4 minute read

When Nietzsche Wept: Ikhtisar TangisanFilsuf

Resensi Film

WHEN NIETZSCHE WEPT

Advertisement

IKHTISAR TANGISAN FILSUF

Memang sedikit ironi jika ternyata seorang Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) yang termasyhur atas keberaniannya ini malah putus asa dan depresi karena cintanya yang ditolak. Namun sedikitnya dari film When Nietzsche Wept (2007) garapan Pinchas Perry ini kita bisa mengambil wahyu banal bahwasanya Nietzsche –si pencipta Thus Spake Zarathustra-ini masih seorang manusia dengan sifat kemanusiawiannnya. Masih bisa meneteskan air mata karena kesepian dan meneguhkan persepsi kita jika Eksistensialisme bukan cuma persoalan bunuh diri yang seksi.

Yang terlintas ketika mendengar nama Nietzsche tentu adalah sabda nya yang terkenal nan kontroversial: “Tuhan sudah mati, dan kita semua yang membunuhnya!”. Dalam film ini pun cuplikan Nietzsche (Arman Assante) dengan kata-kata demikian sempat ditampilkan, saat itu Nietzsche sedang memberi kuliah dihadapan sedikit para mahasiswanya, disana terlihat ada seorang pendeta dan biarawati dan seketika mereka langsung mengerenyitkan dahi lantas keluar kelas sambil menutup telinga dan membanting pintu. Namun ada seorang perempuan yang malah terkagum-

114

kagum dengan cara bertutur Nietzsche tentang konsepsinya soal Tuhan, dan disinilah awal mula cerita cintanya yang tragis itu terjadi.

Singkat cerita tersebutlah nama Lou Salome (Katheryn Winnick) seorang pemikir perempuan yang cerdas nan rupawan. Ketika Nietzsche usai memberi kelas, wanita itu menghampiri dan menyapa. Dari pertemuan itu agaknya mereka berdua saling menaruh perhatian. Mereka pun menjalin kisah asmara, namun nahas penolakan pun terjadi ketika Nietzsche melamar Lou.

Setelah penolakan itu keanehan sikap Nietzsche selalu ditunjukan dengan surat-suratnya yang dibuat untuk Lou. Sejumlah suratnya selalu bernada benci dan caci-maki. Disini kita dapat temukan reaksi formasi dan rasionalisasi yang dilakukan Nietzsche. Dalam hal ini sebetulnya Nietzsche mencintai Lou Salome, namun apa yang dia lakukan adalah kebalikannya, ia men-dekontruksi persepsi yang sebenarnya. Sengaja menciptakan konflik untuk mengubur kenyataan. Lalu rasionalisasi yang memaksakan pikiran jika penolakan Lou itu membuatnya berpikir bebas, tidak memiliki tanggung jawab dan bebas melakukan apapun tanpa hubungan. Namun akhirnya hal yang dilakukannya ini malah merupakan kiamat kecil baginya. Migrain berkepanjangan –atas obsesinya kepada Lou-dan depresi pun bertutur.

Darisini Lou Salome merasa bersalah dan ia pun melakukan segala upaya untuk menyembuhkan Nietzsche. Salah satunya adalah menemui Dr. Josef Breuer (Ben Cross) seorang psikolog terkenal yang juga guru Sigmund Freud (Jamie Elman). Lobi Lou pun dilancarkan sampai akhirnya Breuer setuju untuk mengobati Nietszche dengan catatan Lou tidak terlibat dan merahasiakan permintaanya.

Nietzsche yang keras kepala itu selalu membantah diagnosa penyakit yang dikatakan Breuer. Sekian waktu berjalan Breuer melihat keunikan dari jiwa sang filsuf dan telah mempelajari sejumlah buku Nietzsche. Akhirnya ia pun melakukan taktik lain agar si pasien lebih terbuka yaitu membuat perjanjian selama satu bulan. Breuer yang sudah berkeluarga 115

menceritakan semua rahasianya kepada Nietzsche dengan harapan Nietzsche pun melakukan hal yang sama kepadanya. Termasuk cerita Breuer yang paling personal tentang hubungan cintanya dengan mantan pasien bernama Bertha yang memiliki kelainan psikis yaitu perilaku histeria.

Singkat cerita mereka pun saling terbuka. Breur mengobati Nietzsche dengan ilmu kedokterannya dan Nietzsche meredakan kekhawatiran hidup Breuer dengan filsafat. Namun disini Nietzsche tetap enggan bercerita jika sakit kepala dan semua derita nya diakibatkan oleh obsesinya terhadap Lou. Disini malah seperti Breuer yang menjadi pasien. Secara tidak langsung Nietzsche membantu menyempurnakan peneliatian Breuer tentang Psikoanalisis yang saat itu sedang ia pelajari bersama Sigmund Freud.

Sejumlah plot surealis pun dihadirkan ketika cerita merujuk pada kegelisahan Breuer. Mimpi pertemuannya dengan Bertha, tentang kecenderungannya untuk bunuh diri, kematian, putus asa, kosong dan hal lainnya yang beririsan dengan persoalan eksistensi.

Jika kita lihat lebih jauh, sebetulnya judul dan isi film sedikit melenceng. Hampir 70% sepanjang film menceritakan tentang penemuan-penemuan Josef Breuer dan Sigmund Freud tentang Psikoanalisis, termasuk kesembuhan depresi Breur dengan metode hipnotis melalui sugesti yang dilakukan oleh Freud. Film ini sebetulnya bukan tentang kebesaran pemikiran-pemikiran Nietzsche. Padahal sudah jelas judulnya pun “When –NIETZSCHE- Wept”, seolah-olah si pembuat film hanya meminjam nama besar Nietzsche saja untuk kelancaran pasar? Wallahualam.

Jika ‘Wept’ diartikan menangis toh Breuer pun menangis, dalam film ini Nietzsche hanya menangis sekali, itupun di ujung film setelah ia berani terbuka menceritakan Lou Salome yang selama ini menjadi obsesinya. Tangisannya itu bukan karena kesedihan namun karena kelagaan atau kebebasan dengan apa yang sudah ia bicarakan. Namun tangisan Nietzsche betul-betul pecah ketika Dr. Josef Beuer menawarkan persahabatan kepada Nietzsche yang ia anggap hanya Breuer seorang yang menawarkan

116

hal itu. Tentu ia menyambutnya dengan senang. Disini kita bisa membayangkan lagi bagaimana kesepiannya seorang Nietzsche yang nampak kokoh, cerdas dan bohemian itu. Namun sepertinya bukan hanya Nietzsche seorang yang merasakan sedih atas kesepiannya, saya rasa semua filsuf atau siapapun mereka yang selalu gelisah dengan alam pikirannya pernah mengalami hal demikian.

Secara keseluruhan film ini cukup menarik meskipun hanya menceritakan sepenggal kehidupan Nietzsche. Di lain sisi kita bisa mengetahui tentang sejarah pelbagai kemunculan pemikiran-pemikiran klasik yang saat ini masih populer, seperti Eksistensialisme dan Psikoanalisis. Yang tak kalah menarik adalah melihat rekaan tampang Nietzsche yang berantakan, mata berkantung dan kumis tebal yang rajin disisir. Sekali lagi, Nietzsche tetaplah seorang manusia yang manusiawi. meskipun gagasan-gagasannya cenderung merobohkan ilmu langit-an.

117

This article is from: