materialisasi atau perwujudan kerja manusia, dan oleh karena itu pada dirinya dapat disepadankan, nilai-nilai mereka secara bersama-sama dapat diukur dengan satu dan komoditi tertentu yang sama, dan yang tersebut terakir dapat diubah menjadi ukuran bersama nilai-nilai mereka, yaitu menjadi uang”9. Kenyataan bahwa di dalam komoditas secara imanen ada waktu-kerja yang memberi nilai atas komoditas itulah faktor utama lahirnya “uang sebagai konsep”. Di dalam setiap komoditas dengan demikian tentu selalu ada “uang sebagai konsep” yang adalah turunan dari nilai yang dimungkinkan oleh waktu-kerja. Bahkan di balik sesuatu kerja yang kita anggap tak ada unsur uangnya sama sekali, diam-diam tanpa disadari ada “uang sebagai konsep”. Misalkan demikian, kita membantu teman memperbaiki genteng rumahnya yang bocor. Kita tak diberikan uang sebagai upah atas kerjanya itu. Namun kita sungguh masih ingat betapa teman ini selalu membantu dan ada di depan ketika kita mengalami kesulitan. “Uang sebagai Konsep” dalam kasus ini adalah abstraksi kita atas nilai-kerja dan waktu-sosial teman kita dalam relasinya dengan kita. Di dalam segala komoditas—dan kata komoditas sendiri tentu membawa kita pada zaman kapitalisme—dengan cara pertukaran seperti apa pun selalu ada nilai yang adalah waktu-kerja manusia yang dengan sendirinya menciptakan “uang sebagai konsep”. II. Mari kita kembali pada kata yang digunakan Marx di sini yakni komoditas, alih-alih benda. Dengan kata komoditas sudah jelaslah ada aktifitas pertukaran di dalam-
P R O B L E M F I L S A F A T 29
ARTIKELUTAMA
nya. Uang dengan demikian dibutuhkan dalam kerja manusia untuk pertukaran; dalam rangka mempersamakan dan menentukan nilai-nilai dari masing-masing komoditas yang hendak dipertukarkan. Pertama-tama, nilai yang adalah waktu kerja yang termaterialkan dalam masing-masing komoditas membutuhkan penyamaan di antara mereka dalam kebutuhan pertukaran di antara mereka yang mana ditandakan oleh nilai uang yang dilekatkan pada diri mereka masing-masing. Namun, nilai uang ini membutuhkan ekspresi mereka yang nyata yang oleh Marx di dalam seksi ini disama-ratakan dengan bentuk-emas. Ketika nilai uang membutuhkan ekspresi mereka yang nyata inilah mulai muncul “uang sebagai komoditas”. “Uang sebagai Komoditas” ini pun dalam sejarahnya punya perkembangan yang panjang dan beragam. Bentuk-bentuk benda silih berganti menempati posisi sebagai komoditas uang.10 Dalam tulisan ini, untuk sederhananya, perkembangan sejarah tersebut kita andaikan ada tanpa perlu dipaparkan. Patut diperhatikan bahwa Marx menyebut “emas adalah komoditi uang.” Ini tentu saja berbeda dari emas adalah uang. Sebelumnya, kita sudah membicarakan “uang sebagai konsep”, sekarang kita berjumpa dengan “uang sebagai komoditas”. Uang sebagai komoditas dalam sesi ini terlihat ketika kebutuhan untuk mencari ekuifalensi antara satu komoditas dengan komoditas yang lain membutuhkan sebuah penyama. Sebagai sebuah komoditas tentu “benda uang” tercipta lantaran kerja tertentu manusia pula. Adanya kerja manusia untuk menciptakan “benda uang” mengakibatkan di dalam “benda uang” itu sendiri ada nilai-kerja yang menciptakan nilai “benda uang” itu. Namun, demi sebuah benda—yang di dalam bab III Kapital Buku Pertama ini adalah emas—bisa menjadi “benda uang” ia haruslah bisa menjadi ukuran nilai bagi komoditi-komoditi lainnya dan ia pun membutuhkan sebuah legitimasi tertentu yang berasal dari kesepakatan, entah dalam rupa perjanjian di sebuah lokasi pasar atau pun ditetapkan dalam undang-undang: Fungsi emas yang terutama adalah memberikan bahan pada komoditas untuk pernyataan nilai-nilai mereka, atau untuk mewakili nilai-nilai mereka sebagai besaran dari denominasi (angka sebutan) yang sama, yang secara kualitatif setara dan secara kuantitatif dapat dipersamakan. Dengan demikian ia berfungsi sebagai suatu ukuran nilai universal, dan hanya melalui fungsi ini emas itu, komoditi kesetaraan yang khusus itu (komoditi setara par excellence) itu, menjadi uang.11
Emas bersama perak juga tembaga sendiri sudah punya ukuran-ukuran yang mampu menjadi penyetara dalam berat mereka. Namun untuk menjadi sebuah ukuran yang sahih, mereka membutuhkan sebuah legitimasi tetentu. Pada akirnya, kerja manusia jugalah yang memberi kemampuan pada benda tersebut untuk menjadi komoditi kesetaraan khusus. Kerja manusia untuk menciptakan benda-uang inilah yang membentuk uang sebagai komoditas
30
PROBLEMFILSAFAT
yang mana di dalam benda uang tersebut secara imanen ada nilai yakni waktu kerja manusia untuk menciptakan uang tersebut. Jadi, “uang sebagai komoditas” yang muncul dari kerja manusia itu menjadi penyetara universal atas komoditas-komoditas lain yang juga adalah kerja manusia. Tentu, kerja menciptakan komoditas uang yang kita maksudkan di sini bukan “kerja mencari uang” seperti yang kita pahami sekarang—misalnya bekerja sebagai guru untuk mendapatkan uang—melainkan kerja seorang penambang emas misalnya dan juga sekutu-sekutunya dalam lingkaran pekerjaan atas emas yang menjadikan emas itu ada di hadapan kita dan menjadi sebuah bend auang atau kalau di zaman sekarang adalah kerja dari para pekerja di percetakan uang negara dan turunan-turunannya misalnya. Seorang Rohaniawan atau Seorang Religius yang mengerti benar perkara ini niscaya akan menghabiskan waktu doa sebelum makan siangnya jauh lebih banyak tinimbang waktu untuk makan itu sendiri. Andaikan saja Seorang Religius kita ini makan di sebuah rumah makan. Ah, tidak. Tentu di tempat ini dia akan diusir sebelum setengah doanya. Ya, Seorang Religius kita makan di rumahnya sendiri. Pertama, ia akan mendoakan Tukang Masak di rumahnya yang dia tahu pagi-pagi benar sudah meninggalkan rumah untuk membeli bahan makanan mentah di pasar. Imajinasi Sang Rohaniawan kita tentu akan membentuk gambaran penjual sayur, daging, satpam pasar. Tentu ada keterbatasan kepala manusia. Dan itu menguntungkan karena setidaknya Sang Religius kita tidak sampai mendoakan supir angkot dan kernek yang mengantarkan Tukang Masaknya ke pasar. Sang Religius kita mendoakan kesehatan jiwa dan raga bagi Tukang Masaknya, penjual segala penganan yang ada di depannya saat ini; ayam goreng, tempe dan tahu, sayur, dan juga sambal. Ketika sampai pada item penjual sambal, Sang Religius kita berhenti sejenak. Sepengetahuannya, tak ada yang menjual sambal jadi di pasar sana. Yang ada adalah penjual tomat, cabe, bawang, dsb. Maka ia pun mendoakan ketiga penjual itu satu persatu. Ia lantas merasa belum cukup jika hanya mendoakan para penjual di pasar yang ia tahu taraf kehidupan mereka di bawah rata-rata itu. Karena, tentu untuk sampai ke pasar, dan dia tahu pasar di kota tempatnya ia tinggal berada jauh dari ladang, komoditi-komoditi itu pun butuh alat angkutan. Maka ia mempersingkat doanya dengan, “dan berkatilah semua saja yang telah membantu menjadikan segala yang akan kumakan ini ada di Pasar.” Setelah mendoakan para pengangkut dalam jejaring komoditi yang sekarang terhidang di depannya, Sang Religius kita teringat pada sesiapa yang memproduksinya. Ia pun mendoakan para petani, peternak yang betebaran di desa-desa. Empat puluh lima menit berlalu dan doanya pun hampir selesai. Sang Religius kita hendak mengakhiri doa makan siangnya dengan doa agar jiwa dan raganya dimampukan demi keluhuran Sang Junjungannya yang ada di sana. Namun sebelum sampai di situ, Sang Religius kita teringat pada seorang teman lamanya yang bercerita tentang
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELUTAMA
anaknya yang sekarang bekerja di percetakan uang negara. Sang Religius kita pun teringat bahwa dengan uanglah maka Tukang Masaknya mau bekerja dan makanan itu terhidang di meja. Ia lantas mendoakan mereka yang bekerja untuk memproduksi uang di percetakan uang milik negara, termasuk untuk anak dari teman lamanya itu. Doanya memakan waktu satu jam. Sudah lebih dari cukup untuk membuatnya masuk angin; ia sudah sedikit terlambat makan sebelum duduk di meja makan dan memulai doa makannya tadi. Makanan yang mulai disantapnya pun terasa hambar, lantaran sudah penuh angin perutnya. Anak dari teman lama Sang Religius kita yang bekerja di percetakan uang negara itu bergaji mungkin 2 atau 3 juta perbulan. Tetapi dalam sebulan itu mungkin tempat kerjanya berhasil mencetak uang yang bernominal lebih dari satu milyar.12 Dalam hasil uang hasil cetakan itu terdapat waktu kerja si anak itu yang diekspresikan dalam Rp. 3 juta. Sisanya, mungkin hal-hal lain dan juga nilai kerja pekerja lain. “Uang sebagai komoditas”-lah hasil kerja si anak itu dan teman-temannya di Percetakan Uang Negara tersebut. Si anak tentu sebelum bekerja sebulan sudah diasumsikan oleh pemimpinnya untuk diberi gaji Rp 3 juta itu. Di situ sudah ada “uang sebagai konsep” yang diasumsikan oleh bosnya dan juga si anak itu bersangkutan. Di sini makna kerja sesungguhnya sedikit bergeser ketika kerja bukanlah lagi menomor-satukan mengubah benda menjadi benda siap pakai tetapi demi upah dalam rupa uang yang bahkan oleh Marx dikatakan sudah disediakan oleh para Tuan Kapitalis bahkan sebelum komoditas hasil kerja pekerja itu menjadi13: Sekarang apakah upah dari si penenun adalah andil dari pakaian, dari 20 Shilling, dari produk kerja? Tidak sama sekali. Jauh sebelum pakaian itu dijual, mungkin jauh sebelum pakaian itu ditenun, si penenun telah menerima upahnya. Sang kapitalis, lalu, tidak membayar upahnya dari uang yang dia akan dapatkan dari pakaian, tapi dari uang yang sudah ada di tangan. Sama sedikitnya dengan benang dan alat tenun yang disediakan oleh sang kapitalis untuk si penenun bekerja, maka sesedikit itu pula komoditas yang diterimanya sebagai pertukaran dari komoditasnya—tenaga kerja—dengan produknya.
Maka yang terjadi adalah seorang pekerja dalam logika yang demikian telah mendahului sejarah kerjanya. Dia tidak perlu menunggu sampai waktu kerjanya yang menciptakan nilai pada komoditas terekspresikan dalam sejumlah uang sebagai pengukurnya ketika dipertukarkan, tetapi ia sudah mendapatkan hasilnya sebelum segala yang harus real terlaksana itu terjadi.
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
III. Pada paragraf ke-lima seksi “Ukuran Nilai” ini kita menemukan kalimat Marx demikian, “harga atau bentukuang komoditi adalah, seperti bentuk nilai merka pada umumnya, suatu bentuk yang berbeda sekali dari bentuk ragawinya yang nyata dan dapat diraba; ia adalah suatu bentuk ideal semurninya atau bentuk pemahaman”14. Juga kita menemukan kalimat berikut dari Marx, “harga adalah nama-uang dari kerja yang diwujudkan dalam suatu komoditi”15. Bagaimana kita bisa memahami bahwa harga itu berbeda sekali dengan bentuk ragawi yang nyata? Nilai komoditas—yang adalah waktu kerja—tentu tidak secara nyata terlihat di dalam secarik kertas atau segenggam logam recehan rupiah. Kita tak pernah menemukan pukul 8 pagi hingga 10 pagi dari seorang petani tembakau dalam Rp 5.500,-. Tetapi kita bisa merasakan hasil kerjanya—dan beberapa orang lain sekutunya—dalam rupa setengah bungkus Djarum Super. Marx menjelaskan bahwa nilai kerja itu sendiri secara imajiner terwakili oleh bentuk-uang dari komoditas itu sendiri atau harga tersebut. Jadi memang kita tak pernah menemukan secara nyata nilai dari kerja yang menciptakan komoditas tetapi perwakilannya secara nyata ada dalam bentuk uang atau harga itu. Tetapi perlu diingat bahwa sebagai standar harga, uang tidaklah menghitung nilai kerja sosial manusia—karena fungsi ini dijalankan oleh uang sebagai ukuran nilai—melainkan ia menghitung kuantitas jumlah-jumlah emas (benda uang)—yang menjadi penyetaraan nilai yang muncul secara ideal16—dengan suatu satuan jumlah emas (benda uang)17. Artinya, harga yang melekat di dalam komoditas yang mana harga itu diberikan oleh pemilik komoditas tersebut pada komoditasnya tidaklah berniat untuk mengukur nilai kerja atau waktu kerja pada komoditas itu melainkan ia mengukur ekspresiekspresi nilai yang secara imajiner menjelma menjadi satuan-satuan benda-uang. Karena ia tidak secara langsung menghitung nilai-nilai ini namun ia adalah ekspresi nilainilai kerja, maka harga sebagai ekspresi dari nilai, ia bisa saja tidak sesuai dengan besaran nilai. Harga pun bisa secara kualitatif tidak mengekspresikan nilai. Harga itu sendiri menjadi sebuah ukuran sederhana yang secara sosial dibutuhkan dan diakui. Namun harga itu, seperti yang sudah kita kemukakan sebelumnya, dimungkinkan dari nilai. Atau harga adalah bentuh uang dari nilai. Namun sebagai harga, ia bisa berubah dalam situasi tertentu. Ketidaksesuaian kuantitatif antara nilai dan harga dimungkinkan oleh harga itu. Ketidaksesuaian itu ada pada harga yang menjadi perantara antara satu nilai dengan nilai yang lainnya yang juga diwakili oleh harga pula.
P R O B L E M F I L S A F A T 31
ARTIKELUTAMA
IV. Di dalam sebuah uang kita menemukan ada tiga hal dari uang itu; uang sebagai nilai, uang sebagai komoditas, dan uang sebagai harga. Uang sendiri muncul karena adanya kebutuhan pertukaran antara komoditas yang satu dengan komoditas yang lainnya. Namun secara kronologis, uang sebagai nilai yang adalah nilai kerja manusia yang secara imanen ada dalam komoditas muncul terlebih dahulu dari fungsi uang lainnya. Ketika pertukaran antara komoditas semakin meluas dan terus berulang, komoditas-komoditas membutuhkan penyama antara nilai-nilai merka dan penyama itu haruslah ditemukan di dalam sebuah komoditas tertentu. Ketika itu, muncullah uang sebagai komoditas. Uang sebagai komoditas ini faktor utamanya adalah bahwa untuk menjadikan sebuah komoditas sebagai uang, ada kerja manusia tertentu pula. Maka, komoditas uang tersebut punya nilainya sendiri yang memungkinkannya menjadi pengukur atas nilai-nilai yang ada pada komoditas-komoditas yang lain dan pada dirinya ia hanya bisa diukur dengan dirinya sendiri. Ketika ia harus mengukur dan mengekspresikan nilai dari komoditas-komoditas lain itulah, uang menjalankan fungsinya sebagai harga. Di dalam sebuah maha uang terdapat tiga hal itu yakni uang sebagai nilai, uang sebagai komoditas, dan uang sebagai harga. Walau pun secara kronologis kehadirannya ada yang lebih dahulu dan ada yang lebih kemudian namun ketiganya dapat muncul bersamaan dalam sebuah uang. Kemungkinan keterpisahan mereka terletak pada harga, pada fungsi uang yang cukup krusial, yakni fungsinya sebagai ekspresi atas nilai dalam komoditas. Pertanyaan yang muncul adalah mungkinkah uang hadir sebagai harga yang selalu tidka mengkhianati nilai atau pelrukah harga ditiadakan demi nilai bisa menampakan dirinya? Sayangnya, nilai semata-mata bentuk pemahaman dan bentuk ideal yang tak teraba dalam komoditas.*** Catatan Akir:
1. Karl Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Buku Pertama, Proses Produksi Kapital, diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen, (Jakarta: Hasta Mitra), 2004, hlm. 1. Bandingkan Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume One, diterjemahkan oleh Ben Fowkes, (Middlesex: Penguin Book), 1982, hlm. 125. 2. Karl Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik..... hlm. xxvi. Bandingkan Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy.... hlm. 89-90. 3. Di dalam Bab III Seksi I Buku Capital I ini sendiri Marx tidak secara spesifik memaparkan perkembangan sejarahnya namun Marx sedikit banyak mengutarakan perkembangan dari uang dalam rupa berat-berat logam, emas dan perak menjadi uang dalam rupa penamaan. Marx memberikan tiga alasan dalam
32
PROBLEMFILSAFAT
sejarah yang memungkinkan hal itu terjadi. Lih. Karl Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik..... hlm. 74-75. Bandingkan Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy.... hlm. 193-194. Dalam pembahasan ini kita pun tidak akan masuk ke dalam pembahasan secara historis tersebut. Namun demikian, harus dipahami bahwa perkembangan sejarah itu lah yang paling penting dalam hal terciptanya uang maupun terbentuknya uang dari bentuk yang satu ke bentuk yang lainnya. 4. Sebagaimana dikutip oleh Anom Astika, “Enam Alinea Pengantar”, Jurnal ProblemFilsafat, Edisi November 2009, hlm. 9. Lihat juga Martin Suryajaya, “Pendahuluan Menuju Problem Imediasi dalam Pemikiran Marx”, Jurnal ProblemFilsafat Edisi April 2010, hlm. 18. 5. Anom Astika, “Adanya Buku ‘Das Kapital’”...., hlm. 10. 6. Karl Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik..... hlm. 68. Bandingkan Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy.... hlm. 188. 7. Michael Williams, “Why Marx Neither Has Nor Needs a Commodity Theory of Money”, Review of Political Economy, 12:4, tahun 2000, hlm. 437. 8. Merujuk pada tulisan-tulisan utama dalam Jurnal ProblemFilsafat nomor-nomor sebelum nomor ini. 9. Karl Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik..... hlm. 68. Bandingkan Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy.... hlm. 188. 10. Untuk konteks Indonesia, perkembangan komoditas uang ini bisa dilihat pada tulisan Yovantra Arief, “Sejarah Mata Uang Indonesia dalam Perdagangan Internasional: Bagian I Tahun 412-1630”, Jurnal ProblemFilsafat, No. 02/Tahun I/Januari 2012, hlm. 9-15 dan sambungan tulisan tersebut pada Jurnal ProblemFilsafat edisi ini. 11. Karl Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik..... hlm. 68. Bandingkan Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy.... hlm. 188. 12. Bagian ini tidak berdasarkan data falid, hanya ilustrasi semata. 13. Sebagaimana dikutip Anom Astika, “Yang Berdaya Beli atau yang Berdaya Jual?”, Jurnal ProblemFilsafat Edisi Februari 2010, hlm. 8. 14. Karl Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik..... hlm. 69. Bandingkan Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy.... hlm. 189. 15. Karl Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik..... hlm. 76. Bandingkan Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy.... hlm. 195-196. 16. Karl Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik..... hlm. 70. Bandingkan Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy.... hlm. 190. 17. Karl Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik..... hlm. 72. Bandingkan Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy.... hlm. 192.
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELUTAMA
KOLONIALISME, KESATRIA BERJUBAH PERAK DI PASAR INDUK Sejarah Mata Uang Nusantara dari Abad ke-17 Hingga ke-19 (Bagian II) oleh YOVANTRA ARIEF
1. Membangun Panggung: Tirai, Kostum dan Lampu Lakon Epik sang Ksatria Telah disinggung pula pada tulisan sebelumnya bahwa perak real yang dibawa Portugis—dan ikut digunakan oleh VOC—akhirnya menggeser peran emas di kesultanan Islam, betapapun para sultan berusaha melawan pasar perak. Pergeseran ini dipicu dua hal. Pertama, pelayaran Spanyol ke barat untuk menemukan ‘dunia baru’ membawa pada pertambangan mineral di Peru dan Mexico. Impor emas, yang diincar Spanyol, mencapai 137 ton dalam kurun 15031600, dengan rasio perak 1:10,5. Namun, sejak ditemukannya tambang perak di Potosi (sekarang Bolivia) serta merkuri di Andes (merkuri digunakan dalam pengolahan perak) pada tahun 1546, pasar Eropa dibanjiri perak dan rasio tersebut berubah menjadi 1:12.1 Impor perak Eropa dalam kurun 1600-1780 mencapai 29.000 ton, membuat rasio emas/perak semakin lebar pada tahun 1650, yakni 1:14,5. Di Spanyol, yang menguasai tambang-tambang di Amerika Selatan, rasio ini mencapai 1:16 pada tahun 1700. Pencarian Portugis ke timur berujung pada penemuan berbagai komoditas eksotik Asia; dari porselen, sutra, rempah, teh hingga kapas. Sementara harga perak di Eropa semakin turun, di Asia, perak dihargai tinggi dengan rasio 1:9. Hal ini dikarenakan sedikitnya penghasil perak di Asia. Pada abad ke-14, hanya Jepang yang mengekspor perak dalam jumlah besar.2 Di kepulauan Nusantara sendiri, hanya Sumatra yang diketahui memiliki tambang perak ketika itu; sedangkan Jawa, Borneo dan Sumatra menghasilkan emas . Sementara itu, nilai picis Cina semakin merosot akibat penurunan bobot dan campuran yang buruk, sehingga mengakibatkan kegamangan harga picis.3 Pada awalnya, Portugis turut menggunakan picis yang diperoleh dari Borneo untuk membeli lada di Jawa dan pala di Banda, namun pada 1544, kepulauan Maluku menolak perdagangan picis Borneo karena mengandung terlalu banyak timah . Untuk seterusnya, Portugis menggunakan perak dalam perdagangannya. Hal ini dimungkinkan oleh didirikannya kota Manila oleh Spanyol pada 1570, yang menjadi lumbung perak dari Amerika untuk menyokong perdagangan Asia-Eropa.4 Kota-kota kos-
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
mopolitan di Nusantara tumbuh dalam periode ini; diantaranya Aceh, Banten dan Makassar—semuanya berdiri di atas perdagangan rempah dengan perak. Sejak tahun 1595, untuk membiayai perang dengan Spanyol, Belanda mulai mengekor pelayaran Portugis ke timur. Sepanjang tahun 1598-1602, 51 kapal dengan persenjataan penuh yang dibagi dalam 8 armada milik kongsikongsi dagang independen Belanda yang dikenal sebagai voor-compagnies berlayar ke Hindia Timur untuk mematahkan dominasi Portugal dalam pasar rempah Eropa, membawa pulang keuntungan berlipat ganda bagi para investornya.5 Pada 1602, enam voor-compagnies indepanden tersebut melebur dalam satu kongsi dagang besar yang memiliki kontrak monopoli kerajaan Belanda atas perdagangan rempah, Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC. Pada tahun 1619, VOC mendirikan Batavia untuk menyaingi basis Portugis di Goa. Batavia dirancang menurut Manila, dimana Spanyol menarik para pedagang Cina yang membawa berbagai komoditas Asia Tenggara untuk me-
P R O B L E M F I L S A F A T 33
ARTIKELUTAMA
nukarkannya dengan perak Amerika. Pada masa Gubernur Jendral Coen, VOC memaksa pendatang-pendatang Cina untuk tinggal di Batavia.6 Ia juga mengutus pelayaranpelayaran untuk menculik penduduk Cina dari pantai selatan Cina dan berbagai wilayah Asia Tenggara untuk dipekerjakan di Batavia. Pada 1630, 20% penduduk Batavia adalah orang Cina, dan mereka memiliki peran penting dalam perantara dagang VOC, pertukangan serta pemungutan pajak.7 Setelah menduduki Banten (1682) dan Makassar (1669), VOC berhasil memonopoli perdagangan rempah di Nusantara. Dari sini kita bisa sedikit membayangkan peredaran uang yang dipicu VOC: Belanda mengimpor mata uang ke Batavia, lalu disebar ke dua wilayah tersebut. Dari Banten untuk membeli lada di Lampung dan kopi di Priangan,8 dari Makassar untuk membeli cengkeh di Ambon dan pala di Banda. Sekalipun begitu, keberadaan VOC di Batavia pun tidak luput dari mara bahaya, terutama dari Mataram. Di sepanjang abad ke-17, perkembangan VOC di Jawa terus terganjal oleh Kerajaan tersebut. VOC baru mendapat ketenangan pada tahun 1755, lewat perjanjian Giyanti, yang membagi kerajaan tersebut dalam dua kraton kecil: Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta.9 2. Membeli Perak dengan Perak: Mata Uang Dagang Kolonial 2. 1. VOC, abad ke-17 hingga ke-18 Seperti telah dikemukakan, perdagangan Belanda di perairan Nusantara harus pertama kali nebeng mata uang real Spanyol yang terlebih dahulu digunakan Portugis. VOC mencoba memperkenalkan mata uang Belanda dalam perdagangan-perdagangannya, namun masih kalah saing karena Manila, kota milik Portugis yang menjadi ‘pom bensin’ perak Amerika di Asia Tenggara, sudah terlebih dahulu mapan. Bahkan di Batavia, real lebih populer ketimbang rijksdaalder atau stuivers, koin impor Belanda. Hal ini merugikan VOC karena harus membeli real Spanyol lebih mahal dengan agio (selisih harga) 10-11%. Untuk mengatasi masalah ini, VOC mengkampanyekan mata uang Belanda ke seluruh Jawa. Dalam perjanjian-perjanjiannya dengan Mataram, VOC berusaha untuk menukarkan real Spanyol dengan 24 keping dubbletjes. Pada awalnya, para pedagang Cina ragu untuk menggunakan mata uang Belanda, namun tak lama kemudian dubbletjes menjadi populer. Pada awal abad ke-18, Mataram membayar hutang perang dengan koin-koin perak ini. Strategi ini efektif untuk menghalau kerugian dagang akibat penggunaan real Spanyol, namun juga memunculkan masalah baru. Sepanjang tahun 1701-1708, Batavia terus mengekspor sejumlah besar koin dubbletjes ke pantai utara Jawa. VOC tidak memiliki komoditas untuk dijual sehingga mereka hanya mengandalkan koin-koin peraknya. Akibatnya, terjadi kelangkaan dubbletjes di Batavia.10 Ibarat anak anjing yang terguyur hujan, koin-koin VOC tidak bisa mengendus jalan pulang menuju perbendaharaan perusahaan. Dalam 200 tahun pendudu-
34
PROBLEMFILSAFAT
kan VOC, sekitar 800 juta gulden koin perak diimpor ke Jawa dan hilang tanpa bekas.11 Di samping itu, para pejabat VOC mendapati bahwa koin-koin pecahan besar dipertukarkan dengan nilai yang lebih tinggi (dari Eropa) dan menyimpulkan bahwa perak memang bernilai lebih tinggi, dalam relasinya dengan emas, di Asia (ketimbang Eropa). Hal inilah yang mendorong Gubernur Jendral Batavia untuk menaikkan rasio pecahan besarnya (leeuwendalders dan rijksdaalders) dengan patokan koin kecil (stuivers). Untuk lebih mudahnya, lihat tabel berikut: Nama koin
Berat (gram)
Rasio Stiver Belanda
Dukaton Real Spanyol Rijksdaalder Gulden12 schelling Dubbletje Stiver
30,47 25,26 24,37 9,62 3,36 0,89 0,43
63 48 50 20 6 2 1
Pada 1640, gubernur jendral VOC menaikkan rijksdaalder menjadi 60 stuiver, setara dengan harga real yang berlaku di pasar Asia saat itu, sementara tidak ada perubahan bobot kedua koin tersebut. Pada 1656, leeuwendalder naik jadi 48 stuiver, dan pada 1676, dukaton senilai 90 stuiver.13 Kenaikan ini terjadi untuk menyesuaikan nilai mata uang dengan nilai perak di Nusantara. Ketidak-akuran ini terjadi karena kontradiksi dalam fungsi ganda perak itu sendiri, yaitu sebagai satuan bobot dan sebagai perantara pertukaran; sebagai komoditas dan sebagai uang. Marx menulis demikian dalam Capital: Since the standard of money is on the one hand purely conventional, while on the other hand it must possess universal validity, it is in the end regulated by law.14
Kita tahu bahwa konvensi nilai perak antara Eropa dan Asia berbeda (konvensi ini, tentu saja, ditentukan oleh faktor yang sudah dijelaskan di muka), namun perak, sebagai uang, harus memiliki validitas yang universal. Sementara faktor universal terpenuhi, yakni, bahwa perak bisa digunakan sebagai alat ukur nilai di Belanda dan Nusantara; faktor konvensionalnya, yakni konvensi nilai perak antara Belanda dan Nusantara yang berbeda, menjadi batu sandungan. Nah, untuk mengakurkan dua hal tersebut, wajarlah Gubernur Jendral VOC turun tangan. Keputusan seperti apa yang diambil VOC? Merubah rasio stuiver tanpa merubah bobot koinnya. Kesalahan VOC di sini adalah matematika elementer. If the value of gold fell by 1,000 per cent, 12 ounces of gold would continue to have twelve times the value of one ounce of gold, and when we are dealing with prices we are only concerned with the relation between different quantities of gold.15
Rasio stuiver dengan pecahan-pecahan lainnya ditentukan oleh bobot. Jika anda memiliki 50 stuiver, bobotnya akan sama dengan 1 rijksdaalder.16 Merubah rasio tanpa merubah bobot, konsekwensinya, memicu transaksi absurd: membe-
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELUTAMA
li perak dengan perak. Jika Anda wiraswasta berbakat dan bosan menjadi pegawai yang hidup di jaman itu, tentulah anda menyadari bahwa 30 dubbletje memiliki bobot perak yang lebih besar ketimbang satu real ataupun rijksdaalder. Anda lalu menyadari peluang bisnis dalam menukar real dan rijksdaalder dengan dubbletjes, meleburnya dalam perak batangan lalu menjualnya ke Cina. Itulah yang dilakukan para moneychanger pada masa itu, sehingga mengakibatkan kelangkaan dubbletjes sebagaimana disebut di atas.17 Hal ini mengacaukan pembukuan perusahaan. Dalam pembukuan, Batavia menggunakan nilai real lama, yaitu 48 stuivers. Hal ini mengakibatkan munculnya dua tipe real, yaitu real imajiner––real sebagai satuan bobot yang setara dengan 48 stuivers––dan real riil yang beredar di pasaran dan senilai dengan 60 stuivers. Begitu juga dengan stuivers; terdapat stuivers ringan (stuivers Hindia) yang senilai 1/60 real, dan stuivers berat (stuivers Belanda) yang senilai 1/48 real. Malas berpusing-pusing dengan distingsi sublim nan seksi tersebut, dewan direksi VOC memerintahkan untuk menghapus istilah “ringan-berat” dalam pembukuan dan memberi solusi mujarab: kalau mau menaikkan nilai uang, naikkan semuanya. Belanda memerintahkan untuk menaikkan schelling menjadi 7 ½ stuiver, dubbletje menjadi 2 ½ stuiver, dan stuiver menjadi 1 ½ stuiver Belanda, dan mencetak “tangen”, koin tembaga untuk menjadi valuasi stuiver Pada 1724, VOC mengimpor koin tembaga bernama doit untuk peran ini dengan rasio 1 stuiver: 4 doit.18 Pada 1741, distingsi ringan-berat tidak lagi muncul dalam pembukuan VOC. Namun, kita tidak bisa serta merta mengatakan bahwa pemerintah Batavia bodoh dan tidak bisa menghitung sehingga menimbulkan kekacauan mata uang di tanah kolonial. Masalah utama yang dihadapi pedagang Eropa kala itu adalah, bahwa semua perak yang mereka ekspor ke Asia berhenti dan menumpuk di Cina dan India. 10.000 ton perak yang datang dari pedagang-pedagang Eropa ataupun 15 ton perak yang diimpor langsung dari Amerika ke Manila, cepat atau lambat—lewat jalan memutar atau jalan pintas—akan berlabuh di Cina jua.19 Hal inilah yang memicu kenaikan rasio koin pecahan besar oleh pemerintah Batavia—meskipun, seperti sudah dibahas di atas, kebijakan ini malah menambah jumlah ekspor perak dari Batavia ke Cina. Itulah mengapa, bahkan setelah nilai perak di kepulauan Nusantara dinaikkan secara merata, pada tahun 1752 persediaannya masih belum memadai untuk kebutuhan dagang VOC, sehingga memaksa pemerintah Batavia untuk mengeluarkan surat obligasi (mengenai surat ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian tersendiri). Keadaan ini diperparah dengan perang antara Inggris dan Belanda yang mengkaramkan kapal VOC yang mengangkut uang ke Batavia, mengakibatkan kelangkaan perak pada tahun 1782.20 Keadaan ini terus berlangsung hingga bangkrutnya VOC pada tahun 1798. 2.2. Hindia-Belanda, abad ke-19 Pada tahun 1811 Inggris mengambil alih daerah kekua-
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
saan VOC dan melanjutkan usaha VOC dalam ‘merapikan’ kondisi keuangan Nusantara. Koin standar yang dipakai Inggris adalah real Spanyol yang divaluasi dengan stuiver— yang divaluasi dengan doit. Inggris mencetak rupee Jawa— yang sudah beredar sejak abad ke-17—dengan bobot 11,5 g. Rasionya adalah sebagai berikut: 1 real: 32 wang (atau dubbletje—stuiver pada tahun-tahun ini sudah tidak beredar dan hanya jadi satuan hitung saja). 1 rupee: 15 dubbletje. 1 dubbletje: 10 doit. Inggris juga melarang ekspor perak ke Cina pada 1812 untuk mengatasi kekurangan koin.21 Pada 1817, Belanda mengusir Inggris dan kembali menduduki lojinya di Batavia dan memperkenalkan koin gulden sebagai koin standar dengan nilai 120% gulden Belanda.22 Namun, Belanda datang ketika dompetnya sedang benarbenar kempis, sementara harus meredakan konflik daerah yang menolak kembalinya Belanda: ekspedisi Palembang (1819), Bangka dan Riau (1821), pedagang Cina di Borneo barat (1822, 1823), masalah di Seram dan Sulawesi, pemberontakan Kedu (1820) dan Banten (1822), dan perang Diponegoro (1825-1830); dan pada saat yang bersamaan, terjadi penurunan harga kopi dunia akibat banyaknya pasokan Asia yang masuk ke Eropa pada tahun 1823. Untuk mengatasi hal ini, sejak 1820, pemerintah Batavia mencari pinjaman secara lokal dari India-Inggris. Tersebutlah John Palmer, seorang tengkulak Belanda yang menjual beras India ke Malaka dan Riau, serta menjual timah, rempah dan kopi Nusantara ke India; yang menjadi sumber uang tersebut. Dalam kurun lima tahun (1820-1824), pemerintah Batavia menerima pinjaman 15 juta gulden Hindia dari Palmer dengan bunga 8% per tahun.23 Sementara itu, revolusi industri kapas di Inggris memacu “invasi tekstil” ke Cina, sehingga semua perak yang tadinya menimbun di Cina pada abad ke-18 kembali mengalir ke Eropa dan mengakhiri macetnya aliran perak.24 Dengan persediaan perak yang besar dan sistem relasi moneter yang stabil, pada tahun 1830, pemerintah HindiaBelanda mulai menerapkan sistem cultuurstelsel-nya yang tersohor itu. Dengan banyaknya persediaan perak, maka selisih gulden Belanda dan Hindia-Belanda dihapus dalam reformasi standar perak (1858).25 Keseimbangan ini runtuh akibat turunnya harga perak dunia. Pada akhir 1860-an hingga awal 1870-an, ditemukan tambang-tambang perak baru yang memicu naiknya produksi perak, sementara produksi emas semakin menurun; memaksa Belanda untuk beralih menggunakan standar emas pada tahun 1875.26 Standar emas mulai diterapkan di Hindia-Belanda pada tahun 1877, namun tidak berpengaruh banyak hingga reformasi mata uang di tahun 1913. Sistem mata uang di Hindia-Belanda dalam masa ini adalah bi-metal dengan standar pertukaran emas. Esensi dari sistem ini adalah, bahwa emas tidak digunakan sebagai mata uang, namun mata uang legal yang beredar saat itu bisa ditukarkan di Belanda dengan koin emas untuk transaksi internasional. Koin perak masih bisa digunakan dengan nilai berdasarkan nominalnya, namun nilai nominal tersebut tidak berdasarkan nilai intrinsik
P R O B L E M F I L S A F A T 35
ARTIKELUTAMA
si perak itu sendiri, melainkan berdasarkan jaminan emas di bank. Inilah titik pergeseran dari komoditas-uang menjadi uang. 9,62 g perak pada tahun 1858—karena berdasarkan standar perak—memiliki nilai nominal 1 gulden, sedangkan ekspresi gulden untuk emas relatif pada rasio emasperak. Tujuh-belas tahun kemudian, dengan diterapkannya standar emas, maka gulden ditentukan oleh emas berbobot 604,8 miligram, dan ekspresinya dalam perak bergantung pada rasio emas-perak. Namun, karena perak sudah beredar dengan luas dan persediaan emas tidak bisa memfasilitasi seluruh pembayaran legal, maka perak masih digunakan sebagai mata uang resmi. Begitu rasio emas-perak berubah, misalnya, pada tahun 1900, rasio emas-perak adalah 1:33, maka kadar perak dalam 1 gulden seharusnya berubah menjadi 19,84 gram. Tentu pemerintah bisa menarik semua koin guilden perak, meleburnya, lalu mencetak koin baru dengan bobot 19,84 gram, namun, hal ini tentu bukan jalan keluar yang efektif. Pemerintah Belanda tetap memberlakukan gulden perak tanpa merubah bobot, dan untuk mengatasi turunnya daya beli perak, menjamin selisih nominal (nilai yang tertera di koin) dengan nilai intrinsik (nilai tukar koin di pasaran) lewat simpanan emas di bank. Namun, di Hindia-Belanda, sistem tersebut baru sepenuhnya berlaku setelah reformasi mata uang tahun 1913, sementara sejak tahun 1877, kita akan menyaksikan terus naiknya hargaharga akibat turunnya nilai perak. Perubahan ini menunjukkan perubahan dari peran perak sebagai komoditas-uang, yakni alat perantara yang nilainya ditentukan oleh relasi nilainya dengan komoditas lain, menjadi uang, yakni alat perantara yang nilainya ditentukan oleh nominalnya.28 3. Perak yang Bersembunyi di Belakang Kertas Pada pertengahan abad ke-18, dengan kelangkaan perak, VOC mendirikan De Bank Courant en Bank van Leening (atau dikenal dengan bank Batavia). pada tahun 1752. Bank ini memiliki dua fungsi, yaitu mengeluarkan surat hutang, tempat penyimpanan uang dan melayani transaksi jarak jauh. Bank ini berhak untuk menerima deposito, memberi hutang dengan jaminan, serta mencetak uang kertas. Setiap orang yang menabung di bank akan mendapat surat bank yang bisa digunakan sebagai pengganti uang riil. Dengan beragamnya mata uang yang beredar ketika itu—rupee, real, dukaton, atau dolar Meksiko—, dalam pembayaran, lebih mudah untuk menggunakan surat bank tersebut yang memakai nominal resmi (rijksdaalder), yaitu 10.000, 1000, 500, 100, 50, 10, 5, dan 1 rijksdaalder (dengan rasio 1:48 terhadap stiver, rasio resmi Belanda saat itu). Penggunaan uang kertas ini sangat populer di kalangan pegawai VOC, pedagang Cina dan aristokrat Jawa. Surat bank ini dapat ditukar menjadi uang sewaktu-waktu; hal ini kontradiktif dengan wewenang bank untuk memberi pinjaman dengan menggunakan uang tabungan. Bank ini juga memberi bunga untuk tabungan sebesar ¼% per bulan, pada 1762 turun menjadi 1/8% dan kemudian 1/12%. Perang Belanda-Inggris yang menghambat kiriman per-
36
PROBLEMFILSAFAT
ak ke Batavia pada tahun 1782 membuat VOC kekurangan uang kontan. Hal ini memaksa VOC untuk mengeluarkan surat bank untuk membayar pembelian-pembeliannya. Namun, bank juga tidak punya cukup perak untuk menukarkan surat tersebut dengan uang, VOC mengeluarkan surat hutang unuk bank. Usaha menjamin hutang dengan hutang ini membuat nilai uang kertas turun drastis: pada tahun 1786 turun 6%, 1788 turun 10% dan 1789 turun 20%. Pada tahun-tahun terakhir VOC, perusahaan tersebut membayar pengiriman kopinya dengan uang kertas beserta kerugian agio. Artinya, VOC membayar dengan harga lebih tinggi daripada harga aslinya agar, ketika surat hutang tersebut diuangkan dengan agio tertentu, uang yang diterima adalah nominal sesungguhnya dari harga kopi. Semisal VOC membeli kopi seharga 100 rijksdaalder, dengan agio 20%, perusahaan tersebut akan menggeluarkan surat hutang dengan nominal 125 rijksdaalder, agar setelah diuangkan, tengkulak kopi akan menerima 100 rijksdaalder. Akibat semakin turunnya nilai uang kertas, bank tersebut dilikuidasi pada tahun 1794, empat tahun kemudian VOC ikut dibubarkan. Pembentukan Hindia-Belanda disusul dengan pendirian Bank Jawa (de Javasche Bank), yang memiliki job desc yang sama dengan Bank Batavia. Namun pencetakan nota bank oleh Bank Jawa dibatasi yakni, yakni paling tidak, 40% nota bank yang ia cetak harus dijamin oleh koin atau logam batangan (entah itu perak atau emas). Bank ini juga bertugas untuk menjaga sirkulasi perdagangan lokal dalam perak, menjamin nilai perak yang turun pada tahun 1870-an dengan emas, serta menyediakan koin emas untuk perdagangan internasional. Kehadiran Bank Jawa ini membuat pengertian tentang uang semakin kompleks; dengan semakin meningkatnya penggunaan nota bank di pasar internasional, muncullah pasar uang (bingung gak luh, masak uang ada pasarnya? Bayar pake’ apa, coba?), yang berangkat dari spekulasi tingkat bunga dan inflasi uang kertas berdasarkan jaminan koin berharga di bank. Memahami mekanisme pasar ini, tak pelak lagi, akan lebih rumit ketimbang spekulasi metafisika paling rumit yang bisa diajukan oleh para filsuf kontemporer ataupun dukun santet lokal sehingga membutuhkan satu tulisan tersendiri; oleh karenanya, saya mengangkat bendera putih dan menghentikan pembahasan sampai di sini. 4. Timah dan Tembaga, atau; Kalau Miskin, Gak Usah Gaya Hingga pertengahan abad ke-18, picis masih merupakan idola rakyat jelata. Telah dijelaskan di atas betapa picis tidak memiliki standar yang baku, sehingga nilai relatifnya terhadap perak memiliki maneuver-manuver yang tajam. 1 real Spanyol bisa berkisar antara 5.600-14.000 keping picis. Karena fluktuasi yang mirip ABG labil ini, pada 1724, VOC memesan koin tembaga dari Belanda, yakni doiten (1 stuivers = 4 doiten). Selanjutnya, pecahan 1/4 doiten juga diimpor. Pada 1770-an, setidaknya 10 juta doiten diimpor ke Batavia, dan pada 1787 berhasil menggeser posisi picis di Jawa. Seti-
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELUTAMA
daknya pada abad ke-19 picis tinggal sekadar relik nostalgia kejayaan kerajaan Jawa yang luluh lantah di lindas mesin dagang VOC. Masuknya doiten menggantikan picis ini sejalan dengan turunnya harga rempah dunia akibat banyaknya pasokan Asia dan turunnya permintaan komoditas untuk tersebut; sehingga memicu tumbuhnya perkebunan kopi, tebu, teh dan indigo yang disokong VOC. Dua hal inilah yang memungkinkan kebijakan cultuurstelsel (1830) dan undang-undang agraria (1870) di Hindia-Belanda pada abad ke-19. Penting kiranya untuk menelaah peran koin tembaga dalam kehidupan Nusantara-kolonial. Bahkan pada abad ke-17, VOC mengimpor berpuluh ton timah untuk dicetak menjadi picis sehingga memicu inflasi picis pada tahun 1567 dan 1640. Peranan penting picis ini terutama dijelaskan oleh kecilnya daya beli masyarakat yang tidak bisa diekspresikan dalam bentuk pecahan besar (real, rijksdaalder atau leeuwindaalder). Secara umum, bagi komunitas agraris Nusantara, uang memiliki dua fungsi; pertama sebagai motor yang menggerakkan roda perdagangan, meskipun untuk ini masyarakat hanya menggunakannya dalam jumlah yang sedikit dan hanya dalam pecahan kecil, untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Kedua, untuk mengasup siklus hidup penduduk serta pertanian. Masyarakat agraris memiliki siklus tahunan dalam pemasukan dan pengeluaran; dari menanam bibit, merawat lahan, hingga panen. Pada bulan panen, petani menggunakan uang untuk membayar sewa tanah, hutang, serta membeli kebutuhan sehari-hari. Permintaan uang
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
pada musim panen tinggi dan turun pada bulan-bulan tanam, sehingga menuntut sebuah mekanisme yang memungkinkan jumlah sirkulasi uang lokal untuk bertambah pada musim panen untuk memfasilitasi perdagangan. Abad ke-19, Bank Jawa mengluarkan surat hutang dengan nominal cent dan duiten untuk menyelesaikan masalah ini, namun hanya efektif di Jawa—bahkan di beberapa daerah di Jawa sendiri ia kuwalahan untuk menyediakan nota bank, surat hutang atau koin. Pada paruh kedua abad ke-19, daerah-daerah luar Jawa pun mengadopsi nota bank dan surat hutang dalam bentuk ‘token perkebunan’. Dalam masa cultuurstelsel, terutama mulai tahun 1850an, mulai muncul petani upahan sebagai hasil perkawinan feodalisme dan kolonialisme. Sistem sewa tanah feodal mewajibkan petani untuk menyetor sepersekian hasil panennya pada penguasa setempat, sementara sistem kolonial memaksakan penanaman dan monopoli komoditas ekspor. Hasilnya, petani menggunakan sebagian tanahnya untuk (misalnya, di Priangan) menanam kopi. Untuk memovasi penanaman ini, VOC melunasi setengah pembelian di muka untuk persiapan tanam, dan setelah panen VOC melunasi sisanya. Pembayaran ini diberikan pada penguasa setempat yang bertugas untuk membagikan pembayaran, mengawasi perkebunan, dan mengurus pengiriman komoditas. Dengan uang itu, petani mempersiapkan penanaman, membayar sewa tanah pada penguasa setempat dan melunasi hutang. Sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Koin yang dipakai dalam mekanisme ini adalah duiten, dengan besaran upah 10-15 doiten per hari. Nilai duiten di hadapan stiver bervariasi. Pada abad abad ke-18, 1 stuiver senilai 8 duiten, namun ketika harga perak dunia turun pada abad ke-19, 1 stiver bernilai 4 duiten. Selain duiten, pada tahun 1855, mulai muncul koin cent yang senilai 1/5 stiver.28 Dengan berakhirnya cultuurstelsel dan berlakunya undangundang agraria pada tahun 1870, usaha perkebunan swasta mulai membanjiri Hindia-Belanda. Dalam masa-masa ini, sistem kerja upahan menjadi semakin populer sehingga mengakibatkan kelangkaan uang kecil. Di beberapa daerah, terutama di Sumatera ( Asahan, Batu Bara, Deli, Langkat, Padang-Bedagei dan Serdang), Jawa (Priangan & Pasuruan), Borneo dan Bacan, pemerintah Hindia-Belanda mengijinkan para pemilik kebun untuk mencetak uang sendiri untuk membayar buruhnya. Uang yang dikenal sebagai ‘token’ ini ini terbuat dari bahan seadanya dan seenaknya (nikel, kuningan, tembaga, potongan kaleng bekas atau bahkan potongan kayu), dengan nominal yang berkisar dari 1 cent hingga 1 dolar (entah itu dolar Meksiko, Jepang, atau real). Tentunya, token perkebunan ini memiliki nilai yang jauh dari nominalnya, sehingga hanya bisa digunakan di dalam areal perkebunan. Pemilik kebun memberi ijin berdagang pada seorang pemborong, biasanya pengawas perkebunan, yang akan membuka kedai dengan harga yang lebih tinggi dari harga di luar perkebunan. Para kuli pun mau tidak mau membelanjakan seluruh uangnya di situ. Dengan sistem ini
P R O B L E M F I L S A F A T 37
ARTIKELUTAMA
11
12
pula, kuli tidak dimungkinkan untuk menabung dan begitu kontraknya selesai (kontrak kuli perkebunan biasanya berlaku selama 3 tahun), ia pergi dengan tidak memiliki uang.29 5. Tutup Tirai, Hormat Pemain Nampaknya tidak layak untuk memberatkan Anda— sekaligus ongkos produksi—untuk memberi penutup setelah tulisan cukup panjang ini. Baiklah saya persingkat saja penutup tulisan ini dalam satu kalimat pertanyaan spekulatif: Saya baru gajian, butuh waktu berapa hari kiranya uang gajian saya habis untuk membiayai hidup sehari-hari? SEKIAN
13 14
15 16
Catatan Akhir
Lihat http://info.goldavenue.com/info_site/in_arts/in_mill/ Gold-intro.htm. Situs ini menyediakan kronologi impor emas Eropa dari abad ke-11 hingga ke-20 beserta rasio emas/perak dunia. 2 Voth, Hans-Joachim & Kris James Mitchener, Trading Silver for Gold: Nineteenth-Century Asian Exports and the Political Economy of Currency Union, (Oxford: Oxford University Press), 2011, hal. 6 3 Fluktuasi nilai picis sangat tajam. Hal ini disebabkan oleh, amburadulnya sistem picis. Pada tahun 1567 muncul distingsi picis timah dan picis tembaga dengan rasio 1 tembaga = 6 timah, serta perbedaan antara picis Cina yang seberat 3,5 gr dan picis lokal yang seberat 2,4 gr . Pada tahun 1640, picis Jawa turun dari 2,4 gr jadi 0,7 gr, sehingga rasionya dengan real Spanyol naik dari 1:5.600 hingga 1:14.000. Baca, Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis:Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), 1998, hal. 127-131 4 Van Aelst, Majapahit Picis, Currency of Moneyless Society, hal. 371372 Ooi, Keat Gin (Ed.), Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor Vol. 1, (California: ABC-CLIO), 2004, hal. 471 - 472 5 Crump, Thomas, The History of East Indies Company, http:// www.gresham.ac.uk/lectures-and-events/the-dutch-east-indies-companythe-first-100-years, diakses pada 21 April 2012 6 Kemangsang, A.R.T, Overseas China in Java and Their Liquidation in 1740, Southeast Asian Studies, Vol. 19, No. 2, September 1981, Hal. 126 7 Keat Gin, Op.cit, hal. 480 8 Lombard, Denys, Nusa Jawa Vol. 2, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2008, hal. 64-65 9 Lombard, Op.cit, hal. 58-60 10 Wolters, Willem G. Managing Multiple Currencies with Units of 1
38
PROBLEMFILSAFAT
17 18 19
20 21 22
23
24 25 26
27
28 29
Account: Netherlands India 1600-1800, essay untuk International Economic History Congres ke XIV di Helsinki, Finlandia, Agustus 2006, hal. 11 Van Zanden, J.L & Jan Lucassen (Ed.), Wages and Currency: Global Comparisons from Antiquity to the Twentieth Century, (International Academic Publisher: Bern), 2007, hal. 176 Gulden atau guilder atau florin, sebagaimana kita kenal sebagai mata uang Belanda, pada abad ke-17 hingga awal abad ke-19, tidak memiliki bentuk fisik yang berupa koin. Ia hanya satuan hitung yang dipakai dalam pembukuan yang ditentukan oleh stiver dengan rasio 1 gulden: 1 stiver. Jadi, misalnya, anda menjual satu lusin kondom seharga 1 rijksdaalder, untuk mencatatnya, anda perlu mengkonversi rijksdaalder dalam stiver—yakni 50— lalu merubahnya dalam gulden, yakni 2,5. Dalam pembukuan VOC di Batavia, terkadang rijksdaalder atau real dipakai dalam pembukuan karena transaksi riil yang terjadi banyak menggunakan koin tersebut. Lihat Stephen Quinn & William Roberds, The Big Problem of Large Bills: The Bank of Amsterdam and the Origins of Central Banking, (Federal Reserve Bank of Atlanta Working Papers: Atlanta), 2005, hal. 3-5 Wolters, Op.cit, hal. 15 Marx, Carl, Capital: A Critique of Political Economy, Vol. 1, diterjemahkan oleh Ben Fowkes, (London: Penguin Books Ltd.), 1979, hal. 194 Ibid., hal. 192 Tentu saja tidak. Jika anda iseng menghitung, maka stiver akan lebih berat dari rijksdaalder dengan selisih 2,87 gram. Selisih ini adalah biaya pencetakan uang yang hanya bisa dilakukan oleh kerajaan untuk menghindari pemalsuan uang. Lihat Quinn & Roberds, Op.cit, hal. 14 Wolters, Op.cit, hal. 11 Ibid., hal. 13-16 Moon, Woosik & Yeongseop Rhee, Asian Monetary Integration: Coping with a New Order after the Global Crisis, (Seoul: SIRFE Working Paper), 2011, hal. 17 Wolters, Op.cit, hal. 22&25 Ibid., hal. 25 Pada masa VOC, tidak ada standar yang jelas, apakah rijksdaalder, stuiver atau real Spanyol. Ibid. Tarling, N, The Palmer Loans, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 119 (1963), no: 2, Leiden, hal. 162, 177-179 Van Zanden, Op.cit, hal. 181 Ibid., hal. 183 Berg, Norbert Pieter, Currency and the Economy of Netherlands India, 1870-95, (Singapur: Institute of Southeast Asian Studies), 1996, hal. XIV Untuk kajian filosofis mengenai hal ini, baca tulisan Berto Tukan di halaman depan. Van Zanden, Op.cit, hal. 183 Lebih lanjut, baca Bremen, Jan, Menjinakan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli Di Sumatra Timur pada awal Abad ke-20 ( Jakarta: Grafiti), 1997.
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELTEMATIS
KEBERANIAN Wani yo Wani ning Ojo Kewanen oleh RAGIL NUGROHO
Ini bukan tulisan yang serius. Hanya bersumber dari beberapa komik dan buku-buku tidak bermutu. Terus terang, malas juga membicarakan buku karya penulis lebay seperti Platon. Apalagi judulnya sok-sokan heroik: Keberanian (Lakhes). Bagaimana mau ngomongin keberanian, lawan sakit gigi saja sudah kocar-kacir dengan menenggak ponstan berulang kali. Tapi apa boleh buat. Sudah janji untuk nulis sih, ya, ditulis saja; daripada dituduh nggak ada keberanian untuk menulis kan malah repot dewe. Ngomongin Keberanian di Siang Bolong: Nyebelin Nggak? Platon sohor sebagai filsuf yang hobinya nguping pembicaraan Sokrates. Dari hasil nguping ia jadikan buku. Dibumbui sedikit, lantas menjadi teori. Kali ini yang ia jajakan diberi judul Lakhes—hasil nguping kongkow-kongkow antara Sokrates, Lakhes dan Nikias. Sebel banget. Apa pentingnya ngrundulin kaberanian di tengah situasi yang serba berat otak. Simak saja kicauan di twitter. Pada senang mencaci FPI. Mimpi Indonesia Tanpa Kekerasan. Eee, ketika FPI menyerang balik dengan demo membawa poster Indonesia Tanpa Liberalisme dan ngancam nurunin SBY kalau naikin BBM, kok podo meneng klakep; cuma ngoceh kagak karuan di twitter dengan nadanada rasis pula: Arab-lah, onta-lah, anunya gede-lah. Kok sekarang mau ngomong keberanian. Jadi eneg deh. Tak tahu pula awak. Apa gunanya nerbitin karya Platon ini. Lebih baik nerbitin komik yang jelas-jelas dibaca. Atau, buku-buku tentang mitos yang laku kayak kacang goreng. Bisa pula buku-buku motivasi yang bisa membuat orang kaya sekali berdoa. Kok masih ngotot nerbitin buku arkaik. Masalah keberanian pula. Apa kurang keberanian orang-orang Indonesia? Baru-baru ini, seseorang membacok jaksa yang habis diadili. Siang hari dan di depan umum pula. Apakah orang ini kurang memiliki keberanian? Belum lagi perampokan emas yang dilakukan saat orang ramai sliwar-sliwer. Tidakkah mereka mempunyai keberanian tanpa batas? Ada pula mahasiswa yang bakar diri di depan Istana. Apakah dia tidak memiliki keberanian? Bahkan ia dipuji-puji sebagai pengorbanan terbaik manusia. Kalau
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
mau mundur kebelakang akan lebih banyak lagi keberanian-keberanian macam itu. Melawan meriam dengan keris. Ngadepin Inggris dengan bambu runcing. Lihat pula adegan debus yang menusuk dirinya sendiri atau kuda lumping yang memamah beling. Bukankah penuh keberanian? Kok masih juga mengimpor keberanian dari Yunani sono. Ada apa sebenarnya? Tapi yo wis lah. Terlebih dahulu, ada baiknya mengetahui sejarah hidup Platon yang menulis buku Lakhes ini. Bukan untuk mencari sisik melik bagaimana dasar pemikirannya, tapi sekadar untuk lucu-lucuan saja. Dari buku Filsuf Jagoan yang tulisan Fred van Lente & Ryan Dunlavey, sejarah hidup Platon—yang populer dengan Plato—bermula dari sejarah pegulat. Plato yang berarti lebar atau datar bahunya merupakan nama panggung pegulat profesional. Ia bernama asli Aristokles. Lahir di Aegina pada 428 SM. Sialnya, walaupun sudah seringkali memenangkan gulat di Isthima, Platon tak pernah lolos kualifikasi Olimpiade. Dengan hati yang remuk ia kemudian ganti pekerjaan. Kala lontang lantung di Athena dengan iseng-iseng menggeluti puisi dan politik, Platon bertemu Sokrates yang lagi ngebacot di tepi jalan. Kelebihan Platon—di antara murid-murid Sokrates yang lain—bahwa ia penguping yang hebat, dan tentu saja mempunyai ingatan yang ngereni (kata ini ndak usah dicari artinya di kamus). Setelah kematian Sokrates, Platon mengembara. Asyiknya, di tengah pengembaraan ia bertemu dengan sekte Pythagoras. Sekte ini mempunyai slogan: Semua adalah angka. Gank Pythagoras memberikan ide pada Plato tentang teori baru: kebenaran sejati bersifat abstrak; dan seperti angka, kebenaran itu abadi. Sebagai contoh teori baru tersebut sebagai berikut: Platon yang bertemu Sokrates hanyalah bayangan Platon yang sebenarnya. Sedangkan Platon yang sesungguhnya ada dalam dunia gagasan. Teori ini unik pada zamannya. Bagaimana nggak unik, semua orang yang mondar-mandir dan seluruh benda di Athena hanya bayangan. Inilah modal Platon untuk mendirikan Akademia yang beken itu. Akademia milik Platon, menurut Larry Gonik
P R O B L E M F I L S A F A T 39
ARTIKELTEMATIS
*Karya NobodyCrop
dalam Kartun Riwayat Peradaban, berada di luar kota Athena. Situasi ini membuat filsafat Platon jauh dari politik, jauh dari realitas yang keras, dan beraroma pedesaan. Keberanian Versi Platon: Opo Kuwi? Ibu-ibu, rata-rata sudah sepuh, berdiri di depan Istana. Setiap hari Kamis. Sudah 250 kali. Mereka mengingatkan: masih ada yang hilang, belum kembali, dan sekarang mulai dilupakan oleh negara maupun kawan-kawannya. Apakah mereka ini mempunyai keberanian versi Platon? Yen gelem ikutin saja tetek bengek di bawah ini. Yen kopyor tanggung dewe. Sebagaimana karya Platon yang lain, Lakhes berbentuk dialog. Menurut Filsuf Jagoan, dialog merupakan ciri karya Platon. Dialognya pun monoton: antara guru dan murid. Sokrates menjadi guru yang dibangkitkan dari kubur untuk memberikan stempel dan tameng pada teori Platon sendiri, agar teorinya lebih meyakinkan. Lakhes dibuka dengan dialog yang menjemukan antara Lysimakos, Melesias, Nikias, dan Lakhes. Mereka
40
PROBLEMFILSAFAT
memperbincangkan hal yang sepele: pendidikan macam apa yang cocok untuk anak-anak mereka. Masalah pendidikan memang penting dalam sejarah pemikiran Platon. Coba diingat karya Platon yang lain: Republik (Politeia). Dalam buku ini pendidikan dirancang sedemikian mungkin sehingga bisa menghasilkan raja filsuf. Awalnya—menurut buku Filsuf Jagoan—semua bayi laki-laki dipisahkan dari ibunya, dan kemudian dirawat oleh panti asuhan negara. Setelah besar didik di sekolah negara. Di sekolah ini akan dipantau bakat masing-masing. Yang tidak jago olahraga menjadi petani. Piawai olahraga tapi terbelakang dalam matematika menjadi tentara. Dan, mereka yang mahir olahraga dan matematika akan dipisahkan menjadi manusia unggul untuk didik menjadi filsuf. Lewat pendidikan yang ketat, salah satu yang jagoan dari mereka dipilih sebagai raja filsuf. Platon pernah diajak untuk mewujudkan ide fasisme homoerotik itu, tapi tak pernah terwujud. Hitler hendak mewujudkannya, tapi kandas di tepi jalan. Tak salah, dalam mewujudkan republik yang diinginkan, jelas membutuhkan keberanian; paling tidak keberanian disebut sinting. Balik lagi ke Lakhes. Setelah terlibat dialog yang menjemukan, mereka kemudian sampai pada kesimpulan: masalah ini hanya bisa diselesaikan kalau menemui Sokrates. Tambah gilalah dialog yang terjadi. Seperti biasa, dengan pura-pura bego, Sokrates bertanya ini itu—entahlah kenapa metode seperti ini disebut dialektika. Sampai akhirnya pertanyaan-pertayaan Sokrates yang sok oon berujung pada pencarian pengertian tentang keberanian. Ketika Lakhes menyampaikan pengertiannya keberanian sebagai—setiap orang yang menjaga teguh posisi dalam barisan, siap menghadapi musuh, dan tidak melarikan diri— Sokrates segara menukas; bukan keberanian dalam makna pasukan infanteri, tapi keberanian dalam makna luas: keberanian di laut, menghadapi penyakit dan kemiskinan, keberanian dalam politik serta bertempur menghadapi nafsu dan kenikmatan. Ujung-ujungnya sampai pada pengertian keberanian sebagai keteguhan jiwa yang elok. Elok itu seperti apa? Keduanya berdebat tentang makna elok. Lakhes berdiri di kaki, bahwa seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tapi berani melakukan sesuatu yang membayakan, itulah keberanian yang elok. Sementara Sokrates, di kaki yang lain, berpendapat, orang seperti yang dikatakan Lakhes justru pengecut. Para petani di Bima yang pada beberapa waktu yang lalu membakar kantor bupati, bagi Lakhes, merupakan orang-orang yang memiliki keberanian yang elok. Tanpa pertimbangan macam-macam—ditembak polisi, menghan-
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELTEMATIS
curkan bukti-bukti korupsi, dll—mereka melakukan pembakaran. Bagi Sokrates, itu sebaliknya. Baik Lakhes maupun Sokrates sama-sama puyeng. Mereka mengalami deadlock. Mungkin mereka ngebir-ngebir dulu, tapi ini tak diceritakan oleh Platon. Setelah puas ngebir, keduanya meminta Nikias angkat bicara. Serius banget Nikias menguraikan keberanian versinya, yaitu: ilmu tentang yang harus ditakuti atau apa yang harus dipercayai. Pengertian ini berlaku dalam segala situasi. Lewat cacatan kaki, dijelaskan difinisi keberanian Nikias berdasarkan dua pengetahuan: pengetahuan praktis dan pengetahuan etis. Kalau pengetahuan yang pertama berdasarkan hitung-hitungan gagal dan berhasil berdasarkan analisa teknis, yang kedua berdasarkan nilai pada tindakan yang dipilih. Para petani yang menjahit mulut di depan pintu gerbang DPR beberapa waktu lalu, menurut Nikias, tergolong mempunyai keberanian. Lewat pengetahuan teknis mereka tak akan mampu melawan negara, tapi karena memiliki pengetahuan etis—memperjuangkan hak milik yang dirampas—mereka tetap melakukan perlawanan walaupun dengan cara-cara masokis. Kalau keberanian seperti ini, mumet ra? Capek-capek debat ini itu, buku Lakhes tidak memberikan kesimpulan. Ngambang saja. Pada bingung sendiri. Karya-karya Platon memang lebay. Cuma pandai bikin judul. Garing banget pokok-nya. Lebih enak baca buku filsafat dalam bentuk komik atau anekdot. Banyak lucu-lucuannya. Btw.. Para penafsirlah yang memberikan kesimpulan. Dari berbagai penafsiran, keberanian disimpulkan sebagai: Dalam situasi situasi nyata yang beresiko, keberanian adalah keteguhan jiwa yang ditopang (bukan pengetahuan teknis) akan kebaikan yang bisa diharapkan dan keburukan/kejahatan yang mesti ditakuti; lebih persisnya lagi, pengetahuan akan kejahatan-kejahatan ini berkenaan dengan saat-saat di mana kita mesti nenutuskan apakah hidup ini layak dihidupi atau tidak. Terserah mau paham kesimpulan ini atau nggak. Emplok-en dewe. Yang jelas ada kata keteguhan jiwa, pengetahuan, kebaikan dan keburukan/kejahatan. Simpulno dewe. Lanjut.... Penerjemah buku Lakhes kedalam bahasa Indonesia, merujuk berbagai pendapat, memberikan analisa, karya ini merupakan perdebatan antara ergon (tindakan)— yang diwakili Lakhes dan logos (wacana)—dengan wakilnya Nikias—dan dua pertentangan ini disatukan dalam diri Sokrates. Jadi, orang yang memiliki keberanian yang ideal dalam Lakhes adalah Sokrates: tindakannya oke, wacananya yahut. Goenawan Mohamad (GM), yang membedah Lakhes beberapa waktu lalu, memberikan nubuat, bahwa sebaiknya menggunakan fenomenologi untuk mengurai kebuntuan tentang definisi keberanian. Ia menuliskan: Saya kira, sebuah pendekatan fenomenologis akan lebih produktif, khususnya yang oleh Husserl disebut
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
Paarung, proses empati yang memberi kita ‘mengerti’ keberanian, karena keberanian pada dasarnya merupakan peristiwa liyan.
Sepertinya memang waskita si GM. Gemar bangat ama fenomenologi. Nubuat GM mengingatkan pada kisah dalam buku Plato ngafe bareng Singa Laut: “Dr. Janet,” kata seorang perempuan malu-malu, “saya mempunyai permasalahan seksual. Saya tidak terangsang oleh suami saya.” Dr. Janet berkata, “Baik, saya akan melakukan pemeriksaan yang teliti besok. Bawa suamimu kemari.” Hari berikutnya, perempuan itu kembali bersama suaminya. “Lepaskan pakaian Anda, Pak Thomas,” kata dokter itu. “Sekarang berbalik. Baik, sekarang silakan tidur telentang. Oh, oh, saya mengerti. Baik, Anda boleh mengenakan pakaian Anda kembali.” Dr. Janet menggandeng perempuan itu. “Anda seutuhnya sehat,” katanya. “Dia tak membuatku terangsang juga.”
Begitulah, kalau mau mengikuti uraian GM untuk mengetahui makna keberanian, maka masukkan kaki Anda ke sepatu orang lain—menurut buku Plato ngafe bareng Singa Laut. Ketika ada petani ditembaki dan melawan, maka segera pasang kesadaran kita, alihkan frekwensi kesadaran yang lagi menulis puisi pada kondisi petani yang ditembak dan melawan. Sertakan pula pengalaman tentang keberanian yang pernah ada, agar mengerti makna keberanian petani itu. Setelah mengerti, cukup sampai disitu saja, atau bisa boleh lebih sedikit: memberikan kecaman kepada polisi yang brutal lewat facebook, twitter atau BBM. Begitulah keberanian: jangan lupa berempati pada liyan. Oke-lah. Lantas bagaimana dengan ibu-ibu yang melakukan Kamisan? Embuh. Nggak ketemu jawabannya. Keberanian versi ideal menurut Lakhes harus seperti Socrates: berani minum racun. Sementara ibu-ibu hanya berdiri di depan Istana tanpa ngapa-ngapain. Kalaupun mengikuti versi GM, ibu-ibu itu juga nggak pernah berempati pada keberanian Tempo waktu dibredel. Kalau begitu, bisa jadi, ibu-ibu itu hanya ingin rekreasi melihat Monas dan Istana, tanpa membawa keberanian di dompetnya. Hanya sopir bajaj dan metromini yang bisa menjawab dengan pas. Produksi Bacaan untuk Nylimur Lakhes mengingatkan pada aporisma: Ngono yo ngono ning ojo ngono. Boleh ngapain saja, tapi tahu batas deh. Batas ini bisa macam-macam: agama, etika, politik, budaya, hukum, dan sebagainya. Produk-produk supra struktur tersebut tentu saja disesuaikan dengan kehendak kelas yang
P R O B L E M F I L S A F A T 41
ARTIKELTEMATIS
berkuasa. Sudah lumrah itu. Biasa-biasa wae. Jadinya begini. Silakan wujudkan keberanian dengan demo, tapi jangan menutup jalan tol. Itu mengganggu pengguna jalan yang mau berlibur ke luar kota. FPI berani banget dalam memberantas amar ma’ruf nahi munkar, sudah bagus itu, tapi mbok yang sopan, jangan merusak atau ngebukin orang lain. Sesuaikan dengan adat ketimuran dan jangan melanggar hukum. Anda boleh sebebas-bebasnya, tapi jangan keblablasan jadi komunis. Itu tidak sesuai dengan ideologi bangsa dan agama. Istilah Orde baru: kebebasan yang bertanggung jawab. Dalam konteks ngono yo ngono ning ngono buku Lakhes karya Platon yang nyebelin ini memang harus dibela-belain untuk diterbitin. Tujuannya agar di tengah krisis ekonomi-politk (bahasa intelektualnya: multidimensi) yang merajam ulu hati, ada panduan untuk bertindak, dan sekaligus memberikan batas sebagaimana idealisme Platon. Gampang-gampangan wae. Silakan mencaci kekuasaan, tapi harus tahu batas. Jangan ngerahin masa gede-gedean yang bisa mengganggu ketertiban umum. Cukup perwakilan saja ke DPR atau sowan presiden. Bukankah keberanian dalam Lakhes harus disandarkan pada kebaikan dan kejahatan/keburukan? Keberanian melawan kebijakan kekuasaan yang tak pro rakyat itu baik, tapi membuat jalan macet apakah itu hal yang baik? Kalau tidak baik, ya, jangan dilakuin. Demo yo demo, tapi sing berbudaya. Ojo urakan. Krisis akan melahirkan radikalisasi. Yang terpenting adalah mencari upaya agar radikalisasi itu tidak mengarah pada hal-hal yang tidak diinginkan. Artinya, jangan sampai radikalisasi menyebabkan kapitalisme gulung tikar. Jangan sampai krisis menyebabkan Cuba kedua, Venezuela kedua, Cina kedua. Aduh gawat kalau sampai menyimpang dari pakem kapitalisme. Bisa nggak bisa tidur dan bisa jadi nasdem—bukan nasdem yang calon partai, tapi pa(nas) dan a(dem) alias demam. Oleh karena itu, buku-buku semacam Lakhes perlu diterbitkan. Agar intelektual membaca—karena buruh, tani, kaum miskin kota akan malas membaca buku semacam ini, ra ngerti isine, mbulet, mumuti—dan kemudian memberikan panduan dengan memproduksi wacana yang segaris dengan Lakhes. Sebagai gaya-gayaan, mundur dulu. Pada masa beberapa saat setelah kemerdekaan. Setelah Revolusi Agustus 1945, terjadi adu gagasan berpusat pada pandangan apakah revolusi sudah selesai atau belum. Pemerintah Belanda kemudian membentuk STICUSA. Lembaga ini didirikan oleh bekas menteri pada kabinet van Mook. Lembaga ini membawa gagasan politik etis: persaudaraan semua umat manusia, termasuk antara negara jajahan dan negara yang menjajah. Konsep ini kemudian dikenal dengan humanisme universal. Tentu saja sebagai ‘saudara’, bangsa Indonesia yang baru merdeka diharapkan tidak mendepak begitu saja Belanda, apalagi melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda. Salah satu penggiat STICUSA adalah Takdir Ali-
42
PROBLEMFILSAFAT
syabana. Posisi Takdir dalam gagasan humanisme universal tak bisa dibantah. Orang dah tahu, Takdir merupakan salah satu pelopor Pujangga Baru. Setelah Indonesia merdeka, ia memilih menjadi bagian dari PSI yang didirikan Sutan Sjahrir. Tulisan Keith Foulcher yang berjudul Membawa Pulang Dunia; Lalu-lintas Budaya dalam Konfrontasi 1954-1960, mengurai peranan kelompok Takdir dalam mengembangkan humanisme universal. Lewat majalah Konfrontasi gagasan tersebut ditebarkan di kancah pemikiran. Ideologi majalah ini dibangun atas rumusan sekularisme, individualisme dan komitmen terhadap kesataraan untuk mewujudkan kemanusian universal. Lakhes muncul pada situasi yang serupa dengan situasi setelah Revolusi Agustus 1945. Sebagai usaha sedia payung sebelum hujan, Lakhes terbit. Sebagai payung, jangan sampai hujan radikalisme melaju terlalu deras. Ya, paling tidak untuk sementara bisa melindungi diri. Lantas apa hubungannya dengan nylimur? (purapura tanya padahal dah tahu) Nylimur merupakan proses untuk mengalihkan perhatian. Dan, salah satu upaya itu dilakukan lewat buku atawa bacaan. Ketika keberaksaraan mulai dikenal di negeri ini, para pujangga keraton sudah terbiasa memproduksi bacaan-bacaan yang menjauhkan dari kenyataan. Semasa Belanda menjajah, hal serupa juga terjadi. Lewat Balai Pustaka, pemerintah kolonial berusaha mengalihkan persoalan penjajahan kepersoalan pribadi lewat karya-karya romantis yang tidak mengakar pada problem masyarakat. Usaha ini digencarkan untuk menandingi munculnya bacaan-bacaan liar yang diproduksi kaum nasionalis progresif. Zaman Orde Baru lebih banyak lagi. Berapa banyak karya stensilan yang diproduksi agar angkatan muda tak berpikir lain selain seks. Dan bacaan lain, baik yang resmi diterbitkan oleh kekuasaan maupun bacaan-bacaan yang diterbitkan penerbit komersial. Tujuannya sama: nylimur. Sekarang, entah berhasil atau tidak usaha menerbitkan wacana seperti Lakhes untuk menylimurkan dari kondisi krisis yang terjadi, semuanya terserah pada kita sendiri: mau hanyut atau menentang. Pesan Lakhes jelas: wani yo wani ning ojo kewanen. Keberanian versi Lakhes: Duduki dulu. Tapi yang sopan! Bisa juga: Tetap tenang. Tetap duduki!; Atau kalau pakai filosofi Bonek yang telah dimodifikasi—pendukung Persebaya—keberanian kuwi: Ngesruh boleh. Tapi jangan urakan! Ujud Nylimur Sing Liyo Yo wislah, Lakhes ujud nylimur dalam wacana filosofis. Tapi ada ujud yang lain. Dalam bentuk bacaan juga, dan lebih ngereni dari Lakhes; banyak disuka. Iki simak-en. Mitos kembali digemari. Tak mengherankan mitologi vampir begitu digandrungi anak-anak muda perkotaan yang tiap hari dijejali rasionalitas. Twilight begitu digandrungi ketika vampir berwajah tampan muncul diten-
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELTEMATIS
gah-tengah berbagai simbol modernismee: HP, café, mobil, dan lain-lain. Mitologi vampir yang sudah ada sejak zaman Yunani berhasil menerabas pada kerasional zaman modern. Sebelum sudah ada Harry Potter yang membuat kisruh dunia literasi seluruh dunia. Ketidakilmiah mitos justru dirasakan bisa menjadi pembebasan di tengah segala sesuatu yang serba ilmiah. Mitos memang ambivalen, dianggap benar tapi tidak diakui sebagai kebenaran. Ambivalensi inilah yang menempatkan mitos bertautan dengan metafora dan alegori—sesuatu yang tidak disenangi oleh modernisme karena tidak memberikan kepastian. Mitos tak hanya disenangi dalam sastra, tapi juga dalam politik. Mitos angka 9 yang dihubungkan dengan Partai Demokrat dianggap lebih menarik daripaka pat gu li pat kasus Century. Tak mengherankan kalau buku Pak Beye dan turunannya langsung dicetak 20 ribu eksemplar setiap kali dicetak. Buku tersebut tidak menawarkan sesuatu yang ilmiah sebagaimana biasanya pakar politik berbusa-busa dengan analisanya, tapi hal-hal yang tak pasti, bahkan bisa dikatakan sebagai gosip. Justru pembaca senang sebagaimana masyarakat lebih suka menyimak mitos tentang Mbah Petruk pada waktu Gunung Merapi meletus daripada mendengarkan paparan jarak aman dari Mbah Rono. Mitos juga disukai oleh anak muda yang suka nongkrong di café, tapi kritis terhadap keadaan. Karena tidak menemukan idola pada alam kenyataan, maka remaja dan generasi muda mencari idola dari dunia mitos. Ketika generasi muda yang dulu berjuang habis-habisan menumbangkan Suharto sekarang ikut asyik masyuk dengan kekuasaan, maka sosok seperti Soe Hok Gie diangkat kembali. Tokoh ini menarik bukan karena semata-mata sebagai aktivis angkatan 66, tapi juga karena berbagai mitos yang menyelimutinya. Maka tak mengherankan kalau kemudian buku Soe Hok Gie dicetak ulang beberapa kali. Tidak berhenti di politik. Simak pula mitos-mitos berbagai peradaban diangkat kembali dalam ramuan bukubuku manajemen. Orang tidak tergiur lagi pada manajemen modern yang menawarkan berbagai kepastian. Justru sekarang orang lari pada manajemen yang dilandasi mitos. Mitos dari Cina yang paling banyak di rak-rak buku. Tentu pada perkembangan selanjutnya mitos dari peradaban lain akan dicari sebagai antitesa dari manajemen modern. Masyarakat modern yang selama ini mengisi waktu libur dengan menghibur mata dan membuang uang di mall, sekarang pun tampaknya mulai bosan. Mereka bergeser ingin menikmati tempat-tempat yang menawarkan mitos. Tujuan wisata sekarang tidak hanya ke Singapura, Prancis, Amerika atau Australia, tapi mulai merambah tempat-tempat yang selama ini “terpencil”. Kota-kota yang menawarkan berbagai macam bangun atau lokasi yang dipenuhi dengan mitos yang berada di Amerika Latin, Rusia, Turki, Yunani, bekas Jerman Timur, Rumania, Honggaria, Tibet, mulai disasar. Maka buku wisata semacam Keliling Eropa Enam Bulan Hanya 1.000 dollar! Bisa dicetak ulang lebih dari
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
5 kali. Ia menawarkan kota-kota yang dipenuhi mitos. Dalam ranah hiburan orang juga merindukan mitos. Setelah era Thukul dan Sule, orang merindukan kembali masa Warkop DKI. Lawakan-lawakan Warkop yang kadang jorok tapi sarkatis dirindukan penggemarnya dan generasi yang tidak sempat menikmati. Maka ketika buku Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main terbit langsung disambut oleh pembaca. Ilmu pengatahuan pun ternyata juga merindukan Mitos. Atlantis yang pertamakali diangkat kembali oleh Plato dan telah menjadi mitos, sekarang diangkat lagi. Ketika buku Atlantis dan Eden in The East terbit langsung disambar oleh pembaca. Kedua buku ini menarik bukan semata tesis Atlantis dulunya ada di wilayah Indonesia, tapi juga karena mampu menampilkan berbagai mitos yang dipadukan dengan hasil-hasil penemuan ilmiah. Manusia juga ingin kembali ke “hati” setelah sekian lama terlalu percaya pada rasio. Dunia Sophie yang laris manis diawal 2000-an kini kembali dicetak ulang dan disambut dengan girang oleh pembaca—bandingkan dengan penerbitan Das Kapital dan bacaan sejenis yang dingin-dingin saja. Siapa mau membaca Kemiskinan Filsafat karya Marx? Sementara buku dengan label “true story” yang mampu menguras emosi diminati karena ia bisa menghibur diri. Orang membutuhkan sentilan-sentilan di hati yang mampu membuat air mata terurai. Modernisme yang menuntut orang tampil sempurna membuat manusia merindukan sesuatu yang bisa digunakan untuk mengejek diri sendiri. Orang ingin menertawakan diri sendiri yang telah sekian lama terjebak dalam pusaran modernisme. Inilah mengapa buku yang mengejek diri sendiri semacam buku-buku Raditya Dika begitu disukai. Pun, dengan buku-buku berkepala “Stupid”. Orang ingin memparodikan diri sendiri. Semua ini bentuk nylimur yang lain. Oleh protes ra oleh nesu. Itulah kenyataannya. Gerakan sibuk merespon isuisu musiman sehingga tak menyadari kenyataan baru tentang bacaan-bacaan yang digemari rakyat dan diproduksi oleh kapitalisme. Karena tak paham, maka kemudian ngomel-ngomel kenapa orang-orang tak mau gabung ketika demo BBM; malah rakyat sering ngomel karena demo sering bikin macet jalan. Ini contone: “Mahasiswa demo untuk perjuangkan rakyat tapi apaji, jalan mulai macet. Mahasiswa mulai bikin susah lagi,” kata Maharani, warga Jl Pierre Tendean, Makassar, dalam SMS yang dikirim ke hotline Public Service Tribun Timur. Apakah rakyat tidak merasakan dampak kenaikan BBM dan produk-produk kekuasan yang lain menggencet mereka sehingga justru misuh-misuh ketika dibelo? Embulah. Jawaben dewe. Yen tak jawab bayarane kudu tambah. Hasta Mitra dan Pembebasan: Melawan Nylimur Alhamdulillah. Sesuatu Banget. Setiap ada wacana yang nylimur, ada upaya untuk melawan. Ini juga keberanian
P R O B L E M F I L S A F A T 43
ARTIKELTEMATIS
bentuk lain, tapi tak ada hubunganya dengan Lakhes. Keberanian ini tak bersandar pada keteguhan jiwa yang khidmat, pengetahuan praktis maupun etis, dan tidak pula pada empati kaum fenomenologi. Sandaranya pada gerak sejarah masyarakat dalam meproduksi perlawanan lewat bacaan. Terdengar heroik sih. Tapi yo wis ben. Memangnya hanya Platon yang bisa heroik. Hasta Mitra (HM) muncul sebagai penerbit rumahan walaupun punya kantor di Senen. Dibanding dua penerbit besar lainnya, Gramedia dan Gunung Agung, HM hanya anak bawang. Didirikan oleh Pramoedya, Hasjim Rachman dan Joesoef Isak, HM muncul melawan wacana nylimur yang dilakukan oleh Orde baru tentang stabilitas nasional, swasembada pangan, tinggal landas, demokrasi pancasila—istilah-istilah yang bisa ditemukan dalam bahan ajar penataran P4. Dalam sejarah kesustraan Indonesia, ada dua novel yang bisa mengubah kesadaran rakyat ke arah gerak yang progresif: Max Havelaar dan Tetralogi Buru. HM berperan dalam menerbitkan Tetralogi Buru karya Pramoedya. Di tengah situasi yang represif, Tetralogi Buru bisa menembus kebisuan yang berlangsung semenjak dihancurkanya PKI. Menggoncang kesadaran intelektual dan mahasiswa yang galau karena tak kunjung menemukan jalan keluar dari situasi yang otoriter. Mereka menemukan wacana baru yang tak diajarkan di sekolah. Kasak kusuk, disksusi, mulai hidup kembali. Tentu saja HM dan karya-karya yang diterbitkan membuat kekuasaan kaget setengah mati. Mereka mengira keadaan baik-baik saja ketika ribuan pemikir, aktivis, seniman progresif telah dipenjarakan dan dibuang ke kampkamp. Mereka pikir yang telah disingkirkan itu akan bertobat setelah dibebaskan. Tapi nyatanya, muncul lagi biang kerok baru. Sebetulnya nggak perlu gumun kenapa orangorang yang telah dilumpuhkan itu menolak tunduk. Mereka ini merupakan produk dari situasi perdebatan wacana antara periode 1950-1965. Maya H.T. Liem dalam artikelnya Menjembatani Indonesia dan Dunia Luar; Penerjemahan di Indonesia 19501965, membabar pertarungan wacana lewat penerbitan dan penerjemahan pada tahun tersebut. Dua penerbit dengan kutub politik yang berbeda, Jajasan Pembangunan dan Jajasan Pembaruan, menjadi objek penelitian. Jajasan Pembangunan dipimpin oleh Roh Nieuwenhuis. Penerbitan ini mempunyai dua program, yakni menampilkan karya-karya Indonesia pada pembaca Eropa dan membanjiri masyarakat Indonesia dengan bacaan-bacaan dari Barat yang sesuai dengan gagasan humanisme universal. Sementara itu, Jajasan Pembaruan berada di kutub sebaliknya, menerbitkan
44
PROBLEMFILSAFAT
terjemahan karya-karya Engels, Maxim Gorki, Lenin, Stalin, Mao Zedong dan penulis kiri lainnya. Medan pertarungan gagasan lewat penerbitan dan penerjemahan ini telah memacu perkembangan kehidupan intelektual masyarakat Indonesia. Hasilnya, ya, alumnus-alumnus 1965 itu. Tak pernah goyah. Dan, perdebatan-perdebatan wacana macam itu juga terjadi pada era-era sebelum kemedekaan. Sudah banyak buku yang menuliskannya tentang hal itu. Woconen dewe. Oke to. Lanjut... Pembebasan, sebuah majalah atau sering disebut koran partai, diterbitkan oleh Partai Rakyat Demokratik. Sama dengan HM, tujuannya: melawan nylimur. Dari segi tampilan, Pembebasan memang tak mbejaji, ora artistik. Jangan samakan dengan Majalah T yang sudah sohor itu. Muncul di tengah Orde Baru yang garang-garangnya, Pembebasan memberikan wacana lain, yang jelas berhadap-hadapan dengan kekuasaan. Koran ini memang kewanen, tak mengikuti anjuran Lakhes. Dari segi isi maupun bahasa, jauh dari kesan ngono yo ngono ning ojo ngono. Bener-bener urakan. Istilah-isitilah keji dan jauh dari adat ketimuran ada dalam Pembebasan. Kode etik jurnalistik? Buang ke laut aje. Generasi Pembebasan juga tidak lepas dari diskusi wacana. Berbagai pemikiran dikunyah dan diperdebatkan, dengan bersandar pada perkembangan kondisi ekonomipolitik yang ada. Selain semangat Minke, teori-teori lain dari empat penjuru mata angin juga ikut meramaikan dunia persilatan wacana. Semua jurus diuji coba. Jadi, kelahiran Pembebasan bukan dari keajaiban tongkat Harry Potter, tapi dari pergulatan pemikiran yang berlangsung secara sengit. Saiki ojo heran, kenapa wani nerbitke Pembebasan; tentu bukan dari keberanian versi Lakhes, tapi dari dinamika ekonomipolitik yang diasah lewat wacana dan aksi-aksi massa. Tidak asal nyudruk seperti Lakhes, tidak hanya berwacana seperti Nikias dengan mempertimbangan hidup lebih baik dari mati atau sebaliknya, juga tidak dari keberanian Sokrates yang masokis itu. Mudheng to... Lanjut.... Seringkali ketika memproduksi bacaan, masalah penyebaran atawa distribusi, menjadi batu sandungan. Tapi, baik HM maupun Pembebasan memberikan kenyataan lain. Bahan bacaan itu bisa menyebar di tengah situasi yang represif. Walaupun jalur resmi dihambat, karya-karya Pramoedya bisa menyebar sampai ke mana-mana. Pun, dengan Pembebasan; orang rela melipatgandakan sendiri untuk membacanya. Hal-hal yang ngageti kayak gini yang ditakuti oleh rezim apapun. Tak bisa dihambat kalau melalui berbagai saluran di ruang-ruang gelap.
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELTEMATIS
Sekarang, yang penting, bisa nggak memproduksi bacaan yang bisa memikat rakyat, yang bisa menandingi bacaan-bacaan nylimur yang berjubel di rak toko buku. Kalau bisa, kagak perlu repot-repot lagi memikirkan distribusi. HM dan Pembebasan mung conto ketika nylimur lewat wacana ternyata bisa dilawan lan kebukti ampuh. Tapi, tidak usah dijadikan mitos conto iki. Apalagi ditaburi menyan dan kembang tujuh warna. Cukup dicerna saja. Tapi ngene yo. Sekarang blackberry membuat mudah. Ketika seorang lelaki ingin memperlihatkan keindahan senja di tepi laut pada pacarnya, ia cukup memotret senja itu, lantas seperdetik kemudian mengirimkan pada pacarnya melalui BBM, facebook atau twitter. Ia tak perlu berlaku seperti Seno Gumira Ajidarma dengan menuangkan dengan kata-kata dalam Sepotong Senja untuk Pacarku: “Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu. ‘Barangkali senja ini bagus untukmu,’ pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan kedalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.”
Jebule sekarang tak perlu repot-repot mengerat senja kemudian dimasukkan ke dalam amplop demi sang pacar. Memotong senja cukup dengan memotret melalui kamera Blackberry. Praktis dan aman. Yen wis ngene, apa perlunya meneliti bacaan rakyat? Ora ono gunanya. Lebih asyik BBMan atau ngetwit sambil posting foto atau berita buruh sing digebuki. Kuno pol ngomongke bacaan. Tahun jebot kuwi. Zaman Lenin masih sehat. Saiki terserah arep piye. Saya mau panen salak pondoh sik. Lupakan Lakhes. Wis wahaye mbot gawe. Wis yo.... Lereng Merapi. 23.03.2012. Daftar Kata-kata Sulit: Wani yo Wani ning Ojo Kewanen: berani ya berani tapi jangan terlalu berani Dewe: sendiri Nguping: mencuri dengar kok podo meneng klakep: kok hanya diam membisu yo wis: ya sudah Opo Kuwi: apa itu Yen gelem: kalau mau Yen kopyor tanggung dewe: kalau gegar otak tanggung sendiri Emplok-en dewe: makan sendiri Simpulno dewe: simpulkan sendiri. Nylimur: mengalihkan perhatian Ngono yo ngono ning ojo ngono: begitu ya begitu tapi jangan begitu Sing: yang Ojo urakan:jangan ugal-ugalan
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ra ngerti isine: tidak mengerti isinya mbulet: ruwet, kacau mumut: pusing kuwi: itu Ngesruh: bikin ulah Liyo: lain Yo wislah: ya sudah Oleh protes ra oleh nesu: boleh protes tidak boleh marah Contone: contohnya misuh-misuh:mencak-mencak dibelo: dibela Embulah: tak taulah Jawaben dewe: jawab sendiri bayarane kudu: bayarannya harus Saiki ojo: sekarang jangan wani nerbitke: berani menerbitkan Mudheng to: paham kan mung conto: hanya contoh Yen wis ngene: kalau sudah begini Ora ono: tidak ada sing digebuki: yang dipukuli ngomong: bicara Saiki terserah arep piye:sekarang terserah mau bagaimana Wis wahaye mbot gawe: sudah saatnya bekerja Wis yo: sudah ya Daftar Bacaan: Cathcart, Thomas & M Klein, Daniel. 2011. Plato ngafe bareng Singa Laut. Kanisius: Yogyakarta Foulcher, Keith. 2011. “Membawa Pulang Dunia; Lalulintas Budaya dalam Konfrontasi 1954-1960” dalam Ahli Waris Budaya Dunia. Pustaka Larasan & KITLV: Bali/Jakarta. Gonick, Larry. 2006. Kartun Riwayat Peradaban Jilid 1. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta. H.T. Liem, Maya. 2011. “Menjembatani Indonesia dan Dunia Luar; Penerjemahan di Indonesia 1950-1965” dalam Ahli Waris Budaya Dunia. Pustaka Larasan & KITLV: Bali/Jakarta. Platon. 2011. Mari Berbincang Bersama Plato: Keberanian (Lakhes). IPbublishing: Jakarta. Van Lente, Fred & Dunlavey, Ryan. 2007. Filsuf Jagoan 1. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta. Makalah: Mohamad, Goenawan. 2012. “Lakhes” . Makah pada bedah buku Lakhes di STF Driyarkara, 6 Maret 2012. Bahan lain: Gosip-gosip yang bertebaran di facebook, twitter, koran, radio, televisi. *Ragil Nugroho tinggal di Lereng Merapi.
P R O B L E M F I L S A F A T 45
ARTIKELNONTEMATIS
Melihat Revolusi Boleshevik dari Kacamata Lacan oleh HENRY STEPHEN
Telaah filosofis Jacques Lacan pada ranah politik merupakan salah satu yang menarik. Tidak hanya pada peran “minoritas” dalam hal ini adalah femininitas, namun juga pada pola ketidaksadaran yang diadopsinya dari pandangan Freud. Pada makalah ini saya ingin melihat perpolitikan Rusia, terutama masa-masa sebelum pra dan pasca revolusi Bolshevik di Rusia melalui kacamata filsafat Lacan. Oleh karena itu, pembahasan berisi pertama latar belakang filsafat Lacan, kedua, dasar-dasar pemikirannya, kemudian akan dilanjutkan dengan pembahasan mengenai sejarah Rusia yang akan memuncak pada revolusi Bolshevik dan dilanjutkan dengan melihat revolusi tersebut dengan kacamata lacan. Pembahasan akan diakhiri dengan kesimpulan dan refleksi dari penulis. Latar Belakang Sebelum melihat konsep-konsep pemikiran Lacan dan kaitannya dengan filsafat, ada baiknya jika kita melihat secara singkat apa yang menjadi latar belakang dari pemikirannya tersebut. Hubungan Lacan dengan filsafat sebenarnya tidak dimaksudkan secara “filosofis”, Namun demikian apa yang dituangkan di dalam karya-karyanya tidak berarti tidak filosofis. Jaques Lacan lahir di Paris pada tahun 1901. Pada awalnya, ia mendalami ilmu kedokteran di Sorbonne dan kemudian ia mendalami psikiatri di tahun 20-an. Minatnya pada bidang psikiatri inilah yang kemudian membawanya untuk menjadi seorang “Freudian”. Lebih jauh, minatnya terhadap karya-karya filsuf besar seperti Descartes, Hegel, Aristoteles dan juga pemikir lain di zamannya sebenarnya tidak didasari oleh alasan filosofis tertentu melainkan sebagai suatu upaya mengklarifikasi masalah-masalah yang terdapat di dalam teori Freud.1 Setidaknya dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Lacan dengan melihat dan berdialog dengan karya para filsuf tentu tidak dimaksudkan untuk mendemonstrasikan kegagalan para filsuf yang tidak sampai pada kesimpulan psikoanalis dan juga tidak untuk menggantikan kategori yang ada dengan yang dimilikinya atau mengulang kesimpulan-kesimpulan yang telah ada, melainkan karena komunitas psikoanalisis tidak cukup keras berusaha untuk menemukan ranah konseptualnya.2 Sebagaimana diketahui bahwa psikoanalisa sebenarnya berada di ranah klinis, dan itu berarti juga berada praxis. Dengan demikian, kekurangan konseptual sering kali muncul.
46
PROBLEMFILSAFAT
Psikoanalisa sendiri sebenarnya merupakan sebuah disiplin ilmu yang khas dengan segala terminologi, tekhnik, dan hal-hal khusus lainnya. namun demikian, bagi Lacan, psikoanalisa tidak akan dapat berkembang jika ia terlalu berpegang pada aturan-aturan yang baku. Oleh karena itu Lacan berdialog dengan karya-karya pemikir besar utuk mengembangkan psikoanalisa dan juga untuk menjejakkan psikoanalisa pada ranah konseptualnya. Salah satu hal yang menarik dari Lacan adalah “dialognya dengan Descartes. Lacan menelaah pernyataan Descartes Cogito ergo Sum, “aku berpikir, maka aku ada”. Kalimat tersebut sebenarnya bersumber dari metode kesangsian dalam epistemologi Descartes di mana pada akhirnya hal yang tidak dapat diragukan lagi dalam suatu proses memperoleh pengetahuan adalah “aku yang sedang berpikir”. Namun demikian, telaah yang dilakukan Lacan tidak dimaksudkan sebagai telaah epistemologi mengenai apa yang dapat kita ketahui secara pasti melainkan untuk menelaah problem yang diangkat oleh Freud mengenai representasi (Vorsellung) dan batas-batasnya. Sebagaimana yang diungkapkan Freud bahwa ada bagian dari alam prasadar (unconscious) yang tidak dapat dipresentasikan. Ia mengatakan: bahkan dalam interpretasi yang paling cermat atas mimpi sering kali terdapat celah yang kabur (obscure); Hal ini terjadi karena kita sadar selama proses interpretasi bahwa pada titik tersebut terdapat pikiran-
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELNONTEMATIS pikiran mimpi (dream thoughts) yang tak dapat diungkapkan dan lebih jauh isi mimpi tersebut tidak membuat kita mengetahui apapun. Ini merupakan inti dari mimpi, sebuah titik yang mengendap hingga tak dapat diketahui3
Di sini Lacan melihat bahwa sebenarnya bagian prasadar dari subjek merupakan bagian dari wacana kongkret. Lacan menyimpulkan bahwa bagian prasadar dapat dilacak melalui manifestasi-manifestasi simbolis seperti lapsus (lupa), mimpi, negasi, dan lain-lain. Lebih lanjut, terdapat bagian/aspek dari prasadar yang terdapat di wilayah nyata. Bagi Lacan pemisahan yang ada di dalam pikiran Descartes antara ‘berpikir’ dan ‘ada’ (cogito dan sum) merupakan suatu bentuk alienasi. Alienasi sendiri dipahami sebagai subjek yang, meskipun memiliki kemampuan untuk masuk dalam wilayah simbolis, menemukan diri kurang, tercerabut dari ‘ada’-nya. Dengan demikian, ‘subjek’ dari prasadar lebih dari sekedar fenomena simbolis dan ini juga berarti Lacan membuat kesimpulan yang berbeda dari Descartes bahwa berpikir dan ada tidak pernah berlangsung secara bersamaan, kita selalu dihadapkan pada perpecahan konstitutif antara yang simbolis dan yang nyata.4 Dasar Pemikiran Lacan dalam Pskiloanalisa Ketertarikan Lacan pada Psikoanalisa kiranya merupakan dasar argumen yang ia miliki untuk berdialog dengan para pemikir besar seperti Descartes, Hegel, Marx dan lain-lain. Namun demikian apakah yang menjadi pokok pemikiran Lacan? Setidaknya kita bisa mencermati pemikiran nya melalui tiga pilar dasar yang dimilikinya, yaitu: imajiner, simbolik dan riil. Apakah yang imajiner tersebut? Yang imajiner adalah suatu ranah di mana ego belum mengerti bahasa. Lacan menjelaskan yang imajiner ini dalam stadium cermin (Mirror state/Le stade du miroir) yang disampaikannya di kongres Asosiasi Psikoanalisa Internasional ke XIV. Di situ ia berbicara mengenai fase identifikasi yang terjadi pada bayi di usia enam bulan. Seorang bayi belum dapat mengenali dirinya. Pengenalan diri hanya dapat diperolehnya lewat sebuah “cermin”. Maksudnya adalah bayi mampu mengidentifikasi diri melalui citra diri yang terdapat pada yang lain. Di sini cermin tidak dapat dipahami secara harafiah karena ia bisa berupa mata ibu yang menghadirkan bayangan si bayi tersebut. Melalui cermin ini, bayi melihat totalitas dirinya yang eksterior atau Gestalt.5 Ia melihat keidealan dirinya melalui cermin dan sekaligus menemukan diri sebagai yang berbeda dari apa yang ada di dalam cermin. Dengan kata lain, dia terbelah menjadi diri dan citra dirinya. Setelah kita memiliki gambaran akan yang imajiner, marilah kita melihat akan yang simbolik. Apakah yang dimaksud dengan yang simbolik bagi Lacan? Yang simbolik adalah strukrur penanda atau bahasa. Di sini Lacan melihat bahwa pada bahasa terdapat unsur ketaksadaran. Di sini kita diingatkan akan pengaruh Freud pada Lacan. Dia melihat bahwa di
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
dalam ketidaksadaran inilah terdapat hasrat, dan hasrat manusia adalah hasrat akan yang lain.6 Yang simbolik ini ditandai dengan adanya kekurangan (lack). Oleh karena adanya kekurangan inilah, maka manusia menghasrati sesuatu. Contoh, seorang anak kecil menginginkan mobil-mobilan karena ia tidak punya mainan tersebut, atau jika pun ia sudah punya, ia belum memiliki mobil-mobilan yang memiliki kekhususan tertentu seperti yang terpajang di etalase toko. Pilar ketiga dari psiko analisa Lacan adalah yang riil. Apakah itu? Lacan memandang yang riil itu terbagi menjadi dua yaitu: ia sebagai sesuatu yang bersifat internal di dalam subjek namun ia adalah juga sesuatu yang nyata di luar subjek atau ia adalah bagian eksternal dari subjek.7 Berbeda dari yang simbolik, yang ditandai dengan kekurangan, yang riil tidak memiliki kekurangan. Hal lain yang kiranya perlu ditambahkan untuk menelaah masalah Rusia adalah masalah femininitas. Pernyataan Lacan tentang femininitas sangat kontroversial, terlebih pada kaum feminis. Dia menyatakan bahwa hanya ada satu libido, dan itu adalah falus. Untuk dapat mengerti pernyataan tersebut marilah kita melihatnya dari pengertian di dalam psikoanalisa. Dalam psikoanalisa seksualitas tidak dibagi menjadi feminine dan maskulin seperti yang ada pada ranah biologi, tidak pula seperti yang klaim kultural mengenai gender melainkan sebagai subjek bagi penanda. Maksudnya adalah jika “P” ditandakan oleh phallus, maka phallus merujuk pada “P”. Pada wanita tidak ada “P”, maka tidak ada penanda yang disebut sebagai phallus. Oleh karena itulah maka dapat dikatakan bahwa hanya ada satu libido dan itu adalah phallus. Menurut Lacan sendiri, feminintas hanya dapat hadir sebagai kemungkinan. Maksudnya jika kita berbicara mengenainya yang dapat dikatakan hanyalah ia mungkin ada. Namun sebelum lebih jauh melangkah, ada baiknya jika kita melihat pembagian yang dilakukan oleh Lacan mengenai seksualitas. Pertama sexuation graph. Di sini ia membagi seksualitas menjadi “dua”, yang satu berada di wilayah normal yaitu maskulin atau phallik dan yang kedua adalah feminine. No 1. 2.
Maskulin Эx Фx Vx Фx
Feminin Эx Фx Vx Фx
Pada no 1 maskulin Эx Фx menyatakan bahwa hanya ada satu subjek yang tidak termasuk pada penanda phallik Pada no. 2 maskulin Vx Фx menyatakan bahwa semua subjek ditandakan dengan penanda phallik Pada no. 1 feminin Эx Фx menyatakan tidak ada subjek yang tidak menjadi subjek bagi hukum simbolik (Phallus) Pada no. 2 Feminin Vx Фx menyatakan tidak semua perempuan adalah subjek bagi symbol kastrasi (phallus)
P R O B L E M F I L S A F A T 47
ARTIKELNONTEMATIS
Э = terdapat atau ada (partikular) V = Semua (universal) Ф = Phallus
Dari tabel di atas, dapat dilihat pada no. 2 bahwa pada sisi maskulin berlaku “hukum universal V (semua), sedangkan pada sisi feminine hal tersebut berlangsung partikular, yaitu tidak semua V. Begitu juga pada no. 1, di sisi maskulin menggunakan kalimat positif sementara feminine memakai kalimat negatif. Dari hal tersebut Lacan menunjukan bahwa femininitas hanya tampil sebagai negasi dan bersifat partikular. Ekuivocasi/kekaburan sebagai kondisi ada. Bagi Lacan relasi seksual itu adalah kegagalan dalam arti tidak ada kematangan libinal yang dapat menjaga seksualitas maskulin dan feminine pada sebuah harmoni yang timbal balik.8 Kegagalan ini baginya berada pada ranah maskulin. Di satu sisi feminin harus disingkirkan namun di sisi lain maskulin harus menyangkal diri demi pertukaran simbolis. Di sini dapat dilihat bagaimana Lacan bermain dalam dua kata, keniscayaan (falloir) dan kegagalan (faillir) yang dalam bahasa Perancis memiliki persamaan bentuk jika disandangkan pada orang ketiga, il faut. Untuk femininitas atau jenis lain selain phallus, menurut Lacan, kita tidak dapat mengatakan bahwa ia ada atau tidak ada, yang dapat disebutkan adalah ia mungkin ada atau ia bisa saja ada. Hal demikian terjadi karena femininitas berada pada wilayah kondisional dan partikular, oleh karena itu ia tidak bisa diberlakukan secara universal. Modus logika. Lacan beranggapan bahwa maskulinitas atau phallik tidak pernah gagal. Phallus ini merujuk pada laki-laki sebagai subjek bagi libido dan tidak ditentukan oleh insting seksual. Dapat dikatakan bahwa libido phallik mewakili semua yang dapat dibicarakan. Ia memiliki modus yang niscaya. Namun demikian, dengan modus logika kita dapat memformulasikan cara mengada yang berbeda-beda. Modus logika juga dapat membuat kita lebih ketat dari sekedar penilaian eksistensi belaka. Maksudnya adalah kita dapat secara lebih rinci menampilkan apa yang ada. Jika Socrates mengatakan bahwa ‘semua manusia itu pasti mati’, dan memang manusia tidak dapat menolak dari kondisi tersebut, maka itu adalah kepastian yang meyakinkan. Namun demikian, kita juga dapat mengatakan ‘saya manusia dan saya tinggal di Jakarta. Saya tinggal Jakarta bukan sebuah keniscayaan melainkan secara kebetulan/kontigen.9 Dengan demikian kontigensi femininitas ada mendampingi keniscayaan maskulinitas. Modus logis yang digagas oleh Lacan ini dapat dikatakan membawa konsekwensi pada relasi seksual antara maskulin dan feminin. Femininitas walaupun berada pada wilayah ‘mungkin’ dan kontigen tidak dapat dilepaskan begitu saja dari eksistensi yang maskulin.
48
PROBLEMFILSAFAT
Rusia Mengikuti pernyataan Lacan bahwa “concepts are deadened by routine use”10, marilah kita mulai menelaah mengenai Rusia melalui kacamata Lacan. Rusia merupakan sebuah bangsa yang besar, baik secara geografis maupun budaya. Secara geografis, wilayahnya membentang dari benua Eropa hingga Asia. Dari sisi budaya pun, Rusia memiliki kekayaan yang begitu berlimpah. Dalam kaitannya dengan nasionalisme, tentu merupakan tantangan tersendiri untuk menyatukan beragam bangsa yang membentang dari Eropa dan Asia, yang memiliki budaya yang beragam itu dalam suatu kesatuan nasional. Tiga hal yang berpengaruh pada perjalanan sejarah bangsa Rusia adalah kekristenan, reformasi dan akhirnya revolusi. Marilah kita telusuri satu per satu ketiga hal tersebut. Kekristenan masuk ke Rusia sejak abad X. Berawal dari Pangeran Vladimir I mengirimkan duta-dutanya untuk melihat dan mempelajari kehidupan masyarakat di berbagai negara. Di antara mereka ada yang ke Negara Islam seperti Bolgaria, ke Kaganat yang mayorita Yahudi, dan juga ke negara-negara Kristen di Eropa Barat. Dari laporan-laporan yang diperoleh dari para dutanya itu, ia sangat tertarik dengan ajaran Kristen. Keputusan Vladimir untuk memeluk agama Kristen ini menjadi penting bagi perkembangan nasionalisme di Rusia. Apa yang menyebabkan kekristenan dan ”pertobatan” Vladimir menjadi penting ialah karena ”pertobatan” dan kristenisasi yang dilakukannya itu kemudian menjadi hal yang menyamakan sekaligus membedakannya dari pergaulan bangsa-bangsa di Eropa Barat. Yang menyamakan adalah mereka tidak lagi dipandang sebagai bangsa pagan oleh tetangga-tetangganya di Eropa Barat karena mereka telah menerima Kristus. Yang membedakan adalah arus kekristenan yang mereka terima tidak sama dengan bangsabangsa Eropa Barat yang menerima kekristenan dari Roma, mereka menerimanya dari Bizantium. Pengaruh dari Bizantium ini kemudian memberikan corak baru dan khas bagi perkembangan kerusiaan mereka.11 Perjumpaan dengan kekristenan ini membuat agama menjadi hal yang begitu merasuk pada kehidupan politik negara. Berdyaev bahkan mengatakan bahwa Tsar sebagai pemerintah Rusia tidak hanya mengurusi kepentingan-kepentingan negara, melainkan juga urusan keselamatan jiwa.12 Peran negara pada urusan spiritual tersebut sebenarnya berasal dari Doktrin Roma III yang mereka anut. Di dalam Doktrin tersebut Rusia memiliki peran yang penting di dalam menjaga kemurnian ajaran-ajaran Kristus.13 Melalui doktrin tersebut, Rusia sebagai sebuah bangsa merasa memiliki panggilan untuk berperan di dalam menyelamatkan jiwa-jiwa melalui kemurnian yang mereka percaya adalah miliki mereka. Selain Doktrin Roma III yang begitu berpengaruh pada kehidupan orang Rusia, hal lain yang juga tidak dapat dipisahkan dari sejarah pemikiran mereka adalah re-
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELNONTEMATIS
*EconomyCapitalism (by Pjotr Theebe)
formasi yang dicanangkan oleh Tsar Peter Agung. Hal ini begitu penting karena lewat reformasi yang dicanangkan Tsar tersebut cakrawala bepikir mereka menjadi berkembang. Tsar Peter merupakan seorang pemimpin yang gemar akan pengetahuan, karena ia mendengar bahwa dunia Barat telah mengalami perkembangan ilmu dan teknologi, maka ia juga mengirimkan para pelajarnya untuk menimba ilmu di Eropa Barat. Persentuhan dengan dunia Barat ini menyebabkan bangsa Rusia berkenalan dengan pemikiran para filsuf Barat, seperti Kant, Hegel, Schelling, Schopenhauer, dan juga pemikir politik seperti Fourier, Saint Simon, dan Proudon. Kesadaran orang Rusia sebagai sebuah bangsa (dalam pengertian modern) kiranya tidak dapat dilepaskan dari peran Tsar Peter Agung (1672-1725).14 Pada abad ke-19, akibat kekecewaan yang terjadi, timbullah suatu kelompok yang menjadi cikal bakal perlawanan terhadap pemerintah saat itu. Antara 1838 dan 1848 terdapat sekumpulan pemuda yang mencoba mengkritik pemerintah. Orang-orang seperti Belinsky, Turgenev, Bakunin, dan Herzen dapat dikatakan sebagai cikal bakal dari gerakan yang disebut “Intelegensia”15. Wacana yang begitu mereka minati saat itu adalah bagaimana menemukan bentuk “manusia baru” untuk bangsa Rusia. Maksudnya adalah bagaimana sistem sosial yang ada, baik itu pemerintah maupun sistem kemasyarakatan, dapat membuat kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Pertanyaan “seperti apa sebenarnya ke-rusia-an orang Rusia” tersebut kemudian menjadi pemikiran mereka. Perdebatan intelektual yang terjadi di Rusia, mengenai masalah-masalah sosial, berdampak pada
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
pemahaman mereka mengenai apa itu manusia. Kerangka pemikiran yang menjadi latar belakang pada masa itu adalah sosialisme. Sosialisme hadir di Rusia dalam tiga bentuk. Pertama sosialisme utopis, beranggapan bahwa pembaruan sosial hanya dapat terjadi melalui perubahan-perubahan struktur pemerintahan.16 Kedua adalah sosialisme Narodnik17 yang percaya bahwa pembaruan tidak dapat tercapai melalui perubahanperubahan yang dilakukan oleh negara dengan mengubah sistem birokrasi dan struktur pemerintahan. Mengapa? Karena mereka percaya bahwa pada dasarnya negara adalah vampire yang mengisap darah rakyat. Ide utama dari kaum Narodnik adalah pemisahan atau pengambilan jarak terhadap kekuasaan pemerintah.18 Ketiga adalah sosialisme ilmiah atau juga dikenal dengan istilah sosialisme marxis. Bentuk pemikiran seperti sosialisme dan saintisme mewarnai pemikiran penganut sosialisme ketiga ini secara kental sebagai perlawanan terhadap feodalisme pemerintahan Tsar dan reformasi yang pernah dicanangkan Tsar Peter Agung.19 Perlawanan terhadap pemerintahan feodal Tsar, pada akhirnya membawa Rusia pada revolusi. Setidaknya tercatat tiga usaha revolusi untuk menggantikan pemerintahan Tsar dengan sosialisme. Revolusi pertama adalah revolusi 1905 – 1907 yang terbagi menjadi tiga tahapan yaitu: tahap pertama, pemogokan dan demonstrasi di berbagai kota yang terjadi tanggal 9 Januari sampai September 1905. Pada masa ini juga terbentuk Dewan Perwakilan Pekerja untuk pertama kalinya di kota Ivanovo – Voznesensk. Tahap kedua, ditandai dengan pemogokan nasional pada bulan Oktober 1905. Tahap ketiga ditandai dengan dua kali pergantian Duma (semacam Dewan Perwakilan Rakyat) tanggal 27 April – 3 Juni 1906 dan 20 Februari – 2 Juni 1907. Pada masa ini revolusi berhasil dibungkam. Revolusi selanjutnya adalah Revolusi Februari 1917 atau sering disebut sebagai Revolusi Borjuis Demokratis. Dalam revolusi ini Tsar Nikolas II berhasil diturunkan dari tahtanya pada tanggal 2 Maret 1917. Setelah kejatuhan Tsar dibentuklah Pemerintahan Sementara (Vremennoye Pravitelstvo). Namun demikian, terdapat tarik menarik kekuasaan antara Pemerintah Sementara dengan Dewan Pekerja dan Prajurit Petrograd yang menganggap bahwa revolusi belum berakhir. Revolusi terakhir adalah Revolusi Oktober 1917 atau lebih dikenal dengan sebutan Bolshevik. Revolusi inilah yang kemudian membuat Rusia menjadi Uni Soviet pada tahun 1918. Kaum Bolshevik beranggapan bahwa petentangan sosial yang tak terdamaikan selama ini merupakan hal yang tak dapat dihindari dan oleh karena itulah
P R O B L E M F I L S A F A T 49
ARTIKELNONTEMATIS
revolusi menjadi keniscayaan. Akhirnya, sebagaimana diketahui, revolusi Bolshevik inilah yang membawa Rusia menjadi negara adi daya dan negara komunis terbesar di dunia.
seorang mesias adalah sebagai pembebas manusia dari rasa ketertindasannya di dunia ini. Martin Kavka mendefinisikan mesias sebagai berikut:
Menelaah Revolusi Rusia melalui Lacan Rusia pada masa sebelum kekristenan masuk dapat dikatakan masih seperti bayi yang kemudian melihat kekristenan untuk mengidentifikasikan diri. Ia melihat diri di dalam kekristenan dan berusaha mengidentifikasi dan melihat keidealan diri melalui cermin tersebut. Mereka percaya bahwa kekristenan adalah identitas diri mereka. Tidak heran bahwa kemudian agama Kristen pun menjadi agama negara, dan bagi mereka yang menolak masuk agama Kristen adalah musuh dari negara.20 Namun demikian, sebagaimana Lacan menyebutkan bahwa melalui cermin seorang bayi mengenal diri sekaligus juga citra diri, maka kekristenan di Rusia adalah diri dan juga citra akan diri mereka. Maksudnya adalah mereka kini telah memiliki identitas “resmi” yanitu negara Kristen, namun juga identitas itu juga merupakan citra yang ingin dicapainya sebagai sebuah bangsa yang “Barat”. Keinginan untuk menjadi Barat kiranya tidak berhenti hanya dengan identitas Kristen belaka. Pada perjalanan sejarah, Tsar Peter melihat kekurangan Rusia dari Barat justru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itulah ia mengirimkan mahasiswa-mahasiswanya untuk belajar di Eropa Barat. Di sini unsur yang simbolik dalam pemikiran Lacan mendapat contoh kongkret. Rusia menghasrati sesuatu yang pada masa itu “hanya” dimiliki oleh dunia Barat. Ia menginginkannya karena ia kekurangan akan hal tersebut. Keinginan untuk menjadi Barat tersebut kiranya berada di dalam alam ketidaksadaran untuk beridentitas Eropa.21 Sebagaimana diketahui, masalah identitas geografis ini sulit bagi bangsa sebesar Rusia, yang di satu wilayah ia adalah Eropa namun di wilayah yang lain ia adalah Asia. Lantas, bagaimana dengan yang riil? Kekeristenan di Rusia merupakan yang riil. Maksudnya adalah ia berada di wilayah internal kerusiaan tetapi sekaligus juga ia berada di luar karena kekristenan bukan sesuatu yang lahir dari Rusia. Lebih lanjut, kekristenan sebagai yang riil memainkan peranan di dalam revolusi Rusia.
“Secara tradisional mesianisme yahudi tidak hanya merujuk pada penebusan umum Israel dan dunia dalam arti kongkret yaitu historis dan politis, melainkan juga merujuk pada harapan akan figur tertentu yang menjadi saluran dan perantara bagi Yang Ilahi. Figur yang diurapi, baik itu adalah raja, pendeta, atau orang suci, mengejawantahkan kerajaan ilahi dalam hubungannya dengan Bukit Zion (Mzm 2:6), Kediaman Allah (Yes 8:18). Dengan demikian, harapan akan figur mesianis yang membawa damai dan otonomi politik bagi Israel juga merupakan pengharapan akan kedekatan (nearness) Allah bagi bangsa tersebut, yang dicapainya melalui perantaraan figur manusiawi sang mesias.22
Mesianisme sebagai unsur Feminin dari Rusia (telaah tentang Revolusi) Kekristenan sebagai yang riil merupakan sesuatu yang bersifat internal sekaligus eksternal di dalam kehidupan bangsa Rusia. Bayang-bayang agama Kristen di dalam revolusi Rusia dapat diteropong melalui konsep mesianisme yang terdapat di dalam agama Kristen. Apa itu mesianisme? Mesianisme merupakan konsep yang berisi suatu pengharapan akan hadirnya sosok pembebas atau penyelamat manusia di dalam penderitaannya. Kata ini sebenarnya berasal dari bahasa Ibrani Masyiakh yang berarti yang diurapi. Peran yang diemban oleh
50
PROBLEMFILSAFAT
Konsep mesias ini kemudian masuk ke Rusia melalui kekristenan. Sebagaimana umat Kristen percaya diri mereka adalah umat pilihan Allah, maka orang Rusia pun mengklaim diri sebagai bangsa pilihan Allah. Klaim mesianisme ini, di dalam revolusi Rusia sering kali tidak nampak atau memang disembunyikan. Sebagaimana diktum Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu, bisa dipahami bagaimana klaim ini tidak pernah muncul secara vulgar di dalam revolusi. Di sini pemikiran Lacan tentang femininitas kiranya dapat diterapkan. Dalam revolusi di Rusia, yang menjadi “penggerak” utama adalah sosialisme yang memfasilitasi keinginan bagi kesejahteraan bersama. Sosialisme yang kemudian banyak diacu di masa menjelang revolusi adalah sosialisme saintifik atau sosialisme marxis. Dengan demikian hal-hal yang tidak material merupakan hal yang dianggap tahayul. Agama mewartakan kerajaan Allah di dunia sana, sementara yang dibutuhkan rakyat adalah “kerajaan” di dunia sini. Karena itulah maka agama beserta mesianismenya dipandang tidak masuk di dalam penggerak revolusi. Dengan kata lain, mesianisme itu tidak ada. Lacan mengatakan bahwa femininitas itu tidak ada karena ia tidak memiliki phallus yang merupakan simbol dari maskulinitas. Jika kita menempatkan mesianisme pada posisi feminine, maka dapat dikatakan bahwa mesianisme itu tidak ada. Yang ada adalah revolusi marxis sebagai hal yang maskulin. Revolusi menyingkirkan mesianisme karena mesianisme tidak memiliki semangat material (phallus). Relasi di dalam politik sebenarnya serupa dengan relasi seksual. Tidak ada keseimbangan atau harmoni di dalam relasi seksual, terlebih di dalam hubungan seksual. Oleh karena itulah revolusi itu tidak dapat serasi dengan mesianisme. Mesianisme hanya hadir sebagai kemungkinan belaka di dalam revolusi Rusia. Kalau pun ia dianggap ada, kehadirannya pun hanya ada di wilayah partikular semata dan dengan demikian tidak universal Secara logis, kemungkinan yang dimiliki oleh
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
ARTIKELNONTEMATIS
mesianisme dapat disejajarkan pada apa yang dikatakan di dalam logika Lacan. Jika Socrates mengatakan bahwa ‘semua manusia itu pasti mati’, dan memang manusia tidak dapat menolak dari kondisi tersebut, maka itu adalah kepastian yang meyakinkan. Namun untuk hal yang bersifat kemungkinan bukan berarti tidak ada logika. kita dapat mengatakan ‘saya manusia dan saya tinggal di Jakarta. saya tinggal Jakarta bukan sebuah keniscayaan melainkan secara kebetulan/kontigen. (144) di sini kontigensi femininitas ada mendampingi keniscayaan maskulinitas di dalam logika. Dengan kata lain, mesianisme ada mendampingi keniscayaan revolusi Rusia. Modus logis yang digagas oleh lacan ini dapat dikatakan membawa konsekwensi pada relasi politis antara revolusi dan mesianisme. Mesianisme walaupun berada pada wilayah ‘mungkin’ dan kontigen tidak dapat dilepaskan begitu saja dari eksistensi revolusi. Lebih lanjut, peran mesianisme di dalam revolusi Rusia memang tidak mungkin terbantah meskipun ia tidak pernah secara vulgar diungkapkan di dalam revolusi. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Ducan bahwa “mentalitas eskatologis” masuk ke dalam Bolshevisme melalui gerakan membangun kerajaan Allah di dunia diprakrasai oleh Anatoly V. Lunacharsky. Di sini Lunacharsky menyandingkan proletariat dengan Kristus.23 Pemikir lain seperti Sergei Esenin misalnya menyebut Rusia sebagai Nazaret yang baru. Puisi dari Andrei Bely yang berjudul ”Untuk Tanah Air” (Rodine) di tahun 1917 menyebut bahwa masa tersebut adalah masa kedatangan Kristus yang kedua sebab keadilan sedang ditegakkan. Sebagaimana orang Yahudi mempercayai bahwa mesias adalah pembebas manusia dari ketertindasan, dan sebagaimana orang Kristen memahami bahwa Yesus adalah pembebas, orang Rusia pada masa revolusi juga mempercayai bahwa pemimpin mereka yakni Lenin juga adalah pengemban ”misi Allah” untuk membebaskan umatnya dari ketertindasan dan penderitaan. Partai revolusioner Kiri dianggap sebagai perwujudan dari gerakan mesianis dan penderitaan rakyat saat revolusi merupakan hal yang harus dilalui sebagai sesuatu yang mirip dengan sengsara Kristus di kayu salib; Penebusan sendiri kemudian hadir melalui Revolusi Oktober atau Revolusi Bolshevik.24 Lenin sebagai pemimpin dari revolusi Bolshevik kemudian menjadi figur yang menentukan arah keselamatan setelah proses penebusan telah dilakukan lewat revolusi Bolshevik. Namun demikian, klaim sebagai mesias tidak berhenti pada Lenin. Lebih jauh Stalin-lah yang justru mendapat klaim yang lebih kuat sebagai figur Kristus masa kini. Lenin kemudian hanya seperti Yohanes Pembabtis yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan Kristus yaitu Stalin. Stalin dengan merangkul kekuatan-kekuatan lama (kekuatan religius) kiranya mendapat klaim yang lebih besar guna melanggengkan kekuasaan. Stalin mendukung gerakan ortodoksi sebagai bagian dari kebijakan “nasionalis – chauvinisnya”. Di sini ia
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
memberikan peran bagi gereja sebagai katalisator dan komponen perekat bangsa.25 Sebagai balasan, Gereja Ortodoks Rusia mendukung penuh kekuasaan Stalin. Ducan mengatakan: Sebagai balasan bagi apa yang telah diperbuat Stalin bagi gereja, maka gereja memberikan pujian yang begitu tinggi baginya. Kata-kata pujian itu sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang biasanya diberikan pada Yesus. Gereja menyebut Stalin sebagai “pembawa damai”, yang telah memberikan dirinya dengan sepenuh hati untuk menderita. Stalin adalah seorang yang dipilih oleh Penyelengaraan Ilahi dan ditempatkan untuk memimpin bangsa kita (Rusia) ke arah kemakmuran dan kejayaan.26
Dari hal-hal yang dikemukakan di atas, kiranya jelas bahwa femininitas tidak dapat dilepaskan dari maskulinitas. Meskipun maskulinitas harus “menyangkal” keberadaan feminintas tetapi hanya jika bersama-sama dengan feminintaslah maskulinitas dapat ada. Hal yang bisa kita lihat dari revolusi Rusia kiranya dapat dilihat melalui kacamata yang sama, yaitu bahwa mesianisme dan kekristenan walaupun harus “disingkirkan” perannya di dalam kehidupan saat revolusi, namun tidak dapat ditiadakan begitu saja. Dapat dikatakan bahwa mesianisme jugalah yang memungkin revolusi ada di Rusia. Penutup: Relevansi bagi yang Politis Apakah mungkin melihat relevansi pemikiran Lacan terhadap femininitas para ranah politis? Mengikuti pernyataan Lacan bahwa “concepts are deadened by routine use”, kiranya sah saja untuk memakai kacamata Lacan untuk refleksi politis. Machiavelli melihat bahwa politik itu seperti perempuan. Ia tidak dapat dikategorikan dan dikendalikan begitu saja tanpa adanya virtue. Di sini dapat dilihat perbedaan maskulinitas yang cendrung rasional dan dapat diprediksi dengan femininitas yang lentur dan dapat berubah-ubah. Jika dilihat dari kacamata Lacan, dapat dikatakan bahwa phallus itu rasional dan universal, selalu berlaku umum di mana saja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa phallus adalah penguasa, sementara mereka yang tidak punya phallus adalah rakyat. Jika mengikuti skema pada sexuation graph, maka penguasa itu bersifat niscaya dalam politik. Namun demikian, penguasa tidak dapat menjadi penguasa tanpa ada rakyat. Di sini hadir ekuivalensi dari penguasa di mana di satu sisi ia harus menegaskan eksistensinya, namun di sisi yang lain ia harus “mengorbankan diri” demi adanya kekuasaan. Dalam istilah Lacan dapat disebut “mengorbankan diri” demi adanya pertukaran. Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa hubungan penguasa dan yang dikuasai itu sama dengan hubungan antara maskulin yang niscaya dengan feminine yang kontigen. Meskipun yang kontigen tidak memiliki bentuk (phallus) namun ia menjadi sesuatu yang memungkinkan keniscayaan
P R O B L E M F I L S A F A T 51
ARTIKELNONTEMATIS
bagi maskulin. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa meskipun yang dikuasai itu tidak diketahui dan selalui hadir dalam bentuk yang “tak berbentuk” namun ia dibutuhkan untuk kekuasaan. Catatan Akir:
1. Charles Sheperdson. dalam Jean–Michel Rabate. Cambridge Companion to Lacan. Cambridge: Cambridge University Press. 2003. h. 119. 2. Ibid. h. 133. 3. Ibid. h. 119. 4. Ibid. h. 121. 5. Jacques Lacan. 2006. Écrits. (terj. Bruce Fink) London: W. W. Norton and Co. h. 76. 6. Lih. Ibid. h. 662. 7. Lih. Dylan Evans. 1996. An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis. London: Routledge. h. 163 – 164. 8. Jean–Mich Rabate. 2003. Op., Cit. h. 143. 9. Ibid. h. 144. 10. Ibid. h. 126. 11. A. Fahrurozi. 2005. Rusia Baru Menuju Demokrasi: Pengantar Sejarah dan Latar Belakang Budayanya. Jakarta: Yayasan Obor Indoesia. h 39 – 40. 12. Nikolai Berdyaev, 1979. The Russian Idea. Connecticut: Greenwood Press. h. 9. 13. Istilah atau Doktrin Roma ke tiga ini berasal dari biarawan bernama Filofei atau Philotheus di tahun 1511. Saat itu ia menulis surat kepada Tsar Vasilly III yang berbunyi: “Gereja Roma jatuh karena ketidakhormatan dan penyimpangan Apollinarian; Roma kedua, yaitu Konstantinopel, telah hancur karena pertempuran; Namun Gereja ketiga, Roma yang baru, yang kekaisarannya berdaulat: Gereja Katolik Apostolik yang kudus ... menyinari seluruh dunia dengan cahaya yang melebihi matahari. Hendaklah engkau tahu, O Tsar yang saleh, bahwa semua kekaisaran dari iman Kristen ortodoks telah bersatu di dalam kekaisaranmu. Engkaulah satu-satunya kaisar bagi semua umat Kristen di dunia... Karena dua Roma telah jatuh, dan yang ketiga ini akan terus berdiri. Tidak akan pernah ada yang keempat, karena kekaisaran kristianimu tidak akan berpindah ke tangan (kekaisaran) lain.” Seperti dikutib oleh Peter J.S.Duncan dalam Peter J.S.Duncan, 2000. Russian Messianism: Third Rome, revolution, Communism and after. London: Routledge. h. 11 14. Sebelum masa pemerintahan Peter Agung, Rusia tidak memiliki universitas umum sebagai sumber intelektual dan pada saat itu filsafat hanya ada pada institusi-institusi keagamaan. Oleh karena itu, modernitas di sana dimulai dari reformasi di bidang intelektual. Bdk. Frederick Copleston. 1986. Philosophy in Rusia. Indiana: University of Notre Dame Press. h. 2. 15. Intelegensia merupakan istilah khas Rusia yang timbul pada abad ke-19. Istilah ini tidak sama artinya dengan intelektual, intelegensia lebih bernuansa “propetik”. Para intelegensia beranggapan bahwa mereka memiliki ikatan yang sama, melebihi ide pemikiran yang mereka miliki masing-masing. Mereka yakin memiliki tugas khusus untuk “mewartakan” pembaruan sosial. Tugas mereka seperti seorang pendeta atau pastor namun dalam bentuk sekular. Jadi para intelegensia dapat dikatakan sebagai pendeta atau pastor sekular (secular priest). Lih. Isaiah Berlin. 1978. The Rusian Thinkers. New York: Penguin books. h. 117. Mereka juga dikenal sebagai sebuah “kelas” yang siap untuk dipenjara, menjalani kerja paksa bahkan kematian sebagai upah dari pemikiran mereka. Nikolai Berdy-
52
PROBLEMFILSAFAT
aev. 1979. The Russian Idea. h. 26. 16. Lih. Berdyaev ,1979. The Russian Idea. h. 99. 17. Narodnik berasal dari kata Narod (Haрод) yang berarti rakyat sehingga kaum Narodnik dapat juga disebut sebagai kaum populis. Lih. Copleston. 1986. Op., Cit. h.46, n.2. 18. Merupakan sebuah paradoks bagi kaum Narodnik untuk menolak negara karena pada tahun 1879 mereka sempat mendeklarasikan sebuah partai bernama Narodnaya Volya (Hapoднaя Boля) yang berarti kebebasan rakyat atau kehendak rakyat. D.S. Mirsky. 1952. Russia. A Social History. h. 161. 19. Hampir semua pemikir Rusia abad ke-19 dapat dikatakan sebagai jawaban dari reformasi yang dicanangkan Peter Agung. Lih. Nikolai Berdyaev. 1979. Op., Cit. . h. 4. 20. Copleston. 1986. Op., Cit. h. 4. 21. Pola budaya Barat merasuk ke Rusia meliputi hampir setiap bidang. Tidak hanya terhadap tata cara pergaulan, pola pikir dan sikap terhadap gereja melainkan juga pada tataran birokrasi dan militer. Contohnya, pada bidang militer istilah Jerman, Belanda atau Perancis dipakai untuk menggantikan istilah-istilah lama. Pada bidang budaya, sekitar tahun 1703, penggunaan alfabet Rusia dicoba untuk digantikan dengan alfabet latin. Pola pemerintahan teokrasi juga mulai berubah menjadi absolutisme sekular ala Barat. Lih. D.S. Mirsky, 1952. Op., Cit. h. 183-184. 22. Martin Kavka. 2004. Jewish Messianism and the History of Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press. h. 7. 23. Peter J.S.Duncan, 2000. Op., Cit. h. 52. 24. Ibid. 25. Ibid. h. 59. 26. Ibid.
Daftar Pustaka: Berdyaev, Nikolai. 1979. The Russian Idea. Connecticut: Greenwood Press. Berlin, Isaiah. 1978. The Rusian Thinkers. New York: Penguin books. Copleston, Frederick. 1986. Philosophy in Rusia. Indiana: University of Notre Dame Press Duncan, Peter J.S. 2000. Russian Messianism: Third Rome, revolution, Communism and After. London: Routledge. Evans, Dylan. 1996. An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis. London: Routledge Fahrurozi, A. 2005. Rusia Baru Menuju Demokrasi: Pengantar Sejarah dan Latar Belakang Budayanya. Jakarta: Yayasan Obor Indoesia. Kavka, Martin. 2004. Jewish Messianism and the Historyof Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press. Lacan, Jacques. 2006. Écrits. (terj. Bruce Fink) London: W. W. Norton and Co. Mirsky, D.S. 1952. Russia. A Social History. Rabate, Jean – Michel. 2003. Cambridge Companion to Lacan. Cambridge: Cambridge University Press. Sabari, Henry Stephen. 2008. Dostoevsky: Menggugat Manusia Modern. Yogyakarta: Kanisius. *Henry Stephen adalah mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta.
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
BENGKELREDAKSI
LAPORAN KEMAJUAN KERJA PENERJEMAHAN Condition of the Working Class in England in 1844 oleh Friedrich Engels oleh LAURA HARSOYO
“Pada tanggal 16 November 1843, Mr. Carter, pemeriksa mayat untuk Surrey, mengadakan pemeriksaan resmi pada jenazah Ann Galway yang berusia 45 tahun. Surat kabar melaporkan hasil pemeriksaan terhadap jenazah almarhum: Ia tinggal di White Lion Court No. 5, Jalan Bermondsey, London, bersama suami dan anak laki-lakinya yang berusia 19 tahun dalam sebuah kamar kecil tanpa satupun perabotan. Ada bagian lantai yang dibuka paksa, dan lubangnya digunakan sebagai kakus oleh keluarga ini. Ia terbaring meninggal di sisi putranya di atas tumpukan bulu yang berserakan di seluruh tubuhnya yang hampir telanjang tanpa sehelai kain atau selimut. Bulu-bulu itu begitu melekat di seluruh tubuhnya sehingga sang dokter tak dapat memeriksa jenazahnya sampai bulu-bulu itu dibersihkan, dan ia melihat tubuh wanita ini kurus kelaparan dan sekujur tubuhnya penuh dengan luka gigitan kutu”. Sepenggal kutipan di atas menggambarkan situasi yang
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
bagi saya sungguh keterlaluan dan sangat mengejutkan. Kutipan dari bab Kota-Kota Besar ini hanyalah satu contoh dari berbagai kesengsaraan yang menimpa kelas pekerja di Inggris pada tahun 1844 yang disusun oleh Engels. Karya klasik yang menjadi salah satu karya yang penting dari Engels, aslinya ditulis dalam bahasa Jerman dengan judul “Die Lage der arbeitenden Klasse in England” ini diterbitkan pada tahun 1845, untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris untuk edisi Amerika pada tahun 1886, dan diterjemahkan ulang ke dalam bahasa Inggris untuk edisi Inggris pada tahun 1891. Berawal dari keisengan mengunduh e-book gratis dari situs gutenberg, dari puluhan judul yang saya unduh, salah satunya adalah Condition of the Working Class in England in 1844 karya Engels. Judul buku ini saja sudah menarik karena saya sangat suka sejarah, juga membaca karya-karya Dickens yang banyak berlatar belakang revolusi industri
P R O B L E M F I L S A F A T 53
BENGKELREDAKSI
di Inggris. Tapi Oliver Twist dan David Copperfield hanyalah tokoh fiktif Dickens, sementara karya Engels ini berisi deskripsi yang nyata mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu. Saya jadi penasaran, seperti apa kondisi para pekerja saat itu? Setelah membaca beberapa bab pertama, buku ini ternyata sangat mengesankan sebagai jurnal sejarah dan penyelidikan ilmiah. Buku ini juga menarik karena memberikan banyak masukan mengenai kehidupan kelas pekerja biasa di Inggris di pertengahan abad 19 dengan segala kesengsaraan mereka. Bahkan perhatian yang besar dan perasaan kasihan Engels pun tampak jelas dalam jurnal ini. Sudah lama saya tidak mengerjakan tulisan terjemahan apalagi menerjemahkan sebuah buku, tapi saya tertarik untuk menerjemahkan buku ini, karena, bahkan untuk seorang awam seperti saya, buku ini memberikan wawasan mengenai sistem-sistem yang rumit yang dapat berlaku dalam sebuah negara/bangsa, juga memberikan wawasan mengenai interaksi faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik dan akibat-akibatnya dalam dunia nyata. Maka saya pun membaca ulang buku ini dengan lebih teliti. Untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sungguh tidak gampang, karena secara umum buku ini penuh dengan kalimat-kalimat yang panjang dan bertingkat, sehingga saya harus cermat menyusun ulang kalimat-kalimat itu tanpa menghilangkan maksudnya. Seperti biasa, ada banyak kata-kata sifat sebagai ekspresi untuk menggambarkan sebuah situasi yang ternyata hanya mempunyai satu padan kata dalam bahasa Indonesia, sehingga menyulitkan saya memberikan gambaran yang tepat dalam bahasa Indonesia. Saya juga harus teliti dengan istilah-istilah filsafat, politik, sosial dan ekonomi yang digunakan Engels dalam kalimat-kalimatnya. Halaman-halaman pertama diawali dengan Kata Pengantar, dimana Engels menyatakan alasan-alasan buku ini ia susun; kemudian dilanjutkan dengan halaman Dedikasi yang ditujukan Engels bagi para pekerja Inggris. Bab Pendahuluan ini menceritakan tentang latar belakang terjadinya revolusi industri: keadaan para penenun dan pemintal sebelum mesin ditemukan, bagaimana mesin-mesin itu terus berkembang dan mengambil alih pekerjaan rakyat, meluasnya pemakaian mesin di seluruh cabang industri di Inggris, mengubah struktur masyarakat dan menciptakan kelas baru, yaitu: proletariat. Juga mengenai perluasan sarana-sarana komunikasi di darat dengan pembuatan relrel kereta dan kanal-kanal. “Dengan temuan-temuan ini, yang terus menerus diperbaharui setiap tahunnya, tercapailah kemenangan kerja mesin terhadap pekerjaan tangan di cabang-cabang utama industri Inggris;
54
PROBLEMFILSAFAT
dan sejarah industri Inggris sejak saat itu hanya menceritakan bagaimana satu persatu pekerja tangan telah disingkirkan oleh mesin. Konsekuensi-konsekuensi dari hal ini, pada satu sisi, adalah jatuhnya harga semua komoditi manufaktur, kemakmuran perniagaan dan manufaktur, penaklukan hampir semua pasar asing yang tidak dilindungi, dan perbendaharaan kas negara dan kekayaan nasional yang mendadak berlipat ganda; di sisi lain, proletariat semakin berlipat ganda dengan cepat, kelas pekerja tidak memiliki harta benda dan keamanan pekerjaan, mengalami demoralisasi, keresahan politik, dan semua fakta lain yang menjijikkan bagi seorang Inggris yang hidup dengan nyaman. Masalah ini akan kita bahas pada halamanhalaman berikut ini.â€? Dalam bab Pendahuluan ini ada beberapa istilah kata dalam bahasa Inggris yang tidak ada padan katanya dalam bahasa Indonesia, seperti: mule, spinning jenny, spinning throstle, power loom, dan lain-lain yang akhirnya tetap dituliskan dalam bahasa Inggris. Saya juga harus mencari arti istilah-istilah industri tekstil, pertambangan dan industri besi, seperti worsted yarn, hardspun yarn, coke, pig iron, dan lain-lain. Sebagian ada padanan katanya, tapi untuk istilah yang tidak ada padanan katanya tidak diterjemahkan.. Bab berikutnya adalah Proletariat Industri, yang membahas tentang bagaimana terbentuknya proletariat industri, dan merupakan pengantar ke bab berikutnya: Kota-kota Besar. Bab Kota-Kota Besar ini cukup panjang, karena Engels menjelaskan kondisi-kondisi para pekerja di kotakota besar di Inggris, Irlandia dan Skotlandia: bagaimana hunian, pakaian dan makanan mereka serta kondisi mereka secara umum dengan sangat detil. Khusus mengenai hunian para pekerja, Engels sangat detil dalam menggambarkan area-area dan jalan-jalan di setiap kota besar, demikian detilnya ia seperti menjelaskan sebuah peta, sehingga cukup sulit untuk diterjemahkan. Berikut adalah deskripsi Engels tentang Little Ireland di Manchester, distrik dengan kondisi yang paling mengerikan: “Pondok-pondoknya tua, kotor dan dari jenis pondok yang terkecil, jalan-jalannya tidak rata, penuh dengan bekas kendaraan, dan sebagian tidak dilapisi batu dan tidak berselokan; tumpukan-tumpukan sampah, kotoran manusia, dan kotoran lain yang memuakkan bertebaran di dekat genangan-genangan air di segala penjuru arah; udara teracuni oleh gas dari kotoran itu, dan sesak dan gelap oleh asap dari selusin cerobong pabrik yang menjulang tinggi. Sekelompok wanita dan anak-anak berpakaian compang camping bergerombol, sama kotornya dengan babi-babi yang hidup dari tumpukan kotoran dan genangan air‌. Suku bangsa yang menghuni pondok-pondok bobrok ini, di balik jendela-jendela pecah, yang ditutupi dengan kain tahan air, dengan pintu-pintu yang terbuka, dan tiang pintu yang membusuk, atau di gudang bawah tanah yang gelap dan lembab, dalam kekotoran dan bau busuk yang tak terkira, dengan udara yang terkurung, seolah-olah mempunyai
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
BENGKELREDAKSI
maksud, ras ini pasti telah mencapai tingkat kemanusiaan yang terendah. Demikianlah kesan dan pikiran yang dipaksakan oleh penampilan luar distrik ini ke dalam kepala orang yang melihat.” Engels juga dengan detil menjelaskan bahan-bahan pakaian yang dikenakan kelas pekerja, compang-camping dan penuh dengan tambalan, serta: “Seluruh pakaian kelas pekerja itu, bahkan dengan anggapan pakaian itu dalam kondisi yang baik, sangat tidak sesuai dengan cuaca. Kelembaban udara Inggris, dengan perubahan temperatur yang seringkali tiba-tiba, dan menyebabkan penyakit selesma, membuat hampir seluruh kelas menengah memakai pakaian dari bahan flannel, dan kemeja dan syal dari bahan flannel sangat umum dipakai. Kelas pekerja bukannya tidak bisa berjaga-jaga dengan mengenakan pakaian tebal, tapi bahkan pakaian berbahan wol saja sangat jarang mereka miliki; dan bahan katun tebal, walaupun lebih tebal, lebih kaku dan lebih berat daripada wol, memberikan perlindungan yang kurang terhadap cuaca dingin dan basah, dan menjadi lembab dalam waktu yang lama karena sifat bahan yang tebal dan tidak memiliki kepadatan dan kerapatan seperti pada kain wol.” Dan seperti hunian dan pakaian, makanan untuk kelas pekerja sama buruknya, ia juga menjelaskan dengan detil bagaimana buruknya mutu bahan-bahan makanan yang dijual di pasar untuk kelas pekerja, dan kejahatan-kejahatan yang dilakukan para penjual untuk mendapatkan keuntungan dari kelas pekerja, misalnya dengan mempermainkan anak timbangan, serta mencemari bahan-bahan makanan dengan bahan-bahan lain: “Makanan harian seorang pekerja tentunya bervariasi sesuai dengan upahnya. Pekerja dengan upah lebih baik, khususnya pekerja dengan keluarga yang masing-masing anggotanya mampu mendapat upah juga, dapat makan enak selama keadaan itu bertahan; daging setiap hari, dan daging babi asap dan keju untuk makan malam. Bagi pekerja dengan upah yang lebih rendah, daging hanya tersaji dua atau tiga kali seminggu, sementara jumlah roti dan kentang diperbanyak. Menurun perlahan-lahan, kita lihat santapan hewani ini menyusut menjadi potongan-potongan kecil daging babi asap dan kentang; lebih rendah lagi, bahkan potongan daging babi dan kentang tadi lenyap, dan hanya tersisa roti, keju, bubur, dan kentang, sampai ke tingkat terendah, yaitu orang-orang Irlandia, dengan kentang saja sebagai satu-satunya makanan.” Dalam menerjemahkan bab yang panjang dan detil ini, ada teori atom Leibniz yang digunakan Engels ketika menjelaskan tentang keadaan orang-orang di kota-kota besar. Juga istilah “perang masing-masing manusia melawan semua manusia” (bellum omnium contra omnes) ini adalah deskripsi Thomas Hobbes mengenai keberadaan manusia
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
dalam hakekatnya yang ia tulis dalam De Cive (1642) dan Leviathan (1651). Ada beberapa istilah kata yang tidak ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia, seperti istilah kata court dan square. Kedua-duanya berarti “lapangan” dalam bahasa Indonesia, sementara yang dimaksud adalah sebuah lapangan dengan bangunan-bangunan perumahan pada keempat sisinya. Demikian pula istilah wynds, yang berarti jalan berkelok-kelok di Skotlandia. Istilah-istilah kata ini tidak diterjemahkan. Engels juga menggunakan beberapa istilah dari mitos Yunani, seperti cleaning the Aegean’s stables, dan Mons Sacer dalam deskripsinya. Bab berikutnya, Persaingan, membahas tentang masalah persaingan yang terjadi saat itu. Persaingan para pekerja Inggris dengan pekerja imigran Irlandia, persaingan antar kelas, dan juga antar individu dalam kelas-kelas itu sendiri, mempengaruhi besar kecilnya upah mereka: “Standar kebutuhan rata-rata dan peradaban rata-rata para pekerja ini telah menjadi sangat rumit karena kerumitankerumitan industri Inggris, dan berbeda-beda untuk jenis-jenis pekerja yang berbeda, seperti yang telah ditunjukkan. Sebagian besar pekerjaan industri membutuhkan keahlian dan keteraturan tertentu, dan untuk kualitas-kualitas ini, yang melibatkan tingkat peradaban tertentu, tingkat upah harus sedemikian rupa untuk menarik pekerja untuk mendapatkan keahlian itu dan melatih diri untuk keteraturan tersebut. Demikianlah bahwa upah rata-rata pekerja industri lebih tinggi daripada pengangkut barang, buruh harian, dll., dan bahkan lebih tinggi daripada buruh tani, sebuah fakta yang disebabkan karena ada biaya tambahan untuk kebutuhan hidup di kota. Dengan kata lain, para pekerja, secara hukum dan fakta, adalah budak kelas berkepemilikan, benar-benar seorang budak sehingga ia dijual seperti sebuah barang, nilainya naik dan turun seperti komoditas. Jika permintaan akan pekerja meningkat, harga pekerja meningkat; jika permintaan turun, maka harga mereka pun turun. Jika turunnya permintaan sangat besar sehingga sejumlah dari mereka tidak terjual, jika mereka tersisa sebagai stok, mereka dibiarkan diam saja; dan karena mereka tidak dapat hidup demikian, mereka mati kelaparan.” Kesulitan dalam menerjemahkan bab ini masih pada masalah menyusun kalimat-kalimat panjang dan bertingkat dan juga pemilihan kata yang tepat. Sekali lagi, istilah “perang seorang manusia melawan semua manusia” digunakan. Selebihnya ada referensi pada teori populasi Malthus, dan kutipan pernyataan Adam Smith dari karyanya Wealth of Nations. Imigran Irlandia adalah bab berikutnya, yang cukup pendek, dan menceritakan mengenai sebab-sebab dan akibat imigrasi bangsa Irlandia yang berbondong-bondong masuk ke Inggris untuk mencari pekerjaan. Akibatnya
P R O B L E M F I L S A F A T 55
BENGKELREDAKSI
terciptalah persaingan antara imigran Irlandia dan pekerja Inggris. Selain itu karakter dan adat istiadat orang-orang Irlandia ini mempengaruhi kondisi kelas pekerja Inggris. “Orang Irlandia mencintai babinya seperti orang Arab mencintai kudanya. Bedanya, orang Irlandia akan menjual babinya bila sudah cukup gemuk untuk disembelih. Lebih dari itu, ia akan makan dan tidur dengan babinya, anak-anaknya bermain dan mengendarai si babi, dan berguling-guling dalam kotoran bersama babi, dan menjadi sebuah pemandangan umum di semua kota besar di Inggris. Sangat sulit untuk menjelaskan keadaan kotor dan tidak nyaman di dalam rumah-rumah mereka. Orang Irlandia tidak terbiasa dengan adanya perabotan; setumpuk jerami, beberapa kain compang-camping yang tidak dapat dipakai sebagai baju, sudah cukup untuk tempat tidurnya. Ia tidak membutuhkan lebih dari sepotong kayu, sebuah kursi yang patah, sebuah peti tua untuk meja; sebuah ceret untuk teh, beberapa mangkuk dan piring melengkapi dapurnya, yang sekaligus juga ruang tidur dan ruang duduknya. Bila ia membutuhkan bahan bakar, semua yang bisa dibakar berada dalam jangkauannya, kursi, tiang pintu, lis layu, lantai, semuanya menguap melalui cerobong asap.” Pada bab selanjutnya: Hasil-Hasil, Engels membahas mengenai akibat-akibat dari kondisi-kondisi hidup para pekerja: keadaan kesehatan fisik dan mental kelas pekerja. Dimulai dengan keadaan kesehatan mereka, Engel menjelaskan berbagai penyakit akibat kondisi hidup dan wabah, yang menyebabkan tingginya angka kematian dalam kelas pekerja. Juga peyakit-penyakit yang diderita anak-anak kelas pekerja akibat kekurangan gizi. “… Salah satu obat yang paling berbahaya dari obat-obat paten ini adalah obat cair yang disiapkan dengan zat penenang dari bahan opium dan derivatifnya, umumnya laudanum, dengan nama Godfrey’s Cordial. Wanita-wanita yang bekerja di rumah dan mengurus anak-anaknya dan anak-anak orang lain biasanya memberikan obat ini pada anak-anak itu agar mereka tenang, dan banyak yang percaya obat ini juga menguatkan mereka. Seringkali mereka mulai memberikan obat ini pada anak-anak yang baru lahir dan terus diberikan, tanpa mengetahui efek-efek dari “penenang jantung” ini, sampai anak-anak itu mati. Semakin kebal sistem si anak terhadap opium, semakin banyak jumlah obat yang diberikan. Ketika stimulan (cordial) tidak berpengaruh, maka laudanum saja yang diberikan, hingga kadang-kadang mencapai lima belas sampai dua puluh tetes dalam satu dosis.”
sedikitnya sekolah-sekolah untuk mereka, dan begitupun tidak dapat mereka hadiri: “Selain itu, banyak anak-anak yang bekerja seminggu penuh di pabrik-pabrik atau di rumah, sehingga tidak dapat bersekolah. Sekolah-sekolah malam, yang seharusnya diikuti oleh anak-anak yang bekerja di siang hari, hampir ditinggalkan anak-anak itu atau dihadiri namun tanpa manfaat. Sungguh terlalu banyak meminta jika para pekerja muda, yang telah menghabiskan tenaganya selama duabelas jam seharian, harus ke sekolah dari jam delapan hingga sepuluh malam. Dan mereka yang mencoba hadir di sekolah ini biasanya tertidur, seperti kesaksian ratusan saksi mata dalam Children’s Employment Commission’s Report.” Sejauh ini kira-kira baru setengah dari isi Conditions of the Working Class in England yang sudah diterjemahkan secara kasar, dan masih terus berlanjut ke bab-bab berikutnya. Secara keseluruhan, masih banyak kalimat panjang yang harus disusun ulang, dan banyak istilah-istilah filsafat yang mempunyai padan kata khusus yang belum saya ketahui. Dan kutipan-kutipan di atas masih belum diedit dan direvisi oleh tim penerjemah.
Keadaan mental pekerja dipengaruhi dengan tingkat pendidikan para pekerja ini, dan Engels pun membahas masalah pendidikan untuk anak-anak kelas pekerja. Betapa
56
PROBLEMFILSAFAT
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
RESENSIRESENSI
Liberal Puitis Menggugat Liberal Gadungan oleh KHUDORI HUSNAN
Mukadimah Para liberalis adalah atom-atom yang berpikiran bahwa individu mendahului masyarakat; menghargai kebebasan sebagai keutamaan negatif yakni dengan cara tidak memburu kebaikan diri sendiri dengan caranya sendiri. Moralitas politik didasarkan pada hak-hak dan kesamaan individual serta berperan meregulasi kompetisi di antara kepentingan-diri para atom. Para liberalis mengakui suatu peran yang terbatas dari negara, yang membatasi kebebasan hanya pada mencegah perusakan terhadap yang lain dan harus tetap netral di antara konsep-konsep yang berkompetisi demi kehidupan yang baik. Diskusi tentang liberalisme, sebagai doktrin politik yang pandangan dasarnya sudah saya sebut di atas, hari ini mengisyaratkan ikhtiar tak kenal lelah dari para pendukungnya untuk memberi kesan semakin “santun,” semakin “manusiawi,” dan semakin “bernilai,” semakin kompatible dengan realitas sosial-politik kontemporer pada liberalisme. Arti penting upaya pemberian nilai ini dalam perbincangan konseptual seputar liberalisme mutakhir sangat terasa ketika saya membaca karya-karya dari para pemikir yang mengklaim dirinya sebagai pembela liberalisme misalnya yang paling menonjol adalah Ronald Dworkin dan Joseph Raz. Raz dan Dworkin lebih dikenal sebagai filosof hukum dari Amerika Serikat sehingga karya-karyanya berkaitan langsung dengan yurisprudensi dan ajudikasi. Tentang nilai itu sendiri Raz menulis “nilai adalah pemersatu terbesar, yang mengikat manusia secara umum. Hanya kekeliruan-kekeliruan tentang apa itu nilai serta tentang perkaraperkara lain yang dapat berdampak pada putusan-putusan tentang bagaimana mengejar apa itu nilai yang dapat mengakibatkan persengketaan.” (Value, Respect, and Attachment, 2004:2) Proyek liberalisme edisi revisi di atas pada taraf tertentu merupakan respons para pemeluk teguh liberalisme atas serangan tak kenal rehat dari para pengkritiknya yang bertebaran di antara berbagai aliran pemikiran seperti Marxisme, post-Marxisme, feminisme, komunitarianisme, postmodernisme, hingga poskolonialisme. Secara umum kritik yang dilancarkan mengambil siasat menghadapkan klaim-klaim pokok dari liberalisme (seperti pengagungan pada hak individual, persetujuan, toleransi, kebebasan berpikir, memahami secara cermat self-interest, pemisahan perkara privat dari perkara publik, mengunggulkan otonomi personal dan pilihan individual dengan bertumpu pada prinsip dasar kebebasan alamiah dan kesamaan seluruh manusia) dengan tatanan sosial mutakhir yang jauh lebih kompleks dan sangat majemuk.
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
Kritik atas liberalisme tak semata datang dari luar. Terdapat juga suara, meski masih terdengar sayup-sayup, dari dalam kubu liberalisme sendiri misalnya suara yang ke luar dari mulut Joseph Raz. Raz dalam The Morality of Freedom (1986), keberatan terhadap pandangan utama liberalisme politik perihal peran netral negara dalam perkaraperkara kontroversial seputar kehidupan yang baik secara moral. Pada titik ini Raz menjadi “binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang.” Kumpulan Raz itu seperti Robert Nozick, Ronald Dworkin, Bruce Ackerman, dan David Richards. Diskusi tentang liberalisme sebagai doktrin politik saya cukupkan di sini. Pemaparan di atas hanya berkehendak memperlihatkan bahwa liberalisme meski memiliki banyak wajah, untuk tak menyebutnya terlalu gampang “bertukar rupa dengan segera” adalah suatu paham yang dinamis. Kendati dinamis topik-topik kunci relatif masih bertahan dan dilestarikan seperti kebebasan alamiah, kesetaraan semua manusia, masalah keadilan, kemajemukan, peran negara yang minimal, dan seterusnya. Topik-topik utama itu adalah daya tarik utama liberalisme serupa ‘dian yang tak kunjung padam.’ Selain itu, pemaparan di muka barangkali berfaedah untuk dijadikan semacam barometer bagi setiap pihak, perorangan atau kelompok, yang kerap memaklumatkan dirinya sebagai liberalis. Meskipun saya sendiri selalu ragu pada pihak, orang atau kelompok, yang sering mengaku liberal, adalah liberal tulen dalam arti sesuai dengan doktrindoktrin dasar liberalisme dari mulai anggapan dasarnya tentang manusia, masyarakat, negara, dan lainnya. Liberal Gadungan dan Keadilan Sosial Jauh dari keriuhan konseptual di atas seorang penyair yang lahir di pedalaman Lampung Indonesia, bernama Binhad Nurrohmat menulis sebuah buku berjudul Liberal Gadungan, Front Penyair Indonesia (FPI) vs Jaringan Islam Liberal (JIL), Debat Publik di Jejaring Sosial Facebook (Penerbit Miring, 2012). Sebab-musabab terbitnya buku eksentrik ini ialah; sepanjang 15 Februari hingga 4 Maret 2012 penyair Binhad Nurrohmat dalam akun facebook-nya gencar melancarkan serangan-serangan pada JIL, (tentang JIL dapat dilihat pada halaman 89 s.d 91 di buku ini). Status berisi seranganserangan Nurrohmat atas JIL itu berikut aneka komentar, lokasi, tanggal penulisan status, termasuk kode ‘suka,’ dan lain-lainnya diambil oper dan dirangkum dalam buku ini. Jadi, bisa dibayangkan keeksentrikkan buku ini.
P R O B L E M F I L S A F A T 57
RESENSIRESENSI
Pembaca akan menemukan komentar-komentar spontan yang blak-blakan, urakan, nakal, brutal, jenaka, dan terkadang tak nyambung dengan isi status. Tapi kendati demikian terdapat juga yang serius. Unsur lain yang menjadikan buku ini menarik tentu karena faktor penulisnya, Binhad Nurrohmat, seorang penyair (seniman). Nurrohmat melalui buku ini secara sadar melibatkan diri dengan persoalan-persoalan yang tak bersangkutan secara langsung dengan kesenian dalam artinya yang harafiah. Sepanjang saya ketahui sangat jarang, untuk tak mengatakan tak ada, seniman zaman sekarang, khususnya penyair, yang berani secara langsung dan terbuka berhadap-hadapan dengan medan baru yang tak ada kaitannya dengan bidang kreasi puisi. Nuansa umum dari buku ini sendiri tercermin dari kutipan panjang berikut, bagian ketika Nurrohmat menulis dalam statusnya: JIL HANYA MENERBITKAN BULETIN/JIL TAK MENERBITKAN JURNAL PEMIKIRAN ISLAM. JIL berdiri di atas prasangka yang mereka ciptakan sendiri, namun prasangka ini tak mereka lakukan yaitu pembaruan pemikiran Islam. JIL mengkritik kelompok anti-pembaruan pemikiran Islam. Apakah JIL kelompok pembaruan pemikiran Islam? Tak ada bukti sampai sekarang apakah JIL menerbitkan jurnal pemikiran Islam? Tidak. JIL hanya menerbitkan buletin. Keren. Buletin. Jek!
Status tersebut kemudian dikomentari oleh orangorang yang sudah menjalin pertemanan dengan Nurrohmat di facebook salah satunya Akhmad Sahal, seorang partisipan JIL, ia kini sedang menempuh pendidikan doktoral di Amerika Serikat, bagini komentar Sahal: Akhmad Sahal: Binhad Nurrohmat: saya males naggepi sblm kamu paham apa itu pluralisme. belajar yang rajin dulu di stf. Binhad Nurrohmat: Tak mampu kok ga mampu mengaku malas. Culun deh. Pluralisme tak harus dipelajari di STF, Kang Mas Akhmad Sahal. Pluralisme bertebaran di desa-desa. Sudahlah kalau tak bisa menanggapi, mengakui saja JIL itu tanpa pembaruan pemikiran Islam. Akhmad Sahal: pluralisme bertebaran di desa2?wkwkwkwkwkw.... (hal 41-42).
Pertukaran komentar di atas bagi saya menarik karena mencerminkan adanya dua sudut pandang berbeda dalam memahami pluralisme, paham yang menekankan penghargaan dan pengakuan akan kemajemukan. Kesan saya, bagi Sahal pluralisme harus dicari tahu dengan belajar dan dipahami terus menerus. Sebagai sebuah ajaran, pluralisme termasuk tema kunci dalam liberalisme yang nota bene anak kandung dari apa yang dalam sejarah pemikiran Barat modern disebut Pencerahan. Sebaliknya bagi Nur-
58
PROBLEMFILSAFAT
rohmat pluralisme tak harus dicari tahu, atau dipahami. Pluralisme tertanam dalam nilai-nilai tradisi dari satuansatuan komunitas tertentu. Yang perlu dilakukan barangkali bagi Nurrohmat, pluralisme harus dihayati dan dirasakan. Sayangnya, pertukaran komentar yang menarik ini terhenti tanpa kejelasan selanjutnya. Serangan paling serius, dari sekian banyak serangan-serangan lain yang oleh Sahal disebut “dakwaan kalap” (hal. 67) itu ialah ketika Nurrohmat menyatakan: “JIL mengklaim liberal sebagai prinsip anutan mereka. Ternyata klaim ini hanya kedok. Dalam profil JIL dinyatakan bahwa: ‘Nama Islam Liberal menggambarkan prinsip-prinsip yang kami anut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas’ namun apa sikap JIL terhadap korban struktur sosial-politik yang menindas seperti kasus Lumpur Lapindo dan Freeport? JIL bungkam.” (hal. 145; penegasan serupa pada hal. 91, 105, dan 116, )
Liberal gadungan itu sendiri menurut Nurrohmat masih di halaman yang sama (145) ialah: Dan setelah terdesak di sana-sini tentang realisasi prinsip anutan mereka itu Akhmad Sahal/JIL mendadak hendak melepas klaim liberal dari JIL. (pendapat Sahal yang dikutip Nurrohmat) “Nah, kalau ternyata label ‘liberal’ dianggap terlalu ‘serem’ dan menimbulkan waham, salah paham, fitnah, perbincangan yang kontrproduktif, maka bagi saya nggak masalah kalo label itu diganti dengan apa kek terserah. Atau tanpa label juga monggo saja. Namanya juga sekadar instrumen. Lagipula, bukankah salah satu sikap liberal itu adalah sikap skeptis, termasuk terhadap diri sendiri?” Manurut saya, upaya melepas klaim liberal dari JIL ini lantaran terdesak dan plinplan, bukan karena sikap skeptis. Inilah contoh nyata sikap liberal gadungan.
Nurrohmat mempertanyakan secara kritis komitmen JIL terhadap apa yang disebut keadilan sosial (social justice). Salah satu tema kunci dalam liberalisme selain keadilan politik (political justice). Kegalauan Nurrohmat yang berbuntut omelan-omelan itu kian menjadi-jadi karena klaim-klaim JIL tentang liberalisme yang diusung, dalam pemahaman Nurrohmat, gagal ketika dihadapkan dengan kenyataan konkret yang dihadapi umat Islam, misalnya mayoritas penduduk beragama Islam yang menjadi korban dari katastrofi banjir lumpur panas Lapindo di kawasan Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur, yang mengakibatkan tergusurnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya mereka. Sementara itu bagi Nurrohmat liberal gadungan mengacu pada ketaksesuaian antara pernyataan keliberalan yang diusung JIL, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam profile situs resmi JIL, dengan kenyataan, praktik atau kiprah JIL, melalui agen-agennya, di lapangan. Dari segi pola berpikir, lontaran argumen Nurrohmat ini sangat
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
RESENSIRESENSI
sulit dibantah karena semua peristiwa atau fakta yang ia gelar telah atau masih berlangsung. Kendati demikian, kritik Nurrohmat berpotensi mengarah pada generalisasi yang berlebihan (over-generalization). Nurrohmat menunjuk pada satu atau beberapa fakta obyektif dan empirik, adanya luapan lumpur panas di kawasan Sidoarjo yang mengakibatkan musnahnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya penduduk, lalu Nurrohmat menarik suatu kesimpulan umum tentang JIL yang tidak jelas orientasi keliberalannya. Terlepas dari hal-hal di muka yang paling menarik dari buku ini ialah posisi Nurrohmat sebagaimana tercermin dari pernyataan berikut: Kasih sayang adalah hak semua manusia. Masyarakat tanpa kasih sayang adalah mesin. Perjuangan tanpa kasih sayang adalah kekerasan. Agama tanpa kasih sayang adalah bid’ah. Ekonomi tanpa kasih sayang adalah kerakusan. Politik tanpa kasih sayang adalah drakula. Kekuasaan tanpa kasih sayang adalah penindasan. Peradaban tanpa kasih sayang adalah gombal. (Binhad Nurrohmat, Deklarasi Kasih Sayang, hal., 13)
Pernyataan Nurrohmat di atas paralel dengan apa yang pernah dikemukakan para penyair lain, misalnya yang paling terkemuka, Rendra yang menyebut “Inilah sajakku/ pamplet masa darurat//apakah artinya kesenian/bila terpisah dari derita lingkungan//Apakah artinya berpikir/bila terpisah dari masalah kehidupan// serta dari Wiji Thukul yang memekikkan “hanya satu kata, lawan!”. Artikulasi puitis Rendra, Thukul, disusul Nurrohmat ini ingin saya sebut sebagai liberalisme puitis karena pernyataan tersebut lahir dari mulut seorang pribadi yang sangat menyadari hak-hak personalnya, tanggung jawab sosial pada masyarakatnya dan paling utama, di analisis yang penghabisan, artikulasi puitik tersebut memperlihatkan empati mendalam pada pihak-pihak yang tertindas, dikucilkan, dan disingkirkan dari segala bentuk pergaulan sosial formal. Liberalismu puitis tidak berangkat dari kepiawaian teoritik tapi sebaliknya bertumpu pada kejujuran dan keberanian menentukan sikap. Liberalisme puitis selalu berorientasi pada ‘apa yang seharusnya’ bukan pada ‘apa yang ada.’ Kendati demikian bukan berarti ‘apa yang seharusnya’ harus disingkirkan dari segala diskusi tentang ‘apa yang ada’ karena ini mustahil sebab ‘apa yang seharunya’ juga bertolak dari ‘apa yang ada,’ setidaknya dalam kasus konfrontasi Nurrohmat dengan JIL. Paling mungkin ialah antara ‘apa yang seharusnya’ dengan ‘apa yang ada’ selalu ‘bertukar sapa.’ Ketika seorang penyair memikirkan perihal musnahnya kasih sayang (cinta) pada hampir keseluruhan bentuk interaksi dan pranata sosial maka sudah seharusnya kasih-sayang disertakan dan dilibatkan secara penuh tak semata sebagai slogan eolok dan heroik seperti pernah dilantunkan Bono dalam One yang terjemahan bebasnya adalah //Anda mengatakan cinta adalah sebuah kuil pemujaan/cinta adalah hu-
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
kum yang lebih tinggi//Anda mempersilahkan saya untuk masuk/tapi kemudian Anda mengharuskan saya merangkak//. Penutup Akhirul kalam, buku yang pada keseluruhannya berisi kritikan atas JIL telah diterbitkan, mungkin juga sudah dibaca oleh sekian banyak orang. Tentu ini baru laporan sepihak dalam artian porsi terbesar adalah milik Binhad Nurrohmat. Agar lebih terhormat, sebagai pendukung liberalisme yang menekankan hak pribadi, baik jika JIL menggunakan hak jawabnya dengan menuliskan semacam tanggapan atas serangkaian kritik yang dilontarkan Nurrohmat ini. Kritik, kata Ronald Dworkin si pembela liberalisme itu, adalah sekutu terbaik bagi penulis dan penulis yang beruntung selalu memiliki juru kritik yang berbobot. (dalam Justine Burley (ed) Dworkin and His Critics With Replies by Dworkin, Blakcwell Publishing, 2004, hal., 341) Kutipan dari filosof Epikuros, yang tanpa mengurangi rasa hormat padanya saya modifikasi ini, mungkin berguna bagi JIL dalam menanggapai kritian-kritikan dari Nurrohmat; Atau JIL mau mengatasi kritikan Binhad Nurrohmat tetapi dia tidak dapat melakukannya, atau JIL dapat tetapi tidak mau melakukannya, atau dia tidak dapat dan juga tidak mau melakukannya. Apabila dia mau tetapi tidak dapat maka dia lemah, sesuatu yang tidak cocok untuk JIL. Kalau JIL dapat tetapi tidak mau, maka dia jahat, dan inipun seharusnya asing bagi JIL. Kalau JIL tidak mau dan tidak dapat maka dia sekaligus jahat dan lemah dan karena itu juga bukan JIL. Tetapi kalau dia dapat dan mau, hal yang memang patut untuk JIL, bagaimana menanggapi kritikan Binhad Nurrohmat yang tidak datang dari ruang kosong itu? (pernyataan Epikurus ini saya ambil dari buku Paul Budi Kleden, Membongkar Derita, Teodice: Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi, Penerbit Lamalera, 2006, halaman 230).
*Khudori Husnan adalah warga negara Indonesia biasa.
Judul Buku: Liberal Gadungan, Front Penyair Indonesia (FPI) vs. Jaringan Islam Liberal (JIL). Penulis: Binhad Nurrohmat. Penerbit: Penerbit Miring, Jakarta. Tahun: Maret 2012. Tebal: viii+154 halaman. ISBN: 978-1-105-58348-3.
P R O B L E M F I L S A F A T 59
Sejarah dal
Buruh-buruh Australia bersolidaritas terhadap kemerdekaan Indnesia di tahun 1945. Kapal-kapal Belanda tidak diberi bahan bakar, dan para pekerja pelabuhan tidak mau menaikkan muatan bahan persediaan ke atas kapal Belanda. Sumber foto http://www.dfat.gov.au/aii/publications/bab11/index.html
60
PROBLEMFILSAFAT
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
am Gambar Sanksi yang dikenakan kepada buruh di perkebunan Sumatera Timur jika lalai atau lari dari kontrak, berupa ketentuan perusahaan yang sangat mengikat. Di dalam sidang Volksraad, masalah ini diperjuangkan oleh Thamrin. Sumber foto http:// www.jakarta.go.id/ jakv1/encyclopedia/detail/2398
Kuli berkebangsaan Cina di sebuah perkebunan di Deli pada tahun 1900. Sumber gambar phesolo.wordpress.com
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
P R O B L E M F I L S A F A T 61
MASASALALOE
Perkampungan koeli di perkebunan kopi, Jawa 1890. Sumber: phesolo.wordpress.com
Pidato pimpinan serikat buruh Belanda Blokzijl di hadapan massa buruh konggres SOBSI 1947. Sumber: Wikipedia.
62
PROBLEMFILSAFAT
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
MASASALALOE
Rakyat Jawa yang didatangkan ke Suriname sebagai Kuli Kontrak. Sumber http://mozaicdunia.blogspot.com/2010_08_01_archive.html
Presiden Sukarno menyaksikan pawai peringatan Hari Buruh Internasional di Jogjakarta, 1 Mei 1948. Dalam salah satu pidatonya ia mengatakan bahwa kaum buruh dan kaum tani yang jumlahnya 90% daripada Rakyat Indonesia harus menjadi motor dan soko guru dalam masyarakat adil dan makmur. Sumber: ANTARA/Ipphos/hm/48
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012
P R O B L E M F I L S A F A T 63
ISSN 977 2088-8287
DAFTAR ISI : 1.
EDITORIAL …………………………………………….. 2
2. DESKRIPSI – “HABIB RIZIEQ: SEBUAH WAWANCARA, SEBUAH KESIMPULAN” OLEH RARA SEKAR LARASATI …………………………………………….. 4 3. DESKRIPSI – “DUNIA JAGOAN” OLEH M. FAUZI …………………………………………….. 9 4. ARTIKEL UTAMA – “SOSIALISME DAN ILMU PENGETAHUAN” OLEH MARTIN SURYAJAYA …………………………………………….. 17 5. ARTIKEL UTAMA – “NUBUAT PENDEKAT SYAIR BERDARAH DI BUKIT MERIANG” Perihal Logika Produksi Komoditi dan Politik Etika ‘Intelektual’ dan Massa (Bagian II) OLEH ANOM ASTIKA …………………………………………….. 22 6. ARTIKEL UTAMA – “TRI TUNGGAL MAHA UANG” Uang Sebagai Nilai, Uang Sebagai Komoditas, dan Uang Sebagai Harga OLEH BERTO TUKAN …………………………………………….. 28 7. ARTIKEL UTAMA – “KOLONIALISME, KESATRIA BERJUBAH PERAK DI PASAR INDUK” Sejarah Mata Uang Nusantara dari Abad ke-17 Hingga ke-19 (Bagian II) OLEH YOVANTRA ARIEF …………………………………………….. 33 8. ARTIKEL TEMATIS – “KEBERANIAN: WANI YO WANI NING OJO KEWANEN” OLEH RAGIL NUGROHO …………………………………………….. 39 9. ARTIKEL NON TEMATIS – “MELIHAT REVOLUSI BOLESHEVIK DARI KACAMATA LACAN” OLEH HENRY STEPHEN …………………………………………….. 46 10. BENGKEL REDAKSI – “LAPORAN KEMAJUAN KERJA PENERJEMAHAN” Condition of the Working Class in England in 1844 OLEH LAURA HARSOYO …………………………………………….. 53 11. RESENSIRESENSI – “LIBERAL PUITIS MENGGUGAT LIBERAL GADUNGAN” OLEH KHUDORI HUSNAN …………………………………………….. 57 12. MASSALALOE – “SEJARAH DALAM GAMBAR” …………………………………………….. 60
64
PROBLEMFILSAFAT
NO. 03 / TAHUN I / APRIL 2012