Meningkatnya permintaan produk asuransi dari tahun ke tahun berdampak langsung pada semakin banyaknya pembentukan perusahaanperusahaan yang bergerak dalam bidang penyedia asuransi. Perusahaan asuransi tersebut wajib memikul resiko yang dialihkan kepada perusahaan tersebut dan berhak memperoleh pembayaran premi, salah satu perusahaan asuransi yang berkembang di Indonesia adalah Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera (AJBB) yang telah menjadikan perusahaannya menjadi PT Asuransi Jiwa Bumiputera telah mengibarkan sayapnya di sektor penyedia produk asuransi sejak 1912. AJBB telah sukses menjadi salah satu perusahaan penyedia jasa asuransi tertua di Indonesia dengam memiliki lebih dari 25.000 agen asuransi di seluruh Indonesia. Namun, diketahui belakangan ini, AJBB sedang mengalami kesulitan dalam memenuhi premi dari setiap peserta asuransi. Jumlah klaim sepanjang tahun 2017 diperkirakan mencapai Rp5 triliun. Sementara, premi yang dikumpulkan hanya Rp2,7 triliun. Bumiputera juga harus mempertanggunjawabkan klaim kepada sebanyak 6,5 juta pemegang polis, hal ini merupakan salah satu masalah yang cukup sulit dialami AJBB selama karir nya di penyedia jasa asuransi selama lebih dari 100 tahun. Menanggapi masalah ini,1Saat ini, OJK turut serta dalam permasalahan tersebut mengingat cukup banyaknya peserta asuransi yang akan dirugikan, jika AJB belum bisa menemukan jalan permasalahannya serta dalam hal pemenuhan tanggung jawab dalam pemeliharaan industri asuransi jiwa di Indonesia. Pembentukan Lembaga penjamin polis menjadi salah satu jawaban atas permasalahan ini, mengingat kejadian seperti ini Rezkiana Nisaputra, “Cegah Gagal Bayar Premi Asuransi, Lembaga Polis Asuransi Diperlukan� Jasaraharja Putera.co.id (16 Februari 2017): 4.
tidak terjadi sekali di Indonesia. Lahirnya lembaga penjamin polis akan mempermudah Otoritas Jasa Keuangan dalam menangani berbagai permasalahan yang muncul mengenai produk asuransi yang saat ini menjadi salah satu kebutuhan vital pada Masyarakat Indonesia. Berdasarkan permasalahan tersebut, yang menjadi issue utama adalah hingga saat ini yaitu mengenai kepastian pembentukan dari Lembaga Penjamin Polis itu sendiri. Tentunya, peserta asuransi telah membayarkan premi-premi asuransi tersebut dengan harapan bahwa evenemen yang terjadi akan ditanggung sesuai dengan kesepakatan antara peserta asuransi dan penanggung (pihak penyelenggara asuransi). Evenemen sendiri adalah istilah yang diadopsi dari Bahasa Belanda evenement yang artinya peristiwa tidak pasti, ialah peristiwa terhadap mana asuransi diadakan, tidak dapat dipastikan terjadi dan tidak diharapkan terjadi, atau peristiwa yang menurut pengalaman manusia normal tidak dapat dipastikan terjadi, atau walaupun sudah pernah terjadi, saat terjadinya itu tidak dapat ditentukan dan juga tidak diharapkan akan terjadi, jika terjadi juga mengakibatkan kerugian.2 Permasalahan lain yang terjadi adalah pembentukan Lembaga Penjamin Polis yang hingga kini belum juga dibentuk, padahal selain Lembaga Penjamin Simpanan, sebagai suatu sarana pembiayaan, lembaga asuransi harus mempunyai suatu lembaga penjamin, guna memberikan rasa aman dan meningkatkan kepercayaan kepada setiap penerima polis.
1
2
Muhammad,Abdulkadir, Hukum Asuransi Indonesia,cet 5,(Bandung : PT Citra Aditya Bakti,hlm 120)
Pengaturan mengenai penjaminan polis telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 yang dituangkan dalam Pasal 53 mengenai Perlindungan Pemegang Polis, Peserta asuransi. “(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis. (2) Penyelenggaraan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Undang-Undang. (3) Pada saat program penjaminan polis berlaku berdasarkan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ketentuan mengenai Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d dan Pasal 20 dinyatakan tidak berlaku untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah. (4) Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk paling lama 3 (tiga) tahun sejak UndangUndang ini 3 diundangkan.� Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, lanjutnya, perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi wajib memenuhi tingkat solvabilitas paling sedikit 120% dari risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban. Untuk itu perlu adanya lembaga khusus pemerintah yang mampu menjamin rasa aman dan menjamin hak-hak penerima polis. Dalam Pasal 53 ayat (2) disebutkan bahwa akan dibentuk undang-undang mengenai program penjaminan polis, dimana dilanjutkan di ayat (4) yaitu Undang-undang sebagaimana dimaksud akan dibentuk paling lama 3 tahun sejak Undang-Undang No.40 Tahun 2014 ini diundangkan, sehingga dalam hal ini paling lambat Undang-Undang mengenai penjaminan polis tersebut harus sudah rampung pada tahun 2017 atau tahun ini. Artinya, setidaknya sudah terdapat Rancangan Undang-Undang yang mengatur mengenai program penjamin polis ini, namun hingga 3 Indonesia, Undang-Undang tentang Perasuransian, UU No.40 Tahun 2014. LN No. 337 Tahun 2014. TLN No.5618 4 Dilansir dari website resmi pemerintah mengenai Rancangan-Undang-Undang (http//:peraturan.go.id), pada
saat ini pengaturan mengenai rancangan undangundang tersebut masih nihil atau belum ada perkembangan.4 Dalam hal ini LPS harus membuat UU baru atau amandemen UU yang lama dan memiliki arahnya untuk membuat UU khusus karena ini lembaga penjamin polis dibutuhkan secara khusus. Hal ini harus diadakan dalam rangka menjalankan salah satu fungsi LPS yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan (Pasal 4 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan), dan juga termaktub pada tugas LPS yaitu merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan). Saat ini, dalam perkembangannya saat ini masih diskusi dengan OJK. Hal ini tidak seharusnya terjadi mengingat tuntutan mengenai pembentukan program penjamin polis dari pemerintah sudah sangat dibutuhkan bagi masyarakat. Peningkatan penjaminan bagi setiap asuransi yang ditawarkan sudah seharusnya sejalan dengan peningkatan penjaminan yang ada dimana dalam hal ini masyarakat akan lebih percaya jika pemerintah yang membuat program tersebut. Undang-Undang nomor 40 tahun 2014 mengenai Perasuransian di Indonesia juga tidak menjelaskan secara mendetail mengenai ketentuan penjaminan polis. Undang-Undang tersebut mengatur mengenai setiap penyelenggara atau perusahaan asuransi diwajibkan menyelenggarakan penjaminan polis bagi setiap pesertanya, dan mengatur bahwa pembentukan lembaga penjamin polis akan dibentuk maksimal 3 tahun sejak dibentuknya undang-undang tersebut. Mengingat bahwa pembentukan undang-undang sendiri adalah sebuah hal krusial dalam membentuk suatu lembaga tertentu, seharusnya dalam hal pembaharuan undangpilihan Rancangan Undang-Undang Penjamin Polis ini masih kosong dan tidak ada tahap perkembangan apapun. Padahal jika rencana rampung yang tertera di Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 setidaknya masyarakat sudah dapat melihat perkembangan Rancangan Undang-Undang pada tahun ini
undang asuransi tersebut, pemerintah dalam hal ini OJK telah mempunyai konsep yang lebih pasti mengenai pembentukan Lembaga Penjamin Polis ini, mengingat sebenarnya pembentukan Lembaga Penjamin Polis ini sudah direncanakan sejak lama dalam hal banyaknya kasus yang terjadi mengenai penjaminan asuransi ini terjadi. Ketidakpastian OJK maupun lembaga lain yang terkait dalam konsep pembentukan lembaga ini menjadi bukti bahwa sebenarnya pemerintah kurang memberikan perhatian yang lebih terhadap penjaminan asuransi. Hal tersebut akan membawa dampak yang signifikan apabila tidak diatasi. Perumusan konsep pembentukan lembaga tersebut seharusnya direncanakan dengan lebih matang. Walaupun disebutkan dalam UU No. 40 tahun 2014 bahwa pembentukan dilaksanakan maksimal 3 tahun sejak pengesahan undang-undang tersebut, namun akan lebih baik bila lembaga ini dibentuk lebih cepat mengingat tuntutan dari perkembangan perasuransian di Indonesia berkembang dengan signifikan. Perkembangan perasuransian ini membutuhkan penjaminan yang lebih pasti lagi, dan pembentukan lembaga penjamin polis ini sudah diterpakan di beberapa negara sejak dahulu dan hal ini membuat kegiatan perasuransian lebih baik dan menarik minat masyarakat untuk ikut serta dalam menjadi peserta asuransi. Dalam situasi saat ini, penjamin asuransi dalam melaksanakan operasional untuk melindungi polis peserta asuransi adalah perusahaan asuransi lain atau biasa juga disebut perusahaan reasuransi. Tujuan reasuransi ini sendiri adalah untuk mengurangi beban risiko yang diterima dengan mengalihkan seluruh/sebagian risiko kepada pihak penanggung ulang. Mengenai reasuransi ini sendiri diatur dalam Pasal 271 KUHD, dimana disebutkan dalam pasal tersebut penanggung selamanya berhak untuk mengasuransikan lagi apa yang telah 5 ditanggungnya , namun dalam hal ini penanggungan dilakukan oleh pihak swasta, dimana tingkat kepastian yang diberikan perusahaan asuransi tersebut belum sempurna. Pada kejadian yang sudah terjadi pada nasabah Asuransi Jiwa Jaminan 1962. Perusahaan tersebut ditutup izin operasionalnya oleh Menteri Keuangan silam karena dianggap tidak sehat lagi dan kini para nasabah mengalami kebingungan. Pasalnya mereka menyisihkan sebagian kecil penghasilannya ke asuransi jiwa untuk jaminan hari tua dan baru bisa diklaim setelah 20 tahun dan berharap pihak asuransi segera mengembalikan 5
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
dananya. Oleh Karena itu Perlu adanya urgensi dari pemerintah untuk segera menyelesaikan Lembaga Penjamin Polis (LPP) dalam hal ini tujuannya adalah perlindungan peserta asuransi. Di dalam isu ini peranan pemerintah memiliki andil penting untuk memberikan rasa percaya konsumen terhadap lembaga asuransi. Maka dapat disimpulkan bahwa rencana pembentukan Lembaga Penjamin Polis (LPP) sudah berjalan sejak undang-undang nomor 40 tahun 2014 diterbitkan. LPP yang akan terbentuk nanti diharapkan akan mampu melindungi hak peserta asuransi yang lebih pasti karena negara dalam hal ini turut andil dalam penjaminan polis yang memiliki dasar dan ketentuan yang jelas bila dalam pembuatannya didasari undang - undang yang memiliki kekuatan hukum dalam segala pelaksanaan baik secara kebijakan maupun secara operasional. Hal ini sangat disayangkan mengingat wacana pembuatan Lembaga penanggung polis belum juga rampung padahal perkembangan akan usaha asuransi di Indonesia kian meningkat dalam hal ini LPP perlu dibentuk guna menjamin polis dari peserta asuransi, serta LPP diharapkan dapat turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem asuransi sesuai dengan kewenangannya. Pembentukan Lembaga Penjamin Polis ini juga dapat menjadi jawaban dari permasalahan yang dialami oleh AJBB atau lembaga penyedia asuransi lainnya dalam rangka ketidakmampuannya dalam memenuhi sebagian dari polis yang telah diterbitkan.
DAFTAR PUSTAKA Buku Muhammad, Abdulkadir. Hukum Asuransi Indonesia,cet 5. Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2011. _____. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan UU Kepailitan [Wetboek van Koophandel en Faillissements-Verordening]. Diterjemahkan oleh R.Soebekti. Jakarta: Pradnya Paramita. 2015. Halaman Web Bank Indonesia. “Manajemen Krisis Jaring Pengaman”. http://www.bi.go.id/id/tentangbi/manajemen-krisis/jaringpengaman/Contents/Default.aspx. Diunduh 20 Februari 2017 Nisaputra, Rezkiana. “Cegah Gagal Bayar Premi, Lembaga Polis Diperlukan” http://www.jasaraharjaputera.co.id/cegah-gagal-bayar-premi-lembagapolis-asuransi-diperlukan/ . Diunduh 20 Februari 2017. Otoritas Jasa Keuangan. “Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 : Perasuransian” http://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/regulasi/asuransi /undang-undang/Pages/Undang-Undang-Nomor-40Tahun-2014-Tentang-Perasuransian.aspx . Diunduh 20 Februari 2017.