4 minute read
Gonjang-GanjingRuu Permusikan
GONJANG-GANJING RUU PERMUSIKAN
Awal tahun 2019, riuh rendah protes rancangan RUU Permusikan terdengar santer di lini media sosial. Tak luput pelbagai media online maupun elektonik dan cetak pun turut mengulas dan mengabarkan. Pelaku industri, musisi dan masyarakat umum pun terlibat kedalam gelombang dialektika, yang nyaris mempertanyakan hal yang sama. Bagaimana masa depan industri musik Indonesia jika RUU Permusikan ini disahkan?
Advertisement
RUU Permusikan memang bukan suatu hal yang baru, mengingat sejak tahun 2017 undang-undang ini sudah diagendakan. Cikal bakal dari RUU Permusikan pun bisa kita lihat dari E-Book yang dirilis oleh Bekraf tahun 2015. Disana cukup dijelaskan bagaimana membangun dan mengembangkan ekosistem musik juga mengelola industrinya di Indonesia. Sejumlah mekanisme dan standarisasi tentu dibahas disana.
Namun hal yang jelas menyangkut agenda RUU ini dirancang adalah tahun 2017. Anang Hermansyah yang saat itu duduk di parlemen di komisi X dari fraksi PAN mengusulkan RUU Permusikan, nama awal yang diusulkannya pun adalah RUU Tata Kelola Industri Musik bukan ‘Permusikan’. Entah 118
bagaimana mekanisme yang berjalan di parlemen, hingga akhirnya Naskah Akademik pun rampung dan diserahkan ke tim penyusun oleh Anang Hermansyah yang kemudian lahir lah RUU Permusikan –yang menyulut protesitu.
Para pelaku musik tanah air sungguh menyayangkan dengan tidak adanya transparansi ketika RUU itu dirancang, padahal segala bentuk informasi yang bergulir di DPR publik pun boleh mengetahuinya, hal itupun sudah jelas dan ada undang-undangnya.
Masyarakat umum baru mengetahui RUU Permusikan pada awal Februari 2019, itupun karena ada pemberitaan dari Tirto.id seputar pertemuan beberapa musisi dengan komisi X di DPR.
Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan
Di awal kemunculannya, setidaknya sudah ada 252 musisi yang menyatakan sikap untuk menolak RUU Permusikan yang janggal nan tidak jelas arah tujuannya ini –udah mah ga jelas sudah masuk Program Leslasi Nasional pula. Mereka guyub satu suara dalam satu ruang bernama KNTL RUU Permusikan (Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan).
Untuk menangkap aspirasi musisi yang lebih luas koalisi ini membuat petisi dalam platform Change.org, sampai saat ini -pukul 23.31. 17/02/2019-petisi yang terkumpul sudah sampai 295.694 tanda tangan.
Semangat penolakan yang bermula di Jakarta ini menyulut ke berbagai daerah di Indonesia. Tiap daerah secara berkala turut membuka ruang diskusi menyoal kejanggalan yang ada dalam RUU Permusikan. Hampir dari setiap daerah bernada sama yaitu RUU ini harus ditolak karena tidak mampu mengokomodir kepentingan musisi.
Untuk lebih jelas dan lengkapnya silahkan kunjungi www.tolakruupermusikan.com.
119
Gelombang Penolakan di Garut
Pada tanggal 8 Februari 2019, para pelaku musik di kota Garut turut merespon polemik menyoal RUU Permusikan. Mereka menjadi bagian dari gelombang besar penolakan RUU Permusikan.
Secara kolektif acara ini terselenggara dan diinisiasi oleh mereka yang tergerak untuk turut mersepon polemik yang terjadi. Nama acara tersebut ‘Kaset Kusut: RUU Permusikan (?)’.
Acara ini menghadirkan 4 narasumber dengan latar belakang yang berbeda. Diantaranya adalah Abah Erza (Manager VoB), Uus Zihad (Musisi), Usep Matrix (PAPPPRI) dan ….. (Disbudpar). Mereka dihadirkan untuk menelisik dan mengukur seberapa jauh urgensi RUU Permusikan bagi musisi dan pelaku musik lainya yang berada di daerah khusunya di Garut, tentu dengan sudut pandang masing-masing..
Peserta diskusi yang datang sekitar 100 orang dari ranah dan elemen musik yang berbeda dengan kesepakatan bulat jika RUU Permusikan harus di tolak dengan point sebagai berikut:
Tumpang tindih UU satu dengan UU lain yang termaktub dalam RUU Permusikan akan menjadi masalah dikemudian hari (UU Hak Cipta, UU Pemajuan Kebudayaan, dll)
Musisi yang bergerak secara komunal dan independen akan sangat dirugikan bahkan direpresi jika RUU Permusikan disahkan.. Mengingat pasal-pasal yang ada tidak berpihak kepada musisi independen (Pasal Karet, Sertifikasi, Pidana, dll)
RUU Permusikan berwatak industri besar dan hanya memihak kepada mereka (musisi dan pelaku industri) yang sudah mapan secara nama dan finansial.
RUU Permusikan sudah cacat sejak dari awal penyusunan Naskah Akademik.
120
Tidak menunjukan urgensi dan substansi dari RUU Permusikan ini dirancang.
Bilapun direvisi maka harus merevisi semua pasal. Menyusun ulang Naskah Akademik yang lebih komprehensif dan mampu menjawab tantangan industri musik Indonesia yang beragam tanpa melupakan musisi yang bergerak di arus pinggir
Jika disahkan pemerintah akan semakin ketat untuk mengontrol warga negara (tidak hanya musisi) dan tentu hal ini mengancam keberlangsungan Demokrasi di Indonesia.
Dengan demikian maka musisi dan pelaku musik di Garut bulat sepakat menyatakan sikap untuk menolak RUU Permusikan.
Konferensi Meja Potlot
Pada tanggal 12 Februari 2019, polemik yang terjadi selama beberapa pekan ini bermuara di Jl.Potlot, Jakarta dan menjadi babak baru yaitu Membatalkan RUU Permusikan. Pihak Slank menginisiatif pertemuan antar kedua kelompok yang selama ini cukup bersebrangan antara yang pro dan kontra RUU Permusikan.
Dari pihak KNTL RUU Permusikan diwakili oleh Wendi Putranto, Edy Khemod, Endah Widiastuti, Ricky Siahaan, Ramondo Gascaro, Che Cupumanik, Nadia Yustina, M. Asranur dan Soleh Solihun. Pihak Slank pun nampak hadir yaitu Bim-Bim, Kaka, Ridho Hafiedz, Ivanka dan sang manager Denny BDN. Selain itu Anang Hermansyah pun hadir dan Glenn Fredly yang mewakili Kami Musik Indonesia.
Dalam pertemuan yang tertutup itu menghasilkan 3 point yaitu:
Mendesak DPR agar dengan segera melakukan pembatalan RUU Permusikan beserta seluruh proses yang tengah dijalankan di parleen pada saat ini, sembari menunggu dilaksanakannya Musyawarah Musik Indonesia.Menggelar Musyawarah Musik Indonesia yang dihadiri para pemangku kepentingan dari sabang sampai merauke dengan agenda
121
utama di antaranya menyerap aspirasi sekaligus menyepakati atau tidak menyepakati dibentuknya aturan tertulis yang akan mengatur tata kelola industri musik Indonesia.
Melakukan pemetaan ulang permasalahan yang sedang teradi saat ini di industri musik indonesia sebagai salah satu cara untuk mencari solusi terbaiknya.
122
Tentang Penulis
Dicki Lukmana
Lahir di Garut pada tahun 1994. Mulai terlibat dan jatuh cinta pada dunia literasi kala lingkungan kampus kian menjenuhkan. Bersama seorang kawan ia membentuk sebuah komunitas literasi bernama Pustaka Berjalan Garut dan menerbitkan sebuah zine bertajuk Pubertis zine. Sempat aktif diberbagai kegiatan Alam bebas. Menjadi penulis lepas untuk media komunitas kawan-kawan juga bermain musik bersama band bernama Dogmie Crazy. Hingga buku ini disusun, ia masih tercatat sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Garut. Dimasa senjakala mahasiswanya ia khusyuk mengelola webzine Kelakarfibrasi.com, sambil merawat kepercayaan bahwasanya kreativitas dan karya terbaik tidak lahir dari dunia yang baik-baik saja.
123