Bidang Hukum Tata Negara Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadah dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia
Oleh: Harist Afdillah, SH Lulus Tanggal 14 September 2013 di Bawah Bimbingan Dr. H. Abdullah Gofar, SH., MH dan Suci Flambonita, SH., M.Hum
Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadah dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia Oleh: Harist Afdillah, SH Lulus Tanggal 14 September 2013 di Bawah Bimbingan Dr. H. Abdullah Gofar, SH., MH dan Suci Flambonita, SH., M.Hum
Abstrak: Jaminan terhadap hak atas kebebasan beragama dan beribadah merupakan amanat Undang–Undang Dasar 1945 dan harus diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang–undangan. Pengaturan terhadap jaminan hak atas kebebasan beragama dan beribadah sangat penting, terlebih lagi Indonesia merupakan negara yang mengakui beberapa agama yang dianut untuk hidup dan berkembang dalam negara Republik Indonesia. Pengaturan dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh UUD 1945 terkait hak atas kebebasan beragama dan beribadah selain terjamin dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 serta dalam Pasal 28 dan 29 UUD 1945, juga diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Jaminan atas kebebasan beragama dan beribadah selanjutnya diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang didasari oleh TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Pandangan Hidup Bangsa Indonesia tentang HAM. Pengaturan dalam menjalankan agama di Indonesia diatur antara lain dalam Perpres Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama yang sudah di undangkan dengan UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai UU.. Banyaknya agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia menciptakan kemajemukan yang menyebabkan pemahaman dan pengaturan tentang hal tersebut merupakan keharusan, sehingga potensi konflik dalam masyarakat dapat diminimalisir. Keyword : Hak atas Kebebasan Beragama dan Beribadah dan Pencegahan Penyalagunaan dan/ atau Penodaan Agama.
1. Latar Belakang Agama menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa dsb) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. 1 Kebebasan beragama merupakan salah satu hak azasi manusia sebagai sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian kebebasan beragama berarti bebas untuk memilih agama sesuai dengan hati nurani dan tidak ada paksaan dari 1
Poerwadarma, Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta : Balai Pustaka), 2007 hlm 7
Hal | 1
pihak lain. Jadi dalam hal agama adalah urusan pribadi yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Islam memperbolehkan perbedaan agama, karena merupakan urusan individu dan Tuhan. Pada saat memilih agama maka akan terikat dengan norma dan kepercayaan agamanya manusia bebas memilih dan berbuat tetapi aturan Tuhan tetap berlaku.2 Jaminan terhadap hak atas kebebasan beragama dan beribadah merupakan amanat Undang–Undang Dasar 1945 dan harus diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang–undangan. Pengaturan terhadap jaminan hak atas kebebasan beragama dan beribadah sangat penting, terlebih lagi Indonesia merupakan negara yang mengakui beberapa agama yang dianut untuk hidup dan berkembang dalam negara Republik Indonesia. Pengaturan dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh UUD 1945 terkait hak atas kebebasan beragama dan beribadah selain terjamin dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 serta dalam Pasal 28 dan 29 UUD 1945, juga diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Jaminan atas kebebasan beragama dan beribadah selanjutnya diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang didasari oleh TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Pandangan Hidup Bangsa Indonesia tentang HAM. Pasal 22 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM mengatur tentang hak atas kebebasan beragama dan beribadah sebagai berikut:3 (1)Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu. (2)Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu. Peran negara juga dapat dilihat dalam Pasal 18 ayat (3) International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang menentukan adanya peranan negara dalam menjalankan agama oleh seseorang, karena dalam ketentuan tersebut diatur bahwa kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.4 Sebagai substansi ICCPR sebenarnya telah diadopsi dalam Pasal 28 UUD yang telah diamandemen dan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang 2
4
Shalahudin Hamid, Hak Asasi Manusia (Dalam Perspektif Islam). (Jakarta : Amissco), 2000. hlm 119 3 Republik Indonesia,Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Ham Asasi Manusia, UU Nomor 30, LN No. 165 , TLN No. 3886, Tahun 1999, pasal. 22 ayat (1) dan (2). Lihat Pasal 18 ayat (3) ICCPR.
Hal | 2
terkait masalah tentang HAM, yang diantaranya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Dengan demikian Indonesia belum Meratifikasi ICCPR, namun Indonesia memiliki ketentuan-ketentuan yang selaras, hanya saja dalam realitas apa yang indah dalam kata-kata belum dirasakan oleh masyarakat. Harus diakui pada masa-masa Indonesia diperintah secara kurang demokratis, ratifikasi ICCPR merupakan hal penting dalam mendorong dan memaksa penyelenggara negara untuk menghargai HAM dan meminimalkan pelanggaran.5 Pengaturan dalam menjalankan agama di Indonesia diatur antara lain dalam Perpres Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama yang sudah di undangkan dengan UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai UU. Pengaturan mengenai sanksi pidana terhadap penodaan yang diatur dalam KUHP, yaitu Pasal 156a yang tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) akan tetapi berasal dari Pasal 4 Perpres 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalagunaan dan/ atau Penodaan Agama, yang memerintakan agar pasal ini dimasukan dalam ketentuan KUHP.6 Berbeda dengan Negara Hukum Pancasila dimana ciri-cirinya menurut Muhammad Tahir Azhary 7 adalah adanya hubungan yang erat antara agama dengan negara, maka di Negara Belanda yang menggunakan konsep Negara Hukum Rechtsstaat yang salah satu ciri-cirinya adalah pemisahaan antara agama dan negara secara mutlak, sehingga dalam WvS tidak terdapat ketentuan tentang penodaan agama. Banyaknya agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia menciptakan kemajemukan yang menyebabkan pemahaman dan pengaturan tentang hal tersebut merupakan keharusan, sehingga potensi konflik dalam masyarakat dapat diminimalisir. Dalam membahas mengenai “Perlindungan atas Hak Kebebasan Beragama dan Beribadah dalam Sistem Katatanegaraan�,. Dikemukakan bagaimana perlindungan terhadap kebebasan beragama di 5
www. Unisosdem.Org Konsekuensi Meratifikasi ICCPR, Diakses 1 april 2013 6 www.kemeng.go.id/file/, Undang-Undang tentang Pencegahan Penyalagunaan dan/atau Penodaan Agama, pasal 4. 7 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya, pada periode Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 74. Buku Ini berasal dari desertasi beliau yang dipertahankan di hadapan sidang terbuka Senat Guru Besar Universitas Indonesia, 19 Maret 1991.
Hal | 3
Indonesia dan juga mengetahui sebab-sebab konflik yang berkembang yang mengacu terhadap Undang-Undang serta bagaimana para masyarakat menyikapi perbedaan yang terjadi dalam kebebasan beragama. Penjaminan hak asasi manusia melalui Undang-Undang Dasar 1945 memberikan dua makna, Pertama Bahwa Konstitusi Indonesia telah memuat ciri-ciri konstitusi modern dan Kedua merupakan tujuan negara sebagai negara hukum (Rechtstaat). Penjaminan tersebut seharusnya menjadi dasar perlindungan bagi kebebasan beragama yang merupakan salah satu hak asasi manusia. Namun, kenyataannya pelanggaran terhadap kebebasan beragama terus meningkat baik yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun pemerintah.8 Selain merupakan mandat Konstitusional, Implementasi jaminan hak kebebasan beragama dan beribadah juga merupakan konsekuensi dari tindakan politik negara melakukan ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik pada tahun 2005 dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.12 tahun 2005. Kedua mandat Konstitusional dan mandat Legal diatas, seluruh paradigma nasional Indonesia yang tertuang dalam berbagai dokumen hasil konsensus kebangsaan Indonesia menegaskan bahwa pluralitas merupakan fakta sosiologis yang harus dijunjung tinggi, dihormati, dan terus dipertahankan. Di Indonesia agama Islam merupakan agama mayoritas penduduk, demikian Kristen, Katholik Hindu, Budha dan Kong Fu Cu (Confusius). Kecuali mendapat jaminan seperti diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan. Juga terdapat di Penjelasan Umum dari Undang-Undang PNPS Nomor 1 tahun 1965, selanjutnya dalam penjelasan dinyatakan; “Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkan ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.9 Dalam penjelasan di atas dapat ditemukan apa yang disebut “badan/aliran kebatinan”, sedangkan “aliran kepercayaan” jaminan hukumnya dapat ditemukan juga dalam TAP.MPR.Nomor II Tahun 1978 GBHN hasil Sidang Umum MPR bulan Maret 1978 dan landasan hukum yang dipakai oleh Aliran kebatinan sampai sekarang adalah pasal 29 UUD 1945 karena pada SU MPR (sidang umum majelis permusyawaratan rakyat) tahun 1973, 1978 dan 1983 berhasil memasukan aliran kepercayaan ke dalam GBHN dalam Tap MPR no.IV 8
http://muhammadzunnuttuhepaly.wordpress.com/2013/06/29kebebasanberagamaberkeyakinan-di-Indonesia diakses tanggal 10 Juli 2013 9 K. Wantjik Saleh, Pelengkap KUH Pidana, ( Jakarta-Surabaya-Medan-Yogya-Palembang : Ghalia Indonesia, 1977) hlm 103.
Hal | 4
bidang Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi pada SU MPR 1978 ditegaskan bahwa kepercayaan kepada Tuhan Yang Mah Esa bukan merupakan agama dan pembinaanya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa agama dalam arti sempit hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, sehingga tidak semua agama mengandung hukum yang mengandung hubungan manusia dengan Tuhannya, dan sekaligus mengatur tata aturan hubungan manusia dengan sesamanya, dan demikian hubungan dengan alam sekitarnya, termasuk didalamnya aturan hukum pidana. Hukum pidana sebagaimana Apeldoorn membaginya kedalam dua bagian yaitu ; “Hukum Pidana materiil dan Hukum Pidana formil; Hukum Pidana menunjukkan peristiwa-peristiwa pidana beserta hukumannya.� Sedangkan “Hukum Pidana formil (Hukum-acara Pidana) mengatur cara bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana materiil.� Hukum merupakan salah satu patokan, yang mana perilaku manusia terbentuk menjadi pola-pola tertentu dan juga hukum merupakan bagian dari sistem yang mengintegrasikan individu ke dalam masyarakat, sistem tersebut dinamakan sistem pengendalian sosial, atau social control. Dalam kebebasan beragama perlunya pengaturan hukum yang jelas tanpa adanya campur tangan dari pihak lain. Negara harus Independen dalam mengatasi pertikaian antar umat beragama yang ada di Indonesia, jika itu terjadi maka negara akan merasa nyaman akan kebersamaan tanpa adanya perbedaan umat beragama. 2. Upaya Negara dalam Menjaga Kerukunan Beragama Pelaksanaan hak asasi manusia tidaklah mungkin meninggalkan kewajiban asasinya untuk menghormati hak asasi orang lain. Jika hak asasi dilaksanakan tanpa mengindahkan kewajiban asasi, maka pelaksanaan hak asasi akan berbenturan dengan pelaksanaan hak asasi orang lain. Dengan demikian yang akan terjadi justru kekacauan dalam masyarakat yang selalu ingin memaksakan hak-haknya meskipun dengan jalan melanggar hak orang lain. Karena itu, Pasal 28 J ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan "Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara". Dengan saling menghormati hak-hak asasi orang lain diharapkan akan tercipta tertib kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pembatasan hak asasi manusia menurut Undang-Undang Dasar 1945 hanya dapat dilaksanakan melalui Undang-undang. Mengingat, Undang-Undang Hal | 5
dibentuk oleh badan legislatif yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum langsung oleh seluruh Warga Negara yang telah memenuhi syarat. Dengan demikian, produk hukum yang dibentuk oleh badan legislatif sekaligus mencerminkan kehendak rakyat yang diwakilinya. Pasal 28 ayat (2) UndangUndang Dasar 1945 menegaskan : Didalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dan suatu masyarakat yang demokratis. Pembatasan hak asasi manusia pada dasarnya semata-mata hanya diadakan agar setiap orang mampu untuk melaksanakan hak-hak secara baik tanpa melanggar hak orang lain. Hal tersebut dapat mencerminan dari rasa keadilan setiap manusia yang masih menggunakan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis. Pembatasan hak asasi manusia terkait dengan pelaksanaan kebebasan beragama dengan menggunakan undang-undang sebagai instrumen hukum, bukan hanya menjadi ide dasar dalam Undnag-Undang Dasar 1945, tetapi sudah menjadi kesepakatan universal dari negara-negara beradab yang menjunjung tinggi hukum dan demokrasi. Dalam praktiknya, Negara menggunakan dua pendekatan, yaitu Pendekatan Preventif dan Pendekatan Represif. Kegiatan Preventif dilakukan dengan menggunakan instrumen hukum sebagai alat pembaharu masyarakat. Dan pendekatan Represif digunakan sebagai alat terakhir oleh negara, melalui praktik penegakan hukum yang sah, legal dan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keadilan, dengan memberikan sanksi bagi yang melakukan pembangkangan atau ketidakpatuhan terhadap tertib hukum yang berlaku dalam masyarakat. 3. Kebijakan Preventif Kebijakan preventif lebih mengedepankan pendekatan persuasif kepada individu atau kelompok yang dianggap berpotensi melakukan pelanggaran kebebasan beragama. Pendekatan terlihat jelas diatur dalam Undang-Undang No.1 /PPNS/ Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalagunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal 2 ayat (1) menegaskan "Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk
Hal | 6
menghentikan perbuatannya didalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri". Seperti yang tegas dikemukakan dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Pasal 30 ayat (3) menegaskan bahwa dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatankegiatan, antara lain:10 a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum c. Pengawasan peredaran barang cetakan d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara e. Pencegahan penyalagunaan dan/atau penodaan agama f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal. Ketentuan dalam huruf d dan e diatas memberikan dasar legitimasi hukum bagi kejaksaan untuk turut serta dalam pengawasan terhadap kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama sebagaimana diatur juga dalam Undang-Undang No. 1 PNPS tahun 1965. Yang jelas, didalam penjelasan Pasal 30 ayat (3) tersebut "Tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini bersifat preventif dan/atau edukatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "turut menyelenggarakan" adalah mencakup kegiatan-kegiatan bersifat membantu, turut serta, dan bekerja sama. Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait".11 Kebijakan tersebut dilakukan apabila negara telah melihat adanya gejalagejala yang mengarah pada pelanggaran hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai agama. Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ Tahun 1965 menegaskan "Sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama. Dari kenyataan teranglah, bahwa aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang menyalahgunakan dan/atau mempergunakan agama sebagai pokok, pada akhir-akhir bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan agama-agama yang sudah ada".
10 11
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401
Hal | 7
Penanggungjawab pengawasan terhadap gejala-gejala penyelewengan hak atas kebebasan beragama dan beribadah yang dilakukan secara terorganisir dan dalam skala yang lebih luas daripada potensi bahaya yang dilakukan oleh perseorangan ini adalah Presiden. Tentu saja Presiden tidak melakukannya sendiri, tetapi Presiden mengambil keputusan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri. Presiden dapat membubarkan organisasi yang setelah mendapat perintah dan peringatan keras untuk menghentikan kegiatan tersebut didalam suatu keputusan bersama (SKB) antara Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Keberadaan SKB inilah yang sering menjadikan perdebatan didalam masyarakat terkait dengan dasar hukumnya. Menurut Yusril Izha Mahendra, SKB tidak mempunyai dasar legitimasi 12 . Demikian juga pendapat yang disampaikan oleh the Indonesia Legal Resource Centre (ILRC). ILRC menilai kedudukan SKB lemah karena tidak menjadi bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan hierarki peraturan perundang-undangan secara urut terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. SKB bahkan tidak disebutkan sama sekali dalam UndangUndang yang disahkan 22 Juni 2004. Oleh karenanya ILRC berpendapat SKB tidak seharusnya mengikat secara umum. SKB sifatnya koordinatif antar lembaga yang menandatanganinya. Kekuatan mengikatnya pun terbatas hanya untuk kalangan internal instansi terkait. Dengan kata lain, SKB tidak bisa mengikat pihak luar, apalagi masyarakat secara umum13. Menurut Surat Edaran Bersama (SE) Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelejen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri, masing-masing bernomor SE/SJ/1322/2008, SE/B-1065/D/Dsp.4/08/2008, dan SE/119/921.D.III/2008 tentang pedoman Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, masing-masing bernomor 3 tahun 2008; KEP-033/A/JA/6/2008 dan 199 dan tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, anggota dan/atau anggota pengurus
12
Yusri Ihza : Tak ada dasar hukum yang jelas SKB Ahmadiyah. http://www.detiknews.com/ index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/05/tgl/08/time/140905/idnews/936143/idkanal/10. Diunduh pada 24 Juni 2013 13 Mempersoalkan SKB Aliran Sesat. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hal19157/ mempersoalkan-skb-pelarangan-aliran-sesat. diakses pada 25 Juni 2013.
Hal | 8
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat, kedudukan hukum SKB mempunyai dasar legitimasi yang kuat, yakni : A. SKB sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, jo UndangUndang Nomor 5 Tahun 1969, jo Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga SKB mempunyai kekutan hukum yang mengikat14. B. SKB sesuai dengan Pasal 28E, Pasal 28 J dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; Pasal 22; Pasal 70 dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; serta Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Right (Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik)15. Pendekatan Preventif tidak harus dilaksanakan oleh Lembaga Negara. Tetapi juga bisa melibatkan masyarakat atau organisasi masyarakat. Hal ini dikarenakan Negara tidak akan mungkin menyelesaikan semua persoalan yang terjadi didalam masyarakat hanya dengan mengandalkan pendekatan kekuasaan dan ketertiban hukum semata. Tetapi juga harus melibatkan peran aktif masyarakat dengan jalan memberikan porsi yang lebih kepada masyarakat untuk lebih memahami nilai-nilai kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara, 14
Pasal 7 ayat (4) berbunyi "Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunnyai kekuatan hukum sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi". Dalam penjelasan pasal dan ayat ini, diterangkan bahwa "Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat". Secara eksplisit memang tidak disebutkan jenis peraturan dalam bentuk SKB. Bisa jadi, cantolan hukumnya adalah frase kata "menteri". Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53 jo Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389 15 Surat Edaran Bersama (SE) Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelejen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri, masing-masing bernomor SE/SJ/1322/2008, SE/B-1065/D/Dsp.4/08/2008, dan SE/119/921.D.III/2008 tentang pedoman Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, masing-masing bernomor 3 tahun 2008; KEP-033/A/JA/6/2008 dan 199 dan tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat. http:// www.depag.go.id/file/dokumen/SEBAhmadiyah.pdf. diakses 15 Mei 2013
Hal | 9
dengan demikian akan tertanam ideologi pluralisme agama. Untuk menumbuhkan ideologi pluralisme agama, Satya Arinanto menekankan pentingnya: a. Dialog antar kepercayaan dan antar masyarakat b. Aktifitas partisipatif c. Pengembangan budaya nasional yang berdasar pluralisme agama.16 Negara adalah lembaga politik yang berdaulat, tetapi bukan berarti Negara tidak memiliki batasan kekuasaan. Negara wajib memiliki kedaulatan politik tertinggi karena merupakan lembaga politik yang mempunyai tujuan paling mulia. Tujuan dibentuknya negara adalah untuk mensejahterakan seluruh warga negara, bukan individu-individu tertentu. Tujuan negara lainnya adalah bagaimana negara memanusiakan manusia. Dalam hal ini, Aristoteles menyebut ada negara yang berhasil dan ada negara yang gagal. Padahal tujuan negara sama dengan tujuan hidup manusia mencapai kebahagiaan 17 selain Kebijakan Preventif ada juga Kebijakan Represif. 4. Kebijakan Represif Kebijakan Represif negara terhadap pelaksanaan kebebasan beragama tergambar dalam ancaman sanksi pidana. Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Pidana umumnya didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh Negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atau perbuatannya yang telah melanggar aturan hukum pidana. 18 Fungsi hukum pidana yakni : a. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang menyerang atau memperkosa kepentingan hukum tersebut; b. Member dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum;
16
Satya Arinanto. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. 2008 hlm 278. 17 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Cetakan ke 4. (Jakarta:Gramedia Pusataka Utama 2004) hlm 198. 18 Adami Chozawi. Pelajaran Hukum Pidna, Bagian 1, Stelse Pidana, Tindak Pidana, TeoriTeori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana.Cetakan 1 (Jakarta :Raja Grafindo Persada. 2002). hlm 24
Hal | 10
c. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum19. Terkait dengan kepentingan hukum yang wajib dilindungi ini ada tiga macam, yakni:20 a) Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum atas harga diri dan nama baik, kepentingan hukum atas rasa susila dan lain sebagainya; b) Kepentingan hukum masyarakat (sosiale of maatshappelijke belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas di jalan raya, dan lain sebagainya. c) Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya, dan lain sebagainya. Hukum pidana bukanlah tujuan dari pidana itu sendiri, tetapi hanya menjdi alat yang apabila dilaksanakan akan menghasilkan rasa tidak enak atau penderitaan bagi terpidana (orang yang oleh keputusan pengadilan dijatuhi hukum pidana). Tujuan hukum pidana adalah ketertiban, yang secara khusus disebut terhindarnya masyarakat dari perkosaan-perkosaan terhadap kepentingan hukum yang dilindungi21. 5. Penutup a). Negara dalam memberikan perlindungan Hak atas Kebebasan beragama dan beribadah dalam sistem Ketatanegaraan di Indonesia diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa yang bermakna kewajiban setiap manusia di Indonesia untuk menghormati agama dan kepercayaan orang lain. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu. 19
Ibid. hlm. 15-16. Ibid. hlm.16-17 21 Ibid. hlm. 24-25 20
Hal | 11
Selain Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur tentang Kebebasan Beragama diterangkan juga dalam Undang-Undang Nomor 1 /PNPS/1965 tentang Penyalagunaan dan/atau Penodaan Agama yang dijelaskan dalam Pasal (1) Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Karena hal tersebut dapat menyebabkan perpecahan antar umat beragama maupun sesama umat beragama yang berujung dengan kekacauan di masyarakat. b). Upaya negara dalam menjaga kerukunan umat beragama dan antar umat beragama dengan cara negara memfasilitasi semua golongan mulai dari tanggung jawab mengenai ketentraman, keamanan dan ketertiban agar terwujudnya kerukunan umat beragama. Cara tersebut dilakukan supaya menumbuh kembangkan keharmonisan saling perngertian, saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama bahkan menjaga ketertibkan rumah ibadah masing-masing. Karena jelas diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan : Didalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dan suatu masyarakat yang demokratis. Oleh sebab itu Negara menggunakan dua pendekatan, yaitu Pendekatan Preventif dan Pendekatan Represif. Kegiatan Preventif dilakukan dengan menggunakan instrumen chukum sebagai alat pembaharu masyarakat. Dan pendekatan Represif digunakan sebagai alat terakhir oleh negara, melalui praktik penegakan hukum yang sah, legal dan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keadilan, dengan memberikan sanksi bagi yang melakukan pembangkangan atau ketidakpatuhan terhadap tertib hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Hal | 12
DAFTAR PUSTAKA Adami Chozawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, Stelse Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta : Raja Grafindo Persada Ahmad Suhelmi. 2004. Pemikiran Politik Barat, Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaa. Jakarta : Gramedia Pusataka Utama K. Wantjik Saleh. 1977. Pelengkap KUH Pidana. Jakarta-Surabaya-MedanYogya-Palembang : Ghalia Indonesia Muhammad Tahir Azhary. 1992. Negara Hukum : Suatu Studi Tentang PrinsiPrinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implemantasinya, Pada Periode Negara Madinah Dan Masa Kini. Jakarta : Bulan Bintang Poerwadarma. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Satya Arinanto. 2008. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Shalahudin Hamid. 2000. Hak Asasi Manusia (Dalam Perspektif Islam). Jakarta : Amissco Undang-Undang Republik Indonesia Nomar 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 1 Lihat Pasal 18 ayat (3) ICCPR. ______, Konsekuensi Meratifikasi ICCPR, www.Unisosdem.Org, Diakses 1 April 2013 ______, Undang-Undang Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Da/Atau Penodaan Agama, www.kemeng.go.id/file/, _______, Kebebasan beragama berkeyakinan di indonesia, http://muhammadzunnuttuhepaly.wordpress.com/2013/06/29kebebasan -beragamaberkeyakinan-di-Indonesia, diakses 10 Juli 2013 ______, Yusri Ihza : Tak ada dasar hukum yang jelas SKB Ahmadiyah, http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/05/tg l/08/time/140905/idnews/936143/idkanal/10, Diakses 24 Juni 2013 ______, Mempersoalkan SKB Aliran Sesat, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hal19157/ mempersoalkanskb-pelarangan-aliran-sesat. diakses 25 Juni 2013
Hal | 13
Hal | 14