2018
i
Editor / Editors Anggraeni Widhiasih, Manshur Zikri. Penulis / Writers Abi Rama, Afrian Purnama, Akbar Yumni, Anggraeni Widhiasih, Azar Mahmoudian, Dhanurendra Pandji, Dhuha Ramadhani, Dini Adanurani, Gerald Weber, Hafiz Rancajale, Lauren Howes, Mahardika Yudha, Manshur Zikri, Otty Widasari, Sonal Jain, Syaiful Anwar, Tess Takahashi, Ugeng T. Moetidjo, Yuki Aditya. Penerjemah / Translator Ninus D. Andarnuswari, Devy Larasati, Fiky Daulay, Dini Adanurani, Pingkan P. Polla, Yuki Aditya, Anggraeni Widhiasih, Dhuha Ramadhani. Perancang Grafis Buku / Book Graphic Designers Andang Kelana, Robby Ocktavian. Foto Sampul “homoludens” / “homoludens” Cover Photo © Teater Garasi / Garasi Performance Institute - 2018. “homoludens” Logotype Andang Kelana. ARKIPEL Tree of Knowledge Drawing Hafiz Rancajale. ARKIPEL Logotype Drawing Ugeng T. Moetidjo. Percetakan / Printing Gajah Hidup. Diterbitkan oleh / Published by Forum Lenteng Cetakan Pertama, Jakarta, Agustus 2017 1000 eksemplar Forum Lenteng Jl. H. Saidi No. 69 RT.007/RW.05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta. 12530 www.forumlenteng.org | info@forumlenteng.org | @forumlenteng ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival www.arkipel.org | info@arkipel.org | @arkipel Widhiasih, A., & Zikri, M., (Eds.) (2018). ARKIPEL homoludens – 6th Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival. (1st ed. Jakarta: Forum Lenteng) xviii + 278 halaman isi, 14,8 x 21 cm ISBN
ii
Komite Arkipel homoludens homoludens Arkipel Committee ORGANIZING COMMITTEE
Candrawala Curator
Board of Artistic:
Anggraeni Widhiasih
Hafiz Rancajale
Dhuha Ramadhani
Ugeng T. Moetidjo Otty Widasari
JUROR
Mahardika Yudha
Hafiz Rancajale
Yuki Aditya
Azar Mahmoudian
Andang Kelana
Ronny Agustinus Dave Lumenta
EXECUTIVE COMMITTEE Chairperson – Artistic Director
FORUM FESTIVAL
Hafiz Rancajale
Prashasti Wilujeng Putri (Coordinator)
Festival Director
Dhuha Ramadhani
Yuki Aditya
Manshur Zikri
Festival Manager Andang Kelana
KULTURSINEMA Mahardika Yudha (Curator)
SELECTION COMMITTEE
Afrian Purnama (Co-curator)
Chair
Prashasti Wilujeng Putri (Exhibition Manager)
Ugeng T. Moetidjo
Syaiful Anwar (Collaborating artist)
Selection Team
Ario Fazrien (Collaborating artist)
Abi Rama
Wahyu Budiman Dasta (Collaborating artist)
Afrian Purnama
Ragil Dwi Putra (Mural production)
Akbar Yumni
Theresa Farah Umaratih (Mural production)
Syaiful Anwar Otty Widasari
FESTIVAL OFFICE
Manshur Zikri
Operational Manager Prashasti Wilujeng Putri
CURATORS Film Curators
Database
Azar Mahmoudian
Dhuha Ramadhani
Manshur Zikri
Robby Ocktavian
Merv Espina
Art & Film Handling
Sonal Jain
Milisifilem
Special Presentation Curators
Hospitality Coordinator
Gerald Weber (sixpackfilm)
Pingkan Persitya Polla
Lauren Howes (Canadian Filmmakers Distribution Centre)
iii
Communication & Publication Andang Kelana (Creative Head) Anggraeni Dwi Widhiasih, Manshur Zikri (Catalogue Editor) Robby Ocktavian (Graphic Designer) Dhuha Ramadhani (Digital Publication Designer ) Theresa Farah Umaratih, Maria Christina Silalahi, Luthfan Nur Rochman, Robby Ocktavian (Festival Bumper) Luthfan Nur Rochman (Social Media Administrator) Arkipel News Room Anggraeni Widhiasih (Coordinator) Dini Adanurani Media Relation
Arkipelabor 2018
Olivia Afina (Coordinator)
Dhanurendra Pandji (Coordinator)
Wienda Novianty
Affrizaldy Maryanto Agatha Danastri
Documentation Team
Agetha Tri Lestari
Luthfan Nur Rochman (Coordinator)
Alessandra Langit
Rizky Kurnia Ramadhan
Anggini Dian Lestari Aulia Aminda Dhianti
Technical Operational Film Screening
Aulia Imam Nurfaisal
Syaiful Anwar (Coordinator)
Boy Cancerio
Robby Ocktavian
Dhannisa Henriyana Dhio Pandji
Arkipelounge
Dita Rizky Arianne
Maria Christina Silalahi (Coordinator)
Elva Sagita Cindra
Dhanurendra Pandji
Gita Swasti Pangestuti Helmi Rafi Jayaputra Jessica Angelia Kenneth Jonathan Latifah Yanwar Maria Deandra Nabilah Adzani Nena Mustaffa Niahate Aisyah Niskala Hapsari Utami Pasha Fierera Pychita Juliana Rachel Kamilia Rachel Marannu Rifan Harist Savira Cindy Septian Dwi Cahyo Talitha Asyuura Wahid Ainur Rafenda Tim Kineforum
iv
Daftar Isi / Contents
Komite ARKIPEL homoludens iii Catatan Direktur Festival viii Notes From the Festival Director x Pernyataan Artistik/Artistic Statement
Ludic, Saat Sinema Kembali Pada Kemanusiaannya 2 Ludic, When Cinema Goes Back to its Humanity 6 Refleksi ARKIPEL/ARKIPEL Reflection
sinema now 10 sinema now 15 Program
Malam Pembukaan / 22 Opening Night 22 Filem Pembuka / 23 Opening Films 23 Malam Penghargaan / 24 Awarding Night 24 Catatan Selektor Kompetisi Internasional/International Competition Selector Notes
Fakta dan Konvensi 28 Fact and Convention 33 Kompetisi Internasional/International Competition
The Fly Misery of Quame Nyantakyi: Kesesatan dari Kegembiraan dan Kebahagiaan yang Mendalam 40 The Fly Misery of Quame Nyantakyi: The Misguided of Intense Excitement and Happiness 42 v
Menolak Penunggalan 45 Refusing Singularity 48 Medium, Ruang, dan Interaksi 54 Medium, Space, and Interaction 56 Bahasa yang Semakin Intim 61 Language at Intimate View 63 Penyusuran Afirmatif: Melewati Labirin-Labirin Kemasygulan Masa Lalu, Paranoia Puitik, dan Horor Masa Kini 67 Affirmatory Tracing: Journey through the labyrinth of the past anxiety, poetic paranoia, and present horror 70 Permainan dan Peraturan 76 Game and Rules 78 Amplifikasi 84 Amplifying 86 Ludic dan Eksperimentasi 90 Ludic and Experimentation 92 Program Kuratorial/Curatorial Program
Tentang Konspirasi dan Resusitasi 98 Of Conspiration and Resuscitation 102 Pratyaksha 114 Pratyaksha 118 Focus on Kidlat Tahimik 124 Mendiferensiasi Lanskap ke dalam Polemik Bentuk sebagai Siasat atas Fetisisme Naratif 129 Differentiating Landscape: Polemics of Form as A Strategy to Overcome the Narrative Fetishism 132 Candrawala - local landscape of now
Sebuah Arena Eksperimentasi 140 An Experimenting Ground 144 Kultursinema
KULTURSINEMA #5: Gelora Purnaraga 156 KULTURSINEMA #5: Passion of The Perfect Body 161 vi
Presentasi Khusus/Special Presentation
Eksperimentasi dari Austria: Sebuah Kurasi 170 Austrian Experiments: A Curatorial Note 173 Dunia-dunia Lain: “Queer” Film dari CFMDC dari 1975-1985 192 Other Worlds: “Queer” Film from the CFMDC from 1975-1985 194 Exposure to the Elements 199 Exposure to The Elements 202 Filem Performans 215 Performance Film 216 Penayangan Khusus/Special Screening
Golden Memories 220 Golden Memories 221 Pengantar Program Penayangan Khusus Harun Farocki: Kolase Representasi 223 An Introduction to Harun Farocki Special Screening Program: Collage of Representation 225 Pengantar Program Penayangan Khusus Milisifilem 232 Introduction to Milisifilem Special Screening Program 239 Forum Festival Panel 1: Ludic dan Performativitas
250 251 Panel 2: Kritisisme Filem dan Lembaga Perfileman 252 Panel 2: Film Criticism and Film Institution 252 Panel 3: Pendidikan Film Sekarang dan Masa Mendatang 254 Panel 3: Film Education: Current and Future Practice 255 Panel 4 :Melampaui Kolaborasi: Antara Berkarya Secara Kolektif dan Individu 256 Panel 4: Beyond Collaboration: Between Collective and Individual Practice 257 Panel 5: Peran Komunitas dalam Menentukan Bahasa Sinema Kita 258 Panel 5: Role of Community in Determining Our Language of Cinema 259 Panel 1: Ludic and Performativity
Indeks Sutradara/Directors Index 262 / Indeks Filem/Films Index 264 Acknowledgement 266 Anggota Forum Lenteng/Forum Lenteng Members 268 vii
PENGANTAR
Catatan Direktur Festival Yuki Aditya
Pada tahun ke-6 penyelenggaraan ARKIPEL ini kami menerima tak kurang dari 1.400 filem yang didaftarkan selama dua bulan lebih dari 80 negara. Bisa dibilang kalau angka tersebut ambisius untuk sebuah festival filem eksperimental di region ini. Kerja keras pasti dibutuhkan untuk memilih 21 filem dalam sesi Kompetisi Internasional yang akan tayang tahun ini. Mungkin bisa dibayangkan kalau ketertarikan para pembuat filem untuk mendaftarkan filemnya di ARKIPEL tidak diasosiasikan dengan daya tarik finansial, karena memang nyaris tidak ada. Ketertarikan tersebut saya harap sama besar dengan antusiasme kami dalam mengorganisir festival filem ini, yaitu untuk selalu menemukan cara berkomunikasi baru melalui medium filem. Saya teringat dengan komentar kawan kami, Benjamin Cook, Direktur LUX—agen seni internasional di Inggris yang mendukung praktik dan gagasan di bidang seni gambar bergerak—pada perhelatan ARKIPEL Grand Illusion (2015), bahwa masa depan sinema eksperimental atau sinema secara umum ada pada festival filem kecil semacam ARKIPEL dibanding dengan festival filem yang besar, karena ada komunikasi yang intim dan lebur antara penonton, kurator, dan pembuat filemnya. Sejatinya, potensi sinema bisa kita rasakan ketika ada kebebasan berekspresi dan membentuk penonton yang tidak melulu terkondisikan untuk senantiasa terhibur. ARKIPEL diselenggarakan pertama kali pada 2013 dalam kerangka bahwa kami sendiri, para pegiat di Forum Lenteng sebagai penyelenggara, bukan ingin menghadirkan filem-filem yang hanya semata bertujuan untuk menghibur tetapi juga menempatkannya sebagai medium untuk bereksperimen dalam aksi belajar melalui sinema: belajar melihat, membaca, menuliskan, dan mengorganisasikan apa-apa yang terkait dengan sinema melalui festival filem. Tema kali ini, homoludens, terasa sepakat dengan apa yang telah kami kerjakan dalam enam tahun penyelenggaraan ARKIPEL. Merujuk pada signifikansi elemen ‘bermain’ dalam suatu generasi kebudayaan, sebagaimana viii
menurut Johan Huizinga dalam bukunya Homo Ludens (1938), ARKIPEL adalah medan bermain dan bereksperimentasi kami dalam menghadirkan pengetahuan dan pengalaman baru, baik bagi kami sebagai penyelenggara maupun kepada publik. Semoga kedua hal itu bisa kita alami bersama selama 9 hari penyelenggaraan ARKIPEL Homoludens – 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, dari 8 sampai 16 Agustus 2018, melalui sejumlah program seperti Forum Festival, Pameran Kultursinema, Kompetisi Internasional, Program Kuratorial, Presentasi Khusus, Penayangan Khusus, dan Candrawala. Menyambut perhelatan Asian Games yang sebentar lagi akan diselenggarakan di Jakarta, pameran Kultursinema tahun ini terasa spesial karena, selain memasuki usianya yang ke-5, pameran ini juga akan menayangkan arsip dari rekaman penyelenggaraan peristiwa olahraga penting di Indonesia pada dekade 1960-an, yaitu Asian Games 1962 dan GANEFO 1963. Pameran yang kali ini mengusung tajuk “Gelora Purnaraga� tersebut akan hadir di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, selama festival berlangsung. ARKIPEL mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kolaborasi yang terjalin dengan rekanan-rekanan kami, baik yang telah sejak awal bekerja sama maupun yang baru terwujud tahun ini, seperti Kedutaan Besar Austria, Canadian Filmmakers Distribution Centre, dan Desire Machine Collective (India). Demikian juga dengan dukungan dari lembaga-lembaga kebudayaan negara-negara sahabat dan lembaga-lembaga swasta, yang selama ini memfasilitasi Forum Lenteng dan mendorong terwujudnya berbagai ide kreatif yang berhubungan dengan filem, khususnya festival ARKIPEL. Kami ucapkan banyak terima kasih kepada mitra-mitra festival, komunitas rekanan, seniman, para penonton, dan tak lupa kepada semua anggota Forum Lenteng yang telah bekerja keras untuk mewujudkan ARKIPEL Homoludens, dan juga kepada para relawan yang siap bekerja selama bulan Agustus ini. Kami akan selalu menyambut masukan, gagasan, dan saran dari Anda semua. Selamat berfestival! Jakarta, 24 Juli 2018
ix
PREFACE
Notes From Festival Director Yuki Aditya
In its 6th year of ARKIPEL we received no less than 1,400 films submitted over two months from more than 80 countries. You could say that this number is ambitious for an experimental film festival in this region. Hard work is required to select 21 films in the International Competition sessions that will be screened this year. We imagine that the interest from filmmakers to submit their films to ARKIPEL is not associated with any financial appeal since there is hardly any. That kind of interest hopefully is as big as our enthusiasm in organizing this film festival, to always find new ways of communicating through the medium of film. I recall a comment of our dear friend Benjamin Cook, the Director of LUX – an international art agency based in UK who supports practice and ideas in the field of moving image – during ARKIPEL Grand Illusion (2015), that the future of experimental cinema or cinema, in general, is in a small film festival like ARKIPEL compared to the big film festival, because there is an intimate communication between the audience, curator and filmmaker. Genuinely, the potential of cinema can be felt when there is a freedom of expression and finding audiences that are not conditioned always to be entertained. ARKIPEL was first held in 2013 for us in Forum Lenteng as the organizer, not only to present films that are mere to entertain but also put them as a medium for experimenting in learning cinema: learn to see, read, write, and organize anything related to cinema through a film festival. The theme this year, homoludens, is in accordance with what we’ve been doing in six years. Referring to Johan Huizinga in his book Homo Ludens (1938) about the significance of the ‘play’ element in a culture generation, x
ARKIPEL is the playing field and our experimentation in bringing new knowledge and experience, both to us as organizer and to the public. Hopefully these two things can be shared during 9 days of ARKIPEL Homoludens - 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, from 8 to 16 August 2018, through programs such as Forum Festival, Kultursinema Exhibition, International Competition, Curatorial Program, Special Presentation, Special Views, and Candrawala. Welcoming the Asian Games event which will be held soon in Jakarta, this year’s Kultursinema exhibition is special because, in addition to its fifth edition, the exhibition will also feature archives from recordings of important sports events in Indonesia in the 1960s, Asian Games 1962 and GANEFO 1963. This exhibition’s title is “Passion of The Perfect Body” and will be shown at Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki. ARKIPEL would like to express our gratitude for the support from either previous institution or the newer one such as Austrian Embassy, desire machine collective (India), and Canadian Filmmakers Distribution Centre. For ARKIPEL itself, this is a particular achievement in terms of partnership. Likewise, the support of cultural institutions of friendly countries and private institutions, which have been facilitating Forum Lenteng and encourage the realization of creative ideas, related to cinema, in particular ARKIPEL as a film festival. We would like to thank our festival partners, partner communities, artists, audiences, and to all members of Forum Lenteng who have worked hard to organize ARKIPEL 2018 - homoludens, as well as volunteers who are ready to work during this August. We will always welcome your feedbacks, ideas, and suggestions. Jakarta, July 24, 2018
xi
KOMITE EKSEKUTIF / EXECUTIVE COMMITTEE
Hafiz Rancajale
Hafiz Rancajale (Pekanbaru, 1971) adalah seniman, pembuat filem, kurator, dan salah satu pendiri Forum Lenteng. Menamatkan pendidikan Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan kini menjadi Ketua Forum Lenteng dan juga Direktur Artistik ARKIPEL. Tahun 2017, ia adalah kurator Pekan Seni Media yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Forum Lenteng.
Hafiz Rancajale (Pekanbaru, 1971) is an artist, filmmaker, curator, and co-founder of Forum Lenteng. He graduated from the Art Institute of Jakarta (IKJ), and is now the Chairman of Forum Lenteng and the ARKIPEL Artistic Director. In 2017, he is the curator of Pekan Seni Media organized by the Ministry of Education and Culture in cooperation with Forum Lenteng.
Yuki Aditya (Jakarta, 1981) adalah pegiat kebudayaan. Lulusan Jurusan Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia. Aktif berkegiatan di Forum Lenteng dan sejak tahun 2013 menjadi Direktur Festival ARKIPEL.
Yuki Aditya (Jakarta, 1981) is a cultural activist. He graduated Fiscal Administration at the University of Indonesia. He is a member of Forum Lenteng and since 2013 he becomes the Festival Director of ARKIPEL.
Andang Kelana (Jakarta, 1983) adalah seniman, desainer grafis & web, dan salah satu pendiri Forum Lenteng, penanggung jawab Program Visual Jalanan (www.visualjalanan. org). Tahun 2018, ia menjadi CoKurator untuk Pekan Seni Media yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Forum Lenteng.
Andang Kelana (Jakarta, 1983) is an artist, graphic & web designer, and one of the founders of Forum Lenteng, in charge of Visual Jalanan program. In 2018, he is co-curator for Pekan Seni Media organized by the Ministry of Education and Culture in cooperation with Forum Lenteng.
Artistic director
Yuki Aditya Festival Director
Andang Kelana Festival Manager
xii
KUR ATOR / CUR ATORS
Anggraeni Widhiasih (1993) meraih gelar S1 Hubungan Internasional di Universitas Paramadina. Saat ini ia adalah anggota Forum Lenteng yang bertanggung jawab untuk Divisi Riset dan Pengembangan. Ia juga berpartisipasi dalam Program Diorama – AKUMASSA dan dalam program lokakarya filem oleh Forum Lenteng – Milisifilem. Ia juga anggota peneliti di Koperasi Riset Purusha.
Anggraeni Widhiasih (1993) achieved her Bachelor Degree of International Relations study from Paramadina University. She is currently an active member of Research and Development program at Forum Lenteng. She participates in Diorama project by AKUMASSA and in a film workshop by Forum Lenteng – Milisifilem. She is also a member of Koperasi Riset Purusha.
Azar Mahmoudian merupakan kurator dan pendidik yang berbasis di Tehran. Ia pernah menjadi programer pada penayangan di SOAS, London; HFK, Bremen; Blackwood Gallery, Universitas Toronto and mengkurasi bersama di antaranya 11th Monitor Festival, SAVAC. Ia merupakan anggota dewan juri pada Images Festival (2015, Toronto) dan juga bagian dari tim kuratorial Biennal Gwanju 11th (2016). Ia kini tengah mengerjakan seri kedelapan dari sebuah rangkaian pemutaran filem, Sensible Grounds and Tectonics of Camaraderie, sebagai bagian daria proyek 4Cs yang didanai oleh Uni Eropa (2018-2020, di berbagai lokasi).
Azar Mahmoudian an independent curator and educator based in Tehran. She has programmed screenings at SOAS, London; HFK, Bremen; Blackwood Gallery, Toronto University, and co-curated 11th Monitor Festival, SAVAC, among others. She was a jury member at Images Festival, Toronto (2015) and was part of the curatorial team of the 11th Gwangju Biennial (2016). She is currently working on an eight-chaptered film program, “Sensible Grounds and Tectonics of Camaraderie,” as part of the 4Cs Project (multiple venues, 2018-2020).
Dhuha Ramadhani (1995) adalah lulusan Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.Ia merupakan anggota Forum Lenteng dan bertanggung jawab sebagai pengurus harian program AKUMASSA. Tahun 2017, ia menjadi salah satu partisipan Akademi ARKIPEL, angkatan pertama, untuk kategori penulis/ kritikus film. Kini, ia juga merupakan partisipan kolektif Milisifilem yang berfokus pada estetika pembuatan filem.
Dhuha Ramadhani (1995) graduates from the Department of Criminology, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia. He is member of Forum Lenteng as one of the participants for AKUMASSA program. In 2017, he became one of the ARKIPEL Academy’s participants, the first batch, for category of writer/ film critic. Now, he is also the participant of Milisifilem collective focusing of the aesthetic of filmmaking.
Mahardika Yudha (lahir di Jakarta, 1981) adalah seniman, kurator, peneliti seni dan filem, dan salah satu pendiri Forum Lenteng. Karyakaryanya telah sering dipresentasikan di berbagai perhelatan nasional dan internasional. Tahun 2017, ia menjadi salah satu Asisten Kurator untuk Pekan Seni Media yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bekerja sama dengan Forum Lenteng.
Mahardika Yudha (born in Jakarta, 1981) is an artist, curator, art researcher, and one of the founder of Forum Lenteng. His works has been presented in several art events nationally and internationally. In 2017, he is one of the assistant curators for Pekan Seni Media organized by the Ministry of Education and Culture in cooperation with Forum Lenteng.
Anggraeni Widhiasih
Azar Mahmoudian
Dhuha Ramadhani
Mahardika Yudha
xiii
KUR ATOR / CUR ATORS
Manshur Zikri (Pekanbaru, 1991) adalah kritikus dan kurator filem, anggota Forum Lenteng, mengurus Program AKUMASSA. Lulus dari Departemen Kriminologi, Universitas Indonesia, pada tahun 2014. Ia kini juga koordinator riset untuk www. senimedia.id
Manshur Zikri (Pekanbaru, 1991) is a film critic and curator, a member of Forum Lenteng, in charge of AKUMASSA program. He graduated Criminology at the University of Indonesia in 2014. He is also the research coordinator for www. senimedia.id
Sonal Jain ( lahir di Shillong) merupakan salah satu pendiri Desire Machine Collective di tahun 2004. Ia bergerak pada irisan antara filem, seni, ekologi, teknologi dan aktivisme. Aktivitasnya mencakup filem, video, fotografi, media digital, intervensi publik, kurasi hingga tulisan. Sonal kini tengah mengerjakan filem panjang pertamanya. Salah satu karya Desire Machine Collective berjudul Periferry merupakan sebuah proyek laboratorium yang mempertemukan kerja artistik, saintifik dan teknologis. Karya-karya Desire Machine Collective telah dihadirkan pada berbagai pameran dan festival filem internasional.
Sonal Jain (b. Shillong) co-founded Desire Machine Collective in 2004. She works at the intersection of film, art, ecology, technology and activism. Her practice spans from film, video, photography, digital media, public intervention, curating to writing. Sonal is currently working on her first feature film project. One of the most revered works of the collective is Periferry – a project that bringing together artistic, scientific and technological practices. Their works have been featured in numerous international exhibitions and film festival.
Manshur Zikri
Sonal Jain
KETUA KOMITE SELEKSI / HEAD OF SELECTION COMMITTEE
Ugeng T. Moetidjo is an artist, writer and senior researcher at Forum Lenteng. He studied Arts at the Institut Kesenian Jakarta, and also studied film history and theories of cinematography in the same institution. He is an activist for the work of arts, theatre, and cinema as well as social.
Ugeng T. Moetidjo
xiv
Ugeng T. Moetidjo adalah seniman, penulis, dan peneliti senior di Forum Lenteng. Pernah menempuh pendidikan di bidang Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta, dan belajar sejarah dan teori sinematografi di institut yang sama. Aktivis untuk kerja-kerja senirupa, teater, sinema, serta sosial.
JURI / JUROR
lihat h.xii
see p.xii
lihat h.xiii
see p.xiii
Dave Lumenta (1971, Amsterdam) merupakan seorang antropolog / musisi. Ia mengajar Antropologi Globalisasi, Etnografi Asia Tenggara dan Antropologi Kesenian pada Departemen Antropologi FISIP UI. Ia terlibat dalam sebuah eksperimentasi musik kolaboratif bersama para pengungsi Oromo dari Ethiopia yang antara lain menghasilkan supervisi atas dokumenter Performing Out of Limbo (2018, karya Betharia Nurhadist dan Indrawan Prasetyo) dan beberapa pementasan di Jakarta. Ia juga tertarik pada fotografi, terlibat dengan sejumlah grup musik dan pernah menggarap scoring musik untuk sejumlah filem.
Dave Lumenta (1971, Amsterdam) is an anthropologist / musician. He teaches Anthropology of Globalization, Southeast Asia Ethnographies and the Anthropology of Art at Universitas Indonesia. He was involved in a musical experimentation collaboration with Oromo refugees from Ethiopia in Indonesia, which recently produced a documentary he supervised, Performing Out of Limbo (2018, Betharia Nurhadist and Indrawan Prasetyo) and numerous performances around Jakarta. He is also interested in photography, involved with several music groups and covered music scoring for numerous films.
Ronny Agustinus merupakan salah satu pendiri Ruangrupa. Sejak 2005 hingga sekarang mengelola penerbit Marjin Kiri. Ia juga merupakan kurator sesi Amerika Latin untuk ARKIPEL; Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival 2014-2016, juri ARKIPEL 2014-2015, juri dokumenter panjang Festival Film Dokumenter 2015 dan 2017 (Yogyakarta), dan juri Psychology Film Festival 2016 (Surabaya).
Ronny Agustinus is one of the founders of Ruangrupa. He has been developing his independent publisher, Marjin Kiri, since 2005. He curated the Latin America session in ARKIPEL; Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival 2014-2016. He was Jury at ARKIPEL 2014-2015, at the feature documentary of Festival Film Dokumenter (FFD) 2015 and 2017 (Yogyakarta), and at Psychology Film Festival 2016 (Surabaya).
Hafiz Rancajale
Azar Mahmoudian
Dr. Dave Lumenta
Ronny Agustinus
xv
Forum Lenteng adalah organisasi non-profit berbentuk perhimpunan yang didirikan oleh pekerja seni, peneliti budaya, dan mahasiswa komunikasi/ jurnalistik pada tahun 2003, yang bekerja mengembangkan pengetahuan media dan kebudayaan melalui pendidikan alternatif berbasis komunitas. Forum ini bertujuan menjadikan pengetahuan media dan kebudayaan bagi masyarakat itu untuk hidup yang lebih baik, terbangunnya kesadaran bermedia, munculnya inisiatif, produksi pengetahuan, dan terdistribusikannya pengetahuan tersebut secara luas. ďż˝
Forum Lenteng is a non-profit collective based organization which was founded by artists, students, researchers, and cultural activists in 2003. The Forum has been working to develop media knowledge and cultural studies as an community based alternative education. The Forum is aiming to enact media and cultural knowledge for the society to lead a better life, building the awareness of media literacy, initiating and producing knowledge and distributing the knowledge universally.
www.forumlenteng.org info@forumlenteng.org @forumlenteng xvi
Ketua / Chairperson Hafiz Rancajale Sekretaris Jenderal / Secretary-General Andang Kelana Keuangan / Finance Yuki Aditya, Pingkan Persitya Polla Penelitian & Pengembangan / Research & Development Mahardika Yudha / Anggraeni Widhiasih / Dhuha Ramadhani Produksi / Production Syaiful Anwar / Robby Ocktavian Direktur Program Pendidikan Media Berbasis Komunitas / Director of Community Based Media Education Otty Widasari akumassa (www.akumassa.org) Manshur Zikri Jurnal Footage (www.jurnalfootage.net) Akbar Yumni & Afrian Purnama ARKIPEL (www.arkipel.org) Yuki Aditya Visual Jalanan (www.visualjalanan.org) / Toko Store (@toko.store) Andang Kelana / Wahyu Budiman Dasta 69 Performance Club (www.69performance.club) Prashasti W. Putri / Abi Rama Web & Social Media Lutfhan Nur Rochman xvii
xviii
1
PERNYATA AN ARTISTIK
Ludic, Saat Sinema Kembali Pada Kemanusiaannya Hafiz Rancajale
One is never afraid of the unknown; one is afraid of the known coming to an end. —Jiddu Krishnamurti Tahun 2018 adalah tahun yang spesial bagi Forum Lenteng sebagai penyelenggara ARKIPEL Festival, yaitu lima belas tahun organisasi kami berdiri. Penyelenggaraan ARKIPEL Festival pertama, kami hadir saat usia organisasi ini sepuluh tahun. Usia sepuluh tahun kami anggap cukup untuk memulai sebuah festival yang menghadirkan apa-apa yang kami kerjakan. Sebagai organisasi yang telah berdiri lebih dari sepuluh tahun, tentu banyak yang berpikir bahwa organisasi ini telah menjadi institusi ataupun kolektif yang besar dengan berbagai kegiatan berskala nasional dan internasional. Anggapan itu tentu salah sama sekali. Meskipun ada banyak yang dikerjakan oleh Forum Lenteng dalam lima belas tahun terakhir, kami sangat concern untuk menjaga agar organisasi ini tetap kecil, agar terus punya kedekatan dengan para anggota, dan medan sosio-kulturalnya. Tahun 2003, kami memulai forum ini dengan proyek kompilasi filem dokumenter ekperimental tentang Jakarta, Massroom Project. Saya masih ingat, saat itu kata ‘main-main’ atau ‘bermain dengan kamera’ menjadi kunci keberhasilan dari Massroom Project. Forum Lenteng dimulai oleh para partisipan dengan latar belakang yang beragam, dari jurnalistik, komunikasi, periset hingga seniman. Untuk proyek pertama yang kami kerjakan itu, tidak satu pun para partisipannya punya latar belakang seni, ataupun filem, kecuali saya sebagai fasilitator. Metode ‘main-main’ menjadi cukup efektif saat kami memulai eksperimentasi, baik dari medium ataupun kontennya—beban 2
sejarah terhadap keduanya, menjadi persoalan ke sekian. Metode main-main ini tentu mesti dibingkai dalam ‘keseriusan’ tertentu untuk bisa menjadi sesuatu yang berarti. Melalui dorongan untuk menggunakan imajinasi paling manusiawi dalam melihat pengalaman, ataupun membingkai persoalan dalam karya audio visual, eksperimentasi itu dapat mewujud. Memang tidak mudah. Tapi dari pengalaman bersama kawan-kawan Forum Lenteng saat memulai kolektif ini pada tahun 2003, ‘bermain’ jadi kata kunci untuk mengikat kami hingga sekarang.
ARKIPEL homoludens Berangkat dari buku Johan Huizinga (1938), berjudul Homo Ludens, ARKIPEL Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival tahun ini mengangkat judul yang sama: homoludens. Dalam bukunya, Huizinga mengkritisi kultur homo faber yang rasional dan menjadikan model-model produksi sebagai penopang peradaban modern manusia. Ludik adalah ekspresi yang paling manusiawi. Ekspresi-ekpresi kebermainan telah mengkonstitusikan keberadaan kita melalui pengalaman ekspresi. Ia memuat kemerdekaan, kreativitas, dan spontanitas, yang pada akhirnya menjaga keharmonisan. Jadi, ‘main-main’ adalah hal sangat serius (YB. Mangunwijaya, 1990). Jika berangkat dari sejarah sinema, model-model ludik dalam membingkai ekspresi filem, telah membentuk bahasanya sendiri—bingkai kamera bukan saja soal merekam dan menceritakan, namun ia telah bergeser menjadi berbagai eksperimentasi manusiawi dalam representasi audiovisual; sinema avant-garde. Hal ini dapat kita rujuk pada bagaimana performativitas tubuh dan ruang dalam sinema avant-garde, yang mencoba melepas ikatanikatan ‘kultural’ pada aturan baku dalam ekspresi-ekspresi tubuh dan ruang. Kemungkinan yang diberikan sinema, yaitu ‘ruang representasi’, adalah kelonggaran yang besar bagi filem untuk memunculkan model-model ludik dalam karya sinema eksperimental. Melalui ARKIPEL homoludens, kami mencoba melihat dan menanggapi bagaimana perkembangan bahasa sinema jika dikaitkan kemungkinankemungkinan ‘kebermainan’-nya, terkait hubungan antara hal yang manusiawi dengan teknologi—karena sinema tidak bisa lepas dari sejarah mediumnya sendiri, yang pada akhirnya mengubah pola interaksi antara manusia dan 3
teknologi itu sendiri. Era digital memungkinkan performativitas baru bagi tubuh, karena akses data yang dimediasi software dapat diduplikasi dari materi aslinya. Mengakses data saat ini merupakan pengalaman konstruktif akan peranti, ketimbang pengalaman dunia riil. Ia bukan dokumen statis (yang telah ditentukan sebelumnya), melainkan suatu keluaran dari komputasi real-time yang dinamis. Praktik semacam “klik”, “sentuh”, dan “geser”, serta upaya “mengkolase”, “copy-paste”, “delete”, hingga “fotografi selfie”, ialah pengalaman “tindakan” ketimbang produksi, bersifat ephemeral ‘serba sebentar’ dan multipliable ‘siap tergandakan’. Orientasi “tindakan” ini mengembalikan watak ludic ‘bermain-main’ manusia karena didukung oleh kondisi objek tindakan yang spasial dan tak berlokasi secara fisik. Bukan lagi tentang di sini atau di sana, melainkan serentak di sini dan di sana yang sesungguhnya telah lepas dari konteks dan universalitas teknologisnya (Yumni dan Zikri, 2018). Namun demikian, periode digital tidak hanya soal kebangkitan baru dari keterampilan terhadap alat, misalnya kepiawaian atas software, tetapi juga menarik fungsi tubuh kembali pada sesuatu yang purba, yakni menjadi “performatif” dan “spontan”, bukan hanya dalam hal mengakses data intangible ‘tak dapat disentuh’, tapi juga tanding sosial dan kultural yang tak akan lepas dari pengandaian-pengandaian fisik dan psikologis. Homo ludens menemukan momentumnya pada masa ini, sehingga sinema bukan lagi perihal kebenaran atau ketidakbenaran. Totalitas spasial dalam penggunaan peranti-peranti digital mampu menciptakan dunia yang dapat dibayangkannya sendiri. Kembalinya hasrat “bertindak” merupakan tanggapan atas permainan representasi, bukan representasi itu sendiri. Tapi bagi sinema, “permainan” tentunya layak diimajinasikan lewat kemungkinan-kemungkinan yang cakupannya bahkan dapat melampaui aparatus digital itu (Yumni dan Zikri, 2018). Berbagai pengalaman ‘ludik’ itu akan hadir dalam berbagai program ARKIPEL tahun ini. Selain program Kompetisi Internasional yang menghadirkan 21 filem dari 14 negara, seperti tahun-tahun sebelumnya, festival secara khusus menghadirkan program yang membaca perkembangan terbaru dari sinema independen Indonesia dalam program Candrawala. Selain itu, Program Focus On Kidlat Tahimik, yang akan dihadiri oleh sang seniman, adalah salah satu program unggulan dalam ARKIPEL homoludens. Kidlat 4
adalah seorang seniman dan sutradara yang telah memberikan warna yang berbeda dari sinema Asia Tenggara. Ia dengan jenial membingkai ‘kelokalan’ yang penuh daya kritis yang memukau, namun tetap mengedepankan imajinasi ‘kebermainan’ yang penuh kejutan dalam dunia representasi sinema. Tahun ini, kami juga menghadirkan program Penayangan Spesial Harun Farocki, yang akan dipresentasikan bersama dengan Harun Farocki Institut, Jerman. Beberapa program kuratorial juga hadir antara lain; Canadian Experimental Film, Austrian Experimental Film, Iranian Experimental Film, dan British Experimental Film, serta Indian Documentary Film. Program pendukung yang selalu hadir di ARKIPEL adalah program pameran Kultursinema yang bertajuk Gelora Purnaraga yang dikuratori oleh Mahardika Yudha. Gelora Purnaraga merupakan pameran yang mencoba membaca rekaman-rekaman filemis dari sejarah penyelenggaraan pesta olahraga terbersar di Asia; Asian Games (1962) dan Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang—GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) tahun 1963. Terakhir, pada festival tahun ini juga kembali hadir Forum Festival, yaitu program simposium filem yang mengundang sejumlah pembicara yang kredibel di bidangnya masing-masing. Simposium ini menjadi ruang bagi sejumlah praktisi profesional, pegiat komunitas, kritikus, akademisi, dan cinephile untuk bertemu dan saling bertukar pengalaman. Demikianlah, semoga saja ARKIPEL dapat menghadirkan pengalam ludik dalam sinema kepada penonton. Tentu kebermainan yang kami maksudkan dalam festival ini bukan sekadar main-main belaka. Hal yang paling utama adalah bagaimana kemungkintan-kemungkinan ludic itu dapat menjadi cara kita melihat kebudayaan kontemporer, yang terus berubah begitu cepat. Untuk itulah saatnya kita kembali kepada hal yang paling manusiawi dalam melihat dan membingkai: kebermainan. Karena hal ini membawa kita pada hal yang paling hakiki dari kita, yaitu: kemanusiaan. Selamat bertualang dalam sinema homoludens.
5
ARTISTIC STATEMENT
Ludic, When Cinema Goes Back to its Humanity Hafiz Rancajale
One is never afraid of the unknown; one is afraid of the known coming to an end. —Jiddu Krishnamurti
2018 is a special year for Forum Lenteng as the organiser of ARKIPEL Festival; it is the 15th year anniversary of Forum Lenteng since it was established in 2003. The first ARKIPEL Festival was held when Forum Lenteng was ten years old. We consider ten years as old enough to start a festival to showcase what we have been doing. As an organisation that has been established for more than ten years, many would think that this organisation has become a large institution or collective with doing various activities at either national or international scale. The assumption is undoubtedly wrong at all. Although there have been many things done by Forum Lenteng in the last fifteen years, we are very concerned to keep this organisation small, to continue to have close relationships with its members, and its socio-cultural field. In 2003, we started this forum with an experimental documentary compilation project about Jakarta, Massroom Project. I still remember, when the word ‘playing’ or ‘playing with the camera’ became the key to the success of the Massroom Project. Forum Lenteng was started by participants with diverse backgrounds, from journalism, communication, researchers to artists. For the first project we did, none of the participants had any art background, or film, except me as a facilitator. The ‘playful’ method became quite effective when we started experimenting, both from the medium or the content—the 6
historical burden on both were not so urgent. This playful method must be framed in a certain ‘seriousness’ to be something meaningful. The driving force was to use the most humane imagination in viewing experiences, or framing issues in audiovisual works, the experimentation could be materialised. It was not easy. However, from my experience with my friends at Forum Lenteng when I started this collective in 2003, ‘playing’ was the keyword to tie us up to now.
ARKIPEL homoludens Departing from Johan Huizinga’s book (1938), Homo Ludens, this year’s ARKIPEL Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival raised the same title: homoludens. In his book, Huizinga criticises the rational culture of homo faber which makes production models as the support for modern human civilisation. Ludic is the most human expression. The playing expressions have constituted our existence through the experience of expression. It contains independence, creativity, and spontaneity, which in turn maintains harmony. So, ‘playing’ is a solemn thing (YB Mangunwijaya, 1990). Departing from the history of cinema, ludic models in framing the expression in the film have shaped their own language—the framing of the camera is not just about recording and telling stories, but it has shifted into various human experiments in audio-visual representation: the avant-garde cinema. We can refer this to how the performativity of body and space in avant-garde cinema, which attempts to remove ‘cultural’ ties to the standard rules in human and space expressions. The possibility given by cinema—i.e. ‘representational space’—is a great leeway for a film to bring up ludic models in experimental cinema. Through ARKIPEL homoludens we try to see and respond to the development of cinematic language when it relates its ‘playing’ possibilities, to the relationship between human and technological things—since cinema cannot escape from its own history of the medium, which then changes the interaction pattern between human and technology itself. The digital age brings through sophisticated performativity for the body, because softwaremediated data can be duplicated from the original material. Nowadays, accessing data is a constructive experience of devices, rather than real-world 7
experiences. It is not a static document (which is determined), but an output of the dynamic real-time computation. Practices such as “click,” “touch,” and “swipe/slide”, as well as attempts “to create collage”, “to copy-paste”, “to delete”, even “to take selfie photography”, are “action” experiences rather than production—tend to be ephemeral and multipliable. This “action”-orientation brings back the ludic character of humans because the spatial condition supports it and not physically located. It is no longer about here or there, but here and there; that it has been detached from its technological context and universality (Yumni and Zikri, 2018). However, the digital age is not just a matter of a new revival of craftsmanship in using the devices, such as expertise of using the software. It also recalls the function of the body toward something primordia; becoming “performative” and “spontaneous”, not only concerning intangible data access but as well as the social and cultural competition that will not escape physical and psychological tension. “Digital” as a spatial experience and a game on mediums and devices, is like a ludic framework criticising the homo faber culture that always culminates in production and rationality. Homo ludens finds its momentum within this age; thus cinema is no longer a matter of truth or untruth. Spatial totality in the use of digital devices can create a world of its own imagination. The return of desire to act is a response to the game of representation, not just a mere representation. However, for the Cinema, “game” is indeed worth imagined through any possibilities whose scope can even go beyond the digital apparatus. (Yumni and Zikri, 2018). These ‘ludic’ experiences will be present in various ARKIPEL programs this year. In addition to the International Competition program which presents 21 films from 14 countries, such as in previous years, the festival specifically presents programs that read the latest developments from Indonesian independent cinema in the program Candrawala. Also, the Focus On: Kidlat Tahimik program, which will be attended by the artist, is one of the flagship programs in ARKIPEL homoludens. Kidlat is an artist and director who has given a different colour from the Southeast Asian cinema. He framed ‘locality’ with fascinating critical tension, but still put forward the imagination of ‘playing’ with full of surprises in the world of representation through cinema. This year, we also will showcase a Special Screening Program of Harun Farocki’s films, which will be co-presented with Harun Farocki 8
Institut, Germany. Some curatorial programs which are also going to be present, among others; Canadian Experimental Film, Austrian Experimental Film, Iranian Experimental Film, and British Experimental Film, and Indian Documentary Film. The support program that is always present in ARKIPEL is the Kultursinema exhibition entitled Passion of The Perfect Body curated by Mahardika Yudha. Passion of The Perfect Body is an exhibition that tries to read recorded footages from the history of the most significant sporting event in Asia; Asian Games (1962) and Games of the New Emerging Forces (GANEFO) in 1963. Last but not least, we are also going to present again the Forum Festival, a film symposium program that invites many credible speakers in their respective fields. The symposium is a space for some professional practitioners, community activists, critics, academics, and cinephiles to meet and exchange experiences. Thus, hopefully, ARKIPEL can bring ludic experience in the cinema to the audience. Of course, the ‘playing’ element we mentioned beforehand in this festival is not just a mere playing. The main thing is how these ludic possibilities can be the way we look at contemporary culture, which is changing so fast. That is when we come back to the most human thing in seeing and framing: the playing; because it brings us to the most essential of us: humanity. Welcome to the cinema of homoludens.
9
REFLEKSI ARKIPEL
sinema now Ugeng T. Moetidjo
Dalam lima tahun terakhir, anjing-anjing dan—kemudian—kucingkucing, secara bergantian telah menjadi bagian dari keseharian tempat dan aktivitas saya. Anjing-anjing ada bersama saya satu per satu, sementara kucing-kucing relatif sekaligus. Anjing yang pertama merupakan alih pelihara seseorang dari lingkungan urban pinggiran yang secara habitual tidak permisif terhadap jenis hewan ini. Sedangkan kucing, mula-mula selama rentang waktu itu, berawal dari sejenis heroisme melankolia yang memanfaatkan fatalitas latar dan peristiwa. Sejarah personal tentang spesies yang pertama dapat ditarik ke masa lalu sebagai hewan peliharaan, sedangkan keberadaan yang kedua cukup tak dihiraukan meskipun ada satu yang kerap berdiam di teras rumah kala itu. Kembali ke rentang waktu itu hingga sekarang, beda perlakuan atas kucing dibanding anjing tampak dalam hal pemberian nama. Anjing yang pertama, kedua dan yang ketiga punya masing-masing nama sedangkan para kucing relatif tidak. Nama-nama bagi yang terakhir baru diberi—secara tertulis— demi memenuhi prosedur formal klinik hewan tanpa betul-betul dipakai untuk terhubung dengan kucing-kucing itu. Panggilan bagi masing-masing mana pun dari mereka diseragamkan dengan suara decak yang begitu umum. Para kucing terkomunikasi dengan bunyi atau suara yang saya buat. Begitu sebaliknya, saat mereka memperdengarkan suara kepada saya. Relasi semacam ini bukan berbasis momen melainkan menghasilkan momen. Sekurangnya, selama durasi 300 menit setiap harinya, anjing saya bawa berjalan-jalan, bertemu lain hewan dari jenisnya dan mengenalkannya dengan lingkungan manusia. Di beberapa kesempatan, kamera video merekam itu 10
sehingga kamera dan anjing telah membuat serangkaian frame tentang tempattempat yang terlalui dan tersinggahi, tanpa saling bicara. Dan begitulah— seturut doktrin Kuleshov—sinema terwujud dari potongan-potongan geografis. Sebagian dari rangkaian frame momen tersebut ada di sejumlah footage, termasuk dengan kucing-kucing yang menyusun geografi rangkaian frame itu dari setiap langkah mereka di halaman rumah. Efek representasi dalam frame menghasilkan pola-pola ketinampilan identitas dalam ruang dan waktu—lokasi dan situasi—yang lagi-lagi secara geografis dikontur melalui berbagai gerak hewan-hewan tersebut dalam tangkapan frame kamera. Bayangan tentang lingkungan dan keadaan di situ telah termediasi dalam wujudnya sebagai objek numerik dari ragam kedataan rangkap dan memupus sisi asali materialnya. Sebuah pengalaman geografis memetakan ragam identitas keseharian publik global lewat thumbnail dan klik. Praktik keterpetaan ini telah menginisiasi bentuk-bentuk pengalaman spasial ke dalam pola permainan yang dimediasi oleh fitur media global. Prolog di atas mengacu pada fakta bahwa footage-footage tersebut memperlihatkan kesamaan pola dengan frame-frame anjing dan kucing yang bisa ditonton di kanal Youtube, yang dengan gamblangnya, mengidentifikasi aneka-polah kedua spesies dan kontaknya dengan tempat dan momen keseharian para individu dari berbagai penjuru. Di samping insting, aspek domestikasi dalam beberapa kondisi tertentu, sedikit-banyak, juga bersangkutan dengan apa yang boleh diistilahkan sebagai ‘budaya’ anjing dan ‘budaya’ kucing melalui kedudukan mereka di masyarakat. Dalam rekamanrekaman video tentang anjing-anjing dan kucing-kucing, tampil modamoda penandaan yang menghubungan beragam interaksi pemilik maupun pemerhati dengan kedua spesies atau sebaliknya. Dalam konteks tontonan, penampilan hewan-hewan tersebut—dan interaktivitas mereka dengan manusia—bisa dipandang sebagai ungkapan sinematik versi mutakhir. Bentuk penatapan baru ini telah mengubah preferensi khalayak terhadap penggambaran realitas ke narasi geografis tentang manusia dan peristiwa, persis saat teroperasikannya kemunculan fenomen berbeda lewat mekanisme transmisi peristiwa keseharian menjadi realitas itu sendiri dan bukan dari konsep representasi mimetiknya. Ia bukannya tidak nyata—semu, maya atau virtual—melainkan kenyataan itu sendiri seiring pemindahan konsep dan praktik representasionalnya ke ruang 11
penuh komentar—simpati dan kecaman—yang melibatkan aspirasi warganet (netizen) justru melalui struktur pembingkaiannya yang serba parsial. Hal semacam ini tidak terjadi pada karya sinema—terutama sinema tinggi—yang diyakini menghadirkan gambaran dan konsep-konsep keutuhan kosmologis. Representasi teknologis mengenai kucing maupun anjing sudah ada seawal kelahiran sinema—termasuk dalam frame-frame Lumiere bersaudara— dalam rerata durasi yang sama dengan banyak penampilan mereka sekarang sebagai sekumpulan besar fragmen bermain dengan anjing dan kucing. Rekaman awal tentang mereka—di konteks dulu maupun kini—sekadar menandai representasi ludik gramatik percobaan teknologi sinematografi. Sementara frame-frame anjing dan kucing hari-hari ini lebih membuktikan fenomena ludik konsensual ketika berbagai footage unggahan tersebut lebih memproduksi realitas-realitas situasional dari beragam lingkungan lokal— sesuatu yang belum dimungkinkan dalam representasi awal. Perbedaan struktur representasi tersebut lebih jauh mengisyaratkan mekanisme permainan tanda yang secara sistematis mengonstruk sikap penonton terhadap footage-footage narasi kaum amatir itu—bukannya pada nilai pesan sebagaimana umumnya dibawa oleh sinema tinggi. Frame dari rekaman video anjing dan video kucing memuat oralitas visual (kelisanan gambar) yang secara otomatis terelasi dengan momen-momen realitas khalayak penonton sejagat. Hal ini terjadi oleh kian memendeknya jarak penatapan publik terhadap frame-frame representasi serta ragam lokasi latar tontonnya. Situasi penatapan ini lebih berwatak antarpublik dan berpotensi menciptakan logika keberpihakan ketika ruang dan waktu kian dimampatkan. Perkembangan mutakhir frame-frame naratologis tersebut juga telah menempatkan beragam kisah anjing dan kucing di berbagai peristiwa ke dalam superstruktur komunikatif dan mengubahnya ke dalam konsep ‘naturalisme’ lewat pembingkaian yang memupus jejak-jejak estetika, signifikansi, serta fungsi representasi teknologisnya. Dengan demikian, naturalisme—gagasan akan yang alamiah—menjadi jauh lebih memungkinkan dalam menerapkan dan memperlihatkan taktik-taktik dari peristiwa bermain sebagai pengalaman budaya melalui jukstaposisi, susunan atau keberurutan frame. Pembingkaian footage-footage anjing dan kucing memposisikan perekam—entah sebagai pemilik si hewan atau bukan—ke dalam objektivasi. Dari frame-frame mereka bisa dilihat pola siklis dari sirkulasi model-model produsen representasi dan 12
publiknya, di mana realitas-realitas yang tervideokan tersusun sebagai jalur dari pembingkaian dan bukan untuk mengatasi kelisanan, tetapi justru, untuk mempertegasnya setelah tradisi ini cukup diremehkan dalam wacana sinema. Maka, pembingkaian tersebut tidak bertujuan demi melampaui pengalaman perekam atau si hewan, melainkan sebaliknya, bersandar dan bertolak dari keseharian yang dalam video-video amatir berwatak periferal ini tampil sebagai aneka tangkapan tentang ranah-ranah lokal. Geografi dari frame-frame keseharian dalam genre sinema jenis ini memuat secara komplementer kedekatan realitas yang lebih mampu mengundang simpati karena fragmen-fragmen keseharian—termasuk dalam hal video kucing dan anjing—itu tidak lagi dilihat berdasarkan konsepkonsep tetapi sebagai momen-momen empiris, sekalipun itu ditampilkan sebagai semacam performativitas visual. Pada footage-footage anjing dan kucing berlangsung relasi yang menginisasi kesertaan publik (dibanding rekaman mekanis awal yang memproduksi ‘makna’ di seputar spektrum kuasa pengetahuan) dalam konteks ruang dan waktu di sini dan kini. Frame-frame dari sinema tradisional di masa lalu begitu sibuk memproduksi ilusi-ilusi guna mengideologisasi publik dengan monumen-monumen pesan seraya mendisiplinkan prinsip-prinsip keabadian ke dalam pencapaain-pencapaian sinematik. Sebaliknya, praktik-praktik sinematik sehari-hari unggahan mencoba memupus ketergantungan laten itu dari pendahulunya dan dengan sengaja membiarkan footage-footage-nya terus-menerus terkategori sebagai yang sementara. Di sini, pendekatan jukstaposisi frame-frame tidak lagi ditujukan untuk melampaui narasi sebagaimana yang dengan ketat dipertahankan dalam tradisi sinema awal, melainkan memang berupaya untuk menjadi narasi itu sendiri dan dengan demikian dapat lebih ditransaksikan/ terkoherensi dengan publik. Konfigurasi frame-frame berpotensi sebagai pembayangan naratif yang dengan mekanisme tertentu telah mereplika entitas publik dan menstimuli tindakannya untuk mengklik dan menonton. Di situlah, momen-momen tersebut menunjukkan pergeseran narasi dari strukturnya yang vertikal ke horizontal yakni ketika frame-frame dalam sinema keseharian berada di luar sinema tinggi yang terobsesi untuk menjadi jejak-jejak pelacakan ingatan atas konsep-konsep falsafi, sementara sinema yang horizontal ini membiarkan diri untuk punah dan memupus ingatan. Meskipun begitu, frame-frame yang 13
menyaran watak narasi horizontal dalam struktur jukstaposisinya akan dengan sendirinya mengkondisikan suatu gagasan ruang dan waktu melalui ketakberhinggaan footage dan durasi yang bisa dibayangkan sebagai peta yang terus berubah dengan jejalur (plot) yang akan selalu muncul setiap kali thumbnail-thumbnail itu diklik sesuai praktik penggunaannya oleh publik.
14
ARTISTIC STATEMENT
sinema now Ugeng T. Moetidjo
In the last five years, dogs and — then — cats, have alternately become part of my daily life. The dogs are with me one by one, while the cats are relatively many at a time. The first dog was given by a person from a suburban neighborhood that is habitually non-permissive to this animal species. While the cat at first, during that span of time, was originated from a kind of heroic melancholy exploiting the fatalities of background and events. Personal history of the first species can be drawn to the past as a pet, while the second existence is mostly ignored even though there is one that often stays on the porch of the house at that time. Back to that time until now, different treatments on cats compared to dogs appear in their naming. The first, second and third dogs have different name while the cats relatively do not. Names for the second species have been given – in writing – to fulfill a formal procedure on the animal clinic without being really used to relate to them. The calling for each of them is generalized with a very common clicking sound. The cats communicate with the sound or voice I make. Vice versa, when they make a sound to me. This kind of relationship is not moment-based but producing moment instead. At least, 300 minutes each day, I take a walk with my dog, bringing it to meet other animals of its kind and introduce it to the human environment. On several occasions, the video camera recorded it, so that the camera and the dog had created a series of frames about the places that were passed and visited for a while, without speaking, and — in accordance with Kuleshov’s doctrine — cinema is materialized from geographical fragments. Part of the series of
15
frames of those moments are in several footages, including the cats that make up the geography of that series of frame from each of their step on the porch. A representative effect in the frame produces patterns of performative identity in terms of space and time — location and situation — which again are geographically contoured through various movements of those animals in the capture of camera frames. The imagination of environment and situation have been mediated through its form as a numerical object from duplicable data and eliminating its material original side. A geographical experience maps out various identities of global public’s daily life through thumbnails and clicks. This practice of mapping out has initiated forms of spatial experience into game patterns mediated by global media features. The above prologue refers to the fact that these footages show similarity of patterns with the frames of dogs and cats that can be watched on Youtube channel, which clearly identifies the various patterns of both species and their contact with the place and daily moments of individuals from various directions. Aside of instinct, domestication in certain conditions is also concerned with what can be termed as the ‘culture’ of dogs and the ‘culture’ of cats, through their position in society. In video recordings of dogs and cats, there appear modes of sign that connect various interactions between owners and observers of both species or vice versa. In the context of spectacle, appearance of these animals — and their interactivity with humans — can be seen as a cutting-edge cinematic expression. This new form of seeing has changed the audience’s preference toward the depiction of reality to the geographical narrative of human and events, precisely at the emergence of different phenomena through the transmission of everyday events into the reality itself and not from the concept of mimetic representation. It is not unreal — pseudo, illusion, or virtual — but it is the fact itself along with the transfer of its concept and representational practices into a space full of comments — sympathy and condemnation — involving the aspirations of netizen (citizen of the net) through its partial structure of framing. This doesn’t happen to the works of cinema — especially high cinema — which is believed to present images and concepts of cosmological unity. Technological representation of cats and dogs exist as early as the birth of cinema —including in the frames of Lumiere brothers — in the average 16
duration which is as many as in their appearances now as an extensive collection of fragments of playing with dogs and cats. Early recordings of them — in the past context or now — only marks the ludic and grammatic representations of the cinematographic technological experiment. While the nowadays frames of dogs and cats proving more of consensual ludic phenomena when those various uploaded footages produce more situational realities from multiple local environments — something that was not yet possible in the early representation. The different structure of representation implies furthermore a mechanism of sign play that systematically constructs the spectator’s attitude towards the amateur’s narrative footage — rather than the message value as generally carried by the advanced cinema. Frames from the video of dog and cat contain visual orality (picture orality) which is automatically related to the moments of the reality of the universal audience. This happens when the public’s visibility toward the frames of representation is getting shorter along with the variety of their spectacle background. This situation has more interpublic character and the potential to create a logic of alignment when time and space are more compressed. The recent development of narratological frames has also placed the stories of dogs and cats in numerous events into a communicative superstructure and transformed them into the concept of ‘naturalism’ through framing that erodes the traces of aesthetics, significance, and functions of its technological representation. Thus, naturalism — the idea of the natural ones — becomes far more likely to apply and demonstrate the tactics from the event of playing as cultural experiences through the juxtaposition, arrangement or sequence of frames. The framing of dogs and cats footages are showing the position of the recorder — whether as the owner of the animal or not — into the objectification. From those frames we can see the cyclical pattern from the circulation of the various models of the producer of representation and their public, in which the captured reality is structured as a pathway of framing and not to overcome orality, but rather, to emphasize it after this tradition was underestimated in cinematic discourse. Thus, the framing does not aim to go beyond the recording experience or the animal, but instead, rely on and depart from the
17
everyday life, which in amateur videos with peripheral character appears as a variety of captured images on local domains. The geography from frames of everyday life in this genre of cinema contains complementary reality that is more capable of inviting sympathy because the daily fragments—including the video of cats and dogs—are no longer seen based on concepts but as empirical moments, even if it is displayed as a kind of visual performativity. In those footages of dogs and cats, there is an ongoing connection which initiates public participation (rather than early mechanical recordings that produce ‘meaning’ around the spectrum of the power of knowledge) in the context of space and time, here and now. Frames from traditional cinema in the past were so busy producing illusions to ideologize the public with hefty messages while disciplining the principles of immortality into cinematic achievements. In contrast, the daily cinematic practices of uploads tries to remove the latent dependency from its predecessor and deliberately allow its footage to be constantly categorized as temporary. Here, the frames’ juxtaposition approach is no longer intended to go beyond the narrative as strictly preserved in the early cinema tradition, but rather attempts to become the narrative itself and thus more transacted / coherent with the public. The configuration of frames has the potential to be narrative imagery which by certain mechanism has replicated the public entity and stimulated their action to click and watch. Therein, these moments show a narrative shift from the vertical to the horizontal structure when the frames in everyday cinema are outside the advanced cinema that is obsessed of being the traces of the memory tracking over philosophical concepts, while this horizontal cinema lets itself to extinct and drowning the memories. Nevertheless, the frames that characterize the horizontal narrative in its juxtaposition structure will naturally condition an idea of space and time through the infinitude of the footage and the imaginable duration as a constantly changing map with the plot that will always appear each time those thumbnails are clicked in accordance with the practice of its use by the public.
18
19
20
21
Malam Pembukaan / Opening Night
ARKIPEL homoludens – 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival menghadirkan Dendang Belantara a.k.a Dara untuk memeriahkan Malam Pembukaan festival. Pada kesempatan resital kali ini, Dara akan membawakan: 1. Tico-Tico No Fuba karya Zequinha Abreu 2. Turkish March (Rondo Alla Turca) karya Wolfgang Amadeus Mozart 3. Fur Elise in Ragtime karya komposisi Ethan Uslan ARKIPEL homoludens – 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival presents Dendang Belantara a.k.a Dara to enliven the Opening Night of the festival. In this occasion, she will perform these following songs: 1. Tico-Tico No Fuba composed by Zequinha Abreu 2. Turkish March (Rondo Alla Turca) composed by Wolfgang Amadeus Mozart 3. Fur Elise in Ragtime composed by Ethan Uslan
22
Dendang Belantara (22 Oktober 2002) lahir di Jakarta dan memulai belajar piano di Yayasan Musik Jakarta kemudian berlanjut di Indonesia Piano Art dan Jakarta Conservatory of Music. Tahun 2013 dan 2014, ia pernah turut memeriahkan Malam Pembukaan ARKIPEL. Kini ia tengah menikmati aktivitasnya sebagai anggota OSIS SMAN 34 Jakarta dan menjadi Pengiring Piano Paduan Suara Grazia Vocalista pada 1st Annual Concert “Carpe Momentum” 5 Mei 2018. Dendang Belantara (October 22, 2002) was born in Jakarta and started to learn piano in Yayasan Musik Jakarta then continued to Indonesia Piano Art and Jakarta Conservatory of Music. In 2013 and 2014, she performed in the Opening Night of ARKIPEL. Now, she is enjoying her activity as a Student Council in SMAN 34 Jakarta and as a Piano Accompanist of Grazia Vocalista Choir inthe 1st Annual Concert “Carpe Momentum” on May 5, 2018.
Filem Pembuka / Opening Films
Songs of Fortune Veronika Burger (Austria) Austria, 9 mins, Color, 2015
La Buona Novella Good Tidings Sebastiano Luca Insinga (Italy) Italy, 15 mins, Color, 2018
The Night Between Ali and I Nadia Hotait & Laila Hotait (Lebanon-Spain) Spain, 10 mins, Color, 2016
Sub Terrae Nayra Sanz Fuentes (Spain) Spain, 8 mins, Color, 2018
23
Malam Penghargaan / Awarding Night
Performing Out of Limbo akan memeriahkan Malam Penghargaan ARKIPEL Homoludens – 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. Performing Out of Limbo merupakan hasil kolaborasi antara para pengungsi /pencari suaka etnis Oromo dari Ethiopia dengan mahasiswa dan para pengajar/ akademisi di Departemen Antropologi Universitas Indonesia, serta musisi lokal. Proyek ini diinisiasi oleh Dave Lumenta dan sesama dosen di jurusan tersebut. 24
Performing Out of Limbo will enliven the awarding night of Penghargaan ARKIPEL Homoludens – 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. Performing Out of Limbo is a collaboration of the Oromo Refugees from Ethiopia with college students, lecturers/academics in the Department of Anthropology, University of Indonesia, and the local musician. This project is initiated by Dave Lumenta and fellow lecturers in that department.
Penghargaan / Awards
ARKIPEL Award diberikan kepada filem terbaik utama secara umum yang, dalam penilaian dewan juri, memiliki pencapaian artistik yang tinggi disertai kekuatan potensialnya dalam memaknai pilihan perpektif kontekstualnya. Melalui kontennya, segenap aspek tersebut dalam bahasa ungkap visualnya berhasil mengajukan suatu pemerian terbaru akan pandangan dunia kontemporer kita sebagai diskursus yang menantang cara pandang umum atas situasi tertentu yang diungkapkan subject matter-nya. Filem terbaik dalam kategori ini, secara khusus, dapat dipandang mewakili pernyataan ARKIPEL akan nilai-nilai yang ditawarkan oleh gairah dan nalar dari semangat zaman yang menginspirasi penciptaan estetik terhadap gambaran dunia yang di satu sisi telah sama-sama disepakati, namun di sisi lain menuntut untuk selalu didefinisikan dan didefinisikan kembali. Jury Award diberikan kepada filem terbaik versi pilihan dewan juri, dengan pertimbangan, bahwa terdapat kesegaran dan keunikan bahasa ungkap yang mencapai kematangan personal dalam menyingkapkan dan mengkomunikasikan pengalaman estetis, pergulatan atas konten, serta penjelajahan subjektif akan teks/konteks ke dalam representasi terkininya. Sangat mungkin, tawaran nilai-nilai dalam filem terbaik untuk kategori ini semata-mata bersifat individual oleh karena isu dan pendekatannya tidak selalu berlaku secara umum di beragam konteks budaya dan sosial. 25
Peransi Award diberikan kepada karya sinematik yang secara istimewa dan segar mengeksperimentasikan berbagai kemungkinan pendekatan pada aspekaspek kemediuman dan sosial. Secara khusus, kategori ini difokuskan kepada pembuat filem berusia muda. Penghargaan terbaik dalam kategori ini terilham dari nama David Albert Peransi (1939–1993), seniman, kritisi, guru, dan tokoh penganjur modernitas dalam dunia senirupa dan sinema dokumenter dan eksperimental di Indonesia. Forum Lenteng Award, sebagai kategori penghargaan untuk filem terbaik pilihan Forum Lenteng merefleksikan posisi pembacaan dan sikap kritis kami atas perkembangan karya-karya visual sinematik pada tataran estetika dan konteks. Penghargaan diberikan kepada filem yang dianggap paling terbuka dalam menawarkan nilai-nilai komunikatif, baik dari segi artistik maupun konten, yang memberikan peluang bagi pendekatan sosial seni secara berbeda dan lebih leluasa bagi keberanian ekperimentasi. Sejumlah juri (tiga orang) dari pengurus Forum Lenteng menilai filem-filem seleksi dan mengajukan unggulan terbaik di kategori ini untuk diperdebatkan dengan Dewan Juri ARKIPEL.
ARKIPEL Award is given to the best film in general that, based on jury’s view, has the highest artistic achievement and a potential power to give meanings to its contextual perspective choice. By the content, all those aspects through the film’s visual expression should be successful in offering a newest representation of our contemporary world view as a challenging discourse for the general view over a certain situation revealed by the subject matter. The best film in this category particularly can be considered as representing ARKIPEL’s statement concerning the values offered by the passion and reason of a spirit of the time, becoming an inspiration for aesthetic creations about the world that on the one hand is approved of and on the other hand demands definition and redefinition. 26
The Jury Award is given to the best film of jury’s choice based on the consideration in terms of unique and fresh visual expression, personal maturity in revealing and communicating aesthetic experience, struggle over content and subjective exploration over text/context to its contemporary representation. It is highly likely that the best film in this category offers values of individual nature because the issue and its approach do not fit in many socio-cultural contexts. Peransi Award is given to a cinematic work that in a special and fresh way experiments on various possible approaches of the medium and social aspects. Specifically, this category focuses on young filmmakers. The award itself is inspired by David Albert Peransi (1939-1993), an artist, critic, teacher and exponent of modernity in art world and documentary and experimental cinema in Indonesia. Forum Lenteng Award, as a category for the best film selected by Forum Lenteng, reflect our reading position or critical attitude toward the development of cinematic visual works at an aesthetic and contextual level. The award for this category is given to the film deemed the most open in offering communicative values, whether based on the artistry and content, providing a chance for a different social approach on art and wider experimental possibilities. A number of jury (three) from Forum Lenteng organizational structure judge the films selected and submit the best nominee for this category for the ARKIPEL Jury to argue.
27
l a nois a nre tnI is i te pmo K
CATATAN SELEKTOR
Fakta dan Konvensi Ugeng T. Moetidjo
Dalam sinema, kenyataan hanya mungkin tampil sebagai kepingan kode-kode—visual dan audial—yang tersusun berdasarkan suatu sudutpandang. Menonton karya sinematik artinya terlibat dalam kodifikasi tertentu yang persepsi terhadapnya ditafsirkan sebagai kenyataan, di mana pengalaman tersebut dapat digolongkan ke dalam aktivitas permainan dengan bentukbentuk—naratif maupun non naratif—sebagai arenanya. Wacana kritik sinema umumnya menganggap publik penonton berada dalam keadaan tak menyadari batas antara citraan dan kenyataan. Akan tetapi, yang sebenarnya terjadi ialah internalisasi kesadaran akan sedang berlangsungnya permainan imajinasi dengan ilusi di mana konsepsi sinema dan persepsi penonton dalam situasi saling terkomunikasikan. Secara fungsional situasi tersebut menandai keterlibatan karya sinematik dengan publiknya sendiri maupun [kemudian] dengan khalayak lebih luas. Sudut pandang ini, yang secara umum dipakai sebagai pembingkaian, juga turut mempermasalahkan representasi media dalam relasi kuasa—terutama pada praktik-praktik sinema di luar arus utama, di mana salah satu gagasan sinematik yang kuat melatarinya ialah pandangan atas runtuhnya ideologi-ideologi dan kepungan gelombang informasi. Dari situ, wacana yang dikedepankan terasa menegaskan pemosisian bentukbentuk sinema naratif dengan karya-karya yang berkutat pada teknik-teknik visual. Di balik itu, tampak jelas masalah perubahan tata-dunia melalui dominasi modal, pertarungan kekuatan-kekuatan baru adidaya, dan menegasnya kembali disparitas klas yang menghasilkan jurang kian lebar justru oleh inisiasi media-media dalam pemerataan informasi lewat label kesetaraan atas 28
akses pengetahuan. Akan tetapi, tentu saja, informasi bukanlah pengetahuan. Informasi di antaranya malahan kian mempertebal berbagai trauma sosial dan budaya dari warisan kekerasan dan ketidakadilan yang dibaca ke dalam praktik-praktik wacana sekarang. Anehnya, atau malahan tidak, wacana informasi sebagai pengetahuan dirancang demi merefleksikan bangkitnya kembali benih-benih totalitarian yang tidak hanya berlaku sebagai kekuatan formal otoritatif tetapi juga berkembang di sektor-sektor primordial. Ada kekhawatiran bahwa wacanawacana tematik apa pun semata-mata tampil sebagai semacam modus pemikiran yang mengabstraksi perkembangan dan perubahan realitas-realitas di depan mata. Meskipun demikian, terasa bahwa sudah pada awalnya fokusfokus tersebut dipergunakan sebagai sekadar cara memposisikan konteks internal—semisal, jarak relasional dari praktik-praktik perancangan budaya melalui standar sosial-politik tertentu yang, pada prinsipnya, malahan memapankan suatu konvensi yang telah dibangun seiring waktu. Dalam pengamatan saat ini, abstraksi dari serangkaian tema-tema di atas turut bermain dalam serangkaian diskusi terhadap filem-filem yang akan diloloskan oleh para selektor ke Seleksi Kompetisi sebelum sampai di tangan para juri. Tulisan ini disampaikan berdasar keragaman sudut pandang para selektor dengan mempertimbangankan peluang konteks yang muncul dari filem-filem yang masuk. Secara garis besarnya, kategorisasi bagi produksi naratif dan non-naratif terbedakan ke dalam topik-topik sosial di satu pihak, dan isu-isu personal di pihak lain, baik atas nama ‘dokumenter’ maupun ‘eksperimental’. Kategorisasi tersebut, salah satunya, lantas berkembang ke lingkup wacana yang menunjukkan visualisasi eksperimental namun juga melalui ragam representasi ketinampilan yang umumnya diwujudkan ke dalam bentukbentuk ketinampilan tubuh. Di ranah yang pertama, masih selalu muncul biografi diaspora, entah dalam konteks personal maupun komunitas, di samping mengemukanya perkembangan terbaru dalam kasus-kasus migrasi antar-negara oleh komunitas-komunitas marjinal dan minoritas berlatar kekacauan politik dalam negeri. Ketimbang mengolah bentuk karya sinematik itu sendiri, secara umum narasi-narasi tersebut masih mengikuti moda tutur melankolis seiring anggapan agar lebih mudah terkomunikasikan dengan publik. Di 29
situ, perspektif akan kebenaran dokumenter jauh lebih diutamakan daripada berbagai kemungkinan eksperimentalnya. Sementara itu, yang non-naratif hampir selalu berkutat dengan pemanfaatan footage-footage temuan 16mm (seringkali berbentuk tiruannya), yang secara laten menandai sikap produsen tersebut dalam membaca relasi kesejarahan antarkedua medium—analog dan digital. Namun, percampuran antara yang lalu dengan yang kini tidak secara otomatis terbayang sebagai solusi ungkap yang lebih relaks melainkan relasi penuh ketegangan dan kerapkali dalam batas-batas tak terselesaikan. Moda semacam ini biasanya berupa penempatan ego sebagai pusat narasi namun berakibat menjadikan plot semata-mata berciri sangat esoteris ketimbang upaya menyuruk kedalaman komunikasi untuk memproduksi sebuah teks bagi kemunculan makna. Dalam kaitan ini, kepentingan tradisional mencari kebenaran dalam dokumenter sebagai realitas sosial-politik bertumbuk dengan pengolahan estetika (bahasa visual) di mana narasumber bukan lagi terposisikan sebagai penyusur peristiwa, dan karenanya lebih mungkin membuka peluang bagi ragam eksperimentalitas—bukan sekadar permainan visual—dalam hal perspektif dan penentuan angle bagi frame-frame melalui tema, pemvisualan dan naratif baru. Sebab sinema hari-hari ini memproduksi tak hanya ingatan atas apa pun data biografis maupun geografis, pertanyaan yang acap menggantung dari moda-moda tradisional seperti itu yakni: apakah sinema itu pada dasarnya medium bagi ingatan ataukah ingatan itu sendiri? Faktanya, secara tahunan, sinema dalam frame-frame ketelanjangan terkait isu-isu gender—di tataran seksual maupun sosial—dapat dipastikan terproduksi sebagai wacana marjinalitas, baik berupa representasi terbuka di tengah dominasi kekerasan atas beragam ekspresi mereka maupun di ruang tertutup internal. Dalam kaitan ini, kemudahan teknologi melalui aneka fitur aplikasi secara pesat juga meningkatkan berbagai pembingkaian personal— sebagai tema maupun tampilan visual—di mana protagonis selaku produsen pesan telah menginisiasi tindak personifikasi lewat medium yang dipakainya guna menampilkan konten eksplisit maupun metaforik. Pesan tersebut kurang-lebihnya ingin menunjukkan arus perubahan wacana yang berperan di tingkat paradigmatik publik dalam membongkar struktur hegemonik tabu dan moral. Lagi-lagi, di tataran estetik, masalahnya adalah sejauh apa representasi pengungkapan di situ terkontribusikan secara fungsional di tataran sosial dan 30
menyangkut pemahaman umum mengenai nilai-nilai konvensional. Dengan kata lain, apakah pesan mampu berperan dalam mengembangkan pola pikir baru sosial lewat tatawan-tawaran estetika dan konten secara kontekstual. Sementara, di balik itu, penetapan angle kami sendiri adalah pada konteks geo-politik global dengan mempertimbangkan strategi politik budaya ragam produksi karya sinema di berbagai ranah lokal. Lewat pembayangan konteks tersebut, bahasa adalah ingatan dalam jarak dan waktu. Jika sinema eksperimental kerap tereksplorasi dalam batas sempit visual kemediaan, maka kinikah masa akhirnya? Sinema eksperimental mesti mengacu pengertian luasnya dalam hal moda produksi naratif dan visual. Karena, tampaknya, di kawasan-kawasan selatan (Asia, Afrika dan Amerika Latin) eksperimentalitas visual dipandang tidak lagi mampu menjawab dan menantang realitas-realitas kontemporer yang berupaya sebisa mungkin menantang balik trauma-trauma dari relasi protagonis-antagonistik warisan kolonialisme di beragam spektrum. Sayangnya, seringkali konteks disusun sebagai bentuk-bentuk irasional dengan memberlakukan frame-frame laiknya bingkai ragam pose bagi isuisu, dan bukannya pengungkapan masalah. Dalam kaitan ini, dekonstruksi bisa beroleh tempat dalam jukstaposisi dokumenter yang dianggap niscaya bersumber dari realitas. Sebab, naratologi di situ yang secara tradisional dikonstruksi ke dalam frame-frame dokumenter dipastikan ditempatkan dalam situasi dan lingkup sosial tipikal lewat penuturan orang kedua atau orang ketiga yang berperan memproduksi kebenaran subjek permasalahan. Dengan kata lain, pembingkaian jukstaposisional tersebut bukan merancang narasi sasaran sebagai realitas baru melalui media-media yang dipergunakan— entah filem seluloid hingga video digital—melainkan mendemonstrasikan realitas naratif dari asal-usul subjeknya dengan tak jarang mengabaikan daya kosa kata dan tata bahasa. Hal itu bisa terjadi karena, secara niscaya, karya sinema dipandang sebagai kenyataan terpercaya sehingga desain konstruksi filem adalah mengejar realitas sebagai suatu akurasi orisinal (yang dianggap pernah ada) tanpa memikirkan berbagai kemungkinan distorsinya yang sudah berlangsung selama ini. Secara khusus, pengungkapan kasus-kasus masa lalu—juga, personal maupun komunal—dibangun lewat pembenaran dokumen-dokumen mati atau arsip hidup demi akurasi—biasanya secara replikatif—atas lokasi kejadian atau peristiwa. Maka, yang kerap kali 31
terindikasikan dalam frame-frame representasi adalah pembandingan waktu dan ruang lampau dengan sekarang. Maka, jelas bahwa karya sinematik begitu peduli pada usia yang dipandang mampu menawarkan relativitas ingatan dan relativitas tentang yang di sini dan kini.
32
noi ti te pmoC l a noi ta nre tnI
SELECTOR NOTES
Fact and Convention Ugeng T. Moetidjo
In cinema, reality can only be depicted as pieces of visual and audial codes which are arranged based on a perspective. Watching cinematic works means being involved in certain codifications, in which perceptions towards them are interpreted as reality, where those experiences can be classified into activities of playing with forms—either narrative or non-narrative—as their arena. The criticism discourse of cinema generally assumes the public spectator is unconscious of the boundaries between imagery and reality. However, what actually happens is the internalization of consciousness on the ongoing play between imagination and illusion where the conception of cinema and the perception of the spectator is in a mutually communicated situation. Functionally the situation marks the involvement of cinematic work with the public itself or later, with a wider audience. This perspective, which is generally used as framing, also problematizes the representation of media in the power relations - especially in cinema practices outside the mainstream, where one of the strong cinematic ideas underlying them is the perception on the collapse of ideologies and the siege by an influx of information. From there, the highlighted discourse seemed to emphasize the positioning of the narrative form of cinema with works that dwell on visual techniques. Behind that, it is clear that the problem of global change through capital domination, the fight of the newly great powers, and the reassertion of the class disparity that produces a widening gap precisely by initiation of media in distributing information through the label of equality on access to knowledge. However, of course, information is not knowledge. The information sometimes
33
even increasingly reinforces the social and cultural trauma from violent and injustice heritage read into the current practices of discourse. Strangely, or not, the discourse of information as knowledge is designed to reflect the resurrection of totalitarian seeds which not only serves as authoritative, formal forces but also develop in primordial sectors. There is a concern that any thematic discourse merely appears as a kind of mode of thought abstracting the development and change of realities in sight. Nevertheless, it is felt that these focuses were initially used as merely a way of positioning internal contexts—such as the relational distance of cultural design practices through certain socio-political standards which, in principle, even put a convention that has been built over time established. In current observations, abstractions from themes above also take part in a series of discussions while the selectors had to decide which films will be included in the International Competition section before reaching the hand of the juries. This paper is delivered based on the diversity of the selectors’ point of view by considering the opportunities for context arising from the submitted films. Broadly speaking, the categorization of narrative and non-narrative production is divided into social topics on the one hand, and personal issues on the other, both in the name of ‘documentary’ and ‘experimental’. Such categorization, one of them, then evolves into the sphere of discourse which shows experimental visualization but also through the variety of performative representation generally embodied in the forms of bodily performance. In the first realm, the biography of the diaspora always appears, whether in personal or community contexts, as well as the latest developments in cases of inter-state migration by marginalized and minority communities of domestic political turmoil. Rather than cultivate the form of cinematic works themselves, in general, these narratives are still following the melancholic speech mode, along with the assumption of easier communication with the public. There, the perspective of reality in the documentary is much more prioritized than its various experimental possibilities. Meanwhile, nonnarrative ones almost always struggle with the use of 16mm (often imitationshaped) footages, which latently characterize the makers’ attitude in reading historical relations between both mediums— analogue and digital.
34
However, the mixture of the past and the present does not automatically emerge as a more relaxed solution but rather a tension-filled relationship and often within unresolved boundaries. This kind of mode usually is in the form where ego is the centre of narrative but resulted in making the plot highly esoteric rather than an attempt to deepen the depth of communication to produce a text for the emergence of meaning. In this connection, traditional interest seeking truth in the documentary as a socio-political reality collides with the aesthetic processing (visual language) in which the informant is no longer positioned as the event’s storyteller, and therefore more likely to open up opportunities for experimentation—not just visual games—in terms of perspective and determinating angle of frames through themes, visuals and new narratives. Since cinema these days produces not only memories of any biography or geography, the question that often left from such traditional modes: is cinema basically the medium for memory or is it the memory itself? In fact every year, framings of nudity in cinema related to gender issues—at either sexual or social level— are produced as a discourse of marginality, whether in the form of open representation amid the dominance of violence over their various expressions as well as in the internal enclosure. In this regard, the ease of technology with its various software applications rapidly increases the personal framing—as a theme as well as the display of visual—in which the protagonist as a manufacturer of the message has initiated a personification act through the medium it uses to display both explicit and metaphorical content. The message, more or less, is about to show the shifting flow of discourse that plays a role in the public’s paradigmatic level in dismantling the structures of taboo and moral hegemonic. Again, at the aesthetic level, the problem is how far representation of disclosure is functionally contributed at a social level and involves the general understanding of conventional values. In other words, is the message able to play a role in developing a new social mindset through aesthetic guidelines and contextual content? Meanwhile, beyond that, the determination of our angle is in the context of global geopolitics by considering political-cultural strategies of the various mode of cinema production in different local spheres. Through such imagination of context, language is the memory in distance and time. If experimental cinema is often explored within the narrow visual limits of the medium, then is now its ending? Experimental cinema must refer 35
to the broad sense concerning narrative and visual modes of production. Because, apparently, in the southern regions (Asia, Africa and Latin America) visual experiments are seen as no longer able to answer and challenge those contemporary realities attempting as much as possible to challenge back the traumas of the protagonist-antagonistic relation of colonial heritage in many spectrums. Unfortunately, often the context is structured as irrational forms by enforcing the frames like the multiple poses of issues, rather than a disclosure of problems. In relation to this, deconstruction can have a place in the juxtaposition of the documentary which is certainly sourced from reality. Because the narratology which is traditionally constructed into documentary frames is ensured there to be placed in a typical social situation and scope through the narrative of a second or third person who is responsible for producing the reality of the subject matter. In other words, the framing of that juxtaposition is not about designing the target narrative as a new reality through its medium—whether it uses celluloid or digital video—but demonstrating the narrative reality of the subject’s origin by often omitting the vocabularity. This can happen because, inevitably, a film is seen as a reliable reality so that the construction is about pursuing reality as accurate and original (which is assumed to have existed) without thinking about the possibilities of distortion that has been going on so far. In particular, the disclosure of past cases—as well as personal and communal case—is built through the justification of dead documents or living records for accuracy — usually in replicative way — on the basis of location or event. So, what is often indicated in the frames of representation is the comparison of past time and space with nowadays. Thus, it is clear that cinematic work is so concerned about the age that is considered as able to offer relativity of memory and the relativity of what is here and now.
36
37
kompetisi internasional
38
39
l a nois a nre tnI is i te pmo K
IC 1
The Fly Misery of Quame Nyantakyi: Kesesatan dari Kegembiraan dan Kebahagiaan yang Mendalam Otty Widasari Selektor
Kenyataan di balik filem ini adalah, Quame Nyantakyi merupakan seorang pasien psikiatrik, mantan gelandangan yang melakukan tindakan kriminal dan dipenjara oleh karenanya. Lalu dia dimasukkan dalam sebuah program perlindungan saksi, bernama ID-Care, yang menyatakan diri sebagai sebuah program terapi modern. Program ini bertujuan merehabilitasi Quame untuk bisa dikembalikan ke dalam lingkungan masyarakatnya kembali. Selain Quame harus melakukan kunjungan rutin ke para terapisnya, dia juga dianjurkan untuk mengambil peran dalam sebuah produksi filem fiksi, di mana dalam filem tersebut Quame harus melakukan aksi penyidikan sebuah kasus pembunuhan. Jan Willem van Dam—sang sutradara—bereksperimentasi dalam filemnya untuk mencampur-baurkan kenyataan di luar filem dengan kenyataan filemis, mimpi dengan kenyataan sebenarnya, juga bingkaian dokumenter dengan bingkaian fiksi, yang dikemas dalam situasi Quame yang merasa dirinya mengalami euphoria-shortage. Filem ini mempertanyakan: bagaimana sebuah program kepedulian modern bisa membantu seorang Quame dalam memahami hidupnya, menyelesaikan masalahnya untuk bisa bertahan hidup, menyesuaikan diri dengan masyarakat, atau sebaliknya malah menjerumuskannya pada kemunduran psikologis yang menyebabkan dia ingin segera mengakhiri hidup dengan jalan eutanasia? Marjinalitas merupakan kata kunci yang digunakan oleh kedua pihak. Negara dan warga. Poin-poin rumit dari golongan marginal dalam kelompok masyarakat—seperti [orang] berkulit hitam, mantan pecandu, memiliki 40
gangguan kejiwaan, gay, serta memiliki catatan kriminal—yang dimiliki Quame, dimanfaatkan oleh kedua pihak dan menjadikan tema filem ini selalu berkutat pada persoalan okupasi dan diokupasi, juga terokupasi. Warga dalam konteks ini adalah Quame, seorang warga negara Belanda keturunan Suriname, negara yang pernah dikolonisasi oleh Belanda. Dia dianggap sebagai pelaku kriminal, korban penyakit sosial, sekaligus objek dari program kepedulian sosial negara. Dia dirawat sebagaimana tanggung jawab seorang bapak kepada anaknya yang tersesat. Karena alasan-alasan semacam dia tidak ingin dibantu, pemberontak, dan banyak menuntut, sang anak kemudian ditinggalkan. Keinginan negara dan warganya tidaklah pernah sejalan. Biar bagaimanapun, bagasi kebudayaan kolonial dan kolonimya pasti memiliki pengalaman yang berbeda. Sebuah gambaran di mana negara adalah sebuah sistem yang wacananya tidak pernah lepas dari political correctness. Marjinalitas digunakan oleh kedua belah pihak sebagai metode bertahan hidup, juga sebagai program wacana kepedulian modern. Identitas marginal tersebut dirawat baik-baik oleh keduanya. Mereka berdua tidak ingin itu berakhir, karena marjinalitas adalah posisi tengah. Sebuah status quo yang bermain di tengah-tengah, antara pertarungan negara dengan warganya. Filem ini menyajikan sebuah pertarungan yang digambarkan selalu memenangkan penguasa, maka si warga pun memanipulasi kemarjinalannya sebagai pola bertahan hidup.
41
noi ti te pmoC l a noi ta nre tnI
IC 1
The Fly Misery of Quame Nyantakyi: The Misguided of Intense Excitement and Happiness Otty Widasari Selector
The reality behind this film is that Quame Nyantakyi was a patient of a psychiatric ward, who had been homeless and imprisoned for a crime. He then joined a witness protection program called ID-Care, that declared themselves as a modern therapy program. The program’s purpose was to rehabilitate Quame until he was fit enough to be a part of the society. Besides routinely visiting his therapists, he was also recommended to take on a role in a fictional film production, in which the character he plays will have to solve a murder case. The director, Jan Willem van Dam, experimented by distorting the boundary between reality in the film and outside of it, dreams and reality, documentary and fiction. The storytelling style is explained in Quame’s situation, in which he felt himself experiencing euphoria-shortage. This film questions whether a modern healthcare program could help Quame in coming to terms with his life, solving all his problems to survive, adapting with the society, or would it cause him psychological regression that will make him choose to end his life through euthanasia? Marginality is a keyword used by both parties: the country and its people. Complicated cases from marginalised parts of the society—those who are black, ex-drug addicts, mentally ill, gay, or has a criminal record—including Quame, is being used by both parties, establishing the film’s theme on the notion of occupation and the occupied. The people, in this context, is Quame, a Dutch citizen who also has a Surinamese descent, a country that once was colonized by the Dutch. He was considered a criminal, victim of a social malady, and an object of the country’s 42
social welfare program. He was taken care of, like how a father took care of his lost child. The child gets left behind because he is considered a rebel, does not want to be helped, and too demanding. The country and its people’s wants can never be aligned. However, the colonial cultural baggage and its colonies have a different experience. This paints a picture of the state that always dabbles on the discourse of political correctness. Both parties use marginality as a way to survive, also as a discourse of modern welfare. They both conserve the marginal identity. They prevent it from ending because the marginality exists in the middle: a status quo that plays in the middle of the battlefield, between the state and its people. This film displays a battle that is always depicted as favoring the ruler. Therefore, the people manipulate their own marginal identity as a pattern of survival.
43
IC 1 / 10 August, Goethehaus, 13.00 & 12 August, Goethehaus, 16.00 / 18+
The Fly Misery of Quamé Nyantakyi
Country of production The Netherlands Language Dutch Subtitles English 120 min, color, 2018
Quame Nyantakyi adalah seorang pasien psikiatrik, mantan gelandangan yang melakukan tindakan kriminal dan dipenjara oleh karenanya. Lalu dia dimasukkan dalam sebuah program perlindungan saksi, sebuah program terapi modern. Program ini bertujuan merehabilitasi Quame untuk bisa dikembalikan ke dalam lingkungan masyarakatnya kembali. Selain Quame harus melakukan kunjungan rutin ke para terapisnya, dia juga dianjurkan untuk mengambil peran dalam sebuah produksi filem fiksi, di mana dalam filem tersebut Quame harus melakukan aksi penyidikan sebuah kasus pembunuhan. Filem ini menyajikan sebuah pertarungan yang digambarkan selalu memenangkan penguasa, maka si warga pun memanipulasi kemarjinalannya sebagai pola bertahan hidup.
Quame Nyantakyi was a patient of a psychiatric ward, who had been homeless and imprisoned because of a crime. He then joined a witness protection program, a modern therapy program. The program’s purpose was to rehabilitate Quame until he was fit enough to be a part of the society. Besides routinely visiting his therapists, he was also recommended to take on a role in a fictional film production, in which the character he plays will have to solve a murder case. This film displays a battle that is always depicted as favoring the ruler. Therefore, the people manipulate their own marginal identity as a pattern of survival.
——Otty Widasari
Jan Willem van Dam (The Netherlands)
� mijnheervandam@hetnet.nl
44
Jan Willem van Dam (1962) adalah salah satu pendiri Filmstad Den Haag. Ia membuat banyak filem pendek yang diproduksi oleh seniman, festival, dan berbagai kegiatan terkait filem. Karyanya mencakup film fiksi, eksperimental, dan dokumenter esai yang dalam perjalanannya, menyelisik kehidupan dan pembuatan film. Ketertarikannya bisa bersifat politis, humoris, pesimis, realistis, atau seperti mimpi. Dalam film-filmnya, orang-orang, yang ia temui dalam perjalanan atau di jalanan kota asalnya, dan para aktor bermunculan. Dalam semua filmnya, para protagonis kurang lebih tersesat di dunia ini tetapi entah bagaimana dapat bertahan hidup.
Jan Willem van Dam (1962) was a co-founder of Filmstad Den Haa. He produced many shorts made by artists, organized festivals and many film events. He is a fictional, experimental, essayistic film- documentary maker who in his travelogues, investigates life and filmmaking. His concerns can be political, humorous, pessimistic, realistic or dreamlike. In his films, real people, whom he meets on travels or on the streets of his hometown, and real actors appear. In all his films the protagonists are more or less lost in this world but are somehow made to survive.
l a nois a nre tnI is i te pmo K
IC 2
Menolak Penunggalan Akbar Yumni Selektor
Pertanyaan-pertanyaan seputar medium terkait dengan arsip di masa lalu menjadi begitu krusial, bahwa pengertian ‘representasi’ pada derajat tertentu juga mengalami penurunan kualitas yang sebenarnya secara tidak langsung juga mempertanyakan pandangan representasionalisme itu sendiri. Penurunan kualitas medium bisa dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti model penyimpanan dan kebijakan politik tertentu yang melingkupinya, serta faktor internal, ketika medium di generasi sebelumnya mengalami tranformasi dalam spasial medium kekiniaan, sebagaimana perpindahan analog menuju digital. Ketidakabadian medium yang dimungkinkan dalam sinema menjadikan sejarah berada di persimpangan, karena setidaknya derajat representasi di masa lalu yang dimungkinkan untuk dipiuhkan dari kodrat mediumnya. Di sisi lain, keserentakan adalah hal yang dimungkinkan dalam medium sinema. Sebagaimana membayangkan gerak dalam jukstaposisi gambar pada tradisi formalisme sinema di masa analog, hubungan antara masa lalu dan kekinian bisa dibayangkan secara serentak dalam sinema karena arus kesadaran (stream of consciousness) ala Ulysses-nya James Joyce yang dimungkinkan melalui gerak montase. Moda naratif ala Ulysses itu kini mengalami perkembangannya, yang bisa jadi lebih subtil karena perbincangan dan kegelisahan terhadap masa lalu yang menjadi semakin kompleks ketika keniscayaan generasi baru selalu lahir, di mana ia juga selalu menata kembali formasi baru dalam melihat masa lalu. Lahirnya generasi baru bukan berarti menambah jarak yang makin lebar pada sebuah narasi tertentu tentang masa lalu, karena setiap generasi selalu memproduksi moda narasinya yang sekaligus selalu mengubah pengertian masa lalu itu sendiri. 45
Dalam perkembangannya, sinema selalu mencari jalan keluarnya sendiri untuk menggambarkan realitas. Sebagaimana sinema, humanisme pun memiliki kecerdasannya di setiap zaman, di mana pengertian-pengertian humanisme tersebut selalu berusaha mengalami perluasan ketika terikat dengan spasialitas yang selalu berubah. Humanisme dalam sinema adalah humanisme yang bisa menjangkau kekiniannya. Sebagaimana siasat-siasat narasi tentang humanisme yang tidak lagi berpusat dalam pengertian manusia secara an sich, maka pengertian kebertubuhan pun juga mengalami perkembangan dan tidak lagi berpusat pada subjek manusia itu sendiri. Tubuh dalam kekiniaannya tidak lagi sesuatu yang otonom terhadap situasi yang melingkupinya, maka berpikir juga tidak lepas dari kebertubuhan dan kebertubuhan juga tidak luput dari kebersituasian. Hal ini membawa kisah-kisah tentang humanisme diperluas melalui subjek di luar manusia sebagaimana kita pernah mengenal model fabel. Namun, subjek di luar manusia, misalnya burung, ini tidak lagi diantroposentriskan. Citra tentang burung tidak lagi digesturkan ala manusia, namun melalui bingkaian yang bersifat dokumenter yang memperlihatkan pantulan-pantulan kehidupan sosial manusia pada sekitaran kisah sepasang burung. Ketika dua dunia berdampingan, subjek di luar manusia tersebut justru memiliki gambaran ideal tentang humanisme, bahkan ia terus bertahan tanpa merasa terganggu di tengah hiruk-pikuk keseharian sosial manusia. Dari berbagai pendekatan baru yang dimungkinkan hari ini pada sinema, kekinian sinema pada dasarnya juga tidak meninggalkan tradisi sebelumnya. Seperti linearitas narasi yang penggunaannya masih dimungkinkan secara baru dan kini, ketika digunakan untuk mendapatkan impresi yang berbeda tentang sebuah tema tertentu. Kisah pengalaman-pengalaman subtil tentang isu-isu feminisme, membutuhkan sebuah keintiman dan misteri tersendiri ketika mengangkat rutinitas posisi sosial yang dialami oleh seorang ibu. Rutinitas tersebut mendapatkan keintiman dan subtilitasnya melalui sebuah bentuk linier secara narasi, namun kesinambungannya tidak lagi menunjukan sebuah rangkaian kasualitas yang sistematis, karena mencoba pencaharian akan pengalaman subtil dan intim dari sebuah rutinitas. Durasi menjadi sebuah kesadaran karena dilingkupi oleh penyingkapan akan subtilitas tersebut.
46
Dua di antara empat filem dalam program kompetensi ini adalah perihal bagaimana hubungan sejarah dari korpus medium arsipnya, melalui penghadiran peristiwa adu banteng pada masa transisi pasca kekuasaan Francisco Franco pada filem Suit of Lights, serta sindrom identitas tentang masa lalu koloni yang juga dialami oleh penjelajah melalui generasi masa kini dalam De Madrugada (At Dawn). Sementara, dua filem berikutnya adalah bagaimana sinema dan sistem narasinya membentuk semacam cara baru melihat feminisme melalui keintiman shot dan peristiwa seputar pengalaman seorang ibu pasca melahirkan yang ada pada Ordinary Time, dan kemungkinan baru dalam memandang humanisme pada Open Skylight melalui kisah sepasang merpati yang hidup di jendala-jendela apartemen penduduk.
47
noi ti te pmoC l a noi ta nre tnI
IC 2
Refusing Singularity Akbar Yumni Selector
Questions surrounding a medium with regard to archives from the past have become very crucial, that the definition of “representation” to a certain extent abates, indirectly posing a question to representationalism itself. Medium’s quality decline can be influenced by external factors, such as the storage model and certain policies surrounding it, including the internal factors when the medium in the previous generation transforms itself into the spatiality of the contemporary medium, just like the analogue transition into the digital. A medium’s transient nature, feasible in cinema, puts history on a crossroads as the representational degree of the past is likely to be distorted from its medium’s nature. On the other side, simultaneity is something possible in the medium of cinema. Just as movements in the juxtaposition of pictures in the formalist tradition of cinema in the analogue era, the relations between the past and the present can be imagined simultaneously in the cinema due to the stream of consciousness à la James Joyce’s Ulysses allowed by montage. Now, this narrative mode à la Ulysses develops in more subtle ways because of conversations and anxiety over the past become more complex as a new generation’s necessities are born, re-organizing a new formation in seeing its past. This birth of a new generation doesn’t necessarily add a wider gap to a certain narrative about the past, since each generation produces its narrative mode that always changes the definition of the past itself at once. In its development, cinema always finds its recourse in depicting reality. And just like cinema, humanism also has its own senses of the times, when its definitions undergo extensions in terms of the ever-changing spatiality. Humanism in cinema is one that can outreach its contemporaneity, likewise the narratives’ manoeuvrings around humanism that no longer centers on the 48
definition of humans an sich, the definition of embodiedness also grows and no longer centers on the human subject itself. Body in its contemporaneity is no longer something autonomous of its encircling circumstances; thus, thinking is not detached from embodiedness, while embodiedness is not detached from situatedness. This leads to humanistic stories being expanded through subjects beyond humans, such as what we once known in fables. However, these subjects beyond human, such as Bird, is no longer anthropocentric. A bird’s image is no longer set in a pose as a human, but through frame of documentary showing the reflections of human’s social life around a the story of a pair of birds. When the two worlds juxtapose, the subject beyond human turns out to have an ideal image of humanism, even surviving uninterrupted in the midst of the hurly-burly of human social life. Of all the new approaches allowed today in cinema, the cinema’s contemporaneity basically doesn’t leave behind its prior traditions, just like a narrative’s linearity is still permitted in new and current ways to get different impressions about particular themes. Complicated experiences regarding feminist issues necessitate a certain intimacy and mystery in raising the routines entailing a mother’s social position. These routines gain their intimacy and subtlety through a linear narrative, but the continuity no longer reveals a series of systematic causalities—since it is trying to search the subtle and intimate experience of a routine. Duration becomes an awareness since it’s surrounded by the revelations of subtleties. Two of four films in this competition program are about the historical relationship of an archival medium corpus through the presentation of a bullfights during the transitional era in the aftermath of Francisco Franco’s reign in Suit of Lights and identity problems with respect to a colonial past experienced by colonialists through their new generation in De Madrugada (At Dawn). The next two are how cinema and its narrative system forms a kind of new way to see feminism in intimate shots and events surrounding a mother’s experience after giving birth in Ordinary Time and a new possibility in seeing humanism in Open Skylight through the story of a pair of doves that live on people’s apartment windows.
49
IC 2 / 10 August, Kineforum, 13.00 & 12 August, Kineforum, 19.00 / 18+
Traje de Luces Suit of Lights Country of production Canada Language English, Spanish Subtitles English 18 min, color, 2018
Berisikan bahan baku arsip yang sudah membusuk sebagai basis dokumenter, filem ini menghadirkan rekaman 16mm tentang peristiwa adu banteng yang dibuat sekitar tahun 1975-an. Penanda waktu pembuatannya adalah sebuah kebersituasian dari transisi besar politik di Spanyol pasca Francisco Franco, yang masih menyisakan semacam kultur kekerasan di tengah era baru demokrasi Spanyol yang dijalani dengan kesulitan. Kehadiran medium menjadi penanda kekinian, karena kesimpangsiuran materinya yang sulit untuk abadi adalah persimpangan akan masa lalu yang hadir hari ini. Hubungan medium dan masa lalu, membawa pertanyaan tentang gambar fotografis: apakah ia membawa daya informasional yang terpiuhkan oleh estetika, atau sebaliknya?
Containing the decaying archival material as the basis of documentary, this film delivers footages of 16mm films capturing the bullfights occured in around 1975’s. The period of its making is a situatedness from the great political transition in Spain after the reign of Francisco Franco, that still left some violent culture in the midst of arduous Spain’s new democracy era. The presence of medium becomes a signifier of contemporaneity since its transient nature which difficult to last is the crossroads of the past’s presence in the present. The relation of medium and the past, raises question on photographic image: does it carry informational ability distorted by the aesthetic, or vice versa?
——Akbar Yumni
Francisca Duran (Canada)
� franci.duran@sympatico.ca
50
Francisca Duran (1967), lahir di Santiago, Chili, adalah seniman media eksperimental yang berbasis di Toronto, Kanada. Praktik seninya mengambil pandangan kritis tentang masalah sosial, politik dan budaya melalui arsip dengan menggabungkan media digital dan analog untuk mengeksplorasi titiktitik persimpangan memori, sejarah, politik dan teknologi. Duran meraih gelar MFA di Produksi Filem dari Universitas York, Kanada.
Francisca Duran (1967) was born in Santiago, Chile. She is an experimental media artist based in Toronto, Canada. Her practice takes a critical view of social, political and cultural issues through the archive by combining digital and analogue media to explore the intersection of memory, history, politics, technology. She holds an MFA in Film Production from York University, Canada.
IC 2 / 10 August, Kineforum, 13.00 & 12 August, Kineforum, 19.00 / 18+
De Madrugada At Dawn Country of production Portugal Language Portuguese Subtitles English 30 min, color, 2017
Kisah tentang Alice dan para saudaranya ketika berada di rumah musim panas neneknya di tepi pantai. Bingkai berisikan semacam tubuh-tubuh mereka, yang bagaikan tertambat di dalam ruang-ruang rumah, dari sudut dan dinding rumah, menyiratkan foto-foto masa lalu penjelajahan kolonial. Teks-teks pada filem ini adalah refleksi dari kehilangan identitas yang juga dialami oleh mereka, para penjelajah dari generasi nenek mereka, yang hadir seperti menambatkan tubuh Alice sebagaimana juga menambatkan tubuh antargenerasi yang terikat dengan spasialitas zaman mereka masingmasing. Filem ini semacam narasi kecil dari kesimpangsiuran identitas pascakolonial yang juga dialami oleh mereka, para penjelajah, melalui tubuh masa kini Alice.
A story of Alice and her relatives during their stay in grandmother’s summer house on the seashore. The frames containing such bodies, seem to be tied in the rooms of the house, from the corner and the wall, implying photographs of the past colonial expedition. Texts in this film is a reflection of identity loss that also occurred to those explorers from their grandmother’s generation, in which its presence seems to be tying Alice’s body as if to tie the bodies between generations bound by their own era’s spatiality. This film is a small narrative from the transient postcolonial identity that was also experienced the explorers through the present body of Alice.
——Akbar Yumni
Inês de Lima Torres (1995) lahir di Setúbal, Portugal. Dia lulus dari universitas di Lisbon School of Theatre and Film, jurusan Sinema, dengan fokus Penyutradaraan. De Madrugada adalah film kelulusannya, telah diputarkan di sejumlah festival filem. Kini ia menempuh pendidikan pascasarjana jurusan Fotografi, Lisbon Fine Arts University.
Inês de Lima Torres (1995) was born in Setúbal, Portugal. She graduated from university at Lisbon School of Theatre and Film, majoring in Cinema, in the branch of Directing. “De Madrugada”is her graduation film and has been screened in various film festivals. She is currently doing a post-graduation in Photography at the Lisbon Fine Arts University.
Inês de Lima Torres (Portugal)
� ines.lima.torres@gmail.com
51
IC 2 / 10 August, Kineforum, 13.00 & 12 August, Kineforum, 19.00 / 18+
Tempo Comum Ordinary Time Country of production Portugal, France Language Portuguese Subtitles English 64 min, color, 2018
Kisah intim yang linier tentang momenmomen Marta pasca melahirkan. Filem ini berisikan fragmen-fragmen perjumpaan Marta dari para kunjungan kerabat dan keluarga pasca melahirkan, sebagai sekumpulan cerita pengalaman-pengalaman pasca melahirkan dan mengasuh bayi dari kerabat dan keluarga. Keintiman kisah menjadi sebuah gambaran tentang pergulatan feminisme yang subtil seorang ibu dalam mengasuh seorang bayi (subjek) yang baru lahir, dan relasinya dengan pasangan dan kesibukan profesi. Rangkaian rutinitas mengasuh bayi menjadi sebuah evolusi dari gambaran batin Marta itu sendiri, yang secara tersirat juga memberikan sebuah kemungkinan baru dalam melihat sebuah pergulatan feminisme.
A linear story of Marta’s postpartum intimate moments. This film is containing fragments of Marta’s meetings from the visit of her family and relatives after she gave birth, as a collection of stories from the experiences of postpartum period and baby rearing from her family and relatives. The story’s intimacy is a picture of the subtle feminism struggle of a mother in rearing a newborn baby (subject), and her relationship with the life-partner along with professional life. A series of baby rearing routine becomes an evolution from the inner world of Marta, which implicitly gives a new possibility in perceiving a struggle of feminism.
——Akbar Yumni
Susana Nobre (1974) lahir di Lisbon. Ia menerima gelar B.A. Ilmu Komunikasi dari Universitas Nova di Lisbon. Dia menyutradarai filem dokumenter serta filem-filem pendek yang telah ditampilkan dalam berbagai festival filem internasional. Sejak 2006 ia telah menjadi anggota perusahaan produksi filem Terratreme, di mana ia menjadi produser eksekutif di berbagai proyek.
Susana Nobre (Portugal)
� pedroeperalta@terratreme.pt
52
Susana Nobre (1974) was born in Lisbon. She received a B.A. in Communication Sciences from Lisbon’s Nova University. She directed documentaries and short films that have been shown in various international film festivals. Since 2006, she has been a member of the production company Terratreme, where she has worked as an executive producer in many projects.
IC 2 / 10 August, Kineforum, 13.00 & 12 August, Kineforum, 19.00 / 18+
Svetlarnik Open Skylight Country of production Serbia Language Serbian Subtitles English 15 min, color, 2018
Fabel tentang bingkai-bingkai sepasang merpati di jendela-jendela apartemen. Keintiman kamera terhadap sepasang merpati menjadi semacam dunia tersendiri, atau bisa jadi berdampingan dengan kehidupan keseharian sosial masyarakat yang melingkupinya, di mana kehidupan keduanya membangun sebuah keintiman tersendiri. Sementara itu, lalu lalang keseharian masyarakat yang memantul dari suara-suara yang melingkupi lanskap jendela adalah kegaduhan yang menyiratkan bencana. Kehidupan sepasang merpati itu seperti pembayangan terhadap humanisme yang luput, meski selalu berdampingan dengan kehidupan sosial masyarakat.
A fable on frames of a pair of doves on the apartments’ windows. The camera’s intimacy capturing that doves build a world of its own, or perhaps coexisting with the people’s everyday life around them, where the life of those two constructs a certain intimacy. The racket of people’s everyday life reflected from the voices surrounding the landscape of windows, is a commotion signaling for a debacle. Life of those doves is like a shadow for a neglected humanism, although it is always in close proximity with the life of people.
——Akbar Yumni
Srdjan Vukajlovic (1951) lahir di Beograd. Dia meraih gelar BFA pada tahun 1976 dan MFA pada tahun 1979, keduanya di Seni Patung, Akademi Seni Rupa Beograd. Ia adalah anggota ULUS, Asosiasi Seniman Seni Rupa Serbia sejak 1979. Ia telah berpartisipasi dalam sekitar 100 pameran bersama. Dia tinggal dan bekerja di Beograd, Serbia.
Srdjan Vukajlovic (1951) was born in Belgrade. He received a BFA in 1976 and MFA in 1979, both at Belgrade Academy of the Fine Arts, Department for Sculpture. He is member of ULUS, Association of Fine Art Artists of Serbia since 1979. He has participated in about 100 group exhibitions. He lives and works in Belgrade, Serbia.
Srđan Vukajlović (Serbia)
� srdjan.vukajlovic@gmail.com
53
l a nois a nre tnI is i te pmo K
IC 3
Medium, Ruang, dan Interaksi Syaiful Anwar Selektor
Praktik-praktik penjukstaposisian gambar untuk menumbuhkan imajinasi tentang sebuah pandangan wilayah atau lokasi yang diklaim dengan suatu penandaan, baik dari perilaku, atribut, maupun lingkungannya, selalu menggugah keinginan mempertanyakan keberadaan eksistensi manusia dalam sebuah interaksi dengan lingkungannya. Narasinya menyertakan suatu gagasan dalam susunan estetika perihal bagaimana mempertahankan atau memperoleh wilayahnya demi keberlangsungan hidup. Dalam relasi inilah, muncul peluang-peluang atau ruang baru yang menjadi skema penting dalam membaca dan memahami kompleksitas yang dibangun antara manusia dengan tempatnya. Dalam interaksinya, kemunculan ruang-ruang baru ini adalah suatu bentuk konsekuensi proses, yang mulanya dibangun lewat sebuah harapan dan mimpi-mimpi, walau seiring berjalan waktu terjadi perubahan fungsi hingga harapan-harapan itu mulai sedikit memudar. Ruang ini memiliki paralelitas dengan ruang-ruang lain yang hadir sebelumnya. Ia juga turut dipengaruhi oleh insting, yang kehadirannya juga mendapat resistensi dalam proses interaksinya. Upaya-upaya negosiasi menjadi cara jitu untuk menaklukkan; pola-pola hubungan dibangun sedemikian rupa baik secara individu maupun komunal, dengan harapan di dalam ruang ini tercapai tujuan baru. Membaca kehadiran ruang ini di dalam sinema memberi peluang untuk publik dalam melihat pemahaman baru atas konsep ruang pada peradaban manusia. Peradaban kini tak lagi didominasi oleh elemen-elemen dalam ruang sebelumnya. Ruang artifisial juga turut menghadirkan bentuk baru, semuanya bercampur aduk dan berusaha menerabas sekat di antara dinding54
dinding tebal. Perlahan-lahan menjadi realitas baru tempat gagasan dan identitas dibentuk ulang. Pertemuannya menawarkan sebuah permainan dan peradabannya menawarkan mimpi utopia bagi manusia. Maka, eksplorasi medium pun menjadi bagian dari peradaban baru ini untuk melihat bagaimana manusia memainkan peran ekspresi di dalam lokalitasnya. Pada ARKIPEL Homoludens tahun ini, tiga filem yang masuk dalam program ini cukup representatif dalam melihat kembali bagaimana permainan ruang-ruang itu kembali muncul. Bukan lagi sebagai ruang fisik, ruang digital artifisial melahirkan pemahaman baru atas konsep ruang dalam konteks kebudayaan manusia. Estetikanya menjalin relasi yang baur antara yang lampau dan yang kini. Pertemuannya dalam interaksi menjadi kelahiran ruang kontemporer baru di dalam sinema.
55
noi ti te pmoC l a noi ta nre tnI
IC 3
Medium, Space, and Interaction Syaiful Anwar Selector
The practice of juxtapositioning images to cultivate imaginations on the outlook of a certain territory or location claimed by a system of sign — a particular behavior, attribute, or its environment—always invites us to question human’s existence in continuous interaction with their surroundings. This narration constructs an aesthetic notion of how they protect or reclaim their territory for the sake of survival. In this relation, new opportunities and spaces arise as an essential scheme in reading and understanding the complexity of human and the space they live in. Upon their interaction, the emergence of these new spaces is one of the consequences of the process. At first, it was built through hopes and dreams, even though the function itself transforms over time, and the dreams slowly fade. This space is parallel with others that precede it, and it is also influenced by human’s instinct, which presence is resisted in the process of interaction. Attempts of negotiation become a way to overcome this; patterns of relations are built in many ways, individually or communally, in the hope of a new purpose arising in this space. Reading the presence of this space in cinema gives the public an opportunity to find a new understanding on the concept of space in the human civilization. Elements from the previous spaces no longer dominate the civilization. Artificial space also comes in a new form, mixed and struggles to breach the partition between thick walls. Slowly, it becomes a new reality where ideas and identities are reformed. Its encounter proposes a game and its civilization proposes a utopian dream for humans. Therefore, exploration of
56
the medium becomes a part of this new civilization, to observe how humans play their role of expression in their locality. In ARKIPEL Homoludens this year, the three films in this program represent the re-examination of how the game of spaces reappears. No longer a physical space, the artificial digital space brings a new understanding of the concept of space in human civilization. Its aesthetic interweaves a diffusive relation between the past and the present. Its encounter within the interaction gives birth to a contemporary space in cinema.
57
IC 3 / 10 August, Goethehaus, 19.00 & 13 August, Goethehaus, 13.00 / 15+
Grid Corrections
Country of production Netherlands Language Subtitles 2 min, color, 2016
Suatu eksplorasi visual dari hasil pendokumentasian kisi-kisi citra satelit yang mengabstraksikan makna baru yang berubah menjadi bidang-bidang, garis-garis, dan ruangruang datar. Pergeseran atau distorsi yang terjadi dan bagaimana semua elemen dasar tersebut membentuk konfigurasi geografis memantik polemik tentang batas-batas wilayah imajiner.
A visual exploration produced from documentation of the grids of satellite’s imagery, illustrating a new changing meaning into fields, lines and flat spaces. The shift and distortion occur and how all those basic elements form geometrical configuration triggering polemic on the boundaries of the imaginary territory.
——Syaiful Anwar
Gerco de Ruijter & Michel Banabila (Spain) � http://www.li-ma.nl
58
Gerco de Ruijter adalah seniman visual yang berbasis di Rotterdam, bekerja di bidang fotografi dan filem. Karyanya mengeksplorasi sejauh mana penyajian lanskap dapat direduksi namun tetap dapat dikenali.
Gerco de Ruijter is a Rotterdambased visual artist working in the field of photography and film. His art explores how far presentation of the landscape can be reduced and yet still remain recognizable.
Michel Banabila merilis musik sejak tahun 1983 dan telah menghasilkan musical scores untuk sejumlah filem, dokumenter, teater dan koreografi. Karyanya telah dirilis secara internasional oleh label seperti Bureau B (DE) dan Séance Center (CA).
Michel Banabila releases music since 1983 and has produced musical scores for numerous films, documentaries, theatre plays and choreographies. His work has been released internationally by labels like Bureau B (DE) and Séance Centre (CA).
IC 3 / 10 August, Goethehaus, 19.00 & 13 August, Goethehaus, 13.00 / 15+
GIVE
Country of production United States Language English Subtitles English 17 min, color, 2017
Melalui pendekatan fiksi dan dokumenter, hadir sebuah kolase monumental—yang dikumpulkan dari berbagai kliping oleh seorang pendeta kulit hitam bernama Roland Gordon—yang telah serupa monumen memorial tentang peran dan pencapaian kaum Afro-Amerika. Narasi visual alternatif, ribuan potongan foto anonim, surat kabar, majalah, dan poster yang ditempelkan di dinding-dinding oleh sang pendeta, merupakan upayanya untuk mengkonstruksi dan mempertahankan warisan genealogi budaya ingatan kaumnya akan identitas.
Through fiction and documentary as an approach, a monumental collage – collected from various clippings by a blacked-skin priest named Roland Gordon – has resembled a memorial monument about the roles and achievements of the Afro-American. Alternative visual narratives, thousands of anonymous photograph snippets, newspaper, magazine and poster pasted on the walls by the priest, is his attempt to construct and defend the cultural heritage of his people’s memory on identity.
——Syaiful Anwar
David de Rozas adalah pembuat filem independen dan produser yang berbasis di California, AS. Ia lahir di Eropa Selatan dan memperoleh MFA di Cinema di San Francisco State University, dan BA di bidang Fine Arts dari Complutense University di Madrid. Minatnya berhubungan dengan politik sejarah, ingatan, dan identitas melalui berbagai medium dan format.
David de Rozas is an independent filmmaker and cultural producer based in California, US. He was born in Southern Europe. He earned an MFA in Cinema at the San Francisco State University, and BA in Fine Arts from the Complutense University in Madrid. His interests relate to the politics of history, memory, and identity through a range of mediums and formats.
David de Rozas (Spain)
� davidderoz@gmail.com
59
IC 3 / 10 August, Goethehaus, 19.00 & 13 August, Goethehaus, 13.00 / 15+
Overnight Flies
Country of production Austria Language English, Swedish Subtitles English 97 min, color, 2016
Gambaran sunyi tentang potret imigran Afrika di sebuah pulau kecil yang terisolasi di Swedia. Berteman dengan warga lokal yang tinggal dalam hutan serta dikelilingi suara-suara burung, dirinya menjelajahi tiap-tiap jalan, pohon-pohon, semak, padang rumput, untuk mengingat kembali momen-momen yang direkamnya ke dalam kamera hanya untuk menemukan makna perpindahan.
A quiet depiction on a portrait of an African immigrant living in a small isolated island in Swedia. Being friend with a local, living in the wood surrounded by the sound of birds, he explores every road, trees, bushes and meadows, to commemorate the moments he recorded in the camera to find the meaning of displacement.
——Syaiful Anwar
Georg Tiller mempelajari filem dan televisi di Akademi Seni Rupa Vienna, penyutradaraan filem dan sinematografi di Film Academy Vienna dan penyutradaraan filem di German Film and Television Academy Berlin (dffb). Tiller telah memproduksi dan menyutradarai beberapa filem layar panjang, dokumenter, dan filem eksperimental
Georg Tiller (Austria)
ďż˝ info@subobscurafilms.com
60
Georg Tiller studied film and television at the Academy of Fine Arts Vienna, film directing and cinematography at the Film Academy Vienna and film directing at the German Film and Television Academy Berlin (dffb). Tiller has produced and directed several feature films, documentaries and experimental films.
l a nois a nre tnI is i te pmo K
IC 4
Bahasa yang Semakin Intim Abi Rama Selektor
Sejak kamera disertakan sebagai fitur telepon selular, saya tak pernah lupa membawanya dalam genggaman ataupun di saku celana. Sejak saat itu pula saya mulai rajin merekam. Merekam apa saja. Yang penting maupun tidak penting, yang boleh maupun tidak boleh direkam. Orang-orang sekitar juga merekam sejarahnya sendiri. Mereka membangun sendiri citra yang ingin ditampilkan. Namun, citra di sini bisa saja merupakan realitas yang terbatas dalam bingkaian, bisa juga berupa representasi, atau bahkan melenceng jauh dari kejadian sebenarnya. Pada filem The Night Between Ali & I, sang sutradara menawarkan citra reka ulang fiktif yang menampilkan salah satu peristiwa penting di Lebanon, Penyanderaan Bank of America di Beirut, pada 18 Oktober 1973. Dalam peristiwa ini, empat pemuda bersenjata dari Gerakan Revolusioner Sosialis Lebanon memasuki bank di pusat kota Beirut, dan meminta uang sepuluh juta dolar kepada pihak berwenang untuk perang Arab melawan imperialisme di kawasan itu dan untuk pembebasan beberapa tahanan politik Arab. Mereka juga meminta agar tuntutan dan manifesto mereka dipublikasikan di berbagai media. Gambar-gambar dalam filem, dengan caranya sendiri, membangkitkan imajinasi tentang apa yang terjadi selama teror 26 jam. Ia menuturkan bagaimana interaksi antara para sandera dan gerilyawan bersenjata didekonstruksi secara intim ketika muncul narasi dari beberapa narasumber, seorang di antaranya adalah Amer Farrough—salah satu dari 4 penyerang bank. 61
Sinema mendekonstruksi sebuah peristiwa bersejarah dengan caranya sendiri, melalui kecanggihan teknologi saat ini yang hampir dapat diakses oleh siapa pun. Ia menawarkan berbagai kemungkinan baru dalam melihat suatu peristiwa. Fungsi perekaman di sini bukanlah sebagai dokumentasi, melainkan sebagai sebuah upaya penciptaan; sebuah konstruksi akan realitas yang baru. Dalam Good Tidings, lewat kesadaran akan medium—di mana kamera saat ini sangat mungkin digunakan dalam situasi yang paling intim sekalipun—sang pembuat filem membaurkan batasan antara subjek dan dirinya. Tubuh-tubuh dan gestur natural di sebuah pantai Mediterania bukan dengan sengaja tampil, namun dikondisikan untuk hadir dalam bingkai. Memperlihatkan Bochra, sebuah kapal kecil yang digunakan oleh imigran Afrika untuk mencapai Eropa, “The Promised Land�. Namun, ketika para imigran telah pergi, Bochra masih saja berada di batas antara laut dan darat sambil menjalani sejarah barunya. Apa yang Anda harapkan dari sinema hari ini? Kecanggihan teknologi, special-FX, atau narasi yang benar-benar baru? Di mana ke-hari-ini-an sinema itu sendiri ada pada pengalaman dan cara kita melihat serta memahami sinema hari ini. Sebab, sinema adalah bahasa.
62
noi ti te pmoC l a noi ta nre tnI
IC 4
Language at Intimate View Abi Rama Selector
Since the camera was incorporated as mobile phone feature, I never forget bringing it in my hand or my pocket. Since then, I started to be actively recording. I record anything; the important and the unimportant, the recordable and the unrecordable. People around [me] also record their history. They construct the image they would like to show on their own. Yet the image here is a limited reality in a frame, it could be a representation or far deviated from the actual event. In The Night Between Ali & I, the director offers fictional reconstructed imagery that shows one of important events in Lebanon, a hostage-taking of Bank of America in Beirut, 18th October 1973. In this event, four armed young men from Socialist Revolutionary Movement of Lebanon entered the bank in the city centre of Beirut and demanded ten billion dollars from the authorized party for the Arab war against imperialism in the region and for freeing several Arab political prisoners. They also asked their demand and manifesto to be published in various media. Images in the film, in its own way, enacted the imaginations on what happened during the 26 hours terror. It recreates how the interaction between the hostage and the armed guerillas was deconstructed intimately all at once when the narratives from some interviewees appear, one of them was Amer Farrough, one from four persons who attacked the bank. Here we could see the power of cinema in deconstructing a historical event in its own way, through recent technological advancement which is almost accessible for anyone. It offers a new possibility in looking at an event. 63
The function of recording here is not as documentation, but as an attempt to create a new construction of reality. In Good Tidings, through consciousness towards medium – where camera today is very possible to be used even in a very intimate situation – the filmmaker blurred the boundary between subjects and himself. The bodies and natural gestures in a Mediterranean beach were not shown unintendedly, but conditioned in purpose to be present in frame. Showing Bochra, a small boat used by African immigrants to reach Europe, “The Promised Land”. The immigrants had been gone, yet Bochra were still on the border between shore and land while undertaking its new history. What do you expect from today’s cinema? Technological advancement, special-FX, or a very newly narrative? The contemporaneity of cinema itself exists in our experience and ways in looking and also understanding today’s cinema. Since cinema is language.
64
IC 4 / 10 August, Kineforum, 16.00 & 11 August, Kineforum, 16.00 / 18+
The Night Between Ali and I
Country of production Spain Language English, Spanish Subtitles English 10 min, color, 2016
Sebuah reka ulang fiktif dari peristiwa penting dalam sejarah kontemporer Lebanon dan Levantine: upaya penyelamatan 39 sandera di Bank Amerika di Beirut.
A fictional reenactment of a key event in Lebanese and Levantine contemporary History: the hijack of 39 hostages at the Bank of America in Beirut.
——Abi Rama
Nadia Hotait & Laila Hotait
Nadia Hotait & Laila Hotait adalah Hotait bersaudara asal LebanonSpanyol yang telah berkolaborasi dalam sejumlah filem dan instalasi video. Karya mereka telah dipresentasikan di berbagai tempat dan diputarkan di berbagai festival. Mereka menyelesaikan studi dengan beasiswa penuh, Nadia memperoleh gelar MFA di The School of Art Institute of Chicago dan Laila memperoleh gelar MFA Filmmaking di San Francisco State University.
Nadia Hotait & Laila Hotait are Lebanese-Spanish Hotait sisters that have collaborated in several in films and video-installations. Their work has been presented in various venues and festivals. They completed studies with full scholarships: Nadia finished MFA at The School of the Art Institute of Chicago and Laila finished a MFA in Filmmaking at San Francisco State University.
(Lebanon-Spain)
ďż˝ fest@marvinwayne.com
65
IC 4 / 10 August, Kineforum, 16.00 & 11 August, Kineforum, 16.00 / 18+
La Buona Novella Good Tidings Country of production Italy Language Italian Subtitles English 15 min, color, 2018
Pantai Sisilia di Laut Mediterania, adalah surga bagi banyak kapal yang datang dari pantai Afrika. Perahu-perahu ini mencoba tak terdeteksi radar, mencoba mencapai daratan Eropa. Pada malam musim panas, Bochra tiba dengan lebih dari 130 orang di dalamnya.
Sicilian shores on the Mediterranean Sea, are a haven to a lot of boats arriving from the coasts of Africa. These boats are fleeing the radar controls, trying to reach the European land. On a summer night, Bochra arrived with over 130 people on board.
——Abi Rama
Sebastiano Luca Insinga (1984) lahir di Catania pada bulan November. Ia dibesarkan di Brescia. Kemudian dia tinggal di Reykjavik, São Paulo dan Milan. Saat ini berbasis di Trento sebagai pembuat film dan seniman video.
Sebastiano Luca Insinga (Italy)
� luca@jumpcut.it
66
Sebastiano Luca Insinga (1984) was born in Catania on November. He grew up in Brescia. Then he lived in Reykjavik, São Paulo and Milan. Currently based in Trento as Filmmaker and Video Artist.
l a nois a nre tnI is i te pmo K
IC 5
Penyusuran Afirmatif: Melewati Labirin-Labirin Kemasygulan Masa Lalu, Paranoia Puitik, dan Horor Masa Kini Manshur Zikri Selektor
Yang barangkali sering mengejutkan dari hari ini, salah satunya, adalah ketidakterdugaan kita sebelumnya, bahwa penggalian kembali atas masa lalu kerap membuat kita harus berhadapan dengan narasi lain, yang rasanya lebih nyata menyeramkan, mengenai dunia sekarang. Atau lebih tepatnya, ialah tentang kemestian dari peristiwa tertentu yang kini semata tersisa sebagai hal yang biasanya disesali, kalau bukan ditakuti, kemudian dihindari; sebuah kemestian yang, sengaja atau tidak, telah diluputkan oleh sistem kekuasaan, sementara seiring waktu yang berjalan, narasi-narasi konstruktif kontemporer terus membentuk persepsi kita. Tapi benarkah paranoia akan masa lalu semacam itu adalah satu-satunya yang tak terhindarkan dari ingatan buram yang semakin hari semakin dipiuh oleh hubungan-hubungan kekuasaan yang terjalin rumit dari faktor-faktor terpusat? Tiga filem yang disertakan ke dalam kuratorial ini, dengan pendekatan yang saling berbeda satu sama lain, sama-sama menyajikan sebuah refleksi dari dan tentang subjek yang tengah menelusuri labirin memori kaburnya, yang mana perjalanan itu dihantui oleh kegelisahan fotografis, trauma kekerasan, dan kecemasan akan pembuangan—ketiganya berkaitan satu sama lain dalam merepresentasikan bagaimana dampak lanjut modernisme—yang telah menentukan eksistensi manusia, relasi sosial, perilaku masyarakat, sikap hukum, kebebasan ruang, dan keleluasaan kapital, serta keabaian dan pengabaian komunal itu—pada akhirnya tidak hanya melanggengkan sistem pembatasan, tetapi juga secara bersamaan menyudutkan kita ke titik krisis.
67
Dangsan adalah suatu pencarian kembali memori-memori dari kegelisahan masa lalu di antara jejak pabrik-pabrik yang hilang di kotamadya Dangsan; memori yang ikut lenyap seiring pembangunan modern yang menenggelamkan masa lalu kota, kecuali kisah suci pohon gingko sang penyelamat. Penuturan melantur seorang mantan narapidana pengidap psikosis pasca kebebasannya dari jeratan hukuman mati setelah 48 tahun menjalani hukuman penjara karena secara keliru didakwa sebagai pelaku kejahatan pembunuhan, dalam filem berjudul 48 Years – Silent Dictator, adalah sebuah penggalian mengenai sistem-sistem yang saling berhimpit di antara narasi faktual dan narasi delusional. Sedangkan pada filem ketiga, Sub Terrae, kamera menuntun kita menelusuri sebuah labirin perkuburan yang dikerumuni burung nasar, dan telusuran itu berujung pada pemandangan sebuah tempat pembuangan akhir—gunungan sampah. Dalam Dangsan, pencarian yang tampaknya sia-sia atas ingatan-ingatan yang terhapus itu melahirkan suatu kelegaan yang kiranya dapat menawar racun kegelisahan sekaligus membuka peluang refleksi baru atas lanskap urban kontemporer. Pada 48 Years – Silent Dictator, keputusan Iwao Hakamada untuk mengafirmasi dunia delusionalnya mungkin bukanlah sebuah pilihan untuk lari dari trauma kekerasan hukum, melainkan perlawanan subjektif Hakamada atas hukum itu sendiri; filem ini menunjukkan suatu afirmasi atas sebuah ‘dunia irasional’ yang secara filosofis justru menjadi cermin paling sesuai bagi kita dalam merasionalisasi dunia yang sesungguhnya—dunia yang diperangkap oleh sistem kekuasaan, entah milik negara atau korporat, atau yang dihasilkan oleh pengabaian dari masyarakatnya sendiri. Hal itu sebagaimana secara puitik terkiaskan dalam Sub Terrae yang berhasil menyampaikan teror yang begitu mengerikan: secuplik gambaran distopik tentang masa depan yang diramalkan, yang disimak pada hari ini dari bilik kematian tempat berbaringnya orang-orang masa lalu, sebagai penanda tentang krisis global kontemporer yang tengah berlangsung di zaman sekarang. Tiga filem tersebut menawarkan kepada kita suatu pandangan, bahwa usaha-usaha untuk mengurai teka-teki historis yang ada, dan optimisme dalam mencapai pintu keluar dari labirin ingatan-ingatan arus-bawah, atau setidaknya afirmasi atas keganjilan alam pikir kaum periferal—walaupun acap kali belum berhasil menjelaskan apa yang saru di mata rasional kita—adalah disrupsi-disrupsi kecil yang bisa kita percayai akan meretakkan jeruji-jeruji 68
yang memenjara arti dari sebuah kebenaran. Sinema, dalam konteks ini, memainkan peran terpentingnya dalam menciptakan suatu pengertian dan keadaan yang elastis, atau melipatgandakan efek dari disrupsi-disrupsi itu, dalam rangka menawarkan suatu relativitas sekaligus paralelitas sebuah narasi. Tidak jarang, langkah itu dihadirkan lewat kekuatan puitiknya yang meneror konformitas manusia-manusia hari ini. Tapi memang, diskonformitas oleh sinema adalah narasi alternatif untuk kita pikirkan ulang. Mengacu kasus yang diangkat ketiga filem tersebut, kuratorial ini mencoba memahami bahwa, dalam pengertian sinema, apa yang buntu bisa jadi ialah jalan keluar. Ketiga filem ini kiranya menunjukkan satu benang merah: jikalau kebenaran absolut dan perbaikan sistem belum akan berhasil diraih, “aksi mencari� itu sendirilah yang bisa jadi tujuan sesungguhnya. Menafsir puisi Dante, Inferno, Canto I, kita patut percaya bahwa, dalam kondisi sekrisis apa pun, setidak-tidaknya, manusia harus selalu mencari jalan yang tepat untuk tetap dapat hidup dan bertindak adil, karena di dalam pencarian itu, kita dirangsang untuk melihat, mendengar, dan menyimak dengan lebih saksama sehingga kita bisa menilai paranoia tentang masa lalu dari sudut pandang yang berbeda, yang lebih empatik.
69
noi ti te pmoC l a noi ta nre tnI
IC 5
Affirmatory Tracing: Journey through the labyrinth of the past anxiety, poetic paranoia, and present horror Manshur Zikri Selector
Perhaps the most surprising of these days, among others, is: our unexpected results of the excavations of the past often make us face another narrative, which seems even more sinister, about the present world. Or rather, it is about an unrealized ideal of the particular events, of which its absence is now merely a thing to be regretted and often causes anxiety, and then its disclosure is frequently avoided. It is something that has been, intentionally or not, eliminated by the system of power while contemporary constructive narratives are continuing to shape our perceptions over time. But is it true that such a past paranoia is the only inevitability of the foggy memories that are increasingly being distorted by the power relations complexed by centralized factors? The three films included into this curatorial, with their respectively different approaches, present a reflection from and about the subject traversing the labyrinth of their vague memories, whose journey haunted by photographic anxieties, a trauma of violence, and fear of discard. They relate to each other in representing how the further impact of modernism—which has been determining human existence, social relations, social behaviors, legal provisions (or rule of law), freedom of space, and capitalist’s discretion, as well as communal neglecting and abandonment—ultimately not only perpetuates a system of confinement but also simultaneously cornering us to the point of crisis. Dangsan is the retrieval of memories of past anxiety among traces of the lost factories in the Dangsan sub-municipality; the memory that disappears as modern development drowns the city’s past, except for the sacred tale of 70
the gingko tree the savior. The rambling narrative from a psychotic ex-convict freed from capital punishment after 48 years serving a prison sentence for being mistakenly sentenced to death for mass murder, in 48 Years - Silent Dictator, is an excavation of systems overlapping between factual narrative and the delusional one. While in the third film, Sub Terrae, the camera leads us through a maze of cemeteries surrounded by vultures, and the trek ends with a view of a garbage dump. In Dangsan, a seemingly futile quest for such deleted memories spawned a relief that could neutralize the toxic of anxiety as well as open up new opportunities for critical reflection on the contemporary urban landscape. In 48 Years - Silent Dictator, we can perhaps see Iwao Hakamada’s decision in affirming his delusional world as an option which is not in the sense of escaping the trauma of legal violence, but rather as Hakamada’s subjective resistance to the law itself. This film shows a kind of affirmation of an ‘irrational world’ that philosophically functions as a mirror that suits us in rationalizing the real world—that is a world controlled by a system of power owned either by the state or corporation or generated by people’s indifference. As the Sub Terrae poetically echoes by showing us such a terrifying terror: a dystopian imagery of the foreseeable future, which is being seen from the current death chamber where the people of the past buried, signifying the contemporary global crisis in the present. Through those films we can understand that the attempts to unravel existing historical conundrums and the optimism in reaching the solution from the labyrinth of undercurrent memories, or at least the affirmation of the anomaly of the peripheral minds—though often have not yet succeeded to explain what is vague in our rational eyes—are the small disruptions that we can trust will crack the bars that imprison the meaning of a truth. Cinema, in this context, plays its most essential role in creating an elastic sense or multiplying the effects of the disruptions; to offer relativity as well as the parallelity of a narrative. And more often than not, cinema poetically terrorizes the conformity of humans. But indeed, the cinematic disconformity is an alternative narrative for us to rethink. Referring to the cases raised by those three films, this curatorial tries to understand that, in the sense of cinema, a cul-de-sac maybe is a way out. These three films will show a common thread: if the absolute truth and 71
correction of the system will not be achieved yet, “the act of pursuing it” itself is perhaps the true goal. Interpreting Dante’s Inferno, Canto I, we ought to believe that under any crisis conditions, at least, humans should always find the right path in order for staying alive and behaving justly. For in that quest we will be more triggered to see, listen and scrutinize more closely so that we can appreciate the paranoia of the past from a different, more empathic point of view.
72
IC 5 / 11 August, Goethehaus, 13.00 & 13 August, Kineforum, 16.00 / 15+
Dangsan
Country of production South Korea Language Korean, English Subtitles English 38 min, color, 2017
Mengunjungi kembali kota kelahirannya, si sutradara menemukan kenyataan betapa Dangsan telah banyak berubah, kecuali kisah pohon gingko berusia ratusan tahun yang konon menyelamatkan warga dari bencana banjir besar. Terganggu oleh kegelisahannya tentang ingatan-ingatan masa lalu yang muncul kemudian, penelusurannya untuk kembali mengenali image-image subjek yang dahulu beradu tatap dengannya, si sutradara membangun narasi filem ini dengan membawa kita melihat sebagian fenomena historis terkait separasi kawasan Korea dan perubahan kota itu akibat pembangunan modern. Mata siapakah itu? Ke manakah mereka yang luput terekam? Dangsan adalah sebuah pencarian atas ingataningatan yang terhapus, yang melahirkan kelegaan dan refleksi baru tentang lanskap urban kontemporer.
Revisiting her hometown, the director discovered the reality of how Dangsan had changed much, except for a hundred-year gingko tree which supposedly saved people from big floods. Stirred by her anxiety about memories that popped up in her head, her tracing to re-recognize the images of subjects who had previously met her, the director built this film narrative by taking us to see some historical phenomena related to the separation of the Korean region and changes in the municipality due to modern development. Whose eyes is that? Where did they go, those who were unrecorded? Dangsan is a quest of the deleted memories, which reveal a relief and a new reflection on the contemporary urban landscape.
——Manshur Zikri
Geonhee Kim, lahir di Dangsandong, Yeongdeung-po-gu, Seoul. Kim mengambil jurusan dokumenter di The School of Film, TV & Multimedia Korea National University of Arts. Dia menyutradarai beberapa film dokumenter: The Landscape (2013), Illusion (2015) dan Do you remember Cheongpa? (2016).
Geonhee Kim was born in Dangsandong, Yeongdeung-po-gu, Seoul. Kim majored documentaries at The School of Film, TV & Multimedia of Korea National University of Arts. She directed several documentaries: The Landscape (2013), Illusion (2015), Do you remember Cheongpa? (2016).
Geonhee Kim (South Korea)
ďż˝ gunhee4147@gmail.com
73
IC 5 / 11 August, Goethehaus, 13.00 & 13 August, Kineforum, 16.00 / 15+
48 years – Silent Dictator
Country of production Japan Language Japanese Subtitles English 74 min, color, 2018
Sebagian besar filem ini berisi wawancara sutradara dengan Iwao Hakamada, mantan narapidana yang bebas dari hukuman mati dan mengalami psikosis pasca menjalani kurangan penjara selama hampir setengah abad. Diselingi oleh rekaman aktivitas Iwao yang berjalan-jalan sepanjang hari, wawancara ini menyelami dunia delusional Iwao, di antara ingatan-ingatan yang memburam dan keyakinannya untuk menjadi Sang Mesin yang murni. Ini adalah sebuah filem tentang liku membingungkan dari dunia imajinasi si narasumber yang sekaligus menjadi refleksi kritis terhadap kenyataan yang mengerikan dari dunia kita yang berdiri dengan melanggengkan kekerasan sistemik lewat kekuasaan hukum.
Most of the films contain interviews conducted by the filmmaker with Iwao Hakamada, a psychotic former prisoner who is free from the death penalty after serving an almosthalf-century of imprisonment. Punctuated by scenes of Iwao’s all-day-walk routines, this interview penetrates the delusional world of Iwao, between his fading memories and his conviction to become a pure Mr. Machine. This is a film about the confusing twists of the imaginary world of the informant, which at the same time becomes a critical reflection of the terrible reality of our society which stands by perpetuating systemic violence through the rule of law.
——Manshur Zikri
Hiroshi Sunairi (1972) lahir di Hiroshima dan tinggal di NYC. Ia membuat patung atau instalasi dan sinema dalam berbagai konten untuk membahasa topik yang berkisar pada memori kolektif dan ruang public. Filem-filemnya telah diputar di berbagai festival film internasional maupun pada berbagai pameran seni.
Hiroshi Sunairi (Japan)
� sunairi@hotmail.com
74
Hiroshi Sunairi (1972) was born in Hiroshima and lives in NYC. He creates sculpture or installation and cinema on various contents to deal with issues of collective memory and the public sphere. His films have been screened in numerous international film festivals and art occasion.
IC 5 / 11 August, Goethehaus, 13.00 & 13 August, Kineforum, 16.00 / 15+
Sub Terrae
Country of production Spain Language No Dialogue 8 min, color, 2017
Kamera menuntun kita menelusuri sebuah labirin perkuburan yang dikerumuni burung nasar, dan telusuran itu berujung pada pemandangan sebuah tempat pembuangan akhir—gunungan sampah. Sub Terrae hendak menyampaikan teror yang begitu mengerikan: secuplik gambaran distopik tentang masa depan yang diramalkan, yang disimak pada hari ini dari bilik kematian tempat berbaringnya orangorang masa lalu, sebagai penanda tentang krisis global kontemporer yang tengah berlangsung di zaman sekarang.
The camera leads us through a maze of cemeteries surrounded by vultures, and the trek ends with a view of a garbage dump. Sub Terrae poetically echoes with showing us such a terrifying terror: dystopian imagery of the foreseeable future, which is being seen from the current death chamber where the people of the past buried, signifying the contemporary global crisis in the present.
——Manshur Zikri
Nayra Sanz Fuentes (1979) lahir di Las Palmas de Gran Canaria, Spanyol. Ia merupakan lulusan Filologi Hispanik. Sebagian tesis doktornya dikerjakan di Berlin. Ia mengambil Master of Film Direction di New York. Dia telah meyutradarai lima film pendek sebelum kemudian mengerjakan filem panjang pertamanya; As Old As the World.
Nayra Sanz Fuentes (1979) was born in Las Palmas de Gran Canaria, Spain. She has a degree in Hispanic Philology. She did part of her doctoral thesis in Berlin. She studied a Master of Film Direction in NY. She has directed five short films before finally works on her first feature film; “As Old as the World”
Nayra Sanz Fuentes (Spain)
� distribucion@digital104.com
75
l a nois a nre tnI is i te pmo K
IC 6
Permainan dan Peraturan Afrian Purnama Selektor
Piala Dunia tahun ini tidak hanya menghadirkan aksi tubuh-tubuh yang saling mengalahkan diri dan lawannya, tapi juga sebuah peraturan baru yang coba diperkenalkan oleh asosiasi sepak bola internasional FIFA. Penggunaan VAR (Video Assistant Referee) mencuri perhatian kita semua, baik penikmat sepak bola maupun para pemain itu sendiri. Di banyak momen krusial saat pertandingan berlangsung, perhatian kita justru tidak lagi pada bola dan pemainnya, tapi ke wasit yang berlari mondar-mandir dari tengah ke sisi lapangan untuk menyaksikan video, lalu mengulang sebuah kejadian genting sembari berinteraksi dengan pengawas video yang juga menyaksikan di tempat terpisah. Ada ketegangan yang berbeda ketika wasit melihat tayangan video itu, lalu menunggu hasil dari keputusan bedasarkan tayangan VAR tersebut. Singkatnya, VAR mengubah cara kita menikmati dan menonton pertandingan sepak bola. Alasan VAR dipergunakan sebenarnya sederhana, untuk membantu wasit melihat kembali momen yang abai dilihat oleh matanya dengan bantuan kamera yang terpasang di penjuru lapangan. Dengan demikian, ada kesempatan kedua bagi wasit untuk melihat apa yang terjadi di lapangan; lensa kamera menjadi kepanjangan dari mata wasit. Video dan sepak bola sudah berkerabat sejak awal pertengahan abad ke-20, saat pertandingan sepak bola mulai disiarkan di televisi—sebagai media distribusi—menjadikan sepak bola sebagai olahraga paling populer di seluruh dunia. Namun, baru kali ini video mengambil alih kenyataan, bahkan mengoreksi dan menciptakan aturan baru dari konstruksi permainan yang sudah ada sebelumnya. Bila melihat sepak bola sebagai kompetisi, 76
maka kehadiran VAR menjadi penting sebagai pengadil yang menciptakan keputusan di saat genting. Namun, bila kita menganggap sepak bola sebagai sebentuk permainan, maka kehadiran VAR bisa menjadi petaka karena mengubah aturan main, merusak momentum pertandingan sehingga sepak bola tidak lagi murni permainan. Bahwa segala tragedi atas kelalaian wasit ketika mengadili itulah salah satu bagian paling manusiawi dari pertandingan sepak bola yang juga perlu dirayakan. Fenomena VAR adalah sedikit dari beberapa contoh yang bisa kita lihat untuk memahami kenyataan saat ini yang terbentuk dalam banyak dimensi. Media—dalam hal ini medium gambar bergerak—memberikan dimensi lain, bahkan terkadang, mengambil alih dan memiliki otoritas lebih dari kenyataan fisikal—otoritas yang berarti menginterupsi, mengawasi, dan membuat aturanaturan baru. Empat filem yang hadir dalam bingkaian ini menampilkan berbagai sisi kenyataan yang mana terhubung langsung oleh kenyataan fisiknya dengan menggunakan medium gambar bergerak. Sinema mampu digunakan oleh empat pembuat filem di sini untuk menampilkan baik kenyataan di luar frame yang terbayang dan tidak termediasikan, maupun dengan kenyataan di dalam frame yang dikontruksikan oleh berbagai aturan-aturan—baik itu aturan estetika—yang terkoneksi langsung dengan bagaimana teknologi kamera dioperasikan, juga aturan yang bersifat kultural serta nir-representasional.
77
noi ti te pmoC l a noi ta nre tnI
IC 6
Game and Rules Afrian Purnama Selector
The World Cup this year demonstrated not only bodies in the act of defeating one another, but also a new rule introduced by the international football association, FIFA. The use of VAR (Video Assistant Referee) stole the attention of all of us, both football fans and the players alike. In many crucial moments when matches were happening, our attention no longer went to the ball and the players, but to the referee running back and forth from the midfield to the side of the field to watch a video clip, replaying a crucial moment while communicating with a video supervisor who was watching it too in a separate place. There was a distinct tension as a referee was watching a clip, with all of us waiting for the result of the decision based on that VAR screening. In short, it changes our way of enjoying and watching a football match. The reason for using VAR, in fact, is a simple matter, that is to help a referee re-watch a moment his eyesight missed by installing cameras all around the field. Thus, there is always a second chance for a referee to watch what is happening on the field; the camera lens becomes the extension of the referee’s eyes. Video and football had become kins since the middle of the 20th century when television—a distribution medium—started to broadcast matches, making football the most popular sport in the world. However, if we would consider football as a game, VAR’s presence could be a disaster as it would change the rule of the game, ruining a momentum of the match and so football would no longer be purely a game. All the tragedies resulted from a referee’s
78
failing in doing his job is one of the most human parts of football game, which also deserves a celebration. The VAR phenomenon is one of a few examples we can see to understand that reality today made on multitude dimensions. Media—the moving picture medium—provides another dimension, sometimes even takes over, and has more authority than, physical reality—one that interrupts, supervises and creates new rules. The four films in this segment present the various sides of reality that are directly connected by the physical reality through the medium of moving pictures. Cinema can be used by these filmmakers here to present the reality beyond the imagined and unmediated frame, and the reality inside the frame as constructed by various kinds of rules, both esthetically—that directly connected to how camera technology operates—and in cultural, nonrepresentational ways.
79
IC 6 / 13 August, Kineforum, 13.00 & 15 August, Kineforum, 13.00 / 21+
People Patterns
Country of production Netherlands Language No Dialogue 25 min, color, 2017
Lewat balik jendela ruangannya yang nyaman, yang berada beberapa lantai dari permukaan tanah, kamera bertindak seakan-akan lensa pengawas menangkap ragam pola perilaku kita dalam klasifikasi sosial di bawahnya. Interaksi dari kenyataan yang termediasikan ini memunculkan momen-momen jenaka serta refleksi atas disparitas kuasa sang pemilik teknologi ini.
Through the comfortable window of the room, located several floors above the ground, the camera acts like a surveillance lens capturing every pattern of our behaviour in the social classification beneath it. The interaction of this mediated reality brings up witty moments and a reflection on the disparity of power of the owner of this technology.
——Afrian Purnama
Mark Schonagen (1994) adalah pembuat film. Ia belajar Audiovisual Media di HKU University of Arts Utrecht dan tinggal di Amsterdam
Mark Schonagen (The Netherlands)
ďż˝ markschonagen23@gmail.com
80
Mark Schonagen (1994 ) is a filmmaker. He studies Audiovisual Media at the HKU University of the Arts Utrecht living in Amsterdam.
IC 6 / 13 August, Kineforum, 13.00 & 15 August, Kineforum, 13.00 / 21+
Songs of Fortune
Country of production Austria Language German Subtitles English 9 min, color, 2015
Ode-ode perempuan, yang diselingi dengan narasi yang mengiringi bidikan ruang kosong di sebuah ruangan kosong. Konstelasi astrologi yang dinyanyikan tidak hanya mendiktekan apa yang manusia harus lakukan, namun juga memberikan konteks baru bagi ruang-ruang kosong tersebut.
Ode of women, interrupted by narrative escorting the shot to an empty space in an empty room. The sung astrological constellation not only dictates what humans must do, but also provides a new context for those empty spaces.
——Afrian Purnama
Veronika Burger (1981) lahir di Wina, Austria. Saat ini ia tinggal dan bekerja di Wina, Austria.
Veronika Burger (1981) was born in Vienna, Austria. Currently she lives and works in Vienna, Austria.
Veronika Burger (Austria)
ďż˝ mail@veronikaburger.com
81
IC 6 / 13 August, Kineforum, 13.00 & 15 August, Kineforum, 13.00 / 21+
Awasarn Sound Man Death of the Sound Man Country of production Thailand, Myanmar Language Thai Subtitles English 16 min, color, 2017
Kenyataan sinematik sering kali merujuk pada kenyataan visual yang terekam. Tidak sering kita membicarakan kepelikan produksi suara yang juga beroperasi seiring dengan visualisasi. Death of The Soundman membongkar dua bilik kenyataan yang dihasilkannya secara parodikal, yang memuat kesadaran prosedural akan medium dan kelas, jauh berada di bawah permukaan.
Cinematic reality often refers to the captured visual reality. It is not often that we discuss the complexity of sound production that operates along with visualization. Death of The Soundman dismantles its two realities parodically, containing procedural awareness on medium and class, far beneath the surface.
——Afrian Purnama
Sorayos Prapapan (1986) lahir di Bangkok. Dia mulai bekerja di industri filem Thailand sebagai perekam suara dan seniman foley. Dia telah menyutradarai banyak filem pendek yang memenangkan penghargaan di negara asalnya dan ditampilkan di banyak festival filem internasional.
Sorayos Prapapan (Thailand)
ďż˝ yossyoss@hotmail.com
82
Sorayos Prapapan (1986) was born in Bangkok. He started working in Thai film industry as a sound recordist and foley artist. He has directed many short films which won an award in his home country and were shown in many international film festivals.
IC 6 / 13 August, Kineforum, 13.00 & 15 August, Kineforum, 13.00 / 21+
Loralir sadhukatha Tales from our Childhood Country of production India Language Assamese Subtitles English 68 min, color, 2018
Filem ini membicarakan tentang pengalaman personal dan kolektif, tentang ingatan seorang teman dan mimpi atas nasionalisme yang berlandaskan pada kesamaan lokasi, etnik dan kultur. Kedua narasi kecil dan besar ini lantas berkelindan, dan membentuk kisah yang merefleksikan masa lalu dan masa depan.
This film discusses the personal and collective experiences, about the memory of a friend and dream of nationalism based on the similarity of location, ethnicity and culture. These small and big narratives are interlinked and construct a story reflecting the past and the future.
——Afrian Purnama
Mukul Haloi berasal dari Nalbari, Assam (India). Dia lulus dari Universitas Delhi jurusan Ilmu Politik. Saat ini ia adalah mahasiswa tahun terakhir di jurusan Film Direction, the Film and Television Institute of India, Pune. Film pendek terbarunya “Days of Autumn” mendapat penghargaan di banyak festival.
Mukul Haloi is from Nalbari, Assam (India). He graduated from Delhi University in Political Science. He is currently a final year student of Film Direction at the Film and Television Institute of India, Pune. His recent short film “Days of Autumn” was appreciated at many festivals.
Mukul Haloi (India)
� haloimukul@gmail.com
83
l a nois a nre tnI is i te pmo K
IC 7
Amplifikasi Ugeng T. Moetidjo Selektor
Adakah seseorang benar-benar sosok personal sepenuhnya—dulu maupun kini? Kedua filem ini menawarkan refleksi tentang yang impersonal, bahwa: tak seorang atas namanya sendiri dapat mengartikan pengalaman primordialnya sebagai hanya berlaku baginya seorang, melainkan suatu kenyataan yang niscaya menunjukkan tanda-tanda komunal. Tubuh tidak memproduksi gagasan atau angan-angannya sendiri dan hanya demi dirinya sendiri. Gestur yang terlihat personal, sebenarnya, merupakan pengungkapan akan yang komunal, ruang identitas dari tempatnya merasa terbela dan terkonsekuensi melakukan kewajiban timbal-baliknya. Identitas-identitas, pada dasarnya, adalah tubuh-tubuh yang dikoloni. Mereka bergerak mengobjektivasi tubuh ke dalam kerangka tribalisme primordial. Kesadaraan bahwa identitas dikonstruksi sebagai eksistensi muncul dari kenyataan tubuh yang dikoloni ideologi-ideologi maupun mediamedia. Dekolonisasi tubuh adalah upaya untuk memupus tribalisasi di ruangruang primordialnya. Karenanya, wacana dan praktik-praktik pembebasan atas tubuh yang dikoloni muncul sebagai narasi gestural lewat organ-organ pengindera, yang di antaranya diproduksi sebagai suara. Suara-suara itu kemudian menjelmakan bahasa sensual bagi narasi balik yang mencoba mendefinisikan kembali berbagai personifikasi identitas. Contoh-contoh kelisanan sebagai model berbagai narasi telah memosisikan suara-suara ke dalam wacana-wacana antagonistik pada dua entitas budaya dan sosial dari dua fenomena komunal. Suara-suara mereka telah menjadi amplifikasi bagi konteks identitas komunal setiap subjek.
84
Le Cadeau memomenkan situasi pengingatan kembali, sementara Meta Marathon secara ironis berupaya menjangkau lagi arketipe keyakinan dalam kegamangan eskatologis. Pada keduanya, pendelegasian tubuh ke serangkaian narasi biografis berfungsi seusai tubuh menarik yang komunal untuk mengesahkan identitasnya. Pada yang pertama, media adalah tubuh itu sendiri yang menolak fungsi di luar anatomi biologisnya saat hendak memaknai geografi asal; sementara pada yang kedua, selalu muncul keinginan tubuh untuk mereproduksi identitasnya ke dalam mesin media. Artinya, tubuh baru teridentifikasi sebagai kenyataan eksistensial selama menarik diri ke dalam arena komunal sambil terus-menerus mereproduksi tubuh komunal. Reproduksi tubuh personal menjadi tubuh komunal berlangsung di berbagai konteks ranah identitas di mana segenap aspek dari tubuh kita dinisbahkan untuk senantiasa [menjadi] impersonal.
85
noi ti te pmoC l a noi ta nre tnI
IC 7
Amplifying Ugeng T. Moetidjo Selector
Is there anyone who is really a personal being altogether – both in the past and now? These two films propose a reflection on the impersonal, that: not a single being on their own behalf can define their primordial experience as valid only for them, but a fact that obviously shows communal signs. The body does not produce its ideas or fantasies only for its own sake. A personal-looking gesture is, in fact, a disclosure of the communal, a space of identity in which it finds a sense of being defended and consequently performing its mutual obligation. Identities, essentially, are the colonized bodies. They move to objectify the body into the framework of primordial tribalism. The consciousness that identity is constructed as existence emerges from the fact that ideologies and the media colonize the body. Decolonization of the body is an attempt to dismiss tribalization in its primordial spaces. Therefore, discourses and practices of liberation on the colonized bodies appear as gestural narratives through the sensory organs, among which are produced as sound. Those voices incarnate sensual language for the reverse narratives trying to redefine the multiple personifications of identity. Verbal models as the model of various narrative have put those voices into antagonistic discourses on two social and cultural entity from two communal phenomena. Their voices have become the amplification for the context of collective identity of each subject. Le Cadeau freezes the moment of retrospection, while Meta Marathon ironically attempting to reach out again the archetypes of belief in eschatological uncertainty. In both of them, a delegation of the body to a 86
series of biographical narratives serves its function after the body pulls the communal ones to validate its identity. In the first one, the media is the body rejecting the functions outside of its biological anatomy when it comes to interpreting the original geography; while in the second one, there is always desire of the body to reproduce its identity into the media machine. It means that the body is identified as an existential reality when withdrawing into the communal arena while continuously reproducing the communal body. The reproduction of the personal body into a communal body takes place in various contexts in the domain of identity in which all aspects of our body are attributed to always become impersonal.
87
IC 7 / 12 August, Kineforum, 13.00 & 13 August, Kineforum, 19.00 / 18+
Meta Marathon
Country of production Austria Language German Subtitles English 9 min, color, 2015
Qodratulloh Bayyat, pemuda pekerja desa yang sederhana, sesumbar mampu memecahkan rekor dunia dan rekor olimpiade cabang olahraga maraton. Komunitas warga sedesanya menyanjungnya bak pahlawan mereka. Untuk membuktikan kata-katanya dan membalas dukungan masyarakat yang memercayai niat dan harapannya, ia mengikuti ajang lomba maraton yang diadakan di kota dan mempersiapkan sebuah tim yang akan memfilemkan kemenangannya. Narasi yang berpusat pada potret keluguan protagonis ala reality show ini, melibatkan sejumlah aspek tentang bagaimana kemiskinan, dan di atas segalanya, martabat dan kejujuran, turut berperan dalam mengguncangkan kepercayaan komunal akan penyelamatan dari ketidakadilan sosial.
Qodratulloh Bayyat, a young working lad living in his simple village, boasting that he can break the world and Olympic record in the marathon. People in his village flatter him as if he is their hero. To prove his saying and respond to the people who trust his motives and hopes, he then joins a marathon competition held in the town and prepares a team to film his victory. The narrative centers around the portrait of the protagonist’s innocence which looks like a reality show, engaging the aspects on how poverty—and above everything—dignity and honesty play their roles in shaking communal believe on the rescue from social injustice.
——Ugeng T. Moetidjo
Saeed Keshavarz (1985) memulai kegiatan seni pada tahun 2002 dengan bekerja di bidang teater sebagai sutradara dan aktor. Dia telah membuat beberapa filem dokumenter televisi dan filem cerita pendek. Dia juga seorang Seniman Video. Meta Marathon adalah filem panjang pertamanya.
Saeed Keshavarz (Iran)
� info@filmival.com
88
Saeed Keshavarz (1985) started art’s activities in 2002 by working in the field of theatre as director and actor. He has been made several television documentaries and short story film. He also a Video Artist. Meta Marathon is his first feature film.
IC 7 / 12 August, Kineforum, 13.00 & 13 August, Kineforum, 19.00 / 18+
Le Cadeau
Country of production Belgium Language French, Arabic Subtitles English 49 min, color, 2018
Empat perempuan berbeda generasi, bertekad mengembalikan lagi kekuatan suara-suara komunitas mereka dari tanah asal, di tengah biografi kesaksian dan potret identitas silam mereka yang terperangkap dalam dominasi patriarkal. Suara-suara mereka adalah lantunan nyaring youyou (dalam bahasa Prancis) atau zaghareet (dalam bahasa Arab) sebagai ungkapan emosional yang melantangkan kembali eksistensi dari tradisi komunal komunitas-komunitas budaya sub-Sahara. Sebuah pesan tentang suara zaman dan silang budaya untuk memanggil dan mendekatkan kembali komunikasi dengan tanah asal lewat performativitas di tengah lanskap ruang yang baru. Di situ, relasi antara masa lalu dengan masa kini bisa juga berarti menerima dan memberi.
Four women from different generations are determined to return the power of their community’s voices from its origin land, in the midst of testimonials biography and portrait of their past identity trapped in the patriarchal domination. Their voices is a loud chant of youyou (in French) or zaghareet (in Arabic) as the emotional utterance shouting for the existence of communal traditions of the communities in the sub-Sahara culture. A message about the voice of the times and the cross-culture to recall and reconnect the communication with the origin land through the performativity in the landscape of the new room. There, the relation between the past and the present might mean receiving and giving.
——Ugeng T. Moetidjo
Myriam Van Imschoot (1969) lahir di Ghent dan ia adalah seniman performans yang aktif di teater dan ruang publik. Karya-karyanya telah banyak dihadirkan di berbagai festival. Namun, Le Cadeau adalah filem panjang pertamanya dalam seri yang disebut Yodel Portraits. Ia kini tinggal dan bekerja di Brussels.
Myriam Van Imschoot (1969) was born in Ghent and is a performance artist active in theater and public space. Her works have been presented in many international festivals. However Le Cadeau is her first long film in a series called Yodel Portraits. She lives and works in Brussels.
Myriam Van Imschoot (Belgium)
� stocktpaardje@hotmail.com
89
l a nois a nre tnI is i te pmo K
IC 8
Ludic dan Eksperimentasi Afrian Purnama Selektor
Játékok adalah kumpulan gubahan komposisi musik untuk piano yang diciptakan oleh György Kurtág, seorang komposer dan pianis asal Hungaria. Volume I dibuat tahun 1973 dan yang terakhir Volume IX di tahun 2017. Dalam bahasa Hungaria, Játékok berarti permainan, diciptakan untuk tujuan pedagogikal dan berupaya untuk “menangkap esensi spontanitas yang dimiliki anak-anak”.1 Játékok adalah contoh yang baik bila kita membicarakan konsep ludic, yang terkandung dalam tema ARKIPEL tahun ini, “Homoludens”2 . Beberapa gubahan Játékok dimainkan oleh dua orang dalam satu piano di mana pianis satu merespon suara yang dimainkan [oleh] pianis lainnya dengan spontan tanpa terikat oleh aturan konstruksi musik yang sudah terstandarisasi. Dengan definisi ini, kita bisa menganggap Játékok sebagai bentuk eksperimentasi, bentuk baru dalam memainkan instrumen musik, khususnya piano, dengan cara bermain-main dengan medium tersebut. Konsep bermain (dan eksperimentasi) di sini tentu bersamaan dengan pemahaman terhadap konstruksi yang sudah mapan sebelumnya. Eksperimentasi yang dilakukan oleh György Kurtág dimaksudkan untuk memantik keceriaan terhadap instrumen piano—bermain piano demi keasikan bermain itu sendiri—bukan menciptakan suatu olahan ritmis yang
1. Sallis, F. Centre and Periphery, Roots and Exile: Interpreting the Music of István Anhalt, György Kurtág and Sándor Veress. Waterloo, Ontario: Wilfrid Laurier University Press, 2011. 2. Istilah ‘Homo Ludens’ merujuk pada buku karya Johan Huizinga, seorang ahli sejarah asal Belanda, yang ditulis pda tahun 1938 dengan judul yang sama. Dalam buku tersebut, Huizinga mewacanakan bahwa elemen bermain dalam kebudayaan dan masyarakat sebagai sebuah elemen yang penting dan dibutuhkan keberadaannya.
90
terstruktur. Piano sebagai sebuah instrumen bunyi, sehingga di balik konsep bermain, JĂĄtĂŠkok memiliki suatu unsur yang radikal dan progresif. Memahami JĂĄtĂŠkok menjadi landasan awal untuk melihat kedua filem dalam bingkaian kuratorial ini. Dua filem di sini, memiliki semangat yang sama dalam mengolah pokok ide, walaupun keduanya mungkin tidak terlihat serupa di permukaan. Baik A Room with a Coconut View maupun Tremor mengolah ide eksperimentasi untuk menangkap sesuatu yang radikal, baik dalam bentuk estetik maupun tematik. Eksperimentasi menjadi eksplorasi terhadap medium untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan lain dari bahasa sinematik yang sudah baku, walaupun pada akhirnya terdapat percabangan tentang bagaimana eksperimentasi itu dilakukan.
91
noi ti te pmoC l a noi ta nre tnI
IC 8
Ludic and Experimentation Afrian Purnama Selector
Játékok is a series of musical composition arrangement for piano composed by György Kurtág, a Hungarian composer and pianist. Volume I was composed in 1973 and the last series Volume IX in 2017. In Hungarian, Játékok means game, created for a pedagogical purpose and aims to “capture the essence of kids’ spontaneity”.1 Játékok is an excellent example as we talk about the concept of ludic, embodied in Arkipel’s theme this year, “Homoludens”.2 Few of Játékok arrangement are performed by two persons with a piano as one of them correspond the sound performed by the other pianist spontaneously without being restricted by standardizes music construction. Following this definition, we could consider Játékok as experimentation, a new form of performing a musical instrument, especially piano, by being playful with the medium. The concept of being playful (and experimentation) here indeed goes along the understanding towards the formerly established construction. The experimentation performed by György Kurtág was aimed to trigger the joy towards piano instrument— playing the piano for the passion of playing itself— rather than creating a structurized rhythmic production. Piano as a sound instruments, so that beyond the playful concept of Játékok, owns something radical and progressive.
1. Sallis, F. Centre and Periphery, Roots and Exile: Interpreting the Music of István Anhalt, György Kurtág and Sándor Veress. Waterloo, Ontario: Wilfrid Laurier University Press, 2011. 2. The term Homo Ludens refers to the book of Johan Huizinga, a Dutch historian, who wrote at the same title in 1938. Huizinga proposes that the playful element in culture and society as a significant and necessary element.
92
To understand JĂĄtĂŠkok becomes a preliminary conception to see the two films in this curatorial framework. Both of them have a similar spirit in elaborating their main ideas, although both perhaps look dissimilar at the surface. Both A Room with a Coconut View and Tremor develops their experimentation ideas to capture something radical, either in aesthetic or thematic. The experimentation becomes an exploration toward the medium to figure out other possibilities from the usual cinematic language, although in the end there is a bifurcation on how the experimentation is exercised.
93
IC 8 / 12 August, Goethehaus, 13.00 & 16 August, Kineforum, 13.00 / 18+
TREMOR – Es ist immer Krieg
Country of production Belgium Language German, Italian, Dutch, Icelandic, French Subtitles English 92 min, color, 2017
Empat suara: Pier Paolo Pasolini, Ingeborg Bachmann, Fernando Nanneti, dan Barbara Suckfüll, serta suara piano yang hadir di antaranya. Mereka membicarakan perang, kekerasan, dan cara bertahan dari mimpi buruk tersebut. Visual filem menunjukan kontras dunia antara peradaban manusia dan lanskap bebatuan; antara kehidupan dan kematian.
Four voices of Pier Paolo Pasolini, Ingeborg Bachmann, Fernando Nanneti and Barbara Suckfüll, as well as the sound of piano among them. They talk about war, violence and how to survive those nightmares. The visual of the film shows the contrasting world between human civilization and the landscape of rocks; between life and death.
——Afrian Purnama
Annik Leroy (1953) lahir di Brussels. Dia merupakan seorang pembuat filem Belgia yang saat ini tinggal dan bekerja di Brussels. Dia juga membuat karya seni kontemporer (filem dan instalasi video, fotografi) dan mengajar di ERG dan Hogeschool Sint - Lukas (Brussels).
Annik Leroy (Belgium)
� promo@cbadoc.be
94
Annik Leroy (1953) was born in Brussels. She is a Belgian filmmaker who currently living and working in Brussels. She also pursues a contemporary work of art (film and video installations, photography) and teaches at ERG and Hogeschool Sint Lukas (Brussels).
IC 8 / 12 August, Goethehaus, 13.00 & 16 August, Kineforum, 13.00 / 18+
A Room with a Coconut View
Country of production Thailand Language Thai, English Subtitles English 29 min, color, 2018
Percakapan yang dilakukan oleh humas hotel bernama Tanya dan seorang turis berbahasa Inggris yang dimediasikan secara digital oleh suara perempuan dan laki-laki. Filem ini mengkritik kecenderungan teknologi digital dengan merefleksikan kembali bentuk visual yang banal dan artifisial. Bentuk visual yang bisa diproduksi siapapun di internet.
The conversation of a hotel’s PR named Tanya and an English-speaking tourist was digitally mediated by the voices of the woman and man. This film criticizes the tendency of digital technology by re-reflecting the banal and artificial visual form. A visual form that anyone can produce on the internet.
——Afrian Purnama
Tulapop Saenjaroen adalah seorang seniman dan pembuat filem yang tinggal di Thailand. Tulapop memperoleh gelar MA dalam program Aesthetics and Politics di CalArts. Dia juga bekerja sebagai produser untuk karya Anocha Suwichakornpong berjudul By the Time It Gets Dark. Ia telah berpartisipasi dalam berbagai pameran dan festival filem.
Tulapop Saenjaroen is an artist/ filmmaker based in Thailand. Tulapop holds an MA in Aesthetics and Politics program at the CalArts. He also worked as an associate producer for Anocha Suwichakornpong’s “By the Time It Gets Dark”. She has participated in various exhibitions and film festivals.
Tulapop Saenjaroen (Thailand)
� tulapop@gmail.com
95
program kuratorial
96
97
l a iro tar u k m ar g orp
CP 1
Tentang Konspirasi dan Resusitasi Azar Mahmoudian Kurator
Kata “bazi” [bâzi] dalam bahasa Farsi berarti permainan, perjudian. Akar kata, “baz/vaz” (keterbukaan, dan juga awalan “re-” seperti dalam “rekreasi”), berasal dari “vazidan” [væziːˈdæn] (terbang, menggerakkan, meniup, bernapas, melenggang), dan “warĵ” (melakukan, mengolah), “varzidan” [væɾziːˈd̪ æn] (menggunakan) dan “bakhtan” [bɒːxˈt̪ ʰæn] (kehilangan, menganugerahkan). “Eshgh-varzidan” (bercinta), misalnya, identik dengan “del bakhtan” (memberikan hatimu kepada seseorang). Pada catatan etimologis lain, bazi juga berarti “pesta”: pengumpulan orang untuk bersenang-senang, atau untuk memungkinkan adanya rasa pemufakatan. Bazi hadir dalam segudang kombinasi dan metafora konseptual sepanjang sejarah puisi dan sastra Persia, yang merupakan penekan magis pada zaman kontemporer dan kehidupan sehari-hari di wilayah berbahasa Farsi. Permainan cinta, nasib, waktu, atau permainan perang. Terutama permainan hidup: seperti baris dalam kisah kepahlawanan Vis dan Rāmin menyatakan. “Di mata orang yang berwawasan luas, berada di dunia ini hanyalah sebuah permainan... dan mereka tahu bahwa permainan itu—permainan apa pun— adalah hanya untuk sesaat.” Ada sebuah keterbatasan. Ada kematian. “Takdir adalah Dalang dan kita semua adalah boneka... sebagai kebenaran, bukan alegori, kita bermain (secara kolektif) dalam adegan ini untuk sementara waktu, dan kemudian kembali ke lemari kekosongan, satu demi satu”. Di abad ke-11, puisi karya Ommar Khayyam, kita semua tidak lebih dari “jambangan tanah liat”; Tuhan membuat kita dan menghancurkan kita terus-menerus di pabrik/bengkel tembikar-Nya. • 98
Kita belajar cukup awal, bagaimana bisa sepakat dengan sifat permainan yang sementara dan luar biasa. Di bawah didikan agama, Anda juga belajar bahwa Tuhan adalah pemain tertinggi, dan semacam penipu abadi. Dia bermain terus-menerus. Tuhan menciptakan segalanya, tanpa mendapatkan kerugian atau keuntungan apa pun, tanpa keuntungan apa pun dalam tindakan penciptaan. Dia melakukannya hanya karena Dia bisa. Jadi manusia bermain dan Tuhan juga bermain. Manusia, tentu saja, meniru Tuhan, tetapi mereka harus berhati-hati untuk tidak melampaui keterampilan tertentu atau tingkat imitasi tertentu. Kalau tidak, hal itu akan menjadi bid’ah. Ada hubungan cinta dan benci dengan permainan. Anda mungkin menemukan diri Anda memainkan permainan, tetapi kenyataannya mungkin adalah, dalam skala yang lebih luas, Anda yang sedang dimainkan. Ini juga berhubungan dengan cara berpikir tertentu dalam filsafat kontemporer. Misalnya, mistisisme materialisnya Reza Negarestani memberi alasan bagi konspirasi yang dimekanisasi: minyak bumi sebagai dalang utama sejarah dan peradaban manusia; “pelumasâ€? dari kerusakannya yang telah di-(pra)program. Ada situasi yang mirip dengan permainan penciptaan atau, bisa kita katakan, dengan penciptaan seni. Seseorang mungkin berpikir bahwa seni adalah segalanya tentang inspirasi dan aksi, tetapi seni juga tetap terjebak dalam suatu susunan kontrol dan manipulasi yang lebih daripada sekadar individu. Dalam pengertian ini, seniman, sebagai contoh utama homo ludens, adalah kolaborator yang tertanam dalam permainan takdir, kosmos, serta susunan kontemporer metakonspirasi. • Dalam filsafat Barat, konsep homo ludens bangkit melalui momenmomen historis yang berbeda dalam satu abad terakhir. Tapi mengapa kita meninjaunya kembali sekarang? Apa yang melibatkan urgensi dalam peninjauan, pengaturan, pengartikulasian, dan penskalaan kembali gagasan homo ludens pada titik waktu yang sangat bersejarah ini? Apakah konsekuensi dari teknologi-teknologi baru? Atau peninjauan kembali tersebut, adalah sebagai tanggapan terhadap keseluruhan momen bersejarah yang
99
mengharuskan kita untuk membawa kembali “permainanâ€? ke panggung utama? Ditulis pada tahun 1938, dan diterbitkan pada tahun 1944 dalam bahasa Jerman, yang lalu diterjemahkan pada tahun 1949 dalam bahasa Inggris, "Homo Ludens" telah menyaksikan berbagai titik balik dalam konseptualisasi dan historisasi ulangnya di dalam konteks pasca-Perang Dunia II. Di mana ia mempertanyakan kepercayaan agung yang telah diberikan pada "alasan umum" yang dijadikan dasar dan penyelamat bagi kemajuan umat manusia. Homo ludens mengalami kemunculan kembali di akhir tahun 60-an terutama dalam gerakan Situasionis Internasional. Meninjau kembali politik dan puisi dalam kehidupan sehari-hari, dan merencanakan proyek prospektif “Babel Baruâ€? (model kota dengan homo ludens sebagai penduduknya), Situasionis membayangkan ruang-ruang tempat manusia mencari eksperimen sensual, hasrat, dan pengembaraan yang baru: tergelincir dari satu ruang ke ruang lainnya, mereka membayangkan suatu ruang di mana manusia bebas menciptakan kehidupan, dan mencari cara penciptaannya. Di zaman kita, ketika politik yang dikebiri dan politik vulgar sedang beroperasi penuh, dan mesin perang terakselerasi dan bencana ekologis menyiratkan arti harfiah dari kematian bagi sejarah dan ras manusia, ruang untuk penciptaan dan penciptaan kembali, inspirasi bersama dan napas kembali, sangat dibutuhkan lebih dari sebelumnya. • Situasi ini menjadikan perlu adanya eksplorasi seni menulis puisi dan politik main-main dalam dunia seni dan kehidupan sehari-hari, potensi yang berhubungan dengan kebebasan dari eksperimen radikal, serta skenario yang melaluinya seseorang dapat membawa dirinya kembali ke dalam aksi. Mengikuti formasi ontologis dari istilah homo ludens, dan juga kapasitas strategis dan prospektif dari konsep ini, pengaturan spasial yang dapat menyebabkan kondisi kemungkinannya menjadi perhatian juga. Motivasi kolektif, dorongan, afeksi yang tersinkronisasi dan pemahaman bersama menjadi lebih mendesak dari sebelumnya. Apa jenis alasan, keyakinan, atau sistem yang etis, yang dapat menyatukan kita sekarang, untuk membentuk
100
pemahaman kolektif? Mungkin, ritme tersinkronisasi milik kita satu-satunya hanyalah detak jantung. Napas. ritme organ tubuh kita. Bioritme. Medium sinema, dan konsekuensi ruang dan waktunya di seluruh bidang gambar bergerak, dapat menjadi jembatan antara premis-premis eksperimen radikal dan suatu ruang untuk melakukan sinkronisasi ulang dan desinkronisasi ritme kolektif. Kita perlu memberi perhatian khusus pada kapasitas historis filem sebagai sebuah medium juga sebagai sebuah lingkungan fisik dan mental—sebuah tempat perlindungan—yang menciptakan situasi untuk kontemplasi kolektif. • Program ini adalah pilihan praktik-praktik gambar bergerak oleh senimanseniman yang mempunyai ikatan khusus dengan konteks yang berhubungan dengan Iran. Karya-karya ini telah diekstraksi dari pengaturan instalasi dan sekarang dibawa ke kamar gelap. Hal ini adalah untuk menguji suasana sinema dan efek penonton, di saat ketika pengalaman terlibat secara menyeluruh saat menonton layar lebar secara kolektif menjadi semakin punah dan digantikan oleh pengalaman menonton di layar monitor yang terpisah dan terisolasi. Komponen suara-suara yang terdengar sepanjang pemutaran filem adalah, dalam arti ini, sama signifikannya dengan pemandangan visual. Meninjau kembali prasejarah perkembangan terkini yang menjembatani sensualitas kolektif dan keadaan material, “Of Conspiration and Resuscitation,” yang terinspirasi dari Hamdami karya Slavs dan Tatars, bergema melintasi emosi, optik, pemancar radio, bahasa, jaringan komunikasi, tubuh-tubuh queer, perjalanan psychedelic, dan keadaan narkotik –– berbagai titik masuk material untuk urutan simbolis yang memungkinkan.
101
m ar g orp l a iro tar uc
CP 1
Of Conspiration and Resuscitation Azar Mahmoudian Curator
The word “bazi” [bâzi] in Farsi stands for game, play, gambling. The root of the word, “baz/vaz” (openness, and also the prefix “re-” as in “recreation”), comes from “vazidan” [væziːˈdæn] (flying, animating, blowing, breathing, breezing), and “warĵ-“ (doing, cultivating), “varzidan” [væɾziːˈd̪ æn] (to exercise) and “bakhtan” [bɒːxˈt̪ ʰæn] (to lose, to bestow). “Eshgh-varzidan” (making love), for instance, is synonymous with “del bakhtan” (losing your heart to someone). On another etymological note, bazi also stands for “party”: the gathering of people for either having fun, or for enabling a sense of consensus. Bazi comes in a myriad of conceptual combinations and metaphors throughout the history of Persian poetry and literature, which is magically suppressant in contemporary times and the everyday life of Farsi speaking territories. The game of love, of fate, of time, or the game of war. Most particularly the game of life: as a line in the ancient Persian love story of Vis and Rāmin goes, “In the eye of the insightful, being in this world is just a game… and they know that game – any sort of game – is momentary.” There is a finitude. There is death. “Destiny is a Puppeteer and we are all puppets… as the truth, not an allegory, we play (collectively) in this scene for a while, and then go back to the closet of nothingness, one by one” In the 11th century poems of Ommar Khayyam, we are all no more than “clay vases;” God makes us and breaks us constantly in his pottery workshop/factory. •
102
We learn quite early on, how to come into terms with the temporary and exceptional nature of games. Under a religious upbringing, you also learn that God is the ultimate gamer, and sort of an eternal trickster. He plays perpetually. God creates everything, without having any loss or gain, without any benefit in the act of creation. He does it just because he can. So humans play and god plays too. Humans, of course, imitate the God, but they should be careful not to go beyond certain skills or a certain extent of imitation. Otherwise, it would be heresy. There is a love and hate relationship with gaming. You might find yourself playing the game, but the fact might be that, on a broader scale, you are being played with. This also resonates with certain lines of thought in contemporary philosophy. For example, Reza Negarestani’s materialist mysticism makes a case for a mechanized conspiracy: petroleum as the ultimate puppeteer of the human history and civilization; the “lubricant” of its (pre)programmed decay. There is a similar situation with the game of creation or, shall we say, with art making. One might think that art is all about inspirations and agency, but art also remains caught up in an order of larger-than-individual control and manipulation. In this sense, artists, as prime examples of homo ludens, are embedded collaborators in the game of destiny, the cosmos, as well as contemporary orders of meta-machination. • In western philosophy, the concept of homo ludens has risen up through different historical moments in the past century. But why is it that we are revisiting it now? What would entail the urgency of revisiting, resetting, re-articulating, and re-scaling the idea of homo ludens at this very historical juncture? Is it the aftermath of new technologies? Or such revisitations, are in response to the overall historical moments necessitating us to bring back “play” at the center stage? Scripted in 1938, with a German translation in 1944, and English version published in 1949, "Homo Ludens" has seen various twists in its reconceptualisation and re-historicisation within the post-WW II context. Questioning the granted trust in "common reason" as the basis and saviour of human's progress. Homo ludens had its grand reappearance in late 60’s been
103
mainly within the Situationists International movement. Revisiting politics and poetics of everyday life, and plotting prospective project of a “New Babel” ( a model city for homo ludens as inhabitant), Situationists imagined spaces which humans search for new sensual experiments, desires, wandering: slipping from one space to an other, they imagined spaces in which human to freely create life, and search for the way in which they are being created. In our times, when castrated politics and vulgar politics are in full swing, and accelerated war machines and ecological disasters implying literal meaning of death to human history and race, spaces for creation and recreation, co-inspiration and re-birth, are most needed than ever. • This situation necessitates an exploration of the poetics and politics of playfulness in the realm of art and everyday life, the emancipatory potential of radical experimentations, as well as the scenarios through which one could bring them back to action. Following the ontological formation of the term homo ludens, and also the strategic and prospective capacities of this concept, spatial settings that can bring about its conditions of possibility come to attention too. Collective motivation, encouragements, synchronized affections and co-understandings are becoming more urgent than ever. What kind of reason, belief, or ethical system, could bring us together now, to form a collective understanding? Perhaps, our only synchronized rhythm is the heartbeat. The breath. Rhythm of our organs. The bio-rhythm. The medium of cinema, and its spatiotemporal ramifications across the field of moving images, can be a bridge between the premises of radical experimentation and such a space for the de- and re-synchronization of collective rhythms. We need to pay particular attention to the historical capacities of film as a medium as well as a physical and mental environment – a refuge – which creates situations for collective contemplation. • The program is a selection of moving image practices by artists with particular ties to the Iranian context. These works have been extracted from installation 104
set-ups and are now brought into the darkroom. This is to examine the ambience of cinema and the audience effect, in a time when the immersive experience of collectively watching the big screen is becoming more and more extinct and replaced by the solitary and isolated experience of monitor screens. The soundscapes unfolding throughout the screening are, in this sense, as significant as the visual scenery. Revisiting the prehistories of recent developments that bridge collective sensualities with material circumstances, “Of Conspiration And Resuscitation,” inspired by Slavs and Tatars’ Hamdami, echoes across emotions, optics, radio transmitters, languages, communication networks, queer bodies, psychedelic journeys, and narcotic states –– various material entry points to possible symbolic orders.
105
CP1 / 15 August, Kineforum, 16.00 / 21+
I Without End
Country of production Iran Language Subtitles 6 min 45 sec, color, 2010
Dua orang kekasih yang direkam secara timelapse, menghadirkan sebuah drama sensual yang tak terduga. Terperangkap di suatu tempat antara hidup dan mati, sosok-sosok membusuk secara berirama, hingga segala kelembapan hilang dan pergerakan mereda. Keabsurdan kulit buah sebagai metafor akan manusia membawa dua realita bersamaan: kefisikan dunia material bertemu dengan kekuatan yang sama dari hasrat, emosi, cinta, keintiman, kematian dan kehilangan dari alam batin. I Without End merupakan seri ketiga dari rangkaian filem pendek yang berbasis lima elemen: Bumi, Udara, Api, Air dan Langit. Ia mengambil api sebagai inspirasi, baik sebagai energi maupun sebagai metafora emosi dan psikologis.
Two lovers are shot in time-lapse, capturing an unexpectedly sensual drama. Caught somewhere between living and dying, the figures decay rhythmically, until all moisture is gone and their movements subside. The absurdity of fruit peel as a human metaphor brings two realities together: the physicality of the material world meets the equal force of the inner world of desire, emotion, love, intimacy, death and decay. I Without End is the third installment in the short films series based on the five elements of Earth, Air, Fire, Water and Ether. It takes fire as its inspiration, both as an energetic force and an emotional-psychological metaphor.
——Azar Mahmoudian
Laleh Khorramian (Iran)
�
106
Laleh Khorramian (1974) bekerja dengan menggabungkan pemikiran kosmologis tentang budaya purba dan dunia imajinasinya sendiri, menyatukannya ke dalam “sejarahsejarah” yang futuristik dan kuno. Dengan menyingkirkan kespesifikan kultural dan historis dari narasinya, ia gunakan hal-hal yang biasa untuk menggambarkan sesuatu yang epik, yang universal, and yang sementara, dalam sebuah pencarian akan dunia yang tak tampak.
Laleh Khorramian (1974) works incorporate the cosmological thinking of ancient cultures with her own imagined worlds, synthesizing them into “histories” that are futuristic and ancient. By removing cultural or historic specificity from her narratives, she uses the ordinary to portray the epic, the universal, and the transient, in a search for worlds just beyond the concrete.
CP1 / 15 August, Kineforum, 16.00 / 21+
Ultima Ratio Δ Mountain of The Sun
Country of production Iran Language Subtitles 13 min, color, 2017
Melintasi lembah Bekaa di Lebanon yang rawan akan kejahatan, sebuah kamera menyingkap industri tua ganja, model untuk mengubah apa yang kita lihat. Demikian pula, kamera mengikuti masa depan, dengan mode percepatan, sebuah estetika yang mencoba melihat apa yang tampak sebagai potongan partikel baru, menjadi bidang materi yang hidup. “Pada ganja tak ada kemiripan, hanya ruang kosong untuk produksi visual.” Sebagaimana kulit sinematik Nourizade melihat ganja sebagai sebuah teknologi primitif yang futuristik, yang “Sekarang” menjadi sebuah fiksi sains di luar ikatan ganda, ketakterbatasan dari u-/dis-topia. Justru, ia menjadi situasi tanpa ketegangan, tanpa kecemasan atas pembatasan cita rasa dari kemampuan untuk merasakan, automasi dari manusia, ruang inteligensia dari mesin organik.
Traversing the crime-enriched Bekaa valley in Lebanon, a camera uncovers the age-old industries of hashish, models for altering what we see. So too, the camera follows futures, a flash-forwarded optic, an aesthetic that seeks to perceive what can be seen anew, cut, particles into vivid fields of matter. “In hashish there is no likeness, only zero-sites for vision-production.” As Nourizade’s cinematic skin sees hashish as a primitive and futuristic technology, the “Now” becomes a science-fiction beyond the double binds, the bad infinities of u-/dys-topia. Instead, it becomes a tension-less state, a lack of anxiety over demarcating sapience from sentience, automation from human, intelligence farms from organic machines.
——Azar Mahmoudian
Bahar Noorizadeh
Bahar Noorizadeh (1987) merupakan seorang seniman, penulis dan pembuat filem. Ia bekerja pada reformulasi narasi waktu yang hegemonis ketika mereka rubuh di hadapan spekulasi: filosofis, finansial, legal, masa depan, dll. Praktik Noorizadeh membahas hubungan antara estetika dan akal budi, dan desubjektifikasi pengalaman sebagai sebuah jalan untuk memproduksi subjek sosial yang baru.
Bahar Noorizadeh (1987) is an artist, writer and filmmaker. She works on the reformulation of hegemonic time narratives as they collapse in the face of speculation: philosophical, financial, legal, futural, etc. Noorizadeh’s practice examines the relationship between aesthetics and reason, and the desubjectification of experience as a pathway for producing new social subjects.
(Iran)
�
107
CP1 / 15 August, Kineforum, 16.00 / 21+
Communication Shrine
Country of production Iran Language Subtitles 6 min 35 sec, color, 2013
Mulanya sebuah instalasi, Communication Shrine merupakan rangkaian karya seni yang ditaruh dalam sebuah kulkas biasa. Ketika membukanya, seseorang berhadapan dengan dunia seorang Letnan, yang tengah dalam perjalanannya menuju sebuah planet yang terkena polusi kimia. Diletakkan pada tahun 2202, planet tersebut diisi hanya oleh narapidana yang terhukum untuk tinggal di sana dan memutarbalikkan polusi. Kulkas itu berubah menjadi sebuah altar, yang menghasilkan sebuah pandangan intim melalui objek-objek temuan, barang-barang remeh milik pribadi dan tiga video yang berjalan serentak, terutama ditujukan sebagai sebuah video pengintai dan sebuah portal komunikasi ke bumi bagi satu-satunya Letnan.
Originally existing as an installation, Communication Shrine is a series of a rt pieces contained w ithin a n ordinary v intage refrigerator. Upon opening it, one encounters theworldof a Lieutenant, who is on his journey to a chemically polluted planet. Set in 2202, the planet is populated only by prisoners whose sentence is to reside there and reverse the pollution. The fridge transformed into an altar, generates an intimate look through the found objects, personal t rinkets a nd t hree v ideos running simultaneously, primarily i ntended assurveillance videos and acommunication portal to earth for t he lone Lieutenant.
——Azar Mahmoudian
Laleh Khorramian (Iran)
�
108
Laleh Khorramian (1974) bekerja dengan menggabungkan pemikiran kosmologis tentang budaya purba dan dunia imajinasinya sendiri, menyatukannya ke dalam “sejarahsejarah” yang futuristik dan kuno. Dengan menyingkirkan kespesifikan kultural dan historis dari narasinya, ia gunakan hal-hal yang biasa untuk menggambarkan sesuatu yang epik, yang universal, and yang sementara, dalam sebuah pencarian akan dunia yang tak tampak.
Laleh Khorramian (1974) works incorporate the cosmological thinking of ancient cultures with her own imagined worlds, synthesizing them into “histories” that are futuristic and ancient. By removing cultural or historic specificity from her narratives, she uses the ordinary to portray the epic, the universal, and the transient, in a search for worlds just beyond the concrete.
CP1 / 15 August, Kineforum, 16.00 / 21+
Hamdami
Country of production Iran Language Subtitles 6 min, color, 2016
Video berbasis teks berjudul Hamdami membicarakan “konspirasi”, atau keserentakan sensualitas dan spiritualitas dalam tradisi Sufi melalui naskah yang tumpang tindah dalam berbagai bahasa. Karakter ketertarikan Slavs dan Tatars pada resolusi antitesis atau yang mereka sebut sebagai “renggangan metafisik”, karya yang merefleksikan tarikan dan dorongan atas ideologi yang bertarung (Sufisme dan komunisme), ikonografi (yang sakral dan yang profan) dan fungsionalitas (yang berguna dan yang tak berguna) diambil dari tradisi Eurasia. Melalui praktik multidisiplin dan pendekatannya yang jenaka terhadap coincidentia oppositorum (ketidaksengajaan oposisi), yang dapat dikatakan sebagai sebuah strategi subjek bahasan, seniman memampatkan renggangan tersebut ke dalam pernyataan atau objek yang polemis, yang artinya kemunculan tiap satu tubuh hipotesis.
Text-based video Hamdami considers the “conspiration”, or simultaneity of sensuality and spirituality in the Sufi tradition by overlapping scripts in various languages. Characteristic of Slavs and Tatar’s interest in the resolution of antitheses or what they call the “metaphysical splits”, the piece reflects on the push and pull of competing ideologies (Sufism and communism), iconographies (sacred and profane) and functionalities (useful and useless) drawn from Eurasian traditions. Through their multidisciplinary practice and playful approach to coincidentia oppositorum (the coincidence of opposites), equally as a strategy as subject matter, artists condense the splits into polemical statements or objects, each one emerging as hypothetical bodies.
——Azar Mahmoudian
Slavs And Tatars (Iran)
Ingin tetap tak dikenal lewat identitas sebagai sebuah kolektif seniman tak bernama, Slavs and Tatar didirikan di tahun 2006 oleh duo warga Iran-Polandia di tahun 2006. Mereka merujuk dirinya sebagai “ahli antropologi dari keseharian” selagi mereka membuat lapisan makna yang lebih dalam yang ditunjukkan lewat tradisi, adat, performans bahasa, antropologi dan politik. Meski bersifat emosional dan humoris, karya-karya mereka bertekad kuat dalam pesannya.
Wishing to remain largely anonymous as a collective of unnamed artists, Slavs and Tatars was founded in 2006 by a Polish-Iranian duo. They refer to themselves “archaeologists of the everyday” as they draw upon deeper layers of meaning exemplified by tradition, custom, performance, language, anthropology and politics. While emotional and humorous, their works are very determined in their message.
�
109
Apple Tree
Country of production Iran Language Subtitles 2 min 36 sec, color, 2007
Eye Stabber
Language Subtitles -Language Subtitles 1 min 35 sec, color, 2013
Old Factory
Country of production Iran Language Subtitles 2 min 50 sec, color, 2014
Tala Madani (Iran)
110
Karya animasi Tala Madani, dan juga lukisannya, memiliki goresan yang lepas dan ekspresif namun sarat dengan ironi yang biasanya berpusat pada sekelompok pria yang tengah dalam situasi tak biasa. Sosok paruh bayanya yang klise secara bersamaan nampak tak berdosa dan jahat, yakin dan rapuh, atau jenaka dan bengis. Sementara rasa penasaran, kegembiraan dan fantasi adalah fokus dalam Apple Tree, Eye Stabber, dan Old Factory, ketiga animasi terpilih ini dapat dianggap sebagai hasil yang cerdik dari proses berkarya dan hubungan tak selaras ego artistik dan dunia; dimana seniman mewujudkan ciptaannya dalam sebuah performans atas pemuasan diri dan sabotasi dirinya secara simultan. Tala Madani’s animations, alongside her paintings, adopt loose, expressive brushworks and heavy irony, usually center around groups of men situated in grotesque mise-en-scénes. Her stereotypical, middle aged macho figures are simultaneously innocent and evil, assured and vulnerable, or comical and violent. While curiosity, playfulness, and fantasy take center stage in Apple Tree, Eye Stabber and Old Factory, these selected animations could be considered as witty implications to the process of art making and cacophonic relationship of the artistic ego to the world; where artist embodies its own creation in a simultaneous performance of self-indulgence and self-sabotage.
Tala Madani (1981) menghasilkan karya animasi dan lukisan ekspresionis yang dipenuhi pria paruh baya yang seperti bayi, dengan kulit warna pastel, yang muntah, buang air dan melakukan ejakulasi atau menghibur dirinya dengan lelucon akrobatis. Mempercayai “kehinaan kita sebagai aspek paling manusiawi dari keberadaan kita”, Madani menegaskan,”aspek yang terlalu disosialkan dari kita begitu menekan”, dan “jika kita semua lebih akrab dengan insting kebinatangan, kita akan jadi lebih baik.”
Tala Madani’s (1981) wildly expressionist paintings and animations works are populated by middle aged men with baby-like, pastel skins, vomiting, shitting and ejaculating or entertaining themselves with acrobatic buffoonery. Believing in “our baseness as the most human aspect of our being”, Madani asserts, “the oversocialized aspect of us is so oppressive”, and “If we all engaged with our own animal instincts more, we’d be better off.”
——Azar Mahmoudian
Country of production Iran
CP1 / 15 August, Kineforum, 16.00 / 21+
CP1 / 15 August, Kineforum, 16.00 / 21+
Shahed
Country of production Iran Language No Dialogue 26 min 25 sec, color, 2014-2015
Shahed (sebuah nama perempuan, yang juga berarti “saksi” dalam Bahasa Persia) menangkap sebuah kisah cinta yang dipengaruhi oleh Pygmalion, makhluk mitos pemahat yang membuat sebuah patung, jatuh cinta padanya, dan menghidupkannya dengan bantuan para dewa. Cerita terjadi pada dua buah layar komputer, yang menangkap percakapan antara seorang migran dan seorang tukang tipu: sebuah kisah cinta antara wilayah aktual dan virtual, di mana orang-orang tak bisa tinggal ataupun pergi, dan sejumlah buku petunjuk tentang bagaimana membuat sebuah jalan keluar melalui seni dan dunia seni.
Shahed (a female name, also means “witness” in Farsi) captures a love story influenced by “Pygmalion”, a mythical sculptor who carved a statue, fell in love with it, and brought her to life by help of gods. The story takes place on two computer screens, capturing the conversation between a migrant and an impostor: a love story between actual and virtual territories, people who can neither stay nor are able to leave, and some manuals about how to make one’s way out through art and art world.
——Azar Mahmoudian
Rambod Vala (1985) menggambarkan dua buah tebing yang saling menghadap, dipisahkan oleh sebuah celah, dimana karyanya dihasilkan dari puing-puing longsoran yang jatuh dari tebing ke jurang. Baik sebagai hasil dari kerusakan atau kemunduran, gambar digital – dilengkapi dengan suara dan tuturan cerita – menjadi bahan utama karyanya.
Rambod Vala (1985) depicts two cliffs standing in front of each other, separated by a gap, where his work is generated from the debris of an avalanche falling down the cliffs into the abyss. Whether as a result of decay or deterioration, the digital image — complemented by voice and storytelling — is his primary material.
Rambod Vala (Iran)
�
111
CP1 / 15 August, Kineforum, 16.00 / 21+
Why do We Prefer Lettuce to Other Fruits
Country of production Iran Language Subtitles 2 min 30 sec, color, 2014
Why Do We Prefer Lettuce to Other Fruits dibuat dari sebuah aksi: mengayunkan buah-buahan sekencang mungkin untuk mengetahui buah mana yang akan bertahan paling lama. Aksi tersebut dilakukan di sebuah taman bermain dan sekitarnya, di sebuah daerah pinggiran Tehran. Sementara kamera mengikuti bayangan si pembuat, kehidupan kota di malam hari menyusup di latar belakang. Dari aksi ini, serangkaian karya yang masih berhubungan dengannya, seperti foto dan video, lahir serta menciptakan narasi improvisasi yang jenaka yang mengekspresikan imajinasi dan kepuitikan Fallahpisheh dalam bertutur/tak menuturkan tentang sensibilitas terhadap pengamatan dan keterlibatan terhadap kehidupan sehari-hari.
Why Do We Prefer Lettuce to Other Fruits is made off of an action: swinging fruits as hard as possible in order to find out which one would last the longest. The action takes place on and around a playground in a suburb of Tehran. While camera follows the shadow of the artist, the city at night seeps through the background. Out of this action, a set of related works, photographs and videos emerges, creating a playful improvised narrative that speaks to Fallahpisheh’s poetic and imaginative “telling/ not telling” sensibility toward observations of, and engagements with, everyday life.
——Azar Mahmoudian
Hadi Fallahpisheh (1987) berkarya dengan berbagai media termasuk fotografi, video, tulisan dan performans. Praktiknya melibatkan politik representasi dalam hubungannya dengan perlawanan, memori dan hasrat. Dengan pendekatan yang merujuk pada dirinya sendiri terhadap “produksi gambar”, ia menganggu kehidupan sosial melalui bahasa dan material.
Hadi Fallahpisheh (Iran)
�
112
Hadi Fallahpisheh (1987) works in diverse media including photography, video, writing, and performance. His practice deals with politics of representation in relation to the notions of resistance, memory, and desire. With a self-referential approach towards “image making”, he agitates the social life of language and materials.
CP1 / 15 August, Kineforum, 16.00 / 21+
Nature Morte
Country of production Iran Language Subtitles 55 min, color, 2017
Mengadopsi pendekatan lintas referensi terhadap sejarah pembuatan filem, termasuk merujuk pada karya new wave Iran yang terkenal Tabiat-e-Bi-Jan, Nature Morte dibuat dalam dua episode. Daddy Sperm, merupakan sebuah refleksi akan “keajaiban” hidup: bagaimana setetes cairan berubah menjadi manusia, dan mempengaruhi lingkaran kreativitas dan lingkaran kehidupan. Episode yang kedua, Immortal, merupakan sebuah perjalanan pulang-pergi antara dunia nyata dan virtual serta sebuah usaha untuk “mengabadikan” orang tua yang kian menua melalui kultus seni.
Adopting a cross-referential approach towards history of image making, including the famous piece of Iranian new wave cinema “Tabiat-e-BiJan”, “Nature Morte”, unfolds in two episodes. Daddy Sperm, is a reflection on the “miracle” of life: how a drop of liquid becomes a human being, and affect the creative cycles and cycles of life. The second episode, Immortal, is a round trip between the real and virtual worlds and an attempt in “immortalizing” the aging parents through the cult of Art.
——Azar Mahmoudian
Mamali Shafahi (Iran)
Mamali Shahafi (1982) tertarik pada bagaimana internet dan teknologiteknologi baru mengubah hubungan kita dengan satu sama lain, dan mendorong hubungan tersebut hingga di luar batas manusia. Ia tertarik pada efek yang telah mereka miliki pada peran seni dan seniman, mengusulkan bahwa peran mereka bukan lagi untuk menawarkan visi ideal dari sebuah puncak, tetapi justru untuk menyelidiki, menganalisa, mengedit, menjukstaposisikan dan menyajikan tanpa komentar.
Mamali Shahafi (1982) is interested in how Internet and emerging technologies have transmuted our relationship with each other, and pushing that relationship beyond our human borders. He is interested in the effects these developments have had on role of art and of the artist, proposing that such a role is no longer to offer ideal visions from a pinnacle, but to sift, analyze, edit, juxtapose and present without comment.
�
113
l a iro tar u k m ar g orp
CP 2
Pratyaksha Sonal Jain Kurator
“Your kind salutes my cunt.” [Pernyataan] dari mulut seorang waria di kota mitos Pushkar ini adalah sebuah pernyataan yang ditemukan di mana-mana yang tampaknya berkumandang melalui alam semesta yang kita temui dalam filem-filem Swaroop dan Hura. Tidak ada tempat di sini bagi individu atau pandangan dunia antroposentris yang membentuk dasar wacana dominan saat ini dan posisi ini diambil tanpa permintaan maaf. Ada ketidakhadiran dari yang dijajah baik dalam arti tradisional dan juga dalam arti teknologi-sains yang dibicarakan Virilio. “Utopia kolonial yang lebih baik dari utopia-utopia lainnya adalah upaya untuk memodifikasi tubuh yang terjajah. Ketika saya mengatakan itu, saya tidak mengacu pada keadaan dari yang dijajah, tetapi mengacu pada keadaan yang sebenarnya, pada teknologi-sains, pada keadaan dunia. Kekuasaan total, kolonial, kekaisaran tidak pernah dijalankan terhadap suatu negara tanpa secara bersamaan menjalankannya terhadap tubuh. …dalam situasi saat ini masalahnya adalah bukan membudayakan tubuh yang tak beradab, tetapi memodifikasi tubuh yang hidup melalui kloning, melalui chimera.”1 Tubuh-tubuh yang kita temui di dunia ini bukan hanya merupakan antarspesies tetapi juga melampaui bentuk dan alam semudah mereka bernapas. Mereka adalah purna-manusia yang mendahului datangnya
1. Virilio, Paul dan Sylvere Lotringer. Crepuscular Dawn. New York: Semiotext(e), 2002. halaman 101.
114
istilah itu.Di dunia ini, “your kind”, adalah siapa saja yang terjebak dalam jaring identitas palsu yang diciptakan oleh jaringan industri-kapitalis atau masyarakat informasi yang dihuni oleh sebagian dari kita. Kemaluan (‘cunt’) ini adalah ciptaan dan banyak manifestasinya yang berada dalam keadaan fluks konstan dan karenanya lolos dari jebakan lokasi, definisi atau bahkan tubuh yang tetap. Hal ini bisa berupa tubuh waria di Pushkar Puran yang melewati gender dan [tubuh] Madhu dalam The Lost Head and the Bird yang tidak memiliki kepala tetapi merindukan kepalanya. Ini adalah yang paling mendekati menjadi manusia saat mereka masuk ke dalam permainan sementara atau lila2 dari Krishna dan Radha yang seluruhnya bersifat transenden, yang dari pusarnya semuanya telah muncul. 3 Para pembuat filem pada gilirannya dengan rasa persepsi mereka yang lebih halus dan melalui permainan mereka sendiri atau leela melihat sekilas dunia-dunia para Dewa ini, setengah dewa, roh-roh, orang-orang, hewanhewan, makhluk-makhluk mitos, burung-burung dan serangga. Semuanya memiliki keeratan yang kecil dengan diri tetap mereka dan berubah menjadi dan berinteraksi dengan bentuk lain dalam ketulusan tak tahu malu yang alami. Baik itu waria yang menerima pesan dari sapi-sapi yang menerimanya dari roh-roh yang mati atau Madhu tanpa kepala yang telah diperingatkan oleh seorang peramal tentang kehilangan kepalanya yang akan segera terjadi. Keadaan eksistensi ini hanyalah relatif, relatif terhadap semua yang ada di sekitar kita, planet, bintang, galaksi dan semua yang berkonsultasi dengan mereka. Dalam Pushkar Puran, ritual-ritual untuk penyelamatan individu diselingi oleh jeritan rasa sakit dari roh yang diusir dari tubuh seorang Kasim. Roh tersebut berkata, “Tidak. Tidak, saya tinggal di sini”. Pushkar Puran bercerita kepada kita tentang Brahma, yang tertinggi dari semua makhluk, yang menumbuhkan empat kepala dan delapan mata lagi saat dia menatap terpesona pada Shatarupa—putrinya dan satu-satunya perempuan dalam penciptaan yang baru saja keluar dari dalam dirinya—dan
2. Istilah “rasa” atau “estetika” dan “lila” atau “tindakan,” “bermain” atau “menari” adalah konsep dari Hinduisme, yang secara kasar diterjemahkan menjadi “permainan(lila) estetika (rasa),” atau lebih luas sebagai “Dance of Divine Love”. Ini mengacu pada karya M. Schweig.Dance of Divine Love: The Rasa Lila of Krishna from the Bhagavata Purana, India’s classic sacred love story. Princeton University Press, Princeton, NJ. 2005 3. Krishna dan Radha dianggap sebagai bentuk-bentuk purba Tuhan di dalam aliran pemikiran Vaishnava dalam kultur Weda di India. Pushkar Puran mengacu pada mitos di mana alam semesta diciptakan dari pusar keduanya..
115
Prajapati yang di permulaan alam semesta menatap ruang angkasa dan mendamba saat tiba-tiba mata kirinya mulai membengkak dan jatuh ke tanah. Tatapan berlimpah yang sekarang kita bagi tampaknya lebih diutamakan dalam peran-peran ini. Mata sebagai simbol keinginan yang bisa rontok tampaknya masuk akal. Sebenarnya [situasi] itu tampaknya menjadi keadaan yang kontemporer. Dalam filem milik Hura, kisah Madhu dan satu gambar tubuh tanpa kepala perlahan muncul dengan banyak celah, hampir seperti memori yang tertekan atau hilang dan kemudian muncul foto-foto yang menyinggung cerita Madhu dan segera bercampur dengan aliran konstan gambar media yang mengambil alih kesadaran kolektif kita. Masyarakat informasi dengan aliran data yang tak ada habisnya memberi preseden bagi pratyaksha, yang merupakan proses mengumpulkan dan mengetahui data. Pratyaksha sebagaimana didefinisikan oleh berbagai ajaran filsafat India, seperti Samkhya, Nyaya dan Yoga, 4 adalah kemampuan persepsi yang lengkap—mulai dari persepsi indra hingga persepsi mental pada kesadaran diri, dan akhirnya sampai dengan pengalaman langsung dari kebenaran esensial sifat seseorang atau Aparokshanubhuti. Proses pembuatan filem hanyalah salah satu sarana pratyaksha yang menggunakan dan mendahulukan tahap-tahapnya yang berbeda. Proses ini menjadi satu dengan aliran manifestasi yang dicoba digalinya. Bagi Christian Metz, dalam peralatan sinematik, penonton mengidentifikasi dirinya sebagai “jenis subjek transendental”. Dengan memperluas persepsi manusia secara prostetis, peralatan tersebut memberi penonton ilusi yang ada di mana-mana dari “subjek yang menyadari segalanya” yang menikmati perasaan gembira dari kekuatan visual. Sebagaimana doktrin dalam Jainisme anekāntavāda5 mendalilkan, tidak ada satu kebenaran tertinggi, realitas adalah hal yang kompleks dan memiliki banyak aspek dan banyak cara pandang. Ini adalah inti dari narasi yang diceritakan oleh Swaroop dan Hura. Mereka menentang wacana dominan apa pun dari konstruksi naratif, waktu dan perlakuan durasi (menegaskan
4. Ini adalah tiga aliran filsafat yang muncul di India kuno dengan berdasarkan Weda. Weda adalah teks tertua dalam sastra Sanskerta dan kitab suci tertua Hindu. Mereka juga ortodoks atau Astik atau tradisi ateis. 5. Menurut anekāntavāda, tidak ada pernyataan tunggal yang spesifik yang dapat menggambarkan sifat keberadaan dan kebenaran mutlak yang hanya dipahami oleh para Arihant atau makhluk tercerahkan. Makhluk lainnya dan pernyataan mereka tentang kebenaran mutlak sebetulnya tidak lengkap, dan paling tidak hanya sebagian dari kebenaran.
116
bahwa kita hidup dalam banyak waktu) atau konvensi genre. Alih-alih, mereka tampaknya terhubung langsung dengan bentuk-bentuk arus yang kaya yang datang tanpa gangguan nyata dengan asal mula mitos-mitos yang mereka bicarakan. Bentuk-bentuk ini tampaknya tahan terhadap semua proses tatanan imperialis dunia di bawah rezim panoptikal atau kolonisasi dan neo-kolonisasi rasa, mengooptasi dan membuat mereka menjadi (bentuk) mereka sendiri. Mitos-mitos tentang Dewa-dewa dunia lain ini dan makhluk-makhluk di dalam filem-filem ini tampak lebih nyata daripada mitos pasca-kapitalis yang mendominasi kesadaran kolektif masyarakat kontemporer. Filem-filem tersebut menentang sejarah dan asal mula sinema yang diikat secara intrinsik dengan psikoanalisis, nasionalisme, dan konsumerisme.
117
m ar g orp l a iro tar uc
CP 2
Pratyaksha Sonal Jain Curator
“Your kind salutes my cunt”. This [statement] from the mouth of a transvestite in the mythical town of Pushkar is an ubiquitous statement that seems to resound through the universe we encounter in the films of Swaroop and Hura. There is no place here for the individual or the anthropocentric worldview that forms the basis of the dominant discourses today and this position is taken without an apology. There is an absence of the colonized both in the traditional sense and in the techno-science sense that Virilio talks about. “The colonial utopia par excellence is the attempt to modify the body of the colonized. When I say that, I am not referring to the state of the colonized, but to a state of fact, to techno-science, to the state of the world. A colonial, imperial, total power has never been exercised over a country without simultaneously exercising this colonial, imperial or total power over the body. … in the present situation the problem is not to civilize savage bodies, but to modify living bodies through cloning, through chimeras.”1
The bodies we encounter in this world are not only interspecies but also transcend forms and realms just as easily as they breathe. They are the posthumans that precede the coming of the term.
1. Virilio, Paul and Sylvere Lotringer. Crepuscular Dawn. New York: Semiotext(e), 2002. page 101.
118
In this world “your kind”, is anyone who is caught in the web of false identities created by the capitalist-industrial network or the information society some of us inhabit. This cunt is that of creation and its many manifestations that are in a state of constant flux and therefore escape the trap of a fixed location, definition or even body. It may be the body of the transvestite in Pushkar Puran who is beyond gender and that [body] of Madhu in The Lost Head and the Bird who is without a head but misses her head. This is as close to a being a human as they come in this transient play, pastime or lila2 of the all-transcendent Krishna and Radha from whose navel it has all emerged. 3 The filmmakers in turn with their subtler senses of perception and through their own play or lila catch a small glimpse of these worlds of Gods, demi gods, spirits, people, animals, mythical creatures, birds and insects. All of who have very little clinging to their fixed selves transmuting into and interacting with other forms with a natural unabashed sincerity. Be it the transvestite who receives messages from the cows who in turn receive it from the dead spirits or the headless Madhu who had been warned by a fortuneteller of the imminent loss of her head. This state of existence is only relative, relative to all that is around us, the planets, stars, galaxies and everything happens in consultation with them. In Pushkar Puran, rituals for individual salvation are punctuated by the pain stricken shrieks of a spirit being exorcized from the body of an Eunuch. It says “No. No I live here”. Pushkar Puran tells us about Brahma, the highest of all beings, who grew four more heads and eight more eyes as he gazed mesmerized at Shatarupa – his daughter and only woman in the creation who had just emerged from within him – and of Prajapati who in the beginning of the universe was staring into space and desiring when all of a sudden his left eye began to swell and fell to the ground.
2. The term “rasa” or “aesthetics” and “lila” or “act,” “play” or “dance” is a concept from Hinduism, which roughly translates to “play (lila) of aesthetics (rasa),” or more broadly as “Dance of Divine Love”. It refers to a work by M. Schweig. Dance of Divine Love: The Rasa Lila of Krishna from the Bhagavata Purana, India’s classic sacred love story. Princeton University Press, Princeton, NJ. 2005 3. Krishna and Radha are considered the primeval forms of God in the Vaishnava school of thought in Vedic culture of India. Pushkar Puran refers to a myth where the universe was created out of their navel.
119
The profusion of the gaze that we now share seems to be preempted in these acts. The eye as a symbol of desire that can fall out seems plausible. That [situation] in fact, seems to be a contemporary state. In Hura’s film, the story of Madhu and a single image of a headless body slowly emerges with multiple gaps, almost like a repressed or lost memory and then come the photographs which allude to Madhu’s story and soon become mixed with a constant stream of media images that overtake our collective consciousness. The information society with the endless stream of data gives precedence to pratyaksha, which is the process of collecting and knowing data. Pratyaksha as defined by various Indian philosophical schools, like the Samkhya, Nyaya and Yoga, 4 is the faculty of perception and has a full range – from the sense perception to the mental perception on to the consciousness of the self and finally to the direct experience of the essential truth of one’s own nature or Aparokshanubhuti. The process of filmmaking is just one of the means of pratyaksha that employs and preempts its different stages. It becomes one with the very stream or flow of manifestations that it tries to probe. For Christian Metz, in the cinematic apparatus, the spectator identifies with him/herself as a “kind of transcendental subject.” By prosthetically extending human perception, the apparatus grants the spectator the illusory ubiquity of the “allperceiving subject” enjoying an exhilarating sense of visual power. As the doctrine in Jainism of anekāntavāda5 postulates, there is no one ultimate truth, reality is complex and has multiple aspects and multiple ways of seeing. This is at the core of the narratives that Swaroop and Hura spin. They defy any dominant discourse of narrative construction, time and duration treatment (reiterating that we live in many times) or conventions of genre. Instead they seem to connect directly with the forms of the rich stream coming down without any real interruptions with beginnings in the very myths they talk about. These forms seem impervious to all the processes of the imperialist ordering of the globe under a panoptical regime or colonization and neo-
4. These are three of the schools of philosophy that emerged in ancient India and based on or accept the authority of the Vedas. The Vedas are the oldest texts in Sanskrit literature and the oldest scriptures of Hinduism. They are also orthodox or Astik or atheist traditions. 5. According to anekāntavāda, no single, specific statement can describe the nature of existence and the absolute truth which is comprehended only by the Arihants or the enlightened beings. Other beings and their statements about absolute truth are incomplete, and at best a partial truth.
120
colonization of the senses, coopting and making them their own (form) of at all. These myths of otherworldly Gods and creatures in these films seem more real than the post-capitalist myths that dominate the collective consciousness of contemporary societies. The films defy the history and beginnings of cinema tied intrinsically with that of psychoanalysis, nationalism and consumerism.
121
CP2 / 12 August, Kineforum, 16.00 / 21+
Pushkar Puran
Country of production India Language Hindi Subtitles English 100 min, color, 2017
Pushkar merupakan sebuah kota kecil di Negara Bagian Rajasthan di Barat laut India dan salah satu tempat tersuci bagi penganut Hinduisme. Namun, sekali setahun pada bulan purnama di musim gugur bulan Kartik, kota dan gurun di sekelilingnya berubah menjadi pasar malam yang meriah dengan bianglala dan komidi putar, musik, serta tari-tarian yang penuh warna. Tontonan ini muncul di tengah gurun dengan mendadak seperti halnya Fata Morgana. Dan dengan mendadak pula, warna-warna magis itu lenyap. Kamal Swaroop menangkap kegegap-gempitaan ini dengan kepresisian mata terhadap gambar dan detail yang berkekuatan, mengeksplorasi mitos dan dewa-dewa India serta instrumentalisasi politiknya.
Pushkar is a small town in the Federal State of Rajasthan, Northwest India, and one of the holiest places of Hinduism. Once a year, however, during the full moon in the autumn month of Kartik, the town and the desert surrounding it turn into a sprawling fun fair with Ferris wheels and carousels, music and colorful dance performances. The spectacle appears in the desert as suddenly as a Fata Morgana. And just as suddenly, the colorful magic is over. Kamal Swaroop captures the exuberant goings-on with a precise eye for strong images and details, exploring the myths and gods of India as well as their political instrumentalization.
——Sonal Jain
Kamal Swaroop (India)
� thirdpoliceman007@gmail.com
122
Kamal Swaroop merupakan penerima penghargaan Presiden dan Filmfare dalam kategori sutradara dan penulis naskan filem, televisi serta radio. Pada tahun 1974, ia lulus dari Institut Film dan Televisi India dan bahkan karya-karyanya sebagai mahasiswa mendapatkan sambutan internasional yang tak biasa. Pada tahun 1982, ia membantu Sir Richard Attenborough dalam membuat filem Gandhi. Filem Om Dar-B-Dar (1988) menjadi mahakaryanya yang pertama.
Kamal Swaroop is a two-time President’s award and Filmfare Award winning film, television and radio director and screenwriter. In 1974, he graduated from the Film and Television Institute of India and even his student works met with unusual international acclaim. In 1982, he assisted Sir Richard Attenborough in the filming of Gandhi. Om DarB-Dar (1988) is his path breaking masterpiece.
CP2 / 12 August, Kineforum, 16.00 / 21+
The Lost Head and the Bird
Country of production India Language English Subtitles 9 min 5 sec, color, ongoing
The Lost Head & The Bird mengeksplorasi respon sang seniman terhadap iklim sosiopolitik di India kini. Filem ini membawa penonton pada sebuah perjalanan menuju ruang-ruang tersembunyi masyarakat India – menuju kehidupan di pinggiran. Sebuah dunia yang membingungkan, dimana batas antara fakta dan fiksi memburam, dan arus bawah dari kasta, seksualitas, agama dan kekerasan politik mengintai di bawah permukaan, bahkan mengeluarkan erupsi yang lebih sering. Lahir dari sebuah proyek fotografi selama empat tahun yang masih berlangsung berjudul The Coast, yang memperlihatkan Hura melakukan perjalanan naik-turun anak benua mendokumentasikan hal-hal yang menakjubkan dan ganas yang terjadi sepanjang garis pantai India, filem The Lost Head and The Bird mengeksplorasi sebuah dunia pascakebenaran yang berubah amat cepat dimana aksi-aksi dipantik oleh tarikan emosi dan faktafakta kian diabaikan.
The Lost Head and The Bird explores the artist’s response to the current socio-political climate in India. It takes the audience on a journey to hidden aspects of Indian society – to life on the fringes. A disorientating and absurd world, where the boundaries between fact and fiction blur, and the undercurrents of caste, sexual, religious, and political violence lurk beneath the surface, erupting in ever more frequent outbursts. Born out of an ongoing four-year photographic project titled The Coast, which saw Hura traveling up and down the subcontinent documenting the wonderful and vicious things that happen along the Indian coastline, The Lost Head and The Bird explores a frighteningly fast-changing, post-truth world where actions are fuelled by appeals to emotion and facts are increasingly ignored.
——Sonal Jain
Sohrab Hura (India) � contact@sohrabhura.com
Sohrab Hura (1981) berkarya terutama pada area fotografi. Namun ia mencoba membongkar bentuk tersebut secara konsisten dan meluaskannya pada filem, teks dan bunyi. Tahun 2018, filemnya – The Lost Head & The Bird – ditayangkan di Festival Film Pendek Internasional Oberhausen dimana ia mendapat penghargaan kontribusi terbaik pada kategori NRW dan menerima special mention oleh juri di Kompetisi Internasional. Ia merupakan anggota rekanan Magnum Photos dan direpresentasikan oleh Experimenter, Kolkata.
Sohrab Hura (1981) works mainly in photography. However he tries to break that form regularly and extend it into film, text and sound. In 2018 his film – The Lost Head & The Bird – was screened at the International Short Film Festival Oberhausen where he was awarded the best contribution to the NRW category and received a special mention by the jury of the International Competition. He is an associate member with Magnum Photos and is represented by Experimenter, Kolkata.
123
l a iro tar u k m ar g orp
CP 3
Focus on Kidlat Tahimik Merv Espina
Photo © Andang Kelana 2017
Curator
Merv Espina adalah seorang seniman, organisator dan peneliti yang berbasis di Metro Manila. Ia salah seorang pendiri institute of Lower Learning (iLL), sebuah organisasi pendidikan dan seni eksperimental yang berbasis di Saigon dan Manila; juga Direktur Program Green Papaya Art Projects, organisasi kreatif interdisipliner tertua di Filipina; serta pegiat WSK, sebuah festival dan dapur seni media.
Merv Espina (Philippines) �
124
Merv Espina is an artist, organizer, and researcher based in Metro Manila . He is co-founder of the institute of Lower Learning (iLL), an experimental art and education initiative based in Saigon and Manila; program director for Green Papaya Art Projects, the oldest artist-run creative interdisciplinary platform in the Philippines; and cook-janitor of WSK, a media art kitchen and annual “festival of the recently possible”.
Kidlat Tahimik (lahir 3 Oktober 1942) adalah seorang seniman kelahiran Filipina. Capaian dari filem-filem yang diproduksi oleh Kidlat Tahimik membuatnya dianggap sebagai salah satu tokoh sinema terbaik Asia Tenggara yang mampu membahasakan dualitas kelokalan dan globalisasi ke dalam bahasa sinema. Kenaifan di filem-filem Kidlat Tahimik tidak lahir dari ketidakpedulian, namun kenaifan di sini bekerja sebagai upaya untuk menempatkan jarak antara yang jauh dan terasing dengan yang lokal dan sehari-hari, melahirkan sebuah anatomi geografis yang terdisorientasi. ARKIPEL 2018: homoludens menghadirkan sebuah program yang berfokus pada Kidlat Tahimik untuk membicarakan karya-karyanya dengan menayangkan tiga filem Kidlat Tahimik yang dirasa penting untuk didiskusikan dan memiliki semangat yang sama dengan tema “Homoludens” tahun ini, yaitu The Perfumed Nightmare (atau Mababangong bangungot), Who invented the Yo-yo? Who invented the Moon Buggy? (atau Sinong Lumikha ng Yoyo? Sinong Lumikha ng Moon Buggy?) dan Balikbayan #1 Memories of Overdevelopment Redux VI. Program ini dikurasi dan disajikan oleh Merv Espina, kurator dan pegiat seni gambar bergerak asal Filipina.
Kidlat Tahimik (born October 3, 1942) is a Filipino-born artist. His films’ achievements have made him considered as one of the most crucial figures of Southeast Asian cinema who is able to express the duality of locality and globalization into the cinema language. Naivety here works as an attempt to put a distance between the far and outcasted ones with the local and daily ones, giving birth to disoriented geographical anatomy. ARKIPEL 2018: homoludens will present a program of Kidlat Tahimik to discuss his works by screening three of his films, which are considered essential and have the same spirit with homoludens as our theme this year. The films are The Perfumed Nightmare (or Mababangong bangungot), Who invented the Yo-yo? Who invented the Moon Buggy? (or Sinong Lumikha ng Yoyo? Sinong Lumikha ng Moon Buggy?), and Balikbayan #1 Memories of Overdevelopment Redux VI. This program will be presented by Merv Espina, curator and film activist from Philippines.
——Afrian Purnama
125
CP3 / 14 August, Kineforum, 16.00 / 18+
Mababangong Bangungot The Perfumed Nightmare Country of production Philippines Language Filipino, English Subtitles 93 min, color, 1977
Film ini berfokus pada petualangan seorang pengemudi jeepney Filipina yang bermimpi untuk pindah ke Amerika dan menjadi astronot di sana. Cinta dan impiannya akan kehidupan Barat yang ideal menemukan jalannya ketika seorang Amerika membantunya untuk sampai ke Paris bersama dengan jeepney-nya. Mimpi itu menjadi kenyataan tetapi malah berubah menjadi kekacauan ketika ilusinya hancur. Akhirnya, ia pun kembali ke Filipina.
The film focuses on the adventures of a Filipino jeepney driver who dreams of emigrating to America and becoming an astronaut there. His love and dreams of an ideal West found its way when an American helps him to finally make it to Paris in his jeepney. The dream comes true but turns out to be a turmoil when his illusions are shattered. At last, he returns to the Philippines.
The synopsis was retrieved from http://kidlattahimik.de/en/the-films/the-perfumed-nightmare/
126
CP3 / 14 August, Kineforum, 19.00 / 18+
Sinong Lumikha ng Yoyo? Sinong Lumikha ng Moon Buggy? Who invented the Yo-yo? Who invented the Moon Buggy? Country of production Philippines Language Filipino, English Subtitles English 94 min, color, 1978/1982
Karya kuasi sekuel The Perfumed Nightmare ini masih berhubungan dengan teknologi dan mode transportasi, tapi kali ini bercerita tentang sebuah roket buatan sendiri dan yo-yo – mainan yang dikenal sebagai penemuan seorang Filipina. Protagonis yang diperankan oleh Kidlat Tahimik ini bekerja sama dengan sekelompok anak-anak di sebuah peternakan Bavaria untuk mengerjakan proyek pesawat luar angkasa untuk melihat apakah seseorang dapat bermain yoyo di bulan.
This quasi-sequel to The Perfumed Nightmare still deals with technology and mode of transport, but this time around is with a home-made rocket yo-yo – a toy largely known as the invention of a Filipino. The hero played by Kidlat Tahimik himself teams up with a bunch of kids on a Bavarian farm to work on a spaceship project to see if one can play yo-yo on the moon.
This synopsis was retrieved from http://kidlattahimik.de/en/the-films/who-invented-the-yo-yo-who-invented-the-moon-buggy/
127
CP3 / 15 August, Kineforum, 19.00 / 18+
Balikbayan #1 Memories of Overdevelopment Redux VI
Country of production Philippines Language Filipino, English Subtitles English 159 min, color, 1979-2015
Sebagai kaum muda pemberontak di medan perfileman Filipina, sang avant-gardis Kidlat Tahimik menolak untuk menyelesaikan apa pun, entah itu menceritakan masa lalu kolonial, atau versi apa pun dari filem ini, yang telah dibuat dan direvisi selama hampir empat dekade. BalikBayan, yang berarti “orang yang kembali” dalam bahasa Filipina, sebagian tentang kepulangan tokoh sejarah Enrique of Malacca, seorang Melayu yang Tahimik perankan dan dibawa ke layar pada tahun 1979. Sebagai budak penjelajah Portugis abad ke-16, Ferdinand Magellan, dia mengelilingi Bumi, sebelum kembali ke rumah sebagai manusia bebas. Rekaman lama Enrique, diperankan oleh Tahimik muda, bercampur dengan kisah fiktif seorang lelaki tua misterius, diperankan oleh Tahimik saat ini, dan cuplikan dokumenter komunitas seniman kontemporer di Baguio, di Filipina utara. Dalam versi ini, Redux VI, Tahimik melanjutkan pencariannya untuk mempertimbangkan warisan kolonial Filipina. Dibuat dengan 16mm (1979–1980-an) dan video (1990-an – 2017).
As the ultimate enfant terrible of Philippine cinema, avant-gardist Kidlat Tahimik refuses to settle on anything, whether it’s the telling of a colonial past, or any version of this film, which he’s been making and revising for nearly four decades. BalikBayan, which means “returnee” in Filipino, is partly about the homecoming of the historical figure Enrique of Malacca, a Malay who Tahimik first played and brought to the screen in 1979. As the slave of the 16th-century Portuguese explorer Ferdinand Magellan, he circumnavigated the Earth, before returning home as a free man. Old footage of Enrique, played by the young Tahimik, is mixed with the fictional story of a mysterious old man, played by the present-day Tahimik, and documentary footage of a contemporary artist community in Baguio, in the northern Philippines. In this version, Redux VI, Tahimik continues his quest to reconsider the Philippines’ colonial legacy. Shot on 16mm (1979–1980s) and video (1990s–2017).
The synopsis of this film is retrieved from MoMA’s website (https://www.moma.org/calendar/events/3125)
128
l a iro tar u k m ar g orp
CP 4
Mendiferensiasi Lanskap ke dalam Polemik Bentuk sebagai Siasat atas Fetisisme Naratif Manshur Zikri Kurator
Merujuk kepada Nicky Hamlyn, diketahui bahwa yang kerap menjadi karakteristik dari naratif suatu filem, umumnya pada karya-karya arus utama, ialah: makna dari rujukan image menempati suatu posisi di luar pertanyaanpertanyaan filem itu sendiri. Dengan kata lain, maknanya telah ditentukan (oleh si sutradara); sedangkan karya-karya dengan pendekatan eksperimental cenderung dengan sengaja menghadapi kesulitan-kesulitan epistemologis untuk mempertanyakan makna representasi yang belum terberi, dalam rangka visinya untuk menjadi sebuah gaya ungkap berupa refleksi kritis— sering kali terhadap mediumnya—dan yang menjadi subjek filemnya adalah strategi dalam meng-generate visual.1 Pandangan ini agaknya sejalan dengan kepercayaan bahwa, konstruksi gambar bergerak dalam konteks sebuah karya filem, terlepas apakah ia akan “bernarasi” atau tidak, merupakan fokus utama seorang sutradara dalam membangun dramatik filemnya, dan itu menjadi area polemis utama si pengkarya dalam menciptakan peristiwa sinematik.2 Kuratorial ini mencoba mensituasikan pengertian ludo (‘permainan’) dengan modifikasi tertentu dari kerangka berpikir tersebut di atas, ke dalam konteks hubungan antara manusia, kamera, dan ruang-tangkapannya. Interaksi antara kamera dan realitas yang ditangkapnya dapat menghasilkan
1. Lihat pembahasan Nicky Hamlyn yang mengomparasi dua filem, About Now MMX (2011) karya William Raban dan Ex Library (2006) karya William English di “Two ‘Machine’ Films: About Now MMX and Ex Library”, Maret 2016, diakses dari situs web senses of cinema http://sensesofcinema.com/2016/british-experimental/machine-films/#fn-26406-1 pada tanggal 22 Juli 2018, pukul 02:53 pm. 2. Pandangan ini, salah satunya, dikembangkan oleh Peter Gidal dalam Structural Film Anthology (London: British Film Institute, 1978).
129
penuturan yang di satu sisi tampak mendemarkasi ruang eksistensi, ruang sirkulasi, dan gerak manusia menjadi rangkaian kosakata visual yang bersifat material dan struktural. Akan tetapi, di sisi lain, cara dan alasan konstruksi seperti ini dapat pula memiliki efek berupa penggalian sinematik terhadap karakteristik “kekinian historis� dari apa yang tengah dibongkar kamera tersebut Diferensiasi yang cenderung mengarah ke permainan bentuk (garis, bidang, perspektif, dan ritme bunyi) mengindikasikan upaya pembebasan representasi dari makna-makna referensialnya, dan potongan-potongan realitas representatif yang dikonstruk justru berfungsi sebagai elemenelemen metodis (alih-alih premis yang menuju konklusi) untuk secara filosofis mendekati dimensi lain—yaitu pengalaman melihat dan mendengar; pengalaman berbasis rasa ketimbang berupa artikulasi rasional—dari isu aktual ataupun sejarah yang dicoba diangkat ke dalam filem, baik dalam lingkup ruang yang bersifat makro maupun mikro. Tiga filem yang disajikan ke dalam kuratorial ini berangkat dari titik persoalan yang memiliki benang merah yang sama: arsitektural, meskipun tentunya subjek spesifik dan arah penelaahannya berbeda satu sama lain. Lokasi atau ruang yang dibongkar ke dalam filem, esensial secara historis; fokus masing-masing sutradara ialah interpretasi atas kondisi aktual dari lokasi tersebut ataupun penampakan-penampakan yang kemudian melanskapi kekiniannya. About Now MMX (2010, 35mm, colour, sound, 28min) karya William Raban adalah filem tentang pemandangan urban yang ditangkap dari atas Balfron Tower (karya arsitektur Erno Goldfinger, 1965, dalam proyek social housing-nya), sebelum menara itu direnovasi untuk dijadikan sebagai area residensi mewah. Beach House (2015, HD video, colour, sound 17min) karya Emily Richardson adalah filem tentang Beach House, sebuah bangunan rumah karya arsitek John Penn di Suffolk, Inggris, yang menjadi salah satu contoh dari produk dalam pembangunan modern di wilayah rural/pedesaan. Sementara itu, Throw Them Up and Let Them Sing (2012, HD video, colour, sound, 30min) karya Helen Petts merupakan filem yang mencoba menjelajahi lokasi yang pernah didiami oleh seniman Kurt Schwitters sekaligus mendekonstruksi narasi yang termitologisasi dari karya-karya arsitektural seniman tersebut.
130
Isu yang diangkat ketiga filem ini, bagaimana pun, memang tidak terlepas dari konteks bagaimana sebuah lokasi atau ruang pada dasarnya menyimpan suatu kelumit yang tercipta dari interaksi antara manusia dan ruang; kelumit itulah yang secara konstruktif—akibat faktor-faktor sosial dan budaya yang berkembang—sering mengarahkan kita pada fetisisme atas narasi-narasi yang membentuk ataupun yang dibentuk oleh ruang yang ada. Namun, gaya ungkap ketiga sutradara ini menyiasati kerentanan tersebut dengan cara menggeser polemik isu semata-mata ke ranah asumsi dan tidak menjadikannya sebagai tujuan dari konstruksi filemnya. Dengan kata lain, makna-makna tentang mitos, baik historis maupun kontemporer, dilewatkan atau dengan sengaja tidak dikandungkan ke dalam representasi yang mereka konstruk, dan untuk tujuan itu, fokus filem dengan sadar diarahkan ke polemik bentuk. Lewat metode ini, penonton bukan ditawarkan suatu informasi (atau dikontrol dalam kerangka naratif), melainkan diajak berkomunikasi dalam hubungan yang setara dengan kejadian filemis yang dimainkan oleh sutradara. Lewat ketiga filem ini, kita dapat memahami bahwa ketika memenggal peristiwa-peristiwa pada ruang-ruang yang telah tersapu waktu (di mana bekas kehadiran manusia hanya dapat ditelusuri lewat jejak-jejak yang tertinggal di dalam objek-objek yang merekam memori tentang kondisi lampau dari ruang tersebut), atau pada ruang yang kini hadir dengan wujud terkompleksnya (sebagai representasi dari intervensi lanjut dari modernitas), observasi kamera dapat dilakukan bukan bertujuan deskriptif ataupun alegorikal untuk mengiaskan isu-isu yang terpendam di balik ruang tersebut, tetapi lebih sebagai cara melihat yang membuka pertanyaan baru tentang aspek antroposentrik dari hubungan antara ruang dan manusia.
131
l a iro tar u k m ar g orp
CP 4
Differentiating Landscape: Polemics of Form as A Strategy to Overcome the Narrative Fetishism Manshur Zikri curator
As Nicky Hamlyn argued, what is often characteristic of the narrative of a film, generally in mainstream works, is: the meaning of the image reference occupies a position outside the questions of the film itself. In other words, the meaning is already determined (by the director). Whereas the works with an experimental approach tend to deliberately deal with epistemological difficulties to question the pre-given meaning of representations, in the framework of its vision to become a critical-reflexive film— it’s usually about its medium; and the subject of the film is its own generational strategies.1 This view seems to be consistent with the belief that, the construction of a moving image in the context of a work of film, whether it will be “narrative” or not, is the filmmaker’s main focus in building the dramatical force of the film, and it is the primary polemical area of the filmmaker in creating cinematic events.2 The curatorial tries to situate the notion of ludo (‘play’) with certain modifications of the framework mentioned above, into the context of the relationship between humans, cameras, and—as the film’s subject matter—the spaces. The interaction between the camera and the reality it captures may produce a style of language which on the one hand appear to demarcate the space of human existence, the place of human circulation, and the human movement into sequential visual vocabularies in the sense of structural/
1. See Nicky Hamlyn’s discussion of the two films, About Now MMX (2010) by William Raban and Ex Library (2006) by William English in “Two ‘Machine’ Films: About Now MMX and Ex Library”, March 2016, accessed from the website senses of cinema http://sensesofcinema.com/2016/british-experimental/machine-films/#fn-26406-1 on July 22, 2018, at 2:53 pm. 2. This view, among others, was developed by Peter Gidal in Structural Film Anthology (London: British Film Institute, 1978).
132
materialist logic. On the other hand, however, the mode and motive for such construction can also multiply the effect of cinematic excavations on the characteristics of the “historical present” of the event/space that camera is exposing. The differentiation that tends to lead to the play of form (lines, shapes, perspective, and rhythm of sounds) indicates an attempt of liberating the representation from its referential meanings. The pieces of representative reality constructed into the film in fact function as methodical elements, rather than premises leading to a conclusion, in order to philosophically approach the other dimensions—that is the experience of seeing and hearing; a sense-based experience rather than a rational articulation—of the actual or historical issues brought into the film, both in the context of macro space and micro space. The red thread of three films presented into this curatorial is they have the same point of depart: architectural subject, although of course their specific subject and analytical direction are different from each other. The site or the space explored by the film is essentially historical; the focus of each filmmaker is the interpretation of the site’s actual condition or the scenery landscape characterising its current present. About Now MMX (2010, 35mm, colour, sound, 28min) by William Raban is a film about urban sights which shot from the Balfron Tower (Erno Goldfinger’s architectural works, 1965, in his social housing project) before its refurbishment that changed it as luxurious residencies. Emily Richardson’s Beach House (2015, HD video, colour, sound, sound) is a film about the Beach House, a house built by the architect John Penn in Suffolk, UK, which is one example of a product of rural modern development. Meanwhile, Helen Petts’ Throw Them Up and Let Them Sing (2012, HD video, colour, sound, 30min) is a film that explores the locations that the artist Kurt Schwitters once had visited; and it deconstructs the mythologised narrative of the artist’s architectural works. The issues raised by these three films respectively, however, are inseparable from the context of how a location or space essentially keeps traces created from the interaction between human and space. It is such a trace that, due to the growing social and cultural factors, often leads us constructively to fetishism over the narratives that shape or are shaped by the existing space. However, their style of language reveals that these three filmmakers overcome such vulnerability by shifting the issue’s polemic solely to the realm 133
of assumptions, and not make it as the goal of the construction of the film. In other words, the meanings of either historical or contemporary myths are deliberately avoided or intentionally not contained in their constructive representation. And for that purposes, the focus of the film is consciously directed to the polemics of form. Through this method, the audience is not in the condition of being offered any information (or controlled within the narrative framework) but is invited to communicate in an equal relationship to the filmic events created by the filmmaker. Through these three films, we can understand that when capturing the events of the time-wiped spaces (where we can track the former human presence only through the traces dispersed in the objects recording the site’s past) or the areas which are now existing with their complexity (representing the advanced intervention of the modernity), the camera observation can be done by not to be descriptive or allegorical, but rather as a way of seeing. Instead of aiming to unfold the hidden issues behind the site/space, this way will open up new anthropocentric questions of the relationship between space and humans.
Project Partner:
134
Supported by:
CP4 / 11 August, Goethehaus, 16.00 / 13+
About Now MMX
Country of production UK Language Subtitles 28 min, color, 2010
Dibidik dari lantai 21 Balfron Tower yang ikonik, filem ini merekam keadaan kota London. Dikonstruk dengan gaya time-lapse, kamera menelusuri seluruh bagian yang dapat terpandang, dalam niatannya menciptakan suatu peta sinematis yang mengungkap jaringan neural dari sebuah metropolis posmodern; filem ini memperlihatkan semacam jaringan sistem saraf dari gerak kota London.
Shot from the 21st floor of the iconic Balfron Tower, the film takes in the city of London below. Filmed mostly in time-lapse with the camera tracking across this aerial field of view, the intention is to create a cinematic map that exposes the neural networks of the post-modern metropolis; producing a film that reveals the workings of London’s nervous system. —
— Sinopsis diringkas dari situs web LUX (https://lux.org.uk/)
William Raban
The synopsis is retrieved from the LUX’s website (https://lux.org.uk/)
William Raban (1948, Fakenham). Sarjana seni lulusan Saint Martins School of Art (1971), Master senirupa Reading University (1974). Pendiri dan pengelola Filmmakers Co-Op (1972-1976) dan terbitan dwi-bulanan Filmmakers’ Europe (1977-1981). Mengajar filem di Saint Martin’s School of Art (1976-1989). Anggota dewan editorial majalah Vertigo ini juga menjadi Reader di University of the Arts, London.
William Raban (1948, Fakenham). BA painting, Saint Martins School of Art 1971; MA (Fine Art) Reading University 1974. Manager of London Filmmakers Co-Op Workshop 19726. Published bi-monthly Filmmakers’ Europe 1977-81. Part-time senior lecturer in Film at Saint Martin’s School of Art 1976-89. Reader in Film at University of the Arts, London. Member of editorial board Vertigo film magazine.
(UK)
�
135
CP4 / 11 August, Goethehaus, 16.00 / 13+
Beach House
Country of production UK Language Subtitles 17 min, color, 2015
Beach House adalah sebuah filem tentang contoh unik dari modernisme pedesaan. Rumah Beach House, yang dibangun di pantai Suffolk, Inggris, oleh arsitek John Penn. Bangunan itu adalah salah satu dari desain radikal Penn dalam hal ide bentuk. Filem ini menggabungkan arsip filem yang dibuat oleh Penn, rekaman suara eksperimental yang juga dibuat pada periode yang sama, dan rekaman yang diproduksi oleh Richardson sendiri di dalam rumah tersebut. Beach House mengeksplorasi konvergensi bahasa filem dan arsitektur dan memungkinkan pemirsa untuk mengalami Beach House secara bersamaan dalam bentuk masa lalu dan masa kininya.
Beach House is a film about a unique example of rural modernism. The Beach House built on the UK coast of Suffolk by architect John Penn. The building is one of John Penn’s most uncompromising designs in terms of idea as form. The film combines an archive film made by Penn himself on completion of the house with experimental sound recordings made during the same period and material recently filmed in the house to explore a convergence of filmic and architectural language and allow the viewer to piece together Beach House in its past and present forms.
—
The synopsis is retrieved from the LUX’s website (https://lux.org.uk/)
—
Sinopsis diringkas dari situs web LUX (https://lux.org.uk/)
Emily Richardson (UK)
�
136
Emily Richardson adalah pembuat filem yang karyanya mengeksplorasi hubungan manusia dengan lingkungan, dan peran teknologi pembuatan gambar dalam mendefinisikan, mengubah, dan membentuk hubungan itu. Dia baru saja menyelesaikan PhD di Royal College of Art yang meneliti terjemahan ruang arsitektur ke ruang filem melalui trilogi filem tentang purwarupa arsitek Inggris tahun 1960-an. Film-filmnya telah ditampilkan di galeri, museum dan festival internasional.
Emily Richardson is a filmmaker whose work explores our relationship to our physical environment and the role image making technologies play in defining, changing and shaping it. She has recently completed a practice-led PhD at the Royal College of Art researching the translation of architectural space to filmic space through a trilogy of films about British architects prototype houses of the 1960s. Her films have been shown in galleries, museums and festivals internationally.
CP4 / 11 August, Goethehaus, 16.00 / 13+
Throw Them Up and Let Them Sing
Country of production UK & Norway Language Subtitles 30 min, color, 2012
Helen Petts menjelajahi pulau Hjertoya, Norwegia, yang tidak berpenghuni, di mana seniman Kurt Schwitters pada masa pengasingannya dari Nazi Jerman tinggal di gubuk kecil yang ia buat menjadi “Merzbau”, dan Elterwater di Lake District, di mana si seniman kemudian menciptakan Inggris Merzbarn. Filem ini mengeksplorasi struktur yang termitologisasi dari dua hal tersebut, lanskap-lanskap yang mengitarinya. Direkam menggunakan kamera digital kecil dan bekerja sama dengan musisi eksperimental yang berimprovisasi dengan objek temuan dan suara vokal, filem ini mengeksplorasi ritme, tekstur dan permukaan dari lanskap-lanskap lokasi, dengan merujuk karya dan metode Schwitters pada periode tersebut dan sejumlah arsip foto.
Helen Petts explores the uninhabited Norwegian island of Hjertoya, where Kurt Schwitters in his period of exile from Nazi Germany lived in a tiny hut which he made into a “Merzbau”, and the Elterwater in the Lake District, where he later created the English Merzbarn. The film explores the two mythologised structures and the landscapes around them. Shot on small digital stills cameras and worked in collaboration with experimental musicians improvising with found objects and vocal sounds, the film explores rhythms, textures and surfaces in the landscape, referencing Schwitters’ work from this period and archive photographs.
—
The synopsis is retrieved from the LUX’s website (https://lux.org.uk/)
—
Sinopsis diringkas dari situs web LUX (https://lux.org.uk/)
Helen Petts (UK)
Helen Petts merupakan seniman dan pembuat filem asal Inggris yang kerap mengeksplorasi ritme, tekstur, suara, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara kebetulan, baik di lanskap pedesaan maupun dalam hubungannya dengan musisi eksperimental. Ia bekerja dengan komunitas video dan membuat filem untuk TV, tetapi kini ia kerap menampilkan karya-karyanya di berbagai galeri seni dan festival. Dia menempuh pendidikan Seni di Goldsmith’s College dan studi Filem di Westminster University. Karyakaryanya kini didistribusikan oleh Lux Artists Moving Image.
Helen Petts is a British artist filmmaker who explores rhythm, texture, sound and chance events, both in the rural landscape and with experimental musicians. She has worked in community video, and made films for TV, but she now shows her work in art galleries and festivals. She studied Fine Art at Goldsmith’s College and Film at Westminster University, London. Her work is distributed by Lux Artists Moving Image.
�
137
candrawala: local landscape of now
138
139
a l awar dn a c
CW
Sebuah Arena Eksperimentasi Anggraeni Widhiasih & Dhuha Ramadhani Kurator
Kultur menonton dalam tradisi spectacle di ruang gelap bercirikan adanya penegasan bahwa aktivitas ini berlangsung di sebuah ruang eksklusif; terpisah dari ruang-ruang sosial lain dan [karenanya] semua yang ada di dalamnya harus berserah diri pada kuasa medium. Kesulitan—jika bukan tidak bisa—menahan masuknya kamera telepon pintar ke dalam ruang bioskop, yang artinya sulit untuk pula menahan praktik bawaan si medium yang mampu merekam dan membagikan konten dengan cepat, tidak terhindarkan. Ruang memutar filem (bahkan mungkin filem itu sendiri) pada situasi semacam ini sudah meluntur kesakralannya. Kehadiran teknologi telepon pintar dengan fitur kameranya—di depan dan di belakang—diimbangi dengan kemunculan platform media sosial, membawa respon tertentu yang perlu ditelaah dalam konteks produksi konten audiovisual. Kita pun berada pada kondisi di mana tindakan merekam, menonton, dan mempertontonkan diri adalah keseharian yang lumrah— setidaknya bagi pemegang telepon pintar—yang barangkali jauh sebelum kamera itu sendiri hadir, telah menjadi potensi bawaan yang dimiliki siapa saja. Namun agaknya, dalam konteks generasi digital, produksi audiovisual dilatarbelakangi pula oleh dorongan kuat untuk berbagi. Mereka, dengan segala ekspresi spontannya, mulai memasukkan diri ke dalam sinema dengan membawa gestur dan wawasan teknologis yang telah melekat padanya. Bisa jadi dengan demikian, produksi audiovisual menjadi medium yang menandai suatu eksistensi di tengah ruang sosial yang kian terbuka dan ramai, baik secara fisikal, virtual, maupun wacana.
140
Keseluruhan situasi dan kondisi yang memudahkan aksi merekam, menonton, dan bahkan menjadi tontonan ini, membuat ketiganya berada dalam batasan yang mudah dilintasi dan kian serba terhubung secara dua arah. Sehingga, ketiganya berada dalam konfigurasi yang cair dan semakin terbuka bagi eksplorasi ulang-alik; suatu potensi bagi satu sama lain untuk berbicara balik. Subjek-subjek yang dulunya dibicarakan hanya dari pusat, kini bisa dibicarakan dari berbagai arah. Lokus produksi audiovisual formal dan nonformal menemukan teman dialognya dari ranah informal dengan corak moda produksi dan cara bertuturnya masing-masing sebagai hasil dari interaksi individu dan lokasi serta permasalahan di sekitarnya. Dorongan eksistensi di tengah ruang sosial dan interaksi langsung pada isu-isu yang ia temui melalui berbagai platform termutakhir ada kalanya membuat subjek-subjek ini meletakan temuan-temuan mereka sebagai bahan baku eksperimentasi artistik. Bahasan mulai dari persoalan identitas, memori terkait konflik, maupun sejarah itu sendiri, serta pergumulan atas ruang individu-kolektif hingga persoalan akses terhadap pendidikan dan kesejahteraan ekonomi, menjadi bahan narasi pribadi yang [masih] banyak dibicarakan secara sosial melalui sinema kita. Aksi sineas yang mengolah suatu temuan menjadi produk tontonan yang bisa dihadirkan pada publik ini sebetulnya sangat dekat dengan keseharian kita, berkat perkembangan teknologi digital. Namun, aksi yang nyaris serupa sebetulnya juga dilakukan warga sebagai siasatnya mengakali hambatan, meski mungkin dengan detail motif dan skala yang berbeda Dalam Kakak Mau Beli Tisu, perjalanan seorang perempuan muda di kotanya harus menemui sebuah pengalaman sureal berupa horor tentang tubuh miskin anak-anak yang mengepung hingga menghantui. Dalam bentuk dan cara bertutur yang konvensional, kritik atas eksploitasi kemiskinan melalui anak-anak disampaikan dalam bentuk sebuah tontonan ber-genre horor. Kemiskinan menjadi sebuah kenyataan ganjil yang diterima, di mana setumpuk masalah sosial dan kondisi yang timpang, terutama pada ranah ekonomi, hadir sebagai prakondisinya. Dituturkan dalam bentuk dokumenter yang konvensional, Ojek Lusi berusaha membingkai persoalan ekonomi di suatu lokasi bencana melalui aksi warga yang merespon situasi tersebut. Kebutuhan untuk bertahan hidup menjadi landasan warga untuk mengemas bencana sebagai bagian dari moda 141
produksi ekonomi kecil dengan meletakkannya sebagai sebuah tontonan, memadatkannya dalam bentuk DVD yang kemudian dibeli oleh bocah-bocah pengunjung lokasi. Demikian pula pada Lahir di Darat Besar di Laut, temuan masalah ekonomi seorang nelayan dari pesisir Indramayu yang merantau ke Jakarta menjembatani kita menuju wacana urban-pinggiran, baik dari segi bahasan konten maupun konteks produksi yang melingkupinya. Namun di sini, seorang anak memandu penonton melalui komentarnya terhadap si tontonan untuk masuk ke dalam dunia yang dibangun sutradara. Si tontonan bersama si anak berbicara balik pada pengkarya dan pada kita—para penonton— dengan cara mengomentari gambar dirinya yang tengah ditonton. Hingga kemudian ia sendiri menjadi tontonan yang bicara pada penonton melalui ruang personalnya. Narator tunggal yang tadinya hadir sebagai pusat sinema dan sakral, kemudian terurai menjadi beragam suara yang satu sama lain menyuarakan dirinya. Suara-suara yang tadinya adalah sekadar gunjingan, disaring dan dipilah untuk membantu kerja konstruksi kenyataan. Pada Kasihan, kenyataan sosial hari ini dihadirkan lewat fiksi yang ditarik dari audio sinema Indonesia yang diproduksi antara tahun 1970-an hingga 2000-an yang menarasikan permasalahan relasi ekonomi saat itu. Oleh penontonnya, permasalahan yang nyaris sama kemudian dihadirkan kembali melalui sebuah tontonan yang mengadegankan ulang suara-suara dari tontonan fiksi masa lalu tersebut yang ditata dalam suatu montase baru yang jenaka. Kebocoran proses produksi dalam filem justru membuat kenyataan tak sempurna filem ini mengingatkan kita pada tegangan antara kenyataan di dalam bingkai dan di luarnya, ia menegaskan garis tepi pada layar sebagai garis transparan yang memungkinkan dunia citra (image) di dalamnya niscaya terhubung tanpa batas ke alam semesta kita (Manshur Zikri, 2015).1 What’s Wrong with My Film secara gamblang mengartikulasikan kekecewaan atas tegangan dua kenyataan yang tak selalu memenuhi fantasi penonton. Sensor di antaranya adalah bagian dari kenyataan di luar bingkai
1.  Manshur Zikri. 2015. Otty Widasari: Yang Melihat Media. Esai kuratorial oleh Manshur Zikri, kurator Ones Who Looked at the Presence, pameran tunggal Otty Widasari di ARK Galerie, Yogyakarta, 10/09 – 15/10, 2015. Diakses dari https://ottywidasari. com/2017/12/22/otty-widasari-yang-melihat-media/ pada 20 Juli 2018.
142
yang masuk ke dalam bingkai sebagai sebuah intervensi. Relasi antara pembuat dan penonton terjegal tepat justru pada area tontonan yang lalu menjadi arena kontestasi atas bentuk dan narasi yang ingin coba dihadirkan si pembuat filem. Jika pada masa sebelum kamera begitu mudah dipindahtangankan arena tontonan secara eksklusif milik pembuat filem, kini kondisinya telah bergeser. Keterbiasaan pada alat perekam gambar memungkinkan siapa saja bisa menyambut kehadiran kamera bahkan menggunakannya. Lewat sebuah aksi menguliti kenyataan-kenyataan terselubung melalui gerak pisau dan kamera oleh subjek yang saling berinteraksi membincangkan keseharian seorang anak, Rimba Kini menegaskan pada kita tentang telah sejauh mana teknologi audiovisual menubuh pada masyarakat kita. Ia tak lagi menjadi barang eksotik yang sakral namun justru menjadi si medium yang memungkinkan negosiasi posisi antara pembuat filem (pendatang yang membawa teknologi) dan anakanak sebagai subjek yang direkam. Menghasilkan tegangan antara perekam, tontonan dan penonton yang terjadi secara terus menerus tepat di dalam arena tontonan itu sendiri. Di sinilah—mengutip sebuah kalimat dari Otty Widasari—sinema, sebetulnya, menemukan peluang eksperimentasi pada titik terleluasanya.2
2.  Kalimat ini muncul pada suatu diskusi pagi hari 11 Juli 2018. Kedua penulis berdiskusi dengan Otty Widasari mengenai konstelasi filem terpilih yang cukup melakukan praktik eksperimentatif terhadap ranah penonton dan tontonan. Kalimat, “... di sinilah sinema menemukan peluang eksperimentasi pada titik terleluasanya,� kemudian dicetuskan oleh Otty Widasari dan menjadi salah satu referensi penulis dalam mengkonstruksi tulisan ini.
143
a l awar dn a c
CW
An Experimenting Ground Anggraeni Widhiasih & Dhuha Ramadhani Curator
The moviegoing culture in a spectacle tradition inside of a dark room establishes that this activity takes place in an exclusive space; separated from other social spheres, and [because of it] everything inside surrenders to the power of the medium. The challenge—if not impossibility—to keep away smartphone cameras from cinema theatres, parallels to the hardship of suppressing the default practice of the medium that is able to record and share contents in no time, which is inevitable. Screening spaces (even possibly, the film itself) in this situation is losing its sanctity. The rise of the smartphone camera technology—in the front and back—is balanced with the increase of social media platforms, bringing a particular response that needs to be studied in the context of audiovisual content production. We are also in a condition where the act of recording, watching, and exhibiting ourselves are the usual routine—at least for smartphone users—that, maybe even long before the camera was invented, has been an innate potential for everyone. But, in the context of the digital generation, audiovisual production was motivated by a strong urge to share. They, with their spontaneous expression, start to insert themselves in cinema with their embodied gesture and technological knowledge that they have. Possibly, the production of audiovisual becomes a medium that marks an existence in the middle of the social sphere, which is becoming more open and crowded — physically, virtually, and discursively. This situation and condition that makes it easier to record, watch, or being watched put those acts inside a boundary, which is accessible and connected in two ways. Those acts belong in a flexible configuration where they become 144
more open for a reciprocal exploration; a potential for two-way communication between parties. Subjects that were once can only be discussed by the center, can now be discussed from anywhere. The formal and non-formal locus of audiovisual production finds its dialogue partner from the informal domain, with varying modes of production and way of storytelling as a result from individual interaction toward the location and the problems around them. The existential urge amidst the social sphere and the direct interaction towards issues they found through multiple platforms sometimes makes these subjects place their findings as ingredients for artistic experimentation. Discussions on personal identity, memories of conflict or history itself, the struggle within collective-individual spaces, to the accessibility of education and economic welfare becomes a topic of personal narratives much talked about through our cinema. The filmmaker’s act of transforming a finding into a watchable product presented to the public is no longer strange to us, thanks to the progress of digital technology. But then, citizens do similar acts as their tactics to face everyday problems, though differing in terms of motive and scale. In Kakak Mau Beli Tisu (You Want Some Tissue?), the journey of a young woman in her city was disrupted by a surreal experience on the horror of the bodies of poor children that haunted and surrounded her. In a classic form and way of storytelling, the criticism of the poverty exploitation was displayed through a horror genre spectacle. Poverty becomes an uncanny reality that is accepted, where countless social problems and disparity, especially in the economics domain, play a role as its precondition. Narrated in a classic documenter, Ojek Lusi (Tour on Mud) tries to frame economic problems in a natural disaster site through the citizens’ act of responding to that situation. The need to survive becomes their foundation to use that disaster as a part of the small economic mode of production by placing it as a spectacle, recording it in the form of DVD that was later bought by the children who visited their location. As also told by Lahir di Darat Besar di Laut (Born on Land, Raised by The Sea), findings on economic problem of a fisherman from the Indramayu coast who urbanize to Jakarta bridges us to the discourse of urban-suburban, in terms of the content and context of production that covers it. But in this story, a child guides the spectator into the world built by the director. The spectacle, 145
along with the child, talks back to the director and to us—the spectator — through his commentary on himself on the screen. Later on, he also becomes a spectacle that talks to the audience through his personal space. The single narrator that was present as a sanctious central of the cinema is unravelled and turned into various voices, all of them speak for themselves. Voices that started out as gossips was filtered and sorted to help the construction of reality. In Kasihan, the social reality of today is presented through fiction that was pulled out of the audio of Indonesian cinema produced from the 1970s up to 2001, which narrated the economic relations problem of that era. By its spectator, a similar problem was represented through the reenactment of voices from the past fictional spectacle into a series of new, witty montage. The leakage in the process of film production makes that imperfect reality of film remind us to the tension between reality inside and outside of the frame. It emphasizes the margin line on the screen as a transparent line that enables the world of the image inside of it to connect to our reality. 1 (Zikri, 2015) What’s Wrong with My Film explicitly articulates the disappointment on the tension between two realities that do not always fulfil the spectator’s fantasy. Censorship is a part of the external fact that breaks into the frame as an intervention. The relation between the artist and the audience is hampered right on the spectacle area, which becomes an arena of contestation both on the form and narration the filmmaker tried to bring into the present. If in the era before the camera was convenient, the area of spectacle exclusively belongs to the filmmaker, nowadays, this phenomenon is shifting. The habit of recording pictures enables everyone to celebrate the presence of the camera, or even to use it. Through the act of skinning those hidden realities through the movement of knives and camera by the subject that is interacting, talking about a child’s daily activities, Rimba Kini emphasizes how far the audiovisual technology has integrated with our society. It is no longer an exotic, sacred equipment, but it has become a medium that makes it possible to negotiate the position between the filmmaker and the kids as a
1. Manshur Zikri. 2015. Otty Widasari: Yang Melihat Media. A curatorial essay by Manshur Zikri, the curator of Ones Who Looked at the Presence, Otty Widasari’s solo exhibition at the ARK Galerie, Yogyakarta, 10/09 – 15/10, 2015. Retrieved from https:// ottywidasari.com/2017/12/22/otty-widasari-yang-melihat-media/ on July 20, 2018.
146
recorded subject. Creating tension between the recorder, the spectacle, and the spectator that happens continuously in the area of spectacle. Right here— quoting a sentence from Otty Widasari—is where cinema finds its opportunity to experiment at its widest extent.2
2. This sentence was uttered on a discussion that happened on the morning of July 11th, 2018. Two of the writers were talking with Otty Widasari about the constellation of the selected films, that have done some experimentative practice on the domain of audience and the spectacle. She uttered the sentence “… right here is where cinema founds its opportunity to experiment at its widest extent.” and thus became one of the writer’s reference on constructing this essay.
147
CW / 13 August, Goethehaus, 19.00 / 13+
Kakak Mau Beli Tisu? You Want Some Tissue? Country of production Indonesia Language Indonesia Subtitles English 14 min 8 sec, color, 2017
Sebuah fiksi horor pendek tentang pengalaman seorang perempuan muda yang dalam perjalanan menuju kost temannya namun tercegah oleh kehadiran sekelompok anak-anak penjual tisu. Pemandangan mengharukan berubah menjadi sebuah peristiwa mencekam yang surreal ketika kemiskinan mewujud dan merongrong tanpa ampun.
A short horror fiction about the experience of a young woman who was on her way to her friend’s boarding house but was hindered by the presence of a group of children selling tissues. A heart-moving scene turns into a surreal, horrific moment when poverty manifests and agitates mercilessly.
——Anggraeni Widhiasih & Dhuha Ramadhani
Batara Aji Pekerti (1994, Bandar Lampung) adalah penulis naskah dan pembuat film. Dia lulus dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sekarang ia memfokuskan diri untuk membuat film dan karya seni berkaitan dengan isu sosial-urban dari perspektif masyarakat marginal.
Batara A. Pekerti (Indonesia)
�
148
Batara Aji Pekerti (1994, Bandar Lampung) is a scriptwriter and filmmaker. He graduated from the Jakarta Art Institute (IKJ). Now he is focusing on making films and artwork related to socio-urban issues from the perspective of marginal society. Kalimat asli dia: Batara Aji Pekerti (1994, Bandar Lampung) is a scriptwriter and filmmaker. He graduated from Jakarta Institute of the Arts (IKJ). Now he focused himself to create social-urban film/Arts from sosial ignorance perspective.
CW / 13 August, Goethehaus, 19.00 / 13+
Ojek Lusi Tour on Mud Country of production Indonesia Language Javanese, Indonesia Subtitles English 18 min 8 sec, color, 2017
Pada tahun 2006 lumpur panas menyembur dari bumi di Sidoarjo, menenggelamkan enam belas desa di tiga kecamatan. Filem berkisah tentang bagaimana warga lokal merespon bencana akibat eksplorasi minyak yang dilakukan oleh sebuah perusahaan. Sejumlah suami di antara mereka beralih profesi menjadi tukang ojek dan penjual DVD yang mendokumentasikan bencana tersebut; sebagian lain menjadi pemandu wisata.
In 2006, the hot mud burst from the earth in Sidoarjo, drowning sixteen villages in three sub-districts. The film revolves around how local people respond to disasters caused by oil exploration by a company. Some husbands among them switched professions to motorcycle taxi drivers and DVD vendors documenting the disaster; others become tour guides.
——Anggraeni Widhiasih & Dhuha Ramadhani
Winner Wijaya
Winner Wijaya lahir di Surabaya dan besar di Malang. Ia sudah gemar membuat filem sejak kelas lima SD, karena sempat diajari oleh guru sekolahnya. Setiap akhir pekan, bersama-teman-temannya, membuat filem dengan handycam MiniDV yang sering eror. Sampai sekarang ia mengikuti kecintaannya pada film, menekuni perfileman dengan mengambil jurusan filem di Universitas Multimedia Nusantara.
Winner Wijaya was born in Surabaya and grew up in Malang. His fondness on making films has emerged since he was in fifth grade because his teacher taught him to do it. Every weekend, with his friends, he makes films using MiniDV Handycam that is often errors. Until now, he has been following his love for cinema, pursuing film by studying it at Multimedia Nusantara University.
(Indonesia)
ďż˝
149
CW / 13 August, Goethehaus, 19.00 / 13+
Lahir di Darat, Besar di Laut Born on Land, Raised by The Sea Country of production Indonesia Language Javanese’s Indramayu Subtitles English 17 min 20 sec, color, 2017
Kisah tentang Raiman, Kapten kapal Sami Asih asal Indramayu. Diperlihatkan aktivitas Raiman dan awak kapalnya di laut dan situasinya ketika tidak dapat melaut karena kapalnya tak mampu menghadapi cuaca yang tidak menentu akhir-akhir ini. Tokoh utama sebagai narator tunggal baru muncul di tengah filem dengan sebelumnya menyerahkan alur cerita pada komentar-komentar seorang anak yang merespon rekaman aktivitas ia dan awaknya di laut.
The story of Raiman, the Sami Asih ship’s Captain from Indramayu. Showing the activities of Raiman and his crew at sea and the situation when they are unable to go to sea because the ship was unable to deal with the unpredictable weather lately. The main character as a single narrator appears in the middle of the film by previously handing the storyline to the comments of a child who responds to the documentation of those activities at sea.
——Anggraeni Widhiasih & Dhuha Ramadhani
Steven Vicky Sumbodo (1997) saat ini masih menjadi mahasiswa di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang. Dia sudah membuat sejumlah filem diantaranya Bipolar (2015), 001 (2016), Dalam Sukma (2017), Mati Muda (2018), dan Lahir di Darat Besar di Laut. Ketiga filem terakhirnya diproduksi bersama Kopi 3 Lidah Production.
Steven Vicky Sumbodo (Indonesia)
�
150
Steven Vicky Sumbodo (1997) is currently a student at Multimedia Nusantara University, Tangerang. He has made some films including Bipolar (2015), 001 (2016), Dalam Sukma (2017), Mati Muda (2018), and Born in Land Raised by the Sea. All three of his last films were produced with Kopi 3 Lidah Productions.
CW / 13 August, Goethehaus, 19.00 / 13+
Kasihan
Country of production Indonesia Language Indonesia Subtitles English 7 min 15 sec, color, 2017
Filem berisi teks-teks pilihan yang mencoba merangkum situasi ekonomi, relasi kerja, kelas sosial di sebuah era melalui arsip audio-audio filem yang diproduksi pada era yang lain, yaitu pada rentang 1970-an sampai awal 2000-an. Arsip-arsip ini kemudian diramu kembali dan digarap melalui pengadeganan ulang. Tindak sinkronasi bibir para aktor terhadap audio diperlihatkan ketidakselarasannya.
The film contains selected texts that try to summarise the economic situation, work relations, social class in an era through the archive of audio films produced in another period, from the 1970s to the early 2000s. These archives are then re-assembled and worked through reenactment. The movement between the actors’ lips and the audio is visible unsynchronised.
——Anggraeni Widhiasih & Dhuha Ramadhani
Muhammad Reza (1994) merupakan lulusan pendidikan seni rupa Universitas Negeri Jakarta. Tergabung dalam kelompok Sinema Kolekan dan Gambar Gerak Simpang Siur yang fokus membicarakan karya-karya audio visual mahasiswa. Membuat filem dengan metode yang berubahubah, beberapa karyanya telah ditayangkan di dalam dan luar negeri.
Muhammad Reza (1994) graduates from the education of art at Universitas Negeri Jakarta. He is incorporated in the group of Sinema Kolekan and Gambar Gerak Simpang Siur which focus on discussing the students’ audio visual works. Making films with varying methods, some of his works have been screened both locally and abroad.
Muhammad Reza (Indonesia)
�
151
CW / 13 August, Goethehaus, 19.00 / 13+
What’s Wrong with My Film
Country of production Indonesia Language Indonesia Subtitles English 6 min 36 sec, color, 2018
Sebuah adegan penyelamatan sandera penculikan. Sutradara mencoba menghadirkan situasi ketika imaji ketegangan yang dibayangkan terinterupsi ketika filem diputar di televisi. Bangunan filem ditampakkan kehilangan pondasi-pondasi utamanya karena hambatan birokratis di luar filem.
A scene about rescuing the abducted hostage. The director tries to present a situation when the imagined tension is interrupted when the film is played on television. The film’s construction is shown to have lost its main foundations due to bureaucratic obstacles outside the film.
——Anggraeni Widhiasih & Dhuha Ramadhani
Roberto Rosendy (Bandung, 1997) mulai terjun ke dunia perfileman saat berumur 15 tahun. Robert menempuh pendidikan di Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, jurusan Televisi dan Film. Ia merupakan pendiri dari Winter Writer, sebuah ruang diskusi untuk penulisan naskah pendek. Kini ia sedang menjabat Director Keluarga Televisi dan Film ISBI Bandung.
Roberto Rosendy (Indonesia)
� robertorosendy@gmail.com
152
Roberto Rosendy (Bandung, 1997) began to enter the world of film at 15 years old. He is currently studying at Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, majoring in Television and Film. He is the founder of Winter Writer, a discussion room for short script writing. Now he is Director of Family Television and Film ISBI Bandung.
CW / 13 August, Goethehaus, 19.00 / 13+
Rimba Kini
Country of production Indonesia Language Jambinese, Indonesia Subtitles English 17 min 46 sec, color, 2017
Kita diajak mengikuti keseharian Baasung dan Besangot menakik getah di Taman Nasional Bukit Duabelas, Tebo, Jambi. Ada dialog soal berapa pohon yang harus ditakik dan gangguan yang muncul dalam melakukan hal itu, juga tentang bagaimana mereka belajar alfabet; mengeja dan menuliskannya. Kamera beberapa kali berpindah tangan antara Baasung dan Besangot dengan para pembuat filem.
We are invited to follow the daily activities of Baasung and Besangot to sap rubber tree in Bukit Duabelas National Park, Tebo, Jambi. There is a dialogue about how many rubber trees should be sapped and the disturbance that arises in doing so, along with talks on how they learn the alphabet; spell it and write it down. The camera moves several times between the hands of the two children and the filmmakers.
——Anggraeni Widhiasih & Dhuha Ramadhani
Wisnu Dewa Broto
Wisnu Dewa Broto (1995) adalah seorang lulusan Desain di Universitas Multimedia Nusantara. Saat ini dia menjadi sinematografer, sutradara, penata kamera, dan editor. Pada tahun 2014, Wisnu bersama temannya mencoba mendirikan sebuah rumah produksi yang diberi nama Thesign Production dan bergerak dibidang creative video. Filem-filemnya terbarunya antara lain Wong Tjilik (2015), Mata Elang (2016) dan Doeri Soekma (2016).
Wisnu Dewa Broto (1995) is a Design graduate in Multimedia Nusantara University. He is currently a Cinematographer, Director, Director of Photography and Editor. In 2014, Wisnu and his friends tried to establish a production house called Thesign Production and interested in the creative video making. His latest films include Wong Tjilik (2015), Mata Elang (2016) and Doeri Soekma (2016).
(Indonesia)
ďż˝ wisnudewabroto@gmail.com
153
kultursinema #5: gelora purnaraga
154
155
a men isr u tl u k
K
KULTURSINEMA #5
Gelora Purnaraga Mahardika Yudha Kurator
Games of The New Emerging Forces (Ganefo) I diselenggarakan di Jakarta pada November 1963, berselang satu tahun tiga bulan sejak penyelenggaraan Asian Games IV di Jakarta pada Agustus 1962. Ganefo merupakan sebuah kejadian kebudayaan. Ia tidak hanya pesta olahraga, tetapi juga seni dan budaya yang rencananya akan berlangsung setiap empat tahun sekali. Perhelatan Ganefo 1963 melibatkan 51 negara yang berpartisipasi dari benua Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa. Baik dalam kompetisi olahraga maupun perhelatan seni dan budaya—seperti pameran lukisan, festival filem, dan pertunjukan seni tradisional, tari, dan music—yang diselenggarakan baik di gedung pertunjukan maupun ruang-ruang publik di Jakarta. Partisipasinya lebih banyak daripada pada penyelenggaraan Asian Games IV yang melibatkan 17 negara dari Asia. Penyelenggaraan Ganefo bukanlah terjadi tanpa sejarah. Ia bukan sekadar tindakan responsif dari penangguhan keanggotaan Indonesia di dalam Komite Olahraga Olimpiade saat itu dan kejadian penskorsan Indonesia dari keikutsertaan pada Olimpiade Tokyo 1964. Bersamaan dengan ini, gagasan membangun persatuan negara-negara new emerging forces telah tumbuh dan berkembang jauh sebelum kejadian tersebut. Jika kita menengok perjalanan strategi dan pernyataan negeri ini dalam membangun sejarah olahraganya di mata dunia internasional, Ganefo merupakan puncak dari prestasi-prestasi sebelumnya. Di tahun 1948, ketika negeri ini belum diakui secara internasional sebagai sebuah negara, Indonesia telah berani menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional pertamanya di Surakarta. Lalu di tahun 1962, Indonesia menyelenggarakan pesta olahraga tingkat regional Asia. 156
Dan kemudian di tahun 1963, Ganefo menjadi monumen olahraga tingkat internasional. Olahraga sebagai pernyataan kebudayaan telah dibangun jauh sebelum Ganefo 1963 berlangsung. Sejak Konferensi Asia Afrika 1955, Indonesia telah berusaha menjadi ‘media’ dengan menyediakan ‘saluran dan ruang’ untuk menghubungkan, menjembatani, dan menyatukan gagasan-gagasan bersama dari negara-negara yang baru atau belum merdeka, sedang berkembang dan menata negaranya, atau negara-negara yang menginginkan persahabatan dan perdamaian dunia tanpa penghisapan antara manusia oleh manusia di seluruh dunia di dalam bidang kebudayaan. Ganefo hanyalah satu pernyataan dari sekian banyak pernyataan yang digagas dan didukung oleh Indonesia, seperti Asian Games, Konferensi Wartawan Asia Afrika, Festival Film Asia Afrika, Konferensi Federasi Buruh, Pekan Film Asia Afrika, Konferensi Mahasiswa, Pemuda, Wanita, Rakyat, Pengarang, hingga ide membentuk Konferensi Pelukis Asia Afrika, dan lain sebagainya. Tak heran jika semangat itu, yang termanifestasikan dalam pesta olahraga Ganefo, mendapatkan tanggapan aktif dari hampir seluruh lapisan masyarakat internasional dan khususnya masyarakat Indonesia. Kejadian Ganefo merupakan puncak perayaan yang telah berhasil menyisihkan perbedaan ideologi dan menyatukan mereka dalam satu perhelatan akbar olahraga. Masyarakat Indonesia tidak hanya menghadiri dan menonton setiap pertandingan sebagai pernyataan partisipasi dalam kejadian tersebut, tetapi juga ikut menyumbangkan berbagai pikiran dan materi untuk mensukseskan Ganefo, atau bagaimana kisah Ganefo telah menginspirasi masyarakat untuk membuat makanan dan es yang diberi nama Ganefo, atau memberi nama anak-anak mereka dengan menambahkan kata Ganefo, dan lain sebagainya. Kota Jakarta yang menjadi tuan rumah penyelenggaraan Ganefo dan juga kota-kota lain di Indonesia juga dihiasi oleh berbagai macam atribut dan slogan Ganefo, baik yang dibuat oleh pemerintah maupun oleh warganya sendiri. Hal-hal sosial yang terjadi di luar lapangan permainan dan kompetisi itu, juga terjadi saat berlangsungnya berbagai cabang pertandingan yang diselenggarakan oleh Ganefo. Slogan kompetisi antara teman dengan teman selalu didengungkan dan dijaga dengan baik, juga bahwa persahabatan menjadi tujuan utama daripada hasil akhir berupa kemenangan maupun kekalahan. Para penonton akan bertepuk tangan dengan keras dan 157
menyemangati setiap olahragawan dari bangsa mana pun yang bertindak fair, gigih, dan berjuang hingga akhir. Para penonton akan berteriak, “Ini Ganefo Bung!” jika ada olahragawan atau pertandingan yang mulai memperlihatkan sikap permusuhan. Capaian-capaian dalam pemecahan rekor dunia yang terjadi selama berlangsungnya Ganefo menjadi kemenangan bersama seluruh masyarakat new emerging forces. Tubuh-tubuh yang bermain dan berkompetisi itu menjadi representasi dari kesetiakawanan tubuh masyarakat new emerging foces. Kejadian ini tidak hanya terjadi saat pesta olahraga Ganefo berlangsung dari 10-22 November 1963. Tetapi pertandingan persahabatan terus berlangsung di kota-kota lainnya hingga ke luar pulau Jawa. Olahragawanolahragawan dari negara-negara sahabat berkunjung dan melakukan pertandingan persahabatan dengan olahragawan-olahragawan setempat.
Melacak Ide Tubuh yang Sempurna di dalam Filem Tentang Ganefo Jika dibandingkan dengan filem Olympia (1938) yang dibuat oleh Leni Riefenstahl yang berhasil mengimajinasikan bagaimana tubuh-tubuh mulia bangsa Aria di dalam filem, filem berita tentang penyelenggaraan Ganefo yang diproduksi oleh Perusahaan Film Negara jauh dari bagaimana mengimajinasikan ‘tubuh-tubuh yang sempurna’. Bahkan, filem-filem tersebut tidak berhasil merepresentasikan bagaimana kesetiakawanan tubuh yang terjadi di antara negara-negara new emerging forces yang menjadi inti dari penyelenggaraan Ganefo. Dari filem-filem berita yang masih dapat disaksikan yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia, seperti reel Serbaserbi Ganefo I, Ganefo IV, Ganefo V, Ganefo VI, Menyongsong Lahirnya Ganefo, Ganefo VII, Ganefo III, Ganefo IV, Ganefo IR, dan Olahraga Ganefo, filem-filem ini berhenti pada sifat mendokumentasikan kejadian kompetisi olahraga pada umumnya. Filem-filem berita tentang Ganefo yang masuk di dalam program Gelora Indonesia ini diputar di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia, juga telah disiarkan di televisi-televisi Belanda, Republik Persatuan Arab, ataupun Syria pasca Ganefo berlangsung. Di sisi lain, terdapat informasi bahwa usaha untuk mengkonstruksi ‘tubuh-tubuh yang sempurna’ dan ‘kesetiakawanan bangsa-bangsa’ di dalam filem juga dilakukan oleh Perusahaan Film Negara dengan membuat filem dokumenter Membina Persahabatan Dalam Ganefo I (1963) sepanjang 12 reel dan mendapat kritikan 158
tajam di berbagai surat kabar tentang kegagalannya dalam merepresentasikan persahabatan dan tujuan dari diadakannya Ganefo.1 Sutradara Bachtiar Siagian konon juga membuat filem dokumenter tentang Ganefo,2 atau kerjasama antara Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok yang membuat filem fitur dokumenter tentang Ganefo I dalam format filem berwarna. 3 Produksi filem ini konon dilakukan untuk menandingi rencana produksi filem dokumenter berwarna tentang Olimpiade Tokyo 1964 yang hendak dibuat oleh sutradara Akira Kurosawa. 4 Namun, filem-filem dokumenter ini belum dapat ditemukan dan ditonton oleh tim peneliti Kultursinema, baik di Arsip Nasional Republik Indonesia, maupun arsip-arsip filem di luar negeri. Mungkin, ide tentang ‘tubuh-tubuh yang sempurna’ yang dibayangkan dari perhelatan Ganefo dapat dilihat di dalam filem-filem itu. Namun kami tidak bisa memastikannya. Mengacu pada tema homoludens yang menjadi poros pembahasan dalam ARKIPEL - Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival 2018, Kultursinema #5: Gelora Purnaraga mencoba melihat kembali bagaimana kejadian Ganefo di tahun 1963 dalam bingkai: permainan olahraga dan ide tubuh yang sempurna melalui dua bagian, tubuh-tubuh sosial dan gestur-gestur ragawi. Tubuh-tubuh sosial mengacu dari interaksi sosial yang terjadi di dalam dan luar lapangan permainan dan kompetisi, sedang gestur-gestur ragawi mengacu pada gestur-gestur jasmaniah olahragawan yang terjadi di dalam lapangan permainan dan kompetisi. Pameran Kultursinema #5: Gelora Purnaraga mencoba untuk menggunakan arsip-arsip filem digital yang diperoleh dari Arsip Nasional Republik Indonesia sebagai materi utama untuk melacak, mengkonstruksi, menerjemahkan, atau menginterpretasikan ‘tubuh-tubuh Ganefo’ sebagai ‘ide
1. Bintang Timur, 21 Desember 1963. Filem Membina Persahabatan Dalam Ganefo I telah ditayangkan perdana untuk para undangan pada 19 Desember 1963 di Studio PFN Jatinegara. Surat kabar itu juga menuliskan bahwa “kurangnya diarahkan kamera kesifat-sifat persahabatan yang berlangsung di luar gelanggang di mana misalnya terlihat olahragawan hitam sedang berangkul-rangkulan dengan yang putih karena kegirangan atau kelakar-kelakar yang terjadi di antara para olahragawan itu sendiri. Juga tidak tampak dalam film ini diabadikan olahragawan yang mengangkat tinggi-tinggi semboyan ‘Onward! No Retreat!” seperti misalnya itu olahragawan Philipina J. Medina dalam lari 10.000 m di mana dia harus sendirian menyelesaikan beberapa kali putaran sedang yang lain-lain sudah sampai di finish, namun dia tidak mundur.” 2. Siagian, Bachtiar. (2013, 5 November). Bachtiar Siagian dan Misteri Realisme Sosialis dalam Film Indonesia. Diakses dari https://indoprogress.com/2013/11/bachtiar-siagian-dan-misteri-realisme-sosialis-dalam-film-indonesia/ 3. Hingga pameran ini berlangsung, tim peneliti Kultursinema belum bisa memastikan keberadaan filem tersebut. Dalam beberapa surat kabar disebutkan kalau filem itu rencananya dapat diselesaikan pada bulan Februari 1964 dan rencananya akan disebarluaskan ke seluruh negara-negara yang terlibat Ganefo dan juga ke seluruh Indonesia. 4. Filem itu akhirnya diserahkan dan dikerjakan oleh Kon Ichikawa dengan judul Tokyo Olympiad (1965).
159
tubuh yang sempurna’. Juga mencoba mereproduksi berbagai arsip visual yang mengimajinasikan ‘tubuh-tubuh yang sempurna’ yang merupakan capaian dan manifestasi yang dibentuk dari permainan olahraga maupun dari jalinan relasi-relasi kesetiakawanan dalam kejadian-kejadian sosial yang terjadi selama sebelum, saat, dan sesudah pesta olahraga itu terjadi. Pameran Kultursinema #5: Gelora Purnaraga mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman yang berpartisipasi dalam merealisasikan usaha melacak ‘ide tubuh yang sempurna’ dalam perhelatan Ganefo; Dialita dan Sisir Tanah, Yes No Wave, Klub Karya Bulu Tangkis, dan teman-teman Forum Lenteng lainnya. Juga Arsip Nasional Republik Indonesia maupun Perum Produksi Film Negara yang telah membantu dalam merealisasikan pameran ini.
160
a men isr u tl u k
K
KULTURSINEMA #5
Passion of The Perfect Body Mahardika Yudha Curator
The first game of the New Emerging Forces (Ganefo) was held in Jakarta in November 1963. It was one year and three months after the fourth Asian Games in Jakarta in August 1962. Ganefo was a cultural event. It was not just a sports game but also an art and cultural festivities that was scheduled to take place once every four years. The 1963 Ganefo involved 51 participating countries of Asia, Africa, America and Europe, both in the sports competitions as well as the art and cultural happenings, such as painting exhibition, film festival, traditional art, dance and music performances organized in halls and public spaces of Jakarta. This was more than the Asian Games IV that involved 17 Asian countries. The event of Ganefo was not without history. It was not just a response of Indonesian membership’s postponement in the Olympic Sports Committee at that time and its suspension in the 1964 Tokyo Olympic. However, the idea of building unity among new emerging forces had grown and developed far before these events. If we look back at the journey of this country’s strategy and statements in building its sports history before the international eyes, Ganefo was the summit of the previous achievements. In 1948, when this country had yet gained acknowledgement as a state, Indonesia already dared to organise its first National Sports Week in Surakarta. Next, in 1962 Indonesia held an Asian sports festival on a regional level. Then, in 1963 Ganefo became a testament of an international sports game. Sports became a cultural statement built far before the 1963 Ganefo took place. Since the 1955 Asian-African Conference, Indonesia has become a “media” and provided “canals and spaces” to connect, bridge and unite the 161
collective idea of the newly or not yet independent countries, the developing countries or those still in organizing mode, or those who wanted world peace and friendship without exploitation of humans by humans in all over the world. Ganefo was one of the many statements initiated and supported by Indonesia, just as Asian Games, Asian African Journalists Conference, Asian African Film Festival, Labor Federations Conference, Asian African Film Week, Students, Women, People and Authors’ Conference, all the way up to the idea to establish Asian African Painters’ Conference, and so on. It was no wonder then that the spirit, manifested in the Ganefo sports game, received favourable responses from the people of all levels, both on the international and national scope. The case of Ganefo was a celebration peak that set aside ideological differences and united all the people of Indonesia in one great sporting event. The Indonesian people not only attended and watched all the games to express their participation but also contributed all kinds of idea and material to make it successful. One can imagine how the story of Ganefo inspiring people to create dishes and ice creams called Ganefo or even made them name their children with the word Ganefo, and so on. The city of Jakarta, the host of Ganefo, and other cities in Indonesia were decked with Ganefo accessories and slogans, made by both government and the people. Social functions outside the field and the competitions happened during all the sports branches held in Ganefo. Competition slogans among friends echoed and are well obeyed; friendship also became the point of reference instead of victory or defeat as the end result. The audience would clap hard and encourage all sportsmen from all countries who were fair, resilient, fighting to the end. The audience would yell, “This is Ganefo, comrade!” whenever an athlete or a game started to exude a hostile atmosphere. World record achievements occurring throughout the Ganefo became a collective victory of all the people of the new emerging forces. The interplaying and competing bodies became a solidarity’s representation of the collective body of new emerging forces. It was not only during the games themselves from November 10-22, 1963; the friendly matches took place in other cities as well, even outside of Java. Sportsmen of friendly countries visited and did friendly matches with the local ones.
162
Tracking the Idea of A Perfect Body in Films about Ganefo Compared to Leni Riefenstahl’s Olympia (1938) success in imagining how the noble bodies of the Aryan race in the film, newsreels about Ganefo produced by the State Film Company (Perusahaan Film Negara) were far from the imagination of “the perfect bodies”. These films didn’t even succeed in representing how body solidarity occurred among new emerging forces, which was the core of the Ganefo. Of the newsreels that still can be watched, stored in the National Archives of the Republic of Indonesia are the reels of Serba-serbi Ganefo I (Sundries of Ganefo I), Ganefo IV, Ganefo V, Ganefo VI, Menyongsong Lahirnya Ganefo (Welcoming the Birth of Ganefo), Ganefo VII, Ganefo III, Ganefo IV, Ganefo IR, and Olahraga Ganefo(The Sport of Ganefo). These films stopped at documenting the sports matches in general. News about Ganefo in this program of Gelora Indonesia was screened in all theatres of Indonesia, also on television stations in the Netherlands, The United Arab Republic, and Syria after the Ganefo. On the other side, there was an information that the State Film Company also made an effort to construct “perfect bodies” and “solidarity among countries” through the making of a feature documentary entitled Membina Persahataban dalam Ganefo I (Fostering Friendship in Ganefo I,1963) made into 12 reels and receiving criticisms in the newspapers about its failure to represent the friendship and the goal of Ganefo.1 Director Bachtiar Siagian allegedly also made a documentary film about Ganefo, or cooperation between Indonesia and the People’s Republic of China, which produced a documentary feature film about Ganefo I in colour format.2 It was said that this film production was to rival the production plan of the colour documentary feature film about the 1964 Tokyo Olympic, to be made by the director Akira Kurosawa. 3 However, Kultursinema’s research team couldn’t found and watch these documentaries, whether in the National Archives of the
1. Bintang Timur, December 21, 1963. The film Membina Persahabatan Dalam Ganefo I was premiered for invitation only on December 19, 1963, in the State Film Company’s theater, Jatinegara. The newspaper also wrote that “the lack of camera perspective on the friendship acts happening outside the arenas, for example how a black sportsman embraced a white one out of sheer joy or jokes uttered among the athletes. Also missing from this film was sportsment appreciated the slogan ‘Onward! No retreat!’, such as the Philipino sportsman, J. Medina, in the 10.000 m number where he must finish several mid-range rounds while the others already arrived on the finish line and he never backed out.” 2. Until the day of this exhibition, the Kultursinema research team hasn’t been able to verify the existence of that film. Several newspapers mentioned that the film was scheduled to finish in February 1964 and would be distributed to all the countries involved in Ganefo, and also all over Indonesia. 3. The film was finally given to and directed by Kon Ichikawa, entitled Tokyo Olympiad (1965).
163
Republic of Indonesia or anywhere else abroad. Perhaps, the idea of “perfect bodies” imagined in the Ganefo could be seen from those films. Something we can’t ascertain. Referring to the theme of homoludens, the subject matter of ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival 2018, Kultursinema #5: Passion of The Perfect Body tries to re-examine how the Ganefo in 1963 happened through the frame of a sports event and the idea of perfect bodies which are divided into two parts: social bodies and physical gestures. Social bodies refer to the social interactions happening inside and outside the matches and competitions while physical gestures refer to the sportsmen’s physical gestures occurring inside and outside the games and contests. The exhibition Kultursinema #5: Passion of The Perfect Body tries to use the digital film archives obtained from the National Archives of the Republic of Indonesia as the primary source to track, construct, translate, or interpret “Ganefo bodies” as “the perfect bodies”. It also tries to reproduce various visual archives that imagined “the perfect bodies” which are achievements and manifestations of the sports games and the relations of solidarity in the social events happened before, during, and after the game. The exhibition Kultursinema #5: Passion of The Pefect Body expresses many thanks to friends who have participated in realizing this effort to trace the idea of “perfect bodies” in Ganefo; Dialita and Sisir Tanah, YESNOWAVE, Klub Karya Bulu Tangkis, and other friends of Forum Lenteng. Many thanks also to the National Archives of the Republic of Indonesia and the State Film Company (Perum Produksi Film Negara) for their assistance in realizing this exhibition.
164
165
166
167
presentasi khusus
168
169
s us uh k is a tne s e rp
SP 1
Eksperimentasi dari Austria: Sebuah Kurasi Gerald Weber Penyaji
Jika kita coba melihat 5 definisi sentral dari “permainan” dalam buku Johan Huizinga yang berjudul Homo Ludens (1938), kita bisa saja terperangkap [dengan gagasan] bahwa Huizinga hanya mengacu pada seni dan produksi seni: 1. Bermain itu bebas, malah sebenarnya adalah kebebasan. 2. Bermain bukan kehidupan “biasa” atau “nyata”. 3. Bermain berbeda dari kehidupan “biasa” baik terkait lokasi maupun durasinya. 4. Bermain menciptakan aturan. Ia menuntut aturan yang mutlak dan tertinggi. 5. Bermain tidak bersifat materiil, dan tidak ada keuntungan yang bisa diperoleh darinya. 1 Tentu saja konsep Huizinga jauh melebihi paparan di atas dan menunjukkan bahwa bermain adalah kebutuhan utama dan kondisi yang (meskipun tidak mencukupi namun) diperlukan oleh generasi budaya dan peradaban manusia umumnya. Bermain didefinisikan sebagai sebuah tindak kebebasan yang menuntut kemandirian berpikir dan refleksi terhadap dunia sekitarnya, yang bisa kita sebut di sini sebagai „norma“. Melalui tindak kebebasan ini, pengalaman baru dapat dikembangkan dan dijelaskan.
1. Huizinga, Johan.(1944). Homo Ludens.Switzerland: Routledge.
170
Namun apa yang dilakukan seni – dan dalam konteks kita, seni gambar bergerak – sepanjang sejarahnya, ialah menciptakan norma dengan terus menguji dan menerabas batasan-batasan. Sejarah sinema eksperimental atau „avant garde“ dicirikan oleh upaya berkelanjutan untuk menemukan wahana-wahana ekspresi baru. Sementara sinema naratif dengan cepat mengembangkan strategi untuk mengingkari alam artifisialnya dan berpurapura mewakili dunia/kenyataan, para seniman dari masa awal sinema segera mulai bermain dengan norma-norma (baru) dan ekspektasi ini. Kita dapat mengatakan bahwa pada inti terdalamnya, Sinema adalah eksperimen, Sinema adalah uji coba bentuk baru, Sinema adalah anarki dan subversitas, Sinema adalah tantangan terhadap pengalaman dan persepsi. Ketika menyusun seleksi atas film dan video dari koleksi sixpackfilm yang mungkin sejalan dengan tema utama ARKIPEL 2018 yaitu homoludens – “manusia yang bermain” – ada beberapa pemikiran sentral yang mendorong saya: Bermain bukan, tetapi bisa saja, berarti humor. Ironi dan humor adalah perangkat utama untuk menumbangkan dinding ekspektasi dan norma (tidak hanya dalam seni). Pemilihan filem harus mewakili berbagai gaya dan pendekatan artistik tertentu dalam produksi seni gambar bergerak Austria. Austria memiliki sejarah yang cukup panjang dan diakui dunia internasional terkait pembuatan filem eksperimental. Namun demikian, karena keterbatasan teknis, fokus pemilihan diletakkan pada film dan video dari satu dekade terakhir dengan beberapa pengecualian. Ide “bermain” dalam film yang dipilih harus mengarah pada perspektif yang berbeda terkait kebiasaan kita dalam melihat gambar bergerak secara umum. Oleh karena itu hubungan dengan “sinema” sebagai praktik sosial dan alat optik-mekanik sangat penting untuk sebagian besar filem dalam program ini. Yang terakhir namun tak kalah pentingnya, saya ingin mengedepankan karya-karya Anna Vasof. Bagi saya, pendekatan artistiknya yang menggunakan parameter fisiologis ilusi sinematik pada gerakan untuk mengembangkan model karyanya sendiri dan “susunan uji coba” menempatkan gagasan homoludens dalam konteks produksi artistiknya secara lugas.
171
Program ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan fokus pada karya-karya Anna Vasof dengan menghadirkan tiga pilihan karya video terbarunya dari 4 tahun terakhir. Pendekatan artistik Vasof melintasi batas antara seni patung dan filem. Dengan kedipan mata yang ironis, Vasof bermain dengan ekspektasi dan kerap kali justru mengarahkannya pada suatu putaran yang mengejutkan. Dapat dikatakan bahwa “bermain-main” merupakan jalan masuk utama dalam karya-karya Vasof. Bagian kedua dari program ini berjudul Artiphycial Worlds, yang menciptakan pertemuan antara dua istilah: “artificial” atau “buatan” dan “physical” atau “fisik”. Beberapa filem pendek yang disajikan menggugah pertanyaan tentang abstraksi dan kondisi fisik akan persepsi visual dan ia mendorong penonton untuk menjungkirbalikkan perspektif familiarnya terhadap layar untuk membangkitkan momen-momen yang mengganggu. Sebagian filem yang lain mengacu pada penuturan cerita naratif yang klasik namun dengan mentransferkan bahasa mereka ke alam semesta sureal yang menakjubkan. Dan sebagian yang lain lagi, mengacu pada praktik sinema avant garde untuk merefleksikan identitas para pembuatnya sebagai seniman. Sering kali “tubuh” sang seniman menjadi bagian dari visual atau filemnya yang menuntut tantangan fisik dari sang protagonis atau para penonton. Pendekatan yang bermain-main di tiap filem terpilih akan jelas terlihat. Semoga program ini menghasilkan ide-ide yang berbeda dari Homo Ludens dalam konteks sinema; yang dapat dilihat dan dinikmati.
172
noi ta tne s erp l a ic e ps
SP 1
Austrian Experiments: A Curatorial Note Gerald Weber Host
When for the first time taking the 5 central definitions of ”play“ Johan Huizinga described in his book – Homo Ludens – published in 1938, one can be entrapped [with the idea] that Huizinga is referring to art and art production: 1. Play is free, and in fact freedom. 2. Play is not „ordinary“ or „real“ life. 3. Play is distinct from „ordinary“ life, both as to locality and duration. 4. Play creates order, it demands absolute and supreme order 5. Play is connected with no material interest, and no profit can be gained from it.1 Of course, Huizinga´s concept goes much further and suggests that play is primary and a necessary (though not sufficient) condition for the generation of culture, and human civilization in general. Play is defined as an act of freedom postulating independent thinking and reflection of the surrounding world, which we can call as ”norm“. Through this act of freedom, new experiences can be developed and described. What art – and in our context, the art of moving images – does throughout its entire history is creating norms by trying out and blasting boundaries. The history of experimental or “avant garde“ cinema is characterized by an ongoing attempt to find new modes of expression. While
1. Huizinga, Johan.(1944). Homo Ludens.Switzerland: Routledge.
173
narrative cinema quickly developed strategies of denying its artificiality and pretending to represent the world/reality, film artists from the very early times of cinema were immediately starting to play with these (new) norms and expectations. One can say that in its very deep core, Cinema is an experiment, Cinema is trying out new forms, Cinema is anarchy and subversity, Cinema is the challenge of experience and perception. When thinking about the selection of films and videos from the collection of sixpackfilm which may go along with the festival’s main theme of the homoludens – the ”playing human“ – there were several central thoughts driving me: Playfulness must not, but can, mean humour. Irony and humour are central tools in subverting the persevering expectations and norms (not only in the arts). The selection should represent a certain range of different styles and artistic approaches within Austria’s moving image art production. Austria has a quite long and internationally acclaimed history in experimental filmmaking. Nevertheless, due to technical restrictions, the focus of the selection lies – with some exceptions – on films and videos from the last decade. The idea of ”play“ in the selected films should lead to differentiated perspectives on our habit to look at moving images in general. Therefore the relation to “cinema” as a social practice and an optical-mechanical apparatus is crucial for most of the pieces within this program. Last but not least, I want to feature the works of Anna Vasof. In my eyes, her artistic approach in using the physiological parameters of a cinematic illusion of movement to develop her own original models and “test arrangements“ puts the idea of homoludens in the context of artistic production in a nutshell. The program is divided into two parts. The first part will focus on Austrian artist Anna Vasof and will give the chance to see three of her recent video works from the last 4 years. Vasof’s artistic approach crosses the borders between sculpture and film. With an ironic wink of the eye, the artist plays with expectations and often lead to surprising twists. One could state that ”playfulness“ can be described as the central access to Vasof’s oeuvre.
174
The second part of the program is titled Artiphycial Worlds, creating a junction between the two terms: ”artificial“ and ”physical“. While some of the presented shorts raise with questions on abstraction and the physical conditions of visual perception, and it limits others to subvert familiar perspectives on the screen to evoke irritating moments. Some others refer to classical narrative storytelling but transfer their setting into astonishing surreal universes. And last not least, one or the other refers to practices of avant garde cinema to reflect his or her own identity as an artist. Often the ”body“ of the artist is part of the scenery or the film demanding physical challenges from its protagonists or the viewer. The playful approach in each of the selected pieces is evident. Hopefully, the programming makes different ideas of a Homo Ludens in the context of film art; visible and enjoyable.
175
SP 1 / 11 August, Kineforum, 19.00 / 21+
Down to Earth
Country of production Austria Language No Dialogue 7 min, color, 2014
Part 01: Things and Wonders
Bukan rahasia lagi bahwa sepatu mengekspresikan banyak hal tentang pemakainya. Bentuk, bahan, dan kondisi sepatu menyediakan gambaran tentang status, karakter, dan, yang tak kalah pentingnya, potensi hasrat. Di filem Down to Earth, Anna Vasof merujuk makna multifungsional ini sembari meletakkan permainan yang sangat spesifik pada konsep “alas kaki”. Sang seniman membuat perangkat mekanik yang sangat khas untuk masingmasing dari 28 rancangan sepatunya, beberapa di antaranya menggerakkan keseluruhan cerita saat ia berjalan.
Anna Vasof (Austria)
� annarto@gmail.com
176
It is no secret that shoes say a lot about the person wearing them. The shoe´s form, material and condition provide insight into social status, character, and, last but not least, potential desires. In Down to Earth, Anna Vasof refers to this multifunctional significance while putting a very particular spin on the concept of “footwear”. After all, the artist fabricated highly distinctive mechanical devices for each of her 28 shoe designs, some of which set entire stories in motion upon walking.
Anna Vasof (lahir 1985) adalah seorang arsitek dan seniman media. Ia mengambil studi arsitektur di Universitas Thessaly (2010) di Yunani dan studi Transmedia Art (2014) di University of Applied Arts di Wina. Sejak 2004, video dan filem pendeknya telah dipresentasikan di berbagai festival, beberapa di antaranya menerima penghargaan. Ia kini merancang dan membangun mekanisme inovatif untuk produksi video, aksi, dan instalasi yang kritis
Anna Vasof (born 1985) is an architect and media artist. She studied architecture at the University of Thessaly (2010) in Greece and Transmedia Art (2014) at the University of Applied Arts in Vienna. Since 2004 her videos and short films have been presented in several festivals and received various awards. She currently works on designing and building innovative mechanisms for producing critical videos, actions and installations.
SP 1 / 11 August, Kineforum, 19.00 / 21+
When Time Moves Faster
Country of production Austria Language No Dialogue 7 min, color, 2016
Metode kerja Anna Vasof banyak di antaranya yang dipengaruhi oleh perangkat-perangkat pra-sinema yang diawali dari ketertarikannya terhadap pergerakan gambar foto. Gambargambar tersebut nampak bergerak karena keterbatasan pandangan kita. Vasof menggunakan Zoetrope sebagai contoh acuan dari fenomena ini, sebuah perangkat yang membangkitkan kekaguman bagi orang-orang dari segala usia yang melihatnya pada pameran barang antik. When Time Moves Faster mendemonstrasikan kegembiraan Anna Vasof dalam bereksperimentasi dan di saat yang sama menularkan kesenangannya dalam mendemonstrasikan ilusi yang hanya mungkin dihadirkan melalui medium sinema.
Among other things Anna Vasof´s working method was influenced by precinematic devices stemming from her fascination with the movement of photographic images. These only appear animated given our inertia of vision. Vasof cites the Zoetrope as an example of this phenomenon, a device that filled people of all ages with wonder at fairs of old. When Time Moves Faster demonstrates Anna Vasof´s unbelievable pleasure in experimentation and simultaneously shares her delight in demonstrating the illusion enabled solely through the medium of cinema.
Anna Vasof (Austria)
ďż˝
177
SP 1 / 11 August, Kineforum, 19.00 / 21+
Things and Wonders 2022
Country of production Austria Language No Dialogue 4 min, color, 2017
Things and Wonders 2022 merupakan sebuah rangkaian dari enam episode video dimana Anna Vasof bermain dengan persepsi kita. Sebagaimana yang diramalkan oleh judulnya, filem ini berisi tentang hal-hal menakjubkan yang disulap oleh Anna Vasof melalui bantuan barang sehari-hari dengan cara bermain yang sangat menyenangkan dan penuh humor. Saat menyalakan penyeka kaca depan mobilnya, telunjuk Tuhan menitahkan manusia pertama menuju kehidupan, dengan bebas merujuk pada pertemuan Adam sebagaimana digambarkan Michelangelo di langit-langit Kapel Sistina. Apa yang sebetulnya si penyeka kaca depan lakukan terkait Michelangelo seharusnya tidak dibeberkan lebih dahulu: toh momen-momen film Vasof juga sebetulnya tentang “bertanyatanya” dan merasa takjub, dimana tiap episodenya menyertakan sebuah momen “aha!” yang disertain senyuman saat tersadar.
Anna Vasof (Austria)
�
178
Things and Wonders 2022 is a series of six episodes in which video artist Anna Vasof toys with our perceptions. As the title forecasts, it is all about small wonders, conjured by Vasof with the help of everyday objects in a most joyously playful and humorous way. On switching her windshield wipers on, God´s index-finger summons the first human to life, loosely based on Adam´s encounter depicted by Michelangelo on the ceiling of the Sistine Chapel. What windshield wipers exactly have to do with Michelangelo should not be divulged in advance: Vasof´s film moments are ultimately also about „wondering“ in the sense of being amazed, and every episode includes an „aha!“ instant of smiling recognition.
SP 1 / 11 August, Kineforum, 19.00 / 21+
Fuddy Duddy
Country of production Austria Language Subtitles 5 min, B/W, 2016
Part 02: Artiphycial Worlds
Sudut siku atau sudut 90 derajat menjadi sebuah unit standar pengaturan. Baik untuk memaksimalkan ruang penyimpanan, membangun lahan, maupun memetakan tubuh manusia dalam proporsi yang ideal, sebuah kisi menjadi kriteria yang universal. Susunan persegi menjadi kubus; permukaan gambar berubah menjadi gambar timbul ketika berkaitan dengan sebuah latar belakang garisgaris yang presisi. Dalam Fuddy Duddy, sesuatu yang mirip ledakan besar terlihat bersamaan dengan sebuah energi hasil dari pergumulan antara tatanan dan kekacauan. Segala yang kita lihat terjadi dalam sebuah bidang kekuatan garis: apapun yang terjadi pada gambar hitam-putih yang muncul dari sumber kreativitas artistik tak terlihat, apapun yang menyibak kehadiran dirinya yang lalu hilang begitu cepat.
Siegfried Fruhauf (Austria)
The right or 90-degree angle serves as a standard unit of order. Whether optimizing storage space, developing land or mapping the human body in ideal proportions, a grid serves as universal criteria. Squares stack into cubes; the pictorial surface is transformed into a relief in relation to a background of precise lines. In Fuddy Duddy, something resembling a big bang is seen, with an energy resulting from the struggle between order and chaos. Everything we see takes place within a linear force field : whatever happens in the black and white images that arise from invisible sources of artistic creativity, whatever reveals its presence and in instant disappears.
Siegfried A. Fruhauf (lahir 1976) mengambil studi visual desain eksperimental di University of Artistic and Industrial Design di Linz dimana ia kemudian bersinggungan dengan filem avar garde Austria untuk pertama kalinya. Ia juga merupakan dosen tamu di sejumlah universitas di Wina dan Irlandia. Pada semester musim semi 2007, ia menjadi profesor tamu di Universitas Teknologi Wina, Institut Arsitektur dan Desain.
Siegfried A. Fruhauf (born 1976) studied experimental visual design at the University of Artistic and Industrial Design in Linz where his first encounter with the Austrian Film Avantgarde occured. Film, video and photography are his main area of work. Since 2009, he has been a lecturer at the University of Artistic and Industrial Design, Linz. He is also a guest lecturer at several universities in Vienna and Ireland. In Spring semester 2017, he is the guest professorship at the Vienna University of Technology, Institute of Architecture and Design.
ďż˝ studio@siegfriedfruhauf.com
179
SP 1 / 11 August, Kineforum, 19.00 / 21+
36
Country of production Austria Language No Dialogue 2 min, color, 2001
36 merujuk pada tradisi estetika lukisan abstrak dan pendekatan struktural dari karya filem geometris awal (sebagaimana yang dibuat oleh Walther Ruttmann dan Hans Richter). Di saat yang sama, asosiasi lainnya muncul, seperti game video pada awal kemunculannya yang memiliki keterbatasan gerak pada sumbu utama. Ketika menonton 36, sebuh ketegangan dan konsentrasi yang luar biasa berkembang, disebabkan tak lain oleh kejernihan konsep dan reduksi maknanya.
Norbert Pfaffenbichler, Lotte Schreiber (Austria) ďż˝
180
36 refers to both aesthetic traditions of abstract painting and the structural approaches of early geometric films (such as those of Walther Ruttmann and Hans Richter). At the same time, other associations arise, such as early video games and their restricted movement, which was limited to the main axes. When watching 36, an unbelievable tension and concentration develop for the viewer, caused not least by the clarity of the concept and the reduction of the means.
Norbert Pfaffenbichler (1967) merupakan seorang seniman, pembuat filem dan kurator. Ia mengambil studi Desain Media di University of Applied Arts di Wina. Lotte Schreiber (1971) merupakan seorang seniman dan pembuat filem yang tinggal dan bekerja di Wina. Karya-karyanya telah ditampilkan pada berbagai pameran dan festival filem.
Norbert Pfaffenbichler (1967) is artist, filmmaker and curator. He studied Media Design at the University of Applied Arts, Vienna. Lotte Schreiber (1971) is a filmmaker and artist who lives and works in Vienna. Her work has been shown at diverse exhibitions and film festivals.
SP 1 / 11 August, Kineforum, 19.00 / 21+
Planes
Country of production Austria Language No Dialogue 4 min, color, 2006
Planes merupakan sebuah komposisi spasial yang terdiri dari [garis] horizontal dan vertikal, sebuah wadah di mana tabrakan masa dan garis dalam gambar dapat menemukan keseimbangan, dan gerakannya memiliki pondasi yang kuat. Hal ini berlangsung dengan baik hingga sebuah gangguan masuk perlahan, pada awalnya tak ada kepastian di mana mereka: dalam gambar, dalam kepala penonton, atau keduanya?
Planes is a spatial composition made of horizontals and verticals, a receptacle in which the crush of the images´ lines and masses can find balance, and their movements a firm footing. This goes well until irritations creep in, and at first it isn´t certain where they are: in the picture, in the viewer´s head, or both?
Thomas Fuerhapter (1971) mengambi l studi filsafat, filem dan teater. Ia bekerja sebagai pembuat filem dan seniman video.
Thomas Fuerhapter (1971) studied philosophy, film and theatre. He works as a filmmaker and videoartist.
Thomas Fuerhapter (Austria)
�
181
SP 1 / 11 August, Kineforum, 19.00 / 21+
O.T. (without title)
Country of production Austria Language No Dialogue 4 min, color, silent, 2013
O.T. diawali dengan situasi seolah ia adalah sebuah lanskap lukisan dari abad kesembilanbelas. Sebuah pegunungan salju menjulang megah. Tatapan tak bergerak kamera mengundang pengamatan yang cermat. Scherer bekerja pada lapisan antara permukaan grafis dan ruang gambar, tetapi menahan kecepatan dengan gerakan anti-dramatisnya. Aktor dalam filemnya tidak meninggalkan lekukan yang spektakuler pada salju, hanya sebuah potongan lurus yang tajam – seolah seorang pelukis telah membelah kanvasnya.
O.T. begins as though it were a landscape painting from the nineteenth century. A snow-peaked mountain top rises majestically. The camera’s motionless gaze invites careful observation. Scherer operates on the seam between graphic surfaces and pictorial space, but counters the rush of speed with an anti-dramatic gesture. His actor leaves no spectacular curves in the snow, just a sharp, straight cut—as though a painter had cut open a canvas.
Markus Scherer (1963) tinggal di Wina. Ia pernah berkolaborasi dengan Josef Dabernig, Norbert Fasching dan Christoph Herndler. Banyak karyanya yang telah dipresentasikan di berbagai festival filem maupun seni.
Markus Scherer (Austria)
�
182
Markus Scherer (1963) lives in Vienna. He has done collaborations with Josef Dabernig, Norbert Fasching and Christoph Herndler. Many of his works have been presented in numerous art and film festival.
SP 1 / 11 August, Kineforum, 19.00 / 21+
Reign of Silence
Country of production Austria Language English 7 min, color, 2013
Rujukan konseptual kepada Land Art sangat jelas, dan juga kepada Spiral Jetty yang ikonik karya Robert Smithson, yang dapat dibaca secara ironis. Tetapi Reign of Silence merepresentasikan lebih dari sekedar memori filemis tentang sebuah momen yang berlalu. Filem ini tak hanya mendokumentasikan, sebab ia telah meletakkan gambar filemis di atas lanskap ini sebagai sebuah medium artistik kedua, seperti kertas transparan, yang menunjukkan sesuatu di luarnya dan memperluas perspektif.
Lukas Marxt (Austria)
The conceptual reference to Land Art is obvious, and also to Robert Smithson´s iconic Spiral Jetty, which can be read ironically. But Reign of Silence represents more than a kind of filmic memory of a passing moment. The film not only documents something, it actually lays the filmic image over this landscape like a transparency, as a second artistic medium, indicating something beyond it and expanding the perspective.
Lukas Marxt (1983) belajar Environmental Sciences for Geography di Graz. Pada tahun 2004, ia berganti haluan dan mengambil studi audiovisual di Universitas Seni dan Desain Industrial di Linz. Dari tahun 2007 2008, ia mengambil studi di Faculdade de Belas Artes, Universitas Lisbon. DI tahun 2009, ia mengambil program Master Pupil di Akademi Seni Visual di Leipzig dan Pascasarjana di Akademi Seni Media di Cologne. Ia tinggal dan bekerja di Cologne dan Graz.
Lukas Marxt (1983) studied Environmental Sciences for Geography in Graz. In 2004, he switched to audio visual studies at University of Arts and Industrial Design in Linz. From 2007 to 2008 he attended the Faculdade de Belas Artes, University of Lisbon. In 2009 he pursued Master Pupil program in Academy of Visual Arts Leipzig and Postgraduate program in Academy of Media Arts Cologne. He lives and works in Cologne and Graz.
ďż˝ lukasmarxt@gmail.com
183
SP 1 / 11 August, Kineforum, 19.00 / 21+
COKE
Country of production Austria Language No Dialogue 3 min, color, 2013
Dan mereka bernyanyi, burung-burung yang elok, selagi kemisteriusan sekuens filem terurai—dalam gerak lambat dan kilat warna merah. Materi filem berasal dari karyakarya awal Brehm —yang didaur ulang dan dicampurkan dengan rekaman pribadi oleh (dan dari) si pembuat filem. Kadang kala tersamarkan, puing dari filem-filem porno dan misteri sebuah kaleng Coca-Cola yang kumal. Tampaknya, ia telah dibengkokkan atau dalam proses pelelehan. Ada sebuah batas yang buram antara gelap dan gambar pumping-nya yang misterius serta suara yang meditatif dan sugestif.
And they really sing, the lovely birds, while the film’s mysterious sequences unfold—in slow motion and garish red. The material was taken from earlier works by Brehm—recycled here and mixed with private footage by (and of) the filmmaker, at times in disguise, the debris from porn films and the mystery of a crumpled CocaCola bottle. It really seems as if it were bent or in the process of melting. There is an obscure gap between the dark and mysterious pumping images and the meditative and suggestive sound.
Dietmar Brehm (1947) belajar melukis di University of Fine Arts di Linz. Ia telah memproduksi gambar, cetak, karya fotografi, lukisan kanvas dan video. Dari tahun 1972 hingga 2012, ia merupakan profesor di University of Art and Design Linz. Karyanya telah dipamerkan di berbagai museum dan menerima berbagai penghargaan.
Dietmar Brehm (Austria)
�
184
Dietmar Brehm (1947) studied painting at the University of Fine Arts in Linz. He has produced drawings, prints, films, photographs, paintings on canvas, and videos. From 1972 to 2012 he was professor at the University of Art and Design Linz. His solo presentations were at various galleries and he received numerous prizes and awards.
SP 1 / 11 August, Kineforum, 19.00 / 21+
S.O.S. Extraterrestria
Country of production Austria Language No Dialogue 10 min, B/W, 1993
Sebuah imitasi Godzilla dalam perjalanan menuju ke dirinya sendiri: raksasa dari luar angkasa di jalanan sebuah kota, bermain-main, membuat onar, bersenggama dengan Menara Eiffel. Sebuah orkestra dari perasaan yang meluap, melodramatis, diganggu dengan suara kekanak-kanakan dan penggunaan kostum yang konyol, dalam tata rias yang juga konyol dan pertunjukan seni tubuh yang luar biasa. Makhluk luar angkasa terhuyung-huyung melewati malam dan kota, nampak seperti Mimi Minus dan, dengan tangannya, ia meraih manusia-manusia kecil yang diproyeksikan, sebagaimana monyet besar yang gila dari filem horor. Sinema perang dan malapetaka melihatnya dengan ternganga hingga sebuah kota mainan—yang mati-matian berusaha menjadi asli—akhirnya ambruk dengan sendirinya.
Mara Mattuschka
A Godzilla-imitation on the way to herself: the giantess from outer space in the streets of a big city, fooling around, producing destruction, copulating with the Eiffel Tower. An orchestra of big feelings, the melodrama, defamed in infantile sounds and absurd costume, in make-up-persiflage and grotesque bodyart-performances. E.T. staggers through the night & the City, looks like Mimi Minus and grabs little projected human beings with her hand, just like the huge infatuated monkey of the horror genre. And the cinema of war and catastrophies watches with an open mouth until a toy city – which desperately tries to be a real one – finally collapses laconically.
Mara Mattuschka (1959) merupakan pembuat filem, aktris, dan seniman visual keturunan Bulgaria. Ia mengambil studi Etnologi dan Linguistik di Universitas Wina pada tahun 1977-1990. Tahun 1990, ia lulus dari University of Applied Arts Vienna, jurusan Lukis dan Filem Animasi. Karya-karya Mara Mattuschka telah ditayangkan pada berbagai pameran dan festival internasional. Ia kini tinggal dan bekerja di Wina.
Mara Mattuschka (1959) is an awardwinning filmmaker, actress, and visual artist of Bulgarian origin. She studied Ethnology and Linguistics at the University of Vienna from 1977 to 1983. In 1990, she graduated from the University of Applied Arts Vienna, majoring in Painting and Animated Film. Mara Mattuschka´s extensive work has been shown at numerous exhibitions and international festivals. Mattuschka works and lives in Vienna.
(Austria)
�
185
SP 1 / 11 August, Kineforum, 19.00 / 21+
In the Mix
Country of production Austria Language No Dialogue 4 min, color, 2008
Gambar hitam-putih Jan Machacek yang berputar, membawa kita ke hari-hari sebelum efek khusus disempurnakan. Seniman performans-nya tak membutuhkan pemeran pengganti ataupun sebuah komputer untuk menentang gravitasi dan persepsi dalam videonya. Sebagaimana cara mesin pengaduk bekerja, Machacek tak berusaha menyembunyikan trik filem atau membuatnya tak terlihat.
Jan Machacek (Austria)
�
186
Jan Machacek´s spinning black-and-white pictures take us back to the days before special effects were perfected. The performance artist requires neither a stuntman nor a computer to defy gravity and perception in his video. Based on the way a mixer works, he makes no attempt to conceal the film tricks or make them invisible.
Jan Machacek (1975) mempelajari patung dan desain panggung di Wina dan Karlsruhe. Sejak 2001, ia telah mempresentasikan karya live video performans-nya. Dalam karya-karya tersebut, studio filem ia ubah menjadi panggung untuk performans. Penampil muncul sebagai juru kamera, sutradara, teknisi dan aktor di saat bersamaan. Ia memfilemkan dirinya dan memanipulasinya dengan tipuan optik di atas panggung yang ditransformasikan menjadi studio filem.
Jan Machacek (1975) studied sculpture and stage-design in Vienna and Karlsruhe. Since 2001 he has shown his ‘live-Video-Performances’. In these works, the film-studio is turned into a stage for performances. The performer appears as cameraman, director, technician and actor at the same time. He films himself in sections and manipulated by optical tricks on a stage that is transformed into a film-studio.
SP 1 / 11 August, Kineforum, 19.00 / 21+
A DAD
Country of production Austria Language English 11 min, color, 2016
Ketika Dada muncul sekitar seratus tahun lalu, perayaan akan “bermain” masuk ke ranah seni dengan cara yang radikal. Inilah yang diperlihatkan secara impresif oleh karya Cambrinus, yang menunjukkan kolase sebagai dasar teknik pemrosesan fenomena media kontemporer. Bahwa tiap dorongan kontemporer akan kebebasan atau perlawanan dibayangi oleh informasi atau raksaksa intelijen yang sangat kuat (Facebook, Apple, NSA) yang juga mengikis ideologi masa lalu (Komunisme, Nasional Sosialisme, “kebebasan” Barat).
When Dada came up about a hundred years ago, the celebration of “play“ entered the art in a radical way. And this is precisely what Cambrinus´ film impressively demonstrates, revealing the collage mode underlying techniques of processing contemporary media phenomena. That every contemporary impulse of freedom or resistance is overshadowed by powerful information or intelligence giants (Facebook, Apple, NSA) also rubs off on ideological blocs of the past (Communism, National Socialism, the “free” West).
Robert Cambrinus (1965) lahir di Wina. Ia mempelajari Media/Drama di London di East 15 (Universitas Essex), Penulisan Naskah di Akademi Film Munich (HFF) dan Manajemen Bisnis di Wina (Universitas Wina), Rotterdam (Universitas Erasmus) dan Cambridge (MIT). Ia mengabaikan karir bisnisnya untuk menjadi seorang aktor, sejak tahun 2005, ia menulis dan menyutradarai filemnya sendiri.
Robert Cambrinus (1965) was born in Vienna. He studied Media/ Drama in London at East 15 (Essex University), Script Writing at the Film Academy Munich (HFF) and Business Management in Vienna (WU), Rotterdam (Erasmus University) and Cambridge (MIT). He abandoned his business career to become an actor. Since 2005 he has been writing and directing his own films.
Robert Cambrinus (Austria)
�
187
SP 1 / 11 August, Kineforum, 19.00 / 21+
APNOE
Country of production Austria Language German Subtitle English 10 min, color, 2011
Pada permukaannya, Apnoe menggambarkan suatu hari dalam kehidupan sebuah keluarga. Namun demikian, sang protagonis mengalami kesulitan yang cukup besar dalam mengatasi kehidupan sehari-hari mereka. Dihadapkan pada situasi tanpa gravitasi, ansambel keluarga ini menjadi tak stabil dan strukturnya yang hirarkis mulai lenyap.
On the surface, Apnoe describes a day in the life of a family. Yet the protagonists have considerable difficulty in coping with their everyday life. Confronted with no gravity, the family ensemble becomes unstable and the hierarchical structure begins to dissolve.
Harald Hund (1967) mengambil studi media baru di Academy of Fine Arts di Wina bersama dengan Peter Kogler, di University of Applied Arts bersama dengan Isabelle Graw dan di kelas terbuka. Ia pernah berpartisipasi di berbagai pameran dan festival filem pendek internasional.
Harald Hund (Austria)
ďż˝ hund@haraldhund.com
188
Harald Hund (1967) studied new media at the Academy of Fine Arts in Vienna with Peter Kogler, at the University of Applied Arts with Isabelle Graw and in the open class. He has participated in various exhibitions and international short film festivals.
SP 1 / 11 August, Kineforum, 19.00 / 21+
Sunny Afternoon
Country of production Austria Language English 7 min, color, 2012
Permainan dengan waktu menjadi sebuah permainan dengan ekspektasi. Renolder menciptakan ekspektasi-ekspektasi ini dengan kesungguhan dan keahlian formalis seorang seniman avant-garde, hanya untuk meruntuhkan itu semua dengan rasa humor seseorang yang memperlihatkan bagaimana formalisme tersebut menjadi sebuah kesepakatan yang dapat diterima. Pembuat filem yang juga adalah komposer menjadi (nyanyian) komentator terhadap dirinya sendiri – dan terhadap sebuah komposisi yang menggunakan berbagai teknik dan asas, meskipun tidak untuk menundukkan dirinya pada teknik dan asas tersebut, tapi menggunakannya untuk menembus batasan dengan cara yang santai, batasan-batasan antara avant-garde dan pop, konkret dan abstrak, dan realitas yang telah dialami atau hanya diimajinasikan.
Thomas Renoldner
The game with time becomes a game with expectations. Renoldner creates these expectations with the appropriate earnestness and formal skill of an avant-garde artist, only to derail them with the sense of humor of someone who reveals a formal consequence to be an agreeable convention. The filmmaker-cumcomposer becomes a (singing) commentator on himself — and on a composition that makes use of various techniques and principles, though not to subject itself to them, but to use them for penetrating borders in a carefree manner, borders between avant-garde and pop, concrete and abstract, and reality that has been experienced or only imagined.
Thomas Renoldner (1960) lahir di Linz, Austria Hulu. Pada tahun 1979 hingga 1983, ia mengambil studi psikologi dan teori pendidikan di beberapa universitas di Innsbruck dan Salzburg. Pada tahun 1989 hingga 1994, ia mengambil studi lukis dan filem animasi di Academy of Applied Arts / Vienna. Sejak usia enambelas tahun, ia telah bekerja di bidang musik, lukis, filem, instalasi dan performans.
Thomas Renoldner (1960) was born in Linz, Upper Austria. In 1979-83, he studied psychology and educational theory at the universities in Innsbruck and Salzburg. In 1989-94, he studied painting and animation film at the Academy of Applied Arts / Vienna. Since the age of sixteen, he has worked in the areas of music, painting, film, installation and performance.
(Austria)
ďż˝
189
SP 1 / 11 August, Kineforum, 19.00 / 21+
Cinema isn’t I See, it’s I Fly
Country of production Austria Language Subtitles 1 min, color, 2013
Ella Raidel merupakan seniman video dan pembuat filem yang berasal dari Austria Hulu dan tinggal di Taiwan. Ia membuat intepretasi yang jenaka terhadap kutipan: “Sinema Bukan Saya Melihat, Melainkan Saya Terbang”, oleh Dziga Vertov dengan merujuk pada kelenturan lensa kamera, yang menciptakan sebuah persepsi yang berbeda tentang dunia. Pada trailer pendek ini, yang dibuat untuk sebuah festival filem, nada dering sebuah panggilan tak terjawab di sebuah toko barang rumah tangga melemparkan kita dari realita menuju perspektif yang luas dan terbuka seorang penerjun payung.
The Taiwan-based Upper Austrian video artist and filmmaker Ella Raidel has created a playful interpretation of the quotation: „Cinema Isn´t I See, It´s I Fly“, stated by Dziga Vertov with regard to the flexibility of camera lenses, which create a different perception of the world. In this brief trailer, made for a film festival, the ringtone of a missed call in a shop for household goods catapults us from reality into the airy perspective of a parachute jumper.
Ella Raidel (1970) lahir di Gmunden, Austria. Ia bekerja sebagai seniman video yang menggarap area irisan antara seni dan filem. Pada tahun 1989, ia mendapatkan gelar M.A. dan tahun 2009 ia meraih gelar Ph.D di Universitas Seni di Linz. Karyanya telah dihadirkan pada berbagai pameran dan festival video internasional di berbagai negara.
Ella Raidel (Austria)
�
190
Ella Raidel (1970) was born in Gmunden, Austria. She works as artist in the field of video at the cut surface of art and film. In 1989 she got her M.A. and in 2009 her Ph.D at the University of Art, Linz. She has presented her works in exhibitions and film/video festivals all over the world.
Tentang Penyaji About Host
Gerald Weber (Austria)
Gerald Weber (Wina, 1965) mengambil studi sejarah, geografi dan filsafat di Wina dan Barcelona. Sejak tahun 1997, ia telah terlibat aktif dalam sixpackfilm, sebuah organisasi distribusi nirlaba untuk filem dan karya video independen dari Austria dengan fokus pada sinema eksperimental dan dokumenter. Gerald juga terlibat dalam distribusi dan penjualan di festival, serta telah melakukan kurasi program pada berbagai festival filem dan acaraacara lainnya. Kadang kala, ia menulis tentang filem dan sinema.
Gerald Weber (Vienna, 1965) studied history, geography and philosophy in Vienna and Barcelona. Since 1997 he has engaged in sixpackfilm, a non-profit distribution organization for independent film and video from Austria with a strong focus on experimental and documentary cinema. Gerald is also involved in festival distribution and sales, as well curating numerous programs for film festivals and other venues. Occasionally he is writing on film and cinema.
sixpackfilm didirikan pada tahun 1990 sebagai sebuah organisasi nirlaba. Aktivitas sixpackfilm ialah memastikan jaringan audiens, baik di dalam maupun di luar negeri, untuk karya filem dan seni video Austria. Tujuan utama sixpackfilm ialah untuk menghubungkan produksi-produksi filem terkini dengan sebanyak mungkin festival internasional. sixpackfilem juga telah menyelenggarakan acara-acara khusus sejak awal, termasuk perencanaan dan penyelenggaraan retrospektif dan program dengan tema spesifik, tur produksi domestik di dalam dan luar negeri Austria, serta presentasipresentasi filem di Austria. Pada tahun 2004, sixpackfilm mendirikan DVD-Label INDEX bersama dengan Medienwerkstatt Wien untuk menerbitkan dan mendistribusikan karya audiovisual yang relevan dengan sejarah filem, video dan seni media Austria maupun internasional.
sixpackfilm was founded in 1990 as a non-profit organization. The task undertaken by sixpackfilm is to secure an audience for Austrian film and video art, both inside Austria and abroad. The primary purpose of our activities in this area is to connect current film productions with as many relevant international festivals as possible. sixpackfilm has also organized special events from the very beginning. This includes planning and setting up retrospectives and programs with specific themes, tours of domestic productions inside Austria and abroad, and presentations of international film art in Austria. In 2004 sixpackfilm founded the DVD-Label INDEX together with Medienwerkstatt Wien to release and distribute audiovisual publications relevant to the historiy of international and Austrian film, video and media art.
ďż˝ www.sixpackfilm.com gerald@sixpackfilm.com
ďż˝ www.sixpackfilm.com
191
s us uh k is a tne s e rp
SP 2
Program 1 CFMDC
Dunia-dunia Lain: “Queer” Film dari CFMDC dari 1975-1985 Ditulis oleh
Tess Takahashi
Antara tahun 1965 dan 1985, banyak karya queer yang masuk dalam koleksi CFMDC namun tidak menyebut dirinya dengan [istilah] itu. Ketimbang menganggap “queer” sebagai sebuah kata benda yang menandakan identitas, baik terkait seseorang maupun sebuah filem, saya memahaminya di sini sebagai sebuah bentuk kata kerja—”to queer”—sebuah bentuk yang menyarankan queerness sebagai sebuah praktik atau cara membaca yang mencoba untuk menggeser persepsi kita tentang dunia.1 Seperti yang ditulis oleh Jose Muñoz mengenai kekuatan dari keakanan queer, “queerness pada dasarnya adalah tentang sebuah penolakan terhadap konsep yang kini dan yang di sini, serta sebuah desakan akan kemampuan atau kemungkinan yang konkret bagi dunia lain.”2 Para pembuat filem dalam program ini justru sering melakukan [praktik] itu—menggeser cara-cara tempat kita membuat dunia untuk diri kita sendiri di ruang-ruang tertentu, bahkan ketika mereka berkomentar tentang kondisi sosial yang mengelilingi mereka. Metamorphosis (1975, 10:30min) milik Barry Greenwald digambarkan sebagai “sebuah perumpamaan satiris tentang non-konformitas dan perjuangan kompetitif meraih kekuasaan,”3 tetapi dapat dibaca sebagai sebuah ekspresi kebebasan pribadi di dalam ruang perantara dan transisi dari sebuah elevator. Meskipun bukan sebuah filem queer secara eksplisit, Metamorphosis
1. Istilah “queer” memiliki sejarah yang panjang, yang dapat dieksplorasi dalam karya sejumlah sarjana studi queer. 2. Munoz, Jose. Cruising Utopia: The There and Then of Queer Futurity. NYU Press, 2009. hal. 1 3. Metamorphosis, Canadian Filmmakers Distribution Centre, diakses pada tanggal 2 Mei 2018. http://www.cfmdc.org/ film/790.
192
bergerak ke arah usaha yang diperlukan untuk menjaga dan menahan konstruksi diri rahasia yang secara eksplisit menantang norma-norma kemasyarakatan. Ten Cents a Dance (Parallax) milik Midi Onodera adalah karya layar ganda yang menyejajarkan tiga pasangan saat mereka menegosiasikan pengendalian diri dan koneksi terhadap satu sama lain di berbagai ruang semiprivat: restoran, toilet umum, dan obrolan telepon. Berkaca pada judul filem dan menggeser hubungan formal dan seksual, Onodera menulis bahwa istilah “paralaks adalah perubahan semu dalam posisi sebuah objek yang dihasilkan dari perubahan arah atau posisi pemandang.�4 Karya-karya dokumenter dari Janice Cole dan Holly Dale mulai dari pertengahan 1970-an sampai dengan pertengahan 1980-an tidak secara eksplisit tentang queerness sebagai sebuah identitas, tetapi lebih kepada orangorang yang mereka tampilkan yang kebetulan adalah queer. P4W: Prison For Women (1981, 16mm, 82m) berfokus pada kehidupan, cinta, dan persahabatan lima perempuan di sebuah penjara perempuan di Kingston, Ontario, pada awal 1980-an. Termasuk perpisahan mereka yang sering kali berlangsung dalam waktu yang lama dari anak-anak, kekasih, dan anggota keluarga mereka yang lainnya. Namun, mungkin kisah P4W yang paling menyedihkan adalah tentang perpisahan yang akan terjadi antara dua narapidana perempuan, yang satu dihukum puluhan tahun penjara dan yang satu lagi akan segera dibebaskan dalam waktu beberapa minggu.
Tentang Penulis: Tess Takahashi adalah seorang sarjana, penulis, dan pemrogram yang berbasis di Toronto yang memfokuskan diri pada seni gambar bergerak eksperimental. Saat ini ia sedang mengerjakan dua buku, Impure Film: Medium Specificity and the North American Avant-Garde (1968-2008), yang meneliti karya-karya seniman dengan media baru secara historis, dan Magnitude, yang meninjau karya seniman dengan latar belakang Big Data dan visualisasi data. Ia adalah anggota dari Ad Hoc kolektif pemrograman media eksperimental dan kolektif editorial untuk Camera Obscura: Feminism, Culture, and Media. Tulisan Takahashi telah diterbitkan di sana juga di Cinema Journal, the Millennium Film Journal, Animation, MIRAGE, dan Cinema Scope.
4.  Ten Cents a Dance (Parallax), Canadian Filmmakers Distribution Centre, diakses pada tanggal 16 April 2018. http://www. cfmdc.org/film/1295.
193
noi ta tne s erp l a ic e ps
SP 2
CFMDC Program 1
Other Worlds: “Queer” Film from the CFMDC from 1975-1985 Written by
Tess Takahashi
Between 1965 and 1985, much of the queer works that found its way into the CFMDC’s collection would not have called itself that [term]. Rather than take “queer” as a noun that designates the identity of either a person or a film, I understand it here as a verb form – “to queer” – a form that suggests queerness as a practice or mode of reading that attempts to shift our perception of the world.1 As Jose Muñoz writes regarding the power of queer futurity, “queerness is essentially about the rejection of a here and now and an insistence on potentiality or concrete possibility for another world.”2 The filmmakers in this program were often doing exactly that [practice] – shifting the ways in which we make worlds for ourselves in particular spaces, even as they comment on the social conditions that surround them. Barry Greenwald’s Metamorphosis (1975) has been described as “a satiric parable on non-conformity and the rat race,”3 but can be read as an expression of personal freedom within the liminal, in-between space of the elevator. While not an explicitly queer film, Metamorphosis gestures towards the labour needed to maintain and contain a secret construction of self that explicitly challenges societal norms. Midi Onodera’s Ten Cents a Dance (Parallax) is a double-screen work that juxtaposes three couples as they negotiate self-containment and connection to one another in a variety of semi-private spaces: the restaurant, the public
1. The term “queer” has a long history, which one might explore in the work of any number of queer studies scholars. 2. Munoz, Jose. Cruising Utopia: The There and Then of Queer Futurity. NYU Press, 2009. p. 1. 3. Metamorphosis, Canadian Filmmakers Distribution Centre, accessed May 2, 2018. http://www.cfmdc.org/film/790.
194
restroom, and the telephone chatline. Reflecting on the film’s title and shifting formal and sexual relationships, Onodera writes that the term “parallax is the apparent change in position of an object resulting from the change in direction or position from which it is viewed.”4 Janice Cole and Holly Dale’s documentary works from the mid-1970s through mid-1980s are not explicitly about queerness as identity; rather the people who they feature happen to be queer. P4W: Prison For Women (1981, 16mm, 82m) focuses on the lives, loves, and friendships of five women in a prison for women in Kingston, Ontario, in the early 1980s. These include their often-long separation from their children, lovers, and other family members. However, perhaps P4W’s most poignant story follows the impending separation of two female inmates, one sentenced to decades behind bars and the other due to be released within weeks.
About the Author: Tess Takahashi is a Toronto-based scholar, writer, and programmer who focuses on experimental moving image arts. She is currently working on two books, Impure Film: Medium Specificity and the North American Avant-Garde (1968-2008), which examines artists’ work with historically new media, and Magnitude, which considers artists’ work against the backdrop of Big Data and data visualization. She is a member of the experimental media programming collective Ad Hoc and the editorial collective for Camera Obscura: Feminism, Culture, and Media. Takahashi’s writing has been published there as well as in Cinema Journal, the Millennium Film Journal, Animation, MIRAGE, and Cinema Scope.
4. Ten Cents a Dance (Parallax), Canadian Filmmakers Distribution Centre, accessed on April 16, 2018.http://www.cfmdc.org/ film/1295.
195
SP 2 / 10 August, Kineforum, 19.00 / 21+
Metamorphosis
Country of production Canada Language Subtitle 11 min, 1975
Sebuah perumpamaan satiris akan nonkonformitas dan keterjeratan kerja. Menantang diri dimulai dengan proses melepas dan mengenakan pakaian selama rentang waktu sembilan lantai turunnya elevator, seorang pria mengkonstruksi kerja-kerja yang kian rumit untuk menampilkan diri di saat yang bersamaan. Rahasia hidupnya yang komikal mengubah eksistensinya dari banal menjadi limbo. Filem ini menggunakan teknik pixilasi—salah satu jenis teknik stop-motion— secara ekstensif.
Barry Greenwald (Canada)
�
196
A satiric parable on non-conformity and the rat race. Meeting self-imposed challenges that begin with undressing and dressing in the time it takes for his elevator to descend nine floors, a man develops increasingly complex tasks to perform in the same period. His comical secret life transforms his existence from banality to oblivion. The film makes extensive use of pixilation techniques.
Barry Greenwald merupakan pembuat filem dokumenter independen yang lahir dan dibesarkan di Toronto. Ia membuat filem pertamanya, sebuah filem pendek 16mm, pada usia 16 tahun. Sejak itu ia telah menyutradarai dua belas filem dokumenter dan filem pendek. Greenwald lulus dari program filem di Conestoga College di Kitchener, Ontario pada akhir 1970-an. Ia adalah anggota pendiri Canadian Independent Film Causus (CIFC), grup advokasi pembuat filem dokumenter Kanada, dan telah bekerja secara ekstensif dengan NFB.
Barry Greenwald is an independent documentary filmmaker born and raised in Toronto. He made his first film, a 16mm short, at the age of 16. Since then he has directed twelve documentary and short films. Greenwald graduated from the film program at Conestoga College in Kitchener, Ontario in the late 1970s. He is a founding member of the Canadian Independent Film Causus (CIFC), a Canadian documentary filmmakers’ advocacy group, and has worked extensively with the NFB.
SP 2 / 10 August, Kineforum, 19.00 / 21+
Ten Cents a Dance (Parallax)
Country of production Canada Language Subtitle 28 min, 1985
Filem ini menggunakan bentuk dengan cara yang sederhana namun efektif. Subjek persoalannya—seksualitas dan komunikasi— mencapai kedalaman dan ketajaman melalui pilihan sang seniman untuk mengambil tiga buah adegan yang diproyeksikan dalam konfigurasi layar ganda, menyediakan sebuah solusi yang elegan untuk mengatasi potensi kesensasionalan subjek persoalan. Pemisahan yang dilakukan oleh kedua layar tersebut terhadap tampilan filem membangkitkan rasa kesendirian yang merupakan pengalaman umum semua manusia dan ruang-ruang yang ingin kita jembatani. ‘Parallax’ sendiri merupakan sebuah istilah yang merujuk pada kenampakan perubahan pada posisi sebuah objek yang dihasilkan dari perubahan arah atau posisi dari mana ia dilihat.
Midi Onodera (Canada)
The film employs formal devices in a manner which is simple yet effective. Its subject matter - sexuality and communication - gains depth and poignancy through the artist’s decision to shoot the film’s three scenes for projection in a double-screen configuration, providing an elegant solution to deal with potentially sensationalist subject matter. The separation which the two screens impose on the film’s viewing evokes the aloneness which is the common experience of all human beings and the spaces we hope to bridge. ‘Parallax’ itself is a term referring to the the apparent change in position of an object resulting from the change in direction or position from which it is viewed.
Midi Onodera merupakan pembuat filem dan seniman yang telah memproduksi karya filem dan video, mulai dari medium 16 mm, video digital, hingga kamera mainan, selama lebih dari 35 tahun. Karyanya terkait erat dengan pengalamannya sebagai seorang feminis dan lesbian keturunan Jepang-Kanada. Sejak tahun 2006, ia membuat sebuah proyek video setiap tahun yang mendiskusikan isu media, bahasa, politik, dan keseharian.
Midi Onodera is an award-winning filmmaker and media artist who has been making films and videos, from 16mm film, digital video to toy camera formats, for over 35 years. Her work is laced with markers of her experiences as a feminist, lesbian, JapaneseCanadian woman. Since 2006, she has released a video project every year, addressing themes of language, media, politics and everyday life.
� www.midionodera.com www.vidoodles.com
197
SP 2 / 10 August, Kineforum, 19.00 / 21+
P4W: Prison for Women
Country of production Canada Language Subtitle 82 min, 1981
Filem ini berfokus pada lima orang perempuan. Ceritanya, hubungannya dan kehidupannya di penjara. Para tahanan ini mengungkapkan keterasingan mereka sebagai ibu, kekasih, kawan, dan sesama tahanan di dalam satusatunya penjara untuk perempuan di Kanada yang berlokasi di Kingston, Ontario.
The film centers on five women; their stories, their relationships, and their lives in prison. Inmates reveal their isolation as mothers, lovers, friends, and fellow inmates inside Canada’s only Prison for Women at Kingston, Ontario.
Holly Dale dan rekan setianya – Janis Cole – telah menyutradarai berbagai filem selama 20 tahun. Mereka merupakan penerima berbagai penghargaan dalam bidang filem dan seni media. Karya-karya mereka telah hadir pada berbagai festival di dunia dan juga meraih berbagai penghargaan internasional.
Janice Cole and Holly Dale (Canada)
�
198
Holly Dale and her long-time film partner – Janis Cole – have been film directors for more than 20 years. They are recipients of various awards regarding film and media art. Their films have been in major film festivals around the world and also won numerous awards.
s us uh k is a tne s e rp
SP 2
Program 2 CFMDC
Exposure to the Elements Lauren Howes Kurator
CFMDC menyajikan sebuah program film-film yang secara tematis melintasi kedua elemen lingkungan hidup kita dengan alkimia dari pembuatan film. Gagasan tentang bentang laut yang luas dan kekuatan air sebagai ekspresi emosi manusia mendominasi karakter program ini. Penggunaan seluloid yang bervariasi dan perlakuan terhadap elemen-elemen untuk menghasilkan berbagai estetika filmis mendukung motif menyeluruh ini. Barbara Sternberg, memiliki karier yang produktif dan merupakan salah satu pembuat film eksperimental paling terkenal di Kanada yang kariernya terentang selama empat dekade pembuatan film. The Earth in The Sea meletakkan fondasi bagi premis kuratorial Exposure to the Elements. Direkam menggunakan Super 8 dan dipindahkan ke dalam sebuah bentuk digital yang menangkap tekstur kasar medium, ia menggunakan citraan – baik abstrak maupun terdeskripsikan – yang menggambarkan empat elemen utama yaitu air, tanah, udara, dan api untuk menunjukkan kepada kita “kesalingterkaitan segala sesuatu”. Jeane Castrillon membawakan lagu ini untuk mengekspresikan dukacita bagi orang-orang tercinta yang telah pergi dengan Sum (Heart) “…Saya menempatkan semua kesedihan, doa, dan harapan saya ke dalam trilogi ini sementara masih merindukan kehadiran mereka. Menatap langit, air dan tanah, film ini bertanya-tanya apakah mungkin mereka masih bersama saya.“1
1. Catatan editor: Kutipan ini mengacu pada sinopsis Sum (Heart) yang dapat diakses di situs web Canadian Filmmakers Distribution Centre http://www.cfmdc.org/film/4470.
199
Program ini didedikasikan sebagai memori bagi Josephine Masarella, yang pergi terlalu cepat pada bulan Juni 2018 dan diratapi oleh seluruh komunitas film eksperimental di Toronto - dan di luar komunitas tersebut. 165708-nya yang memesona adalah film terakhirnya dan telah menerima banyak penghargaan di mana pun film itu diputar, termasuk film pendek eksperimental terbaik pada Ann Arbor Festival di tahun 2018. Intervensinya dengan seluloid sangat ekstensif dalam filmnya, ia menggambarkan teknik yang digunakannya untuk menciptakan sebuah struktur dan irama, dalam kamera bingkai tunggal dalam pengambilan gambar, dalam manipulasi kimianya dalam proses pengembangan, dan tangan yang terampil pada pencetakan optik, menghasilkan sebuah pengalaman menonton yang memukau. Kekuatan duniawi dari air dan gravitasi bersatu untuk menciptakan Flash Flood, dalam karya yang diberi judul demikian oleh Alli Mackay. Mereka menggunakan wawancara untuk membahas nuansa gender dan identitas, yang disusun ke dalam berbagai animasi dari seniman-seniman transgender. Animasi-animasi tersebut ceria, dan metaforanya dengan mahir menyatakan gagasan “fluiditas� dalam spektrum identitas, sementara pada saat yang sama menggambarkan gravitasi kehidupan yang dijalani, yang menantang konsepkonsep biner gender kita. Sepanjang lintasan itu, dari sudut pandang trauma yang tak terlihat, optimisme yang menyembunyikan apa yang mengintai di bawahnya, kekuatan air yang naik atau mematikan, kemampuan manusia kita untuk salah membaca, salah menilai, atau memilih untuk melihat sebuah situasi dari satu perspektif, dan kedalaman dampak dari kedekatan emosional, adalah baris-baris yang memilukan yang hadir sepanjang Not Waving But Drowning karya Lyndsay McIntyre. Sebuah karya pertunjukan oleh Sojin Chun, Aturquesada menuntun kita melalui sebuah pengalaman kebrutalan yang merupakan paparan terhadap elemen-elemen kejam musim dingin di Kanada pada tubuh dan pikiran kita. Melintasi spektrum kekerasan dan rasa sakit yang kita sebagai manusia perjuangkan untuk dilawan, dengan latar belakang musim dingin, sang artis melukis layar dengan citraan kematian kita oleh kematian “tealquoise�. Melanjutkan paparan musiman terhadap elemen-elemen di seluruh bentang laut yang penuh dengan es pada musim dingin di Kanada adalah jangkar program ini, Pierre Radisson: Fjord and Gulf, oleh Ben Donoghue. 200
Film dokumenter panjang ini adalah sebuah esai pengamatan dari atas dek kapal pemecah es yang namanya diambil dari nama penjelajah abad ke-18, Pierre Radisson, yang merupakan seorang penjelajah Perancis yang diketahui bekerja bersama orang-orang Inggris bukannya menentang mereka. Penamaan kapal yang jitu, dan penggunaan 16mm oleh Ben dalam pembuatan film untuk pengamatan interior kehidupan di laut, maupun untuk lanskap yang luas berujung pada sebuah komentar bersahaja yang dibuat dengan indah. Membuat referensi halus bagi sejarah politik Kanada, lingkungan kita dalam hubungannya dengan perubahan iklim, tenaga kerja dan jejak industri dalam konteks-konteks ini, sambil memamerkan keindahan daerah Utara yang membeku, adalah langkah-langkah yang dijalankan dengan sempurna untuk suhu di bawah nol dan sinematografi yang melonjak. Mengikuti Pierre Radisson adalah film klasik gembira pendek tahun 1967 oleh Joyce Wieland, Sailboat. Film ini, yang dibuat 50 tahun yang lalu di Danau Ontario pada tahun yang sama CFMDC didirikan, adalah film yang abadi. Pencetakan dan perulangan optiknya memberi penonton perasaan tak terbatas seolah-olah perahu bisa mengapung di layar selamanya, dan seperti yang dijelaskan Wieland: “Film Sailboat kecil ini akan berlayar langsung menembus gerbang Anda dan ke dalam hati Anda.”2 Dan demikian pula The Occupant, oleh Elise Simard. Sebuah animasi yang refleksif dari roh-roh kita yang mengembara, rasa penemuan kita, dan makna eksistensial, film ini menggenapkan program menjadi lingkaran penuh, “semakin jauh Anda pergi, semakin dekat Anda ke rumah, jika Anda terus bergerak tentunya....”3
2. Catatan editor: Kutipan ditulis sebagai bagian dari sinopsis Sailboat di situs web Canadian Filmmakers Distribution Centre dan dapat diakses di http://www.cfmdc.org/film/1117. 3. Catatan editor: Kutipan ini mengacu pada sinopsis The Occupant yang dapat diakses di situs web Canadian Filmmakers Distribution Centre http://www.cfmdc.org/film/3134.
201
noi ta tne s erp l a ic e ps
SP 2
CFMDC Program 2
Exposure to The Elements Lauren Howes Curator
CFMDC presents a program of films that thematically traverse both the elements of our lived environment with the alchemy of filmmaking. The notion of expansive seascapes and the power of water, as expressions of human emotion dominate the tone of the program. The varying uses of celluloid and the treatment of the elements to produce a range of filmic aesthetics support this overarching motif. Barbara Sternberg, has a prolific career and is one of Canada’s most celebrated experimental filmmakers spanning four decades of filmmaking. The Earth in The Sea lays the foundation for the curatorial premise of Exposure to the Elements. Shot on Super 8 and migrated to a digital form that captures the grainy texture of the medium, she uses imagery – both abstract and defined – that portray the four key elements of water, earth, air and fire to show us “the interrelatedness of everything”. Jeane Castrillon carries this anthem to express mourning for loved ones who have passed with Sum (Heart) “…I put all my sadness, prayers and hope into this trilogy while still aching for their presence. Looking at the sky, the water and the land, the film wonders if maybe they are still with me.“1 The program is dedicated as a memoriam to Josephine Masarella, who’s untimely passing in June 2018 and was mourned across the experimental film community in Toronto – and beyond. Her stunning 165708 was her last film
1. Editor’s note: This quote referes to the synopsis of Sum (Heart) that can be accessed on the website of Canadian Filmmakers Distribution Centre http://www.cfmdc.org/film/4470.
202
and has received many accolades wherever it has screened, including best experimental short at Ann Arbor Festival in 2018. Her interventions with celluloid are extensive in her film, she describes the techniques she employs to create a structure and rhythm, in camera single frames in the shooting, in her manipulation of the chemistry in the development process, and a skillful hand at optically printing, resulting in a mesmerizing viewing experience. The worldly force of water and gravity comes together to create Flash Flood, in the so named piece by Alli Mackay. They use interviews to discuss the nuances of gender and identity, set to a variety of animations from transgendered artists. The animations are playful, and the metaphor adeptly states the notion of “fluidity” in the spectrum of identities, while at the same time describing the gravity of lives lived, that challenge our binary concepts of gender. Along that trajectory, from the perspective of unseen trauma, optimism that hides what lurks below, the power of water to be buoyant or deadly, our human ability to misread, misjudge, or choose to look at a situation from one perspective, and the deep impact of emotional proximities, are the poignant lines that run through Lyndsay McIntyre’s Not Waving But Drowning. A performance piece by Sojin Chun, Aturquesada leads us through an experience of the brutality that exposure to the harsh elements of winter in Canada on our bodies and minds. Crossing the spectrum of violence and pain that we humans contend with, in the backdrop of winter, the artist paints the screen with imagery of our mortality by “tealquoise” death. Carrying on with the seasonal exposure to the elements across the icy seascapes of Canadian winter is the anchor to this program of Pierre Radisson: Fjord and Gulf, by Ben Donoghue. This long form documentary piece is an observatory essay from the decks of the icebreaker named for the 18th century explorer Pierre Radisson who was a French explorer known to have worked alongside the English rather than against. The aptly named ship, and Ben’s filming on 16mm of both the interior observation of life at sea, as well as the expansive landscapes culminate in a beautifully understated commentary. Making subtle references to the political history of Canada, our environment in relationship to climate change, labour and the industrial footprint in these contexts, while exposing the beauty of the frozen North, are perfectly paced for sub-zero temperatures and soaring cinematography.
203
Following Pierre Radisson is the 1967 short playful classic by Joyce Wieland, Sailboat. This film, shot 50 years ago at Lake Ontario in the same year CFMDC was founded, is timeless. The optical printing and looping gives the viewer the feeling of infinity as if the boat could float across the screen forever, and as Wieland described: “This little Sailboat film will sail right through your gate and into your heart.”2 And so too will The Occupant, by Elise Simard. An animation that is reflexive of our wandering spirits, our sense of discovery, and existential meaning, this film brings the program full circle, “the further away you go, the closer to home you get, if you keep on moving that is….”3
2. Editor’s note: The quote was written as part of Sailboat’s synopsis in the website of Canadian Filmmakers Distribution Centre and is accessible at http://www.cfmdc.org/film/1117. 3. Editor’s note: This quote referes to the synopsis of The Occupant that can be accessed on the website of Canadian Filmmakers Distribution Centre http://www.cfmdc.org/film/3134.
204
SP 2 / 11 August, Kineforum, 13.00 / 21+
The Earth In The Sea
Country of production Canada Language Subtitle 7 min 45 sec, 2017
Divideokan dari rekaman super 8 yang diproyeksikan, filem pendek empat bagian ini (yang judulnya berasal dari karya Antonin Artaud: The Earth in The Sea, The Air in The Earth, The Fire in The Water, The Water in The Air) cenderung menunjukkan, pada level tertentu, keterkaitan akan segalanya. Berpori, berair, butiran atom eksistensi, energi tanpa akhir yang berubah-ubah, berdenyut, berdebar, membara, memburam, menjernih, mengaburkan, menyingkapkan—fana.
Barbara Sternberg (Canada)
Videoed off projected super 8 footage, this short film in four parts (titles from the work of Antonin Artaud: The Earth in The Sea, The Air in The Earth, The Fire in The Water, The Water in The Air) is suggestive of, on some level, the interrelatedness of everything. Porous, fleshy, granular atoms of existence, mutable unending energy, pulsing, beating, burning, blurring, clarifying, obscuring, revealing - fleeting.
Barbara Sternberg telah membuat filem sejak tahun 70-an. Karyakaryanya telah ditampilkan di berbagai acara dan pameran. Ia pernah mengajar di Universitas York, menulis kolom “On (Experimental) Film” untuk Cinema Canada, penyelenggara Kongres Filem Experimental Internasional (1989) dan merupakan salah seorang pendiri Pleasure Dome Artists’ Film Exhibition Group dan AfFA (Artists for Film Art). Ia juga berkarya pada media lainnya, termasuk video, performans, dan instalasi.
Barbara Sternberg has been making films since the mid-seventies. Her works have been screened widely and also featured in various exhibitions. She taught at York University, wrote the column “On (Experimental) Film” for Cinema Canada, was the International Experimental Film Congress’ organizer (1989) and is a founding member of Pleasure Dome Artists’ Film Exhibition Group and AfFA (Artists for Film Art). She works in other media, including video, performance and installation.
� www.barbarasternberg.com
205
SP 2 / 11 August, Kineforum, 13.00 / 21+
Sum (Heart)
Country of production Canada Language Subtitle English 2 min 27 sec, color, 2016
Sementara karya-karya Jaene mencakup media analog dan digital, ia juga terbuka pada praktik-praktik menggunakan media lain yang mendukung kerja advokasinya terkait masalah kemiskinan dan trauma. Sum (Heart) dibuat dengan menggunakan iphone 5s milik Jeane untuk mengambil gambar dan audio. Dengan ini, ia hendak menunjukkan kekuatan dari aksi menangkap sebuah momen bahkan jika dilakukan hanya dengan sebuah ponsel. Berbasiskan ide Zen Buddhisme dan mengikuti akar 7 ajaran Kakek, Sum (Heart) merupakan sebuah kontemplasi akan kematian, duka, dan pelepasan.
Jaene Castrillon (Canada)
ďż˝
206
While Jaene’s work spans analogue and digital, she has a dedicated practice of using accessible media that compliments her advocacy work around poverty and trauma. Sum (Heart) was made with Jaene’s iphone 5S for both audio and visual collection. She hopes to show the power of capturing a moment even with only a mobile phone. Based on ideas of Zen Buddhism and rooted in the 7 Grandfather teachings, Sum (Heart) is a rumination on death, grief and letting go.
Jaene F. Castrillon merupakan pembuat filem berbasis kajian interdisipliner (sastra, media, visual, performans) yang mengeksplorasi hubungannya terhadap dunia melalui berbagai ajaran spiritual dan kebijaksanaan bumi. Praktik keseniannya mengombinasikan seni, aktivisme, dan spiritualitas untuk membuka sebuah dialog terkait prasangka-prasangka akan yang sakit dan yang sehat.
Jaene F. Castrillon is a film based interdisciplinary (literary, media, visual, performance) artist that explores her relationship to the world through various spiritual teachings and the wisdom of the land. Her art practices combine art, activism and spirituality to open a dialogue on preconceived notions of wellness and illness.
SP 2 / 11 August, Kineforum, 13.00 / 21+
165708
Country of production Canada Language Subtitle 6 min 51 sec, color, 2017
Diproduksi melalui teknik single-frame photography medium filem 16mm hitamputih, 165708 menggunakan teknik kamera dan filem yang diproses secara kimiawi untuk menghasilkan sebuah studi eidetik dari elastisitas yang temporal. Mengeksplorasi kapasitas medium untuk mengekspresikan berbagai gagasan tentang waktu, filem ini dimulai dengan seorang perempuan yang memandang jauh dari bibir pantai. Aksi ini menjadi titik tolak untuk membedakan, tetapi juga menghubungkan, sekuens yang mendesak penonton untuk terlibat dalam sebuah penyelidikan dan pengalaman yang unik secara struktural.
Shot entirely in 16mm black-and-white film using single-frame photography, 165708 employs in-camera techniques and chemical manipulation of processed film to produce an eidetic study of temporal elasticity. Exploring the capacity of the medium to express various notions of time, the film begins with a woman looking out from the shoreline. This acts as a point of departure to disparate yet interconnected sequences which prompt the viewer to engage in a structurally unique mode of inquiry and experience.
Josephine Massarella merupakan sutradara independen yang tinggal dan bekerja di Hamilton, Ontario, menggunakan filem 16mm sebagai medium utama dalam berkarya. Filem-filemnya telah ditayangkan di berbagai festival di dunia dan meraih berbagai penghargaan. Ia juga mengajar kelas pengantar pembuatan filem dan studi sinema. Ia meninggal dunia pada 22 Juni 2018.
Josephine Massarella was an independent filmmaker based in Hamilton, Ontario, who worked primarily in 16mm film. Her films have been screened at festivals worldwide and won numerous awards. She also taught introductory filmmaking and cinema studies. She passed away in June 22, 2018.
Josephine Massarella (Canada)
ďż˝
207
SP 2 / 11 August, Kineforum, 13.00 / 21+
Flash Flood
Country of production Canada Language Subtitle 6 min, color, 2017
Jauh di dalam relung sebuah mimpi, sebuah banjir dahsyat menyapu seluruh permukaan bumi, dan menyingkap tiga perspektif unik akan gender dan identitas. Filem ini digerakkan oleh seniman transgender dan animator dari seluruh penjuru dunia.
Alli MacKay (Canada)
ďż˝ alli.kat.mackay@gmail.com
208
Deep within a dream, a cataclysmic flood washes over the planet, and reveals three unique perspectives on gender and identity. The film is animated by volunteer transgender artists and animators from across the globe.
Alli Mackay telah menjadi seorang animator dan pembuat filem sejak usia 10 tahun. Di 2018, ia menyelesaikan studinya di Emily Carr University of Art and Design, jurusan Film & Integrated Media. Ia kerap menggunakan animasi untuk membicarakan topik-topik seputar identitas gender, introversi dan masalah kejiwaan. Selain bekerja dengan animasi, ia juga bekerja dengan medium 16 mm dan video digital.
Alli Mackay has been working as an independent animator and filmmaker since age 10. In 2018, he completed his BFA at Emily Carr University of Art and Design, majoring in Film &Â Integrated Media. He often uses animation to approach topics about gender identity, introversion, and mental illness. Aside of working with animation, he also works with 16mm film and digital video.
SP 2 / 11 August, Kineforum, 13.00 / 21+
Not Waving But Drowning
Country of production Canada Language English Subtitle 7 min 28 sec, color & B/W, 2005
Seumur hidup aku begitu aneh dan aku tak sedang melambaikan tangan, aku sedang tenggelam.
Lindsay McIntyre
I was too far out all my life and not waving, but drowning.
Lindsay McIntyre merupakan seorang seniman dan pembuat filem dari Edmonton, Alberta. Ia menyelesaikan Masternya pda jurusan Produksi Film di Universitas Concordia di Montreal dan meraih gelar sarjana dalam jurusan gambar dan lukis dari Universitas Alberta. Ia juga pernah melakukan studi di Kent Institute of Art and Design di Inggris dan di New School di New York. Ia bekerja terutama dengan filem analog.
Lindsay McIntyre is a film artist and creator from Edmonton, Alberta. She completed an MFA degree in Film Production at Concordia University in Montreal and also holds a BFA in drawing and painting from the University of Alberta. She has also studied at the Kent Institute of Art and Design in England and at the New School in New York. She works primarily with analogue film.
(Canada)
ďż˝ email.linds@gmail.com
209
SP 2 / 11 August, Kineforum, 13.00 / 21+
Aturquesada
Country of production Canada Language Subtitle 2 min 40 sec, color, 2015
Aturquesada merupakan sebuah proyek performans yang bermain-main dengan warna tealquoise, sebuah kata yang ditemukan sang seniman untuk menyatakan warna kehijauan yang ada di antara warna pirus (turquoise) dan warna teal. Performans ini dilakukan di lanskap bersalju ala musim dingin Kanada. Kebrutalan terhadap karakter utama dalam filem dan kematiannya terasa begitu tak masuk akal dan menggelikan. Kematian simbolis oleh tealquoise juga merupakan bagian terbesar dari karya ini yang menyertakan pula keberadaan obyek lukisan dengan warna yang sama dan berbagai performans berbasis video yang memperlihatkan sang seniman menjual obyekobyek berwarna tealquoise di jalanan dimana aktivitas ekonomi informal berlangsung.
SoJin Chun (Canada)
ďż˝
210
Aturquesada is a performance-based project playing with the colour tealquoise, a word coined by the artist to describe a greenish colour that exists in between turquoise and teal. This performance takes place in a snowy landscape that is typical during Canadian winters. The violence inflicted upon the main character and her demise is absurd and humorous. This symbolic death by tealquoise is also part of a larger body of work that includes objects painted in the same colour and various performance-based videos in which the artist sells tealquoise objects on the streets where informal economic activities occur.
SoJin Chun merupakan seorang seniman Toronto yang bekerja dengan filem, video dan instalasi. Melalui residensi di Serbia, Brazil dan Taiwan, ia kemudian mengembangkan cara bercerita yang tak biasa untuk menguraikan realitas sosial suatu tempat. Ia telah berpartisipasi dalam berbagai pameran dan festival video internasional. Ia meraih gelar sarjana di Universitas Ryerson dan gelar master di jurusan Komunikasi dan Kultur dari Universitas Ryerson/ York.
SoJin Chun is a Toronto-based artist working in film, video and installation. Through artist residencies in Serbia, Bolivia, Brazil and Taiwan, she has developed a whimsical style of storytelling to unravel the social realities of a place. She has participated in various international video screening and exhibitions. She earned a B.A. from Ryerson University and a Masters in Communications and Culture from Ryerson/York Universities.
SP 2 / 11 August, Kineforum, 13.00 / 21+
Pierre Radisson: Fjord and Gulf
Country of production Canada Language Subtitle 80 min, color & B/W, 2017
Pierre Radisson - Fjord and Gulf menghadirkan keseharian dan lingkungan dari Penjaga Pantai dan Pemecah Es Kanada (CCGS) yang menjadi sumber inspirasi judulnya. Sebuah arsitektur angkatan laut tahun 1970-an disajikan bersama aktivitas para awak, yang teramati saat kehidupan kapal terbentangkan. CCGS Pierre Radisson, dinamai sesuai dengan nama pendiri perusahaan Hudson’s Bay Company, memiliki peran penting dalam kehidupan ekonomi Kanada namun kerap kali tak diketahui atau luput dari perhatian orang-orang Kanada. Ketika es musim dingin dan musim panas pada jalur ekspedisi Kanada dipengaruhi oleh perubahan iklim, pekerjaan armada pemecah es Kanada berubah, sejalan dengan perubahan sosial dan lingkungan yang lebih luas.
Ben Donoghue
Pierre Radisson - Fjord and Gulf presents the daily activity and environment of its eponymous Canadian Coast Guard Icebreaker. A 1970s naval architecture is presented alongside the activity of the crew, observed as shipboard life unfolds. The CCGS Pierre Radisson, named after a founder of the colonial enterprise the Hudson’s Bay Company, plays a crucial role in the economic life of the nation yet outside the knowledge or field of view of most Canadians. As winter and summer ice in Canadian shipping channels is affected by climate change, the labour of this and other icebreakers in the Canadian fleet is shifting, parallel to broader environmental and societal changes.
Ben Donoghue tinggal dan bekerja di Toronto. Dalam berkarya, ia kerap mengeksplorasi isu biopolitik, dekolonisasi, lanskap, fenomena makroekonomi dan lingkungan buatan manusia. Praktinya mencakup pembuatan filem, instalasi; publikasi zine dan buku seniman; admistrasi proyek dan ruang baik dalam konteks seni maupun sosial; merancang dan membuat pesanan mesin untuk instalasi dan produksi karya.
Ben Donoghue works and lives in Toronto. His practice explores the relationships between biopolitical subject, decolonization, landscape, macro-economic phenomena, and the built environment. His work includes making film, installation; publishing artist books and zines; administering projects and spaces in both arts and social justice contexts; designing and building custom machines for film installations and production.
(Canada)
ďż˝
211
SP 2 / 11 August, Kineforum, 13.00 / 21+
Sailboat
Country of production Canada Language Subtitle 2 min 45 sec, color, 1967
Sailboat hadir dengan kesederhanaan gambar anak-anak. Gambar sebuah perahu yang berlayar di air tanpa gangguan, menuju suara gemuruh ombak, yang sepertinya mempertegas gambar hingga pada titik yang berlebihan, entah bagaimana dalam cara seorang anak membuat gambar air dan menuliskan kata-kata suara di atasnya untuk membuatnya menjadi seempatik mungkin. Sailboat kecil ini akan berlayar melewati gerbang dan masuk ke dalam hatimu.
Joyce Wieland (Canada)
ďż˝
212
Sailboat has the simplicity of a child’s drawing. A toy-like image of a sailboat sails without interruption on the water, to the sound of roaring waves, which seems to underline the image to the point of exaggeration, somewhat in the way a child might draw a picture of water and write word sounds on it to make it as emphatic as possible. This little Sailboat film will sail right through your gate and into your heart.
Joyce Wieland (1931) dianggap sebagai seniman perempuan terkemuka di Kanada. Ia memproduksi banyak karya dalam berbagai media, mulai dari gambar dan lukis hingga selimut dan filem. Ia mendapatkan penghormatan yang unik karena meletakkan pernyataan personal yang kuat dalam karyanya tentang isu feminisme, nasionalisme dan ekologi bahkan jauh sebelum hal tersebut menjadi tren. Ia meninggal pada 27 Juni 1998.
Joyce Wieland (1931) is regarded as Canada’s foremost woman artist. She produced many works in a great variety of media, from drawing and painting to quilts and film. She gained a unique respect for incorporating strong personal statements in her work about issues of feminism, nationalism and ecology long before it had become fashionable to do so. She passed away on June 27, 1998.
SP 2 / 11 August, Kineforum, 13.00 / 21+
The Occupant
Country of production Canada Language Subtitle 3 min 30 sec, 2006
“Semakin jauh kau pergi, semakin dekat kau kepada rumah... Secara geografi, kata-kata ini benar...” Kini telah menyusuri darat dan laut, Romny kecil sebentar lagi bertemu dengan derajat ke-360 dari jalur perjalanannya. Ia berrefleksi pada perjalanan itu dan menghadapi tugasnya untuk melanjutkan.
“The further away you go, the closer to home you get... It is true by way of geography...” Now that she has traveled land and sea, little Romny is about to meet the 360th degree of her trajectory. She reflects upon her journey and faces her duty to carry on.
Elise Simard bertemu dengan filem animasi—sebuah bentuk seni yang kemudian menjadi bagian dari kerjanya—ketika ia menyelesaikan studi sarjana di jurusan Seni Rupa Universitas Concordia, Montréal. Sejak itu, ia memproduksi empat filem animasi pendek. Kini ia tengah menyutradarai sebuah filem animasi di Dewan Film Nasional Kanada.
Elise Simard came across film animation – an art form that has since become her endeavor—while completing a bachelor’s degree in Fine Arts at Concordia University, Montréal. She has since produced four short animated films. She is currently directing an animated film at the National Film Board of Canada.
Elise Simard (Canada)
�
213
Tentang Penyaji About Host
Lauren Howes (Canada)
�
214
Lauren Howes merupakan Direktur Eksekutif CFMDC (Canadian Filmmakers Distribution Centre). Selama dua puluh tahun terakhir, ia telah bekerja sebagai Manajemen Eksekutif pada sektor nirlaba. Melalui aktivitasnya dalam distribusi filem, Howes telah mengurasi dan mempresentasikan berbagai program pada berbagai acara dan audiens di Vancouver, Toronto, Dublin, Hamburg, Buenos Aires, Sao Paulo, Rio de Janeiro, Seoul, London, Glasgow, Paris, Bangalore, dan terpilih sebagai seorang Goethe Scholar untuk berpartisipasi di program Living Archive di Arsenalinstitut für film und videokunst di Berlin pada tahun 2014.
Lauren Howes is the Executive Director of CFMDC (Canadian Filmmakers Distribution Centre). Howes has worked in an Executive Management capacity in the notfor-profit sector for the past twenty years. Through her work in film distribution, she has curated and presented screenings for events and markets in Vancouver, Toronto, Dublin, Hamburg, Buenos Aires, Sao Paulo, Rio de Janeiro, Seoul, London, Glasgow, Paris, Bangalore, and was selected as a Goethe Scholar to participate in the Living Archive program at Arsenal - institut für film und videokunst in Berlin in 2014.
Didirikan pada tahun 1967, CFMDC merupakan sebuah lembaga non-profit yang dikelola seniman, yang telah bertumbuh dan berevolusi menjadi distributor terkemuka karya seni media independen. CFMDC berada pada pusaran audiens lokal, nasional dan internasional yang spesifik untuk filem-filem yang bertendensi seni dan karya seni media. CFMDC terus mengembangkan diri dengan model-model baru yang kreatif untuk distribusi yang terintegrasi, kolaborasi dan praktik-praktik kuratorial untuk sektor tersebut.
Established in 1967, CFMDC is a notfor-profit, artist-run centre that has since grown and evolved into a worldrenowned distributor of independent media art. CFMDC is at the epicenter of a specialized local, national and international marketplace for artist-driven film and media art and is constantly evolving with creative new models of integrated distribution, collaboration and curatorial practices for the sector.
s us uh k is a tne s e rp
SP 3
Filem Performans Performans oleh
Takashi Makino
Program ini akan memutar dua karya filem dan satu karya performans: Space Noise 2 (2018) Space Noise adalah proyek performance oleh Takashi Makino dari 2013. Proyek ini terus dikembangkan sampai sekarang. Menggunakan beberapa proyektor filem dan proyektor video, dia menciptakan pengalaman visual 3D yang masif. Makino memainkan musik sendiri dan memperluas pengalaman sinematik. Kali ini Makino akan menampilkan Space Noise 2. Dia tidak menggunakan proyektor filem, tetapi 2 proyektor video HD. On Generation and Corruption (2017) Meminjam judul dari sebuah risalah oleh Aristoteles, karya Makino Takashi ini adalah karya abstrak yang menemukan dorongannya dalam bentrokan antara cahaya dan kegelapan. Sepenuhnya terdiri dari gambar superimposed dari lanskap dan situs air di Tokyo, filem ini mengambil iramanya dari siklus pengulangan yang merupakan pilar kehidupan dan peradaban. (Festival Film Internasional Rotterdam 2017). cinéma concret (2015) Penelitian sejarah Concrete Music telah dimulai oleh Pierre Schaeffer sejak dekade 1940-an, saya menemukan bahwa proses pembuatan Concrete Music benar-benar sama dengan gaya pembuatan filem saya. Karya ini tidak membuat “concrete music” dari suara abstrak. Tetapi membuat musik abstrak dari suara concrete (suara yang sudah ada sebelumnya). Saya dapat mengatakan filem ini, “cinéma concret”, adalah salah satu jawaban dari pembuat film abad ke-21 untuk Pierre Schaeffer dan Concrete Music, dan juga salah satu interpretasi ironis untuk sejarah filem abstrak. (Takashi Makino) 215
noi ta tne s erp l a ic e ps
SP 3
Performance Film Performance by
Takashi Makino
This program will showcase 2 films and 1 performance project. Space Noise 2 (2018) Space Noise is the performance project by Takashi Makino from 2013. This project had been keep develop every time. Using several of film projector and video projector, he creates 3D massive visual experience. Makino play music by himself and expand the cinematic experience. This time Makino will show [Space Noise 2]. He use no film projector but 2 of HD video projectors. (Takashi Makino) On Generation and Corruption (2017) Borrowing its title from a treatise by Aristotle, the latest film by Makino Takashi is an abstract work that finds its drive in the clash between light and darkness. Entirely composed of superimposed images of Tokyo’s landscape and water sites, the film takes its rhythm from the cycles of repetition that are the pillars of life and civilisation. As light emerges from the chaos, Jim O’Rourke’s ambient drone sets the tone for what is to come. (International Film Festival Rotterdam 2017) cinéma concret (2015) After the research of history of Concrete Music which started by Pierre Schaeffer in 1940’s I found the process of making Concrete Music is completely same with my style of filmmaking. The process of “concrete music” is not making concrete music from abstract sounds. But making abstract music from concrete sounds (already existing sounds). I can say this film “cinéma concret” is one of the answer from 21 century’s filmmaker for Pierre Schaeffer and Concrete Music, and also one of the ironical interpretation for the history of the abstract cinema. (Takashi Makino) 216
SP 3 / 12 August, Goethehaus, 19.00 / 18+
Space Noise 2 (2018)
On Generation and Corruption (2017) Takashi Makino (1978) lahir di Tokyo. Ia merupakan lulusan studi Sinematografi/Perekaman Suara di Departemen Sinema Nihon University College of Art, Jepang, di tahun 2001 dan ia mengkaji filem, pencahayaan serta musik di Quay Brothers di Atelier Koninck QBFZ di London pada tahun 2001. Ia memperoleh keahliannya terkait filem dan video ketika ia bekerja sebagai Colorist yang mewarnai berbagai filmografi, iklan dan video musik dari tahun 2001 hingga 2011. Karyanya kini telah banyak dihadirkan pada berbagai festival filem dan acara kesenian. Ia tinggal dan bekerja di Tokyo. Takashi Makino (1978) was born in Tokyo. He graduated from Cinematography / Sound Recording course at Department of Cinema at Nihon University College of Art, Japan in 2001 and he studied about film, lighting, and music under Quay Brothers at Atelier Koninck QBFZ in London in 2001. Makino gained his skills relating to film and videos while he was undertaking coloration as a Colorist on various filmography, CF, and music videos from 2001 to 2011. His works have been presented in various international film festivals and in art context. He currently lives and works in Tokyo. cinĂŠma concret (2015)
Retrieved from https://urano.tokyo/en/artists/takashi_ makino/
217
penayangan khusus
218
219
s us uh k n agn aya ne p
SS 1
Golden Memories Pengantar oleh
Afrian Purnama
Filem Golden Memories lahir dari riset Sejarah Sinema Kecil yang digagas oleh Forum Lenteng dari awal tahun 2016. Riset ini berusaha mengungkap praktik pembuatan filem yang berada di luar industri dan sudah tercatat dalam sejarah filem Indonesia. Dari penelusuran ini, kami mendapatkan dua nama: Rusdy Attamimi dan Kwee Zwan Liang. Keduanya adalah pembuat filem ‘amatir’ yang membuat filem untuk ranah privat dan keduanya merepresentasikan dua periode dalam sejarah Indonesia, sebelum dan sesudah kemerdekaan. Ada banyak lapisan yang terkandung dalam filem ‘amatir’ yang merekam keluarga-keluarga tersebut, seperti bagaimana kamera seakan-akan menjadi sarana bermain bagi subjek dan pelaku rekam. Kamera menangkap kegugupan dan ketidakterdugaan atas waktu dan lokasi, yang mana terus berubah dan selalu berpindah tanpa mengikuti aturan konstruksi naratif yang baku dalam sinema. Melalui dua tokoh yang menjadi pondasi filem tersebut, kami melakukan eksplorasi menelusuri bagaimana perjalanan reproduksi gambar bekerja. Dari Jakarta, Arnhem, Harleem, Amsterdam, Zaandam, Den Haag, hingga ke Jatipiring, kami menemui berbagai kisah reproduksi gambar yang membawa kami pada pertanyaan apa itu amatir, apa itu profesional, apa itu kamera, apa itu sinema, apa itu kenyataan, hingga apa itu presentasi. Kisah-kisah ini memiliki pengalamannya masing-masing. Dari tokoh akademisi, pedagang kamera, hingga kepala desa. Kisah-kisah mereka kemudian memperlihatkan dua organisme yang berbeda; antara reproduksi image teknologis dengan reproduksi image non-teknologis. Dan keduanya saling bersimbiosis.
220
gnineercs laiceps
SS 1
Golden Memories Preface by
Afrian Purnama
Golden Memories was born from research on the Petite Histoire of Cinema initiated by Forum Lenteng from early 2016. This research seeks to reveal the practices of filmmaking outside the industry and has been recorded in the history of Indonesian film. From this search, we earn two names: Rusdy Attamimi and Kwee Zwan Liang. Both are ‘amateur’ filmmakers who make films for private domains and both represent two periods in Indonesian history, before and after independence. There are many layers in the ‘amateur’ films that record these families, such as how the camera seems to be a means of playing for the subjects and the recorder. It captures the nervousness and unpredictability of time and location, which are constantly changing and always moving without following the standardized narrative construction rules in cinema. Through those two figures who become the foundation of this film, we explored how the course of image reproduction works. From Jakarta, Arnhem, Harleem, Amsterdam, Zaandam, Den Haag, to Jatipiring, we encountered numerous stories of images reproduction leading us to the question of what is amateur, what is professional, what is a camera, what is cinema, what is reality, what is presentation. These stories have their own experiences. From the academic figure, camera merchants, to the village headman. Their stories show two different organisms; between technological image reproduction and nontechnological image reproduction. And both are symbiotic.
221
SS 1 / 14 August, Kineforum, 13.00 / 13+
Golden Memories
Country of production Indonesia Language Indonesian and English Subtitle English 118 min, color, 2018
Tiga orang pembuat filem menelusuri jejakjejak sinema keluarga di Indonesia. Dalam perjalanan itu mereka bertemu dengan sinema Kwee Zwan Liang dan sinema Rusdy Attamimi. Dari Jakarta ke Amsterdam, dari Den Haag ke Jatipiring, sinema keluarga tidak hanya membawa tiga orang itu pada persoalan kultur sinema yang dibangun oleh publik, tetapi juga estetika serta ontologi mengenai apa itu sinema keluarga dari masa ke masa.
Afrian Purnama, Syaiful Anwar, Mahardika Yudha (Indonesia)
ďż˝
222
Three filmmakers examine traces of home movies in Indonesia. In the journey, they encounter the cinema of Kwee Zwan Liang and the cinema of Rusdy Attamimi. From Jakarta to Amsterdam, from Den Haag to Djatipiring, the home movie, not only lead them to the culture of cinema that have established by public, but also its aesthetic and ontology of what is home movie from time to time.
Afrian Purnama (Jakarta, 1989). Merupakan lulusan BINUS jurusan IT. Kurator ARKIPEL-Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival sejak 2013. Redaktur dan penulis di www. jurnalfootage.net. Mahardika Yudha (Jakarta 1989). Filem pertamanya yang berjudul Rangjebor (2014) disutradarai bersama Mohammad Fauzy. Ia juga membuat karya seni video dan merupakan kurator berbagai pameran seni rupa maupun seni media. Karyanya juga telah dipresentasikan pada berbagai pameran internasional seperti di Singapore Biennale 2013 dan Videobrasil 2013. Syaiful “Paul� Anwar (Jakarta, 1983). Sebelum Golden Memories, ia telah menyutradarai tiga filem dokumenter lainnya: Dongeng Rangkas (2011), Elesan deq a Tutuq (2013), and Harimau Minahasa (2015). Ia juga merupakan sinematografer pada berbagai filem dokumenter panjang Forum Lenteng, seperti Naga yang Berjalan di Atas Air (2012), Anak Sabiran Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) (2013), dan Marah di Bumi Lambu (2014).
Afrian Purnama (Jakarta, 1989). Graduated from Bina Nusantara University, Computer Science Department. Curator of ARKIPEL Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival since 2013. Redactor and writer for film journal Jurnal Footage (www. jurnalfootage.net). Mahardika Yudha (Jakarta 1989). Made his first film Rangjebor (2014), co-directed by Mohammad Fauzy. He also made video art and curator of many fine art and media art exhibition. Some of his works have been presented in many international art exhibition such as Singapore Biennale 2013 and Videobrasil 2013. - Syaiful Anwar (Jakarta, 1983). A filmmaker, has made three feature documentary before Golden Memories: Dongeng Rangkas (2011), Elesan deq a Tutuq (2013), and Harimau Minahasa (2015). He was also cinematographer in many Forum Lenteng feature documentary such as Naga yang Berjalan di Atas Air (2012), Anak Sabiran Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) (2013), and Marah di Bumi Lambu (2014).
s us uh k n agn aya ne p
SS 2
Pengantar Program Penayangan Khusus Harun Farocki: Kolase Representasi Ditulis oleh
Anggraeni Widhiasih
Perjumpaan awal saya dengan karya-karya Harun Farocki bermula pada sebuah undangan untuk berpartisipasi dalam sebuah akademi temporer yang diselenggarakan oleh Harun Farocki Institut di Berlin pada nyaris setahun lalu. Perjumpaan itu menghasilkan cukup banyak keterkejutan sebab pada karya-karya tersebut dihadirkan gambar-gambar yang secara konsep terasa familiar sebelumnya, namun kemudian menjadi terasa ganjil dan mengganggu setelah mereka tersusun ulang dalam kerangka kekaryaan Farocki. Dalam diskusi-diskusi kala itu mengenai karya Harun Farocki, akan sulit rasanya berbincang tanpa lepas dari sejarah akan gambar-gambar itu sendiri, sejarah akan si representasi. Dalam 70 tahun hidupnya yang dihabiskan separuhnya dengan membuat lebih dari 120 filem dan karya instalasi, Farocki kerap bekerja dengan berbagai material baik yang dihasilkan olehnya sendiri ataupun oleh orang lain. Sejak tahun 1966 hingga 2013, tahun-tahun di mana ia secara aktif membuat filem, kerja estetiknya terus mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan teknologi penghasil gambar. Produksinya dilakukan mulai dari penggunaan kamera secara klasik, susun-menyusun found footage, hingga penggunaan gambar-gambar digital yang hadir pada video game. Sering kali, bahkan, karyanya tampak sebagai kolase yang masif akan berbagai gambar – yang bergerak maupun diam – yang diproduksi di sana-sini oleh berbagai aparatus, terawasandikan hingga maknanya justru melampaui bentuk representasinya semula. Pekerjaannya dengan sekumpulan representasi ditujukan untuk membongkar representasi itu sendiri. Ia membawa pandangan mata kita 223
sebagai penonton untuk turut terus-menerus membedah gambar tersebut dengan tanpa ampun. Seperti sebuah misi pelacakan yang intens terhadap gambar dan seluruh sejarah yang melingkupinya. Gambar, yang mulanya hadir sebagai bentuk rekaman atas sejarah manusia, pada akhirnya hadir dengan sejarahnya sendiri yang berbicara bahkan melampaui sejarah manusia. Ia adalah rekaman atas sejarah mesin, sejarah kerja, sejarah berbagai relasi, sejarah peradaban dunia. Sehingga tak jarang, uraian representasi pada karya Farocki justru tersandikan ulang sebagai sebuah penemuan baru, baik itu temuan yang sifatnya estetis maupun yang sifatnya realis-politis, sebuah simulasi akan kehidupan yang kenampakannya hadir melalui gambar. How to Live in FRG (1990), Workers Leaving the Factory (1995), Serious Games IV: A Sun Without Shadow (2010) dan Parallel I (2012) merupakan empat karya yang akan dihadirkan dalam program penayangan khusus di ARKIPEL homoludens. Keempatnya, adalah bagian kecil dari karya-karya Harun Farocki, memperlihatkan kolase rekaman kehidupan peradaban manusia beserta teknologinya dengan segala realitas sekitarnya, kerap kali justru tampak simulatif ketimbang realistis.
224
gnineercs laiceps
SS 2
An Introduction to Harun Farocki Special Screening Program: Collage of Representation Written by
Anggraeni Widhiasih
My early encounter with Harun Farocki’s works was started from an invitation to participate in a temporary academy organized by the Harun Farocki Institut in Berlin, nearly a year ago. That encounter produced surprises on me, for his works bring about images which are conceptually familiar at first, but then turn into something uncanny and even disturbing after they are re-arranged into the frame of Farocki. In the later discussions about his works, it would be difficult to talk about it without also talking about the history of the images, history of representation. In the 70 years of his life spent mostly by making more than 120 films and installations, Farocki often works with various material either produced by himself or by others. Since 1966 until 2013, years where he actively made films, his mode of production has continued to shift along with the development of image-producing technology. Usage of the camera in classical modes, of found footages, until the usage of digital images from video games are the modes of production in his works from time to time. Often, even, his works seem to be a massive collage of [both still and moving] images produced in anywhere by various apparatus, which are decoded until their meaning are beyond their original form of representation. His labour with collections of representations is intended to dismantle the representation itself. Guiding the eyes of the spectators to also continuously dissect the representation mercilessly. Like an intense mission of tracking the image and the entire history surrounding it. The image, which formerly came as a recording of human history, eventually comes with its own history that speaks even beyond human history. He is a recording 225
on the history of the machine, history of work, history of many relations, history of world civilization. It is no wonder that very often, results from the scrutiny of representation in Farocki’s work are encoded into new findings, both as aesthetic or realist-political findings, a simulation of the life which its materialization present through images. How to Live in FRG (1990), Workers Leaving the Factory (1995), Serious Games IV: A Sun Without Shadow (2010) and Parallel I (2012) are the four works to be presented in a special screening program on Arkipel homoludens. These four works, which are a small part of Harun Farocki’s works, exhibiting collage of the recording on the human civilization’s life and its technology with all their surrounding realities, often seem simulative rather than realistic.
Supported by:
226
SS 2: Part I / 10 August, Goethehaus, 16.00 / 18+
How to Live in the FRG
Country of production Germany Language German Subtitle English 83 min, 1990
Sang sutradara menyusun sebuah filem genre tentang Jerman Barat kontemporer dimana cuplikan-cuplikan adegannya mengenai kehidupan yang disimulasikan, kemampuan/daya tahan diuji. Kemana pun mata memandang, orang-orang nampak sebagai aktor yang memainkan peran diri mereka sendiri; masing-masing orang punya peran. Sebuah drama di teater kehidupan yang terdiri dari kursus pelatihan, tes kebugaran terhadap alat-alat dan orang-orang. Baik itu dalam kelas persiapan kelahiran untuk calon orang tua atau dalam latihan cara menjual bagi staf pemasaran, di tempat pelatihan militer atau memainkan peran untuk tujuan pendidikan. Di mana-mana, upaya tak henti-henti dipersiapkan untuk darurat menghadapi “realitas” dapat kita dirasakan.
The author assembles a genre picture of the contemporary FRG with shots of scenes where life is rehearsed, ability/durability is tested. Wherever one looks, people appear as actors playing themselves; they take on roles. A play in the theater of life made up of training courses, fitness tests for things and people. Be it in birth preparation classes for expectant parents or in practice runs for sales talks, on the military training ground or during roleplays for educational purposes. Everywhere the incessant effort to be prepared for the emergency of “reality” can be felt. — This synopsis was retrieved from the website of Harun Farocki (https://www.harunfarocki.de/)
—
Harun Farocki (Germany)
�
© Still Photo: "How to Live in the FRG", Harun Farocki, 1990
Sinopsis ini diambil dari situs web Harun Farocki (https:// www.harunfarocki.de/)
227
SS 2: Part II / 13 August, Goethehaus, 16.00 / 18+
Workers Leaving the Factory
Country of production Germany Language German Subtitle English 36 min, B/W, 1995
Workers Leaving the Factory adalah judul filem pertama yang dipertontonkan ke publik. Selama 45 detik, gambar bergerak ini memperlihatkan para pekerja pabrik di Lyon, yang dimiliki oleh Lumière bersaudara, bergegas keluar dari bayang-bayang gerbang pabrik. Namun di filem ini, dalam gerak itu, para pekerja terlihat sebagai kelompok sosial. Tapi ke mana mereka pergi? Pergi rapat? Ke barikade? Atau sekedar pulang ke rumah? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menyibukkan para pembuat filem dokumenter lintas generasi. Mengingat area di depan gerbang pabrik selalu menjadi tempat konflik sosial. Dan lebih jauh lagi, adegan ini telah menjadi ikon dari medium bernarasi dalam sejarah sinema.
Workers Leaving the Factory was the title of the first film ever shown in public. For 45 seconds, this sequence depicts workers at the factory in Lyon owned by the Lumière brothers hurrying out of the shadows of the factory gates. Only here, in departing, are the workers visible as a social group. But where are they going? To a meeting? To the barricades? Or simply home? These questions have preoccupied generations of documentary filmmakers. For the space before the factory gates has always been the scene of social conflicts. And furthermore, this sequence has become an icon of the narrative medium in the history of the cinema.
—
This synopsis was retrieved from the website of Harun Farocki (https://www.harunfarocki.de/)
—
Harun Farocki (Germany)
�
228
Still Photo: "Workers Leaving the Factory" © Harun Farocki, 1995
Sinopsis ini diambil dari situs web Harun Farocki (https://www. harunfarocki.de/)
SS 2: Part II / 13 August, Goethehaus, 16.00 / 18+
Serious Games IV: A Sun without Shadow
Country of production Germany Language German Subtitle English 8 min, color, 2010
Serious Games IV meninjau fakta bagaimana gambar-gambar rekaman dari persiapan perang sangat mirip dengan gambar-gambar dari evaluasi sesudah perang. Tetapi ada perbedaan: program untuk memperingati pengalaman traumatis pascaperang harganya agak lebih murah. Tidak ada bayangan dari apapun atau siapapun di sini. Film ini adalah bagian dari karya instalasi, Serious Games.
Serious Games IV considers the fact that the pictures with which preparations were made for war are so very similar to the pictures with which war was evaluated afterward. But there is a difference: The program for commemorating traumatic experiences is somewhat cheaper. Nothing and no-one casts a shadow here. This film is part an installation work, Serious Games. —
Sinopsis ini diambil dari situs web Harun Farocki (https:// www.harunfarocki.de/)
Harun Farocki (Germany)
�
This synopsis was retrieved from the website of Harun Farocki (https://www.harunfarocki.de/)
Still Photo: "Serious Games 4, A Sun with no Shadow" © Harun Farocki 2010
—
229
SS 2: Part II / 13 August, Goethehaus, 16.00 / 18+
Parallel I
Country of production Germany Language German Subtitle English 16 min, color, 2012
The four-part cycle Parallel deals with the image genre of computer animation. Computer animations are currently becoming a general model, surpassing film. In films, there is the wind that blows and the wind that is produced by a wind machine. Computer images do not have two kinds of wind. Parallel I opens up a history of styles in computer graphics. The first games of the 1980’s consisted of only horizontal and vertical lines. This abstraction was seen as a failing, and today representations are oriented towards photorealism.
—
—
Sinopsis ini diambil dari situs web Harun Farocki (https:// www.harunfarocki.de/)
This synopsis was retrieved from the website of Harun Farocki (https://www.harunfarocki.de/)
Harun Farocki (Germany)
�
230
Still Photo: "Parallel I" © Harun Farocki 2012
Karya seri empat bagian ini berkaitan dengan genre citra animasi komputer. Animasi komputer saat ini menjadi model umum yang melebihi filem. Dalam filem, ada angin yang bertiup dan angin yang dihasilkan oleh mesin. Citra dari komputer tidak mengenal dua jenis angin seperti itu. Parallel I membuka sejarah gaya dalam grafik komputer. Game pertama tahun 1980-an terdiri dari hanya garis horizontal dan vertikal. Abstraksi ini dilihat sebagai kegagalan, hingga kemudian representasi hari ini berorientasi pada foto-realisme.
Harun Farocki Harun Farocki (1944-2014) adalah seorang pembuat filem, seniman video, dan penulis asal Jerman kelahiran Ceko. Sejak 1966, ia telah menyutradarai lebih dari 120 filem, mulai dari filem dokumenter pendek dan dokumenter panjang, esai filem dan banyak karya instalasi. Karya-karyanya banyak yang menggunakan gambar-gambar yang telah ada untuk membahas berbagai isu tentang bagaimana kehidupan dibangun dan visual dihasilkan. Dia menulis untuk berbagai publikasi dan merupakan editor serta penulis majalah Filmkritik (München) pada 1974-1984. Karya-karyanya telah membuatnya dianggap sebagai lebih dari seorang pengkarya; ia adalah pemikir dan filsuf yang pemikirannya telah berkontribusi besar terhadap kajian gambar, politik, dan estetika dunia secara umum.
Harun Farocki (1944-2014) is a Czech-born German filmmaker, video artist, and writer. Since 1966, he has directed more than 120 films ranging from short and feature documentary, film essay and multiple works of installations. Many of his oeuvre deals with the existed images to discuss numerous issues on how life is construct and visuals are produced. He wrote for various publications and was the editor as well as author of the magazine Filmkritik (München) from 1974 to 1984. His works have made him considered as beyond maker; he is thinker and philosopher whose thoughts have contributed immensely to the school of images, of politics, of the world aesthetic in general.
Photo credit Harun Farocki: By Андрей Романенко - Own work, CC BY-SA 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=27249900
231
s us uh k n agn aya ne p
SS 3
Pengantar Program Penayangan Khusus Milisifilem
Milisifilem sebagai Inkubator Dhanurendra Pandji
September 2017, Forum Lenteng menginisisasi program Milisifilem, yakni kelompok belajar produksi filem melalui melalui praktik eksperimentasi visual. Saya bergabung pada paruh kedua program, di mana Hafiz memulai kelas dengan tugas membuat garis horizontal pada bidang datar. Kawankawan menarik garis dengan kerapian dan kerapatan yang beragam. Beberapa lembar kertas A3 kami diisi macam garis lainnya, vertikal dan diagonal. Secara bergiliran kami dituntut membaca kemudian menilai karya yang dipresentasikan kawan lainnya. Kami tergagap dalam membaca garis. Padahal, ia ditarik dari kemampuan alamiah manusia yang paling dasar—sebelum manusia menggambar bentuk, kita sebenarnya sudah lebih dulu mengenali garis, seperti praktik corat-coret yang dilakukan balita pada dinding rumah. Semasa tiga bulan pertama, dengan pola beragam, kegiatan tersebut terus dilakukan secara intens. Jika pengetahuan memperkaya cara menganalisa, intensitas menggambar nirmana dibangun sebagai batu asah pemahaman aspek tata bahasa visual. Berangkat dari situ, saya lebih suka menggunakan istilah “inkubator” ketimbang “ruang” untuk menggambarkan kegiatan yang kami lakukan dalam kelas-kelas Milisifilem. Lebih spesifik lagi, ‘inkubator’ mewakili aspek temporal yang memungkinkan adanya proses dan progres. Pengalaman saya selama satu semester dalam masa inkubasi menumbuhkan kesadaran bagaimana seharusnya skena seni bekerja. Saya menghubungkan inkubator 232
dengan aktivisme seni, dengan sedikit menepikan narasi sosial-politik yang barangkali terlalu jauh jika kita membahasnya di sini. Partisipasi aktif kami dalam kelas bisa digambarkan sebagai model sederhana medan seni yang paling mendasar. Dalam skena seni, seniman tidak berdiri sendiri. Ada kritikus, kurator, pengamat, sekolah seni, galeri, dan sebagainya yang turut memegang kendali legitimasi karya seni. Selama proses inkubasi yang terjadi pada kami, rutinitas mengkaji karya memberi andil bagi pengayaan khazanah keilmuan. Forum-forum studi seperti yang sedang diterapkan Milisifilem ini, sebagai salah satu contoh, sesungguhnya berperan krusial dalam mengaktivasi roda perputaran skena seni. Imbasnya—dalam konteks pendidikan filem— adalah tergalinya basis modus produksi dan potensi bahasa visual yang bisa dicapai oleh gambar bergerak. Usaha menggiatkan kegiatan belajar secara kolektif ini, menurut saya, adalah bagian dari aktivsime seni: pendidikan. Kita bisa mengatakan filem sebagai temuan teknologi. Namun pada perkembangannya, filem ditahbiskan sebagai seni ketujuh. “Keterputusan antara seni modern dengan teknologi modern memang tak terjembatani. Gagasan-gagasan besar Eropa masuk ke Hindia Belanda sebagai ide tanpa landasan materialnya, sementara barang-barang teknologi Eropa masuk sebagai materi tanpa sejarah idenya” (Agustinus, 2003).1 Hubungan ini tak lantas dikotomis. Sebab, secara etimologi, seni berasal dari bahasa Yunani, ‘techne’ yang pula menjadi akar dari kata teknologi. Filem, dalam memaklumatkan dirinya sebagai seni, bisa dilacak melalui sejarah visualnya dari senirupa. Ronny Agustinus menyebut dialektika seni dan teknologi ini sebagai “obsesi akan realita” (Agustinus, 2003).2 Dengan kata lain, obsesi— yang sebelumnya dikerahkan pada bidang kanvas—seiring berjalannya waktu, selalu didukung oleh perkembangan teknologi dan sains. Sejalan dengan mekanisme mata, impresi cahaya bisa ditangkap melalui lapisan emulsi perak halida pada pita gelatin, kita mengenalnya sebagai seluloid (Pasaribu, 2015). 3 Menurut Clive Bell, sebagaimana dikutip Ronny Agustinus (2003), keterjangkauan fotografi justru membebaskan seni lukis akan deskripsi dan representasi, yang kemudian mengalihkan pemetaan seni lukis pada hakikat
1. Agustinus, Ronny. “Video: Not All Correct”, dalam katalog post-event OK. Video, 2003. 2. Agustinus, Ronny. “Video: Not All Correct”, dalam katalog post-event OK. Video, 2003. 3. Pasaribu, Adrian J. “Ode untuk Seluloid”, dalam katalog Mengalami Kemanusiaan, 2015.
233
rupa ketimbang hakikat benda. 4 Obsesi tersebut tak berhenti di situ. Mesin zoopraksiskop temuan Muybridge meletakkan dasar logika gambar bergerak. Filem dikembangkan dengan menyusun beberapa gambar per detik, sehingga, dengan logika yang serupa, gambar tersebut menciptakan ilusi gerak. Cahaya yang diproyeksikan ke atas layar, sebagaimana tampilan gambar di atas kanvas (dalam disiplin seni lukis), juga bisa kita lihat sebagai medium tersendiri bagi teknologi ini. Obsesi-obsesi terkait citra dan realita itu kian terus berkembang ketika elemen-elemen lain seperti suara, warna, dan efek visual menjadi hal yang lekat dan terus digali esensinya oleh disiplin filem melalui modus eksperimentasi teknologi dan seni. Tatkala menyinggung kata ‘eksperimentasi’, saya merujuk definisi Peransi (1970) mengenai ‘eksperimen’ yang berasal dari bahasa Prancis, ‘expérience’, yang berarti ‘menghayati’, ‘mengalami’. 5 Milisifilem, saya kira, berada dalam ikhtiar untuk menjembatani jurang menganga antara ide dan materi yang tak jarang luput dalam sejarah kesenian kita. Melalui pendekatan formalis, seperti pemahaman nirmana dalam mengolah elemen rupa, praktik membingkai dengan medium arang, tinta cina, dan kolase, dilanjutkan dengan produksi gambar bergerak yang dilakukan dengan cara konvensional; semua itu dirasa perlu sebagai bangunan jembatan tersebut. Argumen “mengalami” ini tentu bisa diperdebatkan sejauh kesadaran materi pada medium kamera masih di lingkup studi teori. Hal ini dimaklumkan karena bentuk kelompok belajar yang diusung MIlisifilem terfokus pada dimensi artistik, alih-alih laboratorium yang semata mengulik temuan teknologis filem. Kami, partisipan Milisifilem, datang dari berbagai macam latar belakang—kebanyakan dari kami tidak menempuh pendidikan senirupa secara formal. Ketika kami mulai mengerjakan proyek filem yang didukung oleh Pusbang Film Kemdikbud, pengalaman kami di bidang seni yang masih terbilang minim menjadi tantangan tersendiri. Proyek tersebut dikerjakan oleh semua partisipan yang terbagi dalam lima kelompok, yang masingmasing terdiri dari tiga orang. Dalam prosesnya, masing-masing dari kami menghabiskan sebagian waktu berjibaku di ranah konsep, memikirkan
4. Agustinus, Ronny. “Video: Not All Correct”, dalam katalog post-event OK. Video, 2003. 5. Peransi, D.A. Arsip kutipan audio ceramah, 31 Agustus 1970.
234
bagaimana agar filem yang kami buat bisa terlihat jelas konstruksinya dan relevan untuk publik. Para fasilitator Milisifilem memberikan kebebasan sepenuhnya kepada kami dalam mengeksplorasi teknis produksi filem tersebut. Kami pun mengembangkan metode produksi yang dirasa cocok, dengan berusaha untuk tidak terjebak pada pakem industri umumnya. Berkaca pada pengalaman kelompok saya (bersama Theresa dan Robby), sebagai salah satu contoh, kegiatan merealisasikan konsep di lapangan sempat mengalami perubahan strategi beberapa kali. Ini agaknya disebabkan oleh minimnya pengalaman dan pengetahuan kami perihal skema produksi. Bahkan, ketika draft pertama filem kami dipresentasikan, terdapat poin-poin evaluasi yang secara garis besar menuntut rombakan yang signifikan terhadap konstruksi filem yang kami rancang. Ini berarti bahwa, kebebasan dalam mengeksplorasi teknis bukan berarti membolehkan kami abai begitu saja dari acuan produksi filem yang memenuhi standar. Di situlah relasi dari pengertian inkubator yang saya maksud dan metode yang diterapkan Milisifilem menjadi relevan. Sejak proses pengembangan ide sampai pada realisasi produksinya, masing-masing kelompok saling membangun pemahaman, kritik, dan strategi produksi secara kolektif sehingga model studi Milisifilem yang masih akan terus dikembangkan ini pun dimiliki secara bersama-sama; kerja kolaborasi menjadi siasat dari inkubator ini untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada di setiap partisipan. Proses ini menjadi penting jika kita kembali menyinggung arti ‘eksperimen’ sebagai ‘mengalami’. Benturan-benturan yang dialami, yang berasal dari isi kepala partisipan yang beragam, akhirnya dapat menghasilkan sebuah sintesa untuk menciptakan bentuk yang orisnil, tanpa melulu terjebak pada kekakuan sistem yang sudah mapan. Merilis filem pertama sebagai bagian dari kolektif Milisifilem menjadi momentum awal kami, khusunya saya pribadi, dalam mengahadapi medan seni yang sesungguhnya. Tentu bukannya tanpa risiko. Eksperimentasi yang kami lakukan memang menyisakan banyak sekali celah kritik. Namun, ia lantas menjadi medan pergumulan panjang yang membuka ruang-ruang untuk terus bertumbuh.
235
Perihal Aksi dan Reaksi Dini Adanurani
Saat warga Milisifilem diminta untuk memproduksi filem, saya bersama Wahyu “Walay” Budiman Dasta, dan Mia Aulia memilih untuk memproduksi gambar bergerak dengan teknik kolase. Pilihan ini tidak umum, mengingat teman-teman lainnya merekam menggunakan video—moda produksi filem yang umum di masa kini. Filem yang kami pilih menjadi sumber inspirasi adalah Warkop DKI, episode Maju Kena Mundur Kena (1983), Dongkrak Antik (1982), dan Itu Bisa Diatur (1984). Mengapa Warkop? Wajah-wajah Dono, Kasino, dan Indro yang tak pernah absen menghiasi layar kaca di kala libur panjang tentunya sudah menjadi ikon yang akrab dengan masyarakat. Melalui teknik kolase dalam proses pembuatan filem ini, kami mendekonstruksi ikon-ikon tersebut menjadi karya seni baru. Para ikon legendaris itu kini patuh pada kuasa kami—tak lebih dari sehelai kertas yang terjepit di antara ibu jari dan telunjuk. Kami benturkan mereka dengan garis dan bidang yang diciptakan melalui charcoal dan drawing pen. Kami membangun narasi baru terlepas dari karakter mereka—Indro yang jatuh berguling di Maju Kena Mundur Kena menjadi tokoh utama yang absurd, sebentuk entitas bola berguling. Di adegan lainnya, Indro yang dicetak dalam ukuran yang lebih besar kami baptis sebagai tokoh antagonis. Tokoh lainnya hanya kami ambil lengannya saja, lalu kami lekatkan kepada potongan gambar mobil. Proses kreatif yang lumayan menyenangkan, karena ini mengizinkan kami untuk berimajinasi seliar-liarnya. Sebuah dunia lain mewujud di balik selembar kertas yang menjadi latar filem kami. Namun, meskipun gambar-gambar itu telah hidup dalam narasi mereka sendiri, penonton akan tetap melihat ikon. Wajah Dono, Kasino, dan Indro tak bisa kami lepaskan dari konteks aktivisme yang mereka lakukan di masa Orde Baru, dari awal mula mereka bergabung sebagai pembawa program radio Prambors yang mengomentari politik melalui komedi yang santai. Yang mereka lakukan adalah pemberontakan paling mendasar di tingkat akar-rumput: menyuarakan aspirasi masyarakat melalui lelucon yang “nakal” dan subversif. Ada satu adegan yang cukup melekat di kepala saya setelah menonton kembali film Maju Kena Mundur Kena. Di papan bengkel Kasino, selain mencantumkan jasa-jasa servis, reparasi, tune-up layaknya bengkel 236
biasa, tercantum juga “terima order cari order proyek, jual-beli tanah, dan urus STNK”. Di bawahnya ditambahkan dengan tinta merah: “Servis 36 jam.” Saat Kasino mempertanyakan poin terakhir itu, Dono menjawab, “Yang 12 jam untuk komisi. Jaman sekarang, tanpa komisi nggak bisa lancar, Bos!” Bit yang subtil, santai, namun mengena bagi orang-orang yang memahami konteks pemerintahan Orde Baru. Semangat subversi itu berusaha kami adaptasi ke dalam bentuk visual. Bagaimana kami membentuk ruang, memecah bidang menggunakan berbagai media, dan menciptakan interaksi antar potongan kolase di setiap bingkainya yang terus bergerak. Kami bukan satu-satunya yang telah bereksperimen seperti itu. Beberapa referensi kami antara lain Jan Svankmajer yang membuat film eksperimental dengan teknik stop-motion, dan William Kentridge yang bahkan melakukan hal serupa dengan charcoal. Mereka berdua hanya sedikit dari banyaknya seniman yang direferensikan oleh teman-teman pelajar kami, yang berkarya dengan kenakalan yang sedemikian rupa menerobos pakempakem seni sebelumnya. Namun, bukankah penjalinan relasi baru dari realita dan praktik kesenian yang sudah ada itulah yang mendorong terjadinya perkembangan dalam seni? Bagaimanapun, semangat kebaruan hanya akan menjadi letupan sementara jika tidak ditempa secara berkelanjutan. Hal ini juga ditegaskan dalam intensitas pertemuan kami sebanyak dua kali seminggu, dalam setiap arsir nirmana dan garis sketsa beserta tugas-tugasnya, agar kacamata kesenian kami tak kian tumpul. Pun ekspresi dan garis-garis itu tak dapat berdiri sendiri, harus ada kalkulasi yang melandasinya. Karya yang baik dapat menampilkan spontanitas yang terhitung: ada ukuran yang jelas, pertimbangan ideologis, maupun kesadaran medium. Sebentuk order in chaos. Mengintip moda berkesenian Warkop DKI—jika mereka bisa dikatakan seniman—pun, telah diperhitungkan pemilihan komedi slapstick agar mudah dipahami masyarakat, dan konteks politis yang melandasi lelucon mereka. Tak sekadar melucu, namun praktik mereka bertolak dari kebutuhan untuk merespon situasi publik yang tengah terjadi. Kepentingan publik pun menjadi penting dalam berkesenian, karena seni untuk dipandangi sendiri tak lebih dari masturbasi. Apalagi sekarang, di mana keterjangkauan teknologi dan semangat independen pascareformasi membuat filem sebagai medium digemari untuk menyuarakan identitas dan sudut 237
pandang para seniman. Ini fenomena yang baik, namun perlu diperhatikan lagi basis dari pembuatan karya tersebut. Kemudahan-kemudahan itu jangan sampai kemudian menjadikan karya sebagai perayaan estetis individual yang kering akan konteks sosial, politik, maupun budaya. Slogan “seni untuk seni� sudah tak lagi relevan untuk karya yang diproduksi di masa kini. Yang kita butuhkan adalah kritisisme dan kajian yang menyeluruh, untuk menetapkan fondasi yang kokoh bagi praktik berkesenian yang dilakukan. Penting untuk memetakan posisi medium yang digunakan—dalam hal ini, filem—di tengah konstelasi sejarah seni rupa, termasuk bentuk-bentuk seni rupa yang mendahuluinya dan bagaimana basis seni mengalami pergeseran sesuai dengan konteks sosial-politik pada masanya. Pembagian pengetahuan ini telah dilakukan secara kolektif dalam kuliah dan kritisisme karya yang kami lakukan satu sama lain. Ketika bersentuhan dengan realita, pengetahuan tersebut adalah amunisi kami untuk meresponnya dari sudut pandang yang orisinil. Timbal-balik antara subjek dan realita, bagi saya, adalah inti dari praktik berkesenian itu sendiri. Ada aksi yang dibalas dengan reaksi. Ada aspek publik yang harus diseimbangkan dengan ekspresi individu. Pelan-pelan kami sudah mulai melakukannya, mulai dari membuat sketsa suasana di Pasar Minggu, sampai produksi filem dalam rangka proyek yang didukung oleh Pusbang Film ini. Melihat teman-teman yang terjaga sampai pagi menekuni goresan-goresan mereka, timbul harapan bagi riak-riak kecil militansi ini untuk menjadi gejolak dalam beberapa tahun ke depan.
238
gnineercs laiceps
SS 3
Introduction to Milisifilem Special Screening Program
Milisifilem as an Incubator Dhanurendra Pandji
September of 2017, Forum Lenteng initiated Milisifilem, a film production study club through practices of visual experiment. I joined in the second batch of the program, where Hafiz started the class with the assignment of drawing horizontal lines in a flat plane. Our friends began to draw straight lines with varying degree of neatness and density. Few pages of our A3 sketch pad were filled with other kinds of line: vertical and diagonal. In turns, we had to read and assess the works presented by our friends. We stuttered in reading the lines, which was the basic natural artistic human instinct—before we draw shapes, we recognise the lines first, like the practice of scribbling the walls done by a toddler. For the first three months, in various patterns, those practices were repeated intensely. If knowledge enriches the way we analyse, the intensity of drawing nirmanas was built as a grinding stone to understand visual grammar. Starting from that, I prefer to use the word “incubator” rather than “space” to represent the activities we do in Milisiflem’s class. More specifically, the word ‘incubator’ represents a temporal aspect that enables a process. My experience of one semester in the incubation period grows awareness of how the art scene works. Through this essay, I intend to connect the term incubator with activism, slightly pushing aside the social-political narration that might divert us from the point of this essay. Our active participation in class represents a simple model of the art world. The artist does not stand on its 239
own. There are also critics, curators, observers, art schools, gallery, and others that also holds control of the artwork’s legitimacy. The method of studying artworks enriches the knowledge that is crucial to activate the rotating wheel of the art scene. The further impact of this—in the context of film education— is the unearthing of the basics of production mode and potential visual grammar that can be attained by moving images. We can refer to film as a technological finding. But throughout its development, the film is ordained as the seventh form of art. “The disconnection between modern art and modern technology cannot be bridged. European’s big ideas entered the Dutch East Indies as ideas that lacked its material history, while European’s technological gadgets entered as materials that lacked its ideal history.”1 This relationship is not dichotomous. Etymologically, art originated from Greek, ‘techne’ that is also the root of the word technology. The film, in proclaiming itself as a form of art, can be traced through its visual history from visual arts. Ronny Agustinus called the dialectic relation between art and technology as an “obsession with reality”.2 In other words, the obsession, that once had been expressed on canvases, as time goes by is supported by the development of science and technology. Imitating optical mechanism, the impression of light can be captured through gelatin tape layered with silver halide (AgBr) emulsion widely known as celluloid. 3 According to Clive Bell, quoted by Ronny (2003), photography’s accessibility liberates painting from description and representation, which diverted the painting’s mapping to the nature of visual instead of the nature of objects. 4 The obsession does not stop there. The zoopraxiscope that was founded by Muybridge sets the logic of moving images. The film was created by putting together few pictures per second, which, in the logic of that image, creates an illusion of movement. The light which was projected onto the white screen, as drawing on canvas (in the discipline of painting), can be seen as its own medium in this technology. The obsessions related to image and reality continues to evolve when other elements such as sound, colour, and visual
1. Agustinus, Ronny. “Video: Not All Correct”, in OK. Video’s post-event catalog, 2003 2. Agustinus, Ronny. “Video: Not All Correct”, in OK. Video’s post-event catalog, 2003 3. Pasaribu, Adrian J. “Ode untuk Seluloid” (Ode to Celluloid), in Mengalami Kemanusiaan (Experiencing Humanity) catalog, 2015. 4. Agustinus, Ronny. “Video: Not All Correct”, in OK. Video’s post-event catalog, 2003.
240
effects become an adhesive thing and continue to explore its essence by film through experimentation modus of arts and technology. When citing the word ‘experimentation’, I looked up Peransi’s (1970) definition of the experiment deriving from the French language, expérience that means ‘to live in’, ‘to experience’. 5 Milisifilem, I think, exists as an endeavor to bridge the gaping chasm between the ideal and the material that is often missing from our history. Through a formalist approach, like understanding nirmana in cultivating visual elements, the practice of framing using charcoal, Chinese ink, and collage, followed by moving image production through the conventional method; these practices are necessary to build the bridges. However, the argument of ‘to experience’ is indeed debatable as far as the material consciousness of the camera medium is still within the scope of the theory study. This can be excused, because our study club focuses on the aesthetic dimension, instead of tinkering with the technological aspect of films. The participant of Milisifilem came from different backgrounds – most of us do not have formal education in arts. When we started to produce the film project supported by Pusbang Film, Kemdikbud, we still have a lack of experience in the art field, but it becomes its own challenge. These projects produced by all participants that divided into five groups, each group contain 3 participants. In the process, each of us spent some time struggling in the realm of concept, thinking about how to make our films clearly visible and relevant to the public. The facilitators of Milisifilem gave us complete freedom to explore the technicalities of film production. We also develop a feasible production method, by trying not to get stuck on the grip of industry generally. Reflecting on my group’s experience (me with Theresa and Robby), as an example, the activity of realising the concept in the field had experienced some changes of strategy several times. It seems because of the lack of experience and knowledge about production schemes. In fact, when the first draft of our film was presented, there were evaluation points that demand a significant rivalry for the film construction that we designed. This means that the freedom of technical exploration does not mean that it allows us to
5. Peransi, D.A., audio recordings from his lectures, 31 Agustus 1970.
241
just ignore the standard benchmark of film production. That is the relation of the ‘incubator’ definition I am referring to, and the method applied by Milisifilem becomes relevant. From the process of developing the idea to the realisation of its production, each group builds collective understanding, criticism and production strategy so this still ongoing model of the Milisifilem study will be jointly owned; collaborative work becomes the strategy of this incubator to overcome the shortcomings that exist in each participant. This process becomes important if we return to the meaning of ‘experiment’ as ‘experiencing’. The conflicts experienced by the diverse heads of participants can eventually produce a synthesis to create an original form, without being trapped in the stiffness of the established system. Producing our first film under the banner of Milisifilem has become our initial moment of facing the real art world, especially me. It is not without any risk. The experiment we have done left us with a lot of room for criticism. However, this journey had been activism that might give us space to grow.
On Action and Reaction Dini Adanurani
When we, members of Milisifilem, were assigned to produce our own films, Wahyu “Walay” Budiman Dasta, Mia Aulia, and I opted to produce a stop-motion collage. It is not a common choice, as the rest of the members recorded their films using the video camera; a conventional mode of film production. Our collage was inspired by Warkop DKI films, titled Maju Kena Mundur Kena (1983), Dongkrak Antik (1982), dan Itu Bisa Diatur (1984). Why did we choose their film? The faces of Dono, Kasino, and Indro had always been present in the television in every holiday program had become an icon to the people. Through collage, we deconstructed those icons into a work of art on its own. Those legendary icons bowed down to our power—on that moment, they were nothing but pieces of paper squeezed between our thumbs and 242
index fingers. They collided with lines and planes created with charcoal and drawing pen. We built them a narration independent from their characters and storyline—Indro, rolling down the street in Maju Kena Mundur Kena became an absurd main character: a creature in the form of a rolling ball. In another scene, we appointed a larger printed Indro as an antagonist of our film. Another character was made out of a piece of arm attached into a car. It’s a gratifying creative process, for it allowed us to use our imagination to the wildest extent. Another world was forming behind a piece of paper that stood as the setting of our film. Even though those fragments lived in their own narration, the audience would recognize them as icons. Dono’s, Kasino’s, and Indro’s face are inseparable from their context of New Order activism, how their career started out as radio anchors who commented on the political situation lightly through comedy. What they did was the most basic rebellion in grassroots level: speaking out the people’s aspiration through subversive punchlines. An unforgettable scene stayed with me on my second viewing of Maju Kena Mundur Kena. On Kasino’s workshop sign, besides mentioning the regular automotive services like reparation and tune-up, they also wrote “accepting orders of finding orders to plan projects, property business, and driver’s license”. Under the line was written, “36-hour service”. When Kasino inquired about the last line, Dono answered, “The 12 hours can be set aside for commissions. Nowadays, nothing goes well without any commission!” It was a subtle, casual bit, but hits the right spot for the people who understand the context of the New Order regime. We tried to adopt the very same spirit of subversion into a visual form, through forming spaces and splitting up shapes using various media, creating interaction between fragments of collage in every moving frame. We drew some inspirations from artists before us who used a similar technique. There were Jan Svankmajer, who created experimental films through stop-motion technique, and William Kentridge who used the same procedure but using charcoal, among others who were referred by our fellow students. They created their art with a playful spirit, breaking the boundaries that had been established by previous practices of art. However, isn’t the interlacing of new
243
connections between reality and past practices of art itself that pushes forward the progress in the history of art? This spirit of newness would only be a temporary burst if it is not continuously forged. This point is highlighted by the intensity of our twicea-week meetings, in every shade of our nirmana and lines in our sketches and assignments, to keep our artistic viewpoints sharp. Even then, artistic expression is not enough to stand on its own; it has to be founded on a sound calculation. A good work of art displays a calculated spontaneity: every step is measured, it contains an ideological consideration and awareness of the medium. A form of order in chaos. Looking back at Warkop DKI’s mode of art—if they could be considered as artists—the form of slapstick comedy was chosen so the common society would understand it easier, along with the political context that came with their punch lines. They were doing more than fooling around, their practice started from the need to respond a happening public situation. The public interest is also a factor to consider in the practice of arts. Creating art solely for the creator to look at would be masturbatory. It is bound to happen in this era, that the affordability of technology and post-reformation spirit of independence establishes film as a favored medium to express the artists’ identity and point of view. This phenomenon is worth celebrating, but we should re-examine the foundation of the work. Such convenience may produce an aesthetic celebration of an individual that lacks social, political, or cultural context. The slogan “art for art’s sake” is no longer relevant for works produced in the present. What we need is a comprehensive criticism and study, to establish a reliable foundation for the current practices of art. It is essential to map the position of the medium that is used—in this case, film—in the constellation of the history of visual arts, including the forms of visual arts that precedes it, and how the shift of its base corresponds to the social-political context of each era. The practice of knowledge sharing is done collectively in lectures and criticisms we do for each other. As we interact with our reality, this knowledge is our ammunition to respond to it from our original point of view. This reciprocal relationship between the subject and reality, for me, is the heart of the practice of arts itself. A recurring action is responded with a reaction. A public phenomenon that is balanced with individual expression. 244
Slowly, we are learning to do it, through sketching the daily bustle of a traditional market in Pasar Minggu, and our film production for a project supported by Pusbang Film (Central of Film Development). Watching my friends staying up all night, working through their sketches until dawn, a spark of hope grows for these small militant ripples to become a bigger splash in a few years to come.
245
Daftar Filem / Films List SS 2: Part II / 13 August, Goethehaus, 16.00 / 18+
Aksi Reaksi Dini Adanurani, Mia Aulia, Wahyu Budiman Dasta (Indonesia) 5 min, B/W, 2018
Cut Dhanurendra Pandji, Robby Ocktavian, Theresa Farah Umaratih (Indonesia) 15 min, B/W, 2018
Pagi yang Sungsang Manshur Zikri, Pingkan Polla, Prashasti Wilujeng Putri (Indonesia) 30 min, B/W, 2018
Karib Afrian Purnama, Anggraeni Widhiasih, Yuki Aditya (Indonesia) 25 min, B/W, 2018
Into the Dark Dhuha Ramadhani, Luthfan Nur Rochman, Maria Christina Silalahi (Indonesia) 25 min, B/W, 2018
246
Pada September 2017, Forum Lenteng menginisiasi sebuah platform produksi dan belajar bersama, yaitu; MILISIFILEM. Platform ini secara khusus mendalami praktik-praktik produksi visual, baik secara teknis maupun konteks yang terkait dengan persoalan sosial budaya terkini. Secara reguler, MILISIFILEM menyelenggarakan pelatihan tentang dasar-dasar visual secara lintas disiplin, menggunakan pendekatan yang partisipatoris dan kolaboratif. Para partisipan menjelajahi berbagai kemungkinan eksperimentasi visual, serta membangun kedisiplinan kolektif dalam memproduksi karyakarya visual. MILISIFILEM secara khusus melibatkan partisipan untuk mendalami aktivisme seni dan budaya dalam rangka menghadapi tantangan perubahan zaman.
Forum Lenteng started its new platform for production and study in September 2017 named MILISIFILEM. This platform specifically explores practices of visual production both technically and contextually relating to contemporary socio-cultural issues. MILISIFILEM regularly carries out interdisciplinary training on the basics of visual arts through participatory and collaborative approach. Participants examine the possibilities of visual experimentation and cultivate their discipline in producing visual works. MILISIFILEM keenly involves its participants to explore art and cultural activism to respond the current situation of the everchanging world.
247
forum festival
248
249
l avi ts ef m u rof
PANEL 1
Ludic dan Performativitas Pembicara/Speakers: Azar Mahmoudian (Iran) Afrizal Malna (Indonesia) Moderator: Prashasti Wilujeng Putri
Pengalaman menonton di ruang gelap mendorong situasi yang dengan sengaja meniadakan mobilitas tubuh dan persepsi lingkungan; ia memindahkan tubuh menjauh dari waktu dan ruang lokalnya saat itu ke dalam ruang naratif dunia sinema di layar. Sementara itu, perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa budaya sinema hari ini membuat filem memiliki kecenderungan untuk tidak lagi sekadar mementingkan keahlian mengkonstruksi cerita yang didukung oleh teknis dan kemampuan akan teknis itu sendiri, tetapi juga kecenderungan untuk mengkonstruksi perubahan pola bermain yang menubuh dengan subjek-subjek pelakunya, yaitu pencipta dan penonton. Saat sinema kini sudah tidak lagi soal ruang gelap, perihal tentang interaksi antara tubuh dan layar tontonan mengemuka dalam perbincangan kita mengenai sinema. Di konteks tertentu, interaktivitas yang ada dari pengalaman menonton ini menciptakan suatu keadaan yang setara antara pencipta dan penonton, yang mana kesetaraan itu kerap menjadi bagian dari pengalaman sinematiknya. Situasi menonton yang telah berubah seiring bagaimana teknologi hari ini hadir dalam bentuknya yang baru itu juga mengubah tingkah laku tubuh secara mendasar. Realitas dibangun oleh mesin dengan bahasa, gestur, dan semua jenis tanda sosial yang bersifat simbolik; tubuh mengakses realitas dengan dimediasi oleh mesin. Hasrat ataupun tindakan bukan lagi bertujuan untuk merepresentasikan sesuatu, melainkan menjadi tujuan itu sendiri: tindakan aktif tubuh dalam interaksinya dengan teknologi. Tanggapan tubuh terhadap perubahan teknologi yang masih akan terus berlangsung tersebut, dengan demikian, menjadi pertanyaan penting dan relevan dalam konteks ini. 250
Pemetaan macam apa yang dapat kita tarik dalam rangka menelaah perubahan interaksi antara tubuh dan teknologi, di tengah-tengah fenomena hubungan antara publik dan kultur layar? Sampai di batas mana perubahan ini dapat menelisik masuk ke kehidupan berlapis sosial-politik manusia?
Ludic and Performativity The experience of watching film in darkroom creates somehow a situation that deliberately negates our body’s movement and environmental perception; it displaces the body from its real space and time into the narrative space of the cinematic world on the screen. Meanwhile, the current development of cinema culture indicates certain tendencies that film is no longer focused on the ability in constructing stories supported by technical expertise and tools, but also the potency to address revolution of the embodied playing patterns of its subjects—the creator and the spectators. When cinema is no longer a matter of the darkroom, the new kind of interaction between the body and the screen rises in our conversation about cinema. In some contexts, such interactivity configures an equivalent relationship between the creator and the spectator, more often than not it becomes the most important part of cinematic experience. Such watching situation that is shifting concomitant with how nowadays technologies come in its new form also alters the fundamental behaviour of our body. Reality is built by the machine through language, gesture, and all kind of symbolic social signs; the body accesses reality in a machinery-mediated way. Desire or action no longer aims to represent something but becomes the objective on its own: the action of the body in its interaction with technology. Therefore, the body’s response towards technology’s ongoing evolution is an important and relevant question in this context. How do we discuss the changing form of interaction between the body and the technology among the phenomenon of relationship between public and screen culture? To what extent can these changes probe into the social-political life of human-being?
251
l avi ts ef m u rof
PANEL 2
Kritisisme Filem dan Lembaga Perfileman Pembicara/Speakers: Akbar Yumni (Indonesia) Michael Baute (Jerman) Moderator: Afrian Purnama
Pertumbuhan subur berbagai jenis lembaga perfileman di Indonesia, mulai dari yang bertujuan sebagai sarana produksi, apresiasi, kajian, pengarsipan, distribusi, dan pengembangan jaringan, hingga yang dengan sadar bereksperimen (dalam bentuk apa pun) terhadap medan perfileman global, merentang dari ranah yang paling formal, seperti lembaga yang disahkan atau yang mewakili negara, hingga ke ranah industri, seperti asosiasi para pekerja filem, juga ke ranah alternatif, seperti asosiasi komunitas dan insan independen. Dampak positif yang menyusul amanat Undang-Undang ini membuka pertanyaan baru bagi kritisisme filem, baik tentang soal-soal yang masih bersifat kekaryaan dan kesenimanan, maupun tentang faktorfaktor penting bersifat institusional yang menaunginya. Ada kebutuhan untuk meluaskan cakupan kritik guna melihat hubungan antara lembaga formal dan nonformal yang menaruh perhatian terhadap filem, sekaligus memancing kesadaran kritis lembaga-lembaga yang ada tentang posisi strategisnya masingmasing dalam lingkup aktivitas politik kebudayaan yang lebih luas. Sebab, aktualisasi kelembagaan agaknya menunjukkan perubahan-perubahan berarti dalam hal status dan bentuk pengelolaan organisasional para pegiat filem, juga pengaruh timbal-baliknya terhadap perkembangan bentuk, bahasa, dan estetika filem serta modus penyelenggaraan peristiwa perfileman. Apakah yang dapat kita pahami dari gejala-gejala aktual ini di dalam kerangka kritisisme filem, ataupun tentang kritisisme filem itu sendiri yang kiranya juga mengalami institusionalisasi pada bagian-bagian tertentunya?
252
Film Criticism and Film Institution The rapid growth of various types of film institutions in Indonesia, ranging from those that serve as means of production, appreciation, study, archiving, distribution, and network development, to the consciously experimenting (in any form) of the global film field, extending from the most formal realms, such as institutions that are endorsed by or represents a country, to the industrial realm, such as the association of film workers, as well as to alternative spheres, such as community and independent individual. The positive impact following the mandate of the Act opens new questions for film criticism, both regarding the workmanship and artistry, as well as on the important institutional factors that support it. There is a need to expand the scope of criticism to see the relationship between formal and non-formal institutions that concern about film, as well as to provoke critical awareness of existing institutions about their respective strategic positions within the broader range of cultural political activities. This is because institutional actualization seems to indicate significant changes in terms of the status and forms of organizational management of film practitioners, as well as their reciprocal influence on the development of film forms, languages and aesthetics and the mode of organizing film events. What can we understand from these actual phenomena within the framework of film criticism, or about the criticism of the film itself, which may also be institutionalized in particular sections?
253
l avi ts ef m u rof
PANEL 3
Pendidikan Film Sekarang dan Masa Mendatang Pembicara/Speakers: Choiru Pradhono (Institut Seni Indonesia, Padangpanjang) Kus Sudarsono (Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang) Ifa Isfansyah (Jogja Film Academy, Yogyakarta)Â Moderator: Manshur Zikri
Peta perfileman kita setidaknya mengindikasikan bahwa nilai produktivitas antara pelaku filem yang dilatarbelakangi oleh kepentingan industri, aktivisme dan euforia komunitas, dan yang bertujuan untuk kebutuhan akademik, hingga hari ini cenderung menuju titik kesetimbangan dari segi kuantitasnya. Persinggungan antara ketiga ranah itu menjadi demikian penting seiring dengan maraknya ide-ide eksperimentatif untuk menggenjot distribusi pengetahuan filem dan output-nya ke berbagai kalangan. Gejala ini tentu perlu dicermati dengan tetap memastikan adanya usaha untuk merancang dan menerapkan berbagai kemungkinan dari mekanisme pendidikan, baik formal maupun alternatif, yang tidak lagi terkotak-kotak dan secara ideal mampu menyesuaikan perkembangan zaman dan wacana terkini di lingkungan perfileman global. Menanggapi hal ini, Forum Festival ARKIPEL mencoba membuka perbincangan tentang ragam kurikulum pendidikan filem. Diwakili oleh sejumlah pelaku pendidikan di ranah itu, panel ini juga berupaya memicu analisa kritis terhadap kurikulum pendidikan filem yang selama ini telah diterapkan oleh berbagai jenis institusi pendidikan, sekaligus memfasilitasi ruang bagi pelaku akademik dan nonakademik untuk saling berbagi pandangan mengenai sistem pendidikan sinema sekarang dan masa yang akan datang. 254
Film Education: Current and Future Practice The mapping of our cinema today at least indicates that the values of productivity between film doers which based on industrial interests, activism and community euphoria, and those who aimed toward academic needs, tend to meet the equilibrium points in terms of their quantity. The intersection of the three domains has become so important as the rise of the experimentative ideas to boost the distribution of film knowledge and its output to various circles. This phenomenon certainly needs to be scrutinised while ensuring an effort to design and implement the various possibilities of the formal and alternative educational mechanism, which are no longer fragmented and ideally able to adapt the latest update and current discourse of the global film sphere. In response to this, ARKIPEL Forum Festival tries to open a discussion about the variety of film education curriculums. Represented by a number of educational activists in the film field, this panel also seeks to trigger critical analysis of the curriculum of film education that has been applied by various types of educational institutions, as well as to facilitate the space for academic and non-academic based activists to share their views on current and future education system of cinema.
255
l avi ts ef m u rof
PANEL 4
Melampaui Kolaborasi: Antara Berkarya Secara Kolektif dan Individu Pembicara/Speakers: Otty Widasari (Indonesia) Helen Petts (United Kingdom) Moderator: Manshur Zikri
Adakah struktur suatu karya hasil kolaborasi, serta proses di baliknya, juga merepresentasikan struktur medan sosial yang di dalamnya seniman selalu mencoba bermain dan bereksperimen untuk menanggapi isu-isu aktual dan historis? Untuk meletakkannya sebagai imajinasi visioner dalam rangka menjelajahi kemungkinan-kemungkinan estetis, ‘kolaborasi’ dalam konteks ini tidak lagi dipahami sebagai semata-mata suatu bentuk kerja sama antarseniman, seniman dan lembaga, ataupun seniman dan warga, tetapi lebih sebagai manifestasi hubungan simbiotik yang secara filosofis memengaruhi pilihan bahasa dan bentuk seni, sehingga pada akhirnya akan menentukan pernyataan artistik, makna konstruktif, dan dampak sosiokultural dari hasil dan proses yang dilakukan seniman. Dua pembicara yang dihadirkan pada panel ini memiliki latar belakang aktivitas di lingkup sosial, budaya, dan geografi yang berbeda satu sama lain, tetapi praktik mereka sama-sama mencerminkan kesadaran tentang usaha untuk mengamplifikasi pendekatan kolaboratif hingga ke titik termaksimalnya, menjadikan pengalaman berkomunitas sebagai bagian dari pernyataan kultural mereka, dan menunjukkan keaktifan di skena kolektif seni yang telah lintas ranah dan generasi. Produktivitas mereka juga demikian tinggi sebagai seniman individu yang tetap menyertakan ide kolaborasi ke dalam gagasan-gagasan seni mereka. Keduanya diharapkan dapat mewakili perbincangan kita untuk mengungkai perluasan makna dari kolaborativisme yang penting bagi pengembangan pengetahuan mengenai gambar bergerak. 256
Beyond Collaboration: Between Collective and Individual Practice Does the structure of collaborative works, as well as the process behind them, represent the structure of the social world in which the artists play and in which they are always experimenting to respond to actual issues and history? As an attempt to view this as a type of visionary imagination to explore aesthetic possibilities, “collaboration” in the context of this discussion is understood not only as a mere form of cooperation (between artists, artists and institutions, or even artists and non-artists) but also as a manifestation of the symbiotic relationship that philosophically influences the choice of language and form of art. It will eventually determine the artistic statements and the constructive meaning made by the artists, as well as its sociocultural impacts. Both keynote speakers who present in this panel have a background of activities from different social, cultural, and geographic spheres. However, some aspects of their practices reflect an awareness in amplifying the collaborative approach to reach its maximum potential, place the experiences of working in the collective as part of their cultural statement, and demonstrate a liveliness in the climate of interdisciplinary art collectives through generations. In their very high productivity as an individual artist, they also involve the collaborative notion in their ideas on art. Both of them can represent our conversation in the framework of addressing and expanding the meaning of “collaboration,” which is very important for advancing our knowledge on moving image practices. How should we philosophically understand collaboration as a way of thinking and practice? How do we go beyond collaboration?
257
l avi ts ef m u rof
PANEL 5
Peran Komunitas dalam Menentukan Bahasa Sinema Kita Pembicara/Speakers: Findo Bramata Sandi (Relair Cinema, Indonesia) Dini Adanurani (Sinematografi UI, Indonesia) Rachmat Hidayat Mustamin (Makassar, Indonesia) Moderator: Dhuha Ramadhani
Ruang aktivisme filem dalam bentuk komunitas/kolektif tumbuh berlantasan di beragam lokasi. Tanjakan kuantitas komunitas ini menggaungkan peluang adanya pola-pola baru dalam pertukaran wacana sinema kita. Untuk menguatkan daya tawarnya, komunitas perlu secara konsisten mengembangkan pengetahuannya tentang bahasa visual, teori, dan sejarah filem yang justru kerap terabaikan di sejumlah forum pertemuan komunitas. Topiknya melompat, katakanlah, lebih berfokus pada manajemen produksi profesional atau manajemen promosi dan publikasi satu arah: komunitas filem terancam bergeser posisinya sebagai hanya ruang pra-industri. Dalam penentuan bahasa sinema kita, atau bahasa sinema secara lebih global, aktivisme komunitas sesungguhnya memiliki potensi kuat dan peran yang teramat penting. Ragam inisiatif mulai dari aksi produksi, distribusi, eksebisi, hingga edukasi filem yang digagas sejumlah komunitas telah mengambil peran strategis. Strategis dalam bingkaian yang memperlihatkan bahwa aksi berkomunitas para pegiatnya tidak terlepas dari konteks posisinya dalam masyarakat, berlandaskan hasrat berbagi dan berorientasi pendidikan. Dengan demikian mereka semakin memantapkan demarkasinya dari kultur industri. Mengkritisi kultur dominan, komunitas bergerak dengan “cara tersendiri� sesuai kebutuhan dan kemampuan anggotanya. Kemudian melalui aktivitasnya itu komunitas menjadi fasilitator dalam upaya mempertemukan kepentingan publik yang lebih luas, menggunakan kultur bersinema. Konsistensi dalam aksi-aksi berkomunitas yang demikian 258
membuat kita dapat membayangkan masa depan sinema kita: sinema yang lebih bersifat emansipatif dan empatik.
Role of Community in Determining Our Language of Cinema Space for film activism such as film community grows continuously in various locations. This increasing number of communities echoes the possibility of new patterns in our cinematic discourse. The community needs to consistently develop its knowledge of visual languages, film theories, and film histories that are often overlooked in a number of community forums to strengthen its bargaining power. The topics jump, let’s say, more focused on professional production management or promotional management and oneway publications: the film community is threatened to shift its position as just a pre-industrial space. The community activism actually has a strong potential and a very significant role in determining our language of cinema, indeed the language of cinema in a more global context. Various initiatives such as film production, distribution, exhibition, and education by communities have taken a strategic role. Strategic in the framework which shows that the action of the community of its activists is inseparable from the context of its position in society, based on the passion of sharing and education-oriented. Thus they strengthen its demarcation of industrial culture. Based on its members’ needs and capabilities, community moves with “its own way” in criticising the dominant culture. Then through its activities, community becomes a facilitator in attempting to meet the wider public interest, using the cinematic culture. Consistency in such community actions enables us to imagine the future of our cinema.
259
260
261
Indeks Sutradara Directors Index
Lukas Marxt 183 Mahardika Yudha 222 Mamali Shafahi 113 Manshur Zikri 246 Mara Mattuschka 185 Maria Christina Silalahi 246
Afrian Purnama 222 Alli MacKay 208 Anna Vasof 176, 177, 178 Annik Leroy 94 Bahar Noorizadeh 107 Barbara Sternberg 205 Barry Greenwald 196 Batara A. Pekerti 148 Ben Donoghue 211 David de Rozas 59 Dhanurendra Pandji 246 Dhuha Ramadhani 246 Dietmar Brehm 184 Dini Adanurani, Mia Aulia 246 Elise Simard 213 Ella Raidel 190 Emily Richardson 136 Francisca Duran 50 Geonhee Kim 73 Georg Tiller 60 Gerco de Ruijter & Michel Banabila 58 Hadi Fallahpisheh 112 Harald Hund 188 Harun Farocki 227-230 Helen Petts 137 Hiroshi Sunairi 74 Inês de Lima Torres 51 Jaene Castrillon 206 Janice Cole and Holly Dale 198 Jan Machacek 186 Jan Willem van Dam 44 Josephine Massarella 207 Joyce Wieland 212 Kamal Swaroop 122 Laleh Khorramian 106 Laleh Khorramian 108 Lauren Howes 214 Lindsay McIntyre 209 Luthfan Nur Rochman 246 Lotte Schreiber 180
262
Mark Schonagen 80 Markus Scherer 182 Merv Espina 124 Midi Onodera 197 Muhammad Reza 151 Mukul Haloi 83 Myriam Van Imschoot 89 Nadia Hotait & Laila Hotait 23,65 Nayra Sanz Fuentes 23, 75 Norbert Pfaffenbichler, 180 Prashasti Wilujeng Putri 246 Rambod Vala 111 Robby Ocktavian 246 Robert Cambrinus 187 Roberto Rosendy 152 Pingkan Polla, 246 Saeed Keshavarz 88 Sebastiano Luca Insinga 23, 66 Siegfried Fruhauf 179 Slavs And Tatars 109 Sohrab Hura 123 SoJin Chun 210 Sorayos Prapapan 82 Srđan Vukajlović 53 Steven Vicky Sumbodo 150 Susana Nobre 52 Syaiful Anwar 222 Tala Madani 110 Theresa Farah Umaratih 246 Thomas Fuerhapter 181 Thomas Renoldner 189 Thomas Renoldner 191 Tulapop Saenjaroen 95 Veronika Burger 81 Veronika Burger (Austria) 23 Wahyu Budiman Dasta 246 William Raban 135 Winner Wijaya 149 Wisnu Dewa Broto 153 Yuki Aditya 246
Indeks Filem Filem Index 36 180 48 years – Silent Dictator 74 165708 207 About Now MMX 135 A DAD 187 Aksi Reaksi 246 APNOE 188 Apple Tree 110 A Room with a Coconut View 95 Aturquesada 210 Awasarn Sound Man 82 Balikbayan #1 Memories of Overdevelopment Redux VI 128 Beach House 136 Cinema isn’t I See, it’s I Fly 190 COKE 184 Communication Shrine 108 Cut 246 Dangsan 73 De Madrugada 51 Down to Earth 176 Eye Stabber 110 Flash Flood 208 Fuddy Duddy 179 GIVE 59 Golden Memories 222 Grid Corrections 58 Hamdami 109 How to Live in the FRG 227 In the Mix 186 Into the Dark 246 I Without End 106 Kakak Mau Beli Tisu? 148 Karib 246 Kasihan 151 La Buona Novella 23 La Buona Novella 66 Lahir di Darat, Besar di Laut 150 Le Cadeau 89 Loralir sadhukatha 83 Mababangong Bangungot 126 Meta Marathon 88
Metamorphosis 196 Nature Morte 113 Not Waving But Drowning 209 Ojek Lusi 149 Old Factory 110 O.T. (without title) 182 Overnight Flies 60 P4W: Prison for Women 198 Pagi yang Sungsang 246 Parallel I 230 People Patterns 80 Pierre Radisson: Fjord and Gulf 211 Planes 181 Pushkar Puran 122 Reign of Silence 183 Rimba Kini 153 Sailboat 212 Serious Games IV: A Sun without Shadow 229 Shahed 111 Sinong Lumikha ng Yoyo? Sinong Lumikha ng Moon Buggy? 127 Songs of Fortune 23 Songs of Fortune 81 S.O.S. Extraterrestria 185 Sub Terrae 23 Sub Terrae 75 Sum (Heart) 206 Sunny Afternoon 189 Svetlarnik 53 Tempo Comum 52 Ten Cents a Dance (Parallax) 197 The Earth In The Sea 205 The Fly Misery of Quamé Nyantakyi 44 The Lost Head and the Bird 123 The Night Between Ali and I 23 The Night Between Ali and I 65 The Occupant 213 Things and Wonders 2022 178 Throw Them Up and Let Them Sing 137 Traje de Luces 50 TREMOR – Es ist immer Krieg 94 Ultima Ratio Δ Mountain of The Sun 107 What’s Wrong with My Film 152 When Time Moves Faster 177 Why do We Prefer Lettuce to Other Fruits 112 Workers Leaving the Factory 228
263
Acknowledgement
Komite Film - Dewan Kesenian Jakarta Lulu Ratna, Hikmat Darmawan, Meiske Taurisia, Prima Rusdi Ford Foundation – Jakarta Heidi Arbuckle, Adyani Widowati, Esther Parapak The Japan Foundation – Asia Center, Jakarta Tsukamoto Norihisa, Ibu Diana, Ibu Nurul, Abdul Barry Goethe-Institut Indonesien – Jakarta Dr. Heinrich Blömeke, Anna Maria Strauß, Dinyah Latuconsina, Gugi Gumilang, Ranggi Arohmansani, Nurlaili British Council – Jakarta Nisa Ashila, Levina Wirawan, Adam Pushkin, Irma Chantilly LUX – London, UK Benjamin Cook Kineforum - Jakarta Suryani Liauw, Poetra Rizky Harindra Produksi Film Negara Abduh Aziz Desire Machine Collective Sonal Jain, Mriganka Madhukaillya Ke:kini Ruang Bersama Felencia Hutabarat Canadian Filmmakers Distribution Centre Lauren Howes Harun Farocki Institut Elsa de Seynes, Doreen Mende Sixpackfilm Gerald Weber Kedutaan Besar Austria Jakarta Josko Emrich, Kharismaniar Aisyah Antje Ehmann, Scott Miller Berry, Michael Baute, Titaz Permatasari, Rosdiana "Angkah", Valencia Winata, wTerratrema Films, Komunitas Yoikatra, Komunitas Pasirputih, Komunitas Gubuak Kopi, Sayurankita - Pusat Studi Agrikultur, Experimenta, Lilia Nursita (Gajah Hidup) & Keluarga Besar Forum Lenteng
264
265
Anggota Forum Lenteng Forum Lenteng Members
Abi Rama
Agung "Abe" Natanael
Afrian Purnama
Albert Rahman Putra
Artist
Photographer
Writer
Writer/Musician
Akbar Yumni
Andang Kelana
Andi K. Yuwono
Andrie Sasono
Writer/Reseacher
Creative Consultant
Cultural Activist
Content Writer
Andi Rahmatullah
Ardy Widi Yansah
Ari Dina Krestiawan
Adawiyah Nasution
Journalist
Photographer
Artist/Lecturer
Banker
266
Anggraeni Widhiasih
Ario Fazrien
Arissa "Icha" Ritonga
Andreas Meiki S.
Writer/Researcher
Videographer
Journalist
Labour
Alifah Melisa Aprilani
Bagasworo "Chomenk"
Bobby Putra S.
Bunga Siagian
Chinese Translator
Artist/Researcher
Enterpreneur
Cultural Activist
Dian Komala
Dalu Kusma
Debora A. Nainggolan
Defina Martalisa
Labour
Social Media Influencer
Stewardess
Employee
Dhanurendra Panji
Dhuha Ramadhani
Dini Adanurani
Eko Yulianto
Cultural Activist
Writer/Researcher
Philosophy Student
TV Producer
267
Faita Novti Krishna
Fuad Fauji
Frans Sahala P.
Firman "Kaspo" S.
Wardrobe
Writer
Media Practicion
Local Organizer
Fauzan "Padang" C.
Gunawan Wibisono
Enterpreneur
Employee
Herman Syahrul
Intan Pertiwi
Imam Rahmadi
Jean Marais
Cameraman
Media Practicioner
Journalist
Actor
Klara Pokeratu
Luthfan Nur Rochman
Lulus Gita Samudera
M. Hafiz Pasha
Fashion Stylist
Archeologist/Filmmaker
Journalist
Employee
268
Hafiz Rancajale Artist/Curator
Hanif Alghifary Artist
Mahardika Yudha
Manshur Zikri
Maulana "Adel" Pasha
Mira Febri Mellya
Artist/Curator
Writer/Reseacher
Artist
Writer/Media Practitioner
Mirza Jaka Suryana
Maria C. Silalahi
Mia Aulia
Mohamad Fauzi
Writer/Enterpreneur
Cultural Activist
Design Student
Video Artist
Muhamad Sibawaihi
Nurhasan
Otty Widasari
Pingkan P. Polla
Cultural Activist
Employee
Cultural Activist
Artist
Ragil Dwi Putra
Rayhan Pratama
Prashasti W. Putri
Putera Rizkyawan
Artist
Researcher
Art Manager
Graphic Designer
269
Rachmadi "Rambo"
Ray Sangga Kusuma
Renal Rinoza
Riezky A. Pradana
Artist
Entrepreneur
Writer/Researcher
Journalist/Musician
Rio
Robby Ocktavian
Sherly Triana H.
Syaiful Anwar
Graphic Designer
Cultural Activist
Entrepreneur
Director/Cameraman
Sysca Flaviana Devita
Titaz Permatasari
Titin Natalia Sitorus
Tiwi Novryanti
Entrepreneur
Music Enthusiast
Cultural Employee
Employee
Theresa F. Umaratih
Theo Nugraha
Ugeng T. Moetidjo
Umi Lestari
Artist
Artist
Writer/Researcher
Writer/Reseacher
270
Wachyu "Acong" P.
Wahyu "Tooxskull" C.
Wahyu Budiman Dasta
Yose Rizal
Photographer
Graphic Designer/Musician
Reporter
Event Organizer
Yuki Aditya
Yonri Revolt
Yoyo Wardoyo
Cultural Activist
Cultural Activist/filmmaker
Graphic Designer
Bodas Rancajale
Terra Pandu Tambora
Bohdana Zahra
271
APLIKASI PREMIUM HARIANÂ KOMPAS
Nikmati berita sesuai kebutuhan Anda
Unduh aplikasi Kompas.id Sekarang
272
273
274
275
Cerita ke:kini ke:kini ruang bersama adalah sebuah coworking space yang didirikan untuk menjawab kebutuhan ruang para pekerja sosial, seni dan budaya untuk berinteraksi, berkarya, bertukar ide dan berkolaborasi. ke:kini bertujuan untuk menjadi ruang eksperimentasi, perwujudan ide kreatif serta laboratorium pengembangan ilmu pengetahuan di masa depan. ke:kini menempati gedung bersejarah di kawasan Cikini bergaya arsitektur kolonial yang masih mengikuti bentuk aslinya dan desain ruang yang estetik. Di sini kawan ke:kini bisa menemukan suasana kerja yang nyaman dengan interior yang mendukung untuk penciptaan ide-ide baru. Kami berharap, perjumpaan individu dan komunitas di ke:kini dapat menjadi pemicu bagi perubahan yang lebih baik—di mana semua pihak bisa ambil bagian dan berkontribusi dengan caranya masingmasing. Silahkan hubungi kami untuk tur fasilitas dan ruang di ke:kini, dan jadikan ke:kini ruang kerja kawan-kawan sekalian. Mari mampir dan berbagi, mari ke ke:kini!
Jalan Cikini Raya Nomor 43/45 Cikini, Menteng | (021) 2239-2326
276
Waktu buka: Senin-Sabtu pukul 09.00-21.00.
Informasi lebih lanjut: www.kekini.org | email: contact@kekini.org | IG/Twitter: @komunitaskekini | FB: kekini ruang bersama
277
SEE YOU AT ARKIPEL - 7TH JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2019
278
Mitra Resmi / Official Partners
Mitra Budaya / Cultural Partners
Mitra Media / Media Partners
2018