Pameran Bebas Tapi Sopan

Page 1

ACE HOUSE COLLECTIVE AGUNG “ABE” NATANAEL ANGGA CIPTA ANGGUN PRIAMBODO BUJANGAN URBAN DINAS ARTISTIK KOTA GARDU HOUSE KLUB KARYA BULU TANGKIS + RICKY JANITRA MILISI MURAL DEPOK METHODOS THE POPO TUTU RUANGRUPA

BEBAS TAPI SOPAN

STENZILLA

KURATOR

ANDANG KELANA & ABI RAMA 26 OKTOBER - 16 NOVEMBER 2015 GALERI NASIONAL INDONESIA

fotografi © Harryaldi Kurniawan

ARTISTS’ TALK BUJANGAN URBAN, THE POPO, &

PEMBUKAAN // OPENING

PAMERAN // EXHIBITION

Senin, 26 Oktober 2015 17.00 – 22.00 WIB di Amphitheater Gedung A Galeri Nasional Indonesia

Buka Tiap Hari 27 Oktober - 16 November 2015 10.00 – 19.00 WIB di Gedung A Galeri Nasional Indonesia

DINAS ARTISTIK KOTA

Sabtu, 31 Oktober 2015 15.00 – 17.00 WIB di Lobby Gedung A Galeri Nasional Indonesia Terbuka Untuk Umum & Gratis Produser pesan di ruang publik nyatanya tidak hanya berasal dari pemerintah maupun korporasi. Warga juga kerap kali urun mengeluarkan kegelisahannya melalui coretan, mural, ataupun grafiti di jalanan. Hal ini bisa dilihat sebagai taktik warga untuk bisa membuat ruang publik dan jalanan sebagai tempat yang ramah untuk ditinggali. Tak terkecuali bagi para pelaku mural dan graffiti. Jalanan dan ruang publik menjadi tempat bermain. Tindakan-tindakan mereka semata-mata menuangkan kegelisahan lewat bahasa visual masing-masing di ruang publik. Namun apakah taktik para pelaku tersebut hanya berhenti sampai di ranah memberikan pesan di ruang publik? Strategi sendiri selalu mengumpamakan taktik sebagai “liyan” dan di kemudian hari taktik tersebut menjadi strategi. Hal ini bisa dilihat dari fenomena para pelaku mural dan graffiti yang karyanya dikomodifikasi oleh korporasi, negara, bahkan galeri dan kolektor seni. Karya para pelaku tersebut diambil sebagai strategi baru, seolah-olah mewadahi kepentingan korporasi dan negara. Tak adakah taktik bertahan lainnya? Tiga produsen pesan lewat bahasa visual dalam diskusi kali ini merupakan individu yang memang menggunakan jalanan sebagai ruang bermain sekaligus tempat mendapatkan inspirasi untuk berkarya. Pelaku mural dan graffiti seperti Bujangan Urban dan The Popo nyatanya memiliki taktik tersendiri untuk tidak larut dalam fenomena komodifikasi pasar. Mereka mampu menciptakan fans base masing-masing lewat media sosial sehingga apa yang mereka kerjakan selalu mendapatkan apresiasi dari warga. Sedangkan MG Pringgotono, membuat Web 2.0 dimana warga bisa menyalurkan kegelisahan tentang situasi dan kondisi jalanan dan ruang yang mereka tinggali. Hal ini bisa dilihat sebagai retorika jalanan yang berpindah ke media sosial. Lewat taktik yang mereka gunakan, mereka mampu bertahan tanpa komodifikasi dari korporat maupun pemerintah.

BEBAS TAPI SOPAN: PERTARUNGAN VISUAL DI JALANAN ARDI YUNANTO & MANSHUR ZIKRI

Sabtu, 7 November 2015 15.00 – 17.00 WIB di Lobby Gedung A Galeri Nasional Indonesia Terbuka Untuk Umum & Gratis Jalanan sebagai ruang pertarungan pesan memiliki kesejarahannya sendiri dari waktu ke waktu. Pemerintah yang memiliki cetak biru tata kota, menjadi penguasa tunggal dalam menciptakan strategi sekaligus mengeluarkan pesan melalui bahasa visual di jalanan. Sayangnya kebijakan yang diambil dalam beberapa tahun ini, membuat kota semakin sengkarut dengan objek-objek visual yang dibuat oleh korporasi. Perkawinan antara pemerintah dan korporasi menghasilkan penguasa baru di jalanan? Lalu dimanakah posisi warga? Apakah ia masih bisa untuk ikut andil dalam memberikan pesan lewat bahasa visual di jalanan? Walaupun bisa, bagaimana dengan aparatus pemerintah yang semakin hari gencar untuk menghapus mural, grafiti, ataupun coretan sekenanya dari warga? Pembahasan ini mengundang Ardi Yunanto selaku Koordinator Institut ruangrupa dan mantan pemimpin redaksi Jurnal Karbon, yang selama satu dekade ini fokus melihat fenomena urban di Jakarta. Penelitian Ardi tidak hanya bertumpu pada pengalamannya sendiri dalam melihat ruang, tetapi juga menyasar pada kebijakan pemerintah terkait dengan tumbuhnya papan reklame di jalanan ibu kota yang semakin pesat. Hal ini semakin menarik bila disandingkan dengan Manshur Zikri seorang penulispenggiat media, kurator, dan Pemimpin Redaksi www. akumassa.org. Sebagai generasi yang besar pasca Reformasi, tumbuh saat objek-objek visual sudah menghiasi jalanan dan ruang publik, Zikri akan memperkaya pemahaman sebagai warga yang membaca situasi pertarungan bahasa visual di jalanan.

fotografi © Hanif Alghifary

PANITIA PAMERAN // EXHIBITION COMMITTEE Penasehat Artistik // Artistic Adviser Hafiz Rancajale, Mahardika Yudha. Kurator // Curators Abi Rama, Andang Kelana. Asisten Kurator // Curator Assistant Umi Lestari. Manajer Pameran // Exhibition Manager Chrismastuti Destriyani. Tim Produksi // Production Team Hanif Alghifary, “Rambo” Rachmadi, M. Fauzan Chaniago, Dalu Kusma, Gelar A. Soemantri, Ario Fazrien. Display SERRUM, Klub Karya Bulu Tangkis. Database Ario Fazrien, Dalu Kusma. Publikasi // Publication Andang Kelana. Dokumentasi // Documentation Ario Fazrien, Idham Hudayah, Nissal Nur Arfansyah. Katalog Pasca Acara // Post-Event Catalog Umi Lestari (editor), Chrismastuti Destriyani, Debora A. Nainggolan, Fatima Zahrah, Prashasti Wilujeng Putri, Sita Magfi ra.

TERIMA KASIH KEPADA // THANKS TO Ade Darmawan, M.G. Pringgotono, Vicky Rosalina (Jakarta Biennale 2015) Tubagus “Andre” Sukmana (Kepala Galeri Nasional Indonesia) Zamrud Setya Negara (Galeri Nasional Indonesia) Irawan Karseno (Ketua Dewan Kesenian Jakarta) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Ardi Yunanto Raka Ibrahim Bujangan Urban, Nissal Nur Afryansah, Sandra “Uwew” (Gardu House) Riyan Riyadi M. Sigit Budi Santoso Ajeng Nurul Aini Yoyo Wardoyo Segenap follower @visualjalanan Keluarga Besar Forum Lenteng Keluarga Besar ruangrupa


VISUAL JALANAN: BEBAS TAPI SOPAN

Maret 2012, Visual Jalanan (VJ) diinisiasi oleh Forum Lenteng sebagai bagian dari program riset dan pendataan aktivitas visual di jalanan. Aktivitas ini merekam geliat dan produksi visual yang dilakukan para seniman maupun warga yang juga kritis memproduksi visual dengan caranya sendiri. Tak terbatas dari corat-coret spontan hingga mural-mural nan estetis di jalanan. Visual Jalanan melalui jurnal online dot org-nya secara rutin mulai mewartakan kejadian-kejadian ini. Dua tahun sebelumnya, 2010, Instagram diluncurkan dan pada tahun 2011 mereka meluncurkan sistem tagar (hashtags) untuk membantu penggunanya menjelajah foto dan menemukan satu sama lain. Tagar inilah yang menginspirasi VJ untuk membuat akun Instagram yang diluncurkan pertama kali pada 29 Januari 2013. Tagar #visualjalanan menjadi sistem pendataan yang kami mulai di tahun itu dengan pasti juga membuka peluang baru bagi ekspresi seni visual melalui media sosial. Terhitung 10.400an foto dengan tagar #visualjalanan hingga Oktober 2015. Tentunya kesepuluhribu foto ini adalah sumbangan sukarela dari publik itu sendiri ke akun instagram @visualjalanan. Hal ini turut menggeser partisipasi sosial-politik publik yang sebelumnya berada di lapangan kenyataan, kini beralih ke belantara virtual dalam media sosial. Pergesera n fenomena in i tent u mena mba h keragamannya karena media sosial mudah diakses oleh siapapun, memberikan peluang bagi siapa saja untuk menjadi “seseorang” dalam mengekspresikan dirinya. Tumbuh kepentingan baru di dalamnya, “Aku lihat, Aku rekam, Aku sebarkan.” Aku yang satu dan Aku, Aku yang lainnya hanyalah sebuah identitas virtual, identitas digital, sebuah kecairan. Aku hanyalah username yang dilengkapi passwords. Ia sekadar metadata. Berangkat dari metadata itu, Visual Jalanan memilih ratusan yang mewakili 10.400-an foto tersebut untuk dipamerkan. Jokowi semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan seruan dan sanksi pidana ringan yang tertuang dalam Surat Seruan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 20131 tentang larangan mencoret-coret, menulis, melukis, menempel iklan pada sarana umum yang dikeluarkan pada 18 April 2013. Lalu melalui Satuan Polisi Pamong Praja Pemprov DKI, dimulailah “pembersihan” tembok-tembok sekitar Ibu Kota dengan melapis ulang menggunakan cat dengan/atau semen cair berwarna abu-abu.2 Tak terkecuali corat-coret “SOTR” (Sahur On The Road), tagging-tagging kebanggaan komunal pelajar sekolah, hingga graffiti piece dan mural. Belum lagi ruang-ruang yang “direbut” korporasi, reklame publik, iklan-iklan di mana hampir tiap detik kita terpolusi olehnya. Terpisah dari media iklan lain yang pada umumnya mencari celah di wilayah privat, reklame 1  http://www.jakarta.go.id/v2/news/2013/04/larangan-mencoretcoret-menulis-melukis-menempel-iklan-pada-sarana-umum#. ViCIZaJ9dFU 2  http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/01/400-satpol-pp-jakbarbersihkan-fasum-dari-coretan#.ViCIYqJ9dFU

menjajah ruang kota yang kita, sebagai warga kota, alami bersama-sama tanpa memiliki kontrol aktif terhadapnya.3 Pertarungan dan perebutan ruang ini menjadi polemik, terutama para graffiti writers dan seniman mural. Tutu berpendapat, dalam laman facebook-nya, definisi graffiti dan coret-coret tentu akan kabur (samar). Membuat mural tentu butuh sketsa juga, corat-coret dulu, belum selesai sketsa itu terbentuk sudah tertangkap oleh Satpol PP. Tetapi kesamaran ini yang membuatnya menjadi menarik, “pertarungan” menjadi lebih sengit.4 Tutu sendiri memulai karir graffiti-nya pada awal 2000-an, dominasi garis-garis geometris membuat unik karyanya. Perjalanan panjangnya menjadi penting dalam elaborasi karyanya dengan keseharian sosial. Anggun Priambodo, secara jenial merespon “karya-karya” Satpol PP ini dengan menambahkan semprotan aerosol berbentuk bulatan dan garis-garis putih hitam sebagai “mata dan kaki” hingga membentuk coretan itu menjadi seperti “monster”.5 Monster-monster ini masih ada di beberapa wilayah selatan Jakarta, terutama Blok-M dan sekitarnya. Permainan dan konsep kekanak-kanakan ini menjadi dasar ia berkarya, mulai dari video, grup musik hingga filem dan karya instalasi. The Popo selalu bercerita, seperti membuat buku harian visual dalam karya-karyanya. Pengalaman sehariharinya menjadi penting untuk merespon ruang kosong di jalanan, me-mural-nya, dengan karakter dan kata-kata akan sejarah ruang itu sendiri. “Demi Fly Over, Pohon Game Over”, mural itu dibuatnya ketika pohon-pohon di Jalan Pangeran Antasari, Jakarta Selatan ditebang untuk pembangunan fly over.6 Senang juga berkatakata, Bujangan Urban berpuisi tentang kota dengan graffiti-nya. Permainan kata-kata ini membuka ruang pikir atas situasi sosial di jalanan. Dengan tagar yang ia buat, seperti #problemboys dan #supportyourlocalvandals seperti menegaskan posisi yang ia pilih dalam berkarya di jalanan. Keduanya juga mendirikan sebuah kolektif yang fokus dalam karya-karya di jalanan, The Popo dengan Kampung Segart (terbentuk di IISIP Jakarta, pada 2001an) dan Bujangan Urban dengan dengan Gardu House (Artcoholic, Tembok Bomber dan kawan-kawan dari InterStudi Jakarta pada 2011an). Klub Karya Bulu Tangkis yang didirikan tahun lalu, adalah anggota-anggota Kampung Segart. Mereka berinisiasi membentuk kelompok baru dan berkarya menanggapi isu-isu sosial-politik melalui karya-karya multimedia. KKBT berkolaborasi Ricky Janitras akan

mempresentasikan karya “Penjaskes” yang turut serta pada Orde Baru OK. Video kemarin. Sedangkan Gardu House akan menampilkan karya “parasit”, sebuah acara dalam acara, Glued #2 publik diajak berpartisipasi untuk mengirimkan karya stiker, sebanyak-banyaknya. Berbicara tentang stiker, ruangrupa yang melakukan pengamatan atas budaya visual sejak didirikan pada 2000 melakukan proyek riset “Stiker Kota” dengan menerbitkan buku di 2008. Stiker di ruang kota telah menjadi bagian dari perilaku sosial di masyarakat, menjadi fenomena yang sangat dinamis. Memiliki daya sebar ke ruang publik maupun privat, memiliki variasi artistik dan teknik yang beragam, dengan materi stiker yang cepat berkembang. Stiker ini akan ditampilkan kembali dalam pameran bersanding dengan Gardu House.7 Stenzilla didirikan pada 2006 oleh Jaue Maxx (JMX) dan Nikasius Dirgahayu (Si Jago Merah), memilih stensil sebagai teknik untuk berkarya.8 Ekspresi-ekspresi estetis dengan isu sosial-politik menjadi inspirasi karya mereka. Duo alumnus IKJ ini akan mengisi tembok seluas 7x4 meter. Diinisiasi oleh M.G. Pringgotono, Dinas Artistik Kota beranggotakan siapa saja yang ingin turut serta untuk kritis dan membuat kota lebih artistik. Gerakan jalanan ini diawali pada (2011) untuk membangun ide-ide, inisiatif, dan wacana kebijakan tentang artistik di ruang kota. DAK berkarya dengan objek di jalanan dan karya-karya instalasi.9 DAK membuat Jalur sepeda yang dilakukan di beberapa titik antara Matraman, Jalan Tambak, Pasar Rumput, hingga terowongan Dukuh Atas. Proyek ini jadi langkah pertama untuk memancing inisiatif serupa bagi para pengguna sepeda di dalam kota untuk membuat jalur sepeda di daerahnya masing-masing. Milisi Mural Depok yang didirikan pada Agustus 2012 fokus pada gerakan “perlawanan-perlawanan” dengan visual, melalui mural terutama.10 Pada 21 Juli 2013, MMD menginisiasi gerakan mural bersama di Kota Depok tentang Sekolah MASTER (Masjid Terminal). Proses pengembangan Terminal Terpadu oleh Pemkot Depok, mengancam keberadaan sekolah anak jalanan ini. Saat ini, sebagian kelas Sekolah MASTER telah rata dengan tanah.11 Ace House Collective (terbentuk di Yogyakarta, 2011) adalah kolektif seniman yang melakukan praktik kerja kreatif melalui pendekatan media populer dan anak muda secara teori maupun praktek, kontekstual dan konseptual, serta menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dalam perspektif

3  Ardi Yunanto, Robin Hartanto, Leonhard Bartolomeus (ed.),“Pengantar”, Publik dan Reklame Di Ruang Kota Jakarta, (Jakarta: ruangrupa, 2013), xiii. 4  https://www.facebook.com/tututupai/posts/533526006693036 5  http://visualjalanan.org/web/monster-culapo/ 6  http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2013/06/130618_ tokoh_ryanriyadi_popo_pelukismural

7  Ugeng T. Moetidjo, et.al.,“Pengantar”, Stiker Kota, (Jakarta: ruangrupa, 2008), 9-10. 8  http://stenzilla.blogspot.co.id/ 9  http://dinasartistikkota.webs.com/whoweare.htm 10  http://milisimuraldepok.blogspot.co.id/ 11  http://megapolitan.kompas.com/read/2015/09/05/11284701/ Pembongkaran.Sekolah.Master.dan.Ingkar.Janji.Pemkot.Depok

seni visual. Pada 2012 lalu mereka membuat wheatpaste besar-besaran di beberapa lokasi di Yogyakarta merespon perebutan ruang di kota itu. Menurut Vendy “Methodos”, “Masyarakat punya hak untuk mendapatkan visual dan pesan yang bagus”.12 Ia condong untuk mengeksplorasi isu sosial dan politik untuk karyanya. Sebagai seniman yang fokus pada mural, ia telah menorehkan tagging Methodos di ruang publik sejak tahun 2012. Gambarnya berusaha “politis”, berbicara tentang negara, birokrasi maupun kesenjangan sosial dan diolahnya menjadi simbol-simbol hibrid binatang-manusia. Angga “Acip” Cipta dan Agung “Abe” Natanael tidak berangkat dengan karya-karya di jalanan. Mereka terinspirasi darinya. Acip adalah seorang seniman grafis yang gemar berbicara tentang jalanan kota melalui garis-garis dan pola-pola grafis. Sembari menghayati akan kemacetan, dan gerak-gerik orang di dalamnya, Acip sanggup menangkap narasi-narasi kecil ini dalam karyanya. Sedangkan, Abe, seorang fotografer-jurnalis yang fokus dalam persoalan urban. Foto-foto luar ruangnya menjadi menarik, karena mampu “bercerita”. Pada akhirnya, jalanan sebagai sesuatu yang cair mendapatkan pemaknaan dari individu yang melintasinya. Pemaknaan tersebut tidak hanya berasal dari coretan spontan maupun yang direncanakan, tetapi juga dari aparat yang mencoba untuk menghapusnya. Pertarungan makna di jalanan melalui visual menghasilkan sebuah siklus, pelahiran kembali dan penghapusan yang akan terus berulang. Selain itu, kecairan untuk memaknai jalanan juga bisa terlihat dari unggahan-unggahan foto, pembekuan karya baik yang tercipta dan terhapus; baik yang bernada satir maupun humor, ke dalam media sosial. Walaupun mediumnya berganti, pertarungan makna tetap mengalir. Untuk itu, kami coba menerjemahkannya dalam bentuk pameran. Jalanan yang mampu memberikan kebebasan bagi tiap individu untuk mengungkapkan gagasannya, ternyata memiliki batasan, baik dari pihak aparatus pemerintah maupun individu lainnya. Selama izin sudah dipegang, ia baru diperbolehkan menggambar: Bebas Tapi Sopan. Andang Kelana &Abi Rama

12  http://visualjalanan.org/web/methodos-masyarakat-punya-hakmendapatkan-visual-dan-pesan-yang-bagus/

VISUAL JALANAN: FREE BUT PROPER

Visual Jalanan (VJ) was initiated by Forum Lenteng in March 2012 as a research and assessment program focus on the visual activities in the streets. Our activity is try to record the emergence and production of visual objects made by the artists and citizens who try to speak through visual language. Visual Jalanan tried to cover all the visual objects, range from mural and graffiti which has aesthetical values to spontaneous doodling on the walls. Through online journal, Visual Jalanan retells those kinds of visual objects. In the 2010, Instagram was born and in the 2011 they introduce hashtag system to help the users to discover and related a photo to another. Inspired by the system, VJ made Instagram account in 29 January 2013, then presented hashtag #visualjalanan. This system opened new opportunities to spread new method to assess any kind of visual objects founded in the street. Up until now, there are more than 10.400s photos using #visualjalanan (calculated in October 2015). Public contributes these photos voluntarily to our account @visualjalanan. This also underlines the shifts of socio-political participation of the public who had previously been in the field a reality, now turned into a virtual wilderness in social media. This phenomenon shifting certainly add more values because in fact social media is easily accessible by anyone, providing an opportunity to be “the other”. New believe is appear: “I see, I record, I share”. I am the one and I am the other, are just simply a virtual identity, fluidity. I am just a username equipped by passwords. I am only metadata. Through this metadata, Visual Jalanan chose hundreds to represent our archive to be exhibited. Another phenomenon is also appearing in front of us. During his position as the Governor of Jakarta, Jokowi issued minor criminal sanctions contained in the Letter of Solicitation from Jakarta Governor Number 1 Year 20131 on the prohibition of scribbling, writing, painting, sticking ads on public facilities, issued on April 18, 2013. Using Civil Service Police Unit or Satpol PP, the government began “cleansing” the walls, layering or repainting with paint or cement. 2 This act seen no exception, ranging from doodles “SOTR” (Sahur on the Road), communal tagging made by students, to graffiti and murals. On the contrary, the government never touch visual object such as billboards and ads made by corporations. Citizens should live with it, could not controlling what and how should they consume. 3 “Our public space became our battleground,” said graffiti writers and mural artists. Tutu, has said in his 1  http://www.jakarta.go.id/v2/news/2013/04/larangan-mencoretcoret-menulis-melukis-menempel-iklan-pada-sarana-umum#. ViCIZaJ9dFU 2  http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/01/400-satpol-pp-jakbarbersihkan-fasum-dari-coretan#.ViCIYqJ9dFU 3  Ardi Yunanto, Robin Hartanto, Leonhard Bartolomeus (ed.),“Pengantar”, Publik dan Reklame Di Ruang Kota Jakarta, (Jakarta: ruangrupa, 2013), xiii.

Facebook wall that graffiti and doodles definitions might be obscure. Making mural needs to make sketch first. Unfortunately, before the sketch was finished, Satpol PP suddenly appears to remove his work. This ambiguity makes the “battle” becomes fierce. 4Tutu started his graffiti career in the early 2000s, using geometrical lines as the characteristic of his work. His works and long career as a graffiti writer emphasizes the important of daily situation on the street. Meanwhile, Anggun Priambodo responds Satpol PP works with humor. He made dots and lines in black and white using aerosol spray, as the “eyes and feet” to form doodles like a “monster. 5 These monsters still appear in the south area of Jakarta, in Blok M and around. Anggun always explores his childish side for his works, ranging from video, film, music, to the installation work. The Popo likes to tell story, his story. Reading his works is like reading a diary. His daily experience, responding empty spaces with murals using characters and words became his characteristic. Once he made mural in Pangeran Antasari Street in South Jakarta entitled “Demy Fly Over, Pohon Game Over” (For Fly Over, the Trees Game Over), responding fly over development.6 For Bujangan Urban, he likes exploring words to express through graffiti. Sometimes his graffiti invites us to rethink our condition and situation in the street. Bujangan Urban is also active in social media. Through hashtags #problemboys and #supportyourlocalvandals, he insists his position in the street. Besides that, the Popo and Bujangan Urban established collectives that focus on making the works in the street. The Popo founded Kampung Segart (formed in IISIP Jakarta in 2001) and Bujangan Urban with Gardu House (or Artcoholic, Tembok Bomber and friends from Interstudi Jakarta in 2011). Klub Karya Bulu Tangkis (KKBT) which was founded a year ago is member of Kampung Segart. They initiated to make new group, focus on responding socialpolitical issues through multimedia works. KKBT has collaborated with Ricky Janitras in the Orde Baru – OK Video Jakarta International Media Arts Festival 2015, presenting “Penjaskes”. Whereas, Gardu House will show “parasite” works, in the Glued #2 when public was invited to participate, sending their own stickers. Meanwhile, ruangrupa (established since 2000), which focus to observe on the visual culture, has done a research project “Stiker Kota” (city stickers) and has published a book on that project in 2008. Both ruangrupa and Garduhouse will present stickers because this visual 4  https://www.facebook.com/tututupai/posts/533526006693036 5  http://visualjalanan.org/web/monster-culapo/ 6  http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2013/06/130618_ tokoh_ryanriyadi_popo_pelukismural

object can reach the public and private spheres fastly. It also has variety of artistic and diverse techniques.7 Stenzilla was founded in 2006 by Jaue Maxx (JMX) and Nikasius Dirgahayu (si Jago Merah), IKJ alumna. This duo chose stencil as the technique to express the socio-political issues. 8 They will cover 7 x 4 meters wall in Indonesia National Gallery. While, Dinas Artistik Kota (DAK), a project initiated by M.G. Pringgotono, will show street objects and installation. 9 This project was founded in 2011, using web platform to invite as many as members who want to participate in creating the city to be more habitable. The goal is to spread ideas, initiative, and discourse on the urban planning. DAK first project was making a bicycles line in several points from Matraman, Tambak Street, Pasar Rumput, to Dukuh Atas tunnel. This project aimed to invite more initiative, so people could make the same bicycles lines in their own area. Milisi Mural Depok (MMD) established in August 2012, focused against the system through visual works, especially murals. 10 On July 21, 2013, MMD initiated mural movement in Depok City, entitled Sekolah MASTER (Masjid Terminal)11. At that time, bus station development in Depok City endangered school for street children in the area. Right now, Sekolah MASTER is f lattened. 12 Ace House Collective (founded in Yogyakarta, 2011) is an artist-collective which done practice on creative work through popular media and youth culture approaches, in theory and practice, contextual and conceptual, as well as finding new possibilities on the perspective of visual arts. In the 2012, they made big wheat paste in several locations in Yogyakarta, to seize public space in the city. “People have rights to get better visual and message in the city,” said Vendy “Methodos”. 13 Born in Jogja, this artist always explores social and political issues for his artworks. He used Methodos as a tagging in public space since 2012. His works are his political view, emphasizes on the state condition, bureaucracy and social inequality. He translated it into symbols: hybrid animal-human. Angga “Acip” Cipta and Agung “Abe” Natanael were not mural or graffiti artists. They were inspired from urban and rural condition. Acip is a graphic artist who likes to talk about city street, using line and 7  Ugeng T. Moetidjo, et.al.,“Pengantar”, Stiker Kota, (Jakarta: ruangrupa, 2008), 9-10. 8  http://stenzilla.blogspot.co.id/ 9  http://dinasartistikkota.webs.com/whoweare.htm 10  http://milisimuraldepok.blogspot.co.id/ 11  Accronym for bus station and mosque 12 http://megapolitan.kompas.com/read/2015/09/05/11284701/ Pembongkaran.Sekolah.Master.dan.Ingkar.Janji.Pemkot.Depok 13  http://visualjalanan.org/web/methodos-masyarakat-punyahak-mendapatkan-visual-dan-pesan-yang-bagus/

graphic patterns. When making works, he tried to narrate situation on congestion and the people inside it. While Abe is a photographer-journalist, focus on urban issues. Not only capturing and freezing the moment, Abe works could retell the situation. At least, the street as the fluid one has got meaning from each individual who passing it. The meaning is not only given by graffiti, murals, or spontaneous/ planned doodles, but also given by officers who tried to remove it. The battle of meaning through visual message will produce a cycle. Moreover, this fluidity also can be seen from the uploaded photos in the social media: both which captured the creativity or the deletion; satirical or humor. Although the medium was changing, still the battle is happening. As for that, we tried to grab this phenomenon in the exhibition. For us, the streets that capable to provide freedom for people their own ideas, has limitations, either from the government or other individuals. As long as someone holds the license, they could draw whatever they want: Free but Proper. Andang Kelana & Abi Rama


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.