Latar Belakang Pada pertemuan Worldbank Spring Meeting di bulan April 2016, negara-negara anggota G20, termasuk Indonesia, menekankan pentingnya menjalin kerjasama antar negara dalam bidang pertukaran informasi untuk tujuan memperkuat upaya keterbukaan informasi perpajakan. Usaha ini diharapkan dapat memberikan penekanan terhadap non-cooperative jurisdictions, yaitu yurisdiksiyurisdiksi yang dianggap tidak kooperatif. Pada tahun 2013, negara-negara anggota G20 dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) juga sudah memberikan dukungan atas pertukaran informasi secara otomatis sebagai suatu standar pertukaran informasi global untuk tujuan perpajakan. Dukungan ini direalisasikan oleh negara anggotaanggota G20 dan OECD dengan menyetujui pembentukan kebijakan Common Reporting Standard (CRS) untuk menjadi dasar pertukaran informasi secara global. Sejalan dengan kebijakankebijakan tersebut, Indonesia akan menerapkan suatu sistem pertukaran informasi otomatis antar yurisdiksi, yang juga dikenal dengan sebutan Automatic Exchange of Information (AEOI). Sistem yang serupa dengan AEOI pertama kali diterapkan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) dengan meluarkan kebijakan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA). Kebijakan
ini mewajibkan lembaga keuangan yang berada di luar AS untuk melakukan pelaporan mengenai informasi terkait keuangan warga AS atau entitas lain dimana warga AS memegang kepemilikan yang signifikan. Pemerintah Indonesia telah menandatangani FATCA dengan pemerintah AS pada September 2016, menunjukkan partisipasi Indonesia dalam perkembangan keterbukaan informasi, sekaligus sebagai persiapan penerapan AEOI dengan 94 yurisdiksi lain yang akan berlaku sejak September 2018 mendatang. Kecenderungan di belahan dunia sekarang memang membuka akses, termasuk di Swiss, negara yang dikenal sangat ketat menerapkan rahasis bank. Organisasi Negara-negara untuk Kerjasama dan Pembangunan (OECD) malah sudah melansir Base Erosion and Profit Shifting yang menunjukkan kesadaran pentingnya akses pajak ke dunia perbankan. Dalam pelaksanaan FATCA dan AEOI tersebut, Kementerian Keuangan mendukung keterbukaan informasi perbankan dalam kerangka pertukaran informasi perpajakan. Hal ini sangat penting dalam rangka menjaga posisi Indonesia agar tidak dianggap sebagai non-cooperative jurisdiction
yang akan membawa dampak luas bagi sektor finansial dan industri di Indonesia.1
bank dengan nasabahnya. Keenam, persetujuan dari nasabah penyimpan sendiri.6
Oleh karena itu, dikeluarkannya ketentuan mengenai rahasia bank. Rahasia bank diatur dalam Pasal 1 dan Pasal 40 UU Perbankan 1992.2 Berhubung pengertian rahasia bank dalam UU Perbankan tersebut terlalu luas sehingga dimanfaatkan oleh debitur bank yang kreditnya macet dan menimbulkan kontroversi. Oleh karena itu, pengertian tersebut dipersempit oleh UU Perbankan 1998, yaitu hanya merahasiakan keterangan tentang nasabah dan simpanannya saja. Pihak-pihak yang memiliki kewajiban untuk menjaga rahasia bank, yaitu anggota Dewan Komisaris, Direksi Bank, Pegawai Bank, Dan Pihak Terafiliasi.3
Indonesia pada tahun 2018 akan mengikuti AEol (Automatic Exchange of Information). Oleh karena itu, ketentuan mengenai adanya rahasia bank direncanakan akan dihapus dengan dilakukan revisi UU Perbankan, mengikuti keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan dan dikeluarkannya Aplikasi Usulan Buka Rahasia Bank (AKASIA).7
Terdapat teori mutlak yang menyimpan rahasia nasabahnya dalam keadaan apapun dan teori nisbi yang dapat membuka rahasia nasabahnya untuk kepentingan terdesak.4 Kepentingan terdesak tersebut ada enam. Pertama, kepentingan dalam pembinaan dan pengawasan oleh BI.5 Kedua, kepentingan perpajakan. Ketiga, penyelesaian piutang bank yang diserahkan pada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Keempat, kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Kelima, perkara perdata antara
N.E. Fatimah, “Automatic Exchange Of Information (AEOI)”, Siaran Pers No. 25/KLI/2016.. 1
2
Widjanarto, Hukum Dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, 4th ed. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003), hlm. 116. 3
Ibid, hlm. 118.
4
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, 1st ed. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm 111. 5
Widjanarto, Hukum Dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, hlm. 119. 6
7
Ibid., hlm 121
Bekerja sama dengan OJK, Dirjen Pajak telah meluncurkan aplikasi yang mempermudah membuka rahasia bank, yang akan memperpendek waktu pembukaan akses data nasabah bank. Aplikasi ini
Rencana Revisi Undang-Undang Perbankan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan pada awalnya masih kesulitan mengakses data nasabah perbankan yang merupakan wajib pajak. Keterbukaan informasi keuangan atau Automatic Exchange of Information (AEOI) pun sempat sulit dilakukan, karena terhambat pula aturan dalam Undang-Undang (UU) Perbankan. Direktur P2 Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan AEOI sangat sulit diterapkan tanpa adanya revisi UU Perbankan. Dalam aturan ini, Ditjen Pajak baru bisa membuka data perbankan setelah nasabah yang merupakan wajib pajak ini sudah masuk dalam tahap pemeriksaan.
bernama AKASIA, yang merupakan kependekkan dari Aplikasi Usulan Buka Rahasia Bank, yang akan membuka data nasabah bank dalam waktu 30 hari. Hal ini sangat membantu dalam proses perolehan data, yang pada prosedur de facto nya dapat berjalan berbulanbulan, bahkan mencapai tahunan agar proposal melihat rekening seseorang dapat diterima. Selain itu, imbauan dari Ditjen Pajak juga sudah dilakukan secara kontinu, termasuk pengiriman email pengingat atas harta yang belum dilaporkan dan imbauan berupa surat dari kantor pelayanan pajak terdaftar. Lihat Artikel: “Ditjen Pajak Siapkan Akasia, e-Form, dan Pasal 18 selepas Amnesti Pajak”, Pajak.go.id., http://www.pajak.go.id/content/news/ditjen-pajaksiapkan-akasia-e-form-dan-pasal-18-selepas-amnestipajak, diakses 23 Februari 2017.
Oleh sebab itu revisi UU Perbankan sangat penting untuk dapat masuk ke dalam AEOI tahun depan. Revisi tersebut akan memudahkan Ditjen Pajak mencari informasi dalam melakukan pengawasan terhadap wajib pajak.8 Selain itu, di bidang perpajakan, ada lima peraturan yang akan direvisi untuk mendukung program AEoI yaitu UU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), Bea materai, serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pemerintah rencananya akan fokus membahas aturan-aturan setelah pelaksanaan program pengampunan pajak (tax amnesty).9 Sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak tak sepenuhnya haram mengakses data nasabah. Pasal 41 UU Perbankan 1998 menyebutkan: “Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak”.10
lebih besar, sekaligus penghindaran pajak.
menekan
upaya
Namun, jika terealisasi, keinginan Direktorat Jenderal Pajak bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi akan menaikkan pendapatan pajak, dan di sisi lain bisa menimbulkan kebocoran data nasabah. Data nasabah bank secara yuridis harus dirahasiakan. Kalau data bocor, yang terjadi kemungkinan moral harzard, kepercayaan masyarakat terhadap bank turun. Direktur P2 Humas Direktorat Jenderal Pajak, Kismatoro Petrus, menepis kekhawatiran itu. Potensi moral harzard jika rahasia bank diterobos bisa dicegah dengan pengawasan ketat. Petrus menyebut KPK bisa terlibat langsung mengawasi Direktorat Jenderal Pajak. Lagipula apabila diberi akses maka yang memiliki akses di Direktorat Jenderal Pajak hanya satu orang dan tidak setiap pemeriksa pajak sehingga jika terjadi kebocoran data nasabah dapat dilacak dengan cepat.
Memang saat ini informasi bank bisa dibuka untuk keperluan perpajakan. Akan tetapi, hanya dalam kondisi wajib pajak menjalani proses pemeriksaan. Di mana proses tersebut membutuhkan waktu yang panjang dan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelum akhirnya dikembalikan lagi ke bank tersebut11, dan Direktorat Jenderal Pajak ingin akses itu tak sebatas penyidikan pidana perpajakan, tetapi juga penggalian potensi pajak dan penagihan. Dengan begitu, peluang mendapatkan pajak dari Wajib Pajak (WP) yang punya simpanan di bank bisa
Peluang bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk mendorong gagasan akses data nasabah itu lebih terbuka. Sebab, pada saat yang sama, DPR dan Pemerintah sedang membahas revisi kedua UU Perbankan. Dalam Daftar Prolegnas 2014, rencana revisi itu masuk nomor urut 49 dari 66 RUU. Jika gagasan Direktorat Jenderal Pajak diterima, perubahan tak hanya dilakukan pada UU Perbankan, tetapi juga peraturan perundangundangan pajak. Di UU perpajakan hanya disebut kewenangan mengakses data nasabah untuk kepentingan penyidikan. Kini, akan ditambah hingga pemeriksaan dan penagihan. Sekarang, kita tinggal menunggu bagaimana DPR dan pemerintah merumuskan klausula-klausula yang
Ameidyo Daud, “Ditjen Pajak: UU Bank Hambat Keterbukaan Informasi Keuangan”, Katadata.co.id,http://katadata.co.id/berita/2017/02/14/ditjenpajak-keterbukaan-informasi-keuangan-terhambat-uuperbankan, diakses 14 Februari 2017.
“Mendobrak Batas Kerahasiaan Bank”, Hukumonline.com, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52f913394cca5/ mendobrak-batas-kerahasiaan-bank, diakses 11 Februari 2014.
Desy Setyowati, “Banyak Aturan Perlu Direvisi Hadapi Pertukaran Data Keuangan Global”. Katadata.co.id,http://katadata.co.id/berita/2017/01/14/aturan -lokal-belum-siap-hadapi-pertukaran-data-keuanganantarnegara, diakses pada 14 Januari 2017.
Elisa Valenta Sari, “Revisi UU Perbankan Fokus Hapus Kerahasiaan Bank”, CNNIndonesia.com, http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/2016060811184778-136624/revisi-uu-perbankan-fokus-hapus-kerahasiaanbank/, diakses pada 8 Juli 2016.
8
9
10
11
memungkinkan Direktorat Jenderal Pajak mengakses data WP yang tersimpan di bank.12 Revisi tersebut kelak akan memberikan keterbukaan informasi perbankan kepada aparatur pajak, sekaligus memudahkan proses permintaan infromasi wajib pajak ke pihak otoritas perbankan yang selama ini berbelit-belit. Terkait revisi yang sedang dicanangkan oleh komisi IX DPR, pasal 35 UU KUP tersebut akan diubah sehingga kepentingan untuk meniadakan rahasia perbankan tidak hanya sebatas keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, namun bisa untuk semua kepentingan perpajakan. Selain itu, terkait revisi pasal 41 UU Perbankan, untuk izin peniadaan rahasia perbankan tidak perlu meminta izin dari Menteri Keuangan, tetapi langsung dari Dirjen Pajak. Hal ini berkaitan dengan akan lepasnya Dirjen Pajak dari kendali Kemenkeu. OJK telah memberikan dukungan penuh terhadap penghapusan dan revisi dari klausa rahasia perbankan ini sebagai regulator perbankan di Indonesia, untuk segera mengikuti jejak negaranegara lain dan salah satu bentuk realisasi penuh dalam dedikasi ke AEoI. Dengan aset yang telah terhitung sebesar US$ 300 Juta dari hasil pengampunan pajak, aparatur pajak akan segera memiliki perangkat tambahan dalam upaya verifikasi data-data para pembayar pajak, saat UU mengenai ketiadaan rahasia bank segera disahkan. Penggunaan tekonologi juga sangat berguna dalam membantu Dirjen Pajak dalam menangani masalah seputar rahasia bank, selama UU belum direvisi.13 Berdasarkan fakta-fakta tersebut, sudah sepatutnya revisi UU Perbankan dan KUP terkait rahasia perbankan dapat segera dirampungkan. Hal ini berkaitan dengan urgensi Indonesia dalam komitmennya dengan AEoI, dalam rangka
12 “Mendobrak Batas Kerahasiaan Bank,” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52f913394cca5/ mendobrak-batas-kerahasiaan-bank.
pengampunan pajak. Dengan adanya revisi dari UU tersebut, perbuatan para otoritas pajak sudah mendapat payung hukum yang memadai dalam langkah yang mereka ambil terkait data-data perbankan dan pajak para nasabah-nasabah Indonesia tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Buku Djumhana, Muhamad. Hukum Perbankan Di Indonesia. Ed. Ke-1. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. Widjanarto. Hukum Dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. 4th Ed. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003. Artikel Grace D, Amiarti. “Bank Secrecy Will Remain Secret for Time Being.” The Jakarta Post, Vol. 34 No. 236. 8 Februari 2017. Internet “Ditjen Pajak Siapkan Akasia, e-Form, dan Pasal 18 selepas Amnesti.” Pajak.go.id. http://www.pajak.go.id/content/news/ditjen-pajak-siapkanakasia-e-form-dan-pasal-18-selepas-amnesti-pajak/. Diakses 23 Februari 20117. “Mendobrak Batas Kerahasiaan Bank.” Hukumonline.com,. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52f913394cca5/ mendobrak-batas-kerahasiaan-bank/. Diakses 11 Februari 2014. Daud, Ameidyo. “Ditjen Pajak: UU Bank Hambat Keterbukaan Informasi Keuangan.” Katadata.co.id. http://katadata.co.id/berita/2017/02/14/ditjen-pajakketerbukaan-informasi-keuangan-terhambat-uu-perbankan. Diakses 14 Februari 2017. Sari, Elisa Valenta. “Revisi UU Perbankan Fokus Hapus Kerahasiaan Bank”. CNNIndonesia.com, http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/2016060811184778-136624/revisi-uu-perbankan-fokus-hapus-kerahasiaanbank/. Diakses pada 8 Juli 2016. Setyowati, Desy. “Banyak Aturan Perlu Direvisi Hadapi Pertukaran Data Keuangan Global”. Katadata.co.id. http://katadata.co.id/berita/2017/01/14/aturan-lokal-belumsiap-hadapi-pertukaran-data-keuangan-antarnegara/. Diakses 14 Januari 2017.
13 Grace D, Amiarti, “Bank Secrecy Will Remain Secret for Time Being”, (The Jakarta Post vol. 34 no. 236, 8th February 2017), hlm. 13.