SALAM! Kerupuk Pasir Zine kembali lagi. YEAYYYY! Setelah selalu menunda karena keinginan membuatnya secara manual, kini Kerupuk Pasir Zine kembali dibuat dan dibagikan secara digital. Edisi kali ini bertemakan “Perpisahan�. Hidup kita selalu dilengkapi dengan yang namanya perpisahan. Sebuah momen di mana kita harus kembali pada ketidakbiasaan akan keberadaan seseorang atau sesuatu. Sebuah momen di mana kita menyadari akan ada yang hilang dan meninggalkan bekas. Beberapa kali saya mengalami perpisahan dan kehilangan. Dari sekian banyak pengalaman tersebut, saya tidak pernah merasa mendapatkan perpisahan yang layak. Tiba-tiba hilang, pergi dan tak kembali. Beberapa tak lagi bisa teraih meski masih ada di sekitar. Kehilangan tanpa perpisahan yang layak membuat saya begitu berat berdamai dengan hidup. Saya menjadi abai dengan banyak hal. Alih-alih menjaga dan mempersiapkan hati untuk menghadapi kehilangan dalam sebuah perpisahan, saya justru lupa yang terpenting dalam segala hubungan adalah menjaga hubungan itu sendiri. Saya berfokus pada diri sendiri supaya nanti kuat menghadapi perpisahan. Supaya tak terlalu sedih ketika harus mengalami kehilangan. Namun tidak akan ada perpisahan yang layak bagi siapapun. Butuh banyak waktu untuk saya akhirnya berdamai akan kehilangan dan perasaan-perasaan yang ditinggalkannya. Butuh waktu cukup lama bagi saya memahami kehilangan adalah proses alami dalam kehidupan. Ketika waktu itu berjalan, ketika saya terus mencoba memahami, ketika itu pula kehilangan terus terjadi. Perpisahan dan kehilangan menjadi dua hal yang mengerikan. Namun sesungguhnya ia membebat luka dan memperkuat jiwa. Hanya saja perih terlalu nyata sehingga kita merasa tak pernah kuat ketika mengalaminya. Kerupuk Pasir Zine kali ini hadir akan membagikan soal itu, soal perpisahaan. Tak untuk menggurui. Tidak juga untuk berkubang di dalamnya. Mungkin jadi cara kita memahaminya. Selamat membaca. Terima kasih. SALAM!
You give her fire but she have water (Arzena Ersidyandhi, 2018, Digital Painting)
Di Ujung Jalan – Nabyl Rahardjo
Pertemuan, bertemu, bersenda gurau, berburu, meramu, bercumbu, canda, tawa, cerita, kita Di ujung jalan, perpisahan, mengisahkan, berpisah, merah, darah, merekah, terpecah Perpisahan! Menyakitkan! Perpisahan! Membetulkan! Perpisahan! Menyatukan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Perpisahan! Berpisah; Melawan arah; Tidak peduli senja yang akan marah atau kopi-kopi tawar yang menyeruak dari bawah Sendu yang tidak melagu, pergerakan revolusioner para tukang jamu Tuak-tuak disiapkan untuk arak-arakan nanti malam dengan satu tujuan: mendapatkan restu orangtua Di ujung jalan menyiratkan, perpisahan adalah hal yang menakutkan juga menakjubkan: kepulangan yang ditunggu-tunggu menuju rumpah impian dengan orang tercinta ataupun sendirian Di ujung jalan juga akan selalu ada jembatan untuk keabadian, bukan perkara perpisahan namun, soal kesiapan dan perbekalan
Tidak Berjudul – Aditya Pandu
Mungkin sampai di sini perjumpaan kami, Dua sejoli yang mengucapkan janji suci, Terkadang kami berpikir hanya ajal yang akan memisahkan, Tapi waktu dan jaraklah yang menyiksa, Takdir? Tidak, Kami bisa mengatur takdir kami, Kami berpelukan di ruang tersebut, Di tengah himpitan waktu yang memaksa kami menyudahinya, Sederhana, kaca yang mulai membatasi kami, Hanya berjarak 1 meter dihadapanku, Hanya sekitar 5 menit, aku mulai merindukan suaranya, Kami hanya bertatapan dikaca tersebut, Sembari aku mulai menjauh dan menjauh, Dilahap waktu, Wajahnya kini tertutupi oleh kerumunan manusia-manusia semu, Berwarna abu-abu, Mungkin aku selanjutnya, Hangat pelukannya, mulai tak terasa, Dingin, Hanya dingin yang kurasakan disini,
Kini, langit yang membatasi kami, Apa aku memang bodoh? Meninggalkan hangat senyum dan pelukannya, Tapi, aku ingin membahagiakannya, Walaupun aku takkan pernah lagi sama, Saat kembali, Awan bersenandung, bergemuruh, Matahari menjauhi-ku, seakan mengatakan, “Betapa bodohnya manusia ini.â€?, Abu-abu, Dimulailah fase perubahanku, menjadi kerumunan itu, Aku menahan tangisku disini, Mencoba Sok kuat lebih jelasnya, Perlahan, gelap menelan, Andai aku memiliki satu permintaan, Aku ingin memeluknya lagi, tolong‌ Hanya beberapa menit saja, Sebuah permintaan yang cukup bodoh, Kini, aku menjadi abu-abu, Menjadi satu, Menjadi manusia yang terkunci disebuah kaca bertingkat, Sampai jumpa, Kini kau takkan menemuiku seperti yang dahulu.
Perpisahan yang Diharapkan – Kerisirek
Sore itu aku memaksa mereka bertiga untuk berkumpul. Aku butuh cerita mereka. Cerita mereka seringkali menjadi inspirasi. Kanaan dan Che duduk di hadapanku. Keduanya memandangku tajam. Sedangkan Keenan duduk di sebelahku. Sejak tadi kakinya tidak berhenti menghentak kecil. Ia tampak gelisah. “Jadi ini demi zine mu yang mati segan hidup tak mampu itu?” tanya Kanaan. Huh gadis itu memang tidak pernah pintar berbasa-basi. Aku hanya mengangguk. “Apa temanya?” tanya Che. “Perpisahan,” jawab Keenan sebelum aku menjawabnya. “Kenapa harus sedih gitu sih?” Kanaan bertanya heran. “Aku ingin mengajak orang untuk merayakan kesedihan,” akhirnya aku buka suara. “Tapi jelas ini berbeda dengan reality show yang menjual kesedihan ya. Ini murni tanpa rekayasa.” “Lalu apa yang bisa kami bantu?” akhirnya Che membawa kami ke maksud dan tujuanku sebenar-benarnya. “Ceritakan padaku, seperti apa perpisahan yang kalian harapkan?” Lalu ketiganya diam. “Oke. Kalian berpikir dulu saja. Aku akan menunggu.”
Lima menit berlalu. Kini gantian kakiku yang terus menghentak kecil. Ketiganya masih diam dengan pikiran mereka masing-masing. “Aku mau jawab,” ujar Kanaan. “Perpisahan yang ku harapkan hm sembari makan es krim di lapangan atau taman pada sore hari. Sambil melihat matahari terbenam, orang-orang menyelesaikan aktivitasnya. Begitu matahari terbenam perpisahan itu terjadi setelah pelukan erat. Tentunya dengan ucapan terima kasih satu sama lain.” Aku memandang Kanaan setelah selesai mencatat jawabannya. “Es krim, taman, senja dan peluk erat. Baik. Kamu?” aku pun bertanya pada Che.
“Perpisahan dengan pertemuan pertama kali,” ujarnya lirih. “Maksudnya?” “Mengulang pertemuan pertama untuk kemudian berpisah. Perkenalan, jabat tangan, bertukar nama dan mencari topik pembicaraan yang tepat.” “Lalu?” “Selesai. Dengan begitu tidak ada yang berpisah hanya ada pertemuan yang diulang dengan makna yang berbeda.” Aku menatap Che. Kudapati kesedihan di mata perempuan melankolis itu. “Kalo kamu Nan?” “Tidak ada perpisahan yang bisa kuharapkan. Selamanya perpisahan akan tetap menyedihkan walau ia sesuai harapan sekalipun,” ujar Keenan sambil terus menunduk. “Perpisahan tak akan pernah adil bagi siapapun.” Entah mengapa jawaban Keenan membuat kami semakin larut dalam sunyi. “Bagaimana denganmu?” tanya Keenan kepadaku. Aku mengangkat bahuku. “Asalnya ia pergi dengan pamit dan tanpa perlu berjanji apa-apa, kurasa cukup.” Lalu suasana kembali sunyi. Mungkin begitulah adanya ketika empat orang melankolis berkumpul bersama dan membahas soal kesedihan. ~
Benda-benda fisik bisa terpisah dari raga kita, namun ingatan dan memori tidak akan ikut dalam “perpisahan�. Karena perpisahan berbicara soal raga, bukan kenangan. (Arya Putra)
Menjemput Patah Hati – Kerisirek
Kau datang membawa harap Akan jawab yang menggenapi tanya Kau datang membawa rasa Akan balasan dari semua pemberian Kau tiba pada akhir yang tak terduga Pada kepatahan hati yang selalu kau hindari Perpisahan tak selalu indah Ia juga berarti patah Kini kau telah sampai ke titik Di mana kau menjemput patah
Namun setelah itu, kau akan bangkit dan menerimanya pergi Kau hanya perlu menjemput untuk merelakannya
Catatan singkat Tidak Jelas
Senin, 18 Januari 2016 Maafkan Saya yang lancang, tak meminta izin terlebih dahulu, untuk menjadikan namamu sebagai tokoh dalam tulisan-tulisan yang akan Saya tulis nanti Untuk hari-hari depan Saya akan menuliskan semua hal yang saya alami bersama nama yang kamu punyai Entah kapan Kamu membaca tulisan Saya ini ketika sudah bertumpuk seribu? secepatnya Kamu akan membacanya? Kamu tidak akan pernah membacanya sama sekali? Hari ini adalah hari dimana Saya mulai menulis lagi, setelah sekian lama Saya mati‌.akibat tulisan Saya sendiri Saya ucapkan terimakasih, untuk Kamu Kamis, 4 Mei 2016 Saya akan mulai menulis kembali tanpa nama Kamu Entah kapan Saya menemukan nama yang baik untuk Saya tulis Seperti nama Kamu.. Terimakasih Saya ucapkan.. Catatan dengan ejaan yang jauh dari benar, penggunaan kata tidak tepat dan tidak enak dibaca tersebut merupakan catatan awal pertemuan dan akhir (perpisahan) dengannya a.k.a de’e yang saya tulis ketika akal sehat hilang . Yang intinya adalah saya Ditikung DITINGGAL........makasih
Percakapan soal Perpisahan – Kerisirek Che masih bertahan di tempat duduknya meski Keenan dan Kanaan sudah pulang lebih dulu. Si gadis melankolis itu menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. “Ada apa Che?” tanyaku. “Ada banyak perpisahan yang kurangkai dalam kepalaku. Setiap aku bertemu orang, setiap saat itu pula aku merangkainya menjadi cerita baru. Cerita perpisahan yang sesuai dengan keinginanku.” Ceritanya sambil tertunduk. “Lalu?” “Lalu perpisahan itu terjadi sama sekali tidak sesuai dengan rangkaian andai-andai yang telah kususun dalam kepala,” Che memandang entah ke titik yang mana. “Dan aku tetap merasa kehilangan.” Kini giliranku yang menunduk mendengar cerita Che. “Bagaimana bisa kita siap dengan perpisahan meski itu sebuah kesepakatan? Kita akan tetap terluka meski perpisahan seperti katamu tadi, dengan ucapan selamat tinggal. Akan ada sebuah harapan untuk bertemu kembali, padahal semuanya telah berakhir.” Che semakin membuatku menunduk. Ada beberapa sisi aku menemukan kemiripanku dengan gadis melankolis ini.
“Kita cuma bisa menerima. Bahwa masa waktu kita bersama orang itu sudah habis.” “Tapi Che dia pernah berjanji. Dan sampai saat ini janjinya tak pernah ia tepati.” “Tapi dia sudah memilih pergi. Itu adalah jawaban yang cukup untuk segala janjinya. Dan kamu tak perlu lagi menantinya.” Aku memandang Che tak percaya sekaligus tak terima. “Aku yakin separuh dirimu mengiyakan apa yang kumaksud. Namun dirimu yang lain tak ingin kalah dalam sebuah penantian. Iyakan? Tapi keras kepalamu untuk menantinya tidak akan selesai. Kamu akan berjalan sendiri. Hilang sendiri. Sedangkan ia telah pergi. Benarbenar pergi.”
“Aku pernah sepertimu. Dan aku hanya bisa menyarankan untukmu menerima itu. Tak perlu menanti jawaban apa-apa. Ia telah terjawab, tinggal kamu mau menerimanya atau tidak.” Air mata itu mengalir tanpa komando. Ia menganak sungai di pipiku disaksikan oleh Che yang terdiam menatapku tajam. “Menangislah. Besok tak ada lagi tangis yang sama.”
Yang Terlambat – Kerisirek
“Aku di depan rumahmu,” ujar Keenan melalui telepon. Aku pun segera keluar kamar dan menuju pintu. Aku mendapati Keenan dengan sepeda motor tua kesayangannya. Ia tersenyum sambil menunjukan sebuah kantong plastik di tangan kirinya. “Martabak telur?” tanyaku sambil membukakan pagar. Ia mengangguk. “Tumben.” Keenan duduk di ruang tamu dan membuat plastik yang ia bawa. Aku menyuguhkannya es teh manis. “Pertemuan kita tadi sore membuatku berpikir,” ujarnya sambil membuat plastik kuah bumbu dan acar. “Berpikir apa?” “Aku pernah menjadi orang yang terlambat dalam memahami perpisahan. Dalam proses pemahaman itu aku dipenuhi dengan penyesalan.” Keenan memulai ceritanya sambil memakan sepotong martabak telur yang ia bawa. “Maksudmu?” “Kau tau ayahku meninggal waktu usiaku hampir 10 tahun?” aku mengangguk. “Malam sebelum ia meninggal, aku menolak untuk ia cium. Ternyata itu adalah ciuman perpisahan darinya. Kamu tau rasanya? Aku telah menolak perpisahan darinya.” Keenan kembali mengambil potongan martabak telur. “Sejak saat itu aku menyesal. Aku begitu iri dengan Kanaan. Ia mendapatkan dan memberikan ciuman itu. Perpisahan yang kami alami sama. Namun kami memiliki sikap yang berbeda. Aku tahu ini adalah kehilangan yang tidak mudah. Tapi melihat Kanaan, ia tumbuh dalam kerelaan yang begitu besar. Ia jauh lebih dewasa dibandingkan aku.” Aku menatapnya dan nampak bingung harus memberikan tanggapan apa. “Aku tahu kamu pasti bingung aku datang, bawa martabak ini dan cerita tentang masa lalu ku. Ku kira ini perlu kubagikan untuk kamu tuliskan di zinemu yang mati segan hidup tak mau itu.
“Meski kukira Kanaan lebih dulu berlapang dada akan kepergian ayah, hampir tiap malam aku menemukannya menangis di kamar sambil memandang foto kami sekeluarga. Padahal ia mendapati apa yang tak kudapatkan. Ia mendapatkan peluk dan cium. Ia memberikan peluk dan cium. Kukira itu adalah perpisahan yang baik. Tapi ternyata perpisahan tetap menghasilkan kehilangan yang mau tak mau kita terima. Bahkan ketika perpisahan itu terjadi sesuai dengan keinginan kita.” Aku meraih gelas es teh yang tadi kusuguhkan untuk Keenan dan menegaknya habis. “Tema ini terlalu berat ya?” tanyaku. “Tapi juga menjadi penting. Perpisahan bukanlah hal yang patut kita hindari. Ia harus kita hadapi. Ya semoga zine-mu ini tidak menuju ke perpisahan itu.” Aku melempar bantal di pangkuanku ke arah Keenan. Ia hanya tertawa sambil terus memakan potongan martabaknya yang kesekian. Aku pun meninggalkannya untuk mengambilkan es teh yang baru. Keenan masih asik makan martabak yang ia bawa. Begitu aku kembali, Keenan berdiri dan menghampiriku. “Tapi kamu tidak perlu khawatir, setiap perpisahan akan membawamu pada pertemuan baru. Setiap kehilangan akan menuntunmu pada awal yang tak terduga. Tak perlu khawatir,” ujar Keenan sambil memeluk dan menepuk pelan punggungku. Keenan pun melepas pelukannya lalu meraih es teh dari tanganku. “Terima kasih es tehnya dan tumpangannya untuk memakan martabak. Karena kalau ku bawa pulang, Kanaan akan minta banyak. Aku pulang dulu.” Keenan pun keluar. Aku melihat ke bungkus martabak di atas meja, tersisa dua potong bagian tengah. Dan selembar nota yang bertuliskan sesuatu. “Jangan jadikan edisi ini perpisahan antara kamu dan mereka yang membaca zine-mu!” Aku hanya tersenyum mendengar suara motor tua Keenan yang menderu lalu hilang menjauh.
Suatu Hari – Kerisirek
Suatu hari ia berharap kau muncul di muka pintu. Begitu ia buka, kau langsung mendekapnya erat dalam pelukan. Yang kau rasa perih karena semakin erat kau memeluknya semakin terasa kau akan berpisah darinya. Suatu hari ia berharap kau muncul di muka pintu. Begitu ia buka, kau langsung memeluknya tanpa banyak kata. Peluk itu. Debar jantung itu. Hela nafas itu. Persentuhan kulit itu. Semuanya menjadi perantara bagi kata yang tak bisa terucap. Semua itu menjadi sebuah jawaban dari segala pertanyaan. Semua itu menjadi segala perasaan yang tak pernah sempat terungkap. Suatu hari ia berharap kau muncul di muka pintu. Selepas kau memeluknya ia mengerti itu adalah jawaban yang selama ini kau simpan. Ia mengerti itulah rasa yang tak pernah bisa kau ungkap. Ia mengerti bahwa rasamu dan rasanya berada dalam frekuensi yang sama. Ia juga mengerti meski segala rasanya terjawab ada jurang pemisah yang tak bisa diarungi. Ia mengerti itulah jawaban akan cinta dan sebuah perpisahan. Suatu hari ia berharap kau muncul di muka pintu. Tanpa banyak kata ia pun akan kembali memelukmu setelah perlahan kau melepas dekapanmu. Ia berusaha menahanmu untuk tak pergi menjauh. Ia berusaha meyakinkanmu dalam dekap hangat tubuhnya. Suatu hari ia berharap kau muncul di muka pintu. Ia perlahan melepaskanmu karena cintanya yang begitu tulus yang tak ingin membebatmu erat dan melukai hatimu yang paling ia kasihi. Ia melepaskan peluk itu dan menatapmu lekat. Ia menyadari kau adalah jawaban sekaligus perpisahan. Ia runtuh sekaligus utuh. Ia tergenapi dalam segala keganjilan kenyataan. Suatu hari ia berharap kau muncul di muka pintu. Agar ia bisa membiarkan kau pergi menjauh tanpa menoleh lagi. Ia memaku kakinya tak mengejarmu. Ia mengamati punggungmu yang menjauh. Ia tetap di situ melepasmu. Suatu hari ia berharap ia tak punya harapan apapun tentangmu. Karena kamu tidak akan pernah muncul di muka pintu untuk memberikan jawaban sekaligus perpisahan padanya. Kau tak pernah berani muncul dan membiarkan ia terus menunggu.
The Letting Go kerisirek
Kuning - Kerisirek
Ia adalah pagi. Tepat pukul 05.35, ketika kamu masih menggeliat di tempat tidur dan selimut tua yang sudah ada sebelum kau lahir. Tepat ketika kabut tipis masih tersisa sebelum tersapu oleh asap kendaraan. Ia adalah kuning. Ia adalah siang. Tepat pukul 12.00, ketika perutmu mulai keroncongan kelaparan namun kau terjebak di macetnya perjalanan. Tepat ketika kulitmu seperti ditusuk jarum saking terik sinar matahari. Ia adalah kuning. Ia adalah sore. Tepat pukul 17.25, ketika aktivitasmu mulai berkurang dan jiwamu tak lagi seperti diburu. Tepat ketika linu di pinggang dan punggung semakin terasa bersama sinar matahari yang meredup menuju peraduannya. Ia adalah kuning. Ia adalah malam.Tepat pukul 18.12, ketika lampu-lampu taman mulai dinyalakan dan diiringi oleh klakson kendaraan yang tak sabar menuju pulang. Tepat ketika hela nafasmu tak lagi panjang kelelahan. Ia adalah kuning. Ia adalah kamu. Yang tepat duduk di hadapanku tengah sibuk mengecek ponselmu yang sedang rusak. Sesekali kita berbicara dan bertukar kata di antara serbuan suara kendaraan sore itu. Ia adalah kamu dan kamu adalah kuning.
KAU - Kerisirek
(1) Kau yang sering kuanggap tiada Karena tak dapat tertangkap mata Tak bisa dirasa oleh indera Namun kau juga kuanggap ada Dalam tiap suka dan duka Dalam tiap tangis dan tawa (2) Kau yang (katanya) maha kuasa Namun terlalu sering dibela Tidakkah Kau ingin menunjukan kuasa? Biar mereka tak saling sela (3) Maaf kali ini Kau tak ku bela. Aku memilih membela manusia. Tak perlu janji surga, jika ku harus buat neraka bagi sesama. (4) Apakah Kau mendengar jika tiap rapal asa-ku tak ku tutup dengan amin? (5) Sore tadi aku menemukanMu. Di antara deretan kendaraan mengular dalam kemacetan. Bersama peluh keringat karena sisa terik matahari. Kau tersenyum ramah bersama senja. Tak berkata apa-apa, hanya senyum saja. Kau selalu begitu. Ataukah aku yang tak mendengar bisik rinduMu yang berhembus bersama angin. Dalam perjalanan pulang malamnya, aku kembali menemukanMu dalam deretan tiang listrik di kanan kiri jalan. Dalam rangkaian kata yang kususun sedemikian rupa. Dalam sajak ragu bahkan tentangMu juga. Kau tak pernah jauh meski seringkali aku berjarak.