ISSN 977 2088-8287
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
jurnal AGITPROP
TENTANG UANG DAN NILAI - SEJARAH MATA UANG INDONESIA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL (I) - POLITIK ETIKA DAN NEGARA ETIS KAUM BORJUIS - NUBUAT PENDEKAR SYAIR BERDARAH DI BUKIT MERIANG (I) GERAKAN MAHASISWA DI BAWAH ORDE BARU HERMENEUTIKA RORTY - DENYAR MAX HAVELAAR DI BUMI MANUSIA MEREKA YANG DISINGKIRKAN, MEREKA YANG DILUPAKAN - LENIN DAN PEMBASMIAN PENJAKIT2 BURDJUIS KETJIL
UANG-NILAI-ETIKA
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
PROBLEMFILSAFAT
1
EDITORIAL
Kawan, Sampai pada waktunya pagi menyambut terang tak cukup mampu ku resap kata demi kata dari kalimat yang kau tuliskan untukku. Benar, tulisanmu bisa ku baca dengan baik. Namun semakin ku baca dari satu kalimat ke kalimat yang lain, berikut istilah-istilah aneh yang kau pergunakan, semuanya kerap membuatku seperti Malin Kundang yang dengan sengaja melupakan ibu kandungnya. Sehingga aku selalu mengalami kesulitan untuk mencari gambaran kongkret dari penjelasan-penjelasanmu. Pun demikian sulit realitas kongkret mencari peluang berpartisipasi di dalamnya. Sampai akhirnya penjelasan-penjelasanmu bagai tak ber-akte kelahiran. Coba perhatikan. Berulangkali kau sebut kata ‘sadar’, berikut kata-kata jadiannya: ‘kesadaran’ dan ‘penyadaran’. Sedang yang kedua, adalah ‘perubahan sosial’. Keduanya diikat melalui sebuah problem yaitu ‘kapitalisme’. Sehingga seandainya ketiga istilah tersebut dikalimatkan, kita bisa mendapatkan kalimat ini, “jika sadar akan kapitalisme maka perlu perubahan social”. Cukuplah kubahas soal kata ‘sadar’ saja dalam tulisan ini. Aku tidak pernah bisa menangkap dengan jelas. Tolong kau jelaskan kepadaku apakah ‘sadar’ ini berarti menjadi paham dengan segala kekurangan dan kelebihannya terhadap kapitalisme, ataukah ‘sadar’ ini bermakna keraguan politik terhadap kapitalisme? Ada kalanya pertanyaan barusan dijawab dengan logika proses, yaitu menjadi paham akan segala sesuatunya untuk mengajukan proposisi-proposisi politik. Oleh karenanya problem penindasan kapitalisme menjadi perlu untuk diselesaikan, dihapuskan penindasannya apabila terdapat pemahaman yang lengkap tentang kapitalisme. Jika memang demikian jawabannya, maka bagaimanakah realitas kapitalisme itu dapat berlaku apabila tidak terdapat pemahaman yang lengkap tentang kapitalisme? Begitu juga sebaliknya apakah mungkin ada pemahaman yang lengkap tentang kapitalisme tanpa ada realitas kapitalisme? Entah tak pernah juga kau jelaskan dengan penuh ketelitian, apakah yang kau maksud dengan istilah ‘kesadaran’ dan bagaimana pula kemudian hubungannya dengan ‘penyadaran’. Entah apakah selama ini kau ‘belum-’sadar’ lalu kemudian ‘menjadi-sadar’, dan akhirnya lantas ‘perlu menyadarkan’ orang lain, tak pernah jelas bagiku. Seandainya pun memang demikian logika yang hendak kau sampaikan kepada mereka yang ‘belum sadar’, bagaimana engkau bisa menjelaskan kepada mereka yang ‘belum sadar’ bahwa jika mereka mau berjubah putih, berjalan tanpa alas kaki, membawa persembahan dan api ke gunung Olympus, maka mereka pasti akan sadar akan adanya fakta Dewa Zeus di sana. “Percayalah kepadaku maka engkau akan selamat”, itu jawabanmu kepada mereka yang terus bertanya dan bertanya. Jikalau ada yang mengolok-olokmu, maka “banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang dipilih” itu rumusmu yang selanjutnya, sembari terus beretika tentang kuatnya iman berpuasa di tengah situasi Tingkatkan Saldo Anda. Kadang-kadang di benakmu pun tetap muncul pikiran tentang bagaimana menyelamatkan domba-domba yang hilang milik Haji Husein di Kampung Ciracas. Sehingga aku sendiri masih terus bertanya-tanya apa sebenarnya gagasan-gagasanmu tentang ‘sadar’, ‘tidak sadar’, ‘belum sadar’, dan ‘sudah sadar’. Itu masih kau tambah lagi dengan gagasan-gagasan yang lebih kompleks lagi semacam ‘kesadaran’ dan ‘penyadaran’. “Sadar” bagiku bukan realitas menjadi, melainkan realitas siklis. Bukan problem apakah dia, si miskin yang menggelandang di kolong jembatan dekat stasiun Jatinegara sudah berkenalan atau belum dengan istilah kapitalisme. Bukan masalah pula apakah dia sudah mengetahui atau belum bahwa ada relasi jual beli diantara dirinya dengan preman sekitaran sana. Tetapi realitas dirinya yang miskin dan menggelandang itulah realitas kapitalisme yang selalu membutuhkan kemiskinan dan selalu membentuk pemiskinan. Problematiknya kemudian apakah perlu si miskin ini ‘menjadi sadar’ oleh karena penindasan kapitalisme? Apakah perlu si miskin ini menyadari arti pentingnya di dalam perkembangan kapitalisme? Apalagi yang perlu diberitahukan padanya untuk dapat menjadi ‘sadar’? Bagaimana apabila dirinya, yang kemudian ‘menjadi sadar’ itu berperan di dalam membentuk pengetahuan tentang perlawanan terhadap kapitalisme? Dirinya sadar bahwa tempat kurang dari semeter persegi beralas kardus itu bukan miliknya. Dia sadar dia harus membayar sejumlah rupiah untuk tinggal di tempat itu kepada preman sekitaran. Dia sadar bahwa untuk makan hari itu di harus memulung sampah dari rumah ke rumah di sekitaran Pisangan. Dia sadar bahwa setelah memulung dia harus memilah-milah sampah-sampah plastik, kaleng, beling, dan kertas dari sampah sisa-sisa makanan. Dia sadar bahwa harga botol-botol aqua plastik tiap hari kian turun harganya ketika ia jual ke penadah botol plastik. Dia sadar setelah itu ia harus makan siang dengan uang hasil penjualan sampah plastik itu. Dia sadar setelah itu ia harus kembali memulung dan memulung lagi untuk makan nanti malam. Dia sadar dia harus memaki dan melempari batu pengendara sepeda motor yang menyerempet keranjang yang dipanggulnya. Dia sadar karena dia lakukan itu sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Lalu ‘sadar’ seperti apa yang hendak kau ajukan kepada orang yang sadar dengan kemiskinannya, Kawan? “Sadarlah Pak, kapitalisme ini jahat, serakah, durjana”, itukah yang ingin kau sampaikan kepadanya Kawan? “Lalu apa mbak/mas bisa nglindungin saya kalau saya nggak bayar preman-preman itu?”, tanya si gelandangan miskin itu. Kembali lagi diktum dokumen awal abad masehi berbicara tanpa harus menjawab persoalan si miskin, “Ikutlah aku maka engkau akan selamat”. ‘Sadar’ bukanlah soal bagaimana seseorang mengerti realitas seluas-luasnya, dan lalu mendefinisikan dirinya sebagai “yang sadar”. Tetapi ‘sadar’ adalah problem konseptualisasi pemikiran manusia/masyarakat di dalam menanggapi realitas yang beragam-ragam. Ia, si miskin yang menggelandang, tidak mungkin menjadi sadar tanpa berlaku sebagai bagian dari masyarakat yang melahirkannya, dan masyarakat
2
PROBLEMFILSAFAT
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
EDITORIAL
tempat ia tinggal dan mencari nafkah. Kesadarannya dibentuk oleh relasi sosial yang melatarbelakanginya, yang mensituasikannya. Oleh karenanya kesadaran perlawanannya harus dibentuk melalui realitas-realitas yang mensituasikannya. Kesadaran perlawanannya harus dibentuk melalui realitas relasi-relasi politik yang ada di lingkungan tempat ia tinggal. Tak mungkin melahirkan kesadaran dari bawah dirinya, karena hanya alas kardus yang akan kita temui. Kesadaran perlawanannya harus dibangun bersama dengan para gelandangan miskin lain yang tinggal di tempat yang sama, dan atau di tempat kerja yang sama. Dari sana kau akan paham bahwa kesadaran berlawan terhadap kapitalisme itu berbeda-beda tingkatannya, berbeda-beda bahasanya, dan berbeda-beda pula bentuk pengungkapan atau ekspresinya. Dia, si gelandangan miskin, sadar bahwa dia harus mencari uang, uang, dan uang setiap harinya, dan untuk itu ia bersiasat terhadap hidup yang tak ramah padanya. Yang belum dia pahami adalah semua yang menindas dirinya adalah yang terorganisasikan dengan baik. Yang belum dia pahami adalah bahwa dirinya bersama dengan teman-teman sesama pemulungnya adalah kekuatan perlawanan rakyat. Ia tidak perlu paham akan realitas kapitalisme yang begitu luas dan dalam, hingga bisa mengenali kedalaman kapitalisme sampai tak bisa mengapung kembali, karena teman-temannya begitu dangkal berbicara tentang hidup sehari-hari. Menghubungkan satu cerita dengan cerita yang lain, satu peristiwa dengan peristiwa yang lain, hingga mereka paham bahwa melawan kapitalisme adalah konsekuensi logis dari perbincangan mereka. Semakin banyak realitas yang bisa diungkap, semakin paham mereka bagaimana menghancurkan kapitalisme melalui cara mereka, ataupun bergabung dengan sektor masyarakat lain yang lebih besar. Demikianlah, sadar bukanlah soal ‘menjadi’ tetapi soal-soal epistemologis, soal-soal bagaimana mengenali realitas sosial dan mencari jalan keluarnya, hingga membentuk pengetahuan baru. Ada baiknya kau gunakan kata ‘sadar’ adalah ekspresi estetik dari kata praxis, kawan. Pun dalam edisi ini, Problem Filsafat akan membahas persoalan uang sebagai situasi yang membentuk kesadaran politik masyarakat, sebagaimana pembacaan para penulis terhadap Bab III buku Kapital, karya Karl Marx. Jurnal ProblemFilsafat
Cover: Lukisan karya Januri: Indonesia Raya
Jurnal Problem Filsafat adalah berkala yang diterbitkan oleh AGITPROP, sebuah kelompok ‘kAjian epistemoloGI poliTik dan PROduksi Pengetahuan’. Jurnal ini mengorganisasikan makalah-makalah ilmiah, serta sejumlah tulisan lepas kreatif di berbagai bidang pengetahuan humaniora. Ini semua ditujukan sebagai upaya mendorong lahirnya wacana penciptaan pengetahuan baru. Redaksi dengan demikian terbuka terhadap segala artikel, tulisan, dan karya kreatif yang sejalan dengan visi dan misi jurnal ini. DEWAN REDAKSI: Anom Astika, Martin Suryajaya, Berto Tukan, Yovantra Arief, David Tobing, Rangga L. Utomo. KONTRIBUTOR NOMOR INI: Suryadi A. Radjab, Ragil Nugroho, Linda Sudiono, Chris Poerba. ILLUSTRASI DAN PERWAJAHAN: Yovantra Arief, Berto Tukan. ALAMAT: Jln. Kayu Manis VI, Gang Jarak 6, No. 06, Rt. 014, Rw. 06, Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur CP : 0813 1561 4331 E-MAIL : redaksi.problemfilsafat@gmail.com
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
PROBLEMFILSAFAT
3
ARTIKELUTAMA
TENTANG UANG DAN NILAI Banyak orang yang tahu tentang harga tapi sedikit orang yang tahu tentang nilai. -Oscar Wildeoleh BERTO TUKAN
PADA tulisan ini kita akan coba masuk pada perkara uang yang merupakan pembahasan atas bagian Uang atau Sirkulasi Komoditas dari buku Capital. Tulisan ini bermaksud mencari hubungan dari uang, nilai, dan ketidakbermaknaan uang yang menjadi pokok penting dalam bagian ini yang harus dilihat hubungannya dengan pembahasan Marx dalam Capital sebelumnya. Untuk itu, tulisan ini bersifat kilas balik dan pengantar untuk masuk pada pembahasan bagian Uang atau Sirkulasi Komoditas yang lebih spesifik. Uang dan Setetes Keringat yang Menguap Pada masa ini, segala hal bisa saja kita alamatkan kepada uang biang keladinya. Seorang pengemudi taksi akan dengan cepat berkisah tentang sulitnya mendapatkan uang di Jakarta. Pasalnya, ia merasa bahwa ia sudah bekerja dengan sangat giatnya tetapi tetap saja uang yang didapatkannya hilang bagaikan pasir di genggaman tangan; tak terasa. Perkara uang kini tak bisa lagi berformula giat-giatlah engkau bekerja maka engkau akan mendapatkan sebanyak-banyaknya. Waktu bekerja yang makin terasa sedikit bersamaan dengan keringat yang hampir mencapai tetes penghabisan pun tak berhasil mendongkrak penghasilan sehingga terkadang orang bermimpi untuk diberikan bonus waktu; minimal sehari sama dengan 30 jam. Jumlah penghasilan [baca: uang] dari kerja yang dijalankan terasa kurang, sampai-sampai orang harus berpikir untuk punya profesi ganda; siang hari satpam, malam hari ojek. Dari ‘curhatan-curhatan’ di atas satu hal bolehlah disimpulkan untuk masa ini, uang adalah ukuran seseorang.
4
PROBLEMFILSAFAT
Ada benarnya, dengan demikian, bila banyak orang berkata bahwa hidup sama dengan uang1. Marx berujar bahwa manusia benar-benar menjadi manusia lantaran kerja yang memungkinkannya memproduksi kebutuhan-kebutuhan pokoknya.2 Kerja sebagai satu-satunya cara berada manusia ini selalu mengandaikan adanya relasi social manusia karena kerja pulalah yang memediasi manusia dengan manusia lain dan juga alam serta dirinya sendiri. Jika apa yang diujarkan Marx mau kita komparasikan dengan begitu banyak kesadaran manusia di sekitar kita saat ini yakni hidup sama dengan uang maka bisa dikatakan bahwa kerja adalah uang. Yang menjadi inti dari kerja saat ini adalah uang. Hal ini bukan berarti karena common people in the street itu tidak belajar filsafat atau membenci Marx sampai ke lihang lahatnya, tetapi lantaran mereka hanya mengekspresikan keadaan hidup sekarang tanpa basa basi dan ternyata dengan mengekspresikan keadaan hidup sekarang tanpa basa basi itu, terlihatlah bahwa mereka ternyata bisa duduk satu meja judi dengan Marx. Maka, ada baiknya di sini kita mengutak-atik perihal uang dan kerja. Jacques Bildet memberi sebuah peta bahwa untuk memahami uang dalam pemikiran Marx, kita harusnya kembali pada nilai-kerja3. Hal ini tentu saja karena Marx sendiri mengatakan bahwa, “because all commodities, as values, are objectified human labour, and therefore in themselves commensurable, their values can be communally measured in one and the same specific commodity, and this commodity can be converted into the common measure of their values, that is into money�4. Jadi, sebuah benda menjadi komoditas dimungkinkan oleh kerja
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELUTAMA
tertentu dan waktu yang dibutuhkan kerja itu; setiap kerja selalu berjalan dengan waktunya. Uang menjadi mungkin ada karena landasan dasar kesamaannya adalah kerja manusia yang mengandaikan waktu kerja yang menghasilkan nilai komoditas. Dengan demikian bisa dikatakan, kerja dan waktu kerja memperanakan nilai komoditas-komoditas, nilai-nilai komoditas-komoditas memperanakan uang. Kembali lagi pada persoalan hubungan uang dan nilai-kerja seperti yang menjadi point Bildet, kita pertama harus mencari tahu hal apa dari komoditas itu yang menghasilkan nilai-komoditas yang mana kita harus mengingat pula bahwa komoditas itu diciptakan oleh kerja-yang-berguna. Marx menulis demikian dalam Capital5:
lain yakni kerja yang menciptakan komoditas6. Di sini kita seperti merasa bahwa dengan bekerja demi orang lain kita sudah melakukan sesuatu yang ‘bermakna’ bagi sesama kita. Tetapi ternyata tidak sebaik perasaan kita yang penuh pahala itu. Marx melanjutkan dengan diberi kurung7: (And not merely for others. The medieval peasant produced a corn-rent for the feudal lord and a corntithe for the priest; but neither the corn-rent nor the corn-tithe became commodities simply by being produced for others. In order to become a commodity, the product must be transferred to the other person, for whom it serves as a use-value, through the medium of exchange.)
*Lukisan karya Misbach Tamrin: Bumi Tarung 1965 Not an atom of matter enters into the objectivity of commodities as values; in this it is the direct opposite of coarsely sensuous objectivity of commodities as physical objects. We may twist and turn a single commodity as we wish; it remains impossible to grasp it as a thing possessing value. However let us remember that commodities possess an objective character as values only in so far as they are all expressions of an identical social substance, human labour, that their objective character as values is therefore purely social. From this it follows self-evidently that it can only appear in the social relation between commodity and commodity.
Sebelumnya, sudah dikatakan bahwa kerja tidak selamanya bernilai. Ada kerja yang tak bernilai. Nilai-kerja tentu saja tercipta dari sebuah kerja yang berguna. Kerja yang berguna merupakan kerja yang menciptakan nilaipakai dan nilai-pakai-sosial. Nilai-pakai muncul dari kerja demi nilai-pakai yang bersifat pribadi. Sedangkan nilai-pakai-sosial muncul dari kerja dengan nilai-pakai untuk orang
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
Betapa fatalnya hidup kita di zaman ini; bekerja siang dan malam bagaikan kuda, demikin Koes Ploes, uang yang didapat tak berarti banyak untuk keberlangsungan hidup, ‘pahala’ untuk upah di surga pun ternyata bak fatamorgana. Maka, tak heran bila di tengah kehidupan yang sulit, kriminalitas pun bertumbuh sehat. Jadi, uang muncul oleh karena nilai-komoditas yang dimungkinkan oleh nilaikerja yakni kerja yang menciptakan nilai-pakai-sosial. Untuk menjadi komoditas, sebuah hasil kerja akan melewati tahap-tahap tertentu yang kompleks dan jauh dari jangkauan si pekerja itu bahkan dari lingkungannya; berada di bawah kendali para tuan-tuan kapitalis, mereka yang mempekerjakan atau bahkan mereka yang memiliki segala komoditas [termasuk manusia]. Dalam rangka menjadi komoditas, benda haruslah memiliki nilai-guna yang mana nilai-guna ini ditentukan oleh perpindahannya kepada orang lain melalui pertukaran dan orang lain itu diandaikan telah memberikan nilai-pakai pada benda tersebut; maka benda itu pun mendapat predikat sebagai komoditas. Sebelum masuk pada uang, pertukaran ini antara
PROBLEMFILSAFAT
5
ARTIKELUTAMA
satu komoditas dengan komoditas lainnya. Nilai-pakai sebuah komoditas menjadi nilai-tukar komoditas lain. Lantas dicari persamaan yang satu untuk ukuran segala komoditas yang beragam. Uang muncul sebagai nilai ukuran relatif untuk keberagaman komoditas ini.8 Uang itu sendiri berasal dari nilai komoditas yang mana nilai komoditas itu sendiri berasal dari nilai-guna sebuah benda yang dibuat khusus untuk sebuah kepentingan-sosial; dalam pengertian bahwa komoditas itu adalah benda yang sengaja diciptakan sebagai nilai-guna bagi ‘orang lain’. System di sekitar kita memang system moneter bergelimpang komoditas. Relasi sosial yang ada pada kita diwakilkan oleh relasi uang dan komoditas. Hal ini tentu saja bukanlah sebuah realitas yang baru benar dalam sejarah kehidupan manusia. Cikal bakal ‘perwakilan’ dalam relasi social manusia sudah ada jauh sebelumnya. Baiklah, agar tidak lagi kita mengiris bawang untuk menemukan bahwa di dalam bawang itu tak ada apa-apa dan hanya kehampaan, kini kita coba menarik semacam benang merah dari perbincangan ini. Zaman sekarang secara umum orang bekerja demi uang. Karena melalui uanglah komoditas, yang mana tumpukannya adalah sumber kesejahteraan9, dapat dimiliki. Mengapa demikian karena setiap barang bisa menjadi komoditas lantaran adanya perpindahan pada orang lain yang mana dimungkinkan oleh pertukaran dan di dalam pertukaran itulah uang berperan sebagai alat tukar. Keresahan dan rasa putus asa yang tumbuh dari seorang pengemudi taksi yang kita perbincangkan di awal tulisan ini ternyata lantaran uang yang didapatkannya dari mengemudikan taksi hampir belasan jam sehari itu tak cukup untuk mendapatkan komoditas-komoditas yang dibutuhkannya untuk kesejahteraan hidupnya [tentu saja sudah termasuk keluarganya]. Sedangkan pada saat yang bersamaan dia pun sedang menawarkan ‘barang’ tertentu yang nantinya akan menjelma komoditas ketika ada seseorang yang keluar dari mall dengan tergesa-gesa karena harus kembali ke kantornya setelah makan siang yang berlangsung lebih lama dari perkiraannya langsung membuka pintu belakang taksinya dan masuk ke dalam. Argo mulai berhitung. Sopir taksi dan penumpangnya sama-sama memperhatikan jalanan. Diam, sunyi, sepi, hanya bebunyi klakson dan kendaraan yang terdengar. Tanpa kata-kata [sesekali radio taksi itu ‘berkeresek’ lirih]. Pertukaran mereka yang merubah sistem perusahaan taksi menjadi nilai-guna untuk si penumpang terjadi tanpa riuh-rendah. Mereka sudah sama-sama mengenal, das Ding an sich10 di antara keduanya bagaikan kawan lama yang berujar apa kabar lewat kerlingan mata. Yang dicari sopir taksi itu hanyalah penukar yang memungkinkannya memenuhi hidupnya dari barangbarang yang dilewatinya setiap kali ia mengemudikan taksi. Barang-barang itu ada di dekatnya, di hadapannya namun tak tersentuh olehnya. Ia butuh password untuk bisa menyentuhkan tangannya pada benda-benda itu dan password itu adalah uang. Sesampainya di kantor, argo menunjukan angk Rp
6
PROBLEMFILSAFAT
35.000,-. Si penumpang memberikan Rp 50.000.- tanpa meminta kembaliannya. Si supir langsung berlalu. Ia mendatangi rumah makan padang di dekat kantor itu. Kendaraan ia parkirkan, ia masuk ke rumah makan padang itu dan memesan nasi telor dadar dan segelas es the manis. Harganya Rp 16.000,-. Si Supir membayar dan makan. Tips Rp 15.000,- dari Si Penumpang ‘bablas’ begitu saja. Tentu Si Supir tak punya kuasa untuk menentukan bahwa nasi telor dadar itu harganya Rp 5.000,- [kalau mau konsisten dengan rumusan bahwa nilai-pakai komoditas diberikan oleh ‘orang lain’]. Bukan pula berarti di sini Si Pemilik Rumah Makan Padang saking pelit dan cari untungnya sehingga harga makan siang Si Supir dinyatakan dengan Rp 16.000,. Rp 16.000,- merupakan ukuran untuk keseluruhan kerja [mulai dari pencarian bibit si petani waktu mau menanam bawang hingga seorang perempuan muda putus sekolah yang mengantarkan piring itu ke meja si supir taksi]. Begitu pula dengan Rp 35.000,- ongkos taksi. Jadi sungguh bukan masalah tips yang diberikan oleh Si Penumpang terlalu kecil sehingga tiba-tiba dia hilang begitu saja dalam sebuah makan siang yang khidmat, tetapi karena nilai-pakai dari barang yang dibutuhkan oleh Si Supir memang ditentukan oleh Si Supir itu sendiri tetapi pertukaran yang memungkinkan barang itu menjadi milik Si Supir taka da dalam kuasanya. Rp 16.000,-, ditentukan bukan oleh dia dan juga si pemilik rumah makan, komisi dari mengemudikan taksi pun bukan ditentukan olehnya, bukan pula seutuhnya oleh si bos perusahaan taksinya. Uang yang didapatnya dan setetes keringat kenikmatan yang jatuh ketika kesedapan bumbu rendang membelai perutnya menjadi sia-sia. Ketidakterpenuhinya kebutuhan Si Supir Taksi dengan penghasilan yang didapatkannya sering kali dialamatkan pada nasihat dari para motivator demikian, “tentukanlah prioritas kebutuhanmu dan abaikanlah kebutuhankebutuhan yang tak penting.” Jika semua kebutuhan kita yang terpikirkan atau pun yang tiba-tiba hadir begitu saja adalah cara untuk tetap hidup dan merawat kebersosialan kita sebagai manusia, betapa kurang ajarnya nasihat demikian. Sama kurang ajarnya dengan nasihat agamawi untuk bersedekah demi Kerajaan Surga padahal untuk hidup di dunia ini saja penghasilan jauh dari cukup. Dengan menentukan prioritas kebutuhan sambil disamakan dengan waktu kerja itu berarti kita menghilangkan banyak essensi kemanusiaan kita, entah dilihat dari sudut pandang filsafat mana pun. Bayangkanlah seorang anak manusia yang harus ke kantor pukul 08.00 AM dan pulang pukul 17.00 PM. Gaji untuk kerjanya selama kurang lebih 22 hari setelah disusun kebutuhan hidup hanya cukup untuk kamar sewaan, makan dengan harga warteg 3 kali sehari, ongkos ke rumah pamannya yang tinggal di kota yang sama paling maksimal 3 kali, pulsa Rp 50.000,- nongkrong di café kelas tiga sekali [itu pun hanya bisa dengan mengkonsumsi cappuccino dan kentang goring ukuran sedang]. Lantas, atas dasar apa anak
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELUTAMA
manusia kita ini harus menerima dengan lapang dada bahwa dia ternyata hanya bisa mengunjungi pamannya 3 kali dalam sebulan dan bertemu sahabat karibnya sambil berekreasi hanya sekali dengan hanya mengkonsumsi cappuccino murahan pula. Bagaimana jika tiba-tiba setelah sudah tiga kali ke rumah pamannya untuk beragam kebutuhan dan tiba-tiba ia harus ke sana lagi untuk keempat kalinya untuk sebuah urusan ‘kekeluargaan’ yang tidak bisa dihindari? Bagaimana jika setelah bertemu dengan para karibnya dan tiba-tiba salah satu dari antara mereka meminta untuk bertemu lagi karena ada keresahan hati si sahabat dan butuh pendengar yang mau memberi masukan-masukan berharga? Uang: Antara Ketakbermaknaan dan Ukuran Nilai Seorang anak 6 tahunan terheran-heran mengambil dan memandang kertas merah persegi panjang yang jatuh dari kantong ayahnya dan tercecer di lantai. Dilihatnya dengan saksama. “Ayah mau pergi cari uang,” begitu selalu kata ayahnya ketika ia merengekrengek di pagi hari ketika melihat ayahnya ke luar dari pintu. Apa hebatnya benda ini dariku? Batinnya. Ia terbakar cemburu. Ia lantas merobek kertas merah itu. Ayahnya melihat hal itu bersamaan dengan menyadari bahwa uang Rp 100.000,- di kantongnya telah tiada, tiba-tiba jatuh tersungkur. Dari kisah pendek di atas kita melihat bahwa; untuk si anak 6 tahunan itu, sehelai kertas itu tak berarti apaapa. Ketika dirobeknya, tak ada apa-apa di dalamnya; langit tak runtuh, mobil-mobilan tidak dengan tiba-tiba mengada di depannya, peri manis pun tak keluar dari dalam perut kertas itu. Sedangkan Sang Ayah melihat uang itu sebagai benda yang bisa membuatnya jantungan. Mungkin cacian bos di kantor tadi, hampir terpelesetnya dia ketika menuruni tangga di kantor, kantuk yang ditahan-tahannya menjadi sia-sia ketika tunjangan hari raya untuknya sebagai office boy tiba-tiba tak dapat digunakan lagi. Bagi Si Anak, uang itu hanya sebatas benda berupa kertas yang tak mewakili apaapa sedangkan bagi Sang Ayah uang itu mewakili kerjanya dalam sehari plus baju baru untuk hari raya bagi Sang Anak dan juga belanja istri [kalau ada sisa, juga Sampoerna Hijau sebungkus untuknya]. Di sini, uang bagi Sang Anak adalah kertas biasa yang pada dirinya tak bermakna apa-apa dan untuk Sang Ayah uang adalah ukuran nilai-kerjanya dan juga alat penukar bagi komoditas-komoditas kesejahteraan hidupnya. Syukur-syukur 50% kebutuhannya untuk hari raya terpenuhi. Apa yang menjadikan kertas merah itu bermakna untuk Sang Ayah adalah keberadaannya sebagai uang yang merupakan sebuah gambaran atau perwakilan atas sebuah komoditas tertentu yang di dalam dirinya mengandung nilai-pakai, nilai-kerja, dan nilai-tukar.
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
Yang patut diingat-ingat kembali adalah perkara bahwa setiap benda dan atau komoditas punya persamaan dengan benda dan atau komoditas lainnya yang lantas akan ‘disederhanakan’ atau ‘diwakilkan’ segala persamaan itu oleh komoditas-komoditas tertentu yang ‘ditetapkan’ demi tugas tersebut. Komoditas tertentu inilah uang. Maka, kalimat Marx bahwa ia mengasumsikan emas sebagai komoditi uang sebagai sebuah penyederhanaan dapat kita pahami dalam pengertian harus ada sebuah pengukuran tertentu yang disepakati untuk persamaan nilai segala komoditas. Dalam hal cerita kita di atas, persamaan antara dua komoditas itu adalah Sang Ayah [yang didalamnya terkandung pendidikannya, relasi sosialnya, tubuhnya, dan juga kerjanya; dan di mana dari setiapnya itu terkandung juga komoditaskomoditas lain misalnya pendidikannya adalah kumpulan dari buku pelajaran, uang SPP, guru-guru]11 dengan kebutuhan hidupnya yang diperantarai oleh Rp 100.000,-. Rp 100.000,- itu pun, suka atau tidak suka, menjadi ukuran nilai bagi ‘hidup’ Sang Ayah. Maka nilai-kerja yang mana sebelumnya adalah penentu dari nilai-komoditas dengan demikian menjadi penentu akan pertukaran di antara komoditas di sini juga menjadi komoditas. Kita akan mencoba masuk pada hubungan uang dan nilai pakai.Karena seksi pertama bab tiga diberi tajuk sebagai ukuran nilai maka sekarang kita akan coba untuk masuk pada hubungan antara uang dengan nilai pakai. Hal pertama yang patut diingat adalah uang adalah ekspresi dari nilai sebuah komoditas yang digambarkan dalam rupa harga. Seperti pemahaman yang terbangun dalam diskusidiskusi kita sebelumnya bahwa nilai guna dihasilkan oleh kerja konkrit. Kerja konkrit mengandaikan adanya hubungan langsung antara manusia dengan manusia yang lain. Kerja konkrit ini juga yang menunjukan bagaimana manusia selalu dalam hubungannya dengan manusia lain; seorang manusia tidak bisa dalam kerjanya menyelesaikan segala perkara kebutuhan hidupnya, ia harus berhubungan dengan manusia lain yang menghasilkan kebutuhannya yang lain. Dan karena esensi manusia itu adalah kerja maka tidak bisa tidak manusia itu selalu dalam dimensi kesosialannya. Tanpa kesosialan, tak ada kerja, tak ada kemungkinan untuk terus bertahan hidup, dengan demikian hidup manusia hanya sekadar kata pengantar. Selain itu, patut pula diingat bahwa “[n]ilai, sebagai hakikat dari nilai-tukar, diukur (dalam hal besaran) melalui waktu kerja, sementara nilaitukar, yang merupakan fenomena dari nilai, diukur dalam uang (sebagai abstraksi dari proporsi antar komoditas).”12 Komoditas memiliki juga nilai pakai. Nilai pakai komoditas ditentukan oleh penggunanya. Di sini, hubungan antara uang dan nilai pakai bisa terlihat. Untuk mendapatkan nilai pakai tertentu dari sebuah komoditas, maka manusia yang membutuhkannya perlu menggunakan perantara tertentu untuk mendapatkannya. Sebatang rokok = Rp 1.000 misalnya. Rp 1.000 adalah harga yang adalah ukuran untuk nilai tukar. Tetapi bagaimana sebatang rokok bisa menjadi Rp
PROBLEMFILSAFAT
7
ARTIKELUTAMA
1.000? Bukan Si Perokok, bukan pula Si Pedagang ecerannya yang menentukan sebatang rokok = Rp 1.000 itu. Rp 1.000 sudah merupakan sebuah ‘nilai’ yang ditetapkan sebelum komoditas itu ‘bertatap muka’ dengan calon pemakainya. Jadi, Rp 1.000 sebagai ukuran nilai pakai justru ada lebih dahulu sebelum komoditas tersebut benar-benar dipakai. Nilai pakai akan ada ketika sebuah komoditas benar-benar terpakai. Rp 1.000 sebagai penukar sebatang rokok belum bisa dikatan sebagai nilai pakai tetapi sebagai ukuran harga yang karena sudah ada sebelum nilai-pakai diberikan oleh ‘pembeli’ atau orang lain yang akan menggunakannya. . Marx mengatakan, “the price or money-form of commodities is, like their form of value generally, quite distinct from their palpable and real bodily form; it is therefore a purely ideal or notional form13”. Ukuran harga itu tidak muncul atau terlihat dari komoditas itu; dia hanya berupa sebuah bentuk imajiner atau ideal. Dilanjutkan setelahnya oleh Marx bahwa kesetaraan sebuah komoditas dengan harga tersebut [emas] tidaklah bisa ditemukan secara pasti tetapi hanya ada dalam ‘kepalakepala mereka’ [para pemilik komoditas] . Itulah kenapa Rp 1.000,- dari sebatang rokok sudah ada di sana bersama rokok [sebagai benda] bahkan sebelum Si Fulhan, kelas dua SMP, ke luar dari kelasnya dan menuju warung pojok di pinggir sebuah sekolah tinggi nan sepi dan lantas menerima begitu saja konsep harga yang terberi bagi hasratnya untuk terlihat ‘keren’ dengan mengkonsumsi sebatang rokok. Penutup Jadi sesungguhnya, pada uang ditekan dan dimampatkanlah waktu, hingga hanya tersisa cuilan-culiannya saja dalam kepala kita. Jika waktu kita pahami dalam perubahan sebuah benda menjadi benda lain yang lebih berguna atau menjadi komoditas [waktu kerja] maka uang di sini berfungsi mengumpulkan segala waktu itu pada ide tentang uang itu sendiri. Pada uang bisa jadi kita melupakan segala kejadian, hubungan-hubungan antara sebuah kenyataan dengan kenyataan lain, sebuah perkakas kerja dengan perkakas kerja yang lain, bahkan pula tiap tetes keringat yang jatuh, karena semua itu yang terjadi dalam waktu-kerja sudah diwakilkan pada sang uang. Keterlupaan akan ‘sejarah’ bisa jadi adalah kutukan seiring lahirnya ‘anak haram’ peradaban; uang. Ketika semakin hari semakin banyak saja perkara yang diukur berdasarkan uang, maka semakin terputuslah kita dengan sejarah, dengan waktu-kerja yang membuat semua itu menjadi bermanfaat. Uang sebagai pengukur nilai pada awalnya muncul dalam sejarah sebagai sebuah perkakas [kreasi manusia juga untuk pemenuhan kebutuhan dan memudahkan hidupnya] yang mampu mempertemukan sebuah benda-berguna yang satu dengan benda-berguna [atau komoditas] yang lain. Namun kehadirannya pada awal sebuah system yang lebih mementingkan perantara tinimbang apa yang diperantarainya menyebabkan ia terpaksa harus diberi gelar Pelacur Kelas Wahid Dunia. Nilai yang pada awalnya lebih penting
8
PROBLEMFILSAFAT
sehingga ia butuh diekspresikan oleh uang lantas semakin hari semakin tak berarti. “Banyak orang yang tahu tentang harga tapi sedikit orang yang tahu tentang nilai” demikian Wilde menunjukan pada kita bagaimana nilai berada dalam pihak yang semakin ditindas oleh uang dalam hubungan keduanya yang pada mulanya terlihat biasa-biasa saja. Catatan Akir:
1 Misalnya, “udahlah, cari duit dulu. Yang lainnya mah gampang.” Atau orang-orang tua lainnya, “cari kerja dulu yang bener [uang] jodoh nanti datang dengan sendirinya”. 2. “Labour, then, as the creator of use-value, as useful labour, is a condition of human existence which is independent of all form of society; it is an eternal natural necessity which mediates the metabolism between man and nature, and therefore human life itself.” Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume One, diterjemahkan oleh Ben Fowkes, (London: Penguin Books Ltd.), 1979, hlm.133. 3. Jacques Bildet, Exploring Marx’s Capital: Philosophical, Economic, and Political Dimensions, diterjemahkan oleh David Fernbach, (Leiden: Brill), 2007, hlm. 52. 4. Karl Marx, Capital: A Critique of.... hlm. 188. 5. Karl Marx, Capital: A Critique of.... hlm. 38. 6. Capital Marx membicarakan tentang keadaan dunia dalam sistem kapitalisme. Jadi nilai-kerja-sosial memang lebih banyak merujuk pada kerja-sosial dalam masa kapitalisme itu. Dalam kerja-yang-berguna selalu terkandung unsur kesosialan tak peduli dalam system seperti apa pun. 7. Karl Marx, Capital: A Critique of.... hlm. 131. 8. Untuk perkara ini, bisa dengan lebih jelas ditemukan pada tulisan-tulisan Anom Astika dan Martin Suryajaya di rubrik artikelutama dan artikeldiskusi pada nomor-nomor sebelumnya Jurnal ProblemFilsafat. Pengayaan tentang sejarah uang bisa dilirik pada tulisan Yovantra Arief dalam ProblemFilsafat nomor ini. 9. Karl Marx, Capital: A Critique of.... hlm. 125. 10. Das Ding an sich adalah cetusan Immanuel Kant yakni benda pada dirinya. Sebuah ‘nilai mistis’ yang tak tersentuh atau diketahui oleh yang lain di luar das Ding itu sendiri. Dalam kasus si supir taksi dan penumpangnya, mengikuti cerita kita sebelumnya, ternyata apa yang ada pada diri mereka masing-masing pada moment itu [supir taksi mengendarai taksi dan penumpang yang harus buru-buru kembali ke kantor karena sudah sedikit terlambat] adalah mendapatkan uang dengan bekerja hanya untuk mendapatkan komoditas demi kesejahteraan hidup mereka masing-masing. Das Ding an sich dalam perkara ini memang hanya direnggut begitu saja dari konsep Immanuel Kant yang lebih rumit dari perkara itu semata. 11. Lih. tabel menarik dan pembahasan atasnya dalam tulisan Martin Suryajaya, “Rangkuman Skematik atas Bab I Capital” dalam ProblemFilsafat No.09/Tahun I/Mei 2011. 12. Martin Suryajaya, “Watak Ganda Kerja Abstrak” dalam Problem Filsafat No. 6/2010, hlm. 27. 13. Karl Marx, Capital: A Critique of.... hlm. 189. 14. Karl Marx, Capital: A Critique of.... hlm. 189.
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELUTAMA
Sejarah Mata Uang Indonesia Dalam Perdagangan Internasional Bagian I Tahun 412-1630 oleh YOVANTRA ARIEF
“Kalau membandingkan Banten di masa lampau, ketika bangsa-bangsa Eropa muncul di Asia, dengan keadaannya yang miskin sekarang, maka orang harus pasrah pada Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan kerajaan-kerajaan dan menghancurkannya lagi sekehendakNya… Pusat perdagangan yang terbesar di Timur itu telah menjadi tempat orang-orang sial.” (Rovere van Bruegel)
PAGI ini, saya terbangun oleh alarm nyaring dari Nokia X2-01, yang kira-kira senilai dengan 50 bungkus filter, 500 kopi sachet dan 250 kopi seduh––tentu yang saya maksud si hp Nokia X2-01, bukan alarmnya. Saya melihat sekeliling; Nusa Jawa jilid dua karangan Denys Lombard (kira-kira setara dengan 2 bungkus filter, 20 kopi sachet dan 10 kopi seduh di pasar loak), korek api dengan gas hampir penuh (mungkin setara dengan dua-pertiga batang rokok filter, setengah bungkus kopi sachet dan seperempat gelas kopi seduh), dan bungkus kosong filter (saya ragu untuk menentukan equivalensi dari bungkus rokok ini, tapi katakanlah, satu bungkus permen Sugus setara dengannya, meskipun saya lebih suka menumpuk bungkus filter kosong sampai setara dengan satu bungkus filter penuh berisi rokok). Saya duduk di atas kasur dan menghitung barang-barang; komputer, speaker, meja, KBBI, beberapa puluh buku… Tuhan, saya bisa kenyang merokok dan minum kopi hanya dengan kamar yang saya huni! Pagi biru dengan sembilu sinar mentari menari seksi, memanggilku keluar kamar untuk mengusir kantuk dengan rokok dan kopi. Aku melangkah menuju sebuah warung dan terkejut setengah mati di sana: untuk sebungkus filter dan lima sachet kopi ABC Susu, penjual meminta 15.000. Lima belas ribu apa!? Tanyaku dalam hati. Aku serahkan si Nokia X2-01, penjual menggeleng. Tentu saja, nilainya terlalu tinggi untuk rokok dan kopi. Mungkin ia harus menyertakan sebuah rice cooker dan kipas angin untuk itu––lagipula aku tidak butuh rice cooker dan kipas angin. Aku keluarkan Nusa Jawa, dia malah memandangiku aneh. “Lima belas ribu!” bentaknya.
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
“Lima belas ribu apa!?” bentakku tak kalah galak. “Rupiah! BAYAR PAKE’ UANG!” Aku tertegun. Uang. Sesuatu melambai lemah di belakang kepalaku. Uang. “Utang,” ujarku pelan, sedikit malu-malu, pada penjual. *** Berbekal secangkir kopi dan rokok penuh, saya mengurai peristiwa tadi; Denys Lombard dengan segala jerih payahnya menghimpun data sejarah untuk menyusun Nusa Jawa, bahkan tak mampu menjembatani 15.000 perak dengan rokok dan kopi di warung asongan. Dan uang. Apalah uang? Bagaimana datangnya uang? Bagaimana sampai kertas bergambar orang-orang yang sudah mati itu bisa begitu berharganya sampai Iwan Fals yang katanya kritis terhadap pemerintah itu rela mengemis, “penguasa, penguasa, berilah hambamu uang!”? Untuk memahami ‘keajaiban’ uang ini, kita perlu memahami sejarah aktivitas manusia yang sangat menggantungkan diri padanya––perdagangan––dan dalam memahami aktivitas ini, kita perlu mengingat dua hal baik-baik: barang-barang dagangan adalah sepadan sehingga bisa diukur nilainya dan yang menjadi patokan dari pengukuran nilai ini adalah waktu kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang tersebut. Jadi, pada mulanya adalah kerja. Tentu. Semua orang, dari gelandangan, motivator sekelas Mario Teguh sampai intelektual trendi pun tahu: pada mulanya adalah kerja. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana mungkin pemodal, yang hanya memiliki alat produksi, pada gilirannya mendapat uang yang lebih dari pekerja, yang
PROBLEMFILSAFAT
9
ARTIKELUTAMA
memproduksi nilai itu sendiri? Kita tahu bahwa menguasai uang berarti juga menguasai kerja, namun bagaimana bisa, kita––yang memiliki tenaga kerja––walaupun sudah bekerja dari pagi sampai pagi lagi, kerap tidak memiliki uang cukup atau bahkan kere sama sekali? Jawabannya tentu bukan berasal dari ‘Renungan Toilet’, sajak yang sering dituturkan oleh pengamen jalanan, yang dengan pasrah merumuskan bahwa “begitulah hidup, kadang di atas, kadang di bawah”. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjawab pertanyaan itu, apalagi menunjukkan kiat-kiat praktis serta magis untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya dengan sedikit kerja, melainkan merunut sejarah perkembangan mata uang––yang mungkin dirunut, mengingat penulis sendiri lumayan rungsing mencari sumber––dan dengan begitu juga sejarah perdagangan Nusantara, dengan harapan bisa memberi gambaran kasar tentang latar belakang sejarah perekonomian Indonesia kontemporer. Oh iya, berhubung rentang sejarah yang dicakup cukup panjang––abad ke-5 sampai kontemporer, maka topik ini dipenggal dua. Bagian pertama, tulisan ini, berfokus pada abad ke-5 sampai abad ke-17; atau awal terhubungnya Nusantara dengan jaringan Asia sampai menjelang masa kolonial Belanda. Begitulah. Perkembangan Awal: Emas dan Perak Cukup sulit untuk melacak kapan tepatnya kepulauan Nusantara memiliki konsep akan sebuah ‘komoditas perantara’ dalam pertukaran. Artefak kebudayaan Dong Son dari Masa Perunggu-Besi––kurang lebih seribu tahun pertama sebelum Masehi––yang di temukan di Indocina dan beberapa kepulauan Nusantara,1 menunjukkan bahwa sudah ada hubungan dari kedua wilayah tersebut, dan dapat diasumsikan aktivitas pertukaran hasil bumi sudah terjadi, paling tidak antara pulau-pulau Nusantara sendiri. Peta perdagangan Asia bisa digambarkan sebagai sebuah segitiga dengan India di barat, Cina di timur, dan Asia Tenggara di selatan. Pada masa dinasti Han, jalur darat yang langsung menghubungkan Cina dengan India yang dikenal sebagai Jalur Sutra berkembang dengan subur. Kejatuhan dinasti Han pada seperempat awal abad ke-3 membuat jalur ini menurun dan jalur laut mendapat gilirannya. Dengan begitu, Asia Tenggara yang terletak tepat di titik temu pelayaran dari India ke timur dan Cina ke barat memegang peran sentral pada masa-masa ini. Agama Hindu-Budha yang berkembang di Cina dan India karena perdagangan jalur darat ikut mengarungi lautan dan tiba di kepulauan Nusantara.2 Pada abad ke-5 mulai bermunculan catatan perjalanan yang ditulis pelaut Cina. Nama Jawa pertama kali muncul di teks Fa Hsien pada tahun 412, lalu seorang pangeran Kashmir bernama Gunawarmma sempat tinggal di sana selama beberapa tahun dan mengajar Budhisme. Nama-nama lain muncul; Sumatra pada tahun 455 dan daerah-daerah di Semenanjung Melayu pada tahun 523. Dari pihak India,
10
PROBLEMFILSAFAT
prasasti-prasasti pada abad ke-5 yang ditemukan di Jawa yang berbahasa Sansekerta menunjukkan bahwa India telah masuk ke Jawa sejak awal tahun Masehi, naskah Ramayana yang menyebutkan Yawadwipa––nama pulau Jawa yang disansekertakan––mendukung hal ini. Selain kedua kebudayaan besar ini, terdapat pula catatan menarik dari Xin Tangshu yang menyebut adanya persentuhan kebudayaan Jawa dengan Arab pada tahun 674.3 Di pulau Jawa, pola dokumentasi epigrafinya mengarah kepada rekonstruksi kerajaan agraris yang lebih memikirkan pengembangan persawahan besar dan kesibukan birokrasi tradisional daripada hubungan diplomatik, agama dan jaringan perniagaan––meskipun hubungan tersebut sudah tentu ada. Di samping itu, sumber dari India sendiri sedikit yang memberikan paparan mengenai bagaimana perniagaan Jawa dengan negeri-negeri bagian Barat.4 Meskipun begitu, kita mengetahui bahwa emas dan perak sudah menjadi alat pembayaran sedini abad ke-8. Sistem ini dikenal sebagai sistem masa. Bobot emas dan perak yang diekspresikan sebagai tahil, 38.4 gram, dan dibagi menjadi 16 masa berbobot 2.4 gram. Pecahan terkecilnya disebut kupang, berbobot 0.4 gram yang nilainya seperempat masa.5 Uang jenis ini telah dipakai sejak zaman Mataram Syailendra sampai awal munculnya Majapahit. Sistem masa sering kali dinilai terlalu besar untuk perekonomian agraris yang berlaku di Mataram abad ke-8, dan tidak ditemukan satuan yang lebih kecil. Dengan begitu, mungkin sekali bahwa penggunaan masa masih terbatas pada pembayaran resmi dan transaksi kolektif. Sistem perpajakan––yang masih berupa pungutan negara pada setiap desa, bukan perorangan––kemungkinan besar berlaku menggunakan sistem masa ini. Sedangkan untuk keperluan sehari-hari, penduduk masih melakukan pertukaran antar barang.6 Hubungan dengan Cina dan India ini merangsang tumbuhnya kelas pedagang dan perubahan struktur masyarakat akibat pengaruh Hindu-Budha. Dalam prasastiprasasti Sriwijaya pada sekitar abad ke-7, disebut istilah waniyaga atau “kaum pedagang” dalam daftar orang yang mendapat amanat raja. Perkongsian dagang pun sudah tercatat sejak abad ke-9, di pantai barat Semenanjung Melayu terdapat pemukiman Tamil dan sebuah prasasti berbahasa Tamil ditemukan di pantai barat laut Sumatra yang dengan jelas mengacu pada suatu perkongsian dagang. Di pertengahan abad ke-9, terdapat tempat pemujaan yang didirikan sekelompok pedagan di dekat Candi Perot, daerah Temanggung.7 Dalam prasast-prasasti berbahasa Jawa Kuno abad ke-9 dan disebutkan pula kelompok “pelayan” yang terdiri dari orang-orang Campa, Kalingga, India utara, Srilangka, Bengali, Tamil, Malayalam, Karnataka, Pegu dan Kamboja8. Dalam prasasti-prasasti yang lebih muda lagi, awal abad ke-10 yang ditemukan di Jawa Timur dan Jawa Tengah, menunjukkan bahwa sistem pajak sudah mulai berlaku, sikap antipati para pedagang terhadap pemungut pajak yang
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELUTAMA
disamakan dengan pedagang asing9––mungkin bisa diartikan sebagai bentuk rasisme awal di Jawa. Sumber-sumber asing yang memuat hubungan dagang Nusantara pada kurun waktu ini lebih banyak mengisahkan Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Lebih unggul dari Mataram yang baru memperhatikan potensi perdagangan setelah ibukotanya pindah ke Jawa Timur pada abad ke-10, teks-teks Arab telah mengisahkan kunjungan mereka ke Sriwijaya pada abad ke-9. Teks-teks tersebut, meskipun tidak seakurat kronologi Cina, mencatat ruterute perjalanan panjang yang membentang dari OmanIndia-Sriwijaya-Cina dengan barang-barang dagang paling penting: sutra, porselen, kesturi, batu permata dan mutiara. Kemudian praktek-praktek dagang yang berkembang saat itu: pajak muatan di Oman dan tol yang diminta Sriwijaya di selat Malaka; teknik korting atas pembelian dalam jumlah besar––yang mungkin juga berlaku di pasar yang letaknya lebih ke timur––diceritakan pula adanya rekayasa pemogokan pedagang untuk menekan kekuasaan pusat, juga praktek sogok dan penyitaan kekayaan pribadi dari satu ujung
dengan presentase perak yang lebih besar dinilai terlalu tinggi untuk perdagangan sehari-hari.13 Penggunaan picis Cina sebagai alat tukar perdagangan pun mulai marak. Pada abad ke-13, prasasti-prasasti Jawa sudah tidak lagi menyebutkan sistem masa.14 Picis telah menguasai pasar Jawa sebelum akhirnya Majapahit mengadaptasi bentuknya sebagai mata uang resmi kerajaan. Pemerintahan Kertanegara, raja Singhasari yang kelima dan terakhir (1254-1292) mulai menampakkan usaha-usaha politik Jawa ke arah negeri seberang. Nagarakertagama menyebut daftar daerah-daerah yang wajib membayar pajak serta disebut satu persatu penaklukan di bawah Kertanegara. Pada masa-masa ini, perdagangan meningkat pesat sehingga pedagang-pedagang Cina harus menyelundupkan picis mereka dari Cina yang tengah dilanda krisis mata uang.15 Namun, pada tahun 1279, pemerintahan Sung digulingkan oleh bangsa Mongol, dan pemerintahan baru ini lebih menekankan perdagangan ke barat.16 Meskipun begitu, masih banyak pedagang Cina yang berkunjung ke
“....penurunan nilai ini mungkin sekali disebabkan oleh maraknya penggunaan mata uang sebagai alat pertukaran....” ke ujung lain Samudera Hindia.10 Di Jawa paling tidak ada dua hal yang mempengaruhi perubahan struktural masyarakatnya; pertama dengan semakin majunya daerah pesisir di Jawa Timur akibat perdagangan dengan Cina dan kedua; letusan Gunung Merapi pada tahun 928 yang melumpuhkan perekonomian agraris di Jawa Tengah. Pada tahun 929, ibukota dipindah ke Jawa Timur dan pola agraris Mataram mulai beralih pada maritim.11 Kebangkitan pulau Jawa ini dengan cepat menggeser dominasi peran Sriwijaya dalam perdagangan internasional. Pengaruh Cina: Keunggulan Tembaga di Atas Emas dan Perak Dengan mundurnya Sriwijaya akibat serangan Chola, pada abad ke-11 Jawa dianggap sebagai rekan dagang paling penting bagi Cina, Arab dan India. Mulai abad ke-12, pemerintahan dinasti Song mengarahkan perkembangan perekonomian pada perdagangan dan perkotaan di daerah Yan Tse Hilir, dan menjadi faktor utama perkembangan itu.12 Perdagangan ini memacu inflasi masa di Jawa. Pada masa ini, masa bernilai dua kali lebih rendah dengan ukuran lebih kecil dan penurunan kadar perak. Mata uang ini hanya mengandung 20% perak, sedang sisanya terdiri dari 70% tembaga, 6% seng dan 4% timah. Penurunan nilai ini mungkin sekali disebabkan oleh maraknya penggunaan mata uang sebagai alat pertukaran sedangkan sitem masa
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
Jawa. Perdagangan Jawa pada abad ke-13 ini sebenarnya merupakan pelanggaran aturan resmi dinasti Mongol Yuan yang melarang ekspor picis Cina secara besar-besaran, sementara Jawa telah menjadi pusat perdagangan yang menyedot para pedagang Cina sehingga menimbun kekayaan yang tak terhitung. Dapat dimaklumi bahwa bangsa Mongol yang berkuasa di Cina saat itu hendak mengembalikan semua kekayaan itu ke dalam peredaran,17 maka mulailah penyerbuan tentara Mongol ke Jawa Timur dengan sekitar 20.000 pasukan pada tahun 1293, yang menjadi kehancuran Singhasari dan mula berdirinya Majapahit.18 Penyerbuan ini, meskipun berhasil diusir oleh Raden Wijaya, berhasil menjarah Kediri––ibukota Singhasari––sebelum meninggalkan Jawa. Penyerangan––ditambah kekurangan mata uang picis Cina19––ini pulalah yang menjadi dorongan awal Majapahit untuk mencetak mata uang sendiri yang mirip dengan picis Cina dan dikenal sebagai gobog, meskipun ukurannya lebih kecil (20 mm) dan lebih ringan (2.7 gram). Mata uang ini terbuat dari tembaga dan dihiasi oleh lambang matahari––insignia Majapahit–– atau motif gambar manusia, serta tokoh wayang.20 Pada paro kedua abad ke-13, pasukan Jawa tidak hanya menundukkan Pasundan, Madura dan Bali, tetapi juga Tanjung Pura di pantai selatan Kalimantan, sebagian Maluku, dan Pahang serta Melayu. Hal ini menunjukkan bahwa Jawa Timur nyaris menguasai kantor-kantor dagang
P R O B L E M F I L S A F A T 11
ARTIKELUTAMA
dari Semenanjung dan Sumatra yang masih berada di bawah kekuasaan Sriwijaya, sedang Sriwijaya sendiri semakin melemah akibat kekaisaran Cina yang selama ini menaunginya memberlakukan peraturan perdagangan yang ketat.21 Sementara itu, Islam mulai menancapkan taringnya di India. Kesultanan Delhi di bawah Muhammad bin Tughluk berhasil mengumpulkan hampir seluruh daerah India di bawah kedaulatannya. Di samping itu, peristiwa naik takhtanya dinasti Yuan di Cina pun didorong oleh elit-elit Muslim di Cina, dan banyak dari mereka ikut serta dalam perdagangan ‘ilegal’ Cina pada abad ke-13.22 Pada tahun 1297, pedagang Islam di bandar Pasai mulai mantap dan pengaruhnya meluas. Di sini, sistem masa yang mulai meredup di Jawa memperoleh polesan Islam. Sultan Muhammad, yang berkuasa di tahun yang sama, mulai mencetak mata uang dirham yang terbuat dari emas dengan berat 0,6 gram (setara dengan kupang).23 Pada abad ke-14, Majapahit menguasai lalu lintas perdagangan Nusantara, mengisi kekosongan Cina di jalur laut. Bahkan pada tahun 1365, Pasai tunduk padanya.24 Bentuk perdagangan waktu itu bukanlah berbentuk perdagangan ‘bebas’, melainkan perdagangan untuk negara. Naskah Nawanatya––kemungkinan besar berasal dari abad ke-14–– menuturkan bahwa terdapat organisasi keraton bernama rakryan kanuruhan atau “kanselir besar” yang bertugas mengurus pedagang asing atau yang datang dari pulau-pulau lain di Nusantara. Para rakryan kamuruhan ini diwajibkan mengetahui semua bahasa, sehingga dapat dibayangkan ad-
12
PROBLEMFILSAFAT
anya dinas juru bahasa. Mereka juga memungut pendapatan untuk dirinya sendiri dari para pedagang. Dari sini bisa dilihat bahwa rakryan kanuruhan merupakan cikal bakal dari syahbandar pada zaman kesultanan. Pada Nagarakertagama, pemerintah Majapahit menerapkan bentuk perdagangan negara yang tanggung jawabnya diserahkan pada pemuka agama yang bertindak seperti pegawai. Apabila ada negara wajib pajak yang memberontak terhadap kekuasaan pusat––artinya melakukan perdagangan untuk kepentingan sendiri––tanpa melalui pulau Jawa, maka dikirim ekspedisi penumpasan oleh pejabat-pejabat tinggi maritim yang disebut sebagai jaladi mantri.25 Di tengah krisis mata uang yang melanda Cina, banyak pedagang muslim dari Cina yang datang ke perairan Majapahit. Akhirnya, setelah dinasti Yuan digulingkan oleh Ming pada awal abad ke-15, Cina kembali membuka perdagangan dengan pantai-pantai Asia. Tiga dekade awal abad ini terdapat fenomena armada-armada besar pemerintahan Cina yang membeli barang-barang di bandar-bandar Asia.26 Armada Cheng Ho dan sekutunya yang terkenal itu menjelajahi Laut Selatan untuk menggugah negara-negara bawahan Majapahit untuk meningkatkan perdagangan resmi, serta menghukum mereka yang membangkang. Pada gilirannya, Cina menitipkan utusan dari Kalikut, Kocin, Aden, Hormuz, Kamboja dan beberapa negeri lain pada delegasi Jawa bersama sepucuk surat dari Maharaja Zhengtong yang meminta raja Jawa untuk menjaga utusan-utusan itu, dan mengurus pemulangan mereka ke negeri-negeri masing-masing. Hal itu menunjukkan kepercayaan Cina pada sekutunya dan peran Pulau Jawa sebagai pusat persimpangan.27 Krisis mata uang yang terjadi sejak zaman Sung semakin parah sehingga dinasti Ming menghentikan ekspedisi besar-besaran ini pada tahun 1430. Meskipun begitu, hubungan Majapahit-Cina tetap terjaga dan masih ada beberapa pelayaran privat yang singgah di pelabuhan-pelabuhan Majapahit.28 Masyarakat Cina pun banyak yang bermukim di Jawa, menetap di pelabuhan-pelabuhan Pesisir sebelah timur, kira-kira sejak abad ke-13. Di Tuban dan Surabaya, sebagian penduduknya adalah orang Cina. Gresik pun hanya ada “pantai tanpa penghuni” sebelum orang kanton menetap di sana. Kebanyakan orang Cina itu telah memeluk agama Islam dan mentaati aturan agama. Di kota-kota pesisir, mereka mengambil tempat di samping masyarakat lain yang telah diislamkan.29 Perkembangan masyarakat Cina yang meme-
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELUTAMA
luk agama Islam dan tinggal di Jawa inilah kiranya yang membuat banyaknya beredar mata uang gobog yang dihiasi kalimat syahadat dalam bahasa Arab, dan berbeda dari Samudera Pasai atau Kesultanan Aceh Darussalam, setelah kesultanan Demak naik menggantikan Majapahit, picis tetap beredar dan tidak digantikan dengan dirham. Di lain pihak, kerajaan Malaka yang berdiri pada tahun 1400, menyadari bahwa kekuatan Islam dari barat kembali menguat setelah masuknya Gujarat ke perdagangan Samudra India. Untuk menarik perhatian pedagan Muslim dari Pasai dan Gujarat, Malaka segera mengadopsi kepercayaan Islam.30 Pada tahun 1414, Sultan Megat Iskandar Shah mengunjungi ibukota Cina untuk mendapatkan persetujuan kaisar atas suksesinya serta mendapat izin untuk mencetak mata uang picis Cina.31 Desakan kekuatan-kekuatan Islam melemahkan Majapahit. Satu persatu, Majapahit kehilangan bandar-bandar pentingnya. Di samping Malaka yang mulai menguat di barat, di timur, kota Demak yang dimotori pedagang Cina Muslim mulai berkembang. Kota tersebut didirikan oleh Cek Ko Po, lebih dikenal sebagai Raden Patah, pada perapatan akhir abad ke-15. Kemunduran Majapahit setelah puncak kejayaannya di tangan Hayam Wuruk membuat kantor-kantor dagang di seberang secara berangsur masuk di bawah penguasaan nyata kota-kota Pesisir. Demak memperluas wibawanya sampai ke Palembang, Jambi, Bangka dan Belitung. Tome Pires, seorang Portugis yang singgah di daerah ini pada abad ke-16, menulis bahwa pedagang Muslim yang “berdagang di negeri itu menjadi kaya. Mereka mulai membangun mesjid-mesjid dan mendatangkan pemimpin-pemimpin keagamaan dari tempat lain, sehingga jumlahnya bertambah banyak dan anak-anak mereka sekarang sudah menjadi orang Jawa dan kaya, sebab hal ini terjadi lebih dari tujuhpuluh tahun yang lalu. Di beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa yang masih kafir masuk agama Islam, maka pemimpin-pemimpin keagamaan dan pedagangpedagang Moro (Muslim) mengambil alih kekuasaan. Di tempat lain mereka memperkuat tempat mereka menetap dan…” “membunuh penguasa-penguasa Jawa dan menggantikan mereka. Dengan cara inilah mereka menjadi penguasa daerah pantai dan merebut kekuasaan atas perdagangan dan atas pulau Jawa.”32 Pada titik ini, paling tidak sudah sepuluh abad sebagian besar kepulauan Nusantara berhubungan dengan Cina. Terdapat tulisan dari orang Portugal dan Inggris yang menyatakan bahwa Cina telah menguasai kepulauan Hindia, bahwa negeri-negeri itu menerima agama dan penanggalan serta mengirim perutusan beserta upeti secara berkala ke Cina. Bahkan banyak orang menegaskan orang Jawa adalah keturunan Cina, dan dengan bangga orang Jawa mengaku sebagai orang Cina, meskipun agama ataupun adat istiadatnya tidak lagi sama dengan adat istiadat Cina.33 Pada tahun 1527, Demak menjegal Majapahit dan meneruskan hubungan baik dengan raja-raja kecil yang masih berada di bawah Majapahit ketika suksesi itu. Dengan naiknya Demak sebagai kesultanan pertama pulau Jawa, gerakan pengislaman digalakkan lewat ulama-penguasa
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
yang dikenal sebagai Wali Sanga, yang menyentuh pulaupulau di luar Jawa seperti Palembang, pantai utara Ambon dan Banjarmasin.34 Malaka, dengan mundurnya Majapahit, mengambil alih rute perdagangan dari timur dan barat di Semenanjung Malaka.35 Perdagangan Internasional: Kemenangan Perak Besarnya pengaruh Cina di kepulauan Nusantara menjadi tantangan tersendiri bagi orang Eropa yang baru datang di pasar Asia Tenggara pada awal abad ke-16, serta pendorong Eropa untuk memisahkan Cina dari Nusantara. Perlu diketahui, yang menarik Eropa untuk berkunjung ke Nusantara––cengkeh dan pala––diperkenalkan lewat pedagang Cina yang secara teratur mengunjungi Maluku pata tahun 1340-an untuk mengangkut sejumlah kecil cengkeh. Setelah itu, orang Jawa dan Melayu mengikutinya, berlayar dari selatan, dan orang Cina tidak datang lagi. Akibatnya, pembelian cengkeh orang Cina yang langsung pergi ke Maluku bergeser menjadi permintaan cengkeh orang Cina lewat perantara pedagang Melayu dan Jawa.36 Permintaan rempah-rempah Maluku ke Cina dan Eropa semakin melonjak pada abad ke-15. Lonjakan ini disebabkan oleh terbukanya jalur laut lewat perjanjian Venesia dengan penguasa Mamluk di Mesir pada tahun 1345. Pada akhir abad ke-14, penguasa Mamluk menguatkan pengawasannya pada jalur karavan ke Beirut, Damaskus dan juga Aleksandria. Tempat-tempat ini adalah jalur untuk mengangkut barang Asia ke Laut Tengah dari Laut Merah dan bandar-bandar di teluk Persia.37 Catatan mengenai peredaran rempah-rempah Maluku ke Eropa mulai tersedia pada tahun 1390. Selama kurang lebih satu abad, ekspor ini cukup konsisten, sampai pada tahun 1499 menjadi kacau akibat masuknya kapal-kapal Portugis ke Samudra Hindia. Mereka sedapat mungkin menenggelamkan atau merompak kapal-kapal Islam yang mengangkut rempah-rempah ke Eropa. Akibatnya, ekspor rempah menurun drastis karena Portugis sendiri hanya membawa barang kurang dari seperempat dibanding dengan yang diangkut armada Islam. Pada 1511, Portugis menguasai Malaka dan mendominasi pasar Eropa sampai tahun 1530.38 Pada awal abad ke-16, Cina memperketat kebijakan perdagangannya,39 meskipun pengaruh Cina di Lautan Selatan yang berwarna Islam masih tetap bertahan. Sumbersumber Eropa cenderung melukiskan masyarakat Cina sebagai badan otonom yang terpisah dari masyarakat Jawa. Memang pembauran yang awalnya marak mulai berkurang, didorong oleh orang Belanda yang memencilkan orang Cina.40 Mata uang Cina pun kembali di-reproduksi secara lokal oleh banyak pulau di Nusantara. Salah satu catatan yang menarik menyebutkan bahwa, pada tahun 1537, Portugis berusaha agar Maluku menerima mata uang Portugis yang tembaganya lebih murni daripada mata uang Cina, namun penduduk Maluku hanya akan menerimanya jika Por-
P R O B L E M F I L S A F A T 13
ARTIKELUTAMA
tugis melobangi mata uang mereka seperti uang Cina agar lebih mudah diikat.41 Kelangkaan picis dari Cina dan berkembangnya industri picis lokal ini nampaknya mendorong dua tipe koin yang beredar secara bersamaan. Picis Cina, dengan berat 3.5 gram, beredar dalam 100 dan 1000 koin setiap satu ikat, dan 140 koin setara dengan 1 pound Portugis. Picis lokal––atau gobog––berbobot 2.5 gram, setiap 240 koin setara dengan 1 kati. Koin-koin ini, selain beredar di Jawa, juga beredar di Banjarmasin, Palembang, Jambi, Makassar, Sulawesi, Aceh, Borneo, Banda dan Sumbawa.42 Pada tahun 1567 larangan kaisar Cina atas perdagangan ke selatan dicabut dan uang tembaga Cina kembali mengalir secara besar-besaran. Perdagangan dengan Asia Tenggara ini membuat khawatir para pejabat Cina, karena ekspor uang besar-besaran membuat sumber semakin langka, ditambah lagi perang dengan Jepang semakin memojokkan ekonomi Cina. Akibatnya, Cina mencetak mata uang baru yang terbuat dari timah murah pada tahun 1590. Jenis ini banyak dikeluhkan, karena terbuat dari logam yang buruk sehingga akan rusak sendiri dalam tiga atau empat tahun.43 Impor picis timah Cina bermutu rendah ini pada gilirannya mengakibatkan kelangkaan picis yang terbuat dari tembaga, membuat picis tembaga bernilai enam kali picis timah.44 Mata uang timah ini mutunya demikian rendah sehingga dapat ditiru dengan mudah, meskipun pembuatan setempat terhambat karena kekurangan timah. Kekurangan ini diketahui Inggris dan Belanda, menjadikan timah sebagai barang Eropa yang memiliki pasaran. Pada 1633, Belanda memasok timah atas dasar monopoli pada seorang Cina terkemuka di daerah Jawa dan Batavia. Pada tahun 1537, Belanda meminta pasokan 133 ton timah hitam, dan 153 ton pada tahun 1638, untuk pasokan pembuatan picis. Inggris pun berusaha menyaingi, dengan 20 ton pada 1608, 60 ton pada 1615 dan 150 ton pada 1636.45 Persaingan ini, ditambah penurunan bobot dari 2.4 gram untuk picis lokal menjadi 0.7 gram, membuat nilai picis turun hingga 14.000 picis untuk 1 real pada tahun 1640.46 Untuk mata uang yang nilainya lebih tinggi, emas tetap bertahan di beberapa kesultanan Islam. Di Sumatra bagian utara, mata uang ini beredar selama empat abad dengan konsistensi luar biasa, yaitu kemurnian 17 karat dengan bobot 0,6 gram. Pada abad ke-17, emas Aceh merupakan sistem nilai yang konsisten, 1 tahil (bobot perak) sebanding 16 emas, dan 1 emas setara dengan 4 kupang, yang sama dengan 1.600 picis. Karena nilai relatif dari picis, begitu emas dan perak berubah, konsistensi ini sulit dipertahankan. Pada 1602, 2.100 picis ditukarkan dengan sebuah emas, sedang pada 1630-an, 600-1.000 setara dengan 1 keping emas.47 Di samping itu, perdagangan perak di Eropa pada paruh terakhir abad ke-16 menjadi semakin marak. Metode penggalian baru dengan merkuri di pertambangan perak Amerika-jajahan Spanyol dan jepang paling tidak meng-
14
PROBLEMFILSAFAT
hasilkan penambahan empat kali lipat dalam arus perak di Asia Tenggara. Real Spanyol yang waktu itu beredar luas di Eropa mulai menjamah pasaran Asia. Cina dan India segera mengimbangi ini dengan memberlakukan mata uang perak untuk mengawasi perekonomian dalam negeri. Impor perak ke Asia Tenggara paling tidak mencapai 10 ton pertahun. Di beberapa wilayah seperti Burma dan Thailand, standardisasi perak mulai beralaku. Namun, di kepulauan Nusantara, hal itu tidak terjadi. Emas lebih melimpah dan lebih murah dikaitkan dengan perak daripada India, Cina atau Jepang. Di samping itu, penghargaan tradisional terhadap emas sebagai lambang kekuasaan dan kewibawaan menjadikan emas sebagai logam yang paling layak untuk mengabadikan nama raja.48 Untuk bersaing dengan perak, Makassar mengeluarkan mata uang yang lebih besar, empat kali berat uang emas Aceh. Pada tahun 1630-1640an, mata uang ini memiliki nilai yang sangat baku, yaitu empat-perlima real. Sejumlah pajak dalam negeri dipungut dengan nilai yang sama. Sultan Iskandar Muda, raja Aceh yang terkuat, tergila-gila dengan emas. Para pedagang Islam diwajibkan membayar pajak dengan emas. Seorang pedagang Perancis yang mendarat di Aceh hanya dengan uang perak mendapat kesulitan dari raja ini, yang tidak hanya menolak untuk mengadakan transaksi dagang dengan perak, tapi juga mampu melarang rakyatnya untuk itu. Namun usahanya menggunakan emas di tengah pasar perak membuatnya kesulitan. Pada akhirnya, ia mengikuti contoh Makassar, mengeluarkan mata uang emas baru yang nilainya empat kali dari yang lama pada tahun 1620. Tetapi logam campurannya lebih buruk, meskipun nilainya setara dengan satu real.49 Meskipun begitu, usaha para penguasa untuk menyaingi perak itu gagal, karena perjuangannya untuk mempertahankan kekuasaan internal tempat mereka memegang kedaulatan ekonomi berbeda dengan keadaan pasar internasional tempat mereka hidup. Kepentingan para saudagar internasional di kota-kota dagang Nusantara cenderung mengesampingkan kepentingan negara. Di samping itu, pedagang lokal memahami barang dagangan dan berdagang dalam bobot emas. Mulai tahun 1630 perak menjadi mata uang internasional Nusantara dan tidak ada mata uang lokal yang dapat menyainginya.50 Perak yang telah menguasai sistem mata uang Nusantara mengintegrasikan pasar lokal dengan sistem ekonomi dunia. Namun, karena persediaan mata uang itu berasal dari asing, maka orang-orang asing itu memiliki akses langsung pada petani tanaman ekspor tanpa harus menukarkannya dengan mata uang resmi negara. Perak menjadi semacam “kuda Troya” yang awalnya dianggap sebagai berkah dalam memudahkan perdagangan, namun kemudian menjadi senjata kuci penguasaan ekonomi Nusantara oleh Eropa. *** Sekarang, setelah 14 halaman memuakkan yang penuh dengan catatan kaki ini, silahkan anda renungkan kutipan dari van Bruegel di awal tulisan ini, dan ingatkan van
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELUTAMA
Bruegel yang telah beristirahat di kerajaanNya; tuhan yang mana yang telah menciptakan kerajaan-kerajaan, dan tuhan yang mana yang menghancurkan kerajaan-kerajaan itu! Catatan Akir:
1. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Bagian II: Jaringan Asia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 1996, hlm. 11. 2. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of A ‘Moneyless’ Society 1300-1700”, Jurnal KITLV No. 3. Leiden, 1995 3. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya..... hlm. 12-14. 4. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya..... hlm. 16-17. 5. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of.... 6. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of.... 7. Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), 1998, hlm. 19. 8. Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan...., hlm. 17-
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
19. 9. Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan..., hlm. 1719, yang mengacu pada teks yang disunting oleh Stutterheim dan terdapat pada H. Bh. Sarkar, Corpus, Jilid II, hlm. 198-206. 10. Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan..., hal 25. Teks acuan yang dimaksud adalah Merveilles de l’Inde 11. Puji Harsono, “Sejarah Perkembangan Mata Uang Indonesia”, http://numisku.wordpress.com/2010/03/27/seminar-numismatik-sejarah-perkembangan-mata-uang-indonesia/. Diunduh Oktober 2011. 12. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya..... hlm. 28-30. 13. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of.... 14. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of.... 15. Nusa Jawa, hal 35-36 16. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of.... 17. Nusa Jawa II, hal 38 18. Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan.... hlm 126. 19. Nusa Jawa II, hal 38 20. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of.... 21. Nusa Jawa II., hal 35 22. Ibid., hal. 30 23. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of.... 24. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of.... 25. Nusa Jawa II, hal. 38-40 26. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of.... 27. Nusa Jawa II, hal 40-41 28. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of.... 29. Nusa Jawa II, hal 41-42 30. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of.... 31. Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan.... hlm. 127. 32. Nusa Jawa II, hal 44-45. Teks yang diacu bersumber dari Tomes Pires, Suma Oriental, Cortesao (ed.), Jilid I, hlm. 182 33. Nusa Jawa, Bagian II. Hal. 46-47 34. Ibid., 54-55 35. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of.... 36. Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan.... hlm. 5. 37. Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan.... hlm. 16. 38. Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan.... hlm 1718. 39. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of.... 40. Nusa Jawa II, hal 50 41. Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan.... hlm. 127128. 42. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of.... 43. Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan.... hlm. 128131. 44. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of.... 45. Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan.... hlm. 129131. 46. Arjan Van Eealst, “Majapahit Picis; The Currency of.... 47. Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan.... hlm. 133. 48. Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan.... hlm. 135139. 49. Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan.... hlm. 139140. 50. Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan.... hlm. 139.
P R O B L E M F I L S A F A T 15
ARTIKELUTAMA
POLITIK ETIKA DAN NEGARA ETIS KAUM BORJUIS oleh MARTIN SURYAJAYA
*Lukisan karya Laksmi Shitaresmi: Ibu Pertiwi Menghimbau
POLITIK tampil pada kita—kelas menengah kota Indonesia—sebagai timbunan kebusukan moral yang menggunung: sebagai korupsi, sebagai permainan kekuasaan, sebagai jual-beli suara. Kita mencita-citakan suatu pemerintahan yang bersih, yang baik, yang tak durjana. Kita punya hak untuk itu sebagai anggota dari masyarakat warga yang sejatinya merupakan alasan keberadaan negara. Kita adalah kumpulan individu-individu dewasa yang sadar akan hakhaknya, yang masing-masing bersifat unik dan karenanya kita menolak untuk dibekukan ke dalam birokrasi partai, dalam representasi yang lebih banyak menipu ketimbang menyuarakan opini kami. Kita menuntut, di sini dan sekarang juga, agar diciptakan pemerintahan yang punya integritas dan demokrasi yang partisipatoris. Kita sudah muak dengan kepalsuan. Setiap kedurjanaan adalah musuh kemanusiaan di manapun. Kita juga berhadapan dengan bahaya totalitarianisme. Kita bermusuhan dengan segala bentuk pemikiran yang berdalih telah memegang kebenaran absolut. Bagi individu-individu kritis seperti kita, kebenaran absolut tak pernah ada di tangan manusia sebab manusia senantiasa
16
PROBLEMFILSAFAT
bergerak dalam ketidakpastian, dalam kegamangan yang puitis, dan justru karenanya kita tetap manusiawi. Manusia yang menampik ketakpastian, yang melihat kebenaran sudah ada dalam genggaman dan dengan itu mau mengatur semua yang lain, adalah manusia yang tidak sadar bahwa dirinya adalah manusia dan bukan Tuhan. Oleh karena itu, untuk menghadapi ancaman totalitarianisme satu-satunya cara adalah dengan memperkuat demokrasi kita. Demokrasi adalah obat bagi totalitarianisme sebab demokrasi adalah kegamangan itu sendiri. Demokrasi membuat segala posisi menjadi relatif dan bisa diulur lewat diskusi yang sehat di antara orang-orang yang beradab. Kendati demokrasi barangkali tak mampu mewujudkan masyarakat yang ideal setidaknya ia mampu membendung kemungkinan yang paling tidak ideal. Untuk itu, untuk mengatasi kebusukan moral dan ancaman totalitarianisme, kita mesti menyuntikkan pada demokrasi sebuah anti-virus yang penting bagi keberlanjutannya. Anti-virus itu adalah etika politik. Reformasi kita baru berhenti sebatas reformasi birokrasi dan belum menyentuh jantung persoalan yang mau direformasi, yakni
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELUTAMA
moral bangsa ini. Dengan menaburkan etika di atas ladang kering yang nir-etika kita akan menumbuhkan demokrasi yang sehat, beradab dan toleran. Tetapi moral yang kita bangun bukanlah etika absolut kaum totaliter, melainkan etika yang menekankan keterbatasan, relativitas dan keterbukaan manusia. Jadi etika politik yang akan kita upayakan tidak boleh menjadi suatu body of doctrine dengan substansi ajaran yang mencakup aturan tentang segala tindak-tanduk manusia. Etika yang mesti kita bangun adalah forma yang memungkinkan adanya percapakan kebudayaan yang sehat dalam koridor demokrasi. Bersama dengan para begawan kebudayaan dan industri media yang punya keprihatinan yang sama, kita akan mendesakkan agenda etika politik agar menjadi cakrawala keprihatinan bersama seluruh bangsa yang kemudian akan membawa bangsa ini pada jalur reformasi moral yang semestinya: pemerintahan yang bersih, pemimpin yang punya integritas, dan rakyat yang kelaparan. Lho!? Ketiga paragraf di muka dapat disarikan ke dalam tiga proposisi kunci yang dirumuskan sebagai berikut: o Proposisi I: Problem politik Indonesia masa kini adalah kebusukan moral dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses politik o Proposisi II: Politik Indonesia juga terancam oleh tendensi totalitarian yang mengusung moralitas tertentu secara absolut o Proposisi III: Politik Indonesia memerlukan reformasi moral dalam koridor demokrasi, yakni suatu etika yang bersifat relatif dan terbuka Dalam paparan selanjutnya kita akan menginterogasi ketiga proposisi tersebut sampai kita memperoleh pengertian tentang duduk perkara yang sebenarnya. Etika adalah… Etika Kita akan memberikan definisi teknis pada pandangan yang melihat bahwa esensi dari politik adalah persoalan etika dengan istilah politik etika. Etika dipandang sebagai esensi politik sejauh etika dimaknai sebagai ‘etika hidup bersama’. Kita, karenanya, masuk ke dalam problemproblem ‘ada-bersama’ (Mit-sein). Di balik segala argumen politik etika terdapat sebuah posisi filsafat yang tua, yaitu idealisme. Esensi mendasar politik, dalam pandangan ini, terletak pada ide yang diusungnya tentang masyarakat. Jadi begitu ide ini diubah, entah melalui reformasi atau melalui revolusi, maka politik telah mengalami perubahan yang radikal. Jadi, misalnya, ketika semua orang dalam masyarakat mengakui sentralitas ide kemanusiaan, maka politik telah jadi manusiawi, ketika semua orang mengakui bahwa meja ini adalah sejatinya sebuah kacamata dan bukan meja, maka meja telah menjadi kacamata. Bukan realitas yang penting melainkan pandangan kita, tafsiran kita, nilai-nilai moral kita, yang menentukan ‘ada’-nya dan ‘apa’-nya realitas. Konsekuensinya, dengan mengubah ide kita tentang realitas, maka realitas
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
itu sendiri berubah. Konkritnya, dengan etika politik maka politik menjadi etis dan persoalannya telah terselesaikan. Akan tetapi apa persoalannya? Apa persoalan yang mau diselesaikan dengan adanya politik? Mengapa orang butuh etika hidup bersama? Apa realitasnya? Kita perlu berhenti di sini dan memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu. Mengapa orang perlu berpolitik? Tentunya secara historis orang mulai melakukan aktivitas politik bukan karena hobi atau sederet persoalan aktualisasi diri lainnya. Kemunculan pengaturan masyarakat sudah tentu bukan akibat masyarakat itu ingin menjalankan permainan role-play atau sekedar mengisi waktu senggang seperti bermain petak umpet untuk merealisasikan hakikat dirinya sebagai homo ludens, misalnya. Kemunculan pengaturan masyarakat disyaratkan oleh keberadaan masyarakat itu sendiri. Agar masyarakat ada, masyarakat mesti diatur. Maka satu kelompok mesti berburu musang, sementara kelompok lain mesti mencari ramuan obat. Politik, karenanya, adalah soal pembagian kerja dalam masyarakat. Tanpa pembagian kerja ini tentu tidak akan ada masyarakat. Dengan adanya pembagian kerja, kebutuhan dasar masyarakat untuk dapat hidup dan tetap ada bisa terpenuhi. Artinya, orang berpolitik bukan untuk hobi atau aktualisasi hakikat diri melainkan untuk hidup. Politik, dalam artinya yang mendasar, adalah politik ekonomi. Pengaturan masyarakat dalam fungsi-fungsi yang terdiferensiasi merupakan refleksi dari kebutuhan manusia untuk mencukupi syarat kehidupan materialnya. Tanpa etika masyarakat tidak mati tetapi tanpa ekonomi masyarakat pasti mati. Esensi dari sesuatu adalah syarat minimum dari adanya sesuatu, differentia specifica yang jika dilanggar maka sesuatu tak lagi ada. Syarat minimum dari adanya masyarakat adalah adanya kecukupan makan dan minum. Makanan dan minuman inilah yang disediakan melalui politik pembagian kerja. Oleh karena itu, produksi syarat kehidupan material yang paling minimum itulah yang menjadi alasan bagi adanya politik, definisinya yang paling mendasar, esensinya yang paling fundamental. Apa yang disebut ‘baik’ dan ‘buruk’ diderivasikan dari proses produksi kehidupan material ini. Politik, karenanya, tidak pernah mensyaratkan etika melainkan justru sebaliknya: etika mensyaratkan adanya politik dan politik itu sendiri mensyaratkan adanya proses pemenuhan kebutuhan hidup material—dengan kata lain, politik ekonomi. Politik etika—yang memahami etika sebagai esensi politik—telah keliru pada aspek yang paling elementer tentang politik. Namun kekeliruan ini juga bersifat historis. Dengan semakin membumbung tingginya kebudayaan yang sejatinya bertumpu pada kerja material dalam aras produksi sarana kehidupan, kebudayaan cenderung lupa pada tanah tempatnya berpijak. Ia mengira bahwa ia adalah ruh yang melayang-layang dan mengamati kerja material dari udara dan pulang ke interioritas diri yang paling sunyi untuk merenungkan segala sesuatunya. Ia menjadi seperti sosok begawan yang manggut-manggut memaklumi silangsengkarut pembagian kerja dan keluar dari pertapaannya
P R O B L E M F I L S A F A T 17
ARTIKELUTAMA
dengan sebaris mantra mandraguna: etika politik. Ia lupa bahwa ketika ia mengubah idenya tentang realitas, realitas tidak ikut berubah bersamanya. Ia lupa bahwa dengan menekankan pemberantasan korupsi dan pembangunan integritas moral dalam berpolitik, emansipasi tidak lantas muncul. Etika memang menyelesaikan problem ide tentang hidup bersama tetap tidak menjawab duduk perkara hidup bersama itu sendiri. Etika menghadirkan potret berbeda tentang hidup bersama tetapi tidak mengubah hidup bersama itu sendiri sebab adanya hidup bersama ditentukan, secara mendasar, oleh proses produksi material yang menopangnya dan ini tidak bisa diselesaikan lewat etika. Politik etika versus politik ekonomi, pada aras filsafatnya, adalah idealisme versus realisme. Distingsi tipikal yang dibangun oleh politik etika adalah distingsi antara ‘politisi-busuk’ dan ‘politisi-bersih’, antara ‘politik-uang’ dan ‘politik-etis’. Distingsi ini sejatinya adalah distingsi semu karena itu tidak menunjukkan struktur dasar realitas melainkan sekedar memandangi fenomena yang menampak di permukaan dan secara beramai-ramai memberondongnya dengan serentetan putusan moral. Distingsi inilah yang mengemuka dalam Proposisi I di muka. Tak ada yang lebih menggelikan dan naif ketimbang menyimpulkan—seolah melalui riset atau permenungan filosofis yang mendalam— bahwa persoalan mendasar politik Indonesia adalah persoalan etika. Ini menggelikan karena mereka yang menyimpulkan ini tidak bisa membedakan antara fenomena dan kesimpulan tentang esensi fenomena. Bahwa politisi Indonesia banyak yang tenggelam dalam politik-uang inilah yang tampil sebagai fenomena di berbagai berita. Menyimpulkan bahwa fenomena adalah esensi dari fenomena berarti terjatuh ke dalam tautologi: politik yang busuk adalah politik yang tidak bermoral. Proposisi ini tidak menjelaskan apapun tentang syarat bagi adanya sesuatu yang disebut sebagai politik-uang itu. Tak ada penjelasan tentang struktur ekonomi yang membuat politik masa kini tidak bisa tidak berwujud dalam politik-uang. Tak ada penjelasan tentang basis material bagi adanya fenomena tersebut. Yang ada hanya nubuat-nubuat moral yang menyatakan sesuatu yang jelas dengan sendirinya. Etika—Jauh/Dekat Rp. 2000 Dalam Proposisi II seolah diketengahkan bahwa kita sedang menghadapi ancaman fasisme dengan etika tertutup yang hanya bisa dijawab dalam Proposisi III, yakni dengan suatu etika terbuka. Apa sebenarnya beda antara etika tertutup dan terbuka? Yang satu melihat esensi politik dalam etika, yang lain juga melihat esensi politik dalam etika. Yang satu melihat politik sebagai sarana perwujudan ideal etis tertentu, yang lain juga begitu. Perbedaannya cuma terletak pada isi etika yang mau ditekankan: yang satu melihat etika sebagai aturan total, yang lain melihatnya sebagai sesuatu yang bisa ditawar. Tapi keduanya sama-sama memahami politik sebatas pada ide tentang politik dan tidak pernah bertanya tentang syarat bagi adanya politik. Perbedaan
18
PROBLEMFILSAFAT
dari keduanya seperti perbedaan di antara dua penumpang angkutan: melihat sticker dalam angkutan yang bertuliskan “jauh/dekat Rp. 2000” kedua penumpang yang sama-sama tidak membawa uang ini mendekat ke sopir dan keduanya sama-sama berkata “Pak, saya ga usah bayar ya”—bedanya cuma yang pertama mengatakan itu dengan nada setengah malak, yang lain mengatakannya dengan penuh sopan santun. Hasilnya jelas kita semua tahu: yang beretika preman maupun yang beretika priyayi sama-sama ditendang keluar angkutan. Segalanya setara di hadapan uang. Segala bentuk pendekatan etis terhadap politik gagal menyadari bahwa isu terdasar dari politik adalah ekonomi. Mau diabstraksikan setinggi apapun, disodori puisi sesublim-subtil apapun, perut yang lapar tetaplah perut yang lapar. Asam lambung tak bisa diatasi dengan maksim moral. Maka dalam kondisi ini satu-satunya maksim moral yang bermakna dalam politik ekonomi adalah maksim sang sopir angkutan tadi: “Etika—jauh/dekat Rp. 2000”. Hakikat Moneter Demokrasi Borjuis Memusuhi politik yang busuk karena uang adalah berarti tidak memahami mengapa politik-uang itu niscaya dalam demokrasi kita. Pertanyaan yang semestinya muncul di benak ilmiah kita menghadapi fakta politik-uang bukanlah “Apakah politik-uang itu bermoral atau tidak?” melainkan “Mengapa politik-uang itu menjadi niscaya dalam sistem politik yang ada?” Politik-uang itu niscaya sejauh demokrasi yang ada sebagai bentuk pengorganisasian politik adalah ekspresi dari modus produksi kehidupan material yang melandasinya. Sejauh modus produksi Indonesia ditandai oleh ekuivalensi segala sesuatu melalui medium uang, maka politiknya niscaya berciri sama. Kendati sebuah komoditas memiliki nilai objektif yang ditentukan berdasarkan jumlah jam kerja yang dicurahkan untuk memproduksinya, akan tetapi nilai-tukarnya hanya bisa diekspresikan melalui ekuivalensi dengan seluruh komoditas lain di dalam pasar. Tak ada nilai-tukar tanpa ekuivalensi itu. Kalau sepotong baju dapat diekspresikan dalam nilai-pakai 10 bungkus rokok, maka sepotong baju itu memiliki nilai-tukar 10 bungkus rokok. Uang tak lain adalah medium ekspresi dari nilai-tukar itu. Uang mengekspresikan nilai-tukar dalam sebuah besaran yang homogen, tidak seperti ekuivalensi langsung dengan komoditas lain yang beragam. Melalui uang, semua komoditas dapat diekspresikan nilai-tukarnya secara universal dan pada taraf yang paling abstrak. Dalam Pemilu 2009 lalu, nilai-tukar Sugeng, ‘harga adil’-nya, adalah Rp. 50.000. Artinya, nilai-tukar Sugeng setara dengan 5 bungkus rokok. Pada titik ini, ‘sepupu ethik’ kita akan berseru: “Betapa tidak manusiawi!” Ketimbang memberikan putusan moral yang selalu tautologis seperti itu, kita akan mempelajari struktur dasarnya dengan menangguhkan segala dorongan untuk memoralisasi. Apa arti persamaan “Sugeng = Rp. 50.000”? Bagaimana nominal Rp. 50.000 ditentukan? Itu ditentukan, setidaknya, dari nilai komoditas rata-rata yang diperlukannya selama ber-
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELUTAMA
aktivitas di TPS, mulai dari rokok, kopi, makan dan—kalau sudah menjelang malam—mungkin juga sedikit anggur. Jadi Sugeng berangkat ke TPS dengan mengantongi upahnya yang dibayar di muka sebesar Rp. 50.000 untuk memilih calon tertentu lalu pulang malamnya dengan sedikit teler dan uang receh. Sekarang coba kita tinggalkan si ‘pekerja suara’ ini dan menganalisis majikannya. Majikan langsung Sugeng adalah para ‘operator suara’ di lapangan. Kerja mereka adalah mengorganisasikan orang-orang seperti Sugeng dan menerima upah yang secara nominal lebih besar dari Sugeng namun tetap proporsional terhadap biaya yang mesti ia keluarkan untuk mengorganisasikan orang-orang. Puncak tertinggi dari rantai ‘produksi suara’ ini, tentu saja, adalah pasangan capres-cawapres dan kelompok donaturnya. Pada eselon tertinggi itu, kita saksikan bagaimana modal yang diinvestasikan untuk produksi suaranya tidak pernah proporsional terhadap output yang mungkin dihasilkannya. Biaya proses produksi suara tentu lebih kecil daripada kemungkinan pendapatan yang akan diperoleh—apabila menang—dari lima tahun memerintah Indonesia. Kalau tidak demikian, tak akan ada capres dan cawapres yang mau mencalonkan dirinya dan tak akan ada donatur yang mau berinvestasi pada keduanya. Fakta bahwa ada yang mau, secara politik ekonomi, tidak menunjukkan bahwa ada yang memiliki hati baik dan kepedulian sosial melainkan bahwa ada laba di sana. Artinya, dalam proses produksi suara ini laba sudah diperoleh tidak dengan cara membayar pekerja suara dan operator suara di bawah nilainya (di bawah nilai komoditas-komoditas yang diperlukan untuk menopang proses kerja itu), melainkan sesuai dengan nilainya. Dengan kata
lain, laba ratusan kali lipat dari proses produksi itu tidak diperoleh melalui pemotongan upah atau mengintimidasi dan mengancam pekerja suara. Konsekuensinya, segala putusan moral atasnya jelas mentah dengan sendirinya. Semua dibayar sesuai nilainya dan tak ada intimidasi yang esensial dalam proses ini. Tak ada ‘Pelanggaran HAM’, atau ‘Ancaman Kekerasaan’, atau ‘Represi atas Kedaulatan dan Keunikan Individu’. Semuanya berjalan seperti proses transaksi bisnis pada umumnya. Apa arti dari semua ini? Tak lain adalah ini: kita tak bisa lagi berangkat dari asumsi bahwa politik yang berlaku saat ini tidak bermoral karena ini hanya akan membawa kita ke labirin tautologi. Itu artinya: kita harus bisa membuktikan kebobrokan politik yang ada dengan menaruh moralitas dalam posisi caeteris paribus (dengan kata lain, ditangguhkan dalam analisis) dan menunjukkan bahwa kobobrokan politik yang ada adalah cerminan yang niscaya dari kebobrokan kondisi riil dalam hubungan produksi material yang melandasinya. Singkat kata: kita harus bisa membuktikan kontradiksi politik borjuis yang bersumber dari modus produksi kapitalis tanpa mengasumsikan adanya setetes darahpun yang menitik akibat kapitalisme. Konsekuensinya: begitu kita dapat membuktikan kontradiksi politik borjuis secara ekstramoral maka kita dapat membuktikannya dalam kondisi moral apapun—begitu kita dapat membuktikan kontradiksi kapitalisme tanpa menghipotesiskan adanya setetes darah dan air matapun yang tertumpah akibat kapitalisme, maka kita akan dapat membuktikan kontradiksi kapitalisme dalam kondisi di mana lautan darah dan air mata mengalir deras dari lubuk modus produksi kapitalis. Ini soal pembuktian ilmiah—tanpa etika, tanpa nubuat, tanpa melankoli. Begitu kita dapat membuktikan secara ilmiah, maka niscaya kita dapat membuktikannya juga secara melankolis. Tapi kalau kita berangkat dari pembuktian melankolis, maka kita tidak mungkin menghasilkan pembuktian ilmiah. Ilmiah berarti imanen, sesuai dengan logika internal dari objek permasalahan, sesuai dengan esensinya, tanpa memasukkan variabel-variabel yang asing terhadapnya sebagai titik pijak untuk mengevaluasinya. Mudahnya: pertama kita mesti bicara kontradiksi kapitalisme, barulah sesudahnya kita mesti bicara tentang kekacrutan kapitalisme, tentang ketidakmanusiawiannya, tentang ketotaliterannya dan seterusnya. Percuma menyumpah-serapahi politik sebagai busuk, korup dan tak bermoral selama esensinya— yakni sebagai politik ekonomi—ti-
*Karya Made Dodit Artawan: Another Dot Rhythm
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
P R O B L E M F I L S A F A T 19
ARTIKELUTAMA
dak dipahami dan kontradiksi pada modus produksinya tak dijamah samasekali. Ini adalah kekeliruan umum politik Kanan (baik dalam bentuknya yang ekstrem maupun moderat). Akan tetapi, kekeliruan ini juga mengemuka dalam politik Kiri. Kita akan melihat bagaimana moralisme Kiri gagal melihat duduk perkara politik dalam hubungannya dengan negara berikut ini.
“Komunisme ‘Sayap Kiri’, Sebuah Penyakit Kekanakkanakan”
Pelampauan Imanen atas Politik Borjuis Kita dapat merangkumkan secara umum pokok Marxian tentang negara. Sebagai ekspresi dari perjuangan kelas, negara adalah hasil kontradiksi pada modus produksi yang mengemuka dalam perjuangan kelas. Artinya, negara tak pernah otonom: ia tak memiliki substansi pada dirinya sendiri sebagai tempat untuk berpijak. Negara bergantung pada dinamika perjuangan kelas. Citra tentang negaraberdaulat yang self-sufficient adalah ilusi yang menutupi realitas perjuangan kelas. Sebagai situs perjuangan kelas, negara adalah salah satu elemen dalam perjuangan kelas. Artinya, negara juga memegang peran determinan dalam gerak perjuangan kelas. Dinamika perjuangan kelas dipengaruhi oleh negara. Melalui struktur perwakilan dan separasi kekuasaan negara borjuis membentuk secara paksa wilayah tempat terjadinya perjuangan kelas. Dalam dua arti itu, negara tetaplah instrumen dari kelas dominan kendati bertabirkan ‘otonomi relatif ’ dalam rupa institusi yang netral dan keterwakilan yang imparsial. Pertanyaannya kemudian: dapatkah kaum Marxis mengartikulasikan dialektika di antara dua aspek negara itu sedemikian sehingga membukakan jalan bagi pelampauan atas negara? Mestikah kaum Marxis mengamini apa yang dinyatakan oleh Holloway, Negri dan Hardt bahwa menghancurkan negara dengan cara mengambil-alihnya adalah terjatuh ke dalam lubang yang sama? Haruskah kaum Marxis mengikuti apa yang dicontohkan mereka dengan menjaga jarak dari negara dengan cara langsung memban-
20
PROBLEMFILSAFAT
gun komune-komune yang otonom terhadap negara tanpa melakukan kontestasi kekuasaan samasekali? Haruskan kaum Marxis menjauhkan diri sebisa mungkin dari apa yang mereka sebut sebagai Kuasa? Kita hanya perlu menunjukkan dua teks pendek dari Marx dan Engels untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu: Indiferentisme Politik dan Tentang Otoritas. Kedua teks itu ditulis dalam konteks yang sama, yakni untuk melawan tendensi ‘ultra-kiri’ di Italia yang menolak perjuangan politik proletariat dalam partai karena menganggap bahwa partai itu niscaya birokratis (dan karenanya buruk), penuh otoritas (dan karenanya otoritarian), yang menolak perjuangan ekonomi karena menganggap bahwa perjuangan untuk kenaikan upah berarti mengakui relasi kerja-upahan, dan yang menolak segala bentuk negosiasi politik karena menganggapnya jatuh pada kompromi (dan karenanya tidak otentik).1 Mereka menyebut dirinya kaum Otonomis dengan slogan: kebebasan, otonomi, anarkhi. Mereka membuat ideologi perjuangan kelas proletariat menjadi semacam etika revolusi. Engels menunjukkan letak soalnya: Adalah absurd untuk berbicara tentang prinsip otoritas sebagai sesuatu yang jahat secara absolut dan tentang prinsip otonomi sebagai yang baik secara absolut. Otoritas dan otonomi adalah hal yang relatif, yang cakupannya berbeda-beda tergantung pada tahapan yang berbeda dalam perkembangan masyarakat. Jika kaum otonomis membatasi diri mereka dengan menyatakan bahwa organisasi sosial masa depan akan membatasi otoritas sampai di dalam batas di mana kondisi-kondisi produksi membuatnya tak terelakkan, maka kita dapat memahami satu sama lain; tetapi mereka buta pada semua fakta yang membuat halnya niscaya dan mereka secara berkobar-kobar justru memerangi katanya.2
Inilah juga hal yang secara prinsipil ditekankan Lenin dalam karyanya, “Komunisme ‘Sayap Kiri’, Sebuah Penyakit Kekanak-kanakan”. Ia tuliskan di sana: Kaum revolusioner yang belum berpengalaman biasanya berpikir bahwa metode perjuangan yang legal itu oportunis sebab, di lapangan ini, kaum borjuis telah kerapkali menipu para pekerja (terutama di masa ‘damai’ dan non-revolusioner), sementara metode perjuangan ilegal bersifat revolusioner. Ini,
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELUTAMA bagaimanapun juga, keliru. […] Bukanlah hal yang sulit untuk menjadi seorang revolusioner ketika revolusi telah meledak, ketika setiap orang bergabung dengan revolusi hanya karena mereka terbawa suasana, sebab itu hampa, dan terkadang berdasarkan motif-motif kariris. […] Adalah hal yang jauh lebih sulit—dan jauh lebih berharga—untuk menjadi seorang revolusioner tatkala kondisi bagi perjuangan massa revolusioner yang langsung dan terbuka belum ada, untuk mampu memimpin kepentingan revolusi (melalui propaganda, agitasi dan organisasi) dalam badan non-revolusioner, dan kerapkali dalam badan yang terang-terangan reaksioner, dalam situasi nonrevolusioner, di antara massa yang belum mampu mengapresiasi langsung keperluan bagi metode aksi yang revolusioner.3
Di sini Lenin mengkritik tendensi keilegal-ilegalan atau ekstra-parlementarisme murni gerakan Kiri di Rusia. Akan tetapi pada prinsipnya yang ia persoalkan sebangun dengan yang dipersoalkan Marx dan Engels terhadap kaum Otonomis Italia, yakni keterjebakan pada ‘moral revolusi’ dan pengabaian atas konjungtur ekonomi-politik konkrit yang menjadi landasan bagi setiap tatanan dan perlawanan atas tatanan. Kembalilah kita pada pertanyaan awal: mestikah kaum Marxis menghindari pengambil-alihan negara dengan alasan bahwa mereka akan terkontaminasi oleh ‘logika Negara’? Jawabnya sederhana: sejauh negara adalah ekspresi dari perjuangan kelas, maka ‘logika Negara’ juga diderivasikan dari ‘logika’ perjuangan kelas. Artinya, problem kontaminasi ‘logika Negara’ adalah pseudo-problem sejauh tak ada pengertian yang konkrit tentang situasi ekonomi-politik yang menjadi syarat adanya negara dan perlawanan atas negara (maupun perlawanan atas ‘logika’-nya). Ketimbang terjebak dalam perlawanan fiktif terhadap logika, akan lebih produktif jika kita menempatkan problem pelampauan atas negara dalam kerangka dialektika antara ekspresi dan situs perjuangan kelas. Karena negara adalah ekspresi dari perjuangan kelas, maka negara dapat dibatalkan melalui perjuangan kelas. Dengan kata lain, karena negara tak memiliki substansi tersendiri (substratum: landasan pejal tempat bertumpu), karena substansi negara adalah dinamika perjuangan kelas, maka tidak ada cara lain untuk mengatasi negara selain dengan mengubah dinamika perjuangan kelas itu sendiri, turut mengintervensinya. Secara bersamaan, karena negara adalah situs perjuangan kelas, konsekuensinya pelampauan atas negara hanya dapat dilancarkan dengan mengeksplisitkan kontradiksi ekonomi-politik yang menjadi situs bagi adanya negara itu sendiri. Sebab tak ada revolusi politik yang berarti tanpa revolusi ekonomi-politik, sebagaimana kritik atas Kuasa adalah hampa tanpa kritik atas konfigurasi ekonomi-politik yang menjelaskannya.4 Berlawanan dengan posisi libertarian-sosialis, kaum Marxis tak hendak mendestruksi negara dengan jalan
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
menjauhinya, dengan masuk ke rimba purba yang jauh dari pusat Kuasa untuk membangun komune seraya merealisasikan sosialisme sekarang juga. Kaum Marxis hendak melampaui negara secara imanen—artinya, dengan masuk ke dalam struktur kekuasaan, mengambil-alihnya dan mendestruksinya dari dalam. Destruksi imanen ini tak akan terjadi selama kondisi-kondisi yang menjelaskan adanya negara belum dibereskan—kepemilikan privat, relasi kerja-upahan, kontradiksi kapital dan kerja. Berhasil atau tidaknya destruksi imanen atas negara—dalam arti, keberhasilan kediktatoran proletariat—tidak pernah ditentukan oleh perkara ada/tidaknya birokratisme dan sejenisnya, melainkan ditentukan dari berhasil/tidaknya melenyapkan syarat-syarat bagi adanya negara itu sendiri. Catatan Akir:
1. Marx membahasakan-ulang tuntutan-tuntutan mereka ini dengan gaya reductio ad absurdum: “The working class must not constitute itself a political party; it must not, under any pretext, engage in political action, for to combat the state is to recognize the state: and this is contrary to eternal principles. Workers must not go on strike; for to struggle to increase one’s wages or to prevent their decrease is like recognizing wages: and this is contrary to the eternal principles of the emancipation of the working class! If in the political struggle against the bourgeois state the workers suceed only in extracting concessions, then they are guilty of compromise […]. They must not even exert themselves in order legally to prohibit the employmentin factories of childern under the age of ten, because by such means they do not bring to an end the exploitation of children over ten: they thus commit a new compromise, which stains the purity of the eternal principles.” Karl Marx, Political Indifferentism dalam Karl Marx, Political Writings Volume 3: The First International and After diedit oleh David Fernbach (London: Penguin), 1981, hlm. 327. 2. Frederick Engels, On Authority dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works Volume I (Moscow: Foreign Languages Publishing House), 1962, hlm. 638. 3. V.I. Lenin, ‘Left-Wing’ Communism, An Infantile Disorder dalam Paul Le Blanc (ed.), Lenin: Revolution, Democracy, Socialism (London: Pluto Press), 2008, hlm. 314-315. 4. Dalam kritiknya atas Bakunin, Marx menulis: “A radical social revolution depends on certain definite historical conditions of economic development as its pre-condition. […] Bakunin […] understands absolutely nothing about the social revolution, only its political phrases. Its economic conditions do not exist for him. As hitherto existing economic forms, developed or undeveloped, involve the enslavement of the worker (whether in the form of wage-labourers, peasant etc.), he believes that a radical revolution is possible in all such forms alike. Still more! He wants the European social revolution, premised on the economic basis of capitalist production, to take place at the level of the Russian or Slavic agricultural and pastoral peoples […] The will, and not the economic conditions, is the foundation of his social revolution.” Karl Marx, Conspectus of Bakunin’s Statism and Anarchy dalam Karl Marx, Political Writings Volume 3, hlm. 335.
P R O B L E M F I L S A F A T 21
ARTIKELUTAMA
NUBUAT PENDEKAR SYAIR BERDARAH DI BUKIT MERIANG
tentang logika produksi komoditi dan politik etika 'intelektual' dan 'massa' Bagian Pertama
oleh ANOM ASTIKA
KAWAN. Apakah kau sudah membaca tulisanku terakhir perihal Aksi Massa dalam penerbitan ProblemFilsafat edisi lalu? Aku harap dirimu memiliki waktu untuk membacanya. Pun hadirnya kritik-kritikmu atas tulisanku tak jemu-jemunya ku nanti hingga saat surat ini ditulis. Seandainya belum cukup jelas perihal yang sudah ku jelaskan di sana, segera bertanyalah. Sedikit banyak aku kan mencoba menjelaskan kembali, agar dirimu dapat mencernanya. Sehingga, bukan tidak mungkin juga kan lahir gagasan-gagasan baru dari dialog surat-menyurat di antara kita. Namun balasanmu tak kunjung tiba. Beberapa kali kita bertatap muka hanya nada-nada sinis yang diucap olehmu untukku. “Tahu apa kau soal gerakan massa?”; “Kau kan cuma intelektual di balik meja”, “Kau cuma bisa bicara tapi malas bertindak”; “Kau tidak kenal siapa itu rakyat”, setidaknya itu empat hal yang ku ingat dari sejumlah perjumpaan kita. Sehingga aku menduga, kau tidak terlalu suka dengan pendapat maupun gagasanku di dalam tulisan tersebut. Boleh jadi salah dugaanku, sehingga mungkin pemikiran-pemikiranku dalam tulisan itu banyak yang ngawur dan boleh jadi benar yang menjadi penilaianpenilaianmu terhadap tulisanku. Karenanya aku akan kembali menjelaskan pemikiran-pemikiranku dengan berangkat dari pernyataan-pernyataan sinismu itu. Baiklah. Aku akan mulai dengan mengiyakan (afirmasi) kebenaran dari pernyataan-pernyataanmu. Dengan kata lain aku akan mulai dengan ketidaktahuanku perihal gerakan massa, oleh karena perbendaharaan pengetahuanku tentang gerakan massa sebatas yang terdapat dalam bahanbahan cetakan. Anggaplah sepanjang sepengetahuanmu aku tidak pernah berlibat dalam aksi massa, tidak pernah turut mengorganisasikan massa, dan tidak pernah berlibat dalam organisasi massa. Bahkan tak kan ku tolak pula kebenaran anggapanmu bahwa diriku pernah berlibat dalam aktivitas bersama massa namun tak pernah serius dan takut dengan dinamika internal dalam aktivitas bersama massa. Ya itu benar; aku tidak tahu apa-apa tentang gerakan massa. Oleh karenanya, aku ingin belajar darimu dengan mengajukan gagasan-gagasanku tentang aksi massa. Upaya belajarku ini akan ku tempuh melalui sejumlah tahap pembahasan. Yang pertama, aku akan mencoba membuat kerangka berpikir untuk dapat mengerti apa
22
PROBLEMFILSAFAT
sebenarnya gagasanmu mengenai intelektual dan massa. Kedua, aku akan mencoba membuat penilaian terhadap sejumlah perlawanan rakyat yang massif di sepanjang tahun 2011 di Indonesia. Selanjutnya, ketiga, aku akan mencoba memperbandingkan gerak perlawanan tersebut dengan pemikiran Marx perihal ekonomi politik, politik dan gerakan massa. Pada bagian keeempat aku akan membuat pendasaran perihal bagaimana gerak politik memang harus berseberangan dengan gerak ekonomi politik kapitalis. Penutupnya, ku perkirakan akan dapat merumuskan gagasan perihal logika produksi komoditi dan politik perlawanan. Lantas, apa tujuan dari upaya belajarku kepada dirimu ini? Sederhana saja, rakyat—yang menurutmu tidak pernah aku kenal sekalipun itu—perlu berpikir bahwa dirinya cukup pantas berbeda pendapat denganmu, dan percaya bahwa pengetahuannya tentang perlawanan berdaya dobrak terhadap barikade demokrasi palang pintu kapitalisme itu. Sehingga, kalaupun aku diperbolehkan olehmu untuk berpikir dan berpendapat tentang perubahan sosial—lebih-lebih karena menurutmu aku mengidap autis alias tidak memiliki kehendak untuk berhubungan dengan masyarakat—aku bisa memperhitungkan dengan tepat kepada siapa aku perlu menyampaikan gagasan-gagasanku, dan topik seperti apa yang sekiranya baik untuk didiskusikan bersama masyarakat. Sudah tentu dirimu akan bertanya-tanya dengan muka dan senyum sinismu apa dasarnya aku bisa berpendapat seperti itu. Terus terang saja, oleh karena keterasinganku dari massa, dan ketakutanku terhadap berbagai macam kritik yang akan mendera diriku membuatku berupaya untuk memanfaatkan hak-hakku—kalau engkau perbolehkan—untuk membaca sejumlah sumber informasi. Jelas sumber-sumber informasi ini bagimu nilainya jauh lebih rendah ketimbang pengalaman beraktivitas politik bersama massa rakyat. Namun seautis-autisnya diriku tidak ada kehendak dari orangtuaku untuk melinggis mataku dan atau dengan penuh kasih sayang menggigit-patah jarijemariku semasa bayi agar diriku tidak bisa membaca dan menulis. Jadi ku manfaatkanlah bagian-bagian dari tubuh dan pikiranku untuk bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Seperti pada saat ku baca tulisan Aristoteles yang berjudul De Anima, sebagai pendasaran teoretik dari upayaku untuk belajar darimu mengenai Politik Aksi Massa:
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELUTAMA Kita terbiasa untuk mengenali substansi sebagai sebuah jenis yang menentukan, dan bahwa ada sejumlah pemikiran. Pertama, dalam kerangka materi atau bahwa substansi itu dengan sendirinya bukan ‘ini’. Kedua dalam kerangka forma/bentuk atau esensi yang tepatnya sungguh disebut sebagai ‘ini’. Ketiga, dalam kerangka gabungan yang pertama dan yang kedua, gabungan materi dan forma. Sehingga sekarang materi adalah potensialitas, forma adalah aktualitas; terutama yang terakhir terdapat dua tingkatan yang berhubungan satu dengan yang lainnya seperti misalnya hubungan pengetahuan terhadap praktek pengetahuan. (Aristoteles, De Anima, Buku II)
Kutipan ini memang tidak mudah untuk dicerna bahasanya, karena sangat mungkin Aristoteles di masa lalunya adalah juga penderita autisme. Menurut rumor analisis genetika abal-abal Aristoteles menjadi autis karena lahir dari hubungan incest antara kakek dari pihak ibunya dan ibunya. Lebih-lebih lagi dirinya kemudian adalah bagian dari bangsawan istana dan bukan dari kalangan budak. Akan tetapi, peradaban memang juga berderap maju lewat perkembangan pemikiran, yang sudah tentu lepas landasnya di atas basis perkembangan ekonomi. Jarang ditemukan fakta ditemukan pemenang nobel sastra atau fisika misalnya dari masyarakat yang sarapannya cuma gorengan, ratarata anak-anaknya lapar menderita penyakit busung lapar, dan kaum intelektualnya cuma makan indomie telor sekali sehari. Oleh karenanya, apakah ketika Marx sedang mentransformasikan pemikiran Aristoteles sebagai bagian dari pemikirannya, ternyata ia pun sedang melahap telor dadar Fu Yung Hai paling enak dari kios Babah Ong di pecinan sebelah pasar besar Alexanderplatz di Berlin, Jerman itu benar atau tidak, yang jelas kerangka pemikiran Aristoteles di muka dielaborasi oleh Marx di dalam salah satu bagian dari tulisannya yang berjudul, The German Ideology, yang kusadur menjadi: Cara manusia/masyarakat memproduksi sarana subsitensinya pertama-tama bergantung pada hakekat dari sarana subsistensi aktual yang ada dan berdekatan dengan kehidupannya dan karenanya sarana subsistensi itu harus dipelihara dan dipertahankan keberlanjutannya. Sarana subsistensi aktual ini disebut sebagai modus produksi, yang tidak boleh dipikirkan sekedar sebagai produksi eksistensi fisik dari individu-individu. Malahan modus produksi ini adalah bentuk pasti dari aktivitas individu-individu ini, bentuk pasti dari pengungkapan kehidupan mereka, atapun keniscayaan dari cara hidup mereka. Ketika individuindividu mengungkapkan hidup mereka, maka demikianlah mereka. Karenanya apa dan siapakah para individu ini seluruhnya berjalan seiring dengan produksinya, baik untuk apa yang mereka produksi dan bagaimana memproduksinya. Hakekat dari individu-individu tersebut dengan demikian bergantung pada kondisi material yang menentukan produksinya1.
Sekarang, ingin ku katakan kepadamu bahwa Aristoteles mengatakan materi adalah ‘substansi itu dengan send-
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
irinya bukan ‘ini’, dan forma adalah yang sesungguhnya adalah ‘ini’, lalu yang muncul sebagai gabungan dari keduanya. Lalu coba kita panjatkan sedikit puji syukur atas keberhasilan Marx mengolah ‘yang bukan ini’ sebagai hakekat dari sarana subsistensi aktual, dan atau modus produksi, lalu aktivitas manusia berproduksi adalah formanya, atau bentuk penampakannya. Tapi sudah tentu hubungan antara Aristoteles dan Marx ini tidak terlalu penting buatmu, karena tak jelas juga apa hubungannya dengan keluargamu. Pun dengan kesimpulan Marx dalam kalimat terakhir kutipan di muka, bagimu--yang sangat menguasai lapangan, sangat akrab dengan rakyat, plus tangkas, gesit, ringan tangan ketika rakyat terseok-seok, berjalan pincang, penuh memar, bersimbah darah--itu adalah sesuatu yang tidak kongkret, abstrak, dan tidak politis. Bolehlah dirimu berpandangan seperti itu. Pada saatnya nanti pandanganmu pasti berjaya di kalangan pembebas massa-rakyat, yang belum berhasil menumbangkan kapitalisme namun penuh semangat dan nurani murni–yang tanpa karat maupun gores pada rangka badan sepeda motor (curian) Bang Ipin, tukang ojek di sekitaran Pancoran. Sebegitu tidak kongkretnya “Hakekat dari individuindividu tersebut dengan demikian bergantung pada kondisi material yang menentukan produksinya”, sampai kemudian berbagai perlawanan yang muncul di berbagai pelosok negeri ini di sepanjang tahun 2011 boleh dikata begitu pelik merebut satu kata dari gagasanmu tentang diriku. Mulai dari ujung barat laut negeri ini di pulau Batam, puluhan ribu kaum buruh yang melakukan pemogokan hingga mengunci kota selama beberapa hari, sampai dengan buruh PT Freeport di Papua, di ujung timur negeri ini, tak satupun dari seruan dan selebaran mereka menyebut-nyebut pembedaan antara siapa massa dan siapa intelektual. Menariknya, ketika aksi-aksi massa itu muncul tak sekalinya pernah kau lantangkan kepada publik misalnya, ‘gerakan buruh batam itu gerakan intelektual bukan gerakan massa’, atau ‘gerakan buruh freeport itu cuma bicara doang, tidak ada tindakan kongkret’. Sehingga aku perlu mengulek pikiranku menjadi lebih pedas untuk menyelidiki dari mana asal-usul gagasanmu mengenai pemisahan kategori intelektual dan massa, sebagaimana pemisahan kategori berbicara dan bertindak itu bisa berlaku sebagai ejaan politik yang disempurnakan di kepalamu. Lebih jauh lagi akan ku periksa dengan teliti pada saat-saat seperti apa kategori-kategorimu tentang intelektual dan massa itu biasa kau perdengarkan ke hadapan publik. Ini agar lebih jelas apakah gagasanmu tentang intelektual dan massa itu gagasan politik atau politik gagasan. Oleh karenanya, penting bagiku–entah bagimu--untuk memperhatikan kutipan Lenin berikut ini: “Sama halnya juga, ide tentang keniscayaan sejarah pada akhirnya tidak merendahkan peran individual dalam sejarah: semua sejarah diciptakan melalui berbagai tindakan individu-, individu, yang pastinya adalah figur-figur yang aktif. Persoalan riilnya muncul ketika menghargai aktivitas sosial dari satu individu adalah: apa kondisi-kondisi yang
P R O B L E M F I L S A F A T 23
ARTIKELUTAMA dapat menjamin keberhasilan dari tindakan-tindakannya, apa jaminan bahwa disana terdapat tindakan-tindakan yang tidak akan tetap sebagai tindakan yang terisolasi dalam kubangan tindakan yang bertentangan?”2
Sudah ku duga dirimu pasti kembali mencibir untuk kutipan Lenin di muka, seakan tidak ada masalah dengan kalimat-kalimat barusan. Tetapi aku sungguh memaklumi mengapa bibir bawah mu tiba-tiba kau sorongkan ke depan, untuk tidak menganggap penting kutipan itu. Lantaran ku tahu benar pasti pengertianmu berkata ‘namanya juga materialisme; sebuah realitas selalu merupakan akibat dari realitas yang lain’. So what gitu loh? Itu cuma menandakan kau tak pernah berupaya menyelidiki lebih mendalam apa gagasan di balik kutipan tersebut. Aku sendiri berpendapat, bahwa kutipan itu mengandung pertanyaan awal, ‘Adakah realitas yang tidak bergerak, dan atau mengalami perkembangan dan perubahan?’. Tidak mungkin ada realitas yang tidak bergerak, karena tanpa gerak maka tidak mungkin tercipta ruang dan waktu. Seperti si autis burjuis Aristoteles kemudian menuliskan: Oleh karena alam adalah prinsip gerak dan perubahan, dan karena penyelidikan kita adalah mengenai alam, kita seharusnya tidak melampaui persoalan apakah itu gerak. Ini karena tanpa memahami gerak, kita tidak akan memahami alam. (Aristotle, Metaphysics)
Kini ku kembali berpikir dan bertanya-tanya pada pemikiranku–dan jelas bukan pada pemikiranmu oleh karena keautisanku sudah kau definisikan sebagai yang bukan pemikiran. Maka jadilah pikiranku bergerak–kalau engkau izinkan--dengan berpijak pada pengalaman membaca dan menulis sepanjang yang ku lihat dan ku alami selama ini. Problem dasar dari pemikiranku berpangkal pada soal derap dari gerak itu sendiri. Jikalau materi itu selalu dalam kondisi bergerak, sebagaimana juga realitas yang bergerak lalu bagaimana kita membuat rasionalisasi dari gerak tersebut sebagai momen-momen berpikir? Bagiku ini soal yang tidak sederhana, bahkan rumit. Oleh sebab semua realitas yang hadir di hadapanmu melalui segenap panca indra tidak pernah kau rekam dan catat, bagimu menjadi sederhana soalnya, itu barang bisa dibeli atau dicuri. Walau semenjak balita dirimu pandai mencongak, mengeja, menulis halus, memasak, menjahit, perkayuan, elektronika, dan segala kemampuan lain sampai serupa atlet dasalomba yang pesolek, tetapi tiada cerita tentang realitas yang hidup pernah keluar dari liang kerongkonganmu. Sampai aku tidak pernah mengerti apakah orang lain perlu berpikir tentang dirimu, dan apakah memang ada realitas di dalam benakmu. Selalu, dan selalu saja hanya dirimu yang perlu kau ceritakan, sampai lantang teriak tukang sate pun nada-nadanya tak gaung di gendang telingamu. Aristoteles yang tidak gaul dan burjuis itu saja masih mencoba merumuskan cara untuk merekam dan mencerap melalui sejumlah pemahaman3:
24
PROBLEMFILSAFAT
“Segala sesuatu yang diucap dengan tanpa kombinasi apapun, maka masing-masingnya menunjukan apakah itu substansi, ataukah kuantitas, ataukah kualifikasi, ataukah kerelatifan, ataukah tempatnya, ataukah waktunya, ataukah berada dalam posisi apa, ataukah memiliki, ataukah melakukan, ataukah dipengaruhi. Gambaran kasarnya misalnya, substansi adalah manusia, kuda; kuantitas: berkaki empat, berkaki lima; kualifikasi: putih, gramatik; kerelatifan: ganda, setengah, lebih besar; dimana tempatnya: di Lyceum, di pasar; kapan waktunya: kemarin, tahun lalu; berada dalam posisi: sedang rebah, sedang duduk; memiliki: bersepatu, berperisai; melakukan: memotong, membakar; dipengaruhi: dipotong, dibakar (1b25-2a4)”
Sudah pasti perumusan Aristoteles ini memang belum tampak penting bagi dirimu yang begitu menguasai lapangan, yang begitu piawai untuk duduk berjam-jam mencari wangsit di warung-warung kopi pasar tradisional. Entah lapangan sepakbola mana yang pernah kau daku sebagai lapangan perjuanganmu, yang jelas, seingatku, tak pernah ku temukan gagasanmu tentang realitas. Karenanya aku perlu menelusuri catatan pemikiran sampai ke abad sebelum Masehi, untuk mengerti bagaimana mengenali realitas berdasar pada klasifikasi kata yang memiliki kesamaan bunyi (homonim) maupun kesamaan makna (sinonim) dan lawan kata (antonim). Lepas dari apapun merek kopi yang kau minum, sampai benakmu penuh dengan kisah tentang tetumbuhan dan bebungaan di lapangan perjuanganmu, menurutku ada sedikit masalah dengan pemikiran Aristoteles Sebelumnya ia mengatakan bahwa segala sesuatunya terdiri dari materi/esensi dan forma. Lalu ia mengatakan bahwa pemahaman atas gerak materi adalah kunci untuk memahami alam. Tetapi kategori-kategori yang dibuatnya seolah membuat materi itu bukan bagian dari dirinya. Walaupun ia menyebut perihal materi sebagai ‘sesuatu yang diucap’, tetapi pemahaman Aristoteles tentang materi sebatas tentang apa yang dapat dibahasakan oleh manusia mengenai realitas yang hadir di hadapannya, dan bukan sebagai gerak dari materi itu sendiri. Problem Aristoteles ini lalu dijawab oleh Epicurus di dalam Surat kepada Herodotus4: Atom-atom terus menerus bergerak melalui semua keabadian. Beberapa dari mereka memantul kembali pada satu jarak tertentu antara satu atom dengan yang lainnya, sementara yang atom-atom yang lain sekedar berputarputar di satu tempat ketika atom-atom itu dijerat oleh massa atom lain yang terbentuk untuk memerangkapnya. Ini karena setiap atom dipisahkan satu dengan yang lain oleh ‘void’ (semacam ruang kosong), yang tak berkemampuan menawarkan satu perlawanan pun terhadap pantulan balik; sementara kepadatan atom lah yang membuat atom memantul setelah bertabrakan. Namun jarak pantulnya makin pendek ketika atom dengan sendirinya diperangkap oleh sebuah massa atom yang mengurungnya. Dari semuanya ini tidak ada awal mula, karena baik atom maupun void ada dari keabadian.
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELUTAMA
Penjelasan Epikurus di muka jelas merelatifkan penjelasan Aristoteles tentang kategori. Dengan kata lain, bagaimana mungkin memahami realitas secara kategoris sementara realitas fisik itu sendiri, seperti gambaran tentang atom di muka tidak pernah berhenti bergerak? Bagaimana mungkin dasar berpikir yang kategoris berhadapan dengan realitas fisik yang terus menerus bergerak? Bukankah dengan demikian atom-atom itu, atau substansi menurut Aristoteles tidak dengan sendirinya menampilkan bentukbentuk barunya, tetapi ada ruang-ruang kosong (void) yang menjadi tempat bagi berbagai gerak dari atom itu? Sehingga materi atau substansi tidak mungkin bergerak dan berubah dengan sendirinya tanpa wadah ruang kosong tersebut. Oleh sebab itu juga, penjelasan Aristoteles tentang materi dan forma tidak bisa dipahami dalam kerangka logika, tetapi musti dipahami menurut logika gerak dan berdasar pada perubahan-perubahan yang terjadi selama gerak itu berlangsung sebagaimana yang digagas oleh Epikurus. Pada titik ini konsep waktu menjadi akar bahar yang berperisai peristiwa demi peristiwa tempat segala macam gerak dan perubahan berlangsung. Marx dalam tesis doktoralnya mengenai perbandingan pemikiran Demokritos dan Epikurus menyatakan5: Berbeda dengan Epikurus, waktu dilepaskan dunia esensi, baginya waktu adalah bentuk absolut dari penampakan. Ini untuk mengatakan bahwa waktu ditentukan oleh peristiwa atas peristiwa. Peristiwa-peristiwa adalah perubahan substansi secara umum. Peristiwa atas peristiwa adalah perubahan yang berjalan dengan sendirinya, perubahan sebagai perubahan. Bentuk murni dari dunia penampakan adalah waktu.
Sekarang dari paparan kutipan teoretik di muka, mulai dari Aristoteles, Epikurus, Marx dan Lenin dapat dibuat titik-titik pengertian (pointers) umum: 1. segala sesuatunya berdasar pada realitas materi yang bergerak, dan segala sesuatunya diwadahi oleh peristiwa dan peristiwa; 2. segala sesuatunya, karenanya, berdasar pada dua macam realitas: realitas materi dan realitas forma, dan bentuk absolut dari realitas forma adalah waktu. 3. Oleh karenanya pembacaan terhadap realitas bukan didasarkan atas pembacaan terhadap atom-atom yang bergerak, tetapi didasarkan atas peristiwa-peristiwa yang mewadahi gerak dari materi dan atau atom-atom tersebut. 4. Oleh karenanya pembacaan terhadap realitas tidak bisa didasarkan atas kategori-kategori baku yang menjelaskan forma dari materi, tetapi didasarkan atas pembacaan terhadap realitas peristiwa yang memungkinkan lahirnya berbagai macam forma dari berbagai macam gerak materi. 5. Problem penggambaran realitas oleh karenanya didasarkan pada realitas kategoris, yang selalu mengandaikan adanya pertanyaan-pertanyaan terhadap peristiwa demi
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
peristiwa. Lalu bagaimana kemudian membaca realitas dengan berangkat pada titik-titik pengertian di muka? Marx menjelaskannya dalam The German Ideology, bahwa pembacaan terhadap realitas perlu didasarkan pada ilmu pengetahuan tentang sejarah6, dan dalam hal ini adalah sejarah manusia sebagai eksistensi dari individu-individu yang hidup di muka bumi ini.
Konsepsi sejarah ini bergantung pada kemampuan kita untuk mengungkap proses produksi yang nyata, dengan berangkat dari produksi material kehidupan itu sendiri, dan memahami bentuk hubungan yang berkaitan dengan produksi material itu dan diciptakan oleh modus produksi ini (misalkan masyarakat sipil di dalam berbagai tahapannya), sebagai dasar dari semua sejarah; dan menunjukkan modus produksi dalam tindakannya sebagai Negara, untuk menunjukkan semua produk teoretik dan bentuk kesadaran yang beragam termasuk agama, filsafat, etika dan sebagainya, dan melacak asal usul mereka dan yang tumbuh dari dasar tersebut, sehingga seluruhnya dapat digambarkan dalam totalitasnya … … konsepsi ini tidak menjelaskan praktek dari ide tetapi menjelaskan pembentukan ide-ide dari praktek material, dan selanjutnya tiba pada kesimpulan bahwa semua bentuk dan produk kesadaran tidak dapat begitu saja dilarutkan oleh kritisisme mental, pun tak bisa melalui penyelesaian dalam ‘kesadaran diri’ atau transformasi menjadi ‘bayangan gelap’, ‘hantu’, ‘tahyul’, dan sebagainya.... Konsepsi ini menunjukkan bahwa sejarah tidak dibangun dan diakhiri melalui problem ‘kesadaran diri sebagai roh dari segala roh’ tetapi bahwa di dalam setiap tahap sejarah terdapat hasil materialnya: sejumlah kekuatan produktif, sebuah hubungan antar individu-individu terhadap alam maupun terhadap satu dengan lain individu, yang diciptakan oleh sejarah.... Konsepsi ini menunjukkan bahwa situasi membentuk manusia sebanyak manusia menciptakan situasi7.
Problematik yang hendak diajukan oleh Marx dalam konsepsi sejarahnya, menurutku, adalah pada bagaimana memahami realitas manusia/masyarakat sebagai refleksi dari hukum alam. Jikalau Epikurus mengatakan bahwa atom-atom itu bergerak dalam lintasan yang memantul balik dan yang berputar-putar dalam wadah void (kekosongan), maka itu tidak berarti bahwa atom-atom tersebut adalah perkumpulan-perkumpulan individu yang bergerak ke sana kemari dalam konteks sosialnya. Tetapi realitas yang berlaku, apapun itu, berperan membentuk realitas yang lain dalam konteks peristiwa dari peristiwa. Gerak dari atomatom itu adalah waktu, dan waktu dengan demikian adalah soal sejarah bagi Marx. Masyarakat sebagai materi–jikalau direfleksikan kembali pada pemikiran Aristoteles bukanlah kumpulan atom-atom yang berdiri sendiri tetapi memiliki ketersalinghubungan antara satu individu dengan yang lainnya, antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, yang berlangsung sepanjang sejarah. Ketersalinghubungan inilah–yang kemudian disebut sebagai relasi sosial--yang membentuk sistem ekonomi dan sosial. Tetapi apa yang kemudian menjadi perekat dari ketersalinghubungan ini, dan
P R O B L E M F I L S A F A T 25
ARTIKELUTAMA
bagaimana kemudian keterkaitannya dengan sejarah tindakan sosial manusia? Sudah barang tentu terdapat sejumlah prasyarat untuk bergeraknya atom-atom. Bisa jadi massa jenis atom, bisa jadi jarak pantulan atom sebagaimana yang digambarkan oleh Epikurus. Dengan kata lain, jika pertanyaan di muka diterjemahkan ke dalam konteks sosial maka kita akan kembali masuk pada apa yang dinyatakan oleh Lenin di bagian lebih awal dari tulisan ini: “Jika memang sejarah dibentuk oleh tindakan-tindakan individu maka apa sebenarnya yang menjamin agar tindakan-tindakan tersebut tidak terisolasi satu dengan yang lain dan bersesuaian dengan realitas yang ada”. Problem yang demikian ini tampaknya begitu sederhana, dan aku yakin sekali dirimu akan menduga setengah menafsir bahwa pertanyaan Lenin itu adalah cara Lenin untuk menyatakan bahwa realitas ekonomi-politiklah yang menentukan kesadaran politik, dan artinya juga yang menentukan tindakan-tindakan individu. Memang tidak ada salah dan dosanya untuk menduga-duga isi hati dan pikiran seseorang, tetapi pengetahuan itu lahir dari proses pembuktian: bahwa pernyataan A berperan untuk menjelaskan pernyataan B, jika keduanya berada dalam satu kalimat; kedua, bahwa pernyataan A menjadi dasar untuk berpikir tentang pernyataan B jika keduanya tidak dalam satu kalimat. Di dalam hal ini, yang lebih penting bukanlah apa jawaban dari sebuah persoalan, tetapi apakah dirimu benarbenar mengerti darimana asal-muasal persoalan tersebut, bagaimana cara persoalan itu tiba di dalam benakmu, dan apakah dirimu mampu membuat penjelasan yang baru akan hal yang dipersoalkan. Sejauh engkau dapat menatap selintas kata demi kata dari tulisanku, sejauh itu pula ku rasa dirimu perlu lebih banyak membaca dan menulis perihal dunia pemikiran banyak orang yang jelas lebih pandai darimu. Persoalan yang dimaksud bukanlah sesuatu yang tiba-tiba hinggap di benakmu yang begitu dahsyat, yang oleh karenanya berkemampuan merevitalisasi kembali ide-ide Platonik tentang hirarki etis politik masyarakat. Jika Platon menujumkan ‘filsuf raja’, ‘prajurit’, dan ‘warga kebanyakan’ sebagai kunci dasar hirarki masyarakat ideal, maka dirimu menangkarnya dengan gagasan ‘intelektual’ dan ‘massa’. Tampaknya indah hirarki itu. Seolah-olah kehidupan akan menjadi terang benderang tanpa penindasan jika pimpinannya adalah para intelektual; dan karenanya seorang intelektual harus berlibat bersama massa untuk dapat mengerti keinginan massa. Seolah-olah seorang intelektual adalah yang mampu memandang secara obyektif dari kejauhan persoalan-persoalan masyarakat, dan oleh karenanya mampu menemukan jalan keluar dari persoalan-persoalan masyarakat. Namun terus terang saja realitas sosial tidak sama dengan abstraksi umum tentang peran individu di dalam sistem sosial, dan karenanya realitas sosial perlu dicerap menurut sejarah dari kelompok-kelompok sosial. Seandainya kategori ‘intelektual’ dan ‘massa’ itu tetap saja kau pertahankan, maka boleh jadi itu problem pribadimu dan bukan lagi realitas sosial. Bagaimana mungkin realitas yang
26
PROBLEMFILSAFAT
begitu ragam bentuk dan tampilannya, bisa begitu saja kau simpulkan pada dua hal: intelektual dan massa, yang bisa jadi serupa dengan ‘yang baik dan yang jahat”, ataupun ‘yang subyektif dan obyektif ’? Jelas landasannya adalah seperti yang dikemukakan oleh Marx di dalam The German Ideology8: ...Karenanya, di sini muncul perbedaan di antara alat produksi alami, dan alat produksi yang diciptakan oleh peradaban. Lahan (seperti air, dsbnya) dapat dianggap sebagai instrumen produksi alami. Pada kasus pertama, yang berkaitan dengan alat produksi alami, individu-individu tunduk pada alam; pada kasus kedua, alat produksi itu merupakan hasil kerja. Dalam kasus pertama, karenanya, kepemilikan (tanah yang dimiliki) muncul sebagai dominasi langsung yang alami, sedang dalam kasus kedua, sebagai dominasi atas kerja, khususnya kerja yang diakumulasi, yaitu kapital/modal. Kasus pertama mengandaikan bahwa individu-individu disatukan oleh sejumlah ikatan, seperti keluarga, suku, dan tanah itu sendiri, dsbnya; kasus kedua, bahwa individu-individu itu independen antara satu dengan yang lain dan hanya bisa dikumpulkan melalui pertukaran. Dalam kasus pertama, apa yang terlibat terutama adalah pertukaran –dalam arti hubungan timbal balik-- antara manusia dengan alam. Di sini kerja manusia dipertukarkan untuk produk-produk dari alam. Sedang yang kedua, terutama adalah pertukaran di antara manusia dengan manusia yang lain.
Apa yang dapat dimengerti dari penjelasan Marx? Pada dasarnya Marx menegaskan bahwa problem perkembangan dan gerak manusia dan masyarakat dapat dilandaskan pada relasi sosial manusia/masyarakat. Alam, masyarakat, dan relasi sosial adalah tiga kutub yang saling berhubungan seperti layaknya segitiga. Alam di sini adalah potensi/materi, adalah dasar bagi adanya masyarakat dan relasi sosial. Masyarakat di sini adalah representasi/forma dari alam yang tumbuh dan berkembang menurut siklus hidup biologis dan historis. Relasi sosial kemudian adalah representasi dari alam dan masyarakat. Relasi sosial di dalam pemikiran Marx bukan soal perhubungan laut, darat, dan udara serta bukan juga urusan komunikasi via kabel dan nir kabel yang dapat menjembatani nurani-nurani yang kesepian dan terasing di tengah dunia fana yang sia-sia ini. Akan tetapi relasi sosial di sini lebih serupa proses pembentukan sistem produksi oleh kelompok-kelompok sosial yang menjamin keberlangsungan hidup masyarakat, di satu sisi. Di sisi lainnya, relasi sosial adalah proses pembentukan sistem pengetahuan dan nilai yang memungkinkan lahirnya pembagian kerja dan kepemilikan terhadap alat-alat produksi di dalam masyarakat. Oleh karena itu ketiganya menjadi dasar bagi lahirnya berbagai macam aktivitas sosial manusia, dasar bagi lahirnya konflik dan harmoni dalam masyarakat, dan ketiganya menjadi dasar bagi lahirnya struktur-struktur sosial dalam masyarakat berikut lembaga-lembaga yang mememelihara ataupun menghancurkan hubungan di antara ketiganya. Karenanya juga, interaksi
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELUTAMA
dan konflik di antara alam, masyarakat, dan relasi sosial adalah yang melahirkan peristiwa demi peristiwa, sehingga terciptalah sejarah tindakan sosial manusia/masyarakat. Lalu bagaimana pengetahuan tentang relasi dari ketiga kutub ini dapat tiba dengan selamat ke benak masyarakat? Sudah tentu tidak lewat pelajaran di sekolah, ataupun melalui pewartaan-dari atap langit yang turun ke bumi, sebagaimana yang sungguh senang kau bayang-bayangkan, dan kau coba-coba buktikan lewat mimpi dunia Atlantis ada di Indonesia. Apakah itu temuan benar, atau tidak, yang jelas ku tahu pasti tak satu kalimat dari karya Platon, yang berjudul Timaeus pernah kau ucap atau tulis, apalagi kau analisa. Dari karya itu, cerita tentang Atlantis di mulai dan mungkin saja memang ada di Indonesia. Terus setelah itu apa pentingnya bagiku untuk menyadari bahwa aku adalah keturunan makhluk Atlantis, yang berbudaya tinggi, keturunan Majapahit yang pernah menguasai 2/3 dunia, dan harus menyadari pula bahwa sampai kini aku basin nganggur mengantre lowongan pekerjaan? Sungguh aku masih berpikir dirimu seperti kaum intelektual yang digambarkan oleh Marx ketika perlahan-lahan menjelaskan konteks permasalahan ‘kerja’. Ini kelihatan di dalam bagian awal dari The German Ideology: Sampai dengan saat ini manusia/masyarakat terus menerus menciptakan konsepsi palsu tentang dirinya, dan hanya untuk dirinya. Tentang siapa mereka dan harus seperti apa diri mereka. Mereka atur hubungan-hubungan di antara mereka menurut gagasan-gagasannya tentang Tuhan, tentang mahluk yang normal, dsbnya. Kini, hantu-hantu di benak mereka tak lagi di tangan. Mereka, para pencipta, telah ditundukkan di hadapan ciptaan mereka sendiri.
Penjelasannya bukan pada bagaimana definisi Marx tentang Kerja, dan dari mana pula definisi itu digali oleh Marx9. Akan tetapi lebih pada bagaimana relasi sosial dapat membentuk konsep tentang Kerja, dan bagaimana pula konsep tersebut menjadi sentral dalam rangkaian segitiga di muka. Nah, apa yang dinyatakan oleh Marx dalam kutipan di muka lebih pada bagaimana orang-orang Jerman dan kaum intelektualnya terutama, berpikir tentang diri mereka sendiri. Sementara di dalam kenyataannya problem pemikiran tersebut berhadapan dengan hal-hal yang bertolakbelakang dengan gagasan-gagasannya, sebagaimana kalimat di muka, “Mereka, para pencipta realitas, berhasil ditundukkan di hadapan ciptaan mereka sendiri”. Apa artinya? Artinya bahwa penjelasan Marx menegaskan perihal pengetahuan yang dibangun oleh manusia mengenai kehidupannya tidak bersentuhan dengan apa yang dialaminya. Artinya lagi, apa yang dibayangkan oleh masyarakat mengenai dirinya tidak bersangkutpaut dengan aktivitasnya sehari-hari. Apakah ini berarti keterasingan dan atau alienasi? Perlu dipahami bahwa problem alienasi bukanlah problem bagaimana individu/masyarakat tercerabut dari akar sosialnya, dan atau dari pengalaman hidupnya sehari-hari, melain problem pembelokan ataupun pembiasan orientasi politik
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
manusia/masyarakat sebagai akibat dari upaya kapitalisme meregulasi kehidupan masyarakat/manusia. Apakah lalu yang dimaksud oleh Marx sebagai Kerja? Ada banyak penjelasan tentang kerja dari para pemikir sebelum Marx, namun Marx tidak terburu-buru berpendapat tentang definisi Kerja. Setelah alam pikiran dan pengetahuan masyarakat dipetakan sebagaimana yang terkutip di muka, Marx lalu berpendapat bahwa para pemikir Jerman di abad ke-19 begitu sibuk mempersoalkan dan mengkritik realitas teologis dan kesadaran relijius. Seakan-akan keduanya adalah yang paling menentukan dalam pembentukan pemikiran manusia/masyarakat. Sehingga tidak mengherankan jika jalan keluar yang mereka tawarkan untuk menghadapi dogma, adalah kembali menjadi mahluk relijius yang lebih sempurna. Apa artinya10? Di sini Marx mencoba mengemukakan bahwa pandangan hidup masyarakat Eropa, khususnya Jerman pada saat itu sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan yang berasal dari dogma-dogma agama, dan religiusitasnya didasarkan pada upaya untuk tidak melanggar dogma-dogma tersebut, seumpama ketaatan untuk tidak melanggar 10 perintah Allah. Kesadaran relijius ini yang coba dilawan oleh para pemikir Jerman tapi juga dengan menawarkan bentuk relijius yang lain, seperti misalnya kepercayaan diri yang berlebihlebihan terhadap kemampuan berpikir manusia sebagaimana yang dirumuskan oleh Kant dan Hegel. Oleh karenanya Marx lalu mendebat pandangan-pandangan tersebut dengan menyatakan: ...premis pertama dari semua eksistensi manusia, dan karenanya premis dari seluruh sejarah, adalah bahwa manusia harus berada dalam posisi untuk hidup agar dapat “mencipta sejarah”. Tetapi kehidupan melibatkan segala hal lain yang mencakup makan dan minum, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya. Sehingga tindakan historis pertama adalah produksi berbagai macam sarana untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan ini, yaitu produksi kehidupan material itu sendiri. Hal kedua adalah bahwa pemuasan terhadap kebutuhan pertama (tindakan pemuasan, dan peralatan untuk memuaskan yang diperoleh) membawa pada kebutuhan baru, dan produksi akan kebutuhan yang baru adalah tindakan historis yang pertama. Hal ketiga, dalam perkembangan historisnya manusia yang sehari-harinya memperbaharui kehidupannya, mulai menciptakan manusia yang lain, menyebarkan benih-benihnya: hubungan antara perempuan dan laki-laki, orang tua dan anak, keluarga. Produksi kehidupan, baik dalam arti kerja seseorang maupun dalam arti prokreasi –menciptakan hidup yang baru, sekarang muncul sebagai relasi ganda: di satu sisi sebagai yang alami, dan di sisi yang lain sebagai hubungan sosial. Melalui yang sosial kita memahami kerja sama dari sejumlah individu, entah di bawah kondisi seperti apa, dengan cara apa, dan untuk tujuan apa. Dari sini kemudian modus produksi tertentu, atau tahap industrial selalu digabungkan dengan bentuk kerja sama tertentu, tau tahapan sosial, dan modus kerja sama ini sendiri adalah “kekuatan
P R O B L E M F I L S A F A T 27
ARTIKELUTAMA produktif ”. Lebih jauh lagi, berkembangbiaknya kekuatan produktif memaksa manusia untuk memiliki akses yang dapat menentukan hakekat masyarakat, karenanya, “sejarah kemanusiaan” harus dipelajari dan diperlakukan dalam hubungannya dengan sejarah industri dan pertukaran.11
Dari kutipan di muka jelas bahwa Marx memaknakan kerja bukan sekedar sebagai sebuah aktivitas tunggal pada satu momen tertentu, melainkan sebuah rangkaian aktivitas yang berlangsung dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Kerja pertama-tama adalah upaya ‘membuat sejarah’, dan yang paling utama adalah produksi kehidupan material. Kedua, kerja juga mengandaikan upaya pemuasan terhadap produksi kehidupan material, artinya di sini muncul kebutuhan baru. Kebutuhan untuk melanggengkan kerja produksi material di tingkat kesadaran. Di sinilah muncul nilai-nilai berikut epos-epos kepahlawanan yang menyertainya. Ketiga kerja juga adalah menciptakan kehidupan yang baru. Dari sini muncul keluarga, hubungan antara lelaki dan perempuan, anak dan orang tua. Keempat, kerja adalah hubungan ganda yang bergerak secara historis, sebagai sesuatu yang alami dan sebagai hasil dari hubungan-hubungan sosial. Keempat aspek ini, yang bukan tahapan-tahapan, tapi momen-momen yang selalu menyertai seluruh sejarah kehidupan manusia. Keempat aspek ini, seandainya itu adalah momen-momen dalam sejarah kehidupan manusia, sudah tentu bukan karya tunggal seorang Pendekar Kelana Tak Tentu Arah, dan akhirnya Salah Arah. Tetapi karena empat aspek tersebut maka Kerja adalah sesuatu yang sosial, yang selalu berada dalam upaya membentuk pengetahuan yang baru, aktivitas yang baru, kehidupan yang baru, dan karenanya upaya menciptakan sejarah yang baru12. Karenanya menarik untuk melihat kembali definisi kerja sebagaimana yang digambarkan oleh Aristoteles, yang kuat pengaruhnya dalam pemikiran Marx: “... ketika terdapat dua hal di mana yang satu adalah alat dan yang lainnya adalah tujuan, keduanya tak memiliki hal yang sama, kecuali bahwa yang satu menerima apa yang dihasilkan yang lain. Seperti misalnya, hubungan antara pekerja dengan alat-alatnya terhadap pekerjaannya; rumah dan pembangun rumah tidak memiliki hal yang sama, tetapi seni dari si pembangun adalah demi berdirinya rumah tersebut” (Pol.1328a 27-33)
Sampai di sini, sampai pada upaya menciptakan sejarah yang baru, ternyata dirimu masih perlu mencari pahlawan Atlantis melalui selidik bencana alam hanya untuk membuktikan yang dulu lebih baik daripada yang sekarang. Padahal dari kutipan di atas sudah jelas dirimu tak lebih adalah sarana produksi baik bagi alam maupun bagi masyarakat13. Jadi apakah kemudian maksudnya para pendekar Atlantis itu sudah mampu menjelaskan problematik kapitalisme sebagaimana yang tersedia pada saat ini? Semoga saja demikian, agar aku tak perlu lagi berpikir bahwa kapi-
28
PROBLEMFILSAFAT
talisme itu pernah hidup di negeri ini.*** Catatan Akir:
1. Karl Marx, The German Ideology, bagian “First Premises of Materialist Method”, diambil dari situs web www.marxists.org 2. Lenin, “What The Friends of the People and How They Fight the Social Democrats?”, Collected Works vol. 1, Progress Publisher, Moscow, 1960, h. 159. 3. Aristoteles, “On Category” 4. Epicuros, “Letter to Herodotus”, diambil dari situs web http://www.epicurus.net/en/herodotus.html 5. Karl Marx, The Difference Between the Democritean and Epicurean Philosophy of Nature, diambil dari situs web www.marxists.org pada laman http://www.marxists.org/archive/marx/works/1841/drtheses/ch07.htm#3b 6. Karl Marx, The German Ideology, diambil dari situs web www. marxists.org terutama pada laman http://www.marxists.org/archive/marx/works/1845/german-ideology/ch01a.htm 7. Ibid, dalam laman http://www.marxists.org/archive/marx/ works/1845/german-ideology/ch01b.htm 8. Karl Marx, The German Ideology, di dalam situs web www.marxists.org, terutama pada laman http://www.marxists.org/archive/ marx/works/1845/german-ideology/ch01c.htm 9. Agak aneh penjelasan Sean Sayers, yang terus berupaya mengembalikan Marx ke dalam karakter Hegeliannya, dengan menyatakan bahwa konsep Kerja dalam pemikiran Marx adalah mengambil dari konsep Hegel, yang menyatakan bahwa Kerja adalah aktivitas spiritual manusia, yang unik, yang membedakannya dengan mahluk hidup yang lain. Jikalau demikian, apakah Kerja pernah diandaikan sebagai sesuatu yang “tidak spiritual”? Lihat Sean Sayers, “The Concept of Labour: Marx and His Critics”, Science and Society, Vol.71, No.4 October 2007 h. 434 10. Teks asli untuk kutipan ini: ‘What religious consciousness and a religious conception really meant was determined variously as they went along. Their advance consisted in subsuming the allegedly dominant metaphysical, political, juridical, moral and other conceptions under the class of religious or theological conceptions; and similarly in pronouncing political, juridical, moral consciousness as religious or theological, and the political, juridical, moral man – “man” in the last resort – as religious. The dominance of religion was taken for granted. Gradually every dominant relationship was pronounced a religious relationship and transformed into a cult, a cult of law, a cult of the State, etc. Ibid. Diambil dari situs web www.marxists.org dalam laman http://www.marxists.org/archive/marx/works/1845/germanideology/ch01a.htm#a1 11. Ibid. Diambil dari situs web www.marxists.org terutama pada laman http://www.marxists.org/archive/marx/works/1845/ german-ideology/ch01a.htm#a3 12. Dalam hal ini penulis menolak pandangan Carol Gould, yang menyatakan bahwa kerja dalam pemikiran Marx adalah sesuatu serupa kreasi diri (self-creation) sebagai sebuah bentuk aktualisasi. Lihat Carol C. Gould, Marx’s Social Ontology: Individuality and Community in Marx’s Theory of Social Reality, MIT Press, England, 1978. h. 34 13. Lihat Oded Balaban, Aristotle’s Theory of Praxis, Hermes, Bd., H.2, 2nd Quarter, 1986, h. 164
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELTEMATIS
panggung mitologi dalam hegemoni negara
gerakan mahasiswa di bawah orde baru oleh SURYADI A. RADJAB
Gerakan mahasiswa di masa Orde Baru belum pernah bisa keluar dari mitos yang membentuk kesadaran subyektif dan identitas sosial mereka. Persepsi tentang peran sosial ini merupakan pendorong kemunculan gagasan aksi-aksi protes mereka di tahun 70-an maupun akhir 80-an. Tetapi melalui hegemoninya, negara juga menyediakan panggung yang diperlukan bagi terciptanya mitos itu, sehingga mahasiswa tidak mampu mengidentifikasi posisi sosialnya secara struktural. PENDAPAT dominan selama ini memandang bahwa mahasiswa merupakan kelompok strategis yang berperan penting dalam perubahan sosial-politik. Bahkan sudah menjadi truisme bahwa gerakan protes mahasiswa, terutama di Dunia Ketiga, memainkan peranan yang sangat aktif dan berposisi sentral dalam percaturan politik. Tak ada satu pun penguasa di negeri-negeri – yang dianggap berkembang ini – yang bisa mengabaikan posisi sosial dan pentingnya representasi politik serta dampak aspirasi dari golongan muda berpendidikan tinggi ini. Para ilmuwan sosial pun sibuk mengkaji dan meneliti fungsi mereka dalam sistem sosial-politik, terutama setelah menaiknya gelombang aksi protes mahasiswa di akhir dekade 60-an hingga awal 70-an, baik di negeri-negeri maju maupun terbelakang, termasuk di Indonesia. Masih bisa diperdebatkan apakah mahasiswa berperan dalam menumbangkan sebuah rezim dan melicinkan jalan bagi penguasa yang baru untuk naik tahta? Jika memang berperan, seberapa besar andil mereka, baik dalam
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
kemelut politik pada saat tertentu maupun peran sosialnya dalam konteks sejarah yang lebih luas? Rasanya rentang dua dekade kisah tentang gerakan mahasiswa di negeri ini lebih dari cukup untuk memetakan posisi lalu menilai peran golongan terpelajar ini. Tulisan ini sendiri hanyalah sebuah refleksi singkat atas posisi dan peran gerakan (protes) mahasiswa sepanjang Orde Baru, rust en orde yang diakui
P R O B L E M F I L S A F A T 29
ARTIKELTEMATIS
ditegakkan melalui sumbangan demonstrasi mahasiswa dalam menumpas komunisme. Refleksi ini dimungkinkan karena saya meyakini bahwa sejarah merupakan gerak dialektis antara subyektivitas pelaku dan struktur sosial-ekonomi yang mendasarinya. Diterjemahkan dalam konteks pergerakan mahasiswa, tulisan ini akan berangkat dengan melihat bagaimana terjadinya pembentukan dan perbenturan antara subyektivitas peran mahasiswa dengan kondisi obyektif mereka sebagai bagian dari universitas, institusi penting yang mereproduksikan kapitalisme. Diskursus tentang Mahasiswa Dari mana dan sejak kapan terbentuk identitas sosial mahasiswa sebagai sebuah kekuatan politik? Persepsi dan konsepsi tentang peran sosial ini terbentuk dan menguat sejalan dengan tegaknya hegemoni Negara Orde Baru (NOB). Sejak aksi-aksi unjuk rasa yang diorganisasikan oleh KAMI (terutama di pusat: Jakarta, sepanjang bulanbulan akhir 1965 dan awal 1966) untuk meretaskan jalan bagi pemberontakan PKI, kejatuhan Sukarno dan kenaikan Jenderal Suharto ke pucuk pemerintahan itu, seakan-akan meledakkan semacam praktek diskursif1 tentang arti penting gerakan mahasiswa dan peranan mereka dalam perubahan politik. Tak usah heran, karena situasi umum di dunia pada saat itu tengah dimeriahkan gelombang gerakan protes yang dipelopori dan digalang dari dalam kampus.2 Walaupun kita tidak boleh membayangkan bahwa teknologi informasi dan komunikasi saat itu sudah sedemikian canggih seperti sekarang, namun kita tidak boleh meremehkan gema yang meluas dari gerakan-gerakan protes mahasiswa di luar negeri dalam membentuk pendapat umum dunia, dan kemudian melegitimasi peranan mereka sebagai faktor kunci dalam perubahan kebijakan politik atau bahkan suksesi kekuasaan. Selain faktor pengaruh gaung internasional, yang unik dalam pembentukan identitas sosial mahasiswa di masyarakat Dunia Ketiga adalah pandangan historis-demografis tentang posisi politik mereka. Dalam arti ini, mahasiswa dipandang sebagai bagian dari politik kaum muda yang dipertentangkan dengan establishment yang diduduki orang tua (dewasa). Namun, berbeda dengan konsepsi youth culture yang ada di Barat, pandangan tentang pemuda di Indonesia juga bermakna politik serta memiliki kaitan masa lampau yang khas. Sumber legitimasi perannya pertama kali didapat dari Kebangkitan Nasional 1908 lalu Sumpah Pemuda 1928, di mana pemuda dipandang sebagai pelopor dan pemersatu bangsa, dan kemudian pada masa Perang Kemerdekaan, di mana pemuda dipandang sebagai pendobrak penjajahan dan pembela kemerdekaan dalam sebuah “revolusi yang dilakukan pemuda”.3 Pada tiga titik penting dalam pembentukan nasionalisme Indonesia itulah mahasiswa lalu menemukan makna politiknya dalam kisah sukses aksi-aksi Tritura yang kemudian disebut sebagai “Angkatan 1966”; bukan sekadar sebagai pemuda tetapi juga mahasiswa. Yang unik
30
PROBLEMFILSAFAT
dibandingkan dengan pra-1966 di mana agen perubahan sosialnya adalah pemuda, maka setelah 1966, dalam arti demografis yang sangat umum, peran tersebut dipegang oleh mahasiswa. Karena itu, acuan untuk mengidentifikasi peran mahasiswa dalam sejarah politik Indonesia kemudian juga ikut dipilah-pilah menurut pembagian angkatan: ’08, ’28, ’45 dan ’66. Tentu saja kemunculan mahasiswa sebagai presentasi politik angkatan muda berkesesuaian dengan kenyataan sosiologis dalam periode 50-an dan 60-an di mana terjadi perluasan pendidikan tinggi dan proses politisasi masyarakat serta mobilisasi massa yang menjangkau hingga ke kampus-kampus.4 Yang artinya, meluasnya golongan terpelajar dan terdidik dengan kemungkinan munculnya tuntutan baru, seperti mobilitas sosial, kesejahteraan hidup, serta pengintegrasian kembali ke dalam sistem kapitalisme internasional. Tetapi arti penting pembentukan Orde Baru di tingkat negara ialah terjadinya aliansi segitiga antara perwira Angkatan Darat, teknokrat, dan mahasiswa. Ketiganya merupakan bagian lapisan elite inteligensia yang bakal menyerap, memelopori dan menyebarkan gagasan modernisasi. Dengan kata lain, di samping militer dan teknokrat, mahasiswa juga dipercaya sebagai agen modernisasi atau pembangunan. Tetapi aliansi segitiga itu pecah ketika terjadi disintegrasi dalam KAMI, dan mulai muncul persoalan bagaimana mendefinisikan peranan mahasiswa selanjutnya dalam sistem politik dan bagaimana seharusnya tugas dan masa depan para eksponen Angkatan 1966. Akhirnya, setelah isu back to campus muncul di akhir 60-an, mahasiswa tampaknya menemukan peranannya yang cocok sebagai “calon intelektual” atau “inteligensia”. Pandangan tersebut sebetulnya bertolak dari suatu diskursus yang menggunakan konsep “moral”. Mahasiswa bukan kelompok politik yang berusaha mendapat kekuasaan, melainkan kekuatan moral (moral force) yang secara aktif ingin ikut berperan dalam mencapai cita-cita negara. Tugas mahasiswa, dalam konsep ini, melakukan kritik terhadap keadaan sosial yang kacau. Dalam pandangan ini peran mahasiswa dimiripkan dengan peran resi dalam konsepsi kuasa dalam budaya feodal-kolonial Jawa.5 Jika resi hidup di lereng-lereng gunung terpencil sebagai tempat pertapaannya, maka mahasiswa berada di kampus-kampus universitas. Mahasiswa dan kaum terpelajar baru turun dari universitas jika terjadi ketidakberesan atau kekacauan di masyarakat, tentu saja dengan tugas melancarkan kritik sosial terhadap penguasa.6 Karena situasi awal tahun 70-an dianggap sudah menyimpang dari cita-cita semula yang dicanangkan oleh Angkatan 66, yakni Tritura (bubarkan PKI, turunkan harga, perombakan kabinet) maka mahasiswa kemudian merasa terpanggil untuk membereskan keadaan yang ada. Mahasiswa menaruh keprihatinan tentang berlanjutnya gejala korupsi dan berkembangnya jurang kaya-miskin. Mereka melakukan kritik tentang kenaikan harga BBM, pembangunan Taman Mini, dan golongan putih (Golput) di Jakarta,7
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELTEMATIS
serta hak-hak sipil di Bandung.8 Demonstrasi mahasiswa saat itu ditanggapi secara positif oleh pemerintah, dengan dibentuknya “Komisi Empat” atau Komite Anti Korupsi (KAK) yang dipimpin bekas Wapres Mohammad Hatta yang dikenal jujur dan bersih. Mahasiswa kemudian membubarkan aksi-aksi mereka, sehingga gerakan mereka sebagai resi dalam cerita wayang yang tak memiliki kepentingan politik (kekuasaan),9 mendapatkan pembenaran praktisnya. Kendati demikian, pada tingkat politik praktis, anggapan dan peranan tentang gerakan mahasiswa yang berkembang kemudian tak selalu sejalan dengan anggapan pemerintah terhadap kritik-kritik mereka. Kritik-kritik mahasiswa saat itu diterima dan sekaligus juga ditolak pemerintah. Jika kritik terhadap korupsi diakomodasi dengan dibentuknya KAK serta diundangnya mahasiswa untuk membicarakan persoalan tersebut dengan membawa buktibukti, maka sebaliknya ada pejabat tinggi yang membalas kritik tersebut dengan menyatakan bahwa mahasiswa telah ditunggangi.10 Jika tertembaknya seorang mahasiswa ITB diakomodasi dengan diadilinya seorang anggota ABRI dalam Mahkamah Militer, sebaliknya pemerintah juga mengingatkan akan partnership ABRI-mahasiswa di tahun 1966, sehingga “kecelakaan” tersebut tidak perlu dibesarbesarkan. Istilah “ditunggangi” dan “kenang-kenangan” tentang aliansi segitiga itu menunjukkan bahwa negara sangat menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan mahasiswa. Protes dan kritik, dalam bentuk demonstrasi sekali pun, diperbolehkan sejauh kritik dan protes mahasiswa tidak keluar dari batas-batas panggung politik yang ditentukan oleh negara itu sendiri. Panggungnya adalah sebuah “arena” di mana mahasiswa hanya mengakui diri sebagai intelektual (resi) dan skenario yang dimainkan tidak boleh menyimpang dari cerita di tahun 1966.11 Karena itu, misalnya, dibentuknya KAK oleh pemerintah, dengan ketuanya Mohammad Hatta, merupakan titik kompromi antara mahasiswa dan pemerintah untuk mengesankan citra bahwa intelektual itu jujur dan bersih dari kepentingan kekuasaan. Peran resi dalam skenario tersebut masih terus diwariskan hingga “Peristiwa 15 Januari 1974” dan “Gerakan 1978”. Mahasiswa berusaha tetap setia dengan skenario yang sudah dipakemkan. Tuduhan “ditunggangi” merupakan sebuah rambu peringatan supaya mahasiswa tidak keluar dari “Skenario ’66” dan melakukan “kritik yang konstruktif ” jika hendak berperan sebagai resi. Kritik juga tidak boleh mengancam stabilitas keamanan dan pembangunan nasional. Karena itu, mahasiswa juga berusaha mati-matian untuk membuktikan bahwa mereka tidak bermain mata dengan kekuatan sosial politik di luar panggung, karena perannya memang bukan merebut kekuasaan, melainkan melancarkan koreksi dan kritik sosial demi suksesnya modernisasi dan pembangunan. Meskipun kedua peristiwa itu tak bisa mengulangi persis “Skenario ’66”, tapi persepsi tentang peran sosial-politik mahasiswa sebagai penjaga
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
kekuatan moral tak pernah pudar. Tetapi pertunjukan harus terus berjalan. Apa yang dituntut oleh Tritura harus dilaksanakan. Di samping identitas sosial sebagai resi yang dipakai mahasiswa untuk menghadapi tuduhan “ditunggangi” dan “berkepentingan merebut kekuasaan”, peran mahasiswa dalam panggung politik sebetulnya juga disediakan negara lewat saluran-saluran resmi seperti organisasi pemuda, mahasiswa ekstra, organisasi massa, dan terutama partai politik. Kini perbedaan berbagai kelompok dipersatukan dalam satu ideologi baru: pembangunan, yang menggantikan ideologi “revolusi”. Partaipartai politik dan organisasi-organisasi massa yang masih diakui, terkena program ini, sehingga membatasi ruang geraknya untuk menyalurkan aspirasi dan mengartikulasikan kepentingan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam sistem politik semacam ini tidak diperbolehkan suatu gerakan oposisi. Hal ini membawa akibat-akibat yang cukup serius bagi pertunjukan dalam panggung-panggung yang disediakan negara (sistem politik), yakni di satu pihak merosotnya peran partai politik dan organisasi massa dan di lain pihak menobatkan mahasiswa sebagai satu-satunya “semi-oposisi” yang direstui pemerintah. Implikasinya terhadap posisi mahasiswa dan kehidupan kampus jadi jauh sekali. Terjadi perenggangan antara organisasi atau lembaga kemahasiswaan di kampus dengan ormas mahasiswa di luar kampus. Dengan kata lain terjadi semacam “deormasisasi” dan “depolitisasi” di dalam kampus. Terjadi independensi semakin tinggi dari aktivitas mahasiswa, diikuti proses liberalisasi kampus dan organisasi kemahasiswaan, yang salah satunya tercermin dalam pemilihan umum (langsung) ketua Dewan Mahasiswa (DM). Tetapi proses ini, menurut saya, lebih baik ditafsirkan sebagai proses tarik-menarik antara kekuatankekuatan Orde Lama (partai politik non-Golkar, organisasi ekstra mahasiswa) dengan kekuatan Orde Baru (aliansi segitiga mahasiswa-teknokrat-militer) dalam panggung yang disediakan negara. Jadi, sementara mahasiswa hanya direstui peranan politiknya sebagai intelektual atau resi, mereka juga menemukan identitas sosialnya yang semakin kokoh sebagai satu-satunya oposisi yang ternyata cukup efektif didengar kritiknya dan diperhatikan pemerintah, kendati melalui cara-cara ekstra parlementer atau parlemen jalanan. Walaupun demikian, mahasiswa juga membutuhkan sarana untuk berlatih dan mewariskan peran politiknya itu kepada generasi selanjutnya.12 Untuk itu mereka menciptakan sarana dengan membentuk “student government” di mana mereka bisa menjalani “pendidikan politik”, melatih kepekaan terhadap persoalan-persoalan masyarakat, menyalurkan pendapat umum, menggalang pendapat mahasiswa maupun membentuk opini umum. Pada gilirannya nanti, “pemerintahan mahasiswa”13 ini bukan sekadar suatu bentuk organisasi kemahasiswaan belaka melainkan suatu manifestasi dari tekanan dan dorongan mereka untuk tidak hanya sekadar bermain di dalam “Skenario ’66”. Kelak mereka coba membangun panggung sendiri di luar pang-
P R O B L E M F I L S A F A T 31
ARTIKELTEMATIS
gung yang disediakan negara. Setelah berjalannya strategi pembangunan yang menekankan pertumbuhan GNP, pada 1973 mahasiswa semakin gencar melancarkan kritik terhadap strategi ini termasuk persoalan non-ekonomi.14 Persoalan yang diangkat mahasiswa kemudian mendapat tanggapan pemerintah dengan diterimanya delegasi mahasiswa yang mewakili 35 Dewan Mahasiswa (DM) untuk berdialog.15 Ketidakpuasan mahasiswa atas hasil dialog ini – terutama dalam mempersoalkan pembangunan dan penanaman modal asing, khususnya Jepang – kemudian meledak dalam “Peristiwa 15 Januari”.16 Peristiwa ini kemudian dipandang melibatkan juga beberapa faksi dalam tubuh negara, khususnya tentara.17 Meskpun ada yang membantah kedekatan hubungan dalam salah satu faksi militer, namun masih terkesan kuat adanya partnership ABRI-mahasiswa di dalam perubahan, yakni hadir kenangan tentang kencan ABRI dan mahasiswa di tahun 1966. Kenangan ini akhirnya semakin sirna ketika gerakan mahasiswa di akhir 70-an menolak untuk melakukan afiliasi dengan kekuatan-kekuatan non-mahasiswa, dan memandang dirinya menjadi perwujudan sosok resi yang sejati. Gerakan 1978 berkembang dari kritik dan protes mahasiswa yang mulai dirasakan menjelang pemilihan umum 1977. Sejumlah mahasiswa Bandung membentuk “Gerakan Anti Kebodohan” (GAK) dan sempat berdialog dengan beberapa Menteri. Setelah pemilu berlalu ban-
32
PROBLEMFILSAFAT
yak pengaduan kesulitan-kesulitan masyarakat dari desa kepada mahasiswa. Situasi panggung yang terus memanas ini berkaitan dengan akan dilangsungkannya sidang umum untuk mengangkat presiden. Aparat negara melihat perkembangan ini dengan mengirim tujuh menteri bidang ekonomi ke kampus-kampus untuk berdialog dengan mahasiswa tentang jalannya pembangunan. Usaha ini gagal di tiga kampus, yakni ITB, UI dan UGM, karena kehadiran para pejabat ditolak mahasiswa. Dengan tegas mahasiswa menamakan gerakannya sebagai gerakan moral yang menjauhi perhitungan politik praktis. Mereka melihat ABRI telah dijauhi rakyat, sehingga perlu mengimbau “kembalikan ABRI kepada rakyat”. Mereka juga menunjukkan kemandulan partai-partai politik, yang memupus harapan mereka terhadap “wakil-wakil rakyat” di lembaga legislatif.18 Bahkan kemudian mereka sempat mengambil lembaga DPR dengan membentuk “DPR tandingan”. Mereka mempersoalkan pucuk pimpinan negara dan menggugat keabsahannya. Tapi karena masih memakai gerakan moral, mereka muncul dan menemukan diri sebagai “pelopor yang terkucil”. Kekuatan mereka terbatas pada mahasiswa dan pelajar. Mereka dibekuk justru dianggap “merongrong kewibawaan pemerintah”. Di sini timbul sifat dilematis dan ambivalen. Dilematis karena di satu sisi ia menyatakan diri sebagai gerakan moral yang bebas kepentingan politik, sementara di sisi lain tuntutannya mengandung bobot politis yang besar, berikut aksi massa yang dikerahkannya. Am-
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELTEMATIS
bivalen karena ragu-ragu memilih antara moral atau politik. Meskipun “Gerakan 15 Januari 1974” dan “Gerakan 1978” tidak membawa sukses dari apa yang jadi tuntutannya dalam hal ini tidaklah penting, yang penting justru pengisahan kembali peranan mahasiswa dalam kedua gerakan ini, yang masih menunjukkan adanya penciptaan kenang-kenangan tentang lakonnya sebagai “kelompok intelektual pembaruan” dan penyandang “kontrol sosial”.19 Gema “panggilan untuk berperan” tetap muncul ke permukaan dengan menaikkan “idealisme” yang dulu pernah disuarakan mahasiswa, bahkan diselipkan dengan kisah baru untuk berperan dalam pembangunan.20 Dalam kondisi depolitisasi yang terus mengental, mahasiswa tetap dipanggil buat berperan dan setelah itu menjadi kenangan dalam berbagai cerita sehingga “peran sosial” yang dipersepsikan mahasiswa tetap hadir dalam diskursus-diskursus politik. Jadi, singkatnya, yang terjadi adalah pertarungan pada tingkat gagasan antara peranan yang dikehendaki oleh negara dengan peranan yang dipersepsi mahasiswa. Yang disebut terakhir ini sering dipersepsi secara berlebihan serta dijustifikasi sehingga berubah menjadi legenda, yakni bahwa mahasiswa adalah agent of social change, kekuatan moral dan oposisi satu-satunya, walaupun demikian, di tingkat gagasan pun pertarungan tersebut tidak pernah “dimenangkan” oleh mahasiswa. Bahkan sebagian besar gagasan yang membentuk persepsi tentang peran sosial mahasiswa justru datang dari negara. Demitologisasi Setengah Hati Di atas saya telah berusaha menunjukkan bagaimana identitas sosial mahasiswa terbentuk. Identitas ini sarat dengan mitos tentang peran sosial-politik yang harus dimainkan mahasiswa dalam panggung-panggung negara. Sebagian besar mitologi ini memang dibentuk dan ditentukan oleh negara, melalui pewarisan kepahlawanan dari Gerakan Mahasiswa di tahun 1966 dan dibumbui dengan gagasan tentang peranan sosial di sebuah negeri yang sedang membangun. Kendati mitologi tentang peranan ini terus merasuk ke kepala sang mahasiswa, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang kemudian melahirkan berbagai pertunjukan-pertunjukan baru dan tidak harus sesuai dengan “Skenario ’66” – namun inti mitos-mitos tersebut terus lestari hingga saat ini. Walaupun demikian, dari refleksi para bekas aktivis mahasiswa terhadap peristiwa 1966 sudah mulai muncul upaya sadar untuk melepaskan diri dari mitosmitos tentang peranan sosial-politik yang membebani mereka. Salah satu upaya demitologisasi yang paling awal, misalnya, coba meluruskan persoalan yang selalu membelenggu dan menjadi dilema bagi etos gerakan protes mahasiswa, yakni antara pilihan gerakan politik atau moral. Dengan membongkar apa yang sebenarnya terjadi pada bulan-bulan bersejarah di tahun 1966 mengemukakan bahwa sesungguhnya peranan mahasiswa dalam penggulingan Sukarno dan meretaskan jalan bagi Orde Baru, san-
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
gatlah kecil.21 Bahkan dia mengatakan bahwa mahasiswa pada saat itu hanyalah alat legitimasi yang digunakan oleh “lawan-lawan” Sukarno dan musuh-musuh komunisme untuk melajukan perpindahan kekuasaan ke tangan Suharto. Karena itu sangatlah tidak berdasar dan sama sekali tidak relevan untuk mengatakan bahwa gerakan mahasiswa bebas dari penunggangan kepentingan politik tertentu.22 Per definisi, gerakan mahasiswa merupakan sebuah kekuatan politik, entah atas nama dirinya atau atas nama rakyat. Karena itu tidak logis untuk melihat gerakan mahasiswa sebagai kekuatan yang bebas politik. Lebih jauh lagi dia menyimpulkan bahwa tuduhan ditunggangi sesungguhnya merupakan strategi ganda yang khas digunakan penguasa mana pun untuk mendapatkan legitimasi atau sebaliknya untuk men-“delegitimasi” gerakan perlawanan.23 Legitimasi diperlukan karena dalam batas-batas yang ditoleransi penguasa, kritik dan protes mahasiswa justru diperlukan oleh penguasa untuk tetap menunjukkan masih hadirnya “kelompok penekan”. Dengan demikian mengesankan adanya “demokrasi” dan mungkin saja: oposisi. Tetapi jika kritik dan protes mahasiswa dipandang mengganggu tata tertib serta tatanan yang ada dan delegitimasi tidak ampuh meredam protes, maka represi dan koersi tak segan-segan digunakan. Strategi permainan “permen” dan “pentungan” inilah yang digunakan negara untuk tetap mempertahankan tatanan yang ada. Dalam versi lain, upaya demitologisasi juga coba dilakukan oleh seorang mantan aktivis mahasiswa 1966.24 Upaya ini dilakukan supaya kacamata menjadi proporsional memandang peranan mahasiswa, tanpa melebih-lebihkan dan tanpa isyarat apologetic jika ternyata mahasiswa tidak memainkan peranan seperti yang diharapkan oleh identitas sosialnya sendiri. Dipertanyakan anggapan yang melihat bahwa Angkatan ’66 telah memainkan peranan besar, bahkan peranan yang menentukan dalam “Skenario ’66”. Pertama, dipertanyakan sampai seberapa jauh sebenarnya kesadaran “sejarah” dari para demonstran tersebut akan hadirnya momentum perubahan. Menurutnya, kesadaran mereka sebenarnya baru sampai pada seruan Tritura, sama sekali tidak sampai pada penciptaan paradigma dan platform kehidupan politik nasional yang baru. Karena diusulkan pihak lain, peranan angkatan ini tak lebih dari ornamen semata-mata.25 Kedua, untuk mewujudkan paradigma ini penggarisan atas dasar umur, status kemahasiswaan, dan “kekuatan moral dan kontrol” tidaklah memadai. Artinya, dalam suatu rekayasa besar perubahan politik sangatlah berlebihan meletakkan mahasiswa dalam peran yang menentukan. Memasuki dekade 80-an persepsi tentang gerakan mahasiswa sedikit bergeser. Setelah pukulan berat melalui penangkapan dan pengadilan para pimpinan mahasiswa akibat gerakan mahasiswa di tahun 1974 dan 1978, kampus dijinakkan. Kampus dan universitas semakin ketat dikontrol oleh negara melalui aparat birokrasi perguruan tinggi. Pada tahap ini negara bukan hanya melakukan tindakan
P R O B L E M F I L S A F A T 33
ARTIKELTEMATIS
represi dan koersi terhadap pimpinan mahasiswa yang dianggap menjadi biang kritik dan protes, tetapi dengan sistematis dan terencana negara juga merubuhkan panggungpanggung yang coba dibangun mahasiswa di luar panggung negara. Pemerintahan mahasiswa (Keluarga Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa) dilarang, dan ancaman skorsing serta pemecatan terhadap para aktivisnya, yang nakal ke luar panggung atau menolak bermain dalam panggung, mulai diberlakukan. Tanpa organisasinya tersebut kekuatan politik mahasiswa tak lebih dari macan ompong. Segala upaya untuk mengembalikan mahasiswa dalam perannya semula sebagai resi maupun sebagai oposisi loyal yang efektif tampaknya akan sia-sia dan ilusif.26 Situasi negara sudah berubah dan panggung pun berubah. Skenario lama sudah tidak relevan lagi dan para aktor telah berganti. Generasi mahasiswa yang baru tidak akan bisa sepenuhnya mereproduksi lakonlakon yang pernah dimainkan dulu. Kendati cerita tentang peran mahasiswa di tahun 1966 masih terus bergema, tetapi bukan lagi fakta dan lika-liku peristiwanya (apalagi refleksi kritis tentangnya) yang menjadi penting, melainkan pesan yang hendak disampaikan dan kesan yang diterimalah yang menjadi penting. Fakta berubah menjadi cerita, dan cerita berubah menjadi legenda. Dan semua bahan bakar motor perubahan itu tetap bersumber dari negara. Mahasiswa hanya mendengar deru merdu dari suara yang dihasilkannya. Walaupun demikian, masih ada optimisme bahwa gerakan mahasiswa mungkin sudah ditakdirkan demikian:27 timbul tenggelam, pasang surut dalam panggung-panggung yang disediakan negara, ditolak sekaligus dibutuhkan; supaya negara yang kini bertindak sebagai produser merangkap sutradara mudah mengarahkan cerita. Setelah porak-poranda akibat NKK/BKK,28 seorang mantan aktivis mahasiswa yang menyadari akan keterbatasan gerakan mahasiswa pun, dengan metafora indah, masih mengharap bahwa “gerakan mahasiswa mungkin memang sudah tuntutan zaman, yang mengandung kebesaran serta rohnya sendiri. Sehingga kehadiran dan aspirasi yang mereka bawakan perlu ditangkap dengan tenang dan dijadikan rohnya sendiri.”29 Roh itulah yang coba diisi dan tampaknya menghidupkan kembali peran mahasiswa sebagai “pejuang rakyat” tetapi disesuaikan dengan kondisi yang sudah berubah. Akibat kehancuran lembaga-lembaga dan organisasi kemahasiswaan dan represi yang mengeras dari birokrasi universitas, tak ada pilihan lain bagi mahasiswa kecuali merenungkan kembali peranan dan kedudukan mereka serta melakukan otokritik terhadap gerakan mahasiswa sebelumnya. Aktivitas politik dan protes tidak mampu lagi dilakukan, karena risiko terlampau besar yang harus ditanggung, yakni dipecat dari universitas atau kehilangan status istimewanya sebagai mahasiswa. Karena itu, kita saksikan, aktivitas mahasiswa dalam periode awal 80-an lebih terkonsentrasi pada kegiatan diskusi dan “kontemplasi”. Artinya, walaupun organisasi BKK berhasil dihambat mahasiswa pada kampus-kampus utama di Jawa, tetapi sebagian tujuan
34
PROBLEMFILSAFAT
dari konsep NKK berhasil diterapkan, yaitu meletakkan mahasiswa bukan sebagai “agen politik praktis” tetapi sebagai man of analysis.30 Roh tadi kemudian ditangkap dan dijadikan semangat zaman yang membentuk subyektivitas mahasiswa dan dibenturkan dalam kondisi obyektif sosial ekonomi yang sudah berubah. Hasil dari benturan ini adalah hadirnya kesadaran subyektif yang baru tentang konsepsi “kerakyatan”, yakni di satu sisi mahasiswa menerima realitas dirinya sebagai bagian dari gerakan sosial yang lebih besar dan di sisi lain menolak realitas kekuatan negara.31 Maka, perumusan cita-cita sosial mahasiswa adalah “membangun kekuatan rakyat”.32 Dalam konteks saat itu perumusan identitas sosial tersebut kelihatannya merupakan upaya yang sungguhsungguh untuk menemukan sintesa antara “demitologisasi terhadap gerakan moral termasuk kritisisme terhadap peranan mahasiswa sebagai resi” dan “panggilan untuk berperan yang masih tersisa dari mitologi gerakan mahasiswa 1966”. Di satu pihak, perumusan kesadaran subyektif tersebut juga bisa dilihat sebagai upaya untuk mencari peran mahasiswa yang lebih strategis serta struktural, dan di lain pihak upaya itu sekaligus dapat mengatasi dilema atau ambivalensi naif yang selama ini menguasai kesadaran mahasiswa, yakni sikap mendua antara gerakan moral yang bebas politik dan gerakan politik yang memihak.33 Walaupun penuh dengan slogan yang meledak-ledak, perumusan tampaknya menemukan saluran praktisnya ke dalam organisasi non-pemerintah (ornop), yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan lembaga swadaya atau pengembangan swadaya masyarakat (LSM/LPSM).34 Dengan muatan yang sama tapi dalam versi yang lebih luas, upaya mahasiswa keluar dari mitos gerakan mahasiswa sebelumnya dan menemukan peranan sendiri yang lebih strategis sesuai dengan tuntutan zaman diharuskan oleh seorang mantan aktivis mahasiswa 70-an dalam sebuah retrospeksi yang menarik, kurang lebih sebulan sebelum mencuat kembali demonstrasi-demonstrasi mahasiswa di akhir 80-an.35 Tolok ukur lama berupa peran mahasiswa yang tercermin dalam gerakan mahasiswa tahun 1966, 1974, dan 1978 tampaknya seperti suatu beban sejarah. Dalam menimbang-nimbang bagaimana menuntaskan hal ini, perlu dirumuskan cita-cita tentang demokrasi dan keadilan sosial. Dari sini barangkali beban kesejarahan bisa dihilangkan dan demitologisasi angkatan sekaligus terjadi. Sekarang angkatan muda belum terlambat menolak kekalahan dan juga belum telat mengukur keberhasilan sebagai unsur yang menegakkan demokrasi dan keadilan sosial. Dan ironisnya, kunci keberhasilan peran angkatan muda justru terjadi kalau mereka mampu meniadakan “mitos kesinambungan” yang menenggelamkan mereka dalam immobilitas dan sikap curiga terhadap semua peran di luar mereka.36 Tentu saja dengan mendudukkan mahasiswa atau angkatan muda sebagai agent of democracy, maka lakon yang harus dimainkan oleh mahasiswa menjadi lebih “politis” dan struktural sifatnya dibandingkan lakon-lakon sebe-
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELTEMATIS
lumnya yang berwatak kultural.37 Dengan retorika “demi rakyat”, “demi demokrasi” dan dibarengi dengan pengalaman belajar bersama LSM/ LPSM, maka ruang gerak di pinggiran panggung, yang relatif lebih leluasa untuk berimprovisasi, kini tidak lagi berada dalam kampus tetapi telah bergeser ke luar kampus. Pergeseran ini agak meleset dari dugaan semula, bahwa sebagai akibat penghancuran organisasi intra kampus dan akibat kontrol birokrasi universitas yang sangat ketat, aktivitas politik mahasiswa akan kembali ke organisasi ekstra universitas.38 Kenyataannya tidak demikian. Di samping kelompok-kelompok kecil independen yang dibentuk di luar kampus maupun di dalam kampus untuk tujuan diskusi maupun studi, mahasiswa mulai bersentuhan dengan organisasi sosial kemasyarakatan (non-partai, non-ekstra) yang langsung berhubungan dengan kelompok yang diklaim akan diperjuangkan oleh mereka. Karena itu tak mengherankan jika beberapa tahun kemudian, subyektivitas yang diteriakkan itu bertemu dengan persoalan konkret yang dihadapi kelompok masyarakat tertentu, yakni para petani yang kehilangan tanahnya, pedagang kaki lima yang tergusur, dan beberapa kalanga menengah dan menengah bawah kota yang terkena penggusuran tanah. Mahasiswa 80-an menemukan penampilan atau peranannya yang khas lewat komite-komite sebagai juru bicara “rakyat” dalam bentuk aksi dan advokasi terhadap para “korban pembangunan” tersebut. Pertunjukan pun kembali berulang, dengan kisah yang sedikit berbeda tapi dengan plot dan lakon yang sama: parodi dan tragedi; diskusi, demonstrasi, ditangkapi, diinterogasi, dihakimi, masuk bui. Namun berbeda dengan kisah 1974 atau 1978, para pemeran tokoh mahasiswa dalam melodrama ini menempuh akhir terpenggal tragis: tidak dapat menyelesaikan lakonnya sebagai mahasiswa.39 Panggung pun sempit dan sesak bagi sebuah pertunjukan kecil di bawah bayang-bayang mitos agung tentang “mahasiswa sebagai pejuang rakyat”. Cahaya lampu jutaan watt terang benderang menyoroti panggung menampakkan hegemoninya, dan rakyat menonton di luar panggung. Lalu lakon apa lagi yang akan ditampilkan? Berulangnya kegagalan lakon yang dimainkan gerakan mahasiswa merupakan konsekuensi logis dari upaya demitologisasi setengah hati yang dilakukan oleh para bekas aktivis mahasiswa maupun para aktivis pasca-1978. Walau begitu kegagalan ini tidak dapat ditimpakan sepenuhnya ke tangan para aktivis tersebut. Pandangan dan gagasan yang dominan tentang peran mahasiswa juga merupakan pandangan resmi penguasa yang terus disebarkan sebagai dasar legitimasi untuk memperoleh dukungan kaum muda itu. Negara memandang bahwa mahasiswa merupakan “harapan bangsa”, sehingga perlu memainkan peran untuk kemajuan bangsa dan negara seperti “terjun ke desa” atau “membangun daerah”. Dalam batas-batas yang ditentukan sendiri oleh negara, mahasiswa juga diperbolehkan melakukan “politik praktis” tetapi disalurkan melalui lembaga-lem-
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
baga politik dan organisasi kepemudaan. Sebaliknya mahasiswa melihat bahwa unsur-unsur di dalam aparat negara juga bisa melakukan kesalahan dalam menjalankan pembangunan atau modernisasi. Sebagai “calon intelektual” dan “agen modernisasi”, mahasiswa bertugas menjalankan “fungsi kontrol sosial” dengan kritik yang membangun dan bertanggung jawab. Jadi, persepsi mahasiswa tentang peran mereka sendiri dan “ideologi” negara tentang mahasiswa pada hakekatnya sama sekali tidak bertolak belakang. Mahasiswa menerima tawaran untuk memainkan peranannya dalam panggung dan lakon yang dikehendaki negara, dan sebaliknya negara mampu mengarahkan lakon seraya menjaga batas-batasnya. Tentu saja, panggung yang disediakan dan skenario yang ditawarkan negara tidak harus diterima sepenuhnya. Pasang surut gerakan mahasiswa menunjukkan bahwa ada pola-pola resistensi tertentu yang dikerjakan mahasiswa untuk menolak dan keluar dari panggung tersebut. Walaupun demikian gagasan dominan yang menguasai hampir semua aktivitas mahasiswa tetaplah ideologi yang dominan. Oleh karena itu perlu memeriksa bukan hanya mengapa terjadi proses mitologisasi tentang peran sosial mahasiswa, tetapi lebih jauh lagi mengapa mitos tersebut bisa terus bertahan, bahkan dipertahankan, padahal upaya demitologisasi juga dilakukan? Salah satu jawabannya karena semua upaya demitologisasi di atas tidak pernah meletakkan mahasiswa dalam posisinya yang lebih struktural. Alasan atau dalih yang dikemukakan biasanya bersifat kultural dan penuh permakluman.40 Misalnya pandangan psiko-sosial yang menyatakan bahwa memang bukan peran dan tanggung jawab mahasiswa untuk melakukan perubahan sosial-politik. Mahasiswa hanyalah katalisator bagi adanya perubahan.41 Sehingga sangat berlebihan untuk menuntut mereka dengan segala macam peran yang seharusnya dijalankan oleh kekuatan politik non-mahasiswa. Walaupun demikian tetaplah tidak memadai untuk menjawab mengapa – kendati selalu “gagal” dan “kalah” – gerakan mahasiswa terus muncul dan harapan tentang peranan mereka sebagai agen perubahan masih didengung-dengungkan.42 Karena itu perlu dilihat posisi sosial mahasiswa dalam konteks sosial historis yang lebih konkret, yakni memeriksa basis material di mana gagasan tentang peran tersebut berdiri dan terus dihidupi. Selama ini posisi mahasiswa di dalam struktur kelas tak pernah diperiksa, sehingga bukan hanya terjadi kekaburan, tapi juga pengaburan yang dihegemoni oleh negara. Hal ini disebabkan, karena pertama, posisi kelas sosial mahasiswa sebenarnya tidak jelas. Ada paradoks di dalam batas-batas lokasi kelas dari mahasiswa. Di satu pihak, mereka tidak terlibat dalam proses produksi komoditi sehingga bukan bagian dari kelas pekerja, tetapi di lain pihak mereka justru berada di dalam lembaga reproduksi kapitalisme, yakni universitas. Mereka bukan borjuis, juga bukan pekerja. Kalau pun mau diperjelas posisi sosial historisnya, kurang lebih mahasiswa berada dalam situasi pra-
P R O B L E M F I L S A F A T 35
ARTIKELTEMATIS
kelas. Artinya, mahasiswa merupakan kelompok sosial yang memasuki suatu tahap persiapan kelas yang khusus, yakni semacam jalur (trajectory) yang berkaitan dengan karier dan profesi tertentu di masa depan.43 Dalam analisis ini tidak terlalu berguna memeriksa asal-usul kelas dari keluarganya, karena yang paling penting adalah melihat: “ke posisi mana mahasiswa akan bekerja” atau “akan memasuki karier dan profesi apa setelah mereka lulus.” Karena determinasi pra-kelasnya itu, maka kepentingan-kepentingan politik dan corak kesadaran kelasnya pun bisa berubah-ubah, bergantung dari gagasan atau ideologi apa yang dominan menguasai kehidupan masyarakat dalam kurun sejarah tertentu yang konkret dan spesifik. Pada satu titik tertentu, mahasiswa bisa menjadi juru bicara untuk dirinya sendiri, misalnya jika mereka mengartikulasikan protes-protes tentang sistem pendidikan, uang kuliah, atau menuntut kebebasan yang lebih besar. Pada titik yang lain, mahasiswa menjadi juru bicara kelompok lain dan bertindak atas nama kelas atau kelompok yang tertindas, seperti yang diartikulasikan melalui kritik-kritik dan gerakan protes mereka sepanjang dua dasawarsa ini. Tapi yang terakhir ini juga tetap tergantung pada ideologi dominan tertentu yang menguasai masyarakat. Seperti sudah saya tunjukkan terdahulu, gagasan yang dominan adalah gagasan tentang peran mahasiswa sebagai agen modernisasi, pembaru dan pelopor perubahan bagi bangsa dan demi negara. Kendati gagasan dominan ini merupakan mitologi, tetapi karena mitos tersebut dibutuhkan dan dipegang oleh kekuatan yang hegemonik, yakni negara, maka mitologi itu tetap bisa diwujudkan. Penyebab kekaburan struktural yang kedua, karena sistem sosial yang ada di Indonesia adalah kapitalisme pinggiran, yakni suatu bentuk kapitalisme yang telah mengalami distorsi struktural akibat kolonialisme. Dalam perkembangannya sejak kemerdekaan hingga masa Orde Baru, sistem kapitalisme pinggiran ini tidak menghasilkan suatu kelas borjuasi yang tangguh, yang relatif mandiri terhadap negara. Kelas kapitalis yang penting justru tumbuh dari dalam tubuh negara dan didorong oleh negara berkat eksplorasi kekayaan alam hasil hutan dan minyak mentah.44 Kondisi historis semacam ini menyebabkan kelas borjuasi yang muncul tidak dapat menjalankan tugasnya seperti kelas borjuasi yang tumbuh di Eropa. Karena itu negara juga memiliki otonomi yang besar dan memungkinkannya mendominasi seluruh kelas yang ada di masyarakat,45 kemudian menegakkan hegemoninya hanya atas nama negara itu sendiri. Universitas: Aparat Negara Warisan Kolonial Untuk lebih memperjelas jalur kelas yang bakal ditempuh mahasiswa dalam kondisi struktural seperti itu, maka perlu dipertimbangkan posisi universitas di dalam masyarakat serta kaitannya dengan dominasi negara. Perguruan tinggi di Indonesia merupakan konsep dan lembaga borjuis yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial pada
36
PROBLEMFILSAFAT
awal abad ke-20 – seperti THS (sekarang ITB) pada 1920 dan disusul fakultas hukum pada 1924 serta kedokteran pada 1925 – dalam rangka memperoleh tenaga kerja berketerampilan untuk mengisi jabatan-jabatan administrasi dan birokrasi negara kolonial. Kemudian dengan terbentuknya negara Republik Indonesia (RI), maka universitas kolonial beralih jadi universitas negeri (baca: negara). Ini bisa diamati bahwa universitas terkemuka atau terpenting di Indonesia seperti ITB, UI, UGM, Unpad, ITS, Unair, Undip, dan USU merupakan universitas negara (state university). Karena itu dapatlah dipahami bagaimana universitas atau sistem pendidikan formal – yang di Eropa merupakan lembaga borjuis ini – di sini merupakan bagian dari aparat administrasi-birokrasi negara. Demikian pula, pembiayaan kebijakan pendidikan maupun orientasi para lulusannya diarahkan buat memenuhi kepentingan negara. Jika dulu kepentingan negara kolonial, maka kini kepentingan negara RI. Melalui konsep NKK semakin jelas jalur yang mesti ditempuh mahasiswa untuk memasuki teknostruktur sebagai bagian dari jaringan industri.46 Universitas dilihat sebagai “pabrik” untuk melatih tenaga kerja, sedangkan mahasiswa jadi komponen yang bakal mengisi sistem produksi. Kondisi ini makin diperkuat dengan konsep Wawasan Almamater yang isinya, yakni institusionalisasi, profesionalisasi, dan transpolitisasi. Dengan demikian, “arah obyektif ” universitas bagi mahasiswa jadi jelas, yakni universitas merupakan eskalator untuk pengisian teknostruktur. Yang berarti bahwa arah obyektif ini justru akan berfungsi mereproduksi dominasi negara. Sementara itu kondisi struktural ekonomi Indonesia hingga saat ini belum memasuki tahapan industrialisasi yang memadai, yang bisa melahirkan baik suatu kelas borjuasi industri maupun kelas pekerja yang tangguh. Industrialisasi di Indonesia malah meledakkan sektor jasa yang tidak “produktif ”.47 Mahasiswa yang kemudian lulus (S-1) berbondong-bondong berebut tempat kerja di seputar manajer madya – sebuah karier dan profesi yang relatif aman dan nyaman – tanpa terganggu konjungtur krisis kapitalisme yang akut. Demikianlah karena kekaburan dan pengaburan posisi kelasnya, mahasiswa tidak pernah berani secara jujur menyatakan kepentingan obyektifnya dalam diskursus yang secara simultan mendorong aksi atau protes-protes mereka. Ketakutan ini menjadi katarsis yang secara sistematis dimanipulasikan dalam hegemoni negara sedemikian rupa sehingga mahasiswa merasa terus terpanggil untuk memainkan peranannya dalam panggung-panggung mitologi tersebut. Di masa depan, hanya ada dua pilihan bagi gerakan mahasiswa untuk menghindar dari katarsis dan melakukan upaya demitologisasi yang sungguh-sungguh, yakni dengan segala ilusinya tetap bermimpi menjalankan “tugas suci” seperti borjuasi (kelas menengah) di Eropa: menegakkan demokrasi, atau bergabung bersama pekerja untuk mematangkan kontradiksi yang ada di dalam sistem kapitalisme.
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELTEMATIS
Catatan Akir
* Terima kasih kepada kawan karib saya, seorang aktivis mahasiswa yang kini mendekam di penjara, Bandung. Karena kecerdasan, kejujuran dan keberaniannya dia menempa pengalamannya dengan tulus berkorban demi cita-cita yang tersirat dalam tulisan ini. Melalui otokritik dan refleksinya terhadap gerakan mahasiswa jugalah dia banyak mengilhami tulisan ini. Terima kasih kepada Vedi R Hadiz, Rocky Gerung, Oskar, Nug Katjasungkana, Jhony Junaedi dan Levidus atas komentar-komentarnya pada draft awal tulisan ini. Terima kasih secara khusus kepada Harry Wibowo, karena saran-sarannya yang ketat serta kritik-kritiknya yang tajam memungkinkan tulisan ini hadir secara sangat ringkas seperti sekarang; juga Amrih Widodo yang naskah “Tayub”nya mewarnai nuansa tulisan ini. Namun semua isi merupakan tanggungjawab saya sendiri. 1. Diskursus tentang peranan mahasiswa bukan hanya diungkapkan melalui tulisan dengan referensi ilmiah dan liputan pers, tapi juga ikut dibentuk dari ruang-ruang diskusi dan seminar, dari buku-buku, pernyataan-pernyataan, selebaran, rapatrapat umum dan mimbar bebas, dari aksi-aksi dan sloganslogan, dari berbagai ritus peristiwa “bersejarah”, dan perbincangan informal yang dilakukan berbagai kalangan. Aksi-aksi dan protes-protes gerakan mahasiswa direproduksikan: dicatat dan dikisahkan kembali yang kemudian diterima di kepala mahasiswa sebagai identitas sosialnya. Karena keterbatasan waktu dan tempat, saya belum mengkaji lebih rinci dan mendalam text yang ada dalam diskursus tersebut. 2. Kita bisa catat beberapa yang penting: Gerakan mahasiswa 1968 di Perancis yang nyaris menumbangkan Jenderal De Gaulle; Gerakan anti-rasis dan anti perang di kampus-kampus Amerika. 3. Bennedict R O’G Anderson, Revolusi Pemuda, (Jakarta: Sinar Harapan, 1987). 4. Burhan D Magenda, “Gerakan Mahasiswa dan Hubungan dengan Sistem Politik: Suatu Tinjauan,” Prisma, No. 12, Desember 1977. 5. Arief Budiman, “Peranan Mahasiswa sebagai Inteligensia,” 6. Ibid., hal. 57-58. 7. Orde Baru dilihat sebagai koreksi terhadap kebobrokan Orde Lama seperti menggejalanya korupsi. Karena itu mereka melakukan koreksi atas keadaan yang masih berlanjut di masa Orde Baru. “Mahasiswa Menggugat” muncul sebagai reaksi terhadap harga bensin dan melebarnya jurang kaya-miskin, Proyek Taman Mini dianggap mirip dengan proyek-proyek mercusuarnya Sukarno. Sedangkan Golput merupakan reaksi kesangsian mereka terhadap partai-partai politik yang ikut pemilihan umum. 8. Hal ini berhubungan dengan pemberantasan menggejalanya rambut gondrong di kalangan anak-anak muda kota bersamaan menyebarnya penggemar musik rock, yang dilaksanakan oleh anggota ABRI dan dibantu oleh Taruna Akabri Kepolisian yang sedang kerja praktek. Beberapa Dewan Mahasiswa (DM) dan Kesatuan Aksi Pelajar memprotes tindakan itu ke Kobes Bandung. Pada 6 Oktober 1970 Rene Louis Conrad (mahasiswa ITB) tertembak mati akibat perkelahian dalam pertandingan sepakbola antara mahasiswa ITB dengan Taruna Akabri Kepolisian, lihat Mayapada, No. 89, 22 Oktober 1970. 9. Arief Budiman, Op. cit. Kepentingan politik dalam arti ini, bahwa mahasiswa punya kontrol dan berhak mengajukan kritik
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
terhadap pemerintahan, tetapi tidak bermaksud menguasai atau menjatuhkan pemerintahan. 10. Ibid., hal. 63. 11. Arena di sini tidak boleh diartikan netral. Di satu pihak panggung adalah catwalk di mana para pemain diarahkan dan dibatasi melalui “skenario”. Tetapi di lain pihak, gagasan tentang panggung itu sendiri (sistem politik) yang membentuk dan mengarahkan subyektivitas mahasiswa. 12. Yang unik dibandingkan dengan organisasi masyarakat mana pun, organisasi mahasiswa bersifat “turn over” karena mereka hanya menjadi mahasiswa dalam kurun waktu tertentu yang pendek dan terbatas. Karena itu ada masalah diskontinuitas dalam organisasi mahasiswa untuk “mewariskan” normanorma dan pikiran-pikiran yang mereka anut. 13. Sejak pertengahan tahun 70-an, di kampus-kampus utama di Indonesia, organisasi intern mahasiswanya (Keluarga Mahasiswa) mulai menciptakan struktur organisasi yang sangat mirip dengan susunan formal sebuah lembaga negara. Walaupun Dewan Mahasiswa sudah terbentuk sejak akhir 50-an, tetapi mekanisme kelembagaan maupun organisasinya sangat jauh berbeda dengan DM periode awal 70-an. Di ITB dan UI, akhir 70-an misalnya, Keluarga Mahasiswa merupakan peniruan dari sistem Republik Amerika Serikat. 14. Ketua IGGI JP Pronk yang berkunjung ke Jakarta disambut mahasiswa dengan aksi poster dan pernyataan ketidakpuasan terhadap kebijakan pembangunan. Di samping itu, mahasiswa juga mempersoalkan Asisten Pribadi Presiden (Aspri), kekayaan pejabat, masalah Pertamina, dan korupsi. 15. Lihat Marmimar Mangiang, “Mahasiswa, Ilusi tentang Sebuah Kekuatan,” Prisma, No. 12, Desember 1981. Dalam dialog yang berlangsung 2 jam dengan Presiden Suharto, 85 mahasiswa mewakili 35 Dewan Mahasiswa (DM) dari Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Denpasar, Semarang, Banjarmasin, Banda Aceh, Medan, Padang, Ujung Pandang, dan Purwokerto. 16. Dalam rangka menyambut kunjungan PM Kakuei Tanaka ke Jakarta berlangsung demonstrasi mahasiswa. Di luar unjuk rasa terjadi aksi massa yang merusak gedung (Proyek Senen) dan membakar mobil-mobil buatan Jepang, yang pada gilirannya mendapat konotasi negatif dengan sebutan “Malari” (Malapetaka 15 Januari) . Masmimar Mangiang, loc. cit., hal. 101-102. 17. Di balik “Gerakan 15 Januari” sebenarnya diikuti oleh friksi di dalam tubuh negara. Sebab, setelah peristiwa ini berlalu terjadi pengunduran diri Jenderal Soemitro dari jabatan Pangkopkamtib serta dinas kemiliteran. 18. Masmimar Mangiang, Op. cit., hal. 102-103. 19. Lihat laporan Fauzie Syuaib, “Organisasi Kemahasiswaan: Upaya Mencari Bentuk,” Prisma, No. 6, Juni 1987. 20. Lihat lapaoran Redaksi Prisma, “Pembangunan dan Kesempatan Kerja,” Prisma, No. 6, Juni 1987. 21. Marsillam Simandjuntak, “Gerakan Mahasiswa Mencari Definisi?” Prisma, No. 2, April 1973. 22. Marsillam Simandjuntak, Ibid., hal. 35. 23. Marsillam Simandjuntak, Ibid. Marsillam mengatakan bahwa tuduhan ini khas gaya mereka yang berkuasa, seperti halnya Sukarno menuduh aksi Tritura ditunggangi CIA (hal. 35). Atau seperti “Peristiwa 15 Januari 1974” maupun “Gerakan 1978” pemerintahan Orde Baru menuduh mahasiswa ditunggangi oleg faksi-faksi tertentu yang tidak puas kepada pemerintah atau barisan sakit hati.
P R O B L E M F I L S A F A T 37
ARTIKELTEMATIS
24. Parakitri Tahi Simbolon, “Di balik Mitos Angkatan 66,” Prisma, No. 12, Desember 1977. 25. Parakitri Tahi Simbolon, Ibid., hal. 55-56. 26. Masmimar Mangiang, loc.cit. 27. Ibid., hal. 107. 28. Jika setelah “Gerakan 15 Januari 1974” dominasi Negara terhadap perguruan tinggi ditunjukkan dengan keluarnya SK 028/1974 dari Menteri P dan K, setelah “Gerakan 1978” dikeluarkan SK Kopkamtib No. Skep 02/Kopkam/1978 yang membekukan Dewan Mahasiswa di seluruh perguruan tinggi, bahkan dilanjutkan dengan keluarnya SK Menteri P dan K No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus disertai perangkat BKK. 29. Masmimar Mangiang, loc.cit., hal. 106-107. 30. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman tentang Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan, Rektoriat ITB, 1979.
38
PROBLEMFILSAFAT
31. Harry Wibowo (ed), “Paham Kebangsaan: Sudut Pandang dan Pengalaman Mahasiswa Purna 1978,” makalah dalam Pertemuan Kaum Muda tentang Paham Kebangsaan, diselenggarakan Harian Kompas, Pacet, Mei 1985. 32. Ibid., hal. 39-40. 33. Misalnya, Heri Akhmadi, “Gerakan Moral Tidak Relevan Lagi,” Kompas, 16 Juni 1985. Dalam sebuah liputan tentang kelompok studi/diskusi, Harry Wibowo mengatakan: “Pilihan kami jelas, yakni menegakkan kekuatan rakyat...!” Kompas, 14 Mei 1986. 34. Menarik untuk dicacat bahwa sebagian besar LSM/LPSM yang berdiri sejak 1970-an didirikan oleh para bekas aktivis mahasiswa. 35. Sjahrir, “Pilihan Angkatan Muda: Menunda atau Menolak Kekalahan,” Prisma, No. 6, Juni 1987. 36. Sjahrir, Ibid., hal. 8-10. 37. Ingat identifikasi peran mahasiswa sebagai resi. Arief Budiman, Op.cit., membedakan antara cara pandang yang cultural dan structural terhadap peranan mahasiswa. Meskipun dia mengaku seorang strukturalis, tapi untuk lebih bisa menjelaskan hubungan antara mahasiswa dan pemerintah di Indonesia, dia lebih condong pada pendekatan cultural. Kecenderungan “kulturalisme” ini direproduksi menjadi gagasan yang mempersepsi gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral dan mahasiswa sebagai cendekiawan muda. 38. Seperti tersirat diperkirakan Masmimar Mangiang, loc.cit. 39. “Peristiwa 5 Agustus 1989” di kampus ITB mendapat pukulan telak hanya karena sebuah demonstrasi berskala kecil dalam rangka menyambut kedatangan Menteri Dalam Negeri, Rudini. Untuk pertama kalinya dalam sejarah gerakan protes mahasiswa, pimpinan universitas memecat mahasiswa, sementara aparat negara memvonis keenam pelakunya masing-masing antara 3 sampai 3 tahun 3 bulan untuk tuduhan “pelanggaran pidana” yang sama dengan pasal tuduhan terhadap pimpinan mahasiswa di tahun 1978, tetapi aktivis ’78 hanya dihukum paling lama satu tahun penjara dan tidak dipecat dari universitas. 40. Lihat misalnya, “Gerakan Orang Muda, Gelombang yang tak Kunjung Mencapai Pantai,” Dialog para eksponen 66 dalam Prisma, No. 12, Desember 1977, hal. 25-47. 41. Pandangan tentang peran mahasiswa sebagai sekadar katalisator perubahan merupakan permakluman yang dominan pada periode gerakan mahasiswa pasca-1978, yang tercermin dalam makalah refleksi Harry Wibowo (ed.), Op.cit. 42. Misalnya, Sjahrir, loc.cit. 43. Erik Olin Wright, Class, Crisis, and the State, (London: New Left Books, 1985), hal. 92-93. 44. Lihat Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital, (Sydney: Allen & Unwin, 1986). 45. Hamza Alavi, “Class and State under Peripheral Capitalism,” dalam Hamza Alavi dan Teodor Shanin, Introduction to Sociology of ‘Developing Societies’, (New York: Monthly Review, 1982). 46. Lihat laporan Fauzie Syuaib, Op.cit. 47. Gejala yang paling terasa pada paruh akhir 80-an adalah bank, awal 90-an adalah pariwisata lewat “Visit Indonesia 1991”.
*Suryadi A. Radjab adalah aktivis Kelompok Studi 1980-an, sekarang bekerja di PBHI Bandung.
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELNONTEMATIS
Hermeneutika Rorty: Suatu Upaya Melampaui Epistemologi oleh DAVID TOBING
Pendahuluan Proyek filsafat Richard Rorty merupakan upaya mengkritisi epistemologi yang menjadi pusat pemikiran filsafat semenjak era modern. Pengkritisan ditujukan untuk membongkar asumsi-asumsi yang bersembunyi di dalam epistemologi. Rorty mengkritisi dan membongkar pengandaian yang ada dalam epistemologi dengan melacak perkembangan pemikiran filsafat semenjak masa Descartes, Locke, Kant, bahkan ia juga mempertanyakan pengandaian yang bersembunyi pada klaim-klaim filosofis Habermas.1 Tulisan ini hendak memperlihatkan bagaimana Rorty mengkritik dan membongkar pengandaian epistemologi yang melatari pemikiran filsafat semenjak zaman Renainsance. Sistematikan tulisan ini dimulai dari (1) pemaparan kritik Rorty atas epistemologi, lalu (2) pemaparan gagasan Rorty untuk mengatasi kelemahan epistemologi yang telah dikritiknya dengan hermeneutika, diakhiri dengan (3) proposal Rorty untuk membangun pemikiran filsafat yang bercorak edifying. Kritik Atas Epistemologi Kritik utama Rorty atas filsafat yang berpusat pada epistemologi dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, dari aspek kebenaran. Filsafat yang berpusat pada epistemologi [selanjutnya dituliskan sebagai “epistemologi”] menyadari hubungan antara pengetahuan dengan realitas eksternal bersifat fondasional. Bahasa yang dipergunakan untuk merumuskan pengetahuan adalah benar-benar merujuk pada realitas eksternal yang ada di luar pikiran. Atas hal tersebut, Rorty menyatakan bahwa hubungan antara pengetahuan dan realitas eksternal adalah bersifat antifondasional. Bahasa yang dipergunakan untuk memformulasi pengetahuan tidak benar-benar merujuk pada realitas eksternal yang ada di luar pikiran manusia. Melalui kritiknya ini, Rorty telah mengeroposkan asumsi pengetahuan yang menyatakan bahwa kebenaran pengetahuan berkenaan dengan akurasi representasi antara pikiran dan realitas eksternal. Kedua, dari aspek justifikasi. “Epistemologi” mendasarkan justifikasi pada objektifikasi di mana objektifikasi merupakan hasil dari kesepakatan rasional yang bersumber dari metode-metode tertentu yang menjadi dasar bersama (common ground). Justifikasi tersebut dikritik Rorty, dengan menyatakan bahwa proses justifikasi pada dasarnya merupakan conversation (percakapan) yang tidak mengharuskan adanya suatu dasar bersama. Bagi Rorty, justifikasi adalah
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
kesepakatan intersubjektif, konsensus yang tidak didasarkan pada adanya suatu metode tertentu yang menjadi dasar bersama. Ketiga, dari aspek makna. “Epistemologi” mengenali makna sebagai logos2, sesuatu yang tetap, juga universal. Atas pandangan tersebut, Rorty mengajukan kritik bahwa makna dapat juga dikenali melalui kegunaannya. Rorty mendekati makna secara pragmatis. Ketiga hal tersebut saling bertautan satu sama lain. Objektifikasi sebagai suatu proses penjustifikasian “epistemologi” hanya dimungkinkan jika kebenaran bersifat fondasional, tetap dan universal. Menuju Hermeneutika Rorty memformulasikan syarat bagi justifikasi “epistemologi” adalah commensuration atau commensurable3. Titik tolak Rorty mengkonseptualisasikan commensurable sebagai syarat justifikasi “epistemologi” adalah filsafat sains. Dalam filsafat sains, commensurable merujuk pada sifat keberbandingan dari teori-teori sains. Sifat keberbandingan itu ditujukan untuk menemukan mana teori yang lebih ampuh dari teori yang lain. Perspektif yang mendasari commensurable adalah keyakinan bahwa perkembangan teori bersifat akumulatif, semakin mengarah pada kesempurnaan, totalitas. Atas pandangan tersebut, Rorty mengkonseptualisasi syarat justifikasi dari filsafat yang berpusat pada hermeneutika [untuk selanjutnya dituliskan “hermeneutika”] adalah conversation. Inspirasi Rorty akan conversation berkaitan dengan gagasan Thomas Kuhn, seorang filsuf filsafat sains, akan incommensurability. Incommensurability berarti adanya sifat ketakberbandingan antara teori-teori sains. Berdasakan gagasan tersebut, Kuhn mendistingsikan normal sains4 dan revolutionary sains5. Distingsi sains Kuhn diadopsi Rorty ke dalam “hermeneutika” menjadi diskursus normal6 dan abnormal.7 Gagasan Kuhn akan incommensurability memiliki pengaruh kuat dalam “hermeneutika” Rorty. Incommensurability membuat “hermeneutika” Rorty mampu memberikan kritik atas syarat justifikasi “epistemologi.” Incommensurability memberi dasar justifikasi “hermeneutic”, yakni conversation. Commensuration dan conversation memiliki persamaan, yaitu bahwa keduanya merupakan syarat justifikasi pengetahuan yang menghendaki tercapainya persetujuan
P R O B L E M F I L S A F A T 39
ARTIKELNONTEMATIS
(agreement). Perbedaan antara keduanya, justifikasi “epistemologi” berambisi untuk meraih persetujuan karena adanya persetujuan itu sudah dijamin dengan adanya metode atau aturan tertentu yang menjadi dasar bersama bagi pengujian suatu teori. Konsekuensinya, teori yang lolos saringan dasar bersama merupakan teori benar. Berbeda dengan justifikasi “epistemologi,” justifikasi “hermeneutika” Rorty berharap conversation dapat mencapai persetujuan, tetapi tidak dalam posisi harus selalu mendapatkannya.8 Dari aspek kebenaran, “epistemologi” meyakini bahwa klaim kebenaran pengetahuan hanya dapat dicapai apabila didasarkan pada suatu fondasi yang kokoh, jelas dengan sendirinya, yang tak dapat diragukan serta tak perlu dikoreksi.9 Kebenaran dalam “epistemologi” bersifat fondasional. Adapun “hermeneutika,” mengenali kebenaran
Skema 1. Systematic Philosophy
Skema 2. Edifying Philosophy
40
PROBLEMFILSAFAT
sesuatu sesuatu yang tidak memiliki basis yang kokoh. “Hermeneutika” mengenali kebenaran secara anti-fondasional.10 Dari aspek pemaknaan, “hermeneutika” Rorty secara nyata telah tampil sebagai sesuatu yang melampaui “epistemologi.” Makna diskursus “epistemologi” yang ditopang oleh prinsip commensuration berorientasi pada upaya menemukan logos, atau pemaknaan bersifat epistemic approach. Pada “hermeneutika,” makna diskursus “hermeneutika” yang berorientasi pada upaya menemukan logos terjadi di ranah diskursus normal.11 Namun pada diskursus yang abnormal, orientasi pemaknaan bersifat pragmatic approach. Melalui argumentasi ini, Rorty pun menyatakan bahwa epistemologi adalah suatu upaya yang menyesatkan diri sendiri.12 Hermenutika sebagai Edifying Philosophy “Hermeneutika” Rorty telah ‘melumpuhkan’ konsepsi “epistemologi” atas pikiran sebagai cermin, pengetahuan sebagai akurasi representasi, dan makna sebagai logos. Kelumpuhan itu berdampak bahwa tindakan berfilsafat bukan hanya berangkat dari “epistemologi” saja, melainkan juga dapat berangkat dari sesuatu yang melampaui “epistemologi,” yaitu: “hermeneutika.” Filsafat yang berangkat dari “hermeneutika” adalah edifying philosophy13. Adapun filsafat yang berangkat dari “epistemologi” adalah systematic philosophy14. Ciri-ciri dari edifying philosophy setidaknya dapat diidentifikasi melalui empat hal berikut, yaitu 1) asumsi manusia sebagai diri yang kreatif (man as self-creative), 2) pendasaran justifikasi pada conversation,15 3) dari sudut pandang eksistensialis Sartreian, manusia merupakan pour-soi16, dan 4) bersikap skeptis akan adanya universal commensuration. Berbeda dengan edifying philosophy, systematic philosophy setidaknya bercirikan: 1) asumsi manusia sebagai sesuatu yang secara esensial mengetahui esensi segala hal (man-as-essentialyknower-of-essences), 2) pendasaran justifikasi pada commensuration, 3) dari sudut pandang eksistensialis Sartreian, manusia menjadi en-soi, dan 4) optimis akan ada universal commensuration atau objective truth. Kesimpulan Melalui “hermeneutika,” Rorty membuka celah baru bagi filsafat. “Epistemologi” menjadikan tindakan berfilsafat hanya sebagai upaya mendapat kebenaran (truth). “Hermeneutika” memberikan filsafat suatu cakrawala baru, yaitu filsafat tidak lagi semata-mata berurusan dengan ke-
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELNONTEMATIS
benaran, melainkan juga berurusan dengan hal-hal yang berada atau melampaui kebenaran “epistemologi,” semisal keindahan, juga kebaikan. Melalui penggagasan edifying philosophy dan systematic philosophy, Rorty memetakan sejarah filsafat sekaligus memprediksikan arah filsafat di masa mendatang. Sejarah filsafat dapat dilihat sebagai “persaingan” antara edifying philosophy dan systematic philosophy. Ada pun perkembangan filsafat di masa mendatang juga merupakan “persaingan” antara edifying philosophy dan systematic philosophy.17 Catatan Akir:
1. Rorty, Richard, Philosophy and The Mirror of Nature (New Jersey: Princeton University Press, 1979), lihat hal. 379-382. 2. Ibid., hal.319-320. 3. Ibid., hal.316. “By “commensurable” I mean able to be brought under a set of rules which will tell us how rational agreement can be reached on what would settle the issue on every point where statements seem to conflict.” 4. Ibid., hal.320. “‘Normal’ science is the practice of solving problems against the background of a consensus about what counts as a good explanation of the phenomena and about what it would take for the problem to be solved.” 5. Ibid., hal.320. “‘Revolutionary’ science is the introduction of a new “paradigm” of explanation, and thus of a new set of problems.” 6. Ibid., hal.320. “More generally, normal discourse is that which is conducted within an agreed-upon set of conventions about what counts as relevant contribution, what counts as answering or a good criticism of it.” 7. Ibid., hal.320. “Abnormal discourse is what happens when someone joins in the discourse who is ignorant of these conventions or who sets them aside.” 8. Ibid., hal.318. “Hermeneutics sees the relations between various discourses as those of strands in a possible conversation, a conversation which presupposes no disciplinary matrix which unites the speakers, but where there hope of agreement is never lost so long as the conversations lasts.” 9. Sudarminta, J, Epistemologi Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 2002), lihat hal.138 10. Rorty, op.cit., hal.318. “The criticism of this notion which I have canvassed in previous chapters are backed up with holistic arguments of the form: We will not be able to isolate basic element except on the basis of a prior knowledge
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
of the whole fabric within which these elements occur. … This holist line of argument says that we shall never be able to avoid the “hermeneutic circle”—the fact that we cannot understand the parts of a strange culture, practice, theory, language, or whatever, unless whereas we cannot get a grasp on how the whole works until we have some understanding of its parts.” 11. Ibid., hal. 320. “Έπιστήμη is the product of normal discourse –the sort of statement which can be agreed to be true by all participants whom the other participants count as ‘rational’.” 12. Ibid., hal.11. “I argue that the attempt (which has defined traditional philosophy) to explicate “rationality” and “objectivity” in terms of condition of accurate representation is selfdeceptive effort to eternalize the normal discourse of the day, and that, since the Greeks, philosophy’s self-images has been dominated by this adopt.” 13. Ibid., hal.368. “These peripheral, pragmatic philosophers are skeptical primarily about systematic philosophy, about the whole project of universal commensuration.” 14. Ibid., hal.367. “A “mainstream” Western philosopher typically syas: Now that such-and-such a line of inquiry has had such stuning success, let us reshape all inquiry, and all of culture, on its model, thereby permiting objectivity and rationality to prevail in area previously obscured by convention, superstition, and the lack of proper epistemological understanding of man’s ability accurately to represent nature.” 15. Ibid., hal.377. “Edifying philosophy is to keep the conversation going rather than to find objective truth.” 16. Distingsi dari sudut pandang eksistensialis Satreian ditujukan untuk sekadar memberikan kontras atas pandangan manusia antara edifying philosophy dan systematizing philosophy. Namun, harus pula dicatat pula bahwa distingsi itu tidak dimaksudkan untuk menempatkan manusia “beresensikan” pour-soi. Lihat. Ibid., hal.378. “So not even by saying that man is ubject as well as object, pour-soi as well as en-soi, we are grasping our essence. We do not escape from Platonism by saying that “our essence is to have no essence” if we then try to use this insight as the basis for a constructive and systematic attempt to finds truth about human beings.” 17. Ibid., hal.394. “Perhaps philosophy will become purely edifying, so that one’s self-identification as a philosopher will be purely in terms of the books one reads and discusses, rather than in terms of the problems one wishes to solves. Perhaps a new form of systematic philosophy will be found which has nothing whatever to do with epistemology but which nevertheless makes normal philosophical inquiry possible.”
P R O B L E M F I L S A F A T 41
ARTIKELBUDAYA
DENYAR MAX HAVELAAR DI BUMI MANUSIA oleh RAGIL nugroho
Sastra yang Membuka Kesadaran Nasionalisme: Max Havelaar TAHUN 1860, publik Belanda digegerkan oleh novel berjudul Max Havelaar of de Koffijveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappj (Max Havelaar Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda). Novel ini ditulis oleh seseorang bernama Multatuli—berarti Akulah yang Menderita—nama pena E. Douwes Dekker. Kisahnya tentang kondisi Hindia Belanda dimasa gencar-gencarnya Tanam Paksa setelah kas Belanda terkuras akibat perang Jawa, yang membuat geger anak manusia di negeri Kincir Angin sana; bagai palu godam yang dipukulkan dengan keras pada kepala nilai-nilai kemanusiaan yang dianut bangsa Eropa. Sebagai mantan asisten residen di Lebak, dengan kepala, telinga dan matanya sendiri, Multatuli mampu menangkap kondisi penduduk pribumi yang diperas habis-habisan oleh tangan-tangan penjajahan; dua tangan sekaligus: kekuasaan Belanda dan para penguasa feodal.
Penjajahan yang menimpa Hindia Belanda memang unik. Feodalisme tidak dihancurkan oleh bangsa penjajah, melainkan dimanfaatkan untuk memeras habis penduduk pribumi. Hak penguasa feodal ini dipulihkan secara resmi ketika Gubernur Jendral Van de Boch berkuasa. Dengan legitimasi tersebut feodalisme semakin dikokohkan. Ketika masih menjabat sebagai asisten residen di Lebak, Multatuli melihat tangan kedua—penguasa feodal— yakni Bupati Lebak yang didukung tangan pertama—kolonialisme Belanda—telah melakukan pemerasan terhadap rakyat. Tindakan ini, menurutnya, bertentangan dengan moral Eropa yang menempatkan manusia sebagaimana inti slogan Revolusi Prancis yang agung: persamaan, kebebasan dan persaudaraan. Maka, diadukanlah tingkah polah sang bupati kepada atasan. Namun, sang atasan tidak menggubris, sebaliknya justru memihak sang bupati, bahkan me-
*Karya Moelyono: Mimpi Melihat Bung Karno
42
PROBLEMFILSAFAT
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELBUDAYA
nonaktifkan Multatuli dari jabatan sebagai asisten residen. Dengan kekecewaan luar biasa, Multatuli kemudian pulang ke negeri Belanda, dan melahirkan novel Max Havelaar di sana. Multatuli menggunakan bahasa sastra untuk menumpahkan rasa kecewanya sekaligus melakukan perlawanan. Karya yang ditulis selama masa-masa sulit itu menguak tabir nasib tragis sebidang bumi yang dijajah agar diketahui masyarakat Belanda dan Eropa. Salah satu bagian dalam Max Havelaar yang sering dikupas hingga saat ini adalah Saija dan Adinda, yang dengan jernih menggambarkan kondisi rakyat Hindia Belanda pada masa itu: “Waktu kerbau ini dirampas kepala distrik Parang Kudjang, ia sangat berdukatjita, berkata-kata ia tak suka, sampai berhari-hari lamaja. Karena, waktu meluku sudah tiba, dan alangkah menakutkan kalau sawah tak tergarap pada musimnja, sampai nanti musim menyebar benihpun lewat berlalu, dan achirnja tiada sebatang padipun bakal ditunai buat disimpan didalam lumbung. Maka diambil olehnja sebilah keris pusaka peninggalan ajahja. Tidak begitu indah memang, tapi ada pengikat-pengikat perak melingkari sarungnja, dan selembar perak terhias pada udjungnja. Didjualnja keris pusaka itu pada seorang Tionghoa jang tinggal diibukota distrik, dan kembali ia pulang membawa dua puluh enpat rupiah, dan dengannja ia beli kerbau baru. Saidja telah meningkat sembilan tahun, dan Adinda enam tahun mendjelang kerbau baru ajah Saidja dirampas lagi oleh kepala distrik Prang Kudjang. Ajah Saidja jang sangat miskin, kini mendjual sepasang sangkutan klambu dari perak kepada seorang Tionghoa; sangkutan klambu pusaka peninggalan orang tua istrinja, delapan belas rupiah. Dan dengan itu dibelinja kerbau baru.”1
Kondisi penduduk pribumi begitu miskin. Harta mereka dirampas penjajah, kemerdekaan pun tiada akibat belenggu kolonialisme yang mengikat kuat kebebasan mereka. Keluarga Saija tak mampu lagi membeli kerbau baru karena harta sudah dirampok tangan-tangan kolonial. Tak ada alat untuk membajak; tanah pun terlantar. Artinya, kemiskinan semakin merantai. Penderitaan semakin menujam. Lewat Max Havelaar, Multatuli menggugat kondisi tersebut. Ia menentang praktek-praktek busuk kolonial. Lewat karya sastra ia berhasil menggoncang negeri Belanda, membangunkan orang-orang sebangsanya yang tidak peduli pada kondisi tanah jajahan; bahwa mereka hidup di atas kesengsaraan bangsa lain. Gugatannya begitu menggores tajam. Suaranya menusuk jantung kemanusiaan. Publik pun terpikat dan mulai berpikir tentang negeri yang telah memberi kemewahan kepada mereka. Novel Multatuli tidak hanya dibaca oleh orangorang Belanda, pun golongan terpelajar di Hindia Belanda,
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
termasuk Kartini. Ketika membaca Max Havelaar, Kartini masih muda. Sebagai anak bupati, ia beroleh kesempatan belajar bahasa Belanda sehingga bisa membaca buku-buku yang ditulis dalam bahasa negeri tersebut, Max Havelaar salah satunya. Kartini begitu tergugah ketika membaca Max Havelaar: “Max Havelaar aku punja, “katanja, “karena aku sangat, sangat suka Multatuli.”2 Kartini pun mengikuti jejak Multatuli: menulis. Memang, Kartini tidak menulis novel, tapi lewat surat-suratnya ia melanjutkan apa yang telah diperjuangkan oleh Multatuli. Kartini tidak hanya sebatas tokoh pejuang emansipasi, sebagaimana yang ditahbiskan zaman Orde Baru kepadanya, tetapi sebenarnya ia sangat gigih melawan kolonialisme. Surat-suratnya berisi kecaman keras terhadap tindakan penjajah yang telah merenggut kemerdekaan penduduk pribumi. Sebagai perempuan belia ketika itu, Kartini sudah sadar bahwa pangkal kesengsaraan bangsanya adalah kolonialisme yang berpilin dengan feodalisme. Ada kesamaan antara Multatuli dan Kartini: mereka menyuarakan protes melalui pena. Suara hati mereka dituangkan menjadi barisan kata-kata tertulis yang kemudian dibaca oleh orang lain; masa ketika tulisan memegang peranan penting dalam membuka kesadaran kebangsaan untuk melawan penjajahan. Politik Etis Belanda—walaupun sebetulnya bertujuan manipulatif—sedikit-banyak telah memberi kesempatan kepada rakyat pribumi, khususnya kaum terdidik kelas atas, untuk membaca beragam pemikiran yang terserak dalam berbagai buku berbahasa Belanda. Kesadaran untuk mengenal kondisi mereka sendiri, pun kondisi masyarakat, perlahan mulai tumbuh. Masuknya Belanda sebagai bangsa penjajah ke Hindia Belanda, selain membawa sistem ekonomi baru, yaitu kapitalisme, juga membawa hasil dari revolusi industri di Eropa, salah satunya mesin cetak. Sebelum masa itu, tulisan ditatah di atas batu, yang dalam perkembangan selanjutnya ditulis di atas lontar. Belanda membutuhkan alat pencetak untuk melipatgandakan aturan hukum. Selain itu, percetakan juga digunakan oleh para misionaris Gereja Protestan. Literatur Kristen dalam berbagai bahasa daerah dan Al Kitab bisa digandakan dengan cepat jika menggunakan mesin cetak.3 Tak hanya pemerintah kolonial dan gereja yang dimudahkan oleh hadirnya mesin cetak, bangsa terjajah pun mereguk manfaat dari keberadaan alat tersebut, yaitu sebagai alat pencetak surat kabar Seperti halnya mulut, surat kabar digunakan sebagai sarana untuk menyurakan gugatan terhadap pemerintah kolonial. Medan Prijaji adalah salah satu surat kabar yang menetas pada periode ini. Sebagai surat kabar pribumi pertama, Medan Prijaji mulai terbit pada tahun 1904, dengan akta notaris Simon. Medan Prijaji didirikan oleh N.V. Javaanshe Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften Medan Prijaji. Kantornya terletak di Jalan Naripan, Bandung. Modal awal pendiriannya sebesar F. 75.000.4
P R O B L E M F I L S A F A T 43
ARTIKELBUDAYA
Pendiri Medan Prijaji adalah Raden Mas Tirtoadisoerjo (Tirto) yang sempat mengenyam pendidikan di STOVIA. Keturunan Bupati Bojonegoro ini lahir pada tahun 1875 dan meninggal pada tanggal 17 Agustus 1918. Tirto dikenal sebagai wartawan Hindia Belanda pertama yang menggunakan surat kabar sebagai media pembentuk pendapat umum. Lewat surat kabar, ia menyebarluaskan sejumlah tulisan berisi kecaman pedas terhadap pemerintah kolonial, baik kekuasaannya yang diwakili oleh penduduk pribumi maupun Belanda. Tak heran, disebabkan kritikkritik tajamnya, Tirto lantas diasingkan oleh Belanda.5 Tirto merupakan seorang Multatulian. Dalam memahami denyut nadi penduduk pribumi, ia mengaku dipengaruhi pemikiran-pemikiran Multatuli. Tirto jelas pembaca Max Havelaar. Tirto pernah membuat sebuah artikel yang berjudul Oleh-oleh dari Tempat Pembuang, yang ditulisnya dua bulan setelah dibuang dari Teluk Betung karena perkara presdelic. Berikut sedikit isi artikelnya: “Bulan Mei belum lama kenyap, ya, bulan Mei sewaktu orang sopan merayakan cukup 50 tahun umur karangan Multatuli, buku yang sudah bikin terkejut seantero orang Nederland, buku beralamat Max Havelaar, yang menceritakan bagaimana seorang Gouverneur-Generaal dan seorang resident sudah memihak pada seorang bupati yang sudah memijit dan memeras keringat, ya, darah Anak Negeri! Nyaring suara pengunci buku Multatuli yang ditunjukkan pada Sri Baginda Raja Nederland...”6
Dengan getas, Tirto mengungkapkan pengaruh Multatuli atas dirinya, yang telah membantu membuka kesadarannya dalam melihat kondisi masyarakat pribumi yang “dipijat” dan “diperas” oleh penjajahan; kondisi yang masih dialami
Apa yang diceritakan Multatuli kurang lebih 50 tahun yang lalu itu tidak saja benar, hal-hal serupa atau lebih dari itu juga masih terdapat pada masa ini. Jangan kaget, pembaca kita di Nederland, jangan kaget, dan jangan lantas terburu-buru memaki dan mencaci kita, karena kita sudah berani bilang yang hal-hal sebagaimana diceritakan oleh Multatuli masih didapat pada masa ini di Karesidenan Banten....”7
Semangat Multatuli begitu dipahami oleh Tirto. Sebagaimana Multatuli dan Kartini, Tirto pun menggunakan pena dalam perjuangannya. Selain menulis artikel di surat kabar, ia juga menghasilkan sejumlah cerpen panjang yang berkisah tentang kondisi Hindia Belanda pada zamannya. Semangat humanisme Multatuli menjadi napas dalam karya-karyanya. Bagi Marco Kartodikromo, Tirto merupakan tokoh penggoncang pribumi dari tidurnya; sama dengan Multatuli di Belanda. Kesadaran Tirto terus berderap maju. Kesadaran baru pun bertumbuh dalam dirinya—kekuatan akan berlipat apabila ada yang mengikat, yaitu organisasi. Maka, berdirilah Sarikat Prijaji. Organisasi ini dipelopori oleh Tirto. Seperti namanya, Sarikat Prijaji bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan kaum priyayi, lapisan atas dalam struktur feodalisme. Pada akhirnya, organisi ini pupus; tak mampu mekar; tak bisa menemukan tulang punggung yang kokoh untuk menyangga. Kaum priyayi ternyata sekumpulan orang beku yang hanya peduli pada dunianya sendiri, dunia kasta dan para dewa, bukan dunia lumpur dan keringat rakyat pribumi. Begitu api Sarikat Prijaji padam, lahirlah Sarikat Dagang Islam (SDI). Organisasi baru ini diikat oleh dua hal: pedagang dan Islam. Lagi-lagi, Tirto menjadi salah satu pionir pendirinya. Kaum pedagang yang bekerja den-
Semangat Multatuli begitu dipahami oleh Tirto. Sebagaimana Multatuli dan Kartini, Tirto pun menggunakan pena dalam perjuangannya. oleh dirinya dan seluruh penduduk Hindia Belanda persis 50 tahun setelah Max Havelaar terbit. Sebagai seorang Multatulian, Tirto juga menulis artikel yang berjudul Kekejaman di Banten. Gugatannya terasa tajam. Baginya, setelah 50 tahun Max Havelaar terbit di negeri Belanda, kondisi tanah jajahan belum beranjak lebih jauh; rakyat masih teraniaya: “...50 tahun yang sudah, nyata dalam karangan Multatuli yang beralamat Max Havelaar, bahwa tanah Lampung sudah menjadi tempat pembuangan sukarela untuk orang-orang yang teraniaya oleh pijatan dan pemerasan.
44
PROBLEMFILSAFAT
gan mengandalkan kreativitas diharapkan mampu menjadi ujung tombak dalam memutar baling-baling organisasi. Sementara itu, Islam sebagai agama mayaroritas digunakan untuk menyatukan segala potensi kekuatan yang ada untuk melawan. SDI memang bukan organisasi revolusioner, tapi lebih sebagai cikal bakal munculnya organisasi revolusioner berikutnya: Sarikat Islam Merah. Jago-jago kiri dalam sejarah pergerakan Indonesia, di antaranya Marco Kartodikromo, Haji Misbach dan Semaoen, lahir dari rahim Sarikat Islam Merah. Mereka adalah angkatan muda baru yang
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELBUDAYA
*Boeng Ajo Boeng.
mulai berkenalan dengan ajaran komunis. Bisa dikatakan, Sarikat Islam Merah merupakan cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagaimana tercatat dalam sejarah, PKI dikenal sebagai kekuatan politik pertama yang melancarkan pemberontakan pada Belanda (1926-1927). Meskipun gagal, pemberontakan ini telah mengajarkan satu hal baru: keberanian untuk melawan secara terorganisir. Demikianlah, jabaran di atas dengan jelas memperlihatkan pengaruh Max Havelaar dalam menumbuhkan kesadaran rakyat Hindia Belanda untuk melawan, yang kelak berujung pada pemberontakan PKI, sebelum berlanjut pada revolusi 1945. Sebagaimana disampaikan Albert Camus, pemberontakan merupakan usaha untuk membuka sumbat saluran yang mampet agar bisa menjadi pancuran yang deras.8 Dalam kasus penjajahan di Indonesia, salah satu pembuka saluran itu adalah karya sastra: Max Havelaar. Max Havelaar: Perdebatan dan Pengaruhnya Akhir Oktober 1859, Max Havelaar selesai ditulis. Novel tersebut ditulis rapi dan dijilid. Walaupun belum diterbitkan, Max Havelaar telah menimbulkan kehebohan. Van Hasselt, seorang ahli hukum yang pernah dititipi surat Dekker untuk Van Twist, memberikan kesaksian:”Sekiranya separoh saya pun yang benar dari apa yang disampaikan kepada saya (yakni orang memberikan informasi kepada Van Hasselt), saya berpendapat buku itu harus segera dicegah penerbitannya.”9 Lantas, Van Hasselt menulis surat kepada Rochussen, seorang menteri Daerah Jajahan, memberitahukan perihal Max Havelaar. Suratnya berbunyi: “Barangkali penerbitan buku ini bisa dicegah. Saya kira yang memaksa pengarang itu menulis, hanyalah mau mencari makan.”
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
Van Hansselt kemudian berhasil mendapatkan naskah Max Havelaar tiga hari setelah kelar ditulis. Setelah membacanya, ia mengirimkan naskah tersebut kepada Jacob Van Lennep. Di sinilah usaha-usaha untuk “membungkam” Max Havelaar dimulai. Ketiga orang tersebut—Van Hasselt, Van Lennep dan Rochussen— merupakan pihak pertama yang berusaha menekan pengaruh Max Havelaar agar tidak memberikan goncangan besar. Dalam surat menyurat mereka terbaca bahwa Van Lennep akan menggunting data-data dalam naskah tersebut. Menurutnya, data-data harus dikeluarkan, sementara penutupnya harus dibuang.10 Hingga akhir kematiannya, Dekker tidak pernah mengetahui akal bulus Van Hasselt, Van Lennep, dan Rochussen. Tanpa curiga, ia menganggap mereka sebagai orang-orang yang mau membantunya menerbitkan Max Havelaar dengan tulus. Karena kepercayaan yang begitu besar itulah Dekker bersedia menyerahkan hak cipta novel tersebut kepada Van Lennep. Berhasil mengelabui Dekker, Van Lennep mulai mencorat-coret isi Max Havelaar. Untungnya, bagianbagian yang diotak-atik Van Lennep tidak terlalu banyak. Bagian penutup batal dihilangkan. Lewat berbagai usaha untuk meredamnya, Max Havelaar akhirnya terbit dalam bentuk buku pada tanggal 14 Mei 1860. Namun, usaha untuk menenggelamkan Max Havelaar ternyata masih berlanjut. Agar novel tersebut tidak tersebar luas, Van Lennep sengaja mencetaknya dalam jumlah terbatas, dan dijual dengan harga tinggi. Tentu saja, ia berharap peredaran Max Havelaar bisa dikendalikan. Sensor terhadap karya sastra ternyata telah dimulai sejak kelahirannya.11 Pertama-tama setelah terbitnya, Max Havelaar lebih banyak dibicarakan sebagai pamflet politik ketimbang sebagai karya sastra. Hal ini tentu berkaitan dengan isinya, sehingga yang muncul kemudian adalah usaha untuk mencocok-cocokkan isi Max Havelaar dengan riwayat penulisnya. Para pembahas memfokuskan pada kesesuaian Max Havelaar dengan kenyataan di daerah jajahan.12 Nieuwenhuys menyampaikan bahwa pendapat Dekker dalam Max Havelaar tidak benar. Ia menganggap Dekker tidak memahami kondisi masyarakat Hindia Belanda. Menurut pendapatnya, situasi di tanah jajahan dengan struktur feodal yang masih ada tidak bisa disamakan dengan situasi Eropa. Masih menurut Nieuwenhuys, para
P R O B L E M F I L S A F A T 45
ARTIKELBUDAYA
penguasa feodal adalah penguasa rakyat dan semua benda yang berada dalam wilayah kekuasaan mereka.13 Pendapat serupa disampaikan pula oleh Gerard Termorshuizen. Ia menuduh Dekker tidak terlalu memahami “hukum adat”. Ia mengutip Vollenhoven: “Di samping hukumnya orang-orang Barat yang dibukukan oleh para ahli hukum terdapat pula ‘hukum rakyat’ yang dijunjung tinggi oleh para penduduk lainnya.” Sementara De Kock menyerang pribadi Dekker untuk menjatuhkan isi Max Havelaar.14 Ia mengatakan, Dekker tidak berhak menyerang pemerintah Belanda karena dirinya sendiri tidak bermoral bagus. De Kock menyebutkan hutang-hutang Dekker yang menumpuk, tidak mampu mengurus keluarga, serta sejumlah petualangannya dengan banyak perempuan. Komentar J. Saks pun tidak kalah sadis ketika ia mengatakan bahwa Dekker telah menunjukkan gejalagejala penyakit urat saraf.15 Ringkasnya, dari pihak yang menentang novel Max Havelaar, mereka berusaha mencari-cari alasan dengan berkata bahwa apa yang disampaikan Multatuli tidak semuanya benar, dan bahwa si penulis kurang memahami situasi tanah jajahan. Mereka berusaha memadamkan pengaruh Max Havelaar secara politik. Sebaliknya kubu lain berusaha memenangkan Max Havelaar secara politik pula. Situasi ini memang sulit dielakkan, apalagi jika mengingat situasi di Belanda pada masa itu yang tengah dimarakkan oleh pertarungan sengit antara kubu konservatisme dan kubu liberal (di dalamnya bergabung kelompok-kelompok progresif). Pada akhirnya, secara politik, Max Havelaar dinilai berhasil memicu dihapusnya Tanam Paksa—yang berarti kemenangan kelompok liberal. Kupasan Max Havelaar sebagai karya sastra dilakukan belakangan. Dari sudut sastra, A.L Sotemann menulis De Struktuur Van Max Havelaar. Menurutnya, dalam Max Havelaar, si pengarang seolah-olah tidak memerhatikan struktur penulisan. Dan, Multatuli sebagai pengarang pun menyadari hal tersebut: “ruwet...terbengkelehi, tidak beraturan, pengaranya mengejar sensasi, gayanya buruk, tidak nampak keahlian;....tidak ada bakat, tidak ada metode....Baik, baik, .....semuanya benar.... tapi orang Jawa dianiaya!” Namun, dari pengakuannya sendiri, Multatuli seolah tidak memedulikan bentuk, melainkan hanya mengandalkan isinya: orang Jawa dianiaya. Benarkah demikian? Berdasarkan pengkajian Subagio Sastrowardoyo, Max Havelaar bukanlah novel tanpa struktur. Menurutnya, novel tersebut ditulis dengan struktur cerita berbingkai. Umum diketahui, gaya penulisan dengan struktur ber-
46
PROBLEMFILSAFAT
bingkai bisa ditemui dalam sastra lama, semisal Seribu Satu Malam, Kalila dan Dimnah. Struktur tersebut diambil dari gaya penceritaan lisan yang berkembang di masyarakat. Polanya memang kelihatan rumit, tapi sebetulnya tersusun secara teratur. Dalam pengkajian yang dilakukan oleh Subagio pula ditemukan bahwa tokoh Multatuli menduduki posisi bingkai terluar. Tokoh ini sengaja diletakkan dalam bingkai pertama karena merangkum semua batang tubuh novel. Multatuli adalah penulis novel itu sendiri, yang kelak pada bagian akhir karangan masuk menjadi tokoh: “Cukuplah, Stren yang baik. Aku Multatuli mengangkat pena. Anda tidak terpanggil melukiskan sejarah hidup Havelaar. Aku menghidupkan anda...cukuplah Stren, anda boleh pulang.” Multatuli juga mengambil peranan Droogstoppel: “Stop, hasil celaka nafsu mata duitan yang kotor dan kemunafikan yang menghujah Tuhan! Akulah yang menciptakan anda....anda membesar menjadi makhluk yang dahsyat di bawah penaku,...aku jijik dengan bikinanku sendiri,...terbenamlah dalam kopi, dan pergilah!” Bingkai kedua adalah kisah Droogstoppel. Ia diletakkan pada bingkai ini agar ia dapat menuturkan keberadaan tokoh-tokoh lain, seperti Sjaalman, pemuda Stren, juga Havelaar. Bingkai ketiga diduduki oleh Havelaar. Ia memiliki kisah penting tersendiri dalam novel yang keberadaannya diceritakan oleh Droogstoppel, berdasarkan naskah yang diberikan Sjaalman. Adapun bingkai terakhir diduduki oleh kisah Saija dan Adinda. Sementara itu, dari tinjauan gaya bahasa, Max Havelaar dipandang sebagai perombak gaya bahasa sastra Belanda yang telah ada sebelumnya. Lewat gaya bahasanya, Multatuli berhasil mencairkan kebekuan sastra Belanda yang pada masa itu didominasi gaya penceritaan didaktis, hingga akhirnya menjadi gaya bahasa yang lentur, jujur, sekaligus menyentuh. Lewat gaya bahasanya pula, Multatuli berhasil membangunkan masyarakat Belanda yang tertidur. Max Havelaar juga dinilai mempunyai pengaruh sastra pada generasi sastrawan Belanda berikutnya. Mereka yang dikenal dengan gerakan delapanpuluh merupakan pelanjut sastra Multatuli. Mereka antara lain Van Deyssel dan Kloos, dengan gaya penulisan yang terbuka dan apa adanya. Lantas, bagaimana gema Max Havelaar di tanah jajahan, Hindia Belanda? Max Havelaar sampai ke Jawa pada tanggal 27 Oktober 1860. Bataviaasch Niewsblad mulai memberikan ulasan panjang lebar tentang novel tersebut dengan judul: Multatuli’s Grieven (Ketidakpuasan Multatuli). Lewat tulisan tersebut, berita tentang Multatuli dan karyanya mulai dikenal publik Hindia Belanda.16
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELBUDAYA
Seperti yang telah diuraikan di atas, Kartini dan Tirtoadisoerjo membaca Max Havelaar. Selain mereka, tentunya banyak lagi yang membaca novel karangan Multatuli ini. Dari segi sastra, karya Haji Moekti yang berjudul Hikayat Siti Mariyah memperlihatkan pengaruh Multatulian.17 Haji Moekti merupakan nama pena seorang Indo, yang dalam karyanya menyuarakan penderitaan penduduk pribumi di tengah kepungan perkebunan-perkebunan Belanda yang rakus. Tak jauh berbeda dari karya Haji Moekti, Tirtoadisoerjo juga menggemakan suara Multatulian lewat karangannya, Njai Permana, yang menentang pejabat korup dan kebejatan moralitas feodal. Pengaruh Multatuli juga bisa dilacak pada angkatan Pujangga Baru. Kisah-kisah yang ditulis sejumlah novelis angkatan ini menunjukkan pengaruh pengisahan ala Max Havelaar, khususnya kisah Saija dan Adinda. Pun, jejak Multatuli bisa didapatkan dalam karya angkatan setelah Pujangga Baru. Sebagai contoh, dalam novel Atheis karya Akhdiat terdapat kesamaan struktur penulisan dengan Max Havelaar.18 Multatuli dan Pram: Akulah yang Menderita Berdasarkan pengakuannya, Pramoedya Ananta Toer (Pram) mengenal Multatuli sekitar tahun 1930-an. Awalnya, ia sendiri heran ketika mengetahui Multatuli adalah orang Belanda yang membela pribumi. Geliat nasionalisme yang sedang mekar-mekarnya menempatkan orang-orang Belanda sebagai “musuh”. Saat itu, Multatuli muncul di dalam kepala Pram yang masih belia: “itu orang Belanda, kan, dan semua orang Belanda musuh yang ganas.” Namun, tanda tanya tersebut akhirnya berubah menjadi penghormatan ketika pengetahuan Pram tentang Multatuli semakin banyak. Layaknya Tirtoadisoerjo, Pram menempatkan Multatuli sebagai sosok penting dalam sejarah Indonesia. Pram bahkan mengusulkan membangun patung Multatuli dengan alasan: “Saya masih berpendapat bahwa Multatuli besar jasanya kepada bangsa Indonesia, karena dialah yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka dijajah. Sebelumnya, di bawah pengaruh Jawaisme, kebanyakan orang Indonesia bahkan tidak merasa bahwa mereka dijajah.”19
Itulah penghormatan Pram terhadap Multatuli yang disebutnya sebagai penyadar rakyat Indonesia; bahwa sebenarnya mereka tengah dirantai oleh belenggu penjajahan—terlepas dari status si penulis sebagai orang Belanda.
Wajarlah, Pram merasa kecewa dengan penolakan Soekarno. Walaupun begitu Pram masih yakin, suatu saat nanti patung Multatuli pasti akan didirikan.20 Selain sebagai tokoh penyadar, Pram juga melihat Multatuli sebagai pendorong timbulnya kesadaran nasionalisme. Ia mengatakan: “Pertama kali karena dia adalah pendorong kebangkitan kesadaran para intelektual itu. Ia menyadarkan mereka bahwa mereka punya tanah air, bahwa mereka punya bangsa dalam penjajahan, dan bahwa ada seorang Belanda menentang perlakuan terhadap bangsanya itu. Saat itu, mulai timbul kesadaran, melalui Multatuli.”21
Itulah hutang budi bangsa Indonesia terhadap Multatuli, menurut Pram. Bagi Pram, politikus yang tidak mengenal Multatuli, tidak akan mengenal humanisme: “Seorang politikus yang tidak mengenal Multatuli praktis tidak mengenal arti humanisme, humanisme secara modern. Dan politikus yang tidak mengenal Multatuli bisa menjadi politikus yang kejam. Pertama, karena tidak kenal sejarah Indonesia, kedua karena dia tidak mengenal perikemanusian, humanisme secara modern, dan bisa menjadi kejam.”22
Menyadari posisi penting tersebut, Pram semakin serius memperkenalkan pemikiran Multatuli. Sewaktu menjadi pemuka Lekra dan redaktur Lentera (1962-1965), Pram mulai menerjemahkan Max Havelaar, yang kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di Bintang Timur. Pram juga giat melakukan pengkajian yang serius tentang pemikiran Multatuli, dengan menuliskan esai panjang tentang tokoh tersebut. Selan itu, Pram juga dikenal sebagai pelopor berdirinya Akademi Sastra Multatuli.23 Penghormatan Pram terhadap Multatuli tetap konsisten. Dalam pidato penerimaan Wertheim Award pada tahun 1995, Pram menyatakan: “Multatuli adalah seorang besar, humanis Belanda paling hebat yang menyatakan, ‘Pekerjaan manusia harus manusiawi.’” Pram juga selalu ingat pada Multatuli setiap kali ia berbicara tentang ketidakadilan. Dalam bukunya, Jalan Raya Pos, Jalan Daendeles, ketika sampai pada daerah Serang, Pram menuliskan: “Di sini pengarang Belanda Multatuli mendapatkan inspirasinya untuk menulis karya abadinya, Max Havelaar, yang memberikan kesaksian historis betapa orang Jawa teraniaya oleh penjajahan Belanda. Mul-
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
P R O B L E M F I L S A F A T 47
ARTIKELBUDAYA
tatuli yang nama aslinya Edward Douwes Dekker tidak bisa menerima watak birokrat penjajah bangsanya dan sikap acuh tak acuh terhadap rakyat jajahan yang menderita.”24
Pramoedya terus mendengung-dengungkan Multatuli. Ditinjau dari sejarah hidupnya, Multatuli dan Pramoedya banyak memiliki kesamaan. Sejarah hidup Multatuli diwarnai dengan kegetiran sehingga ia menyebut dirinya “Akulah yang Menderita”. Sejak dipecat sebagai asisten residen, Multatuli hidup luntang-lantung di negeri Belanda. Dalam kemiskinan harta dan di tengah pengucilan orang-orang terdekat, ia mulai menulis karyanya. Dalam suratnya kepada Marie Anderson, Multatuli menulis: “Terus terang: aku tidak bisa hidup, artinya dalam hal keuangan.” Ketika meninggal pada tanggal 19 Februari 1887, Multatuli meninggalkan hutang kepada seorang petani kol (120 Mark), beberapa toko buku (100 Mark), tukang daging (140 Mark), dan sejumlah orang lainnya. Saat jasadnya dikremasi, be-
48
PROBLEMFILSAFAT
berapa orang Belanda yang hadir antara lain, Mimi dan saudara laki-lakinya, Braunius Oeberius dan istri, serta dua orang muda dari Middelburg: Ghijsen dan Wibaut.25 Pramoedya juga bisa disebut sebagai “Akulah yang Menderita”. Ia pernah merasakan hidup dalam penjara Belanda, pemerintahan Soekarno, dan Orde Baru. Hampir sepertiga usianya dihabiskan dalam dunia sempit kurungan. Bahkan, setelah bebas dari Pulau Buru, Pram (dan tapol lain) masih diperlakukan diskriminatif dalam segala aspek kehidupan. Rumah tangga Pram pun serupa dengan Multatuli: tidak mulus. Perkawinannya yang pertama kandas ketika krisis keuangan mendera. Sebagian waktunya habis dipenjara sehingga menyebabkannya jauh dari anak-anaknya, yang kemudian mendorongnya melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Multatuli: menulis surat. Bila ditinjau dari karya sastra Multatuli dan Pramoedya, nasib keduanya pun tidak terlalu berjauhan. Begitu terbit, Max Havelaar sudah berusaha dibungkam suaranya. Sejak tahun 1930, Max Havelaar menghilang dari pengajaran sastra Belanda. Usaha pembungkaman dan penyensoran juga bisa dilihat dari sedikitnya fragmen-fragmen yang ada di dalam novel tersebut; bagian-bagian yang dianggap tidak berbahaya saja yang diperkenalkan. Tak heran, terjemahan lengkap Max Havelaar tidak ditemukan pada zaman kolonial.26 Karya-karya Pram juga mengalami nasib serupa. Karangannya pernah dirampas Belanda ketika ia ditangkap pada tahun 1947. Sementara itu, Hoakiau di Indonesia menyebabkan Pram ditangkap lagi oleh tentara, sebelum kemudian dijebloskan ke dalam penjara Cipinang. Dan tentu saja, semua karya-karya yang ditulisnya di Pulau Buru dilarang beredar—sampai kini belum ada pencabutan larangan tersebut secara resmi. Tak kalah mengenaskan, semasa Orde Baru, karya-karya Pramoedya dilarang diajarkan di sekolah-sekolah—persis seperti nasib Max Havelaar. Menyangkut Multatuli dan Pramoedya, A.Teeuw menulis: “Demikian pula bila kita meninjau riwayat hidup Pramudya, kita sering teringat akan Multatuli—manusia yang senantiasa memprotes, pejuang cita-cita yang baik, tetapi malangnya sering bercampur aduk dengan kepentingan diri sendiri.”27 Dua manusia itu kini telah tiada, tapi karyanya masih terus dibaca. Max Havelaar dan Tetralogi Buru: Dua Karya Tentang Manusia dan Kemanusiaan
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELBUDAYA
“...walaupun saya tidak suka gayanya, saya juga menyukai Multatuli (1820-1887) karena humanismenya tanpa kompromi apapun. Dia itu tipikal Hollander. Kalau dia menulis pada abad ini, efek karyanya pasti lebih dahsyat.”(Pramoedya Ananta Toer)
Seperti pengakuannya tersebut, Pram tidak menyukai gaya tulisan Multatuli. Yang ia kagumi adalah semangat humanismenya. Ia memuji salah satu bagian dalam Max Havelaar, Saija dan Adinda, sebagai kisah percintaan rakyat yang abadi dan tak tertandingi: “Dalam salah satu bagian karya tersebut [Max Havelaar], dengan latar pemberontakan rakyat Banten tehadap penjajahan, digambarkan kisah percintaan yang terjadi di antara gadis dan pria dari rakyat jelata. Dan sampai sekarang kisah Saija dan Adinda tersebut satu-satunya cerita percintaan rakyat yang belum pernah tertandingi.”28
Dari pengakuan tersebut, jika kita membaca karyakarya Pram, maka akan menemukan jejak humanisme Multatuli. Subagio Satrawardoyo mengungkapkan: ”Belakangan ini kita lihat juga pengaruh Max Havelaar di balik roman....dan Anak Semua Bangsa Pramoedya Ananta Toer, kalau tidak dalam bentuk karangannya, setidak-tidaknya pada semangat yang meresapi roman-roman Indonesia ini.”29 Seperti yang umum diketahui, Tetralogi Buru karya Pramoedya terdiri dari empat novel: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Karya ini berkisah tentang kurun kebangkitan Indonesia dengan mengambil tokoh sentral Minke. Serupa Max Havelaar, Tetralogi Buru menimbulkan kehebohan begitu diterbitkan. Publik pembaca di Indonesia terbelah antara yang pro dan kontra. Dalam sejarah kesusaatraan di Indonesia, inilah karya sastra yang mampu memantik perbebatan panjang—baik karya sastranya sendiri maupun pengarangnya. Dalam buku Analisa Ringan Kemelut Roman Karya Pulau Buru Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer,30 paling tidak sekitar 30-an lebih artikel membahas tentang polemik terhadap Bumi Manusia. Tokoh-tokoh terkenal dalam sastra Indonesia, seperti Rendra, Goenawan Mohamad, Wiratmo Sukito, Sori Siregar, dan beberapa tokoh lain dari kalangan kritikus hingga pembaca biasa, memberikan sorotan terhadap Bumi Manusia. Parakitri menulis: “Dengan novel ini [Bumi Manusia] Pramoedya dengan sekali hantam telah mencairkan kebekuan sastra Indonesia yang belakangan ini hanyut berputar-putar dalam inovasi-inovasi teknik, berpilin-pilin dalam kegelisahan dan kekosongan jiwa perseorangan...”31 Sementara Yakop Sumarjo menyatakan: “Dengan karyanya yang pertama setelah pengarangnya hampir selama 15 tahun lenyap dari percaturan budaya dan sastra Indonesia (lantaran ditahan selama itu), maka ia membuktikan dirinya bahwa Pramoedya Ananta Toer tetap novelis milik Indonesia sampai saat ini.”32 Pendapat yang seirama dengan Parakitri dan Yakop Sumarjo tidak sedikit jumlahnya, demikian pula den-
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
gan yang berseberangan. Umumnya, pendapat yang berseberangan menghubungkan isi Tetralogi Buru dengan latar belakang Pram sebelum ia ditahan di Pulau Buru. Umar Junus dengan tandas mengutuk novel Pramoedya berbau Marxist. Menurut Junus, tokoh-tokoh dalam Bumi Manusia dimotivasi oleh paham tentang kelas, tanpa konsep dosa dan banyak adegan amoral. Ia mencontohkan beberapa bagian dalam novel tersebut, seperti hubungan seks Minke dan Annelis sebelum menikah, sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku; penolakan Nyai Ontosoroh terhadap orangtuanya dinilai sebagai anti Pancasila. Kata-kata terakhir dalam Bumi Manusia—“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”— oleh Junus ditangkap sebagai adegan yang mengacu pada kegiatan PKI di Indonesia.33 Oleh karena itu, Umar Junus mencap Bumi Manusia sebagai novel yang berbahaya bagi generasi muda. Menurutnya, generasi muda yang tidak mempunyai pengalaman dengan kejahatan komunisme bisa terpengaruh oleh Bumi Manusia.34 Sementara itu, Kejaksaan Agung dan Makamah Agung sebagai perpanjangantangan penguasa secara resmi pada masa itu tak kalah keras memberikan tuduhan. Kejagung menuding Rumah Kaca bernuansa provokatif. Komentar Pangemanann dianggap sebagai kritik terhadap Indonesia:“Semua ikan besar busuk mengelompok jadi pelaksana kekuasaan. Semua ikan kecil busuk bertebaran dalam kehidupan dan ikut membusuk.” Adapun renungan Pangemanann tentang upah dianggap berbau Marxist: “Dalam setiap sektor kerja produksi dan jasa bermunculan pribadi-pribadi yang mengajarkan, bahwa tenaga manusialah yang terpenting...”35 Dengan semua “kegawatan” tersebut, sikap anti-Pancasila, ajaran yang berbau Marxist, amoral dan lain sebagainya, maka Tetralogi Buru haruslah dilarang. Benarkah Tetralogi Buru segawat itu? Bumi Manusia dan Anak Bangsa memang banyak menyoroti kondisi objektif Hindia Belanda pada masa itu. Minke sangat terkagum-kagum dengan kemajuan yang dicapai bangsa Eropa: dimulai sejak ditemukannya mesin cetak, baksil, hingga mesin uap. Kata “modern” berputarputar dalam kepalanya. Ia pun terus mencari-cari makna kata tersebut. Di kepingan lain, di luar lingkup sekolah, Minke mendapatkan kondisi yang berbeda. Kenyataan menyadarkannya bahwa feodalisme dan kolonialisme berpilin menjerat kehidupan rakyat. Pertemuan dengan sang ayah, yang membuatnya harus merangkak, juga membuat mata Minke terbuka dalam memandang semboyan Revolusi Prancis yang ia kagumi; ternyata hanya utopia di bumi Hindia Belanda. Adapun melalui pertemuanya dengan Trunodongso—petani yang tanahnya dirampas oleh perkebunan tebu—Minke menarik kesimpulan bahwa bangsa-bangsa Eropa hanya memperjuangkan kebebasan di negara mereka sendiri, sementara di luar itu mereka bersatu merampas kemerdekaan wilayah lain. Dan, dari pertemuannya dengan Ter Haar, Minke mengenal lebih gamblang kata “modern” yang berhubungan dengan modal. Modal inilah yang
P R O B L E M F I L S A F A T 49
ARTIKELBUDAYA
berkuasa. Setelah diperkenalkan dengan kondisi dan persoalan kehidupan Hindia Belanda, pada Jejak Langkah dan Rumah Kaca, pembaca kemudian diajak mengikuti perkembangan kesadaran nasionalisme; mulai dari berdirinya Sarikat Priyanyi, Sarikat Dagang Islam sampai Boedi Oetomo; munculnya tokoh-tokoh pergerakan, seperti Marco, Samanhudi, Ki Hajar Dewantara, Sutomo; peristiwa-peristiwa perlawan di berbagai daerah. Tentu saja dengan segala problem dan persoalannya, pada akhirnya kita akan menemukan bahwa untuk memunculkan kesadaran nasionalisme dibutuhkan proses yang panjang. Periode krusial tersebut merupakan usaha untuk memperjuangkan kemanusian dan keadilan di atas bumi manusia, yang harus ditempuh dengan berbagai perdebatan dan pemikiran yang tajam. Bisa pula dikatakan, tokoh Minke dalam Tetralogi Buru adalah Havelaar dalam wujud lain. Perjuangan Minke dan Havelaar mewakili perjuangan demi menegakkan humanisme. Keduanya menggugat feodalisme dan kolonialisme. Keduanya melawan. Dengan cara masing-masing, mereka mengajak manusia untuk menghargai kemanusiaan dimana pun tempatnya. Setiap usaha untuk merobohkan kemanusiaan harus dilawan dengan berbagai cara, termasuk lewat tulisan. Dan, pada akhirnya, mereka bersama-sama menjadi: Akulah yang Menderita; Havelaar yang dikucilkan dan Minke yang mengalami goncangan mental menjelang kematiannya, bahka makamnya berusaha dilenyapkan. Minke memang pengagum Multatuli. Dalam kesempatan dialog antara Minke dengan Miriam dan Sarah dalam Bumi Manusia, kutipan kata-kata Multatuli sempat disebut-sebutnya. Kedua perempuan tersebut terkejut ketika Minke mengatakan bahwa ia mendapatkan pengetahuan tentang Multatuli dari seorang guru.36 Dari gurunya di HBS Minke diperkenalkan dengan Max Havelaar. Minke memang anak rohani Multatuli, sebagaimana dikatakan Ten Haar dalam Anak Semua Bangsa: “kan Tuan menggunakan nama Max Tollenaar untuk mendekati karya Multatuli Max Havelaar? Dari situ orang dapat mengetahui Tuan anak rohani Multatuli. Kemanusiaan Tuan kuat.”37 Uraian di atas memperlihatkan jejak-jejak Max Havelaar dalam Tetralogi Buru yang begitu nyata. Selain pada isi dan semangatnya, jejak tersebut juga terdapat dalam strukturnya. A.Teeuw memberikan uraian bahwa ciri yang menonjol pada Max Havelaar dan Tetralogi Buru terletak pada the dialogue structure. Menurutnya, esensi bahasa adalah keragaman, sedangkan fungsi utama penggunaannya adalah dialog, diskusi, konfrontasi. Dengan mengutip Bakthtin, Teeuw berpendapat bahwa novel yang bagus haruslah bersifat polifonis. Baik Max Havelaar maupun Tetralogi Buru, keduanya mengandung unsur itu: kaya akan keragaman suara dan pencerita.38 Dalam Max Havelaar terdapat suara-suara pedagang kopi, pegawai pamong praja Belanda, Frits (tokoh pemuda yang romantis). Ada pula sejumlah tokoh dalam cerita Saija dan Adinda serta Pemahat Batu Jepang, dengan
50
PROBLEMFILSAFAT
problemnya masing-masing; ada puisi dalam berbagai bahasa; situasi Amsterdam dan situasi Hindia Belanda. Tetralogi Buru pun serupa; ada bahasa Melayu-Cina dalam adegan penangkapan Babah Ah Tjong; ada cerita dalam cerita; ada dunia orang Cina lewat Ang San Mei, dunia Indo lewat Haji Moekti, dunia Islam, dunia priyayi, dunia birokrat. Semua kompleksitas tersebut, menurut Teeuw, memperlihatkan kesamaan antara Max Havelaar dan Tetralogi Buru. Ditambah lagi, adegan Pangemanann ketika berusaha mendapatkan naskah Minke, dalam Rumah Kaca, mengingatkan pada adegan tokoh Pak van Sjaalman dalam Max Havelaar.39 Pertemuan dua karya sastra—Max Havelaar dan Tetralogi Buru—telah memperkaya khasanah sastra dunia; dua karya yang sampai saat ini masih terus dibaca dan dikaji. Penutup: Sastra dan Politik Mengenal sosok Multatuli dan Pramoedya, salah satunya akan bermuara pada pembincangan sastra dan politik. Pada tahun 1950-1960, perbincangan sastra dan politik mempertemukan Lekra vs Manikebu secara berhadap-hadapan—walaupun ada pandangan lain di luar kedua kubu tersebut, tapi tidak begitu dominan. Saat itu, Realisme Sosialis Lekra berbenturan dengan Humanisme Universal Manikebu. Peristiwa 30 September 1965, sebagaimana dikatakan Keit Foulcher, merupakan titik robohnya Orla, yang bukan hanya sebagai batu pijakan kejayaan Orba, juga sebagai penanda kemenangan Humanisme Universal dengan pahlawannya Manikebu. Sejak saat itu, sastra dipisahkan dari politik.40 Maka, karya-karya pengarang eks lawan Manikebu tidak akan lagi ditemukan di dalam rak-rak perpustakaan sekolah, kampus, instansi pemerinah, dan toko buku. Sastra “haram” tersebut harus dijauhkan dari rakyat karena dicap berbahaya, merongrong Pancasila, dan menganggu stabilitas nasional. Namun, “kemenangan” Manikebu pada perkembangannya menciptakan kejenuhan. Humanisme Universal kembali digugat. Empat tahun setelah terbitnya Bumi Manusia, Arief Budiman dan Ariel Hariyanto menggelontorkan “sastra kontekstual” dalam acara Sarasehan Kesenian pada tahun 1984 di Surakarta. Arief Budiman, salah satu tokoh kubu Manikebu, menyampaikan gagasannya tentang karya sastra yang tidak bisa lepas dari konteks sosialnya. Menurut Arief Budiman, ide sastra kontekstual lahir dari sikapnya: “dalam menanyakan kebaikan dan kebenaran sastra kapitalis, sastra Humanisme Universal.” Menurut Arief Budiman pula, sastra seperti itu merupakan sastra yang salah.41 Sebelum memaparkan konsepnya tentang sastra kontekstual, Arief Budiman sempat bertemu sastrawan kawakan dari Jerman, Gunter Grass. Pada pertemuan tanggal 11 September 1983 itu, Arief Budiman bertanya pada Gunter Grass tentang hubungan sastra dan politik. Grass menjawab, ia melakukan kedua-duanya.42 Kemunculan Bumi Manusia sama seperti kemun-
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELBUDAYA
culan Max Havelaar, menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak, tak terkecuali kalangan sastrawan sendiri. Budi Darma dalam pidato penerimaan Hadiah Sastra DKJ pada tahun 1984 menyampaikan: “Masyarakat sastra sudah terlalu banyak menuntut hendaknya sastra tidak terlepas dari kondisi sosial...sebagai warga negara, setiap warga negara memang mempunyai kewajiban untuk committed terhadap kondisi sosial...Tapi sebagai pengarang...dia mempunyai kewajiban yang berbeda.”43 Jelaslah, menurut Budi Darma, sastra harus dipisahkan dari politik. Sedangkan Pram sendiri sejak awal dikenal sebagai penentang Humanisme Universal. Awalnya, ia sempat mengikuti H.B Jassin, tapi merasa kecewa sehingga berpaling pada sastra yang progresif—yang kemudian dinamainya realisme sosialis. Bagi Pram, sastrawan tidak bisa terlepas dari politik, misalnya, proses mengurus KTP yang sudah merupakan bagian dari politik. Dengan pandangan seperti itu, tentu saja karya-karya Pram, termasuk Tetralogi Buru, tidak bisa dilepaskan dari nuansa politik. Karya-karyanya mewakili sastra yang berlawan. Dengan teguh, ia mengikuti Multatuli. *** Catatan Akir:
1. Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Sadja, Nusantara, 1962 2. ibid 3. Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesian, Hasta Mitra, 2003. 4. Sekilas Sejarah Perjuangan Pers Suratkabar Sebangsa, Serikat Perusahaan Surat Kabar Djakarta, 1958 5. Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Hasta Mitra, 1995; Iswara N Raditya dan Muhudin Dahlan, Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo, I:Boekoe, 2008. Lebih banyak tentang Tirto bisa dibaca dari kedua buku ini. 6. Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Hasta Mitra, 1995.hal: 283 7. Ibid.hal.223 8. Albert Camus, Pemberontak, Bentang, 2000.hal: 27. 9. Willem Frederik Hermans, Multatuli yang Penuh Teka-Teki, Djambatan, 1988. 10. Ibid. 11. Ibid 12. Subagio Sastrowardoyo, Sastra Hindia Belanda dan Kita, Balai Pustaka, 1990.hal: 44 13. Op.cit. 14. Kian Kemari: Indonesia dan Belanda dalam Sastra, Djambatan, 1973.hal: 8 15. Subagio Sastrowardoyo, Sastra Hindia Belanda dan Kita, Balai Pustaka, 1990.hal: 41 16. Willem Frederik Hermans, Multatuli yang Penuh Teka-Teki, Djambatan, 1988.
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
17. Lebih mendalam tentang kisah Hikayat Siti Mariyah bisa dibaca dalam Hikayat Siti Mariyah, Hasta Mitra, 1985. 18. Urain lebih lanjut bisa dibaca dalam Pendekatan Pada Roman Atheis dalam Laut Biru Langit Biru, Pustaka Jaya, 1977. hal. 94-98. Pengaruh lebih lanjut tentang Max Havelaar terhadap sastra Indonesia juga bisa di baca dalam: A. Teeuw, Hubungan Sastera Indonesia dengan Sastera Belanda (artikel dalam buku Asrul Sani:70 Tahun), Pustaka Jaya, 1997. 19. Andre Vltchek &Rossie Indira, Saya Terbakar Amarah Sendirian, KPG, 2006.hal: 15 20. Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Deandeles, Lentera Dwipantara, 2005.hal: 39 21. August Hans den Boef dan Kees Snock, Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir, Komunitas Bambu, 2008. hal: 171 22. Ibid. hal: 171 23. A. Teeuw, Hubungan Sastera Indonesia dengan Sastera Belanda (artikel dalam buku Asrul Sani:70 Tahun), Pustaka Jaya, 1997. hal:189 24. Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Deandeles, Lentera Dwipantara, 2005.hal: 38 25. Willem Frederik Hermans, Multatuli yang Penuh Teka-Teki, Djambatan, 1988. hal: 26. A. Teeuw, Hubungan Sastera Indonesia dengan Sastera Belanda (artikel dalam buku Asrul Sani:70 Tahun), Pustaka Jaya, 1997. 27. A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1, Nusa Indah, 1980.hal: 242 28. Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Deandeles, Lentera Dwipantara, 2005.hal: 38 29. Subagio Sastrowardoyo, Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan, seberkas catatan sastra, Balai Pustaka, 1989. 30. Ady Asmara, Analisa Ringan Kemelut Roman Karya Pulau Buru Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, CV Nur Cahaya, 1981. 31. Ibid. hal: 46-47 32. Ibid.hal: 38 33. Dr. Pamela Allen, Membaca, dan Membaca Lagi, Reinterprestasi Fiksi Indonesia 1980-1995, Indonesia Tera, 2004.hal: 56. 34. Ibid.hal: 57 35. Ibid.hal: 58 36. Pramoedya, Bumi Manusia, Hasta Mitra, 1980. 37. Pramoedya, Anak Semua Bangsa, Hasta Mitra, 1981. 38. A. Teeuw, Hubungan Sastera Indonesia dengan Sastera Belanda (artikel dalam buku Asrul Sani:70 Tahun), Pustaka Jaya, 1997. hal:197-8 39. Ibid.hal: 198-9 40. Ariel Hariyanto, Perdebatan Sastra Kontekstual, Rajawali, 1985. hal: 58 41. Ibid.hal: 327 42. Ibid.hal: 388 43. Ibid.hal: 42
*Ragil Nugroho; tukang cemooh dari Lereng Merapi, penganut fanatik Marijanisme. **Tulisan ini pernah dipublikasikan di web sastramultatuli dan majalah BASIS.
P R O B L E M F I L S A F A T 51
ARTIKELPOLITIK
MEREKA
YANG DISINGKIRKAN, YANG DIKORBANKAN
oleh LINDA SUDIONO
Mereka yang disingkirkan oleh sejarah panjang pergulatan tuan-tuan serakah. Mereka yang dikorbankan oleh desakan zaman yang tidak bersahabat. Mereka, para pekerja seks yang selalu dipandang hina oleh kehidupan yang tidak menitipkan pilihan. Dalam artikel ini, penulis akan mendeskripsikan secara singkat kehidupan pekerja seks di Pasar Kembang, Yogyakarta dan kawasan wisata Pantai Parangtritis.
Siang cerah di bulan November. Hiruk pikuk malam menyisahkan botol minuman yang bertengger di pojok rumah-rumah yang terlelap. Beberapa serpihan kertas dan plastik tak bertuan membisikkan sisa-sisa pertaruhan sengit. Lorong “transaksi” tampak sepi dan hening. Beberapa orang sesekali terlihat lesu menjajakan makanan. Para penghuni memang lebih memilih untuk melepas peluh yang dititipkan malam atau sekedar bermalasan menghindari matahari. Selalu begitu. Tidak ada yang berusaha merubah. Mereka tidak punya pilihan. Setidaknya itu yang selalu terlontar setiap pertanyaan “mengapa” menghiasi obrolan. Kawasan yang diilustrasikan sebelumnya terletak di pusat keramaian kota Yogyakarta. Lorong sempit, gelap
52
PROBLEMFILSAFAT
dan sembab tidak pernah menghalangi antusiasme pengunjung di kawasan ini. Nama indah terpatri menyiratkan tawaran kenikmatan “semu” yang bisa ditukar dengan kertaskertas nilai. Inilah Pasar Kembang. Lokalisasi terkemuka di Yogyakarta. Ani (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu Pekerja Seks (PS) yang telah lebih dari 3 tahun belakangan ini mengais nafkah di kawasan ini. “Kehidupan di kampung semakin susah Mbak. Saya punya 3 anak masih kecil-kecil, suami gatau kemana”. Ani mengaku terpaksa menjadi Pekerja Seks karena desakan ekonomi. “Bisa kerja apa lagi saya Mbak. Sekolah cuma tamat Sekolah Dasar.” Waktu kerja Ani berkisar pukul 19.00 –
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELPOLITIK
04.00 Wib setiap hari. “Sakit kalau masih bisa bangun saya masih kerja Mbak. Mau gimana lagi. Anak-anak di kampung ga makan kalau saya ga kerja”. Dengan suara getir dan wajah tertunduk Ani menceritakan perlakuan kasar yang beberapa kali diterimanya dari para “tamu”. “Mereka yang bayar ya mereka mau gimana ya kita turutin, kalau ditolak mereka malah pergi”. Hal serupa diungkapkan pula oleh Ina (bukan nama sebenarnya). Tahun 1997 Ina keluar dari Jepara. Seorang teman menjanjikannya pekerjaan dengan gaji yang layak di Jakarta. Bermodal uang Rp. 50.000 dari orang tua, berangkatlah Ina ke “Jantung” Indonesia. Metropolis Jakarta ternyata tidak meneteskan secuil kemewahannya pada Ina. Pekerjaan dengan gaji layak yang selalu dibanggakan temannya adalah menjadi Pekerja Seks. “Saya maunya kerja sebagai pelayan atau PRT aja Mbak. Ga kepikiran mau jadi seperti sekarang.” Tahun 1999 Ina pindah ke Yogyakarta. Kondisi politik yang instabil pasca reformasi meyakinkan Ina untuk meninggalkan Ibu Kota. Di Yogyakarta, Ina tinggal bersama salah satu teman “seprofesinya” di Jakarta yang telah pesiun. Sejak saat itulah Ina menjadi penghuni tetap Pasar Kembang. Setiap malam Ina berusaha tampil menawan untuk menarik minat para pelanggan menggunakan jasanya. Ina mengaku pernah mampu melayani lebih dari lima tamu untuk kapasitas “Short Time” setiap harinya. “Tapi itu dulu Mbak, waktu masih muda. Sekarang sudah ga sanggup Mbak. Gampang capek. Penghasilan jadi banyak berkurang”. Ina mengenakan tarif yang berbeda untuk setiap pelanggannya, berkisar Rp.50.000 – Rp. 250.000. Itu pun harus dikurangi untuk uang keamanan dan jatah mami.
Selain mengantongi persetujuan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bantul Nomor 4269 Tahun 1995 tentang Izin Prinsip—yang sebelumnya telah disetujui DPD Tingkat II Bantul—dengan pertimbangan kepercayaan masyarakat tentang kesakralan Pantai Parangtritis yang diyakini sebagai tempat pertemuan Panembahan Senopati, PT. Awani Modern Indonesia juga turut mengantongi “persetujuan” dari paranormal untuk melakukan pembangunan kawasan wisata di wilayah tersebut. Respon dari masyarakat pada saat itu adalah melakukan medhitasi secara massal. Walaupun terkesan tidak rasional namun mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah untuk membatalkan pembangunan mega proyek. Gerak kepentingan ekonomi memang akan menjadi penentu akhir; tahun 2006 rencana proyek kembali digemakan. Mayoritas warga yang telah lebih dari sepuluh tahun mendiami kawasan Pantai Parangtritis—bahkan ada yang turun temurun—kini dikecam sebagai penghuni liar di atas Sultan Gronden (SG). Rakyat Yogyakarta memang masih mempercayai keberadaan Sultan Hamengku Buwono sebagai titisan Tuhan dengan anugerah alam beserta isinya di Yogyakarta untuk mencapai keseimbangan sebagai masyarakat organis. Sultan adalah kepala yang akan menggiring seluruh elemen masyarakat ke dalam harmonisasi. Maka apa yang dikatakan Sultan adalah titah Tuhan. Tidak mengherankanlah ketika landasan penggusuran berdasarkan pelanggengan dari kepercayaan yang demikian cukup efektif untuk tidak menimbulkan solidaritas rakyat Yogyakarta lainnya.
Pantai Parangtritis Selain Pasar Kembang, Pantai Parangtritis di Kabupaten Bantul Yogyakarta belakangan ini menjadi salah satu lokalisasi yang banyak disoroti. Bukan karena pendapatannya yang dahsyat layaknya Dolly di Surabaya atau kemewahan-kemewahan menggiurkan sebagaimana lokalisasi di Batam, namun karena perlawanan politis yang dilakukan warga dalam menolak penggusuran yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bantul sejak kepemimpinan Idham Samawi. Tahun 2006 penggusuran mulai dilakukan di wilayah sepanjang Parangtritis (7 unit rumah) di wilayah Dusun Balong, Desa Mancingan. Disusul tahun 2007 di wilayah yang sama dengan kapasitas yang lebih besar yaitu 89 rumah. Pemukiman sekaligus mata pencaharian warga yang selama ini digantungkan pada wisata pantai kini diancam tersingkir oleh mega proyek senilai Rp.100 Milyar PT. Awani Modern Indonesia. Mereka merencanakan pembangunan lapangan golf 68,2 Ha, 35 Ha untuk pembangunan Villa, dan 9 Ha untuk pembangunan hotel berbintang dan 11,5 Ha untuk pembangunan taman rekreasi.1
Tanah Kesultanan Sebelum diadakannya unifikasi hukum pertanahan dalam wujud UUPA pada tahun 1960, Kesultanan Yogyakarta mempunyai peraturannya sendiri di bidang pertanahan yaitu Rijksblaad Nomor 16 Tahun 1918 dan Nomor 18 Tahun 1919 yang menyatakan bahwa tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom menjadi hak domain kerajaan Yogyakarta. Setelah kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 5 September 1945 Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan pernyataan integrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tahun 1946 Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan Maklumat Nomor 13 Tahun 1946 dan Petunjuk Jawatan Praja Daerah Istimewa Yogyakarta. Maklumat itu mengatur hak atas tanah dan segala sesuatu yang berhubungan dengan status tanah. Ada pula Lembaran Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun 1955 di antaranya menyebutkan bahwa tanah pabrik bekas kerajaan, kawedanan menjadi kewenangan Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 junto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 khususnya pasal 4 Ayat (1) Daerah Istimewa Yogyakarta memang mempunyai kewenangan untuk mengurus bidang agraria/pertanahannya sendiri. Tahun 1960, pemerintah Indonesia mengeluarkan
1.http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/
news/2009/12/12/41907
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
P R O B L E M F I L S A F A T 53
ARTIKELPOLITIK
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria yang diberlakukan secara nasional, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam Diktum IV menyatakan hak dan wewenang atas Bumi, Air, swapraja dan bekas swapraja beralih pada negara sejak berlakunya UUPA dan kemudian akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sayangnya Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam diktum tidak segera terwujud sehingga pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan Surat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor VII/I.V/384/80 untuk mengakui tanah keraton sebagai milik keraton Yogyakarta. Kemudian pada tahun 1984 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1984 menyatakan bahwa UUPA berlaku secara sempurna di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 1984, antara lain mengatur pencabutan terhadap Rijksblaad Nomor 16 Tahun 1918. Dengan demikian pengakuan tanah oleh pihak kesultanan Yogyakarta sesungguhnya tidak lagi relevan, apalagi semua tanah yang diakui sebagai Sultan Grounds adalah tidak bersertifikat.2 Hak bangsa yang menduduki urutan puncak dalam hierarki hukum Agraria Indonesia mempunyai makna Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah diperuntukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.3 Kewenangan negara dalam hal ini hanya melakukan pengurusan untuk mengatur peruntukan, pemenfaatan dan hubungan hukum Bumi, Air dan Kekayaan alam lainnya. Dinamika Gerak Perlawanan Korban Penggusuran Sejak 2006 hingga saat ini beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Massa Demokratik melakukan pengorganisiran dan kampanye penyadaran terhadap perlawanan korban penggusuran di daerah tersebut. Perlawanan massa yang awalnya bersifat ekonomis mulai berubah politis setelah aliansi pertama yang bernama SOMASI TOP (Solidaritas Massa Rakyat Tolak Penggusuran) terbentuk. Sayangnya beberapa warga yang sebelumnya terlibat aktif dalam aliansi susah dikonsolidasikan kembali pasca penggusuran tahap I dilakukan. SOMASI TOP akhirnya berinkarnasi menjadi Jogo Sengsoro pada 2008. Secara epistemologi, nama Jogo Sengsoro berarti, “walau miskin/sengsara tapi tidak perlu malu, beranilah untuk menuntut kesejahteraan karena kemiskinan kita adalah kegagalan negara”. Jogo Sengsoro bernasib sama dengan Aliansi SOMASI TOP. Warga yang masih bertahan dengan perjuangan kemudian membentuk ARMP (Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran) tahun 2010 hingga saat ini.4 2. Kedaulatan Rakyat 25 September 2007 3. Lih. penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 4. Hasil diskusi dengan Iwan Fathony (anggota Solidaritas
54
PROBLEMFILSAFAT
Persatuan yang terjalin dari korban penggusuran di Parangtritis mulai meresahkan beberapa pihak yang berkepentingan terhadap investasi mega di kawasan itu. Pada Juli tahun 2010, 80 orang berkendaraan 2 mobil dan 1 mobil komando disertai dengan puluhan kendaraan bermotor berpakaian preman mendatangi posko dan langsung merobek atribut-atribut seperti bendera, poster, spanduk, baliho, dll disertai dengan ancaman “menghancurkan siapa saja yang melawan”. “Ironisnya, aparat kepolisian yang berjarak 100-an meter dari Posko sama sekali tidak berusaha mengamankan” tutut Aslihul Fahmi Alya, Koordinator Hubungan Masyarakat ARMP. Mengetahui bahwalandasan “Sultan Grounds” tidak memiliki legitimasi yuridis yang cukup kuat untuk mengorbankan pemukiman warga Parangtritis, Pemerintah Kabupaten Bantul menyusun rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul Tahun 2010-2029 yang mengatur antara lain bahwa demi pembangunan pola ruang yang mewadahi prinsip-prinsip mitigasi bencana, pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup, pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup maka salah satu strategi yang akan diterapkan berupa pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, melarang kegiatan budidaya apapun yang tidak berkaitan dengan fungsinya dan tidak berkaitan dengan budaya yang terkandung di dalamnya dengan pengembangan kegiatan budidaya unggulan di dalam kawasan beserta prasarana secara sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong pengembangan perekonomian kawasan dan wilayah sekitarnya. Jika rancangan Perda ini disahkan, legitimasi akan diperoleh untuk melakukan pelarangan terhadap pemukiman warga di Pantai Parangtritis dengan tuduhan “dampak negatif yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup”, maupun “larangan kegiatan budidaya apapun yang tidak berkaitan dengan fungsinya dan tidak berkaitan dengan budaya yang terkandung di dalamnya”, serta visi pembangunan daerah Bantul yang “agamis” dengan mengkambinghitamkan kegiatan prostitusi di kawasan ini. Penggusuran dan Prostitusi Salah satu landasan yang dimanfaatkan oleh pemerintah Kabupaten Bantul untuk melegitimasi penggusuran pemukiman di sekitar kawasan wisata Pantai Parangtritis adalah Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pelarangan Pelacuran. Sengaja kesadaran publik digiring untuk mengkriminalisasi perempuan dengan mempercayai bahwa karena tubuhnya yang kotor telah turut mengotori seluruh warga. Perempuan Kinasih Yogyakarta dan Persatuan Politik Rakyat Miskin) yang aktif melakukan pengorganisiran di kawasan Pantai Parangtritis sejak tahun 2006.
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ARTIKELPOLITIK
Sejak Perda Pelarangan Prostitusi disahkan, operasi “penertiban” gencar terjadi di sepanjang lintasan pantai. Alih-alih menertibkan, operasi justru diorientasikan untuk menimbulkan ketidanyamanan bagi warga agar dengan sukarela angkat kaki dari wilayah penuh daya tarik itu. Suasana intimidatif terasa kental, khususnya pada malam hari. Perempuan yang berada di luar rumah selalu dicurigai sebagai Pekerja Seks, lalu dijaring dalam razia untuk di-“rehabilitasi”. Ibu Sutinah, salah satu warga yang aktif dalam aksi tuntutan anti penggusuran memaparkan bahwa peraturan daerah tentang pelarangan pelacuran telah menimbulkan suasana mencekam dan keresahan warga. Perempuan yang juga menjadi Koordinator salah satu organisasi massa perempuan nasional di wilayah Parangtritis, khusus memfokuskan analisanya pada dampak pemberlakukan Perda Prostitusi pada perempuan; “Banyak perempuan yang tidak berani keluar malam, mbak. Takut kena razia e.” Hal menarik lainnya disampaikan oleh Fifi (bukan nama sebenarnya), salah satu Pekerja Seks (PS) yang tinggal di wilayah pantai Parangtritis. Fifi mengaku sering menjadi korban “penertiban” dalam operasi yang dilakukan aparat “sok” keamanan. Beberapa aparat “nakal” bahkan sering meminta “jatah” layanan kepada Fifi atau meminta sejumlah uang tebusan agar “penertiban” tidak berlanjut pada
pusat ke daerah yang berbasis kewirausahaan.5 Manisfestasi konkritnya dalam bentuk Otonomi Daerah—Indonesia pasca Reformasi dengan landasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pemberlakuan Undang-Undang ini memberikan otoritas kepada pemerintah daerah untuk memproduksi peraturan yang berlaku khusus bagi wilayah tertentu. Implikasi konkritnya adalah pemberlakuan peraturan daerah yang bersifat diskriminatif khususnya terhadap perempuan. Kasus penggusuran di pantai parangtritis semakin mengukuhkan pemahaman bagaimana stereotype inferioritas perempuan dilanggengkan dan dimanfaatkan untuk tujuan tersirat—modifikasi wilayah teritori bagi seluas-luasnya investasi asing. Penyerangan berbasis gender tentu bukan tanpa alasan. Tidak perlu dipungkiri bahwa praktik relasi berbasis kelas telah menciptakan dialektika suprastruktur dan basis struktur yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak setara dibandingkan laki-laki. Sebagai perempuan ia ditindas oleh budaya Patriarki—kesadaran masyarakat yang memandang perempuan sebagai makhluk nomor dua, tersubordinat. Di sisi lain, dialektika pembangunan wilayah ekonomi kapitalistik dan politik yang menentukan struktur dan karakter negara berkembang membuat ia dirampas kesetaraan hidupnya dalam logika akumulasi kapital
“lemahnya posisi rakyat miskin, khususnya perempuan di hadapan kebijakan imperialistik yang dititipkan kepada pemerintahan boneka di negara-negara berkembang” proses hukum. ”Pada munafik mbak. Mereka (baca : aparat keamanan) sekarang sering pake alasan perda untuk buat seenaknya. Sering minta jatah biar ga ditangkap” demikian komentar Fifi. Deskripsi di atas menunjukkan kepada kita lemahnya posisi rakyat miskin, khususnya perempuan di hadapan kebijakan imperialistik yang dititipkan kepada pemerintahan boneka di negara-negara berkembang. Program-program pembangunan infrastruktur fisik—penopang serapan overakumulasi dalam jangka panjang—menjadi kebutuhan untuk ditanamkan di setiap daerah potensial. Warga miskin setempat dipaksa untuk keluar dari lahan miliknya, diproletarisasi untuk menjadi ladang tenaga kerja murah bagi proses produksi berkelanjutan. Rintangan yang bersifat birokratis dan administratif disingkirkan dengan penerapan program penyesuaian di negara berkembang (terpaksa/ sukarela menerima dengan jebakan hutang). Formulasi desentralisasi untuk mentransfer otoritas politik, fiskal dan administrasi ke wilayah lokal merupakan bentuk konfigurasi baru untuk mentransformasi tata kelola pemerintahan
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
demi kapital. Dalam ketidakberdayaan ekonomi politik dan penguatan stereotype “indah” tubuhnya perempuan pekerja seks dikecam tidak oleh kesalahannya sendiri. Fenomena prostitusi yang semakin menjamur menyadarkan kita betapa adikuasanya uang dalam menentukan hidup manusia, yang bahkan mampu membeli otoritas tubuh seorang perempuan yang menjadi milik hakiki manusia. Pilihan yang tertinggal saat ini: membiarkan inferioritas perempuan terus langgeng dalam bingkai kontrol tubuhnya yang semakin merenggang atau mengajak perempuan untuk pintar dan melawan sebagai pembuktian bahwa dia bisa punya pilihan, dia berhak untuk hidup sejahtera dan bahwa inferioritasnya bukan takdir. *Linda Sudiono adalah anggota Lingkar Kajian Ilmu Sosial Yogyakarta.
5. John Harris, Depoliticizing Development : World Bank and Social Capital, 2003
P R O B L E M F I L S A F A T 55
REPORTASE
SEKADAR BERTANYA Kontemporer atau Kontroversial Revolusioner? oleh CHRIS POERBA
SANGGAR Bumi Tarung telah berusia 50 tahun. Untuk perayaan itu, maka sanggar yang pernah bernaung di Lekra, Lembaga Kebudayaan Rakyat ini, merayakan hajatannya di Galeri Nasional, dari tanggal 22 September hingga 2 Oktober 2011. Pameran tahun ini adalah pameran yang ketiga. Sudah setengah abad, seniman ini berkarya, namun mengapa hanya tiga kali, mereka melakukan pameran? Seniman di Sanggar Bumi Tarung, bisa saja menjawabnya dengan “tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik”. Seperti yang termaktub di 1-5-1, metode mereka dalam berkarya. Dengan jawaban seperti itu maka semua khalayak bisa memahami kualitas seni dan kualitas revolusioner, dari sanggar yang telah berdiri semenjak tahun 1961. ’Kristus Naik Becak’ “Tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik” ini yang digelontorkan pada pameran akbar tersebut. Dari deretan lukisan, jajaran lukisan kayu, sampai perahu besar banyak berserakan di galeri. Tampak beberapa karya Pudji Tarigan, yang telah almarhum, berupa lukisan Kristus yang berkotbah di atas becak dan Kristus yang melepaskan ikatannya dan duduk kesal di atas salib. Tarigan, yang lukisannya serba Kristus menyiratkan sebuah arti, bila pengorbanan Yesus yang revolusioner masih belum membuat manusia bersyukur, tetap saja manusia menjadi serigala bagi sesamanya dan korupsi makin “menyalak“. Alhasil, beliau melukiskan Kristus yang melepaskan ikatannya sendiri dan turun, duduk dan termenung dari papan salib. Sedangkan Amrus Natalsya, menginisasi begitu banyak perahu yang “bersliweran” , sepertinya Jakarta baru usai mengalami banjir semesta, dan perahu-perahu itu terdam-
56
PROBLEMFILSAFAT
par dan karam, hingga masuk ke dalam galeri. Perahu Nuh yang besar, ternyata tidak ditemukan di Afrika, namun terkapar membisu di dalam ruangan galeri nasional. Tingginya mutu artistik dan ideologi, dari seniman di Sanggar Bumi Tarung ini, tampaknya sudah tak perlu lagi dibahas. Apalagi kalau kita membahas kata sambutan, pada saat pembukaan pameran, yang seorang pembesar dari negeri ini, kata sambutannya, salah menyebutkan nama Amrus Natalsya menjadi Amrus ”Natalia”. Semakin tidak penting dibahas. Namun buku katalog pameran, yang bergambar dua kepal tangan, yang menyimbolkan angka 50 tahun ini, yang satu terbuka dan yang lain terkepal, yang akhirnya membuka peluang munculnya diskursus baru. Diskursus yang lebih menggairahkan. Apalagi kalau bukan tentang ideologi 1-5-1, ideologi yang khatam dimiliki oleh segenap seniman tersebut. Metode 1-5-1 ini adalah metode para seniman ini berkarya. Misbach Thamrin di dalam buku ”Amrus dan Sanggar Bumi Tarung”, menuliskan kalau realisme sosialisnya, bukan mengikuti dari manapun, ”Kami tidak mengekor atau berkiblat secara teoritis ke Moskow atau Beijing. Kami menganut teori sendiri, yaitu teori 1-5-1 sebagai pedoman kerja berkreasi.” [M. Thamrin, hal 89].
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
REPORTASE
Berangkat dari metode 1-5-1, yang digali dari seorang Nyoto itulah, maka seniman dari Sanggar Bumi Tarung ini, mulai berkarya dan bertarung. Bertarung dengan mempertanyakan jurang yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin, si besar dan si kecil, kota dengan desa, buruh dengan pengusaha, petani dengan tuan tanah dan sebagainya. Realisme Kontemporer Revolusioner? Diskursus menukik tajam, karena di dalam katalog, terdapat tulisan, yang dituliskan oleh kurator pameran, yaitu Bambang Subarnas. Dalam tulisan itu Amrus mengatakan,“Saya berpikir begini: Kita (Sanggar Bumi Tarung) ini kan (menganut) realisme revolusioner, artinya realisme yang menyanjung atau mau menyelesaiakan tujuan revolusi, yaitu masyarakat adil dan makmur. Ini belum tercapai, (tapi) sudah masuk dalam samudra (kontemporer) ini. Kalau (diibaratkan perahu) tadinya (SBT) pakai dayung realisme. Sekarang tidak mungkin pakai dayung realisme, tapi pakai dayung kontemporer. Tapi (walaupun begitu) revolusionernya jangan hilang. Jadi, kita maju dengan dayung kontemporer tetapi tetap revolusioner. Jadi dari realisme revolusioner, menjadi realisme kontemporer revolusioner. Jadi tetap satu rel. Jadi kontemporer yang saya bilang itu ada 3 hal: sederhana, kuat dan dalam kemanusiaannya. Nah kedalaman itu hanya bisa dicapai dengan pengalaman dan umur yang panjang. Kalau (sekarang) kita bicara tentang revolusi, memang dulunya kita ini revolusioner.” Di situ Amrus Natalsya, membuat istilah baru yaitu realisme kontemporer revolusioner. Istilah itu muncul karena dia berpendapat bahwa ideologi Sanggar Bumi Tarung harus diselaraskan dengan perkembangan jaman. Jadi realisme revolusioner ditambahkan kata ”kontemporer” di tengahnya, biar ideologi ini tetap laku. Perlukah ini dilakukan? Apakah dengan ini lantas prinsip-prinsip 1-5-1, yang menjadi metode mereka untuk berkarya, lantas juga tak laku lagi, ditelan oleh kondisi kontemporer, sehingga perlu penyesuaian. Mari kita teliti satu persatu metode 1-5-1. Metode 1-5-1 ini memiliki sebuah keseimbangan, ini terlihat dari angka 1 yang di depan dan 1 yang di belakang. Penekanan 1 di depan adalah ”politik sebagai panglima”, sedangkan 1 yang di belakang adalah ”turun ke bawah” (Turba). Maka 1 yang pertama akan selalu terkait dengan 1 yang terakhir, supaya terjadi sebuah keseimbangan. Politik sebagai panglima yang menyatakan agar seniman harus memahami politik (bukan berarti politik praktis)
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
ini bisa tercapai jikalau seniman ini langsung melakukan Turba, turun ke bawah. Inilah titik keseimbangan yang dimaksud. Turun ke bawah, yang dilakukan ke masyarakat kelas bawah yang tertindas (seperti: kaum buruh dan petani), agar seniman lebih mengenali persoalan yang ada di masyarakat. Dengan melakukan Turba maka seniman juga mengurangi jurang yang lebar dengan masyarakat. Masyarakat tidak dijadikan semata-mata seperti obyeknya untuk berkarya. Setelahnya seniman akan menjadi seorang pembawa pesan dari masyarakat yang selama ini telah digelutinya. Pesan itu ditampilkan dalam karya-karyanya. Selanjutnya terdapat 5 prinsip dalam berkarya: 1) Meluas dan meninggi 2) Tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik 3) Tradisi baik dan kekinian revolusioner 4) Kreativitas individual dan kearifan massa 5) Realisme sosial dan romantik revolusioner. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi kerangka para seniman Bumi Tarung dalam berkarya. Kontroversial Revolusioner? Terkait dengan berubahnya ”dayung realisme” menjadi “dayung kontemporer inilah, yang masih menjadi tanda tanya besar. Bukankah kontemporer yang kita alami saat ini juga sudah termasuk di dalam bagian realisme. Sehingga masih perlukah untuk menggantikannya menjadi ”dayung kontemporer”. Apakah dengan ”dayung kontemporer” maka realisme revolusioner, yang bertujuan untuk terus berupaya menyelesaikan tujuan revolusi, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur akhirnya bisa tercapai. Belum lagi bila, melihat salah satu butir di nomor 3, dari 5 prinsip tersebut, yang mana, salah satu prinsip ada yang berbunyi nyaring, yaitu ”Tradisi baik dan kekinian revolusioner”, yang intinya berupaya memadukan tradisi baik dengan kekinian revolusioner. Prinsip ini memberikan penekanan: kalau kebudayaan masa lalu, yang terdapat dalam berbagai ragam tradisi, ada yang baik namun ada yang buruk, sehingga dalam berkarya seniman haruslah cerdas dan mengambil nilai-nilai yang baik dari tradisi lokal yang ada, kemudian tradisi baik itu yang akan disepadankan dengan tuntutan-tuntutan masa kini, yang jelas ujungnya adalah menuju masyarakat sosialis. Di butir itu sudah ada penekanaan terhadap kondisi masa kini, yaitu kekinian revolusioner. Sehingga bukankah sinyal-sinyal kontemporer pun sudah ”bernyanyi”, semenjak awal metode 1-5-1 diciptakan. Mengapa masih diperlukan ”dayung kontemporer” sehingga menjadi ”realisme kontemporer revolusoner”.
P R O B L E M F I L S A F A T 57
REPORTASE
Dalam penjelasannya mengenai kontemporer revolusioner maka Amrus menambahkan tiga hal penting yang menjadi bagiannya. Menurutnya Kontemporer revolusioner terdiri dari langkah-langkah seperti: penyederhanaan masalah, penggunaan metode seperlunya dan kedalaman artistik. Dalam kaitan ini maka diandaikan bila kekinian revolusioner, yang terdapat dalam 1-5-1 adalah realitas yang akan selalu berkembang yang haruslah disikapi dengan ideologis yang kontemporer sedangkan kontemporer revolusioner, menjadi semacam metode tambahan baru dalam berkarya di dunia yang dihadapkan oleh tornado kontemporer. Namun ini jelas menyiratkan sebuah pesan, agar ada baiknya memahami kontemporer revolusioner, janganlah mengganggap sebagai kelanjutan dari kekinian revolusioner, dan bahkan lebih jauh lagi jangan melihatnya dari kerangka metode 1-5-1. Sangatlah menyayangkan bila ada pendapat seperti ini. Apakah metode 1-5-1, saat ini sudah kehilangan daya revolusionernya, di era kontemporer, sehingga perlu menjadi 1-5-1(+3). Munculnya 1-5-1 (+3), dengan penambahan ”kontemporer revolusioner” masih menjadi pertanyaan besar. Ini bisa saja menimbulkan kerancuan,
58
PROBLEMFILSAFAT
sehingga Kontrev yang semestinya Kontemporer Revolusioner bisa menjadi Kontroversial Revolusioner. Dan sekedar menanyakan kembali, bukanlah 3 langkah yang ”sepertinya” kontemporer itu, yang menekankan kepada metoda berkarya sudah masuk ke dalam butir ke-2 dan ke- 4 dalam metode 1-5-1, yakni: ”Tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik” dan ”Kreativitas individual dan kearifan massa” Sehingga bisa saja kontemporer revolusioner hanyalah sebuah istilah yang saat ini semakin jamak digunakan. Dengan istilah kontemporer tersebut bisa jadi kita sudah menggantikan istilah kolot menjadi sesuatu yang lebih modern. Bisa saja seperti itu. Namun apakah Bumi Tarung memerlukan ”kontemporer” ini, karena mereka berkarya pun sudahlah sangat kekinian revolusioner. Arkian, 1-5-1 bisa digunakan sampai kapan saja, karena telah memuat kekinian revolusioner, yang tak akan lekang oleh badai kontemporer. Dan Nyoto sepertinya sudah menyadari hal tersebut. Sekedar bertanya kamerad?*** *Chris Poerba adalah essais, tinggal di Jakarta.
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
SENISASTRA
WAKTU AMERIKA UTARA Puisi oleh Adrienne Rich I Ketika impianku mengisyaratkan Angan Jinak Tanpa tamsil liar–– Lari keluar garis perbatasan–– Di jalanan aku temukan Tema yang tercungkil keluar dariku Ada yang tidak jadi berita Agar tidak jadi mara bahaya Lalu aku mulai menerka II Semua yang kita tulis Akan digunakan untuk melawan kita Atau mereka yang kita cinta. Beginilah adanya, Kau ambil atau kau tampik. Puisi tidak pernah bisa Berdiri di luar sejarah. Satu larik dari dua puluh tahun lalu Bisa berkobar di dinding kota sebagai pemujaan seni sebagai keterputusan Atau menyiksa mereka yang kita Tidak cinta tapi juga Tidak ingin binasa Kita bergerak tapi kata-kata tetap tinggal bertanggung jawab Lebih dari yang kita harapkan Dan ini adalah privilege verbal III Duduklah di depan mesin ketik Suatu pagi cerah musim panas Pada sebuah meja di samping jendela Di pedesaan, umpamakan Waktumu tiada Bahwa kau sekedar kau Bahwa imajinasi sekedar mengembara Layaknya ngengat liar, tanpa arah Katakan pada diri sendiri bahwa Kau tidak terikat Pada hidup bangsamu Pada tiap helaan nafas bumimu
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
*Agapetus: Pemburu-Kelinci
P R O B L E M F I L S A F A T 59
SENISASTRA
IV Tak jadi masalah apa yang kau pikir. Kata-kata jelas bertanggung jawab Kau hanya bisa memilihnya Atau memilih Diam. Atau, kau tak pernah punya pilihan, Begitulah kata-kata yang tetap tinggal Tetap bertanggung jawab Dan ini adalah privilege verbal V Umpama kau mau menulis Tentang perempuan yang memilin Rambut perempuan lain–– Satu ikat, atau dengan manik-manik Dalam tiga untai atau corn-row–– Kau perlu tahu ketebalannya Panjangnya polanya Alasan perempuan itu memilin rambutnya Bagaimana rambutnya dipilin Di negara mana rambutnya dipilin Hal apa lagi yang terjadi di negara itu Kau harus tahu hal-hal ini
*Sigit Pramono: EQ-Bromo
VI Penyair, saudari: kata-kata–– Suka atau tidak–– Berdiri dalam waktunya sendiri. Percuma menyanggah aku menulis Sebelum Kollontai diasingkan Rosa Luxemburg, Malcolm, Anna Mae Aquash, dibunuh, Sebelum Treblinka, Birkenau, Hiroshima, sebelum Sharpeville, Biafra, Bangladesh, Boston, Atlanta, Soweto, Beirut, Assam ––wajah-wajah itu, tempat-tempat itu Tergunting dari almanak waktu Amerika Utara VII Aku memikirkan ini di negeri tempat kata-kata terlucuti dari mulut Seperti roti terlucuti dari mulut Dimana penyair tidak dipenjara Sebagai penyair, tapi sebagai Kulit-hitam, perempuan, miskin. Aku menulis ini Ketika semua yang kita tulis
60
PROBLEMFILSAFAT
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
SENISASTRA
Bisa digunakan untuk melawan mereka yang kita cinta Ketika latar belakang tak pernah terberi Meski kita terus menjelaskan, lagi dan lagi Untuk puisi, paling tidak Aku perlu tahu hal-hal ini VIII Sesekali, melayang malam Dalam pesawat yang melintasi kota New York Aku merasa seperti seorang utusan yang Terpanggil untuk datang, terpanggil untuk menentang Ini padang terang dan bayang. Gagasan megah, lahir dalam penerbangan. Namun di belakang gagasan megah itu Merayap kekhawatiran: Apa yang harus aku tentang Setelah pesawat membumi Setelah mendaki tangga-tangga tua, terduduk Di tepi jendela tua Akan meremukkan hatiku dan mendepakku hening.
*Tisna Sanjaya: Aura Kesenian Aura Kapital
IX Di Amerika Utara waktu terkapar Sunyi gerak, hanya menghela Luka lama Amerika Utara. Tulis Julia de Burgos: Bahwa kakekku seorang budak Adalah tangisku; sekiranya ia seorang tuan, Itu aibku. Pernyataan seorang penyair, tergantung di atas pintu Sebuah rumah Amerika Selatan, tahun Sembilan-belas delapan puluh-tiga. Bulan merambat naik. Nyaris penuh. Suara-suara perubahan bergaung tiada hentinya Dari Bronx, Sungai Harlem Kota-kota hanyut di Quabbin Reruntuhan tanah pekuburan Rawa-rawa beracun, tanah-percobaan Dan lagi, aku mulai bicara *Diterjemahkan oleh Yovantra Arief
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
P R O B L E M F I L S A F A T 61
MASSALALOE
LENIN DAN PEMBASMIAN PENJAKIT2 BURDJUIS KETJIL oleh NJOTO
42 TAHUN jang lalu Wladimir Iljitsj Lenin meninggal. Orang hanja bisa tidak menjukainja, djika orang tidak mengenalnja. Tetapi siapa mengenal Lenin—meskipun dia sama sekali bukan Leninis—apakah dia Soekarno atau Nehru atau U Nu, dia memberikan hormatnja kepada raksasa revolusi ini. Rakjat Indonesia bukannja tidak kenal akan Lenin. Dua tahun jang lalu atas usaha ,,Jajasan Pembaruan” sudah terbit dalam Bahasa Indonesia ,,Komunisme ‘Sajap Kiri’, suatu penjakit kanak2”, klasik karangan Lenin. Buku ini bahkan sudah tiga kali ditjetak. Tetapi mempeladjarinja, djangankan 3 kali, 30 kalipun takkan kundjung tjukup. Ini bukan sekedar variant atas pidato Soekarno, ini adalah objektivitet, ini adalah keharusan. Makaitu ia adalah klasik, seperti halnja ,,Don Kisot” Cervantes adalah klasik. Tetapi ada perbedaan antara buku politik dan novel. Kita bisa membatja ,,Don Kisot” 30 kali, dan tiap2 kali, makin banjak kali makin meresaplah ia. Djuga membatja ,,Komunisme ‘Sajap Kiri’ ” makin banjak kali makin meresap. Tetapi kalai membatja ,,Don Kisot”, kita hanja menjadi jakin tentang keruntuhan feodalisme dan kebadutan mereka jang menentang tumbuhnja sesuatu jang baru, dengan membatja ,,Komunisme ‘Sajap Kiri’ “, kita tidak hanja mendjadi puas , tidak hanja pertjaja, bahkan tidak hanja jakin. Dengan membatja ,,Komunisme ‘Sajap Kiri’ “, kita langsung digerakkan untuk bertindak, untuk beraksi. Dan beraksi terhadap apa? Terhadap penjakit kiri, penjakit kanak2.
62
PROBLEMFILSAFAT
Kawan Aidit memberikan karakterisasi jang tepat ketika dia mentamsilkan negeri kita seperti lautan burdjuis ketjil. Adalah djustru lautan ini sumber penjakit kanak2, sumber penjakit kiri. Banjak sekali diantara kaum revolusioner Indonesia, jang tua2 maupun jang muda2, jang asal klasnja adalah burdjuis ketjil. Pengalaman sepertiga abad gerakan revolusioner di Indonesia membenarkan sepenuhnja apa jang dirumuskan oleh Lenin, bahwa penjakit burdjuis ketjil adalah: pertama, penjakit ,,kiri”, kedua penjakit kapitulasi. Dua penjakit ini bukannja satu diseberang sini dan satu lagi diseberang sana ~ dua penjakit ini dekat sekali satu sama jang lain, terkadang lebih dekat daripada djarak seudjung rambut. Oleh sebab itu pengalaman Indonesia mengadjarkan kepada kita, bahwa dua penjakit ini sering, ja, sering sekali bersatu dalam diri seseorang. Bahwa penjakit ini paling keras berdjangkit pada partai2 sosialis-kanan dan trotskis, ini dibawa oleh isi klas partai2 itu sendiri: burdjuasi ketjil. Tetapi jang paling serius ialah djika penjakit ini mengenai Partai Komunis. Dan kita sekarang belum bisa mengatakan bahwa Partai Komunis, lebih tepat lagi anggota2 Partai Komunis, sudah terbebas dari penjakit ini. Mengapa seseorang bisa mendjalani tindakan ,,kiri” atau tindakan berkapitulasi? Karena keliru dalam menilai keadaan, keliru dalam menilai pertimbangan kekuatan pada sesuatu waktu. Bagaimana tjaranja agar kita tidak keliru menilai situasi? Disinilah perlunja ilmu MarxismeLeninisme. Disinilah perlunja beladjar dan terus beladjar
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
MASSALALOE
(Sampai mati kita harus terus beladjar—kalau kita berhenti beladjar, kita sudah mati sebelum mati!). Disini pulalah perlunja mempeladjari dan meng-ulang2 mempeladjari ,,Komunisme ‘Sayap Kiri’ “. Terimakasih kita kepada buku Lenin ini sungguh tiada terhingga. Bajangkanlah—seandainja Lenin tidak menulis buku ini, seandainja ber-djuta2 kaum revolusioner tidak berkesempatan membatja buku ini, entalah apa djadinja dunia dan kebudajaan kita ini! Kita bisa membajangkan: penjakit ,,kiri” lainnja, penjakit kapitulasipun susul-menjusul, timbun bertimbun, sehingga barangkali perdjuangan revolusioner tertimbun tertutup oleh penjakit2 itu, dan pembebasan bangsa2pun akan amat sangat dipersukar olehnja. Tetapi Lenin sangat tepat pada waktunja menuliskan kesimpulan2nja tentang ,,Komunise ‘Sajap Kiri’ ”. Ternjata, buku ini bukan hanja mempunjai arti internasional dan universil, tetapi djuga kekal. Kesombongan, rasa puasdiri, putusasa, meninggalkan massa, memaksa keadaan, menjerah, semua ini adalah sifat2 burdjuis ketjil, penjakit kanak2. Kalau ada orang menamakan dirinja revolusioner, tetapi masih mempunjai salah satu diantara sifat2 ini, atau sisa2 sadjapun dari salah satu sifat2 ini, tandanja si ,,revolusioner” itu belum bersih dari ideology burdjuis ketjil. Orang2 demikian baik djika dihadapkan kepada buku Lenin tsb. Biar mereka malu! Atau, kalau mereka tidak malu, tandanja orang2 itu orang2 burdjuis ketjil jang reaksioner, dan bukan orang2 revolusioner. Djuga sifat tak kenal malu bukanlah sifat proletar! Kita ingatlah dalam hubungan ini apa2 jang ditulis oleh kawan Liu Sau-tji tentang pembentukan kembali ideologi, sebagaimana diuraikannja didalam bukunja ,,Bagaimana
mendjadi seorang Komunis jang baik”. Bukan kesombongan, tapi rendahhati bukan puasdiri, tapi kesediaan untuk senantiasa memperbaiki; bukan putusasa, tapi tegar dan jakin; bukan meninggalkan massa tapi mengabdi kepada massa; bukan memaksa keadaan tapi mengerti dan menguasai dan merombak keadaan seusai dengan hukum2nja; bukan menjerah, tapi berlawan—inilah sifat proletar. Buku Lenin ,,Komunisme ‘Sajap Kiri’ “, akan sangat membantu kita dalam usaha kita memiliki sifat2 jang mulia ini. Diatas sudah diterangkan bahwa sumber jang utama dari berbagai penjakit kanak2 ialah kelirunja menilai situasi pada sesuatu waktu. Dan diatas sudah diterangkan betapa perlunja mempeladjari Marxisme-Leninisme untuk tidak membuat kekeliruan itu. Tetapi, apakah djika kita mempeladjari Marxisme-Leninisme sudah terdjamin kita tidak akan berbuat keliru? Tidak, sama sekali tidak. Disinilah letak pentingnja maka Partai Komunis selalu mendidik anggota2nja untuk bekerdja kolektif, disini pulalah letak pentingnja direktif kawan Aidit untuk menghidupkan grup dan menghidupkan pimpnan kolektif, dan dalam rangka kolektivitet inilah hendaknja tiap2 Komunis mengembangkan individualitetnja. Meremehkan kolektivitet adalah suatu kesombongan dan kesombongan adalah penjakit burdjuis ketjil. Djangan beri ampun pada penjakit kanak2, penjakit burdjuis ketjil, inilah kalau mau disimpulkan buku Lenin ,,Komunisme ‘Sajap Kiri’ ”. Djangan beri ampun penjakit2 itu, apakah dia ada dalam diri kawan kita, grup kita, fraksi kita, comite kita, ataupun—lebih2!—dalam diri kita sendiri. Kita memperingati hariwafat Lenin jang ke-42 ini dengan baik sekali djika kita mempernatinja dengan tekad untuk tak akan memberi ampun terhadap segala penjakit burdjuis ketjil. (diketik ulang dari Harian Rakjat, 24 Januari 1956)
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012
P R O B L E M F I L S A F A T 63
ISSN 977 2088-8287
DAFTAR ISI : 1.
EDITORIAL …………………………………………….. 2
2. ARTIKEL UTAMA – “TENTANG UANG DAN NILAI” OLEH BERTO TUKAN …………………………………………….. 4 3. ARTIKEL UTAMA – “SEJARAH MATA UANG INDONESIA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL (I)” OLEH YOVANTRA ARIEF …………………………………………….. 9 4. ARTIKEL UTAMA – “POLITIK ETIKA DAN NEGARA ETIS KAUM BORJUIS” OLEH MARTIN SURYAJAYA …………………………………………….. 16 5. ARTIKEL UTAMA – “NUBUAT PENDEKAR SYAIR BERDARAH DI BUKIT MERIANG” Tentang Logika Produksi Komoditi dan Politik Etika ‘Intelektual’ dan ‘Massa’ OLEH ANOM ASTIKA …………………………………………….. 22 6. ARTIKEL TEMATIS – “PANGGUNG MITOLOGI DALAM HEGEMONI NEGARA” Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru OLEH SURYADI A. RADJAB …………………………………………….. 25 7. ARTIKEL NONTEMATIS – “HERMENEUTIKA RORTY: SUATU UPAYA MELAMPAUI EPISTEMOLOGI” OLEH DAVID TOBING …………………………………………….. 39 8. ARTIKEL BUDAYA – “DENYAR MAX HAVELAAR DI BUMI MANUSIA” OLEH RAGIL NUGROHO …………………………………………….. 42 9. ARTIKEL POLITIK – “MEREKA YANG DISINGKIRKAN, MEREKA YANG DILUPAKAN” OLEH LINDA SUDIONO …………………………………………….. 52 10. REPORTASE – “SEKADAR BERTANYA: KONTEMPORER ATAU KONTROVERSIAL REVOLUSIONER? OLEH CHRIS POERBA …………………………………………….. 56 11. SENISASTRA – “PUISI: WAKTU AMERIKA UTARA” OLEH ADRIENNE RICH …………………………………………….. 59 12. MASSALALOE – “LENIN DAN PEMBASMIAN PENJAKIT2 BURDJUIS KETJIL” OLEH NJOTO …………………………………………….. 62
64
PROBLEMFILSAFAT
NO. 02 / TAHUN I / JANUARI 2012