Ej pidana #1 galih prayoga

Page 1

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyebaran Hasil Cipta Melalui Media Internet Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Oleh: Galih Prayoga, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Rd. Muhammad Ikhsan, SH.,MH dan Arfiana Novera, SH.,M.Hum


Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyebaran Hasil Cipta Melalui Media Internet Menurut UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Oleh: Galih Prayoga, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Rd. Muhammad Ikhsan, SH.,MH dan Arfiana Novera, SH.,M.Hum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi. Fenomena kecepatan perkembangan teknologi informasi ini telah merebak di seluruh belahan dunia. Tidak hanya negara maju saja, namun juga telah memacu perkembangan teknologi informasi pada masyarakat negara berkembang, sehingga teknologi informasi mendapatkan kedudukan yang penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah kepribadian baik masyarakat maupun peradaban manusia secara universal. Perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini sudah menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan peranan bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, serta peradaban manusia, sekaligus menjadi media efektif perbuatan melawan hukum.1 Pada era digital saat ini, manakala setiap ciptaan multimedia baik di bidang seni, sastra, maupun ilmu pengetahuan dapat diekspresikan melalui medium internet yang memunculkan fenomena model perlindungan hak cipta di internet, perlu dilakukan pendekatan hukum untuk pengaturan pemberian perlindungan atas ciptaan-ciptaan yang dipublikasikan dengan menggunakan teknologi digital. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang merupakan hak eksklusif pencipta, penemu, inventor, atau yang menerima hak memegang 1

Ahmad Ramli, Cyber Law Dan HAKI-Dalam sistem Hukum Indonesia, (Bandung; Rafika Aditama), 2004, hlm. 1

Hal | 1


peran penting dengan maksud agar pencipta dapat mengumumkan, mempergunakan, memperperbanyak, melaksanakan atau mengizinkan pihak lain melaksanakan hak ekslusif ini yang mengandung hak-hak ekonomi. Suatu kekayaan intelekual berupa ciptaan di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan yang dilindungi undang-undang yang merupakan hak eksklusif bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan-ciptaan dilindungi sebagai hak cipta menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC 2002). Suatu kenyataan bahwa produk yang dilindungi hak cipta seringkali direproduksi dan didistribusikan secara ilegal. Perbanyakan tanpa hak atas suatu karya intelektual atau dikenal dalam bahasa Inggris dengan istilah “piracy” yang bermakna “the unauthorized and illegal reproduction or distribution of material protected by copyright, patent of trademark law ”. Perbanyakan tanpa hak (piracy) dimaksudkan pada tindakan mereproduksi dan mendistribusikan dengan tanpa hak dan melanggar hukum terhadap barang yang dilindungi oleh hukum hak cipta. Dengan demikian istilah “perbanyakan tanpa hak” dalam lingkup hak cipta adalah memiliki makna sama dengan tindak pidana hak cipta yang dikualifikasikan dalam UUHC 2002 sebagai tindak pidana. Perlindungan hukum atas karya cipta termasuk didalamnya ciptaan multimedia di internet setidaknya meliputi, pertama hak cipta atas isi (content) yang terdapat di media internet yang berupa hasil karya berbentuk informasi, tulisan, karangan, review, program atau bentuk lainnya; kedua, hak cipta atas alamat situs web dan alamat surat elektronik pelanggan jasa internet. Media internet merupakan salah satu bagian dari kemajuan dibidang teknologi informasi. Dengan menggunakan media internet, setiap orang bebas mendapatkan informasi yang diinginkan dengan mudah tanpa terhalang oleh ruang dan waktu. Adanya kemudahan untuk mendapatkan informasi melalui sarana digital seperti internet dapat membuat sebagian masyarakat menggunakan internet untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Internet dipandang sebagai media yang memberikan informasi dengan biaya yang rendah atau ekonomis. Penyebaran informasi tersebut saat ini didistribusikan lewat “Physical format” diantaranya video dan Compact Disk. Hal ini memungkinkan untuk diperbanyak dan atau juga digandakan oleh konsumen dengan tujuan-tujuan tertentu. Dengan sering terjadinya berbagai macam pelanggaran Hak Cipta mengenai pengunduhan hasil cipta secara gratis melalui media internet untuk komersial maupun digunakan untuk pribadi, yang sekarang kemudian pencipta Hal | 2


telah merasakan kerugian yang di derita mereka maka mereka tidak hanya menginginkan perlindungan hukum yang tegas untuk mengatasi pengunduhan secara ilegal tersebut tetapi juga menginginkan pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku penyebaran hasil cipta maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYEBARAN HASIL CIPTA MELALUI MEDIA INTERNET MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah penulisan ini yaitu : 1. Bagaimanakah bentuk tindak pidana yang dikategorikan dalam kejahatan siberterhadap pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) menurut Pasal 32 dan Pasal 34 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ? 2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyebaran hasil cipta melalui media internet menurut Pasal 48 dan Pasal 50 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ? 3. Landasan Teori 1. Teori Perlindungan Hak Cipta Pembahasan mengenai perlindungan hak cipta dapat dilepaskan dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Eddy Damain menyatakan bahwa kelahiran undang-undang ini didorong oleh kecenderungan masyarakat Indonesia untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak kekayaan intelektual. Perlindungan hak cipta dalam lingkup Internasional terlihat dalam beberapa instrumen hukum yang terlahir di penghujung abad ke20 dan awal abad ke-21, yaitu dengan dicapainya kesepakatan kolektif untuk meningkatkan masalah hak kekayaan intelektual kea rah kesepakatan bersama, sebagaimana tercantum dalam Agreement Establising the World Trade Organization (WTO Agreement) yang

Hal | 3


berjudul Agreement on Trade-Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement).2 TRIPs sebagai lampiran WTO Agreement adalah dokumen yang mengikat Indonesia yang telah meratifikasi persetujuan tersebut dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 pada tanggal 24 November 1994, yang dalam perspektif hukum internasional dikatakan bahwa persetujuan internasional yang telah diratifikasi merupakan hukum nasional bagi negara peratifikasi persetujuan itu. Keikutsertaan Indonesia pada persetujuan TRIPs telah melahirkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hak Cipta adalah bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan hak kekayaan intelektual yang pengaturannya terdapat dalam hukum hak kekayaan intelektual, yang membidangi hak-hak yuridis dari karya-karya atau ciptaan-ciptaan hasil olah piker manusia yang bertautan dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi dan moral.3 Para penulis Indonesia dan asing sering menyebut bahwa upaya negara-negara di dunia memperkuat sistem hukum perlindungan hak kekayaan intelektual mendapat bentuknya yang jelas dalam Bern Convention 1971. 4 Penting dicatat bahwa Bern Convention termasuk yang harus dirujuk dalam TRIPs pasca terbitnya Paris Convention 5 . Konvensi Paris dan Konvensi Bern merupakan dua konvensi yang dirujuk dalam TRIPs. Konvensi Bern mengatur cabang kedua dari hak kekayaan intelektual, yaitu hak kekayaan intelektual yang substansinya parallel dengan Konvensi Paris yang intinya melindungi Hak Paten, Merek, Rahasia Dagang, Disain Industri, dan hak lainnya.

2

Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung: Alumni, 2005, hlm. 3-4. 3 Eddy Damian, Op.Cit., hlm. 32. 4 Ibid.,hlm. 44. 5 Konvensi Paris sebenarnya adalah kelanjutan dari Konvensi pertama yang membicarakan perlindungan bagi Inventor yang diselenggarakan di Wina pada tahun 1873. Konvensi inilah yang kemudian diteruskan di Paris di tahun 2883 yang dihadiri sekitar 500 peserta termasuk 11 Negara serta 48 wakil kamar dagang dan industry dan teknik yang berdiam di Paris. Sebuah komisi yang dibentuk dalam Konvensi tersebut menyiapkan rancangan konvensi pada tahun itu juga.Rancangan Konvensi ini dikirimkan ke berbagai negara dan pada tahun 1880 diadakan Konvensi berikutnya di Paris dengan dihadiri wakil 19 negaga.Rancangan Konvensi tersebut diterima dengan beberapa perubahan dan rancangan yang telah diubah ini dikirim kembali ke beberapa negara untuk mendapatkan tanggapan, Ibid. hlm. 29.

Hal | 4


Nico Kansil, mengemukakan beberapa teori tentang perlunya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual6, sebagai berikut: 1. Teori Reward Berdasarkan teori Reward, pengakuan dan penghargaan perlu diberikan oleh masyarakat atas usaha dan keberhasilan seseorang dengan member perlindungan kepada pencipta dan penemu atas karya-karyanya. 2. Teori Recovery Berdasarkan teori Recovery, alasan utama mengapa harus ditegakkan, adalah karena penemu/pencipta perlu diberi kesempatan untuk memperoleh dan meraih kembali apa yang telah dikorbankan atau dikeluarkannya, seperti: waktu, tenaga dan uang. 3. Teori Incentive Berdasarkan teori Incentive, penemu/pencipta memerlukan insentif agar dapat melakukan kegiatannya, dan insenfit tersebut bermanfaat untuk menarik dana dan upaya bagi pelaksanaan dan pengembangan kreativitas; penemuan dan semangan untuk menghasilkan penemuan. 4. Teori Expanded Public Knowledge Berdasarkan teori Expanded Public Knowledge yang dikembangkan untuk bidang paten. Untuk mempromosikan publikasi dari penemuan dalam bentuk dokumen yang secara mudah tersedia untuk umum, maka diberi kesempatan untuk menikmati hak khusus, hak ekslusif yang bersifat sementara 5. Teori Risk Berdasarkan teori Risk, bahwa HKI merupakan hasil dari suatu penelitian yang mengandung risiko, sebab usaha yang bersifat perintisan diperlukan untuk menghasilkan sesuatu yang tidak dengan sendirinya sudah jelas sebelumnya, sehingga banyak diganggu dengan langkah permulaan yang keliru, arah yang salah dan kesimpangsiuran 6. Teori Public Benefit

6

Nico Kansil, “Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI) Dan Perlindungan Di Indonesia� Makalah disampaikan pada Seminar “Perlindungan Dan Penegakan Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual�, Jakarta, 1995, hlm. 7, Ibid.,hlm. 25.

Hal | 5


Berdasarkan teori ini, HKI merupakan alat bagi pengembangan ekonomi. Pengembangan ekonomi merupakan keseluruhan tujuan dibangunnya suatu sistemperlindungan HKI yang efektif. 2. Teori Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh, para penulis-penulis pada umumnya tidak membicarakan konsepsi pertanggungjawaban pidana melainkan membicarakan ukuran-ukuran tentang mampu bertanggung jawab, sehingga dipandang perlu adanya pertanggungjawaban pidana. 7 Roeslan Saleh mengatakan bahwa bertanggungjawab atas suatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu. Pidana itu dapat dikenakan secara sah berarti untuk tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum tertentu dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan itu.8 Sudarto menyatakan bahwa seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. 9 Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.

7

Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran tentang Pertanggung Jawaban Pidana, Cetakan Pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 33. 8 Ibid., hlm. 34 9 Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Badan Penyediaan Bahan-Bahan kuliah FH UNDIP, 1987, hlm. 85

Hal | 6


B. PEMBAHASAN 1. Bentuk Tindak Pidana Kejahatan Siber Terhadap Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual a) Tindak Pidana Yang Berhubungan dengan Gangguan Data Tujuan pengaturan data interference adalah untuk menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan Informasi dan Dokumen Elektronik. 10 Pada dasarnya hanya pihak yang memiliki hak atau kewenangan yang dapat mengambil tindakan yang mempengaruhi kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan Informasi dan Dokumen Elektronik. Pasal 32 UU ITE memberikan perlindungan terhadap data komputer atau program komputer dari penyerangan atau kerusakan sebagaimana diberikan terhadap “barang fisik.11 Setiap data memiliki nilai, baik berupa nilai pribadi, nilai strategis maupun nilai ekonomis yang dapat diperhitungkan atau diukur dengan uang bagi seseorang atau organisasi. 12 Selain itu, data bersifat sensitif; perubahan, penambahan, atau pengurangan data dapat berdampak besar terhadap integritas data. Semakin besar atau tinggi nilai data, semakin penting perlindungan terhadap data. Tujuan perlindungan data adalah untuk menjaga dan melindungi kerahasiaan, keutuhan, dan keteraksenan karena pada prinsipnya hanya orang yang memiliki hak yang dapat mengakses informasi termasuk mengubah, menambah, mengurangi, atau menghilangkan data. Pengertian gangguan dalam satu sistem elektronik dinyatakan dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan, suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik” Unsur “dengan sengaja”, unsur “tanpa hak” dan unsur “melawan hukum” menjadi bagian yang penting dalam ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU ITE. Dalam Memorie Van Toelichting (Mvt) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan criminal Wetboek tahun 1881 (yang menjadi kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia 1915), di jelaskan : “sengaja’’ diartikan : “ dengan 10

Josua Sitompul, Op.Cit., hlm. 232. Bandingkan dengan Pasal 406 KUHP yang mengatur “… dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai, atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain. 11

Hal | 7


sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu.” Sedangkan tanpa hak adalah tidak memiliki hak berdasarkan undang-undang, perjanjian, atau alas hukum lain yang sah. Seseorang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarluaskan hasil cipta melalui media internet dapat dikenakan sanksi pidana. Yang dimaksud dengan “mengubah” menurut KBBI adalah menjadikan lain dari semula yang artinya apabila dikaitkan dengan Pasal 32 ini adalah melakukan modifikasi Informasi atau Dokumen Elektronik asli. Dalam unsur “mengubah” terkandung makna “penambahan” atau “pengurangan”. Unsur “menambah” maksudnya membuat Informasi dan Dokumen Elektronik menjadi lebih banyak dari informasi atau dokumen aslinya atau yang seharusnya. Yang dimaksud dengan “mengurangi” menurut KBBI adalah mengambil (memotong) sebagian yang artinya Dokumen Elektronik menjadi lebih sedikit dari aslinya atau yang seharusnya, baik mengurangi Informasi atau Dokumen Elektronik, atau mengurangi jumlah Informasi atau Dokumen Elektronik. Unsur “melakukan transmisi” maksudnya adalah mengirimkan, memindahkan, atau meneruskan Informasi atau Dokumen Elektronik dari satu pihak atau tempat pihak atau tempat lain. Dalam hal ini Yang dimaksud dengan “memindahkan” adalah menempatkan Informasi dan Dokumen Elektronik dari tempatnya semula ke tempat lain. Unsur memindahkan mempunyai makna yang sama dengan melakukan transmisi. Memindahkan Informasi atau Dokumen Elektronik antar sistem dinyatakan dalam Pasal 32 ayat (2)UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronil Orang lain yang tidak berhak” Dalam pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) terdapat unsur yang sama; pada ayat pertama digunakan unsur “melakukan transmisi” dan “memindahkan” yang dapat sama maknanya dengan unsur “memindahkan atau mentransfer” pada ayat (2). Meskipun demikian, pembentuk undang-undang membedakan penggunaan dan ancamannya. Ayat (1) mencakup adanya gangguan terhadap data dalam satu Sistem Elektronik, sedangkan ayat (2) menekankan gangguan data berupa pemindahan atau transfer dari satu Sistem Elektronik ke sistem lainnya.13 13

Pada ayat (2) terdapat unsur “memindahkan” atau “mentransfer” yang telah diatur pada ayat (1). Frase “…kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak” sebagaimana diatur pada ayat (2) menjadi tidak relevan lagi karena kriminalisasi data interference adalah

Hal | 8


Unsur “memindahkan atau mentransfer” maksudnya menempatkan atau mengirimkan Informasi atau Dokumen Elektronik dari tempatnya semula ke tempa lain: “kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak”. Perpindahan atau transfer tersebut dapat saja mengakibatkan Informasi atau Dokumen Elektronik ada di Sistem Elektronik asal dan Sistem Elektronik yang dituju. Perpindahan atau transfer tersebut tidak harus mengakibatkan Informasi atau Dokumen Elektronik tidak adala lagi di tempatnya semula seperti melakukan “cut” dan “paste”. Perpindahan atau transfer tersebut dapat saja mengakibatkan Informasi atau Dokumen Elektronik ada di Sistem Elektronik asal dan sistem Elektronik yang dituju. b) Tindak Pidana Penyalahgunaan Alat dan Perangkat Untuk Memfasilitasi Perbuatan yang Dilarang Tindak pidana penyalahgunaan alat dan perangkat untuk memfasilitasi perbuatan yang dilarang diatur di dalam Pasal 34 ayat (1)UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: a. Perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33; b. Sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33”. Kriminalisasi terhadap perbuatan yang diatur dalam Pasal 34 UU ITE didasarkan pada fakta bahwa cybercrime dilakukan dengan menggunakan alat dan perangkat teknologi informasi dan komunikasi, dan kriminalisasi terhadap perbuatan yang diatur dalam pasal ini dimaksudkan untuk mengurangi potensi meningkatnya tindak pidana siber dengan meminimalisir sumber tindak pidana, penyalahgunaan alat dan perangkat.14

terhadap tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum. Bahkan seharusnya data interference terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik publik sebagaimana diatur pada ayat (1) diancam dengan pidana yang lebih berat. Josua Sitompul, Op.Cit.,hlm. 239. 14 Explanatory Report Convention on Cybercrime, Article 6.

Hal | 9


Berdasarkan Pasal 34 ayat (1), tindak pidana penyalahgunaan alat dan perangkat untuk memfasilitasi perbuatan yang dilarang adalah dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum, memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan atau memiliki: a. Perangkat keras atau perangkat lunak yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan yang dilarang; b. Sandi, kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan yang dilarang. Penekanan pada ketentuan ayat (1) huruf a adalah niat pelaku dalam memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki adalah untuk memfasilitasi terjadinya perbuatan yang dilarang khususnya dalam hal penyebaran hasil cipta melalui media internet. Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya pasal ini tidak dimaksudkan untuk digunakan terhadap perangkat keras atau perangkat lunak yang umum didapat seperti telepon genggam atau pc komputer. Akan tetapi, apabila perangkat-perangkat tersebut dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat mengerjakan suatu fungsi baru atau fungsi selain yang dimaksudkan pada pembuatan awalnya maka perangkat-perangkat tersebut termaksud dalam kategori ayat (1) huruf a.15 Unsur “memfasilitasi� menekankan adanya keterkaitan yang erat antara perbuatan tersebut (memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki perangkat keras atau perangkat lunak) dan perbuatan yang dilarang. Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) huruf b UU ITE, produksi, penjualan, pengadaan, pengimporan, pendistribusian, penyediaan, atau pemilikan sandi kode akses yang ditujukan untuk memfasilitasi perbuatan yang dilarang khususnya dalam hal penyebaran hasil cipta melalui

15

Pembatasan ini perlu dilakukan mengingat pengaturan yang terlalu sempit atau terlalu luas dapat mempersulit aparat penegak hukum.Pengaturan yang terlalu sempit dapat mempersulit aparat penegak hukum untuk menghadirkan bukti-bukti yang cukup dan relevan.Apabila perangkat keras dan lunak tersebut hanyalah yang secara khusus dirancang atau dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan yang dilarang maka cangkupan perangkat tersebut menjadi terbatas.Perangkat yang dimaksud hanyalah, misalnya alat dan perangkat intersepsi atau alat dan perangkat yang khusus dibuat untuk membuat situs unduhan hasil cipta secara ilegal. Di lain pihak, pengaturan yang terlalu luas membuat pengaturan ini menjadi tidak efektif karena perangkat yang dimaksud mencakup, misalnya komputer, telepon genggam, bahkan USB. Lihat Eksplanotory Report Convention on Crybercrime mengenai pengaturan Misuse of Device yang dikutip oleh Josua Sitompul, Op.Cit., hlm. 245.

Hal | 10


atau tidak melalui media internet juga dapat dipidanakan berdasarkan ketentuan ini. 2. Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Tindak Pidana Hak Cipta Atas Ciptaan Multimedia Tindak pidana atas hak cipta merupakan tindakan-tindakan menyimpang yang menyebabkan terlanggarnya hak moral dan ekonomi atas suatu karya cipta. Perkembangan teknologi informasi dapat menghasilkan beberapa modus yang memungkinkan terlanggarnya suatu hak cipta yakni berupa tindakan browsing, posting, publication, webcasting, linking, and framing, serta peer to peer or file sharing. Perilaku penyedia layanan, penyedia isi, dan pengguna akhir atau suatu media digital internet sebenarnya merupakan tindakan yang kerap kali dilakukan dalam dunia maya dan bukan suatu pelanggaran. Tindakan-tindakan tersebut dapat menjadi sarana terlanggarnya hak moral dan ekonomi karya berhak cipta di dunia digital. Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana hak cipta khususnya terhadap produk multimedia, berupa perbuatan mempublikasikan, memperbanyak dan mendistribusikan karya cipta hak cipta dalam dunia digital tanpa seijin pencipta dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yakni16: a. Pelaku melakukan Tindak Pidana Hak Cipta Atas Ciptaan Multimedia Dalam Dunia Teknologi Digital (Internet) 1) Pelaku sebagai Pengguna Akhir Pelaku melakukan interaksi dengan dunia digital internet dengan melakukan akses “browsing and catching� yang mencakup pada kegiatan pengunduhan (download) informasi yang berisi karya berhak cipta (misalnya suatu produk multimedia berhak cipta) kemudian dimasukan ke dalam Random Acces Memory17 (RAM) komputer. Hukum di Indonesia mengatur tentang pelaku sebagai pengguna akhir dalam penjelasan diatas termasuk ke dalam Pasal 32 ayat (1) UU ITE yang diancam dengan sanksi hukuman pidana Pasal 48 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: 16

Widyo Pramono, Op.Cit. hlm. 243. RAM ( Random Acces Memory ) adalah pada dasarnya merupakan salah satu jenis piranti penyimpanan data di dalam komputer berfungsi menyimpan berbagai data dan instruksi program dan RAM merupakan piranti penyimpanan sementara, data akan hilang bila listrik mati. Pcinfocom, http://pcinfocom.blogspot.com/2011/11/ram-random-acces-memory.html, diakses pada hari Jum’at Tanggal 28 Juni 2013 pukul 19.30 WIB. 17

Hal | 11


“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).” 2) Pelaku sebagai Penyedia Isi Pelaku sebagai Penyedia Isi (Contant Providers) berupa menempatkan (Posting), mempublikasikan (Publication), dan penyiaran langsung (Webcasting) ke dalam dunia internet atas karya-karya yang dilindungi hak cipta. Tindakan tersebut merupakan otoritas yang dimiliki pemegang hak cipta. Oleh karena itu, pengaturan tentang cara penempatan, publikasi, dan penyiaran langsung karya cipta di dunia digital, perlu pengaturan yang jelas dan tegas. Hukum di Indonesia mengatur tentang pelaku sebagai penyedia isi dalam penjelasan diatas termasuk ke dalam Pasal 32 ayat (2) UU ITE yang diancam dengan sanksi hukuman pidana Pasal 48 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)” 3) Pelaku sebagai Penyedia Jasa Pelaku sebagai penyedia jasa online dengan menetapkan site “cermin” pada miliknya, yang memperbanyak isi dari orisinal site, sehingga memperlebar halaman yang di akses dan memperpendek waktu akses yang dialami pengguna internet. Dalam hal ini pelaku juga menyediakan situs unduhan hasil cipta yang tanpa ijin dari pencipta. Hukum di Indonesia mengatur tentang pelaku sebagai penyedia jasa dalam penjelasan diatas termasuk ke dalam Pasal 34 ayat (1) UU ITE yang diancam dengan sanksi hukuman pidana Pasal 50 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)” b. Pelaku Melakukan Tindak Pidana Hak Cipta Atas Ciptaan Multimedia Melalui Internet Dengan Menggunakan Sarana Teknologi Digital. Seorang pengakses internet dianggap oleh kebanyakan para ahli telah melanggar hak cipta jika ia men-download isi dari situs yang dibukanya dan kemudian menyimpannya ke dalam hard disc komputernya. Apalagi dengan Hal | 12


dikuasainya materi atau informasi tersebut kemudian mengubah bentuknya dari karya digital ke bentuk lain yang dapat dilihat dan kemudian memperbanyak dan mendistribusikan dengan motif komersial tentulah dapat disepakati bahwa tindakan tersebut merupakan tindak pidana hak cipta. Ilustrasi dimaksud menyatakan bahwa perbanyakan karya cipta secara tidak sah, misalnya tindakan mengkopi suatu software di internet, sesungguhnya merupakan bentuk aktifitas manusia yang menggunakan internet sebagai media, sekaligus jalur distribusi bagi produk software (bajakan). Ilustrasi kasus lain, seseorang mengkopi software di internet, kemudian disimpan dalam perangkat teknologi digital, misalnya sebuah Compact Disc (CD)atau Video Compact Disc (VCD). Hasil kopian tersebut kemudian digandakan dan didistribusikan dengan tujuan komersial. Ilustrasi ini menggambarkan tindak pidana hak cipta diluar dunia digital, tetapi menggunakan sarana digital. Terkait hal ini bias ditegaskan bahwa prinsip tradisional hak cipta dapat mengjangkau tindak pidana hak cipta yang berasal dari jaringan internet. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyebaran hasil cipta melalui media internet diatur dalam Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dikarenakan berlakunya asas lex specialis pada Undang-undang Hak Cipta meskipun sanksi pidana penjara paling lama diatur di dalam Pasal 48 UU ITE yaitu 9 (sembilan) tahun. Pasal 72 UUHC berbunyi18: 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

18

Indonesia, Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, Pasal 72.

Hal | 13


C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan data yang penulis dapatkan dan telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan: 1. Bentuk tindak pidana kejahatan siber terhadap pelanggaran hak kekayaan intelektual salah satunya adalah tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan data. Tujuan pengaturan gangguan data adalah untuk menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan Informasi dan Dokumen. Dalam gangguan data tersebut, pelaku penyebar hasil cipta sering melanggar hak cipta atas karya digital dengan cara mengubah, mengurangi, melakukan transmisi, dan memindahkan suatu karya digital melalui atau tanpa melalui media internet. Pengaturan mengenai gangguan data telah diatur di dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.Kriminalisasi terhadap pelanggaran hak cipta di internet diatur dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang didasarkan pada fakta bahwa penyebaran hasil cipta dilakukan dengan menggunakan alat dan perangkat teknologi informasi dan komunikasi 2. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyebaran hasil cipta melalui media internet berupa mempublikasikan, memperbanyak dan mendistribusikan karya cipta berhak cipta. Pelaku tindak pidana hak cipta di internet digolongkan menjadi tiga yaitu pelaku sebagai pengguna akhir, pelaku sebagai penyedia isi, pelaku sebagai penyedia jasa. Pertanggungjawaban pidana diatur di dalam Pasal 48 ayat (1) dan (2) UU ITE. Tidak dianggapnya sebagai suatu tindak pidana hak cipta jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian sistem elektronik, untuk perlindungan sistem elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum. 2. Saran 1. Perlu sosialisasi intensif agar terdapat pemahaman yang terkait dengan pertimbangan ekonomi hak cipta, sifat subsidiaritas serta permasalahan yurisdiksi hukum pada dunia teknologi digital atas ciptaan multimedia dengan menggunakan sarana teknologi digital. 2. Perlu direvisi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, khususnya pengaturan tentang pertanggungjawaban pidana hak cipta pada dunia teknologi dengan menggunakan sarana Hal | 14


teknologi digital dengan mendasarkan strategi 3 (tiga) pilar yang mengatur sistem hak cipta di dunia digital, yaitu: a. Penyempurnaan infrastruktur penegakkan hukum hak cipta; b. Pemahaman budaya menghargai ciptaan-ciptaan pencipta yang dilindungi hukum hak cipta, yaitu dengan memahami ciptaanciptaan yang tersedia di internet bukan berarti bebas untuk semua; c. Kerja sama antar para instansi pemerintah negara untuk penegakkan hukum HKI (termasuk hak cipta) yang terkoordinir dengan baik.

Hal | 15


DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Damain,Eddy. 2006. Hukum Hak Cipta. Bandung: Alumni. Pramono,Widyo. 2012. P ertanggung Jawaban Pidana Korporasi Hak Cipta. Bandung: Alumni. Purba, Achmad Zen Umar. 2005. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung: Alumni. Ramli, Ahmad. 2004. Cyber Law Dan HAKI-Dalam sistem Hukum Indonesia. Bandung: Rafika. Saleh, Roeslan Pikiran-pikiran tentang Pertanggung Jawaban Pidana, Cetakan Pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 33. Sitompul, Josua. 2012. Cybercrimes, Cyberlaw Tinjauan aspek hukum pidana. Jakarta: Tatanusa. Sudarto. 1997. Hukum Pidana I. Semarang: Badan Penyediaan Bahan-Bahan kuliah FH UNDIP.

Hal | 16


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.