Arkipel Twilight Zone - 8th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival

Page 1



i


Penyunting / Editor Anggraeni Widhiasih Penulis / Writers Afrian Purnama, Anggraeni Widhiasih, Dhanurendra Pandji, Dhuha Ramadhani, Hafiz Rancajale, Kim Eunhee, Luthfan Nur Rochman, Mahardika Yudha, Otty Widasari, Pingkan Polla, Yuki Aditya, Philip Widmann, Taufiqurrahman Kifu Penerjemah / Translator Anggraeni Widhiasih, Dini Adanurani, Yuki Aditya, Gema Ramadhan Bastari English Proofreader Valencia Winata, Anggraeni Widhiasih Perancang Grafis / Graphic Designers Pingkan Polla & Robby Ocktavian Latar Sampul / Cover Image Dhuha Ramadhani & Robby Ocktavian Tipografi “Twilight Zone” / “Twilight Zone” Typography Robby Ocktavian & Volta Jonneva ARKIPEL Tree of Knowledge Drawing Hafiz Rancajale ARKIPEL Logotype Drawing Ugeng T. Moetidjo Percetakan / Printing Gajah Hidup Diterbitkan oleh / Published by Forum Lenteng Cetakan Pertama, Jakarta, November 2021 200 eksemplar Copyleft Forum Lenteng Jl. H. Saidi No. 69 RT.007/RW.05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta. 12530 www.forumlenteng.org | info@forumlenteng.org | @forumlenteng ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival www.arkipel.org | info@arkipel.org | @arkipel

Widhiasih, A., (Ed.) (2021). ARKIPEL Twilight Zone – 8th Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival. 1 st ed. Jakarta: Forum Lenteng [ 222 hlm, 14,8 x 21 cm] ISBN 978-602-71309-8-2

ii


iii


Komite / Commit tee

2

CatatanDirektur Festiva l Festiva l Director’s Note

4 6

Komite / Commit tee

8

Kurator

10

Juri

16

Tentang Penyelenggara

18

Penyataan A r tistik / A r tistic Statement Sinema Di Zona Temaram Cinema In Twilight Zone

20 23

Awards

26

iv


Ref leksi A rkipel / Ref lection on A rkipel Gambar-Gambar Tera khir Sebelum Semburat Apoka lips Di Ca krawa la The Last Photographs Before The Apoca lyptic Tinge In The Horizon

28 33

Kompetisi Internasiona l / Internationa l Competition Hantu Yang Ber transformasi Mengg urita The Tentacular Transforming Ghost

38 41

R iwayat Kultur Pengg una Da lam Jejaring Pena klukan The Histor y Of User Culture In A Net work Of Conquest

45 48

Puisi Teknologi Gambar Bergera k: Di “A ntara”, “Sa ling”, Dan “Pa kai” The Tech-Poetr y Of Moving Image: In “Bet ween”, “Relating”, A nd “Use”

53 56

Melihat Bayangan Watching Shadows

67 70

Zona Penumbra Penumbra l Zone

78 81

Sebua h Lokasi Yang Kedatangan Tamu Asing A Visit By A Foreign Guest

85 87

Perja lanan A neh Ke Baratnya Barat Bizzare Journey To The West Of The West

91 93

Zona Temaram Berbayang Shadowed Twilight Zone

96 98

Tableaux Vivants Da lam Era Pasca “Tableaux Vivants” In The Post- Era

101 104

v


Presentasi K husus / Specia l Prsentation Tempat-Tempat Lumra h Bagi Penangg uhan Common Places Of Suspension

112 116

Permukaan Ta k Acuh, Gera kan Pendulum Indifferent Surface, Pendulum Movement

123 126

Penayangan K husus / Specia l Screening Catatan Tentang A kademi A rkipel Collective

136

Ref leksi Ver tika l Ref lection On Ver tica l

140 143

Catatan Tentang Om Pius Notes On Om Pius

150 151

Undangan Ke Beranda Dolorosa A n Invitation To Dolorosa’s Veranda

153 156

vi


Candrawa la – Loca l Landscape Of Now Lanskap Dan Kepengarangan Landscape A nd Authorship

162 167

Pengantar Keynote Speech Forum Festiva l 2021: “Twilight Zone” Preface Keynote Speech Of Forum Festiva l 2021: “Twilight Zone”

176 178

Forum Festiva l Panel 1 Ba hasa-Ba hasa Yang Mungkin” The Possible Lang uages Of Cinema”

180 182

Panel 2 Demokrasi, Resistensi, Dan A lgoritma” Democracy, Resistance A nd A lgorithms”

184 186

Panel 3 “Membang un Jejaring Pengeta huan” Constructing A Net work Of K nowledge

188 190

Kultursinema

194

1


KOMITE / COMMITTEE

ORGA NIZING COMMITTEE

SELECTION COMMITTEE

Board of Artistic

Head Selector

Ha f iz R a ncaja le

Ot t y Widasa ri

Ot t y Widasa ri Yuk i Adit ya

Selection Team

EX ECUTI V E COMMITTEE

A ngg raeni Wid hiasi h

A fria n P urna ma Dha nurendra Pa ndji Lut hfa n Nur Rochma n Chairperson – Artistic Director

Pingka n Polla

Ha f iz R a ncaja le Candrawala Curator Festival Director

Dhuha R a mad ha ni / Dini Ada nura ni

Yuk i Adit ya FORUM FESTI VA L Festival Manager A ngg raeni Wid hiasi h

Prashasti Wilujeng P utri Lut hfa n Nur Rochma n Dini Ada nura ni A ngg raeni Wid hiasi h Ma ria Dea ndra Wa hy u Budima n Dast a KULTURSINEM A Ma ha rdi ka Yud ha A fria n P urna ma Lut hfa n Nur Rochma n Dini Ada nura ni Volt a Jonneva Prashasti Wilujeng P utri I Gde Mi ka Wa hy u Budima n Dast a

2


F EST I VA L OF F ICE Operational Manager

Media Relation

A ngg raeni Wid hiasi h

A lifa h Melisa (Coordinator)

Prashasti Wilujeng P utri Archive & Documentation Database

Lut hfa n Nur Rochma n

Robby Ockt av ia n

I Gde Mi ka

A fria n P urnawa Wa hy u Budima n Dast a

Projectionist Muha mmad R isk i

Art Handling

Bik i Wabiha mdika

Milisif ilem News Room Communication & Publication

Dini Ada nura ni (Coordinator)

A ngg raeni Wid hiasi h (Catalog Editor) Reporter D ini Ada nura ni, Robby Ockt av ia n,

Niska la Hapsa ri

A fria n P urna ma, Prashasti Wilujeng

A lessa ndra La ng it

P utri, A ngg raeni Wid hiasi h (Website

Va lencia Winat a

Administrator)

Ga li h Pra mudito Adi Osma n

Wa hy u Budima n Dast a & Dha nurendra

A la na P utra

Pa ndji (Social Media Administrator)

Bia h la l Badri

Robby Oct av ia n, Pingka n Polla, Volt a

Reportage Translator

Jonneva (Graphic Designer)

Innas Tsuroiya A gat ha Da nastri Per tiw i D yza Va nska

3


Catatan Direktur Festival Yuki Aditya

Ta hun ini seh a rusn ya gena p pen yelengga r a a n A R KIPEL ke-10, namun kenda la pandemi COV ID -19 membuat kami meminima lisir penyelenggaraan festiva l ta hun la lu. Di ta hun 2020, kami hanya menyajikan program diskusi terbuka Forum Festiva l yang tema-temanya mencoba merespons situasi ta hun la lu, baik yang terkait dengan sinema secara langsung maupun yang di sekitaran kita sehari-hari. Jujur, banya k ha l yang kami rindukan dari penyelenggaraan luring dari sebua h festiva l karena pada khita hnya selain untuk menemukan ser ta menonton f ilem-f ilem yang membuka wawasan berpikir, festiva l juga hadir untuk memper temukan orang-orang untuk sa ling berbagi wawasan. Untuk penyelenggaraan A R KIPEL ke-9 ini, kami memutuskan untuk mengada kannya secara daring, sambil berharap agar segera dapat ber temu kemba li da lam format luring semula. Memperhatikan penyelenggaraan Forum Festiva l A R KIPEL yang diada kan secara daring ta hun la lu, ada beberapa tantangan dan peluang bagi A R KIPEL sendiri. Ya kni, kami menjaring par tisipan yang sebaran wilaya hnya lebih luas dibanding saat penyelenggaraan secara luring seper ti biasanya dan bagaimana kami harus menjaga jaringan ser ta hubungan tersebut ke depannya.

4


Mungkin bisa dibayangkan ka lau keter tarikan para par tisipan Forum Festiva l ta hun la lu bisa diasosiasikan dengan daya tarik para narasumber atau topik pemba hasannya. Keter tarikan tersebut saya harap sama besar dengan antusiasme kami da lam mengorganisir festiva l f ilem ini da lam format yang baru, yaitu untuk sela lu menemukan cara berkomunikasi baru mela lui medium f ilem dan wacana seputarnya. Sejatinya, potensi sinema bisa kita rasa kan ketika ada kebebasan berekspresi dan membentuk penonton yang tida k melulu terkondisikan untuk senantiasa terhibur, namun terpantik dan lebih awas a kan persoa lan sosia lbudaya yang ada di sekeliling kita. A R KIPEL diselenggara kan per tama ka li pada ta hun 2013 da lam kerangka ba hwa kami sendiri, para pegiat di Forum Lenteng sebagai penyelenggara, bukan ingin menghadirkan f ilem-f ilem yang hanya semata ber tujuan untuk menghibur tetapi juga menempatkannya sebagai medium untuk bereksperimen da lam a ksi belajar mela lui sinema: belajar melihat, membaca, menuliskan, dan mengorganisasikan apa-apa yang terkait dengan sinema mela lui festiva l f ilem. Tema ka li ini, Twilight Zone, terasa sepa kat dengan apa yang tela h kami kerja kan da lam delapan ka li penyelenggaraan A R KIPEL, ya kni soa l ruang antara yang memper temukan antara cara ber tutur dan penyajiannya secara ar tistik, yang membuka mata dan pikiran kita a kan sensitivitas dan berimajinasi. Semoga kedua ha l bisa kita a lami bersama selama penyelenggaraan A R KIPEL Twilight Zone – 9th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, dari 26 November sampai 19 Desember 2021, mela lui sejumla h program seper ti Forum Festiva l, Perilisan buku Kultursinema “Harimau Tjampa”, Kompetisi Internasiona l, Program Kuratoria l, dan Program Candrawa la. A R KIPEL meng ucapkan terima kasih atas dukungan dan kolaborasi yang terja lin dengan rekanan-rekanan kami, baik yang tela h seja k awa l bekerja sama maupun yang baru ter w ujud ta hun ini, seper ti dukungan dari lembaga-lembaga kebudayaan negara-negara sa habat dan lembaga-lembaga swasta, yang selama ini memfasilitasi Forum Lenteng dan mendorong ter w ujudnya berbagai ide kreatif yang berhubungan dengan f ilem, khususnya festiva l A R KIPEL. Kami ucapkan banya k terima kasih kepada mitra-mitra festiva l, komunitas rekanan, seniman, para penonton, dan ta k lupa kepada semua anggota Forum Lenteng yang tela h bekerja keras untuk mew ujudkan A R KIPEL Twilight Zone, ser ta kepada para relawan yang siap bekerja selama bulan November dan D esember ini. Kami a kan sela lu menyambut masukan, gagasan, dan saran dari A nda semua. Selamat berfestiva l! Ja kar ta, 10 Oktober 2021

5


Festival Director’s Note Yuki Aditya

This year is supposed to be A R KIPEL’s 10 t h festiva l, but the COV ID-19 pandemic forced us to minima lize the events of last year’s festiva l. In 2020, we only held Forum Festiva l, our public symposium with a theme which at tempted to respond the situation of last year, whether through topics directly related to cinema or ever yday life. To be honest, there are many things we miss from organizing off line festiva ls, because in addition to f inding and watching f ilms that enrich our minds, festiva ls are a lso meant to bring people together to share their insights with each other. For A R KIPEL’s 9 t h festiva l, we decided to hold it online, hoping to meet again soon in our origina l format, face to face. Considering last year’s Forum Festiva l A R KIPEL which was held online, there were severa l cha llenges and oppor tunit y for A R KIPEL itself. One of them is recruiting the par ticipants spread in wider range of areas than our usua l off line festiva l, and how we must maintain these

6


net works and relationships in the future. We can imagine that last year’s Forum Festiva l par ticipants’ interests can be associated with their interest towards the panelists or the topic of discussion. I hope this interest will be as great as our enthusiasm in organizing this festiva l f ilm in a new format, which is to a lways f ind new ways of communicating through the medium of f ilm and its discourse. In fact, we can feel the potentia l of cinema when there is a freedom to express ourselves and to form an audience who are not only conditioned to be enter tained, but to be stimulated and aware of the sociocultura l issues around us. A R KIPEL was f irst held on 2013 by the framework that we ourselves, the members of Forum Lenteng as organizers, want to present f ilms that are intended to be more than enter tainment, but a lso to place them as mediums for experimenting in the act of learning through cinema: learning to see, to read, write, and organize any thing related to cinema through f ilm festiva ls. Our current theme, Twilight Zone, agrees with what we have done throughout the past eight A R KIPEL festiva ls, namely the question of an in-bet ween space which enjoins lang uage and ar tistic presentation, which opens our eyes and minds towards sensitivit y and imagination. Hopefully, we can experience both things together during A R KIPEL Twilight Zone – 9th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, from November 26 to December 19, 2021, through a number of programs such as Forum Festiva l, Kultursinema’s Harimau Tjampa book release, Internationa l Competition, Curatoria l Program, and Candrawa la program. A R KIPEL would like to thank our par tners for the long-standing suppor t and collaboration; both those who have worked with us since the beginning, and the relationships that have only been rea lized this year, such as suppor ts from cultura l institutions from friendly countries and private institutions, which have a lways been facilitating Forum Lenteng and encourage the rea lization of various creative ideas related to f ilm, especia lly the A R KIPEL festiva l. Many thanks to our festiva l par tners, communit y par tners, ar tists, audiences, and last but not least, a ll Forum Lenteng members who have worked hard to create A R KIPEL Twilight Zone, as well as to the volunteers who are ready to work this November and December. We a lways welcome your input, ideas, and suggestion. See you at the festiva l! Ja kar ta, October 10, 2021

7


KOMITE / COMMITTEE

DIREKTUR ARTISTIK / ARTISTIC DIRECTOR

Hafiz Rancajale (Pekanbaru, 1971) adalah seniman, pembuat filem, kurator, dan salah satu pendiri Forum Lenteng. Menamatkan pendidikan Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan kini menjadi Ketua Forum Lenteng dan juga Direktur Artistik ARKIPEL. Tahun 2020 dia menjadi salah satu juri Tiger Award pada International Film Festival Rotterdam. Hafiz Rancajale (Pekanbaru, 1971) is an artist, filmmaker, curator, and co-founder of Forum Lenteng. He graduated from the Jakarta Institute for the Arts (IKJ) and is currently the Chairman of Forum Lenteng and the Artistic Director of ARKIPEL. In 2020, he is the juror for Tiger Award at International Film Festival Rotterdam.

8


DIREKTUR FESTIVAL / FESTIVAL DIRECTOR

MANAJER FESTIVAL / FESTIVAL MANAGER

Yuki Aditya (Jakarta, 1981) adalah pegiat

Anggraeni Widhiasih (Sleman, 1993) adalah

kebudayaan. Lulusan Jurusan Administrasi

kurator, penulis, seniman yang berbasis di

Fiskal, Universitas Indonesia. Aktif

Jakarta. Ia menamatkan studi Hubungan

berkegiatan di Forum Lenteng dan sejak tahun

Internasional di Universitas Paramadina dan

2013 menjadi Direktur Festival ARKIPEL.

menjadi anggota aktif di Forum Lenteng serta terlibat dalam Milisifilem Collective. Ia juga

Yuki Aditya (Jakarta, 1981) is a cultural activist.

terlibat dalam platform eksperimen ekonomi

He graduated from Fiscal Administration at

bernama Koperasi Riset Purusha dan Prakerti

the University of Indonesia. He is a member of

Collective Intelligence.

Forum Lenteng, and since 2013 he becomes the Festival Director of ARKIPEL.

Anggraeni Widhiasih (Sleman, 1993) is a Jakarta-based curator, writer, artist. After completing her studies in International Relations at Paramadina University, she became an active member of Forum Lenteng and was involved in the Milisifilem Collective. She is also part of experimental economy platforms named Purusha Research Cooperative and Prakerti Collective Intelligence.

9


KURATOR / CURATOR

Philip Widmann membuat filem, teks, dan

Kim Eunhee adalah seorang kurator dan

program filem. Saat ini, Philip adalah anggota

pembuat filem. Dia pernah bekerja sebagai

panitia seleksi Festival Seni Media Eropa

kurator film dan karya gambar bergerak

Osnabrück. Dia sebelumnya menyeleksi

di Museum Nasional Seni Modern dan

program filem untuk Image Forum Tokyo,

Kontemporer, Korea. Ia bergabung dengan

Arkipel Jakarta, Festival Film dan Video

tim kuratorial di MMCA pada tahun 2014

Dokumenter Kassel, Festival Film Pendek

sebagai kurator dengan program Sinema dan

Internasional Hamburg, serta program

menyelenggarakan program Film dan Video

tematik untuk pameran dan simposium

MMCA. Saat ini ia sedang mengerjakan proyek tulisan-tulisan filem dan kuratorialnya secara

Philip Widmann makes films, texts, and

mandiri.

film programmes. Currently, Philip is a member of the selection committee of the

Kim Eunhee is a curator and filmmaker. She

European Media Art Festival Osnabrück. He

has worked as a curator specializing on artist

has previously selected film programmes

film and moving images at National Museum

for Image Forum Tokyo, Arkipel Jakarta,

of Modern and Contemporary Art, Korea.

Kassel Documentary Film and Video Festival,

She joined the curatorial team at MMCA in

Hamburg International Short Film Festival, as

2014 as a curator with the Cinema program

well as thematic programmes for exhibitions

and organized the MMCA Film and Video

and symposia.

programs. She is currently working on her writings of film project and curatorial project independently

10


Otty Widasari (Balikpapan, 1973) adalah

Dhuha Ramadhani adalah seniman dan

seorang seniman, sutradara, pegiat media,

kurator filem. Selama 5 tahun terakhir bekerja

salah satu pendiri Forum Lenteng, dan

dengan sebuah organisasi yang berfokus pada

Direktur Program Pemberdayaan Media

ranah seni, filem, dan jurnalisme warga. Dia

Berbasis Komunitas (AKUMASSA) Forum

pernah menjadi pengurus Forum Lenteng dan

Lenteng. Lulusan Seni Murni, Institut Kesenian

anggota Milisifilem Collective. Seorang sarjana

Jakarta, tahun 2013.

Kriminologi dari Universitas Indonesia yang berfokus pada kajian jurnalistik kriminologi.

Otty Widasari (Balikpapan, 1973) is an

Dhuha Ramadhani is an artist and film

artist, filmmaker, media activist, one of the

curator. Over the past 5 years working with

founders of Forum Lenteng, and Director

an organization that focuses on the arts, film,

of Community-Based Media Empowerment

and citizen journalism. He was a member of

Program (AKUMASSA) at Forum Lenteng. She

Forum Lenteng and Milisifilem Collective. A

graduated Fine Arts at the Institut Kesenian

Bachelor of Criminology from the University

Jakarta in 2013.

of Indonesia who focuses on the study of criminology journalism.

11


SELEKTOR / SELECTORS

Luthfan Nur Rochman (Jakarta, 1993), seorang pembuat filem yang berbasis di Jakarta. Lulusan Arkeologi Universitas Indonesia ini sehari-harinya juga aktif di Milisifilem Collective. Ia sempat aktif sebagai anggota Lab Laba-Laba. Pameran yang dikuratorinya antara lain adalah pameran tunggal Dhanurendra Pandji bertajuk Remembrance of Things Past dan Kultursinema #6: Gelora Indonesia. Luthfan Nur Rochman (Jakarta, 1993), is a filmmaker based in Jakarta. He graduates from Archeology study of University of Indonesia and is also active in the Milisifilem Collective daily. He was active as a member of the Lab Laba-laba. He curated several exhibitions such as Dhanurendra Pandji’s solo exhibition titled Remembrance of Things Past and Kultursinema # 6: Gelora Indonesia.

12


Anggraeni Widhiasih (Sleman, 1993) adalah

Pingkan Polla (lahir 1993, Magelang) menamatkan

kurator, penulis, seniman yang berbasis di

studinya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,

Jakarta. Ia menamatkan studi Hubungan

Universitas Indonesia. Dia adalah seorang seniman

Internasional di Universitas Paramadina dan

dan manajer program 69 Performance Club

menjadi anggota aktif di Forum Lenteng serta

(performanceart.id). Karya performans Pingkan

terlibat dalam Milisifilem Collective. Ia juga

berfokus pada studi tubuh, media sosial, dan studi

terlibat dalam platform eksperimen ekonomi

performans di ranah privat hingga publik. Pada tahun

bernama Koperasi Riset Purusha dan Prakerti

2019, ia mengikuti program residensi pada festival

Collective Intelligence.

Bangsal Menggawe di Pemenang, Lombok Utara, dan melakukan penelitian tentang persimpangan antara

Anggraeni Widhiasih (Sleman, 1993) is a

seni pertunjukan dan seni performans yang dimulai

Jakarta-based curator, writer, artist. After

dari ruang privat ke ruang publik. Pada tahun 2021,

completing her studies in International

ia menguratori Makassar Biennale dan melanjutkan

Relations at Paramadina University,

studinya di Royal Academy of Fine Arts (KASK &

she became an active member of Forum

Conservatorium), Gent, Belgia.

Lenteng and was involved in the Milisifilem Collective. She is also part of experimental

Pingkan Polla (b. 1993, Magelang) Bachelor of Science,

economy platforms named Purusha Research

University of Indonesia – Faculty of Social and Political

Cooperative and Prakerti Collective

Science. She is an artist and the program manager

Intelligence.

of 69 Performance Club (performanceart.id). Her performance works focus on body studies, social media, and studies of performance in the private to the public sphere. In 2019, she followed a residency program in the festival of Bangsal Menggawe in Pemenang, North Lombok, and conducted research on the intersection between performing art and performance art started in private space to public space. In 2021, she curated the Makassar Biennale and continue her study in the Royal Academy of Fine Arts (KASK & Conservatorium), Ghent, Belgium.

13


Afrian Purnama lahir di Jakarta. Lulusan

Dhanurendra Pandji (1997, Temanggung)

Universitas Bina Nusantara jurusan Ilmu

adalah seorang seniman yang tinggal di

Komputer. Anggota Forum Lenteng, pembuat

Jakarta. Sebagai anggota Forum Lenteng,

filem, ko-kurator dan periset Kultursinema.

saat ini aktif di Milisifilem Collective, 69

Sekarang menjadi Kurator di ARKIPEL.

Performance Club, dan sudji.id. Beberapa tulisan filemnya dapat dibaca di jurnalfoogate.

Afrian Purnama was born in Jakarta.

net

Graduated from Department of Computer Science of the Bina Nusantara University.

Dhanurendra Pandji (1997, Temanggung) is an

Member of Forum Lenteng, filmmaker, co-

artist based in Jakarta. As a member of Forum

curator and researcher for Kultursinema. Now,

Lenteng, he is currently active in Milisifilem

he is Program Curator of ARKIPEL.

Collective, 69 Performance Club, and sudji. id. Some of his film writings are available at jurnalfootage.net

14


15


JURI

Hafiz Rancajale (Pekanbaru, 1971) adalah

Philip Widmann membuat filem, teks, dan

seniman, pembuat filem, kurator, dan salah

program filem. Saat ini, Philip adalah anggota

satu pendiri Forum Lenteng. Menamatkan

panitia seleksi Festival Seni Media Eropa

pendidikan Seni Murni di Institut Kesenian

Osnabrück. Dia sebelumnya menyeleksi

Jakarta (IKJ), dan kini menjadi Ketua Forum

program filem untuk Image Forum Tokyo,

Lenteng dan juga Direktur Artistik ARKIPEL.

Arkipel Jakarta, Festival Film dan Video

Tahun 2017 dan 2018, ia adalah kurator Pekan

Dokumenter Kassel, Festival Film Pendek

Seni Media yang diadakan oleh Kementerian

Internasional Hamburg, serta program tematik

Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama

untuk pameran dan simposium

dengan Forum Lenteng. Philip Widmann makes films, texts, and film Hafiz Rancajale (Pekanbaru, 1971) is an artist,

programmes. Currently, Philip is a member of the

filmmaker, curator, and co-founder of Forum

selection committee of the European Media Art

Lenteng. He graduated from the Jakarta Institute

Festival Osnabrück. He has previously selected

for the Arts (IKJ) and is currently the Chairman

film programmes for Image Forum Tokyo, Arkipel

of Forum Lenteng and the Artistic Director of

Jakarta, Kassel Documentary Film and Video

ARKIPEL. In 2017 and 2018, he was the curator

Festival, Hamburg International Short Film

of Pekan Seni Media, organized by the Ministry

Festival, as well as thematic programmes for

of Education and Culture, in cooperation with

exhibitions and symposia.

Forum Lenteng.

16


Kim Eunhee adalah seorang kurator dan

Shai Heredia adalah pembuat filem, kurator,

pembuat filem. Dia pernah bekerja sebagai

dan direktur pendiri Experimenta, helatan

kurator film dan karya gambar bergerak

seni gambar bergerak dua tahunan di India.

di Museum Nasional Seni Modern dan

Dia telah mengkurasi program filem di

Kontemporer, Korea. Ia bergabung dengan

berbagai negara, dan filemnya I Am Micro (2012)

tim kuratorial di MMCA pada tahun 2014

dan An Old Dog’s Diary (2015) telah ditayangkan

sebagai kurator dengan program Sinema dan

di berbagai helatan. Heredia tergabung dalam

menyelenggarakan program Film dan Video

tim kuratorial Forum Expanded (Berlinale).

MMCA. Saat ini ia sedang mengerjakan proyek tulisan-tulisan filem dan kuratorialnya secara

Shai Heredia is a filmmaker, curator, and

mandiri.

founding director of Experimenta, the moving image art biennial of India. She has curated

Kim Eunhee is a curator and filmmaker. She has

film programs worldwide, and her films I Am

worked as a curator specializing on artist film and

Micro (2012) and An Old Dog’s Diary (2015) have

moving images at National Museum of Modern

exhibited widely. Heredia is on the curatorial

and Contemporary Art, Korea. She joined the

team of Forum Expanded (Berlinale).

curatorial team at MMCA in 2014 as a curator with the Cinema program and organized the MMCA Film and Video programs. She is currently working on her writings of film project and curatorial project independently

17


TENTANG PENYELENGGARA/ABOUT ORGANIZER

Forum Lenteng ada la h organisasi non-prof it berbentuk perhimpunan yang didirikan oleh pekerja seni, peneliti budaya, dan ma hasiswa komunikasi/jurna listik pada ta hun 2003, yang bekerja mengembangkan pengeta huan media dan kebudayaan mela lui pendidikan a lternatif berbasis komunitas. Forum ini ber tujuan menjadikan pengeta huan media dan kebudayaan untuk hidup yang lebih baik bagi masyara kat, terbang unnya kesadaran bermedia, munculnya inisiatif, produksi pengeta huan, dan terdistribusikannya pengeta huan tersebut secara luas.

Forum Lenteng is a non-prof it collective-based organization founded by ar tists, students, researchers, and cultura l activists in 2003. The Forum has been working to develop media knowledge and cultura l studies as a communit y based a lternative education. The Forum is aiming to enact media and cultura l knowledge for the societ y to lead a bet ter life, building the awareness of media literacy, initiating and producing knowledge, and distributing the knowledge universa lly.

w w w.forumlenteng.org info@forumlenteng.org @forumlenteng

18


Ketua / Chairperson Ha f iz Keuangan / Finance Yuki Adit ya Prashasti Wilujeng Putri Penelitian & Pengembangan / Research & Development Luthfa n Nur Rochma n Direktur Program Pendidikan Media Berbasis Komunitas / Director of Community Based Media Education Ot t y Widasa ri

Jurna l Footage (w w w.jurna lfootage.net) A fria n Purna ma Dini Ada nura ni A rkipel (w w w.arkipel.org) Yuki Adit ya (Festiva l Director) A nggraeni Widhiasih (Festiva l Manager) Visua l Ja lanan (w w w.visua lja lanan. org) A nda ng Kela na 69 Performance Club Dha nurendra Pa ndji (Coordinator) Pingka n Polla Ma ria Dea ndra Milisif ilem A lifa h Melisa Wa hy u Budima n Dast a muarasuara Robby Oct av ia n Theo Nugra ha Sya hrulla h

19


PENYATAAN ARTISTIK

Sinema di Zona Temaram Hafiz Rancajale Direktur Artistik

Setel a h h a mpir dua ta hun pandemi melanda dunia, berbagai peruba han perila ku kita da lam berintera ksi mulai terjadi. Situasi ‘penjara kkan’ yang dipa ksa kan ini memicu berbagai respons impulsif dari kita yang tela h nyaman dengan kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Berbagai perhelatan seni terhenti hampir sepanjang dua ta hun ini, tida k terkecua li A R KIPEL. Pada ta hun 2020, kami memutuskan untuk ‘pause’ atau jeda sementara, sambil melihat perkembangan situasi di masyara kat. Jeda seta hun membuat kami merasa asing karena rutinitas yang suda h berlangsung hampir sepuluh ta hun menyiapkan festiva l setiap ta hun dipa ksa ‘hilang’. Namun, jeda itu juga memberi ruang pada kami untuk menemukan metode atau cara baru da lam penyelenggaraan festiva l. Ada banya k eksperimentasi yang dila kukan berbagai festiva l dunia, baik festiva l besar maupun festiva l kecil. Penyelenggaraan festiva l secara daring yang mulai mara k seja k per tenga han 2020 memberikan nuansa baru da lam berintera ksi dengan f ilem dan medan sosia l sinema.

20


Ta hun 2021, penyelenggaraan A R KIPEL Twilight Zone – 8 th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival kemba li dila ksana kan. Kami memutuskan festiva l diselenggara kan secara hibrida, ya kni dengan menggabungkan penayangan secara daring dan luring. Tantangan utama da lam penyelenggaraan daring ada la h mena klukkan teknologi media digita l yang dapat memberikan kenyamanan kepada penonton da lam menonton kar ya-kar ya yang hadir di festiva l. Kemudian tantangan lainnya ada la h masa la h keamanan terhadap kar ya-kar ya yang ditayangkan secara daring, karena ada banya k platform streaming video secara daring yang masih sangat muda h diunduh oleh para pencari f ilem gratisan. Tentu saja tantangan berikutnya ada la h membang un kepercayaan kepada para pembuat f ilem. Tida k semua pembuat f ilem setuju kar yanya ditayangkan secara daring, dengan a lasan utama soa l keamanan tadi. Jadi, kami berusa ha mencari platform yang kami anggap pa ling aman untuk menjamin kar ya-kar ya yang ditayangkan di A R KIPEL tida k diunduh oleh secara bebas. Untuk menjaga spirit ‘festiva l’ sebagai ruang per temuan, kami tetap menyelenggara kan festiva l secara luring secara terbatas. Ruang yang kami g una kan ada la h ruang sinema di Forum Lenteng—ruang yang baru selesai kami bang un da lam beberapa bulan tera khir. Penyelenggaraan secara luring terbatas ini, mungkin a kan bisa menjaga spirit festiva l sebagai bang unan da lam menja lin relasi dengan kawan-kawan penonton dan para peminat f ilem eksperimenta l dan dokumenter di Ja kar ta. Pada penyelenggaraan ta hun ini, kami mengangkat tema Zona Temaram— yang merupa kan tema yang tela h kami putuskan seja k ta hun 2019 untuk penyelenggaraan ta hun 2020. Kami memutuskan untuk tida k mencari tema baru pada penyelenggaraan ta hun 2021 karena kesesuaian dengan situasi yang kita hadapi sekarang. Zona Temaram ada la h zona yang ta k dapat kita duga. Ia bisa sangat gelap, abu-abu, berkilau, ataupun berca haya. Tida k ada yang dapat menduga apa yang terjadi di ketemaraman situasi itu. Ketemaraman inila h yang menjadi tantangan besar da lam melihat persoa lan sosio-kultura l, sosio-politik kawasan, yang sa ling berkelindan dengan ruang-ruang yang mengitarinya. Sinema da lam ha l ini mendapatkan cela h untuk masuk dan menginterpretasikan ‘ketida kjelasan’ situasi tersebut. Seja k ta hun 2020, kami tela h memilih dan menyeleksi kar yakar ya f ilem da lam sesi Kompetisi Internasiona l yang berkesesuaian dengan tema yang kami tawarkan kepada para pendaftar. Jika merujuk pada pilihan-pilihan para selektor yang juga pemrogram da lam sesi kompetisi ini, terlihat sangat jelas tema-tema yang diangkat da lam f ilem-f ilem tersebut masih sangat relevan dengan situasi ketida kpastian kita saat ini. Ada kar ya-kar ya yang mengangkat temuan bersejara h yang masih gelap, namun ia memberi ruang interpretasi kepada kita tentang bagaimana sejara h itu bisa ber-relasi dengan bagaimana kehidupan kita sekarang bermula. Begitu juga kar ya-kar ya yang menghadirkan pukauan optik da lam sinema, dimana kebenaran rea litas bisa beruba h da lam tangkapan kamera dan suara. Meskipun sangat forma lis da lam ba hasa, kar ya-kar ya semacam ini tetap memberi penga laman jelaja h estetika yang tanpa batas da lam sinema.

21


Seper ti ta hun-ta hun sebelumnya, ada banya k kar ya yang mengangkat tematema per tarungan dan perebutan ruang kuasa, baik da lam konteks ‘kekuasaan’ ataupun ruang imajiner di da lam hubungan dengan masyara kat lainnya. Per tarungan ini tida k ser ta mer ta dapat kita ar tikan negative karena ia dapat menjadi ruang per tarungan yang sangat ‘konseptua l’ da lam melihat kepandaian sinema membingkai persoa lan yang nyata da lam masyara kat kontemporer. Zona Temaram juga dapat dibaca sebagai penegasan kami atas keberpiha kan pada persoa lan keterpinggirkannya ha l-ha l yang ‘loka l’ da lam bingkai modernitas peradaban saat ini. Ha l ini dapat kita lihat bagaimana konsep keber ta hanan masyara kat loka l, suku-suku, ataupun masyara kat yang tingga l di daera h ‘remote’, yang bisa mela lui masa berabad-abad memper ta hankan kebudayaannya. Ha l inila h yang sering diabaikan oleh para ‘pemikir modern’ da lam menyelesaikan berbagai konf lik yang terkait dengan persoa lan masyara kat loka l, masyara kat adat, dan lain sebagaianya. Keloka lan ada la h zona temaram yang menghidupi masyara kat kita (Indonesia) saat ini. Ia bisa hidup da lam berbagai situasi masyara kat di berbagai zaman. Terbukti ba hwa pandemi saat ini tida k datang dari pra ktik-pra ktik keloka lan, namun kecerobohan peradaban modern da lam mengelola jaminan kesehatan masyara kat dunia. Pada kar ya-kar ya yang hadir da lam A R KIPEL Twilight Zone 2021, ada banya k rangkuman persoa lan keloka lan ini yang diangkat da lam sinema. Kar ya-kar ya ini bukan ingin meratapi tentang keterpinggirkannya keloka lan tersebut, namun justru meraya kan keloka lan itu dengan cara kritis. Rekaman-rekaman yang tergambar da lam berbagai program di festiva l ini dapat menjadi ref leksi bagi kita da lam melihat bagaimana mela lui berbagai zona temaram yang tida k pasti itu. K ita tida k dapat mela luinya dengan sendiri-sendiri, karena zona temaram dapat dilihat dengan jernih hanya dengan kebersamaan. Festiva l A R KIPEL hanya la h sa la h satu ruang kebersamaan itu da lam melihat zona temaram tersebut. Semoga saja ini dapat berkontribusi bagi sebagian dari kita da lam melewati situasi pandemi, yang kita tida k ta hu pasti bera khirnya. Selamat meraya kan sinema di zona temaram.

Selamat menonton.

Haf iz Rancaja le Direktur A r tistik A R KIPEL

22


ARTISTIC STATEMENT

Cinema in Twilight Zone Hafiz Rancajale Artistic Director

A fter a lmost t wo yea rs of a pandemic that swept the world, various changes in our interaction behavior began to occur. This forced ‘distancing’ situation triggers various impulsive responses from those who have become comfor table with human previous habits. Many ar t events stopped happening for a lmost t wo years and A R KIPEL is no exception. In 2020, we decided to ‘pause’ or recess while looking at the development of the situation in societ y. The one-year hiatus made us feel strange because the routine that had been going on for a lmost ten years by preparing the festiva l annua lly was forced to ‘disappear’. However, the pause a lso gave us space to f ind new methods or ways of organizing the festiva l. There are many experiments carried out by various world festiva ls, both big and sma ll festiva ls. Since mid-2020, online festiva ls have star ted to mushroom, providing a new nuance in interacting with f ilm and the socia l f ield of cinema.

23


In 2021, we decided to organize the A R KIPEL Twilight Zone – 8 th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. We decided to hold a hybrid festiva l by combining online and off line screening. The main cha llenge in organizing an online festiva l is to conquer digita l media technolog y so it can provide convenience to the audience in watching the f ilms in our festiva l. A nother cha llenge is the securit y issue in which many f ilms on the online video streaming platforms are still prone to easy downloads. Of course, the next cha llenge is to build trust in f ilmma kers. Not a ll f ilmma kers agree to screen their works online, with securit y concerns as the main reason. So, we are tr ying to f ind a platform that we consider the safest to ensure that the works screened on A R KIPEL are not easily downloaded. To maintain the ‘festiva l’ spirit as a meeting space, we continue to hold the festiva l off line on a ver y limited basis. The space we used is the cinema room at Forum Lenteng—a room we just f inished building in the last few months. This limited off line event may be able to maintain the festiva l’s spirit as a building that maintains relationships with fellow audiences as well as experimenta l and documentar y f ilm enthusiasts in Ja kar ta. At this year’s event, we raise Twilight Zone as our theme, and we have decided on it since 2019 for the 2020 festiva l. We decided not to look for a new theme for the 2021 festiva l because Twilight Zone f its the situation we are facing now. Twilight Zone is a zone we can’t predict. It can be ver y dark, gray, shiny, or a light. No one could have g uessed what happened in the dark of the situation. This t wilight is a big cha llenge in seeing the socio-cultura l, socio-politica l issues of the region, which are inter t wined with the spaces that surround it. Cinema in this case has an aper ture to enter and interpret the ‘vag ueness’ of the situation. Since 2020, we have selected f ilms in the Internationa l Competition session that are in accordance with the theme that we offer to the applicants. If we refer to the selections of the selectors who are a lso programmers in this competition session, it is ver y clear that the themes raised in these f ilms are still relevant to our current uncer tain situation. There are works that raise historica l f indings that are still in the dark, but they give us space for interpretation of how histor y can relate to how our lives today began. Likewise, works that present optica l wonder in cinema, where the truth of rea lit y can change in the capture of camera and sound. Even though they are ver y forma list, these kinds of works still provide a limitless aesthetic exploration experience in cinema. As in previous years, there are many works that raise the themes of f ights and the struggle for space of power, both in the context of ‘power’ or imaginar y space in the relationships with other societies. It is unnecessar y to interpret these f ights negatively because it can be a ver y ‘conceptua l’ f ight space in seeing cinema’s cleverness to frame the rea l problems in contemporar y societ y.

24


Twilight Zone can a lso be read as our aff irmation on our a lignment toward margina lization of ‘loca l’ aspects in the modernit y of today’s civilization. We can see this in how the concept of sur viva l of loca l communities, tribes, or people living in remote areas, who have been able to maintain their culture throughout centuries. This is what is often overlooked by ‘modern thinkers’ in resolving various conf licts related to the problems of loca l communities, indigenous peoples, and so on. The loca lit y is a t wilight zone that sustains our societ y (Indonesia) today. It can live in various socia l situations at various times. It is evident that the current pandemic does not come from loca l practices, but the carelessness of modern civilization in managing the world’s public hea lth safeg uard. In the works that are present in A R KIPEL Twilight Zone 2021, many abstractions of these loca l issues are raised in cinema. These works do not intent to lament about the margina lization of loca lit y, it celebrates the loca lit y in a critica l way instead. The recordings depicted in various programs at this festiva l can be a ref lection for us in seeing how to get through these various uncer tain t wilight zones. We cannot go through it a lone, because the t wilight zone can be seen clearly only by being together. The A R KIPEL Festiva l is just one of those spaces of togetherness where we can see through the t wilight zone. Hopefully, this can contribute to some of us in get ting through the pandemic situation, which we don’t know for sure its end. Let us celebrate cinema in the t wilight zone.

Happy watching.

Haf iz Rancaja le A r tistic Director of A R KIPEL

25


AWARD

ARKIPEL Award diberikan kepada filem

Jury Award diberikan kepada filem

terbaik utama secara umum yang, dalam

terbaik versi pilihan dewan juri, dengan

penilaian dewan juri, memiliki pencapaian

pertimbangan, bahwa terdapat kesegaran

artistik yang tinggi disertai kekuatan

dan keunikan bahasa ungkap yang mencapai

potensialnya dalam memaknai pilihan

kematangan personal dalam menyingkapkan

perspektif kontekstualnya. Melalui kontennya,

dan mengkomunikasikan pengalaman estetis,

segenap aspek tersebut dalam bahasa ungkap

pergulatan atas konten, serta penjelajahan

visualnya berhasil mengajukan suatu pemerian

subjektif akan teks/konteks ke dalam

terbaru akan pandangan dunia kontemporer

representasi terkininya. Sangat mungkin,

kita sebagai diskursus yang menantang cara

tawaran nilai-nilai dalam filem terbaik untuk

pandang umum atas situasi tertentu yang

kategori ini semata-mata bersifat individual

diungkapkan subject matter-nya. Filem terbaik

oleh karena isu dan pendekatannya tidak

dalam kategori ini, secara khusus, dapat

selalu berlaku secara umum di beragam

dipandang mewakili pernyataan ARKIPEL

konteks budaya dan sosial.

akan nilai-nilai yang ditawarkan oleh gairah dan nalar dari semangat zaman yang menginspirasi penciptaan estetik terhadap gambaran dunia yang di satu sisi telah samasama disepakati, namun di sisi lain menuntut untuk selalu didefinisikan dan didefinisikan kembali. ARKIPEL Award is given to the best film in

The Jury Award is given to the best film of the

general that, based on the jury’s view, has the

jury’s choice by considering the unique and

highest artistic achievement and potential

fresh visual expression, personal maturity

power to give meaning to its contextual

in revealing and communicating aesthetic

perspective choice. By the content, all those

experience, struggle over the content, and

aspects through the film’s visual expression

subjective exploration over text/context to

should be successful in offering the newest

its contemporary representation. It is highly

representation of our contemporary world

likely that the best film in this category offers

view as a challenging discourse for the general

values of individual nature because the issue

view over a particular situation revealed by the

and its approach do not fit in many socio-

subject matter. The best film in this category

cultural contexts.

mainly can be considered as representing ARKIPEL’s statement concerning the values offered by the passion and reason of a spirit of the time, becoming an inspiration for aesthetic creations about the world that, on the one hand, is approved of and on the other hand demands definition and re-definition.

26


Peransi Award diberikan kepada karya

Forum Lenteng Award, sebagai kategori

sinematik yang secara istimewa dan

penghargaan untuk filem terbaik pilihan

segar mengeksperimentasikan berbagai

Forum Lenteng, kategori ini merefleksikan

kemungkinan pendekatan pada aspek-aspek

posisi pembacaan dan sikap kritis kami

kemediuman dan sosial. Secara khusus,

atas perkembangan karya-karya visual

kategori ini difokuskan kepada pembuat filem

sinematik pada tataran estetika dan konteks.

berusia muda. Penghargaan terbaik dalam

Penghargaan diberikan kepada filem yang

kategori ini terilham dari nama David Albert

dianggap paling terbuka dalam menawarkan

Peransi (1939 –1993), seniman, kritisi, guru,

nilai-nilai komunikatif, baik dari segi artistik

dan tokoh penganjur modernitas dalam

maupun konten, yang memberikan peluang

dunia senirupa dan sinema dokumenter dan

bagi pendekatan sosial seni secara berbeda dan

eksperimental di Indonesia.

lebih leluasa bagi keberanian ekperimentasi. Anggota dan pengurus Forum Lenteng menilai filem-filem seleksi dan memilih unggulan terbaik di kategori ini.

Peransi Award is given to a cinematic work

Forum Lenteng Award, as a category for

that specially and freshly experiments on

the best film selected by Forum Lenteng,

various possible approaches of the medium

reflects our reading position or critical

and social aspects. Specifically, this category

attitude toward the development of cinematic

focuses on young filmmakers. The award

visual works at an aesthetic and contextual

itself is inspired by David Albert Peransi

level. The award for this category is given to

(1939-1993), an artist, critic, teacher, and

the film deemed the most open in offering

exponent of modernity in the art world as well

communicative values, whether based on the

as documentary and experimental cinema in

artistry and content, providing a chance for

Indonesia.

a different social approach to art and broader experimental possibilities. Forum Lenteng’s organizational structure and members will judge the selected films and choose the best one to receive an award in this category.

27


28


29


REFLEKSI ARKIPEL

Gambar-gambar Terakhir Sebelum Semburat Apokalips di Cakrawala Otty Widasari

Zona Temaram Saya ja di ber pikir tenta ng apa yang tela h dila kukan para sutradara sebelum mengirimkan f ilm mereka ke meja seleksi A R KIPEL 2020. Pada kenyataannya, mereka sedang merekam gambar-gambar tera khir yang ada, sebelum semua orang di dunia harus masuk ke ruma h masing-masing, dan menutup pintu rapatrapat. Kela k kita semua a kan keluar dari ruma h-ruma h dengan kenyataan sosia l yang sungg uh berbeda. Ta hun ini tim seleksi A R KIPEL memulai panggilan terbuka pada tangga l 5 Februari 2020. Para sutradara punya wa ktu untuk mengirimkan f ilm-f ilm mereka hingga tangga l 31 Maret 2020. A r tinya, pada saat itu sebagian negara-negara di seluruh dunia suda h memberla kukan peraturan kuncitara pada warganya. Namun ta k satupun dari f ilm-f ilm tersebut melempar isu tentang virus corona yang sedang mewaba h di dunia saat ini. Juga ta k satupun yang mengetenga hkan moda produksi yang menggambarkan situasi karantina. Bisa diprediksi ba hwa

30


para sutradara mengirimkan f ilm-f ilm yang dibuat sebelum situasi pandemi. Ma ka, ketigapuluh f ilm yang tela h terseleksi ada la h gambaran tentang apa yang menjadi pemikiran manusia sebelum peradaban kemba li temaram. *** Hari ini kita menya ksikan kompleksitas globa lisasi peradaban tela h melampaui kemampuan daya dukung manusia. Globa lisasi ternyata bisa menyebabkan meratanya sebua h pandemi. Ini ada la h situasi yang mengg uncang banya k ideologi, sistem, dan konsep-konsep yang selama ini tela h mapan. Wacana dunia globa l yang timpang jadi teradilkan. Ada cerita tentang, bukan hanya warga negara-negara berkembang saja yang harus sela lu dicurigai dan di-subdominankan jika masuk ke wilaya h negara-negara maju. Para warga dari negara-negara yang sela lu merasa lebih superior pun menga lami situasi dirundung, dicurigai dan terusikkan, di manapun. Secara historis, sinema sela lu mela kukan eksperimentasi ba hasa dan mediumnya, untuk melepaskan diri dari dominasi wacana yang terpusat. Yang pa ling mendasar dari eksperimentasi tersebut ada la h dengan terus menerus mela kukan reproduksi kenyataan hingga dia ma kin menjauh dari keasliannya. D engan cara itu sinema bisa menjadi wacana kritis untuk menggangg u kemapanan sebua h piliha n. Sinema, yang juga dig una kan sebagai a lat untuk membang un ilusi besa r sebua h kekuasaan, menga lami kesurutan saat perkembangan teknologi media tida k terbendung mengiringi peradaban. Teknologi-teknologi perekam yang sema kin baru tersebut terus dicipta kan untuk mempermuda h kehidupan seka lig us menjadi aparatus kekuasaan. Sirkulasi dari cara kerja teknologi perekam itu menghasilkan informasi-informasi yang menjadi konstruksi budaya, dan a khirnya meleburkan ideologi utama di dunia. Ugeng T. Moetidjo (2016), menuliskan di kata log A R KIPEL social/kapital ta hun 2016 ba hwa, “Motif, bentuk, dan dampa k dari perila ku bermedia kita tida k secara nyata menempatkan kita pada posisi orisina l kita sebagaimana acap kita a kui, melainkan mela lui sebua h perantara besar yang menetapkan masing-masing porsi kebermediaan tiap pela ku.” K ita suda h tida k bisa lepas dari gelombang sosia l da n kapit a l yang tela h melebur da lam kehidupan masyara kat dunia secara globa l. Perila ku kita sekarang ini suda h berada da lam kenda li yang mendorong kita menjadi seragam. Ha l ini ada la h sebua h bentuk nyata keterpenjaraan kita di da lam sebua h sua ka hukuma n ruang simulasi yang menyerupai ba lon udara ra ksasa. K ita hidup di da lamnya sebagai pengembara, dan berpikir ba hwa ini ada la h a lamia hnya diri kita. K ita berada di ambang kesadaran a kan situasi seragam da lam koridor horizonta l yang diisi oleh hubungan timba l ba lik antara kenyataan dan reproduksinya sebagai pengalaman-replikasi-informasi-konstruksi-keniscayaan. Tetap saja sinema terus

31


mencoba mengkritisi kehidupan yang suda h menjadi serba tida k a lamia h lagi tersebut, sebagai agen budaya peradaban dunia. Di da lam keterpenjaraan ini, justru karena terpenjara, sinema ma la h berpeluang menjadi agen yang lain untuk memprovokasi kehidupan dengan cara melenceng keluar dari koridor. Kesempatan untuk terlibat da lam demokratisasi teknologi memunculkan sifat dasar manusia sebagai ma hkluk homoludens. Dengan bermainla h a khirnya a ksi reproduksi kenyataan melompat jauh ke ara h yang memba likkan konsep-konsep avant-gardisme. Enta h bagaimana awa lnya, situasi ruang dan wa ktu kita tiba-tiba tela h terpeta kan dengan sangat cepat, dan juga sela lu termediasi. Keseharian menjadi sebua h ha l yang penting. Dengan susa h paya h para sutradara konvensiona l menyusun gambar-gambar bukan kesehariannya demi tersampaikan pesan yang diinginkan, itu pun kadang hanya sedikit saja yang menonton dan mengapresiasi. Sementara kini kita bisa melihat seseorang bisa mendapat ribuan tanggapan di a kun media sosia lnya, hanya dengan memonyong-monyongkan bibir da lam beberapa ekspresi selama 60 detik. Situasi apa ka h ini?; Situasi yang mendorong para bromocora h keluar, menampa kkan diri, dan menyata kan pendapatnya. Seja k menjadi ma khluk pemburu dan peng umpul, bersuku-suku, kemudian memiliki kekuasaan yang terpusat, la lu mengontrol a lam dan ba hkan juga sesamanya, peradaban dibang un oleh manusia sambil meningga lkan ar tefa k berupa gambar-gambar. A r tefa k-ar tefa k yang dibuat berdasarkan na luri mencari ma kan manusia selamanya. Sebagaimana na luri itu berkembang menjadi bentuk yang pa ling kompleksnya pun gambar-gambar tetap terus tercipta. Gambargambar yang terla hir dari hasrat manusia pada kecintaan a kan kenangan. Sepanjang sejara h peradaban manusia, hasrat membuat gambar-gambar sela lu terhenti oleh berbagai ha l yang menghancurkan peradaban. Sa la h satunya ada la h waba h. Da lam beberapa literatur K risten yang tela h disimpulkan, dikena lla h istila h “empat penunggang kuda” yang menandai kedatangan bencana oleh para antikristus, sebagai ana logi hukuman Tuhan terhadap umat manusia yang ta k setia pada-Nya. Keempat penunggang kuda itu diibaratkan sebagai empat bencana yang menjadi fa ktor eksterna l runtuhnya sebua h peradaban: perang, kelaparan, waba h, dan kematian. Hari ini semua orang harus berdiam selama berbulan-bulan karena pandemi. Nampa knya situasi pandemi menyeluruh diibaratkan sebagai penunggang kuda ketiga sedang datang berkunjung. Yang mengerikan dari peristiwa waba h ka li ini ada la h, sesuatu yang belum perna h ada sebelumnya, waba h menyebar rata di seluruh dunia. Peradaban pun kemba li temaram. Ya, peradaban kemba li temaram. Pada ha l, usa ha mengimitasi kenyataan suda h sampai di titik pergeseran yang pa ling jauh, di mana a khirnya kerja teknologis

32


juga mempreteli ideologinya sendiri sambil ma kin memendekkan jara k rea litas kehidupan umat manusia dengan representasinya. A ksi yang sungg uh dinamis seka li. Setela h meredupnya keberadaan teknologi seluloid, video mengambil tempatnya dengan pasti dan merangsek, meng uasai dunia produksi gambar. Ha l ini bisa dilihat dari tilikan f ilm-f ilm yang hadir di A R KIPEL ta hun la lu. Saat a lat produksi rekam suda h tida k secara eksklusif dipegang oleh kelompok ter tentu, video, dan kemudian internet, menjadi a lat yang mampu bicara secara massa l dan horizonta l, di mana semua ukuran persisi harus menyesuaikan dirinya dengan ketida kteraturan: meng ungkap politik keber ta hanan para penghuni tepi-tepi, para Bromocora h. Pada A R KIPEL ta hun la lu, wa laupun masih ada usa ha para sutradara memper ta hankan keteraturan kerja teknologi perekam dengan mempersemba hkan hasil hitungan yang pasti da lam bingkai-bingkai f ilmnya, namun banya k seka li ditemui gambaran yang lebih jauh daripada sekedar persoa lan hasil kerja teknologis dari perangkat yang terukur itu sendiri. Karena politik keta hanan negara-negara non-Barat, pengg unaan kamera menjadi bergeser ke fungsi seba liknya, yaitu mengabaikan keteraturan. Struktur sistemik hanya tersisa di da lam perangkat kamera dan layar, karena benda-benda tersebut memang la hir dari Ra him teknologisme. Penghancuran ide penyerupaan rea lita ma kin dila kukan oleh para pemegang kenda li sirkulasi citra-citra terhadap a ksi mengimitasi kenyataan, hingga ke limitnya. Lalu, Apa yang Dilakukan Para Pembuat Film Sebelum Dunia Kembali Temaram? Dari kumpulan f ilm-f ilm yang terseleksi ta hun ini, kita dapat melihat bagaimana sebua h usa ha reproduksi kenyataan suda h mengambil peran untuk menyelidiki unit-unit pembentuk peradaban. Film tela h menjadi metode bagi para pembuatnya untuk memberikan bukti kepada publik, ba hwa sistem yang hingga kini bekerja tida k perna h lepas dari keja hatan peng uasa di masa la lu dan dilanjutkan di masa kini. Film-f ilm yang terseleksi ta hun ini menyajikan penggambaran ide-ide penelusuran keja hatan dunia yang bersifat globa l. Jika ilmu apapun ta k bisa dig una kan secara menyeluruh da lam menyidik keja hatan, seper tinya f ilm, dengan semua permainannya, mengambil a lih sebua h keagesian dengan lebih leluasa da lam meng ungkap gelapnya keja hatan (di masa la lu). Jika kita mengasumsikan pandemi yang sedang terjadi ini ada la h sebua h ma lapeta ka, ma ka penyebabnya sungg uh ta k muda h diurai karena masa la lu suda h menjadi gelap. Sebagaimana hasrat manusia meningga lkan jeja k ingatan dengan gambar-gambar, ma ka f ilm berhasrat untuk menelisik apa yang ada di da lam gelap. Sebelum peradaban ber temu zona temaramnya, sinema seper ti memiliki keharusan untuk mela kukan kerja forensik terhadap peradaban.

33


Peradaban diibaratkan sebagai sebua h corpus delicti (tubuh keja hatan), seka lig us sebagai sebua h tempat kejadian perkaranya. Para pembuat f ilm ini mengkonstruksi tanda-tanda sebagai barang bukti yang mengara hkan persepsi kita untuk melihat ba hwa tela h terjadi suatu tinda k keja hatan di sana. Konstruksi tersebut juga menunjukkan modus operandi yang tela h melatarbela kangi keja hatan. D engan caranya sendiri f ilm bisa menghubungkan persepsi kita untuk mengidentif ikasi pela ku, korban, dan sa ksi-sa ksi, dari keja hatan peradaban. Rupanya, runutan peristiwa da lam sejara h peradaban sekarang ini mengantar kita sampai di situasi yang kita a lami sekarang. Peradaban ini pula la h yang mema ksa kita untuk duduk diam di ruma h sambil melempar seluruh diri kita ke dunia yang sa ling terhubung da lam jaringan, sebagai komunitas data biner yang siap terkomputasi untuk menjadi diri kita yang ar tif isia l. Setela h peradaban menemui kehancurannya yang berulang, mungkin esok kita harus kemba li mengais peradaban yang baru dengan mengg una kan kumpulan gambar yang sempat direkam sebelum peradaban kemba li temaram.

Lenteng Ag ung, 26 Oktober 2020

34


The Last Photographs Before the Apocalyptic Tinge in the Horizon Otty Widasari

Twilight Zone I wonder what the directors did before submit ting their f ilms to A R KIPEL 2020’s selection desk. Looking back, they were sending their last por traya l before ever yone in the world had to retreat to their own homes and shut their doors. In the future, we will face a completely different socia l rea lit y. This year’s A R KIPEL selection team ca lled for submissions on Februar y 5, 2020. These directors could submit their f ilms until March 31, 2020. D uring those times, most countries in the world had enforced the lockdown policy on its citizens. But none of the f ilms brought up the coronavirus issue, which had star ted to plag ue the world at the time. A lso, none of them focused on the production mode that depicts quarantine. Most likely, these directors sent the f ilms they made before the pandemic. Therefore, we had selected thir t y f ilms that depict humans’ last musings before the civilization went into t wilight.

35


*** Today, we are witnessing the complexit y of globa l civilization which has progressed beyond humans’ capacit y. It turns out that globa lization has a lso spread the pandemic evenly. The situation has sha ken down many established ideologies, systems, and concepts. The tipped sca les of globa l discourse have been ba lanced. We have heard that nowadays, not only the citizens of developing countries are being suspected and sub dominated when entering the territor y of developed countries. Now, citizens of the countries that have a lways felt superior experience the same bullying, suspicion, and disturbance any where they are. Historica lly, cinema experiments with its lang uage and medium to brea k away from the domination of the centra lized discourse. The most essentia l thing from such experimentation is to continuously reproduce rea lit y until it gets fur ther away from the truth. Through these ways, cinema can become a critica l discourse against the established electora l risk. It a lso functions as an apparatus to construct a gra nd illusion of authorit y, then regressed when media technolog y thrives unstoppably, progressing a long with the civilization. More sophisticated recording technologies were massively produced to facilitate ever yday life and become an apparatus of power. The circulation and mechanism of these recording technologies have produced information that constructs culture and eventua lly fuses the centra l ideolog y in the world. Ugeng T. Moetidjo (2016) wrote in the cata log ue of A R KIPEL social/kapital that, “Motives, forms, and impacts of our media behaviour do not concretely put us at our origina l position as sometimes we tend to admit, but put us through a big intermediar y that f ixes our each por tion of media behaviour.” We are inseparable from the waves of socia l a nd kapit a l fusing into the lives of the globa l communit y. Our contemporar y behaviours are under control that pushes us into uniformit y. This is our actua l form of imprisonment in the simulation room’s pena l colony, resembling a giant hot air ba lloon. We live inside it as wanderers, thinking that this is our nature. We belong on the verge of consciousness of the uniformit y in the horizonta l corridor f illed with the reciproca l relations bet ween rea lit y and its reproduction as experience replication - information - construction - absoluteness. However, cinema, being the cultura l agent of the world civilization, at tempts to criticize this life, which has become so far from our nature. A midst this imprisonment—in fact, when triggered by this imprisonment, cinema has the oppor tunit y to become another agent, provoking the ever y day by deviating from the corridor. The oppor tunit y to be involved in the democratization of technolog y revea led human nature as homoludens. Through playing, reproduction of rea lit y leaps into a direction where the concepts of avant-gardism are being reversed. Somehow, we have arrived at a stage where

36


our spatia l and tempora l situation is a lways mapped quickly and mediated. Our daily life becomes essentia l. Conventiona l directors put much effor t in arranging non-ever yday images to convey their message, most of the time just to be met with lit tle to no audience and appreciation. While nowadays, we can see people get ting thousands of responses on their socia l media page just by pouting their lips in various expressions for 60 seconds. What kind of situation is this? The kind which draws the bromocora h to come out, appear in the f lesh, and give their opinion. Since their days of hunting and gathering, living in tribes, then living under a centra lized power, harnessing their power to control the nature and even each other; this civilization has a lways been built by humans, leaving their ar tefacts in the form of images. These ar tefacts have a lways been created by humankind’s instinct to forage food. They keep creating images, even when their instinct evolves into its most complex form. These images were born out of human’s desire for their love of memories. Throughout the histor y of human civilization, the desire to create images was a lways ha lted by many things that destroy civilizations. One of them is the plag ue. Some Christian literature mentions “the four horsemen of the apoca lypse” as the foreshadows of the destruction brought down by the antichrists, an ana log y for God’s punishment for humankind’s disloya lt y towards Him. The four horsemen stood for the four disasters, which were the externa l factors of the collapse of civilization: war, famine, plag ue, and death. Today, ever yone stays at their homes for months due to the pandemic, as if the third horseman is visiting. The most terrible thing from this plag ue, which has not happened before in histor y, is its globa l spread. Once again, the civilization goes into t wilight. Yes, it goes back into t wilight. R ight in the moment where the at tempts to imitate rea lit y have arrived at the fur thest shifting point, where the mechanism of technolog y disassembles its own ideolog y while shor tening the distance bet ween human’s rea lit y and its representation. What a dynamic feat! While celluloid technolog y fades away, the video ta kes its place with a thrust of cer taint y, dominating the production of images easily. We can ta ke a glance at the f ilms presented in A R KIPEL last year. When the recording devices no longer belong exclusively to a par ticular group, the video—and then the internet—become the tools that spea k massively and horizonta lly, where ever y precise measurement must adjust to disorderliness: revea ling the politics of tenacit y maintained by the periphera l beings, the Bromocora h. In A R KIPEL last year, some directors still sustained the order of the recording technolog y by ser ving precise measurement in the frame. Yet, we a lso saw many images that were travelling far beyond the discussion regarding their state as a

37


product of technologica l mechanism from a measurable apparatus. The politics of tenacit y of non-Western countries shift the use of the camera to ser ve its opposite functions, to disregard orderliness. The systemic structure only remains in the camera equipment and on the screen since they were born from the womb of technologism. The concept of imitating rea lit y gets increasingly destroyed by the masters of image circulation, up to its limit. So, What Did the Filmmakers Do Before the World Shift Back into Twilight? This years’ selected f ilms revea l that the at tempts to reproduce rea lit y have ta ken a role in investigating the form-ma king units of the civilization. Film has become a method to prove to the public that the current system has never been separated from the past crimes of its rulers, which continue hither to. They present ideas of the globa l crimina l investigation. If no science can thoroughly investigate the crimes, it seems that f ilm, and its playfulness, ta kes charge of its agency through its freedom to revea l the darkness of (past) crimes. Assuming this pandemic as an apoca lypse, then it is far too diff icult for us to pinpoint the cause since the past has turned into darkness. As human’s desire to leave traces of memor y in the form of images, the f ilm’s desire is to seek what is in the dark. Before the civilization met its t wilight zone, it is as if cinema must bear its dut y to conduct forensic work upon civilization. Therefore, civilization becomes both the corpus delicti and the crime scene at the same time. The f ilmma kers construct signs as evidence to direct our perceptions to see a crime that had been commit ted. This construction revea ls a modus operandi as a background of the crime. In its ways, a f ilm can connect our perception to identify the perpetrator, victim, and witnesses from the crime of civilization. It turns out that the chronolog y of events in the histor y of civilization brought us to this situation. It has forced us to sit in our homes, throwing ourselves into a net work of interconnected worlds as a communit y of binar y data that is ready to be computed into our ar tif icia l selves. A fter the civilization has met its repeated destruction, tomorrow, we might have to build a new one from the ground by using the collections of ‘the last photographs before the apoca lyptic tinge in the horizon’.

Lenteng Ag ung, 26 October 2020

38


39

KOMPETISI INTERNASIONAL INTERNATIONAL COMPETITION


KOMPETISI INTERNASIONAL 01

Hantu yang Bertransformasi Menggurita Luthfan Nur Rochman

Sel a m at data ng di er a A nthropocene! Ca pita locene! Pl a ntationocene! Cthulhucene! 1 Da lam menavigasikan zona temaram, kita harus rela kusut di da lam silang sengkarut benang cene-cene itu. Pasa lnya, semenja k kapa l Vasco da Gama dan Christopher Colombus berhasil sampai di dua India, goncangan terbesar bagi

1.  Anthropocene adalah istilah geologi untuk menyebut era di mana manusia menjadi daya pengubah geologi yang masif. Istilah ini diperluas menjadi wacana transdisipliner, utamanya ekologi, yang menggugat eksepsionalisme manusia. Teoritikus menggugat penggunaan Anthropocene karena dianggap terlalu luas dan tidak menunjuk ke penyebab langsungnya. Maka muncullah istilah Capitalocene (jejaring kapital sebagai pengubah), Plantationocene (jejaring perkebunan cash crop sebagai pengubah), dan Cthulhucene (Cthulhu=makhluk bertentakel, tawaran Donna Haraway, untuk melihat era saat manusia dan non-manusia berada di kekacauan yang kompleks sehingga manusia perlu mengakui agensi non-manusia untuk bersama-sama keluar dari era ini).

40


umat manusia seja k Revolusi Agrikultur terjadi. La lu lintas komoditi, gagasan, dan tubuh secara cepat dan masif, mendef inisikan dunia sepanjang hampir enam abad hingga hari ini. Pencera han menjadi modus para kolonia lis yang mew ujud da lam ef isiensi, penyeragaman konvensi, dan pemiskinan struktura l di wilaya h conquistado (ter ta klukkan), ka lau tida k disebut eksploitasi. Terbukanya rute laut menuju D unia Baru dan Ja lur Rempa h bagi conquistador itu mela hirkan eksperimen saintif ik terbesar yang melayani kapita l dan ego, di samping ilmu pengeta huan itu sendiri. Wilaya h tropis menjadi arena per temuan posisi geograf is, topograf i, biodiversitas, dan narasi manusia-manusia tropis dengan ketida kgena han dan ambisi para kolonia lis di sana. Sejara h adaptasi dan migrasi warga tropis yang mew ujud da lam ar tefa k, tubuh, hantu, dan narasi mereka, tiba-tiba diterjang mikroorganisme, mesiu, dan kesepa katankesepa katan asing yang memimpikan dunia yang esa. Pemerinta han loka l dengan sega la teluh, santet, g una-g una, dan pusparagam ilmu bela diri pun tida k efektif melawan kongsi dagang yang mengantongi sejumla h tanda tangan pemilik moda l. Da lam semangat pencera han, kegiatan ini pun dengan segera dimasukkan ke da lam kompar temen birokrasi, diforma lisasi dengan diberi nama yang bera kar dari intensi menanam, colere, colonia, kolonia lisasi. Eksperimen menanam dan mencabut tanaman di wilaya h koloni merevolusi sistem ilmu pengeta huan terkait klasif ikasi, la hirla h stereotipe. Industria lisasi menamba h a kselerasi perpinda han tanaman komoditi lintas benua, la hirla h durasi kerja. Ilmu pengeta huan dan seni merekam pencapaian-pencapaian teknologis dan kapita l dari masa itu dengan semangat penemuan dan turistik, la hirla h orienta lisme. Dari ruma h kaca ke ruma h kaca yang lain menjadi tema berulang da lam kehidupan konsumsi seja k abad ke-18 hingga saat ini. Hantu modern mema kan hantu loka l dan menyebabkannya ber transformasi menjadi hantu g urita yang lengannya memanjang di berbagai bela han dunia. Mengantarkan kapas A frika ke mesin peminta l di Eropa, la lu ke toko retail di ma ll Asia dan kemba li lagi ke A frika mengantarkan barang reject. D ari situ, bolehla h kita berupaya mencari kepa lanya ke sebua h kota pelabuhan untuk mengeta hui siasat apa yang sedang dan a kan membentuk dunia ke depannya. D i mana disrupsi da lam masyara katnya dapat dibaca sebagai perlawanan terhadap kekuatan yang lebih besar yang merasa dirinya mampu menyetir ara h zaman. Semenja k ditetapkannya Hong Kong sebagai satu-satunya koloni Eropa di perairan Asia Timur, dengan segera ia menjadi entrepot (pelabuhan transit barang ta k berpaja k) di tenga h kekuatan besar dunia baru. Demograf inya terbentuk dari Inggris si “pencera h” dan kekaisaran Tiongkok pemangg ul “mandat dari surga” yang nantinya diinja k-inja k oleh penggantinya, yang membawa ser ta masing-masing pandangan dunianya. Tapi, Inggris dan Eropa sebagai yang punya hajat, gera h dengan kedatangan para pencari sua ka dari Tiongkok sehingga

41


mengekslusif kan bukit bagi ka langannya sendiri. Dengan kekuatan-kekuatan itula h, kontur baru dibentuk. Kontur f isik dan imajiner yang mengondisikan kehidupan sosia l ekonomi masyara kat konsumer hari ini dengan mengapropriasi tradisi, identitas kewarganegaraan, dan ilmu pengeta huan. Lantas, gambar bergera k sebagai ana k teknologi reproduksi mekanis la hir dan memegang kunci untuk mengg ugat fenomena itu, lebih da hsyat dibandingkan moda representasi lain sebelumnya. Rea litas, kamera por tabel, warna, montase, sound, synchronized sound, dan revolusi digita l dan penyulut perkembangan ba hasa sinema lainnya, mempersenjatai para navigator yang mencoba menyiba k geja la zaman tempat mereka berada. Lewat per tautan ironis antara lanskap hari ini dan sejara h, f ilem dapat membawa kita mendeda h la lu lintas gagasan dan f isik yang memungkinkan Asia dan dunia hari ini. Narasi dan representasi yang dibuat atas Asia dapat dilawan dengan montase dan narasi yang membongkar agenda segregasi dan reduksionis yang terinstitusi. Suara sekitar lanskap dapat beruba h menjadi puisi liris tentang pengga lian memori kolektif dan dislokasi manusiamanusia Asia. Kuratoria l ini ingin meng undang A nda untuk melihat dan mengimajinasikan ma khluk ber tenta kel yang la hir dari usa ha peminda han tanaman da lam sekota k kaca. Tenta kel itu bisa berupa crane pelabuhan yang meminda hkan muatan melintasi laut, crane konstruksi yang membang un rea l estate di kawasan yang katanya kekurangan la han, eska lator yang mengantar manusia melihat ref leksi dirinya dengan barang da lam eta lase, atau jejaring kebun raya yang memuseumkan pencapaian-pencapaian eksperimen botani ilmuwan kolonia l. Apapun itu, ma khluk ber tenta kel itu mencaca h manusia ke da lam g ug usg ug us yang disepa kati oleh nilai lama yang terus-menerus ber transformasi dan dilanggengkan secara sadar atau tida k sadar.

42


INTERNATIONAL COMPETITION 01

The Tentacular Transforming Ghost Luthfan Nur Rochman

Welcome to the er a of A nthropocene! Ca pita locene! Pl a ntationocene! Cthulhucene! 1 To navigate the t wilight zone, we must be willing to get ourselves tangled in the chaos of those cenes. It is because after the ships of Vasco da Gama and Christopher Columbus reached the t wo India, the greatest jolts of humanit y since

1.  Anthropocene is a geological term that refers to an era in which humans are the massive geological modifiers. The term developed into a transdisciplinary discourse, primarily in ecology, which rejects human exceptionalism. Theorists criticize the use of the term Anthropocene because it is considered too broad and does not point to the main cause. Afterwards, there are terms Capitalocene (the capital network as the modifier), Plantationocene (the cash crop plantation network as the modifier), and Cthulhucene (Cthulhu = tentacular creature, Donna Haraway’s idea, to represent an era when humans and non-humans are in complex chaos so humans need to recognize non-human agencies to end this era together).

43


the Agricultura l Revolution occured. The traff ic of commodit y, ideas, and bodies has grown massively and rapidly, def ining the world for nearly six centuries hither to. The colonia ls brought enlightenment as their reason, which took form as eff iciency, convention homogenization, and structura l impoverishment in the conquest territor y, other wise referred as exploitation. The discover y of the sea route to the New World and the Spice Route for the conquistadors gave bir th to the most signif icant scientif ic experiments that ser ved, besides science itself, the interest of capita l and the ego. The tropics became an arena where geographica l positions, topography, biodiversit y, and narratives of tropica l humans met with the discomfor t and ambition of the colonia ls. The histor y of tropica l humans’s adaptation and migration manifested in their ar tifacts, bodies, ghosts, and narratives, was suddenly struck by microorganisms, munition, and foreign agreements that dreamed of a single world. The loca l government, with a ll its witchcraft and diverse mar tia l ar ts, could not effectively f ight against trade par tnerships that had f irst obtained some capita l owners’ signatures. In the spirit of enlightenment, this action was incorporated into the bureaucratic compar tment immediately, with forma lized names rooted in the intentions of planting, colere, colonia, and colonization. Experiments to plant and uproot plants in the colony to revolutionize the system of science related to classif ication, hence born stereot ypes. Industria lization added acceleration of commodit y crops movement across continents, there born duration of work. Science and ar t record the technologica l achievements and capita l of that period with the spirit of discover y and tourism, there born orienta lism. From one greenhouse to another, it has been a recurring theme in consumption life since the 18th centur y. Modern ghosts eat loca l ghosts and cause them to transform into tentacular ghosts with arms extending to various par ts of the world. It delivers A frican cot ton to spinning machines in Europe, then to retail stores in Asian ma lls and back to A frica with rejected goods. From there, we may at tempt to f ind the head of this tentacular body in a por t cit y to know the forms of tactics that shape the world today and a head. At this point, disruptions in societ y can be read as resistance to a higher force that considers itself capable of driving the direction of the times. Since Hong Kong was established as the only European colony in East Asian waters, it soon became an entrepot (a transit por t for non-ta xed goods) amidst the great powers of the new world. Its demographics were formed from Britain the ambassador of “the Enlightenment” and the Chinese empire the bearer of “The Mandate of Heaven” which was later trampled on by its successors, who then brought its respective worldview in. But Britain and Europe as the host were frustrated by the arriva l of asylum seekers from China. Thus, they secluded the

44


hill exclusively for their circles. These forces formed new contours. Physica l and imaginar y contours that have conditioned the socia l and economic life of today’s consumer societ y by appropriating traditions, citizenship identities, and science. Then, moving image as the child of mechanica l reproduction technolog y was born, and it holds the key to criticize that phenomenon, even greater than the previous modes of representation. Rea lit y, por table cameras, colors, montage, sound, synchronized sound, and the D igita l Revolution, as well as other triggers for cinema lang uage developments, arm the navigators in uncovering the phenomena of their times. Through the cinema’s ironic assemblage of today’s landscape with histor y, we can explore the traff ic of ideas and physica l mat ters that brings for th Asia and the world today. Narratives and representations made on Asia can be countered by montages and narratives that dismantle the institutiona lized segregation and reductionist agenda. The sound of landscape ambiance can turn into lyrica l poetr y about the exploration of collective memor y and the dislocation of Asian humans. This curatoria l invites you to see and imagine the tentacular creatures born from the effor t to move plants in a box of glass. The tentacles can ta ke form as por t cranes that move cargo from the other side of the ocean, as construction cranes that build new rea l estate in areas that are said to be lacking of land, as esca lators that ta ke humans to see their ref lections a long with goods in storefronts, or botanica l net works that map the achievements of botanica l experiments of colonia l scientists. Whatever it is, these tentacular creatures chop humans into clusters agreed upon by old va lues that are continua lly transformed and perpetuated consciously or unconsciously.

45


IC 1 / 28 NOVEMBER - 4 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG / 18+

MANY UNDULATING THINGS Country of production China Language English, Chinese, Cantonese Subtitles English 125 min, stereo, color B/W, 2019 Filem esai yang membedah jejaring sejarah

A film essay that dissects the network of Hong

Hong Kong dan agenda kolonialisme

Kong's history and colonialism agenda shaping

yang membentuk realitas fisik dan sosial

the physical and social reality of Hong Kong

masyarakat Hong Kong hari ini. Lewat

society today. Through an ironic linkage

pertautan ironis antara lanskap kontemporer

between Hong Kong's contemporary landscape,

Hong Kong, arsip negara koloni, media, dan

the colony's archives, the media, and historical

fakta sejarah dengan puisi liris nan jenial,

facts with genius lyrical poetry, the director

sutradara memberikan gambaran kerja

gives an overview of the ideas and material for

gagasan dan materi atas Asia pasca-kolonial.

post-colonial Asia.

Luthfan Nur Rochman Bo Wang adalah seorang seniman dan pembuat filem yang tinggal di Belanda dan Cina. Ia mendapatkan beasiswa dari Robert Flaherty Film Seminar pada tahun 2013. Ia pernah menjadi seniman residensi di ACC-Rijksakademie 2017-2018 dan NTU CCA pada tahun 2016. Karya-karyanya telah dipresentasikan di berbagai peristiwa internasional.

Bo Wang & Pan Lu (China)

46

Pan Lu adalah seorang penulis, peneliti, dan pembuat filem yang tinggal di Hong Kong. Dia adalah Asisten Profesor di Departemen Kebudayaan Cina, Universitas Politeknik Hong Kong, dan sarjana tamu di berbagai universitas bergengsi. Tahun 2018, ia menjadi salah satu kurator Kuandu Biennale, Taipei.

Bo Wang is an artist and filmmaker based between the Netherlands and China. He has received a fellowship from the Robert Flaherty Film Seminar in 2013. He was an artist-in-residency at ACC-Rijksakademie 20172018 and NTU CCA in 2016. His works have been presented in numerous international events. Pan Lu is an author, researcher, and filmmaker based in Hong Kong. She is an Assistant Professor at the Department of Chinese Culture, The Hong Kong Polytechnic University, and was a visiting scholar at numerous prestigious universities. In 2018, she was one of the curators of Kuandu Biennale, Taipei.


KOMPETISI INTERNASIONAL 02

Riwayat Kultur Pengguna dalam Jejaring Penaklukan Anggraeni Widhiasih

Kultur pengguna (user) dalam cara manusia berkomunikasi dan mengakses pengetahuan menjadi gejala yang mengglobal bersamaan dengan dominasi internet sebagai teknologi yang mendorong akselerasi pertukaran informasi. Mulanya, internet lahir sebagai teknologi jaringan komunikasi dalam perjalanan perang politik ideologi di masa lalu. Kini, ia merupakan sistem yang menavigasikan kehidupan orang-orang saat ketergantungan penggunaannya dalam keseharian semakin meningkat. Kedangkalan pengetahuan seakan muncul sebagai buah dari kultur “pengguna” tersebut dan menjelma menjadi persoalan generasi. Saat konsumsi pada suatu objek berlangsung terus-menerus memunculkan hasrat yang seakan tidak tertahankan, hubungan patologis dalam aktivitas konsumsi terjadi. Kerap kali perilaku kecanduan dalam konsumsi dihubungkan pula dengan kegagalan kontrol maupun otonomi diri. Di sisi lain, perilaku konsumsi tidak terlepas dari kultur

47


komoditas yang peningkatannya berlangsung bersamaan dengan sejarah ekspansi dominasi suatu kekuasaan. Tela h menjadi khita hnya ba hwa da lam ekspansi kekuasaan sela lu terjadi pena klukan. Hasrat kekuasaan per tama-tama mendorong lanskap a lam diterjema hkan menjadi teritori yang dapat meng ukur jangkauan dominasi kekuasaan suatu entitas. Saat sistem kekuasaan tida k mampu mencukupi kebutuhan (sosia l) ekonominya, ma ka ekspansi dan penjelaja han untuk menemukan tana h baru pun dila kukan. Ta k aya l, misi ekspansi kekuasaan berkelindan dengan misi ekspansi perdagangan. Ia memperluas pena klukan teritori hingga menca kup pena klukan terhadap bangsa-bangsa sebagai cara untuk mengamankan otoritasnya, terutama saat muncul obsesi dan ketergantungan terhadap barang-barang eksotis yang didapat di lokasi tana h baru. Bentuk sistem kontrol terhadap suatu wilaya h dan bangsa-bangsa di da lamnya pun la hir sebagai sistem kolonia lisme. Kekuasaan ini terus-menerus meluaskan dirinya dengan mena klukan teritori-teritori baru hingga membang un imperium di berbagai kawasan dunia. Monopoli perdagangan dan politik kolonia l yang terjadi da lam wa ktu lama di berbagai kawasan pun membentuk pola perkembangan dunia. Ia terjadi seiring dengan kehidupan masyara kat yang dipa ksa mengikuti bentukan sistem kolonia l. Pola intera ksi masyara kat dengan a lam yang tadinya cenderung hidup berdampingan sebagai sebua h ekosistem pun beruba h. Per tanian tida k lagi dila kukan sebagai cara hidup, tetapi sebagai cara memproduksi komoditas untuk kepentingan kolonia l. Hubungan manusia dan a lamnya direduksi menjadi hubungan kerja untuk menghasilkan sebua h produk. Pada masa-masa tersebut, sistem kepercayaan dan kultur di lokasi seringka li harus tergeser, beruba h atau ba hkan hilang. A kar-a kar pengeta huan yang tela h lama tumbuh di tana h itu pun perla han-la han dicabut dan digantikan dengan yang baru. Meskipun demikian, pengeta huan-pengeta huan yang dianggap berg una bagi kepentingan kolonia l terus diambil intisarinya, diuba h menjadi produk baru dan dikemba likan kepada masyara kat koloni sebagai komoditas untuk dikonsumsi. A kar baru yang berasa l dari kultur pena klukan ini terus bercokol da lam kehidupan masyara kat meski dekolonisasi tela h dilangsungkan. Ba hkan, ia bercokol sema kin kuat saat perang ideologi antara poros Barat dan Timur menuntut tunduknya ideologi bangsa-bangsa dunia kepada satu di antara dua. Asia yang seja k lampau tela h menjadi medan per tarungan politik perdagangan kolonia l, terutama di kawasan Asia Tenggara, kemudian menjadi sa la h satu medan perang proksi antara Barat dan Timur. Jeja k-jeja k dominasi dan pena klukan kolonia l dijadikan basis kekuatan untuk meng ukuhkan hegemoni ideologi di kawasan tersebut. Ta hun-ta hun peperangan ideologi bersemi bersama bunga-bunga candu yang meng utuk kawasan ini da lam lingkaran setan berupa sengkarut ketergantungan pada ha l-ha l yang memabukkan. Sejara h keka la han

48


terhadap sistem terus meng ulang dirinya hingga generasi-generasi baru mewarisi sisa-sisa keja hatan perang yang nyaris sama. Mereka menjadi bua h dari pena klukan kawasan saat sistem memerangkapnya da lam kondisi ketiadaan pilihan. Perja lanan kehidupan seola h hanya menjadi sebatas siklus memberi ma kan sistem dominan ter tentu. Orang-orang sea kan tenga h terbenam menjadi sebatas pengg una komoditas yang dihasilkan oleh sistem itu sendiri. Pada ha l di sisi lain, sistem itu pun bergantung pada sesuatu yang tela h lama hidup bersama orang-orang di tana h ta klukan. Ia yang sela lu berusa ha dita klukan agar menjadi teritori kekuasaan ada la h sebentang lanskap a lam dengan keprimordia lan siklus yang sewa ktu-wa ktu dapat menjungkirba likkan sistem lain di sekitarnya. Siklus itu mema ksa sistem lain untuk mau ta k mau menyesuaikan diri dengan sistem bumi. Sebagai sistem organik yang sela lu menyedia kan penghidupan bagi peradaban manusia di sekitarnya, tela h menjadi khita hnya pula ba hwa manusia dan sistem buatan manusia a kan harus menyesuaikan diri dengan lanskap a lam pada suatu wa ktu. Saat sistem dominan bergantung pada lanskap tersebut namun ta k mampu hadir pada cela h-cela h terkecilnya, masyara kat pun dapat dengan muda hnya mengabaikan sistem itu. Pengabaian ini menjadi peluang bagi manusia dan a lam untuk membuat pola intera ksinya sendiri yang menjauh dari pola konsumsi yang dominatif dan identik dengan hasrat pena klukan. Pada titik ini, kultur pengg una sea kan tenga h coba direduksi dan mencipta kan momentum perlawanan terhadap lapisan-lapisan dominasi sistem pena klukan yang tela h merasuk pada keseharian dan mendikte pola konsumsi manusia, ba hkan pada konsumsi terhadap pengeta huan.

49


INTERNATIONAL COMPETITION 02

The History of User Culture in a Network of Conquest Anggraeni Widhiasih

User cultur e th at perva des our mode of communication and knowledge access has become a globa l symptom, coinciding with the Internet’s domination as a technolog y that accelerates the exchange of information. The Internet was f irst born in the histor y of politica l ideolog y war as a net work communication technolog y. Today, it has become a system that navigates our daily lives as we become increasingly dependent towards it. The superf icia lit y of knowledge was born out of this “user” culture, transforming into a generationa l problem. When a continuous consumption of an object ignites an unquenchable desire, a pathologica l relation in the consumption activit y then occurs. Addiction to consumption is often related to failure of control and self-autonomy. On the other hand, consumption behaviour is inseparable from commodit y culture that has been increasing a long with expansion of power in histor y. Natura lly, with expansion of power comes conquest. At f irst, desire for power directs the interpretation of the natura l landscape as a territor y that def ines the range of domination by a powerful entit y. When a system of power cannot accommodate its (socio)economica l needs, they would plan an expansion and exploration to f ind a new land. Expansion of power goes hand in hand with expansion of trade. Territoria l conquest includes conquest of nations as a way to g uarantee their authorit y, especia lly when obsession and dependence on exotic things from the new land rises. A system of control subjected to a territor y and nation was born and known as colonia lism. A continuous expansion of power

50


is gained through conquering new territories, and eventua lly results in an establishment of worldwide imperium. Centur y-old trade monopolies and colonia l politics in many regions have established a pat tern of globa l development. This development is in para llel with the pressure for the nations to live according to the colonia l system. Their pat tern of interaction with nature has changed, they no longer live a longside nature as a par t of an ecosystem. Agriculture is no longer a way to live, it has become a means to produce colonia l commodities. The relation bet ween human and nature has been reduced into a product-oriented work relation. Belief and cultura l systems in cer tain locations have either been displaced, changed, or lost. A ncient knowledge that had long f lourished in native’s soil was uprooted and replaced. However, the loca l knowledge deemed useful by the colonizers was extracted, transformed into a new product, and reintroduced to the colonized as a commodit y to consume. The roots planted by this conquest culture entrenches itself in the societ y, even after decolonization. It grips even stronger when the ideologica l war bet ween the Western and Eastern bloc demands the globa l nations to pick a side. Asia, especia lly Southeast Asia, which has long been the war zone of colonia l trade politics, now turn into one of the proxy wars zones bet ween the West and the East. Traces of colonia l domination and conquest become a foundation to establish ideologica l hegemony in this wars zone. Years of ideologica l war f lourished a long with the opium that cursed this land and put it in a vicious circle of dependence towards intoxicating things. The histor y of defeat to the system repeats itself, the new generations now inherit the remnants of roughly the same war crimes. This generation becomes the fruit resulted from regiona l conquest when the system puts them in a situation in which they have no choice. The journey of life seems to become a cycle of life that merely feeds a cer tain dominant system. People seem to be trapped in the role of commodit y users produced by the system itself. Yet on the other hand, the system a lso depends on something that has long lived with the conquered people. That something, the one to be conquered to become a territor y of power, is the landscape of nature with its primordia l cycle that can over turn other systems at any time. This cycle forces other systems to inevitably adapt to Ear th’s system. As an organic system that a lways provides a livelihood for human civilization, it is only natura l that humans and man-made systems will have to adjust to the natura l landscape at one point. When a dominant system relies on the landscape but is unable to exist in its sma llest nooks, the people can easily ignore the system. This neglect becomes an oppor tunit y for humans and nature to create their own pat terns of interaction, away from the dominating consumption pat terns that are identica l to the desire for conquest. At this point, an at tempt to reduce the user culture might be carried out to create a momentum of resistance against the dominant conquest system that has penetrated ever yday life and dictated pat terns of human consumption, even consumption of knowledge.

51


IC 2 / 28 NOVEMBER - 4 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG / 18+

CENTURY OF SMOKE

Country of production Belgium Language Lao, Akha, Chinese Subtitles English 90 min, stereo, HD, color, 2019 Melalui perekaman pada zona terkecil dalam

Through a recording process in the smallest

sebuah lingkup hidup masyarakat, yakni

zone in a sphere of community life, that is the

kamar tidur, kamera dalam filem ini kemudian

bedroom, camera in this film moves out and

keluar dan membawa kita membuntuti

leads us to follow the most bitter chapter in

babak cerita paling pahit dalam epos

the epoch of world region history. Collective

sejarah kawasan dunia. Kekalahan kolektif

defeat of a political entity due to decades of

sebuah entitas politik akibat dekade-dekade

war crimes has buried the Akha in a province

kejahatan perang membenamkan orang-

in Laos, in opium culture. It produces a curse

orang Akha di sebuah provinsi di Laos, dalam

of vicious circles across generations that left

kultur opium dan candu. Ia menghasilkan

the women in remoteness, lack of choice, and

kutukan lingkaran setan lintas generasi

endless lamentation.

yang menyisakan para perempuannya dalam keterpencilan, ketiadaan pilihan dan ratapan tanpa akhir. Anggraeni Widhiasih

Nicolas Graux (Liège, 1988) tinggal di Brussels, menyelesaikan studi di Institute of Media Arts dengan gelar master pembuatan filem fiksi. Narasi dan citraan dalam karyanya hadir bersama kesabaran imersif di tempat nun jauh, dengan orang-orang yang jarang digambarkan di sinema, terangkai menjadi pengalaman sensoris nan puitis. Filem-filemnya telah dihadirkan di berbagai ajang internasional.

Nicolas Graux Belgium

52

Nicolas Graux (Liège, 1988) lives in Brussels, graduated from the Institute of Media Arts with a master's degree in fiction filmmaking. His narratives and images rely on patient immersions in distant territories, with people rarely portrayed in cinema, weaving sensory and poetic film experiences. His films have been selected in numerous international occasions.


IC 2 / 28 NOVEMBER - 4 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG / 18+

ICUCICU

Country of production Singapore Language English Subtitles English 14 min, stereo, HD, color, 2019 Pengetahuan trivial satu bertemu dengan

One trivial knowledge encounters other trivial

pengetahuan trivial lainnya. Bahasan

knowledge. The discussion of colonialism,

kolonialisme, dominasi dan internet dirajut

domination, and the internet was knitted

oleh tuturan dan visual yang feminin serta

by feminine visuals and talks along with

aksi yang arbitrer hingga menjadi sebuah esai

arbitrary action until it forms a critical essay.

kritis. Representasi kultur internet yang serba

The random and superficial representation

dangkal dan manasuka kemudian dihadirkan

of internet culture appears no longer as a

tidak lagi sebagai sebuah persoalan saja,

problem, but at the same time as a way to

tetapi sekaligus sebagai cara ungkap yang

condemn and counter the domination itself.

mengumpat dan melawan dominasi itu sendiri.

Anggraeni Widhiasih

Giuliana Rossi Foulkes adalah sutradara dan seniman visual yang tinggal di LA, lulus dari jurusan Film/Video di California Institute of the Arts. Karya-karyanya bersifat pribadi, konfrontatif, dan agresif secara estetika, dengan dipandu oleh pertanyaan tentang trauma, perasaan, dan ingatan. Baru-baru ini, ketertarikannya pada hubungan kekuasaan telah mendorongnya menjelajahi ranah pengaruh yang berjejaring.

Giuliana Rossi Foulkes & Charlotte Hong (USA & Singapore)

Charlotte Hong adalah seniman animasi, pembuat film, dan ilustrator yang dibesarkan di Singapura dan kini berbasis di Los Angeles, lulus dari California Institute of the Arts dengan jurusan Animasi Eksperimental.

Giuliana Rossi Foulkes is an LA-based filmmaker and visual artist, graduated from Film/Video degree in California Institute of the Arts. Their work is deeply personal, confrontational, and aesthetically aggressive, guided by questions of trauma, affect, and memory. Recently, their interest in relations of power has led them to explore networked realms of affect. Charlotte Hong is an animation artist, filmmaker, and illustrator raised in Singapore and based in Los Angeles, graduated from the California Institute of the Arts majoring in Experimental Animation.

53


IC 2 / 28 NOVEMBER - 4 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG / 15+

DI PINGGIR KALI CITARUM

Country of production Indonesia Language Subtitles 16 min, stereo, HD, color, 2019 Perekaman yang intens terhadap profil kerja

An intense recording of the profile of a

keseharian seorang tukang rakit di sebuah

rafter's daily work in a nook on the edge

sudut di pinggir kali Citarum membawa

of the Citarum river brings the camera

kamera mengeksplorasi sudut-sudut lokasi

to explore the corners of a location in an

di sebuah ekosistem. Perekaman itu lambat-

ecosystem. This recording has gradually

laun mengungkapkan gambaran lanskap

revealed the picture of a natural and social

alam dan sosial di pinggiran kali Citarum.

landscape on that nook. The human social

Siklus sosial manusia dan siklus alam

cycle and the natural cycle coexist and

berjalan berdampingan dan membangun

establish their poetry about a certain cycle

puisinya tentang siklus kehidupan dalam

of life in an ecosystem.

sebuah ekosistem.

Anggraeni Widhiasih

Ali Satri Efendi, lahir di Karawang dan tinggal di Bekasi. Ia bekerja sebagai dosen dan rutin membuat filem pendek, minimal satu buah setiap tahunnya. Filem pendek eksperimentalnya, Gelombang Longitudinal, terpilih dalam program Candrawala ARKIPEL 2016. Puisi dan cerpennya telah dimuat di berbagai antologi dan media.

Ali Satri Efendi (Indonesia)

54

Ali Satri Efendi, born in Karawang and lives in Bekasi. He works as lecturer and routinely makes at least one short film each year. His experimental short film Gelombang Longitudinal was selected in Candrawala program at 2016 ARKIPEL. His poems and short stories were published in various anthology and media.


KOMPETISI INTERNASIONAL 03

Puisi Teknologi Gambar Bergerak: di “Antara”, “Saling”, dan “Pakai” Pingkan Polla

Menurut legenda, sa at perta m a k a li r epr esentasi ker eta yang bergera k ke ara h kamera diproyeksikan, gambar bergera k tersebut berhasil memberikan efek kejut, keta kutan, ba hkan teror kepada sekumpulan orang yang melihatnya. 1 Penonton da lam sekejap ditawarkan oleh kekuatan sugestif gambar bergera k yang mengacaukan ingatan mereka dengan kenyataan dan representasi. Terlepas dari benar atau tida knya mitos yang dipercayai dibuat sebagai agen pemasaran pemutaran f ilem produksi Lumiere Bersaudara, ha l ini menunjukkan ba hwa pada masa awa l kemunculannya, f ilem dianggap memiliki kekuatan yang mena kjubkan mela lui ilusi yang dicipta kan oleh gambar bergera k.

1.  Hellmuth Karasek dalam artikelnya yang dimuat di majalah terbitan Jerman Der Spiegel pada 26 Desember 1994 edisi ke-52, halaman 154, yang mengatakan “Yes, it caused fear, terror, even panic.”.

55


Dari pabrik Lumiere, f ilem kemudian dibawa ke benua lainnya, mengikuti ja lur pena klukan tana h koloni. Filem menjadi bagian dari teknologi modern yang dipa kai oleh subjek ma ha kuasa untuk merekam kultur yang di da lamnya terdiri dari ingatan-ingatan objek yang selamat dari a ksi subjek yang destruktif. Rekaman diproses secara kimiawi dan membentuk representasi ingatan objek yang tersisa. Kemudian ia diinstitusikan, ditayangkan kemba li atas nama pengeta huan peradaban yang terus-menerus dirawat oleh rezim kultura l agar menjadi ingatan mengenai pena klukan. Suatu hari, 130 ta hun kemudian seja k kereta Lumiere per tama ka li lewat di antara sorotan ca haya, ingatan atas rezim modernisme diproduksi ulang lewat gawai yang tersimpan di kantong-kantong sebagai konsekuensi dari keberjara kan dengan a kses pengeta huan yang tela h terkeruk. Sebua h kar ya seni video Jati Goes to Rotterdam oleh Ot t y Widasari menunjukkan bagaimana seniman merespons sebua h arsip f ilem produksi pemerinta h Hindia-Belanda yang pada saat itu direkam dengan kamera f ilm seluloid. Filem tersebut, yang tela h dipresentasikan secara digita l, ditampilkan di Eye Filmmuseum, A msterdam. Si seniman, dengan kamera ponselnya, merekam ulang arsip tersebut dan menghasilkan replikasi baru. Ia kemudian menayangkan video rekamannya pada layar komputer yang dileta kkan di beberapa sudut kota Rot terdam, hingga kemba li ke lokasi awa l tempat arsip f ilem kolonia l dibuat, yaitu di hutan Jati di Pulau Jawa. A ksi replikasi tersebut memunculkan lapisan-lapisan teknologi hari ini atas sebua h ingatan. Kar ya video tersebut, secara tida k langsung, meng uba h medium teknologi gambar bergera k dan narasinya. Filem, yang awa lnya merupa kan hasil prosesi kimiawi, beruba h menjadi gambar bergera k yang dihasilkan dari kumpulan jutaan pixel. Ingatan tentang kejamnya peradaban juga beruba h menjadi ingatan atas lapisan kerja media. Narasinya pelan-pelan beruba h. Ia tida k lagi membicara kan rezim kolonia lisme yang mengg una kan produk modern, melainkan rezim representasi yang dicerita kan dengan langgam seni rupa sebagai diksi teknologis yang performatif. Gambar bergera k, setela h mela lui perja lanan panjang, tida k kehilangan kekuatan ilusinya. Secara turun-temurun ia menga lami penyempurnaan medium yang ma kin dekat dengan keseharian. Ia dikembangkan dengan cara mereplikasi kenyataan secara terus-menerus. Kenyataan yang kemudian terdeformasi tersebut, a khirnya terurai menjadi lapisan-lapisan yang membentuk sebua h rezim representasi. Di bawa h rezim representasi, gambar bergera k ma kin menunjukkan khita hnya sebagai agen myth-form-action yang memuslihatkan dan mengejar rea litas representasi yang bebas dikonsumsi dan dima knai, tergantung pengeta huan subjek dan objeknya. Pada kedelapan f ilem da lam kuratoria l ini, kita melihat trajektori teknologi gambar bergera k yang menegaskan ingatan mengenai sejara h kekuasaan

56


peradaban Barat, rantai konsumsi, puisi kontemporer, ba hasa visua l yang performatif, dan a ksi pembesaran yang mengemba likan representasi visua l kepada khita h digita l. Trajektori ini menunjukkan rezim representasi yang sela lu terikat pada sejara h kejamnya peradaban—ba hwa representasi yang dikonsumsi ada la h bentuk pemujaan yang terjadi da lam hubungan subjek dan objek. Subjek dan objek sela lu didorong oleh rezim representasi untuk berhubungan dengan cara “antara”, “sa ling”, dan “pa kai”. Posisinya relatif. Hubungan itu bisa menjadi destruktif atau kompromis, tergantung pada lokasi tempat sebua h narasi beser ta ingatan la hir dan berkembang.

57


INTERNATIONAL COMPETITION 03

The Tech-Poetry of Moving Image: in “Between”, “Relating”, and “Use” Pingkan Polla

Accor ding to legend, the first time the r epr esentation of a tr a in mov ing towards the camera was projected, the moving image succeeded in giving a shock, fear, and even terror effects to a group of people who saw it. 1 The audience instantly experienced the suggestive power of moving images that confused their memories of rea lit y and representations. Regardless of whether or not the my th was created as a marketing strateg y for the Lumiere Brothers’ f ilm screening, this shows that in its early days, cinema was considered to have an amazing illusor y power created by moving images.

1.  Hellmuth Karasek in his article published in the German magazine Der Spiegel on December 26, 1994, 52nd issue, page 154, which said “Yes, it caused fear, terror, even panic.”.

58


From the Lumiere factor y, cinema was then carried to other continents, following the colonizer’s path of conquering the colony’s lands. Cinema was part of the modern technology used by the mighty subjects to record a culture in which the memories of objects that have survived the destructive actions of those subjects. The recordings were chemically processed, and they formed a representation of memory of the remaining objects. Then they were instituted, re-broadcast in the name of the knowledge of civilization, which was relentlessly promoted as a memory of conquest by the cultural regime. 130 years after the train in Lumiere’s film first passed through the beams of light, memories of the modernist regime were reproduced through gadgets stored in pockets. This is a consequence of the gap in accessing the knowledge that has been taken away. A video artwork titled Jati Goes to Rotterdam by Otty Widasari shows how the artist responds to the archival footage produced by the Dutch East Indies government with celluloid cameras. The digitalized footage was shown at the Eye Filmmuseum, Amsterdam. The artist, with her cellphone camera, re-recorded the archival footage and produced a new replica. She then displayed the video recording on computer screens in several places, from the corners of the city of Rotterdam to the original location of the footage, namely the teak forest on the island of Java. The act of replication brings out today’s technological layers of memory. Widasari’s video work, indirectly, changes the medium of moving image technology and its narrative. A film, which was originally the result of a chemical procession, turned into a moving image resulting from a collection of millions of pixels. Memories of the cruelty of civilization also turn into memories of the working layer of the media. The narrative slowly changes. It no longer talks about a colonialist regime that uses modern products, but about a representation regime. In visual arts, the latter is described as a performative technological articulation. The moving image, after a long journey, does not lose its illusory power. From generation to generation, the medium has become much more refined and closer to daily life. It is developed by continually replicating reality. This deformed reality finally breaks down into layers that form a representation regime. Under the representation regime, moving images increasingly show their character as a myth-form-action agency that shows and pursues the reality of representation that is free to consume and interpret, depending on the knowledge of the subject and the object. In the eight films in this curatorial, we see the trajectory of moving image technology that emphasizes the memory of the history of power of Western civilization, the chain of consumption, contemporary poetry, visual performative language, and enlargement

59


actions that return visual representations to digital context. This trajectory shows a representation regime that is always tied to the cruel history of civilization — that the representation consumed is a form of worship that occurs in the subject-object relationship. Subjects and objects are always encouraged by the regime of representation to relate to the ways of “between”, “relating”, and “use”. Relative positioning. The correlation can be destructive or compromising, depending on the location in which a narrative and memories are born and developed.

60


IC 3 / 28 NOVEMBER - 4 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

vulture

Country of production Canada Language English Subtitles English 57 min, stereo, 16 mm processed to digital, color & B/W, 2019 Penegasan ambiguitas medium seni;

An affirmation to the ambiguity of the

gambar diam yang digerakkan atau gambar

art medium; animation of still image or

bergerak yang dibekukan.

stylization of moving image.

Pingkan Polla

Philip Hoffman (Kitchener-Waterloo, Ontario) menyelesaikan pendidikan formal yang mencakup Diploma Seni Media di Kolese Sheridan dan Sarjana Seni Sastra di Universitas Wilfrid Laurier. Dia tertarik dengan pertanyaan tentang realitas dalam fotografi dan sinema. Saat ini, ia mengajar di Departemen Seni Sinema dan Media, Universitas York.

Philip Hoffman (Kitchener-Waterloo, Ontario) completed formal education which includes a Diploma in Media Arts at Sheridan College and a Bachelor of Arts in Literature at Wilfrid Laurier University. He is intrigued by questions of reality in photography and cinema. Currently, he teaches in the Cinema and Media Arts Department, York University.

Phillip Hoffman (Canada)

61


IC 3 / 28 NOVEMBER - 4 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

ILLUSIVE ECHOES

Country of production USA Language Subtitles 10 min, stereo, HD, color, 2019 Kerja teknologis yang memproduksi dan

Technological work that produces and

mereplikasi gema-gema warna sebagai

replicates color echoes as an extension of the

perpanjangan mata untuk melihat lapisan-

eye to see visual layers that the eye cannot

lapisan visual yang tak tercapai oleh mata.

reach.

Pingkan Polla

Zlatko Ćosić (Banja Luka, Yugoslavia) adalah seniman video yang bekerja di berbagai media, termasuk filem pendek, instalasi video, proyeksi teater, dan pertunjukan audio-visual langsung. Karya-karyanya berkaitan dengan masalah identitas, imigrasi, dan kompleksitas hidup di lingkungan budaya yang asing. Karyanya telah dipamerkan di berbagai negara.

Zlatko Ćosić (USA)

62

Zlatko Ćosić (Banja Luka, Yugoslavia) is a video artist who works in various media, including short films, video installations, theater projections, and live audio-visual performances. His works relate to issues of identity, immigration, and the complexities of living in unfamiliar cultural environments. His works have been shown in numerous countries.


IC 3 / 28 NOVEMBER - 4 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

TORANJ (THE TOWER)

Country of production Croatia Language Subtitles 11 min 49 sec, stereo, HD, color, 2019 Trayektori digital yang mengalami

A digital trajectory that has been enlarged many

pembesaran berkali-kali untuk

times to return the visual representation to be the

mengembalikan representasi visual kepada

digital essence, that is pixel.

khitah digital, yaitu piksel.

Pingkan Polla

Silvestar Kolbas (1956, Kroasia) adalah seorang sinematografer, fotografer, dan sutradara filem. Ia lulus dari jurusan Film dan Kamera TV pada tahun 1982 dari Akademi Seni Drama di Zagreb. Kini ia pun mengajar di sekolah yang sama. Karya-karyanya juga kerap merefleksikan sifat media visual.

Silvestar Kolbas (1956, Croatia) is a cinematographer, photographer, and film director. He graduated in Film and TV Camera in 1982 from the Academy of Dramatic Art in Zagreb. Today he is a full-time professor at the same school too. His works often also reflect on the nature of visual media.

Silvestar Kolbas (Croatia)

63


IC 3 / 28 NOVEMBER - 4 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

MURMUR

Country of production Belgium Language Subtitles 10 min 21 sec, stereo, HD, B/W, 2019 Puisi Kedatangan Kereta Lumiere

Poetry of the contemporary Lumiere’s Arrival

kontemporer.

of The Train.

Pingkan Polla

Jan Locus tinggal di Brussel. Proyek jangka Panjang yang dikerjakan fotografer dan pembuat file mini mempelajari kompleksitas masalah sosial-politik di dunia. Buku fotografinya antara lain Mongolia, De Bewegende Stad, dan Devoted. Karya-karyanya telah banyak ditampilkan dalam berbagai festival internasional.

Jan Locus, Stijn Demeulenaere (Belgium)

64

Stijn Demeulenaere adalah sound artist dan field recordist. Ia membuat karya-karya instalasi, soundscape, performans, dan membuat desain suara untuk tari dan teater. Stijn meneliti hubungan antara identitas, suara, dan aksi mendengarkan. Karyanya ditampilkan di berbagai festival internasioal serta menerima berbagai penghargaan.

Jan Locus lives in Brussels. The longterm projects of the photographer and filmmaker Jan Locus study the complexity of worldwide, socio-political issues. His photography books include Mongolia, De Bewegende Stad, and Devoted. His works have been shown in numerous international festivals. Stijn Demeulenaere is a sound artist and field recordist. He creates installations, soundscapes, performances, and does sound design for dance and theatre. Stijn researches the relationship between identity, sound and listening. His work was shown at numerous international festivals as well as received awards.


IC 3 / 28 NOVEMBER - 4 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

LIVESTOCK

Country of production Canada Language English Subtitles 12 min, stereo, 16 mm processed to digital, B/W, 2018 Ingatan sejarah modern dan kekuasaan

Historical memory of modernity and power boils

yang bermuara di penggorengan.

down on the frying pan.

Pingkan Polla

Derek Jenkins adalah motion picture photographer dan teknisi lab yang tinggal di Hamilton, ON. Praktiknya berkenan dengan kreasi langsung tangan, bersifat personal, dan dokumenter, dengan minat pada isu pekerja, ekologi, dan reproduksi sosial. Filem-filemnya telah diputar dan dipamerkan di berbagai festival. Saat ini, dia bekerja di Niagara Custom Lab.

Derek Jenkins is a motion picture photographer and lab technician based in Hamilton, ON. His practice is handmade, personal, and documentary, with an interest in labour, ecology, and social reproduction. His films have been screened and exhibited in many festivals. Currently, he works at Niagara Custom Lab.

Derek Jenkins (Canada)

65


IC 3 / 28 NOVEMBER - 4 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

BETWEEN RELATING AND USE Country of production Argentina & USA Language English Subtitles 9 min, stereo, 16 mm processed to digital, color, 2018 Ingatan ambigu relasi fetisisme disamakan

Equating the ambiguous memory of fetishism

dengan narasi kolonialisme.

relation with the narrative of colonialism.

Pingkan Polla

Nazlı Dinçel tinggal di Milwaukee, WI. Di kota tersebut, ia pun kini membangun laboratorium filem yang dikelola seniman. Dia memperoleh gelar MFA dalam pembuatan filem dari UW-Milwaukee. Dia baru-baru ini menjadi rekan Institut Radcliffe 2019/2020 untuk studi lanjutan di Universitas Harvard, dan menjadi salah seoarang seniman penerima Mary L. Nohl Fund Fellowship tahun 2019.

Nazlı Dinçel (USA)

66

Nazlı Dinçel resides in Milwaukee, WI, where she is currently building an artist-run film laboratory. She obtained her MFA in filmmaking from UW-Milwaukee. She was recently a 2019/2020 Radcliffe Institute fellow for advanced study at Harvard University, and a 2019 Emerging Artist recipient of the Mary L. Nohl Fund Fellowship.


IC 3 / 28 NOVEMBER - 4 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

THE LIBRARY OF WATER

Country of production USA Language Subtitles 9 min, stereo, HD, color, 2020 Puisi tentang kehancuran peradaban.

Poetry on the destruction of civilization.

Pingkan Polla

Damon Mohl (1974) adalah sutradara dan seniman multi-media, kini menjabat sebagai Asisten Profesor Seni Byron K. Trippet di Wabash College di Indiana. Dia lulus dari jurusan seni lukis di Pennsylvania Academy of the Fine Arts, Philadelphia, dan mendapat gelar master dari University of Colorado, Boulder.

Damon Mohl (1974) is a filmmaker and multi-media artist, currently serving as a Byron K. Trippet Assistant Professor of Art at Wabash College in Indiana. He received BFA in drawing and painting from the Pennsylvania Academy of the Fine Arts, Philadelphia, and MFA from the University of Colorado, Boulder.

Damon Mohl (USA)

67


IC 3 / 28 NOVEMBER - 4 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

DONT KNOW WHAT

Country of production Austria Language English Subtitles 8 min, stereo, HD, B/W, 2019 Diksi teknologis yang performatif.

Performative technological diction.

Pingkan Polla

Thomas Renoldner (1960, Linz, Upper Austria) adalah seniman, guru, sejarawan film, dan kurator. Ia telah mempelajari ilmu psikologi dan teori pendidikan di universitas di Innsbruck dan Salzburg serta mempelajari lukisan dan filem animasi di Academy of Applied Arts/Vienna. Filemnya telah diputar di berbagai festival.

Thomas Renoldner (Austria)

68

Thomas Renoldner (1960, Linz, Upper Austria) is an artist, teacher, film historian, and curator. He has studied psychology and educational theory at the universities in Innsbruck and Salzburg as well as painting and animation film at the Academy of Applied Arts/Vienna. His films have been screened in many festivals.


KOMPETISI INTERNASIONAL 04

Melihat Bayangan Dhanurendra Pandji

Pa da a legor i gua ya ng ditulis Pl ato da l a m buku Republic, Socrates meminta Glaucon untuk membayangkan tentang sekelompok ta hanan yang sepanjang hidupnya terbelengg u di dasar g ua. Para ta hanan ini dirantai pergelangan tangan dan lehernya pada sebua h dinding da lam kondisi tetap, sehingga mereka tida k dapat melihat satu sama lain, ba hkan dirinya sendiri. Di bela kang dinding tempat para ta hanan dirantai, terdapat pancaran sinar obor yang dila lui oleh iring-iringan para pembawa benda. Sehingga bayangbayang benda yang muncul pada dinding g ua di hadapan para ta hanan tersebut dipersepsikan sebagai satu-satunya rea lita bagi para ta hanan g ua. Pengandaian Socrates di atas mengingatkan saya pada per tunjukan wayang kulit yang sempat saya nikmati sewa ktu kecil. “Wayang”, “wayangan”, atau “ayang-ayang” ada la h istila h bagi “bayangan” da lam Ba hasa Jawa. Idea lnya, per tunjukan wayang dimainkan dari ba lik kelir atau layar besar ber wana putih,

69


sementara di bela kangnya disorotkan ca haya dari blencong atau lampu minya k, sehingga penonton dapat melihat f ig ur-f ig ur pewayangan yang dimainkan da lang mela lui bayangan yang jatuh pada kelir. Jajaran wayang dibagi menjadi dua; di sisi kanan diisi para kesatria dan di sisi kiri diisi para angkara murka. Sayangnya, per tunjukan wayang yang saya tonton ka la itu keluar dari pa kemnya dengan menghadapkan da lang bersama kelompok karawitan di hadapan penonton. Jajaran tokoh wayang pun ber tukar posisi. Para angkara murka di sisi kanan dan para satria di sisi kiri. Persoa lan selanjutnya muncul ketika apa yang kami lihat wa ktu itu bukan lagi wilaya h citraan atau bayang-bayang, melainkan wilaya h sumber citra yang terpantul oleh ca haya, yaitu wilaya h benda-benda. Berangkat dari kerangka ontologis yang dibeberkan Plato, mungkin kami sebagai penonton wayang ada la h sa la h seorang ta hanan yang berhasil terbebas untuk melihat bagaimana hukum-hukum yang mendasari rea litas pada bayangan g ua. Plato menegaskan ba hwa rea litas sesungg uhnya berada pada wilaya h pemikiran tempat ha kikat dari objek-objek inderawi berada dan mendasari rea litas inderawi yang dapat kita persepsikan. Sehingga ha l ini menjelaskan bagaimana seorang ta hanan yang tercera hkan tersebut tela h membunuh ilusi yang terbang un di kepa la para ta hanan lainnya ketika ia kemba li ke da lam g ua untuk menjelaskan dimensi rea lita di luar apa yang dipersepsikan para ta hanan lain. Namun, da lam kasus per tunjukan wayang kulit yang saya a lami, aga knya saya mendapati perspektif yang berbeda da lam melihat bayangan. Seper ti kita ta hu, per tunjukan wayang ada la h permainan bidang gelap yang tercipta mela lui kerja ca haya di ba lik kelir, sehingga penonton semestinya diposisikan untuk menatap permainan bayangan (wilaya h citraan) untuk dapat mema hami ha kikat objek-objek inderawi (wilaya h pemikiran) di bela kangnya. Situasi demikian memunculkan persoa lan mengenai ulang-a lik pema knaan da lam melihat bayangan. Pada a legori g ua Plato, seseorang perlu beranja k menuju sisi terang untuk dapat mema hami sisi yang gelap. Seba liknya, pada kasus per tunjukan wayang kulit yang saya a lami, kami perlu masuk ke da lam sisi yang gelap untuk mema hami sisi yang terang. Wilaya h citraan, tentu saja, berkaitan dengan kekuasaan. Da lam dua kasus di atas, anggapla h, kekuasaaan berada pada rezim hukum ca haya. Pada titik ini, kita memasuki wilaya h yang dima ksud Plato sebagai pema haman forma l. Secara sederhana, pemantulan ca haya ada la h proses terpancarnya kemba li ca haya dari permukaan benda yang terkena ca haya. Da lam sebua h percobaan yang dila kukan oleh Willebrord Snellius, didapati ba hwa ca haya merambat da lam garis yang lurus. Lantas, suatu permukaan da lam sudut pantul ca haya terha lang oleh suatu benda, ma ka a kan timbul sebua h bidang gelap yang kita sebut sebagai bayangan. Kepekatan bayangan ditentukan oleh kekuatan sinar, sementara ukurannya ditentukan oleh sudut dan jara k benda dengan sumber ca haya. A r tinya, hubungan citraan dan ha kikat benda ditentukan oleh hukum ca haya.

70


Serupa dengan kerja pembingkaian da lam sinema, apa yang kita sebut dengan citraan tida k bisa terlepas dari kekuasaan da lam bentuk rezim tatapan, rezim authorship, rezim wacana, rezim ideologi, ba hkan rezim politik. Kencenderungan reduksionis kamera ketika meng urung rea lita ke da lam bingkai — sebut saja rea litas citraan – sementara di wa ktu yang sama mengabaikan rea lita di luar bingkai, atau dengan kata lain, adanya pema knaan fa kta-fa kta ter tentu dari rea lita yang ada, boleh jadi justru menjelaskan sesuatu yang tida k terjelaskan pada rea lita di luar bingkai. Sebua h g uci bermotif yang disinari ca haya a kan menampilkan ha kikat utuh mengenai g uci tersebut, sementara ketika kita melihat bayangan di ba liknya, kita mendapati ba hwa ha kikat benda tersebut tida k hadir secara utuh. Namun, justru pada bidang gelap tersebut memungkinkan munculnya subversi pema knaan dari apa yang diperlihatkan oleh ca haya selagi kita mema knai hukum-hukum kekuasaan yang berla ku da lam relasi antara bayangan dan sumber bendanya. Mela lui kuratoria l ini saya mengaja k A nda untuk berjelaja h, di mana kita dapat memasuki atau ma la h melompat ke luar bingkai untuk dapat mema knai bagaimana bayangan bekerja da lam sebua h ruang sinema.

71


INTERNATIONAL COMPETITION 04

Watching Shadows Dhanurendra Pandji

In the cav e a llegory wr itten by Pl ato in R epublic, Socrates asked Glaucon to imagine a group of prisoners chained in the bot tom of a cave for their lifetime. Their wrists and necks were chained to the cave wa ll, so they could not see each other, even themselves. Behind the wa ll where they were chained to, a torch was beaming as it was passed by people carr ying some objects. Therefore, the objects’ shadows on the cave wa ll were perceived as the only rea lit y for the prisoners in the cave. Socrates’ presupposition reminds me of wayang kulit 1 shows I enjoyed as a

1.  Wayang is a traditional form of shadow puppet, originating from Javanese culture. Wayang kulit, one of the many types of wayang, is specifically made of leather.

72


child. Wayang, wayangan, or ayang-ayang are Javanese terms for “shadow”. Idea lly, a wayang show is performed behind a large white screen, and at the back of the screen an oil lamp projects a light, in this way the spectators can see the wayang f ig ures performed by a puppeteer (da lang 2 ) through the shadows on the screen. The line formation of the wayang characters is divided in t wo; the warriors (kesatria) stand on the right side of the screen, and the anger-driven villains (angkara murka) stand on the left. Unfor tunately, the wayang show that I saw did not conform to these norms since the puppeteer (da lang) a long with the musica l group were facing the audience. This position reversed the line formation of the characters. The villains stood on the right side, and the warriors on the left. A question then arises when we no longer see the rea lm of image nor shadow, but actua lly the source of image ref lected by the light; it is the rea lm of objects. Depar ting from Plato’s ontologica l framework, maybe we, as wayang spectators, are among the prisoners who have managed to brea k free to see how the laws underlie the rea lit y, which is represented in the shadow of the cave. Plato asser ted that the genuine rea lit y lies in the rea lm of thought in which sense objects is grounded, underlying our perceived sensor y rea lit y. This explains how an enlightened prisoner, once he returned to the cave, explained to the other prisoners the dimension of rea lit y beyond what they had perceived, consequently shat tering the illusion on their minds. But from the wayang kulit show that I have seen, I get another perspective on watching and thinking about shadows. In genera l, a wayang show is a play of dark plane created through the mechanism of light behind the screen, and the spectators watch the play of shadows (the rea lm of image) to understand the essence of sense object (the rea lm of thought) at the other side of the screen. This situation brings up a problem of the reciprocit y of meaning in understanding shadows. In Plato’s cave a llegor y, one must enter the bright side to understand the dark side. In the case of the wayang kulit show that I saw, we must enter the dark side to understand the bright side. Of course, the rea lm of image is related to power. In the t wo cases above, we can assume that power belongs to laws of light regime. At this point, we enter the rea lm that Plato referred as form. Simply stated, light ref lection is a process of light re-emit ted from the surface of illuminated objects. In an experiment conducted by Willebrord Snellius, it was found that light travels in a straight line. When an object blocks the light, a dark plane, known as shadow, will emerge. The thickness of an image is determined by the streng th of the light, while its size is determined by the angle and distance of the object from the light. Therefore, the relationship bet ween image and object is determined by the law of light.

2.  Dalang is a term for a wayang puppeteer.

73


Like the framing mechanism in cinema, an image is inseparable from power in the form of gaze regime, authorship regime, discourse regime, ideologica l regime, even politica l regime. The reductionist tendency in camera when it frames the rea lit y — the rea lm of image — yet simultaneously excludes the rea lit y outside its frame, to put it another way, the interpretations of cer tain facts in the existing rea lit y, may actua lly explain something that is not explained in rea lit y outside the frame. When a pat terned ceramic jar is illuminated by light, the whole nature of the jar is revea led, but when we focus on its projected shadow, we f ind that the nature of the object is not present as a whole. However, its dark plane does subver t the meaning of the illuminated object, as we inquire the laws of power that apply to the relationship bet ween the shadow and its object. Through this curatoria l, I invite you to explore in which we can enter or even jump outside the frame to understand how the shadow works in a cinema room.

74


IC 4 / 5 - 11 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

CATASTROPHE

Country of production Czech Republic Language English Subtitles 6 min, stereo, HD, color, 2019 Laku visual forensik melalui proses scanning

A visual forensic through the scanning process

citraan dari sisa-sisa artefak pasca-

of images from post-catastrophic artifacts

katastrofe yang mendistorsi citra digital itu

that distort the digital image itself, arising

sendiri, memunculkan narasi investigatif

investigative narratives on what actually

mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada

happened in the dark.

bidang gelap.

Dhanurendra Pandji

Zbyněk Baladrán (Praha) adalah seorang penulis, seniman, kurator dan arsitek pameran. Ia menempuh studi sejarah seni di Departemen Filsafat, Universitas Charles, dan di studio Komunikasi Visual, Lukisan dan Media Baru di Akademi Seni Rupa, keduanya berada di Praha. Pada tahun 2001 ia mendirikan Display (tranzitdisplay 2007-17), sebuah ruang untuk seni kontemporer.

Zbyněk Baladrán (Prague) is an author, artist, curator and exhibition architect. He studied art history in the Philosophy Department of the Charles University and in the studios for Visual Communication, Painting and New Media at the Academy of Fine Arts, both in Prague. In 2001 he co-founded Display (tranzitdisplay 2007-17), a space for contemporary art.

Zbyněk Baladrán (Czech Republic)

75


IC 4 / 5 - 11 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

OJO GUAREÑA

Country of production Spain Language Spanish Subtitles English 55 min, stereo, HD, color, 2018 Sebuah upaya penelusuran ingatan

An attempt to trace collective memories

kolektif tentang sejarah kelam Spanyol

of Spain’s dark history under Franco’s

di bawah rezim kediktatoran Franco

dictatorship through the narratives of

melalui narasi-narasi para paleontologis

paleontologists who immersed themselves in

yang menenggelamkan diri mereka dalam

the darkness of the Ojo Guareña cave. That

kegelapan gua Ojo Guareña. Bahwa dalam

in the imperceptibility of dark spaces, all

ketaksaan ruang-ruang gelap itulah segala

possible subversive actions can be present and

kemungkinan tindakan-tindakan subversif

presented.

dapat hadir dan dihadirkan.

Dhanurendra Pandji

Edurne Rubio (Spanyol, 1974) adalah seniman visual yang bekerja di bidang pameran, performans, sinema dan arsitektur. Penelitiannya selalu dikaitkan dengan persepsi individu atau kolektif tentang waktu dan ruang. Karyanya dekat dengan dokumenter dan antropologi, menggunakan wawancara, gambar arsip dan penelitian tentang komunikasi lisan.

Edurne Rubio (Spain)

76

Edurne Rubio (Spain, 1974) is a visual artist working in the fields of exhibitions, performance, cinema and architecture. Her research has always been related to the individual or collective perception of time and space. Her work is close to documentary and anthropology, using interviews, archive images and research on oral communication.


IC 4 / 5 - 11 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

ROCKY TALES OF OCCUPATION Country of production France Language English Subtitles 15 min, stereo, B/W, color, 2019 Menginterpretasi ulang artefak-artefak patung,

Reinterpreting artifacts of sculpture, relief, and

relief, dan lukisan dinding dalam lorong-lorong

drawing on walls of an underground passage in

bawah tanah di kota Maastricht yang dimanfaatkan

Maastricht that was used as an art workshop for Jesuit

sebagai bengkel seni para pelajar ordo jesuit

students in the 19th century. Connection between the

sejak abad ke-19. Keterhubungan sejarah okupasi

history of occupation (colonialism) and the replication

(kolonialisme) dengan replikasi karya-karya yang

of works that took icons of an era and location is

mengambil ikon-ikon sebuah zaman dan lokasi

traced through the eyes of a visitor in the 21st century

ditelusuri lewat kacamata seorang pengunjung

who also uses information from internet to select

situs di abad ke-21 yang juga memanfaatkan

facts to reinterpret the artifacts on that site. These

sumber-sumber literatur internet dalam proses

artifacts were then frozen in contemporary styles,

penyeleksian fakta-fakta yang ia gunakan

such as by using vertical ratios and snapshot shooting

untuk menginterpertasi ulang artefak-artefak

techniques, as the film’s main construction.

pada situs tersebut. Artefak-artefak tersebut kemudian dibekukan dengan langgam-langgam kontemporer, seperti penggunaan rasio vertikal dan teknik pengambilan gambar snapshot, sebagai konstruksi utama filem. Dhanurendra Pandji Stéphanie Lagarde (1982, Toulouse, Prancis) adalah seniman visual dan sutradara yang tinggal di Paris. Karya-karyanya membahas strategi pendudukan dan organisasi ruang di seluruh sistem objek, bahasa, dan manusia. Dia memenangkan penghargaan kompetisi Internasional Short Waves 2019 (Poznan, Polandia). Karya-karyanya telah diputar di berbagai festival.

Stéphanie Lagarde (1982, Toulouse, France) is a visual artist and filmmaker based in Paris. Her works deal with strategies of occupation and the organization of space throughout systems of objects, languages, and human beings. She won the International competition award of Short Waves 2019 (Poznan, Poland). Her works have been screened in numerous festivals.

Stéphanie Lagarde (France)

77


IC 4 / 5 - 11 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

EYES / EYES / EYES / EYES

Country of production Spain, Catalonia Language Subtitles English 37 min, stereo, digital, color B/W, 2019 Secara ironis, filem ini menyejajarkan

This film juxtaposes a textual academic

intepretasi teks akademis tentang cerpen

interpretation of Franz Kafka’s short story,

Prometheus, karya Franz Kafka, dengan

Prometheus, and the operation of a camera that

operasi kamera yang mengamati kerja-

observes archaeological work in archiving

kerja arkeologis dalam mengarsipkan

dreams of revolution in the artifacts of a

mimpi-mimpi revolusi pada artefak-artefak

collapsed regime. It is about how a system,

keruntuhan suatu rezim. Yakni tentang

power, knowledge, and punishment are

bagaimana sebuah sistem, kekuasaan,

interrelated in an odd cycle in the cinema

pengetahuan, dan hukuman saling terkait

frame.

dalam sebuah siklus ganjil di dalam bingkaian sinema.

Dhanurendra Pandji

Albert García-Alzórriz Guardiola (1992) adalah seniman audiovisual dan arsitek dari Barcelona, Spanyol. Karya-karyanya telah dipamerkan antara lain di 58. Biennale di Venezia 2019, di IVAM 2018 dan di La Puntual 2018. Pada tahun 2017, ia menjadi finalis Penghargaan Internasional Inovasi Budaya CCCB (Barcelona, Spanyol, 2017).

Albert García-Alzórriz (Spain, Catalonia)

78

Albert García-Alzórriz Guardiola (1992) is an audiovisual artist and architect from Barcelona, Spain. His works have been exhibited, among others, at the 58. Biennale di Venezia 2019, at IVAM 2018 and at La Puntual 2018. In 2017, he was a finalist for the CCCB’s Cultural Innovation International Prize (Barcelona, SP, 2017).


KOMPETISI INTERNASIONAL 05

Zona Penumbra Anggraeni Widhiasih

Pa da zona-zona ya ng ter leta k pa ling jauh dari pusat sistem kekuasaan, kontrol cenderung lebih sulit dila kukan. Ada sudut-sudut kecil yang biasanya ta k muda h dimasuki oleh sistem besar. Di sana, sistem-sistem lain yang lebih kecil biasanya a kan bermunculan dan memiliki peluang yang lebih besar untuk hidup membaur bersama keseharian orang-orang sehingga bisa terus ada. Zona-zona yang menjadi lokasi ber temunya satu sistem dengan sistem lainnya ada la h zona yang serba-samar. Ketika sistem besar berhadapan dengan sistem kecil dan ber tujuan untuk menimpanya, sistem kecil dapat tida k hilang sepenuhnya saat ia berada pada zona penumbra; zona yang sulit terjangkau sepenuhnya oleh otoritas sistem besar. Pada zona ini, ragam perspektif bisa dengan lebih muda h bermunculan sebab kontrol berada da lam situasi terlema hnya. Perspektif dari sistem-sistem kecil cenderung lebih muda h mendapatkan momentum untuk mengomunikasikan dirinya. Saat perspektif itu tida k selaras dengan perspektif

79


sistem kekuasaan besar, ia bisa dima knai sebagai gangg uan. Perspektif utama yang henda k dikomunikasikan dapat terjega l, terdistorsi dan ba hkan hilang sama seka li. Dengan demikian, pesan pun tida k sampai. D i sisi lain, permasa la han yang berkenaan dengan tida k sampainya pesan da lam sebua h proses komunikasi pun berkaitan dengan kelancaran dan keamanan ja lur komunikasi itu sendiri. Lancarnya transpor tasi barang dan pesan yang melewati ja lur ini seringka li menentukan efektivitas kontrol sistem. Da lam militer, istila h ‘ja lur komunikasi’ pun dig una kan untuk merujuk pada ja lur yang berfungsi sebagai rute penyampaian komando ser ta rute transpor tasi bagi persediaan dan bantuan militer pada suatu operasi. Di ja lur inila h para pengantar pesan atau despatch rider bekerja mengantarkan logistik ser ta pesan-pesan penting. Pada masa-masa perang, kecepatan memeca hkan sandi maupun menyampaikan informasi dan logistik memainkan peran yang krusia l untuk menentukan kemenangan. Ta k heran ba hwa kemudian perang-perang di era modern pun tela h mendorong revolusi teknologi jaringan informasi dan komunikasi dunia. D a lam teknologi komunikasi tersebut, komunikasi visua l sema kin menemukan momentum kejayaannya pula. Darinya, produksi visua l sea kan tera kselerasikan dan mencapai zenitnya, terutama saat semua orang jadi bisa memproduksi dan menikmati visua l di saat yang bersamaan. Ha l ini dimungkinkan oleh revolusi teknologi kamera sebagai teknologi produksi gambar yang sema kin muda h dia kses publik luas. Kerja kamera yang berlangsung dengan menangkap ca haya hingga membentuk gambar pun ta k terlepas dari kerja yang memproduksi perspektif. Baik sebagai fenomena optik maupun sebagai fenomena sosia l, perspektif sela lu memiliki potensi ganda; sebagai distorsi atau sebagai kejernihan. Persoa lan-persoa lan yang terkesan remeh pun dapat hadir dengan atau/da lam suatu perspektif ter tentu saat kamera berevolusi hingga menjadi bentuk tersederhana yang bisa masuk ke ruang-ruang terkecil da lam kehidupan. Intensitas suatu persoa lan dapat kian ditegaskan atau justru disamarkan saat ia dibingkai oleh kamera dan dimontasekan menjadi satu kesatuan kar ya. Perspektif yang dibang un oleh bingkaian dan keda laman hasil bidikan kamera juga kerap menimbulkan ilusi. Jean Rouch lewat kar yanya yang berjudul Chronicle of A Summer (1961) menawarkan ba hasa sinema yang memperlihatkan par tisipasi dan interupsinya terhadap konstruksi rea litas da lam f ilem. Ia mela kukan ha l itu dengan menghadirkan dirinya dan kamera da lam f ilem itu sendiri. A ksi ini memungkinkan f ilem meng ungkapkan posisi ba hwa rea litas da lam f ilem bukan semata rea litas murni yang ta k terpiuh. A lih-a lih, ba hasa ini justru mengingatkan kemba li tentang posisi kuasa di ba lik kamera yang bisa mengontrol a lur gera k suatu persoa lan. Hubungan kamera dan kuasa memang kemudian tida k bisa berjauhan dengan persoa lan sistem kontrol. Canggihnya kamera ada la h keniscayaan bagi sistem kontrol otoritas yang sema kin bisa mengawasi lanskap kekuasaannya.

80


Tetapi, saat subjek kontrol tela h hidup dengan kesadaran tentang media, atau setida knya dapat memosisikan diri di ja lur komunikasi sebagai komunikator, ma ka canggihnya kamera pun bisa menghasilkan tandingan bagi sistem kontrol utama da lam ber wacana. Ia bisa mencipta kan lebih banya k perspektif tentang persoa lan-persoa lan, sebab di saat yang sama zona-zona penumbra baru pun tercipta.

81


INTERNATIONAL COMPETITION 05

Penumbral Zone Anggraeni Widhiasih

In zones fa rthest from the center of the power system, control tends to be more cha llenging to exercise. There are sma ll corners that are usua lly not easy to enter for big systems. There, other sma ller systems will usua lly emerge and have a greater chance of blending in with people’s daily lives, thus a llowing them to continue to exist. The zones where one system meets another systems are vag ue zones. When a big system encounters sma ll systems and aims to override them, the sma ll systems may not disappear completely while they are in the penumbra l zone; zones that are diff icult to reach fully by major system authorities. In this zone, various perspectives can more easily emerge because control is at its wea kest. The perspective of sma ll systems tends to gain momentum more easily to communicate itself. When that perspective is not a ligned with the perspective of the big power system, it can be interpreted as a distraction. The main perspective

82


to be communicated can be hindered, distor ted, and even completely lost. Thus, the message did not arrive. On the other hand, problems related to the non-deliver y of messages in a communication process are a lso related to the smoothness and securit y of the communication line. The smooth transpor tation of goods and messages through this route often determines the effectiveness of system controls. In the militar y, the term ‘communication line’ is a lso used to refer to a route that ser ves as a command deliver y route and a transpor tation route for militar y supplies and assistance in operation. It is on this route that messengers or despatch riders work to deliver logistics and essentia l messages. In times of war, the speed of brea king the cipher and conveying information and logistics plays a crucia l role in determining victor y. It’s no wonder that the wars in the modern era have pushed the world’s information and communication net work technolog y revolution. In this communication technolog y, visua l communication is increasingly f inding its momentum of glor y. From it, visua l production seems to be accelerated and reaches its zenith, especia lly when ever yone can produce and enjoy visua ls at the same time. This is made possible by the revolution in camera technolog y as an image production technolog y that is increasingly accessible for the wider public. The mechanism of camera work that ta kes place by capturing light to form images is inseparable from work that produces perspective. As an optica l phenomenon and as a socia l phenomenon, perspective a lways has double potentia l: distor tion or clarit y. Even seemingly trivia l issues can come with or/in a cer tain perspective as the camera evolves to its simplest form, a llowing it to f it into the sma llest nooks in life. The intensit y of a problem can be fur ther emphasized or even disg uised when the camera frames it and montaged into a single work. The perspective built by the frame and depth of camera shots a lso often creates illusions. Jean Rouch through his work titled Chronicle of A Summer (1961), offers cinematic lang uage that shows his par ticipation and interruption to the construction of rea lit y in f ilms. He does this by presenting himself and the camera in the f ilm itself. This action a llows the f ilm to express the position that the rea lit y in the f ilm is not just pure rea lit y. Instead, this lang uage reminds us of the position of power behind the camera that can control the f low of an issue. The relationship bet ween camera and power is inseparable from the control system mat ters. The camera’s sophistication is a necessit y for the authorit y control system that is increasingly able to monitor the landscape of its power. However, when the control subject has lived with an awareness of the media or at least can position themselves in the line of communication as a communicator, then the camera’s sophistication can produce a counter-discourse for the main control system. It can create more perspectives on issues because, at the same time, there emerge new penumbra l zones.

83


IC 4 / 5 - 11 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

HUT (GUBUK)

Country of production Taiwan, Indonesia Language Indonesian Subtitles English 54 min, stereo, color, 2019 Dibuka dengan dering suara telepon,

The ringing sound of a telephone opened the

perjalanan durasi filem ini mengantarkan

scene. Film’s duration leads us to the intensity

pada intensitas komunikasi para buruh

of communication among migrant workers in

migran dalam sebuah ruang. Komunikasi

a small room. Communication becomes more

menjadi semakin sulit seiring dengan

difficult as an exceeding number of people

kedatangan orang-orang yang melebihi

arrive and fill the room. Camera observation

kapasitas ruang. Intaian kamera yang

that interrupts the crowd does not seem to

menyeruak hadir di keramaian seakan tidak

impact much. When space becomes more

berimplikasi banyak. Saat ruang semakin

crowded and chaotic, communication flow

penuh dan ricuh, alur komunikasi pun

must reach a chaotic point that obscures

mencapai titik rusuh yang mengaburkan

migrant workers’ message.

pesan tentang buruh migran.

Anggraeni Widhiasih

So Yo-Hen (1982, Tainan, Taiwan) menempuh studi di Graduate Institute of Plastic Arts, TNNUA. Karya-karyanya kerap membahas tentang kelompok yang kurang terwakili dalam masyarakat, budaya, dan sejarah, serta kemungkinan pemberdayaan melalui imajinasi. Karyanya pernah dipresentasikan di Heard and the Unheard-Soundscape Taiwan di Taiwan Pavilion, 54th Venice Biennale 2011.

So Ye-hen (Taiwan)

84

So Yo-Hen (1982, Tainan, Taiwan) studied at the Graduate Institute of Plastic Arts, TNNUA. His work often addresses the underrepresented in society, culture, and history, and the possibilities of empowerment through whimsy. His works were presented at the Heard and the Unheard-Soundscape Taiwan at the Taiwan Pavilion at the 54th Venice Biennale 2011.


IC 4 / 5 - 11 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

HIGHWAYS OF LIFE

Country of production India Language Manipuri Subtitles English 52 min, stereo, color, 2019 Melalui perjalanan Arunjit, seorang Through Arunjit’s journey, a trucker in sopir truk di Manipur, India, alur Manipur, the flow of problems in a country’s sirkulasi persoalan di zona terluar dari outer zone is exposed. His journey was stalled sebuah negara tersingkap. Perjalanan for months, with dozens of trucks on the Arunjit terhenti selama berbulan-bulan Guwahati-Imphal route, when economic bersama puluhan truk lainnya di jalur blockade and territorial conflicts broke out. By Guwahati-Imphal saat blokade ekonomi using amateur camera, the problems emerge dan konflik teritorial terjadi. Dengan on the screen as they are, instead of affixed kamera yang amatir, persoalan-persoalan with affiliation pretensions. Question of pun mampu hadir sebagaimana adanya, system priority arises along with dynamics of alih-alih diimbuhi pretensi keberpihakan. conflict intensity in the transportation routes Pertanyaan tentang prioritas sistem vital to the region. When dominant system terpantik seiring dengan dinamika cannot reach its farthest nook to maintain intensitas konflik di jalur transportasi yang order, small systems emerge as people’s way vital bagi kawasan. Saat sistem dominan tak to adapt. It grows to become a popular form of mampu menjangkau sudut terjauh untuk culture among people. mempertahankan tatanannya, sistemsistem kecil pun bermunculan sebagai cara warga beradaptasi pada situasi. Ia bertumbuh menjadi sebentuk budaya yang Anggraeni Widhiasih popular di kalangan warga. Amar Maibam (1978, Imphal) adalah sutradara dan sinematografer India dari Manipur. Ia lahir dari keluarga Meitei yang terkenal di bidang seni dan budaya. Ia memulai karirnya sebagai asisten sutradara untuk mendiang ayahnya yang juga adalah pembuat filem.

Amar Maibam (1978, Imphal) is an Indian filmmaker and cinematographer from Manipur. He was born into a Meitei family which was prominent in the field of arts and culture. He starts his career as an assistant to his late filmmaker father.

Maibam Amarjeet Singh (India)

85


KOMPETISI INTERNASIONAL 06

Sebuah Lokasi yang Kedatangan Tamu Asing Pingkan Polla

Konon, k a mer a da pat mengungk a p ken yata a n yang senyata-nyatanya ada. Kamera, dengan kaida h-kaida h teknologisnya, memiliki kekuatan untuk menyorot dan merepresentasikan kenyataan. Da lam konteks f ilem dokumenter, kaida h ini sangat dijunjung tinggi. Ba hwa kamera harus menampilkan kemba li rea litas yang ada da lam kehidupan. Namun, kehadiran kamera juga dapat memberi jara k pada rea litas lokasi yang disorot sehingga apa yang seharusnya berja lan apa adanya menjadi ada apanya karena hari ini semua orang sadar ba hwa kamera memproduksi representasi. Saya membayangkan ba hwa kehadiran kamera di sebua h lokasi laya knya tamu asing yang rentan. Memang, kita tela h sampai pada era ketika kamera tela h menyelip di kantong-kantong. Namun, kita tida k bisa mengesampingkan fa kta ba hwa kamera ternyata harus berjuang untuk dapat masuk ke da lam sebua h lokasi dan menyorot kenyataan yang senyata-nyatanya ada. Kerja kamera

86


mewa kili bagaimana cara tamu asing menyusup ke tubuh lokasi. Sang tamu asing menyusuri lanskap mela lui kisa h-kisa h yang mengantarnya untuk masuk lebih jauh. Sebagai tamu, ia menyorot lokasi terus-menerus, membidik sang tuan ruma h agar menunjukan kisa hnya yang pa ling benar, sambil menjunjung tinggi kaida hnya. Sampai a khirnya kehadiran sang tamu diper tanya kan oleh lokasi: jika kehadiran sang tamu asing, atau kamera, dapat memberi jara k pada lokasi, ma ka sejauh mana f ilem dapat merepresentasikan kenyataan lokasi yang sesungg uhnya? Kemudian sang tamu melanjutkan penjelaja hannya. Ka li ini sang tamu memilih untuk berbaur dan menyera hkan dirinya kepada sang tuan ruma h, menjadikan dirinya sebagai sebua h permainan yang tida k mena kutkan sambil terus membidik. Demi menemukan kenyataan, sang tamu asing harus dig una kan bukan dengan cara sebenarnya, cara yang menjunjung tinggi keag ungan kaida hnya. Atau dengan kata lain, ia harus dipa kai dengan cara yang kultura l ketimbang dengan logika teknisnya. A khirnya, sang tuan ruma h memperla kukan tamu asing dengan tida k tunduk pada kaida h teknologisnya, melainkan dengan cara yang horizonta l dan desentra l yang dimiliki sang lokasi. Ha l ini dapat mengantarkan kita untuk berspekulasi ba hwa lokasi, secara ega liter, sedang menyorot ba lik sang tamu asing yang suda h ta k berjara k lagi dan menjelma menjadi pengeta huan lokasi. Filem-f ilem yang ada pada kuratoria l ini menawarkan beberapa gambaran mengenai metode f ilem dokumenter da lam meng ua k kenyataan dengan menunjukkan bagaimana kamera memperla kukan dirinya pada sebua h lanskap sosia l, ser ta bagaimana sang lokasi merespon kedatangan sang tamu asing yang menyorot dirinya. K ita dapat melihat berbagai perla kuan lokasi terhadap kamera yang berjuang untuk meng ua k rea litas dan kamera yang menyera hkan dirinya pada lanskap sosia l. Lokasi, dengan kelengkapan pengeta huannya, justru menyoroti ba lik keusangan kaida h teknologis yang sela lu berla ku ag ung. Berangkat dari kedua f ilem tersebut, saya menemukan ba hasan menarik ba hwa kamera tida k a kan perna h bisa sepenuhnya melepaskan diri dari kaida h-kaida h teknologis. Namun ia dapat membiarkan dirinya untuk dipa kai sesuai dengan pengeta huan lokasi yang tela h mapan pada tubuh-tubuh loka l. Saat kamera, yang memper ta hankan kaida hnya, keras kepa la menembus masuk ruang-ruang lokasi yang pa ling da lam, demi menyorot kenyataan yang sebenar-benarnya, ia menjadi penyelundup dan a kan memilih untuk berhenti saat dibenturkan dengan persoa lan etis. Lain ha lnya saat ia menyera hkan dirinya untuk dig una kan oleh tangantangan ega liter, kepada lokasi yang menjadikan kamera sebagai permainan hingga sampai pada titik per temuan dengan har ta karun pengeta huan. K ita dapat berspekulasi ba hwa kamera menjadi tida k gaga h di hadapan sebua h lokasi yang memiliki kemampuan untuk menyorot ba lik. Sang tamu asing harus mempercayai ba hwa lokasi memiliki caranya sendiri untuk meng ua k kenyataannya, yang diungkapkan oleh tangan-tangan horizonta l yang setara dan desentra l.

87


INTERNATIONAL COMPETITION 06

A Visit by A Foreign Guest Pingkan Polla

It h as been sa id th at a ca mer a ca n r ev ea l the actua l truth within rea lit y. A camera, with its technologica l principles, has the power to highlight and represent rea lit y. This principle is widely upheld in documentar y f ilms — that a camera must be able to redisplay the rea lit y of life. But the presence of camera can a lso ma ke the rea lit y of its location become distant. The supposedly raw rea lit y of the location now become the rea lit y that has been interfered, since ever yone are aware that the camera produces representation. I imagine a camera in a location as a v ulnerable foreign g uest. Indeed, we have arrived in the era when cameras can be slipped into our pockets. However, we cannot rule out the fact that a camera struggles to get into a location and to record actua l rea lities. The work of camera represents how a foreign g uest inf iltrates a location. The g uest explores the landscape through the stories that has been leading it to enter fur ther. As it stays true to its so-ca lled principles, it constantly

88


shoots the location in the hope that the host will eventua lly revea l a truest stor y. This is up to a point where the location itself questions the presence of the foreign g uest: if the presence of the g uest, or the camera, can create a distance, then to what extent can f ilm represent the truth of the location? Then the g uest continues the journey. This time, the g uest chooses to mingle and surrender to the host, posing as a harmless player in a game while continuing to shoot. To discover the rea lit y, the foreign g uest must not be used in the same way that follows its grand principles. In other words, it must be used in a cultura l way, as opposed to its technica l logic. At last, the host treats the foreign g uest not according to its technologica l norms, but in a horizonta l, decentra lized way according to the location. This can lead us to speculate that the location, in an ega litarian manner, is gazing back at the foreign g uest who is no longer distant and has now transformed into a loca l knowledge. The f ilms in this curatoria l offer a glance to the various methods of documentar y f ilm in revea ling the truth by demonstrating how a camera acts in a socia l landscape and how the locations in these f ilms respond to the arriva l of the foreign g uest who puts them in a spotlight. We can see the different ways the locations treat a camera who struggles to revea l the truth and surrenders itself to the socia l landscape. The location with a ll the knowledge inscribed in it unveils the obsolescence of the grand technologica l principles. D epar ting from these t wo f ilms in this curatoria l, I found an interesting point: a camera can never completely brea k away from its technologica l principles, but it can a llow itself to be used according to the loca l knowledge inscribed in loca l bodies. When a camera that stubbornly maintains its principles and penetrates the deepest space to highlight the true nature of rea lit y, it turns into a smuggler; and once confronted with ethica l issues, it will choose to stop its actions. It is different when a camera surrenders to ega litarian hands, to a location that turns this encounter into a game, up to a point where the camera discovers the treasure trove of knowledge. We can speculate that the camera turns modest when it faces a location capable of gazing back. The foreign g uest must believe that the location has its own way of uncovering the truth, which is expressed by the equa l and decentra lized horizonta l hands.

89


IC 6 / 5 - 11 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

‫( سكولف‬FLOX)

Country of production Egypt Language Arabic Subtitles English 45 min, stereo, digital, color, 2019 Tamu asing yang mendengar bisingnya

Foreign guest who hear the noises of the

kerumunan.

crowd.

Pingkan Polla

Hady Mahmoud (1988, Mesir) lulus dari Fakultas Sejarah Sastra pada tahun 2010. Setelah itu, ia mulai belajar penyutradaraan filem di institut sinema Kairo pada tahun 2011. Sejak tahun 2014, Hady bekerja sebagai Asisten Sutradara. Dia terinspirasi oleh cinéma verité dan Flox adalah filem debutnya.

Hady Mahmoud (Egypt)

90

Hady Mahmoud (1988, Egypt) graduated from the Faculty of Literature History Department in 2010. After that, he started studying film directing in the high cinema institute of Cairo in 2011. Since 2014, Hady worked as Assistant Director. He was inspired by cinéma verité and Flox is his debut film.


IC 6 / 5 - 11 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

ANAK MERAK

Country of production Indonesia Language Indonesian, Madurese, Javanese Subtitles English 59 min 29 sec, stereo, 16:9, color, 2019 Filem menyoroti lanskap yang menyorot

The film captures the landscape that gazes at

balik.

it in return.

Pingkan Polla

Saleksa Srengenge (Malang, 1996) menamatkan studinya di jurusan Televisi dan Film, Universitas Jember. Karya-karyanya berfokus pada pembuatan filem dokumenter mengenai alam liar dan sosial.

Saleksa Srengenge (Malang, 1996) completed his studies majoring in Television and Film at the University of Jember. His works focus on documentary filmmaking about wildlife and social issues.

Saleksa Srengenge (Indonesia)

91


KOMPETISI INTERNASIONAL 07

Perjalanan Aneh ke Baratnya Barat Otty Widasari

Konon, sebuah perja l a na n zi a r a h sel a m a sembil a n bel as ta hun ke Barat dila kukan oleh para cendekiawan dari Timur. Mereka mengejar tempat terbenamnya mata hari, dimotivasi oleh hasrat menda lam terhadap pengeta huan (tentang Buddha). Catatan panjang narasi perja lanan ke Barat ini pun diarsipkan. Di da lamnya terkandung pengeta huan yang luar biasa. Konon pula, catatan tersebut berisi lebih dari 12 edisi yang menjelaskan mulai dari situasi geograf isgeologis semua kawasan yang dila lui, hingga ke kultur, sejara h dan agama-agama yang ada, lengkap dengan narasi tentang produk-produk, ba hasa, dan orangorang di seluruh kawasan itu. Ba hkan catatan perja lanan ini menjadi referensi bagi para sejarawan dan para arkeolog modern di kemudian hari karena memiliki deskripsi yang tepat tentang jara k dan lokasi berbagai tempat. Catatan ini juga menjadi buku panduan yang berharga bagi berbagai pengga lian situs-situs bersejara h. Narasi legendaris ini tida k hanya terbatas pada catatan tempattempat penting yang menjadi studi lintas budaya antara Cina dan India, tetapi

92


juga merupa kan studi lintas budaya yang lebih luas di dunia. Sebua h langka h peradaban yang besar tela h dila kukan dan menjadi pengeta huan yang terus dipa kai ba hkan hingga kini. Sementara itu, di baratnya Barat, Kekaisaran Romawi memulai sebua h konsep lainnya yang hingga kini dikena l sebagai Budaya Barat. Landasan pemikiran yang dimulai dari Yunani Kuno dan berlanjut hingga Abad Per tenga han dan Renaisans ada la h gagasan rasiona lisme da lam berbagai bidang kehidupan modern. Budaya ini ada la h warisan norma sosia l, nilai-nilai, adat istiadat tradisiona l, sistem kepercayaan, sistem politik, ar tefa k, teknologi yang berasa l, atau terkait dengan Eropa. Budaya Barat ini pun sangat memengaruhi negara-negara yang budaya dan sejara hnya terhubung dengan Eropa mela lui imigrasi dan kolonisasi, dan juga kemudian mela lui media massa. D emikian besarnya pengaruh itu, hingga saat ini kultur baratnya Barat menjadi referensi utama secara globa l. Dan sedemikian besarnya pengaruh tersebut, inferioritas sebagai Timur membuat masyara katnya memba likkan ziara hnya ke baratnya Barat. Meng uatkan segregasi kelas yang memang suda h terjadi da lam masyara kat, baik da lam bentuk tradisiona l ataupun yang modernnya. Namun, da lam kelamnya tekanan segregasi itu, ternyata ada cela h bagi si lema h untuk melepaskan diri. Sebua h cela h untuk mela kukan perja lanan yang sangat panjang ke Barat, untuk menemukan Baratnya sendiri, dan kemba li ke Timur. Mereka mela kukan perja lanan panjang sambil ber ta han dengan kelimbungan tradisi, yang nyaris tida k mereka menger ti karena terkurung da lam ruang wa ktu. Itu harus dila kukan wa laupun ar tinya mereka masih harus mena han diri dengan segregasi yang suda h terbentuk. Menyeberang, beradaptasi dengan kekuatan yang lebih besar, masuk ke penjara baru kega lauan, untuk mendapatkan kemba li mar tabatnya yang ha kiki sebagai manusia. Semua orang ta hu ke mana tenggelamnya mata hari. Barat ada la h sebua h zona penuh misteri di da lam temaramnya. Dan ka lau seseorang terus berja lan ke ara h Barat, sejauh-jauhnya dia berja lan ke Barat, Timur pula la h yang a kan ditemui. Manusia tetap ta k a kan perna h berhenti mengejar terangnya mata hari. Seper ti sebua h mimpi yang aneh, ta k terjangkau, ta k berujung.

93


INTERNATIONAL COMPETITION 07

Bizzare Journey to The West of The West Otty Widasari

Th at sa id, intellectua ls from the East ca r r ied out a nineteen-yea r pilgrimage to the West. They looked for a place where the sun was set, motivated by a deep desire for knowledge (about Buddhism). A long narrative on The Journey to The West was archived. It contains extraordinar y knowledge. It includes more than 12 editions explaining the geographica l-geologica l situation of a ll traversed regions to the culture, histor y, and religions that exist and narratives about the products, lang uages, and people in that whole region. Even these travel notes become references for historians and modern archaeologists in the future because they describe the measure of distances and locations of various places precisely. These notes are a lso a va luable g uidebook for various excavations of historica l sites. This legendar y narrative is not only limited to the notes on impor tant places that become cross-cultura l studies bet ween China and India, but a lso as a broader cross-cultura l study in the world. A signif icant step of civilization has been ta ken and become knowledge used continuously heretofore.

94


Meanwhile, in the west of the West, the Roman Empire began another concept that has been known as Western Culture hither to. The rationa le, which star ted in A ncient Greece and continued through the Middle Ages and the Renaissance, is the idea of rationa lism in various f ields of modern life. This culture is a legacy of socia l norms, va lues, traditiona l customs, belief systems, politica l systems, ar tifacts, technolog y originating from, or related to Europe. Western culture is a lso ver y inf luentia l to countries with culture and histor y connected to Europe through immigration and colonization, and later on through the mass media. The inf luence is ver y signif icant that it ma kes the culture of the west of the West became the primar y reference globa lly. Such signif icant inf luence creates inferiorit y as the East that ma kes the people turn their pilgrimage to the west of the West, reinforcing the class segregation that has a lready ta ken place in societ y, both in traditiona l and modern forms. However, in the darkness of the pressure of segregation, it turns out there is a gap for "the wea k" to escape. It is a gap to ma ke a ver y long journey to the West, f ind its own West, and return to the East. They go on long journeys while enduring the gloom of tradition, which they barely understand because it is conf ined in time. It must be done even though that means they must still hold back from the segregation that has a lready formed—crossing over, adapting to a more robust power, entering a new prison of turmoil, and regaining true dignit y as a human being. Ever yone knows where the sun is set ting. West is a zone of myster y in its t wilight. A nd if someone keeps going to the West, as far as they wa lk to the West, eventua lly the East will still be found. Humans will never stop chasing the illumination of the sun, like a strange dream, unreachable, endless.

95


IC 7 / 12 - 18 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

MARY, MARY, SO CONTRARY

Country of production Singapore Language English Subtitles 15 min, stereo, digital, color & B/W, 2019 Filem ini bercerita tentang sebuah

This film tells the story of an Eastern woman’s

perjalanan seorang perempuan Timur

journey going through the past. On her

yang menembus masa silam. Dalam

journey, she finds herself transformed into a

perjalanannya itu, ia menemukan dirinya

white Western woman from the past of cinema.

berubah menjadi sosok wanita Barat

The approach that uses an archival collage

berkulit putih dari masa lalu sinema.

of two old films from East and West is like

Pendekatan kolase arsip dari dua filem tua

providing a cultural-political map of the East

Timur dan Barat ini seperti memberikan

and West in a poetic way.

petaan politik budaya kawasan Timur dan Barat secara puitik.

Otty Widasari

Nelson Yeo adalah sutradara asal Singapura. Ia meraih gelar sarjana seni dari studi Digital Filmmaking di Nanyang Technological University pada tahun 2011. Ia menjadi salah satu partisipan di Berlinale Talents Tokyo pada tahun 2014, BiFan Fantastic Film School pada tahun 2015, dan Locarno Filmmakers Academy pada tahun 2018.

Nelson Yeo (Singapore)

96

Nelson Yeo is a Singaporean filmmaker. He graduated with a Bachelor of Fine Arts in Digital Filmmaking from Nanyang Technological University in 2011. He participated in Berlinale Talents Tokyo in 2014, BiFan Fantastic Film School in 2015, and Locarno Filmmakers Academy in 2018.


KOMPETISI INTERNASIONAL 08

Zona Temaram Berbayang Afrian Purnama

Membayangk an zona tem a r a m… Sebua h tempat di mana kita berdiri di ambang batas. Wilaya h saat manusia kehilangan kenda li kesadaran atas dirinya terhadap apa itu nyata dan maya. Zona temaram dapat dibayangkan sebagai fase, sehingga durasiona l. Zona temaram yang terbayang, ditentukan dengan seberapa banya k ca haya masuk ke da lam retina. Kenyataan yang tampa k da lam ca haya, perla han-la han tenggelam digantikan oleh kenyataan lain yang tersingkap da lam gelap. Zona temaram memiliki lapisan ruang dan wa ktu yang mempunyai putarannya dan sa ling berganti mengikuti ketetapan a lam. Seba liknya, terminologi ‘Zona Temaram’ (Twilight Zone) juga dig una kan untuk mendef inisikan suatu kondisi lingkungan yang spesif ik, yaitu lapisan ambang lautan, tempat tera khir ca haya mata hari mampu mela kukan penetrasi

97


ke keda laman samudra. Di keda laman tersebut, Zona Temaram tida k lagi durasiona l, atau sebua h fase. Ia ada la h sebua h ma lar, kondisi permanen yang la lu mencipta kan habitus-nya sendiri a kibat dari ketiadaan a lternatif lingkungan. Ma hluk laut da lam secara biologis membentuk tubuhnya untuk ber ta han hidup di zona temaram. Program ini berangkat dari per tanyaan-per tanyaan yang berasa l dari premis tersebut; bila kita mengar tikan ulang apa itu Zona Temaram, secara sinematik dan sosio-kultura l, a kan seper ti apa ka h Zona Temaram permanen bisa dibayangkan? Apa a kibat dari kepermanenan Zona Temaram itu? Dan adaptasi seper ti apa yang dila kukan ma hluk yang tingga l di da lamnya? Penggambaran Zona Temaram yang demikian dapat kita sa ksikan di Diary of Cattle. Hanya saja, kepermanenan Zona Temaram tida k dibentuk oleh kondisi a lamia h seper ti intensitas ca haya atau keda laman lautan. Zona Temaram di sini ada la h kondisi di mana sebua h sistem ekonomi dan politik begitu dominan sehingga menghancurkan siklus dan mencipta kan katastrof i ekologi luar biasa sehingga mema ksa ma hluk hidup untuk selamanya hidup da lam kondisi seper ti itu. Imaji sapi-sapi yang mema kan sampa h plastik di samping bangkai kawannya ada la h sa la h satu imaji pa ling liris untuk menggambarkan katastrof i ekologi di Zona Temaram kapita lisme kontemporer. Relasi antara sapi dan sampa h plastik bukanla h relasi simbiosis ataupun sebua h proses daur ulang. Relasi keduanya, yang diperlihatkan da lam Diary of Cattle, menunjukkan kekerasan ekologi yang masif, yang terjadi a kibat ketimpangan dan residu-residu produksi berlebih hasil dari sistem tersebut. Zona Temaram da lam Diary of Cattle menunjukkan manusia yang kehilangan kenda li atas kenyataan; dirinya sendiri, benda-benda ciptaannya dan bumi tempatnya tingga l. Zona Temaram permanen, yang menungg u kehancuran tota l untuk mencapai titik batas katastrof i, yang sayangnya, tida k perlu lagi kita bayangkan.

98


INTERNATIONAL COMPETITION 08

Shadowed Twilight Zone Afrian Purnama

Imagining the t wilight zone… A place where we stand on a threshold. A territor y where humans lose control of their consciousness towards what is rea l and what is mere image. The t wilight zone can be imagined as phases; thus, it is durationa l. A shadowed t wilight zone can be determined by the amount of light that enters the retina. When the rea lit y which appears in the light slowly drowns, replaced by another rea lit y revea led in the dark. The t wilight zone has layers of space and time which rotates according to the laws of nature. On the contrar y, the term ‘Twilight Zone’ is a lso used to def ine a specif ic condition of the environment, namely the layers of sea threshold, the last place where the sun can penetrate the depth of the sea. In those depths, the Twilight Zone is no longer durationa l or divided into phases. It is continuous, a permanent

99


condition that creates its own habitus due to the lack of a lternative of his environment. Deep sea creatures biologica lly form their bodies to sur vive in the t wilight zone. This program depar ts from questions in those premises; if we reinterpret the Twilight Zone cinematica lly and socio-cultura lly, how would we imagine a permanent Twilight Zone? What is the impact of its permanence? What kind of adaptation performed by the creatures in it? We can see the depiction of this Twilight Zone in Diary of Cattle. Yet, in this case, the permanence of Twilight Zone is not formed by natura l conditions such as intensit y of light or depth of the sea. In this f ilm, Twilight Zone is a condition where the economic and politica l system became so dominant. It destroys an ecologica l cycle and creates a massive catastrophe, forcing the creatures in it to sur vive in such a condition for the rest of their lives. The image of cows eating plastic waste besides the corpse of their friends is one of the most lyrica l images to depict the ecologica l catastrophe in the Twilight Zone of contemporar y capita lism. The relation bet ween the cows and the plastic waste is not a symbiosis nor a recycling process. This relation, as shown in Diary of Cattle, demonstrates a massive ecologica l violence caused by the inequa lit y and residues of surplus production from that system. The Twilight Zone in Diary of Cattle represents humans who lose control of rea lit y; of themselves, their creations, and the ear th where they live. A permanent Twilight Zone, waiting for tota l destruction to reach the boiling point of catastrophe—which, unfor tunately, needs no fur ther imagining.

100


IC 8 / 12 - 18 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

DIARY OF CATTLE Country of production Indonesia Language Subtitles 17 min 31 sec, stereo, 16:9, color, 2019

Lokasinya terletak di sebuah pembuangan

The location is in a landfill in Padang City,

sampah di Kota Padang, Sumatra Barat.

West Sumatra. This location is not beautiful

Lokasi ini tidaklah indah dipandang,

to look at, but the most important thing is

namun yang terpenting adalah ekosistem

the ecosystem of the location sharpened by

lokasi yang ditajamkan oleh kamera,

the camera shows organic and non-organic

yang menunjukkan jasad organik dan

bodies. The existence of these bodies reflects

non-organik. Keberadaan jasad tersebut

the aggressive and invasive human activities of

merefleksikan aktivitas manusia

late capitalism.

kapitalisme tahap akhir yang agresif dan invasif.

Afrian Purnama

Lidia Afrilita, David Darmadi (Indonesia)

Lidia Afrilita adalah seorang pecinta filem dokumenter, bahasa, dan pendidikan. Dia lulus dari jurusan Linguistik dan merupakan seorang guru bahasa. Saat ini, ia mengelola sebuah pusat belajar di pedesaan di Jambi. Filem-filemnya telah diputar di berbagai festival. David Darmadi (Padang, 1987) adalah pembuat filem yang saat ini tinggal di Sumatera. Dia lulus dari program Televisi dan Film di ISI Padangpanjang. Karya-karyanya telah diputar di berbagai festival. Saat ini, keduanya tengah mengelola Ingatan Visual; sebuah inisiatif yang merekam kehidupan sehari-hari masyarakat di Sumatera Barat.

Lidia Afrilita is a documentary, language, and education enthusiast. She has a Linguistics background and is a language teacher as well. She currently runs a learning center in a rural area in Jambi. Her films have been screened in many festivals. David Darmadi (Padang, 1987) is a filmmaker currently based in Sumatera. He graduated from Television and Film program in Indonesia Institute of The Arts of Padangpanjang (ISI Padangpanjang). His works have been screened at numerous festivals. Currently, both are managing the Ingatan Visual; an initiative documenting the daily life of people in West Sumatera.

101


KOMPETISI INTERNASIONAL 09

Tableaux Vivants dalam Era Pasca Dhanurendra Pandji

I Seor ang wanita bertopi frigia dengan dada dan kaki telanjang bergerak maju melewati barikade dan tumpukan mayat sambil satu tangannya mengacungkan bendera triwarna yang menjadi bendera nasional setelah Revolusi Perancis 1830. Senapan lontak bermata sangkur tergenggam di tangannya yang lain. Ia memimpin para pejuang revolusi dari berbagai lapisan sosial yang diwakili oleh ragam penutup kepala; seorang borjuis dengan topi silinder, para pekerja dengan baret, dan para pelajar mengenakan topi bicorne tradisional. Ketika kita mengalihkan tatapan ke sudut kanan gambar, tertancap kokoh bendera triwarna lainnya di atas menara Notre Dame yang menandakan suatu episode kejatuhan monarki Bourbon untuk yang kedua kalinya. Niscaya, bila kita mengetik kata kunci “Revolusi Perancis 1830” atau “Revolusi Juli” dalam mesin pencari internet, dengan mudah kita akan menemui sebuah adegan statis—disebut juga tableux vivants—yang menggambarkan kompleksitas gejolak politik Perancis yang terjadi di tengah ideide pencerahan. Adegan statis ini hadir dalam bentuk sebuah lukisan berjudul

102


Liberty Leading the People kar ya Eugene Delacroix. Ide-ide pencerahan mengawali proyek besar manusia untuk membebaskan diri dari nilai-nilai terberi dengan menciptakan lanskap dunia baru sebagai objek yang dapat diteliti dan dimodif ikasi. Sebagaimana personif ikasi konsep kebebasan pada sosok perempuan dalam lukisan Liberty Leading the People yang harus berdiri di atas bangkai-bangkai revolusi, janji-janji pembebasan pada gilirannya juga menuntut dominasi yang satu atas yang lainnya. Lantas, seperti yang dapat kita duga, sensitivitas wacana dominan yang menekankan rasionalitas untuk mencapai kebenaran objektif telah mematikan sensitivitas terhadap kebersituasian kebenaran di sisi lainnya. Kenyataan ini memicu munculnya era “pasca” sebagai gelombang penundaan terhadap wacana yang tengah mendominasi dengan mengalihkan perhatiannya pada narasi-narasi desentral. Imbasnya adalah terbukanya pintu bagi kebenaran yang terikat pada waktu dan lokasi tertentu untuk mengungkapkan diri. II Istilah tableaux vivants sendiri bisa diartikan secara sederhana sebagai sebuah gambar adegan statis dalam ukuran besar yang digantung pada permukaan dinding demi memberikan pengalaman konfrontatif kepada penontonnya. Artinya, ia terikat dalam ruang tertentu secara utuh sebagai sebuah objek yang membahasakan dirinya sendiri. Kita bisa beranggapan bahwa lanskap dunia hari ini adalah lanskap artif isial ketika kita melihat struktur imajiner dalam sebuah masyarakat sebagaimana struktur sosial dalam lukisan-lukisan tableaux vivants. Keduanya sama-sama dibangun dari proyek penelitian dan pemodif ikasian yang dilakukan oleh subjek atau manusia itu sendiri terhadap objek—entah kanvas atau alam—sehingga menciptakan sebuah lanskap dunia yang terbingkai. Laku pemisahan subjek dan objek ini juga yang memungkinkan kita untuk melakukan penelitian bagaimana lukisan Liberty Leading the People dalam membentangkan struktur masyarakat Perancis pada sebuah periode revolusinya. Di era “pasca” yang seringkali kita sebut sebagai era kontemporer, sebuah gambar tampaknya hadir secara lebih demokratis ketika gambar yang diproduksi atau direproduksi oleh medium perekam dapat memberikan pandangan yang lebih personal. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari karakteristik medium perekam itu sendiri yang dapat berperan sebagai substitusi mata yang tidak hadir di ruang tertentu. Sinema memungkinkan bentangan kompleksitas lukisan Liberty Leading the People dihadirkan dalam narasi-narasi partikular, misalnya saja sisa-sisa pertempuran dalam patahan kayu yang berserakan atau bendera triwarna di atas menara Notre Dame yang hanya bisa dilihat melalui pembesaran.

103


Seperti kerja-kerja seni kontemporer, bahasa sinema tidak berangkat dari hasrat penciptaan dari sebuah kanvas kosong, alih-alih ia berangkat dari reapropriasi fragmen realita yang tertangkap dalam bingkai. Dalam konteks kuratorial ini, bila struktur masyarakat modern dapat dibentangkan dalam lanskap utuh yang dapat membahasakan dirinya sendiri, bahasa sinema mengurai struktur masyarakat modern dengan menelusup ke dalam rongga-rongga di antaranya melalui laku pembesaran terhadap narasi-narasi partikular sehingga menghadirkan interupsi terhadap dominasi wacana modern. Pada akhirnya, sinema memberikan pemahaman tertentu mengenai kompleksitas dunia kita hari ini melalui kacamata kekontemporerannya.

104


INTERNATIONAL COMPETITION 09

“Tableaux Vivants” in the Post- Era Dhanurendra Pandji

I A woman in a phrygia hat—bare-chested and barefoot—moves forward through a barricade and heap of corpses, her one hand raises a three-colored f lag which became France’s national f lag after the 1830 French Revolution. A bayonet is in her other hand. She leads the revolutionar y f ighters from various social classes symbolized by the many kinds of headdresses they wore; a bourgeois in a top hat, the workers in their berets, the students in their traditional bicornes. Shifting our glance to the right corner of the frame, we see another three-colored f lag perched on top of the Notre Dame tower, symbolizing an episode of the fall of the Bourbon monarch for the second time. When we t ype the key word “1830 French Revolution” or “The July Revolution” on the Internet’s search engine, we can easily f ind a static scene—also known as tableaux vivants—depicting the complexit y of France’s political turmoil amidst the spread of Enlightenment thoughts. This static scene is present in the form of a painting, titled Liberty Leading the People by Eugene Delacroix.

105


Enlightenment ideas pioneered humanit y’s megaprojects that liberate themselves from given values by treating the landscape of a new world as an object that can be scrutinized and modif ied. Just like the personif ication of libert y on the f igure of a woman in Liberty Leading the People who had to stand upon the carcasses of revolution; when the time comes, promises of freedom demand the domination of one above the others. Predictably, the dominant discourse that highlights the importance of rationalit y to arrive at objective truth has extinguished our sensitivit y towards the situational context of that truth. This realit y prompted the rise of the “post” era as a wave of deferment to the dominating discourse by focusing instead on the decentralized narratives. This enables the reveal of truths specif ic to a certain time and location. II The term tableaux vivants itself can be described roughly as a large picture of a static scene hanging up on a wall, facing its audience in a confrontative manner. Therefore, it is tied into a certain room as a whole, as an object that is able to express itself. We can assume that the landscape of our world today is artificial when the imaginary structure in a society is seen as social structures in tableaux vivants paintings. Both were built from research and modifications of objects by a subject, human itself —whether it is on canvas or in nature — creating a framed landscape of the world. Separating the subject from its object enables us to scrutinize the performativity in Liberty Leading the People that unfolds France’s societal structure in a period of revolution. In this “post” era, our contemporary time, a picture can appear more democratic as it is produced or reproduced through a personal perspective by a recording apparatus. This is because of the characteristic of the apparatus itself. It acts as a substitute for eyes that are not present in a certain space. Cinema enables Liberty Leading the People to be broken down in particular narratives, for example, the remains of battle in the form of scattered broken woods; or the three-colored flag upon the Notre Dame that can only be seen through magnification. Similar to how contemporary art works, the language of cinema does not come from the desire to create something out of a blank canvas; rather, it comes from an act of reappropriating fragments of reality in a frame. In the context of this curatorial, if the structure of modern society can be unfolded in a whole landscape that can express itself, the language of cinema unfolds the structure of modern society by infiltrating its cavities. This is done through magnification of particular narratives, which interrupts the domination of modern discourse. In the end, cinema offers a certain understanding of the complexity of our world today through its contemporary point of view.

106


IC 9 / 12 - 18 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

HÃY TỈNH THỨC VÀ SẴN SÀNG (STAY AWAKE, BE READY)

Country of production Vietnam, South Korea, USA Language Vietnamese Subtitles English 14 min, stereo, digital, color, 2019 Dalam satu tarikan napas, kamera

In one breath, the camera compiles layers of

menghimpun lapisan-lapisan peristiwa

events happening at a corner of Saigon into

yang terjadi di sudut kota Saigon menjadi

a landscape of complex local problems. The

kesatuan lanskap persoalan lokasi yang

seem-to-be chaotic events interweave with the

kompleks. Tumpang-tindih peristiwa yang

personal use of the recording apparatus.

terkesan kacau berpilin dengan kehadiran aparatus perekam dengan penggunaannya yang personal.

Dhanurendra Pandji

Pham Thien An (Provinsi Lam Dong, Vietnam, 1989) adalah seorang sutradara, produser, dan penulis skenario film. Ia lulus dari jurusan Teknologi Informasi, Universitas Lotus, Kota Ho Chi Minh. Karya-karyanya telah diputar di berbagai festival filem internasional. Saat ini, ia sedang mengerjakan film panjang pertamanya berjudul Inside The Yellow Cocoon Shell.

Pham Thien An (Lam Dong Province, Vietnam, 1989) is a film director, producer, and screenwriter. He graduated from Information Technology at Lotus University, Ho Chi Minh City. His films have been screened in numerous international film festivals. Currently, he is working on his first feature film Inside The Yellow Cocoon Shell.

Pham Thien An (Vietnam)

107


IC 9 / 12 - 18 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

KOLEKTYVINIAI SODAI (COMMUNITY GARDEN)

Country of production Lithuania Language Lithuanian Subtitles English 15 min, stereo, 1.66:1​, 16 mm processed to digital, color, 2019

Sebuah komedi canggung mengenai insiden

An awkward comedy about a house fire

terbakarnya bangunan rumah di tengah

incident on a summer vacation. The indication

aktivitas liburan musim panas. Indikasi

of how a recording apparatus frames a

kerja medium perekam dalam membingkai

“spectacular” event presents itself on the

sesuatu “yang spektakuler” muncul pada

cracks of moments when the camera appears

retakan-retakan momentum kehadiran

and on the astonishment to an unusual event

kamera dan pada ketakjuban tertentu

related to the spectacle culture.

terhadap peristiwa di luar keseharian yang kemudian ber-relasi dengan budaya kepenontonan.

Dhanurendra Pandji

Vytautas Katkus (Vilnius, Lituania, 1991) lulus dengan gelar Sarjana Sinematografi dari Akademi Musik dan Teater Lituania. Dia memenangkan Penghargaan Sinematografer Muda Terbaik oleh Asosiasi Sinematografer Lituania pada tahun 2014 dan 2015. Sejak 2016 dia adalah anggota Asosiasi Sinematografer Lituania.

Vytautas Katkus (Lithuania)

108

Vytautas Katkus (Vilnius, Lithuania, 1991) graduated with a Bachelor’s Degree in cinematography from the Lithuanian Academy of Music and Theatre. He won Best Young Cinematographer Award by Lithuanian Association of Cinematographers in 2014 and 2015. Since 2016 he is a member of Lithuanian Association of Cinematographers.


IC 9 / 12 - 18 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

INK IN MILK

Country of production Austria Language English Subtitles English 13 min, stereo, digital, color, 2018 Parabel yang dibangun dari memori

A parable of childhood memories exhibits

masa kecil mengenai bagaimana institusi

how disciplinary institutions and products

pendisiplinan dan produk wacana yang

of discourse inherent in language and social

melekat pada bahasa dan praktik sosial

practice becomes an apparatus of power in

sebagai aparatus kekuasaan dalam

a Foucauldian framework that defines the

kerangka pikir Foucauldian mendefinisikan

subject-position until the psychological realm.

posisi-subjek hingga ke ranah psikologis.

Through a variety of sketches—in this case, an

Melalui ragam sketsa, dalam hal ini

act of illustrating ideas—the narrator builds an

adalah aksi pengilustrasian ide, si narator

impression about the position of the marginal

membangun impresi mengenai posisi subjek

subject in a system, like ink in a bowl of milk.

marjinal dalam sebuah sistem layaknya cairan tinta pada semangkuk susu.

Dhanurendra Pandji

Gernot Wieland bekerja dengan penelitian, ingatan, dan narasi. Film-filmnya menyatukan laporan sejarah dengan ingatan personal dan fakta ilmiah, elemen fiksi dan kenyataan, serta membangun rasa tentang yang ganjil, yang sebagian besar hadir dalam bentuk ironis dan absurd. Karya-karya tersebut dicirikan oleh ketenangan yang mencekam, tragis, dan puitis yang mengikuti struktur naratif asosiatif.

Gernot Wieland works with research, memory and narration. His films bring together historical reports with personal recollections and scientific facts, fictional and real elements, as well as develop a sense of the uncanny, mostly in ironic and absurd forms. The works are characterized by a gripping, tragicomic, and poetic sobriety that follows associative narrative structures.

Gernot Wieland (Austria)

109


IC 9 / 12 - 18 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

SELECTED MILK ADDED FROM RECONSTITUTED MILK POWDER WHOLE PASTEURIZED HOMOGENIZED Country of production Spain Language English Subtitles English 20 min, stereo, digital, color, 2020 Secara sastraik, filem ini menyejajarkan

In a literary manner, this film aligns

strandar operasional pemasaran dengan

marketing operational standards with a series

serangkaian kisah tragicomic tentang rantai

of tragicomic stories about the remnants

konsumsi sisa-sisa pertarungan ideologi

of the struggle for capital ideology that are

kapital yang telah melewati berbagai proses

consumed by the body of society and has gone

pengidealan (komodifikasi) oleh tubuh-

through various processes of idealization

tubuh masyarakat. Narasi-narasi tersebut

(commodification). The narratives are broken

dipecah dalam urutan sekuensial dan

down in sequential order and arranged side by

disusun berdampingan dengan citra-citra

side with representative pictures.

yang bersifat fotografis layaknya sebuah tampilan slide.

Dhanurendra Pandji

José Luis Ducid (Buenos Aires, 1969) adalah seorang seniman multidisiplin, penyair, aktor, sutradara, dan musisi. Ia belajar filem di “School of Image and Sound” A Coruña dan kemudian mulai menyutradarai. Berulang kali, ia menerima penghargaan sebagai penulis naskah dan sutradara filem pendek.

José Luis Ducid (Spain)

110

José Luis Ducid (Buenos Aires, 1969) is a multidisciplinary artist, poet, actor, director, and musician. He studied cinema in the “School of Image and Sound” of A Coruña and then began to direct. On repeated occasions, he received awards as script writer and director of short films.


IC 9 / 12 - 18 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

CURUPIRA, BICHO DO MATO (CURUPIRA, REATURE OF THE WOODS) Country of production Brazil, Mexico, France Language Portuguese Subtitles English 35 min, stereo, 16:9, digital, color, 2018 Melalui perangkat elektronik, filem ini berupaya melakukan pembesaran terhadap memori kolektif masyarakat Amazon dalam bentuk kepercayaan mitos si hantu penunggu hutan, Curupira. Dalam filem ini, media sebagai bingkai serpihan lokalitas dapat dibaca melalui dua lapisan. Lapisan pertama ialah bagaimana gelombang suara dengan kekuatannya yang mampu menelusup ke dalam ruang tak nampak, berperan menjembatani dua dimensi realitas secara imajinatif. Lapisan berikutnya adalah ihwal perangkat kamera dalam memberi penegasan tentang ide kelokalan dan medium representasi melalui ekspresi wajah dan layar gelap. Dengan demikian, kita dapat menggarisbawahi kerja teknologi dalam mendamaikan “pemitosan” dan kebenaran lokasi dengan hadir di tengah-tengah irisannya.

Through electronic devices, this film attempts to magnify the collective memory of Amazonian society in the form of the myth of the guardian ghost, Curupira. In this film, media as a frame of the fragments of locality can be read through two layers. The first layer inquires how sound waves with their capability to penetrate invisible spaces play a role in bridging two dimensions of reality imaginatively. The second layer inquires how the camera affirms the idea of locality and medium of representation through facial expressions and dark screen. In this way, we can underline the work of technology in reconciling “mythologization” with locational truth by being present in the intersection between them.

Dhanurendra Pandji

Félix Blume (Prancis, 1984) adalah seorang seniman bunyi dan sound engineer. Dia saat ini bekerja dan tinggal di antara Meksiko, Brasil, dan Prancis. Dia tertarik pada mitos dan interpretasi kontemporernya, dalam dialog manusia baik dengan konteks alam dan perkotaan yang dihuni, pada apa yang dapat diceritakan oleh suara-suara di luar kata-kata.

Félix Blume (France, 1984) is a sound artist and sound engineer. He currently works and lives between Mexico, Brazil and France. He is interested in myths and their contemporary interpretation, in human dialogues both with inhabited natural and urban contexts, in what voices can tell beyond words.

Félix Blume (France)

111


IC 9 / 12 - 18 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

AUKSINĖS MINUTĖS (GOLDEN MINUTES)

Country of production Lithuania Language Lithuanian Subtitles English 10 min, stereo, digital, color, 2019

Tegangan yang muncul pada menit-menit

The tension during the crucial minutes

krusial antara hidup dan mati seorang pria

between life and death of a middle-aged

paruh baya dalam sebuah percobaan bunuh

man who attempts suicide triggers a series

diri telah memicu rentetan adegan sebab-

of chain reactions, which blocks the flow of

akibat yang menghambat arus sirkulasi

mass circulation in a highly measured system.

massa dalam sebuah sistem yang serba

Through a rhythmic montage, this film reflects

terukur. Melalui susunan montase ritmis,

the sensitivity of modern society towards

filem ini semacam merefleksikan kepekaan

systematization which at a certain point

masyarakat modern terhadap sistematisasi

becomes an obstacle for the society itself.

yang justru pada titik tertentu menjadi hambatan bagi dirinya sendiri.

Dhanurendra Pandji

Saulius Baradinskas (1990) adalah sutradara film serta video komersial & musik dari Vilnius, Lituania. Saulius dikenal karena menyutradarai video musik yang sudah mendapat pengakuan di negara-negara Baltik. Dalam penghargaan video musik tahunan 2018, Saulius terpilih sebagai sutradara terbaik dan memenangkan penghargaan video musik terbaik untuk kategori penyutradaraan.

Saulius Baradinskas (Lithuania)

112

Saulius Baradinskas (1990) is a film as well as commercial & music video director from Vilnius, Lithuania. Saulius is noticed for directing music videos that already got recognition in the Baltic states. In 2018 annual music video awards, Saulius was selected as a best director of the year and won best music video award for directing.



114


115

PRESENTASI KHUSUS SPECIAL PRESENTATION


PRESENTASI KHUSUS 01

Tempat-Tempat Lumrah bagi Penangguhan Philip Widmann

“Sungguh a neh r asa n ya bisa sel a m at!” seru sang narator yang ta k bersuara, pada suatu momen di f ilem Saif A lsaegh berjudul Bitter with a Shy Taste of Sweetness. Narator ini, yang menyebut kita dengan panggilan orang kedua tungga l, mencerita kan kemba li bagaimana “kamu” tela h meningga lkan Baghdad dan tenga h berdamai dengan kenangan a kan tumbuh kembangmu di lingkungan yang berpotensi mengancam nyawa, impian masa kecilmu yang inda h a kan A merika Serikat, dan penga lamanmu bisa tiba di sini, a khirnya, di Ca lifornia. Kesukaran yang meresa hkan untuk menyelaraskan ingatan dengan penga laman yang tampa knya berasa l dari planet lain beruba h menjadi w ujud: garis ca krawa la yang miring, lanskap dengan f ilter ber warna dan lampu disko pada foto keluarga, kamera yang bergera k-gera k dengan liar, suara yang melambat dan terdistorsi. Ketika program ini dirumuskan di awa l Maret 2020, “Sungg uh aneh rasanya bisa selamat!” terdengar seper ti judul yang tepat untuk seleksi f ilem yang ingin

116


memberi w ujud pada penga laman geograf is, kultura l, sosio ekonomi, estetis, dan keterasingan emosiona l. Apa yang mungkin ingin disampaikan oleh seleksi ini ada la h ba hwa keselamatan, da lam ar ti merenggangkan nyawa kita melampaui sesuatu yang diketa hui, tida kla h sama dengan pergera kan untuk meningga lkan A demi mencapai B, tetapi justru menjadi kondisi ganjil di mana posisi kita ter tangg uhkan di suatu tempat di antara kedua titik tersebut. Ta k lama kemudian, ketika mungkin sema kin banya k orang diperinta hkan secara serenta k untuk berada da lam kondisi meng urangi risiko, jika bukan demi keselamatan sendiri, ma ka setida knya untuk mencega h kematian yang dapat dihindari, “Sungg uh aneh rasanya bisa selamat!” mulai terdengar seper ti judul yang benar-benar sa la h tempat. Namun, pada saat yang sama, penga laman pandemi mungkin tela h memberikan semacam perasaan ter tangg uhkan bagi banya k orang yang sebelumnya merasa tida k perlu merag ukan rea litas ta k tergoya hkan dari lingkungan dan keistimewaan sehari-harinya. Menyusutnya ruang keseharian menyebabkan sebagian besar konta k sosia l berlangsung secara vir tua l bagi mereka yang mampu menga kses teknologi, tempat kerja menjadi larut ke da lam ruang privat atau ba hkan lenyap sama seka li, dan langka h menuju “norma l baru” direg ulasi oleh teknologi pengawasan dan penelusuran beser ta tinda kan birokratis secara manua l—da lam setiap kasus, perasaan menginja kkan ka ki ke da lam dunia lain yang serba delusiona l itu sela lu ada. Kondisi ter tangg uhkan ini tida k perna h menjadi lumra h, melainkan muncul dari tempat-tempat lumra h yang menjadi ganjil. Atau mungkin justru seba liknya, dan ia muncul dari tempattempat ganjil yang menjadi lumra h? Da lam f ilem Kama l A ljafari berjudul It’s a Long Way from Amphioxus, efek digita l menyerua k di tempat yang seharusnya tida k perna h menjadi lumra h bagi siapa pun. Di ruang tungg u kantor imigrasi Berlin yang senantiasa penuh sesa k, persoa lan manusia rupanya tela h dienkripsi menjadi nomor antrean. A lfajri mengangkat nomor-nomor tersebut dari penampangnya. Ketika menyerua k keluar dari arsitektur otoritas yang menjemukan, nomor-nomor ini memperoleh sesuatu yang organik, sesuatu yang tida k dapat diperhitungkan oleh logika birokrasi. Judul f ilem ini diambil dari lag u yang dinyanyikan oleh ma hasiswa biologi A merika Serikat pada ta hun 1920-an (dan rupanya sampai hari ini), di mana amphioxus ada la h ma khluk mirip ikan yang organ dan genomnya memberikan petunjuk mengenai evolusi awa l dari ver tebrata, dari ikan hingga menjadi manusia. “Jauh seka li dari A mphioxus, tapi kita semua berasa l dari sana.” Lantas pada ta hap perkembangan mana ka h umat manusia mencipta kan kapasitas kolektif untuk ber tinda k keji terhadap sesama spesiesnya ( belum lagi semua spesies lain), mema ksa orang-orang untuk meningga lkan ruma hnya dan menyeberangi lautan hanya untuk meniska la kan mereka menjadi angka. Jika ini merupa kan w ujud ter tinggi dari kehidupan, ma ka mungkin suda h saatnya kita merosot dan bera lih dari ja lur destruktif gagasan-gagasan evolusionis, melarikan diri ke suatu tempat di mana kita berada di luar dari

117


pema ksaan narasi dan struktur yang hanya menginginkan kemajuan. Suatu tempat di mana sup primordia l dan pascamanusia sa ling ber temu. Da lam Dream Delivery kar ya Zheng Yuan, tidur merupa kan risiko seka lig us tempat bersembunyi yang masuk a ka l bagi petugas pengantar ekonomi gig Lanzhou di Tiongkok barat laut. Sebua h tempat di mana mereka a khirnya dapat berhenti bergera k dan dikena li. Sambil mengingat perca kapannya dengan seorang kawan da lam sebua h wawancara, Zheng meng utip perkataan kawan ini ba hwa Lanzhou merupa kan tempat yang memiliki “ciri khas pra-sosia lis” yang jarang ditemui di Tiongkok bela kangan ini. Bagi Zheng, kesezamanan dari yang tida k sezaman, di mana “pra-“ dan “pasca-“, tenaga kerja mati dan hidup (dead and living labor) hadir berdampingan dengan cara yang kontradiktif, sa ling berlawanan, merupa kan tempat asa l kemunculan masa kini. Berbagai kondisi penangg uhan yang berbeda dari keempat f ilem ini dapat sama-sama dibingkai dengan “pra-“ dan “pasca-“: dari umat manusia, dari f isika litas, dari kiamat. Apa ka h kita suda h sampai sana? Apa ka h semua suda h bera khir? A khirnya selesai juga? Masa kini yang terla lu dini dan terla lu telat ini juga terla lu terang dan terla lu gelap: hiper-visua litas mela hirkan keta kkasatmataan, transparansi menimbun keburaman da lam jeja knya, peniska laan mew ujudkan rea lita konkret yang sema kin kehilangan daya bujuknya. Mimpi, imajinasi, f iksi, manipulasi, montase merupa kan a lat untuk mewarnai nuansa abu-abu dari penangg uhan, untuk membongkar dan mera kit kemba li ba han-ba han yang tida k dapat dicampur, untuk membuat kondisi ter tangg uhkan yang ganjil ini dapat dia kses dari luar ser ta untuk menjelaja hi potensi utopianya. Shelly Silver menerapkan pilihan-pilihan ini di a tiny place that is hard to touch untuk membuat pengamatan telaten terhadap kompleks Tatekawa di Tokyo menjadi lebih dipenuhi ketegangan. Kana l yang menjadi nama bagi kompleks ini, yang terapit di antara bang unan dan diatapi oleh ja lan layang, menjadi a liran komunikasi antara berbagai jenis keadaan hidup dan mati. Sang narator berbicara tentang kegaga lan da lam komunikasi antarbudaya dan antarpribadi, tentang kemusna han masa la lu dan masa depan. Di cela h antara ruang dan narasi yang terbang un, kebineran menjadi kabur. Biologi dan budaya, kekejian dan kelembutan, perasaan najis dan nafsu, asing dan asa li tentunya tida k menjadi sama, tetapi juga bukan oposisi. “Dapatka h kita menerjema hkan tanpa mema hami, tanpa memaf humi?,” tanya narator di f ilem Silver. Di antara f ilem-f ilem di program ini, barangka li bentuk lain dari per tanyaan ini ada la h: ‘D apatka h kita mema hami tanpa memaf humi, tanpa merengkuh sesuatu, karena ini tentu mengandaikan keberadaan materiil dari sega la ha l yang perlu dipa hami?’

118


Tempat-Tempat Lumrah bagi Penangguhan merupakan bagian kedua dari kerja sama antara ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival dengan Kassel Documentary Film and Video Festival, didukung oleh Goethe-Institut Indonesien. Kassel Documentary and Video Festival yang didirikan pada tahun 1982 adalah sebuah acara enam-hari yang diselenggarakan setiap tahun di pertengahan November. Program mereka mencakup sekitar 250 filem pendek dan filem panjang, pameran video dan instalasi media, serta simposium dan format edukasional. Bagian pertama dari kerja sama ini, Catatan tentang Eksperimen-Eksperimen Indonesia, telah ditampilkan di Kassel pada tahun 2019. Bagian kedua dipilih dari filem-filem pendek yang ditampilkan di edisi 2019 Kassel dan awalnya akan ditampilkan di Jakarta pada bulan Agustus 2020.

119


SPECIAL PRESENTATION 01

Common Places of Suspension Philip Widmann

“How str a nge it is to surv i v e!” exclaims the unheard narrator at one point in Saif A lsaegh’s Bitter with a Shy Taste of Sweetness. This narrator, addressing us in the second person sing ular, recounts how “you” have left Baghdad and are tr ying to come to terms with the memor y of growing up in potentia lly life-threatening surroundings, candy-colored childhood dreams of the United States, and the experience of having eventua lly arrived right there, in Ca lifornia. The unset tling diff icult y of a ligning memories and experiences that seem to have originated from different planets becomes form: tilted horizons, color f iltered landscapes and disco lights on family photos, frantic panning, sounds slowing down and distor ting. When this program was put together in early March 2020, “How strange it is to sur vive!” seemed like an appropriate title for a selection of f ilms that at tempt to ma ke experiences of geographica l, cultura l, socio economic, aesthetica l, and

120


emotiona l displacement tangible. What this selection may suggest is that sur viva l, in the sense of extending one’s life beyond something known, is not tantamount to a movement of leaving A behind in order to reach B, but rather becomes the strange state of being suspended someplace in bet ween. Shor tly after, when perhaps more people than ever were instructed simultaneously in the conditions of reducing risk, if not for their own sur viva l, then at least for the prevention of avoidable fata lities, “How strange it is to sur vive!” star ted sounding like a downright misplaced title. At the same time, however, the experience of the pandemic may have brought about a sense of suspension for many who earlier saw no reason for doubting the immovable rea lit y of their ever yday surroundings and privileges. With quotidian spaces shrinking, socia l contact becoming largely vir tua l for those with access to technolog y, workplaces dissolving into the private or into nothing at a ll, and steps towards a “new norma l” being reg ulated by sur veillance and tracking technologies and manua l bureaucratic measures a like, the sense of having set foot into a delusiona l other world is never quite far away. Suspension is never commonplace, but it comes out of common places becoming strange. Or is it the other way round, and it comes from strange places becoming common? In Kama l A ljafari’s It’s a Long Way from Amphioxus, digita l effects inter vene in a place that ought not become common for anyone. In a perpetua lly crowded waiting room of Berlin’s immigration off ice, it appears as if the concerns of living people had been encr ypted into queue numbers. A ljafari lifts them from their displays. Swarming out of the prosaic architecture of public authorit y, they acquire something organic, something that the logic of bureaucracy cannot account for. The f ilm’s title comes from a song sung by US-A merican biolog y students in the 1920s (and apparently until today), amphioxi being f ish-like creatures whose organs and genomes provide clues about the early evolution of ver tebrates, from f ish a ll the way to humans. “It's a long, long way from A mphioxus, but we a ll came from there.” At what stage of development, then, stands the collective capacit y of humans to act against their own species (let a lone a ll others), forcing people to leave their homes and cross the seas only to abstract them into f ig ures? If this is the highest form of life, perhaps it is time to degenerate and sidestep the destructive path of evolutionist ideas, retreating to someplace where one remains outside the coerciveness of progress-driven narratives and structures. Someplace where primordia l and posthuman soup run into each other. In Zheng Yuan’s Dream Delivery, sleep is both a risk and a possible hideout for gig-economy deliver y drivers in Lanzhou in nor th-western China. A place where they can f ina lly stop moving and become recognizable. Recounting a conversation with a friend in an inter view, Zheng quotes this friend saying that Lanzhou was a place featuring “pre-socia list characteristics” rarely found in present-day China. For Zheng, the contemporaneit y of the non-contemporaneous, where “pre-” and “post-”, dead and living labor coexist in contradictor y, conf licting ways, is what the present emerges from. Similarly, the different states of suspension of the four

121


f ilms could a ll be framed by a “pre-” and a “post-”: of humanit y, of physica lit y, of apoca lypse. A re we there yet? Is it a lready over? Over at last? This present bet ween too early and too late is equa lly too bright and too dark: hyper-visua lit y creates invisibilities, transparency amasses opacities in its trail, abstractions form concrete rea lities that increasingly lack persuasiveness. Dreams, imaginations, f ictions, manipulations, montage are tools for coloring the grey shades of suspension, for dissembling and reassembling unmixable ingredients, for ma king this strange sense of being suspended accessible from the outside and for exploring its utopian potentia l. Shelly Silver applies these options in a tiny place that is hard to touch to put patient obser vations of the Tatekawa neighborhood in Tokyo under increasing tension. The neighborhood’s eponymous cana l, squeezed bet ween buildings and roofed by an elevated highway, becomes a water way of communication bet ween different states of animate and inanimate being. The voiceover spea ks about failures in intercultura l and interpersona l communication, about past and future annihilation. In the interstices of built space and narration, binaries blur. Biolog y and culture, cruelt y and gentleness, rev ulsion and lust, a liens and natives cer tainly do not become the same, but are no opposites either. “Can one translate without comprehension, without grasping?”, asks the voice in Silver’s f ilm. In bet ween the f ilms of this program, a variant of this question may be: ‘Can one comprehend without grasping, without ta king hold of something, as that would necessarily presuppose the materia l existence of ever y thing that there is to comprehend?’

Common Places of Suspension is the second part of a cooperation between ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival and the Kassel Documentary Film and Video Festival, supported by Goethe-Institut Indonesien. Founded in 1982, the Kassel Documentary and Video Festival is a yearly six-day event taking place in mid-November. Its program includes around 250 short and feature-length films, an exhibition of video and media installations, as well as symposia and educational formats. The first part of this cooperation, Notes on Indonesian Experiments, was shown in Kassel in 2019. This second part was selected from short films featured in Kassel’s 2019 edition and was originally planned to be shown in Jakarta in August 2020.

122


SP 1 / 28 NOVEMBER - 4 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG / 18+

BITTER WITH A SHY TASTE OF SWEETNESS Country of production USA Language Subtitles 8 min 57 sec, stereo, digital video, color, 2019 Bitter with a Shy Taste of Sweetness

Bitter with a Shy Taste of Sweetness contrasts the

membandingkan masa lalu terfragmentasi

fragmented past of the filmmaker growing up

milik si pembuat filem yang tumbuh di

in Baghdad with his surreal California present.

Baghdad dengan masa kininya yang surealis

Through poetic writing and jarring visuals, the

di California. Melalui penulisan puitis

film creates a calm and cruel sense of memory

dan visual yang menderu-deru, filem ini

and landscape.

menciptakan rasa memori dan lanskap yang tenang namun juga kejam.

Philip Widmann

Saif Alsaegh adalah sutradara asal Baghdad yang berbasis di Amerika Serikat. Filem-filemnya telah diputar di berbagai festival termasuk Cinéma du Réel, Kurzfilm Hamburg, dan Kasseler Dokfest, serta di galeri dan museum termasuk di Wisconsin Triennial di Madison Museum of Contemporary Art dan Rochester Contemporary Art Center. Pada tahun 2021, dia menjadi Flaherty Fellow.

Saif Alsaegh is a United States-based filmmaker from Baghdad. His films was screened in festivals including Cinéma du Réel, Kurzfilm Hamburg, and Kasseler Dokfest, and in galleries and museums including the Wisconsin Triennial at the Madison Museum of Contemporary Art and Rochester Contemporary Art Center. In 2021, he was a Flaherty Fellow.

Saif Alsaegh (USA)

123


SP 1 / 28 NOVEMBER - 4 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

‫نم انيتأ انعيمج‬ ‫كانه‬ (IT’S A LONG WAY FROM AMPHIOXUS) Country of production Germany Language Arabic Subtitles English 15 min, stereo, digital video, color, 2019

Seorang wanita tua bersandar ke pria muda

An old woman leans to the young man with

dengan buku kuning di tangan, ia duduk di

the yellow book sitting next to her and asks,

sebelahnya dan bertanya, “Apa yang mereka

“What are they distributing here?” “Numbers”,

bagikan di sini?”. “ Angka”, jawabnya. Di

he replies. In Berlin’s waiting rooms, where

ruang tunggu Berlin, di mana kursi logam

metal and wooden seats are nailed to the

dan kayu dipaku ke tanah, orang-orang tiba

ground, people arrive after emerging from the

setelah muncul dari laut. Di sini mereka

seas. Here they wait. Aljafari’s film observes

menunggu. Filem Aljafari mengamati asal-

the origins of our being versus the future of

usul keberadaan kita versus masa depan

how we are defined. What have we become

tentang bagaimana kita didefinisikan.

from our point of origin until today’s chaos

Apa jadinya kita usai dari titik asal hingga

of bureaucratic mazes? It’s a long way from

kekacauan labirin birokrasi hari ini? Jauh

Amphioxus, we all came from there.

dari Amphioxus, kita semua berasal dari sana. Philip Widmann

Kamal Aljafari berkarya menggunakan gambar bergerak dan gambar diam menjalinkan fiksi, non-fiksi, dan seni. Filem terdahulunya termasuk Recollection (2015), Port of Memory (2009), dan The Roof (2006). Ia adalah seorang seniman unggulan di Seminar Filem Robert Flaherty (NYC) dan merupakan Anggota di Institut Radcliffe dan Studi Film Universitas Harvard.

Kamal Aljafari (Germany)

124

Kamal Aljafari works with moving and still images, interweaving between fiction, non-fiction, and art. Kamal’s past films include ‘Recollection’ (2015), ‘Port of Memory’ (2009), and ‘The Roof ’ (2006). He was a featured artist at the Robert Flaherty Film Seminar (NYC) and was a Fellow at Harvard University’s Radcliffe Institute and Film Study.


SP 1 / 28 NOVEMBER - 4 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

DREAM DELIVERY Country of production China Language Subtitles 9 min 50 sec, stereo, digital video, color, 2018

Seorang pengendara pengiriman barang yang

An exhausted delivery rider sprawled out on

kelelahan tergeletak di bangku taman pinggir

the bench of a roadside park and fell asleep

jalan dan tertidur dengan pulas. Dalam mimpi,

safe and sound. In a dream, laborers gather in

para pekerja berkumpul di taman shanzhai dan

a shanzhai park and become “statues,” forming

menjadi “patung”, membentuk kekontrasan dengan

a contrast with the speed and efficiency they

kecepatan dan efisiensi yang mereka kejar tanpa

pursue inexhaustibly around the clock. The

henti sepanjang waktu. Jajaran bintang buruh

all-star lineup of contemporary laborers

kontemporer mengungkapkan sisi lain keajaiban

reveals the other side of the Chinese economic

ekonomi Cina. Dalam kehidupan perkotaan

miracle. In an increasingly homogenized urban

yang semakin homogen yang diresapi dengan

life infused with technology and capital, new

teknologi dan modal, jenis tenaga kerja baru dan

kinds of labor and social exploitation surface.

eksploitasi sosial muncul ke permukaan. Mobilitas

Perpetual mobility and restless labor have

terus-menerus dan tenaga kerja yang gelisah telah

turned sleep into a costly risk.

mengubah tidur menjadi risiko yang mahal. Philip Widmann

Zheng Yuan adalah pembuat filem dan seniman yang tinggal di Beijing. Karyanya sering beroperasi di persimpangan fiksi, dokumenter, dan penelitian investigasi, dengan fokus pada hubungan antara identitas dan sistem nilai dalam kondisi sejarah dan politik yang berbeda. Filem-filemnya telah diputar di Visions du Réel, Kasseler Dokfest, International Short Film Festival Oberhausen, dan Ann Arbor Film Festival

Zheng Yuan is a filmmaker and artist based in Beijing. His work often operates at the intersection of fiction, documentary, and investigative research, focusing on the relationships between identity and value systems within different historical and political conditions. His films have been screened at Visions du Réel, Kasseler Dokfest, International Short Film Festival Oberhausen, Ann Arbor Film Festival

Zheng Yuan (China)

125


SP 1 / 28 NOVEMBER - 4 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

触れがたき小さ な場所 (a tiny place that is hard to touch) Country of production Japan, USA Language Japanese Subtitles English 38 min 52 sec, stereo, digital video, color, 2019 Seorang perempuan Amerika menggunakan An American woman hires a Japanese jasa seorang perempuan Jepang dalam woman to translate interviews about Japan’s menerjemahkan wawancara perihal declining birthrate. The American woman is turunnya angka kelahiran di Jepang. presumptuous in her knowledge of Japan; the Perempuan Amerika tersebut merasa tahu Japanese woman suffers from a self-professed benar soal Jepang; perempuan Jepang excess of critical distance. They grate, fight, tersebut menderita akan kelebihan jarak and crash together in love or lust, as the kritis yang ia nyatakan sendiri. Mereka translator interrupts their work sessions berargumentasi, berkelahi, dan jatuh with stories from a world infected with the bersama dalam cinta atau nafsu, saat knowledge of its own demise. The canal that penerjemah tersebut menyela jam kerja runs past the translator’s apartment gives mereka dengan cerita dari dunia yang the neighborhood its name. Reflecting back terinfeksi akan pengetahuan tentang the concrete world in distorted patterns of kematiannya sendiri. Nama lingkungan itu blue, green or glittering black, the Tatekawa diambil dari kanal yang melewati kawasan transports a shifting procession of animals, apartemen tempat di mana si penerjemah plants, objects, artifacts, death, life. tinggal. Merefleksikan balik sebuah dunia beton dalam pola yang terdistorsi oleh warna biru, hijau atau hitam berkilauan, Tatekawa-lah yang membawa pergeseran Philip Widmann prosesi antara hewan, tumbuhan, benda, artefak, kematian, kehidupan. Shelly Silver adalah pembuat filem dan seniman yang tinggal di New York. Karyanya telah dipamerkan di berbagai negara, termasuk di MoMA, Tate Modern, Centre Pompidou, MoCA dan Festival Film London, Singapura, New York, Moskow, dan Berlin. Dia adalah seorang profesor di Program Seni Visual, Universitas Columbia.

Shelly Silver (USA)

126

Shelly Silver is a New York based filmmaker and artist. Her work has been exhibited worldwide, including at MoMA, Tate Modern, Centre Pompidou, MoCA and the London, Singapore, New York, Moscow, and Berlin Film Festivals. She is a professor in the Visual Arts Program, Columbia University.


PRESENTASI KHUSUS 02

Permukaan Tak Acuh, Gerakan Pendulum Eunhee Kim

Apa ka h dunia luar yang kita lihat lewat pandangan benar-benar nyata? Ota k menafsirkan lanskap citraan yang tercermin pada retina dengan menarik banya k informasi dan isyarat. Ketika kita mencoba menangkap dunia luar secara visua l, jika fenomena yang terjadi di da lam diri manusia sebagian besar merupa kan respons sel saraf optik mikroskopis, ma ka penglihatan mungkin hanya la h rea ksi atau ref leksi terhadap stimulus eksterna l sebelum tinda kan. Namun, kita tida k dapat mendeteksi apa ka h perila ku manusia lebih dulu ada ketimbang lanskap yang terlihat (dunia luar) atau apa ka h dunia luar suda h ada sebelum itu semua. Ketika kita terbang un dari tidur dan membuka mata, jika sinar mentari di langit-langit terpantul di retina, kita a kan terbang un dari tempat tidur, mengira ba hwa pagi suda h ada sebelum kita bang un. Tentu saja, kata “pagi” hanya la h sebua h isyarat wa ktu yang berhubungan dengan kecepatan rotasi Bumi. Dengan kata lain, relasi antara arus wa ktu abstra k yang dicipta kan oleh putaran Bumi dan

127


kesadaran manusia ada la h sebua h kemitraan, dan wa ktu da lam w ujud f isiknya dapat dianggap sebagai khazana h abstra k di da lam kesadaran kita karena kita tida k dapat merasa kan tubuh kita berlari mengikuti gera kan perputaran Bumi. Sama seper ti “A World without Time” kar ya Kur t Friedrich Gödel, ada la h musta hil untuk meng uba h suatu wa ktu loka l menjadi satu wa ktu yang globa l, sehingga wa ktu menjadi tida k lebih dari intuisi batin kita. Ketika kita tiba di suatu tempat dengan latar bela kang historis ter tentu dan memandang lanskap yang terbentang di depan mata kita, lanskap tersebut tida k menyata kan atau menjelaskan apa pun. Rea lita lanskap tersebut bisa jadi sebenarnya tida k ada atau ada sebagai representasi dari sejumla h relasi. Pemandangan ini, yang hanya kita lihat dengan mata pengamat murni tanpa menginter vensi sebisa mungkin, ada la h seper ti ha lnya permukaan yang ta k acuh. Sebua h adegan da lam f ilem yang menangkap momen per temuan dengan lanskap karena kebetulan atau memunculkan cerita yang ta k terlihat di ba lik lanskap a kan memperoleh sudut pandang mela lui keterbatasan bingkai dan montase. Ada sejumla h f ilem yang membiarkan kita membayangkan wa ktu intuitif dari seorang pengamat yang berdiri di sebua h dunia di mana lintasan wa ktu secara riil tida k ada, begitu pula dengan rea ksi tubuhnya. Para f ilsuf matematika, seper ti Gödel, meya kini ba hwa tubuh pengamat memiliki suatu indera khusus ( beda dari panca indera) yang dapat dideteksi manusia di a lam yang idea l. Tempat ini, secara khusus, meningga lkan ria k gelombang dari a lam abstra k mela lui tubuh pengamat. Rasanya seola h-ola h tubuh pengamat mendeteksi gelombang ta k kasat mata mela lui pendulum yang mendeteksi radiasi dan kantuk yang mendeteksi vena air. Getaran ta k terlihat yang dideteksi oleh tubuh seniman mela lui kamera menjadi sangat nyata da lam berbagai citra lanskap yang mew ujud di da lam kar ya seniman gambar bergera k kontemporer. Namun, tida k semua citra lanskap yang terekam mampu menyampaikan getaran dan ria k gelombang dari momen pengambilan gambar. Hanya kar ya segelintir seniman yang mampu menangkap sinya l dari dunia ta k dikena l yang menembus tubuh-tubuh mereka. Mereka menemukan titik di mana sulit untuk dibuktikan secara logis, tetapi musta hil untuk dibagi menjadi potongan-potongan objektif. Vena air terbentang luas, tetapi tida k di semua tempat, sehingga peran pendulum untuk mendeteksi gelombang vena air tetap esensia l. Sinya l ta k dikena l yang dikumpulkan oleh metodologi kohesi wa ktu subjektif milik sang seniman ada la h selaya knya gera kan ruang di mana wa ktu tela h lenyap. A. Einstein perna h berkata: “kontinum empat dimensi kini tida k lagi dapat dipeca hkan secara objektif menjadi potongan-potongan, mereka semua mengandung peristiwa yang terjadi serenta k; kata ‘kini’ menjadi kehilangan ma kna objektifnya karena dunia yang meluas secara spasia l.” Menurutnya, da lam dunia yang meluas secara spasia l, ma kna objektif dari “sekarang” menjadi hilang.

128


Program kuratoria l ini menghadirkan kar ya-kar ya terbaru dari empat seniman gambar bergera k asa l Korea. Keempat kar ya ini meng uba h peristiwa masa la lu, masa kini, dan masa depan menjadi berlangsung secara serenta k di ruang di mana wa ktu tela h lenyap. Filem terbaru Minjung K im yang berjudul T he Red Filter is Withdrawn mengeksplorasi lanskap laut di Pulau Jeju, tempat terjadinya peristiwa ‘Jeju 4.3,’ pembantaian oleh pemerinta h Korea Selatan sebagai a kibat dari konf lik ideologi yang berlangsung antara 1948 dan 1954 di Pulau Jeju. Eksplorasi ini menanya kan apa yang perlu dilihat da lam lanskap ini dengan inter vensi dari cerama h Hollys Frampton dan f ilter mera h. Kar ya penelitian Jaekyung Jung yang berjudul A Village mengeksplorasi daera h residensia l untuk pasien pengidap penya kit Hansen (atau yang dikena l dengan istila h kusta) seja k ta hun 1960an. Filem ini merekam Desa Heonin, yang kini tingga l puing-puing karena wilaya hnya tela h dibang un kemba li seja k awa l ta hun 2000. To the North for Nonexistence kar ya Sejin K im meref leksikan masa kini yang mengaburkan seluruh batasan ketika kisa h Sámi, masyara kat adat Lapland, A rktik Eropa, menjadi tumpang tindih dengan lanskap yang terpeca h-bela h. Kar ya Ayoung K im yang berjudul Porosity Valley 2: Tricksters’ Plot mereproduksi ja lur migrasi ma khluk mitos yang menjadi metafora bagi ja lur peng ungsi di ruang vir tua l f iksi ilmia h. Di senja ka la Bumi yang tenga h menderita, mari kita rasa kan getaran menit yang berhenti sejena k pada titik di mana pendulum dig uncang oleh empat seniman Korea yang menangkap lanskap-lanskap serenta k dari Bumi, atau bayangkan lanskap ruang yang meluas dari posisinya masing-masing atau selagi bergera k.

129


SPECIAL PRESENTATION 02

Indifferent Surface, Pendulum Movement Eunhee Kim

Is the externa l world that we perceive through sight rea lly rea l? The brain interprets the landscape of the image ref lected on the retina by at tracting a lot of information and signs. When visua lly grasping the externa l world, if the phenomena occurring inside a human being are primarily a response of microscopic optic ner ve cells, the seeing may be merely a reaction or ref lection to an externa l stimulus before an action. However, we cannot detect whether the behavior of the human being ta kes precedence over the visible landscape (the externa l world) or whether the externa l world exists prior to it. When we awa ke from sleep and open our eyes, if morning light shining on the ceiling is ref lected in the retina, we would wa ke up from our bed, thinking that the morning exists before we wa ke up. Of course, the word “morning” is only a sign of time related to the speed of Ear th’s rotation. In other words, the relationship bet ween the abstract f low of time created by the Ear th’s spin and

130


human consciousness is a par tnership, and physica l time can be left as an abstract rea lm in our consciousness because we cannot feel our body running with the movement of Ear th rotation. Just as Kur t Friedrich Gödel’s “A World Without Time”, it is impossible to ma ke the selected loca l times into one globa l time, so time becomes nothing other than our inner intuition. When you arrive at a place with a specif ic historica l background and look at the landscape unfolding before your eyes, the landscape does not dictate or explain any thing. The rea lit y of the landscape may not exist or may exist as a representation of multiple relationships. The scener y that you encounter only through the eyes of a pure obser ver without inter vening as much as possible is like an indifferent and cold surface. A scene in the f ilm that captures the moment of a landscape encountered by chance or brings out unseen stories behind the landscape acquires a point of view through the limitations of the frame and montage. There are f ilms that let you imagine the intuitive time of an obser ver standing in a world where the passage of rea l time does not exist and the reaction of his body. Some mathematica l philosophers, such as Gödel, believe that the obser ver’s body has a specia l sense (different from the f ive sensor y organs) that humans can detect the idea l rea lm. The place, in par ticular, leaves the waveleng th of the abstract rea lm through the body of the obser ver. It is as if the obser ver’s body detects invisible waves through a pendulum that detects radiation and a dozing that detects water veins. The invisible vibrations detected by the ar tist’s body through the camera are immanent in the multiple images of landscapes that appear in the works of contemporar y moving image ar tists. However, not a ll the recorded images of landscapes convey the vibration and waveleng th of the moment of shooting. Only the works of a few ar tists capture signa ls from the unknown world that penetrated their bodies. They detect points where it is diff icult to prove logica lly, but impossible to divide it into objective par ts. The water veins are widespread, but not ever y where, so the role of the pendulum to detect the waves of the water veins is essentia l. The unknown signa ls collected by the ar tist’s methodolog y of cohesion of subjective time are like the movement of space where time has disappeared. A. Einstein said: “The fourdimensiona l continuum is now no longer resolvable objectively into sections, a ll of which contain simultaneous events; ‘now’ loses for the spatia lly extended world its objective meaning” According to him, in a spatia lly extended world, the objective meaning of “present” is lost. 1

1.  A World without Time: The forgotten Legacy of Gödel and Einstein, Palle Yourgrau, Basic Books, 2004, 81p.

131


For this curatoria l program, it presents the latest works of four Korean moving image ar tists. These four works transform the events of past, present, and future into simultaneous time in a space where time has disappeared. Minjung K im’s latest f ilm T he Red Filter is Withdrawn explores the landscape of the sea in Jeju Island, the place of ‘Jeju 4.3’, a massacre by South Korean government as a result of ideologica l conf licts that occurred bet ween 1948 and 1954 on Jeju Island. This exploration asks what to see in the landscape with the inter vention of Hollys Frampton’s lecture and the red f ilter. Jaekyung Jung’s research work A Village explores a residentia l area for patients with Hansen’s disease(a lso known as leprosy) since the 1960s. The f ilm records Heonin Village, which is now ruined because the area has been redeveloped since the beginning of 2000. Sejin K im’s To the North for Nonexistence ref lects the present time which is blurred a ll the boundaries when the stor y of the Sámi, indigenous peoples of Nor thern Europe’s A rctic Lapland, overlaps with the fragmentar y landscapes. Ayoung K im’s work Porosity Valley 2: Tricksters’ Plot reproduces the migration path of my thica l creatures that metaphors the refugee’s path in a sci-f i vir tua l space. At the t wilight of the suffering Ear th, let’s feel the minute vibrations pausing for a moment at the point where the pendulum is sha ken by four Korean ar tists who capture the simultaneous landscapes of Ear th, or imagine the landscapes of an expanded space from their respective positions or while moving.

132


SP 2 / 5 - 11 DECEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

THE RED FILTER IS WITHDRAWN

Country of production South Korea Language Subtitles Korean language, English 10 min 30 sec, stereo, HD, color, 2020 Banyak tempat kolonial, termasuk gua

Numerous colonial places, including coastal

pantai dan bunker militer di banyak Oreum

cave and military bunkers on a lot of Oreums

(gunung berapi kecil menjulang yang sudah

(rising small defunct volcano in the Jeju

tidak aktif di Pulau Jeju), serta kenangan

Island) as well as memories of uprising and

akan pemberontakan dan pembantaian

massacres are everywhere on Jeju Island. This

ada di mana-mana di Pulau Jeju. Karya ini

work is based on René Magritte’s La condition

didasarkan pada La condition humaine (1935)

humaine(1935), which is a view of the outside

karya René Magritte, yang merupakan

of the cave superimposed on a canvas. The

pemandangan luar gua yang ditumpangkan

camera captures landscapes of caves and

di atas kanvas. Kamera menangkap

bunkers in Jeju Island as having quotes from

pemandangan gua dan bunker di Pulau Jeju

Hollis Frampton’s “A Lecture” performance

seperti kutipan dari naskah pertunjukan

script, and asks the media can capture the

Hollis Frampton “A Lecture”, dan meminta

image of historic vestige on the landscape

media agar dapat menangkap gambar peninggalan bersejarah di lanskap tanpa

without any distortion or elimination. Eunhee Kim

distorsi atau eliminasi. Minjung Kim belajar Desain Komunikasi Visual di Universitas Hongik, Seoul, dan memperoleh gelar MFA dalam bidang Film dan Video dari California Institute of the Arts. Karyanya telah diputar di berbagai festival filem internasional dan helatan seni media. Dia baru-baru ini tinggal di Seoul, Korea bekerja terutama dengan media film, video, dan instalasi 16mm.

Minjung Kim studied Visual Communication Design at Hongik University, Seoul, and earned an MFA in Film and Video from the California Institute of the Arts. Her works ha ve been screened at international film festivals and media art venues. She recently resides in Seoul, Korea working primarily in the medium of 16mm film, video, and installations.

Minjung Kim (South Korea)

133


SP 2 / 5 - 11 DECEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

A VILLAGE

Country of production South Korea Language Subtitles 15 min, stereo, HD, color, 2019 A Village adalah cerita alegoris yang sangat kecil tentang desa Heonin di Seoul, Korea Selatan, dalam perjalanan menuju kepunahan selama proses memaksimalkan keinginan kapitalis perkotaan. Desa ini dimulai sebagai pemukiman bagi orangorang yang terinfeksi penyakit Hansen pada tahun 1960-an. Pada awal tahun 2000-an, sebuah perusahaan real estate memulai proyek pembangunan desa menjadi kota mewah, menghancurkan sebagian besar desa hingga pengembangnya bangkrut pada tahun 2011. Jaekyung Jung memulai penelitian selama bertahun-tahun di desa yang masih tetap hancur tersebut pada tahun 2018. A Village adalah salah satu proyek filem yang ia produksi sejak ia mulai meneliti di desa tersebut.

A Village is a very tiny allegorical story about Heonin village in Seoul, South Korea, on its way to extinction during the process of maximizing the urban capitalist desire. The village began as the settlement for the people infected by Hansen’s disease in 1960s. In the early 2000s, a real estate company started a project redeveloping the village into a luxury town, destroying most of the village until the developer went bankrupt in 2011. Jaekyung Jung started his multi year-long research in the village, which still remained destroyed, in 2018. A Village is one of the film projects that he has been producing since he had started researching in the village.

Eunhee Kim

Jaekyung Jung menyelidiki bagaimana etika terbentuk melalui pengamatan dekat pada jejak periferal dalam kehidupan sehari-hari, menggunakan format gambar bergerak dan arsip. Pertunjukan solonya baru-baru ini antara Cosmographia di Seoullo Media Canvas, The Realm of Ghosts, dan A Scene di Sinchon Theatre. Saat ini ia memimpin SHHH, sebuah organisasi yang mengeksplorasi seni gambar bergerak.

Jaekyung Jung (South Korea)

134

Jaekyung Jung investigates how the sense of ethics is formed through close observations on peripheral traces in everyday life, employing the formats of moving images and archives. His recent solo shows and plays include Cosmographia at Seoullo Media Canvas, The Realm of Ghosts, and A Scene at Sinchon Theater. He is currently leading SHHH, an organization exploring the art of moving images.


SP 2 / 5 - 11 DECEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

TO THE NORTH FOR NONEXISTENCE Country of production South Korea Language Subtitles 16 min 53 sec, stereo, digital video, color, 2019 Sámi adalah tanah akumulasi waktu, masyarakat adat di wilayah kutub Eropa Utara yang secara geografis terisolasi karena kondisi cuaca buruk. Saat ini, mereka masih hidup dengan cara hidup tradisional di daerah pemukiman mereka sebagai kelompok minoritas. Mereka dominan dalam hegemoni regional terkait hak berburu dan budaya tradisionalnya. Identitas mereka mau tak mau menimbulkan konflik dengan sistem modern. Bagi Anita Gimvall, seorang Sami yang tinggal di Lapland, filem ini menunjukkan potongan melintang dari insiden pembakaran di sebuah rumah tradisional berdasarkan kejadian nyata. Filem ini menelusuri konflik dan keterasingan di perbatasan ambigu antara tradisi masa lalu – kehidupan modern, pemukiman – deportasi, berbagi – pemikiran, serta cerita tentang batasbatas kabur dan latar belakang di dalam – luar.

The Sámi are the land of accumulation of time, the indigenous peoples of the Northern Europe’ polar regions which have been geographically isolated due to severe weather conditions. Today, they still live in a traditional way of life in their settlement areas as minority groups. They’re dominant in regional hegemony for their hunting rights and traditional cultures. Their identity inevitably arouses conflict with modern systems. To Anita Gimvall, a Sami living in Lapland, the film shows a cross-section of an arson incident in a traditional house based on real incidents. The film traces out conflict and alienation at the ambiguous border between past tradition-modern life, settlement-deportation, thought-sharing, as well as stories of blurred boundaries and backgrounds inside-outside.

Eunhee Kim

Sejin Kim bekerja dengan berbagai perangkat media, termasuk dokumenter realisme dan bahasa sinema, mengeksplorasi berbagai hubungan yang membingungkan antara individu dan sistem kontemporer. Ia meraih gelar MFA dalam Seni Rupa di Sekolah Seni Rupa Slade, UCL, dan MA dalam bidang Film & TV di jurusan Seni Media, Universitas Sogang. Karya-karyanya telah dipamerkan di berbagai helatan seni.

Sejin Kim works with various media apparatuses to explore various perplexing relationships between individuals and contemporary systems. She holds an MFA from Slade School of Fine Art, UCL, and MA in Film & TV in Media Art, Sogang University. She has had several residency programs, including Delfina Foundation in London and others. Her works have been exhibited at numerous art presentations.

Sejin Kim (South Korea)

135


SP 2 / 5 - 11 DECEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

POROSITY VALLEY 2: TRICKSTERS’ PLOT Country of production South Korea Language Subtitles 23 min, stereo, single channel video, color, 2019 Sekuel dari “Porosity Valley, Portable Holes” (2017), karya ini memperluas karya sebelumnya melalui penggambaran fiksi tentang migrasi migran/ mineral/klaster data yang dikenal sebagai Petra Genetrix untuk mempertanyakan gagasan tentang perbatasan, penyeberangan, dan koeksistensi atau simbiosis. Menyandingkan migrasi pengungsi dengan migrasi digital yang mencirikan migrasi di abad ke-21, karya ini menciptakan ruang-waktu spekulatif dengan menginterogasi “cara berada” dan “cara representasi” para pengungsi Yaman yang baru saja tiba di Korea Selatan. Tercermin di sini ialah situasi saat pengungsi diperlakukan sebagai semacam malware atau virus yang mengancam sistem kekebalan tubuh negarabangsa. Adegan lebih lanjut mengungkap kontrol biopolitik seperti yang dialami oleh Petra dan para pengungsi Yaman di Korea.

A sequel to “Porosity Valley, Portable Holes” (2017), this piece expands upon the previous work through a fictionalized depiction of the migration of a migrant/ mineral/data cluster known as Petra Genetrix to question the notions of borders, crossings, and coexistence or symbiosis. Juxtaposing refugee migration with digital migration characterizing migration in the 21st century, the work creates a speculative spacetime by interrogating “ways of existence” and “ways of representation” of the Yemeni refugees who recently arrived in South Korea. Reflected here is the situation where refugees are treated as a kind of malware or virus threatening the nation-state’s immune system. Further scenes unfold biopolitical control as experienced by Petra and the Yemeni refugees in Korea.

Eunhee Kim

Ayoung Kim saat ini tinggal dan bekerja di Seoul. Tertarik pada gagasan tentang penyeberangan, transmisi, transnasional, transposisi dan reversibilitas, ia mencari kemungkinan integrasi, artikulasi, dan tabrakan hal-hal di antara waktu, ruang, struktur, dan sintaksis. Ia telah menerima banyak penghargaan dan telah menghadirkan karyanya di berbagai helatan seni baik di Korea Selatan maupun di luar negeri.

Ayoung Kim (South Korea)

136

Ayoung Kim currently lives and works in Seoul. Interested in the notions of crossings, transmissions, transnationals, transpositions and reversibility, she seeks possible integrations, articulations, and collisions of things in between time, space, structure and syntax. She has received numerous awards and has shows her artworks in various art presentations both in Korea and abroad.


137



PENAYANGAN KHUSUS SPECIAL SCREENING


PENAYANGAN KHUSUS 01

Catatan tentang AKADEMI ARKIPEL COLLECTIVE Yuki Aditya

A kademi A R KIPEL ada la h acara rutin ta hunan yang diada kan oleh Forum Lenteng sebagai bagian dari penyelenggaraan festiva l f ilem A R KIPEL. Idenya ia la h sebagai gabungan konsep belajar dan liburan di suatu tempat yang diloka lisir dengan membuka kesempatan bagi kawan-kawan dari seluruh Indonesia yang ter tarik dengan medan perf ileman di Indonesia. Situasi pandemi COV ID -19 seja k per tenga han awa l ta hun 2020 membuat kami memutar ota k untuk tetap melangsungkannya seka lig us memperluas jangkauannnya. Selama penyelenggaraan, 9 komunitas budaya dari berbagai daera h di Sumatera, Jawa, Ka limantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua terlibat da lam proses loka kar ya yang berbentuk kelas-kelas diskusi sampai ke produksi. Filem ‘Hari ini Belum Ada Kabar’ ada la h f ilem yang dihasilkan setela h berlangsungnya diskusi intensif di antara narasumber dan par tisipan selama hampir setenga h ta hun di paruh kedua ta hun 2020. Rekaman-rekaman warga yang dikumpulkan dari 9 lokasi par tisipan dimontase untuk bicara kabar-kabar yang tersebar antar pulau di Indonesia. Filem ini barangka li ada la h satu-satunya f ilem yang melibatkan proses kreatif dan penyutradaraan dari 40an orang. Situasi dan peristiwa sehari-hari di berbagai lokasi da lam rentang wa ktu bersamaan, dibingkai da lam naska h besar pandemi yang mencoba meref leksikan dan kritis terhadap situasi tersebut. Sa ling-silang korespondensi yang sa ling responsif mencari kabar, mewar ta kan, atau sekedar menyapa sembari terus menungg u ‘apa kabar baru hari ini?’

140


SPECIAL SCREENING 01

Notes on AKADEMI ARKIPEL COLLECTIVE

A kademi A R KIPEL is an annua l event held by Forum Lenteng as par t of the A R KIPEL f ilm festiva l. The idea is to combine the concept of study and vacation in a loca lized place by opening oppor tunities for friends from a ll over Indonesia who are interested to ta lk and discuss about f ilm and its surrounding issues. The COV ID -19 pandemic situation since the early 2020 has made us rack our brains to keep the A kademi A R KIPEL going while expanding its reach. D uring the implementation, 9 cultura l collectives from various regions in Sumatra, Java, Ka limantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, and Papua were involved in the workshop process which took the form of discussion classes to production. The f ilm ‘No News for Today' is a f ilm that was produced after intensive discussions bet ween the facilitators and par ticipants for a lmost ha lf a year in the second ha lf of 2020. The recordings of residents collected from 9 locations were arranged as a series of montages to ta lk about the recent situation at each location throughout Indonesia. This f ilm is probably the only f ilm that involves the creative process and direction of around 40 people. It frames the situations and ever yday events in various locations during the same time span under the grand narrative of the pandemic while tr ying to ref lect and be critica l about it. Responding to each other's correspondence, looking for news, repor ting, or just saying hello while waiting for a sense of 'how are you doing today?'

141


SS 1 / 28 NOVEMBER - 4 DECEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

HARI INI BELUM ADA KABAR Country of production Indonesia Language Indonesian, Minangkabau, Kalimantan, Lombok, Papua, Javanese language Subtitles English 75 min 39 sec, stereo, HD, color, 2020 Filem ini merekam fragmen-fragmen

This film records fragments of events from

peristiwa dari berbagai perspektif warga

various perspectives of citizens with their

dengan aktitivitasnya masing-masing

respective activities in 9 regions of Indonesia

di 9 wilayah Indonesia selama pandemi.

during the pandemic. The pandemics and the

Persoalan pandemi dan penerapan protokol

application of health protocols are the most

kesehatan merupakan tema yang paling

common theme appearing in each location,

banyak muncul di tiap lokasi, juga di

as well as in other parts of the world. The

belahan dunia lain. Keberadaan virus

COVID-19 virus that is not visible to the eyes

COVID-19 yang tak tampak di depan mata

makes some people see it as not a dangerous

membuat sebagian warga melihatnya bukan

threat. The stories of each location are then

sebagai acaman yang membahayakan.

combined into a visual poetry that may or

Cerita tiap-tiap lokasi lantas digabungkan

may not be related to each other. The most

menjadi puisi-puisi visual yang bisa

important thing about this film’s story is how

saja saling berhubungan atau tidak

culturally the community faces a pandemic

berhubungan. Hal yang paling penting dari

and it is recorded using the simplest cameras.

cerita filem ini adalah bagaimana secara kultural masyarakat menghadapi pandemi yang direkam menggunakan kamerakamera yang paling sederhana.

142


Filem ini merupakan karya kolaborasi dari 9 kolektif yang diinisiasi oleh AKADEMI ARKIPEL. Akademi ini merupakan forum pertemuan dan belajar kolektif-kolektif dari berbagai wilayah Indonesia. Proyek produksi filem Hari ini Belum Ada Kabar merupakan sebuah respons terhadap situasi pandemi yang melanda dunia. Rekaman-rekaman sederhana dari berbagai kolektif ini merupakan cara kami melihat situasi sosial dan kultural di masa pandemi ini. Pandemi telah merubah cara kita melihat relasi-relasi sosial dan kultural, begitu juga dengan sinema. Model produksi yang berbeda seperti kolaborasi ini mungkin bisa menjadi alternatif dalam memproduksi konten-konten dokumenter dalam filem.

This film is a collaborative work of 9 collectives initiated by ARKIPEL AKADEMI. This academy is a forum for collectives from various parts of Indonesia to gather and learn. Today’s film production project No News For Today is a response to the pandemic situation that hits the world. These simple recordings from various collectives are our way of looking at the social and cultural situation during this pandemic. The pandemic has changed the way we view social and cultural relations, as well as cinema. Different production models such as this collaboration might be an alternative in producing documentary content in films.

AKADEMI ARKIPEL COLLECTIVE AKADEMI ARKIPEL COLLECTIVE adalah sebuah kelompok yang diinisiasi oleh Forum Lenteng Jakarta. Collective ini merupakan bagian dari program AKADEMI ARKIPEL, sebuah pendidikan alternatif tentang media dan filem. Para partisipan AKADEMI ARKIPEL adalah anggota dari berbagai kolektif yang ada di berbagai pulau di Indonesia. Mereka disatukan dalam sebuah program produksi filem bersama secara daring tentang persoalan-persoalan lokal di sekitar mereka.

AKADEMI ARKIPEL COLLECTIVE AKADEMI ARKIPEL COLLECTIVE is a group initiated by Forum Lenteng Jakarta. This collective is part of the ARKIPEL AKADEMI program, an alternative education about media and film. ARKIPEL AKADEMI participants are members of various collectives in various islands in Indonesia. They are brought together in a joint online film production program about local issues around them.

Partisipan Albert Rahman Putra M. Biahlil Badri Zekalver Muharam Biki Wabihamdika Galih Pramudito Mohammad Irvan, Muhammad Fahri Ramdansyah Don Juli Saputra Niskala H. Utami Dhanurendra Pandji Wahyu Budiman Dasta Panji Anggira Yogi Syahputra Ruziqu Tajri Zulafa Azmi Aunun Noor Glenn Byan Vandyka Cahyo Prayogo Choirul Arifin Dwi Cahya Jainal Arifin Robby Ocktavian Junisya Aurelita Andanya Dahri Dahlan Avuk Jemianto Muhammad Danstsyuri Fauzan Kurnia Muttaqin Sarah Adilah Taufigurrahman Kifu Ahmad Humaidi Alya Maolani Muhammad Sibawaihi Muhammad Rusli Oka Yonri S. Revolt Helena Kobogau Rendy Nur Rizal

Participant Albert Rahman Putra M. Biahlil Badri Zekalver Muharam Biki Wabihamdika Galih Pramudito Mohammad Irvan, Muhammad Fahri Ramdansyah Don Juli Saputra Niskala H. Utami Dhanurendra Pandji Wahyu Budiman Dasta Panji Anggira Yogi Syahputra Ruziqu Tajri Zulafa Azmi Aunun Noor Glenn Byan Vandyka Cahyo Prayogo Choirul Arifin Dwi Cahya Jainal Arifin Robby Ocktavian Junisya Aurelita Andanya Dahri Dahlan Avuk Jemianto Muhammad Danstsyuri Fauzan Kurnia Muttaqin Sarah Adilah Taufigurrahman Kifu Ahmad Humaidi Alya Maolani Muhammad Sibawaihi Muhammad Rusli Oka Yonri S. Revolt Helena Kobogau Rendy Nur Rizal

143


PENAYANGAN KHUSUS 02

Refleksi Vertikal Taufiqurrahman Kifu

Ketika saya merencana kan untuk membuat f ilem dengan format layar ‘berdiri’, ha l- ha l berikut menjadi per timbangan saya. Per tama, logika mediumnya. Tentang konteks, dan metode produksinya. Misa l pra ktik membingkai-merekam lanskap mengg una kan kamera dengan orientasi ver tika l, dibiasa kan oleh User Interface dan f itur dari media sosia l. Sebelum itu, saya pribadi lebih sering memiringkan handphone untuk membingkai. Ketika aplikasi berbagi video mulai populer, keberadaan ikon dan tata leta knya di layar melogika kan seka lig us membentuk orientasi a kan cara memproduksi dan melihat peristiwa di layar ‘berdiri’. Kedua, terkait percobaan untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan ba hasa visua l dengan batasan dan tamba han ruang di da lam bingkai secara orientatif. Ketiga, konsekuensi dan bentuk distribusinya. Ketika menonton di layar, kesesuaiannya tentu bergantung pada jenis perangkat dan platform-nya. Juga ketika ia sedang diproyeksikan di layar ‘besar’. Misa lnya, menonton di layar

144


laptop a kan menghadirkan dua ruang hitam di sisi kiri dan kanan. D an menonton di layar handphone a kan memungkinkan kita merotasikan layar. Situasi ini bisa saja diar tikulasikan sebagai wilaya h eksperimentasi-nya, da lam konteks membicara kan sinema. Di penga laman saya mendengarkan impresi penonton tentang f ilem ver tika l, ternyata situasi layar cukup memberikan ruang gangg uan terhadap perhatian penonton a kan unsur naratif dari f ilem. Daripada berusa ha mema hami cerita dari f ilemnya, perhatian mereka justru lebih ter tuju pada bentuk f ilemnya. Ini a khirnya memicu perca kapan tentang ruang bingkai, komposisi, dan impresi visua l yang baru saja dia lami. Saya meng utip beberapa bacaan, per tanyaan, dan pernyataan dari penonton yang sempat saya rekam: “Sempit dan melela hkan” “Apa bedanya mengintip di lubang yang garisnya horizonta l dan yang ver tika l?” “Ver tika l membuat jara k yang lebih jauh terlihat” “Saya penasaran apa yang terjadi di ruang kiri dan kanan itu” “Mata kita kan kiri dan kanan ya, bukan atas dan bawa h” “Ka lau bisa miringkan layar handphone, kepa la kan juga bisa dimiringkan” “Lebih intim dan persona l”

145


“Ini shooting pa kai handphone atau ‘kamera’ ? “Kenapa ver tika l?” “Ini ceritanya dulu yang jadi atau gambarnya?” “Wa laupun saya terbiasa dengan layar ver tika l, rasanya masih asing menonton f ilem ver tika l” “Atas, bawa h” “Ini lebih bagus ditonton di handphone atau di layar besar?” “Gerakan mata naik turun” Ini adalah sebagian tanggapan oleh penonton ketika saya hadir di penayangan dan diskusi film ROTASI (2021) di Palu, Makassar, dan di Solok, tahun 2021. Sebagai penonton, filem vertikal bagi saya tidak semenarik filem horizontal. Tetapi kehadirannya perlu untuk melihat kembali bagaimana kerja-kerja layar dalam membentuk imajinasi peristiwa, dengan memperhatikan konteks perkembangan teknologi layar. Ia bisa saja hanya berperan sebagai tawaran artistik untuk mendiskusikan hal yang lebih luas dan bukan sebagai karya yang benar-benar selesai.

146


SPECIAL SCREENING 02

Reflection on Vertical Taufiqurrahman Kifu

When I was planning to ma ke a f ilm in an upright screen format, there are some things to be considered. First, the logic of the medium. On its context and production method. For example, the practice of framing-capturing the landscape through a ver tica l-oriented camera is conditioned by the User Interface and features of socia l media. Before, I persona lly prefer to tilt my phone when framing. A fter video-sharing apps became popular, the presence of its icons and layouts on the screen forms a cer tain logic and orientation on how to produce and view an event on a ‘standing’ screen. Second, on the experiments to f ind possibilities of visua l lang uage and its limitation, and to f ind additiona l space within the frame in the manner of orientation. Third, consequences and forms of distribution. When watching on a screen, we adapt according to the t ype of hardware and its platforms, a lso when it is projected on a ‘big’ screen. For example, watching [a ver tica l f ilm] on a laptop

147


screen conjures t wo black spaces on the left and right of the screen. While watching on a screen of a mobile phone enables us to rotate the screen. This situation can be ar ticulated as a rea lm of experimentation in the context of cinema. According to my experience of listening to the impressions of the audience of ver tica l f ilms, the screen situation presents a space of distraction to their at tention of the narrative aspects of the f ilm. Rather than tr ying to understand the stor y of the f ilm, their at tention was instead directed to the form of the f ilm. This triggers a series of conversations on frame space, composition, and visua l impression they have experienced during the f ilm. I quote some readings, questions, and statements from the audience that I have recorded: “Narrow and tiring.” “What is the difference bet ween peeking in a horizonta l-shaped hole and a ver tica l-shaped one?” “Ver tica l position creates a more apparent distance.” “I’m curious of what happens in the space on the left and right.” “Our eyes are positioned left and right, not up and down.” “If we can tilt our phone screen, we can a lso tilt our head.” “More intimate and persona l.” “Do you shoot this with a phone or a ‘camera’?” “Why ver tica l?” “Which one was thought out f irst, the stor y or the image?” “Even though I’m used to ver tica l screens, it still feels strange to watch a ver tica l f ilm.” “Up, down.” “Is it bet ter to watch it on a phone or a big screen?” “Eyes move up and down.”

148


These are just few responses from the audiences in screenings and discussions of ROTASI (2021) in Pa lu, Ma kassar, and Solok in 2021. As an audience, for me ver tica l f ilms are not as interesting as horizonta l f ilms. But its presence is impor tant to re-examine the works of the screen in forming an imagination of an event, while considering the context of development of screen technolog y. It may only stand as an ar tistic proposition to discuss bigger things, not as a f ina l work.

149


SS 2 / 12-18 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

HANTU BANYU

Filem ini memotret hubungan sosial (dan mungkin ekologis) antara sungai dan warga yg dijembatani oleh mitos Hantu Air. Kehadiran ruang-ruang gelap dan kolase cerita anonim warga memantik imajinasi penonton tentang bagaimana mitos bekerja. This film portrays the social (and possibly ecological) relationship between the river and the people who are bridged by the Water Ghost myth. The presence of dark spaces and collages of anonymous stories from residents sparks the audience’s imagination about how myths work.

Country of production Indonesia Language Indonesian, Banjar language Subtitles English 19 min 17 sec, stereo, digital video, color, 1080x1920 (vertical), 2021

Theo Nugraha adalah seorang seniman bunyi dari Samarinda. Diskografinya berisi hampir 200 rilisan. Dia adalah co-founder dari EXTENDED ASIA, co-diketur artistik MUARASUARA, dan co-curator Museum Kota Samarinda. Theo saat ini berpartisipasi dalam grup visual eksperimental Milisifilem Collective, seni pertunjukan di 69 Performance Club, dan merupakan editor EXT.ASI.PLAY (play.extended.asia).

Theo Nugraha (Indonesia)

150

Theo Nugraha is a sound artist from Samarinda. His discography contains almost 200 releases. He is the co-founder of EXTENDED ASIA, co-artistic director of MUARASUARA, and the co-curator for the Kota Samarinda Museum. Theo is currently participating in an experimental visual group Milisifilem Collective, performance art at 69 Performance Club, and is the editor of the EXT.ASI. PLAY (play.extended.asia).


SS 2 / 12-18 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

JUST REMIND

Melalui rekaman screen recorder sebuah telepon pintar, situasi upaya penanganan dan pencegahan COVID-19 di wilayah Pemenang Barat tertangkap dalam kamera, berkelindan bersama hiruk pikuk komunikasi si perekam pada aplikasiaplikasi pesan dan telepon pintarnya. Dari perekaman ini, situasi sosial pun dimontasekan bersama dengan tentang bagaimana sistem sebuah telepon genggam bekerja. Through the recording of a screen recorder from a smartphone, the situation of the COVID-19 handling and prevention efforts in the West Pemenang area was caught on camera, intertwined with the recorder’s frenzied communication on messaging applications and smartphones. From this recording, social situations are montage along with how a mobile phone system works.

Country of production Indonesia Language Indonesian and Sasak language Subtitles 10 min 1 sec, stereo, digital video, color, 1080x1920 (vertical), 2020

Ahmad Humaidi (Sesela Kebun Indah, 1995) menyelesaikan studi di jurusan Komunikasi Penyiaran Islam di UIN Mataram. Pernah menjadi fasilitator di beberapa kegitan lokakarya literasi media, membuat karya seni video, belajar experimentasi visual di Milisifilem Collective dan sekarang aktif di Yayasan Pasirputih sebagai koordinator program Kelas Wah (Diskusi Forum).

Ahmad Humaidi (Sesela Kebun Indah, 1995) completed his studies in the Islamic Broadcasting Communication study at UIN Mataram. He has been a facilitator in several media literacy workshops, made video art, studied visual experimentation at the Milisifilem Collective, and is now active at the Pasirputih Foundation as the coordinator of the Kelas Wah program (Discussion Forum).

Ahmad Humaidi (Indonesia)

151


SS 2 / 12-18 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

24M2 24M2 merupakan filem yang diproduksi bersama Milisifilem, sebuah grup belajar visual. Film ini menjelajah bahasa visual smartphone yaitu format vertikal. Kamera smartphone mendokumentasikan kehidupan karantina selama pandemi. Membenturkan dua ruang yang berbeda yaitu ruang kamar dengan ruang virtual. Kehadiran objek dan kegiatan pembuat filem diatur dengan ritme repetitif, yang mencerminkan hidup yang terkurung dan membosankan. Pengamatan menjadi hyper-alert terhadap sekeliling. Bahasa visual vertikal menjadi bahasa yang tepat Ketika ia mampu memperjelas himpitan ruang jelajah gerak. Ia menjadi bahasa umum yang merefleksikan pergerakan badan visual yang baru.

Country of production Indonesia Language Indonesian language Subtitles 9 min 21 sec, stereo, digital video, BW, 1080x1920 (vertical), 2020

24M2 is a short film produced with Milisifilem, a collective that studies visuals. This film experiments with a vertical format as part of smartphone’s visual language and explores the possibility of new sensory visual language. The filmmaker uses a smartphone to document a pandemic isolation and compare two different spaces: physical and virtual space. The rhythm shows her activities that are repetitive, reflecting the isolation and boredom. Observation makes the filmmaker hyper-alert to surroundings.A vertical format is a visual language that could emphasize the limited line of sight and activities. It becomes an everyday language that reflects a new kind of body and visual movement.

Valencia Winata (Medan, 1992) adalah peneliti, penulis esai filem, dan penerjemah lepas. Ia belajar membuat filem di Nanyang Academy of Fine Arts, Singapura. Kemudian ia melanjutkan studi Kajian Filem di University of East Anglia, Inggris. Tahun 2019, ia bergabung dengan Milisifilem Collective. Sekarang ia sibuk belajar tentang User Experience Design.

Valencia Winata (Indonesia)

152

Valencia Winata (Medan, 1992) is a researcher, film essayist, and freelance translator. She studied film production in Nanyang Academy of Fine Arts, Singapore. She continued her studies in Film Studies in University of East Anglia, UK. In 2019, she joined Milisifilem Collective. Currently, she is educating herself on User Experience Design.


SS 2 / 12-18 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

ROTASI

Pada suatu sore, di suatu tempat, seorang anak basket yang bosan memasuki tanah kosong di tengah kota. Setiap tanah kosong adalah ‘milik mereka’. Dia memutar tubuhnya, tetapi kemudian dia tidak sendirian. In one afternoon, at some place, a basketball boy who is bored entering an empty land in the middle of a city. Every empty land is ‘theirs’. He rotates his body, but then he is not alone.

Country of production Indonesia Language Subtitles 9 min 49 sec, stereo, digital video, color, 1080x1920 (vertical), 2021

Taufiqurrahman Kifu adalah seniman lintas disiplin. Ia adalah salah satu pendiri Forum Sudutpandang, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan dan dikelola oleh kolektif seniman yang berbasis di Palu. Ia belajar visual eksperimental di kolektif Milisifilem, dan seni performans di 69 Performance Club.

Taufiqurrahman Kifu is an interdisciplinary artist. Co-founder of Forum Sudutpandang, is a non-profit organization by artist collective based in Palu. He studied experimental visual in the Milisifilem collective, and performance art in 69 Performance Club.

Taufiqurrahman Kifu (Indonesia)

153


PENAYANGAN KHUSUS 03

Catatan tentang Om Pius Mahardika Yudha

Menerjema hkan kenyataan da lam mimpi ataupun menerjema hkan mimpi pada kenyataan ada la h peristiwa f ilemis yang tela h berlangsung seja k lama di da lam sejara h sinema. Ba hasa sinema yang memiliki peluang untuk menghadirkan ha lha l yang tida k dapat kita tangkap da lam kehidupan sehari-hari [reality], tela h membuka berbagai kemungkinan permainan ba hasa sinema untuk menghadirkan ‘yang nyata’ [the real ]. Bagaimana peristiwa-peristiwa sederhana dan terjadi sehari-hari dibongkar hingga memunculkan berbagai macam spekulasi arg umen persoa lan sosia l yang kita a lami. Mela lui f ilem ini, kami mencoba untuk menghadirkan ‘yang nyata’ [the real ] mela lui ‘kenyataan’ [reality] dari kehidupan sehari-hari Om Pius. Bagaimana membicara kan sejara h dan dampa k dari penga laman sejara h kekerasan bagi masyara kat Papua yang terjadi seja k masa kolonia l Belanda hingga sekarang? Per tanyaan tersebut ada la h suatu per tanyaan besar yang ingin kami peca hkan. Bagaimana kami dapat menghadirkan sudut pandang yang lain da lam melihat persoa lan tersebut yang tela h menjadi kehidupan sehari-hari masyara kat Papua, menjadi ingatan bersama. Seringka li ketika membicara kan Papua, pemba hasan hanya la h dari sudut pandang tentang kemiskinan dan kebodohan, persoa lan kekayaan a lam dan eksotisme, kehidupan tradisiona l dan primitif. Sudut pandang da lam melihat percepatan dan kegaga lan modernisasi di Papua seringka li justru hanya menempatkan masyara kat Papua sebagai objek. La lu, apa ka h tida k ada cara narasi lain untuk memaparkan kegaga lan modernisasi di Papua yang tela h terjadi seja k modernisasi itu masuk ke Papua di masa kolonia l Belanda hingga ketika Papua menjadi bagian dari Indonesia? Bagaimana kami dapat menghadirkan sudut pandang yang lain da lam melihat persoa lan itu yang tela h menjadi kehidupan sehari-hari masyara kat Papua? Dengan mengg una kan mimpi dan undian, kami mencoba untuk bermainmain pada rana h sudut pandang stereotipe dan mencari kemungkinan lain di da lam menghadirkan masyara kat Papua di da lam f ilem. Filem ini ada la h kerja kolaboratif yang mencoba menghadirkan hubungan dan dia log sudut pandang di antara kami da lam melihat masyara kat Papua.

154


SPECIAL SCREENING 03

Notes on Om Pius Mahardika Yudha

Translating rea lit y into dreams or translating dreams into rea lit y is a f ilmic statement that has been going on since the bir th of cinema. Cinema has the possibilit y to present things that we cannot capture in daily life [rea lit y] and has opened various possibilities through experimenting with its lang uage to present ‘the rea l.’ How simple events occur ever y day are dismantled to bring up various kinds of speculation about socia l problems that we experience. Through this f ilm, we tr y to showcase ‘the rea l’ through ‘rea lit y’ from the daily life of Uncle Pius. How to discuss histor y and the impact of the experience of the histor y of violence for the Papuan people that has occurred since the Dutch colonia l period hither to? That is one big question that we a ll want to solve. How we can present other perspectives in seeing that problem which has become the daily life of Papuans and becoming shared memories. When ta lking about Papua, it is often only from the point of view of pover t y and inequa lit y in education, the issues of natura l resources and exoticism, traditiona l and primitive life. The perspective of just seeing the acceleration and failure of modernization in Papua often puts the Papuans as merely objects. Then, is there no other narrative to explain the failure of modernization in Papua since it arrived during the D utch colonia l period, up to the period when Papua became par t of Indonesia? How we can present other perspectives in seeing those problems which have become the daily life of the people of Papua? By mish-mashing dreams and lot teries, we tr y to play in the rea lm of stereot yping and look for other possibilities in presenting Papuan societ y in the f ilm. This f ilm is a collaborative work that tries to present a relationship and dia log ue bet ween us in viewing Papuan societ y.

155


SS 3 / 12-18 DESEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

OM PIUS, “INI RUMAH SAYA, COME THE SLEEPING…”

Country of production Indonesia Language Indonesian language Subtitles English 79 min, stereo, digital video, color, 2019 Om Pius adalah warga asli Papua dari

Om Pius is a native Papuan from the Keerom

pegunungan Keerom yang telah menetap dan

mountains who has been living and residing

hidup bersama masyarakat dari beragam

with communities of various ethnicities in the

etnis di daerah pesisir, Sentani, Jayapura,

coastal area of Sentani, Jayapura, since the

sejak pasca Pepera (Penentuan Pendapat

post-Act of Free Choice in the 70s. For more

Rakyat) di tahun 70-an. Selama lebih dari

than 30 years, he has been a ‘mountain man’

30 tahun, ia menjalani hidup sebagai ‘orang

living with a coastal culture. The history of

gunung’ yang hidup dengan kultur pantai.

population displacement, violence in Papua,

Sejarah perpindahan penduduk, kekerasan di

natural wealth, longing for the homeland,

Papua, kekayaan alam, kerinduan akan tanah

romantic past, war, hopes, and dreams, are

kelahiran, romantisme masa lalu, perang,

the life stories of Om Pius which he manifests

harapan, dan mimpi, menjadi kisah hidup

through the lottery.

Om Pius yang ia manifestasikannya melalui undian.

Halaman Papua (Indonesia)

156

Halaman Papua merupakan platform yang menghasilkan karya di berbagai media sebagai sarana komunikasi untuk membahas isu dan masyarakat di Papua, salah satunya melalui filem. Halaman Papua digagas oleh Forum Lenteng pada tahun 2013. Diprakarsai sebagai kerja sama dengan kolektif dari Sentani, Kota Jayapura, Wamena, dan Timika, yang berfokus pada masalah kesehatan dan layanan kesehatan masyarakat di Papua, platform ini kemudian dikembangkan untuk mencakup diskusi yang lebih luas tentang isu-isu sosial seputar masyarakat di Papua dengan menggunakan berbagai media, serta pendekatan distribusi informasi menggunakan teknologi analog dan digital.

Halaman Papua is a platform that produces work in various media as a communication tool for discussing issues and society in Papua, one of which is using films. Halaman Papua was initiated by Forum Lenteng in 2013. Initiated as a collaborative work with collectives from Sentani, Kota Jayapura, Wamena, and Timika, focused on health issues and public health services in Papua, this platform was later developed to include broader discussion on social issues about society in Papua using a variety of media, along with a distribution of information approach using both analog and digital technology.


PENAYANGAN KHUSUS 04

Undangan ke Beranda Dolorosa Hafiz Rancajale

Dolorosa Sinaga, 68 ta hun, seorang pematung, berada di studionya berlumuran tana h liat, membuat ceta kan, dan memijat-mijat ba han untuk kar yanya yang sedang da lam pengerjaan. Tekstur yang ia buat meref leksikan pengeta huannya yang menda lam a kan anatomi tubuh manusia. Tubuh-tubuh patungnya bersingg ungan dengan keterlibatannya da lam a ktivisme menentang ketida kadilan sepanjang sejara h Indonesia. Dolorosa berkata “Suda h melekat di kepa la saya ba hwa tubuh sebagai jembatan statement dari mereka yang harus dibela.” D ari teras ruma hnya, Beranda Ra kyat Garuda, ana k-ana k muda berdiskusi mengenai keadaan sosia l politik hari ini, ba hkan turut mela hirkan rea ksi berantai yang menumbangkan Orde Baru pada ta hun 1998 di Indonesia. Sebagai seorang g uru, ia menanamkan semangat a ktivisme pada murid-muridnya, mela hirkan generasi seniman kritis dan a ktif terlibat da lam perlawanan.

157


DOLO: Sebua h Pernyat aa n Sutrada ra Saya mengena l D olorosa Sinaga seja k awa l 90an, mulai dari sebagai ma hasiswanya, koleganya, hingga meng uratorinya da lam pameran seni. Bagi saya, menjadi tantangan tersendiri untuk memf ilemkan sosok Dolorosa yang da lam pra ktik ar tistik dan kesehariannya menubuhkan tema besar seper ti kemanusiaan, perlawanan terhadap ketida kadilan, dan opresi gender. Pasa lnya, pendekatan f ilem yang dila kukan Forum Lenteng ada la h berangkat dari lingkungan sosia l pa ling dekat dan tema pa ling loka l, seraya membeda h keterkaitannya dengan tema besar itu. Oleh karena itu, saya mencoba untuk mendadar Dolorosa dari ha l yang pa ling dekat dengan saya, yaitu lingkaran per temanan kami yang suda h ada selama hampir 30 ta hun. Per temuan dengan kawan-kawan memantik nosta lgia tentunya, namun jara k wa ktu yang tela h berla lu meng undang bacaan yang lebih ref lektif dan tida k jarang juga kritis mengenai apa yang tela h dulu kami la kukan bersama-sama. Lewat Diskusi Bulan Purnama, kami ber temu dan berdiskusi mengenai keadaan genting ka la itu. Dolorosa dan A rdjuna sebagai fasilitator da lam pembicaraanpembicaraan itu menjadi orang tua bagi para a ktivis muda yang menyadari ketida kberesan itu. Hari ini, Dolorosa dan A rdjuna pun masih menja lankan perannya sebagaimana dulu pada kami dari tempat yang sama, berandanya. Ma ka, menjadi pilihan yang logis bagi saya untuk mendekonstruksi beranda D olorosa dan A rdjuna untuk melihat bagaimana ide ‘ana k-ana k spiritua l’ D olorosa dan A rdjuna memiliki benang mera h ter tentu. Saya, sebagai sa la h satu dari ‘ana kana k spiritua l’ itu, masih belum selesai dengan beranda tersebut, terlebih lagi dengan leta knya yang bersebela han dengan Studio Soma laing, di mana Dolorosa memateria lisasikan keberpiha kannya pada narasi-narasi kecil dari mereka yang teropresi. Laya knya pendekatan Dolorosa terhadap patung-patungnya yang kecil, ber tubuh ringkih dan menampa kkan tekstur jemari Dolorosa, saya mencoba untuk menghadirkan obrolan-obrolan kecil dengan kawan-kawan. Sempat muncul per tanyaan mengenai ha l signif ikan apa yang harus dibicara kan untuk f ilem ini, saya yang percaya pada medium sinema menjawab, da lam f ilem sesuatu yang kecil a kan menjadi signif ikan. Setida knya itu yang saya tawarkan pada penonton untuk masuk ke beranda Dolorosa dan melihat keluar dari da lam situ.

158


Spektrum Hit a m, Putih, da n Abu-abu Filem dokumenter feature DOLO dibuat dengan teknik hitam-putih. Pilihan ar tistik ini mengacu pada penekanan pada permainan bidang, volume, dan tekstur yang dominan da lam kar ya-kar ya patung Dolorosa. Tekstur patung Dolo dengan pijatan jari-jarinya yang kentara membuat f ilem ini juga turut berbicara mengenai tekstur perja lanan a ktivisme sosia l-politik di Indonesia yang tida k perna h mulus. Saya memilih pendekatan black and white untuk f ilem ini untuk membaca tekstur tersebut, baik secara litera l da lam studio dan patung-patungnya, maupun secara f ig uratif. Selain footage Dolorosa meref leksikan pra ktik berkar yanya, kita juga melihat kesa ksian ana k-ana k ‘spiritua l’ juga kawan-kawan Dolorosa yang terdiri dari penulis, a ktivis, seniman, terkait bagaimana habitus Dolorosa membuka ja lan bagi g ugatan-g ugatan pada ketida kadilan. Pada a khirnya, f ilem DOLO ini bukanla h sebua h f ilem biograf i an sich, tapi sebua h kesa ksian di mana kita dapat masuk dan beref leksi tentang bagaimana seni beririsan dengan a ktivisme dan bagaimana kita dapat menavigasikan kompleksitas isu kemanusiaan di Indonesia.

159


SPECIAL SCREENING 04

An Invitation to Dolorosa’s Veranda Hafiz Rancajale

68-yea rs old Dolorosa Sinaga, a sculptor, is smeared with clay in her studio, ma king molds and kneading the materia l for her work in progress. The texture she forms ref lecting her deep-rooted knowledge of human anatomy. The bodies she sculpts intersect with her involvement in movements against injustice throughout the histor y of Indonesia. As she said, “A n idea has a lways stuck in my mind, of bodies as a statement to bridge the ones who must be defended.” From her veranda, Beranda Rakyat Garuda, young people get together and discuss the current socio-politica l condition, leading to a chain reaction that took down the New Order in Indonesia in 1998. As an educator, she cultivates a spirit of activism in her students, giving bir th to a generation of critica l ar tists actively involved in the resistance.

160


DOLO: A Director’s St atement I came to know Dolorosa Sinaga in the early ‘90s, as her student, colleag ue, and later on as her curator in one of her exhibitions. It is quite a cha llenge for me to capture her f ig ure, who a lways embodies humanit y's themes, resistance against injustice, and gender oppression in her ar tistic practices and ever yday life. While Forum Lenteng’s approach to f ilmma king star ts from the nearest socia l environment and loca l themes and then dissects its relation to the larger narrative. So, I star ted to examine her from the most intimate thing: our circle of friendship that has been going on for a lmost thir t y years. Meeting our friends has indeed invoked a nosta lgic feeling. However, a tempora l distance invites a ref lective and often critica l reading about the things we have been through together as well. There was Diskusi Bulan Purnama (Full Moon Discussion), in which we met and discussed our conditions during the precarious times. Dolorosa and A rdjuna, as the facilitators in those discussions, a lso became the parents of the young activists who noticed these problems. Today, they still fulf ill their role in the same place, their veranda. It becomes a logica l choice for me to deconstruct Dolorosa-A rdjuna’s veranda to look closer at the ideas of their ‘spiritua l children’ and the red thread connecting them. As one of the ‘spiritua l childrens’, I am not yet done with the veranda, especia lly when it’s located next to Studio Soma laing where Dolorosa materia lized her a lignments with the undercurrent narratives of the oppressed. Similar to her approach with her sculpture and their fragile bodies, imprinted with her f ingers' texture, I a lso wanted to present the sma ll ta lks with our friends. There was a question on the signif icant thing to ta lk about in this f ilm. But I believe in the medium of cinema, and my answer was, a f ilm brings out the signif icance within sma ll things. At least, this is what I offer to the audience, to step into Dolorosa’s veranda and to look out wards from it.

161


The spectrum of Black, White, a nd Grey DOLO, as a feature documentar y f ilm, is produced in black and white. This ar tistic choice emphasized the play in the plane, volume, and texture, which dominates Dolorosa’s sculptures. Through her sculpture's texture, shaped by her f ingers' sa lient marks, this f ilm spea ks about the texture of the socio-politica l activism journey in Indonesia, which is never a smooth. I choose a black and white approach to read this texture, litera lly, in her studio and sculptures, and f ig uratively. A long with footages of Dolorosa ref lecting her ar tistic practice, we a lso see witnesses from her ‘spiritua l children’ and friends, consisting of writers, activists, ar tists, related to her habitus and the path it revea ls to criticize injustice. In the end, DOLO is not a biographica l f ilm an sich, but a testimony in which we can step in and ref lect on the intersection of ar t and activism as well as how we navigate the complexit y of issues on humanit y in Indonesia.

162


SS 4 / CINEPOLIS, 28 NOVEMBER 16.00, 19.00 /

DOLO

Country of production Indonesia Language Indonesian language Subtitles English 150 min, 5.1 Surround, 2K, BW, 2021 Ia adalah guru. Ia adalah seorang ibu bagi

She is a teacher. She is a mother to young

seniman-seniman muda, ibu bagi para aktivis

artists, a mother to activists of social and

pergerakan sosial dan kebudayaan. Indonesia

cultural movements. Indonesia has a long and

memiliki luka sejarah yang panjang dan tak

unresolved historical wound, starting from

terselesaikan, mulai dari peristiwa 1965,

the events of 1965, the silence of democracy

pembungkaman para aktivis demokrasi dan

and human rights activists, and the spread of

hak asasi manusia, dan merebaknya politik

identity politics. In the midst of it all, DOLO, a

identitas. Di tengah itu semua, DOLO, seorang

female sculptor opens the wounds of history

pematung perempuan membuka luka-

through her sculptures.

luka sejarah tersebut melalui karya-karya patungnya.

Hafiz Rancajale (Pekanbaru, 1971) adalah seniman, pembuat filem, kurator, dan salah satu pendiri Forum Lenteng. Menamatkan pendidikan Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan kini menjadi Ketua Forum Lenteng dan juga Direktur Artistik ARKIPEL. Tahun 2020, ia menjadi Juri untuk Tiger Award pada International Film Festival Rotterdam.

Hafiz Rancajale (Pekanbaru, 1971) is an artist, filmmaker, curator, and co-founder of Forum Lenteng. He graduated from the Art Institute of Jakarta (IKJ) and is now the Chairman of Forum Lenteng and the ARKIPEL Artistic Director. In 2020, he is the juror for Tiger Award at International Film Festival Rotterdam.

Hafiz Rancajale (Indonesia)

163



CANDRAWALA


CANDRAWALA – LOCAL LANDSCAPE OF NOW

Lanskap dan Kepengarangan Dhuha Ramadhani

Semenja k da r i neger i asa ln ya, hingga tiba di tana h Hindia Belanda, f ilem selamanya terpengaruh oleh lanskap ekonomi, sosia l, budaya, dan politik di mana ia berpija k. Ragam a liran estetika sinema dunia la hir atas respons a kan tiaptiap peruba han yang terjadi. Untuk sebagian besarnya, apa yang dibekukan da lam f ilem dapat memengaruhi ba lik lanskap yang ma ha luas itu. Kela hiran estetika itu hanya dimungkinkan oleh kepekaan dan kesadaran yang dimiliki para pembuat f ilem pada lanskap—termasuk lanskap sebagai ruang f isik—ser ta peruba hannya. Da lam sejara h seni lukis modern Eropa, kehadiran landscape paintings (dan self-portraits) ba hkan mampu menggoya hkan kemapanan a liran seni lukis klasik. Ha l ini terjadi karena kehadiran lanskap seper ti meng ungkapkan ketida kpastian ma kna. Ha l mana, da lam a liran klasik, kepastian atau ketungga lan ma kna dan kesamaan cara pandang a kan a lam dan kenyataan ia la h sesuatu yang diupaya kan dan dijaga. Penjagaan itu didorong, umumnya, karena proses melukis dilatari

166


oleh motif-motif keagamaan dan ketokohan. Lukisan lanskap—lanskap sebagai subjek da lam dirinya sendiri—memberikan perhatian lebih pada keambig uan ma kna dan juga perspektif yang dimiliki oleh si seniman dan spektatornya. Atas ha l itu, a ksi “melihat”, baik oleh seniman, patron, dan spektatornya, kemudian menjadi sesuatu yang problematis; tida k ada narasi tungga l atas berbagai ha l. D a lam a liran seni lukis klasik, keambig uan yang mungkin dimiliki oleh lanskap ini direduksi sedemikian rupa, lanskap dihadirkan semata sebagai gambar latar bela kang; agar tokoh, a ksi, atau peristiwa (umumnya berasa l dari kisa h-kisa h da lam a lkitab, mitologi, dan sejara h) menjadi lebih menonjol. Keag ungan tokoh ter tentu, misa lnya, dengan segera dicerap sebagai ma kna tungga l yang diterima para spektator. Da lam f ilem arus utama yang populer, kepastian semacam ini dijaga ketat oleh tirani naratif. Pesan atau ma kna apa yang a kan diterima penonton nantinya sela lu diusa ha kan sama. Sebab, kejelasan cerita—yang dibang un dari kesinambungan shot, terutama dia lognya, da lam urutan yang deskriptif—ada la h sa la h satu esensi dari upaya pemenuhan kepuasan penonton sehingga mereka a kan kemba li menonton f ilem. Saat ditayangkan di bioskop, f ilem-f ilem sejenis ini menjadi komoditas siap konsumsi; penonton tingga l diam untuk terhibur, hanyut ke da lam ilusi dan terlepas dari rea litas sehari-harinya. Ilusi dimulai ketika ca haya jatuh. Di atas layar putih seketika penonton melihat moleknya gambar-gambar pantai, peg unungan, hutan, kota, a ktivitas manusia dan/atau hewan, atau apa pun yang sebelumnya suda h direkam. K ita, penonton, la lu berada di udara, di bawa h air, atau di atas permukaan, mungkin juga di da lam kendaraan, di da lam sebua h bang unan, atau di da lam sebua h peristiwa besar. K ita mulai mengena l lanskap dari ambilan-ambilan gambar ini. Tokoh diperkena lkan, tubuhnya masuk menginterupsi lanskap-lanskap yang kita lihat sebelumnya. Ia mulai bergera k, atau berbicara. Sedemikian pentingnya apa yang ingin dibicara kan sang tokoh membuat sega la kemungkinan yang dapat menggangg unya perla han dihilangkan. Bentuk shot diuba h, boomer didekatkan. K ita diara hkan untuk melihat lebih cermat tinda k-tanduk sang tokoh—atau para tokoh; ia terlihat lebih “besar”, terdengar lebih “lantang”. Lensa diganti, perla han-la han atau seketika, lanskap “disamarkan”, riuh renda hnya “dikecilkan”. Seseka li lanskap kemba li tanpa kehadiran sang tokoh sebagai helaan napas di antara dia log-dia log yang harus segera diucapkan agar kita, penontonnya, tida k tersesat—tida k keluar dari cerita yang ingin sutradara sampaikan. Filem selesai, kita lupa di mana dan konteks sosia l atau politik apa yang membuat peristiwa yang lewat itu bisa berlangsung. Namun, kita dapat mengingat persis cerita di da lamnya. Lanskap ta k perna h berma kna apa-apa selain sebagai latar, kekaosan atau keinda hannya menjadi a ksesoris. Tirani naratif semacam ini berhasil ber ta han setida knya selama seratus

167


ta hun tera khir. Guna “memper ta hankan” kekuasaannya, industri perf ileman mulai membang un star system dan studio-studio besar. A khirnya, kedigdayaan tirani naratif juga berpengaruh ke rana h penulisan kritik f ilem. Sebagian penulis kritik f ilem, kemudian, menjadi sa la h satu agen da lam keber ta hanan sirkulasi komoditas f ilem-f ilem tersebut; kritiknya berfokus pada bagaimana narasi da lam f ilem dibang un. Energi penulisan kritik tersedot pada aspek-aspek konten, drama, ma kna, dan signif ikansi sosia l f ilemnya. Estetika, secara langsung maupun tida k, seper ti dikesampingkan—kekonkretan f ilem (kua litas ba hasa visua l dan bentuk, mungkin juga lanskapnya) tida k sela lu menjadi pokok pemba hasan. Namun, da lam ha l naratif, kua litasnya tetap terjaga. Model industri semacam ini, dengan tirani naratifnya, lantas memegang pengaruh yang sangat besar terhadap wacana perf ileman. Ekses-eksesnya turut tiba di Indonesia. Pencarian a kan estetika seni rupa Indonesia tela h memiliki sejara h yang sangat panjang semenja k orang-orang pribumi di Hindia Belanda mulai belajar melukis mengg una kan cat minya k di atas kanvas. Periha l kemolekan lanskap, jika menengok ke sejara h seni rupa di Indonesia, kita tela h mengena l istila h Mooi Indie. Mooi Indie dikritik Sudjojono pada 1939, baginya jenis lukisan lanskap macam ini hanya dibuat untuk menghibur mata orang asing yang jemu dengan kondisi di negaranya. K ritiknya mengingatkan kita pada gagasan tentang a ksi “melihat” sebagai sesuatu yang problematis da lam sejara h landscape paintings di Eropa. Mooi Indie hanya mengangkat keinda han lanskap a lam dan mengeksotisasi manusia di Hindia Belanda sembari mengabaikan sama seka li rea litas sosia l masyara katnya. Meniada kan fa kta ba hwa di ba lik kemolekan lanskap itu terdapatla h masyara kat terjaja h. Setela hnya, rea lisme gencar dianjurkan sebagai pendekatan da lam seni lukis. Ia ada la h jenis isme yang memiliki kara kter menyajikan kenyataan sosia l dan mengandung nilai perjuangan; dapat itu perjuangan untuk kemanusiaan, pula pendidikan. Semangat rea lisme hadirla h jua da lam f ilem-f ilem Indonesia. Para sutradara di masa awa l kemerdekaan mengangkat tema-tema identitas kebangsaan da lam f ilemnya. Peng uatan pada aspek naratif dipilih oleh sebab model ini dianggap “menjanjikan” kemuda han da lam upaya untuk menyampaikan apa-apa yang diya kini sebagai kenyataan sosia l yang sebenarnya. Aspek lanskap, sea kan terkutuk, hanya menjadi latar pada sebagian banya k f ilem Indonesia. Seseka li lanskap memang berkaitan dengan narasi, di wa ktu yang lain ia kemba li berperan sebagai a ksesoris da lam keseluruhan f ilem. Ini terjadi baik di f ilem dengan tema nasiona l maupun loka l. Kecenderungan ini sebetulnya suda h ada seja k hadirnya f ilem bersuara (talkies), para penonton di Hindia Belanda lebih menyukai f ilem cerita. A kibatnya, impor f ilem-f ilem cerita, seja k saat itu hingga kini, sela lu mendominasi bioskopbioskop. Lanskap terus menerus menjadi latar da lam kedigdayaan tirani naratif da lam f ilem-f ilem Indonesia.

168


Da lam aspek naratif dan gaya pembuatannya, f ilem-f ilem dari India, Cina, Hong Kong, Ma laya, Eropa, Jepang, Rusia, dan lain-lain terutama Holly wood, terus menjadi rujukan bagi pela ku industri f ilem kita. Dominasi pengaruhnya pada estetika dan cerita bergantung pada situasi-situasi politiknya; kata kanla h pada masa penjaja han Belanda, pendudukan jepang, Orde Lama, Perang Dingin, Orde Baru, juga Reformasi. Di antara f luktuasi politik itu terselip masa-masa kejayaan monopoli distribusi f ilem, euforia kebebasan, suburnya radika lisme, juga peruba han tren da lam kultur populer terkontemporer. Guna mengamankan posisinya, secara ekonomi, sosia l, dan politik, sebagian besar pela ku industri f ilem berusa ha beradaptasi dengan situasi sosia l-politik sezamannya. Sehingga, sampai hari ini, tida k perna h ada estetika f ilem yang bisa disebut sebagai estetika f ilem Indonesia. Peruba han sistem ekonomi, sosia l, budaya, dan politik sepanjang sejara h Indonesia tida k perna h mela hirkan estetika f ilem apa-apa. Situasi ini tida k hanya terjadi pada kelompok industri, kecenderungan serupa tela hla h merasuk da lam sebagian besar f ilem-f ilem independen, ma hasiswa, dan komunitas—kelompok yang dianggap pa ling berjasa da lam kebangkitan f ilem Indonesia pasca Reformasi. Ketida k-selesaian penggarapan narasi, mise-en-scène, dan modus storytelling dengan muda hnya bisa dijumpai da lam f ilem-f ilem dari kelompok ini. Tirani naratif tida k bekerja utuh pada kedua kelompok ini, hanya ekses-eksesnya saja. Ma ka, f ilem-f ilemnya terasa sela lu setenga h-setenga h. Atas Mooi Indie yang menempatkan lanskap (f isik) da lam posisi terpenting , kritik estetika Sudjojono menyasar pada lepasnya konteks sosia l-politik dari lanskap tropis yang elok itu. Ma ka, estetika rea lisme dianjurkannya. Ia pun mulai melukis subjek-subjek manusia atau peristiwa da lam kondisi yang tida k diinda hinda hkan, yang sebagaimana adanya. Kela hiran estetika seni rupa Indonesia mulai menjadi diskursus yang dibicara kan dan dipra ktikkan. Atas f ilem, kritik estetika aga knya tida k sedemikian bergaira h. Filem Indonesia sempat menga lami krisis karena penonton lebih ter tarik menonton f ilem Holly wood yang dianggap lebih berkua litas. Para produser mengeluhkan lesunya antusiasme penonton pada f ilem Indonesia a kibat monopoli distribusi f ilem Holly wood. Kemudian, pada ta hun 1993, Rosihan A nwar (Ketua Komisi Sosia l Budaya Dewan Film Nasiona l saat itu) menganjurkan para produser untuk memproduksi f ilem-f ilem back to basic sebagai solusinya. Demi mendapatkan penonton, ma ka formula yang menghibur, seper ti komedi yang dibumbui dengan seks, dijunjung. Drama—baik itu da lam f ilem dengan tema komedi, horor, seks, kekerasan, atau kombinasinya—dibuat tida k rumit namun sensasiona l agar siap konsumsi, muda h dan cepat untuk dicerna penonton agar la ku di pasaran. Ini merupa kan versi terburuk dari ekses tirani naratif. Nyatanya, formula ini gaga l untuk meningkatkan antusiasme penonton sebab produksi f ilem Indonesia berhenti sama seka li. Masyara kat Indonesia pun hanya menonton f ilem Holly wood saat tida k sedang berada di ruma h untuk menonton sinetron loka l maupun sinetron impor.

169


Seja k produksi Loetoeng Kasaroeng (1926) di masa Hindia Belanda, Darah dan Doa (1950) di masa awa l kemerdekaan, berdirinya A kademi Sinematograf i di Ja kar ta pada 1971, dan krisis perf ileman di ta hun 1990an, pencarian a kan estetika f ilem Indonesia tida k perna h benar-benar dila kukan. Aga knya, anjuran back to basic ada la h periode tera khir produksi f ilem yang menjadi cerminan f ilem Indonesia sebelum a khirnya mati (suri). Tida k ada lagi kesempatan bagi hasrat kepengarangan. K ita ma kin menjauh dari upaya perumusan estetika f ilem Indonesia. Setela h itu, satu-satunya referensi hanya la h estetika f ilem Holly wood. Seja k dibuat pada ta hun 2016, program Candrawa la tela h menetapkan fokusnya pada pembacaan a kan fenomena visua l terkontemporer dari produksi gambar bergera k di Indonesia. Candrawa la mencoba membuka kemungkinan penemuan ba hasa yang pa ling sesuai pada rana h yang difokuskannya, sembari mengar tikan posisi temuan itu da lam kosmos sinema kawasan maupun globa l (Zikri, 2016). Da lam sebagian besar f ilem Indonesia yang diterima A R KIPEL ta hun ini, ekses tirani naratif masih menampa kkan dirinya. Meskipun demikian, beberapa f ilem yang terpilih da lam program Candrawa la ta hun ini justru menampa kkan fenomena yang berbeda. Di da lam f ilem-f ilem tersebut, kemunculan lanskap sebagai ba hasa utama lebih signif ikan ketimbang narasi; sesuatu yang umumnya dibengka laikan da lam proses produksi maupun diskursus sinema kita. Lanskap jelasla h menyimpan sejara h dari sega la f luktuasi politik yang terjadi di sebua h lokasi. Jika kita masih berhasrat mencari estetika f ilem Indonesia, kemba li ke lanskapnya ada la h pilihan yang masuk a ka l. Kompilasi f ilem da lam kuratoria l ini memperlihatkan bagaimana lanskap (secara f isik maupun konsep) tela h mengg uncang posisi kepengarangan da lam f ilem. Ha l ini dimungkinkan ketika teknologi f ilem dan berbagai kosa kata da lam kelengkapan pengeta huan tentangnya suda h dimiliki oleh masyara kat di berbagai lanskap. Lanskap yang dipa kai semata sebagai latar cerita f ilem ternyata memiliki kemampuan untuk berbicara ba lik pada f ilem. Kemampuan ini membuat lanskap dan f ilem memiliki hubungan yang sa ling memper tanya kan; apa itu kenyataan f ilem dan apa itu kenyataan lanskap. Pada a khirnya, lanskap dapat benar-benar mena klukan kepengarangan. Atau lebih tepatnya, lanskap membunuh kepengarangan. Sutradara yang menyadari potensi lanskap sebagai ba hasa estetika f ilem tingga l mela kukan ana lisis atasnya; menginter vensinya dengan meleta kkan kamera la lu menyusun rekamannya. Dengan itu, menghasilkan sebua h f ilem tentang lanskap yang membicara kan dirinya sendiri dapatla h dila kukan. Jika Bar thes perna h mengata kan ba hwa kela hiran penoton harus dibayar dengan kematian sang pengarang, aga knya hari ini kepengarangan harus rela dibunuh seka li lagi demi kela hiran estetika f ilem Indonesia.

170


CANDRAWALA – LOCAL LANDSCAPE OF NOW

Landscape and Authorship Dhuha Ramadhani

From the l a nd of its or igin to its a r r i va l in the D utch East Indies, f ilm has a lways been inf luenced by the economic, socia l, cultura l and politica l landscape on which it stood. The diverse aesthetics of world cinema were born in response to the changes that occur over the time. For the most par t, what is frozen in f ilms can, in turn, affect the immense landscape. This aesthetic can only be born through the f ilmma ker’s sensitivit y and awareness of the landscape — including the landscape as a physica l space — and its changes. In the histor y of European modern painting, landscape paintings (and selfpor traits) shook the establishment of the classica l painting school. The presence of such a landscape revea ls an uncer taint y of meaning. While in the classica l school, the cer taint y or unit y of meaning and the same perspective on nature and rea lit y is sought and maintained. This gatekeeping was encouraged, in genera l, because the painting process was motivated by religious motives and f ig ures.

171


Landscape painting — the landscape as a subject in itself — pays close at tention to the ambig uit y of meaning and perspective, both from the ar tist and the spectator. Therefore, the act of "seeing", both by the ar tist, the patron, and the spectator becomes problematic; no single narrative can be derived from many things. In classica l painting, the landscape’s ambig uit y is reduced in such a way to a background image; so that characters, actions, or events (genera lly derived from stories in the Bible, my tholog y, and histor y) become more prominent. The greatness of a cer tain f ig ure, for example, is immediately perceived as the sing ular meaning to be accepted by the spectator. Popular mainstream f ilms gatekeep this kind of cer taint y by the t yranny of narrative. The audience is directed to receive the same message or meaning. This is because the clarit y of the stor y —built from the continuit y of the shots, especia lly the dia log ues, in a descriptive sequence — is essentia l to satisfy the audience, to keep them coming back. When shown in theaters, this kind of f ilm becomes a readily consumed commodit y; the audience remainst in their seat to be enter tained, to be drifted into illusions and detached from their daily rea lit y. As the light fa lls, this illusion begins. On the white screen, the audience instantly sees the a lluring pictures of beaches, mountains, forests, cities, human and / or anima l activities, or whatever has been previously recorded. We, the audience, are then in the air, under water, or above the surface, perhaps in a vehicle, in a building, or at a major event. We are get ting to know the landscape from these image shots. Characters are introduced, their bodies interrupt the landscapes we saw earlier. They began to move or spea k. They spea k of things of such impor tance, that possible nuisances to their appearance were slowly pushed back. The shot changes, the boomer went closer. We are directed to look more closely at the actions of the character — or characters; they look "bigger" and sound "louder". The lens changes, slowly or suddenly, the landscape “blurs”, the noise “turns down”. Ever y now and then the landscape returns without the presence of the character as a sigh bet ween the dia log ues that must be spoken immediately so that we, the audience, do not get lost — so that we do not spira l out of the stor y the director wants to tell. The f ilm ends, and we have forgot ten where and what socia l or politica l context made the passing events possible. However, we can remember exactly the stor y in it. Landscapes never mean any thing other than as a background, its chaos or beaut y becomes mere accessories. This kind of narrative t yranny has sur vived for at least the last hundred years. In order to "maintain" its power, the f ilm industr y began building star systems and large studios. Fina lly, the power of this narrative t yranny inf luences the rea lm of f ilm criticism writing. Some of the f ilm critics become one of the agents in sustaining the commodit y circulation of these f ilms; their critique focuses on the

172


narrative construction in the f ilm. The critic’s energ y is sucked into explaining the f ilms’ content, dramatic aspects, meaning, and socia l signif icance. The aesthetic, directly or indirectly, seems to be sidelined — the concreteness of the f ilm (the qua lit y of visua l lang uage and form, and perhaps the landscape) does not a lways become the subject of discussion. However, in terms of narrative, the qua lit y of criticism is maintained. This industria l model, headed by the narrative t yranny, has a profound inf luence on the f ilm discourse. Its excesses have a lso arrived in Indonesia. The search for Indonesia’s visua l aesthetic has a long and winding histor y since the people of the D utch East Indies star ted to learn oil painting on canvas. Regarding the a llure of the landscape, looking back at the histor y of visua l ar ts in Indonesia, we are familiar with the term Mooi Indie. Mooi Indie was criticized by Sudjojono in 1939, he arg ued that this t ype of landscape painting was only made to enter tain the eyes of foreigners who had grown wear y of the conditions in their countr y. His criticism reminds us of the problematic notion in ​​the act of "seeing" throughout the histor y of landscape paintings in Europe. Mooi Indie only highlighted the beaut y of the natura l landscape and exoticized the people in the D utch East Indies while completely ignoring their socia l rea lit y. It negated the colonized societ y behind the viscera l landscape. A fter that, rea lism was largely campaigned to be used as an approach to painting. This t ype of -ism has the character to present socia l rea lities and contain the va lues ​​of struggle; whether it is a struggle for humanit y, as well as education. The spirit of rea lism is a lso present in Indonesian f ilms. The directors in the early days of independence raised the themes of nationa l identit y in their f ilms. They emphasized the narrative streng th as a stor y telling model that conveniently delivers what is believed to be the true socia l rea lit y. The landscape aspect, as if it were cursed, remains as a backdrop for many Indonesian f ilms. Occasiona lly, landscape does relate to narrative, at other times it merely plays its role an accessor y throughout the entire f ilm. This happens in both f ilms with nationa l and loca l themes. This tendency has existed since the rise of ta lkies, and the audience in the D utch East Indies preferred narrative-driven f ictiona l f ilms. As a result, impor ts of these f ilms, until now, have a lways dominated cinemas. Landscape continues to be the backdrop for the t yrannica l superiorit y of the narrative in Indonesian f ilms. In terms of their narrative and production st yle, f ilms from India, China, Hong Kong, Ma laya, Europe, Japan, Russia, and others, especia lly Holly wood, continued as references for the f ig ures in our f ilm industr y. Its dominating inf luence on aesthetics and stories depends on the politica l situation; say during the D utch colonia l period, the Japanese occupation, the Old Order, the Cold War, the New

173


Order, a lso the Reformation. A mong these politica l f luctuations there are a lso events of the heyday of monopoly of f ilm distribution, the euphoria of freedom, the proliferation of radica lism, as well as changing trends in contemporar y popular culture. In order to secure their economic, socia l, and politica l position, most of the f ilm industr y key f ig ures tr y to adapt to the socio-politica l situation of their contemporaries. Thus, to this day, there has never been a f ilm aesthetic that can be stated as the Indonesian f ilm aesthetic. Tumultuous changes in the economic, socia l, cultura l, and politica l systems throughout Indonesia's histor y have never produced any f ilm aesthetics. Beyond the industria l producers, a similar trend has penetrated most independent f ilms, students, and communities — groups that are considered to be most instrumenta l in the reviva l of Indonesian f ilms after the Reformation. The unf inished work in the narrative, mise-en-scène, and stor y telling can easily be found in the f ilms of this group. Narrative t yranny does not work intact in these t wo groups, only its excesses. This results in their ha lf-ba ked works. Regarding Mooi Indie that placed the (physica l) landscape as the main focus, Sudjojono's aesthetic criticism aimed at the detachment of the socio-politica l context from the beautiful tropica l landscape. He proposed rea lism as an aesthetic approach. He a lso began to paint human subjects or events in an unsavor y state, as they are. The bir th Indonesia’s visua l ar t aesthetic as a discourse became widely spread and practiced. While in the side of f ilms, the aesthetic criticism is not as lively. Indonesian f ilms went through a crisis because the audience were more interested in watching Holly wood f ilms, which were considered of higher qua lit y. Producers complained about the audience’s indifference for Indonesian f ilms due to the monopoly on Holly wood f ilm distribution. Then, in 1993, Rosihan A nwar (Chairman of the Socio-Cultura l Commission of the Nationa l Film Council at that time) suggested the producers to go back to basic. In order to gain an audience, they upheld the enter taining formulas, such as comedy spiced with sex. Drama — whether the theme is comedy, horror, sex, violence, or any combination thereof — is made uncomplicated but sensationa l to be readily consumed, easy and fast for the audience to digest, in order to generate hype in the market. This is the worst version of the excesses of the narrative t yranny. In fact, this formula failed to increase audience’s enthusiasm because Indonesian f ilm production stopped completely. This leaves the audience with Holly wood f ilms to see, that is, when they are not at home to watch loca l and impor ted soap operas. Since the production of Loetoeng Kasaroeng (1926) in the D utch East Indies era, T he Long March (1950) in the early days of independence, the establishment of A kademi Sinematograf i in Ja kar ta in 1971, and the f ilm crisis in the 1990s, the search for Indonesian f ilm aesthetic has never rea lly been carried out. It seems that the back to basic recommendation is the last period of f ilm production which ref lects the Indonesian f ilm before their apparent death. There is no more room

174


for the desire for authorship. We are moving away from the effor t to formulate Indonesian f ilm aesthetics. A fter that, the only aim that remains is the Holly wood f ilm aesthetics. Since its creation in 2016, the Candrawa la program has focused on reading the contemporar y visua l phenomena of the motion picture production in Indonesia. Candrawa la tries to open up the possibilit y of f inding the lang uage most suitable for the rea lm it focuses on, while interpreting the position of these f indings within the cosmic of regiona l and globa l cinema (Zikri, 2016). In most of the Indonesian f ilm received by A R KIPEL this year, the excesses of narrative t yranny is still apparent. Even so, the selected f ilms in this year's Candrawa la program proved a different phenomenon. In these f ilms, the emergence of landscape as the main lang uage is more signif icant than narrative; something that is genera lly neglected in the production process and our cinematic discourse. The landscape conceives the histor y of a ll the politica l f luctuations that once had happened in it. If we still have the desire to fur ther search for Indonesian f ilm aesthetic, returning to the landscape is a sensible choice. The f ilms compiled in this curatoria l shows how landscapes (physica lly and conceptua lly) have sha ken the position of authorship in these f ilms. This becomes possible when f ilm technolog y and the various vocabular y in the tota lit y of its knowledge are owned by people in various landscapes. When used as a narrative set ting, landscape apparently has the abilit y to spea k back to the f ilm. This abilit y can fur ther question the relationship bet ween the landscape and the f ilm; what is f ilm rea lit y, and what is landscape rea lit y? Ultimately, landcapes can truly conquer authorship. Or rather, landscapes kill authorship. A director who rea lizes the potentia l of the landscape as the aesthetic lang uage of f ilm, only has to ana lyze it; to inter vene it by put ting the camera down and compose its footages. Through this rea lization, it is possible to create a f ilm about a landscape that only spea ks of itself. If Bar thes ever said that the bir th of the audience must be paid for by the death of the author, it seems that today’s authorship must be willing to be killed once again for the bir th of Indonesian f ilm aesthetic.

175


CW / 5 - 11 DECEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

KATARSIS YANG TAK KUNJUNG SELESAI (THE CATHARSIS)

Country of production Indonesia Language Subtitles 19 min 31 sec, stereo, digital, 16:9, color, 2020 Sejumlah lanskap diinterupsi oleh

A number of landscapes are interrupted by the

tubuh telanjang seorang anonim. Dalam

naked body of an anonymous person. In some

beberapa tangkapan kamera, tubuh ini

camera shots, this body is walking away from

berjalan menjauhi bingkai. Sementara

the frame. While in another shot, the body is

dalam tangkapan yang lain, ia tidak

not present at all. The long shots leave room

hadir sama sekali. Tangkapan-tangkapan

for us to pay attention to more details, or to

panjangnya memberikan ruang bagi kita

experience the landscapes that the camera

untuk memperhatikan lebih detail, atau

captures.

turut mengalami lanskap yang direkam kameranya.

Dhuha Ramadhani

Riski Rianda (Kuala Lumpur, 1997) kembali ke Indonesia ketika berumur 5 tahun dan menetap hingga kini. Mulai membuat filem pendek sejak tahun 2017 lewat komunitas filem di Yogyakarta. Turut mengembangkan komunitas filem di Yogyakarta bernama Ruang Gelap. Pada awal 2021 memproduseri sebuah filem pendek produksi Ruang Gelap yang membicarakan tentang Penghayat Kepercayaan.

Riski Rianda (Indonesia)

176

Riski Rianda (Kuala Lumpur, 1997) returned to Indonesia when he was 5 years old and has been staying there hitherto. Started making short films since 2017 through a film community in Yogyakarta. Participated in developing a film community in Yogyakarta called Ruang Gelap. In early 2021, he produced a short film from Ruang Gelap production discussing about Penghayat Kepercayaan (roughly translated as Believers).


CW / 5 - 11 DECEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

DI PINGGIR KALI CITARUM

Country of production Indonesia Language Subtitles 16 min, stereo, HD, color, 2019 Sebuah tatapan subjektif teredam oleh kerja

A patient observation reduces a subjective

observasi yang sabar. Filem ini bergerak

gaze. This film moves slowly following the

perlahan mengikuti kerja seorang petani,

work of a farmer, brickmaker, as well as a

pembuat batu bata, sekaligus penyedia

service provider for motorbikes and people

jasa penyebrangan motor dan orang yang

crossing the river. Di Pinggir Kali Citarum

melintasi kali. Di Pinggir Kali Citarum

has recorded at least several systems that

setidaknya menangkap sejumlah sistem

go hand in hand; systems of time and work,

yang berjalan beriringan; sistem waktu

systems of ‘governance’ by citizens, and

dan kerja, sistem ‘tata kelola’ oleh warga,

systems of nature. Without dialogue, this

dan sistem alam. Tanpa dialog, filem ini

film reinterprets the meaning of ‘natural

memaknai ulang makna ‘bencana alam’

disaster’ through recording interactions

melalui rekaman interaksi antara subjek-

between local subjects and the surrounding

subjek lokal dengan lanskap di sekitarnya.

landscape. Dhuha Ramadhani

Ali Satri Efendi, lahir di Karawang dan tinggal di Bekasi. Ia bekerja sebagai dosen dan rutin membuat filem pendek, minimal satu buah setiap tahunnya. Filem pendek eksperimentalnya, Gelombang Longitudinal, terpilih dalam program Candrawala ARKIPEL 2016. Puisi dan cerpennya telah dimuat di berbagai antologi dan media.

Ali Satri Efendi, born in Karawang and lives in Bekasi. He works as lecturer and routinely makes at least one short film each year. His experimental short film Gelombang Longitudinal was selected in Candrawala program at 2016 ARKIPEL. His poems and short stories were published in various anthology and media.

Ali Satri Efendi (Indonesia)

177


CW / 5 - 11 DECEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

ANAK MERAK

Country of production Indonesia Language Indonesian, Madurese, Javanese Subtitles English 59 min 29 sec, stereo, 16:9, color, 2019 Kamera memperkenalkan dirinya sebagai The camera introduces itself as stranger, sang asing; menatap dengan sedemikian gazing from a distance. Slowly it comes closer, berjarak. Perlahan ia mendekat, masuk into the intricacies of the space, still quietly. ke seluk-beluk ruang, masih secara Until finally, it mingles, then its subjects gaze diam-diam. Hingga akhirnya ia berbaur, back to this stranger’s gaze and play with tatapan sang asing kemudian ditatap balik it. At first, Anak Merak presents itself as a oleh subjek-subjek yang ia tatap, lantas television documentary that comes around dipermainkan. Anak Merak di permulaannya to a location, recording it in one direction. menampilkan diri sebagaimana However, slowly, the director relinquished the dokumenter televisi yang mampir ke sebuah control, even allowing the subjects to control lokasi, merekamnya secara satu arah. how the film proceeds. Through the game, the Namun, perlahan, sutradara melepaskan subject’s journey in the film is not just to reach kontrolnya, bahkan menjadikan subjek di the end or win the game, but to dismantle the lokasi mengontrol balik bagaimana filem camera work. A dismantling that imagines the ini berjalan. Melalui permainan, perjalanan question of what if landscapes were allowed to subjek di dalamnya tak sekadar perjalanan talk back? mencapai akhir atau memenangkan permainan, namun juga perjalanan membongkar kerja kamera. Sebuah Dhuha Ramadhani pembongkaran yang mengimajinasikan pertanyaan tentang bagaimana jika lanskap dibiarkan berbicara balik? Saleksa Srengenge (Malang, 1996) menamatkan studinya di jurusan Televisi dan Film, Universitas Jember. Karya-karyanya berfokus pada pembuatan filem dokumenter mengenai alam liar dan sosial.

Saleksa Srengenge (Indonesia)

178

Saleksa Srengenge (Malang, 1996) completed his studies majoring in Television and Film at the University of Jember. His works focus on documentary filmmaking about wildlife and social issues.


CW / 5 - 11 DECEMBER 2021, FESTIVAL.ARKIPEL.ORG /

DIARY OF CATTLE Country of production Indonesia Language Minangkabau Subtitles English 17 min 31 sec, stereo, 16:9, color, 2019

Filem ini mengikuti kegiatan sapi-sapi ternak

This film follows the activities of cattle from

semenjak pagi hingga malam hari di tempat

morning to night at the landfill. The camera

pembuangan akhir sampah. Kamera terasa

seems to be very familiar with the daily

begitu akrab dengan jadwal dan rute harian

schedules and routes of the cows. This film

sapi-sapi dalam kesehariannya. Filem ini tidak

does not want to personify the cows, the

hendak mempersonifikasi sapi-sapi, kegiatan

activities of these cows are simply recorded

sapi-sapi ini direkam begitu saja tanpa

without any meaningful intervention. As a

intervensi berarti. Hasilnya, Lidia dan David

result, Lidia and David Darmadi succeeded

Darmadi berhasil mementangkan persoalan

in solving broader issues concerning

yang lebih luas menyangkut limbah konsumsi,

consumption waste, work, and environmental

kerja, dan persoalan lingkungan. Filem

issues. The film ends nicely with an obituary.

ditutup apik dengan berita kematian. Dhuha Ramadhani

Lidia Afrilita, David Darmadi (Indonesia)

Lidia Afrilita adalah seorang pecinta filem dokumenter, bahasa, dan pendidikan. Dia lulus dari jurusan Linguistik dan merupakan seorang guru bahasa. Saat ini, ia mengelola sebuah pusat belajar di pedesaan di Jambi. Filem-filemnya telah diputar di berbagai festival. David Darmadi (Padang, 1987) adalah pembuat filem yang saat ini tinggal di Sumatera. Dia lulus dari program Televisi dan Film di ISI Padangpanjang. Karya-karyanya telah diputar di berbagai festival. Saat ini, keduanya tengah mengelola Ingatan Visual; sebuah inisiatif yang merekam kehidupan sehari-hari masyarakat di Sumatera Barat.

Lidia Afrilita is a documentary, language, and education enthusiast. She has a Linguistics background and is a language teacher as well. She currently runs a learning center in a rural area in Jambi. Her films have been screened in many festivals. David Darmadi (Padang, 1987) is a filmmaker currently based in Sumatera. He graduated from Television and Film program in Indonesia Institute of The Arts of Padangpanjang (ISI Padangpanjang). His works have been screened at numerous festivals. Currently, both are managing the Ingatan Visual; an initiative documenting the daily life of people in West Sumatera.

179



FORUM FESTIVAL


Pengantar Keynote Speech Forum Festival 2021: “Twilight Zone”

Keadaan gelap g ulita seringka li disisipkan untuk menjadi transisi antaradegan baik pada sinema maupun pada teater. Da lam rana h keduanya, baik berupa blackout pada teater maupun berupa layar hitam pada sinema, ini dipa kai dengan tujuan untuk mengara hkan emosi penonton, atau mempersiapkan kepa la penonton untuk adegan setela hnya. Keadaan gelap tida k ser ta-mer ta mengeluarkan penonton dari ruang naratif dunia sinema di layar, tapi justru membawa penonton masuk ke ruang yang tida k nampa k isinya. Lantas, apa ka h kemudian ketida ktampa kan berar ti ba hwa sesuatu itu tida k ada? Pada ha l, da lam teater misa lnya, da lam gelap terjadi peminda han proper ti dan pergantian kostum oleh a ktor. Ketida ktampa kan bukan berar ti sesuatu tersebut tida k hadir, melainkan ia ada la h kehadiran a kan sesuatu yang tida k mencapai retina mata kita. A kan tetapi, kehadiran a kan sesuatu itu kemudian hanya dia kui pada premis ter tentu: pada kenyataan yang ada di pangg ung, atau pada kenyataan yang “seharusnya” berada di luar pangg ung. Lantas, tanpa membeda kan premis mana yang menga kui kehadiran a kan sesuatu itu, per tanyaannya sekarang: Ada apa di sana? Apa yang terjadi di kegelapan? Da lam pengantar tema festiva l pada A R KIPEL 2020 “Twilight Zone” dikata kan ba hwa zona temaram, suatu zona transisi terang dan gelap, ada la h “zona pembesaran yang memungkinkan indera kita membingkai dengan kepekaan”. Sehingga kemungkinan itu menghasilkan adanya citra-citra yang “...mengaburkan seka lig us memperjelas lihatan yang tela h ditentukan sebelumnya. Membuat kita perlu membongkar lagi, dengan berbeka l per tanyaan, yang mana ka h yang sesungg uhnya; yang ada di layar di hadapan mata atau yang ada di hadapan lensa? Ma ka, da lam zona temaram, hubungan antara mata, lensa, dan layar senantiasa ada la h hubungan yang memuslihatkan.”

182


Setela h selama seta hun membicara kan zona yang temaram, a kan tepat bagi Forum Festiva l A R KIPEL 2021 untuk membicara kan apa yang terjadi pada zona tersebut. Mungkin, pada zona tersebut terjadi masa inkubasi. “Inkubasi” ada la h kata-kata yang sering seka li didengar di masa pandemi ini, yang ar tinya ada la h selang wa ktu yang menjadi penentu apa ka h sesuatu a kan berlipat ganda dan menyerang, atauka h ia a kan mati. Pada masa inkubasi, terjadi kemungkinankemungkinan pada substrat yang berada da lam ruang gelap, yang tida k a kan terjadi pada ruang yang disinari ca haya mata hari. Untuk itu, Forum Festiva l ta hun ini a kan membicara kan soa l apa yang muncul (emerge) dari sebua h krisis atau keadaan darurat (emergency). Ia bisa berupa estetika ba hasa sinema. Estetika itu sendiri juga berkaitan erat dengan cara menonton hari ini, dan oleh karena itu juga berkaitan dengan teknologinya. Wa laupun teknologi internet tela h mara k dig una kan seja k awa l 2000-an, pandemi membuat teknologi berkembang sema kin pesat dan pengg unaannya sema kin mara k dan masif dig una kan sehingga turut memberikan kontribusi besar kepada peruba han cara menonton sekarang, dan juga peruba han cara manusia menja lani hidupnya. Perkembangan teknologi dan peruba han moda persepsi tersebut dapat mengemansipasi saat itu dipa kai sebagai a lat untuk mencurigai rea litas sehingga berpotensi memunculkan daya kritis. K ritisisme da lam bentuk bagaimana manusia bersikap terhadap teknologi mela hirkan a ksi-a ksi resistansi, seper ti mema kai konsep jejaring yang menuntut demistif ikasi kuasa da lam pengg unaan internet yang eksploitatif. Peruba han moda persepsi ini juga merupa kan tantangan tersendiri. Biasanya, gera kan sosia l banya k menuntut gera kan f isik. A kan tetapi dengan adanya krisis ini, konsep gera kan sosia l juga harus ditinjau kemba li. Dengan ruang gera k yang terbatas, gera kan sosia l yang ada di digita l—sesuatu yang tadinya hanya dianggap sebagai pelengkap—sekarang menjadi peristiwa utama. Banya knya gera kan di Indonesia dari dapur umum hingga per tukaran informasi di media sosia l mengingatkan ba hwa manusia dapat hidup dengan sistem yang ia buat sendiri tanpa harus bersitegang dengan sistem dominan, dan juga tanpa harus menganggap ba hwa sistem “kecil” tersebut ada la h sesuatu yang “lain” karena nyatanya sistem kecil yang ternyata lebih kontekstua l tersebut la h yang membuat kita resistan untuk tetap hidup.

183


Preface Keynote Speech of Forum Festival 2021: “Twilight Zone”

Complete darkness is often inser ted as a transition bet ween scenes in both cinema and theatre. In both domains, whether it is a blackout in theater or a black screen in cinema, it is used purposefully to direct the emotions of the audience, or prepare the audience's mind for the next scene. The dark situation does not immediately ta ke the audience out of the narrative space of the cinema world on the screen, but instead brings the audience into a space where the contents are not visible. So, does invisibilit y mean something doesn't exist? In the theatre, darkness a llows a transfer of proper t y and change in costumes by actors. Invisibilit y does not mean that something is not present, but rather it is the presence of something that does not reach the retina of our eyes. However, this presence is only recognized in a cer tain premise: in the rea lit y on the stage, or in the rea lit y that "should" exist outside the stage. Thus, regardless of which premise acknowledges the presence of something, the question is now: What exists in it? What happens in the dark? The introduction to A R KIPEL 2020 "Twilight Zone" explained that the Twilight Zone, a transition zone of light and dark, is “...the enlargement zone, like the camera work, which a llows our senses to frame with sensitivit y.” This possibilit y results in the existence of images that are “...simultaneously blurring and clarifying the sight that has been determined previously. This introduction ma kes us need to dismantle again by using questions: which one is the rea l one; the one on the screen before the eyes or the one in front of the lens? So, in the t wilight zone, the relationship bet ween the eye, lens, and screen is a lways a deceptive relationship.” A fter a year of ta lking about the t wilight zone, it would be appropriate for the A R KIPEL Forum Festiva l 2021 to ta lk about what happens in the zone. Perhaps, there is an incubation period. “Incubation” is a word that is often heard during this pandemic, it refers to the time inter va l that determines whether something

184


MAY ADADOL

will multiply and at tack, or whether it will die. D uring the incubation period, the substrate in a dark room has many possibilities, which cannot be rea lized in a room that is exposed to sunlight. For this reason, this year's Forum Festiva l will discuss what emerges from an emergency. It can be the aesthetics of cinematic lang uage. Aesthetics itself is a lso closely related to the culture of spectacle, and therefore a lso to technolog y. A lthough internet technolog y has been widely used since the early 2000s, the pandemic has made technolog y develop more rapidly and its use becomes increasingly widespread and massive, signif icantly contributing to the transformation in the culture of spectacle, and a lso the transformation in the way people live their lives. Technologica l developments and changes in the mode of perception can be emancipating when it is used as a tool to misdoubt the rea lit y so that it has the potentia l to raise critica l thinking. Criticism in human behavior towards technolog y gives rise to resistance, such as using the concept of a net work that demands the demystif ication of power in the exploitative use of the internet. This changing mode of perception is a lso a cha llenge in itself. Usua lly, socia l movements require a lot of physica l movement. However, with this crisis, the concept of socia l movement must a lso be reviewed. With limited space for movement, socia l movements that exist in digita l—something that was previously only considered as a complement—is now a major event. Many movements in Indonesia from soup kitchen to channels of emergency information on socia l media remind people that humans can live with their own system without having to f ight with the dominant system, and a lso without having to assume the "sma ll" system as an “other”, because in fact this sma ll system is more relevant to our lives. This is what drives us to stay resistant, and to stay a live

185


Panel 1 - “Bahasa-Bahasa Yang Mungkin” Moderator Anggraeni Dwi Widhiasih Pembicara Pujita Guha (India, kurator dan akademisi) Afrian Purnama (Indonesia, penulis dan kurator)

Setida knya da lam wa ktu nyaris satu dekade tera khir, perkembangan teknologi menonton tela h mengara h pada kultur menonton yang lebih individua l mela lui platform video on demand. Situasi demikian berkembang sema kin intens saat pandemi Covid19 terjadi dan mema ksa munculnya kebija kan distancing yang berimplikasi pada ditutupnya ruang-ruang menonton konvensiona l yang umumnya mensyaratkan kehadiran f isik secara berkelompok di ruang menonton. Di sisi lain, platform media sosia l yang menghadirkan berbagai f itur untuk memproduksi dan menonton video pun tela h mendorong munculnya langgam ba hasa yang lain da lam wacana gambar bergera k. Jika menilik kaitan antara krisis dan peruba han da lam peradaban manusia, kita dapat mencatatkan bagaimana krisis sela lu memiliki peran yang signif ikan da lam memantik munculnya ha l-ha l baru. Bersamaan dengan munculnya sense of urgency, la hir pula space for emergence. Kedaruratan pun ta k aya l kerap dihubungkan dengan sebua h kemunculan. Ba hkan secara etimologi da lam Ba hasa Inggris, keduanya berdekatan; emergency dan emergence. K risis dengan demikian berhubungan erat dengan munculnya sebua h cela h bagi peruba han. Da lam kaitannya dengan sinema, krisis dan keterbatasan seja k lama menjadi daya ungkit yang mampu meng ungkil kemunculan temuan dan keba haruan da lam produksi gambar bergera k. Sebagai sebua h teknologi, kamera ada la h jelmaan atas kela hiran inovasi yang secara signif ikan meng uba h cara tatap manusia terhadap dunia. Ia pun berkembang sebagai sebua h aparatus yang terus menga lami evolusi sehingga ba hasa yang muncul dari dan/atau a kibat teknologi ini pun terus menga lami evolusi.

186


Dapat dikata kan ba hwa baik secara teknologis maupun ba hasa medium itu sendiri, krisis dan keterbatasan kerap ka li memungkinkan sinema beroleh daya dorong untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan berba hasa. Kontinjensi dan ketida kpastian yang muncul pada sebua h krisis dapat kita umpama kan sebagaimana inter va l dan ruang gelap sinema yang memungkinkan munculnya spekulasi dan imajinasi bagi kemungkinan berba hasa. Pada panel ini, Pujita Guha a kan membicara kan tentang sinema sebagai medium yang merekam geja la sosia l dan ekologi kawasan yang mampu menawarkan ta k hanya cara tatap dari kawasan yang pinggiran, tetapi juga gestur-gestur nonmanusia pada ekosistem kita. Kemudian, A frian Purnama a kan memaparkan tentang eksperimentasi sinema dengan mengaitkannya pada pra ktik sinema di Indonesia, ser ta kaitannya dengan perkembangan media rekam da lam konteks masyara kat Indonesia kini.

187


Panel 1 - “The Possible Languages of Cinema” Moderator Anggraeni Dwi Widhiasih Panelists Pujita Guha (India, curator and scholar) Afrian Purnama (Indonesia, writer and curator)

At least in a lmost the last decade, the development of technolog y to watch f ilms has led to a more individua lized cinema culture through video-on-demand platforms. This situation grew more intense when the COV ID -19 pandemic occurred and forced the emergence of distancing policies which caused the shutdown of conventiona l cinema spaces that genera lly required physica l presence in groups in the cinema room. On the other hand, socia l media platforms that provide various features for producing and watching videos have a lso encouraged the emergence of diverse locutions in the moving image discourse. If we look at the relationship bet ween crises and changes in human civilization, we can note how crises a lways have a signif icant role in triggering the emergence of new things. A long with the sense of urgency, there is a lso a space for emergence. Emergencies are no doubt often associated with emergence, as they are et ymologica lly connected. A crisis is thus closely related to the emergence of an aper ture for changes. In relation to cinema, crises and limitations have long been the levers capable of stimulating the emergence of inventions and novelties in motion picture production. As a technolog y, camera is the embodiment of the bir th of innovations that signif icantly change the way humans perceive the world. It a lso grows as an apparatus that continues to evolve and so the lang uages that emerge from and/or as a result of this technolog y a lso continue to evolve.

188


It can be said that both technologica lly and in the lang uage of the medium itself, crises and limitations often a llow cinema to gain the impetus to explore lang uage possibilities. One might presuppose that the contingencies and uncer tainties arising in a crisis as the inter va ls and dark spaces of cinema that a llow speculation and imagination to emerge for the possibilit y of lang uage. In this panel, Pujita Guha will about cinema as a medium that records the socia l and ecologica l phenomena of the region that is able to offer not only a way of seeing from the peripher y but a lso non-human gestures in our ecosystem. Then, A frian Purnama will elaborate on the experimentation of cinema by relating it to the practice of cinema in Indonesia, as well as its relation to the development of recording media in the context of today’s Indonesian societ y.

PUJITA GUHA

AFRIAN PURNAMA

189


Panel 2 – “Demokrasi, Resistensi, dan Algoritma” Moderator Luthfan Nur Rochman

Pembicara Merlyna Lim (Indonesia/Canada, Akademisi, Canada Research Chair in Digital Media and Global Network Society – Carleton University) Manshur Zikri (Indonesia, penulis dan kurator) Creston Davis (Jerman, pendiri Global Center of Advanced Studies)

Perkembangan internet meng uba h gestur manusia dan bagaimana manusia mendapatkan pengeta huan. Ia mendesain koreograf i baru bagi bagaimana manusia berintera ksi dan menga ktua lisasi dirinya. Peruba han besar yang tela h berlangsung seja k abad keduapuluh dikondisikan oleh satu agensi penentu bernama a lgoritma komputer. Jagat internet yang awa lnya diupaya kan untuk militerisasi diutilisasi oleh kapita l untuk melayani evolusinya yang termuta khir. Kela hiran platform media sosia l lebih jauh meng ukuhkan kekuatan a lgoritma yang secara ulang a lik mempengaruhi gaya hidup dan daya imajinasi publik. A lgoritma yang awa lnya merupa kan konsep berpikir abstra k da lam matematika mendapatkan a ktua lisasi penuhnya da lam fungsi operasiona l mesin komputer. Mesin-mesin yang mempelajari pola dan memprediksi keputusan manusia kerap dig una kan oleh otoritas untuk mengawasi maupun menjua l barang pada kita. Tida k dapat dipungkiri ba hwa perkembangan a lgoritma membawa peruba han baru terhadap metaf isika atau bagaimana ha kikat ada itu sendiri. A lgoritma kian meng uatkan konsep ‘contingency’ atau ‘kemungkinan-kemungkinan’ yang pada masa sebelumnya diisi oleh mitos, agama, dan ilmu pengeta huan. Eksistensi bencana a lgoritma berbeda dengan bencana a lam dan bencana militer (perang), ia dapat terjadi karena kompleksitas yang dapat melampaui kesederhanaan dan kejernihan berpikir si a lgoritma itu sendiri.

190


Upaya merumuskan ulang bagaimana bersikap pada a lgoritma terpusat itu mela hirkan a ksi-a ksi resistansi, sa la h satunya yang penting ada la h kela hiran konsep jejaring atau P2P. Peer to peer (dapat dima knai juga sebagai D esentra lisasi) yang menuntut distribusi kuasa da lam pengg unaan internet yang kian mendikte bagaimana dunia ini berputar. Konsep cr yptocurrency yang merupa kan implikasi desentra lisasi menjadi sa la h satu upaya untuk melawan institusi ekonomi dunia yang mapan. Wa laupun pada a khirnya ia tida k lepas dari problematikanya sendiri, sa la h satunya tida k rama h lingkungan. A ktivisme yang la hir dari konsep desentra lisasi ini secara sporadis mencoba memba likkan senjata ke tuannya sendiri. Bentuk resistansi yang lain juga ada la h melihat peluang ba hwa a lgoritma ini dapat mela hirkan estetika yang spekulatif. Pandemi yang tela h berlangsung selama hampir 2 ta hun menyingkap lebih jauh bagaimana a lgoritma berperan da lam penentuan keputusan individu. Sirkulasi data yang besar dan diatur oleh a lgoritma pengawasan dan penjua lan menjadi area yang dapat dikelabui untuk membuat sebua h pernyataan. Tentu dibutuhkan gera kan kolektif untuk menjadikan upaya pengelabuan ini menjadi masif yang dapat dicapai lewat jejaring dan pendidikan yang membebaskan. Panel ini berniat untuk menginvestigasi bagaimana a lgoritma mendikte kenyataan teknologi hari ini dan apa yang dapat kita perbuat untuk meng utilisasi atau ba hkan mengelabui a lgoritma da lam semangat demokrasi.

191


Panel 2 – “Democracy, Resistance and Algorithms” Moderator Luthfan Nur Rochman Panelists Merlyna Lim (Indonesia/Canada, scholar and Canada Research Chair in Digital Media and Global Network Society – Carleton University) Manshur Zikri (Indonesia, writer and curator) Creston Davis (Germany, scholar and founder of Global Center of Advanced Studies)

The development of the internet has changed human gestures and how humans acquired knowledge. It designed a new choreography for how humans interact and fully expressed themselves. This great change that has ta ken place since the t wentieth centur y is conditioned by a single determining agency ca lled computer a lgorithms. The internet landscape which was origina lly a militar y project is now being utilized by capita l to ser ve its latest evolution. The bir th of socia l media platforms fur ther conf irms the power of a lgorithms that repeatedly inf luence the lifest yle and imagination of the public. A lgorithms which began as an abstract thinking in mathematics gets its full actua lization in the operationa l functions of computer machines. Machines that study pat terns and predict human decisions are often used by authorities to monitor and sell us things. It is undeniable that its development brings new changes to metaphysics or how nature exists. A lgorithms fur ther streng then the concept of 'contingency' or 'possibilit y' which in the past was f illed by my th, religion, and science. The existence of a lgorithmic catastrophe differs from natura l disasters and militar y disasters (war). It can occur when the complexit y it produces over whelms the simplicit y and clarit y of a lgorithmic thinking.

192


Effor ts to formulate how to respond to that centra lized a lgorithm produce acts of resistance, one of which is the bir th of the concept of peer-to-peer net working. Peer to peer (can a lso be interpreted as decentra lization) which demands the distribution of power in the use of the internet which increasingly dictates how the world rotates. The concept of cr yptocurrency which is the implication of decentra lization becomes an at tempt to resist against the globa l economic institutions. A lthough in the end it did not escape its own problems, one of which is bad for the environment. Activism born of this concept of decentra lization has sporadica lly tried to turn the weapons against its own master. A nother form of resistance is to see the oppor tunit y that this a lgorithm can give bir th to a speculative aesthetic. The pandemic that has lasted for a lmost 2 years is revea ling fur ther how a lgorithms play a role in individua l decision ma king. Big data circulation and reg ulated by sa les and sur veillance a lgorithms became an area that can be tricked into ma king a statement. Of course, a collective movement is needed to ma ke this deception effor t massive, which can be achieved through net working and liberating education. This panel intends to investigate how a lgorithms dictate today's technologica l rea lities and what we can do to exploit or even trick a lgorithms in the spirit of democracy.

MAY ADADOL

MANSHUR ZIKRI

MERLYNA LIM

193


Panel 3 – “Membangun Jejaring Pengetahuan” Moderator Dini Adanurani Pembicara Nuraini Juliastuti (Indonesia, penulis dan akademisi, pendiri Sekolah Salah Didik) Ismal Muntaha (Indonesia, seniman, aktivis, Direktur Jatiwangi art Factory) Abhishek Nilamber (Irlandia, kurator, artistic producer di Savvy Contemporary)

Lebih dari seta hun pandemi berlangsung, kita menya ksikan peran beragam bentuk inisiatif warga menjadi sema kin krusia l da lam penanganan darurat maupun keberlangsungan hidup masyara kat secara jangka panjang. Jelas ba hwa ini bukan ha l baru da lam susunan masyara kat yang cair dan sa ling mema hami kebutuhan orang-orang di sekitar. Namun, respons institusi resmi yang lambat dan terbatas terhadap krisis yang tenga h terjadi justru menggarisbawa hi pentingnya tangan-tangan warga da lam merebut nasib mereka sendiri. Lantas, da lam kondisi yang tercerabut, rentan, dan terhimpit wacana-wacana besar yang ta k perna h menjadi milik kita, bagaimana kita bisa hidup, berdaya, dan mengembangkan pengeta huan kita sendiri? Bagaimana mengg una kan pengeta huan tersebut untuk mengorganisir diri dan sekitar, merentangkan jejaring pengaman kehidupan, dan mengimajinasikan masa depan--terutama di tenga h krisis pandemi ini? Ketiga kelompok yang kami undang da lam diskusi ini menyedia kan ruangruang inkubasi yang berfungsi untuk mengidentif ikasi masa la h, memila h cara-cara tradisi hingga modern, menyesuaikannya dengan konteks kekinian, membang un a liansi, hingga merancang desain sosia l dan infrastruktur. Ruangruang ini ber tujuan untuk mengembangkan pengeta huan komuna l yang relevan dan membang un daya tawar da lam rangka menjadi setara da lam usa ha-usa ha ber ta han hidup. Da lam mengembangkan pengeta huan tersebut, kita pun perlu membongkar ulang apa itu “mengeta hui” dan apa yang bisa disebut sebagai sumber pengeta huan. Pengeta huan yang ditawarkan da lam panel ini ada la h pengeta huan kolaboratif yang bersifat horizonta l. Seni pun memiliki peran yang sangat f leksibel da lam perja lanan ketiga kelompok ini: ia bisa menjadi medium, cara membingkai peristiwa, kesempatan untuk bermain dan bernegosiasi, hingga cara untuk membayangkan masa depan.

194


Da lam panel ini, Sekola h Sa la h Didik a kan meref leksikan periha l “mengeta hui” dan “pengeta huan” mela lui eksperimen belajar yang tela h mereka la kukan, dan bagaimana kiranya rumusan tersebut dapat diupaya kan untuk membang un solidaritas dan keber ta hanan, terutama di masa-masa krisis seper ti ini. SAV V Y a kan mengembangkan kemungkinan-kemungkinan pengeta huan yang “lain” menjadi bentuk a liansi kosmopolitan mela lui sinema maupun pembang unan infrastruktur bersama antara beragam kultur sinema. JaF a kan meref leksikan pra ktik perumusan, interna lisasi, hingga utilisasi pengeta huan bersama yang tela h terjadi di Jatiwangi; dan bagaimana pengeta huan tersebut berkembang da lam keseharian warga hingga pra ktik berkesenian JaF hingga hari ini.

195


Panel 3 - Constructing a Network of Knowledge Moderator Dini Adanurani Panelists Nuraini Juliastuti (Indonesia - writer, scholar, founder of Sekolah Salah Didik) Bunga Siagian (Indonesia - artist, activist, director of Jatiwangi art Factory) Abhishek Nilamber (Germany - curator, artistic producer at Savvy Contemporary)

A fter more than a year of pandemic, we have witnessed the esca lating role of communit y-level initiative both in emergency response and long-term sur viva l of the communit y. Clearly, this is not a new phenomenon in a f lexible societ y where the people understand and respond to the needs of others in their environment. However, the slow and limited response from off icia l institutions to the current crisis emphasizes the urgency for communities to ta ke mat ters in their own hands. In the condition of being uprooted, precarious, and wedged bet ween the grand narratives that were never ours in the f irst place, how do we live, be empowered, and develop our own knowledge? How to use this knowledge to organize ourselves and our environment, to spread our safet y net, and imagine the future—especia lly amidst this pandemic crisis? The three collectives we have invited in this discussion provide the spaces of incubation to identify the problems, to sor t the available methods—from the traditiona l to the modern ways—to solve them, to adjust them to the current context, to build a lliances, and to design the socia l body and the infrastructure. These spaces are built to develop the relevant communa l knowledge and to build bargaining power in order to become equa l in the sur viva l effor ts. To develop this knowledge, we a lso need to dismantle the meaning of “knowing” and reconsider our sources of knowledge. This panel offers collaborative and horizonta l knowledge. A r t a lso has a f lexible role in the journey of these three groups: it can be a medium, a way of framing events, an oppor tunit y to play and negotiate, and a lso a way to imagine the future.

196


In this panel, Sekola h Sa la h Didik (The School of Improper Education) will ref lect on the issues of “knowing” and “knowledge” through their learning experiments, and how these formulations can be applied to build solidarit y and resilience, especia lly in times of crisis. SAV V Y will develop the possibilities of “other” knowledge in the form of cosmopolitan a lliances through cinema and joint infrastructure developments among diverse cinema cultures. Jatiwangi ar t Factor y will ref lect on their practice of formulating, interna lizing, and utilizing the shared knowledge in Jatiwangi; and how this knowledge develops in the daily lives of the communit y and in JaF’s ar t practice to this day.

NURAINI JULIASTUTI

BUNGA SIAGIAN

ABISHEK NILAMBER

197



KULTURSINEMA


KULTURSINEMA

Catatan Pengantar Kultursinema 2021

Pilihan kami untuk menyorot f ilem Harimau Tjampa berangkat dari keinginan untuk mengeksplor lebih luas narasi pencarian jati diri bangsa pasca-Revolusi di rana h sinema. Peng ukuhan f ilem T he Long March (Darah dan Doa) sebagai tongga k f ilem nasiona l per tama tela h mengerucutkan imajinasi masyara kat a kan f ilem nasiona l yang militeristik, dan perjuangan melawan penjaja h yang didominasi perang dan senjata. Di sisi lain, pada ta hun 1953, f ilem Harimau Tjampa memberikan potensi untuk menjelaja hi gagasan nasiona lisme mela lui warisan-warisan sejara h yang membentuk Indonesia hingga kini: kebudayaan tradisiona l dan kolonia lisme. Penjelaja han ini juga dila kukan di rana h estetika, seper ti pengg unaan randai sebagai pembingkai konstruksi f ilem.

200


Harimau Tjampa ada la h f ilem Indonesia. Tentunya pernyataan itu dilandasi dengan fa kta ba hwa Harimau Tjampa dibuat di Indonesia, dari tangan orangorang yang la hir di Indonesia pula. Namun ungkapan ‘f ilem Indonesia” sendiri memiliki berbagai dimensi pernyataan dan pema knaan; apa ka h f ilem Indonesia berar ti hanya sekedar f ilem yang berlatar, berisi budaya dan mengg una kan ba hasa Indonesia, atau apa ka h f ilem Indonesia berar ti f ilem yang memberdaya kan berbagai unsur budaya yang ada di Indonesia, dan menerjema hkannya ke da lam medium yang lain, yaitu f ilem. Ada banya k f ilem Indonesia yang masuk pada kategori per tama, namun sedikit seka li f ilem Indonesia yang berada di kategori kedua. Harimau Tjampa, bagi kami, ada la h satu dari sedikit f ilem tersebut. Penerjema han itula h yang coba diungkap dan dibeda h oleh tim Kultursinema. Bagi kami, struktur cerita dan gambar di Harimau Tjampa sangatla h progresif, ba hkan hingga sekarang. Djadoeg Djaja kusuma mengg una kan Randai sebagai bang unan utama konstruksi f ilemnya sehingga Harimau Tjampa bisa dilihat sebagai f ilem yang berupaya untuk melepaskan diri dari struktur f ilem yang suda h mapan, yaitu struktur f ilem yang dibuat di Barat. Penulisan di buku ini bukanla h penulisan a kademik, da lam ar tian ba hwa tulisan-tulisannya tida k terikat da lam kerangka teoritis yang ba ku dan cara penulisan yang forma l. Masing masing dari insan yang terlibat memiliki latar bela kang yang berbeda; ada ma hasiswa f ilem, kurator, seniman, arkeolog, f ilsuf dan pembuat f ilem. Kesemuanya memiliki cara pandang yang berbeda da lam melihat Harimau Tjampa. Ha l ini la h yang coba kami tawarkan pada pembaca, yaitu kebebasan da lam melihat, membongkar, dan menginterpretasi f ilem. Kebebasan yang berar ti melibatkan berbagai metodologi dan pendekatan yang berbeda (semoga!) bila dibandingkan dengan publikasi studi f ilem lainnya. Harimau Tjampa ada la h f ilem penting da lam sejara h sinema Indonesia. Posisi Kultursinema da lam ha l ini ada la h mencoba untuk melihat Harimau Tjampa tida k hanya sebagai ar tefa k budaya, namun juga mengkontekstua lkannya ke da lam permasa la han kontemporer. Dari awa l didirikan, Kultursinema ada la h pra ktik yang memposisikan bagaimana publik melihat sejara h sinema-‘nya’. Seja k ta hun 2014 hingga 2019, Kultursinema sela lu terselenggara da lam bentuk pameran. Ta hun ini, karena cukup beresiko untuk meng undang banya k orang da lam suatu ruang pamer yang sempit dan ter tutup, ma ka sa la h satu upaya kami untuk konsisten menyelenggara kan program ini secara publik ada la h menerbitkan hasil riset yang suda h kami la kukan seja k ta hun 2020 ke da lam bentuk buku. Selain itu, Kultursinema a kan menyelenggara kan diskusi publik yang a kan diada kan secara daring sebagai bagian da lam program A R KIPEL Twilight Zone – 8th Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival 2021.

201


Notes from Kultursinema 2021

Our choice to highlight the f ilm Harimau Tjampa stems from the desire to explore more broadly the narrative of the search for the post-Revolution nationa l identit y in the rea lm of cinema. The inaug uration of the f ilm T he Long March as the milestone for the f irst nationa l f ilm specif ies people's imaginations about a militaristic nationa l f ilm, and the struggle against colonia lism dominated by war and weapons. On the other hand, in 1953, the f ilm Harimau Tjampa provided the potentia l to explore the idea of ​​nationa lism through the historica l legacies that have shaped Indonesia to this day: traditiona l culture and colonia lism. This exploration is a lso carried out in the rea lm of aesthetics, such as the use of randai (a traditiona l theatre performance based on silek mar tia l ar t and kaba narratives deriving from Minangkabau) as a frame for f ilm construction.

202


Harimau Tjampa is an Indonesian f ilm. Of course, this statement is based on the fact that Harimau Tjampa was made in Indonesia, from the hands of people who were born in Indonesia as well. However, the expression 'Indonesian f ilm' itself has various dimensions of statement and meaning; does Indonesian f ilm mean just a f ilm with a background, containing culture and using the Indonesian lang uage, or does Indonesian f ilm mean a f ilm that empowers various cultura l elements in Indonesia, and translates it into another medium, namely f ilm. There are many Indonesian f ilms that fa ll into the f irst categor y, but ver y few Indonesian f ilms are in the second categor y. Harimau Tjampa, for us, is one of the few f ilms. Such translation is what the Kultursinema team is tr ying to uncover and dissect. For us, the structure of stories and images in Harimau Tjampa is ver y progressive, even today. Djadoeg Djaja kusuma uses Randai as the main building for his f ilm construction so that Harimau Tjampa can be seen as a f ilm that seeks to brea k away from the established f ilm structure, namely the structure of f ilms made in the West. The writing in this book is not academic writing, in the sense that the writings are not bound by a standard theoretica l framework and a forma l way of writing. Each of the people involved has a different background; there are f ilm students, curators, ar tists, archaeologists, philosophers, and f ilmma kers. A ll of them have different perspectives on seeing Harimau Tjampa. This is what we offer to the readers, namely the freedom to view, disassemble, and interpret f ilms. Meaningful freedom involves a variet y of different methodologies and approaches (hopefully!) compared to other f ilm studies publications. Harimau Tjampa is an impor tant f ilm in the histor y of Indonesian cinema. Kultursinema's position in this regard is to tr y to see it not only as a cultura l ar tifact, but a lso contextua lize it into contemporar y issues. From the ver y beginning, Kultursinema is a practice that positions how the public sees the histor y of 'its' cinema. From 2014 to 2019, Kultursinema has a lways been held in the form of exhibitions. This year, because it is quite risky to invite many people in a narrow and closed exhibition room, one of our effor ts to consistently hold this program publicly is to publish the results of research that we have been doing since 2020 into the form of a book. In addition, Kultursinema will hold a public discussion which will be held online as par t of the A R KIPEL Twilight Zone – 8 th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival 2021 program.

203


204


205


INDEX SUTRADARA/DIRECTORS

Ahmad Humaidi Albert García-Alzórriz Ali Satri Efendi Ayoung Kim Bo Wang & Pan Lu Charlotte Hong Damon Mohl Derek Jenkins David Darmadi

151 78 54, 177 136 46 53 67 65 101, 179

Edurne Rubio Félix Blume Gernot Wieland Giuliana Rossi Foulkes Hady Mahmoud Hafiz Rancajale

76 111 109 53 53 163

Halaman Papua Jaekyung Jung Jan Locus, Stijn Demeulenaere José Luis Ducid Kamal Aljafari Lidia Afrilita, David Darmadi Maibam Amarjeet Singh Minjung Kim

206

156 134 64 110 124 101, 179 85 133

Nazlı Dinçel Nelson Yeo Nicolas Graux Pham Thien An Phillip Hoffman Riski Rianda Saif Alsaegh Saleksa Srengenge Saulius Baradinskas Sejin Kim Shelly Silver Silvestar Kolbas So Ye-hen Stéphanie Lagarde Taufiqurrahman Kifu Theo Nugraha Thomas Renoldner Valencia Winata Vytautas Katkus Zbyněk Baladrán Zheng Yuan Zlatko Ćosić

66 96 52 107 61 176 123 91, 178 112 135 126 63 84 77 153 150 68 152 108 75 125 62


FILMS

24M2 152 Anak Merak 91, 178 a tiny place that is hard to touch 126 Auksinės Minutės 112 134 A Village 66 Between Relating and Use Bitter with a Shy Taste of Sweetness 123 75 Catastrophe Century Of Smoke 52 Community Garden 108 111 Curupira, bicho do mato 111 Curupira, Creature of the woods 176 The Catharsis 101, 179 Diary of Cattle 54, 177 Di Pinggir Kali Citarum DOLO 163 68 DONT KNOW WHAT Dream Delivery 125 EYES / EYES / EYES / EYES 78 90 Flox Gubuk 84 112 Golden Minutes Hantu Banyu 150 142 Hari Ini Belum Ada Kabar 107 Hãy tỉnh thức và sẵn sàng 85 Highways of Life HUT 84 ICUCICU 53

Illusive Echoes 62 Ink in Milk 109 It’s a Long Way From Amphioxus 124 Just Remind 151 Katarsis Yang Tak Kunjung Selesai 176 108 Kolektyviniai sodai Livestock 65 46 Many Undulating Things Mary, Mary, So Contrary 96 Murmur 64 Ojo Guareña 76 Om Pius, “Ini rumah saya, come the sleeping…” 56 Porosity Valley 2: Tricksters’ Plot 136 Rocky tales of occupation 77 ROTASI 153 Selected Milk Added from Reconstituted Milk Powder Whole Pasteurized Homogenized 110 Stay Awake, Be Ready 107 The Library of Water 67 The Red Filter is Withdrawn 133 Toranj 63 The Tower 63 To the North for Nonexistence 135 vulture 61 ‫ كانه نم انيتأ انعيمج‬ 124 ‫ سكولف‬ 90 触れがたき小さな場所 126

207


Acknowledgement

Direktorat Jendera l Kebudayaan – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Hilmar Farid Sinematek Indonesia Ford Foundation – Ja kar ta Adyani Widowati Esther Parapa k Goethe-Institut Indonesien – Ja kar ta Ingo Schöningh Dinya h Latuconsina Scot t Miller Berr y Ontario A r ts Council Beranda Ra kyat Garuda Dolorosa Sinaga A rjuna Hutaga lung Kasseler Dokfest Gerhard Wissner Ventura Komunitas Yoikatra Komunitas Pasirputih Komunitas Gubua k Kopi SAV V Y Contemporar y GCAS College Keluarga Besar Forum Lenteng

208


Anggota Forum Lenteng Members

Abi Rama

Agung "Abe" Natanael

Afrian Purnama

Ahmad Humaedi Onyong

Albert Rahman Putra

Akbar Yumni

Andang Kelana

Andi K. Yuwono

Andrie Sasono

Andi Rahmatullah

Annisa Nabila Chairo

Ardy Widi Yansah

Artist

Writer/Musician

Content Writer

Photographer

Writer/Reseacher

Journalist

Writer

Creative Consultant

Artist

Cultural Activist

Cultural Activist

Photographer


Ari Dina Krestiawan

Adawiyah Nasution

Anggraeni Widhiasih

Ario Fazrien

Arissa "Icha" Ritonga

Andreas Meiki S.

Alifah Melisa Aprilani Chinese Translator

Bagasworo "Chomenk" Artist/Researcher

Bobby Putra S.

Bunga Siagian

Dian Komala

Dalu Kusma

Debora A. Nainggolan

Defina Martalisa

Dhanurendra Panji

Dhuha Ramadhani

Artist/Lecturer

Journalist

Enterpreneur

Stewardess

Banker

Labour

Cultural Activist

Employee

Writer/Researcher

Labour

Cultural Activist

Videographer

Social Media Influencer

Writer/Researcher


Dini Adanurani

Eko Yulianto

Erviana Madalina

Faita Novti Krishna

Fuad Fauji

Frans Sahala P.

Firman "Kaspo" S.

Fauzan "Padang" C.

Gunawan Wibisono

Hafiz Rancajale

Hanif Alghifary

Herman Syahrul

Intan Pertiwi

Imam Rahmadi

Jean Marais

Klara Pokeratu

Philosophy Student

Writer

Employee

Media Practicioner

TV Producer

Media Practicion

Artist/Curator

Journalist

Film Student

Local Organizer

Artist

Actor

Wardrobe

Enterpreneur

Cameraman

Fashion Stylist


Luthfan Nur Rochman

Lulus Gita Samudera

M. Hafiz Pasha

Mahardika Yudha

Journalist

Employee

Artist/Curator

Manshur Zikri

Mardi Al Anhar

Maria Deandra

Maulana "Adel" Pasha

Mira Febri Mellya

Mirza Jaka Suryana Writer/Enterpreneur

Cultural Activist

Maria C. Silalahi

Muhamad Sibawaihi

Mia Aulia

Mohamad Fauzi

Niska H. Utami

Nurhasan

Archeologist/Filmmaker

Writer/Reseacher

Writer/Media Practitioner

Design Student

Artist

Video Artist

Film Student

Film Student

Artist

Cultural Activist

Employee


Otty Widasari

Pychita Julinanda

Pingkan P. Polla

Ragil Dwi Putra

Cultural Activist

Intl. Relation Student

Artist

Artist

Rayhan Pratama

Prashasti W. Putri

Putera Rizkyawan

Rachmadi "Rambo"

Ray Sangga Kusuma

Renal Rinoza

Riezky A. Pradana

Rio

Robby Ocktavian

Sherly Triana H.

Syahrullah "Ule"

Syaiful Anwar

Researcher

Entrepreneur

Cultural Activist

Art Manager

Writer/Researcher

Entrepreneur

Graphic Designer

Journalist/Musician

Cultural Activist

Artist

Graphic Designer

Director/Cameraman


Sysca Flaviana Devita

Titaz Permatasari Music Enthusiast

Titin Natalia Sitorus

Seniman/Graphic Desainer

Tiwi Novryanti

Theresa F. Umaratih

Theo Nugraha Artist

Ugeng T. Moetidjo Writer/Researcher

Umi Lestari Writer/Reseacher

Valencia Winata Cultural Activist

Cultural Activist

Volta Jonneva

Wachyu "Acong" P.

Wahyu "Tooxskull" C.

Wahyu Budiman Dasta

Wahyu Gde Mika

Yose Rizal

Entrepreneur

Employee

Graphic Designer/Musician

Taufiqurrahman

Artist

Reporter

Film Student

Cultural Employee

Photographer

Event Organizer


Yuki Aditya

Cultural Activist

Yonri Revolt

Cultural Activist/filmmaker

Yoyo Wardoyo

Graphic Designer



See you at ARKIPEL - 9th Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival 2022


Mitra Resmi / Official Partners

Mitra Media / Official Partners


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook

Articles inside

Constructing A Network Of Knowledge

4min
pages 196-199

“Membangun Jejaring Pengetahuan”

2min
pages 194-195

Democracy, Resistance And Algorithms”

1min
pages 192-193

Landscape And Authorship

17min
pages 173-181

Demokrasi, Resistensi, Dan Algoritma”

3min
pages 190-191

Pengantar Keynote Speech Forum Festival 2021: “Twilight Zone”

2min
pages 182-183

Preface Keynote Speech Of Forum Festival 2021: “Twilight Zone”

3min
pages 184-185

The Possible Languages Of Cinema”

2min
pages 188-189

“Tableaux Vivants” In The Post- Era

1hr
pages 110-167

Lanskap Dan Kepengarangan

2min
pages 168-172

Tableaux Vivants Dalam Era Pasca

4min
pages 107-109

Shadowed Twilight Zone

3min
pages 104-106

Zona Temaram Berbayang

1min
pages 102-103

Bizzare Journey To The West Of The West

3min
pages 99-101

Sebuah Lokasi Yang Kedatangan Tamu Asing

2min
pages 91-92

A Visit By A Foreign Guest

5min
pages 93-96

Perjalanan Aneh Ke Baratnya Barat

1min
pages 97-98

Penumbral Zone

4min
pages 87-90

Zona Penumbra

3min
pages 84-86

The History Of User Culture In A Network Of Conquest

8min
pages 54-58

Watching Shadows

10min
pages 76-83

Riwayat Kultur Pengguna Dalam Jejaring Penaklukan

3min
pages 51-53

Puisi Teknologi Gambar Bergerak: Di “Antara”, “Saling”, Dan “Pakai” The Tech-Poetry Of Moving Image: In “Between”, “Relating”, And “Use” 56

14min
pages 59-72

Hantu Yang Bertransformasi Menggurita

2min
pages 44-46

The Tentacular Transforming Ghost

6min
pages 47-50

The Last Photographs Before The Apocalyptic Tinge In The Horizon

7min
pages 39-43

Refleksi Arkipel / Reflection on Arkipel Gambar-Gambar Terakhir Sebelum Semburat Apokalips Di Cakrawala

4min
pages 34-38

Cinema In Twilight Zone

4min
pages 29-31

Awards

3min
pages 32-33

CatatanDirektur Festival

2min
pages 10-11

Sinema Di Zona Temaram

4min
pages 26-28

Festival Director’s Note

2min
pages 12-13

Juri

2min
pages 22-23
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.